bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep remaja 2.1.1 pengertian...
TRANSCRIPT
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Remaja
2.1.1 Pengertian Remaja
Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja.
Masa remaja merupakan masa yang penting dalam perjalanan kehidupan
manusia, dimana dalam masa remaja penuh dengan tanggung jawab. Usia
remaja dikelompokkan menjadi 2 yakni : 1) Usia remaja muda (12-15 tahun),
dan 2) Usia remaja penuh (16-19 tahun) (Kusmiran, 2011).
WHO mendefinisikan remaja dan orang-orang muda adalah orang-
orang yang berusia antara 10-19 tahun dan 10-24 tahun. Seorang remaja yang
sudah menikah, maka ia masuk dalam masa dewasa (Ayalew., Mengistie., &
Semahegn, 2014). Remaja merupakan tahapan perkembangan dan
pertumbuhan yang ditandai dengan adanya perubahan fisik, perilaku, kognitif,
biologis, dan emosi (Efendi & Makhfudli, 2009).
Remaja merupakan masa kehidupan individu yang mengalami
eksplorasi psikologis untuk menemukan identitas diri. Masa transisi dari masa
anak-anak ke masa remaja, individu mulai mengembangkan ciri-ciri abstrak
dan konsep diri menjadi lebih berbeda. Remaja mulai memandang dirinya
dengan penilaian dan standar pribadi, tetapi kurang dalam interpretasi
perbandingan sosial. Remaja memiliki sifat yang unik salah satunya ialah sifat
ingin meniru terhadap sesuatu hal yang dilihat, kepada keadaan,
12
serta lingkungan disekitarnya, di samping itu remaja memiliki kebutuhan akan
kesehatan seksual (Kusmiran, 2011).
2.1.2 Konsep Kedewasaan
Karakteristik remaja (adolescence) adalah tumbuh menjadi dewasa.
Secara fisik, remaja ditandai dengan ciri perubahan pada penampilan fisik dan
fungsi fisiologis, terutama terkait dengan kelenjar seksual. Secara psikologis
remaja merupakan masa dimana individu mengalami perubahan dalam aspek
kognitif, emosi, sosial, dan moral antara masa anak-anak menuju dewasa.
Remaja mengevaluasi diri secara keseluruhan dan terdapat beberapa
pemisahan dimensi diri, seperti akademik, olahraga, penampilan, moral, dan
hubungan sosial. Terdapat bukti bahwa konsep diri remaja berbeda di
berbagai konteks, remaja memandang diri mereka berbeda jika mereka berada
dengan teman sebaya dibandingkan saat mereka berada dengan orang tua dan
guru. Tugas perkembangan remaja adalah mencapai nilai-nilai kedewasaan
(Kusmiran, 2011).
2.1.3 Masa Transisi Remaja
Pada usia remaja, terdapat masa transisi yang akan dialami oleh
remaja. Masa transisi tersebut menurut Gunarsa (1978) dalam Kusmiran
(2011) yakni sebagai berikut : a) Transisi fisik berkaitan dengan perubahan
bentuk tubuh. Bentuk tubuh remaja sudah berbeda dengan anak-anak, tetapi
belum sepenuhnya menampilkan bentuk tubuh orang dewasa, b) Transisi
dalam kehidupan emosi. Perubahan hormonal dalam tubuh remaja
berhubungan erat dengan peningkatan emosi, remaja kerap memperlihatkan
13
ketidakstabilan emosi. Remaja kerap kali mengalami kegelisahan, mudah
tersinggung, melamun dan sedih, tetapi disisi lain akan gembira, tertawa,
ataupun marah-marah, c) Transisi dalam kehidupan sosial. Lingkungan sosial
anak semakin bergeser ke luar dari keluarga, di mana lingkungan teman
sebaya menjadi peranan penting. Pergeseran ikatan pada teman sebaya
merupakan upaya yang dilakukan oleh remaja untuk mandiri (melepaskan
ikatan dengan keluarga), d) Transisi dalam nilai-nilai moral. Remaja mulai
meninggalkan nilai-nilai yang dianutnya dan menuju nilai-nilai yang dianut
orang dewasa, e) Transmisi dalam pemahaman. Remaja mengalami
perkembangan kognitif yang pesat sehingga mulai mengembangkan
kemampuan berpikir abstrak (Kusmiran, 2011).
2.1.4 Tugas-Tugas Perkembangan Remaja
Tugas perkembangan merupakan hal yang harus dipenuhi oleh remaja
dan dipengaruhi oleh harapan sosial. Tugas perkembangan remaja berisi
tentang harapan lingkungan yang merupakan tuntutan bagi remaja dalam
bertingkah laku, sebagaimana tugas perkembangan pada remaja adalah
sebagai berikut : a) menerima keadaan penampilan diri, dan menggunakan
tubuhnya secara efektif, b) belajar berperan sesuai dengan jenis kelamin
(sebagai laki-laki atau perempuan), c) membuat relasi yang baru dan lebih
matang dengan teman sebaya, baik sejenis maupun dengan lawan jenis, d)
mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, e) mencapai kemandirian
secara emosional terhadap orang tua dan orang dewasa lainnya, f)
mempersiapkan kemandirian secara ekonomi melalui karier, g) menyiapkan
fisik dan psikis dalam menghadapi perkawinan dan kehidupan berkeluarga, h)
14
mengembangkan kemampuan dan keterampilan intelektual untuk hidup
bermasyarakat, dan i) mencapai nilai-nilai kedewasaan (Kusmiran, 2011).
2.1.5 Isu Sosial dan Klinis yang Berkaitan dengan Remaja
Beberapa isu sosial dan klinis yang berkaitan dengan remaja antara
lain : a) Peranan jenis kelamin, b) Penyakit menular seksual (PMS), c)
Penggunaan KB pada usia remaja atau di luar nikah, d) Kurangnya informasi
dan konseling mengenai pendidikan seksual, dan e) kehamilan dini pada
remaja atau kehamilah di luar nikah.
