bab ii tinjauan pustaka a. komunikasi terapeutik 1. pengertian komunikasi terapeutik · 2020. 10....
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Komunikasi Terapeutik
1. Pengertian Komunikasi Terapeutik
Istilah komunikasi mengandung makna bersama-sama (common,
commones; Inggris), berasal dari bahasa Latin communication yang berarti
pemberitahuan, pemberian bagian (dalam sesuatu), pertukaran, dimana si
pembicara mengharapkan pertimbangan atau jawaban dari pendengarnya.
Kata sifatnya adalah communis yang artinya bersifat umum atau bersama-
sama, kata kerjanya adalah communicare yang artinya berdialog,
berunding atau bermusyawarah. Komunikasi merupakan proses yang
dilakukan manusia untuk berinteraksi sosialnya (Wijaya, 2017).
Salah satu kajian ilmu komunikasi ialah komunikasi kesehatan, yang
dimana selalu dilakukan saat berhubungan dengan pasien, keluarga, dan
tenaga kesehatan lainnya. Komunikasi yang terjalin antara perawat dan
pasien disebut sebagai komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik
adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi.
Seorang penolong atau perawat dapat membantu pasien mengatasi
masalah yang dihadapinya melalui komunikasi (Suryani, 2005). Dikatakan
lagi oleh Mundakir (2006), bahwa komunikasi terapeutik adalah
komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan, dan kegiatannya
dipusatkan untuk kesembuhan. Selanjutnya Fatmawati (2010), mengatakan
7
pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi professional
yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien.
Komunikasi terapeutik adalah modalitas dasar intervensi utama yang
terdiri atas teknik verbal dan nonverbal yang digunakan untuk membentuk
hubungan antara terapis dan pasien dalam pemenuhan kebutuhan. Oleh
karena itu, komunikasi terapeutik merupakan hal penting dalam
kelancaran pelayanan kesehatan yang dilakukan terapis untuk mengetahui
apa yang dirasakan dan diinginkan pasien (Mubarak, 2012).
2. Tujuan Komunikasi Terapeutik
Tujuan komunikasi terapeutik menurut Damaiyanti (2014), adalah:
a. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan
dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi
yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan.
b. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang
efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
c. Memengaruhi orang lain, lingkungan fisik, dan dirinya sendiri.
3. Manfaat Komunikasi Terapeutik
Manfaat komunikasi terapeutik menurut Anas (2014), adalah:
a. Mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dengan
pasien melalui hubungan perawat-pasien.
b. Mengidentifikasi, mengungkapkan perasaan, mengkaji masalah, dan
mengevaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat.
8
4. Prinsip-Prinsip Komunikasi Terapeutik
Menurut Mundakir (2006), untuk mengetahui apakah komunikasi
yang dilakukan bersifat terapeutik atau tidak, maka dapat dilihat apakah
komunikasi tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip berikut:
a. Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati,
memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut.
b. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling
percaya dan saling menghargai.
c. Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik
maupun mental.
d. Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien bebas
berkembang tanpa rasa takut.
e. Perawat harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pasien
memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap, tingkah
lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi.
f. Perawat harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap
untuk mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah,
keberhasilan, amupun frustasi.
g. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat
mempertahankan konsistensinya.
h. Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan
sebaliknya simpati bukan tindakan yang terapeutik.
9
i. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan
terapeutik.
j. Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan
meyakinkan orang lain tentang kesehatan, oleh karena itu perawat
perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik mental, spiritual, dan
gaya hidup.
k. Disarankan untuk mengekspresikan perasaan bila dianggap
mengganggu.
l. Altruisme untuk mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain
secara manusiawi.
m. Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin
mengambil keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan manusia.
n. Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap
diri sendiri atas tindakan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap
orang lain.
5. Sikap Perawat dalam Berkomunikasi
Sikap sebagai kehadiran perawat dalam berkomunikasi agar
terapeutik klien mempunyai peran yang penting untuk tercapainya tujuan
komunikasi/interaksi (hubungan). Sikap (kehadiran) yang harus
ditunjukkan perawat dalam berkomunikasi terapeutik ada dua, yaitu sikap
(kehadiran) secara fisik dan secara psikologis. Dalam kehadiran secara
psikologis, ada dua dimensi, yaitu dimensi respons dan dimensi tindakan
(Anjaswarni, 2016).
