bab ii tinjauan pustaka, konsep, landasan ......2.2.1 bahasa dan budaya lontar hubungan antara...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
Dalam kajian pustaka dikemukakan beberapa hasil penelitian serta buku-
buku yang memberikan kontribusi, informasi bagi penelitian ini. Adapun hasil
penelitian yang dipaparkan dalam kajian pustaka ini adalah informasi tertulis
mengenai bahasa dan budaya Sabu, dan hasil penelitian ekolinguistik yang dapat
dikaji untuk memosisikan penelitian ini pada kepatutan urgensinya.
2.1 Tinjauan Pustaka
Sesuai dengan penjelasan pada bab sebelumnya, penelitian ekolinguistik
merupakan penelitian baru. Namun, penelitian-penelitan yang berhubungan dengan
penelitian ini dapat menjadi rujukan, antara lain Detaq (1973) menulis tentang asal
usul orang Sabu. Dua versi tentang asal-usul orang Sabu yang dipaparkan oleh
Detaq, yakni versi sejarah dan mitos. Penjelasan Detaq dapat menambah informasi
bagi peneliti mengenai budaya guyub tutur Sabu Raijua tentang lontar. Penelitian
Detaq sangat berkontribusi bagi peneliti sebagai gambaran awal untuk masuk dalam
kehidupan dan budaya masyarakat asli Sabu Raijua, namun penelitian Detaq ini
bukanlah data primer bagi peneliti.
Terdapat beberapa penelitian lainnya tentang budaya Sabu, antara lain, Kana
(1983) menulis tentang Dunia Orang Sawu. Dalam tulisannya Kana memaparkan
mengenai filosofi pemberian nama dan pengaturan bagian kampung. Guyub tutur
Sabu-Raijua di Pulau Sabu dianggap sebagai perahu, menurut kepercayaan mereka,
17
18
terdapat sebuah perahu Talo Nawa. Perahu ini dianggap sebagai perahu gaib yang
datang ke Mahara (Sabu Barat) untuk mengantarkan nira sebagai bahan makanan
pokok pada musim kemarau sehingga pohon lontar menghasilkan nira. Tulisan Kana
ini memberikan informasi bagi penelitian ini mengenai ideologi, filosofi guyub tutur
Sabu Raijua dalam hubungannya dengan bahasa dan budaya lontar.
Penelitian dan kajian terhadap bahasa dan budaya Sabu pernah
dilakukan, antara lain, oleh Tarno dkk (2001) meneliti tentang pandangan hidup
masyarakat Sabu tentang susastra lisan, penelitian Riwu Kaho (2002), dan Musa
Lede (2009). Hasil penelitian ini dirujuk dengan memanfaatkan data dan bahasan
yang relevan sebagai bahan pelengkap dan pembanding.
Hasil penelitian tentang bahasa dan budaya Sabu Raijua memang sudah
banyak dipublikasikan. Selain itu penelitian tentang lontar juga pernah dilakukan
oleh Fox, namun penelitian yang berkaitan dengan bahasa dan budaya lontar
guyub tutur Sabu-Raijua yang diteliti dalam bidang kajian ilmu ekolinguistik
belum pernah dilakukan. Selain hal tersebut, bahasa kelontaran perlu mendapat
perhatian khusus karena budaya kelontaran perlahan mulai ditinggalkan oleh
generasi muda. Para peneliti terdahulu hanya melihat pemanfaatan budaya, asal-
usul masyarakat Sabu Raijua, sehingga belum ada penelitian yang mendalam
mengenai fenomena kebahasaan yang terjadi pada guyub tutur Sabu Raijua
dewasa ini.
Peneliti belum menemukan penelitian-penelitian yang melihat adanya
penyusutan, atau pergeseran Bahasa Sabu, khususnya bahasa dan budaya
kelontaran pada generasi muda. Termasuk proses dan pemanfaatan lontar demi
19
menunjang atau memperkuat ekonomi kreatif. Penelitian ini juga memiliki
perbedaan dengan penulis atau peneliti bahasa Sabu, yaitu penelitian ini melihat
lebih ke dalam dari segi ideologi, filosofi guyub tutur Sabu Raijua tentang lontar,
melihat makna-makna apa saja yang tercermin dari ideologi tersebut.
Mengacu pada tujuan penelitian, terdapat beberapa penelitian yang
berkaitan. Penelitian-penelitian ekolinguistik yang berkaitan ini dirujuk sebagai
referensi atau pembanding untuk membantu dalam pengembangan analisis, antara
lain, penelitian yang berikut.
Penelitian yang dilakukan Derni (2008:29) bahasa merupakan salah satu
bagian dari lingkungan biosfer tempat tinggal dan ‘hidup, maka sudah semestinya
bahasa juga dispekulasikan seturut dengan keadaan lingkungan tempatnya berada.
Masih menurut Derni, ketika bahasa memasuki pelbagai aspek kehidupan
manusia, semestinya juga pelbagai disiplin ilmu yang terkait dengan beragam
aspek dalam kehidupan manusia bisa melibatkan kajian secara linguistik pula.
Rasna (2010) dalam penelitiannya telah memaparkan tentang
pengetahuan dan sikap remaja terhadap tanaman obat tradisional di Kabupaten
Buleleng dalam rangka pelestarian lingkungan. Sebelumnya, ia memaparkan
bahwa telah terjadi penyusutan pengetahuan generasi muda tentang tanaman obat
tradisional. Penyusutan pengetahuan terjadi karena adanya perubahan
sosiokultural, sosioekologis, serta faktor sosioekonomis.
Usman (2010) dalam penelitiannya tentang penyusutan tutur dalam
masyarakat gayo menggambarkan perkembangan tutur dalam bahasa Gayo yang
cenderung mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor
20
internal yang bersumber dari orang Gayo sendiri selaku pemilik bahasa Gayo.
Bahasa Gayo tidak diregenerasikan kepada kaum muda, atau tidak diajarkan, tidak
dipakai, tidak dipelajari. Faktor yang kedua adalah faktor eksternal yang berasal
dari luar, yaitu adanya pengaruh pemakaian bahasa Indonesia, perkawinan
antarsuku, pengaruh budaya, pendidikan, dan pengaruh perkembangan informasi
dan teknologi. Kedua faktor tersebut sangat memengaruhi adanya penyusutan
bahasa Gayo.
Penelitian Adisaputra (2010), yakni tentang ancaman terhadap
kebertahanan bahasa Melayu Langkat: pada komunitas remaja di Stabat
Kabupaten Langkat. Penelitian yang menggunakan pendekatan ekolinguistik dan
semantik. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa adanya perubahan
sosio-ekologis pada lingkungan remaja di Stabat, pemahaman remaja tentang
leksikal bahasa Melayu Langkat (BML) tergolong rendah. Faktor penyebabnya,
yaitu perubahan kondisi sosio-ekologis komunitas Melayu Langkat di Stabat.
Perubahan kondisi sosio-ekologis ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yakni, (1) perubahan faktor alam, (2) menyusutnya lahan pertanian, (3)
berkurangnya sumber daya alam, (4) munculnya bahan-bahan dan alat-alat
modern, dan (5) pola hidup serba instan. Sementara itu pada aspek kebahasaan,
konseptual remaja tentang ekologi BML semakin menyusut. Hal ini disebabkan:
(1) kurangnya interaksi komunitas remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi
melayu, (2) langkahnya entitas yang bercirikan ekologi Melayu, dan (3) konsepsi
leksikal penutur tentang entitas-entitas itu bukan dalam peranti BML, tetapi dalam
bahasa lain.
21
Tulalessy (2012) dalam penelitiannya tentang pengetahuan leksikon
kesaguan bahasa Suabo masyarakat Inanwatan, Sorong-Papua Barat
mengungkapkan bahwa pengetahuan mengenai kesaguan bahasa Suabo telah
mengalami penyusutan; generasi muda tidak lagi menggunakan karena dalam
kehidupan keluarga lebih cenderung digunakan Bahasa Indonesia, dan dalam
lingkungan pendidikan tidak adanya bahan ajar yang berkaitan dengan budaya
lokal. Rendahnya partisipasi generasi muda dalam pembelajaran bahasa daerah
juga memengaruhi mengapa leksikon kesaguan bahasa Suabo mengalami
penyusutan.
