bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep persepsi 2.1.1 definisi...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Persepsi
2.1.1 Definisi Persepsi
Persepsi dalam arti sempit adalah penglihatan (bagaimana seseorang memandang
sesuatu), sedangkan dalam arti luas adalah pandangan atau pengertian yaitu bagaimana
seseorang memandang mengartikan sesuatu (Leavitt, 1987 dalam Sobur 2013).
Menurut Sunaryo (2013) persepsi merupakan proses diterimanya rangsangan melalui
pancaindran yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui,
mengartikan dan mengahayati tentang hal-hal yang diamati, baik yang berasal dari dalam
maupun dari luar diri individu. Persepsi berperanan penting dalam pembetukan perilaku
karena persepsi adalah sarana utama untuk memindahkan energy yang berasal dari
stimulus (rangsangan) melalui neuron (saraf) ke simpul saraf yang seterusnya akan
berubah menjadi tindakan atau perilaku.
Persepsi dapat didefiniskan sebagai proses menerima, menyeleksi,
mengorganisasikan, mengartikan, menguji dan memberikan reaksi kepada rangsangan
pancaindra atau data (Pareek, 1996 dalam Sobur, 2013). Menurut John R. Wenburg dan
William W. Wilmot persepsi merupakan sebagai cara individu memberikan makna.
Menurut Rudolph. F. Vanderber persepsi adalah proses penafsirkan informasi yang
indrawi. Menurut teori rangsangan-tanggapan (stimulus-respon) persepsi merupakan
bagian dari keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan
diterapkan kepada manusia(Sobur, 2013).
15
Persepsi merupakan daya mengenal barang, kualitas atau hubungan serta
perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui, dan mengartikan
setelah panca indranya mendapat rangsangan (Maramis, 2009). Sub proses psikologi
lainnya yang mungkin adalah pengenalan, perasaan dan penalaran. Dalam proses
persepsi terdapat tiga komponen utama yaitu (1) seleksi adalah proses penyaringan oleh
indera terhadap rengsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit,
(2) interpretasi yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi
seseorang, (3) interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah
laku sebagai reaksi. Proses persepsi adalah melakukan selseksi, interpretasi dan
pembulatan terhadap informasi yang sampai (Sobur, 2013). Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan persepsi merupakan cara pandang seseorang terhadap sesuatu, dimulai dari
proses diterima rangsangan melalui pengindraan, hasilnya individu mampu mengetahui
dan mengartikan rangsangan dari dalam diri dan lingkungannya. Persepsi ini kemudian
diartikan dalam tindakan sebagai reaksi.
2.1.2 Indikator Persepsi
Indikator persepsi menurut Bimo Walgito (2002, dalam Hariyadi, 2014) sebagai
berikut:
a. Penyerapan terhadap rangsang atau objek dari luar individu
Rangsang atau objek tersebut diserap atau diterima oleh panca indera, baik
penglihatan, pendengaran, peraba, pencium, dan pengecap secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama. Hasil penyerapan atau penerimaan oleh alat-alat indera
tersebut akan mendapatkan gambaran, tanggapan, atau kesan didalam otak.
Gambaran tersebut dapat tunggal maupun jamak, tergantung objek persepsi yang
16
diamati. Di dalam otak terkumpul gambaran-gambaran atau kesan-kesan, baik yang
lama maupun yang baru saja terbentuk. Jelas tidaknya gambaran tersebut tersebut
tergantung dari jelas tidaknya rangsangan, normalitas alat indera dan waktu, baru
saja atau sudah lama.
b. Pengertian atau pemahaman
Gambaran-gambaran atau kesan – kesan yang terjadi didalam otak, maka
gambaran tersebut diorganisir, digolong – golongkan (diklasifikasi), dibandingkan,
diinterpretasi, sehingga terbentuk pengertian atau pemahaman tersebut sangat unik
dan cepat. Pengertian yang terbentuk tergantung juga pada gambaran-gambaran
lama yang telah dimiliki individu sebelumnya (disebut apersepsi).
c. Penilaian atau evaluasi
Suatu pengertian atau pemahaman yang telah terbentuk, akan dilanjutkan
dengan penilaian dari individu. Individu membandingkan pengertian atau
pemahaman yang baru diperoleh tersebut dengan kriteria atau norma yang dimiliki
individu secara subjektif. Penilaian individu berbeda-beda meskipun objeknya sama,
oleh karena itu persepsi bersifat individual.
2.1.3 Syarat dan Proses Terjadinya Persepsi
Syarat terjadinya persepsi menurut Sunaryo (2013) diantaranya:
a. Adanya objek, objek berperan sebagai stimulus dan pancaindra sebagai reseptor.
b. Adanya perhatian sebagai langkah pertama untuk mengadakan persepsi.
c. Adanya pancaindra sebagai reseptor penerima stimulus
17
d. Saraf sensorik sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak (pusat saraf atau
pusat kesadaran). Kemudian dari otak dibawaa melalui saraf motoric sebagai alat
untuk mengadakan respon.
Persepsi terjadi melalui tiga proses yaitu proses fisik, fisiologis dan
psikologis. Proses fisik terjadi melalui kealaman, yakni objek diberikan stimulus
kemudian diterima oleh reseptor atau pancaindra. Proses fisiologi terjadi melalui
stimulus yang dihantarkan ke saraf sensorik lalu disampaikan ke otak. Proses
psikologis merupakan proses yang terjadi pada otak sehingga individu menyadari
stimulus yang diterima. Ketiga syarat diatas diperlukan untuk mendapatkan persepsi
yang baik (Sunaryo, 2013).
Gambar 2.1 Proses terjadinya persepsi (Sunaryo, 2013).
2.1.4 Macam-Macam Persepsi
Persepsi memiliki dua macam yaitu persepsi eksternal dan persepsi internal
(persepsi diri). Persepsi eksternal adalah persepsi yang terjadi karena adanya
rangsangan yang datang dari luar diri individu. Persepsi internal adalah persepsi
Objek Stimulus Reseptor
Saraf sensorik Otak
Saraf Motorik
Persepsi
18
yang terjadi karena adanya rangsangan yang berasal dari dalam diri individu. Dalam
hal ini, yang menjadi objek adalah diri individu sendiri (Sunaryo, 2013).
2.1.5 Sifat Persepsi
Menurut Baihaqi dkk (2007) menyatakan beberapa sifat persepsi antara lain:
a) Bahwa persepsi timbul secara spontan pada manusia, yaitu ketika seseorang
behadapan dengan dunia penuh rangsangan. Indra manusia menerima
rangsangan ± 3 milyar perdetik, dua milyar diantaranya diterima oleh mata
b) Persepsi bersifat asli, merupakan titik tolak perbuatan kesadaran manusia
c) Dalam persepsi tidak selalu dipesepsikan secara keseluruhan, mungkin hanya
sebagian, sedangkan yang lain cukup dibayangkan.
d) Persepsi tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi atau bergantung pada konteks
dan pengalaman. Konteks berarti ciri-ciri obyek yang dipersepsi, sedangkan
pengalaman berarti pengalaman-pengalaman yang dimiliki dalam kehidupan
sebelumnya.
e) Manusia sering tidak teliti, sehingga ia sering keliru. Ini terjadi karena sering
terjadi penipuan dalam bidang persepsi. Sesuatu tampak nyata padahal hanya
bayangan.
f) Persepsi, sebagian ada yang dipelajari dan sebagian ada yang bawaan. Yang
sifatnya dipelajari dibuktikan dengan kuatnya pengaruh pengalaman terhadap
persepsi.
g) Dalam persepsi, sifat benda yang dihayati biasanya bersifat permanen dan stabil,
tidak dipengaruhi oleh penerangan, posisi, dan jarak (Permanent shade).
h) Persepsi bersifat prospektif, artinya mengandung harapan.
