bab iv terhadap wacana mitos - sinta.unud.ac.id. bab iv, v.pdfkabupaten tersebut di atas yakni,...
TRANSCRIPT
73
BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN DAN PERSEPSI MASYARAKATTERHADAP WACANA MITOS RATU KIDUL DI PESISIR BALI SELATAN
4.1 Gambaran Lokasi dan Objek Penelitian
Secara umum pulau Bali terdiri atas wilayah Bali Utara; wilayah Bali Barat;
wilayah Bali Timur; wilayah Bali Tengah; dan wilayah Bali Selatan. Sebagaimana
telah diuraikan dalam bab III tentang lokasi penelitian dengan mengambil tempat di
pesisir Bali Selatan, secara geografis ada 7 (tujuh) Kabupaten dan Kota di Bali yang
wilayahnya memiliki pesisir Selatan kecuali Kabupaten Buleleng dan Kabupaten
Bangli. Ke tujuh kabupaten dan kota itu, yakni: Denpasar, Badung, Gianyar,
Klungkung, Karangasem, Tabanan, dan Jembrana.
Pemilihan lokasi ini tentu berdasarkan data-data yang ditemukan, baik dalam
bentuk informasi (verbal) berupa wacana mitos RK maupun data non verbal dari
objek yang diteliti berupa tradisi ritual, tempat pemujaan, lukisan, benda-benda
magis, dan atribut ritual lain. Pesisir Bali Selatan meliputi wilayah pantai tepatnya
dari pantai Gilimanuk, Pengambengan, hingga pantai Pengragoan terus ke arah Timur
pesisir Selatan Kabupaten Tabanan, sampai pesisir Selatan Kabupaten Karangasem,
tepatnya di pantai Padangbai. Dalam penelitian ini, tidak termasuk bagian dari 7
kabupaten tersebut di atas yakni, pulau di seberang laut seperti; Nusa Penida, Nusa
lembongan, Nusa Ceningan, dan pulau Menjangan.
73
74
Satu lokasi yang juga tidak termasuk wilayah pantai atau pesisir Selatan,
yakni wilayah perbatasan antara Kabupaten Jembrana dengan Kabupaten Buleleng
adalah Desa Sumber Kelampok, Kecamatan Grokgak karena lokasinya di hutan Pura
Segara Rupek yang secara kebetulan informasinya diperoleh dari salah seorang
informan (Mangku Nengah Sarba). Namun demikian, lokasi ini juga dijadikan
contoh data untuk diteliti karena masih terkait dengan objek penelitian tentang
wacana mitos RK, berkaitan dengan keberadaan artifact dalam bentuk ‘lingga’.
Penetapan lokasi dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup penelitian agar
tidak meluas tanpa arah dan tujuan, karena tidak menutup kemungkinan selain di
pesisir Selatan, wacana mitos dan tradisi RK dapat juga berkembang, dilakukan di
tempat lain seperti di darat atau di pesisir Bali Utara, maupun Bali Timur. Jika ada
wacana dan tradisi semacam, tentu memerlukan penelitian lebih lanjut terutama bagi
para peneliti yang berminat. Selain itu, pemilihan lokasi lebih mengarah pada wilayah
pantai yang sering digunakan untuk melaksanakan berbagai tradisi ritual laut.
Lebih kurang 12-an (dua belasan) wilayah pantai yang memiliki kriteria
tersebut dan berada di pesisir Bali Selatan menjadi contoh lokasi penelitian. Akan
tetapi, informasinya tetap dilakukan pemilihan dan pemilahan, sampai pada akhirnya
satu wilayah pantai mewakili satu kabupaten/kota. Setiap wilayah pantai yang diacu
selalu berkaitan dengan keberadaan sebuah Pura (tempat suci). Kecuali Pura Segara
Rupek (Sumber Kelampok) yang informasinya merupakan ‘Payogan’ Dang Hyang
Sidhi Mantra karena keberadaannya di tengah hutan. Terlepas dari keterkaitan tokoh
spiritual yang legendaris itu, bahwa di tengah hutan areal Pura Segara Rupek
75
terdapat sebuah artifact dalam bentuk ‘lingga’ yang dikatakan sebagai tempat
pemujaan Kanjeng Ibu Ratu Kidul (KRK) sesuai penuturan salah seorang informan
Gst. Mangku Laksana, (wawanvara, 6 Juni 2014).
Konsep pendirian Pura Segara juga dapat menjadi dasar wacana mitos RK
yang diharapkan menjadi daya tahan religius terhadap pengaruh-pengaruh yang
merusak dari luar. Jika dideskripsikan, konsep pendirian Pura yang keberadaannya di
pesisir pantai dapat menginspirasi adanya kearifan lokal Tri Hita Karana (tiga hal
sebagai penyebab yang membuat hidup seimbang). Oleh karena itu, pada setiap
wilayah pantai yang dianggap sakral sesuai aturan desa Pakraman selalu dibangun
Pura Segara, atau sebaliknya Pura Segara dibangun pada wilayah pantai yang sakral.
Wilayah pantai yang terpilih menjadi lokasi penelitian, yakni: (a) pantai
Gilimanuk sampai Pengambengan wacana RK berkaitan dengan keberadaan Pura
Tirta Segara Rupek; (b) pantai Payan, Soka, Yeh Gangga, pantai Tanah Lot, wacana
RK berkaitan dengan keberadaan Pura Srijong, Pura Batu Bolong (Beda) dan Pura
Tanah Lot; (c) pantai Berawa, Batu Bolong, hingga Peti Tenget wacana RK berkaitan
dengan keberadaan Pura Dalem Prancak dan Pura Peti Tenget-Canggu; (d) pantai
Serangan wacana RK berkaitan dengan keberadaan Pura Dalem Cemara, Dalem
Sakenan, Susunan Wadon dan Pura Tunggak Tiying; (e) pantai Mertasari wacana RK
berkaitan dengan keberadaan Pura Segara Tirta Empul-Mertasari dan Pura Dalem
Pengembak; (f) pantai Padanggalak wacana RK berkaitan dengan keberadaan Pura
Campuan Windhu Segara; (g) pantai Purnama, Saba dan Masceti wacana RK
berkaitan dengan keberadaan Pura Sukeluih Suun Kidul; (h) pantai Klotok wacana
76
RK berkaitan dengan keberadaan pelinggih Kanjeng Ratu Kidul di Pura Watu Klotok;
(i) pantai Padangbai wacana RK berkaitan dengan keberadaan Pura Segara dan juga
Pura Sakenan; (j) pantai Sanur wacana RK berkaitan dengan keberadaan Pura Segara
dan kamar suci RK di hotel Bali Beach.
Penentuan informan dilakukan dengan menggunakan sistem purposive
sampling, sedangkan untuk kepentingan analisis pertimbangannya satu lokasi wilayah
pantai berikut Pura yang terkait dapat mewakili informasi satu kabupaten/kota
sebagaimana disebutkan di atas. Pemilihan sistem purposive sampling dapat
membantu mengklasifikasi informasi melalui bentuk-bentuk persepsi masyarakat
terhadap wacana mitos RK, sehingga memudahkan dan mempercepat analisis. Pada
saat melakukan observasi awal, peneliti telah menentukan informan kunci untuk
mendapatkan informan berikutnya dengan sistem snow ball sampling.
Setelah melakukan pemilahan dan pemilihan informasi (data) maka dilakukan
pengelompokan menjadi 2 (dua) versi berdasarkan ciri tertentu, yakni: versi pertama,
wacana yang berkaitan dengan mitologi dewa-dewi penguasa sumber mata air yang
berkaitan dengan keberadaan beberapa Pura Dang Kahyangan dan wilayah pantai
Selatan tempat dilaksanakannya tradisi ritual yang berhubungan dengan laut seperti
ritual Nyegara-Gunung, Mapakelem, Labuhan (larung), Petik Laut, Melasti, Malukat.
Wacana mitos RK juga ditemukan berupa simbol-simbol, seperti: palinggih,
patung/arca, lukisan, kamar suci, gedong, doa, kereta kencana dan atribut ritual lain.
Ciri khas dari versi pertama, adalah tradisi ritualnya yang merupakan
implementasi ajaran etika Hindu, Tri Hita Karana dan Tri Kaya Parisudha
77
(selanjutnya disingkat THK dan TKP), bertujuan untuk memperoleh keseimbangan
kehidupan lahir dan bathin. Tradisi ritual yang dilaksanakan di laut sudah menjadi
kearifan lokal yang mentradisi dan turun-temurun karena fungsi dan maknanya yang
besar terutama untuk keseimbangan kondisi alam (buwana agung dan buwana alit),
seperti tradisi surya-sewana oleh pendeta Hindu. Sejak mitos RK diwacanakan
muncul tradisi pengobatan atau penyembuhan melalui meditasi dan malukat untuk
penyerapan energi positif laut yang lebih baik dilakukan pada saat fajar. Kegiatan-
kegiatan seperti itu setiap saat dilakukan oleh komunitas tertentu dan membuat
masyarakat meyakini kebenaran wacana mitos RK yang sedang menjadi
perbincangan. Walaupun pada lokasi ke-12 Pura secara langsung tidak menyebut
nama RK dalam pemujaan, tetapi menggunakan nama yang berbeda-beda merupakan
wujud manifestasi dewa-dewi Hindu penguasa sumber mata air.
Tradisi ritual untuk penghormatan kepada penguasa laut Kidul, telah
berakulturasi dengan tradisi ritual yang sudah ada sebelumnya dan menjadi kearifan
lokal tentang pelestarian laut dan sumber-sumber mata air. Oleh karena itu, ciri khas
versi pertama, adalah tradisi ritualnya yang merupakan implementasi dari ajaran Etika
Hindu, THK dan TKP, yakni ajaran untuk memperoleh keseimbangan hidup lahir dan
bathin. Nama yang berbeda-beda sebagai wujud manifestasi dewa-dewi Hindu
penguasa sumber mata air, antara lain: di Pura Watu Klotok, palinggihnya bernama
‘Pelinggih Kanjeng Ratu Kidul’ dalam pemujaan disebut sebagai Ratu Sang Kala
Sunya (Dewa Ketut Soma, 23 Maret 2014). Di Pura Dalem Sakenan dan Tunggak
Tiying disebut sebagai ‘Ida Ratu Ayu Mas Kentel Gumi’ dan ‘Ratu Ayu Manik
78
Macorong Dane Gusti Blembong’ (Mk. Sakenan, Mk. Tamat dan Mk. Wayan Lutur,
17 Juli 2015). Di Pura Dalem Prancak dan Pura Batu Bolong disebut sebagai ‘Ida
Bhatari Solo’ dan ‘Ratu Biyang Sakti’ (Mk Gede dan Mk. Ema, 12 Juli 2015). Di
Pura Dalem Pangembak disebut sebagai ‘Ratu Gede Sekaring Jagat’ (Mangku Made
Ranten, 3 Juni 2013). Di Pura Segara Tirta Empul (Mertasari) disebut ‘Ratu Ayu Mas
Manik Tirta’ (Mangku Dalem Mertasari, 19 Maret 2014). Di Pura Candi Narmada
Tanah Kilap disebut ‘Ratu Niyang Sakti’ (I B. Adnyana, 5 Pebruari 2014). Di Pura
Luhur Sri Jong disebut ‘Ratu Biyang Sakti’ (Mangku Gde Suada, 12 April 2014). Di
Pura Tirta Segara Rupek disebut ‘Kanjeng Ratu Kidul’ (Mangku Nengah Sarba, 13
Juni 2014). Di Pura Campuan Windhu Segara disebut sebagai ‘Bunda Ratu Kidul’
(Mk. Alit Adnyana, 12 April 2014). Sesuai dengan informasi yang diperoleh, di Jawa
pun nama dan mitos RK sebagai penguasa laut Selatan berbeda-beda di setiap
wilayah. Ada ± 110 nama RK dipaparkan oleh Sholikhin (2009:109-113).
Pemberian nama yang berbeda-beda kepada Ratu Kidul berdasarkan pada
keadaan, kepribadian, kekuasaan dan tugasnya sebagai makhluk Tuhan. Penyebutan
nama yang berbeda-beda juga merupakan hal yang khas dalam sistem pemujaan
menurut Hindu yang disebut dengan istilah Sahasra Nama (seribu nama dewata). Hal
ini merupakan pengembangan dari personifikasi dan keberadaan Tuhan. Konsep
Tuhan agama Hindu memiliki dua gambaran yang khas tergantung pada kebutuhan
dan selera para pemuja-Nya. Tuhan dapat dilihat dalam suatu wujud yang mereka
sukai untuk pemujaan dan menanggapinya melalui wujud tersebut, Tuhan juga dapat
menjelmakan diri-Nya di antara makhluk manusia. Kemudian, ada aspek Tuhan
79
lainnya sebagai Yang Mutlak yang disebut ‘Brahman’. Artinya besar tidak terbatas
(transenden), namun juga bersifat immanen pada segala yang tercipta. Sebagaimana
disebutkan dalam Rgveda, I.164.46 yaitu: ‘ekam sat viprah bahudha vadanti,’ artinya
kebenaran hanya satu, para bijak menyebutnya dengan berbagai nama.
Versi berikutnya yakni versi 2 dengan lokasi hotel Inna Grand Bali Beach
Sanur yang awalnya bernama hotel Bali Beach Sanur dan pantai Padanggalak. Lokasi
ini termasuk wilayah Kecamatan Denpasar Selatan dan Denpasar Timur Kota
Denpasar sebagai awal diperolehnya data tentang wacana dan tradisi RK di Bali.
Disebutkan oleh informan kunci (Mangku Wirya) bahwa munculnya nama RK terkait
dengan pembangunan hotel yang digagas oleh mantan Presiden RI pertama
(Soekarno) sekitar tahun 1963 dan peristiwa kebakaran hotel di awal tahun 1992.
Soekarno menggagas pendirian hotel Bali Beach bersamaan dengan hotel Samudra
Beach di Pelabuhan Ratu berdasarkan konsep keseimbangan dan keselarasan antara
alam laut dengan daratan untuk mencapai kesejahteraan hidup manusia.
Pada tataran teologi, pandangan di atas merupakan salah satu wujud paham
pantheisme dengan konsep ‘manunggaling kawula lan gusti’ yang terimplementasi
menjadi kearifan lokal ‘mamayu hayuning bawana,’ yaitu perilaku menuju
keselamatan dan kebahagiaan. Dengan melaksanakan konsep-konsep tersebut
diharapkan kondisi alam semesta (makrokosmos) dengan kondisi fisik manusia
(mikrokosmos) tetap terjaga kelestariannya, Andre Mujiarto (wawancara, setiap hari
Minggu 2013).
80
Di hotel IGBB ada dua lokasi yang menjadi objek penelitian yang digunakan
untuk tempat pemujaan dan melaksanakan tradisi ritual RK, yaitu kamar nomor 327
dan Cottages nomor 2401. Salah satu informan kunci Jro Mangku Made Wirya (10
Mei, 2013) menuturkan, bahwa nama Bunda Ratu atau Kanjeng Ratu Kidul
Kencanasari Sekaring Jagat, diketahui muncul pertama kali pasca kebakaran hotel
yang berimplikasi pada penyakralan kamar nomor 327 dan cottages 2401. Hal itu
juga dibenarkan oleh ‘pemangku’ dari kedua tempat tradisi RK dilaksanakan yaitu,
Ibu Agung Okawati (26 Oktober 2013) dan mantan ‘pemangku’ yang lain Dewa Putu
Sudarsana (10 Januari 2013). Dari tempat inilah peneliti mendapat informasi
berikutnya, bahwa wacana mitos dan tradisi RK berkembang dan terdapat banyak
tempat pemujaannya yang berada di pesisir Bali Selatan.
Tidak tertutup kemungkinannya terjadi tambahan informasi penting yang
dimuat pada bagian ini, seperti informasi dari paranormal sebagai salah satu
komunitas pendukung wacana mitos dan tradisi ritual RK. Oleh karena itu, peneliti
juga melakukan wawancara dengan salah seorang nara sumber Ida Ayu Armeli
dengan Ida Bagus Miyasa, 4 Juni 2015 (suami-istri). Mereka menyebut RK sebagai
Ratu Kanjeng Kidul. Fenomena dan informasinya pun semakin semarak dan variatif.
Informasi yang variatif itu berkembang, tidak terlepas dari peran dan keberadaan
media serta kelompok-kelompok/komunitas spiritual yang ada di Bali terutama yang
menjalankan ilmu pengobatan dengan cara mistis/gaib, seperti: perguruan-perguruan
yang menggunakan sumber energi tenaga dalam dan ilmu kebathinan.
81
Informasi yang diperoleh pada perguruan-perguruan tersebut menunjukkan
ciri yang sama dengan yang terjadi di Jawa. Misalnya, menonjolkan warna yang serba
hijau, juga sarana ritual (bunga, buah, dan tumpeng) yang menunjukkan
kejawaannya. Mengenai pemahaman dan penggunaan warna hijau di Bali justru
dipandang sebagai pengikut/pemuja RK. Hal ini sangat berbeda dengan di Jawa
bahwa warna hijau merupakan warna yang dilarang bila berada di pantai, dengan
pemahaman sebagai bentuk pelanggaran dari sisi etika (nyaman pada).
Dari perbedaan pemahaman tersebut, maka di Bali muncul pemahaman baru
tentang warna merah. Itu sebabnya, pada daerah pantai tertentu dilarang memakai
baju berwarna merah saat matahari terik atau dipasang bendera merah pada wilayah
pantai yang memiliki ombak ganas. Sisi teologi Hindu memandang, arah selatan
adalah tempat bersthana Dewa Brahma, dengan simbol warna merah yang berarti
panas (api). Pantulan terik matahari bertemu dengan warna merah akan terjadi tarik
menarik energi panas bumi sehingga dapat menyebabkan gelombang laut pasang
menggulung benda yang ada di sekitarnya. Kuat dugaan bahwa pemasangan bendera
merah yang pada wilayah pantai tertentu merupakan tanda bahwa di tempat tersebut
sering terjadi gelombang pasang secara tiba-tiba.
Contoh lain, keberadaan versi kejawen di Bali, bahwa pada Cottages 2401
terdapat ‘sampir’ (sejenis selendang) dan benda lain yang berkaitan dengan RK secara
khusus dikirim dari Keraton Solo, kata Ibu Agung Okawati. Dengan ciri dan
kekhasan data serta informasi yang diperoleh, peneliti mengelompokkannya menjadi
versi ke dua atau versi Kejawen yang ada di Bali.
82
Hasil rekaman wawancara menunjukkan bahwa cerita mitos tentang RK di
Bali belum ditemukan secara mengkhusus (teks khusus) baik dalam sastra maupun
purana. Namun demikian, beberapa nara sumber menjelaskan pernah membaca,
bahwa wacana tentang RK disinggung sekilas dalam cerita babad, yakni babad
Sukawati disebut-sebut Ida Bhatara Kasuhun Kidul dan juga dalam buku babad Jawa
sebagai seorang putri raja (Ida Bagus Miyasa, 4 Juni 2015).
Setelah melakukan pengelompokan informasi menjadi 2 versi, maka untuk
proses pemaknaan kedua versi informasi dari para nara sumber disusun kembali atau
direkonstruksi. Sama halnya dengan teknik pengumpulan data sebelumnya, pada saat
wawancara juga dilakukan teknik rekam dan catat suara maksimal. Rekonstruksi, dan
penyusunan kembali informasi dari 2 versi diharapkan dapat menghasilkan makna
wacana mitos yang utuh tentang RK di Pesisir Bali Selatan.
Demikian sekilas kondisi dan deskripsi lokasi serta proses pelaksanaan
penelitian. Dari hasil pengumpulan data, muncul bentuk-bentuk persepsi masyarakat
tentang wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan. Pada intinya menyatakan, bahwa
RK adalah kepercayaan akan adanya konsep ‘roh’ yang bereinkarnasi, dengan sengaja
dihidupkan untuk membantu manusia mengatasi masalah kehidupan. Roh dimaksud
telah mencapai alam sorga yang dikenal sebagai ‘leluhur’. Kepercayaan terhadap
leluhur merupakan kearifan lokal yang turun temurun dilaksanakan oleh masyarakat
Bali pada umumnya. Penghormatan dilakukan karena jasa, pengabdian, kekuasaan,
dan kekuatan gaibnya dalam membantu generasi penerusnya. Kondisi itu pula yang
83
menyebabkan pembuatan tempat pemujaan di pesisir Selatan karena dekat dengan
sumber mata air, yakni laut.
4.2. Bentuk-Bentuk Persepsi Masyarakat terhadap Mitos Ratu Kidul
Bentuk persepsi wacana mitos RK merupakan sekumpulan informasi dari para
informan (nara sumber) terpilih, yang karena pengetahuan dan pengalamannya
dipandang memahami mitos tersebut. Bentuk persepsi yang diperoleh dari para nara
sumber, dikumpulkan dengan teknik dan metode pengumpulan data yang berlaku
pada umumnya, yakni wawancara. Bentuk persepsi masyarakat terhadap wacana RK
yang telah dikelompokkan menjadi 2 versi disusun kembali (rekonstruksi) menjadi
teks. Bentuk persepsi masyarakat terhadap mitos RK di pesisir Bali Selatan
bermacam-macam, menyebabkan wacana mitos RK sangat variatif, sesuai profesi dan
tujuan masing-masing kelompok masyarakat. Ada tiga kelompok profesi masyarakat
yang diminta informasinya, yaitu: (1) kelompok paranormal dan penekun spiritual;
(2) kelompok nelayan (kehidupan di pantai/laut); (3) kelompok masyarakat
multikultur (melaksanakan aktivitas keagamaan yang berhubungan dengan laut).
Pengolahan data menggunakan metode kualitatif dengan kajian wacana
naratif. Oleh karena itu, dalam pengolahan data tetap memperhatikan unsur-unsur
pengutuh wacana, yakni aspek kohesi dan koherensi. Melalui wawancara, perekaman,
dan pencatatan seperlunya, terhadap ketiga kelompok masyarakat tersebut diperoleh 2
versi wacana mitos tentang RK di Pesisir Bali Selatan. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan pada saat menganalisis struktur, fungsi, dan makna tekstual. Dengan
84
mengutip paragraf wacana atau persepsi dari ketiga kelompok masyarakat yang
belum difragmentasi (cuplikan) diharapkan kealamiahan (naturalisasi) dan sifat
wacana tetap terjaga keutuhannya. Bagaimanapun bentuk wacana RK di pesisir Bali
Selatan, semua tergantung dari sudut pandang masyarakat.
Adapun bentuk-bentuk persepsi ke tiga kelompok masyarakat tersebut di atas
tentang mitos RK di pesisir Bali Selatan adalah sebagai berikut.
4.2.1 Kelompok masyarakat dengan profesi Paranormal (Penekun Spiritual).
Kelompok paranormal (penekun spiritual) dimaksudkan, adalah masyarakat
yang menjalankan profesi sebagai paranormal dan menekuni bidang spiritual.
Kelompok ini terdiri atas: ‘pemangku’, balian (dukun), pertapa, dan orang yang
melakukan pencarian spiritual dengan cara memuja RK sebagai sasuhunan
(mamundut). Kelompok masyarakat ini memandang RK sebagai ‘roh’ penyelamat
yang menguasai lautan. Bagi kelompok ini, RK dipahami sebagai ‘roh’ leluhur yang
sudah lama meninggal, namun karena situasi dan kondisi alam yang tidak menentu,
maka oleh Tuhan ‘roh’ tersebut seolah-olah dihidupkan kembali untuk membantu
mengatasi dan mengobati permasalahan duniawi yang dialami oleh manusia. Oleh
karena itu, RK dipandang sebagai ‘ibu nusantara’. Kelompok ini lebih memahami
adanya konsep ‘roh’ dan reinkarnasi. Pemahaman seperti ini terwakili dari kutipan
pernyataan salah satu paranormal, sebagai berikut:
“saya bukanlan putri raja, tetapi Tuhan menciptakan saya sebagai DewiPenguasa Dasar Lautan, bersama-sama Dewa Wisnu ada di atas saya dan banyakdiberikan penjaga/pengawal berupa jin yang siap memberikan kekayaan, kesuksesan,
85
dan berkah yang ada di dasar lautan kepada manusia atas seijin Dewi Dasar LautanRatu Kanjeng Kidul. Ijin saya berikan untuk menulis tentang ‘saya’ tetapi tolongjangan hal ini disebarluaskan, katakan saja bahwa saya adalah Dewi Penguasa Dasarlautan.” Boleh dibilang ‘ratu kanjeng’ bukanlah manusia, mungkin beliau itu lebihtepat dikatakan‘roh’yang dengan sengaja ditugaskan sebagai malaikat karenamemiliki sifat-sifat kedewataannya (manusia super). Beliau ditugaskan menjaga danmelindungi sumber mata air khususnya laut dengan segala biota yang ada didalamnya agar tidak dirusak oleh manusia (wawancara dengan I. A. Armeli, 4 Juli2015).
Begitu pula dengan Bung karno, saya bisa kaitkan dengan proses dankeyakinan keberadaan ‘Bhatara Hyang Guru’ bahwa yang dikatakan Hyang Guru itudahulunya juga manusia yang berperilaku baik dan telah meninggal, lalu disebutsebagai leluhur. Para leluhur yang mengalami reinkarnasi berulang-ulang hinggakarmanya dibayarkan semua, sehingga akan naik statusnya menjadi Dewa/Bhatara.Demikian juga Tuanku Bung karno dan Ratu Kanjeng. Banyak yang memohonkeselamatan, kesehatan, kekayaan, kesuksesan, kemakmuran (berkah) kepadanya.Perlakuan seperti inilah yang terjadi pada saat ini di Bali. Artinya, beliau adalah jugaleluhur kita yang patut dihormati dan dimuliakan, dipuja dengan membuatkan tempatpemujaan serta menghaturkan persembahan (wawancara dengan I B. Miyasa, 4 Juli2015).
Paranormal lainnya menyebutkan RK sebagai ‘ibu nusantara’ (nenekmoyang/leluhur) ada dalam kutipan berikut; “sejak itu ‘bunda’ memang lebih seringberada di Bali turut serta menjaga kestabilan kondisi pulau Bali dan masyarakat Balisecara ‘niskala’ karena beliau adalah leluhur kita (ibu nusantara) yang sudah adasejak zaman Hindu Kuno (wawancara dengan Mangku Made Wirya, 25 Januari2014). Hal senada juga disampaikan oleh Mangku Nengah Sarba (wawancara, 13 Juni2014) sebagai berikut; “ saya adalah ‘abdi’ setia dari Kanjeng Ratu Kidul/BundaRatu. Beliau adalah ‘ibu nusantara’ yang kini menguasai samudra selatan.
Andre Mujiarto (wawancara, 2013), dalam wejangannya juga mengatakan;“Ratu Kidul saya sebut Kanjeng Ibu Ratu Kidul, adalah sosok ‘da tan kasat mata’bukan mitos atau cerita legenda, sehingga tidak perlu diragukan kebenarannya. Beliauadalah penguasa samudra Selatan yang secara sengaja diciptakan oleh Tuhan, ibarat‘malaikat’ (memiliki sifat-sifat layaknya dewa) turun ke bumi sebagai penyeimbangdan membantu manusia mengatasi segala permasalahan duniawi.
Mangku Made Suada (wawancara,12 April 2014), menginformasikan; “Ditepi goa Kelelawar Suci terdapat pelinggih menyerupai tugu, dipercaya sebagai‘pelinggih Ratu Biyang Sakti’ yang diyakini oleh masyarakat, khususnya paranormalmerupakan manifestasi Ratu Pantai Selatan (Ratu Kidul) karena berbalut kain hijau.Ida Bhatara di pelinggih ini (Ratu Biyang Sakti) juga dipercaya turut menjagakeselamatan dengan memberikan rasa aman dan memberikan berkah bagi paranelayan di laut. Di sanalah Kebo Iwa sering melakukan tapa brata yang dikawal olehseekor ular besar dan seekor tikus putih sebesar anjing.
