bab ii tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · menurut güngör ... dan pada akhirnya akan...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teoritis
2.1.1 Kepuasan Pelanggan
Menurut Güngör (2007), kata “kepuasan atau satisfaction” berasal dari
bahasa Latin “satis” (cukup baik, memadai) dan “facere” (melakukan atau
membuat). Secara sederhana kepuasan dapat diartikan sebagai “upaya pemenuhan
sesuatu” atau “membuat sesuatu memadai”. Definisi kepuasan pelanggan menurut
Kotler dan Keller (2009) merupakan perasaan senang atau kecewa seseorang yang
timbul karena membandingkan kinerja yang dipersepsikan produk (atau hasil)
terhadap ekspektasi mereka. Oliver (1997) dalam Alamsyah (2008) merumuskan
disconfirmation paradigm, kepuasan pelanggan sebagai evaluasi purnabeli, di
mana persepsi terhadap kinerja alternatif produk/jasa yang dipilih memenuhi atau
melebihi harapan sebelum pembelian. Apabila persepsi terhadap kinerja tidak bisa
memenuhi harapan, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan. Harapan pelanggan
terbentuk oleh pengalaman pembelian terdahulu, komentar teman dan kenalan,
serta informasi atau janji dari pemasar.
Kepuasan pelanggan merupakan konsep sentral dalam kajian teori dan
praktik pemasaran, selain itu juga merupakan salah satu tujuan esensial yang
hendak dicapai pada aktivitas bisnis. Fornell (2007) memaparkan bahwa
penurunan kepuasan pelanggan dapat mengurangi permintaan dan hal lainnya
dalam sebuah “lingkaran setan”, yakni erosi nilai ekonomis perusahaan,
ketidakpastian tenaga kerja, dan pada akhirnya akan memperlambat pertumbuhan
ekonomi. Selaras dengan pendapat Güngör (2007), dan Fornel (2007), dapat
dipastikan kepuasan pelanggan merupakan salah satu indikator terbaik untuk
meraih laba masa depan. Kepuasan pelanggan merupakan suatu tingkatan di mana
kebutuhan, keinginan dan harapan dari pelanggan dapat terpenuhi sehingga
mengakibatkan terjadinya pembelian ulang maupun kesetiaan yang berkelanjutan.
Kepuasan pelanggan juga dapat mempengaruhi perilaku membeli, di mana
pelanggan yang puas cenderung menjadi pelanggan yang loyal.
Bayol, dkk (2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kepuasan
pelanggan secara signifikan dapat dibentuk atau dipengaruhi oleh citra (image),
nilai dan kualitas produk yang dipersepsikan pelanggan. Fornel (2007)
menjelaskan bahwa kepuasan pelanggan merupakan fungsi dari perceived quality,
perceived value, dan harapan pelanggan. Selain itu kepuasan pelanggan secara
keseluruhan merupakan fungsi dari tingkat kepuasan di atas maupun di bawah
harapan, tingkat kepuasan yang diterima dibandingkan dengan kondisi ideal.
Terkait dengan implementasi kepuasan pelanggan, maka setidaknya
terdapat tiga faktor penting yang saling berkaitan erat, yaitu (1) apa yang diukur;
(2) metode pengukuran; dan (3) skala pengukuran. Kepuasan pelanggan
merupakan ukuran yang relatif, sehingga dengan demikian pengukurannya tidak
dapat hanya bersifat “one-time” atau “single-shot studies”. Maksudnya adalah
pengukuran kepuasan pelanggan harus dilakukan secara regular sehingga dapat
memberikan penilaian setiap perubahan yang terjadi terkait dengan jalinan
hubungan dengan setiap pelanggan. Selain itu, perusahaan juga dapat melakukan
benchmarking dengan kinerja masa lalu dan kinerja para pesaingnya, baik dalam
industri sejenis maupun dalam industri berbeda Dengan terciptanya pelanggan
yang puas dan loyal, maka diharapkan berdampak pada tercapainya optimalisasi
revenue dan perkembangan bisnis perusahaan. Pelanggan yang puas akan
melakukan pembelian ulang, dan pelanggan yang loyal akan mengkonsumsi lebih
banyak serta tidak akan mudah berpindah ke merek pesaing.
