rekonstruksi fikih dan study tajdid ah

35
REKONSTRUKSI FIKIH DAN STUDI TAJDID MUHAMMADIYAH (oleh: Fauzan Muhammadi) I. Mukaddimah Pada awal mula diturunkannya Islam segala bentuk peribadatan sudah diatur dan ditata wujud aplikasinya, baik dalam al- Quran maupun Sunah Rasulullah Saw., yang tentu saja disejajarkan dengan tahapan kondisi sosial masyarakat saat itu. Seluruh pengejewantahan aplikasi syariat pada zaman Nabi Muhammad Saw. praktis tidak memiliki konsekuensi perbedaan pada sosial masyarakat. Hal ini ditimbang pada keberadaan Nabi Saw. yang menjadi rujukan utama dalam segala permasalahan. Di kala masyarakat Islam memiliki beberapa persoalan secara otomatis mereka kembalikan kepada Rasulullah Saw. Adalah syariat yang berarti jalan dan sesuatu yang telah diatur oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya dengan menunjuk pada suatu hukum yang beragam 1 , dianggap sebagai tolak ukur aturan kehidupan dalam Islam dan menjadi bagian yang mengakar dalam sistem ajaran keagamaan. Di antara sistematisasi syariat, yang mejadi pedoman hubungan kehidupan; baik itu hubungan sosial kemasyarakatan, hubungan dengan lingkungan, maupun hubungan transendental manusia dengan Tuhannya, adalah fikih. Fikih yang mengatur hubungan muamalah menjadi pemahaman manusia berkenaan dengan garis hubungan horizontal-vertikal. Oleh para ulama terdahulu, bahkan dari Nabi Muhammad Saw. sendiri, aturan ini didasarkan pada nas-nas yang sudah terkodifikasi dalam al- Quran maupun Hadis. Sebagaimana wasiat terkahir Rasulullah Saw. sebelum beliau meninggal: ه ي ب ن ة ي س له و ل ا اب ت ك ما، ه ب م ت ك س م ما وا ل ض ت% ن ل% ن ي ر م, م ا ك ت ف ت ك ر ت1 Abdul Karim Zaidan, Madkhal li al-Dirâsati’l Islâmiyah, hal. 38 1

Upload: suleee-keren

Post on 13-Jun-2015

768 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

REKONSTRUKSI FIKIHDAN STUDI TAJDID MUHAMMADIYAH

(oleh: Fauzan Muhammadi)

I. Mukaddimah

Pada awal mula diturunkannya Islam segala bentuk peribadatan sudah diatur dan ditata wujud aplikasinya, baik dalam al-Quran maupun Sunah Rasulullah Saw., yang tentu saja disejajarkan dengan tahapan kondisi sosial masyarakat saat itu. Seluruh pengejewantahan aplikasi syariat pada zaman Nabi Muhammad Saw. praktis tidak memiliki konsekuensi perbedaan pada sosial masyarakat. Hal ini ditimbang pada keberadaan Nabi Saw. yang menjadi rujukan utama dalam segala permasalahan. Di kala masyarakat Islam memiliki beberapa persoalan secara otomatis mereka kembalikan kepada Rasulullah Saw.

Adalah syariat yang berarti jalan dan sesuatu yang telah diatur oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya dengan menunjuk pada suatu hukum yang beragam1, dianggap sebagai tolak ukur aturan kehidupan dalam Islam dan menjadi bagian yang mengakar dalam sistem ajaran keagamaan. Di antara sistematisasi syariat, yang mejadi pedoman hubungan kehidupan; baik itu hubungan sosial kemasyarakatan, hubungan dengan lingkungan, maupun hubungan transendental manusia dengan Tuhannya, adalah fikih. Fikih yang mengatur hubungan muamalah menjadi pemahaman manusia berkenaan dengan garis hubungan horizontal-vertikal. Oleh para ulama terdahulu, bahkan dari Nabi Muhammad Saw. sendiri, aturan ini didasarkan pada nas-nas yang sudah terkodifikasi dalam al-Quran maupun Hadis. Sebagaimana wasiat terkahir Rasulullah Saw. sebelum beliau meninggal:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما مسكتم بهما، كتاب الله وسنة نبيهArtinya: “Aku tinggalkan dua hal yang mana jika kalian memegangnya niscaya tidak akan tersesat dunia dan akhirat; al-Quran dan Sunahku.”2

Syariat Islam pada salah satu ciri khasnya memiliki ruang lingkup yang menyeluruh, di mana syariat menempati posisi yang universal dalam lini kehidupan. Dalam hal ini, universalitas syariat menuntut untuk diaplikasikan oleh umat Islam di manapun dan kapanpun

1 Abdul Karim Zaidan, Madkhal li al-Dirâsati’l Islâmiyah, hal. 382 Ahmad din Muhammad Umar al-Anshari, Atsâr ikhtilâfâti’l fuqahâ fî al-Syarî’ah, cet. 1, 1996, Maktabah al-Rusyd, Riyadh

1

Page 2: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

dengan mendudukkan salah satu prinsip, bahwa syariat memberi aturan sejalan dengan kemaslahatan dan menganulir segala kerusakan yang merugikan dan mengacaukan sirkulasi kehidupan manusia. Seperti halnya yang telah dinyatakan oleh beberapa ulama, bahwasanya syariat Islam berlandaskan pada prinsip membuka kemaslahatan dan menutup segala bentuk kerusakan. Firman Allah menyatakan:

وما أرسلناك إال رحمة للعالمينArtinya: “Tidaklah Kami mengutusmu wahai Muhammad kecuali untuk memberikan rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya: 107).

Kata di رحم))ة sini mencakup segala bentuk kemaslahatan yang ditujukan untuk segenap manusia, demikian juga mencegah suatu kerusakan. Satu prinsip yang dimiliki syariat Islam juga kembali pada penegasan al-Quran yang menunjukkan bahwasanya syariat diterapkan dan dikondisikan dengan asas maslahat. Salah satu penegasan al-Quran adalah, firman Allah Swt.:

ولكم فى القصاص حياة ياأولى األلباب لعلكم تتقون Artinya: “Dan di dalam qishash itu terdapat satu bentuk kehidupan bagimu wahai orang-orang yang berfikir agar kamu sekalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 179)3

Penjelasan ini memberikan gambaran bahwasanya hukum yang diberikan oleh Islam adalah hukum yang memiliki hikmah dan hukum

yang memiliki maksud dan tujuan tertentu. Pernyataan ولكم فى adalah القص)))اص حي)))اة syariat yang membuka suatu bentuk kemaslahatan yang ditujukan bagi manusia, ditambah dengan tujuan atau maksud dari aplikasi ayat tersebut adalah: “agar kamu sekalian bertakwa.”

Pada dimensi ruang dan waktu syariat Islam memang memiliki posisi, artinya ia selalu layak untuk diproyeksikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dikarenakan pedoman teks syariat itu terbatas (mutanâhîy) dan perkembangan zaman semakin melebar luas, maka kemudian umat Islam –dalam hal ini mujtahid– dituntut untuk melakukan istiqra (mengkaji dan meneliti nas-nas syariat kemudian mengembangkannya sejalan dengan kondisi) tanpa mengesampingkan kriteria-kriteria yang sudah digariskan. Seperti halnya dengan dialog antara Nabi Muhammad Saw. dengan Muadz bin Jabal tatkala akan diutus ke Yaman: “Apa yang kamu lakukan untuk membuat satu keputusan wahai Muadz? Pertama, saya akan mendasarkan keputusan saya dengan al-Quran. Apa yang engkau lakukan jika tidak

3 Ibid

2

Page 3: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

menemukan dasarnya dalam al-Quran? Saya akan mendasarkannya pada Sunah. Jika masih tidak ada? Saya akan berijtihad dengan akal pikiran saya.”

Sisi keterbatasan teks syariat yang tidak berimbang dengan berkembangnya kondisi sosial masyarakat dan lingkungan –sampai sekarang– menuntut untuk dikembangkan kembali proses kajian dan telaah nas, atau mengkaji apa yang sudah menjadi keputusan ulama-ulama terdahulu. Karena sangatlah tidak mungkin untuk mendiamkan posisi nas yang terbatas dengan laju perkembangan kondisi yang ada. Demikian halnya bahwa eksplorasi nas akan membuahkan hasil yang mendalam dan mengena pada tataran sosial masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu, tentu saja dengan melandaskan pada prinsip shâlih (layak) dan maslahat: agama dan umat.

Pada tataran ini, ada beberapa ulama yang menggagas suatu alur rekonstruksi bagi perkembangan dan dinamisasi syariat melalui salah satu cabang ilmu syariat, yaitu fikih. Artinya adalah, usaha untuk memperbaiki keputusan-keputusan fikih oleh ulama-ulama terdahulu dan menyesuaikannya dengan posisi umat saat ini. Demikian juga usaha untuk menemukan keputusan hukum fikih baru yang layak untuk diterapkan pada masa kontemporer, di mana geliat perkembangan ilmu dan tingkah laku semakin maju. Namun tuntutan rekonstruksi ini bukan dilihat pada hawa nafsu, melainkan dengan menimbang satu hal: menjaga kemurnian syariat dan mengembangkannya. Dengan kata lain, perbaikan tanpa meninggalkan tonggak pondasi yang ada, dan memperbagus dengan suatu hal yang baru.

