bab iv - kumpulan pikiran – dengan berpikir kita ... · web viewpuskesmas kulisusu memiliki 1...
TRANSCRIPT
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Letak dan Batas Wilayah
Puskesmas Kulisusu berada dalam wilayah administrasi Kecamatan
Kulisusu Kabupaten Buton Utara dengan wilayah kerja meliputi 5
Kelurahan dan 7 Desa dengan luas wilayah 108,55 km2 dengan rincian
Desa/Kelurahan sebagai berikut :
a. Kelurahan Lipu : 3,99 km2
b. Kelurahan Bangkudu : 8,73 km2
c. Kelurahan Lakonea : 4,88 km2
d. Kelurahan Lemo : 3,38 km2
e. Kelurahan Bone Lipu : 13,69 km2
f. Desa Rombo : 8,44 km2
g. Desa Linsowu : 6,75 km2
h. Desa Loji : 3,25 km2
i. Desa Kalibu : 4,43 km2
j. Desa Eelahaji : 30,3 km2
k. Desa Jampaka : 7,29 km2
l. Desa Tomoahi : 13,27 km2
Sebagian besar wilayah kerja Puskesmas Kulisusu terdiri atas
dataran tinggi dan dataran rendah serta rawa-rawa yang secara administratif
berbatasan dengan :
60
61
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Puskesmas Kulisusu Utara
b. Sebelah Barat berbatasan dengan Puskesmas Kulisusu Barat dan
Kecamatan Bonegunu
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Lemo
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda
2.Demografi
Jumlah penduduk yang berdomisili dalam wilayah kerja Puskesmas
Kulisusu sekitar 18.066 jiwa yang tersebar di 5 kelurahan dan 7 desa yang
terdiri atas berbagai etnis, agama, budaya, dan tingkat pendidikan. Tingkat
mobolitas penduduk yang cukup tinggi baik yang menggunakan kendaraan
darat maupun kendaraan laut sangat mempengaruhi penyebaran penyakit
terutama penyakit yang berasal dari luar daerah.
3.Sosial Ekonomi
Mata pencaharian penduduk umumnya pertanian dalam arti luas
yang meliputi petani dibidang pangan, perkebunan, dan pengelolaan budi
daya hasil laut. Sedangkan yang lainnya terdiri dari Pedagang, Pegawai
Negeri baik PNS maupun TNI/Polri termasuk Pegawai Swasta, Buruh
Harian dan sisanya tidak memiliki mata pencaharian yang jelas.
Keadaan ini sangat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat terutama
yang ada kaitannya dengan kebutuhan pokok sehari-hari (Gizi masyarakat,
pakaian, kondisi perumahan, kemampuan serta kesempatan untuk
memperoleh pelayanan kesehatan dan pendidikan yang memadai).
62
4.Tenaga dan Sarana Kesehatan
a) Tenaga Kesehatan
Adapun tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Kulisusu Tahun
2009 adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kulisusu Tahun 2009
No Tenaga Kesehatan Jumlah Presentase(%)1 Dokter umum 2 4,082 Perawat 34 69,383 Perawat Gigi 1 2,044 Analis 1 2,045 Bidan 5 10,26 Tenaga Gizi 1 2,047 Tenaga Kesling 1 2,048 SMA 1 2,049 Clening Service 2 4,0810 Supir 1 2,0411 Jumlah 49 100
Sumber : Data Primer 2009
b) Sarana Kesehatan
Puskesmas Kulisusu memiliki 1 buah Gedung Puskesmas sebagai
tempat pelayanan kesehatan, kemudian dilengkapi dengan 1 buah gedung
sebagai tempat perawatan pasien rawat inap, Gudang obat yang terdiri
dari 2 buah ruangan dimana 1 ruangan digunakan oleh Gudang Farmasi
Kabupaten dan Puskesmas Pembantu 6 buah.
B. Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini dilaksanakan pada masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Kulisusu Babupaten Buton Utara selama 1 minggu dengan
mengambil sampel keluarga penderita sebanyak 50 Orang. Berdasarkan hasil
63
pengolahan data yang telah dilakukan, maka disajikan hasil penelitian sebagai
berikut :
Masalah kesehatan pada dasarnya mengikuti distribusi epidemiologi.
Artinya terjadinya peningkatan suatu penyakit dipengaruhi oleh besarnya
keberadaan faktor-faktor epidemiologi pada suatu daerah atau komunitas
tertentu. Untuk menjelaskan distribusi ini digunakan model Person (orang),
Place (tempat) dan Time (waktu). Berdasarkan hal tersebut, maka dalam
pengumpulan data epidemiologi dibutuhkan data mengenai karakteristik
orang, waktu dan tempat terkait dengan masalah kesehatan yang diamati
(Bustan, 1996).
