bab iv analisis hukum pembaharuan nikah pasca …repository.uinbanten.ac.id/4609/6/bab iv.pdf ·...
TRANSCRIPT
114
BAB IV
ANALISIS HUKUM PEMBAHARUAN NIKAH PASCA
PERSALINAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP STATUS ANAK
A. Hukum Pembaharuan Nikah Pasca Persalinan Wanita Hamil
di Luar Nikah
Pembaharuan dalam bahasa arabnya tajdid mengandung
arti membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun
kembali, atau memperbaiki sebagaimana yang diharapkan.1
Kata tajdid merupakan bentuk masdar dari kata jaddada-
yujaddidu, yang artinya “memperbaharui” dan tajdid artinya
“pembaharuan”. Dalam bahasa arab disebutkan bahwa tajdid „aks
al-qadim (tajdid adalah kebalikan dari qadim). Qadim artinya
“lama”. Kata tajdid mempunyai arti “pembaharuan”, berarti
menjadikan sesuatu menjadi baru.2
Menurut istilah, tajdid mempunyai dua makna. Pertama,
apabila dilihat dari segi sasarannya, dasarnya, landasan dan sumber
1 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006), p. 147. 2 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia..., p. 146.
115
yang tidak berubah-ubah, maka tajdid bermakna mengembalikan
segala sesuatu kepada aslinya. Kedua, tajdid bermakna
modernisasi, apabila sasarannya mengenai hal-hal yang tidak
mempunyai sandaran, dasar, landasan dan sumber yang tidak
berubah-ubah untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta
ruang dan waktu.3
Kata tajdid mengandung suatu pengertian yang luas, sebab
di dalam kata ini terdapat tiga unsur yang saling berhubungan
yaitu: Pertama, al-i‟adah artinya mengembalikan masalah-masalah
agama terutama yang bersifat khilafiah kepada sumber agama
ajaran Islam, yaitu al-Qur‟an dan al-Hadits. Kedua, al-ibanah yang
artinya purifikasi atau pemurnian agama Islam dari segala macam
bentuk bid‟ah dan khurafah serta pembebasan berfikir (liberalisasi)
ajaran agama Islam dari fanatik madzhab, aliran, ideologi yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Ketiga,
al-ihya‟ artinya menghidupkan kembali, menggerakkan,
memajukan dan memperbaharui pemikiran dan melaksanakan
ajaran Islam.4
3 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia..., p. 147.
4 Masjfuk Zuhdi, Pembaharuan Hukum Islam dan Kompilasi Hukum,
(Surabaya: PTA. Jawa Timur, 1995), p. 2-3.
116
Kata perkawinan berasal dari bahasa arab yaitu nikah,
yang berarti pengumpulan atau bergabungnya sesuatu dengan
sesuatu yang lain.5 Menurut istilah nikah adalah suatu akad yang
suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadikan
sebab sahnya status sebagai suami istri, dan dihalalkannya
hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah,
mawaddah, penuh kasih dan sayang, kebajikan dan saling
menyantuni.6
Menurut ulama Hanafiah, perkawinan adalah akad yang
memberikan faedah untuk memiliki kebahagiaan bagi seorang laki-
laki untuk bersetubuh dengan perempuan sehingga bisa
memperoleh kebahagiaan.7
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran ulama Syafi‟iah
dan Hanabilah yang memberikan suatu pengertian perkawinan
merupakan suatu akad yang menggunakan lafal nakaha atau
zawwaja atau perkataan lain yang mempunyai makna sama dengan
5 Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fikih Praktis Munurut Al-Qur‟an, As-
Sunnah dan Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan, 2002), p. 3. 6 Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2001),
p. 188. 7 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madhabib al-Arba‟ah, (Baerut:
Dharul Fikri, t.t), p. 5.
117
salah satu kata tersebut dengan tujuan untuk memperoleh suatu
kebahagiaan.8
Dari beberapa penjelasan tentang pengertian tajdid dan
nikah yang telah disebutkan maka dapat ditarik suatu kesimpulan,
bahwa tajdidun nikah adalah pembaharuan terhadap akad nikah.
Arti secara luas yaitu pembaharuan, perbaikan terhadap suatu akad
yang nantinya akan menghalalkan hubungan suami istri antara
seorang laki-laki dan perempuan yang akhirnya akan mewujudkan
tujuan dari pernikahan yaitu adanya keluarga yang hidup dengan
penuh kasih sayang dan saling tolong menolong, serta sejahtera
dan bahagia.
Para ahli fikih cenderung berbeda pendapat mengenai
hukum pembaharuan nikah, ada yang memperbolehkan dan ada
yang melarangnya. Perbedaan tersebut terletak pada status akad
yang pertama, apakah menjadi rusak sebab akad yang kedua.
Ismail Az-zain menyinggung tentang hukum tajdid al
nikah. Menanggapi pertanyaan tentang hukum tajdid al nikah yang
diajukan seseorang. Beliau menyatakan “Jika bertujuan untuk
memperkokoh perkawinan, hukum tajdid al nikah tidak apa-apa.
8 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madhabib al-Arba‟ah..., p. 6.
118
Akan tetapi yang paling utama adalah meninggalkannya, dan Allah
SWT lebih mengetahui”.9
Dari redaksi tersebut dapat dipahami bahwa pada
dasarnya tajdid al nikah diperbolehkan apabila yang menjadi
tujuannya adalah untuk memperkokoh ikatan perkawinan, tetapi
Ismail Az-zain juga menyatakan meski diperbolehkan, akan lebih
baik apabila praktik tajdid al nikah tersebut ditinggalkan.
Tajdid al nikah merupakan tindakan sebagai langkah
untuk membuat kenyamanan hati dan ihtiyath (kehati-hatian)
sebagaimana sabda Nabi SAW yang berbunyi :
هات لا ي علمها كث ن هما مشب وب ي والرام بي ير من الناس فمن اللال بيرأ لدينو وعرضو هات است ب ات قى المشب
“Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan
diantara keduanya terdapat hal musyabbihat (samar-samar), yang
tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barang siapa
yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan
agama dan kehormatannya”. (HR. Bukhari).10
9 Ismail Utsman al-Yamanin al-Makki, Qurrotul „Ain bi Fatawi Ismail Az-
zain, p. 148. 10
Bukhari, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, No. Hadits: 52, p.
20.
