essai ilmiah
DESCRIPTION
RATRANSCRIPT
ESSAI ILMIAH
Jangan Berikan Darahmu Untuknya, Antara Realita dan Harapan
Selama dekade terakhir, prevalensi malaria di dunia meningkat secara tajam. Peningkatan
ini sudah mencapai tingkat yang perlu diwaspadai. Program eradikasi malaria global pada
tahun 1950 dan 1960 mengalami kemunduran di awal tahun 1970. Penyakit ini
meningkat pelan-pelan di wilayah Asia dan Amerika Selatan. Sebelumnya jumlah
penyakit di tempat tersebut telah berkurang hingga level yang rendah. Hal ini membuka
wacana bagi kita bahwa malaria merupakan penyakit global yang saat ini membutuhkan
perhatian khusus. Di Indonesia sendiri, angka kesakitan malaria masih cukup tinggi,
terutama di daerah Indonesia bagian timur.
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan karena infeksi protozoa yang berasal dari
genusPlasmodium. Terdapat 4 spesies dari protozoa genus tersebut yang menyebabkan
malaria pada manusia yakni Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium
ovale, dan Plasmodium malariae. Masing-masing subspesies menyebabkan malaria
dengan manifestasi klinis yang berbeda.Plasmodium falciparum nerupakan jenis yang
menyebabkan malaria dengan tingkat kematian tertinggi karena dapat menyerang sel
darah merah dalam segala usia serta menghasilkan parasitemia >106 per µl darah. Jumlah
tersebut paling tinggi apabila dibandingkan dengan tiga spesies lainnya.
Demam merupakan gejala utama penyakit malaria. Manifestasi yang paling berat
adalah cerebral malaria, anemia, serta disfungsi ginjal dan organ lain. Cerebral
malaria terutama ditemukan pada anak-anak dan individu yang mengalami infeksi
malaria untuk pertama kali. Sementara itu, anemia sering dijumpai pada anak-anak dan
ibu hamil. Individu yang terpapar penyakit tersebut akan mencapai tingkat imunitas
tertentu yang tidak stabil dan hilang dalam periode satu tahun setelah meninggalkan
lingkungan endemis malaria. Imunitas akan muncul kembali setelah infeksi ulang apabila
orang tersebut kembali ke lingkungan endemis malaria. Kebanyakan penderita yang
meninggal karena malaria adalah individu yang mengalami infeksi malaria untuk pertama
kali, terutama anak-anak atau individu yang sebelumnya berasal dari wilayah dimana
tidak ada transmisi malaria atau individu dari negara yang lebih modern di mana tidak
ditemukan penyakit tersebut.
Infeksi pada manusia dimulai dari masuknya sporozoit dari kelenjar ludah
nyamuk Anopheles betina ke dalam tubuh manusia. Sporozoit ini akan segera diangkut
dengan cepat melalui aliran darah ke dalam hati, disini sporozoit menginvasi sel
parenkim hati untuk memulai periode reproduksi aseksual, kemudian sporozoit
bermultiplikasi dan berkembang menjadi skizont jaringan. Tahap ini disebut dengan fase
pra-eritrosit. Sel hati akan membengkak dan pecah sehingga skizont melepaskan beribu-
ribu merozoit yang akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan menginvasi eritrosit.
Lamanya fase intrahepatik ini bervariasi tergantung dari jenis spesies Plasmodiumnya.
Khusus untuk Plasmodium ovale dan Plasmodium vivax, skizont jaringan pada sel
parenkim hati dapat mengalami masa dorman dikenal juga dengan fase hipnozoit yang
dapat berlangsung selama beberapa bulan, satu tahun, atau mungkin dapat lebih lama
lagi. Inilah yang menyebabkan fenomenarelaps pada dua spesies tersebut.
Merozoit menginvasi eritrosit dengan melekat melalui reseptor permukaan spesifik
eritrosit. Merozoit di dalam eritrosit akan berkembang membentuk trofozoit. Selama
stadium awal perkembangannya “bentuk cincin” yang kecil dari keempat spesies parasit
tampak serupa di bawah mikroskop cahaya. Dengan membesarnya trofrita mozoit,
karateristik spesifik-spesies menjadi semakin nyata, pigmennya semakin tampak jelas dan
parasit tersebut mengambil bentuk ireguler atau amuboid. Trofozoit mengalami
perkembangan menjadi skizont. Eritrosit yang mengandung skizont ini akan mengalami
ruptur dan skizont akan melepaskan merozoit ke dalam sirkulasi, sementara sebagian
merozoit ini akan menginvasi eritrosit kembali dan mengulang tahapan skizogoni
intraeritrosit. Lepasnya merozoit dari eritrosit ini akan menimbulkan gejala yang khas,
yaitu demam yang diikuti dengan menggigil yang terjadi secara periodik.
Sebagian merozoit mengalami diferensiasi membentuk gametosit (makrogamet dan
mikrogamet). Gametosit ini nantinya masuk ke dalam tubuh nyamuk Anopheles apabila
nyamuk ini menghisap darah dari penderita malaria. Nyamuk betina menggigit pasien
yang menderita malaria. Darah yang dihisapnya mengandung
gametosit Plasmodium yang selanjutnya melalui tahap perkembangan seksual di usus
nyamuk. Hasil perkembangan di dalam tubuh nyamuk membentuk sporozoit yang
akhirnya memasuki kelenjar ludah nyamuk. Nyamuk menularkan sporozoit dari jaringan
ludahnya ketika menggigit orang yang sehat. Dengan memahami perjalanan
perkembangan Plasmodium di dalam tubuh manusia dan nyamuk Anopheles, dapat kita
simpulkan dengan jelas bahwa seorang individu tidak akan pernah menderita malaria
apabila ia tidak digigit nyamuk Anopheles yang mengandung sporozoit dalam kelenjar
ludahnya. Oleh karena itu, selain upaya pencegahan melalui obat anti malaria, strategi
untuk mencegah penyakit ini adalah dengan memberantas atau menghindari gigitan
nyamuk Anopheles.
