bahan essai

54
buletin.stai-ali.ac.id Essai : Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal Oleh : Faqih Hindami Kehidupan manusia dikelilingi oleh budaya, hal ini disebabkan karena manusia selalu berupaya untuk mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan yang mengharuskannya selalu bersinggungan dalam lingkungan sekitar, baik lingkungan fisik dan non fisik. Proses pembentukan budaya di atas berlangsung berabad-abad dan betul-betul teruji sehingga membentuk suatu komponen yang betul- betul handal, terbukti dan diyakini dapat membawa kesejahteraan lahir dan batin. Komponen inilah yang disebut dengan jati diri. Di dalam jati diri terkandung kearifan lokal (local wisdom) yang merupakan hasil dari Local Genius dari berbagai suku bangsa, kearifan lokal inilah seharusnya dirajut dalam satu kesatuan kebudayaan (Culture) untuk mewujudkan suatu bangsa yaitu, Bangsa Indonesia. Budaya dilahirkan beribu tahun yang lalu sejak manusia ada di Bumi. Kebiasaan yang bagai telah menjadi dan membentuk perilaku manusia tersebut diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Budaya itu sendiri merupakan suatu produk dari akal budi manusia, itu setidaknya apabila dilakukan pendekatan secara etimologi. Budaya dalam hal ini disebut kebudayaan sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Dalam pergiliran budaya antar generasi ini dibutuhkan adanya generasi perantara yang sudah

Upload: akano-koizumi

Post on 01-Dec-2015

119 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

esai budaya melayu

TRANSCRIPT

Page 1: bahan essai

buletin.stai-ali.ac.id

Essai : Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal

Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal

Oleh : Faqih Hindami

Kehidupan manusia dikelilingi oleh budaya, hal ini disebabkan karena manusia selalu berupaya

untuk mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan yang mengharuskannya selalu

bersinggungan dalam lingkungan sekitar, baik lingkungan fisik dan non fisik.

Proses pembentukan budaya di atas berlangsung berabad-abad dan betul-betul teruji sehingga

membentuk suatu komponen yang betul-betul handal, terbukti dan diyakini dapat membawa

kesejahteraan lahir dan batin. Komponen inilah yang disebut dengan jati diri. Di dalam jati diri

terkandung kearifan lokal (local wisdom) yang merupakan hasil dari Local Genius dari berbagai

suku bangsa, kearifan lokal inilah seharusnya dirajut dalam satu kesatuan kebudayaan (Culture)

untuk mewujudkan suatu bangsa yaitu, Bangsa Indonesia. Budaya dilahirkan beribu tahun yang

lalu sejak manusia ada di Bumi. Kebiasaan yang bagai telah menjadi dan membentuk perilaku

manusia tersebut diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya. Budaya itu sendiri merupakan

suatu produk dari akal budi manusia, itu setidaknya apabila dilakukan pendekatan secara

etimologi. Budaya dalam hal ini disebut kebudayaan sangat erat kaitannya dengan masyarakat.

Dalam pergiliran budaya antar generasi ini dibutuhkan adanya generasi perantara yang sudah

mampu melakukan pemahaman dari generasi tua dan mampu mengkomunikasikan ke dalam

bahasa yang ringan dan mudah dimengerti oleh generasi selanjutnya.

Derasnya arus globalisasi, modernisasi dan ketatnya puritanisme dikhawatirkan dapat

mengakibatkan terkikisnya rasa kecintaan terhadap kebudayaan lokal. Sehingga kebudayaan

lokal yang merupakan warisan leluhur telah terinjak-injak oleh budaya asing, tereliminasi di

kandangnya sendiri dan terlupakan oleh para pewarisnya, bahkan banyak pelajar yang tak

mengenali budaya daerahnya sendiri.

Para pelajar khususnya di Kepulauan Bangka Belitung lebih bangga dengan budaya asing

daripada budaya daerahnya sendiri. Hal ini dibuktikan dengan adanya rasa bangga yang lebih

pada diri mereka manakala menggunakan produk luar negeri, dibandingkan jika menggunakan

produk bangsanya sendiri. Mereka cenderung lebih bangga dengan karya-karya asing, dan gaya

Page 2: bahan essai

hidup yang kebarat-baratan dibandingkan dengan kebudayaan lokal di daerah mereka sendiri.

Slogan “aku cinta produk lokal. aku cinta buatan Indonesia” sepertinya hanya menjadi ucapan

belaka, tanpa ada langkah nyata yang mengikuti pernyataan tersebut. Penggunaan bahasa asing

di media massa dan media elektronik bukan tidak mungkin menyebabkan kecintaan pada nilai

budaya lokal mulai pudar. Padahal, bahasa sebagai alat dalam menyampaikan pembelajaran

sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan karakter pelajar.  Tidak ada lagi tradisi yang

seharusnya terwariskan dari generasi sebelumnya. Modernisme mengikis budaya lokal menjadi

kebarat-baratan, sedangkan puritanisme sering menganggap budaya sebagai praktik sinkretis

yang harus dihindari. Menurut penulis, sepanjang tidak bertentangan dengan agama, budaya

lokal harus selalu dibangun untuk membangkitkan karakter anak bangsa. Padahal, jika kita

pahami dan pelajari mengenai kebudayaan lokal di daerah tidak kalah saing dengan budaya-

budaya asing yang tidak kita kenal. Negara asing saja mau berselisih untuk mengakui budaya

kita. Bukankah seharusnya kita bangga dengan budaya lokal yang telah diwariskan kepada kita

generasi pelurus perjuangan bangsa? Dengan keadaan yang seperti ini perlu ditanamkan nilai-

nilai nasionalisme kepada para pelajar untuk meningkatkan kecintaan pelajar terhadap

kebudayaan lokal. Maka, sangat diperlukan langkah strategis untuk meningkatkan rasa cinta dan

peduli terhadap kearifan budaya lokal kepada para pelajar di kepulauan Bangka Belitung.

Kebudayaan lokal merupakan kebudayaan yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat adat,

terutama masyarakat di kepulauan Bangka Belitung. Namun yang terjadi pada pelajar di Bangka

Belitung sangat berbeda dengan apa yang kita pahami tentang kebudayaan lokal, bahkan

kebudayaan itu sudah terkikis dan tergantikan oleh budaya asing yang sama sekali tidak kita

pahami.

Agar eksistensi budaya Bangka Belitung tetap kukuh, maka kepada generasi penerus dan pelurus

perjuangan bangsa perlu ditanamkan rasa cinta terhadap kebudayaan lokal khususnya di daerah.

Salah satu cara yang dapat ditempuh di sekolah adalah dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai

kearifan budaya lokal dalam proses pembelajaran, ekstra kurikuler, atau kegiatan kesiswaan di

sekolah. Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal haruslah diaplikasikan dengan

optimal.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah

yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk

melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,

Page 3: bahan essai

sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam

pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk

komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan

penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,

pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan,

dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha

Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,

sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,

budaya dan adat istiadat.

Karakter merupakan representasi identitas seseorang yang menunjukkan ketundukannya pada

aturan atau standar moral yang berlaku dan  merefleksikan pikiran, perasaan dan sikap batinnya

yang termanifestasi dalam kebiasaan berbicara, bersikap dan bertindak.

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya mendorong para pelajar tumbuh dan

berkembang dengan kompetensi berfikir dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral dalam

hidupnya serta mempunyai keberanian melakukan yang benar, meskipun dihadapkan pada

berbagai tantangan. Pendidikan karakter tidak terbatas pada transfer pengetahuan mengenai nilai-

nilai yang baik, tetapi menjangkau bagaimana memastikan nilai-nilai tersebut tetap tertanam dan

menyatu dalam totalitas pikiran serta tindakan.

Kearifan lokal merupakan akumulasi dari pengetahuan dan kebijakan yang tumbuh dan

berkembang dalam sebuah komunitas yang merepresentasikan perspektif teologis, kosmologis

dan sosiologisnya.

Upaya membangun karakter pelajar berbasis kearifan budaya lokal sejak dini melalui jalur

pendidikan dianggap sebagai langkah yang tepat. Sekolah merupakan lembaga formal yang

menjadi peletak dasar pendidikan. Pendidikan di Sekolah merupakan bagian dari sistem

pendidikan nasional yang memiliki peranan yang amat penting dalam meningkatkan sumber

daya manusia. Melalui pendidikan di Sekolah diharapkan akan menghasilkan manusia Indonesia

yang berkualitas. Jika menilik pada tujuan pendidikan nasional di atas, maka manusia yang

berkualitas tidak hanya terbatas pada tataran kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotor. Pada

praktiknya, mata pelajaran muatan lokal dipandang merupakan pelajaran kelas nomor dua dan

hanya dianggap sebagai pelengkap. Sekolah-sekolah menerapkannya sebatas formalitas untuk

Page 4: bahan essai

memenuhi tuntutan kurikulum yang dituangkan dalam berbagai peraturan. Kondisi demikian

mengindikasikan aplikasi pengajaran muatan lokal di sekolah masih mengambang.  Persoalannya

adalah bagaimana penerapan konsep pendidikan karakter yang sudah dimasukkan ke dalam

kurikulum tersebut.

Hal penting yang mendasari pendidikan karakter di sekolah adalah penanaman nilai karakter

bangsa tidak akan berhasil melalui pemberian informasi dan doktrin belaka. Karakter bangsa

yang berbudi luhur, sopan santun, ramah tamah, gotong royong, disiplin, taat aturan yang berlaku

dan sebagainya, perlu metode pembiasaan dan keteladanan dari semua unsur pendidikan di

sekolah. Semua stakeholder pendidikan diharapkan andilnya dalam memberikan kontribusi nyata

terhadap pelestarian kebudayaan lokal di daerah khusunya bagi kalangan pelajar sebagai penerus

budaya bangsa. Pemberian pengarahan dan penghargaan kepada para guru juga dianggap perlu

dalam upaya memotivasi dan meningkatkan pemahaman para guru dalam mengaplikasikan serta

memberikan teladan mengenai Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal.