119
Hadits Salamah, beliau berkata :
جر ة ف قا ل ل ي سلمة أ لا ت با يع بي عنا النب صلى ا لل عليو و سلم تت الش
ق لت ي ر سو ل ا لل قد ب ي عت ف ا ل و ل قا ل و ف ا لثا ن “Kami melakukan bai‟at kepada Nabi SAW di bawah
pohon kayu. Ketika itu, Nabi SAW menanyakan kepadaku: “Ya
Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai‟at? Aku
menjawab:“Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai‟at pada
waktu pertama (sebelum ini).” Nabi SAW berkata : “Sekarang kali
kedua”. (HR.Bukhari).11
Hadits tersebut menceritakan bahwa Salamah sudah
pernah melakukan bai‟at kepada Nabi SAW, namun beliau tetap
menganjurkan Salamah melakukan sekali lagi bersama-sama
dengan para sahabat lain dengan tujuan menguatkan bai‟at
Salamah yang pertama.12
Karena itu, bai‟at Salamah kali kedua ini
tentunya tidak membatalkan bai‟atnya yang pertama. Tajdid nikah
dapat di qiyaskan kepada tindakan Salamah mengulangi bai‟at ini,
mengingat keduanya sama-sama merupakan ikatan janji antara
pihak-pihak.
Sayyid Abdurrahman memberikan pemaknaan tentang
hukum tajdid al nikah sebagai berikut: “Telah menikahkan
sebagian wali terhadap keluarganya dengan tidak ada kesepadanan
11
Bukhari, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IX, No. Hadits: 7208,
p. 98. 12
Ibnu Bathal, Syarah Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. XV, p. 30.
120
dengan kerelaan orang-orang yang ada ditingkatnya, kemudian
suami mencela istrinya dan istrinya menghendaki tajdid dari
suaminya, maka harus ada kerelaan dari semuanya. Menurut
pendapat yang kuat dan tidak cukup dengan kerelaan sebelumnya
dan yang menyamainya yaitu qadhi (hakim) ketika tidak adanya
wali, meskipun diperbaharui dengan orang yang rela pada wali
yang pertama tetapi tajdid itu lebih utama dicegah dari sebagian
wali-wali”.13
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa hukum dari
tajdid al nikah itu boleh dilaksanakan tetapi lebih baiknya tidak
melaksanakan tajdid al nikah. Pelaksanaan tajdid al nikah
diperbolehkan dengan syarat harus adanya kerelaan antara suami
istri.
Ibnu Hajar al-Haitami, salah seorang ulama dibidang fiqih
madzhab Syafi‟i menjelaskan tentang tajdid al nikah sebagai
berikut : “Sesungguhnya kesepakatan suami untuk melakukan akad
kedua tidak semerta-merta menjadi pertanda rusaknya akad
(perjanjian) yang pertama bukan untuk kinayah. Pendapat ini sudah
13
Abdurrahman bin Muhammad bin Hasan bin Umar, Bughyah Al-
Mustarsyidin, Darul Khaya, p. 209.
121
jelas. Dalam konteks ini yang menjadi tujuan atau yang dicari oleh
suami adalah untuk memperindah dan lebih berhati-hati”.14
Jika dipahami redaksi di atas, al-Haitami tidak
menjelaskan secara jelas tentang kebolehan prosesi tajdid al nikah.
Al-Haitami hanya menyatakan bahwa akad yang kedua tidak
merusak akad yang pertama, dan ini hanya berfungsi untuk
memperindah dan ihtiyath (berhati-hati). Hal tersebut dapat
dipahami bahwa al-Haitami memperbolehkan pelaksanaan tajdid al
nikah.
Hukum tajdid al nikah adalah boleh dan tidak merusak
pada akad yang telah terjadi, karena memperbaharui akad itu hanya
sekedar keindahan (al-tajammul) atau berhati-hati (al-ihtiyath). Hal
ini juga diungkapkan oleh A. Qusyairi Ismail, bahwa hukum asal
memperbaharui akad nikah itu boleh karena bertujuan hati-hati
(ihtiyath), agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan atau
bertujuan tajammul (memperindah).15
Hukum dari tajdid al nikah adalah boleh, karena
mengulangi lafadz akad nikah dalam nikah yang kedua tidak
14
Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Munhtaj bi Syarh al-Minhaj, Juz V,
Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, p. 391. 15
Masduki Machfudh, Bahstul Masa‟il Diniyah, (Malang: PPSNH, 2000), p.
25.
122
merusak akad nikah yang pertama. Kemudian dikuatkan oleh
argumen Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqolani, yang menyatakan
bahwa menurut jumhur ulama bahwa tajdid al nikah tidak merusak
akad yang pertama.16
Pembaharuan nikah menurut pendapat yang shahih,
hukumnya jawaz (boleh) dan tidak merusak pada akad nikah yang
pertama. Karena memperbaharui nikah itu hanya sekedar
keindahan (tajammul) atau berhati-hati (ihtiyath). Ihtiyath
digunakan dalam kitab-kitab fikih klasik menunjukan bahwa ulama
menggunakannya sebagai pendekatan dalam menetapkan hukum.
Mayoritas pendapat ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa
pernikahan ulang tersebut boleh dilakukan sebatas keindahan
(tajammul) atau berhati-hati (ihtiyath).17
Ulama yang menolak kebolehan tajdid al nikah adalah
Yusuf Ibn Ibrahim al Ardabili, berikut pendapat Ardabili dalam
kitabnya tentang tajdid al nikah: “Andaikan seorang laki-laki
memperbaharui nikahnya, maka wajib atasnya membayar mahar
baru, sebab hal tersebut adalah bentuk pengakuan untuk berpisah
16
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, Juz XII, Syarah
Shahih Bukhori, Darul Fikri, p. 199. 17 Syihab al-Din Ahmad bin Hajar al-Haitami al-Makky, Tuhfah al-Muhtaaj
Li Syarh al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Juz VII, p. 391.
123
dengan istrinya, dan pada saat itulah sekaligus terjadi talak dan
membutuhkan muhallil apabila si laki-laki tersebut berniat
menikahi istrinya untuk yang ketiga kali”.18
Redaksi diatas menjelaskan al-Ardabili meyakini bahwa
memperbaharui nikah sama saja dengan mengakui perpisahan
(talak), sehingga wajib adanya mahar baru dalam akad. Karena
perkawinan merupakan hal yang sakral, sehingga jika
memperbaharui nikah diperbolehkan secara terbuka, dikhawatirkan
perkawinan hanya menjadi mainan yang bisa diperbaharui
kapanpun dan dimanapun.
Kalau seseorang melakukan akad nikah secara sir
(sembunyi-sembunyi) dengan mahar seribu, kemudian diulang
kembali akad itu secara terang-terangan dengan mahar dua ribu
dengan tujuan tajammul (memperindah), maka wajib maharnya
adalah seribu.19
Di sini, kedua ulama di atas mengakui bahwa akad nikah
kedua tidak membatalkan akad nikah pertama. Buktinya, beliau
berpendapat bahwa kewajiban mahar dikembalikan menurut yang
18
Yusuf Ibn Ibrahim al-Ardabili, Al-Anwar li a‟Mal al-Abrar, Juz II, (Beirut:
Dar Ad-Diya‟, 2006), p. 88. 19
Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab, Dicetak pada hamisy Bujairumy „ala
Fath al-Wahab, Dar Shadir, Beirut, Juz. III, p. 41. Lihat Jalaluddin al-Mahalli, Syarh
al-Mahalli a‟la al-Minhaj, Juz III, p. 281.
