bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/41662/3/jiptummpp-gdl-zatilaqmar-48850...sebesar 27,5%...
TRANSCRIPT
-
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obesitas
2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Obesitas
Kegemukan dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi abnormal atau
kondisi kelebihan lemak yang berisiko bagi kesehatan. Ukuran yang digunakan
untuk memperkirakan populasi obesitas adalah dengan pengukuran indeks massa
tubuh (IMT), berat badan seseorang (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat dari
tinggi badannya (dalam meter). Seseorang dengan IMT 30 atau lebih umumnya
dianggap obesitas. Seseorang dengan IMT sama atau lebih dari 25 dianggap
kelebihan berat badan atau overweight (WHO-Overweight and Obesity, 2011).
Pengukuran menggunakan IMT menghasilkan berat badan yang standar
untuk tinggi badan masing-masing individu, sehingga memungkinkan individu
yang memiliki ketinggian yang berbeda untuk dibandingkan. IMT adalah ukuran
yang paling umum digunakan untuk memantau prevalensi overweight dan
obesitas pada tingkat populasi. Ini juga cara yang paling umum digunakan untuk
memperkirakan apakah seorang individu kelebihan berat badan atau obesitas
(National Obesity Observatory, 2009).
Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:
IMT = BERAT BADAN (KG) / TINGGI (m)2
Untuk orang dewasa berusia 20 tahun atau lebih, IMT ditafsirkan
menggunakan kategori status berat badan standar. Kategori-kategori ini adalah
sama untuk pria dan wanita dari semua jenis tubuh dan usia. Kategori status berat
-
6
badan standar yang terkait dengan IMT berkisar untuk orang dewasa ditunjukkan
pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Interpretasi IMT
IMT Status berat badan
< 18.5 Underweight
18.5 – 24.9 Normal
25.0 – 29.9 Overweight
> 30.0 Obese
(CDC, 2015)
Tabel 2.2 Interpretasi IMT menurit FDA (Food and Drug Administration)
Status Berat Badan Obesity Class IMT (kg/m2)
Underweight < 18.5
Normal 18.5 – 24.9
Overweight 25.0 – 29.9
Obesity I 30.0 – 34,9
Obesity II 35.0 – 39.9
Extreme Obesity III 40
(Clinical Guidelines on the Identification, Evaluation, and Treatment of Overweight and
Obesity in Adults dikutp dari FDA (Food and Drug Administration), 2015)
Kegemukan dan obesitas merupakan faktor risiko utama untuk sejumlah
penyakit kronis. Tidak hanya di negara-negara berpenghasilan tinggi, kelebihan
berat badan dan obesitas sekarang secara dramatis juga meningkat di negara-
negara berpenghasilan rendah dan menengah, khususnya di perkotaan.
http://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/guidelines/ob_gdlns.pdfhttp://www.nhlbi.nih.gov/files/docs/guidelines/ob_gdlns.pdf
-
7
Kegemukan dan obesitas merupakan hasil dari ketidakseimbangan energi yang
terjadi akibat asupan kalori yang terlalu banyak dan kurangnya aktivitas fisik
untuk membakar kalori tersebut. Perubahan pola makan dan aktivitas fisik ini
dihasilkan dari lingkungan dan sosial (WHO-Overweight and Obesity, 2011).
2.1.2 Epidemiologi Obesitas
Secara global, prevalensi total overweight dan obesitas telah meningkat
sebesar 27,5% untuk orang dewasa dan 47,1% untuk anak-anak antara tahun
1980 dan 2013. Jumlah overweight dan obesitas telah meningkat dari 921 juta
pada tahun 1980 menjadi 2,1 miliar pada 2013. Secara global, proporsi orang
dewasa dengan IMT 25 atau lebih meningkat dari 28,8% (28,4-29,3) di 1.980-
36,9% (36,3-37,4) pada tahun 2013 untuk pria dan dari 29,8% (29,3-30,2) ke
38,0% (37,5-38,5) untuk wanita. Peningkatan yang diamati di negara-negara
maju dan berkembang, tetapi dengan pola seks yang berbeda. Di negara maju,
pria memiliki tingkat lebih tinggi dari kelebihan berat badan dan obesitas,
sementara di negara-negara berkembang, perempuan menunjukkan tingkat yang
lebih tinggi dan hubungan ini berlanjut dari waktu ke waktu (Gakidou, 2014).
Menurut analisis sistematis dalam jurnal Lancet yang dipublikasikan pada 30
Agustus 2014 Indonesia berada di peringkat 10 dalam daftar negara-negara
dengan tingkat obesitas tertinggi di dunia.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia 2013 menunjukkan
gambaran status gizi pada kelompok umur dewasa >18 tahun berdasarkan
indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) didominasi dengan masalah obesitas, dan
-
8
prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7%,
lebih tinggi dari tahun 2007. Pada tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan
dewasa 32,9%, naik 18,1% dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5% dari tahun 2010
(15,5%). Prevalensi nasional obesitas tipe pear shaped (usia >15 tahun) di
Indonesia sebesar 19,1% (8,8% overweight dan 10,3% obesitas) dan prevalensi
obesitas tipe apple shaped sebesar 26,6%, lebih tinggi dari prevalensi pada tahun
2007 (18,8%). Kelompok dengan karakteristik obesitas tipe apple shaped
tertinggi di Indonesia berada dalam rentang umur 40-54 tahun sebanyak 27,4%.