Analisis data epidemiologis berdasarkan variable tersebut digunakan
untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang morbiditas dan mortalitas
yang dihadapi. Dengan demikian, memudahkan untuk mengadakan
penanggulangan, pencegahan atau pengamatan. Untuk menentukan adanya
peningkatan atau penurunan insidensi atau prevalensi suatu penyakit yang
timbul, harus diperhatikan kebenaran perubahan tersebut. Perubahan yang
terjadi dapat diakibatkan oleh perubahan semu sebagai akibat dari perubahan
dalam teknologi diagnostik, perubahan klasifikasi, atau kesalahan dalam
perhitungan jumlah penduduk.
1) Karakteristik Responden
Karakteristik responden untuk distribusi ini digunakan model
Person (orang), Place (tempat) dan Time (waktu).
64
a) Berdasarkan Orang
1) Jenis kelamin
Jenis kelamin responden yang diteliti di wilayah kerja
Puskesmas Kulisusu Kabupaten Buton Utara tahun 2009 adalah
sebagai berikut :
Tabel 5. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Puskesmas Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2009
Jenis Kelamin N %Laki-Laki 22 44Perempuan 28 56
Jumlah 50 100Sumber : Data Primer 2009
Dari Tabel 5 menunjukan bahwa jumlah responden
perempuan lebih banyak dari jumlah responden laki-laki dimana
responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 28 orang (56 %)
sedangkan responden laki-laki sebanyak 22 orang (44 %).
2) Umur
Distribusi umur responden yang diteliti di wilayah
Puskesmas Kulisusu Kabupaten Buton Utara tahun 2009 seperti
terlihat pada tabel 6 di bawah ini :
65
Tabel 6. Distribusi Responden Menurut Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2009
Umur Responden (Tahun)
N %
5 – 9 9 1810 – 14 9 1815 – 19 4 820 – 24 1 225 – 29 6 1230 – 34 7 1435 – 39 5 1040 – 44 5 1045 – 49 1 250 – 54 1 255 – 59 1 2
≥ 60 1 2Jumlah 50 100
Sumber : Data Primer 2009
Dari Tabel 6 menunjukan bahwa responden terbanyak
adalah umur 5 – 9 tahun dan kelompok umur 10 – 14 tahun dengan
responden masing-masing 9 orang (18 %) sedangkan yang paling
sedikit jumlahnya adalah yang berumur 20 – 24 tahun, 45 – 49
tahun, 50 – 54 tahun, 55 – 59 tahun dan ≥ 60 tahun dengan
responden masing-masing 1 orang (2 %).
3) Pendidikan
Pendidikan responden di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu
terdiri dari berbagai jenjang pendidikan, akan tetapi ada juga
beberapa responden yang tidak bersekolah. Adapun distribusi
responden menurut pendidikan dapat dilihat pada tabel 7 berikut.
66
Tabel 7. Distribusi Responden Menurut Pendidikan Terakhir di Wilayah Kerja Puskesmas Kulisusu Kabupaten Buton UtaraTahun 2009
Pendidikan n %Tidak Sekolah 5 10
SD 14 28SLTP 11 22SLTA 18 36
Diploma/Sarjana 2 4Jumlah 50 100
Sumber : Data Primer 2009
Tabel 7 menunjukan bahwa tingkat pendidikan responden
yang terbanyak adalah SLTA dengan 18 responden (36%)
sedangkan paling sedikit adalah Diploma/Sarjana yaitu sebanyak 2
responden (4 %).
b) Berdasarkan waktu
Hubungan antara waktu dan penyakit merupakan kebutuhan
dasar di dalam analisis epidemiologi.oleh karena perubahan-
perubahan penyakit menurut waktu menunjukkan adanya perubahan
faktor etiologi baik dalam waktu singkat, periodik maupun sekuler.
Waktu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah .
Kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menahun
dan disebabkan oleh mycobacterium leprae yang menyerang sraf tepi,
kulit dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini memerlukan waktu
membelah diri yang sangat lama dibandingkan dengan kuman yang
lainnya, yaitu 2 – 21 hari. Hal ini merupakan salah satu penyebab
masa tunas yang lama yaitu rata-rata 2 – 5 tahun.
67
Variabel waktu merupakan factor kedua yang harus
diperhatikan ketika melakukan analisis morbiditas dalam studi
epidemiologi karena pencatatan dan laporan insidensi dan prevalensi
penyakit selalu didasarkan pada waktu, apakah mingguan, bulanan
atau tahunan.