124
disebutkan dalam akad yang pertama. Kalau akad yang kedua
membatalkan akad yang pertama, maka tentunya jumlah mahar
tidak dikembalikan kepada akad yang pertama. Oleh karena itu,
dipahami bahwa akad yang kedua hanyalah dengan tujuan
memperindah saja.
Dengan demikian, dari beberapa perspektif tentang hukum
dari tajdid al nikah yaitu ada yang membolehkan karena untuk
tajammul (memperindah) dan sebagai ihtiyath (berhati-hati), dan
ada pula yang tidak memperbolehkannya karena dengan
melakukan tajdid al nikah berarti suami telah mengakui adanya
talak.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum
pembaharuan nikah (tajdid al nikah) adalah boleh, karena hal ini
dilakukan sebagai bentuk ihtiyath (kehati-hatian). Karena
persetujuan murni suami atas akad nikah yang kedua
(memperbaharui nikah) bukan merupakan pengakuan habisnya
tanggung jawab atas nikah yang pertama, dan juga bukan
merupakan kinayah dari pengakuan tadi. Hal ini juga tidak berarti
merusak akad nikah yang pertama, hanya saja untuk memperkokoh
perkawinan sebagai bentuk kehati-hatian. Pelaksanaan
125
pembaharuan nikah ini hampir sama dengan akad nikah yang
pertama, meskipun tidak ada ketentuan yang pasti sebagai payung
hukum baik hukum Islam maupun hukum positif, namun praktik
pembaharuan nikah hampir terdapat dibeberapa daerah di
Indonesia. Tajdid nikah dijadikan sebagai sebuah solusi dalam
rangka memperbaiki akad nikah dan bukan mengulangi akad
nikah. Salah satu faktor penyebab dilakukannya tajdid nikah ini
yaitu karena keyakinan keagamaan dan tradisi yang berkembang di
masyarakat tertentu terkait dengan solusi permasalahan dalam
rumah tangga.
Praktik tajdid nikah yang dilakukan tersebut tidak wajib
membayar mahar, karena kewajiban mahar dikembalikan
menurut yang disebutkan dalam akad yang pertama. Kalau akad
yang kedua membatalkan akad yang pertama, maka tentunya
jumlah mahar tidak dikembalikan kepada akad yang pertama. Oleh
karena itu, dipahami bahwa akad yang kedua hanyalah dengan
tujuan memperindah saja.
Hal ini berdasarkan kepada hadits Salamah Riwayat
Bukhari, dalam hadits tersebut diceritakan bahwa Salamah sudah
pernah melakukan bai‟at kepada Nabi SAW, namun beliau tetap
126
menganjurkan Salamah melakukan sekali lagi bersama-sama
dengan para sahabat lain dengan tujuan menguatkan bai‟at
Salamah yang pertama. Karena itu, bai‟at Salamah yang kedua ini
tentunya tidak membatalkan bai‟atnya yang pertama. Tajdid nikah
dapat diqiyaskan kepada tindakan Salamah mengulangi bai‟at ini,
mengingat keduanya sama-sama merupakan ikatan janji. Ini
menjadi dasar bolehnya memperbaharui nikah bagi wanita hamil
karena zina.
B. Implikasi hukum pembaharuan nikah pasca persalinan wanita
hamil di luar nikah terhadap anak dalam memperoleh hak
nafkah, perwalian dan kewarisan
Anak luar nikah adalah anak yang lahir dari hasil
hubungan di luar nikah. Dalam Islam yang dipandang sebagai anak
luar nikah adalah anak zina. Anak zina adalah anak yang lahir dari
hasil hubungan tanpa pernikahan, biasa juga disebut dengan anak
tidak sah. Karena dilahirkan di luar perkawinan yang sah atau
disebut dengan anak haram, karena perbuatan zina dilakukan oleh
127
orang yang menyebabkan kelahirannya adalah perbuatan keji yang
diharamkan oleh syara‟.20
Istilah anak haram pada prinsipnya kurang tepat dengan
istilah tersebut, karena di samping istilah itu tidak dikenal dalam
hukum positif, juga terdengar kurang nyaman bagi yang
bersangkutan, kelahirannya semata-mata merupakan kehendak
sadar kedua orang tuanya. Dengan demikian tidak ada alasan untuk
menyalahkan anak tersebut dengan menyebutnya sebagai anak
haram. Semestinya orang tuanya yang bersalah, terhadap anak
tersebut lebih tepatnya dikatakan sebagai anak yang lahir di luar
pernikahan.21
Di masyarakat tertentu, orang menyebut anak zina dengan
anak haram, anak jadah, dan anak terlaknat. Secara psikologis
sebutan ini dapat mempengaruhi jiwa si anak sehingga ia merasa
terkucil. Yang perlu diluruskan adalah bahwa sebutan tersebut
keliru dan salah sasaran. Karena seakan-akan dengan sebutan
tersebut si anaklah yang salah berdosa. Sebenarnya jika kita
melihatnya dengan lurus dan proporsional, sesungguhnya
20
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam
Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005), p. 178. 21
Amir Syarifudin, Pembaharuan Pemikiran dalam Islam, (Jakarta: Angkasa
Raya, 1993), p. 25.
128
kehadiran anak dari hasil zina tidaklah salah dan berdosa. Dia tidak
lebih dari akibat perbuatan sepasang laki-laki dan perempuan yang
tidak bertanggung jawab. Seharusnya yang mendapat predikat
tidak baik adalah pasangan zina itu yang telah berbuat dosa besar.
Islam mengakui semua anak yang lahir ke alam ini suci dan bersih
tanpa memandang siapa kedua orang tuanya.22
Pernyataan tersebut didasarkan oleh hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
مولود ي ولد على الفطرة، حت ي عرب عنو لسانو كل “Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah hingga
ia fasih (berbicara).” (H.R.Bukhari dan Muslim).23
Sifat suci dan bersih menurut konsep Islam dapat dimiliki
oleh setiap anak yang lahir karena dalam Islam tidak dikenal
adanya dosa turunan. Dosa harus ditanggung oleh setiap manusia
yang melakukannya. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT :
ألا تزر وازرة وزر أخرى“(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain”. (Q.S.An-Najm: 38).24
22
Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), p. 103. 23
Al-Bukhari, 1/465 dan Muslim, no. 2658. 24
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI,
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro: 2010), p. 527.
