bab ii tinjauan pustaka a. pengertian kebangkrutan · menurut riyanto (2001: 331) penggolongan...
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kebangkrutan
Menurut Weston and Copeland (1992), kebangkrutan diartikan sebagai
kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk
menghasilkan laba. Kebangkrutan juga sering disebut likuidasi perusahaan atau
penutupan perusahaan atau insolvabilitas. Definisi lain dari kebangkrutan di
kemukakan oleh Adnan (2001), yang menyatakan bahwa kebangkrutan adalah
sebagai suatu kegagalan yang terjadi dalam perusahaan dan kegagalan tersebut
dapat di bedakan menjadi Kegagalan ekonomi (Economic distressed) dan
Kegagalan keuangan (Financial distressed).
Kegagalan dalam arti ekonomi di artikan sebagai perusahaan kehilangan
uang atau pendapatan perusahaan tidak mampu menutupi biayanya sendiri, hal
ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus
kas sebenarnya dari perusahaan tersebut jauh di bawah arus kas yang di
harapkan. Kegagalan juga terjadi karena tingkat pendapatan atas biaya historis
dari investasinya lebih kecil dari biaya modal perusahaan yang di keluarkan
untuk investasi tersebut.
Kegagalan keuangan juga dapat diartikan sebagai insolvensi arus kas,
insolvensi atas dasar arus kas tersebut ada dua bentuk, yaitu:
a. Insolevensi teknis, yaitu terjadi apabila perusahaan tidak mampu
memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo walaupun total aktivanya
sudah melebihi total hutang
11
b. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan, yaitu didefinisikan sebagai
kekayaan bersih neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas
yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban
Sementara itu, menurut Sunarto (2006:37) kebangkrutan adalah :
“Kebangkrutan atau kepailitan adalah kegagalan bisnis yang terjadi apabila
kewajiban / hutang hutang perusahaan lebih besar daripada nilai pasar yang
wajar dari aktiva-aktivanya”.
Menurut Hadad (2003:10) pengertian failure (kepailitan) di Indonesia
mengacu pada peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No.1 tahun
1998 tentang perubahan atas Undang-undang kepailitan, yang menyebutkan :
1. Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur atau tidak membayar
sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan tidak dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas
permohonannya sendiri, maupun permintaan seorang atau lebih krediturnya.
2. Permohonan sebagaimana disebut dalam butir diatas, dapat juga diajukan
oleh kebijaksanaan untuk kepentingan umum. Undang-undang kepailitan
pada dasarnya menyatakan bagaimana menyelesaikan sengketa yang
muncul dikala satu perusahaan tidak bisa lagi memenuhi kewajiban utang,
juga bagaimana menangani pertikaian antara individu yang berkaitan
dengan bisnis yang djalankan. Ada beberapa kriteria penting :
a) Pembukuan harus jelas. Penilaian aktiva harus transparan dan dengan
cara yang diakui umum (international standart).
b) Tingkat gradasi utang piutang berdasarkan tanggungan menentukan
siapa yang boleh didahulukan dalam menyelesaikan masalah hutang
12
misalnya : sebuah perusahaan bangkrut, siapa yang berhak memproleh
pembayaran terlebih dahulu dan siapa yang kemudian.
c) Acara hukum perdata mengatur siapa yang berkepentingan, pihak
pengatur kebangkrutan, pengadilan mana yang kompeten dan bagaimana
cara atau proses yang harus dilakukan untuk menyelesaikan perkara ini.
d) Penentapan sanksi oleh pengadilan yang berwenang andai kata satu
pihak tidak memenuhi janji beberapa aktual yang diberikan kepada
perusahaan yang merasa mampu membereskan utang-utangnya.
e) Sekalipun dinyatakan pailit, tentunya perusahaan masih bisa berjalan
sementara dalam hal ini ditetapkan persyaratan-persyaratannya dan
siapa yang harus mengawasi proses penyehatannya. Suatu perusahaan
yang dinyatakan pailit tidak perlu langsung menghentikan semua
kegiatannya, mereka harus diberi kesempatan untuk membereskan
keuangan dan kegiatan yang lain demi kepentingan penagih utang.
f) Penyelesaian sengketa boleh dijalankan lewat arbitrase di luar pengadilan.
g) Perusahaan dinyatakan pailit atau bangkrut apabila dalam jangka waktu
tertentu tidak bisa melakukan pembayaran pokok dan atau bunganya.
