bab iv peranan pagoejoeban moelat sarira dalam … · pengaruh dari dalam pun tidak kurang...
TRANSCRIPT
75
BAB IV
PERANAN PAGOEJOEBAN MOELAT SARIRA DALAM
MENUMBUHKAN NASIONALISME MASYARAKAT DI PRAJA
MANGKUNEGARAN TAHUN 1935-1942
Sejak awal abad 20, lahirnya gerakan-gerakan nasionalis di Indonesia tidaklah
semata-mata disebabkan oleh faktor dari luar saja, seperti kemenangan Jepang atas
nama Rusia, revolusi Cina, gerakan Turki Muda, gerakan di India dan Filipina, tetapi
pengaruh dari dalam pun tidak kurang pengaruhnya, seperti percaya akan ramalan
datangnya ratu adil1. Masyarakat Jawa sangat meyakini kebenaran ramalan Joyoboyo
yang menyatakan dengan pasti bahwa suatu ketika akan terjadi pengusiran bangsa
kulit putih oleh bangsa kulit kuning, kemudian tanah Jawa akan merdeka kembali.
Pada akhirnya, lambat laun timbul dan akan kesadaran dan kepercayaan serta
kemampuan akan dirinya sendiri.
Organisasi-organisasi yang dibentuk oleh masyarakat pribumi di Indonesia
sejak awal abad 20, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat lokal, memiliki
aspek multidimensional. Aspek multidimensional ini berarti bidang-bidang kegiatan
dan peranan mereka meliputi beberapa bidang kehidupan, yaitu bidang budaya, sosial,
ekonomi, dan politik.
1 Ratu adil adalah juru selamat atau Mahdi, namun banyak sebutan untuk ratu
adil di tiap-tiap daerah. Sebagai contoh masyarakat Jogjakarta menyebutnya dengan
Heru Tjokro. Kedatangan Heru Tjokro dipercaya akan menjadi penyelamat Jawa
menurut Jayabaya dalam buku ramalannya. Lihat, Nederland Indie Oud, Sumbangsih
Buku Kenangan Budi Utomo 1908-20 Mei-1918, terjemahan Soendoro Widiodipoero
dan Hilmiyah Darmawan P., (Surakarta: Koleksi Reksopustoko Mangkunegaran,
2001), hlm.64.
76
A. Peranan Pagoejoeban Moelat Sarira Dalam Upaya Mengembangkan
Kebudayaan Jawa
Pemerintah kolonial Belanda mengintervensi kerajaan-kerajaan di
Vorstenlanden hingga membuat kedudukan raja-raja semakin melemah pada awal
abad 20. Hal ini jelas mendapat reaksi dari kaum elit tradisional. Reaksi mereka
terutama ditujukan pada isu tentang akan dihapuskannya Vorstenlanden, Zelfbestuur,
serta kebijakan reorganisasi tanah dan pengadilan.2 Realitas itu telah menyadarkan
mereka betapa globalisasi mempunyai dampak yang lebih luas terhadap budaya Jawa.
Gerakan ini dalam perkembangannya sangat didukung oleh kalangan pihak istana di
Surakarta, terutama K. G. P. A. A. Mangkunegara VII.
Sejak menjadi penguasa istana, K. G. P. A. A. Mangkunegara VII sudah
mempunyai hubungan erat dengan organisasi Budi Utomo. Budi Utomo lahir dan
menjadi tonggak awal dalam perjuangan bangsa Indonesia pada tanggal 20 Mei 1908.
Kelahiran Budi Utomo merupakan suatu kelanjutan dari cita-cita Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Kondisi politik pada abad ke 20 akibat adanya undang-undang
kolonial yang melarang adanya perkumpulan-perkumpulan politik menjadikan Budi
Utomo lahir sebagai organisasi yang memperluas di bidang sosial, ekonomi dan
kebudayaan.
Jaringan sosial kultural Budi Utomo hanya memuaskan penduduk Jawa
Tengah dan Jawa Timur saja atau yang berkultur Jawa serta sub-kultur priyayi,
2
Susanto, “Gaya Hidup, Identitas, dan Eksistensi Masyarakat dan
Kebudayaan Surakarta, 1871-1940”, dalam Ringkasan Disertasi, (Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 2015), hlm. 15.
