bab ii tinjauan pustaka a. penelitian...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang ditulis Hernawati tentang “Upaya Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat Melalui Penyuluhan Program Keluarga Berencana”
dalam penelitian mendiskripsikan tentang masih kurang teraturnya pelakasanaan
penyuluhan program KB, dan masih banyaknya masyarakat yang berpikiran
negatif terhadap program KB, hal ini tentu saja menjadi tugas penting bagi semua
pihak untuk mensukseskan program KB agar mampu mengatasi permasalahan
yang sedang dihadapi yaitu tidak teraturnya laju pertumbuhan penduduk sehingga
mengakibatkan rendahnya kesejahteraan masyarakat.
Penelitian yang ditulis Slamet Makmur dengan judul “ Pelaksanaan
Keluarga Berencana (KB) Terhadap tingkat kesejahteraan Keluarga”. Penelitian
ini menunjukkan bahwa kepadatan penduduk yang tidak merata, menyebabkan
terjadinya ketimpangan sosial dan tingkat kesejahteraan. Dengan hanya memiliki
dua anak saja, diharapakan beban keluarga berkurang, sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Utari (2005) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh pemberian
Motivasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Pada Dinas Pasar Kota
Malang”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh motivasi dan
kemampuan terhadap kinerja pegawai dinas pasar Kota Malang. Alat uji statistik
yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah regresi linier
berganda dengan kuantitatif dengan uji hipotesis uji T dan uji F. Hasil penelitian
8
menunjukkan bahwa pemberian motivasi mempunyai pengaruh kepada kepuasan
kerja.
Berdasarkan hasil dari penelitian dari variabel yang telah dianalisis bahwa
tingkat pendidikan angkatan kerja, peranan pertanian dalam penyerapan tenaga
kerja, dan peranan pertanian sebagai mata pencaharian rumah tangga berpengaruh
nyata terhadap keputusan petani menjual lahan.
Persamaan penelitian sekarang dengan peneliti-peneliti terdahulu yaitu
pada peneliti pertama dan kedua sama-sama menggunakan objek tentang keluarga
berencana, sedangkan peneliti ketiga sama-sama menggunakan alat analisis
regresi.
Perbedaan penelitian sekarang dengan peneliti-peneliti terdahulu adalah
pada studi kasus, peneliti pertama menggunakan studi kasus di Desa Cibokor
Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur dan peneliti kedua Kelurahan Kradenan
Kecamatan Pekalongan Selatan, peneliti ketiga Pengaruh pemberian Motivasi
Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Pada Dinas Pasar Kota Malang sedangkan
penelitian sekarang menggunakan studi kasus di Desa Pamotan Kecamatan
Dampit Kabupaten Malang.
Para keluarga pra sejahtera, yaitu keluarga itu belum dapat memenuhi
kebutuhan dasar minimumnya, dan keluarga sejahtera I yaitu keluarga itu sudah
dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dalam hal sandang, papan, pangan
dan pelayanan kesehatan yang sangat dasar.Pelaksanaan pembangunan Keluarga
Sejahtera di desa bertujuan untuk meningkatkan kualitas keluarga sesuai dengan
tahapan keluarga sejahtera, terutama keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera
9
I yang masih dalam keadaan belum atau sebatas dapat memnuhi kebutuhan fisik
misalnya, agar mereka dapat melepaskan diri dari keterbelakangan sosial dan
ekonomi. Karena itulah kondisi mereka sekarang adalah dalam keadaan miskin.
Kondisi – kondisi inilah yang menyebabkan keluarga – keluarga tersebut tidak
mungkin berperan secara optimal dalam pembangunan sebagaimana yang
diharapkan.
B. Landasan Teori
1. Definisi Kesejahteraan
Definisi dari Teori Kesejahteraan yaitu : suatu kondisi dimana sebuah
keluarga telah mampu untuk memenuhi jasmaniah (materiil) maupun kebutuhan
batiniah (spiritual).
Status kesejahteraan dapat diukur berdasarkan proporsi pengeluaran rumah
tangga (Bappenas, 2000). Rumah tangga dapat dikategorikan sejahtera apabila
proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok sebanding atau lebih rendah dari
proporsi pengeluaran untuk kebutuhan bukan pokok. Sebaliknya rumah tangga
pengeluaran untuk kebutuhan pokok lebih besar dibandingkan dengan
pengeluaran untuk kebutuhan bukan pokok.