II. Definisi Fikih dan Perkembangannya

Syariat Islam sebagaimana yang telah dimaksud merupakan bentuk hukum dan pegangan umat Islam baik dalam dimensi akidah, akhlak, ibdah, dan muamalat. Maka, dari segi ini ia mencakup dalam wilayah transenden dan hubungan manusia dengan wilayah sekitarnya. Sebagai suatu ilmu, ia kemudian melembagakan salah satu bentuk undang-undangnya menjadi satu ilmu bernama fikih. Dari wilayah cakupannya, syariah cenderung lebih umum daripada fikih. Fikih mengkhususkan diri pada tatacara ibadah dan sistem muamalah, yang sebelumnya menurut definisi Imam Abu Hanifah: mengetahui hak dan kewajiban diri pribadi. Ini berarti ia menyerap segala praktek hukum yang berkenaan dengan akidah, akhlak, ibadah, dan muamalat, tidak berbeda jauh dengan definisi syariat yang sudah ada.4

4 Ibid.

3

Page 4: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

Fikih secara bahasa adalah pemahaman, walaupun ada di antara ulama mengartikannya dengan pemahaman yang tersembunyi. Ini berarti, bahwa pelembagaan fikih sebagai sebuah ilmu dimaksudkan untuk memberikan input pemahaman umat terhadap hukum-hukum yang telah diatur dalam al-Quran dan Sunah. Dari sini kemudian dapat diambil artikulasi epistemologis dari fikih, yaitu ilmu atau pengetahuan mengenai hukum-hukum syariat praktis yang didapatkan atau dan disimpulkan dari dalil-dalil yang terperinci.5

Pada kurun waktu sepeninggal Rasulullah Saw. bentuk pemahaman akan hukum-hukum syariat menjadi beragam. Hal ini –salah satunya– dipengaruhi oleh meluasnya daerah kekuasaan Islam saat itu. Dengan perluasan ini maka usaha untuk menyebarkan pemahaman keislaman menjadi satu tuntutan. Banyak di kalangan sahabat yang kemudian menjadi pendakwah di wilayah tertentu. Secara berurutan, kondisi ini menjadikan wilayah garapan yang berbeda-beda. Maka, generasi yang turut meramaikan majelis sahabat adalah mereka yang menerima dan menyerap ilmu dari kalangan sahabat. Golongan ini yang kemudian menerima sebutan tabiin. Beragamnya interpretasi ini muncul bukan atas tendensi hawa nafsu, melainkan kebutuhan masing-masing mereka untuk menemukan jawaban atas permasalahan-permasalahan baru. Hasilnya adalah, kita bisa mengetahui dalam catatan sejarah beberapa majelis yang dimotori salah satu di antara sekian sahabat Nabi Muhammad Saw.. Ibnu Abbas Ra. memiliki majelis ilmu di Makkah, Abdullah bin Umar Ra. memiliki majelis ilmu di Madinah, demikian juga Ibnu Mas’ud Ra. di Kufah, dan Abu Musa al-Asy’ari dan Anas bin Malik di Basrah. Dari sekian majelis ilmu ini kemudian melahirkan ulama-ulama kalangan tabiin. Di Makkah kita mengenal Ikrimah Maula ibn Abbas, dan Atha bin Abi Ribah. Di Madinah memunculkan nama Sa’id bin al-Musayyib, Urwah bin Zubair, Qasim bin Muhammad, Sulaiman bin Yasar, Ubaidillah bin Utbah, dan lain sebagainya. Wilayah Kufah melahirkan beberapa ulama, misalnya Alqamah al-Nakha’i, Ibrahim al-Nakha’i, Syuraih al-Qadzi, dan lain sebagainya. Demikian halnya dengan majelis Anas bin Malik di Basrah melahirkan nama beberapa tabiin, mereka adalah Hasan al-Basri, Muthraf bin Abdullah, Muhammad bin Sirin, Ziyad bin Fairuz, dan lain-lain.6

Pelembagaan fikih menjadi sebuah ilmu mulai muncul pada generasi setelah tabiin. Di mana –paling tidak– kita mengenal dan mengetahui kehadiran empat Imam madzhab umat Islam saat itu. Pada masa ini kodifikasi ilmu fikih berkembang seiring dengan tuntutan kondisi

5 Muhammad Zakaria, Ushulu’l Fiqh, cet. 2, dar at-Ta’lif, 1961, hal.246 Dr. Abdul Aziz bin al-Khayyath, Manâhiju’l Fuqahâ, cet. 2, tahun 1988, Dâr al-Salâm, Kairo.

4

Page 5: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

kultur sosial masyarakat. Imam Abu Hanifah, seorang ahli syariah yang kerap menggunakan akal dalam beberapa keputusannya menyusun satu di antara karyanya yang berjudul fiqhu’l akbar. Imam Malik yang dijuluki imâm dâru’l hijrah menyusun karya monumentalnya dengan judul al-Muwatha. Imam Syafii yang masyhur dengan qaulu’l qadîm dan qaulu’l jadîd membukukan sebuah bukunya yang bernama al-Umm. Sedangkan Imam Ahmad, salah satu murid Imam Syafii, membukukan karyanya yang bernama musnad Ahmad bin Hanbal yang berisi kumpulan hadis-hadis yang berhasil beliau riwayatkan. Hal ini ditegaskan dengan serupa pada salah satu tesis yang berjudul Atsâru Ikhtilâfâti’l Fuqahâ fî al-Syari’ah, pernyataannya adalah:

Penyusunan ilmu fikih dimulai pada masa empat Imam Madzhab, di mana Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan menyusun beberapa buku bermadzhab Hanafi sebagaimana Imam Syafii menyusun bukunya yang berjudul al-Umm dan mereka yang pernah menukil dan meyusun fikih (pemahaman) dari Imam-imam yang sezaman dengan mereka.7

Perkembangan kodifikasi ilmu fikih terus berlanjut dengan merujuk pada pendapat-pendapat para Imam pendahulu. Masa inilah yang menjadi masa pengumpulan pandangan masing-masing madzhab berkenaan dengan hukum Islam. Hal ini terus berlanjut sampai pada struktur kodifikasi dengan menggunakan model syarh; yakni suatu penjelasan kembali atas beberapa pendapat pada salah satu madzhab tertentu. Negatifnya, rantai perkembangan ilmu fikih sebagai pilar praktis masyarakat sehari-hari menjadi terhenti. Ini lebih disebabkan pada konsentrasi ahli fikih yang banyak memakai model jadal (debat) dalam mempertahankan eksistensi madzhab yang dipegang. Bahkan timbul suatu pernyataan: pintu ijtihad telah ditutup. Pada akhirnya, fikih dan usaha pengembangan aplikasinya melalui ijtihad menjadi tertutup. Ini yang kemudian diistilahkan oleh beberapa kalangan dengan sebutan jumud. Eksklusifitas untuk menelaah pendapat madzhab lain menjadi niscaya pada masa tersebut, hingga menyudutkan umat Islam pada taklid dan fanatik pada salah satu madzhab.

Ihwal inilah yang kemudian menyadarkan umat Islam akan pentingnya reinterpretasi terhadap pandangan-pandangan yang sejatinya mengekang perkembangan ijtihad. Kesadaran ini menumbuhkan beberapa sarjana dan ulama Islam yang menganjurkan pembukaan kembali pintu ijtihad. Noul James Coulson mencontohkan beberapa tokoh penganjur reaktifitas ijtihad, yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal, dalam bukunya ia menyatakan:

7 Op cit, Ahmad din Muhammad Umar al-Anshari, Atsâr ikhtilâfâti’l fuqahâ fî al-Syarî’ah hal. 227

5

Page 6: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

As early as 1898 the great Egyptian jurist Muhammad ‘Abduh had advocated the reinterpretation of the principles embodied in divine revelation as a basis for legal reform, and scholars like Iqbāl in India, pursuing the same theme, had argued that the exercise of ijtihad or independent judgement was not only the right, but also the duty, of present generations if Islam was to adapt itself succesfully to the modern world.8

Bisa diartikan sebagai berikut:

Pada awal tahun 1898, Muhammad Abduh menganjurkan usaha reinterpretasi terhadap keputusan hukum yang termaktub dalam nas ilahi sebagai dasar pembaharuan hukum Islam. Dengan tema yang sama, salah seorang sarjana India yang bernama Ikbal turut berargumen bahwa praktek ijtihad bukan hanya menjadi hak melainkan lebih pada suatu kewajiban generasi umat Islam saat ini. Ini jika Islam ingin berdaptasi secara sukses dengan modernisasi.

Di lain sisi, tidak sedikit ulama yang menyuarakan tema serupa. Di antara sekian nama adalah Imam Maraghi, pemilik tafsir al-Maraghi, yang pada komentar ketokohannya dianggap sebagai salah seorang yang merinci dasar-dasar rekonstruksi fikih. Terlepas dari sesuai atau tidaknya gagasan ini, Imam al-Maraghi merincikan konsepnya sebagai berikut:9

1. Mendudukkan kembali posisi al-Quran, Sunah, dan praktek ijtihad Khulafâ al-Râsyidîn sebagai rujukan dalam berijtihad seperti halnya konsep dasar yang pernah ditunjukkan Nabi Muhammad Saw..

2. Membuka kembali pintu ijtihad.3. Tidak membatasi posisi diri kepada 4 madzhab.4. Penyatuan madzhab fikih dan pembebasan madzhab dalam

study fikih; tidak memposisikan diri sebagai yang fanatik dalam madzhab tertentu.

5. Melegalkan penggunaan pendapat lemah demi kemaslahatan umat.

6. Memposisikan ijmak sebagai legal formal pada keputusan syariat.

7. Bahwa perintah atau keputusan Âmir atau Hâkim menjadi dasar bagi seorang Qâdzîy.

8. Boleh menggunakan adat sebagai dasar, walaupun berbeda pandangan pada beberapa buku-buku fikih.

9. Tidak berlakunya ‘saling percaya’ pada suatu muamalah kecuali dengan legalisasi instansi (dengan memberikan catatan akad dan disimpan sebagai rujukan ketika terjadi hal-hal yang tidak sesuai).

8 Noul James Coulson, A History of Islamic Law, hal 202, Edinburgh University Press, Edinburgh, 1964.

9 Abdullah Mabruk al-Najjar, Malâmih al-Tajdîdi’l Fiqh ‘inda’l Imâmi’l Marâghi, hal. 13-44, 2007, Majalah Azhar, edisi ?

6

Page 7: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

10. Seorang mukmin bisa mengetahui dan menentukan suatu rukhshah.

11. Me-universalkan al-Quran dengan menterjemahkannya ke dalam berbagai bahasa di dunia.

Aktifitas ijtihad menjadi bahan penting bagi kebutuhan umat Islam seiring dengan berbagai perkembangan yang terjadi di belahan dunia saat ini. Oleh karenanya, banyak usaha-usaha yang kemudian digagas demi menstabilkan gerak aplikatif masyarakat Islam demi satu arah kemajuan.

III. Arti Rekonstruksi

Pada usaha menempatkan kembali fikih menjadi aplikatif terhadap ruang dan waktu, telah muncul gagasan oleh beberapa pemikir, pemerhati, dan atau ulama untuk menelaah ulang apa yang sudah menjadi keputusan formal ulama-ulama dahulu. Telaah ini yang kemudian akan mereposisi aplikasi fikih sesuai dengan ruang dan waktu. Usaha inilah yang kemudian dikenal dengan rekonstruksi fikih; usaha yang berarti ‘membangun’ ulang bentukan fikih yang sudah ada dan memperbagus ‘bangunan’ terebut dengan fragmen-fragmen yang sesuai dengan kondisi.