Mbete, dkk (2012), dalam hasil sebuah penelitian tentang khazanah
verbal sebagai representasi pengetahuan lokal, fungsi pemeliharaan, dan
pelestarian lingkungan dalam Bahasa Waijewa dan Bahasa Kodi, Sumba Barat
Daya, menghasilkan pemaknaan dan khazanah verbal berwujud perangkat
leksikon dalam teks bahasa Waijewa dan bahasa Kodi sarat dan kaya makna serta
fungsi-fungsi, antara lain fungsi sosiologis, fungsi biologis, dan ideologis guyub
tutur kedua bahasa tersebut.
Santang (2014), dalam penelitiannya mengenai pengetahuan leksikon-
leksikon lingkungan kesungaian pada generasi muda Katingan, Kalimantan
Tengah, menunjukkan berbagai kategori nomina, verba serta segala sesuatu yang
terdapat di lingkungan kesungaian untuk menjaga keselarasan antara manusia dan
alam yang memengaruhi hidup semua organisme.
Nuzwaty (2014), dalam penelitiannya mengenai keterkaitan metafora
dengan lingkungan alam pada komunitas bahasa Aceh di Desa Trumon, Aceh
22
Selatan membahas mengenai sejumlah metafora pada masyarakat Aceh terbentuk
dari kelas kata yang bervariasi, membentuk frasa yang bervariasi pula. Selain itu
penelitiannya juga membahas sejumlah metafora lingkungan dan digunakan
dalam komunikasi verbal pada interaksi sosial.
Beberapa penelitian ekolinguistik yang disebutkan di atas, jelas
memberikan kontribusi bagi penelitian ini, mengingat penelitian ini juga
merupakan kajian ekolinguistik, tetapi selain persamaan terdapat juga perbedaan
pada penelitian ini dan penelitian sebelumnya. Persamaannya bahwa penelitian ini
dan penelitian terdahulu sama-sama berbicara mengenai bahasa lingkungan dan
lingkungan bahasa.
Perbedaannya adalah, bahwa penelitian-penelitian yang disebutkan di
atas membahas mengenai lingkungan tanaman obat tradisional di Kabupaten
Buleleng, leksikon kesaguan di Sorong Papua Barat, khazanah verbal berwujud
perangkat leksikon dalam teks bahasa Waiweja dan bahasa Kodi, pengetahuan
leksikon-leksikon lingkungan kesungaian di Katingan, Kalimantan Tengah dan
metafora lingkungan di Aceh. Sementara itu pada penelitian ini, peneliti menggali
sedalam-dalamnya data mengenai khazanah leksikon. Data dalam bentuk leksikon
ini bukan sebatas pada daftar leksikon, tetapi dilihat juga bentuk-bentuk dasar dan
bentuk turunan dari leksikon tersebut. Leksikon yang berkaitan dengan bahasa dan
budaya lontar guyub tutur Sabu Raijua perlahan-lahan mulai mengalami
penyusutan. Tidak hanya sampai pada taraf leksikon, penelitian yang dilakukan
ini juga berlanjut pada taraf tekstual, yaitu telaah lebih dalam bagaimana ritual
kelontaran dalam kehidupan guyub tutur Sabu Raijua. Sebagian besar guyub tutur
23
Sabu-Raijua tidak lagi mempertahankan warisan leluhur dalam bentuk bahasa dan
budaya. Penelitian yang dilakukan ini juga mengarah pada usaha pelestarian
bahasa budaya Sabu sehingga program pengembangan ekonomi kreatif makin
tumbuh dan berkembang. Sehubungan dengan itu, peneliti mengumpulkan data
dimulai dari leksikon, selanjutnya ke metafora, dan pada akhirnya mengkaji
tuturan ritual yang berhubungan dengan lontar.
2.2 Konsep
Sejumlah konsep kelinguistikan telah diterapkan dalam penelitian ini.
Adapun konsep-konsep yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut.
2.2.1 Bahasa dan Budaya Lontar
Hubungan antara bahasa dan budaya lontar sangat erat pada guyub tutur
Sabu-Raijua. Bahasa sebagai sarana dalam setiap unsur kebudayaan berhubungan
dengan lontar. Dengan demikian, di dalam kehidupan masyarakat Sabu, hubungan
antara bahasa dan budaya tentang lontar merupakan suatu keintiman. Pemahaman
pohon lontar sebagai pohon kehidupan bagi masyarakat Sabu menjelaskan adanya
rasa memiliki, rasa menyatu dengan keseluruhan bentuk dari pohon lontar “kami
dan dunia kami”. Bahasa dan budaya lontar merupakan dunia atau keseluruhan
hidup bagi guyub tutur Sabu Raijua.
Lontar dipandang sebagai dunia bagi orang Sabu, yang berarti bahwa
dalam seluruh aspek kehidupan orang Sabu tidak terlepas dari lontar. Keterkaitan,
keterhubungan, dan ketergantungan kehidupan orang Sabu pada lontar merupakan
suatu bentuk harmoni kehidupan antara masyarakat Sabu dan lingkungan alam
24
Sabu- Raijua. Selain itu, lontar juga menjadi jembatan penghubung komunikasi
yang harmonis dengan sang Ilahi, atau yang disebut Deo Ama.
Oleh guyub tutur Sabu Raijua pohon lontar dipandang sebagai pohon
penghidupan dan kehidupan. Pohon lontar memberikan kehidupan bagi guyub
tutur Sabu-Raijua, pada musim panas atau kemarau. Hasil penyadapan nira adalah
satu-satunya sumber kehidupan bagi masyarakat Sabu. Nira yang kemudian diolah
menjadi gula Sabu dapat disimpan bertahun-tahun lamanya. Di samping itu, hasil
penyadapan nira dari pohon lontar selalu disajikan dalam setiap kondisi atau acara
kekeluargaan; bahkan acara-acara sosial di Sabu, terutama dalam ritual adat.
Pohon lontar sebagai pohon kehidupan berkaitan dengan adicita (ideologi) di balik
ungkapan-ungkapan tentang keduean.
Karena kondisi topografi Sabu Raijua yang kering, pohon lontar mudah
hidup dan berkembang. Menurut informasi dari beberapa sumber orang Sabu yang
hidup di luar Pulau Sabu, pohon lontar tidak pernah dibudidaya atau dibuat
anakan pohon. Jika dibudidayakann maka diperlukan sejumlah ritual yang akan
mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Diperlakukan demikian karena menurut
kepercayaan guyub tutur Sabu, pohon ini tidak bisa ditanam langsung oleh tangan
manusia, atau ditanam selayaknya menanam pohon-pohon lainnya. Biji dari buah
pohon lontar yang sudah kering ini cukup diletakkan, bahkan ada yang
melakukannya dengan cara membuang di atas tanah yang sudah direncanakan
sebagai tempat hidup pohon tersebut. Misalnya, jika ingin membuat pagar kebun,
maka cukup dengan meletakkan atau membuang biji tersebut pada batas kebun
25
kemudian dibiarkan begitu saja, tidak perlu disiram atau diberi pupuk. Secara
alami pohon ini dapat tumbuh subur.
Pohon lontar juga sangat istimewa, karena memiliki gender, ada pohon
lontar jantan (kal’li mone) dan ada pohon lontar betina (kal’li ban’ni). Dari akar
hingga daun lontar ini sangat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan guyub tutur
Sabu-Raijua di Kabupaten Sabu Raijua. Bagi para leluhur, lontar (due) tak dapat
digantikan dengan pohon apa pun, atau dengan makanan atau minuman apa pun.
Oleh penduduk asli Sabu, due adalah kekayaan alam dan juga merupakan
peninggalan dari leluhur dan tidak bisa diganggu habitatnya.
