bab ii tinjauan pustaka a. hazard analysis critical ...eprints.uny.ac.id/52689/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem
jaminan keamanan pangan yang mendasarkan kepada suatu kesadaran bahwa
bahaya (hazard) berpeluang timbul pada berbagai titik atau tahap produksi, dan
harus dikendalikan untuk mencegah terjadinya bahaya-bahaya tersebut. Kunci
utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan yang
mengutamakan kepada tindakan pencegahan dan tidak mengandalkan kepada
pengujian produk akhir. Sistem HACCP bukan merupakan sistem jaminan
keamanan pangan yang tanpa resiko atau zero-risk akan tetapi, HACCP dirancang
untuk meminimumkan risiko bahaya keamanan pangan dalam suatu proses
produksi pangan. Sistem HACCP dapat diterapkan dalam rantai produksi pangan
sejak mulai dari produsen bahan baku utama pangan (pertanian, peternakan),
penanganan, pengolahan, distribusi, pemasaran hingga sampai kepada pengguna
konsumen (Sutrisna, 2009a: 3).
Sistem HACCP juga dianggap sebagai alat manajemen yang digunakan
untuk memproteksi pasokan pangan dan proses produksi terhadap kontaminasi
bahaya-bahaya mikrobiologis, kimia dan fisik. Hazard Analysis and Critical
Control Point (HACCP), Good Manufacturing Practices (GMP), Standar Nasional
Indonesia (SNI) dan Food Safety (keamanan pangan) diartikan sebagai kondisi
pangan aman untuk dikonsumsi. Food Safety secara garis besar digolongkan
menjadi 2 yaitu aman secara rohani dan aman secara jasmani. Aman secara rohani
berhubungan dengan kehalalan, dan aman secara jasmani meliputi pangan itu bebas
dari bahaya biologi atau mikroorganisme yang membahayakan, baik cemaran fisik
dan bebas cemaran kimia.
Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya biologi
atau mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik. Pangan yang layak adalah
pangan yang keadaannya normal tidak menimpang seperti busuk, kotor, menjijikan,
dan penyimpangan lainnya sedangkan pangan yang bermutu artinya pangan
mempunyai keunggulan nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan,
kandungan gizi dan standar perdagangan (BPOM, 2005: 1).
Bahaya biologis atau mikrobiologis terdiri dari parasit, virus dan bakteri
patogen yang dapat tumbuh dan berkembang di dalam bahan pangan, sehingga
dapat menyebabkan infeksi dan keracunan pada konsumen. Bahaya kimia pada
umumnya disebabkan oleh adanya bahan kimia yang dapat menimbulkan terjadinya
intoksikasi. Bahan kimia penyebab keracunan diantaranya logam berat Cu
(tembaga), Zn (seng), As (arsen), Pb (timbal), Hg (merkuri), dan Sn (timah).
Bahaya fisik terdiri dari potongan kayu, batu, logam, rambut, dan kuku yang
kemungkinan berasal dari bahan baku yang tercemar, peralatan yang telah aus, atau
juga dari para pekerja pengolah makanan (Daulay, 2011: 10).
Surat keputusan Menteri Kesehatan RI No. 23/MENKES/SKJI/1978
tentang Pedoman Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) mempersyaratkan
agar dilakukan pembersihan dan sanitasi dengan frekuensi yang memadai. Ada 14
point Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) yang harus diperhatikan yaitu
lingkungan produksi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, suplai air,
kegiatan higiene dan sanitasi, pengendalian hama, kesehatan dan higiene karyawan,
pengendalian proses, label pangan, penyimpanan, penanggung jawab, penarikan
produk, pencatatan/dokumentasi, dan pelatihan karyawan (BPOM, 2005: 2).
Tujuan umum HACCP yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan
cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui makanan
(Food Born Disease). Faktor-faktor utama penyebab Food Born Disease menurut
Sutrisna (2009a: 5) yaitu :
1. Pendinginan makanan yang tidak tepat
2. Membiarkan makanan selama > 12 jam (penyajian)
3. Kontaminasi makanan mentah ke dalam makanan “non-reheating”
4. Penanganan makanan oleh pekerja yang menderita infeksi
5. Proses pemasakan dan pemanasan tidak cukup
6. Penyimpanan makanan dalam keadaan hangat < 65oC
7. Pemanasan kembali makanan dimana suhu pemanasan tidak tepat
8. Makanan berasal dari sumber yang tidak aman
9. Terjadi kontaminasi silang
Penerapan HACCP di industri pangan bersifat spesifik untuk setiap jenis
produk, setiap proses, dan setiap pabrik. Penerapan HACCP dapat sukses bila
perusahaan memenuhi prasyarat dasar industri pangan yaitu, telah diterapkannya
Good Manufacturing Practices (GMP) dan Standard Sanitation Operational
Procedure (SSOP). Codex Alimentarius Commision telah menyusun pedoman
implementasi HACCP dengan langkah-langkah penerapan secara sistematis dalam
12 langkah, terdiri dari lima langkah awal persiapan dan diikuti dengan tujuh
langkah berikutnya yang merupakan tujuh prinsip HACCP. Kedua belas langkah
tersebut digambarkan sebagai suatu alur tahap penerapan HACCP sebagai berikut:
Tahap 1. Pembentukan Tim HACCP
Langkah pertama dalam penyusunan HACCP adalah membentuk tim yang
terdiri dari beberapa anggota dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman
kerja yang beragam (multi disiplin). Jumlah Tim HACCP terdiri dari 5-6 orang dari
berbagai bagian atau latar belakang keilmuan misalnya ahli mikrobiologi, sanitasi,
ahli kimia, ahli rekayasa, bagian pembelian, dan seterusnya. Orang-orang yang
dilibatkan dalam Tim yang ideal adalah meliputi : (1) Staff Quality Assurance atau
Staff Quality Control; (2) Personil Bagian Produksi (mengerti bahan baku dan
proses produksi); dan (3) Personil dari bagian Teknis/Engineering; dan (4) Ahli
Mikrobiologi (Anonim, 2006b : 9).