Kegemukan dan obesitas menyebabkan efek metabolik buruk pada tekanan
darah, kolesterol, trigliserida dan resistensi insulin. Risiko penyakit jantung
koroner, stroke iskemik dan diabetes mellitus tipe 2 meningkat terus dengan
meningkatnya indeks massa tubuh (IMT) yaitu ukuran relatif berat badan
terhadap tinggi badan. Agar tercapai kesehatan optimal, IMT rata-rata untuk
populasi orang dewasa harus dalam kisaran 21 sampai 23 kg/m2, sedangkan
target bagi individu harus menjaga indeks massa tubuh dalam kisaran 18,5
sampai 24,9 kg/m2. Pada indeks massa tubuh 25,0-29,9 terdapat peningkatan
risiko penyakit penyerta, dan untuk indeks massa tubuh 30 atau lebih berisiko
sedang sampai tinggi untuk terjadi;nya penyakit penyerta. Pada tahun 2014, 39%
dari orang dewasa berusia lebih dari 18 tahun mengalami overweight (IMT ≥ 25
kg / m2) (39% laki-laki dan 40% perempuan) dan 13% mengalami obesitas (IMT
≥30 kg / m2) (11% laki-laki dan 15% wanita). Dengan demikian, hampir 2 miliar
orang dewasa di seluruh dunia mengalami overweight dan lebih dari setengah
-
9
miliar mengalami obesitas (WHO data Global Health Observatory (GHO),
2016).
2.1.3 Penyebab Obesitas
Etiologi obesitas bersifat kompleks dan masih belum sepenuhnya
dipahami. Faktor yang berperan adalah faktor genetik, lingkungan, dan
psikologis. Namun, secara sederhana obesitas adalah gangguan keseimbangan
energi. Kedua sisi persamaan energi, asupan dan pengeluaran, dikendalikan
secara cermat oleh mekanisme neural dan hormonal sehingga berat badan
dipertahankan dalam rentang sempit selama bertahun-tahun. Tampaknya
keseimbangan yang baik ini dipertahankan oleh suatu titik patokan (set point)
intemal, atau "lipostat", yang dapat mendeteksi jumlah simpanan energi (jaringan
adiposa) dan mengatur asupan makanan serta pengeluaran energi agar sesuai
(Kumar, 2012).
Obesitas terjadi jika dalam suatu periode waktu, lebih banyak kilokalori
yang masuk melalui makanan daripada yang digunakan untuk menunjang
kebutuhan energi tubuh, dengan kelebihan energi tersebut disimpan sebagai
trigliserida di jaringan lemak (Sherwood, 2012). Menurut Fauci, (2009), obesitas
dapat disebabkan oleh peningkatan masukan energi, penurunan pengeluaran
energi, atau kombinasi keduanya. Obesitas disebabkan oleh banyak faktor, antara
lain genetik, lingkungan, psikis, kesehatan, obat-obatan, perkembangan dan
aktivitas fisik (Sherwood, 2012).
-
10
2.1.4 Patofisilogi Obesitas
Saat awal pembentukan obesitas, sel-sel lemak yang sudah ada membesar.
Seorang dewasa rata-rata memiliki sekitar 40 milyar sampai 50 milyar adiposit.
Setiap sel lemak dapat menyimpan maksimal sekitar 1,2 pg trigliserida. Jika sel-
sel lemak yang sudah ada terisi penuh, maka jika yang bersangkutan terus
mengonsumsi lebih banyak kalori daripada yang dikeluarkan, maka akan
terbentuk lebih banyak adiposit (Sherwood, 2012).
2.1.4.1 Keseimbangan Energi didalam Tubuh
Pada laki-laki dan wanita dewasa, lemak didalam tubuh diperkirakan
mengisi sebanyak 21% sampai 37% dari berat badan. Pada individu yang obes,
lebih banyak kalori dikonsumsi daripada yang dikeluarkan. Jumlah jaringan
lemak diatur secara ketat melalui sinyal neuronal dan humoral yang disampaikan
ke otak. Kegagalan sel-sel lemak mengirimkan sinyal yang adekuat atau
kegagalan otak merespons sinyal yang sesuai dapat menyebabkan
obesitas. Sistem regulasi keseimbangan energi yang efektif memerlukan
beberapa mekanisme, antara lain: sensor terhadap simpanan energi didalam
jaringan adiposa dan mekanisme penyampaian informasi ke pusat kendali di
hipothalamus. Kedua proses ini berintegrasi untuk menentukan besarnya asupan
makanan dan energi yang dikeluarkan (Panigrahi, 2009).