Kepailitan juga bisa diminta pemilik perusahaan juga oleh para penagih
utang.
Berdasar penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kebangkrutan
merupakan suatu kegagalan yang ditunjukkan oleh ketidakmampuan suatu
perusahaan dalam melanjutkan kegiatan operasinya dikarenakan
kewajibannya lebih besar daripada aktivanya. Sehingga dapat dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya
sendiri, maupun permintaan seorang atau lebih krediturnya.
13
B. Manfaat Informasi Prediksi Kebangkrutan
Informasi tentang prediksi kebangkrutan suatu perusahaan akan sangat
bermanfaat bagi beberapa kalangan. Menurut Mamduh dan Halim (2003: 261)
informasi prediksi kebangkrutan dapat bermanfaat untuk:
1. Pemberi pinjaman
Informasi kebangkrutan digunakan untuk pengambilan keputusan tentang
pemberian pinjaman dan monitoring
2. Investor
Informasi kebangkrutan digunakan untuk pengambilan keputusan
terhadap surat berharga Perusahaan.
3. Pihak pemerintah
Informasi kebangkrutan digunakan untuk melakukan tindakan awal yang
bisa dilakukan terutama terhadap perusahaan BUMN.
4. Akuntan
Informasi kebangkrutan digunakan untuk menilai kemampuan going
concern suatu perusahaan
5. Manajemen
Informasi kebangkrutan digunakan untuk melakukan langkah-langkah
preventif sehingga biaya kebangkrutan bisa di hindari dan atau
diminimalisir.
C. Faktor-faktor Penyebab Kebangkrutan
Kebangkrutan bisa disebabkan oleh banyak faktor. Dalam beberapa
kasus alasannya bisa dikenali setelah analisis laporan keuangan. Tapi ada
beberapa kasus dimana perusahaan sedang mengalami penurunan, namun
14
beberapa item dalam laporan keuangan masih menunjukkan kinerja jangka
pendek yang baik (Kordestani, et.al; 2011). Ada beberapa perusahaan yang
mengalami tahapan kebangkrutan. Namun ada juga yang tidak mengalami
tahapan kebangkrutan.
Faktor – faktor penyebab kebangkrutan perusahaan berasal dari dalam
dan luar perusahaan. Menurut Darsono dan Ashari (2005), faktor yang
menyebabkan kebangkrutan perusahaan dari sisi internal yaitu:
a. Penyalahgunaan wewenang oleh karyawan maupun pemilik
perusahaan yang merugikan perusahaan baik secara finansial maupun struktural
perusahaan. Penyalahgunaan wewenang tersebut dapat berupa pemecatan
karyawan demi kepentingan pribadi, bukan karena ketidakmampuan karyawan
tersebut mengikuti tujuan perusahaan.
b. Manajemen yang buruk dapat merugikan perusahaan karena arah dan
tujuan perusahaan ditentukan oleh manajemen. Ketika manajemen salah dalam
mengambil kebijakan atau tidak mampu menganalisa kebutuhan pasar maka hal
tersebut akan dimanfaatkan oleh pesaing untuk mengambil keuntungan sehingga
mengakibatkan kerugian.
Sementara itu, menurut Weston dan Copeland (1992), faktor – faktor
penyebab kebangkrutan perusahaan yang berasal dari luar perusahaan yaitu :
a. Ekonomi.
Faktor-faktor penyebab kebangkrutan dari sektor ekonomi adalah
gejala inflasi dan deflasi dalam harga barang dan jasa, kebijakan
keuangan, suku bunga dan devaluasi atau revaluasi uang dalam
hubungannya dengan uang asing serta neraca pembayaran, surplus
atau defisit dalam hubungannya dengan perdagangan luar negeri.