Contoh implementasi kecil yang dapat kita realisasikan di sekolah misalnya dengan mengadakan

kegiatan-kegiatan kesiswaan yang menekankan pada pengenalan budaya lokal yang isi dan

media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan

budaya serta kebutuhan pembangunan daerah setempat yang perlu diajarkan kepada para

pemuda. Pengadaan sanggar seni budaya di sekolah-sekolah sebagai sarana merealisasikan bakat

dan sebagai hiburan para pelajar, juga dipandang perlu untuk meningkatkan pengetahuan dan

kecintaan para pelajar pada kebudayaan lokal di daerahnya sendiri, khususnya di Bangka

Belitung. Permainan-permainan tradisional di Kepulauan Bangka Belitung yang hampir hilang

juga harus diekspos kembali. Gasing, misalnya. Sebagai permainan tradisional, gasing dapat

membawa banyak manfaat dan perlu dilestarikan karena mengandung nilai sejarah, dapat

dijadikan simbol atau maskot daerah, dijadikan cabang olahraga yang dapat diukur dengan skor

dan prestasi dan mengandung nilai seni. Dan masih banyak lagi permainan-permainan tradisional

yang mengandung unsur kekompakan tim, kejujuran, dan mengolah otak selain berfungsi

sebagai hiburan juga untuk menanamkan kecintaan pelajar pada budaya lokal di daerah.

Selain itu, penggunaan bahasa lokal (bahasa Melayu Bangka) perlu diaplikasikan paling tidak

satu hari dalam enam hari proses pembelajaran di sekolah. Dimana dalam satu hari tersebut

seluruh warga sekolah hanya menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Disamping

itu, diharapkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler berbasis kebudayaan lokal mulai diadakan di

Page 5: bahan essai

sekolah-sekolah. Kegiatan seperti perlombaan majalah dinding sekolah, dengan isi yang

menekankan pengenalan budaya lokal, lomba cerdas cermat antar pelajar mengenai lingkungan

sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan pembangunan daerah setempat, dan sebagainya.

Contoh implementasi lainnya yang dapat kita terapkan di luar sekolah adalah dengan aktif

mengadakan seminar (workshop) tentang pendidikan karakter dan kearifan budaya lokal kepada

para pelajar di Bangka Belitung. Tentunya serangkaian kegiatan tersebut dapat dilaksanakan

dengan metode yang sesuai dengan gaya remaja masa kini agar lebih menarik dan terkesan tidak

kuno. Pendirian komunitas pelajar peduli budaya juga dapat menjadi inovasi dan memberikan

motivasi bagi para pelajar dalam menerapkan pendidikan karakter berbasis kearifan budaya

lokal. Disamping itu, tradisi-tradisi yang menekankan pada kegotong royongan dianggap perlu

diaplikasikan dan disisipkan pada kegiatan-kegiatan kesiswaan di sekolah. Misalnya, tradisi

Nganggung (tradisi gotong royong masyarakat Bangka Belitung dengan membawa makanan

tradisional di atas dulang dan ditutup dengan tudung saji) dapat dilaksanakan ketika acara Halal

Bi Halal selepas perayaan Idul Fitri atau hari-hari besar agama lainnya.

Kemudian, untuk mendukung proses pembelajaran para pelajar terhadap sejarah dan kebudayaan

lokal di Bangka Belitung, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dituntut dapat bekerja sama dengan

Dinas Pendidikan untuk mendirikan museum sejarah kebudayaan Bangka Belitung dan wahana

handicraft yang berisikan pernak-pernik kerajinan tangan hasil karya pelajar Bangka Belitung.

Selain untuk memperkenalkan kebudayaan lokal terhadap kaum pelajar di Bangka Belitung,

pendidikan karakter berbasis kearifan budaya lokal juga memiliki tujuan mengubah sikap dan

juga perilaku sumber daya manusia yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk

menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang. Manfaat dari penerapan budaya yang

baik juga dapat meningkatkan jiwa gotong royong, kebersamaan, saling terbuka satu sama lain,

menumbuhkembangkan jiwa kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik, serta

tanggap dengan perkembangan dunia luar.

Potensi yang pada kaum pelajar yang bersatu bila digunakan dengan baik untuk melestarikan

kebudayaan lokal, niscaya dari serpihan-serpihan budaya lokal tersebut akan terwujudnya

kebudayaan yang dapat menjadi mercusuar bagi kebudayaan nusantara.

Budaya merupakan source yang takkan habis apabila dapat dilestarikan dengan optimal. Selain

itu, apabila negara menginginkan profit jangka panjang, alternatif jawabannya adalah lestarikan

Page 6: bahan essai

budaya dengan menggunakan potensi yang dimiliki pelajar tentunya tanpa melupakan peran serta

golongan tua.

Saatnya kita memperkenalkan dan menerapkan kembali kebudayaan lokal kita yang telah lama

terlupakan  dan meninggalkan budaya asing yang sejatinya sangat tidak sesuai dengan budaya

Indonesia. Kenapa kita mesti malu mengakui budaya sendiri, sedangkan orang asing saja mau

berselisih untuk mengakui budaya kita dan memperkenalkannya kepada dunia sebagai budaya

mereka? Jadi, bukankah kita mestinya bangga dengan apa yang kita miliki dan memperlihatkan

kepada dunia bahwa inilah budaya daerahku.

Page 7: bahan essai

Kearifan Lokal: Masihkah Menelantarkannya?

Derichard H. Putra Jumat, 20 Juli 2012 No comments

tuai… nak padi… dituai…

oi sipuluik nak… dibuek pokan

tuai.. nak sayang amak sayang padi dituai

amak mangai nak sayang, manca’i makan

layang-layang tobang malayalang

kain sasugi nak, pamagau bonio

layang-layang tobang malayang nak sayang

kain sasugi nak oi sayang

pamagau bonio

mo basamo poi ka ladang

mananam padi sayang

mananam bonio...

Potong Rambut. Persiapan sebelum pelaksanaan

Upacara Potong Rambut. 

foto: derichard h. putra/09)

BERNOSTALGIALAH saya menikmati sawah-sawah tak berpadi di kampung saat libur Idul

Fitri yang lalu. Seperti membalikan album usang, hayalan saya terhenti pada masa saat sawah-

sawah tersebut dulunya dibajak dengan kerbau dan kemudian secara batobo ditanami padi yang

diiringi randai, rarak godang, calempong tingkah, dan senyuman malu gadis-gadis perawan

disela godaan bujang-bujang kampung. Sayapun teringat sebuah seminar di Universitas Gadja

Mada akhir tahun lalu: World Conference on Science, Education and Culture (WISDOM 2010).

Secara sengaja atau kebetulan, Universitas Riau merupakan ‘tuan rumah’ pada helat tersebut,

Page 8: bahan essai

sehingga bule-bule pun mencicipi ikan salai, goreng petai, lempuk durian, dan nyanyian pantun

batobo di samping berbagai masakan dan hiburan rakyat lainnya.

            Helat internasional tersebut tersebut mengusung tema yang sangat unik: “Kearifan Lokal,

Solusi Mengatasi Masalah Dunia”.

Kearifan Lokal (local wisdom) mulai memantik perhatian dunia ketika pada 60-an, sebuah

program Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dikenal dengan Dasawarsa Pembangunan

(Development Decade), gagal menyelesaikan permasalah utama yang dihadapi negara-negara

berkembang di Asia dan Afrika:  kekurangan pangan. Dengan mengusung konsep “perluasan

tanah pertanian dan penerapan teknologi modern”, pada akhir program diharapkan permasalan

pangan bisa di atasi di negara-negara miskin yang ada di kedua benua tersebut. Laporan United

Nation pada 1962 menyebutkan, program ini akan meningkatkan pendapatan penduduk negara-

negara peserta program hingga 5% setahun.

Namun sayang, ketika dilakukan evaluasi di pertengahan dasawarsa, ditemukan sebuah fakta

yang sangat mengejutkan: pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut ternyata justru kian

melambat. Pukulan yang sangat telak bagi perencana pembangunan dan pengambil kebijakan

PBB waktu itu.

Para ahli di berbagai negara kemudian melakukan kajian kritis dan mendalam tentang

megaproyek tersebut, yang pada akhirnya berada pada sebuah kesimpulan: penyebab utama

kegagalan tidak lain adalah minimnya pemahaman tentang masyarakat yang menjadi target

pembangunan. (Rockefeller, 1969). Masyarakat yang dimaksud dalam hasil kajian ini adalah

para petani subsistem.

Temuan tersebut membawa para ahli kepada kesimpulan bahwa paradigma top-down yang

digunakan dalam pembangunan selama ini harus ditingggalkan. Sejak itu, munculah prinsip

development from below (pembangunan dari bawah). Ini memberikan maksud bahwa dalam

menjalankan program pembangunan, tidak boleh mengenyampingkan pandangan dan praktik-

praktik yang telah berlaku dan berkembang di tengah masyarakat. Dengan kata lain, kearifan

lokal harus dipelajari dan dipahami, sebelum upaya-upaya pembangunan dilaksanakan.

Pada tahun-tahun selanjutnya, konsep pembangunan dari bawah menjiwai program-program

PBB dan negera-negara di dunia lainnya. Sehingga pada 1992, bertepatan dengan hari Hak-hak

Asasi Manusia, PBB mencanangkan apa yang dikenal dengan Tahun Internasional Penduduk

Page 9: bahan essai

Asli Dunia (International Year of the World’s Indigenous People) yang kemudian dilanjutkan

dengan program Dasawarsa untuk Penduduk Asli (A Decade for Indigenous People) pada 1994-

2004, serta membentuk sebuah forum yang disebut dengan Forum Penduduk Asli Dunia (Forum

of Indigenous People).

Berbagai negara di dunia kemudian mengadopsi konsep ini dengan menerapkannya di negara

masing-masing. Di Indonesia, mesti sangat terlambat, setidaknya semangat menghidupkan gaung

kearifan lokal telah mulai dikaji ditingkat akademis. Pada 1991 misalnya, Universitas Padjajaran

bekerjasama dengan Universitas Leiden Belanda mendirikan pusat penelitian pengetahuan lokal

yang disebut dengan INRIK (Indonesian Resouce Centre for Indigenous Knowledge). Tiga tahun

kemudian, INRIK melaksaksanakan seminar internasional “Indigenous Knowledge System

(IKS)” di Bandung. Walau masih dalam tahap kajian, belum kepada penerapan, setidaknya ‘era’

kearifan lokal telah mulai terlihat titik terangnya.

Pertanyaan yang timbul kemudian adalah apa yang dimaksud dengan kearifan lokal?

Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan padanan kata dari bahasa Inggris local wisdom. Kata local (Inggris),

atau locaal (Belanda), dalam bahasa Indonesia diserap dengan kata lokal, diterjemahkan sebagai

setempat atau tempat. Sedangkan wisdom diartikan sebagai kearifan, yang memiliki kata dasar

arif. Kata arif yang kemungkinan diserap dari bahasa Arab memiliki pengertian paham,

mengerti, tahu, mengetahui dan bisa juga diartikan dengan makna yang lebih luas, bijaksana,

berilmu, cerdik dan pandai.

Dari kata arif didapat turunannya mengarifi, mengarifkan, dan kearifan. Ketiganya bisa

disepadankan dengan mengetahui, memahami, mengerti, kecendekiaan, atau kebijaksanaan.

Dengan demikian, kearifan lokal (local wisdom) bisa diartikan sebagai pengetahuan setempat,

pemahaman setempat, kecendekiaan setempat, atau kebijaksaan setempat.

            Berkenaan dengan kebijaksanaan, bijaksana mengandung arti dapat menyelesaikan

persoalan tanpa menyakiti baik fisik ataupun perasaan orang lain, jika dihubungan dengan

kesulitan yang berhubungan dengan lingkungan fisik, bijaksana mengandung pengertian dapat

menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan kerusakan fisik, atau dikenal dengan istilah

penyelesaian yang bijaksana atau penyelesaian secara baik dan benar.

Page 10: bahan essai

Bijaksana dalam bahasa Indonesia berarti selalu menggunakan akal budinya (dalam hal ini yang

berhubungan dengan pengalaman dan pengetahuan) atau pandai dan hati-hati (cermat, teliti, dan

sebagainya) dalam menghadapi kesulitan. Berilmu bearti memiliki ilmu yang dipergunakan

dalam menghadapi persoalan. Sedangkan cerdik diartikan cepat mengerti, pandai mencari

pemecahannya, panjang akal, banyak akal. Sedangkan pandai dapat diartikan pintar, cerdas,

mahir, terampil, dapat, sanggup, berilmu (KBBI, 2010).

Guru besar Universitas Gadja Mada, Heddy Shri Ahimsa-Putra, memberikan pengertian kearifan

lokal dengan menyebutnya sebagai “perangkat pengetahuan dan praktik-praktik pada suatu

komunitas—baik yang berasal dari generasi sebelumnya maupun dari pengalaman ketika

berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lainnya—untuk menyelesaikan berbagai

persoalan dan/atau kesulitan yang dihadapi secara baik, benar, dan bagus”.

            Kearifan lokal menekankan kepada ‘tempat’ dan ‘lokalitas’ dari suatu kearifan tersebut,

tetapi tidak harus merupakan pewarisan dari generasi sebelumnya (kearifan tradisional). Suatu

kearifan lokal bisa saja baru muncul beberapa tahun belakangan, atau didapat dari generasi

sebelumnya. Kearifan lokal yang baru saja muncul bisa saja disebut ‘kearifin kini’ untuk

membedakannya dengan ‘kearifan lama’ yang telah lebih dulu dikenal dalam sebuah masyarakat.

            Konfonen utama dari kearifan lokal adalah hal-hal yang berhubungan dengan berbagai

sistem pengetahuan, cara pandangan, nilai-nilai, serta praktik-praktik dari sebuah komunitas

masyaraat, baik yang diperoleh dari generasi sebelumnya dari sebuah komunitas masyarakat

tersebut, atau didapat dari komunitas masyarakat lain, ataupun yang didapat—berdasarkan

pengalaman—di masa kini yang tidak berasal dari generasi sebelumnya, termasuk juga dari

kontak budaya dengan masyarakat luar atau asing.

            Kemudian timbul pertanyaan lain, kenapa harus memperhatikan kearifan lokal?

Masyarakat lokal dipastikan memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai sistem ekonomi

dan lingkungan alam mereka yang telah lama ‘ada’ dan ‘bertahan’ di dalam masyarakat tersebut.

Jika diibaratkan sebuah penelitian, kearifan lokal telah lama ‘diuji’—lalu kemudian mencapai

tahap ‘teruji’—dan dipraktekkan oleh masyarakat hingga mencapai titik akhir yang sempurna.

Selain itu, menurut Brokensha (1977) program pembangunan suatu negara tidak akan berhasil

dengan baik bila mana tidak memilki fondasi yang sangat kuat pada bebeberapa aspek dalam

masyarakat itu sendiri.

Page 11: bahan essai

Kearifan Lokal Melayu Riau

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kearifan lokal di dalam masyarakat Melayu Riau?

Beberapa dekade yang lalu, mungkin tidak asing bagi kita ketika anak-anak gembala duduk di

atas kerbau memenuhi jalan-jalan di sore hari membawa gembalaannya pulang ke kandang, atau

petani yang membajak sawah dengan kerbau atau sapi menghiasi sawah-sawah di Riau

khususnya dan Indonesia umumnya. Momen-momen seperti ini banyak dipublikasikan dalam

foto-foto dan lukisan-lukisan di akhir 80-an.

Sistem beternak ”ala kampung” dan membajak sawah secara tradisional tersebut tersebut tanpa

kita sadari ternyata mampu memenuhi kebutuhan daging dan beras di dalam negeri. Sehingga

saat itu kita tidak mengenal istilah daging impor, atau beras impor.

Namun kemudian, masuknya era mekanisme di sektor pertanian telah mengubah perilaku petani

dan secara signifikan menurunkan populasi kerbau dan sapi di dunia. Dan kitapun mulai

mengimpor beras. Sawah dan kerbau, mungkin seperti dua sisi mata uang, tidak berarti jika

hilang salah satunya.

Beberapa petani di Yogyakarta yang saya temui mengatakan, kotoran kerbau atau sapi dapat

sekaligus menjadi pupuk, di samping bajakan yang jauh lebih baik dari pada traktor tangan,

sehingga penggunaan pupuk bisa lebih efekt.

Selain itu, kerbau atau sapi juga bisa berkembang biak  jika dipelihara dengan baik. Bandingkan

dengan traktor, jika sudah sampai akhir masa pakainya akan berubah menjadi onggokan besi tua.

Disamping bahan bakar yang mencemari lingkungan. Jadi jangan aneh, di beberapa daerah di

Jawa akhir-akhir ini membajak sawah dengan kerbau sesuatu yang sangat digemari petani, di

samping untuk tujuan wisata.

Pergeseran budaya bertani ini mendorong badan pangan dunia FAO, mencanangkan kembali

sistem ‘tradisional’ yang telah lama ditinggalkan. Untuk mendukung program tersebut, FAO

mendirikan buffalo village di Thailand. Tujuan program ini adalah mengembalikan kejayaan

bertani yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Jika kita ingin melihat lebih jauh, di Jerman misalnya, pada 2012 negara tersebut memutuskan

seluruh ayamnya tidak boleh lagi dipelihara dengan cara dikandangkan secara individu,

berpasangan, atau berkelompok. Pola pemeliharaan yang dipraktekan selama ini dianggap

sebagai bentuk penyiksaan, saling mematuk, dan terjadi kanibalisme. Sebagai akibatnya produksi

telur menurun secara drastis akibat stress.

Page 12: bahan essai

Penerapan peraturan ini setelah sebuah perusahaan ayam terbesar di negara tersebut dan juga

terbesar di dunia, menemukan galur ayam dengan produksi hingga 360 butir telur per ekor per

tahun (produksi tertinggi di dunia). Ini berarti hanya 5 hari saja ayam tersebut ‘beristirahat’

bertelur. Sistem pemeliharaan ayam yang mereka kembangkan adalah dengan membiarkan

ayam-ayam petelur bebas berkeliaran yang tidak terikat di dalam kandang yang sempit dan

disediakan sangkak untuk bertelur.

Jika kita melihat pola beternak ayam nenek moyang kita—saat ini masih dipraktekkan di

kampung-kampung—kita bertanya tanya pada diri kita sendiri, mengapa mereka meniru teknik

beternak secara ekstensif yang diterapkan oleh nenek moyang kita?

Beberapa kearifan lokal kita lainnya, semisal  hutan kepungan silang, telah mampu

mempertahankan produksi madu lebah hutan asli. Sistem eding (hutan perantara) dalam sistem

ladang bepindah, mencegah hutan monokultur, erosi, dan banjir. Manggota kuaran (di Kuantan

dan Kampar), telah pula menjaga pelestarian burung kuaran (sejenis burung berebah) tapi saat ini

telah punah karena diburu dengan senapan angin. Pacu jalur, mendidik masyarakatnya untuk

selalu menjaga dan memelihara pokok-pokok kayu di rimbo gano. Mararuah, menjaga produksi

ikan sungai. Batobo/botobo, sistem arisan  pertanian yang menjaga efisiensi waktu, biaya, dan

hubungan silahturahi. Sistem pelestarian hutan oleh suku-suku asli. Pengelolaan hutan ulayat

dengan sistem rimbo larangan, dan ratusan atau mungkin ribuan lainnya yang terbukti ampuh

diterapkan sejalan dengan kehidupan modern saat ini.

Uraian di atas memberi sedikit gambaran kepada kita, betapa nenek moyang dan ilmu

pengetahuan masyarakat kita telah berkembang jauh melampaui zamannya, dan kearifan lokal

bukanlah suatu yang ditemukan dan dikembangkan dalam jangka waktu yang instan, tetapi

memakan waktu yang lama, pengalaman, dan “ujicoba” yang beratus-ratus tahun.

Pertanyaan terakhir yang tersisa adalah, masihkah kita menelantarkan ‘anugrah’ kearifan lokal

kita? Sayapun teringat sebuah ‘nyanyian’ pantun batobo—mungkin tidak ditemukan lagi di

komunitas pemiliknya—yang ditampilkan oleh tim kesenian Universitas Riau pada WISDOM

2010 tersebut, seperti yang saya kutip di awal tulisan ini*** 

Page 13: bahan essai

Raja Pangkah

14 April 2013 - 07.53 WIB > Dibaca 207 kali

 

Apalagi yang bisa dijelaskan Burhan kepada istrinya agar dia tetap

bisa bergasing. Sebuah permainan tradisional yang merupakan warisan turun temurun dari nenek

moyangnya. Semua itu telah diceritakan dengan harapan agar istrinya benar-benar mengerti

bahwa permainan gasing bagi dirinya tidaklah hanya sebatas permainan biasa, pelepas hobi atau

mengisi waktu luang belaka. Akan tetapi bergasing baginya samalah dengan menjaga marwah,

meneruskan dan melestarikan tradisi leluhur dengan tetap berupaya mempertahankan gelar

sebagai raja pangkah.