2.1.2 Indeks Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction Index)
Irawan (2003) menjelaskan pada umumnya berbagai macam konsep
pengukuran kepuasan pelanggan menawarkan suatu pengukuran yang
menghasilkan suatu indeks kepuasan pelanggan. Indeks adalah konsep yang
mencoba menangkap sebuah situasi kompleks ke dalam satu angka. Indeks ini,
dapat dihasilkan dari proses pengukuran yang sangat sederhana hingga yang
relatif kompleks. Pengukuran indeks kepuasan pelanggan yang sederhana dapat
diperoleh dari pengukuran satu peubah saja. Misalnya hasil dari pengukuran total
kepuasan pelanggan yang diukur dengan skala 1-5, 1-10 atau dari 0-100.
Triwidiastuti (2008) memaparkan kepuasan pelanggan sebagai bagian dari
Barometer Kepuasan Nasional dimulai dari Swedia, Amerika Serikat dan
Norwegia. Indeks kepuasan pelanggan ini juga dikembangkan di New Zealand,
Austria, Korea Selatan dan Uni Eropa, kemudian pada tingkat ekonomi global.
Validitas dan reliabilitas model dan metodologi indeksnya dipelajari, diperbaiki
dan dikembangkan secara terus menerus sepanjang waktu. Chakrapani (1996)
mendefinisikan Indeks Kepuasan Pelanggan secara sederhana sebagai nilai rataan
dari seluruh atribut yang diyakini dapat berkontribusi pada kepuasan pelanggan.
Sejak atribut-atribut yang berbeda dapat berkontribusi dengan hasil yang berbeda
pada kepuasan pelanggan, atribut individual diberikan bobot untuk merefleksikan
realitasnya. Hal inilah yang menjadi esensi dari indeks kepuasan pelanggan.
Johnson, dkk (2001) memaparkan sejumlah negara telah mengembangkan
indeks kepuasan pelanggan nasional untuk berbagai macam barang dan jasa, di
antaranya Swedia dengan model Swedish Customer Satisfaction Barometer
(SCSB) tahun 1989; Amerika dengan model American Customer Satisfaction
Index (ACSI) tahun 1994; dan Norwegia dengan model Norwegian Customer
Satisfaction Barometer (NCSB) tahun 1996. Alamsyah (2008) menambahkan
adanya Indonesian Customer Satisfaction Index (ICSI), pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1999, dihasilkan dari proses pengukuran yang sangat
sederhana hingga yang relatif kompleks.
2.1.3 Perceived Quality
Perceived quality menurut Zeithaml (1988) adalah penilaian (persepsi)
konsumen terhadap keunggulan produk secara keseluruhan dibandingkan produk
penggantinya. Perceived quality merupakan kemampuan produk untuk dapat
diterima dalam memberikan kepuasan pelanggan, dibandingkan secara relatif
dengan alternatif produk pesaing. Perceived quality yang tinggi akan mendorong
konsumen lebih memilih merek tersebut dibandingkan dengan merek pesaing.
Dengan kata lain merupakan faktor stimulan keunggulan komparatif sebuah
produk dibandingkan produk merek lainnya, dalam benak konsumen.
Suatu produk akan memberikan manfaat kepada konsumen jika produk
tersebut telah digunakan atau dikonsumsinya. Agar produk bisa memberikan
manfaat yang maksimal dan kepuasan yang tinggi kepada konsumen, maka
konsumen harus bisa menggunakan produk tersebut dengan benar. Kepercayaan,
sikap, dan perilaku pelanggan terhadap produk, memiliki keterkaitan dengan
konsep atribut produk. Kepercayaan konsumen terhadap suatu produk, atribut, dan
manfaat produk menggambarkan persepsi konsumen. Karena itu, kepercayaan
akan berbeda di antara konsumen (Sumarwan; 2011).
Tsiotsou (2005) mengatakan perceived quality merupakan salah satu
konstruk terpenting dalam pemasaran, dan telah lama menjadi fokus perhatian
para praktisi dan peneliti. Hal ini disebabkan perceived quality dapat memberikan
pengaruh yang positif dan menguntungkan bagi kinerja pemasaran. Selain itu,
para praktisi dan peneliti sangat meyakini bahwa perceived quality yang tinggi
akan mendorong terciptanya pembelian berulang dari pelanggan, sehingga pada
tingkatan yang lebih tinggi akan menciptakan loyalitas pelanggan. Terdapat pula
bukti empiris yang memberi dukungan adanya pengaruh positif langsung antara
perceived quality terhadap minat beli ulang. Selain itu, perceived quality juga
terbukti memiliki pengaruh positif tidak langsung terhadap loyalitas pelanggan,
dalam hal ini tercapai melalui kepuasan pelanggan.
