bab ii tinjauan pustaka a. skizofreniarepository.poltekkes-tjk.ac.id/746/5/6. bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Skizofrenia
1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat
mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku individu. Skizofrenia adalah
bagian dari gangguan psikosis yang terutama ditandai dengan kehilangan
pemahaman terhadap realitas dan hilangnya daya tilik diri (Yudhantara dan
istiqomah,2018:1).
Skizofrenia adalah suatu sindrom yang ditandai oleh manifestasi
psikologis spesifik. Manifestasi ini meliputi halusinasi auditorik,waham,
gangguan pikiran, dan gangguan perilaku (Neal,2006:60).
Skizofrenia merupakan bentuk psikosis fungsional paling berat, dan
menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat,
pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas,sehingga pemikiran dan
perilakunya abnormal (Ingram,dkk,1993:51).
2. Etiologi dan Epidemiologi
Penyebab spesifik skizofrenia tidak diketahui . Beberapa teori terjadinya
schizophrenia seperti : (Luana,2007)
a. Model diatesis-stress.
Menurut teori ini skizofrenia timbul akibat faktor psikososial dan
lingkungan. Model ini berpendapat bahwa seseorang yang memiliki
kerentanan (diatesis) jika dikenai stresor akan lebih mudah menjadi
skizofrenia.
b. Faktor Biologi
1. Komplikasi kelahiran
Bayi laki laki yang mengalami komplikasi saat dilahirkan sering mengalami
skizofrenia, hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan seseorang
terhadap skizofrenia.
2. Infeksi
Penelitian pada penderita skizofrenia menunjukkan adanya infeksi virus pada
7
trimester kedua kehamilan, mengakibatkan perubahan anatomi susunan syaraf
pusat.
3. Hipotesis Dopamin
Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang berkontribusi terhadap
gejala skizofrenia. Oleh karena itu, antipsikotik tipikal maupun antipikal
menghambat reseptor dopamin D2,sehingga gejala psikotik dapat diredakan.
Berdasarkan pengamatan diatas dikemukakan bahwa gejala gejala skizofrenia
disebabkan oleh hiperaktivitas sistem dopaminergik.
4. Hipotesis Serotonin
Serotonin berperan pada skizofrenia ditujukan oleh penelitian terhadap
Lysergic acid diethylamide (LSD) yang bersifat bersifat campuran
agonis/antagonis reseptor 5-HT, jika diberikan pada orang normal dapat
menyebabkan keadaan psikosis berat. Penelitian terhadap antipsikotik atipikal
clozapine, dimana afinitas terhadap reseptor serotonin 5-HT~ lebih tinggi
dibandingkan reseptor dopamin D2.
5. Struktur Otak
Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem limbik dan
ganglia basalis. Otak pada pendenta skizofrenia terlihat sedikit berbeda
dengan orang normal, ventrikel terlihat melebar, penurunan massa abu abu
dan beberapa area terjadi peningkatan maupun penurunan aktifitas metabolik.
c. Genetika
Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1%
dari populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan
derajat pertama seperti orang tua, kakak laki laki ataupun perempuan dengan
skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti
paman, bibi, kakek / nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan
populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita
skizofrenia sedangkan kembar dizigotik 12%. Anak dan kedua orang tua yang
skizofrenia berpeluang 40%, satu orang tua 12% (Luana,2007).
Prevalensi penderita skizofrenia didunia sekitar 0,2-2%, di Amerika
Serikat bervariasi antara 1% sampai 1,5% dengan angka kejadian 1 per 10.000
orang per tahun (Luana,2007). Prevalensi berdasarkan jenis kelamin adalah
8
sama. Onset untuk laki-laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 23-35
tahun. Prognosis (hasil akhir) pada laki-laki lebih buruk dibandingkan wanita
(Kaplan et all, 2010).
3. Diagnosis dan Penggolongan
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi
ketiga (PPDGJ III) membagi symptom schizophrenia dalam kelompok
penting, dan yang sering terdapat secara bersama-sama untuk diagnosis
(Depkes RI,1993). Pedoman diagnostic untuk schizofrenia menunjukkan
minimal terdapat satu gejala berikut ini yang amat jelas, yaitu :
a. Thought echo, yaitu isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya ( tidak keras). Thought insertion atau withdrawal, yaitu isi
pikiran asing masuk kedalam pikirannya atau isi pikiran diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya. Thougt broadcasting, yaitu isi pikiran tersiar keluar
sehingga orang lain mengetahuinya
b. Delusion of control, yaitu waham tentang dirinya yang dikendalikan,
dipengaruhi, serta tidak berdaya terhadap suatu kekuatan dari luar. Delusio of
influence, yaitu waham tentang dirinya yang dipengaruhi kekuatan luar.
Delusion of passivity, yaitu waham tentang dirinya yang tidak berdaya dan
pasrah terhadap kekuatan luar. Delusion perception, yaitu pengalaman indera
yang tidak wajar namun bermakna khas bagi dirinya biasanya bersifat mistik
atau mukjizat
c. Halusinasi auditorik, yaitu halusinasi suara yang terus menerus berkomentar
tentang perilakunya, berdiskusi sendiri, atau suara lain dari salah satu bagian
tubuh.
d. Waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat tidak wajar dan
mustahil.