Tahap 2. Mendeskripsikan Produk
Langkah kedua dalam penyusunan rencana HACCP adalah
mendeskripsikan produk. Informasi yang harus ada pada saat mendeskripsikan
produk meliputi komposisi, karakteristik produk jadi, metode pengolahan yang
diterapkan kepada produk tersebut (pH, aw, kadar air), metode pengawetan yang
diterapkan kepada produk tersebut, pengemas primer, pengemas untuk transportasi,
kondisi penyimpanan, metode distribusi, umur simpan yang direkomendasikan,
pelabelan khusus, petunjuk penggunaan, pengawasan khusus dalam distribus dan
dimana produk akan dijual (Sutrisna, 2009a: 5)
Tahap 3. Identifikasi Tujuan Penggunaan Produk
Tujuan penggunaan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi apakah
produk tersebut dapat didistribusikan kepada semua usia atau hanya khusus. Cara
menangani dan mengkonsumsi produk juga penting untuk selalu memberi
perhatian, misalnya produk-produk siap santap memerlukan perhatian khusus untuk
mencegah terjadinya kontaminasi (Rusdin, 2013: 29).
Tahap 4. Diagram Alir Produk
Diagram alir proses disusun dengan tujuan untuk menggambarkan keseluruhan
proses produksi. Diagram alir proses ini selain bermanfaat untuk membantu tim
HACCP dalam melaksanakan kerjanya, dapat juga berfungsi sebagai pedoman bagi
orang atau lembaga lainnya yang ingin mengerti proses dan verifikasinya. Diagram
alir harus meliputi seluruh tahap-tahap dalam proses secara jelas mengenai:
1. Rincian seluruh kegiatan proses termasuk inspeksi, transportasi,
penyimpanan dan penundaan dalam proses.
2. Bahan-bahan yang dimasukkan kedalam proses seperti bahan baku, bahan
pengemas, air, udara dan bahan kimia
3. Keluaran dari proses seperti limbah: pengemasan, bahan baku, product-
inprogress, produk reproses (rework), dan produk yang dibuang (ditolak)
(anonim, 2006b : 34).
Tahap 5. Verifikasi Diagram Alir di Tempat
Diagram alir proses dibuat lebih lengkap dan sesuai dengan pelaksanaan di
lapangan dengan meninjau operasinya untuk menguji dan membuktikan ketepatan
serta kesempurnaan diagram alir proses tersebut. Bila ternyata diagram alir proses
tersebut tidak tepat atau kurang sempurna, maka harus dilakukan modifikasi.
Diagram alir proses yang telah dibuat dan diverifikasi harus didokumentasikan.
Diagram alir proses yang harus diverifikasi ditempat, dapat dilakukan dengan cara
mengamati aliran proses, kegiatan pengambilan sampel, wawancara, dan
mengamati operasi rutin/non-rutin (Thaheer, 2005: 45).
Tahap 6. Analisis Bahaya
Analisis bahaya meliputi kegiatan ; 1) Mengidentifikasi bahaya, 2)
Menentukan kepentingan (signifikansi) bahaya, 3) Mengidentifikasi tindakan
pencegahan. Identifikasi Bahaya dengan merujuk pada diagram alir proses, tim
HACCP mendaftarkan semua bahaya yang nyata atau potensial yang mungkin
diperkirakan layak terjadi pada setiap tahap proses. Bahaya tersebut meliputi
bahaya Biologi atau mikrobiologis, bahaya kimia dan bahaya fisik. Bahaya yang
terjadi secara sederhana dapat dinilai sebagai tinggi, sedang, atau rendah. Diagram
pohon keputusan adalah seri pertanyaan logis yang menanyakan setiap bahaya.
Jawaban dari setiap pertanyaan akan memfasilitasi dan membawa Tim HACCP
secara logis memutuskan apakah CCP atau bukan (Anonim, 2006b : 21).
Tahap 7. Menentukan titik kendali kritis
Titik-titik kritis didefinisikan sebagai setiap tahap di dalam proses dimana
apabila tidak terawasi dengan baik, kemungkinan dapat menimbulkan tidak
amannya pangan, kerusakan dan resiko kerugian ekonomi. Titik kendali kritis ini
dideterminasikan setelah tata alir proses yang sudah teridentifikasi potensi hazard
pada setiap tahap produksi dan tindakan pencegahannya. membantu menemukan
dimana seharusnya titik kritis, Codex Alimentarius Commission 1998 telah
memberikan pedoman berupa Diagram Pohon Keputusan (Decision Tree)
(Thaheer, 2005: 65).
Tahap 8. Penetapan batas kritis
Batas kritis ini tidak boleh terlampaui, karena batas-batas kritis ini sudah
merupakan toleransi yang menjamin bahwa bahaya dapat dikontrol. Batas kritis
menunjukkan perbedaan antara produk yang aman dan tidak aman sehingga proses
produksi dapat dikelola dalam tingkat yang aman. Contoh batas kritis fisik adalah
tidak adanya logam, ukuran retensi ayakan, suhu, waktu, serta unsur-unsur uji
organoleptik. Batas kritis kimia contohnya adalah kadar maksimum yang diterima
untuk mikotoksin, pH, aw, alergen, dan sebagainya (Rusdin, 2013: 47).