Tsiotsou (2005), memberikan catatan terhadap hasil-hasil penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya tentang perceived quality, yakni terdapatnya
pengaruh ganda (langsung maupun tidak langsung) dari perceived quality
terhadap minat beli, dengan objek penelitiannya adalah barang (goods). Selain itu,
hasil penelitian ini juga menjelaskan pengaruh tunggal (langsung maupun tidak
langsung) dari perceived quality terhadap minat beli, dengan objek penelitiannya
berfokus pada jasa (services). Perceived quality pada umumnya ditetapkan
sebagai konstruk pasca pembelian, namun demikian perceived quality juga
merupakan konstruk sebelum dan setelah dilakukannya pembelian oleh konsumen
maupun pelanggan. Cleland dan Bruno (1996) dalam Simamora (2004),
memberikan tiga prinsip tentang perceived quality yaitu sebagai berikut:
1. Kualitas bersumber pada aspek produk dan bukan produk atau seluruh
kebutuhan bukan harga (nonprice needs) yang dicari konsumen untuk
memuaskan kebutuhannya.
2. Kualitas ada, kalau bisa masuk dalam persepsi konsumen. Kalau
konsumen mempersepsikan kualitas sebuah produk rendah, maka kualitas
produk itu rendah, apa pun realitasnya.
3. Perceived quality diukur secara relatif terhadap pesaing
Berangkat dari pemikiran tersebut di atas, maka langkah-langkah
pengukuran perceived quality adalah sebagai berikut:
1. Tentukan atribut produk
2. Tentukan pesaing
3. Ukur performans merek sasaran dan performans pesaing
4. Ukur tingkat kepentingan setiap atribut
5. Hitung kualitas total relatif setiap merek
2.1.4 Perceived Value
Kotler dan Keller (2009), mendefinisikan nilai yang dipersepsikan
pelanggan (perceived value) sebagai selisih antara penilaian pelanggan prospektif
atas semua manfaat dan biaya dari suatu penawaran terhadap alternatifnya.
Perceived value sangat terkait erat dengan total manfaat pelanggan dan total biaya
pelanggan. Sudin (2011), memaparkan perceived value sebagai senjata strategis
dalam menarik perhatian dan mempertahankan pelanggan, dan menjadi faktor
yang paling nyata dalam kesuksesan bisnis manufaktur maupun penyedia layanan
jasa. Nilai (value) merupakan persepsi berharga mengenai keuntungan dari produk
dibandingkan harga yang dibayarkan konsumen untuk membeli atau
mengkonsumsi produk. Dengan demikian nilai merupakan tradeoff antara
keuntungan atau manfaat yang dirasa dibandingkan persepsi pengorbanan yang
dilakukan atau diberikan untuk membeli produk. Perceived value merupakan
keseluruhan dugaan pelanggan pada utilitas dari sebuah produk, berdasarkan pada
persepsi yang dirasakan dan pada apa yang telah diberikan.
Perceived value dipengaruhi selisih antara biaya moneter dan non moneter,
selera konsumen, dan karakteristik konsumen (Bolton and Drew, 1991). Nilai
yang didefinisikan pelanggan, saat merasa puas terhadap pengalamannya secara
keseluruhan. Rangkuti (2002), perceived value dapat dijadikan sebagai batasan
penentuan harga, artinya harga maksimum yang harus dikeluarkan oleh pelanggan
berdasarkan persepsi pelanggan terhadap seberapa jauh nilai produk tersebut
menguntungkan bagi mereka. Kartajaya (2006) memaparkan secara matematis,
perceived value adalah perceived quality dibagi price. Perceived value akan naik
apabila perceived quality naik atau price-nya turun.
