bahastra - jurnal.uisu.ac.id

207

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAHASTRA JurnalPendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia

Penanggung Jawab Prof. Dr. Ir. H. M. Asaad, M.Si

Dra. Hj. Hasrita Lubis, M.Pd., Ph.D Dra. Nurhasnah Manurung, M.Pd

Pimpinan Redaksi

Dra. Nila Safina, M.Pd

Dewan Redaksi Dr. Dra. Liesna Andriany, M.Pd Drs. Abd. Rahim Harahap, M.M

Editor

Dra. Hj. Rita, M.Pd Drs. Ali, M.M

Sahri Nova Yoga, S.Pd.,M.Pd.

Administrasi Umum dan Keuangan Dra. Hj. Deliani, M.Si

Alamat Redaksi

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Islam Sumatera Utara Jalan Sisingamangaraja- Teladan Medan

Telp: 061-7869730 Email: [email protected]

Jadwal Penerbitan BAHASTRA (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) diterbitkan dua kali dalam setahun (Maret dan September) oleh Prodi Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UISU. Penyerahan Naskah Jurnal Keguruan menerima naskah yang merupakan hasil penelitian, pemikiran (rekayasa ide) khusus pada bidang pendidikan Bahasa Indonesia, Sastra Indonesia dan Linguistik yang belum pernah dipublikasikan/ diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun terakhir. Naskah dapat dikirim melalui email atau diserahkan langsung ke Redaksi dalam bentuk rekaman Compact Disk (CD) dan print-out 2 eksemplar. Ditulisdalam MS Word atau dengan program pengolah data yang kompatibel, gambar, ilustrasi dan foto dimasukkan dalam file naskah. Penerbitan Naskah Naskah yang layak terbit ditentukan oleh Dewan Redaksi setelah mendapat rekomendasi dari Mitra Bestari. Perbaikan naskah menjadi tanggung jawab penulis dan naskah yang tidak layak diterbitkan akan dikembalikan kepada penulis jika disertai perangko secukupnya.

i

DAFTAR ISI HALAMAN Daftar Isi i PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN LANGSUNG TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS PUISI SISWA KELAS X SMA BINA BERSAUDARA MEDAN Rika Kartika

1 - 5

EFEKTIVITAS MODEL DEBAT TERHADAP KEMAMPUAN MEMBERIKAN OPINI SISWA KELAS X SMA TAMAN SISWA Nila Safina

6 - 11

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS PUISI SISWA KELAS X SMA SETIA BUDI ABADI Deliani

12 – 17

PENGARUH MODEL CIRCUIT LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR MENULIS TEKS EKSPLANASI KELAS XI MAS PROYEK UNIVA Rita

18 – 24

LAGU PERMAINAN RAKYAT “LAYANG-LAYANG” SEBAGAI SASTRA LISAN Megan Asri Humaira

25 - 32

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING TERHADAP KEMAMPUAN MELAKSANAKAN WAWANCARA KELAS VIII SMP NEGERI 8 MEDAN Nurhalimah Sibuea

33 – 40

FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERLAMBATAN BERBICARA PADA ANAK BALITA Asri Yulianda

41 – 48

ANALISIS GANGGUAN BERBICARA ANAK CADEL (Kajian Pada Perspektif Psikologi dan Neurologi) Cica Elida Hanum Matondang

49 – 59

PENGARUH METODE DISKUSI KELOMPOK DINAMIKA PADA MATERI POKOK MENULIS TEKS EKSPLANASI TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 ANGKOLA BARAT Dedi Zulkarnain Pulungan

60 – 66

ANALISIS PROSES PEMBELAJARAN E-LEARNING BERBASIS EDMODO PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMK MULTI KARYA MEDAN 퐅퐢퐭퐚퐅퐚퐭퐫퐢퐚ퟏ, 퐓퐢퐟퐥퐚퐭퐮퐥퐇퐮퐬퐧퐚ퟐ

67 – 72

HUBUNGAN PEMAHAMAN STRUKTUR DAN CIRI KEBAHASAAN DENGAN KEMAMPUAN MENULIS TEKS ANEKDOT SISWA KELAS X SMA NEGERI 4 MEDAN 퐆퐚퐫퐢퐧퐀퐤퐛퐚퐫퐀퐮퐥퐢퐚ퟏ, 퐀퐳퐡퐚퐫퐔퐦퐚퐫ퟐ

73 – 77

PERMASALAHAN PADA OTAK (DISLEKSIA) BERPENGARUH PADA KEMAMPUAN BERBAHASA Mhd. Hamzah Fansuri Hsb

78 – 84

NILAI MORAL DAN KERJA KERAS DALAM DONGENG DANAU TOBA PADA BUKU TEKS BAHASA INDONESIA KELAS VII TERBITAN PUSAT PERBUKUAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL Rosmilan Pulungan1, Amanda Syahri Nasution2

85 – 91

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL BAKAU KEBAIKAN KARYA SITI LESTARI NAINGGOLAN DAN RELEVANSINYA BAGI DUNIA PENDIDIKAN Tiflatul Husna 1, Fita Fatria 2

92 – 96

SEMIOTIKA (MAKNA WARNA DALAM UIS KARO) Lisa Septia Dewi Br.Ginting 1, Rosmilan pulungan 2

98 - 101

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

ii

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA MELALUI DONGENG DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SISWA KELAS I SD NEGERI 104232 TANJUNG MORAWA Putri juwita1, Lisa Septia Dewi br. Ginting 2

102 - 106

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP KEMAMPUAN MEMAHAMI TEKS EKSPOSISI OLEH SISWA KELAS VII MTS AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH TEMBUNG Wulandari Anwar

107 – 112

ANALISIS PEMEROLEHAN SINTAKSIS MENGGUNAKAN TEKNIK MLU (MEANT LENGHT OF UTTERENCE) PADA ANAK USIA 5 TAHUN Rini Sartika Nasution

113 - 118

PENGARUH INTELEGENSI PADA MOTIVASI BELAJAR AKADEMIK SISWA MAS YPI BATANG KUIS Tetty Ariyani Nasution

119 - 125

ANALISIS SARANA RETORIKA DALAM STAND UP COMEDY RADITYA DIKA Intan Novita

127 - 132

ANALISIS CERPEN MARYAM KARYA AFRION DENGAN PENDEKATAN EKSPRESIF Sisi Rosida

133 - 148

ANALISIS JENIS-JENIS METAFORA DALAM SURAT KABAR: KAJIAN SEMANTIK Sukma Adelina Ray

149 - 153

PEMEROLEHAN SINTAKSIS PADA ANAK AUTISME Risma Martalena Tarigan

154 - 159

STRATEGI DAN IMPLEMENTASI PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER PESERTA DIDIK Mepri Yanti Pandiangan

160 – 168

NILAI MORAL DALAM LEGENDA LUTUNG KASARUNG YANG SAKTI DAN KISAH TERBAIK NUSANTARA LAINNYAKARYA KAK GUN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SEKOLAH Tanita Liasna

169 - 175

EFEKTIVITAS MEDIA AUDIO VISUAL “MERAJUT ASA” DI TRANS7 TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS CERITA PENDEK OLEH SISWA KELAS VII MTs NEGERI 3 MEDAN Kursitasari

176 - 179

KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN BAHAN AJAR INTERAKTIF YANG BERBASIS KEARIFAN LOKAL BREBES DALAM MATA KULIAH SEMANTIK Prasetyo Yuli Kurniawan

180 - 186

PENGARUH MEDIA LAGU TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS PUISI PADA SISWA KELAS X MIA SMA NEGERI 1 TANJUNG MORAWA Silvia Siburian

187 – 192

GANGGUAN BERPIKIR DIMENSIA (PIKUN) PADA LANSIA Riky Gunawan Siregar

193 - 197

GANGGUAN BERBICARA PADA AFASIA WERNICKE Riska Damayanti

198 - 191

MEMORI WANITA DALAM MULTITASKING KAJIAN NEUROPSIKOLINGUISTIK M. Irwan Syahputra

192 - 195

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 1

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN LANGSUNG TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS PUISI SISWA KELAS X SMA BINA BERSAUDARA MEDAN

Rika Kartika

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UISU Medan [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh model pembelajaran langsung dalam meningkatkan kemampuan menulis puisi pada siswa kelas X SMA. Untuk penelitian tersebut data diambil dari 36 siswa yang berasal dari 36 populasi. Pengambilan data dilakukan dengan instrumen penugasan yaitu menulis puisi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan desain one group pretest post-test design. Dengan desain tersebut, akan dibandingkan hasil belajar menulis puisi siswa yang memperoleh pengajaran menggunakan pembelajaran langsung dengan pembelajaran menggunakan example non examples. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar kemampuan menulis puisi siswa dengan menggunakan pengajaran pembelajaran langsung. Setelah nilai t hitung diketahui, selanjutnya dikonsultasikan dengan nilai t tabel pada taraf 5% atau 1% dengan dk = 36. Pada tabel t dengan dk = 36 diperoleh taraf signifikan 5% = 2,03 dan taraf signifikan 1% = 2,72. Karena t0 yang diperoleh lebih besar dari t t yaitu 2,03 < 3,01 < 2,72 maka hipotesis diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh hasil belajar siswa terhadap kemampuan menulis puisi siswa dengan menggunakan model pembelajaran langsung.

Kata kunci: Pembelajaran Langsung, Menulis, Puisi

Abstract. This study aims to determine the effect of direct learning models in improving the ability to write poetry in class X high school students. For the study data was taken from 36 students from 36 populations. Data retrieval is done with the assignment instrument namely writing poetry. The method used in this study is an experimental method with the design of one group pretest post-test design. With this design, the results of learning to write poetry will be compared to students who get teaching using direct learning with learning using example non examples. The hypothesis in this study is that there is a significant effect on the learning outcomes of students' poetry writing ability using direct learning teaching. After the value of t count is known, then consulted with the value of t table at the level of 5% or 1% with dk = 36. In table t with dk = 36 obtained a significant level of 5% = 2.03 and a significant level of 1% = 2.72. Because t0 obtained is greater than t t which is 2.03 <3.01 <2.72, the hypothesis is accepted. This shows that there is an influence of student learning outcomes on students' poetry writing ability using direct learning models. Keywords: Direct Learning, Writing, Poetry

PENDAHULUAN Keterampilan menulis adalah

salah satu keterlampilan berbahasa dan pokok yang paling sulit disampaikan oleh guru dan sulit diterapkan kepada siswa. Persoalan utama siswa dalam menulis puisi adalah sulit mengembangkan ide dan gagasan. Dengan memiliki keterampilan menulis akan memudahkan seseorang untuk mengkomunikasikan gagasan, ide, pikiran, dan pengalamannya ke berbagai pihak. Dengan seorang juga dapat berbuat banyak untuk hal-hal dan tujuan tertentu.

Puisi merupakan karya sastra yang memiliki nilai-nilai keindahan dalam setiap kata-katanya dan mampu mengungkapkan sesuatu sesuai dengan keinginan penulisnya. Puisi tidak lahir

begitu saja tetapi muncul dari kesadaran penulisnya yang merupakan hasil dari perasaan dan penalaran. Oleh karena itu, pembelajaran berbahasa dan bersastra diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berfikir dan bernalar siswa baik dalam tulisan dan lisan. Pada pembelajaran menulis puisi, siswa harus mampu menulis puisi dengan menggunakan pemilihan kata yang sesuai rima dan menarik dalam mengungkapkan perasaan. Namun kenyataan masih banyak siswa yang belum mampu menulis puisi. Kenyataan tersebut, penulis temukan pula pada saat PPL ( Program Praktek Lapangan ).

Dalam proses pembelajaran di kelas, guru seharusnya melibatkan siswa

Rika Kartika Pengaruh Model Pembelajaran Langsung terhadap Kemampuan Menulis Puisi Siswa Kelas

X SMA Bina Bersaudara Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2

pada suatu aktivitas yang penuh sekaligus mengembangkan potensi pikir siswa kearah yang positif. Tetapi pada kenyataannya, siswa kurang dilibatkan pada aktivitas yang dapat mengembangkan dan mengasah imajinasi mereka. Siswa hanya mendengarkan penjelasan guru, mencatat dan menghafal materi saja sehingga siswa beranggapan bahwa menulis puisi adalah suatu kegiatan yang sulit dan membosankan. Dengan menggunakan model pembelajaran langsung diharapkan dapat mengoptimalkan pembelajaran menulis puisi. Model pembelajaran langsung ini menekankan pada wujud aktivitas siswa dalam mengekspresikan pikiran, perasaan dan imajinasinya dengan menggunakan bahasa tulis. Di sini guru bertindak sebagai model dengan menawarkan objek pembelajaran langsung. Selanjutnya, siswa dengan daya imajinasinya mengembangakan kata-kata menjadi baris puisi, begitulah seterusnya. Secara sistematis, siswa akan terbiasa memadukan kemampuan berimajinasi dengan diksi untuk menghasilkan sebuah karya yang berbentuk puisi.

Rumusan masalah merupakan pertanyaan yang digunakan dalam pembuatan penelitian dengan cara menarik kesimpulan dari latar belakang masalah yang digunakan dalam pembuatan penelitaian dengan cara menarik kesimpulan dari latar belakang masalah.

Menurut Sugiyono (2013:55), rumusan masalah merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data. Berdasarkan batasan di atas maka penulis merumuskan masalah agar kajian lebih fokus, jelas dan terperinci. Rumusan masalah dalam penilitian ini antara lain: (a) Bagaimanakah kemampuan menulis puisi siswa kelas X SMA Bina Bersaudara Medan Tahun Pembelajaran 2014-2015 dengan menggunakan model pembelajaran langsung? (b) Bagaimanakah kemampuan menulis puisi siswa kelas X SMA Bina Bersaudara Medan Tahun Pembelajaran 2014-2015 dengan menggunakan Examples Non Examples? Dan (c) Apakah ada pengaruh model pembelajaran langsung terhadap kemampuan menulis puisi siswa kelas X SMA Bina Bersaudara Medan? METODE PENELITIAN

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan model one group post test, yaitu perlakuan yang berbeda antara dua kelompok. Eksperimen dilakukan dengan maksud untuk melihat akibat dari suatu perlakuan. Metode ini dilaksanakan dengan memberikan perlakuan pada dua kelompok siswa, yakni kelompok pretest dan posttest. Pretest menggunakan pengaruh model pembelajaran langsung dan post test menggunakan model pembelajaran Examples Non Examples.

Penelitian eksperimen ini adalah one group pretest post-test design. Arikunto(2009 : 212) bahwa “ one group pretest post-test design yaitu eksperimen yang dilaksanakan pada satu kelompok eksperimen yang dilaksanakan pada satu kelompok saja tanpa kelompok pembanding”. Di dalam desain penelitian ini sebelum dimulai perlakuan kelas diberi tes awal ( pre-test) untuk mengukur kondisi awal (O1). Selanjutya pada kelas eksperimen diberi perlakuan berupa pengajaran dengan menggunakan model pembelajaran langsung .

Tabel 1. Desain Eksperimenone Group Pretest Post-Test Design

No. Kelas Pretest Perlakuan Posttest 1. Eksperimen O1 X O2

Keterangan : O1 = Pretest ( test awal ) model examples non examples X = Perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran langsung O2 = Post-test Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran langsung kempuan menulis puisi. Hal ini senada dengan pendapat Arikunto ( 2006 : 166 ) yang menyatakan bahwa “ Test dapat mengukur inteligensi (IQ), minat, kemampuan dasar ( bakat ), kepribadian. Dengan demikian, langkah yang ditempuh untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah dengan memberikan tes. Tes tersebut akan diberlakukan untuk pretest dan posttest. Pretest digunakan untuk menjaring data kemampuan menulis puisi sebelum dilakukan perlakuan, sedangkan post-test digunakan setelah perlakuan yaitu model pembelajaran langsung.

Tabel 4. Format atau Rubrik Penilaian No

Aspek Deskriptor Skor

Nilai

Rika Kartika Pengaruh Model Pembelajaran Langsung terhadap Kemampuan Menulis Puisi Siswa Kelas

X SMA Bina Bersaudara Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 3

1. Bait Bait-bait puisi ada dan sesuai dengan ciri-ciri puisi baru

25

25

Bait-bait puisi ada dan kurang sesuai dengan ciri-ciri puisi

10

Bait-bait puisi tidak ada dan kurang sesuai dengan ciri-ciri puisi baru.

5

2. Pemakaian Bahasa

Pemilihan kata/diksi, ungkapan/majas, kalimat dalam pengembangan imajinasi sangat tepat.

25

25

Pemilihan kata/diksi, ungkapan/majas, kalimat dalam pengembangan imajinasi kurang tepat.

10

Pemilihan kata/diksi, ungkapan/majas, kalimat dalam pengembangan imajinasi tidak tepat

5

3. Isi Gagasan, makna/pesan yang terkandung sangat baik.

25

25

Gagasan, makna/pesan yang terkandung baik.

10

Gagasan, makna/ pesan yang terkandung kurang baik.

5

4 Irama dan Rima

Irama dan rima pada puisi sangat selaras

25 25

Irama dan rima pada puisi selaras 10

Irama dan rima pada puisi kurang selaras.

5

Total skor 100

Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul

selanjutnya akan dianalisis guna mencapai hasil yang maksismal. Langkah-langkah analisis tersebut dapat dilakukan dengan :

1. Mentabulasi data skor tes variable X dan Variable Y

2. Menghitung nilai rata-rata dan standar deviasi data sample

3. Melakukan uji hipotesis dengan menggunakan uji “t” dengan rumus :

to =

( Sudjono,2010:314) Keterangan : To : Nilai t observasi

푀 : Mean hasil dari data kelas eksperimen 푀 : Mean hasil dari kelas kontrol 푆퐸 : Standar eror perbedaan kedua kelompok

Pembuktian dilakukan dengan membandingkan to dan tt dengan patokan: jika to>tt maka Haditerima dan Ho ditolak danjika to < maka Ha ditolak dan HO diterima. HASIL PENELITIAN 1. Kemampuan Siswa Menulis Puisi

dengan Menggunakan Model Pembelajaran Langsung

Berdasarkan hasil analisis data, dapat diketahui bahwa jumlah nilai tertinggi untuk kemampuan menulis puisi dengan menggunakan model pembelajaran langsung adalah 92 dan nilai terendah adalah 48, sedangkan untuk jumlah nilai tertinggi pada kemampuan menulis puisi sebesar 2618. 2. Kemampuan Siswa Menulis Puisi

dengan Model Example Non Example

Berdasarkan hasil analisis data, dapat diketahui bahwa jumlah nilai tertinggi data pretes untuk kemampuan menulis puisi dengan menggunakan model pembelajaran examples non examples dengan nilai tertinggi adalah 80 dan nilai terendah adalah 46, sedangkan untuk jumlah nilai tertinggi data postest untuk kemampuan menulis puisi dengan menggunakan model pembelajaran langsung adalah sebesar 2345. 3. Uji Hipotesis

Setelah t0 diperoleh, selanjutnya dikonsultasikan dengan tabel t pada taraf signifikan 5% atau 1% dengan dk = 36. Pada tabel t dengan dk = 36 diperoleh taraf signifikan 5% = 2,03 dan taraf signifikan 1% = 2,72. Karena t0 yang diperoleh lebih besar dari tt yaitu 2,03 < 3,01 < 2,72 maka hipotesis diterima. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran menulis puisi dengan menggunakan model pembelajaran langsung lebih efektif dibanding dengan model pembelajaran Example Non Examples. PEMBAHASAN

Setelah melaksanakan prosedur penelitian seperti menghitung rata-rata dan standar deviasi serta pengujian hipotesis, akhirnya dapat ditemukan hasil penelitian. Pembelajaran menulis puisi yang diberikan kepada siswa kelas X SMA Bina

Rika Kartika Pengaruh Model Pembelajaran Langsung terhadap Kemampuan Menulis Puisi Siswa Kelas

X SMA Bina Bersaudara Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 4

Bersaudara Medan dengan menggunakan model pembelajaran langsung ternyata lebih efektif.

Pembelajaran menulis puisi dengan menggunakan model pembelajaran langsung merupakan pembelajaran yang memungkinkan untuk siswa agar lebih leluasa mengenal lingkungan sekitar, lebih merangsang imajinasi serta rasa ingin tahu siswa, dengan demikian siswa selalu dituntut untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran, melatih kemampuan siswauntuk berfikir sistematis, dan memberikan kesempatan siswa mengembangkan pengetahuannya. Siswa berhasil menulis puisi dengan mudah dan benar dengan menggunakan model pembelajaran langsung, hal ini dikarenakan model pembelajaran langsung dekat sekali dengan alam dan lingkungan sekitar, dan pada dasarnya siswa sangat senang dengan kenyataan atau realita langsung yang dilihat oleh siswa.

Berdasarkan perhitungan yang sudah dilakukan, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata siswa yang mendapat perlakukan dengan model pembelajaran langsung lebih tinggi dibandingkan dengan model pembelajaran Example Non Examples.

Dari hasil pembelajaran dengan model pembelajaran langsung yang dilakukan bahwa nilai siswa lebih tinggi dibanding dengan model Example Non Examples. Maka secara keseluruhan, pengajaran dengan model pembelajaran langsung lebih efektif digunakan dalam pembelajaran menulis puisi siswa kelas X SMA Bina Bersaudara Medan. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa paparan dibawah ini : 1. Kemampuan siswa menulis puisi

dengan menggunakan model pembelajaran langsung lebih baik hasilnya dibandingkan dengan kemampuan siswa menulis puisi dengan model pembelajaran Example Non Examples. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran langsung sebesar 72,72 sedangkan rata-rata hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran Examples Non Examples sebesar 65,14.

2. Kemampuan siswa menulis puisi dengan model pembelajaran Examples Non Examples tidak lebih baik , hal ini dapat dilihat dari rata-rata hasil belajar siswa yang masih rendah, yaitu sebesar 65,14.

3. Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran langsung dengan hasil pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Examples Non Examples dalam meningkatkan kemampuan menulis puisi.

Saran Berdasarkan kesimpulan di atas,

maka sebagai tindak lanjut penelitian ini dikemukakan saran-saran sebagai berikut : 1. Model pembelajaran langsung

sebaiknya digunakan dalam proses belajar mengajar di sekolah untuk mencapai tujuan pembelajaran.

2. Guru bidang studi Bahasa Indonesia khususnya pihak sekolah supaya memperhatikan penggunaan strategi pembelajaran yang dapat mengoptimalkan hasil dari proses belajar siswa atau dengan kata lain menggunakan model pembelajaran yang bervariasi.

3. Guru harus lebih maksimal dalam mengarahkan siswa untuk mencari fakta-fakta dan menghubungkan apa yang telah dipelajari di dalam kelas. Kepada peneliti selanjutnya agar dapat meneliti pada sekolah-sekolah lain dengan pokok bahasan yang berbeda agar dapat dijadikan sebagai studi perbandingan bagi guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan khususnya pada pelajaran bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA Astuti, Wahyuni Wiji. 2011. Skripsi.

Universitas Negeri Medan.

Arikunto, Suharmisi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudjino, Anas.2008. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Widowati, 2007. Skirpsi. Universitas Negeri Semarang.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 6

EFEKTIVITAS MODEL DEBAT TERHADAP KEMAMPUAN MEMBERIKAN OPINI SISWA KELAS X SMA TAMAN SISWA

Nila Safina

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UISU Medan [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model debat apakah lebih efektif dibandingkan dengan model team quis dalam pembelajaran memberikan opini. Populasi penelitian ini berjumlah 44 siswa yang terdiri dari 2 kelas. Kelas XIPA1 dijadikan sebagai kelas eksperimen dan kelas X IPA2 dijadikan sebagai kelas kontrol. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian eksperimen Post-test only desain group (two group). Dari hasil analisis data diperoleh nilai rata-rata post-test pada kelas eksperimen adalah 71,66 dengan standar deviasi 6,23 dan nilai rata-rata post-test di kelas kontrol adalah 57,75 dengan standar deviasi 5,52. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan rumus Lilifors. Data yang diperoleh menunjukkan populasi berdistribusi normal, yaitu memiliki kemampuan yang setara di mana Lhitung ≤ Ltabel (0,1092 ≤ 0,187) untuk nilai post-test kelas eksperimen dan Lhitung ≤ Ltabel (0,1409 ≤ 0,190) untuk nilai post-test di kelas kontrol. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan rumus Varians. Berdasarkan rumus yang digunakan, diperoleh nilai Fhitung≤ Ftabel(1,27 ≤ 2,00). Hal ini kemampuan populasi bersifat homogen. Uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan rumus thitung. Berdasarkan uji hipotesis nilai thitung= 3,46 sedangkan nilaittabel = 2,018 sehingga thitung ≥ ttabel. Dengan demikian, Ha diterima dan dapat disimpulkan bahwa model debat lebih efektif dibandingkan dengan model teamquis terhadap kemampuan memberikan opini siswa kelas X SMA Taman Siswa Medan Kata kunci: Pengaruh, Model Debat, Opini Abstract. This study aims to determine whether the debate model is more effective than the team quiz model in giving opinion. The population of this study amounted to 44 students consisting of 2 classes. The XIPA1 class is used as the experimental class and the IPA X class is used as the control class. The sampling technique used was purposive sampling. This research was conducted using the experimental research method Post-test only design group (two group). From the results of data analysis obtained the average post-test value in the experimental class is 71.66 with a standard deviation of 6.23 and the post-test average value in the control class is 57.75 with a standard deviation of 5.52. The normality test is done using the Lilifors formula. The data obtained shows that the population is normally distributed, that is having equal abilities where Lhitung ≤ Ltabel (0.1092 ≤ 0.187) for the post-test value of the experimental class and Lhitung ≤ Ltable (0.1409 ≤ 0.190) for the post-test value in class control. The homogeneity test is carried out using the Variance formula. Based on the formula used, the value of Fcount abel Ftable (1.27 ≤ 2.00) is obtained. This population ability is homogeneous. Hypothesis testing is done using the formula tcount. Based on the hypothesis test the value of tcount = 3.46 while the value of tabel = 2.018 so that tcount ≥ t table. Thus, Ha is accepted and it can be concluded that the debate model is more effective compared to the teamquis model of the ability to give opinions of class X students of SMA Taman Siswa Medan Keywords: Influence, Debate Model, Opinion

PENDAHULUAN Keberhasilan sebuah interaksi

komunikasi dalam pembelajaran maka dibutuhkan pemanfaatan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik. Pemilihan model pembelajaran yang tepat menentukan pencapaian tujuan dalam proses belajar-mengajar. Model belajar-

mengajar adalah bagian utuh (terpadu, integral) dari proses pendidikan-pengajaran.

Pada persoalan ini, penulis akan membahas mengenai kemampuan siswa dalam memberikan opini dengan menggunakan model debat, karena model ini menuntut partisipasi yang sungguh-sungguh dari peserta didik. Efektivitas

Megan Asri Humaira Lagu Permainan Rakyat “Layang-Layang” sebagai Sastra Lisan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 7

dari penggunaan model ini sangat dipengaruhi oleh sejauh mana pengalaman dan pengetahuan peserta didik.

Untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memberikan opini terhadap tulisan, penulis mencoba menggunakan model debat yang jarang digunakan oleh guru dalam mengajar. Model ialah cara guru menjelaskan suatu pokok bahasan (thema, pokok masalah) sebagai bagian kurikulum (isi, materi pengajaran), dalam upaya mencapai sasaran dan tujuan pengajaran (tujuan institusional, tujuan pembelajaran umum dan khusus). Tujuan mempelajari bahasa secara umum pada tingkat menengah dalam Standar Kompetensi Lulusan dan pengembangan Silabus (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan 2007: 3) adalah mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulisan yang mencakup empat kecakapan kebahasaan, yakni menyimak, berbicara, membaca dan menulis.

Model pembelajaran tidak hanya memberikan pengalaman-pengalaman konkrit tetapi juga membantu peserta didik berinteraksi secara benar. Di duga untuk mencapai kecakapan berbahasa tersebut khususnya dalam meningkatkan kemampuan berargumen dalam pembelajaran keterampilan berbicara maka siswa tepat di ajar dengan menggunakan model pembelajaran debat. Melalui debat siswa dilatih dan dituntut untuk mampu berargumen dan mempertahankan argumen agar pendapat-pendapat yang disampaikan dapat diterima oleh audiens.

Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa kemampuan siswa dalam memberikan opini masih tergolong rendah, sehingga perlu dikaji lagi dengan mencari faktor-faktor utama penyebabnya, kurangnya pengetahuansiswa tentang membuat opini disebabkan karena penggunaan teknik yang digunakan guru sewaktu mengajar materi ini kurang tepat.

Berdasarkan kenyataan di atas, maka diharapkan model debat dapat berpengaruh positif terhadap kemampuan memberikan opini oleh siswa. Dengan kata lain siswa diharapkan lebih terampil dalam memberikan opini dengan menggunakan model debat.

Berdasarkan uraian pada latar belakang, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah yang telah dipaparkan di atas maka perlu dirumuskan masalah yang akan diteliti agar penelitian ini terarah, maka permasalahan dalam penelitian ini akan dirumuskan sebagai berikut: (a) Bagaimana kemampuan memberikan opini siswa kelas X SMA Tamansiswa Medan dengan menggunakan model debat? (b) Bagaimana kemampuan memberikan opini siswa kelas X SMA Tamansiswa Medan dengan menggunakan model TeamQuis? Dan (c) Apakah penggunaan model debat lebih efektif dibandingkan dengan modelTeamQuis terhadap kemampuan memberikan opini siswa kelas X SMA Tamasiswa Medan? METODE PENELITIAN Berdasarkan jenisnya penelitian ini merupakan penelitian Post-test only desain group (two group). Dengan pola sebagai berikut :

Tabel 1. Desain Eksperimen Kelompok Perlakuan Post-

test X IPA1 X T X IPA2 Y T

Keterangan : O2 : Pemberian Post test X : Perlakuan dengan metode pembelajaran model debat Y : Perlakuan dengan metode pembelajaran model team quis E : Kelas Eksperimen K : Kelas Kontrol

Instrumen Penelitian Data penelitian tersebut adalah

data kemampuan siswa menulis memberikan opini. perlakuan Data ini diperoleh sebelum dan sesudah sampel menerima perlakuan yaitu pembelajaran dengan model debat. Secara operasional, kemampuan memberikan opini adalah skor atau nilai yang diperoleh siswa atas kemampuannya dalam mengungkapkan opini yang bersifat argumentatif yaitu disertai alasan yang kuat, organisasi opini (berupa kohesi dan koherensi), ekspresi saat memberikan opini secara lisan, bahasa opini yang jelas, singkat, padat, dan menarik melalui perdebatan (lisan) dan tes tertulis untuk pemantapan. Sejalan dengan defenisi operasional di atas, maka instrumen penelitian yang digunakan peneliti untuk mengetahui

Megan Asri Humaira Lagu Permainan Rakyat “Layang-Layang” sebagai Sastra Lisan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 8

efektivitas model debat terhadap kemampuan memberikan opini adalah tes.

Menurut pendapat Arikunto (2002:198) “yang mengatakan bahwa tes dapat mengukur inteligensi (IQ), tes minat, tes bakat khusus, dan sebagainya”. Tes tersebut akan diberlakukan untuk pos-test.

Tabel 2. Kriteria Penilaian Kemampuan Memberikan Opini

No Aspek yang Dinilai Skor Total Skor

1 ISI Apabila: a. Bersifat

argumentatif (berisi pendapat dengan alasan yang kuat dan logis).

b. Kurang bersifat argumentatif (berisi pendapat dengan alasan yang kurang kuat dan logis).

c. Tidak bersifat argumentatif (tidak berisi pendapat dengan alasan yang kuat dan logis).

20 10 5

20

a. Koheren dengan permasalahan ditugaskan.

b. Kurang koheren dengan permasalahan ditugaskan.

c. Tidak koheren dengan permasalahan ditugaskan.

20 10 5

20

2 BAHASA Apabila: a. Bahasanya

singkat, padat dan jelas

b. Bahasanya kurang singkat, padat dan jelas

c. Bahasanya tidak singkat, padat dan jelas

20 10 5

20

a. EYD tepat b. EYD kurang tepat c. EYD tidak tepat

20 10 5

20

a. Pilihlah kata tepat b. Pilihlah kata

kurang tepat c. Pilihlah kata tidak

20 10 5

20

tepat JUMLAH 100 Dengan peringkat yang dikemukakan oleh Sudijono (2007:24) sebagai berikut:

Tabel 3. Standar Skor menurut Sudijono (2007:24)

Teknik Analisis Data Sebelum ujian hipotesis dilakukan

maka perlu terlebih dahulu ditentukan nilai rata-rata, standar deviasi, dan uji persyaratan analisis yang terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Adapun langkah-langkah tersebut yaitu: 1. Mentabulasi nilai kelas eksperimen

(variabel x) 2. Mentabulasi nilai kelas kontrol

(variabel y) 3. Mencari mean kelompok eksperimen

(x) dengan rumus sebagai berikut :

MX = ∑

4. Mencari mean kelompok kontrol (y) dengan rumus sebagai berikut :

MX = ∑

5. Mencari standar deviasi skor kelas eksperimen (x) dengan rumus sebagai berikut :

SDX= ∑

6. Mencari standar deviasi skor kelas kontrol (y) dengan rumus sebagai berikut :

SDX= ∑

7. Mencari standar error mean kelas eksperimen (x) dengan rumus sebagai berikut :

SEMX = √

8. Mencari standar error mean kelas kontrol (y) dengan rumus sebagai berikut :

SEMY = √

9. Mencari standar error perbedaan mean kelas eksperimen dan kelas kontrol (x dan y) dengan rumus sebagai berikut :

Skor 85-100

Baik sekali A

Skor 70- 84

Baik B

Skor 55- 69

Cukup C

Skor 40 – 54

Kurang D

Skor 0- 39 Kurang sekali E

Megan Asri Humaira Lagu Permainan Rakyat “Layang-Layang” sebagai Sastra Lisan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 9

SEMX – MY = SE + SE

Keterangan : MX = Mean skor kelas eksperimen MY = Mean skor kelas kontrol ∑X = Jumlah skor kelas eksperimen ∑Y = Jumlah skor kelas kontrol N1 = Banyaknya skor kelas

eksperimen N2 = Banyaknya skor kelas kontrol SDX = Standar Error mean kelas

eksperimen SDY = Standar Error mean kelas

kontrol SEMX-MY = Standar Error perbedaan

kedua kelas

Pengujian persyaratan analisis a. Uji normalitas variabel dengan

Menggunakan Lilifoer Uji kenormalan dilakukan secara parametik dengan menggunakan penaksir rata-rata pada simpangan baku. Uji yang digunakan adalah uji lilifoer. Misalnya, kita mempunyai sampel acak dengan hasil pengamatan X1, X2,...Xn. berdasarkan sampel ini akan diuji hipotesis nol bahwa sampel tersebut berasal dari populasi berdistribusi normal melawan hipotesis tandingan bahwa hipotesis tidak normal. Untuk pengujian hipotesis nol tersebut, kita tempuh prosedur sebagai berikut : 1) Menyusun skor siswa dalam bentuk

tabel. 2) Skor mentah X1, X2,...Xn dijadikan

bilangan baku Z1, Z2,...Zn dengan rumus sebagai berikut :

Zi =

Keterangan : Zi = Bilangan baku 푋= Rata-rata skor siswa S = Standar Deviasi 3) Untuk setiap bilangan baku ini

menggunakan daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang F(Z1) = P(Z ≤ Zi)

4) Menghitung proporsi Z1, Z2, Z3,...Zn yang lebih kecil sama dengan Zi, jika proporsi ini dinyatakan dengan S (Zi), maka :

S (Z1) = , ,…..

= ( ) 5) Menghitung selisih F (Zi) – S (Zi)

kemudian ditentukan harga mutlaknya. 6) Mengambil harga yang paling besar di

antara harga-harga mutlak selisih

tersebut. Harga terbesar ini disebut LO = Lhitung

Jika Lhitung ≤ Ltabel untuk taraf nyata α = 0,05, maka data distribusi normal dan hipotesis diterima. Sebaliknya, jika Lhitung ≥ Ltabel maka data berdistribusi tidak normal dan hipotesis ditolak. b. Uji homogenitas Pada proses pengujian homogenitas dua varians, akan dilakukan homogenitas data terhadap data post test dengan rumus yang dikemukakan oleh

Sugiyono (2013:276), yaitu : F =

Keterangan :푆 = Varians terbesar 푆 = Varians terkecil Kriteria pengujian data adalah terima Ho jika Fhitung< Ftabel dengan hipotesis : Ho = 휎 = 휎 Ho = 휎 ≠휎

c. Menguji hipotesis Menurut Sugiyono (2013:273), penelitian yang membandingkan sebelum dan sesudah treatment atau perlakuan, atau membandingkan kelompok kontrol dengan eksperimen, maka digunakan Ttest separated varian, yaitu : thitung =

Keterangan : t = Distribusi t x1 = Mean variabel x x2 = Mean variabel y s = varian terbesar (variabel x) s = varian terkecil (variabel y) n1 = jumlah sampel di kelas eksperimen n2 = jumlah sampel di kelas kontrol Di mana varian (S2) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

S2 = ( ) ( )

Keterangan : n1 = Jumlah sampel kelompok eksperimen n2 = Jumlah sampel kelompok kontrol S1

2 = Standar deviasi kelompok terbesar (kelas eksperimen) S2

2 = Standar deviasi kelompok terkecil (kelas kontrol) Untuk menguji hipotesis penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan to dengan ttabel pada derajat kebebasan N1 + N2 – 2 dan tingkat kepercayaan t. s. Α 0,05 (5%). Dengan ketentuan tolek Ho jika to> ttabel dan Ha

Megan Asri Humaira Lagu Permainan Rakyat “Layang-Layang” sebagai Sastra Lisan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 10

diterima, atau diterima Ho jika to< ttabel dan Ha ditolak. HASIL PENELITIAN 1. Data pretest dan post test Pada kelas eksperimen digunakan model debat, sebagaimodel yang akan diujicobakan dan pada kelas kontrol digunakan model team quis sebagai model pembanding. Berdasarkan treatment atau perlakuan yang telah diberikan kepada kedua kelas, maka diperoleh nilai terendah dan tertinggi dari kedua kelas tersebut. Pada kelas eksperimen, diperoleh nilai terendah 60, tertinggi 80 dan nilai rata-rata 71,66 dengan standar deviasi 6,23. Sedangkan di kelas kontrol diperoleh nilai terendah 45, tertinggi 60dan nilai rata-rata 57,75 dengan standar deviasi 5,52. 2. Uji Normalitas Data

Uji normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji lilifors.Dari hasil perhitungan pada lampiran VI, maka diperoleh harga Lhitung untuk masing-masing kelas, kemudian dikonsultasikan dengan Ltabel pada lampiran X di mana Lhitung< Ltabel yang berarti sampel kedua kelas berdistribusi normal.

Tabel 4. Uji Normalitas Data No

Data

Kelas Lhitung Ltabel Hasil

1 2

Post-test Post-test

Kontrol Eksperimen

-0,1409 0,1092

0,190 0,187

Normal Normal

3. Uji Homogenitas Data Untuk mengetahui homogen atau

tidaknya populasi penelitian, dapat dilakukan dengan menggunakan uji F. Hasil perhitungan uji homogenitas pada lampiran VII kemudian dikonsultasikan dengan Ftabel pada lampiran XII, maka dapat disimpulkan bahwa Fhitung< Ftabel yang berarti bahwa populasi berdistribusi homogen.

Tabel 5. Uji Homogenitas Data No

Kelas Varians Fhitung Ftabel Hasil

1 Eksperimen

6,23 1,27 2,00 Homogen

2 Kontrol

5,52

4. Uji Hipotesis

Berdasarkan pada tabel IX dan X di atas, maka penelitian telah memenuhi persyaratan untuk dilakukan pengujian hipotesis.Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah “model debat lebih efektif daripada model team quis dalam

pembelajaran memberikan opinisiswa kelas X SMA Tamansiswa Medan tahun pembelajaran 2014/2015”.

Tabel 6. Uji Hipotesis Data No

Kelas Nilai rata-rata

Fhitung Ftabel Hasil

1 2

Eksperimen Kontrol

71,66 57,75

1,27

2,00

Ha diterima

Berdasarkan perhitungan uji hipotesis pada lampiran VIII diperoleh harga thitung = 3,46 pada taraf signifikansi α = 0,05, dk = 42 (24+20–2) dan harga ttabel

= 2,018 (dengan interpolasi). Kemudian dibandingkan antara thitung dengan ttabel

diperoleh thitung ≥ ttabel atau 3,46 ≥ 2,018 yang berarti hipotesis diterima. PEMBAHASAN

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka hasil penelitian ini adalah : (a) Nilai rata-rata hasil belajar siswa setelah diberikanpost-test dengan menggunakan model debat adalah 71,66. Hal ini berarti kemampuan terhadap memberikan opini siswa X SMA Tamansiswa Medan dikategorikan baik; (b) Nilai rata-rata hasil belajar siswa setelah diberikanpost-test dengan menggunakan model team quis terhadap memberikan opini adalah 57,75. Hal ini berarti kemampuan terhadap memberikan opini X SMA Tamansiswa Medan dikategorikan cukup; dan (c) Hasil belajar siswa di kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan di kelas kontrol. Hal ini berarti penggunaan modeldebat lebih efektif dibandingkan dengan model team quis dalam kemampuan terhadap memberikan opini siswa X SMA Taman Siswa Medan. SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Kemampuan terhadap memberikan

opini dengan model debat dikategorikan baik, karena nilai rata-rata hasil belajar siswa setelah diberikanpost-test adalah 71,66.

2. Kemampuan terhadap memberikan opini dengan menggunakan model team quis dikategorikan cukup, karena nilai rata-rata hasil belajar siswa setelah post-test adalah 57,75.Berdasarkan analisis yang diperoleh, hasil homogenitas dalam penelitian ini adalah Fhitung ≤ Ftabel(1,27≤ 2,00), hal ini kemampuan populasi bersifat homogen.

Megan Asri Humaira Lagu Permainan Rakyat “Layang-Layang” sebagai Sastra Lisan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 11

Berdasarkan hasil hipotesis dalam penelitian ini yaitu Ha diterima dengan nilai thitung ≥ ttabel (3,46 ≥ 2,018).

3. Maka dari hasil analisa terhadap rumusan hipotesis menunjukkan bahwa model debat lebih efektif dibandingkan dengan model team quis dalam pembelajaran memberikan opini oleh siswa kelas X SMATaman Siswa.

SARAN Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan, maka penulis menyarankan : 1. Kemampuan siswa dalam memberikan

opini perlu di tingkatkan. Hal tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan menggunakan model yang tepat dalam proses belajar mengajar di kelas. Salah satu media pembelajaran yang tepat untuk digunakan dalam pembelajaran memberikan opini adalah model debat. Berdasarkan hal itu, disarankan agar para guru bahasa dan sastra Indonesia menggunakan model debat ketika memberikan pembelajaran opini.

2. Penggunaan model debat dalam pembelajaran memberikan opini menuntut guru bahasa dan sastra Indonesia untuk memiliki pemahaman dan kemampuan dalam merancang model tersebut. Oleh karena itu, disarankan agar guru mempelajarinya terlebih dahulu sebelum dapat merancang dan menggunakannya dalam pembelajaran memberikan opini.

3. Pada saat meneliti, peneliti menilai siswa sangat antusias dan termotivasi pada saat mengikuti kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model debat. Hal ini berarti, penggunaan model pembelajaran yang bervariasi dalam setiap kegiatan pembelajaran dapat menjadi faktor utama dalam meningkatkan hasil belajar siswa.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsini. 2009. Manajemen

Penelitian. Jakasrta: rimeka Cipta Arikunto, Suharsini. 2002. Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan Dan Praktek. Rineka Cipta.

Jogiyanto. 2006. Pembelajaran Metode

Kasus. Yogyakarta: Andi Offset Sudjana. 1992. Metode Statistika.

Bandung: Tarsito.

Sudjono, Anas. 2007. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian

Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 12

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION MENGGUNAKAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP

KEMAMPUAN MENULIS PUISI SISWA KELAS X SMA SETIA BUDI ABADI

Deliani

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UISU Medan [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh model pembelajaranstudent teams achievement division (STAD) menggunanakan Media Audio Visual Terhadap Kemampuan Menulis Puisi Siswa Kelas X SMA Setia Budi Abadi. Populasi penelitian ini siswa kelas X SMA Swasta Setia Budi Abadi Perbaungan sebanyak 70 orang. Sampel yang digunakan yaitu total sampling, ditetapkan kelas X MIA1 sebagai kelas eksperimen dan kelas X MIA2 sebagai kelas kontrol. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan desain penelitian Two group post test design. Instrumen yang digunakan untuk menjaring data penugasan yaitu menulis puisi (essay). Dari pengolahan data diperoleh, hasil nilai rata-rata kemampuan menulis puisi dengan model pembelajaran STAD menggunakan media Audio Visual 78,2 dan nilai rata-rata kemampuan menulis puisi menggunakan model pembelajran CIRC adalah 73,1. Berdasarkan uji hipotesis diperoleh Thitung =3,080 dan Ttabel

=1,992.Kemudian di bandingkan antara Thitung Ttabel maka hipotesis alternatif (Ha) diterima dan hipotesis nol (Ho) ditolak. Diperoleh Thitung

Ttabel = 3,0801,992 sehingga dapat dinyatakan hipotesis alternatif (Ha) diterima. Berdasarkan pengujian hipotesis terdapat pengaruh model pembelajaran STAD menggunakan media Audio Visual dalam kemampuan menulis puisi. Dengan demikian model pembelajaran STAD menggunakan media audio visual dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis puisi. Kata Kunci : Model Pembelajaran STAD, Media Audio Visual, Menulis Puisi

Abstract. This research aims to discribe the influence of Student Teams Achievement Division (STAD) learning model using audio visual media to the ability of students class X setia budi abadi senior high school in writing poem. The population is 70 students. Sampling technique used is total sampling, which stated that students of class X MIA1 as experiment class and MIA2 as control class. Experiment method with Two Group Post Test Design is applied. The instruments used to obtain the data isessay in writing poem. The result shows that average score of the ability in writingpoem using STAD learning medel with audio visual asthe medium is 78,2 and using CIRC lerning model 73,1. Based on hypothesis test, it is obtained that Tcount = 3,080 and Ttable = 1,992. From the value of Tcount Ttable, it is obtained that Ha is accepted and Ho rejected. It can be concluded that there is influence of the use of STAD learning model using audio visual media to the ability in writing poem. Reseach result shows that STAD learning mode using audio visual media can improve ability of students in writing poem.

Keywords: STAD Learning Model, Audio Visual Media, Writing poemPENDAHULUAN

Menulis merupakan salah satu kegiatan yang harus dihadapi siswa dalam proses pembelajaran, terutama untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui kegiatan menulis diharapkan siswa dapat menuangkan ide-ide atau gagasan yang baik yang bersifat ilmiah maupun imajinatif. Oleh karena itu, sekolah tempat mengenyam pendidikan diharapkan dapat memberikan pembelajaran tentang menulis dengan baik melalui model

pembelajaran dan media yang tepat sehingga potensi dan daya kreatifitas siswa dapat tersalurkan.

Pembelajaran menulis harus banyak bersifat aplikatif, dengan menggunakan pelatihan-pelatihan kegiataan menulis. Kegiatan tersebut memungkinkan siswa gemar, dan akhirnya memiliki kemampuan dan terbiasa menulis. Kemampuan menulis bukanlah suatu kemampuan yang dapat diajarkan melalui uraian atau penjelasan semata.

Deliani Pengaruh Model Pembelajaran Student Teams Achievement Division Menggunakan

Media Audio Visual terhadap Kemampuan Menulis Puisi Siswa Kelas X SMA Setia Budi Abadi

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 13

Siswa tidak akan memperoleh kemampuan menulis hanya dengan mencatat apa yang ia dengar.

Pembelajaran kemampuan menulis memiliki berbagai macam bentuk. Salah satunya adalah kemampuan menulis puisi. Menulis puisi merupakan salah satu kemampuan yang harus dikuasai siswa. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hasil pembelajaran kemampuan menulis pada Sekolah Menengah Atas belum memuaskan. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru Bahasa Indonesia, masalah yang peneliti temukan pada siswa kelas X MIA yaitu prestasi siswa dalam hal menulis terutama menulis puisi masih rendah.

Observasi yang dilakukan penulis menemukan bahwa kemampuan menulis puisi yang diajarkan disekolah selama ini menggunakan model Cooperative Integrated Reading and Composition(CIRC) tanpa disertai upaya-upaya dari guru guna menarik perhatian siswa, guru kurang menggunakan model dan media pembelajaran menulis yang bervariasi sehingga membuat siswa kurang aktif dan cepat merasa bosan.

Berdasarkan permasalan tersebut, diperlukan upaya untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis puisi. Dibutuhkan adanya suatu pengajaran yang kreatif dari guru dalam menggunakan model dan media pembelajaran yang tepat dan menarik, sehingga siswa lebih mudah dalam menulis puisi.

Berangkat dari permasalahan tersebut, salah satu upaya yang ditempuh oleh peneliti untuk meningkatkan kemampuan menulis puisi adalah dengan menggunakan model pembelajaran Student Teams Achievement Division melaluimedia Audio Visual. Model pembelajaran STADmerupakan model pembelajaran yang beranggotakan 4-5 orang yang merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis kelamin, dan suku. Guru menyajikan pelajaran, dan kemudian siswa bekerja dalam tim mereka memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut. Kemudian, seluruh siswa diberikan tes tentang materi tersebut secara individu. Sedangkan media yang digunakan berupa Audio Visual untuk merangsang imajinasi siswa untuk menghasilkan ide, sehingga

dengan melihat dan memperdengarkan Audio Visual maka dapat membantu siswa dalam menciptakan suasana yang nyaman dan dapat merangsang daya imajinasi siswa dalam menulis puisi yang kreatif.

Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah maka masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: (a) Bagaimana kemampuan siswa menulis puisi menggunakan model pembelajaran STAD dengan menggunakan media Audio Visual oleh siswa kelas X SMA Swasta Setia Budi Abadi Perbaungan? (b) Bagaimana kemampuan siswa menulis puisi menggunakan model pembelajaran CIRColeh siswa kelas X SMA Swasta Setia Budi Abadi Perbaungan? Dan (c) Apakah terdapat pengaruh dalam penggunaan model pembelajaran STAD menggunakan Media Audio Visual dalam menulis puisi oleh siswa kelas X SMA Swasta Setia Budi Abadi Perbaungan? METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan struktur yang sangat penting karena berhasil tidaknya ataupun tinggi rendahnya kualitas hasil penelitian sangat ditentukan oleh ketepatan dalam memilih metode penelitian. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen yaitu Two Grouppost-test design.

Tabel 4. Desain Penelitian Kelas

Perlakuan Post-test

Eksperimen (X MIA1)

X T1

Kontrol (X MIA2)

Y

T2

Keterangan: Y :Mengguanakn Model pembelajaran CIRC X :Mengguanakn Model Pembelajaran STAD

menggunakan Media Audio Visual. T1 dan T2 :Tes Akhir (Post-test) yang

diberikan pada kelas eksperimen (X MIA1) dan kelas kontrol (X MIA2).

B. Instrumen Penilaian Instrumen penelitian merupakan

alat bantu untuk mencari data penelitian. Arikunto (2006:136) mengatakan, “ Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih muda diolah”. Oleh karena itu, benar atau tidak suatu data sangat menentukan mutu instrumen pengumpulan data. Hal ini dikarenakan data merupakan bahan penting yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian,

Deliani Pengaruh Model Pembelajaran Student Teams Achievement Division Menggunakan

Media Audio Visual terhadap Kemampuan Menulis Puisi Siswa Kelas X SMA Setia Budi Abadi

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 14

mencari sesuatu yang akan digunakan untuk mencapai tujuan dan membuktikan hipotesis penelitian.

Menurut Arikunto ( 2010 : 226 ), “ Tes adalah kemampuan dasar dan pencapaian atau prestasi atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi ( IQ ), tes minat, tes bakat khusus, dan

sebagainya”. Sebagai faktor penting terhadap tercapainya keberhasilan penelitian ini, maka dalam penelitian ini menggunakan tes unjuk kerja yaitu tes menulis puisi oleh siswa sebagai instrumen dalam penelitian ini. Ada pun cara yang digunakan dalam penilaian tes unjuk kerja tersebut dapat dlihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2. Kisi-kisi Postes Kemampuan Menulis Puisi No. Aspek yang dinilai Deskripsi Penilaian Skor Skor Maksimal 1.

Keselarasan Unsur Fisik Puisi. a.Diksi (Pilihan kata) b.Imajinasi c.Bahasa Figuratif (Gaya bahasa) d.Kata Konkret e.Rima dan Irama f.Tata Wajah

a.

1.Keselarasan unsur fisik puisi memuat keenam unsur fisik puisi.

2.Keselarasan unsur fisik puisi

memuat kelima unsur fisik puisi. 3.Keselarasan unsur fisik puisi

memuat keempat unsur fisik puisi.

4.Keselarasan unsur fisik puisi

memuat ketiga unsur fisik puisi. 5. Keselarasan unsur fisik puisi

memuat kedua unsur fisik puisi. 6. Keselarasan unsur fisik puisi

memuat satu unsur fisik puisi.

60 50 40 30 20 10

60

2.

Keselarasan unsur batin puisi. a. Tema b. Amanat c. Perasaan d.Nada dan suasana

1. Keslarasan unsur batin puisi memuat keempat unsur batin puisi. 2. Keselarasan unsur batin puisi memuat ketiga unsur batin puisi. 3. Keselarasan unsur batin puisi memuat dua unsur batin puisi. 4. Keselarasan unsur batin puisi memuat satu unsur btain puisi.

40 30 25 10

40

Total Skor 100

Tabel 3. Standar Skor Skor 85 - 100 Sangat Baik A

Skor 70 – 84 Baik B Skor 55 – 69 Cukup C Skor 0 – 54 Kurang D

Nilai =

x 100

Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini data yang

diolah data kemampuan menulis puisi pada kelas X MIA SMA Swasta Setia Budi Abadi Perbaungan. Data yang telah dikumpul selanjutnya akan dianalisis. Langkah-langkah analisis tersebut dapat dilakukan dengan: 1. Mentabulasi skor kelas eksperimen

(X), 2. Mentabulasi skor kelas kontrol (Y), 3. Menentukan skor tertinggi dan skor

terendah dari hasil post test kelas eksperimen (X),

4. Menentukan skor tertinggi dan skor terendah dari hasil post test kelas kontrol (Y),

5. Mencari mean kelas eksperimen (X) dan kelas kontrol (Y) dengan rumus:

푀푥 =∑푓푥푁

Keterangan: 푀푥= Rata-rata ∑푓푥= Jumlah frekuensi 푁 = Jumlah sampel

(Sudjono, 2014:85) 6. Mencari standar deviasi kelas

eksperimen (X) dan kelas kontrol (Y) dengan rumus :

Deliani Pengaruh Model Pembelajaran Student Teams Achievement Division Menggunakan

Media Audio Visual terhadap Kemampuan Menulis Puisi Siswa Kelas X SMA Setia Budi Abadi

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 15

푆퐷 =∑푓푥푁

Keterangan: 푆퐷 = Standar deviasi. f푥 = Jumlah dari hasil perkalian antara frekuensi masing- masing interval dengan kuadrat jumlah frekuensi x . N = Jumlah sampel. (sudjono 2014:159) 7. Mencari standar error mean kelas

eksperimen (X) dan kelas kontrol (Y) dengan rumus :

SEm = Keterangan: SEm : Besarnya kesesatan Mean Sampel SD : Deviasi standar dari variabel yang diteliti N : Number of case (banyaknya subjek yang diteliti) 1 : Bilangan konstan

(Sudijono, 2014:282) 8. Mencari standar error perbedaan mean

kelas eksperimen (X) dan kelas kontrol (Y) dengan rumus:

SEmx-my = 푆퐸푚푥 + 푆퐸푚푦

Keterangan: Semx-my = Standar error perbedaan kedua kelas SEmx = Standar error kelas eksperimen SEmy = Standar error kontrol

(Sudijono, 2014:283) 9. Pengujian persyaratan analisis. a. Uji normalitas variabel penelitian

menggunakan uji lilifoers. Uji normalitas dilakukan untuk

mengetahui apakah populasi berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji lilifoers dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Data X1,X2, X3,......Xn dijadikan bilangan

baku Z1,Z2, Z3,......Zn dengan menggunakan rumus:

Zi = ~

Keterangan : x = Rata-rata s = Standar deviasi 2) Untuk tiap bilangan baku dihitung

dengan menggunakan daftar distribusi normal baku kemudian dihitung peluang demgan rumus :

F (Zi) = P (Z≤Zi) 3) Selanjutnya menghitung proposi Z1,Z2,

Z3,......Zn yang diambil dari Zi S(Zi) = , , ,......

4) Menghitung selisih F (Zi) – S(Zi) kemudian menetapkan harga mutlaknya.

5) Ambil harga yang paling mutlak selisih tersebut yang disebut Lo keriterianya adalah dengan taraf nyata =0,05 hipotesis nol ditolak bahwa populasi berdistribusi normal jika Lo yang diperoleh dari data pengamatan, lebih besar dari harga 퐿 .

(Sudjana, 2005:99) B. Uji Homogenitas

Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah data mempunyai varians yang homogen atau tidak . Pengujian homogenitas dengan uji bartlet dengan rumus sebagai berikut:

푋 = 퐼푛10(퐵 −(푛 1)S ) Keterangan: B = koefesien bartlet S = varians dari kelompok lebih besar 푛 − 1 = derajat kebebasan tiap kelompok (Sudjana 2005:262) C. Pengujian Hipotesis Menggunakan Uji

“t” Uji hipotesis penelitian dilakukan

dengan menggunakan uji t dengan rumus sebagai berikut:

t =

Keterangan: 푛 = Banyak siswa pada sampel kelas eksperimen ( 푋 ) 푛 = Banyak siswa pada kelas kontrol (푋 ) 푆 = Varian kelas eksperimen ( 푋 ) 푆 = Varian kelas kontrol (푋 ) 푀 = Rata-rata skor (post test) siswa kelas eksperimen ( 푋 ) 푀 = Rata-rata skor (post test) siswa kelas kontrol (푋 )

Setelah mendapatkan nilai 푡 , selanjutnya diberikan iterprestasi dengan nilai 푡 pada tabel nilai “t” (tabel “t”) dengan ketentuan : jika nilai t lebih besar dari pada harga kritik “t” yang tercantum pada tabel, maka hipotesis diterima, sedangkan nilai t lebih kecil dari pada harga kritik “t” maka hipotesis ditolak.

