bab ii tinjauan pustaka 2.1.ruang lingkup lansia 2.1.1 … · 2017. 8. 3. · 12 bab ii tinjauan...

29
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Ruang Lingkup Lansia 2.1.1 Definisi Lansia Menurut pasal 1 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh World Health Organization (WHO), lansia dibagi menjadi empat kriteria: usia pertengahan (middle age) ialah 45 59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60 74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75 90 tahun, usia sangat tua ialah di atas 90 tahun. Lansia bukan merupakan suatu penyakit, namun lansia adalah tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk berdaptasi dengan stres lingkungan (Maryam dkk, 2008).

Upload: others

Post on 10-Feb-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 12

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1.Ruang Lingkup Lansia

    2.1.1 Definisi Lansia

    Menurut pasal 1 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 13

    Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia,

    menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang

    telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Kemudian

    dijelaskan lebih lanjut oleh World Health Organization

    (WHO), lansia dibagi menjadi empat kriteria: usia

    pertengahan (middle age) ialah 45 – 59 tahun, lanjut

    usia (elderly) ialah 60 – 74 tahun, lanjut usia tua (old)

    ialah 75 – 90 tahun, usia sangat tua ialah di atas 90

    tahun. Lansia bukan merupakan suatu penyakit,

    namun lansia adalah tahap lanjut dari suatu proses

    kehidupan yang ditandai dengan penurunan

    kemampuan tubuh untuk berdaptasi dengan stres

    lingkungan (Maryam dkk, 2008).

  • 13

    2.1.2 Karakteristik Lansia

    Lansia memiliki beberapa karakteristik yang perlu

    dipahami untuk mengetahui keberadaan masalah

    kesehatan lansia sebagai berikut (Maryam dkk,

    2008):

    1. Jenis Kelamin

    Jumlah lansia lebih didominasi oleh kaum

    perempuan. Selain itu, terdapat perbedaan

    kebutuhan dan masalah kesehatan yang

    dihadapi antara lansia laki-laki dan lansia

    perempuan. Misalnya, lansia laki-laki banyak

    menderita hipertropi prostat, sementara lansia

    wanita banyak menderita osteoporosis.

    2. Status Perkawinan

    Status perkawinan berpasangan lengkap atau

    hidup sendiri (duda/janda) sangat

    mempengaruhi kondisi kesehatan fisik

    maupun psikologis lansia.

  • 14

    3. Living arrangement

    Living arrangement merupakan kondisi

    tanggungan keluarga. Misalnya, lansia masih

    harus menanggung anak atau keluarga,

    tempat tinggal bersama anak, atau tinggal

    sendiri. Saat ini kebanyakan lansia masih

    hidup sebagai bagian keluarganya, baik

    lansia sebagai kepala keluarga atau bagian

    dari keluarga anaknya. Namun, ada

    kecenderungan bahwa lansia akan

    ditinggalkan oleh keluarganya dalam rumah

    yang berbeda.

    4. Kondisi Kesehatan

    Kondisi umum yaitu keadaan dimana

    lansia mampu untuk tidak tergantung

    kepada orang lain dalam melakukan

    aktivitas sehari-hari seperti mandi, buang

    air kecil dan buang air besar.

    Frekuensi sakit yaitu frekuensi yang tinggi

    terhadap kondisi sakit dan menyebabkan

    mereka tidak lagi produktif dan mulai

    bergantung pada orang lain. Sebagian

  • 15

    lansia memerlukan perawatan khusus

    karena penyakit kronis yang diderita.

    5. Keadaan Ekonomi

    Sumber pendapatan resmi

    Sumber pendapatan lansia biasanya

    berasal dari pensiunan dan ditambah

    sumber pendapatan lain, jika lansia

    masih dapat bekerja dengan aktif.

    Sumber pendapatan keluarga

    Para lansia biasanya mendapat bantuan

    keuangan dari anak atau keluarga

    lainnya, namun ada juga lansia yang

    masih berperan dalam memenuhi

    kebutuhan anggota keluarganya.

    Kemampuan pendapatan

    Biaya yang dibutuhkan lansia semakin

    tinggi sementara pendapatan semakin

    menurun.