Atuknya Budol di masa penjajahan adalah pemain gasing yang handal. Kemudian diturunkan

kepada Ayahnya Abdul Ghofur yang juga adalah seorang pembuat dan pemain gasing yang tak

bisa dipandang sebelah mata. Setidaknya demikianlah beberapa cerita yang didengar Burhan dari

sekian banyak cerita yang telah dikisahkan bapaknya ketika masih hidup. Di samping memang ia

menjadi saksi atas kehebatan almarhum bapaknya itu.

Tetapi sampai hari ini, apa yang diharapkan tak kunjung kesampaian, istrinya Syutinah tidak

pernah mengerti. Malahan menurut istrinya bermain gasing hanyalah membuang waktu semata.

‘’Jika abang sudah lekak mengurusi gasing-gasing, siapa lagi yang akan mengurusi Tinah dan

anak-anak abang ini?’’

Burhan hanya diam mendengar sungut istrinya itu. Sesungguhnya ia sadar akan dua hal yang

berseberangan di pikirannya. Bahwa apa yang dikatakan istrinya itu benar belaka. Ia adalah tipe

orang yang apabila menggeluti sesuatu hal, maka akan banyak hal lain yang terabaikan. Bahwa

kemudian, ia tetap tidak akan pernah berhenti membuat dan bermain gasing adalah ketetapan

pikiran yang lain pula.

‘’Tidakkah terniat di hati abang untuk mencari kerja tetap? Kerja yang layak selain dari

mengharapkan tangkapan ikan di laut yang sekarang ini tak dapat diandalkan lagi sebagai mata

pencaharian?’’

Page 14: bahan essai

Burhan tetap berdiam diri sambil melirik anak lelakinya yang berumur dua tahun sedang

menggenggam gasing yang baru saja dibuatnya sedang kakaknya yang hampir menyelesaikan

Sekolah Dasar asyik pula mengagah adiknya.

‘’Mar... kau tengok adik kau tu betul-betul. Jangan sampai gasing yang baru siap itu rusak pula,’’

sergah Burhan sambil menunjuk ke arah si bungsu yang sedang menimang-nimang beberapa

gasing hasil buatannya.

Mendengar ucapan Burhan, hati Syutinah pun meradang. ‘’Bukan cakap awak yang didengarkan,

gasing celaka itu juga yang dirisaukan...! Makanlah gasing abang tu!’’ Syutinah berdiri dari

tempatnya menggiling lada. Segera meraih kedua anaknya dan beranjak pergi. Tapi kemudian

baru beberapa langkah, tak diduga-duga sebuah tamparan mendarat di pipinya.

‘’Kalaupun engkau tidak suka aku bermain gasing, jangan pula gasing buatanku itu kau hina

sedemikian rupa,’’ sergah Burhan membahana. Betapa sebenarnya Burhan merasa tersinggung

apabila dikatakan gasing untuk dimakan.

Langkah Syutinah terhenti seketika, tapi bukan dikarenakan tamparan ataupun pekik suara dari

suaminya itu melainkan ingin sekali ia melihat sorot mata Burhan yang sedang menyala. Hendak

melihat seberapa besar kesungguhan Burhan telah memperlakukannya seperti itu. Senang pula

suatu saat nanti, jika tepat waktunya, dia akan membuat kira-kira. Sejenak bagaikan ada yang

berperang dari kedua mata yang sedang saling bertatapan. Berikutnya hari pun tiba-tiba hujan.

Hari ini ternyata menjadi hari di mana puncak kemuakan Syutinah atas perilaku Burhan.

Bagaimana tidak? Sudah hampir tujuh tahun ia hidup bersama dan sudah selama itu pula ia

melihat Burhan hanya tahu melaut ketika pagi dan pada sebelah petang, kalau tak buat gasing,

bermain gasing. Yang diharapkan Syutinah tidaklah banyak, bagaimana Burhan juga membantu

berpikir untuk meningkatkan pendapatan keluarga sehingga kalau bisa ia tak susah-susah lagi

mencuci pakaian di rumah orang setiap paginya. Namun ternyata yang didapatnya malah sebuah

tamparan dan hujatan dari Burhan. Jika demikian halnya, maka Syutinah berniat akan melakukan

Page 15: bahan essai

apa yang telah dipikirkan beberapa hari belakangan ini, apatah lagi tidak ditemukannya rasa

menyesal dari sorot mata Burhan.   

Burhan yang sememang mendapat gelar di kampungnya sebagai raja pangkah sangat tidak

menyukai apabila ada orang-orang yang menyepelekan atau menghina sesuatu yang berkaitan

dengan gasing. Secepat itu pula ia akan tersingung bahkan bisa saja ia mengamuk dalam

seketika.

Pernah suatu saat di sebuah kedai kopi, kawannya si Abu memberikan saran agar ia bermain

gasing dengan memasang taruhan dengan sesiapa saja yang menantangnya. Tak ayal lagi, meja

di kedai kopi itu pun dibantingnya.

‘’Memang kawan tak pakai engkau ni Abu, engkau suruh aku bermain permainan yang telah

dititipkan nenek moyang aku untuk dijadikan lahan perjudian, di mana letak otak kau Abu ha?

Kau pikir, dengan begitu mudah aku menggadaikan tradisi ini hanya demi yang namanya duit?

Yang kupertahankan sekarang ini adalah marwah. Walaupun hidupku susah, tapi tak akan

sesekali pun kulacurkan permainan turun temurun ini, kau paham?’’ Burhan pun kemudian

berlalu, meninggalkan Abu yang masih terperangah membisu.

Kemantapan hati dan pendirian Burhan bukanlah sesuatu yang dibuat-buat agar gelarnya sebagai

raja pangkah dapat lebih dipandang dan disegani di kampungnya akan tetapi demikianlah cara

dia menghargai permainan tradisional tersebut, sebuah permainan yang pada masa dahulu

merupakan permainan nomor dua populernya setelah sepakbola.  Semenjak kecil, ia sudah diajak

dan diajari oleh almarhum bapaknya berkaitan dengan apa saja yang namanya gasing. Mulai dari

membuat sampailah kepada bagaimana teknis permainannya. Mulai dari menemukan akar bakau

yang berserat, mencari kayu jeruk, kayu asam jawa yang nantinya akan dibuat gasing yang

berkualitas bagus. Burhan juga diajari bagaimana membuat berbagai bentuk gasing, baik gasing

piring, gasing telur maupun gasing jantung. Alhasil, sampai sekarang ini, berselerak gasing di

rumahnya yang merupakan hasil karya ciptanya sendiri.

Lebih dari itu, barangkali ada yang tak dipahami oleh orang lain selain daripada Burhan sendiri.

Page 16: bahan essai

Pelajaran tentang kehidupan juga diperolehnya dari bergasing yang didapat dari almarhum

bapaknya.   

‘’Yang penting dalam hidup adalah untuk tidak berhenti berbuat apa yang kau yakini benar’’.

Kata Bapaknya sambil memasang tangsi, di bagian bawah gasing. Setelah kemudian kelihatan

benar kedudukan tangsi tersebut, ia mengambil tali, salah satu alat untuk melinyaknya gasing. Di

sebuah papan yang datar, mulailah ia melinyakkan gasing piring.  

‘’Lihatlah...kita harus mencontohi kodrat gasing piring dalam hidup ini. Alitnya atau kekuatan

putarnya lama sekali bertahan. Gasing piring ini tak bermakna apa-apa jika ia berhenti berputar,

ia hanya ternilai dari seketul kayu. Demikian juga kita, teruslah bergerak, berbuat apa saja

menurutmu yang ianya berguna bagi kehidupan’’.

Setelah sama-sama mereka menatap putaran gasing piring hingga sampailah berhenti, bapaknya

mengambil gasing telur, seperti halnya tadi, ia juga mulai melinyakkan gasing telur tersebut.  

‘’Kau tahu Burhan, gasing telur ini kodratnya adalah jika dipangkah, jarang sekali ia langsung

bongkang atau berhenti linyaknya. Artinya, tidakkah seharusnya kita juga demikian, tak

langsung putus asa apabila berbentur dengan kesulitan dalam hidup. Carilah cara untuk

menyelesaikan segala sesuatu dengan sisa kekuatan dan keyakinan yang kita miliki’’.

Berikutnya, Abdul Ghofur yang juga terkenal sebagai raja pangkah pada zamannya, mengambil

gasing kesayangannya yaitu gasing jantung. Gasing ini kodratnya adalah untuk memangkah.

Biasanya pangkahan dari gasing ini akan membuat gasing lawan langsung bongkang.

‘’Atau bila perlu kau harus jadi pejuang layaknya gasing jantung Burhan...kau harus pangkah

semua aral dalam hidup ini. Keraguan, ketakutan, kemalasan adalah lawan, adalah musuh yang

harus kau pangkah sampai bongkang. Bergerak dan melangkahlah layaknya seorang pejuang

yang tak gentar menghadapi musuh-musuhnya’’.

Setelah hujan mengusaikan titiknya, Burhan pun mengirai segala ingatan tentang kenangannya

Page 17: bahan essai

bergasing. Kemarahannya pun sudah mulai reda. Sejenak ia melihat pintu kamar yang masih

terkunci dari dalam oleh istri dan anak-anaknya. Entah apalah yang diperbuat mereka di dalam

kamar sehingga dari tadi belum juga keluar. Sedang hari sudah hampir menunjukkan pukul dua.

Burhan bangkit berdiri, melangkah ke dapur, ia tak menemukan apa-apa untuk dimakan selain

dari serakan bahan dan rempah-rempah yang belum selesai dimasak oleh Syutinah.

Ia pun bergegas mengambil gasing dan beberapa perlengkapan gasing. Seperti biasa, dimasukkan

semuanya ke dalam tas. Hari ini ia akan bermain gasing di dusun sebelah. Tanpa berpikir

panjang lagi, ia pun mulai melangkah gagah. Seturut dengan langkah itu terbayang pula

dibenaknya untuk tetap mempertahankan gelarnya sebagai raja pangkah dalam pertandingan

nanti. Dan memang, demikianlah Burhan. Kegairahannya untuk tetap bergasing mampu

menghilangkan beban pikiran dan masalah yang sedang mendera bahkan adakalanya ketika ia

sakit demam, bisa sembuh dikarenakan hanya bergasing.