Tugas dan misi gerakan Keluarga Berencana Nasional adalah
memantapkan landasan penerimaan Norma Keluarga Kecil yang bahagia dan
sejahtera, dan usaha memperkuat dukungan institusi masyarakat terutama
ditingkat pedesaan kebawah sebagai pendukung kekuatan gerakan Pembangunan
Keluarga Sejahtera. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 berikut PP Nomor 21
Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera
10
memberikan arah pembangunan yang makin dinamis dan menjamin pendekatan
yang selama ini telah kita kerjakan dengan baik. Dengan demikian keluarga
menjadi titik sentral dari konsep pembangunan sumber daya manusia yang
berkualitas, tangguh, maju dan mandiri.
Pembangunan keluarga sejahtera yang dilakukan diharapkan agar setiap
keluarga memiliki sikap, tekad dan semangat kemandirian serta ketahanan yang
tinggi dan memiliki kemampuan fisik materiil, psikis, mental spiritual guna
mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup layak dan harmonis dalam
memenuhi kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.
Untuk mewujudkan kemandirian keluarga perlu ditopang paling sedikit
oleh dua tiang utama yaitu keluarga kecil agar bebannya tidak terlalu berat dan
keluarga sejahtera dengan kekuatan ekonomi. Keluarga kecil dapat terwujud
apabila fungsi reproduksinya dapat mewujudkan reproduksi yang sejahtera, disisi
lain keluarga sejahtera dengan kekuatan ekonomi dapat terwujud apabila fungsi
ekonomi, fungsi sosialisasi dan pendidikan serta fungsi pembinaan lingkungan
yang bersih, tertib dalam suasana etos kerja yang tinggi dapat tercipta dengan
baik.
Menurut BKKBN, dalam pendataan yang akan datang Indikator Keluarga
akan diklasifikasi menurut kelompok sebagai berikut :
1. Keluarga Pra Sejahtera, yaitu kalau keluarga itu belum dapat memenuhi
kebutuhan dasar minimumnya.
a. Indikator Ekonomi :
Makan dua kali atau lebih sehari
11
Memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas (di rumah bekerja,sekolah dan
bepergian).
Bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah.
b. Indikator Non-Ekonomi :
Melaksanakan ibadah
Bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan
2. Keluarga Sejahtera I, yaitu kalau keluarga itu sudah dapat memenuhi
kebutuhan dasar minimumnya dalam hal sandang, papan, pangan dan
pelayanan kesehatan yang sangat dasar.
a. Indikator Ekonomi :
Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan atau telor
Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel
pakaian baru.
Luas lantai rumah paling kurang 8m untuk tiap penghuni
b. Indikator Non-Eekonomi :
Ibadah teratur
Sehat tiga bulan terakhir
Punya penghasilan tetap
Usia 10-60 tahun dapat baca tulis hurup
Usia 6-15 tahun bersekolah
Anak lebih dari 2 orang, ber-KB
3. Keluarga Sejahtera II, yaitu kalau keluarga itu selain dapat memenuhi
kebutuhan dasar minimunya, juga dapat pula memenuhi kebutuhan sosial
12
psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan
pengembangannya.
a. Indikator :
Memiliki tabungan keluarga
Makan bersama sambil berkomunikasi
Mengikuti kegiatan masyarakat
Rekreasi bersama (6 bulan sekali)
Meningkatkan pengetahuan agama
Memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah menggunakan
sarana transporstasi.
4. Keluarga Sejahtera III, yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan
dasar minimum, kebutuhan sosial psikologisnya, dan sekaligus dapat
memenuhi kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif menyumbangkan
dan belum aktif giat dalam usaha kemasyarakatan dalam lingkungan desa atau
wilayahnya.
a. Sudah memenuhi Indikator :
Memiliki tabungan kelurga
Makan bersama sambil berkomunikasi
Mengikuti kegiatan masyarakat
Rekreasi bersama (6 bulan sekali)
Meningkatkan pengetahuan agama
Memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah
Menggunakan sarana transporstasi
13
b. Belum memenuhi Indikator :
Aktif memberikan sumbangan material secara teratur
Aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan.
