bab ii tinjauan pustaka - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/52542/3/bab ii.pdfmycobacterum lepra...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kusta
2.1.1 Definisi
Kusta adalah penyakit menular yang di sebabkan Mycobacterium leprae.
Penyakit ini dapat menyebabkan masalah kompleks, bukan hanya dari segi medis
seperti cacat fisik tetapi juga sampai masalah ekonomi, budaya, sosial, ketahanan
nasional dan keamanan. Bila tidak di tangani dengan cermat, kusta dapat
menyebabkan cacat dan keadaan ini menjadi kehidupan bermasyarakat untuk
memenuhi kebutuhan sosial ekonominya (Widoyono, 2008: 95).
Kusta juga dikenal dengan penyakit Hansen yaitu penyakit infeksi kronis
yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat,
Mycobacterium Leprae yeng terutama menginfeksi sel Schwan pada saraf yang
mengarah pada kerusakan saraf dan akan berkembang menjadi kecacatan.
Penyaki kusta ini biasanya ditandai dengan satu atau lebih dari tiga cardinal sign
yaitu hipopigmentasi dengan kehilangan sensasi pada rasa, penebalan saraf parifer,
dan ditemukan basil tahan dengan asam dari hapusan kulit atau biopsy (Bhat dan
prakash, 2012).
Kusta dikenal sejak zaman purbakala sejak tahun 2000 sebelum masehi.
Pada masa itu masyarakat tidak mengetahui penyebabnya, hanya di ketahui kusta
menyebabkan kecacatan pada penderita. Penyakit kusta ini dianggap sebagai
penyakit kutukan mengasingkan diri atau di asingkan karena merasa rendah diri
dan dijauhi masyarakat (Rambey, 2012)
8
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dikatakan bahwa kusta adalah
penyakit infeksi yang menyebabkan noda di kulit yang berbeda dari kulit sehat
dengan peradangan dan kerusakan saraf di lengan dan kaki. Penyakit ini telah ada
sejak zaman kuno, sering dikelilingi oleh stigma yang menakutkan, stigma negatif
dan cerita dari penderita kusta yang dijauhi sebagai orang buangan. Wabah
penyakit kusta telah memengaruhi dan membat panik, orang-orang di setiap
benua. Penyakit kusta sebenarnya tidak menular. Seseorang dapat terkena hanya
jika kontak dekat dan berulang melalui cairan hidung dan tetesan mulut dari
seseorang pengidap kusta. Anak-anak lebih cenderung terjangkit kusta daripada
orang dewasa.
2.1.2 Patogenesis
Beberapa ahli mengatakan bahwa kusta menular melalui pernafasan dan
kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan pada mukosa nasal
namun sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti bagaimana cara
penularan kusta (Susilowati, 2014). Mycobacterum Lepra adalah bakteri gram positif
ukuran 3-8 m x 0,5 µm yang tahan alkohol dan asam (Djuanda dkk., 2010).
Menurut caroline, dkk (2011). Kuman kusta memiliki patogenis dan daya
invasi yang sangat rendah. Model transmisi lainnya adalah inokulasi yang melalui
kulit terluka,vektor dan kontak dengan tanah yang terinfeksi. Sementara kontak
dengan penderita kusta langsung bukan merupakan faktor penularan yang
esensial walau dalam jangka yang lama.
2.1.3 Faktor Risiko
Menurut Tuntut (2010), faktor resiko yang dapat di indentifikasi penularan
penyakit kusta sebagai berikut:
9
1. Usia
Faktor usia merupakan resiko penduduk penderita kusta. Penyakit kusta
pada suatu daerah yang berisiko berkembang karna faktor usia penderita dengan
karakteristik beragam dari mulai anak-anak sampai lanjut usia. Faktor usia yang
sangat berisko untuk tertular penyakit kusta adalah kelompok anak-anak dan
dewasa. Karena usia anak dan dewasa sangat rentang untuk mengalami masalah
kesehatan.
2. Daya tahan tubuh
daya tahan tubuh penderita kusta pada umumnya memiliki daya tahan
yang sangat rendah. Imunitas pada penderita kusta sangat di butuhkan untuk
menjaga status kesehatannya. Imunitas yang baikdan stabil pada penderita kusta
dapat mencegah terjadinya kerusakan pada kulit, anggota gerak, saraf, mata serta
mata munculnya lesi pada kulit yang bisa dia amati dari luar. Imunitas yang baik
perlu ditunjang adanya faktor resiko yang cukup.
3. Nutrisi
Faktor resiko terutama penderita kusta anak merupakan nutrisi. Nutrisi
merupakan unsur yang akan membantu pencegahan dan pertumbuhan
terhadap penyakit kusta. Nutrisi pada anak dan dewasa juga meningkatkan
status imunitas serta mencegah terjadinya animia.