Senja pun menjelang. Mega-mega berarak cerlang. Salah satu momen kemenangan hati dan

segala kedamaian adalah ketika kita berkesempatan menikmati keindahan langit di senja hari.

Dan memang, hari itu merupakan kemenangan pula bagi Burhan. Senyuman kepuasan yang

berderet di bibirnya seperti tak lepas-lepas, bergelayut layaknya arakan mega di senja itu. Dapat

pula disimpulkan bahwa sampai hari ini, dia masih mampu mempertahankan gelarnya sebagai

raja pangkah dalam artian Burhan tak terkalahkan dalam bermain gasing.

Menapaki kakinya di pintu depan rumah, Burhan kembali menangkap senyap. Seolah-olah tidak

ada kehidupan dan aktivitas di rumahnya. Segera setelah meletakkan gasing dan perlengkapan,

dia menuju ke kamar di mana ketika pergi tadi, istri dan anak-anaknya mengurung diri tetapi

setelah ia mendedahkan pintu, tak ditemukan apa yang dicari.

Ia pun bergegas ke dapur. Tak ada lagi selerak kapar dan rempah-rempah seperti ketika ia pergi

tadi. Bahkan ia agak terkejut ketika menyaksikan di meja makan tersedia piring dan gelas serta

sesuatu yang tersungkup di dalam tudung saji. Seketika itu pula ia merasa lapar karena memang

dari tadi siang ia belum memasukkan nasi sebiji pun ke dalam perutnya. Tanpa diaba-aba,

Burhan pun menghampiri meja makan, duduk di kursi, meletakkan piring di hadapan dan

Page 18: bahan essai

memulai prosesi makan dengan meminum seteguk air yang sudah tertuang di dalam gelas.

Namun tatkala ia membuka tudung saji, betapa kemudian Burhan surut ke belakang hingga kursi

yang dudukinya pun tumbang. Sungguh apa yang dilihatnya di dalam tudung saji membuat

badannya mengeras dan matanya memerah menahan marah. Beberapa buah gasing buatannya

telah terhidang di dalam beberapa mangkuk dan tempat nasi. Artinya ke semua hidangan itu

adalah hidangan gasing yang tersusun rapi di dalam tempatnya masing-masing. Setelah matanya

menyapu hidangan tersebut, ternampak olehnya selembar surat. Ia pun mengambil dan segera

membacanya.

‘’silalah Menjamahnya, Hanya Ini Yang Kita Punya Dari Apa Yang Sepatutnya Kita Usahakan.

Silalah Memakannya, Kami Sudah Lelah!’’

Burhan hanya mematung sambil memegang selembar kertas dengan tulisan yang tentu saja

ditulis oleh istrinya. Apakah ia marah? Kesal? Atau entah apalah yang sedang berkecamuk dalam

dirinya. Beberapa saat kemudian ia mengambil sebuah gasing dalam hidangan tersebut dan

meraih tali untuk melinyakkan gasing yang memang sudah tersedia juga dalam juadah yang

tersedia. Entah untuk membunuh gemuruh rasa yang mendera dirinya saat itu, Ia pun mulai

melinyakkan gasing di atas papan rumahnya yang tidak rata. Tentu saja putaran gasing tidak

bertahan lama. Dalam sekejap saja, gasing terpelanting dan berhenti berlinyak dikarenakan

tersenggol papan yang tidak rata tersebut.

Tiba-tiba Burhan teringat dengan pesan lain dari almarhum Bapaknya di suatu ketika dahulu.

‘’Jika diibaratkan proses permainan gasing adalah kehidupan, baik berkaitan dengan laman

tempat bermain, gasingnya, pemainnya maka ke semuanya dituntut satu hal yaitu keseimbangan.

Laman tempat bermain hendaknya seimbang dalam artian rata tidak berdonggol-donggol. Begitu

juga gasingnya harus terukir sama berat di semua sisinya. Dan pemainnya hendaklah mampu

menyeimbangkan setiap gerak-gerik, strategi dalam proses permainan. Barulah kemudian proses

permainan gasing dapat berjalan dengan lancar...’’

Lalu kemudian Burhan seolah-olah mendapat bisikan akan sebuah pertanyaan yang entah dari

Page 19: bahan essai

mana datangnya. Sudah pernahkah ia memikirkan filosofi keseimbangan yang dimaksudkan

almarhum Bapaknya itu? Sudah seimbangkan ia memikirkan untuk mempertahankan gelarnya

dengan kepedulian terhadap keluarga? Atau jangan-jangan kehidupannya tak ubah seperti gasing

yang kini di hadapannya tergeletak tidak berlinyak karena ketidakseimbangan salah satu elemen

dari proses bermain gasing yakni lamannya tidak rata.

Lama ia tercenung dan kemudian bagaikan tersadar, Burhan pun berlari keluar. Hari sudah mulai

gelap. Arakan mega yang sekejap sudah pula lesap di telan jubah malam. Burhan yang dari

kejauhan tampak hanya sebagai bayang hitam yang berkelebat, semoga saja tidak berbuat hal

yang tidak bermanfaat. Ya, kita hanya bisa berharap ia pergi menjemput istri dan anak-anaknya

yang li saja lari ke rumah orangtua si Syutinah. Semoga saja.***

Page 20: bahan essai

Kesenian Riau dan Perkembangannya

Oleh : Idrus Tintin dan B. M. Syamsuddin

Penulis mengemukakan berbagai bentuk dan jenis kesenian yang terdapat di Riau, yaitu teater,

tari, musik, nyanyian, dan sastra. Penulis menyimpulkan bahwa para penghayat kesenian di

perkotaan umumnya merasa asing terhadap kesenian tradisional. Oleh karena itu, diperlukan

penghubung yang apresiatif dengan memperkenalkan segala jenis dan bentuk kesenian

tradisional di perkotaan. Dengan demikian, kesenian kontemporer yang tumbuh, hidup, dan

berkembang di perkotaan akan mempunyai fondasi yang kokoh dan ranggi dalam memberikan

sumbangan bagi kesenian nasional.

1. Pendahuluan

Satu dasawarsa menjelang abad ke-20, berdiri Rusydiah Klub, suatu perkumpulan untuk para

cendekiawan, sastrawan, dan budayawan. Perkumpulan ini berdiri di Riau, tepatnya di Pulau

Penyengat yang pada waktu itu menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Riau Lingga. Pada

hakekatnya, perkumpulan ini merupakan lembaga kebudayaan yang mencakup kesenian,

pertunjukan, dan sastra. Kegiatannya bermula dari peringatan hari-hari besar Islam, seperti

Maulud Nabi, Isra-Mikraj, Nuzulul Quran, Idul Fitri, Idul Adha, dan lain-lain yang kemudian

berkembang sampai pada penerbitan buku-buku karya anggota perkumpulan. Semua kegiatan

ditunjang oleh sarana kerajaan yang berupa perpustakaan Kutub Khanah Marhum Ahmadi dan

dua buah percetakan huruf Arab-Melayu, yaitu Mathba‘at al Ahmadiyah dan Mathba‘at al

Riauwiyah.

Rusydiah Klub merupakan perhimpunan cendekiawan pertama di Indonesia. Perkumpulan ini

tidak disebut dalam sejarah nasional, karena kurang telitinya pengumpulan bahan sejarah, atau

mungkin karena tidak adanya masukan dari pihak yang banyak mengetahui tentang hal itu.

Rusydiah Klub meninggalkan pusaka kreativitas berupa buku-buku sastra, agama, sejarah, dan

ilmu bahasa yang amat berharga. Jika Riau pada masa lalu sanggup menyediakan fasilitas bagi

kegiatan seni dan sastra, seharusnya Riau pada masa kini mampu menyediakan fasilitas yang

lebih baik lagi.

Page 21: bahan essai

Riau sejak dahulu sudah menjadi daerah lalu lintas perdagangan negara-negara tetangga,

sehingga Riau melahirkan sosok dan warna budaya yang beragam. Hal ini merupakan beban,

sekaligus berkah historis-geografis. Riau seakan-akan merupakan ladang perhimpunan berbagai

potensi kesenian, yang di dalamnya terdapat pengaruh kebudayaan negara-negara tetangga dan

kebudayaan daerah Indonesia lainnya. Kesenian Melayu Riau sangat beragam, karena kelompok-

kelompok kecil yang ada dalam masyarakat juga berkembang. Perbedaan antara Riau Lautan dan

Riau Daratan menunjukkan keanekaragaman kesenian di Riau. Hal ini sekaligus sebagai ciri

khas Melayu Riau, karena dari pembauran kelompok-kelompok itu pandangan tentang kesenian

Riau terbentuk.

Kenyataan menunjukkan, kesenian di Riau dan kesenian di negara-negara berkebudayaan

Melayu seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam saling mengisi dan saling mempe-

ngaruhi. Demikian pula dengan daerah-daerah berkebudayaan Melayu seperti Deli, Langkat,

Serdang, dan Asahan di Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat, dan lainnya, juga terpengaruh

kebudayaan Minangkabau, Mandailing, Bugis, dan Jawa. Kebudayaan yang datang dari luar

Indonesia seperti India (Hindu-Budha), Arab (Islam), Cina, dan Siam juga turut mempengaruhi.

Kelenturan kebudayaan Melayu tersebut sejalan dengan perkembangan sejarah dan letak geo-

grafis Riau, sehingga menjadikan Riau sangat kaya dengan ragam ekspresi kesenian.

Perkembangan kebudayaan Melayu di Riau itu pada gilirannya dapat memperkaya kebudayaan

nasional. Namun sayangnya tidak sedikit cabang kesenian Melayu Riau yang semakin suram dan

kurang mendapat perhatian. Bentuk-bentuk kesenian ini hanya muncul dalam acara seremonial,

seperti pada waktu ulang tahun atau ketika ada kunjungan pejabat.

2. Perkembangan Kesenian Di Riau

Kesenian Riau tumbuh, hidup, dan berkembang di pedalaman, di desa-desa terpencil, juga di

kota-kota. Kesenian yang tumbuh dan hidup di pedalaman kurang berkembang dan tidak

menyebar karena terkurung dalam lingkungannya. Masyarakat mengenal kesenian ini bukan

semata-mata sebagai hiburan, tetapi dikaitkan dengan kepercayaan dan bersifat spiritual yang di-

fungsikan sebagai penghubung antara manusia di alam nyata dengan penguasa di alam gaib.