10
a. Sikap (kehadiran) secara fisik
Sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat
memfasilitasi komunikasi yang terapeutik sebagai berikut (Anjaswarni,
2016):
1) Berhadapan. Posisi berhadapan berarti bahwa dalam komunikasi
perawat harus menghadap ke pasien, tidak boleh membelakangi,
atau duduk menyamping. Sikap ini harus dipertahankan pada saat
kontak dengan klien. Dengan posisi ini, perawat dapat melihat
secara jelas apa yang tampak secara verbal maupun nonverbal
klien. Arti posisi ini adalah saya siap membantu Anda.
2) Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama
berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap
berkomunikasi.
3) Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan
untuk mengatakan atau mendengarkan sesuatu.
4) Mempertahankan sikap terbuka. Selama berkomunikasi, perawat
tidak melipat kaki atau tangan karena sikap ini menunjukkan
keterbukaan perawat dalam berkomunikasi.
5) Tetap relaks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara
ketegangan dan relaksasi dalam memberikan respons pada klien.
6) Berjabat tangan. Menunjukkan perhatian dan memberikan
kenyamanan pada pasien serta penghargaan atas keberadaannya.
11
Berjabatan tangan juga dapat memberi kesan keakraban dan
kedekatan antara perawat dan klien.
b. Sikap (kehadiran) secara psikologis
Dalam berkomunikasi dengan klien, mulai awal sampai akhir
hubungan, perawat harus menunjukkan sikap (kehadiran) secara
psikologis dengan cara mempertahankan sikap dalam dimensi respons
dan dimensi tindakan seperti berikut (Anjaswarni, 2016) :
1) Sikap dalam dimensi respons
a) Ikhlas (Genuiness): perawat menyatakan dan menunjukkan
sikap keterbukaan, jujur, tulus, dan berperan aktif dalam
berhubungan dengan klien. Perawat merespons tidak dibuat-
buat dan mengekspresikan perasaan yang sesungguhnya secara
spontan.
b) Menghargai: perawat menerima klien apa adanya. Sikap tidak
menghakimi, tidak mengejek, tidak mengkritik, ataupun tidak
menghina; harus ditunjukkan oleh perawat melalui, misalnya,
duduk diam menemani klien ketika klien menangis; bersedia
menerima permintaan klien untuk berdiskusi atau bercerita
tentang pengalaman; bahkan minta maaf atas ucapan dan
perilaku perawat yang menyinggung klien.
c) Empati (empathy) merupakan kemampuan perawat untuk
memasuki pikiran dan perasaan klien sehingga dapat
merasakan apa yang sedang dirasakan dan dipikirkan klien.
12
Melalui rasa empati, perawat dapat mengidentifikasi kebutuhan
klien dan selanjutnya membantu klien mengatasi masalahnya.
d) Konkret: perawat menggunakan kata-kata yang spesifik, jelas,
dan nyata untuk menghindari keraguan dan ketidakjelasan
penyampaian.
2) Sikap dalam dimensi tindakan
Dimensi ini termasuk konfrontasi, kesegaran, pengungkapan
diri perawat, katarsis emosional, dan bermain peran. Dimensi ini
harus diimplementasikan dalam konteks kehangatan, penerimaan,
dan pengertian yang dibentuk oleh dimensi responsif (Anjaswarni,
2016).
a) Konfrontasi
Pengekspresian perawat terhadap perbedaan perilaku
pasien yang bermanfaat untuk memperluas kesadaran diri
pasien. Carkhoff mengidentifikasi tiga kategori konfrontasi
sebagai berikut (Anjaswarni, 2016):
(1) Ketidaksesuaian antara konsep diri pasien (ekspresi pasien
tentang dirinya) dengan ideal diri (cita-cita/keinginan
pasien).
(2) Ketidaksesuaian antara ekspresi nonverbal dan perilaku
pasien.
(3) Ketidaksesuaian antara pengalaman pasien dan perawat
seharusnya dilakukan secara asertif bukan agresif/marah
13
(konfrontasi). Oleh karena itu, sebelum melakukan
konfrontasi, perawat perlu mengkaji, antara lain tingkat
hubungan saling percaya dengan pasien, waktu yang tepat,
tingkat kecemasan, dan kekuatan koping pasien.