Di dalam program pemberantasan malaria yang utama dilakukan adalah pemberantasan
vektor. Agar mendapatkan hasil yang maksimal, perlu dukungan data penunjang yang
menerangkan tentang seluk-beluk vektor yang berperan. Untuk menentukan metode
pemberantasan yang tepat guna, perlu diketahui dengan pasti musim penularan serta
perilaku vektor yg bersangkutan. Penentuan musim penularan yang tepat perlu didukung
oleh data entomologi yang baik dan benar. Selain itu, metode yang dipilih harus sesuai
dengan perilaku vektor yang menjadi sasaran. Dalam pemberantasan penyakit malaria
sangat erat hubungannya dengan aspek entomologi. Dalam hal ini aspek entomologi
menjadi tanggung jawab unit lain di luar unit pemberantasan malaria. Oleh karena itu,
untuk mencapai hasil yang maksimal diperlukan suatu koordinasi yang mantap, serta
sinkronisasi program antara unit entomologi dengan unit pemberantasan malaria.
Dalam upaya memberantas larva atau nyamuk Anopheles, kita perlu memahami perilaku
nyamuk. Perilaku mencari darah nyamuk dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu perilaku
mencari darah yang ditinjau dari segi waktu, tempat, sumber darah, serta frekuensi
menggigit. Apabila ditinjau dari segi waktu, nyamuk Anopheles pada umumnya aktif
mencari darah pada waktu malam hari. Setiap spesies mempunyai sifat yang tertentu. Ada
spesies yang aktif mulai senja hingga menjelang tengah malam dan sampai pagi hari.
Ditinjau dari segi tempat, penangkapan nyamuk dapat dilakukan di dalam atau di luar
rumah. Berdasarkan hasil penangkapan tersebut, diketahui ada dua golongan nyamuk
yaitu eksofagik dan endofagik. Tipe eksofagik lebih senang mencari darah di luar rumah,
sementara tipe endofagik lebih senang mencari darah di dalam rumah. Berdasarkan
macam darah yang disenangi, nyamuk dapat dibedakan menjadi tipe antropofilik dan
zoofilik. Nyamuk termasuk tipe antropofilik apabila lebih senang menghisap darah
manusia. Sementara itu, tipe zoofilik merupakan tipe nyamuk yang lebih senang
menghisap darah binatang dan golongan yang tidak mempunyai pilihan tertentu.
Nyamuk betina biasanya hanya kawin satu kali selama hidupnya Untuk mempertahankan
dan memperbanyak keturunannya, nyamuk betina hanya memerlukan darah untuk proses
pertumbuhan telur. Setiap beberapa hari sekali, nyamuk akan mencari darah. Interval
tersebut tergantung pada spesies serta dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban.
Sesuai dengan iklim di Indonesia, waktu yang diperlukan antara 48-96 jam.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa strategi untuk mencegah penyakit ini adalah dengan
memberantas atau menghindari gigitan nyamuk Anopheles. Dewasa ini, upaya
pemberantasan penyakit malaria dilakukan melalui pemberantasan vektor penyebab
malaria (nyamuk Anopheles). Pemberantasan malaria dilakukan dengan penyemprotan
rumah dan lingkungan sekeliling rumah dengan racun serangga untuk membunuh larva
nyamuk. Upaya ini juga bermanfaat untuk membunuh nyamuk dewasa.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk membunuh larva nyamuk Anopheles.
Secara garis besar, cara-cara tersebut dapat dibagi menjadi cara kimiawi dan hayati. Cara
kimiawi dilakukan dengan menggunakan larvasida. Larvasida merupakan zat kimia yang
dapat membunuh larva nyamuk. Beberapa contoh larvasida antara lain solar atau minyak
tanah, parisgreen, temephos,fention, altosid, dan lain-lain. Selain zat-zat kimia yang
disebutkan di atas dapat juga digunakan herbisida. Herbisida merupakan zat kimia yang
mematikan tumbuh–tumbuhan air yang digunakan sebagai tempat berlindung larva
nyamuk. Pemberantasan larva nyamuk Anopheles secara hayati dilakukan dengan
mengunakan beberapa agent biologis seperti predator misalnya pemakan jentik
seperti gambusia, guppy dan panchax (ikan kepala timah).
Selain cara kimiawi dan hayati untuk pencegahan malaria, dapat juga dilakukan
pengelolaan lingkungan hidup (environmental management) yang baik. Caranya adalah
dengan pengubahan lingkungan hidup (environmental modification) sehingga larva
nyamuk Anopheles tidak mungkin hidup. Kegiatan ini antara lain dapat berupa
penimbunan tempat perindukan nyamuk, pengeringan dan pembuatan dam, selain itu
kegiatan lain mencakup pengubahan kadar garam, pembersihan tanaman air atau lumut
dan lain-lain.
Dalam rangka pencegahan malaria, upaya pemberantasan nyamuk Anopheles seperti yang
telah diuraikan di atas dilanjutkan dengan melakukan pengobatan kepada mereka yang
diduga menderita malaria. Pengobatan juga diberikan pada penderita malaria yang
terbukti positif secara laboratorium.Selain itu, upaya pencegahan malaria dapat dilakukan
dengan pemberian obat anti malaria. Akan tetapi, penerapan upaya pencegahan melalui
obat anti malaria telah menimbulkan masalah baru di bidang kesehatan berupa resistensi
parasit terhadap profilaksis yang diberikan. Efek ini menambah sederet permasalahan
resistensi parasit akibat penggunaan obat. Tentunya ini bukan permasalahan yang mudah
untuk ditangani karena resistensi menyebabkan terapi yang diberikan tidak memberikan
hasil. Pada akhirnya, hal ini menuntut kita untuk menemukan obat baru sebagai terapi
penyakit tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disusun beberapa upaya dalam rangka mencegah
malaria. Beberapa upaya tersebut antara lain dengan menghindari keluar rumah pada sore
atau malam hari. Apabila keluar rumah di malam hari, dianjurkan memakai celana
panjang dan baju berlengan panjang dengan warna yang tidak gelap. Warna gelap akan
mengundang datangnya nyamuk. Selain itu, disarankan untuk memilih tempat menginap
yang dilengkapi pendingin (air conditioner), atau yang mempunyai kasa pelindung
nyamuk. Bila tepat penginapan tidak dilengkapi pendingin dan tak memakai kasa
pelindung nyamuk, diupayakan tidur dengan kelambu yang sebelumnya dicelup dalam
larutan insektisida (permetrin). Selain itu, upaya lain adalah dengan memoleskan
seperlunya repellent yang mengandung dimethyl phtalate atau
N,N dietyltoluamide (DEET) pada bagian-bagian badan yang terbuka, serta memakai
insektisida dalam bentuk semprot (spray), dispenser (memakai baterai atau listrik) atau
dibakar untuk menghalau nyamuk.
