bab iii konsep pemberian hadiah dan hukuman …repository.iainpekalongan.ac.id/1233/9/13. bab...
TRANSCRIPT
49
BAB III
KONSEP PEMBERIAN HADIAH DAN HUKUMAN
DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Hakikat Pendidikan Islam
1. Definisi Pendidikan Islam
Istilah pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu
“paedagogie”, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak.
Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan
“education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam
bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang
berarti pendidikan.1 Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa
dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.2
Pendidikan merupakan proses pewarisan kebudayaan dan
pengembangan potensi-potensi pada manusia.3
Dalam pendidikan Islam, istilah pendidikan (tarbiyah) kadang-
kadang disebut dengan al-ta‟lim dan al-ta‟dib. Menurut Al-Abrasy,
Pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup
dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya,
sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus
1 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 1.
2 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan: Teori dan Parktis (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2000), hlm. 10. 3 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), hlm.
4.
50
perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik
dengan lisan atau tulisan. Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa
pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada
pembentukan akhlak atau kepribadian.4
Pendidikan Islam juga
merupakan sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan
seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita
Islam, karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak
kepribadiannya.5
Menurut Abdurrahman An-Nahlawi, pendidikan Islam adalah
penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang
tunduk taat pada Islam dan menerapkannya secara sempurna di dalam
kehidupan individu dan masyarakat.6
2. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam
Prinsip pendidikan dapat diartikan dengan kebenaran yang
universal sifatnya, yang dijadikan dasar dalam merumuskan perangkat
pendidikan. prinsip pendidikan diambil dari dasar pendidikan, baik
berupa agama ataupun ideologi negara yang dianut. Dasar pendidikan
Islam adalah Al-Qur‟an dan hadits-hadits Nabi SAW yang merupakan
sumber pokok ajaran Islam.
4 Ramayulis, Op. Cit., hlm. 3
5 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 10.
6 Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, terjemahan
Herry Noer Ali (Bandung: CV Diponegoro, 1996), hlm. 41.
51
Al-Syaibani memperluas lagi dasar tersebut mencakup ijtihad,
pendapat, peninggalan, keputusan-keputusan dan amalan-amalan para
ulama terdahulu dikalangan umat Islam. Berikut prinsip-prinsip
pendidikan Islam yang didasari oleh ajaran Islam:
a. Prinsip pendidikan Islam merupakan implikasi dari karakteristik
manusia menurut Islam
Ajaran Islam mengemukakan ciri-ciri manusia yang
membedakannya dengan makhluk lain yaitu:
1) Fitrah
Fitrah manusia adalah mempercayai adanya Allah SWT
sebagai Tuhan. Ini berarti manusia mempunyai potensi
aktualisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri manusia yang harus
dipertanggung jawabkan sebagai amanah Allah dalam bentuk
Ibadah.
2) Kesatuan roh dan jasad
Dari segi jasad manusia memiliki dorongan untuk berkembang
dan mempertahankan diri serta berketurunan. Sedangkan dari
segi roh manusia mempunyai dua daya, yaitu daya berpikir
(aql) dan daya rasa (qalb). Dengan daya aql manusia
memperoleh ilmu pengetahuan, memperhatikan, dan
menyelidiki alam sekitar. Dengan daya qalb manusia berusaha
mendekatkan diri (taqarrub) dengan Tuhan.
52
3) Memiliki karakter kebebasan berkemauan
Kebebasan berkemauan artinya manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memutuskan tingkah lakunya sendiri.
Kebebasan manusia meliputi berbagai dimensi seperti
kebebasan dalam beragama, berbuat, mengeluarkan pendapat,
memiliki, berpikir, berekspresi dan sebagainya.
b. Prinsip Pendidikan Islam adalah integral dan terpadu
Integral dan terpadu artinya Pendidikan Islam tidak mengenal
adanya pemisahan antara sains dan agama. Penyatuan antara kedua
sistem pendidikan adalah tuntunan akidah Islam. Implikasinya
dalam pendidikan adalah bahwa Pendidikan Islam tidak dibenarkan
adanya dikotomi pendidikan. Peserta didik harus menjadikan Islam
sebagai pedoman hidup yang dapat mengatur berbagai aspek
kehidupan manusia.
c. Prinsip Pendidikan Islam adalah seimbang
Seimbang artinya Pendidikan Islam harus seimbang terhadap
semua aspek kehidupan yaitu kehidupan duniawi dan kehidupan
ukhrawi (akhirat).