129
Oleh karena itu, anak zina harus diberlakukan secara
manusiawi sebagaimana anak hasil pernikahan yang sah. Mereka
harus diberi nafkah lahir dan batin serta diberi pendidikan dan
pengajaran sehingga diharapkan kelak menjadi anak yang sholeh.
Tanggung jawab ini terutama dari pihak ibu yang melahirkan dan
keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya memiliki nasab atau
perdata dengan ibunya.25
Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Pernikahan telah mengatur bahwa anak yang dilahirkan di
luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya. Ketentuan ini dipertegas pula dengan
pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia bahwa anak
yang lahir di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya.26
Kedudukan hukum bagi anak zina tidak bernasab kepada
laki-laki yang melakukan zina terhadap ibunya. Ia tidak mengikuti
nasab laki-laki pemilik sperma yang menyebabkan kelahirannya,
tetapi nasabnya mengikuti kepada ibu yang melahirkannya. Anak
25
Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer..., p. 104. 26
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), cet. Ke-2,
p. 243.
130
tersebut dinasabkan kepada ibunya dan tidak dinasabkan kepada
laki-laki yang menzinahi ibunya (bapak zinanya). Tegasnya,
hubungan nasab antara anak dengan bapaknya terputus.27
Hal ini berakibat pula pada hilangnya kewajiban atau
tanggung jawab ayah kepada anak dan hilangnya hak anak kepada
ayah. Antara keduanya adalah sebagai orang lain.28
Hal ini
diperkuat oleh hadits Nabi SAW :
ن هما أن النب صلى الله عليه وسلم لا عن ب ي رجل وامرأتو ، فان ت فى من ولدىا ، ف فرق ب ي ، والق الولد بلمرأة
“Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mengadakan
mula‟anah antara seorang dengan istrinya. Lalu lelaki tersebut
mengingkari anaknya tersebut dan Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut
kepada ibunya”.29
Dalam hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya,
anak di luar nikah mempunyai kedudukan sebagai “anak”, artinya
hubungan hukumnya penuh tidak berkurang sedikitpun. Artinya
anak tersebut mempunyai hak dan kewajiban sebagai anak bahkan
sewaktu anak itu masih dalam kadungan. Dilihat dari segi macam-
macam hak, anak mempunyai hak :
27
Ibnu Taymiyyah, Majmu Fatawa, jilid 32, p. 134. 28
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah..., p. 178. 29
Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer..., p. 104.
131
a. Hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan;
b. Hak anak dalam kesucian keturunannya;
c. Hak anak dalam menerima pemberian nama yang baik;
d. Hak anak dalam menerima susuan;
e. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan
pemeliharaan;
f. Hak anak dalam pemilihan harta benda atau hak waris demi
kelangsungan hidupnya;
g. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.30
Bila diperhatikan hak-hak tersebut maka terlihat bahwa :
a. Anak luar nikah tidak boleh dibunuh.
b. Anak luar nikah adalah suci dan tidak berdosa. Karenanya
tidak boleh diperlakukan sebagai orang yang bersalah dan
harus dilindungi dari penderitaan akibat penghukuman
(penahanan) terhadap ibunya.
c. Anak luar nikah memiliki hak untuk mendapat makanan yang
cukup, terutama ASI yang merupakan bakal hidup dan
kehidupan yang paling berharga.
30
Iman Jauhari, Kajian Yuridis Perlindungan Anak Luar Nikah, (Banda
Aceh: Laporan Penelitian Unsyiah Darussalam, 1998), p. 18.
132
d. Anak luar nikah dapat mendapat hak untuk diasuh sebaik-
baiknya oleh ibunya dan keluarga ibunya. Ibunya dan keluarga
ibunya memiliki hak penuh karena anak luar nikah mempunyai
hubungan perdata dengan mereka. Para ahli hukum Islam
berpendapat bahwa ibunya dan keluarga ibunya mempunyai
hubungan kasih sayang yang tinggi. Walaupun demikian,
kepada laki-laki pembangkit anak luar nikah dapat
memberikan beban oleh Negara untuk menanggung
pembiayaan yang dapat di tetapkan oleh pengadilan.
e. Anak luar nikah (walaupun belum lahir) mempunyai hak atas
harta dan warisan sesuai dengan ketentuan hukum. Besarnya
haknya dalam kewarisan ditentukan setelah kelahirannya.
Sekarang ini karena kecanggihan ilmu pengetahuan dan
teknologi, telah dapat ditentukan jenis kelamin anak walaupun
masih dalam kandungan.
f. Kalau telah lahir dan mencapai usia pendidikan, anak luar
nikah mempunyai hak terhadap pendidikan dan pengajaran,
termasuk pendidikan agama dan pendiidkan moral dan mental
yang mengangkat derajat budi pekerti manusia. Pada dasarnya
ibunya dan keluarga ibunya berkewajiban menyelenggarakan
133
hak anak ini. Hal tersebut mungkin saja dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan atau ditetapkan oleh hakim
pengadilan.31
Kemudian yang menjadi permasalahan hukum adalah
mengenai status anak tersebut jika sudah lahir. Para ulama sepakat
bahwa status anak itu termasuk anak zina. Apabila laki-laki yang
mengawininya bukan laki-laki yang menghamilinya, ulama
berselisih pendapat dalam hal nasab si anak tersebut.
Hukum wanita hamil yang menikah dengan orang yang
tidak menghamilinya menurut Imam Abu Yusuf bahwa tidak boleh
keduanya dinikahkan dengan orang lain. Karena jika dinikahkan,
maka hukumnya batal (fasid). Senada dengan Abu Yusuf adalah
pendapat Yusuf Qardhawi yang mengatakan bahwa haram
menikahi perempuan yang berzina sampai ia bertobat dan bersih
dari kehamilan ditandai dengan haid minimal satu kali. Pendapat
ini didasari oleh ayat al-Qur‟an dan Hadits Nabi SAW.32
31
Iman Jauhari, Kajian Yuridis Perlindungan Anak Luar Nikah..., p. 19. 32
Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer..., p. 101.
134
الزان لاينكح إلا زانية أو مشركة والزانية لاينكحهآ إلازان أو مشرك وحرم ذلك على المؤمني
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan
perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin”. (QS.An-Nuur: 3).33
Ibnu Qudamah mendukung pendapat ini dengan
mengangkat sebuah hadits, bahwa pada zaman Nabi terdapat
seorang laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan
kemudian didapati perempuan itu telah hamil. Kemudian Nabi
menyuruh laki-laki tadi untuk menceraikannya dan memberikan
maskawin dan perempuan itu didera sebanyak seratus kali.