Berdasarkan indikator BKKBN, kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh
variabel demografi (jumlah anggota dan usia), sosial (pendidikan kepala
keluarga), ekonomi (pekerjaan, kepemilikan aset, dan tabungan), manajemen
sumberdaya keluarga dan lokasi tempat tinggal. Dalam penelitian ini untuk
mengukur tingkat kesejahteraan keluarga, peneliti menggunakan tahapan keluarga
sejahtera yang telah dipaparkan. Pembangunan ekonomi keluarga mendapat
penekanan yang utama karena akan mendukung keberhasilan aktivitas lainnya.
Dengan menurunnya tingkat kemiskinan yang disertai membaiknya kualitas
masyarakat, keluarga dan penduduk yang ditandai dengan tingginya partisipasi
masyarakat, makin lincahnya keluarga indonesia untuk mobilitas sebagai hasil
yang positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Untuk dapat memahami lebih mendasar tentang pembangunan Keluarga
Sejahtera, berikut ini akan diuraikan beberapa pengertian sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994
yaitu :
a. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri,
atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
b. Keluarga Berencana adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta
masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran,
14
pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk
mewujudkan keluarga kecil, bahgia dan sejahtera.
c. Keluarga sejahtera adalah keluarga yang di bentuk berdasrakan atas
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan
materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki
hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antar keluarga
dengan masyarakat dan lingkungannya.
d. Kualitas keluarga adalah kondisi keluarga yang mencakup aspek pendidikan,
kesehatan, ekonomi, sosial budaya, kemandirian keluarga, dan mental spiritual
serta nilai-nilai agama yang merupakan dasar untuk mencapai keluarga
sejahtera.
e. Ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki
keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-material dan
psikis-mental spiritual guna hidup mamdiri dan mengembangkan diri dan
keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir
dan kebahgiaan batin.
f. Kemandirian keluarga adalah sikap mental dalam hal berupaya meningkatkan
kepedulian masyarakat dalam pembangunan, mendewasakan usia perkawinan,
membina dan meningkatkan ketahanan keluarga, mengatur kelahiran dan
mengembangkan kualitas dan kesejahteraan keluarga, berdasarkan kesadaran
dan tanggung jawab.
Dengan demikian gerakan Pembangunan Keluarga Berencana diarahkan
pada pengembangan kualitas keluarga melalui upaya Keluarga Berencana dalam
15
rangka membudayakan norma keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera yang
diselenggarakan secara menyeluruh dan terpadu oleh pemerintah, masyarakat dan
keluarga.
Keluarga Sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materiil
yang layak,bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang
serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat
dan lingkungan. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 52 tahun 2009).
Faktor‐ Faktor dominan tersebut terdiri dari (1) pemenuhan kebutuhan
dasar; (2) pemenuhan kebutuhan psikologi (3) kebutuhan pengembangan dan (4)
kebutuhan aktualisasi diri dalam berkontribusi bagi masyarakat di lingkungannya.
Dalam hal ini, kelompok yang dikategorikan penduduk miskin oleh BKKBN
adalah Keluarga Pra sejahtera (KPS) dan Keluarga Sejahtera I (KS-I).
Biro Pusat Statistik Indonesia (2000) menerangkan bahwa guna melihat
tingkat kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang
dapat dijadikan ukuruan, antara lain adalah :
a. Tingkat pendapatan keluarga
b. Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran
untuk pangan dengan non-pangan
c. Tingkat pendidikan keluarga
d. Tingkat kesehatan keluarga, dan
e. Kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.
16
Pembangunan keluarga sejahtera merupakan upaya menyeluruh dan
terpadu yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan keluarga untuk
meningkatkan kualitas keluarga agar dapat melaksanakan fungsinya secara
optimal. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi keagamaan, fungsi sosial buadaya,
fungsi cinta kasih, fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan
pendidikan, fungsi ekonomi, fungsi pembinaan lingkungan. (Mongid, 1996)
Pembangunan ekonomi keluarga mendapat penekanan yang utama karena
akan mendukung keberhasilan aktivitas lainnya. Dengan menurunnya tingkat
kemiskinan yang disertai membaiknya kualitas masyarakat, makin lincahnya
keluarga Indonesia untuk mobilitas sebagai hasil yang positif bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Dilihat dari berbagai sisi dan dimensi manapun setiap keluarga, yang
terpenting agar kedelapan (8) fungsi keluarga dapat berperan dengan baik di setiap
keluarga Indonesia.