77
sehingga golongan-golongan tanpa sub-kultur (Jawa) tersebut dengan sendirinya
berada di luar jangkauannya.3
Budi Utomo pada pokoknya adalah pendukung
kebudayaan Jawa. Ia mendorong dan mengembangkan orang Jawa (yang
dianggapnya masuk dalam kelompok yang berbahasa Jawa, Sunda dan Madura, yang
keseluruhannya telah melebur ke dalam suatu bentuk kebudayaan Jawa) menuju
kepada suatu perkembangan yang harmonis. Organisasi ini berusaha untuk memberi
kekuatan kepada mereka dalam menghadapi kehidupan modern dengan meremajakan
kebudayaan Jawa.4 Pada saat inilah, Mangkunegaran bersentuhan dengan Gerakan
Nasionalis Jawa. K. G. P. A. A. Mangkunegara VII adalah seorang yang dipandang
baik untuk masa depan Jawa dan peranannya yang penting dalam Budi Utomo, maka
kemudian beliau ditetapkan menjadi ketua. Langkah yang nyata dalam
memperjuangkan Gerakan Nasionalisme Jawa diwujudkan ketika beliau
memprakarsai adanya Konggres Kebudayaan Jawa yang berlangsung selama tujuh
kali dari 1918 sampai 1937.5
Propaganda untuk berjuang mengembangkan kebudayaan Jawa mendapat
simpatik dari pemerintah kolonial Belanda. Hal ini terbukti dengan adanya apresiasi
terhadap kebudayaan Jawa yang dipentaskan di negeri Belanda. Kesenian Jawa
diterima dengan tangan terbuka oleh pihak Belanda.6 Sepak terjang Mangkunegara
VII dalam mengembangkan kebudayaan Jawa juga mendapat dukungan penuh dari
3
Sartono Kartodirjo, Sejarah Pergerakan Nasional, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1992), hlm. 59. 4 Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia. (Jakarta : Pustaka Jaya,
1984), hlm. 84. 5Susanto, loc.cit.
6 Nederland Indie Oud, o. cit., hlm. 56-57.
78
para kawula di dalam internal praja Mangkunegaran. Mangkunegara VII
mengembangkan kebudayaan di dalam praja Mangkunegaran dengan memberi
kebebasan mendirikan sekolah-sekolah di wilayahnya. Beliau menyadari bahwa
perkembangan kebudayaan akan berjalan dengan baik jika didukung dengan adanya
tenaga terdidik.7
Oleh karena itu, ia selalu mengajarkan kesenian pada kawula
Mangkunegaran. Mangkunegara VII selalu berusaha memperkenalkan dan
menyebarluaskan kesenian Jawa kepada seluruh kawula Mangkunegaran, misalnya
seni tari, seni gamelan, seni drama, seni suara dan lain-lain. Upaya tersebut
dilaksanakan dengan cara mengajarkan kesenian Jawa di berbagai organisasi atau
perkumpulan kawula Mangkunegaran, di sekolah-sekolah milik praja
Mangkunegaran yang tersebar luas di kabupaten-kabupaten dan kawedanan-
kawedanan.8
Mangkunegara VII adalah tokoh penting dalam perkembangan seni tari.
Kategorisasi seni pertunjukan yang ditampilkan sebelum abad ke 20 menempatkan
seni dalam 2 pemahaman, yaitu seni untuk kepentingan istana dan seni pertunjukan
untuk masyarakat umum. Bagi Mangkunegara VII, tari merupakan bagian yang
paling penting dalam mempertahankan budaya Jawa.9 Oleh karena itu, sejak kecil
putri-putri Mangkunegara VII diajarkan tari-tarian Jawa di pendopo istana maupun di
7
Anonim, “KGPAA Mangkoenagoro VII Menyusul Memperoleh
Penghargaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan”, Dalam Kedaulatan Rakyat,
12 Oktober 1988, hlm. 8. 8
Panitya Penyusun Kerabat Mangkunegaran, Mangkunegaran Selayang
Pandang, (Surakarta: Reksapustaka Mangkunegaran, 1944), hlm. 6-7. 9 Insiwi Febriary Setiasih, “Pemikiran K. G. P. A. A. Mangkunegara VII
Tentang Pendidikan Wanita dan Kebudayaan (1916-1944)”, dalam Tesis,
(Yogyakarta: UGM, 2009), hlm. 171-172.
79
kantor Kepatihan dan oleh sebab itulah mulai bermunculan tempat-tempat belajar
tarian Jawa di praja Mangkunegaran.
Pagoejoeban Moelat Sarira ikut berperan serta dalam mengembangkan budaya
Jawa. Paguyuban ini mengelola tempat belajar tarian Jawa yang diberi nama
Pakempalan Beksa Mangkunegaran (PBMN). PBMN diketuai oleh M. Ng.
Tjitrahoebaja sejak tahun 1935. 10
PBMN diperuntukkan khusus untuk anggota biasa
Paguyuban Mulat Sarira yang berasal dari golongan putra dalem, sentana, abdi
dalem (pegawai birokrasi Mangkunegaran baik yang masih aktif maupun yang sudah
pensiun). Pelatihan tari dilaksanakan setiap malam Senin bertempat di
Notohatmadjan Mangkunegaran. Tari yang diajarkan adalah tari Jawa yang
mengadopsi cerita dari Pandhawa. Pada tanggal 7 dan 8 Maret tahun 1941, PBMN
menampilkan sebuah pertunjukan tari Tunggarana yang menceritakan tentang perang
antara Prabu Bomanarakaswara dengan Raden Gathutkaca dalam acara pesta
memperingati 25 tahun masa pemerintahan Mangkunegara VII di Sana Harsana
daerah Pasar Pon.11
Perkembangan tempat belajar tari-tarian Jawa meluas di praja
Mangkunegaran. Para Legiun Mangkunegaran juga mendirikan sebuah tempat belajar
tari yang diberi nama Pakempalan Beksa Officiieren Legiun Mangkunegaran yang
biasa disebut Pare Anom tahun 1939.12
10
Kekancingan (Surat Keputusan) Nomor 1 Paguyuban Mulat Sarira tanggal
21 Februari 1935 dan 8 Maret 1935, Koleksi arsip Reksoputoko Mangkunegaran, No.
MN 500. 11
Majalah Soerya edisi bulan Maret 1941, Koleksi arsip Rekopustoko
Mangkunegaran, No. MN. 149. 12
Majalah Soerya edisi bulan Februari 1941, Koleksi arsip Rekopustoko
Mangkunegaran, No. MN. 149.