Page 22: bahan essai

Kesenian Riau di kota didukung oleh para pelajar, mahasiswa, dan seniman masa kini, sehingga

dapat berkembang. Perkembangan ini menghasilkan kesenian kreasi baru yang menyadap ke-

senian tradisional dan memodifikasikannya dengan landasan budaya setempat. Jenis kesenian ini

dapat diketahui dengan melihat sentuhan budaya nasional di dalamnya. Kesenian kreasi baru

jenis tari dan teater kontemporer tampaknya menunjukkan nilai seni yang beragam pula.

Misalnya Sendratari Lancang Kuning mengandung nilai tarian Zapin, Cik Masani diangkat dari

gerak tari Makyong, Hang Tuah memanfaatkan beberapa gerak tari Melayu lama. Demikian pula

dengan garapan baru dari beberapa teater rakyat seperti Gubang, Makyong, Mendu, dan

Bangsawan. Garapan musik kreasi baru belum begitu intens dikerjakan, meskipun bentuk ghazal

dan orkes Melayu masih hidup di beberapa tempat. Padahal lagu-lagu Melayu lama masih terus

dinyanyikan secara luas. Bagaimanapun juga lagu-lagu Melayu lama ini lebih dikenal di desa-

desa daripada di kota-kota.

Sikap masyarakat kota di Riau tidak seperti sikap masyarakat Sumatera Barat terhadap lagu-lagu

tradisionalnya. Seniman-seniman Padang dan sekitarnya banyak yang masih menggarap lagu-

lagu daerah mereka dengan penuh gairah, bahkan lagu-lagu Melayu juga digarap. Dengan

kemajuan yang mereka capai, lagu-lagu Melayu sudah menjadi seperti lagu Minang. Di Riau

sendiri orang kurang peduli terhadap warisan lagu-lagu lama Melayu. Agaknya sejarah

kebudayaan menghendaki budaya Melayu dinikmati dan dimanfaatkan oleh suku-suku lainnya di

negeri ini, seperti halnya kebudayaan Melayu diperkokoh oleh pengaruh-pengaruh yang tersaring

dari mana saja.

3. Jenis-Jenis Kesenian Riau

Salah satu kesenian Riau adalah teater. Teater merupakan sebuah karya seni yang kompleks,

karena di dalamnya juga terdapat unsur-unsur kesenian lain. Di beberapa desa dan kota di Riau

masih dijumpai jenis-jenis teater klasik. Bentuk kesenian ini semakin berkembang dan kokoh

setelah mendapat kesempatan memasuki istana, sehingga bentuknya kemudian menunjukkan

ciri-ciri istana yang berbeda dengan wujud awalnya sebagai kesenian rakyat. Hal ini karena saat

memasuki istana, penampilan teater Makyong, Mendu, Mamanda, dan Bangsawan diperhalus.

Page 23: bahan essai

Seni tari yang muncul dalam teater Mendu berupa tarian Ladun, Jalan Kunon, Air Mawar,

Beremas, dan Lemak Lamun. Seni tari yang muncul dalam Makyong berupa tarian Selendang

Awang, Timang Welo, Berjalan Jauh, dan tarian penutup berupa tarian Cik Milik. Dalam

Bangsawan juga terdapat tari-tari hiburan seperti Jula-Juli, Zum Galiga Lizum, Mak Inang

Selendang, dan jenis-jenis langkah Zapin.

Seni suara merupakan napas pertunjukan Mendu, Makyong, dan Bangasawan. Dalam Mendu

terdapat lagu Lakau, Ladun, Madah, Air Mawar, Lemak Lamun, Tala Satu, Ayuhai, Nasib, dan

Tala Empat. Dalam Makyong terdapat nyanyian seperti Cik Milik, Timang Bunga, Selendang

Awang, Awang Nak Beradu, Puteri Nak Beradu, dan Dondang Di Dondang. Dalam Bangsawan

terdapat nyanyian seperti Berjalan Pergi, Lagu Stambul Dua, Dondang Sayang, Nyanyi Pari,

Nasib, dan lain-lain.

Alat-alat musik yang dipakai dalam pertunjukan Mendu ialah gendang panjang, biola, gung,

beduk, dan kaleng kosong, sedangkan dalam pertunjukan Makyong digunakan nafiri, gendang,

gung, mong, breng-breng, geduk-geduk, dan gedombak. Dalam Bangsawan dipakai peralatan

orkes Melayu lengkap. Pertunjukan Mendu dan Makyong sangat mengandalkan upacara yang

bersifat ritual seperti buka tanah dan semah. Dalam upacara ini digunakan mantra dan serapah.

4. Rintisan Pengarang Riau Abad Ke-19 Dan Awal Abad Ke-20

Kekentalan imajinasi dan bunyi yang terkandung di dalam mantra, serapah, dan jampi telah

menarik perhatian seorang penyair nasional asal Riau, Sutardji Calzoum Bachri, untuk me-

manfaatkan jiwa yang terkandung dalam warisan purba Melayu itu dalam penciptaan puisi

modern. Barangkali penggunaan bir oleh penyair terkenal ini diadaptasi dari para pengemban

seni tradisional untuk mencapai keadaan trance. Mantra, serapah, dan jampi juga menarik

perhatian penyair lainnya, Ibrahim Sattah. Untuk mendapatkan warna lain, penyair ini

memusatkan perhatiannya pada sajak permainan anak-anak yang banyak terdapat di daerah Riau.

Pola gubang yang terdapat pada Orang Laut juga dimanfaatkan oleh penulis karya pentas kon-

temporer, seperti halnya dalam naskah teater Indonesia. Tahun 1980 dari Riau muncul naskah

Warung Bulan.

Page 24: bahan essai

Bidang sastra di Riau mempunyai landasan yang cukup kokoh. Pada abad ke-19 para penulis

daerah ini mencapai puncak kreativitasnya. Hal ini terlihat bukan saja dari jumlah karya yang

dihasilkan, tetapi juga dari hasrat masyarakat untuk bersusastra, seperti yang dijelaskan oleh

Virginia Matheson dan Barbara Watson Andaya dalam tulisannya “Pikiran Islam dan Tradisi

Melayu-Tulisan Raja Ali Haji dari Riau” yang dimuat dalam buku Dari Raja Ali Haji Hingga

Hamka.

Tampilnya Raja Ali Haji sebagai seorang sastrawan, ahli bahasa, penulis sejarah, dan ulama

menjadikan Riau terpandang dalam dunia kebudayaan. Beliau pergi meninggalkan jejak yang

diikuti oleh sederetan penulis yang juga menghasilkan karya tulis, antara lain Raja Ali Kelana.

Raja Ali Kelana telah menghasilkan buku Pohon Perhimpunan, Percakapan Si Bakhil, dan

Bughyat al Ani Fi Huruf al Ma‘ani. Jejak ini juga diikuti oleh Hitam Khalid bin Hassan, Engku

Umar bin Hassan Midai, Raja Ahmad Tabib, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain. Para penulis

wanita pun tidak ketinggalan, sehingga Riau mengenal Raja Zaleha, Aisyah Sulaiman, Salmah

binti Ambar, dan Badriyah Muhammad Taher.

Rintisan yang dibuat oleh para penulis Riau abad ke-19 dan awal abad ke-20 ini kelak

memunculkan penulis-penulis seperti Hanafi Tsuyaku, Soeman Hs, Wan Khalidin, S.H. yang

dikenal dengan nama Dass Chall, kemudian berlanjut kepada penulis masa kini yang

menghasilkan karya-karya sastra berbentuk sajak cerita pendek, novel, naskah sandiwara, esai

dan artikel budaya, serta cerita anak-anak. Semua itu menggambarkan bahwa hasrat ber-

kesenian/bersusastra di kalangan seniman dan sastrawan Melayu Riau tidak pernah padam.

Sayangnya seniman dan sastrawan Riau ini kurang mendapat sambutan dan kurang dikenal di

daerahnya. Mereka seperti orang asing di kampungnya sendiri.

5. Seni Bangunan Dan Seni Kerajinan

Hasil kesenian Riau yang perlu dicatat masih banyak, di antaranya adalah seni bangunan dan

seni kerajinan. Kedua seni ini juga menunjukkan ciri khas Riau. Kerajinan tenun kain, anyaman,

sulaman, tekat, renda, hiasan tudung saji, terandak, dan lainnya berkembang dengan baik.

Kerajinan tenun Riau mempunyai banyak motif, seperti motif bunga, daun, binatang, awan larat

(awan berarak), dan ukiran kaligrafi. Kain tenun khas Riau antara lain kain tenun Siak dari Siak

Page 25: bahan essai

Sri Indrapura, kain sutera corak lintang dari Siantan, serta kain sutera petak catur dan kain

mastuli dari Daik Lingga.

Seniman Tenas Effendy telah berusaha mengungkap motif-motif yang dulu kurang dikenal

dalam senirupa Melayu, seperti motif bunga cengkih, pucuk rebung, awan larat, wajik-wajik,

bunga kiambang, bunga berembang, bunga hutan, bunga melur, tampuk manggis, cempaka,

kunyit-kunyit, pinang-pinang, naga-naga, lebah bergantung, ikan, ayam, sayap layang-layang,

siku keluang, dan lain-lain. Seniman ini dikenal sebagai orang yang berikhtiar untuk me-

lestarikan seni bangunan dan seni tradisional Melayu Riau lainnya, termasuk sastra lisan. Motif-

motif ukiran dalam kesenian Melayu klasik masih dapat kita lihat dalam bentuk ukiran kaligrafi

dari ayat-ayat Al Quran atau syair-syair Arab pada mimbar dan mihrab masjid-masjid tua di

seluruh Riau atau pada nisan-nisan lama.

Seni bangunan Melayu yang asli juga masih terdapat di seluruh Riau. Meskipun beragam dan

sedikit berbeda, namun semuanya masih memperlihatkan benang merah yang menunjukkan

cikal-bakalnya pada masa lampau.

6. Sikap Orang Melayu Terhadap Tradisinya

Pada senja hari, seorang penyadap enau bersenandung atau membaca serapah agar nira di banung

bambunya berisi banyak. Di pinggir laut atau dalam rumah-rumah panggung yang berdempet,

para nelayan berzikir, berdondang sayang, dan kadang-kadang terdengar membaca serapah

sambil melempar pancing.

Air pasang telan ke insang

Air surut telan ke perut

Renggutlah …!

