bab ii tinjauan pustaka - · pdf filemenlh no. kep-42/menlh/10/1996 “ baku mutu limbah...
TRANSCRIPT
4
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Lumpur Panas Sidoardjo
Semburan lumpur panas yang terjadi pada tanggal 29 Mei 2006 di Desa
Renokenongo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur berdasarkan
laporan BPPT dinyatakan sebagai sebuah mud vulcano (Media Center Lusi, edisi
V November 2006) yang dipicu oleh kelalaian operasi pengeboran (Davies, R.J et
al, 2007).
Mud volcano adalah suatu fenomena alam munculnya sebentuk gunung kecil yang
berasal dari keluaran lumpur berlempung dengan tinggi sekitar 1-2 meter. Gunung
lumpur ini terbentuk dari campuran air panas dan sedimen halus/lempung yang
keluar melalui dua cara yaitu: secara lambat dari sumbernya di dalam tanah
seperti lelehan lahar atau menyembur ke udara seperti air mancur lahar yang
mengeluarkan gas vulkanik dan air panas. Lumpur yang mengandung lempung
tersebut berasal dari batuan padat yang mendapat tekanan dari gas vulkanik dan
panas yang berusaha keluar dari magma di bawah tanah sehingga menyebabkan
air tanah berubah menjadi campuran yang panas dan bersifat asam yang secara
kimia dapat merubah batuan tersebut menjadi bentuk sedimen halus seperti
lempung (http://volcanoes.usgs.gov)
Sumber:www.hotmudflow.wordpress.com
Gambar II. 1 Pusat semburan lumpur Sidoardjo
5
Awalnya sumber semburan lumpur panas terbagi atas dua, yaitu berjarak 100 m
dan 500 m dari drilling rigg Sumur Banjar Panji I. Lokasi sumber semburan
lumpur panas yang kedua tersebut berada dekat perumahan penduduk Dusun
Balongkenongo di areal persawahan sebelah Utara drilling rigg. Hingga tanggal 2
Juni 2006 lokasi semburan lumpur panas yang berada ± 100 m dari drilling rigg
masih aktif mengeluarkan lumpur, sedangkan yang berada ± 500 m dari drilling
rigg sudah tidak aktif. Ketika semburan lumpur terjadi pertama kali, volume
lumpur yang dihasilkan masih pada tingkat 5.000 m3/hari dan lubang semburan
terjadi di beberapa tempat, sebelum akhirnya menjadi satu lubang yang dari waktu
ke waktu menyemburkan lumpur panas dengan volume yang terus membesar dan
hingga kini masih belum berhenti (Laporan Tim Balai Lingkungan Keairan
PUSAIR, 2006).
Sumber: Sabtanto et.al, 2007
Gambar II. 2 Peta lokasi semburan lumpur Sidoardjo
6
Daerah Sidoardjo sebelumnya dikenal sebagai daerah pertanian, kawasan industri
dan pusat kerajinan kulit di Jawa Timur, juga merupakan jalur transportasi utama
yang menghubungkan kota Surabaya dengan kota sekitarnya melalui jalan tol dan
jalur kereta api. Citra satelit IKONOS milik Space Imaging USA memperlihatkan
perubahan yang terjadi di daerah sekitar Sidoardjo sebelum dan sesudah
terjadinya semburan lumpur panas.
Sumber: www.hotmudflow.wordpress.com
Gambar II. 3 Perubahan kondisi daerah Sidoardjo akibat semburan lumpur panas
Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar
maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur, diantaranya:
• Lumpur menggenangi duabelas desa di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan
Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi
sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan 25.000 jiwa mengungsi.
• Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi
dan merumahkan sekitar 1.873 tenaga kerjanya.
7
• Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), kantor pemerintahan, serta
rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur diantaranya jalan tol, jaringan
listrik dan telepon.
• Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan
lumpur dan sekitar 2,5 km pipa gas terendam.
Sumber: dok. pribadi
Sumber: Laporan Pusair Dept. PU Sumber: www.id.wikipedia.org
Sumber: http://ochaonline.un.org/ochaunep
Gambar II. 4 Daerah yang terkena dampak semburan lumpur panas
Berdasarkan hasil karakterisasi lumpur di lapangan dengan titik sampling berjarak
100 m dari pusat semburan yang dilakukan oleh Balai Lingkungan Keairan
Puslitbang Pengairan Departemen Pekerjaan Umum pada tanggal 4 Juni 2006
8
diperoleh hasil sebagai berikut: Jenis material: lempung, Plastisitas sangat tinggi,
Warna: abu-abu kehitaman, Temperatur lumpur: 44oC, Daya hantar listrik (DHL):
>10.000 µmhos/cm, Rasa: asin dan pH: 6,06.
Pemeriksaan terhadap air formasi memberikan hasil sebagai berikut : Temperatur
air 35oC, DHL: >10.000 µmhos/cm, Rasa: asin dan pH: 6,8. Hasil karakterisasi
selengkapnya diperlihatkan pada Tabel II.1 dan Tabel II.2.
