bab iii pendidikan liberalis dan humanis perspektif...

30
BAB III PENDIDIKAN LIBERALIS DAN HUMANIS PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM A. Pendidikan Liberalis Pendidikan secara umum dapat dipahami sebagai proses pendewasaan sosial manusia menuju pada dataran ideal. Makna yang terkandung di dalamnya menyangkut tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi atau sumber daya insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil), Penghargaan terhadap kebebasan untuk berkembang dan berpikir maju tentu saja sangat besar, mengingat manusia merupakan makhluk yang berpikir dan memiliki kesadaran. Praktek-praktek pendidikan pun harus senantiasa mengacu pada eksistensi manusia itu sendiri. Dari situ akan terbentuk mekanisme pendidikan yang demokratis yang berorientasi pada memanusiakan manusia. 1 Dalam hal ini, pendidikan sangat berperan penting dalam kehidupan manusia, dimana pendidikan merupakan salah satu media untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusian yang ada dalam diri seseorang. Dan dalam prosesnya sendiri kemampuan serta kebebasan seseorang dalam mengembangkan potensinya sangatlah mutlak diperlukan, karena dengan kebebasan yang dimiliki, maka seseorang tersebut akan senantiasa mendapatkan satu pengalaman baru dalam hidupnya. Selain itu, dalam pengertian yang lebih luas lagi, pendidikan sama dengan hidup itu sendiri. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan adalah pengalaman belajar, oleh karena itu pendidikan dapat pula di definisikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Dalam pengertian yang maha luas pendidikan berlangsung tidak dalam batas usia tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup (life long) sejak lahir (bahkan 1 Moh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta: Djambatan Bekerjasama dengan PENA, 2000), hlm. 3. 46

Upload: lamnga

Post on 07-Mar-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

46

BAB III

PENDIDIKAN LIBERALIS DAN HUMANIS

PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

A. Pendidikan Liberalis

Pendidikan secara umum dapat dipahami sebagai proses pendewasaan

sosial manusia menuju pada dataran ideal. Makna yang terkandung di

dalamnya menyangkut tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta

potensi atau sumber daya insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya

(insan kamil), Penghargaan terhadap kebebasan untuk berkembang dan

berpikir maju tentu saja sangat besar, mengingat manusia merupakan makhluk

yang berpikir dan memiliki kesadaran. Praktek-praktek pendidikan pun harus

senantiasa mengacu pada eksistensi manusia itu sendiri. Dari situ akan

terbentuk mekanisme pendidikan yang demokratis yang berorientasi pada

memanusiakan manusia.1

Dalam hal ini, pendidikan sangat berperan penting dalam kehidupan

manusia, dimana pendidikan merupakan salah satu media untuk

mengembangkan seluruh potensi kemanusian yang ada dalam diri seseorang.

Dan dalam prosesnya sendiri kemampuan serta kebebasan seseorang dalam

mengembangkan potensinya sangatlah mutlak diperlukan, karena dengan

kebebasan yang dimiliki, maka seseorang tersebut akan senantiasa

mendapatkan satu pengalaman baru dalam hidupnya.

Selain itu, dalam pengertian yang lebih luas lagi, pendidikan sama

dengan hidup itu sendiri. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang

mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan adalah pengalaman

belajar, oleh karena itu pendidikan dapat pula di definisikan sebagai

keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Dalam

pengertian yang maha luas pendidikan berlangsung tidak dalam batas usia

tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup (life long) sejak lahir (bahkan

1Moh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta: Djambatan

Bekerjasama dengan PENA, 2000), hlm. 3.

46

47

sejak hidup dalam kandungan) hingga mati. Dengan demikian tidak ada batas

waktu berlangsungnya pendidikan. Pendidikan berlangsung pada usia balita,

usia anak-anak, usia remaja, dan usia tua atau seumur hidup setiap manusia

sendiri.2

Dengan demikian konsep kebebasan dalam pendidikan bagi seseorang

merupakan hal yang sangat urgent untuk senantiasa dikembangkan, dalam

situasi yang semacam ini, pendidikan dengan menekankan konsep kebebasan

bagi anak didik sangatlah diperlukan, dalam istilah lain peserta didik adalah

subyek atau pelaku aktif dari pendidikan itu sendiri, ia bukan merupakan

obyek yang setiap saat dapat diperintah dan diatur oleh para pendidik.

Dalam hal ini, upaya untuk mengembangkan satu konsep pendidikan

liberalis sangat diperlukan sekali. Adanya konsep pendidikan konservatif yang

selama ini digunakan memunculkan reaksi sangat keras oleh tokoh-tokoh

liberal pendidikan. Konsep yang selalu menempatkan peserta didik sebagai

seseorang yang tidak tahu apa-apa sehingga perlu diisi dengan berbagai hal

oleh pendidik merupakan salah satu konsep yang selama ini ditawarkan dan

senantiasa digunakan oleh aliran konservatif. Sementara itu aliran yang

menginginkan satu konsep kebebasan peserta didik dalam pendidikannya

merupakan salah satu konsep yang ditawarkan oleh para pemikir-pemikir

liberal pendidikan.

Jadi salah satu yang menjadi permasalahan dalam pendidikan selama

ini adalah kurang dihargainya kebebasan individu (anak didik) dalam proses

perkembangannya. Sehingga yang terjadi kemudian individu-individu tersebut

menjadi seseorang yang kurang progresif, kurang aktif dan selalu gamang

dalam menentukan dan menjawab tuntutan zaman dan masa depan. Oleh

karena itu konsep pendidikan liberalis lebih memungkinkan seseorang dalam

menyongsong masa depannya agar lebih baik, karena di dalamnya terkandung

nilai-nilai kebebasan untuk melakukan sesuatu yang berarti bebas dalam

2Redja Mudyahardja, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja

Rosda Karya, 2001), hlm. 45-46.

48

menentukan nasib dan juga masa depannya sendiri lewat proses pendidikan

yang ia miliki tentunya.

1. Pengertian Pendidikan Liberal

Dalam hal ini penulis hanya akan menguraikan tentang pengertian

mengenai liberal, karena pengertian mengenai pendidikan sudah banyak

dikupas dalam bab sebelumnya. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia

kata liberal berarti bersifat bebas, berpandangan bebas (luas dan terbuka),

sedangkan liberalis berarti kaum liberal, penganut liberalisme.3 Saliman

dan Sudarsono dalam Kamus Pendidikan, Pengajaran dan Umum

mengartikan liberal sebagai sesuatu yang berhubungan dengan bebas

berpandangan luas.4 Senada dengan kedua pengertian di atas namun

sedikit lebih luas dalam kamus Populer dijelaskan bahwa liberal

mempunyai arti murah hati, luas (pendirian, wawasan), bebas, berkenaan

dengan kebebasan bagi individu atau partikelir, royal, bebas dalam

berpendapat. Sedangkan liberalis diartikan sebagai pendermawan, orang

dermawan, (orang) yang mempunyai pendirian atau wawasan yang luas,

bercorak (liberal) isme, penganut liberalisme.5 Perlu menjadi catatan

bahwa liberal lebih menekankan kebebasan individu.

Banyak kalangan terutama umat Islam dan masyarakat Indonesia

pada umumnya yang masih alergi ketika mendengar istilah liberal. Istilah

ini disalah artikan sebagai sesuatu yang berorientasikan ke dunia Barat,

atau ke barat-baratan yang cenderung sekuler. Sebetulnya secara

etimologis liberal memiliki makna; willing to tolerate behaviour, opinion

etc different from our’s own open to new idea, berarti juga (of education)

concerned mainly with increasing sb’s general knowledge and experience

rather than with tehnical and professional training.(Oxford Advonced

3Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), edisi kedua, hlm. 522.

4Saliman dan Sudarsono, Kamus Pendidikan, Pengajaran dan Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hlm.132.

5Pius A. Partanto dam M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilimiah Populer, (Surabaya: Arloka, 2001), hlm. 409.

49

learmer’s Dictionary: P.678)6. Jadi dengan melihat hal di atas maka istilah

liberal kalau dipandang dalam kacamata pendidikan lebih menekankan

adanya keterbukaan terhadap ide-ide atau pendapat yang berbeda dengan

pandangannya sendiri, yang ide dan pendapat itu berasal dari orang lain.