Rekonstruksi adalah serapan kata yang diadaptasi dari reconstruction dalam Bahasa Inggris. Arti umum dari reconstruction adalah: The process of changing or improving the condition of something or the way it works (Suatu proses dalam melakukan perubahan terhadap suatu bentukan kondisi atau cara aplikasinya). Pada bentukan kata kerja, reconstruct adalah: To build or make something again that has been damaged or that no longer exist (Usaha untuk membangun sesuatu yang sudah rusak atau sesuatu yang sudah tidak diketahui eksistensinya).10 Dari segi ini, dapat dipahami bahwa usaha rekonstruksi lebih tertuju pada usaha perbaikan terhadap sesuatu, tanpa meninggalkan apa yang sudah ada. Permisalannya adalah, perbaikan sebuah rumah yang tidak harus menghancurkan pondasinya. Dalam Bahasa Arab, rekonstruksi memiliki padanan kata dengan tajdîd. Dari segi ini ia diistilahkan sebagai kelenturan akal untuk memposisikan suatu hal yang baru pada posisi yang dianggap sudah lama, atau usaha menyetarakan hal yang lama agar sesuai dengan hal yang baru.11

10 A.S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictonary of Current English, edited: Sally Wehmeier, cet. 6, tahun 2000, Oxford Univesity Press, United Kingdom.11 Prof. Dr. Muhammad Sayyid Dasuki, Tajdîd Fahm al-Dîn; Mafhûmu al-Tajdîd, Mahâlâtuhu, Dzawâbituhu, Ahammiyathu wa âtsâruhu, edisi 19, Silsilah Fikri’l Muwâjahah, Râbithatu’l Jâmi’âti’l Islâmiyah, hal. 21, Kairo.

7

Page 8: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

Pada kerangka fikih, maka rekonstruksi dimaksudkan sebagai usaha perbaikan, pengadaan, atau penyelarasan keputusan hukum fikih lama guna disejajarkan dengan perkembangan waktu, situsi, dan kondisi sosial kemasyarakatan di belahan dunia. Sehingga apa yang menjadi maksud dan tujuan diturunkannya Islam sebagai pilar hukum tidak bertentangan dengan karakteristik Islam itu sendiri, yaitu rahmatan lil ‘âlamîn. Dinamakan suatu perbaikan atau perubahan, karena usaha ini tidak meninggalkan eksistensi pondasi penyimpulan fikih yang sudah ada. Rekonstruksi bukan dimaksudkan sebagai merubah sesuatu yang telah ada –dalam hal ini fikih– dan menggantinya dengan satu hal yang baru secara mutlak. Namun, rekonstruksi dimaksudkan sebagai pengembangan hukum fikih Islam dan menjaga karakteristiknya yang asli. Pada sebuah perbaikan atau pengembangan ulang bisa dipilah kepada sesuatu yang mungkin bisa diperbaiki dan dikembangkan (elastisitas) dan sesuatu yang sudah tetap bangunannya. Hal ini yang kemudian menjadi dasar bahwa untuk melakukan perubahan, perbaikan, dan atau pengembangan, seseorang harus mengetahui hal-hal yang bersifat lentur dan yang bersifat tetap. Selanjutnya, ia bisa menggabungkan antara dua hal tadi; kelenturan dan ketetapan. Namun tetap, usaha ini memiliki syarat tersendiri, yaitu kemampuan untuk membedakan elastisitas hukum (yang bisa dikembangkan) dengan hukum yang sudah tetap adanya.12

IV. Fikih dan Ruang Rekonstruksi

Kaidah yang mengatakan: أن النصوص متناهية واألحداث غير متناهية memainkan peran penting dalam pelaksanaan rekonstruksi. Fikih yang notabene berlandaskan pada nas-nas syar’i secara praktis tidak melulu mengacu pada situasi masa lalu. Karena nas syar’i yang menjadi penghasil hukum masa tertentu ‘belum tentu’ relevan jika digunakan kembali pada masa selanjutnya; dengan kasus dan situasi yang berbeda.

Satu hal yang menjadi dasar adanya rekonstruksi adalah hadis Nabi Muhammad Saw. yang menyatakan bahwa pada perseratus tahunnya akan ada seorang yang menjadi pembaharu –atau dalam terma arab disebut mujaddid– dalam agama Islam. Pernyataan beliau adalah sebagai berikut:13

12 Dr. Yusuf Qaradzawi, al-Fiqhu’l Islâmîy baina’l Ashâlah wa al-Tajdîd, Maktabah Wahbah, hal. 28-29, cet. 3, tahun 2003, Kairo.13 Dr. Muhammad Salim ‘Awa, al-Fiqhu’l Islâmîy fî tharîq al-Tajdîd, hal. 5, Maktabah Wahbah:Kairo, cet. 2, tahun 1998.

8

Page 9: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

إن الله يبعث لهذه األم))ة على رأس ك))ل مائ))ة س))نة من يج))دددينها )رواه أبو داود(

Landasan inilah yang menjadi pemacu umat Islam untuk kembali menumbuhkembangkan agama mereka. Terlebih pada statement telah

ditutupnya usaha ijtihad. Kata pada hadis di atas menunjukkan دين satu bagan terbesar terhadap ruang rekonstruksi, di mana ketika dinyatakan terdapat pembaharuan dalam agama maka hal ini akan beruntun pada lokal keilmuan yang menjadi alat penjelas dalam agama. Sederhananya, kalau agama saja bisa diperbaharui, tentunya ilmu-ilmu yang lain lebih bisa untuk diperbaharui.

Hadis tersebut pastinya memiliki kesesuaian dengan, bahwa ijtihad merupakan kewajiban kolektif (fardzhu kifâyah). Hal ini akan memastikan tuntutan setiap zaman terhadap mujtahid yang mengembangkan dan memperbaharui agamanya. Adapun yang menjadi sistem dasar ijtihad adalah dengan tidak membatasi penelitian masalah pada turats-turats terdahulu dan mengabaikan pembahasan terkini.14

Dari segi pembahasan, rekonstruksi dalam bidang fikih terbagi menjadi dua pembahasan, yaitu rekonstruksi yang berhubungan dengan bentuk pembahasan (maudzu’i) dan yang berhubungan dengan bentuk sistematika penulisan (syakl). Dan yang menjadi lebih banyak diperbincangkan adalah rekonstruksi yang berhubungan dengan bentuk pembahasan.15 Di mana diketahui, bahwa penyusunan buku-buku fikih yang ada hanya berkaitan dengan tata cara pelaksanaan fikih seperti tata cara shalat, bentuk pelaksanaan haji, ukuran nisab zakat, dan lain sebagainya, belum pada tataran konstruksi masalah-masalah baru yang tidak ditemukan pada masa lalu. Namun seiring dengan konsekuensi zaman dan kesadaran para ilmuwan atau ulama, banyak dilakukan sekarang pembahasan ulang bentukan buku-buku fikih klasik dan pembahasannya yang kemudian diaktualisasikan pada ranah sosial kemasyarakatan. Bisa dicontohkan seperti pada permasalahan budak. Banyak ulama-ulama terdahulu yang membahas rinci mengenai masalah perbudakan, ini dikarenakan masih adanya sistem perbudakan yang berkembang saat itu. Berbanding terbalik dengan kondisi sosial saat ini dimana kata budak dan sistemnya sudah tidak dikatakan layak bagi kemanusiaan. Maka, pembahasan kembali masalah perbudakan menjadi tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini.

14 Dr. Jamal Athiyah-Dr. Wahbah Zuhaily, Tajdîdu’l fiqhi’l Islâmîy, hal. 19, Dâru’l Fikri’l Mu’âshir: Beirut, cet. 2, tahun 2002.15 Ibid. hal. 19

9

Page 10: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

Oleh karena alur waktu yang berkembang, umat Islam tidak bisa berdiam hanya memegang konstruksi hukum yang dibangun pada masa lalu. Melalui praktek yang dicontohkan Rashulullah Saw. dan banyak di antara sahabatnya, seorang muslim dengan kapasitas kemampuannya dianjurkan melakukan ijtihad fikih sesuai dengan kondisi ruang dan waktu. Pun demikian, kesempatan ijtihad dalam rangka membangun kembali bentukan fikih tidak berobyek pada nas atau teks secara keseluruhan. Secara umum nas syariat dirangkai menjadi dua bagian, yaitu nas qath’iy dan nas dzanniy. Dua bagian inilah yang menjadi batasan seorang mujtahid atau ilmuwan fikih untuk melakukan perannya dalam usaha rekonstruksi. Dimana satu di antara dua bagian tersebut menjadi ruang yang bisa dimasuki seorang mujtahid untuk berijtihad. Imam al-Zarkasy menyatakan batasan ruang ijtihad sebagai berikut: 16

Ada beberapa masalah yang bisa dimasuki sebagai ruang ijtihad, namun ada pula beberapa masalah yang tidak bisa dimasuki sebagai ruang ijtihad. Dan permasalahan yang tidak bisa dimasuki ruang ijtihad adalah permasalahan yang disandarkan pada dalil qath’iy.

Dari penjabaran beliau, bahwa ruang yang bisa dilalui untuk usaha ijtihad dan rekonstruksi adalah permasalahan yang disandarkan pada dalil dzanniy. Ada penjabaran yang dirinci lagi mengenai pembagian hukum syariat, yaitu:17

1. Hukum yang sudah tetap (qath’iy) yang sampai kepada kita semua secara mutawatir. Seperti shalat lima waktu, puasa, haji, haramnya perbuatan zina dan riba, dan lain sebagainya.

2. Beberapa hukum yang sudah ditetapkan ketetapannya secara ijmak tanpa ada satupun ulama yang mengingkari.

3. Hukum syariat yang masih samar, atau dengan kata lain adalah hukum dzanniy.

Maka, pelaksanaan ijtihad dalam upaya pembaharuan hukum dilakukan pada dua hal, yaitu:18

1. Permasalahan yang tidak memiliki dasarnya dalam nas syariat.2. Permasalahan yang memiliki dasarnya dalam nas syariat dengan

status nas yang dzanniy.

Dengan berbagai permasalahan baru yang berkembang di dunia saat ini, rekonstruksi fikih memainkan peran sebagai penyeimbang antara karakter syariat yang maslahat dengan posisi interaksi manusia dengan perkembangan yang belum pernah ditemukan atau dibahas pada kodifikasi fikih sebelumnya. Maka, pembahasan atau dan penulisan kembali hasil hukum permasalahn yang pernah dilakukan

16 Prof. Dr. Ali Jum’ah, Âliyyâtu’l Ijtihâd, hal. 27-28, Dâr al-Risâlah: Kairo, cet. 1, tahun 2004.17 Op cit. hal 193-19418 Yusuf Qaradhawi, Min Ajli Shahwatin râsyidatin;Tajdîd al-Dîn wa tanhadzu bi al-Dunya, hal. 44, Dâr al-Syurûq: Kairo, cet. 2, tahun 2005.