2.1.5 Image
Bayol, dkk. (2000) menjelaskan citra (image) merupakan peubah pilihan
yang terkait dengan nama merek dan jenis asosiasi seperti apa yang diperoleh
pelanggan dari produk/merek/perusahaan. Sudin (2011) menyatakan konsep dari
image telah banyak digambarkan di berbagai literatur hubungan pelanggan, di
antaranya adalah Zeithaml (1998), Keller (1993), Bitner (1991), Grönroos (1984);
Gummesson dan Grönroos (1988). Image merupakan sebuah persepsi pasar
tervalidasi dan bahwa sebuah perusahaan hanya akan memiliki sebuah image yang
bagus jika produknya benar-benar layak. Dengan demikian image sering
digunakan sebagai sumber eksternal dari persepsi seseorang. Pada tingkat
perusahaan, image didefinisikan sebagai persepsi dari sebuah organisasi yang
tercermin dalam asosiasi yang telah terbenam di benak konsumen.
Menurut Kotler dan Keller (2009) menjelaskan bahwa citra merek
merupakan jumlah dari gambaran-gambaran, kesan-kesan dan keyakinan-
keyakinan yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu objek”. Berdasarkan
pengertian tersebut, citra merek merupakan sesuatu yang berhubungan dengan
suatu sikap seseorang yang berupa keyakinan dan preferensi terhadap merek suatu
produk maupun perusahaan. Setiap perusahaan dalam melaksanakan kegiatan
usahanya khusus untuk kegiatan pemasaran memiliki suatu tujuan adalah untuk
meningkatkan penjualan bagi perusahaan, salah satu upaya adalah dengan cara
mempertahankan citra merek di mata konsumen maupun pelanggan.
Sebuah citra positif akan dapat mengendalikan pelanggan untuk menarik
kesimpulan bahwa keuntungan yang diraihnya secara komparatif memiliki nilai
yang baik, dengan demikian maka kepuasan pelanggan akan meningkat.
Andreassen, dkk (1998) dalam Sudin (2011) menyatakan bahwa citra perusahaan
dimunculkan dan dikembangkan di dalam benak konsumen melalui komunikasi
dan pengalaman. Citra perusahaan dipercaya untuk menciptakan sebuah “halo
effect” pada penilaian kepuasan pelanggan.
2.1.6 Customer Expectation
Olson dan Dover (1979) dalam Kartajaya (2002) mendefinisikan harapan
pelanggan (customer expectation) sebagai kepercayaan sebelum mencoba (pre-
trial belief) mengenai suatu produk, yang kemudian dijadikan sebagai standar
untuk mengevaluasi performance suatu produk atau pengalaman-pengalaman
yang akan datang. Menurut Olson dan Dover dalam Pratiwi (2010), harapan
pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu
produk, yang dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja produk tersebut.
Pada umumnya, harapan pelanggan merupakan perkiraan atau keyakinan
pelanggan tentang apa yang akan diterimanya.
Pengukuran harapan pelanggan dapat dilakukan dengan cara
membandingkan harapan konsumen sebelum menjadi pelanggan dan setelah
menjadi pelanggan, harapan akan kualitas yang lebih unggul dibandingkan produk
atau merek lain, dan harapan konsumen agar merek/produk mampu membuktikan
segala keunggulan yang telah dikomunikasikan kepada pelanggan. Berdasarkan
pada pemaparan tersebut di atas, maka semakin besar harapan pelanggan yang
terpenuhi akan menyebabkan semakin tingginya tingkat loyalitas pelanggan.
2.1.7 Loyalitas
Szwarc, (2005) menjelaskan loyalitas pelanggan merupakan minat atau
kecenderungan pelanggan untuk melakukan pembelian ulang. Loyalitas pelanggan
biasanya diukur melalui riset survey pasar. Terdapat perbedaan nyata antara
pelanggan yang puas dengan pelanggan loyal. Keduanya berkontribusi pada
profitabilitas perusahaan pada cara yang berbeda. Pelanggan yang puas lebih suka
untuk mempromosikan perusahaan, dikarenakan kepuasan merupakan sesuatu
yang orang sukai untuk dibicarakan. Pelanggan yang loyal dapat memberikan
keuntungan yang lebih, dikarenakan mereka lebih suka untuk membeli produk-
produk tambahan yang ditawarkan, seringkali tanpa melihat harga terbaik dari
produk competitor di pasar.
Oliver, (1997) dalam Güngör (2007) memaparkan loyalitas merupakan
sebuah komitmen yang sangat erat dari pelanggan untuk melakukan pembelian
ulang dari produk maupun jasa yang lebih disukainya secara konsisten di masa
yang akan datang, di samping pengaruh situasional dan upaya-upaya pemasaran
yang berpotensi menyebabkan perilaku penggantian (switching behavior).