Pada penelitian ini, peneliti ingin menggali untuk mendapatkan data
leksikon yang berkaitan dengan pelbagai bagian dan hal-hal tentang due (lontar),
baik isinya dengan keanekaragaman hayatinya (biodiversity), proses pemanfaatan
dalam kehidupan sehari-hari, maupun persepsi atau ideologi tentang lontar.
Kesemuanya ini merupakan kekayaan bahasa pada guyub tutur Sabu-Raijua yang
memberi gambaran bahwa adanya hubungan yang sarat makna antara manusia
dan lingkungan alam lontar.
Sebagian besar flora di Kabupaten Sabu Raijua terdiri atas pohon lontar,
pohon kelapa, dan padang rumput yang luas. Tabel 2.1 berikut ini menampilkan
penyebaran lontar di Pulau Sabu (Sabu dalam Angka, 2012).
26
Tabel 2.1 Penyebaran Lontar
2.2.2 Guyub Tutur Sabu-Raijua
Guyub tutur dalam bahasa Inggris dikenal dengan speech community
adalah masyarakat pengguna bahasa. Hymes (1963) dan Duranti (1997)
mengatakan bahwa “kajian atas bahasa memandang bahasa sebagai sumber daya
budaya dan tuturan sebagai praktik budaya’ (a study of language as a cultural
resource and speaking as a cultural practices)”. Secara tersurat, bahasa (langue)
dipahami sebagai kekayaan rohani milik manusia dan guyub tutur tertentu.
Dalam konteks penelitian ini, guyub tutur yang diteliti adalah guyub tutur
Sabu-Raijua. Kabupaten Sabu atau Pulau Sabu, terletak di antara Pulau Sumba
dan Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam keseharian pengguna
bahasa Sabu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Sabu dengan beberapa
dialek, antara lain dialek Raijua, Mesara, Timu, Liae, dan Seba (Walker, 1982:3).
Bahasa Sabu juga digunakan oleh masyarakat Sabu yang berada di luar Pulau
27
Sabu, misalnya di Flores, Sumba, Timor. Menurut Kridalaksana (2008), bahasa
Sabu termasuk dalam rumpun bahasa Bima-Sumba, yang meliputi bahasa Bima,
bahasa Manggarai, bahasa Ngada, bahasa Lio, bahasa Sumba Barat, bahasa
Sumba Timur, dan bahasa Sabu (Hawu).
Pulau Sabu selain disebut dengan Pulau Sawu, penduduk setempat atau
masyarakat asli Sabu menyebut pulau itu dengan Rai Hawu (Pulau Hawu).
Berdasarkan undang-undang nomor 52 tahun 2008 tanggal 26 November 2008,
sejak tahun 2008 Pulau Sabu sudah menjadi Kabupaten Sabu-Raijua dan
merupakan Kabupaten termuda di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Masyarakat Sabu terkenal sebagai penyadap nira dan peladang
(Kana,1983:18-19). Orang Sabu atau Sawu menganggap pulau Mereka, Rai
Hawu, seperti makhluk hidup yang membujur dengan kepala di barat (di Mahara),
perut di tengah pulau (di daerah Habba dan Liae), sedangkan ekor terletak di
Timur (di Dimu). Mereka juga menganggap Pulau Sabu sebagai perahu: wilayah
Mahara di bagian barat yang bergunung-gunung disebut anjungan tanah (duru
rai), sedangkan di daerah Dimu yang merupakan dataran rendah dianggap sebagai
buritan (wui rai). Penamaan dan pemetaan wilayah atau daerah di Sabu juga
berdasarkan pada filosofi orang Sabu.
2.2.3 Ekolinguistik
Ekolinguistik merupakan kajian interdisipliner, dalam hal ini bahasa
dengan ekologi. Ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos yang berarti ‘rumah’
atau tempat untuk hidup. Ekologi juga diartikan sebagai pengkajian hubungan
organisme-organisme atau kelompok-kelompok organisme terhadap
28
lingkungannya. Ekologi berkembang mulai dari abad ke- 16 dan 17 yang timbul
dari natural history. Catatan Hipocratus, Aristotels, dan filosof lainnya merupakan
naskah-naskah kuno yang berisi rujukan tentang masalah-masalah ekologi (Irwan,
2014: 3).
Ekologi adalah lingkungan, tempat hidup. Dalam konsep ini ekologi
bukan dipandang utuh sebagai tempat atau lingkungan hidup tumbuh-tumbuhan
atau hewan saja, lebih dari itu, dalam konsep ini ekologi juga dipandang sebagai
tempat di mana suatu bahasa itu hidup. Pemahaman ekologi dalam konsep ini
berkaitan dengan "bahasa lingkungan dan lingkungan bahasa".
Ekologi merupakan ilmu yang menunjukkan hubungan timbal balik
antara makluk hidup dan lingkungan (Soemarwoto, 2004:22). Ekologi bahasa
merupakan lingkungan kebahasaan dan juga merupakan lingkungan dari alam,
dan merupakan lingkungan “buatan” manusia dan lingkungan masyarakat. Di
dalam lingkungan itu pasti ada, pasti hidup, dan pasti terjadi interaksi, saling
memengaruhi (Mbete, 2012).
Dalam sebuah artikel berjudul "The Ecology of Language", Haugen
mengatakan bahawa sebuah ekologi bahasa terbentuk atau ditentukan oleh guyub
tutur yang mempelajari, menggunakan bahasa tersebut. Dengan mempelajari suatu
bahasa, manusia belum membentuk suatu ekologi bahasa, ekologi bahasa akan
terbentuk apabila bahasa yang dipelajari tersebut digunakan dalam setiap ranah
kehidupan.
Bahasa lingkungan (ecology of language, green speak) dan lingkungan
bahasa (language ecology) merupakan objek formal dan objek material dalam
29
penelitian ekolinguistik (Mbete, 2013:5). Bahasa lingkungan adalah sosok
(corpus) kebahasaan yang (isinya, content) menggambarkan tentang lingkungan,
baik lingkungan alam secara makro maupun lingkungan manusia (dengan
budayanya) secara mikro.
Seperti apa yang sudah disebutkan di atas, lingkungan alam tempat
bahasa hidup ada hubungan timbal balik dengan makluk hidup, dalam hal ini,
manusia pengguna bahasa atau guyub tutur. Dalam penelitian ini ekologi tempat
bahasa hidup dan menjadi objek penelitian adalah Kabupaten Sabu-Raijua. Guyub
tutur Sabu-Raijua memiliki kepercayaan yang kemudian sudah membudaya dan
menyatu dalam kehidupan mereka, salah satunya budaya lontar. Guyub tutur
Sabu-Raijua memandang lontar sebagai pohon kehidupan.
2.2.4 Persepsi: Gambaran Falsafah Komunitas
Persepsi merupakan proses yang menyangkut masuknya pesan atau
informasi ke dalam otak manusia, melalui persepsi manusia secara terusmenerus
mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat
indranya, yaitu indra penglihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium,
(Slameto, 2010:102). Dalam kamus besar psikologi, persepsi diartikan sebagai
suatu proses pengamatan seseorang terhadap lingkungan dengan menggunakan
indra yang dimiliki sehingga ia menjadi sadar akan segala sesuatu yang ada di
lingkungannya.
Pohon lontar oleh guyub tutur Sabu Raijua dipandang sebagai pohon
kehidupan karena pohon lontar memberikan kehidupan bagi guyub tutur Sabu-
30
Raijua, di musim panas atau kemarau. Dalam kaitan ini hasil penyadapan nira
adalah satu-satunya sumber kehidupan bagi masyarakat Sabu. Nira yang diolah
menjadi gula Sabu dapat disimpan bertahun-tahun lamanya, di balik itu semua,
hasil penyadapan nira dari pohon lontar selalu disajikan dalam setiap kondisi atau
acara di Sabu, terutama dalam ritual-ritual adat. Dalam sebuah ritual adat bila
belum ada tuak (hasil olahan nira) maka para tua adat selalu merasa belum
lengkap komponen-komponen dalam ritual adat tersebut. Hasil olahan dari pohon
lontar ini juga digunakan untuk keseluruhan bentuk dan isi rumah adat orang
Sabu. Oleh karena itu pohon lontar sudah sangat menyatu dengan bahasa dan
budaya guyub tutur Sabu-Raijua, lontar adalah dunia bagi orang Sabu.
