bab iii pendidikan liberalis dan humanis perspektif...
TRANSCRIPT
46
BAB III
PENDIDIKAN LIBERALIS DAN HUMANIS
PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendidikan Liberalis
Pendidikan secara umum dapat dipahami sebagai proses pendewasaan
sosial manusia menuju pada dataran ideal. Makna yang terkandung di
dalamnya menyangkut tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta
potensi atau sumber daya insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya
(insan kamil), Penghargaan terhadap kebebasan untuk berkembang dan
berpikir maju tentu saja sangat besar, mengingat manusia merupakan makhluk
yang berpikir dan memiliki kesadaran. Praktek-praktek pendidikan pun harus
senantiasa mengacu pada eksistensi manusia itu sendiri. Dari situ akan
terbentuk mekanisme pendidikan yang demokratis yang berorientasi pada
memanusiakan manusia.1
Dalam hal ini, pendidikan sangat berperan penting dalam kehidupan
manusia, dimana pendidikan merupakan salah satu media untuk
mengembangkan seluruh potensi kemanusian yang ada dalam diri seseorang.
Dan dalam prosesnya sendiri kemampuan serta kebebasan seseorang dalam
mengembangkan potensinya sangatlah mutlak diperlukan, karena dengan
kebebasan yang dimiliki, maka seseorang tersebut akan senantiasa
mendapatkan satu pengalaman baru dalam hidupnya.
Selain itu, dalam pengertian yang lebih luas lagi, pendidikan sama
dengan hidup itu sendiri. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang
mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan adalah pengalaman
belajar, oleh karena itu pendidikan dapat pula di definisikan sebagai
keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Dalam
pengertian yang maha luas pendidikan berlangsung tidak dalam batas usia
tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup (life long) sejak lahir (bahkan
1Moh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta: Djambatan
Bekerjasama dengan PENA, 2000), hlm. 3.
46
47
sejak hidup dalam kandungan) hingga mati. Dengan demikian tidak ada batas
waktu berlangsungnya pendidikan. Pendidikan berlangsung pada usia balita,
usia anak-anak, usia remaja, dan usia tua atau seumur hidup setiap manusia
sendiri.2
Dengan demikian konsep kebebasan dalam pendidikan bagi seseorang
merupakan hal yang sangat urgent untuk senantiasa dikembangkan, dalam
situasi yang semacam ini, pendidikan dengan menekankan konsep kebebasan
bagi anak didik sangatlah diperlukan, dalam istilah lain peserta didik adalah
subyek atau pelaku aktif dari pendidikan itu sendiri, ia bukan merupakan
obyek yang setiap saat dapat diperintah dan diatur oleh para pendidik.
Dalam hal ini, upaya untuk mengembangkan satu konsep pendidikan
liberalis sangat diperlukan sekali. Adanya konsep pendidikan konservatif yang
selama ini digunakan memunculkan reaksi sangat keras oleh tokoh-tokoh
liberal pendidikan. Konsep yang selalu menempatkan peserta didik sebagai
seseorang yang tidak tahu apa-apa sehingga perlu diisi dengan berbagai hal
oleh pendidik merupakan salah satu konsep yang selama ini ditawarkan dan
senantiasa digunakan oleh aliran konservatif. Sementara itu aliran yang
menginginkan satu konsep kebebasan peserta didik dalam pendidikannya
merupakan salah satu konsep yang ditawarkan oleh para pemikir-pemikir
liberal pendidikan.
Jadi salah satu yang menjadi permasalahan dalam pendidikan selama
ini adalah kurang dihargainya kebebasan individu (anak didik) dalam proses
perkembangannya. Sehingga yang terjadi kemudian individu-individu tersebut
menjadi seseorang yang kurang progresif, kurang aktif dan selalu gamang
dalam menentukan dan menjawab tuntutan zaman dan masa depan. Oleh
karena itu konsep pendidikan liberalis lebih memungkinkan seseorang dalam
menyongsong masa depannya agar lebih baik, karena di dalamnya terkandung
nilai-nilai kebebasan untuk melakukan sesuatu yang berarti bebas dalam
2Redja Mudyahardja, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2001), hlm. 45-46.
48
menentukan nasib dan juga masa depannya sendiri lewat proses pendidikan
yang ia miliki tentunya.
1. Pengertian Pendidikan Liberal
Dalam hal ini penulis hanya akan menguraikan tentang pengertian
mengenai liberal, karena pengertian mengenai pendidikan sudah banyak
dikupas dalam bab sebelumnya. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia
kata liberal berarti bersifat bebas, berpandangan bebas (luas dan terbuka),
sedangkan liberalis berarti kaum liberal, penganut liberalisme.3 Saliman
dan Sudarsono dalam Kamus Pendidikan, Pengajaran dan Umum
mengartikan liberal sebagai sesuatu yang berhubungan dengan bebas
berpandangan luas.4 Senada dengan kedua pengertian di atas namun
sedikit lebih luas dalam kamus Populer dijelaskan bahwa liberal
mempunyai arti murah hati, luas (pendirian, wawasan), bebas, berkenaan
dengan kebebasan bagi individu atau partikelir, royal, bebas dalam
berpendapat. Sedangkan liberalis diartikan sebagai pendermawan, orang
dermawan, (orang) yang mempunyai pendirian atau wawasan yang luas,
bercorak (liberal) isme, penganut liberalisme.5 Perlu menjadi catatan
bahwa liberal lebih menekankan kebebasan individu.
Banyak kalangan terutama umat Islam dan masyarakat Indonesia
pada umumnya yang masih alergi ketika mendengar istilah liberal. Istilah
ini disalah artikan sebagai sesuatu yang berorientasikan ke dunia Barat,
atau ke barat-baratan yang cenderung sekuler. Sebetulnya secara
etimologis liberal memiliki makna; willing to tolerate behaviour, opinion
etc different from our’s own open to new idea, berarti juga (of education)
concerned mainly with increasing sb’s general knowledge and experience
rather than with tehnical and professional training.(Oxford Advonced
3Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), edisi kedua, hlm. 522.
4Saliman dan Sudarsono, Kamus Pendidikan, Pengajaran dan Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm.132.
5Pius A. Partanto dam M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilimiah Populer, (Surabaya: Arloka, 2001), hlm. 409.
49
learmer’s Dictionary: P.678)6. Jadi dengan melihat hal di atas maka istilah
liberal kalau dipandang dalam kacamata pendidikan lebih menekankan
adanya keterbukaan terhadap ide-ide atau pendapat yang berbeda dengan
pandangannya sendiri, yang ide dan pendapat itu berasal dari orang lain.
Lebih jauh lagi, dalam dunia pendidikan istilah liberal lebih berorientasi
pada pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam
pendidikan sendiri.
Sehingga pendidikan liberal merupakan salah satu bentuk
pendidikan yang mengutamakan kebebasan individu dalam prosesnya.
Banyak sekali tokoh pendidikan yang memperjuangkan kebebasan
individu sebagai salah satu faktor yang dapat menentukan berhasil
tidaknya suatu proses pendidikan. Salah satu tokoh pendidikan liberal
yang terkemuka hingga saat ini adalah Paulo Freire.
2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Liberal
a. Dasar Pendidikan liberal
Dasar dari pendidikan liberal adalah kebebasan dan juga
pembebasan. Hal itu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan awal dari
pendidikan yaitu membebaskan manusia dari segala keterkungkungan
yang selama ini membelit kehidupannya, baik itu yang bersifat
jasmani maupun rohani, materiil maupun spirituil. Sebagaimana dalam
Islam juga memandang bahwa kebebasan seseorang merupakan salah
satu fitrah yang memang diberikan oleh Allah SWT, untuk senantiasa
dijaga, dihargai dan juga dihormati.
Dalam hal ini, Islam memandang bahwa kebebasan merupakan
salah satu hak asasi manusia yang harus dihormati dan dijaga.