15
b. Sosial
Faktor sosial sangat berpengaruh terhadap kebangkrutan
cenderung pada perubahan gaya hidup atau trend yang sedang
terjadi di masyarakat yang mempengaruhi permintaan terhadap
produk perusahaan. Faktor sosial yang lain yaitu kerusuhan atau
kekacauan yang terjadi di masyarakat.
c. Pemerintah
Pengaruh dari sektor pemerintah berasal dari kebijakan
pemerintah terhadap pencabutan subsidi pada perusahaan dan
industri, pengenaan tarif ekspor dan impor barang, kebijakan undang-
undang baru bagi perbankan atau tenaga kerja dan lain-lain.
D. Klasifikasi Saham Perusahaan
Pada umumnya efek yang diperdagangkan di bursa diklasifikasikan ke
dalam beberapa kelompok oleh para pelaku pasar. Saham ,misalnya
diklasifikasikan berdasarkan nilai kapitalisasinya,yakni jumlah saham yang
beredar dikalikan harga pasarnya.Menurut Cahyono (2000), nilai kapitalisasi
saham terbagi menjadi:
1. Blue Chip
Sekelompok saham yang dinamakan blue chip atau sering juga
disebut Alpha stocks. Saham ini umumnya diterbitkan oleh perusahaan
besar dan jumlahnya sangat banyak.Karena jumlah saham yang beredar
banyak,saham ini dimiliki oleh banyak investor. Banyaknya jumlah lembar
saham dan pemegangnya membuat saham ini sangat mudah
16
diperdagangkan (likuid). Likuiditas saham itu sendiri pada gilirannya
menjadi daya tarik tersendiri bagi calon investor. Oleh sebab itu tidaklah
mengherankan kalau kelompok saham ini mendominasi perdagangan dan
kontribusinya terhadap total perdagangan sangat besar.
2. Second liner
Ada yang menamakan kelompok dibawah blue chip sebagai
kelompok Second liners (saham barisan kedua) atau beta shares. Dari
segi kapitalisasi dan frekuensi perdagangan, kelompok ini umumnya lebih
kecil dibandingkan blue chip. Umumnya saham kelompok ini diterbitkan
oleh perusahaan yang sedang berkembang dan mempunyai potensi
pertumbuhan yang besar untuk menjadi saham blue chip, kinerja saham
dan keuangan saham kelompok ini belum cukup teruji.
3. Third liners.
Kelompok saham yang lebih kecil dan lebih jarang
ditranksaksikan. Kelompok ini ada yang menamakan saham third liners
atau gamma stock.
4. Saham tidur.
Saham yang jarang ditranksaksikan. Kalaupun ada transaksi,
sering kali dibuat oleh pihak yang berkepentingan di dalam perusahaan
agar tetap bisa dicatatkan di bursa efek tempat saham tersebut
dicatatkan.
Menurut Sulistyastuti ( 2002), Kapitalisasi perusahaan yaitu suatu harga
saham perusahaan yang merujuk kepada nilai perusahaan tersebut. Klasifikasi
17
saham berdasarkan nilai kapitalisasi perusahaan terbagi atas tiga jenis yaitu Big
Capitalization, Mid Capitalization, Small Capitalization
a. Big Capitalization
Merupakan kelompok saham yang berkapitalisasi besar dengan nilai
di atas satu triliun. Saham-saham yang termasuk big Capitalization
biasanya disebut juga dengan saham bluechip atau saham papan
atas atau saham lapis pertama. Saham-saham yang berkapitalisasi
besar memberikan kontribusi 75% - 80% dari seluruh kapitalisasi
pasar di BEI.
b. Mid Capitalization
Merupakan kelompok saham yang berkapitalisasi besar dengan nilai
kapitalisasi Rp.100 milyar–Rp. 1 triliun. Saham yang termasuk middle
Capitalization disebut juga saham baby blue chip atau saham lapis
kedua. Saham yang berkapitalisasi menengah ini memberikan
kontribusi 15% - 17% dari seluruh kapitalisasi pasar di BEI.
c. Small Capitalization
Merupakan kelompok saham yang memiliki nilai kapitalisasi kecil di
bawah seratus milyar. Biasanya saham-saham yang termasuk dalam
small Capitalization adalah saham yang jarang diperdagangkan yang
bersifat tidak stabil dalam pergerakan harga sahamnya. Saham
dengan kapitalisasi kecil, memberikan kontribusi sekitar 3% dari
seluruh kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia.
