bab ii. tinjauan pustaka 2.1 mikroba endofit indigenouseprints.umm.ac.id/38048/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikroba Endofit Indigenous
Peranan mikroorganisme lebih dominan sebagai penyeimbang dalam
kehidupan makhluk hidup dan dalam ketersediaan senyawa kimia pada
lingkungan. Bila dibandingkan dengan peranan mikroorganisme yang luas sebagai
penghasil metabolit yang bermanfaat untuk manusia dan lingkungan, hanya
sedikit dari mikroorganisme yang bersifat patogenik (Kuswinanti, 2012). Pada
beberapa kasus, mikroorganisme dimanfaatkan sebagai agen hayati untuk
mengendalikan berbagai jenis penyakit tanaman. Kuswinanti (2012) menyatakan
bahwa mikroba yang bersifat endofitik dapat tumbuh dan berkembang di dalam
jaringan inangnya, sehingga tidak terlalu terpengaruh oleh keadaan lingkungan
yang buruk. Beberapa jenis mikroba tersebut terbagi menjadi kelompok bakteri
endofit dan cendawan endofit.
Bakteri endofit muncul atau berasal dari benih, bahan tanam vegetatif, tanah
rhizosfer, dan permukaan daun (phylloplane). Adapun informasi bahwa benih
sebagai sumber bakteri endofit masih kontroversial, meskipun bakteri endofit
telah terdeteksi secara mikroskopis di dalam biji (Hallman et.al.,1997). Bakteri
endofit sebagai agen biokontrol memiliki kelebihan dibandingkan agen biokontrol
lainnya karena keberadaannya dalam jaringan tanaman, mempunyai kemampuan
bertahan terhadap tekanan biotik dan abiotik. Beberapa jenis bakteri endofit
disamping sebagai agen biokontrol, juga sebagai pemacu pertumbuhan tanaman,
dan mengimunisasi ketahanan tanaman terhadap patogen seperti Pseudomonas
cepacia, Pseudomonas fluorescens, dan Bacillus sp. (Hallman et.al. dalam Yanti
6
dan Habazar, 2015). Mekanisme bakteri endofit dalam menginduksi ketahanan
adalah dengan mengkolonisasi jaringan dalam tanaman sehingga menstimulasi
tanaman untuk meningkatkan produksi senyawa metabolit yang berperan dalam
ketahanan tanaman, di antaranya enzim peroksidase, peningkatan aktivitas
kitinase, β-1,3 glucanase, dan fitoaleksin (Press et.al., dalam Utami et.al, 2012).
Petrini dalam Khairi (2012) menyatakan bahwa cendawan endofit disebut
juga sebagai mikosimbion endofitik, merupakan cendawan yang melakukan
kolonisasi dalam jaringan tanaman tanpa menimbulkan gejala sakit. Hal tersebut
seiring dengan Simarmata dan Rumilla (2007) yang menyatakan bahwa
pengendalian menggunakan agen hayati dengan cendawan endofit yaitu suatu
pengendalian yang memanfaatkan cendawan untuk menghambat pertumbuhan
patogen dengan cara menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan
mampu menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika. Beberapa penelitian
terdahulu membuktikan bahwa keberadaan cendawan endofit memberikan
pengaruh positif terhadap tanaman. Asniah et.al (2013) menyatakan dalam hasil
penelitiannya bahwa cendawan endofit yang berasosiasi dengan tanaman dapat
meningkatkan bobot basah tajuk tanaman brokoli sebesar 34%. Sedangkan
Ramdan (2014) melaporkan pada pengujian secara in vivo, aplikasi cendawan
endofit mampu menekan kejadian penyakit busuk pangkal batang pada bibit cabai
dengan tingkat penekanan penyakit sebesar 13.7 hingga 27.5%. Hakizimana et.al.
dalam Ramdan (2014) menyatakan beberapa cendawan yang tergolong cendawan
endofit adalah Cylindrocarpon sp., Neonectria sp., Fusarium oxysporum,
Hypocrea lixii, Trichoderma hamatum, Fusarium sp., Botryosphaeria parva,
Pyronema domesticum, Glomerella sp., Cladosporium sp., Lasiodiplodia sp.,
7
Fusarium solani, Neonectria macrodydima, Glionectria tenuis, Diaporthe sp.,
Penicillium sp., Penicillium crustosum, Pestalothiopsis sp., Penicillium commune,
dan Alternaria sp.