Tahap 9. Menetapkan Prosedur Monitoring
Monitoring dalam konsep HACCP adalah tindakan dari pengujian atau
observasi yang dicatat oleh unit usaha untuk melaporkan keadaan CCP (Critical
Control Points). Kegiatan ini untuk menjamin bahwa critical limit tidak terlampaui.
Pemantauan dapat berupa pengamatan (observasi) yang direkam dalam suatu check
list atau pun merupakan suatu pengukuran yang direkam ke dalam suatu datasheet.
Monitoring dapat dilakukan dengan pengukuran pada sampel. Ada lima cara
monitoring CCP yaitu observasi visual, evaluasi sensori, pengujian fisik, pengujian
kimia dan pengujian mikrobiologi (Anonim, 2006b : 35).
Tahap 10. Penetapan tindakan koreksi
Tindakan koreksi adalah setiap tindakan yang harus diambil jika hasil
monitoring pada suatu titik pengontrolan kritis (CCP) menunjukkan adanya
kehilangan kontrol (loss of control). Pada saat batas kritis dilampaui, dan tindakan
koreksi tersebut digunakan, maka kegiatan tersebut harus direkam. Rekaman atau
laporan tindakan koreksi harus berisi hal-hal berikut :
1. Identifikasi produk (misalnya deskripsi produk, jumlah produk yang ditahan
dan lain-lain).
2. Deskripsi penyimpangan
3. Tindakan koreksi yang diambil, termasuk penanganan akhir produk yang
terkena dampak penyimpangan.
4. Nama individu yang bertanggung jawab untuk melakukan tindakan koreksi.
5. Evaluasi hasil pelaksanaan tindakan koreksi (Thaheer, 2005: 103).
Tahap 11. Menentukan prosedur verifikasi
Verifikasi adalah pemeriksaan sistem HACCP secara menyeluruh untuk
menjamin bahwa sistem seperti yang telah tertulis bahwa makanan yang diproduksi
aman untuk dikonsumsi dan mutunya bagus, benar-benar diikuti. Informasi yang
didapat melalui verifikasi harus dipakai untuk meningkatkan sistem HACCP. Pada
dasarnya verifikasi adalah aplikasi suatu metoda, prosedur, pengujian dan evaluasi
lain, yang dilakukan untuk mengetahui kesesuaiannya dengan rencana HACCP
(Rusdin, 2013:51).
Tahap 12. Dokumentasi dan rekaman yang baik
Dokumen atau Rekaman Data adalah bukti tertulis bahwa suatu tindakan
telah dilakukan. Dokumen disusun dengan menggunakan formulir/boring.
Dokumen tersebut dapat digunakan (1) untuk keperluan inspeksi dan (2) untuk
mempelajari kerusakan yang mengakibatkan penyimpangan dan menemukan
tindakan koreksi yang sesuai (Anonim, 2006b : 47).
B. Bakso Daging Sapi
Menurut SNI 3818-2014 bakso daging adalah produk makanan berbentuk
bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak
kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan
tambahan makanan yang diizinkan. Daging yang dapat digunakan untuk membuat
daging diantaranya daging sapi, daging babi, daging kelinci, daging ayam, daging
ikan, udang dan cumi (BSN, 2014 : 8)
Daging telah diketahui sebagai bahan mudah rusak, hal ini disebabkan
karena komposisi gizinya yang baik untuk manusia maupun mikroorganisme, dan
juga karena pencemaran permukaan pada daging oleh mikroorganisme perusak.
Sampai saat ini suhu rendah selalu digunakan untuk memperlambat kecepatan
berkembanngnya pencemaran permukaan dari tingkat awal sampai ke tingkat akhir
dimana terjadi kerusakan. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan
mikroorganisme semacam itu merupakan ukuran ketahanan penyimpanan
(Sutrisna, 2009b :14).
Daging yang digunakan dalam pembuatan bakso harus daging segar, yaitu
dari ternak yang baru dipotong. Sebaiknya jangan menggunakan daging yang
telah dilayukan, yaitu daging yang telah mengalami proses aging atau penuaan.
Bila menggunakan daging yang telah layu, tekstur bakso yang dihasilkan kurang
kenyal (Wibowo, 1999: 33).
Tabel 2. Komposisi Kimia Daging Sapi (dalam 100 g bahan)
Komposisi Jumlah
Kalori (kal) 207,00
Protein (g) 18,80
Lemak (g) 14,00
Hidrat arang (g) 0,00
Kalsium (mg) 11,00
Fosfor (mg) 170,00
Besi (mg) 2,80
Vitamin A (SI) 30,00
Vitamin B1 (mg) 0,00
Vitamin C (mg) 0,08
Air (g) 66,00
Sumber : (Departemen Kesehatan RI, 2000)
Daging juga mengandung mineral seperti kalsium, magnesium, kalium,
natrium, fosfor, khlor, besi, belerang, tembaga, dan mangan. Vitamin yang
terdapat pada daging terutama golongan vitamin B (B1, B12, B6, dan B2), vitamin
C, A, E, D, dan K. Selain itu daging mengandung pigmen pemberi warna merah
(mioglobin). Perubahan warna daging dari karkas menjadi merah cerah karena
pembentukan oksimioglobin dan ketika berubah menjadi coklat karena mioglobin
menjadi metmioglobin. Timbulnya warna cokelat menandakan bahwa daging telah
terlalu lama terkena udara bebas, sehingga menjadi rusak (Sudarwati, 2007 : 28).