18
E. Rasio Keuangan untuk Memprediksi Kebangkrutan
Salah satu aspek pentingnya analisis rasio keuangan suatu perusahaan
adalah kegunaanya untuk meramalkan kontinuitas atau kelangsungan hidup
perusahaan. Prediksi akan kontinuitas sangat penting bagi manajemen dan
pemilik perusahaan sehingga kebangkrutan dapat segara dianti sipasi. Analisis
rasio merupakan bentuk atau cara yang umum digunakan dalam analisis laporan
finansial. Dimaksud laporan financial adalah hasil dari proses akuntansi yang
dapat digunakan sebagaialat untuk mengkomunikasikan data keuangan atau
aktivitas perusahaan kepada pihak yangberkepentingan. Pihak berkepentingan
tersebut, dibagai dalam dua bagian yaitu pihak interal dan pihak eksternal (Hery ;
2012)
Analisis rasio dapat digunakan untuk menyingkap hubungan dan
sekaligus menjadi dasar pembandingan yang menunjukkan kondisi atau
kecenderungan yang tidak dapat dideteksi bila hanya melihat komponen -
komponen rasio itu sendiri. Analisis rasio bertujuan untuk menilai efektivitas
keputusan yang telah diambil oleh perusahaan dalam rangka menjalankan
aktivitas usahanya. Sedangkan analisis rasio keuangan menurut (Sartono, 1996)
adalah “suatu analisis yang digunakan untuk menilai kondisi keuangan dan
prestasi perusahaan” .
Rasio menggambarkan suatu hubungan atau perimbangan antara suatu
jumlah tertentu dengan jumlah yang lain, dan dengan menggunakan alat analisis
berupa rasio akan dapat memberikan gambaran kepada penganalisa tentang
baik atau buruknya keadaan tentang posisi keuangan suatu perusahaan
terutama apabila dibandingkan dengan angka rasio pembanding yang digunakan
sebagai standar (Munawir, 2000:64).
19
Menurut Riyanto (2001: 331) penggolongan rasio keuangan adalah
sebagai berikut:
1. Rasio likuiditas adalah rasio yang dimaksudkan untuk mengukur
likuiditas perusahaan misalnya current ratio, acid test ratio, cash
ratio, working capital to total asset ratio. Rasio likuiditas digunakan
untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban
keuangan jangka pendek yang harus segera dipenuhi, atau
kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan pada
saat ditagih.
2. Rasio laverage adalah rasio-rasio yang dimaksudkan untuk mengukur
sampai seberapa jauh aktiva perusahaan dibiayai dengan utang,
misalnya total debt to total asset ratio, total debt to total capital asset,
long debt to equity ratio, tangible asset debt coverage, time interest
earned ratio.
3. Rasio aktivitas adalah rasio-rasio yang digunakan untuk mengukur
sampai seberapa besar efektivitas perusahaan dalam
mengerjakansumber-sumber dayanya, misalnya total asset turnover,
receivableturnover, average collection period, inventory turnover,
average daysinventory, working capital turnover.
F. Beberapa Model Prediksi Kebangkrutan
Beberapa model prediksi kebangkrutan, diantaranya model Zmijewski
(1984), model Springate (1978), model Altman Z-score (1968), model Fulmer
(U.S. – 1984, Model Blasztk System(1984), dan Model CA-Score (1987).
20
1. Model Zmijewski
Zmijewski (1984) menggunakan analisis rasio yang mengukur kinerja,
leverage, dan likuiditas suatu perusahaan untuk model prediksinya.
Zmijewski menggunakan probit analisis yang diterapkan pada 40
perusahaan yang telah bangkrut dan 800 perusahaan yang masih bertahan
saat itu. Model yang berhasil dikembangkan yaitu:
X = -4.3-4.5X1 +5.7X2 -0.004X3
Dimana:
X1 = ROA (return on asset)
X2 = Leverage (debt ratio)
X3 = Likuiditas (current ratio)
Jika skor yang diperoleh sebuah perusahaan dari model prediksi
kebangkrutan ini melebihi 0 maka perusahaan diprediksi berpotensi
mengalami kebangkrutan. Sebaliknya, jika sebuah perusahaan memiliki
skor yang kurang dari 0 maka perusahaan diprediksi tidak berpotensi untuk
mengalami kebangkrutan.