Loyalitas merupakan tentang masa depan dan bukanlah tentang kondisi yang
terjadi pada masa lalu. Kotler dan Keller (2009) mendefinisikan 4 (empat) status
dari loyalitas, yakni sebagai berikut:
1. Loyalitas Berat – Konsumen hanya membeli satu merek sepanjang waktu.
2. Loyalitas yang Terbagi – Konsumen loyal kepada dua atau tiga merek.
3. Loyalitas yang Bergeser – Konsumen beralih loyalitas dari satu merek ke
merek lain.
4. Orang yang suka berpindah – Konsumen yang tidak memperlihatkan
loyalitas kepada merek apapun.
2.1.8 Status Sosial Ekonomi (Socioeconomic Status/SES)
Salah satu landasan utama yang kerap digunakan oleh para pemasar dalam
melakukan segmentasi adalah berdasarkan pada faktor demografi. Para pemasar
memiliki keyakinan bahwa demografi merupakan faktor penting dalam
menentukan segmentasi pasar, atau paling tidak untuk mendeskripsikan segmen
tertentu. Tingkat kesejahteraan seseorang bisa dilihat dari tingkat pendapatan
maupun tingkat pengeluarannya. Namun biasaya akan dijumpai kesulitan apabila
menanyakan orang tentang berapa besar pendapatan yang diperolehnya. Pada
umumnya orang akan keberatan untuk menjawab berapa besar pendapatannya,
dan lebih mudah mengungkapkan berapa besar pengeluaran rutin sehari-harinya.
Dengan demikian maka akan lebih mudah mengetahui tingkat kesejahteraan
seseorang dengan melihat dari sisi pengeluarannya (http://sme.marketing.co.id).
Pada umumnya para peneliti mendefinisikan pengeluaran dalam
pengertian yang relatif sama, yaitu pengeluaran rutin untuk barang dan jasa seperti
membeli makanan dan minuman, biaya sekolah anak, biaya listrik, gaji pembantu,
transportasi, dan lainnya dalam sebulan—tidak termasuk pengeluaran untuk kredit
kendaraan atau rumah. Namun yang membedakan adalah basis
pengelompokannya. Pengelompokan ini sering juga disebut Socioeconomic Status
(SES). Tinggi rendahnya SES seseorang ditentukan oleh pendidikan, pekerjaan,
dan penghasilan. Dalam lingkup riset pemasaran, SES tergambar dalam 5 (lima)
kelompok, yaitu: SES E, SES D, SES C, SES B. dan SES A. Pengelompokkan ini
akan berbeda jika melihat versi Badan Pusat Statistik (BPS), menjadikan patokan
dalam pengelompokan tetap sama, yakni kelompok pengeluaran per kapita per
bulan, yang terdiri dari kelompok pengeluaran di atas Rp 500.000, kelompok Rp
300.000–499.999, kelompok Rp 200.000–299.999, dan seterusnya. Frontier
(2011) menjelaskan kategori dari SES berdasarkan tingkat pengeluaran di kota-
kota besar adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Tingkat Pengeluaran di Kota-kota Besar Pengeluaran SES Jumlah (%)
Kurang dari Rp 600.000 E 4,2 Rp 600.000 – Rp 1.000.000 D 19,8 Rp 1.000.000 – Rp 1.800.000 C 38,8 Rp 1.800.001 – Rp 3.000.000 B 22,3
Lebih dari Rp 3.000.000 A 15 Sumber: Frontier (2011)
2.1.9 Structural Equation Modelling (SEM) dan Partial Least Squares (PLS)
SEM merupakan suatu teknik pemodelan statistika yang mampu
menganalisi hubungan antar peubah laten, peubah indikator dan kesalahan
pengukuran secara langsung. Di samping hubungan kausal searah, metode SEM
juga memungkinkan untuk melakukan analisis hubungan dua arah (Ghozali, dkk.
2005). Peubah laten adalah peubah yang tidak dapat diobservasi, sehingga tidak
dapat diukur secara langsung. Pengamatan pada peubah laten melalui efek pada
peubah-peubah terobservasi. Peubah terobservasi adalah indikator-indikator yang
dapat diukur (Ghozali, et al. 2005).