Strategi tersebut telah sering didengar dan diketahui oleh banyak orang. Akan tetapi,
realita menunjukkan bahwa strategi ini belum banyak diterapkan dalam masyarakat.
Paradigma masyarakat seringkali mengatakan bahwa tidak masalah terkena suatu
penyakit karena dokter akan dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Masyarakat belum
mengetahui seberapa besar masalah terkait malaria yang kini ada di Indonesia, khususnya
Indonesia bagian timur. Oleh karena itu, perlu kita informasikan kepada masyarakat
tentang hal ini. Selain itu, poin penting yang perlu kita lakukan adalah menanamkan
kembali bahwa cara pencegahan di atas bukan cara yang sulit dilakukan, artinya ini dapat
diterapkan apabila kita memang berniat menerapkannya.
Seperti yang telah disampaikan oleh Leavel dan Clark dalam prinsip Five Level of
Prevention, tugas dokter bukan hanya mengobati pasien yang sudah terlanjur sakit, tetapi
juga mencegah agar seseorang tidak terkena penyakit tersebut. Edukasi tentang upaya
pencegahan ini di akhir kunjungan pasien setidaknya dapat mengingatkan pasien untuk
menerapkan kembali upaya pencegahan yang sebelumnya mungkin telah diketahui oleh
mereka. Optimalisasi upaya pencegahan penyakit malaria dengan menghindari gigitan
nyamuk diharapkan dapat membawa perubahan terhadap realita masalah malaria yang
ada di Indonesia. Lebih jauh lagi, strategi ini dapat dikembangkan untuk membantu
mengatasi masalah malaria di dunia. Sekali lagi, jangan berikan darahmu untuk nyamuk
karena kita tidak tahu apa yang dimasukkannya saat menghisap darah kita!
Chikungunya, Cerita di Negeriku Sayang Negeriku Malang
Indonesia, terletak di khatulistiwa. Berjajar menjadi salah satu negara di wilayah tropis
dengan berjuta pesona yang tersohor hingga berbagai belahan dunia. Kekayaan alam,
keramahtamahan, udara yang sejuk dan lainnya yang merupakan khas dari negeri tercinta
ini. Negeriku yang indah seolah mulai memudar pesonamu. Sekarang kita memang kaya,
kaya dengan masalah. Nyamuk yang kecilpun bisa menjadi pencetus masalah. Karena
nyamuk, masalah Chikungunya mulai menghiasi negeriku ini.
Sebelum saya ungkapkan lebih jauh, sebaiknya kita tahu dulu apa itu Chikungunya.
Chikungunya merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya yang
disebarkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Selain itu nyamuk ini juga
berperan sebagai penyebar penyakit Demam Berdarah Dengue.
Menilik sejarah mengenai penyakit ini, Chikungunya berasal dari virus yang hidup pada
hewan primata di tengah hutan atau savana di tanah Afrika kira-kira 200-300 tahun lalu.
Setelah beberapa lama, tingkah laku virus chikungunya yang semula bersiklus dari satwa
primata-nyamuk-satwa primata, dapat pula bersiklus manusia-nyamuk-manusia. Di
daerah permukiman (urban cycle), siklus virus chikungunya dibantu oleh nyamuk Aedes
aegypti.
Adanya pembuktian secara ilmiah yang mencangkup isolasi dan identifikasi virus baru
berhasil dilakukan ketika terjadi wabah di Tanzania 1952-1953. Baik virus maupun
penyakitnya kemudian diberi nama sesuai bahasa setempat (Swahili), berdasarkan gejala
pada penderita. Maka hadirlah chikungunya yang berarti posisi tubuh meliuk atau
melengkung.
Beberapa negara di Afrika yang dilaporkan telah terserang virus chikungunya adalah
Zimbabwe, Kongo, Burundi, Angola, Gabon, Guinea Bissau, Kenya, Uganda, Nigeria,
Senegal, Central Afrika, dan Bostwana. Sesudah Afrika, virus chikungunya dilaporkan di
Bangkok (1958), Kamboja, Vietnam, India dan Sri Lanka (1964), Filipina dan Indonesia
(1973). Chikungunya juga pernah dilaporkan menyerang tiga korp sukarelawan
perdamaian Amerika (US Peace Corp Volunteers) yang bertugas di Filipina, 1968. Tidak
diketahui pasti bagaimana virus tersebut menyebar antar negara. Mengingat penyebaran
virus antar negara relatif pelan, kemungkinan penyebaran ini terjadi seiring dengan
perpindahan nyamuk.