Menurut BKKBN (1992) adapun kedelapan fungsi-fungsi dari keluarga
tersebut adalah sebagai berikut
1. Fungsi keagamaan, diarahkan untuk mendorong keluarga sebagai wahana
pembangunan insan-insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, bermoral, berakhlak dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran
agamanya. Untuk menanamkan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur
kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini.
17
2. Fungsi sosial budaya, diarahkan untuk mendorong keluarga sebagai wahana
menanamkan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945.
3. Fungsi cinta kasih, diarahkan untuk mendorong keluarga sebagai wahana untuk
menumbuhkan dan membina rasa cinta dan kasih sayang antar sesama anggota
keluarga, antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.
4. Fungsi melindungi, diarahkan untuk mendorong keluarga sebagai wahana
tempat memperoleh rasa aman, nyaman, damai dan tentram bagi seluruh
anggota keluarga sehingga terpenuhi kebahagiaan batin.
5. Fungsi reproduksi, diarahkan untuk meneruskan keturunan, memelihara dan
membesarkan anak, memelihara dan merawat anggota keluarga
6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan, diarahkan untuk mendidik anak sesuai
dengan tingkat perkembangannya, menyekolahkan anak, bagaimana keluarga
mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik bagi anak, agar
dapat menjadi manusia yang sehat, tangguh, maju dan mandiri sesuai dengan
tuntutan kebutuhan pembangunan yang semakin tinggi.
7. Fungsi ekonomi, diarahkan untuk mencari sumber-sumber penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penggunaan penghasilan keluarga
untuk memenuhi kebutuhan keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan
keluarga di masa datang
8. Fungsi pembinaan lingkungan, diarahkan untuk mendorong keluarga sebagai
wahana yang mampu membina kehidupan yang harmonis dengan lingkungan
sosial kemasyarakatan dan dengan alam sekitarnya.
18
2. Sasaran Pembangunan Keluarga Sejahtera
Kesejahteraan adalah hal atau keadaan sejahtera, aman, selamat, dan
tentram. Keluarga Sejahtera adalah Keluarga yang dibentuk berdasarkan
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan materi
yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang /maha Esa, memiliki hubungan yang
selaras, serasi, dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat
dan lingkungan (BKKBN,1994:5).
Kesejahteraan keluarga tidak hanya menyangkut kemakmuran saja,
melainkan juga harus secara keseluruhan sesuai dengan ketentraman yang berarti
dengan kemampuan itulah dapat menuju keselamatan dan ketentraman hidup.
3. Faktor – Faktor yang mempengaruhi kesejahteraan
Berikut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan yaitu :
1. Faktor intern keluarga
a. Jumlah anggota keluarga
Pada zaman seperti sekarang ini tuntutan keluarga semakin meningkat
tidak hanya cukup dengan kebutuhan primer (sandang, pangan, papan,
pendidikan, dan saran pendidikan) tetapi kebutuhan lainya seperti hiburan,
rekreasi, sarana ibadah, saran untuk transportasi dan lingkungan yang serasi.
Kebutuhan diatas akan lebih memungkinkan dapat terpenuhi jika jumlah anggota
dalam keluarga sejumlah kecil.
b. Tempat tinggal
Suasana tempat tinggal sangat mempengaruhi kesejahteraan keluarga.
Keadaan tempat tinggal yang diatur sesuai dengan selera keindahan penghuninya,
19
akan lebih menimbulkan suasana yang tenang dan mengembirakan serta
menyejukan hati. Sebaliknya tempat tinggal yang tidak teratur, tidak jarang
meninbulkan kebosanan untuk menempati. Kadang-kadang sering terjadi
ketegangan antara anggota keluarga yang disebabkan kekacauan pikiran karena
tidak memperoleh rasa nyaman dan tentram akibat tidak teraturnya sasaran dan
keadaan tempat tinggal.
c. Keadaan sosial ekonomi keluarga.
Untuk mendapatkan kesejahteraan kelurga alasan yang paling kuat adalah
keadaan sosial dalam keluarga. Keadaan sosial dalam keluarga dapat dikatakan
baik atau harmonis, bilamana ada hubungan yang baik dan benar-benar didasari
ketulusan hati dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga.manifestasi daripada
hubungan yang benar-benar didasari ketulusan hati dan rasa penuh kasih sayang,
nampak dengan adanya saling hormat, menghormati, toleransi, bantu-membantu
dan saling mempercayai.
d. Keadaan ekonomi keluarga.