Ghozali (2008) memaparkan bahwa SEM dikembangkan berdasarkan 2
(dua) kelompok yaitu SEM berbasis covariance (CBSEM) dan SEM berbasis
varian/Partial Least Squares (PLS). Perbedaan utama CBSEM dan PLS adalah
pada CBSEM model yang dianalisis harus dikembangkan berdasarkan pada teori
yang kuat dan bertujuan untuk mengkonfirmasi model dengan data empirisnya.
Sedangkan PLS lebih menitikberatkan pada model prediksi sehingga dukungan
teori yang kuat tidak begitu menjadi hal terpenting (Ghozali, 2008). CBSEM
bertujuan memberikan pernyataan tentang hubungan kausalitas atau memberikan
deskripsi mekanisme hubungan kausalitas (sebab-akibat). Sedangkan PLS
memiliki tujuan untuk mencari hubungan linear prediktif antar peubah (Ghozali,
2008).
Wold (1985) dalam Ghozali (2008) menyatakan bahwa PLS merupakan
metode analisis yang powerfull, data tidak harus berdistribusi normal multivariate
(indikator dengan skala kategori ordinal, interval sampai ratio dapat digunakan
pada model yang sama), dan sampel tidak harus besar. PLS dapat digunakan
untuk mengkonfirmasi teori dan juga untuk menjelaskan ada atau tidak adanya
hubungan antar peubah laten. PLS dapat menganalisis sekaligus konstruk yang
dibentuk dengan indikator refleksif dan indikator formatif. Menurut Chin (1998)
dalam Ghozali (2008) menyatakan bahwa karena PLS tidak mengasumsikan
adanya distribusi tertentu untuk estimasi parameter, maka teknik parametrik untuk
menguji signifikansi parameter tidak diperlukan. Model evaluasi PLS berdasarkan
pada pengukutan prediksi yang mempunyai sifat non parametrik.
PLS tidak hanya dapat digunakan untuk mengkonfirmasi teori, namun dapat
juga digunakan untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antara peubah
laten. PLS dapat menganalisis sekaligus konstruk yang dibentuk dengan indikator
refleksif dan indikator formatif dan hal ini tidak mungkin dijalankan dalam SEM
karena akan terjadi unidentified model.
Tabel 4. Perbandingan antara PLS dan SEM
Kriteria PLS SEM
Tujuan Orientasi prediksi Orientasi parameter
Pendekatan Berdasarkan variance Berdasarkan covariance
Asumsi Spesifikasi prediktor (non parametrik)
Multivariate normal distribution, independence observation (parametrik)
Estimasi parameter Konsisten sebagai indikator dan jumlah sampel meningkat
Konsisten
Skore peubah laten Secara eksplisit di estimasi
Indeterminate
Hubungan peubah laten – indikatornya
Dapat dalam bentuk reflective maupun formative indikator
Hanya dengan reflective indikator
Implikasi Optimal untuk ketepatan prediksi
Optimal untuk ketepatan parameter
Kompleksitas model Kompleksitas besar (100 konstruk dan 1000 indikator)
Kompleksitas kecil sampai menengah (kurang dari 100 indikator)
Besar sample Kekuatan analisis didasarkan pada porsi dari model yang memiliki jumlah prediktor terbesar. Minimal direkomendasikan berkisar dari 30 sampai 100 kasus
Kekuatan analisis didasarkan pada model spesifikasi. Minimal direkomendasikan berkisar dari 200 sampai 800 kasus
2.2 Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu
Triwidastuti (2008) melakukan kajian perbandingan metodologi model
customer satisfaction index pada beberapa negara, yakni Swedia, Amerika,
Jerman, Hongkong dan Indonesia. Hasilnya adalah sebagaimana disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5. Kajian Metodologi Customer Satisfaction Index yang Ditinjau
CSI Dibangun berbasis Tinjauan/ pendekatan Aspek yang diperhitungkan Pengukuran Diterapkan di Metodologi
Swedish CSI (Grigoroudis, dan Siskos, 2002)
Service and Product
Perilaku pelanggan (psikologi)
1. Satisfaction causes (quality, expectation etc) 2. Satisfaction 3. Satisfaction result (complain and loyalty) 4. retention Behavior
Past purchasing Experience
Industri transportasi dan komunikasi