Konfrontasi sangat berguna untuk pasien yang telah
mempunyai kesadaran diri, tetapi perilakunya belum
berubah.
b) Kesegeraan
Terjadi jika interaksi perawat-klien difokuskan untuk
membantu pasien dan digunakan untuk mempelajari fungsi
pasien dalam hubungan interpersonal lainnya. Perawat sensitif
terhadap perasaan pasien dan berkeinginan untuk membantu
dengan segera (Anjaswarni, 2016).
c) Keterbukaan perawat
Tampak ketika perawat memberikan informasi tentang
diri, ide, nilai, perasaan, dan sikapnya sendiri untuk
memfasilitasi kerja sama, proses belajar, katarsis, atau
dukungan klien. Melalui penelitian yang dilakukan oleh
Johnson, ditemukan bahwa peningkatan keterbukaan antara
perawat klien menurunkan tingkat kecemasan perawat klien
(Anjaswarni, 2016).
d) Katarsis emosional
14
Klien didorong untuk membicarakan hal-hal yang sangat
mengganggunya untuk mendapatkan efek terapeutik. Dalam hal
ini, perawat harus dapat mengkaji kesiapan klien untuk
mendiskusikan maslahnya. Jika klien mengalami kesulitan
mengekspresikan perasaanya, perawat dapat membantu dengan
mengekspresikan perasaannya jika berada pada situasi klien
(Anjaswarni, 2016).
e) Bermain peran
Membangkitkan situasi tertentu untuk meningkatkan
penghayatan klien dalam hubungan antara manusia dan
memperdalam kemampuannya untuk melihat situasi dari sudut
pandang lain serta memperkenankan klien untuk mencobakan
situasi yang baru dalam lingkungan yang aman (Anjaswarni,
2016).
6. Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik
Supaya komunikasi yang kita lakukan dapat mencapai tujuan yang
diharapkan, seorang perawat harus menguasai teknik-teknik ber-
komunikasi agar terapeutik dan menggunakannya secara efektif pada saat
berinteraksi dengan klien. Berikut ini teknik komunikasi Stuart & Sundeen
(1998 dalam Anjaswarni, 2016):
a. Mendengarkan dengan penuh perhatian (listening)
Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan upaya untuk
mengerti seluruh pesan verbal dan nonverbal yang sedang
15
dikomunikasikan. Keterampilan mendengarkan dengan penuh
perhatian dapat ditunjukkan dengan sikap berikut:
1) Pandang klien ketika sedang bicara.
2) Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk
mendengarkan.
3) Hindarkan gerakan yang tidak perlu.
4) Anggukkan kepala jika klien membicarakan hal penting atau
memerlukan umpan balik.
5) Condongkan tubuh ke arah lawan bicara.
b. Menunjukkan penerimaan (accepting)
Menerima tidak berarti menyetujui. Menerima berarti bersedia
untuk mendengarkan orang lain, tanpa menunjukkan keraguan atau
tidak setuju. Tentu saja sebagai perawat kita tidak harus menerima
semua perilaku klien. Perawat sebaiknya menghindarkan ekspresi
wajah dan gerakan tubuh yang menunjukkan tidak setuju, seperti
mengerutkan kening atau menggelengkan kepala seakan tidak percaya.
Sikap perawat yang menunjukkan penerimaan dapat diidentifikasi
seperti perilaku berikut:
1) Mendengarkan tanpa memutuskan pembicaraan.
2) Memberikan umpan balik verbal yang menampakkan pengertian.
3) Memastikan bahwa isyarat nonverbal cocok dengan komunikasi
verbal.
16
4) Menghindarkan untuk berdebat, menghindarkan mengekspresikan
keraguan, atau menghindari untuk mengubah pikiran klien.
5) Perawat dapat menganggukan kepalanya atau berkata “ya” atau
“saya mengerti apa yang bapak-ibu inginkan”.
c. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan
Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi
yang spesifik mengenai klien. Paling baik jika pertanyaan dikaitkan
dengan topik yang dibicarakan dan gunakan kata-kata dalam konteks
sosial budaya klien.
d. Mengulang (restating/repeating)
Maksud mengulang adalah teknik mengulang kembali ucapan
klien dengan bahasa perawat. Teknik ini dapat memberikan makna
bahwa perawat memberikan umpan balik sehingga klien mengetahui
bahwa pesannya dimengerti dan mengharapkan komunikasi berlanjut.
e. Klarifikasi (clarification)
Teknik ini dilakukan jika perawat ingin memperjelas maksud
ungkapan pasien. Teknik ini digunakan jika perawat tidak mengerti,
tidak jelas, atau tidak mendengar apa yang dibicarakan klien. Perawat
perlu mengklarifikasi untuk menyamakan persepsi dengan klien.
f. Memfokuskan (focusing)
Metode ini dilakukan dengan tujuan membatasi bahan
pembicaraan sehingga lebih spesifik dan dimengerti. Perawat tidak
seharusnya memutus pembicaraan klien ketika menyampaikan masalah
17
yang penting, kecuali jika pembicaraan berlanjut tanpa informasi yang
baru. Perawat membantu klien membicarakan topik yang telah dipilih
dan penting.