Dalam penelitian Djuli (1993) dikatakan bahwa tumbuhan dalam mitos
masyarakat Sabu dipandang sebagai jelmaan bagian tubuh seorang pria yang
bernama Rai Ae Matti, dan lontar merupakan salah satu jelmaan dari bagian tubuh
manusia, yaitu kemaluan. Oleh karena itu, lontar begitu dijaga dan dipelihara,
demi keberlangsungan hidup dan penghidupan orang Sabu.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin menemukan bagaimana persepsi
guyub tutur Sabu-Raijua tentang bahasa dan budaya lontar. Filosofi guyub tutur
Sabu-Raijua tentang lontar begitu menyatu dengan hidup dan penghidupan orang
Sabu. Lontar dipandang sebagai pohon penghidupan. Pandangan ini lahir karena
seluruh aspek kehidupan orang Sabu berhubungan erat dengan lontar.
31
2.2.5 Kebijakan Bahasa
Kebijakan bahasa adalah proses mempertimbangkan dan membuat
putusan mengenai bahasa. Dasar perimbangannya adalah faktor sosial, ekonomi,
dan politik yang mengarah pada penguatan jati diri bangsa (Ola, 2013: 120).
Salah satu bentuk kebijakan bahasa di Indonesia ialah perumusan
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Badudu
(1993) menjelaskan: dalam kebijakan nasional yang berencana, terarah dan
terperinci, kita dapat mengatur fungsi bahasa Indonesia dan bahasa daerah, serta
fungsi dan kedudukan bahasa asing.
Penetapan kebijakan bahasa juga mempertimbangkan penerima
kebijakan. Eastman, (1983:7), menjelaskan bahwa dalam menetapkan kebijakan
bahasa, para pembuat kebijakan perlu menyadari bahwa guyub tutur
menginginkan bahasa mereka lebih rapi, teratur dan berfungsi. Kebijakan bahasa
meliputi: perumusan, elaborasi (menggarap secara tekun dan cermat), kondifikasi
(perumusan kaidah), dan implementasinya.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, kebijakan bahasa daerah
khususnya pada bahasa Sabu, perlu mendapat perhatian khusus dari para
pemangku kebijakan. Kebijakan bahasa daerah mendapat perhatian tinggi dari
pemerintah pusat. Hal inilah mengapa terdapat undang-undang yang mengatur
mengenai kebijakan bahasa daerah.
Kekuatan dan potensi bahasa daerah ditentukan oleh jumlah penuturnya,
jika jumlah penutur makin berkurang dikhawatirkan potensi bahasa daerah
tersebut akan mengalami kekerdilan bahasa yang akan menuju pada kepunahan
32
bahasa. Oleh karena itu, peran penting pemangku kebijakan dalam menentukan
kebijakan bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Sabu, perlu mendapat perhatian
khusus. Hal ini dapat dimulai dengan menetapkan bahasa Sabu sebagai mata
pelajaran, diterbitkan buku-buku teks, baik kumpulan cerita rakyat maupun yang
sejenis, dalam bahasa Sabu.
Dilihat dari kenyataannya, di Indonesia terdapat tiga bahasa, yaitu:
Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa daerah menempati posisi terakhir.
Tingkat pemakaian bahasa merupakan hal yang sangat memengaruhi
pertumbuhan bahasa daerah (bahasa Sabu). Dewasa ini orang muda Sabu
cenderung menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bahasa-bahasa
dominan ini akan menekan posisi bahasa Sabu. Untuk itu, perlu diadakan
penelitian lebih lanjut sehingga pendokumentasian bahasa dapat dibuat.
2.3 Landasan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Ekolinguistik dan
ditunjang oleh teori linguistik dan linguistik kebudayaan. Berikut adalah
penjelasan masing-masing teori tersebut.
2.3.1 Ekolinguistik
Ekolinguistik merupakan suatu kajian atas temuan bahasa dalam hal ini
bahasa lokal dan linguistik terlibat dalam krisis ekologi. Dengan kata lain,
ekolinguistik melihat bagaimana hubungan bahasa dan lingkungan yang ada di
sekitarnya. Kajian ini berkembang pada tahun 1990-an. Sebagai kajian baru dalam
ilmu linguistik, kajian ekolinguistik ini tidak saja memandang bagaimana konteks
33
sosial tempat bahasa itu hidup atau bahasa itu berada, tetapi juga melihat konteks
ekologi, lingkungan tempat masyarakat itu berada.
Haugen (dalam Fill dan Mühlhäusler, 2001: 57) untuk pertama kalinya
memperkenalkan istilah ecology of language. Haugen menyatakan “Ecology of
language may be defined as the study of interactions between any given language
and its environment”. Pemahaman ekologi bahasa di atas dapat didefinisikan
sebagai sebuah studi tentang interaksi atau hubungan timbal balik antara bahasa
tertentu dan lingkungannya khusus pada tataran leksikon. Haugen menegaskan
bahwa bahasa berada dalam pikiran penggunanya dan bahasa berfungsi dalam
hubungan antarpenggunanya satu sama lain dan lingkungan, yaitu lingkungan
sosial dan lingkungan alam. Masih menurut Haugen, pergeseran suatu bahasa
dipengaruhi oleh perubahan budaya pada lingkungan tempat bahasa tersebut
hidup.
Dalam sebuah makalahnya, Haugen (Fill,2001) memaparkan adanya
hubungan metafora dan ekolinguistik. Haugen memaparkan adanya interaksi atau
hubungan bahasa dengan lingkungan tertentu, dalam hal ini lingkungan alam.
Sejalan dengan pendapat Haugen tersebut di atas, Halliday (Fill,2001)
memaparkan bahwa ecolinguistik bukan saja berbicara mengenai bahasa biologi,
tetapi lebih dari itu bagaimana kita memaknai bahasa biologi atau bahasa alam,
dan bagaimana peran bahasa dalam sebuah lingkungan atau ekologi sosial
kemasyarakatan.
Bahasa lingkungan (ecologycal language) adalah bentuk verbal yang
mengandung makna tentang lingkungan. Tanpa disadari bahwa elemen-elemen
34
bahasa mengandung makna tentang lingkungan yang digunakan, atau metafora-
metafora bahasa lingkungan, antara lain, dalam beberapa peribahasa seperti
bagaikan air di atas daun talas, seekor cancing menelan naga, dan masih banyak
metafora-metafora yang berhubungan dengan lingkungan alam. Dalam guyub
tutur Sabu-Raijua, terdapat juga metafora yang berkaitan atau bertalian dengan
lontar. Sebagai contoh wila kunu rote tu la kejuri due yang dapat dimaknai
sebagai: seseorang yang yang sukses berasal dari keluarga yang susah. Jadi tidak
dari latar belakang keluarga yang kaya, dapat melahirkan orang-orang sukses.
Lingkungan bahasa (language ecology) adalah produk dan kondisi alam
juga ruang (space) tertentu dan bersifat alamiah, sedangkan bahasa lingkungan
(ecological language) adalah produk budaya, produk manusia dan masyarakat
(Mbete, 2013: 2). Ditambahkannya pula, dikaitkan dengan konsep ekologi, yakni
lingkungan alamiah umumnya (jagat raya, buana agung, macrocosmos) dan
lingkungan budaya atau lingkungan khusus manusia (jagat kecil, buana alit,
microcosmos), lingkungan manusia atau sosial budaya ada di dalam (sistem)
lingkungan alam.
