bab iv analisis pendapat syafi’i tentang hukum...
TRANSCRIPT
56
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT SYAFI’I TENTANG HUKUM
MENDENGARKAN KHUTBAH JUM'AT
A. Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Hukum Mendengarkan
Khutbah Jum’at
Dalam sejarah pemikiran Hukum Islam, para fuqaha telah
mengembangkan karya besar mereka dalam menentukan cara-cara yang
ditempuh untuk menetapkan hukum suatu persoalan atau bahkan
mengantisipasi berbagai persoalan yang akan muncul dalam kehidupan
kaum muslimin. Inilah warisan intelektual yang agung dan kreatif yang
merupakan panduan bagi generasi selanjutnya dalam memahami hukum
Islam serta aplikasi nya dalam kehidupan sehari-hari.
Secara teoritis, ulama hampir sepakat bahwa fiqh dapat
dikembalikan pada empat sumber pokok, meskipun dengan intensitas yang
berbeda. Keempat sumber pokok tersebut adalah al-Qur’an, al-Hadits,
Ijma’, dan Qiyas.1 Yang pada perkembangannya membentuk struktur hukum
yang khas dalam Islam. Sebagai suatu sistem perundang-undangan agama
menunjukkan dengan jelas bahwa ia adalah sistem hukum yang dijabarkan
langsung dari al-Qur'an, kedua dari tradisi dan Sunnah Nabi dan terakhir
1 Abdullah Ahmad An-Na'im, Dekonstruksi Syari'ah, Alih Bahasa Ahmad Suaedy dan
Amiruddin Ar-Rani, Yogyakarta: LKiS, cet. Ke-1, 1994, hlm. 39.
57
dari tindakan individu yang terpercaya dan terbimbing serta dari masyarakat
yang hidup sesuai dengan wahyu dan tradisi tadi.
Kaitannya dengan hukum mendengarkan Khutbah Jum’at, oleh Imam
Syafi’i dipahami sebagai suatu hukum yang sunnah, sehingga perlu kiranya
dipahami secara komprehensif dan integral, agar diperoleh pemahaman yang
menyeluruh dan lengkap, agar sunahnya mendengarkan khutbah Jum'at bisa
diletakkan pada posisi yang benar, sehingga tidak disalahgunakan.
Sebelum kami menganalisa pendapat Imam Syafi’i, kiranya penulis
perlu kemukakan sedikit tentang latar belakang perubahan ijtihad Imam
Syafi’i ketika beliau pindah ke Mesir. Karena ijtihad hukum Imam Syafi’i
tersebut dihasilkan setelah beliau pindah ke Mesir.
Dalam kitabnya ar-Risalah, Imam Syafi’i menjelaskan kondisi sosial
kultur masyarakat di Mesir lebih sedikit dibandingkan dengan ketika beliau
berada di Baghdad. Padahal skripsi ini, mengupas tentang latar belakang
istinbath hukum yang digunakan, oleh Imam Syafi’i selama berada di Mesir,
sebab kesunahan mendengarkan khutbah Jum'at merupakan ijtihadnya selama
berada di Mesir yang beliau tuangkan dalam kitabnya al-Umm.
Namun begitu, penulis tetap berusaha dengan maksimal untuk
menganalisis kondisi sosial kultur masyarakat Mesir yang sangat
mempengaruhi Imam Syafi’i dalam berijtihad.
Adapun pendapat Imam Syafi’i tentang al Qaul-al Qadim dan al
Qaul-al Jadid selama di Mesir adalah sebagai berikut:
58
كان للشافعى قدمي وجديد، فقدميه بالعراق وجديده مبصر وقلنا انه فىمصرمل 2. ينسخ كل قدمبه
Artinya : “Imam Syafi’i mempunyai dua qaul yaitu Qadim dan Jadid, adapun
qadimnya adalah waktu beliau di Irak dan Jadidnya adalah waktu beliau di Mesir. Adapun ijtihadnya di Mesir tidak menghapus semua ijtihad qadimnya”.
Imam Syafi’i adalah pakar yurisprudensi Islam, salah seorang tokoh
yang tidak kaku dalam pengambilan hukum dan tanggap terhadap keadaan
lingkungan tempat beliau menetapkan hukum, sehingga tidak segan-segan
untuk mengubah penetapan yang semula telah ia lakukan untuk
menggantikan dengan hukum yang baru, karena berubah lingkungan yang
dihadapi.
Karena pendirian beliau yang demikian itu, maka muncullah apa yang
disebut qaul qadim sebagai hasil ijtihadnya yang pertama dan qaul jadid
sebagai pengubah keputusan yang pertama.3
Imam Syafi’i mengungkapkan qaul qadim dan jadidnya dalam bab
shalat jum'at yaitu tentang bilangan shalat Jum'at dan berbicara ketika
khutbah sedang berlangsung.
Pada tanggal 23 Syawal tahun 198 Hijriyah, sampailah Imam Syafi’i
di Mesir bersama wali negeri Mesir yang baru, Abbas bin Musa.
Sesampainya di Mesir, pada mulanya diminta oleh Abbas bin Musa supaya
bertempat tinggal di istana wali negeri, tetapi permintaan ini ditolaknya
2 Muhammad Abu Zahrah, Asy-Syafi'i, Dar-Fikr al-Arabi, t.th., hlm. 395. 3M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT. Raja Grafmdo Persada, cet. Ke-3,
1998, hlm. 213.
59
dengan baik-baik, karena sebagai orang alim ahli hukum dan pemuka umat
Islam tidak baik bertempat tinggal di istana bersama wali negeri. Beliau
merasa lebih baik bertempat tinggal di rumah salah seorang familinya atau
seorang kawannya dan atau tempat salah seorang alim di sana. Akhirnya
beliau menginap di rumah salah seorang familinya dari bani al-Azad,
kemudian pada hari esoknya beliau datang ke rumah Imam Abdullah bin
Abdul Hakam, yang selanjutnya bertempat tinggal di rumah itu juga.4
Imam Abdullah bin Abdul Hakam adalah seorang alim besar di Mesir,
dikala itu bekas murid Imam Maliki di Madinah dan kawan lama Imam
Syafi’i. Di rumahnya, Imam Syafi’i diterima dengan segala kegembiraan dan
penghormatan oleh para ulama terkemuka di Mesir, seperti Iman Asybah,
Imam Ibnul Qasim, Imam Ibnul Mawaz, dan lain-lainnya lagi dari bekas
murid Imam Maliki.5
Pada malamnya Imam Syafi’i memberi pengajaran secara luas tentang
hukum-hukum keagamaan kepada para ulama dan zuama Islam di Mesir, dan
tempat tinggal beliau di rumah Imam Abdullah bin Abdul Hakam.
