bab ii tinjauan pustaka a. talas - repository.ipb.ac.id · talas bisa dijumpai hampir di seluruh...

16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TALAS Talas adalah nama untuk berbagai macam tumbuhan yang lazim ditanam untuk dimanfaatkan umbi atau daunnya. Talas tersebar dalam tiga genus tumbuhan yaitu Colocasia, Xanthosoma, dan Alocasia, dari famili Araceae. Keladi, dasheen, taro, sato imo dan eddo merupakan Colocasia, sedangkan kimpul, yautia, tannia dan malanga termasuk Xanthosoma, dan sente serta birah adalah Alocasia. Semua tanaman tersebut dinamakan talas (Nur, 1956). Talas merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat sebagian besar di dunia ini. Di dalam famili Araceae, talas yang sesungguhnya dikenal dengan nama Colocasia esculenta. Habitat tanaman ini diperkirakan berasal dari daerah tropis antara India dan Indonesia. Talas merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat daerah Pasifik, seperti New Zealand dan Australia (Matthews, 2004). Talas mempunyai beberapa nama umum yaitu Taro, Old cocoyam, ‘Dash(e)en’ dan ‘Eddo (e)’. Di beberapa negara dikenal dengan nama lain, seperti: Abalong (Philipina), Taioba (Brazil), Arvi (India), Keladi (Malaysia), Satoimo (Japan), Tayoba (Spanyol) dan Yu-tao (China). Gambar 1. Beberapa jenis talas asal Bogor Asal mula tanaman ini berasal dari daerah Asia Tenggara, menyebar ke China dalam abad pertama, Jepang dan daerah Asia Tenggara lainnya juga ke beberapa 5

Upload: truongduong

Post on 15-Mar-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TALAS

Talas adalah nama untuk berbagai macam tumbuhan yang lazim ditanam

untuk dimanfaatkan umbi atau daunnya. Talas tersebar dalam tiga genus tumbuhan

yaitu Colocasia, Xanthosoma, dan Alocasia, dari famili Araceae. Keladi, dasheen,

taro, sato imo dan eddo merupakan Colocasia, sedangkan kimpul, yautia, tannia dan

malanga termasuk Xanthosoma, dan sente serta birah adalah Alocasia. Semua

tanaman tersebut dinamakan talas (Nur, 1956).

Talas merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat sebagian besar di

dunia ini. Di dalam famili Araceae, talas yang sesungguhnya dikenal dengan nama

Colocasia esculenta. Habitat tanaman ini diperkirakan berasal dari daerah tropis

antara India dan Indonesia. Talas merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat

daerah Pasifik, seperti New Zealand dan Australia (Matthews, 2004). Talas

mempunyai beberapa nama umum yaitu Taro, Old cocoyam, ‘Dash(e)en’ dan ‘Eddo

(e)’. Di beberapa negara dikenal dengan nama lain, seperti: Abalong (Philipina),

Taioba (Brazil), Arvi (India), Keladi (Malaysia), Satoimo (Japan), Tayoba (Spanyol)

dan Yu-tao (China).

Gambar 1. Beberapa jenis talas asal Bogor

Asal mula tanaman ini berasal dari daerah Asia Tenggara, menyebar ke China

dalam abad pertama, Jepang dan daerah Asia Tenggara lainnya juga ke beberapa

5

pulau di Samudra Pasifik, terbawa oleh migrasi penduduk (Terry, 1981). Di Indonesia

talas bisa dijumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai

pegunungan di atas 1000 m dpl, baik liar maupun di budidaya.

Talas diklasifikasikan dalam tumbuhan berbiji (Spermatophyta) dengan biji

tertutup (Angiospermae) berkeping satu (Monocotyledonae). Talas merupakan

tumbuhan asli daerah tropis yang bersifat perennial herbaceous, yaitu tanaman yang

dapat tumbuh bertahun-tahun dan banyak mengandung air (Rukmana, 1998).

Tanaman talas bereproduksi secara vegetatif, yaitu dengan anakan, sulur,

umbi anak, atau pangkal umbi serta sebagian pelepahnya. Karena itulah tanaman ini

memiliki kecendrungan untuk membentuk kultivar dengan ciri–ciri serta syarat

tumbuh yang berbeda – beda ( sastrahidajat dan soemarno 1991).