Berlandaskan hadits ini, maka Ibnu Qudamah berpendapat bahwa
seorang perempuan yang hamil dikarenakan zina, boleh dikawini
jika perempuan itu telah melahirkan kandungannya dan telah
dijatuhi hukuman dera.34
Imam Muhammad As-Syaibani menyatakan bahwa
perkawinan dengan wanita yang dihamili laki-laki lain hukumnya
sah, tetapi haram baginya melakukan hubungan badan hingga bayi
yang dikandungnya lahir. Ibn Qudamah, pendapatnya sejalan
33 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI,
Al-Qur‟an dan Terjemahnya..., p. 350. 34
Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer..., p. 101.
135
dengan Imam Muhammad As-Syaibani, namun beliau
menambahkan bahwa wanita itu harus terlebih dahulu dipidana
dengan pidana cambuk.35
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i sepakat bahwa
perkawinan laki-laki dengan wanita yang telah dihamili oleh orang
lain adalah sah karena tidak ada ikatan perkawinannya dengan
orang lain dan boleh mengumpulinya karena tidak mungkin nasab
(keturunan) bayi yang dikandungnya itu ternodai oleh sperma
suaminya. Namun konsekuensinya, bayi yang terlahir nanti tetap
dihukumi bukan keturunan orang yang mengawini ibunya
tersebut.36
Sedangkan hukum wanita hamil yang menikah dengan
orang yang menghamilinya, menurut Imam Malik dan Syafi‟i,
anak zina yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan bapaknya,
maka anak tersebut dapat dinasabkan kepada bapaknya. Karena
diduga kuat perempuan itu telah melakukan zina namun tidak
sampai pembuahan (hamil). Tapi jika anak itu lahir sebelum enam
bulan, maka dinasabkan kepada ibunya. Karena hal ini ada dugaan
35
Yusuf Qardawi, dkk, Ensiklopedi Muslimah Modern, (Depok: Pustaka
Iman, 2009). 36
Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer..., p. 101.
136
kuat si wanita telah melakukan hubungan seks dengan orang lain
dan terjadi pembuahan. Mengapa yang dijadikan standar adalah
enam bulan, sebab paling kurang masa kehamilan itu adalah enam
bulan. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap
dinasabkan kepada suami ibunya (bapaknya) tanpa
mempertimbangkan waktu kehamilan si ibu.37
Dapat dipahami bahwa pendapat kedua yang dianut oleh
Imam Abu Hanifah lebih realistis dan tidak menimbulkan gejolak
hubungan antara mereka (anak, istri dan suami). Dengan demikian,
aib si istri yang telah melakukan perbuatan terlarang tidak
terbongkar dan si anak pun memiliki orang tua yang jelas.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa akad nikah itu
merupakan sebab utama timbulnya hubungan nasab antara seorang
anak dengan orang tuanya. Jika terjadi kehamilan tanpa adanya
hubungan kelamin diantara suami istri, maka anak tersebut dapat
dinasabkan kepada ayahnya, sebagaimana telah dijelaskan oleh
Imam Abu Hanifah, bahwa sesungguhnya akad nikah yang shahih
dengan sendirinya menjadi sebab tetapnya nasab seorang anak,
meskipun di dalam pernikahan itu antara suami istri itu tidak
37
Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer..., p. 105.
137
pernah bertemu sama sekali, sehingga jika terjadi suatu pernikahan
dimana si istri berada di ujung Barat dan suami di ujung Timur dan
pernikahan keduanya hanya melalui surat, kemudian si istri
melahirkan anak, maka nasab anak itu dihubungkan kepada
ayahnya, meskipun tidak pernah bertemu sama sekali sesudah
terjadinya akad. Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa akad nikah
dan hubungan kelamin (dukhul) merupakan sebab terjadinya
hubungan nasab, kemudian jika telah melahirkan sebelum enam
bulan semenjak terjadinya akad, maka anak tersebut tidak dapat di
hubungkan nasabnya pada ayahnya. Dengan demikian, dukhul
merupakan sebab utama timbulnya hubungan nasab di samping
akad nikah yang sah diantara kedua orang tuanya.38
Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa anak yang
hamil di luar nikah, kemudian ibunya menikah dengan orang yang
menghamilinya dan minimal enam bulan dari akad nikah baru
melahirkan anak tersebut, maka anak itu dapat dihubungkan
nasabnya pada ayahnya, dengan demikian anak tersebut menjadi
anak yang sah dan berlaku baginya semua ketentuan yang berlaku
bagi anak yang sah. Ketentuan bahwa istri melahirkan anaknya
38
Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, (Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2007), p. 4.
138
setelah berlalu enam bulan dari akad adalah batas masa hamil yang
paling sedikit menurut hukum Islam, berdasarkan firman Allah
SWT dalam al-Qur‟an surat al-Ahqaf ayat 15 dan surat Lukman
ayat 14.
و كرىا ووضعتو كرىا وحلو نا الإنسان بوالديو إحسان حلتو أم ي ووصه وب لغ أربعي سنة قال رب وفصالو ثلاثون شهرا حت إذا ب لغ أشد
عن أن أشكر نعمتك الت أن عمت على وعلى والديذ وأن أعمل أوز صالا ت رضاه وأصلح ل ف ذريت إن ت بت إليك وإن من المسلمي
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik
kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan
susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila ia telah dewasa dan umurnya sampai empat
puluh tahun ia berdo'a:"Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku
da kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang
saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan
(memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku
bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-
orang yang berserah diri". (Q.S.Al-Ahqaf: 15).39
و وىنا على وىن وفصالو ف عامي أن نا الإنسان بوالديو حلتو أم ي ووص المصير اشكر ل ولوالديك إل
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya
dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang
39 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI,
Al-Qur‟an dan Terjemahnya..., p. 504.
139
ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Q.S.Lukman:
14).40
Sedangkan mengenai status anak yang dilahirkan di luar
nikah, Imam Hanafi, Imamiyah, dan Hambali menyatakan
bahwasanya anak perempuan hasil zina itu haram di kawini
sebagaimana keharaman anak perempuan yang sah. Sebab, anak
perempuan tersebut merupakan darah dagingnya sendiri. Dari segi
bahasa dan tradisi masyarakat, dia adalah anaknya sendiri. Tidak
diakuinya ia sebagai anak oleh syar‟i dari sisi hukum waris, tidak
berarti ia bukan anak kandungnya secara hakiki, namun yang
dimaksud adalah menafikan akibat-akibat syar‟inya saja, misalnya
hukum perwalian, waris dan memberi nafkah.41
Mereka berdalil
dengan dalil naqli (nash) dan dalil aqli (akal) atas keharaman
menikahi anak zina, adapun dalil naqli adalah dalam al-Qur‟an
surat an-Nisa, Allah SWT berfirman :
هاتكم وب ناتكم حرمت عليكم أ م “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-
anakmu yang perempuan.” (Q.S. An-Nisa: 23).42
40 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI,
Al-Qur‟an dan Terjemahnya..., p. 412. 41
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera,
2008), p. 330. 42 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI,
Al-Qur‟an dan Terjemahnya..., p. 81.