Laporan morbiditas ini menjadi sangat penting artinya dalam
epidemiologi karena di dasarkan pada kejadian yang nyata dan bukan
berdasarkan perkiraan atau estimasi. Selain itu, dengan pencatatan dan
laporan morbiditas dapat diketahui adanya perubahan-perubahan
insidensi dan prevalensi penyakit hingga hasilnya dapat digunakan
untuk menyusun perencanaan dan penaggulangan masalah kesehatan
c) Berdasarkan Tempat
Tempat adalah daerah yang dapat dikategorikan sebagai
wilayah tertentu suatu daerah seperti wilayah desa, kecamatan,
kabupaten dan lain-lain. Hubungan antara penyakit dengan tempat
menunjukkan adanya faktor-faktor yang mempunyai arti penting
sebagai sebab timbulnya penyakit yang ada kaitannya dengan lokasi
tempat tinggal penderita.
Peranan karakteristik tempat dalam studi epidemiologi erat
hubungannya dengan lokasi fisik sepeerti sifat geologi dan keadaan
tanah, keadaan iklim setempat yang erat hubungannya dengan daerah
tropis dan subtropics serta daerah yang beriklim dingin. Selain itu
faktor tempat dapat pula dipengaruhi oleh kepadatan penduduk dan
68
kepadatan rumuah tangga, jenis penyebab serta jenis vektor setempat
(Noor, 2000).
Puskesmas kulisusu berada dalam wilayah administrasi
kecamatan kulisusu Kabupaten Buton Utara dengan wilayah kerja
meliputi 5 kelurahan dan 7 desa dengan luas wilayah 108,55 km2.
Daerahnya terdiri dari wilayah dataran tinggi dan dataran rendah serta
rawa-rawa.
Penderita penyakit kusta di wilayah kerja puskesmas kulisusu
berjumlah 5 orang yang tersebar di kelurahan/ desa sebagai berikut :
Tabel 8. Jumlah penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2008
No Kelurahan/Desa Jumlah (n) Presentase (%)
1 Desa Loji 1 202 Kelurahan Lemo 2 403 Kelurahan Bangkudu 1 204 Kelurahan Lipu 1 20
Total 5 100Sumber : Data Sekunder 2008
Berdasarkan tabel 8 di ketahuai bahwa penderita kusta
tertinggi berada di Kelurahan Lemo sebanyak 2 penderita dengan
presentase 40 %. Sedangkan penderita kusta yang terendah berada di
Kelurahan Lipu, Kelurahan Bangkudu dan Desa Loji sebanyak 1
orang dengan presentase masing-masing 20 %.
Variabel tempat merupakan salah satu variabel penting dalam
eoidemiologi deskriptif karena pengetahuan tentang tempat atau lokasi
kejadian luar biasa atau lokasi penyakit-penyakit endemis sangat
69
dibutuhkan ketika melakukan penelitian dan mengetahui sebaran
beberapa penyakit di suatu wilayah. Batas suatu wilayah dapat
ditentukan berdasarkan:
1) Geografis, yang ditentukan berdasarkan alamiah, administrasi atau
fisik, institusi, dan instansi. Dengan batas alamiah dapat dibedakan
Negara yang beriklim tropis, subtropics dan negara dengan empat
musim. Hal ini penting karena dengan adanya perbedaan tersebut
mengakibatkan perbedaan dalam pola penyakit baik distribusi
frekuensi maupun jenis penyakit.
2) Batas institusi dapat berupa industri, sekolah atau kantor dan
lainnya sesuai dengan timbulnya masalah kesehatan.
Dengan terdapatnya penderita kusta di wilayah kerja
Puskesmas Kulisusu Kabupaten Buton Utara Sulawesi Tenggara,
semakin memperkuat bahwa faktor geografi dan meteorologi di
Indonesia pada umumnya sangat menguntungkan adanya transmisi
atau penularan penyakit kusta termasuk Kabupaten Buton Utara.
