bahan bab ii tinjauan pustaka metakognisi

29
BAB II. Kajian Pustaka A. Pemahaman Konsep Pemahaman merupakanterjemahan dari comprehension. Menurut Driver (1993) pemahaman adalah kemampuan untuk menjelaskan suatu situasi ata tindakan. Dari pengertian ini terdapat tiga hal pokok dalam pemahama kemampuan mengenal, kemampuan menjelaskandan kemampuan menarik kesimpulan. Pemahaman terhadap konsep merupakan kunci dari suatu pembelajaran Salah satu tujuan pembelajaran yang penting adalah membantu siswa me konsep utama dalam suatusubjek, bukan sekedarfaktayang terpisah-pisah. Kemampuan memahami konsep menjadi landasan untuk berpikir dalam menyelesaikan persoalan. Dahar (1996) menyatakan bahwa belajar konsep merupakan hasil utama pendidikan. Konsep merupakan pilar-pilar pembangun berpikir. Pemahaman konsep akan berkembang apabila guru dapat membantu si mengeksplorasi topik secara mendalam dan memberi mereka contoh yang tepat dan menarikdarisuatukonsep. Satu daribeberapa ide yang diterima dikomunitas pendidikan matematika adalahide bahwa siswa harusmemahami matematika. Hampir semua teori belajar menjadikan pemahaman sebagai tujuan pembel (Dahlan,2004). Pemahaman konsep adalah kemampuan seseorangdalam mengungkapkan suatu obyek tertentu berdasarkan cirri-ciri yang dimiliki oleh

Upload: randy-perdana

Post on 09-Oct-2015

37 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mtk

TRANSCRIPT

BAB II.Kajian PustakaA. Pemahaman KonsepPemahaman merupakan terjemahan dari comprehension. Menurut Driver (1993) pemahaman adalah kemampuan untuk menjelaskan suatu situasi atau suatu tindakan. Dari pengertian ini terdapat tiga hal pokok dalam pemahaman, yaitu kemampuan mengenal, kemampuan menjelaskan dan kemampuan menarik kesimpulan. Pemahaman terhadap konsep merupakan kunci dari suatu pembelajaran. Salah satu tujuan pembelajaran yang penting adalah membantu siswa memahami konsep utama dalam suatu subjek, bukan sekedar fakta yang terpisah-pisah. Kemampuan memahami konsep menjadi landasan untuk berpikir dalam menyelesaikan persoalan. Dahar (1996) menyatakan bahwa belajar konsep merupakan hasil utama pendidikan. Konsep merupakan pilar-pilar pembangun berpikir.Pemahaman konsep akan berkembang apabila guru dapat membantu siswa mengeksplorasi topik secara mendalam dan memberi mereka contoh yang tepat dan menarik dari suatu konsep. Satu dari beberapa ide yang diterima dikomunitas pendidikan matematika adalah ide bahwa siswa harus memahami matematika. Hampir semua teori belajar menjadikan pemahaman sebagai tujuan pembelajaran (Dahlan, 2004). Pemahaman konsep adalah kemampuan seseorang dalam mengungkapkan suatu obyek tertentu berdasarkan cirri-ciri yang dimiliki oleh obyek tersebut. Pemahaman konsep dipandang sebagai salah satu macam taraf berpikir, dimana jenis kerja yang dilakukan meliputi berpikir dalam konsep dan belajar pengertian.Beberapa indikator mengenai pemahaman menurut Sumarmo (2004) diantaranya adalah: Pemahaman mekanikal, instrumental, komputasional, dan knowing how to: melaksanakan perhitungan rutin, algoritmik dan menerapkan rumus pada kasus serupa. Pemahaman rasional, relasional, fungsional, dan knowing how to: membuktikan kebenaran, mengaitkan suatu konsep dengan konsep lainnya, mengerjakan kegiatan matematik secara sadar, dan memperkirakan suatu kebenaran tanpa ragu.B. Kemampuan Pemecahan Masalah 1. Masalah Matematika Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan dengan adanya kesenjangan antara kenyataan dan harapan. Kejadian seperti ini diartikan bahwa kita menemui suatu masalah. Hayes (dalam Gani, 2003) mendefinisikan masalah sebagai suatu kesenjangan antara seseorang berada dengan tujuan yang harus dicapai, sedangkan orang tersebut belum bahkan tidak mengetahui apa yang harus dikerjakannya. Sedangkan Hudoyo (1988) menyatakan bahwa sesuatu disebut masalah bila hal itu mengandung pertanyaan yang harus dijawab. Hal ini sesuai pendapat James (dalam Gani, 2003) yang menyatakan bahwa masalah adalah sebagai suatu pertanyaan yang diajukan untuk diselesaikan. Menurut Hudoyo (1988), sebuah soal atau pertanyaan akan menjadi sebuah masalah, jika tidak terdapat aturan atau hukum secara prosedural tertentu yang digunakan dalam menyelesaikan soal tersebut. Hal senada juga dikemukakan oleh Bell (1978) yang menyatakan bahwa suatu pertanyaan merupakan masalah bagi seseorang, bila ia menyadari keberadaan situasi itu, mengakui bahwa situasi itu memerlukan tindakan dan tidak dengan segera dapat menemukan pemecahan atau penyelesaian terhadap situasi tersebut. Lebih lanjut, Hudoyo (2001) menyatakan bahwa suatu pertanyaan merupakan masalah bagi seorang siswa, apabila: (1) pertanyaan yang dihadapkan kepada seorang siswa sebaiknya dapat dimengerti oleh siswa tersebut, dan (2) pertanyaan tersebut tak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa. Masalah bagi seseorang juga ditentukan oleh adanya keinginan atau kemauan orang tersebut untuk menyelesaikannya, meskipun ia mampu atau tidak mampu dalam menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ruseffendi (1991) bahwa suatu persoalan merupakan masalah bagi seseorang, (1) bila siswa belum mempunyai prosedur atau algoritma tertentu untuk menyelesaikannya; (2) siswa harus mampu menyelesaikannya, dan (3) bila ada niat menyelesaikannya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Gani (2003) bahwa sebuah pertanyaan dapat merupakan masalah apabila pertanyaan itu menantang untuk dijawab dan dalam menjawabnya tanpa menggunakan suatu prosedur yang rutin. Hal ini menunjukkan sebuah pertanyaan dapat dikatakan menjadi masalah bagi seseorang, jika orang tersebut ada keinginan dan merasa tertantang untuk menyelesaikannya, meskipun ia sanggup atau tidak sanggup untuk menyelesaikan soal tersebut. Artinya, jika seseorang tidak ada kemauan untuk menyelesaikan soal yang diberikan kepadanya, maka soal itu bukanlah masalah baginya. Polya (dalam Hudoyo, 2001) membagi dua macam masalah dalam matematika, yaitu: (1) masalah untuk menemukan dapat berupa teoritis atau praktis, abstrak atau konkrit, termasuk teka-teki, dan (2) masalah untuk membuktikan adalah untuk menunjukkan bahwa suatu pertanyaan itu benar atau salah, ataupun tidak kedua-duanya. Dalam penelitian ini, masalah dalam matematika yang dimaksud menekankan pada masalah untuk menemukan. Karena selain penelitian ini ditujukan pada siswa pendidikan dasar, juga masalah yang diberikan kepada siswa diharapkan dapat melatih kemampuan berpikir mereka (terutama berpikir kreatif) tentang bagaimana suatu konsep atau prinsip ditemukan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa masalah bagi seorang siswa dalam belajar matematika adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka yang digunakan untuk melihat dan mengukur perubahan tingkah laku siswa dalam matematika. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diupayakan sedemikian rupa, sehingga mudah dimengerti, belum familiar, mau dan merasa tertantang untuk menyelesaikannya, serta proses jawabannya tidak dengan prosedur rutin yang telah diketahui siswa.