19
i) Kesalahan persepsi bagi orang normal, ada cukup waktu untuk mengoreksi
berbeda dengan teganggu jiwanya.
2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Menurut Pieter, dkk (2011) faktor – faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu:
a) Minat artiya semakin tinggi minat seseorang terhadap suatu objek atau
peristiwa, maka makin tinggi juga minatnya dalam mempersepsikan objek atau
peristiwa.
b) Kepentingan artinya semakin dirasakan penting terhadap suatu objek atau
peristiwa bagi diri seseorang, maka semakin peka terhadap objek persepsinya.
c) Kebiasaan artinya semakin sering dirasakan orang objek atau peristiwa, maka
semakin terbiasa dalam membentuk persepsi.
d) Konstansi artinya adanya kecenderungan seseorang untuk melihat objek atau
kejadian secara konstan sekalipun bervariasi dalam bentuk, ukuran, warna dan
kecemerlangan
Menurut Notoadmojo (2010) menyatakan faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi di bagi 2 yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor
eksternal ialah faktor yang mempengaruhi terjadinya persepsi diantaranya kontras,
perubahan intensitas, pengulangan (repetition), sesuatu yang baru (novelty) dan
menarik perhatian orang banyak. Faktor internal yang memperngaruhi persepsi
yaitu pengalaman/ pengetahuan, harapan atau expectation, kebutuhan, motivasi,
emosi dan budaya.
20
2.2 Konsep Perilaku
2.2.1 Definisi Perilaku
Perilaku merupakan bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar organisme, namun dalam memberikan respon sangat
tergantung pada karakteristik atau faktor dari orang yang bersangkutan
(Notoatmodjo, 2012). Menurut Skiner (1938, dalam Notoatmodjo 2010)
menyatakan perilaku adalah respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Perilaku ialah akibat adanya insentif, memalui insentif
mendorong individu berprilaku. Inisiatif cenderung membuat orang
mempertahankan perilakunya dan insentif yang negatif membuat individu
mengalihkan atau menghilangkan perilaku sebelumnya. Jadi perilaku muncul akibat
insentif positif (Walgito dalam Pieter, 2011).
J.P Chaplin mengemukakan perilaku adalah sekumpulan dari reaksi, perbuatan,
aktivitas, gabungan dari reaksi, tanggapan atau jawaban yang dilakukan seseorang.
Inti dari reaksi perilaku manusia berupa kegiatan kognitif, afektif dan motoric yang
saling berhubungan. Apabila salah satu dari aspek tersebut mengalami hambatan
maka aspek yang lainnya juga terganggu .Teori insting McDougall mengatakan
perilaku muncul akibat insting, insting adalah perilaku innate yakni perilaku bawaan
dan mengalami banyak perubahan karena ada pengalaman. Timbulnya insting tidak
terlepas dari dorongan dalam diri seseorang yang berhubungan dengan kebutuhan
yang pada akhirnya membentuk perilaku. Menurut Kartini Kartono perilaku sebagai
proses mental dari reaksi yang sudah tampak atau masih sebatas keinginan yang
diperoleh dari stimulus eksternal dengan internal. Stimulus interna adalah stimulus
21
yang berhubungan dengan kebutuhan fisik dan psikologis, sedangkan stimulus
eksternal segala macam reaksi seseorang akibat faktor luar diri atau lingkungan
(Pieter, 2011).
2.2.2 Jenis-Jenis Perilaku
Perilaku dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu perilaku tertutup dan
perilaku terbuka. Perilaku tertutup (Covert behavior) terjadi bila respon terhadap
stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) dengan jelas.
Respon seseorang terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan
dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Perilaku terbuka (Overt behavior)
terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut berupa tindakan atau praktik yang
dapat diamati orang lain dari luar (Notoatmodjo, 2010).
2.2.3 Domain Perilaku
Menurut bloom (1908, dalam Notoadmojo, 2010) perilaku manusia dibagi
menjadi tiga domain antara lain kognitif (cognitive), afektif (affective) dan
psikomotor (psychomotor). Bloom menyatakan bahwa domain kognitif diukur
dapat diukur dari pengetahuan, domain afektif diukur dari sikap, dan domain
psikomotor diukur dari keterampilan (Sunaryo, 2013).
a) Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris,
khususnya mata dan telingga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior).
Perilaku yang didasari pengetahuan umunya berlangsung lama. Tingkatan
22
pengetahuan dalam domain kognitif mencakup 6 tingkatan yaitu tahu, memahami,
penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.
b) Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktifitas melainkan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu dalam
kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus
sosial (Notoatmodjo, 2012). Menurut Sunaryo (2013) sikap dalah respon tertutup
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, baik yang berifat intern maupun
ekstern sehingga menifestasinya tidak dapat langsung dilihat, namun hanya dapat
ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut. Sikap secara realistis
menunjukkan adanya kesesuaian respons terhadap stimulus tertentu.
c) Psikomotor
Menurut Sunaryo (2013) suatu sikap pada diri individu belum tentu terwujud
dalam suatu tindakan, agar sikap dapat terwujud dalam perilaku nyata diperlukan
faktor pendukung dan fasilitas. Praktik memiliki beberapa tingkatan yaitu:
1) Persepsi, yaitu mengenal dan memilih berbagai objek dengan tindakan yang
akan dilakukan.
2) Respon terpimpin, yaitu individu dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang
benar.
23
3) Mekanisme yaitu individu dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis atau sudah menjadi kebiasaan.
4) Adaptasi, yaitu suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik dan
dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran.
2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010) faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku yaitu:
a) Faktor predisposisi atau yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang,
antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan
sebagainya.
b) Faktor enabeling atau yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku
atau tindakan. Faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas
terjadinya perilaku.
c) Faktor reinforcing atau yang mendorong dan memperkuat terjadinya perilaku.
Seseorang yang tahu dan mampu untuk berprilaku akan tetapi tidak
melakukannya.
Selain beberapa faktor diatas, terdapat bebrapa faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku seseorang yaitu faktor endogen, eksogen dan proses belajar.
Faktor endogen (genetik/keturunan) adalah konsepsi dasar atau modal untuk
perkembangan perilaku makhluk hidup itu sendiri, yang termasuk faktor endogen
antara lain jenis kelamin, jenis ras, sifat fisik, sifat kepribadian, bakat, pembawaan
dan intelegensi. Faktor eksogen merupakan faktor yang berasal dari luar individu,
yang termasuk dalam faktor eksogen adalah faktor lingkungan, pendidikan, agama,
24
sosial dan ekonomi, kebudayaan, persepsi dan emosi. Proses belajar (learning process)
merupakan bentuk mekanisme sinergi antara faktor hereditas dan lingkungan dalam
rangka terbentuknya perilaku. Semua faktor diatas dapat mempengaruhi perilaku
secara berkesinambungan (Sunaryo, 2013).
2.2.5 Proses Pembentukan Perilaku
Menurut Skinner (1938) perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang
terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui
proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudia organisme tersebut
merespons, maka teori Skiner disebut teori S-O-R atau stimulus-organisme-respon.
Terdapat dua respon dalam pembentukan perilaku yaitu Respondent response dan
Operant response. Respondent response atau reflexive merupakan respon yang ditimbulkan
oleh rangsang-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting
stimulation karena menimbulkan respon-respon yang relative tetap. Respondent respon
ini mencakup perilaku emosional seperti sedih dan menangis. Operant response atau
instrumental response yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh
stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau
reinforce, karena memperkuat respons (Notoatmodjo, 2012).
2.2.6 Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan diklasifikasikan menjadi tiga kelompok menurut Mubarak &
Chayatin (2009) sebagai berikut:
a) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance), seperti perilaku pencegahan
penyakit, perilaku peningkatan kesehatan, dan perilaku pemenuhan kebutuhan
gizi.