2) Karakteristik khusus responden menurut variabel
yang diteliti
a) Distribusi Kejadian Penyakit Kusta
Distribusi kejadian penyakit kusta berdasarkan hasil skrining
pada 50 responden seperti pada tabel 9 di bawah ini :
70
Tabel 9. Distribusi kejadian Penyakit Kusta pada Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Kulisusu Kab. Buton Utara Tahun 2009
No Hasil Pemeriksaan N Pesentase (%)
1 Positif 0 02 Negatif 50 100
Sumber : Data Primer 2009
Tabel 9 menunjukkan bahwa dari hasil pemeriksaan skrining
diperoleh bahwa dari 50 respondent ditemukan semua responden
negatif (100 %). Hal tersebut sesuai dengan Pedoman Pemberantasan
Penyakit Kusta bahwa seseorang yang belum nampak gejala kusta
maka hasil pemeriksaan spesimen BTA selalu negatif.
b) Pengetahuan
Distribusi tingkat pengetahuan responden terhadap kejadian
penyakit kusta dapat dilihat pada tabel 10 di bawah ini :
Tabel 10. Distribusi Pengetahuan Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Kulisusu Kab. Buton Utara Tahun 2009
No Pengetahuan Jumlah (n) Persentase (%)
1 Cukup 23 462 Kurang 27 54
Total 50 100Sumber : Data Primer 2009
Tabel 10 menunjukan bahwa dari hasil pengolahan SPSS
tentang pengetahuan diperoleh bahwa pengetahuan yang cukup
sebanyak 23 orang (46 %) sedangkan pengetahuan yang kurang
sebesar 27 orang (54 %).
71
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan peginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan
atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 1997).
Responden yang kurang pengetahuannya tentang penyakit
kusta dapat menyebabkan kurangnya kewaspadaan diri dan kurangnya
upaya pencegahan sehingga memudahkan tertular penyakit kusta. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Djasminto
(2000) mengatakan bahwa cukup kurangnya tingkat pengetahuan
masyarakat tentang suatu penyakit sangat menentukan tingkat kejadian
penyakit pada suatu masyarakat.
Asumsi lain yang masih terjadi di masyarakat yang
berpengetahuan kurang tentang kusta disebabkan kurangnya informasi
mengenai pencegahan dan penanggulangan penyakit kusta secara baik
dan benar dari pihak pelayanan kesehatan.
Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Kulisusu Kabupaten
Buton Utara sangat terbuka dalam menerima informasi-informasi
mengenai pola hidup sehat terutama dalam penanggulangan penyakit
kusta, ini terbukti dengan 50 responden yang diteliti semuanya
menyatakan kesediaannya untuk diperiksa kesehatanya dan antusiasme
masyarakat untuk mendengarkan informasi penyakit kusta yang kami
berikan sebelum pemeriksaan dilakukan terutama pencegahan dan
penanggulangannya. Kurangnya informasi tentang penyakit kusta yang
72
diterima oleh masyarakat baik berdasarkan media yang merupakan
komunikasi satu arah maupun melalui penyuluhan sangat kurang
sehingga usaha masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan
kusta masih sangat minim, terutama dalam kegiatan menjaga
kebersihan lingkungan yang dapat mencegah munculnya penyakit
kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas pelayanan kesehatan masih
bersifat umum, seperti pemberian informasi tentang Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat. Seharusnya materi penyuluhannya mengkhususkan
pada pencegahan dan penanggulangan penyakit kusta sehingga
masyarakat memperoleh banyak informasi tentang penyakit kusta.
Tindakan preventif yang dilaksanakan masih bersifat
diskriminatif, hanya sebatas pengetahuan responden tentang
bagaimana agar tidak dekat dengan penderita kusta walaupun sudah
diberikan pengobatan.
c) Sikap
Distribusi Sikap responden terhadap kejadian penyakit kusta
seperti terlihat pada tabel 11 dibawah ini :
Tabel 11. Distribusi Sikap Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Kulisusu Kab. Buton Utara Tahun 2009
No Sikap Jumlah (n) Persentase (%)
1 Cukup 21 422 Kurang 29 58
Total 50 100Sumber : Data Primer 2009
73
Tabel 11 menunjukan bahwa dari hasil pengolahan SPSS
tentang sikap masyarakat tentang kusta diperoleh bahwa sikap
responden yang cukup sebanyak 21 orang (42 %) dan responden
dengan sikap kurang sebanyak 29 orang (58 %).
Dalam kehidupan sehari-hari sikap merupakan reaksi yang
bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb seorang ahli
Psikososial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif
tertentu. Sikap ini mempunyai tiga komponen pokok yaitu
kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu obyek,
kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu obyek
dan kecenderungan untuk bertindak (tend to be have). Ketiga
komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh.