4. Sosial ekonomi dan pendidikan
Sosial ekonomi dan pendidikan pada penderita kusta merupakan salah satu
faktor resiko. Masyarakat status ekonomi dan berpendidikan yang rendah
merupakan sebagian besar penderita kusta. Penderita yang berasa dari keluarga
miskin sangat rentang terkena penyakit kusta menular terutama pada anak-anak.
10
Anak dari keluarga miskin memiliki dua kali atau lebih resiko untuk mengalami
beberapa masalah seperti keterbatasan mental dan fisik.
2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi kusta berdasarkan pada tingkat kekabalan tubuh, dimana jumlah
lesi kulit dan jumlah saraf yang terganggu serta penemuan BTA positif atau
negatif pada pemeriksaan kerokan kulit. Terdapat beberapa jenis klasifikasi kusta
yang secara umum oleh beberapa penelitian yaitu:
Klasifikasi menurut WHO dibuat untuk memudahkan pengobatan di
lapangan karena regimen MDT disesuaikan dengan tipe kusta. Klasifikasi ini
seluruh penderita kusta di bagi ke dalam 2 tipe yaitu, PB dan MB berdasarkan
dari gambaran klinis dan hasil pemeriksaan BTA melalui tes skin smear.
Tabel 2.1.4.1 pedoman klasifikasi kusta dan gejala kardinal menurut WHO
Tanda Utama PB MB
Bercak kusta
Penebalan saraf tepi yang disertai
gangguan fungsi
Sediaan apusan
Jumlah 1-5 lesi
Hanya terdapat satu
saraf
BTA negatif
Jumlah 5 lesi
Lebih dari satu
saraf
BTA positif
Tabel 2.1.4.2 pedoman klasifikasi kusta
Kelainan Kulit dan
Pemeriksaan
PB MB
1. Bercak (makula)
mati rasa
a. Ukuran Kecil dan besar Kecil
11
b. Konsistens Kering dan kasat Berkilat, Halus
c. Batas Tegas Kurang tegas
d. Distribusi Unilateral atau bilateral
asimisti
Bilateral simistris
e. kehilangan
kemampuan
berkeringan, rambut
rontok pada bercak
Selalu dan jelas Biasanya tidak jelas,
jika ada akan terjadi
npada yang sudah
lanjut
f. Kehilanganrasa
sakit pada bercak
Ada dan jelas Biasanya tidak jelas,
jika ada akan terjadi
pada yang sudah
lanjut
2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
b. Membran mukosa
(hidung tersumbat,
perdarahan di
hidung)
Tidak ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
3. Ciri-ciri Penyembuhan di
tengah
Lesi berbentuk
seperti donat
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. deformitas Terjadi Biasanya simestris
Sumber: Dinkes, 2006
12
2.1.5 Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui klien yang di curigai adanya
penyakit kusta, seperti anamnesa dan pemeriksaan fisik yang meliputi
pemeriksaan kuli, pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya.Untuk diagnosis secara
lengkap selain pemeriksaan kulit juga di lakukan pemeriksaan tambahan bila ada
keraguan dan fasilitas memungkinkan, yaitu pemeriksaan bakteriologis,
pemeriksaan histopatologis dan immunologis. Pemeriksaan tersebut umumnya di
laksanakan oleh para ahli atau untuk keperluan penelitian (Depkes RI, 2007).
Pemeriksaan perabaan (palpasi) saraf bertujuan untuk pemeriksaan pada
perabaan, seperti pemeriksaan berhadapan dengan penderita, perabaan dilakukan
dengan tekanan ringan sehingga tidak menyakiti penderita dan pada saat meraba
saraf perhatikan: 1. Apakah ada penebalan/pembesaran, 2. Apakah saraf kiri dan
kana sama besar atau berbeda, 3. Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf.
Sewaktu akan melakukan palpasi saraf lihat juga mimik penderita, apakah ada
kakitan tanpa menanyakan sakit atau tidak. Dari beberapa saraf yang di sebutkan,
ada tiga saraf wajib diraba yaitu saraf ulnarif, peroneus dan tibialis posterior
(Depkes RI, 2007).
Pemeriksaan fungsi saraf bertujuan untuk memeriksa perabaan dengan
teliti saraf tepi yaitu saraf aurikularis magnus, saraf ulnaris, saraf radialis, saraf
medianus, saraf peroneus dan saraf tibialis. Kemudian lakukan pemeriksaan
terhadap fungsi saraf tersebut (Depkes RI, 2007).