  • 16

    2.1.3 Perkembangan Lansia

    Setiap mahkluk atau organisme di dunia ini mengalami

    sebuah siklus rutin yang disebut dengan perkembangan.

    Menurut Syamsu (2002), perkembangan adalah perubahan-

    perubahan yang dialami oleh individu atau organisme menuju

    tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung

    secara sistematis, progresif dan berkesinambungan

    menyangkut fisik maupun psikis.

    Perkembangan pada lansia mencirikan tahap akhir dari

    proses penuaan. Semua orang akan mengalami proses

    penuaan. Pada masa tersebut, seorang mengalami

    penurunan dan kemunduran fisik, psikis, dan sosial sedikit

    demi sedikit sehingga tidak dapat lagi melakukan tugas

    sehari-hari. Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada

    mahkluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel yang

    mengalami penurunan kapasitas secara fungsional (Desmita,

    2005).

    Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik

    yang terjadi seiring dengan proses penuaan yang dialami.

    Perubahan ini tidak dihubungkan dengan penyakit, namun

    merupakan perubahan secara fisiologis yang normal terjadi

    pada semua manusia. Penyakit yang dialami lansia dapat

  • 17

    mengubah waktu timbulnya perubahan atau berdampak pula

    terhadap kehidupan sehari-hari (Desmita, 2005).

    Dalam upaya menghadapi perubahan yang dialami,

    sejalan dengan proses penuaan, maka lansia memiliki tugas

    dan perkembangan. Adapun tugas perkembangan lansia

    diantaranya, beradaptasi terhadap penurunan kondisi

    kesehatan dan kondisi fisik, beradaptasi terhadap kematian

    pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua,

    mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan

    kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, dan

    menemukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup

    (Potter & Perry, 2005).

    2.1.4 Penurunan Kondisi Pada Lansia

    Menurut Maryam (2008), seseorang yang berada pada

    tahap lansia akan mengalami penurunan berbagai organ atau

    sistem tubuh, baik dari segi anatomi maupun fungsional.

    Beberapa penurunan yang terjadi pada lansia adalah sebagai

    berikut:

    1. Penurunan Fisik

    Secara umum, lansia mengalami penurunan kekuatan,

    kualitas dan fungsi fisik, seiring bertambahnya usia.

  • 18

    Penurunan ini bisa berlangsung secara perlahan bahkan

    bisa terjadi secara cepat tergantung dari kebiasaan hidup

    pada masa usia muda (Stanley & Beare, 2006). Pada

    lansia perubahan fisik yang terjadi dan dialami meliputi:

    Lansia tidak tahan terhadap temperatur yang

    sangat panas atau sangat dingin. Hal ini

    disebabkan oleh menurunnya fungsi

    pembuluh darah kulit.

    Kemampuan visual lansia mengalami

    kemunduran dalam hal ketajaman dan luas

    pandangan. Mata kurang peka dalam melihat

    cahaya dengan intensitas terlalu tinggi, lansia

    lebih sensitif terhadap sesuatu yang

    menyilaukan serta kurang mampu

    membedakan warna.

    Kemampuan pendengaran pada lansia

    mengalami kesulitan dalam menangkap

    frekuensi percakapan yang kecil atau besar di

    waktu bersamaan.

    Kemampuan indera perasa lansia menjadi

    kurang peka akan perubahan suhu, rasa dan

    bau.

  • 19

    Lansia mengalami penurunan fungsi sistem

    motorik (otot dan rangka) antara lain,

    berkurangnya daya tumbuh dan regenerasi,

    menurunnya kemampuan mobilitas dan

    kontrol fisik, semakin lambatnya gerakan

    tubuh, sering terjadi getaran otot (tremor), dan

    persendian serta tulang mengalami

    pengeroposan (osteoporosis) dikarenakan

    proses degenerasi.

    Kulit tubuh menjadi berkerut karena

    kehilangan elastisitas dan mudah luka apabila

    tergores benda yang cukup tajam. Kulit tubuh

    menjadi lebih kering dan tipis.

    Semakin tua usia seseorang, tingkat

    kecerdasannya semakin menurun, memori

    berkurang, kesulitan berkonsentrasi, dan

    lambatnya kemampuan kognitif dan kerja

    saraf.