Tabel II. 1 Hasil analisis kualitas air formasi lumpur Sidoardjo
Hasil Analisis Baku Mutu
No Parameter Satuan 29-5-2006 1) 4-6-2006 2) Limbah cair 3)
Limbah cair 4)
Parameter Fisika
1 Temperatur oC 38 35 38 40
2 Total Dissolved Solid mg/l 38.800 25540 2000
3 Rasa - Asin
4 Total Suspended Solid mg/l 16.420 - 200
5 DHL µmhos/cm - 33600
Parameter Kimia
1 Salinitas o/oo - 27,51
2 pH 7,00 6,8 6-9 6-9
3 Besi (Fe) mg/l 5,34 0,56 10
4 Mangan (Mn) mg/l tt 0,53 2
5 Seng (Zn) mg/l tt 0,019 10
6 Fluor (F) mg/l tt - 15
7 Kadmium (Cd) mg/l tt 0,035 0,05
8 Nikel (Ni) mg/l tt 0,396 0,2
9 Krom Hexavalen (Cr+6) mg/l tt - 0,1
10 Krom Total (Cr total) mg/l tt 0,050 0,5
11 Krom terlarut mg/l - tt
12 Tembaga (Cu) mg/l tt 0,179 2
13 Kalsium (Ca) mg/l - 810
9
14 Magnesium (Mg) mg/l - 492
15 Kalium (K) mg/l - 186
16 Amonia total (NH3– N) mg/l 0,02 17,6 1 5
17 Amonia bebas (NH3-N) mg/l - 0,132
18 Nitrat (NO3) mg/l 1,607 - 20
19 Nitrit (NO2) mg/l - tt 1
20 H2S mg/l tt - 0,1 0,5
21 Timbal (Pb) mg/l tt tt 0,5
22 Deterjen mg/l 0,31 - 1
23 CN mg/l 0,007 - 0,1
24 Fenol mg/l - 11,12 1 2
25 Minyak dan lemak mg/l tt - 5 25
26 SAR - 42,35
27 Boron (B) mg/l - 1,28
28 Natrium mg/l - 6192
29 Klorida mg/l - 15520 Keterangan : 1). Hasil Analisis Laboratorium Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Propinsi Jawa Timur 2). Hasil Analisis Laboratorium Lingkungan Keaiaran, Pusat Litbang Sumber Daya Air 3). SK Gub. Jawa Timur No. 45 Th 2002 “ Baku Mutu Limbah Cair Bagi Industri dan usaha
lainnya di JaTim “ 4). Kep. MenLH No. KEP-42/MENLH/10/1996 “ Baku mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas Serta Panas Bumi -: tidak dianalisis tt: tidak terdeteksi
Tabel II. 2 Hasil uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) lumpur formasi pada tanggal 29 Mei 2006
No Parameter Satuan Hasil Analisis ** Baku Mutu *
1 Tembaga (Cu) mg/l tt 10
2 Krom (Cr) mg/l 0,07 5
3 Kadmium (Cd) mg/l tt 1
4 Timbal (Pb) mg/l tt 5 Keterangan :
* Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun 1999, tentang Baku Mutu TCLP Zat Pencemar dalam Limbah untuk Penentuan Karakteristik Sifat Racun
** Hasil Analisis Laboratorium Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Propinsi Jawa Timur
10
Beberapa upaya penanggulangan semburan lumpur telah dicoba oleh Tim
Nasional Penanggulangan Lumpur Sidoardjo dan Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoardjo untuk mencegah meluasnya luberan lumpur dan dampak yang
merugikan masyarakat Sidoardjo, diantaranya (Media Center Lusi, edisi 6, 2006
dan berbagai sumber):
a. Penutupan pusat semburan dengan metode snubbing unit yaitu suatu sistem
peralatan bertenaga hidrolik yang umumnya digunakan untuk pekerjaan well-
intervention & workover/melakukan suatu pekerjaan ke dalam sumur yang
sudah ada, sidetracking/pengeboran miring, relief well untuk mengepung
retakan-retakan tempat keluarnya lumpur dan insersi bola beton.
b. Pembentukan tanggul di sekeliling pusat semburan (tanggul cincin) dan area
pemukiman.
c. Pengendalian lumpur dengan cara mengelola air dan lumpur dengan upaya
pembangunan spillway agar lumpur dari pusat semburan dapat dialirkan ke
Kali Porong.
Hingga saat ini hanya pembangunan spillway yang menunjukkan hasil yang cukup
memuaskan.
Upaya pemanfaatan lumpur Sidoardjo pun telah dicoba oleh beberapa pihak di
sekitar daerah semburan lumpur, diantaranya (dari berbagai sumber):
Juli 2006, pembuatan bata merah oleh penduduk di Desa Siring Sidoardjo dan
pembuat batu bata di Mojotamping dengan perbandingan tanah liat
Mojotamping:Lumpur Sidoardjo 1:1.
Agustus 2006, LAPI ITB melakukan uji coba pembuatan beton untuk
pembangunan gardu jaga dua tingkat dengan bahan baku lumpur, penambahan
semen serta polimer dengan mencampurkan satu sak semen kelas 1, tiga ember
besar lumpur dan 5 liter polimer.
September 2006, Anggota Komando Distrik Militer (Kodim) 0816 Sidoarjo
bekerja sama dengan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS)
mencoba membuat batu bata dengan proses mencampur 1 truk lumpur dengan 1
truk tanah liat dan 5 karung sekam (kulit padi) serta zat pengikat 1 liter polimer.
11
September 2006, percobaan Direktorat Jenderal Perindustrian dan Perdagangan
bahwa lumpur Sidoardjo berpotensial untuk dijadikan bahan baku pembuatan
keramik.
Oktober 2006, Ir. V. Totok Noerwasito, MT, dosen Jurusan Arsitektur ITS
melakukan percobaan pembuatan batako, paving blok dan genting berbahan
baku lumpur-semen-kapur dengan perbandingan 85:5:10 dengan kuat tekan 30
kg/cm2, nilai ini memenuhi persyaratan nilai kuat tekan bata sederhana.
Sumber: dok.pribadi
Gambar II. 5 Batako dan rumah contoh berbahan baku lumpur Sidoardjo
II.2 Proses Solidifikasi/ Stabilisasi
Solidifikasi adalah suatu tahapan proses penanganan limbah berbahaya,
khususnya yang mengandung logam berat untuk mengurangi potensi racun dan
kandungan berbahaya melalui upaya memperkecil atau membatasi daya larut,
pergerakan atau penyebaran daya racunnya dengan prinsip perubahan sifat fisika
atau kimia bahan pencemar dengan penambahan senyawa pengikat sehingga
pergerakan senyawa berbahaya dapat dihambat/dibatasi dengan membentuk suatu
struktur yang massif dengan penambahan zat pengikat, biasanya digunakan
semen, kapur, tanah liat dan tras kapur, dan bahan pengisi atau agregat halus
diantaranya gypsum, pasir, lempung dan fly ash (Ahsani, 2004).