86
Mangku Ema (wawancara, 16 Juli 2015), di Pura Batu Bolong Yeh Ganggajuga menyatakan, bahwa yang dipuja di Pura ini adalah ‘Ratu Biyang Sakti’ DalemDasar Laut Jawa dan Bali berwujud perempuan cantik berambut panjang masihmerupakan generasi (anak) dari leluhurnya di Pura Rambut Siwi. Beliau adalah RatuPantai Selatan (Ratu Kidul). Hasil terawangan beberapa paranormal juga mengatakanbahwa, pemujaan terhadap Dewi Laut ini berkaitan dengan ditemukannya ‘batu akik’di Pura Luhur Srijong pantai Payan/Soka, Pura Batu Bolong Yeh Gangga dan PuraTanah Lot. Benda-benda itu yang menjadi dasar kepercayaan masyarakat, khususnyapara ‘balian’ (paranormal) terhadap Pura Batu Bolong telah dijaga oleh seorang dewiLaut yang cantik dan pemurah.
4.2.2 Kelompok masyarakat profesi Nelayan (kehidupan pantai/laut).
Masyarakat yang tergolong kelompok nelayan adalah masyarakat yang
dibentuk salah satunya dengan tujuan menambah pendapatan setiap anggotanya
melalui penangkapan ikan, baik untuk konsumsi sendiri maupun komersial. Hampir
semua anggotanya adalah para pekerja yang pada siang hari berprofesi sebagai
pekerja yang berkaitan dengan budidaya ikan.
Pada saat senggang atau pada saat malam hari, para anggota kelompok
menangkap ikan untuk konsumsi maupun dijual. Beragam teknik dilakukan sebagai
pekerjaan sampingan dengan tujuan untuk menambah pendapatan. Pekerjaan
sampingan ini salah satunya adalah mengolah lahan pertanian atau pekerjaan
sampingan lain terutama pada saat kondisi laut tidak mendukung. Tujuan dibentuknya
kelompok nelayan adalah untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan. Di samping itu,
untuk mengubah pola pikir setiap anggota dari menangkap ikan sebagai sampingan
menjadi profesi yang menjanjikan dan menghasilkan, memupuk rasa kerja sama dan
solidaritan sesama nelayan. Hal yang terpenting adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan anggota kelompok khususnya serta masyarakat pada umumnya bisa
87
meningkat. Selain masyarakat nelayan, termasuk juga petani, jasa, dan pedagang
yang beraktivitas dan mencari kehidupan di pantai/laut.
Kaitannya dengan wacana mitos RK, mereka pada umumnya mempersepsikan
RK sebagai penguasa laut dan melindungi dari gelombang besar pada saat melaut atau
melaksanakan aktivitas masing-masing. Oleh karena itu, mereka meyakini pada setiap
datangnya bulan Suro wajib melaksanakan ritual ‘petik laut’ (nelayan yang berasal
dari Jawa). Sedangkan masyarakat lain yang mencari kehidupan di pantai/laut bahkan
setiap hari mempersembahkan sesaji kepada penguasa laut sebagai ungkapan terima
kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa melalui malaikatnya Kanjeng Ratu Kidul dan
dewa-dewi penguasa sumber air. Adapun wacana tentang hal ini dapat di lihat pada
kutipan berikut.
“suatu hari saya bersama satu orang teman berangkat melaut. Di seperempatperjalanan teman saya bergurau ingin bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul. Belumsampai di tengah laut tiba-tiba kami melihat ombak menggulung. Teman sayalangsung pingsan tidak sadarkan diri dan sampai kini tidak bisa ngomong atau‘kolok”. Ketika ditanyakan kepada orang pintar, dikatakan bahwa pada saat kejadian,Kanjeng Ratu sedang berada dalam gulungan ombak wajahnya cantik dan anggunseperti yang ada pada lukisan-lukisan itu. Akan tetapi, saya tidak melihat, sedangkanteman saya melihat hingga terkejut dan pingsan.
Pengalaman dan kejadian itu membuat saya tidak lagi melaut dan mengubahprofesi menjadi tukang batu karena takut bertemu Kanjeng Ratu dan bisa kolokseperti teman kami. Para nelayan di sekitar laut, sampai di pantai Pengambengansetiap bulan Suro selalu mengadakan ritual ‘Petik Laut’. Ritual ini bertujuan untukmemohon keselamatan sekaligus kesejahteraan keluarganya kepada Tuhan YangMaha Kuasa melalui perwujudan Kanjeng Ratu Kidul. Kami yakin dapat membantumemberikan solusi atas permasalahan yang kami alami terutama ketika berada di laut.Walaupun sering terjadi kecelakaan di laut, namun tradisi ‘petik laut’ tetap saja kamilakukan karena profesi kami sebagian besar menjadi nelayan dan bermukim di dekatlaut (wawncara dengan Kotot, 13 Juni 2014).
Ida Bagus Surata (wawancara, 12 Juli 2015) menuturkan, bahwa di pantai YehGangga khususnya di luhur Batu Bolong ini memang sering dilihat oleh paranormalada penampakan wanita cantik menyerupai lukisan Dewi Gangga. Itu sebabnya
88
wilayah ini sangat disakralkan, dengan membuat larangan untuk mandi danmengotori pantai. Beliau dipercaya menjaga potensi kekayaan laut, yakni ‘udanglobster’ dan melindunginya dari para nelayan liar. Di tempat ini dipercayai ada dewadan dewi yang menjaga laut, beliau adalah Dewa Baruna dan Dewi Gangga. DewiGangga sebagai Ratu Laut Selatan (Ratu Kidul) di Bali. Pantai ini juga seringdigunakan untuk upacara ritual ‘Melasti’ dan ‘Nyegara-Gunung’.
“Pada zaman dahulu, masyarakat di sekitar lokasi sebagian besarmenggantungkan hidupnya di tepi pantai dengan profesi nelayan dan petani, kononmelihat seberkas cahaya yang posisinya terletak di tepian pantai barbatu karang. Disekitar cahaya itu masih dikelilingi pohon kelapa dan semak-semak. Di wilayah inidahulu kala merupakan daerah pertanian, masyarakat subak bercocok tanamseperti;padi, jagung, palawija, menurut musim dan hari wewaran atau hari baik.Masyarakat setempat meyakini tempat terlihatnya cahaya merupakan pertandakebaikan bagi kehidupan. Keyakinan itulah yang menyebabkan dibangunnya purayang diberi nama Srijong”(wawancara dengan Mangku Made Suada, 12 April 2014).
4.2.3 Kelompok masyarakat Multikultur.
Kelompok masyarakat multikultur, masih relevan untuk ditelaah karena sesuai
dengan semboyan negara Indonesia “ Bhineka Tunggal Ika”. Masyarakat multikultur
lebih dipandang sebagai masyarakat yang memiliki kesederajatan dalam bertindak,
walaupun berbeda-beda suku bangsa, ras, maupun agama. Masyarakat dimaksud
menekankan pada keanekaragaman budaya dalam kesederajatan. Sebagai sebuah
ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan atas perbedaan budaya.
Nasikun (dalam Geertz, 1996:253) mengatakan, masyarakat multikultur adalah
masyarakat yang bersifat majemuk dan secara struktur memiliki sub-sub kebudayaan
yang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh
anggota masyarakat karena sering muncul konflik-konflik sosial.
Dengan demikian masyarakat multikultur merupakan masyarakat: (a)
mengakui perbedaan dan kompleksitas dalam masyarakat; (b) menjunjung tinggi
89
unsur kebersamaan, kerja sama, selalu hidup berdampingan dengan damai meski
terdapat perbedaan; (c) menghargai hak azasi manusia dan toleransi terhadap
perbedaan; (d) tidak mempersoalkan kelompok minoritas maupun mayoritas; (e)
merasa sederajat dalam kedudukan (status sosial) walaupun berbeda dalam
kebudayaan dan SARA. Kelompok ini, dapat menerima keragaman dalam kehidupan,
seperti: nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Istilah
multikultur identik dengan majemuk, dan memiliki ciri beberapa bagian yang
merupakan kesatuan. Plural artinya lebih dari satu, sedangkan beragam artinya,
berwarna-warni.
Dalam kaitan dengan penelitian ini, masyarakat multikultur yang dimaksud,
terdiri atas: tokoh masyarakat, agamawan, politikus, ilmuwan, pedagang, pejabat
(legeslatif, ekskutif, dan yudikatif) yang secara langsung mengakui dan turut serta
melakukan pemujaan terhadap laut melalui manifestasi RK. Kelompok ini memahami
RK merupakan reinkarnasi dan sakthi dari dewa penguasa laut menurut Hindu.
Dengan pemahaman dan sudut pandang seperti itu, maka muncullah pemberian nama
terhadap RK berbeda-beda. Ada yang memandang sebagai putri raja yang telah
bereinkarnasi secara berulang, dan ada pula yang memahami RK sebagai reinkarnasi
dewa-dewi pelindung sumber mata air menurut Hindu dan pemberi berkah kesuburan,
kesejahteraan kepada umat manusia. Persepsi terhadap keberadaan RK dapat di lihat
dari kutipan hasil wawancara berikut.
Mangku Laksana (wawancara, 6 Juni 2014) menginformasikan; “Konon padawaktu itu, Ida Danghyang Sidhi Mantra beryoga semadhi memohon kerahayuan seisijagat kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa yakni Sanghyang Siwa dan Sanghyang
90
Baruna Gni sebagai penguasa samudra raya. Kemudian Dang Hyang Sidhi Mantradititahkan untuk menggoreskan tongkat beliau tiga kali ke tanah tepat di daerah‘ceking geting’ (ruas jalan yang paling sempit). Akibat goresan itu air lautpunterguncang bergerak membelah bumi sehingga daratan Bali dan tanah Jawa yangsemula jadi satu, akhirnya terpisah oleh lautan lalu dinamakan Selat Bali. Sedangkan‘lingga’ ini ditemukan berbarengan dengan pendirian Pura Segara Rupek yangkemudian oleh masyarakat diyakini sebagai tempat memuja Dewa Siwa dan DewiParwati yang bermanifestasi sebagai Kanjeng Ratu Kidul (KRK).
Suatu ketika Dewa Siwa mengajarkan kepada Dewi Parwati ilmu ‘Tantra’,namun dalam proses pembelajaran, Dewi Parwati tidak berkonsentrasi akibatnya ilmuyang diajarkan tidak bisa meresap. Akhirnya Dewa Siwa murka, lalu menghukumDewi Parwati atas kegagalannya dengan mengirimnya kepada Dewi Gangga hinggabereinkarnasi menjadi putri seorang nelayan. Singkat cerita, penjelmaan sebagai putriseorang nelayan dimaksudkan agar dapat lebih memfokuskan pikiran, dalammengatasi segala permasalahan duniawi. Pada reinkarnasi berikutnya beliau berwujuddan bermanifestasi sebagai Kanjeng Ratu Kidul (KRK) yang kini dipercaya olehmasyarakat di Jawa sebagai ratu penguasa pantai Selatan, tetapi di tempat inidipercaya melindungi satwa langka. Pengiring (ancangan dan unen-unen) beliauadalah ‘buyung bangke’ (lalat hijau).
Dahulunya RK adalah seorang putri raja, sekitar abad ke-8 yang sangat cantik.Saking cantiknya semua laki-laki tertarik, akhirnya dikenai guna-guna rusaklahmukanya, karena malu lalu sang putri melarikan diri ke laut selatan namun kemudiandiberikan anugerah oleh ‘Bhatara Segara’ dijadikanlah penguasa lautan (wawancaradengan I B. Miyasa, 4 Juli 2015).
Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul, dahulunya adalah seorang putri yang pandaimenari sehingga menjadi kesayangan pangeran. Namun, cinta mereka tidak mendapatrestu dari raja sehingga dia menceburkan diri dan menjadi penguasa di laut Selatan(Meme Bukit).
Mangku Koming/Mk. Gede (wawancara, 11 Juli 2015) menceritakan bahwaRatu Kidul di tempat ini memang sering hadir terutama saat pujawali (piodalan) yangjatuhnya pada hari Buda Cemeng Ukir. Tanda kehadiran beliau dituturkan sebagaiberikut: Pada puncak piodalan biasanya ada salah satu ‘pemangku’ mengalami‘kerawuhan’ (trans) tidak berhenti-henti sampai kemudian secara tiba-tiba air lautnaik setinggi ± 2 meter terbelah lalu berjalan melewati gundukan pasir sejauh ± 0,5km bergerak ke arah utara membentuk ‘loloan’, dan air itupun seolah berhenti(mecangcang) di depan sebuah jembatan yang menghubungkan antara pantai denganPura serta diikuti banyak sampah.
Orang yang mengalami ‘kerauhan’ secara otomatis berhenti. Biladihubungkan dengan dunia ‘niskala’ orang yang punya naluri spiritual tinggi melihattelah datang sebuah ‘perahu emas’ berhenti (mecangcang) bersama seorang putricantik yang anggun. Sesuai tradisi, kedatangan air tersebut ‘dipendak’ (dijemput)dengan sesaji, dengan mengatakan Ratu Bhatari Solo ‘sampun rawuh’ (sudah datang)
91
akan menyaksikan prosesi ritual piodalan di Pura ini dan air yang ‘mecangcang’ itulangsung mengalir turun ke sungai rawa-rawa di bawah jembatan.
Di Pura Susunan Wadon terdapat sebuah pelinggih yang berbalut serba hijau.Dasar pelinggih dijaga oleh patung buaya. Menurut Mangku Dalem Sakenan(wawancara, 27 Maret 2014), yang bersthana pada pelinggih itu adalah “Ratu AyuManik Macorong Dane Gusti Blembong”. Nama inilah yang dikaitkan dengan DewiPenguasa Laut Selatan (Ratu Kidul). Pada saat ini, disthanakan di Pura DalemSakenan pada pelinggih ‘Sawang Dalem’ yaitu pelinggih yang berada di luar(samping kiri) pura Dalem Sakenan. Pura Dalem Sakenan ini, diyakini sebagai tempatkrama subak memohon keselamatan, kesejahteraan dan berkah Tuhan agar segalatanaman di sawah dan ladang terhindar dari hama. Masyarakat meyakini bahwa‘Hyang Sakenan’ dapat mengendalikan walang sangit sedangkan ‘Hyang Masceti’mengendalikan tikus-tikus perusak tanaman.
Mangku Tamat (wawancara, 12 Juli 2015) menuturkan, bahwa cerita tentangRK sering terdengar di tempat ini. Namun, hanya sebatas ‘anjangsana’ karena tidakada situsnya, artinya beliau tidak diperdewakan. Akan tetapi, dalam agama Hinduselalu percaya adanya ‘Rwa-Bhineda’ yang diibaratkan sebagai Timur-Barat ataulaki-perempuan. Atas dasar kepercayaan itu, mula-mula dibangun Pura DalemCemara (lanang) jauh sebelum adanya Pura Sakenan yang berkaitan dengan Pura GiriSloka di Alas Purwa (wadon). Di pantai Serangan juga ada Syahbandar (pelabuhan)sehingga menimbulkan berbagai persepsi masyarakat dan selalu mengaitkan dengankeberadaan Siwa (Hindu) dan Budha. Kalau di Jawa RK dianggap dewi Laut, samadengan di Bali yang namanya ‘Laut’ tetap dipuji dan disakralkan terutama olehorang-orang intelek (spiritual). “Dengan kata dan nama apa kau bisa sembah, kalausudah percaya A, ya tetap A, pada dasarnya apapun yang kita katakan ‘jeg tetep Idaeling’. Laut pesisir Bali Selatan dari pantai Gilimanuk sampai Padangbai disakralkan,maka cerita RK pasti ada tetapi dengan persepsi dan cara penyampaian yang berbeda.
Menurut Wayan Lutur (wawancara, 17 Juli 2015) di Pura Tunggak Tiying adabeberapa palinggih, antara lain: palinggih Ida Ulam Agung, Ida Panji Landung,Palinggih Surya, Palinggih Ratu Niyang, Ratu Syahbandar, Ida Buaya Putih(pengabih Ratu Pantai Selatan). Dinamakan Tunggak Tiying konon pernah adaserumpun pohon bambu yang terbakar oleh ilmu kawisesan leluhur Puri Kesiman,tinggal satu tonggak (bongkol) bambu yang tidak terbakar. Tonggak itulah sebagaitanda untuk penamaan Pura ini. Pernah juga ada penampakan api di ‘sunduk bale’ diatas kepala Ratu Ngurah Mangku yang sedang ‘mekemit’. Antara sadar dan tidaksadar, Ratu Ngurah didatangi (keselang), menampakkan diri dalam wujud asli sebagai‘tengkorak’. Melalui mimpi itu, Ida Panji Landung menampakkan diri seperti patungyang ada pada saat ini yang menggunakan ‘kampuh’ poleng tiga warna. Hal ini jugadidukung dan dibenarkan oleh Anak Agung dari Puri Blahbatuh, bahwa tiga warnayang dimaksudkan karena Ida sudah ‘meraga’ Hyang Tri Sakti. Di Pura TunggakTiying yang dinamakan Ratu Kidul adalah Ratu Niyang ring Tengah Segara yangbergelar Ida Ratu Ayu Mas Kentel Gumi beliaulah Nyi Roro Kidul. Beliau telahmenciptakan pulau Serangan yang muncul di tengah laut sehingga dinamakan pulau
92
Mas. Pada saat dilakukan reklamasi, pernah ada petunjuk gaib untuk segera menatakembali Pulau Serangan dan melindungi semua parhyangan yang ada yakni sebanyak28 pura termasuk beji pura.
Dalam kaitannya dengan cerita Ratu Kidul (wawancara dengan MangkuMertasari, 19 Maret 2014) dikatakan bahwa, Ida Ratu Dalem Segara bergelar ‘RatuAyu Mas Manik Tirta’ yang dimaksud. Beliau merupakan putri dari ‘Ida BhatariDewi Danuh’ penguasa dan pelindung sumber mata air yang secara khususditugaskan melindungi kesakralan Pura dan pantai. Biasanya, di pura ini orangmemohon kesuburan tanaman pertanian dan memohon pengobatan untukpenyembuhan dengan cara ‘malukat’. Bagi yang ingin ‘malukat,’ dibebaskan untukmemilih ‘Tirta Penglukatannya’, boleh diambil dari air laut atau dari sumber air yangada di di tempat ini. Biasanya pilihan ‘tirta’ sesuai dengan kata hati (kleteg bayu) dan‘rasa’. Kedatangan mereka atas dasar niat baik dan permohonan yang tulus ikhlas kehadapan Ida Sanghyang Widhi, apapun permohonannya dipastikan mendapat hasil.
Mangku Made Ranten (wawancara, 3 Juni 2013) menuturkan, bahwa purayang sudah berstatus Dang Kahyangan ini dikenal oleh masyarakat sebagai tempatmelaksanakan ritual ‘malukat’ yakni ritual pembersihan diri secara lahir bathin gunamenghilangkan segala noda, dosa, dan penyakit (fungsi pengobatan). Ritual ‘melukat’didahului oleh prosesi pemujaan kepada dewa-dewi penguasa sumber mata airpemberi kesembuhan dan keselamatan melalui doa (sae) salah satu disebutkan ‘RatuGede Sekaring Jagat’. Beliaulah Ratu Laut Selatan (Ratu Laut Kidul) yang kini sudahdipercaya di Bali turut serta bersama dewa-dewi lainnya membantu manusiamengatasi segala permasalahan duniawi. Sebelum ritual melukat dilaksanakan,‘pemedek’ harus bersembahyang (matur piuning) terlebih dahulu pada sebuahpalinggih yang diapit ‘patung buaya putih’ yang dipercaya sebagai pengawal(ancangan) RK.
I Gusti Lanang Putu (wawancara, 11 Juli 2015) menuturkan, bahwa pura yangdiberi nama Sukeluih Suun Kidul ini sesungguhnya diartikan sebagai Ida Sesuhunanring Kidul yang telah dibuatkan tempat yang indah dan bagus. Keberadaan pelinggih‘meru tumpang sebelas’ yang ada di ‘utama mandala’ berkaitan dengan pelinggih laindan menyimpan banyak misteri terutama dengan pelinggih di ‘nista mandala’(jaba)Pura yang tanpa identitas. Informan menceritakan tentang keberadaan Pura, bahwapada zaman dahulu diceritakan seorang putri yang berasal dari desa Keramas-Gianyarmenikah ke Puri Blahbatuh. Menjadi warga dan berada di lingkungan Puri memangselalu mendapat pengawasan yang ketat terutama dalam hal perilaku, etika tata kramadan kedisiplinan harus dipatuhi.
Suatu ketika Putri ini difitnah dan dituduh berselingkuh dengan seorang lelakikasta sudra yang bernama I Gina. Sampai akhirnya kedua insan itu dibunuh atasperintah Raja. Namun sebelum mati yang perempuan berpesan apabila benar merekaberselingkuh cirinya air laut akan tenang-tenang saja, tetapi jika tidak benar maka airlaut akan naik mengguncang wilayah ini. Ternyata air laut sempat naik setinggi 4meter menggulung ke daratan merusak wilayah sekitar, dan itu artinya mereka tidakbenar berselingkuh alias difitnah. Oleh karena itu mereka ‘ngrebeda’ dan minta
93
supaya dibuatkan ‘pelinggih’dengan bangunan ‘meru’ berbahan dari batang pisang(gedebong). Bisa dibayangkan, bahan dari batang pisang sifatnya hanya sementara,sehingga setiap minggu harus diganti oleh para ‘panjak’ (kawula). Lama-lama para‘panjak’ merasa kewalahan, lalu dibuatkan pelinggih dengan ‘meru tumpang sebelas’yang permanen untuk sang Putri. Palinggih meru itulah yang sekarang menjadi Puradiberi nama Sukeluih Suun Kidul. Sedangkan yang laki dibuatkan pelinggih tetapiditempatkan di luar (jaba sisi) tanpa nama. Dengan pembuatan ‘meru tumpangsebelas’ sang Putri sudah dianggap ‘meraga Siwa-Budha’ menyatu antara ‘roh’dengan Tuhan. Dari pemahaman masyarakat setempat sang Putri itulah yang dijulukiRatu Kidul. Kini saya dengar ada wacana untuk menjadikan Pura ini sebagai PuraDang Kahyangan.
Menurut Alit Adnyana (wawancara, 21 April 2014) di Pura CWS, banyakmanifestasi Tuhan yang dipuja. Paling Timur ada pelinggih Dewa Baruna dengansakthinya Ratu Kidul (Kanjeng Ratu) sebagai penguasa laut, makanya jenis sesangi(kaul) warga di sini serba hijau. Di lokasi ini juga sering dilakukan ritual ‘ngangkid’dan ‘nyegara-gunung’. Sampai saat ini pantai Padang Galak (Pura CWS) dapatdigunakan sebagai situs melaksanakan ritual ‘melasti’ dan rital ‘malukat’, bahkanmasyarakat dari berbagai desa se-Bali berdatangan ke pantai ini, asalkan dapatmemilih dan memilah tempat yang di tuju. Di sini juga ada pelinggih Ratu Gede MasMecaling yang pernah mengajak saya ‘terbang’ke Nusa Penida. Juga ada patungDewi Durga, Ganesha, Siwa, Budha, Dewi Kwan Im dan lainnya.
Semua arca/patung merupakan aturan (persembahan) dari para ‘pemedek’yang tidak diketahui dari mana asalnya karena merasa mendapatkan berkah, ataukemungkinan si pemilik sadar dan merasa bukan haknya untuk menyimpan.Berkaitan dengan arca/patung RK serta gedong suci, sesungguhnya tidak ada ceritakhusus tentang beliau. Menurut perkiraan saya banyak hal yang menyebabkan,diantaranya: setiap manusia punya ‘rasa’dan ‘hati nurani’ atau naluri bathiniah dankepercayaan atas fenomena yang terjadi terhadap diri masing-masing. Naluri dan‘rasa’ atau kleteg bayu dicetuskan menjadi keyakinan terhadap hal-hal yang bersifat‘gaib’, dengan mempercayai RK.
Pendirian gedong suci RK baru-baru ini atas prakarsa seorang donatur, yakniIbu Wiwik atau lebih dikenal Jro Campuan, yang telah menghabiskan dana milyaranrupiah dihaturkan dengan cuma-cuma dengan rasa tulus ikhlas. Mungkin saja melaluimimpi atau perbuatan yang bersifat kebetulan, dia telah mendapat berkah ataskeyakinannya. Di Pura ini, RK diyakini sebagai aspek sakthi dari Dewa Barunasebagai manifestasi Dewa Wisnu. Saya yakin dan percaya bahwa ada alam lain diluar alam manusia yang terkadang dapat membantu memberikan kekuatan pada saatmanusia mengalami masalah. Walaupun menurut keyakinan Hindu dewa laut adalahDewa Baruna, akan tetapi lautan yang luasnya tidak terbatas tidak mungkin sendirianmengelolanya tanpa adanya kekuatan tambahan, sehingga diperlukan dewa-dewi lainsebagai pendamping-Nya.
Keberadaan pelinggih Kanjeng Ratu Kidul tidak terlepas dari peristiwatsunami yang pernah melanda Aceh tahun 2004 dan berdampak ke seluruh Indonesia
94
termasuk Bali. Pada akhir tahun 2004 telah terjadi abrasi yang dahsyat di pantaiKlotok yang menyebabkan hampir semua bangunan di pinggir pantai ambruktermasuk sebuah pelinggih yang sebelumnya diyakini tempat memuja BhataraSegara. Kondisi inilah menjadi dasar pendirian palinggih Kanjeng Ratu Kidul ataspetunjuk paranormal setelah mengalami ‘kerauhan’ (trans).
Menurut Dewa Soma (wawancara, 23 Maret 2014), Tidak ada cerita khusustentang RK, namun gagasan pendirian pelinggih KRK merupakan penggantipelinggih Bathara Segara yang telah hancur. Terlepas dari semua itu, pantai Klotokmemang memendam misteri yang sulit dianalisis nalar sehat. Bentangan pantai daripohon ketapang kembar sampai pantai Sidayu merupakan kawasan misteri pasukan‘kopasus’ Ratu Gede Nusa. Siapapun yang berani berbuat onar dan kurang ajar dipantai ini, jangan harap untuk pulang kembali dengan selamat. Di tempat inimasyarakat dituntun untuk berperilaku yang baik (beretika) terutama menjagakesakralan dan kebersihan pantai agar tidak tercemar.
Di pantai Padangbai berkaitan dengan keberadaan Pura Segara. Informankeduapuluhempat yakni, pemangku Pura Segara Mangku Kadek Wirasa(wawancara,16 Juli 2015) menuturkan bahwa, persis pada dermaga penyeberanganmenuju Pura Dalem Ped yang juga digunakan dermaga kapal pesiar ini sebagaimanasering diwacanakan oleh para penekun spiritual, di sanalah seringkali terjadipertemuan beliau Ratu Pantai Selatan sebagai (Ratu para lelembut) dengan paradewa-dewi yang menjaga lingkungan pantai dari pantai Serangan hingga pantaiPadangbai ini. Pertemuan dilakukan untuk membahas mengenai permasalahan yangterjadi di pantai dan permasalahan lain yang berhubungan dengan duniawi. Beliausecara bersama-sama menjaga laut dan isinya, menangkal semua aura negatif yangingin masuk serta merusak pulau Bali. Bagi orang-orang yang mempunyai kekuatanspiritual yang tinggi seringkali melihat penampakan-penampakan beliau. Oleh karenaitu, di tempat ini masyarakat sering melakukan ritual mulang ‘pekelem’ yangmerupakan sesaji, agar beliau-beliau yang maha gaib itu senantiasa melindungi,terutama yang mencari penghasilan di laut, artinya minta ijin dan berterima kasih.Tujuannya, semata-mata untuk memohon kerahayuan jagat utamanya laut yangmenentukan kelangsungan kehidupan di bumi ini.
Bentuk-bentuk persepsi tersebut di atas, terlihat ada pergeseran pemahaman.