Menurut Kay (1973), tanaman talas memiliki tinggi sekitar 40-200 cm,

sementara menurut Oschse et al. (1961) bentuk dan ukuran tanaman talas bervariasi,

umumnya memiliki tinggi sekitar 50–150 cm. Tanaman talas umumnya memiliki

jumlah bunga 2-5 buah yang muncul secara bersama–sama, dan tumbuh di antara

sudut daun (leaf axil ) dengan panjang 15 – 30 cm. Bunga jantan biasanya memiliki

benang sari sebanyak 2–3 buah, sedangkan bunga betina jarang terdapat pada

tanaman.

Talas merupakan tanaman umbi–umbian yang dapat mengeluarkan getah

berwarna putih seperti susu. Tanaman ini memiliki daun berbentuk perisai dan warna

daun yang sangat bervariasi tergantung varietasnya. Pada setiap permukaan daun dan

pelepah tanaman ini dilapisi oleh lapisan lilin untuk melindungi diri. Bentuk umbi

talas (colocasia escluenta ) adalah lonjong sampai agak membulat dan berdiameter

sekitar 10 cm. kulitnya berwarna kemerah – merahan dan dagingnya berwarna putih

keruh (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).

Umbi talas dapat dipanen setelah berumur 6–18 bulan, namun hal ini

bergantung pula pada varietasnya. Saat panen yang tepat ditandai dengan daun yang

mulai menguning sampai kering (Soesarsono, 1976 ).

Talas tumbuh tersebar di daerah tropis, sub tropis dan di daerah beriklim

sedang. Pembudidayaan talas dapat dilakukan pada daerah beriklim lembab (curah

6

hujan tinggi) dan daerah beriklim kering (curah hujan rendah). Curah hujan optimum

untuk pertumbuhan tanaman talas adalah 175 cm pertahun. Tanaman ini mudah

tumbuh pada lingkungan dengan suhu 25-300C, PH 5,5 – 6,5, kelembaban tinggi dan

drainase tanah yang baik. Tanaman talas umumnya dapat tumbuh pada ketinggian 0-

1300 m dpl.

Talas tidak memerlukan pengairan dalam pertumbuhannya, sehingga dapat

tumbuh dengan baik pada daerah kering dan basah. Ketersediaan air yang lebih

dominan dan aerasi tanah yang baik akan menunjang pertumbuhan tanaman ini

menjadi lebih baik lagi. Talas umumnya dapat tumbuh sepanjang tahun di sekitar

daerah dataran rendah sampai dataran tinggi (Onwueme, 1978).

Talas telah lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan untuk

membuat makanan kecil seperti talas goreng ataupun talas rebus. Di Indonesia,

provinsi Jawa barat merupakan salah satu daerah yang mengembangkan budidaya

talas. Tanaman talas di Jawa barat umumnya tumbuh pada ketinggian 400- 500 m

dari permukaan laut.

Tempat pengembangan talas di pulau Jawa antara lain Bogor dan Malang. Dua

daerah ini menghasilkan beberapa kultivar yang enak rasa umbinya. Tingkat produksi

tanaman talas tergantung pada kultivar, umur tanaman dan kondisi lingkungan tempat

tumbuh. Pada kondisi optimal, produktivitas talas dapat mencapai 30 ton/hektar.

Bogor merupakan salah satu daerah yang menjadi produsen talas di Indonesia.

Daerah ini memiliki berbagai jenis talas yang dibudidayakan, di antaranya ialah Talas

Sutera, Talas Bentul, Talas Padang, Talas Pandan dan Talas Ketan. Menurut

Sukendro dan Setiadireja (1950), berbagai varietas talas yang ada di bagi menjadi tiga

kelompok, yaitu:

1. Talas Pandan : Varietas ini mempunyai ciri berpohon pendek, bertangkai

daun agak keunguan, pangkal batang warna merah atau kemerahan dengan

umbi lonjong berkulit coklat dan daging buah berwarna keunguan. Talas

jenis ini memiliki aroma pandan yang khas saat di rebus.

7

2. Talas Ketan : talas ini lebih dikenal dengan sebutan talas mentega. Varietas

ini mempunyai ciri daun dan pelepah daun berwarna kuning keunguan,

umbi berwarna kuning dan besar.