2. Pemecahan Masalah MatematikMatematika merupakan ilmu dasar yang berguna dalam membantu seseorang untuk memecahkan berbagai masalah baik dalam matematika itu sendiri, ilmu lain, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian dalam pembelajaran matematika, kemampuan memecahkan masalah sangat penting. Hal ini sesuai dengan pendapat Soedjadi (1999) bahwa dalam matematika kemampuan pemecahan masalah bagi seseorang akan membantu keberhasilan orang tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya kemampuan pemecahan masalah juga dikemukakan oleh Branca (dalam Krulik dan Rays, 1980), yaitu: (1) kemampuan pemecahan masalah merupakan tujuan umum pembelajaran matematika, bahkan sebagai jantungnya matematika, (2) pemecahan masalah dapat meliputi metode, prosedur dan strategi atau cara yang digunakan merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika, dan (3) pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan kemampuan pemecahan masalah dalam matematika merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh seorang siswa dan juga merupakan salah satu faktor yang menentukan hasil belajar matematika siswa. Pemahaman atau penyadaran tiba-tiba untuk solusi dilibatkan dalam pemecahan masalah. Walas (1921) meneliti orang yang mampu memecahkan masalah yang hebat dan memformulasikan model yang memiliki empat tahap sebagai berikut :1. Persiapan: waktu untuk mempelajari masalah dan mengumpulkan informasi, yang mungkin sesuai dengan solusi.2. Inkubasi: periode memikirkan masalah, yang juga berupa pengabaian masalah untuk sejenak.3. Iluminasi: periode perenungan ketika solusi yang mungkin bisa digunakan muncul tiba-tiba dalam kesadaran.4. Verifikasi: waktu untuk menguji solusi yang ada untuk memastikan kebenarannya.Tahapan Wallas bersifat deskriptif dan tidak diperlukan untuk verifikasi empiris. Para psikologi gestalt juga mengendalikan bahwa kebanyakan pebelajran manusia berupa pemahaman dan mencakup perubahan presepsi. Siswa awalnya memikirkan bahan-bahan yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Mereka mengintegrasikannya dalam berbagai cara hingga masalah itu terselesaikan. Ketika siswa mendapatkan solusi, mereka langsung melakukan dan merenunginya.Banyak orang yang mampu memecahkan masalah menyatakan bahwa mereka memiliki momen untuk memahami. Watson dan Crick merasakan momen pemahaman dalam menentukan struktur DNA (Lemonick,2003). Penerapan pendidikan teori Gestalt yang penting adalah pada area pemecahan masalah, atau pemikiran produktif ( Duncker,1945; Luchins1942; Wertheimer, 1945). Pandangan Gestalt menekankan pada peran pemahaman memahami makna beberapa kejadian atau meraih prinsip aturan yang mendasari kinerja. Sebaliknya, hafalan- meski sering digunakn para siswa tidaklah efisien dan jarang digunakan dalam kehidupan diluar sekolah.Cara lain untuk memecahkan masalah ialah dengan menggunakan heuristika, yang merupakan metode umum untuk memecahkan masalah yang menggunakan prinsip-prinsip (aturan jempol) yang biasanya menghasilkan solusi (Anderson, 1990) . Daftar operasi mental polya (1945/1957) mencakup pemecahan masalah sebagai berikut : memahami masalah; merancang rencana; menjalankan rencana; melihat kembali.Memahami masalah dengan bertanya seperti Apa yang tidak diketahui? dan Apa datanya?, sering kali membantu dalam membuat sebuah diagram yang menampilkan masalah dan informasi yang diberikan. Dalam membuat rencana, kita mencoba menemukan hubungan atara data yang tidak diketahui. Memecah masalah menjadi sub-sub tujuan memiliki manfaat, Karena tetap memikirkan masalah yang sama dan bagaimana menyelesaikannya ( misalnya menggunakan analogi). Masalah mungkin harus diutarakan kembali. Ketika menjalankan rencana, memeriksa setiap tahapan untuk memastikan ketepatan pelaksanaan merupakan hal yang penting. Melihat kembali berarti memeriksa solusi: apa sudah benar? Apakah ada cara lain untu meraihnya?.Pergeseran dalam fokus riset pada akhir 1980-an dan 1990-an ke konstruksi interprestasi dan adaptasi pengetahuan oleh pemelajar ke situasi baru, telah menempatkan sangat pentingnya strategi pemikiran oleh siswa. Lebih lanjut, keahlian mensyaratkan pengetahuan prinsip dalam satu ranah ketimbang strategi heuristik umum (Chi,Glaser, & Rarr, 1991). Yang penting dalam aktifitas ini adalah ketrampilan metakognitif dalam perencanaan dan monitoring serta evaluasi keputusn seseorang.Pemecahan masalah dalam matematika pada hakekatnya merupakan proses berpikir tingkat tinggi. Branca (dalam Krulik dan Rays, 1980) menyatakan bahwa pemecahan masalah dapat dipandang sebagai kemampuan dasar , sebagai proses, dan sebagai tujuan. Selanjutnya menurut Sumarmo (1994) pemecahan masalah sebagai kemampuan dasar, merupakam jawaban pertanyaan yang sangat kompleks, bahkan lebih kompleks dari pengertian pemecahan masalah itu sendiri. Pemecahan masalah sebagai proses, merupakan suatu kegiatan yang lebih mengutamakan pentingnya prosedur langkah-langkah, strategi dan karakteristik yang ditempuh siswa dalam menyelesaikan masalah sehingga dapat menemukan jawaban soal dan bukan hanya pada jawaban itu sendiri. Pemecahan masalah sebagai tujuan, merupakan kemampuan yang harus dicapai siswa. Kemampuan itu meliputi: mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan; merumuskan masalah dari situasi sehari-hari dalam matematika; menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah sejenis atau masalah baru di dalam atau di luar matematika; menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal; menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara bermakna. Menurut Polya (1985) pemecahan masalah adalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak segera dapat dicapai. Dari pengertian tersebut tampak bahwa dalam memecahkan masalah terhadap suatu masalah, sangat dibutuhkan usaha mencari jalan keluar. Pengertian mencari jalan keluar adalah suatu usaha dalam memecahkan masalah dengan menggunakan kombinasi pengetahuan sebelumnya, seperti: penggunaan langkah-langkah, aturan, dan konsep. Berkaitan dengan matematika sebagai salah satu ilmu dasar yang lebih mementingkan proses daripada hasil akhir, artinya jawaban yang diberikan seseorang dalam memecahkan masalah matematika, perlu diperhatikan dari mana jawaban itu diperoleh, termasuk ketepatan penggunaan langkah-langkah, aturan dan konsep. Dahar (1996) mengatakan bahwa pemecahan masalah