Umumnya proses solidifikasi merupakan suatu usaha pemanfaatan bahan
pencemar/ limbah padat menjadi campuran bahan bangunan diantaranya mortar
(Ahsani, 2004) atau bata merah (Hardayani, 1996). Kontrol kualitas produk
solidifikasi pada umumnya ditentukan dengan nilai kuat tekan sebagai parameter
12
utama disamping nilai absorpsi, pelindian materi toksik dan durabilitas (Ahsani,
2004).
Stabilisasi biasanya mengacu kepada teknik yang menggunakan senyawa kimia
untuk mengurangi tingkat toksisitas atau bahaya terhadap lingkungan sekitarnya
dengan menurunkan potensial bahayanya yang lebih dikenal dengan proses
imobilisasi (Meegoda et.al, 2003). Imobilisasi secara kimia merupakan salah satu
teknik penambahan bahan kimia terhadap tanah tercemar guna mengurangi
kelarutan logam melalui proses penyerapan atau pengendapan (Ma, L.Q. et.al,
2001). Penurunan kelarutan dan mobilitas logam akan menurunkan perpindahan
logam dari tanah tercemar ke badan air (Vangronsveld and Cunningham, 1998
dalam McGowen et.al 2001).
Mekanisme stabilisasi (La Grega, 1994):
1. Makroenkapsulasi: unsur pokok limbah berbahaya secara fisik diperangkap
dalam struktur matriks yang besar, kemudian ditahan oleh pori-pori diskontinyu
sehingga materi yang terperangkap masih bebas untuk berpindah.
2. Mikroenkapsulasi: unsur limbah berbahaya diperangkap dalam struktur kristal
dari matriks solidifikasi pada level miksroskopik.
3. Absorpsi: penambahan materi solid untuk menyerap cairan dalam limbah
seperti spons dalam penyerapan air, umumnya digunakan tanah, fly ash, cement
kiln dust, lime kiln dust, clay mineral, bentonit, kaolinit, zeolit, saw dust, atau
jerami.
4. Adsorpsi: kontaminan secara elektrokimia diikat oleh agregat stabilisasi dalam
suatu matriks akibat dari gaya Van der Waals yang menyebabkan terjadinya
ikatan hidrogen di permukaan.
5. Presipitasi: pengendapan kontaminan dari limbah menjadi unsur dalam bentuk
yang lebih stabil/ tidak larut, umumnya digunakan zat pengendap seperti
hidroksida, sulfida, silika, karbonat dan fosfat.
6. Detoksifikasi: suatu proses yang menjadikan unsur kimia pada suatu limbah
menjadi unsur kimia yang kurang toksik atau tidak toksik sama sekali.
13
II.3 Mekanisme Adsorpsi
Sorpsi adalah suatu proses penyerapan ion oleh partikel sorben/penyerap yang
terjadi akibat reaksi fisika-kimia. Jika ion tersebut hanya tertahan dipermukaan
partikel penyerap proses ini disebut adsorpsi, tetapi jika proses penyerapan
berlangsung sampai ke dalam partikel sorben proses tersebut dinamakan absorpsi.
Faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi diantaranya karakteristik fisika-kimia
zat yang akan diserap (adsorbat), zat penyerap (adsorben), konsentrasi adsorbat
dalam fasa cair, pH, temperatur serta waktu tinggal dalam sistem/waktu kontak
antara sorbat dengan sorben. Dalam proses pembentukan beton/mortar atau
matriks padat lainnya melalui teknik S/S terjadi reaksi fisika-kimia diantaranya
adsorpsi (Vebbyana, 2001).
Proses adsorpsi terjadi karena ketidakseimbangan gaya pada permukaan. Adsorpsi
adalah pemisahan suatu senyawa dari larutannya yang kemudian terdeposisi pada
permukaan padatan atau pada bidang kontak antara padatan dengan larutan
(Sawyer et.al, 2003).
Ada tiga proses yang menunjukkan cara perpindahan ion logam ke dalam fasa
solid dalam bentuk larutannya, yaitu:
1. Proses yang menggunakan adsorpsi secara fisika melalui reaksi pertukaran ion
atau gaya van der Waals dan adsorpsi secara kimia melalaui ikatan antara
permukaan mineral yang terkandung dalam padatan dan ion yang bermuatan
berlawanan.
2. Proses pembentukan campuran melalui ikatan dengan ligan.
3. Proses pembentukan fasa padat yang baru melalui sedimentasi di atas
permukaan solid (Kim, Y. et.al, 2005).
Proses adsorpsi dapat terjadi melalui mekanisme seperti diperlihatkan oleh
Gambar II.8. Partikel adsorben memiliki lapisan film yang stagnan dengan
ketebalan tertentu yang mengelilingi partikel. Transfer larutan untuk melewati
lapisan hanya dapat terjadi melalui difusi molekul yang biasanya berjalan lambat,
14
jika pada proses difusi ini dilakukan suatu pengocokan maka ketebalan lapisan
film akan berkurang sehingga kesulitan transfer akan berkurang (Cooney, 1999).
Sumber: Cooney, 1999
Gambar II. 6 Skema adsorpsi dalam partikel
Tahapan proses adsorpsi umumnya terdiri dari (Indarti, 1996):
1. Kontak fluida dengan padatan adsorben, pada tahap ini terjadi adsorpsi
fluida/adsorbat ke permukaan padatan adsorben.
2. Pemisahan adsorbat yang mengalami adsorpsi.
3. Regenerasi adsorben
Berdasarkan reaksi yang terjadi, adsorpsi terdiri atas dua jenis yaitu (Montgo
mery, 1985):
1. Adsorpsi fisika, dimana gaya elektrostatik merupakan prinsip dasar yang
menggambarkan interaksi antara molekul adsorben dengan adsorbat yang
dipengaruhi oleh gaya Van der Waals. Adsorpsi secara fisika merupakan
reaksi bolak balik yang terjadi pada kekuatan gaya tarik menarik antara
molekul adsorben dan adsorbat dimana gas yang terkondensasi pada
Film
difusi molekul dlm film
Partikel Adsorben
Adsorbat
15
permukaan padatan bertekanan rendah dengan temperatur adsorpsi pun relatif
rendah.
2. Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang dipicu oleh reaksi kimia yang
menyebabkan terbentuknya ikatan kimia sebagai akibat proses kimia antara
adsorben/adsorbat, beberapa contoh ikatan kimia yang terjadi adalah ikatan
kovalen dan ikatan hidrogen. Proses adsorpsi kimia berlangsung tidak
reversibel dan kalor reaksi yang dihasilkan umumnya lebih besar daripada
adsorpsi fisika.
II.4 Model Adsorpsi
Ada dua macam model yang umum digunakan untuk menggambarkan proses
terjadinya adsorpsi yaitu model adsorpsi isoterm/sesaat dan model kinetika
adsorpsi.
II.4.1 Model Adsorpsi Isoterm
Bila dalam suatu percobaan sorpsi dilakukan pada temperatur konstan, secara
teoritis jumlah zat yang teradsorpsi adalah fungsi dari kesetimbangan tekanan gas
yang disebut adsorpsi isoterm. Adsorpsi isoterm umum dipakai untuk menyatakan
hubungan antara konsentrasi zat terlarut dalam keadaan setimbang pada suhu
tertentu. Dalam model adsorpsi isoterm dikenal adsorpsi linier dan adsorpsi non
linier. Adsorpsi isoterm digunakan untuk menentukan (Sawyer et.al, 2003):
a) Kelayakan adsorpsi dengan adsorben tertentu
b) Afinitas relatif dari adsorben
c) Sensitifitas perubahan konsentrasi adsorbat pada garis isoterm
d) Efek pH, temperatur, ion kompetitif dan lainnya pada kapasitas adsorpsi
Adsorpsi linier adalah adsorpsi isoterm yang paling sederhana dan paling sering
dipakai. Hubungan isoterm dari konsentrasi adsorbat dan penyerapan pada
temperatur konstan dinyatakan sebagai:
S = kd x C
16
dimana S adalah konsentrasi zat yang terserap, kd adalah koefisien distribusi
adsorpsi setimbang dan C adalah konsentrasi zat pada larutan saat ketimbangan
(mg/l) (Sincero, 1996).
Beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya adsorpsi non linier adalah adanya
kondisi tidak setimbang yang diakibatkan oleh perbedaan kecepatan penyerapan
antara sorben dan sorbat, proses adsorpsi mungkin terjadi mengikuti kinetika
reaksi orde kedua yang mengharuskan suatu molekul bersifat non linier terutama
pada larutan berkonsentrasi tinggi, adanya senyawa organik yang mengadsorpsi
mikropartikel tersuspensi bahan organik dan terjadi kompetisi akibat lokasi sorpsi
yang terbatas. Model yang umum digunakan untuk adsorpsi non linier adalah
(Sawyer et.al, 2003):
a) Adsorpsi isoterm Freundlich
b) Adsorpsi isoterm Langmuir
II.4.1.1 Adsorpsi Isoterm Freundlich
Persamaan isoterm Freundlich sering digunakan dalam penetapan praktis karena
umumnya memberikan korelasi yang memuaskan. Persamaan Freundlich
berasumsi bahwa adsorpsi terjadi secara multilayer pada permukaan adsorben dan
adsorpsi bertambah dengan bertambahnya konsentrasi.
Persamaan isoterm Freundlich dinyatakan sebagai,
n1
t CK x q = ......................... (II. 1)
dimana: q = jumlah adsorbat yang diadsorpsi per unit berat adsorben (mg/g)
Ct = konsentrasi adsorbat pada kondisi setimbang (mg/l)
K, n1 = konstanta empiris
Penentuan nilai K dan n1 dapat dilakukan dengan linierisasi persamaan Freundlich
menjadi: tlogCn1 K log q log += ................. (II. 2)
17
Apabila data percobaan log q diplotkan terhadap log C maka akan terbentuk suatu
garis lurus. Perpotongan dengan sumbu Y menyatakan nilai log K dan
kemiringannya adalah nilai n1 .
Sumber: Sawyer et.al, 2003
Gambar II. 7 Grafik persamaan linier kinetika Freundlich
Nilai q secara teoritis dapat dihitung dengan rumus )C -(C V )q-(q m too = ,
dimana qo = 0 sehingga )CV(Cq x m to −= , m x q = X, maka X = V (Co – C ),
sehingga didapat suatu persamaan,
m)C - (C V
q to= …………………. (II. 3)
Co = konsentrasi awal adsorbat (mg/l)
Ct = konsentrasi adsorbat pada kesetimbangan (mg/l)
m = berat adsorben (gram)
q = konsentrasi adsorbat pada media pada kesetimbangan (mg/g)
qo = konsentrasi adsorbat pada pada kondisi awal (mg/g)
X = jumlah adsorbat yang diserap oleh adsorben (mg)
V = volume larutan (l)
II.4.1.2 Adsorpsi Isoterm Langmuir
Persamaan Langmuir berdasarkan pada asumsi bahwa hanya ada satu lapisan yang
terbentuk pada permukaan padat. Persamaan ini awalnya dikembangkan untuk
menerapkan sorpsi gas oleh zat padat, namum dapat juga untuk menerangkan
sorpsi ion pada permukaan padat.
Log Ct
Log
q
Log K
n1
18
Adsorpsi yang mengikuti persamaan isoterm Langmuir menggambarkan kondisi
kesetimbangan antara permukaaan dan larutan yang dapat bersifat bolak-
balik/reversible.
Persamaan Langmuir berlaku untuk adsorpsi lapis tunggal/ monolayer pada
permukaan yang homogen. Keuntungan dari adsorpsi Langmuir adalah
merupakan adsorpsi yang sangat sederhana dengan ciri sebagai berikut:
a) Daya dari adsorpsi adalah independen
b) Bersifat bolak balik
c) Hanya untuk adsorpsi satu lapis atau monolayer
Persamaan Langmuir dinyatakan sebagai :
)Cx (K 1)C x K x (q
qtads
tadsm
+= .............. (II. 4)
q = konsentrasi adsorbat pada media pada kesetimbangan (mg/g)
Ct = konsentrasi adsorbat pada kesetimbangan (mg/l)
qm , Kads = konstanta empiris
Persamaan tersebut dapat dilinierkan untuk mendapatkan konstanta qm dan Kads.
⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛+=
tadsmm C1 x
K x q1
q1
q1 ................................(II. 5)
Apabila data percobaan q1 diplotkan terhadap
tC1 akan terbentuk garis lurus dan
perpotongan terhadap sumbu Y menyatakan nilai mq1 sedangkan kemiringannya
menyatakan nilai adsKx mq
1 .
19
Sumber: Sawyer et.al, 2003
Gambar II. 8 Grafik persamaan linier kinetika Langmuir
II.4.2 Model Kinetika Sorpsi
Kinetika adalah laju perubahan dalam mekanisme suatu sistem yang dapat
memberikan efek perubahan dalam reaksi fisika dan kimia. Secara umum
persamaan kinetika isoterm untuk menyatakan proses adsorpsi dan desorpsi
adalah model empirik dan model mekanis. Model empirik adalah model yang
memiliki bentuk sederhana dan menggunakan konstanta yang dikembangkan dari
hasil percobaan. Beberapa model yang digunakan untuk menghitung kinetika
proses sorpsi adalah model kinetik Barrow – Shaw dan model Lagergren
(Rusmaya, 2006).
Model kinetika sorpsi mengasumsikan bahwa proses sorpsi tergantung pada
waktu dan kesetimbangan tidak bias yang tercapai selama waktu kontak. Model
kinetik Barrow-Shaw didasari oleh persamaan Freundlich (Vebbyana, 2001).
S = k Cta tb …………………………...(II. 7)
batm
X tCk x = ....................................... (II. 8)
log mX = log k + a log Ct + b log t ................ (II. 9)
mengacu kepada perhitungan teoritis nilai q pada persamaan (II.3) maka
persamaan (II.8) dan persamaan (II.9) dapat dinyatakan sebagai: ba
t tCk x q = .......................................(II.10)
1/Ct1/
q mq1
adKx mq1
20
log q = log k + a log C + b log t ................ (II.11)
S atau
mX atau q = jumlah yang disorpsi (mg/kg)
C = konsentrasi zat dalam larutan pada waktu kontak (mg/l)
k = konstanta, kapasitas sorpsi
a = konstanta, intesiitas sorpsi
b = konstanta, kecepatan sorpsi
t = waktu kontak
Konstanta k, a, dan b dapat dihitung dengan regresi linier multi varians Y = aX1 +
bX2 + C jika dihubungkan dengan persamaan (II.7), maka Y = log q, dimana:
a, b = konstanta a dan b, X1 = log C , X2 = log t, C = log k
n C = X1a + X2b = Y ......................................(II. 12)
X1C + (X1)2 a + ( X1X2) b = X1Y …………….(II. 13)
X2C + (X1X2) a + (X2)2 b = X2 Y ……………(II. 14)
dari persamaan (II.12), (II.13), dan (II.14) akan didapat nilai konstanta k, a, dan b.
Percobaan Barrow - Shaw merupakan persamaan empiris dengan kekurangan
tidak dapat menerangkan proses yang sebenarnya terjadi dalam sistem tetapi
mudah diaplikasikan dengan harga parameter yang dengan mudah dapat diperoleh
dari percobaan sederhana (Vebbyana, 2001).
Persamaan kinetika Lagergren digunakan untuk melihat perubahan dalam proses
sorpsi secara kuantitatif. Persamaan ini terdiri dari reaksi orde-1 dan reaksi pseudo
orde-2 dengan h yang merupakan nilai kecepatan inisial adsorpsi (Quek et.al,
1998).
Persamaan kinetika Lagergren Orde-1 (Ho et al, 2003) dinyatakan sebagai:
log (qe - qt) = log qe – ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛2,303
k1 t ……………(II. 15)
21
dimana:
qe : massa logam yang teradsorbsi dalam kesetimbangan (mg/g)
qt : massa logam yang teradsorpsi dalam waktu t (mg/g)
k1 : konstanta kapasitas sorpsi
Persamaan II.15 mengikuti persamaan linier Y= ax + b dimana:
Y = log (qe - qt), x = t, a = – ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛2,303
k1 dan b = log qe
Apabila nilai log (qe - qt) dan t diplotkan dalam bentuk grafik persamaan linier
maka konstanta kapasitas sorpsi dapat diketahui.
Sumber: Ho et al, 2003
Gambar II. 9 Grafik persamaan linier kinetika Lagergren orde-1
Persamaan Lagergren Orde-2 (Ho et al, 2003) dinyatakan sebagai:
tqqkq
t
eet
112
2
+= ...................... (II.16)
Persamaan II.16 mengikuti persamaan linier Y = ax = b, dengan Y= tq
t , a = eq
1 ,
x = t dan b = 22
1
eqk, jika nilai percobaan
tqt diplotkan terhadap t, maka konstanta
kapasitas sorpsi k2 dapat diketahui.
t
Log
(qe-q
t)
Log qe
– ⎟⎠
⎞⎜⎝
⎛2,303
k1
22
Sumber: Ho et al, 2003
Gambar II. 10 Grafik persamaan linier kinetika Lagergren orde-2
II. 5 Tembaga
Tembaga di alam membentuk sulfida, sulfat, garam sulpho, karbonat dan senyawa
lainnya. Sumber utama tembaga adalah pertambangan. Mineral yang paling
umum adalah chalcopyrite, CuFeS ( Alloway, 1995).
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Copper
Gambar II. 11 Spesimen logam tembaga
Kelarutan tembaga dalam air laut yang teraerasi (pH 7,8-8,2 dan suhu 18-23oC)
adalah 0,4-0,8 ppm, pada konsentrasi yang lebih tinggi garam tembaga akan
terendapkan. Di air tawar, lebih dari 90% tembaga berikatan dengan asam humat.