Chikungunya telah cukup lama berkembang di negeri kita ini. Bila kita review kembali
pertama kali dilaporkan di Samarinda sekitar tahun 1973. Kemudian muncul serentetan
kasus Chikungunya di tempat dan tahun yang berbeda. Pada tahun 1980 di Kuala
Tungkak, Jambi. Tiga tahun setelah itu merebak di beberapa tempat seperti di Martapura,
Ternate dan Yogyakarta. Perkembangan kasus Chikungunya sempat mengalami
kevakuman selama 20 tahun. Tapi di tahun 2001 sungguh mengejutkan kasus
Chikungunya ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) di Muara Enim, Sumatera
Selatan dan Aceh. Hingga 3 tahun terakhir masih muncul letupan KLB di beberapa
daerah di Indonesia. Walaupun begitu penanganan Chikungunya masih belum menjadi
prioritas dalam upaya penyakit menular di Indonesia. Dalam hal penanganan kasus
Chikungunya masih menjadi komponen dalam upaya pemberantasan Demam Berdarah
Dengue. Jadi tindakan pemberantasan Chikungunya sama dengan Demam Berdarah
Dengue. Bila tidak diberantas, dua penyakit ini bisa menjadi masalah yang klasik untuk
dihadapi.
Kejadian Luar Biasa (KLB) merupakan status yang diterapkan di Indonesia untuk
mengklarifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit. Status mengenai diatur
oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.949/MENKES/SK/VII/2004. Sedangkan
kriteria mengenai kejadian luar biasa pada Keputusan Dirjen No.451/91 tentang pedoman
penyelidikan dan penanggulangan kejadian luar biasa. Berdasarkan hal ini Chikungunya
ditetapkan dalam sebagai suatu kasus luar biasa.
Gejala dari Chikungunya memang mirip dengan Demam Berdarah Dengue yaitu demam
tinggi, menggigil, sakit kepala, mual, muntah, sakit perut, nyeri sendi dan otot serta
bintik-bintik merah pada kulit terutama badan dan lengan. Bila kita bandingkan dengan
Demam Berdarah Dengue, pada Chikungunya tidak ada perdarahan hebat, renjatan
(Shock) maupun kematian. Masa inkubasi dari demam Chikungunya dua sampai empat
hari. Manifestasi penyakit berlangsung tiga sampai sepuluh hari. Virus ini termasuk “Self
Limiting Disease” yang berarti hilang dengan sendirinya. Biasanya menyerang
persendian yang menimbulkan rasa nyeri yang bisa tertinggal dalam hitungan minggu
sampai bulan. Hal ini sering menyebabkan penderita seperti mengalami kelumpuhan.
Jadi, ada paradigma masyarakat yang menyatakan Chikungunya menyebabkan mereka
jadi lumpuh.
Dalam hal ini bukan berarti saya menganggap hanya Chikungunya ini paling penting
dalam hal pemberantasan. Semua penyakit lain juga sangat perlu untuk ditanggulangi
segera. Cuma saya ingin kita semua tidak menganggap masalah ini hanya sebelah mata.
Dalam hal penanganan melibatkan semua aspek dalam tatanan dari negeri ini. Bisa kita
bayangkan bila peraturan yang tidak diindahkan oleh masyarakat. Untuk apa peraturan-
peraturan itu dibuat antara pihak legislatif sebagai penyambung lidah rakyat dan
pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat? Kalau hanya terbuang seperti “sampah”
saja. Bukankah suatu kesia-siaan itu tidak baik? Begitu juga sebaliknya bila aksi yang
dilakukan masyarakat tidak ada dukungan dari pemerintah. Sama saja kita berteriak di
depan tebing. Hanya gema-gema suara yang kita dengar, akan tetapi hal yang diharapkan
tidak terlaksana sesuai harapan. Oleh karena itu penting adanya kolaborasi antara
pemerintah dan masyarakat dalam menangani masalah yang berkecamuk di negeri ini.
Walaupun masih “bersaudara” dengan Demam Berdarah, Chikungunya memang tidak
menyebabkan kematian. Akan tetapi bagi sebagian orang masih menganggap
Chikungunya merupakan penyakit yang berbahaya. Karena bisa menyebabkan
kelumpuhan. Bila hal ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, akan banyak hal
yang merugikan akan terjadi. Coba bayangkan saja bila hal ini mengenai seorang yang
penghidupannya pas-pasan dan punya banyak anak. Karena sakit, tidak bekerja. Tidak
bekerja berarti tidak ada uang. Tidak ada uang akan mengakibatkan himpitan ekonomi
semakin menindas. Anak-anak menjadi putus sekolah. Mau jadi apa negeri ini? Kita tahu
pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kemajuan negeri ini.
Tempo Interaktif tahun 2010 mensinyalir bahwa sepanjang Januari-Februari 2010,
sebanyak 668 warga di enam kecamatan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, menderita
demam Chikungunya. Pejabat sementara Kepala Dinas Kesehatan Malang, menyatakan
jumlah penderita itu mendekati mendekati jumlah penderita pada tahun 2009 (860 orang),
tapi jauh tinggi daripada angka penderita pada tahun 2008 (243 orang) dan 2007 (428
orang). Diperkirakan jumlah penderita akan terus bertambah.
Dari kenyataan diatas, kita bisa melihat belum genap triwulan awal angka kejadian
Chikungunya cukup fantastis meningkat bila dibanding tahun sebelumnya. Bila hal ini
tidak ditanggulangi secara baik maka penyebaran penyakit ini akan semakin luas.
Semakin cepat penanganan terhadap Chikungunya semakin baik hasil yang diperoleh.
Sering dilakukan fogging oleh Dinas Kesehatan untuk melokalisir lokasi penyebaran
penyakit ini.
Di beberapa negara, Chikungunya dianggap sebagai penyakit “Emerging” dan
“Reemerging”. Kita ambil contoh Malaysia dan Thailand. Masuknya penyakit
Chikungunya di Malaysia diduga berkaitan dengan kedatangan para pekerja ke Malaysia
yang berasal dari daerah endemik Chikungunya. Di Thailand, wabah ini sering muncul
pada saat musim hujan. Selain itu travel bisa merupakan jalan masuk penyakit ini ke
suatu daerah. Ternyata bukan hanya negeri ini yang bermasalah.