3. Talas sutra : Varietas ini mempunyai ciri berdaun halus yang berwarna hijau

muda, pelepah daun hijau dengan pangkal berwarna putih dan umbi memiliki

warna putih dengan rasa yang sangat enak. Ciri –ciri varietas talas

ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Ciri – ciri beberapa varietas talas yang terdapat di Jawa barat.

Ciri – ciri Varietas talas

Pandan Lampung Sutra Ketan Bentul Padang

Warna :

- Daun

- Pangkal daun

- Pelepah daun

- Tangkai daun

- Daging umbi

Hijau

Kemerahan

Hijau

kemerahan

Keunguan

Keunguan

Kuning

keunguan

-

Kuning

keunguan

-

Kuning

Hijau

Putih

-

-

Putih

Hijau

-

Hijau

-

Putih

Hijau

-

Hijau

keunguan

-

Putih

Hijau

-

Hijau

keunguan

-

Putih

Ukuran umbi Sedang Besar Besar Kecil Kecil sedang

Aroma Pandan - - - - -

Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), komposisi kimia umbi talas

tergantung pada varietas, iklim, kesuburan tanah, dan umur panen. Umbi talas

mengandung Ca, P, dan Fe yang jumlahnya masih lebih besar dibandingkan umbi –

umbian lainnya seperti ubi kayu dan ubi jalar.

Umbi talas berpotensi sebagai sumber karbohidrat dan protein yang cukup

tinggi. Umbi talas juga mengandung lemak, vitamin A,B1 (Thiamin) dan sedikit

8

vitamin C. Umbi talas memiliki kandungan mineral Ca dan P yang cukup tinggi.

Mineral – mineral ini penting bagi pembentukan tulang dan gigi yang kuat. Untuk

kandungan gizi pada talas dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Kandungan gizi talas

Sumber : (1) Payne et al., 1941

(2) Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1972

(3) Rangai, 1977

Umbi talas memiliki nilai gizi yang cukup baik, nilai kandungan pati yang

tinggi pada talas menjadikan umbi talas bermanfaat sebagai sumber kalori tubuh dan

Kandungan Gizi Jumlah

(1) (2) (3)

Kalori (kal) - 98,00 85,00

Air (g) 75,1 73,00 77,50

Karbohidrat (g) 18,2 23,70 19,00

Protein (g) 2,00 1,90 2,50

Gula (g) 1,42 - -

Abu (g) 1,17 - -

Serat Kasar (g) 0,80 - -

Lemak (g) 0,20 0,20 0,20

Fosfor (mg) - 61,0 64,00

Kalsium (mg) - 28,00 32,00

Besi (mg) - 1,00 1,00

Natrium (mg) - - 7,00

Vitamin C (mg) - 4,00 10,00

Vitamin B1 (mg) - 0,13 0,18

Vitamin A (mg) - 20,00 Trace

Niacin (mg) - - 0,90

Riboflavin (mg) - - 0,04

9

juga sebagai bahan baku industri. Selain itu kandungan kadar karbohidrat, pati, gula,

serat, dan abu umbi talas lebih tinggi dibandingkan kentang, namun dibandingkan

dengan ubi jalar kandungannya lebih kecil (Direktorat Gizi Depkes RI, 1972).

Perbandingan persentase kadar zat –zat gizi dari umbi talas, kentang, dan ubi jalar

dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan persentase kadar zat – zat gizi umbi talas, kentang, dan

ubi jalar.

Kandungan Komposisi (%)

Talas Kentang Ubi jalar

Air 75,10 77,80 68,50

Protein 2,00 2,00 1,80

Lemak 0,20 0,20 0,70

Karbohidrat 21,50 19,10 27,90

Gula 1,42 0,87 5,35

Pati 18,20 14,70 20,20

Serat 0,80 0,40 1,00

Abu 1,17 0,99 1,07

Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI,1972.

Talas merupakan jenis tanaman yang hampir seluruh bagian tanamannya dapat

dikonsumsi. Umbi talas, helaian daun dan tangkai daun dapat dimakan bila dimasak

terlebih dahulu. Di beberapa daerah Indonesia dimana padi tidak dapat tumbuh,

antara lain di Kepulauan Mentawai dan Papua, talas dimakan sebagai makanan

pokok, dengan cara dipanggang, dikukus atau dimasak dalam tabung bambu.