d. Prinsip Pendidikan Islam adalah universal
Prinsip ini maksudnya adalah pandangan yang menyeluruh pada
agama, manusia, masyarakat, dan kehidupan. Menurut Zakiah
Darajat, pendidikan Islam harus menumbuhkembangkan dimensi
fisik, akal, agama, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan dan sosial
53
masyarakat secara seimbang, serasi dan terpadu sehingga
membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.
e. Prinsip Pendidikan Islam adalah dinamis
Dinamis artinya pendidikan Islam tidak beku dalam tujuan-tujuan
kurikulum dan metode-metodenya, tetapi selalu berkembang sesuai
kebutuhan zaman, tuntutan perkembangan, dan perubahan sosial
dalam individu maupun masyarakat.7
Selain prinsip-prinsip di atas, Athiyah Al-Abrasyi mengemukakan
dasar-dasar pokok untuk pendidikan anak dalam rangka
Pendidikan Islam yaitu:
a. Tidak ada pembatasan umur untuk mulai belajar.
b. Tidak ditentukan lamanya seorang anak di sekolah.
c. Metode dalam memberikan pelajaran harus berbeda
(bervariasi)
d. Dua ilmu jangan dicampur adukkan, artinya masing-masing
guru memegang suatu subyek khusus, di mana ia mempunyai
spesialisasi sehingga dapat menguasai sepenuhnya.
e. Memperhatikan pembawaan anak dalam beberapa bidang mata
pelajaran.
f. Adanya permainan dan hiburan agar anak tidak merasa bosan.8
7 Ramayulis, Op. Cit., hlm. 8-16.
8 M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam terjemahan Bustami A.
Gani dan Djohar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 187-195.
54
3. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi
dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi
kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan batin, di
dunia dan akhirat.9 Dengan demikian, tujuan akhir pendidikan Islam
adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan
manusia, baik individu maupun masyarakat.10
Adapun tujuan Pendidikan Islam menurut para intelektual muslim
yaitu:
a. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa Pendidikan Islam mempunyai 2
tujuan, yaitu tujuan keagamaan dan tujuan ilmiah. Tujuan
keagamaan ialah beramal untuk akhirat, sedangkan tujuan ilmiah
ialah tujuan yang bersifat keduniaan.
b. Al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan Pendidikan Islam yang
paling utama adalah beribadah dan taqarrub kepada Allah.11
sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. Ad-Dzariyat: 56).
9 M. Arifin, Op. Cit., hlm. 40.
10 Abdurrahman An-Nahlawi, Op. Cit., hlm. 162.
11 Ramayulis, Op. Cit., hlm. 71-72.
55
c. Al-Abrasy merumuskan tujuan Pendidikan Islam ke dalam lima
pokok yaitu:
1) Pembentukan budi pekerti atau akhlak mulia
2) Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.
3) Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi
pemanfaatannya.
4) Menumbuhkan rasa keikhlasan dalam mencari ilmu.
5) Mempersiapkan pelajar untuk suatu profesi dalam rangka
mencari rezeki.12
d. Abdurrahman Saleh Abdullah mengklasifikasikan tujuan
Pendidikan Islam dalam empat hal:
1) Tujuan pendidikan jasmani
Artinya tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk manusia
yang sehat dan kuat jasmaninya serta memilki keterampilan
yang tinggi.
2) Tujuan pendidikan rohani
Tujuan ini diarahkan kepada pembentukan akhlak mulia,
ketaatan dan kepatuhan kepada Allah, dan mengikuti
keteladanan Rasulullah SAW.
3) Tujuan pendidikan akal
Aspek tujuan ini bertumpu pada pengembangan intelegensi
(kecerdasan) yang berada dalam otak.
12
M. Athiyah Al-Abrasy, Op. Cit., hlm. 1-4.
56
4) Tujuan pendidikan sosial
Tujuan ini berkaitan dengan fitrah manusia sebagai khalifah
Tuhan di bumi yang mempunyai kepribadian yang utama dan
seimbang sehingga tidak mungkin manusia menjauhkan diri
dari kehidupan bermasyarakat.13
Beragamnya konsep tujuan Pendidikan Islam di atas
merupakan bukti adanya usaha dari para intelektual muslim untuk
menciptakan suatu sistem pendidikan yang baik bagi masyarakatnya.