80
Kegiatan Pagoejoeban Moelat Sarira dalam mengembangkan budaya Jawa
selain mengelola tempat belajar tarian Jawa adalah mengoptimalkan peran pers.
Pagoejoeban Moelat Sarira membuat majalah Soerya yang dengan muatan seputar
budaya Jawa. Pers dirasa sangat ampuh dalam menyebarkan propaganda budaya Jawa
karena mudah untuk didistribusikan kepada para pembaca. Majalah Soerya terbit
setiap bulan yang diperuntukan gratis bagi para anggota Pagoejoeban Moelat Sarira
serta dijual kepada masyarakat umum.
Majalah Soerya lebih banyak mengangkat seputar kegiatan praja
Mangkunegaran, khususnya kegiatan budaya. Majalah ini mendukung penuh kegiatan
Mangkunegara VII yang selalu menitikberatkan kebudayaan Jawa di atas segalanya.
Mangkunegara VII juga mendidik putri-putrinya untuk mencintai budaya Jawa.
Majalah Soerya tidak pernah luput dalam memberitakan segala kegiatan putri
Mangkunegara VII di bidang kebudayaan, seperti gambar berikut ini.
Gambar 2.
Gusti Raden Ajeng Siti Koesoemowardhani menari tari Serimpi di depan Ratu
Wilhelmina di Paleis Noordeinde Belanda tahun 1937
Sumber: Majalah Soerya Edisi Bulan Juni 1940
81
Majalah Soerya juga mengikuti dan meliput proses perkembangan
kebudayaan Jawa. Perkembangan modern tersebut akibat masuknya budaya asing
yang turut mengubah konstelasi budaya dan gaya hidup masyarakat Surakarta. Istana
yang merupakan simbol dari kesakralan istana, lambat laun mengenal seni budaya
Barat antara lain dengan maraknya pesta-pesta yang sering diadakan terutama pada
masa pemerintahan Mangkunagara VII. Kesenian semacam ketoprak yang lahir
sebagai seni pinggiran, antitesis dari kesenian istana mulai diorganisir untuk
dipertunjukkan. Hal ini didahului dengan munculnya pertunjukan yang dinamakan
Toneel dan pembangunan sejumlah gedung Societeit sebagai lokasi pertunjukan.13
Gambar 3.
Pertunjukan ketoprak oleh Mas Ayu Manis di Sana Harsana Pasar Pon
Sumber: Majalah Soerya edisi bulan Desember 1940
Pagoejoeban Moelat Sarira juga ikut serta dalam mengembangkan bahasa
Jawa melalui media pers. Hal tersebut sebagai bentuk dukungan kepada
13
Insiwi Febriary Setiasih, op. cit., hlm. 172
82
Mangkunegara VII yang juga menumbuhkan rasa cinta budaya melalui bahasa Jawa.
Usaha yang dilakukan Mangkunegara VII dalam mengembangkan bahasa Jawa
adalah terlibat aktif dalam Konggres Bahasa Jawa pada tanggal 18 hingga 20 Juli
1936 di Museum Sono Budoyo Yogyakarta. Konggres tersebut dihadiri para pejabat
maupun peminat bahasa Jawa baik dari kalangan pribumi maupun bangsa Belanda.
Pembahasan dalam konggres tersebut berkaitan dengan pengajaran bahasa dan tulisan
Jawa dalam sekolah-sekolah pribumi. Pada tanggal 29 Oktober 1936, Konferensi ke-2
Komisi Huruf Jawa diselenggarakan di Surakarta dengan dukungan dari Paku
Buwono X dan Mangkunegara VII sebagai lanjutan Konggres Bahasa Jawa.
Keterlibatan Mangkunegara VII dalam beberapa konggres bahasa Jawa juga
merupakan pengaruh dari Ki Hajar Dewantara dan R. M. Notosoeroto.14
R. M. Noto Soeroto adalah seorang yang berwawasan luas, namun juga
seorang yang mempunyai perhatian besar dalam budaya Jawa. Ia menuangkan
pemikirannya melalui majalah Soerya. R. M. Noto Soeroto merupakan orang
berpengaruh dalam Pagoejoeban Moelat Sarira karena ia menjabat 2 jabatan penting
dalam paguyuban ini, yaitu sebagai ketua redaksi majalah Soerya dan ketua pengelola
perpustakaan Sonopoestoko. Dalam bidang pers, majalah Soerya yang dipimpin oleh
R. M. Noto Soeroto sangat mengagungkan bahasa Jawa di atas segalanya. Tulisan-
tulisan dalam majalah ini menggunakan bahasa Jawa baik yang ditulis dengan aksara
Jawa maupun latin. Usaha majalah Soerya untuk menggerakkan dan menarik minat
masyarakat umum supaya lebih mencintai bahasa Jawa adalah dengan mengadakan
14
Ibid., hlm. 170-171.