Dari kebudayaan Jawa yang pada awalnya mendukung keberadaan RK sebagai mitos
yang utuh. Akhirnya, berubah dalam konteks kebudayaan Bali yang memiliki dasar-
dasar ke-Hinduan (kosmologi Hindu) dalam olah pikir, dan cara pandang yang
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing.
95
4.3 Rekonstruksi Wacana Mitos Ratu Kidul di Pesisir Bali Selatan
Rekonstruksi dilakukan adalah untuk proses pemaknaan kontekstual terhadap
mitos RK di pesisir Bali Selatan. Persepsi masyarakat yang telah dipilah dan diolah,
dirunut atas dasar ketuaan informasi yang diwacanakan oleh para informan, jarak
tempuh dan ketersediaan waktu (kesiapan waktu) peneliti untuk mendapatkan
informasi tersebut. Adapun rekonstruksi wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan
dapat di susun kembali dengan pola pikir sebagai berikut.
Pengaruh budaya Jawa berupa nilai kehidupan, telah lama masuk ke Bali,terutama sejak zaman kerajaan Gelgel-Klungkung. Sebagai nilai kehidupan, tidakada yang mengetahui masuknya secara pasti. Namun, dari catatan sejarah dapatdiperkirakan ada tiga periode penting yang dilalui, yakni: zaman Kediri-Singosaridengan rajanya Dharmawangsa Teguh, zaman Majapahit, hingga masuknya agamaIslam dan zaman modern (setelah merdeka). Sejalan dengan itu, sebagai bukti mitosRK dari Jawa masuk ke Bali dapat dilihat dengan adanya beberapa artifact berupa:‘lingga’, arca/patung, lukisan, kamar suci, yang menjadi tempat pemujaannya berikutritual di beberapa Pura pesisir Bali Selatan.
Secara struktur, diperkirakan wacana tentang mitos RK sudah pernah diterimadi Bali, tetapi tidak utuh, sebagian berupa cerita lepas sesuai pemahaman/persepsimasyarakat di Bali. Dari hasil wawancara, RK dipersepsikan dan diterima olehbermacam-macam kelompok dan profesi masyarakat. Misalnya, penganut spiritualmempersepsikan sebagai penyelamat, pemberi berkah, memberikan kesehatan dalamkehidupan lahir bathin. Para nelayan mempersepsikan sebagai penguasa laut.Masyarakat Hindu pada umunya mempersepsikan sebagai bagian dari aktivitaskeagamaan terutama pelaksanaan ritual terhadap laut dan sumber mata air.
Sebagai masyarakat yang multikultur, dalam meresepsi dan mempersepsitentu berbeda-beda. Oleh karena itu, terjadi pergeseran pemahaman, olah pikir danperilaku terhadap mitos RK versi Jawa yang utuh dan berubah dalam konteks budayaBali atas dasar ajaran ke-Hinduannya (kosmologi Hindu), disesuaikan dengankebutuhan masing-masing pemuja. Secara umum nama RK masih sangat berpengaruhterutama di lingkungan Keraton dan masyarakat Jawa. Pengaruh itulah yang telahmenyebar di Bali sehingga sampai saat ini masyarakat memandang sebagai tokohmistis. Asal-usul kemunculan dan keberadaannya di pesisir Bali Selatan telah banyakdiwacanakan oleh masyarakat. Keyakinan masyarakat terhadap RK ditunjukkandengan pembuatan tempat-tempat pemujaan, seperti: palinggih, gedong/kamar suci,patung/arca, lukisan, ritual sesaji yang bahan-bahannya serba hijau, wewangian yangdisebut kembang telon, bunga melati dan sedap malam sebagai ciri keberadaannya.
96
Wacana mitos RK dapat ditelusuri di sepanjang pesisir Bali Selatan dari pantaiGilimanuk sampai pesisir pantai Padangbai. Persepsi masyarakat menyatakanbertemu, mengenal, memuja, dan mempercayai RK sehingga muncul nama yangberbeda-beda sebagai penguasa alam laut. Bersama dengan dewa-dewi penguasasumber mata air turut menjaga laut dan biota yang ada di dalamnya. Di pantai YehGangga berkaitan dengan keberadaan bongkahan batu besar berlobang dan sebuahPura kecil yang bernama Batu Bolong, RK dipercaya sebagai Dewi Gangga yangtelah bereinkarnasi serta dipuja sebagai Ratu Biyang Sakti yang selalu melindungipara nelayan atau petani udang lobster dan melindungi pemukiman masyarakatpesisir dari ancaman bahaya tsunami. Di wilayah hutan Sumber Kelampok ± 8 kmdari Pura Segar Rupek masyarakat percaya dan menghormatinya sebagai pelindungsatwa langka dan membantu masyarakat yang sedang mengalami masalah sosial. Ditempat ini RK dipuja sebagai reinkarnasi Dewi Parwati dalam wujud ‘lingga’ yangmerupakan simbol pemujaan dewa Siwa dengan pengawalnya berupa buyung bangke(lalat hijau). Wacananya dikaitkan dengan mitos tentang peristiwa yang terjadi sekitarabad ke-11 pada saat Dang Hyang Sidhi Mantra membelah daratan pulau Bali tepat didaerah ‘ceking geting’ (ruas jalan yang sempit) menjadi selat Bali.
Di pantai Payan dan pantai Soka, masyarakat percaya bahwa RK berkaitandengan keberadaan Goa Kelelawar Suci yang dipuja sebagai Ratu Biyang Saktibersama-sama dengan Kebo Iwa turut menjaga laut, melindungi para petani danmenjaga kesakralan Pura Dang Kahyangan Srijong. Ancangan/unen-unen (pengawal)berupa kelelawar, ular besar dan tikus putih sebesar anjing. Wacananya melahirkanmitos tentang situs peninggalan Kebo Iwo dan keberadaan Goa Kelelawar Suci.
Di pantai Serangan RK dikaitkan dengan keberadaan Pura Dang KahyanganDalem Sakenan, yakni pelinggih Sawang Dalem, Pura Teked Karang Tengah danPura Tunggak Tiying dengan sebutan Ratu Ayu Manik Macorong Dane GustiBlembong, Ratu Ayu Mas Kentel Gumi dengan Ida Pangeran Panji Landung (KeboIwa). Penghormatan terhadap RK di pantai Serangan juga dikaitkan dengan dampakdari reklamasi pantai tahun 1995 yang melahirkan mitos tentang kisah Pangeran PanjiLandung. Pulau Serangan yang dahulunya bernama Pulau Mas tidak tenggelam atascampur tangan dan perlindungan RK. Di pantai ini pula masyarakat seringmelaksanakan ritual melasti, mulang pakelem (mapakelem), nganyud, nyegara-gunung, nanggluk merana.
Dari pantai Purnama, pantai Saba hingga pantai Masceti, sebagianmasyarakat meyakini RK sebagai Ratu Suun Kidul. Di tempat ini RK dimitoskansebagai reinkarnasi seorang putri raja yang telah mencapai alam moksa manunggalibarat Siwa-Budha. Tempat pemujaannya terletak di ‘meru tumpang sebelas’.Wacananya dapat melegalkan keberadaan Pura Sukeluih Suun Kidul.
Di pantai Sanur wacana RK berkaitan dengan keberadaan hotel Bali Beach.Munculnya nama RK pertama kali adalah pasca kebakaran yang pernahmeluluhlantakkan hotel tahun 1992. Wacana RK di tempat ini melahirkan mitostentang pensakralkan kamar 327 sebagai hadiah yang dikenal dengan kamar BungKarno, sedangkan Cottages 2401 sebagai kamar KRK (Bunda Ratu). Wacana RK di
97
hotel IGBB berkaitan dengan tradisi Jawa khususnya Solo. Pada ruangan Cottages2401 dihias dengan balutan serba hijau, lukisan RK juga dipajang di tembok di atassebuah tempat tidur. Atribut seperti ‘sampir’ (selendang) yang khusus dikirim darikeraton Solo, dan sarana ritual lain menambah kesan mistis ruangan tersebut. Didepan kamar Cottages dipasang bendera merah putih. Demikian juga kamar 327 hotelIGBB dihias dengan lukisan RK dan foto Bung Karno termasuk atribut pribadinya,antara lain: rokok kansas, keris, dan tiruan tongkat komando. Kedua tempat pemujaanRK di hotel IGBB selalu melaksanakan tradisi ritual kejawen ‘labuhan’ pada malam 1Suro. Oleh karena itu kedua tempat ini sering digunakan sebagai tempat untukbermeditasi sebagai ciri khas ajaran kejawen manunggaling kawula lan gusti dengankearifan lokal mamayu hayuning bawana.
Di pantai Gilimanuk sampai Pengambengan masyarakat menghormatinyasebagai penguasa laut selatan dengan nama Kanjeng Ratu Kidul memberiperlindungan terhadap para nelayan, menangkal ganasnya ombak dari bahaya abrasipantai, hingga dibuatkan gedong suci tempat pemujaannya. Di tempat ini juga biasadilakukan tradisi ritual ‘malukat’ dari sebuah mata air yang diberi nama Tirta PingitSanjiwani. Sedangkan di pantai Pengambengan setiap bulan Suro para nelayan selalumengadakan ritual ‘Petik Laut’ yakni tradisi ritual untuk memberikan persembahankepada penguasa laut Kanjeng Ratu Kidul.
Berikutnya, di pantai Tanah Lot dikaitkan dengan keberadaan ‘Petirtan’tempat ‘malukat’ di bawah bagian selatan pura, RK dipercaya sebagai Bunda RatuKidul. Di pantai Tanah Lot ini RK dikatakan sering menampakkan diri terhadap parawisatawan terutama saat pergantian waktu. Di tempat ini RK dimitoskan sebagaiwanita cantik berambut panjang berpakaian serba hijau, atau seorang nenekmembawa tongkat yang mengawasi gerak-gerik, perilaku pawa wisatawan yang tidakmematuhi peraturan.
Di pantai Berawa hingga pantai Peti Tenget RK dikaitkan dengan keberadaanPura Dalem Prancak dan masyarakat menghormatinya sebagai Ida Bhatari Solodiyakini selalu bersama-sama dengan Bhatara Segara menjaga pantai dari ancamanbahaya tsunami, apalagi di wilayah pantai ini sering dilakukan ritual ‘melasti’. Diwilayah pantai ini RK dimitoskan sebagai seorang putri dengan perahu emasnya yangselalu datang pada saat ada ‘odalan’ di Pura Dalem Prancak.
Di pantai Mertasari sampai pantai Padanggalak, RK disebut dengan namayang berbeda-beda. Keberadaannya dikaitkan dengan Pura Segara Tirta Empulbernama Ratu Ayu Mas Manik Tirta dipercaya sebagai putri Dewi Danuh yangditugaskan untuk melindungi masyarakat petani dari ancaman penyakit tanamansehingga di tempat ini sering dilakukan ritual ‘tolak bala’ untuk pertanian dan ritual‘malukat’ untuk pengobatan manusia secara lahir bathin. Di Pura Dalem Pengembakdengan nama Ratu Gede Sekaring Jagat dikenal oleh masyarakat bersama dewa-dewilainnya memberikan kesehatan lahir bathin melalui ritual ‘malukat.’ Wacana RK ditempat ini melahirkan mitos tentang Ratu Gede Mas Macaling dengan buaya putihdan buaya kuning sebagai pengawalnya.
98
Di Pura Campuan Windhu Segara (CWS) dikenal dengan nama Bunda Ratudiyakini sebagai sakthi dewa Wisnu bersama dewa-dewi lainnya dipercaya olehmasyarakat mencegah abrasi pantai dan memberi kesehatan serta kesembuhan lahirbathin. Tempat pemujaannya dalam bentuk patung/arca, pelinggih dan gedong yangdibalut dengan warna hijau. Itu sebabnya, di pura CWS sering dilaksanakan ritual‘malukat’ dan ritual yang berhubungan dengan laut, seperti: ngangkid, melasti,mulang pakelem, nyegara-gunung, dan meditasi. Wacana RK di tempat ini berkaitandengan keberadaan patung/arca dewa-dewi lain, sehingga Pura ini oleh pemangkunyadikatakan sebagai Pura Multikultur.
Dari pantai Sidayu sampai pantai Klotok, RK dipuja pada sebuah pelinggihbernama Pelinggih Kanjeng Ratu Kidul sebagai Ratu Kala Sunya. RK dipercaya turutmenjaga laut dari ancaman tsunami bersama-sama dengan Ratu Gede Dalem Ped. Ditempat ini sering dilakukan ritual yang berhubungan dengan laut seperti; ritualngangkid, melasti, mulang pakelem, nyegara-gunung. Keberadaan pelinggih KRKmelahirkan mitos, pelinggih Bhatara Segara yang telah hancur akibat hempasangelombang laut pada saat terjadinya tsunami Aceh tahun 2005.
Di pantai Padangbai RK juga diwacanakan sebagai Ratu Pantai Selatan seringterlihat berupa penampakan apabila kondisi cuaca di laut kurang bersahabat. RKbersama-sama dewa-dewi lainnya dipercaya menangkal aura negatif yang akanmemasuki Bali. Pantai Padangbai dipercaya sebagai tempat para penjaga danpenguasa laut melaksanakan pertemuan membahas permasalahan dunia terutamayang berhubungan dengan laut. Itu sebabnya, di pantai Padangbai sering dilakukanritual mulang pakelem yang dikaitkan dengan keberadaan Pura Segara Padangbai.
Komunitas paranormal mempercayai RK sebagai ‘roh’manusia yang telahlama mencapai alam ‘moksa’manunggal dengan Tuhan yang dikenal sebagai BhataraHyang Guru (leluhur), itulah sebabnya, RK dikatakan ‘Ibu Nusantara’. RK olehparanormal dikenal sebagai Dewi Dasar Lautan Ratu Kanjeng Kidul. Roh paraleluhur sengaja dihidupkan kembali dan ditugaskan bersama dewa-dewi penguasasumber mata air untuk melindungi manusia dan mengatasi segala permasalahan duniaterutama yang berhubungan dengan laut.
Masyarakat Bali umumnya percaya akan adanya alam halus atau alam roh.Bali merupakan wilayah geografis dan menjadi pusat hunian para makhluk halusyang keadaannya terpencar-pencar, namun memusat pada lokasi tertentu sehinggapara tetua mengatakan tanah Bali tenget (angker). Di antaranya, wilayah pesisir BaliSelatan berada di bawah kekuasaan Ratu Gede Dalem Ped yang pada saat ini diyakinimenjadi partner KRK.
Dari catatan sejarah yang menyinggung tentang nama Ratu/Penguasa lautan dipesisir Bali selatan ada dalam bentuk Babad, yakni Babad Pasek dan Arya BangPinatih berkaitan dengan misi yang dilakukan Dang Hyang Sidhi Mantramenjalankan titah Dewa Siwa dan Sang Hyang Baruna Gni memunculkan mitos SelatBali (Manik Angkeran). Babad Brahmana menuturkan kisah perjalanan spiritualDang Hyang Nirartha, menyusuri pesisir Bali selatan dalam rangka mempertahankanagama Hindu khususnya pembaharuan ajaran Siwa-Sidhanta. Hal ini melahirkan
99
legalitas Dalem Gelgel di bawah raja Dalem Waturenggong, termasuk berdirinyabeberapa Pura Dang Kahyangan dan konsep berdirinya pura Segara di sepanjangpesisir Bali Selatan. Setelah Dang Hyang Nirartha mencapai alam ‘moksa’ diberigelar kehormatan Sang Hyang Sinuwun Kidul. Adanya kata ‘kidul’ hanya untukmenunjukkan bahwa Beliau merupakan tokoh yang pantas dihormati karena jasa danpengabdiannya dalam hal pembaharuan agama Hindu terutama ajaran Siwa Sidhantakhususnya di pesisir Bali Selatan. Selain itu kata ‘kidul’ yang berarti Selatan,merupakan sthana Dewa Brahma, kemudian diasosiasikan sebagai Brahmana.Dengan demikian Sang Hyang Sinuwun Kidul dimaksudkan adalah roh seorangBrahmana yang telah berjasa melakukan misi, memelihara, serta melindungi sistemkeagamaan Hindu yang dimuliakan dan dipuja di Bali Selatan.
Dalam Babad Sukawati juga ada disebutkan nama Ki Gede Macaling dariNusa Penida sebagai utusan Ida Bhatara Kasuun Kidul untuk menyampaikananugerah berupa lontar dan ‘cakepan’ yang dibuat dari denta (gading) yang bernamaKi Pengasih Jagat. Wacana ini melahirkan legalitas kerajaan Sukawati yang pada saatitu sedang mengalami konflik internal dan memunculkan mitos pendirian palinggihRatu Gede Macaling di Jaba Pura Er Jeruk sebagai ‘pengamer-amer’ di bumi Timbul.
Pendirian Hotel Bali Beach atas gagasan Bung Karno dan peristiwa kebakarandi tahun 1992 menginspirasi munculnya nama KRK melakukan misinya di pantaiselatan Bali. Bersama-sama dengan Ratu Gede Dalem Ped menjaga keamanan pesisirBali selatan dari terjangan ombak yang berpotensi terjadi tsunami. Wacana inimelegalkan mitos tentang pensakralan kamar 327 dan Cottages 2401 hotel BB yangdipercaya sebagai kamar suci Bung Karno dengan RK. Demikian pula denganpendirian pelinggih maupun gedong suci KRK pada beberapa tempat di pesisir Baliselatan. Sampai saat ini, wacana RK terus berkembang seiring dengan peristiwa danmusibah yang terjadi di pesisir Bali Selatan. Peran komunitas paranormal menjadikanRK sebagai sasuhunan, sedangkan media terkesan menghidupkan nama RK.Perkembangannya melalui kelompok-kelompok perguruan yang mengajarkan ilmugaib dan tenaga dalam.
Dalam kaitanannya dengan keberlanjutan kerajaan Hindu Padjajaran-Majapahit melahirkan wacana Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna MWS III,President The Hindu Center Of Indonesia, DPD RI terpilih dari Bali. Tokoh Baliyang kontroversial ini telah dilantik oleh Abhiseka Ratu Sri Brahmaraja Wilatikta XImenggunakan keris pusaka kerajaan Majapahit pada tanggal 31 Desember 2009 diPura Besakih, sesuai petunjuk dan perintah ‘niskala’ Ratu Tri Buwana Tungga Dewidi tanah Jawa dengan gelar Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX. Sejaksaat itu diberikan hak untuk menggunakan gelar raja Majapahit Bali Selanjutnya padaakhir tahun 2011 kembali raja Majapahit Bali menerima hibah dua buah PusakaKereta Kencana Raja yakni Kyai Dalem Basuki Amangkubumi dan KyaiPanjenengan Segoro Kidul. (Bali Post, 2 Januari 2012).
Pada wacana ini ada benang merah yang menyebabkan hancurnya sistemkerajaan di Bali sejak zaman sebelum kemerdekaan sampai saat ini. Menurutmasyarakat Tatar Sunda bahwa dalam babad Bali tidak ada referensi (doa restu) dan
100
penghormatan Raja Bali terhadap ibunya dalam hal ini Kanjeng Ratu Pantai Selatan.Pada hal, dalam babad Nusantara syarat utama seorang Ksatria Dalem adalah adanyarestu ibu Nusantara (Wahyu Keprabon) dari tanah Jawa. Pada wacana ini RK bernamalengkap Kanjeng Ratu Dewi Pantai Selatan (Segara Kidul) putri Raja SiliwangiPadjajaran Hindu, oleh karena itu RK dipandang sebagai leluhur (foto lukisan diambilsaat pameran pembangunan Provinsi Bali tahun 2015) terlampir.
Demikian pula dalam hubungannya dengan politik, nama RK disebut-sebutberpengaruh, khususnya untuk pemenangan partai politik tertentu. Biasanya, wacanaini muncul menjelang pemilihan legeslatif, pemilihan Gubernur, dan pemilihanPresiden. Banyak tokoh partai yang melakukan meditasi pada tempat-tempat RKdiwacanakan, memohon agar diberikan kemenangan dan kesuksesan. Hal yangmenarik diceritakan dan diprediksi oleh salah satu informan tentang sosok JokoWidodo sejak menjadi Walikota Solo, lalu menjadi Gubernur DKI hingga diangkatsebagai Presiden, nama Jokowi selalu dikaitkan dengan kekuatan da tan kasat matayang melindunginya yakni Bunda Ratu Kidul (wawancara dengan Mk. Wirya, 25Januari 2014). Jokowi juga dikatakan seringkali mengadakan kontak bathin, bahkansudah mendapat restu dari Nyi Roro Kidul untuk menjadi Presiden RI (Suara Karya,19 Januari 2014).
Meskipun sering terjadi polemik tentang ketidakjelasan posisi RK, namun
sang Ratu masih tetap menjadi pusat ritual-ritual pantai. Nama RK masih dipercaya
hadir secara periodik pada saat kondisi alam utamanya laut tidak menentu hingga
mencapai titik kritis seperti isu adanya tsunami. Dengan mewacanakan mitos RK di
pesisir Bali Selatan dapat dipahami sebagai sebuah pesan dari nenek moyang
mengenai keadaan lingkungan laut yang semakin hari semakin memprihatinkan
seperti seringnya muncul isu tentang tsunami. Ini berarti, mengangkat kembali harkat
mitos itu dari berbagai hal yang membungkus dan menutupinya. Setidaknya, dapat
mengubah pandangan hidup masyarakat di kawasan pantai, bahwa mereka hidup di
daerah yang rawan tsunami. Jika hal itu tercipta, maka masyarakat akan mudah diajak
untuk hidup akrab dengan tsunami, mudah mengajak mereka untuk selalu bersiaga
101
menghadapi bencana, mudah mengajari mereka untuk melakukan tindakan
penyelamatan diri dengan benar ketika bencana tiba-tiba muncul.
Menghubungkan RK dengan tsunami merupakan pengetahuan lokal untuk
menyelamatkan diri dari bencana terjangan gelombang besar dan selanjutnya
mengajak masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan laut, agar tidak terjadi
pencemaran apalagi pengerusakan. Sudah menjadi hukum alam, semakin alam
dirusak maka, semakin banyak korban terjadi akibat kerusakan alam. Oleh karena itu
perlu adanya konsep Tri Hita Karana sebagai kearifan lokal yang jitu untuk
menyadarkan masyarakat akan keberadaan alam semesta.
Terbungkusnya pesan dalam mitos RK di pesisir Bali Selatan akan adanya
bahaya tsunami terlihat dari persepsi informan (15, 22 dan 23), bahwa kawasan yang
diwacanakan dalam kenyataannya rawan bahaya tsunami. Walaupun demikian,
dengan mengumpulkan cerita dan mempelajari pengetahuan tradisional yang
diceritakan kembali oleh para informan dapat membantu mengetahui kejadian
tsunami di masa lalu dan membantu masyarakat di kawasan itu bereaksi secara cepat
ketika menghadapi bencana serupa.
Anggapan masyarakat secara umum masih tetap mengaitkan RK dengan
kekuasaan atas ‘segara’ (laut) yang ibukotanya adalah laut Selatan. Anggapan seperti
itu terwakili oleh hasil kontak bathin salah satu paranormal, yakni I.A. Armeli dengan
‘roh’ RK. Dengan demikian, bentuk wacana mitos RK yang disampaikan oleh para
informan masing-masing mempunyai pemahaman dan cara pandang tersendiri atas
dasar pengetahuan dan pengalaman pribadinya.
102
BAB V
STRUKTUR WACANA MITOS RATU KIDULDI PESISIR BALI SELATAN
5.1 Struktur Formal
Struktur wacana mitos RK berbentuk satuan formal yang terdiri atas
penggalan-penggalan (fabula) informasi atau tuturan verbal. Penggalan informasi itu
difragmentasi, dikelompokkan, dan direkonstruksi menjadi teks sebagaimana yang
sudah dilakukan pada bab IV di atas. Dalam mengkaji struktur, fungsi dan makna
tekstual dilakukan pengutipan beberapa paragraf dari persepsi ketiga kelompok
masyarakat yang berkaitan dengan topik bahasan. Sebelum membicarakan struktur
formal wacana mitos RK di Pesisir Bali Selatan terlebih dahulu perlu dipahami
tentang wacana. Wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif kompleks dan
paling lengkap, meliputi satuan pendukung, seperti: fonem, morfem, kata, frasa,
klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh dan pada dasarnya merupakan unsur
bahasa yang bersifat pragmatis. Oleh karenanya, kajian tentang wacana menjadi
“wajib” ada dalam proses pembelajaran bahasa, dengan tujuan untuk membekali
pemakai bahasa agar dapat memahami dan memakai bahasa dengan baik dan benar
(Mulyana, 2005:18).
Kajian wacana berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang
dilakukan dengan bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Hal ini
menunjukkan, bahwa untuk memahami wacana dengan baik dan tepat diperlukan
bekal pengetahuan kebahasaan. Sampai saat ini, penelitian tentang wacana masih
102
103
berkutat pada persoalan kebahasaannya secara internal dan gramatikal, seperti: aspek
sintaksis, kohesi, koherensi, fungsi konteks, hubungan antar kalimat dalam satuan
wacana, dan sejenisnya. Namun, belum banyak yang mencoba mengeksplorasi
wacana dari segi eksternalnya tentang bagaimana hubungan wacana dengan persoalan
sosial, lingkungan, ekonomi, sejarah, agama, antropologi, dan hubungan
interdisipliner lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh pemikiran sempit dan statis
yang menyatakan, bahwa lebih mudah mengkaji atau meneliti jenis wacana tulis.
Banyak orang lupa, bahwa wacana yang sesungguhnya adalah wacana lisan, yaitu
suatu tuturan yang langsung disampaikan secara verbal. Wacana tulis adalah wacana
turunan yang mirip dengan ‘wacana dokumentasi.’ Melalui analisis terhadap wacana
lisan, diperoleh berbagai aspek yang masih melingkupinya. Misalnya, siapa yang
bertutur, dimana tuturan tersebut terjadi, dalam situasi apa berlangsung, kapan
terjadinya, dan untuk tujuan apa wacana dituturkan.
Wacana memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu: unsur dalam (internal)
yang membentuk struktur formal, dan unsur luar (eksternal). Unsur internal berkaitan
dengan aspek formal kebahasaan yang terdiri atas satuan kata atau kalimat, teks, dan
koteks. Teks adalah esensi wujud bahasa yang direalisasi (diucapkan) dalam bentuk
wacana. Koteks adalah pertalian antara teks satu dengan teks lainnya. Keberadaan
kotekslah, dalam suatu struktur wacana menunjukkan bahwa teks tersebut memiliki
struktur yang saling berkaitan satu dengan yang lain dan menyebabkan sebuah
wacana menjadi utuh dan lengkap. Koteks berfungsi sebagai alat bantu memahami
dan menganalisis wacana (Mulyana, 2005:7).
104
Unsur internal suatu wacana juga terdiri atas satuan kata atau kalimat. Satuan
kata adalah kata yang berposisi sebagai kalimat atau disebut ‘kalimat satu kata’.
Untuk menjadi satuan wacana yang besar, satuan kata atau kalimat tersebut akan
bertalian, dan bergabung membentuk wacana. Dalam konteks analisis wacana, kata
atau kalimat yang berposisi sebagai wacana disyaratkan memiliki kelengkapan
makna, informasi, dan konteks tuturan yang jelas dan mendukung. Dalam pandangan
kewacanaan, setiap kalimat adalah bagian dari keseluruhan struktur yang lebih besar
(Fokker, 1980:83). Teks, adalah esensi wujud bahasa atau teks direalisasi (diucapkan)
dalam bentuk ‘wacana’.