Lebih jauh lagi, dalam dunia pendidikan istilah liberal lebih berorientasi

pada pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam

pendidikan sendiri.

Sehingga pendidikan liberal merupakan salah satu bentuk

pendidikan yang mengutamakan kebebasan individu dalam prosesnya.

Banyak sekali tokoh pendidikan yang memperjuangkan kebebasan

individu sebagai salah satu faktor yang dapat menentukan berhasil

tidaknya suatu proses pendidikan. Salah satu tokoh pendidikan liberal

yang terkemuka hingga saat ini adalah Paulo Freire.

2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Liberal

a. Dasar Pendidikan liberal

Dasar dari pendidikan liberal adalah kebebasan dan juga

pembebasan. Hal itu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan awal dari

pendidikan yaitu membebaskan manusia dari segala keterkungkungan

yang selama ini membelit kehidupannya, baik itu yang bersifat

jasmani maupun rohani, materiil maupun spirituil. Sebagaimana dalam

Islam juga memandang bahwa kebebasan seseorang merupakan salah

satu fitrah yang memang diberikan oleh Allah SWT, untuk senantiasa

dijaga, dihargai dan juga dihormati.

Dalam hal ini, Islam memandang bahwa kebebasan merupakan

salah satu hak asasi manusia yang harus dihormati dan dijaga.

Kebebasan juga merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling

fundamental. Kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kebebasan

dalam berpikir, berkehendak dan juga berbuat. Dengan kebebasan

inilah manusia akan memiliki dinamika, daya adaptasi terhadap

6Mahfud Junaidi dan Rikza Chamami, “Toward Liberal Islamic Education”, dalam Jurnal

Edukasi, Volume I, Th.X/Desember/2002, hlm. 43.

50

lingkungan dan kreativitas hidup, sehingga kehidupan manusia dan

juga lingkungan hidupnya lebih bervariasi, lebih beraneka ragam dan

juga lebih bermakna.

Dengan kebebasan yang dimilikinya, manusia mampu memilih

mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah, mana yang

bermanfaat mana yang tidak bermanfaat dan mendatangkan

kemadlaratan. Kebebasan ibarat pisau bermata dua, satu sisi akan

mengangkat manusia ke martabat kemuliaannya dan satu sisi lain akan

menjatuhkan ke derajat yang rendah bahkan lebih rendah dari pada

binatang.7 Dan tentang kebebasan itu sebagaimana firman Allah dalam

QS. Ar-Ra’du ayat 11.

)11:الرعد( ان اهللا ال يغير ما بقو م حتئ يغيروا ما با نفسهم

Artinya : “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan satu kaum, sehingga mereka mengubah dirinya sendiri” (QS. Ar Ra’du: 11)8

Dalam surat tersebut dijelaskan mengenai peranan manusia

dalam melakukan perubahan pada dirinya dan lingkungannya, dan

semua itu tidak akan bisa terwujud apabila potensi kebebasan dalam

melakukan perubahan tersebut tidak dimiliki oleh mereka. Dengan

kata lain potensi kebebasan dalam diri masing-masing individu harus

senantiasa teraktualisasikan dan diekpresikan dalam melakukan segala

perubahan ke arah yang lebih baik dan lebih maju.

Tentang adanya kebebasan manusia dalam berbuat sesuai

dengan hati nuraninya juga ditunjukkan oleh Allah dengan QS. Al-

Fushshilat ayat 40.

)40:الفصلت (اعملوا ما شئتم انه بما تعملون بصير Artinya: “dan berbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia melihat apa yang kamu perbuat (QS. Al-Fushilat: 40).9

7Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2005), cet. I, hlm. 64. 8Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab

Suci Al-Qur’an Depag RI, 1983), hlm. 370. 9Ibid, hlm. 779.

51

Dalam surat ini manusia dibebaskan melakukan dan berbuat

apapun sesuai dengan keinginan dan kemampuannya. Namun, kalau

mau dicermati ayat diatas juga menerangkan bahwa kebebasan

tersebut harus bertanggung jawab, karena pada dasarnya hal tersebut

selalu ada yang mengawasi yaitu Allah SWT. Sehingga dapat

dikatakan pula bahwa sesungguhnya kebebasan yang dimiliki oleh

manusia sangatlah terbatas, untuk itulah kebebasan yang telah di

anugerahkan kepada manusia harus selalu dijaga dan digunakan untuk

melakukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan lingkungannya.

Dan isyarat akan keterbatasan manusia dalam kebebasannya

tersebut juga tercermin dalam QS. Al-Isra ayat 84.

قل آل يعمل على شا آلته فربكم اعلم بمن هواهدى سبيال

)84: اسرئيل بني(

Artinya: Katakanlah: tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yag lebih benar jalannya. (QS. Al-Isra’: 84)10

Dengan melihat hal di atas, semakin menjadi jelas bahwasanya

kebebasan adalah sesuatu yang amat penting bagi seseorang. Sebagai

seorang yang memiliki kemerdekaan sudah sepantasnya memiliki

kebebasannya tersebut. Adanya kebebasan pada diri seseorang

merupakan salah satu wujud eksistensi dari orang itu. Dan dari sanalah

ekspresi, dan kreasi dari manusia akan lahir, hal itu bertujuan untuk

membuat kehidupan ini menjadi lebih dinamis.

Kebebasan sendiri menurut pandangan Islam bersifat asasi,

oleh kerena itu setiap manusia harus senantiasa menggunakan

kebebasan sesuai dengan hati nurani dan juga aturan yang berlaku

dalam masyarakat. Karena memang pada dasarnya kebebasan

merupakan fitrah dan hak asasi setiap orang. Allah sendiri melarang

kita merampas hak serta kebebasan orang lain, dan sebaliknya kita

dituntut supaya dapat menghargai kebebasan orang lain tersebut.

10Ibid., hlm. 437.

52

Yang menjadi permasalahan kemudian adalah apakah

kebebasan yang diberikan kepada manusia merupakan kebebasan

mutlak atau kebebasan yang terbatas. Pemilik kebebasan mutlak hanya

Allah SWT. Karena manusia merupakan salah satu wakil Tuhan di

muka bumi ini yang diberi seperangkat alat dan modal kerja, di

antaranya adalah kebebasan, maka kebebasan manusia terbatas. Yang

membatasi kebebasan manusia tak lain adalah tanggung jawab kepada

Allah. Sebenarnya tanggung jawab tersebut datang dari diri sendiri

sebagai akibat dari kebebasannya untuk memilih yang baik atau yang

buruk. Dengan perkataan lain yang membatasi kebebasan itu adalah

dirinya sendiri. Tanggungjawab dalam Islam adalah pangkal dan

ujung dari kebebasan.11

Hal ini juga yang menurut Freire merupakan dasar dari sebuah

pendidikan. Freire mengatakan konsep pendidikan harus terbuka pada

pengenalan realitas diri, atau praktik pendidikan harus

mengimplikasikan tentang konsep manusia dan dunianya, agar

manusia menjadi subyek dari dirinya sendiri.12 Ini berarti bahwa

dalam diri manusia terdapat satu fitrah kebebasan yang merupakan

salah faktor penentu untuk melakukan segala sesuatu di dunia ini.

Kebebasan ini pula yang nantinya akan membuat kehidupan seseorang

dapat menemukan tujuan yang hendak dicapai atau sebaliknya akan

menemukan satu kegagalan, semua itu tergantung pada manusianya

sendiri sebagai pelaku.

b. Tujuan Pendidikan Liberal

Sedangkan yang menjadi tujuan dari pendidikan liberal secara

jangka panjang adalah untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan

sosial yang ada dengan cara mengajar siswa atau peserta didik

bagaimana caranya menghadapi persoalan-persoalan dalam

11Achmadi, op. cit., hlm. 66. 12Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasi Realitas Sosial, (Yogyakarta: Logung Pustaka,

2004), hlm. 4.

53

kehidupannya sendiri secara efektif.13 Dalam hal ini, dengan lebih

mengedepankan rasionalisme, individual dan juga kebebasan sebagai

faktor yang mempengaruhi pendidikan liberal seseorang mempunyai

sisi positif, walaupun tidak menutup kemungkinan memiliki sisi

negatif juga.