Berdasarkan hasil penelitian epidemiologi penyakit Chikungunya di Bangkok (Thailand)
dan Vellore, Madras (India) menunjukkan bahwa telah terjadi gelombang epidemik
dalam interval 30 tahun. Gelombang epidemi ini berkaitan dengan populasi dari nyamuk
yang berperan sebagai vektor penyakit ini dan status kekebalan penduduk. Bila kita
hubungkan, pada penderita yang sudah pernah terkena penyakit ini akan kecil
kemungkinan akan terkena lagi di kemudian harinya. Hal ini dikarenakan tubuh penderita
akan membentuk antibodi yang berperan sebagai bentuk kekebalan terhadap penyakit ini.
Bila lebih kita cermati lagi memang masalah Chikungunya tidak bisa dipandang sebelah
mata. Seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja, kasus ini mungkin bisa
menyaingi kepopuleran penyakit yang telah menjadi trend-centre perhatian praktisi
kesehatan. Meski tidak menyebabkan kematian, hendaknya kita tetap perlu mewaspadai
penyebaran virus ini. Penanganan kasus ini harus dilakukan secara komprehensif. Kalau
tidak, cepat atau lambat hal ini akan menjadi suatu ancaman bagi kita semua.
Berbicara mengenai penanganan secara komprehensif sangat erat kaitan dengan anggaran
kesehatan yang disediakan oleh Pemerintah. Ketika saya telusuri ternyata pemerintah
menargetkan alokasi sektor kesehatan naik dari sebelumnya 2,3 persen hingga 2,4 persen
menjadi 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011.
Mengutip penyataan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka acara
temu Ilmiah di Fakultas Kedokteran UI beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa
peningkatan alokasi anggaran kesehatan diantaranya akan dialokasikan untuk
menjalankan aksi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif di sektor kesehatan.
Ternyata pemerintah pun mengharap lebih terhadap sektor kesehatan di Indonesia.
Pemerintah ingin negeri ini sehat. Rakyat yang sehat merupakan investasi yang sangat
berharga bagi negeri ini.
Terlebih lagi adanya tuntutan perubahan di tingkat global termasuk Indonesia untuk
memajukan ketatakeloloan yang baik di semua lini termasuk sektor kesehatan. Isu
kesehatan yang menjadi perhatian utama yakni pencapaian target Millenium Development
Goals (MDG) pada tahun 2015. Menteri Kesehatan Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih,
MPH, DR. PH saat berpidato di IPB bulan April lalu mengatakan bahwa perlu adanya
peningkatan dan kesinambungan investasi agar dihasilkan percepatan momentum MDG.
Sudah jelas bahwa prinsip “health is an investment, not a cost” harus menjadi titik tolak
dalam kebijakan kesehatan. Saya pun sependapat hendaknya kita mengubah mindset
mengenai kesehatan itu sendiri. Kesehatan bukan sesuatu hal yang percuma akan tetapi
merupakan sebuah investasi yang sangat berharga dalam kehidupan kita. Tanpa adanya
kesehatan, hidup tidak ada artinya apa-apa. Dengan memiliki tubuh yang sehat kita bisa
menjalani hidup lebih baik lagi dan menjadi seseorang yang berguna.
Bagaimanapun juga penanganan yang segera merupakan kunci untuk mencegah
penyebaran yang lebih luas dari penyakit ini. Upaya pencegahan dan pemberantasan
penyakit ini merupakan tanggung jawab kita bersama. Upaya penanggulangan KLB
Chikungunya adalah kolaborasi yang harmonis antara kegiatan penyelidikan, pengobatan,
pencegahan dan surveilans ketat.
Memutus rantai kehidupan virus dengan membasmi nyamuk merupakan pilihan yang
solutif. Hal ini senada dengan cara pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue.
Akan tetapi fogging memiliki titik lemah tersendiri. Fogging cukup baik tapi ini hanya
efektif untuk membasmi nyamuk dewasa.
Rakyat tak perlu pesimis. Sebenarnya, ada banyak cara pencegahan selain fogging. Cara
ini dinilai efektif sekali cukup dengan melakukan Gerakan Serentak Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) dengan metode 3 M Plus. Pertama, cukup dengan menguras
tempat penampungan air minimal seminggu sekali atau menaburinya dengan bubuk abate
untuk membunuh jentik nyamuk Aedes Aegypti. Kedua, menutup rapat tempat
penampungan air agar nyamuk tidak bisa bertelur disana. Ketiga, dengan mengubur atau
membuang pada tempatnya barang-barang bekas seperti ban bekas yang dapat
menampung air hujan.
Gerakan abatisasi dalam 3 M Plus memang sangat bagus. Namun, sejumlah orang yang
mengaku petugas kesehatan mengambil keuntungan di Kota Denpasar dengan menjual
bubuk abate palsu ke tiap rumah seharga Rp 10 ribu untuk 5 bungkus. Kasus penipuan ini
langsung mendapat perhatian Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Hal ini lantara praktik
penipuan seperti itu setiap tahun selalu terulang. Menurut Kepala Dinas Kesehatan
Denpasar, Ni Putu Sriarmiti, Sabtu (20/2), bubuk abate palsu memiliki ciri, bungkusnya
terbuat dari kertas dan isinya sekilas mirip pasir pantai dicampur garam. Sedangkan
bubuk abate asli bungkusnya terbuat dari alumunium foil. Isinya mengandung larvasida
atau pembasmi jentik nyamuk. Bubuk abate tidak pernah diperjual belikan.
(www.liputan6.com)
Melihat kondisi negeri yang seperti saat ini, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan acara
komedi yang lagi laris manis. Ngawur, tanpa skenario yang jelas, kadang lucu serta
menghibur. Negeri ini memang penuh bermacam cerita. Saat bencana melanda malah
dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai mesin uang demi kepentingan pribadi. Dimana
hati nurani ini? Apa karena perlu uang segala cara seolah menjadi halal untuk dilakukan?
Sungguh kasihan sekali negeri ini.
Kita semua pasti masih ingat Gempa 30 September 2009. Gempa yang telah memporak-
porandakan tatanan kehidupan terutama di wilayah Padang, Pariaman dan sekitarnya.