Isu diatas dapat berdampak besar pada timbulnya penyakit Human
Papilloma Virus (HPV) dan kanker serviks. Banyak faktor yang mempengaruhi
kesehatan seksual dan kesehatan reproduktif remaja. Faktor-faktor tersebut
diantaranya : 1) Kepantasan hubungan seksual di kalangan remaja, 2)
Bagaimana cara yang dilakukan untuk mencapai pemenuhan kebutuhan
seksual, 3) Bagaimana cara mengakses jasa serta informasi kesehatan seksual
dan kesehatan reproduktif, 4) Derajat tingkat perilaku yang dipengaruhi oleh
kurangnya pengetahuan, 5) Pengaruh masyarakat dan budaya yang
menyimpang, 6) Bagaimana cara mengendalikan kesuburan secara efektif.
Pada kenyataannya, kesehatan seksual secara klinis sering digambarkan oleh
tingkat kehamilan yang tidak direncanakan dan Penyakit Menular Seksual
(PMS) (Kusmiran, 2011).
2.1.6 Faktor Penyebab Terjadinya Masalah Pada Remaja
Berikut faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah pada remaja,
diantaranya : a) Adanya perubahan biologis dan psikologis secara pesat pada
15
remaja sehingga menimbulkan dorongan tertentu yang bersifat kompleks, b)
Kurangnya pengetahuan dan kesiapan orang tua dan pendidik dalam
memberikan informasi yang benar dan tepat waktu, c) Perbaikan gizi yang
menyebabkan menarche menjadi lebih dini dan masih banyak kejadian
pernikahan muda, d) Membaiknya sarana komunikasi dan transportasi yang
diakibatkan oleh kemajuan teknologi membuat arus informasi dari luar sulit
diseleksi, e) Kurangnya pemanfaatan penggunaan sarana untuk menyalurkan
kemampuan atau hobi yang dimiliki oleh remaja. Perlu adanya penyaluran
minat dan bakat sebagai substitusi yang bernilai positif, seperti :
perkembangan ketrampilan dan olahraga (Nirwana, 2011).
2.2 Konsep Pernikahan Dini
2.2.1 Pengertian Pernikahan Dini
Pernikahan adalah komitmen mengikat janji seumur hidup diantara
dua insan untuk hidup bersama sebagai suami istri (Lie & Kartika, 2013).
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, akad yang sangat kuat
atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah guna mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Menurut UU RI no. 1-1974 perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Hadikusuma, 2007).
UU RI no.1-1974 pasal 7 dijelaskan Perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Pasal 6 dijelaskan Untuk
16
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua
puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Pernikahan yang
dilakukan pada usia remaja dikategorikan sebagai pernikahan dini.
Pernikahan anak atau yang dikenal sebagai pernikahan dini
didefinisikan sebagai perkawinan yang dilakukan dibawah usia 18 tahun,
sebelum gadis (remaja) siap secara fisik, fisiologis, dan psikologis untuk
memikul tanggung jawab menikah dan melahirkan anak (Kibret., Mengestie.,
& Degu, 2014). Menurut Pasal 1 Konversi Hak Anak CRC, menyatakan
pernikahan dini atau pernikahan anak digunakan untuk menggambarkan
serikat hukum antara dua orang dari salah satu atau kedua pasangan berusia di
bawah 18 tahun (Delprato et al, 2015).
Di Ethopia, pernikahan dini oleh anak perempuan dipandang sebagai
cara untuk meningkatkan status ekonomi keluarga, memperkuat hubungan
antar keluarga, memastikan bahwa gadis tersebut menikah diwaktu perawan,
dan menghindari kemungkinan seorang gadis terlambat menikah (Kibret.,
Mengestie., & Degu, 2014). Di Bangladesh, mayoritas pernikahan dini
berlangsung didukung oleh beberapa penyebab seperti : kemiskinan, buta
huruf, jumlah anggota keluarga yang besar, kurangnya pengetahuan tentang
batasan usia pernikahan yang sebenarnya (Haque et al, 2014).
2.2.2 Batasan Usia Pernikahan
Secara fisik dan biologis, salah satu faktor utama sebagai penentu
kesiapan seseorang untuk menikah adalah usia. Menurut ilmu kesehatan usia
ideal menikah 20 hingga 25 tahun bagi wanita, dan usia 25-30 tahun bagi pria.
Masa ini adalah masa yang paling baik untuk berumah tangga, karena pada
17
usia itu kematangan seksual dan kedewasaan seseorang sudah stabil.
Pernikahan yang berhasil dan bahagia sulit diharapkan dari seseorang yang
belum matang secara biologis dan fisiologis. Banyak fakta dilapangan yang
menunjukkan bahwa, pernikahan usia muda kerap berujung pada penyesalan,
perceraian dan hubungan kekeluargaan yang kurang sehat (Khairunnas,
2013).
2.2.3 Risiko Pernikahan Dini
Pernikahan dini membawa efek negatif yang luas pada remaja
perempuan di luar pendidikan. Remaja perempuan yang menikah muda lebih
rentan menderita kerugian psikologis, misalnya : depresi, harga diri rendah
dan juga pelecehan seksual dengan meningkatkan risiko penyakit menular
seksual dan HIV (Ahmed et al, 2013 dalam Delprato, et al, 2015).
Meningkatkan risiko selama masa kehamilan dan persalinan yang dapat
berakibat pada peningkatan risiko kematian.
Kehamilan pada masa remaja mempunyai risiko medis yang cukup
tinggi, karena pada masa remaja, alat reproduksi belum cukup matang untuk
melakukan fungsinya. Rahim (uterus) siap untuk melakukan fungsinya setelah
perempuan berusia 20 tahun, karena pada usia ini fungsi hormonal sudah
melewati masa kerja yang maksimal. Usia 14-19 tahun, sistem hormonal
belum stabil, hal ini dapat dilihat dari siklus menstruasi yang belum teratur
(Kusmiran, 2011).