Perubahan-perubahan yang terjadi pada daging yang mengalami kebusukan
adalah perubahan bau yang disebabkan oleh produksi produk akhir volatil,
perubahan warna disebabkan oleh produksi pigmen bakteri atau karena oksidasi
alami komponen daging seperti oksidasi mioglobin, perubahan tekstur menjadi
lunak karena protenaise, akumulasi gas yang disebabkan oleh produksi CO2, H2,
H2S, keluar lendir yang disebabkan oleh produksi dekstran, eksopolisakarida atau
karena banyaknya sel mikroba yang tumbuh (Sri, 2012: 13).
Bahan yang diperlukan dalam membuat bakso terdiri atas bahan utama
(daging), bahan pendukung (bahan pengisi, air es/es), serta bumbu atau penyedap
(garam, merica). Fungsi, sifat, dan konsentrasi bahan dijelaskan sebagai berikut :
1. Daging
Berdasarkan kandungan protein dan lemaknya, daging sapi
digolongkan sebagai daging merah (dark or red meat), dimana kandungan
lemaknya tinggi dengan kandungan proteinnya relatif rendah. Mioglobin
merupakan pigmen berwarna merah keunguan yang menentukan warna
daging segar. Hampir semua daging dapat digunakan untuk membuat bakso
namun jenis daging yang sering digunakan antara lain daging penutup,
pendasar gandik, lamusir, paha depan dan iga. Umumnya daging yang
digunakan untuk membuat bakso adalah daging yang segar, yaitu yang
diperoleh segera setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses
penyimpanan atau pelayuan. Protein daging berperan dalam pengikatan
hancuran daging selama pemasakan dan pengemulsi lemak sehingga produk
menjadi empuk, kompak dan kenyal (Anonim, 2006a : 76).
2. Bahan pengisi
Bahan pengisi berfungsi memperbaiki atau menstabilkan emulsi,
meningkatkan daya mengikat air, memperkecil penyusutan, menambah
berat produk, dan dapat menekan biaya produksi. Bahan pengisi yang umum
digunakan adalah tepung pati, misalnya tepung tapioka dan tepung pati aren.
Tepung tersebut mengandung karbohidrat 86,55%, air 13,12%, protein
0,13%, lemak 0,04%, dan abu 0,16%. Kandungan pati yang tinggi pada
tepung membuat bahan pengisi mampu mengikat air tetapi tidak dapat
mengemulsi lemak. Penggunaan tepung tapioka untuk menghasilkan bakso
yang berkualitas baik disarankan maksimal 50% apabila semakin banyak
tapioka yang ditambahkan, kekenyalan bakso makin menurun dan
kandungan proteinnya makin rendah karena daging makin sedikit dan
kandungan karbohidrat makin tinggi (Anonim, 2006a : 78).
3. Air es
Penambahan es/air es dapat mempengaruhi tekstur bakso.
Penambahan es/air es bertujuan: 1) melarutkan garam dan
mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian daging; 2)
memudahkan ekstraksi protein serabut otot; 3) membantu pembentukan
emulsi; dan 4) mempertahankan suhu adonan tetap rendah akibat
pemanasan selama proses pembuatan bakso tinggi (Litbang, 2009 : 14).
4. Bumbu
Bumbu berfungsi meningkatkan cita rasa dan mengawetkan bakso.
Bumbu yang ditambahkan bergantung pada cita rasa yang diinginkan.
Garam berfungsi mengekstraksi protein miofibril daging dan meningkatkan
daya simpan karena dapat menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk.
Garam juga menentukan tekstur bakso karena dapat meningkatkan
kelarutan protein daging. Garam yang ditambahkan tidak kurang dari 2%
atau sesuai selera. Jika garam kurang, protein yang terlarut rendah. Rempah-
rempah bermanfaat untuk meningkatkan cita rasa bakso. Rempah-rempah
juga berfungsi sebagai antioksidan yang dapat mengurangi ketengikan dan
sebagai antimikroba yang dapat memperpanjang umur simpan bakso.
rempah-rempah yang ditambahkan antara lain adalah lada dan bawang
putih.
C. Pembuatan Bakso
Daging segar yang telah dipilih dihilangkan lemak dan uratnya kemudian
dipotong kecil untuk memudahkan proses penggilingan. Es dimasukkan pada waktu
penggilingan untuk menjaga elastisitas daging, sehingga bakso yang dihasilkan
akan lebih kenyal. Daging yang telah lumat dicampur dengan tapioka dan bumbu-
bumbu yang telah dihaluskan atau digiling kembali sehingga daging, tapioka, dan
bumbu dapat tercampur homogen membentuk adonan yang halus. Adonan yang
terbentuk dituang ke dalam wadah, siap untuk dicetak berbentuk bulatan bola kecil.
Cara mencetak dapat dilakukan dengan tangan, yaitu dengan cara mengepal-
ngepal adonan dan kemudian ditekan sehingga adonan yang telah memadat akan
keluar berupa bulatan dapat juga digunakan sendok kecil untuk mencetaknya.
Pemasakan bakso biasanya dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, bakso
dipanaskan dalam panci berisi air hangat sekitar 60 oC sampai 80 oC, sampai bakso
mengeras dan mengambang di permukaan air. Pada tahap selanjutnya, bakso
dipindahkan ke dalam panci lainnya yang berisi air mendidih, kemudian direbus
sampai matang, biasanya sekitar 10 menit (Sutrisna, 2009b: 19).