Kebebasan juga merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling
fundamental. Kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kebebasan
dalam berpikir, berkehendak dan juga berbuat. Dengan kebebasan
inilah manusia akan memiliki dinamika, daya adaptasi terhadap
6Mahfud Junaidi dan Rikza Chamami, “Toward Liberal Islamic Education”, dalam Jurnal
Edukasi, Volume I, Th.X/Desember/2002, hlm. 43.
50
lingkungan dan kreativitas hidup, sehingga kehidupan manusia dan
juga lingkungan hidupnya lebih bervariasi, lebih beraneka ragam dan
juga lebih bermakna.
Dengan kebebasan yang dimilikinya, manusia mampu memilih
mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah, mana yang
bermanfaat mana yang tidak bermanfaat dan mendatangkan
kemadlaratan. Kebebasan ibarat pisau bermata dua, satu sisi akan
mengangkat manusia ke martabat kemuliaannya dan satu sisi lain akan
menjatuhkan ke derajat yang rendah bahkan lebih rendah dari pada
binatang.7 Dan tentang kebebasan itu sebagaimana firman Allah dalam
QS. Ar-Ra’du ayat 11.
)11:الرعد( ان اهللا ال يغير ما بقو م حتئ يغيروا ما با نفسهم
Artinya : “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan satu kaum, sehingga mereka mengubah dirinya sendiri” (QS. Ar Ra’du: 11)8
Dalam surat tersebut dijelaskan mengenai peranan manusia
dalam melakukan perubahan pada dirinya dan lingkungannya, dan
semua itu tidak akan bisa terwujud apabila potensi kebebasan dalam
melakukan perubahan tersebut tidak dimiliki oleh mereka. Dengan
kata lain potensi kebebasan dalam diri masing-masing individu harus
senantiasa teraktualisasikan dan diekpresikan dalam melakukan segala
perubahan ke arah yang lebih baik dan lebih maju.
Tentang adanya kebebasan manusia dalam berbuat sesuai
dengan hati nuraninya juga ditunjukkan oleh Allah dengan QS. Al-
Fushshilat ayat 40.
)40:الفصلت (اعملوا ما شئتم انه بما تعملون بصير Artinya: “dan berbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia melihat apa yang kamu perbuat (QS. Al-Fushilat: 40).9
7Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), cet. I, hlm. 64. 8Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab
Suci Al-Qur’an Depag RI, 1983), hlm. 370. 9Ibid, hlm. 779.
51
Dalam surat ini manusia dibebaskan melakukan dan berbuat
apapun sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Namun, kalau
mau dicermati ayat diatas juga menerangkan bahwa kebebasan
tersebut harus bertanggung jawab, karena pada dasarnya hal tersebut
selalu ada yang mengawasi yaitu Allah SWT. Sehingga dapat
dikatakan pula bahwa sesungguhnya kebebasan yang dimiliki oleh
manusia sangatlah terbatas, untuk itulah kebebasan yang telah di
anugerahkan kepada manusia harus selalu dijaga dan digunakan untuk
melakukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan lingkungannya.
Dan isyarat akan keterbatasan manusia dalam kebebasannya
tersebut juga tercermin dalam QS. Al-Isra ayat 84.
قل آل يعمل على شا آلته فربكم اعلم بمن هواهدى سبيال
)84: اسرئيل بني(
Artinya: Katakanlah: tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yag lebih benar jalannya. (QS. Al-Isra’: 84)10
Dengan melihat hal di atas, semakin menjadi jelas bahwasanya
kebebasan adalah sesuatu yang amat penting bagi seseorang. Sebagai
seorang yang memiliki kemerdekaan sudah sepantasnya memiliki
kebebasannya tersebut. Adanya kebebasan pada diri seseorang
merupakan salah satu wujud eksistensi dari orang itu. Dan dari sanalah
ekspresi, dan kreasi dari manusia akan lahir, hal itu bertujuan untuk
membuat kehidupan ini menjadi lebih dinamis.
Kebebasan sendiri menurut pandangan Islam bersifat asasi,
oleh kerena itu setiap manusia harus senantiasa menggunakan
kebebasan sesuai dengan hati nurani dan juga aturan yang berlaku
dalam masyarakat. Karena memang pada dasarnya kebebasan
merupakan fitrah dan hak asasi setiap orang. Allah sendiri melarang
kita merampas hak serta kebebasan orang lain, dan sebaliknya kita
dituntut supaya dapat menghargai kebebasan orang lain tersebut.
10Ibid., hlm. 437.
52
Yang menjadi permasalahan kemudian adalah apakah
kebebasan yang diberikan kepada manusia merupakan kebebasan
mutlak atau kebebasan yang terbatas. Pemilik kebebasan mutlak hanya
Allah SWT. Karena manusia merupakan salah satu wakil Tuhan di
muka bumi ini yang diberi seperangkat alat dan modal kerja, di
antaranya adalah kebebasan, maka kebebasan manusia terbatas. Yang
membatasi kebebasan manusia tak lain adalah tanggung jawab kepada
Allah. Sebenarnya tanggung jawab tersebut datang dari diri sendiri
sebagai akibat dari kebebasannya untuk memilih yang baik atau yang
buruk. Dengan perkataan lain yang membatasi kebebasan itu adalah
dirinya sendiri. Tanggungjawab dalam Islam adalah pangkal dan
ujung dari kebebasan.11
Hal ini juga yang menurut Freire merupakan dasar dari sebuah
pendidikan. Freire mengatakan konsep pendidikan harus terbuka pada
pengenalan realitas diri, atau praktik pendidikan harus
mengimplikasikan tentang konsep manusia dan dunianya, agar
manusia menjadi subyek dari dirinya sendiri.12 Ini berarti bahwa
dalam diri manusia terdapat satu fitrah kebebasan yang merupakan
salah faktor penentu untuk melakukan segala sesuatu di dunia ini.
Kebebasan ini pula yang nantinya akan membuat kehidupan seseorang
dapat menemukan tujuan yang hendak dicapai atau sebaliknya akan
menemukan satu kegagalan, semua itu tergantung pada manusianya
sendiri sebagai pelaku.
b. Tujuan Pendidikan Liberal
Sedangkan yang menjadi tujuan dari pendidikan liberal secara
jangka panjang adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan
sosial yang ada dengan cara mengajar siswa atau peserta didik
bagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam
11Achmadi, op. cit., hlm. 66. 12Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasi Realitas Sosial, (Yogyakarta: Logung Pustaka,
2004), hlm. 4.
53
kehidupannya sendiri secara efektif.13 Dalam hal ini, dengan lebih
mengedepankan rasionalisme, individual dan juga kebebasan sebagai
faktor yang mempengaruhi pendidikan liberal seseorang mempunyai
sisi positif, walaupun tidak menutup kemungkinan memiliki sisi
negatif juga.
Segi positif yang akan tampak pada pendidikan liberal
sebagaimana bisa kita lihat di dunia Barat adalah tumbuhnya semangat
untuk melakukan sesuatu dengan kreatif, inovatif dalam
mengoptimalkan kemampuan individu agar sanggup bersaing dan
bertanggungjawab pada iklim yang penuh kapitalisme tersebut. Dalam
dunia pendidikan lebih diarahkan pada tercapainya kualitas akademis
dan juga profesional.
Sedangkan dalam pandangan Islam dengan mengingat begitu
pentingnya anugerah kebebasan, maka implikasinya dalam pendidikan
tidak dibenarkan adanya pendidikan yang menindas kebebasan,
sebaliknya pendidikan harus mengembangkan dan mengarahkan
kebebasan peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi-potensi
yang dimilikinya sehingga menjadi manusia yang mampu bertanggung
jawab atas keberadaannya.14 Dalam arti luas pendidikan liberal lebih
menekankan bagaimana seorang manusia menjadi sebuah subyek yang
akan dapat menentukan garis kehidupannya sendiri. Intervensi dunia
luar merupakan bagian dari proses perjalanan manusia untuk mencapai
tujuannya, namun demikian sebagai penentu keberhasilannya tetap
berada pada masing-masing individu tersebut.