Pemeriksaan bakteriologis atau skin smear atau kerokan kulit adalah
pemeriksaan sediaan yang diperoleh lewat irisan dan kerokan kecil pada kulit
yang kemudian diberi warna tahan asam untuk melihat mycobacterium lepra.
Pemeriksaan ini beberapa tahun terakhir tidak diwajibkan dalam program
13
nasional. Namun demikian menurut peneliti pemeriksaan kerokan kulit (skin
smear) banyak berguna untuk mempercepat penegakan diagnosis, karena sekitar
7-10% penderita yang datang dengan lesi PB (pausi basiller) merupakan kasus MB
(multi basiller) yang dini (Depkes RI, 2007).
2.1.6 Manifestasi Klinis
Seseorang menderita penyakit kusta kulit mengalami bercak putih seperti
panu pada awalnya hanya sedikit tetapi lama kelamaan semakin lebar dan banyak,
banyaknya bintil – bintil kemerahan yang tersebar pada kulit, rasa kesemutan
pada anggota badan atau bagian raut muka, ada bagian tubuh tidak berkeringat,
tegang yang disebut facies leomina (muka singa), muka berbenjol-benjol danmati
rasa karena kerusakan saraf tepi. Gejala memang tidak selalu tampak. Justru
sebaiknya waspada jika ada anggota keluarga yang sedang menderita yang
menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka di
tekan dengan jari tidak terasa sakit (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2015).
Menurut Dinas Kesehatan 2014, seseorang di katakan menderita kusta
apabila terdapat tanda – tanda seperti di bawah:
1. Kulit dengan bercak putih kemerahan di sertai mati rasa atau anestesi.
2. Penebalan saraf yang di sertai gangguan fungsi saraf berupa mati rasa
dan kelamahan/kelumpuhan pada otot tangan, kaki dan mata, kulit kering serta
pertumbuhan rambut yang terganggu.
3. Pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit (slit=skin=smear) di
dapatkan adanya kuman mycobacterium Leprae.
Menurut Zulkifli, 2004. Penyakit kusta berbeda- beda tergantung pada
jenis penyakit kusta. Gejala penderitya kusta yang dapat ditemukan biasanya
14
penderita mengalami demam dari derajat rendah hingga menggigil, kadang-
kadang diikuti muntah, nafsu makan menurun, dan mual. Penderita kusta
mengalami kemerahan pada testis, radang pada pleura, sakit kepala,radang,
radang pada ginjal, terkadang mengalami penurunan fungsi ginjal, pembesaran
hati dan empedu, serta radang pada serabut saraf.
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta dapat di lakukan oleh petugas puskesmas atau
tenaga kesehatan yang telah mendapatkan pelatihan tentang penyakit kusta.
Berdasarkan Dinkes (2007), diagnosa penyakit kusta di tegakkan dengan di
temukannya salah satu tanda 3 tanda utama yang umum disebut cardinal sign
yaitu:
A. Lesi berwarna keputihan (hypopigmentasi) atau kemerahan
(eritematous), mati rasa (anaesthesi)
B. Adanya penebalan saraf tepi yang disertai dengan adanya gangguan
fungsi. Gangguan fungsi saraf merupakan akibat dari peradangan
kronis pada saraf tepi, yaitu:
1. Gangguan fungsi sensoris yaitu mati rasa
2. Gangguan fungsi kelemahan otot atau kelumpuhan
3. Gangguan fungsi otonom yaitu kulit kering, retak, edema,
pertumbuhan rambut terganggu.
C. Ditemukan bakteri M.Leprae dari hasi pemeriksaan BTA pada kerokan
kulit mati.
15
2.1.8 Pencegahan
Pencegahan pada penderita kusta dapat dilakukan sesuai dengan
perkembangan patologis penyakit atau dengan kata lain sesuai dengan riwayat
penyakit tersebut. Ada 3 tingkatan utama pencegahan:
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya pencegahan yang di lakukan saar proses
penyakit belum mulai (pada priode pre-patogenesis) dengan tujuan agar tidak
terjadi proses penyakit. Tujuannya untuk mengurangi insiden penyakit dengan
cara mengendalikan penyebab dan faktor resikonya. Upaya yang di lakukan
adalah untuk memutus mata rantai infeksi (Annekekhong, 2013). Terdiri dari
promosi Kesehatan (Health Promotion) yang berfokus pada : 1. Pendidikan
kesehatan, penyuluhan. 2. Gizi yang cukup sesuai dengan perkembangan. 3.
Penyediaan perumahan yang sehat. 4. Pemeriksaan kesehatan berkala.