Dalam tahun-tahun terakhir, telah berhasil diidentifikasi beberapa "gen
obesitas". Seperti dapat diperkirakan, gen ini mengkode komponen molekular
sistem fisiologis yang mengendalikan keseimbangan energi. Pemain kunci dalam
homeostasis energi adalah gen Ob dan produknya, leptin. Leptin bekerja melalui
-
11
suatu jenjang kompleks jalur pemberi sinyal yang disebut sebagai sirkuit
melanokortin sentral yang dikendalikan oleh leptin (leptin-regulated centrnl
melnnocortin circuit) (Kumar, 2012).
(Kumar, 2012)
Gambar 2.1
Sirkuit neurohumoral yang mengendalikan berat badan.
Leptin merupakan hormon peptida yang disekresi terutama oleh jaringan
adiposa dan bertugas mengirimkan sinyal ke otak tentang jumlah simpanan
lemak. Pada subjek normal kadar leptin didalam sirkulasi, proporsional dengan
simpanan lemak dan Indeks Massa Tubuh. Sekresinya bersifat pulsatif dan
berhubungan terbalik dengan kadar hidrokortison. Pembentukan leptin
-
12
mengalami peningkatan akibat pengaruh glukokortikoid, estrogen serta insulin
dan menurun karena pengaruh α-adrenergic agonist. Dari tempat penyimpanan
lemak, leptin mencapai otak dan menuju hipothalamus. Mutasi leptin dan
reseptor leptin telah ditemukan pada beberapa pasien obes (Panigrahi,
2009). Setiap kelainan di leptin maupun reseptornya dapat menyebabkan
seseorang mengalami obesitas (Limanan D, Prijanti AR, 2013).
Interaksi leptin dengan reseptornya mengurangi asupan makanan dengan
merangsang pembentukan α-MSH dan CART (anoreksigenik) dan menghambat
sintesis NPY (Neuropeptida Y) dan AgRP (oreksigenik). Apabila simpanan
lemak tubuh kurang memadai, yang terjadi adalah kebailikannya, sekresi leptin
menurun dan asupan makanan meningkat. Pada orang dengan berat badan stabil,
aktivitas jalur ini berada dalam keadaan seimbang (Kumar, 2012). Leptin dapat
meningkatkan tekanan darah melalui perangsangan sistem simpatis. Selain itu
leptin dapat meningkatkan pembentukan ROS di sel endotel pembuluh darah dan
menstimulasi sekresi sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-6; keduanya
merupakan promotor terjadinya hipertensi dan aterosklerosis. Leptin juga
meningkatkan pelepasan ET-1 yang merupakan vasokonstriktor yang dilepaskan
terutama oleh sel endotel. Selain itu ET-1 juga disekresikan oleh makrofag,
fibroblast, dan kardiomiosit, yang berfungsi melawan efek dari NO yang
dihasilkan (Limanan D, Prijanti AR, 2013).
-
13
(Panigrahi, 2009)
Gambar 2.2
Keseimbangan Energi dan Etiologi Obesitas
2.2 Hipertensi
2.2.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi
Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah terhadap dinding
pembuluh darah dan ditimbulkan oleh desakan darah terhadap dinding arteri
ketika darah tersebut dipompa dari jantung ke jaringan. Besar tekanan bervariasi
tergantung pada pembuluh darah dan denyut jantung. Tekanan darah paling
tinggi terjadi ketika ventrikel berkontraksi (tekanan sistolik) dan paling rendah
ketika ventrikel berelaksasi (tekanan diastolik). Pada keadaan hipertensi, tekanan
darah meningkat yang ditimbulkan karena darah dipompakan melalui pembuluh
darah dengan kekuatan berlebih (WHO, 2011).
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi
berbagai faktor risiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi
-
14
dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis
kelamin, dan umur, serta faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya
aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi makanan yang mengandung
natrium dan lemak jenuh. Hipertensi yang tidak terkontrol akan meningkatkan
angka mortalitas dan menimbulkan komplikasi ke beberapa organ vital seperti
jantung (infark miokard, jantung koroner, gagal jantung kongestif), otak (stroke,
enselopati hipertensif), ginjal (gagal ginjal kronis), mata (retinopati hipertensif)
(Anggraini l, 2009).
Hampir semua konsensus / pedoman utama baik dari dalam walaupun luar
negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki
tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg, pada pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan
pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi. Adapun
pembagian derajat keparahan hipertensi pada seseorang merupakan salah satu
dasar penentuan tatalaksana hipertensi (Soenarta AA, Erwinanto, Mumpuni
ASS., et al, 2015).