25
b) Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan (health seeking
behavior), seperti mengobati sendiri (self treatment) dan pengobatan didalam atau
luar negeri.
c) Perilaku kesehatan lingkungan, misalnya perilaku hidup sehat (makan dengan
menu seimbang (appropriate diet), olahraga teratur, tidak merokok dan tidak
minum-minuman keras, istirahat cukup, mengendalikan stres, dan gaya hidup
positif), perilaku sakit (illness behavior) seperti pengetahuan tentang penyebab,
gejala dan pengobatan, dan perilaku peran sakit (the sick role behavior) dimana
peran klien yaitu hak-hak orang sakit (right), kewajiban orang sakit (obligation),
dan perilaku peran orang sakit ( the sick role ).
2.3 Konsep Kehamilan
2.3.1 Definisi Kehamilan
Kehamilan didefinisi sebagai fertilitas atau penyatun dari spermatozoa dan ovum
serta dillanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga
bayi lahir, kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40 minggu
(Prawiroharjo, 2008 dalam Kumalasari, 2015). Proses kehamilan merupakan
matarantai yang berkesinambungan terdiri dari ovulasi, migrasi spermatozoa dan
ovum, konsepsi dan pertumbuhan zigot, nidasi (implantasi) pada uterus,
pembentukan plasenta, dan tumbuh kembang hasil konsepsi sampai aterm.
kehamilan berlangsung selama 40 minggu dan dianggap melewati bulan bila lebih dari
42 minggu. Kehamilan dibagi dalam tiga triwulan yaitu triwulan pertama (0 sampai 12
26
minggu), triwulan kedua (13 sampai 28 minggu), dan triwulan ketiga (29 sampai 42
minggu) (Manuaba, 2010).
2.3.2 Tanda-Tanda Kehamilan
Menurut Manuaba (2010) tanda-tanda adanya kehamilan sebagai berikut:
a) Amenore (terlambat datang bulan), konsepsi dan nidasi menyebabkan tidak terjadi
pembentukan folikel de Graaf dan ovulasi .
b) Mual dan muntah (emesis), dipengaruh hormone esterogen dan progeteron
menyebabkan pengeluaran asam lambung yang berlebihan. Mual dan muntah pada
pagi hari disebut morning sickness.
c) Sinkope atau pingsan, terjadinya gangguan sirkulasi ke daerah kepala (sentral)
menyebabkan iskemia susunan saraf pusat dan menimbulkan sinkop atau pingsan.
Keadaan in hilang setelah usia kehamilan 16 minggu.
d) Payudara tegang, dipengaruh hormone esterogen-progesteron dan
somatomamotrofin menimbulkan deposit lemak, air dan garam pada payudara.
Ujung saraf tertekan menyebabkan rasa sakit terutam pada kehamilan pertama.
e) Sering miksi, disebakan desakan rahim ke depan menyebabkan kandung kemih
cepat terasa penuh dan sering miksi.
f) Konstipasi dipengaruhi hormone progesterone dapat menghambat peristaltik
usus, menyebabkan kesulitan untuk buang air besar
g) Pigementasi kulit, keluarnya melanophore stimulating hormone hipofisis anterior
menyebabkan pigmentasi kulit disekitar pipi (kloasma garvidarum), dinding
gravidarum (striae lividiae, striae nigra, linea alba makin hitam) dan sekitar
27
payudara (hiperpigmentasi areola mamae, putting susu makin menonjol, kelenjar
Montgomery menonjol, pembuluh darah menifes sekitar payudara).
h) Epulis merupakan hipertrofi gusi yang terjadi ketika hamil
i) Varises atau timbulnya pembuluh darah vena, dipengaruhi oleh hormone
esterogen dan progesterone. Varises muncul disekitar genetalia eksterna, kaki,
betis dan payudara.
2.3.3 Perubahan pada Kehamilan
a. Perubahan fisiologis
Menurut Manuaba, dkk (2007) menjelaskan perubahan yang terjadi pada
kehamilan antara lain:
1. Sistem gastrointestinal, perubahan perasaan mual dan muntah (emesis
gravidarum) berlangsung sekitar minggu ke 2 sampai minggu ke 14 sampai 16.
Proses mual dan muntah yang berlangsung cukup berat dan menggangu
kehidupan sehari-hari disebut hyperemesis gravidarum. Kemudian gangguan
mual dan muntah yang terjadi pada pagi hari akan tetapi tidak menimbulkan
gangguan disebut morning sickness. Semua proses ini akan berkurang seiring
dengan makin tuanya kehamilan. Selain itu ada yang disebut dengan
hipersalivasi atau ptyalismus yaitu pengeluaran air ludah yang berlebihan
sampai 1-2 liter dalam sehari.
2. Sistem pernapasan, paru-paru sebagai alat pertukaran gas akan mengalami
perubahan fisiologi akibat peningkatan kebutuhan O2 dan pembesaran uterus.
Perubahan ini disebabkan adanya perubahan hormonal dan mekanis.
28
3. Perubahan pada kulit ibu hamil terjadi karena terdapat hormon khusus,
perubahan kulit dalam bentuk hiperpigmentasi dan hiperemi. Beberapa tempat
dapat mengalami perubahan seperti muka, abdomen, mamae, spider angioma,
eritema palmaris dan rambut.
4. Sistem urologi, perubahan ginjal sebagai akibat dari perubahan hemodinamik,
hemodilusi darah dan vaskularisasi local.
5. Sistem kardiovaskular mengalami perubahan untuk dapa mendukung
peningkatan metabolism sehingga tumbuh-kembangnya janin sesuai dengan
kebutuhan. Pengaruh perubahan hormonal pada kehamilan yang berasal dari
kelejar ibu, plasenta serta ovarium (saat permulaan) dan kebutuhan yang
meningkatkan akan nutrisi O2, elektrolit dan elemen dasar yang penting serta
pembuangan hasil yang tidak diperlukan, telah menimbulkan perubahan dalam
darah dan perubahan hemodinamik sirkulasi darah.
6. Sistem genetalia, perubahan terbesar terjadi pada sistem genetalia dikarenakan
merupakan tempat tumbuh kembangnya hasil konsepsi yang berlanjut sampai
di dalam uterus. Uterus sebelum hamil memiliki berat 30 gram dan membesar
menjadi seberat 1000-1100 gr sehingga dapat menampung janin dengan berat
rata-rata 3000-3500 gram. Volume uterus sebesar 10 cc akan menjadi 5-20 liter
dengan rata-rata 6-7 liter.
7. Kelenjar endokrin mengalami perubahan berupa peningkatan produksi dalam
bentuk hormone, bahkan dapat terjadi pembesaran. Perubahan tersebut
terdapat pada hormone hipofisis, growth hormone, prolactin, tiroid, paratiroid,
adrenal, kortisol, ACTH, aldosterone, deoksikortikosteroid, dan
adrostenedion/testosterone.
29
8. Perubahan metabolism, kehamilan membutuhkan nutrisi, elektrolit, trace
element dan lainnya sehingga kesuluruhan metabolism meningkat sekitar 20-
25%. Deposit nitrogen dalam bentuk protein naik sekitar 25% maka
memerlukan tambahanprotein yang cukup untuk dapat meningkatkan tumbuh
kembang janin dengan sempurna, tidak mengalami gangguan atau mengalami
anemia. Berat badan ibu hamil akan bertambah sekitar 12-14 kg selama hamil.
9. Perubahan posisi tulang dan otot, usia kehamilan uterus yang membesar dan
berat, maka akan terjadi lordose. Sikap lordose dilakukan untuk mengimbangi
berat uterus sehingga titik berat agak berubah kebelakang perubahan hormonal
khususnya esterogen yang memiliki sifat retensi air dan garam menyebankan
persendiaan sarkoiliaka, sakrokoksigius dan simfisis pubis semakin melebar dan
melunak. Hal ini dapat meringankan beban dan rasa sakit.