Sebagaimana dikatakan Freire bahwa pendidikan merupakan
praksis dari pembebasan. Dalam hal ini pendidikan liberal yang
dilakukan oleh Freire adalah dengan metode pendidikannya yang
bersifat aktif dan secara tidak langsung merefleksikan apa yang
13William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan Judul asli Educational Ideologies:
Contemporary Expressions of Educational Philosophies,(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001), cet. I, hlm. 108.
14Achmadi, op. cit., hlm. 67.
54
terjadi dalam dunia nyata. Ini dikarenakan karena manusia merupakan
makhluk yang eksistensial yang ada dalam dan bersama dunia.
Interaksi dengan dunia adalah wadah atau sarana atau tempat bagi
permenungan manusia. Inilah sebenarnya yang dimaksud Freire
dengan pendidikan sebagai proses pembebasan.15
Sedangkan menurut Robert Maynard Hutchins bahwa tujuan
pendidikan liberal bukanlah mendidik anak-anak muda agar
menguasai segala hal yang akan mereka butuhkan. Tetapi pendidikan
liberal ingin memberikan mereka kebiasaan-kebiasaan, gagasan-
gagasan, dan teknik-teknik yang mereka perlukan untuk meneruskan
mendidik diri mereka sendiri. Maka tujuan lembaga formal pendidikan
liberal (sekolah, perguruan tinggi) adalah untuk mempersiapkan anak-
anak muda untuk belajar dan belajar lagi seumur hidup mereka.16
Kalau mau dicermati apa yang diungkapkan Robert Maynard di atas
mengandung arti bahwa peran peserta didik sangat dominan dalam
menentukan masa depannya, sedangkan lingkungan luar merupakan
media dan wahana pendukung keberhasilannya tersebut.
3. Perkembangan Pendidikan Liberal
Sebagaimana diketahui bahwa pola perkembangan pendidikan
liberal pada mulanya bermuara dan terjadi karena adanya modernisasi
di Barat. Semuanya itu lebih melihat pada pola kebebasan individu
sebagai dasarnya, sebenarnya adanya fenomena modernisasi adalah
merupakan salah satu proses counter atas hegemoni otoritas gereja
pada saat itu. Dalam hal ini pendidikan yang berparadigma liberal ini
biasanya bernuansa progresif (ke depan) dan merupakan bentuk
pengakuan sepenuhnya atas kebebasan manusia. Karena aliran yang
berparadigma ini termasuk beraliran progresif dan eksistensialis.
15Siti Murtiningsih,Pendidikan Alat Perlawanan; Teori Pendidikan Radikal Paulo
Freire,(Yogyakarta; Resist Book, 2004), cet. I, hlm. 62. 16Paulo Freire dkk, Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. V, hlm. 114.
55
Perkembangan liberal dimulai pasca filosof Thomas Aquinas
(1225-1274), dimana saat itu peradaban di Barat mulai tercerahkan
sewaktu kedatangan seorang filosof Rene Descartes yang
mendeklarasikan filsafat Rasionalisme-nya. Kehadiran Descartes
dengan filsafat rasionalismenya bisa dikatakan sebagai penyelamat
peradaban Barat yang pada waktu itu telah tenggelam kedalam nuansa
taklidisme. Descartes membuka pintu “pencerahan” (aufklarung) bagi
peradaban Barat untuk mengakui kebebasan individual. Penjegalan
kebebasan individu dimasa Skolastik telah menenggelamkan
eksistensi manusia kala itu. Maka, era kebebasan dengan pemahaman
keilmuann yang baru, “rasionalisme” menjadi satu pertanda baik bagi
keberadaan (eksistensi) manusia, sebab manusia dengan seluruh
potensi yang dimilikinya sangat diakui dan dihargai. Karakter
rasionalis dan pengakuan terhadap hak-hak individual menjadi salah
satu karakter utama filsafat progresivisme dan eksistensialisme.17
Selanjutnya dengan melihat serta membaca gelombang
modernisasi Barat, maka akan dapat kita temukan karakter dari
modernisasi tersebut. Karena dengan proses itulah akan tampak satu
bentuk perubahan dimana kebebasan individu lewat peran dominasi
rasio mulai dapat dirasakan. Dalam hal ini karakter modernitas yang
terbentuk dari semangat rasionalisme diantaranya dapat kita ketahui:
pertama; mengakui sepenuhnya kebebasan manusia dengan seluruh
potensi yang ia miliki. Dalam hal ini konsekuensi dari adanya
modernisasi yang sepenuhnya bersifat rasional telah mewajibkan
kebebasan itu. Kebebasan manusia yang menjadi salah satu karakter
dari modernisasi itulah yang kemudian menjadikan manusia lebih
bersikap egoistis. Kedua; filasafat rasionalisme yang bermula dari
cogito nya Descartes bercirikan akal (ratio). Oleh karena itu seluruh
pengetahuan dibangun atas asumsi-asumsi rasional. Sehingga hal itu
17Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis; Menelanjangi Problematika, Meretas Masa Depan
Pendidikan Kita,(Yogyakarta, IRCiSoD, 2005), hlm. 49.
56
memperkuat bahwa pengetahuan bukan hanya di bangun berdasarkan
asumsi-asumsi filosofis, dan bukan sekedar dengan pengalaman
empiris. Akan tetapi merupakan manifestasi dari ide-ide dalam realitas
empirisnya. Ketiga; modernisasi juga mempunyai satu karekter yang
bernuansa empiris. Dalam hal ini dikemukakan bahwa pengetahuan
rasional tidak hanya dilahirkan dari asumsi-asumsi rasional saja,
melainkan harus teruji secara empiris.
Kemudian dari sanalah akan lahir pengetahuan modern yang
lebih bersifat positivistik. Manusia di abad modern memiliki karakter
rasional, bebas, dan berhaluan positivistik. Dari sanalah kemudian
muncul paradigma pendidikan liberal.18 Dalam hal itu, pendidikan
liberal yang memang lebih mengutamakan kebebasan sebagai salah
satu karakternya merupakan bentuk pendidikan modern yang banyak
membuat perubahan dibidang pendidikan khususnya, maupun dalam
kehidupan sosial pada umumnya.
Di samping itu, era modernisme pendidikan dapat juga
dikatakan lahir dengan adanya Renaissance. Di mana era tersebut
merupakan suatu zaman yang sangat menaruh perhatian dalam bidang
seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu
pengetahuan, dan juga teknologi. Pada zaman ini, berbagai gerakan
bersatu untuk menentang pola pemikiran abad pertengahan yang
dogmatis. Sehingga dari sanalah lahir satu perubahan yang
revolusioner dalam pemikiran manusia dan membentuk satu pola
pemikiran baru dalam filsafat.
Zaman renaissance terkenal dengan era kelahiran kembali
kebebasan manusia dalam berpikir. Renaissance adalah zaman atau
gerakan yang didukung oleh cita-cita lahirnya kembali manusia yang
bebas. Manusia bebas yang di maksud adalah seperti yang ada dalam
zaman Yunani kuno. Pada zaman renaissance manusia Barat mulai
berfikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari
18Ibid, hlm. 50.
57
otoritas kekuasaan gereja yang selama ini telah “mengungkung”
kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu
pengetahuan.19
Dalam perkembangannya kemudian pendidikan dengan
paradigma liberal ini, memang menjadi tren tersendiri di dunia Barat.
Dengan konsep kebebasan pengembangan potensi manusia, serta
sangat menghargai adanya kebebasan individu, manjadikan
pendidikan liberal patut untuk dijadikan salah satu alernatif
pendidikan di dunia ini. Namun, dibalik itu semua pendidikan liberal
masih mempertahankan kemapanan, tentunya kemapanan yang
dimaksud adalah sesuatu yang masih dianggap berguna dan baik untuk
dilakukan. Dari sisi lainnya pendidikan ini cenderung jauh dari nilai-
nilai transenden, karena lebih mengutamakan kebebasan dan kekuatan
rasio di atas segala-galanya. Dan inilah yang menjadi salah satu
kelemahan dari pendidikan liberal model Barat.