Mekanisme endofit dalam melindungi tanaman terhadap serangan
serangga ataupun patogen meliputi: (1) penghambatan pertumbuhan patogen
secara langsung melalui senyawa antibiotik dan enzim litik yang dihasilkan; (2)
penghambatan secara tidak langsung melalui perangsangan endofit terhadap
tanaman dalam pembentukan metabolit sekunder seperti asam salisilat, asam
jasmonat, dan etilene yang berfungsi dalam meningkatkan ketahanan tanaman
terhadap serangan patogen atau yang berfungsi sebagai antimikroba seperti
fitoaleksin; (3) perangsangan partumbuhan tanaman sehingga lebih tahan terhadap
serangan patogen; (4) kolonisasi jaringan tanaman sehingga patogen sulit
penetrasi; dan (5) hiperparasit (Gao et.al., dalam Yulianti, 2013).
2.2 Virus Mosaik pada Tanaman Kedelai
Virus mosaik pada tanaman kedelai atau Soybean Mosaic Virus (SMV)
adalah virus yang paling lazim dan diakui sebagai masalah yang paling serius
sejak lama di banyak wilayah dunia yang memproduksi kedelai. Cui et.al (2011)
menyatakan bahwa SMV adalah anggota virus dari genus Potyvirus dalam
keluarga Potyviridae. Penyakit yang disebabkan oleh SMV ini pertama kali
didokumentasikan di Amerika Serikat pada tahun 1915 oleh Clinton dan SMV
dinamai oleh Gardner dan Kendrick tahun 1921. Sejak itu, virus ini kemudian
telah ditemukan di Cina, Jepang, Korea Selatan, Kanada, Brazil, Australia dan
banyak negara lain tempat kedelai tumbuh.
8
Saleh (2005) melaporkan bahwa SMV merupakan submikroorganisme
yang sangat sederhana, tersusun dari inti berupa rangkaian asam ribo-nukleat
(RNA) yang bersifat infektif dengan diselubungi mantel protein. SMV hanya
dapat hidup di dalam sel-sel tanaman yang hidup, dan infeksinya bersifat sistemik,
bergerak dari sel ke sel melalui plasmodesmata dan secara pasif bersama assimilat
melalui jaringan pembuluh. Hal ini berarti bahwa pada tanaman yang terinfeksi,
SMV tersebar ke seluruh jaringan tanaman yang sakit, termasuk bagian-bagian
generatif tanaman yang berperan dalam pembentukan biji. SMV dapat ditularkan
secara mekanis, secara non-persisten oleh berbagai jenis kutu daun (aphids)
seperti A. glycines, A. gossypii, A. craccivora, dan Myzus persicae, serta melalui
benih kedelai. Marwoto et.al (2014) menyatakan bahwa SMV tidak aktif pada
suhu 55-70oC dan tetap infektif pada daun kedelai kering selama 7 hari pada suhu
25-33oC. Saleh dalam Andayanie (2012) menyatakan sistem perbenihan kedelai di
Indonesia yang masih kurang sempurna mempengaruhi penularan dan penyebaran
penyakit mosaik ini. Hasil penelitian Ross dalam Li (2010) menyebutkan infeksi
SMV menyebabkan kerusakan terhadap kualitas benih dan kehilangan hasil panen
sekitar 35-50% di kondisi lahan biasa. Bahkan Marwoto et.al (2014) menyatakan
bila penularan virus terjadi pada tanaman berumur muda, penurunan hasil berkisar
antara 50-90%.
Infeksi virus pada tanaman kedelai umumnya menghasilkan gejala yang
serupa yaitu adanya klorosis, belang dan mosaik pada daun. Daun berkeriput
sehingga di lapang sulit dibedakan jenis virus yang menyerang berdasar
penampakan gejala saja, kecuali pada penyakit virus tertentu yang memberikan
gejala khusus seperti Soybean Yellow Mosaic Virus dan Soybean Dwarf Virus. Hal
9
ini karena di lapangan ada ragam gejala yang mirip antara infeksi virus yang satu
dengan lainnya. Ekspresi gejala penyakit virus sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan, varietas yang terserang, atau strain virus. Lebih dari itu, satu tanaman
dapat terinfeksi oleh lebih dari satu macam virus sehingga gejalanya menjadi
semakin kompleks. Gejala yang umum adalah tampak adanya perubahan warna
daun menjadi mosaik, agak keriput/keriting, ukuran daun mengecil dan tanaman
tampak agak kerdil. Adapun penyebab utama penyakit mosaik pada tanaman
kedelai adalah soybean mosaic virus (Saleh dan Hardianingsih, 2016).