10

Page 11: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

ulama dahulu secara taklid akan menghentikan gerak perkembangan Islam dan adaptasi umatnya ketika menghadapi hal-hal yang baru. Kondisi ini pula yang menjadikan aplikasi ijtihad bermacam-macam. Beberapa hal yang bisa disebutkan mengenai praktek ijtihad di antaranya adalah al-ijtihâdu’l Insyâiy. Bangunan ijtihad ini dimunculkan berkenaan dengan munculnya permasalahan yang sama sekali belum pernah diutarakan oleh ulama masa lalu dan membutuhkan ulasan mujtahid untuk melakukan tajdid yang menghasilkan hukum yang layak dan sesuai. Permasalahan yang menjadi ruang ijtihad ini bisa dicontohkan, misalnya berkenaan dengan zakat perusahan, zakat saham, zakat tanah yang disewakan, emas digunakan sebagai standar nilai mata uang, penyewaan rahim, kloning, test DNA, dan permasalahan lain yang pada dasarnya belum pernah dilakukan telaah hukum. Aktifasi ijtihad lain dalam perannya sebagai pembaharu adalah al-ijtihâdu’l Intiqâiy. Berbeda dengan yang sebelumnya, ijtihad ini spesifik kepada penelitian dan pemilihan status râjih dan marjûh tentang pendapat-pendapat atau kesimpulan hukum yang dilakukan oleh para ulama madzhab yang lalu. Dengan kata lain, seorang mujtahid dalam telaah dan penelitiaannya bisa kemudian menyatakan bahwa madzhab Hanafi dalam persoalan tertentu pendapatnya lebih kuat daripada pendapat yang dikemukakan oleh madzhab Syafii misalnya. Spesifikasi selainnya adalah bahwa pertimbangan râjih dan marjûh berdasarkan pada kondisi riil masyarakat yang terjadi saat itu. Artinya, bisa jadi dulu yang kuat adalah pendapat madzhab Syafii daripada madzhab Hanafi.19 Oleh karena kondisi yang berbeda, telaah penelitian tadi menimbulkan kemungkinan terbalik. Ijtihad tidak selamanya dilakukan oleh satu individu, dengan berbagai syarat yang dipenuhi tentunya. Karena perluasan ilmu pengetahuan dan pembagiannya menjadi spesifikasi cabang keilmuan yang banyak, seorang ilmuwan fikih dengan batas kemampuannya tidak mungkin menguasai cabang ilmu secara keseluruhan. Hal ini yang kemudian –mau tidak mau– mengharuskan seorang mujtahid untuk berinteraksi dengan ilmuwan lain yang memiliki kapabilitas dalam ilmu yang tidak ia miliki dan kuasai. Maka sekarang kemudian dikenal klasifikasi ijtihad lain yang disebut al-ijtihâdu’l Jamâiy atau ijtihad jamaah. Pengertiannya adalah kerja keras berbagai ulama fikih –dalam hal ini terjadi interaksi pembahasan antara satu dengan yang lain– untuk menentukan gambaran hukum syariat dan kesepakatan mereka atau sebagian besar di antara mereka terhadap hasil hukum yang dimusyawarahkan.20 Namun di sini ada beberapa catatan yang perlu dilihat dari pengertian yang disebutkan. Secara istilah telah

19 Ibid, hal 4920 Dr. Abdul Majid Muhammad al-Susuh al-Syarfiy, al-Ijtihâdu’l Jamâiy fî al-Tasyrî’l’ Islâmîy, hal. 46, Wizâratu’l Auqâf wa al-Syuûnu’l Islâmiyah: Qatar, cet. 1, tahun 1998.

11

Page 12: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

disebutkan bahwa ijtihad jamaah adalah kerja keras banyak ulama fikih. Pengkhususan spesifikasi ulama fikih untuk pengadaan ijtihad jamaah pada masa sekarang belum bisa dikatakan maksimal. Hal ini bisa digambarkan bahwa ilmuwan fikih belum tentu seorang dokter. Karena hal ini, maka ulama fikih dianjurkan untuk meminta pandangan atau penjelasan tentang permasalahan yang sedang dihadapi saat itu. Dalam bidang kedokteran misalnya, ketika muncul permasalahan bank sperma atau bank ASI, ilmuwan fikih sesuai kepabilitasnya harus menanyakan apa itu bank sperma atau apa itu bank ASI, apa tujuan diadakannya bank tersebut, dan lain sebagainya.

Ada ungkapan menarik yang pernah disampaikan Imam al-Qurafi:21

Maka selama adat (‘Urf ) berkembang, gunakan22. Dan apabila adat berhenti (diam) berkembang, diamkan.23 Dan jangan kalian jumud selamanya terhadap apa yang disampaikan dalam berbagai buku. Tetapi apabila datang seseorang yang bukan penduduk tempat kalian tinggal meminta fatwa, jangan kalian berikan kesimpulan hukum menurut keadaan tempat atau adat yang kalian tinggali. Tanyakanlah kepadanya tentang adat atau keadaan di mana ia tinggal dan berilah fatwa sesuai dengan hal tersebut bukan dengan adat di mana kalian tinggal dan hasil hukum dalam buku-buku kalian. Inilah yang benar dan lebih sesuai. Jumud kepada sesuatu yang disampaikan (oleh orang-orang terdahulu) merupakan perbuatan sesat dalam agama dan lalai dalam memahami maksud ulama terdahulu.24

Dari sini diketahui bahwa dalam realita kondisi ada dua ruang unsur yang mewarnai, yaitu sesuatu yang selalu bisa diperbaharui dan yang selalu berubah-ubah.25 Unsur inilah yang nyatanya menjadi ihwal mengapa suatu perubahan perlu disesuaikan dengan kemaslahatan manusia. Maka sedari awal, anjuran ulama kepada seseorang yang bergerak dalam alur rekonstruksi adalah dengan mengetahui dan memahami kondisi sosial masyarakat; baik itu karakter ataupun lingkungan, di samping juga ia mengetahui dan memahami metode pengambilan hukum berdasarkan pada nas. Ini seperti halnya pernyataan yang disampaikan Ibnul Qayyim, bahwa yang disebut ilmuwan fikih adalah ia yang mampu mensinergikan antara

21 Ahmad bin Abu ‘Ala Idris bin Abdurrahman bin Abdullah bin Yalin al-Shanhaji, lebih dikenal dengan al-Qurafi, digelari dengan sebutan Syihabuddin, dan dipanggil dengan Abu ‘Abbas. Lih. Qawâ’idu’l fiqhi’l Islâmîy baina nadzariyah wa al-Tathbîq, Diktat Fakultas al-Syarî’ah wa’l Qânûn Universitas al-Azhar: Kairo, tahun 2007.22 Menurut penulis adalah menggunakan adat yang berkembang tadi sebagai bahan penelitian untuk menghasilkan suatu hukum dengan –tentunya– merujuk apa yang telah disampaikan; baik dalam al-Quran atau Sunah. 23 Menurut penulis adalah jika adat yang terjadi masih tetap (masih sesuai dengan maslahat yang disandarkan kepada al-Quran dan Sunah), maka gunakan adat tersebut sebagai bahan penyimpul hukum menurut ketetapannya.24 Dr. Muhammad Salim ‘Awa, al-Fiqhu’l Islâmîy fî tharîq al-Tajdîd, hal. 13, al-Maktabatu’l Islâmîy: Beirut, cet. 2, tahun 1998. Lih. al-Furûq, juz 1, hal. 172.25 Ibid. hal. 17.

12

Page 13: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

pemahaman realita dengan pemahaman terhadap hukum Allah dan Rasulullah Saw..26 Relevansi yang perlu dilakukan sekarang adalah penyesuaian pembahasan syariat –dalam hal ini adalah pembahasan fikih– seiring dengan perkembangan zaman. Bukan dalam arti seorang ilmuwan fikih menanggalkan berbagai keputusan yang telah lalu. Namun lebih daripada itu, bahwa keputusan hukum yang disimpulkan oleh banyak ulama sebelumnya menjadi dasar pertimbangan penelitian untuk disinergikan kembali dengan hal-hal yang baru. Yang lama menjadi rujukan; baik itu dalam metode pengambilan atau dalam hal sistematika penyusunan, dan yang baru menjadi hasil segar; baik itu teori atau aplikasi hasil hukum dalam masyarakat. Seperti halnya apa yang disampaikan Dr. Hasan Hanafi, bahwa rekonstruksi atau tajdid adalah penafsiran kembali sesuatu yang telah lalu agar sesuai dengan kebutuhuan (maslahat) masa sekarang.27

Ada yang menarik dari apa yang digagas oleh Dr. Jamal Athiyah, dimana beliau mencoba merinci pembahasan fikih yang mungkin bisa dilakukan oleh ulama Islam saat ini atau bahkan sebagai bentuk tantangan bagi para sarjana Islam terkhusus yang mendalami bidang syariah. Beliau menuliskan kerangka pembahasan fikih secara umum dengan mensistemasikan pembahasan kerangka ini sebagai gambaran pengantar terhadap syariat. Kerangka umum yang beliau gagas adalah sebagai berikut: 28

1. Syariat; study sejarah dan telaahnya2. Iman3. Akhlaq4. Maqâshid al-Syarî’ah dan kaidah-kaidahnya5. Hak dan kewajiban manusia6. Batasan syariat tentang ilmu7. Seruan ibadah (al-Sya’âir)8. al-Ahwal al-Syakhshiyah9. Muamalah10. Hukum pidana dalam syariat11. Aturan hukum12. al-Qadzâ’ (berkenaan dengan Qâdzi atau hakim)13. Sistem administrasi umum 14. Sistem ekonomi15. Hubungan antar negara16. Kewarganegaraan

26 Muhammad Ibrahim al-Hasinyaniy, al-Ta-shîl al-Syar’îy li fiqhi’l wâqi’, hal. 16, Dâr al-Tauzî’ wa al-Nasyri’l Islâmîy: Kairo, cet. 1, tahun 2005. 27 Dr. Hasan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd; Mauqifunâ mina’l-turâtsi’l qadîm, al-Muassisatu’l Jâmi’ah li al-Dirâsât wa al-Nasyr wa al-Tauzî’: Kairo, cet. 4, tahun 1991, hal. 13. 28 Op cit. hal 75-76

13

Page 14: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

V. Pengaruh Ruang dan Waktu terhadap Aplikasi Fikih

Fikih yang menjadi hukum praktis dalam keseharian ibadah pada tataran aplikasi menuai tujuan utama, yaitu kesesuaian antara aplikasi dengan maslahat. Dalam terma ijtihad keputusan hukum fikih seringkali dihubungkan dengan dua unsur kondisi: ruang dan waktu. Hal ini disebabkan karena dua unsur tersebut merupakan faktor utama dalam kemajuan atau dan perubahan sesuatu baik itu lebih baik atau lebih buruk. Bahwa kemajuan seringkali identik dengan hal positif bisa dibenarkan, namun terkadang kemajuan lebih diukur dari segi kelaikan akan maslahat terhadap dimensi sekitar. Oleh karenanya, bentuk kemajuan dan perubahan harus memiliki kontrol yang sesuai untuk mencegah adanya keputusan yang dirasa belum mewakili kondisi maslahat hubungan horisontal (sosial kemasyarakatan) atau hubungan vertikal (individu kepada Tuhan).