Pada waktu itu, di Mesir ada juga dua ulama yang kurang suka
terhadap pendirian Imam Syafi’i, tetapi beliau tetap tegak mengembangkan
pendiriannya, yang telah dipandangnya dalam kebenaran dan sewaktu-waktu
siap sedia untuk menunjukkan kebenaran pendiriannya kepada siapapun juga.
4Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang,
1995, hlm. 195. 5 Ibid.
60
Namun demikian, akhirnya pendirian beliau bertambah hari bertambah
populer serta diakui kebenarannya.
Selanjutnya, setelah Imam Syafi’i bertempat tinggal di Mesir banyak
mendapat pemandangan baru, pengalaman baru, dan mengetahui adat istiadat
bangsa Mesir, serta cara-cara pergaulan mereka, yang selama ini belum beliau
ketahui, karena memang kondisi sosial kultur antara masyarakat Hijaz
maupun di Baghdad berbeda sekali dengan di Mesir.6
Berhubungan dengan itu, pendapat dan pandangan beliau tentang
soal-soal hukum yang mengenai muamalah dan kemasyarakatan maka
berubahlah cara mengupasnya, cara membahasnya dan berubah pula cara
memutuskan hukumnya, sepanjang ijtihad beliau dikala itu termasuk
pendapat beliau mengenai kesunahan mendengarkan khutbah jum’at.
Secara geografis, Mesir lebih luas dibanding dengan Irak (Baghdad),
dari segi demografis masyarakat Mesir juga lebih maju, terutama dalam
bidang ilmu pengetahuan karena sebagai kota metropolis yang menjadi center
dunia Islam dalam bidang ilmu, budaya, dan teknologi.
Pada dinasti al-Ayyubi, mazhab Syafi’i berkembang pesat, bahkan
mazhab beliau diresmikan menjadi mazhab resmi negara. Begitu besar
pengaruh Imam Syafi’i di tengah-tengah kota yang banyak mahasiswa dan
alim ulamanya, maka segenap qadli (hakim) di Mesir di masa itu dapatlah
dikatakan bermazhab Syafi’i semua.7
6 Ibid. 7 Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, op. cit., hlm. 18.
61
Dari segi dukungan dan jaminan keamanan, Imam Syafi’i
mendapatkan sepenuhnya dari pemerintahan dinasti Ayyubi, ini juga sangat
mendukung beliau dalam menetapkan ijtihadnya yang baru, yang sesuai
dengan kondisi sosial, budaya, dan adat-istiadat Mesir.
Adapun dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i tentang hukum
mendengarkan khutbah Jum’at adalah sunah, Nabi SAW pernah berbicara
dengan orang-orang yang membunuh Ibnu Abil Haqiq ketika Nabi di atas
mimbar, dan itu terjadi ketika Nabi sedang khutbah Jum'at.
Dalam bab III telah dijelaskan pendapat Imam Syafi’i tentang
hukum mendengarkan khutbah Jum'at. Dan di dalamnya juga dijelaskan,
bahwa walaupun mendengarkan khutbah itu tidak wajib tetapi Imam
Syafi’i tidak menyukai seseorang berbicara ketika khatib sedang khutbah.
Adapun mengenai sabda Nabi SAW kepada Laghaut, Allah lah yang lebih
mengetahuinya, dan diam untuk mendengarkan khutbah imam adalah
pilihan yang baik, dan sabda Nabi SAW engkau telah sia-sia, ialah
menunjukkan tentang tempat kesopanan untuk tidak berbicara, kecuali
yang penting.
Dari perubahan hukum yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i yaitu
dari hukum wajib menjadi sunah karena telah terjadi perubahan cara
pandang Imam Syafi’i dalam memahami suatu hukum yaitu hadits dari
Abi Hurairah tentang larangan berbicara kepada orang lain ketika khutbah
Jum’at itu berlangsung. Adapun pendapat yang pertama, larangan itu
adalah larangan haram sedang pendapat kedua larangan itu adalah makruh.
62
Adapun dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i dan pengikutnya
dalam memahami hukum mendengarkan khutbah jum’at itu Sunnah adalah
al-Qur’an surat al-A’raf ayat 204.
. ترحمون قرئ القرآن فاستمعواله وانصتوا لعلكم فاذا
Artinya: “Apabila dibacakan al-Qur’an, hendaklah kamu dengarkan dan diam lah. Mudah-mudahan kamu mendapat rahmat Tuhan”. (QS. Al-A’raf: 204).8
Ayat tersebut mengandung perintah untuk mendengarkan dan diam
ketika al-Qur’an dibaca. Adapun bacaan Nabi saw, maka terkandung
merupakan penyampaian dari wahyu yang telah diturunkan kepadanya dan
terkadang dalam memberikan nasihat dan bimbingan. Maka tak mungkin
bagi seorang Muslim pun yang mendengarkan beliau sedang membaca al-
Qur’an lalu dia berpaling dari mendengarkannya, atau dia bicara sendiri
yang mengganggu dirinya atau mengganggu orang lain hingga tak dapat
mendengarkannya. Begitu juga orang yang sedang shalat, mendengarkan
bacaan imam dan khatib.9
Dalam kitab Fiqh al-Islam wa Adillatuh karya Dr. Wahhab Azzu
Haili disebutkan bahwa hadits dari Abu Hurairah itu menunjukkan makruh
berbicara. Disebutkan juga tidak adanya haram berbicara di dalam
8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Semarang : CV. Wicaksana, 1993,
hlm. 689. 9 Ahmad Musthafa al-Maraghy, Terjemah Tafsir al-Maraghy, juz ix, Semarang: CV Toha
Putra, cet, ke-1, 1987, hlm. 297-298.