Diagnosis juga dapat ditegakkan jika terdapat minimal dua gejala yang harus
selalu ada secara jelas, yaitu : (Sadock BJ and Sadock VA,2010:155).
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera, dapat diikuti oleh waham atau ide-
ide berlebihan yang menetap terjadi setiap hari selama berminggu-minggu
atau berbulan-bulan.
9
b. Neologisme, jeda atau interpolasi dalam arus pikir yang mengakibatkan
inkoherensi atau bicara tidak relevan
c. Perilaku katatonik, seperti gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu, atau
fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor
d. Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara jarang, dan respons emosional
tumpul atau tidak wajar, sehingga mengakibatkan menarik diri dari pergaulan
sosial dan menurunnya kinerja sosial.
4. Sub tipe skizofrenia
Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders Fourth Edition
(DSM-IV) Mengklasifikasikan skizofrenia menjadi beberapa subtype, yaitu:
(Sadock BJ and Sadock VA,2010:155-158).
a. Skizofrenia Paranoid
Tipe ini ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau lebih waham atau
halusinasi auditorik yang sering serta tidak adanya perilaku spesifik yang
sugestif untuk tipe hebefrenik atau katatonik. Secara klasik, skizofrenia tipe ini
ditandai dengan gejala utamanya adalah adanya waham kejar atau waham
kebesaran. Pasien skizofrenia tipe paranoid menunjukkan regresi kemampuan
mental, respons emosional, dan perilaku yang lebih ringan dibandingkan
pasien skizofrenia tipe lain.
b. Skizofrenia Disorgenized (Hefebrenik)
Tipe ini merupakan tipe yang paling parah dimana penderita mengalami
kemunduran secara mental dan kembali seperti kehidupan seorang anak-anak.
Skizofrenia tipe disorganized ditandai dengan regresi nyata ke perilaku priitif,
tak terinhibisi, dan kacau, serta dengan tidak adanya gejala yang memenuhi
kriteria katatonik. Onset subtype ini biasanya dini, yaitu sebelum usia 25
tahun. Pasien hefebrenik memiliki gangguan berpikir yang menonjol dan
kontak dengan realitas buruk. Penampilan pribadi dan perilaku social
berantakan, respon emosional tidak sesuai, dan tawa mereka sering meledak
tanpa alasan jelas.
c. Skizofrenia Katatonik
Tipe katatonik ditunjukkan dengan adanya gangguan nyata fungsi motoric,
seperti stupor, negativisme, rigiditas, eksitasi, atau berpostur. Selama stupor
10
atau eksitasi katatonik, pasien memrlukan pengawasan yang cermat untuk
mencegah mereka menyakiti diri sendiri atau orang lain. Perawatan medis
mungkin diperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau
cedera yang disebabkan diri sendiri.
d. Skizofrenia tak terdefinisi.
Gangguan skizofrenia dengan gejala tidak khas yang tidak dapat digolongkan
pada subkategori lain.
e. Skizofrenia Residual
Skizofrenia tipe residual ditandai dengan bukti kontinu adanya gangguan
skizofrenik tanpa serangkaian lengkap gejala aktif atau gejala yang memadai
untuk memenuhi diagnosis skizofrenia tipe lain. Gejala yang sering tampak
biasanya berupa emosional menumpul, penarikan social, perilaku eksentrik,
pemikiran tidak logis, dan asosiasi longgar ringan. Bila terjadi waham atau
halusinasi, biasanya tidak prominen atau tidak disertai afek yang kuat.
5. Prognosis dan gejala
Prognosis merupakan ramalan kemungkinan perjalanan dan hasil akhir
gangguan skizofrenia. Penderita skizofrenia mempunyai gejala sisa dengan
keparahan yang bervariasi. Secara umum 25% individu sembuh sempurna,
40% mengalami kekambuhan dan 35% mengalami perburukan. Beberapa
factor yang dapat memberikan prognosis yang baik antara lain : usia tua, factor
pencetus jelas, onset akut, riwayat social/pekerjaan premorbid (terjadi sebelum
berkembangnya penyakit) baik, gejala depresi, menikah, riwayat keluarga
gangguan mood, sistem pendukung baik. Sedangkan onset muda, tidak ada
factor pencetus, onset tidak jelas, riwayat social buruk, autistic, tidak
menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem pendukung buruk,
gejala negative, riwayat trauma prenatal, tidak remisi dalam 3 tahun, sering
relaps dan riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk
(Luana,2007).
Perjalanan gejala schizofrenia merupakan perkembangan gangguan
melalui fase-fase (Lehman, 2004)
1. Fase premorbid
Pada fase ini, fungsi-fungsi individu masih dalam keadaan normal.
11
2. Fase prodromal
Pada fase ini terdapat perubahan fungsi pada fase premorbid menuju saat
muncul simptom psikotik selama beberapa minggu atau bulan, lama terjadinya
fase prodromal rata-rata antara 2 sampai 5 tahun. Pada fase ini, individu
mengalami kemunduran dalam fungsi-fungsi yang mendasar (pekerjaan social
dan rekreasi) dan muncul simptom yang nonspesifik, misal gangguan tidur,
ansietas, iritabilitas, mood depresi, konsentrasi berkurang, mudah lelah, dan
adanya defisit perilaku misalnya kemunduran fungsi peran dan penarikan
sosial. Simptom positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase
prodromal yang berarti mendekati psikosis.