B. Pendidikan Humanis
Potensi kemanusiaan adalah sesuatu yang terpenting dalam
pendidikan, untuk itulah potensi manusia tersebut harus dikembangkan
dengan baik. Manusia juga merupakan salah satu makhluk yang harus di
hargai. Untuk itulah salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan
adalah bagaimana pendidikan tersebut mampu berfungsi sebagai proses
memanusiakan manusia. Selain itu tugas dari pendidikan sendiri adalah
bagaimana mengangkat manusia yang mengalami dehumanisasi ke dataran
humanisasi. Ini merupakan hal yang penting karena selama ini pendidikan
yang ada belum sepenuhnya melakukan proses tersebut. Bahkan kesan yang
ada adalah bahwa pendidikan merupakan alat untuk melanggengkan
dehumanisasi, oleh sebab itu hal tersebut harus segera dihilangkan dari dunia
pendidikan.
19Ali Maksum, dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern; Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004), cet. Pertama, hlm. 34-35.
58
Sebagaimana yang selalu ditekankan oleh Freire bahwa fitrah manusia
sejati adalah menjadi pelaku. Manusia merupakan pelaku atau subyek
bukanlah penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi
pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang
menindas atau mungkin menindasnya. Manusia adalah penguasa atas dirinya,
karena itu fitrah manusia adalah merdeka, menjadi bebas. Ini merupakan
tujuan akhir dari upaya humanisasi yang dilakukan oleh Freire.20
Oleh sebab itulah pendidikan dituntut untuk senantiasa memberikan
penghargaan yang lebih kepada manusia sebagai pelaku dari pendidikan
sendiri. Mengenai manusia merupakan penguasa dan pelaku merupakan satu
kodrat yang harus diterima. Sebagaimana ungkapan Gus Mus yang
mengatakan bahwa “saya itu, asal Tuhan (Allah) tidak melarang saya tetap
jalan, selain Allah saya ini penguasa”.21 Dalam konteks tersebut manusia
merupakan satu individu yang berkuasa atas dirinya sendiri, ini berarti dia
berhak melakukan segala sesuatu menurut kemampuan dan kemauan dirinya
sendiri, sedangkan orang lain harus menghormati keadaan tersebut. Asalkan
tidak membuat kerugian bagi orang lain, maka hal itu tidak perlu dijadikan
masalah. Dengan adanya saling menghargai hak dan kewajiban antar sesama
tersebut, berarti proses pendidikan humanis telah berlangsung.
1. Pengertian Pendidikan Humanis
Dalam masalah ini penulis hanya akan menjelaskan mengenai
definisi yang berkaitan dengan pendidikan humanis secara langsung.
Karena definisi pendidikan sendiri sudah banyak di ungkap di bab depan.
Humanis berasal dari kata Human22 (Inggris) yang berarti manusiawi.
Menurut Pius A Partanto dan Dahlan Al-Barry menyebutkan bahwa
Human berarti mengenai manusia, cara manusia, sedangkan humanis
sendiri berarti seorang yang human, penganut ajaran huminisme.
20Paulo Freire, Politik Pendidikan, Kebudayaan, kekuasaan dan Pembebzsan,
(Yogyakarta: kerjasama Pustaka Pelajar dan ReaD, 2002), cet. IV, hlm. IX. 21Abu Asma Anshari, Abdullah Zaim, Naibul Umam ES, Ngetan Ngulon Ketemu Gus
Mus: Refleksi 61 Th K.H. A Mustofa Bisri, (Semarang: HM Foundation, 2005), Cet. I, hlm. 187. 22John M. Echols, Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris judul asli An Indonesian-
Engglish Dictionary (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), cet.VI, hlm. 362.
59
Sedangkan humanisme sendiri adalah suatu doktrin yang menekankan
kepentingan kemanusiaan dan ideal (humanisme di zaman Renaissan
didasarkan atas peradaban Yunani purba sedangkan humanisme modern
menempatkan manusia secara eksklusif.23
Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa
human: bersifat manusiawi, (seperti manusia yang dibedakan dengan
binatang, jin, dan malaikat) berperikemanusiaan ,baik budi, budi luhur
dsb. Humanis adalah orang yang mendambakan dan memperjuangkan
terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik berdasarkan asas-asas
kemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat manusia (1), penganut
paham yang menganggap manusia sebagai obyek terpenting (2), penganut
paham humanisme (3).24 Hal yang hampir senada juga terdapat pada
kamus pendidikan, pengajaran dan umum karya Saliman dan Sudarsono.
Dari sana dapat ditarik bahwa pendidikan humanis adalah proses
pendidikan penganut aliran humanisme, yang berarti proses pendidikan
yang menempatkan seseorang sebagai salah satu objek terpenting dalam
pendidikan. Namun, kata obyek di sini bukan berarti sebagai penderita,
melainkan menempatkan manusia sebagai salah satu subyek (pelaku)
yang sebenarnya dalam pendidikan itu sendiri. Hal itu seperti yang di cita-
citakan oleh Freire bahwa manusia adalah pelaku dalam pendidikan.
Menurut Darmanto Djatman Sebagaimana diketahui bahwa
humanis adalah pejuang kemanusiaan. Pejuang harkat dan martabat
manusia. Namun, tidak dengan sendirinya seorang yang berideologikan
“humanisme” adalah seorang humanis. Tidaklah mengherankan apabila
orang berpendapat: seorang humanis mestilah seorang yang bebas, karena
hanya mereka yang bebaslah yang boleh bertanggung jawab.25 Itu berarti
pendidikan humanis merupakan satu proses pendidikan yang di dalamnya
selalu mengutamakan kepentingan manusia sebagai seseorang yang
senantiasa harus mendapatkan segala haknya sebagai manusia. Hak yang
23Pius A. Partanto, M Dahlan Al Barry, op. cit., hlm. 234. 24Tim Pnyususun Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., hlm. 361. 25Darmanto Jatman, Psikologi Terbuka, (Semarang: Limpad, 2005), hlm. 109.
60
dimaksud adalah hak kebebasan dalam meningkatkan harkat, martabat
serta derajatnya sebagai manusia sesungguhnya, yang dilakukan melalui
proses pendidikan.
Pendidikan humanis sendiri tidak bisa dilepaskan dari peranan
humanisme sebagai filsafat. Abdurrahman Mas’ud dalam bukunya
Menggagas Format Pendidikan Non Dikotomik menjelaskan bahwa
humanisme “Humanism teaches us that it is immoral to wait for God to
act for us. We must act to stop the wars and the crimes and the brutality of
this and future ages. We have powers of a remarkable kind. We have a
high degree of freedom in choosing what we will do. Humanism tell us
that whatever our philosophy of the universe may be, ultimately the
responsibility for the kind of world in which we live rests with us:
Humanisme mengajarkan kepada kita bahwa tidak bermoral untuk
menantikan Tuhan bertindak atas nama kita. Kita harus bertindak untuk
menghentikan peperangan, kejahatan dan kekejaman ini dan masa depan
berbagai zaman. Kita mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kita
mempunyai suatu derajat tinggi kebebasan dalam memiliki apa yang akan
kita lakukan. Humanisme menunjukkan bahwa apapun juga yang filosofi
kita menyangkut alam semesta sehingga muncul tanggung jawab untuk
dunia dimana kita hidup terletak ditangan kita).26
Sedangkan Ali Syari’ati berpendapat bahwa humanisme
merupakan ungkapan dari sekumpulan nilai-nilai Ilahiah yang ada dalam
diri manusia yang merupakan petunjuk agama dalam kebudayaan moral
manusia yang tidak berhasil dibuktikan adanya oleh ideologi-ideologi
modern akibat pengingkaran mereka terhadap agama.27
Dari uraian di atas jelas bahwa sesungguhnya manusia memegang
peranan penting dalam kehidupannya. Dalam hal itu, manusia merupakan
pemegang kebebasannya dalam melakukan sesuatu yang terbaik bagi
26Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media,
2003), hlm. 275. 27Ali Syari’ati, Humanisme: Antara Islam dan Mazhab Barat dalam Muta’akhirin,
Implementasi Pendidikan Humanisme Religius di Pesantren, Skripsi, hlm. 33.