  • 20

    2. Penurunan psikologis

    Penurunan psikologis yang umum terjadi pada lansia

    mengarah pada fungsi-fungsi kognitif, afektif, konatif dan

    kepribadian lansia secara optimal. Hal ini juga meliputi

    sikap-sikap lansia menghadapi proses menua. Berbagai

    penurunan psikologis yang dialami lansia adalah sebagai

    berikut:

    Demensia adalah suatu gangguan

    intelektual/daya ingat yang sering terjadi

    pada orang yang berusia >60 tahun.

    Gangguan depresi merupakan hal yang

    terpenting dalam permasalahan pada lansia.

    Usia bukan merupakan faktor untuk menjadi

    penyebab terjadinya depresi namun keadaan

    penyakit kronis dan masalah-masalah yang

    dihadapi lansia dapat membuat mereka

    mengalami depresi. Gejala depresi pada

    lansia adalah kehilangan minat, berkurangnya

    energi (mudah lelah), konsentrasi dan

    perhatian berkurang, kurang percaya diri,

    sering merasa bersalah, pesimis, gangguan

    pada tidur, dan gangguan nafsu makan.

  • 21

    Delusi dapat diartikan sebagai ekspresi

    ketidakpercayaan yang muncul dalam

    kehidupan nyata seperti merasa dirinya

    diracun oleh orang lain, tidak dicintai, ditipu,

    merasa dirinya sakit atau disakiti.

    Gangguan kecemasan merupakan gangguan

    psikologis berupa ketakutan yang tidak

    wajar/phobia. Kecemasan yang tersering

    pada lansia adalah tentang kematiannya.

    Usia lanjut adalah faktor tunggal yang paling

    sering berhubungan dengan peningkatan

    kejadian gangguan tidur. Gangguan tidur

    dapat terjadi di malam hari, sering terbangun

    pada dini hari, dan sering merasa mengantuk

    terutama di siang hari.

    3. Penurunan Sosial

    Penurunan fungsi sosial lansia diakibatkan

    berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan,

    gerak fisik, dan juga akibat penurunan produktivitas kerja

    yang berakhir pada masa pensiun. Masa pensiun

    menyebabkan lansia sering merasa ada sesuatu yang

    hilang dari hidupnya sehingga menimbulkan perasaan

    kehilangan status dan kedudukan, kehilangan

  • 22

    pertemanan, dan kehilangan gaya hidup yang biasa

    dijalaninya, dan banyak lansia yang merasa kesepian

    atau merasa terisolasi dari lingkungan sekitarnya, antara

    lain karena jarang tersedia pelayanan kendaraan umum

    khusus bagi lansia ataupun dikarenakan tingginya tingkat

    kejahatan di sekitar lingkungan tempat tinggal.

    2.2 Sistem Muskuloskeletal Pada Lansia

    Pada lansia terjadi perubahan pada sistem

    muskuloskeletal meliputi perubahan pada jaringan

    penghubung, kartilago, tulang, otot, dan sendi (Maryam

    dkk, 2008).

    2.2.1 Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)

    Kolagen sebagai protein pendukung utama pada

    kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat

    mengalami perubahan menjadi bentangan tidak

    teratur. Bentangan yang tidak teratur dan penurunan

    hubungan tarikan linear pada jaringan kolagen

    merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas

    pada jaringan tubuh. Kolagen sendi dan jaringan

    sekitar akan mengerut. Setelah kolagen mencapai

    puncak fungsi atau daya mekaniknya karena

    penuaan, daya elastisitas dan kekakuan dari kolagen

  • 23

    menurun karena mengalami perubahan kualitatif dan

    kuantitatif sesuai penuaan (Timiraz & Navazio,

    2007). Kontraktur/kaku sendi akan menghalangi

    pergerakan sendi dan mobilisasi pasif yang

    memperburuk kondisi kontraktur. Perubahan pada

    kolagen dapat mengakibatkan penyebab turunnya

    fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan

    dampak berupa nyeri, penurunan kekuatan otot dan

    penurunan rentang gerak sendi yang mengakibatkan

    terjadinya hambatan dalam melakukan aktivitas

    sehari-hari (Maryam dkk, 2008).