3. Fase psikotik
a. Fase akut. Pada fase ini, dijumpai gambaran psikotik yang jelas, misalnya
waham, halusinasi, gangguan proses pikir, dan pikiran yang kacau. Simtom
negatif sering menjadi lebih parah dan individu biasanya tidak mampu untuk
mengurus dirinya sendiri secara pantas.
b. Fase stabilisasi berlangsung selama 6-18 bulan, setelah dilakukan acute
treatment.
c. Fase stabil. Pada fase ini, simptom negatif lebih terlihat dan residual dari
simptom positif.. Pada beberapa individu bisa dijumpai asimtomatis,
sedangkan individu lain mengalami simptom nonpsikotik misalnya, merasa
tegang (tension), ansietas, depresi, atau insomnia.
National Institute of Mental Health menuliskan bahwa Gejala skizofrenia
terbagi dalam tiga kategori besar, yaitu gejala positif, gejala negative, dan
gejala kognitif.
a. Gejala Positif
1. Halusinasi adalah pengalaman panca indra tanpa adanya rangsangan.
Penderita skizofrenia merasa melihat, mendengar, mencium,meraba atau
menyentuh sesuatu yang tidak ada.
2. Delusi adalah suatu keyakinan yang tidak rasional. Meskipun telah dibuktikan
bahwa kepercayaan itu tidak logis, namun penderita tetap meyakini
kebenarannya.
12
3. Disorganisasi pikiran dan pembicaraan meliputi tidak runtutnya pola
pembicaraan dan penggunaan bahasa yang tidak lazim pada orang dengan
skizofrenia. Gangguan berpikir pada skizofrenia ini adalah ketika seseorang
berhenti berbicara tiba-tiba ditengah-tengah pemikiran. Ketika ditanya
mengapa dia berhenti berbicara, orang tersebut mungkin mengatakan bahwa
rasanya seolah-olah pikiran itu telah dikeluarkan dari kepalanya. Akhirnya
seseorang dengan gangguan pikiran mungkin membuat kata-kata yang tidak
berarti atau neologisme.
4. Disorganisasi perilaku meliputi aktivitas psikomotor yang tidak biasa
dilakukan orang normal, seperti gelisah,tidak dapat diam, gaduh.
b. Gejala negative
Gejala negative dikaitkan dengan gangguan pada emosi normal dan gejala-
gejala ini lebih sulit untuk dikenali sebagi bagian dari gangguan dan dapat
disalahartikan sebagai depresi atau kondisi lainnya. Gejala-gejala tersebut
antara lain (Lieberman and Tasman, 2006) :
1) “Efek datar” (berkurangnya ekspresi emosi melalui ekspresi wajah atau nada
suara)
2) Penarikan diri (emosional withdrawal)
3) Apatis (merasa acuh tak acuh atau kurang emosi)
4) Kurang berbicara
5) Anhedonia (kehilangan atau penurunan dalam minat, motivasi dan kesenangan
dalam beraktivitas)
c. Gejala kognitif
Gejala kognitif melibatkan masalah memori dan perhatian. Gejala ini mungkin
yang paling mengganggu pada pasien skizofrenia karena mempengaruhi
kemampuan penderita untuk melakukan tugas sehari-hari seperti masalah
memahami informasi dan menentukan pilihan, kesulitan dalam memberikan
perhatian, dan masalah ingatan.
B. Penatalaksanaan Skizofrenia
Karena Skizofrenia adalah penyakit kronis yang mempengaruhi hamper
semua aspek kehidupan orang yang menderita, perencanaan pengobatan
13
memiliki tiga tujuan yaitu mengurangi atau menghilangkan gejala,
memaksimalkan kualitas hidup dan fungsi adaptif, dan mempertahankan
pemulihan dari efek penyakit yang terdegradasi semaksimal mungkin.
(Lehman, 2004).
Pengobatan terhadap gejala skizofrenia dapat dilaksanakan dengan terapi
farmakologi dan non farmakologi (terapi psikososial).
1. Terapi Non farmakologi
Menurut Surilena dalam oktovina enderita gangguan jiwa memerlukan
perawatan psikososial, selain penggunaan obat-obatan. Terapi psikososial
merupakan terapi perawatan untuk membantu penderita mengatasi penyakit
sehingga menjadi lebih mandiri, serta lebih teratur dalam menjalani
pengobatan dan dapat menghindari kekambuhan. Tujuan dari terapi
psikososial adalah membantu penderita dalam melakukan penyesuaian dengan
kehidupan di dalam masyarakat, meningkatkan hubungan, dan mengambil
bagian dalam kesembuhan mereka sendiri (Oktovina, 2009).