(sudjana, 2005:239) HASIL PENELITIAN 1. Analisis Data Kelas Eksperimen Berdasarkan Data Hasil analisis Belajar Siswa Menulis Puisi Di Kelas Eksperimen (X), nilai kemampuan menulis puisi diperoleh penyebaran nilai 60 sampai 95 dan nilai rata-rata hasil belajar siswa dalam kemampuan menulis puisi dengan Model Pembelajaran STAD menggunakan Media Audio Visual yaitu 2740:35= 78,2. Dengan demikian, hasil kemampuan menulis puisi dengan Model Pembelajaran STAD menggunakan Media Audio Visual pada kategori baik yaitu dengan nilai-nilai rata-rata 78,2. 2. Analisis Data Kelas Kontrol (Y) Berdasarkan hasil analisisi, nilai kemampuan menulis puisi diperoleh penyebaran nilai 55 sampai 85 dan nilai rata-rata hasil belajar siswa dalam kemampuan menulis puisi dengan Model Pembelajaran CIRCyaitu 2560:35= 73,1. Dengan demikian, hasil kemampuan

Deliani Pengaruh Model Pembelajaran Student Teams Achievement Division Menggunakan

Media Audio Visual terhadap Kemampuan Menulis Puisi Siswa Kelas X SMA Setia Budi Abadi

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 16

menulis puisi dengan Model Pembelajaran CIRC pada kategori baik yaitu dengan nilai-nilai rata-rata 73,1. Uji Persyaratan Analisis Data 1. Uji Normalitas Data Kelas

Eksperimen (X) Berdasarkan data hasil analisis, didapat 퐿 = 0,1214 dengan menggunakan α = 0,05 dan N= 35, maka nilai kritis melalui uji Liliefors diperoleh 퐿 = 0,149. Ternyata 퐿 ˂퐿 (0,1214˂0,149) ini membuktikan bahwa data kelas eksperimen berdistribusi normal. 2). Normalitas Data Kelas Kontrol (Y) Berdasarkan data hasil analisis, didapat 퐿 = 0,1036 dengan menggunakan α = 0,05 dan N= 35, maka nilai kritis melalui uji Liliefors diperoleh 퐿 = 0,149. Ternyata 퐿 ˂퐿 (0,1036˂0,149) ini membuktikan bahwa data kelas kontrol berdistribusi normal. Uji Homogenitas

Dari hasil perhitungan, diperoleh 푋 ℎ푖푡푢푛푔(chi kuadrat) sebesar 0,7828 harga 푋 푡푎푏푒푙 pada taraf kepercayaan 5% dengan dk 34 adalah 1,8396. Ternyata 푋 ℎ푖푡푢푛푔˂푋 tabel yaitu 0,7828˂1,8396. Hal ini membuktikan bahwa varians populasi adalah homogen. Pengujian Hipotesis Dari hasil perhitungan, diperoleh 푇 = 3,080 dan 푇 = 1,992. Kemudian dibandingkan antara 푇 dengan 푇 diperoleh 푇 ˃ 푇 (3,080˃1,992) sehingga dapat disimpulkan bahwa 퐻 diterima. Model Pembelajaran STAD menggunakan Media Audio Visual dalam kemampuan menulis puisi lebih signifikan berpengaruh dibandingkan dengan Model Pembelajaran CIRC. PEMBAHASAN Setelah melakukan prosedur penelitian yang panjang. Data diperolehkemudian dianalisis, setelah itu dilakukan hipotesis, akhirnya peneliti mendapatkan hasil. Pengaruh Model Pembelajaran STAD menggunakan Media Audio Visual dalam meningkatkan kemampuan menulis puisi ternyata berpengaruh positif dan lebih baik dari pada hasil belajar dengan menggunakan Model Pembelajaran CIRC. Hal ini dapat dibuktikan pada hasil penelitian yaitu nilai rata-rata kemampuan menulis puisi

dengan Model Pembelajaran STAD menggunakan Media Audio Visual lebih tinggi yakni 78,2 dari pada nilai rata-rata kemampuan menulis puisi dengan menggunakan Model Pembelajaran CIRC yakni sebesar 73,1. Berdasarkan pengujian normalitas dan homogenitas, maka diketahui bahwa pada tabel uji normalitas dan tabel uji homogenitas kedua kelas yakni kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal. Berdasarkan analisis data dengan menggunakan uji t diperoleh 푇 = 3,080 pada taraf signifikan a = 5% dari daftar distribusi t dk 68, maka diperoleh 푇 = 1,992. Jika harga 푇 dibandingkan dengan harga 푇 ternyata 푇 ˃푇 (3,080˃1,992), dapat dinyatakan hipotesis nihil (퐻 ) ditolak dan hipotesis alternatif (퐻 ) diterima, maka Model Pembelajaran STAD menggunakan Media Audio Visual mempunyai pengaruh dalam meningkatkan kemampuan siswa terhadap menulis puisi. Setelah didapat hasil dari penelitian ini, akan dibahas mengenai mengapa Model Pembelaran STAD Menggunakan Media Audio Visual lebih baik dibandingkan dengan menggunakan Model Pembelajaran CIRC.Hal ini dapat dijelaskan bahwa Model Pembelaran STAD Menggunakan Media Audio Visual adalah strategi model pembelajaran STAD yang mengklompokkan siswa yang heterogen dengan cara berkelompok dan individu, membuat siswa lebih kreatif dan semangat dalam menulis puisi dan di dukung dengan media audio visual yang berupa media yang dapat dilihat dari indra penglihatan dan pendengaran (media pandang dengar) sehingga siswa dapat lebih banyak menemukan ide-ide kreatifnya dalam menulis puisi. Jadi, hasil belajar dengan menggunakan Model Pembelajaran STAD menggunakan Media Audio Visual lebih baik dari pada hasil belajar dengan menggunkan Model Pembelajaran CIRC. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: 1. Hasil nilai rata-rata kemampuan

menulis puisi siswa kelas X MIA 1 SMA Setia Budi Abadi Perbaungan dengan Model Pembelajaran STAD menggunakan Media Audio Visual

Deliani Pengaruh Model Pembelajaran Student Teams Achievement Division Menggunakan

Media Audio Visual terhadap Kemampuan Menulis Puisi Siswa Kelas X SMA Setia Budi Abadi

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 17

78,2. Sedangkan pemerolehan hasil nilai rata-rata kemampuan menulis puisi siswa kelas X MIA 2 SMA Setia Budi Abadi Perbaungan dengan menggunakan Model Pembelajaran CIRC adalah 73,1.

2. Berdasarkan hasil uji hipotesis diperoleh bahwa 푇 =3,080 dan 푇 =1,992. Kemudian dibandingkan antara 푇 푇 diperoleh 푇 =3,080 푇 =1,992 . Dengan demikian dapat disimpulkan 퐻 (hipotesis nol) ditolak 퐻 (hipotesis alternatif) diterima. Sehingga model pembelajaran STAD menggunakan media audio visual sangat berpengaruh dalam menulis puisi siswa kelas X SMA Swasta Setia Budi Abadi.

3. Dengan demikian model pembelajaran STAD menggunakan media audio visual dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis puisi. Artinya dengan model pembelajaran STAD menggunakan media audio visual ini dapat mengembangkan imajinasi, ide-ide dan khayalan siswa dalam menulis sebuah puisi.

SARAN Berdasarkan simpulan yang telah

dilakukan di atas maka peneliti menyarankan: 1. Kemampuan siswa dalam menulis puisi

perlu ditingkatkan lagi. Untuk meningkatkan diperlukan suatu model pembelajaran dan media pembelajaran yang lebih menarik. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan adalah STAD menggunakan media audio visual,terlihat bahwa Model Pembelajaran STAD menggunakan Media Audio Visual mampu menciptakan semangat dan motivasi siswa dalam menulis puisi.

2. Kepada pihak sekolah dapat menerapkan model pembelajaran STAD dan media audio visual untuk strategi pembelajaran dengan materi yang berbeda. Perlu dilakukan penelitian lanjut oleh peneliti lain seperti mengapresiasi puisi, membaca puisi guna memberi masukan yang konstruktif bagi dunia pendidikan khususnya tentang materi puisi. Akhirnya dengan rendah hati penulis mengucapkan terima kasih dan semoga saran-saran tersebut mendapat

perhatian, baik para guru dan pengajar bahasa Indonesia khususnya. Kemudian dapat dimanfaatkan bagi dunia pendidikan dan masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA Sudjana. 2005. MetodeStatistika.

Bandung: Tarsito. Sudijono. 2014. Pengantar Statistik

Pendidikan.Jakarta: PT Grafindo Persada.

Ratnasari, FD. 2015. Peningkatan

Keterampilan Menulis Puisi Menggunakan Metode Think-Talk-Write Melalui Media Audio Visual Keindahan Alam Pada Siswa Kelas VIIC. (Online),http://lib.unnes.ac.id/21987/1/2101408078-s.pdf,diakses 13 November 2015)

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 18

PENGARUH MODEL CIRCUIT LEARNING TERHADAP HASIL BELAJAR MENULIS TEKS EKSPLANASI KELAS XI MAS PROYEK UNIVA

Rita

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UISU Medan [email protected]

Abstrak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran circuit learning terhadap hasil belajar menulis teks eksplanasi kelas X1 MAS Proyek Univa Medan . Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas X1 yang berjumlah 129 orang. Sampel penelitian berjumlah 66 orang. Metode penelitian menggunakan metode eksperimen, penelitian ini melibatkan kelas eksperimen X1 MIA-2 dan kelas kontrol X1 MIA-1. Pada kelas eksperimen diberikan perlakuan pengajaran menulis teks eksplanasi dengan menggunakan model pembelajaran circuit learning sedangkan pada kelas kontrol diberi perlakuan pengajaran menulis teks eksplanasi dengan menggunakan model pembelajaran concept sentence. Hasil penelitian diperoleh bahwa hasil belajar siswa dalam menulis teks eksplanasi dengan menggunakan model circuit learning nilai rata- rata 80,15. Hasil belajar siswa dalam menulis teks eksplanasi yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran concept sentence nilai rata-rata 63,33. Hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model circuit learninglebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran concept sentence. Hal ini dibuktikan dari hasil pengujian hipotesis untuk menentukan apakah hipotesis ditolak atau diterima, dimana pengujian taraf 훼 = 0,05 diperoleh thitung> ttabel yaitu 23.79 >1,998, dengan demikian, maka Ho di tolak dan Ha di terima. Hal ini berarti bahwa model pembelajaran circuit learningberpengaruh signifikan terhadap hasil belajar menulis teks eksplanasi yang diajarkan di MAS Proyek Univa Medan .

Kata Kunci: Model Pembelajaran circuit learning, teks eksplanasi, hasil belajar

Abstract. This research was conducted to find out teh influence of teh learning model called circuit learning on the results of learning to write explanatory texts, class X1, MAS, Univa Project, Medan. The populations in this study were the students of class X1, amounting to 129 poeple. The study sample used an entire populations of 66 people. The research method applied the experimental method and this study involved experimental class X1, MIA-2 and control class X1, MIA-1. The experimental class was given the teaching treatment to write explanatory texts by using the learning model called circuit learning, whereas the control class was given the teaching treatment to write explanatory texts by using the learning model called concept sentence. The result of the tudy showed that the students’s learning outcomes in writing explanatory texts using the circuit learning model had an average value of 80.15. The students’s learning outcomes in writing explanatory texts taught by using circuit learning model called concept sentence showed an average value of 63.33. The learning outcomes of the students taught by using circuit learning model were higher compared to the learning outcomes of the students taught by using he learning model called concept sentence. This is proven from the results of testing the hypothesis to determine whether the hypotesis was rejected or accepted, where from the testing of level 훼 = 0,05, it was found that the tcount> ttable yaitu 23.79 >1,998. This means that the learning model called circuit learning has a significant effect on the result of learning to write explanatory texts taught in MAS, Univa Project, Medan. Key-words : Learning Model Circuit Learning, Explanatory texts, Learning outcomes

PENDAHULUAN Keterampilan menulis merupakan

salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa, yakni keterampilan menyimak,

keterampilan berbicara, dan keterampilan membaca. Keempat aspek tersebut saling berhubungan dan memiliki peran yang sangat penting bagi siswa guna menguasai

Rita Pengaruh Model Circuit Learning terhadap Hasil Belajar Menulis Teks Eksplanasi Kelas XI MAS Proyek Univa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 19

keterampilan berbahasa Indonesia. Selain itu kegiatan menulis membutuhkan latihan karena keterampilan menulis tidak datang secara otomatis, tetapi harus melalui latihan dan praktik yang teratur.

Keterampilan menulis yang diajarkan di Sekolah Menegah Atas Kejuruan salah satunya adalah teks eksplanasi.Teks eksplanasi adalah sebuah teks yang memiliki struktur yang membangun teks tersebut serta ciri kebahasaan yang membedakan teks eksplanasi dengan teks lainnya. Dalam kurikulum 2013 dinyatakan bahwa teks eksplanasi bertujuan menjelaskan proses pembentukan atau kegiatan yang terkait dengan fenomena-fenomena alam, sosial, dan budaya.Hanya saja dalam kurikulum 2013 teks eksplanasi baru dikenalkan mulai jenjang SMA/ MA/SMK.

Menelusuri kajian terhadap penelitian masih banyak kesalahan siswa dalam menulis teks eksplanasi misalnya kurang nya pemahaman siswa terhadap struktur dan kaidah kebahasaan teks eksplanasi. Dalam hal ini peneliti melakukan survei lapangan pada kelas XI MIA MAS Proyek Univa Medan.Pada kegiatan pembelajaran, hanya siswa tertentu saja yang ikut berpartisipasi aktif seperti bertanya, dan ada juga siswa yang hanya diam. Pada pembelajaran menulis teks eksplanasi, keterampilan menulis siswa rendah, hal tersebut ditunjukkan dari perilaku mereka saat guru memberi tugas menulis teks eksplanasi. Banyak siswa yang mengeluh dan menunjukkan sikap ketidaksukaannya terhadap tugas yang diberikan oleh gurunya. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya nilai siswa dalam KD menulis teks eksplanasi. Persentase nilai rata-rata keterampilan menulis masih di bawah KKM (75) terbilang masih tinggi. Siswa yang memperoleh nilai di bawah 75 atau tidak tuntas dengan persentase 84,84 %. Nilai rata-rata menulis teks eksplanasi siswa secara keseluruhan adalah 51,06 dengan ketuntasan klasikal 15.15% .

Ada beberapa hal yang menyebabkan rendahnya keterampilan menulis teks eksplanasi yaitu antara lain motivasi belajar siswa yang masih rendah di kelas dan siswa masih cenderung pasif dalam pembelajaran di kelas. Kurang nya pemahaman siswa mengenai, stuktur, dan ciri kebahasaan dari teks

eksplanasi.Selain itu dalam kegiatan pembelajaran, guru hanya menggunakan metode yang konvensional seperti ceramah dan tidak bervariasi sehingga pembelajaran terkesan monoton dan siswa menjadi bosan. Terkadang guru tidak memiliki ide-ide kreatif untuk menyusun dan menggunakan model yang mendukung pembelajaran di kelas.

Kreativitas seorang guru sangat diperlukan untuk memodifikasikan kegiatan pembelajaran yang menarik dan memotivasi siswa untuk aktif dan mengembangkan wawasannya dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu kegiatan siswa aktif dalam pembelajaran adalah menggunakan model-model pembelajaran yang mendorong siswa untuk berpikir kreatif, mampu mengkonsepkan ide-ide, dan berdiskusi dengan teman-temannya secara aktif juga dapat mendukung adanya peningkatan keterampilan menulis teks eksplanasi. Salah satu model pembelajaran diduga cocok untuk meningkatkan keterampilan menulis teks eksplanasi yaitu model circuit learning.

Circuit learning adalah model pembelajaran yang memaksimalkan pemberdayaan pemikiran dan perasaan. Model ini dimulai dari tahap pertama, yaitu pemecahan masalah secara bersama (tanya jawab tentang topik yang dipelajari), tahap kedua pemecahan masalah secara berkelompok (membuat peta konsep dari sebuah gambar), dan tahap ketiga pemecahan masalah secara individu (mengembangkan peta konsep hasil pemikiran kelompok menjadi sebuah teks eksplanasi menggunakan bahasanya sendiri yang mudah dimengerti). Menurut Huda (2013:311), Model Circuit learning dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam merangkai kata dengan bahasa sendiri dan melatih siswa untuk fokus pada gambar yang disajikan guru.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka rumusan masalah adalah usaha untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan penelitian apa saja yang perlu di jawab atau dicarikkan pemecahan masalahnya, dengan kata lain rumusan masalah pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan di teliti. Maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. (a) Bagaimanakah penggunaan model Circuit

Rita Pengaruh Model Circuit Learning terhadap Hasil Belajar Menulis Teks Eksplanasi Kelas XI MAS Proyek Univa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 20

learningterhadap kemampuan belajar menulis teks eksplanasisiswa kelas X1 MAS Proyek Univa Medan? (b) Bagaimanakah penggunaan modelConcept sentence terhadap kemampuan belajar menulis teks eksplanasi siswa kelas X1 MAS Proyek Univa Medan? Dan (c) Apakah ada pengaruh hasil belajar menulisteks eksplanasi menggunakan model Circuit learningterhadap siswa kelas X1 MAS Proyek Univa Medan. METODE PENELITIAN

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Arikunto (2014:3) menyatakan bahwa, “ Penelitian eksperimen adalah penelitian yang bertujuan untuk mencari hubungan sebab akibat antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan peneliti dengan mengeliminasi atau mengurangi faktor-faktor lain yang dianggap menghambat”. Pada penelitian ini melibatkan dua kelas yaitu kelas eksperimen A (MIA-2) diberikan perlakuan pengajaran menulis teks eksplanasi dengan menggunakan model pembelajaran Circuit Learning, sedangkan kelas kontrol B ( MIA-1) diberikan perlakukan pengajaran menulis teks eksplanasi menggunakan model pembelajaran concept sentence, rincian desain penelitian dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini.

Tabel 1. Desain Penelitian Kelompok Perlakuan Tes

Akhir Eksperimen ( kelas Mia 2 )

X1 T1

Kontrol (Kelas Mia 1)

X2 T2

Keterangan : X1 : perlakuan terhadap kelompok eksperimen dengan model Circuit

Learning X2 : perlakuan terhadap kelompok kontrol dengan model concept sentence T1 : tes akhir kemampuan menulis teks eksplanasi kelompok eksperimen T2 :tes akhir (post tes) yang diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol Instrumen Penelitian Menurut Arikunto (2014 : 192) “ Instrumen adalah alat pada waktu penelitian menggunakan suatu metode”. Intrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes. Tes digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan siswa terhadap hasil belajar menulis teks eksplanasi siswa. Dalam kegiatan penelitian, teknik pengumpulan data

merupakan suatu langkah atau tahapan yang terencana untuk melaksanakan pengumpulan data. Dengan demikian, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup teknik yang bersifat tes essay

Adapun yang menjadi kisi-kisi penilaian terlihat pada tabel 5 dibawah ini. Kriteria penilaian pada teks eksplanasi ini hanya terfokus pada stuktur dan kaidah kebahasaan, yang terdiri dari 5 aspek diantaranya 1),identifikasi fenomena yaitu menjelaskan gambaran awal tentang suat peristiwa, 2). Proses kejadian yaitu memaparkan bagaimana atau mengapa suatu peristiwa terjadi, 3). Ulasan yaitu sudah menjelaskan pengulangan informasi penting atau kalimat penutup yang menandai berakhirnya tulisan, 4). Keterangan waktu yaitu kata yang menjelaskan periode kejadian terdapat di dalam teks, 5). Keterangan cara dalam teks eksplanasi yaitu kata yang menjelaskan bagaimana kejadian dalam teks berlangsung. Untuk labih jelasnya perhatikan tabel di bawah ini.

Tabel 2. Kisi –Kisi Penilaian Teks Eksplanasi

No

Aspek Deskripsi Penilaian

Skor

. Identifikasi fenomena

a. Identifikasi fenomena sudah menjelaskan petunjuk awal tentang suatu peristiwa

b. Identifikasi fenomena kurang menjelaskan petunjuk awal tentang suatu peristiwa

c. Identifikasi fenomena belum menjelaskan petunjuk awal suatu peristiwa

0

15

5

Proses kejadian

a. Proses kejadian sudah memaparkan bagaimana atau mengapa suatu peristiwa terjadi

b. Proses kejadian kurang

20

15

Rita Pengaruh Model Circuit Learning terhadap Hasil Belajar Menulis Teks Eksplanasi Kelas XI MAS Proyek Univa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 21

menjelaskan bagaimana atau mengapa suatu peristiwa terjadi

c. Proses kejadian belum menjelaskan bagaimana atau mengapa suatu peristiwa terjadi

5

3

Ulasan ( review)

a. Ulasan sudah menjelaskan pengulangan informasi penting atau kalimat penutup yang menandai berakhirnya tulisan

b. Ulasan kurang menjelaskan pengulangan informasi penting atau kalimat penutup yang menandai berakhirnya tulisan

c. Ulasan belum menjelaskan pengulangan informasi penting atau kalimat penutup yang menandai berakhirnya tulisan

20

15

5

Petunjuk keterangan waktu

a. Petunjuk keterangan waktu dalam teks eksplanasi sudah terdapat dalam teks

b. Petunjuk keterangan waktu dalam teks eksplanasi sedikit terdapat dalam teks

c. Petunjuk keterangan waktu dalam teks eksplanasi tidak terdapat dalam teks

20

15

5

Petunjuk a. Petunjuk 20

keterangan cara

keterangan cara dalam teks eksplanasi keterangan yang menjelaskan bagaimana kejadian banyak terdapat dalam teks

b. Petunjuk keterangan cara dalam teks eksplanasi keterangan yang menjelaskan bagaimana kejadian sedikit terdapat dalam teks

c. Petunjuk keterangan cara dalam teks eksplanasi keterangan yang menjelaskan bagaimana kejadian tidak terdapat dalam teks

15

5

Sumber : ( Kosasih183 - 185)

Berdasarkan tabel 5 di atas, dapat diketahui bahwa tes penilaian menulis teks eksplanasi yang terfokus pada stukturdan kaidah kebahasaan terdiri dari 5aspek yaitu: 1).Identifikasi fenomena skor maksimal 20. 2). Proses kejadian yaitu aspek yang menjelaskan tentang sebab-akibat suatu fenomena bisa terjadi skor maksimal pada aspek ini 20.3).Ulasan menjelaskan simpulan dalam teks skor maksimal pada aspek ini 20.4). Keterangan waktu yaitu skor maksimal pada apsek ini 20. 5). Keterangan cara pada aspek ini skor maksimal yaitu 20. Kategori penilaian dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini.

Tabel 3. Kategori Penilaian Interval

Persentase Tingkat

Penguasaan

Kategori Nilai riteria

Nilai

91-100 A Sangat baik

81-90 B Baik

71-80 C Lebih dari

Rita Pengaruh Model Circuit Learning terhadap Hasil Belajar Menulis Teks Eksplanasi Kelas XI MAS Proyek Univa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 22

Cukup

61-70 D Cukup

51-60 E Kurang 50 F Sangat

Kurang Nilai =

× 100

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahuiada lima jenis penilaian menulis teks eksplanasi siswa. Rentang nilai dari 91-100menandakan siswa berhasil menulis teks eksplanasi. Rentang nilai 81-90 menandakan siswa sudah baik dalam menulis teks eksplanasi. Rentang nilai 71-80 menandakan siswa lebih dari cukup dalam menulis teks eksplanasi, rentang nilai 61-70 menandakan siswa cukup , dan rentang nilai 51-60 menandakan siswa kurang dalam menulis teks eksplanasi, rentang nilai 50 menandakan siswa gagal dalam menulis teks eksplanasi. Teknik Analisis Data a. Uji Normalitas Uji ini bertujuan untuk melihat apakah sampel berdistribusi normal atau tidak. Uji yang digunakan dikenal dengan uji liliefors, Langkah-langkah yang dilakukan adalah :

1. Data X1, X2, X3, ………Xn dijadikan bilangan baku Z1, Z2, Z3,………Zn dengan menggunakan rumus :

Z1 =Ẍ

Keterangan : Ẍ1 = Rata-rata X1 = Data ke –i S = Simpangan baku

Untuk tiap bilangan baku ini menggunakan daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang F( Zi ) = P (Z ≤ Zi ). Jika proposal ini dinyatakan oleh ( Z1 ) maka.

S (Z1) = , , ………..

1. Menghitung selisih F (Z1) – S (Zi) kemudian menentukan harga mutlaknya.

2. Harga mutlak tersebut diambil yang terbesar disebut (L0), kemudian membandingkan L0 dengan kritis L yang diambil dari daftar nilai kritis untuk di uji liliefors.

L0< Ltabel maka sampel berdistribusi manual L0 >Ltabel maka sampel tidak berdistribusi normal b. Uji Homogenitas

Uji ini untuk melakukan pengujian mengenai kesamaan dua varian. Uji yang digunakan adalah sebagai berikut.

F =

(Arikunto:2014) Dimana : 푠 = Varian terbesar

푆 =Varian terkecil Nilai F dapat dilihat dari table

kriteria pengujian terima hipotesis data mempunyai varian homogeny jika F ( 1 – 훼)(n-1)(n-2)< F<F1/2훼 (n1, n2) untuk taraf nyata. c. Uji Hipotesis

Untuk menguji hipotesis digunakan :

Ho : 휇 ≤ 휇 Ha : 휇 > 휇 Dengan :

푠 =(푛 − 1)푠 + (푛 − 1)푠

푛 + 푛 − 2

Keterangan : t = uji beda 푋 =rata-rata hasil belajar kelas eksperimen 푋 = Rata-rata hasil belajar kelas kontrol 푛 =jumlah siswa kelas eksperimen 푛 = jumlah siswa kelas kontrol 푆 = varians kelas eksperimen 푆 = varians kelas kontrol 푆 = varians kedua kelas sampel Jika data berasal dari populasi yang tidak homogen (휎 ≠ 휎 푑푎푛휎푡푖푑푎푘푑푖푘푒푡푎ℎ푢푖), maka di gunakan rumus uji t yaitu:

푡 = 푋 − 푋

1푛 + 1

Keterangan : 푡 = Luas daerah yang dicapai 푛 = Banyak siswa pada sampel kelas

eksperimen A (kelas X1-MIA 2) 푛 = Banyak siswa pada sampel kelas

kontrol B (kelas XI-MIA 1) 푆 = Simpangan baku kelas eksperimen A

(kelas XI-MIA 2) 푆 = Simpangan baku kelas kontrol B

(kelasX1-MIA 1) 푆 = Simpangan baku gabungan dari

푆 dan 푆 푋 = Rata-rata skor (postest) siswa kelas

eksperimen A (kelas X1-MIA 2)

푋 = Rata-rata skor (postest) siswa kelas kontrol B (kelas X1-MIA 1)

Kriteria pengujian adalah : terima 퐻 jika 푡 < 푡 dan tolak 퐻 jika 푡 ≥ 푡 dengan dk = (푛 + 푛 − 2) dengan peluang (1 − 푎) dan taraf nyata 훼 = 0,05

Rita Pengaruh Model Circuit Learning terhadap Hasil Belajar Menulis Teks Eksplanasi Kelas XI MAS Proyek Univa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 23

HASIL PENELITIAN 1. Deskripsi kelas eksperimen

Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui siswa yang memiliki kemampuan sangat baik dalam menulis teks eksplanasi (12,12%) yaitu sebanyak 4 siswa dalam skala skor 91-100, siswa yang memiliki kemampuan baik (33,33%) yaitu sebanyak 11 siswa dalam skala skor 81-90, siswa yang memiliki kemampuan lebih dari cukup (33,33%) yaitu sebanyak 11 siswa dalam skala skor 71-80, siswa yang memiliki kemampuan cukup (21,21%) yaitu sebanyak 7 siswa dalam skala skor 61-70, siswa yang memiliki kemampuan kurang (0%) yaitu sebanyak 0 siswa dalam skala skor 51-60, sedangkan siswa yang memiliki kemampuan sangat kurang dalam menulis teks eksplanasi (0%) yaitu sebanyak 0 siswa dalam skala skor <50. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan dalam diagram batang sebagai berikut.

Gambar.1Persentase Nilai Akhir Kelas

Eksperimen 2. Deskripsi kelas Kontrol

Berdasarkan hasil analisis data, dapat diketahui siswa memiliki kemampuan yang lebih dari cukup (18,18%) yaitu sebanyak 6 siswa dalam skala skor 71- 80, siswa memiliki kemampuan sangat baik dan baik dalam menulis teks eksplanasi masing-masing (0%) dalam skala skor 91-100 dan 81-90, siswa yang memiliki kemampuan cukup dalam menulis teks eksplanasi (33,33%) yaitu sebanyak 11 siswa dalam skala skor 61-70, siswa yang memiliki kemampuan kurang dalam menulis teks eksplanasi (39,39%) yaitu sebanyak 13 siswa dalam skala skor 51-60, sedangkan siswa yang memiliki kemampuan sangat kurang dalam menulis menulis teks eksplanasi (9,09%) yaitu sebanyak 3 siswa dalam skala skor <50.Berdasarkan tabel 14, dapat digambarkan dalam diagram batang sebagai berikut.

Gambar 2. Persentase Nilai Akhir

Kelas Kontrol 3. Uji Persyaratan Analisis

Persyaratan dasar bagi berlakunya analisis komprasi, data yang diperoleh harus memenuhi syarat uji normalitas dan homogenitas. Persyaratan analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah sampel yang diteliti berasal dari populasi yang berdistribusi normal, dan apakah variansi dari kelompok- kelompok yang membentuk sampel homogen. Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas, maka dapat dilakukan uji hipotesis. a. Uji Normalitas

1) Uji Normalitas Kelas Eksperimen Berdasarkan hasil analisis,

diperoleh harga Lhitung = -0,122dengan taraf훼 = 0,05, n = 33, maka didapat Ltabel yaitu = ,

√ = 0,154(pada tabel L untuk uji

Lilliefors), karena Lhitung<Ltabel yaitu -0,122< 0,154 maka kesimpulannya adalah data hasil siswa kelas eksperimen berdistribusi normal.

2) Uji Normalitas Kelas Kontrol Berdasarkan hasil analisis,

diperoleh harga L hitung = -0,140dengan taraf훼 = 0,05, n = 33, maka didapat Ltabel yaitu = ,

√ = 0,154 (pada tabel L untuk

uji Lilliefors), karena Lhitung< Ltabel yaitu -0,140< 0,154 maka kesimpulannya adalah data hasil siswa kelas kontrol berdistribusi normal. b. Uji Homogenitas

Berdasarkan hasil analisis, Harga Ftabel diperoleh dari daftar distribusi dengan 훼 = 0,05 dkpembilang (V1)= (푛 − 1) / (33-1)=32, dkpenyebut 30 dan 40, maka diperoleh Fhitung dengan Ftabel pada perhitungan di atas yaitu (1,04<1,69), maka dapat disimpulkan bahwa varians berasal dari sampel yang homogen. c. Uji Hipotesis

Berdasarkan hasil analisis, dapat diketahui pengujian hipotesis untuk hasil belajar dilakukan pada data post-test dan diuji melalui perbedaan dua rata-rata yaitu uji t. Hasil pengujian taraf 훼 = 0,05 diperoleh thitung> ttabel yaitu 23.79 >1,998,

02468

1012

0-50

51-6

061

-70

71-8

081

-90

91-1

00

0

5

10

15

0-50

51-6

0

61-7

0

71-8

0

81-9

0

91-1

00

Rita Pengaruh Model Circuit Learning terhadap Hasil Belajar Menulis Teks Eksplanasi Kelas XI MAS Proyek Univa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 24

maka Ho di tolak dan Ha di terima.Hal ini berarti bahwa model pembelajaran circuit learningberpengaruh signifikan terhadap kemampuan menulis teks eksplanasi yangdiajarkan di MAS Proyek Univa Medan. PEMBAHASAN

Data yang diperlukan dalam penelitian ini telah diperoleh melalui tes hasil belajar menulis teks eksplanasi pada kedua kelas pembelajaran. Penelitian yang dilakukan di MAS Proyek Univa Medan Tahun Pembelajaran 2018/2019 ini melibatkan dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Setelah ditentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol kemudian kedua kelas diberi perlakuan yang berbeda. Kelas eksperimen diberi perlakuan dengan menggunakan Model Pembelajaran circuit learningdan kelas kontrol diberi perlakuan dengan menggunakan model Pembelajaranconcept sentence.

Dari penelitian yang dilakukan dengan menerapkan Model Pembelajaran circuit learning. Model Pembelajaran circuit learning yaitu model pembelajaran yang harus melalui proses mendengar dan berpikir dengan konsentrasi pikiran untuk menyimak materi pelajaran serta melakukan pengulangan materi pelajaran melalui pengerjaan soal atau kuis dengan tujuan memperdalam dan memperluas pemahaman siswa. Sedangkan model pembelajaran concept sentencemerupakan strategi pembelajaran yang dilakukan dengan memberikan kartu - kartu yang berisi beberapa kata kunci kepada siswa untuk membantu proses pembelajaran.

Setelah diberi perlakuan yang berbeda pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, kemudian kedua kelas diberikan post-test atau tes akhir untuk mengetahui kemampuan akhir siswa dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari pengujian yang dilakukan melalui post-test yang diberikan bahwa kedua kelas homogen

Adapun hasil post-test kedua kelas adalah: nilai tertinggi kelas eksperimen adalah 95, nilai terendah kelas eksperimen adalah 65. Nilai tertiggi kelas kontrol adalah 80, nilai terendah kelas kontrol adalah 50. Rata-rata nilai post-test kelas eksperimen adalah 71,07 dan rata-rata nilai post-test kelas kontrol adalah 68,22.

Kemudian dilakukan pengujian hipotesis untuk hasil belajar dengan menggunakan uji t. Setelah dilakukan pengujian data hasil belajar ternyata diperoleh hasil pengujian taraf 훼 = 0,05 diperoleh thitung> ttabel yaitu 23.79 >1,998, maka Ho di tolak dan Ha di terima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan Model Pembelajaran circuit learning lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan Model Pembelajaran concept sentence, artinya Model Pembelajaran circuit learning berpengaruh positif terhadap kemampuan menulis teks eksplanasi oleh siswa kelas X1 MAS Proyek Univa Medan dibanding dengan Model Pembelajaran concept sentence. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti menemukan beberapa simpulan yaitu. 1. Hasil belajar siswa dalam menulis teks

eksplanasi yang diajar dengan menggunakan Model Pembelajaran circuit learning memiliki rata-rata 80,15. Mayoritas siswa memiliki kemampuan yang baik dalam menulis teks eksplanasi dari siswa yang memiliki kemampuan baik (36,36%) yaitu dalam skala skor 81-90, dan sebagian siswa (6,06%) memiliki kemampuan sangat baik yaitu dalam skala skor 91-100, dan sebagian siswa (33,33%) memiliki kemampuan lebih dari cukup yaitu dalam skala skor 71-80 dan ada (24,24%) siswa yang memiliki kemampuan cukup yaitu dalam skala skor 61-70

2. Hasil belajar siswa dalam menulis teks eksplanasi yang diajar dengan menggunakan Model Pembelajaran concept sentencememiliki rata-rata 63,33. Mayoritas siswa memiliki kemampuan yang lebih dari cukup(18,18%) yaitu dalam skala skor 71- 80 dan siswa memiliki kemampuancukup dalam menulis teks eksplanasi masing-masing (33,33%) dalam skala skor 61-70 siswa yang memiliki kemampuan kurang yaitu(39,39%) siswa yang memiliki kemampuan sangat kurang yaitu(9,09%) dalam skala skor 51-60.

Rita Pengaruh Model Circuit Learning terhadap Hasil Belajar Menulis Teks Eksplanasi Kelas XI MAS Proyek Univa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 25

3. Secara statistik dengan menggunakan uji t disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan Model Pembelajaran circuit learning lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan Model Pembelajaran concept sentence dalam menulis teks eksplanasi pada siswa kelas X1 MAS Proyek Univa Medan, hal ini dibuktikan dari hasil pengujian hipotesis dimana thitung> ttabel yaitu 23.79 >1,998.

SARAN 1. Berdasarkan kesimpulan di atas maka

saran yang dapat diberikan untuk Guru yaitu dapat menjadikan Model Pembelajarancircuit learning sebagai salah satu alternatif dalam memilih model pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa, khususnya pelajaran menulis teks eksplanasi

2. Diharapkan bagi siswa dapat memahami sebuah tulisan dengan maksimal sehingga mampu membuat sebuah tulisan dengan mengikuti arahan dari guru dalam mengikuti pembelajaran dengan menggunakan Model Pembelajaran circuit learning untuk meningkatkan kemampuan menulis teks eksplanasi.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2014. Prosedur

Penelitian suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta : Rineka Cipta Pemahaman Siswa Dalam Pembelajaran

Biologi. Jurnal Serambi(, Volume III, No.2,): 33-45.

Mulyadi. 2014. Meningkatkan

Keterampilan Menulis Teks Eksplanasi siswa kelas X1

SMA N. 2 Kamang. Jurnal Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia. ( volume

1 nomor 1) : 49-56. Setyosari, Punaji. 2013. Metodologi

Penalitian dan Pengembangan. Jakarta : Kencana

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian

Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 25

LAGU PERMAINAN RAKYAT “LAYANG-LAYANG” SEBAGAI SASTRA LISAN

Megan Asri Humaira

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Djuanda Bogor [email protected]

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalahuntuk mengetahui struktur, fungsi, dan makna yang terkandung dalam lagu permainan rakyat Layang-Layang. Metodeyang digunakan adalah metode deskriptif analisis yang dilakukan dengan kualitatif. Dengan metode ini, tujuan penelitian dapat diperoleh seacra menyeluruh. Pola irama pada lagu permainan rakyat Layang-Layang ini telah disepakati bersama secara konvensional oleh para penuturnya. Irama yang dilantunkan pun menimbulkan efek semangat pada mereka yang menuturkannya. Selain itu, terdapat dua fungsi dalam penuturannya yaitu sebagai alat pendidikan dan alat pelipur lara. Dengan demikian, adanya lagu permainan laying-layang ini dapat mempengaruhi aktivitas para penuturnya. Kata kunci:folklor, irama, isotopi, lagu permainan rakyat, layang-layang Abstract. The purpose of this study is to find out the structure, functions, and meanings contained in the folk songs of Kites. The method used is a descriptive method of analysis carried out qualitatively. With this method, the purpose of the research can be obtained as a whole. The pattern of rhythm in the Layang-Layang folk songs has been agreed upon conventionally by the speakers. The rhythm that was sung also had an effect on those who said it. In addition, there are two functions in the narrative, namely as an educational tool and solace. Thus, the presence of laying songs can affect the activities of the speakers. Keywords: folklore, rhythm, isotope, folk songs, kites

PENDAHULUAN Layang-layang atau layangan

merupakan lembaran bahan tipis

berkerangka yang diterbangkan ke udara

dan terhubungkan dengan tali atau benang

ke daratan atau pengendali. Layang-

layang memanfaatkan kekuatan hembusan

angin sebagai alat pengangkatnya.

Layang-layang merupakan salah

satu permainan anak yang sangat menarik

dimainkan. Anak-anak yang sedang

bermain layang-layang sering kali mereka

lupa akan waktu. Biasanya, anak-anak

akan menyanyikan sebuah lagu agar

layang-layang mereka dapat terbang

tinggi. Lagu yang dinyanyikan anak-anak

tersebut merupakan salah satu lagu

permainan anak yang tersebar di seluruh

nusantara. Namun, di zaman sekarang

sudah jarang sekali ditemukan atau

didengar seorang anak menyanyikan lagu

ini sambil memainkan layang-layang

mereka. Sehingga sangat menarik jika

lagu permainan ini dijadikan objek

penelitian dengan harapan agar

masyarakat tidak melupakan lagu

permainan yang sudah jarang sekali kita

dengar.

Lagu permainan Layang-layang

yang sering dinyanyikan anak-anak ketika

sedang bermain layang-layang ini

merupakan salah satu bentuk folklor

secara lisan. Folklor adalah sebagian

kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar

dan diwariskan secara turun-temurun, di

antara kolektif macam apa saja, secara

tradisional dalam versi yang berbeda, baik

dalam bentuk lisan, maupun contoh yang

disertai dengan gerak isyarat atau alat

pembantu pengingat (mnemonic device)

(Danandjaja, 2007). Dalam lagu ini,

terdapat ciri-ciri folklor lisan, antara lain:

(1) bersifat tradisional; (2) bersifat

anonim; (3) penyebaran dan pewarisannya

Megan Asri Humaira Lagu Permainan Rakyat “Layang-Layang” sebagai Sastra Lisan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 26

biasanya dilakukan secara lisan; (4) ada

dalam versi-versi bahkan varian-varian

yang berbeda; (5) mempunyai kegunaan

dalam kehidupan bersama suatu kolektif;

(6) bersifat pralogis, atau memiliki logika

tersendiri; (7) biasanya mempunyai

bentuk berumus atau berpola; (8) menjadi

milik bersama dari kolektif tertentu; (9)

pada umumnya bersifat polos dan

lugu(Danandjaja, 2007).

METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam

penelitian adalah metode deskriptif

analisis. Untuk mendukung metode

penelitian deskriptif ini, peneliti

melakukan penelitian secara kualitatif.

Metode deskriptif analisis adalah metode

dengan cara menguraikan sekaligus

menganalisis untuk mendapatkan makna

secara maksimal (Ratna, Metodologi

Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu-Ilmu

Sosial Humaniora pada Umumnya, 2010).

Adapun metode kualitatif adalah metode

yang mempertahankan hakikat nilai-

nilai(Ratna, Teori, Metode, dan Teknik

Penelitian Sastra, 2010).Selain itu, metode

ini dilakukan untuk memahami fakta‐fakta

yang ada dibalik kenyataan yang dapat

dilihat atau diindrai secara langsung

karena pemahaman yang diperoleh

melalui penelitian kebudayaan tidak

datang dengan sendirinya ataupun

dinyatakan langsung oleh realitas

budayanya, tetapi direfleksikan,

ditafsirkan atau diinterpretasikan, dan

direkonstruksi oleh peneliti(Humaira,

2015). Untuk itu, metode ini sangat cocok

digunakan untuk meneliti lagu permainan

Layang-Layang. Dengan metode ini, akan

diperoleh deskripsi struktur, konteks

penuturan, fungsi, dan makna lagu

permainan Layang-Layang dengan

menyeluruh.

Instrumen Penelitian

Dalam penelitian yang bersifat

kualitatif ini, peneliti berperan langsung

sebagai instrumen penelitian. Adapun

instrumen tambahan yang digunakan oleh

peneliti yaitu alat perekam (telepon

genggam).

HASIL PENELITIAN 1. Analisis Struktur

Analisis struktur ini berkaitan

dengan teks lagu permainan tradisional

secara lisan. Analisis ini meliputi analisis

formula sintaksis, formula bunyi, irama,

dan tema.Berikut teks lagu permainan

tradisional layang-layang dan analisis-

analisis pada teks lagu permainan

tradisional layang-layang.

Pa deong pa deong

Pangmukakeun lawang angin

Pa deong pa deong

Pangmukakeun lawang angin

a) Formula Sintaksis

Analisis formula sintaksis dari teks

lagu permainan tradisional layang-layang

ini meliputi analisis fungsi, analisis

kategori, dan analisis peran atau

makna.Dalam teks ini terdiri atas empat

larik, namun larik ketiga dan keempat

merupakan reduplikasi dari larik pertama

dan larik kedua. Sehingga dalam proses

menganalisis, peneliti hanya menganalisis

larik pertama dan larik kedua yang

dijadikan menjadi satu kalimat yaitu Pa

deong pa deong pangmukakeun lawang

angin.

Pada larik pertama dan kedua jika

digabungkan menjadi kalimat Pa deong

pa deong pangmukakeun lawang angin

akan membentuk sebuah klausa yang

memiliki struktur fungsi S-P-O. Kata Pa

deong pa deong merupakan sebuah kata

yang memiliki fungsi sebagai subjek

karena bisa menjadi sebuah jawaban dari

kata tanya “siapa”, seperti kata tanya

“saha nu pangmukakeun lawang angin

Megan Asri Humaira Lagu Permainan Rakyat “Layang-Layang” sebagai Sastra Lisan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 27

teh?” (“siapa yang membukakan pintu

angin itu?”).

Kata Pa deong pa deong ini

berkategori sebagai kata benda (nomina)

dan berperan sebagai pelaku. Pelaku disini

merupakan pelaku yang memiliki sebuah

pekerjaan yaitu “membukakan sesuatu

(objek)”.

Kata pangmukakeun merupakan

sebuah kata yang memiliki fungsi sebagai

predikat dan berkategori sebagai kata

kerja (verba) karena subjeknya melakukan

pekerjaan. Kata pangmukakeun ini

berperan sebagai perbuatan, karena

melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan

terhadap objek.

Sementara itu, kata lawang angin

memiliki fungsi sebagai objek dalam

kalimat tersebut karena dapat menjawab

pertanyaan dari kata tanya “apa”, seperti

“naonnu dibuka ku Pa deong teh?” (Apa

yang dibuka oleh Pa deong?). Kata

lawang angin ini berkategorikan sebagai

kata benda (nomina) dan memiliki peran

sebagai penderita yang merupakan objek

dari perbuatan yang dilakukan si

pelaku.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

dalam tabel 1.

Tabel 1. Analisis formula sintaksis pada lagu permainan tradisional Layang-Layang

Analisis Sintaksis Pa deong pa deong pangmukakeun (tolong buka) lawang angin (pintu angin)

F u n g s i S P O

K a t e g o r i N V N

Peran atau makna P e l a k u p e r b u a t a n P e n d e r i t a

Keterangan:

S : subjek N: nomina

P : predikat V: verba

O: objek

Kedua larik tersebut merupakan

sebuah kesatuan kalimat karena memiliki

kesatuan gagasan yang utuh. Bila kedua

larik ini dihubungkan atau digabungkan

maka akan membentuk kalimat tunggal

karena hanya memiliki subjek dan

predikat. Kalimat tunggal adalah kalimat

yang hanya terdiri atas satu klausa.

Kalimat ini juga termasuk kalimat

aktif karena subjeknya melakukan

perbuatan dalam predikat verbalnya.

Selain itu, kalimat ini termasuk kalimat

perintah karena mengandung intonasi dan

makna perintah atau larangan.

Jika dikaji secara keseluruhan

dalam analisis formula sintaksis ini, kedua

larik yang digabungkan menjadi sebuah

kalimat Pa deong pa deong

pangmukakeun lawang angin memiliki

struktur yang utuh yaitu S-P-O. Setiap

kata pada kalimat tersebut memiliki

fungsi, kategori, peran dan makna-nya

masing-masing, selain itu kalimat tersebut

merupakan kalimat tunggal jika dilihat

dari fungsinya. Namun, kalimat tersebut

menjadi kalimat aktif jika dilihat dari

kategori, peran, dan maknanya. Kalimat

ini juga termasuk kalimat perintah jika

dilihat dari intonasi pembacaannya dan

makna kalimatnya.

b) Formula Bunyi

Analisis formula bunyi ini

meliputi analisis orkestrasi (eufoni dan

kakafoni), asonansi, aliterasi, dan efek

yang ditimbulkannya. Dalam lagu

permainan Layang-layang ini didominasi

orkestrasi eufoni dan bunyi asonansi.

Eufoni adalah kombinasi bunyi yang

dianggap enak didengar (merdu).

Kakafoni adalah kombinasi bunyi yang

dianggap tidak enak didengar (parau).

Asonansi adalah perulangan bunyi vokal

Megan Asri Humaira Lagu Permainan Rakyat “Layang-Layang” sebagai Sastra Lisan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 28

di deretan kata. Aliterasi adalah

perulangan bunyi konsonan dari kata-kata

yang berurutan.

Larik pertama dan larik ketiga, Pa

deong pa deong, memiliki asonansi bunyi

/a/, /e/, /o/ dan aliterasi bunyi /p/, yang

berkombinasi pada bunyi /g/, /d/ dengan

bunyi sengau: /m/, /n/, /ng/, serta bunyi

liquida /l/, sehingga kombinasi tersebut

dapat menimbulkan orkestrasi yang merdu

pada lirik Pa deong pa deong.

Larik kedua dan larik keempat,

pangmukakeun lawang angin, memiliki

asonansi bunyi /a/. Asonansi bunyi /a/

yang terdapat pada larik ini berkombinasi

dengan bunyi /ng/, /m/, /l/, /n/, sehingga

dapat menimbulkan orkestrasi yang merdu

pada lirik pangmukakeun lawang angin.

Pada kedua larik ini juga terdapat huruf

kakafoni /k/, namun huruf /k/ dalam larik

pangmukakeun lawang angin ini tidak

menimbulkan bunyi yang parau.

Bentuk-bentuk bunyi vokal dan

konsonan pada teks lagu permainan anak

ini, dapat di analisis seperti pada tabel 2.

Tabel 2. Analisis formula bunyi pada lagu permainan tradisional Layang-Layang

N o B u n y i V o k a l B u n y i K o n s o n a n

1 / a / / e / / o / / p / / d / / n / / g /

2 / a / / u / / e / / i / / p / / n / / g / / m / / k / / l / / w /

3 / a / / e / / o / / p / / d / / n / / g /

4 / a / / u / / e / / i / / p / / n / / g / / m / / k / / l / / w /

Bunyi asonansi /a/ dan /e/

merupakan bunyi yang menonjol dalam

setiap lariknya. Bunyi asonansi ini

menimbulkan efek yang merdu pada

keempat larik lagu tersebut. Bunyi

konsonan yang menonjol adalah bunyi /p/

/n/ /g/, karena bunyi-bunyi tersebut

terdapat pada setiap larik namun tidak

menimbulkan bunyi parau akan tetapi

menjadikan bunyi-bunyi tersebut

terdengar merdu.

Pada lagu permainan anak ini juga

ditemukan rima awal yaitu a-a-a-a dan

rima akhir yaitu o-i-o-i.

Pa deong pa deong

pangmukakeun lawang angin

Pa deong pa deong

pangmukakeun lawang angin

Pengulangan kata yang terdapat

pada lirik ketiga dan keempat terhadap

lirik pertama dan lirik kedua menimbulkan

bentuk rima yang menarik, sehingga rima

tersebut menambah keindahan pada lagu

permainan Layang-layang yang

dinyanyikan anak-anak ini.

c) Formula Irama

Pada teks lagu permainan anak ini

terdapat pola irama yang telah disepakati

secara konvensional. Pola irama yang

terdapat dalam lagu permainan anak ini

dapat berbeda di tiap-tiap wilayah

tergantung kesepakatan masyarakat daerah

tersebut. Peneliti mendapatkan penuturan

pola irama ini di daerah Lawang Genteng,

tempat tinggal saudara peneliti.

Dalam analisis pola irama,

peneliti menggunakan tanda-tanda tertentu

tiap suku katanya. Tanda-tanda tersebut

antara lain: tanda (~) menandakan tanda

yang panjang, tanda (#) menandakan

tanda sedang, dan tanda (>) menandakan

tanda yang pendek. Berikut formulasi

irama pada teks lagu permainan anak:

Megan Asri Humaira Lagu Permainan Rakyat “Layang-Layang” sebagai Sastra Lisan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 29

Tabel 3. Analisis formula irama pada lagu permainan tradisional Layang-Layang

L i r i k I r a m a

P a d e o n g p a d e o n g > # ~ > # ~

P a n g m u k a k e u n l a w a n g a n g i n # ~ > ~ > ~ > ~

P a d e o n g p a d e o n g > # ~ > # ~

P a n g m u k a k e u n l a w a n g a n g i n # ~ > ~ > ~ > ~

Keterangan:

(~) : tanda panjang

(#) : tanda sedang

(>) : tanda pendek

Efek yang muncul dari irama

tersebut adalah semangat yang luar biasa.

Anak-anak yang sedang bermain layang-

layang beranggapan jika mereka

menyanyikan lagu itu maka akan ada

angin besar yang akan membantu

menerbangkan layang-layang mereka.

d) Tema

Tema adalah kelompok ide yang

digunakan secara teratur pada penciptaan

cerita pada gaya formulaik nyanyian

tradisional. Dalam penganalisisan tema

dari lagu permainan Layang-layang ini,

peneliti menggunakan teori isotopi.

Isotopi adalah satuan kategori semantik

yang timbul dari redudansi dan

memungkinkan pembacaan cerita seragam

sebagaimana yang dihasilkan dari

pembacaan ujaran itu bagian demi bagian,

dan dari pembacaan ambiguitas yang

dituntun oleh upaya pembacaan

senada.Dalam analisis ini, lagu permainan

Layang-layang memiliki 2 isotopi yaitu

isotopi pekerjaan dan isotopi benda.

Isotopi-isotopi berikut dipaparkan dalam

bentuk tabel.

(1) Isotopi Pekerjaan

Tabel 4. Isotopi pekerjaan lagu permainan tradisional Layang-Layang

Kata/frasa yang termasuk isotopi pekerjaan Intensitas Denotatif (D)

Konotatif (K)

Komponen makna bersama

P e r i n t a h A k t i f i t a s

P a n g m u k a k e u n 2 x D + +

Dari tabel 4 terlihat isotopi

pekerjaan pada kata atau frasa

pangmukakeun. Komponen makna

bersama dari kata pangmukakeun terlihat

perintah, aktifitas, dan sifat. Kata

pangmukakeun merupakan perintah

kepada subjek yaitu Pa deong pa deong

yang berarti tolong bukakan. Sedangkan

komponen makna bersama lainnya yaitu

aktifitas merupakan penunjang dari

komponen perintah. Komponen aktifitas

terlihat ketika dibukakan atau merupakan

reaksi dari komponen perintah.

(2) Isotopi Benda

Tabel 5. Isotopi benda lagu permainan tradisional Layang-Layang

Kata/frasa yang termasuk isotopi benda Intens itas Denotatif (D)

Konotatif (K)

Komponen makna bersama

Benda cair Benda padat G a s

L a w a n g a n g i n 2 x D d a n K - + +

Megan Asri Humaira Lagu Permainan Rakyat “Layang-Layang” sebagai Sastra Lisan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 30

Dari tabel 5 terlihat isotopi benda

pada kata atau frasa lawang angin.

Komponen makna bersama dari frasa

lawang angin adalah benda padat dan gas.

Frasa lawang angin termasuk ke dalam

makna denotatif atau makna sebenarnya

dan makna konotatif atau kiasan. Frasa

lawang angin sebagai makna denotatif

berarti pintu angin. Hal ini menunjukkan

bahwa frasa tersebut termasuk komponen

benda padat karena sebuah pintu.

Sedangkan frasa lawang angin sebagai

makna konotatif berarti datangkan angin.

Hal ini menunjukkan bahwa frasa tersebut

termasuk komponen gas karena gas adalah

zat ringan yang sifatnya seperti udara.

2. Proses Penciptaan

Proses penciptaan yang dituturkan

oleh anak-anak tersebut adalah secara

spontan. Tidak ada hafalan atau bacaan

ketika mereka menuturkannya. Akan

tetapi, spontanitas yang mereka tuturkan

berdasarkan hafalan yang sudah menjadi

kebiasaan mereka ketika bermain layang-

layang sehingga nyanyian tersebut

dituturkan secara spontan. Sedangkan

proses pewarisan tuturan ini tidak

ditentukan aturannya, setiap orang yang

ingin menuturkan lagu permainan layang-

layang ini dapat dengan bebas

melantunkannya.

3. Konteks Penuturan

a) Konteks situasi

1) Waktu

Waktu dinyanyikannya lagu ini

oleh anak-anak tidak dibatasi kapan harus

dituturkan secara pasti, akan tetapi

dituturkan ketika mereka sedang bermain

layang-layang. Terutama ketika layang-

layang yang mereka terbangkan tidak

mendapatkan angin yang akan membantu

menerbangkan layang-layang mereka.

2) Tujuan

Tujuan adanya nyanyian

permainan anak ini hanyalah bersifat

hiburan bagi mereka yang sedang bermain

layang-layang, agar layang-layang yang

diterbangkan mendapat angin yang dapat

membantu mereka menerbangkan layang-

layang.

3) Peralatan atau media

Tidak ada peralatan atau media

khusus dalam tuturan ini. Satu-satunya

alat yang biasanya tuturan ini dituturkan

adalah sebuah layang-layang dan benang

karena pada saat layang-layang

diterbangkanlah tuturan ini dilantunkan.

4) Teknik penuturan

Penutur menuturkan lagu

permainan anak ini secara monolog yaitu

dilakukan dengan menyanyikannya sendiri

tanpa ada aba-aba dari siapa pun untuk

menyanyikannya.

b) Konteks budaya

Untuk analisis konteks budaya

dapat dibedakan menjadi empat bagian,

yaitu lokasi, penutur, latar sosial, dan

kondisi sosial ekonomi masyarakat

setempat.

1) Lokasi

Lokasi penuturan dilakukan di

luar rumah atau teras rumah saudara

peneliti yang berada di daerah Lawang

Genteng. Lokasi rumah penutur dengan

peneliti cukup jauh dikarenakan berbeda

daerah tempat tinggal.

2) Penutur

Penutur tuturan ini terdiri atas dua

orang yaitu Sandie Nugraha dan Irmah

Rahmayanti. Mereka adalah saudara

penutur yang masih duduk di bangku

sekolah dasar.

3) Latar sosial

Bahasa yang digunakan kedua

penutur adalah bahasa Sunda. Mereka

menggunakan bahasa Sunda jika bukan

dalam situasi yang formal. Namun tidak

jarang mereka juga menggunakan bahasa

Indonesia dalam percakapan sehari-

harinya. Kedua penutur ini beragama

Megan Asri Humaira Lagu Permainan Rakyat “Layang-Layang” sebagai Sastra Lisan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 31

islam dan sebagian besar penduduk di

sekitar rumah penutur pun beragama

islam. Perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi di daerah tempat tinggal

kedua penutur sudah dapat dinikmati oleh

setiap penduduk, bahkan hampir di setiap

rumah memiliki alat-alat modern. Kedua

penutur masih duduk di bangku sekolah

dasar dan sebagian penduduk di sekitar

rumah penutur pernah merasakan

bersekolah di tingkat menengah atas.

4) Kondisi sosial ekonomi

Kondisi sosial ekonomi di daerah

tempat tinggal penutur termasuk kategori

menengah. Hal ini dapat dilihat dari

kondisi perekonomian yang terjadi di

daerah tersebut. Pada umumnya

masyarakat di daerah tempat tinggal

penutur memiliki mata pencaharian

sebagai wiraswasta, namun ada juga yang

bekerja sebagai guru, karyawan, maupun

buruh.

4. Fungsi

Dalam tuturan ini, peneliti hanya

melihat dua fungsi yaitu sebagai alat

pendidikan dan alat pelipur lara atau

hiburan. Dengan menyanyikan lagu

permainan Layang-layang ini, mereka

menghibur diri mereka dan penuh harap

agar akan datang angin yang akan

membantu mereka untuk menerbangkan

layang-layang yang sedang dimainkannya.

Sehingga dengan menyanyikan lagu

permainan Layang-layang ini, mereka

akan bertambah semangat. Semangat

disini diharapkan dapat menjadi fungsi

pembelajaran untuk mereka dan

mempengaruhi aktivitas lain yang lebih

bermanfaat bagi diri mereka sendiri untuk

terus bersemangat.

5. Makna

Tuturan ini memiliki makna

semangat. Dengan adanya semangat

dalam diri masing-masing maka akan

muncul keyakinan dalam diri. Dengan

begitu, khususnya mereka yang sedang

bermain layang-layang akan merasa yakin

bahwa layang-layang yang mereka

terbangkan akan terbang tinggi, hal

tersebut akan menambah semangat

mereka. SIMPULAN

Pada teks lagu permainan

layang-layang ini terdapat pola irama

yang telah disepakati secara

konvensional. Pola irama yang

terdapat dalam lagu permainan anak

ini dapat berbeda di tiap-tiap wilayah

tergantung kesepakatan masyarakat

daerah tersebut. Efek yang muncul dari

irama pada lagu permainan layang-

layang adalah semangat yang luar

biasa. Adapun proses penciptaan yang

dituturkan oleh anak-anak tersebut

dalam menyanyikan lagu permainan

layang-layang adalah secara spontan.

Tidak ada hafalan atau bacaan ketika

mereka menuturkannya. Selain itu,

terdapat dua fungsi dalam penuturan

lagu permainan layang-layang yaitu

sebagai alat pendidikan dan alat

pelipur lara atau hiburan. Maksudnya,

adanya lagu ini diharapkan dapat

menjadi fungsi pembelajaran untuk

mereka dan bermanfaat untuk aktivitas

lainnya.

DAFTAR PUSTAKA Danandjaja, J. (2007). Folklor

Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain lain. Jakarta: Kreatama.

Humaira, M. A. (2015). . Legenda Batu Hiu: Analisis Struktur, Konteks Penutur, Fungsi, dan Makna. Didaktika Tauhidi: Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 2(2), 108-120.