Namun berkembangnya pemikiran tersebut tidak pernah melenceng
dari prinsip dasar dalam pengembangan Pendidikan Islam.14
4. Metode Pendidikan Islam
Metode adalah seperangkat cara, jalan dan teknik yang harus
dimiliki dan digunakan oleh pendidik dalam upaya menyampaikan dan
memberikan pengajaran kepada peserta didik untuk mencapai tujuan
pendidikan yang termuat dalam kurikulum yang telah ditetapkan.15
Para ahli telah merumuskan berbagai metode pendidikan
seperti metode ceramah, pembiasaan, keteladanan, tanya jawab,
diskusi, demonstrasi, karya wisata, pemecahan masalah, sosiodrama,
pemberian tugas, ganjaran dan hukuman, simulasi, dan lain-lain.
Metode mengajar dalam Pendidikan Islam sebenarnya dapat
mengadopsi metode yang umum dipakai dalam pengajaran asalkan
13
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori Pendidikan Menurut Al-Qur‟an, terj. M. Arifin
dan Zainuddin (Jakarta: Rhineka Cipta, 1990), hlm. 138-148. 14
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), hlm. 27. 15
Ramayulis, Op. Cit., hlm. 156.
57
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang mendasarinya yaitu Al-
Qur‟an dan Hadits. Tetapi akan lebih baik lagi bila pendidik
menggunakan metode-metode yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan
Hadits karena keduanya merupakan sumber utama ajaran Islam.
Abdurrahman An-Nahlawi mengemukakan metode Qur‟an dan Hadits
yang bisa digunakan oleh pendidik diantaranya:
a. Metode hiwar (dialog) Qur‟ani dan Nabawi.
b. Metode kisah-kisah Qur‟ani dan Nabawi.
c. Metode amtsal (perumpamaan).
d. Mendidik dengan memberi teladan.
e. Metode pembiasaan diri dan pengamalan.
f. Metode ‟ibrah (pelajaran) dan mau‟idhah (peringatan).
g. Metode targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut).16
Dalam Pendidikan Islam, suatu metode yang baik adalah bila
memiliki watak dan relevansi yang senada atau sejiwa dengan tujuan
Pendidikan Islam. Dalam memilih metode, seorang pendidik
hendaknya memperhatikan aspek nilai yang terkandung dalam tujuan
Pendidikan Islam yang hendak direalisasikan melalui metode
pendidikan tersebut yaitu:
a. Membentuk manusia didik menjadi hamba Allah yang mengabdi
kepada-Nya.
16
Abdurrahman An-Nahlawi, Op. Cit., hlm. 283-284.
58
b. Bernilai edukatif yang mengacu kepada petunjuk Al-Qur‟an
maupun hadits.
c. Berkaitan dengan motivasi dan kedisiplinan sesuai ajaran Al-
Qur‟an yang disebut pahala dan siksaan (tsawab dan ‟iqab).17
B. Konsep Pemberiah Hadiah dalam Pendidikan Islam
1. Pengertian dan Tujuan Pemberian Hadiah
Pendidikan Islam memahami hadiah dengan istilah ganjaran
yang didefinisikan sebagai balasan yang baik maupun balasan yang
buruk. Dalam bahasa Arab, ganjaran diistilahkan dengan tsawab. Kata
tsawab berarti “pahala, upah, dan balasan”. Ganjaran (tsawab) dalam
pendidikan Islam adalah pemberian ganjaran yang baik terhadap
perilaku baik dari anak didik.18
Dalam Pendidikan Islam, ganjaran diistilahkan dengan tsawab
yang didapatkan dalam Al-Qur‟an dalam menunjukkan apa yang
diperbuat oleh seseorang dalam kehidupan ini atau diakhirat kelak
karena amal perbuatan yang baik.19
Allah SWT berfirman:
Artinya: “Maka Allah memberikan ganjaran kepada mereka di dunia
dan di akhirat dengan ganjaran yang baik. Dan Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebaikan”.(Q.S. Ali Imran: 148).
17
M. Arifin, Op. Cit., hlm. 72. 18
Armai Arief, Op. Cit., hlm. 126-127. 19
Abdurrahman Saleh Abdullah, Op. Cit., hlm. 221.