Hidup di bawah tenda bagi para korban mungkin merupakan hal yang sangat
memprihatinkan. Dengan berbekal bantuan seadanya, hidup harus terus tetap berjalan.
Hujan panas seolah merupakan hal yang sudah mulai terbiasa. Sebut saja, buk Ani, beliau
merupakan salah satu korban gempa di Lubuk Basung. Waktu itu saya ikut dalam tim
medis dalam bantuan pengobatan yang berkerjasama dengan Ikatan Remaja Mesjid di
Yogyakarta. Beliau bertutur banyak warga menderita ngilu-ngilu di sendi serta badan
mereka demam. Diduga mereka mengalami Chikungunya. Apa mungkin hal ini terjadi
akibat alam tidak lagi bersahabat dengan manusia. Benarkah memang begitu yang terjadi
di negeri ini?
Hukum rimba berlaku di negeri ini. Siapa yang berkuasa dialah yang menang. Tak peduli
di wilayah manapun. Tak peduli apakah itu menyangkut nyawa manusia. Yang masih
punya hati tersingkiri. Yang punya nurani ditertawai. Dunia ini adalah sebuah panggung,
dimana semua arogansi menjadi mutlak untuk mendapat materi. Benarkah begitu?
Benarkah jiwa kemanusiaan kita telah mati? Seakan penderitaan orang lain tiada lagi
berarti? Sepenuhnya saya tidak sependapat dengan hal ini karena masih banyak
kepedulian yang masih tampak. Masih banyak uluran-uluran tangan manusia berhati
malaikat di negeri ini. Penanganan Chikungunya ini merupakan tugas kita semua. Masih
ada bentuk kepedulian anak negeri di Belitung dalam “Aksi 1000 Kaki Berantas
Chikungunya”. Mungkin masih banyak bentuk kepedulian lain dari negeri ini lagi yang
belum banyak terdokumentasi oleh media massa.
Negeriku ini memang penuh dengan banyak cerita. Penuh masalah yang mungkin tak
kunjung habisnya. Tapi, masih ada secercah sinar harapan agar negeri ini menjadi lebih
baik. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya kerjasama di segala komponen dalam
negeri ini. Agar cerita ini bisa membuat anak bangsa tersenyum saat mengenangnya
untuk masa sekarang maupun nanti. Semoga mimpi ini tak hanya sekadar mimpi belaka.
Pastinya berakhir dengan kenyataan yang indah.
Wacana Indonesia Bebas Rabies Tahun 2015
Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylon kira–kira abad ke-23 sebelum masehi (SM)
dan Democritus menulis secara jelas bahwa binatang menderita rabies pada tahun 500
SM. Tulisan adanya infeksi rabies pada manusia dengan gejala hidrofobia dilaporkan
pada abad pertama oleh Celcus dan gejala klinis rabies baru ditulis pada abad ke-16 oleh
Fracastoro, seorang dokter Italia. Pada tahun 1880, Louis Pasteur mendemonstrasikan
adanya infeksi pada susunan saraf pusat. Pengobatan dilakukan dengan cara kauterisasi
sampai ditemukannya vaksin oleh Louis Pasteur pada tahun 1930 dan baru dapat
diperlihatkan dengan mikroskop elektron pada tahun 1960. Rabies adalah penyakit
infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia yang berakibat fatal.
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus,
famili Rhabdoviridae, dan menginfeksi manusia melalui sekret yang terinfeksi pada
gigitan binatang.1
Penyebaran rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara bebas rabies
seperti Australia, Skandianvia, Inggris, Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua
Nugini, Selandia Baru, Jepang, dan Taiwan. Pada survey tahun 1999, 45 dari 145 negara
dinyatakan tidak terdapat kasus rabies. Jumlah kematian di dunia karena penyakit rabies
pada manusia diperkirakan lebih dari 50.000 orang tiap tahunnya dan terbanyak pada
negara–negara di Asia dan Afrika yang merupakan daerah endemis rabies. Rabies banyak
dijumpai di negara-negara Asia, diantaranya yaitu India, Sri Lanka, Pakistan,
Bangladesh, China, Filipina, dan Thailand. Sekarang, bagaimana dengan Indonesia?
Menurut Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan, Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, dr., SpP(K), terdapat sembilan provinsi
yang dinyatakan bebas rabies, yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, NTB, Papua Barat, dan Papua. Dengan kata lain,
terdapat 24 provinsi di Indonesia yang masih belum bebas rabies. Sejak tahun 1997
sampai 2003 dilaporkan lebih dari 86.000 kasus gigitan binatang tersangka rabies rata-
rata 124.000 kasus per tahun dan yang terbukti rabies adalah 538 orang atau 76 kasus per
tahun. Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Esser pada tahun 1884
pada seekor kerbau, kemudian oleh Penning pada tahun 1889 pada seekor anjing, dan
oleh Eilerls de Zhaan pada tahun 1889 pada manusia. Semua kasus ini terjadi di Jawa
Barat dan setelah itu rabies terus menyebar ke daerah Indonesia lainnya.1,2
Infeksi rabies biasanya terjadi melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing,
kera, serigala, kelelawar, dan ditularkan pada manusia melalui gigitan binatang atau
kontak virus dengan luka padahost atau melalui membran mukosa. Infeksi rabies pada
manusia terjadi dengan masuknya virus melalui luka pada kulit (garukan, lecet, dan luka
robek) atau mukosa. Cara infeksi lainnya yaitu melalui inhalasi pada orang yang
mengunjungi gua kelelawar tanpa ada gigitan, kontak virus rabies pada kecelakaan kerja
di laboratorium atau vaksinasi dari virus rabies yang masih hidup. Setelah virus rabies
masuk ke tubuh manusia, selama dua minggu virus menetap pada tempat masuk dan di
jaringan otot di dekatnya virus berkembang biak atau langsung mencapai ujung–ujung
serabut saraf perifer tanpa menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya. Selubung virus
menjadi satu dengan membran plasma dan protein ribonukleus kemudian memasuki
sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah reseptor asetilkolin postsinaptik
pada neuromuscular junction di susunan saraf pusat. Dari saraf perifer virus menyebar
secara sentripetal melalui endoneurium sel-sel Schwann dan melalui aliran aksoplasma
mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjutnya
virus menyebar dengan kecepatan 3 mm per jam ke susunan saraf pusat melalui cairan
serebrospinal. Virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua bagian
neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter
maupun saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk serabut
saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal, ginjal, mata, dan pankreas.