61
dirinya saat ini, dan juga bagi masa depannya yang akan datang. Sehingga
bisa dikatakan bahwa kedudukan manusia dalam dunia ini sangatlah
tinggi, karena dibekali dengan potensi-potensi kebebasan dalam
melakukan hal terbaik bagi dirinya..
2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Humanis
a. Dasar Pendidikan Humanis
Dalam hal ini jelas sekali bahwa yang melandasi dan
mendasari adanya pendidikan humanis adalah adanya kesamaan
kedudukan manusia. Ini berarti bahwa manusia satu dengan yang lain
adalah sama, tidak ada yang sempurna, semua individu memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk itulah harus saling
menghargai dan menghormati segala perbedaan tersebut. Lebih-lebih
dalam Islam di ajarkan bahwa kedudukan manusia adalah sama yang
membedakan hanyalah derajat ketaqwaannya saja. Sebagaimana
tersebut dalam QS. Al-Hujarat: 13
يايهاالناس اناخلقنكم من د آروانثى وجعلنكم شعوباوقبائل لتعا
)13:الحجرات( خبيررفوا ان اآرمكم عند اهللا اتقكم ان اهللا عليم Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan
kamu dari laki-laki dan perempuan dan telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu sekalian disisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha melihat. (ََ QS. Al-Hujuraat: 13).28
Dengan melihat gambaran ayat di atas semakin jelas bahwa,
manusia di ciptakan di dunia ini untuk saling mengenal. Mengenal di
sini bukan hanya sebatas tahu nama, tetapi lebih dari itu, harus saling
mengerti hak, dan kewajiban serta tanggung jawab masing-masing
untuk hidup di dunia ini. Di samping itu, manusia juga dituntut untuk
28Departemen Agama RI, op. cit.,, hlm. 846.
62
saling menghargai, menghormati dan saling tolong-menolong antar
sesamanya.
Karena pada prinsipnya mereka di ciptakan (terlebih umat
Islam) sebagai umat yang satu, dan dianjurkan untuk saling tolong-
menolong. Karena mereka tidak akan bisa hidup sendirian, mereka
memerlukan orang lain untuk menjaga dan melangsungkan kehidupan
di dunia agar perjalanan kehidupan ini menjadi lebih dinamis.
Sebagaimana telah di jelaskan Allah dalam firman-Nya QS.
Al-Anbiya’ ayat 92.
)92: االنياء(مة واحدة متكم ا ا ان هذه
Artinya: Sesungguhnya umatmu adalah umat yang satu… (QS. Al-Anbiya: 92)29
Ayat di atas lebih menekankan bahwa manusia sesungguhnya
satu, dan berasal dari yang Satu. Untuk itulah dalam kehidupan ini di
tuntut untuk saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Karena
bagaimana pun juga manusia itu tidak ada yang sempurna, hanya
dengan saling melengkapilah manusia itu dapat menjadikan suatu
kekurangan yang dimiliki satu orang dapat ditutupi dengan kelebihan
saudaranya, dan sebaliknya juga begitu. Karena itulah diperintahkan
agar satu dengan yang lain saling mengisi dan saling memahami serta
saling melengkapi. Dan yang tak kalah pentingnya dalam kehidupan
ini harus saling membantu satu dengan yang lainnya. Dari sinilah
tampak jelas bahwa nilai-nilai humanisme dalam kehidupan ini sangat
ditekankan untuk selalu dimiliki oleh setiap orang.
Sedangkan mengenai kewajiban untuk saling tolong-menolong
dijelaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 2.
وتعا ونوا على البروالتقوى والتعا ونوا على االثم والعد وان
)2: الما ئدة(
29Ibid., hlm. 505.
63
Artinya: Dan bertolong-menolonglah kamu dalam kebaikan, dan taqwa, tetapi jangan bertolong-menolong dalam dosa dan permusuhan (QS.Al-Maidah: 2).30
Dari ayat di atas, dapat ditarik satu pemahaman bahwa hanya
dalam kebaikan sajalah manusia dianjurkan untuk saling menolong,
sedangkan dalam masalah kejahatan dan permusuhan sangat dilarang
sekali. Ini berarti bahwa dalam perintah tersebut bermuatan untuk
saling menghargai dan menghormati antar sesama. Hal itu juga
tercermin dalam QS. Al-Hujaraat ayat 10.
انماالمؤمنون اخوة فاصلحوا بين اخويكم واتقوااهللا لعلكم
)10:الحجرات( ترحمون Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara
maka pergaulilah dengan baik di antara saudaramu, dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu termasuk orang-orang yang mendapatkan kasih sayang (QS. Al-Hujarat: 10).31
Kalau ditarik dalam frame pendidikan, maka ayat-ayat di atas
mengandung satu proses pendidikan humanis yang sangat mulia
sekali. Di sana dijelaskan bukan hanya umat Islam saja yang dituntut
untuk saling mengenal, menghormati, menghargai, saling membantu
serta saling tolong-menolong, tetapi lebih dari itu seluruh umat
manusia di anjurkan untuk melakukan ajaran tersebut.
Dengan demikian jelas bahwa pendidikan humanis merupakan
salah satu proses memanusiakan manusia, dan hal itulah yang sering
digembar-gemborkan oleh salah seorang pejuang pendidikan asal
Brazilia Paulo Freire. Dalam pandangannya tugas utama pendidikan
adalah bagaimana proses tersebut mampu membawa manusia tersebut
keluar dari segala keterkungkungannya, baik itu yang disebabkan oleh
dirinya sendiri, orang lain maupun oleh lingkungannya. Dan lebih dari
itu, supaya mampu mengangkat harkat, martabat serta derajat manusia
30Ibid., hlm. 156. 31Ibid., hlm. 846.
64
sebagai manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang mempunyai
derajat mulia dibandingkan dengan makhluk Tuhan yang lain.
b. Tujuan Pendidikan Humanis
Sedangkan tujuan dari pendidikan humanis adalah terciptanya
satu proses dan pola pendidikan yang senantiasa menempatkan
manusia sebagai manusia. Yaitu manusia yang memiliki segala
potensi yang dimilikinya, baik potensi yang berupa fisik, psikis,
maupun spiritual yang perlu untuk mendapatkan bimbingan.
Kemudian yang perlu menjadi catatan adalah bahwa masing-masing
potensi yang dimiliki oleh manusia itu berbeda satu dengan yang
lainnya. Dan semuanya itu perlu sikap arif dalam memahami, dan
saling menghormati serta selalu menempatkan manusia yang
bersangkutan sesuai dengan tempatnya masing-masing adalah cara
paling tepat untuk mewujudkan pendidikan humanis.
Dengan demikian pendidikan yang senantiasa menempatkan
seorang peserta didik sebagai seorang yang kurang tahu, atau dengan
kata lain bahwa pendidik-lah yang paling tahu bukan merupakan ciri
dari pendidikan yang humanis. Sebagaimana yang sering terjadi
bahkan hingga saat ini, praktek semacam itu masih terus berlangsung
dalam dunia pendidikan kita (Indonesia) bahkan dalam dunia
pendidikan Islam sendiri sebagai pemilik konsep humanisme masih
terjadi hal yang serupa. Dan hal itulah yang harus segera dirubah,
karena bagaimanapun juga sesuai dengan konsep dan tujuan
pendidikan, khususnya pendidikan Islam bertujuan pada terbentuknya
satu pribadi seutuhnya, yang sadar akan dirinya sendiri selaku hamba
Allah, dan kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus memiliki
rasa tanggung jawab sosial terhadap pembinaan masyarakat serta
menanamkan kemampuan manusia, untuk mengelola, memanfaatkan
65
alam sekitar ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia
dan kegiatan ibadahnya kepada Khalik pencipta alam itu sendiri.32
Dalam hal pendidikan harus menjadi sebuah wahana untuk
membentuk peradaban yang humanis terhadap seseorang untuk
menjadi bekal bagi dirinya dalam menjalani kehidupannya.33 Dengan
demikian, pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang
harus senantiasa dihormati, begitu juga proses dalam pendidikan itu
sendiri harus senantiasa mencerminkan nilai-nilai humanisme.