Beberapa macam metode psikososial yang dapat dilakukan, yaitu :
1. Psikoterapi individual
2. Terapi kelompok
3. Terapi berorientasi-keluarga
4. Terapi perilaku
2. Terapi Farmakologi
Cara utama pengobatan skizofrenia adalah menggunakan obat-obat
antipsikotik (Puri BK,dll,2000). Obat antipsikotik bekerja dengan
menginterfensi transmisi dopaminergic pada otak dengan menghambat
reseptor dopamine D2 yang dapat meningkatkan efek ekstrapiramidal dan efek
hiperprolaktinemia (IONI, 2017).
Antipsikotik terbukti efektif untuk meredakan gejala skizofrenia hingga
70-80%, memperpendek jangka waktu pasien di rumah sakit jiwa, dan
mencegah kambuhnya penyakit. Namun, obat-obatan tersebut tidak untuk
penyembuhan secara menyeluruh. Mayoritas pasien harus melanjutkan terapi
dengan perbaikan dosis pengobatan agar berfungsi diluar rumah sakit.
14
Golongan antipsikotik dibagi menjadi dua yaitu antipsikotik generasi pertama
(tipikal) dan antipsikotik generasi kedua (atipikal) (Putri, 2015).
Antipsikotik dibedakan atas:
a. Antipsikotik tipikal (antipsikotik generasi pertama) seperti klorpromazin,
flufenazin, thioridazin, dan haloperidol
b. Antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua) seperti: klozapin,
olanzapin, risperidon, quetiapin, dan aripiprazol (Lehman,2004).
Lehman dan Lieberman,(2004) membedakan subgolongan antipsikotik
secara ringkas terlihat pada tabel 2.3.
Tabel 2. 1 Perbedaan Antipsikotik Tipikal dengan Atipikal
TIPIKAL ATIPIKAL
Generasi lama Generasi baru (tahun 1990 an)
Memblok reseptor dopamine D2 Memblok reseptor 5-HT (serotonin),
afinitas efek blok D2 rendah
Efek samping EPS besar Efek samping EPS rendah
Efek untuk mengatasi gejala positif
Efek untuk mengatasi gejala baik
positif maupun negative
Potensi rendah : Klorpromazin,
Tioridazin, Mesoridazin,
Potensi tinggi : Flufenazin, Perfenazin,
Thiotixene, Haloperidol
Clozapin, Risperidon, Olanzapin,
Quetiapin, Ziprasidon, Aripiprazol
Antipsikotik memiliki efek samping yaitu gejala ekstrapiramidal. Gejala ini
mudah dikenali tetapi tidak dapat diperkirakan secara akurat Karena bergantung
pada dosis, jenis obat, dan kondisi individual pasien. Gejala ekstrapiramidal
termasuk diantaranya (Lieberman and Tasman, 2006) :
1. Gejala Parkinson (termasuk tremor,akinesia, dan bradikinesia)
2. Distonia (kontraksi otot yang berkelanjutan dengan postur memutar,
memlintir, atau abnormal yang mempengaruhi terutama otot kepala dan leher
tetapi kadang-kadang batang tubuh dan ekstremitas bawah )
3. Akatisia (restlessness) muncul sebagai agitasi psikomotorik, seperti mondar-
mandir terus-menerus, bergoyang dari kaki ke kaki, atau ketidakmampuan
untuk duduk diam.
15
Selain efek ekstrapiramidal, ada beberapa efek samping lainnya termasuk :
a. Tardive dyskinesia
b. Sindrom Maligna Neuroleptik (NMS) ditandai dengan tiga serangkaian
kekakuan, hipertermia, dan ketidakstabilan otonom terkait penggunaan
antipsikotik
c. Endokrin dan efek seksual
d. Efek Metabolik ( seperti kenaikan berat badan, hiperglikemia, hyperlipidemia,
aksaserbasi DM tipe 1 dan tipe 2)
e. Efek Kardiovaskular (seperti hipotensi ortostatik, takikardia)
f. Efek gastro-intestinal (Seperti mulut kering, konstipasi, retensi urin, dan
pandangan kabur)
g. Efek hepar
h. Efek hematologi
i. Efek Sedasi dan kejang
Obat-obatan lithium (Mood stabilizer) dan antiepileptik, antidepresan dan
antiansietas juga telah digunakan untuk mengobati gejala skizofrenia positif.
Namun, obat-obatan ini belum terbukti sebagai alternative yang efektif untuk
terapi antipsikotik, juga belum ada hasil penelitian yang konsisten mengenai
manfaat yang meningkat secara substansial ketika mereka digunakan dalam
kombinasi dengan antipsikotik. Subkelompok kecil pasien mungkin secara
responsif berbeda terhadap kelas obat selain antipsikotik, tetapi tanpa adanya
identifikasi terlebih dahulu pasien mana yang akan merespon dengan baik,
sulit untuk membuktikan atau menolak proposisi ini (Sadock BJ and Sadock
VA,2000).