Banyak orang menukarkan istilah ‘teks’ dan ‘wacana’ karena teks lebih dekat
pemaknaannya dengan bahasa tulis (bersifat monolog non interaksi), sedangkan
wacana pada bahasa lisan dan bersifat ‘dialog interaksi’. Perbedaan kedua istilah itu
terletak pada segi jalur pemakaiannya. Dari perbedaan penekanan, kemudian muncul
dua tradisi pemahaman di bidang linguistik, yaitu ‘analisis linguistik teks’ dan
‘analisis wacana’ (Mulyana, 2005:9). Istilah koteks (co-text), yaitu teks yang bersifat
sejajar, koordinatif, dan memilki hubungan dengan teks lainnya. Teks lain tersebut
bisa berada di depan (mendahului) atau di belakang (mengiringi). Sehubungan
dengan itu, maka dalam analisis struktur wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan
telah dikutip beberapa paragraf terkait dengan unsur yang akan dianalisis. Misalnya
dalam teks panjang, sering terdapat kata yang harus dicarikan makna dari (informasi)
nya pada kata (bagian) lainnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
105
Kutipan (1):“Di tepi goa Kelelawar Suci, terdapat pelinggih Ratu Biang Sakti berbalut serbahijau yang juga dipercaya turut serta menjaga laut. Nama inilah yang diyakinisebagai manifestasi Ratu Kidul. Namun karena ada aktifitas pembuatan tanggul,beberapa mata air sulit ditemukan kembali.”(Mk.Suada, informan 10 )
Bentuk kata ‘nama’ pada kalimat kedua, mengacu pada nama Ratu Biang
Sakti yang disebutkan sebelumnya. Penafsiran ini benar, karena didasarkan pada teks
lain yang menjadi penjelas kata ‘nama’. Maka dalam hal ini ‘Ratu Biang Sakti’
adalah koteks bagi bentuk kata ‘nama’. Keberadaan koteks dalam suatu struktur
wacana menunjukkan bahwa teks tersebut memiliki struktur yang saling berkaitan
satu dengan yang lain. Dengan demikian struktur formal meliputi aspek internal
kebahasaan. Selain itu, aspek internal kebahasaan wajib memiliki dua unsur pengutuh
kalimat, yaitu aspek kohesi dan koherensi.
5.1.1 Aspek Kohesi
Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara
struktural membentuk ikatan sintaktikal. Wacana yang baik dan utuh mensyaratkan
kalimat-kalimat yang kohesif. Kohesi dalam wacana terbagi atas dua aspek, yaitu:
kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal, meliputi: referensi,
substitusi, elipsis, konjungsi. Kohesi leksikal, meliputi: sinonimi, antonimi, hiponimi,
repetisi, kolokasi. Konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk.
Artinya, unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan menyusun suatu
wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh.
106
Sehubungan dengan hal tersebut, HG Tarigan (1987:96) mengemukakan
bahwa penelitian terhadap unsur kohesi menjadi bagian dari kajian aspek formal
bahasa. Organisasi dan struktur kewacanaannya juga berkonsentrasi dan bersifat
sintaktik-gramatikal. Dengan hubungan kohesif seperti itulah, suatu unsur dalam
wacana dapat diinterpretasikan, sesuai dengan ketergantungannya dengan unsur-
unsur lainnya. Hubungan kohesif dalam wacana sering ditandai oleh kehadiran
pemarkah (penanda) khusus yang bersifat lingual-formal.
A. Kohesi Gramatikal
1) Referensi
Referensi (penunjukan) merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan
dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok
kata atau satuan gramatikal lainnya (Ramlan, 1993:12). Dalam konteks wacana,
penunjukan atau referensi terbagi atas dua jenis, yaitu: referensi eksoforik (di luar
teks) dan penunjukan endoforik (di dalam teks). Selanjutnya, referensi endoforik
terbagi ke dalam dua pola yaitu: anafora dan katafora. Referensi anafora/anaforis
pada wacana mitos RK dapat dilihat pada paragraf berikut.
Kutipan (2):
”Kanjeng Ratu sempat mendatangi saya sebelum terjadinya kebakaran hotel. Diamengatakan akan membuat perhitungan karena mereka semua tuli dan bisu,sudah beberapa kali diperingatkan.” ( Wirya, informan 1)
Bentuk Dia pada kalimat kedua, menjadi alat penghubung bagi kalimat
sebelumnya. Unsur Dia pada kalimat kedua menunjuk Kanjeng Ratu pada kalimat
107
pertama. Pola penunjukan inilah yang menyebabkan kedua kalimat tersebut berkaitan
secara padu dan saling berhubungan. Referensi katafora dapat dilihat pada kutipan
berikut.
Kutipan (3):“Kamar suci nomor 2401 memiliki dua ruangan sebagai berikut.
a) Satu ruangan khusus untuk bermeditasi.b) Ruangan lainnya berisi 5(lima) buah
kursi melingkari meja yang diyakinidan disiapkan untuk pertemuan gaib.(Sudarsana, informan 3)
Bentuk berikut pada kalimat (3) mengacu atau menunjuk pada hal- hal lain yang
akan dijelaskan sesudahnya, yaitu pada point (a) dan (b) sebagaimana terlihat pada
gerak anak panah.
2) Substitusi
Substitusi (penggantian) adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa
oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar. Penggantian dilakukan untuk
memperoleh unsur pembeda atau menjelaskan struktur tertentu. Proses substitusi
merupakan hubungan gramatikal dan lebih bersifat hubungan kata dan makna, seperti
kutipan kalimat (4) berikut ini.
Kutipan (4):”Status Ratu Kidul diyakini sebagai penasehat utama, Soekarno sebagai penasehatpolitik, Ratu Gede Dalem Ped sebagai penasehat keamanan, Ratu Nyang sebagaipenasehat urusan kesejahteraan rumah tangga, Ratu Ayu Subandar/Dewi Kwan Imsebagai penasehat keuangan. Kelima beliau yang maha gaib bila bersatu dapatmembuat alam lingkungan dan kehidupan masyarakat Pulau Bali menjadi stabil,aman, tenteram, subur, makmur, di bawah perlindungan Tuhan Yang MahaKuasa.” (Sudarsana, informan 3)
108
Frasa kelima beliau pada kalimat ke dua merupakan bentuk yang menggantikan
unsur lain yang telah disebutkan sebelumnya. Pola penggantian ini menyebabkan
kedua kalimat tersebut berkaitan secara kohesif.
3) Elipsis
Elipsis (penghilangan/pelesapan) adalah proses penghilangan kata atau
satuan-satuan kebahasaan lain. Bentuk atau unsur yang dilesapkan dapat diperkirakan
wujudnya dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa. Elipsis juga merupakan
penggantian unsur kosong (zero), yaitu unsur yang sebenarnya ada tetapi sengaja
dihilangkan atau disembunyikan. Tujuan pemakaian elipsis, salah satunya untuk
mendapatkan kepraktisan bahasa, yaitu agar bahasa yang digunakan menjadi lebih
singkat, padat dan mudah dimengerti. Dengan kata lain, elipsis digunakan untuk
efektivitas dan efisiensi berbahasa. Unsur yang biasanya dilesapkan dalam suatu
kalimat ialah subjek atau predikat. Gaya penulisan wacana yang menggunakan elipsis
biasanya mengandaikan bahwa pembaca atau pendengar sudah mengetahui sesuatu,
meskipun sesuatu itu tidak disebutkan secara eksplisit. Berikut kutipan pola elipsis
yang terdapat pada wacana mitos RK di pesisir Bali Selatan.
Kutipan (5):“Pasca kebakaran di hotel Inna Bali Beach Sanur selain menyiapkan kamar suci
untuk Ratu Kidul, juga didirikan pelinggih Ratu Gede Dalem Ped dengan upacaracaru “Sato Nawa Gempa”. Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan YangMaha Kuasa.” (Wirya, informan 1)
Kalimat kedua yang berbunyi terima kasih merupakan kalimat elips. Ucapan
tersebut muncul karena sesuatu yang termuat dalam kalimat sebelumnya, yaitu
dengan keyakinan bahwa Tuhan memberikan kekuatan..... dan seterusnya kepada
109
yang tertimpa musibah. Unsur yang hilang adalah subjek dan predikat. Kalimat
tersebut selengkapnya akan berbunyi seperti berikut.
Kutipan (6):Pasca kebakaran di hotel Inna Bali Beach Sanur selain menyiapkan kamar suci untukRK, juga didirikan pelinggih Ratu Gede Dalem Ped dengan upacara caru “SatoNawa Gempa”. Segenap crew hotel mengucapkan puji syukur dan terima kasihkepada Tuhan Yang Maha Kuasa.”(Wirya, informan 1)
1) Konjungsi
Konjungsi (kata sambung) adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang
berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung antara kata dengan kata,
frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat dan seterusnya (HG
Tarigan, 1987:101). Konjungsi disebut juga sarana perangkaian unsur-unsur
kewacanaan. Konjungsi mudah dikenali karena keberadaannya terlihat sebagai
pemarkah formal. Beberapa jenis konjungsi, antara lain: (a) konjungsi adversatif
(namun, tetapi); (b) konjungsi kausal (sebab, karena); (c) konjungsi korelatif (apalagi,
demikian juga); (d) konjungsi sub ordinatif (meskipun, kalau); dan (e) konjungsi
temporal (sebelumnya, sesudahnya, lalu, kemudian). Kutipan pemakaian salah satu
bentuk konjungsi pada wacana mitos RK, adalah sebagai berikut.
Kutipan (7):“Persepsi lain ada yang mengatakan bahwa penyebab kebakaran, karena telahterjadi perseteruan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Ratu Gede Dalem Ped.Namun beliau pada akhirnya menyadari dan bersatu untuk bersama-samamenjaga keamanan dan ketenteraman alam Bali khususnya laut. Ritual pundilakukan, sebab tanah yang dibanguni hotel adalah bekas kuburan desaPakraman Sanur.” (Sudarsana, informan 3)
110
Konjungsi adversatif namun (pada kalimat kedua) dan konjungsi kausal sebab (pada
kalimat ketiga) keberadaannya menjadi penghubung dengan kalimat-kalimat
sebelumnya.
B. Kohesi Leksikal
Kohesi leksikal atau perpaduan leksikal adalah hubungan leksikal antara
bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Unsur
kohesi leksikal terdiri atas: sinonimi (persamaan), antonimi (lawan kata), hiponimi
(hubungan bagian atau isi), repetisi (pengulangan), kolokasi (kata sandang). Tujuan
digunakannya aspek-aspek leksikal di antaranya untuk mendapatkan efek intensitas
makna bahasa, kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lain (Mulyana, 2005:29).
HG Tarigan (1987:97) mengatakan, suatu bentuk teks/wacana dikatakan
bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian antara bentuk bahasa (language form)
dengan konteksnya (situasi internal bahasa). Untuk dapat memahami kekohesifan itu,
diperlukan pengetahuan dan penguasaan kaidah-kaidah kebahasaan, wawasan
realitas, dan proses penalaran.
Pada kondisi tertentu, unsur-unsur kohesi menjadi kontributor penting bagi
terbentuknya wacana yang koheren. Namun demikian, perlu disadari bahwa unsur-
unsur kohesi tersebut tidak selalu menjamin terbentuknya wacana yang utuh dan
koheren. Alasannya, pemakaian alat-alat kohesif dalam suatu teks tidak langsung
menghasilkan wacana yang koheren. Dengan kata lain, struktur wacana dapat
dibangun tanpa menggunakan alat-alat kohesi. Idealnya, wacana yang baik dan utuh
harus memiliki syarat-syarat kohesi sekaligus koherensi. Adanya sebutan nama RK
111
yang berbeda-beda merupakan fakta semiotik dari kohesi leksikal. Beberapa unsur
kohesi leksikal yang terdapat pada wacana mitos RK, sebagai berikut.
1) Sinonimi
Sinonimi (persamaan), merupakan salah satu jenis aspek kohesi leksikal yang
berfungsi untuk menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual
tertentu dengan satuan lingual lain dalam sebuah wacana. Sinonimi berkaitan dengan
berbagai kata yang memiliki makna yang sama. Sinonimi dalam wacana RK dapat
dilihat pada kutipan berikut.
Kutipan (8):a) “Rupanya, reinkarnasi berikutnya setelah menjadi putri nelayan, Dewi Parwati
bermanifestasi sebagai Kanjeng Ratu Kidul.”(Laksana, informan 7)b) “Berbeda halnya dengan wacana di Pura Tirta Segara Rupek, ternyata Kanjeng
Ratu Kidul dipercaya, juga bernama Ratu Kidul.”(Sarba, informan 8)c) “Demikian selanjutnya wacana di Pura Srijong, Ratu Biyang Sakti yang bersthana
di tepi Goa Kelelawar Suci dipercaya sebagai manifestasi Ratu Kidul.”(Suada,informan 10)
d) “Selanjutnya, di Pura Sakenan disebutkan Ratu Ayu Manik Macorong Dane GustiBlembong sebagai Ratu Kidul.”(Mk.Sakenan, informan 16)
e) “Sedangkan di hotel Bali Beach Sanur, Ratu Kidul diwacanakan sebagai KanjengIbu Ratu Kidul.”(Andre Mujiarto, informan 4)
Pada dasarnya, dari kalimat-kalimat di atas yang dicetak miring menunjukkan
orang yang sama atau bermakna sama. Beliaulah yang dimaksud dengan Ratu
Penguasa Lautan (Ratu Kidul). Apabila dicermati penerapan sinonimi pada teks
dipengaruhi oleh penggunaan campur kode dalam teks. Campur kode adalah bahasa
yang digunakan untuk mengomunikasikan cerita, yaitu bahasa campuran atau
gabungan dua jenis bahasa atau lebih dalam sebuah peristiwa bahasa. Bentuk kata
yang bersinonimi pada teks merupakan variasi dalam pilihan kata. Fungsinya untuk
menggali unsur keindahan dalam membangun dialog antar tokoh, atau dalam
112
mendeskripsikan jalan cerita yang membangun bentuk wacana. Pilihan kata
bersinonim yang diterapkan pada teks, dapat menunjang pergerakan cerita yang
mengandung nilai filosofis dan teologis tinggi, sehingga menarik untuk dicermati dan
dinikmati.
2) Antonimi
Antonimi (lawan kata), merupakan satuan lingual yang maknanya berlawanan
atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Berlawanan atau beroposisi makna
mencakup konsep yang berlawanan secara utuh sampai kepada yang hanya kontras
makna. Antonimi adalah kohesi makna leksikal yang bersifat kontras atau berlawanan
antara konstituen yang satu dengan konstituen yang lain. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut.
Kutipan (9):“Pura Penataran Agung Sakenan dipandang sebagai simbol laki (purusa) dan PuraSusunan Wadon sebagai simbol perempuan (pradhana).”(Mk.Sakenan, informan16)
Unsur antonimi, kutipan di atas terjadi pada kata purusa, mendapat oposisi
kata pradhana. Selanjutnya, membentuk satu kesatuan dikotomis yang mengacu
pada makna tentang keadaan yang terjadi di alam semesta, terutama yang menimpa
kehidupan manusia yang tidak luput dari jangkauan rwa-bhineda. Antonimi yang
muncul dalam teks cenderung kata-kata yang berpasangan, tetapi berlawanan bentuk
dan makna. Memposisikan antonimi sebagai kesatuan lingual yang mengandung
konsep makna yang berlawanan secara utuh dengan kontras makna. Pilihan kata yang
tersaji dalam kutipan (9) merupakan wujud nyata bahwa dalam wacana RK di Pesisir
113
Bali Selatan mengandung antonimi yang berfungsi mendukung tokoh atau penegasan
wacana dalam peristiwa-peristiwa yang disajikan.
3) Hiponimi
Hiponimi (hubungan bagian/isi), menyatakan hubungan makna yang
mengandung pengertian hubungan hirarkhis. Apabila kata memiliki semua komponen
makna kata lainnya, tetapi tidak sebaliknya, maka perhubungan itu disebut hiponimi
(Kentjono,1982:80). Hiponimi kemudian menjadi dasar pendekatan yang dikenal
dengan “semantik field” atau “semantik domain,” yaitu suatu pendekatan semantik
yang mencoba melakukan klasifikasi makna berdasarkan kesamaan komponen
makna. Kata yang mempunyai kesamaan arti atau bidang makna yang sama
dikumpulkan dalam satu kelompok. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Kutipan (10):“Di wilayah ini dahulu kala merupakan daerah pertanian, masyarakat subakbercocok-tanam seperti; padi, jagung, palawija, dan lain-lain menurut musimdan hari wewaran atau hari baik.”(Mangku Suada, informan 10)
Kata padi, jagung, palawija dan lain-lain mempunyai unsur makna yang sama,
disatukan dalam satu rangkaian karena merupakan satu kelompok yaitu hiponim dari
tanaman pertanian.
4) Repetisi
Repetisi (pengulangan), adalah pengulangan satuan lingual yang dianggap
penting untuk memberikan tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Penyajian
repetisi bisa dalam bentuk pengulangan bunyi, suku kata, kata, serta kalimat. Di
114
antara jenis repetisi yang ada, tidak semua repetisi tertuang dalam wacana RK di
pesisir Bali Selatan. Berikut kutipan salah satu jenis repetisi yakni repetisi penuh.
Kutipan (11):“Dahulu, banyak pelaku mistik mengakui, kawasan pantai Padang Galakmerupakan zona hitam untuk adu nyali dan kesaktian. Tetapi kini di pinggirPantai Padang Galak telah berdiri berjejer tempat pemujaan mewah di tengahgemuruh ombak dan gelombang yang menjilat buas.”(Alit Adnyana, informan21)
Repetisi penuh terjadi di awal pada anak kalimat 1 ‘Dahulu’, pada
pengulangannya, terjadi pergeseran posisi terdapat pada anak kalimat 2 ‘kini.’
Namun, tidak mengurangi makna kalimat sehingga pengulangannya pun tetap penuh.
Repetisi penuh yang terkandung pada kutipan di atas berfungsi memberikan
gambaran dalam kaitannya dengan penggunaan kalimat yang sederhana dan mudah
dipahami, karena tidak banyak kalimat-kalimat kias dan tidak mengurangi arti estetik
teks. Repetisi penuh berarti mengulang satu fungsi dalam kalimat secara penuh, tanpa
pengurangan dan perubahan bentuk.
5) Kolokasi
Kolokasi (sading kata), adalah kohesi leksikal berupa relasi makna yang
berdekatan antara konstituen yang satu dengan konstituen yang lain atau hubungan
antar kata yang berbeda pada lingkungan dan bidang yang sama. Asosiasi tetap antara
kata dan kata lain dalam lingkungan yang sama (Mulyana, 2005:30). Hal ini dapat
dilihat pada kutipan kalimat sebagai berikut.
Kutipan (12):“Semua arca dan patung ini merupakan persembahan dari orang yang telahmerasakan mendapat berkah. Kemungkinan orang itu sadar bahwa benda itubukan miliknya.” (Alit Adnyana, informan 21).
115
Pada kalimat kedua, kata orang itu sadar dalam wacana tersebut, membentuk
kolokasi leksikal karena unsur itu merupakan bentuk ‘penyadaran’ akan sesuatu yang
ada di dunia ini bukan miliknya. Penyadaran ini juga bermakna untuk ‘mengingatkan’
bahwa dalam kehidupan, soal memberi dan menerima merupakan kewajiban.
5.1.2 Aspek Koherensi
Istilah “koherensi” mengandung makna “pertalian”. Dalam konsep
kewacanaan, berarti pertalian makna atau isi kalimat (HG Tarigan, 1987:32).
Koherensi juga berarti hubungan timbal balik yang serasi antar unsur dalam kalimat
(Keraf, 1984:38). Hubungan koherensi adalah keterkaitan antara bagian yang satu
dengan bagian lainnya sehingga kalimat memiliki kesatuan makna yang utuh.
Wacana yang koheren memiliki ciri-ciri: susunannya teratur dan amanatnya terjalin
rapi sehingga mudah diinterpretasikan. Dalam struktur wacana, aspek koherensi
diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batin antara proposisi satu dengan
lainnya untuk mendapatkan keutuhan.
Lebih lanjut Halliday dan Hassan (1970:2) menegaskan bahwa struktur
wacana pada dasarnya bukanlah struktur sintaktik, melainkan struktur semantik,
yakni semantik kalimat yang di dalamnya mengandung proposisi-proposisi. Beberapa
kalimat hanya akan menjadi wacana sepanjang ada hubungan makna (arti) di antara
kalimat-kalimat. Pada dasarnya, hubungan koherensi adalah rangkaian fakta dan
gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit
(terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi.
116
Sementara itu, Kridalaksana (1978:69) mengemukakan bahwa, hubungan
koherensi wacana sebenarnya adalah ‘hubungan semantis’. Artinya, hubungan itu
terjadi antarproposisi. Secara struktural, hubungan itu direpresentasikan oleh
pertautan secara semantis antara kalimat atau bagian yang satu dengan kalimat
lainnya. Hubungan maknawi ini kadang-kadang ditandai oleh alat-alat leksikal,
namun kadang-kadang tanpa penanda. Hubungan semantis dimaksud antara lain,
sebagai berikut.
1) Hubungan sebab-akibat
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan mengapa sampai terjadi
begini? Kalimat yang satu bermakna sebab dan kalimat lainnya menjadi akibat. Hal
ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Kutipan (13):“Ciri khas pendirian Pura ini ditandai adanya sinar terang yang bermakna
sebagai pengetahuan, wujud bhakti dan rasa hormat kepada Ida Bhatara Segarauntuk mohon kerahayuan jagat. Di sekitar pura ini juga terdapat beberapa situs danpeninggalan penting, namun kondisinya sudah tidah utuh karena terkikis abrasipantai sehingga perlu mendapat penanganan sebagai langkah penyelamatan.”( Mk.Gede Suada, informan 10)
2) Hubungan sarana-hasil
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: mengapa hal ini dapat
terjadi?, dan hasil itu sudah tercapai. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Kutipan (14):“Jika bersembahyang di gedong ini, sarana yang dibawa antara lain; bunga sedapmalam, atau mawar, atau melati, bunga kenanga dan boleh juga buah-buahanyang warnanya hijau. Akan tetapi bila ada orang tangkil sembahyang, laluditerima oleh pemangku lain itu merupakan pertanda bahwa Kanjeng Ratu tidakberkenan menerima kedatangan mereka.”(Sarba, informan 8).
117
3) Hubungan alasan – sebab
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “apa alasannya?” Hal ini
dapat dilihat pada kutipan berikut.
Kutipan (15):“Dinamakan Pura Tirta Segara Rupek, karena di sini ada sumber mata air suciyang dinamai ‘Tirta Pingit Sanjiwani’. Hal ini berbeda dengan di Pura SegaraRupek merupakan ‘payogan’ Ida Danghyang Sidhi Mantra, oleh karena ituorang yang bersembahyang di sana masing-masing harus membawa air yangakan dijadikan tirta.”(Sarba, informan 8)
4) Hubungan sarana-tujuan
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “apa yang harus dilakukan
untuk mencapai tujuan itu? Berbeda dengan hubungan sarana – hasil, dalam
hubungan sarana-tujuan, belum tentu tujuan tersebut tercapai. Hal ini dapat dilihat
pada kutipan berikut.
Kutipan (16):
“ Konon, di sanalah Kebo Iwa melakukan tapa brata yang dikawal oleh seekor ularbesar dan seekor tikus putih sebesar anjing sebagai pengawalnya. Oleh karena itu
kawasan Pura ini sangat disakralkan dari segala bentuk aktifitas yang dapatmencemari lingkungan.”( Mk.Gede Suada, informan 10)
5) Hubungan latar-kesimpulan
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “bukti apa yang menjadi
dasar kesimpulan itu?” Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Kutipan (17):“Zaman dahulu, masyarakat yang sebagian besar menggantungkan hidupnya ditepi pantai dengan profesi nelayan dan petani melihat seberkas cahaya yangposisinya terletak di tepian pantai berbatu karang. Di sekitar cahaya itudikelilingi pohon kelapa dan semak-semak. Masyarakat setempat memastikanbahwa itu sebagai pertanda baik untuk kehidupan, maka di tempat itu puladibangun Pura yang diberi nama Srijong.” (Mk.Gede Suada, informan 10)
118
6) Hubungan kelonggaran-hasil
Salah satu bagian kalimat menyatakan kegagalan suatu usaha. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut.
Kutipan (18):“Waktu itu Dewa Siwa menghukum Dewi Parwati atas kesalahan tidakberkonsentrasi pada saat mempelajari ajaran Tantra. Dengan kegagalan yangdilakukan maka bereinkarnasilah menjadi putri seorang nelayan.”(Laksana,informan 7)
7) Hubungan syarat-hasil
Salah satu bagian kalimat menjawab pertanyaan: “apa yang harus
dilakukan?”, atau “keadaan apa yang harus ditimbulkan untuk memperoleh hasil?”
Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Kutipan (19):“Abrasi yang sangat dahsyat di pantai Klotok menyebabkan hampir semua
bangunan pinggir pantai ambruk termasuk pelinggih Bhatara Segara. Kondisiseperti inilah menjadi dasar pendirian pelinggih Kanjeng Ratu Kidul.” ( Soma,informan 23)
8) Hubungan perbandingan
Salah satu bagian kalimat menyatakan perbandingan dengan bagian kalimat
yang lain. Hal ini dapat dilihat pada petikan berikut.
Kutipan (20):“Di Pura Campuan Windhu Segara terdapat banyak manifestasi dewa-dewi. Olehkarena itu Jro Mangku menamakan sebagai Pura Multikultur.” (Alit Adnyana,informan 21)
9) Hubungan parafrasis
Salah satu bagian kalimat mengungkapkan isi dari bagian kalimat lain dengan
cara lain. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Kutipan (21):“Bahwa di Pura ini tidak ada obat khusus. Yang penting sering tangkil dengan
119
hati tulus dan pasrah diri, Jro Istri akan ‘ngelukat’ selanjutnya disuruh mandi diCampuan, lalu nunas tirtha kesembuhan. Rahasia kesembuhan justru terjadisebelum matahari terbit.” ( Alit Adnyana, informan 21)
10)Hubungan implikatif
Salah satu bagian kalimat memperkuat atau memperjelas bagian kalimat
lainnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Kutipan (22):“ Di Pura ini Ratu Kidul diyakini sebagai aspek sakthi dari Dewa Baruna
manifestasi Dewa Wisnu. Adnyana percaya dan yakin bahwa ada alam lain diluar alam manusia yang terkadang dapat membantu memberikan kekuatan saat
manusia mengalami masalah.”(Alit Adnyana, informan 21)
11)Hubungan identifikasi
Salah satu bagian kalimat menjadi penjelas identifikasi dari sesuatu istilah
yang ada di bagian kalimat lainnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Kutipan (23):“Ketika itu Ida Danghyang Sidhi Mantra beryoga semadhi memohonkerahayuan seisi jagat kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam hal iniadalah Sanghyang Siwa dan Sanghyang Baruna Gni sebagai penguasa samudraraya. Danghyang Sidhi Mantra dititahkan untuk menggoreskan tongkat beliautiga kali ke tanah tepat di daerah ceking geting. Akibat goresan itu, air lautpunterguncang bergerak membelah bumi sehingga daratan Bali dan tanah Jawayang semula satu, akhirnya terpisah oleh lautan dan dinamakan Selat Bali.”(Laksana, informan 7)
12) Hubungan ibarat
Salah satu bagian kalimat memberikan gambaran perumpamaan. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut.
Kutipan (24):“Kanjeng Ibu adalah seorang yang berhati mulia, welas asih dan penyayang.
Sebagaimana layaknya seorang ‘Ibu’ apa saja yang dimohon oleh anak-anaknya selalu dipenuhi.”(A.Mujiarto, informan 4)
Kutipan (25):“Serangan yang berasal dari kata ‘sira’ dan ‘angen’ artinya siapapun yang
120
datang ke tempat ini menjadi ‘kelangen’ (merasa betah). Pernyataan itudikuatkan oleh kondisi dan situasi desa Serangan yang cukup tenang dansangat baik untuk menenangkan pikiran serta belajar ilmu ‘kedyatmikan’.(Mk.Tamat, informan 17)
Tujuan pemakaian aspek atau sarana koherensi antara lain agar tercipta
susunan dan struktur wacana yang memiliki sifat serasi, runut, dan logis. Dalam
tataran analisis wacana, kajian tentang koherensi merupakan hal mendasar dan relatif
penting.