Saling tergantung, saling terhubung (interelasi), dan saling aksi antara
manusia dan lingkungan hidup di sekitarnyalah dalam keharmonisan memberi
ruang kreasi simbolik manusia itu telah menghasilkan kebudayaan dan manusia
menandainya serta merekamnya secara verbal pelbagai pengetahuan, pemahaman
manusia di lingkungan tertentu dengan lingkungannya.
Dalam kaitannya dengan metafora, ekolinguistik membutuhkan sebuah
pemahaman atau cara pandang atau keterangan ekspresif tentang makna. Sebuah
35
keterangan ekspresif tentang makna sangat sulit menghindari sifat-sifat yang
terkait dengan subjek (Taylor,2002:130). Selanjutnya, Taylor menegaskan bahwa
ekspresi adalah kekuatan subjek; ekspresi memanifestasikan hal karena pada
dasarnya ia menunjukkan kita pada subjek, kepada siapa hal-hal ini memanifes.
Apa yang dimanifestasikan oleh ekspresi, hanya dapat dibuat manifes oleh
ekspresi, sehingga makna ekspresif tidak dapat dijelaskan terpisah dari ekspresi.
Ekspresi itu sendiri adalah sebuah fenomena yang terkait dengan subjek, dan
karenanya tindakan mengizinkan ilmu yang objektif.
Penganut paham Haugen atau Haugenian memandang kajian
ekolinguistik sebagai kajian yang sangat penting dilakukan terhadap bahasa-
bahasa yang terancam punah. Dewasa ini banyak bahasa yang mulai terancam
punah. Warisan budaya leluhur dalam bentuk teks-teks lisan, metafora-metafora
kebahasaan yang masih dalam bentuk teks-teks lisan perlahan mulai punah.
Sebagaimana bentuk sesuatu yang hidup di bumi ini, sosok bahasa
terbukti juga dapat berkembang, terus berubah, dan bergeser tanpa henti dari
waktu ke waktu (Rahardi, 2006: 69). Bukti perubahan dan pergeseran bahasa yang
paling mudah dilihat dan dicermati oleh siapa pun adalah aspek leksikon bahasa
yang bersangkutan. Perubahan dan pergeseran jumlah leksikon sebuah bahasa
dapat terjadi karena ada penambahan, pengurangan, atau mungkin malahan
penghilangan. Perubahan dan pergeseran ini terjadi dalam pemikiran/bahasa yang
kompleks (Taylor, 2002:124). Perubahan bahasa atau perubahan pemikiran
berdampak pada perubahan lingkungan yang dengan sendirinya akan berdampak
pada perubahan budaya.
36
Menurut Haugen, tujuan utama kajian ekolinguistik adalah
pendokumentasian bahasa-bahasa yang terlihat mulai cepat menghilang atau
menyusut pada beberapa era. Hal ini dilihat pada era generasi tua (terdahulu) dan
era generasi muda (sekarang). Perubahan atau penyusutan bahasa terlihat sangat
cepat. Dengan demikian, peran ekolinguistik sangat dibutuhkan sehingga bahasa-
bahasa yang terancam punah ini kembali memiliki suatu dokumen kebahasaan.
Ekolinguistik merupakan kajian yang berlawanan dengan kajian
linguistik struktural yang hanya memandang pada satu objek, yaitu bahasa dan
tanpa memandang lingkungan (Fill,2001:45). Ekosistem atau ekologi adalah
tempat kehidupan, dan dunia bahasa merupakan pengalaman, atau gambaran nyata
dari suatu kehidupan. Ekologi alam memengaruhi ekologi bahasa, jika pada suatu
lingkungan, ekologi alam atau lingkungan alam rusak atau “dirusaki” atau
“dibunuh” oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka ekologi bahasa
pada lingkungan tersebut juga akan mengalami kerusakan. Dalam guyub tutur
Sabu-Raijua ekologi alam lontar perlahan-lahan mulai dirusaki oleh hasil olahan
pabrik. Hal ini memengaruhi ekologi bahasa yang berhubungan dengan lontar
pada guyub tutur Sabu-Raijua, yang menurut Haugen, ini merupakan bagian dari
kajian ekolinguistik kritis.
“Alam terkembang jadi guru”. Inilah filsafat hidup orang Minangkabau
salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Di sini ditunjukkan bahwa manusia
itu adalah murid-murid alam atau lingkungan mereka (Irwan, 2014). Kehidupan
adalah sebagai sebuah dinamika yang mengandung pergeseran dan perubahan
secara terus-menerus. Oleh karena itu, setiap manusia harus mampu
37
menyesuaikan dirinya dengan alam dan lingkungannya, serta sesama maklukh
hidup yang merupakan bagian dari alam.
Irwan (2014:4) memberikan sebuah contoh, orang Minangkabau
menamakan tanah airnya alam Minangkabau atau alam Indonesia. Pemakaian kata
“alam” ini mengandung arti yang sangat bermakna dalam hal ini alam bagi
masyarakatnya adalah segala-galanya, bukan hanya sebagai tempat lahir, tempat
mati, tempat hidup, dan tempat berkembang, tempat bersosialisasi, melainkan juga
bermakna filisofis. Ajaran dan pandangan orang Minangkabau mengambil
ungkapan dari bentuk, sifat dan kehidupan alam.
Pada hakikatnya alam merupakan guru bagi makhluknya, manusia dapat
mempelajari apa saja dari apa yang ada di sekelilingnya. Oleh karena itu
lingkungan merupakan laboratorium alam yang sangat baik dan lengkap, namun
belum banyak yang menyadari dan memanfaatkannya. Jika diperhatikan dengan
seksama, dari lahir sampai hayatnya manusia pada hakikatnya terlibat dengan
lingkungan, ini berarti manusia tidak akan pernah dapat memisahkan diri dari
lingkungannya. Dari masyarakat primitif, atau dari sejarah leluhur manusia untuk
dapat bertahan hidup harus mengenal lingkungan terlebih dahulu, yaitu mengenal
tenaga-tenaga alam, tumbuh-tumbuhan, serta binatang di sekitarnya. Bagaimana
cara menggunakan api, dan alat-alat lain untuk mengubah lingkungannya.
Dalam tahapan hubungan manusia dengan lingkungan, ditunjukkan
bahwa seluruh aspek budaya, perilaku (bahasa, pekerjaan, dan lain sebagainya)
bahkan “nasib” manusia dipengaruhi, ditentukan, dan tunduk pada lingkungan
(Susilo, 2012:30). Alam dan lingkungan memiliki kehendak atas manusia dan
38
kehidupan manusia dikendalikan olehnya. Artinya, sebagai kekuatan sendiri,
lingkungan memliki sifat sangat menentukan kehidupan manusia. Alam dan
lingkungan menentukan dan membentuk kepribadian, pola-pola hidup, organisasi
sosial manusia, seperti model kehidupan sosial (pola pemukiman, cara bercocok
tanam) masyarakat yang disesuaikan dengan lingkungan.
Masyarakat pengguna bahasa atau guyub tutur Sabu-Raijua yang hidup di
tengah-tengah lingkungan atau ekosistem lontar pasti akan lebih banyak
memanfaatkan lontar dalam setiap segi kehidupannya, membangun rumah (tiang
penyangga) dari kayu atau batang pohon lontar, atap rumah dari daun pohon
lontar, hingga ke peralatan rumah tangga sehari-hari terbuat dari hasil olahan dari
pohon lontar. Hal ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat Sabu-
Raijua yang berada di kota atau di luar Pulau Sabu.
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa adanya dominasi lingkungan
terhadap manusia. Selain itu, kepercayaan leluhur kepada alam sangat tinggi
sehingga adanya mitos-mitos terhadap suatu tempat yang kemudian dianggap
sebagai tempat sakral. Ritual-ritual dibuat pada tempat-tempat yang dipandang
sakral tersebut. Aktivitas ritual ini dipandang juga sebagai penghormatan kepada
alam atau cara manusia menghormati alam.