63
khutbah, karena ada kabar yang menunjukkan atas kebolehannya, seperti
kabar Sahihain dari Anas.
ينما انبىصلىاهللا عليه وسلم خيطب يوم اجلمعة، فقام اعراىب، فقال عن انس ب 10.يارسول اهللا، هلك املال، وجاع العيال، فادع اهللا لنافرفع يده ودعا
Artinya : “Dari Anas, suatu ketika Nabi SAW berkhutbah pada haru
Jum'at, lalu orang Arabi berdiri, dia berkata ya Rasulullah, telah rusak harta dan telah lapar beberapa keluarga, maka doakanlah kepada Allah bagi kami. Lalu beliau mengangkat tangannya dan berdoa”.
Kemudian dalil yang digunakan Imam Syafi’i lagi adalah hadits dari Jabir:
: و خيطب الناس فقال جاء الىالنبىصلىاهللا عليه وسلم وه : عن جابرقالقم فاركع وفىرواية فصل ركعنت، وقال : قال, ال: قال. وصليت يافالن
. اذاجاء احدكم واالمام خيطب، فليصل ركعتني: صلىاهللا ىف رواية 11) متفق عليه(
Artinya : “Dari Jabir berkata, telah datang seorang laki-laki kepada Nabi
SAW dan berkhutbah kepada manusia, lalu Nabi bertanya, apakah kamu sudah shalat hai Fulan? Dia menjawab belum. Nabi bersabda, maka rukuklah. Dalam riwayat lain maka salatlah dua rakaat. Nabi bersabda dalam riwayat lain: Apabila datang salah satu kamu semua dan imam berkhutbah, maka shalatlah dua rakaat”. (HR. Muttafaq Alaih)
Melalui hadits Jabir bin Abdullah menjelaskan larangan seseorang
lelaki yang diperintahkan oleh Rasulallah untuk melakukan shalat
tahiyatul masjid. Jabir menerangkan, bahwa nama lelaki itu adalah Sulaik
10 Dr. Wahhab al-Zuhaili, al Fiqh al- Islami wa Adillatuh, jus 11, Darul Fikr, t.th.,
hlm. 294. 11 Muhammad bin Ali bin Muhammad As Saukani, Nailul Autor, Beirut: Darul Kutub
al-Alamiyah, t.th. hlm. 271.
64
al-Ghatafani. Dalam kitab shahih muslim disebutkan riwayat yang semisal,
dengan tambahnya lafal watajawwaza fihima, yang artinya lelaki itu
kemudian mengerjakan shalat dua rakaat dengan ringan.12
Hadits ini dan hadits-hadits lain yang senada memberikan
pengertian tentang disunahkannya melakukan shalat dua rakaat tahiyatul
masjid, sekalipun ditengah-tengah khutbah jum’at. Namun kedua rakaat
tersebut disunahkan dikerjakan dengan agak cepat, agar orang yang
bersangkutan dapat segera mendengarkan khutbah.
Adapun fuqaha yang melarang melakukan shalat dua rakaat
tahiyatul masjid ketika berlangsungnya khutbah adalah mereka berhujah
pada fatwa sahabat dan perintah diam ketika imam sedang berkhutbah.
Fatwa Sahabi memang bisa digunakan sebagai hujah jika tidak diperoleh
dalil dari al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’. Namun demikian, tidak semua
ulama sependapat tentang kapan dan bagaimana fatwa Sahabi bisa
digunakan dan fatwa Sahabi siapa saja yang boleh diambil.13 Sehingga
penulis lebih cenderung terhadap pendapat yang berpendapat bahwa
melakukan shalat tahiyatul masjid itu sunnah karena sesuai dengan
perintah Rasulullah saw. Seandainya Rasul SAW tidak
mementingkannya, niscaya beliau tidak memerintahkan lelaki itu untuk
shalat ketika beliau sedang khutbah.
12 Ahmad Mudjab Mahalli, Hadis-hadis Ahkam Riwayat Asy Syafi’I, cet. Ke-1, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 350 13 Prof. Dr. Nourouzzaman Shiddiqi, M.A, Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya,
yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. Ke-1. 1997,, hlm.. 182.
65
Dari kedua dalil tersebut yaitu hadits dari Anas dan jabir dapat
disimpulkan bahwa Nabi SAW pernah berbicara dengan seseorang ketika
Nabi SAW sedang berkhutbah sehingga dari kedua dalil itu menurut
hemat penulis dapat memperkuat pendapat imam Syafi’i bahwa hukum
mendengarkan khutbah adalah makruh sebagaimana hadits dari Abi
hurairah.
اذا اقلت لصاحبك : عن ابىهريرة ان رسول اهللا صلىاهللا عليه وسلم قال 14 )رواه البخارى ومسلم (. انصت واال مام خيطب فقد لغوت
Artinya: “Dari Abi Hurairah sesungguhnya rasulullah saw bersabda.
Apabila engkau berkata kepada teman mu: diamlah dan imam
sedang berkhutbah, maka sesungguhnya engkau telah berbuat
sia-sia”.(Diriwayatkan Bukhari dan Muslim)
Hukum makruh berbicara ketika khutbah jumat tersebut
sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, karya
Dr Wahbah Azzuhaili.15 Menurut penulis bahwa larangan itu tidak
semuanya menunjukkan haram. Dalam al-Qur’an, nahi yang
menggunakan kata larang itu mengandung beberapa maksud yaitu,
hukum haram, makruh, irsyad, do’a, tahkir (merendahkan), bayanul
aqibah (penjelasan akibat) ilyas (keputusasaan).16
14 Abi Zakaria Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu’, Juz 4, Darul Fikri, t.th.,
hlm. 525. 15 Dr. Wahbah Az-Zuhali, op. cit., hlm. 294. 16 Prof. Dr. H. Amir Syariyuddin, Ushul Fiqh, jilid II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, cet.
Ke-2, 2001, hlm. 196-197.