59
Ganjaran (tsawab) juga bermakna sesuatu yang diperoleh
seseorang dalam hidup ini atau di hari akhirat sebab ia telah
mengerjakan amal saleh. Kebesaran ganjaran di akhirat berasal dari
kebesaran sumber ganjaran itu yaitu Allah. Inilah yang
menggambarkan kenapa Nabi Muhammad SAW hanya mengharapkan
ganjaran Allah semata. Namun karena ganjaran hari akhirat itu jauh,
terutama bagi anak-anak, maka ganjaran dalam hidup ini juga
diperlukan. Inilah yang memastikan pemberian ganjaran kepada anak-
anak yang kurang tertarik kepada ganjaran yang terlalu jauh (ganjaran
di akhirat). Mengingat pemberian ganjaran ini sangat dibutuhkan
dalam mendidik anak, maka guru harus menggunakan segala macam
cara untuk menjadikan ganjaran itu lebih menarik.20
Istilah lain dari ganjaran adalah targhib yaitu janji yang disertai
dengan bujukan dan membuat senang terhadap suatu maslahat,
kenikmatan, atau kesenangan akhirat yang pasti dan baik, serta bersih
dari segala kotoran yang kemudian diteruskan dengan melakukan amal
shaleh dan menjauhi kenikmatan selintas yang mengandung bahaya
atau perbuatan yang buruk.21
Dalam pembahasan yang lebih luas, baik ganjaran maupun targhib
mempunyai pengertian yang sama yaitu:
a. Alat pendidikan preventif dan represif yang menyenangkan dan
bisa menjadi pendorong atau motivator belajar bagi murid.
20
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan
(Jakarta: Al Husna Zikra, 1995), hlm. 41-42. 21
Abdurrahman An Nahlawi, Op. Cit., hlm. 412.
60
b. Hadiah terhadap perilaku baik dari anak didik dalam proses
pendidikan.22
Ganjaran merupakan salah satu alat untuk mendidik anak-anak
supaya dapat merasa senang karena perbuatan atau pekerjaannya
mendapatkan penghargaan. Maksud pemberian ganjaran adalah agar
anak menjadi lebih giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau
mempertinggi prestasi yang telah dicapainya. Jadi maksud pemberian
ganjaran yang terpenting bukanlah hasilnya, melainkan dengan
ganjaran itu mampu membentuk kata hati dan kemauan yang lebih
baik dan lebih keras pada anak itu.23
Seorang anak didik menganggap hadiah merupakan bukti tentang
penerimaan dirinya dalam berbagai norma-norma kehidupan (dalam
hal ini adalah kegiatan belajar) dan dengan mendapatkan hadiah, ia
menjadi tenang dan tenteram hatinya. Rasa tenang dan aman adalah
kebutuhan pokok anak didik dalam belajar.24
2. Bentuk-bentuk Ganjaran
Untuk menentukan ganjaran macam apakah yang baik
diberikan kepada anak didik merupakan hal yang sulit. Ganjaran
sebagai alat pendidikan banyak macamnya, diantaranya sebagai
berikut:
22
Armai Arief, Op. Cit., hlm. 127. 23
Ngalim Purwanto, Op. Cit., hlm. 182. 24
M. Arifin, Op. Cit., hlm. 217.
61
a. Peringkat atau nilai
Pemberian peringkat dengan cara yang betul dan adil merupakan
hadiah yang tepat jika dikaitkan langsung dengan usaha siswa,
prestasi, dan kemampuan. Yang perlu diperhatikan oleh guru
dalam memberikan nilai sebagai hadiah atau imbalan hasil kerja
siswa adalah agar siswa mengetahui bagaimana cara memperoleh
nilai sebanding dengan jeri payah yang mereka lakukan.
b. Penghargaan
Hadiah ini dapat berupa hal yang mempunyai arti adanya perhatian
kepada siswa. Pemberian penghargaan hendaknya hanya diberikan
kepada siswa yang betul-betul menunjukkan prestasi gemilang.25
Bentuk penghargaan bisa berupa pujian atau piagam penghargaan.
Pujian dapat digunakan untuk meneguhkan gerak balas yang
dikehendaki. Guru boleh menyatakan kepuasannya terhadap
pencapaian murid-muridnya dengan ucapan seperti bagus,
cemerlang, dan lain sebagainya.26
c. Guru mengangguk-angguk tanda senang dan membenarkan suatu
jawaban yang diberikan oleh anak.
d. Ganjaran berupa kegiatan atau pekerjaan. Contohnya, “engkau
akan saya beri soal yang lebih sukar sedikit karena soal yang ini
terlalu baik atau mudah engkau kerjakan”.