Sebagaimana dijelaskan bahwa saat ini dalam perjalanan peradaban
manusia, akhirnya secara tegas mereka menetapkan bahwa pendidikan
merupakan salah satu hak-hak asasi manusia. Dan semua itu di
deklarasikan dalam deklarasi universal HAM akhir perang dunia ke
II.34
Apa yang menjadi tujuan di atas, seakan semakin
mengukuhkan bahwa pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai
humanis harus senantiasa dijalankan dan dikembangkan dalam dunia
pendidikan saat ini. Sebagaimana sudah menjadi satu kesepakatan
para ahli pendidikan sejak dulu sampai sekarang yang selalu
berkeinginan untuk mewujudkan satu proses pendidikan yang benar-
benar berlandaskan dan sesuai dengan nilai-nilai humanisme. Dan hal
itu pula yang sebenarnya tertuang dalam ajaran Islam yaitu dalam Al-
Qur’an dan Hadist, kedua sumber pendidikan Islam inilah yang
sebenarnya terdapat ajaran untuk senantiasa memiliki dan
melaksanakan nilai-nilai humanisme dalam menjalani hidup dan
kehidupan ini, begitu pula dalam dunia pendidikan.
3. Perkembangan pendidikan Humanis
32M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 133. 33Muhammad AR, Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan,
(Yogyakarta: Prismashopie, 2003), hlm. 5. 34Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan; Antara Kompetisi dan Keadilan,
(Yogyakarta: Insist Cindelaras, Pusataka Pelajar, 2001), cet. I, hlm. Viii.
66
Berbicara mengenai perkembangan pendidikan humanis secara
harfiah mungkin sulit untuk dijelaskan. Namun, humanisme pada
dasarnya mulai dibicarakan pada masa Yunani dan Romawi kuno. Kultur
humanisme adalah tradisi rasional dan empirik yang mula-mula berasal
dari Yunani dan Romawi kuno, kemudian berkembang melalui sejarah
Eropa. Humanisme kemudian menjadi bagian dasar pendekatan Barat
dalam pengetahuan, teori politik, etika dan juga hukum.35
Selanjutnya pada masa awal Renaissance sekitar abad ke 13
munculah semacam gerakan Rohaniyah-ilmiah di Italia, yang lebih
dikenal dengan gerakan humanisme yang mencoba berpaling dari konsep
humanisme yang telah ada pada zaman Yunani dan Romawi kuno. Dalam
perkembangannya apa yang terdapat di Italia merupakan gerakan
humanisme yang mengembangkan cita-cita kemanusiaan dan juga
pendidikan yang lebih komprehensif. Serta dalam perkembangannya
kemudian gerakan ini lebih mendasarkan pondasi agamanya pada
humanisme yang senantiasa menegakkan dan mengangkat martabat
kemanusiaan.
Disamping itu juga muncul humanisme Kristen yang di
definisikan oleh Webster di dalam kamusnya yang berjudul Third New
International Dictionary (kamus internasional baru ketiga). Dalam kamus
tersebut lebih dijelaskan bahwa dia merupakan salah satu penganjur
filsafat pemenuhan diri sendiri manusia dalam prinsip-prinsip Kristen. Ini
lebih berorientasi pada kepercayaan manusia yang sebagian besar
merupakan produk pencerahan dan bagian dari apa yang membuat
humanisme pencerahan. Kemudian muncul humanisme modern yang juga
disebut humanisme naturalistik (alam), humanisme Scientific (ilmiah),
humanisme meetik dan juga humanisme demokratis yang di definisikan
oleh seorang pemimpin pendukungnya, yaitu Charliss Lamont sebagai
berikut “sebagai filsafat alam, aliran ini menolak seluruh aliran
35Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik:Humanisme
Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam,(Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 129.
67
supranatural dan menyepakati utamanya di atas alasan dan ilmu,
demokrasi dan keharuan pada manusia”. Humanisme modern mempunyai
dua sumber yaitu sekuler dan agama 36
Dan selanjutnya aliran ini berkembang dengan sangat pesat di
dunia Barat, bahkan hingga saat ini konsep humanisme manjadi salah satu
hal yang sulit dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Barat. Begitu juga
hal serupa tampaknya mulai berkembang di dunia Timur dan juga di dunia
Islam pada khususnya. Dan memang harus diakui dengan konsep
pengagungan atas manusia menjadi daya tarik tersendiri bagi penganut
ajaran humanisme untuk senantiasa mengembangkan ajarannya hingga di
mana saja dan kapan saja.
Dalam dunia pendidikan, proses perkembangan humanisme dari
zaman Yunani-Romawi kuno hingga saat ini merupakan proses panjang
pendidikan, karena bagaimana pun juga diakui atau tidak pendidikan
sangat berpengaruh banyak pada perkembangan aliran ini menjadi lebih
besar. Dan kalau mau dicermati, maka pendidikan humanis secara tidak
langsung telah mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya
aliran humanisme itu sendiri.
C. Liberalisasi dan Humanisasi dalam Pendidikan Islam
1. Liberalisasi dalam Pendidikan Islam
Saat ini, pendidikan Islam dapat dikatakan masih jauh tertinggal
dengan pendidikan Barat. Walaupun bukan berarti pendidikan Islam kalah
dalam segala hal, namun secara keseluruhan diakui atau tidak pendidikan
Islam tertinggal jauh dengan pendidikan non Islam, yang banyak di wakili
oleh orang-orang dan negara Barat. Hal itu kalau dirunut maka akan
kelihatan bahwa salah satu penyebabnya adalah kekakuan dan kebekuan
pendidikan Islam sendiri. Memang harus diakui bahwa banyak sekali
problem mendasar yang saat ini masih menggelayuti pendidikan Islam,
yang itu menjadikan pendidikan Islam semakin rapuh.
36 Ibid, hlm. 29-30.
68
Kerapuhan pendidikan Islam sendiri tidak terlepas dari konteks
sejarah Islam sendiri, yang dalam beberapa fase telah menimbun potensi-
potensi kritis. Pendidikan Islam tidak mampu lagi melakukan analisa
terhadap problem yang dialami oleh masyarakat. Paling-paling yang
dilakukan sebatas analisa dalam dataran konsep dan tidak memiliki satu
landasan paradigmatik yang mantap.37 Daya kritis sebagai salah satu
bagian dari perubahan hilang bersama redupnya sejarah keislaman pasca
masa keemasan dulu.
Selain itu, masih kuatnya paradigma konservatif yang digunakan
dalam pendidikan Islam menjadi salah satu penyebab mengapa pendidikan
Islam kurang dapat bersaing dengan pendidikan lain, terutama pendidikan
Barat. Apalagi ditengah zaman yang serba modern, serta dalam arus
globalisasi yang setiap saat dapat menggilas siapa saja yang tidak siap
dalam menjalani masa sekarang ini. Begitu juga pendidikan Islam dituntut
untuk dapat memainkan perannya, sebagai salah satu pendidikan yang
dapat membawa perubahan dan kontribusi bagi umat Islam khususnya dan
bagi masyarakat luas pada umumnya.
Dan semua itu hanya dapat diwujudkan dengan revolusi dalam
pendidikan Islam sendiri. Revolusi yang di maksud adalah revolusi
menuju ke arah perubahan pendidikan Islam yang kaku, beku, konservatif,
tradisionalis menuju pendidikan Islam yang kritis, progresif, liberalis dan
juga humanis. Sebagaimana Freire mengajarkan kepada kita bahwa
revolusi yang berkuasa harus (masih) menciptakan masyarakat baru dan
pendidikan yang baru. Masyarakat baru tidak bisa muncul melalui dekrit,
tetapi harus muncul di depan sejarah. Ini menghendaki adanya penemuan
kembali kekuasaan secara dealektis di dalam dan melalui pendidikan, di
dalam dan tanpa pendidikan38. Ini berarti bahwa pendidikan mempunyai
satu peran besar dalam mewujudkan perubahan tersebut. Pendidikan baru
37Sugiyanto, “Reposisi Kesadaran Kritis”, dalam Jurnal Edukasi, Pendidikan Islam
Kritis: Konstruksi Intelektual Islam Organik, Volume II, Nomor 1, Januari 2004, hlm. 12. 38Miguel Escobar dkk dalam, Dialog Bareng Paulo Freire Sekolah Kapitalisem Yang
licik, (Yogyakarta: LkiS, 2001), cet. III, hlm. 176.