g. Merefleksikan (reflecting/feedback)
Perawat perlu memberikan umpan balik kepada klien dengan
menyatakan hasil pengamatannya sehingga dapat diketahui apakah
pesan diterima dengan benar. Perawat menguraikan kesan yang
ditimbulkan oleh syarat nonverbal klien. Menyampaikan hasil
pengamatan perawat sering membuat klien berkomunikasi lebih jelas
tanpa harus bertambah memfokuskan atau mengklarifikasi pesan.
h. Memberi informasi (informing)
Memberikan informasi merupakan teknik yang digunakan dalam
rangka menyampaikan informasi-informasi penting melalui pendidikan
kesehatan. Apabila ada informasi yang ditutupi oleh dokter, perawat
perlu mengklarifikasi alasannya. Setelah informasi disampaikan,
perawat memfasilitasi klien untuk membuat keputusan.
i. Diam (silence)
Diam memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk
mengorganisasi pikirannya. Penggunaan metode diam memerlukan
keterampilan dan ketetapan waktu. Diam memungkinkan klien untuk
berkomunikasi terhadap dirinya sendiri, mengorganisasi pikirannya,
dan memproses informasi. Bagi perawat, diam berarti memberikan
kesempatan klien untuk berpikir dan berpendapat/berbicara.
18
j. Identifikasi tema (theme identification)
Identifikasi tema adalah menyimpulkan ide pokok/utama yang
telah dikomunikasikan secara singkat. Metode ini bermanfaat untuk
membantu topik yang telah dibahas sebelum meneruskan pada
pembicaraan berikutnya. Teknik ini penting dilakukan sebelum
melanjutkan pembicaraan dengan topik yang berkaitan.
k. Memberikan penghargaan (reward)
Menunjukkan perubahan yang terjadi pada klien adalah upaya
untuk menghargai klien. Penghargaan tersebut jangan sampai menjadi
beban bagi klien yang berakibat klien melakukan segala upaya untuk
mendapatkan pujian.
l. Menawarkan diri
Klien mungkin belum siap untuk berkomunikasi secara verbal
dengan orang lain atau klien tidak mampu untuk membuat dirinya
dimengerti. Sering kali perawat hanya menawarkan kehadirannya, rasa
tertarik, dan teknik komunikasi ini harus dilakukan tanpa pamrih.
m. Memberi kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan
Memberi kesempatan pada klien untuk berinisiatif dalam
memilih topik pembicaraan. Perawat dapat berperan dalam
menstimulasi klien untuk mengambil inisiatif dalam membuka
pembicaraan.
19
n. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan
Hal ini merupakan teknik mendengarkan yang aktif, yaitu
perawat menganjurkan atau mengarahkan pasien untuk terus bercerita.
Teknik ini mengindikasikan bahwa perawat sedang mengikuti apa
yang sedang dibicarakan klien dan tertarik dengan apa yang akan
dibicarakan selanjutnya.
o. Refleksi
Refleksi menganjurkan klien untuk mengemukakan serta
menerima ide dan perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.
Dengan teknik ini, dapat diindikasikan bahwa pendapat pasien adalah
berharga.
p. Humor
Humor yang dimaksud adalah humor yang efektif. Humor ini
bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara ketegangan dan
relaksasi. Perawat harus hati-hati dalam menggunakan teknik ini
karena ketidaktepatan penggunaan waktu dapat menyinggung perasaan
pasien yang berakibat pada ketidakpercayaan klien kepada perawat.
7. Tahapan (Fase) Hubungan dan Komunikasi Terapeutik Perawat-
Pasien
Tahapan (fase) hubungan dan komunikasi terapeutik perawat-pasien
menurut Anjaswarni (2016), yaitu:
20
a. Fase prainteraksi
Fase ini merupakan fase persiapan yang dapat dilakukan perawat
sebelum berinteraksi dan berkomunikasi dengan klien. Pada fase ini,
perawat mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan sendiri, serta
menganalisis kekuatan dan kelemahan profesional diri. Perawat juga
mendapatkan data tentang klien dan jika memungkinkan
merencanakan pertemuan pertama dengan klien. Perawat dapat
bertanya kepada dirinya untuk mengukur kesiapan berinteraksi dan
berkomunikasi dengan klien.
b. Fase orientasi/introduksi
Fase ini adalah fase awal interaksi antara perawat dan klien yang
bertujuan untuk merencanakan apa yang akan dilakukan pada fase
selanjutnya. Pada fase ini, perawat dapat:
1) Memulai hubungan dan membina hubungan saling percaya.