66
Dalam hadits ini Abi Hurairah tersebut terdapat seruan untuk
meninggalkan pembicaraan yang tidak berguna atau sia-sia karena tidak
bicara ketika khutbah berlangsung adalah tempat kesopanan, sehingga
khutbah itu berlangsung dengan tenang, khusu’, dan dapat didengar oleh
jama’ah Jum’at.
. حيضراجلمعة ثالثة نفر: عن عبداهللا بن عمر ان النبىصلىاهللا عليه وسلم قال فرجل حضرهايلغوفهو حظه منها، ورجل حضرهايدعوفهورجل دعااهللا ان شاء اعطاه وان شاء منعه ورجل حضرهابانصات وسكوت ومل يتخط رقبة
ام، وذلك مسلم ومل يوءذ احدا فهىكفارة اىل اجلمعة الىت تليها وزيادة ثالثة اي رواه امحد وابوداود . (من جاء باحلسنة فله عشرا مثاهلا : ان اهللا عزوجل يقول
)باسناد جيد Artinya: “Dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi Saw bersabda: yang
menghadiri jumat itu ada tiga golongan: a. orang yang menghadirinya dan bercakap-cakap, maka sekedar bercakap-cakap itulah hanya bagiannya dari jum’at, b. orang yang menghadirinya dan ia berdoa kepada Allah, maka terseralah kepada Allah apakah akan dikabulkan-Nya ataukah tidak, dan c. orang yang menghadirinya dengan diam tidak pula mengganggu orang lain, maka shalat jumatnya itu menjadi penebus dosanya sampai jumat berikutnya dan di tambah tiga hari lagi, karena Allah azza wajalla telah berfirman: barang siapa melakukan satu kebaikan, ia akan peroleh pahala sepuluh kali lipat”. (diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dengan isnad yang baik).17
Hadits tersebut mengandung pengertian barang siapa melakukan
satu kebaikan ketika ia menghadiri jumat maka ia akan memperoleh
beberapa pahala. Jadi hadits tersebut menggambarkan bagaimana sikap
17 Saiyid Sabiq, Fiqh Sunah, Alih Bahasa Muhyiddin Syaf, juz II, Bandung: PT. Al-
Ma’arif, cet. Ke-1, 1976, hlm. 272
67
atau adab ketika seseorang menghadiri jumat. Jika seseorang bersikap
baik diantaranya dengan mendengarkan khotbah jumat dengan khusu’
dan penuh perhatian sehingga dengan kekhusukannya ia dapat
menghayati nasihat yang disampaikan oleh khatib, maka dengan sikap
tersebut diharapan keimanan dan ketaqwaan seseorang dapat bertambah
kuat dan mendapatkan pahala yang berlipat-lipat.
ان عثمان دخل وعمر خيطب فقال عمر مابال رجال يتاءخرون عن النداء، رواه ( . فقال عثمان ياامرياملؤمنني مازدت حني مسعت النداء ان توضاءت
18 )الشيخان Artinya: “Sesungguhnya Usman masuk (masjid) dan Umar sedang
berkhotbah lalu Umar berkata bagaimana halnya orang-orang yang melambatkan panggilan (azan) lalu Usman menjawab, hai amirulmukminin ketika saya mendengar panggilan, sesungguhnya saya sedang wudhu tidak lebih dari itu.” (Diriwatkan oleh Saikhoni).
Hadits tersebut menjelaskan bahwa telah terjadi pembicaraan
Antara umar dan Usman ketika Umar sedang khutbah dan peristiwa itu
menjelaskan bahwa Umar menanyakan tentang kenapa Usman terlambat
datang ke Masjid sedangkan azan telah selesai dan khutbah telah
berlangsung.
Dalil yang mendukung pendapat Imam Syafi’i lagi adalah hadits
riwayat al-Baihaqi :
18 Taqyu al-Din, Kifayatul Akyar, juz. 1, Indonesia : Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t.th.,
hlm. 151.
68
مىت : ان النبىصلىاهللا عليه وسلم دخل عليه رجل وهوخيطب يوم اجلمعة فقالال رسول اهللا الساعه؟ فاوماء الناس اليه بالسكوت فلم يفعل واعادالكالم، فق
حب اهللا : وحيك مااعددت هلا؟ قال: صلىاهللا عليه وسلم له بعدالثانية 19)رواه البيهقى باسنادصحيح(. انك مع من احببت: فقال: ورسوله
Artinya: “Bahwa Nabi saw sedang berkhutbah pada hari jum’at,
seseorang datang seraya berkata; waktu apakah ini? (kapan waktunya?). orang banyak mengisyaratkan kepadanya agar diam, namun ia tidak berbuat. Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya setelah yang kedua kali ini Rasulullah bersabda:” cobalah engkau apakah yang engkau siapkan untuknya?” orang itu menjawab cinta kepada Allah dan Rasul-nya. Nabi pun bersabda: “engkau bersama dengan yang engkau cintai” (HR. Al-Baihaqi dengan Isnad Sahih).
Diterima dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW., sabdanya:
رواه (. من ادرك ركعة من صالة اجلمعة فليضف اليها اخري وقد متت صالته )النسائى وابن ماجه والدارقطىن
Artinya: “Barang siapa mendapatkan serakaat shalat jumat maka
hendaklah ia meneruskan serakaat lagi dan dengan demikian sempurnalah shalatnya”. (diriwayatkan oleh Nasa’i Ibn Majah dan Daruquthni)20
Hafizh mengatakan dalam Buluqul Maram bahwa isnad hadits ini
shahih, tetapi Abu Halim menguatkan pendapatnya bahwa hadits ini
mursal.