25
Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi (Jakarta: PT. Rhineka
Cipta, 1993), hlm.160-161. 26
Hasan Langgulung, Op. Cit., hlm. 42.
62
e. Ganjaran berupa benda-benda yang menyenangkan dan berguna
bagi anak, seperti pensil, buku tulis, permen, dan lain-lain.
Hadiah pada dasarnya dapat berupa materi dan non materi, yang
berupa materi seperti barang atau benda dan yang non materi
tentunya lebih banyak lagi seperti nilai, penghargaa, pujian,
perhatian, kegiatan, pekerjaan, dan lain sebagainya.
3. Kaidah-kaidah Pemberian Hadiah atau Ganjaran
Memberikan ganjaran bukanlah soal yang mudah. Ganjaran
sebagai alat pendidikan jangan sampai bersifat seperti upah. Jika
ganjaran itu sudah bersifat seperti upah, ganjaran itu tidak lagi bernilai
mendidik. Anak mau bekerja giat dan berlaku baik karena
mengharapkan upah. Agar tidak terjadi hal yang demikian, pendidik
perlu memperhatikan syarat-syarat dalam pemberian ganjaran kepada
anak, diantaranya:
a. Guru harus mengenal betul-betul muridnya dan memahami
karakter murid sehingga mampu memberikan penghargaan dengan
tepat.
b. Ganjaran jangan sampai menimbulkan rasa cemburu atau iri hati
bagi anak yang lain.
c. Ganjaran hendaklah hemat.
d. Janganlah memberi ganjaran dengan menjanjikan lebih dahulu
sebelum anak-anak menunjukkan prestasi kerjanya.
63
e. Pendidik harus berhati-hati memberikan hadiah, jangan sampai
hadiah yang diberikan berubah fungsi menjadi upah.27
f. Hadiah disesuaikan dengan kesenangan dan minat siswa.
g. Pada waktu menyerahkan hadiah hendaknya disertai dengan
penjelasan rinci tentang alasan mengapa yang bersangkutan
menerima hadiah tersebut.28
Dalam pemberian ganjaran, ada pertalian positif antara kesan
ganjaran dan penyebabnya. Ini menguatkan bahwa ganjaran di akhirat
lebih baik dari pada ganjaran dunia sebab langsung dari Allah. Seorang
guru yang ingin agar ganjarannya berkesan haruslah ia dihormati,
kalau tidak demikian maka murid tidak akan menganggap pujian itu
berkesan.29
Guru atau pendidik yang menginginkan pelaksanaan metode
ganjaran agar efektif, seharusnya memperhatikan dengan seksama
pelaksanaannya. Di dalam Al-Qur‟an, pribadi seorang „alim sangat
dihormati sebab ia selalu dihubungkan dengan Allah dan malaikat
(Ali-Imran (3): 18). Ganjaran yang diberikan oleh orang „alim itu
adalah lebih mulia dan berbobot unggul. Jadi haruslah guru itu
memiliki sifat-sifat „alim jika ganjarannya diinginkan lebih berkesan
dan efektif dalam mendidik para pelajarnya.30
27
Ngalim Purwanto, Op. Cit., hlm. 184. 28
Suharsimi Arikunto, Op. Cit., hlm. 166. 29
Hasan Langgulung, Op. Cit., hlm. 42. 30
Abdurrahman Saleh Abdullah, Op. Cit., hlm. 223.
64
Seorang pendidik hendaknya menginsafi bahwa yang dididik
adalah anak, yang masih lemah kemauannya dan belum mempunyai
kata hati seperti orang dewasa. Dari mereka belumlah dapat dituntut
supaya mereka megerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk
atas kemauan diri sendiri. Untuk itu pujian atau ganjaran sangat
diperlukan bagi pembentukan kata hati dan kemauan. Tapi yang perlu
diperhatikan lagi oleh pendidik yaitu tujuan pendidikan ialah
membawa anak dalam pertumbuhannya menjadi manusia yang tahu
akan kewajiban, mau mengerjakan dan berbuat yang baik bukan
karena mengharapkan suatu pujian atau ganjaran. Maka dari itu dalam
memberikan ganjaran, pendidik hendaklah selalu ingat akan syarat-
syarat ganjaran dan janganlah sembarangan memberi ganjaran.31
C. Konsep Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Islam
1. Pengertian dan Tujuan Pemberian Hukuman (‟iqab)
Dalam bahasa Arab, hukuman diistilahkan dengan “iqab” yang
berarti “balasan” sebagaimana dalam firman Allah:
31
Ngalim Purwanto, Op. Cit., hlm. 187.