Ekonomi dalam keluarga meliputi keuangan dan sumber-sumber yang
dapat meningkatkan taraf hidup anggota kelurga makin terang pula cahaya
kehidupan keluarga. (BKKBN, 1994 : 18-21). Jadi semakin banyak sumber-
sumber keuangan / pendapatan yang diterima, maka akan meningkatkan taraf
hidup keluarga. Adapun sumber-sumber keuangan/ pendapatan dapat diperoleh
dari menyewakan tanah, pekerjaan lain diluar berdagang.
2. Faktor ekstern
20
Kesejahteraan keluarga perlu dipelihara dan terus dikembangan agar
terjadinya kegoncangan dan ketegangan jiwa diantara anggota keluarga perlu di
hindarkan, karena hal ini dapat menggagu ketentraman dan kenyamanan
kehidupan dan kesejahteraan keluarga.
Faktor yang dapat mengakibatkan kegoncangan jiwa dan ketentraman
batin anggota keluarga yang datangnya dari luar lingkungan keluarga antara lain:
a. Faktor manusia: iri hati, dan fitnah, ancaman fisik, pelanggaran norma.
b. Faktor alam: bahaya alam, kerusuhan dan berbagai macam virus penyakit.
c. Faktor ekonomi negara : pendapatan tiap penduduk atau income perkapita,
Inflasi.
4. Visi dan Misi Keluarga Berencana
BKKBN sebagai institusi yang selama ini mengemban tugas
menyukseskan program KB di Indonesia telah merevitalisasi visi dan misinya.
Visi BKKBN sekarang ini adalah “Penduduk Seimbang 2015” dengan misi
“Mewujudkan Pembangunanyang Berwawasan Kependudukan dan Mewujudkan
Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera” menggantikan visi sebelumnya “Seluruh
Keluarga Ikut KB” dan misi mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera”.
(BKKBN, 2010).
Revitalisasi visi dan misi BKKBN ini setidaknya mempertimbangkan dua
hal. Pertama, pasca disahkannya UU No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, BKKBN tidak lagi diamanatkan
sebagai lembaga yang menangani KB semata, tetapi juga menangani masalah
kependudukan.
21
Dengan demikian, menurut UU tersebut, BKKBN bukan lagi Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional tetapi menjadi Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional yang mengemban dua tugas sekaligus. Kedua,
Tahun 2010 adalah tahun pertama untuk menjabarkan dan melaksanakan berbagai
rencana strategis, rencana aksi, dan program-program pemerintah yang telah
tertuang dalam RPJMN dan telah pula dijabarkan dalam Rencana Strategis
(Renstra) BKKBN Tahun 2010-2014.
5. Kesejahteraan Keluarga
Keluarga merupakan bagian dari sistem dan berinteraksi dengan beragam
lingkungan (Sunarti 2007), artinya keluarga akan mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh lingkungan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi akan berpengaruh pada kualitas
kehidupan keluarga, atau dikenal dengan istilah kesejahteraan keluarga.
Kesejahteraan keluarga adalah terciptanya suatu keadaan yang harmonis dan
terpenuhinya kebutuhan jasmani serta sosial bagi anggota keluarga, tanpa
mengalami hambatan-hambatan yang serius di dalam lingkungan keluarga,
dan dalam menghadapi masalah-masalah keluarga akan mudah untuk di atasi
secara bersama oleh anggota keluarga, (Soetjipto 1992; Iskandar 2007),
sehingga standar kehidupan keluarga dapat terwujud (Soetjipto 1992).
Kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari
mengonsumsi pendapatan yang diterima (Rambe 2004), namun tingkatan dari
kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif (Rambe 2004;
Sumarti 1999) yang dibentuk masyarakat melalui interaksi sosial (sumarti 1999).
Lee dan Hanna (1990) dalam Iskandar (2007) mendefinisikan kesejahteraan
22
sebagai total dari net worth (kekayaan bersih) dan human capital wealth
(kesejahteraan sumberdaya manusia). Manfaat yang diperoleh merupakan nilai
atas aset yang dimiliki dikurangi hutang (liabilitas). Sedangkan kesejahteraan
SDM dapat diduga melalui pendapatan yang dihasilkan oleh SDM (human capital
income) yang ada saat ini, atau dihitung dari nilai pendapatan non aset.