83
sayembara berhadiah. Majalah Soerya mengajak masyarakat untuk lebih teliti
membaca dan mencari kesalahan dalam penulisan bahasa Jawa pada tulisan majalah
ini. Majalah Soerya akan memberikan hadiah berupa uang bagi masyarakat yang
mengirimkan jawaban benar serta dipilih oleh redaksi majalah Soerya.
Melalui kegiatan-kegiatan yang telah dijelaskan di atas, Pagoejoeban Moelat
Sarira ikut berperan serta dalam memperkenalkan, menyebarluaskan, dan
melestarikan kesenian Jawa di kalangan kawula Mangkunegaran dan juga di luar
praja Mangkunegaran. Pagoejoeban Moelat Sarira berkeyakinan bahwa dengan jalan
menjunjung dan memelihara kebudayaan tentu rasa nasionalisme terhadap tanah air
dan bangsa akan tergugah. Pagoejoeban Moelat Sarira adalah organisasi Jawa yang
berbicara tentang tanah air, yaitu tanah tumpah darah Jawa. Nasionalisme Jawa
berarti kebudayaan yang termanifestasi dalam berbagai ungkapan seperti propaganda
untuk seni Jawa, aksi untuk mempertaruhkan dan mengembangkan bahasa Jawa, serta
perjuangan melawan sistem pengajaran yang bersifat ke-Belanda-an.15
B. Perjuangan Pagoejoeban Moelat Sarira Dalam Bidang Pendidikan
Pada tahun 1930-an, depresi ekonomi melanda seluruh dunia berimbas juga
hingga praja Mangkunegaran. Depresi ekonomi tersebut menyebabkan merosotnya
kondisi perekonomian praja Mangkunegaran hingga tahun 1934. Mangkunegara VII
dan pemerintah praja Mangkunegaran terpaksa menghemat pengeluaran.
Penghematan tersebut menyebabkan penghentian sekolah-sekolah di desa-desa di
15
Nederland Indie Oud, op. cit., hlm.
84
wilayah praja Mangkunegaran karena tidak adanya dana untuk itu semua. Hal
tersebut menyebabkan perkembangan pendidikan di wilayah pedesaan
Mangkunegaran menjadi terbengkalai. Oleh karena itu untuk mencerdaskan
masyarakat, Mangkunegara VII melalui Pakempalan Kawula Mangkunegaran
(PKMN) membentuk organisasi kepanduan yang bernama Krida Muda pada tanggal
11 November 1934.
Pada tahun 1936, PKMN bubar sehingga perlu organisasi untuk membantu
kegiatan Krida Muda. Hubungan Krida Muda dengan Pagoejoeban Moelat Sarira
sangatlah dekat. Terbukti bahwa ketua umum Pagoejoeban Moelat Sarira, yaitu K. R.
M. T. Sarwoko Mangoenkoesoemo juga menjabat sebagai Panitya Agung dalam
kepengurusan Krida Muda. Lebih jauh lagi, bersama-sama JPO, Krida Muda, dan
Pagoejoeban Moelat Sarira melakukan propaganda yang selaras untuk menarik
simpati sekaligus mencegah agar masyarakat praja Mangkunegaran tidak masuk ke
dalam Pakempalan Kawula Surakarta (PKS), organisasi yang dibentuk Kasunanan
Surakarta.
Perjuangan JPO, Krida Muda, dan Pagoejoeban Moelat Sarira yang
merupakan organisasi-organisasi milik Mangkunegaran ini bekerja sama di bidang
pendidikan. JPO dan Krida Muda merupakan organisasi golongan kaum muda
Mangkunegaran bergerak dalam hal kepanduan, pada prinsipnya kepanduan
merupakan suatu metode pendidikan non-formal yang bertujuan mendidik jasmani
dan rohani generasi muda dalam lingkungannya sendiri, di samping pendidikan yang
telah diberikan keluarga dan sekolah. Hal tersebut sama dengan arti pendidikan
85
sendiri, yaitu suatu kegiatan yang bertujuan membimbing, mengarahkan dan
membentuk jasmani serta rohani seseorang maupun sekelompok orang ke arah yang
dikehendaki oleh pendidik atau pengajar dengan cara memberikan ilmu pengetahuan,
ketrampilan, pemahaman atau pengertian nilai-nilai dan kecakapan tertentu yang
dipandang perlu dan bermanfaat.16
Kegiatan kepanduan yang dilakukan JPO dan Krida Muda tersebut tidak
terkecuali diperuntukkan juga bagi kaum putri. Kepanduan putri JPO lebih banyak
melakukan kegiatan keputrian, misalnya menjahit, membatik, memasak, menyulam,
cara mengasuh dan mendidik anak dengan baik dan lain-lain. Kepanduan putri JPO
memang mendidik anggotanya untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik, berguna
bagi keluarga dan masyarakat.17
Krida Muda juga mengadakan kegiatan kepanduan putri yang tidak jauh
berbeda dengan kegiatan kepanduan putri JPO. Kepanduan putri Krida Muda juga
mendidik anggotanya untuk menjadi ibu rumah tangga. Di samping itu, kepanduan
puteri Krida Muda lebih banyak diberi kegiatan kesenian.