Kegiatan ini mengindikasi kesiapan perawat untuk membantu
pasien;
2) Memperjelas keluhan, masalah, atau kebutuhan klien dengan
mengajukan pertanyaan tentang perasaan klien; serta
3) Merencanakan kontrak/kesepakatan yang meliputi lokasi, kapan,
dan lama pertemuan; bahan/materi yang akan diperbincangkan;
dan mengakhir hubungan sementara.
21
Tiga kegiatan utama yang harus dilakukan perawat pada fase
orientasi ini sebagai berikut.
1) Memberikan salam terapeutik
Contoh: “Assalamualaikum, selamat pagi”, dan sebagainya.
2) Evaluasi dan validasi perasaan klien
Contoh: “Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Ibu tampak segar hari
ini”.
3) Melakukan kontrak hubungan dengan klien meliputi kontrak tujuan
interaksi, kontrak waktu, dan kontrak tempat.
Contoh: “Tujuan saya datang ke sini adalah membantu Ibu
menemukan masalah yang membuat Ibu selalu merasa tidak
nyaman selama ini”, “Menurut Ibu, berapa lama waktu yang akan
kita butuhkan untuk tujuan ini? Bagaimana kalau 15 menit?”,
“Untuk tempat di dalam ruang ini saja atau di taman belakang?”
c. Fase kerja
Fase ini adalah fase terpenting karena menyangkut kualitas
hubungan perawat-klien dalam asuhan keperawatan. Selama
berlangsungnya fase kerja ini, perawat tidak hanya mencapai tujuan
yang telah diinginkan bersama, tetapi yang lebih bermakna adalah
bertujuan untuk memandirikan pasien. Pada fase ini, perawat
menggunakan teknik-teknik komunikasi dalam berkomunikasi dengan
klien sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (sesuai kontrak).
22
d. Fase terminasi
Pada fase ini, perawat memberi kesempatan kepada klien untuk
mengungkapkan keberhasilan dirinya dalam mencapai tujuan terapi
dan ungkapan perasaannya. Selanjutnya perawat merencanakan tindak
lanjut pertemuan dan membuat kontrak pertemuan selanjutnya bersama
pasien. Ada tiga kegiatan utama yang harus dilakukan perawat pada
fase terminasi ini, yaitu melakukan evaluasi subjektif dan objektif;
merencanakan tindak lanjut interaksi; dan membuat kontrak dengan
pasien untuk melakukan pertemuan selanjutnya.
B. Persalinan
1. Pengertian Persalinan
Persalinan normal adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang
dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar dengan
presentasi belakang kepala tanpa memakai alat-alat atau pertolongan
istimewa serta tidak melukai ibu dan bayi, dan umumnya berlangsung
dalam waktu kurang dari 24 jam (Rukiyah dkk., 2009).
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan
plasenta) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan
melalui jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa
bantuan (kekuatan sendiri). Proses ini dimulai dengan adanya kontraksi
persalinan sejati, yang ditandai dengan perubahan serviks secara progresif
dan diakhiri dengan kelahiran plasenta (Sulistyawati, 2011).
23
2. Tahapan persalinan
Tahapan persalinan menurut Rukiyah dkk (2009), adalah sebagai
berikut:
a. Kala I
Pada kala I persalinan dimulainya proses persalinan yang
ditandai dengan adanya kontraksi yang teratur, adekuat, dan
menyebabkan perubahan pada serviks hingga mencapai pembukaan
lengkap, fase kala I persalinan terdiri dari fase laten yaitu dimulai dari
awal kontraksi hingga pembukaan mendekati 4 cm. Kontraksi mulai
teratur tetapi lamanya masih di antara 20 – 30 detik, tidak terlalu
mules. Fase aktif dengan tanda-tanda kontraksi di atas 3 kali dalam 10
menit, lamanya 40 detik atau lebih dan terasa mules, pembukaan 4 cm
hingga lengkap, penurunan bagian terbawah janin. Fase pembukaan
dibagi 2 fase, yaitu fase laten: berlangsung selama 8 jam, pembukaan
terjadi sangat lambat sampai pembukaan 3 cm. Fase aktif: dibagi
dalam 3 fase yaitu fase akselerasi dalam waktu 2 jam pembukaan 3
menjadi 4 cm menjadi 9 cm, fase deselerasi pembukaan jadi lambat
kembali dalam 2 jam pembukaan dari 9 menjadi lengkap. Lama kala I
untuk primigravida berlangsung 2 jam dengan pembukaan 1 cm
perjam, sedangkan pada multigravida 8 jam dengan pembukaan 2 cm
perjam. Komplikasi yang dapat timbul pada kala I yaitu: ketuban pecah
dini, tali pusat menumbung, obstrupsi plasenta, gawat janin, inersia
uteri.