16
Keterangan :
AGK : Antipsikotik Generasi Kedua
AGP : Antipsikotik Generasi Pertamaa
ECT : Terapi Elektrokonvulsif
Gambar 2.1 Alur penatalaksanaan Skizofrenia
(Sumber: The Texas Departement of State Health Service,2008)
Episode pertama atau belum pernah mendapat terapi AGK sebelumnya
Tahap 1
Pemberian AGK tunggal
Respon sebagian atau tidak ada
Tahap 2
Pemberian AGK tunggal alternative (selain yang diberikan pada tahap 1 )
Respon sebagian atau tidak ada
Tahap 2A
Pemberian AGP atau AGK tunggal
Tahap 3
Klozapin
Respon sebagian atau tidak ada
Tahap 4
Klozapin + (AGP,AGK, atau ECT)
Tidak ada respon
Tahap 5
Pemberian AGP atau AGK tunggal
Tahap 6
Terapi kombinasi, yaitu AGK + AGP, kombinasi AGK + ECT, AGP atau AGK + agen lain
(misalnya penstabil mood)
17
a. Antipsikotik Tipikal
Antipsikotik tipikal berguna terutama untuk mengontrol gejala-gejala
positif pada penderita skizofrenia. Obat antipsikotik tipikal disubklasifikasikan
lagi sesuai dengan struktur kimia dan efek klinik. Cara lain untuk
mengklasifikasikannya yaitu sesuai dengan potensinya. Sesuai dengan
potensinya, Antipsikotik tipikal diklasifikasikan sebagai berpotensi
rendah,sedang dan tinggi. Pembagian ini berguna bagi klinikus karena ia dapat
memberikan informasi tentang banyak obat yang dibutuhkan untuk
mendapatkan efek klinik dan perkiraan efek samping yang akan terjadi
(Buku,2010:181).
Menurut Baldessarini dalam Oktovina, Antipsikotik tipikal terbagi atas
potensi tinggi pada dosis kurang atau sama dengan 10 mg seperti
trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini
digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis,
menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah pada dosis lebih
dan 50 mg seperti klorpromazine dan thiondazine pada penderita dengan
gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur (Oktovina,2009).
b. Antipsikotik Atipikal
Menurut Alan F and Charles B dalam Putri, antipsikotik atipikal juga
dikenal sebagai antagonis serotonin-dopamin. Antipsikotik atipikal, kecuali
klozapin, menjadi pilihan pertama dalam terapi skizofrenia dan secara
bertahap menggantikan antipsikotik tipikal. Mekanisme kerjanya adalah
berafinitas terhadap reseptor dopamin-2 (D2) dan reseptor serotonin 5-HT2
(antagonis serotonin-dopamin) dan memiliki efek menurunkan gejala
ekstrapiramidal (EPS) dan mengatasi gejala negative (Putri,2015).
Clozapin, Risperidon, Olanzapin, Quetiapin, Ziprasidon, Aripiprazol
merupakan contoh obat-obat antipsikotik generasi kedua atau antipsikotik
atipikal (Lehman dan Lieberman,2004). Disebut atipikal karena obat golongan
ini hampir tidak menimbulkan efek ekstrapiramidal (Farmakologi…, 2016).
18
c. Antiansietas
Gejala ansietas umumnya berkaitan dengan depresi dan terutama dengan
gangguan distimia, gangguan panik, gangguan pola makan, dan banyak
gangguan kepribadian. Saat ini, benzodiazepine merupakan farmakoterapi
yang paling umum yang diberikan untuk gangguan ansietas klinis umum
(Brunton L, et all, 2008). Menurut Lacy dalam oktovina, selain sebagai
antianxietas golongan benzodiazepine digunakan sebagai antikonvulsi,
pelemas otot, induksi anestesi umum, hipnotik, untuk pengobatan simtomatik
penyakit psiconeurosis, dan terapi tambahan somatic dengan ciri anxietas,
serta ketegangan mental (Oktovina, 2009). Benzodiazepin diberikan pada
pasien skizofrenia untuk mencegah atau menangani masalah EPS (Novitayani
Sri,2018).
d. Antidepresi
1) Golongan Antidepresi Trisiklik
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat ambilan kembali
neurotransmitter diotak. Dari beraneka jenis antidepresi trisiklik terdapat
perbedaan potensi dan selektivitas hambatan ambilan kembali berbagai
neurotransmiter. Ada yang sangat sensitif terhadap norepinefrin, ada yang
sensitive terhadap serotonin dan ada pula yang sensitif terhadap dopamine.
Tidak jelas hubungan antara mekanisme penghambatan ambilan kembali
katekolamin dengan efek antidepresinya. Contoh obat golongan ini adalah
imipramine, amitriptilin, desipramin, nortriptilin, klomipramin, doksepin,
opipramol, dan trimipramin (Farmakologi…, 2016).
2) Golongan Ambilan Serotonin yang Selektif
Golongan obat ini kurang memperlihatkan pengaruh terhadap kolinergik,
adrenergik atau histaminergik, sehingga efek sampingnya lebih ringan. Tidak
ada bukti kuat bahwa efektivitasnya lebih baik dari obat antidepresi terdahulu.
Toleransi lebih banyak terjadi dengan obat antidepresi baru (Farmakologi…,
2016).
Obat ini merupakan golongan obat yang secara spesifik menghambat
ambilan serotonin (SSRI) obat yang termasuk golongan ini adalah fluoksetin,
paroksetin, sertraline, fluvoksamin, sitalopram, dan S-sitalopram
19
(Farmakologi…, 2016). Dalam kombinasi dengan antipsikotik, antidepresan
sering digunakan untuk mengobati gejala psikotik negatif (Bole VC, 2017).