Ketidakteraturan menstruasi pada remaja dapat berdampak buruk jika
terjadi kehamilan. Kehamilan menjadi tidak stabil, terjadinya perdarahan, dan
terjadi kematian janin atau abortus (Kusmiran, 2011). Kehamilan diusia muda
18
sering berakhir dengan tindakan aborsi. Aborsi adalah tindakan yang sangat
berisiko, terutama bagi ibu yang masih muda. Keputusan ini biasanya diambil
karena dua sebab : Pertama, karena faktor kesehatan. Kehamilan diusia
muda kerap menimbulkan banyak masalah kesehatan. Untuk menghindari
risiko yang lebih jauh, biasanya tindakan aborsi terpaksa dilakukan. Kedua,
karena faktor ekonomi dan psikologis. Pasangan muda umumnya belum siap
secara ekonomi untuk menerima kelahiran seorang bayi. Selain itu, mereka
juga belum siap secara psikologis untuk menjadi seorang ayah atau ibu. Oleh
sebab itu mereka umumnya menunda kehamilan. Namun yang menjadi
persoalan pasangan seringkali lalai, sehingga terjadi kehamilan yang tidak
diinginkan (KTD). Jika sudah demikian, maka keputusan untuk melakukan
aborsi sering menjadi pilihan (Khairunnas, 2013).
Usia kehamilan yang terlalu dini pada saat persalinan akan
memperpanjang rentang usia reproduksi aktif, hal ini dapat meningkatkan
risiko kanker leher rahim (Kusmiran, 2011). Perempuan yang hamil di bawah
usia 18 tahun memiliki resiko kematian bayi 60% lebih besar daripada
perempuan yang hamil di atas usia 19 tahun. Jika bayi dapat lahir dengan
selamat, ia akan menderita Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kekurangan
gizi, perkembangan fisik dan kognitif yang lambat (Haque et al, 2014).
Kehamilan di bawah usia 18 tahun dapat menyebabkan kekurangan
zat besi (Fe) dan kalsium (K) yang dapat mengarah ke osteoporosis dan
anemia, hal ini juga meningkatkan resiko kanker serviks (Haque et al, 2014).
Pernikahan dini juga berefek negatif pada : 1) Psikologis dan status sosial,
remaja yang menikah dini rentan mengalami depresi berat atau neuritis.
19
Mereka menarik diri dari pergaulan, menjadi pendiam atau tidak mau bergaul.
Lebih jauh lagi mereka akan terdorong melakukan hal-hal aneh untuk
melapiaskan amarahnya. Seperti perang piring, mencekik anak, dan
sebagainya (Khairunnas, 2013), 2) Kesehatan reproduksi, 3) Kurangnya
mengontrol kesehatan reproduksi, 4) Meningkatnya angka kematian ibu dan
bayi, 5) Rendahnya tingkat pendidikan, pernikahan dini mengakibatkan
remaja tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Menurut data,
hanya 5,6% remaja yang menikah dini bisa melanjutkan pendidikannya.
Kondisi yang seperti ini tentu sangat tidak baik bagi remaja (Khairunnas,
2013). Rendahnya tingkat pendidikan pada perempuan yang menikah dini
dapat dikaitkan dengan faktor umum yang berhubungan dengan kemampuan,
siklus buta huruf, dan kemiskinan. Pernikahan dini mengakibatkan
perempuan meninggalkan sekolah, sehingga mengurangi kesempatan mereka
untuk belajar dan memperoleh keterampilan yang dapat dijadikan bekal untuk
memperoleh pekerjaan atau pendapatan (Svanemyr et al, 2012). Remaja
perempuan yang menikah cenderung memiliki keterbatasan jaringan sosial,
dibatasi mobilitas sosial, dan kurangnya pesan kesehatan. 6) Rentan terjadinya
perceraian, pasangan usia muda memiliki tingkat emosional yang masih labil.
Kondisi ini dapat menyebabkan mereka tidak mampu mengontrol kehidupan
rumah tangga dengan baik, sehingga kerapkali berujung pada pertengkaran
dan berakhir dengan perceraian (Khairunnas, 2013), 7) Kesulitan ekonomi,
pada umunya, remaja yang menikah di usia muda belum memiliki pekerjaan
yang tetap. Mereka belum memiliki penghasilan secara mandiri. Kondisi yang
seperti ini akan membuat tekanan hidup menjadi sangat berat. Jika tidak
mampu menyikapi dengan baik, maka ia rentan melakukan tindakan kriminal
20
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Khairunnas, 2013), 8) Adanya
kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut sebuah penelitian, sebanyak 44% anak perempuan yang
menikah dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan
tingkat frekuensi tinggi. Sisanya, 56% anak perempuan mengalami kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) dalam frekuensi rendah. Menurut Pasal 1 UU
Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT) KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
Bentuk KDRT yang rentan dialami oleh keluarga yang masih terlalu
muda, di antaranya :
a. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik ada dua macam, yaitu : Pertama, kekerasan fisik
berat, berupa penganiyaan berat seperti menendang; memukul, menyundut;
melakukan percobaan pembunuhan atau semua perbuatan lain yang dapat
mengakibatkan : cedera berat; tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari;
pingsan; luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan;
kehilangan salah satu panca indera, mendapat cacat; menderita sakit lumpuh;
terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih; gugurnya atau matinya
kandungan seorang perempuan; dak kematian korban. Kedua, kekerasan fisik
21
ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, an perbuatan lainnya
yang dapat mengakibatkan cidera ringan; rasa sakit dan luka secara fisik.
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis berat, tindakan ini berupa pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk
pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman
kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masing dapat
mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal
berikut: gangguan tidur, gangguan makan, ketergantungan obat, disfungsi
seksual, gangguan stress pasca trauma, gangguan fungsi tubuh berat (tiba-tiba
mengalami kelumpuhan atau buta tanpa indikasi medis), depresi berat atau
destruksi diri, gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas
seperti skizofrenia, dan bunuh diri.
c. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual terbagi dalam dua macam, Pertama, kekerasan
seksual berat, berupa : pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba,
menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan
lain yang menimbulkan rasa muak atau jijik, terteror, terhina dan merasa
dikendalikan, pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban,
pemaksaan hubungan seksual dengan cara yang tidak disukai, merendahkan
atau menyakitkan, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain utnuk
tujuan tertentu, dan tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau
tanpa bantuan alat yang menimbulkan rasa sakit, luka atau cedera. Kedua,
22
kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti :
komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan atau secara non
verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh ataupun perbuatan lainnya yang
meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki.
d. Kekerasan Ekonomi. Melarang korban bekerja tapi menelantarkannya,
merampas atau memanipulasi harta benda korban.
e. Siksaan Emosional. Merusak harga diri seseorang. Misalnya dengan kritik
yang terus menerus, memanggil dengan nama yang jelek, merusak hubungan
dengan anak dan sebagainya.
f. Pengendalian Sistem Reproduksi dan Pemaksaan Seksual. Mengontrol
kehamilan pasangan secara paksa dengan mengatur pemakaian pil kontrasepsi
atau melarang penggunaan kondom, menyuruh melakukan aborsi.
g. Siksaan Budaya dan Identitas. Melecehkan berdasarkan ras, status, identitas
gender, dan sebagainya.