69
dan bagi masyarakat baru, bersama-sama merupakan satu dimensi yang
dihasilkan dari adanya revolusi pendidikan, begitu juga hal tersebut dapat
dilakukan dalam pendidikan Islam.
Dan kalau dicermati lebih jauh lagi, apa yang menjadi kehendak
Freire dalam mengusung kebebasan sebagai jargon dalam pendidikan
sama dengan apa yang ingin dicapai oleh Islam sendiri dalam
pendidikannya. Pada aras ini, baik Freire dan Islam sama-sama memaknai
kebebasan kehendak manusia sebagai nilai dasar yang harus dijaga dan
dihormati, bahwa kebebasan adalah kondisi ontologis (fitrah) yang harus
tetap dipertahankan sehingga segala upaya yang menggiring kepada
pemasungan kesadaran manusia tidak bisa diterima.39 Dan semua itu
memang harus senantiasa dijadikan sebagai modal dalam
mengembangkan pendidikan.
Mau tidak mau, pendidikan Islam harus menerima konsep
pendidikan liberal sebagai akibat dari zaman modern dan arus globalisasi.
Namun, hal itu bukan berarti konsep pendidikan Islam yang selama ini
dugunakan dan bermanfaat harus diberangus habis, kemudian secara
massif dan dengan penuh totalitas mengadopsi semua nilai-nilai
pendidikan liberal untuk kemudian diterapkan dan dijadikan sebagai
pengganti bagi konsep pendidikan Islam. Dengan kata lain nilai-nilai
pendidikan liberal diambil yang bermanfaat bagi pendidikan Islam, selain
itu, tujuannya hanya lebih pada mengadopsi konsep dan nilai-nilai yang
bisa membantu dalam pengembangan pendidikan Islam di kemudian hari.
Selain itu dengan konsep liberal pendidikan Islam diharapkan
mampu mengemban misi membebaskan manusia dari segala
keterkungkungan dan keterikatan belenggu tradisi yang membawa
kebekuan dan juga kemunduran. Pendidikan Islam dengan pemahaman
liberal harus mampu menciptakan dan juga membantu lahirnya
masyarakat baru, dan semua itu hanya dapat dilakukan dengan pendidikan
39Moh. Hanif Dhakiri, op. cit., hlm. 176.
70
yang revolusioner dengan bantuan pendidikan liberal yang telah disaring
dan disesuaikan dengan ajaran Islam.
Menurut Abudin Nata, pendidikan Islam harus mengisyaratkan
perlunya keberanian untuk terus-menerus melakukan reformasi terhadap
berbagai aspek pendidikan yang dipandang dapat membelenggu
kebebasan manusia. Aspek dasar pendidikan, tujuan, kurikulum, metode
belajar mengajar, pola hubungan guru murid, lingkungan, sarana
prasarana, evaluasi harus senantiasa aktual sesuai dengan perkembangan
zaman.40
Oleh sebab itu, maka dengan adanya pendidikan Islam liberal
diharapkan mampu membawa perubahan-perubahan dalam pendidikan
khususnya dalam pendidikan Islam sendiri, dengan tanpa meninggalkan
nilai serta ajaran Islam yang berlaku dan tentunya sesuai dengan
perkembangan zaman. Dengan kata lain, pendidikan Islam dengan konsep
liberal merupakan salah satu alternatif pilihan dalam mengembangkan
pendidikan Islam yang selama ini mengalami kemunduran dan kebekuan.
Di samping itu dengan pendidikan Islam liberal diharapkan mampu
melahirkan manusia-manusia kreatif, inovatif, dinamis, terbuka,
demokratis dan juga mandiri di tengah-tengah arus perubahan zaman.
Lebih jauh lagi, dalam dataran ini proses liberalisasi pendidikan
Islam mengandung nilai-nilai kritis-progresif yang sangat membantu
membawa perubahan dalam dunia pendidikan. Dengan konsep kebebasan,
maka bebas melakukan kritik merupakan salah satu konsep yang akan
lahir dari pendidikan Islam liberal. Kritis sendiri merupakan salah satu
modal untuk melakukan perubahan. Untuk melakukan semua perubahan
dalam pendidikan maka kesadaran kritis menempati garda depan untuk
melakukan perombakan paradigma.41 Paradigma yang selama ini
digunakan dalam pendidikan harus segera dirubah dengan paradigma baru
40Abudin Nata, “Paradigma Pendidikan Islam Liberal” dalam Jurnal Edukasi Pendidikan
Islam Liberal, Volume I, Th. X, 2002, hlm. 12. 41Sugiyanto, op. cit., hlm. 17
71
salah satunya adalah paradigma liberal, tentunya dengan tetap
berlandaskan pada ajaran Islam.
Dengan melihat uraian di atas, maka akan jelas sekali tampak
bahwa kedudukan manusia sebagai seorang yang harus ditempatkan pada
posisi bebas adalah satu hal mutlak dilakukan. Dan dalam
perkembangannya pendidikan liberal memboyong konsep tersebut sebagai
bagian yang tak terpisahkan dalam tujuan pendidikannya. Begitu juga
dengan bekal potensi kritis yang dimiliki oleh setiap individu, diharapkan
akan lebih memacu serta memberikan motivasi tersendiri bagi seorang
peserta didik dalam melakukan perubahan terhadap dirinya, lingkungan
serta masyarakat secara luas.
2. Humanisasi dalam Pendidikan Islam
Hingga kini konsepsi dasar pendidikan masih berkisar pada
persoalan faktor mana yang paling signifikan bagi tumbuhnya kepribadian
ideal di antara kondisi asli yang di bawa sejak lahir dan lingkungan di
mana siswa itu tumbuh menjadi manusia dewasa.42 Sedangkan soal yang
lebih penting menyangkut proses dimana peserta didik akan mampu
mengaktualisasikan segenap potensi yang dimiliki sering kali terlupakan.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan adanya dehumanisasi dalam
pendidikan, tak terkecuali dalam pendidikan Islam.
Banyak sekali faktor yang dapat membawa perkembangan
pendidikan ke arah yang lebih baik. Salah satu faktor yang dapat
membawa perkembangan dan perubahan pendidikan ke arah yang lebih
maju adalah adanya demokratisasi dalam pendidikan. Asas demokratisasi
yang dianut dan berkembang sebagai falsafah hidup bangsa di hampir
segenap penjuru dunia dewasa ini, telah menyebabkan munculnya
demokrasi dalam segala aspek kehidupan, termasuk di dalam aspek
pendidikan. Demokrasi dalam aspek pendidikan sering juga dikenal
dengan istilah demokratisasi pendidikan, dengan pengertian: pemberian
42Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam,(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002), cet. Pertama, hlm. 79.
72
kesempatan yang sama kepada setiap individu untuk memperoleh
pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pun
badan-badan swasta.43
Ini berarti bahwa setiap individu berhak memperoleh haknya,
yaitu hak dalam mengeyam pendidikan yang layak. Bukan itu saja, hal itu
juga mengindikasikan bahwa nilai humanisme dalam pendidikan harus
senantiasa dijunjung tinggi, sesuai dengan apa yang menjadi tujuan
demokratisasi pendidikan. Dalam demokratisasi pendidikan sendiri secara
tidak langsung merupakan proses humanisasi pendidikan, karena di
dalamnya berjalan proses menempatkan manusia sama dengan yang lain,
yang sama-sama berhak dalam mendapatkan pendidikan.
Dalam pendidikan Islam sendiri nilai humanisme tampaknya
sedikit mulai luntur, namun semua itu bukan berarti dalam pendidikan
Islam tidak ada proses humanisasi. Yang di maksud di sini adalah, masih
ada sebagian dalam proses pendidikan Islam yang kurang mencerminkan
proses humanisasi, semisal menempatkan peserta didik sebagai seorang
yang kurang tahu, dan pendidik adalah yang paling tahu. Dan hal itu
hingga kini masih langgeng dijalankan dalam pendidikan Islam, terutama
pendidikan Islam yang masih bercirikan tradisional.