Tekstur dan keempukan produk bakso dipengaruhi oleh kandungan airnya.
Penambahan air pada adonan bakso diberikan dalam bentuk es batu atau air es,
supaya suhu adonan selama penggilingan tetap rendah. Air berfungsi untuk
melarutkan garam dan menyebarkan secara merata keseluruhan bagian masa
daging, memudahkan eksraksi protein dari daging dan membantu dalam
pembentukan emulsi. Jumlah penambahan air biasanya berkisar antara 20-50% dari
berat daging yang digunakan. Jumlah penambahan ini dipengaruhi oleh jumlah
tepung yang ditambahkan. Tekstur adonan yang sama dihasilkan dengan semakin
banyak menambahan tepung maka semakin banyak air yang harus ditambahkan
(Anonim, 2006a: 76).
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Bakso
D. Syarat Mutu Bakso
Lima parameter utama yang perlu dinilai, yaitu penampakan, warna, bau,
rasa dan tekstur, seperti yang tercantum pada Tabel 3.
Daging sapiPenghancuran
kasarPenggilingan
Pencampuran bumbu dan
tepung
Pencetakan bakso
Perebusan
Penirisan Penyimpanan
Tabel 3. Parameter Sensoris Bakso Daging
Parameter Keterangan
Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan
cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak
berjamur atau berlendir.
Warna Cokelat muda cerah atau sedikit kemerahan atau
cokelat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna
tersebut merata tanpa warna lainnya yang mengganggu.
Bau Bau khas daging segar rebus dominan tanpa bau tengik,
masam (basi) atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu
cukup menonjol tetapi tidak berlebihan. Tidak terdapat
rasa asing yang mengganggu.
Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau
membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah
berair dan tidak rapuh.
(Sumber : Diana, 2011: 24).
Menurut Badan Standarisasi Nasional, bakso daging diklasifikasikan
menjadi 2 yaitu bakso daging dan bakso daging kombinasi. Bakso daging
merupakan bakso dengan kandungan daging minimal 45% sedangkan bakso daging
kombinasi merupakan bakso daging dengan kandungan daging minimal 20%.
Berikut ini syarat mutu bakso daging dan bakso daging kombinasi tersaji dalam
tabel 4 dan tabel 5.
Tabel 4. Syarat Mutu Bakso Daging
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Bakso daging Bakso daging kombinasi
1 Bau - Normal, khas daging Normal, khas daging
2 Rasa - Normal khas bakso Normal khas bakso
3 Warna - Normal Normal
4 Tekstur - Kenyal Kenyal
Sumber : (SNI, 3818.2014 : 2)
Tabel 5. Syarat Mutu Bakso Daging Dilihat Dari Cemaran Mikroba
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Bakso daging Bakso daging kombinasi
1 Angka Lempeng
Total
Koloni/g Maks 1x10-5 Maks. 1x10-5
2 Koliform APM/g Maks. 10 Maks. 10
3 Escherichia coli APM/g < 3 < 3
4 Salmonella sp - Negatif/25 g Negatif/25 g
5 Staphylococcus
aureus
Koloni/g Maks. 1x10-2 Maks. 1x10-2
6 Clostridium
perfringens
Koloni/g Maks. 1x10-2 Maks. 1x10-2
(Sumber : SNI 3818. 2014 : 3)
E. Analisis Total Mikroba
Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui jumlah mikroba yang ada
pada suatu sampel, umumnya dikenal dengan Angka Lempeng Total (ALT) dan
Angka Paling Mungkin atau Most Probable Number (MPN). Uji Angka Lempeng
Total (ALT) dan lebih tepatnya ALT aerob mesofil atau anaerob mesofil
menggunakan media padat dengan hasil akhir berupa koloni yang dapat diamati
secara visual dan dihitung, interpretasi hasil berupa angka dalam koloni (cfu) per
ml/g atau koloni/100 ml. Cara yang digunakan antara lain dengan cara tuang, cara
tetes dan cara sebar. Angka Paling Mungkin (APM) menggunakan media cair
dengan tiga replikasi dan hasil akhir berupa kekeruhan atau perubahan warna dan
atau pembentukan gas yang juga dapat diamati secara visual, dan interpretasi hasil
dengan merujuk kepada tabel MPN. Dikenal dua cara yaitu metode 3 tabung dan
metode 5 tabung (BPOM, 2008: 4).