Berkaitan dengan itu, Labov (dalam Mulyana, 2005:35) menjelaskan bahwa,
pokok permasalahan dalam analisis wacana adalah bagaimana mengungkapkan
hubungan rasional dan kaidah-kaidah perihal cara terbentuknya tuturan yang koheren.
Kohesi dan koherensi hampir sama, bahkan, beberapa penanda aspek kohesi juga
merupakan penanda koherensi. Demikian pula sebaliknya, walau terkesan ada hal-hal
yang tumpang tindih antara kedua aspek tersebut, bukan berarti tidak dapat
dibedakan. Perbedaan di antara kedua aspek tersebut adalah pada sisi titik dukung
terhadap struktur wacana. Artinya, dari arah mana aspek itu mendukung keutuhan
wacana. Apabila dari dalam (internal), maka disebut sebagai aspek kohesi, apabila
berasal dari luar, maka disebut sebagai koherensi.
5.2 Struktur Naratif
Pada dasarnya klasifikasi diperlukan untuk memahami, mengurai, dan
menganalisis wacana secara tepat. Ketika analisis dilakukan, perlu diketahui terlebih
dahulu jenis wacana yang dihadapi. Klasifikasi atau pembagian wacana tergantung
121
dari aspek dan sudut pandang yang digunakan. Dalam hal ini, wacana dapat dipilah
atas beberapa segi, yaitu: (1) bentuk, (2) media, (3) jumlah penutur, dan (4) sifat
(Mulyana, 2005:47). Berdasarkan bentuk, wacana dibagi menjadi 6 (enam) jenis,
yaitu: wacana naratif, prosedural, ekspositori, hortatori, epistoleri, dramatik dan
seremonial (Wedhawati, 1979:41). Jadi, wacana mitos RK dalam penelitian ini
mengambil bentuk wacana naratif, merupakan bentuk wacana yang sering digunakan
untuk menceritakan suatu kisah.
Bentuk wacana naratif umumnya dimulai dengan alinea pembuka, isi, dan
diakhiri oleh penutup. Berdasarkan media penyampaiannya, dikatakan sebagai
wacana lisan yang dituliskan dalam bentuk pragmen (fabula-fabula) sehingga menjadi
sebuah teks. Wacana lisan (spoken discourse) adalah jenis wacana yang disampaikan
secara lisan atau langsung dengan bahasa verbal. Jenis wacana inilah yang sering
disebut sebagai tuturan (speech) atau ujaran (utterance). Pada dasarnya bahasa
pertama kali lahir melalui mulut (lisan). Oleh karena itu, wacana yang utama, primer,
dan sebenarnya adalah wacana lisan, sehingga dalam posisi ini wacana tulis dianggap
sebagai bentuk turunan (duplikat) semata.
Menguraikan struktur naratif melalui unsur internal dan eksternal wacana
perlu dilakukan karena dapat membuat wacana menjadi utuh. Unsur eksternal
berkaitan dengan hal-hal di luar wacana, yakni sesuatu yang menjadi bagian wacana.
namun tidak tampak secara eksplisit. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap
keutuhan wacana. Dalam penelitian ini diuaraikan terbatas yakni, konteks dan
122
implikatur. Namun demikian, kedua unsur itu membentuk satu kepaduan dalam suatu
struktur yang utuh dan lengkap (Kridalaksana, 1984: 127).
A. Konteks Wacana
Wacana adalah wujud atau bentuk bahasa yang bersifat komunikatif,
interpretatif, dan kontekstual. Artinya, pemakaian bahasa selalu mengandaikan terjadi
secara dialogis. Perlu adanya kemampuan menginterpretasikan, dan memahami
konteks terjadinya wacana. Pemahaman terhadap konteks wacana, diperlukan dalam
proses menganalisis wacana secara utuh. Konteks adalah situasi atau latar terjadinya
suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu
pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berhubungan dengan tuturan, apakah
berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, tergantung pada konteks yang
melatarbelakangi peristiwa tuturan itu (Mulyana, 2005:21). Proses terjadinya
peristiwa tuturan dapat digambarkan sebagai berikut.
Bagan: 3
PROSES PERISTIWA BERTUTUR
Pembicara (1) Pasangan Bicara (2)
Maksud (pra ucap) Pemahaman (pasca ucap)
Pensandian (encoding) Pembahasan sandi (decoding)
Pengucapan (fonasi) Penyimakan (audisi)
KONTEKS
123
Pada hakikatnya, wacana adalah wujud nyata komunikasi verbal manusia.
Wacana selalu mengandaikan adanya orang pertama, atau disebut pembicara,
penulis, penyapa, atau penutur (addressor). Orang kedua, sebagai pasangan bicara
atau pendengar, pembaca, petutur (addresse). Keterpahaman terhadap tuturan antara
orang pertama dengan orang kedua, tergantung dari bagaimana kedua pembicara
memahami tuturan yang bersifat kontekstual. Salah satu unsur konteks yang penting
adalah waktu dan tempat. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Kutipan (26):“Bagi yang ingin belajar ilmu leak dapat menarikan kehebatannya di tempat ini
menjadi penari bola api yang disebut endih. Akan tetapi kini sudah berjejerbeberapa Pura megah siap menampung ribuan umat yang ingin menjalankanberbagai macam ritual/upacara terutama yang berhubungan dengan laut. Setiaphari ada saja umat yang mekemit di Pura, apalagi hari purnama, Tilem dankajeng kliwon.”(Alit Adnyana, informan 21)
Kutipan paragraf di atas, memberi informasi tentang ‘keadaan’ suatu desa
berdasarkan konteks ‘tempat dan waktu’. Pemahaman tentang lokasi (tempat) desa
dimaksud jelas keberadaannya dekat dengan laut. Keadaan desa Sanur pada saat itu
berbeda dengan keadaan pada saat ini. Air dan listrik belum tersedia, sehingga waktu
sore hari (remang-remang) suasananya seperti sudah malam (sudah gelap). Kondisi
desa tersebut sering digunakan sebagai tempat mengasah ilmu kedigjayan dan dapat
dibayangkan suasananya pasti membuat bulu kuduk berdiri. Namun, apabila
dikaitkan dengan konteks pada saat ini tentu, pemahaman terhadap makna dan
informasi dari tuturan mengalami perubahan.
124
B. Implikatur
Secara etimologis, implikatur diturunkan dari kata implicatum. Secara
nominal, istilah ini sama dengan kata implication, yang artinya maksud, pengertian,
keterlibatan. Dalam lingkup analisis wacana, implikatur berarti sesuatu yang terlibat
atau menjadi bahan pembicaraan. Secara struktural, implikatur berfungsi sebagai
jembatan/rantai yang menghubungkan antara ‘yang diucapkan’ dengan ‘yang
diimplikasikan’. Jadi, suatu dialog yang mengandung implikatur selalu melibatkan
penafsiran yang tidak langsung. Dalam komunikasi verbal, implikatur biasanya sudah
diketahui oleh para pembicara, dan karenanya tidak perlu diungkapkan secara
eksplisit (Mulyana, 2005:12). Ada dua macam implikatur, yaitu: implikatur
konvensional dan implikatur percakapan. Implikatur konvensional ialah pengertian
yang bersifat umum dan nontemporal. Artinya, makna atau pengertian tentang
sesuatu bersifat lebih tahan lama. Di dalam wacana mitos RK yang ditemukan adalah
implikatur konvensional seperti kutipan berikut.
Kutipan (27):“Soekarno sebagai salah satu bapak bangsa yang pemikirannya perlu ditelaah,sekaligus dimanfaatkan.” (Andre Mujiarto, informan 4).
Kata ‘bapak bangsa’ pada kutipan di atas dapat diartikan sebagai ‘pemimpin’.
Pemaknaan ini benar, karena secara umum (konvensional), orang sudah mengetahui
bahwa Soekarno adalah pemimpin bangsa yang legendaris. Jadi, dalam konteks
wacana tersebut, orang tidak akan memahami kata ‘pemimpin bangsa’ dengan
pengertian yang lain.
125
5.2.1 Aspek Instrinsik
Membicarakan teks, menyangkut pemahaman tentang hal-hal di dalam teks itu
sendiri sedangkan membicarakan konteks, menyangkut pemahaman tentang hal-hal di
luar teks. Dalam menganalisis struktur naratif wacana dari aspek internal (unsur
instrinsik), dapat di lihat beberapa hal, yakni: latar (tempat dan waktu), tema,
penokohan, alur, sudut pandang, dan amanat (Moeliono,1988:336). Secara singkat
dapat dilihat seperti pada matrik 1 berikut.
MATRIK : 1
GAMBARAN STRUKTUR NARATIF (ASPEK INSTRINSIK)
No. ASPEKINSTRINSIK
WACANA MITOS RATU KIDUL
Wacana Mitos RK di PesisirBali Selatan
(versi 1)
Wacana Mitos RK versiKejawen di Bali
(versi 2)
1 Tema Wacana Mitos RK di pesisirBali Selatan dalamhubungannya denganpengamalan ajaran Tri KayaParisudha dan kearifan lokalTri Hita Karana. Implementasidilakukan melalui ritual ber-yadnya terhadap laut.
Wacana Mitos RK di pesisir BaliSelatan dan pengamalan ajaran ‘‘kaweruh’ Manungggalingkawula lan gusti. Aplikasinyadengan kegiatan meditasi yangterimplementasi melalui kearifanlokal ‘mulat- sarira’ untukmencapai Mamayu hayuningbawana.
2 Alur /Plot Alur ceritanya menunjukkanalur mundur menceritakantentang kisah dewa-dewipemberi kemakmuran,kesejahteraan sebagai penguasasumber mata air. Wacananyaberkaitan erat denganperjalanan agama Hindusampai di Bali. Mulai daricerita dewi Gangga di pantaiYeh Gangga, dewi Parwatihutan Segara Rupek, ceritadewa-dewi lain serta para orangsuci yang berjasa menata alamlingkunan Bali. Hal ini terjadimulai dari zaman kerajaan BaliKuno (abad-11) hingga zaman
Alur ceritanya menunjukkan alurmaju, dengan wacana dimulaidari cerita terbakarnya hotel BaliBeach Sanur. Sebelum kebakaranterjadi sudah ada tandaperingatan yang diterima olehsalah seorang karyawan hotelpada saat itu, melihatpenampakan dan mendapatpetunjuk langsung dari KRK.Peringatan itu diharapkanmendapat respos terutama daripihak manajemen. Namun,peringatan yang berulangkalimuncul tidak direspons. Sampaiterjadi kebakaran. Menurutterawangan gaib salah satu
126
republik. Wacananya adalahtentang roh dewa-dewi,bhatara-bhatari dan orang-orang suci yang bereinkarnasisebagai RK. Keyakinan itulahmemunculkan nama dewa-dewiHindu yang berbeda-beda,namun semua mempunyai misimelindungi umat manusia darisegala permasalahan duniawiterutama di laut. Dalamkaitannya dengan wacana mitosRK bahwa sejak dulumasyarakat Bali menghormatilaut dan menurut ajaranHindu dipersonifikasikansebagai‘ibu’ dengan simbolwarna merah (Brahma) danberkedudukan di Selatan.Dalam bahasa Jawa Kuna,Selatan disebut kidul. Darisitulah muncul nama ‘RatuKidul’ sebagai penguasa danpenjaga laut. Nama dewa-dewiyang berbeda-beda padamasing-masing wilayahpewacanaan disesuaikandengan fungsinya dantugasnya. Untuk memaknaikearifan lokal ini masyarakatsenantiasa melakukan ritualsesaji terhadap alam (Tuhan,alam lingkungan, dan manusia)perwujudan Tri Hita Karanaterutama terutama sumber-sumber mata air. Salah satukearifan lokal yang dilakukanadalah dengan pembersihan dirilahir bathin agar terhindar darimara bahaya yang dikenaldengan malukat (ruwatan),yakni sebuah pemahaman yanglebih implisit ttg cara atauperlakuan manusia untukmenjaga harmonisasi alamsemesta serta lingkungannyaagar terhindar dari pencemaran.Ini semua merupakan cerminandari ajaran etika Hindu TriKaya Parisudha dan Tri HitaKarana. Dengan malukat
paranormal, hal itu disebabkanoleh perseteruan dan perebutanwilayah kekuasaan atas pantaiSelatan antara Kanjeng RatuKidul dengan Ratu Gede MasMacaling/Ratu Gede Dalem Ped.Akhirnya, terjadi perang api yangmenimbulkan kebakaran di hotelBB sekitar tahun 1992. Pascaperistiwa itu terlihat adakeanehan/kejanggalan daridampak kebakaran, yakni salahsatu kamar sama sekali tidaktersentuh oleh api yang telahmeluluhlantakkan hotel selama 3hari. Dari hal yang mustahil itu,maka pihak manajemen berniatuntuk menanyakan kepada orangpintar dalam hal ini paranormal.Setelah mediasi dilakukanbarulah diketahui bahwa kamaryang bernomor 327 itu ternyataadalah salah satu kamar yangpernah dipesan oleh Bung Karnopada saat pembangunan hotelbaru dimulai. Kamar tsbrencananya digunakan untukbermeditasi apabila sedangberada di Bali. Namun, sebelumhotel beroperasi BK mengakhirikepemimpinannya. Akhirnyakamar itu pun disewakan sepertikamar-kamar lainnya hinggaterjadi kebakaran. Sejakdiketahui permasalahan sepertiitu, maka kamar 327 disebutsebagai kamar Bung Karno dantidak disewakan lagi tetapidisakralkan dengan menghias,merawat, dan memberikan ritualsesaji. Cerita berikutnya adalahCottages BB yang bernomor2401 menurut informan yangpernah menjadi ‘pemangku’ dikamar itu, keberadaannyadibangun tahun 1997 melaluimimpi dan petunjuk paranormalyang pernah didatangi olehseorang perempuan cantikberambut panjang mengakubernama KRK. Orang tsb
127
diharapkan pikiran, perkataan,dan perbuatan manusia dapatdikendalikan. Salah satu carauntuk menyatukan diri kepadaTuhan Yang Maha Kuasadalam manifestasinya sebagaidewa-dewi penguasa sumbermata air dilakukan dengan jalanbhakti, mengucap syukurkepada Hyang Kuasa ataumanifestasi-Nya.
ternyata juga meminta disiapkankamar khusus agar selalu bisaberdekatan dengan BK. Maka,jadilah kamar 2401yangselanjutnya dinamakan kamarsuci Kanjeng Ratu Kidul. Samaperlakuannya seperti kamar 327,kamar 2401 pun dihias serbahijau, dirawat dan diberikanritual sesaji baik sehari-harimaupun pada saat hari tertentuseperti pada bulan Suro tepatnyapada malam 1 Suro dilakukanritual ‘labuhan’ (larung) di lauthingga saat ini. Setelah keduakamar tsb di atas disakralkan,sejak itu pula muncul wacanamitos RK sesuai dengan persepsidan sudut pandang masing-masing yang dikaitkan dengantugas dan fungsinya pada wilayahpewacanaan. Melihat ciri khaskeberadaan kedua kamar tsbmaka para spiritual kejawenmenghubungkan wacana mitosRK sebagai bentuk aplikasi ajaran‘kaweruh’ yang dikenal sebagaimanunggaling kawula lan gusti,yakni ajaran yang mengutamakankeserasian hubungan denganalam semesta. Untuk mencapaihal itu bagi orang Jawa perlumelakukan kearifan lokal yangdinamakan mamayu hayuningbawana yakni cara untukmencapai keharmonisan denganalam lingkungan agar tercapaikesejahteraan dan kebahagiaanhidup lahir dan bathin.Implementasi dari ajaran dankearifan loka tsb dilaksanakanmelalui meditasi dan ‘mulatsarira’(perenungan diri) untukdapat menyatukan pikiran agarperkataan dan perbuatan dapatdikendalikan.
3 Tokoh danperwatakannya
Tokoh :Ratu Gede Sekaring Jagat,Dewi Danuh, Dewa Baruna,Ratu Ayu Mas Manik Tirta, IbuDewi Parwati, Ratu Suun
Tokoh :Kanjeng Ratu Kidul/ Bunda RatuKidul,Soekarno, Ratu GedeDalem Nusa/Ped, Ratu NyangSakti, Ratu Ayu Subandar/ Dewi
128
Kidul, Sanghyang SinuwunKidul, Ratu Biyang Sakti, RatuAyu Manik Macorong DaneGusti Blembong/SawangDalem/Ratu Ayu Mas KentelGumi, Hyang Giri Putri, RatuSang Kala Sunya.
Kwan Im.
Perwatakannya;
Ratu Gede Sekaring Jagat:gaib,melindungi, mengayomi ,welas asih, memberikesembuhan.
Dewi Danuh/Ratu Ayu Masmanik Tirta: gaib,mengayomi dan menciptakankemakmuran, kesejahteraanserta pemberi berkah kepadapara petani.
Ibu Dewi Parwati: gaib,pemurah, mulia, setia,bersahaja , penuh welas asih,pemberi berkah kemakmurandan inspirasi perlindunganterhadap bencana yangdiakibatkan oleh alam.
Ratu Ayu Manik MacorongDane Gusti Blembong/RatuSawang Dalem/ Ratu AyuMas Kentel Gumi: gaib, setia,pemurah dan selalu menjagakeharmonisan alam danmakhluk hidup.
Ratu Hyang Giri Putri: gaib,putri gunung yang cantik nananggun, menjaga keseimbangangunung , darat dan laut sertawelas asih kepada umatmanusia.
Ratu Sang Kala Sunya: gaib,mengayomi dan melindungimanusia dari bencana alamterutama yang diakibatkan olehlaut .
Perwatakannya;
Kanjeng Ratu Kidul/ BundaRatu: gaib, cantik,anggun,welas asih, meneladani,mengayomi dan melindungi,serta penyayang, membantumengatasi segala permasalahanduniawi.
Sukarno: religiusitas, agamis,superior, kharismatik, foundingfather, cerdas, kritis, pemikir yghandal (idealis), percaya akankehidupan alam lain(supranatural), pemersatu,fleksibel namun tetaprevolusioner.
Ratu Gede Dalem Nusa/Ped:mistis (maha gaib), tegas, saktimandraguna, disegani, namunadil memberikan hukuman danbijaksana dalam menjagakeamanan perbatasan antara lautdengan darat dapat melindungimasyarakat dari bencana sertahama penyakit.
Ratu Nyang Sakti: gaib,pemberi berkah, pemurah dalamhal rejeki untuk setiap rumahtangga yang bermasalah dengankeuangan.
Ratu Ayu Subandar: gaib,pemurah dalam hal rejeki(mengatur keluar masuknyarejeki) pada setiap pemujanya.
Dewi Kwan Im: gaib, welasasih, lemah lembut, penyayang,
129
pemurah (sebutan lain Ratu AyuSubandar).
4 Latar Latar Tempat: wilayah PesisirBali selatan dg beberapa PuraDang Kahyangan a.l:Pura Watu Klotok, Pura BatuBolong, Pura Dalem Sakenan,Pura Campuhan WindhuSegara,Pura Segara TirtaEmpul Mertasari, Pura Segara,Pura Susunan Wadon, Pura SriJong, Pura Tirta Segara Rupek.
Latar Tempat;Hotel Inna Grand Bali Beach-Sanur kamar 327 dan Cottages2401.
Latar Suasana:Religius-magis.
Latar Suasana :Religius-magis, dan politis.
5 Sudut pandang Sudut pandang orang ketiga Sudut pandang orang ketiga6 Gaya Bahasa Cerita yang dituturkan kembali
oleh para informan dengangaya bahasanya cenderungbersifat informal, singkat, padatdan apa adanya.
Cerita yang dituturkan kembalioleh para informan dengangaya bahasanya cenderungbersifat informal, singkat, padatdan apa adanya.
7 Amanat Wacana mitos RK di pesisirBali Selatan adalah wacanasastra yang mengandung pesanbernuansa religius dalamkaitannya dengan alam.Menurut ajaran Hindu di Balikondisi manusia dan alamharus seimbang dan harmonis.Dalam mengatasi berbagaimasalah hidup baik yangdiakibatkan oleh manusiamaupun oleh alam dapatditempuh dengan cara mulatsarira, yaitu kearifan lokaluntuk introspeksi diri. Denganmelakukan pendekatan danberpasrah diri kepada YangMaha Kuasa, memohonpetunjuk sertapengampunannya agar semuakeinginan dilancarkan. Namun,sebelum mendekatkan dirikepada-NYA, hendaknyapikiran, perkataan, danperbuatan (tri kaya parisuda)dalam diri masing-masingdilakukan pembersihan dan
Wacana mitos RK di pesisir BaliSelatan mengandung sebuahpesan religius-magis untukpenghormatan terhadap laut yangdipersonifikasikan sebagai ‘ibu’.Seorang ‘ ibu’ akan selalumenjadi tempat mencurahkankeluh kesah dari anak-anaknya.Demikian pula ‘laut’ menjaditempat penampungan segalakotoran sampah, namun tetapsaja laut dibutuhkan, karenamerupakan sumber dari segalasumber kehidupan. Mengingatbegitu pentingnya laut, makamasyarakat wajib melindungi danmelestarikannya dari ancamanabrasi dan pencemaran. Apabilalaut dalam kondisi kritis, dapatmenimbulkan bencana yangdikenal dengan tsunami.Kemudian, diartikan sebagaipertanda akhir zaman, suatuwilayah/pemerintahan sedangmengalami masa sulit sepertiterjadinya konflik politik, sosialdan ideologi akan dapat
130
penyucian secara lahir bathinmelalui ritual yang dikenaldengan melukat (ruwatan).Penyatuan dan penyucian diridengan alam semesta jugamerupakan simbol daripenyucian buana Alit danbuana Agung. Oleh karena itu,masyarakat juga melakukanritual melasti, mapakelem, dannyegara-gunung. Denganmelakukan ruwatan diperolehketenangan, kenyamanan, danketentraman. Apabilatubuh/badan merasa nyamandapat berpengaruh terhadapketenangan dan ketentramanpikiran. Seorang yang berpikirtenang dan berperilaku bijakadalah orang yang sehat secarafisik /lahir maupun bathinnya.Jadi malukat atau ruwatanmerupakan salah satu bentukkearifan lokal tentangpengobatan tradisional atausalah satu bentuk terapy air.Adapun tempat yang palingbaik untuk melakukan ritualmalukat adalah pada sumber-sumber mata air seperti danau,sungai dan laut serta padapertemuan aliran air sungaiyang bertemu dengan air lautyang di Bali dikenal dengannama Campuan. Oleh karenaitu sumber mata air sepertitersebut harus disakralkandengan mendirikan bangunansuci ‘pelinggih’ danmemberikan ritual (sesaji) agarselalu dalam kondisi bersih,sehat, nyaman, tenang danbebas dari pencemaran sertaaura negatif. Harapan –harapantersebut telah tertuang dalamkonsep Tri Hita Karanasebagai tiga penyebabhubungan untuk mencapaikeharmonisan. Tempat-tempatseperti tersebut di atas diminatioleh para penekun spiritual
mengakibatkan perubahanzaman. Di dalam versi 2 ini,wacana mitos RK yang dikaitkandengan Hotel BB sebagai hoteltertua dan tertinggi di Bali atasgagasan Soekarno. Dibandingkandengan hotel lainnya, berada diluar peraturan, sehingga tidakmenutup kemungkinannyaberbagai bahaya datang darisegala arah seperti terjadinyakebakaran yang dimitoskansebagai perang api antara KRKdengan Ratu Gede Macaling. Dilain sisi, mungkin saja karenakonsleting listrik, namunkemudian dikaitkan dengan mitoskeberadaan RK di Bali. Apapunalasan dan pemahaman paratokoh dan masyarakat yangberkompeten di bidangnya.Wacana mitos RK pada akhirnyaberkembang mengikutiperkembangan zaman danteknologi. Pada intinya setiapmanusia dalam komunitasnyaharus mampu mencari jalankeluar (solusi) dari setiapmusibah atau masalah yangdialami. Solusi yang diharapkanadalah solusi terbaik bagi semuaorang, tidak hanyamementingkan pribadi/kelompok.Pernyataan ini merupakan pesanyang tidak saja untukdirenungkan, tetapi harusditindaklanjuti sertadiimplementasikan olehmasyarakat Bali sesuai dengansituasi dan kondisi alam padasaat ini, baik terhadappegunungan, daratan dan lautan.Kerusakan lingkungan akibatulah manusia atau perlakuanterhadap alam yang tidakmanusiawi sudah tidak dapatditolerir lagi karena dampakyang ditimbulkannya dapatmerusak masa depan atau nasibmanusia. Oleh sebab itu, dalamteologi pantheisme dinyatakan
131
Keterangan Matrik: 1
1) Tema Wacana
Tema atau theme adalah permulaan dari suatu ujaran dan bersifat abstrak.
Tema atau tematik adalah pokok pikiran yang menjadi dasar sebuah percakapan.
untuk bermeditasi, olah bathinsehingga dapat menyatu denganTuhan sang pencipta alamsemesta yang dalam konsepHindu disebut JiwanMukti/moksa. Hal inimerupakan tujuan akhir daritahapan kehidupan manusia.Dalam versi ini RK diyakinidan disebut dengan nama yangberbeda-beda (sahasra nama)sesuai dengan kemampuanmenyebutkannya sebagai dewa-dewi penguasa sumber mata airdan pemberi berkahkemakmuran bagi masyarakat.Hal ini tidak bisa disalahkan,sebab kenyamanan dankeamanan terletak pada diripara pemuja, justru dapatmeningkatkan niat masyarakatuntuk selalu mendekatkan dirikepada Tuhan Yang MahaKuasa.
bahwa alam semesta itulahpersonifikasi dari Tuhan.Hubungan Tuhan, manusia danalam harus seimbang, palingtidak sebagai masyarakat yangpeduli terhadap lingkungan harussudah mulai bertindak untukmeminimalkan kerusakan danpencemaran yang telah terjadidemi generasi mendatang. Tujuandari penyeimbangan tersebutuntuk menemukan hubunganyang harmonis antara ketigaunsur alam, agar dapatdiperoleh kemakmuran dankesejahteraan lahir bathin danuntuk kestabilan pulau Bali padaumumnya. Itulah alasannya HotelBB setiap tahun baru Jawatepatnya pada malam 1 Suromelakukan ritual ‘labuhan’(larung), sedangkan masyarakatnelayan di pantai Pengambenganmelakukan ritual ‘petik laut’.Wacana mitos RK di Hotel BBjuga identik dengan kegiatanbermeditasi untuk selalu dapatmendekatkan diri kepada YangMaha Kuasa melalui RK sebagaipersonifikasinya. Oleh karenaitu, konsep filosofi ajaranmanunggaling kawula lan gusti,yang dijabarkan melalui kearifanlokal mamayu hayuning bawana,penting dilakukan denganharapan kondisi lingkungan alamsemesta dapat senantiasa terjagakelestariannya. Walaupun padaakhirnya tergantung dari caramanusia dalam menyikapinya.
132
Tema merupakan perumusan dan kristalisasi topik-topik yang akan dijadikan
landasan pembicaraan, atau tujuan yang akan dicapai melalui topik tersebut (Keraf,
1984:107). Tema merupakan suatu ide pokok dalam sebuah cerita dan merupakan
yang terpenting dalam cerita sebagai tujuan yang ingin dicapai dan disampaikan
pengarang kepada pembaca melalui karangan (Tarigan, 1987:125).
Nurgiantoro (2007:70), tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita,
tentang berbagai pengalaman kehidupan, seperti: masalah cinta, rindu, takut, religius
dan sebagainya. Tema sering disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita.
Pengarang bercerita untuk mengatakan sesuatu kepada pembaca. Tema yang baik
memiliki empat sifat, yaitu (1) kejelasan, (2) kesatuan, (3) perkembangan, dan (4)
keaslian.