Ratna, N. K. (2010). Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan

Megan Asri Humaira Lagu Permainan Rakyat “Layang-Layang” sebagai Sastra Lisan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 32

Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Ratna, N. K. (2010). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 33

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM POSING TERHADAP KEMAMPUAN MELAKSANAKAN WAWANCARA KELAS VIII

SMP NEGERI 8 MEDAN

Nurhalimah Sibuea SMP Negeri 3 Medan

[email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran problem posing terhadap kemampuan melaksanakan wawancara siswa kelas VIII SMP Negeri 8 Medan. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP yang berjumlah 60 orang.. Kelas VIII A dijadikan sebagai kelas eksperimen dan VIII B dijadikan sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan untuk mengatahui pengaruh model pembelajaran problem posing terhadap kemampuan melaksanakan wawancara adalah tes dengan menugasakan siswa untuk mampu melaksanakan wawancara dengan membuat pertanyaan wawancara. Dari hasi pengolahan data diperoleh, nilai rata rata dari kelas ekesperimen adalah 78,33, sedangkan untuk kelas kontrol 72, 33. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai kelas eksperimen lebih tinggi dari pada nilai rata-rata kelas kontrol. Hasil dari pengujian hipotesis diperoleh thitung adalah 3,75 dan ttabel adalah 0, 86 dengan demikian thitung >ttabel. Hal ini membuktikan Ha diterima dan Ho ditolak, dari hasil yang diperoleh tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran problem posing lebih berpengaruh terhadap melaksanakan wawancara, dibandikan dengan model kontekstual. Kata kunci : Pengaruh, Problem Posing, kemampuan, Wawancara Abstract. This study aims to determine the effect of problem posing learning models on the ability to carry out interviews with class VIII students of SMP Negeri 8 Medan. The population of this study was all students of class VIII SMP which numbered 60 people. Class VIII A was used as the experimental class and VIII B was used as the control class. The instrument used to know the effect of problem posing learning models on the ability to carry out interviews is a test by assigning students to be able to carry out interviews by making interview questions. From the results of data processing obtained, the average value of the experimental class is 78.33, while for the control class 72, 33. Thus it can be said that the value of the experimental class is higher than the average value of the control class. The results of hypothesis testing obtained tcount is 3.75 and t table is 0, 86 thus tcount> t table. This proves that Ha is accepted and Ho is rejected, from the results obtained it can be concluded that the use of the problem posing learning model is more influential on carrying out interviews, compared with the contextual model. Keywords: Influence, Problem Posing, ability, Interview

PENDAHULUAN Kurikulum Tingkat Satuan Sendidikan (KTSP) untuk kelas VIII SMP, di dalamnya terdapat materi wawancara yang merupakan pelajaran wajib, dengan aspek : berbicara dengan standar kompetensi: mengungkapkan berbagai informasi melalui wawancara dan persentase laporan, Komptensi dasar : Berwawancara dengan narasumber. Namun pada kenyataan kemampuan melasanakan wawancara masih rendah, siswa kurang memahami apa yang harus di lakukan di dalam berwawancara,ini disebabkan kurang melatih dalam mengajukan pertanyaan di dalam pelaksanaan wawancara, serta siswa kurang aktif di dalam melaksanakan wawancara, siswa cenderung

mendengarkan guru di depan kelas dan guru hanya menilai tugas- tugas tanpa melatih siswa terjun langsung melakukan praktek wawancara, sehingga masih banyak siswa kurang berminat dalam mempelajari bahasa Indonesia khususnya pada materi wawancara, kemampuan siswa dalam melaksanakan wawancara dapat membangun banyak kesempatan untuk dapat memperoleh suatu informasi atau berita yang selam ini tidak di ketahui siswa tersebut sehingga siswa juga lebih berani.

Faktor yang menjadi rendahnya minat belajar bahasa Indonesia yaitu faktor dari siswa itu sendiri, yakni kurangnya minat dalam belajar bahasa indonesia karena mereka menganggap pelajaran bahasa Indonesia membosankan.

Nurhalimah Sibuea Pengaruh Model Pembelajaran ProblemPosing Terhadap Kemampuan Melaksanakan

Wawancara Kelas VIII SMP Negeri 8 Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 34

siswa beranggapan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang sehari-hari mereka gunakan. Dengan demikian guru harus benar- benar menciptakan pembelajaran yang memancing siswa untuk memperoleh pengetahuan yang baru dan tidak membosankan siswa untuk mengikuti materi wawanacara.

Faktor yang berasal dari lain, misalnya penerapan model pembelajaran yang kurang berpengaruh. Guru sering menerapkan pembelajaran yang konvensional dengan ceramah yang kemudian menyebabkan siswa pasif dalam mengikuti pelajaran, pembelajaran yang masih monoton Hal ini menyebabkan siswa kurang berkembang dan aktif dalam memperoleh pengetahuan. Seharunya guru bisa menerapkan model pembelajaran yang bisa membantu siswa aktif untuk membangun pengetahuan yang diperoleh dari diri sendiri serta bisa berpikir sendiri.

Untuk mengatasi hal ini, maka guru Bahasa Indonesia harus mencari dan menemukan model yang tepat. Salah satu model mengajar yang dapat digunakan guru adalah dengan model pembelajaran Problem Posing.

Model Pembelajaran Problem Posing adalah model Pembelajaran yang meningkatkan kemampuan kecakapan berpikir, Kemampuan tersebut akan tampak dengan jelas bila siswa mampu mengajukan pertanyaan secara mandiri maupun berkelompok. Kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan tersebut dapat dideteksi lewat kemampuannya untuk melaksanakan wawancara dengan membuat beberapa pertanyaan yang cocok. Setiap siswa memiliki pemikiran dan daya tangkap yang berbeda-beda, kemampuan berpikir siswa tergantung sejauh mana siswa dapat memahami materi yang disampaikan oleh guru, dalam materi wawancara siswa dituntut untuk dapat lebih aktif pada saat proses belajar Bahasa Indonesia siswa mampu dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan bahasa yang baik dengan guru dan siswa lainnya. Dengan model pembelajaran problem posing dapat melatih siswa belajar kreatif, disiplin, dan meningkatkan keterampilan berpikir siswa.

Rumusan masalah merupakan langkah yang sangat penting dalam melakukan tulisan ilmiah. Tanjung dan

Ardial (2005:56) “Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan yang hendak dicarikan jawabannya serta pernyataan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti. 1. Bagaimana kemampuan siswa dalam

melaksanakan wawancara dengan menggunakan model pembelajaran Problem Posing, di kelas VIII SMP Negeri 8 Medan?

2. Bagaimana kemampuan siswa dalam melaksanakan wawancara dengan menggunakan Model Kontekstualdi kelas VIII SMP Negeri 8 Medan?

3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan diterapkan model pembelajaran Problem Posing di kelas VIII SMP Negeri 8 Medan?

Tujuan penelitian mengungkapkan sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian. Menurut arikunto (2006:58) “tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukan adanya sesuatau hal yang diperoleh setelah penelitian selesai mencari fakta-fakta atau prinsip dengan menggunakan langkah-langkah tertentu.” Penelitian ini bertujuan 1. Untuk mendeskripsikan kemampuan

siswa melakukan wawancara dengan diterapkan model pembelajaran problem posing siswa kelas VIII SMP Negeri 8 Medan

2. Untuk mendeskripsikan kemampuan wawancara dengan Model Kontektualpada materi wawancara siswa kelas VIII SMP Negeri 8 Medan

3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh model Pembelajaran dengan model Pembelajaran Problem Posing terhadap kemampuan melakukan wawancara siswa kelas VIII SMP Negeri 8 Medan.

METODE PENELITIAN Dalam penelitian metode memengang peranan penting. Metode Penelitian merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan penelitian. Oleh karena itu kualitas penelitian sangat ditentukan oleh metode apa yang digunakan pada saat penelitian. Arikunto (2006:22) berpendapat “metode penelitian merupakan struktur yang penting, karena berhasil tidaknya penelitian demikian juga rendahnya kualitas sangat ditentukan ketepatan

Nurhalimah Sibuea Pengaruh Model Pembelajaran ProblemPosing Terhadap Kemampuan Melaksanakan

Wawancara Kelas VIII SMP Negeri 8 Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 35

dalam memilih metode penelitian. Desain penelitian ini adalah post-test only desain group. Model post-test adalah metode eksperimen yang melibatkan perlakuan yang berbeda antara dua kelompok. tahap awal,peneliti menentukan sampel kemudian memberikan perlakuan terhadap kelompok eksperimen yaitu dengan model pembelajaran problem posing dan kelompok control dengan menggunakanModelKontekstual tahap berikutnya adalah melakukan post-test yang diberikan setelah proses belajar mengajar selesai. Tabel 1. Desain Eksperimen Post-Test

Kelas Perlakuan Tes Eksperimen XI T Kontrol X2 T

Keterangan : T :Tes kemampuan melasakan

wawancara. XI : Pembelajaran menggunakan Model

PembelajaranProblem Posing

X2 : Pembelajaran dengan menggunakan Model Kontekstual

Instrumen Penelitian Instrumen penelitian merupakan alat bantu yang digunakan untuk menjaring data penelitian. untuk memperoleh data banyak cara yang dapat ditempuh, ada yang menggunakan tes, angket, wawancara, dan sebagainya sesuai dengan data yang dibutuhkan. dalam penelitian ini tes yang digunakan untuk menjaring data kemampuan melaksanakan wawancara jadi yang akan dinilai adalah kemampuan siswa dalam mengajukan pertanyaan terhadap orang yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan, kemudian pertanyaan yang telah ada akan di lakukan wawancara dengan narasumber sesuai dengan data informasi yang di butuhkan. Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam melaksanakan wawancara dengan teman, peneliti menetapkan kriteria penilaian sebagai berikut.

Tabel 2. Kisi-kisi Penilaian Wawancara Aspek Penilaian Skor Skor

Maksimal Pertanyaan

a. Siswa mampu menuliskan pertanyaan wawancara kepada narasumber

b. Siswa kurang mampu menuliskan pertanyaan wawancara kepada narasumber

c. Siswa tidak mampu menuliskan pertanyaan wawancara kepada narasumber

25

15 10

25

Bahasa

a.Siswa mampu menggunakan bahasa baik dan benar dalam berwawancara

b. Siwa Kurang mampu menggunakan bahasa baik dan benar dalam berwawancara

c. Tidak mampu menggunakan bahasa baik dan benar

25 15 10

25

Kesimpulan

a) Siswa mampu menyimpulkan pendapat, gagasan narasumber dengan bahasa yang komunikatif

b) Siswa kurang mampu menyimpulkan pendapat, gagasan narasumber dengan bahasa yang komunikatif

c) Siswa tidak mampu menyimpulkan pendapat,gagasan narasumber dengan bahasa yang komunikatif.

25 15 10

25

Sikap

a) Siswa mampu melaksanakan wawancara sikap dengan baik

b). Siswa kurang mampu melaksanakan wawancara dengan sikap baik

c). Siswa tidak mampu melaksanakan wawancara dengan sikap baik.

25 15 10

25

Jumlah 100 Untuk mengetahui kemampuan melaksanakan wawancara dengan model problem posing digunakan standar skor yaitu sebagai berikut : Nilai akhir=

x 100

1. Skor 85-100 = sangat baik

Nurhalimah Sibuea Pengaruh Model Pembelajaran ProblemPosing Terhadap Kemampuan Melaksanakan

Wawancara Kelas VIII SMP Negeri 8 Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 36

2. Skor 70-84 = baik 3. Skor 55-69 = cukup 4. Skor 40-54 = kurang 5. Skor 0-39 = sangat kurang F. Teknik Analisis Data Penelitian

Analisis data dimaksudkan adalah untuk memperoleh hasil penelitian sebagai kesimpulan dan jawaban. Menurut Sudijono (2008 : 274 ). Teknik analisis data berkenaan dengan pengolahan data penelitian. Dalam hal ini suatu pekerjaan menyusun dan mengorganisasi data, membuat tabel-tabel data menurut masa-masa, sepert tabel distribusi frekuensi. Tabel, membuat diagram/garfik, seperti histogram, poligon grafik. Setelah data diperoleh dilakukan analisis data dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menyusun data post-test dalam bentuk

table distribusi frekuensi. 2.Mencari nilai mean kelas eksperimen(x)

skor dari variabel hasil posttest dengan menggunakanrumus:

Mx= ∑ Keterangan :

M : rata-rata (mean) fx : jumlah dari skor yang ada n : jumlah sampel (sudijono, 2009 :81)

3. Mencari mean kelas kontrol (y)

Mx= ∑ Keterangan : My : rata-rata variabel y fx : jumlah perkalian dengan skor

(nilai) yang dikuadratkan n : jumlah sampel (sudijono, 2009 :81) 4.mencari Standar deviasi skor

eksperimen(x). rumus :

SD = ∑

Keterangan : SD : standar deviasi dari sampel yang

diteliti ∑푓푥 : jumlah perkalian dengan skor

yang dikuadratkan n : jumlah sampel 5.mencari Standar deviasi kelas

eksperimen (x). rumus :

SD = ∑

Keterangan :

SD : standar deviasi dari sampel yang diteliti

∑푓푥 : jumlah perkalian dengan skor yang dikuadratkan

n : jumlah sampel 6.Menghitung standar error kelas

eksperimen (x). Rumus : SEm =

Keterangan : SD : standar deviasi SEm : standar eror n : jumlah sampel

7. Menghitung standar error kelas kontrol (y). Rumus : SEm =

Keterangan : SD : standar deviasi SEm : standar eror n : jumlah sampel 1. Setelah hasil standar error kelompok

sampel diperoleh, maka langkah terakhir dari standar error adalah mencari perbedaan hasil standar error pada kedua kelompok (eksperimen dan kontrol) dengan menggunakan

rumus :SEM1-M2 = 푆퐸 + 푆퐸

Pengujian persyaratan analisis a. Uji normalitas variabel penelitian

menggunakan lliliforoer Uji normalitas dilakukan secara parametik dengan menggunakan penaksir rata-rata pada simpangan baku. Uji yang digunakan adalah uji lilifoers. Misalnya kita mempunyai sampel acak dengan hasil pengamatan X1,X2,..Xn. berdasarkan sampel ini akan di uji hipotesis nol bahwa sampel tersebut berasal dari populasi berdistribusi normal melawan hipotesis tandingan bahwa hipotesis tidak normal. 1). Uji normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah populasi berdistribusi normal atau tidak.Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji lilifors. (Sudjana, 2002:446 ) dengan langkah-langkah sebagai berikut ini :

1) Data x1,x2,….xn dijadikan bilangan baku z1,z2,….zn. (푥̅dan S masing-masing merupakan rata-rata dan simpangan baku sampel)

2) Untuk setiap bilangan baku, menggunakan daftar distribusi

Nurhalimah Sibuea Pengaruh Model Pembelajaran ProblemPosing Terhadap Kemampuan Melaksanakan

Wawancara Kelas VIII SMP Negeri 8 Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 37

normal baku,kemudian dihitung peluang F(Zi)

3) Menghitung preposisi Z1, Z2 ..Zn yang lebih kecil atau sama dengan Zi yang diyantakan dengan S(Zi)

4) Menghitung selisih F(Zi)-S(Zi) kemudian tentukan harga mutlaknya.

5) Mengambil harga yang paling besar diantara harga mutlaknya tersebut. Dengan harga tersebut adalah Lo dan nilai kritis L yang di ambil dari daftar uji lilifoers dengan taraf nyata 0,05 (5%).

Kriteria pengujian 1. Jika Lo<Ltabel, maka maka

distrbusi normal 2. Jika Ltabel >Lo, maka data tidak

berdistribusi normal 2). Uji homogenitas Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah data mempunyai variens yang homogen atau tidak.

퐹 =푉푎푟푖푎푛푠.푇푒푟푏푒푠푎푟푉푎푟푖푎푛푠.푇푒푟푘푒푐푖푙

푎푡푎푢

퐹 =

(Sudjana,2002 : 249) Dimana :푆 = Varians terbesar

푆 = Varians terkecil Adapun hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut :

3). Uji Hipotesis Menguji kebenaran/kepalsuan hipotesis dengan membandingkan besarnya t hasil perhitungan 푡 dan t yang tercantumpada tabel nilai “t” dengan terlebih dahulu menciptakan derajat kebabasanya, dengan rumus sebagai berikut :

푡 =푀 −푀푆퐸

Dimana : SEm =√

Dimana : 푆퐸 = 푆퐸 + 푆퐸

Keterangan : 푡 = t obeservasi 푀 = skor rata-rata kelas eksperimen 푀 = skor rata-rata kelas kontrol SE = standar error 푆퐸 = standar error perbedaan

kedua kelompok HASIL PENELITIAN a. Analisis Data Kelas Eksperimen Berdasarkan hasil analisis data, dapat diketahui bahwa kelas eksperimen yakni kemampuan melakukan wawancara

dengan menggunakan Model Pembelajaran problem Posing termasuk kategori sangat baik sebanyak 11 orang atau 36,66%, kategori baik sebanyak 16 orang atau 53,33%, dan kategori cukup sebanyak 4 orang atau 10%. Identifikasi kelas eksperimen di atas termasuk normal dan termasuk dalam kategori wajar karena kategori yang paling banyak adalah kategori baik. Frekuensi di atas dapat digambarkan dalam bentuk diagaram batang berikut:

Gambar 1. Persentase Data Kelas Eksperimen

b. Analisis Data Kelas Kontrol (Y) Dari tabel di atas dapat diketahiu bahwa kelas kontrol kemampuan melaksanakan wawancara dengan menggunakan Model Kontekstual termasuk kategori sangat baik sebanyak 3 orang atau 10%, kategori baik sebanyak 18 orang atau 60%, dan kategori cukup sebanyak 9 orang atau 30%. Identifikasi kelas eksperimen di atas termasuk normal dan termasuk dalam kategori wajar karena kategori yang paling banyak adalah kategori baik. Frekuensi di atas dapat digambarkan dalam bentuk diagaram batang berikut:

Gambar 2. Persentase Data Kelas Kontrol

c. Mencari Standar Eror Variabel X dan Variabel Y SEmx-my = 푆퐸 푆퐸

= √1,34 + 1,39

= 2,56

02468

10

65 70 75 80 85 90

0

2

4

6

8

60 65 70 75 80 85

Nurhalimah Sibuea Pengaruh Model Pembelajaran ProblemPosing Terhadap Kemampuan Melaksanakan

Wawancara Kelas VIII SMP Negeri 8 Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 38

= 1,6

Dari perhitungan di atas diperoleh standar error perbedaan mean kelas eksperimen (X) dan kelas control (Y) adalah 1,6. A. Uji Persyaratan Analisis Data

a. Uji Normalitas Data Kelas Eksperimen (X)

Berdasarkan hasil analisis data, harga yang paling besar diantara harga-harga mutlak selisih tersebut (Lhitung) = 0,88. Kemudian nilai Lhitung ini dikonsultasikan dengan nilai kritis L dengan taraf nyata a = 0,05 (5%). Dimana diketahui (N= 30) Ltabel = 0,16. Dengan demikian Lhitung <Ltabel ( 0,88<0,16) ini membuktikan bahwa data variabel X berdistribusi normal. b. Uji normalitas data kelas kontrol (Y)

Berdasarkan hasil analisis data, harga yang paling besar diantara harga-harga mutlak selisih tersebut (Lhitung) = 0,85. Kemudian nilai Lhitung ini dikonsultasikan dengan nilai kritis L dengan taraf nyata a = 0,05 (5%). Dimana diketahui (N= 30) Ltabel = 0,16. Dengan demikian Lhitung <Ltabel ( 0,85<0,16) ini membuktikan bahwa data variabel X berdistribusi normal. c. Uji Homogenitas

Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh X2hitung ( chi kuadrat) sebesar 0,40 harga X2 tabel pada taraf kepercayaan 95 % dengan dk 29 adalah 43,28, Ternyata X² hitung <X² tabel< yaitu 0,40<43,28. Hal ini membuktikan bahwa varians populasi adalah homogen. d. Pengujian Hipotesis Jika harga thitung dibandingkan dengan harga ttabel ternyata thitung > ttabel ( 3,75 > 0,76), dapat dinyatakan hipotesis nilai (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima. Dari hasil pengujian hipotesis diperoleh bukti empirik bahwa prestasi belajar siswa yang diterapkan dengan model pembelajaran probelm possing dalam kemampuan menulis wawancara lebih signifikan berpengaruh dibandingkan dengan model kontekstual. Dengan kata lain ada pengaruh model pembelajaran Problem Posing terhadap kemampuan melaksanakan wawancara pada kelas VIII SMP Negeri 8 Medan. PEMBAHASAN Setelah melakukan prosedur penelitian yang begitu panjang, misalnya

dengan melakukan analisis data, kemudian melakukan hipotesis, akhirnya penelitian mendapatkan sebuah hasil yang tidak sia-sia. Pengaruh model pembelajaran probelm posing terhadap kemampuan melaksanakan wawancara, ternyata wawancara berpengaruh positif dan lebih baik dari pada hasil belajar dengan menggunakan model kontekstual. Hal ini dapat dibuktikan pada hasil penelitian, dimana nilai rata-rata kemampuan melaksanakan wawancara dengan pendekatan probelm posing selisih lebih tinggi yakni sebesar 78,33 dari pada nilai rata-rata kemampuan melaksanakan wawancara dengan menggunakan model kontekstual yakni sebesar 72,33. Berdasarkan pengujian normalitas dan homogenitas, maka diketahui bahwa data pada kedua kelas yakni kelas eksperimen dan kontrol berdistribusi normal dan mempunyai variasi sama. Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan uji t diperoleh thitung = 3,75, dk (nx+ny)-2 = 58 maka diperoleh ttabel = 0,86. Jadi thiutng lebih besar ttabel yaitu = 3,75 > 0,86, sehingga diperoleh Ho (Hipotesis nihil) di tolak dan Ha (hipotesis alternatif) di terima, yaitu menyatakan bahwa pendekatan pembelajaran probelm posing mempunyai pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam melaksanakan wawancara. Setelah didapat hasil dari penelitian ini, selanjutnya akan dibahas mengenai mengapa pendekatan pembelajaran problemposing lebih baik dibandingkan dengan model kontekstual. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pendekatan pembelajaran problemposing adalah suatu model pembelajaran yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui belajar soal (berlatih soal) secara mandiri. Model pembelajaran problem posing merupakan salah satu indikator keefektifan belajar. Kesimpulannya, dengan menggunakan pendekatan pembelajaran probelm posing hasil belajar secara mandiri tersebut lebih bagus dari pada hasil belajar dengan model kontekstual. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada Bab IV, maka dapat dibuat kesimpulan di bawah ini. 1. Kemampuan melaksanakan wawancara

dengan Model Pembelajaran Problem

Nurhalimah Sibuea Pengaruh Model Pembelajaran ProblemPosing Terhadap Kemampuan Melaksanakan

Wawancara Kelas VIII SMP Negeri 8 Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 39

Posing oleh siswa kelas VIII SMP Negeri 8 Medan berada pada kategori baik dengan nilai rata-rata 78,33.

2. Kemampuan melaksanakan wawancara dengan Model Pembelajaran Kontekstual oleh siswa kelas VIII SMP Negeri 8 Medan berada pada kategori baik dengan nilai rata-rata 72,33.

3. Model pembelajaran Problem Posing lebih signifikan berpengaruh dengan model Kontekstual terhadap kemampuan melaksanakan wawancara oleh siswa kelas VIII SMP Negeri 8 Medan.

SARAN Sebagai kelanjutan dari adanya

kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang membandingkan dua bentuk model pembelajaran yang berbeda berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis menyarankan : 1. Kepada guru-guru kelas khususnya

guru bidang dtudi Bahasa Indonesia agar menggunakan modelpembalajran Problem Posing sebagai salah satu model pembelajaran dikelas, dikarenakan mempunyai keuntungan atau kelebihan yang berbeda dengan model pembelajaran yang lainnya.

2. Untuk lebih memantapkan hasil penelitian ini, kepada pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian agar melakukan penelitian dengan judul yang sama, pada kelompok sampel yang sama.

3. Hasil penelitian ini menjadi sumber informasi bagi para pembaca yang aktif dalam perkumpulan sebuah organisasi.

4. Sebagaisumber referensi bagi para peneliti lain yang hendak melakukan penelitian sejenis yang relevan.

5. Sebagai sumber informasi bagi para pembaca dalam memahami kemampuan melaksanakan wawancara.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto,2010.Prosedur penelitian.Edisi

revisi V1.Cetakan ketiga belas.Jakarta : PT Rineka Cipta.

Arikunto Suharsimi,2013. Prosedur Penelitian Cetakan kelima belas, Jakarta PT Rineka Cipta.

Bahri Syaiful,Aswan.2006. Strategi

Belajar Mengajar .Edisi Revisi.cetakan ketiga.Jakarta : PT Rineka Cipta.

Dimyanti dkk.2006 Belajar dan pembelajaran. Cetakan ketiga belas.Jakarta : PT Rineka.

Dasar-dasar Cipta 2012. Evaluasi

pendidikan. Edisi kedua.Jakarta : PT Bumi Aksara.

Danim Sudarwan ,2013 Pengembangan

Profesi Guru Penerbit Kencana cetakan ke 2,Predana Media Group.

Gafur abdul 2012 Desain Pembelajaran

, Lombok Penerbit ombak Dua. Hamalik Oemar 2009 Proses Belajar

Mengajar, Jakarta penerbit Bumi Akasara.

Http:mcdougelas.blogspot.com/2009/11/p

engertian –wawancara .html Ihsan Fuad ,2005 Dasar-Dasar

Kependidikan, Jakarta , PT Rineka Cipta.

Lisnasari Faijiah Sri,2010 Strategi Belajar

Mengajar, Medan Percetakan Unimed.

Mulyasa, 2007 Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan PT Remaja Rosdakarya.

Poerwardarminta ,2003 Kamus Umum

Bahasa Indonesia, Bandung PN Balai Pustaka.

Suryonosubroto.B 2009 Proses Belajar

mengajar di Sekolah . Surabaya Cetakan Rineka Cipta.

Simbolon, B. 2009 pendidikan Bahasa

dan sastra Indonesia FKIP UISU MEDAN, Skripsi.

Sutikno Sorby.M 2013. Belajar dan

Pembelajaran.Lombok Penerbit Holistica.

Setyosari Punaji,2013.Metode Penelitian

Pendidikan dan Pengembangan

Nurhalimah Sibuea Pengaruh Model Pembelajaran ProblemPosing Terhadap Kemampuan Melaksanakan

Wawancara Kelas VIII SMP Negeri 8 Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 40

Edisi ketiga.jakarta : PT Fajar Interpratama Mandiri.

Trianto 2010 Mendesain Model

Pembelajaran Inovatif –Progresif, Jakarta Kencana Media Group.

Widodo 1997 , Tehnik Wartawan

Menulis berita, Surabaya Penerbit Indah.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 41

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERLAMBATAN BERBICARA PADA ANAK BALITA

Asri Yulianda

Dikbind PPs Universitas Negeri Medan [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) untuk mengetahui perkembangan bahasa dan bicara anak, 2) untuk mengetahui penyebab terjadinya keterlambatan perkembangan bahasa anak. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Subjek dalam penelitian ini merupakan 3 orang balita, yang terdiri dari 2 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat faktor yang melatarbelakangi subjek terlambat dalam berbicara diantaranya dari faktor internal dan eksternal. Dimana faktor internal terdiri dari genetika, kecacatan fisik, malfungsi neorologis, prematur, jenis kelamin. Sedangkan dari faktor eksternal terdiri dari urutan/jumlah anak, pendidikan ibu atau orangtua, status ekonomi, fungsi keluarga, bilingual. Kata Kunci: keterlambatan berbicara, faktok-faktor keterlambatan berbicara Abstract. This research aims to : (1) know the development of language and speech of children, (2) determine the causes of the delay in the development of children's language. This research used descriptive method with qualitative data. The subjects of this study were 3 young children, including 2 boys and 1 girl. The results of this study show that there are factors explaining the delay of the subject to talk to each other from internal and external factors. When internal factors are genetics, physical disability, neorological dysfunction, prematurity, sex, while external factors include sequence/number of children, mother's or parent's education, economic status, family function, bilingual. Keyword: delay speech, factors of speech delay

PENDAHULUAN Bahasa adalah suatu sistem simbol

lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berikteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. (Dardjowidjojo,2005:4). Para pakar linguistik deskriptif biasanya mendefinisikan bahasa sebagai “satu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer,” yang kemudian lazim ditambah dengan “yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri. (Chaer, 2009:30).

Perkembangan bahasa menurut Gaddes (Dardjowidjojo, 1991:97) tergantung dari sel konteks yang mengatur. Sedangkan menurut Lenneberg (Dardjowidjojo, 1991:97) perkembangan bahasa didukung lingkungan. Beberapa hal yang penting dalam perkembangan bahasa adalah perkembangan persepsi, pengertian, adaptasi, imitasi dan ekspresinya. Secara garis besar

perkembangan bahasa dapat dibagi dalam komponen ekspresif dan resepsif. Perkembangan fonem telah selesai sekitar umur 7 tahun, sedangkan perkembangan semantik akan berlangsung seumur hidup. Perkembangan bahasa menurut M.F. Berry dan Jon Eisension (Sardajono, 2005:87) Suara refleks (Reflexive Vocaltization), meraban (babbling), mengoceh (lalling), mengulang/ meniru (echolalia), dan bicara benar (true speech).

Anak dikatakan berbicara adalah ketika anak tersebut dapat mengeluarkan berbagai bunyi yang dibuat dengan mulut mereka menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan sesuatu dalam berkomunikasi. Kemampuan berbicara pada masing-masing anak berbeda-beda, tetapi kemampuan tersebut dapat dibandingkan dengan anak yang seusia pada umumnya. Perkembangan kemampuan berbicara seorang anak dikatakan normal apabila kemampuan berbicara mereka sama dengan anak seusianya dan juga

Asri Yulianda Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan

Berbicara pada Anak Balita

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 42

memenuhi tugas dari tugas perkembangan. Dan ketika perkembangan kemampuan berbicara tidak sama dan juga tidak bisa memenuhi tugas dari perkembangan bicara pada usianya tersebut, maka anak tersebut dapat dikatakan mengalami hambatan perkembangan pada kemampuan berbicara (speech delay).

Seorang anak dikatakan terlambat bicara apabila tingkat perkembangan bicara berada di bawah tingkat kualitas perkembangan bicara anak yang umurnya sama yang dapat diketahui dari ketepatan penggunaan kata. Apabila pada saat teman sebaya mereka berbicara dengan menggunakan kata-kata, sedangkan si anak terus menggunakan isyarat dan gaya bicara bayi maka anak yang demikian dianggap orang lain terlalu muda untuk diajak bermain. (Elizabeth Hurlock, 2013 : 194-196).

Masalah keterlambatan bicara pada anak merupakan masalah yang cukup serius yang harus segera ditangani karena merupakan salah satu penyebab gangguan perkembangan yang paling sering ditemukan pada anak. Keterlambatan bicara dapat diketahui dari ketepatan penggunaan kata, yang ditandai dengan pengucapan yang tidak jelas dan dalam berkomunikasi hanya dapat menggunakan bahasa isyarat, sehingga orang tua maupun orang yang ada disekitarnya kurang dapat memahami anak, walaupun si anak sebenarnya dapat memahami apa yang dibicarakan orang.

Peran orang tua merupakan orang yang sangat bertanggung jawab atas perkembangan bahasa anak. Karena perkembangan bahasa sangat menentukan proses belajar anak. Orang tua sangat menentukan kesuksesan belajar anak dan sebagai orang tua seharusnya selalu berusaha meningkatkan potensi anak agar dapat berkembang secara maksimal. Jika orang tua tidak menjalankan perannya secara maksimal otomatis konsekuensinya perkembangan bahasa anak akan terhambat (mengalami keterlambatan). Bagi orang tua pasti akan sangat senang jika anak mampu mengucapkan kata-kata dengan benar. Aspek dimana anak mulai mampu mengucapkan dan meniru kata-kata disebut aspek perkembangan bahasa. Dalam pertumbuhannya anak pasti akan mengalami perkembangan bahasa sesuai dengan karakter dan psikiologinya. Namun fakta menemukan ada beberapa

faktor yang menjadi penyebab gangguan perkembangan bahasa. Penyebab gangguan perkembangan bahasa sangat banyak dan luas, semua gangguan mulai dari proses pendengaran, penerusan impuls ke otak, otak, otot atau organ pembuat suara. Adapun beberapa penyebab gangguan atau keterlambatan bicara adalah gangguan pendengaran, kelainan organ bicara, retardasi mental, kelainan genetik atau kromosom, autis, mutism selektif, keterlambatan fungsional, afasia reseptif dan deprivasi lingkungan. Deprivasi lingkungan terdiri dari lingkungan sepi, status ekonomi sosial, tehnik pengajaran salah, sikap orangtua. Gangguan bicara pada anak dapat disebabkan karena kelainan organik yang mengganggu beberapa sistem tubuh seperti otak, pendengaran dan fungsi motorik lainnya. Karena pentingnya fungsi perkembangan bicara pada anak tersebut, maka peneliti tertarik membahas tentang perkembangan bahasa pada anak dan hal-hal apa sajakah yang menyebabkan anak mengalami keterlambatan bicara dan berbahasa pada anak. METODE PENELITIAN Penelitian ini tergolong jenis penelitian deskriptif kualitatif dikarenakan untuk mendapatkan data yang akurat maka peneliti harus turun kelapangan dan berada disana serta berbaur langsung dengan subjek penelitian dalam waktu yang cukup lama. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi, sedangkan untuk teknik pengolahan data, peneliti menggunakan tahap reduksi data dan penyajian data. Subjek dalam penelitian ini adalah 3 anak, dengan rincian 2 anak laki-laki dan 1 anak perempuan yang memiliki sifat atau ciri yang sama yakni anak yang mengalami keterlambatan berbicara di desa Simatahari, kecamatan Kota Pinang, kabupaten LabuhanBatu Selatan, adapun untuk informasi yang didapatkan mengenai ketiga anak tersebut dari puskesmas Mampang kecamatan Kota Pinang. Sedangkan objek dari penelitian ini adalah untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan berbicara pada anak usia 1-5 tahun.

Asri Yulianda Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan

Berbicara pada Anak Balita

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 43

HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil observasi dan

wawancara pada subjek (orangtua, ibu dan warga dan tetangga) diperoleh data mengenai ke empat anak tersebut dengan usia 2-4 tahun. Ditunjukkan dengan ciri-ciri belum mampu memahami dan merespon teman sebaya, orangtua atau orang dewasa sekitarnya, cenderung tidak banyak berbicara (pendiam), pengucapan kata dan penyusunan kalimat masih keliru, belum mampu berbicara dengan jelas, kaku, terbata-bata karena kurangnya penguasaan kosakata yang dimiliki, serta biasnya penggunaan bahasa yang ditunjukkan dengan bingung dalam mengekspresikan bahasadalam bentuk lisan.

Terdapat faktor yang melatarbelakangi subjek terlambat dalam berbicara diantaranya: faktor internal dan eksternal. Dimana faktor internal terdiri dari genetika, kecacatan fisik, malfungsi neorulogis, prematur, jenis kelamin. Sedangkan dari faktor eksternal terdiri dari urutan/jumlah anak, pendidikan ibu atau orangtua, status ekonomi, fungsi keluarga, blingual. Dari keseluruhan faktor tersebut, faktor yang paling signifikan yang mempengaruhi subjek terlambat berbicara yaitu: genetik, kecacatatan fisik dan hubungan keluarga dan faktor kesehatan.

Untuk melakukan penanganan yang perlu dilakukan oleh orang sekitarnya seperti orangtua, ibu, bapak, nenek dan tetangga sekitarnya dalam mengembangkan perkebangan bicara dan berbahasa anak, terdiri dari: sering mengajak anak berinteraksi dan berbicara, berbicara dengan anak menggunakan gerak mulut dan artikulasi yang jelas dan memperhatikan tata bahasa yang digunakan anak. Sedangkan usaha yang dilakukan oleh orangtua, ibu, bapak, nenek dan tetangga sekitarnya terdiri dari: mengajak anak bermain dengan teman sebaya, menceritakan cerita, memberikan gambar atau benda ketika sedang berbicara dengan anak, memperbaiki ucapan-ucapan yang keliru digunakan si anak. Tidak membiarkan si anak berdiam diri tanpa ada aktivitasnya, membawa anak berobat ke dokter bila perlu melakukan terapi kepada anak tersebut. Penanganan seperti ini dapat dilakukan apabila orangtua mendukung atas

perkembangan yang dialami oleh anaknya. Seperti untuk Azka dengan usia seperti itu orangtuanya seharusnya memperkenalkan anaknya pada sekolah usia dini (Paud) agar anak lebih banyak berintraksi dengan teman-teman sebayanya. Untuk Fia dan Sazli dukungan orangtua membebaskan anak mereka bermain dan berinterksi dengan teman-teman sebaya dan benda-benda yang ada disekitarnya agar respon anak untuk berbicara dengan benda-benda tersebut memudahkannya untuk berbicara dan berbahasa. PEMBAHASAN

Identitas Anak Yang Mengalami Keterlambatan Berbicara a. Data Anak I Nama : Sazli Nasution TTL : Rantau Prapat, 05 Maret 2015 Anak ke : Pertama (1) Jenis kelamin : Laki-laki Pekerjaan Orangtua: Ayah : Buruh Ibu : Ibu rumah tangga

Sazli merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Alimuddin dan Ibu Siti Rohaya yang saat ini sudah berusia 3 tahun 2 bulan. Sampai saat ini diketahui Sazli sama sekali belum dapat berbicara, ia hanya mampu mengeluarkan kata-kata sederhana berupa ma-ma atau ya-ya dan suara-suara seperti teriakan dan rengekan, dimana seharusnya peniruan kata-kata seperti itu dialami pada masa 9-12 bulan. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, ditemukan bahwasanya orangtua Sazli mengekang kebebasan anaknya untuk berinteraksi dengan lingkungannya, selain itu mereka cenderung kurang memberi perhatian kepada Sazli dan mendorong anaknya untuk berbicara dan berinteraksi. Ibu Sazli juga pasif dalam hal berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Dilihat dari kesehatannya, Sazli tidak mengalami gangguan kesehatan serius dan juga tidak ditemukan cacat fisik. Hal ini yang mungkin menyebabkan Sazli mengalami keterlambatan berbahasa dan bicara. Simpulan:

Ada beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi keterlambatan bicara pada Sazli, salah satunya yang pertama adalah dari faktor internal yakni jenis kelamin, seperti yang telah diketahui bahwa untuk perkembangan bahasa pada anak jenis kelamin laki-laki cenderung lebih lambat

Asri Yulianda Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan

Berbicara pada Anak Balita

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 44

daripada perempuan, hal tersebut karena level tinggi dari testosteron pada masa prenatal memperlambat pertumbuhan neuron di hemisfer kiri, maka dari itu pun perkembangan anak dalam penguasaan kosa kata dan bahasa cenderung lebih lambat, selain itu jika dilihat dari faktor internal lainnya seperti genetik, cacat fisik, dan lainnya tidak ditemukan adanya tanda tanda demikian.

Kemudian masuk kepada faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak, dilihat dari urutan dan jumlah anak, Sazli merupakan anak pertama. Orang tua yang baru memiliki satu anak cenderung lebih aktif dalam melakukan interaksi dengan anaknya, namun pada kasus ini orang tua Sazli cenderung kurang memberi perhatian kepada Sazli dan mendorong anaknya untuk berbicara. Kemudian dilihat juga dari pendidikan ibu. Ibu merupakan sekolah pertama anak, atau dapat dikatakan pendidikan pertama yang didapat seorang anak adalah melalui ibu. Ibu dengan pendidikan rendah cenderung juga memiliki penguasaan kosakata dan bahasa yang kurang sehingga ia juga tidak mampu untuk mengembangkan dan mendorong anak untuk berbahasa. Namun pada kasus ini Ibu Sazli yang mengenyam bangku SMA pasti sudah mampu untuk berbahasa dan berkomunikasi dengan baik, sehingga mampu mendorong anaknya dan melatih untuk berbicara, tapi pada kenyataannya Sazli sampai saat ini belum mampu untuk berbicara.

Selanjutnya jika dilihat dari tingkat ekonomi keluarga, ayah Sazli yang merupakan buruh pencari ikan memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kebutuhan gizi Sazli juga cukup terpenuhi, seperti pemberian susu serta makanan makanan bergizi. Orangtua dengan kondisi ekonomi rendah biasanya sibuk mencari pekerjaan dan uang demi memenuhi kebutuhan kehidupannya sehingga menyebabkan kurangnya waktu bersama keluarga. Namun pada kasus ini hanya ayah Sazli yang bekerja dan pekerjaan sebagai buruh tidak memakan waktu seharian penuh untuk bekerja, masih banyak waktu luang yag dapat dihabiskan bersama anaknya untuk memotivasi anak belajar berbicara.

Selanjutnya dilihat dari fungsi keluarga. Fungsi keluarga disini berpengaruh kepada pola asuh dan

interaksi antara orang tua dan anaknya. Fungsi keluarga berpengaruh terhadap perilaku anak dan juga insiden keterlambatan berbahasan dan bicara pada anak. Keluarga dengan fungsi buruk maka di dalam keluarga tidak terdapat kehangatan dan hubungan emosi tidak terjalin dengan baik. Anak sering mengalami salah asuh atau perawatan yang salah dan pengabaian. Dalam kasus ini ditemukan bahwasanya orangtua dari Sazli lebih mengekang kebebasan anaknya untuk berinteraksi dengan lingkungannya, selain itu mereka cenderung kurang memberi perhatian kepada Sazli dan mendorong anaknya untuk berbicara dan berinteraksi. Hal ini lah yang juga mungkin menyebabkan Sazli mengalami keterlambatan berbahasa dan bicara. Berdasarkan hasil observasi diatas, Sazli termasuk keadalam jenis gangguan keterlambatan berbicara tipe Specific Language Impairment yaitu gangguan bahasa merupakan gangguan primer yang disebabkan karena gangguan perkembangannya sendiri, tidak disebabkan karena gangguan sensoris, gangguan neurologis dan gangguan kognitif (inteligensi). b. Data Anak II Nama : Azka Harahap TTL : Padangrie, 12 Oktober 2014 Anak ke : Ketiga (3) dari 3 bersaudara Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan Orangtua : Ayah : Wirausaha Ibu : Ibu rumah tangga

Azka merupakan anak ketiga dari 3 bersaudara dari Bapak Mulik dan Ibu Butet, kakak pertamanya saat ini berusia 16 tahun dan yang kedua berusia 9 tahun. Azka saat ini berusia 3 tahun 7 bulan, belum bisa berjalan dan ia sama sekali belum mampu berbicara bahkan mengeluarkan kata-kata sederhana. Ia hanya mampu bergumam, mengeluarkan suara-suara seperti aa-aa, mm-mm, menangis pun ia tidak seperti kebanyakan anak yang biasanya dengan teriakan. Azka juga belum mampu merespon orang-orang yang mengajaknya untuk berinteraksi. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, diketahui orangtua Azka kurang berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, mereka kebanyakan menghabiskan waktu di rumah saja,

Asri Yulianda Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan

Berbicara pada Anak Balita

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 45

mereka cenderung pasif bergaul dengan tetangga sehingga Azka pun jarang bermain diluar bersama teman-teman sebayanya dan berinteraksi dengan lingkungan. Diketahui juga orangtua Azka tidak aktif mendorong anaknya dengan cara mengajak berbicara, melatih kata-kata dan suara, yang mendorong Azka untuk berbicara. Kebanyakan hal tersebut dilakukan oleh pamannya Azka. Dilihat dari kesehatannya, Azka tidak mengalami gangguan kesehatan yang serius dan atau cacat fisik. Dari hasil observasi ini juga ditemukan fakta bahwa kakak-kakaknya Azka juga mengalami keterlambatan berbicara dan berjalan pada seusia Azka. Simpulan:

Ada beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi keterlambatan bicara pada Azka, salah satunya yang pertama adalah dari faktor internal yakni jenis kelamin, seperti yang telah diketahui bahwa untuk perkembangan bahasa pada anak jenis kelamin laki-laki cenderung lebih lambat daripada perempuan, hal tersebut karena level tinggi dari testosteron pada masa prenatal memperlambat pertumbuhan neuron di hemisfer kiri, maka dari itu pun perkembangan anak dalam penguasaan kosa kata dan bahasa cenderung lebih lambat. Azka yang usia nya sudah memasuki usia 4 tahun dimana anak usia seperti ini seharusnya sudah banyak mengenal kosa kata dan sudah mulai bisa berinteraksi dengan baik dengan lingkungannya dan pada usia ini pula pendidikan dasar usia dini (PAUD) dapat dimulai. Namun pada kasus ini, Azka belum bisa berbicara bahkan berjalan. Sebelumnya telah diteliti bahwa kondisi Azka merupakan faktor keturunan, dimana saudara-saudara kandungnya dahulu mengalami kondisi demikian. Kemungkinan besar jika dilihat dari faktor internal yakni secara genetik, terdapat kelaianan pada genetik nya yang menyebabkan saraf-saraf perkembangannya terganggu sehingga Azka belum bisa berbicara dan berjalan. Namun jika dilihat dari faktor kecacatan fisik atau malfungsi lain tidak ditemukan adanya cacat fisik, namun diperkirakan Azka mengalami gangguan pada pendengaranny, karena berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan Azka tidak merespon ataupun menoleh saat dipanggil dan diajak berinteraksi. Menurut keterangan orangtua Azka, hal tersebut

memang berasal dari faktor keturunan, dan kemungkinan besar hal tersebut karena faktor genetik dari orang tua. Jika dilihat dari faktor lain yaitu faktor eksternal, yakni jumlah anak dalam keluarga Azka, ia memiliki 2 saudara diatasnya. Abang dan kakak kandungnya pada usia seperti Azka juga mengalami hal yang sama. Hal ini berarti jika ditelaah dari urutan anak, kondisi Azka bukan karena adanya kurang komunikasi dan pengajaran diantara keluarganya, karena sebelumnya pun kondisi tersebut sudah dialami oleh anak pertama dari keluarga tersebut yaitu abangnya Azka.

Kemudian dilihat dari faktor lain yakni pendidikan ibu, ibu Azka mengenyam pendidikan sampai SMA. Namun pada hal ini ibu Azka kurang bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan hanya berada dirumah saja. Hal tersebut bisa saja menjadi salah satu penyebab dari kurangnya perkembangan si anak dalam berbicara. Biasanya ibu-ibu yang aktif di lingkungannya akan lebih banyak berbicara dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan terbawa pada si anak. Namun pada kondisi ini ibu Azka cenderung pasif terhadap lingkungannya sehingga Azka pun menjadi pendiam dan itu akan menyebabkan si anak juga enggan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Selanjutnya untuk masalah ekonomi keluarga. Orangtua Azka merupakan pemilik usaha kecil-kecilan di rumahnya. Dalam status ekonomi juga orangtua Azka termasuk berkecukupan. Biasanya keluarga yang memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi dapat mendorong dan memberikan fasilitas untuk perkembangan dan pertumbuhan anaknya. Namun dari itu faktor tingkat ekonomi tidak mempengaruhi perkembangan bahasa dan bicara anak tersebut. Berdasarkan hasil observasi diatas, Azka termasuk keadalam jenis keterlambatan berbicara tipe Gifted Visual Spatial Learner yaitu karakteristik gifted visual spatial learner ini baik pada tumbuh kembangnya, kepribadiannya, maupun karakteristik giftedness-nya sendiri, kemudian Azka juga kemungkinan mengalami keterlambatan berbicara tipe Disynchronous Developmental yaitu perkembangan seorang anak gifted pada dasarnya terdapat penyimpangan perkembangan dari pola normal. Ada ketidaksinkronan

Asri Yulianda Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan

Berbicara pada Anak Balita

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 46

perkembangan internal dan ketidaksinkronan perkembangan eksternal. c. Data Anak III Nama : Sofia Arini TTL : Padangrie, 12 Februari 2016 Anak ke : Pertama (1) Jenis kelamin : Perempuan Pekerjaan Orangtua : Ayah : Wiraswasta Ibu : Guru

Sofia merupakan anak pertama dari Bapak Irul dan Ibu Dewi yang saat ini berusia 2 tahun 3 bulan, dan ia belum mampu untuk berbicara. Saat ini ia hanya mampu mengucapkan kata ma-ma dan belum mampu untuk mengeluarkan kata-kata lain. Dilihat dari kondisi kesehatan Sofia diketahui lemah, ia sering mengalami sakit. Selama ini orangtua Sofia tidak memberikan kebebasan anaknya untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar, mungkin hal tersebut dilakukan untuk mencegah Sofia mengalami sakit. Ia hanya diperbolehkan bermain dengan sepupunya dirumah. Orangtua Sofia yang berprofesi sebagai pegawai dan guru menitipkan anaknya pada seorang pengasuh selama mereka bekerja. Saat ini juga Ibunya sedang menjalani perkuliahan sehingga waktu untuk bersama Sofia sedikit dan Sofia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama pengasuh. Diketahui pengasuh Sofia juga kurang memberikan dorongan-dorongan dan melatihnya untuk berbicara. Simpulan:

Fia belum bisa berbicara dan berjalan, bahkan kondisinya lemah dan sering mengalami sakit. Dari kondisi tersebut dapat kita asumsikan sementara bahwa salah satu penyebab Fia belum bisa berbicara dan berjalan dan kodisi fisiknya yang lemah, terdapat gangguan internal, yakni bisa berupa kelainan genetik, malfungsi neurologis, dan adanya masalah yang lain dalam tubuh Fia sehingga kondisi fisiknya lemah. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, diketahui orang tua Fia cenderung membatasi pergerakan anaknya dalam berinteraksi dengan lingkungan. Kemungkinan karena Fia dengan kondisi fisik yang lemah sehingga orang tuanya pun berhati-hati apabila Fia hendak berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Fia hanya diperbolehkan untuk berinteraksi dengan

keluarganya saja dan pengasuhnya. Hal tersebut tentulah membuat perkembangan Fia menjadi terlambat. Anak-anak pada usia 0-5 tahun merupakan masa-masa emas, dimana perkembangan anak sedang gencar-gencarnya. Jika pada masa ini anak tidak diberikan beragam pendidikan, pelatihan, stimulasi, dan interaksi dengan lingkungannya dikhawatirkan akan terjadi masalah di kemudian hari dan berdampak hingga dewasa nanti.

Dilihat dari faktor eksternal lain yang membuat perkembangan bahasa Fia terlambat yakni urutan anak dalam keluarga. Fia merupakan anak pertama dimana anak pertama yang biasanya cenderung mengalami keterlambatan bicara, namun dilihat dari faktor jenis kelamin anak perempuan biasanya lebih aktif dan bijak dalam berbicara, untuk faktor jenis kelamin tidak mempengaruhi perkembangan bicara dan bahasa anak.

Kemudian dilihat dari tingkat pendidikan ibu. Ibu nya Fia merupakan seorang guru sedangkan ayahnya juga menyenyam pendidikan sarjana. Jika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua Fia ini dikatakan cukup tinggi. Biasanya orang tua yang mengenyam bangku perkuliahan mampu berpikir kritis dengan kemampuan berbahasa yang baik, apalagi ibunya Fia adalah seorang guru, dimana guru harus mampu dalam berkomunikasi dan berinteraksi, begitupun terhadap anaknya sendiri. Ibunya Fia terlalu mengekang anaknya sehingga perkembangan Fis pun terhambat. Jika si ibu merasa khawatir akan kondisi kesehatan Fia dapat diberikan perlakuan khusus tapi tidak dengan mengekang anaknya untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Anak seusia Fia banyak meniru, mereka banyak melihat dan mendengar, dari situlah anak belajar. Peran orang tua sebagai stimulan dan filter bagi si anak, memberikan banyak stimulasi, dorongan padananak sekaligus menyaring apa apa saja yang baik atau tidak untuk anak, tapi sekali lagi dengan tidak mengekang anak.

Kemudian jika dilihat dari faktor ekonomi, dengan profesi orangtua Fia yang demikian dapat kita simpulkan bahwa mereka termasuk kedalam keluarga yang berkecukupan. Untuk hal ini berarti orangtua Fia tidak terlalu berat memikirkan asupan makanan terhadap

Asri Yulianda Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlambatan

Berbicara pada Anak Balita

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 47

Fia. Kondisi ekonomi orang tua yang berkecukupan tentu akan memberikan asupan gizi dan vitamin bagi anak-anaknya dengan baik untuk tumbuh kembang si anak. Namun jika dilihat dari hal lain, mungkin karena kedua orang tua Fia bekerja, sehingga waktu luang untuk mengurus dan memperhatikan anak kurang, maka dari itu timbullah masalah-masalah pada tumbuh kembang Fia. Kurangnya waktu bersama anak dapat menyebabkan perkembangan anak menjadi lambat, ataupun kalau tidak mengalami keterlambatan akan mengalami gangguan emosi si anak. Anak cenderung menjadi agresif. Berdasarkan hasil observasi diatas, Fia termasuk keadalam jenis keterlambatan berbicara tipe Gifted Visual Spatial Learner yaitu karakteristik gifted visual spatial learner ini baik pada tumbuh kembangnya, kepribadiannya, maupun karakteristik giftedness-nya sendiri. SIMPULAN

Dari pemaparan diatas dapat disimpulakan dari ketiga anak yang mengalami keterlambatan berbicara dan bahasa memiliki faktor yang berbeda. Seperti Sazli ada beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi keterlambatan bicara pada Sazli, salah satunya yang pertama adalah dari faktor internal yakni jenis kelamin, seperti yang telah diketahui bahwa untuk perkembangan bahasa pada anak jenis kelamin laki-laki cenderung lebih lambat daripada perempuan, hal tersebut karena level tinggi dari testosteron pada masa prenatal memperlambat pertumbuhan neuron di hemisfer kiri, maka dari itu pun perkembangan anak dalam penguasaan kosa kata dan bahasa cenderung lebih lambat. Namun tidak hanya sampai disitu saja, jika dilihat dari faktor internal lainnya seperti genetik, cacat fisik, dan lainnya tidak ditemukan adanya tanda tanda demikian.

Berbeda pula dengan Azka kemungkinan besar jika dilihat dari faktor internal yakni secara genetik, terdapat kelaianan pada genetik nya yang menyebabkan saraf-saraf perkembangannya terganggu sehingga Azka belum bisa berbicara dan berjalan. Namun jika dilihat dari faktor kecacatan fisik atau malfungsi lain tidak ditemukan adanya cacat dan gangguan. Menurut keterangan orangtua Azka, hal tersebut

memang berasal dari faktor keturunan, dan kemungkinan besar hal tersebut karena faktor genetik dari orang tua.

Selanjutnya Fia dapat asumsikan

sementara bahwa salah satu penyebab Fia

belum bisa berbicara dan berjalan dan

kodisi fisiknya yang lemah, terdapat

gangguan internal, yakni bisa berupa

kelainan genetik, malfungsi neurologis,

dan adanya masalah yang lain dalam

tubuh Fia sehingga kondisi fisiknya

lemah. Dari ketiga subjek diatas faktor

mempengaruhi anak menagalami

keterlambatan berbicara dan berbahasa

kemungkinan faktor genetik dan peran

orangtua dan keluarga dan mengasuh.

SARAN

Strategi yang ditawarkan untuk penanganan dan mengatasi keterlambatan berbicara dan berbahasa pada anak diatas:

a. Melatih anak berbicara dengan benar

b. Membebaskan anak bermain dengan teman sebaya

c. Sering mengajak anak berbicara d. Meluangkan waktu lebih banyak

kepada anak e. Tidak membiarkan anak terlalu

banyak diam f. Jangan mengkekang anak di dalam

rumah DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2009. Psikolingustik Kajian

Teoretik. Jakarta : Rineka Cipta. Dardjowidjojo, Soenjono. 2003.

Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Dardjowidjojo, Soenjono. 1991. Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya: Linguistik Neurologi Pelba 4. Jakarta : Kanisius.

Hurlock, Elizabeth B. 2013.

Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Sardjono. 2005. Terapi Wicara. Jakarta :

Depdiknas.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 48

ANALISIS GANGGUAN BERBICARA ANAK CADEL (Kajian Pada Perspektif Psikologi dan Neurologi)

Cica Elida Hanum Matondang

Dikbind PPs Universitas Negeri Medan [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kasus anak yang mengalami gangguan cadel dalam kemampuannya untuk berbicara melalui kajian perspektif psikologis dan perspektif neurologi. Gangguan tersebut yang nantinya akan dibuktikan apakah ada kaitannya dengan faktor psikologis dan faktor neurologis anak. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan adanya pengamatan (observasi) dan metode simak. Hasil penelitian adalah terdapatnya gangguan berbicara anak yang berusia 27 tahun (dewasa) yang menyangkut tentang fonem-fonem (bunyi) yang tidak sempurna. Jadi, gangguan yang dialami anak disebabkan oleh adanya faktor psikologis yang dipengaruhi oleh lingkungan anak serta adanya faktor kodrati (bawaan) ketika berada pada usia 2-3 tahun. Fonem (bunyi) yang lebih dominan adalah R yang diucapkan menjadi L dan adanya penghilangan huruf R terakhir pada suku kata. Hal ini disebabkan pula oleh posisi lidah yang terlalu pendek. Kata Kunci : Pemerolehan fonologi, Gangguan berbicara Abstract. This study aims to identify cases of children with lisp disorder in their ability to speak through a study of psychological perspectives and neurological perspectives. The disorder, which will be proven whether there is a connection with psychological factors and neurological factors of children. Data collection in this research is done by observation (observation) and method refer to. The result of the study was the presence of a 27-year-old (adult) child speaking disorder concerning imperfect phonemes (sounds). Thus, the disorder experienced by children is caused by the psychological factors that are influenced by the child's environment as well as the existence of natural factors (congenital) when being at the age of 2-3 years. The more dominant phoneme (sound) is R which is pronounced to be L and the final disappearance of the letter R on the syllable. This is also caused by the position of the tongue is too short. Keywords: Phonology acquisition, Speech disorder

PENDAHULUAN Pada dasarnya manusia

memperoleh kemampuan berbahasa sejak lahir yang kemudian mewarisi kemampuan bahasa pertama dari ibunya. Pemerolehan bahasa terjadi secara alami pada saat belajar bahasa pertama (bahasa ibu). Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan dari hasil kontak verbal dengan penutur asli lingkungan bahasa yang mengacu pada penguasaan bahasa yang tidak disadari dan tidak terpegaruh oleh pengajaran bahasa. Harimurti Kridalaksana (1982: 123) mengartikan pemerolehan bahasa sebagai proses pemahaman dan penghasilan bahasa pada manusia melalui beberapa tahap mulai dari maraban sampai kefasihan penuh. Disamping itu, Kiparsky (dalam Tarigan, 1985: 234) menjelaskan bahwa pemerolehan bahasa atau language acquisition adalah suatu

proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya sampai dia memilih berdasarkan suatu ukuran atau takaran penilaian tatabahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut.

Menurut McNeill (dalam Syahnan, 2010:4) ada tiga aspek yang krusial dalam proses pemerolehan bahasa. Ketiga aspek itu adalah data linguistik primer, alat pemerolehan bahasa (language acquision device/LAD) dan kemampuan berbahasa. Data linguistik primer adalah semua masukan atau input yang berupa tuturan yag didengar oleh anak dari orang-orang di lingkungannya. Dengan kata lain, data linguistik

Cica Elida Hanum Matondang Analisis Gangguan Berbicara Anak Cadel

(Kajian pada Perspektif Psikologi dan Neurologi)

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 49

primer menjadi masukan (input) untuk diolah oleh alat pemerolehan bahasa (LAD), hasil olahan LAD ini adalah kemampuan berbahasa sebagai olahan (output). Anak memperoleh masukan (input) berupa tuturan (data linguistik primer) yang didengar dari orang-orang disekitarnya. Masukan yang berupa data linguistik primer itu berfungsi sebagai pengarah perkembangan bahasa anak selanjutnya. Artinya, apabila masukan data liguistik primernya bahasa Batak maka keluarannya adalah kemampuan berbahasa Batak; begitu juga apabila masukannya berupa data linguitik primer bahasa Indonesia, maka keluarannya pun kemampuan berbahasa Indonesia.

Alat pemerolehan bahasa (LAD) terdiri dari aspek-aspek dan kaidah bahasa yang universal sifatnya, dalam hubungan proses pemerolehan di atas, LAD menerima masukan berupa data linguistik primer, kemudian melakukan identifikasi dan pembeda-bedaan terhadap masukan itu. Identifikasi dan diferensiasi menghasilkan penggolongan-penggolongan terhadap hubungan ketatabahasaan yang sangat rumit. Dengan demikian, LAD berfungsi untuk membentuk gramatika suatu bahasa. Dengan menggunakan input kebahasaan yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rofi’uddin, (1989: 24) dalam Syahnan (2010:5) LAD akan bekerja dan membentuk sisitem gramatika dalam diri membelajar.

Keluaran (output) adalah berupa perbuatan bahasa (language performance) yang apabila diamati berulang-ulang dapat memberikan gambaran tentang kemampuan berbahasa (language competence) anak. Keluarabn (output) dalam sistem pemerolehan bahasa sangat dapat dipengaruhi oleh input dan proses atau pengolahan yang terjadi. Karena itu, karakteristik keluaran (output) dapat menggambarkan karakteristik masukan

(input) dan tingkah laku proses dari sistem pemerolehan itu.

Sejak lahir, anak diajarkan untuk berbicara oleh orang tuanya, bahkan ketika ia masih di dalam kandungan ibunya. Anak yang dibiasakan untuk diajak berkomunikasi dalam kandungan akan memiliki respon yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak pernah diajak berkomunikasi oleh orang tuanya. Respon-respon tersebut yang nantinya akan memudahkan anak dalam merangsang untuk cepat dalam berbicara. Berbicara adalah tahapan perkembangan yang dimulai sejak bayi, hal ini sejalan dengan Brown, 1980:20 yang ,menjelaskan bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki alat pemerolehan bahasa yang disebut dengan LAD (Language Acquisition Device). Pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Chaer, 2003:167 mengemukakan bahwa pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua. Krashen (1982: 10) ada dua cara yang berbeda dala mengembangkan atau menguasai bahasa kedua bagi orang dewasa, yaitu pemerolehan dan pembelajaran. Pemerolehan adalah proses penguasaan bahasa kedua melalui bawah sadar dengan cara berkomunikasi langsung dengan orang-orang yang menggunakan bahasa tersebut. Proses ini berlangsung secara alamiah dan diinternalisasi melalui bawah sadar, seperti proses yang dialami oleh anak-anak dalam menguasai bahasa ibunya.