Perlindungan Khusus (Specific Protection) imunisasi sebagai berikut. 1. Kebersihan
perorangan. 2. Sanitasi lingkungan
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah pencegahan yang dilakukan saat proses
penyakit sudah berlangsung namun belum timbul tanda dan gejala sakit
(patogenesis awal) dengan tujuan proses penyakit tidak berlanjut. Tujuannya
untuk menghentikan proses penyakit lebih lanjut dan mencegah komplikasi.
Terdiri dari deteksi dini yaitu: 1. Penemuan kasus (individu atau masal) skrining.
Pemeriksaan khusus dengan tujuan yaitu: 1. Menyembuhkan dan mencegah
penyakit berlanjut. 2. Mencegah penyebaran penyakit penularan. 3. Mencegah
komplikasi dan akibat lanjutan. 4. Memperpendek masa ketidakmampuan
3. Pencegahan Tersier
16
Pencegahn tersier adalah pencegahan yang dilakukan saat proses penyakit
sudah lanjut (akhir periode patogenisis) dengan tujuan untuk mencegah cacat
dan mengembalikan penderita pada status sehat. Tujuannya untuk menurunkan
kelemahan dan cacat, memperkecil penderita dan membatu penderita untuk
melakukan penyesuaian terhadap kondisi yang tidak diobati lagi. Teridi dari
disability limitation yaitu. 1. Penyembuhan dan intensifikasi pengobatan lanjut agar
tidak terjadi komplikasi. 2. Pencegahan terhadap komplikasi maupun cacat
setelah sembuh. 3. Perbaikan fasilitas kesehatan sebagi penunjang untuk
pengobatan dan perawatan yang lebih intensf. 4. Mengusahakan pengurangan
beban beban non medis (sosial pada penderita untuk memungkinkan
meneruskan pengobatan dan perawatannya. Rehability dengan cara sebagai
berikut. 1. Penempatan secara selektif. 2. Mempekerjakan sepenuh mungkin. 3.
Penyediaan fasilitas untuk pelatihan hingga fungsi tubuh dapat di manfaatkan
sebaik-baiknya. 4. Pendidikan pada masyarakat dan industri agar mau
menggunakan mereka yang telah di rehabilitasi.
Penyakit kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya.
Cacat pada kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau
kaki. Semakin dimulainya pengobatan, semakin besar resiko timbulnya kecacatan
akibat terjadinya kerusakan saraf yang progresif. Adanya alasan nini makan
diagnosis dini dan pengobatan harus dapat mencegah terjadinya komplikasi
jangka panjang (Depkes RI, 2007)
2.1.9 Pengobatan
Salah satu cara pemutusan mata rantai penulanan pada penderita adalah
dengan pengobatan pada penderita kusta. Kuman kusta di luar tubuh manusia
dapat hidup 24-48 jam dan ada berpendapat 7-9 hari, tergantung dari suhu dan
17
cuaca di luar tubuh manusia. Ada beberapa obat yang dapatmenyembuhkan
penyakit kusta. Tetapi tidak dapt menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali
masyarakat mengetahui (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
Pengobatan kusta bertujuan mengobati kusta, apabila penderita tidak
minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat aktif kembali. Sehingga
akan muncul timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat
memperburuk keadaan penderita. Oleh karena itu, pengobatan sangat penting
sedini mungkin dan terutr memegang perananpenting. Selama dalam masa
pengobatan penderia dapat terus melanjutkan aktifitas seperti biasa (Rega dan
Keja, 2012)
Menurut WHO 2010, pengobatan kusta dilakukan dengan MDT (multtidrug
therapy) yang merupakan kombinasi dua atau lebih obat yang salah satunya harus
terdiri dari Rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisid kuat dengan
obat anti kusta yang lain bersifat bakteriostatik. MDT di bedakan antara
penderita tipe MB dan PB.