Tembaga dapat didesorpsi dari sedimen hingga 50% dalam 96 jam. Beberapa
studi memperlihatkan desorpsi akan berkurang dengan peningkatan salinitas
tt/q
t
22
1
eqk
eq1
23
akibat dari kompetisi dengan ion klorida (Cl) dalam penggunaan tempat
pengikatan (Mantaoura et.al, 1987).
Tembaga merupakan logam berwarna kemerahan, merupakan konduktor panas
dan listrik yang baik. Logam tembaga bersifat lunak, dapat ditempa dan melebur
pada suhu 1038oC, tidak larut dalam asam klorida (HCl) dan asam sulfat (H2SO4)
encer, meskipun dengan adanya oksigen dapat sedikit larut.
Menurut Vogel, asam nitrat dengan konsentrasi 8 M dapat dengan mudah
melarutkan tembaga dengan reaksi,
3Cu + 8HNO3 3Cu2+ + 6NO3 + 2NO2 + 4 H2O
asam sulfat melarutkan logam tembaga dengan reaksi,
3Cu + 2HSO4 3Cu2+ + SO42- + SO2 + 2 H2O
sedangkan reaksi pelarutan logam tembaga oleh aqua regia adalah,
3Cu + 6 HCl+ 2HNO3 3Cu2+ + 6Cl- + 2NO2 + 4 H2O
Ada 2 senyawa tembaga yaitu senyawa tembaga(I) yang diturunkan dari
tembaga(I) oksida Cu2O yang berwarna merah. Senyawa-senyawa ini tidak
berwarna dan kebanyakan garam tembaga(I) tidak larut dalam air, mudah
dioksidasi menjadi tembaga (II), yang dapat diturunkan dari tembaga(II) oksida
CuO berwarna hitam.
Garam-garam tembaga(II) umumnya berwarna biru baik dalam bentuk hidrat,
padat atau larutan yang merupakan warna khas ion tetrakuokuprat(II)
[Cu(H2O)4]2+. Garam-garam tembaga(II) anhidrat seperti tembaga(II) sulfat
CuSO4 berwarna putih kekuningan. Ion tembaga(II) Cu2+. Dalam percobaan reaksi
terhadap logam tembaga, hanya ion tembaga(II) Cu2+ merupakan ion yang
penting.
24
Tabel II. 3 Sifat fisika dan kimia logam tembaga
Umum Nama, simbol dan nomor atom Tembaga, Cu, 29 Unsur kimia Logam transisi Wujud Padatan logam berwarna kemerahan Berat atom relatif 63,546 g/mol Konfigurasi elektron [Ar] 3d10 4s1
Sifat Fisik dan Atom Fasa Padatan Berat jenis 8,96 g·cm−3 Berta jenis cair pada titik leleh 8,02 g·cm−3 Titik leleh 1084,62 °C Titik didih 2562 °C Struktur kristal Kubus terpusat Bilangan oksidasi 1, 2
1st: 745,5 kJ/mol 2nd: 1957,9 kJ/mol
Energi ionisasi
3rd: 3666 kJ/mol Kemagnetan diamagnetik Nomor CAS 7440-50-8
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Copper
II. 6 Sodium Silika
Sodium silika/ natrium silika atau lebih dikenal dengan nama water glass banyak
dipakai sebagai bahan pengikat seperti semen biasanya dipakai untuk produk yang
mengalami pemanasan atau pembakaran, zat aditif pada detergen, pengolahan air,
zat pengawet pada telur, zat pelapis pada bangunan, deflokulan pada industri
keramik dll (Mc Donald, PQ Corp).
Kualitas dan sifat silika ditentukan oleh perbandingan antara silika, oksigen dan
air. Perbandingan antara SiO2 dan Na2O menjadi ukuran kualitas silika. Persentase
SiO2 yang tinggi membuat silika bersifat lebih mudah membentuk gelas, keras
dan tidak larut, sedangkan persentase Na2O memberikan sifat lebih basa dan
mudah larut, persentase air memberikan lebih banyak hidrat bebas. Di pasaran
25
terdapat lebih dari 40 tingkat kualitas sodium silika dengan perbandingan
Na2O:SiO2 antara 0,5 – 2 (Mc Donald, PQ Corp).
Sumber: http://apps.kemi.se/flodessok/floden/kemamne/natriumsilikater_eng.htm
Gambar II. 12 Struktur ikatan kimia sodium silika
Tabel II. 4 Sifat fisika dan kimia sodium silika
Umum
Nama lain Waterglass atau Liquid Glass Rumus molekul Na2SiO3 Berat molekul 122,06 g/mol Wujud Padatan/gel tidak berwarna
CAS
Sodium silicate CAS no 1344-09-8, Sodium orthosilicate (Na2O/SiO2=2) CAS no 15859-24-2, Disodium silicate (Na2O/SiO2=1,5) CAS no 13870-28-5, Sodium metasilicate (Na2O/SiO2=1) CAS no 6834-92-0, Sodium metasilicate nonahydrate CAS no 13517-24-3, Sodium metasilicate pentahydrate CAS no 10213-79-3
Sifat Fisik Berat jenis 2,4 g/cm3 Kelarutan di air Larut, 150 g/l (20°C) Titik didih/Titik leleh 102 oC (216F) /1088°C pH 11 – 12,5
Potensi Bahaya Klasifikasi Uni Eropa Tidak terdaftar Karsinogenik Tidak termasuk daftar IARC, OSHA, ACGIH, atau NIOSH
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Sodium_silicate, http://apps.kemi.se/flodessok/floden/kemamne/natriumsilikater_eng.htm J.T.Baker® Material Safety Data Sheet Number: S4982
26
Sodium silika memiliki sifat yang unik yaitu dapat mengalami empat reaksi kimia
yang berbeda yaitu hidrasi/dehidrasi, pembentukan gel, pengendapan dan
modifikasi muatan permukaan. Sodium silika yang bermutu tinggi dapat
mengalami beberapa reaksi kimia di atas dalam waktu yang bersamaan (Mc
Donald, PQ Corp).