    2.2.2 Kartilago

    Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak

    dan mengalami perubahan struktur dan akhirnya

    menjadi rata, sehingga kemampuan kartilago untuk

    regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi

    cenderung ke arah progresif. Proteoglikan yang

    merupakan komponen dasar matriks kartilago

    berkurang atau hilang secara bertahap. Kartilago

    mengalami klasifikasi di berbagai tempat persendian,

    sehingga fungsinya sebagai peredam kejut dan

    permukaan sendi yang berpelumas menurun dengan

    konsekuensi kartilago pada persendian rentan

  • 24

    terhadap gesekan. Akibat perubahan tersebut sendi

    dapat mengalami kekakuan, peradangan, nyeri, dan

    keterbatasan gerak (Sri Surini & Budi Utomo, 2003).

    2.2.3 Tulang

    Secara fisiologis kepadatan tulang berkurang seiring

    bertambahnya usia, berkurangnya kepadatan tulang

    secara keseluruhan dapat mempengaruhi kekakuan

    dan penurunan kekuatannya, hal ini dapat

    mengakibat terjadinya kerapuhan pada tulang,

    mengakibatkan nyeri, keterbatasan gerak hingga

    patah tulang (fraktur) (Timiraz & Navazio, 2008).

    2.2.4 Otot

    Pada lansia terjadi perubahan struktur otot yang

    bervariasi. Terjadi penurunan jumlah dan ukuran

    serabut otot, penurunan masa otot pada serabut otot,

    dan pembesaran otot pada beberapa serabut otot

    yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan

    penghubung dan lain-lain mengakibatkan efek

    negatif berupa penurunan kekuatan dan fleksibiltas.

    Pada lansia, proses penuaan mengakibatkan

    terjadinya perubahan morfologis yaitu berkurangnya

    30% masa otot terutama otot tipe II (fast twitch),

    peningkatan jaringan lemak dan jaringan

  • 25

    penghubung, penurunan jumlah serabut otot (Bonder

    & Wagner, 1994).

    2.2.5 Sendi

    Sendi adalah hubungan diantara tulang. Setiap sendi

    diklasifikasikan sesuai dengan struktur dan tingkat

    mobilisasinya. Ada empat klasifikasi sendi (Potter &

    Perry, 2005) yaitu:

    Sendi Sinostotik

    Sendi sinostotik mengacu pada ikatan tulang

    dengan tulang. Tidak ada pergerakan pada

    tipe sendi ini, dan jaringan tulang yang

    dibentuk di antara tulang mendukung

    kekuatan dan stabilitas. Contoh klasik tipe

    sendi ini adalah sakrum (tulang pinggul) dan

    pada sendi vertebra (tulang belakang).

    Sendi Kartilaginus

    Sendi kartilaginus, atau sendi sinkondrodial,

    memiliki sedikit pergerakan, tetapi elastis dan

    menggunakan kartilago untuk menyatukan

    permukaannya. Sendi kartilago dapat

    ditemukan ketika tulang mengalami

    penekanan yang konstan, seperti sendi

  • 26

    kostosternal antara sternum(tulang dada)

    dan tulang iga.

    Sendi Fibrosa

    Sendi fibrosa atau sendi sindesmodial, adalah

    sendi tempat kedua permukaan tulang,

    disatukan dengan ligamen atau membran.

    Serat atau ligamennya fleksibel dan dapat

    diregangkan, dapat bergerak dengan jumlah

    terbatas. Misalnya sepasang tulang pada

    ekstremitas bawah (tibia dan fibula) adalah

    sendi sindesmotik.

    Sendi Sinovial

    Sendi sinovial adalah sendi tubuh yang paling

    banyak, serbaguna, dan mampu bergerak

    dengan bebas. Jenis ini dapat bekerja dengan

    baik selama puluhan tahun, jika sering

    digunakan dengan baik dan tidak berlebihan.

    Sendi sinovial dibungkus oleh penutup

    pelindung luar kapsul sendi. Lapisan dalam

    sendi sinovial menghasilkan cairan yang licin

    menyerupai oli dan melumasi sendi, hanya

    sedikit bergesekan dan rusak. Terdapat

  • 27

    sekitar 230 sendi sinovial di seluruh tubuh.