Pagoejoeban Moelat Sarira berbeda dengan JPO dan Krida Muda yang
bergerak dalam hal kepanduan, namun segala bentuk kegiatan JPO dan Krida Muda
selalu mendapat dukungan dari Pagoejoeban Moelat Sarira. Kegiatan-kegiatan
kepanduan JPO dan Krida Muda diliput dalam majalah Soerya supaya seluruh
masyarakat mengetahuinya. Media pers ini juga sangat bermanfaat sebagai media
16
Abdurrahman Surjohardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa Dalam
Sejarah Indonesia Modern, (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hlm. 33. 17
Agastija, “Padvinders Wereldjamboree-1937”, Dalam Kepandoean, No. 7,
Juli 1936, hlm. 3.
86
promosi agar masyarakat merasa tergerak dan bergabung dengan JPO atau Krida
Muda.
Latar belakang anggota Pagoejoeban Moelat Sarira yang dari golongan sudah
tidak muda lagi dan juga merupakan berasal dari golongan pembesar membuat
paguyuban ini bergerak secara intelektual. Perjuangan di bidang pendidikan oleh
Pagoejoeban Moelat Sarira ada hubungannya dengan depresi ekonomi dunia sudah
semakin membaik menjelang awal tahun 1935. Munculnya sekolah-sekolah di
pedesaan melahirkan golongan-golongan terpelajar dari pedesaan. Kondisi inilah
yang dimanfaatkan oleh Pagoejoeban Moelat Sarira dalam memenuhi kebutuhan para
kaum terpelajar tersebut. Tugas Pagoejoeban Moelat Sarira dalam mengelola
Sonopoestoko sebagai perpusakaan umum memiliki peranan penting tersendiri bagi
kaum terpelajar.
Perpustakaan Sonopoestoko menawarkan fasilitas komplit dan koleksi buku-
buku serta surat kabar yang cukup lengkap. Fasilitas yang memadai membuat
masyarakat gemar untuk belajar atau sekedar membaca di Sonopoestoko. Secara tidak
langsung, perpustakaan ini menghidupkan suasana intelektual di Surakarta setidaknya
sampai akhir riwayat Pagoejoeban Moelat Sarira sebelum dibubarkan oleh
pemerintah pendudukan militer Jepang. Rata-rata jumlah pegunjung setiap tahunnya
bertambah dari berbagai suku, golongan dan bangsa. Tercatat pada tahun 1941, rata-
rata pengunjung setiap harinya berkisar 67 orang seperti yang dijelaskan dalam tabel
berikut ini:
87
Tabel 3.
Laporan jumlah pengunjung taman baca Sonopoestoko tahun 194118
No. Bulan
Jumlah Pengunjung Total
Jumlah
Pengunjung
Bangsa
Indonesia
Bangsa
Tionghoa
Bangsa
Belanda
1. Januari 1.658 45 - 1.730
2. Februari 1.713 20 - 1.755
3. Maret 2.010 37 37 2.084
4. April 1.941 44 26 2.011
5. Mei 3.070 60 22 3.158
6. Juni 1.887 71 8 2.966
7. Juli 2.067 50 27 2.144
8. Agustus 1.673 67 35 2.075
9. September 1.442 28 16 1.486
10. Oktober 1.650 - - 1.650
11. Nopember 1.541 55 31 1.627
12. Desember 1.798 46 19 1.863
24.522
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa angka jumlah pengunjung
perpustakaan Sonopoestoko dari bangsa Indonesia sangat signifikan dibandingkan
bangsa Tionghoa dan Belanda. Bangsa Indonesia mulai melek huruf, memiliki rasa
ingin maju dari ketertinggalan bangsa lain dan sadar akan pentingnya pendidikan.
Pagoejoeban Moelat Sarira yang bekerja sama dengan organisasi-organisasi pemuda
Mangkunegaran berusaha untuk memperjuangkan pendidikan masyarakat Surakarta,
khususnya masyarakat praja Mangkunegaran. Dengan demikian, banyak bermunculan
golongan terpelajar dari bangsa pribumi karena peranan Pagoejoeban Moelat Sarira,
baik melalui dibidang pers maupun pendidikan. Paguyuban ini secara tidak langsung
berperan dalam menumbuhkan rasa nasionalisme masyarakat praja Mangkunegaran
dan masyarakat umum.
18
Jaarverslag (Laporan Tahunan) Sonopoestoko tahun 1941, Koleksi arsip
Reksopustoko Mangkunegaran, No. MN 1389.