2.3 Konsep Persepsi
2.3.1 Pengertian Persepsi
Secara etimologis, persepsi berasal dari bahasa Latin perceptio; dari
precipere, yang memiliki arti mengambil atau menerima. Persepsi merupakan
proses penyortiran, menginterpretasikan, menganalisis dan mengintegrasi
rangsangan atau informasi dalam otak dan apa yang ditangkap oleh organ
indra (Feldman, 2012). Teori rangsangan-tanggapan (stimulus-respons/SR),
persepsi bagian dari keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah
rangsangan diterapkan kepada manusia (Sobur, 2010).
23
2.3.2 Macam-macam Persepsi
Persepsi memiliki dua macam, yakni : a) persepsi eksternal, persepsi
ini dapat terjadi karena adanya rangsangan dari luar diri seseorang dan, b)
persepsi internal, persepsi ini dapat terjadi karena adanya rangsangan dari
dalam diri seseorang. Panca indra berperan penting sebagai penghubung
antara individu dengan dunia luar karena proses pertama terjadinya persepsi
melalui panca indra (Sunaryo, 2013).
2.3.3 Ciri-ciri Persepsi
Persepsi memiliki tujuh ciri-ciri, yakni : a) Proses pengorganisasian
dari berbagai pengalaman, b) Proses menghubungkan antara pengalaman
masa lalu dengan pengalaman yang baru, c) Proses pemilihan informasi, d)
Proses teorisasi dan rasionalisasi, e) Proses penafsiran atau pemaknaan pesan
verbal dan nonverbal, f) Proses interaksi dan komunikasi berbagai
pengalaman internal dan eksternal, g) Melakukan penyimpulan atau
keputusan, pengertian, yang membentuk wujud persepsi individu. Sangat
pentingnya keberadaan persepsi, semua individu hendaknya tidak boleh salah
persepsi. Kesalahan persepsi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, seperti :
kepribadian pencemburu, pemarah, apatis, skeptis, dan lain sebagainya yang
dapat mengakibatkan salah persepsi (Marliani, 2014).
2.3.4 Syarat Terjadinya Persepsi
Persepsi dapat terjadi melalui tiga syarat, yakni: a) Adanya Objek,
objek berperan sebagai stimulus, sedangkan panca indra berperan sebagai
reseptor. b) Adanya perhatian sebagai langkah pertama untuk mengadakan
24
persepsi. c) Saraf sensorik sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak
(pusat saraf atau pusat kesadaran), yang kemudian dibawa melalui saraf
motorik sebagai alat untuk mengadakan respons (Sunaryo, 2013).
2.3.5 Faktor-faktor yang Berperan dalam Persepsi
Berkaitan dengan faktor-faktor yang berperan dalam persepsi dapat
dikemukakan sebagai berikut :
a) Objek yang dipersepsi. Objek yang dapat menimbulkan stimulus yang
mengenai alat indra atau reseptor. Stimulus timbul dari luar individu atau dari
dalam individu yang mempersepsi yang bersangkutan langsung dengan syaraf
penerima yang bekerja sebagai reseptor.
b) Alat indra, syaraf, dan pusat susunan syaraf sebagai syarat fisiologis
Alat indra atau reseptor merupakan alat ukur menerima stimulus. Di samping
itu juga syaraf sensoris berperan penting sebagai alat untuk meneruskan
stimulus yang diterima oleh reseptor ke pusat susunan syaraf yaitu otak
sebagai pusat kesadaran, sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan
syaraf motoris.
c) Perhatian. Perhatian merupakan langkah pertama sebagai persiapan dalam
rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan konsentrasi dari seluruh
aktivitas individu yang ditujukan kepada sekumpulan objek (Walgito, 2010).
2.3.6 Proses Terjadinya Persepsi
Persepsi dapat terjadi melalui tiga proses, yakni : a) Proses Fisik, b)
Proses Fisiologis, dan c) Proses Psikologis. Ketiga proses inilah yang sangat
diperlukan untuk tercapainya persepsi yang baik (Sunaryo, 2013). Dalam
proses persepsi ada tiga komponen utama, yakni :
25
a. Seleksi merupakan proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari
luar, intensitas dan jenisnya banyak atau sedikit.
b. Interpretasi merupakan proses mengorganisasikan informasi sehingga
memiliki arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yakni : pengalaman masa lalu, nilai yang dianut, motivasi, kepribadian, dan
kecerdasan. Interpretasi bergantung pada kemampuan seseorang untuk
mengkategorikan informasi yang diterima, yaitu proses mereduksi informasi
yang kompleks menjadi sederhana.
c. Kemudian interpretasi dan persepsi diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku
sebagai reaksi (Depdikbud, 1985 dalam Sobur, 2010).
2.3.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Ada banyak faktor yang akan menyebabkan stimulus dapat masuk ke
dalam rentang perhatian. Faktor penyebab ini dapat terbagi menjadi dua
bagian besar yaitu faktor eksternal, dimana faktor ini melekat pada objeknya
dan faktor internal, dimana faktor ini terdapat pada orang yang
mempersepsikan stimulus tersebut.
a. Faktor Eksternal
1) Kontras. Cara termudah untuk menarik perhatian yakni dengan
menggunakan kontras yang baik pada warna, ukuran, bentuk atau
gerakan.