65
Artinya: (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya
mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan Barangsiapa menentang
Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya Allah Amat keras siksaan-
Nya.(Q.S. Al Anfal: 13).
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa kata “iqab” ditujukan
kepada balasan dosa sebagai akibat dari perbuatan jahat manusia.32
Istilah lain dari iqab dalam pendidikan Islam adalah tarhib yaitu
ancaman dengan siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau
kesalahan yang dilarang oleh Allah, atau akibat lengah dalam
menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah. Dengan kata lain
tarhib adalah ancaman dari Allah yang dimaksudkan untuk
menumbuhkan rasa takut pada para hamba-Nya dan memperlihatkan
sifat-sifat kebesaran dan keagungan Ilahiyah, agar mereka selalu hati-
hati dalam bertindak serta melakukan kesalahan dan kedurhakaan.33
Baik iqab dan tarhib pada dasarnya mempunyai kesamaan maksud
yaitu sebagai hal yang kurang menyenangkan yang diperoleh
seseorang akibat kesalahan yang telah diperbuat.
Ada 3 kategori hukuman dalam syari‟at Islam yaitu hudud,
qishas, dan ta‟zir. Hudud dan qishas adalah hukuman yang telah
ditentukan oleh syari‟at yang wajib dilaksanakan karena Allah.
Sedangkan ta‟zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh Allah
untuk setiap perbuatan maksiat yang di dalamnya tidak terdapat had
32
Arma‟i Arief, Op. Cit., hlm. 130. 33
Abdurrahman An Nahlawi, Op. Cit., hlm. 412.
66
atau kafarah.34
Dari pengertian istilah tersebut, hukuman dalam
pendidikan bisa dikategorikan sebgai ta‟zir dimana guru mempunyai
hak untuk menentukan hukuman apa yang akan diberikan.
Dalam beberapa hal mungkin guru bisa memberikan ganjaran
apapun bentuknya untuk mengarahkan belajar-belajar muridnya secara
efektif. Akan tetapi pada suatu saat pemberian ganjaran justru tidak
efektif atau gagal menciptakan respon yang baik. Seorang pelajar yang
mungkin mendapat perhatian yang lebih bukannya akan memberi
respon atau menghargai sang pendidik terhadap penghargaan yang
diberikan, malah kadangkala sebaliknya yaitu terdapat problema-
problema pendidikan yang muncul. Dalam situasi seperti ini, hukuman
perlu diberikan kepada anak seperti pemberian nasihat untuk
mengingatkan anak didiknya berkenaan dengan akibat yang tidak baik
yang telah diperbuat oleh anak didik tersebut. Peringatan atau nasihat
itu akan membantu pribadi anak didik dalam mengevaluasi tingkah
lakunya sendiri.35
Hukuman ialah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan
dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru, dan sebagainya)
sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan. Hukuman
merupakan alat pendidikan untuk memperbaiki kelakuan dan budi
pekerti anak didiknya.36
34
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terjemahan Jamaluddin Miri
(Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 303-308. 35
Abdurrahman Saleh Abdullah, Op. Cit., hlm. 224. 36
Ngalim purwanto, Op. Cit., hlm. 186.
67
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hukuman
memiliki tujuan perbaikan, bukan menjatuhkan hukuman pada anak
didik dengan alasan balas dendam. Dari itulah seorang pendidik dan
orang tua dalam menjatuhkan hukuman haruslah secara seksama dan
bijaksana, artinya ketika menjatuhkan hukuman tidak sekadar
menyakiti atau membuat jera anak.