10. Perubahan pada penglihatan, tekanan intra okuler dapat menurun saat
kehamilan. Sensitivitas kornea berkurang sehingga penglihatan menjadi sedikit
kabur. Terjadinya tekanna oleh kelenjar hipofisis terhadap kiasma optikum
akan menambah suramnya pandangan.
b. Perubahan psikologis
1. Trimester I
Perubahan psikologis yang terjadi pada kehamilan trimester I didasar pada teori
revarubin. Teori ini menekankan pada pencapaian peran sebagai ibu untuk
mencapai peran ini seseorang wanita memerlukan melalui serangkaian aktivitas.
Kehamilan pada trimester I terjadi pada tahapan ketika wanita sedang belajar untuk
mencapai peran barunya yaitu peran sebagai seorang ibu (Mansur & Budiarti, 2014).
30
2. Trimester II
Selama akhir trimester I dan masa prequickening pada trimester kedua, ibu hamil
mengevaluasi lagi hubungannya dan segala aspek didalamnya dengan orangtuanya
(ibunya) yang telah terjadi selama ini. Pada trimester ini juga sering disebut periode
pancaran kesehatan, hal ini disebabkan selama trimester 2 wanita umumnya merasa
baik dan terbebas dari ketidaknyamanan kehamilan(Mansur & Budiarti, 2014).
3. Trimester III
Trimester III sering kali disebut periode menunggu/penantian dan wasapada sebab
pada saat itu ibu merasa tidak sabar menunggu kelahiran bayinya. Pada trimester ini
adalah waktu untuk mempersiapkan kelahiran dan peran sebagai orang tua seperti
terpusatnya perhatian pada kehadiran bayi. Tugas ibu pada masa kehamilan meliputi
menerima kehamilannya, membina hubungan dengan janin, menyesuaikan perubahan
fisik, menyesuaikan perubahan hubungan suami istri dan persiapan melahirkan dan
menjadi orang tua (Mansur & Budiarti, 2014).
2.3.4 Pengawasan kehamilan
Pengawasan antenatal memberikan manfaat dengan ditemukannya berbagai
kelainan yang menyertai hamil secara dini, sehingga dapat diperhitungkan dan
dipersiapkan langkah-langkah dalam pertolongan persalinannya. Ibu hamil
dianjurkan untuk melakukan pengawasan anenatal sebanyak 4 kali, yaitu pada setiap
trimester sedangkan trimester terakhir sebanyak 2 kali. Jadwal pemeriksaan
antenatal dilakukan pada pemeriksaan pertama, pemerikasaan pertama dilakukan
segera setelah diketahui terlambat haid. Kemudian pemeriksaan ulang (setiap bulan
31
sampai usia kehamilan 6 sampai 7 bulan, setiap 2 minggu sampai usia kehamilan 8
bulan, dan setiap 1 minggu sejak usia kehamilan 8 bulan sampai terjadi persalian).
Dilakukan pemeriksaan khusus bila terdapat keluhan tertentu (Manuaba dkk, 2010).
Berikut merupakan komponen pemeriksaan antenatal terpadu adalah :
a. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan
b. Ukur tekanan darah
c. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas/LILA)
d. Ukur tinggi fundus uteri
e. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin
f. Skrining status imunisasi tetanus dan berikan imunisasi tetanus toksoid (TT) bila
diperlukan
g. Beri zat tambah darah (tablet zat besi)
h. Periksa laboratorium (rutin dan khusus) dengan memeriksa: golongan darah,
kadar Hb, kadar gula darah (bila diduga ada penyakit kencing manis), tes sifilis,
tes HIV, malaria (di daerah endemis malaria), protein dalam urin dan BTA
(untuk tuberculosis)
i. Tatalaksana/penanganan sesuai kondisi yang ditemukan
j. Konseling (Kemenkes, 2014)
2.4 Konsep HIV/AIDS
2.4.1 Definisi HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah retrovirus yang termasuk dalam
family lentivirus. Retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan
DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi
32
yang panjang. HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang
(klinik-laten), dan utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV
menyababkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal
tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk
mereplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan
limfosit (Nursalam & Kurniawati, 2007). Kecepatan perubahan dari infeksi HIV
menjadi AIDS tergantung pada jenis dan virulensi virus, status gizi serta cara
penularan. Infeksi HIV dibedakan menjadi 3 tipe yaitu: rapid progressor (berlansung
2-5 tahun), averge progressor (7-15 tahun) dan slow progressor (>15 tahun) (Kemenkes,
2014).
Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan beberapa tipe HIV, yaitu HIV-1 yang
sering menyerang manusia dan HIV-2 yang ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV
termasuk subfamili Lentivirinae dari family Retroviridae. Asam nukleat dari family
retrovirus adalah RNA yang mampu membentuk DNA dari RNA. Enzim
transcriptase reverse menggunakann RNA virus untuk membentuk DNA. DNA
bergabung dengan kromosom induk (sel limfosit T4 dan sel makrofag) yang
berfungsi sebagai pengganda virus HIV. Secara sederhana sel HIV terdiri dari inti
(RNA dan enzim transcriptase reversi (polimerase), protease, dan integrase), kapsid
(antigen p24) dan sampul (antigen p17) dan tonjolan glikoprotein (gp 120 dan gp41)
(Widoyono, 2008).
2.4.2 Tanda dan Gejala HIV/AIDS
Menurut WHO dalam Widoyono (2008) terdapat beberapa tanda dan gejala
antara lain:
33
a. Ada beberapa gejala dan tanda mayor meliputi kehilangan berat badan
(BB)>10%, diare kronik >1 bulan dan demam >1 bulan.
b. Untuk tanda minornya antara lain: batuk menetap >1 bulan, dermatitis pruritis
(gatal), herpes zoster berulang, kandidiasis orofaring, herpes simpleks yang
meluas dan berat dan limfadenopatti yang meluas.
c. Tanda lainnya yaitu sarcoma kaposi yang meluas dan meningitis kriptokokal.
2.4.3 Diagnosis
Metode yang umum untuk menegakkan diagnose HIV meliputi:
a. ELISA (enzyme-Linked ImmuniSorbent Assay), sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar
98,1-100%, biasanya pemeriksaan ini memberikan hasil positif setelah 2-3 bulan
setelah infeksi. Apabila ditemukan antibodi dengan pemeriksaan ELISA perlu
dikonfirmasi dengan western immunoblot. Tes HIV Elisa (+) sebanyak 3 kali
dengan reagen yang berlainan merk menunjukkan pasien positif mengidap HIV.
b. Western blot, spesifitasnya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaan ini
cikup sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
c. PCR (Polymerase Chain Reaction), tes ini digunakan untuk tes HIV pada bayi,
karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat menghambat
pemeriksaan secara serologis, menetapkan status infeksi individu yang
seronegatif pada kelompok berisiko tinggi, tes kelompok berisiko tinggi
sebelum terjadi serokonversi dan tes konformasi untuk HIV-2, sebab ELISA
mempunyai sensitivitas rendah untuk HIV-2 (Widoyono, 2008).
d. WHO kini merekomendasikan pemeriksaan dengan rapid test (dipstick) sehingga
hasilnya bisa segera diketahui.
2.4.4 Perjalanan Penyakit & Stadium HIV/AIDS
34
Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan bergabung dengan DNA sel
pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi.
Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas infeksi seperti demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare atau batuk pada 3-6
minggu setelah infeksi. Infeksi ini dikenal dengan infeksi primer (Sudoyo, 2006).