2) Perubahan intensitas. Suara yang berubah dari pelan menjadi keras, atau
cahaya yang berubah dengan intensitas tinggi akan menarik perhatian
seseorang.
26
3) Pengulangan (repetition) : dengan adanya pengulangan, walaupun pada
mulanya stimulus tidak masuk dalam rentang perhatian seseorang, maka
akhirnya akan mendapat perhatian dengan dilakukan pengulangan.
4) Sesuatu yang baru (novelty). Suatu stimulus yang baru akan lebih menarik
perhatian seseorang daripada sesuatu yang telah diketahui.
5) Sesuatu yang menjadi perhatian orang banyak. Suatu stimulus yang
menjadi perhatian orang banyak akan menarik perhatian seseorang.
b. Faktor Internal
Faktor internal yang ada pada seseorang akan mempengaruhi
bagaimana seseorang menginterpretasikan stimulus yang dilihatnya. Itulah
sebabnya stimulus yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda. Dalam
ilmu psikologi, untuk mengetahui faktor internal yang ada dalam diri
seseorang dapat menggunakan stimulus tertentu, stimulus yang diberikan ini
dapat memancing berbagai macam pendapat. Teknik ini disebut teknik
proyeksi. Faktor yang ada dalam faktor internal yakni :
1) Pengalaman atau pengetahuan. Pengalaman atau pengetahuan yang
dimiliki oleh seseorang merupakan faktor yang sangat berperan dalam
menginterpretasikan stimulus yang diperoleh. Pengalaman masa lalu
akan menyebabkan terjadinya perbedaan interpretasi. Oleh karena itu,
berilah pengalaman dan pengetahuan yang positif sehingga seseorang
akan mempersepsikan dunia dengan lebih positif pula.
2) Harapan atau expectation. Harapan terhadap sesuatu akan
mempengaruhi persepsi terhadap stimulus.
27
3) Kebutuhan. Kebutuhan akan menyebabkan stimulus tersebut dapat
masuk dalam rentang perhatian seseorang dan kebutuhan ini akan
menyebabkan seseorang meginterpretasikan stimulus secara berbeda.
4) Motivasi akan mempengaruhi persepsi seseorang.
5) Emosi seseorang akan mempengaruhi persepsinya terhadap stimulus
yang ada.
6) Budaya. Seseorang dengan latar belakang budaya yang sama akan
menginterpretasikan orang-orang dalam kelompoknya secara berbeda,
namun akan mempersepsikan orang-orang diluar kelompoknya
sebagai sama saja (Notoatmodjo, 2010).
2.4 Konsep Pendidikan Kesehatan
2.4.1 Pengertian Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan merupakan bagian dari ilmu kesehatan dalam
serangkaian upaya yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain, mulai dari
individu, kelompok, keluarga, dan masyarakat agar terlaksananya perilaku
hidup sehat. Pendidikan kesehatan sebagai penunjang bagi terlaksananya
program-program kesehatan lainnya (Setiawati & Dermawan, 2008).
Pendidikan kesehatan bukan hanya berhubungan dengan komunikasi
informasi, tetapi juga berhubungan dengan adopsi motivasi, keterampilan,
dan kepercayaan diri untuk melakukan tindakan memperbaiki kesehatan.
Informasi yang dikomunikasikan adalah hal-hal yang berhubungan dengan
kondisi sosial, ekonomi, lingkungan yang berdampak pada kesehatan, faktor
risiko individual, perilaku berisiko, dan penggunaan sistem pelayanan
kesehatan (Nursalam & Efendi, 2009). Pendidikan kesehatan diharapkan
28
dapat terefleksikan dalam cara berpikir dan bertindak di kehidupan sehari-hari
(Efendi & Makhfudli, 2009).
2.4.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan Pernikahan Dini
Melalui penyuluhan pendidikan kesehatan pernikahan dini, ditujukan
pada para remaja agar memiliki sikap : a) Tidak terburu-buru menikah, b)
Memiliki pandangan yang jauh ke depan, c) Memiliki semangat tinggi untuk
mewujudkan cita-cita dan berkarier, d) Menyadari pernikahan harus dilakukan
pada saat yang tepat, ketika mereka sudah siap secara mental, mampu secara
finansial, dan kokoh secara spiritual (Khairunnas, 2013).
2.4.3 Sasaran Pendidikan Kesehatan
a) Sasaran Primer. Sasaran utama dan menjadi sasaran langsung atas upaya
melukan pendidikan kesehatan atau promosi kesehatan. Misalnya pada
pasangan usia subur untuk sasaran penyuluhan penggunaan alat kontrasepsi.
b) Sasaran Sekunder. Sasaran yang terdiri dari : tokoh agama, tokoh adat dan
tokoh masyarakat. Diberikannya pendidikan kesehatan pada kelompok ini,
akan mempercepat penerimaan informasi kesehatan sehingga perubahan
perilaku kesehatan yang diharapkan dapat tercapai (Setiawati & Dermawan,
2008).
2.4.4 Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan
Ruang Lingkup pendidikan kesehatan didasarkan pada dua aspek, yakni :
1) Berdasarkan aspek kesehatan. a. Aspek Promotif. Sasarannya adalah
masyarakat yang ada dalam rentang sehat, sehingga perlu dipertahankan status
kesehatannya. b. Aspek Preventif meliputi : a) Pencegahan Primer, sasarannya
29
adalah masyarakat yang berisiko terpapar berbagai penyakit atau terganggu
akan kesehatannya, b) Pencegahan Sekunder, sasaran dari pencegahan
sekunder adalah para penderita yang mengalami penyakit kronik, c)
Pencegahan Tersier, sasarannya adalah penderita yang baru sembuh dari
sakitnya.