1.Survey dilakukan terhadap pelanggan dengan wawancara melalui telepon. Perusahaan besar yang dapat mewakili kinerja ekonomi nasional (market share 70%). Dilakukan pada setiap sektor industri 2.Model matematis yaitu PLS (partial least square) dan MUSA (multicriteria dissagregation analysis)
German CSI (Grigoroudis dan Siskos,2002)
Service and Product
Perilaku pelanggan (psikologi)
1. Kinerja ekonomi (market share dan profitability) 2. Peubah/atribut Multivariat
50 sektor industri nasional; transportasi& komunikasi; transportasi udara
American CSI (Fornell, Johnson, Anderson, Cha, Bryant, 2001)
1. Service dan product (service berperan besar selama 5 tahun terakhir) 2. CPI (Customer Price Index)
1. Konsumsi (consumption point of view): pada produk yang dihasilkan dan yang dikonsumsi 2. Consumer oriented
1. Customer satisfaction =f (perceived quality,perceived value, customer expectation) 2. Customer expecttion = f(customization, reliability, overall) 3. Perceived Quality = f (customization, reliability, overall)
1. Kinerja ekonomi 2. Peubah/atribut multivariat 3. Prepurchased expectation dan post consumtion perceived performance of the product
Semua industri produk dan jasa
1. Industri dibagi 7 sektor, masingmasing dihitung kontribusi relatif thd GDP. Setiap sektor dibagi dalam grup industri, dihitung
CSI Dibangun berbasis Tinjauan/ pendekatan Aspek yang diperhitungkan Pengukuran Diterapkan di Metodologi
4. Overall customer satisfaction = f (rating of satisfaction,tingkat kepuasan di atas/di bawah harapan, tingkatkepuasan yang diterima dibanding kondisi ideal) 5. Customer loyalty = f (repurchase likelihood, suatu tingkatan harga berupa batas atas dan batas bawah, di mana pelanggan mempertimbangkan untuk membeli lagi/tidak)
4. Customer Loyalty
total sales masing-masing grup.Kemudian dipilih perusahaan yang dapat mewakili setiap grup. 2. Model matematis (PLS) 3. Model gambar
Hong Kong CSI (Chan, Hui, Lo, Tze, 2003)
1. Service dan product (service berperan besar selama 5 tahun terakhir) 2.(Cust. Price Index)
1. Konsumsi (consumption point of view): pada produk yang dihasilkan dan yang dikonsumsi 2. Consumer oriented
Consumer loyalty = f(additional purchase intention, replacement preference,price increase tolerance, price decrease tolerance, quality increase tolerance)
1.Kinerja ekonomi 2.Peubah multivariat 3. Prepurchased expectation dan post consumtion perceived performance of the product 4.Customer loyalty 5. Complain
Telekomunikasi 1.Customization/ fitness for use untuk pelanggan (memenuhi dan sesuai kebutuhan pelanggan) 2. Reliability
Indonesian CSI (Irawan, 2003)
1. Service dan product 2. Perceived Quality
1. Konsumsi (consumption point of view): 2. Consumer oriented
Consumer loyalty = f(quality satisfaction, perceived best value, value satisfaction)
1.Kinerja ekonomi 2.Peubah/atribut multivariat 3.Post consumtion Perceived performance of the product 4.Customer loyalty
Semua industri produk dan jasa
1. Fitness for use 2. pengukuran dilakukan untuk setiap merk dalam setiap kategori produksi. 1(satu) industri = 20 kategori = 300merek
Sumber: Triwidiastuti (2008, hal. 95-97)
Lanjutan Tabel 5
Ekkildsen, dkk. (2004) meneliti hubungan antara kepuasan dan loyalitas
pelanggan pada bisnis ritel di Denmark berbasis Model ECSI, dengan metode
analisis structural equation model. Model tersebut menghubungkan kepuasan
pelanggan terhadap pengendalinya, yakni perceived brand image, customer
expectation, perceived quality dan perceived value. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa dimensi utama pengendali (drivers) pada model, memiliki
pengaruh positif dan signifikan secara langsung terhadap kepuasan pelanggan, dan
secara tidak langsung terhadap loyalitas pelanggan.