24
b. Kala II
Dimulai dari pembukaan lengkap (10 cm) sampai bayi lahir.
Proses ini biasanya berlangsung 2 jam pada primi dan 1 jam pada
multi. Pada kala pengeluaran janin telah turun masuk ruang panggul
sehingga terjadi tekanan pada otot-otot dasar panggul yang secara
reflektoris menimbulkan rasa mengedan, karena tekanan pada rektum
ibu merasa seperti mau buang air besar dengan tanda anus membuka.
Pada waktu his kepala janin mulai kelihatan, vulva membuka,
perineum membuka, perineum meregang. Dengan adanya his ibu
dipimpin untuk mengedan, maka lahir kepala diikuti oleh seluruh
badan janin. Komplikasi yang dapat timbul pada kala II yaitu:
eklampsi, kegawatdaruratan janin, tali pusat menumbung, penurunan
kepala terhenti, kelelahan ibu, persalinan lama, ruptur uteri, distosia
karena kelainan letak, infeksi intra partum, inersia uteri, tanda-tanda
lilitan tali pusat.
c. Kala III
Dimulai dari setelah lahirnya bayi sampai proses pengeluaran
plasenta. Tanda-tanda lepasnya plasenta: terjadi perubahan bentuk
uterus dan tinggi fundus uteri, tali pusat memanjang atau terjulur
keluar melalui vagina/vulva, adanya semburan darah secara tiba-tiba.
Berlangsung tidak lebih dari 30 menit. Setelah bayi lahir uterus teraba
keras dengan fundus uteri agak diatas pusat, beberapa menit kemudian
25
uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta dari dindingnya.
Biasanya plasenta lepas dalam 6 menit – 15 menit setelah bayi lahir
dan keluar spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri.
Pengeluaran plasenta, disertai dengan pengeluaran darah. Komplikasi
yang dapat timbul pada kala III adalah perdarahan akibat atonia uteri,
retensio plasenta, perlukaan jalan lahir, tanda gejala tali pusat.
d. Kala IV
Dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama
postpartum. Komplikasi yang dapat timbul pada kala IV adalah: sub
involusi dikarenakan oleh uterus tidak berkontraksi, perdarahan yang
disebabkan oleh atonia uteri, laserasi jalan lahir, sisa plasenta.
C. Nyeri Persalinan
1. Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan
bersifat sangat subjektif, karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang
dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat
menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Hidayat,
2008).
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak
menyenangkan, bersifat sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang
berbeda dalam hal skala ataupun tingkatannya, dan hanya orang
tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang
dialaminya (Tetty, 2015).
26
Batasan atau definisi nyeri yang diusulkan oleh “The International
Association for the Study of Pain” adalah suatu pengalaman perasaan dan
emosi yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan
sebenarnya ataupun yang potensial pada suatu jaringan. Nyeri merupakan
perasaan tubuh atau bagian dari tubuh manusia, yang senantiasa tidak
menyenangkan dan keberadaan nyeri dapat memberikan suatu pengalaman
alam rasa (Judha, 2012).
2. Fisiologi Nyeri
Nyeri disebabkan oleh stimulus yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan. Oleh karena itu, sensasi nyeri dapat dibedakan dengan sensasi
lainnya, meskipun emosi seperti rasa takut dan ansietas juga dialami
secara bersamaan sehingga mempengaruhi persepsi seseorang terhadap
rasa nyeri. Juga harus diingat bahwa dengan adanya system saraf simpati,
stimulus nyeri juga dapat mengakibatkan berbagai perubahan, seperti
peningkatan frekuensi jantung, peningkatan tekanan darah, pelepasan
adrenalin (epinefrin) kedalam aliran darah dan peningkatan kadar glukosa
darah. Terdapat juga penurunan mortilitas lambung dan penurunan suplai
darah ke kulit yang menyebabkan berkeringat. Dengan demikian, stimulus
yang menyebabkan akan mengakibatkan insiden atau peristiwa sensorik
(Fraser dkk., 2009).
Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Cara
yang paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu
untuk menjelaskan tiga komponen fisiologis sebagai berikut :
27
a. Resepsi: semua kerusakan selular, yang disebabkan sirkulasi thermal,
kimiawi, atau stimulus listrik menyebabkan pelepasan substansi yang
menghasilkan nyeri,
b. Persepsi: titik kesadaran seseorang terhadap nyeri,
c. Reaksi: respon fisiologis dan perilaku yang terjadi setelah
mempersepsikan nyeri (Potter & Perry, 2005).
3. Pengertian Nyeri Persalinan
Ibu yang mengalami persalinan pasti mengalami nyeri. Nyeri
persalinan adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang nyata dan yang
potensial. Nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang timbul,
bila ada jaringan rusak dan hal ini akan menyebabkan individu bereaksi
dengan cara memindahkan stimulus nyeri (Andarmoyo dan Suharti, 2013).
Rasa nyeri dalam persalinan adalah manifestasi dari adanya
kontraksi otot rahim. Kontraksi inilah yang menimbulkan rasa sakit pada
pinggang. daerah perut, dan menjalar ke arah paha. Kontraksi ini
menyebabkan adanya pembukaan mulut rahim (servik) (Judha, 2012).
Intensitas nyeri sebanding dengan kekuatan kontraksi dan tekanan yang
terjadi. Nyeri bertambah ketika mulut rahim dalam dilatasi penuh akibat
tekanan bayi terhadap struktur panggul diikuti regangan dan perobekan
jalan lahir (Andarmoyo dan Suharti, 2013).
28
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri Persalinan
Menurut Andarmoyo dan Suharti (2013), faktor-faktor yang
mempengaruhi nyeri persalinan, yaitu:
a. Faktor internal
1) Pengalaman dan pengetahuan tentang nyeri
Pengalaman sebelumnya seperti persalinan terdahulu akan
membantu mengatasi nyeri. Karena ibu telah memiliki koping
terhadap nyeri. Ibu primipara dan multipara kemungkinan akan
merespon secara berbeda terhadap nyeri walaupun menghadapi
kondisiyang sama, yaitu persalinan. Hal ni disebabkan ibu
multipara telah memiliki pengalaman pada persalinan sebelumnya.
2) Usia
Usia muda cenderung dikaitkan dengan kondisi psikologis
yang masih labil, yang memicu terjadinya kecemasan sehingga
nyeri yang dirasakan menjadi lebih hebat. Usia juga dipakai
sebagai salah satu faktor dalam menentukan seiring bertambahnya
usia dan pemahaman terhadap nyeri.
3) Aktifitas fisik
Aktifitas ringan bermanfaat mengalihkan perhatian dan
mengurangi rasa sakit menjelang persalinan, selama ibu tidak
melakukan latihan-latihan yang terlalu keras dan berat, serta
menimbulkan keletihan pada wanita karena hal ini juga justru akan
memicu nyeri yang lebih berat.
29
4) Kondisi psikologis
Situasi dan kondisi psikologis yang labil memegang peranan
penting dalam memunculkan nyeri persalinan yang lebih berat.
Salah satu mekanisme pertahanan jiwa terhadap stress adalah
konversi, yaitu memunculkan gangguan secara psikis menjadi
gangguan fisik.
b. Faktor eksternal
1) Agama
Semakin kuat kualitas keimanan seseorang, mekanisme
pertahanan tubuh terhadap nyeri semakin baik karena berkaitan
dengan kondisi psikologis yang relatif stabil.
2) Lingkungan fisik
Lingkungan yang terlalu ekstrem, seperti perubahan cuaca,
panas, dingin, ramai, bising, memberikan stimulus terhadap tubuh
yang memicu terjadinya nyeri.
3) Budaya
Budaya tertentu akan mempengaruhi respon seseorang
terhadap nyeri. Ada budaya yang mengekspresikan rasa nyeri
secara bebas, tetapi ada pula yang menganggap nyeri adalah
sesuatu yang tidak perlu diekspresikan secara berlebihan.
4) Support system
Tersedianya sarana dan support system yang baik dari
lingkungan dalam mengatasi nyeri, dukungan dari keluarga dan
30
orang terdekat sangat membantu mengurangi rangsang nyeri yang
dialami oleh seseorang saat menghadapi persalinan.
5) Sosial ekonomi
Tersedianya sarana dan lingkungan yang baik dapat
membantu mengatasi rangsang nyeri yang dialami. Sering status
ekonomi mengikuti keadaan nyeri persalinan. Keadaan ekonomi
yang kurang, pendidikan yang rendah, informasi yang minimal,
dan kurang sarana kesehatan yang memadai akan menimbulkan ibu
kurang mengetahui bagaimana mengatasi nyeri yang dialami dan
masalah ekonomi berkaitan dengan biaya dan persiapan persalinan
sering menimbulkan kecemasan tersendiri dalam menghadapi
persalinan.