adalah suatu kegiatan yang menerapkan atau menggabungkan konsep-konsep dan aturan yang telah ada sebelumnya, sehingga menghasilkan suatu aturan dengan tingkat lebih tinggi. Pentingnya penggunaan langkah-langkah dalam memecahkan suatu masalah, menunjukkan bahwa jawaban dalam memecahkan masalah tersebut tidak mudah diperoleh, tapi harus melalui berbagai langkah-langkah secara prosedural dan mampu mengaitkan konsep-konsep yang telah ada sebelumnya. Mengembangkan kemampuan pemecahan masalah pada siswa, nampaknya akan lebih menarik bila diawali dengan mengajukan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, dikenal dan dialami siswa. Karena dengan memberi masalah yang tidak asing baginya, siswa akan tertantang. Dengan menggunakan pengalaman dan pengetahuan yang telah dimilikinya, ia akan berusaha mencari solusi/jalan keluar dari masalah tersebut. Polya (dalam Hudoyo, 2001) menyatakan bahwa dalam matematika terdapat dua masalah, yaitu masalah untuk menemukan dan masalah untuk membuktikan. Bagian terpenting untuk menyelesaikan masalah menemukan adalah: Apakah yang dicari? Bagaimana data diketahui? Dan bagaimana syaratnya? Bagian penting untuk menyelesaikan masalah membuktikan adalah hipotesis dan konklusi dari suatu teorema yang akan dibuktikan. Lebih lanjut Polya menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang diklasifikasikan sebagai pemecahan masalah dalam matematika meliputi penyelesaian soal-soal cerita dalam buku teks, penyelesaian soal-soal non rutin atau memecahkan soal teka-teki, penerapan matematika pada masalah dalam dunia nyata, menciptakan dan menguji konjektur. Mengenai kriteria apa yang harus dimiliki oleh seorang siswa, sehingga ia dapat dikategorikan sebagai pemecah masalah yang baik, Suydam (dalam Hamzah, 2003) mengajukan sepuluh kriteria, yaitu: (1) mampu memahami konsep dan terminology; (2) mampu menelaah keterkaitan, perbedaan dan analogi; (3) mampu menyeleksi prosedur dan variabel yang benar; (4) mampu memahami ketidakkonsistenan konsep; (5) mampu membuat estimasi dan analisis; (6) mampu memvisualisasikan data; (7) mampu membuat generalisasi; (8) mampu menggunakan berbagai strategi; (9) mempunyai skor yang tinggi dan baik hubungannya dengan siswa lain; dan (10) mempunyai skor yang rendah terhadap tes kecemasan. Pemecahan masalah dalam matematika memerlukan langkah-langkah dan prosedur yang benar, untuk itu Dewey (dalam Wahyudin, 2003) membahas secara ringkas lima langkah pemecahan masalah dalam urutan berikut:1. Mengenali adanya masalah. Dapat berupa kesadaran atas suatu kesukaran, perasaan frustrasi, keingintahuan, atau keraguan.2. Mengidentifikasi masalah. Dapat berupa klarifikasi dan definisi, termasuk perumusan sasaran yang hendak dicapai sebagaimana ditentukan oleh situasi yang mengedepankan masalah itu.3. Memanfaatkan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dapat berupa informasi yang relevan, penyelesaian-penyelesaian, atau gagasan-gagasan terdahulu untuk merumuskan hipotesis-hipotesis dan proposisi-proposisi pemecahan masalah.4. Menguji hipotesis-hipotesis atau kemungkinan-kemungkinan penyelesaian secara berurutan. Jika perlu, masalah itu boleh dirumuskan ulang. 5. Mengevaluasi penyelesaian-penyelesaian dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti. Ini melibatkan pemasukan penyelesaian yang berhasil itu kedalam pemahaman yang dimiliki orang itu dan menerapkannya pada bentuk-bentuk lain dari masalah yang sama. Demikian pula Polya (1985) mengemukakan empat langkah pemecahan masalah, yaitu: memahami masalah, membuat atau menyusun rencana penyelesaian, melakukan perhitungan, dan memeriksa kembali hasil perhitungan yang telah diperoleh sebelumnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa proses yang dapat dilakukan pada tiap langkah pemecahan masalah melalui beberapa pertanyaan berikut: 1. Langkah memahami masalah. Untuk memahami masalah yang dihadapi, siswa harus membaca/memahami secara verbal. Lebih lanjut perlu dilihat lebih rinci lagi tentang: (a) Apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan? (b) Data apa yang dimiliki? (c) Mencari hubungan tentang apa yang diketahui, data yang dimiliki dan yang ditanyakan dengan memperhatikan kondisi soal. Mungkinkah kondisi dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan atau yang lainnya? Apakah kondisi yang dinyatakan cukup untuk mencari yang ditanyakan? Apakah kondisi itu cukup, atau berlebihan, atau selain bertentangan? (d) Membuat gambar atau tabel dan menuliskan potensi yang sesuai.2. Langkah perencanaan pemecahan masalah. Yang perlu diperhatikan dalam Langkah ini yaitu: (a) Mempertanyakan kembali hubungan antara yang diketahui dan ditanyakan. (b) Pernahkah ada soal yang serupa? (c) Teori mana yang dapat digunakan dalam masalah ini? (d) Perhatikan yang dipertanyakan! Coba pikirkan soal yang pernah diketahui dengan pertanyaan yang sama atau serupa. (e)Jika ada soal yang serupa, dapatkah pengalaman yang lama digunakan dalam masalah sekarang? Dapatkah hasil dan metode yang lalu digunakan? Apakah harus dicari unsur lain agar memanfaatkan soal semula? Dapatkah menyatakannya dalam bentuk lain? (f) Andaikan soal baru belum dapat menyelesaikan, cobalah pikirkan berbagai kemungkinan cara penyelesaian yang mungkin dilakukan. 3. Melakukan perhitungan. Yang dilakukan dalam langkah ini adalah melaksanakan rencana pemecahan dengan melakukan perhitungan yang diperlukan untuk mendukung jawaban suatu masalah. Priksalah tiap langkah perhitungan dengan benar, dan tunjukkan bahwa langkah yang dipilih sudah benar.4. Memeriksa kembali hasil dan menyimpulkan jawaban. Langkah yang terakhir ini adalah memeriksa kebenaran hasil yang diperoleh, kemudian menyimpulkan jawaban dari permasalahan. Kemampuan pemecahan masalah yang dikemukakan di atas, baik yang dikemukakan oleh Dewey maupun Polya pada prinsipnya sama. Keduanya menekankan bahwa pemecahan masalah dilakukan secara teratur, logis, analitis, kritis, kreatif, sistematis atau prosedural, dan menggunakan serta menghubungkan pengetahuan yang sudah mereka miliki sebelumnya. Dalam penelitian ini, kemampuan pemecahan masalah matematik yang dimaksud mengacu pada kemampuan pemecahan masalah seperti yang dikemukakan oleh Polya, yaitu: kemampuan memecahkankan soal-soal atau masalah matematik rutin atau tidak rutin yang tidak dapat segera dipecahkan dengan mengikuti langlah-langkah : memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, melaksanakan penyelesaian (melakukan perhitungan), dan memeriksa kembali langkah-langkah dan hasil yang diperoleh.C. Keterampilan Metakognitif Metekognitif merupakan kata sifat dari metakognisi. Istilah metakognisi berasal dari kata metacognition dengan prefik meta dan kata kognisi. Meta berasal dari bahasa yunani yang berarti setelah atau melebihi dan kognisi mencakup keterampilan yang berhubungan dengan proses berpikir (Costa,1985).Hacker (2003) menyatakan bahwa metakognisi merupakan kesadaran yang dialami sendiri sebagai suatu kegiatan dalam lingkungannya, sehingga memunculkan ketinggian rasa dari ego yang muncul ketika melakukan aktivitas diskusi, debat, mendengar, melihat dan lain-lain, sehingga tersimpan dengan sengaja dn dapat dimunculkan kembali diwaktu yang akan datang. Metakognisi mengacu kepada kesadaran siswa terhadap kemampuan yang dimilikinya seta kemampuan untuk memahami, mengontrol dan memanipulasi proses-proses kognitif yang mereka miliki.Weinert dan kluwe (1987) menyatakan bahwa metakognisi adalah second order cognition yang memiliki arti berpikir tentang berpikir, pengetahuan tentang pengetahuan , atau refleksi tentang tindakan-tindakan. Metakognisi mempunyai kelebihan dimana seseorang mencoba merenungkan cara berpikir atau merenungkan proses kognitif yang dilakukannya. Dengan demikian aktivitas seperti merencanakan bagaimanapendekatan yang akan diberikan dalam tugas-tugas pembelajaran, memonitoring kemampuan dan mengevaluasi rencana dalam rangka melaksanakan tugas merupakan sifat-sifat dasar metakognisi.Salah satu upaya untuk menimbulkan kesadaran kognisi siswa adalah dengan memberikan arahan agar siswa bertanya pada diri sendiri. Hal ini dilakukan agar siswa dapat memonitor pemahman mereka mengenai apa yang sedang dipelajari. Siswa bertanya pada dirinya sendiri apa mereka memahami apa yang sedang mereka pelajari atau pikirkan . Siswa juga bertanya pada proses dirinya sendiri apakah mereka mengenali atau mengetahui apa yang mereka pikirkan.Dalam proses metakognisi siswa diharapkan dapat memonitor pemahaman mereka mengenai sesuatu yang sedang dipelajari, kemudian siswa bertanya pada diri sendiri apakah mereka memahami sesuatu yang sedang dipelajari atau sedang mereka pikirkan sehingga mereka menyadari kelebihan dan keterbatasannya dalam belajar. Artinya saat siswa mengetahui kekurangannya , mereka sadar untuk mengakui bahwa mereka kurang, dan berusaha untuk memperbaikinya.Brown (Weinert & Kluwe, 1987) mengemukakan bahwa proses metakognisi memerlukan operasi mental khusus sehingga seseorang dapat memeriksa, memecahkan, mengatur, memantau, memprediksi dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri.Berdasarkan karakteristik bahwa proses yang dilakukan berupa tindakan untuk menyadarkan kemampuan kognitif siswa, maka proses ini merupakan keterampilan metakognitif. Siswa dipandu untuk dapat menyadari apa yang mereka ketahui srta bagaimana mereka memikirkan hal tersebut agar dapat diselesaikan.Secara khusus Schoenfeld (1987) menandai tiga kategori dalam pembelajaran matematika, yaitu : 1. Keyakinan dan intuisi.Ide-ide matematika apa yang dapat digunakan dalam mengerjakan matematika dan bagaimana ide-ide tersebut dapat menentukan cara dalam proses matematika. Kelihatannya, Schoenfeld memberikan keyakinan dan intuisi ini sebagai proses metakognisi dimana sebelum seseorang dapat mengerjakan, ia memiliki keyakinan bahwa masalah dapat diselesaikan, ia juga memiliki intuisi bahwa masalah yang timbul dapat diselesaikan dengan ide-ide dan proses tertentu. Dengan memiliki kategori keyakinan dan intuisi ini berarti siswa berusaha untuk memiliki kepercayaan diri bahwa ia dapat menyelesaikan permasalahan itu.2. Pengetahuan mengenai proses berpikir seseorang.Ini berkaitan dengan seberapa akurat seseorang dapat menggambarkan mengenai pemikirannya. Pemecahan masalah yang baik menggunakan apa yang diketahui secara efisien. Pada bagian ini Schoenfeld lebih menekankan pada proses pengorganisasian atau pengelolaan pengetahuan yang berhubungan dengan proses berpikir dalam memecakan masalah.3. Kesadaran diri atau pengaturan diriSchoenfeld menyarankan bahwa kesadaran atau pengaturan diri ini dapat dipikirkan menggunakan pendekatan pengelolaan yang meliputi aspek-aspek:a. Mengakses pemahaman terhadap masalah secara keseluruhan b. Merencanakan strategi penyelesaianc. Memonitor dan mengontrol cara-cara penyelesaian berjaland. Mengalokasikan hasil, memutuskan apa yang harus dilakukan dan berapa lama masalah tersebut diselesaikan.Beberapa strategi untuk mengenbangkan prilaku metakognitif dinyatakan oleh Blakey & Spence (1990). Merekan menyusunnya dalam enam strategi sebagai berikut:1. Mengidentifikasi apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui2. Menceritakan tentang pemikirannya3. Menjaga catatan pemikiran4. Merencanakan dan melakukan pengaturan diri5. Menanyakan proses berpikir6. Evaluasi diriHuitt (1997) menyatakan bahwa metakognisi meliputi kemampuan untuk bertanya dan menjawab pertanyaaan-pertanyaan seperti, apa yang saya ketahui tentang topik ini?, apakah saya tahu apa yang perlu saya ketahui?, apakah saya tahu dimana saya mendapatkan informasi yangdibutuhkan? Apa strategi dan taktik yang dapat digunakan?, dan lain sebagainya. Aspek metakognitif sebagai bagian terkait dari pembelajaran dengan menggunakan pendekatan keterampilan metakognitif sangat penting untuk dapat dikembangkan agar sisiwa mampu memahami dan mengontrol pengetahuan yang telah diperolehnya dalam kegiatan pembelajaran. Adapun aspek aktivitas metakognitif yang dikemukakan oleh Flavell (dalam Suzana, 2004) adalah: (1) kesadaran mengenai informasi, (2) memonitor apa yang mereka ketahui dan bagaimana mengerjakannya dengan mempertanyakan diri sendiri dan menguraikan dengan kata-kata sendiri untuk simulasi mengerti, (3) regulasi, membandingkan dan membedakan solusi yang lebih memungkinkan.Secara keseluruhan berdasarkan pendapat-pendapat yang diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan keterampilan metakognitif lebih dominan pada memonitor kesadaran pengetahuan, strategi, dan proses berpikir diri sendiri melalui pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan ini pada hakikatnya adalah pertanyaan yang memandu proses berpikir seacara mandiri dan pertanyaan ini dapat muncul dari diri sendiri.