Bayol, dkk. (2000) melakukan kajian statistika terapan dengan
menggunakan pemodelan analisis jalur PLS, dalam mengestimasi Model ECSI
pada industri provider telepon genggam di negara-negara Eropa, sebagaimana
disajikan pada Gambar 3. Hasil yang diperoleh dari kajian mereka adalah seluruh
peubah laten yang dibentuk dalam konstruk, memiliki pengaruh positif langsung
terhadap kepuasan dan loyalitas pelanggan. Khususnya pada laten “image” pada
model, memiliki pengaruh langsung yang positif terhadap loyalitas pelanggan.
Sumber: Bayol, dkk. (2000)
Gambar 3. Model ECSI Untuk Mengukur Kepuasan Pelanggan pada
Industri Provider Telepon Genggam di Negara-negara Eropa
Berdasarkan hasil penelitian Bayol, dkk. (2000) tersebut, dapat diketahui
bahwa customer expectation berpengaruh positif dan nyata terhadap perceived
quality, image berpengaruh positif dan nyata terhadap customer expectation,
customer satisfaction, dan loyalty, perceived quality berpengaruh positif dan nyata
terhadap perceived value dan customer satisfaction, customer satisfaction
berpengaruh positif dan nyata terhadap loyalty.
Terblanche (2005) melakukan kajian terhadap model ACSI pada industri
retail fast food pada tujuh kota metropolitan di Afrika Selatan. Hasil penelitiannya
sebagaimana tersaji pada Gambar 4, diketahui Perceived quality memiliki
pengaruh positif terbesar pada kepuasan pelanggan, dibandingkan customer
expectation dan Perceived value. Berdasarkan model ACSI dalam memprediksi
loyalitas pelanggan, memiliki indikasi hubungan yang lemah antara loyalitas dan
kepuasan pelanggan. Dengan kata lain, Terblanche (2005) menyatakan kepuasan
pelanggan tidak dapat menjadi prediktor utama pada loyalitas pelanggan.
Sumber: Terblanche (2005)
Gambar 4. Model ACSI Untuk Mengukur Kepuasan Pelanggan pada
Industri Retail di Tujuh Kota Metropolitan Afrika Selatan
Rodoula Tsiotsou (2005) meneliti pengaruh dari perceived quality
terhadap kepuasan pelanggan secara keseluruhan dan pembelian berulang.
Penelitian ini menggunakan metode survey dengan sampel sebanyak 204
responden, yakni mahasiswa dari Universitas Yunani. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa perceived quality secara nyata memiliki keterkaitan dan
pengaruh positif terhadap peubah-peubah penelitian yang telah diidentifikasi.
Hasil penelitiannya juga menunjukan bukti empiris bahwa perceived quality
mampu memberikan penjelasan terbesar dari variansi kepuasan pelanggan secara
keseluruhan, dibandingkan pada pembelian ulang pelanggan.
Sudin (2011) meneliti perceived quality dan perceived value dalam
mempengaruhi kepuasan dan loyalitas pelanggan. Unit analisis penelitiannya
adalah perusahaan di Malaysia, dengan metode non-probability sampling.
Perusahaan dipilih secara convenience dengan 115 kuesioner yang diisi dengan
benar dan dikembalikan, untuk dianalisis lebih lanjut. Hasil penelitiannya
menemukan hubungan yang positif dan nyata antara perceived quality dan
kepuasan pelanggan, dan juga antara perceived value terhadap kepuasan
pelanggan. Wu dan Ding (2007) memaparkan bahwa di berbagai literatur riset
empiris dalam bidang kepuasan pelanggan, memberikan hasil bahwa ekspektasi
pelanggan berpengaruh positif dan nyata terhadap tingkat kepuasan pelanggan.
Perbedaan utama antara model penelitian ini dengan model lain,
khususnya model ECSI dan ACSI adalah pada penetapan peubah-peubah latent
dan hubungan kausalitasnya. Hal ini disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Perbedaan model penelitian ini dengan model ECSI dan ACSI
No Model Peubah yang ditetapkan Penelitian ini
1 ECSI Perceived quality, Perceived value, Image, Customer expectation, Customer satisfaction, Customer loyalty, Complaint
1 Menggunakan seluruh peubah pada ECSI, kecuali Complaint.
2 Menambahkan peubah SES 3 Menyusun selang baru dari SES
2 ACSI Perceived quality, Perceived value, Customer expectation, Customer satisfaction, Customer loyalty
1 Menggunakan seluruh peubah ACSI 2 Memasukkan peubah Image 3 Menambahkan peubah SES 4 Menyusun selang baru dari SES