Metode perhitungan jumlah bakteri yang umum digunakan adalah metode
hitungan cawan yang didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup
akan berkembang menjadi satu koloni sehingga jumlah koloni yang muncul pada
cawan merupakan satu indeks bagi jumlah organisme yang dapat hidup yang
terkandung dalam sampel. Persyaratan statistik yang harus dipenuhi yaitu cawan
yang dipilih untuk perhitungan koloni ialah yang mengandung antara 25-250 atau
30-300 koloni. Jumlah mikroorganisme yang terdapat dalam sampel asal ditentukan
dengan mengalikan jumlah koloni yang terbentuk dengan faktor pengenceran pada
cawan yang bersangkutan. Metode hitung cawan merupakan metode paling sensitif
untuk menghitung jumlah mikroorganisme. Untuk menghitung jumlah bakteri yang
terdapat pada cawan, digunakan rumus sebagai berikut:
N = jumlah koloni per cawan x 1
faktor pengenceran
Total plate count (TPC) merupakan suatu metode pendugaan jumlah koloni
mikroorganisme secara keseluruhan dalam suatu bahan pangan maupun hasil
olahannya. Koloni yang tumbuh menunjukkan jumlah seluruh mikroorganisme
yang ada di dalam bahan pangan seperti bakteri, kapang dan khamir. Metode ini
dapat menggambarkan kualitas mikrobiologi pada bahan pangan, apabila nilai TPC
tinggi maka kualitas mikrobiologi pangan dianggap rendah karena tingginya nilai
TPC pada pangan mengindikasikan jumlah mikroorganisme yang banyak, sehingga
dapat membahayakan konsumen. Sejumlah sampel 0,1 ml atau 1 ml dari
pengenceran yang dikehendaki dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian
ditambahkan agar cair steril yang telah didinginkan sampai 47 oC -50 oC sebanyak
15-20 ml dan dicampur serata mungkin, supaya contoh menyebar rata. Setelah
inkubasi, perhitungan jumlah koloni yang tumbuh dapat dilakukan menggunakan
“Quebec Colony Counter”. Ketelitian akan lebih tinggi jika dilakukan penanaman
secara duplo yaitu menggunakan dua cawan petri untuk setiap pengenceran. Metode
ini termasuk paling peka, sampai sejumlah 20 sel/ml masih dapat dihitung (BPOM,
2008: 6).
Bahan pemadat yang paling banyak digunakan adalah agar, karena bila
agar-agar sudah menjadi padat masih dapat dicairkan kembali untuk digunakan.
Suspensi agar-agar 1,5-2 % dalam air juga dapat larut pada suhu 100 oC dan tidak
menjadi padat sebelum suhu turun di bawah 45oC kemudian media agar didinginkan
dengan cepat sehingga menjadi padat tanpa merusak sel-sel tersebut. Sekali menjadi
padat, agar tidak dapat mencair kembali, kecuali jika dipanaskan di atas 80 oC.
Metode lempeng tuangan, suatu suspensi sel dicampur dengan agar-agar cair pada
suhu 50 oC dituang pada cawan petri. Bila agar-agar telah mengeras, sel tidak akan
bergerak lagi dan tumbuh menjadi koloni sangat besar kemungkinannya berasal
dari satu sel yang sama (Srikandi, 1992: 118).
Most Probable Number (MPN) berbeda dengan metode hitungan cawan,
dimana digunakan medium padat, dalam metode MPN digunakan medium cair di
dalam tabung reaksi, perhitungan dilakukan berdasarkan jumlah tabung positif
yaitu yang ditumbuhi mikroba setelah inkubasi pada suhu dan waktu tertentu.
Pengamatan tabung positif dapat dilihat dengan mengamati timbulnya kekeruhan,
atau terbentuknya gas di dalam tabung kecil (tabung Durham) yang diletakkan pada
posisi terbalik, yaitu untuk mikroba pembentuk gas. Setiap pengenceran pada
umumnya digunakan tiga atau lima seri tabung. Lebih banyak tabung yang
digunakan menunjukkan ketelitian yang lebih tinggi, tetapi alat gelas yang
gidunakan juga lebih banyak. Metode MPN dari setiap pengenceran dimasukkan 1
ml masing-masing ke dalam tabung yang berisi mediium, dimana untuk setiap
pengenceran digunakan 3 seri tabung atau 5 seri tabung setelah diinkubasi, pada
suhu dan waktu tertentu dihitung jumlah tabung yang positif yaitu tabung yang
ditumbuhi mikroba yang dapat ditandai dengan timbulnya kekeruhan, misalnya
pada pengenceran pertama, ketiga tabung menghasilkan pertumbuhan positif, pada
pengenceran kedua dua tabung positif, pada pengenceran ketiga 1 tabung posisif,
dan pada pengenceran terakhir tidak ada tabung yang positif. Kombinasinya
menjadi 3, 2, 1, 0 dan jika diambil 3 pengenceran yang pertama kombinasunya akan
menjadi 3, 2, 1. Angka kombinasi ini kemudian dicocokan dengan tabel MPN dan
nilai MPN sampel dapat dihitung sebagai berikut :
MPN sampel = Nilai MPN dari tabel x 1
Pengenceran tabung tengah
(Srikandi, 1992: 126).
F. Mikroba Patogen
1. Escherichia coli
Escherchia coli merupakan flora normal yang terdapat pada saluran
pencernaan hewan dan manusia. Escherichia coli merupakan bakteri gram
negatif yang banyak menimbulkan gangguan kesehatan manusia.
Escherichia coli merupakan bagian flora normal saluran usus, namun
Escherichia coli merupakan penyebab penyakit diare mulai dari tingkat
sedang hingga gawat yang kadang-kadang timbul pada manusia dan hewan
melalui dua mekanisme yaitu pertama dengan produksi enterotoksin yang
secara tidak langsung menyebabkan kehilangan cairan, dan kedua dengan
invasi yang sebenarnya lapisan epitelium dinding usus, yang menyebabkan
peradangan dan kehilangan cairan (Volk, 1989: 34).
Escherichia coli dapat berasal dari berbagai faktor yaitu sumber air
yang digunakan oleh pedagang tercemar oleh kotoran feses manusia atau
hewan, terjadinya kontaminasi silang melalui tangan, permukaan alat-alat,
tempat-tempat masakan dan peralatan lainnya ke makanan yang telah
matang. Bakteri dibiakkan dalam bahan berisi nutrisi yang disebut media.