140
Dalil yang disebutkan di atas merupakan ketetapan nash
atas keharaman untuk menikahi setiap anak yang disandarkan
kepada kedua orang tuanya baik secara syar‟i ataupun hakiki. Oleh
karena itu tidak ada keraguan bahwa anak hasil zina adalah
anaknya yang hakiki, karena anak tersebut adalah makhluqah yang
lahir dari air maninya.
Adapun dalil aqli, mereka berpendapat bahwa
sesungguhnya anak yang lahir dari air mani bapak biologisnya,
maka anak tersebut adalah bagian (darah daging) dari bapak
biologisnya, oleh karena itu tidak dihalalkan atas bapak
biologisnya untuk menikahi anak tersebut sebagaimana tidak
dihalalkan baginya untuk menikahi anaknya yang lahir di dalam
perkawinan yang sah.43
Menurut madzhab Hanafi, bahwa anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah merupakan makhluqah (yang diciptakan) dari
air mani bapak biologisnya, maka status anak tersebut adalah sama
dengan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Seorang anak
43
Muhammad Amin asy-Syahin Ibnu Abidin, Raad al-Mukhtar, Juz 4,
(Riyadh: Dar al-Kutub, 2003), p. 102.
141
dianggap merupakan anak dari bapaknya melainkan anak tersebut
merupakan hasil dari air mani bapaknya.44
Sebagaimana hadits berikut :
الولد للفراش وللعاىر الجر“Anak itu menjadi hak pemilik firasy, dan bagi pezina dia
mendapatkan kerugian.” (H.R.Muslim).45
Pengikut madzhab Hanafi berpendapat bahwa hadits
firasy hanya berlaku apabila pemilik firasy adalah seorang muslim,
karena sesungguhnya nasab yang ditetapkan oleh hadits firasy
kepada pemilik firasy adalah nasab secara syar‟i yang berimplikasi
terhadap hukum syar‟i yang berkenaan dengan nafkah, perwalian
dan kewarisan. Hal tersebut tidak menunjukan dinafikannya nasab
hakiki oleh selain pemilik firasy 46
Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafi‟i berpendapat
bahwa dibolehkan bagi seseorang mengawini putrinya (anak zina),
saudara perempuannya, cucu perempuannya, keponakan
perempuannya yang semuanya itu hasil dari zina.47
44
Muhammad Amin asy-Syahin Ibnu Abidin, Raad al-Mukhtar…, p. 101. 45
Abu al-Hussayn Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, p. 1458. 46
Muhammad Amin asy-Syahin Ibnu Abidin, Raad al-Mukhtar..., p. 102. 47
Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyah al-Mazabib al-
Khamsh, (Bairut: Dar al-Islami li al-Malayin, 1964), p. 79.
142
Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
pendapat Imam Hanafi, Imamiyah, dan Hambali tersebut adalah
suatu pandangan yang manusiawi, artinya menempatkan
kedudukan manusia tetap pada tempatnya. Walaupun anak itu lahir
dari perbuatan zina, tetapi anak itu tetap dianggap sebagai anaknya.
Oleh karena itu, haram pulalah anak itu terhadap bapaknya.
Meskipun demikian, dalam segi hukum, anak itu bukanlah anak
yang sah menurut syara‟.
a. Hak nafkah anak yang lahir akibat zina
Nafkah adalah kebutuhan setiap anak sejak ia masih
dalam kandungan ibunya, nafkah juga akan menjadi kebutuhan
yang sangat mendesak ketika seorang anak terlahir kedunia,
karena akan sangat berkaitan dengan hak hidup, hak
pendidikan dan hak lain yang menjadi kebutuhan primer
setiap orang, hanya saja berdasarkan keputusan mayoritas
ulama yang meniadakan nasab anak yang lahir di luar
perkawinan, berarti seorang anak tidak akan pernah menikmati
nafkah dan keistimewaan di dalamnya dari bapak biologisnya,
143
yaitu orang yang semestinya bertanggung jawab atas
kelahirannya.48
ق ول المهور وولد الزن لا ي لحق الزان ي ف “Menurut mayoritas ulama anak zina tidak
dinasabkan kepada lelaki pezina”.49
Konsekuensi dari pandangan ini adalah bahwa anak
tersebut dianggap tidak memiliki pertalian darah dengan ayah
biologisnya, sehingga tanggung jawab sepenuhnya berada
dipundak sang ibu, termasuk di dalamnya adalah memberi
nafkah.
Hak nafkah tidak wajib bagi bapaknya memberi
nafkah kepada anak yang lahir dari hasil zina.50
Dalam hukum
Islam, anak diluar nikah karena zina hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya, dan status
nasab anak luar nikah dengan laki-laki pezina terputus,
sehingga hak-hak keperdataan anak seperti halnya hak nafkah
terputus dengan laki-laki tersebut.
48
Asfuri, Mengawini Wanita Hamil yang dizinainya menurut Hukum Islam,
(Yogyakarta: Departemen Agama R.I, 1986). P. 30. 49
Ibnu Qudamah, al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz, 7, p.
130. 50
Abdurrahman bin abdirrahman Sumailah Al Ahsal, Al Ankihatul Faasidah,
p. 75.
144
Menurut madzhab Hanafi, bahwa kewajiban
memperoleh nafkah dari orangtua kepada anaknya karena ada
hubungan nasab secara syar‟i, adapun anak luar nikah tidak
memperoleh nasab syar‟i terhadap bapak biologisnya, maka
dia tidak berhak memperoleh nafkah. Adapun nafkah terhadap
anak disebutkan dalam firman Allah SWT.
والوالدات ي رضعن أولادىن “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya.”
(Q.S.Al-Baqarah: 233).51
المولود لو رزق هن وعلى “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah mereka.”
(Q.S.Al-Baqarah: 233).52
Yang dimaksud رزق bagi ibu-ibu yang menyusui dari
ayat di atas, yaitu apabila yang dimaksud adalah ibu-ibu yang
menyusui yang telah diceraikan yang ditetapkannya masa
iddah, maka baginya kewajiban memperoleh nafkah atas
menyusui terhadap anak yang dilahirkan darinya, yaitu bagi
51 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI,
Al-Qur‟an dan Terjemahnya..., p. 37. 52 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI,
Al-Qur‟an dan Terjemahnya..., p. 37.