3) Antiepilepsi
Antiepilepsi (sodium valproate dan phenytoin) keduanya merupakan obat-obat
klasik yang utama digunakan untuk kejang parsial dan kejang umum tonik-
klonik. Efek samping penggunaan antipsikotik berupa distonia akut atau
kejang otot ditangani dengan pemberian obat-obat antiepilepsi (Nisa
Aulia,2004).
4) Lithium
Lithium sebagai satu-satunya pengobatan yang memiliki efektivitas terbatas
dalam skizofrenia. Laporan sebelumnya menunjukkan bahwa ketika
ditambahkan ke obat antipsikotik, lithium menambah respon antipsikotik, dan
meningkatkan gejala negative secara khusus (Lehman,2004).
C. Rumah Sakit
1. Definisi Rumah Sakit
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat
(Permenkes, No.56, 2014).
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung merupakan salah satu jenis
Rumah Sakit Jiwa/ Rumah sakit ketergantungan obat di negara kesatuan
republik indonesia dengan kode Rumah Sakit 1871176 yang pada tanggal 5-
Aug-2017 tergolong dalam kelas Rumah Sakit Tipe B yang dipimpin oleh
direktur dr. Ansyori, Rumah Sakit Jiwa/ RSKO terselenggara oleh
Pemerintah Provinsi. Rawat jalan adalah pelayanan medis kepada seorang
pasien untuk tujuan pengamatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, dana
pelayanan kesehatan lainnya, tanpa mengharuskan pasien tersebut dirawat
inap. Keuntungannya, pasien tidak perlu mengeluarkan biaya untuk
menginap (opname). Dalam pelayanan pasien rawat jalan terdapat pasien
rawat jalan terdapat pasien dari IGD dan poliklinik dengan pembiayaan dan
BPJS (JKN).
20
Pasien umum adalah pasien yang pembiayaannya ditanggung sendiri,
sedangkan pasien BPJS adalah yang pembiayaannya ditanggung oleh
BPJS/asuransi.
2. Tugas dan fungsi Rumah Sakit
Menurut UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, tugas dan
fungsi Rumah Sakit adalah:
a. Tugas Rumah Sakit
Rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna.
b. Fungsi Rumah Sakit
Untuk menjalani tugas secara benar, Rumah Sakit memiliki beberapa
fungsi yaitu:
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan Rumah Sakit.
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningktan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
d. Penyelengaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengtahuan bidang kesehatan.
3. Jenis rumah sakit
Berdasarkan UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Rumah
Sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya.
Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah sakit dikategorikan
dalam Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus.
a. Rumah Sakit Umum sebagaimana dimaksud memebrikan pelayanan
kesehatan kepada semua bidang dan jenis penyakit.
b. Rumah Sakit khusus sebagaimana yang dimaksud memberikan pelayanan
yang utama pada satu bidang atau jenis penyakit tertentu berdasarkan.
Berdasarkan penggolongannya Rumah Sakit dapat dibagi menjadi Rumah
Sakit publik dan Rumah Sakit privat.
21
a. Rumah Sakit publik sebagaimana dimaksud dapat dikelola oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba.
b. Rumah Sakit privat sebagaimana dimaksud dikelola oleh badan hukum
dengan tujuan profil yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.
c. Klasifikasi Rumah Sakit
Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan
fungsi rujukan, Rumah Sakit umum dan Rumah Sakit khusus diklasifikasikan
berdasarkan fasilitas pelayanan Rumah Sakit. Menurut UU RI No. 44 tahun
2009 tetang Rumah Sakit yaitu :
Rumah Sakit Khusus diklasifikasikan menjadi:
a. Rumah Sakit Khusus Kelas A;
b. Rumah Sakit Khusus Kelas B; dan
c. Rumah Sakit Khusus Kelas C.
Rumah Sakit Khusus harus mempunyai fasilitas dan kemampuan, paling
sedikit meliputi:
a. pelayanan, yang diselenggarakan meliputi:
1. pelayanan medik, paling sedikit terdiri dari:
a) pelayanan gawat darurat, tersedia 24 (dua puluh empat) jam
sehari terus menerus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b) pelayanan medik umum;
c) pelayanan medik spesialis dasar sesuai dengan kekhususan;
d) pelayanan medik spesialis dan/atau subspesialis sesuai kekhususan;
e) pelayanan medik spesialis penunjang;
2. pelayanan kefarmasian;
3. pelayanan keperawatan;
4. pelayanan penunjang klinik; dan
5. pelayanan penunjang nonklinik;
b. sumber daya manusia, paling sedikit terdiri dari:
1. tenaga medis, yang memiliki kewenangan menjalankan praktik kedokteran di
Rumah Sakit yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan;
22
3. tenaga kefarmasian, dengan kualifikasi apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan
kefarmasian Rumah Sakit.
4. tenaga keperawatan, dengan kualifikasi dan kompetensi yang sesuai dengan
kebutuhan pelayanan Rumah Sakit;
5. tenaga kesehatan lain dan tenaga nonkesehatan, sesuai dengan kebutuhan
pelayanan Rumah Sakit;
d. peralatan, yang memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. Pelayanan Kefarmasiaan di Rumah Sakit
Menurut Permenkes No. 58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit, menyebutkan bahwa standar pelayanan
kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi
tenaga kefarmasian dalam penyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu
kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan kegiatan pelayanan farmasi
klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana,
dan peralatan.