-
15
Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Klasifikasi sistolik diastolik
Optimal < 120 dan < 80
Normal 120 – 129 dan/ atau 80 – 84
Normal tinggi 130 – 139 dan/ atau 84 – 89
Hipertensi derajat 1 140 – 159 dan/ atau 90 – 99
Hipertensi derajat 2 160 – 179 dan/ atau 100 – 109
Hipertensi derajat 3 ≥ 180 dan/ atau ≥ 110
Hipertensi sistolik
terisolasi ≥ 140 dan < 90
(Soenarta, Erwinanto & Mumpuni et al, 2015)
Klasifikasi Sistolik Diastolik
Normal 100
(JNC VII)
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua golongan
yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi Primer/Hipertensi
Esensial adalah hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik),
walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak
(inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada sekitar 90% penderita hipertensi.
Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial adalah hipertensi yang diketahui
penyebabnya. Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah
penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya adalah kelainan hormonal atau
pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB) (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
-
16
Berdasarkan bentuk Hipertensi dibagi menjadi hipertensi diastolik
(diastolic hypertension), Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi),
Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) (Kementrian Kesehatan RI,
2014).
2.2.2 Faktor Resiko Hipertensi
Risiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor
risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko
hipertensi yang tidak dapat diubah/dikontrol adalah umur, jenis kelamin, riwayat
keluarga, genetik (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Sedangkan faktor yang
dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi (Sharma S, 2008).
Usia berpengaruh dalam pengembangan hipertensi. Setelah berumur 45
tahun dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan
zat kolagen pada lapisan otot sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur
menyempit dan menjadi kaku. Tekanan darah sistolik meningkat karena
kelunturan pembuluh darah besar yang berkurang pada penambahan umur
sampai dekade ketujuh sedangkan tekanan darah sistolik meningkat sampai
dekade kelima dan keenam kemudian menetap atau cenderung menurun.
Peningkatan umur akan menyebabkan beberapa perubahan fisiologis pada usia
lanjut. Terjadi peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatis. Pengaturan
tekanan darah yaitu refleks baroreseptor pada usia lanjut sensitivitasnya sudah
berkurang, hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang
bertambah usianya (Anggraini, 2009). Faktor risiko tertinggi hipertensi
umumnya terdapat pada kelompok pria usia di atas 55 tahun, wanita di atas 65
-
17
tahun, merokok, dislipidemia (kadar kolestrol yang tidak normal), memiliki
riwayat keluarga hipertensi, gula darah tinggi, dan obesitas (Ngantung, 2014).
2.2.3 Patogenesis Hipertensi
Penyebab-penyebab hipertensi ternyata sangat banyak. Tidak bisa
diterangkan hanya dengan satu faktor penyebab. Memang betul pada akhirnya
kesemuanya itu akan menyangkut kendali natrium (Na) di ginjal sehingga
tekanan darah meningkat. Ada empat faktor yang mendominasi terjadinya
hipertensi yaitu peran volume intravaskular, peran kendali saraf autonom, peran
renin angiotensin aldosteron (RAA) dan peran dinding vaskular pembuluh darah
(Yogiantoro, 2014).
Tubuh memiliki 3 metode pengendalian tekanan darah. Pertama adalah
reseptor tekanan di berbagai organ yang dapat mendeteksi perubahan kekuatan
maupun kecepatan kontraksi jantung, serta resistensi total terhadap tekanan
tersebut. Kedua adalah ginjal yang bertanggung jawab atas penyesuaian tekanan
darah dalam jangka panjang melalui sistem renin-angiotensin yang melibatkan
banyak senyawa kimia. Kemudian sebagai respons terhadap tingginya kadar
kalium atau angiotensin, steroid aldosteron dilepaskan dari kelenjar adrenal, yang
salah satunya berada dipuncak setiap ginjal, dan meningkatkan retensi
(penahanan) natrium dalam tubuh (Kowalski, 2010).
Darah yang mengalir ditentukan oleh volume darah yang dipompakan oleh
ventrikel kiri setiap kontraksi dan kecepatan denyut jantung. Tahanan vaskuler
perifer berkaitan dengan besarnya lumen pembuluh darah perifer. Makin sempit
pembuluh darah, makin tinggi tahanan terhadap aliran darah, makin besar
-
18
dilatasinya makin tinggi kurang tahanan terhadap aliran darah. Jadi, semakin
menyempit pembuluh darah, semakin meningkat tekanan darah. Dilatasi dan
konstriksi pembuluh-pembuluh darah dikendalikan oleh sistem saraf simpatis dan
sistem renin-angiotensin. Apabila sistem saraf simpatis dirangsang, katekolamin,
seperti epinefrin dan norepinefrin akan dikeluarkan. Kedua zat kimia ini
menyebabkan kontriksi pembuluh darah, meningkatnya curah jantung, dan
kekuatan kontraksi ventrikel. Sama halnya pada sistem renin-angiotensin, yang
apabila distimulasi juga menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh-pembuluh
darah (Baradero, 2005).
Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah
secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan
stabilitas tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan
darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti
refleks kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon
iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot
polos. Sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan
antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon
angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem poten dan berlangsung
dalam jangka panjang yang dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah cairan
tubuh yang melibatkan berbagai organ (Saleh, 2010). Jantung secara terus
menerus bekerja memompakan darah ke seluruh organ tubuh. Jika tanpa
gangguan, porsi tekanan yang dibutuhkan sesuai dengan mekanisme tubuh.