145
suami yang memiliki kewajiban mencari nafkah untuk
anaknya.53
Adapun anak luar nikah, sebagaimana yang
disebutkan oleh Imam Kasaniy, bahwa nasab hakiki anak luar
nikah terhadap bapak biologisnya adalah sabit (tetap),
sedangkan syari‟at menganggap adanya ketetapan nasab syar‟i
yaitu untuk melaksanakan kewajiban waris dan nafkah.54
Oleh karena itu bapak biologis tidak mempunyai
kewajiban untuk memenuhi nafkah anak luar nikahnya karena
keduanya tidak mempunyai hubungan nasab secara syar‟i,
melainkan hanya hubungan nasab secara hakiki.
b. Hak perwalian anak yang lahir akibat zina
Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada
seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai
wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak
mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup,
tidak cakap melakukan perbuatan hukum.55
53
Al-Kasaniy, Bada‟i as-Sana‟i, Juz 5, p. 172. 54
Al-Kasaniy, Bada‟i as-Sana‟i, Juz 3, p. 409. 55
Pasal 1 huruf h Kompilasi Hukum Islam (KHI)
146
Wali nikah untuk anak yang lahir akibat dari
perbuatan zina (di luar pernikahan) adalah wali hakim,
sebagaimana ketentuan wali nikah yang ditentukan dalam
Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa :
a. Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya.
b. Yang berhak sebagai wali nikah ialah laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan
baligh.
c. Ketentuan hukum yang sama sebagaimana ketentuan
hukum terhadap anak luar nikah tersebut, sama halnya
dengan status hukum semua anak yang lahir di luar
pernikahan yang sah sebagaimana disebutkan di atas.56
Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh
Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang
diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali
nikah.57
56
Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam 57
Pasal 1 huruf b Kompilasi Hukum Islam
147
Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai
21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan pernikahan.
Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta
kekayaannya. Apabila wali tidak mampu berbuat atau lalai
melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama
dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai
wali atas permohonan kerabat tersebut. Wali sedapat-dapatnya
diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik atau
badan hukum.58
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau
badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan
kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal
dunia.59
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian
seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada
pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut
pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau
58
Pasal 107 Kompilasi Hukum Islam 59
Pasal 108 Kompilasi Hukum Islam
148
menyalahgunakan hak dan wewenang sebagai wali demi
kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.60
Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang
yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya
dan berkewajiban memberikan bimbingan agama pendidikan
dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada
di bawah perwaliannya. Wali dilarang mengikatkan,
membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di
bawah perwaliannya, kecuali apabila perbuatan tersebut
menguntungkan bagi orang yang berada di bawah
perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan. Wali bertanggung
jawab terhadap harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai
akibat kesalahan atau kelalaiannya. Dengan tidak mengurangi
ketentuan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (4) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, pertanggung jawaban wali tersebut
harus dibuktikan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun satu
kali.61
60
Pasal 109 Kompilasi Hukum Islam 61
Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam
149
Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang
yang berada di bawah perwaliannya apabila yang
bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah
menikah. Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan
Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan
orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang
diserahkan kepadanya.62
Wali dapat mempergunakan harta yang berada di
bawah perwaliannya sepanjang diperlukan untuk kepentingan
menurut kepatutan atau bil ma‟ruf kalau wali fakir.63
Dalam madzhab Hanafi adanya wali bukan
merupakan syarat sahnya nikah terhadap wanita merdeka yang
mukallaf (baligh dan berakal), kecuali kepada wanita di bawah
umur, wanita yang kurang akal dan hamba sahaya.64
Menurut madzhab Hanafi, perwalian dalam
pernikahan terdiri dari dua kategori, pertama perwalian yang
dianjurkan atau disukai (Walayah Istihbab) yaitu perwalian
terhadap gadis atau janda yang telah baligh dan berakal.
62
Pasal 111 Kompilasi Hukum Islam 63
Pasal 112 Kompilasi Hukum Islam 64
Muhammad Amin asy-Syahin Ibnu Abidin, Raad al-Mukhtar..., p. 155.
150
Kedua, perwalian paksaan (Walayah Ijbar) terhadap wanita
muda yang gadis atau janda, serta kepada wanita dewasa yang
kurang waras dan hamba sahaya wanita. Ditetapkannya
perwalian atas empat sebab, yaitu: kerabat, kepemilikan,
pengampuan dan kekuasaan.65
Tidak dapat menjadi wali dalam nikah, jika anak yang
lahir itu perempuan karena ia lahir dari hubungan yang tidak
sah. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa anak
zina hanya bernasab kepada ibunya, sedangkan wali dalam
perkawinan disyaratkan harus laki-laki menurut Imam Malik,
Syafi‟i dan Ahmad Ibn Hambal, bahwa tidak sah
perkawinannya yang diwakilkan oleh dirinya sendiri. Oleh
karena itu, syulthanlah (kepala KUA) yang menjadi walinya,
karena berdasarkan hadits Nabi SAW :
لطان ول من لا ول لو والس “Sultan (penguasa) adalah wali bagi yang tidak ada wali”
66
Wanita tidak sah nikah menjadi wali dan mewakilkan
dirinya sendiri, juga berdasarkan hadits dari Quthniy dan Ibnu
Majah dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda
65
Ibn al-Hammam, Syarh Fath al-Qadir, Juz 3, p. 246. 66
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah..., p. 179.
151
:“Tidak sah wanita menikahkan wanita lain dan tidak sah pula
menikahkan dirinya, karena hanya wanita yang berzinahlah
yang menikahkan dirinya”.67
Menurut madzhab Hanafi tentang perwalian anak luar
nikah, bahwa anak luar nikah tidak mempunyai hak perwalian
dari bapak biologisnya, meskipun madzhab Hanafi
menganggap adanya nasab secara hakiki, namun bapak
biologis tidak berhak menjadi wali baginya karena telah
terputus nasab syar‟i, diantara keduanya yang menjadi syarat
ditetapkannya hak perwalian. Adapun yang berhak menjadi
walinya adalah wali hakim.68
Karena anak hasil zina tidak memiliki ayah, maka dia
tidak memiliki ashabah (kerabat lelaki dari pihak ayah).
Sementara hak perwalian dalam pernikahan, ditetapkan
berdasarkan jalur ashabah dari ayah. Ketika dia dihukumi
tidak memiliki ayah, berarti dia tidak memiliki kakek dari
ayah, atau paman dari ayah. Karena dia tidak memiliki
hubungan nasab dengan ayahnya. Sehingga orang-orang di
kanan kiri ayah tidak ada hubungan dengannya. Oleh karena
67
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah..., p. 179. 68
Muhammad Amin asy-Syahin Ibnu Abidin, Raad al-Mukhtar..., p. 156.
152
itu anak zina tidak memiliki wali dari nasab. Karena anak zina
tidak memiliki wali dari pihak keluarga, maka hak perwalian
berpindah kepada wali hakim (pemerintah) atau pejabat KUA
yang resmi ditunjuk pemerintah.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa hak perwalian sama halnya dengan hak nafkah anak
hasil zina, dalam hak perwalian, anak hasil zina tidak
mempunyai hubungan nasab yang syar‟i dengan lelaki yang
menyebabkan kelahiran anaknya, secara otomatis hilangnya
hak perwalian. Dengan demikian, wali nikah untuk anak yang
lahir akibat dari perbuatan zina (di luar pernikahan) adalah
wali hakim.