Peran Ketrampilan Metakognisi dalam Subproses Pemecahan MasalahPergeseran dalam fokus riset pada akhir 1980-an dan 1990-an kekontruksi, interprestasi dan adaptasi pengetahuan oleh pemelajar kesituasi baru, telah menempatkan sangat pentingnya strategi pemikiran oleh siswa. Lebih lanjut keahlian mensyaratkan pengetahuan prinsip dalam satu rana ketimbang strategi heuristic umum (Chi,Glaser, & Farr, 1991). Yang penting dalam aktifitas ini adalah keterampilan metakognitif dalam perencanaan dan monitoring serta evaluasi keputusan seseorang.Empat subproses utama dari pemecahan masalah yang membutuhkan semua metakognisi yaitu mempresentasikan masalah, merencanakan strategi, mengatasi halangan, dan melaksanakan rencana (Davidson & Sternberg, 1998; Mayer & Wittrock, 1996).Tabel. 1SubprosesPeran Keterampilan Metakognitif

1. Mempresentasikan masalah (mengidentifikasi ciri paling relevan dan menciptakan peta mental atas komponen-komponennya)1a. Membantu dalam mengakses informasi yang relevan dari memori jangka panjang yang member kontribusi pada identifikasi komponen masalah utama. b. Membantu mencipkatan peta mental dari ketentuan, relasi antar-unsur, tujuan, dan batasan (Davidson & Sternberg, 1998).c. Membantu perekaman selektif, kombinasi selektif, dan perbandingan selektif, ketika diperlukan (Davidson & Sternberg,1998).