Dardjowidjojo (2000: 39-40) menyatakan bahwa pemerolehan

Cica Elida Hanum Matondang Analisis Gangguan Berbicara Anak Cadel

(Kajian pada Perspektif Psikologi dan Neurologi)

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 50

bahasa harus diartikan sebagai suatu penguasaan yang tidak hanya menyangkut kemampuan pelafalan, tetapi juga mengaitkan antara bentuk dan makna. Untuk itu ada dua kriteria yang harus dipertimbangkan dalam pemerolehan bahasa. Pertama, anak tersebut telah dapat memproduksi bentuk yang bunyinya dekat dengan bunyi yang dihasilkan oleh orang dewasa. Kedua, anak sudah dapat mengaotkan bentuk dengan maknanya secara konsisten. meskipun demikian, ada perdebatan antara kaum nativis dan empiris. Mukalel (2003: 18) menyatakan kaum nativis (nature) yang dipelopori oleh Chomsky berpandangan bahwa pemerolehan bahasa itu bersifat kodrati dan merupakan suatu proses instingtif yang berlanjut dan berjalan secara konstan dari waktu ke waktu dengan mengikuti jadwal genetik sesuai dengan prinsipel atau parameter yang terdapat pada tata bahasa universal. Sebaliknya kaum empiris (nature) yang dipelopori oleh Watson menekankan pada peranan lingkungan dan tidak percaya peran mental dalam pemerolehan pengetahuan. Sehingga daat disimpulkan bahwa pemerolehan bahasa anak dipengaruhi oleh kedua faktor yang telah disebutkan diatas, yaitu faktor lingkungan seperti yang dikemukan oleh kaum empiris dan faktor bawaan/kodrati yang dikemukakan oleh kaun nativis. Seperti yang diketahui bahwa, pemerolehan bahasa pertama anak tentulah dimulai dari unsur bahasa yang paling rendah, yakni fonem atau bunyi-bunyi huruf. Pemerolehan ini akan dilanjutkan pada tataran yang lebih tinggi, yakni suku kata, kata, kalimat dan makna. Menurut Mukalel (2003: 18), anak dilahirkan dengan dibekali oleh kemampuan dasar untuk berbahasa dari organ biologis untuk melakukan ujaran begitu juga dengan kemampuan bawaan yang memproduksi dan mengoordinasi ujaran. Fungsi kemampuan biologis

dan mental adaah sebagai dasar dalam perkembangan bahasa. Gangguan Berbicara

Manusia memiliki kemampuan berbahasa lisan dan tulisan. Meskipun kebanyakan orang lebih sering menggunakan bahasa lisan daripada tulisan. Bahasa lisan dianggap lebih praktis dan dapat secara langsung bertatap muka dengan lawan bicara. Bahasa lisan dan tulisan merupakan suatu bentuk komunikasi yang dilakukan oleh seseorang dalam menyampaikan maksud tertentu. Berbicara adalah suatu ujaran yaitu sebagai suatu cara berkomunikasi mengungkapkan pikiran, pendapat, gagasan, perasaan dan keinginan dengan bantuan lambang-lambang yang disebut kata-kata (Tarigan, 1981). Bahasa dijadikan sebagai landasan seseorang untuk dapat mempelajari sesuatu yang ada di lingkungannya. Sebelum anak belajar pengetahuan-pengetahuan lain, anak lebih dulu mampu berbahasa, hal ini dikarenakan agar anak memahami dengan baik lingkungan sosialnya. Perkembangan bahasa anak seiring bertambahnya usia akan jauh berkembang dan kompleks jika lingkungan sekitar mendukung anak untuk banyak mengeluarkan suara atau berbicara. Namun, kemampuan berbicara anak tidak sepenuhnya jelas apa yang dituturkan bahkan tidak jelas maksud yang disampaikan. gangguan bicara merupakan keluhan sebagian besar orang tua yang pada akhirnya didiagnosis sebagai gangguan perkembangan multisistem (Multisystem Development Disorders). Gangguan ini adalah salah satu bentuk kelainan perkembangan yang muncul dalam bentuk gangguan relasi (berinteraksi) dan komunikasi yang akhir-akhir ini terus meingkat. Kegagalan dalam relasi dan komunikasi pada usia 0-3 tahun dianggap sebagai kondisi yang masih dapat berubah dan tumbuh. Hanya saja, sulit mmeprediksi mana yang bisa normal perkembangannya dan mana

Cica Elida Hanum Matondang Analisis Gangguan Berbicara Anak Cadel

(Kajian pada Perspektif Psikologi dan Neurologi)

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 51

yang akan mengalami gangguan. Oleh sebab itu, dua belas bulan pertama kehidupan anak merupakan masa yang paling penting untuk mendeteksi tumbuh kembang bicaranya. Berbicara atau berkomunikasi sudah dimulai sejak masa bayi. Normalnya, bayi akan menangis dan bergerak, sehingga seorang ibu dapat belajar bereaksi terhadap tangisan dan geraknya sehingga terjadi interaksi. Dengan mengerti tahap bicara anak, diharapkan gangguan bicara dapat segera ditemukan. Kinbaby (2008) mengatakan bahwa semakin dini keterlambatan bicara anak ditangani, maka semakin besar kemungkinan membaiknya. Hal ini tergantung pada kelainan apa yang menjadi dasar gangguan perkembangan anak.Masalah bicara dan bahasa sebenarnya berbeda tetapi kedua masalah ini sering kali tumpang tindih (Kidshealth, 2008). Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin saja dapat mengucapkan suatu kata dengan jelas tetapi ia tidak dapat menyusun dua kata dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang anak mungkin sedikin sulit untuk dimengerti, tetapi ia dapat menyusun kata-kata yang benar untuk menyatakan keinginannya. Gangguan bahasa dan bicara melingkupi gangguan artikulasi, gangguan mengeluarkan suara, afasia (kesulitan menggunakan kata-kata, biasanya karena memar atau luka pada otak), keterlambatan berbicara atau berbahasa dan sebagainya. Banyak orang tua baru mengetahui anaknya mengalami gangguan bicara setelah berumur di atas dua tahun. Padahal, gangguan ini sudah bisa dideteksi saat anak berusia 3 bulan. Sidharta (1989) mengemukakan bahwa gangguan bicara dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori; (1) gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik, (2) gangguan multi faktor, (3) gangguan bicara psikogenik.

Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi uca[an (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot, yang membentuk rongga mulut, kerongkongan dan paru-paru. Gangguan bicara pada tipe ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Gangguan Akibat Faktor

Pulmonal Ganggauan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru. Para penderita penyakit paru-paru ini kekuatan bernapasnya sangat kurang, sehingga cara berbicaranya diwarnai oleh nada yang monoton, volume suara yang kecil, dan terputus-putus, meskipun dari segi semantik dan sintaksis tidak ada masalah.

2. Gangguan AkibatFaktor Laringal Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali. Gangguan berbicara akibat faktor laringal ini ditandai oleh suara yang serak dan hilang, tanpa kelainan semantik dan sintaksis. Artinya, dilihat dari segi semantik dan sintaksis ucapannya bisa diterima.

3. Gangguan Akibat Faktor Lingual Lidah yang sariawan atau terluka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah timbulnya rasa pedih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara semaunya. Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna, sehinnga misalnya, kalimat “Sudah barang tentu dia akan menyangkal” mungkin akan diucapkan menjadi “Hu ah ba-ang ke-ku ia-an me-angkay”. Pada orang yang terkena stroke dan badannya lumpuh sebelah, maka lidahnya pun lumpuh sebelah. Oleh karena itu, cara berbicaranya juga akan terganggu, yaitu

Cica Elida Hanum Matondang Analisis Gangguan Berbicara Anak Cadel

(Kajian pada Perspektif Psikologi dan Neurologi)

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 52

menjadi pelo atau cadel. Istilah medisnya disatria (yang berarti tergangguanya artikulasi). Gejala terkena stroke banyak dikenali dari kepeloan ini.

4. Gangguan Akibat Faktor Resonantal Gangguan akibat faktor resonantal ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Pada orang sumbing, misalnya suaranya menjadi bersengau (bindeng) karena rongga mulut dan rongga hidung yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di langit-langit keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu. Hal ini terjadi juga pada orang yang mengalami kelumpuhan pada langit-langit lunak (velum). Rongga langit-langit itu tidak memberikan resonansi yang seharusnya, sehingga suaranya menjadi bersenguau. Penderita penyakit miastenia gravis (gangguan yang menyebabkan otot menjadi lemah dan cepat lelah) sering dikenali secara langsung karena kesengauan ini.

Gangguan akibat muliti faktor memperlihatkan beberapa gejala gangguan berbicara, diantaranya adalah: 1. Bicara serampangan

Bicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditamabh dengan “menelan” sejumlah suku kata, sehinga apa yang diucapakan sukar dipahami.

2. Bicara propulsif Gangguan ini sering terjadi pada penderita penyakit parkinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku dan lemah). Artikulasi sangat terganggu karena elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pia suara sebagian besar

senyap. Volume suaranya menjadi kecil, iramanya datar, suaranya mula-mula tersendat-sendat kemusian terus-menerus dan akhirnya tersendat-sendat kembali. Oleh karena itu, car bicaranya disebut propulsif.

3. Berbicara mutis (mutisme) Penderita gangguan mutisme ini tidak berbicara sama sekali. Sebagian dari mereka mungkin masih dapat dianggap membis, yakni memang sengaja tidak mau berbicara. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secar verbal saja tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperto engan gerak gerik dan sebagainya. Gangguan bicara psikogenik ini

lebih tepat disebut sebagi gangguan visual cara berbicara sebagai sebagai ungkapan dari gangguan mental. Modalitas mental yang terungkap oleh cara bicara sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, dan intensitas suara, lafal dan pilihan kata. Uajaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicara. Beberapa bentuk variasi berbicar psikogenik ini antara lain adalah: 1. Berbicara manja

Berbicara manja dikarenakan ada kesan anak melakukannya meminta perhatian untuk dimanja seperti waktu terjatuh, terluka, ataupun mendapat kecelakaan. Terdengar adanya perubahan pada cara berbicara. Gejala ini juga terjadi pada orang tua pikun atau jompo (biasanya wanita).

2. Berbicara kemayu Berbicara kemayu berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dah lafal yang dilakukan secara ekstra menonjol atau ekstra gemulai dan ekstra memanjang. Gangguan ini dapat dipandang sebagai suatu

Cica Elida Hanum Matondang Analisis Gangguan Berbicara Anak Cadel

(Kajian pada Perspektif Psikologi dan Neurologi)

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 53

gangguansindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan identitas kelain terutama jika yang dilanda adalah kaum pria.

3. Berbicara gagap Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ngulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan.

4. Berbicara latah Latah sering disamakan dengan ekolala, yaitu perbuatan membeo, atau menirukan apa yang dikatakan orang lain, tetapi sebenarnya alatah adalah suatu sindrom yang terdiri atas curaj verbal reseptif yang bersifat jorok (korprolala dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing).

Burzi (2008) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami gangguan berbicara, antara lain adalah: 1. Gangguan bicara bersifat bawaan

(conginetal); Gangguan ini bisa dikarenakan retardasi mental, ketulian, gangguan saraf, cacat pada alat bicara seperti pada lidah, gigi, bibir, langit-langit dan anak lidah. Bisa juga karena gangguan perkembangan bicara, seperti gagap dan gangguan safar-saraf motorik.

2. Gangguan bicar ayang didapat; Gangguan ini timbul bisa dikarenakan afasia, yakni gangguan bicara yang diakibatkan penyakit yang disertai kejang. Bisa juga karena infeksi pada otak panca trauma kepala, kanker otak, gangguan aliran darah ke otak, serta kelumpuhan saraf yang menggerakkan otot bicara, seperti polio dan tumor otak.

3. Karena faktor kejiwaan seperti penyakit autisme; Biasanya gangguan bawaan lebih sulit diobati, namun pada gangguan

anatomi masih bisa dikoreksi dengan operasi. Mengingat masa pertumbuhan otak paling cepat terjadi sejak umur enam bulan hingga tiga tahun, maka jika terjadi gangguan bicara pada masa golden age, sehinga mengganggu proses pertumbuhan otak.

4. Karenakan labioskizis (bibir sumbing) dan palatoskizis (celah pada langit-langit); Kadang juga bisa dikarenakan adanya jaringan yang menghubungkan bawah lidah dan dasar mulut yang menarik lidak ke bawah. Jika ini terjadi, maka jaringan tersebut harus dipotong sehingga lidah bisa bergerak bebas.

5. Karena gagap; biasanya disebabkan faktor kejiwaan, sehingga pendekatan pengobatan juga dilakukan denagn terapi kejiwaan. Umumnya anak laki-laki lebih sering dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan 4:1, sehingga diperlukan kebih banyak terapi kejiwaan.

6. Kurangnya latihan dan stimulasi dari lingkungan seperti pengasuhnya yang pendiam, lingkungan yang banyak menggunakan bahasa, sehingga anak menjadi bingung. Sebaiknya komunikasi dilakukan dengan satu abhasa. Untuk anak autisme, perlu latihan. Pada tahap awal, stimulasi kontak dengan matanya karena anak autisme tidak mau melakukan kontak mata dengan lawan bicara.

7. Karena retardasi mental yang membuat anak menjadi terlambat dalam berbahasa dan gangguan mimik. Makin berat gangguannya, makin lambat komunikasi bicaranya.

8. Maturation delay yang diakibatkan terlambatnya maturasi proses neurologis yang dibutuhkan otak untuk dapat berbicara.

9. Karena gangguan bicara ekspresif (expressive language disorder)

Cica Elida Hanum Matondang Analisis Gangguan Berbicara Anak Cadel

(Kajian pada Perspektif Psikologi dan Neurologi)

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 54

ynag diakibattkan karena adanya disfungsi otak yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mengubah ide yang ada ke dalam bentuk perkataan.

10. Penggunaan dua bahasa atau lebih dalam lingkungan rumah.

11. Pengaruh sosial, misalnya terkait dengan kemiskinan, deprivasi sosial pada anak (stimulasi yang tidak kuat, orang tua tunggal, stres emosional, dan penelantaran anak).

12. Gangguan bicara karena mutisme elektif yang menyebabkan mereka tidak ingin bicara.

Cadel Cadel adalah ketidakmampuan

mengucapkan satu huruf unik, umumnya huruf R, meski ada juga sebagian orang yang justru bisa menyebut huruf R, namun cadel untuk huruf lainnya. Orang Jepang misalnya, kebanyakan cadel pada huruf L. Ada beragam variasi cadel pada anak. Ada yang menyebut “R” jadi “L”, “K” jadi “T”, “K” jadi “D”, atau “S” dengan “T”, sering terbalik-balik. Tetapi tiap anak variasinya berbeda-beda. Jadi yang dimaksud dengan cadel adalah kesalahan dalam pengucapan. Ada dua faktor yang menyebabkan anak menjadi cadel, yakni; (1) faktor psikologis, (2) faktor neurologis. Faktor psikologis dikarenakan kehadiran adik misalnya, mak auntuk menarik perhatian orang tua, anak akan menunjukkan kemunduran kemampuan bicara dengan menirukan gaya bicara adik bayinya. Untuk mengatasinya, orang tua harus mnunjukkan perhaian padanya yang tidak akan berkurang karena kehadiran adik. Selain itu, orang tua harus terus mengajak anak bicara dengan bahasa yang benar, jangan malah menirukan pelafalan yang tidak tepat.

Memang semestinya pada rentang usia pra-sekolah, anak sudah bisa mengucapkan seluruh konsonan dengan baik. Sebab menginjak usia 3-4 tahun, otot-otot lidahnya mulai matang. Hanya saja, perkembangan

setiap anak berbeda. Jadi wajar meski usianya sama tapi masih ada anak yang cadel.Sayangnya, cukup sulit mendeteksi, apakah kecadelan di usia 3-5 tahun akan berlanjut terus atau tidak karena menyangkut sistem saraf otak yang mengatur fungsi bahasa, yakni area broca yang mengatur koordinasi alat-alat vokal dan area wernicke untuk pemahaman terhadap kata-kata.Memang semestinya pada rentang usia pra-sekolah, anak sudah bisa mengucapkan seluruh konsonan dengan baik. Sebab menginjak usia 3-4 tahun, otot-otot lidahnya mulai matang. Hanya saja, perkembangan setiap anak berbeda. Jadi wajar meski usianya sama tapi masih ada anak yang cadel.

Sayangnya, cukup sulit mendeteksi, apakah kecadelan di usia 3-5 tahun akan berlanjut terus atau tidak karena menyangkut sistem saraf otak yang mengatur fungsi bahasa, yakni area broca yang mengatur koordinasi alat-alat vokal dan area wernicke untuk pemahaman terhadap kata-kata.Kerusakan pada area broca disebut motor aphasiam yang membuat anak lambat bicara dan pengucapannya tak sempurna sehingga sulit dimengerti. Sedangkan kerusakan pada area wernicke disebut sensori aphasia di mana anak dapat berkata-kata tapi sulit dipahami orang lain dan dia pun sulit untuk mengerti kata-kata orang lain.

Tak hanya itu, kesulitan mendeteksi juga disebabkan pada rentang usia 3-5 tahun kemampuan anak masih berkembang. Artinya dia sedang dalam proses belajar berbicara. Ia tengah berada pada fase mulai menyesuaikan, mulai menambah perbendaharaan kata, meningkatkan pemahaman mengenai bahasa dan perkembangan makna kata. Termasuk juga penguasaan konsonan.Kendati demikian, orang tua sebaiknya tidak membiarkan kecadelan anaknya, karena semakin lama akan semakin sulit diluruskan, sehingga bisa jadi si anak akan terus berada dalam

Cica Elida Hanum Matondang Analisis Gangguan Berbicara Anak Cadel

(Kajian pada Perspektif Psikologi dan Neurologi)

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 55

kecadelannya. Apalagi cadel tak akan hilang secara otomatis meski kadar keseringannya berkurang. Jadi, berikanlah stimulasi agar cadelnya tak berkelanjutan.Bila cadel dibiarkan, maka di usia sekolah nanti dapat menyebabkan anak merasa berbeda dengan teman-temannya. Buntutnya, anak menjadi malu dan merasa asing dari orang lain. Bisa-bisa ia tak mau bila disuruh berbicara di depan kelas karena takut ditertawakan teman-temannya. Akibatnya, anak jadi minder dan menarik diri. Penyebab Berbicara Cadel

Orang cadel sulit melafalkan huruf R kerena ada beberapa faktor yang mempengaruhi, diantaranya : 1. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan bisa disebabkan karena kondisi keluarga pada tahap pembelajaran anak berinteraksi berbicara cadel .Kebiasaan mengajari anak berinteraksi seperti itu yang menadi kebiasaan, mungkin orangtua beranggapan bahwa anknya masih dini belum bisa berbicara R, sehingga terbiasa menggunakan huruf L sebagai pengganti.

2. Faktor Psikologis Faktor psikologis banyak yang mengatakan bahwa kehadiran adik menyebabkancadel karena kebiasaan meniru. Hubungan keluarga yang kurang harmonis dapat menyebabkan cadel.

3. Faktor Kesehatan Faktor kesehatan karena gangguan pada mulut, keterlambatan berbicra dan pendenganran serta gen yang dapat menurun kepada anaknya.

Penyebab lain anak menjadi cadel dapat dilihat dari beberapa hal yaitu sebagai berikut: 1. Kurang matangnya koordinasi bibir

dan lidah. Kemampuan mengucapkan kata-kata vokal, konsonan secara sempurna sangat bergantung pada kematangan sistem saraf otak, terutama bagian yang mengatur koordinasi motorik otot-otot lidah.

2. Kelainan fisiologis berupa gangguan pada bagian pendengaran, gangguan pada otak, dan gangguan di wilayah mulut.

3. Faktor lingkungan. Biasanya orang tua yang membiarkan anaknya cadel, bahkan ikut mengikuti ucapan si anak.

4. Faktor psikologis bisa menjadi penyebabnya. Mungkin anak yang kurang perhatian orang tua karena kehadiran sang adik, menjadi ikut-ikutan gaya bicara adik yang cadel.

Dari keempat penyebab cadel tersebut, dapat diatasi dengan cara orang tua harus menuntun anak melafalkan ucapan yang benar, orang tua harus menghentikan kebiasaan berkata cadel, dan orang tua harus mengajak anak bicara dengan bahasa yang benar.

Namun jika penyebab cadel karena faktor fisiologis tentu relatif dapat diatasi, tergantung kategori ringan atau berat. Umumnya bila penyebab masuk dalam kategori berat penyakitnya maka bisa jadi cadel yang menetap dan jika tergolong ringan, maka cadelnya tidak menetap.

Masalah cadel pada anak cukup sulit untuk dideteksi apakah akan berlanjut setelah mencapai usia lima tahun atau lebih, karena menyangkut sistem otak yang mengatur fungsi bahasa, yaitu Area Broca. Area ini mengatur koordinasi pada area vokal dan area wernicke untuk bagian pemahaman terhadap kata-kata. Anak yang masih menemui kesulitan mengucapkan kata-kata dengan jelas bisa saja merupakan akibat dari beberapa hal berikut ini: 1. Penggunaan dot atau empeng –

Menggunakan dot terlalu lama bisa membuat anak mengalami cadel karena lidah anak terdorong ke depan dan berada di antara giginya. Kondisi demikian bisa membuat anak tidak jelas ketika mengucapkan huruf S dan Z.

2. Tongue Tied – Kondisi yang juga disebut Ankyloglossia ini merupakan suatu keadaan dimana

Cica Elida Hanum Matondang Analisis Gangguan Berbicara Anak Cadel

(Kajian pada Perspektif Psikologi dan Neurologi)

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 56

ketika Frenulum Lingue, jaringan yang menempel di bawah lidah sampai ke bagian bawah mulut terlalu pendek. Keadaan ini akan membatasi pergerakan lidah ketika berbicara, dan hal ini biasanya terjadi sejak bayi lahir atau merupakan bawaan lahir.

3. Kelainan Fisiologis lain – Cadel juga bisa disebabkan oleh kelainan fisiologis lain seperti kelainan pendengaran dan gangguan pada otak, atau kelainan pembentukan langit – langit mulut.

4. Lingkungan – Dalam kondisi ini, anak menjadi cadel bukan karena masalah perkembangan fisiknya, melainkan karena orang tuanya membiasakan berbicara dengan logat cadel dengan sang anak. Sehingga si kecil menganggap bahwa hal itu adalah cara berbicara yang normal untuk dilakukan.

Psikologis – Banyak faktor psikologis yang menyebabkan anak menjadi cadel, misalnya terlalu dimanja, mencari perhatian orang-orang di sekelilingnya, atau mengikuti tontonan di televisi yang dia lihat dan banyak lagi. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk penelitian kualitatif deskriptif . kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bnetuk kata-kata dan bahasa, pada satu kontekshubungan khusus yang dialami dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2004: 6). Jenis penelitian kualitatif deskriptif dimaksudkan adanya data yang dianalisis dan dihasilkan berupa kata-kata dan kalimat, bukan angka. 2. Data dan Sumber Data

Data daa penelitian ini adalah berupa fonem-fonem (bunyi) yang dikeluatkan ana pada saat berbicara ketika usia 2-3 tahun yang kemudian fonem (bunyi) yang dikeluarkan masih salah ketika sudah dewasa. Sumber data dalam penelitian ini adalah anak usia 27 tahun di

Desa Bandar Sono, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara. 3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan pengamatan (observasi) dengan menggunakan metode simak. Metode penyediaan data ini diberi nama metode simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan penggunaan bahasa (Mahsun, 2011:92). Jadi, dengan menggunakan metode ini, peneliti dapat menyimak fonem (bunyi) yang pengucapannya salah yang dilakukan oleh anak yang berusia 27 tahun dalam perspektif psikologis dan perspektif neurologis. HASIL PENELITIAN Pemerolehan bahasa pertama anak dimulai dari pemerolehan fonologi. Hal ini sesuai denga pendapat Mukalel (2003: 18) berikut: ”The first and the basuc linguistic system which the child internalizes is the phonology of the language”. Yang pertama dan menjadi dasar sistem linguistik yang diinternalisasi oleh anak adalah fonologi bahasa. Pemerolehan bunyi anak bersifat universal. Bunyi yang universal itu menurut Jakobson dalam Dardjowidjojo adalah sistwm vokal mini (minimal vocalic system), yakni [a], [i], dan [u]. Selanjutnya, konsonan yang pertama uncul adalah oposisi antara oral dan nasal ([p-t]-[m-n] kemudian disusul oleh labial dengan dental ([p]-[t]). Jadi ketika anak berada pada usia 2-3 tahun, fonem-fonem yang dikeluakan anak belum sepenuhnya jelasa dan benar. Hal ini diperjelas pada saat anak meminta sesuatu kepada ibunya, dan ibunya kurang mengerti apa yang dimaksudkan oleh anak. Tabel 1. Kesalahan Bunyi yang Diucapkan Fonem R (Benar) Fonem R (Salah)

Barang Balang Jarang Jalang Kur(ayam) Ku Pergi Pegi Telur Telu Barang Balang (pergantian huruf konsonan ditengah kata) Jarang jalang (perubahan kata dan makna) Jarang : tidak rapat. Jalang : tidak dipelihara orang (binatang) Kur (ayam) Ku

Cica Elida Hanum Matondang Analisis Gangguan Berbicara Anak Cadel

(Kajian pada Perspektif Psikologi dan Neurologi)

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 57

(penghilagan huruf konsonan diakhir) Pergi Pegi (penghilangan huruf konsonan ditengah) Telur Telu (Perubahan kata (bahasa Jawa) dan makna) Telur:benda bercangkang yang

mengandung zat hidup bakal anak yang dihasilkan oleh unggas (ayam, itik, burung dan sebagainya)

Telu (bahasa Jawa) : tiga PEMBAHASAN Hasil analisis dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti terhadap anak usia 27 tahun (dewasa) di Desa Bandar Sono, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara tentang gangguan berbicara cadel dalam kaitannya dengan faktor psikologis dan faktor neurologis menunjukkan adanya ketidaksempurnaan fonem (bunyi) yang diujarkan. Dari uraian diatas terdapat beberapa kata yang pengucapan huruf R sangat jelas salah bila diucapkan. Peneliti hanya mengidentifikasi 6 kata yang diucapkannya ketika masih berusia 2-3 tahun yang kemudian ketika dewasa kata-kata tersebut pun masih sama. Pada kata “barang” menjadi “balang” , artinya adanya suatu pergantian huruf konsonan “R menjadi L”, kata “jarang” menjadi “jalang” , artinya adanya suatu pergantian kata dan arti yang berbeda, (jarang = tidak rapat), (jalang = tidak dipelihara orang / binatang), kata “kur (ayam)” menjadi “ku” , artinya adanya penghilangan huruf konsonan diakhir, kata “pergi” menjadi “pegi” , artinya adanya penghilangan huruf konsonan ditengah, dan kata “telur” menjadi “telu” , artinya adanya (perubahan kata (bahasa Jawa) dan makna), (telur = benda bercangkang yang mengandung zat hidup bakal anak yang dihasilkan oleh unggas (ayam, itik, burung dan sebagainya) dan telu (bahasa Jawa) : tiga. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian di Desa Bandar Sono, Kecamatan tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara bahwa gangguan berbicara cadel anak berusia 27 tahun (dewasa) ini disebabkan oleh faktor psikologis yang dibawanya sejak lahir serta adanya pengaruh terhadap posisi lidah yang terlalu pendek sehingga fonem (bunyi) yang dikeluarkan tidak sempurna. Kebiasaan seperti inilah yang dialami

anak yang sulit untuk melafalkan huruf R dengan jelas. Dengan demikian untuk mengatasi hal semacam ini adalah dengan adanya peran orang tua (ibu) dengan cara melatih anak dengan melafalkan huruf dan fonem dengan benar. Meskipun anak pada usia 2-3 tahun masih tergolong pengucapan seperti bayi, orang tua (ibu) untuk tidak ikut-ikutan berbicara yang sama dengan anak tersebut. SARAN

Orang tua sangat berperan penting dalam membentuk karakter anak untuk dapat berbahasa mulai sejak dini. Lingkungan keluarga yang baik akan berpengaruh positif terhadap tumbuh kembang anak. Pola yang baik tentu menghasilkan keterampilan berbahasa anak dengan benar. Hal ini tentunya menghindari dari berbagai gangguan yang dimiliki anak terutama terhadap gangguan cadel. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul, 2009. Psikolingusitik

Kajian Teoritik. Jakarta : Rineka Cipta.

Arifuddin. 2013. Neuropsikolinguistik.

Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa. Daulay, Syahnan. 2011. Pemerolehan dan

Pembelajaran Bahasa. Medan: Perdana Mulya Sarana.

Dardjowidodo,Soenjono. 2000. ECHA:

Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.

Sastra, Gusdi. 2011. Neurolinguistik.

Bandung: Alfabeta. Moleong, Lexy. J. 2007. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mhsun, 2011. Metode Penelitian Bahasa:

Tahan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Cetakan kelima. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 60

PENGARUH METODE DISKUSI KELOMPOK DINAMIKA PADA MATERI POKOK MENULIS TEKS EKSPLANASI TERHADAP HASIL BELAJAR

SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 ANGKOLA BARAT

Dedi Zulkarnain Pulungan FKIP Universitas Graha Nusantara

[email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa dengan menggunakan metode diskusi kelompok Dinamika pada materi pokok menulis teks eksplanasi terhadap hasil belajar. Hasil penelitian menunjukkkan bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan metode diskusi dalam kelompok dinamika tergolong kategori tinggi dengan nilai rata-rata postes (82,25) dan Standar Deviasi 8,72 sedangkan kelas kontrol tergolong kategori sedang dengan nilai rata-rata (70,17) dan Standart deviasi 7,76. Berdasarkan hasil uji stastik t diperoleh thitung = 8,72 dengan a = 0.05 sehingga diperoleh ttabel = 1,99 ternyata thitung > ttabel (8,72 > 1,99) maka dinyatakan Ha diterima dan Ho ditolak. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh metode yang signifikan terhadap hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan metode diskusi kelompok dinamika pada materi pokok menulis teks eksplanasi siswa kelas X SMA Negeri 1 Angkola Barat. Kata Kunci : Metode Diskusi, Kelompok Dinamika, Teks eksplanasi, Hasil Belajar

Abstract. This study aims to determine student learning outcomes by using the group discussion method Dynamics on the subject matter of writing explanatory texts on learning outcomes. The results of the study show that the learning outcomes of students who use the discussion method in the dynamics group are classified as high categories with posttest average values (82.25) and Standard Deviations 8.72 while the control class is classified as a moderate category with an average value (70.17) and Standard deviation 7.76. Based on the stastic test results, t is obtained tcount = 8.72 with = 0.05 so that it is obtained t table = 1.99 turns out tcount> t table (8.72> 1.99) then stated Ha is accepted and Ho is rejected. Thus it can be stated that there is an Effect Method which is significant towards student learning outcomes taught by using the dynamic group discussion method in the subject matter of writing explanatory texts in class X of SMA Negeri 1 Angkola Barat. Keywords: Discussion Method, Dynamics Group, Explanatory Text, Learning Outcomes

PENDAHULUAN Permasalahan belajar sebenarnya

memiliki kandungan subtansi yang “misterius”. Berbagai macam teori belajar telah ditawarkan para pakar pendidikan dengan belajar dapat ditempuh secara efektif dan efisien, dengan implikasi waktu ceoat dan hasilnya banyak. Namun sampai saat ini belum ada satupun teori yang dapat menawarkan strategi belajar secara tuntas. Masih banyak persoalan-persoalan belajar yang belum tersentuh oleh teori-teori tersebut.

Pada saat proses belajar mengajar berlangsung, seorang guru tidaklah mudah menciptakan kondisi yang konduktif bagi semua siswa. Ada siswa yang proaktif, ada siswa yang tidak banyak berbicara (pendiam) tetapi memiliki kemampuan akademk di atas temannya, dan terdapat pula siswa yang banyak bicara tetapi memiliki kemampuan rendah. Bahkan, ada

siswa dengan kemampuan akademik menengah- ke bawah merasa tertekan sebab materi, pelajaran Bahasa Indonesia sarat dengan teori, konsep, dan praktek lisan maupun tulisan.

Dari hasil penamatan penulis selama melakukan observasi di SMA Negeri 1 Angkola Barat, dalam mengajar guru sering mengajar dengan konvensional. Guru merasa memilki wewenang apa saja yang berkaitan dengan pembelajaran dan tidak boleh diganggu gugat oleh siswa maupun pihak lain, praktis, pengajarn seperti ini hanya menjadi guru pandai sepihak sedangkan siswa tetap kurang memahami, pasif, kurang ide atau gagasan, terintervensi dan terbelenggung.

Upaya pembelajaran yang tenyata memebelenggu ini tidak lepas begitu saja karena akibat demikian tidak didasari guru dominatif. Guru asyik sendiri berceramah

Dedi Zulkarnain Pulungan Pengaruh Metode Diskusi Kelompok Dinamika pada Materi Pokok Menulis Teks Eksplanasi

terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Angkola Barat

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 61

sedangkan para siswa mengangguk-angguk petanda harus mengakhiri pelajaran tersebut. Beberapa siswa melakukan aktivitas lain, seperti; mengganggu teman, mengerjakan pelajaran yang lain yang semua itu bisa mengganggu proses belajar mengajar. Ketika diadakan evaluasi, beberapa siswa menunjukkan kekurangan mengertiannya, terbukti dari rata-rata hasil belajar siswa tersebut yang belum mencapai KKM yakni 75. Itu artinya siswa kurang bergairah mengikuti pelajaran tersebut. Hal ini yang membuat penulis tetarik mengadakan penelitian di SMA Negeri 1 Angkola Barat pada materi pokok menulis teks eksplanasi. Karena topik ini cukup diminati dikalangan remaja karena sangat berhubungan dengan fakta atau peristiwa yang terjadi. Jadi selain teori, penulis juga ingin menyampaiakan konsep yang benar mempelajari menulis teks eksplanasi agar tidak disalah artikan oleh para siswa.

Menciptakan iklim pendidikan yang demokratis di sekolah, yang mengakui dan menghargai hak-hak peserta didik merupakan kebuhan yang mendesak. Alasannya masih banyak fakta yang terjadi di sekolah bahwa : (1) Proses pendidikan masih didominasi dengan menyampaian informasi (ceramah) bukan pemerosesan informasi. (2) Proses pendidikan didominasi kegiatan mendengarkan dan menghapal bukan intepretasi dan pemaknaan, dan (3) Proses pendidikan masih didominasi oleh guru bukan penciptaan suasana belajar yang demokratis yang memberikan peluang kepada siswa untuk berkreasi, membangun imajinasi, dan mengembangkan potensi uniknya.

Dalam pendidikan yang demokratis, siswa sugnguh ditempatkan sebagai subjek, dilibatkan dalam merencanakan, melaksanakan, mengembangkan, dan mengevaluasi proses pembelajaran. Perlakuan dan treatment kepada setiap siswa berbeda sesuai dengan kerakteristik masing-masing siswa. Pendidikan yang demokratis bertujuan membentuk manusia matang dan berwatak yang siap belajar terus, siap menciptakan lapangan kerja dan siap mengajadakan transformasi sosial (Arifin, 2005).

Guru seharusnya menyadari bahwa (aktivitas) belajar merupakan prakarsa peserta didik dalam rangka

optimalisasi potensi dan nilai-nilai. Guru hanya menjadi fasilitator. Lingkungan pembelajaran ditata dan dikondisikan sedemikian rupa yang memberikan ‘kebebasan’ kepada peserta didik untuk melakukan pilihan-pilihan tindakan belajar dan mendorong mereka untuk terlihat secara fisik, emosional, dan mental dalam proses belajar. Peserta didik sungguh disadarkan bahwa disamping kelemahan, rasa takut, cemas, dan ketidakberdayaan, mereka juga mempunyai potensi hebat, kekuata/ keunggulan, keberanian, dan kemampuan (realness). Ini akan memunculkan sikap (persepsi) positif tentang belajr yang pada gilirannya memacu motivasi belajar.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis melakukan penelitian untuk mengungkapkan pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi yang akan diajarkan maka judul penelitian ini adalan pengaruh metode diskusi kelompok dinamika pada materi pokok menulis teks eksplanasi siswa kelas X SMA Negeri 1 Angkola Barat. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksprimental yang menggunakan satu kelas eksprimen dan satu kelas kontrol sebagai bahan acuan. Penelitian ini dilakukan dengan memberikan pengajaran sebanyak 4 kali pertemuan masing-masing dua kali pertemuan pada kelas kontrol (X- 1) dan dua kali pertemuan pada kelas eksprimen (X-2). Adapun yang membedakan pemgajaran tersebut adalah pada kelas eksprimen diberikan pengajaran dengan menggunakan metose dikusi dalam kelompok dinamika sedangkan pada kelas kontrol diberikan pengajaran dengan mengugnakan pengjaran konvensional berupa metode ceramah dan tanya jawab dengan menggunakan media charta.

Tabel 1. Desain Penelitian

Sampel Pretes Perlakuan Postes

Kelas Eksperimen T1 X T2

Kelas Kontrol T1 O T2 Keterangan : T1 = Tes pendahuluan untuk melihat kemampuan awal siswa T2= Tes akhir untuk melihat kemampuan akhir siswa X= Perlakuan pada kelas eksprimen dengan menggunakan metode diskusi dalam kelompok dinamis O= Perlakuan pada kelas kontrol dengan

Dedi Zulkarnain Pulungan Pengaruh Metode Diskusi Kelompok Dinamika pada Materi Pokok Menulis Teks Eksplanasi

terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Angkola Barat

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 62

menggunakan metode konvensional. Uji persyaratan analisis yang dilakukan adalah untuk mengetahui apakah data penelitian sudah mempunyai sebaran normal dan homogen. Untuk itu dilakukan uji normalitas dan homogen.

Uji normalitas pasa kelas X-1 sebagai kelas kontrol dan kelas X-2 sebabai kelas eksprimen. Langkah-langkah yang harus ditempuh (Sudjana, 1992) sebagai berikut : a. Pengamatan x1, x2 , ……, xnz

dijadikan bilangan baku z1,z2, …., zn

dengan menggunakan rumus zi

sxxi ( x dan s masing-masing

merupakan rata-rata dan simpangan baku dari sampel).

b. F (Z1) adalah peluang = P (Z Zi) c. S(Z1) adalah proporsi Z1, Z2, …….,

Znyang lebih kecil atau sama dengan Z1

d. Mengambil harga yang paling besar dari selisih F (Z1) – S (Z1) disebut Lo kemudian membandingkan Lo

dengan nilai kririk L yang diambil daftar nilai kritik L untuk uji Liliefors. Kritiknya adalah jika Lo yang diperoleh dari data pengamatan melebihi L dari daftar.

Jika dalam pengujian normalitas dan yang berdiskusi normal, selanjutnya uji homogenitas yaitu menguji kesamaan varians (Sudjana, 2002).

22

12: Ho

22

12: OH

Kesamaan varian ini akan diuji dengan menggunakan rumus :

F = terkecilVarians

terbesarVaians

Kriteria pengujian adalah H0 diterima jika Fhitung < atau F < F1/2(y1,y2) dengan F1/2(y1,y2) didapat dari daftar F dengan peluang 1/2 sedangkan derajat kebebasan v = n – 1 dan taraf nyata 0,10. Hipotesis yang akan diuji ayitu : H0 : 1 = 2

Ha : 1 = 2

Apabila data distribusi normall variansnya homogen maka pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukuan dengan menggunakan ujin “t” (Sudjana, 1992) dengan rumus :

t =

21

11

11nn

s

yx

Dengan S2 =

211

21

222

211

nnSnSn

Dengan taraf nyata = 0,05 maka kriteria pengujian jika mempunyai harga-harga lain. Dengan derajat kebebasan untuk daftar distribusi t ini adalah (n1 + n2 - 2) dengan peluang (1 - 1/2) Keterangan : t = harga t perhitungan x1 = skor rata-rata kelompok eksprimen y2 = skor rata-rata kelompok kontrol nx = jumlah sampel kelompok eksprimen ny = jumlah sampel kelompok kontrol S = Varians kedua kelompok HASIL PENELITIAN 1. Deskripsi Data Penelitian

Pada bagian ini akan diuraikan secara terperinci mengenai hasil dari penelian tentang pengaruh metode diskusi kelompok dinamika pada materi pokok menulis teks eksplanasi siswa kelas X SMA Negeri 1 Angkola Barat.. Penelitian Dilakukan pada dua kelas berbeda, dimana satu kelas dijadikan kelas Eksperiman dengan menggunakan metode Diskusi dalam kelompok Dinamika dan kelas lainnya djadikan kelas kontrol dengan menggunakan metode Ceramah. Sebelum melaksanakan Penelitian, terlebih dahulu peneliti melakukan ujicoba instrumen untuk mendapatkan data Validitas dan reliabilitas. Dari hasil ujicoba instrumen yang terdiri dar 50 butir pertanyaan diperoleh hasil 30 soal dinyatakan Valid, dan 20 soal lainnya dinyatakan tidak Valid. Berdasarkan hasil tersebut, maka jumlah butir soal yang digunakan untuk mendapatkan data penelitian sebanyak 30 butir yang telah dinyatakan Valid. Sedangkan butir soal yang dinyatakan tidak Valid tidak diikutkan dalam penelitian. Sementara dari hasil perhitungan reabilitas diperoleh nilai rhit. = 0,839 yang berarti bahwa tingkat reliabilitas instrumen termasuk dengan katagori sangat baik. Dengan diketahuinya. Dengan diketahuinya Nilai validitas dan realibilitas tersebut, maka instrumen dinyatakan layak untuk digunakan dalam mendapatka data penelitian.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis,

Dedi Zulkarnain Pulungan Pengaruh Metode Diskusi Kelompok Dinamika pada Materi Pokok Menulis Teks Eksplanasi

terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Angkola Barat

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 63

pertama adalah data pretes yang digunakan untuk melihat perbandingan pengetahuan awal siswa mengenai materi pokok menulis teks eksplanasi pada kedua kelas diberikan perlakuan dengan metode pembelajaran yang berbeda. Kedua adalah data postes atau data hasil belajar siswa pada kedua kelas setelah diberikan perlakuan dengan metode pembelajaran yang berbeda. 2. Deskripsi Nilai Pretes (eksperimen

dan kontrol) Siswa Pada Dari hasil pretes diketahui nilai rata – rata siswa pada kelas eksperimen sebesar 52,83 dengan simpangan baku (SD) sebesar 7,79 sedangkan pada kelas Kontrol diketahui nilai rata – rata siswa sebesar 53,33 dengan simpangan baku (SD) sebesar 6,32 Perbandingan nilai pretes pada kedua kelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. Perbandingan Nilai Pretes Kelas Ekspermen dan kelas Kontrol

Kelas Eksperimen

Kelas Kontrol

Nilai

F X1

SD

Nilai

f X2

SD

40.00

3

52,83

7,79

40.00

0

53,33

6,32

43.33

5 43.33

4

46.67

4 46.67

6

50.00

6 50.00

7

53.33

7 53.33

8

56.67

4 56.67

4

60.00

5 60.00

6

63.33

3 63.33

5

66.67

3 66.67

0

Jumlah

40

- - Jumlah

40

- -

3. Nilai Pretes (eksperimen dan kontrol) Pada Siswa Kelas

Dar hasil postes diketahu nilai rata – rata siswa pada kelas Eksperimen sebesar 82,25 dengan simapangan baku (SD) sebesar 8,72 sedangkan pada kelas Kontrol dketahui nilai rata – rata siswa sebesar 70,17 dengan simpangan baku (SD) sebesar 7,76 Perbandingan Nilai postes pada kedua kelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Perbandingan Nilai Postes Kelas Ekspermen dan Kontrol

Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Nilai F X 1

SD Nilai F X 2 SD

66.67 2

82,25 8,72

53.33 3

70,17 7,76

70.00 3 56.67 4 73.33 4 60.00 5

76.67 5 63.33 7 80.00 6 69.67 6 83.33 5 70.00 5 86.67 4 73.33 3 90.00 4 76.67 4 93.33 3 80.00 3 96.67 4 - -

Jumlah 40 - - Jumlah 40

- -

4. Uji Persyaratan Analisis Data Uji Persyaratan analisis data

meliputi uji normalitas dan uji homogenitas terhadap data pretes dan data postes pada kedua kelas penelitan. Berikut ini disajikan hasil uji persyaratan data pada kedua kelas penelitian. a. Uji Normalitas

Uji Normelitas dilakukan dengan menggunakan uji Liliefors dengan taraf signifikansi α = 0,05. Hasil ujian normalitas data pretes dan postes pada kelas Eksperimen dan kelas Kontrol dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4. Pengujian Homogenitas Data Penelitian

No

Data Kelas Lo Ltabel (α=0,05)

Simpulan

1 Pretes Eksperimen 0,1011 0,14001 Normal 2 Pretes Kontrol 0,1269 0,14001 Normal 1 Pretes Eksperimen 0,1026 0,14001 Normal 2 Pretes Kontrol 0,1193 0,14001 Normal b. Uji Homogenitas

Uji Honogenitas dilakukan dengan membandingkan nilai varians data pretes dan data postes dari kedua kelas. Ringkasan hasil pengujian homogenitas data pretes dan data postes dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.. Pengujian Homogenitas Data Penelitian

No

Data Kelas Varians F hitung

F tabel

Simpulan

1 Pretes Eksperimen

60,72

1,52 1,71 Homogen 2 Pretes Kontrol

39,88

1 Pretes Eksperimen

76,01

1,26 1,71 Homegen 2 Pretes Kontrol

60,15

Dari hasil perhtungan uji persyaratan data di atas,maka dapat disimpulkan bahwa data penelitian dinyatakan normal dan homogen sehingga telah memenuhi syarat untuk dilakukan pengujian hipotensis.

Pengujian hipotensis dilakukan dengan menggunakan uji beda (uji-t). Uji-t dilakukan dengan membandingkan nilai rata – rata postes dari kedua kelompok

Dedi Zulkarnain Pulungan Pengaruh Metode Diskusi Kelompok Dinamika pada Materi Pokok Menulis Teks Eksplanasi

terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Angkola Barat

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 64

penelitian.Berdasarkan perhtungan yang telah dilakukan, diketahu nlai rata – rata postes kelas eksperimen adalah sebesar 82,25 sedangakan nilai rata – rata postes kelas Kontrol adalah sebesar 70,17 Varians gabungan untuk kedua data postes tersebut adalah sebesar 8,25. Dengan menggunakan harga rata – rata dan varians gabungan dari kedua kelompok penelitian, maka dapat diketahui besar harga thitung yakni sebesar 8,27. Nilai thitung yang diperoleh selanjutya dibandingkan dengan nilai ttabel dengan dk (78) = 1,99. Dari hasil perbandingan harga thitung > ttabel (8,72 > 1,99). Dengan melihat hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian in Ha diterima sekaligus menolak Ho yang berart Ada Pengaruh metode diskusi kelompok dinamika pada materi pokok menulis teks eksplanasi siswa kelas X SMA Negeri 1 Angkola Barat PEMBAHASAN

Pada awal melaksanakan penelitian, peneliti terlebih dahulu memberikan pretes pada kedua kelas peneliti untuk melihat pengetahuan awal siswa mengenai materi pokok menulis teks eksplanasi dan hasil pretes tersebut diketahui bahwa nilai rata – rata hasil belajar siswa pada kedua kelas tidak berbeda. Berdasarkan nilai pretes tersebut terlihat bahwa hasil belajar siswa sebelum diberikan perlakuan dengan metode pembelajaran yang berbeda masih tergolong sangat rendah. Hal tersebut dapat dimaklumi, karena siswa pada kesulitan dan belum menerima pembelajaran mengenai materi pokok menulis teks eksplanasi dan hasil tersebut juga memberikan gambaran bahwa rata – rata tingkat pengetahuan awal siswa dari kedua kelas penelitian mangenal materi pokok menulis teks eksplanasi cenderung sama.

Sementara berdasarkan hasil pretes setelah kedua kelas peneltan diberikan perlakuan dengan menggunakan metode pembelajaran yang berbeda diperoleh hasil bahwa baik rata – rata hasil belajar siswa dengan menggunakan metode diskusi dalam kelompok dinamika maupun rata – rata hasil belajar siswa dengan menggunakan metode ceramah meningkat dibandingkan dengan sebelum kedua kelas peneltian mendapatkan perlakuan. Hasil postes menunjukkan bahwa nilai rata – rata hasil belajar siswa dengan menggunakan metode diskusi

dalam kelompok dinamika meningkat sebesar 29,42 dibandingkan dengan nilai hasil belajar sebelum diberikan pengajaran, sedangkan nilai rata – rata hasil belajar siswa dengan menggunakan metode ceramah juga meningkat sebesar 14,83. Berdasarkan hasl tersebut, terlihat bahwa peningkatan hasil belajar siswa dengan menggunakan metode diskusi dalam kelompok dinamika meningkat lebih besar jika dibandingkan dengan nilai rata – rata hasil belajar siswa dengan menggunakan metode ceramah. Dengan perbandingan besar peningkatan nilai rata – rata hasil belajar siswa pada kedua kelas penelitan dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode diskusi dalam kelompok dinamika lebih baik untuk digunakan dalam mangajarkan materi pokok menulis teks eksplanasi dibandingkan dengan metode ceramah.

Pada dasarnya penggunaan metode pembelajaran merupakan salah satu aspek penting yang menentukan hasil belajar siswa. Jika metode pembelajaran yang digunakan dalam mengajarkan suatu materi pelajaran itu tepat, hasil belajar siswa juga cenderung meningkat lebih baik dan sebaiknya jika metode pembelajaran yang digunakan itu tidak tepat, peningkatan hasil belajar siswa juga kurang begitu berarti (Rusyan, 2003). Dari hasil penelitian terlihat bahwa baik metode diskusi dalam kelompok dinamika maupun metode ceramah pada dasarnya sama – sama meningkatkan hasil belajar siswa. Namun jika dilihat besar angaka peningkatan hasil belajar siswa pada kedua kelas, tampak bahwa hasil belajar siswa pada kelas ekspermen dengan menggukan metode diskusi dalam kelompok dinamik meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar siswa pada kelas kontrol dengan menggunakan metode ceramah dimana rata – rata hasil belajar siswa pada kelas eksperimen adalah sebesar 86,00, sedangakan rata –rata hasil belajar siswa pada kelas kontrol hanya sebesar 70,13.

Menurut Rusyan (2003) menyatakan pada hakekatnya anak didik telah memilk potensi dalam dirinya untuk menemukan sendiri informasi belajar. informasi yang disampaikan guru hendaknya dibatasi pada informasi yang benar – benar mendasar yang memancng siswa untuk mengal informasi selanjutnya. Dalam metode diskusi dalam kelompok

Dedi Zulkarnain Pulungan Pengaruh Metode Diskusi Kelompok Dinamika pada Materi Pokok Menulis Teks Eksplanasi

terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Angkola Barat

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 65

dinamika guru membagi – bagi siswa kedalam kelompok-kelompok kecil, dimana masing – masing kelompok mendapat tugas tertentu yang harus didskusikan antara anggota dalam kelompok tersebut, kemudian dibuat laporan hasil diskusi dari masing – masing kelompok. Metode diskusi dalam kelompok dinamika mengharuskan setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk menyelesakan tugas yang diberikan oleh guru. Untuk itu, setiap anggota harus mengeluarkan segala potensi dan ide yang dimlikinya dalam usaha memecahkan permasalahan yang dibahas dalam dskusi. Tujuan dari metode diskusi dalam kelompok dinamika ini adalah memancng potensi intelektual siswa untuk beran mengemukakan pendapatnya sendiri sekaligus menciptakan sikap toleransi dan empati terhadap teman-temanya, karena pada hakikatnya siswa akan lebih mengemukakan pendapatnya kepada guru.

Dengan demikan maka siswa diajarkan untuk menemukan sendiri pengetahuan untuk dirinya melalui pengalaman langsung yang terintegrasi dalam kehidupan sehari – hari, sehingga siswa menjadi lebih berani dan percaya diri untuk menggunakan segala potensi yang dimiliknya dalam kegiatan belajar. Pada dasarnya untuk memperoleh pengetahuan merupakan usaha yang dilakukan oleh orang yang belajar. Sehingga hasil belajar akan lebh baik jika diperoleh dengan mencari tahu dari pada diberitahu. Jika kepada para siswa diberikan peluang untuk mencari dan menemukan sendiri informasi itu, maka mereka akan merasakan getaran pikiran dan perasaan hatinya. Getaran didalam diri akan membuat kegiatan belajar itu tidak membosankan melainkan menambah semangat untuk menemukan informasi belajar yang lain. Sehingga siswa tidak lagi dijadikan sebagai objek atau kertas kosong yang harus diisi dengan pengetahuan – pengetahuan dan guru tidak lagi menjadi subjek yang serba tahu yang harus selalu didengarkan dan ditiru oleh para anak didik seperti dalam metode ceramah.

Dengan melihat hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode diskusi dalam kelompok dinamik lebih efektif digunakan untuk mengajarkan materi pokok menulis

teks eksplanasi dibandingkan dengan metode ceramah. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Hasil dari belajar siswa kelas X SMA Negeri 1 Angkola Barat pada materi menulis teks eksplanasi dengan menggunakan metode diskusi dalam kelompok dinamika tergolong kategori baik dengan nilai rata-rata sebesar 82,25. Hasil belajar siswa X SMA Negeri 1 Angkola Barat pada materi menulis teks eksplanasi ceramah tergolong kategori sedang dengan nilai rata-rata sebesar 70,17. Berdasarkan hasil uji stastik t diperoleh thitung = 8,72 dengan a = 0.05 sehingga diperoleh ttabel = 1,99 ternyata thitung > ttabel (8,72 > 1,99) maka dinyatakan Ha diterima dan Ho ditolak. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ada pengaruh metode yang signifikan terhadap hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan metode diskusi kelompok dinamika pada materi pokok menulis teks eksplanasi siswa kelas X SMA Negeri 1 Angkola Barat. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis menyarankan : 1. Agar para guru-guru bahasa Indonesia

di SMA Negeri 1 Angkola Barat berkenan menerapkan metode diskusi dalam kelompok dinamika dalam mengajar sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan hasil belajar siswa.

2. Bagi siswa kelas X SMA Negeri 1 Angkola Barat senantiasa memotivasi diri dan meningkatkan kepercayaan diri agar hasil belajar yang diharapkan pada materi menulis teks eksplanasi dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA Arifin, A. (2005). Paradikma Baru

Pendidikan Nasional. Jakarta : Balai Pustaka.

Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dedi Zulkarnain Pulungan Pengaruh Metode Diskusi Kelompok Dinamika pada Materi Pokok Menulis Teks Eksplanasi

terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Angkola Barat

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 66

Kosasi, E. 2014. Jenis-Jeis Teks Fungsi, Struktur Dan Kaidh Kebahasan. Bandung : Yrama Widyaa.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik. Kelas VIII Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pradiyono. 2012 Pasti Bisa Teaching Genre Based Writing. Jakarta : Andi Publisher.

Restuti . 2013. Bahasa Indonesia . Jakarta : Erlangga.

Rusyan. 2003. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosdakarya

Sudjana. 2002. Metode Statiska. Bandung : Tarsito.

Usman. M B. 2002. Metodologi Pembelajaran. Jakarta : Ciputat Pres.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 67

ANALISIS PROSES PEMBELAJARAN E-LEARNING BERBASIS EDMODO PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA

DI SMK MULTI KARYA MEDAN

퐅퐢퐭퐚퐅퐚퐭퐫퐢퐚ퟏ, 퐓퐢퐟퐥퐚퐭퐮퐥퐇퐮퐬퐧퐚ퟐ 1. Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah 2. Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah

[email protected]

Abstrak. Proses kegiatan belajar mengajar dengan memanfaatan teknologi adalah proses pembelajaran yang berbasis IT atau e-learning. Edmodo adalah sebuah Learning Management System (LSM) yang menyediakan beragam fitur yang bisa dimanfaatkan oleh guru untuk kegiatan pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menganalisis proses pembelajaran e-learning berbasis edmodo dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa SMK Multi Karya Medan. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa/i kelas XII MM 1 SMK Multi Karya Medan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh dari observasi. Teknik analisis data yang digunakan terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan. Hasil penelitian ini adalah proses pembelajaran e-learning berbasis edmodo pada mata pelajaran Bahasa Indonesia agar lebih menarik dan interaktif bagi siswa serta membuat pembelajaran di kelas menjadi tidak membosankan. Selain itu, pembelajaran e-learning berbasis edmodo memiliki keuntungan diantaranya tidak memerlukan kelas formal dalam penerapannya. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan masukan bagi para siswa, guru dan kepala sekolah, serta civitas akademika dan semua pihak agar dapat menggunakan media pembelajaran yang ekonomis dan efisien secara efektif guna mencapai tujuan pembelajaran berbasis e-learning. Kata kunci: Edmodo, E-Learning, Bahasa Indonesia Abstract. The process of teaching and learning activities by utilizing technology is a learning process based on IT or e-learning. Edmodo is a Learning Management System (NGO) that provides a variety of features that can be used by teachers for learning activities. This research is a qualitative research which aims to analyze the process of edmodo-based e-learning in Indonesian language subjects at Medan Multi Karya Vocational School students. Subjects in this study were students of class XII MM 1 Multi Karya Medan Vocational School. This research is a qualitative research. The data in this study were obtained from observations. The data analysis technique used consists of data reduction, data presentation, and conclusions. The results of this study are the process of learning edmodo-based e-learning on Indonesian language subjects to be more interesting and interactive for students and make classroom learning not boring. In addition, edmodo-based e-learning learning has the advantage of not requiring formal classes in its application. Based on the results of this study, it is hoped that it will be an information and input material for students, teachers and principals, as well as academics and all parties to be able to use economical and efficient learning media effectively to achieve the objectives of e-learning based learning. Keywords: Edmodo, E-Learning, Indonesian

PENDAHULUAN Penggunaan media dalam

pengajaran di kelas merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat lepaskan. Hal ini dapat dipahami mengingat proses belajar yang dialami siswa tertumpu pada berbagai kegiatan menambah ilmu dan wawasan sebagai bekal. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah bagaimana seorang pendidik menciptakan situasi belajar yang memungkinkan terjadinya proses pengalaman belajar pada diri siswa dengan menggerakkan segala sumber

belajar dan cara belajar yang efektif dan efisien. Dalam hal ini, media pengajaran merupakan salah satu pendukung yang efektif dalam membantu terjadinya proses belajar.

Dalam kegiatan proses pembelajaran, media pembelajaran merupakan wadah dan penyalur pesan dari sumber pesan adalah guru kepada siswa. Rusman (2010:131) menyatakan bahwa “perilaku guru adalah mengajar dan perilaku siswa adalah belajar”. Perilaku mengajar dan perilaku belajar tersebut

FitaFatria , Ti latulHusna Analisis Proses Pembelajaran E-Learning Berbasis Edmodo pada Mata Pelajaran

Bahasa Indonesia di SMKMulti Karya Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 68

terkait dengan penggunaan media pembelajaran terhadap penyampaian bahan ajar. Bahan pembelajaran berupa bentuk yang dapat dilihat dan tidak dapat dilihat serta dalam bentuk lisan maupun tulisan. Bahan pembelajaran tersebut dapat berupa suatu pengetahuan, nilai kesusilaan, seni, agama, sikap dan ketampilan. Bahan pembelajaran tersebut ada disekitar kita dan dapat dimanfaatkan atau digunakan sesuai dengan kebutuhan. Dalam kaitannya bahan pembelajaran dikembangkan dengan media pembelajaran. Media pembelajaran merupakan alat sebagai cara seseorang mengajar atau cara menyampaikan materi dengan cara yang menarik. Hal ini dilakukan untuk menciptakan suasana belajar mengajar yang efektif dan efisien. Penerapan media pembelajaran harus berdasarkan pola pembelajaran yang telah ditentukan dan yang akan digunakan.