    Sendi sinovial atau sendi yang sebenarnya

    adalah sendi yang dapat digerakkan secara

    bebas karena permukaan tulang yang

    berdekatan dilapisi oleh kartilago artikular dan

    dihubungkan oleh ligamen sejajar dengan

    membran sinovial. Salah satunya adalah

    sendi engsel. Sendi engsel memiliki

    permukaan cembung dari sebuah tulang

    masuk ke dalam permukaan cekung tulang

    lain untuk membentuk sendi engsel. Sendi ini

    memberikan gerakan bolak-balik di satu

    bidang. Siku memiliki sendi engsel yang

    termodifikasi: perputaran radius dan ulna di

    lengan bawah terhadap humerus dan

    menghasilkan perputaran terbatas.

    2.3. Sendi siku (Articulatio cubiti)

    Sendi siku merupakan artikulasiokomposita (sendi yang

    tersusun oleh lebih dari dua tulang). Pada sumbu ini

    bertemu humerus (tulang lengan atas) , ulna dan radius

    (tulang lengan bawah). Sedangkan menurut faalnya, sendi

  • 28

    ini merupakan sendi engsel dengan tiga bagian (Syaiffudin,

    2012):

    Gambar 2.3 Sendi Siku (Articulatio cubiti)

    Art. Humeroulnaris. Sendi antara trokhlea humeri

    dan insisura semilunaris ulnae (sendi antara tulang

    lengan atas dan tulang ulna pada lengan bawah).

    Kedua permukaan sendi mempunyai bidang

    pertemuan yang terlebar pada sikap lengan yang

    sedikit diketulkan sehingga merupakan sikap

    terbaik bagi lengan untuk menerima tumpuan

    lengan.

    Art. Humeroradialis. Sendi kapitulum humeri

    dengan fovea kapitulum radi (sendi antara tulang

    lengan atas dan tulang radius lengan bawah).

    Art. Radioulnaris proksimal. Sendi antara

    sirkumferensia artikularis radii dan insisura radialis

  • 29

    ulna (sendi antara dua tulang lengan bawah yaitu

    radius dan ulna).

    Humerus, radius, dan ulna dihubungkan kartilago

    dan ligamen membentuk sendi engsel. Otot-otot utama

    yang juga memilki pengaruh dalam rentang gerak sendi

    siku adalah bisep brakhii, brakhialis, brakhioradialis

    (pada gerakan fleksi) dan trisep brakhii (pada gerakan

    ekstensi). Tipe gerakan yang dapat dilakukan pada

    sendi siku adalah fleksi dan ekstensi dengan rentang

    gerak normal 140°-150°, hiperekstensi dengan rentang

    gerak normal 180°, pronasi dan supinasi dengan

    rentang gerak normal 70° -90° (Potter & Perry, 2009).

    2.4 Hambatan Mobilitas Fisik

    Salah satu akibat kemunduran fungsi fisiologis (penurunan

    kualitas otot, kontraktur sendi dan penurunan luas gerak

    sendi) pada lansia mengakibatkan terjadinya hambatan

    mobilitas fisik pada lansia tersebut. Hambatan mobilitas

    fisik adalah suatu keadaan ketika individu mengalami dan

    berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik. Perubahan

    dalam tingkat mobilitas fisik dapat mengakibatkan instruksi

    pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring, pembatasan

    gerak fisik selama penggunaan alat bantu ekstrernal (gips

  • 30

    atau traksi rangka), pembatasan gerak volunter, atau

    kehilangan fungsi motorik. Pengaruh imobilisasi pada

    sistem muskuloskeletal meliputi gangguan mobilisasi

    permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot

    dan rangka. Pada otot terjadi penurunan massa otot akibat

    metabolisme dan tidak digunakan. Jika imobilisasi berlanjut

    dan otot tidak dilatih, maka akan terjadi penurunan massa

    otot yang berkelanjutan. Imobilisasi juga mempengaruhi

    rangka (skelet). Perubahan yang terjadi pada rangka yaitu

    gangguan metabolisme kalsium dan penurunan luas gerak

    sendi, selain itu dapat terjadi kontraktur sendi yaitu kondisi

    abnormal dan biasanya permanen yang ditandai oleh sendi

    fleksi dan terfiksasi (tertekuk dan tidak dapat dikembalikan

    ke posisi semula). Hal ini disebabkan oleh tidak

    digunakannya otot, atrofi, dan pemendekan serat otot. Jika

    terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat mempertahankan

    rentang gerak dengan penuh (Potter & Perry, 2006).