Infeksi primer berkaitan dengan periode waktu di mana HIV pertama kali masuk ke
dalam tubuh. Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun
dengan cepat. Target virus adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus
selama waktu tersebut, yang membuat individu yang terinfeksi HIV akan mungkin
terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan thymus untuk memproduksi
limfosit T. Tes antibody HIV menggunakan ELISA yang akan menunjukkan hasil
positif (Calles, N.R, 2000 dalam Nursalam & Kurniawati, 2008).
Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala) bisa
berlangsung selama 8-10 tahun. Pada sekelompok orang perjalanan penyakitnya
sangat cepat sekita 2 tahun da nada yang sangat lambat. Seiring dengan makin
memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi
oportunistik (penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelajar getah
bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lain (Sudoyo, 2006). Pada
fase ini juga disebut dengan imunodefisiensi, dalam serum pasien yang terinfeksi
HIV ditemukan adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel T.
Adanya supresif pada proliferasi sel T tersebut dapat menekan sintesis dan sekresi
limfokin. Sehingga sel T tidak mampu memberikan respon terhadap mitogen,
terjadi disfungsi imun yang ditandai dengan penurunan kadar CD4+ (Hoffman,
35
Rockstroh, Kamps, 2006). Infeksi oleh kuman lainmembuat HIV membelah lebih
cepat. Selain itu dapat mengakibatkan reaksitivitas virus didalam limfosit T sehingga
perjalanan penyakit bisa lebih progresif (Sudoyo, 2006).
2.4.5 Penularan HIV/AIDS
Virus HIV/AIDS dapat menular melalui beberapa cara diantaranya:
a) Cairan genetalia, cairan sperma dan cairan vagina pengidap HIV memiliki
jumlah virus yang tinggi dan cukup banyak untuk memungkinkan penularan,
terlebih jika disertai IMS lainnya (Kemenkes, 2014). Menurut Syaiful (2000
dalam Nursalam & Kurniawati, 2007) Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi
mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV
untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual.
b) Kontaminasi darah atau jaringan, penularan HIV dapat terjadi melalui
kontaminasi darah seperti transfusi darah dan produknya ( plasma, trombosit)
dan transplantsi organ yang tercemar virus HIV atau melalui pengunaan alat
medis yang tidak steril, seperti suntikan yang tidak aman ( penggunaan alat
suntik bersama pada penasun, tattio dan tindik tidak steril) (Kemenkes, 2014).
Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS sangat cepat menularkan
HIV karena virus langsung ke pembuluh darah dan menyebar keseluruh tubuh
(Nursalam & Kurniawati, 2007)
c) Penularan dari ibu ke anak, pada saat hamil sirkulasi darah janin dan sirkulasi
darah ibu dipisahkan oleh beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta
yang melindungi janin dari infeksi HIV, tetapi jika terjadi peradangan, infeksi
ataupun kerusakan pada plasenta maka HIV bisa menenbus plasenta sehingga
36
terjadi penularan HIV dari ibu ke anak. Lebih dari 90% anak yang terinfeksi
HIV didapat dari ibunya. Virus dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV
pada anaknya selama kehamilan, saat persalinan dan menyusui. Faktor yang
berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak antara lain faktor ibu, faktor
bayi dan faktor tindakan obstetri (Kemenkes, 2014).
HIV tidak menular melalui bersalaman, berpelukan, atan berciuman,
penggunaan toilet umum, kolam renang, alat makan, atau minum secara
bersama, ataupun gigitan serangga seperti nyamuk (P2P Kemenkes, 2013).
2.4.6 Upaya Penanggulangan dan Pencegahan HIV/AIDS
a) Upaya Penanggulangan HIV/AIDS
Upaya penanggulangan sesuai dengan peraturan menteri kesehatan no 21 tahun
2013:
a) Promosi kesehatan, ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar
dan komprehensif mengenai pencegahan penularan HIV dan menghilangkan
stigma serta diskriminasi. Promosi kesehatan diberikan dalam bentuk advokasi,
bina suasana, pemberdayaan, kemitraan dan peran serta masyarakat sesuai
dengan kondisi sosial budaya serta didukung kebijakan publik. Sasaran promosi
kesehatan meliputi pembuatan kebijakan, sector swasta, organisasi
kemasyarakat dan masyarakat.
b) Pencegahan penularan HIV dapat dicapai secara efektif dengan cara
menerapkan pola hidup aman dan tidak berisiko. Pencegahan meliputi
pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual, pencegahan penularan
37
HIV melalui hubungan non seksual, dan pencegahan penularan HIV dari ibu
ke anaknya.
c) Pemeriksaaan diagnosis HIV dilakukan untuk mencegah sedini mungkin
terjadinya penularan atau peningkatan kejadian infeksi HIV. pemeriksaan
diagnosis HIV dilakukan bedasarkan prinsip konfidensialitas, persetujuan,
konseling, pencatatan, pelaporan dan rujukan. Pemeriksaan ini harus dilakukan
dengan persetujuan pasien. Diagnosis tes dilakukan dengan pendekatan KTS
(konseling dan tes HIV sukarela) dan TIPK (tes dan konseling atas inisiasi
pemberi layanan kesehatan).
d) Pengobatan dan perawatan, setiap fasilitas kesehatan dilarang menolak dan
perawat ODHA. Fasilitas kesehatan yang tidak mampu memberikan
pengobatan dan perawatan, wajib mmerujuk ODHA ke fasilitas pelayanan
kesehatan lain yang mampu atau ke rumah sakit rujukan ARV.
e) Rehabilitasi pada kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan terhadap
setiap pola transmisi penularan HIV pada populasi kunci terutama pekerja seks
dan pengguna napsa suntik. Rehabilitasi pada kegiatan penggulangan HIV dan
AIDS dilakukan melalui rehabilitasi medis dan sosial.
b) Upaya Pencegahan HIV/AIDS
a) Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan melalui
beberapa cara yaitu tidak melakukan hubungan seksual berisiko (Abstinence),
setia dengan pasangan (Be faithful),menggunakan kondom secara konsisten
(Condom use), menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif ( no drug),
meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk mengobati
38
IMS sedini mungkin dan melakukan pencegahan lain melalui sirkumsisi
(Permenkes No. 21 tahun 2013 pasal 14).
b) Pencegahan penularan HIV melalui hubungan non seksual dilakukan dengan uji
saring darah pendonor, pencegahan infeksi HIV pada tindakan medis dan non
medis yang melukai tubuh, dan pengurangan dampak bukur pada pengguna
napza suntik (Permenkes No. 21 tahun 2013 pasal 15)
c) Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya dapat dilakukan dengan 4
kegiatan meputi pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif,
pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV,
pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya dan pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan
kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya. Dalam pencegahan HIV
dari ibu ke anaknya, terhadap ibu hamil yang memeriksakan kehamilan harus
dilakukan promosi kesehatan dan pencegahan penularan HIV. Pencegahan
penularan terhadap ibu hamil dilakukan melalui pemeriksaan diagnostis HIV
dengan tes dan konseling. Tes dan konseling dianjurkan sebagai bagian dari
pemerikaan laboratorium rutin saat pemeriksaan asuhan antenatal atau
menjelang persalinan pada semua ibu hamil di daerah dengan epidemic meluas
dan terkonsentrasi atau ibu hamil dengan keluhan IMS dan TB di daerah
epidemic rendah (Permenkes No. 21 tahun 2013 pasal 16 & 17).