Segi positif yang akan tampak pada pendidikan liberal

sebagaimana bisa kita lihat di dunia Barat adalah tumbuhnya semangat

untuk melakukan sesuatu dengan kreatif, inovatif dalam

mengoptimalkan kemampuan individu agar sanggup bersaing dan

bertanggungjawab pada iklim yang penuh kapitalisme tersebut. Dalam

dunia pendidikan lebih diarahkan pada tercapainya kualitas akademis

dan juga profesional.

Sedangkan dalam pandangan Islam dengan mengingat begitu

pentingnya anugerah kebebasan, maka implikasinya dalam pendidikan

tidak dibenarkan adanya pendidikan yang menindas kebebasan,

sebaliknya pendidikan harus mengembangkan dan mengarahkan

kebebasan peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi-potensi

yang dimilikinya sehingga menjadi manusia yang mampu bertanggung

jawab atas keberadaannya.14 Dalam arti luas pendidikan liberal lebih

menekankan bagaimana seorang manusia menjadi sebuah subyek yang

akan dapat menentukan garis kehidupannya sendiri. Intervensi dunia

luar merupakan bagian dari proses perjalanan manusia untuk mencapai

tujuannya, namun demikian sebagai penentu keberhasilannya tetap

berada pada masing-masing individu tersebut.

Sebagaimana dikatakan Freire bahwa pendidikan merupakan

praksis dari pembebasan. Dalam hal ini pendidikan liberal yang

dilakukan oleh Freire adalah dengan metode pendidikannya yang

bersifat aktif dan secara tidak langsung merefleksikan apa yang

13William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan Judul asli Educational Ideologies:

Contemporary Expressions of Educational Philosophies,(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001), cet. I, hlm. 108.

14Achmadi, op. cit., hlm. 67.

54

terjadi dalam dunia nyata. Ini dikarenakan karena manusia merupakan

makhluk yang eksistensial yang ada dalam dan bersama dunia.

Interaksi dengan dunia adalah wadah atau sarana atau tempat bagi

permenungan manusia. Inilah sebenarnya yang dimaksud Freire

dengan pendidikan sebagai proses pembebasan.15

Sedangkan menurut Robert Maynard Hutchins bahwa tujuan

pendidikan liberal bukanlah mendidik anak-anak muda agar

menguasai segala hal yang akan mereka butuhkan. Tetapi pendidikan

liberal ingin memberikan mereka kebiasaan-kebiasaan, gagasan-

gagasan, dan teknik-teknik yang mereka perlukan untuk meneruskan

mendidik diri mereka sendiri. Maka tujuan lembaga formal pendidikan

liberal (sekolah, perguruan tinggi) adalah untuk mempersiapkan anak-

anak muda untuk belajar dan belajar lagi seumur hidup mereka.16

Kalau mau dicermati apa yang diungkapkan Robert Maynard di atas

mengandung arti bahwa peran peserta didik sangat dominan dalam

menentukan masa depannya, sedangkan lingkungan luar merupakan

media dan wahana pendukung keberhasilannya tersebut.

3. Perkembangan Pendidikan Liberal

Sebagaimana diketahui bahwa pola perkembangan pendidikan

liberal pada mulanya bermuara dan terjadi karena adanya modernisasi

di Barat. Semuanya itu lebih melihat pada pola kebebasan individu

sebagai dasarnya, sebenarnya adanya fenomena modernisasi adalah

merupakan salah satu proses counter atas hegemoni otoritas gereja

pada saat itu. Dalam hal ini pendidikan yang berparadigma liberal ini

biasanya bernuansa progresif (ke depan) dan merupakan bentuk

pengakuan sepenuhnya atas kebebasan manusia. Karena aliran yang

berparadigma ini termasuk beraliran progresif dan eksistensialis.

15Siti Murtiningsih,Pendidikan Alat Perlawanan; Teori Pendidikan Radikal Paulo

Freire,(Yogyakarta; Resist Book, 2004), cet. I, hlm. 62. 16Paulo Freire dkk, Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. V, hlm. 114.

55

Perkembangan liberal dimulai pasca filosof Thomas Aquinas

(1225-1274), dimana saat itu peradaban di Barat mulai tercerahkan

sewaktu kedatangan seorang filosof Rene Descartes yang

mendeklarasikan filsafat Rasionalisme-nya. Kehadiran Descartes

dengan filsafat rasionalismenya bisa dikatakan sebagai penyelamat

peradaban Barat yang pada waktu itu telah tenggelam kedalam nuansa

taklidisme. Descartes membuka pintu “pencerahan” (aufklarung) bagi

peradaban Barat untuk mengakui kebebasan individual. Penjegalan

kebebasan individu dimasa Skolastik telah menenggelamkan

eksistensi manusia kala itu. Maka, era kebebasan dengan pemahaman

keilmuann yang baru, “rasionalisme” menjadi satu pertanda baik bagi

keberadaan (eksistensi) manusia, sebab manusia dengan seluruh

potensi yang dimilikinya sangat diakui dan dihargai. Karakter

rasionalis dan pengakuan terhadap hak-hak individual menjadi salah

satu karakter utama filsafat progresivisme dan eksistensialisme.17

Selanjutnya dengan melihat serta membaca gelombang

modernisasi Barat, maka akan dapat kita temukan karakter dari

modernisasi tersebut. Karena dengan proses itulah akan tampak satu

bentuk perubahan dimana kebebasan individu lewat peran dominasi

rasio mulai dapat dirasakan. Dalam hal ini karakter modernitas yang

terbentuk dari semangat rasionalisme diantaranya dapat kita ketahui:

pertama; mengakui sepenuhnya kebebasan manusia dengan seluruh

potensi yang ia miliki. Dalam hal ini konsekuensi dari adanya

modernisasi yang sepenuhnya bersifat rasional telah mewajibkan

kebebasan itu. Kebebasan manusia yang menjadi salah satu karakter

dari modernisasi itulah yang kemudian menjadikan manusia lebih

bersikap egoistis. Kedua; filasafat rasionalisme yang bermula dari

cogito nya Descartes bercirikan akal (ratio). Oleh karena itu seluruh

pengetahuan dibangun atas asumsi-asumsi rasional. Sehingga hal itu

17Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis; Menelanjangi Problematika, Meretas Masa Depan

Pendidikan Kita,(Yogyakarta, IRCiSoD, 2005), hlm. 49.

56

memperkuat bahwa pengetahuan bukan hanya di bangun berdasarkan

asumsi-asumsi filosofis, dan bukan sekedar dengan pengalaman

empiris. Akan tetapi merupakan manifestasi dari ide-ide dalam realitas

empirisnya. Ketiga; modernisasi juga mempunyai satu karekter yang

bernuansa empiris. Dalam hal ini dikemukakan bahwa pengetahuan

rasional tidak hanya dilahirkan dari asumsi-asumsi rasional saja,

melainkan harus teruji secara empiris.

Kemudian dari sanalah akan lahir pengetahuan modern yang

lebih bersifat positivistik. Manusia di abad modern memiliki karakter

rasional, bebas, dan berhaluan positivistik. Dari sanalah kemudian

muncul paradigma pendidikan liberal.18 Dalam hal itu, pendidikan

liberal yang memang lebih mengutamakan kebebasan sebagai salah

satu karakternya merupakan bentuk pendidikan modern yang banyak

membuat perubahan dibidang pendidikan khususnya, maupun dalam

kehidupan sosial pada umumnya.

Di samping itu, era modernisme pendidikan dapat juga

dikatakan lahir dengan adanya Renaissance. Di mana era tersebut

merupakan suatu zaman yang sangat menaruh perhatian dalam bidang

seni lukis, patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu

pengetahuan, dan juga teknologi. Pada zaman ini, berbagai gerakan

bersatu untuk menentang pola pemikiran abad pertengahan yang

dogmatis. Sehingga dari sanalah lahir satu perubahan yang

revolusioner dalam pemikiran manusia dan membentuk satu pola

pemikiran baru dalam filsafat.

Zaman renaissance terkenal dengan era kelahiran kembali

kebebasan manusia dalam berpikir. Renaissance adalah zaman atau

gerakan yang didukung oleh cita-cita lahirnya kembali manusia yang

bebas. Manusia bebas yang di maksud adalah seperti yang ada dalam

zaman Yunani kuno. Pada zaman renaissance manusia Barat mulai

berfikir secara baru, dan secara berangsur-angsur melepaskan diri dari

18Ibid, hlm. 50.