Waktu atau zaman adalah satu kata yang menuntun pada perubahan sesuatu. Panjang ataupun pendeknya waktu, secara prinsip ia akan merubah sesuatu yang telah lalu menjadi hal baru. Dalam hal ini masa sekarang adalah baru sedangkan masa lalu adalah lama. Filosof dahulu mengistilahkan waktu sebagai substansi yang terlepas dari materi, tidak memiliki bentuk fisik, dan tidak menerima peniadaan dengan sendirinya. Sedangkan Asya’irah mengartikan bahwa waktu adalah pergerakan yang selalu baru yang kemudian menafikan pergerakan yang telah lalu. Filsafat modern menganggap waktu tidak dibatasi dengan ruang, ia berlaku di segala peristiwa, atas dasar ini maka pada setiap peristiwa memiliki satu hal yang disebut sebagai sejarah. Demikian halnya dengan ilmuwan kontemporer bahwa waktu merupakan bentuk perubahan yang berkesinambunan yang menjadikan hal baru menjadi yang lama.29

Dimensi waktu sebagai unsur perubahan ini diposisikan sebagai alur pergerakan yang selalu berubah-ubah. Pun demikian, dimensi ini kurang lebih adalah sebuah dimensi global yang mengarahkan pelaku alur sebagai aplikator pada dimensi lain yang lebih spesifik. Dimensi yang dimaksudkan adalah dimensi ruang. Dimensi ini menjadikan subyektifitas terapan yang menempatkan pergerakan pada ranah praktis. Waktu adalah alur pergerakan sedangkan ruang adalah jalan pergerakan. Terminologi ruang diartikan sebagai suatu bidang (substansi) dari bentuk atau jenis yang dapat dirasakan atau disentuh oleh fisik.30 Dalam hal ini maka artikulasi ruang memposisikan dimensi ini sebagai proyeksi pergerakan dari dimensi waktu itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa kedua dimensi ini tidak bisa

29 Said bin Muhammadi Buhirawah, al-Bu’du al-Zamânîy wa’l makânî wa atsaruhumâ fî al-Ta’âmul ma’a al-Nash al-Syar’i, hal. 21-22, Dâr al-Nafâis: Yordania, cet. 1, tahun 1999.30 Ibid, hal. 23.

14

Page 15: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

dipisahkan begitu saja. Waktu memiliki keterkaitan gerak dengan ruang.

Dari dua unsur perubahan di atas yang dirasa paling banyak memberikan faktor perubahan adalah unsur ruang. Dimana ruang menjadi aplikator dari gerakan waktu. Maka ruang memiliki sederet nama yang menjadi karakteristik objek perubahan. Beberapa nama yang bisa disebut sebagai artikulasi ruang adalah lingkungan. Lingkungan adalah daerah, negara, darat, laut, udara, dan lain sebagainya.

Karakteristik Islam yang menerapkan aspek universalitas kemudian menyesuaikan pelaksanaan syariat sesuai dengan alur waktu dan gerak ruang dengan beberapa komposisi yang sudah teratur. Maka tidak heran jika Imam Syafii kemudian merekonstruksi pendapat fikihnya dari semula di Iraq kepada pendapat baru yang sudah disesuaikan di Mesir. Demikian halnya dengan identifikasi Imam Abu Hanifah sebagai Imam ahlu al-Ra`yi dan Imam Malik sebagai Imam ahlu’l Hadîts. Imbas lain dari kedua unsur di atas juga mempengaruhi keputusan Umar bin Khattab pada permasalahan zakat muallafah qulûbuhum dan keputusan ihwal hukum potong tangan. Indikasi nyata selain pergantian waktu adalah perbedaan sosio kultural pada masyarakat tertentu di hampir setiap wilayah. Maka kemudian tidak dikatakan mustahil kalamana timbul perbedaan hukum fikih antar wilayah negara. Atas pertimbangan ini pula Imam Malik pada pemerintahan Harun al-Rasyid menolak permintaan khalifah untuk meresmikan kitab al-Muwatha` sebagai buku standar hukum negara. Penolakan ini tentu saja memiliki arah tujuan yang pasti, yaitu tidak memaksakan aplikasi hukum wilayah tertentu pada wilayah lain yang belum tentu memiliki kesamaan kultural.

Segala perubahan yang terjadi atas nama dua dimensi di atas telah membuktikan bahwa timbulnya permasalahan yang belum diketahui terjadinya membutuhkan penyelesaian tepat dengan memanfaatkan rasio positif guna memahami apa yang tersirat dalam al-Quran maupun Hadis. Pemunculan ragam kaedah fikihpun sejatinya menggiring persepsi tentang tidak lepasnya konsentrasi ulama dahulu dalam mengkaji dan menyelesaikan permasalahan yang mungkin timbul. Perumusan lima kaedah universal dalam pembahasasn fikih misalnya, menampakkan suatu haluan dalam aspek penelitian hukum fikih dan penyesuaiannya kepada maslahat masyarakat.31 Seperti yang pernah dinyatakan ‘Izzuddin bin Abd al-Salam dalam bukunya

31 Lima kaedah universal fikih:a. al-Umûr bimaqâshidihâ (suatu perbuatan bergantung pada maksud dan tujuannya)b. al-Yaqîn lâ yazûl bi al-Syak (suatu keyakinan tidak dihilangkan dengan suatu keraguan)c. al-Dzarar yuzâl atau Lâ dzarara wa lâ dzirâr (yang berbahaya dihilangkan)

15

Page 16: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

Qawâidu’l Ahkâm fî Mashâlihi’l Anâm bahwa segala perkara, baik yang diperintahkan ataupun yang dilarang kembali pada prinsip dasar dibukanya maslahat dan penolakan terhadap mafsadat.32

Dimensi dalam standar waktu ataupun ruang telah menjadi bahan kaji fundamen bagi ilmuwan fikih baik dulu atau sekarang. Karenanya, elastisitas syariah Islam haruslah berujud pada pengembangan proyek pemahaman masyarakat terhadap fikih dan pelembagaannya. Demikian pula tuntutan para ilmuwan syariah untuk menempatkan spesialisasinya pada ruang dirinya berada dan pengetahuan sosio kultural pada ruang lain (daerah, wilayah, negara).

Secara jelas, ruang dan waktu menunaikan perannya dalam perjalanan rekonstruksi fikih. Struktur paralel yang terjadi antara awal kemunculan Islam sampai –paling tidak– pada masa empat Imam madzhab menyuguhkan kisah historitas rekonstruksi ilmu fikih dan aplikasi praktisnya. Terlebih hal ini dikuatkan dengan stagnannya pemikiran pasca periodesasi empat Imam atau lebih jauh lagi pasca runtuhnya kekuasaan Abbasiyah pada 1258 sampai pada 1924 sebagai tahun runtuhnya dominasi kekhalifahan Islam yang diwakili oleh Turki Utsmani. Ahmad Amin kembali menegaskan ihwal jumudnya pemikiran Islam pada abad ke enam hijriyah diindikasikan dengan fanatisme madzhab (taklid), penyerangan bangsa Tartar, hilangnya dominasi Muktazilah pada masa Mutawakkil. Ini beliau nyatakan dengan realitas sosial yang menyuguhkan pertentangan para Ulama Fikih dengan Sufi demikian pula sebaliknya, pertentangan Muktazilah dengan Sunni dan Syiah dengan Sunni demikian pula sebaliknya, madzhab Syafii dengan madzhab Hanafi atau madzhab Hambali dengan madzhab lain demikian pula sebaliknya.33

Relasinya adalah, bahwa berhentinya pergerakan analisa pada beberapa dekade di atas membuktikan dinamisasi ruang dan waktu yang terus dan akan berkembang.

Dasar relasi ini kemudian mengantarkan pada asumsi, bahwa justru dengan gerak perubahan inilah yang memompa potensi berfikir dalam menganalisa dan menyelesaikan permasalah yang ada. Maka dekade rekonstruksi pun hadir kembali setelah sebelumnya statis terhenti.

d. al-Masyaqqah tujlab al-Taisîr (suatu kesulitan [bisa] dibuka atau dilapangkan dengan suatu yang mudah).

e. al-‘Âdah muhakkamah (suatu adat bisa dijadikan hukum).Lih. Dr. Hasan Shalah al-Shaghir, Qawâ’idu’l Fiqhi’l Islâmîy baina al-Nadzariyah wa al-Tathbîq, Universitas al-Azhar: Kairo, tahun 2007, hal 24.

32 Ibid, hal. 32. 33 Dr. Muhammad Nur Farhat, al-Bahts ‘ani’l ‘Aql; Hiwâr ma’a Fikri’l Hâkimiyah wa al-Naql, al-Hai`atu’l ‘Mishriyyatu’l ‘Ȃmmah li’l Kitâb: Kairo, tahun 2006, hal. 69-70.

16

Page 17: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

Peran ini melahirkan kemudian beberapa proyek pembaharuan pemikiran. Tidak hanya pada kategori fikih namun lebih daripada itu.

Kelahiran Ibnu Taymiyah (w. 728 H) mungkin dianggap sejarah sebagai pemula awal rekonstruksi yang terhenti. Walau sosial sekitar masih acuh dengan gagasan ini, namun perkembangan waktu kemudian memunculkan tautan ide yang terus berurutan. Sebagai kelanjutannya, Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir, dan Muhammad Iqbal di India, untuk menyebut sebagai contoh. Elastisitas Islam memberikan ruang segar bagi beberapa sarjana atau Ulama kontemporer saat itu yang menyuguhkan teori umum: untuk maju umat Islam harus berkembang. Muhammad Abduh pun menyatakan: al-Islâm mahjubûn bi’l muslimîn (Islam mundur karena umat Islam sendiri).

Continuitas relasi hirarkis tentang rekonstruksi fikih terus berkelanjutan sampai pada sosial masyarakat Indonesia, yang kala itu sedang dirundung pada permasalahan penjajahan 350 tahun Belanda. Puncaknya adalah pada awal 1900-an yang secara runtut melahirkan Sjarekat Dagang Islam (1905), Budi Utomo (1908), Muhammadiyah (1912), Syarekat Islam (1912, pergantian nama dari Sjarekat Dagang Islam dan lapangan pergerakannya), Nahdzhatul Ulama (1926), dan lain sebagainya.