2. Model Springate
Model ini dikembangkan oleh Springate (1978) dengan menggunakan
analisis multidiskriminan, dengan menggunakan 40 perusahaan sebagai
sampelnya. Model ini dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan
dengan tingkat keakuratan 92,5%. Model yang berhasil dikembangkan oleh
Springate adalah:
S=1.03A + 3.07B + 0.66C + 0.4D
Dimana :
A = working capital/total asset
21
B = net profit before interest and taxes/total asset
C = net profit before taxes/current liabilities
D = sales/total asset
Model Springate ini mengklasifikasikan perusahaan dengan skor S >
0,862 merupakan perusahaan yang tidak berpotensi bangkrut, begitu juga
sebaliknyajika perusahaan memiliki skor S < 0,862 diklasifikasikan sebagai
perusahaan yangtidak sehat dan berpotensi untuk bangkrut.
3. Model Altman Z-score
Pada tahun 1968, Altman menerapkan Multiple Discriminant Analysis
(MDA) untuk pertama kalinya. Analisis diskriminan yang dilakukan Altman
dengan mengidentifikasikan rasio-rasio keuangan menghasilkan suatu
model yang dapat memprediksi perusahaan yang memiliki kemungkinan
tinggi untuk bangkrut dan tidak bangkrut. Penggunaan sampelnya
dilakukan pada 66 perusahaan, 33 gagal dan 33 sukses. Tingkat
keakuratan yang dicapai oleh model Altman’s yaitu sebesar 95%.
Bentuk formula yang digunakan pada model Altman’s adalah :
Z = 1.2A + 1.4B + 3.3C + 0.6D + 0.999E
Dimana:
A= working capital/total asset
B= retained earnings/total asset
C= earnings before interest and taxes/total asset
D= market capitalization/book value of debt
E= sales/total asset
Model Altman ini mengklasifikasikan perusahaan dengan skor Z >
2.675 merupakan perusahaan yang tidak berpotensi bangkrut, begitu juga
22
sebaliknyajika perusahaan memiliki skor Z < 2.675 diklasifikasikan sebagai
perusahaan yangtidak sehat dan berpotensi untuk bangkrut.
Model yang dikembangkan oleh Altman ini mengalami suatu revisi.
Revisi yang dilakukan oleh Altman merupakan penyesuaian yang dilakukan
agar model prediksi kebangkrutan ini tidak hanya untuk perusahaan
manufaktur yang go publik melainkan juga dapat diaplikasikan untuk
perusahaan-perusahaan di sektor swasta.
Model yang dikenal sebagai Revised Altman’s Z-Score dengan fungsi
diskriminan sebagai berikut (Altman, 2000):
Z = 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,420X4 + 0,988X5
Dimana:
X1 = Working Capital / Total Asset
X2 = Retained Earnings / Total Asset
X3 = Earning Before Interest and Taxes/Total Asset
X4 = Book Value of Equity / Book Value of Total Debt
X5 = Sales / Total Asset
Model Altman Z-Score mengklasifikasikan perusahaan dengan skor <
1,23 berpotensi untuk mengalami kebangkrutan. Skor 1,23 – 2,90
diklasifikasikan sebagai grey area, sedangkan perusahaan dengan skor >
2,90 diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak berpotensi mengalami
kebangkrutan.
4. Model Fulmer
Fulmer (1984) menggunakan MDA untuk mengukur 40 rasio
keuangan yang digunakan pada 60 sampel perusahaan, 30 gagal dan 30
23
sukses rata-rata ukuran asset yang dimilki perusahaan sebesar $455.000.
Model ini menggunakan pendekatan sebagai berikut:
H = 5.528(V1) + 0.212(V2) + 0.073(V3) + 1.270(V4) – 0.120(V5) +
2.335(V6) + 0.575(V7) + 1.083(V8) + 0.894(V9) – 6.075
Dimana :
V1 = Retained Earning/Total Assets
V2 = Sales/Total Assets
V3 = EBT/Total Assets
V4 = Cash Flow/Total Debt
V5 = Debt/Total Assets
V6 = Current Liabilities/Total Assets
V7 = Log Tangible/Total Assets
V8 = Working Capital/Total Debt
V9 = Log EBIT/Interest
Model Fulmer mengklasifikasikan perusahaan dengan skor < 0
berpotensi untuk mengalami kebangkrutan. Perusahaan dengan skor > 0
diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak berpotensi mengalami
kebangkrutan.