Pada tahap berikutnya, virus akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, dan
sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin.1,2
Apabila penyakit ini sudah menunjukkan gejala klinis pada hewan dan manusia, biasanya
selalu diakhiri dengan kematian, sehingga menimbulkan rasa cemas dan takut bagi orang-
orang yang terkena gigitan, kekhawatiran, dan keresahan bagi masyarakat pada
umumnya. Gejala klinis terdiri dari tiga stadium, yaitu prodormal, neurologi akut, dan
koma. Stadium prodormal berlangsung satu sampai empat hari dan biasanya tidak
didapatkan gejala spesifik. Umumnya disertai gejala respirasi atau abdominal, misalnya
ditandai oleh demam, menggigil, batuk, nyeri menelan, nyeri perut, sakit kepala, malaise,
mialgia, mual, muntah, diare, dan nafsu makan menurun. Gejala yang lebih spesifik yaitu
adanya gatal dan parastesia pada luka bekas gigitan yang sudah sembuh. Pada stadium
neurologi akut, tanda–tanda klinis lain yang dapat dijumpai berupa hiperaktivitas,
halusinasi, gangguan kepribadian, meningismus, lesi saraf kranialis, fasikulasi otot,
gerakan–gerakan involunter, fluktuasi suhu badan, dan dilatasi pupil. Kematian paling
sering terjadi pada stadium ini yang dapat terjadi akibat gagal nafas yang disebabkan oleh
kontraksi hebat otot-otot pernafasan atau keterlibatan pusat pernafasan dan miokarditis,
aritmia, serta henti jantung akibat stimulasi saraf vagus. Apabila tidak terjadi kematian,
maka penderita akan memasuki stadium koma yang terjadi dalam sepuluh hari. Pada
penderita yang tidak ditangani, penderita dapat meninggal setelah terjadi
koma. Tindakan terhadap orang yang digigit atau korban yaitu segera cuci luka
gigitan dengan air bersih dan sabun atau detergen selama lima sampai sepuluh menit
kemudian bilas dengan air yang mengalir, lalu keringkan dengan kain bersih atau kertas
tisu. Luka kemudian diberi obat luka yang tersedia, misalnya obat merah lalu dibalut
longgar dengan pembalut yang bersih. Penderita atau korban secepatnya dibawa ke
puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada
terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies, penanganan hanya berupa
tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas. Walaupun tindakan
perawatan intensif umumnya dilakakukan, tapi hasilnya tidak menggembirakan.
Perawatan intensif hanyalah metode untuk menyelamatkan hidup pasien dengan
mencegah komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang sering terjadi. Penderita rabies
dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgetik secara adekuat untuk memulihkan
kekuatan dan nyeri yang terjadi. Pencegahan infeksi virus rabies pada penderita harus
dilakukan perawatan luka yang adekuat atau pemberian vaksin anti rabies dan
immunoglobulin.1,2
Tanda-tanda penyakit rabies pada hewan dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu bentuk
diam atau dumb rabies dan bentuk ganas atau furious rabies. Tanda-tanda rabies
bentuk diam adalah terjadi kelumpuhan pada seluruh bagian tubuh, hewan tidak dapat
mengunyah dan menelan makanan, rahang bawah tidak dapat dikatupkan, air liur
menetes berlebihan, serta tidak ada keinginan menyerang atau mengigit. Selanjutnya
hewan akan mati dalam beberapa jam. Sedangkantanda-tanda rabies bentuk ganas
adalah hewan menjadi agresif dan tidak lagi mengenal pemiliknya, menyerang orang,
hewan dan benda-benda yang bergerak, bila berdiri sikapnya kaku, ekor dilipat diantara
kedua paha belakangnya, anak anjing menjadi lebih lincah dan suka bermain, tetapi akan
menggigit bila dipegang dan akan menjadi ganas dalam beberapa jam. Tindakan
terhadap hewan yang menggigit anjing, kucing, dan kera yang menggigit manusia atau
hewan lainnya harus dicurigai menderita rabies adalah bila hewan tersebut adalah hewan
peliharaan atau ada pemiliknya, maka hewan tersebut harus ditangkap dan diserahkan ke
Dinas Peternakan setempat untuk diobservasi selama 14 hari. Bila hasil observasi negatif
rabies, maka hewan tersebut harus mendapat vaksinasi rabies sebelum diserahkan
kembali kepada pemiliknya. Bila hewan yang menggigit adalah hewan liar atau tidak ada
pemiliknya, maka hewan tersebut harus diusahakan ditangkap hidup dan diserahkan
kepada Dinas Peternakan setempat untuk diobservasi dan setelah masa observasi selesai
hewan tersebut dapat dimusnahkan atau dipelihara oleh orang yang berkenan, setelah
terlebih dahulu diberi vaksinasi rabies. Bila hewan yang menggigit sulit ditangkap dan
terpaksa harus dibunuh, maka kepala hewan tersebut harus diambil dan segera diserahkan
ke Dinas Peternakan setempat untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium. Tindakan
terhadap anjing, kucing, atau kera yang dipelihara adalah menempatkan hewan
peliharaan dalam kandang yang baik, sesuai, dan senantiasa memperhatikan kebersihan
kandang dan sekitarnya. Menjaga kesehatan hewan peliharaan dengan memberikan
makanan yang baik, pemeliharaan yang baik, dan melaksanakan vaksinasi rabies secara
teratur setiap tahun ke Dinas Peternakan atau dokter hewan. Memasang rantai pada leher
anjing bila anjing tidak dikandangkan atau sedang diajak berjalan-jalan.2,3
Mengingat akan bahayanya rabies terhadap kesehatan dan ketenteraman masyarakat
karena dampak buruknya selalu diakhiri kematian, maka usaha pengendalian penyakit
berupa pencegahan dan pemberantasan perlu dilaksanakan seintensif mungkin, bahkan
menuju pada program pembebasan. Rabies merupakan penyakit lama yang hingga saat
ini masih menjadi masalah bagi Indonesia. Rabies menjadi perhatian khusus di beberapa
negara, karena memiliki angka mortalitas yang tinggi. Begitu juga di
Indonesia, penyakit ini telah menjadi kejadian luar biasa (KLB) seperti di empat wilayah,
antara lain Maluku, Kalimantan Barat, Banten, dan Bali.