Di Jawa, dodol dapat dibuat dari talas yang beraroma semerbak dicampur

dengan kelapa dan gula; sedangkan potongan talas berukuran kecil yang digoreng

sangat terkenal sebagai makanan ringan. Daunnya dapat digunakan untuk

membungkus`buntil`, dan tangkai daun juga dapat dimasak.

Umbi talas dapat dimakan dengan cara dikukus dan digoreng lebih dulu atau

dibuat menjadi dodol. Di Hawai dan beberapa bagian Polynesia, umbi dikukus dan

2

10

ditumbuk untuk dibuat pasta yang selanjutnya dapat difermentasi untuk menghasilkan

puding. Puding dapat dibuat dari talas yang diparut dan dicampur kelapa.

Pengolahan talas menjadi tepung talas belum banyak dilakukan, padahal

pengolahan talas menjadi tepung talas akan dapat meningkatkan nilai jual tanaman

ini. Umbi talas yang diolah menjadi tepung talas dapat dimanfaatkan lebih lanjut

sebagai bahan baku industri makanan seperi biscuit, dan makanan sapihan (weaning

food ). Pemanfaatan tepung talas juga dapat diaplikasikan dalam pembuatan makanan

bagi orang yang sakit dan orang tua yang merupakan campuran tepung talas dan susu

skim. Tepung talas dapat menghasilkan produk yang lebih awet dikarenakan daya

mengikat air yang tinggi (Greenwell, 1947; Payne et al., 1941; Winarno, 1986).

B. OKSALAT

Penyebab kegatalan pada talas hingga kini belum dapat dipastikan dari mana

asalnya. Banyak yang mengatakan bahwa rasa gatal yang timbul pada talas

disebabkan oleh senyawa yang berbentuk jarum (raphide), yakni kalsium oksalat

yang menyebabkan iritasi bagi yang mengkonsumsinya. (Bradbury dan Nixon, 1998 ;

paul et al., 1999).

Pendugaan oksalat sebagai penyebab rasa gatal pada talas hingga kini masih

menjadi pertanyaan, penelitian yang dilakukan terhadap jenis talas giant swamp yang

memiliki kandungan oksalat yang tinggi ternyata tingkat kegatalannya sangat rendah

sekali. Pengujian mikrostruktur yang dilakukan terhadap raphide menunjukkan

bahwa adanya zat lain yang berupa protein yang menyelimuti raphide, dalam hal ini

raphide hanya berperan sebagai pembawa dalam penetrasi senyawa penyebab gatal

pada kulit ( Bradbury dan Nixon, 1998 ; Paul et al., 1999).

Oksalat dalam talas terdapat dalam bentuk yang larut dalam air (asam oksalat)

dan tidak larut air (garam oksalat ataupun kalsium oksalat). Asam oksalat adalah

senyawa kimia yang memiliki rumus molekul H2C2O4 dengan nama sistematis asam

etanadioat. Asam dikarboksilat paling sederhana ini biasa digambarkan dengan rumus

HOOC-COOH, merupakan asam organik yang relatif kuat, 10.000 kali lebih kuat

daripada asam asetat. Di-anionnya, dikenal sebagai oksalat, juga agen pereduktor.

11

Kalsium oksalat merupakan bahan tanaman berlimpah yang diproduksi dalam

bentuk kristal mikroskopis yang tajam dan telah diketahui terdapat dalam lebih dari

200 famili tanaman, meliputi spesies Medicago truncatula. Kristal-kristal kalsium

oksala ini dikenal mengakibatkan iritasi bagi manusia. Persenyawaan kalsium oksalat

berasal dari ion kalsium dengan ion oksalat. Senyawa ini terdapat dalam bentuk

kristal padat nono-volatil, bersifat tidak larut dalam air namun dapat larut dalam asam

kuat. Bentuk kalsium oksalat yang terdapat pada berbagai jenis tanaman umumnya

berbentuk raphide (jarum), druse (bulat), prisma dan rhomboid (Arnoot dan Pautard,

1970).

(a) (b) (c)

Gambar 2. Bentuk raphide dalam Talas (a) Kalsium oksalat berbentuk raphide (Paull et al., 1999); (b) Raphide dengan deposit pada permukaannya (Paull et al., 1999); (c) Kalsium oksalat berbentuk druse (Bradbury dan Nixon, 1998).