Fulmer melaporkan bahwa 98% tingkat keakuratan dalam
pengklasifikasian yang diuji pada perusahaan satu tahun menjelang
kebangkrutan dan 81% dengan tingkat keakuratan lebih dari satu tahun
menjelang kebangkrutan.
5. Model Blasztk System
Model Blasztk System (1984; dalam Grama, 2008) merupakan satu-
satunya metode prediksi kegagalan yang mana pada penguraiannya tidak
24
menggunakan MDA. Sistem ini dikembangkan oleh William Blaztk pada
tahun 1984. Intisari dari sistem ini bahwa perhitungan rasio keuangan
perusahaan yang akan ditaksir, berdasarkan bobot dan dibandingkan
dengan rasio rata-rata perusahaan yang berada pada industri yang sama.
Satu keunggulan dari metode ini dimana penilaiannya dilakukan
dengan membandingkan antar perusahaan lain dalam industri yang
sama.
6. Model CA-Score
Model CA-Score (1987; dalam Boritz, et.al; 2007) dianjurkan oleh
The Ordre des compattable sebagaimana yang diakui oleh Quebee
(Quebee CA’s) dan menurut pengembangannya bahwa telah digunakan
lebih dari 1,000 CA’s in Quebee.
Model ini dikembangkan di bawah pimpinan Jean Legault University
of Quebee di Montreal, menggunakan langkah Mulitiple Discriminant
Analysis. 30 rasio keuangan dianalisis pada sampel dari 173 perusahaan
manufaktur di Quebee yang mana memiliki kisaran penjualan antara $1-20
juta. Model ini menggunakan bentuk formulasi sebagai berikut :
CA-Score = 4.5913 (*shareholders’investment(1)/total assets(1)) + 4.5080
(earnings before taxes and extraordinary items + financial expenses(1)/total
assets(1)) + 0.3936 (sales(2)/total assets(2)) – 2.7616
Catatan: (1) Gambaran satu periode sebelum kebangkrutan
(2) Gambaran dua periode sebelum kebangkrutan
Model CA-Score mengklasifikasikan perusahaan dengan skor < -0.3
berpotensi untuk mengalami kebangkrutan. Perusahaan dengan skor > -0.3
25
diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak berpotensi mengalami
kebangkrutan.
G. Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan deteksi kebangkrutan
sehingga memunculkan berbagai model prediksi kebangkrutan yang digunakan
sebagai alat untuk memperbaiki kondisi perusahaan sebelum perusahaan
mengalami kebangkrutan
Penelitian Marcelinda, et.al; (2014) ingin menguji keakuratan prediksi
kebangkrutan model Altman Z-Score ditinjau dari pendapat auditor pada
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Data yang
digunakan pada penelitian inimerupakan data sekunder yang diperoleh dari
laporan keuangan tahunan perusahaan manufaktur selama periode 2010-
2012yang termuat dalam situs resmi Bursa Efek Indonesia. Penelitian ini
dilakukan dengan memilih perusahaan manufaktur yangterdaftar di Bursa Efek
Indonesia pada periode yaitu 2010-2012 dan yang mempunyai laporan auditor
independen sesuaidengan tingkat kriteria pemberian pendapat auditor pada
periode yaitu 2010-2012. Metode analisis yang digunakan adalah dengan
menggunakan metode Altman Z-Score dan meninjau akurasi model Altman Z-
Score dengan pendapat auditor. Hasilpenelitian ini menunjukkan bahwa
prosentase keakuratan model Altman Z-Score ditinjau dengan pendapat audito
rmenghasilkan tingkat akurasi prediksi sebesar 27,96%. Hal ini berarti bahwa
model prediksi kebangkrutan Altman Z-Score mempunyai tingkat akurasi yang
rendah.