    2.5 Ruang Lingkup Latihan Rentang Gerak Sendi

    2.5.1 Latihan Rentang Gerak Sendi (Range Of Motion

    Exercises)

    Latihan adalah aktivitas fisik untuk membuat kondisi

    tubuh berada dalam kondisi sehat jasmani, selain itu

  • 31

    latihan didefinisikan sebagai terapi untuk

    memperbaiki deformitas atau mengembalikan

    seluruh tubuh ke status kesehatan maksimal. Jika

    seseorang melakukan latihan, maka akan terjadi

    perubahan fisiologis dalam sistem tubuh (sistem

    kardiovaskuler, respiratori, metabolik dan

    muskuloskeletal). Rentang gerak sendi merupakan

    jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan

    sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh:

    sagital, frontal dan tranversal. Latihan rentang gerak

    sendi (Range Of Motion Exercises) adalah salah satu

    tindakan keperawatan dasar yang dapat dilakukan

    oleh seseorang secara mandiri atau dengan bantuan

    perawat. Rentang pergerakan sendi bervariasi pada

    tiap-tiap individu, hal tersebut ditentukan oleh jenis

    kelamin, usia, ada atau tidaknya penyakit, dan

    jumlah aktivitas fisik yang normalnya dilakukan

    seseorang (Kozier dkk, 2010).

    2.5.2 Klasifikasi Latihan ROM (Range Of Motion

    Exercises)

    Latihan rentang gerak sendi, terbagi atas dua yaitu:

    latihan rentang gerak sendi aktif dan latihan rentang

  • 32

    gerak sendi pasif (ROM Aktif dan ROM Pasif). Latihan

    ROM aktif adalah latihan yang dilakukan sendiri oleh

    pasien tanpa bantuan perawat. Indikasi latihan ROM

    aktif adalah semua pasien yang dirawat namun

    mampu melakukan latihan rentang gerak sendi secara

    mandiri dan kooperatif, sedangkan latihan ROM pasif

    adalah latihan rentang gerak sendi yang dilakukan

    pasien dengan bantuan perawat pada setiap gerakan

    (Suratun dkk, 2008).

    2.5.3 Latihan ROM Pasif (Passive Range Of Motion

    Exercises)

    Latihan ROM Pasif adalah latihan rentang gerak sendi

    yang dilakukan pasien dengan bantuan perawat pada

    setiap gerakan. Indikasi ROM pasif adalah pasien

    semikoma dan tidak sadar, pasien dengan tirah baring

    dan pasien-pasien dengan hambatan mobilitas fisik

    (Suratun dkk, 2008).

    2.5.4 Gerakan-Gerakan Pada Latihan ROM

    Pada latihan ROM terdapat gerakan-gerakan tertentu

    seperti fleksi, ekstensi, adduksi, abduksi, rotasi,

    pronasi, supinasi, inversi, eversi. Fleksi adalah

    gerakan menekuk persendian, ekstensi adalah

  • 33

    gerakan meluruskan persendian, abduksi adalah

    gerakan salah satau anggota tubuh mendekati aksis

    tubuh, adduksi adalah gerakan salah satu anggota

    tubuh ke arah menjauhi aksis tubuh, rotasi adalah

    gerakan memutar atau menggerakan satu bagian

    melingkari aksis tubuh, pronasi adalah gerakan

    memutar kebawah, supinasi adalah gerakan memutar

    keatas, inversi yaitu gerakan kedalam dan eversi atau

    gerakan memutar ke luar (Suratun dkk, 2008).

    2.5.5 Tujuan Latihan ROM

    Latihan rentang gerak sendi bertujuan untuk

    memelihara dan mempertahankan kekuatan otot,

    memelihara mobilitas persendian, merangsang

    sirkulasi darah dan mencegah terjadinya kelainan

    pada struktur tulang maupun otot (Suratun dkk, 2008).