Media dapat berupa cairan seperti kaldu dan dapat pula berupa padatan
seperti agar dan gelatin. Media pengkaya adalah media yang dapat
menunjang pertumbuhan bakteri yang memiliki persyaratan nutrisi yang
rumit agar dapat tumbuh dengan optimal, contohnya adalah Tryptic Soy
Broth (TSB), MacConkey Broth (MCB), dan Lactose Broth (LB). Media
diferensial merupakan media yang dapat menumbuhkan beberapa jenis
bakteri dan menyebabkan koloni-koloni suatu bakteri tertentu mendapatkan
bentuk yang khas, contohnya adalah Eosin Methylene Blue Agar (EMBA)
yang dapat menumbuhkan bakteri kelompok Enterobacteriaceae, salah
satunya adalah E. coli yang akan tumbuh dengan membentuk koloni
berwarna hijau dengan kilap logam (Widodo, 2010: 98).
Prinsip kerja pengujian dengan metode ini menggunakan medium
EMBA merupakan media diferensial untuk Escherichia coli. Koloni
spesifik tumbuh dengan ciri-ciri bentuk bulat, diameter 2-3 mm, warna hijau
dengan kilap logam dan bintik biru kehijauan di tengahnya. Medium EMBA
merupakan media padat yang mengandung eosin dan methylen blue yang
dapat dipergunakan untuk menentukan jenis bakteri coli dengan
menggunakan hasil tes positif di dalam cawan petri. Escherichia coli akan
tampak dengan warna hijau metalik dengan titik hitam. Media ini
merupakan media selektif untuk bakteri Gram negatif dan mempunyai
keistimewaan mengandung laktosa dan berfungsi untuk memilah mikroba
yang memfermentasikan laktosa seperti Escherichia coli. Mikroba yang
memfermentasikan laktosa menghasilkan koloni dengan inti berwarna gelap
dengan titik hitam (metalik), adanya eosin dan methylene blue membantu
mempertajam perbedaan dengan koloni yang lain (Pelczar, 2014: 73).
2. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk
bulat (koksi), susunannya bergerombol, nonmotil, nonkapsular dan tidak
membentuk spora. Sel bakteri mati pada suhu 66 oC selama 12 menit dan
pada suhu 72 oC selama 15 detik. Bakteri S. aureus merupakan bakteri
fakultatif anaerobik, tetapi tumbuh cepat pada kondidi aerobik. Bakteri ini
merupakan bakteri mesofilik, tumbuh cepat pada suhu 20-37 oC, dapat
tumbuh pada aw rendah (0,86), pH rendah (4,8), dapat tumbuh pada
konsentrasi garam dan gula tinggi serta adanya NO2. Oleh karena itu
S.aureus dapat tumbuh pada berbagai jenis pangan. Bakteri ini dapat
ditemukan berada dalam hidung, tenggorokan, kulit, rambut, dan bulu
ternak termasuk unggas dan manusia. Toksin stafilokokal adalah toksin
enterik dan menyebabkan gastroentritis pada manusia dewasa yang
mengonsumsi sekitar 30/g atau /ml pangan yang mengandung 100-200 ng
toksin yang dihasilkan oleh 106-117 sel /g atau /ml. Gejala sakit dapat
terlihat dalam waktu 2-4 jam. Pangan yang mengandung kadar protein
tinggi apabila tidak ditangani dan disimpan pada suhu penyimpanan yang
tepat dapat menyebabkan gastroentritis stafilokokal (Tatang, 2014: 391).
Staphylococcus aureus tumbuh pada media cair dan padat seperti
Nutrien Agar (NA), MSA dan Blood Agar Plate (BAP) dan dengan aktif
melakukan metabolisme, mampu fermentasi karbohidrat dan menghasilkan
bermacam-macam pigmen dari putih hingga kuning. Salah satu metode
untuk mengetahui keberadaan bakteri Staphylococcus aureus secara
kuantitatif adalah dengan menggunakan metoda hitung cawan. Isolasi
bakteri dengan cara tuang ini umumnya dilakukan untuk menentukan
perkiraan jumlah bakteri hidup dalam suatu cairan, misalnya air, susu, kemis
atau biakan bulyon (Lutfi, 2014: 75).
Uji Staphylococcus dilakukan, karena bakteri ini adalah salah satu
yang dapat menghasilkan toksin berbahaya bagi manusia. Media yang
digunakan untuk isolasi bakteri ini pada sampel makanan-minuman dipilih
medium Mannitol Salt Agar (MSA) dimana media ini merupakan media
selektif dan differensial media bersifat yang bersifat khusus (bakteri
tertentu), untuk mendeteksi bakteri Staphylococcus patogen
(Staphylococcus aureus ) (Srikandi, 1992: 64).
Manitol Salt merupakan media selektif karena memiliki konsentrasi
NaCl sangat tinggi (7,5%). Kebanyakan bakteri tidak dapat bertahan hidup
di lingkungan kadar garam sangat tinggi (hipertonik). Genus
Staphylococcus mungkin sudah beradaptasi dengan lingkungan tinggi kadar
garam dan tumbuh baik di media ini. Produk yang dihasilkan bakteri adalah
asam organik, mengubah indikator pH di MSA dari merah ke kuning cerah.
Staphylococcus patogen, seperti Staphylococcus aureus, adalah fermentor
manitol, dan ketika tumbuh pada Manitol Salt Agar, dapat merubah warna
merah media MSA menjadi kuning cerah. Staphylococcus nonpathogenik
seperti Staphylococcus epidermidis flora normal yang tumbuh pada kulit
manusia, tidak fermentasi manitol, dan apabila Staphylococcus epidermidis
tumbuh di MSA maka warna alami dari agar-agar tidak berubah (tetap
oranye pink) karena S. epidermidis tidak makan manitol sehingga tidak
memproduksi asam organik (Pelczar, 2014: 56).