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan
Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of
life) terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi:
1. pengkajian dan pelayanan Resep;
Pengkajian Resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait
Obat, bila ditemukan masalah terkait Obat harus dikonsultasikan kepada
dokter penulis Resep. Apoteker harus melakukan pengkajian Resep sesuai
persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik
untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
a. nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien;
23
b. nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;
c. tanggal Resep; dan
d. ruangan/unit asal Resep.
Persyaratan farmasetik meliputi:
a. nama Obat, bentuk dan kekuatan sediaan;
b. dosis dan Jumlah Obat;
c. stabilitas; dan
d. aturan dan cara penggunaan.
Persyaratan klinis meliputi:
a. ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat;
b. duplikasi pengobatan;
c. alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
d. kontraindikasi; dan
e. interaksi Obat.
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada
apoteker, baik dalam bentuk paper maupun elektronik untuk menyediakan dan
menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (Permenkes, No.
58, 2014).
Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi, dokter
hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA) untuk menyiapkan dan
atau membuat, meracik, serta menyediakan obat pada pasien (Syamsuni,
2006)
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian
informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya
pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error).
penelusuran riwayat penggunaan Obat;
2. rekonsiliasi Obat;
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
4. konseling;
24
Rumus : C =
5. visite;
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
8. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
9. dispensing sediaan steril; dan
10. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
D. Daftar Obat Esensial Nasional
Daftar Obat Esensial Nasional, yang selanjutnya disebut DOEN
merupakan daftar obat terpilih yang paling dibutuhkan dan harus tersedia di
fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya. DOEN
harus diterapkan secara konsisten dan terus-menerus dalam pemberian
pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan (Kemenkes RI,2017).
E. Indikator Peresepan
Menurut WHO (1993) untuk mengukur baik atau buruknya praktek
peresepan difasilitas pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan melihat
indikator peresepan. Pada indikator peresepan, terdapat lima parameter yang
harus dinilai. Parameter tersebut dibuat berdasarkan masalah penggunaan obat
yang umum terjadi yaitu polifarmasi, pemilihan obat yang mahal, penggunaan
antibiotik dan injeksi yang berlebihan serta pemilihan obat yang tidak sesuai
dengan standar terapi yang ada (World Health Organization, 1993).
1. Rata – rata jumlah item obat perlembar resep (C)
Tujuan dari menghitung rata – rata jumlah item obat yang diresepkan
untuk tiap pasien adalah untuk mengukur tingkat polifarmasi. Dengan
prasyarat obat kombinasi yang digunakan dalam standar terapi dihitung
sebagai suatu obat. Menurut WHO rata – rata jumlah kombinasi obat dalam
sebuah resep di Indonesia adalah 3,3 item obat. Cara menghitung rata –
ratanya adalah jumlah item obat (B) dibagi dengan jumlah lembar resep (A)
(WHO, 1993).
25
Rumus :
2. Peresentase peresepan obat generik (E)
Tujuan untuk mengukur kecenderungan dengan meresepkan obat dengan
nama generik. Persyaratannya adalah peneliti harus dapat mengobservasi
nama generik obat yang ada dalam resep. Menurut WHO pelayanan kesehatan
di Indonesia rata-rata 59% obat diresepkan dengan nama generik. Pelayanan
kesehatan di Indonesia tersebut dapat dijadikan perbandingan kecenderungan
pemakaian obat generik yang digunakan pelayanan kesehatan. Pada prinsipnya
tidak ada perbedaan mengenai mutu, khasiat, dan keamanan antara obat
generik dan obat dengan nama dagang. Produksi obat generik juga
menerapkan cara pembuatan obat yang baik, seperti halnya obat dengan nama
dagang (Menkes RI, 2010). Menghitung presentase dengan cara jumlah obat
generik (D) dibagi dengan jumlah item obat yang diresepkan (B) dikali dengan
100 persen(WHO, 1993).
Rumus :
3. Persentase obat antibiotik yang diresepkan (G)
Tujuan untuk menghitung peresepan dengan antibiotik yang umumnya
digunakan secara berlebihan dan banyak menghabiskan biaya. Dengan
prasyarat peneliti harus memiliki daftar obat yang dihitung sebagai antibiotik.
Menurut WHO pelayanan kesehatan di Indonesia rata-rata 43% obat
diresepkan dengan antibiotik. Untuk menghitung persentasenya dengan cara:
jumlah total pasien yang menerima satu atau lebih antibiotik (F) dibagi dengan
jumlah lembar resep (A) lalu dikali dengan 100 persen(WHO,1993).
4. Persentase obat injeksi yang diresepkan (I)
Tujuan untuk menghitung peresepan dengan sediaan injeksi yang
umumnya digunakan secara berlebihan dan banyak menghabiskan biaya.