Juga dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda:
)رواه اجلماعه . ( كلهاادركها من ادرك من الصالةركعة فقد
19 Ibid. 20 Saiyid Sabiq, op. cit., hlm. 274.
69
Artinya: “Barang siapa mendapatkan seraka’at shalat, berarti ia telah mendapatkan shalat seluruhnya (riwayat Jama’ah).”21
Adapun orang yang mendapatkan kurang dari satu rakaat , maka
menurut pendapat sebagian besar ulama, ia sudah tidak dianggap
mendapatkan jumat. Maka ia harus bersembahyang zhuhur empat rakaat
dengan niat sholat jumat. Berkata Ibnu Masud: barang siapa
mendapatkan satu rakaat, maka hendaklah meneruskan seraka’at lagi,
tetapi orang yang tidak mendapatkan kedua rakaatnya hendaklah ia
sholat empat rakaat”.( Riwayat Thabrani dengan sanad yang hasan). Dan
berkata pula ibnu Umar jika anda mendapatkan satu rakaat (riwayat
Baihaqi). Ini adalah madzhab Syafi’I, Malik, Hambali, dan Muhammad
bin Hasan, Abu yusuf dan Abu Hanifah berpendapat bahwa barang siapa
mendapatkan imam sedang membaca tasyahud, maka ia berarti masih
mendapatkan jumat. Oleh sebab itu hendaklah ia bersembahyang dua
rakaat saja setelah imam memberi salam, dan sempurna lah jum’at nya.22
Penulis setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa kalau
seseorang terlambat dalam melakukan shalat jum’at dimana ia hanya
mendapatkan satu rakaat maka teruskan lah satu rakaat lagi untuk
menyempurnakan shalat Jum’at. Dari kedua dalil tersebut bila kita
hubungkan dengan permasalahan tentang hukum mendengarkan khutbah
jum’at, yaitu jika seseorang terlambat dalam melakukan shalat Jum’at,
21 Ibid., hlm. 275. 22 Ibid.
70
dia tidak dapat mengikuti dan dia hanya mendapatkan satu rakaat jum’at
maka menurut hadits tersebut ia cukup menambah satu rakaat, lalu kalau
kita hubungkan dengan permasalahan hukum mendengarkan khutbah
jumat maka yang sesuai adalah mendengarkan khutbah itu tidak wajib
artinya sunnah dan shalatnya orang yang terlambat tersebut tetap sah.
Kemudian penulis akan mengemukakan pendapat-pendapat imam
mazhab lain sebagai perbandingan dengan pendapat yang dikemukakan
oleh Imam Syafi’i. Adapun pendapat mereka adalah :
1. Hanabilah
Mereka berpendapat, tidak boleh bicara ketika berlangsung dua
khutbah. Adapun berbicara sebelum atau ketika diamnya khatib diantara
dua khutbah itu boleh, begitu pula, boleh bicara ketika khatib berdoa.23
Haram bagi seseorang yang berada dekat dari khatib pada hari
jum'at ketika dia dapat mendengarkan khutbah. Sama juga berbicara ketika
khutbah tentang dzikir atau tidak walaupun khatib itu tidak adil kecuali
bagi khatib sendiri, boleh berbicara dengan orang lain untuk kemaslahatan.
Bagi orang yang mendengarkan shalawat boleh menjawab shalawat ketika
disebut namanya, tetapi dengan rahasia, boleh juga membaca amin ketika
berdoa. Boleh membaca tahmid dengan pelan ketika bersin, dan membaca
tasmit terhadap orang yang bersin, menjawab salam dengan ucapan, bukan
isyarat. Adapun orang yang jauh dari khatib ketika dia tidak dapat
23 Abdurrahman al-Jazairy, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz I, Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, t.th. hlm. 398.
71
mendengarkan nya, maka boleh bicara dengan menyibukkan membaca al-
Qur'an, dzikir dan lainnya itu lebih baik dari pada diam, dan tidak harus
bersuara keras. Boleh bicara sebelum dua khutbah dan sesudahnya, ketika
diamnya khatib diantara dua khutbah, dan ketika khatib sedang berdoa
karena rukun-rukun khutbah telah selesai.
2. Hanafizah
Mereka berpendapat, berbicara ketika khatib berkhutbah adalah
makruh tahrim, sama juga berbicara itu jauh dari imam atau dekat, dalam
qaul yang sahih. Sama juga berbicara itu masalah dunia, dzikir dan
lainnya, menurut qaul yang mashur, sama juga khatib melakukan lagha
(hal yang sia-sia) dengan menyebut kezaliman atau tidak. Apabila
mendengar nama Nabi SAW maka bacalah shalawat atas Nabi SAW.
Boleh berisyarat dengan tangan atau kepalanya ketika melihat
kemungkaran, karena berbicara ketika ada khutbah itu hukumnya makruh
tahrim.
Sebagaimana makhruh melakukan shalat, seperti keterangan yang
lalu menurut ittifak ahli mazhab. Adapun keluarnya imam dari khalwatnya
hukumnya seperti pendapat Abi Hanifah, karena keluarnya Imam ketika
itu, dapat memutus shalat dan kalam. Adapun menurut pendapat teman-
temannya itu dapat memutus shalat, diantara bicara yang dimakruhkan
adalah menjawab salam dengan lesan dan hatinya, sama juga sebelum atau
sesudah selesainya dari khutbah. Karena sesungguhnya memulai salam itu
tidak dibolehkan menurut syara', bahkan orang yang mengerjakannya itu
72
berdosa, maka tidak wajib menjawab salam, begitu juga mendoakan orang
yang bersin. Makruh bagi imam memberi salam kepada manusia. Tidak
termasuk makruh bicara yaitu mengingatkan dari kala jengking atau ular.
Mengundang karena takut terhadap orang yang buta dan lain-lainnya, itu
dilakukan untuk menolak bahaya.24
3. Malikiyah
Mereka berpendapat haram berbicara ketika ada khutbah dan
ketika duduknya imam di atas mimbar diantara dua khutbah, tidak ada
perbedaan didalamnya antara orang yang mendengarkan khutbah dan
lainnya. Semua haram baginya bicara walaupun berada di halaman masjid
atau jalan yang bersambung dengannya. Keharaman berbicara yang telah
disebut, selama imam belum menghasilkan laghau (hal yang sia-sia) di
dalam khutbah, seperti tidak boleh memuji atau mencacat orang lain
karena perbuatan itu dapat menjatuhkan kehormatannya.