Anion silika dapat bereaksi dengan kation logam multivalen diantaranya kalsium
(K), kadmium (Cd), Seng (Zn), tembaga (Cu), mangan (Mn), besi (Fe), nikel (Ni),
magnesium (Mg), timbal (Pb), kromium (Cr) membentuk suatu logam silikat yang
tidak larut dan tidak reaktif (Vogel, 1990).
II. 7 Tanah Liat/Clay
Tanah terdiri dari tiga bagian yaitu butiran tanah itu sendiri, air dan udara yang
mengisi ruang kosong diantara butiran tanah tersebut. Butiran tanah dapat berupa
butiran kasar (kerikil, pasir), butiran halus (lanau, lempung). Lempung terdiri dari
butiran yang sangat kecil dan menunjukkan sifat plastisitas dan kohesi. Plastisitas
adalah sifat yang memungkinkan bentuk lempung dapat diubah tanpa perubahan
isi atau dapat kembali ke bentuk asli tanpa mengalami keretakan atau pecah
(Hardayani, 1996).
Fraksi mineral lempung adalah partikel tanah berukuran 2 mµ. Tanah bermineral
lempung terdiri dari alumunium amorf, besi silika dan ion logam. Mineral-mineral
ini yang akan menentukan plastisitas tanah, penyerapan air dan pertukaran ion.
Sifat lempung yang penting adalah plastisitas/liat, sifat ini hanya akan terjadi
apabila ada air yang menyebabkan tanah lempung dapat dibentuk dan dicetak
(Hardayani, 1996).
Gambar II.13 menunjukkan klasifikasi tanah menurut USDA yang ditentukan oleh
persentase butiran pasir, lempung dan silt yang terkandung dalan sample tanah
(Brown, 2003).
27
Sumber: Brown, 2003
Gambar II. 13 Klasifikasi tekstur tanah oleh USDA
Menurut Atterberg, mineral lempung mempunyai pengaruh terhadap sifat fisik
tanah, terutama indeks plastisitas. Semakin besar luas permukaan mineral
lempung dan semakin halus ukuran butirannya, maka semakin besar indeks
plastisitasnya, disebabkan oleh jumlah air yang terserap disekeliling permukaan
lempung. Hal ini menyebabkan adanya klasifikasi tanah bersifat plastis, semi
plastis dan padat (Hardayani, 1996).
Kandungan mineral tanah liat telah diketahui dapat menjadi adsorben yang baik
untuk kation karena memiliki luas permukaan spesifik yang besar dan bermuatan
negatif. Kemampuan menyerap mineral tanah liat tidak hanya tergantung pada
karakteristik kimia dan fisikanya saja, seperti keberadaan dan kandungan senyawa
organik di dalamnya, kemampuan menukar kation, oksida amorf, tetapi juga
komposisi senyawa kimia dan kondisi dari larutan logam yang akan diserap,
diantaranya pH, kekuatan ion serta tipe ligannya (Kim, Y. et.al, 2005).
28
II.8 Bata Merah
Bata merah adalah bahan bangunan yang digunakan untuk pembuatan konstruksi
bangunan yang dibuat dari tanah liat dengan atau tanpa campuran bahan lain dan
dibakar pada suhu yang cukup tinggi hingga tidak dapat hancur lagi bila direndam
dalam air. Tanah liat yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan bata,
sedikitnya harus memiliki dua macam komponen tanah yang berfungsi sebagai
bahan perekat dan pengisi. Bahan perekat yaitu senyawa SiO2, Al2O3 dan Fe2O3
sedangkan komponen pengisi umumnya seyawa K2O dan Na2O. Mutu bata merah
tergantung kepada jenis tanah yang digunakan sebagai bahan baku dan cara
pengolahannya (Hardayani, 1996).
Secara garis besar proses pembentukan bata merah menurut prosedur pembuatan
bata merah pejal adalah sebagai berikut (Departemen Perindustrian,1985):
1. Persiapan bahan baku, pada tahap ini dilakukan penggalian tanah dan
tahap penyiapan tanah untuk dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan bata yaitu, tahap pembasahan tanah liat dan pemerataan.
2. Pembentukan, pada umumnya pembentukan tanah dilakukan dengan cara
pembentukan massa lempung plastik lunak dengan menggunakan
pencetakan tangan menggunakan alat cetak kayu, alat press ulir, press
ungkit atau press pukul.
3. Pengeringan, secara umum dilakukan pengeringan alam (natural drying),
waktu pengeringan antara 3-14 hari.
4. Pembakaran, proses pembakaran dengan panas tinggi antara 800-1200oC
5. Proses pendinginan
Proses pembakaran model bata merah terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu:
(Sagala, 2000)
a) Tahap Dehidrasi terdiri dari dua jenis yaitu Dehidrasi Mekanis yaitu
tahap dehidrasi yang terjadi pada suhu pemanasan 150oC. Tahapan ini
sering disebut tahap water smoking yaitu penguapan air bersama-sama
dengan asap bahan bakar (apabila yang digunakan bahan bakar yang
menghasilkan asap, contohnya sekam dan kayu bakar). Dehidrasi
29
Kristal/Kimia adalah temperatur dimana air kristal dari mineral yang
terkandung dalam lempung telah hilang. Temperatur akhir proses
dehidrasi ini tidak sama antara jenis lempung, contohnya temperatur
dehidrasi air kristal kaolinite adalah 400-600oC dan Illite 420-520oC. Pada
tahap ini tidak terjadi perubahan warna.
b) Tahap Oksidasi, tahap oksidasi mulai berlangsung pada suhu 350-500oC.
Tahap oksidasi terjadi pada semua bahan atau mineral yang terkandung
dalam lempung dengan adanya udara pembakaran. Reaksi oksidasi
berlangsung sempurna pada suhu pembakaran mencapai 950oC. Pada
tahap ini terjadi perubahan warna akibat dari oksidasi besi oksida yang
memberikan warna merah. Intensitas warna merah ini akan tertahan
apabila kandungan karbon dan sulfur pada lempung tinggi, kedua senyawa
tersebut mempunyai daya ikat yang lebih kuat dengan oksigen.