39
2.5 Konsep Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Ke Anak
2.5.1 Definisi PPIA
Prevention of Mother-to-Child Transmission (PMTCT) atau pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak (PPIA) merupakan bagian dari upaya penanggulangan HIV dan AIDS di
Indonesia serta Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Tujuan utamanya adalah agar ibu
yang dilahirkan dari ibu dengan HIV terbebaskan dari HIV, serta ibu dan bayi tetap hidup
dan sehat. Dalam menjangkau sasaran PPIA yaitu wanita usia subur dan ibu hamil, maka
layanan PPIA diintegrasikan dengan paket KIA, KB, kesehatan reproduksi, dan kesehatan
remaja di setiap jenjang pelayanan kesehatan dalam strategi Layanan Komprehensif
Berkesinambungan (LKB) HIV dan AIDS. Pengembangan stategi PPIA merupakan bagian
dari tujuan utama penanggulanggan HIV dan AIDS, yaitu menurunkan kasus HIV
serendah mungkin dengan menurunnya jumlah HIV baru, mengurangi stigma dan
diskriminasi, serta menurunkan kematian akibat AIDS (Getting to Zero) (Permenkes No. 51
tahun 2013).
2.5.2 Kebijakan
Kebijakan umum PPIA sejalan dengan kebijkan program nasional pengendalian
HIV/AIDS dan IMS lainnya, serta kebijakan program KIA. Berdasarkan tingkat prevelensi
kasus HIV di suatu wilayah, terdapat tiga tingkatan epidemi, yaitu:
a) Epidemi meluas (generalized epidemic), kasus HIV sudah menyebar dipopulasi umum
atau bila prevelensi infeksi HIV lebih dari 1% di antara ibu hamil.
b) Epidemi terkonsentarasi (concentrated epidemic), kasus HIV menyebar dikalangan sub-
populasi tertentu seperti LSL, penasun, pekerja seks dan pasanganya, mencapai
40
prevelensi kasus HIV lebih dari 5 % secara konsisten, sedangkan pada populasi umum
atau ibu hamil prevalensi kasus HIV tetap dibawah 1%.
c) Epidemi rendah (low epidemic), kasus HIV telah ada namun belum menyabar luas (<5%)
pada sub populasi tertentu. Infeksi HIV yang tercatat terbatas pada sejumlah individu
yang berperilaku risiko tinggi (LSL, penasun, pekerja seks, dan pasanganna) dan
prevelensi kasus HIV di bawah 1% pada populasi umum dan di bawah 5% pada sub
populasi tertentu (Kemenkes, 2014).
Kebijakan untuk melakukan tes HIV didasarkan pada kategori epidemic tersebut :
a) Daerah epidemi meluas dan terkonsentrasi, tes HIV dilakukan pada semua ibu hamil
bersamaan dengan pemeriksaan rutin lainnya pada layanan antenatal terpadu, di setiap
kunjungan, mulai kunjungan pertama (K1) hingga menjelang persalinan.
b) Daerah epidemi rendah, tes HIV dilakukan untuk ibu hamil dengan indikasi adanya
perilaku berisiko, keluhan/gejala IMS atau infeksi oportunistik (khususnya TB),
bersamaan dengan pemeriksaan rutin lainnya pada layanan antenatal terpadu, di setiap
kunjungan, mulai kunjungan pertama (K1) hingga menjelang persalinan (Kemenkes,
2014).
2.5.3 Target
Target upaya pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi sebagai berikut:
a) Semua ibu hamil didaerah epidemi meluas dan terkonsentrasi dilakukan tes HIV pada
kunjungan antenatal pertama sampai menjelang persalinan.
b) Semua ibu hamil didaerah epidemi rendah dengan indikasi adanya perilaku berisiko,
keluhan IMS atau infeksi oportunistik (khusus TB), dilakukan tes HIV pada kunjungan
antenatal pertama sampai menjelang persalinan.
41
c) Semua ibu hamil dengan HIV mendapatkan terapi
d) Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV mendapatkan pemerikasaan dan terapi
(Kemenkes, 2014).
2.5.4 Kegiatan dalam PPIA
Menurut Kemenkes (2014) pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak
dilaksanakan melalui 4 kegiatan meliputi:
a) Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia produktif
Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan HIV
pada anak adalah dengan mencegah penularan HIV pada perempuan usia
reproduksi 15-49 tahun (pencegahan primer). Pencegahan primer bertujuan
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara dini, yaitu baik sebelum
terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau bila terjadi perilaku seksual
berisiko maka penularan masih bisa decegah, termasuk mencegah ibu dan ibu
hamil agar tidak tertular oleh pasangannya yang terinfeksi HIV. kegiatan yang
dapat dilakukan pada pencegahan primer antara lain: 1) Menyebarluaskan
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV dan AIDS dan kesehatan
reproduksi, baik secara individu maupun kelompok, 2) Mobilisasi masyarakat 3)
Layanan tes HIV, 4) Dukungan untuk perempuan yang HIV positif.
b) Pencegahan kehamilahan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan
HIV
Perempuan dengan HIV berpotensi menularkan virus kepada bayi yang
dikandungnya jika hamil. ODHA perempuan disarankan untuk mendapatkan
42
akses layanan yang menyediakan informasi dan sasaran kontrasepsi yang aman
dan efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. Konseling
yang berkualitas, penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta
penggunaan kondom secara konsisten akan membantu perempuan dengan HIV
agar melakukan hubungan seksual yang aman, serta menghindari terjadinya
kehamilan yang tidak direncanakan. Beberapa kegiatan untuk mencegah
kehamilan yang tidak direncankan meliputi mengadakan KIE tentang HIV dan
AIDS dan perilaku seks aman, menjalankan konseling dan tes HIV untuk
apsangan, melakukan upaya pencegahan da pengobatan IMS, melakukan
promosi penggunaan kondom, memberikan konseling pada perempuan dengan
HIV untuk ikut KB dengan menggunakan metode kontrasepsi dan cara yang
tepat, memberikan konseling dan memfasiliasi perempuan dengan HIV yang
ingin merencanakan kehamilan.
c) Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang
dikandungnya
Strategi pencegahan penularan HIV pada yang terinfeksi HIV ini
merupakan inti dari kegiatan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak.
pelayanan yang komprehensif mencakup kegiatan yaitu layanan ANC terpadu
termasuk penawaran dan tes HIV, diagnosis HIV, pemberian terapi
antiretroviral, persalinan yang aman, tata laksana pemberian makanan bagi bayi
dan anak, menunda dan mengatur kehamilan, pemberian profilaksis ARV dan
kotrimoksazol pada anak, pemeriksaan diagnostic HIV pada anak.
43
d) Pemberian dukungan psikologi, sosial dan perawatan kepada ibu HIV beserta
anak dan keluarganya.
Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak tidak berhenti setelah
ibu melahirkan. Ibu akan hidup dengan HIV dan membutuhkan dukungan
psikologi, sosial dan perawatan sepanjang waktu. Hal ini dikarenakan ibu akan
menghadapi masalah stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA.
Beberapa hal yang mungkin dibutuhka oleh ibu dengan HIV antara lain
pengobatan ARV jangka panjang, pengobatan gejala penyakit, pemeriksaan
kondisi dan pemantauan terapi ARV (termasuk CD4 dan viral load), konseling dan
dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan, informasi dan edukasi
pemberian makanan bayi, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk
diri sendiri dan bayinya, penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara
penularan HIV dan pencegahannya, layanan klinik dan rumah sakit bersahabat,
kunjungan rumah, dukungan teman-teman sesame HIV positif, terlebih sesame
ibu dengan HIV, adanya pendampingan saat sedang dirawat, dukungan dari
pasangan, dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga dan dukungan
perawatan dan pendidikan bagi anak.