2. Perencanaan

2a. Me-review dan memilih rencana dan strategi, mungkin menggunakan eksplorasi yang terstruktur (Schoenfeld,1992)b. Mulai melakukan 1a di atas, jika perlu.

3. Mengatasi halangan3a. Membantu dalam pencarian ingatan jangka panjang untuk informasi baru.b. Mulai melakukan 1c di atas.

4. Melaksanakan rencana (dan mengatasi halangan).4a. Memonitor kemajuan dan memodifikasi rencana ketika perlu.b. Kembali ke-3, jika perlu.

Mempresentasikan masalah. Fase ini sering diabaikan oleh siswa, fase ini merupakan hal penting untuk keberhasilan pemecahan masalah baik untuk situasi mendefinisikan cirri utama dari masalah dan membuat peta mental atas relasi-relasinya, menggunakan informasi yang relevan dalam memori jangka panjangnya. Tetapi beberapa pemecah masalah mengandalkan pengetahuan metakognitif yang tidak akurat dalam melaksanakan langka ini. Misalnya, beberapa anak sekolah menganggap mereka perlu membaca semua soal matematika karena informasi penting selalu ada dikalimat terakhir (Briars & Larkin, 1984). Tujuan dari peta mental adalah membantu pemelajar untuk mengorganisasikan kondisi, menentukan langka yang tepat, dan juga menjagajejak kemajuannya (Davidson & Sternberg, 1998). Kesulitan dalam mengkontruksi peta mental atas masalah akan menyebabkan prengkodean ulang (recoding) selektif, pengkobinasian dan perbandingan. Pengkodean ulang selektif adalah melihat pada elemen-elemen yang sebelum terlewatkan, diikuti dengan menempatkan elemen masalah secara bersama-sama dengan cara yang baru. Perbandingan selektif adalah penemuan relasi yang kurang jelas antara elemen masalah dan informasi yang sudah dimiliki pemelajar. Proses ini merefleksikan komponen pemecahan masalah yang didefinisikan oleh Gestalt. Mereka mencakup restrukturisasi material tertentu (Kohler, 1969); secara mental mendefinisikan ulang dan mengklarifikasi masalah, seperti mendefinisikan tujuan (Duncker, 1945); atau merumuskan ulang fungsi dari ketentuan (Maier, 1930).Perencanaan. Pemecah masalah yang efektif me-review strategi dan taktik sebelum implementasi (eksplorasi terstruktur yang didefinisikan oleh Schoenfed, 1992). Fase ini membantuh pemecah masalah mengantisipasi konsekuensi dari pendekatan tertentuh, dan membantuh menghindari kekeliruan yang parah (Holyoak, 1995). Kegagalan untuk mendefinisikan strategi yang tepat mungkin menyebabkan perlu mereview dan mereorganisasi peta mental atas masalah yang dibuat oleh pemelajar.Perbedaan perilaku pemecahan masalah dari anggota fakultas dengan sekelompok siswa yang menghadapi dua masalah sulit mengilustrasikan arti penting mempresentasikan masalah dan perencanaan sebelum mulai mengiplementasikan suatu strategi. Anggota fakultas mencurahkan lebih dari setengah kali lipat dari waktu dalam menganalisis dan melakukan eksplorasi terstruktur sebelum mengiplementasikan solusi (Schoenfeld, 1992). Namun, siswa segera mulai mengerjakan pemecahan soal. Meski mereka memiliki lebih banyak fakta dan prosedur yang siap diakses, hanya sedikit masalah yang terselesaikan. Anggota fakultas memunculkan sejumlah cara yang berpotensi sia-sia, namun mereka tidak melakukan cara yang tidak membuahkan hasil yang tidak memecahkan masalah. Mengatasi Rintangan dan Pelaksanaan rencana. Salah satu halangan utama yang mungkin muncul selama perencanaan adalah keadaan yang disebut streotip (Davidson & Sternberg, 1998), yang terdiri dari pola masalah dan kekakuan fungsional yang didefinisikan oleh periset gestalt. Yang lainnya adalah ketidakmampuan untuk menghasilkan rencana atau prosedur; kesulitan ini paling sering muncul dalam problem pemahaman. Salah satu cara adalah mencari model, analogi dan metafora dimemori jangka panjang yang mungkin memberikan perspektif baru tentang masalah tersebut. Cara lainnya adalah menjauhi maslah sejenak untuk member kesempatan pada pikiran untuk beringkubasi (Davidson & Sternberg, 1998).Siswa sering gagal memecahkan masalah dengan tepat karena mereka tidak memonitor pelaksanaan strategi yang dipilih. Monitoring merupakan hal penting untuk mengatasi langkah-langkah yang dilaksanakan dan tindakan yang belum diselesaikan . Monitoring juga dapat mencegah kekeliruan aplikasi dari langkah-langkah rutin dalam sebuah strategi. Misalnya, dalam memecahkan masalah multitahap yang kompleks, siswa kelas enam menggunakan data yang tidak tepat dan kekeliruan kalkulasi yang menyebabkan kekeliruan 13% dan 2% secara berturut-turut. (Vye et al.,1997). Dalam situasi lain, siswa kelas menengah yang dimintah memonitor strateginya dalam memecahkan masalah berbasis computer bisa mereduksi kesalah dan memperpendek waktu pemecahan masalah (Declos & Harrington, 1991).D. Pembelajaran dengan Pendekatan Keterampilan MetakognitifPembelajaran dengan pendekatan keterampilan metakognitif merupakan pembelajaran yang menanamkan kesadaran bagaimana merancang, memonitor, serta mengontrol tentang apa yang mereka ketahui, apa yang diperlukan untuk mengerjakan dan bagaimana melakukannya; menitikberatkan pada aktivitas belajar siswa; membantu dan membimbing siswa jika ada kesulitan, dan membantu siswa untuk mengembangkan konsep diri apa yang dilakukan pada saat belajar matematika.Jika mengacu kepada pendapat Schoenfeld (1987), Blakey & Spence (1990), Huit (1990) dan Meyer (2002), ketika metakognitif terlibat dalam proses pembelajaran, secara otomatis siswa akan aktif dalm berpikir. Proses yang aktif ini