Guru dituntut mengkreasikan berbagai cara dalam proses pembelajaran untuk memotivasi peserta didik termasuk memanfaatakan teknologi sebagai media pembelajaran seperti penggunaan internet. Aktifitas belajar mengajar dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan internet mengubah pembelajaran yang fokus pada guru menjadi pembelajaran yang fokus pada peserta didik sehingga menimbulkan minat belajar mandiri yang besar dan peserta didik mudah memperoleh informasi yang dapat dieksploitasi melalui internet serta mendukung proses belajar mengajar di sekolah dengan manfasilitasi akses ke situs web yang bertema pendidikan, meningkatkan keterampilan pemanfaatan TIK dan interaksi di antara sekolah-sekolah, murid dan guru sehingga meningkatkan kualitas pengajaran.

Kegiatan pembelajaran mengenal banyak istilah untuk menggambarkan cara mengajar yang akan dilakukan oleh guru. Banyak strategi, ataupun metode pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran menjadi lebih baik. Salah satunya menyediakan media pembelajaran yang mudah dan efisien. Media pembelajaran Edmodo merupakan salah satu media pembelajaran berbasis e-learning yang

dapat meningkat proses belajar mengajar menjadi aktif dan inovatif dengan pemanfaatan sistem internet. Menurut Gruber (dalam Nasrullah, 2017:2) “Edmodo merupakan website jejaring sosial yang mirip dengan facebook yang digunakan untuk proses pembelajaran. Edmodo sering disebut sebagai facebook-nya pendidik karena Edmodo diperuntukkan bagi pendidik, peserta didik dan orang tua”. Beberapa Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran yang menggunakan media pemebalajaran Edmodo dapat mengefisienkan waktu.

Berdasarkan uraian tersebut maka akan dilakukan penelitian tentang kemampuan siswa dalam menjawab soal Bahasa Indonesia dengan menggunakan media pembalajaran Edmodo. Edmodo memiliki kemiripan dengan facebook hanya saja Edmodo lebih bersifat edukatif dan lebih banyak digunakan untuk kepentingan dunia pendidikan. Edmodo dapat digunakan sebagai media pembelajaran untuk semua mata pelajaran kecuali mata pelajaran yang membutuhkan aktivitas dan pengamatan langsung.

Berdasarkan permasalahan tersebut yang menjadi pandangan sebagai latar belakang pada penelitian ini, maka penelitian dilakukan untuk menganalisis proses pembelajaran e-learning berbasis edmodo pada mata pelajaran bahasa Indonesia di SMK Multi Karya Medan. Dengan tujuan sebagai berikut: 1) Untuk mendeskripsikan penggunaan

Edmodo sebagai media pembelajaran e-learning pada mata pelajaran Bahasa Indonesia,

2) Untuk mengetahui respon warga sekolah ketika menggunakan Edmodo sebagai media pembelajaran e-learning,

3) Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan Edmodo sebagai media pembelajaan e-learning.

METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan

adalah jenis penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono (2012) penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci. Subjek penelitian ini adalah siswa/i kelas XII MM 1 SMK Multi Karya Medan. Sedangkan Objek

FitaFatria , Ti latulHusna Analisis Proses Pembelajaran E-Learning Berbasis Edmodo pada Mata Pelajaran

Bahasa Indonesia di SMKMulti Karya Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 69

dalam penelitian ini adalah media e-learning berbasis edmodo pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Data dalam penelitian diperoleh dari observasi siswa yang sudah tergabung dan memiliki akun edmodo. Informasi dalam penelitian diperoleh dari berbagai peristiwaatau proses KBM berlangsung. Dalam peneliti ini dilakukan observasi langsung di lapangan dalam proses belajar mengajar Bahasa Indonesia. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data, dan verifikasi dan penarikan kesimpulan. Validasi data menggunakan triangulasi (gabungan). Reduksi data yakni data yang telah diperoleh direduksi sehingga memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data. Penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat. Verifikasi dan penarikan kesimpulan adalah temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang setelah diteliti menjadi jelas. HASIL PENELITIAN

Proses kegiatan pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran Edmodo sebagai media e-learning ini dimulai dengan penyampaikan dan pengarahan berkenaan dengan edmodo yang akan dimanfaatkan dalam proses pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam waktu satu semester. Adapun materi yang akan diajarkan dalam kegitan ini adalah: A. Membuat Akun di Edmodo Menurut Idrus (https://idrusmudeng.wordpress.com/2016/05/26/membuat-akun-guru-dan-siswa-pada-edmodo/) membuat kun di Edmodo adalah sebagai berikut:

a) Sebagai Guru Untuk membuat akun di edmodo

sebaga guru, pertama buka web browser (dalam contoh di gunakan chrome), dan ketik www.edmodo.com pada alamat url. Tampilan dari web edmodo dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Tampilan Awal Edmodo

Edmodo memberikan fasilitas akun sebagai siswa atau guru atau orang tua. Untuk membuat akun guru, pilih “I’m a Teacher”. Setelah itu akan tampil kotak dialog seperti pada gambar 2. Jika telah memiliki akun google atau office 365, akun tersebut dapat digunakan untuk membuat akun edmodo, jika tidak dapat memasukkan alamat e-mail dan password untuk akun edmodo lalu klik “Sign Up for Free”.

Gambar 2. Dialog pendaftaran akun baru

Setelah berhasil membuat akun akan muncul tampilan halaman muka edmodo seperti pada gambar 3 maka akun telah siap digunakan. Selanjutnya kostumisasi profil, pilih akun (gambar orang pada kiri atas layar) dan pilih “settings” hingga muncul tampilan seperti pada gambar 4.

Gambar 3. Tampilan ‘home’ pada akun

Edmodo Pada tampilan “settings” dapat di

atur foto profil, alamat email pertama dan kedua, negara, title, nama depan, lama belakang dan zona waktu. Untuk membuat perubahan, perlu memasukkan password akun. Jika berhasil, tampilan halaman muka (home) akun akan berubah seperti pada gambar 5.

Gambar 4. Tampilan “settings”

(kostumisasi profil)

FitaFatria , Ti latulHusna Analisis Proses Pembelajaran E-Learning Berbasis Edmodo pada Mata Pelajaran

Bahasa Indonesia di SMKMulti Karya Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 70

Gambar 5. Tampilan ‘home’ pada akun

edmodo yang telah di kostumisasi b) Sebagai Siswa

Untuk membuat akun di edmodo sebagai siswa, pada tampilan dari web edmodo (gambar 1) silahkan pilih “I’m a Student. Setelah itu akan tampil kotak dialog seperti pada gambar 6. Sama seperti guru, akun siswa juga dapat dibuat dengan akun google atau office 365. Jika tidak memiliki akun tersebut, tnggal lengkapi kotak dialog tersebut dengan mengisi nama depan, nama belakang, kode kelas (kode yang diberikan ole guru) username, alamat email dan password akun. Setelah semua dilengkapi, klik “Sign Up for Free”.

Gambar 6. Kotak dialog pendaftaran akun

sebagai siswa Setelah berhasil membuat akun akan

muncul tampilan halaman muka edmodo seperti pada gambar 7, selanjutnya kostumisasi profil, pilih akun (gambar orang pada kiri atas layar) dan pilih “settings” hingga muncul tampilan seperti pada gambar 8.

Gambar 7. Tampilan “home” pada

akun siswa

Gambar 8. Tampilan “settings”

(kostumisasi profil)

Pada tampilan “settings” dapat di atur foto profil, alamat email pertama dan kedua, negara, title, nama depan, lama belakang dan zona waktu. Pada edmodo disetiakan pilihan untuk menggunakan foto profil dari gambar atau avatar, seperti yang terihat pada gambar 9.

Untuk membuat perubahan, perlu memasukkan password akun. Jika berhasil, tampilan halaman muka (home) akun akan berubah seperti pada gambar 10.

Gambar 9. Pemilihan jenis foto profil

Gambar 10. Tampilan ‘home’ pada akun

siswa yang telah di kostumisasi B. Cara membuat Kelas di Edmodo

Menurut Glandian (https://teknopolitan90.com/2018/04/14/cara-membuat-kelas-dan-soal-pada-edmodo-terbaru-2018/) cara membuat Kelas di Edmodo adalah:

1) Login pada akun anda di edmodo dengan memasukkan Username dan Password.

2) kemudian Klik Create a

Class disebelah kiri halaman anda dan isikan nama kelas anda dan bidang yang diajar dan kemudian klik create.(klik saja gambar untuk melihat)

FitaFatria , Ti latulHusna Analisis Proses Pembelajaran E-Learning Berbasis Edmodo pada Mata Pelajaran

Bahasa Indonesia di SMKMulti Karya Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 71

C. Membuat Soal

Jika kelas sudah terbentuk sekarang lanjutkan membuat soal/tugas di edmodo. 1) klik Asignment di beranda anda isikan

judul tugas, tanggal jatuh tempo tugas, kemudian menambahkan deskripsi tentang tugas/soal, dan mengunduh file lewat Attach File apabila anda punya bahan/materi yang ingin diberikan kesiswa.

2) Kemudian klik send, dan akan muncul

ucapan congratulation dan tekan continue. selesai sampai sini untuk membuat tugas dengan metode post file

D. Membuat Soal Dengan Multiple Coice.

1) klik quiz yang berada di assignment, kemudian pada type pilih multiple coice.

2) Setting time limit untuk menentukan berapa lama siswa bisa mengerjakan tugas ini.

3) untuk menambah jumlah pilihan jawaban klik dibagian bawah ADD RESPONE dan tentukan POINT untuk setiap jawaban yang benar bernilai berapa setiap soalnya(misal 10)

4) Isikan soal anda dan jawaban pada kolom masing-masing nya dan tentukan jawaban yang benar dengan menekan SET ASS CORRECT ANSWERE Agar sistem dapat menentukan jawaban yang benar atau salah, sehingga hasil sudah bisa di koreksi secara otomatis oleh edmodo. jika soal pertama sudah selesai silakan klik tanda tambah disebelah kiri untuk lanjut soal no 2.

5) Setelah selesai membuat soal silahkan klik DONE jika semua soal sudah selesai anda buat. kemudian setelah itu tentukan waktu kapan dimulai dan berakhir Tugas Multiple coice yang

anda buat. jika rasa anda ada soal yang ingin anda rubah silahkan klik EDIT.

Selanjutnya melakukan pembuatan grup, yang terdiri dari siswa/ i kelas XII MM 1. Hal ini bertujuan agar pada saat guru memberikan tugas kepada siswa, tidak tercampur dengan kelas yang lain dan hal tersebut mempermudah proses pengerjaan nilai. Para siswa juga dapat memberikan pendapatnya pada grup tersebut. Grup yang telah dibuat merupakan sarana penyampaian materi yang diajarkan. Pada grup juga dapat menambahkan anggota yang terdiri dari siswa yang berada di kelas tersebut. Pembelajaran dengan memanfaatkan media e-learning berbasis edmodo merupakan pembelajaran yang tidak memerlukan kelas formal untuk proses pembelajarannya. Ketika guru menyempaikan materi lewat Edmodo, maka siswa dapat melihat dimanapun mereka berada. Siswa dapat memberikan komentar atau tanggapan terhadap materi yang disampaikan pada konten yang telah tersedia untuk menulis komentar. PEMBAHASAN

Pembelajaran Bahasa Indonesia yang dilakukan dengan edmodo sebagai media elearning di kelas digunakan ketika guru akan memberikan materi. Hal tersebut, materi pembelajaran Bahasa Indonesia dapat disesuaikan dengan materi ajar. Sebelum memberikan materi, biasanya guru mengirim materi tersebut ke edmodo sehari sebelumnya sehingga siswa dapat mempelajari materi tersebut. Pada hari berikutnya ketika proses pembelajaran pada materi yang dipelajari, siswa lebih mudah memahami. Hal ini terlihat ketika guru memberikan latihan-latihan soal, siswa mampu menyelesaikannya dengan baik. Pembelajarn Bahasa Indonesia dengan menggunakan media edmodo telah berhasil membuat pembelajaran di kelas menjadi lebih menarik. Edmodo digunakan guru selain sebagai sarana untuk menginformasikan materi juga sebagai sarana untuk menyampaikan tugas-tugas atau pun kuis yang bisa dikerjakan oleh peserta didik. Pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran yang harus memiliki kemampuan berwawasan luas, sehingga siswa dituntut aktif dan kreatif dalam memahami materi pembajaran Bahasa Indonesia. Namun, hal tersebut

FitaFatria , Ti latulHusna Analisis Proses Pembelajaran E-Learning Berbasis Edmodo pada Mata Pelajaran

Bahasa Indonesia di SMKMulti Karya Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 72

dapat diatasi dengan adanya suatu kreasi yang dilakukan oleh guru dengan adanya suatu metode pengajaran dengan pemanfaatan media pembelajaran berbasis e-learning sebagai perantara suatu proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang dilakukan dengan memanfaatkan media yang tergolong terkini karena mengikuti perkembangan teknologi. Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan memanfaatkan media pembelajaran e-learning berbasis edmodo merupakan termasuk media yang memudahkan siswa untuk dapat belajar dengan efisien sesuai waktu dan tempat yang diinginkan. SIMPULAN

Pembelajaran Bahasa Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran yang kompetensi keterampilan yang dinilai cukup penting bagi para siswa karena dilihat dari perspektif siswa, materi Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran wajib pada setiap jenjang pendidikan. Oleh karena itu penerapan e-learning berbasis edmodo membuat proses pembelajaran terlihat santai dan menciptakan suasana belajar yang nyaman. Proses pembelajaran diawali dengan penjelasan mengenai proses pembelajaran e-learning berbasis edmodo yang akan dilakukan selama satu semester. Selanjutnya, setelah para siswa telah paham dengan pengarahan yang disampaikan guru dilanjutkan dengan pembuatan grup dalam edmodo yang dilakukan dengan mengelompokkkan siswa berdasarkan kelasnya masing-masing. Pembelajaran Bahasa Indonesia yang dilakukan dengan edmodo sebagai media e-learning di kelas digunakan ketika guru akan memberikan materi yang dikirim sehari sebelum proses pembelajaran dalam kelas berlangsung. Edmodo digunakan guru selain sebagai sarana untuk menginformasikan materi juga sebagai sarana untuk menyampaikan tugas-tugas dan kuis yang bisa dikerjakan oleh peserta didik. SARAN

Pembelajaran dengan memanfaatkan e-learning berbasis edmodo sebagai media memiliki banyak manfaat. Pembelajaran dengan memanfaatkan media e- learning berbasis edmodo merupakan pembelajaran yang tidak memerlukan kelas formal untuk proses pembelajarannya.

DAFTAR PUSTAKA Rusman. 2010. Model-model

Pembelajaran: Mengembangkan Propesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Nasrullah. 2017. Efektivitas Penggunaan

Media Edmodo pada Pembelajaran Matematika Ekonomi terhadap Komunikasi Matematis. Tersedia:https://journal.unpas.ac.id/index.php/symmetry/article/.../216/. diakses 3 November 2018.

Ghofary. 2015. Pengertian, Fungsi,

Kegunaan, Kelebihan dan Kekurangan Edmodo. Tersedia: https://aboutgirlsite.wordpress.com/2015/11/02/ diakses 3 November 2018.

Zakaria. Pengertian, Manfaat, dan Fitur

Edmodo. Tersedia : https://www.nesabamedia.com/ diakses 3 November 2018.

Ainiyah. 2015. Penggunaan Edmodo

sebagai Media Pembelajaran E-Learning pada Mata Pelajaran Otomatisasi Perkantoran di SMKN 1 Surabaya. Tersedia: jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jpap/article/view/12541. diakses 3 November 2018.

Hikmawan. 2018. Pemanfaatan media

pembelajaran berbasis edmodo terhadap motivasi belajar siswa SMK. Tersedia: http://ejournal.upi.edu/index.php/jpmanper/article/download/9459/5849.

Setyawan. 2011. Media Berasal dari

Bahasa Latin. tersedia: http://zonainfosemua.blogspot.com/2011/01/media-berasal-dari-bahasa-latin.html . 3 November 2018.

Rusman. (2014). Model-model

Pembelajaran. Jakarta : Raja GrafindoPersada.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian

Kuantitatif Kualitatif & RND. Bandung: Alfabeta.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 73

HUBUNGAN PEMAHAMAN STRUKTUR DAN CIRI KEBAHASAAN DENGAN KEMAMPUAN MENULIS TEKS ANEKDOT SISWA KELAS X

SMA NEGERI 4 MEDAN

퐆퐚퐫퐢퐧퐀퐤퐛퐚퐫퐀퐮퐥퐢퐚ퟏ, 퐀퐳퐡퐚퐫퐔퐦퐚퐫ퟐ 1. Dikbind PPs Universitas Negeri Medan

2. FBS Universitas Negeri Medan [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemahaman struktur dan ciri kebahasaan terhadap kemampuan menulis teks anekdot siswa kelas x sma negeri 4 medan. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 4 Medan yang terdiri dari 14 kelas dengan jumlah 490 orang. Sampel yang diambil adalah 32 orang dari jumlah kelas yang telah ditentukan. Metode yang digunakan adalah metode Ex post facto. Data pemahaman struktur, ciri kebahasaan, dan kemampuan menulis teks anekdot siswa dijaring dengan menggunakan objektif tes sebanyak 40 soal dan essay tes yang disusun berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Sebelum dilakukan pengujian data terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis yaitu uji normalitas dan uji linieritas. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa data berdistribusi normal. Setelah dilakukan perhitungan uji normalitas Lhitung < Ltabel pada taraf signifikan . Hasil uji normalitas untuk data pemahaman struktur (0.0968< 0.1568 ) ciri kebahasaan (0.1193 < 0.1568) dan kemampuan menulis teks anekdot (0.1520 < 0.1568). Hasil korelasi antar variabel menunjukkan bahwa hubungan pemahaman struktur terhadap kemampuan menulis teks anekdot memiliki koefesien determinan korelasi ganda sebesar 69,39%, hubungan pemahaman ciri kebahasaan terhadap kemampuan menulis teks anekdot memiliki koefesien determinan korelasi ganda sebesar 22,37% dan hubungan pemahaman struktur, dan ciri kebahasaan terhadap kemampuan menulis teks anekdot memiliki koefesien determinan korelasi ganda sebesar 33,99%. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara hubungan pemahaman struktur, dan ciri kebahasaan terhadap kemampuan menulis teks anekdot oleh siswa kelas X SMA Negeri 4. Kata Kunci : Teks Anekdot, Struktur, Ciri Kebahasaan, dan Kemampuan Menulis Abstract. This study aims to determine the relationship between the understanding of structure and linguistic characteristics of the ability to write Anecdote texts in grade X senior high school students in 4 fields. The population of this study was all students of class X SMA 4 Medan which consisted of 14 classes with a total of 490 people. The sample taken is 32 people from the number of classes that have been determined. The method used is the Ex post facto method. Data on understanding structure, linguistic characteristics, and the ability to write Anecdote texts of students are captured by using objective tests of 40 test questions and essays arranged based on the objectives to be achieved. Before testing the data, the test requirements for the analysis were carried out first, namely the normality test and linearity test. Based on the results of the analysis obtained that the data is normally distributed. After calculating the Lhitung normality test <Ltabel at a significant level. The normality test results for understanding structure data (0.0968 <0.1568) linguistic characteristics (0.1193 <0.1568) and Anecdote text writing ability (0.1520 <0.1568). The results of the correlation between variables indicate that the relationship between structural understanding of the ability to write Anecdote texts has a determinant of multiple correlation coefficients of 69.39%, the relationship of understanding linguistic characteristics to the ability to write Anecdote texts has a determinant of multiple correlation coefficients of 22.37% and relationship understanding structures, and linguistic characteristics of the ability to write Anecdote texts have a determinant of multiple correlation coefficients of 33.99%. So, it can be concluded that there is a positive and significant relationship between the relationship of understanding structure and linguistic characteristics to the ability to write Anecdote texts by class X students of SMA 4 Medan. Keywords: Anecdote Text, Structure, Language Characteristics, and Writing Ability

PENDAHULUAN Pembelajaran Bahasa Indonesia

tidak lepas dari hubungan pembelajaran bahasa yang berlangsung di dunia. Salah

satu tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia ini adalah meningkatkan kemampuan berbahasa, terutama siswa yang ada di

GarinAkbarAulia , AzharUmar Hubungan Pemahaman Struktur dan Ciri Kebahasaan dengan Kemampuan Menulis

Teks Anekdot Siswa Kelas X SMA Negeri 4 Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 74

sekolah, yang terdiri atas empat keterampilan. Keempat keterampilan dalam berbahasa tersebut adalah menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Salah satu keterampilan yang paling kompleks yaitu keterampilan menulis, karena menuntut si penulis untuk dapat menyusun isi tulisannya dan menuangkannya ke dalam bahasa tulis. Hal ini sangat berkaitan erat dengan Kurikulum 2013 yang menekankan pembelajaran Bahasa Indonesia yang berbasis teks.

Pembelajaran Keterampilan menulis merupakan prasyarat pencapaian kompetensi dalam pembelajaran. Salah satu materi pembelajaran bahasa Indonesia di tingkat SMA yang terdapat dalam silabus Kurikulum 2013 kelas X adalah materi yang berupa teks anekdot. Penelitian ini difokuskan pada kemampuan siswa dalam menulis teks anekdot.

Aspek menulis yang harus dikuasai siswa salah satunya yaitu menulis gagasan secara logis dalam bentuk teks anekdot. Seluruh siswa diharapkan mampu menulis teks anekdot. Tujuannya yaitu untuk memberikan informasi dan menambah pengetahuan bagi pembaca dan juga membangkitkan tawa. Oleh karena itu, siswa diharapkan mampu menuangkan gagasannya secara runtut dan lengkap. Namun pada kenyataannya masih banyak persoalan yang dihadapi siswa dalam menulis teks anekdot, yaitu masih rendahnya pemahaman struktur, dan ciri kebahasaan dari teks tersebut.

Hal ini juga sudah dikemukakan dalam penelitian Priyatna (2011:9), yang mengatakan bahwa beberapa penyebab rendahnya keterampilan menulis siswa yaitu faktor kesulitan siswa dalam mengembangkan ide, gagasan, kurangnya minat siswa dalam pembelajaran menulis karena adanya anggapan menulis adalah kegiatan yang membosankan dan sangat sulit. Selain itu, kurangnya waktu yang sudah ditentukan dalam pembelajaran mengarang, ini terbukti para siswa tidak dapat menyelesaikan hasil karangan secara lengkap.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan penulis selama PPL dan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas X di SMA Negeri 4 medan, masih banyak siswa yang belum mampu menulis teks anekdot dengan baik. Hal ini disebabkan dengan siswa kurang memahami mengenai

struktur teks, kalimat penjelas dan terkadang masih bingung dalam menentukan tema dan mengembangkan ide yang akan ditulis dalam teks anekdot. Selain itu, siswa juga sering merasa jenuh apabila guru memberi tugas menulis atau mengarang. Inilah yang menyebabkan nilai yang diperoleh siswa belum mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Nilai KKM pada standar kompetensi di sekolah tersebut adalah 75. Sedangkan nilai rata-rata siswa kelas X pada mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk materi menulis masih di bawah 75. Oleh karena itu, pencapaian nilai menulis karangan anekdot siswa masih belum tuntas.Rendahnya kemampuan siswa dalam menulis juga dapat disebabkan karena metode yang digunakan dalam pembelajaran terlalu monoton yaitu dengan metode ceramah. Padahal pembelajaran menulis teks tersebut merupakan pembelajaran yang harus dipraktekkan secara langsung. Selain itu, teks anekdot merupakan teks yang cukup sulit dibandingkan dengan materi yang lainnya karena menuntut siswa untuk dapat membuat orang terhibur. Hal ini seolah-olah menggambarkan bahwa pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah tidak maksimal, karena masih jauh dari apa yang dicita-citakan dalam kompetensi dasar. Pengajaran Bahasa Indonesia yang cenderung bersifat hafalan tidak cukup mendukung pengembangan kemampuan berbahasa yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, guru dituntut untuk menciptakan suasana kelas yang hidup dan tidak monoton agar dapat membangkitkan semangat siswa dalam berfikir dan mengembangkan kemampuan berbahasanya. METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan rangkaian cara atau kegiatan pelaksanaan penelitian yang didasari oleh asumsi dasar dan pertanyaan dengan suatu masalah yang dihadapi. Metode penelitian memiliki sebuah rancangan untuk mencapai tujuan penelitian. Tujuan yang dimaksud untuk mengarahkan peneliti merancang sebuah kegiatan penelitian agar dapat memberikan jawaban yang sahih dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti dalam rumusan masalah. Maka dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian korelasional. Menurut Sukmadinata (2010:56) mengatakan bahwa, “penelitian

GarinAkbarAulia , AzharUmar Hubungan Pemahaman Struktur dan Ciri Kebahasaan dengan Kemampuan Menulis

Teks Anekdot Siswa Kelas X SMA Negeri 4 Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 75

korelasional ditujukan untuk mengetahui hubungan suatu variabel dengan variabel-variabel lain. Hubungan antara satu dengan beberapa variabel lain dinyatakan dengan besarnya koefisien korelasi dan keberartian (signifikansi) secara statistik.” Arikunto (2010:313) yang menyatakan penelitian korelasi bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan dan apabila ada, berapa eratnya serta berarti atau tidaknya hubungan itu. Besar kecilnya hubungan tersebut dinyatakan dalam bentuk koefisien korelasi. HASIL PENELITIAN 1. Pemahaman Struktur Teks Anekdot

Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa hasil pemahaman struktur teks Anekdot(X1) yaitu kategori sangat baik sebanyak 12 siswa atau 37,5%, kategori baik sebanyak 11 siswa atau 34,375%, kategori cukup sebanyak 6 siswa atau 18,75%, dan kategori kurang sebanyak 3 siswa atau 9,375%. 2. Pemahaman Ciri Kebahasaan Teks

Anekdot Berdasarkan hasil analisis,

diketahui bahwa hasil pemahaman ciri kebahasaan (X2) yaitu kategori sangat baik sebanyak 13 siswa atau 40,625%, kategori baik sebanyak 17 siswa atau 53,125%, dan kategori cukup sebanyak 2 siswa atau 6,25%. 3. Kemampuan Menulis Teks Anekdot

Berdasarkan hasil analisis , skor tertinggi untuk aspek isi adalah 40, aspek struktur adalah 30 dan aspek ciri kebahasaan adalah 30. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dengan jumlah responden 32.

Aspek Data penelitian ini diolah dengan menggunakan teknik statistik deskripsi. Pengolahan data kemampuan membandingkan isi, struktur, dan ciri kebahasaan teks prosedur kompleks dengan teks eksposisi dilakukan dengan menyusun tabel distribusi frekuensi dan menghitung nilai rata-rata (mean). Pengolahan data tersebut dilakukan sebagai berikut: a. Menghitung Rata-rata (Mean)

Skor tertinggi untuk aspek isi adalah 40, aspek struktur adalah 30 dan aspek ciri kebahasaan adalah 30. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dengan jumlah responden 32. Aspek tertinggi dapat dilihat dalam tabel adalah aspek isi dengan nilai 960 dan aspek terendah adalah ciri kebahasaan dengan nilai 715.

Berdasarkan kategori penilaian pemerolehan nilai rata-rata kemampuan menulis teks Anekdot yaitu 77,97 tersebut berkategori baik. b. Mempersentasekan

Dari data yang diperoleh, hasil kemampuan menulis teks Anekdot(Y) yaitu kategori sangat baik sebanyak 7 siswa atau 21,875%, kategori baik sebanyak 21 siswa atau 65,625%, kategori cukup sebanyak 3 siswa atau 9,375% dan kategori kurang sebanyak 1 siswa atau 3,125%. Aspek tertinggi dapat dilihat dalam tabel adalah aspek isi dengan nilai 960 dan aspek terendah adalah ciri kebahasaan dengan nilai 715. Berdasarkan kategori penilaian pemerolehan nilai rata-rata kemampuan menulis teks Anekdot yaitu 77,97 tersebut berkategori baik. 4. Hubungan Pemahaman Struktur (X1)

dan Ciri Kebahasaan (X2) terhadap Kemampuan Menulis Teks Anekdot(Y)

Berdasarkan hasil perhitungan yang menunjukkan besarnya koefesien dan pada perhitungan pada diketahui bahwa :. a. Sumbangan Pemahaman Struktur teks

Anekdot dengan kemampuan menulis teks Anekdot sebesar 0,833.

I1= r2 x 100% I1= 0,8332 x 100% = 69,39% Dari hasil perhitungan indeks

determinasi di atas, maka diketahui bahwa besar sumbangan pemahaman struktur dengan kemampuan menulis teksAnekdot adalah sebesar 15.45 % dan sisanya lagi ditentukan oleh faktor lain. b. Sumbangan Pemahaman Ciri

kebahasaan teks Anekdot dengan Kemampuan Menulis teks Anekdot sebesar 0.473.

I1 = r2 x 100% I1 = 0.473 2 x 100% = 22.37 %

Dari hasil perhitungan indeks determinasi di atas, maka diketahui bahwa besar sumbangan pemahaman ciri kebahasaan dengan kemampuan menulis teks Anekdot adalah sebesar 22.37 % dan sisanya lagi ditentukan oleh faktor lain. c. Sumbangan Pemahaman Struktur dan

Ciri kebahasaan teks Anekdot dengan Kemampuan Menulis teks Anekdot sebesar 0,835.

I1 = r2 x 100% I1 = 0,583 2 x 100% = 33,99 %

Dari hasil perhitungan indeks determinasi di atas, maka diketahui bahwa

GarinAkbarAulia , AzharUmar Hubungan Pemahaman Struktur dan Ciri Kebahasaan dengan Kemampuan Menulis

Teks Anekdot Siswa Kelas X SMA Negeri 4 Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 76

besar sumbangan pemahaman Struktur dan ciri kebahasaan dengan kemampuan menulis teks Anekdot adalah sebesar 33,99% dan sisanya lagi ditentukan oleh faktor lain. PEMBAHASAN 1. Pemahaman Struktur Teks Anekdot

(X1) Pemahaman struktur teks Anekdot

oleh siswa kelas X SMA Negeri 4 Medan cenderung baik dengan nilai rata-rata 77,66 dan standar deviasi 9,502, hal ini menunjukkan bahwa siswa sudah memahami struktur teks anekdot sudah sangat baik. Seperti yang kita ketahui struktur dari teks anekdot adalah “abstraksi, orientasi, krisis, reaksi, koda”. Tetapi masih ada siswa yang tidak dapat menemukan struktur secara lengkap. Pada tabel distribusi frekuensi diketahui bahwa, pemahaman struktur teks Anekdot (X1) didominasi oleh siswa yang memiliki nilai dalam kategori sangat baik, yakni mencapai 12 siswa ( 37,5), siswa yang memiliki nilai dalam kategori baik sebanyak 11 siswa ( 34,375), siswa yang memiliki nilai dalam kategori cukup sebanyak 6 orang (18.75 ), siswa yang memiliki nilai dalam kategori kurang sebanyak 3 orang (9,375 ). Siswa yang memiliki nilai dalam kategori kurang disebabkan oleh kurangnya pemahaman struktur teks Anekdot pada bagian abstraksi. Selanjutnya Pembahasan analisis uji normalitas, pemahaman struktur teks Anekdot (X1) (Lhitung ) = 0,0968 setelah dikonsultasikan dengan Ltabel pada taraf signifikan α = 0.05 maka memiliki nilai Lhitung < Ltabel (0.0968 < 0.1568). Hal ini membuktikan bahwa data variabel pemahaman struktur berdistribusi normal. 2. Pemahaman Ciri Kebahasaan Teks

Anekdot (X2) Pemahaamn ciri kebahasaan teks

Anekdot (X2) oleh siswa kelas X SMA Negeri 4 Medan cenderung baik dengan nilai rata-rata 83.13 dan standar deviasi 7.04. , hal ini menunjukkan bahwa siswa sudah memahami ciri kebahasaan teks anekdot sudah sangat baik. Seperti yang kita ketahui struktur dari teks anekdot adalah “Kalimat deklaratif,kalimat kausal, konjungsi temporal,unsur lucu,partisipan”. Tetapi masih ada siswa yang tidak dapat menemukan ciri kebahasaan secara lengkap. Pada tabel distribusi frekuensi diketahui bahwa, pemahaman ciri kebahasaan teks Anekdot didominasi oleh

siswa yang memiliki nilai dalam kategori baik, yakni mencapai 17 siswa (53.125%), siswa yang memiliki nilai dalam kategori sangat baik sebanyak 13 siswa (40.625%), siswa yang memiliki nilai dalam kategori cukup sebanyak 2 orang (6.25%), siswa yang memiliki nilai cukup disebabkan oleh, kurangnya pemahaman ciri kebahasaan teks anekdot pada bagian kalimat deklaratif. Dari hasil analisis uji normalitas, pemahaman ciri kebahasaan teks Anekdot (X2) setelah dikonsultasikan dengan Ltabel pada taraf signifikan α = 0.05 maka memiliki nilai Lhitung < Ltabel (0.1190 < 0.1568). Hal ini membuktikan bahwa data variable pemahaman struktur berdistribusi normal. 3. Kemampuan Menulis Teks Anekdot

Kemampuan menulis teks Anekdot (Y) cenderung baik dengan nilai rata-rata 77.97 dan standar deviasi 6.07. Pada tabel distribusi frekuensi kemampuan menulis teks Anekdot diketahui bahwa, pemahaman isi teks Anekdot didominasi oleh siswa yang memiliki nilai dalam kategori baik, yakni mencapai 21 siswa (65.625%), siswa yang memiliki nilai dalam kategori sangat baik sebanyak 7 siswa (21.875%), siswa yang memiliki nilai dalam kategori cukup sebanyak 3 orang (9.375%), siswa yang memiliki nilai dalam kategori kurang sebanyak 1 orang (3.125 %). Siswa yang memiliki nilai yang cukup disebabkan oleh, kurangnya kemampuan menulis teks Anekdot pada bagian ciri kebahasaan teks Anekdot. Dari hasil analisis uji normalitas, pemahaman kemampuan menulis teks Anekdot (Y) setelah dikonsultasikan dengan Ltabel pada taraf signifikan α = 0.05 maka memiliki nilai Lhitung < Ltabel (0.1520 < 1568). Hal ini membuktikan bahwa data variable kemampuan menulis teks anekdot berdistribusi normal. 4. Hubungan Pemahaman Struktur (X1)

dan Ciri Kebahasaan (X2) terhadap Kemampuan Menulis Teks Anekdot(Y)

Kemampuan menulis teks Anekdot (Y) cenderung baik dengan nilai rata-rata 77.97 dan standar deviasi 6.07. Pada tabel distribusi frekuensi kemampuan menulis teks Anekdot diketahui bahwa, pemahaman isi teks Anekdot didominasi oleh siswa yang memiliki nilai dalam kategori baik, yakni mencapai 21 siswa (65.625%), siswa yang memiliki nilai dalam kategori sangat baik sebanyak 7

GarinAkbarAulia , AzharUmar Hubungan Pemahaman Struktur dan Ciri Kebahasaan dengan Kemampuan Menulis

Teks Anekdot Siswa Kelas X SMA Negeri 4 Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 77

siswa (21.875%), siswa yang memiliki nilai dalam kategori cukup sebanyak 3 orang (9.375%), siswa yang memiliki nilai dalam kategori kurang sebanyak 1 orang (3.125 %). Koefisien determinasi korelasi ganda sebesar 33,99% merupakan hubungan antara pemahaman struktur dan ciri kebahasaan dengan kemampuan menulis teks anekdot dan selebihnya didukung oleh faktor lain. Selanjutnya untuk koefisien determinasi korelasi R2

diketahui bahwa koefisien determinan korelasi ganda pemahaman struktur (X1) = 69,39%, koefisien determinan korelasi ganda pemahaman ciri kebahasaan teks anekdot (X2) = 22,37%. SIMPULAN

Hasil analisis data penelitian dan pengujian hipotesis tentang Hubungan Pemahaman Struktur dan Ciri Kebahasaan dengan Kemampuan Menulis Teks Anekdot Siswa Kelas X SMA Negeri 4 Medan, diperoleh sebagai berikut: 1. Hasil data rata-rata pemahaman struktur

teks Anekdot siswa kelas X SMA Negeri 4 Medan adalah 77,66dan standar deviasi 9,502 dari jumlah siswa 32 orang. Kategori nilai rata-rata tersebut adalah baik.

2. Hasil data rata-rata pemahaman ciri kebahasaan teks Anekdot siswa kelas X SMA Negeri 4 Medan adalah 83,13 dan standar deviasi 7,04 dari jumlah siswa 32 orang. Kategori nilai rata-rata tersebut adalah sangat baik.

3. Hasil data rata-rata kemampuan menulis teks Anekdot siswa kelas X SMA Negeri 4 Medan adalah 77,97 dan standar deviasi 6,07dari jumlah siswa 32 orang. Kategori nilai rata-rata tersebut adalah baik.

4. Ada Hubungan pemahaman struktur dengan kemampuan menulis teks Anekdot siswa kelas X SMA Negeri 4 Medan sebesar 0,833.

5. Ada Hubungan pemahaman ciri kebahasaan dengan kemampuan menulis teks Anekdot siswa kelas X SMA Negeri 4 Medan sebesar 0,473.

6. Ada Hubungan pemahamanstruktur dan ciri kebahasaan dengan kemampuan menulis teks Anekdot siswa kelas X SMA Negeri 4 Medan sebesar 0,835.

SARAN Hasil data rata-rata kemampuan

menulis teks Anekdot siswa kelas X SMA Negeri 4 Medan adalah 77,97 dan standar deviasi 6,07 dari jumlah siswa 32 orang.

Kategori nilai rata-rata tersebut adalah baik. Hasil data rata-rata pemahaman struktur teks Anekdot siswa kelas X SMA Negeri 4 Medan adalah 77,66 dan standar deviasi 9,502 dari jumlah siswa 32 orang. Kategori nilai rata-rata tersebut adalah baik.Hasil data rata-rata pemahaman ciri kebahasaan teks Anekdot siswa kelas X SMA Negeri 4 Medan adalah 83,13 dan standar deviasi 7,04 dari jumlah siswa 32 orang. Kategori nilai rata-rata tersebut adalah sangat baik. DAFTAR PUSTAKA Depdikbud, 2005. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa

Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka. Manurung. 2013. Statistik Pendidikan.

Jakarta: Halaman Moeka Permendikbud. 2013. Kerangka dasar dan

struktur kurikulum sekolah menengah atas/ madrasah aliyah nomor 69 tahun 2013. Jakarta: Permendikbud.

Priyatni,Endah Tri. 2014. Desain Pembelajaran Bahasa Indonesia Dalam Kurikulum 2013.Jakarta: Bumi Aksara.

_______________. 2015. Desain Pembelajaran Bahasa Indonesia Dalam Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara.

Saridi, Diane Ratna . 2016. Pembelajaran Membandingkan Teks Cerita Pendek dengan Teks eksplanasi kompleks Kompleks Menggunakan Model Cooperative Integrated Reading And Composition Pada Siswa Kelas XI SMA Negeri 18 Bandung Tahun Pelajaran 2016/2017.

Sugiono,2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan kualitatif.: Bandung: Alfabeta

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 78

PERMASALAHAN PADA OTAK (DISLEKSIA) BERPENGARUH PADA KEMAMPUAN BERBAHASA

Mhd. Hamzah Fansuri Hsb

Dikbind PPs Universitas Negeri Medan [email protected]

Abstrak. Disleksia merupakan salah satu bentuk kesulitan belajar spesifik yang tersering diantara kedua bentuk kesulitan belajar spesifik lainnya yaitu disgrafia dan diskalkulia. Disleksia yang berasal dari bahasa Greek secara harafiah mengandung makna kesulitan berbahasa (dys = sulit; lexia = bahasa). Disleksia (seperti halnya diskalkulia dan disgrafia) terjadi pada individu dengan potensi kecerdasan normal, bahkan banyak diantara mereka yang mempunyai tingkat kecerdasan jauh di atas rata-rata. Itulah sebabnya maka disleksia disebut sebagai kesulitan belajar SPESIFIK, karena kesulitan belajar yang dihadapinya hanya terjadi pada satu atau beberapa area akademis yang spesifik saja, diantaranya area membaca, menulis dan berhitung. Seringkali disleksia merujuk pada kondisi dimana kesulitan belajar yang nampak pada individu tersebut sulit dijelaskan karena demikian ‘berlawanan’ dengan potensi kecerdasan yang dimilikinya. Sebagian besar orang awam memahami disleksia sebagai kondisi dimana anak sulit belajar baca, malas menulis, jika menulis banyak huruf yang hilang, sulit menghitung, dan sebagainya, namun sejatinya disleksia sama sekali tidak sesederhana itu. Kata kunci : Disleksia, penyebab, strategi Abstract. Dyslexia is one of the most common forms of learning difficulties among the two other specific forms of learning difficulties, namely dysgraphia and dyscalculia. Dyslexia originating from Greek literally means language difficulties (dys = difficult; lexia = language). Dyslexia (like dyscalculia and dysgraphia) occurs in individuals with normal intelligence potential, even many of them who have a level of intelligence far above average. That is why dyslexia is referred to as SPECIFIC learning difficulties, because the learning difficulties it faces only occur in one or several specific academic areas, including the area of reading, writing and counting. Often dyslexia refers to a condition where the learning difficulties that appear to the individual are difficult to explain because of this 'opposite' to the potential intelligence they have. Most lay people understand dyslexia as a condition where children have difficulty learning to read, are lazy to write, if they write a lot of missing letters, difficult to count, and so on, but actually dyslexia is not that simple at all. Keywords: Dyslexia, causes, strategies

PENDAHULUAN Disleksia adalah hilangnya

kemampuan untuk membaca dan menulis. Hilangnya kemampuan untuk membaca disebut Aleksia dan hilangnya kemampuan untuk menulis disebut Agrafia ( Dardjowidjojo, 2008: 216). Disleksia merupakan sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan fisik, seperti masalah penglihatan, tetapi mengarah pada otak yang telah mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca. Para orangtua sering beranggapan bahwa anak-anak usia sekolah yang belum bisa membaca dan menulis merupakan ukuran ketidakmampuan mereka. Anak yang

sudah bersekolah dan belum lancar membaca dianggap bodoh atau tertinggal. Bisa saja terjadi anak itu menderita disleksia.

Kemampuan membaca pada anak normal, sudah muncul sejak usia enam atau tujuh tahun, namun anak disleksia tidak mampu untuk itu. Bahkan sampai usia dewasa mereka masih mengalami gangguan keduanya. Seperti misalnya kata ”pulang” ducapkan menjadi ”puang”. Atau kata ”mandi” menjadi ”pagi”. Disleksia ditandai dengan adanya kesulitan membaca pada anak maupun dewasa yang seharusnya menunjukkan kemampuan dan motivasi untuk membaca secara benar dan lancar. Pada anak usia prasekolah, adanya riwayat keterlambatan berbahasa atau tidak tampaknya bunyi dari suatu kata (kesulitan bermain kata-kata

Mhd. Hamzah Fansuri Hsb Permasalahan pada Otak (Disleksia) Berpengaruh pada Kemampuan Berbahasa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 79

yang berirama, kebingungan dalam menghadapi kata-kata yang mirip, kesulitan belajar mengenal huruf) misalnya kata “kakak” diucapkan “gagak” disertai dengan adanya riwayat keluarga yang menderita disleksia, menunjukkan faktor risiko yang bermakna untuk menderita disleksia. Berikutnya, pada anak usia sekolah biasanya keluhan berupa kurangnya kemampuan tampil membaca di sekolah, misalnya kata “ayam” dibaca “maya”, tetapi orangtua dan guru sering tidak menyadari bahwa anak tersebut mengalami kesulitan membaca.

Anak disleksia akan terlihat terlambat berbicara, tidak belajar huruf di Taman Kanak-Kanak dan tidak belajar membaca di Sekolah Dasar. Tentunya, Anak tersebut akan semakin ketinggalan dalam hal pelajaran sedangkan guru dan orangtua merasa semakin heran mengapa anak dengan tingkat kepandaian yang cukup baik mengalami kesulitan membaca. Walaupun anak telah diajarkan secara khusus, namun anak tersebut membaca dengan lebih lambat. Ia mengalami gangguan dalam membaca bahkan bingung mengenali huruf dan angka yang mirip. Selain itu penderita disleksia akan mengalami gangguan kepercayaan diri.Melalui pengamatan kesulitan membaca yang dialami anak-anak maka ada kecenderungan bahwa pemicu disleksia adalah kelainan neurobiologis, yang ditandai dengan kesulitan dalam mengenali kata dengan tepat, baik dalam pengejaan dan pengkodean simbol. Kesulitan membaca yang dialami anak disleksia, tidak ada hubungannya dengan tingkat intelegensi mereka. Bahkan dalam beberapa kasus, anak disleksia jauh lebih cerdas daripada anak normal lainnya. METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan tempat penelitian berada di kediaman penulis Jln. Imam bonjol gang bengkel anas ujung Padangsidimpuan, adapun alasan penulis memilih kediaman sendiri sebagai tempat penelitian didasarkan persetujuan anatara peneliti dan subjek peneliti. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Mei 2018. Dalam melaksanakan penelitian, penulis sangat memerlukan bahan dan alat penelitian agar penelitian yang dilakukan dapat berjalan sesuai yang diharapkan dan mendapatkan data informasi untuk menjawab permasalahan penelitian. Bahan

dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Kamera b. Tes berbentuk teks Adapun bentuk metode penelitian peneliti berdasarkan (Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, 2009: 102) sebagai berikut : a. Angket b. Wawancara c. Pengamatan d. Ujian / tes e. Dokumentasi

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Sudaryanto (1986:62) memaparkan istilah deskriptif itu menyarankan bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada dan fenomena yang memang secara empiris hidup para penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau dicatat berupa penelitian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti apa adanya. Berdasarkan penjelasan Sudaryanto di atas, maka di dalam penelitian ini peneliti berusaha memaparkan deskripsi mengenai perkembangan pemerolehan bahasa pada subjek penelitian. Dengan pendapat Sudaryanto (1986:62) yang menyebutkan bahwa penelitian yang deskriptif itu tidak mempertimbangkan benar salahnya penggunaan bahasa oleh penutur-penuturnya, hal ini merupakan cirinya yang utama dan terutama. Sementara itu, analisis yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah analisis kualitatif. Mahsun (2007: 257) berpendapat bahwa penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena sosial termasuk fenomena kebahasaan yang tengah diteliti. Oleh karena itu, analisis kualitatif fokusnya pada penunjukan makna, deskriptif penjernihan, dan penempatan data pada konteksnya masing-masing dan sering kali melukiskannya dalam bentuk kata-kata. Metode Penelitian Pemerolehan Bahasa

Metode penelitian adalah penentuan cara agar proses pemerolehan dan analisis data dapat dilakukan. Keberhasilan sebuah penelitian tidak terlepas dari ketepatan peneliti menggunakan metode penelitiannya. Hubungannya dengan pemerolehan bahasa pada anak, metode penelitian pada bahasan ini berkembang (Dardjowidjojo, 2003: 228) mengemukakan bahwa disamping buku catatan harian, metode

Mhd. Hamzah Fansuri Hsb Permasalahan pada Otak (Disleksia) Berpengaruh pada Kemampuan Berbahasa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 80

penelitian yang dipakai juga dapat berupa observasi. Dengan kemajuan teknologi, data diperoleh dengan merekam ujaran maupun tingkah laku anak saat berujar, baik secara visual maupun secara auditori. Penelitian ini adalah metode penelitian observasi dan metode penelitian eksperimental. Dardjowidjojo (2003:229) menyatakan bahwa metode penelitian dengan tipe observasional dan natural, peneliti tidak mengadakan interferensi apa pun. Anak dibiarkan berbahasa secara natural di tempat yang tidak khusus disediakan. Sedangkan pada tipe obsevasional yang terkontrol, tempat penelitian ditentukan seperti kamar main dalam laboratorium sudah diatur terlebih dahulu oleh peneliti. Selanjutnya Dardjowidjojo (2003: 230) kembali memaparkan bahwa tipe eksperimental mengadakan interferensi untuk mengetahui apakah suatu keadaan tertentu dapat memunculkan hasil yang diramalkan. Berdasarkan pemaparan metode penelitian di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa metode penelitian observasi adalah metode penelitian yang cocok untuk desain penelitian studi kasus. Dalam metode ini data yang dihasilkan bersifat kualitatif atau pemaparan. Sedangkan metode penelitian eksperimental adalah metode penelitian yang cocok untuk desain penelitian subjek tunggal (single subjek). Adapun sampel dalam penelitian ini hanya subjek tunggal (single subjek) yang berusia 14 tahun HASIL PENELITIAN Latar Belakang Subjek Penelitian A. Identitas Anak 1. Nama : Mhd Arifin 2. Tempat Dan Tanggal Lahir

: Padangsidimpuan, 25 Mei 2004 3. Umur : 14 Tahun 4. Jenis Kelamin : Laki-Laki 5. Agama : Islam 6. Status : Anak Kandung 7. Anak Ke Dari Jumlah Saudara

: Ke 2 Dari 4 Bersaudara B. Riwayat Kehamilan 1. Penyakit Pada Masa Kehamilan

: Mual, Muntah 2. Usia Kandungan Saat Kelahiran

: 9 Bulan 3. Riwayat Proses Kelahiran

: Normal 4. Tempat Kelahiran

: Rumah Sakit Bersalin 5. Penolongan Proses Kelahiran

: Dibantu Bidan 6. Gangguan Saat Bayi Lahir

: Nornal / Tidak Ada Gangguan 7. Berat Bayi

: 3,5 Kg 8. Tanda- Tanda Kelainan Pada Bayi

: Tompel Di Punggung C. Perkembangan Fisik & Bahasa

Pada Usia 1. Dapat Berdiri : Dari Umur 8 Tahun 2. Dapat Berjalan : Dari 1 Tahun 6 Bulan 3. Mulai Berceloteh : ± 2 Tahun 6 Bulan 4. Penggunaan Tangan Saat

Berkomunikasi : Dari 2 Tahun 9 Bulan 5. Mulai Berbicara Dengan Kata/Kalimat

: Dari 3 Tahun Sampai 4 Tahun 6. Mulai Berbicara Dengan Kalimat

Bermakna : Sekilah Dasar (Sd) Kelas 3 D. Perkembangan Sosial Pada Usia 1. Hubungan Dengan Saudara

: Tidak Semua Akur Pilih-Pilih Orangnya

2. Hubungan Dengan Teman : Yang Dianggap Kawan, Lebih Muda Darinya

3. Hubungan Dengan Orang Tua : Kurang Ditanggapi

4. Hobi : Bola Kaki 5. Minat Khusus : Tidak Ada E. Perkembangan Pendidikan Pada

Usia 1. Masuk Tk : Tidak Pernah 2. Lama Pendidikan Tk : Tidak Pernah 3. Kesulitan Anak Selama Di Tk

: Tidak Pernah 4. Masuk SD : Umur 6 Tahun 5. Lama Pendidikan SD

: 8 Tahun Masih Kelas V Karena Sering Tinggal Kelas

6. Kesulitan Anak Selama Di SD : Tidak Pandai Membaca, Tidak Mau Bicara

7. Masuk SMP : Tidak Pernah 8. Lama Pendidikan SMP : Tidak Pernah 9. Kesulitan Anak Selama Di SMP

: Tidak Pernah 10. Pernah Tidak Naik Kelas

: Di Sekolah Dasar 3 Kali Tinggal Kelas

11. Mata Pelajaran Yang Dirasa Sulit : Matematika

12. Mata Pelajaran Yang Disenangi : Olahraga

13. Prestasi Dicapai Saat Belajar : Tidak Ada

14. Pelayanan Khusus Yang Pernah Diterima Anak : Tidak Ada

Mhd. Hamzah Fansuri Hsb Permasalahan pada Otak (Disleksia) Berpengaruh pada Kemampuan Berbahasa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 81

F. Keterangan Lain Yang Dianggap Perlu (Kebiasaan Anak)

1. Sering Mengigit Kerah Leher Baju 2. Sering Mengepal-Ngepal Tangan

Sambil Berbicara

3. Sering Kedua Kakinya Diangkat Bila Duduk Di Kursi

4. Pendiam Jarang Bicara (Pilih-Pilih Kawan)

PEMBAHASAN Tabel 1. Tes Kesulitan Pengucapan

No Kata Target Pengucapan I Pengucapan II Pengucapan III 1 Sekolah Sekolah Sekolah Sekolah 2 Tukang Tukang Tukang Tukang 3 Anting Anfing Anting Anting 4 Bengkel Bangkel Bengkel Bengkel 5 Bangku Bangku Bangku Bangku 6 Angin Angin Angin Angin 7 Pintu Pintu Pintu Pintu 8 Uang Uang Uang Uang 9 Pekerjaan Pekerjaan Pekerjaan Pekerjaan

10 Renda Renda Renda Renda 11 Sulawesi Suwawesi Suwawesi Suwawesi 12 Sulap Kulap Kulap Kulap 13 Sayap Sayap Sayap Sayap 14 Nektar Tennah Tennah Tennah 15 Bangkai Bangkai Bangkai Bangkai 16 Boneka Boneka Boneka Boneka 17 Ibu Ibu Ibu Ibu 18 Bibi Bouk Bouk Bouk 19 Kesombongan Sombongan Sombongan Sombongan 20 Iwan Iwan Iwan Iwan 21 Setelah Sekelah Sekelah Sekelah 22 Mereka Megeka Megeka Megeka 23 Tanaman Tanaman Tanaman Tanaman 24 Engkau Engku Engku Engku 25 Beberapa Bebelapa Bebelapa Bebelapa 26 Alam Alam Alam Alam 27 Buku Buku Buku Buku 28 Meja Meja Meja Meja 29 Bioskop Bisokop Bisokop Bisokop 30 Kuning Kuning Kuning Kuning 31 Biru Biru Biru Biru 32 Kursi Kulsi Kulsi Kulsi 33 Orang Orang Orang Orang 34 Hati Ati Ati Ati 35 Bapak Bapak Bapak Bapak 36 Surga Sulga Sulga Sulga 37 Pembohong Pembohong Pembohong Pembohong 38 Pengembara Pengembala Pengembala Pengembala 39 Keras Kelas Kelas Kelas 40 Kasih Kasih Kasih Kasih 42 Udara Udala Udala Udala 43 Kekeluargaan Kelualga Kelualga Kelualga 44 Pantai Pantai Pantai Pantai 45 Ombak Ombak Ombak Ombak 46 Melati Melatih Melatih Melatih 47 Kutilang Kutilang Kutilang Kutilang 48 Ulat Ulat Ulat Ulat 49 Musuh Musuh Musuh Musuh 50 Kupu-Kupu Kupu-Kupu Kupu-Kupu Kupu-Kupu

Mhd. Hamzah Fansuri Hsb Permasalahan pada Otak (Disleksia) Berpengaruh pada Kemampuan Berbahasa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 82

51 Kelelawar Kehelawal Kehelawal Kehelawal 52 Tanah Tanah Tanah Tanah 53 Cuaca Cuaca Cuaca Cuaca 54 Boneka Boneka Boneka Boneka 55 Komodo Komodo Komodo Komodo 56 Sepeda Sepeda Sepeda Sepeda 57 Lemari Menari Lemali Lemari 58 Celana Selana Celana Celana 59 Melati Melatih Melatih Melatih 60 Menara Menala Menala Menala 61 Petani Petanih Petanih Petanih 62 Ria Lia Lia Lia 63 Siapa Siapa Siapa Siapa 64 Perekonomian Onomian Onomian Onomian 65 Belakang Belakang Belakang Belakang 66 Sukaramai Sukarame Sukarame Sukarame 67 Irfan Ilfan Ilfan Ilfan 68 Tangkai Tangkai Tangkai Tangkai 69 Orang Orang Orang Orang 70 Burhan Bulhan Bulhan Bulhan

Hasil dari pembahasan tabel di atas anak penderita disleksia setelah di wawancara tersebut mengalami kesulitan memahami dan mengucapkan kalimat dan bahkan kurang merespon dari penguji tes bisa dilihat dari hasil tabel kolom pengucapan I, II dan III yang ditandai warna hijau Tes Kesulitan Membaca dan Menjawab

Cerita ke-1

Hari ini adalah hari ulang tahunku. Pagi-pagi sekali ayah membangunkanku dan mengucapkan selamat ulang tahun. Ibu mencium dan memelukku dengan erat. Ayah berjanji memberikan hadiah ulang tahun setelah aku pulang dari sekolah dan meminta agar aku bersemangat ke sekolah pagi ini. Aku sangat penasaran dengan hadiah yang akan ayah berikan padaku. Aku pun berangkat ke sekolah lebih awal bersama kakak dan berharap pulang lebih cepat.

1. Siapakah yang berulang tahun pada hari ini? a) Ani c) Aku b) Ayah d) Ibu

2. Siapakah yang memeluk “aku” di dalam cerita di atas? a) Ayah c) Kakak b) Ibu d) Adik

3. Bersama siapakah “aku” berangkat ke sekolah? a) Ibu c) Ayah b) Adik d) Kakak

4. Ayah berjanji akan memberikan hadiah setelah…. a) Aku bangun tidur c) Aku menghabiskan sarapan b) Aku pulang dari sekolah d) Aku pulang dari bermain

5. Apa yang diucapkan ayah saat “aku” bangun tidur? a) Selamat ulang tahun c) Selamat pagi b) Selamat makan d) Sampai jumpa

Cerita ke-2

Kemarin ibu guru memberitahukan kepada kami bahwa hari ini akan ada pemberian vitamin. Kami diminta membawa surat permohonan izin orang tua untuk ditandatangani. Ibu guru mengatakan jika disuntik hanya sakit sebentar lalu kami akan kembali ceria. Hari ini tiba saatnya kami disuntik. Ani menangis ketakutan. Budi berlarian kesana kemari. Aku ingat pesan ayah bahwa aku harus menjadi anak yang

Mhd. Hamzah Fansuri Hsb Permasalahan pada Otak (Disleksia) Berpengaruh pada Kemampuan Berbahasa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 83

pemberani. Akhirnya aku disuntik tanpa menangis. Ibu guru mengatakan bahwa aku anak yang hebat.

6. Suntikan apakah yang akan diberikan di sekolah? a) Suntik vitamin c) Suntik cacar b) Suntik imunisasi d) Suntik gratis

7. Bagaimanakah rasanya disuntik menurut yang ibu guru katakan? a) Sangat sakit c) Tidak sakit b) Sakit sebentar d) Sakit lama

8. Siapakah yang menangis ketakutan? a) Ibu guru c) Budi b) Rudi d) Ani

9. Apa yang dilakukan Budi saat akan disuntik? a) Tersenyum c) Menangis b) Berlarian d) Bersembunyi

10. Apa yang dikatakan oleh ibu guru setelah aku selesai disuntik? a) Selamat jalan c) Semoga lekas sembuh b) Selamat, kamu hebat d) Selamat ulang tahun.

Hasil dari pembahasan tes cerita 1 dan 2 diatas anak penderita disleksia tersebut tidak mau menjawab tes dari peneliti dan bahkan tidak berniat lagi untuk di tes atau di wawancarai SIMPULAN Berdasarkan hasil temuan penelitian yang telah dikemukakan diatas maka pada bab ini akan dikemukakan beberapa simpulan serta beberapa saran yang berkenaan dengan penelitian ini. a. Subjek penelitian tidak hanya penderita

Disleksia tetapi tidak bisa membaca huruf dan angka dan memiliki kelainan lain walapun secara fisik terlihat normal.

b. Dari hasil kedua tes yang peneliti berikan kepada subjek jauh dari

perkiraan penelitian dari hasil tes penelitian tersebut.

c. Susah untuk diajak berkomunikasi, jika ingin berkomunikasi subjek tersebut memilih lawan bicara yang sesuwai dengan keinginannya.

d. Penelitian ini dilakukan oleh ibu kandung si penulis dikarenakan untuk pendekatan penelitian terhadap subjek hanya mau diteliti oleh orang tua.

e. Untuk beraktifitas seperti kerja sangat rajin pantang menyerah walapun sering ditipu orang lain.

f. Orang tua subjek penelitian mudah tersinggung ketika anaknya di teliti.

g. Untuk bisa penelitian ini berjalan lancar peneliti mengikutsertakan orang tua dalam penelitian ini.

SARAN Dalam kasus ataupun persoalan seperti penelitian ini bagi para peneliti agar berbanyak bersabar dan mempunyai langkah yang banyak untuk bisa mendapatkan hasil penelitian ini walapun jauh dari apa yang diharapkan seorang peneliti DAFTAR PUSTAKA Kholid A. Harras & Andika Dutha

Bachari. 2009. Dasar-Dasar Psikolinguistik. Bandung: Upi Press, Putaka Budi Digital.