Susilo (2012), menjelaskan bahwa mitos melambangkan bentuk
pengalaman manusia. Ia memberikan arah dan pedoman agar bertindak lebih
bijaksana. Mitos menyadarkan manusia tentang adanya kekuatan gaib, di luar
mereka. Kemudian, manusia dibantu untuk menghayati daya-daya itu sebagai
kekuatan yang menguasai alam dan kehidupan semuanya. Berdasarkan beberapa
39
konsep adanya dominasi lingkungan, lahirlah Pandangan Comtein atau teori
Comte. Aguste Comte menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan
yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini.
Gambar 2.1 Dominasi Lingkungan
Dari kajian ekologi bahasa berkembang kajian ekologi budaya. Ekologi
budaya lahir atau diperkenalkan oleh Julian H. Steward pada permulaan
dasawarsa 1930-an (Susilo, 2012). Inti dari teori ini adalah lingkungan dan budaya
tidak bisa dilihat terpisah, tetapi merupakan hasil campuran (mixed product) yang
berproses lewat dialektika. Dengan kalimat lain, proses-proses ekologi memiliki
hubungan timbal balik. Budaya dan lingkungan bukan entitas yang masing-
masing berdiri sendiri atau bukan barang jadi yang bersifat statis. Keduanya
mempunyai peran besar dan saling memengaruhi. Gambar2.2. memperlihatkan
hubungan antara ekologi dan budaya dapat dilihat dalam gambar berikut.
Gambar 2.2 Ekologi Budaya
Ilmu ekolinguistik awalnya diperkenalkan oleh Sapir (1939) yang
kemudian di lanjutkan oleh Haugen (1972), dan kemudian dikembangkan oleh
Kehidupan
manusia
Lingkungan
dan hukum-
hukumnya.
Lingkungan Budaya
40
Fill dan Muhlhausler (2001) yang berpendapat bahwa ekolinguistik merupakan
ilmu tentang kehidupan (lifescince). Bahasa dalam pandangan ekolinguistik
dipahami sebagai sesuatu yang hidup dalam manusia dan merupakan gambaran
representasi realitas alam dan manusia.
Dalam perkembangannnya, ekolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik
tidak terlepas dari linguistik dialektikal. Linguistik dialektikal dicetuskan oleh
Bang dan Døør pada tahun 1970-an. Pada tahun 1990 Bang dan Døør membentuk
kelompok riset yang diberi nama ELI Research Group: Ecology - Language –
Ideology (Bang dan Døør, dalam Lindø dan Bundsgaard ed., 2000: 9). Bang dan
Døør mencetuskan teori linguistik dialektikal untuk menstabilkan dan mengubah
cara serta pandangan dalam penggunaan bahasa (Bang dan Døør, 1993: 1).
Bang dan Døør (1996:10) menyatakan bahwa teori ekolinguistik adalah
keterkaitan antara ekologi yang merefleksikan manusia dan permasalahan dalam
fenomena bahasa. Teori linguistik juga merupakan teori ekologi, yaitu sebuah
pendekatan ekologi yang menyelidiki objek penelitian dalam hubungannya
dengan lingkungan sebagai sebuah penyelidikan relasional (Bang dan Døør, 1996:
3). Bunsdgaard dan Steffensen (dalam Lindø dan Bundsgaard 2000: 11)
menjelaskan ekolinguistik adalah studi tentang interrelasi dimensi biological,
sosiological, dan ideological bahasa. Gambar 3,3 berikut menyajikan hubungan
interrelasi dimensi-dimensi tersebut.
41
Gambar 2.3 Hubungan Interelasi
Keterangan gambar:
S1 : Pembuat Teks
S2 : Konsumen/ Pengguna Teks
S3 : Subjek
O : Objek yang dirujuk
Topos : Ruang tempat dan waktu
: Dialog
Ketiga dimensi yang tergambar di atas saling berhubungan satu sama
lain. Dimensi ideologis terkait dengan mental individu, mental kolektif, kognitif,
sistem ideologis, dan sistem psikis. Di sisi lain, dimensi sosiologis terkait dengan
cara manusia mengatur hubungannya satu sama lain. Dimensi biologis
berhubungan dengan kolektivitas biologis manusia yang hidup berdampingan
dengan spesies lainnya (hewan, tumbuhan, tanah, laut, dan sebagainya) (Lindø
dan Bundsgaard, ed., 2000: 11). Fenomena bahasa berjalan secara
berkesinambungan dan saling terkait. Bahasa merupakan objek dari tiga dimensi
tersebut (Lindø dan Bundsgaard (ed.), 2000: 11).
Mühlhaüsler (2001), mengatakan bahwa ekologi adalah studi tentang
hubungan timbal balik yang bersifat fungsional. Dua hal yang saling berkaitan
yakni bahasa dan lingkungan, dua hal tersebut yang akan dihubungkan dan
42
menjadi fokus pada penelitian ekolinguistik. Fokusnya juga tergantung pada
apakah lingkungan bahasa atau bahasa lingkungan, atau bisa saja keduanya.
Mbete (2010:1), memaparkan bahwa ekolinguistik adalah salah satu cabang ilmu
linguistik yang mengkaji tentang bahasa dan lingkungan. Dasar dari kajian
ekolinguistik adalah bahasa, ekologi, dan lingkungan. Ekolinguistik, selain
menekankan bagaimana hubungan fisik dan sosial, juga membedah makna
hubungan bahasa, budaya dan lingkungan.
Haugen (dalam Fill dan Muhlhausher, 2001:57) mengatakan,
“Language ecology may be defined as the study of interactions
between any given language and its environment. The definition of
environment might lead one’s thoughts first of all to the referential
world to which language provides an index. However, this is
environment not of the language but of its lexicon and grammar”.
Ekolinguistik atau ekologi bahasa merupakan ilmu yang mempelajari
hubungan bahasa dan lingkungan sekitarnya. Dalam buku The Ecolinguistics
Reader: Language, Ecology and Environment (2001:57), Haugen memaparkan
beberapa unsur utama dalam ekolinguistik yang pertama adalah aspek psikologis
yakni hubungan antara bahasa lain yang terdapat dalam pikiran penutur bilingual
atau multilingual, yang kedua adalah aspek sosiologis, yakni hubungan dengan
masyarakat yang berfungsi sebagai media komunikasi, dan yang ketiga adalah,
bahasa hidup dalam pikiran penuturnya, dan akan berfungsi bila penuturnya saling
berhubungan atau berkomunikasi satu dengan yang lain, seperti interaksi antara
lingkungan sosial ataupun lingkungan alamiah.
Menurut Haugen (1972), upaya penyelamatan bahasa sangat diperlukan,
karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa. Alasan
43
penyelamatan bahasa ini berkaitan dengan penyelamatan lingkungan alam dan
dengan keanekaragaman hayati yang tercermin pada kosakata. Dalam perspektif
ekolinguistik, keanekaragaman, interaksi, saling memengaruhi dan saling
bergantung pelbagai entitas di suatu lingkungan, termasuk manusia dengan bahasa
dan lingkungan tertentu, merupakan parameter ekologi (Odum, 1996), termasuk
ekologi manusia dan ekologi bahasa khususnya.
Penganut Mbete (2009:2), dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan
komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem
dalam suatu kehidupan bersama organisme-organisme lainnya. Teori-teori yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan paduan teori linguistik dan ekologi,
sebagaimana dinyatakan oleh Fill (1993:126) dalam Lindø dan Simonsen
(2000:40) ”ecolinguistics is an umbrella term for ...all approaches in which the
study of language (and language) is in any way combined with ecology.”
Kajian ekolinguistik, lebih khusus ekoleksikal adalah pembedahan
makna-makna sosiologis (yang alami) di balik suatu bahasa, khususnya pada
tataran leksikonnya. Lindo dan Bundsgaard (2000:10) menguraikan bahwa (1)
bahasa yang hidup adalah bahasa yang digunakan untuk menggambarkan dan
mempresentasikan realitas di lingkungan, baik lingkungan sosial maupun
lingkungan alam; (2) dinamika dan perubahan yang terjadi pada tataran leksikon
dipengaruhi oleh tiga dimensi, yaitu dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis.
Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler, 2001), mengatakan bahwa guyub tutur di
suatu lingkungan itu memiliki hubungan yang kosmologis dengan lingkungan itu
pula.
44
Menurut Lindø dan Bundsgaard, terdapat pula teori ekolinguistik
dialektikal. Teori ekolinguistik dialektikal ini menganggap bahwa setiap individu
yang dalam hal ini bentuk leksikon khazanah verbal yang terbagi menjadi
ekoleksikon dan ekowacana yang diklasifikasikan menjadi kata, gabungan kata,
bahkan kalimat berada dalam tiga dimensi relasional. Bang dan Døør bersama
dengan Harry Perridon pada tahun 1990 (Bang dan Døør dalam Lindø dan
Bundsgaard, 2000: 18) mengembangkan teori dasar untuk menjelaskan
relasionalitas dengan menggunakan tiga model referensial.
Tiga dimensi referensial tersebut terdiri atas inter-/intra-/ekstratekstual
(Lindø dan Bundsgaard (eds), 2000: 17). Model referensial ini seperti
dikemukakan pada tabel 2.2 kemudian menjadi kerangka untuk membedah teks-
teks dan ungkapan-ungkapan tentang lingkungan.
45
Tabel 2.2 Model Referensial
Dimension of
reference
Dominating
reference
Reference to
Lexical
Anaphoric
Deictic
Inter- textual
Intra-textual
Extra-tekstual
COtext social &
lexicon &
Individual grammar
cataphoric (forward)
INtext anaphoric
(backward)
Symphoric
(simultaneous)
C-prod
persons
CONtext C-comm
time
C-cons
place
C-derivated
logics
Model referensial tersebut berisikan (1) bagian referensial teks yang
disebut dengan dimensi referensial; (2) relasional dari berbagai referensial teks
yang disebut dengan dominasi referensial; dan (3) rujukan teks yang terdiri atas
kotekstual, intekstual, dan kontekstual. Lindø dan Bundsgaard menambahkan tiga
model referensial Bang dan Døør dengan menyatakan bahwa referensi
intertekstual berupa kategori semantis, referensi intratekstual berupa kategori
sintaktik, dan referensi ekstratekstual berupa kategori pragmatis(Lindø dan
Bundsgaard (eds), 2000: 19).
Kesemuanya itu digambarkan dalam sebuah bagan atau gambar matriks
semantik seperti terlihat pada Gambar 2.4. Matriks semantik adalah sebuah
46
matriks yang terdiri atas empat unsur semantik yang membatasi dan
mengondisikan penggunaan bahasa, yaitu makna sosial (social sense), makna
individual (individual meaning), impor sosial (social import), dan signifikansi
personal (personal significance) (Bang dan Døør, 1993: 3--5).
Gambar 2.4 Matriks Semantik
Makna sosial (social sense) merupakan dimensi diakronis semantik teks.
Makna sosial biasa ditemukan dalam kamus standar. Makna sosial bersifat
objektif yang menggambarkan beberapa aspek dari penggunaan kata-kata secara
normal. Makna sosial bersifat selektif dan berfungsi sebagai norma. Makna
individual (individual meaning) merupakan dimensi diakronis semantik teks.
Makna individual biasa dipakai pengguna bahasa dalam menghasilkan teks dan
memahami teks. Makna individual berbeda dengan makna sosial.
Makna individual menetapkan individu sebagai pribadi. Makna
individual kata atau teks adalah cara normal seorang penutur dalam menggunakan
kata atau teks. Makna individual adalah aspek yang telah dimengerti atau
47
digunakan dalam waktu yang relatif lama sehingga makna individual tertanam
dalam diri pengguna dan aspek yang melalui situasi yang berbeda pada waktu dan
tempat yang berbeda. Makna individual dapat menentukan kepribadian seseorang
dan menentukan identitas sosial. Makna individual membedakan pengguna satu
dengan pengguna yang lain.
Impor sosial (social import) adalah aspek sinkronis yang dikondisikan
oleh identifikasi peserta dan penerima konteks komunikatif. Sebuah konteks
diartikan sebagai interpretasi semantik dari suatu teks. Suatu teks berbeda
penggunaannya atau berbeda maknanya apabila digunakan pada konteks yang
berlainan. Signifikansi personal (personal significance) adalah kontribusi yang
berbeda dan memiliki unsur pribadi dalam pemanfaatan dan pengembangan
bahasa. Signifikansi personal dibatasi oleh situasi aktual berlangsungnya dialog.
2.3.2 Linguistik Mikro
Teori linguistik mikro juga dipakai dalam analisis. Penggunaan teori
linguistik mikro merupakan teori pendukung Ekolinguistik. Beberapa teori
linguistik mikro yang digunakan dalam analisis adalah teori morfologi, teori
semantik, dan teori fonologi. Berikut adalah penjelasan masing-masing teori
tersebut.
2.3.2.1 Morfologi
Membahas tentang bentuk-bentuk lingual leksikon lingkungan alam
merupakan ruang lingkup kajian morfologi, yakni bagian dari ilmu bahasa yang
mempelajari struktur atau bentuk kata. Ramlan (1979:2) menjelaskan bahwa
48
morfologi mempelajari seluk beluk struktur kata serta pengaruh perubahan-
perubahan struktur kata terhadap golongan dan arti kata. Dalam analisis bahasa
dan budaya keduean pada guyub tutur Sabu Raijua, penting diuraikan bentuk-
bentuk linguistik dari sejumlah leksikon yang berhubungan dengan keduean.
Simpen (2009:12) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk linguistik ada yang
berwujud bentuk kompleks dan ada yang berupa bentuk tunggal. Bentuk
kompleks dibangun oleh beberapa morfem, sedangkan bentuk tunggal dibangun
oleh satu morfem. Di dalam bentuk kompleks, khususnya yang berwujud kata
turunuan selalu ditemukan bentuk asal dan bentuk dasar. Bentuk asal berbeda
dengan bentuk dasar, tetapi adakalanya juga sama.
Kajian morfologi merupakan studi struktur intern kata, Rahyono
(2012:33). Satuan-satuan fonem membentuk satuan-satuan yang lebih besar
menjadi satuan terkecil pada tataran morfologi. Satuan terkecil pada morfologi
adalah morfem, sedangkan satuan terbesar adalah kata. Setiap proses morfologis
menghasilkan satuan kata yang menampilkan makna leksikal.
2.3.2.2 Semantik
Studi semantik adalah studi makna. Satuan-satuan yang dikaji dalam
semantik adalah satuan-satuan yang ada pada satuan-satuan subsistem yang lain.
Istilah-istilah yang berkenaan dengan studi semantik adalah: leksem, leksikal,
leksikon, leksikologi, dan leksikografi. Dalam analisis bahasa dan budaya
keduean, penggunaan istilah leksikon merupakan salahsatu kata kunci.
49
Leksikal adalah satuan terbesar dalm leksikon yang merupakan konstituen
semantis yang secara struktural berupa kata, sedangkan leksikon adalah
keseluruhan kosakata yang ada dalam sebuah bahasa, Rahyono (2012:37)
2.3.2.3 Fonologi
Fonologi merupakan suatu satuan bunyi bahasa, yang menjadi satuan
terkecil dalam bahasa. Fonologi dipelajari dalam dua cabang ilmu yaitu fonetik
dan fonologi. Trubetzkoy (1962:12) menjelaskan bahwa fonologi berkenaan
dengan sistem dan pola-pola bunyi yang terdapat dalam bahasa.
Penerapan teori fonologi dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat
bentuk teks tuturan ritual yang berhubungan dengan keduean. Analisis teks akan
melihat bentuk dan struktur teks. Sementara analisis tersebut hanya pada bentuk
unsur segmental bukan unsur suprasegmental.