memberikan efek bagi siswa untuk berinteraksi baik secara internar maupun secara eksternal.Keterampilan metakognitif berperan untuk membimbing siswa dalam menyadari dan mengontrol proses interaksi dalam berpikir tersebut. Secara internal siswa akan membangun pengetahuan dengan menginterksikan ide-ide dalam pikirannya berdasarkan pengetahuan awal (prior knowledge) yang telah dimiliki dan secara eksternal siswa membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya termasuk dengan teman-temannya untuk mencapai pemahaman yang lebih sempurna. Dengan demikian proses pembelajaran akan lebih efektif dalam mencapai tujuan. Pembelajaran dalam upaya penyadaran kognisi dan menumbuhkan keyakinan melalui pertanyaan-pertanyaan serta pengontrolan terhadap proses berpikir dalam membangun pengetahuan yang utuh merupakan pembelajaran pendekatan keterampilan metakognitif.Konsep metakognitif yang dikemukakan Biryukov (2004) mengacu kepada dugaan pemikiran tentang apa yang seseorang tahu yang disebut pengetahuan metakognitif, apa yang dapat seseorang kerjakan yang disebut keterampilan metakognitif, dan apa yang seseorang tahu tentang kemampuan metakognitifnya yang disebut pengalaman metakognitif.Siswa memerlukan proses yang cukup lama untuk dapat menguasai keterampilan metakognisi secara bertahap. Namun demikian, guru dapat memulai lebih awal disekolah dengan secara spesifik melatih siswa dalm keterampilan dan strategi khusus (seperti perancang, evaluasi menganalisis masalah) dan dengan struktur mengajar guru sedemikian rupa sehingga siswa terfokus pada bagaimana mereka belajar dan juga pada apa yang mereka pelajari (Jacob, 2000).Oleh sebab itu peran guru sebagai pendidik untuk merancang, memonitor dan merevisi kerja dari siswa tidak hanya membuat siswa sadar tentang apa yang mereka ketahui, tetapi juga apa yang mereka perlukan untuk mengerjakan apabila gagal untuk memahami (Borkowski; Burkowski, Johnson & Reed;Presseley et al; Wong dalam Jacob, 2000)Belajar merupakan keterampilan metakognisi melalui aktivitas yang digunakan yaitu mengatur dan memantau proses belajar. Adapun kegiatannya mencakup perencanaan, monitoring dan memeriksa hasil. Kegiatan perencanaan yang dimaksud adalah memprediksi hasil-hasil, menjadwalkan strategi-strategi yang digunakan, dan berbagai bentuk trial and error. Kegiatan monitoring yaitu memantau, memeriksa, menguji, merevisi. Misalkan sebelum menyelesaikan masalah siswa memeriksa apakah pekerjaannya sudah benar. Ini dilakukan denan cara mengujinya, jika masih salah, siswa dapat menyebutkan dan menunjukkan bagian mana yang salah dan memperbaiki kesalahannya. Kegiatan memeriksa hasil yaitu mengevaluasi hasil serta menghubungkan dengan efesiensi dan kefektifannya.Penerapan pendekatan keterampilan metakognitif dalam pembelajaran matematika merupakan salah satu upaya konkret untuk menjawab tantangan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Pendekatan keterampilan metakognitif dapat digunakan sebagai salah satu upaya alternatif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran matematika disekolah.Untuk mengantisispasi keadaan ini perlu suatu bentuk pembelajaran yang menanamkan metakognisi. Costa (1985) menyusulkan pendekatan keterampilan metakognisi sebagai atribut kunci dan berpikir formal atau pengajaran keterampilan proses tingkat tinggi dan menekankan bahwa metodologi pengajaran guru di kelas harus menanamkan metakognisi secara konstruktif.Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif mengarahkan perhatian siswa pada apa yang relevan dan membimbing mereka untuk memilih strategi yang sesuai untuk menyelesaikan soal-soal melalui pertanyaan-pertanyaan (Cardelle, 1995). Pertanyaan ini menuntun siswa untuk memusatkan diri pada langkah khusus penyelesaian soal matematika dan untuk meningkatkan kesadaran terahadap kesulitan yang mungkin dialami siswa selama proses berlangsung.Prosedur pembelajaran dengan pendekatan keterampilan metakognisi mengadopsi model Mayer (Cardelle, 1995) dengan menyajikan pembelajaran dalam tiga tahap dengan rincian sebagai berikut:1. Tahap pertama diskusi awalPada tahap ini guru menjelaskan tujuan mengenai topik yang sedang dipelajari, penanaman konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaan-pertanyyan yang mendasar. Guru membimbing siswa menanamkan keyakinan dan kesadaran dengan bertanya pada diri siswa sendiri saat menjawab setiap pertanyaan alam bahan ajar atau pertanyaan yang diajukan guru, sehingga siswa memiliki keyakinan bahwa permasalahan dapat diselesaikan, dan memiliki intuisi bahwa permasalah dapat diselesaikan dengan cara-cara tertentu.2. Tahap kedua siswa bekerja secara mandiriPada tahap kedua, siswa bekerja secara mandiri untuk menyelesaikan soal-soal latihan yang diberikan. Guru memberikan pengaruh timbale balik (feedback) secara individual, berkeliling memandu siswa dalam menyelesaikan soal dengan memberikan stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan yang bersifat metakognitif misalnya pertanyaan untuk mengontrol dan memonitor proses berpikir siswa. Pengaruh timbal balik metakognitif menuntun siswa untuk memusatkan pada kesalahan dan memberikan petunjuk kepada siswa agar siswa dapat mengoreksi sendiri, dapat mengontrol dan memonitor proses berpikir mereka, serta dapat menyimpan dan menggunakannya kembali ide-ide yang telah ditemukan untuk dapat menyelesaikan soal-soal yang diberikan.