57

otoritas kekuasaan gereja yang selama ini telah “mengungkung”

kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu

pengetahuan.19

Dalam perkembangannya kemudian pendidikan dengan

paradigma liberal ini, memang menjadi tren tersendiri di dunia Barat.

Dengan konsep kebebasan pengembangan potensi manusia, serta

sangat menghargai adanya kebebasan individu, manjadikan

pendidikan liberal patut untuk dijadikan salah satu alernatif

pendidikan di dunia ini. Namun, dibalik itu semua pendidikan liberal

masih mempertahankan kemapanan, tentunya kemapanan yang

dimaksud adalah sesuatu yang masih dianggap berguna dan baik untuk

dilakukan. Dari sisi lainnya pendidikan ini cenderung jauh dari nilai-

nilai transenden, karena lebih mengutamakan kebebasan dan kekuatan

rasio di atas segala-galanya. Dan inilah yang menjadi salah satu

kelemahan dari pendidikan liberal model Barat.

B. Pendidikan Humanis

Potensi kemanusiaan adalah sesuatu yang terpenting dalam

pendidikan, untuk itulah potensi manusia tersebut harus dikembangkan

dengan baik. Manusia juga merupakan salah satu makhluk yang harus di

hargai. Untuk itulah salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan

adalah bagaimana pendidikan tersebut mampu berfungsi sebagai proses

memanusiakan manusia. Selain itu tugas dari pendidikan sendiri adalah

bagaimana mengangkat manusia yang mengalami dehumanisasi ke dataran

humanisasi. Ini merupakan hal yang penting karena selama ini pendidikan

yang ada belum sepenuhnya melakukan proses tersebut. Bahkan kesan yang

ada adalah bahwa pendidikan merupakan alat untuk melanggengkan

dehumanisasi, oleh sebab itu hal tersebut harus segera dihilangkan dari dunia

pendidikan.

19Ali Maksum, dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern; Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004), cet. Pertama, hlm. 34-35.

58

Sebagaimana yang selalu ditekankan oleh Freire bahwa fitrah manusia

sejati adalah menjadi pelaku. Manusia merupakan pelaku atau subyek

bukanlah penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi

pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang

menindas atau mungkin menindasnya. Manusia adalah penguasa atas dirinya,

karena itu fitrah manusia adalah merdeka, menjadi bebas. Ini merupakan

tujuan akhir dari upaya humanisasi yang dilakukan oleh Freire.20

Oleh sebab itulah pendidikan dituntut untuk senantiasa memberikan

penghargaan yang lebih kepada manusia sebagai pelaku dari pendidikan

sendiri. Mengenai manusia merupakan penguasa dan pelaku merupakan satu

kodrat yang harus diterima. Sebagaimana ungkapan Gus Mus yang

mengatakan bahwa “saya itu, asal Tuhan (Allah) tidak melarang saya tetap

jalan, selain Allah saya ini penguasa”.21 Dalam konteks tersebut manusia

merupakan satu individu yang berkuasa atas dirinya sendiri, ini berarti dia

berhak melakukan segala sesuatu menurut kemampuan dan kemauan dirinya

sendiri, sedangkan orang lain harus menghormati keadaan tersebut. Asalkan

tidak membuat kerugian bagi orang lain, maka hal itu tidak perlu dijadikan

masalah. Dengan adanya saling menghargai hak dan kewajiban antar sesama

tersebut, berarti proses pendidikan humanis telah berlangsung.

1. Pengertian Pendidikan Humanis

Dalam masalah ini penulis hanya akan menjelaskan mengenai

definisi yang berkaitan dengan pendidikan humanis secara langsung.

Karena definisi pendidikan sendiri sudah banyak di ungkap di bab depan.

Humanis berasal dari kata Human22 (Inggris) yang berarti manusiawi.

Menurut Pius A Partanto dan Dahlan Al-Barry menyebutkan bahwa

Human berarti mengenai manusia, cara manusia, sedangkan humanis

sendiri berarti seorang yang human, penganut ajaran huminisme.

20Paulo Freire, Politik Pendidikan, Kebudayaan, kekuasaan dan Pembebzsan,

(Yogyakarta: kerjasama Pustaka Pelajar dan ReaD, 2002), cet. IV, hlm. IX. 21Abu Asma Anshari, Abdullah Zaim, Naibul Umam ES, Ngetan Ngulon Ketemu Gus

Mus: Refleksi 61 Th K.H. A Mustofa Bisri, (Semarang: HM Foundation, 2005), Cet. I, hlm. 187. 22John M. Echols, Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris judul asli An Indonesian-

Engglish Dictionary (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998), cet.VI, hlm. 362.

59

Sedangkan humanisme sendiri adalah suatu doktrin yang menekankan

kepentingan kemanusiaan dan ideal (humanisme di zaman Renaissan

didasarkan atas peradaban Yunani purba sedangkan humanisme modern

menempatkan manusia secara eksklusif.23

Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa

human: bersifat manusiawi, (seperti manusia yang dibedakan dengan

binatang, jin, dan malaikat) berperikemanusiaan ,baik budi, budi luhur

dsb. Humanis adalah orang yang mendambakan dan memperjuangkan

terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik berdasarkan asas-asas

kemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat manusia (1), penganut

paham yang menganggap manusia sebagai obyek terpenting (2), penganut

paham humanisme (3).24 Hal yang hampir senada juga terdapat pada

kamus pendidikan, pengajaran dan umum karya Saliman dan Sudarsono.

Dari sana dapat ditarik bahwa pendidikan humanis adalah proses

pendidikan penganut aliran humanisme, yang berarti proses pendidikan

yang menempatkan seseorang sebagai salah satu objek terpenting dalam

pendidikan. Namun, kata obyek di sini bukan berarti sebagai penderita,

melainkan menempatkan manusia sebagai salah satu subyek (pelaku)

yang sebenarnya dalam pendidikan itu sendiri. Hal itu seperti yang di cita-

citakan oleh Freire bahwa manusia adalah pelaku dalam pendidikan.

Menurut Darmanto Djatman Sebagaimana diketahui bahwa

humanis adalah pejuang kemanusiaan. Pejuang harkat dan martabat

manusia. Namun, tidak dengan sendirinya seorang yang berideologikan

“humanisme” adalah seorang humanis. Tidaklah mengherankan apabila

orang berpendapat: seorang humanis mestilah seorang yang bebas, karena

hanya mereka yang bebaslah yang boleh bertanggung jawab.25 Itu berarti

pendidikan humanis merupakan satu proses pendidikan yang di dalamnya

selalu mengutamakan kepentingan manusia sebagai seseorang yang

senantiasa harus mendapatkan segala haknya sebagai manusia. Hak yang

23Pius A. Partanto, M Dahlan Al Barry, op. cit., hlm. 234. 24Tim Pnyususun Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., hlm. 361. 25Darmanto Jatman, Psikologi Terbuka, (Semarang: Limpad, 2005), hlm. 109.

60

dimaksud adalah hak kebebasan dalam meningkatkan harkat, martabat

serta derajatnya sebagai manusia sesungguhnya, yang dilakukan melalui

proses pendidikan.

Pendidikan humanis sendiri tidak bisa dilepaskan dari peranan

humanisme sebagai filsafat. Abdurrahman Mas’ud dalam bukunya

Menggagas Format Pendidikan Non Dikotomik menjelaskan bahwa

humanisme “Humanism teaches us that it is immoral to wait for God to

act for us. We must act to stop the wars and the crimes and the brutality of

this and future ages. We have powers of a remarkable kind. We have a

high degree of freedom in choosing what we will do. Humanism tell us

that whatever our philosophy of the universe may be, ultimately the

responsibility for the kind of world in which we live rests with us:

Humanisme mengajarkan kepada kita bahwa tidak bermoral untuk

menantikan Tuhan bertindak atas nama kita. Kita harus bertindak untuk

menghentikan peperangan, kejahatan dan kekejaman ini dan masa depan

berbagai zaman. Kita mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kita

mempunyai suatu derajat tinggi kebebasan dalam memiliki apa yang akan

kita lakukan. Humanisme menunjukkan bahwa apapun juga yang filosofi

kita menyangkut alam semesta sehingga muncul tanggung jawab untuk

dunia dimana kita hidup terletak ditangan kita).26

Sedangkan Ali Syari’ati berpendapat bahwa humanisme

merupakan ungkapan dari sekumpulan nilai-nilai Ilahiah yang ada dalam

diri manusia yang merupakan petunjuk agama dalam kebudayaan moral

manusia yang tidak berhasil dibuktikan adanya oleh ideologi-ideologi

modern akibat pengingkaran mereka terhadap agama.27

Dari uraian di atas jelas bahwa sesungguhnya manusia memegang

peranan penting dalam kehidupannya. Dalam hal itu, manusia merupakan

pemegang kebebasannya dalam melakukan sesuatu yang terbaik bagi

26Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, (Yogyakarta: Gama Media,

2003), hlm. 275. 27Ali Syari’ati, Humanisme: Antara Islam dan Mazhab Barat dalam Muta’akhirin,

Implementasi Pendidikan Humanisme Religius di Pesantren, Skripsi, hlm. 33.