Menetapkan indikator kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya
merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ini disebabkan
karena permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut satu bidang
saja, tetapi menyangkaut berbagai bidang kehidupan yang sangat kompleks. Oleh
karena itu, diperlukan pengetahuan pendekatan integrasi berbagai bidang disiplin
ilmu dan atau melalui pengalaman empirik berbagai kasus untuk dapat
menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku umum dan spesifik
(Prabawa 1998). Pedekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat
kesejahteraan keluarga yaitu berdasarkan pendekatan objektif dan subyektif.
Kesejahteraan Obyektif
Pendekatan obyektif diturunkan dari data kuantitatif diperoleh dari angka-angka
yang langsung dihitung dari aspek yang ditelaah. Pendekatan obyektif atau yang
dikenal dengan istilah kesejahteraan obyektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan
individu atau kelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan
tertentu baik ukuran ekonomi, sosial,maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain
tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan baku (tingkat
kesejahteraan semua masyarakat dianggap sama). Ukuran yang sering digunakan
yaitu terminologi uang, pemilikan akan tanah, pengetahuan, energi, keamanan,
23
dan lain-lain. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan konvensional untuk
kepentingan politik karena pengukurannya sangat praktis dan mudah dilakukan,
namun sedikit sekali menyentuh kebutuhan masyarakat yang sebenarnya
(Santamarina et. al diacu dalam suandi 2005). Untuk menentukan suatu keluarga
sudah digolongkan sejahtera atau belum tentunya diperlukan ukuran pendapatan
yang biasa disebut juga garis kemiskinan. Garis kemiskinan diartikan sebagai
tingkat pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum. Suatu
keluarga yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan, tentunya tidak dapat
memenuhi semua kebutuhan secara material. Tingkat kesejahteraan masyarakat
juga dapat terlihat dari tingkat kesehatan masyarakat. Penduduk yang mengalami
gangguan kesehatan selama sebulan dipandang sebagai salah satu indikasi
ketidaksejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Tingkat pendidikan
masyarakat juga sebagai salah satu indikator kesejahteraan rakyat. Ukuran yang
sangat mendasar adalah kemampuan baca tulis penduduk dewasa. Selain itu rata-
rata lama sekolah penduduk juga menjadi indikator kesejahteraan rakyat. Tingkat
partisipasi angkatan kerja (usia 15-64 tahun) adalah proporsi penduduk usia kerja
yang termasuk ke dalam angkatan kerja, yakni mereka yang bekerja dan mencari
pekerjaan. Pekerjaan merupakan salah satu aspek penting dalam mencapai
kepuasan individu dan memenuhi perekonmian rumah tangga dan kesejahteraan
keluarga. taraf dan pola konsumsi masyarakat juga dijadikan indikasi untuk
melihat tingkat kemiskinan keluarga. Berbagai indikator yang digunakan untuk
mengetahui taraf dan pola konsumsi adalah:
1) tingkat pendapatan
24
2) pengeluaran pangan dan non pangan
Penduduk miskin ditafsirkan sebagai penduduk yang pendapatannya
(didekati dengan pengeluaran) lebih kecil dari pendapatan yang dibutuhkan untuk
hidup secara layak. Kebutuhan tersebut diterjemahkan sebagai jumlah rupiah yang
dapat memenuhi kebutuhan konsumsi makanan setara 2100 kalori sehari,
perumahan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan (Badan Pusat Statistik 2006).
Badan Pusat Statistik (2001) diacu dalam Rambe (2004) mengemukakan bahwa
dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks sehingga suatu
taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari aspek tertentu.
Aspek spesifik yang dapat dijadikan indikator untuk mengamati kesejahteraan
rakyat yaitu: kependudukan, kesehatan, Pendidikan, meliputi kemampuan baca
tulis, tingkat partisipasi sekolah, dan fasilitas pendidikan, ketenagakerjaan, taraf
dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, dan kondisi sosial budaya.
Pengukuran kesejahteraan Berdasarkan Kriteria BPS
Sejarah, pendekatan, dan teknis pengukuran kemiskinan disadur dari BPS (2004).
Badan Pusat Statistik Pertama kali melakukan perhitungan jumlah penduduk dan
persentase penduduk miskin. Pendekatan yang sama dilakukan BPS sejak pertama
kali hingga saat ini dalam metode perhitungan penduduk miskin yaitu
menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs). Dengan
pendekatan ini kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam
dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan
maupun non-makanan yang bersifat mendasar.