Pengobatan pada penderita kusta tipe PB dewasa dengan 6 blister dalam 6-
9 bulan. Obat PB berwarna hijau. Setiap blister berisi yaitu:
1. Obat Bulanan (hari pertama diminum didepan petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin masing-masing 300 mg
b. 1 tablet Dapsone 100mg
2. Obat harian (hari ke 2-28)
a. 1tablet Dapsone 100mg
Pengobatan pada penderita kusta tipe MB dewasa dengan 12 blister dalam
12-18 bulan ( 1blister untuk 1bulan). Setiap blister berisi yaitu:
1. Obat bulanan (obat hari pertama diminum berobat di depan petugas)
18
a. 2 kapsul rifampisin dengan masing-masing 300 mg
b. 3 tablet Lampren masing-masing 100mg
c. 1tablet Dapsone 100mg
2. Obat harian (hari ke 2-28)
a. 1 tablet Lamprene 50mg
b. 1 tablet Dapsone 100mg
Pengobatan kusta untuk anak pada usia 10-14 tersedia blister berwarna
biru untuk tipe PB, sedangkan blister untuk berwarna kuning untuk kusta tipe
MB. Pengobatan untuk anak dosisnya disesuaikan dengan berat badan dan lama
pengobatan sama dengan blister untuk dewasa, yaitu:
a. Rifampisin 10mg/kgBB
b. Papsone 2mg/kgBB
c. Clofamizin 1mg/kgBB
2.2 Kualitas Hidup
2.2.1 Definisi Kualitas Hidup
Kualitas hidup adalah sebuah konstruksi multi dimensia yang
mempengaruhi oleh aspek kehidupan pribadi, kesehatan fisik, pekerjaan dan
hubungan sosial, psikologi dan lingkungan dimana seseorang tinggal. Definisi ini
menunjukkan bahwa kualitas hidup mengacu pada penilaian subjektif yang
tertanam dalam sosial, lingkungan dan budaya (teles, 2014)
Menurut Nursalam (2017), kualitas hidup merupakan konsep analisa
kemampuan untuk memiliki hidup normal yang berkaitan dengan persepsi secara
individu yang mengenai tujuan, standart, harapan dan perhatian secara spesifik
19
mengenai kehidupan yang di alami. Dalam bidang pelayanan kesehatan kualitas
hidup di gunakan untuk menganalisis emosional seseorang, kemampuan, dan
faktor sosial untuk memenuhi tuntutan kegiatan di dalam kehidupan secara
normal dan dampak sakit berpotensi untuk menurunkan kualitas hidup terkait
kesehatan.
Kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap posisi mereka dalam
kehidupan dalam bentuk nilai dan budaya dimana mereka hidup dan dalam
hubungannya dengan tujuan hidup, standar, perhatian dan harapan. Hal ini
mereupakan konsep yang luas yang mempengaruhi kondisi kesehatan fisik
seseorang, tingkat ketergantungan, keadaan psikologis, keyakinan personal,
keadaan sosial dan hubungannya dengan keinginan di masa yang akan datang
terhadap keinginan mereka (WHO, 2006)
2.2.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup bpada penderita kusta
anatara lain, jenis kusta yang di derita derajat kecacatan akibat kusta, psikologis
dan keterbatasan aktivitas akibat komplikasi kusta (Santos, dkk 2015). Kondisi
tempat tinggal dan adanya isolasi dari lingkungan serta adanya stigma yang akan
di alami oleh penderita kusta (Rahayuningsih, 2012). Penyakit kusta ini tidak
hanya merupakan masalah medis saja, tetapi juga akan memiliki dampak
terhadap masalah psikis, sosial dan juga ekonomi yang akan mempengaruhi
kualitas hidup penderita kusta itu sendiri.
Terdapat penelitian atau argumentasi yang berkaitan dengan faktor yang
mempengaruhi kaulitas hidup. Kaulitas hidup standart refensi yang di gunakan
seseorang seperti aspirasi, harapan, perasaan mengenai persamaan antara
individu dengan orang lain. Jadi, individu cenderung membandingkan kondisinya
20
dengan orang lain. Beberapa penelitian menemukan adanya pengaruh dari
variabel demografis seperti tingkat pendidikan dan status pernikahan terhadap
kualitas hidup (Nofitri, 2009).
Adapun beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
berdasarkan penelitian yang di kemukakan para ahli:
1. Jenis Kelamin
Menurut moons, dkk (2004). Bahwa jenis kelamin adalah salah satu faktor
yang mempengaruhi kualitas hidup. Ada beberapa perbedaan antara kualitas
hidup laki-laki dan perempuan. Kualitas hidup laki-laki cenderung lebih baik
daripada kualitas hidup perempuan. Namun menurut singer, ryff( dalam
papalia, dkk 2007), memgatakan bahwa secara umum. Laki-laki dan perempuan
tidak jauh berbeda kesejahteraannya, namun perempuan dan laki-laki lebih
banyang terhadap aspek hubungan yang bersifat positif, sedangkan
kesejahteraan terkait dengan aspek pendidikan dan pekerjaan yang lebi baik
laki-laki.
2. Usia
Menurur Setiawan, dkk (2013). Usia di hubungkan dengan domain fisik
dan psikologis. Orang lanjut usia di kaitkan dengan hal karena adanya perubahan
psikologis yang terjadi seperti penurunan imunitas tubuh. Semakin bertambah
usia semakin rendah kualitas hidupnya yang disebabkan penurunan pada
aktivitas psikologis dan fisik di hidupnya.
3. Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah sala satu faktor yang mempengaruhi kualitas
hidup, dimana semakin tinggi tingkat pendidikannya yang di dapatkan oleh
seseorang akan meningkat kualitas hidupnya (Moons, dkk 2004)
21
4. Pekerjaan
Penduduk yang berstatus sebagai pelajar, penduduk yang tidak bekerja
(sedang mencari pekerjaan), penduduk yang bekerja memiliki perbedaan kualitas
hidup (Moons, dkk 2004).
5. Status pernikahan
Individu yang tidak menikah, yang menikah dan bercerai atau janda
terdapat perbedaan kualitas hidup (moons, dkk 2004)
2.2.3 Alat Ukur Kualitas Hidup
WHOQOL-BREF merupakan isntrumen untuk menilai kualitas hidup
seseorang. Isntrumen ini di gunakan secara luas untuk masalah kesehata serta
penyakit kronis di seluruh dunia dan telah di kembangkan oleh beberapa peneliti.
WHOQOL-BREF dapat dibagi 4 aspek yaitu, 1. Kesehatan fisik, 2. Psikologis, 3.
Sosial, dan 4. Lingkungan. Instrument ini jika dikaitkan dengan penderita kusta
dinilai sesuai untuk mengetahui kualitas hidup penderita, karena aspek diatas
menganalisa berbagai permasalahan yang dialami oleh penderita kusta. Terdapat
26 item pertanyaan. Dalam 25 item pertanyaan dikategorikan menjadi domain
yaitu, kesehatan fisik, psikologis, sosial, dan lingkungan. Setiap kategori di beri
nilai 1 sampai 5 poin.
Instrument kualitas hidup ada 4 dimensi yang meliputi:
2.2.3.1 Kesehatan Fisik
Menurut Burhan, dkk (2013). Dimana domin kesehatan fisik meliputi
kemampuan individu yang melakukan aktifitas sehari-hari, fungsi fisik, istirahat,
dan tidur yang cukup serta suatu pekerjaan yang bisa dilakukan sesuai dengan
yang diharapkan.
22
Riyadi (dalam Aliyono, Tondok & Ayuni, 2012) menyebutkan
kesehatan fisik dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk melakukan
aktivitas. Aktivitas yang dilakukan individu akan memberikan pengalaman-
pengalaman baru yang merupakan modal perkembangan untuk ke
tahap selanjutnya. Aspek fisik (Physical) meliputi aktifitas sehari-hari,
ketergantungan pada bahan obat dan alat bantu medis, energi dan kelelahan,
mobilitas, nyeri dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, dan kapasitas kerja.
Kesehatan fisik dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk melakukan
aktivitas. Aktivitas yang dilakukan individu akan memberikan pengalaman-
pengalaman baru yang merupakan modal perkembangan ke tahap selanjutnya.
Kesehatan fisik mencakup aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada obat-obatan
dan bantuan medis, energi dan kelelahan, mobilitas (keadaan mudah bergerak),
sakit dan ketidak nyamanan, tidur dan istirahat, kapasitas kerja.
Menurut Heru (2008) kesehatan fisik adalah adanya keadaan organ tubuh
yang dapat berfungsi secara baik tanpa merasakan sakit atau keluhan dan
memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua organ tubuh dapat bekerja
secara normal.
2.2.3.2 Psikologis
Menurut Burhan, dkk (2013). Dimensi ini mencakup pada kompenen
citra tubuh dan penampilan berbagai individu menilai dan memandang perasaan
positif dan negatif, dirinya sendiri, pola berfikir, spiritual-agama, mengingat dan
serta belajar.
Riyadi (dalam Aliyona, dkk, 2012) menyebutkan keadaan mental
mengarah pada mampu atau tidaknya individu menyesuaikan diri terhadap
23
berbagai tuntutan perkembangan sesuai dengan menyesuaikan kemampuannya,
baik tuntuntutan diri sendiri maupun dari luar dirinya. Aspek psikologis juga
terkait dengan aspek fisik, dimana individu dapat melakukan sesuatu aktivitas
sebagai upaya untuk melakukan suatu aktivitas, sehingga dengan kondisi
psikologis yang terjadi pada seseorang sehingga individu tersebut sehat secara
mental. Aspek ini menggambarkan mengenai penampilan, perasaan negatif,
perasaan positif, penghargaan diri, kepercayaan individu, berfikir, belajar,
memori dan konsentrasi sehingga menjadikan aktivitas yang dilakukan akan
memberikan dampak secara psikologis. Aspek psikologis yaitu terkait dengan
mental individu. Keadaan mental mengarah pada mampu atau tidaknya individu
menyesuaikan diri terhadap tututan perkembangan sesuai dengan
kemampuannya, baik tuntutan dari luar diri dan pada dalam dirinya sendiri.