Hakekat dan ruh pendidikan pada dasarnya merupakan proses
memanusiakan manusia, dan proses tersebut yang terbaik adalah melalui
media pendidikan. Driyakara mengatakan bahwa pendidikan hakekatnya
adalah proses memanusiakan manusia. Paulo Freire mendefinisikan
Win32.anf
pendidikan sebagai upaya pembebasan manusia dari segala
ketertindasan. Itulah hakekat pendidikan secara sederhana. Logika
sederhananya adalah seseorang yang semula tidak tahu terhadap sesuatu
kemudian melalui proses pendidikan atau pembelajaran akhirnya menjadi
tahu. Dalam agama dikatakan bahwa Adam dan Hawa diturunkan ke bumi
ketika sudah dibekali pengetahuan yang cukup untuk mengarungi
43Hallen A, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 25-26.
73
kehidupan. Artinya disana fitrah manusia adalah mengetahui atau
berpengetahuan dan hal tersebut ditempuh lewat pendidikan. Dapat
dikatakan juga, bahwa pendidikan pada hakekatnya bersifat antroposentris
sehingga bersifat humanis. Dari definisi Freire pendidikan pada
hakekatnya adalah membebaskan manusia dari segala bentuk
ketertindasan, dari rezim yang membelenggu dan membodohkan serta dari
ketidaktahuan.44
Dengan demikian, humanisasi harus senantiasa ditegakkan dalam
segala aspek pendidikan, baik dari segi tujuan, kurikulum, pendidik,
proses pembelajaran semua harus mencerminkan humanisasi. Dan hal itu
mutlak untuk dilakukan, agar apa yang menjadi hakekat dan tujuan dari
pendidikan sendiri tercapai. Yang menjadi titik tekan adalah dengan
adanya paradigma humanis dalam pendidikan akan tercipta masyarakat
tanpa kelas, sebagaimana yang ada dalam ajaran Islam sendiri melalui Al-
Qur’an dan Hadist yang memandang bahwa manusia adalah sama yang
membedakan hanyalah derajat ketaqwaannya saja dihadapan Tuhan.
Dalam konsepsi pemikir Islam persamaan tersebut disebut al-Musawah
yang menurut Fua’ad Abdul Mun’im Ahmad secara etimologi berarti
sama dan seimbang, sedangkan secara terminologi berarti:
ان جميع االفرد امام شرع اهللا سواء دون تمييز بينهم بسبب
اآتساب او الجنس او اللغة او المرآز االجتماعى فى االصل
45بااللتزامات وادئها والتحمل الحقوقTerjemahannya: sesungguhnya seluruh pribadi manusia di depan
syariat Allah adalah sama, bukan perbedaan mereka disebabkan oleh asalnya (keturunan) atau jenisnya (ras atau kelamin) atau bahasa atau daerah dalam memperoleh hak-hak dan berkumpul dalam kewajiban dan larangan.
44Edi Subkhan, “Reaktualisasi Hakekat dan Ruh Pendidikan Sebenarnya, dalam Jurnal
TELAAH, Pendidikan Pembebasan, Volume I, No. 1, 2005, hlm.16. 45Fu’ad Abdul Mun’im Ahmad, Ushulun Nidhomil Hukmi fil Islam Ma’a Bayani Tathbiq
fil Mamlakah al-Arabiyyah Assa’udiyah, (Arab Saudi: Muassasah Sabab al-Jami’ah, 1991 M/1411 H).
74
Untuk itulah pendidikan harus senantiasa diarahkan untuk
mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Dalam situasi yang semacam ini,
pendidikan bukan lagi sarana melakukan dehumanisasi melainkan media
humanisasi murni. Dehumanisasi, meskipun merupakan sebuah fakta
sejarah yang kongkrit, bukanlah takdir yang turun dari langit, tetapi akibat
dari tatanan yang tidak adil yang melahirkan kekerasan dari tangan para
penindas, yang pada gilirannya mendehumanisasikan kaum tertindas.46
Hal tersebut diibaratkan oleh Freire sebagai bagian proses
pendidikan yang selama ini berlangsung, dimana kaum tertindas
diibaratkan sebagai peserta didik dan penindas sebagai pendidik.
Kaitannya dengan itu, pendidik biasanya selalu melakukan penindasan
kepada peserta didik, dalam artian mereka (pendidik) adalah pengatur
sedangkan peserta didik adalah yang diatur. Dan inilah yang disebut Freire
sebagai banking concept of education (konsep pendidikan gaya bank)
dimana peserta didik adalah sesuatu yag menjadi tempat tabungan,
sedangkan pendidik adalah penabungnya.
Dalam kasus yang semacam itulah, mencerminkan proses
dehumanisasi. Walaupun secara umum tujuannya adalah untuk
memberikan dan transformasi ilmu dari pendidik ke peserta didik. Namun,
hal itu justeru akan membawa dampak pada semakin lemahnya
kemampuan dari peserta didik sendiri, dan akan membuat peserta didik
menjadi seorang yang hanya menanti, dan tidak mandiri. Oleh sebab itu,
maka dengan menggunakan konsep humanisasi proses pendidikan akan
berjalan secara seimbang. Di mana antara pendidik dan peserta didik
mempunyai peran dan kedudukan yang sama yaitu sebagai subyek
pendidikan.
Dalam pendidikan Islam sendiri hal itu tentunya merupakan salah
satu tujuan yang hendak dicapai. Karena semua pendidikan termasuk di
dalamnya pendidikan Islam menginginkan tercapainya tujuan pendidikan
46William A Smith, Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire Di terj emahakan dari The Meaning of Conscientizacao, the Goal of Paulo Freire’s Pedagogi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama Dengan ReaD Book, 2001), hlm. 1.
75
yaitu terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil). Walaupun dalam
realitasnya tidak ada manusia sempurna, namun dengan adanya
pendidikan yang berlandaskan pada nilai-nilai humanisme tersebut paling
tidak sudah mencerminkan satu bentuk pendidikan yang baik, walaupun
masih jauh dari kesempurnaan. Karena pada dasarnya pendidikan adalah
proses, maka humanisasi dalam pendidikan Islam akan senantiasa berjalan
dan mencari sesuatu yang lebih baru dan lebih baik dalam rangka
mengembalikan fitrah manusia sebagai makhluk yang mulia. Sebagaimana
tercermin dalam QS. Al-Tinn ayat 4.
)4:التين(لقد خلقنااالنسان في احسن تقويم Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya. ( At-Tiin: 4 ).47 Sebagai manusia yang dijadikan Allah sebagai makhluk terbaik,
maka sudah sepantasnya-lah manusia harus senantiasa mengembangkan
potensi kemanusiaannya dalam arti selalu berbuat yang terbaik bagi
dirinya, orang lain dan masyarakat pada umumnya, karena mereka
diciptakan tak lain adalah untuk menjadikan hidup dan kehidupannya
lebih berarti dan bermanfaat sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan
Hadist. Sebagaimana dijelaskan oleh Aabid Taufiq al-Hashimy bahwa
aturan hidup dalam Islam adalah :
ما اختطه اهللا تعالى لال نسان فى افاق الحياة الروحية والخلقية
آتابه واالجتماعية واالقتصادية والسياسية والتربوية بما انزله فى
48. الكريم وشرح رسوله فى الحديث واجتهاد العلماء والمفسرينTerjemahannya: sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah bagi
manusia dalam bidang-bidang kehidupan seperti kejiwaan, penciptaan, kemasyarakatan, ekonomi, politik dan pendidikan sebagaimana yang telah dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an dan penjelasan Rasullullah dalam Hadist serta ijtihad para ulama’ dan ahli tafsir.
47Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 1076. 48Aabid Taufiq al-Hashimy, Thuruqu Tadris al-Din, (Baghdad: Muassasah Risalah,
1981/1401 H), hlm. 259.