Media Baird Parker Agar (BPA) juga merupakan media diferensial
untuk isolasi S.aureus. Media BPA mengandung karbon dan nitrogen
sumber kebutuhan pertumbuhan S. aureus. Glisin, lithium klorida, dan
potassium tellurite berperan untuk menekan pertumbuhan mikroorganisme
lain selain staphylococcus. Staphylococcus aureus memproduksi koloni
abu-abu gelap hampir hitam karena mereduksi potassium tellurite.
Staphylococcus aureus mengandung lesitinase memecah egg yolk dan
menyebabkan zona bening disekitar koloni. Sebuah zona opak juga
terbentuk karena aktivitas lipase (Nurul, 2014: 5).
G. Formalin dan Boraks
1. Formalin
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat
menusuk. Formalin mengandung sekitar 37 % formaldehid dalam air,
biasanya ditambah methanol hingga 15% sebagai pengawet. Formalin
dikenal sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan
dalam industri. Nama lain dari formalin adalah Formol, Methylene
aldehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethylene glycols,
Methanal, Formoform, Superlysoform, Formaldehyde, dan Formalith
(Saparinto dan Hidayati, 2006: 42).
Berat molekul formalin adalah 30,03 dengan Rumus Molekul
HCOH. Karena kecilnya molekul ini memudahkan absorpsi dan
distribusinya ke dalam sel tubuh. Gugus karbonil yang dimilikinya sangat
aktif, dapat bereaksi dengan gugus –NH2 dari protein yang ada pada tubuh
membentuk senyawa yang mengendap (Riandhini, 2008: 33).
Gambar 2. Rumus Formalin
Formalin biasanya mengandung metanol 10-15%, yang berfungsi
sebagai stabilisator untuk mencegah polimerisasi formaldehid menjadi
paraformaldehid yang bersifat sangat beracun. Formalin dapat
menimbulkan efek langsung seperti iritasi, alergi, kemerahan, mata berair,
mual, muntah, rasa terbakar, sakit perut, pusing dan bila dikonsumsi
menahun dapat menyebabkan kanker (Saparinto dan Hidayati, 2006: 37).
Analisis kualitatif dapat dilakukan untuk menyatakan ada tidaknya
formalin dalam suatu bahan yang diuji namun uji kualitatif ini tidak dapat
menunjukkan jumlah kadar formalin dalam bahan tersebut. Analisis
kualitatif paling mudah untuk dilakukan yaitu dengan cara menambahkan
zat kimia (pereaksi) tertentu pada bahan yang diduga mengandung formalin,
sehingga dihasilkan suatu perubahan warna khas. Analisis kualitatif tidak
memerlukan waktu lama, dan lebih praktis. Uji seperti ini disebut spot test
(Ade, 2009: 25).
Cairan dari bahan pangan yang diduga mengandung formalin diambil
sebanyak 10 ml, kemudian ditetesi dengan 1 tetes larutan KMnO4 0,1 N.
Warna campuran yang mengalami perubahan dari ungu menjadi bening
menunjukkan bahan mengandung formalin namun apabila selama 1 jam
tidak mengalami perubahan warna berarti bahan tidak mengandung
formalin (Cahyadi, 2006: 32).
2. Boraks
Asam borat atau boraks (boric acid) merupakan zat pengawet
berbahaya yang tidak diizinkan digunakan sebagai campuran bahan
makanan. Boraks adalah senyawa kimia dengan rumus Na2B4O7.10H2O
berbentuk kristal putih, tidak berbau, dan stabil pada suhu dan tekanan
normal. Boraks berubah menjadi natrium hidroksida dan asam borat dalam
air. Asam borat (H3BO3) merupakan senyawa boron dikenal juga dengan
nama boraks di Jawa Barat dikenal dengan nama bleng, di Jawa Tengah dan
Jawa Timur dikenal dengan nama pijer. Boraks digunakan atau
ditambahkan ke dalam pangan / bahan pangan sebagai pengental ataupun
sebagai pengawet. Efek boraks yang diberikan pada makanan dapat
memperbaiki struktur dan tekstur makanan contohnya bila boraks diberikan
pada bakso dan lontong akan membuat bakso/lontong tersebut sangat kenyal
dan tahan lama (Dahrul, 2005: 26).
Boraks sebenarnya berfungsi sebagai pembersih, fungisida,
herbisida, dan insektisida bersifat toksik atau meracun untuk manusia.
Boraks juga berfungsi untuk menghaluskan gelas dan juga sebagai
pengontrol kecoa. Kondisi toksik yang kronis (karena mengalami kontak
dalam jumlah sedikit demi sedikit namun dalam jangka waktu yang
panjang) dapat mengakibatkan iritasi pada kulit, mata dan saluran respirasi,
gagal ginjal, mengganggu kesuburan dan janin. Boraks bukan pengawet
makanan namun sering digunakan sebagai pengawet makanan. Boraks
sering disalahgunakan untuk mengawetkan berbagai makanan seperti
bakso, mie basah, pisang molen, siomay, lontong, ketupat dan pangsit.
Boraks juga dapat membuat tekstur makanan menjadi lebih kenyal dan
memperbaiki penampilan makanan (Saparinto dan Hidayati, 2006: 34).
Sedikit boraks dicampurkan dengan 1 mL asam sulfat pekat 5 ml
methanol atau etanol (yang pertama lebih disukai karena lebih mudah
menguap) dalam sebuah cawan porselen kecil, dan alkohol dinyalakan maka