Namun, akan meningkat begitu ada hambatan. Inilah yang menyebabkan tekanan
-
19
darah meninggi. Semakin besar hambatanya, tekanan darah akan semakin tinggi
(Prapti, 2009).
(Lang F, Silbernagl S, 2013)
Gambar 2.3
Prinsip Terjadinya Hipertensi
-
20
2.2.4 Diagnosis Hipertensi
Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan
pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana
yang akan diambil. Algoritma diagnosis ini diadaptasi dari Canadian
Hypertension Education Program. The Canadian Recommendation for The
Management of Hypertension 2015.
-
21
(Dasgupta K, Quinn RR, Zarnke KB, et al 2014) Gambar 2.4
Algoritma Diagnosis Hipertensi
Diagnosis dilakukan mulai dari anamnesis. Kebanyakan pasien hipertensi
bersifat asimtomatik Beberapa pasien mengalami sakit kepala rasa seperti
berputar atau penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang kecurigaan ke
hipertensi sekunder, antara lain penggunaan obat-obatan (kontrasepsi hormonal,
kortikosteroid, dekongestan, OAINS); sakit kepala paroksismal berkeringat atau
takikardi (feokromositoma); riwayat penyakit ginjal sebelumnya. Mencari faktor
-
22
risiko kardiovaskular lainnya, seperti merokok, obesitas, inaktivitas fisik,
dislipidemia, diabetes melitus, mikroalbuminuria dan laju filtrasi glomerulus
< 60 mL/mnt, usia (laki-laki > 55 tahun, perempuan > 65 tahun), riwayat
keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (laki-laki < 55 tahun atau
perempuan < 65 tahun).
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menilai tekanan darah diambil dari
rerata 2 kali pengukuran pada setiap kali kunjungan ke dokter apabila tekanan
darah ≥ 140 per 90 mmHg pada dua atau lebih kunjungan, hipertensi dapat
ditegakkan. Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang baik,
ukuran dan posisi manset yang tepat (setingkat dengan jantung), serta teknik
yang benar. Pemeriksaan penunjang ditujukan untuk memeriksa komplikasi yang
telah atau sedang terjadi serta untuk memastikan hipertensi sekunder (Tanto,
2014).
2.3 Hubungan antara Obesitas dengan Hipertensi
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko hipertensi. Penderita obesitas
mempunyai risiko mengalami hipertensi 2,2 kali lebih besar dibandingkan
dengan subjek yang mempunyai IMT normal (Natalia, 2015). Hasil penelitian
menemukan bahwa lebih dari separuh penderita hipertensi mengalami obesitas
(56,6%) dan obesitas sentral (54,9%) (Sulastri, Elmatris, Ramadhani, 2012).
Hubungan antara obesitas dan hipertensi telah lama diketahui namun mekanisme
bagaimana terjadinya hipertensi akibat obesitas hingga saat ini belum jelas.
Sebagian peneliti menitikberatkan patofisiologi tersebut pada tiga hal utama yaitu
-
23
adanya gangguan sistem autonom, resistensi insulin serta abnormalitas struktur
dan fungsi pembuluh darah.
Patogenesis obesitas sehingga mengakibatkan suatu hipertensi merupakan
hal yang kompleks karena penyababnya multifaktor dan saling berhubungan.
Leptin, asam lemak babas dan insulin serta obstructive sleep apnea yang
meningkat pada anak obes akan menyebabkan konstriksi dan aktifitas sistem
saraf simpatis. Resistensi insulin dan disfungsional endothelial juga
menyebabkan vasokonstriksi. Peningkatan aktifitas saraf simpatis ginjal,
resistensi insulin dan hiperaktifitas sistem renin angiotensi menjadikan reabsorbsi
natrium pada ginjal meninggi. Semua faktor diatas akan mengakibatkan
terjadinya hipertensi (Soetjningsih, Ranuh, 2014). Peningkatan obesitas disertai
dengan peningkatan ko-morbiditas yang berpotensi menjadi penyakit degeneratif
di kemudian hari misalnya penyakit jantung koroner, DM tipe 2 dan hipertensi
(Lumoindong, 2013).