Permasalahan kultur sosial –sebagai bagian dari dimensi ruang– masyarakat pada dimensi Indonesia saat itu menjadi faktor penting bagi pergerakan pembaharuan. Kemunduran, kebodohan, dan ketidak bersatuan, menjadi bahan emosional positif terhadap sistem perubahan yang tengah didengungkan di beberapa belahan dunia. Awal mulanya berawal dari permasalahan teologis dan ketidak cocokan antara kredo lingkungan setempat dengan kredo yang dimiliki Islam, oleh Fauzan Saleh dinyatakan sebagai ihwal pelembagaan apresiasi (organisasi). Dimana peran akulturasi antara Islam dengan faham animisme masih kental dan mengakar di beberapa bagian wilayah Indonesia. ‘Mulusnya’ penyebaran Islam Nusantara oleh beliau dikatakan hanya pada beberapa wilayah yang belum tercampuri dengan pengaruh Hindu atau Budha.34 Proses ini selanjutnya yang melahirkan beberapa tokoh keislaman yang dengan sadar berifikir dan beranalisa tentang penyelesaian jumudnya pemikiran, tidak saja hanya di wilayah Timur tengah namun juga di Asia Tenggara –dalam pembahasan ini disebutkan pada Indonesia.

34 Lebih lanjut lih. Dr. Fauzan Shaleh, Teologi Pembaharuan; Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Serambi: Jakarta, tahun 2001, hal. 19-29.

17

Page 18: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

VI. Muhammadiyah dan Tajdid:

a. Kilas Sejarah

Tahun 1912 bisa dikatakan sebagai tahun pergerakan yang diwujudkan Indonesia, dengan awal pergerakan yang disebut Budi Utomo pada 1908, Syarekat Islam (SI) pada 1912 sebagai manifestasi politik Islam, dan Muhammadiyah pada tahun yang sama. Pada masa ini, demi untuk meruntuhkan hegemoni Belanda sebagai penjajah dan menumbuhkembangkan potensi yang dimiliki masyarakat Indonesia, berdirilah satu gerakan yang dimunculkan oleh satu tokoh nasional Islam, yaitu Muhammad Darwis atau biasa dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan. Gerakan ini kemudian hari dikenal dengan Muhammadiyah. Kelahiran ini tidak diadakan tanpa pertimbangan. Melalui perenungan dan pengamatan sosial yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan, baik di negara lain ataupun di Indonesia sendiri, Muhammadiyah lahir sebagai manifestasi dari upaya rekonstruksi yang sudah mulai didengungkan oleh ulama-ulama di belahan negara yang lain. Belanda yang saat itu menganulir berbagai pandangan dan pemahaman tentang Islam, sesuai dengan saran yang diserukan Snouck Hurgronje, bahwa dengan melalui pengikisan dan pendangkalan paradigama tentang Islam, masyarakat Indonesia –yang notebene mayoritas beragama Islam– akan mengikut peradaban Eropa dan lolosnya kristenisasi.35 Namun demikian, fakta teori yang dicanangkan Hurgronje kepada Belanda melalui sistem pendidikan justru memutar balik tujuan semula. Bahwa ternyata pengikisan ini tidak berlaku rata bagi semua pribumi. Banyak kalangan Islam yang kemudian atas ‘restu’ Belanda mengajar di sekolah-sekolah pemerintah. Dari sinilah kemudian perkembangan rekonstruksi pemahaman mulai menemukan jalan.

Justru melalui sistem pendidikan, KH. Ahmad Dahlan membidik upaya pembaharuan yang ia transformasikan selanjutnya pada gerakan Muhammadiyah. Menimbang pada keterbelakangan masyarakat Islam Indonesia kala itu, KH. Ahmad Dahlan berusaha dari hal kecil sejak tahun 1905 melalui pengajian yang ia namai dengan Sopo Treso dan merambah pada jalur pendirian sekolah Muhammadiyah pada 1911 dengan akulturasi sistem pendidikan yang dianut Belanda pada waktu itu dengan gagasan kemajuan yang ingin beliau tanamkan.36 Bagi pemahaman sebagian masyarakat dan beberapa ulama kala itu,

35 Pembahasan lanjut tentang kebijakan Belanda terhadap penyebaran Islam Nusantara bisa dilihat Ibid, hal. 55-68. 36 Drs. H. Musthafa Kamal Pasha, B.Ed., et.al, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Tajdid, Citra Karsa Mandiri: Yogyakarta, tahun 2003, hal. 36-37.

18

Page 19: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

bahwa segala hal yang menjadi simbolisasi Barat –dalam hal ini Belanda– dianggap sebagai penetrasi tujuan penjajah: Gold (emas, kekayaan), Glory (kejayaan), Gospel (kristenisasi). Maka penggunaan atau bahkan penyerapan simbol Barat dianggap telah keluar dari jalur keislaman. Ihwal ini yang kemudian menjadi halang rintang KH. Ahmad Dahlan terhadap upaya memajukan potensi Islam Nusantara. Pun demikian, ide adopsi sistem Belanda yang beliau bawa bukan penukaran mutlak, melainkan atas pertimbangan selektifitas. Seperti pada penuturan Ahmad Adabi Darban:37

Kita harus menyadari bahwa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan masih di zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda, pada era itu simbol-simbol budaya yang dibawa Belanda (yang Itebetulan menindas bangsa Indonesia) dianggap semuanya negatif dan harus dilawan. Dengan demikian terjadilah anti pati apa yang dari Belanda. Kondisi yang demikian dapat dimaklumi, namun perlu sikap yang cerdas dalam menghadapinya. KH. Ahmad Dahlan termasuk seorang tokoh yang cerdas dan punya pemikiran kedepan, sehingga dalam menangkap simbol-simbol sosial-budaya yang dibawa Belanda dapat menyeleksi dan kemudian justeru dapat memanfaatkannya, artinya melawan Belanda dengan senjata yang dibawa Belanda.

Maka, puncak dari gagasan yang digaungkan KH. Ahmad Dahlan berujung pada sistematisasi paradigma dengan melembagakan visi pembaharuan beliau lewat organisasi yang ia namakan Muhammadiyah. Penisbahan nama organisasi sebagai ‘pengikut Nabi Muhammd Saw.’pun memiliki misi tersendiri setelah melalui perenungan KH. Ahmad Dahlan terhadap surat Ali-Imran ayat 104. Penggunaan nama Muhammadiyah dirasa aneh dan asing oleh masyarakat saat itu. Karena keasingan nama inilah timbul pertanyaan masyarakat luas dan memunculkan celah efektif untuk menjelaskan apa dan bagaimana pengikut Nabi Muhammad Saw. itu dan bukan tentang apa dan siapakah Muhammadiyah itu. Tujuan awalnya ialah menerangkan hakekat keislaman sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., yang bersih dari rangkaian rekaan dan lain sebagainya.38

b. Motor pemikiran KH. Ahmad Dahlan

Awal usaha rekonstruktif KH. Ahmad Dahlan sejatinya adalah imbas dari pengaruh pembaharuan yang digaungkan oleh beberapa Ulama. Hirarki gerak pembaharuan mungkin bisa dirunut dari seruan purifikasi pemahaman keislaman oleh Ibnu Taimiyah dan dilanjutkan pada abad XVIII oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Di utara Afrika, Mesir, muncul pula gagasan pan islamisme oleh Jamaluddin al-Afghani, kemudian Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha

37 Abdul Munir Mulkan, et.al, Kepemimpinan Profetik Untuk Gerakan Tajdid (Jelang Se-abad Muhammadiyah), Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, tahun 2005, hal. 60.38 Op. Cit, Drs. Musthafa Kamal Pasha, B.Ed., et.al, hal. 43.

19

Page 20: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

pada abad XIX dengan gerakan praksis yang memadukan antara reflection and action (aksi dan reaksi).39 Dan dari India muncul gagasan senada yang dibawa oleh Muhammad Iqbal.40 Namun pengaruh yang paling dirasa dominan pada pemikiran KH. Ahmad Dahlan adalah paradigma yang dibawa oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Dimana kemudian memunculkan sebuah ide gagasan yang serupa dengan bahasa beliau sendiri yang terkenal, berilmu amaliyah dan beramal ilmiyah.

Penerapan prinsip berilmu-bergerak (al-‘ilmu‘l ‘amal-al-‘amalu‘l ‘ilm) menjadi landasan purifikasi praksis yang dimiliki KH. Ahmad Dahlan. Maka, seperti yang dinyatakan di atas, bahwa sejak 1905 usaha refleksi dan aksi beliau gerakkan pada sementara teritorial lokal, yang kemudian berkembang dan berkembang. Progesifitas aksi ini kemudian oleh segenap kalangan dikenal dengan sebutan teologi al-Ma’un. Teologi yang menanamkan akar gerakan sosial masyarakat dalam beramal dan aksi nyata dengan memiliki landasan ilmu yang jelas dan terstruktur. Prinsip ini yang nyatanya menggairahkan penumbuhan ragam amal usaha, seperti panti asuhan, rumah sakit, sekolah, dan lain sebagainya.

Alur pemikiran KH. Ahmad Dahlan pada dasarnya didasari pada beberapa faktor tertentu. Secara global ada dua faktor yang melatarbelakangi paradigma KH. Ahmad Dahlan dalam mereformulasi pemahaman masyarakat terhadap agama. Dua faktor tersebut bisa disebutkan sebagai berikut:41

1. Faktor subyektif. Menilik pada pribadi KH. Ahmad Dahlan yang selalu merefleksikan makna nas (al-Quran ataupun Sunah) faktor ini menjadi dasar utama timbulnya gagasan pelembagaan atas nama Muhammadiyah. Refleski al-Quran yang menjadi sumber ide beliau yang terkenal adalah Ali-Imran ayat 104:

ولتكن منكم أم)ة ي)دعون إلى الخ))ير وي)أمرون ب)المعروفوينهون عن المنكر وأولئ)ك هم المفلحون

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh yang makruf, dan mencegah yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

2. Faktor Obyektif. Faktor ini dipilah menjadi internal dan eksternal, yaitu:

39 Amin Rais, et.al, Muhammadiyah Menuju Millenium III, Pustaka SM: Yogyakarta, cet. 1, tahun 1999, hal. 63-64.40 Op. Cit, Drs. Musthafa Kamal Pasha, B.Ed., et.al, hal. 14-26.41 Ibid, hal. 44-52.

20

Page 21: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

2.1. Obyektif internal (faktor keindonesiaan), sebagaimana yang pernah dipaparkan Abdul Mukti Ali:42

2.1.1.Tidak murninya aplikasi keislaman di tengah-tengah masyarakat yang ditengarai dengan keengganan merujuk kembali praktek syariat kepada al-Quran dan Hadis.

2.1.2.Ketidak efisiennya pendidikan agama saat itu. Dimana pendidikan agama hanya stagnan dan tidak diadakannya upaya akulturasi positif terhadap bidang lain.