88
C. Pembubaran Pagoejeoban Moelat Sarira Pada Masa Pendudukan Militer
Jepang
Sebelum Perang Dunia II, di Indonesia telah ada komunitas Jepang yang
bertempat tinggal di kota-kota besar, seperti Batavia (sekarang Jakarta), Surabaya,
Semarang, dan Solo. Mereka ini umumnya mempunyai pekerjaan sebagai pemilik
toko, peagang, dan pengusaha. Di kota-kota tesebut para wanita Jepang banyak
menjadi pelacur.19
Orang Jepang ini memasuki wilayah Indonesia dalam jumlah besar
mulai tahun 1920-an sampai tahun 1930-an.
Pada tahun 1930-an, komunitas Jepang di Indonesia mempunyai perkumpulan
(asosiasi). Perkumpulan ini tidak didasarkan jenis kegiatan ekonomi yang mereka
tangani. Perkumpulan tersebut atas dasar perantauan orang Jepang di Indonesia. Pada
waktu itu, jumlah asosiasi orang Jepang di seluruh Indonesia (Hindia Belanda)
terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan luar Jawa, yang terbesar di 51
tempat dengan jumlah anggota sebanyak 3904 orang. 20
Pada masa pendudukan militer Jepang di Indonesia, sesuai dengan
kebijaksanaan angkatan laut dan angkatan daratnya, komunitas Jepang ini perlu
diberdayakan. Pemberdayaan komunitas Jepang ini untuk kepentingan sebagai
penerjemah bagi militer dan penggerak bidang usaha perekonomian. Selama tahun
1912-1935 usaha perekonomian orang Jepang di Hindia Belanda selalu meningkat
19
Saya Siraishi dan Takashi Siraishi (Penyunting), Orang Jepang Di Koloni
Asia Tenggara, diterjemahkan P. Soemitro, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998),
hlm. 138-177. 20
Ken Ichi Goto, Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Edisi
Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hlm. 243-252.
89
dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut dapat dilihat pertambahan tenaga dalam
tiap sektor ekonomi. Misalnya sektor perdagangan dalam kurun waktu 1912-1935,
pertumbuhan tenaga buruh atau kerja rata-rata tiap tahun 2,34%.21
Pecahnya Perang Pasifik tahun 1940 yang menjadi bagian Perang Dunia II,
memutuskan Jepang untuk melancarkan perang pada akhir 1941. Dalam bulan Juli
1940, Kabinet Jepang di bawah Perdana Menteri Konoye, yang dikenal Kabinet
Konoye telah diganti Kabinet Perang dibawah pimpinan Jenderal Tojo Hediki.22
Penyerbuan militer Jepang ke Indonesia dan penaklukannya hanya memakan waktu
dua bulan. Pulau Jawa jatuh ke tangan pasukan militer Jepang pada tanggal 8 Maret
1942.23
Jatuhnya Pulau Jawa ke tangan pasukan militer Jepang berarti pertahanan
Belanda di Indonesia telah runtuh. Pendaratan pasukan militer Jepang di Jawa
dimulai pada 1 Maret 1942, pada malam hari di teluk Banten, yang langsung
dipimpin oleh Saiko Sikikan (Panglima Tertinggi) bernama Letnan Jenderal Imamura
Histoshi.24
Tanggal 8 Maret 1942 adalah suatu peristiwa penting bagi sejarah
pendudukan militer Jepang di Indonesia. Pembagian wilayah bekas pemerintahan
Hindia Belanda secara resmi dimulai tanggal 8 Maret 1942, saat pemerintah Hindia
Belanda menyerah tak bersyarat kepada pemerintah Dai Nippon. Wilayah propinsi-
21
Saya Siraishi dan Takashi Siraishi, op. cit., hlm. 150-151. 22
Nugroho Notosusanto, Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang di
Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1979), hlm. 13-17. 23
Anthony J. S. Reid, Indonesian National Revolution 1945-1950, Victoria,
Longman Australia, Ltd. 1974, hlm. 10. 24
Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda, (Jakarta: PT. Gramedia, 1987)
hlm. 252.
90
propinsi dalam masa pemerintahan Hindia Belanda dihapuskan. Dalam pembagian
wilayah di Jawa tengah terdapat daerah kerajaan Kasultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta. Kedua kerajaan tersebut dinyatakan sebagai daerah istimewa
yang dinamakan kochi. Kochi merupakan kota dalam bahasa Jepang, yang dalam
bahasa Indonesia pada waktu itu disebut kooti.
Pemerintahan Surakarta Kochi membawahi kekuasaan kerajaan Surakarta.
Daerah Yogyakarta juga dibentuk Yogyakarta Kochi 25
yang juga membawahi
kerajaan di Yogyakarta. Pimpinan Surakarta Kochi disebut Kochi jumu Kyoku
Chokan (Pembesar Urusan Daerah Kerajaan). Di wilayah Surakarta Kochi,
pemerintah pendudukan militer Jepang tetap mengakui kekuasaan susuhunan yang
dinamakan Susuhunan Ko dan kekuasaan Mangkunegaran dinamakan
Mangkunegoron Ko. Hal tersebut bertujuan untuk memutuskan ikatan dengan pihak
Belanda dan bersumpah setia kepada Jepang.26
Susuhunan Ko pada masa
pendudukan militer Jepang adalah Pakubuwono XI, sedangkan di Mangukegaran
adalah Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Mangkunegoro VII. Susuhunan Ko dan
Mangkunegoron Ko diangkat dan dihentikan oleh Pembesar balatentara Dai Nippon
Di Jakarta.