Gambar 1. Variasi Gejala Mosaik pada Tanaman Kedelai di Lapangan: (a) Mosaik
dengan Daun Keriting; (b) Mosaik Ringan; (c) Mosaik dengan
Tonjolan pada Helai Daun Berwarna Hijau Tua (Blister), Keriting,
dan Kerdil; dan (d) Mosaik Kuning (Sulandari et.al., 2014)
Gambar 2. Gejala Utama Infeksi Virus Mosaik pada Tanaman Kedelai: R
(Resistance) = Resisten/Tahan, N (Necrotic) = Nekrotik, dan S
(Susceptible-Mosaic) = Rentan-Mosaik (Klepadlo et.al., 2016)
a b
c d
10
Klepadlo et.al. (2016) melaporkan bahwa setelah infeksi SMV, kedelai
dapat memiliki gejala resisten, nekrotik pada daun, atau rentan-mosaik. Genotip
kedelai yang rentan akan memiliki karakteristik tanaman yang kerdil dengan daun
berkerut, mengalami penurunan viabilitas dan vigor benih, menghasilkan biji lebih
sedikit dan kecil serta belang-belang.
Penyakit mosaik sudah tersebar luas di semua sentra produksi kedelai di
DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, dan Sulawesi Selatan dengan gejala dan
intensitas penyakit yang bervariasi. Tanaman kedelai bergejala mosaik
berdasarkan deteksi virus secara I-ELISA dan PCR antara lain disebabkan oleh
SMV. Pada tanaman kedelai yang bergejala mosaik juga perlu dideteksi
keberadaan virus lain dan sebarannya sebagai dasar untuk menyusun strategi
pengendalian virus pada pertanaman kedelai (Sulandari et.al., 2014).
Reaksi tanaman terhadap infeksi SMV bergantung pada kultivar, strain
virus, umur tanaman saat terjadinya infeksi, dan kondisi lingkungan (terutama
suhu). Tanaman yang terinfeksi agak kerdil dan lebat, dan memiliki daun yang
menyimpang. Daunnya kerdil, berkerut, atau acak-acakan dan lebih
ramping/sempit dari biasanya, dengan tepi daun yang melengkung ke bawah.
Daun yang paling muda dan paling cepat tumbuh menunjukkan gejala yang paling
parah. Nodul pada akar tanaman yang terinfeksi virus mosaik kedelai lebih
sedikit, lebih kecil, dan bobot lebih ringan daripada yang ditemukan pada tanaman
sehat. Jumlah nodul yang berkurang dan daun yang rusak tersebut diprediksi
menyebabkan bobot kedelai menjadi ringan dan lebih kecil di lahan yang
terinfeksi virus mosaik (Malvick, 1992).
11
2.3 Tanaman Kedelai
Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) termasuk famili leguminosae
(kacang-kacangan). Kedelai sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Respons
kedelai terhadap perubahan lingkungan akan menjadi lebih menguntungkan
dengan memilih varietas, waktu tanam, pemupukan dan populasi tanaman yang
tepat. Pemilihan ini dapat tercapai apabila kita mengetahui bagaimana kedelai itu
tumbuh. Tanaman kedelai dapat tumbuh baik pada tanah subur dengan pengairan
yang baik, yang dikehendaki yaitu adanya curah hujan sekitar 400 mm selama 3-4
bulan musim pertanamannya, tahan pada kekeringan yang moderat kecuali pada
masa pembungaan dan pembuahan. Pertumbuhan yang baik pada lahan-lahan
dengan kondisi di atas, yaitu yang berada di bawah ketinggian 1000 meter di atas
permukaan laut (Cahyadi, 2012).
Adie dan Krisnawati (2016) menjelaskan klasifikasi dari Glycine max (L.)
Merril adalah sebagai berikut:
Ordo : Polypetales
Famili : Leguminosae
Sub-Famili : Papilionoideae
Genus : Glycine
Sub-Genus : Soja
Species : max
Kumudini (2010) menyatakan bahwa tanaman kedelai mempunyai 4
struktur daun, yaitu: kotiledon atau daun biji (cotyledon), daun utama
(unifoliolate), daun trifoliolat, dan propil atau daun pertama pada ranting.
Sepasang kotiledon tumbuh bersebrangan dan muncul pertama kali pada tanaman.
12
Daun utama (unifoliolate) adalah sepasang daun yang berbentuk oval yang
tumbuh secara berlawanan pula. Nodus/ruas (node) terdapat pada batang tempat
daun menempel. Dua jenis daun pertama tersebut tumbuh pada dua nodus
pertama, sedangkan semua nodus berikutnya memiliki daun trifoliolat (daun
bertiga) yang tersusun bergantian.