Biar putus jangan rabut

Dalam cahaya terang bulan, beberapa pemuda Orang Laut berdindin mendayu-dayu.

Kayuh si Muncung kayuh

Lepas seteluk setanjung pula

Page 26: bahan essai

Muncung oi ....

Senja hari berikutnya, di bawah naungan pohon kelapa di pinggir pantai atau di teduhan ladang,

nelayan dan petani duduk mengukir hulu parang atau kepala dayung dengan macam-macam

motif ukiran seperti kepala bayan, buah batun bunga Pak Mat kembang berdentum, dan lain-lain,

sedangkan di sebuah gedung pertunjukan di kota, pengolah pentas siap membuat latar

pertunjukan menyaingi teman-teman mereka di provinsi lain di Indonesia. Pemandangan seperti

itu menggambarkan luapan perasaan seni manusia yang dapat terjadi di mana saja. Luapan

rohani itu sudah semestinya tertampung sesuai dengan kehendak manusia untuk membangun

pertumbuhan pribadi, baik yang bersifat hiburan maupun yang bertujuan mencapai efek sosial.

Perasaan yang tak pernah padam dalam diri manusia akan merasakan betapa pincangnya

pembangunan masyarakat tanpa menyeimbangkan pembangunan fisik dengan peradaban.

Kesenian yang menjadi ukuran kegiatan rohani sudah tentu masuk ke dalam unsur peradaban.

Bagaimanapun pentingnya pembangunan fisik, jika tidak diimbangi dengan perkembangan

kesenian dalam masyarakat, niscaya pembangunan tersebut akan kehilangan imajinasi spiritual.

Padahal imajinasi spiritual diperlukan untuk menumbuhkan eksistensi dari hasil pembangunan

itu sendiri. Oleh karena itu, kita harus terpanggil untuk mengolah kesenian agar dapat menjiwai

pembangunan yang sedang melaju di Riau belakangan ini.

Hal tersebut telah diungkapkan oleh peneliti Riau, U. U. Hamidy, yang telah merekam sikap

orang Melayu terhadap tradisinya di Riau. Hamidy (1981) mengungkapkan:

Jika konsep, pemikiran, dan gambaran mengenai dunia dibuat dalam bentuk simbol-simbol,

maka dia akan terhindar dari tafsiran yang salah. Konsep itu dapat diselamatkan dari kemuna-

fikan kata-kata. Konsep tentang tafsir dunia dapat aman dari penyalahgunaan yang berpangkal

dari merosotnya nilai kata. Dengan usaha itu semua gagasan generasi terdahulu yang tertuang

dalam bentuk adat dan pusaka dapat berlanjut atau diwariskan dengan utuh kepada generasi

berikutnya. Dari kenyataan seperti ini, seorang pewaris adat dan pusaka di Rantau Kuantan dapat

menemui mutiara leluhurnya dalam keadaan bening, setelah dia kehabisan napas mencari makna

kehidupan ini.

Page 27: bahan essai

Di sisi lain, fungsi nilai-nilai spritual dalam pembangunan terbaca dari simbol-simbol peradaban,

baik di pedalaman maupun di kota-kota dalam bentuk yang agak berbeda.

7. Penutup

Secara geografis, Riau merupakan daerah yang terbuka terhadap berbagai pengaruh dan

menerima keadaan sebagai tempat perhimpunan potensi bermacam-macam kesenian. Di

pedalaman Riau, kesenian tradisional dapat bertahan lebih kuat daripada di kota, sebagaimana

yang juga terjadi pada daerah-daerah lainnya di Indonesia. Kesenian yang bernapaskan Islam

bertahan dan berkembang lebih luas, terutama di desa-desa, sedangkan warna Melayu asli

setengah tenggelam, sebagian lagi dilanjutkan di desa-desa, namun kurang diminati di kota.

Bentuk dan jenis kesenian yang menonjol di Riau ialah seni sastra, teater, nyanyian, dan tari.

Garapan hasil sastra yang bercorak daerah terus mendapat perhatian para seniman setempat. Di

bidang teater, teater kontemporer yang berlandaskan teater tradisional masih cukup kuat, namun

teater Makyong dikhawatirkan bakal punah. Seni tari dan seni suara terus berkembang dengan

adanya kreasi-kreasi baru. Seni hias justru semakin bangkit setelah dipakai untuk kepentingan

zaman sekarang.

Dibandingkan dengan pembangunan fisik, perhatian terhadap kesenian agak jauh tertinggal.

Selain mementingkan pembangunan fisik, pembangunan spiritual di daerah ini hendaknya

digalakkan pula. Melalui sandiwara dan media seni lainnya, pesan-pesan pembangunan dapat

disampaikan dengan baik. Untuk itu diperlukan pengadaan naskah-naskah yang dapat menunjang

tujuan tersebut.

Page 28: bahan essai

Permainan Tadisional

Berteknologi Tapi Tetap Berbudaya

Transformasi Permainan Anak Indonesia

Dipostkan oleh : Nuri Cahyono pada Saturday, March 12, 2011

Permainan anak modern dengan berbagai ke-elektronikanya telah menjadi prioritas untuk anak

Indonesia dalam bermain. Permainan modern ini mampu menggusur keberadaan permainan

tradisional yang telah menjadi budaya inilah yang di namakan Transformasi Permainan Anak

Indonesia.

Kalau kita boleh membandingkan, zaman sekarang, orientasi permainan anak-anak kita sudah

beralih ke permainan yang sifatnya elektronik dengan teknologi yang lebih canggih. Sebut saja,

Play Station 1, 2, dan 3, PSP, Nintendo dan lain-lain sudah mampu menggantikan permainan

tradisional yang sebenarnya banyak sekali manfaatnya. Teman SMA saya mempunyai usaha

penyewaan rental PS 2 di rumahnya. Dapat terlihat dengan jelas, yang menjadi pelanggan utama

adalah anak-anak SD umuran 6-12 tahun walaupun kadang ada juga anak umuran SMP dan

SMA yang menyewa. Di tempat penyewaan itu terdapat enam play station+televisinya dan sewa

perjamnya Rp 2500,00. Katanya, dalam sehari saja, ia bisa mendapat Rp 100.000 bahkan lebih

jika hari libur. Tempat penyewaan itu agak ramai mulai pukul 12 lewat, waktu dimana anak SD

sudah bubar. Walaupun kadang, masih terdapat beberapa anak yang merelakan bolos sekolah

untuk pergi ke tempat penyewaan itu.

Dari teman saya yang lain, beberapa tempat penyewaan PS di daerahnya (kebetulan teman saya

dari Jawa Tengah), sering mengadakan perjudian-perjudian bermain PS. Hal ini mungkin

digeluti oleh orang yang lebih dewasa, umuran SMA dan kuliahan. Tapi, terkadang, beberapa

anak kecil juga mulai mencoba berjudi dengan rekan sebayanya walaupun dengan taruhan yang

agak rendah. Memang, kita melihat hal ini seperti hal yang biasa tapi secara tidak sadar, kita

menanamkan jiwa-jiwa penjudi dalam diri anak-anak kita. Tentu saja pemantauan orang tua

menjadi factor penentu proses pengawasan perkembangan anak terkait dengan dunia

permainannya.

Sebenarnya, banyak dampak-dampak negative ketika anak diberikan permainan dengan

Page 29: bahan essai

teknologi sekarang atau damapk mengenai Transformasi Permainan Anak Indonesia. Misalkan,

permainan elektronik identik dengan duduk diam saja, bersifat pasif sehingga tidak ada begitu

gerakan berarti. Ini menyebabkan fisik anak dibiasakan untuk lemah dan akan terbawa ketika ia

beranjak dewasa nanti. Kedua, ketika anak sudah dihadapkan dengan permainan elektronik, ia

cenderung sendiri sehingga kurang bersosialisasi dengan temannya yang lain. Hal ini

menyebabkan sifat pemalu, penyendiri dan individualistis.

Lain permainan elektronik, lain lagi permainan tradisional. Menurut Hamzuri dan Tiarma Rita

Siregar dalam bukunya, Permainan Tradisional Indonesia, permainan tradisional memiliki ragam

bentuk dan variasi yang begitu banyak. Setidaknya ada 750 macam permainan tradisional di

Indonesia, dan banyak yang belum terinventarisasi. Hal ini mengidentifikasikan bahwa

permainan tradisional Indonesia sangat melimpah. Tapi, kenyataan yang ada di masyarakat

sekarang, permainan tradisional sudah sangat jarang dimainkan karena berbagai alasan.

Saya ingat, sewaktu SD dulu, setiap waktu jeda istirahat, bersama teman yang lain seringkali

memainkan gobak sodor (kalau di daerah saya di Kalsel, namanya permainan Asin). Permainan

ini terdiri dari dua kelompok yang saling adu dan masing-masing regu berusaha menjalankan

strategi yang sudah dibuat regu masing-masing. Tanpa disadari, telah tertanam unsur kerjasama

untuk mencapai tujuan bersama yaitu memenangkan pertandingan. Tanpa disadari telah tertanam

dari kecil bagaimana cara bersosialisasi dengan sesame melalui permainan tradisional itu.

Permainan tradisional sebenarnya mempunyai karakteristik yang berdampak positif pada

perkembangan anak.

Pertama, permainan itu cenderung menggunakan atau memanfaatkan alat atau fasilitas di

lingkungan kita tanpa harus membelinya sehingga perlu daya imajinasi dan kreativitas yang

tinggi. Banyak alat-alat permainan yang dibuat/digunakan dari tumbuhan, tanah, genting, batu,

atau pasir. Misalkan mobil-mobilan yang terbuat dari kulit jeruk bali, engrang yang dibuat dari

bambu, permainan ecrak yang menggunakan batu, telepon-teleponan menggunakan kaleng bekas

dan benang nilon dan lain sebagainya.

Kedua, permainan anak tradisional dominan melibatkan pemain yang relatif banyak. Tidak

mengherankan, kalau kita lihat, hampir setiap permainan rakyat begitu banyak anggotanya.

Page 30: bahan essai

Sebab, selain mendahulukan faktor kesenangan bersama, permainan ini juga mempunyai maksud

lebih pada pendalaman kemampuan interaksi antarpemain (potensi interpersonal). seperti petak

umpet, , congklak, dan gobak sodor.