2) Berdasarkan tatanan kesehatan meliputi : a. Tatanan Keluarga, keluarga
merupakan unit terkecil di masyarakat yang memiliki peranan yang sangat
penting dalam penyampaian informasi kesehatan, b. Tatanan Sekolah, sekolah
merupakan rumah kedua bagi anak-anak usia sekolah, begitu juga guru adalah
orang tua kedua bagi anak usia sekolah. Pemberian informasi kesehatan bisa
dilakukan disekolah, c. Tempat Kerja, dapat dijadikan sebagai tempat
pemberian pendidikan kesehatan bagi tenaga kerja yang ada dilingkungan
perusahaan, d. Tempat Umum, fasilitas umum seperti pasar, terminal,
pelabuhan dapat dijadikan tempat untuk pemberian informasi kesehatan
dengan sasaran kepada masyarakat yang berada di wilayah tersebut, e. Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, sangat tepat untuk pemberian informasi kesehatan,
seperti di balai pengobatan, klinik, puskesmas, dan rumah sakit (Setiawati &
Dermawan, 2008).
2.4.5 Konsep Pendidikan Kesehatan
Konsep dasar pendidikan kesehatan adalah suatu proses belajar yang
di dalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau
perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik, dan lebih matang. Seseorang
dikatakan belajar apabila di dalam dirinya terjadi perubahan dari yang awalnya
tidak tahu atau menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa. Kegiatan pendidikan
kesehatan memiliki tiga ciri, yakni : a. Belajar adalah kegiatan yang mampu
30
menghasilkan perubahan pada diri individu, kelompok atau masyarakat yang
sedang belajar baik secara aktual maupun potensial, b. Perubahan didapatkan
karena kemampuan baru yang berlaku dalam jangka waktu yang lama, c.
Perubahan yang terjadi karena usaha dan disadari bukan suatu kebetulan.
Bertitik tolak dari konsep pendidikan tersebut, maka konsep
pendidikan kesehatan merupakan proses belajar pada individu, kelompok
atau masyarakat dari yang tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi
tahu, serta dari yang tidak mampu menangani masalah kesehata menjadi
mampu mengatasi masalah kesehatan (Fitriani, 2011).
2.4.6 Proses Pendidikan Kesehatan
Proses
Gambar 2.1 Proses Pendidikan Kesehatan
Dalam proses belajar terdapat tiga persoalan pokok, yakni : 1)
Persoalan masukan (input), hal ini menyangkut pada sasaran didik yaitu
individu, kelompok serta masyarakat yang sedang belajar, 2) Persoalan proses,
mekanisme dan interaksi terjadinya perubahan kemampuan (perilaku) pada
diri subjek belajar tersebut, 3) Persoalan keluaran (output), hasil belajar yang
berupa kemampuan atau perubahan perilaku dari subjek belajar (Fitriani,
2011).
2.4.7 Tahapan Kegiatan Pendidikan Kesehatan
Berikut dijelaskan tahapan dari kegiatan kesehatan, yakni : a. Tahap
Sensitilasi, tahap ini dilakukan untuk memberikan informasi dan kesadaran
Input Output
31
pada masyarakat tentang masalah kesehatan. Pada kegiatan ini tidak
memberikan pengetahuan, dan tidak pula merujuk pada perubahan sikap,
serta tidak bermaksud untuk merubah perilaku masyarakat. Bentuk kegiatan
pada tahap ini melalui siaran radio, poster, dan lain-lain, b. Tahap Publisitas,
bentuk dari kegiatan tahap ini berupa Press release yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai
jenis atau macam pelayanan kesehatan, c. Tahap Edukasi, tujuan dari kegiatan
ini untuk meningkatkan pengetahuan, mengubah sikap dan mengarahkan
pada perilaku yang diinginkan, d. Tahap Motivasi, masyarakat setelah benar-
benar mengikuti kegiatan pendidikan kesehatan mampu mengubah perilaku
sesuai dengan yang dianjurkan kesehatan (Fitriani, 2011).
Kegiatan penelitian meliputi : kegiatan pre test dilakukan pada hari satu
hari sebelum dilakukan intervensi. Intervensi: diberikan pendidikan kesehatan
selama 35 menit remaja mengikuti pendidikan kesehatan, diawali dengan fase
orientasi selama 5 menit, pemberian materi dengan metode ceramah
dilakukan selama 15 menit, pemutaran media seta penutup dilakukan selama
15 menit. Setelah intervensi selesai diberikan langsung dilakukan post test
untuk mengukur persepsi pernikahan dini pada remaja. Penelitian ini
memberikan intervensi audiovisual dan ceramah dua kali dengan jarak waktu
pemberian 45 menit (Kapti., Rustina., & Widyatuti, 2013). Post test dilakukan
pada saat setelah intervensi yang ditujukan untuk menghindari adanya bias.
2.4.8 Faktor-Faktor Kegiatan Pendidikan Kesehatan
a) Faktor Predisposisi (Predisposing factors). Faktor ini mencakup pengetahuan dan
sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat
32
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, nilai yang dianut
masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi.
b) Faktor Pendukung (Enabling factors). Faktor ini mencakup ketersediaan sarana
dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Pada hakikatnya
fasilitas sangat mendukung untuk terwujudnya perilaku kesehatan.
c) Faktor Penguat (Reinforcing factors). Meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh
masyarakat (toma), tokoh agama (toga), dan petugas kesehatan. Termasuk
juga undang-undang, peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun daerah
yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat bukan
hanya memerlukan pengetahuan dan sikap positif serta adanya dukungan
fasilitas, melainkan diperlukan keteladanan dari para toma, toga, dan petugas
kesehatan. Undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku
masyarakat tersebut (Nursalam & Efendy, 2009).
2.4.9 Metode Pendidikan Kesehatan
Metode pendidikan kesehatan merupakan cara yang digunakan agar
informasi kesehatan yang diberikan dapat dengan mudah dipahami oleh
sasaran. Sasaran pendidikan kesehatan dalam keperawatan komunitas adalah
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Menurut Notoatmodjo (2007),
metode pendidikan kesehatan yang dapat diterapkan antara lain :
a. Metode Pendidikan Individual
Dasar digunakannya pendekatan individual karena setiap orang
mempunyai masalah atau alasan yang berbeda terhadap penerimaan
atau perubahan perilaku baru.