Karena menurut mayoritas ulama, wali dalam
perkawinan disyaratkan harus laki-laki. Bahwa tidak sah
perkawinannya yang diwakilkan oleh dirinya sendiri. Oleh
karena itu, syulthanlah (kepala KUA) yang menjadi wali bagi
anak yang lahir akibat zina.
153
c. Hak kewarisan anak yang lahir akibat zina
Menurut istilah yang lazim di Indonesia, pewarisan
ialah peralihan harta peninggalan dari pewaris kepada orang
yang berhak menerimanya, yakni kepada para ahli waris
setelah pewaris meninggal dunia karena adanya hubungan
kekerabatan atau lainnya.69
Pewarisan tersebut baru terjadi manakala ada sebab-
sebab yang mengikat pewaris dengan ahli warisnya. Adapun
sebab-sebab tersebut adalah :
a. Hubungan kekerabatan
Dalam hukum Islam, hubungan kekerabatan yang
sebenarnya adalah adanya hubungan nasab yang mengikat
para pewaris dengan ahli waris yang disebabkan ada
kelahiran.
b. Hubungan perkawinan
Perkawinan yang sah menyebabkan adanya
hubungan saling mewarisi antara suami atau istri.70
69
Yusuf Somawinata, Ilmu Faraidh, Ahli Waris, Bagian Penerimaan dan
Cara Pembagian Waris, (Tangerang Selatan: Penerbit Sintesis, 2013), p. 19. 70
Ahmad Rafik, Fikih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), p.
35.
154
c. Hubungan karena wala‟
Wala‟ yaitu kekerabatan secara hukum yang
ditetapkan oleh syari‟ antara orang yang memerdekakan
budak dengan budaknya disebabkan adanya pembebasan
budak.71
Hukum kewarisan anak luar nikah sama dengan anak
mula‟anah, yaitu tidak saling mewarisi bapak biologis dan
anak disebabkan terputusnya nasab, beserta ahli keluarga
pihak bapak biologis, yaitu ayah, ibu dan anak dari bapak
biologis. Anak tersebut hanya mewarisi dari pihak ibu, dan
keluarga ibunya.72
Hukum Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan
terhadap anak zina dengan ayah (laki-laki yang
membuahinya), karena anak zina tidak mempunyai hubungan
kekerabatan dengannya. Sedangkan hubungan kekerabatan itu
timbul atas dasar akad nikah yang sah sebagaimana yang telah
ditentukan oleh syari‟at Islam. Tetapi seorang anak
mempunyai hubungan anak dengan ibu dan kerabat ibunya dan
71 Yusuf Somawinata, Ilmu Faraidh..., p. 26. 72
Yahya bin Syaraf an-Nawawiy, Rawdah at-Talibin, Juz 5, (Beirut: Dar al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 2003), p. 44.
155
ia berhak mendapat warisan dari pihak ibu dan kerabat ibunya.
Tidak ada pengakuan dan pengesahan terhadap anak zina,
karena hukum Islam hanya mengenal anak sah, yaitu anak
yang lahir dari perkawinan suami istri yang sah menurut
syara‟.73
Dalam Islam, anak zina tidak berhak mendapat harta
warisan dari orang tua biologisnya, berdasarkan pada hadits :
اعاة مس ف الإسلام من ساعى ف الاىلية ف قد لق بعصبتو لا
يورث ولا يرث فلا رشدة غير من ا ولد دعى ومن
“Tidak ada perzinahan dalam Islam, siapa yang
berzina di zaman jahiliyah maka dinasabkan kepada kerabat
ahli warisnya (ashabah) dan siapa yang mengklaim anak
tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan”.
(H.R.Abu Dawud).74
Menurut Ahlu al-Sunnah, anak zina mempunyai
hubungan kewarisan dengan ibu dan kerabat ibunya saja.
Dengan demikian, ia hanya dapat menjadi ahli waris bagi ibu
dan kerabatnya seibu, tidak dari neneknya, karena anak zina
bagi si nenek adalah anak dari anak perempuannya dan
73
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah..., p. 180. 74
Shahih Sunan Abu Dawud, no. 2264.
156
menurut golongan ini anak dari perempuan itu bukan ahli
waris, kecuali dalam istilah ahli waris Zul Arham.75
Selanjutnya golongan Syi‟ah berpendapat bahwa anak
zina tidak mempunyai hubungan kewarisan dengan laki-laki
yang membuahinya atau dengan kerabat laki-laki itu,
sebagaimana yang berlaku di kalangan ulama Ahlu Al-Sunnah.
Tetapi berbeda dengan mereka, golongan Syi‟ah berpendapat
bahwa anak zina itu tidak mempunyai hubungan kewarisan
dengan ibunya. Alasannya bahwa hak kewarisan itu
merupakan suatu nikmat, sedangkan zina adalah perbuatan
maksiat. Nikmat tidak dapat didasarkan pada maksiat
perbuatan zina.76
Al Zaila‟iy dari golongan Hanifah berpendapat,
bahwa hak pusaka mereka itu (anak zina) hanya dari jurusan
ibunya saja, sebab pertalian nasabnya dengan ibunya masih
tetap. Mereka dapat mempusakai ibunya dan kerabat dari
75
Amir Syarifudin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam
Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), cet. Ke-1, P. 89. 76
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah..., p. 180.
157
ibunya. Demikian ibunya dan kerabat-kerabat ibunya dapat
mewarisi harta peninggalannya.77
Imam syafi‟i berpendapat bahwa apabila anak
mula‟anah atau anak luar nikah meninggal, maka hanya dari
pihak ibunya beserta saudara perempuannya dari pihak ibu
yang berhak mewarisi hartanya.78
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa tidak
ada hubungan kewarisan antara anak zina dengan ayahnya.
Karena sebagaimana ditegaskan sebelumnya, ayah biologis
bukan ayahnya secara syar‟i, karena hubungan waris mewarisi
antara seorang anak dengan ayahnya ada dengan keberadaan
salah satu diantara sebab-sebab pewaris yaitu nasab.
Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar‟i
kepada laki-laki yang telah menzinahi ibunya maka
konsekuensinya adalah tidak ada waris mewarisi diantara
keduanya. Memaksakan diri untuk meminta warisan, statusnya
merampas harta yang bukan haknya.
77
Muhammad Yusuf, al Tirkah wa al Mirasts fi al Islam, (al Qahirah, Dar al
Ma‟rifah, t.t.), p. 9. 78
Asy-Syafi‟iy, al-„Umm, Juz 5, p. 177.