Pada Tanggal 9 Maret 1942, Letnan Jenderal Ter Poezten dan Gubernur
Jenderal Tjarda van Storkonberg dan Stachouver menyerah tanpa syarat pada
25
P. J. Suwartono, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintah
Yogyakarta 1942-1974, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1994), hlm. 98-99. 26
Sutrisno Adiwardoyo, “Pertumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai
Masuknya ke Dalam Provinsi Jawa Tengah: Penyelidikan Sejarah Lokal Kadipaten
Mangkunegaran Sekitar Tahun 1945-1950”, dalam Skripsi, (Surakarta: Institut
Keguruan Ilmu Pendidikan, 1974), hlm. 54-55.
91
Jenderal Imamura, yaitu Kolonel Nakayama ke Kasunanan dan Mangkunegaran.
Kolonel Nakayama datang ke istana Mangkunegaran antara lain menyebutkan:
1. Bahwa kedudukan yang diterima Sri Paduka dari pemerintah Belanda pada
prinsipnya tidak dikurangi.
2. Mulai saat itu kerajaan Solo dan Yogyakarta tidak termasuk daerah Jawa Tengah,
tetapi langsung berada di bawah pemerintah militer yang kantor besarnya di
Jakarta.
3. Pemerintah militer akan mengirimkan beberapa opsir sebagai penghubung dan
membentuk serta memberi nasehat dalam pekerjaan Sri Paduka.
Pada bulan April 1942, pemerintah pendudukan militer Jepang membubarkan
semua perkumpulan pribumi. Hal tersebut juga berimbas terhadap dibubarkannya
Pagoejoeban Moelat Sarira sebagai perkumpulan kawula. Seluruh wewenang yang
dimiliki oleh Pagoejoeban Moelat Sarira dalam mengelola perpustakaan Sonopustoko
diambil alih oleh pemerintah pendudukan militer Jepang, namun masih tetap diketuai
oleh R. M. Noto Soeroto. Koleksi buku-buku dan surat kabar milik perpustakaan
Sonopoestoko disita serta diperiksa oleh Kempeitai. Anggota Pagoejoeban Moelat
Sarira sudah tidak dapat lagi meminjam buku di Sonopoestoko. 27
Aktifitas
penerbitan majalah Soerya dan surat kabar lainnya juga otomatis dihentikan. Pers
didominasi surat kabar Jepang karena digunakan sebagai alat propaganda untuk
menarik dan memobilisasi massa.
27
Jaarverslag (Laporan Tahunan) Sonopoestoko tahun 1942, Koleksi arsip
Reksopustoko Mangkunegaran, No. MN 1390, hlm. 1.
92
Pembubaran perkumpulan pribumi ini diikuti pula dibubarkannya
perkumpulan pemuda Mangkunegaran, seperti Krida Muda dan JPO. Mangkunegara
VII sangat memperhatikan kondisi ini dan masih membutuhkan kegiatan olah raga,
maka pada tanggal 29 September 1942 Mangkunegara meminta izin kepada
pemerintah Dai Nippon untuk mendirikan barisan pemuda. Tanggal 3 Oktober 1942
lahirlah Gerakan Taruna, yaitu perkumpulan pemuda Mangkunegaran yang
dimaksudkan untuk mempertinggi latihan jasmani. Pada April 1943 Pembentukan
Gerakan Taruna di seluruh wilayah Mangkunegaran telah selesai dan segera dimulai
dengan latihan pemimpin-pemimpin tiap-tiap kelurahan, yaitu sekitar 100 orang tiap
3 minggu.28
Kemudian pada tahun selanjutnya, pemerintah pendudukan militer
Jepang memerintahkan kepada Mangkunegara VII dan pemerintah swapraja
Mangkunegaran untuk mendirikan beberapa perkumpulan pemuda lainnya, misalnya
Tai Iku Kai, Barisan Gyo Tai, Seinendan dan lain-lain.
Pada umumnya semua perkumpulan pemuda Mangkunegaran tersebut lebih
merupakan gerakan olah raga dan semi militer serta terdapat di seluruh wilayah
Mangkunegaran. Sedangkan penanganannya diserahkan kepada pemerintah
Mangkunegaran dan untuk itu pemerintah Mangkunegaran mendirikan kantor
Gerakan Pemuda. Seperti halnya perkumpulan-perkumpulan pemuda pada zaman
penjajahan Jepang lainnya, perkumpulan-perkumpulan pemuda Mangkunegaran
tersebut tetap di bawah kontrol dan aturan dari pemerintah pendudukan militer Jepang.
28
Amin Singgih, Usaha dan Jasa Mangkunegara VII Terhadap Pendidikan
dan Pengajaran, (Surakarta: Reksapustaka Mangkunegaran, 1944), hlm. 3.