3. Tahap ketiga adalah refleksi dan rangkuman.Pada tahap ini, refleksi dilakukan oleh guru dan siswa. Refleksi guru lebih mengarah kepada pemantapan dan aplikasi yang lebih luas agar siswa mendapatkan pembelajaran yang lebih bermakna (meaningful). Reaksi siswa lebih mengarah kepada apa yang telah ia pahami dari pembelajaran serta kemungkinan aplikasi masalah yang lebih luas. Selanjutnya membuat rangkuman yang dilakukan oleh siswa sendiri yang merupakan rekapitulasi dari apa yang telah dilakukan di kelas dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru.Dengan demikian pembelajaran matematika melalui pendekatan keterampilan metakognitif mendesain model pembelajaran yang mengintegrasiakn pertanyaan-pertanyaan yang bersifat metakognitif berkaitan dengan topik yang dipelajari serta pengontrolan terhadap proses berpikir di dalam pembelajaran. Pertanyaan-pertanyaan metakognitif diintegrasikan ke dalam bahan ajar secara tertulis dan atau secara langsung melalui lisan untuk menumbuhakn keyakian dan kesadaran terhadap konsep dan prinsip matematika yang dipelajari serta melakukan pengontrolan terhadap proses berpikir yang dilakukan. Secara lisan pertanyaan guru meransang siswa untuk dapat bertanya pada diri sendiri berkaitan dengan topik yang dipelajari. Untuk memantapkan pembelajaran dengan pendekatan metakognitif maka perlu strategi pembelajaran yang merupakan rencana kognitif yang diorientasikan pada keberhasilan pengerjaan tugas ( Pressley et al,1990; Weinstein & mayer, 1986). Strategi mencakup aktifitas seperti pemilihan dan penyusunan informasi, melatih materi yang akan dipelajari, menghubungkan materi baru dengan informasi dalam ingatan, dan memperkuat makna materi. Strategi juga mencakup tehnik yang menciptakan dan mempertahankan iklim belajar positif misalnya, cara mengatasi kecemasan menghadapi ujian, memperkuat efikasi-diri, menghargai nilai pembelajaran dan mengembangkan hasil positif pada harapan dan sikap (Weinstein & mayer, 1986). Pengunaan strategi merupakan bagian integral daam pembelajaran pengaturan-diri karena strategi memberikan kendali yang lebih baik pada pengelolahan informasi (Winne,2001).Strategi pembelajran membantu pengkodean dalam tiap fase. Dengan demikian, siswa pada awalnya menghadirkan informasi yang berhubungan dengan tugas dan mengirimnya dari sensorik ke WM. Siswa juga mengaktifkan pengetahuan yang terkait dalam LTM. Didalam WM, siswa membangun koneksi ( hubungan) antara informasi baru dan pengetahuan sebelumnya dan mengintegrasikan kaitan ini kedalam jaringan LTM. Tabel. 2 Langkah-langkah dalam Menyusun dan Menerapkan Strategi PembelajaranLangkahTugas Pembelajar

Menganalisa

Merencanakan

Menerapkan

Mengawasi

Memodifikasi

Pengetahuan MetakognitifMengidentifikasi tujuan pembelajaran, aspek tugas penting, Karakteristik pribadi yang berhubungan, dan tehnik pembelajran yang bermanfaat.Menyusun rencana :Tugas ini ____ diselesaikan ____menurut criteria___ dan dengan memberikan karakteristik pribadi ____ saya harus mengunakan tehnik ini ___.Menggunakan taktik untuk memperkuat pembelajaran dan memori.Mengukur kemajuan tujuan untuk menentukan seberapa baik taktik itu berfungsi.Melanjutkan penggunaan strategi jika penilaiannya positif , memodifikasi rencana jika kemajuan terlihat tidak memadai.Membimbing pelaksanaan tiap langkah.

Sumber: diadaptasi dan dicetak kembali dari Learning Tactics dan Strategies, oleh J.Snowman, dalam G.D. Phye & T. Andre (Ed.), Cognitive classroom learning Understanding, thinking, and problem solving (hlm. 234-275). Orlando, FL: Academic Press. 1986. Dicetak kembali dengan izin dari Elsevier dan penulis.

Tabel 3 menampilkan langkah-langkah dalam memformulasikan dan menerapkan strategi pembelajaran. Awalnya siswa menganalisis aktivitas atau situasi dalam tujuan aktivitas, aspek situasi yang terkait dengan tujuan, karakterisstik pribadi yang terlihat penting, dan metode pembelajaran pengaturan-diri yang bermanfaat. Siswa kemudian bisa mengembangkan sebuah strategi atau rencana bersamaan dengan kalimat berikut: Dengan menyelesaikan tugas saat ini dan menempatkannya sesuai dengan kriteria dan memberikan karakteristik pribadi, saya harus menggunakan prosedur ini untuk mencapai tujuan (parafrasa dari Snowman, 1986). Penerapan metode selanjutnya ialah mengawasi kemajuan tujuan dan memodifikasi strategi ketika metode tersebut tidak menghasilkan kemajuan dalam tujuan. Penerapan metode ini diiringi pula oleh pengetahuan metakognitif yang melibatkan pengetahuan bahwa kita harus menjalankan metode, mengapa hal itu penting, dan kapan dan bagaimana cara melaksanakannya. E. Penelitian yang RelevanBeberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan adalah studi dari Cardelle (1995) yang menyatakan bahwa pelatihan keterampiklan metakognitif pada model mengajar Mayer cukup efektif dalam memfasilitasi proses pemecahan soal bagi siswa yang mendapat hasil yang rendah.Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nindiasari (2004) melaporkan hasil penelitiannya mengenai pembelajaran metakognitif untuk meningkatkan pemahman dan koneksi matematik siswa SMU ditinjau dri perkembangan kognitif siswa, menunjukkan bahwa pendekatan metakognitif dalam pembelajaran matematika berhasil meningkatkan pemahaman dan kemampuan koneksi matematik siswa SMU ditinjau dari perkembangan kognitif siswa.Penelitian Maulana (2007) diperoleh informasi bahwa kemampuan berpikir kritis mahasiswa pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) relatif rendah. Namun setelah diberikan perlakuan berupa pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif, ditemukan hasil berupa peningkatan kemampuan berpikir kritis pada mahasiswa PGSD yang menjadi subyek penelitian tersebut.