Obesitas dikaitkan dengan peningkatan aliran darah, vasodilatasi, cardiac
output, dan hipertensi. Meskipun indeks jantung (cardiac output dibagi dengan
berat badan) tidak meningkat, curah jantung dan laju filtrasi glomerulus dapat
meningkat. Faktor yang secara umum dianggap bertanggung jawab atas
perubahan terkait obesitas pada kurva tekanan-natriuresis meliputi peningkatan
pola simpatik, aktivasi sistem renin-angiotensin (RAS), hiperinsulinemia,
perubahan struktur ginjal, dan elaborasi adipokines (hormon yang diproduksi
oleh lemak itu sendiri) seperti leptin. Blokade simpatis (gabungan alpha dan beta
blokade) mencegah hipertensi yang berhubungan dengan obesitas pada hewan
-
24
percobaan dan pada pasien. Demikian pula leptin, hormon yang diproduksi
lemak yang menghasilkan rasa kenyang dan penurunan berat badan dengan
mengurangi asupan kalori dan dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik untuk
meningkatkan thermogenesis, dapat menyebabkan hipertensi. hipertensi yang
diinduksi oleh leptin atau yang disebut leptin-induced hypertension juga dicegah
oleh blokade simpatik. Ini dan temuan lainnya sangat menyarankan bahwa leptin
berkontribusi pada kejadian hipertensi obesitas terutama melalui aktivasi
simpatik. Efek aktivasi simpatis pada hipertensi obesitas tampaknya terkait
dengan aktivasi lalu persarafan ginjal dan perubahan selanjutnya dari hubungan
tekanan-natriuresis, seperti denervasi renal mencegah perkembangan hipertensi
pada beberapa model hewan hipertensi terkait obesitas. Juga, jalur hipotalamus
leptin-melanocortin adalah modulator penting dari berat badan, dan stimulasi
hyperleptinemia dari jalur hipotalamus proopiomelanocortin ini cenderung
memberikan kontribusi untuk peningkatan aliran simpatis (Richard, 2009).
2.4 Penetalaksanaan Hipertensi
2.4.1 Tujuan Terapi
Secara umum tujuan pengobatan hipertensi adalah :
a. Penurunan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi.
Mortalitas dan morbiditas ini berhubungan dengan kerusakan organ target (misal:
kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal)
-
25
b. Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan
terapi obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang menunjukkan
pengurangan resiko (Muchid A, Umar F, Chusun., et al, 2006)
2.4.2 Target tekanan darah
Menurut Joint National Commission (JNC) 7, rekomendasi target tekanan
darah yang harus dicapai adalah < 140/90 mmHg dan target tekanan darah untuk
pasien penyakit ginjal kronik dan diabetes adalah ≤ 130/80 mmHg. American
Heart Association (AHA) merekomendasikan target tekanan darah yang harus
dicapai, yaitu 140/90 mmHg, 130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit ginjal
kronik, penyakit arteri kronik atau ekuivalen penyakit arteri kronik, dan ≤ 120/80
mmHg untuk pasien dengan gagal jantung.
2.4.3 Algoritma Pengobatan Hipertensi
Algoritma penanganan hipertensi menurut JNC 7 (2003), dijelaskan pada
skema dibawah ini
-
26
(JNC 7, 2003)
Gamabar 2.5
Algoritma Pengobatan Hipertensi
Pilihan Obat Awal
Perubahan Gaya Hidup
Belum mencapai tekanan darah target (
-
27
2.4.4 Terapi Nonfarmakologi
2.4.4.1 Modifikasi gaya hidup
Terapi nonfarmakologis merupakan bagian penting pengobatan semua
pasien hipertensi. Pada beberapa pasien hipertensi stadium 1, tekanan darah
dapat cukup terkontrol dengan Modifikasi gaya hidup
(Goodman dan Gilman's, 2011) . Modifikasi gaya hidup dapat dilakukan
dengan membatasi asupan garam tidak lebih dari 1/4 – 1/2 sendok teh (6
gram/hari), menurunkan berat badan, menghindari minuman berkafein,
rokok, dan minuman beralkohol (Kementrian Kesehatan RI, 2014). Menurut
DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) merekomendasikan
pasien hipertensi banyak mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran,
meningkatkan konsumsi serat, dan minum banyak air (Heller, 2016). Olah
raga juga dianjurkan bagi penderita hipertensi, dapat berupa jalan, lari,
jogging, bersepeda selama 20-25 menit dengan frekuensi 3-5 x per minggu.
Penting juga untuk cukup istirahat (6-8 jam) dan mengendalikan stress.
Di Indonesia terdapat pergeseran pola makan, yang mengarah pada
makanan cepat saji dan yang diawetkan yang kita ketahui mengandung
garam tinggi, lemak jenuh, dan rendah serat mulai menjamur terutama di
kota-kota besar di Indonesia. Dengan mengetahui gejala dan faktor risiko
terjadinya hipertensi diharapkan penderita dapat melakukan pencegahan dan
penatalaksanaan dengan modifikasi diet/gaya hidup ataupun obat-obatan
sehingga komplikasi yang terjadi dapat dihindarkan (Kementrian Kesehatan
RI, 2014).