Boleh bicara ketika imam duduk di atas mimbar sebelum
melakukan khutbah dan di akhir khutbah kedua ketika khatib berdoa untuk
orang-orang muslim, untuk para sahabat, Rasu1 SAW atau khalifah.
Diantara bicara yang diharamkan ketika khutbah adalah memulai salam
dan menjawab salam atas orang yang mengucapkan salam. Diantaranya
juga mencegah orang yang berbicara ketika khutbah, sebagaimana haram
berisyarat terhadap orang yang bicara dan melemparnya dengan tongkat
supaya dia diam. Haram juga minum dan mendoakan orang yang bersin,
24 Ibid.
73
tetapi sunnah bagi orang yang bersin dan bagi imam yang berkhutbah
memuji allah secara rahasia, seperti halnya apabila khatib menyebut ayat
siksa, menyebut neraka umpamanya, maka itu sunnah bagi orang yang
hadir untuk membaca ta’awud secara rahasia dan singkat. Apabila khatib
berdoa maka disunnahkan bagi orang yang hadir membaca amin, makruh
membaca dengan keras, dan haram memperbanyaknya seperti membaca
amin, ta’awud, istighfar, dan shalawat atas Nabi. Apabila ditemukan sebab
untuk semuanya, maka disunahkan kesemuanya secara rahasia dan
singkat.25
Dari Ibnu Wahbin diriwayatkan bahwa ia berkata: Barangsiapa
yang bermain-main, maka ia harus shalat zuhur dengan empat rakaat,
alasan Jumhur fuqaha tentang kewajiban diam mendengarkan ialah hadits
Abu Hurairah r. a. riwayat Bukhari Muslim sebagaimana tersebut di
depan.
Adapun Ibnu Rusyd tidak mengetahui akan pendapat yang tidak
mewajibkan mendengarkan khutbah jum'at. Kecuali kalau berpendapat
bahwa perintah diam mendengarkan ditentang oleh dalil kitab yang
terdapat dalam firman Tuhan. “Apabila dibacakan al-Qur'an, hendaklah
kamu dengarkan, dan diamlah. Mudah-mudahan kamu mendapat rahmat
Tuhan”. (QS. A'raf: 204)
25 Ibid., hlm. 398-399.
74
Artinya apa yang selain al-Qur'an tidak wajib didengarkan. Alasan
ini lemah, wallahu a’lam.26
Dalam hadits riwayat Abu Hurairah di atas terkandung larangan
mengucapkan kata apapun ketika imam sedang khutbah, mengingat orang
yang mengatakan: diamlah! Terhadap temannya dilarang, apalagi yang
tidak berguna.
Lafal laghauta bermakna mengucapkan kata-kata yang tidak
berguna, sia-sia dan tidak diterima. Sedang menurut pendapat lain
mengatakan, bermakna “Engkau mengatakan sesuatu yang tidak benar”.
Pendapat yang lain mengatakan, bahwa laghauta bermakna : Engkau
mengatakan sesuatu yang tidak selayaknya diucapkan. “lafal wal imamu
yakhthubul” adalah jumlah haliyah berkedudukan menjadi qaid (sifat) bagi
hukum yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan kata lain berbicara yang
dihukumi haram hanyalah ketika imam sedang menyampaikan rukun-
rukun khutbah. Sedang ketika imam sedang menyampaikan mau'izhah
(nasehat), maka hanya makruh tanzih. Demikian Imam Syafi’i
menegaskan yang kemudian diikuti pula oleh Imam Maliki dan para
Jumhur ulama, sedangkan mazhab Hanafi mengatakan, bahwa
mendengarkan khutbah adalah wajib sejak imam menyampaikan khutbah
hingga selesai.27
26 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, Semarang: CV. Toha Putra, t.th., hlm. 117. 27 Ahmad Mudjab Manalli, Hadits-hadits Ahkam Riwayat Asy-Syafi'i, cet. 1. Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2003, hlm. 344.
75
Kemudian dalil yang memperkuat pendapat tentang wajib
mendengarkan khutbah Jum’at adalah hadits dari Ibnu Abbas :
من تكلم يوم : "عن ابن عباس ان رسو ل اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال والذى يقول له انصت ال , اجلمعة واإلمام خيطب فهو كاحلمام حيمل اسفارا
بلوغ قال احلافظ ىف). رواه أمحد وابن اىب شيبة والبزان والطرباىن" (مجعة له 28. املرام اسناده ال بأس له
Artinya : Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Barang
siapa yang berbicara pada hari Jum’at di waktu Imam berkhutbah, maka ia seperti keledai yang memikul kitab, sedang siapa yang mengingatkan orang itu dengan kata-kata “diamlah”, maka tidak sempurnalah Jum’atnya”. (Riwayat Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Bazzan dan Thabrani, Hafidz mengatakan dalam Bulughul Maram bahwa Isnad hadits ini tidak ada cacatnya)
خطب جلس النىب صلى اهللا عليه وسلم على املنرب و: عن اىب درداء قال يا أيب مىت أنزلت هذه : الناس وتال اية واىل جنىب أيب بن كعب فقلت له
الساعة ؟ فأىب ان يكلمىن مث سألته فأىب ان يكلمىن مث سألته فأىب ان يكلمىن ما لك من مجعتك : حىت نزل رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم فقال ىل أيب
وسلم جئته فاخربته فلما انصرف رسول اهللا صلى اهللا عليه. إال ما لغوترواه أمحد (اذا مسعت امامك يتكلم فانصت حىت يفرغ , صدق أيب: فقال
29) والطرباىن Artinya : Dari Abi Darda’ berkata : Nabi SAW duduk di atas mimbar,
kemudian berkhutbah dan membaca ayat waktu itu didekatku ada Ubai bin Ka’ab, maka saya tanyakan kepadanya : “Kapankah diturunkannya ayat itu, hai Ubai ? “Tapi ia tak hendak menjawab pertanyaanku itu, dan waktu saya tanyakan sekali lagi, ia tetap membisu, sampai Rasulullah SAW turun
28 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid I, al Fath lil I’lamil Arabi, t.th., hlm. 274. 29 Ibid., hlm. 274 – 275.