61

dirinya saat ini, dan juga bagi masa depannya yang akan datang. Sehingga

bisa dikatakan bahwa kedudukan manusia dalam dunia ini sangatlah

tinggi, karena dibekali dengan potensi-potensi kebebasan dalam

melakukan hal terbaik bagi dirinya..

2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Humanis

a. Dasar Pendidikan Humanis

Dalam hal ini jelas sekali bahwa yang melandasi dan

mendasari adanya pendidikan humanis adalah adanya kesamaan

kedudukan manusia. Ini berarti bahwa manusia satu dengan yang lain

adalah sama, tidak ada yang sempurna, semua individu memiliki

kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk itulah harus saling

menghargai dan menghormati segala perbedaan tersebut. Lebih-lebih

dalam Islam di ajarkan bahwa kedudukan manusia adalah sama yang

membedakan hanyalah derajat ketaqwaannya saja. Sebagaimana

tersebut dalam QS. Al-Hujarat: 13

يايهاالناس اناخلقنكم من د آروانثى وجعلنكم شعوباوقبائل لتعا

)13:الحجرات( خبيررفوا ان اآرمكم عند اهللا اتقكم ان اهللا عليم Artinya: Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan

kamu dari laki-laki dan perempuan dan telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu sekalian disisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha melihat. (ََ QS. Al-Hujuraat: 13).28

Dengan melihat gambaran ayat di atas semakin jelas bahwa,

manusia di ciptakan di dunia ini untuk saling mengenal. Mengenal di

sini bukan hanya sebatas tahu nama, tetapi lebih dari itu, harus saling

mengerti hak, dan kewajiban serta tanggung jawab masing-masing

untuk hidup di dunia ini. Di samping itu, manusia juga dituntut untuk

28Departemen Agama RI, op. cit.,, hlm. 846.

62

saling menghargai, menghormati dan saling tolong-menolong antar

sesamanya.

Karena pada prinsipnya mereka di ciptakan (terlebih umat

Islam) sebagai umat yang satu, dan dianjurkan untuk saling tolong-

menolong. Karena mereka tidak akan bisa hidup sendirian, mereka

memerlukan orang lain untuk menjaga dan melangsungkan kehidupan

di dunia agar perjalanan kehidupan ini menjadi lebih dinamis.

Sebagaimana telah di jelaskan Allah dalam firman-Nya QS.

Al-Anbiya’ ayat 92.

)92: االنياء(مة واحدة متكم ا ا ان هذه

Artinya: Sesungguhnya umatmu adalah umat yang satu… (QS. Al-Anbiya: 92)29

Ayat di atas lebih menekankan bahwa manusia sesungguhnya

satu, dan berasal dari yang Satu. Untuk itulah dalam kehidupan ini di

tuntut untuk saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Karena

bagaimana pun juga manusia itu tidak ada yang sempurna, hanya

dengan saling melengkapilah manusia itu dapat menjadikan suatu

kekurangan yang dimiliki satu orang dapat ditutupi dengan kelebihan

saudaranya, dan sebaliknya juga begitu. Karena itulah diperintahkan

agar satu dengan yang lain saling mengisi dan saling memahami serta

saling melengkapi. Dan yang tak kalah pentingnya dalam kehidupan

ini harus saling membantu satu dengan yang lainnya. Dari sinilah

tampak jelas bahwa nilai-nilai humanisme dalam kehidupan ini sangat

ditekankan untuk selalu dimiliki oleh setiap orang.

Sedangkan mengenai kewajiban untuk saling tolong-menolong

dijelaskan dalam QS. Al-Maidah ayat 2.

وتعا ونوا على البروالتقوى والتعا ونوا على االثم والعد وان

)2: الما ئدة(

29Ibid., hlm. 505.

63

Artinya: Dan bertolong-menolonglah kamu dalam kebaikan, dan taqwa, tetapi jangan bertolong-menolong dalam dosa dan permusuhan (QS.Al-Maidah: 2).30

Dari ayat di atas, dapat ditarik satu pemahaman bahwa hanya

dalam kebaikan sajalah manusia dianjurkan untuk saling menolong,

sedangkan dalam masalah kejahatan dan permusuhan sangat dilarang

sekali. Ini berarti bahwa dalam perintah tersebut bermuatan untuk

saling menghargai dan menghormati antar sesama. Hal itu juga

tercermin dalam QS. Al-Hujaraat ayat 10.

انماالمؤمنون اخوة فاصلحوا بين اخويكم واتقوااهللا لعلكم

)10:الحجرات( ترحمون Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara

maka pergaulilah dengan baik di antara saudaramu, dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu termasuk orang-orang yang mendapatkan kasih sayang (QS. Al-Hujarat: 10).31

Kalau ditarik dalam frame pendidikan, maka ayat-ayat di atas

mengandung satu proses pendidikan humanis yang sangat mulia

sekali. Di sana dijelaskan bukan hanya umat Islam saja yang dituntut

untuk saling mengenal, menghormati, menghargai, saling membantu

serta saling tolong-menolong, tetapi lebih dari itu seluruh umat

manusia di anjurkan untuk melakukan ajaran tersebut.

Dengan demikian jelas bahwa pendidikan humanis merupakan

salah satu proses memanusiakan manusia, dan hal itulah yang sering

digembar-gemborkan oleh salah seorang pejuang pendidikan asal

Brazilia Paulo Freire. Dalam pandangannya tugas utama pendidikan

adalah bagaimana proses tersebut mampu membawa manusia tersebut

keluar dari segala keterkungkungannya, baik itu yang disebabkan oleh

dirinya sendiri, orang lain maupun oleh lingkungannya. Dan lebih dari

itu, supaya mampu mengangkat harkat, martabat serta derajat manusia

30Ibid., hlm. 156. 31Ibid., hlm. 846.

64

sebagai manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang mempunyai

derajat mulia dibandingkan dengan makhluk Tuhan yang lain.

b. Tujuan Pendidikan Humanis

Sedangkan tujuan dari pendidikan humanis adalah terciptanya

satu proses dan pola pendidikan yang senantiasa menempatkan

manusia sebagai manusia. Yaitu manusia yang memiliki segala

potensi yang dimilikinya, baik potensi yang berupa fisik, psikis,

maupun spiritual yang perlu untuk mendapatkan bimbingan.

Kemudian yang perlu menjadi catatan adalah bahwa masing-masing

potensi yang dimiliki oleh manusia itu berbeda satu dengan yang

lainnya. Dan semuanya itu perlu sikap arif dalam memahami, dan

saling menghormati serta selalu menempatkan manusia yang

bersangkutan sesuai dengan tempatnya masing-masing adalah cara

paling tepat untuk mewujudkan pendidikan humanis.

Dengan demikian pendidikan yang senantiasa menempatkan

seorang peserta didik sebagai seorang yang kurang tahu, atau dengan

kata lain bahwa pendidik-lah yang paling tahu bukan merupakan ciri

dari pendidikan yang humanis. Sebagaimana yang sering terjadi

bahkan hingga saat ini, praktek semacam itu masih terus berlangsung

dalam dunia pendidikan kita (Indonesia) bahkan dalam dunia

pendidikan Islam sendiri sebagai pemilik konsep humanisme masih

terjadi hal yang serupa. Dan hal itulah yang harus segera dirubah,

karena bagaimanapun juga sesuai dengan konsep dan tujuan

pendidikan, khususnya pendidikan Islam bertujuan pada terbentuknya

satu pribadi seutuhnya, yang sadar akan dirinya sendiri selaku hamba

Allah, dan kesadaran selaku anggota masyarakat yang harus memiliki

rasa tanggung jawab sosial terhadap pembinaan masyarakat serta

menanamkan kemampuan manusia, untuk mengelola, memanfaatkan

65

alam sekitar ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan manusia

dan kegiatan ibadahnya kepada Khalik pencipta alam itu sendiri.32

Dalam hal pendidikan harus menjadi sebuah wahana untuk

membentuk peradaban yang humanis terhadap seseorang untuk

menjadi bekal bagi dirinya dalam menjalani kehidupannya.33 Dengan

demikian, pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang

harus senantiasa dihormati, begitu juga proses dalam pendidikan itu

sendiri harus senantiasa mencerminkan nilai-nilai humanisme.