Dalam penentuan sikap yang utuh ini pengetahuan, berpikir, keyakinan
dan emosi memegang peranan penting. Hal ini sejalan dengan
pendapat Notoatmojo (1997) yang mengatakan bahwa sikap
masyarakat terhadap suatu obyek sangat ditentukan oleh keadaan
emosional masyarakat pada saat itu. Sejalan dengan hasil penelitian
Djasminto (2000) mengatakan bahwa sikap yang cukup dan kurang
pada masyarakat tentang suatu penyakit sangat menentukan tingkat
kejadian penyakit dalam masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian tentang sikap kusta pada 50
responden di wilayah kerja Puskesmas Kulisusu Kabupaten Buton
74
Utara menunjukan bahwa responden yang memiliki sikap cukup
sebayak 21 orang dengan presentase sebesar 42 % sedangkan
responden yang memiliki sikap kurang sebanyak 29 orang dengan
presentase 58 %. Ini dikarenakan sikap masyarakat terhadap penyakit
kusta masih sangat kurang. Faktor pengetahuan dan kepercayaan
masyarakat tentang adat istiadat mempunyai pengaruh dalam
pembentukan sikap responden terhadap penyakit kusta. Sebagian besar
responden masih mempunyai pemahaman bahwa penyakit kusta
merupakan penyakit kutukan.
Untuk itu petugas kesehatan melakukan upaya-upaya
penyuluhan secara terus menerus dalam langkah pencegahan dan
penanggulangan penyakit kusta.
d) Tindakan
Distribusi tindakan responden terhadap kejadian penyakit kusta
seperti dilihat pada tabel 12 di bawah ini:
Tabel 12. Distribusi Tindakan Masyarakat di Wilayah Kerj Puskesmas Kulisusu Kab. Buton Utara Tahun 2009
No Tindakan Jumlah (n) Persentase (%)
1 Cukup 10 202 Kurang 40 80
Total 50 100Sumber : Data Primer 2009
Tabel 12 menunjukan bahwa dari hasil pengolahan SPSS
tentang tindakan masyarakat tentang kusta diperoleh bahwa tindakan
75
responden yang cukup sebanyak 10 orang (20 %) dan responden
dengan tindakan kurang sebanyak 40 orang (80 %).
Tindakan adalah suatu respon seseorang terhadap rangsangan
atau stimulus dalam bentuk nyata yang dapat diobservasi secara
langsung melalui kegiatan wawancara dan kegiatan responden dalam
bentuk tindakan nyata. Terwujudnya sikap agar menjadi suatu
perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang
memungkinkan, misalnya faktor dukungan dari pihak keluarga, teman
dekat atau masyarakat. Sejalan dengan hasil penelitian Djasminto
(2000) mengatakan bahwa tindakan baik dan buruk masyarakat tentang
suatu penyakit sangat menentukan tingkat kejadian penyebarannya di
masyarakat.
Faktor yang memegang peranan penting dalam pembentukan
tindakan dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor intern dan ekstern.
Faktor intern berupa kecerdasan, persepsi, motivasi, minat, emosi dan
sebagainya untuk mengolah pengaruh-pengaruh dari luar. Faktor
ekstern meliputi obyek, orang, kelompok dan hasil-hasil kebudayaan
yang disajikan dalam mewujudkan bentuk perilaku. Kedua faktor
tersebut dapat terpadu menjadi perilaku yang selaras dengan
lingkungannya apabila perilaku terbentuk dapat diterima oleh
lingkungannya dan dapat diterima oleh individu yang bersangkutan
(Rusli, 2002).
76
Berdasarkan hasil penelitian dari 50 responden diperoleh
bahwa responden yang mempunyai tindakan cukup sebanyak 10 orang
dengan presentase 20 % sedangkan responden yang mempunyai
tindakan kurang sebanyak 40 orang dengan presentase 80 %. Berarti
bahwa tindakan responden terhadap penderita penyakit kusta masih
sangat primitif karena masih menganut pola pikir masyarakat lama
bahwa penderita kusta seyogyanya diasingkan dari pemukiman
penduduk.
Faktor eksternal seperti budaya merupakan salah satu faktor
yang membuat responden mempunyai tindakan yang memperlakukan
penderita sangat diskriminatif. Untuk itu pemberian informasi tentang
penyakit kusta merupakan langkah yang baik untuk membangun
kesadaran masyarakat bahwa penyakit kusta dapat diobati dan
penderitanya tidak menularkan penyakitnya jika sudah melakukan
tahap pengobatan sehinggga langkah untuk mengasingkan penderita di
hutan atau jauh dari pemukiman penduduk dapat dicegah. Tentunya
hal ini peran petugas kesehatan dalam melakukan penyuluhan tentang
pencegahan dan penanggulangan serta upaya rehabilitasi penderita
secara terus menerus dan peran serta masyarakat sangat dibutuhkan
untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari penyakit kusta.