Aspek psikologis juga terkait dengan aspek fisik, dimana individu dapat
melakukan suatu aktivitas dengan baik bila individu tersebut sehat secara mental.
Kesejahteraan psikologis mencakup body image dan appearance, perasaan positif,
perasaan negatif, self esteem, spiritual/agama/keyakinan pribadi, berpikir,
belajar, memori dan konsentrasi.
2.2.3.3 Sosial
Menurut Sekarwiri, (2008). Dimensi ini meliputi relasi personal yang
menggambarkan tentang hubungan individu dengan orang lain, aktifitas seksual,
dan dukungan sosial yang di dapatkan oleh individu yang berasal dari lingkungan
sekitar.
Persepsi keluarga dan orang lain sebagai pemberian pelayanan terhadap
kemampuan untuk memberikan dukungan dan menciptakan hubungan yang baik
24
untuk melaksanakan fungsi tertentu. Sebagai besar klien sangat membutuhkan
dukungan dari pasangan, keluarga, dan teman untuk melaksanakan perilaku
perawatan diri. Informasi atau umpan balik dari orang lain yang menunjukan
bahwa seseorang di cintai dan diperhatikan, dihargai, dan dihormati, dan
dilibatkan dalam jaringan komunikasi yang timbal balik (King, 2012)
2.2.3.4 Lingkungan
Dimensi lingkungan mencakup beberapa aspek yang meliputi keamanan,
kesehatan fisik. Lingkungan yang menggambarkan tempat tinggal individu,
jaminan kesehatan dan sosial (ketersediaan dan kualitasnya), tingkat kemampuan
fininsial, keterampilan, partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi atau santai,
transportasi yang mudah, dan lingkungan fisik yang menggambarkan lingkungan
sekitar (Pangkahila, 2007).
Lingkungan adalah semua benda, daya dan kondisi yang terdapat dalam
suatu tempat atau ruang tempat manusia atau makhluk hidup berada dan dapat
mempengaruhi hidupnya. Semua benda dan kondisi, termasuk didalamnya
manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia
berada dan mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup
lainnya Prof. Dr. St. Munadjat Danusaputro, SH (dalam, N. H. T. Siahaan 2004)
2.2.4 Aspek- Aspek Kualitas Hidup
Aspek –aspek kualitas hidup berdasarkan skala kualitas hidup dari WHO
yang disebut dengan WHO Quality of Life (WHOQOL-BREF) terdiri dari 4
domain/aspek, yaitu :
a. Keadaan fisik (Physical) Kesehatan fisik disini merupakan penggambaran
dari kepuasan individu terhadap kesehatan fisiknya, yang mencakup
25
tingkat energi dan kelelahan (energy and fantigue), rasa sakit dan
ketidaknyamanan (pain and discomfort), dan lama waktu untuk tidur dan
beristirahat (sleep and rest).
b. Keadaan Psikologis (Psychological). Keadaan psikologis disini merupakan
persepsi individu terhadap keadaan dirinya yang meliputi, gambaran diri
dan penampilan (bodily and appearance), seberapa sering seseorang
memiliki perasaan yang negatif seperti sedih, dan marah (negative felly),
perasaan positif (positive felly), gambaran tentang kepuasan terhadap diri
(self esteem), dan mengenai kemampuan seseorang dalam berfikir, belajar,
mengingat dan berkonsentrasi (thingking, learning, memory and concentration).
c. Hubungan sosial (Social Relationship). Hubungan sosial disini merupakan
kemampuan individu dalam bergaul yang meliputi, hubungan personal
antara individu dengan orang disekitarnya (personal relationship), dukungan
yang didapat individu dari lingkungan sosialnya (social support), dan
aktivitas seksual (sexual activity). d. Hubungan dengan Lingkungan
(Environment) Hubungan dengan lingkungan disini lebih menunjukan
tentang keadaan disekitar kehidupan individu yang meliputi, sumberdaya
keuangan/ kemapuan finansial yang dimiliki individu (financial resources),
kebebasan individu, keselaman fisik dan keamanan yang dimiliki individu
(freedom, safety phisical and security), ketersedian akses dan kualitas fasilitas
kesehatan dan sosial (health and social care : accessbility and quality), keadaan
lingkungan sekitar rumah (home environment), ketrampilan dan kesempatan
untuk memperoleh informasi baru (opportunities for acquiring new information
and skill), partisipasi dalam kegiatan rekreasi dan olahraga (partisipation in
and opportunities for recreation/leisure), kesehatan lingkungan seperti polusi,
26
kebisingan, lalu lintas dan iklim (physical environment
(pollution/noise/traffic/cimate)), dan ketersediaan sarana transportasi di
lingkungan sekitar tempat tinggal individu (transport). (WHO, 1997)
Aspek-aspek kualitas hidup dalam The Flanangan Quality of Life Scale
(QOLS) oleh ( dalam Burckhardt & Anderson, 2003), aspek kualitas hidup
adalah sebagai berikut :
a. Kesejahteraan Fisik Kesejahteraan fisik meliputi kesejahteraan dan
keamanan finansial, kesehatan fisik dan keselamatan pribadi.