-
28
2.4.5 Terapi Farmakologi
Obat menurunkan tekanan darah dengan memengaruhi tahanan perifer,
curah jantung, atau keduanya (Goodman dan Gilman's, 2011). Terdapat
kecenderungan penurunan tekanan darah setelah penggunaan obat
antihipertensi selama 1 bulan (Mutmainah dan Rahmawati, 2010). Secara
umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah
> 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi
derajat ≥ 2. Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu
diperhatikan untuk menjaga kepatuhan dan meminimalisasi efek samping,
yaitu :
a. Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
b. Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi
biaya
c. Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun )
d. seperti pada usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor
komorbid
e. Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACE-I) dengan angiotensin II receptor blockers (ARB)
f. Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi
g. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur
(Soenarta AA, Erwinanto, Mumpuni ASS., et al, 2015).
-
29
2.4.5.1 Golongan obat
Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik
tiazid (misalnya bendroflumetiazid), β‐bloker, (misalnya propanolol,
atenolol,) penghambat angiotensin converting enzymes (misalnya captopril,
enalapril), Angiotensin receptor blocker (misalnya candesartan, losartan),
calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan alphablocker
(misalnya doksasozin). Yang lebih jarang digunakan adalah vasodilator dan
antihipertensi kerja sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin, yang
diindikasikan untuk keadaan krisis hipertensi.
1. Diuretik tiazid
Semua obat diuretik oral efektif dalam mengobati hipertensi tetapi
tiazid ternyata yang paling luas digunakan (Harvey, 2016). Diuretik tiazid
adalah diuretik dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan darah
dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal
ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga
mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat
mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada
pemberian oral, terdistribusi luas dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik
tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai
12‐24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek
antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis tidak
memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada
-
30
dosis tinggi (Gormer, 2007). Diuretik tiazid menurunkan tekanan darah
pada posisi baik terlentang maupun berdiri dan hipotensi postural jarang
terjadi kecuali pada pasien lansia yang kehabisan volume obat ini tidak
efektif pada pasien dengan fungsi ginjal tidak adekuat bersihan kreatinin ≤
50 mL/ menit (Harvey, 2016). Penggunaan diuretik tiazid selama 8 minggu
dapat menurunkan tekanan sistolik sebesar 9 poin dan tekanan diastolik
sebesar 4 poin (Musini l, 2014).
2. Beta-bloker
Beta bloker memblok β‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan
menjadi reseptor β‐1 dan β‐2. Reseptor β‐1 terutama terdapat pada jantung
sedangkan reseptor β‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah
perifer, dan otot lurik. Reseptor β‐2 juga dapat ditemukan di jantung,
sedangkan reseptor β‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor β juga
dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor β pada otak dan perifer akan
memacu pelepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system
saraf simpatis. Stimulasi reseptor β‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak
meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta
pada ginjal akan menyebabkan penglepasan renin, meningkatkan aktivitas
system rennin angiotensin‐aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan
cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan sodium yang
diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan β‐bloker akan
mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan
https://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKg
-
31
darah. β‐bloker (Gormer, 2007). Prototipe Beta bloker adalah propanolol
yang bekerja pada reseptor β‐1 dan β‐2, penghambat selektif reseptor β‐1
seperti metoprolol dan atenolol merupakan penghambat beta yang paling
sering diresepkan. Pengobatan beta diberikan dengan hati-hati pada pasien
yang juga mengalami asma, propanolol dikontraindikasikan akibat
penghambatannya terhadap bronkodilatasi yang diperantarai β‐2. Beta bloker
harus diberikan dengan hati-hati dalam terapi pasien yang mengalami gagal
jantung akut atau penyakit vaskular perifer (Harvey, 2016). Beta bloker
diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air
atau lipid. Obat-obat yang diekskresikan melalui hati biasanya harus
diberikan beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan melalui
ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat
diberikan sekali dalam sehari. Beta bloker tidak boleh dihentikan mendadak
melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina,
karena dapat terjadi fenomena rebound (Gormer, 2007). Penggunaan
diuretik tiazid yang dikombinasikan dengan beta bloker atau Calcium
channel blocker yang dikombinasikan dengan beta bloker selama 8 minggu
dapat menurunkan tekanan sistolik sebesar 8 poin dan tekanan diastolik
sebesar 6 poin (Chen l, 2010).
3. ACE inhibitor
Secara umum ACE inhibitor dapat dibedakan atas yang bekerja langsung
yakni captopril dan lisinopril dan yang bekerja tidak langsung (Nafrialdi,
https://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKghttps://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKg
-
32
2007). Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) menghambat secara
kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang
inaktif, yang terdapat pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar
adrenal dan otak. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat yang
memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan perifer.
Penghambatan pembentukan angiotensin II ini akan menurunkan tekanan
darah. Jika sistem renin-angiotensin-aldosteron teraktivasi (misalnya pada
keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi
ACE-I akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi
kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi.
Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang
lebih kuat. Captopril cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi kerja yang
pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan
berespon baik pada pemberian ACE-I. Dosis pertama ACE-I harus diberikan
pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin
terjadi, efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium rendah
(Gormer, 2007).
4. Angiotensin Receptor Blocker
Angiotensin receptor blocker merupakan alternatif ACE inhibitor.