Jika udara pembakaran kurang, maka oksidasi besi tidak berlangsung
secara sempurna. Hal ini akan menyebabkan terjadinya warna hitam
kebiruan di bagian dalam atau lebih dikenal dengan nama black core yang
dapat menurunkan kekuatan mekanis/ kuat tekan produk.
Proses oksidasi selalu berlangsung bersamaan dengan proses dehidrasi air
kristal. Jika dalam lempung terdapat banyak senyawa sulfur dan senyawa
besi, apabila oksidasi besi berlangsung terlebih dahulu maka akan
dihasilkan garam sulfat pada suhu 500-800 oC yang berwarna putih dan
apabila reaksinya berlangsung bersamaan maka akan dihasilkan noda
berwarna coklat (brown scuming) pada permukaan lempung.
Jika dalam lempung terdapat kalsium karbonat dan senyawaan sulfur,
maka pada tahap oksidasi akan terbentuk senyawa kalsium sulfat yang
dapat menyebabkan bercak putih/scum pada permukaan lempung.
c) Tahap Vitrifikasi adalah tahap awal proses penggelasan dari senyawa
golongan garam alkali dan oksida besi yang berikatan dengan silikat. Jika
pada tahap oksidasi terdapat ruang kosong akibat hilangnya air maka pada
tahap vitrifikasi ruang kosong itu akan merapat kembali hal ini adalah
proses awal dari vitrifikasi. Bila temperatur dinaikkan terus maka lapisan
gelas akan melebur dan menyusut drastis yang akan menyebabkan
30
perubahan bentuk/deformasi. Pada proses pembuatan bata merah rentang
suhu terjadinya vitrifikasi adalah 800-1300oC tergantung dari kandungan
besi dan kapur pada lempung yang menjadi bahan baku.
Kualitas bata merah dilihat dari berbagai parameter, diantaranya kuat tekan. SII
No.0021-78 menyatakan standar pengujian dan nilai kuat tekan bata merah pejal
yang digunakan sebagai bahan bangunan yang diperlihatkan pada Tabel. II.5
Tabel II.5. Nilai kuat tekan bata merah pejal
Kuat tekan rata-rata dari 30 buah bata yang diuji Kelas
Kg/Cm2 N/Cm2
Koefisien variasi yang diijinkan dari rata-rata kuat
tekan bata yang diuji 25 25 2.5 25 50 50 5 22 100 100 10 22 150 150 15 15 200 200 20 15 250 250 25 15
II.9 Penelitian Terdahulu
Hardayani 1996 melakukan Pemanfaatan Limbah Elektroplating sebagai
Batubata dengan campuran tanah lempung Sapan dan Kopo dengan variasi
penambahan limbah 10-50%. Model bata bentuk silinder dengan proporsi
pencampuran limbah 10%, kadar air 1,5 kadar air optimum dan dibakar di suhu
600oC adalah kondisi yang memberikan nilai kuat tekan maksimum. Proporsi bata
merah yang dibuat berdasarkan prosedur umum yang dilakukan di pabrik
pembuatan bata merah di daerah Kopo menunjukkan bahwa campuran limbah
20% memberikan nilai kuat tekan tertinggi yang memenuhi persyaratan nilai kuat
tekan bata kelas 25.
Safitri 2002 melakukan penelitian tentang Kinetika Sorpsi Tembaga dalam Proses
Solidifikasi Limbah Tailing dengan adsorben semen pada variasi pH larutan 3-5,
menyatakan bahwa penyisihan tertinggi tembaga artifisial dengan konsentrasi 10
ppm terjadi pada kondisi pH 4 dengan persamaan Barrow-Shaw S = 92,3 C-0,036
31
t0,003, dimana proses sorpsi akan semakin meningkat dengan peningkatan pH.
Untuk tembaga yang berasal dari limbah tailing persamaan penyisihan tertinggi
terjadi pada pH 3 dengan persamaan Barrow-Shaw S= 46,67 C-0,035 t0,0036 dimana
proses sorpsi akan menurun seiring dengan kenaikan pH.
Koraia 2003 melakukan Studi Kinetika Sorpsi Tembaga dalam Proses
Solidifikasi Tailing menggunakan semen sebagai adsorben dan pelarut aquades,
air laut, asam asetat. Percobaan menggunakan limbah tailing menunjukkan bahwa
proses adsorpsi-desorpsi terjadi pada rentang pH 3-8 dengan aquades
menunjukkan kemampuan adsorpsi yang lebih baik dibandingkan air laut dan
asam asetat. Kinetika sorpsi proses dihitung dengan persamaan orde-1. Penyisihan
optimum logam tembaga artifisial dengan konsentrasi 10-70 ppm menggunakan
pelarut aquades dapat dicapai pada waktu 2,5 menit.
Satyaputra 2006 melakukan penelitian tentang Pengolahan Limbah Cair
Tembaga dengan Memanfaatkan Adsorben Zeolit Alam Terimpregnasi dimana
kapasitas adsorpsi zeolit kontrol untuk limbah tembaga mengalami peningkatan
sekitar 161 kali setelah mengalami proses impregnasi. Mekanisme adsorpsi yang
terjadi merupakan adsorpsi fisik dengan pola yang favorable. Proses adsorpsi
dilakukan terhadap logam tembaga artifisial dengan konsentrasi 50, 100, 150 ppm
sebanyak 100 ml, berat adsorben 10 gram, waktu kontak 60 menit, menggunakan
alat jar test dengan kecepatan pengadukan 100 rpm, penentuan konsentrasi logam
tembaga dilakukan secara spektrofotometri pada panjang gelombang 750 nm.
Anatasia, 2007 melakukan penelitian tentang Studi Karakteristik Fisik dan Kimia
Lumpur Sidoardjo dan Kemungkinan Pemanfaatannya sebagai Bahan Bangunan,
hasil penelitian menunjukan bahwa padatan lumpur Sidoardjo dapat dijadikan
pengganti pasir dalam pembuatan batako, campuran bahan adonan dengan
kandungan lumpur 30% menghasilkan nilai kuat tekan 56,2 kg/cm2 memenuhi
persyaratan batako kelas rendah.