26
Hadi dan Anggraeni ( 2008) dalam penelitiannya ini untuk mengetahui
prediktor delisting terbaik pada Bursa Efek Indonesia (BEI). Tiga prediktor
kebangkrutan yang terkenal adalah Model Zmijewski, Model Altman, dan Model
Springate. Penelitian ini menggunakan ketiga model tersebut untuk memprediksi
delisting. Penelitian ini mengambil semua data delisting data BEI tahun 2003 –
2007 kecuali data delisting bank. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model
Zmijewski tidak bisa memprediksi delisting. Sedangkan Model Altman dan Model
Springate cukup mampu memprediksi delisting secara moderat. Penelitian ini
menemukan bahwa model Altman merupakan prediktor delisting terbaik.
Peter dan Yoseph (2011) menganalisis kebangkrutan dengan metode Z-
Score Altman, Springate dan Zmijewski pada PT. Indofood Sukses Makmur tbk
periode 2005 – 2009. Hasil penelitiannya dengan mengunakan model Altman Z-
score menunjukkan PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. untuk tahun 2005-2009
berpotensi bangkrut sepanjang periode tersebut. Analisis kebangkrutan dengan
mengunakan model Springate PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. Pada tahun
2005, 2006, dan 2009 perusahaan diklasifikasikan sebagai perusahaan yang
tidak berpotensi bangkrut sedangkan untuk tahun 2007 dan 2008 perusahaan di
klasifikasikan sebagain perusahan yang berpotensi bangkrut. Analisis
kebangkrutan dengan mengunakan model Zmijewski PT. Indofood Sukses
Makmur Tbk., pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009 perusahaan
diklasifikasikan sebagai perusahaan yang tidak berpotensi bangkrut.
Fatmawati (2008) dalam penelitiannya pada perusahaan di BEI tahun
2003-2009 menunjukan bahwa dari ketiga model prediktor delisting yang
digunakan model Zmijewski lebih akurat dalam memprediksi perusahaan
delisting, dibandingkan dengan modelAltman dan model Springate. Hal ini karena
27
model Zmijewski lebih menekankan besarnya utang dalam memprediksi
delisting. Semakin besar jumlah utang maka akan semakin akurat diprediksi
sebagai perusahaan delisting, sedangkan model Altman dan model Springate
lebih menekankan pada ukuran profitabilitas. Semakin kecil profitabilitas
yangdihasilkan maka akan semakin tepat diprediksi sebagaiperusahaan delisting.
Kondisi perusahaan delisting yang menjadi objek pengamatan memiliki
kecenderungan masih mampu menghasilkan profit, namun memiliki jumlah utang
yang relatif besar.
Pratiwi dan Supriadi (2014) menganalisis kebangkrutan pada PT Indo
Tambangraya Megah Tbk dan PT Bukit Asam Tbk. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa hasil angka DER (Debt Equity Rasio) dan WACC
(Weighted Average Cost Of Capital ) terhadap Prediksi Kebangkrutan
perusahaan “tidak signifikan”/ tidak memberikan pengaruh, karena naik atau
turunnya angka DER dan WACC tidak mampu mempengaruhi naik turunnya
angka Z-Score. Hal ini membuktikan bahwa perusahaan telah mampu
mengoptimalkan laverage operasional yang ada dalam perusahaan sehingga
segala biaya-biaya yang harus dikeluarkan tidak melebihi dari laba yang diterma
perusahaan.
Tambunan, et al (2015) melakukan peneltian untuk mengetahui kondisi
kesehatan keuangan subsektor rokok yang listing dan perusahaan delisting
tahun 2009 – 2013 di Bursa Efek Indonesia, serta mengetahui tanda – tanda
kegagalan bisnis yang mengarah pada kebangkrutan, jika ditinjau dengan
menggunakan metode Altman (Z-Score). Jenis data yang digunakan pada
penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari situs www.sahamok.com
dan www.idx.co.id. Penelitian ini dilakukan terhadap 3 perusahaan rokok yang
28
listing dan 3 perusahaan delisting di Bursa Efek Indonesia tahun 2009 - 2013.