76
dari Jum’atmu, kecuali sekedar yang kau bicarakan tadi!” Tatkala Rasulullah SAW selesai dan berpaling dari shalat, saya pun mendatanginya dan menyampaikan peristiwa tadi. Maka sabda beliau : “Benar apa yang dikatakan Ubai itu! Jika engkau mendengar imam berkhutbah, maka hendaklah diam sampai ia selesai !” (Riwayat Ahmad dan Thabrani.
Dalam kitab Sunan Ibnu Majah di situ disebutkan dalam Zuwaid
bahwa isnadnya shahih dan rawinya siqoh.30
كانوا يتحدثون يوم اجلمعة وعمر جالس على : عن ثعلبة بن اىب مالك قال املنرب فاذا سكت املؤذن قام عمر فلم يتكلم احد حىت يقضى اخلطبتني
)رواه الشافعى ىف مسنده( فاذا قامت الصالة ونزل عمر تكلموا ,كلتيهما Artinya : “Dari Sa’labah bin Abi Malik berkata : orang-orang bercakap-
cakap pada hari Jum’at sedang Umar telah duduk di mimbar. Baru bila muadzin telah selesai adzan dan Umar berdiri, maka tidak seorangpun yang berbicara sampai selesai kedua khutbahnya. Dan di waktu Umar turun dari mimbar, orang-orangpun bercakap-cakap lagi”. (Diriwayatkan oleh Syafi’i dam musnadnya)31
B. Analisis Istinbaht Imam Syafi’i tentang Hukum Mendengarkan
Khutbah Jum’at.
Imam Syafi’i dalam dunia pemikir hukum Islam adalah seorang
imam mazhab yang berusaha berfikir moderat. Pemikiran Imam Syafi’i
adalah merupakan jembatan antara dua kutub pemikiran yang ekstrim
yaitu ahli al-ra'yi dan ahlu al hadits. Kelompok pertama yang diwakili
30 Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, Darul Fikr, t.th.,
hlm. 353. 31 Sayid Sabiq, op. cit., hlm. 279.
77
oleh imam Abu Hanifah yang sangat mengedepankan aspek rasionalitas
dalam pendekatan pemahaman hukumnya, dan kelompok kedua yang
dipelopori oleh Imam Malik dimana pendekatan hukumnya lebih
mengedepankan aspek yang bersifat normatif (tekstual).
Dalam bab III telah penulis uraikan bahwa metode istinbaht
hukum yang dilakukan dan dikembangkan oleh Imam Syafi’i, terlihat
jelas bahwa beliau dalam menentukan hasil ijtihadnya berlandaskan pada
landasan normatif yang terstruktur secara hierarkis yang bersumber dari
al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sehingga kalau terjadi
permasalahan maka penyelesaiannya dipecahkan dengan tingkatan-
tingkatan sumber tersebut.
Imam Syafi’i dalam mengistinbahtkan (mengambil dan
menetapkan) hukum tentang kesunahan mendengarkan khutbah jum’at,
beliau menggunakan 3 (tiga) dasar yaitu:
1. Al-Qur’an
2. Al-Hadits (al-Sunnah)
3. Maqasid al-Syar'i.
1. Al-Qur’an
Alasan bahwa al-Qur’an adalah hujah atas umat manusia dan
hukumnya-hukumnya adalah undang-undang yang harus diikuti
(ditaati) oleh nya ialah: bahwa al-Qur'an itu diturunkan dari sisi Allah,
dan disampaikannya kepada umat manusia dari Allah SWT dengan
78
jalan yang pasti, tidak ada keraguan mengenai kebenarannya.
Sedangkan alasan bahwa ia adalah dari sisi Allah, berupa
kemukjizatannya melemahkan umat manusia untuk mendatangkan
semisalnya.
Kemudian dalil al-Qur'an yang digunakan Imam Syafi’i yang
berkenaan dengan kesunahan mendengarkan khutbah jum’at adalah al-
Qur’an surat al-A’raf ayat 204. Artinya : “Apabila dibacakan al-
Qur’an, hendaklah kamu dengarkan dan diam lah, mudah-mudahan
kamu mendapat rahmat”. (Al-A'raf: 204)
Dari ayat tersebut mengandung arti perintah untuk
mendengarkan Al-Qur’an, dalam tafsir al-Maraghi juga disebutkan,
selain perintah mendengarkan al-Qur’an juga perintah untuk
mendengarkan bacaan imam dan khatibnya.32
2. Al-Hadits (al-Sunnah)
Para ulama Usul Fiqh dari kalangan ahl al-Sunnah mengartikan
sunnah dengan segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah SAW,
baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir (diamnya Nabi SAW
terhadap suatu ucapan atau tindakan) yang berkaitan dengan tasri’ al
Ahkam al-Amaliyah.
Adapun dalil hadits yang digunakan oleh Imam Syafi’i tentang
kebolehan bicara ketika khutbah jum'at, tetapi hal tersebut sesuatu yang
tidak disukainya adalah hadits Nabi SAW yang telah disebutkan dalam
32 Ahmad Mustafa al-Maraghi, op.cit., hlm. 298
79
kitab al-Umm, dimana Nabi SAW pernah berbicara dengan seseorang
ketika khutbah berlangsung tentang pembunuhan Ibnu Abi al-Haqiq.
Menurut al-Baihaqi hadits ini adalah hadits mursal dan kisah ini telah
mashur di kalangan al-Maghayi, riwayat lain dari al-Zuhri, Abil Aswad,
Urwah bin al-Zubair dan masalah ini akan menjadi terperinci dalam
kitab al-Maghayi.33
Begitu juga hadits dari Anas bahwa suatu ketika Nabi SAW
sedang khutbah jum'at lalu orang yang tidak dikenal berdiri dan berkata,
Ya Rasulullah, telah terjadi kerusakan harta, keluarga yang lapar, maka
doakanlah kepada Allah untuk kami, lalu Nabi SAW mengangkat
tangan dan berdoa. Hadits tersebut adalah riwayat Muslim.34
Kemudian hadits yang mendukung pendapat imam Syafi’I
adalah hadits dari jabir tentang Nabi pernah memerintah seseorang yang
masuk masjid untuk shalat tahiyatul masjid sedangkan Nabi saw sedang
berkhotbah dan hadits tersebut adalah shahih (diriwatkan oleh
Mutafiqun alaih)
Sedangkan hadits yang memerintah agar ketika berlangsung
khutbah itu terjadi kondisi yang tenang, khusu, dengan memperhatikan
khutbah dan melarang seseorang berbicara ketika berkhotbah dan
melarang seseorang berbicara ketika khatib berkhutbah satu larangan
33 Abi Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali al Baihaqi, as-Sunnah al-Kubra, juz III, Darul
Fikr, hlm. 222. 34 Abi Zakaria Muhyiddin bin Ssaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, Juz IV, Dar al-Fikr, t.th.,
hlm. 525.