6) Komunikasi
Komunikasi tentang penyampaian informasi yang berkaitan
dengan hal-hal seputar nyeri persalinan, bagaimana mekanismenya,
apa penyebabnya, cara mengatasi, dan apakah hal ini wajar akan
memberikan dampak yang positif terhadap manajemen nyeri.
Komunikasi yang kurang akan menyebabkan ibu dan keluarga
tidak tahu bagaimana yang harus dilakukan jika mengalami nyeri
saat persalinan.
5. Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual
31
dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat
berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon
fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan
teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu
sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut Potter & Perry (2005), terdapat beberapa skala nyeri yang
dapat digunakan untuk mengetahui skala nyeri.
a. Verbal Descriptor Scale (VDS)
Skala pendeskripsi verbal merupakan sebuah garis yang terdiri
dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak
yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diurutkan dari “tidak
terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahan”. Perawat
menunjukkan klien tentang skala tersebut dan meminta klien untuk
memilih intensitas nyeri terbaru yang dirasakannya. Perawat juga
menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan
seberapa jauh nyeri terasa tidak menyakitkan. Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan
rasa nyeri.
b. Visual Analog Scale (VAS)
VAS merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri
yang terus menerus. Skala ini memberikan kebebasan penuh pada klien
untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS merupakan pengukur
32
keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi
setiap titik pada rangkaian dari pada di paksa memilih satu kata (Potter
& Perry, 2005).
Mengkaji intensitas nyeri sangat penting walaupun bersifat
subyektif dan banyak dipengaruhi berbagai keadaan seperti tingkat
kesadaran, konsentrasi dan harapan keluarga, intensitas nyeri dapat
dijabarkan di dalam sebuah skala nyeri dengan deskriptif: tidak nyeri,
ringan, sedang, sangat nyeri, tetapi masih dapat terkontrol, dan sangat
nyeri tetapi tidak dapat dikontrol oleh pasien berdasarkan VAS.
Penjelasan tentang intensitas digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Visual Analog Scale (VAS)
Intensitas nyeri pada skala 0 tidak terjadi nyeri, intensitas nyeri
ringan pada pada skala 1–3, intensitas nyeri sedang pada skala 4–6,
intensitas nyeri berat nyeri pada skala 7–9, intensitas nyeri sangat berat
pada skala 10 nyei tidak terkontrol. Cara penggunaan skala ini adalah:
berilah tanda salah satu angka sesuai dengan intensitas nyeri yang
33
dirasakan pasien. VAS merupakan pengukuran nyeri yang benar dan
sah, dapat mendeteksi perbedaaan nyeri lebih sederhana dibandingkan
dengan skala lainnya, dan VAS lebih mudah mengaturnya
dibandingkan dengan kumpulan pertanyaan yang berderet (Ludington
& Dexter, 1998 dalam Astuti, 2009).
Menurut Potter & Perry (2005), inetnsitas nyeri pada skala 0
tidak terjadi nyeri, intensitas nyeri pada skala 1–3, rasa nyeri seperti
gatal atau tersetrum atau nyut-nyutan atau melilit atau terpukul atau
perih atau mulas. Intensitas nyeri pada skala 4–6, seperti keram atau
kaku atau tertekan atau sulit bergerak atau terbakar atau ditusuk-tusuk.
Sangat nyeri pada skala 7–9 tetapi masih dapat dikontrol oleh klien.
Intensitas nyeri sangat berat pada skala 10 nyeri tidak terkontrol.
c. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
Skala ini terdiri dari enam wajah dengan profil kartun yang
menggambarkan mulai dari wajah yang sedang tersenyum, hal ini
menunjukkan tidak adanya nyeri kemudian secara bertahap meningkat
menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang sangat sedih, sampai wajah
yang sangat ketakutan hal ini menunjukkan adanya nyeri yang sangat
hebat (Kozier, 2009).
34
Gambar 2.2 ( Wong-Baker Faces Pain Rating Scale )
Keterangan dari gambar di atas adalah angka 0 menunjukkan
sangat bahagia sebab tidak ada rasa sakit, angka 2 menunjukkan sedikit
menyakitkan, angka 4 menunjukkan lebih menyakitkan, angka 6
menunjukkan lebih menyakitkan lagi, angka 8 menunjukkan jauh lebih
menyakitkan, dan angka 10 menunjukkan benar-benar menyakitkan
(Wong, 2004).