2.5.5 Jejaring PPIA
Upaya penanggulangan HIV dan AIDS sangat memerlukan penguatan sistem
kesehatan. Beberapa aspek penting yang perlu dilakukan, antara lain penguatan
layanan IMS/kesehatan reproduksi dan pengintegrasian program HIV dan AIDS ke
layanan kesehatan yang sudah tersedia, termasuk layanna KIA/KB, kesehatan
reproduksi (PKRE) dan kesehatan remaja (PKPR). Kementrian kesehatan
44
menerapkan strategi pengendalian penyakit melalui layanan pencegahan dan
pengobatan HIV dan AIDS yang komprehensif dan berkesinambungan (LKB)
dengan menerapkan 6 pilar yng terdiri atas (1) koordiansi dan kemitraan dengan
semua pemangku kepentingan, (2) peran aktif komunitas termasuk ODHA dan
keluarga, (3) layanan terintegrasi dan terdesentraliasasi sesuai kondisi setempat, (4)
akses layanan terjamin, (5) sistem rujukan dan jejaring kerja, (6) paket layanan HIV
komprehensif yang berkesinambungan. LKB adalah penguatan layanan paa
penguatan jejaring internal yaitu hubungan antar layanan/program didalam
fasyankes, dan ekternal yakni hubungan antar fasyankes, rujukan antar layanan dan
penguatan komponen masyarakat dengan kunci pengendalian dan menejemen
secara komprehensif (Permenkes No 51 tahun 2013).
Dalam jejaring PPIA setiap intitusi memiliki peran tersendiri yang terintegrasi
dan saling berhubungan dengan institusi lainnya. Di sarana kesehatan, pelayanan
PPIA dijalankan oleh puskesmas dan jajarannya, rumah sakit, bidan praktek swasta.
Ditingkat masyarakat dijalankan oleh LSM (lembaga swadaya masyarakat) ataupun
kelompok dukungan dukungan sebaya ( KDS) ODHA. Layanan HIV dan AIDS
khusus PPIA dibagi dalam empat tingkatan (strata) pelayanan yaitu strata I,II,III
dan layanan berbasis masyarakat. Strata III dilaksanakan di tingkat provinsi atau
nasional. Strata II dilakukan di tingkat kabupaten/kota. Strata I atau layanan dasar
dilaksanakan di tingkat puskesmas kecamatan, kelurahan maupun layanan yang
berbasis masyarakat (Permenkes No 51 tahun 2013).
45
2.6 Konsep Tes dan Konseling HIV
2.6.1 Definisi Tes dan Konseling HIV
Tes HIV adalah pemeriksaan terhadap antibody yang terbentuk akibat
masuknyaHIV ke dalam tubuh, pemeriksaan antigen mendeteksi adanya virus HIV.
Konseling adalah proses dialog antara konselor dan pasien/ klien atau antara
petugas kesehatan dengan pasien yang bertujuan untuk memberikan informasi yang
jelas dan dapat dimengerti oleh pasien atau klien. Konselor memberikan waktu dan
perhatian, untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan
melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan
(Permenkes No.74 thn 2014). Menurut Pepinsky (1954, dalam Nursalam 2007)
konseling merupakan interaksi yang terjadi antara 2 orang (konselor dank lien),
berlangsung dalam kerangka professional dan diarahkan agar memungkinkan
terjadinya perubahan perilaku pada klien.
2.6.2 Prinsip Dasar Tes dan Konseling HIV
Menurut Permenkes No.74 thn 2014 pelaksanaan tes HIV harus mengikuti
prinsip yang telah disepakati secara global, meliputi 5 komponen yang disebut 5 C
(informed consent, confidentiality, counseling, corret test result, connections to, care, treatment and
prevention service).
a) Informed Consent adalah persetujuan akan suatu tindakan pemeriksaan
pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau
wali/pengampu setelah mendapatkan dan memahami penjelasan yang
diberikan secara lengkap oleh petugas kesehatan tentang tindakan medis yang
akan dilakukan terhadap pasien/klien tersebut.
46
b) Confidentiality adalah semua informasi atau konseling antara klien dan petugas
pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak dapat diungkapkan
kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/klien. Konfidensialitas dapat
dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang akan menangani pasien
untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai indikasi penyakit pasien.
c) Counseling adalah proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan
memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien atau pasien.
Layanan konsleing HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV dan AIDS,
konseling pra-konseling dan tes pasca tes yang berkuallitas baik.
d) Corret test result atau hasil test yang akurat, hasil tes harus dikomunikasikan
sesegara mungkin kepada pasien/klien secara pribadi oleh tenaga kesehatan
yang memeriksa.
e) Connections to, care, treatment and prevention service, pasien/klien harus dihubungkan
atau dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan
HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.
2.6.3 Pendekatan Layanan Tes dan Konseling HIV
Berdasarkan Permenkes No.74 Tahun 2014 layanan Tes dan Konseling
HIV untuk menegakkan diagnosis, dilakukan melalui 2 pendekatan:
a) Tes HIV atas inisiasi pemberi layanan kesehatan dan Konseling (TIPK)
TIPK adalah tes HIV atas insiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling
kepada pasien untuk kepentingan kesehatan dan pengobatan. Tes dianjurkan atau
ditawarkan oleh petugas kesehatan kepada pasien pengguna layanan kesehatan
sebagai komponen pelayanan standar layanan kesehatan di fasilitas tersebut.
47
Penawaran tes HIV pada ibu hamil dilakukan pada saat kunjungan antenatal atau
menjelang persalinan bersama pemeriksaan rutin lainnya. Bila ibu menolak untuk
diperiksa, maka diminta untuk menyatakan ketidaksetujuaanya secara tertulis
(Kemenkes, 2014).
Konseling HIV dianjurkan pada orang yag diketahui AIDS atau terinfeksi
HIV dan keluarganya, orang yang sedang dites HIV (sebelum atau sesudah tes),
orang yang sedang mencari pertolongan akibat perilaku berisiko tinggi atau tidak
mencari pertolongan namun berprilaku berisiko, orang yang mempunyai masalah
akibat infeksi HIV (pekerjaan, perumahan, keuangan, keluarga dan lain-lain) sebagai
akibat infeksi HIV (Nursalam & Kurniawati, 2008).
TIPK diselenggarakan terutama pada pelayanan IMS, pelayanan kesehatan
bagi populasi kunci/orang yang berperilaku risiko tinggi (penasun, pekerja seks,
pelanggan atau pasangan seks, pelanggan atau pasangan seks dari pekerja seks,
waria, LSL dan warga binaan pemasyarakatan), fasilitas pelayanan yang
menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan ibu hamil, persalinan dan nifas dan
pelayanan tuberculosis (Permenkes No. 21 tahun 2013).
2.6.4 Tujuan Tes dan Konseling HIV
Tujuan umum dari TIPK ( Tes HIV atas inisiatif pemberi layanan
kesehatan dan konseling) adalah untuk melakukan diagnose secara lebih dini dan
memfasilitasi pengambilan keputusan klinis atau medis terkait pengobatan
Antiretroviral (ARV) yang dibutuhkan dimana hal tersebut tidak mungkin diambil
tanpa mengetahui status HIV nya. TIPK juga digunakan untuk mengidentifikasi
48
infeksi HIV pada stadium awal yang tidak menunjukkan gejala penyakit yang jelas
karena penurunan kekebalan.
Tujuan konseling HIV menyediakan fasilitas untuk perubahan perilaku
(mencegah penularan HIV dengan cara mengubah perilaku & meingkatkan kualitas
hidup ODHA dalam segala aspek baik medis, psikologi sosial & ekonomi),
meningkatkan keterampilan untuk mengahadapi sesuatu, meingkatkan kemampuan
dalam menentukan keputusan, meningkatkan dalam hubungan antarperorangan dan
menyediakan fasilitas untuk pengembangan kemampuan klien (Nursalam &
Kurniawati, 2008)
2.6.5 Prosedur Tes dan Konseling HIV
Langkah-langkah dalam melaksanankan Tes dan Konseling HIV atas inisiasi
pemberi layanan kesehatan (TIPK) di fasilitas kesehatan sebagai berikut:
1) Pemberian informasi tentang HIV dan AIDS sebelum tes
Pemberian informasi terdiri dari beberapa sasaran yaitu:
a) Sesi informasi pra tes secara kelompok
Sesi ini dapat dilakukan sebagai pilihan bila sarana memungkinkan dan
pada sesi ini diberikan KIE secara berkelompok diruang tunggu sebelum
bertatap muka dengan petugas. KIE yang diberikan secara umum dan masalah
berkaitan dengan HIV dan AIDS. Persetujuan untuk menjalani tes HIV (informed
consent) harus selalu diberikan secara individual dengan kesaksian petugas
kesehatan.