Ketiga, permainan tradisional menilik nilai-nilai luhur dan pesan-pesan moral tertentu seperti

nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab, sikap lapang dada (kalau kalah), dorongan

berprestasi, dan taat pada aturan. Semua itu didapatkan kalau si pemain benar-benar menghayati,

menikmati, dan mengerti sari dari permainan tersebut.

Banyak manfaat-manfaat lain yang dapat kita ambil dari permainan tradisional misalkan

sosialisasi mereka (anak) dengan orang lain akan semakin baik; dalam permainan berkelompok

mereka juga harus menentukan strategi, berkomunikasi dan bekerja sama dengan anggota tim

(misalkan dalam permainan engklek, congklak, lompat tali, encrak/entrengan, bola bekel dan

lain-lain. Manfaat-manfaat ini akan memperngaruhi perkembangan anak ke depannya.

Sekarang, tinggal orang tualah yang menentukan. Apakah lebih memilih untuk memperkenalkan

teknologi sejak dini kepada anak termasuk dalam memberikan kebutuhan bermainnya. Ataukah

mengajak anak untuk lebih sering turun bermain ke tanah sehingga ia dapat bersosialisasi dengan

anak yang lain dalam permainan-permainan rakyat yang sudah ada. Tentunya, memilih keduanya

harus ada batasan-batasan atau aturan-aturan tertentu yang mesti dijalankan sehingga dalam

perkembangan anak masih dalam koridor yang baik. Orang tua yang baik pasti mengetahui

bagaimana menanamkan nilai-nilai positif pada perkembangan anak-anaknya dalam bentuk

permainan. Permainan tidak saja akan mempengaruhi perkembangan anak secara parsial tetapi

juga akan menentukan karakteristik anak ke depannya.

Selain itu semua yang terpenting adalah bagaimana peran kita untuk turut serta mengembalikan

dan mengenalkan permainan anak tradisional terhadap generasi anak Indonesia atau

memodernkan permainan anak tradisional.

GASING PERMAINAN TRADISIONAL MELAYU RIAU

Diposkan oleh RIAU DAILY PHOTO on 24 Februari 2011 di 21.22

Page 31: bahan essai

Gasing merupakan permainan tradisional masyarakat melayu Riau yang sampai saat ini masih

eksis  meski pengaruh modernisasi terus menerpa sesuai dengan perkembangan zaman.  Secara

umum gasing terbuat dari kayu keras dengan bentuk badan bulat,  lonjong,  piring terbang

(pipih), kerucut, silinder dan bentuk-bentuk lainnya yang merupakan ciri khas kedaerahan

dengan ukuran bervariasi, terdiri dari bagian kepala, bagian badan dan bagian kaki. Gasing

dimainkan dengan tali yang cukup panjang dan digulungkan pada kayu bulat, runcing pada

bagian bawah dan terdapat katup pada bagain atas. Dilempar dengan keras ke tanah sehingga

gasing tersebut berputar dengan kencang. Aturan permainan gasing ini tergantung pada para

pemainnya, untuk kalangan anak-anak biasanya menggunakan sistem bertahan lama putaran

gasing. Namun yang biasa dilakukan oleh orang dewasa gasing akan diadu.

Page 32: bahan essai

Melalui Guru Merefleksi Budaya

31 Oktober 2012 - 09.18 WIB > Dibaca 390 kali

 

Di tengah deraan era globalisasi yang semakin tidak terkendali, yang

juga menyebabkan semakin sulitnya mengontrol dan mengarahkan perkembangan anak, guru

dapat diharapkan dalam upaya membentengi dan memfilterisasi hal-hal yang dapat

mempengaruhi mental dan akhlak anak.

Dampak negatif dari era globalisasi dan informasi ini tidak hanya menyerang mental, akhlak, dan

sikap anak, tetapi juga telah mempengaruhi penguasaan anak terhadap budayanya sendiri, dalam

hal ini adalah budaya Melayu.

Jarang terdengar seorang anak yang mendendangkan syair-syair,  jarang terdengar anak

berpantun seperti yang dilakukan orang-orang dulu.  

Apalagi dari segi permainan, tidak pernah lagi kita melihat anak-anak kita melakukan permaian

tadisional Melayu. Artinya, saat ini budaya Melayu hampir tidak tampak dalam diri anak Melayu

itu sendiri.

Lajunya perkembangan teknologi dan informasi, seolah-olah telah mereformasi budaya lokal.

Tidak dipungkiri, ada reformasi kebudayaaan dari yang tradisional ke arah modern. Misalnya

dalam permainan, dulu kita masih sering melihat anak-anak yang bermain setatak, main cak bur,

main teng-teng buku, dan permainan tradisional lainnya.

Anak sekarang, mereka lebih memilih main Plays Station, Game Online, dan sebagainya yang

pada umumnya merupakan permaianan yang sangat modern.

Permaianan seperti Plays Station dan Game Online tersebut cenderung lebih bersifat egois dan

membantu anak untuk tidak peduli terhadap lingkungannya.

Page 33: bahan essai

Sementara budaya bukanlah suatu hal yang harus direformasi. Budaya harus terus dipupuk dan

dilestarikan. Persoalannya, sejauh ini belum tampak upaya maksimal yang dilakukan oleh pihak

terkait untuk pemertahanan ketradisionalan budaya.

Tekad politik Provinsi Riau yang ingin menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu akan

sulit diwujudkan jika keberadaan budaya Melayu itu sendiri telah lenyap ditenggelamkan arus

globalisasi dan informasi yang lebih cepat dibandingkan dengan upaya pelestariannya.

Mengatasi hal tersebut, yang perlu dilakukan adalah merefleksi budaya yang tanpa kita sadari

hampir habis terkikis. Anak sangat dimanjakan dengan ketersediaan teknologi.

Padahal, budaya lokal dalam bentuk apa pun, jauh lebih bernilai positif dan memiliki filosofi

yang tinggi untuk mengarahkan perkembangan anak.

Pada permainan teng-teng buku misalnya, di sana banyak nilai yang terkandung untuk membantu

perkembangan anak. Permainan cak bur, atau di Kuantan Singingi lebih dikenal dengan main

gala-gala, juga banyak memuat nilai-nilai budaya Melayu.

Permainan ini sangat menuntut kejujuran, karena bisa saja berkilah tidak tersentuh lawan

sehingga dinyatakan kalah.

Selain itu jiwa gotong-royong dan kekompakan juga sangat diperlukan, karena ini merupakan

permainan bersifat kolaboratif, keberhasilan seseorang menentukan keberhasilan tim, dan

sebaliknya kegagalan individu juga menentukan kegagalan tim.

Masih banyak permainan-permaian tradisional Melayu yang dulu selalu dimainkan dan jauh

lebih membangun karakter anak dibandingkan permainan anak sekarang yang cenderung bersifat

egois dan individualis.

Refleksi budaya yang dimaksudkan, semua unsur budaya Melayu harus disajikan kembali

kepada anak-anak sejak mereka berada pada usia dini.

Page 34: bahan essai

Penyajian budaya Melayu ini perlu disajikan karena jika anak-anak dibiarkan memilih permainan

sendiri misalnya, mereka akan memilih permainan yang bersifat modern, karena mereka

dimanjakan oleh teknologinya.

Mereka tidak akan pernah lagi bermain setatak, teng-teng buku, cak bur, dan permainan

tradisional lainnya jika tidak secara sengaja disajikan.

Salah satu cara penyajiannya dapat dilakukan dengan menjadikan permainan-permainan seperti

ini, atau unsur budaya lainnya sebagai bahan ajar di PAUD.

Misalnya untuk membuka pembelajaran, ketika masih di luar kelas, anak dapat diajak bermain

permainan tradisional tersebut.

Selain itu, pakaian adat Melayu, rumah adat Melayu, makanan dan masakan Melayu dan lain

sebagainya dapat dijadikan sebagai bahan ajar yang berbasis budaya Melayu kepada anak

PAUD.

Hal ini sesuai dengan hakikat pembelajaran di PAUD yaitu bermain sambil belajar.

Yang terpenting adalah, penyajian budaya Melayu itu harus dilakukan sejak dini, ketika anak

berada pada masa keemasannya.

Herawati (2005) dalam bukunya menyatakan bahwa usia dini merupakan masa keemasan

seorang anak, masa peletakkan pondasi kecerdasan manusia, masa pengembangan dan

pembentukan kemampuan kognitif, bahasa, motorik, seni, sosial, emosional, moral, dan nilai-

nilai agama.

Keberhasilan upaya pengembangan kecerdasan anak usia dini, sangat ditentukan oleh bagaimana

kualitas lingkungan bermain anak dan stimulasi dari lingkungan anak.

Page 35: bahan essai

Berdasarkan pendapat di atas, seandainya perkembangan anak tidak dilandasi dengan pondasi

yang kokoh, sampai dewasa pun anak tersebut akan mudah diterpa oleh berbagai pelayanan

modernisasi.

Untuk itu, sejak usia dini, anak harus diberikan landasan pijak yang kuat dan berbasis budaya

Melayu, agar tidak terbuai dan dapat menfilter teknologi dan informasi bagi dirinya.

Perefleksian budaya Melayu dalam diri anak tentu dapat dilakukan melalui guru PAUD.

Pendidik anak usia dini khusunya di Provinsi Riau diharapkan juga dapat membangun pondasi

yang kuat berbasiskan budaya Melayu dalam diri anak.

Dalam hal ini, melalui proses pembelajaran, materi-materi yang disajikan diharapkan yang

memuat unsur-unsur budaya Melayu. Namun, materi pembelajaran tersebut tentu harus tetap

berpedoman pada standar PAUD Nomor 58 Tahun 2009 dan Kurikulum TK; Pedoman

Pengembangan Program Pembelajaran di TK yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan

Nasional.

Kepada para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan khususnya di tanah Melayu ini,

diharapkan dapat merancang model pembelajaran dan bahan ajar yang berbasis Melayu.

Diharapkan generasi mendatang lebih kenal dengan budayanya sendiri karena apabila diberikan

sejak dini karakteristik Melayu pun akan tertanam dalam jiwa anak.

Pondasi kebudayaan Melayu seperti yang dikatakan oleh Junaidi (Riau Pos, Selasa 30 Oktober

2012) sudah mulai terpancang. Pancangan pondasi kebudayaan Melayu itu harus dimulai dari

dalam diri budak Melayu.

Semoga akan lahir generasi-generasi yang mengenal budayanya sendiri, berjiwa dan

berkarakteristik budaya Melayu.***