2.2. Obyektif eksternal (faktor luar Nusantara):2.2.1.Maraknya upaya kristenisasi yang dilakukan oleh

pemerintahan Belanda. Ini dimaklumi karena misi ekspansi bangsa Eropa yang sering dikenal dengan Gold (emas, kekayaan), Glory (kejayaan), dan Gospel (kristenisasi).

2.2.2.Pendudukan Belanda yang membelenggu pola pikir penduduk pribumi. Ini ditengarai dengan praktek pembedaan kasta sosial pada masyarakat. Walaupun misi Kristen tidak memihak pada gagasan struktur kasta, namun realitas penjajahan hanya memihak kooperasi masyakarat elit (baca: Raden).

2.2.3.Angin pembaharuan yang dihembuskan oleh ulama-ulama Islam pada kurun abad XVIII sampai abad XIX.

Atas dasar ini kemudian KH. Ahmad Dahlan menimbang posibilitas gerakannya sebagai penetrasi paradigma terhadap dominasi pemahaman eksklusif. Isu purifikasi dan refleksi-aksi serta pembacaan akan pesan instruktif al-Quran menjadikan KH. Ahmad Dahlan semakin yakin, bahwa untuk maju masyarakat harus berubah. Bahwa Allah tidak akan merubah dinamika keumatan sampai umat itu sendiri yang mau merubah diri mereka sendiri. Rasa keumatan inilah yang nyatanya memihak KH. Ahmad Dahlan dalam menjalankan visi-misi rekonstruktifnya. Adabi Darban menyebut pola keumatan (dakwah) KH. Ahmad Dahlan sebagai pola persuasif yang ia artikan dengan ngemong (pengayoman).43

c. Kelahiran Muhammadiyah dan Upaya Rekonstruksi

Kemunculan Muhammadiyah pada 1912 dengan ragam amaliyahnya memainkan peran sosialisasi pergerakan dengan baik. Pun demikian, upaya rekonstruktif pada awal periodesasi KH. Ahmad Dahlan jika 42 Op. cit, Dr. Fauzan Shaleh, hal. 123.43 Ahmad Adabi Darban, Fragmenta Gerakan Muhammadiyah dari Masa ke masa (bentuk makalah), hal. 5.

21

Page 22: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

dilihat cenderung dominan pada aspek amal praktis yang berujud pada pembangunan-pengembangan wadah sebagai bentuk awal pembaharuan. Di samping itu, hal yang terlihat selintas sejarah adalah purifikasi dan dinamisasi, baik dalam akidah ataupun muamalah. Dalam akidah tentu saja tidak luput dari pengamatan kita tentang pengesaan kembali wujud keberadaan Allah tanpa menyekutukan-Nya. Hal ini terwujud pada pemurnian masyarakat dari tahayul, bidah, dan khurafat (masa itu disingkat dengan TBC). Dalam muamalah, selain merombak posisi arah kiblat –yang sebelumnya lurus jadi miring–, adalah ide maksimalitas peran perempuan sebagai subyek perubahan di tengah-tengah masyarakat. Ini mungkin menjadikan dilematisasi masyarakat setempat mengingat sifat keputrian yang selama ini dikenal adalah bahwa perempuan hanya disebut-sebut sebagai konco wingking (teman atau partner yang selalu di belakang). Puncaknya, pemunculan Aisyiyah sebagai organisasi pertama yang berbasis perempuan di Indonesia. Pembaharuan bidang muamalah lain yang dirasa menjadi polemik awal masyarakat islam saat itu di antaranya bisa disebut, pelaksanaan shalat hari raya di tanah lapang, metodologi khutbah jumat, terbentuknya Departemen Agama RI, termasuk usaha penyempurnaan pemberangkatan jamaah haji.44

Abdul Munir Mulkhan membagi periodesasi Muhammadiyah sejak berdiri sampai sekarang menjadi tiga masa: Periode pertama dikatakan sebagai periode pembentukan dasar gerakan. Hal ini terjadi pada awal kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan sampai pada 1923. Periode kedua (1923-1990) yang biasa disebut sebagai periode warisan dan pengembangan prinsip pergerakan, dimana pada periode ini kita mengenal pembentukan Majelis Tarjih, penegasan khittah, dan prinsip keyakinan dan cita-cita perjuangan Muhammadiyah, yang lebih dikenal dengan MKCH (Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup). Periode ketiga (1991-2000-an) periode yang dinyatakan sebagai periode penegasan gerakan (ke arah mana pergerakan akan dipertahankan dan dikembangkan) atau sebagai spritualisasi pergerakan.45

Banyak kalangan menyatakan bahwa sejatinya praktek rekonstruksi yang didengungkan Muhammadiyah lebih dominan dirasakan pada periode awal sampai –paling tidak– periode ketiga kelahiran Muhammadiyah. Hal ini praktis memunculkan stigma, bahwa Muhammadiyah kala itu dianggap sebagai organisasi massa terkuat dan bisa bertahan. Namun belakangan, pada periode ketiga, Muhammadiyah mulai menilik dan menimbang upaya tajdid apa yang

44 Mitsuo Nakamura, et.al., Muhammadiyah Menjemput Peradaban; Tafsir Baru Gerakan Sosial-Ekonomi-Politik, Kompas: Jakarta, cet. 1, tahun 2005, hal. 66.45 Ibid, hal. 3.

22

Page 23: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

selama ini dikembangkan. Ini mengingat banyaknya statement yang menyatakan bahwa Muhammadiyah gerakan tajdid tapi tidak tajdid, stagnan dan statis dalam perkembangan. Salah satu statement menarik yang dilontarkan Din Syamsuddin, bahwa Muhammadiyah pada periode ketiga ini lebih berjalan pada mengedepankan aksi daripada refleksi. Artinya, lebih menumbuhkan aspek pelebaran amal usaha tanpa mengembangkan kembali apa yang sudah ada. Dalam bahasa beliau, sebagai solusi adalah mendaur apa yang sudah ada ini dengan konsep betwen two position, yang berarti adalah puritan tapi juga modern, dan reflection-action.46 Dari sinilah kemudian muncul revitalisasi pembaharuan yang selama ini didengungkan Muhammadiyah. Walaupun pada tataran praktis, sosialisasi pengembangan rekonstruksi ini masih kurang terdengar. Yang sementara didengar adalah kodifikasi buku Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah juga proyek dakwah kultural yang mulai dimunculkan pada kisaran 2002. Selain daripada yang disebut di atas, ada gelitik wacana yang dikembangkan, khususnya oleh kalangan muda PCIM Kairo, yaitu usaha untuk menilik-mengkaji hasil keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang termaktub dalam pedoman resminya: Himpunan Putusan Tarjih. Usaha ini paling tidak akhirnya akan menggiring persepsi: seperti apakah fikihnya Muhammadiyah itu, bagaimana ushul fikihnya Muhammadiyah dan permasalahn baru apa yang sudah dan belum diselesaikan Muhammadiyah dalam sidang-sidang tarjihnya. Upaya ini paling tidak bisa mengapresiasikan bentukan ulang konsep tajdid Muhammadiyah selama ini. Mengingat bahwa Majelis Tarjih merupakan software-nya Muhammadiyah, maka upaya kajian analisa dengan memadukannya dengan sosial empiris bisa menghasilkan sikap tajdid yang selama ini mungkin masih dipertanyakan.

d. Muhammadiyah dalam Alur Fikih Indonesia

Sebagaimana konsep perubahan yang terjadi karena dua unsur ruang dan waktu, Indonesia memiliki beberapa kacamata menarik dalam memandang kontekstualitas pergerakan fikih Nusantara. Tentunya dengan berangkai pelembagaan organisasi yang mewadahi persoalan fikih tersebut. Membaca sebuah alur tentu tidak lepas dari analisa sejarah. Seperti halnya konsep waktu yang menjadikan keadaan lama menjadi keadaan baru.

Dinamisasi fikih Nusantara, seperti pemaparan yang disampaikan Fauzan Saleh, paling tidak dibagi menjadi dua: wilayah penyebaran Islam yang tidak terpengaruh akulturasi animisme (diwakili oleh Hindu dan Budha) dan wilayah penyebaran Islam yang terpengaruh

46 Op. cit, Amin Rais, et.al, hal. 63-64.

23

Page 24: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

akulturasi.47 Penyimpulan ini sangat sesuai jika kita mengkaitkannya dengan nuansa teologis Islam pada awal penyebarannya di Indonesia. Karena dari alur teologis akan merambah pada ranah aplikatif, dalam hal ini bisa kita sebut sebagai ranah fikih (ibadah dan muamalah).

Terkait pada penyebaran Islam di Indonesia, setelah terwujudnya teritorial wilayah keislaman dari ujung Sumatera sampai Jawa dan beberapa wilayah Nusantara lainnya, pengaruh akulturasi budaya setempat dirasa dominan dalam aspek kemurnian agama –tauhid. Aspek inilah yang pada akhirnya menimbulkan beberapa konflik sipil yang dimanfaatkan Belanda untuk proyek pecah belah (divide et impera). Yang paling diingat dalam sejarah adalah perang Paderi (1821-1838), perang yang bertajuk purifikasi dari pihak Paderi kepada kaum adat yang dibantu oleh Belanda. Namun, bukan pada tempat pembahasan jika dijabarkan satu-persatu tentang konflik ini. Yang ingin dihubungkan adalah mengenai kendala islamisasi yang berujung pada berangkai corak pemahaman keislaman di Nusantara.

Ortodoksi keislaman pada wilayah seperti Aceh, Sumatera Barat, Banten, dan Makassar –untuk menyebut di antaranya– adalah hal yang wajar disebabkan murninya dari budaya animisme. Sedangkan tanah Jawa sebaliknya. Wilayah ini dalam beberapa dekade sebelum awal abad ke-20 –paling tidak– masih dalam cakupan pemahaman yang heterodoks. Karenanya, kemunculan organisasi reformis seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam dikatakan sebagai bentukan awal usaha purifikasi atau pemurnian pemahaman keislaman, dengan kata lain kembali kepada pemahaman al-Quran dan Sunah. Mengingat heterodoks mengarah pada budaya taklid dan terusan dari hegemoni tertutupnya ijtihad, sesuai dengan kondisi sosio kultural dan kebutuhan zaman tersebut Muhammadiyah mengarahkan gerakannya kepada muamalah praktis yang dirujuk langsung dengan praktek ijtihad.

Memperhatikan pada klasifikasi rekonstruksi (dalam bidang fikih) yang disebut Jamal ‘Athiyah; rekonstruksi dari segi bentuk pembahasan (syakl) dan rekonstruksi dari segi isi pembahasan (madzmûn atau maudzû’i), Muhammadiyah dari segi ini telah beraplikasi dengan sedemikian rupa. Menurut Amin Abdullah, jalan rekonstruktif yang dilalui Muhammadiyah memiliki cakupan metodologi atau ciri khas pergerakan. Pembahasaan yang beliau gunakan adalah bahwa Muhammadiyah itu bersifat religiusitas kebudayaan. Ini untuk menunjukkan tentang keterkaitan antara normativitas al-Quran-Hadis dan historisitas aplikasi pemahaman masyarakat terhadap teks. Maka dalam perjalanannya 47 Op. cit, Dr. Fauzan Shaleh, hal. 19-21.