Sifat kejelasan menyangkut pada gagasan sentral, uraian kalimat, dan rincian-
rinciannya. Sifat kesatuan atau keutuhan ialah, semua bagian dalam wacana mengacu
dan menuju pada gagasan utama (tema). Sifat perkembangan, artinya ada proses
pengembangan tema secara maksimal, logis, dan teratur. Sifat keaslian atau
orisinalitas dapat dimaknai sebagai kejujuran dalam mengungkapkan fakta-fakta,
gagasan, dan pikiran dengan kemampuan sendiri. Setiap tema terdiri atas beberapa
topik dan setiap topik disempitkan menjadi judul-judul yang relevan dengan tema.
Penelitian ini mengulas tentang, tema ‘wacana sastra bernuansa religi’. Selanjutnya,
diturunkan menjadi topik yang bertajuk ‘kearifan lokal’. Topik ini diturunkan lagi
menjadi “Persepsi Masyarakat Terhadap Mitos Ratu Kidul di Pesisir Bali Selatan:
Kajian Wacana Naratif.” Dengan demikian, suatu topik pada dasarnya adalah suatu
133
‘tema kecil’ yang lebih menyempit dan makin spesifik. Artinya, dalam satu gagasan
utama, tema mewadahi kedua aspek lainnya. Kajian tematik wacana yang berjudul
‘Persepsi Masyarakat terhadap Mitos Ratu Kidul di Pesisir Bali Selatan’ meliputi
tema utama, yaitu ide sentral yang terkandung dalam keseluruhan cerita.
Aspek-aspek yang membangunnya, antara lain: alur, latar, tokoh, sudut
pandang, dan amanat. Berdasarkan hasil kajian terhadap struktur formal dan struktur
naratif, maka tema utama wacana dari kedua versi yang ditemukan adalah, ajaran
tentang keseimbangan serta keharmonisan lingkungan alam kodrati dan adikodrati
demi mencapai tingkat kehidupan yang tertinggi melalui pelestarian laut dan gunung.
Tema utama dapat dijabarkan baik secara implisit maupun eksplisit. Secara
implisit tertuang pada setiap peristiwa yang dibangun oleh tokoh-tokoh sentral dalam
wacana. Pada versi 1, memperkenalkan tokoh RK sebagai dewa-dewi Hindu penguasa
sumber mata air yang diyakini dapat memberikan kesejahteraan dan energi
(kekuatan) spiritual tentang ajaran etika agama Hindu Tri Hita Karana dan Tri Kaya
Parisudha. Ajaran tersebut diimplementasikan melalui kearifan lokal ritual ber-
yadnya terhadap alam semesta khususnya yang dilakukan di laut dan sumber mata air
seperti ritual ‘nyegara-gunung’,‘mapekelem’, ‘melasti’, ‘melukat’. Laut merupakan
sumber mata air terbesar dalam kehidupan. Oleh karena itu, sumber mata air yang
akan dimanfaatkan harus ditata, dijaga, dilindungi, dan dilestarikan agar terhindar
dari pencemaran dan kerusakan lingkungan terutama yang diakibatkan oleh manusia.
Pada versi 2, tokoh utama adalah Kanjeng Ratu Kidul (KRK), yang secara
tidak langsung memperkenalkan ‘roh’ Soekarno melalui peristiwa kerawuhan pada
134
saat Hotel Inna Bali Beach Sanur mengalami kebakaran bulan Januari tahun 1992.
Versi ini, didukung oleh komunitas paranormal dengan memperkenalkan ajaran
kaweruh ‘manunggaling kawula lan gusti’. Dalam aplikasinya dilakukan melalui
kearifan lokal ‘mamayu hayuning bawana’ dengan implementasi berupa aktivitas
meditasi yang merupakan wujud dari ‘mulat sarira’ (kontemplasi diri). Konsep ini
merupakan salah satu ajaran kejawen yang bertujuan untuk mencapai keselamatan
dan kebahagiaan hidup dengan cara mencintai dan melestarikan alam lingkungan.
Implementasi dari ajaran tersebut yang berkaitan dengan wacana mitos RK dilakukan
dengan tradisi ritual ‘labuhan’ dan ‘petik laut’.
Tema kedua versi tersebut dipersepsi dan dipahami oleh masyarakat secara
berbeda. Ada tiga kelompok masyarakat yang mempersepsi mitos RK di Pesisir Bali
Selatan, diantaranya; (a) kelompok paranormal memahami wacana mitos RK dengan
memuja RK sebagai sasuhunan sehingga perlu dibuatkan tempat pemujaannya berupa
palinggih, gedong/kamar suci atau melalui pemujaan patung, arca, lukisan. Tempat
pemujaan yang telah dibangun tentu diberikan ritual sesaji sehingga muncul ritual
‘labuhan’ atau ‘ngelarung’ pada saat malam 1 Suro; (b) kelompok nelayan memahami
wacana mitos RK dengan memujanya sebagai penguasa laut selatan sehingga perlu
melakukan ritual ‘petik laut’; (c) kelompok masyarakat multikultur memahami
wacana mitos RK sebagai dewa-dewi atau bhatara-bhatari (leluhur) sehingga perlu
dibuatkan palinggih dan letaknya berdekatan dengan pura Dang Kahyangan.
Berkaitan dengan tradisi perlu melakukan ritual-ritual yang berhubungan
dengan laut seperti nyegara-gunung, mapakelem, nganyud, ngangkid, dan melasti.
135
Semua ritual dan persembahan serta sarana yang digunakan ditujukan hanya kepada
Tuhan Yang Mahaesa dengan manifestasi Beliau salah satunya Kanjeng Ratu Kidul.
Dari paparan tema tersebut di atas akhirnya akan mengacu pada tanda, betapa
pentingnya menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam semesta: gunung, darat,
dan laut agar tetap lestari. Salah satu bentuk ajaran kasih sayang serta perhatian
masyarakat Bali terhadap alam semesta diekspresikan melalui berbagai kearifan
lokal, dengan tradisi ritual ber-yadnya terhadap unsur-unsur alam. Berbagai yadnya
yang dilakukan, seperti: mecaru, melasti, mapakelem, nyegara-gunung,labuhan, petik
laut dan ritual lain lebih dikenal dengan ritual bhuta yadnya karena ditujukan kepada
unsur alam yang da tan kasat mata/niskala (alam adikodrati). Berbeda dengan ritual
‘malukat’ sebagai bentuk ritual penyucian diri secara lahir dan bathin ditujukan
kepada manusia sebagai makhluk yang berkewajiban menata lingkungan alamnya.
2) Alur (Plot)
Alur merupakan jalinan peristiwa dalam sebuah cerita untuk memperoleh efek
tertentu. Alur cerita mengisahkan tentang bagaimana peristiwa itu berlangsung sejak
awal hingga akhir. Nurgiantoro (2007:153-154), plot/alur merupakan jalan cerita,
atau peristiwa demi peristiwa yang susul menyusul membentuk cerita. Setiap kejadian
adalah sebab akibat dari peristiwa yang diakibatkan karena peristiwa yang lain
mempunyai hubungan kausalitas. Peristiwa atau cerita dimanifestasikan melalui
perbuatan, tingkah laku dan sikap tokoh-tokoh utama cerita yang bersifat verbal
maupun nonverbal. Oleh karena itu, plot merupakan cerminan atau perjalanan tingkah
laku para tokoh dalam berpikir, berkata, dan bertindak.
136
Alur cerita kedua versi wacana mitos tentang RK di Pesisir Bali Selatan
masing-masing berbeda, yang mempersamakan hanyalah inti dari wacananya.
Walaupun demikian, pembahasan tentang alur tetap mendapat porsi tersendiri dengan
mengolah berbagai informasi yang diperoleh dari para penutur.
Di dalam versi 1, alur ceritanya menunjukkan alur mundur. Dalam wacana ini
diceritakan kisah dewa-dewi Hindu penguasa sumber mata air sebagai pemberi
kemakmuran. Dewa-dewi yang disebutkan dipercaya merupakan reinkarnasi dari RK.
Sebagaimana keyakinan dalam agama Hindu, bahwa air dari sungai (gunung) dan
danau muaranya akan ke laut. Kemunculan nama dewa-dewi pembawa berkah
(kemakmuran) yang berbeda-beda sesuai peran dan fungsinya. Kaitannya dengan
wacana mitos RK, bahwa masyarakat di Bali menghormati laut yang menurut ajaran
Hindu dengan personifikasi sebagai ‘ibu’ dan simbol warna merah (Brahma) yang
berkedudukan di Selatan. Dalam bahasa Jawa Kuna, Selatan dikatakan dengan kata
‘kidul’. Dari situ muncul nama Ratu Kidul sebagai penguasa dan penjaga laut yang
keberadaannya di Selatan.
Penamaan RK yang berbeda-beda pada masing-masing ‘palinggih’
menyesuaikan dengan fungsi dan kondisi wilayah pewacanaan. Di dalam versi ini
yang lebih ditonjolkan adalah pemaknaan kearifan lokal ‘malukat, nyegara-gunung,
mapakelem, melasti’ dalam pemahaman yang lebih eksplisit, yakni dengan cara atau
perlakuan manusia untuk menjaga harmonisasi alam semesta serta lingkungan laut.
Hal ini merupakan cerminan dari ajaran etika Hindu Tri Kaya Parisudha dan Tri Hita
Karana (wawancara dengan Mk. Dalem Sakenan, 27 Maret 2014). Sedangkan
137
manfaat ‘malukat’ (ruwatan) adalah untuk pembersihan diri manusia secara lahir
bathin agar terhindar dari mara bahaya.
Demikian juga dengan ritual laut lainnya untuk tujuan mengharmoniskan alam
semesta yaitu buwana alit dengan buwana agung. Ritual ‘malukat’ dapat menjadi
salah satu cara untuk menyatukan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dalam
manifestasinya sebagai dewa-dewi penguasa sumber mata air. Dengan ritual
‘malukat’ diharapkan agar alam semesta serta lingkungannya terhindar dari
pencemaran sampah ‘sekala’ maupun ‘niskala’ sehingga kondisi alam tetap lestari
(wawancara dengan Alit Adnyana, 21 April 2014).
Di dalam versi 2, alur ceritanya menunjukkan alur maju. Wacana dimulai dari
cerita mitos terbakarnya Hotel Bali Beach (BB) Sanur. Hasil terawangan niskala,
disebabkan oleh perebutan wilayah kekuasaan antara KRK dengan Ratu Gde Mas
Macaling/Ratu Gde Dalem Ped terhadap laut Bali Selatan. Ceritanya dikemas melalui
asal usul peristiwa kebakaran hotel, dan menggunakan mediasi kerawuhan seperti
yang diceritakan oleh informan Mangku Made Wirya (wawancara, 10 Mei 2013).
Setiap informan menggunakan cara pandang serta argumentasi masing-masing dalam
memahami permasalahan yang terjadi, sehingga alur ceritanyapun berliku.
Salah seorang penekun spiritual kejawen, Andre Mujiarto mengatakan bahwa,
pendirian Hotel BB tidak terlepas dari adanya konsep Maritim dan konsep Bhineka
Tunggal Ika gagasan Soekarno. Konsep dimaksud merupakan penggalan cerita
kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Dalam kaitannya dengan KRK, wacananya
dikemas melalui ajaran kaweruh yang dikenal dengan manunggaling kawula lan
138
gusti. Secara eksplisit antara rakyat dengan pemimpin harus bersatu bersama-sama
dalam menghadapi segala rintangan. Ajaran ini berkembang menjadi kearifan lokal
tentang bagaimana memperlakukan alam semesta serta lingkungan sebaik-baiknya
sebagai ciptaan Tuhan, dengan berupaya melindungi keselamatan dunia untuk
mencapai kesejahteraan lahir maupun bathin (fisik dan spiritual). Kearifan lokal ini
dikenal dengan mamayu hayuning bawana, yaitu sebuah ‘laku’ menuju keselamatan
dan kebahagiaan hidup. Memayu hayuning bawana sebagai upaya memperindah dan
melindungi keselamatan dunia baik lahir maupun bathin dengan fokus perhatian lebih
diutamakan pada wilayah darat, laut dan gunung. Aplikasi kearifan lokal ini
dilakukan dengan jalan meditasi untuk‘mulat sarira’ (kontemplasi) dan berzikir
dengan harapan pikiran, perkataan, serta perbuatan manusia dapat dikendalikan.
Kearifan lokal tersebut berimplikasi dengan didirikannya kamar suci pada
cottages hotel nomor 2401 khusus untuk (Kanjeng Ratu), dan kamar nomor 327 yang
tidak terbakar pada saat peristiwa kebakaran tahun 1992, dinamai kamar suci
Soekarno juga disakralkan. Selanjutnya fenomena yang terjadi di Hotel BB pada
akhirnya berimbas terhadap pendirian palinggih dan gedong suci KRK di pesisir Bali
Selatan. Dalam hal ini, RK dipandang sebagai simbol magis dan pantas diberikan
penghormatan karena turut menjaga keharmonisan alam Bali terutama laut.
Penghormatan pun dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa atau manifestasi-Nya melalui tradisi ritual larung sesaji (labuhan) pada malam
1 Suro (khusus di hotel BB). Sampai saat ini, kepercayaan tersebut meluas tidak
hanya bagi masyarakat nelayan atau pegawai hotel, tetapi juga masyarakat umum dari
139
berbagai profesi dan status turut serta memundut (memuliakan) dengan menjadikan
sebagai sasuhunan (junjungan/pujaan). Pada saat ini, nama RK yang dimuliakan oleh
beberapa paranormal di Bali berkembang hampir menyamai sasuhunan terhadap Ratu
Gde Dalem Ped. Perkumpulan spiritual yang menerapkan ajaran-ajaran tentang alam
semesta dengan sasuhunan RK sebagian besar bertujuan untuk melakukan pelayanan
di bidang pengobatan serta penanganan masalah kehidupan lain bagi masyarakat yang
membutuhkannya.
Nama RK juga berimbas kepada penjualan lukisan dalam berbagai wujud
yang menunjukkan karakter, sifat, serta fungsi serta keberadaannya. Nengah Jaya
Subagya, (wawancara, 15 Pebruari 2014), seorang pedagang lukisan di Pasar
Beringkit menuturkan, bahwa dijualnya lukisan dewa-dewi Hindu termasuk lukisan
RK dengan segala wujud yang disandingkan dengan lukisan Bung Karno karena
terinspirasi oleh mimpi yang pernah dia alami selain karena dimotivasi oleh seorang
pensiunan Angkatan Laut. Para ‘pemangku’ di Pura-Pura Dang Kahyangan yang
berada di pesisir Bali Selatan dalam ‘Sae’(doa) menyebut RK dengan berbagai nama
(berbeda-beda), salah satu di antaranya di Pura Dalem Pangembak dengan sebutan
Ratu Gede Sekaring Jagat (wawancara dengan Mk. Ranten, 3 Juni 2013).
3) Tokoh (Penokohan) dan Perwatakannya.
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami berbagai peristiwa dalam
cerita. Tokoh artinya menunjuk pada pelaku. Tokoh merupakan hasil rekaan
pengarang. Oleh karena itu, perlu digambarkan ciri-ciri lahir melalui sifat dan
sikapnya. Tokoh sebagai pelaku dalam cerita, bercerita tentang manusia atau makhluk
140
lain yang diceritakan sebagaimana halnya kehidupan manusia nyata (Tarigan, 1987:
133-134). Penokohan artinya pelukisan tentang watak pelaku yang ditampilkan dalam
sebuah cerita. Oleh sebab itu, tokoh atau penokohan identik dengan perwatakannya.
Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam karya naratif, oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu, melalui ekspresi
dalam ucapan dan tindakan.
Penokohan dalam pengertian yang lebih luas menyangkut teknik perwujudan
dan pengembangan tokoh yang diceritakan. Pembacalah yang memberi arti atau
memaknai, memahami dan menafsirkan yang dimaksud sesuai dengan logika dan
persepsinya (Nurgiyantoro, 2007:166). Tokoh dan penokohan mempunyai posisi
yang strategis sebagai pengemban dan penyaji pesan, amanat atau sesuatu yang ingin
disampaikan oleh pengarang. Penggambaran tokoh dan penokohan harus dianyam,
dijalin bersama-sama dengan unsur lain dalam wacana. Tokoh yang ditampilkan
dalam teks adalah tokoh utama, tokoh kedua, dan tokoh sampingan. Tokoh utama
adalah tokoh yang secara dominan terlibat dalam pembentukan insiden teks. Tokoh
kedua adalah tokoh yang berperan sebagai oposisi tokoh utama, sehingga perannya
bersifat sekunder dalam teks. Tokoh sampingan adalah tokoh yang bersifat
menunjang tokoh utama dan tokoh kedua, sehingga pelukisannya tidak sebanyak
tokoh utama.
Di lihat dari fungsinya, tokoh dibedakan atas: tokoh protagonis (tokoh yang
dikagumi karena mengejawantahkan norma, nilai yang ideal), dan antagonis (tokoh
yang beroposisi dengan tokoh protagonis secara langsung maupun tidak langsung).
141
Untuk mengetahui para tokoh yang dituturkan dalam wacana ini, dapat dilihat melalui
fisik dan psikis atau dari sifat, karakter, dan intensitas kehadirannya dalam tuturan.
Karakter serta watak para tokoh dalam wacana mitos RK dengan cara langsung
(telling). Artinya, perwatakan itu dilukiskan melalui pemaparan watak tokoh pada
eksposisi dan komentar langsung para informan sehingga peneliti lebih cepat
memahami dan menghayati watak tokoh dimaksud.
Tokoh dan perwatakan yang diungkap dalam wacana mitos RK, dibatasi
hanya pada tokoh utama dan tokoh kedua dari versi 2. Tokoh utama, dan tokoh
pendamping dari versi 1 pemaparan oleh para informan atau tukang cerita bersifat
tidak kasat mata. Tokohnya ada, yakni bhatara-bhatari/dewa-dewi sehingga
penokohannya dilukiskan secara implisit. Oleh karena itu, pelukisan tokoh dan
perwatakannya tidak dipandang dari langsung atau tidak langsung, namun dilakukan
secara terpadu dan lebih banyak menggali perilaku serta nilai-nilai semiologis tokoh
utama.
Dari kedua versi wacana mitos RK, tokoh nyata yang menjadi tokoh utama,
keduanya bersifat implisit karena diyakini merupakan reinkarnasi dewa-dewi Hindu,
orang suci yang menjadi panutan semasa hidupnya. Beliau-beliau dipandang
memiliki kepedulian terhadap sumber-sumber air dan pemberi berkah kehidupan,
berada di alam yang tidak kasat mata. Keberadaan dan pemunculan tokoh dimaksud
hanyalah melalui petunjuk paranormal dan para penekun spiritual. Walaupun
tokohnya tidak nyata, namun karakternya akan dilihat dari fungsi dan pesan yang
diwacanakan melalui para informan.
142
Tokoh Soekarno dan RK juga merupakan tokoh yang bersifat implisit (tidak
nyata) karena dalam pemaparan dipandang sebagai ‘roh’. Namun demikian, kedua
tokoh tersebut dapat dikenali dari sifat dan karakter semasa hidupnya terutama
tentang Soekarno. Sedangkan RK hanyalah nama untuk julukan dari penguasa dan
penjaga lautan bagian Selatan yang juga dinyatakan sebagai ‘roh’ dengan sengaja
dihidupkan oleh Tuhan dan dipercaya membantu menyelesaikan segala permasalahan
duniawi (Miyasa, 4 Juli 2015). Mengingat perlunya pembahasan tentang tokoh dan
perwatakan, maka di dalam penelitian ini kedua versi hanya membahas secara
terbatas tokoh utama yang nyata, yakni, tokoh Kanjeng Ratu Kidul (KRK) dan Bung
Karno (BK), walaupun keduanya tetap bersifat implisit.
A. Kanjeng Ratu Kidul/Bunda Ratu/Ratu Kidul
Tokoh Kanjeng Ratu Kidul selalu kontroversial dan misteri. Pencitraan dan
penceritaan terhadap tokoh ini seringkali menimbulkan pertentangan terutama di
kalangan masyarakat biasa (awam). Di Jawa, ada yang mengidentikkan dengan tokoh
sesat, sosok Nyai Blorong, yaitu seorang tokoh yang menjanjikan kejayaan dunia dan
materi, namun menyakitkan karena adanya imbalan berupa tumbal. Ada juga yang
menggambarkan sebagai Nyai Rara Kidul atau Nyi Lara Kidul, yakni sosok tokoh jin
yang dipercaya sebagai salah satu penguasa laut Selatan (sosok yang mendatangkan
rasa sakit dari Selatan). Dari sudut pandang istilah/ julukan, kedua tokoh tersebut
menunjukkan watak yang antagonis serta menimbulkan citra yang negatif. Tokoh
KRK digambarkan sebagai sosok agung dan anggun, welas asih berwibawa, namun
143
bersifat gaib, memiliki kekuasaan dan citra positif yang dipengaruhi oleh kata
‘kanjeng’ sebagai gelar kehormatan (wawancara dengan Laksana, 6 Juni 2014).
Di Jawa, ada 110 nama yang dijuluki sebagai Kanjeng Ratu Kidul. Dari nama-
nama tersebut terdapat banyak keterangan yang berbeda-beda antara satu dengan
yang lain dalam hal memberikan julukan serta maknanya terhadap tokoh tersebut
(Sholikhin, 2009:111-113). Di Bali tokoh RK juga dipandang sebagai tokoh yang
keberadaannya tidak terlepas dari kekuatan alam supranatural (alam halus) sehingga
diberi nama atau julukan berbeda-beda antara lain, seperti: Bunda Ratu, Kanjeng Ratu
Gede Kencanasari Sekaring Jagat, Ratu Biyang Sakti, Ratu Nyang Sakti, Ratu Ayu
Subandar, Dewi Kwan Im, Dewi Danuh, Ibu Dewi Parwati, Dewi Gangga, Ratu Ayu
Mas Manik Tirta, Ratu Ayu Mas Kentel Gumi, Ratu Ring Tengahing Segara, Ratu
Hyang Giri Putri, Ratu Ayu Manik Macorong Dane Gusti Blembong, Ratu Sawang
Dalem, Ratu Sang Kala Sunya, dan beberapa nama lain yang tidak disebutkan dalam
penelitian ini. Masing-masing informan memahami tokoh ini secara berbeda-beda.
Ada yang mengatakan ‘roh’ manusia yang telah mengalami reinkarnasi berulang-
ulang, dan ada pula yang memandang tokoh RK tidak pernah hidup sebagai manusia,
namun tetap merupakan ‘roh’ yang berada (hidup) di alam Dewata. Nama apa pun
yag dijuluki merupakan fakta semiotik dari persepsi masyarakat, bahwa wacana
terhadap RK di pesisir Bali Selatan dapat diresepsi.
Nama-nama yang diberikan kepada RK berdasarkan keadaan, kepribadian,
kekuasaan, serta fungsi dan tugasnya sebagai pengemban amanah dari Tuhan Yang
Mahaesa dalam perspektif spiritual. Oleh karena itu, lukisan RK, palinggih/gedong,
144
patung, dan berbagai wujud lain menjadi simbol, peran, dan kepribadiannya.
Misalnya, pada saat murka, maka lukisannya terlihat menyeramkan, juga pada saat
berperan sebagai seorang ibu yang pengasih, penyayang dan pemberi berkah, terlihat
lukisannya cantik dan anggun, berpakaian serba hijau dengan mahkota di kepalanya,
mengendarai kereta kencana di atas gulungan ombak. Dalam konteks wacana ini
dapat di lihat pada kutipan berikut.
Kutipan (28):“ Setelah memasuki candi bentar Pura, menuju madya mandala, di sebelah selatan
terdapat palinggih Ratu Sang Kala Sunya namun tertulis di sana palinggihKanjeng Ratu Kidul. Palinggih itu dipercaya merupakan aspek sakti dari bhataraWaruna yang menguasai daerah kutub selatan.”(Soma, informan 23)
Demikian juga, wacana melalui mimpi sebagai berikut.
Kutipan (29):“Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul dulu adalah seorang penari keraton yang sangat
cantik dan anggun, berpakaian serba hijau dengan mahkota, namun sayang kisahcintanya dengan pangeran tidak direstui oleh raja. Karena itu ia menceburkandiri menjadi penguasa di laut selatan dan membantu memberi berkah kepadapara nelayan.”(Meme Bukit, informan 26)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa nama Ratu Sang Kala Sunya disejajarkan
dengan nama Kanjeng Ratu Kidul dan disamakan pula dengan Kanjeng Ratu Nyi
Roro Kidul. Fakta semiotiknya dapat dilihat seperti pada foto di bawah ini.
Foto: Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul inspirasi mimpi ‘Meme Bukit’(Dok: Yudari,2014).
145
Penyebutan atau pemberian nama yang berbeda-beda untuk tokoh RK
disesuaikan dengan karakter, fungsi, dan tugasnya. Oleh sebab itu, menurut
keyakinan umat Hindu di Bali, nama terhadap dewa yang dipuja tidak
dipermasalahkan, seberapapun kemampuan menyebutnya yang terpenting tidak ke
luar dari tiga dewa utama (Tri Murti). Pada kutipan di atas disebutkan bahwa KRK
merupakan aspek sakti dewa Waruna yang merupakan manifestasi dari dewa Vishnu.
Demikian juga pada paragraf berikutnya menunjukkan asal usul serta karakter RK
yang sebenarnya diketahui melalui mimpi.
Nama adalah ungkapan yang paling pendek dengan makna yang dalam. Istilah
ini dikenal dengan Sahasra Nama (seribu nama suatu dewata), merupakan
pengembangan yang lebih luas dari nama Ketuhanan, yang paling populer dan bentuk
suci dari keberadaan Tuhan. Setiap nama atau Stotra menyangkut keberadaan Tuhan
merupakan suatu doa pemujaan kepada dewata tertentu, seperti: Vishnu, Siva,
Ganesa, dan seterusnya. Nama itu tergetar bersama-sama ke dalam sloka, menandai
adanya penuntasan atribut dan kemuliaan dewata. Kemuliaan Tuhan menjelmakan
Diri dengan banyak cara melalui perasaan dan tidak berperasaan. Dengan
melantunkan nama itu, pemuja menunjukkan bhakti mereka, karena nama dapat
menciptakan mata rantai yang suci dengan pencipta mereka. Jadi, pemilihan nama
merupakan cermin dari betapa besarnya keagungan kegiatan Beliau. Dari pemahaman
para informan, tokoh RK atau KRK adalah ‘roh’ yang telah bereinkarnasi secara
berulang.
146
B. Soekarno/Bung Karno
Terlepas dari seorang mantan penguasa, Soekarno atau Bung Karno panggilan
akrabnya, sejak kecil digembleng ‘laku’ kebatinan Jawa (laku spiritual) oleh gurunya,
yakni Kyai Santri (KPH. Djoyo Koesoema) yang berteman dengan Ronggowarsito
(Mangkunegoro IV) bersama beberapa nama terkenal lain. Beliau senang mengkaji,
mendalami, dan melakoni ilmu kebatinan. Dalam perjalanan hidup yang dirasanya
penuh ketidakadilan justru menjadi semangat untuk bangkit dan mencari sumber
keadilan yang hakiki.
Perjalanan spiritualnya bahkan mampu menghadirkan KRK sebagai guru
spiritual. Kyai Santri selalu mengajarkan bagaimana manusia mampu kembali
menjadi manusia yang sebenarnya (asalnya) yang dalam budaya Jawa disebut
sangkan paraning dumadi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyelaraskan batin,
pikiran, ucapan, dan perbuatan. Hakikat kehidupan manusia sama dengan ciptaan
lainnya menurut hukum ekosistem, dikenal dengan cakra manggilingan (wawancara
dengan Andre Mujiarto, 2013).
Soekarno mempunyai karakter dan pendirian yang teguh, tidak mau menyerah
apa yang sudah dimilikinya, dengan keyakinan bahwa keadilan harus ditegakkan.