Menurut Bradbury and Nixon (1998), banyak varietas umbi talas memiliki rasa

yang tajam dan dapat membengkakkan bibir, mulut, dan tenggorokan ketika

dikonsumsi dalam keadaan mentah. Pembengkakan ini dapat terjadi dikarenakan

adanya kalsium oksalat yang berbentuk raphid, yang dapat menusuk jika bersentuhan

dengan kulit yang lembut.

Proses pemanasan dapat mengurangi kelarutan oksalat, namun proses

pemanasan tidak dapat menghilangkan keseluruhan kandungan oksalat dalam

makanan. Perebusan dapat mengurangi kandungan oksalat dalam makanan pada saat

perebusan dengan membuang air perebusan. Pada saat perendaman, proses

12

kecambahan, dan proses fermentasi juga dapat mengurangi kandungan oksalat

(Noonan and Savage, 1999).

Metode yang sering digunakan untuk mengurangi rasa gatal pada talas adalah

dengan perendaman air hangat. Perendaman irisan umbi dalam air hangat suhu 38-

48oC selama kurang dari 4 jam diklaim dapat menurunkan kadar komponen penyebab

gatal tanpa menyebabkan gelatinisasi pati (Huang dan Hollyer, 1995). Perebusan

hanya akan mengurangi kadar oksalat terlarut, namun tidak untuk garam oksalat,

Penurunan kadar oksalat dengan perebusan ini disebabkan oleh pelarutan dan

degradasi panas (Iwuoha et al, 1995). Sebaliknya, pemanggangan makanan akan

meningkatkan efektivitas kandungan oksalat dalam makanan dikarenakan hilangnya

kadar air dalam bahan makanan yang disebabkan oleh proses pemanggangan tersebut

(Noonan dan Savage, 1999).

Oksalat bebas yang terlarut dan oksalat yang tidak dapat larut (berbentuk garam

oksalat) dapat diekstrak dari tanaman. Untuk oksalat yang terlarut dapat diekstrak

menggunakan air panas, sedangkan untuk oksalat berbentuk garam oksalat dapat

diekstrak menggunkan larutan asam. Larutan asam juga dapat digunakan untuk

mengekstrak oksalat bebas yang terlarut. Selain dengan menggunakan air panas dan

asam, proses ekstraksi juga dapat dianalisis dengan menggunakan metode HPLC

(High performance liquid chromatography), penambahan enzim dan capilary

electrophoresis (Chai dan Liebman, 2005).

Seluruh bagian tanaman talas mengandung senyawa kristal kalsium oksalat

mulai dari daun, umbi sampai pada akar umbi. Senyawa tersebut diduga kuat

menyebabkan iritasi pada mulut dan tenggorokan (Lee, 1999).

Menurut Lazenby (1998), timbulnya rasa gatal terutama disebabkan oleh

raphide yang tidak dikelilingi atau ditutupi semacam getah, sehingga dapat

melakukan kontak secara langsung dengan lidah, bibir dan langit-langit mulut ketika

dikunyah. Sementara itu raphide yang terkurung dalam getah tidak menimbulkan rasa

gatal. Raphide yang terkurung dalam kapsul getah terletak dalam daerah di antara

dua vakuola. Ujung dari kapsul menyembul ke dalam perbatasan vakuola – vakuola

pada dinding sel. Vakuola – vakuola yang menghimpit kapsul tersebut berisi air,

13

sehingga jika ada perlakuan mekanis dengan menggunakan air maka akan adanya

tekanan dalam kapsul yang menekan raphide di dalam kapsul untuk menusuk keluar

kapsul.

Metode fisis yang paling umum diterapkan untuk mengurangi atau

menghilangkan rasa gatal akibat kandungan kalsium oksalat adalah dengan

pemanasan (Smith, 1997). Pemanasan dapat dilakukan melalui penjemuran,

pemasakan (Lee, 1999). Menurut Smith (1997), proses penghilangan kalsium oksalat

dapat dilakukan dengan proses fermentasi. Fermentasi diduga mendekomposisi

kalsium oksalat menjadi asam karboksilat yang kemudian terdehidrasi menjadi

alkohol.