Sebagaimana dijelaskan bahwa saat ini dalam perjalanan peradaban

manusia, akhirnya secara tegas mereka menetapkan bahwa pendidikan

merupakan salah satu hak-hak asasi manusia. Dan semua itu di

deklarasikan dalam deklarasi universal HAM akhir perang dunia ke

II.34

Apa yang menjadi tujuan di atas, seakan semakin

mengukuhkan bahwa pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai

humanis harus senantiasa dijalankan dan dikembangkan dalam dunia

pendidikan saat ini. Sebagaimana sudah menjadi satu kesepakatan

para ahli pendidikan sejak dulu sampai sekarang yang selalu

berkeinginan untuk mewujudkan satu proses pendidikan yang benar-

benar berlandaskan dan sesuai dengan nilai-nilai humanisme. Dan hal

itu pula yang sebenarnya tertuang dalam ajaran Islam yaitu dalam Al-

Qur’an dan Hadist, kedua sumber pendidikan Islam inilah yang

sebenarnya terdapat ajaran untuk senantiasa memiliki dan

melaksanakan nilai-nilai humanisme dalam menjalani hidup dan

kehidupan ini, begitu pula dalam dunia pendidikan.

3. Perkembangan pendidikan Humanis

32M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 133. 33Muhammad AR, Pendidikan di Alaf Baru: Rekonstruksi atas Moralitas Pendidikan,

(Yogyakarta: Prismashopie, 2003), hlm. 5. 34Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan; Antara Kompetisi dan Keadilan,

(Yogyakarta: Insist Cindelaras, Pusataka Pelajar, 2001), cet. I, hlm. Viii.

66

Berbicara mengenai perkembangan pendidikan humanis secara

harfiah mungkin sulit untuk dijelaskan. Namun, humanisme pada

dasarnya mulai dibicarakan pada masa Yunani dan Romawi kuno. Kultur

humanisme adalah tradisi rasional dan empirik yang mula-mula berasal

dari Yunani dan Romawi kuno, kemudian berkembang melalui sejarah

Eropa. Humanisme kemudian menjadi bagian dasar pendekatan Barat

dalam pengetahuan, teori politik, etika dan juga hukum.35

Selanjutnya pada masa awal Renaissance sekitar abad ke 13

munculah semacam gerakan Rohaniyah-ilmiah di Italia, yang lebih

dikenal dengan gerakan humanisme yang mencoba berpaling dari konsep

humanisme yang telah ada pada zaman Yunani dan Romawi kuno. Dalam

perkembangannya apa yang terdapat di Italia merupakan gerakan

humanisme yang mengembangkan cita-cita kemanusiaan dan juga

pendidikan yang lebih komprehensif. Serta dalam perkembangannya

kemudian gerakan ini lebih mendasarkan pondasi agamanya pada

humanisme yang senantiasa menegakkan dan mengangkat martabat

kemanusiaan.

Disamping itu juga muncul humanisme Kristen yang di

definisikan oleh Webster di dalam kamusnya yang berjudul Third New

International Dictionary (kamus internasional baru ketiga). Dalam kamus

tersebut lebih dijelaskan bahwa dia merupakan salah satu penganjur

filsafat pemenuhan diri sendiri manusia dalam prinsip-prinsip Kristen. Ini

lebih berorientasi pada kepercayaan manusia yang sebagian besar

merupakan produk pencerahan dan bagian dari apa yang membuat

humanisme pencerahan. Kemudian muncul humanisme modern yang juga

disebut humanisme naturalistik (alam), humanisme Scientific (ilmiah),

humanisme meetik dan juga humanisme demokratis yang di definisikan

oleh seorang pemimpin pendukungnya, yaitu Charliss Lamont sebagai

berikut “sebagai filsafat alam, aliran ini menolak seluruh aliran

35Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik:Humanisme

Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam,(Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 129.

67

supranatural dan menyepakati utamanya di atas alasan dan ilmu,

demokrasi dan keharuan pada manusia”. Humanisme modern mempunyai

dua sumber yaitu sekuler dan agama 36

Dan selanjutnya aliran ini berkembang dengan sangat pesat di

dunia Barat, bahkan hingga saat ini konsep humanisme manjadi salah satu

hal yang sulit dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Barat. Begitu juga

hal serupa tampaknya mulai berkembang di dunia Timur dan juga di dunia

Islam pada khususnya. Dan memang harus diakui dengan konsep

pengagungan atas manusia menjadi daya tarik tersendiri bagi penganut

ajaran humanisme untuk senantiasa mengembangkan ajarannya hingga di

mana saja dan kapan saja.

Dalam dunia pendidikan, proses perkembangan humanisme dari

zaman Yunani-Romawi kuno hingga saat ini merupakan proses panjang

pendidikan, karena bagaimana pun juga diakui atau tidak pendidikan

sangat berpengaruh banyak pada perkembangan aliran ini menjadi lebih

besar. Dan kalau mau dicermati, maka pendidikan humanis secara tidak

langsung telah mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya

aliran humanisme itu sendiri.

C. Liberalisasi dan Humanisasi dalam Pendidikan Islam

1. Liberalisasi dalam Pendidikan Islam

Saat ini, pendidikan Islam dapat dikatakan masih jauh tertinggal

dengan pendidikan Barat. Walaupun bukan berarti pendidikan Islam kalah

dalam segala hal, namun secara keseluruhan diakui atau tidak pendidikan

Islam tertinggal jauh dengan pendidikan non Islam, yang banyak di wakili

oleh orang-orang dan negara Barat. Hal itu kalau dirunut maka akan

kelihatan bahwa salah satu penyebabnya adalah kekakuan dan kebekuan

pendidikan Islam sendiri. Memang harus diakui bahwa banyak sekali

problem mendasar yang saat ini masih menggelayuti pendidikan Islam,

yang itu menjadikan pendidikan Islam semakin rapuh.

36 Ibid, hlm. 29-30.

68

Kerapuhan pendidikan Islam sendiri tidak terlepas dari konteks

sejarah Islam sendiri, yang dalam beberapa fase telah menimbun potensi-

potensi kritis. Pendidikan Islam tidak mampu lagi melakukan analisa

terhadap problem yang dialami oleh masyarakat. Paling-paling yang

dilakukan sebatas analisa dalam dataran konsep dan tidak memiliki satu

landasan paradigmatik yang mantap.37 Daya kritis sebagai salah satu

bagian dari perubahan hilang bersama redupnya sejarah keislaman pasca

masa keemasan dulu.

Selain itu, masih kuatnya paradigma konservatif yang digunakan

dalam pendidikan Islam menjadi salah satu penyebab mengapa pendidikan

Islam kurang dapat bersaing dengan pendidikan lain, terutama pendidikan

Barat. Apalagi ditengah zaman yang serba modern, serta dalam arus

globalisasi yang setiap saat dapat menggilas siapa saja yang tidak siap

dalam menjalani masa sekarang ini. Begitu juga pendidikan Islam dituntut

untuk dapat memainkan perannya, sebagai salah satu pendidikan yang

dapat membawa perubahan dan kontribusi bagi umat Islam khususnya dan

bagi masyarakat luas pada umumnya.