80
itu menunjukkan larangan makruh adalah hadits dari Abi Hurairah
diriwayatkan oleh Bukhori Muslim secara marfu’. Mengenai hadits ini,
para ulma berbeda pendapat, sebagian ulama berpendapat bahwa hadits
ini menunjukkan larangan haram, sedangkan sebagian ulama yang lain
bahwa larangan ini adalah larangan makruh. Adapun Ibnu Rusyd tidak
mengetahui pendapat yang tidak mewajibkan mendengarkan khutbah
jum’at kecuali kalau perintah diam mendengarkan di tentang oleh dalil
kitab yang terdapat dalam firman Tuhan: “Apabila dibacakan Al-
Qur’an hendaklah kamu dengarkan dan diam lah, mudah-mudahan
kamu mendapat rahmat dari tuhan”. (QS. Al-A’raf , 204) artinya apa
yang selain al-Qur’an tidak wajib di dengarkan. Alasan ini lemah
wallahu a’lam .35
Dari dalil yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i di atas penulis
kuatkan dengan hadits lain yaitu hadits dari Ibnu Umar tentang
seseorang yang mendapatkan satu rakaat shalat jumat, supaya
menambahkan serakaat lagi, diriwayatkan oleh Nasai, Ibnu Majah dan
Darulquthni. Hafizh mengatakan dalam Buluqul Maram bahwa hadits
ini shahih, tetapi, Abu Halim menguatkan pendapatnya bahwa hadits
ini mursal.36 Juga hadits dari Abu Hurairah riwayat jumat tentang
seseorang yang mendapatkan serakaat shalat jumat.
35 Ibnu Rusyd, op. cit. hlm. 117. 36 Sayid Sabiq, op. cit, hlm. 274.
81
3. Pendekatan Melalui Maqasid al-Syari'ah.
Kalau pendekatan kebahasan tentang sumber hukum Islam
dititik beratkan pada pendalaman sisi kaidah-kaidah kebahasan untuk
pendekatan melalui maqashid al-Syari'ah. Kajian lebih dititik beratkan
pada melihat nilai-nilai yang berupa kemaslahatan manusia dalam
setiap taklif yang diturunkan Allah. Pendekatan ini penting dilakukan,
terutama sekali karena ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an terbatas
jumlahnya, sementara permasalahan masyarakat senantiasa muncul.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan yang timbul itu, melalui
pengetahuan tentang tujuan hukum, maka pengembangan hukum akan
dapat dilakukan.37
Hal demikian dapat dilihat antara lain, pada peristiwa Nabi
SAW pernah melarang kaum muslim menyimpan daging korban
kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi
beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan Nabi SAW itu
dilanggar oleh beberapa sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada
Nabi SAW, beliau membenarkan tindakan para sahabat itu sambil
menerangkan bahwa larangan menyimpan daging korban adalah
didasarkan atas kepentingan ad-Daffah (tamu yang terdiri atas orang-
orang miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah). Setelah
itu, Nabi SAW bersabda sekarang simpan lah daging-daging korban itu,
karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkan.
37 Dr. Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Jakarta: PT. Logos, 1999, hlm. 41.
82
Dari kasus tersebut terlihat, bahwa sejak masa Nabi SAW,
Maqashid al-Syari'ah telah menjadi pertimbangan sebagai landasan
dalam menetapkan hukum. Upaya seperti itu, seterusnya dilakukan pula
oleh para sahabat. Seperti upaya yang dilakukan oleh Umar bin
Khattab, antara lain umar tidak memberikan bagian zakat untuk
kelompok non muslim, karena semula pemberian zakat kepada mereka
adalah agar mereka memeluk Islam, tetapi setelah Islam kuat dan
keadaan telah berubah, maka Umar tidak memberikan bagian zakat
untuk mereka.
Imam Syafi’i mempertimbangkan maksud dari disyari'atkan nya
shalat jum’at yaitu menampakkan syi'ar persatuan dan kesatuan. Begitu
juga Imam Syafi’i mempertimbangkan maksud diperintahkannya
mendengarkan khutbah sebagai suatu kesunahan yaitu agar shalat
jum'at dilakukan dengan suasana yang tenang dan tenteram, disertai
dengan kedisiplinan yang tinggi dan kerukunan yang baik. Seseorang
berbicara kepada temannya yang duduk di sekitarnya ketika khutbah
dilakukan, ia tidak mendapatkan pahala jum'at serta keutamannya,
bahkan sebaliknya ia telah melakukan perbuatan yang merusak etika
umum dan mengganggu etika kesopanan serta menyia-nyiakan faedah
shalat jum'at yaitu: mempelajari hukum-hukum yang terkandung dalam
khutbah.
Dikatakan demikian karena seandainya ia mengatakan, Diam
lah, kemudian orang lain mengatakan yang sama, niscaya tiap-tiap
83
orang akan bertindak mendiamkan orang lain. Sehingga khutbah imam
tidak didengar lagi dan lenyaplah ciri khas dari perkumpulan shalat
jum'at, yaitu kerukunan dan saling mengenal serta merenungi perkara
agama dan hukumnya. Faktor-faktor itulah yang mendorong Rasulullah
SAW memutuskan hukum terhadap orang yang berbicara ketika
khutbah sedang dilakukan, bahwa dia telah berbuat laghau.