Proses pemanasan yang dilakukan secara intensif akan mereduksi kandungan

oksalat dalam bahan. Dengan cara tersebut diduga oksalat dalam bahan diubah

menjadi bahan yang gampang menguap (volatil) dan mungkin menjadi suatu basa

nitrogen (Plowman, 1969). Selain itu, menurut Greenwell (1947) proses pemanasan

yang dilakukan tidak akan berpengaruh terhadap kalsium oksalat secara kimia, tetapi

dengan pemanasan akan dapat mengeliminasi penyebab iritasi ataupun disintegrasi

kristal menjadi bentuk – bentuk yang “non – irritating”.

C. GELATINISASI PATI

Pati merupakan polimer glukosa dengan ikatan α -1, 4 – glikosidik dan α -1, 6–

glikosidik. Molekul pati terdiri dari dua jenis, yaitu amilosa dan amilopektin.

Perbedaan antara amilosa dan amilopektin ini ditentukan oleh jenis ikatan yang

terjadi. Ikatan antar molekul glukosa dalam amilosa berupa ikatan α -1, 4 –

glikosidik, sedangkan pada molekul amilopektin berupa ikatan α -1, 4 – glikosidik

dan α -1, 6– glikosidik.

Pati pada berbagai jenis bahan pangan memiliki beberapa perbedaaan yang

meliputi perbedaan berat molekul rata – rata dan perbandingan antara amilosa dan

amilopektin yang terdapat dalam bahan. Perbedaan – perbedaan yang ada ini akan

menjadikan adanya perbedaan pada viskositas dan kekuatan gel yang terbentuk pada

bahan (Matz,1962).

14

Menurut Whistler dan Daniel (1984), pati bersifat tidak larut dalam air dingin,

tetapi granulanya mampu menyerap air sampai sedikit membengkak. Peningkatan

suhu yang dilakukan akan mngakibatkan pengikatan air yang jauh lebih banyak

dikarenakan molekul akan bervibrasi dengan cepat sampai akhirnya ikatan antar

molekuler pecah dan sisi hidrogennya akan mampu mengikat air dalam jumlah yang

lebih banyak.

Peningkatan suhu yang dilakukan pada pati akan mengakibatkan adanya

pembengkakan pada granula. Pembengkakan pada awalnya terjadi secara reversibel,

namun dengan adanya peningkatan suhu yang diberikan akan mengakibatkan

pembengkakan bersifat tidak reversibel kembali. Perubahan sifat kimiawi pati dari

reversibel menjadi irreversibel dikenal dengan nama gelatinisasi pati. Pada saat

proses gelatinisasi terjadi, suhu yang tercatat dinamakan suhu gelatinisasi.

Pada proses gelatinisasi, suhu gelatinisasi akan berbeda untuk setiap jenis

bahan, perbedaan ini dipengaruhi juga oleh ukuran granula pati. Ukuran granula

setiap jenis pati akan mempengaruhi kebutuhan energi pada proses pembengkakan

granula. Perbedaan energi inilah yang akan mengakibatkan terjadinya selang suhu

gelatinisasi. Pati yang memiliki ukuran granula yang lebih besar akan membengkak

pada suhu yang lebih rendah dari pada granula dengan ukuran yang lebih kecil

(Hodge dan Osman, 1976).

Pembengkakan granula yang terjadi pada saat proses gelatinisasi terjadi karena

adanya energi kinetik molekul–molekul air yang lebih besar daripada daya kohesi

antar sel–sel pati. Molekul–molekul air yang ada akan mnerobos masuk ke dalam sel–

sel pati dengan memecah ikatan antar molekulnya. Penampakan proses gelatinisasi ini

dapat diamati secara fisik. Suspensi pati sebelum tergelatinisasi akan berwarna putih

keruh, suspensi ini akan berubah menjadi jernih pada saat proses gelatiniasasi

berlangsung (Winarno, 1984).

Proses gelatinisasi dilakukan dengan beberapa tahapan, pemberian air pada

tahap awal akan memisahkan kristal amilosa dan menggangu struktur heliksnya

dalam granula. Penetrasi air ini ke dalam granula akan mengakibatkan granula

bersifat reversibel (Mc. Cready, 1970). Peristiwa ini akan mengakibatkan 15

pembengkakan granula hingga 20- 30 kalinya. Apabila penambahan dan pemanasan

air terus dilakukan, maka amilosa akan mulai keluar dari granula. Proses yang

berlanjut akan mengakibatkan granula pecah dan pati akan keluar membentuk

struktur gel koloid.