33
b. Metode Pendidikan Kelompok
Pemilihan metode kelompok harus memperhatikan besarnya
kelompok serta tingkat pendidikan formal sasaran. Kelompok dalam
metode ini terbagi menjadi dua, yakni :
1) Kelompok besar. Jumlah peserta lebih dari 15 orang dengan
metode yang sesuai untuk kelompok besar antara lain : a)
Ceramah, metode ini sangat cocok untuk sasaran yang
berpendidikan tinggi maupun rendah. Metode ceramah dilakukan
dengan ditujukan sebagai pemicu terjadinya kegiatan yang
partisipatif, selain itu metode ceramah cenderung bersifat
interaktif, yaitu melibatkan peserta melalui adanya tanggapan balik
atau perbandingan pendapat dan pengalaman peserta dengan
menggunakan media pendukung yang dapat digunakan. Hal-hal
yanng perlu diperhatikan dalam menggunakan metode ceramah,
yakni :
Persiapan : (1) Ceramah yang berhasil apabila penceramah itu
sendiri menguasai materi yang akan diceramahkan, (2)
Mempelajari materi dengan dengan sistematika yang baik, (3)
Mempersiapkan alat-alat bantu pengajaran.
Pelaksanaan : (1) Penceramah memiliki sikap dan penampilan
yang meyakinkan, tidak boleh bersikap ragu-ragu dan gelisah, (2)
Suara hendaknya cukup keras dan jelas, (3) Pandangan harus
tertuju ke seluruh peserta ceramah, (4) Berdiri di depan (di
pertengahan), seyogyanya tidak duduk, (5) Menggunakan alat
bantu lihat (AVA) semaksimal mungkin (Notoatmodjo, 2010),
34
dan b) Seminar, metode ini cocok untuk sasaran kelompok besar
dengan pendidikan menengah ke atas. Seminar merupakan suatu
penyajian dari ahli atau pakar yang membahas suatu topik
dianggap hangat dan penting di masyarakat.
2) Kelompok kecil. Jumlah peserta kurang dari 15 orang dengan
metode yang sesuai untuk kelompok kecil antara lain : a) Diskusi
Kelompok, b) Brainstorming, c) Role Play.
c. Metode Pendidikan Massa
Metode ini sesuai ditujukan kepada masyarakat luas dengan
pendekatan yang digunakan untuk menggugah kesadaran masyarakat
terhadap suatu inovasi awarness dan belum diharapkan adanya
perubahan perilaku (Widyanto, 2014).
2.4.10 Media Pendidikan Kesehatan
Media pendidikan kesehatan pada hekekatnya adalah alat bantu
pendidikan (AVA), disebut sebagai media pendidikan kesehatan karena alat-
alat tersebut merupakan saluran untuk menyampaikan pesan kesehatan guna
mempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi masyarakat atau
klien. Berdasarkan fungsi sebagai saluran untuk menyampaikan kesehatan,
media dibagi menjadi tiga, yakni :
a. Media Cetak. Menyampaikan pesan kesehatan melalui media cetak sangat
bervariasi, diantaranya : 1) Booklet, suatu media untuk menyampaikan
pesan-pesan kesehatan dalam bentuk buku, baik tulisan maupun gambar,
2) Leaflet, bentuk penyampaian informasi atau pesan kesehatan melalui
lembaran yang dilipat. Isi informasi dapat berbentuk kalimat atau gambar,
35
atau kombinasi, 3) Flyer (selebaran) berbentuk seperti leaflet tetapi tidak
dalam bentuk lipatan, 4) Flip Chart (lembar balik) merupakan media
penyampaian pesan atau informasi kesehatan dalam bentuk lembar balik.
Media ini berbentuk buku di mana tiap lembar(halaman) berisi gambar
peragaan dan dibaliknya berisi kalimat sebagai pesan atau informasi yang
berkaitan dengan gambar tersebut, 5) Rubrik atau tulisan pada surat kabar
atau majalah mengenai bahasan suatu masalah kesehatan atau hal-hal yang
berkaitan dengan kesehatan, 6) Poster berbentuk media cetak berisi pesan
atau informasi kesehatan yang biasanya ditempel di tembok, tempat
umum, atau di kendaraan umum, 7) Foto yang mengungkapkan
informasi-informasi kesehatan (Fitriani, 2011). Adapun kelebihan dan
kekurangan dari media cetak, sebagai berikut :
Kelebihan media cetak yakni : a) Tahan lama, b) Mencakup banyak orang,
c) Biaya tidak tinggi. c) Tidak perlu listrik, d) Dapat dibawa kemana-mana,
e) Dapat mengungkit rasa keindahan, f) Mempermudah pemahaman, g)
Meningkatkan gairah belajar. Kelemahan media cetak, yakni : a) Media
cetak tidak dapat menstimulir efek suara dan efek gerak, b) Mudah
terlipat (Notoatmodjo, 2010).
b. Media Elektronik yaitu suatu media bergerak dan dinamis, dapat dilihat
dan didengar dalam menyampaikan pesannya melalui alat bantu
elektronika (Notoatmodjo, 2010). Media ini sebagai sasaran untuk
menyampaikan pesan atau informasi kesehatan dengan jenis yang
berbeda-beda, diantaranya ialah : 1) Televisi, penyampaian pesan atau
informasi kesehatan melalui media televisi dapat dalam bentuk sandiwara,
sinetron, forum diskusi, TV spot, pidato, quiz, 2) Radio, penyampaian
36
pesan atau informasi kesehatan melalui media radio dapat berbentuk
obrolan, ceramah, radio spot, 3) Video, penyampaian pesan atau
informasi kesehatan melalui video slide dan video film strip Fitriani,
2011). Adapun kelebihan dan kelemahan media elektronik, sebagai
berikut :
Kelebihan media elektronik, yakni : a) Sudah dikenal masyarakat, b)
Mengikut sertakan semua panca indra, c) Lebih mudah dipahami, d)
Lebih menarik karena ada suara dan gambar bergerak, e)Bertatap muka, f)
Penyajian dapat dikendalikan, g) Jangkauan relatif lebih besar, h) Sebagai
alat diskusi dan dapat diulang-ulang. Kelemahan media elektronik, yakni :
a) Biaya lebih tinggi, b) Rumit, c) Perlu alat canggih untuk memproduksi,
d) Peralatan selalu berkembang dan berubah, e) Perlu keterampilan
penyimpanan dan pengoperasian (Notoatmodjo, 2010).
c. Media Papan (Billboard). Papan ini dipasang di tempat-tempat umum yang
dapat berisikan pesan atau informasi kesehatan (Fitriani, 2011). Adapun
kelebihan dan kelemahan media papan (bildboard), sebagai berikut :
Kelebihan media papan (bildboard), yakni : a) Sebagai informasi umum dan
hiburan, b) Lebih mudah dipahami, c) Jangkauan relatif lebih besar.