24

Page 25: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

Muhammadiyah berani menampilkan nuansa baru dalam aplikasi pemahaman keislaman. Dari nuansa fikih bisa ditilik pada pembetulan arah kiblat yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan –dalam sejarah, ini berujung pada perobohan surau beliau. Pelembagaan tarjih yang menjadi model keputusan Muhammadiyah saat itupun sebagai pengembangan baru kepada arah ijtihad kolektif. Ini kalau dilihat dari klasifikasi rekonstruksi, Muhammadiyah sudah memulai menerapkan usaha rekonstrukitifnya sedemikian rupa dengan berangkai metodologinya.48

Namun demikian, pernyataan yang pada zamannya dibilang cukup berani tersebut bukan berarti tanpa pertimbangan apa-apa. Paradoks antara ayat yang menganjurkan amal dan eksplorasi dengan realitas Nusantara saat itulah yang sejatinya membuka pemikiran baru dan cenderung berani pada masanya. Kukungan aspek man tasyabbaha qaumin fahua minhum ditransformasikan dengan bijak oleh KH. Ahmad Dahlan, maka menyerupakan sistem pendidikan lokal dengan Belanda menjadi hal lain bagi Muhammadiyah. Terlebih pada bidang muamalah, Muhammadiyah cenderung menekankan aspek jamaah daripada individual. Inilah yang dirasa menjadi alur kecenderungan Muhammadiyah dalam menyikapi rigidnya aspek muamalah di masyarakat. Yang pada masanya lebih cenderung pada –seolah-olah– kepentingan individu daripada kepentingan bersama. Ragamnya ayat yang menyatakan pujian Allah kepada umat Islam dirasa kurang sepadan dengan kondisi sosio kultural yang ada. Kuntum khairu ummah uhkrijat li al-Nâs.Pada beberapa masa Muhammadiyah masih dianggap sebagai organisasi yang disiplin dalam pergerakan. Mulai dari pelembagaan Muhammadiyah, pelembagaan keputusan kolektif yang dinamai Majelis Tarjih, pendirian amal usaha, dan lain sebagainya. Disiplinitas ini karena memang masih sejalan dengan tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat. Dari alur rekonstruksi ini Amin Abdullah membagi masa alur menjadi empat: era kolonialisme, era kemerdekaan, era transisi antara orde lama dan orde baru, dan era orde baru.49 Pada era diberlakukannya pancasila sebagai asas negera misalnya, imbasnya adalah seruan pemerintah untuk menerapkan lima pasal pancasila sebagai dasar kelembagaan yang ada di Indonesia. Terlepas dari ragam perdebatan yang terjadi, AR. Fachruddin yang pada masa itu menjabat sebagai ketua Muhammadiyah memberikan instruksi resmi untuk mengiyakan ‘perintah’ negara mengenai asas tunggal. Dari anekdot yang pernah didengar adalah pernyataan Pak AR (sapaan akrabnya) yang menyamakan antara pengendara sepeda motor yang harus pakai helm

48 Lebih lengkap tentang metodologi Muhammadiyah lih. M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural; Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan: Bandung, cet. 1, tahun 2000, hal. 133-142.49 Ibid, hal. 143.

25

Page 26: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

dengan pemberlakuan asas tunggal. Jika Muhammadiyah ingin terus bergerak dalam struktur dinamika kebangsaan asas tunggal bisa dipakai selayaknya helm pengaman, tanpa selanjutnya meninggalkan prinsip-prinsip dasar Islam itu sendiri. Instruksi ini terbilang cukup berani pada masanya, namun implikasi yang terjadi adalah dinamisasi Muhammadiyah masih juga dirasakan sampai detik ini.

Hanya saja terjadi wilayah kritisisasi pada pemberdayaan rekonstruksi yang dilakukan Muhammadiyah saat ini. Syamsul Anwar menyatakan bahwa Muhammadiyah pada dekade ini –secara kesan– mengambil alur yang beliau namakan dengan tajdîd juz`i-‘amalîy (rekonstruksi praksis). Ini berarti Muhammadiyah masih melanjutkan kesan perlunya pembaharuan seperti masa pertama didirikannya Muhammadiyah. Seperti juga yang disebut Din Syamsuddin sebelumnya, ‘lomba’ pendirian wadah pendidikan kadang masih saja terus berkelanjutan tanpa pola peningkatan mutu pada sistem pendidikan yang sudah ada. Atas dasar ini Syamsul Anwar kembali menyimpulkan solusi bahwa Muhammadiyah perlu juga mengambil pola yang beliau katakan sebagai tajdîd ushûli-nadzarîy. Yang beliau maksudkan adalah pembaharuan yang lebih mendasar, membangun satu filosofi yang berdasarkan pada prinsip keislaman pada beberapa sistem yang selama ini dibangun oleh Muhammadiyah. Hal ini diharapkan akan kembali membentuk mutu pada lembaga-lembaga yang dimiliki Muhammadiyah, semisal pendidikan.50 Dalam artian, Muhammadiyah perlu menyeimbangkan antara praktisasi dan refleksifitas pergerakan sehingga berujung pada kualitas berimbang dalam menjalani alur pergerakan sosial kemasyarakatan di tanah air.

VII. Penutup

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi agaknya menjadi alur penting dalam fikih. Ini tak lain adalah sebagai bentuk elastisitas syariat yang selalu dan akan sesuai dengan ruang-waktu. Bagaimana menyikapi kaidah keterbatasan nas dan luasnya realitas menjadi inti dai peran para ilmuwan fikih untuk menjajaki rekonstruksi terhadap hukum-hukum keislaman yang praktis akan dibutuhkan oleh masyarakat. Akal agaknya menjadi hal penting dalam kerangka tajdid ini. Dimana ketika landasan nas yang menjadi dasar tidak mencantumkan ihwal perkembangan permasalahan, maka akal memainkan perannya sebagai pemikir solutif dalam rangka menyelesaikan kebutuhan masyarakat yang ada. Namun demikian, sepintas ada pertanyaan, akal yang bagaimana yang solutif itu? Perkembangan pemikiran yang pernah ada dan yang sekarang ada memenuhi klasifikasi Yusuf Qaradhawi terhadap alur pemikiran 50 Syamsul Anwar dalam Tajdid Muhammadiyah Untuk Pencerahan Peradaban, MT-PPI dan UAD Press: Yogyakarta, cet. 1, tahun 2005, hal. 72-73.

26

Page 27: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

ilmuwan, yaitu: (1) tekstualis; (2) moderat; (3) liberalis. Ketiga golongan ini memiliki pandangannya sendiri tentang bagaiman rekonstruksi itu digagas. Secara sepintas golongan tekstualis lebih cenderung pada minimalisasi peran akal. Sedangkan moderat terlihat pada keseimbangan peran akal dan peran nas. Dan liberal menggunakan kecenderungan akal sebagai pelaksana inti atau paling tidak menyandarkan kelaikan maslahat berdasarkan pada akal.

Dari kecenderungan beberapa klasifikasi di atas fungsionalisasi akal memang memiliki pengaruh produktif sebagai penyimpul permasalahan. Namun, akal dalam kerangka syariat –sebagai alat bantu penyimpul hukum– menurut penulis bukanlah akal yang imajiner, melainkan akal yang diperankan sebagai peneliti dan pembelajar. Jika demikian fungsi akal akan menjadi lebih baik dalam perannya. Akal tidak dipidanai sebagai ‘yang mendahului ketentuan Tuhan’, bukan pula akal diperankan sebagai ‘yang kebablasan tanpa penelitian-tanpa belajar (imajinasi kosong).’

Seperti yang sudah diurai sebelumnya, pembaharuan bukan dikatakan sebagai membangun ulang total konstruksi bangunan. Itulah mengapa ada dua penyebutan dalam hal ini, yaitu rekonstruksi dan dekonstruksi. Dekonstruksi cenderung kepada meruntuhkan kemudian membangun, sedangkan rekonstruksi adalah membangun ulang tanpa merubah pondasi yang sudah ada.

Perubahan yang terjadi akibat pergeseran ruang dan waktu menuntut ulama untuk melakukan penyesuaian hukum atau mengkaji hukum baru yang belum pernah ada sebelumnya. Beberapa kemudahan yang ada pada zaman sekarang agaknya lebih memudahkan para ilmuwan untuk lebih jauh meneliti berbagai isu-isu permasalahan. Oleh karenanya, upaya rekosntrkusi yang dilakukan mujtahid sendiri memerlukan penelitian praktis. Penelitian yang nantinya akan membentuk bangunan baru yang disesuaikan dengan sosial masyarakat. Penelitian bukan hanya mengklarifikasi masalah dengan akal secara sepihak. Melainkan lebih dari itu, akal membantu persepsi mujtahid melalui berangkai pembacaan; pembacaan sejarah, pembacaan sosial, dan lain sebagainya. Maka, seperti yang pernah diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa penyebutan mujtahid adalah ia yang memiliki pengetahuan tentang realitas –ini berarti perkembangan sosio kultural– dan pemahaman terhadap al-Quran dan Hadis. Yang menjadi prinsip dari rekonstruksi adalah bahwa arah penelitian yang dilakukan mujtahid tidak diiringi dengan nafsu pada kepentingan pribadi, namun lebih kepada kepentingan sosial.

Hal-hal yang mungkin perlu mendapat perhatian masa ini adalah memungkinkan kembali usaha ijtihad kolektif secara lebih optimal.

27

Page 28: Rekonstruksi Fikih Dan Study Tajdid ah

Yang diketahui sementara ini adalah sikap chauvistik –kalau mungkin itu benar– negara-negara Timur tengah yang hanya membahas persoalan yang terjadi di beberapa negara tersebut. Alangkah lebih ideal adanya usaha kolektif ilmuwan Islam sedunia di bawah payung satu lembaga ijtihad. Permasalahan yang mengemuka di Indonesia diajukan dan diteliti kemudian disimpulkan solusi. Perbandingan hukum pun tidak hanya pada hukum positif pada negara tertentu saja, melainkan pada negara-negara Islam seluruhnya. Ini akan menjadikan usaha bersama umat Islam untuk mengupayakan alur rekonstruktif yang lebih efisien. Karena prinsip yang ditekankan Islam pada permasalahn tersebut adalah kelaikan syariat yang akan selalu sesuai dengan kepentingan ruang-waktu. Wal’Lâhu a’lam.

28