2. Pandangan tokoh-tokoh pendidikan Islam mengenai hukuman
a. Ibnu Sina
Ibnu Sina berpendapat bahwa pendidikan anak-anak dengan
pembiasaan tingkah laku yang terpuji haruslah dimulai sejak
sebelum tertanam padanya sifat-sifat yang buruk, karena akan sulit
bagi anak melepaskan kebiasaan-kebiasaan tersebut bila sudah
menjadi kebiasaan dan tertanam dalam jiwanya. Sekiranya juru
didik terpaksa harus menggunakan hukuman, haruslah ia timbang
dari segala segi dan diambil kebijaksanaan dalam penentuan-
penentuan batas-batas hukuman tersebut. Ibnu Sina menasehatkan
supaya penghukum jangan terlalu keras dan kasar pada tingkat
permulaan akan tetapi haruslah dengan lunak dan lembut, dimana
dipergunakan cara-cara perangsang seperti manakut-nakuti. Cara-
cara keras, celaan, dan menyakitkan hati hanya dipergunakan kalau
perlu saja. Terkadang nasehat, dorongan, dan pujian itu lebih baik
pengaruhnya dalam usaha perbaikan.
68
b. Al-Ghazali
Menurut Imam Ghazali, setiap anak harus dilayani dengan
layanan yang sesuai, diselidiki latar belakang yang meyebabkan ia
berbuat kesalahan serta mengenai umur yang berbuat kesalahan itu
sehingga mampu membedakan antara anak kecil dan besar dalam
menjatuhi hukuman dan memberikan pendidikan.
Al Ghazali tidak setuju dengan cepat-cepat menghukum
seorang anak yang salah, bahkan beliau menyerukan supaya
kepadanya diberikan kesempatan untuk memperbaiki sendiri
kesalahannya, sehingga ia menghormati dirinya dan merasakan
akibat perbuatannya. Sementara itu dipuji dan disanjung pula bila
ia melakukan perbuatan-perbuatan terpuji yang harus mendapatkan
ganjaran, pujian, dan dorongan.
c. Al-„Abdari
Menurut pendapat Al-„Abdari, sifat-sifat anak yang berbuat
salah itu harus diteliti dan satu pandangan mata saja terhadap anak
mungkin cukup untuk pencegahan dan perbaikan. Akan tetapi ada
anak-anak yang memang membutuhkan celaan dan pukulan
sebagai hukumannya. Dalam hal ini seorang juru didik tidak boleh
menggunakan tongkat kecuali kalau memang sudah putus asa dari
mempergunakan jalan-jalan perbaikan yang sifatnya halus, lunak
dan lembut. Jika terpaksa harus menjatuhkan hukuman atas anak
kecil, cukuplah kiranya diberi tiga pukulan ringan.
69
d. Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun anti dengan menggunakan kekerasan dalam
pendidikan anak-anak. Menurutnya kekerasan dengan anak-anak
menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan penakut, menjauhkan anak-
naka dari kegairahan belajar, keberanian bertindak, dan
menyebabkan ia senantiasa sengsara. Pendidikan Islam dalam
banyak hal sejalan dengan sistem pendidikan di zaman sekarang
yang berusaha ke arah perbaikan, dan menjauhkan cara-cara yang
keras, kasar dan sebaliknya mempergunakan cara-cara lunak dan
lembut dalam dalam hal pemberian hukuman.37
3. Bentuk-bentuk Hukuman dalam Pendidikan
Tingkat hukuman berbeda-beda karena perbedaan tingkat
manusia. Ada orang yang sudah cukup baginya isyarat dari kejauhan,
hatinya sudah bergetar dan perasaannya sudah kecut, dan akan
memperbaiki kesalahan yang dilakukannya. Tetapi ada pula orang
yang hanya bisa tergerak oleh marah yang jelas dan keras. Adakalanya
pula cukup dengan ancaman hukuman yang akan dilaksanakan nanti,
tetapi adapula yang harus didekatkan tongkat kepadanya sampai betul-
betul melihat di depan matanya. Dan adapula jenis orang yang harus
merasakan sengatan hukuman itu lebih dahulu untuk bisa kembali
baik.38
37
Athiyah Al Abrasyi, Op. Cit., hlm. 154-158. 38
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terjemahan Salman Harun (Bandung: Al
Ma‟arif, 1993), hlm. 347.