Efek farmakologis obat ini serupa dengan efek farmakologis ACE inhibitor,
yaitu menghasilkan dilatasi arteriol dan vena dan menghambat sekresi
aldosteron sehingga menurunkan retensi garam beserta air (Harvey, 2016).
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.
https://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKg
-
33
Reseptor angiotensin II disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2.
Reseptor AT1 memperantarai respon farmakologis angiotensin II, seperti
vasokonstriksi dan penglepasan aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi
target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas.
Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II
tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok sistem renin-angitensin
melalui jalur antagonis reseptor AT1 dengan pemberian antagonis reseptor
angiotensin II mungkin bermanfaat. Karena efeknya pada ginjal, ACE-I dan
AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada
stenosis arteri yang berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu
(Gormer, 2007). Penggunaan Angiotensin receptor blocker selama 7 minggu
dapat menurunkan tekanan sistolik sebesar 8 poin dan tekanan diastolik
sebesar 5 poin (Heran l, 2008).
5. Calcium Channel Blocker
Semua Calcium Channel Blocker menurunkan tekanan darah dengan
menghambat influks Ca2- melalui saluran kalsium tipe-L yang sensitif
terhadap tegangan di otot polos arteriol, yang akhirnya menyebabkan
relaksasi otot polos dan tahanan vaskular perifer yang menurun
(Goodman dan Gilman's, 2011). Calcium Channel Blockers (CCB)
menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem
konduksi jantung, dan sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan
menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan propagasi
impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi,
https://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKg
-
34
interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas
adalah proses yang bergantung pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB:
dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin
(verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat
vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, semua
dihidropiridin memiliki afinitas yang lebih besar terhadap kanal Ca vaskular
dibanding kanal Ca jantung, oleh sebab itu obat-obat ini terutama menarik
dalam pengobatan hipertensi (Harvey, 2016), sedangkan verapamil dan
diltiazem mempunyai efek kardiak dan dugunakan untuk menurunkan heart
rate dan mencegah angina. Semua CCB dimetabolisme di hati (Gormer,
2007). Agen-agen ini berguna dalam pengobatan pasien hipertnesi yang juga
memiliki asma, diabetes, angina dan atau penyakit vaskular perifer (Harvey,
2016). Penelitian yang dilakukan oleh Baharuddin, Kabo, Suwandi pada
tahun 2013 menunjukkan efektivitas amlodipin lebih besar dibandingkan
captopril dan hidroklortiazid. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan
oleh Kristanti 2015 yang menunjukkan hasil serupa. Penggunaan
dihydropyridine calcium channel blocker selama minimal tiga minggu dalam
sebuah sistematik review menunjukkan penurunan tekanan darah sistolik
antara 9,45 – 13,2 mmHg dan tekana darah diastolik antara 5,85 – 8,8 mmHg
(Ghamami N, Chiang, Dormuth C et al, 2014). CCB sebagai terapi
antihipertensi banyak digunakan baik sebagai monoterapi ataupun
kombinasi dengan golongan antihipertensi lain, kombinasi yang sering
https://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKghttps://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKg
-
35
digunakan yaitu golongan diuretik dengan CCB (Muchtar, Tjitrosantoso,
Bodhi, 2015).
6. Antagonis Alfa-1 Adrenergik
Antagonis Alfa-1 Adrenergik memblok adrenoseptor alfa1 perifer,
Antagonis resepror ar-adrenergik mula-mula mengurangi tahanan arteriol
dan meningkatkan kapasitans vena; hal ini menyebabkan peningkatan refleks
denyut jantung dan aktivitas renin plasma yang diperantarai saraf simpatik.
Selama terapi kronis, vasodilatasi terus rerjadi, rerapi curah jantung, denyut
jantung, dan aktivitas renin plasma kembali ke normal, dan aliran darah
ginjal tidak berubah. Obat Antagonis Alfa-1 Adrenergik menyebabkan
hipotensi postural secara beragam, bergantung pada volume plasma.
Antagonis Alfa-1 Adrenergik tidak dianjurkan sebagai monoterapi untuk
pasien hipertensi. Obat-obat ini lebih baik digunakan terurama bersama
dengan diuretik, B-blokea dan obat antihipertensi lain, Antagonis resepror p
meningkatkan efikasi Antagonis Alfa-1 Adrenergik (Goodman dan Gilman's,
2011). Obat ini diindikasikan untuk hipertensi yang resisten (Gormer,
2007).
7. Golongan lain
Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan
tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah.
Antihipertensi kerja sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin)
bekerja pada adrenoseptor alfa2 atau reseptor lain pada batang otak,
https://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKghttps://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKg
-
36
menurunkan aliran simpatetik ke jantung, pembuluh darah dan ginjal,
sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah (Gormer, 2007).
https://www.google.co.id/search?q=Beth+Gormer,+2007&biw=1068&bih=572&tbm=isch&tbo=u&source=univ&sa=X&ved=0ahUKEwiti47ApbbNAhXFspQKHbBXBz0QsAQIKg