Buah kedelai berbentuk polong dan setiap polong berisi satu sampai empat
biji. Biji umumnya berbentuk bulat atau bulat pipih sampai bulat lonjong. Ukuran
biji berkisar antara 6-30 gram/100 biji. Ukuran biji diklasifikasikan menjadi tiga
kelas, yaitu biji kecil (6-10 gram/100 biji), sedang (11-12 gram/100 biji), dan
besar (13 atau lebih/100 biji). Warna kulit biji bervariasi antara lain, kuning, hijau,
cokelat, dan hitam (Fachruddin, 2000). Adie dan Krisnawati (2016)
menambahkan bahwa polong muda berwarna hijau dan berubah menjadi
kuning atau coklat setelah matang. Pada polong terdapat trikoma (bulu halus)
dengan intensitas kepadatan dan panjang yang berlainan tergantung
varietasnya.
Baharsjah dalam Ningrum (2011) menyatakan bahwa umumnya kedelai
menghendaki tanah yang berstruktur remah dengan keasaman sedang (pH 5-7).
Adapun Fachruddin (2000) menyatakan nilai pH ideal bagi pertumbuhan kedelai
dan bakteri Rhizobium adalah 6.0-6.8. Apabila pH di atas 7.0 tanaman kedelai
mengalami klorosis sehingga tanaman menjadi kerdil dan daunnya menguning.
Sementara pada pH di bawah 5.0, kedelai mengalami keracunan Al, Fe, dan Mn
sehingga pertumbuhannya terganggu. Tanaman kedelai dapat ditanam pada
berbagai jenis tanah dengan drainase dan aerasi yang baik. Jenis tanah yang sangat
cocok untuk kedelai adalah aluvial, regosol, dan grumosol.
13
Kondisi iklim yang cocok untuk penanaman kedelai di Indonesia umumnya
adalah daerah dengan kelembaban udara (RH) rata-rata 65% dan curah hujan
paling optimum antara 100-200 mm/bulan (Rukmana dan Yuniarsih, 1996).
2.4 Pengendalian Soybean Mosaic Virus (SMV)
Langkah-langkah saat ini untuk mengendalikan serangan vektor virus SMV
adalah melalui: (1) pengembangan dan penggunaan kultivar kedelai yang
membawa gen resisten, (2) penggunaan benih bebas SMV, (3) pemilihan waktu
tanam yang tepat, dan (4) pengendalian vektor virus SMV dengan pestisida.
Seiring dengan perubahan iklim (seperti pemanasan global), munculnya isolat
baru yang lebih kuat (termasuk isolat perusak ketahanan tanaman) dan vektor-
vektor baru seperti Aphis glycines, serta taraf peningkatan infeksi SMV dan virus
kedelai lainnya, langkah-langkah tersebut di atas tentu menjadi sudah tidak
efektif. Karena itulah, pengembangan teknologi baru mesti dilakukan untuk
menangani infeksi SMV ini (Cui et.al., 2010). Sanafacon dalam Cui et.al (2010)
menyatakan bahwa selama beberapa tahun terakhir, berbagai strategi baru
dikembangkan untuk menangani virus tanaman. Pada level protein, salah satu
pendekatan adalah melalui pembuatan protein yang diinginkan pada tanaman
transgenik, yang kemudian dapat menghambat aktivitas protein virus.
Sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu
lingkungan, maka usaha pengendalian hama dan penyakit sekarang lebih
diarahkan kepada pemanfaatan musuh-musuh alami hama dan patogen yang
lebih dikenal dengan pengendalian secara hayati (Nurhayati, 2011). Hanudin
dan Marwoto (2012) mencatat bahwa terdapat berbagai spesies
14
mikroorganisme yang telah berhasil diisolasi dan dievaluasi efektifitasnya
sebagai agens pengendali hayati (APH) penyakit tanaman termasuk virus, dan
diformulasi dalam bentuk biopestisida. APH dapat dikelompokkan ke dalam
golongan bakteri, cendawan, actinomycetes, dan virus. Kelompok bakteri yang
telah digunakan sebagai APH antara lain adalah Bacillus spp., B. cereus, dan
B. subtilis. Adapun kelompok cendawan yang telah digunakan sebagai APH
penyakit tanaman adalah Trichoderma harzianum dan Gliocladium sp.
Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa mikroba
endofit mampu menekan penyebaran virus pada tanaman. Setyowibowo (2015)
melaporkan bahwa tanaman kedelai yang diberi isolat bakteri strain KF dan RK3
mampu menurunkan keparahan penyakit sebesar 35% dan menurunkan kejadian
penyakit 30% yang disebabkan oleh Soybean Mosaic Virus (SMV). Kedua isolat
tersebut juga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai lebih baik dan
berbeda nyata dibanding kontrol serta isolat lainnya. Hasil penelitian Millah
(2016) juga membuktikan bahwa perlakuan filtrat bakteri endofit mampu
menekan keparahan penyakit yang disebabkan oleh Bean Common Mosaic Virus
Strain Black Eye Cowpea (BCMV-BlC) pada Kacang Panjang sebesar 68.27%
dan mengurangi titer virus sebesar 75.10%. Secara umum perlakuan filtrat bakteri
endofit menunjukkan peubah agronomi yang lebih baik dibandingkan tanaman
terinfeksi BCMV tanpa perlakuan filtrat bakteri endofit.
2.5 Ketahanan Induksi Tanaman
Ketahanan tanaman dapat terjadi secara genetik maupun secara terinduksi.
Ketahanan terinduksi dapat melalui proses SAR (Systemic Aquired Resistance)
15
dan ISR (Induced Systemic Resistance) (Wijayanti et.al., 2017). Pieterse et.al
dalam Setyowibowo (2015) menyatakan bahwa proses SAR (Systemic Aqcuired
Resistance) atau ISR (Induced Systemic Resistance) melibatkan berbagai jenis
gen, enzim dan protein. Baik SAR maupun ISR sama-sama berperan penting
meningkatkan ketahanan tanaman. Pemicu peningkatan ketahanan melalui ISR
terjadi bukan karena infeksi patogen, tetapi oleh adanya infeksi mikroba non
patogen pada perakaran, seperti bakteri dan cendawan. Respon tanaman terhadap
adanya infeksi mikroba nonpatogen yakni tanaman akan memproduksi senyawa-
senyawa pertahanan, seperti asam jasmonat (JA) dan senyawa etilen (ET).
Aktivasi senyawa pertahanan tersebut tidak berhubungan dengan peran gen-gen
pertahanan (PR) seperti halnya pada SAR.
Gambar 3. Mekanisme induksi ketahanan tanaman secara sistemik (Sumber:
Vallad dan Goodman, 2004)
Nicaise (2014) menyatakan bahwa hormon tanaman memiliki peran
penting bagi perlawanan tanaman terhadap serangan patogen virus. Jumlah dan
komposisi hormon serta waktu tanaman menghasilkan hormon saat ada serangan
16
virus sangat bergantung pada karakter dan strategi menginfeksi dari virus yang
menyebar tersebut. Alazem dan Lin (2015) melaporkan bahwa terdapat empat
hormon yang secara utama mengatur pertahanan tanaman terhadap patogen, yakni
Asam Salisilat (SA), Asam Jasmonat (JA), Etilen (Et) dan Asam Absisat (ABA).
Pada tanaman yang rentan, infeksi virus menghasilkan gangguan hormonal yang
bermanifestasi sebagai induksi simultan dari beberapa hormon antagonis.
Gen-gen pertahanan pada tanaman memungkinkan tanaman dapat
mengenali patogen spesifik, yang menghasilkan pengaktifan sejumlah respon
pertahanan yang mencakup: (1) kematian sel terprogram yang terlokalisir (respons
hipersensitif, HR), (2) Sintesis protein yang berhubungan dengan patogenesis
(pathogenesis related, PR) dan (3) Induksi SAR (systemic acquired resistance).
Respon ini dikoordinasikan oleh suatu jalur (pathway) transduksi sinyal yang
bercabang (Murphy et.al.,1999).
Asam Salisilat menginduksi ekspresi dari banyak gen yang berhubungan
dengan pertahanan tanaman (Murphy et.al.,1999). Asam salisilat merupakan
komponen penting di jalur transduksi sinyal yang mengarah ke SAR pada seluruh
spektrum patogen tanaman: bakteri, jamur, dan virus. Pemicu paling umum
terjadinya sintesis Asam Salisilat dan induksi SAR adalah respons hipersensitif
(HR), yang dihasilkan dari interaksi produk gen pertahanan tanaman inang dengan
elisitor yang diproduksi patogen tertentu. Asam Salisilat dapat menghambat
perkembangan penyakit virus pada tanaman dengan dua cara, yaitu dengan
menghambat replikasi virus pada titik awal infeksi, atau dengan menunda
pergerakan virus keluar dari jaringan yang diinokulasi (Naylor et.al., 1998).
17
Asam jasmonat mengatur ISR bersama Et yang disebabkan oleh mikroba
non-patogen seperti rizobakteri. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa induksi
asam jasmonat melalui perantara rizobakteri mengurangi gejala infeksi CMV.
Penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa perlakuan kontinu dengan asam
jasmonat menurunkan titer DNA Beet Curly Top Virus (BCTV) pada tanaman Bit
(Alazem dan Lin, 2015).