Bung Karno (BK) juga menempatkan agama sebagai kekuatan revolusioner. Konsep
tentang ‘pantheisme’ membawanya lebih mencintai alam, karena manusia tidak
mungkin mengenal Tuhan tanpa alam semesta, termasuk di dalamnya dunia manusia.
Soekarno adalah salah satu bapak bangsa yang pemikirannya perlu ditelaah sekaligus
sebagai cermin untuk memahami dan mencari jalan ke luar terhadap kemelut
147
hubungan antar etnis dan antar agama. Ada satu pernyataan yang pernah
dilontarkannya seperti pada kutipan kalimat/paragraf berikut.
Kutipan (30):“ Tubuh bisa ditiadakan, tetapi roh tidak” dan Katakanlah sekarang tentang
apa yang telah saya katakan sewaktu dulu (Andre Mujiarto, informan 4).
Kutipan di atas bermakna bahwa, BK mempunyai karakter yang teguh dan
revolusioner. Walaupun BK telah tiada tetapi roh, bahasa, dan spiritnya masih hidup,
tidak bisa ditiadakan atau dibiarkan berlalu tanpa tarikan empati, lebih-lebih di masa
sekarang. Di tengah krisis yang melanda dunia pada saat ini, roh Soekarno seakan
hidup kembali. Untuk itu diperlukan wacana yang membawa manusia kepada proses
penyadaran, pencerahan, dan berpikir serta berimajinasi.
4) Latar atau Pelataran
Latar adalah tempat, keadaan, dan waktu terjadinya peristiwa dalam cerita.
Tarigan (1983:157) menyebutkan, latar sangat penting dalam memberi sugesti
terhadap tokoh untuk menciptakan suasana tertentu. Latar merupakan salah satu unsur
wacana yang melukiskan tentang keadaan lingkungan, waktu dan tempat yang
mendukung peristiwa. Latar lingkungan berupa pelukisan tentang situasi atau
keadaan sekitar, tempat peristiwa terjadi. Latar waktu berupa pelukisan tentang waktu
atau saat peristiwa itu terjadi. Latar tempat berupa pemaparan tentang lokasi dari
peristiwa yang dituturkan (Nurgiyantoro, 2007:219).
Dalam wacana ini pelukisan tentang latar tidak selengkap seperti dalam fiksi
modern. Hal ini tidak berarti mengurangi arti aspek pelataran dalam teks, karena
pelataran merupakan hal yang penting untuk menunjang simbol-simbol religius
148
kehidupan masyarakat dalam teks. Oleh karena itu, latar yang terlukis dalam teks
disebut latar spiritual (spiritual setting). Artinya, nilai-nilai yang melingkupi dan
terkandung di dalamnya lebih menekankan pada unsur religius (Mahardika,
2012:315).
Pentingnya kajian latar pada wacana mitos RK dari sudut pandang tertentu,
karena teks dapat memberikan tanda-tanda semiologis, yang berkaitan dengan bentuk
naratif dari sebuah konsep tentang ke-Tuhanan. Oleh karena itu, dalam mengkaji latar
ada tiga komponen yang menjadi unsurnya, yakni: waktu, tempat, dan lingkungan.
Namun ada kemungkinan tidak semua komponen latar muncul dalam teks mitos RK.
Di dalam penelitian ni tidak dilakukan secara berdiri sendiri untuk masing-masing
unsur latar, tetapi secara terpadu karena satu komponen dengan komponen lainnya
saling terkait.
Wacana mitos RK cenderung pemaparannya dalam suasana yang bernuansa
filosofis, religius, dan misteri, karena itu nilai-nilai magis mempengaruhi latar cerita.
Dari kedua versi wacana RK masing-masing memiliki latar tempat. Misalnya, versi 1
latar tempatnya lebih menunjukkan alam lautan (pesisir Bali Selatan) dengan tempat
suci palinggih/gedong yang berdekatan dengan pura yang berstatus Dang Kahyangan
dan keberadaannya di pinggir laut.
Masing-masing tempat dimaksud memiliki sumber mata air dan secara khusus
difungsikan sebagai tempat untuk memohon penyucian diri lahir dan batin (malukat).
Dengan melakukan ritual malukat, diharapkan segala noda dan dosa dapat
diminimalisir, bahkan dihapuskan asalkan selalu disertai dengan pikiran, perkataan
149
dan perbuatan yang baik dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, latar suasana
dan lingkungan menunjukkan keadaan yang religius-magis.
Di dalam versi 2, latar tempat menunjukkan hotel ternama dan tertua, yaitu
Hotel BB Sanur pada saat ini bernama Inna Grand Bali Beach (IGBB). Latar suasana
dan lingkungannya bernuansa magis dan politis akibat terjadinya kebakaran di awal
tahun 1992. Dari hasil terawangan melibatkan nama Soekarno dan KRK, telah
meminta disiapkan sebuah kamar suci untuk kegiatan bermeditasi. Ibaratnya sebagai
tempat persinggahan sewaktu-waktu apabila berada di Bali. Mengenai latar tempat
dari kedua versi teks dapat dilihat pada kutipan berikut.
Kutipan (31):“Ketika ia pasrah dan putus asa menderita gagal ginjal, lalu mendapat pawisik untuk
membangun parahyangan. Di sana, di pinggir pantai Padang Galak ia menemukansebatang kayu besar yang mengeluarkan asap dan api, menurutnya sebagai pertanda
adanya kebesaran Tuhan. Lokasi tempat penemuan kayu itu dijadikan letak PuraCampuan Windhu Segara. Dan kini pura tersebut menjadi tempat melukat danolah bathin yang paling ramai dikunjungpara pemedek.”( Alit Adnyana, inform 21)
Kutipan (32):“Akhirnya terjadilah peristiwa kebakaran di tahun 1992 selama tiga hari tiga malamapi tidak kunjung padam melumat semua kamar hotel Bali Beach Sanur. Peristiwayang menghebohkan itu disertai keanehan bin keajaiban, karena satu-satunya kamaryang bernomor 327 tidak terbakar ketika hotel dilalap si jago merah. Walhasil, daripenglihatan bathin dan terawangan gaib paranormal diperoleh petunjuk bahwa,kamar yang dimaksud itu adalah hadiah dari Kanjeng Ratu Kidul kepada Soekarnountuk tempat bermeditasi.”(Wirya, informan 1)
Kutipan (31) menunjukkan adanya latar tempat, yakni laut dan lebih
menonjolkan ajaran mengenai etika pengelolaan lingkungan khususnya laut sebagai
sumber air terbesar. Air laut berguna untuk pengobatan segala macam penyakit
khususnya penyakit kulit. Apalagi air laut bertemu dengan air sungai yang disebut
campuhan, diyakini dapat menghilangkan segala kotoran lahir dan bathin. Oleh
150
karena itu, munculnya tradisi malukat yang berupa penyucian fisik dan psikhis
manusia agar terhindar dari noda dan dosa dalam melaksanakan ajaran agama Hindu
Tri Kaya Parisudha.
Pada kutipan (32), latar di Hotel BB Sanur yang suasananya sedang dalam
kemelut karena mengalami musibah kebakaran. Kebakaran di hotel itu memunculkan
berbagai versi cerita tentang ‘roh’ Soekarno seolah-olah sebagai abdi dari KRK,
sehingga latar suasana terkesan ada unsur ideologi dan politik.
5) Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang digunakan dalam
membangun wacana. Sudut pandang juga sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang mendukung wacana. Cara semacam ini
merupakan strategi, teknik, siasat, yang sengaja dipilih informan dan tukang cerita
dalam mengemukakan ide-ide yang disampaikannya. Ada keterlibatan para informan
pada wacana yang disampaikannya, apakah sebagai orang yang berada di luar yang
diwacanakan (objektif) atau terlibat langsung dengan apa yang diwacanakannya
(subjektif).
Menurut Nurgiyantoro (2007:251), sudut pandang mempunyai hubungan
psikologis dengan pembaca selaku penyambut wacana. Pembaca membutuhkan
persepsi yang jelas tentang sudut pandang, sehingga aspek ini dapat merupakan
sarana terjadinya koherensi dan kejelasan cara penyajiannya.
Sudut pandang tidak hanya dianggap sebagai cara pembatasan dramatik, tetapi
lebih jauh merupakan teknik penyajian definisi tematik, karena menawarkan nilai-
151
nilai, sikap dan pandangan hidup. Aspek-aspek tersebut disajikan dengan siasat,
dikontrol dengan sarana sudut pandang. Dengan sarana tersebut dapat difungsikan
sebagai cara untuk mencurahkan berbagai sikap dan pandangan melalui tokoh-tokoh
yang ditampilkan. Wacana tentang sudut pandang dalam mitos RK di pesisir Bali
Selatan dapat dilihat pada kutipan sebagai berikut.
Kutipan (33):“Tempat artefact (lingga) yang akan dikunjungi masih harus menempuh 8(delapan) km lagi jalan tanah menuju ke arah barat dari Pura Segara Rupek(induk). Ketika sampai di tempat tujuan, karuan saja disambut dan dikerumunioleh ribuan lalat hijau (buyung bangke) yang besar-besar. Menurut GustiMangku, hal itu merupakan pertanda bahwa beliau (Kanjeng Ratu....red)menerima kedatangan kami, sedangkan lalat hijau itu dikatakan sebagaipengawal beliau.”(Laksana, informan 7)
Kutipan (34):“Menurut beberapa paranormal, Ratu Kidul selalu ditemukan bersama-samaBung Karno kemanapun dan dimanapun berada. Di Bali RK diwacanakan dalambentuk kepercayaan, bukan cerita-cerita legenda, karena memang tidak adatercantum pada ‘Dewata Nawasanga’ atau di dalam lontar apapun tidak bakalanditemukan.”(Miyasa, informan 6)
Kutipan (35):“Belum sempat menikmati dan menempati kamar hotel yang dimaksud, karenamemang belum waktunya untuk diresmikan, tiba-tiba saja terjadi konflikG.30.S/PKI tahun 1965 yang berkecamuk di seluruh Indonesia dan berbuntutpada runtuhnya kepemimpinan Soekarno bahkan sampai akhirnya beliaumeninggal dunia. Karena itulah pada tahun 1966 hotel Bali Beach diresmikanoleh Sultan Hamengku Buwono IX yang saat itu menjadi Wakil Presiden daripemerintahan Soeharto.”( Sudarsana, informan 3)
Kutipan (33) menunjukkan bahwa wacana dengan teknik proposisi persona
ketiga (sudut pandang orang ketiga) dapat membangun tokoh yang mengemban visi
dan misi religius untuk melestarikan kehidupan alam beserta isinya. Wacana yang asli
diterjemahkan, ditafsir atau diinterpretasi, direkonstruksi/diformulasi dan dimaknai
kembali oleh peneliti sesuai sudut pandang masing-masing. Apabila kutipan (33)
152
dikaitkan dengan teknik sudut pandang, maka tokoh-tokoh dalam wacana berposisi
sebagai proposisi persona ketiga, “beliau.”
Wacana mitos dan tradisi RK menerapkan sudut pandang author-observer.
Artinya, teknik yang memposisikan para informan tidak pada posisi luluh atau tidak
ada sangkut pautnya dengan yang diwacanakan, kecuali sebagai peninjau sehingga
informan tidak dapat mengetahui jalan pikiran tokoh-tokoh yang disebutkan.
Informan secara utuh berada di luar wacana atau menyampaikan apa yang
diketahuinya dari orang lain (sumber cerita).
Sudut pandang auther-observer bersifat objektif, para informan tidak terlibat
dan tidak dapat memberikan komentar serta penilaian yang subjektif terhadap
peristiwa, tindakan, atau tokoh-tokoh yang diceritakan. Para informan hanya sebagai
observer sehingga posisinya sama dengan pembaca, yakni secara utuh berada di luar
cerita. Penerapan sudut pandang ini merujuk pada peristiwa-peristiwa yang
diciptakan oleh para tokoh dalam cerita yang cenderung bersifat religius-magis. Ini
dimaksudkan, yakni setiap tahap peristiwa diperlukan pemaknaan yang mendalam
untuk memperoleh petunjuk yang jelas tentang konsep-konsep ajaran ke-Tuhanan
(Mahardika, 2012: 185).
Pada kutipan (34) dan (35) juga menunjukkan suatu sudut pandang orang
ketiga. Isi kutipan tersebut disampaikan dan diceritakan oleh informan sesuai dengan
sudut pandang masing-masing. Wacana pada versi ini bersifat subjektif, posisi para
informan seolah-olah berada dalam teks. Informan hanya memerlukan nilai-nilai
kerohanian-spiritual dalam rangka penempaan kepribadian. Jadi, sudut pandang yang
153
diterapkan dalam wacana mitos RK kutipan (34) dan (35) versi 2, merupakan tanda
bagi kemurnian nilai spiritual dalam teks, sehingga tokoh-tokoh yang diwacanakan
seolah-olah berfungsi untuk menyebarkan nilai secara utuh yakni nilai yang
bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
6) Amanat
Amanat merupakan pesan-pesan moral yang tertuang dalam sebuah wacana
atau teks. Amanat juga dikatakan sebagai gagasan yang sengaja diciptakan oleh
pengarang atau tukang cerita dalam bentuk pesan moral yang berhubungan dengan
sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia, bahkan
dalam mempertahankan suatu wilayah tertentu. Pesan moral tersebut pada hakikatnya
bersifat universal, artinya pesan tersebut diyakini kebenarannya oleh manusia sejagat
(Nurgiyantoro, 2007:322).
Amanat yang tertuang dalam wacana mitos RK diungkapkan melalui dua
sudut, yaitu secara implisit dan eksplisit. Secara implisit digali melalui pergerakan
yang diciptakan oleh para tokoh dalam wacana tersebut. Secara eksplisit dapat
dibuktikan dari tuturan para informan yang mengalami langsung atau melalui
petunjuk paranormal dan ada juga melalui mimpi tentang sebuah peristiwa dengan
para tokoh dalam wacana. Amanat dalam wacana mitos RK dapat dilihat pada kutipan
paragraf berikut.
Kutipan (36):“Saya bukanlah putri raja, tetapi Tuhan menciptakan saya sebagai Dewi PenguasaDasar Lautan, bersama-sama Dewa Wisnu ada di atas saya dan banyak diberikan
pengawal berupa jin yang siap memberikan kekayaan, kesuksesan, dan berkahyang ada di dasar lautan kepada manusia atas seijin Dewi Dasar Lautan Ratu
154
Kanjeng Kidul.” (Armeli, informan 5)
Kutipan (37):“Pada hari tertentu yaitu malam 1 Suro (1 Muhharam), pihak manajemen hotelmelaksanakan ritual labuhan (larung) sesaji. Pada malam itu banyak pihakberdatangan terutama yang berprofesi paranormal membawa peralatan berupakeris, batu permata, tongkat, dan lain-lain yang digunakan menjalankanprofesinya. Tujuannya agar alat tersebut mendapat berkah serta bertuah dantajam deteksinya. Sementara sesaji yang dilarung dari kamar suci 2401 menujulaut adalah sejenis tumpengan serta beberapa peralatan yang menjadi kesukaanKanjeng Ratu.”(Okawati, informan 2)
Kutipan (38):“Banyak cerita kesembuhan yang terjadi di Pura Campuan Windu Segara (CWS),
tidak ada obat khusus yang penting sering tangkil ke Pura dengan hati yang tulusdan pasrah diri. Jro Mangku istri akan ‘ngalukat’, selanjutnya orang disuruhmandi di Campuan, lalu nunas tirtha kesembuhan. Menurut Jro Mangku, rahasiakesembuhan justru terjadi sebelum matahari terbit dan umumnya orang yangmemohon mencari waktu tengah malam atau menjelang pagi.”(Alit Adnyana,informan 21)
Kutipan (36) menunjukkan pesan tentang pentingnya penghormatan melalui
pemujaan kepada roh leluhur agar tidak tulah (kuwalat). Pengetahuan tentang kisah
masa lalu seperti sejarah atau babad, sering memiliki maksud
tersembunyi/terselubung dan jarang dipahami oleh pembaca, jika hanya melihat atau
mempelajari bentuk fisiknya tanpa mengupas pesan yang dikandungnya. Oleh karena
itu, penting mempelajari pola kehidupan dan kualitas pengetahuan spiritualitas yang
tinggi dari yang ditokohkan dewa-dewi penguasa sumber air.
Kesalahan tafsir terhadap tokoh linuwih nan agung dalam wacana, sastra, dan
sejarah atau babad serta agama dapat menyebabkan sejarah asli semakin terkubur.
Penyadaran dan peringatan kepada generasi muda perlu terus dipupuk agar tidak
melupakan sejarah dan selalu melakukan penghormatan kepada leluhur.
Penghormatan dilakukan karena telah berjasa menciptakan berbagai kearifan lokal,
155
menata, serta melestarikan alam lingkungan dengan pola kehidupan yang bermartabat
untuk tercapainya keharmonisan dalam hidup.
Munculnya wacana mitos RK mempunyai tujuan atau visi utama yaitu
memperbaiki lingkungan spiritual kehidupan masyarakat Bali yang dikemas dalam
bentuk tuntunan, dan ajaran kaweruh (ilmu rahasia keparamarthan) untuk mencapai
moksa. Masyarakat kejawen mengenalnya sebagai ajaran manunggaling kawula lan
gusti. Implementasi ajaran tersebut dikenal dengan konsep Tri Hita Karana (Bali)
dan mamayu hayuning bawana (Jawa).
Masyarakat juga dituntun untuk memahami arti penting penghormatan kepada
Tuhan dengan segala manifestasinya melalui ciptaan-Nya, yaitu alam semesta serta
isinya terutama terhadap laut dan gunung (segara-giri). Dengan menyeimbangkan
kondisi antara laut dengan gunung yang merupakan simbol perwujudan ibu-bapa
itulah yang disebut sebagai leluhur. Para leluhur telah mengajarkan arti penting
hubungan yang harmonis dalam kehidupan.
Kutipan (37) menunjukkan pesan untuk penghormatan kepada laut yang
dipersonifikasikan sebagai ibu alam semesta/ibu pertiwi, yaitu tempat berpijak serta
menjalani segala aktivitas dan masalah kehidupan. Hal ini diartikan sebagai pertanda
bahwa pada saat suatu wilayah/pemerintah mengalami masa sulit, seperti: bencana
alam, konflik politik, sosial, dan ideologi akan dapat mengakibatkan perubahan
zaman.
Setiap manusia dalam komunitasnya harus mampu mencari jalan ke luar
(solusi) dari setiap musibah atau masalah yang dialami. Solusi yang diharapkan
156
adalah yang terbaik bagi semua orang dengan tidak hanya mementingkan
pribadi/kelompok. Pernyataan ini merupakan pesan yang tidak saja untuk
direnungkan, tetapi harus ditindak lanjuti serta diimplementasikan oleh masyarakat
sesuai dengan situasi dan kondisi alam semesta, baik terhadap gunung, daratan
maupun lautan.
Kerusakan lingkungan akibat ulah manusia yang tidak manusiawi sudah tidak
dapat ditolerir lagi karena dampak yang ditimbulkannya dapat merusak masa depan
atau nasib manusia secara berkesinambungan. Oleh sebab itu, dalam teologi
Pantheisme dinyatakan bahwa alam semesta itulah personifikasi dari Tuhan.
Hubungan Tuhan, manusia, dan alam harus seimbang. Paling tidak, sebagai
masyarakat yang peduli terhadap lingkungan harus sudah mulai bertindak untuk
meminimalkan kerusakan dan pencemaran yang telah terjadi demi generasi
mendatang.
Tujuan penyeimbangan tersebut untuk menemukan hubungan yang harmonis
antara unsur-unsur alam agar dapat diperoleh kemakmuran dan kesejahteraan lahir
dan bathin serta untuk kestabilan Pulau Bali pada khususnya. Tradisi ritual RK yang
dilaksanakan di Hotel Inna Grand BB seperti ‘labuhan’ (larung) identik dengan
kegiatan bermeditasi sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa
melalui personifikasinya. Wacana ini seolah-olah menggambarkan tokoh KRK
sebagai tokoh penting dan sengaja ‘dihidupkan’ karena dapat ‘menghidupi’ serta
dianggap sebagai personifikasi Tuhan Yang Maha Kuasa.
157
Dengan konsep filosofi manunggaling kawula lan gusti yang dalam
implementasinya dijabarkan melalui kearifan lokal mamayu hayuning bawana,
diharapkan agar kondisi lingkungan alam semesta dapat terjaga kelestariannya.
Walaupun pada akhirnya tergantung dari cara manusia dalam menyikapi dan
menanggapinya.
Kutipan (38), menunjukkan adanya simbol-simbol yang bernuansa ideologis
dalam ajaran Hindu di Bali untuk mengatasi berbagai masalah hidup, baik yang
diakibatkan oleh manusia maupun oleh alam. Hal ini dapat ditempuh dengan cara
mulat-sarira (kontemplasi), yaitu kearifan lokal untuk introspeksi diri dengan
melakukan pendekatan diri kepada Yang Maha Kuasa, memohon petunjuk serta
pengampunannya agar semua keinginan dilancarkan. Sebelum mendekatkan diri
kepada-Nya, hendaknya pikiran, perkataan, dan perbuatan (tri kaya parisudha) dalam
diri masing-masing dilakukan pembersihan dan penyucian secara lahir dan bathin
melalui ritual yang dikenal dengan malukat (ruwatan).
Keberadaan alam semesta dan penyucian diri secara lahir dan bathin juga
merupakan simbol penyucian buana agung (makrokosmos) dan buana alit
(mikrokosmos). Dengan ruwatan diperoleh ketenangan, kenyamanan, ketenteraman.
Apabila tubuh atau badan telah merasa nyaman, tenang dan damai, akan berpengaruh
terhadap ketenangan dan ketenteraman pikiran. Seorang yang berpikir tenang dan
berperilaku bijak adalah orang yang sehat secara fisik/lahir maupun bathinnya.
Malukat (ruwatan) merupakan salah satu bentuk kearifan lokal bidang
pengobatan tradisional atau salah satu bentuk terapi air secara Hindu. Adapun tempat
158
yang baik untuk melakukan ritual malukat adalah pada sumber-sumber mata air,
seperti: danau, sungai, dan laut serta pada pertemuan aliran air sungai dengan air laut
yang di Bali dikenal dengan nama Campuhan.
Sumber mata air seperti itu harus disakralkan dengan mendirikan bangunan
suci dan memberikan ritual sesaji agar selalu dalam kondisi bersih, sehat, nyaman,
tenang dan bebas dari pencemaran serta aura negatif. Harapan ini telah tertuang
dalam konsep Tri Hita Karana sebagai tiga penyebab hubungan untuk mencapai
keseimbangan dan keharmonisan. Oleh karena itu, tempat-tempat seperti di atas
diminati para penekun spiritual dan paranormal untuk bermeditasi dan olah bathin
agar dapat menyatu dengan Tuhan Sang Maha Pencipta alam semesta, yang dalam
konsep Hindu disebut Jiwan Mukti/Moksa yang merupakan tujuan akhir kehidupan
manusia. Pada versi ini, RK disebut dengan nama yang berbeda-beda (sahasra-nama)
sesuai kemampuan menyebutkannya sebagai dewa-dewi yang menjadi keyakinan
masyarakat Hindu-Bali. Penamaan yang berbeda-beda tidak menyurutkan niat
masyarakat untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
5.2.2 Aspek Ekstrinsik
A. Unsur Geografis
Pulau Bali yang sering disebut the last paradise of the world terletak di antara
Lintang Selatan 7º54” dan 8º03” dengan Bujur Timur 144º26” dan 115º45”. Luas
Pulau Bali serta Nusa Penida dan pulau kecil lainnya 5.621 km². Batas-batasnya
meliputi: sebelah Utara: Laut Bali; sebelah Timur: Selat Lombok; sebelah Selatan:
159
Samudera Hindia; sebelah Barat: Selat Bali. Pulau Bali dapat dicapai melalui empat
pelabuhan utama, yaitu: Gilimanuk, Celukan Bawang, Benoa, dan Padangbai. Di
sepanjang pulau Bali membujur gunung/pegunungan dari arah Barat ke Timur,
membagi pulau Bali menjadi dua bagian, yaitu: berupa daerah alluvial pantai Utara
dan daerah alluvial pantai Selatan. Secara garis besar pulau Bali berbentuk segitiga
dengan lebar di tengah, menyempit ke arah Barat dan Timur.
Keadaan geografis wilayah Bali, khususnya laut Selatan dengan karakter
ombak yang besar sering menimbulkan pertanyaan tentang kekuasaan dan kekuatan
yang misterius hingga kini. Banyak korban yang hilang dan tenggelam serta terseret
arus di pantai selatan Bali. Banyak wacana menyebutkan bahwa itu terjadi karena
dendam Ratu Laut Selatan (Ratu Kidul). Ada yang mengatakan Ratu Kidul murka
atau Ratu Kidul ‘rawuh’ meminta tumbal dan sebagainya. Biasanya penduduk
setempat mempunyai jawaban sederhana yakni hilangnya korban karena dipilih oleh
Nyi Loro Kidul yang akan dijadikan budak atau bala tentara di laut Selatan. Sebagian
orang mungkin tidak percaya, tetapi bagi masyarakat di pesisir pantai Selatan Jawa
maupun di Bali kini meyakini bahwa sosok tersebut ada. Memimpin sebuah kerajaan
makhluk halus di dasar laut Selatan yang bernama keraton Segara Sewu (wawancara
dengan Eryani, 11 Juni 2013).
Demikian melegendanya mitos RK, hidup secara turun temurun di hati
masyarakat yang semula didukung oleh kaum nelayan, tetapi kini komunitas spiritual
menjadi pendukung setia, bahkan masyarakat umum juga turut meyakininya
walaupun masih menimbulkan banyak persepsi. Penjelasan secara ilmiah tentu akan
160
bicara lain. Meski dengan data minim, masyarakat yang kehidupannya berkecimpung
dengan laut telah mencoba menjelaskan ada tiga faktor penyebab terjadinya musibah
di laut, yakni: wisatawan kurang disiplin dalam mematuhi rambu-rambu larangan
yang dipasang petugas; kurangnya jumlah petugas penjaga pantai; dan minimnya
peralatan dan perlengkapan untuk mengawasi pantai. Ketiga faktor itu bermuara pada
kesalahan manusia (human error), yaitu para korban dan petugas pantai, sedangkan
penyebab alamiahnya tetap saja masih misteri.
Dari sudut pandang ilmiah tentu tidak seperti cerita masyarakat di atas.
Apabila diingat kembali, kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa lebih banyak
terjadi di pantai yang landai dan berpasir dibandingkan dengan pantai yang terjal dan
berbatu. Ini dapat dipahami mengingat masyarakat yang berenang umumnya
terkonsentrasi di kawasan pantai yang landai dan berpasir. Pada pantai yang terjal dan
berbatu, masyarakat tidak berani berenang, hanya menikmati panorama pantai dari
ketinggian. Mengapa pantai yang landai dan berpasir sering meminta korban jiwa?
Melalui analisis ilmu geologi dapat ditafsir bahwa, penyebab utama
kecelakaan adalah kombinasi antara gulungan ombak dengan seretan arus. Untuk itu
perlu diketahui karakter ombak, konfigurasi dasar laut dan mekanisme interaksi
kedua faktor itu. Karakter ombak laut (wave) di pantai Bali Selatan, seperti: pantai
Gilimanuk, Pengambengan, Pengragoan hingga Kuta, Ulu Watu, Padanggalak, dan
pantai Padangbai umumnya berenergi tinggi dengan ombak besar karena berbatasan
langsung dengan laut lepas.