Umbi talas mengandung pati sekitar 18,2%, sedangkan kandungan gulanya

sekitar 1,42%. Karbohidrat pada umbi talas sebagian besar merupakan komponen

pati, sedangkan komponen lainnya adalah pentosan, serat kasar, dekstrin, sukrosa dan

gula pereduksi (Onwueme, 1978).

Table 5. Persentase kandungan karbohidrat pada umbi talas

Kandungan Persentase

Pati 18,20

Pentosan 2,60

Serat kasar 1,40

Dekstrin 0,50

Gula pereduksi 0,50

Sukrosa 0,10

Sumber : Onwueme, 1978.

Pati talas mengandung 17-28% amilosa, dan sisanya adalah amilopektin.

Amilosa memiliki 490 unit glukosa per molekul dan amilopektin memiliki 22 unit

glukosa per molekul. Granula pati talas berukuran antara 1-4 µm (Onwueme, 1978).

Pati talas tersimpan dalam granula yang berdiameter 3-4 µm dan mengandung

amilosa sekitar 7-10%. Komposisi kimia umbi talas tergantung pada varietas, iklim,

kesuburan tanah, dan umur panen (Gakaishi, 1978).

16

D. PENGERINGAN

Pengeringan merupakan suatu cara untuk mengurangi kadar air suatu bahan,

proses ini bertujuan untuk memperpanjang umur simpan dari bahan agar tidak cepat

rusak selama penyimpanan. Dalam prosesnya, pengeringan dapat dikatakan sebagai

suatu proses pindah panas dan pindah massa. Pindah panas berlangsung melalui suatu

permukaan yang padat, dimana panas dipindahkan ke dalam bahan melalui alat

pemanas sehingga akan mengeluarkan kandungan air yang terdapat pada bahan

(Desrosier, 1963).

Dalam proses pengeringan ada dua cara yang biasa dilakukan, yakni

pengeringan dengan cara penjemuran dan pengeringan dengan emnggunakan alat

pengering. Pengeringan dengan menggunakan alat pengering buatan akan

memudahkan pengontrolan bahan selama proses pengeringan, pengeringan yang

dilakukan dengan menggunakan alat pengering akan lenih cepat dan mampu

mmpertahankan warna bahan yang akan dikeringkan.

Proses pengeringan yang dilakukan dengan penjemuran akan membutuhkan

waktu yang relatif lama, selain itu pengeringan dengan penjemuran akan

mengakibakan kesulitan dalam hal pengontrolan kontaminasi mikroba, suhu dan

kelembaban udara.

Menurut Setijahartini (1976), penggunaan dan pemilihan alat pengering

buatan harus mempertimbangkan beberapa hal, yakni jenis bahan, mutu hasil akhir

yang diinginkan, dan pertimbangan ekonomi. Setiap alat pengering digunakan untuk

jenis bahan tertentu, misalnya tray dryer untuk mengeringkan bahan padat atau

lempengan dengan sistem batch. Pengeringan dengan sistem kontinyu menggunakan

drum dryer, spray dryer, tunnel dryer dan rotary dryer.

Pengaruh pengeringan terhadap warna dari produk kering di antaranya

disebabkan oleh reaksi karamelisasi dan reaksi Mailard yang menyebabkan adanya

perubahan warna menjadi coklat. Pengeringan dan perlakuan pendahuluan akan

mempengaruhi aktivitas enzim terutama enzim yang menimbulkan “browning”. Pada

umumnya enzim peka terhadap keadaan panas yang lembab, terutama pada suhu

diatas maksimum aktivitas enzim tersebut (Muchtadi, et, al. 1979).

17

E. TEPUNG TALAS

Tepung adalah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara penggilingan atau

penepungan. Pada proses penggilingan ukuran bahan diperkecil dengan cara diremuk

yaitu bahan ditekan dengan gaya mekanis dari alat penggiling. Tepung mekanis pada

proses penggilingan diikuti dengan peremukan bahan dan energy yang dikeluarkan

sangat dipengaruhi oleh kekerasan bahan dan kecenderungan bahan untuk

dihancurkan (Hubeis, 1984).