Arifuddin. 2013.Neuro Psikolinguistik.

Jakarta: Rajawali Pres, Raja Grafindo Persada.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2008.

Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Shaywitz. S. 2003. Overcoming Dyslexia.

New York: Alfred A Knopf. www.halalguide.info/content/view/720/70/.

Endang Widyorini, Julia Maria Van

Tiel,2017. Disleksia,Jakarta:PT Fajar Interpratama Mandiri.

Susan C, Lowell, M.A, 2013. Definition of Dyslexia and Assessment of Dyslexia.

Sally E. Shaywitz. New England Journal

of Medicine, Volume 338, Number 5. Dyslexia and Learning Disabilities.

Mhd. Hamzah Fansuri Hsb Permasalahan pada Otak (Disleksia) Berpengaruh pada Kemampuan Berbahasa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 84

IDA Board of Directors, Nov.12, 2002 Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder – 5th Edition, The American Psychiatric Association, 2013.

Sally Shaywitz. Alfred A Knopf

Publishers, NY, 2003. Overcoming Dyslexia

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 85

NILAI MORAL DAN KERJA KERAS DALAM DONGENG DANAU TOBA PADA BUKU TEKS BAHASA INDONESIA KELAS VII TERBITAN PUSAT

PERBUKUAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Rosmilan Pulungan1, Amanda Syahri Nasution2 1. Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah 2. Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah

[email protected]

Abstrak. Dongeng termasuk dalam cerita rakyat berbentuk lisan. Dongeng adalah cerita rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi oleh yang mempunyai cerita serta tidak terikat waktu dan tempat. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga dongeng yang melukiskan kebenaran, berisi ajaran moral bahkan sindiran. Setiap mata pelajaran membutuhkan sejumlah buku teks, apalagi bila mata pelajaran mempunyai sub-sub bagian yang dapat dianggap sebagai bagian yang berdiri sendiri. Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia misalnya, ada sub mata pelajaran kesusastraan, kebahasaan, keterampilan dan lain-lain. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimana nilai moral yang terdapat dalam dongeng Danau Toba? dan Bagaimana nilai kerja keras dalam dongeng Danau Toba? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Semi (1984:23) yaitu ”metode yang tidak menggunakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris”. Menurut Sugiyono (2008) metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) di mana peneliti adalah instrumen kunci. Teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Data penelitian ini adalah nilai pendidikan religius yang terdapat dalam dongeng dalam buku teks Bahasa Indonesia kelas VII terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, karya Nila Kuriniati Sapari, terbitan tahun 2008. Kata kunci : dongeng, buku teks, legenda, danau toba Abstract. Tales included in oral folklore. Fairy tales are folktales that are considered not really happened by those who have stories and are not bound by time and place. Fairy tales are told mainly for entertainment, although there are many fairy tales that depict the truth, containing moral teachings and even satire. Each subject requires a number of textbooks, especially if subjects have sub-sections which can be considered as stand-alone parts. In Indonesian language subjects for example, there are sub-subjects of literature, language, skills and others. Based on the background described earlier, the formulation of the problem in this study is as follows: How are the moral values contained in the tales of Lake Toba? and What is the value of hard work in the tales of Lake Toba? The method used in this research is qualitative method. Qualitative research according to Semi (1984: 23) is "a method that does not use numbers, but prioritizes the depth of appreciation of the interactions between concepts that are being studied empirically". According to Sugiyono (2008) qualitative research methods are research methods that are used to examine the conditions of natural objects, (as opposed to experiments) where researchers are key instruments. The technique of data collection is triangulated (combined), data analysis is inductive and the results of qualitative research emphasize the meaning rather than generalization. The data of this study is the value of religious education contained in the fairy tale in the class VII Indonesian textbook published by the Ministry of National Education Book Center, by Nila Kuriniati Sapari, published in 2008. Keywords: fairy tales, textbooks, legends, lake toba

PENDAHULUAN Setiap karya sastra, termasuk

dongeng mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat mewakili gagasan manusia pada masa lampau. Oleh sebab itu, perlu pengkajian terhadap karya itu, misalnya untuk mengkaji nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pengkajian

ini dapat dilakukan melalui suatu penelitian. Dongeng termasuk dalam cerita rakyat berbentuk lisan. Dongeng adalah cerita rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi oleh yang mempunyai cerita serta tidak terikat waktu dan tempat. Dongeng diceritakan terutama untuk

Rosmilan Pulungan1, Amanda Syahri Nasution2 Nilai Moral dan Kerja Keras dalam Dongeng Danau Toba pada Buku Teks Bahasa Indonesia

Kelas VII Terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 86

hiburan, walaupun banyak juga dongeng yang melukiskan kebenaran, berisi ajaran moral bahkan sindiran.

Dalam dunia pendidikan, mengkaji karya sastra sangat penting bagi anak didik, di samping berfungsi sebagai bahan hiburan, karya sastra juga berfungsi sebagai bahan ajar bagi pembaca atau penikmatnya. Karya sastra juga merupakan salah satu standar kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik untuk dapat mengembangkan potensinya.

Dalam konteks pembelajaran Bahasa Indonesia, pengajaran dikembalikan pada kedudukan yang sebenarnya, yaitu melatih siswa membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, dan mengapresiasikan karya sastra dengan tujuan untuk melatih siswa meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan secara nyata Oleh karena itu, pembelajaran Bahasa Indonesia mengupayakan peningkatan kemampuan siswa untuk berkomunikasi secara lisan dan tulisan serta menghargai karya cipta bangsa Indonesia. Sejalan dengan ini, dalam Kurikulum 2013, satu di antaranya Standar Kompetensinya (SK) adalah memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca buku kumpulan dongeng dan Kompetensi Dasarnya (KD) adalah menemukan tema, latar, penokohan pada dongeng-dongeng dalam satu buku kumpulan dongeng. Untuk memenuhi Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) tersebut, sudah selayaknya penelitian tentang nilai-nilai kasih sayang dan kesombongan pada dongeng dalam buku teks Bahasa Indonesia SMP kelas VII terbitan pusat perbukuan departemen Pendidikan Nasional perlu dilaksanakan.

Berdasarkan permasalahan ini, penelitian tentang analisis nilai moral dan kerja keras yang terdapat dalam dongeng dalam buku teks Bahasa Indonesia kelas VII terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional sebagai bahan kajian. Pilihan terhadap buku teks bahasa Indonesia kelas VII karena dalam buku ini lebih banyak memuat contoh-contoh dongeng dibandingkan buku kelas VIII dan kelas IX. Selain itu, dongeng yang ada dalam buku kelas VII SMP juga memiliki bahasa yang cukup sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anak-anak yang baru menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (a) Bagaimana nilai moral yang terdapat dalam dongeng Danau Toba? dan (b) Bagaimana nilai kerja keras dalam dongeng Danau Toba? METODE PENELITIAN

Penyusunan desain penelitian merupakan tahap awal dan tahap yang sangat penting dalam proses penelitian. Penyusunan desain adalah tahap perencanaan penelitian yang biasanya disusun secara logis dan mampu menvisualisasikan rencan dan proses penelitian secara praktis.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Semi (1984:23) yaitu ”metode yang tidak menggunakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris”.

Menurut Sugiyono (2008) metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) di mana peneliti adalah instrumen kunci. Teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini adalah tujuh dongeng dalam buku teks Bahasa Indonesia SMP kelas VII terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, yaitu: (1) “Sang Kancil dan Buaya”, (2) “Lutung Kasarung”, (3) ”Asal Usul Danau Toba ” ,(4) “Timun Emas”, dan (5) “Malin Kundang”, (6) “Keledai Pembawa Garam”,(7) Sangkuriang. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka. Menurut Hadiyandra (Maria, 2002:11) Studi pustaka adalah “Kegiatan yang berupa pemerolehan bahan atau informasi dari buku-buku, makalah, artikel, dan bahan bacaan dari majalah atau koran”.

Data penelitian ini adalah nilai pendidikan religius yang terdapat dalam dongeng dalam buku teks Bahasa Indonesia kelas VII terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan

Rosmilan Pulungan1, Amanda Syahri Nasution2 Nilai Moral dan Kerja Keras dalam Dongeng Danau Toba pada Buku Teks Bahasa Indonesia

Kelas VII Terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 87

Nasional, karya Nila Kuriniati Sapari, terbitan tahun 2008. Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data digunakan teknis analisis karya. Menurut Gorys Keraf (Suwanda, (2007: 31) ”Analisis karya adalah suatu metode penyelidikan dengan mengadakan penelitian atau penganalisisan dari hasil karya terkenal dalam suatu bidang pengatahuan”. HASIL PENELITIAN a. Analisis Cerita Dongeng Danau

Toba Di sebuah desa di wilayah

Sumatera, hidup seorang Toba. Ia seorang Toba yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, Toba itu memancing ikan di sungai. Setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Toba itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.

Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku.” Toba tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam Toba.

Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama Toba tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,” gumam mereka. Toba merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, Toba itu hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha Toba. “Aku tahu Toba itu pasti memelihara makhluk halus! ” kata seseorang kepada

temannya. Hal itu sampai ke telinga Toba dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja.

Setahun kemudian, kebahagiaan Petan dan istri bertambah, karena istri Toba melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Samosir. Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa diri. Samosir tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.

Lama kelamaan, Samosir selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Toba selalu mengingatkan Toba agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Toba kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada suaminya.

Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Toba itu. Pada suatu hari, Samosir mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Samosir tidak memenuhi tugasnya. Toba menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Samosir sedang bermain bola. Toba menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,” umpat si Toba tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.

Setelah Toba mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Toba dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir.

Rosmilan Pulungan1, Amanda Syahri Nasution2 Nilai Moral dan Kerja Keras dalam Dongeng Danau Toba pada Buku Teks Bahasa Indonesia

Kelas VII Terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 88

b. Analisis Intrinsik Tema: Kemarahan seorang ayah karena tingkah anaknya. Gambaran dari tema dongeng Malin Kundang ini dapat di lihat kutipan berikut ini :

Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Toba itu. Pada suatu hari, Samosir mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Samosir tidak memenuhi tugasnya. Toba menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Samosir sedang bermain bola. Toba menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,” umpat si Toba tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.

Setelah Toba mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Toba dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir.

Alasan: karena kesal dengan kelakuan anaknya yang menghabiskan makanannya. Sehingga ia kehilangan kesabaran, dan marah pada anaknya dan mengucapkan kata pantangan yang tidak seharusnya ia katakan.

Gambaran dari alasan dari tema yang terjadi dari dongeng Danau Toba sebagai berikut:

Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Toba itu. Pada suatu hari, Samosir mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Samosir tidak memenuhi tugasnya. Toba menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Samosir sedang bermain bola. Toba menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,” umpat si Toba tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.

Setelah Toba mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Toba dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir. Amanat: Sebagai seorang anak janganlah suka melawan dan membangkang pada orang tua. Dan sebagai orang tua jangan suka marah dan mengucapkan kata-kata yang tidak baik kepada anak. Latar Tempat : Desa Latar Waktu : Pagi Hari Latar Suasana : Menegangkan

Gambaran latar waktu, latar tempat dan latar suasana dapat dilihat dari kutipan dongeng berikut :

Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang Toba. Ia seorang Toba yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, Toba itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar,” gumam Toba tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Toba itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.

Lama kelamaan, Samosir selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Toba selalu mengingatkan Toba agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Toba kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada suaminya.

Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Toba itu. Pada suatu hari, Samosir mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Samosir tidak

Rosmilan Pulungan1, Amanda Syahri Nasution2 Nilai Moral dan Kerja Keras dalam Dongeng Danau Toba pada Buku Teks Bahasa Indonesia

Kelas VII Terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 89

memenuhi tugasnya. Toba menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Samosir sedang bermain bola. Toba menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,” umpat si Toba tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.

Setelah Toba mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Toba dan desa sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir. Penokohan: 1. Toba : baik, kasar

Gambaran tokoh Toba dalam dongeng Danau Toba dapat dilihat dari kutipan berikut :

Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang Toba. Ia seorang Toba yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang cerah, Toba itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar,” gumam Toba tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya. Toba itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup besar.

Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku.” Toba terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam Toba.

Lama kelamaan, Samosir selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Toba selalu mengingatkan Toba agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Toba kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada suaminya. 2. Samosir : baik, degil

Gambaran tokoh Samosir dalam dongeng Danau Toba dapat dilihat dari kutipan berikut :

Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa diri. Samosir tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.

Lama kelamaan, Samosir selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Toba selalu mengingatkan Toba agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak kita!” kata Toba kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada suaminya. 3. Putri : baik, ramah

Gambaran tokoh putri dalam dongeng Danau Toba dapat dilihat dari kutipan berikut :

Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi memakanku.” Toba terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam Toba.

“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu. “Namaku Puteri, aku tidak

Rosmilan Pulungan1, Amanda Syahri Nasution2 Nilai Moral dan Kerja Keras dalam Dongeng Danau Toba pada Buku Teks Bahasa Indonesia

Kelas VII Terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 90

keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu seolah mendesak. Toba itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat. Alur 1. Awal : Toba memancing ikan lalu

mendapat seekor ikan yang cantik yang merupakan jelmaan dari seorang gadis cantik. Kemudian mereka menikah dan memiliki seorang anak.

2. Tengah: setelah kelahiran anak mereka yang merupakan seorang anak lelaki kebahagiaan mereka semakin bertambah. Anak mereka diasuh dengan sangat baik. Anak mereka tumbuh menjadi anak yang sehat. Namun ia sangat suka makan, hingga suatu hari ia memakan makanan ayahnya.

3. Akhir : ketika Samosir di mendapat tugas mengantar makanan untuk ayahnya di sawah, tiba-tiba ia merasa lapar kemudian memakan makanan yang seharusnya untuk sang ayah. Melihat semua makanan sudah habis. Toba merasa sangat marah kemudian memarahi anaknya dan mengatakan kata-kata yang seharusnya tidak ia ucapkan. Kalimat yang ia ucapkan menjadi petaka baginya dan keluarganya, bahkan seluruh penduduk di desa tempat tinggalnya.

c. Analisis Nilai-Nilai 1. Nilai Moral

Harus memiliki budi pekerti, rasa sopan dan hormat pada semua orang terutama oarang tua. Dari cerita atau dongeng ini maka dapat diajarkan kepada anak-anak untuk memiliki rasa sopan dan hormat kepada semua orang terutama kepada orang tua. Karena orang tua mempunyai peranan penting dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Sehingga dari cerita dongeng ini dapat lah diambil hikmah yang banyak dalam mendidik anak. 2.Nilai Sosial

Kita tidak boleh mau menang sendiri dan egois pada orang lain terutama orang tua dan harus mau berbagi. Dari cerita ini dapat kita lihat bahwa nilai sosial yang terdapat dalam dongeng ini sangat banyak terutama tidak boleh egois dan mementingkan diri sendiri. Kita harus

berbagi dengan sesama. Dan selalu bersikp baik kepada siapa saja. 3.Nilai Budaya

Kita harus mau mencintai dan menerima budaya kita dan terutama orang tua. Dari nilai budaya yang ada dalam dongeng ini kecintaan anak terhadap kebudayaan Indonesia harus di lestarikan. Karena dengan mencintai dan menjaga budaya kita maka kita telah melestarikan budaya Indonesia.

4. Nilai kerja Keras Nilai kerja keras dalam dongen ini dapat kita lihat dari tokoh-tokohnya d. Analisis Sosial 1.Ciri-Ciri Yang Tampak a. cerita tersebut memberi pelajaran dan

nasehat b. tidak ada nama pengarang c. tidak jelas waktunnya 2. Asal Cerita Danau Toba (Sumatra Utara) 3. Pengaruh Terhadap Budaya Dan Peristiwa

Orang dapat melihat danau yang terbentang luas di Sumatra Utara. Hal ini menjadi suatu peristiwa yang di kenang sepanjang masa. Dan jadi pelajaran bagi orang tua agar tetap menjaga perkataan dan janji yang sudah di sepakati. Peninggalan cerita ini terdapat di sebuah danau di Sumatera Utara yaitu di kenal sebagai Danau Toba. SIMPULAN

Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Setiap ucapan yang di ucapkan sesuatu

yang penting b. Mau berbuat dan mau bertanggung

jawab c. Orang tua kunci segalanya SARAN

Saran dari peneliti terhadap pembaca adalah sebaiknya kita selalu memperhatikan ucapan dan selalu berpegang teguh pada apa yang telah kita ucapkan. Dan selalubertanggung jawab apa apa yang telah kita perbuat. DAFTAR PUSTAKA Sapari, Nila, Kurniati. 2008. Kompetensi

Berbahasa Indonesia. Semarang. Ghyass Putra.

Alwi, H. 2007. Kamus Besar Bahasa

Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: Balai Pustaka.

Rosmilan Pulungan1, Amanda Syahri Nasution2 Nilai Moral dan Kerja Keras dalam Dongeng Danau Toba pada Buku Teks Bahasa Indonesia

Kelas VII Terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 91

Hasbullah. 2008. Dasar- Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kusyanti, Y. 2008. Nilai Budaya Dalam

Penuturan Senandung Jolo Di Desa Tanjung Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi. Jambi: PBS FKIP Universitas Jambi.

Mahmud, A. 1997. Analisis Struktur dan

Nilai Budaya. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Moleong, L. 2006. Metodologi Penelitian

Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sadulloh, U. 2007. Pengantar Filsafat

Pendidikan. Bandung: Alfabet. Sarwiji S. dan Sutarmo. 2008. Buku Teks

Bahasa Indonesia Kelas VII. SMP. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Semi, M. A. 1984. Anatomi Sastra.

Bandung: Angkasa Raya. Suwanda, T. 2007. Analisis Struktural

Semiotik Teks Drama Sampek Engtay Karya N.Rantiarno.

Suyono. 2004. Cerdas Berfikir Bahasa

dan Sastra Indonesia Kelas X SMA. Bandung: Ganesa Exact.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 92

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL BAKAU KEBAIKAN KARYA SITI LESTARI NAINGGOLAN DAN RELEVANSINYA

BAGI DUNIA PENDIDIKAN

Tiflatul Husna 1, Fita Fatria 2 1. Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah 2. Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah

[email protected]

Abstrak. Tujuan penelitian ini (1) untuk mendeskripsikan nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam novel Bakau Kebaikan karya Siti Lestari Nainggolan. (2) Untuk mendeskripsikan relevansi nilai pendidikan karakter dalam novel Bakau Kebaikan karya Siti Lestari Nainggolan bagi pendidikan. Objek penelitian ini berupa novel anak. Pengumpulan data menggunakan teknik baca berulang-ulang dan pencatatan. Teknik analisis data bersifat deskriptif. Temuan penelitian (1) nilai-nilai karakter yang ditemukan yaitu kreatif, cinta lingkungan, rasa ingin tahu, bersahabat, disiplin, dan gemar membaca. (2) novel anak ini relevan untuk menambah wawasan siswa SD kelas atas yaitu kelas IV, V, dan VI. . Kata kunci: Pendidikan Karakter, Nilai, Novel Abstract. The purpose of this study (1) is to describe the value of character education contained in the novel Bakau Kebaikan by Siti Lestari Nainggolan. (2) To describe the relevance of character education values in the novel Bakau Kebaikan by Siti Lestari Nainggolan for education. The object of this research is a children's novel. Data collection uses repetitive reading and recording techniques. The data analysis technique is descriptive. Research findings (1) character values found are creative, love the environment, curiosity, friendliness, discipline, and love to read. (2) this children's novel is relevant to add insight into upper class elementary school students, namely classes IV, V, and VI. . Keywords: Character Education, Value, Novel

PENDAHULUAN Pendidikan adalah kebutuhan

mutlak bagi kehidupan manusia yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang dapat memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. (1)Adanya pemahaman tentang pentingnya pendidikan akan berpengaruh terhadap cara pandang dan sikap hidup masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia memerlukan manusia-manusia berkarakter untuk membentuk sebuah kehidupan yang harmonis dan seimbang.Hal ini guna menghadapi tantangan zaman tentang perilaku amoral, asusila, yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.Segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan menggerus kepribadian masyarakat Indonesia yang dikenal ramah, santun, dan beradab.Tindak kriminal yang dilakukan menjadi sebuah fenomena yang tidak dapat dianggap remeh. Terkhusus remaja, tentu merekalah yang diharapkan menjadi cikal-bakal penerus bangsa di masa yang akan datang. Menilik dari persoalan

tersebut, pendidikan formal dianggap memiliki titik sentral dari semua ini.Sebagai wadah resmi yang dianggap mampu membenahi kondisi dengan meningkatkan kualitas pendidikan karakter di sekolah-sekolah.

Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 Bab 2 Pasal 3 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab” (2)

Hasil-hasil kebudayaan kultural yang diperoleh melalui pendidikan dapat dimanifestasikan pada diri peserta didik. Sehingga, apa yang diperoleh melalui pendidikan itu menjadi cerminan kebudayaan yang seharusnya ada dan melekat pada diri masyarakat sesuai

Tiflatul Husna 1, Fita Fatria 2 Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Bakau Kebaikan Karya Siti Lestari Nainggolan

dan Relevansinya Bagi Dunia Pendidikan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 93

dengan jati diri, norma etika, dan sosial di lingkungannya.

Pendidikan karakter menjadi isu yang sangat penting bagi negeri ini. Selain proses membentuk pribadi yang berkarakter, pendidikan karakter diharapkan juga mampu menjadi jembatan untuk kualitas Sumber Daya Masyarakat (SDM) di masa yang akan datang. Demikian dibutuhkannya pendidikan karakter untuk kebaikan bangsa ini. Maka dari itu, pendidikan karakter ini tidak hanya dilakukan melalui lembaga resmi tetapi juga media lain seperti melalui media cetak dan elektronik seperti televisi, radio, sosial media (facebook, instagram, you tube), majalah, dan novel.

Novel dapat dijadikan salah satu media untuk penanaman nilai-nilai pendidikan karakter.Secara tidak langsung, membaca dan menelaah novel mampu memberikan pendidikan bagi pembaca. Hasil pembacaan itu merupakan refleksi sosial terhadap sebuah keadaan yang akan mempengaruhi tingkah-laku (sikap positif) seseorang. Novel dapat dijadikan sebagai media pembelajaran yang efektif.

Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji pesan-pesan yang terkandung yang terkandung di dalam novel.Novel merupakan sebuah karya sastra yang sarat nilai dan dapat digunakan untuk mentransformasikan nilai pendidikan karakter.Adapun yang dikaji dalam penelitian ini adalah Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Bakau Kebaikan Karya Siti Lestari Nainggolan dan Relevansinya bagi Pendidikan. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif.Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah. Teknik analisis data bersifat deskriptif. Objek penelitian ini berupa novel anak dengan judul Bakau Kebaikan. Pengumpulan data menggunakan teknik baca berulang-ulang dan pencatatan. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa karakter yang dituliskan di dalam buku Bakau Kebaikan Karya Siti Lestari Nainggolan.

Cerita ini berlatar belakang tentang kehidupan masyarakat di Belawan yang

dekat dengan laut.Perbandingan antara anak-anak yang sekolah pada jenjang pendidikan SD dengan anak yang belajar di rumah (home schooling).Pada dasarnya, anak-anak yang sekolah di lembaga pendidikan resmi merasa asing dan aneh dengan sekolah rumah.Mereka beranggapan sekolah rumah dapat dilakukan dengan suka-suka.Tidak ada PR dan bangun tidak terjadwal.Namun, buku ini memberikan pemahaman bahwa sekolah di rumah pun banyak yang kita pelajari termasuk sikap cinta lingkungan.Dengan tidak menafikan bahwa sekolah di lembaga formal juga sangat baik yang terpenting saling menghargai.

Adapun karakter yang dituliskan dalam cerita ini adalah: Nilai Karakter Kreatif

Setiap manusia tercipta dengan daya kreativitasnya masing-masing.Tindakan itu dipengaruhi oleh pola pikir yang terus berkembang untuk menghasilkan sesuatu yang berguna dari bahan-bahan yang mungkin biasa saja.Misalnya dalam pembuatan dodol.Komposisi utamanya adalah tepung pulut, santan, dan gula merah.Namun, bagi masyarakat Belawan yang kehidupannya dekat dengan laut mereka mampu memproduksi hal baru yaitu dodol bakau.Kehidupan laut tentu dekat dengan bakau.Bakau menjadi hal yang sangat penting ditaman agar terhindar dari erosi.Buah-buah bakau dapat dijadikan dodol yang sebelumnya hanya terbuang begitu saja.Dodol bakau juga mampu mendongkrak perekonomian masyarakat setempat karena adanya daya kreatif itu.

Seorang anak bernama Alang ingin bermain ke Belawan lalu ayahnya ikut.Dia bingung mengapa ayahnya ikut?Kalau Alang jelas sekali ingin bertemu dengan teman-temannya. Alang bertanya, mengapa ayahnya ke sana. Ayahnya menjawab:

“Dodol bakau,” (Nainggolan, 2017:10)

“Dulu Paman suka mencari buah prepat.Bersama teman Paman, buah itu kami buat jadi rujak.Ada juga yang menyebutnya dengan buah bogem.Buah mangrove spesies buah Sonneratia spp. Mereka bahkan sudah membuat dodol olahan buah itu,” (Nainggolan, 2017:44)

Tiflatul Husna 1, Fita Fatria 2 Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Bakau Kebaikan Karya Siti Lestari Nainggolan

dan Relevansinya Bagi Dunia Pendidikan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 94

Memanfaatkan sampah yang telah diambil dari laut atau botol bekas untuk membuat sesuatu sehingga menjadi lebih berguna juga disebut sebagai nilai karakter kreatif.

“Benar saja, Paman Zaki mulai memotong botol-botol yang sudah kering dengan model tertentu untuk dijadikan pot bunga. Di sana juga ada Nisa yang melukis botol-botol itu dengan gambar kelinci. Ada banyak cat warna di sana dengan banyak kuas kecil juga. (Nainggolan, 2017: 41)

Pekerjaan membuat pot itu terasa lebih menyenangka.Mereka memotong botol-botol itu mencontoh model yang mereka suka.Ada pot yang berbentuk seperti kelinci, bunga, bebek, dan bentuk lainnya.Lalu mereka mewarnai dengan warna yang mereka suka. Mereka juga memasang tali untuk pot bermodel pot gantung. (Nainggolan, 2017: 45)

Nilai Karakter Cinta Lingkungan

Setiap manusia bertanggung jawab atas kelangsungan lingkungan yang bersih.Semua orang tahu membuang sampah harus pada tempatnya.Namun, tidak semua mampu melakukan dengan tertib.Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya faktor kebiasaan. Kebiasaan yang buruk perlahan-lahan akan menjadi karakter yang mengakar di dalam diri seseorang. Maka dari itu kita perlu melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik.Seperti sikap Yuda yang menegur Alang ketika membuang sampah di laut, kemudian mengambil sampah itu lalu memasukkan ke dalam tong sampah.

Yuda menghela napas.Dia mengambil galah yang tersimpan di dekat situ dan meraih sampah yang Alang buang di laut.Untung saja sampahnya belum hanyut jauh.Jadi, mudah meraihnya.Yuda memungut sampah itu dan membuangnya ke tempat sampah.Lho, ternyata rumah Yuda mempunyai tempat sampah. Alang saja yang abai melihatnya! (Nainggolan, 2017:13)

Laut memang luas, walau membuang sampah berupa sepotong plastik akan tetap mencemari lingkungan. Setiap satu orang satu sampah, air laut bisa menjadi tidak sehat dan merusak ekosistem yang ada di dalamnya.

Selain itu, kepada makhluk hidup lainnya kepedulian harus ditanamkan.

Tidak boleh merasa semena-mena dan menganggap makhluk lain adalah musuh yang harus dimusnahkan. Seperti menyiksa binatang dan sebagainya.Dalam buku ini diceritakan monyet-monyet yang ada di pinggir laut diberi makan untuk menjaga kelangsungan hidup monyet.

Monyet-monyet itu sangat agresif.Mereka mulai mengambil karung yang dibawa oleh para penumpang.Ketika diserbu oleh monyet, para penumpang itu terpaksa melepaskan karung yang dipegangnya.Isi karung itu pun berhamburan.Ternyata isinya pisang. (Nainggolan, 2017:19)

Kebersihan lingkungan tanggung jawab semua kalangan. Tua-muda sama saja. Namun, dengan keterbatasan pengalaman orang-orang muda, maka orang dewasa perlu memberikan keteladanan. Seperti dalam kutipan percakapan berikut ini:

“Karena kita harus melestarikan bumi.Salah satunya dengan membersihkan sampah di lautan dan menjaganya tetap bersih,” jawab Paman. (Nainggolan, 2017: 45).

Nilai Karakter Rasa Ingin Tahu

Sikap dan tindakan atau rasa ingin tahu terhadap sesuatu selalu hadir dalam diri manusia tergantung dari seberapa pentingnya sesuatu itu untuk diketahui.Dalam kehidupan yang dekat dengan laut, maka persoalan sampan dan dayung adalah sebuah hal wajib untuk dipelajari. Seringkali para pendatang pun ingin tahu bagaimana rasanya mendayung sampan dan seperti apa tekniknya. Begitu pun dengan tokoh Alang yang berkunjung dari Medan ke Belawan.

Setelah beberapa menit mendayung, paman Zaki menawarkan Alang untuk mencoba,”Alang mau mencoba mendayung?”Alang mengangguk.Kelihatannya mudah.Alang memegang dayung dan mulai mendayung mengikuti petunjuk Paman Zaki.Dayung itu terbuat dari kayu. Mula-mula mudah melakukannya tapi setelah lima sampai enam kali mendayung, berat dayungnya mulai terasa. (Nainggolan, 2017: 14)

Karakter ingin tahu ini maksudnya, adanya rasa ingin mencoba dalam hal yang positif.Mempelajari alam dan lingkungan. Belajar dari apa yang dilihat, dirasa, dan didengar. Seperti

Tiflatul Husna 1, Fita Fatria 2 Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Bakau Kebaikan Karya Siti Lestari Nainggolan

dan Relevansinya Bagi Dunia Pendidikan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 95

halnya perjalanan Alang, Yuda, dan Paman Zaki.Mereka menjelajah di laut dengan sampan.

“Mau menjelajah lebih jauh lagi?” tanya Paman Zaki. Alang dan Yuda mengangguk. (Nainggolan, 2017: 17)

Nilai Karakter Bersahabat

Salah satu ciri khas masyarakat timur seperti Indonesia adalah sikap bersahabat dan penuh keakraban.Saling menyapa bila bertemu adalah bagian dari sopan santun yang dijaga sebagai warisan budaya bangsa. Demikian pula dalam novel anak ini, sikap bersahabat tergambar seperti paragraf di bawah ini:

Saat Paman Zaki mengemudikan sampan, mereka bertiga bercerita.Bertanya kabar, bagaimana sekolah, teman-teman di sekolah, guru, dan cerita-cerita menyenangkan lainnya.Iqbal juga bercerita tentang rumah belajarnya. (Nainggolan, 2017:18)

Karakter bersahabat juga dapat dilihat dari kerendahan hati untuk meminta maaf atau memaafkan kesalahan seseorang.

“Maaf ya, seharusnya aku tidak membuang sampah ke laut,” ucap Alang menyesal.

“Maafkan aku juga, Alang.Seharusnya aku tidak membentakmu.Aku menjadi sedih saat melihat laut menjadi kotor,” ucap Yuda dan keduanya pun bersalaman. (Nainggolan, 2017:22)

Nilai Karakter Disiplin

Bangun tepat waktu dan tidak bermalas-malasan adalah salah satu ciri pribadi yang disiplin.Baik hari libur atau sekolah bangun pagi harus tetap dilakukan dengan tidak mengulur-ulur waktu.Seperti tokoh Yuda dalam cerita ini yang telah bangun lebih awal sehingga dapat melalukan aktivitas, sementara Alang masih terbawa dengan sifatnya yang kurang disiplin.

Alang dan Iqbal satu kamar dengan Yuda.Yuda sudah bangun dari tadi.Saat ibu membangunkan Alang dan Iqbal, bukannya bangun Alang malah menggulung diri dalam selimut.Pagi di Belawan jauh lebih dingin dari pada pagi di rumah Alang. (Nainggolan, 2017:26)

Nilai Karakter Gemar Membaca

Setiap orang memiliki kegemaran masing-masing.Ada yang gemar memasak, menyanyi, dan membaca.Membaca tergolong ke dalam karakter yang harus dipupuk.Dengan membaca, pengetahun diperoleh.Untuk itu, perlu bagi setiap pribadi menyediakan waktu untuk kegiatan membaca. Dengan rajin membaca maka akan menjadi bahan baku untuk menuliskan sesuatu.

“Kamu belum membaca buku di atas meja?”Yuda yang menjawab.Tangannya tetap bekerja, masih sibuk membersihkan botol-botol.“Ayo, cepat selesaikan tugas dari Paman!Jadi, kita bisa membaca cerita yang Iqbal tulis.” (Nainggolan, 2017: 33)

“Wow!” Alang menatap Iqbal takjub.Alang membaca cerita yang ditulis oleh Iqbal.Cerita itu berjudul Arus Kosa.

“Ceritanya belum selesai, Lang,” jawab Iqbal sedikit tersipu mendapat pujian dari Alang.

“Kalau begitu, ayo kita selesaikan.”

Setelah membaca cerita itu, mereka mendiskusikan bagaimana setiap bagian akan dibuat. Mereka berdebat bahwa karakter Kai sebaiknya seperti itu dan karakter Gabu sebaiknya seperti ini.Lalu mereka tertawa membahas cerita itu. Sampai akhirnya, mereka sepakat pada jalan cerita yang sama. (Nainggolan, 2017: 35-36).

Relevansi Novel Bakau Kebaikan bagi Dunia Pendidikan

Novel Bakau Kebaikan memiliki relevansi dengan bahan pembelajaran sastra di SD tingkat kelas atas yaitu kelas 4, 5, dan 6 baik dari segi sastra, bahasa, sosial budaya, maupun psikologi. Dari segi sastra, novel Bakau Kebaikan tersusun secara harmonis sehingga membentuk cerita yang utuh dan menarik, apalagi dengan dilengkapi gambar yang mempersentasekan sebuah keadaan. Gambar itu turut meberi rangsangan bagi pembaca. Dari segi bahasa, novel Bakau Kebaikan mudah dipahami dengan struktur kalimat yang tidak terlalu panjang, dilengkapi dengan bahasa asing yang dapat memperkaya kosa kata siswa serta gaya bahasa yang menambah nilai estetis. Dari segi sosial budaya, novel Bakau Kebaikan memiliki latar sosial dan

7

8

Tiflatul Husna 1, Fita Fatria 2 Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Bakau Kebaikan Karya Siti Lestari Nainggolan

dan Relevansinya Bagi Dunia Pendidikan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 96

budaya masyarakat Belawandapat dilihat dari cara berpikir dan bersikap para tokohnya yang merefleksikan kebiasaan hidup, adat istiadat, budaya, tradisi, pandangan hidup, dan keyakinan masyarakat Belawan sehingga dapat menambah wawasan siswa terhadap kehidupan sosial dan kebudayaan di luar daerahnya. Dari segi psikologi, novel Bakau Kebaikan yang menghadirkan kisah-kisah yang realistis-imajiner sejalan dengan tahap perkembangan psikologi siswa SD. SIMPULAN

Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut : Nilai-nilai karakter yang ditemukan yaitu kreatif, cinta lingkungan, rasa ingin tahu, bersahabat, disiplin, dan gemar membaca.Secara keseluruhan novel ini berbicara tentang mencintai lingkungan yang bernuansa persahabatan anak-anak di Belawan dengan memasukkan unsur kearifan lokal dan juga modern.(2) memiliki relevansi dengan kriteria bahan pembelajaran sastra di SD kelas atas yaitu kelas 4, 5, dan 6 , baik dari segi sastra, bahasa, sosial budaya, pendidikan, dan psikologis. DAFTAR PUSTAKA Wayan Lasmawan. Pengembangan Materi

dan Model Pendidikan Karakter Berbasis Budaya dalam Konteks Instruksional (Aplikasidalam Pembelajaran Siswa Jenjang SMP), TK: Undiksha, Prodi Pend. IPS,TT, hlm 4.

Tim Redaksi Wikrama Waskitha. 2003.

Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Jakarta: Wikrama Waskitha, hlmn 148

KBBI Daring. Tersedia:

https://kbbi.web.id/nilai. Diakses tanggal 03 November 2018.

Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori

Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Zein Elmubarok. 2007. Membumikan

Pendidikan Mengumpulkan yang Terserak Menyambung yang

Terputus dan Menyatukan yang Tercerai. Bandung: Alfabetha, hlmn 102

Thomas Lickona. 2013. Panduan Lengkap

Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik. Bandung: Nusa Media, hlmn 72.

Nilai-nilai Pendidikan Karakter. Tersedia:

https://rumahinspirasi.com/18-nilai-dalam-pendidikan-karakter-bangsa/. Diakses tanggal 3 November 2018

Doni Koesoema A. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo, hlmn 53

Sri Narwanti. 2011. Pendidikan Karakter

Pengintegrasian 18 Bentuk Nilai Pembentuk Karakter dalam Mata Pelajaran. Yogyakarta: Familia, hlmn 14

Muchlas Samani dan Hariyanto. 2012.

Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosydakarya, hlmn 44.

Endah Tri Priyatni. 2010. Membaca

Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara, hlmn 124.

Agus Wibowo. Pendidikan Karakter

Berbasis Sastra. hlmn 19-20 Sugiyono. (2012). Metode Penelitian

Kuantitatif Kualitatif & RND. Bandung: Alfabeta.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 98

SEMIOTIKA (MAKNA WARNA DALAM UIS KARO)

Lisa Septia Dewi Br.Ginting 1, Rosmilan pulungan 2 1. Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah 2. Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah

[email protected]

Abstrak. Memaknai bahasa dan memahaminya juga bisa dipelajari dari warna. Warna dapat menyapaikan pesan dan arti-arti khusus dari warna yang berbeda. Setiap suku yang ada di Indonesia memiliki ciri-ciri tersendiri, baik makanan yang berbeda, pakaian yang berbeda, tata cara perayaan yang berbeda pula. Setiap suku yang ada di Indonesia memiliki keistimewaan yang berbeda-beda pula. Tujuan penelitian i i untuk mengetahui makna warna dalam uis karo. Penelitian ini menganalisis makna warna dalam uis karo dengan literatur semiotika. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Kata kunci : Semiotika, uis karo Abstract. Understanding the language and understanding it can also be learned from color. Color can greet messages and special meanings of different colors. Every tribe in Indonesia has its own characteristics, both different foods, different clothes, different celebratory procedures. Every tribe in Indonesia has different features. The aim of the research is to find out the color meanings in uis karo. This study analyzes the color meaning in karo uis with the semiotic literature. This research is a descriptive qualitative study. Keywords: Semiotics, uis karo

PENDAHULUAN Menghadapi seluruh kenyataan

dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh pancaindranya, dan mulai menyadari keterbatasaanya. Dalam kehidupan sehari-harinya manusia juga tak dapat terpisahkah dari aktivitas. Baik itu dilakukan secara individu maupun kelompok. Dalam aktivitas tersebut kadang-kadang (bahkan harus) terdokumentasi. Terlebih pada zaman globalisasi sekarang ini, hampir semua yang dialami manusia dapat dikases oleh manusia yang lain, baik informasi yang baik-baik maupun yang kurang baik untuk dilihat. Apalagi suatu informasi itu dapat mendatangkan nilai jual yang tinggi.

Untuk itu dalam meneliti pesan yang terdapat dalam dokumen atau sumber pesan yang terdapat di media cetak atau elektronik bahkan media-media yang lain, dibutuhkan suatu metode tersendiri yang dikenal dengan analisi semiotik. Analisi ini dimaksudkan agar kita dapat memahami maksud dari tanda-tanda yang ada. Sebagai negara yang memiliki keragaman suku, adat istiadat, bahasa serta budaya, merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi kita sebagai warga negara Indonesia. Dengan adanya keragaman tersebut, menjadikan ciri khas

yang unik karena hampir diberbagai pelosok nusantara ini masing- masing budaya memiliki corak dan karakter masing- masing. Selain itu, letak geografis dan kondisi alam menjadi factor yang berpengaruh terhadap pola hidup bermasyarakat dan pembentukan kesenian yang berkembang dimasyarakat. Budaya Indonesia merupakan cerminan dari nilai- nilai luhur bangsa Indonesia yang beraneka ragam. Sebagai warisan budaya, kebudayaan tradisional merupakan salah satu asset yang harus dikembangkan dan dibina guna memperkuat kedudukan dan kelestarian budaya bangsa Indonesia.

Salah satu warisan kebudayaan Indonesia ialah pakaian tradisional. Dimana corak maupun motif dari masing- masing pada pakaian tradisional merupakan sebuah cerminan budaya suatu daerah yang turun temurun dan dilestarikan.

Uis Gara atau Uis Adat Karo adalah pakaian adat yang digunakan dalam kegiatan adat dan budaya Suku Karo dari Sumatera Utara. Selain digunakan sebagai pakaian resmi dalam kegiatan adat dan budaya, pakaian ini sebelumnya digunakan pula dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional Karo.

Lisa Septia Dewi Br.Ginting 1, Rosmilan Pulungan 2 Semiotika (Makna Warna Dalam Uis Karo)

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 99

Kata Uis Gara sendiri berasal dari Bahasa Karo, yaitu Uis yang berarti kain dan Gara yang berarti merah. Disebut sebagai "kain merah" karena pada uis gara warna yang dominan adalah merah, hitam, dan putih, serta dihiasi pula berbagai ragam tenunan dari benang emas dan perak.

Dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menganalisis makna warna uis adat karo Sumatera Utara. Mengingat nilai kebudayaan tercermin dari kehidupan sehari-hari, dan salah satunya ialah tercermin dari apa yang dikenakan yang tentunya terkait dengan pakaian adat.

Uis yang dimiliki oleh suku karo yang terdapat di Sumatera Utara memiliki tiga warna utama, yakni merah, hitam dan dipadu padankan dengan benag emas dan perak memiliki arti tersendiri. Setiap uis yang berbeda memiliki makna yang berbeda pula. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apa sajakah makna warna uis karo dikaji secara semiotika?

Secara etimologis istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti ’tanda’(Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii) atau seme,yang berarti ”penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999: 4) (dalam Sobur, .2004: 16). Semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja.

Adapun nama lain dari semiotika adalah semiologi. Jadi sesunguhnya kedua istilah ini mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya; mereka yang bergabung dengan Peirce menggunakan kata semiotika,dan mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi. Namun yang terakhir, jika dibandingkan dengan yang pertama, kian jarang dipakai (van Zoest, 1993: 2). Tommy Christomy, 2001: 7) dalam Sobur, 2004: 12) menyebutkan adanya kecenderungan, istilah semiotika lebih populer daripada istilah semiologi sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya.

Pokok perhatian semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda itu dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili dan menyajikan. Uis Gara atau Uis Adat Karo adalah pakaian adat yang digunakan dalam kegiatan adat dan budaya Suku Karo dari Sumatera Utara. Selain

digunakan sebagai pakaian resmi dalam kegiatan adat dan budaya, pakaian ini sebelumnya digunakan pula dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional Karo. Kata Uis Gara sendiri berasal dari Bahasa Karo, yaitu Uis yang berarti kain dan Gara yang berarti merah. Disebut sebagai "kain merah" karena pada uis gara warna yang dominan adalah merah, hitam, dan putih, serta dihiasi pula berbagai ragam tenunan dari benang emas dan perak. Secara umum uis gara terbuat dari bahan kapas yang kemudian dipintal dan ditenun secara manual dan diwarnai menggunakan zat pewarna alami. Cara pembuatannya tidak jauh berbeda dengan pembuatan songket, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.

Pada awalnya kegunaan uis gara, yaitu dibuat untuk dipakai sehari-hari oleh kalangan perempuan Karo. Namun saat ini uis gara hanya digunakan di setiap upacara adat dan budaya Karo. Baik yang dilaksanakan di daerah Karo sendiri, maupun di luar daerah Karo, selebihnya kerap juga ditemukan dalam bentuk sovenir berupa tas, dasi, gorden, ikat pinggang, sarung bantal, dan lain sebagainya. Uis gara memiliki berbagai jenis serta fungsinya masing-masing, bahkan ada beberapa diantaranya sudah langka karena tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan memanfaatkan cara – cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskriptif. Data yang dihasilkan dari penelitian ini adalah data – data verbal tentang makna warna dalam kain uis karo . Pendeskripsian data – data tersebut disampaikan melalui kata atau bahasa. Penelitian ini menggunakan analisis secra semiotika. Pendekatakan deskriptif kualitatif dalam penelitian ini merupakan suatu prosedur penelitian dengan hasil sajian data deskriptif berupa tuturan pengarang Sudaryanto (1993: 62), menyatakan bahwa istilah deskriptif menyarankan kepada suatu penelitian yang semata-mata hanya berdasarkan pada fakta-fakta yang ada dan juga fenomena yang memang secara empiris hidup di dalam penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa uraian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret: paparan seperti apa adanya.

Objek penelitian ini yaitu makna warna dalam kain uis karo yang di analisis secara semiotika.

Lisa Septia Dewi Br.Ginting 1, Rosmilan Pulungan 2 Semiotika (Makna Warna Dalam Uis Karo)

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 100

Sumber data dalam penelitian ini adalah buku yang berkaitan dengan semiotika..

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan. Data - data yang diperoleh juga ditunjang dengan data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari teknik membaca dan mencatat, sedangkan data sekunder merupakan teknik kepustakaan.

Untuk menganalisis makna warna kain uis karo, instrument yang dipilih adalah human instrument (peneliti sendiri). Adapun fungsi dari human instrument tersebut yakni untuk memperoleh data yang valid sesuai dengan fokus penelitian sehingga hasil penelitian dapat dipertanggung jawabkan. Adapun alat bantu yang digunakan dalam penelitian adalah beberapa buku teori yang berkaitan dengan fokus penelitian, media teknologi yang digunakan untuk mencari sejarah dari kain uis karo tersebut serta alat bantu berupa kartu data yang digunakan untuk mencatat berbagai kutipan yang sesuai dengan fokus penelitian.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis tanda menurut Charles Sanders Piers merupakan langkah untuk menemukan makna melalui pengkajian tanda dan pananda. HASIL PENELITIAN Representamen ( bentuk fisik yang dapat

diserap panca indera dan mengacu pada sesuatu)

yaitu corak maupun motif yang ada pada Uis karo

1. Qualisign ( tanda berdasarkan sifatnya) : Warna pakaian Uis Gara (warna merah) bermakna sifat berani yang dimiliki oleh seorang raja . Raja adalah sosok yang berani dalam mengambil keputusan, tegas membela keadilan dan kepentingan rakyatnya. Megersing (warna kuning) adalah warna yang memaknai kejayaan dan kebesaran, warna ini umumnya ditempatkan di setiap jenis Uis. Warna ketiga adalah mbiring (warna Hitam) yaitu warna yang berarti kepemimpinan,

2. Sinsign ( tanda berdasarkan bentuk kenyataan) : motif vertikal yang umunya terdapat dalam semua jenis Uis karo yang berarti tegas dan berani dalam menghadapi kehidupan.

3. Legisign ( tanda berdasarkan peraturan yang berlaku) : warna hitam, merah dan kuning merupakan warna wajib dalam uis karo yang memiliki arti suku karo adalah pemimpin-pemimpin (baik untuk diri sendiri) yang berani dan selalu jaya dalam hidupnya.

Object (klarifikasi sebuah tanda) 1. Icon ( tanda yang memiliki kesamaan

dengan ciri-ciri yang dimaksud) :warna merah yang memiliki bentuk kesamaan dengan darah yang berani dalam berjuang sampai darah penghabisan.

2. Index ( tanda yang mempunyai kaitan dengan apa yang diwakilinya) : warna kuning yang sama dengan warna perhiasan yang memiliki makna kejayaan dan kemakmuran.

3. Symbol ( tanda yang berlaku umum berdasarkan kesepakatan) : warna merah ( melambangkan keberanian), warna kuning (melambangkan kejayaan), warna hitam (melambangka jiwa kepemimpinan).

Interpretant ( Tanda berdasakan interpretannya)

1. Rhema bahwa lambang dan makna tanda masih dapat dikembangkan. Warna hitam yang berarti pemimpin berkaitan dengan kehidupan sosial dan keagamaan seperti kebersamaan.

2. Decisign bahwa lambang dan interpretan terdapat hubungan yang benar : warna kuning yang memiliki makna kemakmuran, bagi orang karo yang memiliki banyak emas dan ladang luas menandakan kemakmuran pada suku karo itu.

SIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas,

dapat disimpulkan bahwa kaitan antara makna dan tanda yang terdapat dalam uis karo tidak terlepas dari hubungannya dengan alam dan kepercayaan yang mengandung nilai- nilai keagamaan. Seperti halnya warna merah yang berarti berani, hitam memiliki makna berjiwa pemimpin dan kuning juga memiliki makna lambang. Selain itu, dikarenakan mayoritas penduduk karo tinggal di daerah pegunungan mereka harus berani meghadapi gejala-gejala alam yang terjadi. Suku karo mencari rezeki dengan cara bercocok tanam sehingga bisa memiliki kemakmuran dri hasil panen mereka dan mereka bisa memimpin diri mereka sendiri agar bisa menjalani hidup dengan aturan adat.

Lisa Septia Dewi Br.Ginting 1, Rosmilan Pulungan 2 Semiotika (Makna Warna Dalam Uis Karo)

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 101

DAFTAR PUSTAKA Danesi, Marcel. 2010. Pengantar

Memahami semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.

Danesi, Marcel. 2011. Pesan, Tanda, dan

Makna Teori Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.

Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal.

Jakarta: Rineka Cipta. Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper-

Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS.

Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media:

Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi.

Bandung: Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media

(Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing). Jakarta : Rosda.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 102

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERBICARA MELALUI DONGENG DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SISWA KELAS I

SD NEGERI 104232 TANJUNG MORAWA

Putri juwita1, Lisa Septia Dewi br. Ginting 2

1. Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah 2. Universitas Muslim Nusantara Al-Washliyah

[email protected]

Abstrak. Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dimana teknik pengumpulan data yaitu: (1) Observasi, (2) tes .Berdasaran hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan didalam dua siklus dengan penggunaan dongeng dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada siswa kelas I SD Negeri 104232 Tanjung Morawa disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan berbicara pada siswa kelas 1 SD Negeri 104232 Tanjung Morawa. setelah dilaksanakannya pembelajaran dengan penggunaan dongeng. Hal tersebut terlihat dari aktivitas siswa dalam proses pembelajaran yang semakin meningkat dalam setiap siklusnya, yaitu nilai rata-rata hasil pengamatan guru pada siklus I 2,75 dan meningkat menjadi 3,55 pada siklus II. Dan dilihat dari hasil tes berbicara pada siklus I diketahui 18 dari 30 siswa telah mencapai nilai KKN (60), dan meningkat pada siklus II dimana 29 dari 30 siswa telah berhasil mencapai nilai KKM (60).Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dengan menggunakan 2 siklus tersebut diatas, ternyata hipotesis yang telah dirumuskan terbukti kebenarannya artinya ternyata langkah pembelajaran melalui dongeng dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada siswa kelas I SD Negeri 104232 Tanjung Morawa. Kata Kunci: Kemampuan,berbicara, dogeng Abstract. This research is Classroom Action Research (CAR) where data collection techniques are: (1) Observation, (2) Tests. The results of classroom action research have been carried out in two cycles with the use of fairy tales in Indonesian language learning in class I 104232 Public Elementary School Tanjung Morawa concluded that there was an increase in speaking skills in class 1 students of Tanjung Morawa 104232 Public Elementary School. after the implementation of learning with the use of fairy tales. This can be seen from the activity of students in the learning process that increases in each cycle, namely the average value of teacher observation in the first cycle 2.75 and increased to 3.55 in the second cycle. And seen from the results of the speaking test in the first cycle it is known that 18 out of 30 students have achieved the KKN (60), and increased in the second cycle where 29 of 30 students have succeeded in achieving the KKM score (60). Based on the results of classroom action research using 2 cycles above, it turns out that the hypothesis that has been formulated is proven to be true, meaning that it turns out that the step of learning through fairy tales can improve speaking skills in class I students of Tanjung Morawa State Elementary School 104232. Keywords: Ability, speaking, dogeng

PENDAHULUAN Masalah pendidikan merupakan

masalah yang sangat penting, karena pendidikan itu akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan hidup manusia. Dengan semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh oleh seseorang maka semakin besar kesempatan untuk meraih sukses hidup di masa. mendatang. Secara, garis besarnya, pendidikan sangat berkompeten dalam kehidupan, baik kehidupan itu sendiri, keluarga, masyarakat maupun kehidupan bangsa dan negara.

Pemerintah dalam hal ini telah mengatur dan mengarahkan pendidikan nasional seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 menyebutkan tujuan dari pedidikan nasional yang berbunyi : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, berkembangnya potensi peserta

Putri juwita1, Lisa Septia Dewi br. Ginting 2

Peningkatan Kemampuan Berbicara melalui Dongeng dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas I SD Negeri 104232 Tanjung Morawa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 103

didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Berhasil tidaknya program pembangunan faktor manusia memegang peranan yang sangat penting. Untuk pembangunan itu diperlukan manusia yang berjiwa pemikir, kreatif dan mau bekerja keras, memiliki pengetahuan dan ketrampilan serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan serta memiliki sifat positif terhadap etos kerja. Sekolah sebagai tempat proses belajar mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Oleh karena itu pendidikan di sekolah memegang peranan penting dalam rangka mewujudkan tercapainya pendidikan nasional secara optimal seperti yang diharapkan.

Dalam proses belajar mengajar tersebut guru menjadi pemeran utama dalam menciptakan situasi interaktif yang edukatif, yakni interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa dan sumber pembelajaran dalam menunjang tercapainya tujuan belajar.

Tujuan seperti yang telah tersebut di atas dapat dicapai dengan baik apabila pada diri peserta didik timbul suatu kesadaran yang mendalam untuk meraih prestasi yang tinggi. Untuk mencapai prestasi yang tinggi maka diperlukan proses interaksi yang optimal antara pendidik sebagai pentransfer ilmu dan peserta didik sebagai objek.

Pendidikan di Sekolah Dasar (SD) bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar "baca-tulis-hitung", pengetahuan dan ketrampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangan. Terkait dengan tujuan memberikan bekal kemampuan dasar "baca-tulis", maka peranan pengajaran Bahasa Indonesia di SD yang bertumpu pada kemampuan dasar "baca-tulis", pembelajaran tidak hanya pada, tahap belajar di kelas-kelas awal tetapi juga pada, kemahiran atau penguasaan di kelas-kelas tinggi.

Bahasa Indonesia sebagai salah satu bidang studi yang memiliki tujuan membekali siswa untuk mengembangkan

bahasa di samping aspek penalaran dan hafalan sehingga pengetahuan dan informasi yang diterima siswa sebatas produk babasa dan sastra. Padahal dalam proses belajar mengajar keterlibatan siswa secara totalitas, drtinya melibatkan pikiran, penglihatan, pendengaran dan psikomotor (keterampilan). Jadi dalam proses belajar mengajar, seorang guru hares mengajak siswa untuk mendengarkan, menyajikan metode yang dapat dilihat, memberi kesempatan untuk menulis dan mengajukan pertanyaan atau tanggapan, sehingga, terjadi dialog kreatif yang menunjukkan proses belajar mengajar yang interaktif.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perlu diadakan penelitian terhadap penggunaan dongeng dalam mencapai tujuan meningkatkan kemampuan berbicara di Kelas I SD Negeri 104232 Tanjung Morawa. Untuk itu penulis melakukan penelitian tentang: "Peningkatan Kemampuan Berbicara Melalui Dongeng Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas I SD Negeri 104232 Tanjung Morawa. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yaitu suatu penelitian tindakan yang dilakukan di kelas .Sesuai dengan bentuk penelitian dan sumber data yang dimanfaatkan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Observasi

Yatim Rianto (2001: 77) observasi merupakan metode pengumpulan data Yang menggunakan pengamatan terhadap obyek penelitian. Winarni ( 2009: 84 -85 ) menyatakan bahwa dalam melakukan observasi proses, ada empat metode observasi yaitu a. Observasi terbuka

Dalam observasi terbuka, pengamat tidak menggunakan lembar observasi, melainkan hanya menggunakan kertas kosong untuk merekam pelajaran yang diamati. Dia menggunakan teknik-teknik tertentu untuk merekam jalannya perbaikan sehingga dapat merekontruksi pelajaran yang berlangsung.

b. Observasi terfokus Observasi secara khusus ditujukan untuk mengamati aspek-aspek tertentu dari pembelajaran. Misalnya

Putri juwita1, Lisa Septia Dewi br. Ginting 2

Peningkatan Kemampuan Berbicara melalui Dongeng dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas I SD Negeri 104232 Tanjung Morawa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 104

yang diamati kesempatan siswa untuk berpartisipasi, dampak pungutan bagi siswa, atau sejenis pertanyaan yang diajukan oleh guru. Tentu semua fokus telah disepakati sebelum berlangsungnya observasi.

c. Observasi terstruktur Observasi terstruktur menggunakan instrumen observasi yang terstruktur dan siap pakai, sehingga pengamat hanya tinggal membubuhkan tanda (v) pada tempat yang disediakan

d. Observasi sistematik Observasi sistematik lebih rinci dari observasi terstruktur dalam kategori yang diamati. Misalnya dalam pemberian penguatan, data dikategorikan menjadi penguatan verbal dan nonverbal. Dalam penelitian ini, observasi dilakukan dengan menggunakan metode observasi terstruktur. Observasi dilakukan terhadap siswa dan guru kelas I SD Negeri 104232 Tanjung Morawa . Observasi terhadap siswa dilakukan untuk mengetahui situasi dan perkembangan siswa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia aspek berbicara melalui dongeng. Observasi terhadap guru untuk mengetahui tingkat keberhasilan guru dalam melaksanakan pembelajaran.

2. Tes Tes basil belajar siswa kelas I SD

104232 Tanjung Morawa untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa dalam menerima bahan ajar dan untuk mengetahui peningkatan kemampuan berbicara dalam pembelajaran Bahasa Indonesia melalui dongeng. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif. Huberman, dalam HB Sutopo, (1996: 186) mengemukakan bahwa analisis data dalam penelitian adalah model analisi interaktif yang mempunyai tiga komponen yaitu : 1) sajian data, 2) reduksi data dan 3) penarikan kesimpulan atau verifikasi data masih berlangsung. Langkah-langkah analisis: 1. Melakukan analisis awal bila data

yang didapatkan di kelas sudah cukup maka dapat dikumpulkan;

2. Mengembangkan bentuk sajian data, dengan menyusun koding dan matrik

yang berguna untuk penelitian lanjutan;

3. Melakukan analisis data dikelas dan mengembangkan matrik antar kasus;

4. Melakukan verifikasi, pengayakan dan pendalaman data.

5. Apabila dalam persiapan analisis ternyata ditemukan data yang kurang lengkap atau kurang jelas, maka perlu dilakukan pengumpulan data lagi secara lebih terfokus;

6. Melakukan analisis antar kasus, dikembangkan struktur sajian datanya bagi susunan laporan;

7. Merumuskan kesimpulan akhir sebagai temuan penelitian;

8. Merumuskan implikasi kebijaksanaan sebagai bagian dari pengembangan saran dalam akhir penelitian.

HASIL PENELITIAN Pelaksanaan tindakan dalam penelitian ini didapatkan hasil diantaranya adalah perubahan tingkah laku siswa pada saat pembelajaran, perubahan cara mengajar guru dan perubahan hasil belajar dari siswa. Secara keseluruhan, perubahan tersebut akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian ini. Berdasarkan hasil observasi terhadap aktivitas siswa dapat dilihat adanya kemajuan yang sangat baik. Keaktifan siswa berangsung-angsur meningkat, keberanian siswa juga meningkat. Kreativitas dan inisaiatif siswa meningkat dari 2,75 pada siklus I meningkat menjadi 3,55 pada siklus II. Observasi yang dilaksanakan bukan hanya pada aktivitas siswa saja, aktivitas guru juga diobservasi. Hasil observasi aktivitas guru dari siklus I sampai dengan siklus II. Berdasarkan hasil observasi kegiatan guru dapat diketahui bahwa ada peningkatan aktivitas guru. Kegiatan persiapan, pelaksaaan pembelajaran, dan pelaksanaan evaluasi pada akhir siklus II jauh lebih baik dari pada siklus I. Hasil observasi menunjukkan adanya peningkatan yaitu 3,00 pada siklus I meningkat menjadi 3,63 pada siklus II. Hasil penelitian yang lainnya adalah nilai hasil berbicara siswa kelas I. Nilai tersebut terdiri atas nilai berbicara siklus I dan siklus II sebagai kondisi akhir. Nilai berbicara pada siklus I adalah pada tabel I.