70
Pada dasarnya hukuman dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu:
a. Hukuman preventif
Adalah hukuman yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
pelanggaran. Contoh: perintah, pengawasan, larangan, dan
ancaman.
b. Hukuman represif
Adalah hukuman yang dilakukan karena adanya pelanggaran. Jadi
hukuman ini dilakukan setelah terjadi pelanggaran atau
kesalahan.39
Dari penjelasan di atas dapat dijabarkan lagi terkait bentuk-bentuk
hukuman dalam pendidikan diantaranya:
a. Hukuman bersifat fisik seperti : menjewer telinga, mencubit dan
memukul. Hukuman ini diberikan apabila anak melakukan
kesalahan, terlebih mengenai hal-hal yang harus dikerjakan anak.
b. Hukuman verbal seperti : memarahi, maksudnya mengingatkan
anak dengan bijaksana dan bila para pendidik atau orang tua
memarahinya maka pelankanlah suaranya.
c. Isyarat non verbal seperti : menunjukkan mimik atau raut muka
tidak suka. Hukuman ini diberikan untuk memperbaiki kesalahan
anak dengan memperingatkan lewat isyarat.
39
Ngalim Purwanto, Op. Cit., hlm. 189.
71
d. Hukuman sosial seperti : mengisolasi dari lingkungan pergaulan
agar kesalahan tidak terulang lagi dengan tidak banyak bicara dan
meninggalkannya agar terhindar dari ucapan buruk.
4. Kaidah-kaidah Pemberian Hukuman
Hukuman adalah bukan tindakan yang pertama kali terbayang
oleh seorang pendidik, dan tidak pula cara yang didahulukan.
Nasehatlah yang paling didahulukan. Akan tetapi ketika hukuman itu
diperlukan, maka sang guru harus mengetahui kaidah-kaidah dalam
memberikan hukuman. Sebagai alat pendidikan, hukuman hendaklah:
a. Senantiasa merupakan jawaban atas suatu pelanggaran.
b. Sedikit banyaknya selalu bersifat tidak menyenangkan.
c. Selalu bertujuan ke arah perbaikan dan diberikan untuk
kepentingan anak itu sendiri.40
Adapun hukuman yang bersifat pendidikan (pedagogis), harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, kasih dan
sayang.
b. Harus didasarkan pada alasan “keharusan”.
c. Harus menimbulkan kesan di hati anak.
d. Harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan kepada anak didik.
e. Diikuti pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan.41
f. Hukuman harus ada hubungannya dengan kesalahan.
40
Ibid., hlm. 186. 41
Arma‟i Arief, Op. Cit., hlm. 131.
72
g. Hukuman harus disesuaikan dengan kepribadian anak.
h. Hukuman harus diberikan dengan adil.42
Adapun hukuman berupa fisik, Athiyah al-Abrasyi
memberikan kriteria yaitu :
a. Sebelum anak berumur 10 tahun anak-anak tidak boleh dipukul.
b. Pukulan tidak boleh lebih dari 3 kali.
c. Diberikan kesempatan kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang
ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya.43
Sedangkan menurut Abdullah Nasih Ulwan, dalam memberikan
hukuman pukulan hendaknya mempertimbangkan syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Pendidik tidak terburu menggunakan pukulan, kecuali setelah
menggunakan semua metode lembut, yang mendidik dan membuat
jera.
b. Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan marah, karena
dikhawatirkan menimbulkan bahaya terhadap anak.
c. Ketika memukul hendaknya menghindari anggota badan yang peka,
seperti kepala, muka, dada, dan perut.
d. Pukulan untuk hukuman, hendaknya tidak terlalu keras dan tidak
menyakiti, pada kedua tangan atau kaki dengan tongkat yang tidak
besar.
e. Tidak memukul anak sebelum ia berusia 10 tahun.
42
Ngalim Purwanto, Op. Cit., hlm. 192. 43
Athiyah Al Abrasyi, Op. Cit., hlm. 153.
73
f. Jika kesalahan anak untuk pertama kalinya, hendaknya ia diberi
kesempatan untuk bertobat dari perbuatan yang telah dilakukan,
memberi kesempatan untuk minta maaf, dan diberi kelapangan dan
mengambil janji untuk tidak mengulangi kesalahannya.
g. Pendidik hendaknya memukul anak dengan tangannya sendiri, dan
tidak menyerahkan kepada orang lain.
h. Jika anak sudah menginjak dewasa dan pendidik melihat bahwa
pukulan sepuluh kali tidak juga membuatnya jera, maka boleh ia
menambah dan mengulanginya, sehingga anak menjadi baik
kembali.44
Dengan kaidah-kaidah diatas, diharapkan pendidik dapat
menerapkan metode hukuman dengan bijak sesuai kebutuhan siswa
sehingga tidak terjadi kasus kekerasan terhadap siswa melalui
hukuman.
44
Abdullah Nasih Ulwan, Op. Cit., hlm. 325-326.