49
b) Sesi informasi pra-test secara individu
Pada sesi ini klien/pasien mendapatkan informasi edukasi dari petugas
kesehatan/konselor tentang HIV untuk menguatkan pemahaman pasien/klien
atas HIV dan implikasinya agar klien/pasien mampu menimbang perlunya
pemeriksaan.
c) Sesi informasi pra-tes kelompok khusus
Ada beberapa kelompok masyarakat yang lebih rentan terhadap dampak
buruk seperti diskriminasi, pengucilan, tindak kekerasan atau penahanan.
Kelompok khusus yang dimaksud yaitu perempuan hamil, kelompok dalam
kondisi khusus (mengalami hambatan fisik/mental), pasien dalam kondisi kritis,
pasien TB, kelompok berisiko (penasun, pekerja seks, waria, LSL), bayi, anak dan
remaja.
2) Persetujuan tes HIV (Informed Concent)
Informed Concent bersifat universal yang berlaku pada semua pasien
apapun penyakitnya karena semua tindakan medis membutuhkan persetujuan
pasien. Aspek penting dalam persetujuan sebagai berikut:
a) Klien telah memahami tentang maksud dan tujuan tes, serta risiko dan
dampaknya
b) Informasi bahwa jika hasil tes positif, akan dirujuk kelayanan HIV
(pengobatan ARV dan penatalaksanaan lainnya)
c) Bagi yang menolak tes HIV ditulis direkam medis untul dilakukan penawaran
tes dan atau konseling ulang ketika kunjungan berikutnya.
50
d) Persetujuan dari anak dan remaja dibawah umur diperoleh dari orang
tua/wali
e) Pada pasien dengan gangguan jiwa berat atau hendaya kognitif yang tidak
mampu membuat keputusan dan secara nyata berperilaku berisiko, dapat
diminta kepada istri/suami, ibu/ayah kandung, anak kandung/saudara
kandung, atau pengampunya.
3) Pengambilan darah untuk tes
Tes HIV idealnya dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas
layanan kesehatan, namun jika tidak tersedia maka tes dapat dilakukan di
laboratorium rujukan. Tes Enzyme ImmunoAssay (EIA) dilakukan di fasilitas
kesehatan dengan saran laboratorium lengkap dan petugas terlatih dengan
jumlah pasien yang lebih banyak. Tes HIV secara serial adalah apabila tes yang
pertama hasilnya non-reaktif, maka antibodi akan dilaporkan negative. Hasil
pertama reaktif maka dilakukan tes HIV ulang kedua dengan sampel sama
dengan reagen, metoda dan/atau antigen yang berbeda dari yang pertama. Tes
virology HIV DNA kualitatif dianjurkan untuk diagnosis bayi dan anak umur
kurang dari 18 bulan dan perempuan HIV positif yang merencanakan kehamilan
dan persalinan. tes HIV untuk anak kurang dari 18 bulan dari ibu HIV positif
tidak dianjurkan dengan tes antibodi, karena akan memberikan hasil positif
palsu.
4) Penyampaian hasil tes
Penyampaian hasil tes dilakukan oleh petugas kesehatan yang menawarkan
tes HIV. penyampaian hasil tes dimaksudkan, untuk memasatikan pemahaman
51
pasien atas status HIVnya dan keterkaita dengan penyakitnya. Hal-hal yang
dilakukan pertugas pada penyampaian hasil antara lain membacakan hasil,
menjelaskan makna hasil tes, memberikan informasi selanjutnya dan merujuk pasien
ke konselor HIV untuk konseling lanjutan dan ke layanan pengobatan untuk terapi
selanjutnya
5) Konseling pasca tes
Semua klien/pasien yang menjalani tes HIV perlu menerima konseling pasca
tes tanpa memandang apapun hasilnya. Hasil dari konseling pasca tes
didokumentasikan dalam buku kunjungan klien. Konseling pasca tes membantu
klien/pasien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes dan tindak lanjut
pengobatan. Jika status HIV ibu sudah diketahui, HIV positif dilakukan intervensi
PPIA komprehensif agar ibu tidak menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya
dan HIV negatif dilakukan konseling tentang cara menjaga status agar tetap HIV
negatif. Hasil Interminate diberikan penjelasan tentang masa jendela, menganjurkan
pada pasangan melakukan tes HIV, jika hasil tes HIV pasangan positif ibu hamil
segera diberikan ARV sampai hasilnya negatif kemudian perlu dilakukan cek kembali
setelah pemeriksaan yang pertama dengan specimen baru.
6) Rujukan ke layanan PDP (perawatan, dukungan, dan pengobatan) bagi yang
positif.
Klien/pasien yang hasil tesnya positif perlu segera dirujuk ke layanan
perawatan, dukungan dan pengobatan untuk mendapatkan layanan selanjutnya yang
dibutuhkan.
52
2. 7 Hubungan Persepsi Ibu Hamil tentang Tes HIV dengan Perilaku Tes HIV
(TIPK)
Persepsi adalah cara seseorang dalam memandang dan mengartikan sesuatu
(Leavitt, 1987 dalam Sobur 2013). Menurut Sunaryo (2013) persepsi merupakan
proses diterimanya rangsangan melalui pancaindran yang didahului oleh perhatian
sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan dan mengahayati tentang hal-
hal yang diamati, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri individu. Dalam
proses terjadiya persepsi terdapat tiga komponen (1) seleksi adalah proses
penyaringan oleh indera terhadap rengsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat
banyak atau sedikit, (2) interpretasi yaitu proses mengorganisasikan informasi
sehingga mempunyai arti bagi seseorang, (3) interpretasi dan persepsi kemudian
diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi (Sobur, 2013).
Perilaku merupakan bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar organisme, namun dalam memberikan respon sangat
tergantung pada karakteristik atau faktor dari orang yang bersangkutan
(Notoatmodjo, 2012). Teori Skiner S-O-R menjelaskan Perilaku terjadi melalui
proses adanya stimulus terhadap organisms dan kemudian organisme tersebut
merespon. Terjadinya perubahan perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu faktor predisposisi (mempermudah), faktor enabeling
(memungkinkan) dan faktor reinforcing (mendorong) (Notoajmodjo, 2010). Faktor
predisposisi (pengetahuan, persepsi, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi
dan lain-lain), Faktor enabeling yang memungkinkan atau yang memfasilitasi
perilaku, dan Faktor reinforcing mendorong dan memperkuat terjadinya perilaku.
53
Perilaku tes HIV pada ibu hamil sangat dominan dipengaruhi oleh
pendekatan TIPK ( Tes HIV atas Insiatif Petugas Kesehatan) (Setiyawati, 2015).
Dalam pendekatan TIPK, petugas kesehatan memiliki berperan memberikan
tawaran tes HIV pada ibu hamil. Pada pendekatan TIPK, tahap awal yang dilakukan
petugas ialah memberikan informasi terkait tes HIV. Adanya stimulus berupa
informasi tentang tes HIV kemudian akan diinterpretasikan atau diartikan.
Interpretasi atau mengartikan dapat dipengaruhi kemampuan setiap individu untuk
mengkatorikan informasi tersebut. Proses mengartikan ini didefinisikan sebagai
persespi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan (Sobur, 2013). Dari
penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang dapat
berhubungan dengan persepsinya. Oleh karena itu untuk melihat perubahan
perilaku seseorang, dapat dilihat melalui persepsi terhadap sesuatu.