Putri juwita1, Lisa Septia Dewi br. Ginting 2

Peningkatan Kemampuan Berbicara melalui Dongeng dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas I SD Negeri 104232 Tanjung Morawa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 105

Tabel 1. Nilai Berbicara Siklus I

No Nilai Sesudah Siklus

Jumlah Siswa Persen

1 Kurang dari 49

4 13,33

2 50 s/d 59 8 26,67 3 60 s/d 69 14 46,67 4 70 s/d 79 4 13,33 5 80 s/d 89 0 0 6 90 s/d 100 0 0

Jumlah 30 100 Berdasarkan hasil penelitian siklus I, siswa telah mengalami peningkatan dalam menggunakan lafal dan intonasi pada pembelajaran berbicara. Siklus I yang telah dilaksanakan ternyata masih terdapat kelemahan. Kelemahan tersebut adalah masih kurang tepatnya penggunaan lafal dan intonasi oleh siswa. Kelemahan tersebut diperbaiki dalam pembelajaran berbicara pada siklus II dengan lebih menekankan pada penggunaan lafal dan intonasi yang baik. Siklus II dilaksanakan tindakan berupa penerapan penggunaan lafal dan intonasi yang baik dalam pembelajaran berbicara. Hasil nilai berbicara pada siklus II dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 2. Siklus II

No Nilai Sesudah Siklus

Jumlah Siswa Persen

1 Kurang dari 49

0 0

2 50 s/d 59 1 3,33 3 60 s/d 69 5 16,67 4 70 s/d 79 13 43,33 5 80 s/d 89 11 36,67 6 90 s/d 100 0 0

Jumlah 30 100 Dalam pelaksanaan tahap siklus II, telah terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam hal penekanan penggunaan lafal dan intonasi yang baik. Dalam pelaksanaan siklus II ini banyak siswa telah melakukan pertanyaan langsung kepada guru sehingga siswa lebih berani dan termotivasi. Berdasarkan hasil nilai tulisan siswa siklus II di atas dapat diketahui kondisi akhir dari kemampuan berbicara siswa. Siswa yang masih di bawah KKM (60) adalah satu siswa (3,33%). Siswa yang telah mencapai nilai KKM (60) adalah dua puluh sembilan siswa (96,67%). SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan di dalam dua siklus dengan penggunaan dongeng dalam pembelajaran Bahasa

Indonesia pada siswa kelas I SD 104232 Tanjung Morawa, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan berbicara pada siswa kelas I SD Negeri 104232 Tanjung Morawa Patumbak setelah dilaksanakan pembelajaran dengan penggunaan dongeng. Hal tersebut terlihat dari aktivitas siswa dalam proses pembelajaran yang semakin meningkat dalam setiap siklusnya, yaitu nilai rata-rata hasil pengamatan guru pada siklus I 2,75 dan meningkat menjadi 3,55 pada siklus II. Dan dilihat dari hasil tes berbicara pada siklus I diketahui 18 dari 30 siswa telah mencapai nilai KKM (60), dan meningkat pada siklus II dimana 29 dari 30 siswa telah berhasil mencapai nilai KKM (60). Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dengan menggunakan 2 siklus tersebut diatas, ternyata hipotesis yang telah dirumuskan terbukti kebenarannya artinya ternyata langkah pembelajaran melalui dongeng dapat meningkatkan kemampuan berbicara pada siswa kelas I SD Negeri 104232 Tanjung Morawa . DAFTAR PUSTAKA Medan. Abdul Aziz Abdul Ma id. 2002.

Mendidik dengan Cerita. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ahmad Rofi' Uddin dan Darmiyati Zuchi.

2001. Pendidikan Bahasa dan Sastra di Kelas Tinggi. Malang: UNM.

Akhadiah. Dkk. 1992. Petunjuk

Pengajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen P dan K.

Bahri Djamarah dan Asmawan Zain.

1996. Pengelolaan Belajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Brown G&G Yule. 1983. Developing

Language Skills in the Elementary Schools. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Danandjaja. 1986. Cerita rakyat.

Yogyakarta: IKIP. Darmiyati Zuchi dan Budiasih. 2001.

Pendidikan Bahasa Indonesia di Kelas Rendah. Yogyakarta: PAS.

Departemen P dan K. 1993. Pembelajaran Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Kurikulum Pendidikan Dasar.

Putri juwita1, Lisa Septia Dewi br. Ginting 2

Peningkatan Kemampuan Berbicara melalui Dongeng dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas I SD Negeri 104232 Tanjung Morawa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 106

Depdikbud. 1994. Metode Pembelajaran.

Jakarta: Pusat Kurikulum Pendidikan Dasar.Didik Tuminto. 2007. Keterampilan Berbahasa. Jakarta: Rajawali Pres.

Djago Tarigan. 1998. Berbicara.

Bandung: Angkasa. Djamarah. 1997. Pendidikan Bahasa dan

Sastra di Kelas Tinggi. Malang: UNM.

Gino, Suwarni, Suripto, Maryanto,

Sutijan. 1998. Belajar dan Pembelajaran. Surakarta: UNS Pres.

Herry Guntur Tarigan. 1979. Berbicara

sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: CV Angkasa.

Isnaini Yulianita Hafi. 2000. Reproduktif

Siswa dalam Keterampilan Berbahasa. Yogyakarta: WJP.

James Danandjaja. 1986. Dongeng.

Bandung: Angkasa. Knower, Franklin H. 1958. Speech dalam

Encyclopedia of Educational Research. New York: Macmillan Company 1960.

Lustantini Septiningsih. 1998. Komponen-

komponen Dongeng. Yogyakarta: IMP. Maidar G, Arsyad dan Mukti US. 1991. Pembelajaran Berbicara. Jakarta: Rineka Cipta.

Mangkunegara. 2000. Psikologi

Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Moedjiono, Moh. Dimyati. (1991).

Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Muhammad Ali. 1993. Strategi Penelitian

Pendidikan, Bandung: Angkasa. Mulgrave, Dorothy. 1954. Speech. New York: Barnes & Noble, Inc.

Putri juwita1, Lisa Septia Dewi br. Ginting 2

Peningkatan Kemampuan Berbicara melalui Dongeng dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Siswa Kelas I SD Negeri 104232 Tanjung Morawa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 107

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 107

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP KEMAMPUAN MEMAHAMI TEKS EKSPOSISI OLEH

SISWA KELAS VII MTS AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH TEMBUNG

Wulandari Anwar PBSI Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

[email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan metode ceramah terhadap kemampuan memahami teks eksposisi. Untuk penelitian tersebut data diambil dari 82 sampel yang berasal dari 415 populasi. Pengambilan sampel dilakukan secara random kelas (random sampling) yaitu untuk menentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pengambilan data dilakukan dengan instrumen penugasan yaitu menentukan struktur dan ciri bahasa teks eksposisi. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan desai posstest Control Only Desain. Dengan desain tersebut, peneliti akan membandingkan hasil belajar menentukan struktur dan ciri bahasa teks eksposisi siswa yang dibimbing dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dengan hasil belajar menentukan struktur dan ciri bahasa teks eksposisi siswa yang dibimbing dengan metode ceramah. Dengan demikian, penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan kemampuan siswa

Kata kunci: model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, teks eksposisi Abstract. This study aims to explain the influence of the jigsaw type cooperative learning model and lecture method on the ability to understand exposition texts. For this study data was taken from 82 samples from 415 populations. Sampling is done by random class (random sampling) that is to determine the experimental class and the control class. Data retrieval is done by the assignment instrument that is determining the structure and characteristics of the exposition text language. The method used in this research is the experimental method with the design of the poststest Control Only Design. With this design, the researcher will compare the learning outcomes of determining the structure and language characteristics of the exposition text of students guided by the jigsaw cooperative learning model with learning outcomes determining the structure and language characteristics of the exposition text of students guided by the lecture method. Thus, this study shows that the use of the influence of the jigsaw type cooperative learning model can improve students' abilities

Keywords: jigsaw cooperative learning model, exposition text PENDAHULUAN

Di dalam pembelajaran, terdapat kurikulum sebagai dasar dan tuntutan yang diberikan pemerintah kepada pendidik dalam merancang kegiatan pembelajaran. Menurut UU No. 20 Tahun 2003, Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Didalam pembelajaran tahun ini, Kementrian Pendidikan telah mengeluarkan kurikulum baru yaitu Kurikulum 2013. Kementrian Pendidikan juga telah memutuskan untuk melaksanakan Kurikulum 2013 secara nasional kepada seluruh sekolah yang ada di wilayah-wilayah Indonesia.

Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang menekankan terhadap tiga aspek penilaian dalam pembelajaran yaitu Afektif (sikap), Psikomotor (keterampilan) dan Kognitif (pengetahuan). Artinya seluruh mata pelajaran yang ada di Kurikulum 2013 harus berkontribusi terhadap pembentukan sikap, keterampilan dan pengetahuan. Pada kurikulum ini, seluruh kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa. Dengan kata lain, siswa dituntut aktif dalam proses pembelajaran, Sedangkan peran guru terbatas pada kegiatan belajar ini. guru hanya sebagai fasilitator membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Untuk itu, pendidik dituntut kreatif dalam merancang kegiatan pembelajaran yang dapat memicu siswa untuk aktif dalam belajar. Menurut

Wulandari Anwar Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap Kemampuan Memahami

Teks Eksposisi oleh Siswa Kelas VII MTs Al-Jam’iyatul Washliyah Tembung

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 108

pengalaman penulis saat melaksanakan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL), siswa sedikit kesulitan dalam memahami materi teks yang diajarkan. Terutama dalam materi pembelajaran teks eksposisi. Karena didalam satu pembahasan materi terdiri dari beberapa sub-submateri. sebagian siswa hanya mampu menguasai satu sub-materi saja. Seperti pada pembelajaran teks eksposisi, sebagian siswa ada yang mampu memahami struktur teksnya saja sedangkan yang lain lebih memahami ciri bahasanya saja. Selain itu, kurang aktifnya siswa dalam pembelajaran ini dikarenakan materi pembelajaran kurang menarik.

Untuk itu, perlu adanya model, metode ataupun strategi pembelajaran yang digunakan untuk membantu siswa memahami pembelajaran teks khususnya teks eksposisi. Salah satu model pembelajaran yang dipandang cukup mampu membantu permasalahan siswa dalam memahami teks eksposisi adalah model pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw, yaitu salah satu model pembelajaran berkelompok yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Model pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw diharapkan mampu mengatasi permasalahan siswa dalam memahami teks eksposisi.

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah kemampuan memahami teks eksposisi dengan menggunakan model pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw oleh siswa kelas VII MTs Al-Jam’iyatul Washliyah Tembung tahun pembelajaran 2014-2015? (2) Bagaimanakah kemampuan memahami teks eksposisi dengan menggunakan metode Ceramah oleh siswa kelas VII MTs Al-Jam’iyatul Washliyah Tembung tahun pembelajaran 2014-2015? (3) Adakah pengaruh model pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap kemampuan memahami teks eksposisi oleh siswa kelas VII MTs Al-Jam’iyatul Washliyah Tembung tahun pembelajaran 2014-2015?

Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model pembelajaran berkelompok yang

mengajarkan peserta didik bagaimana mengomunikasikan pembelajaran yang ia dapatkan kepada teman sekelompoknya.

Menurut Sutikno (2014:87-88), “Jigsaw dikembangkan dan diujicoba oleh Aronson dan kawan-kawan di Universitas Texas. Jigsaw adalah suatu model pembelajaran yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok, yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi pelajaran dan mapu membelajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya. Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab peserta didik terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Peserta didik tidak hanya mempelajari materi yag diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan membelajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, peserta didik saling bergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan”.

Menurut Sutikno (2014:89-91), Adapun proses pelaksanaan model pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw yaitu:Pertama, Tahap Pendahuluan.Guru Melakukan apersepsi.KemudianGuru menjelaskan pada peserta didik tentang model pembelajaran. yang dipakai dan menjelaskan manfaat dari model tersebut setelah itu guru melakukan pembentukan kelompok kepada siswa.Untuk setiap kelompok terdiri dari 4-6 peserta didik dengan kemampuan yang heterogen.Pembagian materi atau soal pada setiap anggota kelompok. kedua, Tahap Penguasaan.Peserta didik dengan materi atau soal yang sama bergabung dalam kelompok ahli dan berusaha menguasai materi sesuai dengan soal yang diterima sementara itu guru memberikan bantuan kepada peserta didik.Ketiga, Tahap Penularan.Setiap peserta didik kembali ke kelompok asalnya.Tiap peserta didik dalam kelompok saling menularkan dan menerima materi dari peserta didik lainnya dan terjadi proses diskusi antar peserta didik dalam kelompok asal.Kemudiandari proses diskusi, peserta didik memperoleh jawaban soal.Keempat, Penutup. Guru bersama peserta didik menyimpulkan pembelajaran.Setelah itupelaksanaan kuis atau evaluasi.

Wulandari Anwar Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap Kemampuan Memahami

Teks Eksposisi oleh Siswa Kelas VII MTs Al-Jam’iyatul Washliyah Tembung

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 109

Menurut Rusman (2012:219), kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yaitu: (1) Meningkatkan hasil belajar, (2) Meningkatkan daya ingat, (3) Dapat digunakan untuk mencapai taraf penalaran tingkat tinggi, (4) Mendorong tumbuhnya motivasi intrinsik (kesadaran individu), (5) Meningkatkan hubungan antarmanusia yang heterogen, (6) Meningkatkan sikap anak yang positif terhadap guru, (7) Meningkatkan harga diri anak, (8) Meningkatkan perilaku penyesuaian sosial yang positif, (9) Meningkatkan keterampilan hidup bergotong royong.

Kelemahan model pembelajatan Kooperatif Tipe Jigsaw yaitu: (1) Menimbulkan waktu yang lebih lama apalagi bila ada penataan ruang yang belum terkondisi dengan baik, sehingga perlu waktu untuk merubah posisi yang juga dapat menimbulkan keributan, (2) Siswa yang aktif akan lebih mendominasi diskusi dan cenderung mengontrol jalannya diskusi, (3) Siswa yang cerdas cenderung merasa bosan, (4) Siswa yang memiliki kemampuan membaca dan berpikir rendah akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan materi apabila ditunjuk sebagai tenaga ahli.

Berdasarkan paparan itu, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan model pembelajarn berkelompok yang mampu mengaktifkan proses belajar siswa di dalam kelas dalam hal ini pembelajaran teks eksposisi.

Teks eksposisi adalah teks yang berisi gagasan pribadi atau usulan mengenai sesuatu. Teks eksposisi juga sering disebut argumentasi satu sisi. Dikatakan demikian karena pencipta teks ini mempertahankan gagasan atau usulannya berdasarkan argumentasi yang ia yakini benar tanpa membandingkannya dengan argumentasi dari pihak lain.

Struktur teks eksposisi terdiri atas 3 bagian yaitu Tesis (pernyataan umum), Argumentasi (pendapat) dan Pernyataan Ulang Pendapat. Menurut Rohimah (2014: 84), “Teks eksposisi dimulai dengan tesis yang merupakan pernyataan umum sebagai gagasan utama. Tesis merupakan pernyataan umum yang disampaikan dengan jelas tanpa disertai pengembangan argumen/pendapat”.

Tesis diikuti oleh tahap argumen atau penyampaian pendapat. Pada tahap

ini, ada dua hal penting, yaitu poin dan pengembangannya. Poin merupakan pernyataan pendapat yang didukung logika dan data. Poin selanjutnya dikembangkan fakta-fakta. Pola ini bisa berulang bergantung pada pengembangan teks. Pada tahap penyampaian argumen, pernyataan yang didukung logika adalah sesuatu yang sangat penting.

Bagian akhir dari eksposisi yaitu pernyataan ulang (penutup). Pernyataan ini berupa kesimpulan dari hal-hal yang disampaikan pada tahap penyampaian tesis dan argumen. Tiap bagian atau tahap disajikan dalam paragraf yang berbeda agar pembaca lebih dapat memhami struktur teks dengan cermat.

Menurut Rohimah (2014: 87), “Teks eksposisi ditandai dengan penggunakan kalimat yang menunjukkan sikap penulis. Kalimat-kalimat dalam teks eksposisi menggunakan kata hubung (konjungsi) yang menyatakan hubungan sebab-akibat. Kata hubung yang menyatakan sebab-akibat misalnya. Karena, sebab, oleh karena itu, oleh sebab itu”.

Kata hubung yang menyatakan hubungan sebab-akibat bisa menghubungkan suatu bagian dengan bagian lain dalam kalimat. Selain itu, kata hubung sebab-akibat dapat menghubungkan kalimat satu dengan kalimat lain atau satu paragraf dengan paragraf berikutnya. Penggunaan kata hubung sebab-akibat menjelaskan keterkaitan antarhal secara logika dan fakta. METODE PENELITIAN

Menurut Sugiyono (2012:3), “Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu”. Dari kutipan tersebut menjelaskan bahwa metode penelitian merupakan sesuatu yang sangat penting dalam sebuah sebuah penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap kemampuan memahami teks eksposisi.

Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian di atas, maka metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen.

Desain penelitian yang digunakan adalah Posttest-Only Control Design. Dalam desain ini terdapat dua kelompok

Wulandari Anwar Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap Kemampuan Memahami

Teks Eksposisi oleh Siswa Kelas VII MTs Al-Jam’iyatul Washliyah Tembung

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 110

yang dipilih secara random. Kelompok pertama yaitu kelas eksperimen (X1) dan kelompok dua kelas kontrol (X2). Pada kelas eksperimen (X1) diberikan perlakuan memahami teks eksposisi dengan menggunakan model pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw, sedangkan kelas kontrol (X2) tidak diberikan perlakuan. Untuk lebih jelasnya, metode penelitian digambarkan pada tabel berikut. HASIL PENELITIAN Deskripsi Hasil Penelitian

Dalam sampel penelitian ini diambil dua kelas yang berjumlah 82 orang siswa, yaitu dengan menggunakan teknik acak kelas (Random Sampling). Penelitian ini bertujuan untukmengetahui kemampuan siswa kelas VII MTs Al-Jam’iyatul Washliyah Tembung. Maka diperoleh hasil tes Memahami teks eksposisi sebagai berikut: Data Kemampuan Memahami Teks Eksposisi di Kelas Eksperimen dengan Menggunakan Model Kooperatif Tipe Jigsaw

Berdasarkan hasil tes kemampuan memahami teks eksposisi yang dilakukan oleh 41 siswa kelas VII C MTs Al-Jam’iyatul Washliyah Tembung tahun pembelajaran 2014-2015 diperoleh skor tertinggi memahami teks eksposisi yang diajarkan dengan menggunakan model Kooperatif Tipe Jigsaw adalah 100 dan yang terendah adalah 50. presentasi nilai akhir kemampuan memahami teks eksposisi siswa di kelas eksperimensiswa yang paling banyak mendapatkan nilai 80-100 yaitu 85,36 % dengan kategori sangat baik. Data Kemampuan Memahami Teks Eksposisi di Kelas Kontrol dengan Menggunakan Metode Ceramah.

Berdasarkan hasil tes kemampuan memahami teks eksposisi siswa yang dilakukan terhadap 41 orang siswa, diperoleh skor tertinggi memahami teks eksposisi siswa yang diajarkan dengan menggunakan metode ceramah adalah 92 dan yang terendah adalah 58. Dari tabel nilai kemampuan memahami teks eksposisi siswa di kelas kontrol di atas, dapat diketahui nilai presentasi pada setiap peringkat. Presentasi nilai akhir kemampuan memahami teks eksposisi siswa di kelas kontrolsiswa yang paling banyak mendapat nilai 66-79 yaitu 48,78 % dengan kategori baik. Kecenderungan Variabel Penelitian

a. Kelas Eksperimen Penghitungan nilai rata-rata dan

standar deviasi adalah sebagai berikut: 1. Rata-rata ∑푋 = 3711; ∑푋 2 = 345021; N= 41

푋1 = ∑

= = 90,51 2. Standar Deviasi

S X1 = ∑

( )

= ( ) ( )( )

=

=

= 228,25 = 15,10

Berdasarkan penghitungan, diperoleh rata-rata X1 adalah sebesar 90,51 dengan standar deviasi SD1 sebesar 15,10. Untuk melihat kecenderungan variabel penelitian, maka dilakukan juga penghitungan yang serupa pada kelas kontrol. b. Kelas Kontrol 1. Rata-rata ∑푋 = 2719; ∑푋 2 = 184867; N= 41

푋2 = ∑

= = 66,31 2. Standar Deviasi

S X2 = ∑

( )

= ( ) ( )( )

=

=

= √113,77 = 10,66

Berdasarkan penghitungan di atas, maka diperoleh rata-rata nilai kelas kontrol sebesar 66,31 dengan standar deviasi SD2 sebesar 10,66.

Berdasarkan perbandingan nilai rata-rata pada kedua kelas tersebut, dapat dijelaskan secara singkat bahwa data yang diperoleh peneliti memiliki kecenderungan terhadap variabel

Wulandari Anwar Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap Kemampuan Memahami

Teks Eksposisi oleh Siswa Kelas VII MTs Al-Jam’iyatul Washliyah Tembung

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 111

penelitian. Kemampuan siswa memahami teks eksposisi dengan menerapkan model kooperatif tipe jigsaw yaitu dengan nilai rata-rata 90,51 yang dikategorikan dengan nilai sangat baik. Sedangkan kemampuan siswa memahami teks eksposisi dengan penerapan metode ceramah memperoleh nilai rata-rata 66,31 yang dikategorikan dengan nilai baik. Hal ini dapat menjelaskan bahwa penggunaan model kooperatif tipe jigsaw memiliki pengaruh terhadap kemampuan siswa dalam memahami teks eksposisi. Pengujian hipotesis dihitung dengan menggunakan rumus uji-t

thitung =

Hipotesis yang akan diuji adalah: Ha:µx ≥ µy

Hasil perhitungan data hasil belajar siswa diperoleh sebagai berikut: n1 = Banyaknya siswa pada variabel X1 = 41 n2 = Banyaknya siswa pada variabel X2 = 41 S2

1 = Varians Kelas eksperimen = 228,25 S2

2 = Varians Kelas kontrol = 113,77 푋 = Rata-rata skor siswa kelas eksperimen = 90,51 푋 = Rata-rata skor siswa kelas kontrol = 66,31

Dimana: S2 = ( ) ( )

( )

S2 = ( )( , ) ( )( , )( )

= ( , ) ( , )

= ,

= , = 171,01 S = √171,01 S = 13,07 Maka:

thitung =

t = , ,,

= ,

√ , ,,

= ,, ( , )

= ,,

thitung = 8,81 Setelah nilai thitung diperoleh

selanjutnya dibandingkan dengan nilai ttabel

pada taraf signifikan α = 0,05 dengan dk = (N1+N2) – 2 = 80 terdapat pada tabel ttabel = 1,66, karena nilai thitung> ttabel yaitu 8,81 > 1,66. Hal ini berarti kemampuan memahami teks eksposisi dengan menggunakan model kooperatif tipe jigsaw lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan metode ceramah dalam meningkatkan kemampuan memahami teks eksposisi pada siswa kelas VII MTs Al-Jam’iyatul Washliyah Tembung Tahun pembelajaran 2014-2015.

Berdasarkan nilai thitung> ttabel maka disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap kemampuan memahami teks eksposisi siswa kelas VII MTs Al-Jam’iyatul Washliyah Tembung Tahun pembelajaran 2014-2015. Sebagai kriteria diterima atau ditolak, maka Ha diterima H0 ditolak. PEMBAHASAN

Dari hasil pengujian hipotesis di atas, terbukti bahwa “Ada pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap kemampuan memahami teks eksposisi oleh iswa kelas VII MTs Al-Jam’iyatul Washliyah Tembung. Hal ini dibuktikan berdasarkan perhitungan diketahui kemampuan memahami teks eksposisi yang diajar dengan menggunakan model kooperatif tipe jigsaw, siswa paling banyak mendapat nilai 80-100 yaitu 85,36 % artinya kemampuan sebagian besar siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berada pada tingkat sangat baik. Sedangkan kemampuan memahami teks eksposisi yang diajar dengan menggunakan metode ceramah, siswa paling banyak mendapat nilai 66-79 yaitu 48,78% artinya kemampuan dari sebagian besar siswa yang diajar dengan menggunakan metode ceramah berada pada tingkat baik.

Dilihat dari pengaruhnya nilai rata-rata yang diperoleh dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata yang diperoleh dengan menggunakan metode ceramah. Rata-rata yang diperolehmodel pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah90,51, sedangkan rata-rata yang diperoleh dengan menggunakan motode ceramah adalah 66,31.

Wulandari Anwar Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap Kemampuan Memahami

Teks Eksposisi oleh Siswa Kelas VII MTs Al-Jam’iyatul Washliyah Tembung

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 112

SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari penelitian maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Rata-rata kemampuan adalah 3711 :

41 = 90,51dan dibulatkan menjadi 90. Ini berarti kemampuan memahami teks eksposisi yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berada pada tingkat baik sekali, dan diketahui siswa paling banyak mendapat nilai 80-100 = 85,36%.

2. Rata-rata kemampuan menulis teks eksposisi siswa yang diajarkan dengan menggunakan metode ceramah adalah 2719 : 41 = 66,31 dan dibulatkan menjadi 66. Ini berarti kemampuan memahami teks eksposisi siswa yang diajarkan dengan menggunakan teknik ceramah berada pada tingkat baik dan diketahui siswa paling banyak mendapat nilai 66-79 yaitu 48,78 %.

3. Secara statistik dengan menggunakan uji-t disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi dari hasil belajar sisiwa yang diajar dengan menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran memahami teks eksposisi oleh siswa kelas VII MTs Al-Jami’yatul Washliyah Tembung. Hal ini dibuktikan dari hasil pengujian hipotesis, 푡 > 푡 yaitu 8,81> 1,66.

4. Adanya pengaruh kemampuan memahami teks eksposisi oleh siswa kelas VII yang diajarkan dengan menggunkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan yang diajarkan dengan menggunakan metode ceramah di MTs Al-Jami’yatul Washliyah Tembung.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur

Penelitian ( Suatu Pendekatan Praktik). Yogyakarta: Rineka Cipta.

Amri, Sofan. 2013. Pengembangan &

Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Damayanti, Deni. 2013. Panduan Lengkap

Menyusun Proposal, Skripsi, Tesis,

Disertasi Untuk Semua Program Studi. Yogyakarta: Araska.

Daryanto. 2014. Pendekatan

Pembelajaran Saintifik Kurikulum 2013. Yogyakarta: Gava Media.

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Mahsun. 2014. Teks dalam pembelajaran

Bahasa Indonesia Kurikulum 2013. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Rusman. 2012. Seri Manajemen Sekolah

Bermutu: Model- Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru Edisi Kedua. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Rohimah, Ima. 2014. BUPENA (Buku

Penilaian Autentik) Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Sagala, Syaiful. 2009. “Manajemen

Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan”. Bandung: Alfabeta.

Sanjaya, Wina. 2009. “Strategi

Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan”. Jakarta: Prenada Media Group.

Sudjana. 2005. Metode Statistika.

Bandung: Tarsisto. Sudijono, Anas. 2011. Pengantar Evaluasi

Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sudijono, Anas. 2009. Pengantar Statistik

Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian

Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Suprijono, Agus. 2010. Cooperative

Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sobry, Sutikno. 2014. Metode & Model-

model Pembelajaran. Lombok: Holistica.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 113

ANALISIS PEMEROLEHAN SINTAKSIS MENGGUNAKAN TEKNIK MLU (MEANT LENGHT OF UTTERENCE) PADA ANAK USIA 5 TAHUN

Rini Sartika Nasution

Dikbind PPs Universitas Negeri Medan [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalsis teori pemerolehan sintaksis seorang anak berusia 5 tahun berdasarkan teori MLU yang dikemukakam oleh Brown. Penelitian yang berjenis kualitatif dekriptif ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang diperoleh akan direduksi, disajikan melalui uraian, lalu disimpulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak berusia 5 tahun sudah mampu menggunakan bahasa sesuai dengan fungsinya sebagaimana yang dikemukakan oleh Halliday. Berdasarkan teori Brown tentang MLU (Mean Lenght of Utterence), subjek yang diteliti berada pada tingkat X yakni memiliki nilai 4,5+ untuk pemerolehan sintaksis. Artinya, penelitian ini juga mengonfirmasi kebenaran dari teori tersebut. Kata kunci : Pemerolehan Sintaksis, Anak, MLU (Meant Lenght Utterence) Abstract. This study aims to analyze the theory of the acquisition of the syntax of a 5 year old child based on the MLU theory found by Brown. This descriptive qualitative research uses three data collection techniques, namely observation, interviews, and documentation. The data obtained will be reduced, presented through a description, then concluded. The results of the study show that 5-year-old children are able to use language according to their functions as proposed by Halliday. Based on Brown's theory of MLU (Mean Lenght of Utterence), the subject under study is at the X level which has a value of 4.5+ for the acquisition of syntax. That is, this study also confirms the truth of the theory. Keywoard : syntactic acquisition, Child, Meant Lenght Utterence

PENDAHULUAN Menurut Keraf dalam

Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.

Seiring perkembangan usia anak, bahasa yang diperolehnya pun tidak semata-mata digunakan untuk menyampaikan keinginan atau kehendaknya saja, tetapi juga digunakan sebagai sarana berkomunikasi. Ketika anak belajar berbahasa, dia akan mendengarkan terlebih dahulu kata-kata atau kalimat yang diucapkan oleh kedua orang tuanya atau orang lain di sekitarnya. Kata-kata dan kalimat yang diujarkan orang lain dihubungkan dengan proses, kegiatan, benda, dan situasi yang ia saksikan. Ini berarti bahwa anak-anak menghubungkan hal yang dia dengar melalui proses pikirannya (Pateda,1990:63).

Setiap anak yang normal akan belajar bahasa pertama (bahasa ibu) dalam tahun-tahun pertamanya dan proses itu terjadi hingga kira-kira umur lima tahun (Nababan, 1992:72). Dalam proses perkembangan, semua anak manusia yang normal paling sedikit memperoleh satu bahasa alamiah. Dengan kata lain, setiap anak yang normal atau mengalami pertumbuhan yang wajar memperoleh sesuatu bahasa, yaitu bahasa pertama atau bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama kehidupannya, kecuali ada gangguan pada anak tersebut.

Pemerolehan sintaksis pada anak-anak dimulai pada usia kurang dari 2:0 tahun. Pada usia tersebut anak sudah bisa menyusun kalimat dua kata atau lebih two word utterance ‘Ujaran Dua Kata’ (UDK). Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. Dengan adanya dua kata dalam UDK maka orang dewasa dapat lebih bisa menerka apa yang dimaksud oleh anak karena cakupan makna menjadi lebih terbatas. UDK sintaksisnya lebih kompleks dan semantiknya juga semakin jelas (Dardjowidjojo, 2010:248). Ciri lain

Rini Sartika Nasution Analisis Pemerolehan Sintaksis Menggunakan Teknik MLU (Meant Lenght Of Utterence)

pada Anak Usia 5 Tahun

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 114

dari UDK adalah kedua kata tersebut adalah kata-kata dari kategori utama, yaitu nomina, verba, adjektiva, dan adverbia.

Seberapa jauh pemerolehan bahasa anak baik itu fonologi, sintaksis, semantic, dan pragmatic dapat dilihat dari performasi bahasa anak. Pemerolehan bahasa juga akan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, faktor lingkungan, dan biologis.

Usia 5 tahun merupakan usia yang sudah mapan untuk memperoleh bahasa sintaksis. Pemerolehan dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian kata). Kata ini bagi anak merupakan kalimat penuh, tetapi karena anak belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia hanya mengambil satu kata dari seluruh kalimat itu. Ujaran ini dinamakan Ujaran Satu Kata, USK, (one word utterance) anak tidak sembarangan memilih kata yang diungkapkan, dia akan memilih kata yang memberikan informasi baru.

MLU merupakan pengukur untuk perkembangan sintaksis anak yang dikemukakan oleh Brown . MLU adalah rata-rata jumlah morfem yang dihasilkan anak untuk setiap tuturannya. MLU digunakan untuk mengukur perkembangan sintaktik anak. MLU hanya berlaku untuk anak usia 0 tahun hingga 5 tahun saja. Biasanya MLU seseorang seseuai dengan jumlah umurnya. Menurut Brown (dalam Dardjowidjojo, 2010:241) cara menghitung MLU dapat dilakukan dengan beberapa langkah, pertama mengambil sampel sebanyak 100 ujaran. Kedua, menghitung jumlah morfemnya. Ketiga, membagi jumlah morfem dengan jumlah ujaran

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana analisis pemerolehan sintaksis menggunakan teori MLU ? (2) Bagaimana hasil analisis pemerolehan sintaksis anak berusia 5 tahun menggunakan teori MLU ?

Penelitian ini bertujuan untuk melihat analisis mengenai pemerolehan sintaksis seorang anak berusia 5 tahun. Penelitian ini akan memaparkan kemampuan sintaksis anak sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa serta menentukan tingkat kemampuan sintaksiss anak engan mengamati kalimat-kalimat yang mampu diproduksi sehingga tingkat pemerolehan sintaksis anak tersebut dapat ditentukan

sesuai teori yang dikemukakan yaitu teori Brown tentang MLU (Mean Leanght of Utterence). METODE PENELITIAN

Penelitian ini berjenis kualitatif dengan tujuan mengamati gejala-gejala yang merupakan fenomena, kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi tentang kecenderungan yang tengah berlangsung. Subjek penelitian pada umumnya manusia atau apa saja yang menjadi urusan manusia. Subjek penelitian adalah subjek yang menjadi fokus penelitian (Suharsimi Arikunto, 2005: 152).

Pengambilan subjek penelitian ini sesuai dengan kriteria subjek yaitu anak berusia 5 tahun yang tidak mengalami gangguan apapun baik dari segi biologis maupun psikologis.

Beberapa macam tehnik tentunya akan mendukung agar data dapat terkumpul dengan lengkap, tepat dan valid. Adapun tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Instrumen dalam penelitian ini yaitu, (1) peneliti sebagai instrument penelitian utama, perencana, pelaksana pengumpulan data, analisi penafsiran data, dan pelapor hasil penelitian. (2) lembar observasi dianalisa secara naratif yang nantinya akan menghasilkan kesimpulan. (3) panduan wawancara, sebagai penguat pengumpulan data dari subjek penelitian. (4) Kegiatan dokumentasi di ambil dari kehidupan sehari-hari.

Metode analisis data yang penyusun gunakan dalam menganalisis data adalah deskriptif kualitatif yaitu digambarkan dengan data-data yang di dapat selama penelitian berlangsung atau kalimat penjelas berbentuk narasi. Maksudnya, setelah data penyusun kumpulkan dan diurutkan, kemudian diedit dan disusun berdasarkan urutan pembahasan yang telah direncanakan. Selanjutnya penyusun melakukan interpretasi secukupnya dalam usaha memahami kenyataan yang ada untuk menarik kesimpulan. Nasution (2003: 129) menyatakan dalam menganalisis data selama dilapangan teknik yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Rini Sartika Nasution Analisis Pemerolehan Sintaksis Menggunakan Teknik MLU (Meant Lenght Of Utterence)

pada Anak Usia 5 Tahun

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 115

HASIL PENELITIAN Anak yang diteliti dalam

penelitian ini merupakan anak yang sehat dari segi biologis maupun psikologis. Berdasarkan hasil rekaman tuturan objek penelitian tersebut, peneliti mentranskripsikan rekaman tersebut dalam bentuk tulisan. Peneliti mendeskripsikan dan menganalisis data dengan rumus MLU sebagai berikut.

No. Ujaran ∑ Morfem

1. Kakak lini mau kemana ? 4 2. Abang rafa ga mau pinjam

divan gamenya. 7

3. Mamak nakal kali pung pukul-pukul divan, pukulkan dulu mamak.

10

4. Ilang sepeda divan. 3 5. Lagi makan dia. 3 6. Jangan ambil adek adel, itu

adek divan. 7

7. Divan mau pigi jalan-jalan ke kerfur sama abang rafa, mamak, bapak, tante, adel, main-main game enaklah

18

8. Opung sayang udah makan ?

4

9. Gak mau. 2 10. Nanti aja. 2 11. Divan pulang dulu yaa

dada 5

12. Mana adek jika ? 3 13. Kakak lini jelek. 3 14. Jangan ganggu divan. 3 15. Divan mau main. 3 16. Mana opung sayang ? 3 17. Nanti dipukul bapak. 3 18. Abang rafa, ayok main

sepeda. 5

19. Nangis kakak dita. 3 20. Divan mau ikut mamak. 4 21. Gak kawan kita. 3 22. Maaaak keluarlaah. 2 23. Haus divan. 2 24. Bagila baang. 2 25. Abang apin ngapain. 3 26. Abang divan bikin

helikotel. 4

27. Ada pesawat-pesawat kakak ?

4

28. Jangan ambil 2 29. Sampai jumpa kakak. 3 30. Mamak bawak apa ? 3 31. Awas kakak awas. 3 32. Abang divan mandi tadi. 4

33. Nakal kali abang rapa. 4 34. Ga mau diva. 3 35. Divan takut bapaaak. 3 36. Dada kakaaak. 2 37. Buka pintu opung. 3 38. Abang buat keleta api. 4 39. Panjang keleta api divan. 4 40. Iya divan buat sendiri 4 41. Divan mainan baru. 3 42. Kakak lini beliklah. 3 43. Divan mau sama mamak. 4 44. Abang lafa mana ? 3 45. Ayola maak. 2 46. Jalan-jalan kita ? 3 47. Abang rapaaa abang rapaaa

mana abang rapa yaaa. 8

48. Nantila mak. 2 49. Nakal abang lafa. 3 50. Jangan ambil, itu punya

Divan 5

51. Jadi kita berenang mak ? 4 52. Kapan kita pigi ? 3 53. Divan mau ke lapangan

sama bapak. 6

54. Divan mau jajan mak belik kayak abang lafa.

8

55. Besok ulang tahun Divan sama abang lafa.

7

56. Divan ga mau makan divan udah kenyang.

7

57. Abnag apin mau pelgi kemana ?

5

58. Mau ke sekolah abang apin jauh sekolah abang alpin

9

59. Jangan bilang sama bapak ya mak

6

60. Mak nanti kita belik kue la kue ulang tahun divan

10

61. Mak mana mainan balu divan di sini tadi divan letakkan

10

62. Hai kakak lini divan mau pigi jalan-jalan dulu ya, baik-baik ya kak lini.

15

63. Jangan ambil pesawat divan.

4

64. Divan mau ke kampung naik mobil, jauh.

7

65. Pak tua darimana pak tua, dari kuanamu ?

7

66. Pesawat divan ada banyak, ada helikoptel, pesawat galuda, pesat layen el, banyak pesawat divan.

13

67. Naik apa kaka pigi naik apa, naik pesawat galuda ?

9

Rini Sartika Nasution Analisis Pemerolehan Sintaksis Menggunakan Teknik MLU (Meant Lenght Of Utterence)

pada Anak Usia 5 Tahun

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 116

68. Maak beliklah baju sekolah divan divan mau sekolah kayak abang lafa.

11

69. Tolong divan tolong pukulkan dulu dia.

6

70. Nanti udak joan datang naik pesawat helokoptel.

7

71. Divan dikasi baju balu 4 72. Abang lafa bonceng divan 4 73. Divan keliling-keliling

lapangan 4

74. Kakak lina lini balu puwang.

5

75. Divan mau ke geyeja. 4 76. Mak beliklah kue. 3 77. Yeeeye mamak pulang. 3 78. Divan mau jadi tentala 4 79. Adek adelin tengok abang

divan. 5

80. Maaaak bolehlah kelual main-main.

5

81. Maaak bukak gelbangnyaa. 3 82. Adek adelin mau makan

dia. 5

83. Nanti kami ke temjon makan es klim naik keleta-keleta api.

11

84. Divan ga mau ga suka divan ga suka

8

85. Mak ga dikasi abang lafa mainannya pelit kali dia

9

86. Mak mana ape divan divan mau main gem

8

87. Mak caskan dulu ape divan udah mati dia

8

88. Tentala-tentala divan ga ada lagi.

6

89. Pak ayokla kita nyanyi-nyanyi

5

90. Eh adelin kenapa giniyi mamakku

5

91. Cilukbaa adelin cilukbaaa 3 92. Nakal kali adek nangis-

nangis aja 6

93. Opung sayang belikla es klim opung saying

7

94. Mak mana lemot tipi abang divan mau nonton

8

95. Mau puwang aku mau puwang gak kawan kita

8

96 Nanti malam kita ke ido ya mak belik jajan

9

97. Mana mamak jahat kali tinggal tinggal divan

7

98. Itu bapak udah puwang 4 99. Abang lafa adek kakak lina

divan adek kakak lini ya 10

100. Abang divan udah ganteng 4 ∑ Morfem 518

Berdasarkan semua ujaran yang

telah dianalisis untuk menghitung MLU, telah didapatkan hasilnya, yaitu terdapat 100 ujaran dan 518 morfem dari tabel data di atas, dan kemudian dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut. MLU = Jumlah morfem Jumlah ujaran MLU = 518 100 MLU = 5,18 Berdasarkan nilai tersebut maka pemerolehan sintaksis anak yang diteliti sesuai dengan tahap pemerolehan sintaksis yang dikemukakan Brown (dalam Owens, 2008), yakni tahap pemerolehan sintaksis berdasarkan MLU terdiri dari 10 tahap yaitu sebagai berikut. Tahap I MLU (1-1,5) pada usia 12-22 bulan Tahap II MLU (1,5-2,0) pada usia 27-28 bulan Tahap III MLU (2,0-2,25) pada usia 27-28 bulan Tahap IV MLU (2,252,5) pada usia 28-30 bulan Tahap V MLU (2,5-2,75) pada usia 31-32 bulan Tahap VI MLU (2,75-30,0) pada bulan biasa 33-34 tahun Tahap VII MLU (3,0-3,5) pada usai 35-39 bulan Tahap VIII MLU (3,5-3,45) pada usia 38-40 bulan Tahap IX MLU (3,5-3,45) pada usia 41-46 duluan Tahap X MLU (4,5+) pada usia +47 bulan

Subjek yang diteliti berada pada tingkat X yaitu usia 47+ bulan dengan rata-rata nilai 4,5+. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa pendapat Brown mengenai tahap-tahap tersebut benar.

Data mengenai ujaran-ujaran di atas menunjukkan bahwasannya struktur kalimat yang diproduksi anak cukup teratur dan mampu menempatkan fungsi-fungsi bahasa secara jelas. Misalnya saja pada ujaran-ujaran berikut : “abang lafa ayok main sepeda. “divan pulang dulu ya dadaaa.” “mak jadi kita pigi belenang ?”

Anak mampu menempatkan subjek, predikat, objek, dan keterangan dengan benar. Anak juga mampu

Rini Sartika Nasution Analisis Pemerolehan Sintaksis Menggunakan Teknik MLU (Meant Lenght Of Utterence)

pada Anak Usia 5 Tahun

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 117

mengkontruksi kalimat yang berfungsi sebagai pertanyaan maupun pernyataan. Hal tersebut disebabkan oleh stimulus dari orang tua yang mencontohkan berbahasa yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, orang tua selalu menggunakan bahasa yang tertata dengan rapi serta mengoreksi bahasa anak apabila sangat tidak jelas. Anak masih memiliki kekurangan yaitu fonem-fonem bahasa anak masih belum sempurna misalnya terjadi pelesapan fonem /r/ yang melesap menjadi /l/ seperti pada kosakata-kosakata berikut : Belenang = berenang es klim = es krim lafa = rafa geleja = gereja el = air

Belum sempurnanya anak berusia 5 tahun dalam mengartikulasikan semua fonem merupakan hal yang wajar karena anak usia 5 tahun masih mengasah kemampuan motorik organ wicaranya untuk dapat melafalkan semua fonem bahasa. Struktur kalimat yang belum sempurna juga hal yang lazim karena anak yang diteliti memperoleh bahasa secara natural dan belum mendapatkan pembelajaran bahasa.

Anak usia 5 tahun hanya menirukan bahasa dari lingkungannya, mempelajarinya secara otodidak lalu mengkonstruksi bahasanya sendiri. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Owen yang mengemukakan bahwasannya anak usia dini, khususnya usia 4-5 tahun dapat mengembangkan kosa kata secara mengagumkan. Owens (dalam Rita Kurnia, 2009:37) mengemukakan bahwa “anak usia tersebut memperkaya kosa katanya melalui pengulangan”. Mereka sering mengulangi kosa kata yang baru dan unik sekalipun belum memahami artinya. Dalam mengembangkan kosa kata tersebut, anak menggunakan fast wrapping yaitu suatu proses dimana anak menyerap arti kata baru setelah mendengarnya sekali atau dua kali dalam dialog. Pada masa dini inilah anak mulai mengkombinasikan suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat.

Anak usia 4-5 tahun rata-rata dapat menggunakan 900-1000 kosa kata yang berbeda. Mereka menggunakan 4-5 kata dalam satu kalimat yang dapat berbentuk kalimat pernyataan, negative,

Tanya, dan perintah. Anak usia 4 tahun sudah mulai menggunakan kalimat yang beralasan seperti “saya menangis karena sakit”. Pada usia 5 tahun pembicaraan merka mulai berkembang dimana kosa kata yang digunakan lebih banyak dan rumit.

Haliday(dalam Rita Kurnia, 2009:68) mengemukakan “beberapa fungsi bahasa bagi anak, fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Fungsi instrumental; bahasa di

gunakan sebagai alat perpanjangan tangan”tolong ambilkan pensil’’.

2. Fungsi regulative; bahasa di gunakan untuk mengatur orang lain” jangan ambil buku ku!”

3. Fungsi interaksional; bahasa di gunakan untuk bersosialisasi “ apa kabar?”

4. Fungsi personal; bahasa di gunakan untuk mengungkapkan perasaan, pendapat, dan sebagainya. “saya senamg sekali!”

5. Fungsi heuristic / mencari informasi; bahasa di gunakan untuk bertanya. “Apa itu?”

6. Fungsi imajinatif; bahasa digunakan untuk memperoleh kesenangan, misalnya, bermain-main dengan bunyi, irama.

7. Fungsi representative; bahasa di gunakan untuk memberikan informasi atau fakta. “sekarang hujan”.

Baiknya pemerolehan sintaksis anak yang diteliti dapat dilihat dari kemampuan anak memproduksi kalimat sesuai fungsi bahasa seperti data-data berikut ini : “Tolong divan tolong pukulkan dia” (fungsi instrumental) “Jangan ambil adek adel, itu adek divan” (fungsi regulative) “Hai kakak lini divan pigi jalan-jalan dulu ya, baik-baik ya kak lini” (fungsi interaksional) “Divan takut baaapak” (fungsi personal) “Besok ulang tahun abang divan dan abang lafa” (fungsi heuristic).

Menurut data-data tersebut tampak bahwa orang tua berperan sangat baik dalam pemerolehan sintaksis anak. Hal tersebut diperkuat dengan hasil wawancara orang tua yang mengungkapkan orang tua sering mengajak anak berkomunikasi dalam berbagai konteks sehingga anak

Rini Sartika Nasution Analisis Pemerolehan Sintaksis Menggunakan Teknik MLU (Meant Lenght Of Utterence)

pada Anak Usia 5 Tahun

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 118

menguasai fungsi-fungsi bahasa dengan baik. SIMPULAN

Pemerolehan sintaksis pada anak-anak dimulai pada usia kurang dari 2:0 tahun. Pada usia tersebut anak sudah bisa menyusun kalimat dua kata atau lebih /two word utterance ‘Ujaran Dua Kata’ (UDK). Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. Dengan adanya dua kata dalam UDK maka orang dewasa dapat lebih bisa menerka apa yang dimaksud oleh anak karena cakupan makna menjadi lebih terbatas. Ciri lain dari UDK adalah kedua kata tersebut adalah kata-kata dari kategori utama, yaitu nomina, verba, adjektiva, dan adverbia. Berdasarkan riset yang dilakukan, anak telah mampu menunjukkan performansi sintaksis dengan baik. Anak mampu mengkonstruksi bahsa sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah kosakata yang digunakan dalam setiap kalimat cukup banyak dan teratur. Selain itu, hasil perhitungan nilai MLU pada subjek penelitian menunjukkan bahwa teori Brown yang mengungkapkan anak usia 47 bulan+ meniliki nilai 4,5+ adalah benar. SARAN

Pengujian kemampuan sintaksis pada anak dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai teori. Teori MLU (Meant Lenght Utterence) hanyalah salah satu teori yang dapat digunakan untuk menguji normal atau tidaknya kemampuan sintaksis anak. Meskipun demikian, teori tersebut tidak dapat dijadikan satu-satunya pedoman pengukuran normal tidaknya kemampuan sintaksis sebab setiap anak memiliki karakteristik bahasa yang berbeda dan faktor-faktor pendukung yang berbeda. Oleh karena itu, disarankan kepada pembaca agar melakukan studi pustaka lebih lanjut dan pengujian tentang teori-teori lain agar dapat menemukan teori yang paling tepat sesuai karakteristik anak yang diteliti. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Anas. 2015. Dasar-dasar

Psikolinguistik. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Annisa, Witri. 2011. Pemerolehan Bahasa

Anak (Kajian MLU) pada Anak Usia 3 Tahun 8 Bulan. Jurnal

Pakar Pendidikan UNP. Vol. 9, No. 2, Hlm 175-182.

Arifuddin. 2013. Neuropsikolinguistik.

Jakarta : Rajawali Press. B Hurlock, Elisabeth. 1978.

Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga.

Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip

Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Inc: Pearson Education.

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:

Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2005.

Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.

Damaianti, Vismaia S. dan Nunung

Sitaresmi. 2006. Sintaksis Bahasa Indonesia. Bandung: Pusat Studi Literasi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI.

Daulay, Syahnan. 2010. Pemerolehan dan

Pembelajaran Bahasa. Bandung : Citrapustaka Media Perintis.

Hoff, E. 2009. Language Development.

Fourth Edition. Belmont: Wadsworth.

Pateda, Mansoer. 1990. Aspek-aspek

Psikolinguistik. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Nusa Indah.

Nababan dan Sri Utari Subyakto. 1992.

Psikolinguistik: Suatu Pengatar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tarigan, Henry Guntur. 1998. Pengajaran

Pemerolehan Bahasa. Jakarta: Depdikbud.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 119

PENGARUH INTELEGENSI PADA MOTIVASI BELAJAR AKADEMIK SISWA MAS YPI BATANG KUIS

Tetty Ariyani Nasution

Dikbind PPs Universitas Negeri Medan [email protected]

Abstrak. Intelegensi sebagai unsur kognitif dianggap memegang peranan yang cukup penting. Bahkan kadang-kadang timbul anggapan yang menempatkan intelegensi dalam peranan yang melebihi proporsi yang sebenarnya. Sebagian orang bahkan menganggap bahwa hasil tes intelegensi yang tinggi merupakan jaminan kesuksesan dalam belajar sehingga bila terjadi kasus kegagalan belajar pada anak yang memiliki IQ tinggi akan menimbulkan reaksi berlebihan berupa kehilangan kepercayaan pada institusi yang menggagalkan anak tersebut atau kehilangan kepercayaan pada pihak yang telah memberi diagnosa IQ-nya. Sejalan dengan itu, tidak kurang berbahayanya adalah anggapan bahwa hasil tes IQ yang rendah merupakan vonis akhir bahwa individu yang bersangkutan tidak mungkin dapat mencapai prestasi yang baik. Menurut Azwar (2004) hal ini tidak saja merendahkan self-esteem (harga diri) seseorang akan tetapi dapat menghancurkan pula motivasinya untuk belajar yang justru menjadi awal dari segala kegagalan yang tidak seharusnya terjadi. Kata Kunci : Neuropsikolinguistik, IQ

Abstract. Intelligence as a cognitive element is considered to play an important role. In fact sometimes the assumption arises that puts intelligence in a role that exceeds the actual proportion. Some people even consider that the results of high intelligence tests are a guarantee of success in learning so that if there is a case of learning failure in children who have a high IQ will cause excessive reactions in the form of losing trust in the institution that foils the child or loses trust in those who have diagnosed IQ -his. In line with that, no less dangerous is the assumption that the results of a low IQ test are the final verdict that the individual concerned is not likely to achieve good performance. According to Azwar (2004) this not only undermines one's self-esteem (self esteem) but can also destroy his motivation for learning which is precisely the beginning of all failures that should not have happened. Keywords: Neuropsycholinguistics, IQ

PENDAHULUAN Prestasi belajar merupakan hasil

pengukuran terhadap peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran dalam periode tertentu yang dapat diukur menggunakan instrumen yang relevan. Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, ada yang dari dalam diri (internal) dan ada yang dari luar diri (eksternal). Hasil observasi awal terhadap prestasi belajar siswa, menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa sebagian besar masih di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), sehingga dapat disebut bahwa prestasi belajar siswa masih rendah. KKM ditentukan oleh masing- masing sekolah sehingga mempunyai standar yang berbeda-beda. Prestasi belajar yang menunjukkan tingkat keberhasilan anak dalam belajar di sekolah dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Menurut Conny R semiawan (1998: 200), peran keluarga lebih banyak

bersifat memberikan dukungan baik dalam hal penyediaan fasilitas maupun penciptaan suasana belajar yang kondusif. Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (2004: 138), prestasi belajar yang dicapai seorang individu merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut yaitu faktor yang berasal dari diri sendiri (internal) dan faktor yang berasal dari luar diri (eksternal). Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa, meliputi faktor jasmaniah, psikologi, dan faktor kematangan fisik maupun psikis. Faktor jasmaniah antara lain panca indera yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, berfungsinya kelenjar tubuh yang membawa kelainan tingkah laku. Sedangkan faktor psikologi antara lain kecerdasan, bakat, sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, dan motivasi. Faktor eksternal yang berasal dari luar diri siswa berupa faktor sosial, budaya, lingkungan

Tetty Ariyani Nasution Pengaruh Intelegensi Pada Motivasi Belajar Akademik Siswa MAS YPI Batang Kuis

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 120

fisik, dan lingkungan spiritual keagamaan. Faktor sosial meliputi lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Faktor budaya meliputi adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian. Faktor lingkungan fisik seperti fasilitas rumah dan fasilitas belajar. Fasilitas belajar meliputi ruang belajar, meja, kursi penerangan, alat tulis, dan buku-buku pelajaran. Faktor tersebut saling berinteraksi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi prestasi belajar. Seperti yang disebutkan di atas bahwa keberhasilan belajar siswa salah satunya dipengaruhi oleh faktor fasilitas belajar. Orang tua harus mampu menyediakan fasilitas belajar dengan lengkap. Namun kenyataannya banyak orang tua yang belum mampu menyediakan fasilitas belajar dengan lengkap dikarenakan oleh banyak faktor salah satunya yaitu keadaan ekonomi keluarga. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (2004: 88), bahwa keadaan ekonomi keluarga akan mempengaruhi ketersediaan fasilitas belajar. Selain ketersediaan fasilitas belajar yang lengkap, diharapkan siswa dapat memanfaatkan fasilitas dengan baik sehingga akan menghasilkan prestasi belajar yang baik. Namun, kenyataannya masih ada siswa yang belum bisa memanfaatkan fasilitas belajarnya dengan baik.

Fasilitas belajar berperan dalam mempermudah dan memperlancar kegiatan belajar siswa. Macam-macam fasilitas belajar seperti tempat belajar, peralatan tulis, media belajar, dan fasilitas lainnya. Fasilitas belajar mempermudah siswa dalam memecahkan masalah-masalah yang timbul sewaktu mempelajari dan memahami pelajaran atau tugas yang diberikan oleh guru. Misalnya seorang siswa mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, sedangkan siswa tersebut kurang atau tidak memiliki fasilitas belajar yang menunjang untuk mengerjakan tugas tersebut yang kemungkinan dapat menghambat terselesainya tugas. Sebaliknya jika siswa mempunyai fasilitas belajar yang lengkap, maka tugas dari guru dapat dikerjakan dengan baik. Jadi apabila siswa mendapat fasilitas belajar yang baik dan didukung oleh kemampuan siswa dalam memanfaatkannya secara optimal diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.

Selajutnya dalam masalah pemenuhan fasilitas belajar dikemukakan oleh Thamrin Nasution (Indrayanto, 2010), “Kurang lengkapnya buku-buku yang diperlukan menyebabkan anak malas belajar serta menghalanginya untuk belajar lebih baik, karena bagaimana bisa belajar dengan sungguh-sungguh apabila buku-buku yang diperlukan sebagai alat penunjang tidak lengkap atau tidak ada. Oleh sebab itu orang tua perlu memikirkan untuk melengkapi buku anaknya. Demikian juga dengan alat tulis seperti pensil, pena, buku tulis dan lain-lainnya yang sangat menunjang kelancaran belajar itu sendiri.” Penjelasan di atas menunjukkan bahwa fasilitas belajar diduga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar siswa. Akan tetapi, fasilitas belajar tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh siswa. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional dimana variabel satu berhubungan dengan variabel lainnya (Sugiyono, 2010). Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa MAS Islamiyah YPI Batangkuis , yakni dari kelas X sampai XII. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 Desember-14 Maret 2018 di MAS Islamiyah YPI Batangkuis. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah subyek sebanyak 180 subyek.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dimensi LOMOT (Low Academic Motivation) dari skala SMALSI dari Stroud & Reynolds untuk variabel motivasi akademik dan hasil rapor semester ganjil 2017/2018 untuk variabel prestasi belajar. Skor yang dianalisis pada variabel motivasi akademik ialah skor dimensi LOMOT; sedangkan pada variabel prestasi belajar, skor yang dianalisis ialah skor total hasil rapor semester ganjil siswa MAS Islamiyah YPI Batangkuis . Hasil rapor ini diperoleh dari data asli ledger yang disimpan di sekolah. Data tersebut dikumpulkan dengan teknik studi dokumentasi.

Uji validitas dimensi LOMOT menggunakan validitas konstruk dengan perhitungan Cronbach’s Alpha dan hasil uji validitas menunjukkan sebanyak 13 aitem dari 17 aitem yang valid dan dapat digunakan untuk penyebaran data. Pengujian reliabilitas menggunakan inter-

Tetty Ariyani Nasution Pengaruh Intelegensi Pada Motivasi Belajar Akademik Siswa MAS YPI Batang Kuis

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 121

item inconsistency dengan metode perhitungan Cronbach’s Alpha. Koefisien reliabilitas dimensi LOMOT sebesar 0,817. Prestasi belajar menggunakan validitas isi berupa validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat profesional judgement, dengan tipe validitas tampang (face validity) yaitu setiap aitem dalam tes konteksnya telah sesuai dengan tujuan yang disebutkan oleh nama tes dan apabila dilihat dari segi penampilan tes telah meyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkapkan apa yang hendak diukur.

Pengukuran validitas dengan expert judgement menyatakan bahwa nilai yang ada diperoleh dari perhitungan seluruh mata pelajaran yang pernah diambil. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari uji normalitas dan teknik uji korelasi. Uji normalitas menggunakan Kolomogorov Smirnov Goodness of Fit, sedangkan uji korelasi menggunakan Pearson Product Moment dengan bantuan program Statistical Packages for Sosial Science (SPSS). Teknik korelasi ini digunakan untuk mencari hubungan dan/atau menguji hipotesis hubungan dua variabel bila kedua variabel tersebut berskala interval atau rasio (Sugiyono, 2010).

Prosedur penelitian, peneliti mendatangi sekolah ‘X’ dan bertemu dengan kepala sekolah MAS Islamiyah YPI Batangkuis. Setelah menyampaikan tujuan bahwa peneliti ingin melaksanakan penelitian di sekolah MAS Islamiyah YPI Batangkuis, respon kepala sekolah sangat baik dan peneliti diizinkan dari pihak sekolah untuk melakukan penelitian. Peneliti memperbanyak kuisioner sesuai dengan jumlah keseluruhan siswa MAS yakni sebanyak 180 eksemplar dan menyiapkan reward bagi siswa MAS. Namun, pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 8 Januari 2018, dikarenakan pada bulan Desember tidak memungkinkan peneliti dapat melakukan pengambilan data. Pada tanggal 8 Januari 2018 hingga 14 Maret 2018, peneliti melakukan pengambilan data di setiap kelas dari kelas X sampai kelas XII. Analisis data menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment. HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini juga menunjukkan subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat intelegensi yang

tergolong average (ratarata) dan memiliki motivasi belajar yang tergolong rata-rata bahkan mendekati tinggi. Selain itu, juga diketahui bahwa motivasi belajar memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap prestasi akademik pada siswa-siswi MAS Islamiyah YPI Batangkuis. Jadi, upaya untuk meningkatkan prestasi akademik pada siswa-siswi MAS Islamiyah YPI Batangkuis dapat dilakukan dengan memberikan fokus lebih terhadap motivasi belajarnya.