Menurut Lingga (1986) bahwa proses pembuatan tepung dapat dilakukan

dengan berbagai cara tergantung dari jenis umbi-umbian itu sendiri. Proses

pembuatan tepung talas diawali dengan pencucian dan pengupasan umbi segar, yang

kemudian diiris. Pengirisan dimaksudkan untuk mempercepat proses pengeringan.

Setelah itu dilakukan perendaman dengan air. Perendaman juga merupakan proses

pencucian karena secara tidak langsung mempunyai efek membersihkan. Kemudian

dilakukan pengeringan pada suhu sekitar 50-60oC yaitu pada saat kadar air mencapai

12%. Pengeringan dilakukan selama 6 jam dan biasanya umbi yang dikeringkan

tersebut dibolak-balik agar keringnya merata. Hasil dari pengeringan yang diperoleh

berupa keripik talas yang kemudian digiling untuk menghasilkan tepung talas. Untuk

menyeragamkan ukuran dari tepung yang dihasilkan perlu dilakukan pengayakan.

Tepung merupakan salah satu produk pengolahan yang sangat fleksibel.

Dalam penggunaannya, tepung sangat mudah untuk digunakan, penggunaan tepung

sebagai bahan makanan hampir dapat diimplementasikan pada semua proses

pengolahan makanan. Pemilihan produk akhir talas dalam bentuk tepung memiliki

nilai tambah tersendiri, pengolahan talas menjadi tepung talas akan memudahkan

talas untuk di campur ataupun ditambahkan ke dalam bahan makanan lainnya dalam

pengolahan produk.

Konversi umbi segar talas menjadi bentuk tepung yang siap pakai terutama

untuk produksi makanan olahan disamping mendorong munculnya produk-produk

yang lebih beragam juga dapat mendorong berkembangnya industri berbahan dasar

tepung atau pati talas sehingga dapat meningkatkan nilai jual komoditas talas.

18

Penepungan talas juga diharapkan dapat menghindari kerugian akibat tidak

terserapnya umbi segar talas di pasar ketika produksi panen berlebih

v

Gambar 3. Diagram alir pembuatan tepung berbahan umbi

Umbi talas segar

Pengupasan kulit

Pengirisan dengan ketebalan 5 mm

Perendaman dalam air hangat suhu 40 oC selama 4 jam

Pengeringan 50-600C, 5-6 jam

Kripik talas

Penggilingan

Tepung Talas

19

F. HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY

HPLC merupakan suatu bentuk kromatografi kolom yang sering digunakan

dalam biokimia dan kimia analitik untuk memisahkan, mengidentifikasi, dan

menghitung senyawa. HPLC menggunakan kolom kromatografi yang menyimpan

material kemasan (fase diam),dilengkapi sebuah pompa yang bergerak selular fase (s)

melalui kolom, dan detektor yang menunjukkan retensi molekul.

Pada HPLC komposisi fase gerak memberikan suatu dimensi untuk

memanipulasi eksperimen yang tidak dijumpai dalam kromatografi gas. Pemisahan

senyawa yang sempurna dalam HPLC dipengaruhi oleh fase gerak yang

digunakannya. Penggunaan pelarut campuran sebagai fase gerk sering kali

menghasilkan pemisahan yang lebih baik dibandingkan menggunakan cairan murni

sebagi fase gerak. Namun, hal ini bukan berarti bahwa selalu dibutuhkan campuran

pelarut kompleks. Umumnya penggunaan fase gerak berair yang sederhana disertai

dengan larutan penyangga jika komponen yang dimiliki sampel sensitif terhadap pH,

atau mengandung elektrolit jika kelarutan sampel sensitive terhadap kekuatan ionik.

Sama halnya dengan GC, HPLC dilengkapi dengan detektor yang merupakan

suatu bagian internal dari sebuah peralatan analitik. Ada beberapa jenis detektor yang

digunakan, dengan pemilihan yang umumnya didasarkan pada persyaratan

sensitivitas, jenis senyawa dalam sampel, dan factor lainnya seperti biaya. Detektor

yang paling umum digunakan didasarkan pada indeks bias dari eluat kolom. Beberapa

macam detektor yang bisa digunakan dalam HPLC, yakni detektor Spectrofotometrik,

detektor Fluorometrik, dan detektor Elektrokimia.

20