161
Menurut I Made Sandy (pensiunan kantor Meteorologi dan Geofisika) sebagai
salah satu petugas penjaga pantai di Sanur mengatakan, ada teori tentang faktor
pemicu terjadinya ombak, yaitu arus pasang-surut (swell), angin pantai (local wind),
dan pergeseran (turun-naik) masa bebatuan di dasar samudra. Di pantai Bali Selatan
kombinasi antara gelombang pasang surut dengan angin lokal yang bertiup kencang,
khususnya pada saat musim Barat dapat menimbulkan ombak besar. Di tempat
tertentu, seperti: Kuta, dan Nusa Dua ombak bisa terbentuk setinggi 2-4 meter.
Jenis ombak lain yang berbahaya di pantai Selatan, khususnya adalah
gelombang tsunami. Gelombang ini dipicu oleh pergeseran naik-turunnya massa
batuan di dasar samudera. Interaksi antara ketiga jenis gelombang (swell, angin lokal,
dan tsunami) diyakini dapat menghasilkan gelombang dahsyat yang tiba-tiba datang
menyapu pantai. Bentuk morfologi dasar laut di sejumlah lokasi Laut Selatan juga
memungkinkan terjadinya hempasan gelombang dahsyat ke pantai dan sekaligus
memicu terjadinya arus seretan.
Profil laut Selatan umumnya memiliki zone pecah gelombang dekat garis
pantai sehingga zone paparan menyempit. Sistem arus di pantai dipicu oleh hadirnya
arus di lepas pantai akibat sirkulasi air laut global. Dalam pergerakannya, arus lepas
pantai mengalami perubahan arah menjadi arus sejajar karena adanya semenanjung
dan teluk. Arus balik (rip current) menuju laut sering muncul di teluk akibat arus
sejajar pantai yang berlawanan.
Kekuatan arus balik akan bertambah apabila dasar laut memiliki jaringan parit
(runnel) yang merupakan saluran tempat kembalinya sejumlah besar volume air yang
162
terakumulasi di pantai. Arus balik tidak bergerak di permukaan karena pergerakannya
terhalang oleh hempasan ombak yang datang terus menerus. Arus balik ini
diperkirakan menjadi penyebab utama meninggalnya korban yang sedang berenang di
pantai. Selain memiliki daya seret kuat, arah gerakannya pun bersifat menyusur dasar
laut menuju tempat yang lebih dalam.
Secara rekonstruktif diperkirakan, peristiwa terseretnya korban yang sedang
berada di tengah laut diawali oleh hempasan dan gulungan ombak yang cukup kuat
sehingga arus putar (turbulence current) pecahan ombak membuat korban terpental
ke dasar laut. Hantaman ombak menyebabkan kepanikan sehingga gerak tubuh
menjadi kacau, benturan kepala dengan benda keras pun dapat terjadi, akibatnya
korban tidak sadarkan diri. Pada saat bersamaan, arus balik langsung menyeret
korban melalui jaringan parit dasar laut. Dalam waktu relatif singkat korban
kehilangan kesadaran karena terjadi perubahan tekanan air laut secara tiba-tiba.
Korban dengan cepat kehilangan panas tubuh dan akhirnya meninggal (sumber:
http//www.artikelpintar.com/2010/08/laut-selatan-kenapa-sering-menelan.html).
Keadaan seperti di atas, kemungkinan yang menimpa istri Bupati Gianyar
(Alm. Nyonya Nani Mirna) menjadi korban terseret arus ke laut September 2010
pada saat menyeberangi muara Tukad Jinah di Pantai Sidayu, Desa Takmung,
Kecamatan Banjarangkan-Klungkung. Mayatnya ditemukan di perairan pantai Lebih.
Suaminya A. A. Gde Bharata (61) selamat setelah 5 jam tenggelam di pantai yang
sama. Akan tetapi, ditemukan terdampar dan dibangunkan oleh sejumlah tukang
pungut batu sikat yang berjarak ± 700 km arah Barat dari pantai Lebih, yaitu di
163
pantai Masceti-Gianyar (Bali Post, 6 September 2010). Oleh sebagian masyarakat,
musibah yang dialami pasangan ini diyakini sebagai gambaran masatya alaki rabi
(kesetiaan bersuami istri). Masyarakat lainnya, bahkan menghubungkannya dengan
‘Ratu Kidul mantu’ menjelang bulan Suro, dimana korban akan dijadikan juru rias.
Lokasi pantai yang landai dan berpasir dengan terumbu karang yang telah
mati atau batuan keras menjorok ke laut, potensi jatuhnya korban jiwa akan
bertambah karena jaringan parit dasar laut dapat terbentuk di celah-celah karang.
Pada beberapa kasus, korban terseret arus balik, kemudian terjepit di antara celah
karang dan tubuh korban pun tidak muncul kembali ke permukaan (hilang) tanpa
ditemukan jasadnya. Kemungkinan kasus ini pula yang menyebabkan tenggelamnya
rombongan kesenian (sekaa angklung) ketika menumpang janggolan atau perahu
jukung tradisional Sri Murah Rejeki.
Perahu dihantam oleh ombak sekitar 200 meter setelah meninggalkan
dermaga Jungut Batu, Nusa Lembongan pada selasa tengah malam, 20 September
2011. Rombongan bermaksud kembali ke kampungnya dusun Sibunibus desa Sakti
Nusa Penida menuju dermaga Toya Pakeh sekitar tiga mil dari Jungut Batu. Kedua
pulau di sebelah Tenggara Pulau Bali itu secara administratif masuk wilayah
Kabupaten Klungkung. Tiba-tiba gelombang besar setinggi empat meter menerjang
janggolan yang dinaiki rombongan dengan satu set gamelan, membuat perahu yang
dinakhodai oleh Made Langgor terbalik dan tenggelam (Radar Bali, Kamis 22
September 2011).
164
Kasus-kasus atau musibah yang terjadi di laut Selatan sebenarnya tidak
terlepas dari faktor alam/cuaca serta posisi dan kondisi laut Selatan selain faktor
manusianya. Dengan memahami posisi dan kondisi laut Selatan pada umumnya serta
jarak tempuh antara pulau Jawa sebagai asal mitos RK dengan pulau Bali tempat
penyebarannya memungkinkan wacana mitos RK mengalami perkembangan lebih
cepat. Pada kondisi seperti ini wacana RK sering muncul menjadi mitos yang dapat
menuntun masyarakat untuk selalu eling dan waspada (hati-hati). Demikian pula
kondisi geografis laut Selatan pada umumnya yang sering menelan korban, maka
mitos tentang penguasa laut Selatan pun menjadi ampuh dan dapat diterima oleh
masyarakat. Terlepas dari kemungkinan itu dengan melihat sisi geografis, jarak
tempuh Jawa-Bali dan fleksibelitas masyarakat terhadap peradaban yang masuk dapat
mempercepat proses penyebaran tradisi dan budaya. Kondisi seperti ini juga dapat
dikaitkan dengan mitos tentang selat Bali.
B. Unsur Historis
Pesona alam Bali yang eksotis-religius dengan keunikan budaya didasari oleh
agama Hindu, menyebabkan Bali mendapat julukan sebagai “Pulau Seribu Pura, Bali
Sorga Dunia” dan lain-lain. Namun, di balik semua itu ada sesuatu yang hilang dari
keberadaan pulau Bali, yaitu histori/sejarah yang hubungannya dengan masa lampau.
Jika dunia mempunyai cerita tentang daratan yang hilang, maka masyarakat Bali
mempunyai fakta sejarah yang hilang, yaitu hilangnya sejarah bumi Bali. Menurut
Darmaya (Pustaka Bali, 2010:1-2), dasar-dasar sejarah Bali yang objektif belum
dapat dirumuskan hingga saat ini, sehingga masyarakat Bali hanya mengetahui
165
tentang sejarah Bali berdasarkan pada cerita-cerita yang bersifat mitologis, seperti:
purana, babad, tutur, bancangah, dan lain-lain.
Dalam kumpulan Prasasti Bali I dan II yang ditulis oleh Rudolf Goris, di Bali
terdata ± 153 buah prasasti yang diterbitkan oleh 38 raja. Selain itu, peninggalan
arkeologis berupa arca pemujaan maupun Pura sebagai simbol kekuasaan raja-raja
Bali tidak terhitung jumlahnya. Sebelum abad masehi, agama Hindu belum
berkembang di Bali sehingga dalam Bali Purana disebutkan pulau Bali masih kosong.
Pada saat itu, di Bali terdapat dua kelompok masyarakat, yaitu: (a) kelompok ras
Papua Melayunesia yang dipengaruhi oleh budaya jaman perundagian dengan
melakukan pemujaan ke arah gunung yang disebut wangsa Bukit; (b) kelompok ras
Austronesia yang dipengaruhi oleh budaya zaman Bahari dengan melakukan
pemujaan ke arah laut yang disebut wangsa Peminggir.
Masuknya agama Hindu-Budha, pada awal abad pertama, ketika laut
digunakan sebagai lalu lintas perdagangan yang utama, maka mulai berdatangan para
pedagang dari wilayah Asia maupun Eropa. Di Asia telah tumbuh kerajaan-kerajaan
besar, seperti: Kalingga, Campa, dan lain-lain. Oleh karena itu, di Indonesia belum
berdiri kerajaan yang berdaulat, maka tentu menjadi daerah rebutan bagi kerajaan-
kerajaan tersebut.
Pada awal abad pertama, pulau Bali di bawah kekuasaan wangsa Sora dari
India, dan mulailah berkembang sekte Sora. Abad ke empat, pulau Bali berada di
bawah kekuasaan raja Campa yang bersifat Siwaistis sehingga berkembang agama
Hindu yang bersifat Siwaistis. Pada abad ke enam, Bali berada di bawah kekuasaan
166
dinasti Han dan Tang dari Cina, sehingga mulai berkembang agama Budha di Bali.
Pada abad ke tujuh, di Indonesia telah berdiri beberapa kerajaan Hindu yang
mempunyai kekuasaan besar, seperti: Sri Wijaya, Taruma negara, Kalingga, Mataram
Kuno, dan lain-lain. Bali pun pernah menjadi rebutan kerajaan-kerajaan tersebut
sehingga ada kiasan yang mengatakan “ dugas gumi Baline nu enceh”(pada saat
pulau Bali dalam keadaan cair) merujuk pada hal-hal yang sudah lama/kuno.
Pada saat Bali sudah berdiri dan menjadi kerajaan Hindu yang berdaulat
dalam artian sudah memiliki raja yang sah, maka ditemukan simbol-simbol
kekuasaan sesuai dengan wangsa pendukung raja-raja yang pernah berkuasa. Hal ini
ditunjukkan oleh prasasti Sukawana A I tahun 882 M. Dari 38 (tiga puluh delapan )
raja yang tertulis dalam prasasti Bali, berasal dari keturunan dan dinasti yang
berbeda, seperti: dinasti kerajaan Mataram, Sri Wijaya, Medang Kemulan, Daha,
Singosari, Majapahit, Gelang-gelang, Pajang, dinasti Arya Bali dan kekuasaan dinasti
lainnya.
Perlu diketahui, tidak semua raja Bali merupakan raja yang berdaulat. Ada
kalanya raja Bali menjadi raja bawahan dari raja-raja Nusantara yang setara posisinya
dengan Adipati atau Raja Patih. Di Bali pernah terjadi dualisme kekuasaan, yaitu
dalam waktu yang bersamaan Bali dikuasai oleh dua kerajaan bahkan tiga kerajaan,
dari dinasti yang berbeda. Setiap dinasti mempunyai hari kemenangan kekuasaan
yang sekarang menjadi hari raya Hindu. Pura dan tempat pemujaan raja-raja, seperti:
pura Indra Kila, pura Jenggala, pura Wong Arya, pura Maospahit, pura Rambut Siwi,
pura Batur dan lain-lain menjadi simbol kekuasaan. Demikian juga keraton dipandang
167
sebagai pusat kekuasaan, seperti: Singhamandawa, Singhadwala, Wijaya Pura, Tri
Sakti Pura, Sorapati Pura, Pura Dharma Hanyar Kutri, Lingga Buwana, Pura
Maospahit, Sweca Pura, Smara Pura, dan lain-lain.
Kekuasaan keraton juga didukung oleh, kelompok keagamaan yang bernama
wangsa dan bentuk bangunan khusus menjadi simbol atau ciri khas kekuasaan.
Gunung atau bukit dan laut atau ‘segara’ menjadi pusat orientasi keagamaan, seperti:
gunung Batur, gunung Agung, bukit Lempuyang, bukit Ulu Watu, bukit Jati, dan Pura
Segara di sepanjang pesisir pantai, baik Selatan maupun Utara. Dewa-dewa pujaan
biasanya mengikuti sekte raja yang berkuasa sehingga ada sebutan: Mahasora,
Mahaindra, Mahaiswara, Mahakala, Mahasaraswati, dan lain-lain.
Dalam catatan sejarah, nama Ratu Kidul sering dikaitkan dengan berdirinya
kerajaan Mataram Kuno (Hindu) pada tahun 732 M di bawah Rakai Sanjaya (Arifin,
2007:5). Pada era kebangkitannya setelah ditinggal oleh raja yang bernama Sanna,
Mataram mengalami kerusakan akibat serangan Sriwijaya. Dalam usaha
menyelamatkan diri, sebagaimana terdapat dalam “Cerita Parahyangan”, Sang Senna
diselamatkan ke Gunung Merapi, kemudian meminta perlindungan ‘Rahyangta
Kidul’. “Na sang Senna diintarkeun ke gunung Merapi....Anggeuh sakamantrian
lunga ka rahyangta kidul....” (itu sang Senna dihindarkan ke gunung
Merapi...bermaksud dengan kementriannya pergi ke Rahyangta Kidul).
Menyelamatkan diri ke gunung Merapi masuk akal, karena letak pusat kerajaan
Mataram adalah di desa Canggal (sebelah Barat Magelang) yang dibuktikan dengan
168
adanya lingga Gunung Wukir desa Canggal serta sisa-sisa candi yang pernah
didirikan oleh Sanjaya.
Gunung Merapi juga diyakini sebagai salah satu pusat kerajaan alam halus.
Rahyangta Kidul yang dimaksud dalam naskah tersebut adalah Ratu Kidul, dan
menurut Arifin (dalam Sholikhin, 2009:9) Rahyangta, adalah sebutan kuno kepada
seorang mendiang yang sudah lama meninggal dunia sehingga sebutan itu
dimaksudkan roh atau arwah dari orang yang meninggal itu. Pemahaman ini sejalan
dengan informasi dari I B. Miyasa (wawancara, 4 Juni 2015), bahwa Ida Ratu
Kanjeng (Ratu Kidul) adalah roh manusia juga yang telah lama meninggal dan sudah
menempati alam dewata.
Setelah lama tokoh mistis RK tidak muncul, nama RK kembali mengemuka
pada era Mataram Islam, setelah Babad Tanah Jawi menuturkan kisah percintaan RK
dengan Panembahan Senopati (Olthof, 2009:93-98), yang melahirkan legalitas bahwa
RK adalah permaisuri Panembahan Senopati. Ada perbedaan tokoh yang dituju antara
cerita Parahyangan dengan Babad Tanah Jawi. Jika dalam cerita Parahyangan yang
disebut dan dituju adalah RK utama, sementara dalam Babad Tanah Jawi yang disebut
RK hanyalah salah satu dari Ratu yang menjadi wakil RK yang utama.
Dalam Serat Centini, RK dikaitkan dengan tradisi Kahyangan Dalepih
(Wonogiri) yang tertera dalam Prasasti Majapahit di Candi Sukuh (1457 M).
Diceritakan, seorang putri wiku yang bertapa di Kahyangan Dalepih, sebagai berikut:
“Ratu Dalepih Ratu Kidul, kagarwa nJeng Senopati, dadya bu maru lan putra,
rumeksa wahyaning aji” (Serat Centini, 1989:8/18-19). Nama RK muncul kembali
169
pada zaman Republik di bawah presiden Soekarno yang disebut-sebut sebagai abdi,
atau sekaligus menjadi “suami”, dan lukisan RK dipasang pada sebuah ruangan di
Istana Negara. Demikian juga saat pemerintahan Soeharto, kembali muncul wacana
RK, yang oleh Mama Laurentina (peramal/paranormal) menjelang wafat dikatakan
beliau didampingi untuk dijemput oleh RK. Berikutnya, wacana RK muncul kembali
pada saat Joko Widodo akan menjadi Gubernur DKI dan semakin santer terdengar
hingga menjadi presiden.
Di Bali pernyataan senada dan masuk akal disampaikan oleh Mangku Wirya
(wawancara,10 Mei 2013), bahwa ‘Bunda Ratu Kidul’ adalah junjungan umat Hindu
sebagai ibu Nusantara, dan sudah ada sejak lama dan terus mengontrol para penguasa
dan rakyatnya di negeri ini. Dalam buku babad Brahmana yang diterjemahkan dari
lontar Dwijendra Tatwa, menyebut nama Sanghyang Sinuhun Kidul yang
dianugrahkan oleh Dalem Waturenggong (± abad ke-15 M) sebagai gelar Danghyang
Nirartha setelah beliau mencapai moksa.
Di dalam babad Sukawati juga muncul nama Ida Bhatara Kasuun Kidul.
Diceritakan pada abad ke-17 seorang ahli ilmu hitam bergelar Ki Balian Batur
sebagai penghuni teledu nginyah di sebelah Barat desa Cau, kalah perang dengan raja
Mengwi yang bergelar I Gusti Anglurah Agung Made Agung alias Tjokordo Sakti
Blambangan. Hal ini berkat bantuan dari I Dewa Agung Anom (Sri Aji Sirikan) yang
menembakkan peluru Ki Seliksik dengan bedil Ki Narantaka. I Dewa Agung Anom
adalah adik I Dewa Agung Dimade putra dari raja Klungkung.
170
Suatu pagi, I Dewa Agung Anom turun dari peraduan, beliau mendapati
seorang pria tampan gagah berwibawa duduk bersila di amben (serambi) gedong
peraduan. Tamu tidak dikenal itu berpakaian serba kuning. Ketika ditanya, dengan
sangat hormat sang tamu menyembah dan memperkenalkan diri bernama Ki Gede
Macaling dari Nusa Penida. Ia di utus oleh Ida Bhatara Kasuun Kidul untuk
menyampaikan anugrah Ida Bhatara berupa lontar dengan cakepan yang terbuat dari
denta (gading) yang bernama Ki Pengasih Jagat. Ki Gede Macaling bersedia menjadi
pengamer-amer di Bumi Timbul, tetapi Ia minta dibuatkan tempat peristirahatan di
Jaba Pura Erjeruk. Pada saat ini, wacana mitos RK di Bali sudah menyebar, terutama
di kalangan para penekun spiritual dengan ajaran khas Kejawen menjadi Sasuhunan
Kidul (Bunda Ratu Kidul).
Dengan berpedoman kepada jejak historis yang tertuang dalam naskah seperti
uraian di atas maka adanya keyakinan dan pemujaan terhadap RK terutama yang ada
di pesisir Bali Selatan masuk akal dan bisa diterima oleh masyarakat di Bali terutama
bagi yang merasakan masih ada hubungan historis. Apalagi saat ini nama RK di Bali
dipandang sebagai personifikasi dewa-dewi Hindu penguasa sumber mata air
umumnya dan laut khususnya, tentu membuat masyarakat semakin yakin sehingga
dengan tulus ikhlas turut menyakralkannya.
C. Unsur Religi
Menurut Tylor (Pals, 2011:38), sesuatu tidak akan bisa dijelaskan tanpa
mengetahui hakikatnya, hal inilah yang harus didefinikan melalui agama.
Menurutnya, agama merupakan keyakinan terhadap sesuatu yang bersifat spiritual,
171
keyakinan terhadap roh-roh yang berpikir, berperilaku, dan berperasaan seperti
manusia. Esensi setiap agama seperti juga mitologi adalah animisme, yaitu
kepercayaan terhadap sesuatu yang hidup, punya kekuatan dan ada di balik segala
sesuatu. Animisme akhirnya mengalami perkembangan dan pertumbuhan, roh yang
sama juga dianggap semakin terpisah dari objek pertama yang dikuasainya dengan
mengukuhkan identitas dan karakternya sendiri. Ketika menyembah seorang dewi
laut, masyarakat menganggap daerah laut sebagai tempat bersemayamnya, walau
mereka mengetahui dewi laut bisa saja meninggalkan laut jika menginginkannya.
Dengan datangnya masa Barbarian, manusia menemukan peradaban bercocok
tanam, mendirikan kota, kesusastraan, pembagian kerja, struktur kekuasaan yang
kompleks dan agama yang memiliki karakteristik beragam sebagai eleman
kebudayaan. Perkembangan selanjutnya, manusia merasa saling ketergantungan
antarroh seperti roh-roh pepohonan, bebatuan, sungai, angin, hujan dan matahari.
Perkembangan terus terjadi, dari keyakinan kuno sampai kepada tingkatan yang
paling tinggi yaitu monoteisme dan etika kepercayaan terhadap Tuhan yang disebut
agama.
Teori Tylor memberikan gambaran beragam tentang agama dan
perkembangannya. Agama animistik sebagai usaha masyarakat kuno untuk
memahami dan merespons misteri serta peristiwa yang luar biasa memiliki kesamaan
dengan sains pada zaman sekarang. Keduanya sama-sama muncul dari usaha manusia
untuk mencari pemahaman tentang dunia, berupa keinginan yang besar untuk
mengetahui bagaimana sesuatu dapat berfungsi.
172
Bagi Tylor, kepercayaan terhadap kekuatan spiritual mereprentasikan satu
tahapan alami dalam evolusi pemikiran manusia. Namun, bukanlah yang terakhir
karena masih ada tahapan yang lebih rasional dalam merespons alam, yakni dengan
program dan metode ilmu empiris yang muncul pada saat ini. Kehidupan masyarakat
dan orang Bali hampir tidak bisa dipisahkan dengan dunia suprarasional dan spiritual,
kadarnya saja yang berbeda. Bagi kalangan awam tentu memiliki kadar penghayatan
yang kurang optimal.
Bagi mereka yang sudah memasuki kawasan spiritual dengan pengalaman
rohani atau paling tidak sudah mulai menapaki ‘laku’ spiritual memiliki kadar yang
lebih tinggi. Bagi kalangan awam, bukan berarti semakin kurang kadar spiritual yang
dimiliki, maka semakin tidak memiliki kesempatan untuk merasakan positifnya rasa
keberagamaan (religiusitas). Terdapat berbagai cara pragmatis yang dapat dianggap
mampu menjembatani jurang pemisah eksistensi rohaninya yang minim dengan dunia
spiritual yang tinggi.
Berbagai ikonografi dan simbolitas lain digunakan untuk mengantarkan energi
yang dikehendaki pada yang dituju. Apabila sudah bersentuhan dengan aspek
simbolis, ikonografi, dan kebendaan, maka harus mampu menempuh jalan mistik
sekaligus memunculkan mitos baru dalam penghayatan spiritualnya dengan
mistifikasi kebendaan. Semua itu dilakukan dengan maksud yang mulia, yakni untuk
menyeimbangkan alam kodrati dan alam adi kodrati. Untuk itulah, masyarakat Bali
yang beragama Hindu meramu konsep ibadah keagamaan dengan mengadakan
upacara-upacara dan ritus yang bersifat siklus serta periodik dalam kehidupan sehari-
173
hari. Apabila dilihat dari ajaran agama Hindu, ritual serta upacara-upacara keagamaan
merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar agama Hindu selain tatwa (filsafat)
dan etika.
Berbagai ritual dilaksanakan oleh masyarakat Bali sebagai bentuk konsistensi
keimanannya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa. Salah satu
ritual menurut ajaran Hindu wajib dilakukan adalah ber-yadnya. Bentuk yadnya yang
utama terletak pada pikiran dan perasaan. Pikiran dan perasaan dimaksud adalah
ketulus-ikhlasan serta kesucian dan kemurnian dalam melaksanakan yadnya. Rasa
tulus dan ikhlas merupakan salah satu wujud sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.
Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala isinya karena sifat-sifat beliau yang
serba Maha. Yadnya adalah kerja yang positif dan bermanfaat bagi kehidupan
makhluk ciptaan-Nya. Kerja merupakan tanggung jawab, terutama sebagai
swadharma masing-masing, itulah yang dinamakan kerja yang profesional.
Yadnya merupakan korban suci yang dilakukan dengan pikiran dan hati yang
tulus ikhlas. Kedudukan yadnya dalam agama Hindu sangat penting, sebab banyak
hal berhubungan dengan yadnya, seperti pelaksanaan tapa (pengendalian diri), japa
(mengulang-ulang nama Tuhan), mantra (sloka-sloka suci, doa-doa pujian), upacara
dan upakara yadnya yang meliputi sarana upakara keagamaan, yoga dan pelaksanaan
meditasi (perenungan). Semua itu dilakukan dengan ber-yadnya dalam rangka
menuju hidup yang Satyam, Siwam, Sundharam atau menuju ke kelepasan hidup. Hal
ini dapat terwujud setelah tiga hutang dibayar yang dinamakan Tri Rna (Dewa, Pitra,
dan Rsi Rna) merupakan hutang moral yang harus dibayar.
174
Ajaran agama Hindu mengajarkan agar dalam melakukan kewajiban ber-
yadnya dengan hati tulus ikhlas, dan pada hakikatnya kemanapun atau kepada
siapapun yadnya itu ditujukan atau persembahkan adalah karena keimanan kepada
Tuhan Yang Mahaesa. Apabila diperhatikan apa yang terjadi di lapangan pada saat
ini, tidak jauh beda dengan apa yang disebut zaman Kali atau zaman edan. Oleh
karena itu, sudah sepatutnya mencari solusi agar pengaruh zaman Kali dapat
diminimalisir. Satu-satunya cara adalah dengan mengintensifkan pelaksanaan ber-
yadnya atau bentuk ritual lainnya dengan menyebut nama Tuhan secara berulang-
ulang.
Di dalam buku “Sanggahan Hindu Terhadap Isu Kiamat” disebutkan bahwa
pada zaman Kaliyuga semuanya telah berubah menjadi zaman “Kalamasha” (zaman
tidak murni). Pencemaran ada dimana-mana, tidak saja pencemaran terhadap unsur
Panca Maha Bhuta (bayu, akasa, teja, apah, dan prthivi) atau udara, langit, api, air,
dan tanah yang berpengaruh terhadap kondisi dan suhu tubuh manusia. Suara yang
didengar sudah tidak murni lagi, kekerasan terjadi dimana-mana, begitu pula
permasalahan sosial lainnya membuat dunia ini tercemar. Untuk memurnikan semua
itu, ada satu cara, yaitu mengucapkan nama-nama Tuhan berulang kali (Wibawa,
2012:203).
Berbagai ritual dan tradisi mistik yang dikaitkan dengan wacana RK di Bali
banyak namun, yang dibicarakan beberapa secara terbatas, terutama yang
pelaksanaannya langsung berkaitan dengan laut, antara lain: ritual nyegara-gunung,
labuhan (larung 1 Suro), petik laut, mapakelem (larung bumi), dan melasti. Demikian
175
halnya RK yang awalnya dipercaya sebagai roh dewi laut oleh masyarakat pesisir
Selatan Jawa, namun dalam penyebarannya di Bali dipercaya oleh sebagian
masyarakat sebagai kekuatan atau shakti dewa Baruna yang menguasai dan
melindungi laut menurut agama Hindu.
Itu sebabnya, sebagai wujud terima kasih masyarakat di Bali senantiasa melakukan
ritual sesaji di laut. Mitos, religi, dan ritual merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Beberapa ritual yang dilakukan untuk penghormatan terhadap laut sudah
menjadi tradisi sejak zaman Bali kuno sebagai karakter bagi masyarakat pesisir yang
multikultur seperti gambar di bawah ini
Masyarakat Multikultur (Dok: Yudari 2015)
Gambar di atas sebagai petanda dan menunjukkan adanya harapan terhadap
masyarakat yang multikultur agar dapat menerima segala bentuk perbedaan untuk
mencapai kedamaian. Dalam kaitannya dengan wacana mitos RK kelompok
masyarakat yang demikian itu manjadi salah satu kelompok pendukung dan pemuja.