Peristiwa kebangkrutan pada pasar modal diindikasikan dengan dihapusnya
saham perusahaan (delisting) dari Bursa Efek Indonesia, sehingga penelitian ini
sejalan dengan dengan kinerja Altman yaitu membandingkan perusahaan yang
belum bangkrut, dengan perusahaan yang telah dinyatakan bangkrut. Pada
perusahaan listing terdapat 1 perusahaan yang masuk dalam kategori rawan
yang terjadi pada tahun 2012, dan kemudian masuk dalam kategori bangkrut
ditahun 2013, sedangkan 2 perusahaan lainya selalu masuk dalam kategori
sehat selama 5 tahun berturut – turut. Perusahaan delisting yang terdiri atas 3
perusahaan menunjukkan, bahwa terdapat 1 perusahaan yang pernah masuk
dalam kategori rawan selama 2 tahun berturut – turut, sedangkan 3 tahun
analisis lainya masuk dalam kategori bangkrut. Dua perusahaan lainnya berbeda
karena selalu masuk dalam kategori bangkrut selama 5 tahun analisis. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat keakuratan metode Altman (Z-Score) tinggi.
Prihanthini dan Ratna Sari (2013) memprediksi kebangkrutan Perusahaan
Food and Beverage di Bursa Efek Indonesia dengan model Grover, Altman z-
score, Springate dan Zmijewski. Penelitian dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya perbedaan model Grover dengan model Altman Z-Score, model Grover
dengan model Springate, dan model Grover dengan model Zmijewski serta untuk
mengetahui model prediksi kebangkrutan yang terakurat. Kesimpulan hasil
pengujian penelitian ini menunjukkan perbedaan signifikan antara model Grover
dengan model Altman Z-Score, model Grover dengan model Springate, serta
model Grover dengan model Zmijewski serta tingkat akurasi tertinggi yang diraih
model Grover kemudian disusul oleh model Springate, model Zmijewski, dan
terakhir model Altman Z-score.
29
H. Kerangka Pemikiran
Prediksi kebangkrutan perusahaan properti di Bursa Efek Indonesia dapat
menggunakan berbagai model di antaranya Altman Z-score, Springate, dan
model Zmijewski. Model Altman Z-score menggunakan variable independen,
yaitu Working Capital to Total Assets, Retained Earnings to Total Assets,
Earnings Before Interest Tax to Total Assets, Market Value of Equity to Book
Value of Debt, dan Sales to Total Assets. Kemudian menggunakan data kelima
variable tersebut, dapat dihitung Z-Score, dan perusahaan properti dapat
diklasifikasikan ke dalam perusahaan berpotensi mengalami kebangkrutan dan
perusahaan yang tidak berpotensi mengalami kebangkrutan.
Model Springate menggunakan variable independen working capital to
total asset, net profit before interest and taxes to total asset, net profit before
taxes to current liabilities, dan sales to total asset. Kemudian menggunakan
data keempat variabel tersebut, dapat dihitung Springate Score. Berdasar Score
ini, perusahaan properti dapat diklasifikasikan ke dalam perusahaan berpotensi
mengalami kebangkrutan dan perusahaan yang tidak berpotensi mengalami
kebangkrutan. Sementara itu, Model Zmijewski menggunakan analisis rasio yang
mengukur kinerja, leverage, dan likuiditas suatu perusahaan untuk model
prediksinya. Berdasar rasio tersebut, dapat dihitung probabilitas kebangkrutan
perusahaan properti. Selanjutnya, berdasar hasil temuan ketiga model tersebut,
dapat dibedakan secara statistik dengan menggunakakan Uji Chi-Square (Kai-
Kuadrat).
30
Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan
sebagai berikut.
Gambar II.1 Skema Kerangka Pemikiran
a. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara masalah penelitian. Hipotesis
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Terdapat hasil prediksi potensi kebangkrutan pada perusahaan
properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesi berdasarkan model
Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski.
2. Terdapat perbedaan signifikan hasil potensi prediksi kebangkrutan
perusahaan properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesi
berdasarkan model Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski.
3. Terdapat tingkat perbedaan prediksi potensial kebangkrutan di antara
model Z-score Altman, Springate, dan Zmijewski dengan kenyataan
yang ada.
Lapran Keuangan Perusahaan Properti Di Bursa Efek Indonesia
Prediksi Potensi
Kebangkrutan Model
Zmijewski
Prediksi Potensi
Kebangkrutan Model
Altman Z-score
Prediksi Potensi
Kebangkrutan Model
Springate
Tingkat Perbedaan Prediksi Kebangkrutan
Analisis Uji Chi
Square