25
Pengukuran Kesejahteraan Berdasarkan Kriteria BKKBN
BKKBN merumuskan konsep keluarga sejahtera yang dikelompokkan secara
bertahap menjadi keluarga sejahtera tahap I, keluarga sejahtera tahap II, keluarga
sejahtera tahap III, dan keluarga sejahtera tahap III plus. Batasan operasional dari
keluarga sejahtera adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan
dasar, kebutuhan sosial, kebutuhan psikologis, kebutuhan pengembangan, dan
kepedulian sosial (Sunarti 2008). Menurut Sunarti (2008), pada tahun 2005
dilakukan kajian indikator KS secara terbatas di kalangan BKKBN untuk
mengakomodir berbagai saran perbaikan. Hasil kajian tersebut menetapkan
terdapat perubahan indikator KS dari 23 item menjadi 21 item.
1. Keluarga KS I: umumnya anggota keluarga makan 2 kali atau lebih, anggota
keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah, dan
bepergian, rumah yang ditempati keluarga memiliki atap, lantai, dan dinding yang
baik, bila ada anggota keluarga yang sakit dibawa ke sarana kesehatan, bila
pasangan usia subur ingin ber KB, pergi ke pelayanan kontrasepsi, dan semua
anak umur 7-15 tahun dalam keluarga bersekolah.
2. Keluarga KS II: pada umumnya keluarga anggota keluarga melaksanakan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayannya, paling kurang sekali seminggu
seluruh anggota keluarga makan daging/ikan/telur, seluruh anggota keluarga
paling kurang satu stel pakaian dalam setahun, luas lantai rumah paling kurang 8
m2 untuk setiap penghuni 1 rumah, tiga bulan terakhir keluarga dalam keadaan
sehat sehingga dapat melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing, ada soerang
atau lebih keluarga yang memperoleh penghasilan Seluruh anggota keluarga umur
26
10-60 tahun bisa baca tulis latin, dan pasangan usia subur dengan 2 anak atau
lebih menggunakan alat/obat kontrasespsi.
3. Keluarga KS III: keluarga berupaya untuk meningkatkan pengetahuan agama,
sebagian keluarga menabung dalam bentuk uang atau barang, kebiasan keluarga
makan bersama paling kurang seminggu sekali dimanfaatkan untuk
berkomunikasi, keluarga sering ikut dalam kegiatan masyarakat di lingkungan
tempat tinggal, dan keluarga dapat informasi dari radio/TV/majalah/surat kabar.
Menurut Syarif dan Hartoyo (1993) faktor yang mempengaruhi kesejahteraan
keluarga terdiri dari faktor ekonomi dan bukan ekonomi. Faktor ekonomi berkaitan
dengan kemampuan keluarga dalam memperoleh pendapatan. Keluarga yang tidak
sejahtera memiliki pendapatan yang rendah. Rendahnya pendapatan menurut Sharp
et. al. (1996) disebabkan oleh adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya,
rendahnya SDM, serta perbedaan akses dan modal. Sementara faktor bukan
ekonomi yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga antara lain budaya, teknologi,
keamanan, kehidupan, dan kepastian hukum.
Rambe (2004) menyebutkan bahwa faktor yang menentukan kesejahteraan
keluarga tergantung pada indikator yang digunakan dalam mengukur kesejahteraan
keluarga. Selanjutnya dikatakan terdapat empat faktor yang konsisten berpengaruh
terhadap kesejahteraan keluarga yaitu pendidikan, kondisi tempat tinggal, harga,
dan pengeluaran.
6. Teori Pendapatan
Menurut Soekartawi (1987) perubahan tingkat pendapatan akan mempengaruhi
27
banyaknya barang yang akan dikonsumsi, pada tingkat pendapatan rumah tangga
yang rendah, maka pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari pendapatannya.
Hal ini berarti pengeluaran konsumsi bukan hanya dibiayai oleh pendapatan
mereka saja, tetapi juga dari sumber lain seperti tabungan yang dimiliki,penjualan
harta benda, atau dari pinjaman. Semakin tinggi tingkat pendapatannya maka
konsumsi yang dilakukan rumah tangga akan semakin besar pula. Bahkan sering
kali sering dijumpai dengan bertambahnya pendapatan, maka barang yang
dikonsumsi bukan hanya bertambah akan tetapi kualitas barang yang diminta pun
bertambah.