    2.5.6 Kontraindikasi Latihan ROM

    Kontraindikasi latihan ROM adalah adanya trombus

    dan emboli serta peradangan pada pembuluh darah,

    kelainan sendi dan tulang, klien fase imobilisasi karena

    kasus penyakit (jantung), trauma baru dengan

    kemungkinan ada fraktur yang tersembunyi atau luka

    dalam, pasien dengan nyeri berat, dan pasien yang

  • 34

    mengalami kekakuan sendi atau tidak dapat bergerak

    (Suratun dkk, 2008).

    2.5.7 Prinsip Dasar Latihan ROM

    Dalam menerapkan latihan rentang gerak sendi ada

    beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan oleh

    seorang perawat, antara lain: ROM harus dilakukan

    sekitar 8 kali pengulangan, dan dikerjakan minimal 1 –

    2 kali sehari, ROM dilakukan dengan perlahan dan

    hati-hati sehingga tidak melelahkan maupun

    mencelakakan pasien, dalam merencanakan latihan

    ROM perlu diperhatikan (umur pasien, diagnosis,

    tanda vital, dan lamanya tirah baring). Bagian tubuh

    yang dapat diberikan latihan ROM adalah (leher, jari,

    lengan, siku, bahu, pinggul, kaki, dan pergelangan

    kaki), ROM dapat dilakukan pada persendian sinovial

    atau pada sendi yang dicurigai beresiko mengalami

    gangguan sebagai akibat proses penyakit. Dalam

    melakukan latihan ROM perlu mempertimbangkan

    waktu, misalnya seusai mandi atau perawatan rutin

    telah dilakukan (Suratun dkk, 2008).

  • 35

    2.5.8 Pengaruh Latihan Gerak Sendi terhadap

    peningkatan Luas Gerak Sendi

    Studi yang dilakukan oleh Feland, dkk (2001)

    menyatakan bahwa 60 detik peregangan yang di ulang

    4 kali, sekali per hari dan 5 kali per minggu selama 6

    minggu, dapat meningkatkan perbaikan dalam

    ekstensi lutut lansia, sedangkan studi yang dilakukan

    Uliya, Soepomo, dan Kushartanti (2007), menyatakan

    bahwa fleksibilitas sendi yang mengalami gangguan

    gerak meningkat setelah dilakukan latihan ROM

    selama 3 minggu sebesar 31,87° dan selama 6

    minggu meningkat sebesar 35°. Latihan ROM harus

    dilakukan minimal 3 minggu secara berturut-turut, 5

    kali dalam seminggu dengan pengulangan pergerakan

    sebanyak 7 kali untuk setiap gerakan.

    Luas gerak sendi (LGS) merupakan luas gerak

    yang dapat dilakukan suatu sendi Luas gerak sendi

    dapat diukur menggunakan goniometer. Goniometer

    adalah suatu busur derajat yang dirancang khusus

    untuk mengevaluasi gerakan sendi. Tujuan

    pengukuran LGS adalah untuk mengetahui LGS suatu

    sendi dan membandingkannya dengan LGS sendi

  • 36

    yang normal. Hasil pengukuran LGS dapat digunakan

    untuk menentukan tujuan dan rencana terapi dalam

    mengatasi gangguan LGS. (Muttaqin, 2011).

    2.5.9 Prosedur Latihan ROM Pasif (Passive Range of

    Motion Exercises) pada Sendi Siku

    Latihan ROM pasif (Passive Range Of Motion

    Exercises) diterapkan pada pasien yang memiliki

    mobilitas sendi yang terbatas, misalnya karena

    penyakit atau trauma dan dengan bantuan perawat.

    Latihan ini dilakukan untuk menjaga fungsi sendi serta

    memelihara dan mempertahankan kekuatan otot.

    Pada sendi siku, jenis gerakan yang dapat dilatih

    secara pasif adalah fleksi, ekstensi, hiperekstensi,

    pronasi dan supinasi. Sebelum prosedur kerja peneliti

    menjelaskan tujuan dan manfaat serta kemungkinan

    resiko yang terjadi saat pasien diberikan latihan ROM

    pasif, setelah itu pasien diberikan kesempatan untuk

    bertanya tentang tindakan ROM pasif yang akan

    dilakukan. Jika pasien sudah siap, pemberi latihan

    memberikan arahan pada pasien untuk berbaring di

    tempat tidur ataupun duduk ditempat yang telah

    disediakan. Jika posisi pasien berbaring, instruksikan

  • 37

    pasien berbaring dengan posisi supinasi (terlentang).