Dan semua itu hanya dapat diwujudkan dengan revolusi dalam

pendidikan Islam sendiri. Revolusi yang di maksud adalah revolusi

menuju ke arah perubahan pendidikan Islam yang kaku, beku, konservatif,

tradisionalis menuju pendidikan Islam yang kritis, progresif, liberalis dan

juga humanis. Sebagaimana Freire mengajarkan kepada kita bahwa

revolusi yang berkuasa harus (masih) menciptakan masyarakat baru dan

pendidikan yang baru. Masyarakat baru tidak bisa muncul melalui dekrit,

tetapi harus muncul di depan sejarah. Ini menghendaki adanya penemuan

kembali kekuasaan secara dealektis di dalam dan melalui pendidikan, di

dalam dan tanpa pendidikan38. Ini berarti bahwa pendidikan mempunyai

satu peran besar dalam mewujudkan perubahan tersebut. Pendidikan baru

37Sugiyanto, “Reposisi Kesadaran Kritis”, dalam Jurnal Edukasi, Pendidikan Islam

Kritis: Konstruksi Intelektual Islam Organik, Volume II, Nomor 1, Januari 2004, hlm. 12. 38Miguel Escobar dkk dalam, Dialog Bareng Paulo Freire Sekolah Kapitalisem Yang

licik, (Yogyakarta: LkiS, 2001), cet. III, hlm. 176.

69

dan bagi masyarakat baru, bersama-sama merupakan satu dimensi yang

dihasilkan dari adanya revolusi pendidikan, begitu juga hal tersebut dapat

dilakukan dalam pendidikan Islam.

Dan kalau dicermati lebih jauh lagi, apa yang menjadi kehendak

Freire dalam mengusung kebebasan sebagai jargon dalam pendidikan

sama dengan apa yang ingin dicapai oleh Islam sendiri dalam

pendidikannya. Pada aras ini, baik Freire dan Islam sama-sama memaknai

kebebasan kehendak manusia sebagai nilai dasar yang harus dijaga dan

dihormati, bahwa kebebasan adalah kondisi ontologis (fitrah) yang harus

tetap dipertahankan sehingga segala upaya yang menggiring kepada

pemasungan kesadaran manusia tidak bisa diterima.39 Dan semua itu

memang harus senantiasa dijadikan sebagai modal dalam

mengembangkan pendidikan.

Mau tidak mau, pendidikan Islam harus menerima konsep

pendidikan liberal sebagai akibat dari zaman modern dan arus globalisasi.

Namun, hal itu bukan berarti konsep pendidikan Islam yang selama ini

dugunakan dan bermanfaat harus diberangus habis, kemudian secara

massif dan dengan penuh totalitas mengadopsi semua nilai-nilai

pendidikan liberal untuk kemudian diterapkan dan dijadikan sebagai

pengganti bagi konsep pendidikan Islam. Dengan kata lain nilai-nilai

pendidikan liberal diambil yang bermanfaat bagi pendidikan Islam, selain

itu, tujuannya hanya lebih pada mengadopsi konsep dan nilai-nilai yang

bisa membantu dalam pengembangan pendidikan Islam di kemudian hari.

Selain itu dengan konsep liberal pendidikan Islam diharapkan

mampu mengemban misi membebaskan manusia dari segala

keterkungkungan dan keterikatan belenggu tradisi yang membawa

kebekuan dan juga kemunduran. Pendidikan Islam dengan pemahaman

liberal harus mampu menciptakan dan juga membantu lahirnya

masyarakat baru, dan semua itu hanya dapat dilakukan dengan pendidikan

39Moh. Hanif Dhakiri, op. cit., hlm. 176.

70

yang revolusioner dengan bantuan pendidikan liberal yang telah disaring

dan disesuaikan dengan ajaran Islam.

Menurut Abudin Nata, pendidikan Islam harus mengisyaratkan

perlunya keberanian untuk terus-menerus melakukan reformasi terhadap

berbagai aspek pendidikan yang dipandang dapat membelenggu

kebebasan manusia. Aspek dasar pendidikan, tujuan, kurikulum, metode

belajar mengajar, pola hubungan guru murid, lingkungan, sarana

prasarana, evaluasi harus senantiasa aktual sesuai dengan perkembangan

zaman.40

Oleh sebab itu, maka dengan adanya pendidikan Islam liberal

diharapkan mampu membawa perubahan-perubahan dalam pendidikan

khususnya dalam pendidikan Islam sendiri, dengan tanpa meninggalkan

nilai serta ajaran Islam yang berlaku dan tentunya sesuai dengan

perkembangan zaman. Dengan kata lain, pendidikan Islam dengan konsep

liberal merupakan salah satu alternatif pilihan dalam mengembangkan

pendidikan Islam yang selama ini mengalami kemunduran dan kebekuan.

Di samping itu dengan pendidikan Islam liberal diharapkan mampu

melahirkan manusia-manusia kreatif, inovatif, dinamis, terbuka,

demokratis dan juga mandiri di tengah-tengah arus perubahan zaman.

Lebih jauh lagi, dalam dataran ini proses liberalisasi pendidikan

Islam mengandung nilai-nilai kritis-progresif yang sangat membantu

membawa perubahan dalam dunia pendidikan. Dengan konsep kebebasan,

maka bebas melakukan kritik merupakan salah satu konsep yang akan

lahir dari pendidikan Islam liberal. Kritis sendiri merupakan salah satu

modal untuk melakukan perubahan. Untuk melakukan semua perubahan

dalam pendidikan maka kesadaran kritis menempati garda depan untuk

melakukan perombakan paradigma.41 Paradigma yang selama ini

digunakan dalam pendidikan harus segera dirubah dengan paradigma baru

40Abudin Nata, “Paradigma Pendidikan Islam Liberal” dalam Jurnal Edukasi Pendidikan

Islam Liberal, Volume I, Th. X, 2002, hlm. 12. 41Sugiyanto, op. cit., hlm. 17

71

salah satunya adalah paradigma liberal, tentunya dengan tetap

berlandaskan pada ajaran Islam.

Dengan melihat uraian di atas, maka akan jelas sekali tampak

bahwa kedudukan manusia sebagai seorang yang harus ditempatkan pada

posisi bebas adalah satu hal mutlak dilakukan. Dan dalam

perkembangannya pendidikan liberal memboyong konsep tersebut sebagai

bagian yang tak terpisahkan dalam tujuan pendidikannya. Begitu juga

dengan bekal potensi kritis yang dimiliki oleh setiap individu, diharapkan

akan lebih memacu serta memberikan motivasi tersendiri bagi seorang

peserta didik dalam melakukan perubahan terhadap dirinya, lingkungan

serta masyarakat secara luas.

2. Humanisasi dalam Pendidikan Islam

Hingga kini konsepsi dasar pendidikan masih berkisar pada

persoalan faktor mana yang paling signifikan bagi tumbuhnya kepribadian

ideal di antara kondisi asli yang di bawa sejak lahir dan lingkungan di

mana siswa itu tumbuh menjadi manusia dewasa.42 Sedangkan soal yang

lebih penting menyangkut proses dimana peserta didik akan mampu

mengaktualisasikan segenap potensi yang dimiliki sering kali terlupakan.

Hal inilah yang kemudian menimbulkan adanya dehumanisasi dalam

pendidikan, tak terkecuali dalam pendidikan Islam.

Banyak sekali faktor yang dapat membawa perkembangan

pendidikan ke arah yang lebih baik. Salah satu faktor yang dapat

membawa perkembangan dan perubahan pendidikan ke arah yang lebih

maju adalah adanya demokratisasi dalam pendidikan. Asas demokratisasi

yang dianut dan berkembang sebagai falsafah hidup bangsa di hampir

segenap penjuru dunia dewasa ini, telah menyebabkan munculnya

demokrasi dalam segala aspek kehidupan, termasuk di dalam aspek

pendidikan. Demokrasi dalam aspek pendidikan sering juga dikenal

dengan istilah demokratisasi pendidikan, dengan pengertian: pemberian

42Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis

Pendidikan Islam,(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002), cet. Pertama, hlm. 79.

72

kesempatan yang sama kepada setiap individu untuk memperoleh

pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pun

badan-badan swasta.43

Ini berarti bahwa setiap individu berhak memperoleh haknya,

yaitu hak dalam mengeyam pendidikan yang layak. Bukan itu saja, hal itu

juga mengindikasikan bahwa nilai humanisme dalam pendidikan harus

senantiasa dijunjung tinggi, sesuai dengan apa yang menjadi tujuan

demokratisasi pendidikan. Dalam demokratisasi pendidikan sendiri secara

tidak langsung merupakan proses humanisasi pendidikan, karena di

dalamnya berjalan proses menempatkan manusia sama dengan yang lain,

yang sama-sama berhak dalam mendapatkan pendidikan.