2.3.3 Linguistik Kebudayaan
Linguistik kebudayaan merupakan bidang ilmu interdisipliner yang
mempelajari bahasa dan kebudayaan. Bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal
yang tak dapat dipisahkan. Berbicara tentang suatu bahasa, berarti berbicara
tentang budaya, demikian sebaliknya. Tidaklah mungkin membahas bahasa dan
mengabaikan budaya. Menurut Koentjaraningrat, bahasa merupakan wahana
utama bagi pewarisan sekaligus pengembangan kebudayaan.
Sejalan dengan pendapat di atas, Duranti (1997:27) mengatakan bahwa
mendeskripsikan suatu budaya sama halnya dengan mendeskripsikan bahasa.
Hubungan atau keterkaitan bahasa dan budaya juga di ungkapkan oleh White and
Dillingham (1973:31): “Language is a part of culture; the science of linguistics is
50
subdivision of culturology.” Artinya ini tidak hanya menyiratkan hubungan
antarbahasa dan budaya, tetapi juga antar ilmu bahasa dengan ilmu budaya.
Sapir-Whorf dalam hipotesis mereka mengatakan bahwa bahasa tidak
hanya menentukan budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran
penuturnya. Hipotesis Sapir-Whorf tersebut mengandung pengertian bahwa jika
suatu bangsa berbeda bahasa dengan bangsa lain, maka berbeda pula jalan
pikirannya (lihat juga Black, 1969:432—437; Hudson, 1985:103; Anwar,
1990:85—89; Malmkjaer dan Anderson, 1991:305—307; Ibrahim, 1994:45).
Pandangan mengenai hubungan antara bahasa dan kebudayaan
dikemukakan pula oleh Wierzbicka (1992:1) bahwa berpikir tidak dapat dialihkan
dari satu bahasa ke bahasa lainnya karena berpikir sangat bergantung pada bahasa
yang digunakan untuk memformulasikannya. Dengan demikian berarti bahasa
merupakan sarana berpikir sekaligus menjembatani pikiran dan kebudayaan. Hal
itu pulalah yang memberikan pengertian yang saksama bahwa bahasa senantiasa
digunakan dalam konteks sosial budaya.
Pola pikir dan perilaku budaya suatu kelompok etnik tidak terlepas dari
bahasa (ragam/ langgam, diksi, tekanan, dan lain-lain) yang digunakan oleh
seseorang atau sekelompok orang. Wierzbicka (1991:2—4) juga mengatakan
bahwa perbedaan budaya berimplikasi pada perbedaan cara berinteraksi.
Wierzbicka (1991) juga menelaah hubungan antara bahasa dan kebudayaan dalam
konteks wacana kebudayaan yang merupakan pendekatan baru dalam studi
komunikasi lintas-budaya.
51
Perumusan pendekatan baru tersebut didasarkan pada anggapan-
anggapan, yang oleh Wierzbicka (1991) dirumuskan seperti berikut ini.
1. In different societies, and different communities, people speak
differently.
2. These differences in ways of speaking are profound and systematic.
3. These differences reflect different culture values, or at least
different hierarchies of value.
4. Different way of speaking, different communicative styles, can be
explained and made sense of, in terms of independently established
different culture values and culture priorities.
Anggapan yang dikemukakan oleh Wierzbicka tersebut di atas
sesunggunya telah merupakan gambaran nyata mengenai hubungan empirik dan
teoritik antara bahasa dan kebudayaan yang berpatokan pada tiga kata kunci,
yakni: (1) masyarakat/ guyub, baik guyub tutur maupun guyub budaya; (2) cara
berinteraksi; dan (3) nilai budaya. Guyub berbeda memperlihatkan cara
berinteraksi yang berbeda, yang juga memperlihatkan nilai budaya yang berbeda.
Hal ini sejalan dengan Saville-Troike (1984:35), yang mengatakan: “There is no
doubt, however, that there is a correlation between the form and content of a
language and the beliefs, values, and needs present in the cuulture of its
speakers”
Konsep linguistik kebudayaan digunakan pula oleh Palmer (1996)
sebagai cultural linguistics. Palmer (1996:36) mengemukakan bahwa linguistik
kebudayaan adalah sebuah nama yang cenderung mengandung pengertian luas
dalam kaitan dengan bahasa dan kebudayaan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa
linguistik kebudayaan menyangkut ranah bahasa dan kebudayaan menurut tradisi
Boas, etnosemantik, dan etnografi berbicara (lihat juga Palmer, 1996:10—26).
52
Hubungan antara analisis bahasa dengan kebudayaan juga dikemukakan
Lee, sebagaimana dikutip Palmer (1996:13), bahwa tata bahasa mengandung
pembentukan pengalaman. Tata bahasa berhubungan secara langsung dengan
skema kesan, model kognitif, dan pandangan tentang dunia. Bahkan Palmer
(1996:23) secara tegas mengatakan bahwa fonologi adalah budaya. Pandangan
Palmer tersebut mengandung pengertian bahwa bahasa yang digunakan oleh suatu
masyarakat tutur merupakan refleksi dari kognisi (kesadaran, perasaan,
pengalaman, dan persepsi) mereka.
53
2.4 Model Penelitian
Gambar. 2.5. Model Penelitian
BAHASA DAN BUDAYA LONTAR
SABU-RAIJUA
Bentuk dan Struktur
Bahasa keduean
Representasi Persepsi Guyub
Tutur Sabu-Raijua dalam
Tuturan keduean
Dinamika Bahasa dan
Budaya keduean
Pemetaan Ekoleksikal
Fungsional
Mikrokosmos &
makrokosmos
Leksikalisasi,
gramatikalisasi,
tekstualisasi
Observasi
Metode linguistik
lapangan Ekolinguistik, Linguistik Mikro &
Linguistik kebudayaan
DATA
TEMUAN
54
Dalam model penelitian di atas, tergambar bahwa penelitian tentang
bahasa dan budaya lontar pada guyub tutur Sabu Raijua, memiliki empat pokok
masalah yaitu; (1) bentuk dan strukur bahasa keduean; (2) representasi persepsi
guyub tutur Sabu-Raijua dalam tuturan keduean; (3) dinamika bahasa dan budaya
keduean; (4) pemetaan ekoleksikal fungsioanal. Keempat masalah dalam
penelitian ini memiliki inti pembahasan yang saling berhubungan yaitu masalah
masalah (1) adalah masalah kebahasaan yang berhubungan dengan keduean,
dalam masalah (1) akan menjelaskan tiga unsur kajian ekolinguistik yaitu
leksikalisasi, gramatikalisasi, dan tekstualisasi. Sedangkan pada masalah (2),
menjelaskan dua lingkungan yang saling berhubungan yaitu mikrokosmos dan
makrokosmos. Pada masalah (3), dan masalah (4), kedua masalah ini menyoroti
baik sisi kebahasaan maupun dua sisi lingkungan mikro dan makrokosmos.
Keempat masalah tersebut di atas menggunakan metode observasi dan
metode linguistik lapangan. Kedua metode ini diterapkan dengan masing-masing
teknik penelitian. Observasi pengamatan dilakukan agar peneliti masuk dan
terlibat langsung dalam lingkungna kelontaran orang Sabu-Raijua. Sedangkan
metode lingusitik lapangan dengan teknik wawancara dan perekaman merupakan
suatu cara pendokumnetasian bahasa-bahasa lisan tentang lontar pada guyub tutur
Sabu-Raijua. Dengan menggunakan dua metode tersebut di atas, peneliti dapat
memperoleh data sesuai dengan tujuan permasalahan penelitian. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis menggunakan dua teori, yaitu Ekolinguistik sebagai
payung dari keseluruhan analisis, dan teori Linguistik Kebudayaan sebagai teori
pendukung dalam menganalisis keempat masalah tersebut di atas. Sebagai kajian
55
linguistik, penerapan teori linguistik mikro tidak dapat dihindarkan dalam
menganalisis keempat masalah tersebut diatas. Teori-teori morfologi dan semantik
digunakan sebagai pendekatan dalam membedah sisi kebahasaan yang
berhubungan dengan lontar. Berdasarkan analisis tersebut peneliti dapat
menemukan temuan yang pada akhirnya merupakan novelty dari penelitian ini.