    Sedangkan apabila pasien dalam posisi duduk, posisi

    pemberi latihan adalah disamping sendi siku pasien

    yang akan diberikan pergerakan pasif. Dalam

    melakukan ROM pasif pada sendi siku untuk gerak

    fleksi ekstensi, dan hiperekstensi (1) atur lengan

    pasien sehingga posisinya menjauhi sisi tubuh dengan

    telapak tangan mengarah ke tubuh, (2) tahan bagian

    lengan diatas siku pasien dengan satu tangan dan

    pegang telapak tangan pasien dengan tangan yang

    lain. (3) tekuk siku pasien sehingga telapak tangannya

    mendekati bahu dengan rentang normal 140°-150°

    untuk rentang gerak fleksi. Lalu, kembalikan ke posisi

    semula dengan rentang normal 140°-150° untuk

    rentang gerak ekstensi hingga hiperekstensi dengan

    retang gerak normal 180° (Lyndon, 2013).

  • 38

    2.6 Kerangka Konsep

    Pre Test Perlakuan Post Test

    Gambar 2.6 Kerangka Konseptual

    Keterangan:

    : Variabel yang diteliti

    : Hubungan yang mempengaruhi

    2.7 Hipotesis

    Hipotesis merupakan pernyataan sementara yang perlu

    diuji kebenarannya yang merupakan jawaban sementara

    terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan

    masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat

    pernyataan (Sugiyono, 2011). Hipotesis dalam penelitian

    ini meliputi:

    2.7.1 Hipotesis Nol (H0)

    Hipotesis nol adalah hipotesis yang menyatakan tidak

    ada hubungan antara variabel satu dengan variabel yang

    lain atau hipotesis yang menyatakan tidak ada perbedaan

    LUAS GERAK

    SENDI SIKU

    LANSIA

    LUAS GERAK

    SENDI SIKU

    LANSIA

    LATIHAN RENTANG

    GERAK SENDI

    PASIF

  • 39

    suatu kejadian antara dua kelompok (Sugiyono, 2011).

    Hipotesis Nol (H0) dalam penelitian ini adalah:

    Tidak ada pengaruh latihan rentang gerak sendi

    pasif terhadap peningkatan luas gerak sendi siku

    ekstensi pada lansia dengan hambatan mobilitas

    fisik di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga.

    Tidak ada pengaruh latihan rentang gerak sendi

    pasif terhadap peningkatan luas gerak sendi siku

    fleksi pada lansia dengan hambatan mobilitas fisik

    di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga.

    Tidak ada pengaruh latihan rentang gerak sendi

    pasif terhadap peningkatan luas gerak sendi siku

    hiperekstensi pada lansia dengan hambatan

    mobilitas fisik di Panti Sosial Menara Kasih

    Salatiga.

    2.7.2 Hipotesis Alternatif (Ha)

    Hipotesis alternatif dapat langsung dirumuskan apabila

    pada suatu penelitian, hipotesis nol ditolak. Hipotesis ini

    merupakan hipotesis yang menyatakan ada hubungan

    antara variabel satu dengan variabel yang lain (Sugiyono,

    2011). Hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini

    adalah:

  • 40

    Ada pengaruh latihan rentang gerak sendi pasif

    terhadap peningkatan luas gerak sendi siku

    ekstensi pada lansia dengan hambatan mobilitas

    fisik di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga.

    Ada pengaruh latihan rentang gerak sendi pasif

    terhadap peningkatan luas gerak sendi siku

    fleksi pada lansia dengan hambatan mobilitas

    fisik di Panti Sosial Menara Kasih Salatiga.

    Ada pengaruh latihan rentang gerak sendi pasif

    terhadap peningkatan luas gerak sendi siku

    hiperekstensi pada lansia dengan hambatan

    mobilitas fisik di Panti Sosial Menara Kasih

    Salatiga.