93
Pemerintah pendudukan militer Jepang berusaha memobilisasi rakyat pribumi
untuk mencapai tujuannya. Hal tersebut jelas dengan pembentukan seinendan
(barisan pemuda). Gagasan tentang latihan dan pengendalian pemuda telah dipikirkan
oleh penguasa militer, yang sungguh-sungguh menyadari kekuatan potensial dari
pemuda, yang dapat dimobilisasikan demi upaya perang Jepang. Fungsi pokok
seinendan adalah untuk melatih dan memobilisasikan anggota-anggotanya untuk
berbagai kegiatan dengan bermacam-macam kegiatan dengan tujuan pokok melayani
pembentukan Asia Timur Raya.29
Demikianlah pada masa pendudukan militer Jepang,
organisasi-organisasi Indonesia sudah berubah dan beralih fungsi serta tujuan.
Organisasi-organisasi Indonesia yang awalnya bertujuan untuk menumbuhkan
semangat nasionalisme berubah menjadi alat Jepang untuk memobilisasi massa
supaya ikut dalam perang Jepang.
29
Aiko Kurasawa, Mobilisasi Dan Kontrol Sosial : Studi Tentang Perubahan
Sosial Di Pedesaan Jawa 1942-1945, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
1993), hlm. 341-343.
94
BAB V
KESIMPULAN
Masa Pemerintahan Mangkunegara VII merupakan masa banyak bermunculan
organisasi-organisasi yang beranggotakan kawula Mangkunegaran dan masyarakat
umum. Organisasi-organisasi tersebut mempunyai semangat dalam ajaran Tri Dharma
Mangkunegaran, yaitu mulat sarira hangrasa wani, rumangsa melu handarbeni, dan
wajib melu anggondheli. Tri Dharma mempunyai arti penting dalam hubungan antara
kawula dan raja. Semangat Tri Dharma inilah yang juga menjadi pilar tegak
berdirinya praja Mangkunegaran. Siapapun yang ingin mengguncang praja
Mangkunegaran dan mengusik kedudukan raja, maka kawula akan sigap bertindak
untuk membela dan mempertahankannya.
Pada awal abad 20, pemerintah kolonial Belanda ikut campur tangan di
Vorstenlanden membuat kedudukan raja-raja semakin melemah, termasuk
pemerintahan Mangkunegara VII. Masalah lain muncul akibat kanonisasi budaya
yang terjadi di Surakarta dan mendapat reaksi dari kaum elit tradisional. Reaksi
mereka terutama ditujukan pada isu tentang akan dihapuskannya Vorstenlanden,
Zelfbestuur, dan kebijakan reorganisasi tanah dan pengadilan. Realitas itu telah
menyadarkan kalangan ini betapa globalisasi mempunyai dampak yang lebih luas
terhadap budaya Jawa. Gerakan ini dalam perkembangannya sangat didukung oleh
kalangan pihak istana di Surakarta terutama Mangkunegara VII.
95
Pagoejoeban Moelat Sarira lahir sebagai organisasi perkumpulan para kawula
sebagai reaksi kondisi campur pemerintahan Belanda di praja Mangkunegaran.
Paguyuban ini juga sebagai tandingan organisasi non-Mangkunegaran, yaitu PKS
sebuah organisasi di bawah naungan Kasunanan Surakarta yang sudah menarik massa
sangat besar. Hal tersebut juga menjadi ancaman bagi kedudukan raja Mangkunegara
VII, sehingga Pagoejoeban Moelat Sarira bekerja sama dengan organisasi-organisasi
pemuda Mangkunegaran seperti Krida Muda dan JPO untuk menarik simpati
masyarakat. Pagoejoeban Moelat Sarira membawa pengaruh besar terhadap
kehidupan masyarakat di wilayah Surakarta pada umumnya dan Mangkunegaran pada
khususnya. Pagoejoeban Moelat Sarira mempunyai program-program kegiatan,
seperti mengelola perpustakaan Sonopustoko, penerbitan majalah Soerya, dan
melakukan kegiatan sosial dengan mengurusi kematian anggotaya.
Pagoejoeban Moelat Sarira menggunakan pers sebagai wadah pergerakannya
di bidang kebudayaan. Majalah Soerya terbit sebagai pembawa pesan dan pusat
mengembangkan budaya Jawa. Pagoejoeban Moelat Sarira juga mengembangkan
kebudayaan tari Jawa dengan mengelola PBMN yang diperuntukkan bagi anggotanya.
Peran Pagojoeban Moelat Sarira lainnya adalah pengelolaan perpustakaan
Sonopustoko. Perpustakaan ini menjadi sarana untuk mencerdaskan kesejahteraan
rakyat. Pagoejoeban Moelat Sarira melalui kegiatan-kegiatannya berpengaruh dalam
menumbuhkan nasionalisme masyarakat. Pada akhirnya tahun 1942, Pagoejoeban
Moelat Sarira dibubarkan dengan adanya kebijakan pemerintah pendudukan militer
Jepang yang melarang adanya organisasi-organisasi selain pembentukan Jepang.