b. Hubungan dengan orang lain Hubungan dengan orang lain meliputi
hubungan dengan orang tua, saudara dan kerabat lainnya, memiliki dan
membesarkan anak-anak, hubungan dengan pasangana atau orang
penting lainnya, dan hubungan dengan teman.
c. Sosial, Masyarakat dan kegiatan yang berkaitan dengan pemerintah.
Aspek tersebut terkait dengan membantu dan menolong orang lain, dan
kegiatan yang berkaitan dengan pemerintah daerah dan nasional.
d. Pengembangan dan pemenuhan pribadi Pengembangan dan pemenuhan
pribadi meliputi pengembangan intelektual, pemahaman pribadi, peran
dalam pekerjaan, kreatifitas dan eksoresi pribadi.
e. Aspek Rekreasi Aspek rekreasi meliputi sosialisasi, kegiatan rekreasi pasif
dan pengamatan, kegiatan rekreasi aktif dan partisipasi. Berdasarkan
uraian diatas maka aspek-aspek kualitas hidup mencakup empat domain,
yaitu kesehatan fisik, keadaan psikologis, hubungan sosial dan
lingkunganm keempat domain tersebut telah mencakup berbagai aspek
yang dapat digali untuk menggambarkan kualitas hidup seseorang.
27
2.2.5 Gambaran Kualitas Hidup Pada Klien Kusta
Penyakit kusta merupakan penyakit yang di sebabkan oleh Mycobakterium
leprae. Penyakit ini akan menyerang susunan saraf tepi selanjutnya dapat
menyerang kulit, mulut, saluran pernafasan, otot, tulang dan testis. Penyakit ini
pada umumnya terdapat di negara-negara yang berkembang. Penyakit ini hanya
manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber
penularannya. Meskipun kuman kusta dapat hidup pada armadilo, simpanse dan
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus. Belum di ketahui cara
penularan kusta kepada orang lain termasuk proses masuknya kuman kusta ke
dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum di pastikan. Seseorang mengalami
penyakit kusta bilamana terdapat dari salah satu tanda kulit mati rasa, penebalan
saraf tepi dengan gangguan fungsi saraf dan adanya bakteri tahan asam (BTA).
Namun demikian pada kasus yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan
kerokan kulit (skin smear). Penyakit kusta di bagi menjadi 2 tipe yaitu tipe PB
(pausi Basiler/sedikit kuman) dan MB (multi Basiler/banyak kuman). Dengan
pengobatan yang di berikan kepada penderita akan memutus mata rantai,
menyembuhkan penyakit, mencegah adanya cacat atau jika sudah ada kecacatan
akan mencegahnya. Hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita
terutama pada tipe MB ke orang lain akan hancur (Denkes RI, 2007).
Kualitas hidup menurut Word Health Organization Quality Of Life
(WHOQOL, 1996). Sebagai persepsi individu mengenai posisi individu dalam
hidup dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu hidup dan
hubungannya dengan tujuan, harapan standart, dan keinginan. Difinisi ini
berhubungan dengan kesehatan fisik, keadaan psikologis, tingkat kemandirian,
hubungan sosial, keyakinan pribadi dan hubungan individu dengan lingkungan.
28
Menurut Nursalam (2017), kualitas hidup merupakan konsep analisa
kemampuan seseorang untuk memiliki hidup yang normal berkaitan dengan
secara individu mengenai harapan, standar, tujuan dan perhatian secara spesifik
mengenai yang di alami. Kualitas hidup di gunakan dalam bidang pelayanan
kesehatan untuk menganalisa emosional seseorang dalam faktor sosial dan
kemampuan untuk tuntutan kegiatan di dalam kehidupan.
Menurut Nimas (2012). Sebagai persepsi individu mengenai posisi individu
dalam hidup dalam konteks budaya dan sistem nilai dimana individu hidup
hubungannya dengan tujuan, harapan standar yang diterapkan dan perhatian
seseorang.