Pemerintah sendiri mencanangkan Indonesia bebas rabies pada tahun 2015 nanti. Namun
masih banyak kendala yang dihadapi untuk mencapai target tersebut. Pada awalnya,
pemerintah mencanangkan Indonesia bebas Rabies pada tahun 2005, sayangnya ini tidak
terwujud. Kenapa hal ini dapat terjadi? Lantas, apakah mungkin Indonesia dapat bebas
rabies pada tahun 2015 nanti? Ini suatu permasalahan besar untuk pemerintah,
Departemen Pertanian, Departmen Kesehatan, Instansi Kesehatan, dan seluruh
masyarakat Indonesia, termasuk mahasiswa Kedokteran Indonesia.
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Departemen
Kesehatan, Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, dr., SpP(K) mengatakan untuk dapat
mewujudkan Indonesia bebas rabies pada tahun 2015, maka harus dilakukan penanganan
terhadap hewan penular rabies, menekan jumlah penderita rabies, dan mencegah
terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Untuk itu diperlukan pengendalian secara terpadu,
salah satunya dengan membuat rabies center di puskesmas atau rumah sakit yang
diberikan fasilitas vaksin, penyuluhan, dan melindungi kelompok berisiko tinggi terkena
virus rabies. Adanya rabies center diharapkan masyarakat mengetahui bahwa rabies
ditularkan oleh gigitan hewan penular rabies, bahaya rabies yang bisa mengakibatkan
kematian, pertolongan atau tindakan pertama apa yang harus dilakukan oleh masyarakat
dan keluarga setelah digigit. Langkah-langkah terpadu yang bisa dilakukan dalam
mewujudkan bebas rabies, antara lain:
1. Program vaksin dan eliminasi hewan penular rabies
2. Observasi hewan
3. Pengawasan lalu lintas hewan penular rabies
4. Penyuluhan
5. Pendataan dan registrasi anjing
6. Pengamatan dan penyidikan penyakit
7. Penertiban dan pengawasan pemeliharaan binatang
8. Peran serta masyarakat
9. Tindakan terhadap hewan penular rabies serta kondisi penderita
Selain langkah-langkah tersebut, nantinya akan dibentuk tim koordinasi rabies di semua
jenjang administrasi yang melibatkan bagian peternakan dari Departemen Pertanian,
bagian Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) dari
Departemen Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri.
Pokok kegiatan yang seharusnya dilaksanakan oleh sektor peternakan, antara lain:
1. Vaksinasi hewan yang dilaksanakan melalui vaksinasi masal (bulan rabies)
2. Pengawasan lalu lintas hewan, melalui Perda yang mengacu kepada UU.No,6
1967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan
3. Eliminasi anjing-anjing liar atau tidak ada pemiliknya dengan melakukan
pengamatan langsung di tempat–tempat persembunyian atau sarang-sarang anjing
Pokok-pokok yang seharusnya dilaksanakan oleh Sektor Kesehatan :
1. Vaksinasi Anti Rabies pada kasus gigitan hewan tersangka rabies melalui
pemberian Vaksinasi Anti Rabies (VAR) atau kombinasi Vaksinasi Anti Rabies
(VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR) di puskesmas dan rumah sakit
2. Pencucian luka gigitan hewan-hewan tersangka rabies dengan sabun atau detergen
lain untuk mengurangi masuknya kuman ke dalam tubuh
3. Melaksanakan pengawasan lebih lanjut terhadap pengobatan melalui kunjungan
petugas puskesmas ke tempat penderita
4. Melakukan pelacakan kasus gigitan tambahan melalui penyelidikan epidemiologi,
terutama daerah-daerah yang termasuk KLB
5. Melakukan rujukan penderita rabies ke rumah sakit guna perawatan intensif
Rabies ini bisa dicegah dengan vaksin, tapi nantinya diharapkan terdapat vaksin yang
dapat diberikan melalui makanan atau melalui oral, sehingga diharapkan semua
masyarakat Indonesia terutama yang berisiko tinggi terkena virus rabies dapat terhindar
dari penyakit ini. Bila seluruh pokok-pokok kegiatan tersebut dilaksanakan dengan penuh
komitmen sejak diresmikan pada tahun 2005 dan diperlengkap oleh kesadaran individu
mengenai epidemiologi, tanda, jejala, preventif, dan kuratif rabies oleh seluruh
masyarakat, maka dapat menimalisasi jumlah penderita rabies yang semakin membuming
dan akhirnya dapat terwujud “Indonesia Bebas Rabies Tahun 2005”. Badan Kesehatan
Dunia (WHO) telah menetapkan rabies merupakan prioritas kedua setelah flu burung
H5N1 dalam kategori penyakit zoonosis. Angka terkena rabies di Indonesia sejak tahun
2005 cenderung di atas 100 orang setiap tahunnya dan paling banyak menyerang anak-
anak usia lima sampai sembilan tahun. Maka jangan menganggap remeh penyakit rabies,
karena jika tidak ditangani dengan baik tingkat kematiannya hampir mencapai 100
persen. Untuk itu mari saling bekerja sama dalam mewujudkan Indonesia bebas rabies
pada tahun 2015.