Dengan prasyarat peneliti harus memiliki daftar obat yang dihitung sebagai
26
injeksi. Menurut WHO pelayanan kesehatan di Indonesia rata-rata 17% obat
diresepkan dengan sediaan injeksi. Untuk mengitung persentasenya dengan
cara : Jumlah pasien yang diresepkan injeksi dibagi dengan jumlah total
lembar resep lalu dikali dengan 100 persen(WHO,1993).
5. Presentase obat yang diresepkan sesuai DOEN (K)
Tujuan untuk mengukur sejauh mana praktik sesuai dengan kebijakan obat
nasional, seperti yang ditunjukkan dengan resep dari DOEN atau formularium
untuk jenis fasilitas yang di survey. Dengan prasyarat peneliti harus memiliki
daftar obat esensial. Berdasarkan standar WHO (1993) rata – rata jumlah obat
yang telah sesuai dengan DOEN adalah 88%. Untuk menghitung
presentasenya dengan cara : jumlah item obat yang diresepkan sesuai DOEN
(J) dibagi dengan jumlah item obat (B) dikali dengan 100 persen (WHO,
1993).
Rumus : k = L/B x 100%
Rumus :
27
F. Kerangka Teori
Peresepan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi rawat jalan
di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung Pada tahun 2018
Gambar 2.2 Kerangka Teori
(Sumber: WHO,1993,Comphrehensive Textbook of Psychiatry (7th
ed), 2000)
Indikator peresepan pada pasien Skizofrenia
1. Rata-rata jumlah item obat
perlembar resep
2. Persentase peresepan obat generik
3. Persentase peresepan antibiotik
4. Persentase peresepan obat injeksi
5. Persentase peresepan obat sesuai
DOEN
(WHO, 1993)
Skizofrenia
Terapi
Farmakologi
Non Farmakologi
1. Antipsikotik :
a. Antipsikotik tipikal
b. Antipsikotik atipikal
2. Antiepilepsi
3. Antidepresan
4. Antiansietas
5. Penstabil mood
(lithium)
Dengan resep
Rawat jalan
1. Psikoterapi individual
2. Terapi kelompok
3. Terapi berorientasi-keluarga
4. Terapi perilaku
28
G. Kerangka Konsep
Peresepan obat antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi Rawat
Jalan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung Pada tahun 2018
Gambar 2.3 Kerangka Konsep
Peresepan obat pada pasien
Skizofrenia
1. Persentase jumlah
pasien skizofrenia
berdasarkan jenis
kelamin
2. Persentase jumlah
pasien skizofrenia
berdasarkan usia
3. Persentase Penggolongan
obat berdasarkan efek
farmakologinya
4. Rata – rata jumlah item
obat perlembar resep
5. Persentase peresepan
obat generik
6. Persentase peresepan
antibiotik
7. Persentase peresepan
obat injeksi
8. Persentase obat yang
diresepkan sesuai
DOEN
9.
10.
29
H. Definisi Operasional
Tabel 2.2 Definisi Operasional
No Variable Definisi
Oprasional
Cara Ukur Alat
ukur
Hasil Ukur Skala
Ukur
1. Jenis kelamin Identitas gender
responden
Observasi
Rekam
Medik
checklist 1. Laki-laki
2.Perempuan
Nominal
2 Usia Lama hidup pasien
dihitung sejak lahir
sampai saat dilakukan
pengambilan data oleh
peneliti
Observasi
Rekam
Medik
checklist 1. 0-1 tahun 2. 1-6 tahun 3. 6-10 tahun 4. 10-20 tahun 5. 20-40 tahun 6. 40-65 tahun 7. 65 tahun ke atas (Efendi, 2009)
Nominal
3 Penggolongan obat
berdasarkan efek
farmakologinya
Jumlah obat berdasarkan
berdasarkan efek
farmakologinya
Observasi
Rekam
Medik
checklist 1. Golongan
Antipsikotik
2.Golongan
Antidepresi
3.Golongan
Antiansietas
4.Golongan
Penstabil Mood
(lithium)
5.Golongan
Antiepileptik
(Nourquist, et all,
2000)
Nominal
4 Rata-rata jumlah
item obat
perlembar resep
Jumlah rata-rata obat
dalam satu kali
peresepan
Observasi
Rekam
Medik
checklist 1. 1 item
2. 2 item
3. 3 item
4. 4 item
5. 5 item
6. 6 item
7. 7 item
8. 8 item
9. 9 item
Ratio
5 Peresepan obat
generik
Jumlah obat yang sesuai
dengan nama
kandungan zat aktifnya
Observasi
Rekam
Medik
checklist 1. Generik
2. Non generik
Nominal
6
Peresepan obat
antibiotik
Peresepan obat yang
berkhasiat sebagai anti
infeksi bakteri
Observasi
Rekam
Medik
checklist 1. Antibiotik
2.Non antibiotik
Nominal
7 Peresepan dengan
injeksi
Bentuk sediaan obat
yang diberikan kepada
pasien secara injeksi
Observasi
Rekam
Medik
checklist 1. Injeksi
2. Non injeksi
Nominal
8 Obat yang
diresepkan sesuai
dengan DOEN
Jumlah obat yang sesuai
dengan DOEN
Observasi
Rekam
Medik
cheklist 1. Sesuai
2. Tidak sesuai
Nominal
30