Dalam pendidikan Islam sendiri nilai humanisme tampaknya

sedikit mulai luntur, namun semua itu bukan berarti dalam pendidikan

Islam tidak ada proses humanisasi. Yang di maksud di sini adalah, masih

ada sebagian dalam proses pendidikan Islam yang kurang mencerminkan

proses humanisasi, semisal menempatkan peserta didik sebagai seorang

yang kurang tahu, dan pendidik adalah yang paling tahu. Dan hal itu

hingga kini masih langgeng dijalankan dalam pendidikan Islam, terutama

pendidikan Islam yang masih bercirikan tradisional.

Hakekat dan ruh pendidikan pada dasarnya merupakan proses

memanusiakan manusia, dan proses tersebut yang terbaik adalah melalui

media pendidikan. Driyakara mengatakan bahwa pendidikan hakekatnya

adalah proses memanusiakan manusia. Paulo Freire mendefinisikan

Win32.anf

pendidikan sebagai upaya pembebasan manusia dari segala

ketertindasan. Itulah hakekat pendidikan secara sederhana. Logika

sederhananya adalah seseorang yang semula tidak tahu terhadap sesuatu

kemudian melalui proses pendidikan atau pembelajaran akhirnya menjadi

tahu. Dalam agama dikatakan bahwa Adam dan Hawa diturunkan ke bumi

ketika sudah dibekali pengetahuan yang cukup untuk mengarungi

43Hallen A, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 25-26.

73

kehidupan. Artinya disana fitrah manusia adalah mengetahui atau

berpengetahuan dan hal tersebut ditempuh lewat pendidikan. Dapat

dikatakan juga, bahwa pendidikan pada hakekatnya bersifat antroposentris

sehingga bersifat humanis. Dari definisi Freire pendidikan pada

hakekatnya adalah membebaskan manusia dari segala bentuk

ketertindasan, dari rezim yang membelenggu dan membodohkan serta dari

ketidaktahuan.44

Dengan demikian, humanisasi harus senantiasa ditegakkan dalam

segala aspek pendidikan, baik dari segi tujuan, kurikulum, pendidik,

proses pembelajaran semua harus mencerminkan humanisasi. Dan hal itu

mutlak untuk dilakukan, agar apa yang menjadi hakekat dan tujuan dari

pendidikan sendiri tercapai. Yang menjadi titik tekan adalah dengan

adanya paradigma humanis dalam pendidikan akan tercipta masyarakat

tanpa kelas, sebagaimana yang ada dalam ajaran Islam sendiri melalui Al-

Qur’an dan Hadist yang memandang bahwa manusia adalah sama yang

membedakan hanyalah derajat ketaqwaannya saja dihadapan Tuhan.

Dalam konsepsi pemikir Islam persamaan tersebut disebut al-Musawah

yang menurut Fua’ad Abdul Mun’im Ahmad secara etimologi berarti

sama dan seimbang, sedangkan secara terminologi berarti:

ان جميع االفرد امام شرع اهللا سواء دون تمييز بينهم بسبب

اآتساب او الجنس او اللغة او المرآز االجتماعى فى االصل

45بااللتزامات وادئها والتحمل الحقوقTerjemahannya: sesungguhnya seluruh pribadi manusia di depan

syariat Allah adalah sama, bukan perbedaan mereka disebabkan oleh asalnya (keturunan) atau jenisnya (ras atau kelamin) atau bahasa atau daerah dalam memperoleh hak-hak dan berkumpul dalam kewajiban dan larangan.

44Edi Subkhan, “Reaktualisasi Hakekat dan Ruh Pendidikan Sebenarnya, dalam Jurnal

TELAAH, Pendidikan Pembebasan, Volume I, No. 1, 2005, hlm.16. 45Fu’ad Abdul Mun’im Ahmad, Ushulun Nidhomil Hukmi fil Islam Ma’a Bayani Tathbiq

fil Mamlakah al-Arabiyyah Assa’udiyah, (Arab Saudi: Muassasah Sabab al-Jami’ah, 1991 M/1411 H).

74

Untuk itulah pendidikan harus senantiasa diarahkan untuk

mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Dalam situasi yang semacam ini,

pendidikan bukan lagi sarana melakukan dehumanisasi melainkan media

humanisasi murni. Dehumanisasi, meskipun merupakan sebuah fakta

sejarah yang kongkrit, bukanlah takdir yang turun dari langit, tetapi akibat

dari tatanan yang tidak adil yang melahirkan kekerasan dari tangan para

penindas, yang pada gilirannya mendehumanisasikan kaum tertindas.46

Hal tersebut diibaratkan oleh Freire sebagai bagian proses

pendidikan yang selama ini berlangsung, dimana kaum tertindas

diibaratkan sebagai peserta didik dan penindas sebagai pendidik.

Kaitannya dengan itu, pendidik biasanya selalu melakukan penindasan

kepada peserta didik, dalam artian mereka (pendidik) adalah pengatur

sedangkan peserta didik adalah yang diatur. Dan inilah yang disebut Freire

sebagai banking concept of education (konsep pendidikan gaya bank)

dimana peserta didik adalah sesuatu yag menjadi tempat tabungan,

sedangkan pendidik adalah penabungnya.

Dalam kasus yang semacam itulah, mencerminkan proses

dehumanisasi. Walaupun secara umum tujuannya adalah untuk

memberikan dan transformasi ilmu dari pendidik ke peserta didik. Namun,

hal itu justeru akan membawa dampak pada semakin lemahnya

kemampuan dari peserta didik sendiri, dan akan membuat peserta didik

menjadi seorang yang hanya menanti, dan tidak mandiri. Oleh sebab itu,

maka dengan menggunakan konsep humanisasi proses pendidikan akan

berjalan secara seimbang. Di mana antara pendidik dan peserta didik

mempunyai peran dan kedudukan yang sama yaitu sebagai subyek

pendidikan.

Dalam pendidikan Islam sendiri hal itu tentunya merupakan salah

satu tujuan yang hendak dicapai. Karena semua pendidikan termasuk di

dalamnya pendidikan Islam menginginkan tercapainya tujuan pendidikan

46William A Smith, Conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire Di terj emahakan dari The Meaning of Conscientizacao, the Goal of Paulo Freire’s Pedagogi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerjasama Dengan ReaD Book, 2001), hlm. 1.

75

yaitu terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil). Walaupun dalam

realitasnya tidak ada manusia sempurna, namun dengan adanya

pendidikan yang berlandaskan pada nilai-nilai humanisme tersebut paling

tidak sudah mencerminkan satu bentuk pendidikan yang baik, walaupun

masih jauh dari kesempurnaan. Karena pada dasarnya pendidikan adalah

proses, maka humanisasi dalam pendidikan Islam akan senantiasa berjalan

dan mencari sesuatu yang lebih baru dan lebih baik dalam rangka

mengembalikan fitrah manusia sebagai makhluk yang mulia. Sebagaimana

tercermin dalam QS. Al-Tinn ayat 4.

)4:التين(لقد خلقنااالنسان في احسن تقويم Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam

bentuk yang sebaik-baiknya. ( At-Tiin: 4 ).47 Sebagai manusia yang dijadikan Allah sebagai makhluk terbaik,

maka sudah sepantasnya-lah manusia harus senantiasa mengembangkan

potensi kemanusiaannya dalam arti selalu berbuat yang terbaik bagi

dirinya, orang lain dan masyarakat pada umumnya, karena mereka

diciptakan tak lain adalah untuk menjadikan hidup dan kehidupannya

lebih berarti dan bermanfaat sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan

Hadist. Sebagaimana dijelaskan oleh Aabid Taufiq al-Hashimy bahwa

aturan hidup dalam Islam adalah :

ما اختطه اهللا تعالى لال نسان فى افاق الحياة الروحية والخلقية

آتابه واالجتماعية واالقتصادية والسياسية والتربوية بما انزله فى

48. الكريم وشرح رسوله فى الحديث واجتهاد العلماء والمفسرينTerjemahannya: sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah bagi

manusia dalam bidang-bidang kehidupan seperti kejiwaan, penciptaan, kemasyarakatan, ekonomi, politik dan pendidikan sebagaimana yang telah dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an dan penjelasan Rasullullah dalam Hadist serta ijtihad para ulama’ dan ahli tafsir.

47Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 1076. 48Aabid Taufiq al-Hashimy, Thuruqu Tadris al-Din, (Baghdad: Muassasah Risalah,

1981/1401 H), hlm. 259.