Kelemahan media papan (bildboard), yakni : a) Biaya lebih tinggi, b) Rumit,
c) Ada yang memerlukan listrik, d) perlu persiapan matang, e) Ada yang
memerlukan alat canggih untuk memproduksi. (Notoatmodjo, 2010).
2.5 Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Persepsi Pernikahan Dini Pada Siswa Madrasah Aliyah Negeri 3 Malang
Remaja merupakan masa kehidupan individu yang mengalami
eksplorasi psikologis untuk menemukan identitas diri. Usia remaja
dikelompokkan menjadi 2 yakni : 1) Usia remaja muda (12-15 tahun), dan 2)
37
Usia remaja penuh (16-19 tahun) (Kusmiran, 2011). Rentang Usia siswa
SMA/MA 16 sampai 18 tahun. Seorang remaja yang sudah menikah, maka ia
masuk dalam masa dewasa (Ayalew., Mengistie., & Semahegn, 2014).
Pernikahan anak atau yang dikenal sebagai pernikahan dini
didefinisikan sebagai perkawinan yang dilakukan dibawah usia 18 tahun,
sebelum gadis(remaja) siap secara fisik, fisiologis, dan psikologis siap untuk
memikul tanggung jawab menikah dan melahirkan anak (Kibret., Mengestie.,
& Degu, 2014). Menurut Pasal 1 Konversi Hak Anak CRC, menyatakan
pernikahan dini atau pernikahan anak digunakan untuk menggambarkan
serikat hukum antara dua orang dari salah satu atau kedua pasangan berusia di
bawah 18 tahun (Delprato et al, 2015).
Di Ethopia, pernikahan dini oleh anak perempuan dipandang sebagai
cara untuk meningkatkan status ekonomi keluarga, memperkuat hubungan
antar keluarga, memastikan bahwa gadis tersebut menikah diwaktu perawan,
dan menghindari kemungkinan seorang gadis terlambat menikah (Kibret.,
Mengestie., & Degu, 2014). Di Bangladesh, mayoritas pernikahan dini
berlangsung didukung oleh beberapa penyebab seperti : kemiskinan, buta
huruf, jumlah anggota keluarga yang besar, kurangnya pengetahuan tentang
batasan usia pernikahan yang sebenarnya (Haque et al, 2014).
Pernikahan dini memiliki efek negatif yang luas pada anak perempuan
di luar pendidikan. Efek dan konsekuensi yang luas pada pernikahan dini
mengarah ke awal kehamilan yang dapat meningkatkan risiko komplikasi
selama kehamilan dan persalinan. Peningkatan risiko kematian dan
komplikasi seperti fistula obstetri lebih besar untuk anak perempuan pada
38
remaja awal dan remaja tengah. Kematian ibu terkait kehamilan dan
persalinan merupakan komponen penting dari kematian anak perempuan
berusia 15-19 di seluruh dunia, terhitung 70.000 angka kematian setiap tahun.
Risiko kematian akibat kehamilan 4 kali lebih tinggi dialami oleh remaja di
bawah usia 16 tahun dibandingkan dengan perempuan usia 20 tahun
(Svanemyr et al, 2012). Remaja dan kehamilan, hamil saat usia muda kerap kali
berkaitan dengan munculnya kanker rahim, kejadian ini berkaitan dengan
belum sempurnanya perkembangan dinding uterus (Makhfudli & Efendi,
2009).
Bayi yang lahir dari ibu yang berusia muda, lebih rentan lahir
prematur dengan berat badan rendah, dan mengalami masalah kesehatan yang
serius. Pernikahan dini telah terbukti meningkatkan kemungkinan infeksi
HIV dan kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan dan eksploitasi.
Pernikahan dini sering mengakibatkan perempuan meninggalkan pendidikan
di sekolah, mengurangi kesempatan mereka untuk belajar dan memperoleh
keterampilan yang akan memungkinkan mereka untuk memulai suatu
kegiatan yang menghasilkan pendapatan atau mencari pekerjaan (Svanemyr et
al , 2012).
Seorang perawat, akan dihadapkan pada berbagai pertanyaan
mengenai masalah kesehatan yang ada disekitar kita. Mengapa masih banyak
pernikahan dini ? Pertanyaan tersebut akan mengarahkan perawat untuk
memahami dengan baik antara pendidikan kesehatan dan perilaku kesehatan
(Nursalam & Efendi, 2009). Persepsi merupakan bagian dari keseluruhan
proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan diterapkan.
39
Rangsangan yang dimaksudkan adalah pendidikan kesehatan (Sobur, 2010).
Pendidikan kesehatan merupakan bentuk intervensi keperawatan komunitas
yang ditujukan agar perilaku masyarakat yang berisiko maupun yang telah
mengalami penyakit mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan
kesehatan dan peningkatan kesehatan.
Perawat dapat mengembangkan berbagai aktivitas, memberikan klien
informasi baru dan kesempatan untuk mempraktikkan keterampilan baru
(Widyanto, 2014). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pendidikan
kesehatan yang dirancang dengan baik akan mempermudah seseorang dalam
memahami informasi yang disampaikan, meningkatkan pengetahuan dan
kepuasan seseorang serta berkontribusi untuk mengurangi penggunaan
layanan kesehatan dan meminimalkan biaya (Mendes, E.R. da R et al, 2015).
Salah satu metode yang digunakan dalam pendidikan kesehatan adalah
ceramah dengan menggunakan media video. Penelitian yang dilakukan oleh
Mendes, E.R. da R et al (2015), menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan
menggunakan video menghasilkan persepsi yang baik.