Dari 20 siswa yang saya teliti , hanya 4 orang yang memiliki IQ tinggi dan selebihnya memiliki IQ rendah . Nama siswa yang memiliki IQ tinggi : Nama siswa IQ Tertinggi (100-

120) Dinda 100 Nurhaliza 100 Ullya Putri 100

Mereka diberi pertanyaan oleh sayaa dengan cepatnya menjawab apa yang saya pertanyakan , selebihnya berfikir dulu dengan pertanyaan saya. PEMBAHASAN

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh tingkat intelegensi dan motivasi belajar secara parsial maupun bersama terhadap prestasi akademik. Hasil penulisan ini menunjukkan bahwa ketiga ini diterima, artinya ada pengaruh secara signifikan dari tingkat intelegensi dan motivasi belajar baik secara parsial maupun bersama terhadap prestasi akademik. Penulisan ini menunjukkan bahwa intelegensi berpengaruh signifikan terhadap prestasi akademik. Hal ini sesuai dengan pendapat Dalyono (1997) yang mengatakan bahwa seseorang yang memiliki intelegensi baik (IQ-nya tinggi) umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya orang yang intelegensinya rendah cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berpikir, sehingga prestasi akademiknya pun rendah.

Dari hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh koefisien regresi dari intelegensi sebesar 0,025 dan motivasi belajar sebesar 0,080. Hal ini menunjukkan apabila salah satu variable dalam keadaan konstan, maka motivasi belajar akan berpengaruh lebih besar pada prestasi akademik seseorang. Motivasi belajar menurut Uno (2007) adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk

Tetty Ariyani Nasution Pengaruh Intelegensi Pada Motivasi Belajar Akademik Siswa MAS YPI Batang Kuis

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 122

mengadakan perubahan tingkah laku. Motivasi belajar menurut Djamarah (2002) ada dua macam, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.

Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar. Kuat lemahnya motivasi belajar akan turut mempengaruhi keberhasilan belajar seseorang. Menurut Syah (2006) motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh dari orang lain. Oleh karena itu, motivasi belajar yang perlu diusahakan, terutama adalah yang berasal dari dalam diri (motivasi intrinsik) dengan cara senantiasa memikirkan masa depan yang penuh tantangan, adanya dorongan untuk memiliki pengetahuan dan lain-lain.

Berdasarkan analisis data, juga diperoleh nilai F sebesar 9,018 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p < 0,01). Hal ini berarti bahwa intelegensi dan motivasi belajar berpengaruh terhadap prestasi akademik. Selain nilai F, diperoleh juga nilai R square sebesar 0,093, yang berarti bahwa 9,3% prestasi akademik dipengaruhi oleh intelegensi dan motivasi belajar, sedangkan sisanya sebesar 90,7% dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini.

Hal ini sesuai dengan pendapat Azwar (2004) yang menyebutkan secara umum, ada dua faktor yang mempengaruhi prestasi akademik seseorang, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi antara lain faktor fisik dan faktor psikologis. Faktor fisik berhubungan dengan kondisi fisik umum seperti penglihatan dan pendengaran. Faktor psikologis menyangkut faktor-faktor non fisik, seperti minat, motivasi, bakat, intelegensi, sikap dan kesehatan mental. Faktor eksternal meliputi faktor fisik dan faktor sosial. Faktor fisik menyangkut kondisi tempat belajar, sarana dan perlengkapan belajar, materi pelajaran dan kondisi lingkungan belajar. Faktor social menyangkut dukungan sosial dan pengaruh budaya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik dalam banyak hal sering saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Seorang siswa yang bersikap conserving terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif ekstrinsik (faktor eksternal) umpamanya, biasanya cenderung mengambil pendekatan belajar yang sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seorang siswa yang berintelegensi tinggi (faktor internal) dan mendapat dorongan positif dari orang tuanya (faktor eksternal), mungkin akan memilih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil belajar. Jadi, karena pengaruh faktor-faktor tersebut, muncul siswa-siswa yang berprestasi tinggi dan berprestasi rendah atau gagal sama sekali.

Dalam hal ini, seorang guru yang kompeten dan profesional diharapkan mampu mengantisipasi kemungkinankemungkinan munculnya kelompok siswa yang menunjukkan gejala kegagalan dengan berusaha mengetahui dan mengatasi faktor yang menghambat proses belajar mereka. Hal ini juga didukung penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi prestasi akademik. Seperti yang diungkap oleh Tarmidi (2006) yang mengatakan bahwa iklim kelas berkorelasi positif dengan perubahan tingkah laku dan prestasi hasil pembelajaran siswa. Dengan kata lain, iklim kelas merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efektifitas dan kualitas pembelajaran di kelas. Iklim kelas merupakan faktor ekternal yang dapat mempengaruhi prestasi akademik siswa. Iklim kelas sendiri meliputi ruangan kelas, lingkungan kelas dan lain-lain.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa intelegensi dan motivasi belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi akademik seseorang. Pengaruh Tingkat Intelegensi Dan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi akademik Siswa

Prestasi akademik menurut Suryabrata (2006) adalah hasil belajar terakhir yang dicapai oleh siswa dalam jangka waktu tertentu, yang mana disekolah prestasi akademik siswa biasanya dinyatakan dalam bentuk angka atau simbol tertentu. Kemudian dengan angka atau simbol tersebut, orang lain atau siswa sendiri akan dapat mengetahui

Tetty Ariyani Nasution Pengaruh Intelegensi Pada Motivasi Belajar Akademik Siswa MAS YPI Batang Kuis

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 123

sejauhmana prestasi akademik yang telah dicapai. Dengan demikian, prestasi akademik disekolah merupakan bentuk lain dari besarnya penguasaan bahan pelajaran yang telah dicapai siswa, dan rapor bisa dijadikan hasil belajar terakhir dari penguasaan pelajaran tersebut.

Seseorang tidak dapat memiliki prestasi akademik begitu saja tanpa ada hal yang mendorongnya untuk menunjukkan hasil belajar yang memuaskan. Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi akademik seseorang, Azwar (2004) secara umum menjelaskan ada dua faktor yang mempengaruhi prestasi akademik seseorang, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi antara lain faktor fisik dan faktor psikologis.

Faktor fisik berhubungan dengan kondisi fisik umum seperti penglihatan dan pendengaran. Faktor psikologis menyangkut faktor-faktor non fisik, seperti minat, motivasi, bakat, intelegensi, sikap dan kesehatan mental. Faktor eksternal meliputi faktor fisik dan faktor sosial. Faktor fisik menyangkut kondisi tempat belajar, sarana dan perlengkapan belajar, materi pelajaran dan kondisi lingkungan belajar. Faktor social menyangkut dukungan sosial dan pengaruh budaya.

Salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi akademik seseorang adalah tingkat kecerdasan atau intelegensi (IQ). Menurut Syah (2006) tingkat kecerdasan atau intelegensi (IQ) siswa sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa, maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses, dan sebaliknya semakin rendah kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk memperoleh sukses. Hal yang sama juga diungkap oleh Ekowati (2006) yang menyatakan bahwa terdapat kontribusi positif antara intelegensi (kecerdasan) terhadap hasil belajar siswa. David Wechsler (dalam Azwar, 2004) mendefinisikan intelegensi adalah kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berfikir secara rasional serta menghadapi lingkungannya dengan efektif, dari definisi tersebut nampak adanya pengaruh yang signifikan antara intelegensi terhadap prestasi akademik. Salah satu faktor lain yang

mempengaruhi prestasi akademik seseorang adalah motivasi belajarnya.

Dari berbagai hasil penelitian selalu menyimpulkan bahwa motivasi mempengaruhi prestasi akademik seseorang. Tinggi rendahnya motivasi selalu dijadikan indikator baik buruknya prestasi akademik seorang anak didik. Hal ini juga didukung oleh penelitian Purnomowati (2006) yang memperoleh thitung untuk variabel motivasi belajar sebesar 4,951 dengan signifikansi 0,000 < 0,05, yang berarti bahwa variable motivasi belajar berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi akademik siswa. Definisi motivasi belajar menurut Djamarah (2002) adalah suatu perubahan tingkah laku dalam diri seseorang yang menimbulkan proses belajar individu yang berinteraksi langsung dengan objek belajar. Dari penjelasan tersebut, Nampak pula adanya pengaruh yang signifikan antara motivasi belajar seseorang terhadap prestasi akademik seseorang, oleh sebab itu maka upaya peningkatan prestasi akademik seseorang tidak bisa lepas dari upaya peningkatan motivasi belajarnya. SIMPULAN

Penulisan ini menunjukkan bahwa ketiga hipotesis ini diterima, artinya ada pengaruh secara signifikan dari tingkat intelegensi dan motivasi belajar baik secara parsial maupun bersama terhadap prestasi akademik. Berdasarkan paparan di atas, diperoleh bahwa secara parsial intelegensi dan motivasi belajar berpengaruh sangat nyata terhadap prestasi akademik. Hal ini dibuktikan dari t hitung masing-masing sebesar 2,305 dan 3,703, dengan tingkat signifikansi 0,022 dan 0,000. Dari hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh koefisien regresi dari intelegensi sebesar 0,025 dan motivasi belajar sebesar 0,080. Hal ini menunjukkan apabila salah satu variable dalam keadaan konstan, maka motivasi belajar akan berpengaruh lebih besar pada prestasi akademik seseorang.

Hasil analisis data juga menunjukan nilai standardized sebesar 0,266 untuk motivasi belajar. Hal ini berarti bahwa motivasi belajar memberikan kontribusi sebesar 26,6% terhadap prestasi akademik. Sedangkan nilai standardized untuk intelegensi sebesar 0,166, yang berarti bahwa intelegensi memberikan kontribusi sebesar 16,6% terhadap prestasi akademik.

Tetty Ariyani Nasution Pengaruh Intelegensi Pada Motivasi Belajar Akademik Siswa MAS YPI Batang Kuis

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 124

Berdasarkan analisis data, juga diperoleh nilai F sebesar 9,018 dengan tingkat signifikansi 0,000 (p < 0,01). Hal ini berarti bahwa intelegensi dan motivasi belajar berpengaruh terhadap prestasi akademik. Selain nilai F, diperoleh juga nilai R square sebesar 0,093, yang berarti bahwa 9,3% prestasi akademik dipengaruhi oleh intelegensi dan motivasi belajar, sedangkan sisanya sebesar 90,7% dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. SARAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka saran yang dapat dianjurkan adalah sebagai berikut : 1. Bagi Siswa-siswi MAS Islamiyah YPI

Batangkuis Melihat motivasi belajar memiliki

pengaruh yang sangat signifikan terhadap prestasi akademik, disarankan kepada siswa-siswi untuk lebih meningkatkan motivasi belajarnya melalui berbagai cara, antara lain menyukai tiap mata pelajaran yang disajikan, memiliki keinginan untuk memperoleh pengetahuan dan lain-lain. 2. Bagi Sekolah dan Guru

Berdasarkan penulisan ini, diketahui bahwa motivasi belajar memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap prestasi akademik, untuk itu fokus terhadap peningkatan motivasi belajar siswa merupakan usaha yang paling sesuai untuk meningkatkan dan atau mempertahankan prestasi akademik siswa di MAS Islamiyah YPI Batangkuis 3. Bagi penulisan dan Penelitian

Selanjutnya a. Dari hasil penelitian diketahui bahwa

terdapat faktor-faktor lain yang menentukan prestasi akademik seseorang, seperti penglihatan, pendengaran, minat, bakat, sikap, kesehatan mental, kondisi tempat belajar, sarana dan perlengkapan belajar, materi pelajaran, kondisi lingkungan belajar, dukungan sosial serta pengaruh budaya. Dengan demikian dinilai perlu untuk disarankan kepada penelitian selanjutnya untuk meneliti faktorfaktor lain yang mempengaruhi prestasi akademik.

b. Penelitian ini menggunakan teknik analisi regresi berganda untuk meneliti dua faktor yang mempengaruhi prestasi akademik seseorang. Disarankan untuk penelitian selanjutnya untuk meneliti lebih dari dua fakor yang

mempengruhi prestasi belajar sehingga akan bisa dilihat besarnya pengaruh faktor-faktor lain pada prestasi akademik seseorang.

c. Penelitian ini menggunakan subjek penelitian dari SMA Negeri 11 Ambon, yang termasuk salah satu sekolah unggulan di Jakarta, sehingga intelegensi dan motivasi belajar siswanya terkontrol. Disarankan bagi penelitian selanjutnya untuk meneliti sekolah atau kelompok subjek yang umum.

DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, A., & Supriyono, W.

(2004). Psikologi belajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Azwar, S. (2002). Tes prestasi: Fungsi

pengembangan pengukuran prestasi belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2004). Pengantar psikologi

intelegensi. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Cattel & Cattel. (2006). Manual CFIT

Skala 3A/B. Urusan Reproduksidan Distribusi Alat Tes Psikologi (URDAT) Fakultas PsikologiUniversitas Indonesia.

Dalyono, M. (1997). Psikologi

pendidikan. Jakarta: PT RinekaCipta.

Djamarah, S.B. (2002). Psikologi belajar.

Jakarta: PT Rineka Cipta. Ekowati. (2006). Kontribusi intelegensi

dan kemandirian belajar terhadap hasil belajar pendidikan kewarganegaraan dan sejarah. Samarinda, Kalimantan Timur.http://www.geocities.com/guruvalah/ hasil-belajar.pdf.

Heru Basuki, A.M. (2005). Kreativitas,

keberbakatan intelektual dan faktor-faktor pendukung dalam pengembangannya. Jakarta: Gunadarma.

Malik, L.R. (2002). Sumbangan

intelegensi, motivasi berprestasi dan partisipasi siswa dalam kelompok ilmiah remaja terhadap prestasi belajar siswa remaja

Tetty Ariyani Nasution Pengaruh Intelegensi Pada Motivasi Belajar Akademik Siswa MAS YPI Batang Kuis

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 125

(Penelitian pada siswa SMUN di wilayah Jakarta Timur). Tesis (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Purnomowati, R. (2006). Pengaruh

disiplin dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar siswa kelas X SMK Teuku Umar Semarang tahun ajaran 2005/2006. Semarang: JurusanAkuntansi Fakultas EkonomiUniversitas Negeri Semarang.http://digilib.unnes.ac.id/.

Purwanto, N. (1990). Psikologi

pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 126

ANALISIS SARANA RETORIKA DALAM STAND UP COMEDY RADITYA DIKA

Intan Novita Dikbind PPs Universitas Negeri Medan

[email protected]

Abstrak. Penelitian yang berjudul “Analisis Sarana Retorika dalam Stand Up Comedy Raditya Dika”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sarana retorika yang berfokus pada penyiasatan struktur yang terdapat pada stand up comedy Raditya Dika. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif kualitatif . Data penelitian ini adalah data kata atau ungkapan dalam stand up comedy Raditya Dika. Data yang terkumpul diperoleh melalui teknik dokumentasi.Semua data yang diperoleh ditulis untuk memudahkan penulis menganalisis data.Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan kata atau ungkapan yang didasari pada teori bentuk-bentuk sarana retorika berupa penyiasatan struktur.Data yang dianalisis diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan bentuk atau jenis penyiasatan struktur (sarana retorika). Hasil penelitian ini, terdapat 8 bentuk penyiasatan struktur dalam stand up comedy Raditya Dika yaitu, (1) repetisi, (2) anafora, (3) polisidenton, (4) asidenton, (5) antitesis, (6) klimaks, (7) antiklimaks, (8) pertanyaan retoris, akan tetapi, (1) paralisme dan (2) aliterasi tidak terdapat dalam penelitian ini. Kata Kunci : retorika, sarana retorika, penyiasatan struktur Abstract. This study, entitled “ TheAnalysis of the Rhetoric Means in Raditya Dika’s Stand-Up Comedy”. This study was aimed to describe the means of rhetoric that focused on work around the structure found on stand-up comedy Raditya Dika. The method used in this study was descriptive qualitative. This research data was data word or phrase in Raditya Dika’s stand-up comedy. . The research data was obtained from documentation technique. All the data obtained was written to facilitate the author in analyzing the data. The data was analyzed and classified into several groups according to the form or the type of rhetoric means. In the result of this study, there are 8 forms of rhetoric means in raditya dika's stand-up comedy, namely, (1) the repetition, (2) anaphora, (3) polisidenton, (4) asidenton, (5) antithesis, (6) climax, (7) anticlimax, (8) the rhetorical question, however, (1) paralisme and (2) the alliteration is not included in this study

Key Words : Rhetoric, the means of rhetoric, work around the structure PENDAHULUAN

Keterampilan berbicara ialah salah satu keterampilan berbahasa secara lisan yang bersifat produktif.Keterampilan berbicara sangat dibutuhkan ketika seseorang sedang berbicara didepan umum, acara formal maupun berkomunikasi.Berbicara merupakan salah satu jenis komunikasi, selain komunikasi tertulis.Dalam komunikasi lisan syarat mutlak yang harus ada adalah adanya komunikator (pembicara) dan komunikan (lawan bicara). Antara komunikator dan komunikan akan terbangun komunikasi efektif apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator bisa dipahami oleh komunikan sehingga akan terjadi imbal wicara ketika sudah terjadi interaksi komunikasi. Salah satu yang memiliki ilmu keterampilan berbicara ialah retorika.

Abidin (2013:7) retorika adalah seni berkomunikasi secara lisan, yang dilakukan oleh seseorang kepada sejumlah orang secara langsung dengan bertatap muka. Setiap orang tentu memanfaatkan retorika menurut kemampuannya masing-masing. Ada berbagai cara memanfaatkan retorika ini dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini sangat ditentukan oleh lingkungan, masalah, profesi, dan lain-lain. Dalam kehidupan sehari-hari orang memanfaatkan retorika ini secara spontan. Pembicara tidak begitu perlu memilih materi bahasa, memakai ulasan, dan memakai gaya tutur yang terencana. Untuk menunjang keberhasilan berbicara perlunya sarana retorika.

Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran. Dengan muslihat itu para penyair berusaha menarik perhatian, pikiran, hingga

Intan Novita Analisis Sarana Retorika Dalam Stand Up Comedy Raditya Dika

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 127

pembaca berkontemplasi atas apa yang dikemukakan oleh penyair. Pada umumnya saran retorika ini menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca harus memikirkan efek yang ditimbulkan atau yang dimaksudkan oleh penyairnya (Pradopo, 2005: 93-94).

Keterampilan berbicara yang memakai sarana retorika yaitu stand up comedy. Stand up comedy sekarang menjadi buah bibir dikalangan masyarakat. Semakin berkembangnya dunia stand up comedy sangat mudah untuk masuk dan berkembangnya di Indonesia. Jika menarik suatu gaya bahasa bicara seseorang dalam stand up comedy, semakin cepat pula orang menerima apa yang ia bicarakan. Sehingga akan menimbulkan kesan yang menarik, inspiratif, dan kreatif bagi pendengarnya.

Salah satunya Raditya Dika, ia bukan hanya sebagai penulis buku-buku humoris dan jenaka. Pemilik nama lengkap Dika Angkasaputra Moerwani lahir pada tanggal 28 Desember 1984 di Jakarta. Pria yang lahir di Jakarta tersebut lebih akrab dengan sebutan Raditya Dika. Di Indonesia Raditya Dika lebih dikenal sebagai penulis buku-buku jenaka.Raditya Dika juga memiliki bakat sebagai comic stand up comedy saat ini. Sekarang ia juga menjadi seorang yang sangat berpengaruh di bidang stand up comedy Indonesia.

Alasan peneliti pada penelitian dengan judul ini, peneliti merasa tertarik dalam sarana retorika pada stand up comedy. Dengan adanya sarana retorika maka, didalam berbicara akan menarik untuk didengar oleh para penikmatnya. Peneliti merasa tertarik pada stand up comedy, alasannya sekarang stand up comedy menjadi buah bibir dikalangan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, adanya dorongan terhadap penonton untuk melihat atau menonton stand up comedy.

Rumusan masalah dalam penelitian ini ialah secara teori sarana retorika meliputi gaya bahasa, penyiasatan struktur, dan nonkebahasaan. Berdasarkan data studi awal, data gaya bahasa dan nonkebahasaan tidak dominan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti mengkaji sarana retorika (penyiasatan struktur) apa saja yang terdapat dalam stand up comedy Raditya Dika?. Berdasarkan rumusan masalah yang dibicarakan, tujuan penelitian ini adalah

untuk mendeskripsikan penyiasatan struktur yang terdapat dalam stand up comedy Raditya Dika. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti, mahasiswa dan masyarakat umum. Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi mahasiswa dan menambah pengetahuan dan referensi mengenai sarana retorika dalam stand up comedy.Secara praktis penelitian ini bermanfaat sebagai referensi bagi orang yang mempunyai bakat sebagai comic stand up comedy.

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini ialah Untuk mempermudahkan suatu penelitian perlu dibuat kerangka pemikiran atau konsep tujuan arah penelitian menjadi jelas.Retorika sangat berperan penting dalam kegiatan berbicara. Salah satu yang mengandung ilmu retorika yaitu stand up comedy. Sekarang stand up comedy menjadi buah bibir di dunia khususnya dikalangan masyarakat Indonesia. Sarana retorika tidak hanya terdapat pada pidato, khotbah, dan novel, stand up comedy juga harus mempunyai sarana retorika yang bagus dan menarik. Seseorang yang melakukan kegiatan stand up comedy disebut comic. Salah satu comic yang berpengaruh dalam bidang stand up comedy di Indonesia ialah Raditya Dika. Dalam stand up comedy, comic tidak bisa asal berbicara di depan penonton, stand up comedy haruslah mempunyai keterampilan retorika yang baik. Maka dari itu, seorang comic harus ada seni keterampilan berbicara yang biasa disebut retorika.

Definisi istilah yang terdapat dalam penelitian ini ialah Keraf (20015:1) juga berpendapat retorika adalah suatu istilah yang secara tradisonal diberikan pada suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik.Stand up comedy adalah sebuah bentuk pertunjukkan seni komedi. Biasanya, seorang komedian tampil didepan para penonton dan berbicara langsung kepada mereka.Penampilan para komedian kadang-kadang di filmkan yang kemudian nantinya dirilis dalam bentuk DVD, melalui internet ataupun televisi (Papana 2012: 4). METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunnakan pendekatan kualitatif.Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

Intan Novita Analisis Sarana Retorika Dalam Stand Up Comedy Raditya Dika

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 128

metode deskriptif kualitatif. Djajasudarma (1993: 8) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat menggambarkan, melukiskan, atau memaparkan secara sistematis, akurat, dan faktual mengenai data, sifat serta berhubungan fenomena yang teliti. Melalui penelitian ini, penulis bertujuan menggambarkan secara tepat segala bentuk yang ada di sarana retorika yang berfokus pada penyiasatan struktur dalam stand up comedy yang dibawakan oleh Raditya Dika. Selain itu, metode deskriptif merupakan gambaran ciri-ciri data secara akurat sesuai dengan sifat alamiah data itu sendiri (Djajasudarma, 1993: 16).Penelitian ini yang menjadi sumber data adalah data atau ungkapan dari tayangan video stand up comedy yang dibawakan oleh Raditya Dika. Video stand up comedy diperoleh dari sumber Youtobe kemudian di-download.Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ialah teknik dokumentasi.Syamsuddin (2009: 108) mengemukakan teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber nonmanusia.

Kasiram (2008: 128), ia menjelaskan bahwa tujuan analisis data adalah untuk merangkum data dalam bentuk yang mudah dipahami dan mudah ditafsirkan, sehingga hubungan antara masalah penelitian dapat dipelajari dan diuji. Berkenaan dengan penelitian ini, langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penganalisisan data adalah sebagai berikut: (1) Seleksi data: langkah ini dilakukan

untuk memilih data-data kata atau ungkapan yang mengandung sarana retorika yang berupa penyiasatan struktur. Data yang telah dikumpulkan, ditulis, dan dibaca berulang-ulang kemudian diseleksi keseluruhannya.

(2) Pengelompokan data: data yang telah terkumpul kemudian dikelompokkan sesuai dengan masalah yang diteliti. Data tersebut kemudian disusun dan dianalisis sehingga diperoleh hasil data yang berkaitan dengan sarana retorika.

(3) Analisis data: data yang telah dikelompokkan kemudian dianalisis maknanya sesuai dengan sarana retorika yang berupa penyiasatan struktur pada stand up comedy Raditya Dika.

(4) Penyajian data: data-data yang telah dikelompokkan dan dianalisis kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif.

(5) Menarik kesimpulan: semua data yang sudah dianalisis dan dideskriptifkan kemudian disimpulkan hasilnya.

HASIL PENELITIAN Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan, jenis penyiasatan struktur yang berupa repetisi yang terdapat dalam tiga video stand up comedy Raditya Dika adalah sebanyak seratus lima puluh dua data.

Data (1) Indera penglihatan, lo kalau jomblo jalan ke mall, ada cewek cantik lewat lo bisa ngeliatin. Sebagaimana disebutkan dalam teori, repetisi merupakan gaya bahasa dengan pengulangan kata-kata yang menampilkan pengulangan kata atau kelompok kata yang sama. Pada video 1 terdapat sembilan data. Masing-masing data merupakan repetisi karena terdapat salah satu kata yang diulang-ulang. Kata yang diulang pada tiap-tiap data adalah kata lo. Kata lopada setiap data diulang lebih dari satu kali. Fungsi pengulangan kata lo pada data tersebut adalah untuk memberi penekanan dan penegasan. Oleh sebab itu, sembilan data tersebut merupakan data yang berupa repetisi. Anafora

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, jenis penyiasatan struktur yang berupa anafora yang terdapat dalam tiga video stand up comedy Raditya Dika adalah sebanyak Sembilan data. Berikut uraian dan deskripsinya setiap data tersebut. Data (1) Dan kadang-kadang, mereka tahu kalau lo gak dengarinseksama, gua gak tahu, feeling dari mana sih, gua gak tahu deh. Kadang-kadang kalau cewekgua lagi ngobrol nye..nye..nye..nye… gitukan lagi berdua nye…nye..nye masakkan, gua liatin muka dia sambil bernyanyi Indonesia Raya dikepala gua “Indonesia tanah airku, tanah muda dan darah ku, hiduplah darahku”.

Data (1) merupakan penyiasatan struktur yang berupa anafora. Hal ini didasari oleh teori yang menjelaskan bahwa anafora merupakan pengulangan (kata-kata) pada awal beberapa kalimat yang berurutan, paling tidak dalam dua buah kalimat. Merujuk pada teori, data (1) adalah ciri anafora. Pada data tersebut

Intan Novita Analisis Sarana Retorika Dalam Stand Up Comedy Raditya Dika

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 129

terdapat pengulangan kata yaitu, kadang-kadang. Kata kadang-kadang muncul sebnayak dua kali. Keberadaan kata kadang-kadang berfungsi untuk mermberi penekanan. Berdasarkan hal itu, dapat disimpulkan bahwa data (1) adalah anafora Polisidenton

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, jenias penyiasatan struktur yang berupa polisidenton yang terdapat dalam tiga video stand up comedy Raditya Dika sebanyak sebelas data. Berikut ini uraian dan deskripsi setiap data tersebut. Data (1) Kita (cowok) gak ada yang peduli, gak ada yang peduli, kita cuman gak ada yang berani ngomong aja, kita tu gak ada yang peduli “ii sumpah tadi di kampus, dia tu kesel baget deh, dia tu masak bajunya sama” bodoh amat, kita gak ada peduli. Data (1) merupakan penyiasatan struktur yang berupa polisidenton. Hal ini sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa polisidenton adalah beberapa kata, atau klausa yang berurutan yang dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung. Polisidenton juga merupakan pengulangan berupa penggunaan kata tugas. Merujuk kepada teori, data (1) memiliki ciri polisidenton. Pada data tersebut terdapat kelompok kata yang berurutan yang dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata tugas. Adapun penggunaan kata tugas tersebut terdapat pada kata setelah gak ada, gak ada, gak ada, dan gak ada. Dengan demikian, data (1) merupakan polisidenton. Asidenton

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, jenis penyiasatan struktur berupa asidenton yang hanya terdapat dalam data video 2 stand up comedy Raditya Dika adalah sebanyak dua data. Berikut ini uraian dan deskripsi setiap data tersebut. Data (1) Ada yang dekat sini hantu jeruk perut, mungkin nanti ada hantu jeruk mandarin, hantu kentayangan jualan jeruk, “bang lima ribulah bang, anak istri belum makanlah bang” hantu juga manusia.

Data (1) merupakan penyiasatan struktur yang berupa asidenton.Hal ini sesuai dengan teori menjelaskan bahwa asidenton adalah penghilangan konjungsi dalam frasa, klausa, atau kalimat, serta pungtuasi yang berupa tanda (,).Merujuk pada teori, data (1) memiliki ciri

asidenton.Pada data tersebut tidak didapati konjungsi, tetapi didapati penggunaan pungtuasi, yaitu tanda koma (,).Adapun penggunaan tanda koma (,) tersebut terdapat pada kata setelah mandarin, dan jeruk.Dengan demikian, data (1) merupakan asidenton. Antitensis

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, jenis penyiasatan struktur berupa antitensis yang hanya terdapat dalam data video 2 stand up comedy Raditya Dika adalah sebanyak satu data. Berikut ini uraian dan deskripsi setiap data tersebut. Data (1) Dia pakek baju jukensi dan bulu keteknya merambat demi Tuhan teman-teman, itu bulu ketekyang terindah yang pernah saya liat, dari kejauhan kayak kipas hitam tau gak, kalau ketemu angin pasti kelepek-kelepek (sambil mengipas-gipaskan tangan dibawah ketiak) “turunin saya mas, turunin saya mas”.

Data (1) merupakan penyiasatan struktur yang berupa antitesis.Hal tersebut sesuai dengan yang disebutkan dalam teori bahwa antitesis merupakan gagasan-gagasan yang bertentangan.Merujuk kepada teori, data (1) memiliki ciri antitesis.Pada data tersebut terdapat pengungkapan gagasan yang bertentangan.Gagasan yang bertentangan, yaitu antara dari kejauhan kayak kipas hitam tau gak, kalau ketemu angin pasti kelepek-kelepek (sambil mengipas-gipaskan tangan dibawah ketiak) “turunin saya mas, turunin saya mas”.Gagasan yang terdapat pada data tersebut mempertentangkan antara Dia pakek baju jukensi dan bulu keteknya merambat demi Tuhan teman-teman, itu bulu ketek yang terindah yang pernah saya liat, tetapi dari kejauhan kayak kipas hitam tau gak, kalau ketemu angin pasti kelepek-kelepek (sambil mengipas-gipaskan tangan dibawah ketia

k) “turunin saya mas, turunin saya mas”. Klimaks

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, jenis penyiasatan struktur berupa klimaks yang hanya terdapat dalam video pertama dan kedua stand up comedy Raditya Dika adalah sebanyak enam data. Berikut ini uraian dan deskripsi setiap data tersebut.

Data (1) Pacar gua ni pernah cobain masak ni, ngikutin dari youtobe, di tengah-

Intan Novita Analisis Sarana Retorika Dalam Stand Up Comedy Raditya Dika

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 130

tengah masak laptopnya mati, jadi itu masaknya itu 15 menit, di menit ketiga laptopnya mati dan dia itu impropisasi.

Data (1) merupakan penyiasatan struktur yang berupa klimaks. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam teori bahwa klimaks mengungkapkan dan menekankan gagasan dengan cara menampilkannya secara berurutan penyampaiannya itu semakin meningkatnya kadar pentingnya gagasan itu adalah Pacar gua ni pernah cobain masak ni, ngikutin dari youtobe, kemudian di tengah-tengah masak laptopnya mati, dan selanjutnya diikuti jadi itu masaknya itu 15 menit, dimenit ketiga laptopnya mati dan dia itu impropisasi.Rangkaian pengungkapan pada data (1) berfungsi membentuk suatu klimaks.Berdasarkan hal itu, dapat disimpulkan bahwa data (1) merupakan klimaks. Antiklimaks

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, jenis penyiasatan struktur berupa klimaks yang hanya terdapat dalam data video 3 stand up comedy Raditya Dika adalah sebanyak dua data. Berikut ini uraian dan deskripsi setiap data tersebut.

Data (1) Tadi gue di kantin, ada cowok sok-sok suapan sama ceweknya “uwek” geli, suapan-suapan sama cewek “sayang-sayang ak sayang” cowoknya minta “sayang-sayang aku juga dong” gua dateng, gua colokin kedalam matanya, lo udah tau perasaan gue, gue siapa yang nyuapin?, tidak mempunyai toleransi dalam berasmara, kasihan orang kayak gue, fakir-fakir asmara, fakir asmara tapi bukan pengemis cinta.

Data (1) merupakan penyiasatan struktur yang berupa antiklimaks.Hal tersebut sesuai dengan yang disebutkan dalam teori bahwa antiklimaks merupakan sebagai suatu acuan yang gagasan-gagasan diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting atau semakin mengendur.Merujuk kepada teori, data (1) memiliki ciri antiklimaks. Pada data tersebut terdapat pengungkapan suatu hal, kejadian, atau keadaan yang kurang penting adalah Tadi gue di kantin, ada cowok sok-sok suapan sama ceweknya “uwek” geli, suapan-suapan sama cewek “sayang-sayang ak sayang” cowoknya minta “sayang-sayang aku juga dong”, dan diikuti dengan gua dateng, gua colokin kedalam matanya, lo udah tau

perasaan gue, gue siapa yang nyuapin?, tidak mempunyai toleransi dalam berasmara, kasihan orang kayak gue, fakir-fakir asmara, fakir asmara tapi bukan pengemis cinta. Pernyataan-pernyataan pada data (1) yang sangat penting yaitu fakir asmara tapi bukan pengemis cinta. Berdasarkan hal itu, dapat disimpulkan bahwa data (1) merupakan antiklimaks. Pertanyaan Retoris

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, jenis penyiasatan struktur berupa klimaks yang terdapat dalam video stand up comedy Raditya Dika adalah sebanyak empat belas data. Berikut ini uraian dan deskripsi setiap data tersebut.

Data (1) Ii teman aku sekarang berubah, aduh dosen aku nyeselin” bodoh!, kuping gua udah panas baget tahu gak?.

Data (1) merupakan penyiasatan struktur yang berupa pertanyaan retoris. Hal ini sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa pertanyaan retoris adalah pengungkapan dengan menampilkan semacam pertanyaan yang sebenarnya tidak menghendaki pertanyaan retoris. Hal tersebut dapat dilihat pada data Ii teman aku sekarang berubah, aduh dosen aku nyeselin” bodoh!, kuping gua udah panas baget tahu gak?. Dalam sumber data, video stand up comedy Raditya Dika, pertanyaan tersebut tidak menghendaki jawaban. Selain itu, dalam sumber data tidak didapati jawaban dari pertanyaan tersebut. Dengan demikian, data (1) merupakan pertanyaan retoris. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa dalam stand up comedy Raditya Dika terdapat sarana retorika. Merujuk pada rumusan masalah penelitian, bentuk sarana retorika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penyiasatan struktur. Bentuk penyiasatan struktur yang terdapat pada stand up comedy Raditya Dika ada 8 bentuk meliputi, repetisi, anafora, polisidenton, asidenton, antitesis, klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris. Data repetisi terdiri dari 152, anafora 9, polisidenton 11, asidenton 2, antitesis 1, klimaks 6, antiklimaks 2, dan pertanyaan retoris 14 data. Jadi jumlah data secara keseluruhan adalah 197 data. Data tersebut diambil

Intan Novita Analisis Sarana Retorika Dalam Stand Up Comedy Raditya Dika

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 131

dari 3 buah tayangan stand up comedy Raditya Dika. Dengan judul eksploitasi hantu-hantu di Indonesia, cewek menguasai indera, dan di putusin pacar. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian terhadap stand up comedy Raditya Dika, penulis menyarankan beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan, yaitu sebagai berikut. (1) Stand up comedy merupakan bentuk

dari seni komedi atau melawak yang disampaikan secara monolog kepada penonton. Dalam stand up comedy terdapat bentuk-bentuk sarana retorika. Untuk memahami bentuk-bentuk sarana retorika yang terdapat dalam stand up comedy di sarankan kepada tenaga pendidik untuk mengajarkan peserta didik tentang sarana retorika dan bagi mahasiswa bisa mempelajari retorika dengan baik dan benar. Karena retorika termasuk kedalam Bahasa dan Sastra Indonesia

(2) Bagi mahasiswa, stand up comedy juga harus di pelajari, dengan mempunyai kemampuan tersebut. Mahasiswa bisa menjadi seorang yang berprofesi comic. Jelas, dengan menjadi seorang comic maka akan menghasilkan penghasilan.

(3) Selanjutnya, penulis menyarankan adanya penelitian serupa yang mengkaji bentuk-bentuk sarana retorika dalam objek lainnya. Dengan banyaknya penelitian yang meneliti analisis sarana retorika, maka akan mudah referensi yang didapatkan bagi pembaca.

DAFTAR PUSTAKA Abidin, Yusuf Zainal. 2013. Pengantar

Retorika. Bandung: Pustaka Setia. Alek. 2011. Bahasa Indonesia untuk

Perguruan Tinggi. Cetakan Kedua. Jakarta: Kencana.

Arsjad. Dra. Maidar G. dkk. 1988.

Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Chaer, Abdul. 2007. Kajian Bahasa;

Stuktur Internal, Pemakain, dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Dean. Greg. 2012. Step By Step To Stand Up Comedy. Jakarta: Redaksi.

Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode

Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco.

Japandi, Adam. 2015. Public Speaking-

dan-Stand-Up-Comedy. Http://www Wordpress. Diakses pada tanggal 02 September.

Kasiram, M. 2008. Metode Penelitian.

Malang: UIN Malang Press. Keraf, Gorys. 2005. Diksi dan Gaya

Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Moleong, Lexy. 2007. Metodologi

Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nugiyantoro, Burhan. 2002. Teori

Pengkajian Fiksi. Yogjakarta: Penerbit Gadjah Mada Universitas Press.

……………………… 2014. Teori

Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Papana, Ramon. 2012. Kiat Tahap Awal

Belajar Stand Up Comedy Indonesia (KITAB SUCI). Jakarta: Penerbit mediakita.

Permendiknas. 2009. EYD Terbaru. Yogyakarta: Pustaka Timur

Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajia Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Purba, Antilan. 2009. Stilistika Sastra Indonesia. Medan: USU Press.

Rakmat, Jalaluddin.2007. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

…………………………… 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Intan Novita Analisis Sarana Retorika Dalam Stand Up Comedy Raditya Dika

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 132

Soediro Satoto. 2012. Stilistika. Yogyakarta: Penerbit Ombak (anggota IKAPI).

Sudaryat, Yayat. 2008. Makna Dalam Wacana. Bandung: CV. Yrama Widya.

Syamsuddin dan Vismaia. 2009. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.

Tarigan, Henry Guntur. 1981. Berbicara Sebagai Suatu Keterampiulan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Waridah, Ernawati. 2014. Kumpulan Majas, Pantun, dan Peribahasa Plus Kesusastraan Indonesia. Jakarta: Ruang Kata Imprint Kawan Pustaka.

Http://www. acamedia. edu/ 154989/ Sejarah Awal Berdirinya Stand Up Comedy Di Dunia. Di akses pada tanggal 22 September 2016.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 133

ANALISIS CERPEN MARYAM KARYA AFRION DENGAN PENDEKATAN EKSPRESIF

Sisi Rosida

FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran ekspresi pengarang dan proses kreatif pengarang dalam menciptakan cerpen Maryam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yakni dokumentasi dan wawancara. Teknik analisis data dengan membaca secara berulang-ulang, mengumpulkan data dari isi cerita yang behubungan dengan gambaran ekspresi pengarang, melakukan penelaahan data dan menggarisbawahi isi cerita, dialog, dan perilaku tokoh berkenaan dengan gambaran ekspresi pengarang, mendeskripsikan ekspresi pengarang pada tokoh, mengumpulkan data proses kreatif (melakukan wawancara dengan pengarang), dan menarik kesimpulan dari hasil penelitian. Hasil penelitian ini adanya gambaran ekspresi pengarang dalam bentuk takut, marah, sedih, gelisah, bingung, jengkel, tak peduli, sabar, dan cinta/kasih sayang. Perasaan ini dialami sang tokoh saat ditinggal suami. Temuan proses kreatif dalam cerpen ini yakni proses kelahiran cerpen Maryam terinspirasi dari pengalaman penulis melihat sosok perempuan bekerja sendirian di tengah perkebunan karet PTP III di Desa Gunung Malintang (Koto Baru). Kemudian pengarang menulis cerpen Maryam dengan menyesuaikan wilayah kehidupan dan adat budaya masyarakat Minang. Kata Kunci: analisis, cerpen, ekspresif

Abstract. This study aims to describe the author's expression and the creative process of the author in creating Maryam's short stories. The method used in this research is descriptive method, namely documentation and interviews. The technique of analyzing data by repetitively reading, collecting data from the contents of the story that relates to the author's expressions, analyzing data and highlighting the contents of the story, dialogue, and character behavior with regard to the author's expression, describing the author's expression to the characters, collecting process data creative (conducting interviews with authors), and drawing conclusions from the results of research. The results of this study are descriptions of author expressions in the form of fear, anger, sadness, anxiety, confusion, annoyance, indifference, patience, and love / affection. This feeling is experienced by the character when the husband left. The findings of the creative process in this short story, namely the birth process of Maryam's short story, were inspired by the author's experience of seeing women working alone in the middle of PTP III rubber plantations in the Gunung Malintang Village (New Koto). Then the author wrote Maryam's short story by adjusting the area of life and cultural customs of the Minang community. Keywords: analysis, short story, expressive

PENDAHULUAN Karya sastra merupakan sebuah

hasil dari daya cipta seseorang yang mengandung nilai seni dan estetik yang tinggi. Sebuah karya sastra akan terkesan luar biasa jika dapat menarik pembaca, bahkan membawa pembaca masuk ke dalam fiksi. Namun, dibalik semua itu tentu tidak terlepas dari pengarang yang telah memunculkan ide dalam suatu karya sastra. Suatu pencapaian dalam penciptaan karya sastra, seorang pengarang tidak menciptakannya secara asal-asalan, melainkan membutuhkan usaha yang keras dari proses kreatif, sehingga

menghasilkan sebuah karya yang berkualitas.

Karya sastra tidak akan hadir jika tidak ada yang menciptakannya, sehingga karya sastra sangat penting kedudukannya. Posisi pengarang dengan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, presepsi dan perasaan yang dikombinasikan dalam karya sastra. Hal ini sebagai tujuan dari imaji kecocokan penglihatan mata batin/keadaan pikiran pengarang.

Menurut Abrams (dalam Siswanto, 2011:186) komunikasi antara sastrawan dan pembaca menyangkut beberapa situasi yang menyangkut empat hal: (1) karya sastra (work), (2) sastrawan (artist), (3)

Sisi Rosida Analisis Cerpen Maryam Karya Afrion dengan Pendekatan Ekspresif

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 134

semesta (universe), (4) pembaca (audience). Dari keempat hal itu, karya sastra, sastrawan, semesta, dan pembaca terdapat pendekatan dalam kajian sastra. Pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan pada karya sastra disebut pendekatan objektif (objektif chritism), pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan pada penulis disebut pendekatan ekspresif (expressive chritism), pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan pada pembaca disebut pendekatan pragmatik (pragmatic chritism), dan pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan pada alam semesta disebut pendekatan mimetik (mimetic chritism).

Berdasarkan pengamatan saat berdiskusi sastra dan membaca teks-teks sastra, banyak yang beranggapan bahwa cerpen hanya perlu dipahami dan dinikmati dari segi teks sastra. Namun, karya perlu dikaji lebih dalam antara teks sastra dan pengarangnya. Hal ini penting guna mengetahui munculnya sebuah ide hingga tujuan pengarang mengekspresikan keadaan pemikirannya. Dalam cerpen Maryam Karya Afrion, perlu ditelaah proses kreatif serta cerminan atau pembayangan realitas yang terkandung dalam sebuah teks sastra menggunakan pendekatan ekspresif.

Cerpen Maryam mengisahkan tentang seorang perempuan yang berjuang memperbaiki nasib setelah suaminya meninggal. Perempuan itu bekerja dan memaksakan diri menggantikan posisi suaminya. Angku Gadang (mertuanya) diam-diam menaruh hati dengan menantunya. Ia pun ingin “ganti tikar”. Segala cara ditempuh Angku Gadang untuk menikahi Maryam. Tutur Maryam yang berupaya menolak tak membuat Angku Gadang gentar, ia pun mulai bertindak diluar batas hingga Maryam habis kendali.

Cerpen Maryam Karya Afrion belum pernah diadakan penelitian yang mendalam mengenai proses kreatif dan ekspresi perasaan pengarang yang terdapat dalam teks sastra tersebut. Oleh karena itu, penulis ingin meneliti lebih jauh tentang proses kreatif dan ekspresi perasaan pengarang yang terdapat dalam Cerpen Maryam karya Afrion.

Kajian ini menunjukkan keunikan tidak hanya pada diksi, tetapi juga konflik dialog antartokoh. Pada proses penciptaan, imitasi, serta ekspresi perasaan pengarang

tataran yang terdapat dalam Cerpen Maryam Karya Afrion yang menjadi permasalahan yang diteliti lebih lanjut dengan menggunakan pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra. Pendekatan ini menekankan kepada pengarang dalam pengungkapkan atau mencurahkan segala pikiran, perasaan, dan pengalaman pengarang ketika melakukan proses penciptaan karya sastra. Dalam hal ini mengkaji proses kreatif pengarang dalam penciptaan berdasarkan subjektifitas sampai daya kontemplasi pengarang dalam proses kreatifnya, sehingga menghasilkan sebuah karya yang baik dan sarat makna.

Kritik ekspresif mendefinisikan karya sastra sebagai ekspresi, curahan perasaan, atau produk imajinasi penyair yang bekerja dengan pikiran maupun perasaan. Kritik ekspresif cenderung menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau kecocokan vision pribadi penyair atau keadaan pikiran. Pendekatan ini mencari dalam karya sastra fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman penulis secara sadar ataupun tidak, telah membukakan dirinya dalam karyanya. METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini adalah penelitian pustaka (library reserch). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pendekatan ekspresif mengupas proses kreatif dan ekspresi pengarang dalam Cerpen Maryam karya Afrion. Metode ini didasarkan atas pertimbangan akan adanya kesesuaian antara bentuk dan tujuan penulis. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode dokumentasi dengan instrumen pedoman dokumentasi dan metode wawancara dengan instrumen pedoman wawancara. Metode dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data ekspresi pengarang, sedangkan metode wawancara digunakan untuk mengumpulkan data proses kreatif. Dalam menganalisis data, penulis melakukan langkah-langkah (1) membaca secara berulang-ulang dengan cermat, menghayati, dan memahami cerpen Maryam karya Afrion. (2) Mengumpulkan data dari isi cerita cerpen yang berhubungan dengan proses kreatif

Sisi Rosida Analisis Cerpen Maryam Karya Afrion dengan Pendekatan Ekspresif

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 135

pengarang dan gambaran ekspresi pengarang dalam cerpen Maryam. (3) Melakukan penelaah data dan menggaris bawahi kata dalam isi cerita, dialog, dan perilaku tokoh yang terdapat gambaran ekspresi pengarang dalam cerpen Maryam. (4) Mendeskripsikan ekspresi pengarang yang terdapat dalam cerpen Maryam karya Afrion. (5) Melakukan wawancara dengan pengarang dan mengumpulkan data proses kreatif yang terdapat pada cerpen Maryam karya Afrion. (6) Menarik kesimpulan dari hasil penelitian. Dengan demikian, pembahasan

dalam ini menganalisis Cerpen Maryam karya Afrion yang menitikberatkan ekspresi pengarang dan proses kreatif. HASIL PENELITIAN

Setelah membaca cerpen Maryam karya Afrion. Penulis menganalisis cerpen tersebut dengan pendekatan ekspresif. Dapat dilihat tabel 4.1 di bawah ini gambaran ekspresi, perasaan, atau tempramen pengarang pada saat menciptakan cerpen Maryam. Peneliti menemukan beberapa ekspresi pengarang setelah membaca cerpen Maryam, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Data Ekspresi Pengarang dalam Cerpen Maryam Karya Afrion No Gambaran Ekspresi

Pengarang pada Tokoh Maryam

Data Penelitian Halaman

1. Takut Menggigil tubuh Maryam mendengar perkataan Angku Gadang, apalagi ketika tangan Angku Gadang menyentuh bahunya. Tidak disangkanya, laki-laki yang selama ini menjadi mertua yang ia hormati, bahkan telah dianggapnya seperti orangtua kandungnya sendiri, kini berani terang-terangan mengajaknya untuk kawin.

61

“Malu, Pak!”. “Tidak ada yang melihat! “Ayolah….!” “Ah, jangan!” “Tak ada yang melihat!” “Tolong, Pak! Jangan!” “Ayolah!” “Aku tak mau!”

62

Maryam berusaha menjauh, melompati parit, kemudian pura-pura menyabit rumput di pinggir jalan besar. Dengan demikian, jika Angku Gadang terus mendekatinya atau berniat melakukan sesuatu, ia akan mudah menjerit dan berlari sejauh mungkin ke ladang penduduk kampung terdekat.

62

Gemetar Maryam mendengar ucapan Angku gadang. Sekian detik tubuhnya mengigil, wajah memucat, bagai tak ada darah mengairi urat nadinya. Tenggorkannya seperti dicekik puluhan makhluk.

67

Ada saja yang ia takuti, bila matanya bertumbukan dengan deretan batang pohon karet. Tidak ada kesanggupannya melihat hamparan luas ladang yang dibelah parit kecil, yang di dalamnya mengalir air menuju sungai Batubelah.

67

Dibandingkan dulu ketika suaminya masih hidup, banyak hal yang membuat ia dicekam ketakutan. Setiap kali Suaminya pulang dari menderes getah, ia akan selalu dimarahi, dicurigai, bahkan sering menerima tamparan kalau ia membantah.

65

2. Marah Tubuh perempuan yang berdiri di hadapannya itu, seakan diliputi dendam yang panjang. Sebenarnya kalau tidak karena paksaan orang tua, Maryam tidak mau kawin diusia muda.

65

“Aku tidak mau kawin, Pak!” “Harus Maryam, kau harus mau.” “Tidak!” “Kalau kau tidak mau, kembalikan tanah anakku!” “Tidak, aku tidak mau!”

67

Maryam hampir terjatuh ketika Angku Gadang menarik kedua kakinya, namun secepat itu ia menghujamkan pisau deres hingga melukai wajah lelaki durjana itu.

67

Seterusnya, ketika Angku Gadang mulai nakal, Maryam menggeliat menghentakkan tubuhnya. Maka lepaslah ia dari pelukan laki-laki itu. Menghindar, berlari menjauhi. Angku Gadang mengejar, namun dengan cepat Maryam menarik parang dari

68

Sisi Rosida Analisis Cerpen Maryam Karya Afrion dengan Pendekatan Ekspresif

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 136

pinggangnya. Begitu Angku Gadang mendekat, diayunkannya parang sampai mengenai tangan lelaki itu. Hilang pikiran Maryam, pandangannya gelap.

3. Sedih Bukan main gundah perasaannya, kadang harus berdiam diri seharian di rumah. Hal itu membuat dirinya terkungkung. Maka itu, setiap hari menjelang siang, Maryam pergi ke ladang mengantarkan makanan untuk suami. Sesekali ia ikut menderes getah sambil mengumpulkan kayu bakar untuk di bawa pulang.

65

Tidak terbayang olehnya akan bekerja separuh waktu, seharian mengerjakan ladang, membuka hutan liar dan menanam bibit pohon karet yang baru. Padahal dulu ketika suaminya masih hidup, ia paling hanya sekali ikut. Itupun jika banyak peralatan yang akan dibawa. Kerjanya hanya menyiapkan makanan atau menyelupkan kaki ke parit kecil sambil membersihkan sampah yang menyumbat aliran.

66

4. Gelisah Sekian lama ia menatap tubuh bersimbah darah itu, semakin tak menentu pikirannya. Maryam berteriak sekuat tenaga, memanggil Nek Suti, memanggil orang-orang kampung. Tapi tak satupun orang datang dan mendengar jeritannya. Terus ia berteriak, sampai serak suaranya, sampai ia lemas tak berdaya.

68

5. Bingung Maryam terduduk lemas, bersandar di batang pohon karet. Pikirannya menerawang jauh. Antara perasaan bersalah dan dosanya menghujam parang ke tubuh Angku Gadang, sudah matikah ia?

68

6. Jengkel Kalau bukan karena mertua, sudah diludahinya muka Angku Gadang. Tapi untunglah ia segera sadar, menghadapi laki-laki seperti itu, harus pandai memutar haluan. Tidak melawan juga tidak memberi harapan. Nafsu laki-laki dibendung akan semakin berontak.

63

7. Kasih saying “Aku telah bersumpah, Nek.” “Sumpah apa?” “Sumpah tidak mau kawin lagi.” “Benar kau tidak akan kawin lagi?” “Benar.” “Kenapa?” “Aku lebih tenang sendiri, lebih bebas.” “Kau kan masih muda.” “Kawin tidak menjadikan aku bisa sebebasang ini.” “Sampai kapan?” “Sampai kapan pun.”

64-65

8. Tak Peduli “Jangan sembarangan menerima orang! Apalagi yang namanya laki-laki, tidak baik dilihat tetangga! Laki-laki kalau dikasih hati, makin lama makin melonjak,” ujar Nek Suti menasehati. “Mereka saja yang mata keranjang, Nek,” jawab Maryam datar.

64

“Aku tidak punya anak lagi, Maryam. Aku punya tanah yang banyak dan aku ingin mewariskannya untuk keturunanku, untukmu juga.” “Masih banyak perempuan lain, Pak! Kenapa harus saya!”

66

9. Sabar Meneruskan kerja suami bukan pilihan mudah bagi Maryam, kalau ia tidak mau mati kelaparan dengan wajah keriput dan tubuh kurus kering. Ia harus bekerja keras mencari nafkah menyambung hidupnya. Ditinggal suami mati muda, hal yang tidak pernah disangka-sangka begitu cepat. Bekerjalah ia memaksakan diri, mengurus pohon karet peninggalan suami. Sebagaimana kebanyakan perempuan di kampung itu, terbiasa membantu suami mengurus ladang-ladang mereka. Meskipun hanya mengerjakan pekerjaan sesuai dengan kemampuan tenaga, selebihnya, mereka akan mengurus anak dan mengatur rumah tangga.

60

Setelah membaca cerpen Maryam dan melakukan wawancara dengan pengarang, peneliti menemukan proses kreatif dalam

cerpen Maryam karya Afrion. Dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini mengenai proses kreatif pengarang pada

Sisi Rosida Analisis Cerpen Maryam Karya Afrion dengan Pendekatan Ekspresif

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 137

cerpen Maryam melalui empat tahap, yakni: mencari ide, mengolah ide, menuliskan ide, dan editing tulisan.

Adapun tahapan proses kreatif pengarang pada cerpen Maryam karya Afrion, yaitu sebagai berikut.

Tabel 2. Data Wawancara Pengarang terhadap Cerpen Maryam No Indikator Pertanyaan Jawaban

1 Mencari ide a. Bagaimana ide cerpen Maryam karya dapat muncul di pikiran Anda?

Ide cerita muncul dalam pikiran pengarang, setelah melihat kegigihan dan keuletan seorang perempuan. Setiap hari dari pagi hingga siang, perempuan itu bekerja sendiri di tengah perkebunan pohon karet yang luas dan sepi.

b. Bagaimana ide cerpen Maryam itu lahir?

Ide lahir dari sentuhan perasaan, merasa sedih, kasihan, dan prihatian, melihat sosok perempuan bekerja sendirian di tengah tanaman perkebunan karet PTP III. Tangannya yang lincah dan ulet, menderes batang-batang pohon karet, menampung cairan getah di semangkuk tempurung kelapa.

c. Bagaimanakah cara Anda mencari dan mengembangkan ide, khususnya pada cerpen Maryam?

pengarang melakukan pengamatan dan pendekatan langsung ke masyarakat setempat, di desa gunung Malintang, kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota, provinsi Sumatera Barat.

d. Apakah suatu ide itu didapat secara tiba-tiba atau dengan referensi tertentu?

Ide cerita datang secara tiba-tiba, muncul dari keinginan pengarang menuliskan kisah kehidupan seorang perempuan penderes getak karet.

e. Apa yang Anda lakukan pada masa pra-penulisan?

Pengarang biasanya menentukan terlebih dahulu tema dan amanat yang ingin disampaikan, sehubungan dengan ide dan gagasan yang muncul dalam pikiran pengarang.

f. Apakah dalam mencari ide dalam cerpen Maryam, Anda harus menelusuri tempat-tempat tertentu?

Agar bisa menceritakan latar waktu, suasana, dan tempat terjadinya peristiwa, pengarang perlu mendatangi tempat-tempat tertentu. Mencatat setiap benda-benda yang ditemui, menelusuri jalan setapak, bukit, parit yang mengalirkan air, sampai ke tepian sungai. Menelusuri deretan batang pohon karet, tanah perbukitan, dan lingkungan masyarakat di sekitar perkebunan karet

g. Apakah munculnya suatu ide dalam menulis karya sastra dapat dipengaruhi oleh benda-benda atau peristiwa?

Munculnya ide dalam membuat cerpen ini, memang dari melihat sosok perempuan penderes getah pohon karet tersebut. Melihat benda-benda yang digunakan, seperti pisau deres dan parang yang terselip di pinggang. Melihat cangkul di pikulan dan melihat sandal jepit yang dipakai.

2. Mengolah ide a. Apakah Anda dapat langsung menuangkan gagasannya setelah mendapatkan ide dalam cerpen Maryam?

Pengarang tentu tidak langsung menuangkan atau menuliskan ide dan gagasan, karena memerlukan waktu untuk merenungkan dan mengimajinasikan aspek-aspek lain yang mendukung cerita.

b. Apakah Anda merenungkan dan mengimajinasikan kembali saat mengolah ide dalam cerpen Maryam?

Dalam menciptakan cerita pendek Maryam, selain merenungkan ide cerita, pengarang juga melakukan pengembangan imajinasi. Mengolah ide dalam bayangan imajinasi pengarang, menentukan alur cerita, peristiwa apa yang memungkinkan terjadi di tengah perkebunan pohon karet. Apa yang dilakukan tokoh dan bagaimana tokoh menghadapi peristiwa yang dialami.

c. Dalam mengolah ide, apakah Perlu. Membuat outline berupa urutan

Sisi Rosida Analisis Cerpen Maryam Karya Afrion dengan Pendekatan Ekspresif

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 138

pengarang membuat outline terlebih dahulu?

waktu kejadian dan latar peristiwa yang dialami para tokoh. Kerangka cerita dituliskan pengarang sebagai bagian dari proses pengolahan ide dan gagasan.

d. Bagimana cara Anda menggabungkan ide dan tujuan dalam cerpen Maryam?

Ide pengarang dikembangkan dalam imaji-imaji rasa marah, sedih, bingung, gelisah, menakutkan, dan mengerikan. Tujuan pengarang untuk mengkritisi tingkah laku, tabiat, dan watak keegoisan laki-laki. Sekaligus memberi penyadaran bahwa tidak memaksakan kehendaknya diluar dari kebiasaan adat dan budaya.

e. Apakah pada saat pengolahan ide, suatu cerita sudah tergambarkan dengan jelas, seperti nama tokoh dan setting?

Sudah. Selain itu digambarkan juga alur cerita mulai dari awal pengenalan para tokoh, konflik, klimaks, anti klimaks, dan sampai pada penyelesaian cerita.

3. Menuliskan ide

a. Dimulai dari mana Anda menuliskan suatu karya sastra khususnya cerpen Maryam?

Pengarang memulainya dari pengenalan kehidupan tokoh utama (protagonis), mendeskripsikan suasana dan keadaan lingkungan tempat tokoh utama tinggal, mendeskripsikan suasana dan keadaan tempat tokoh utama bekerja menderes getah pohon karet.

b. Apakah dalam mengolah ide pada cerpen Maryam diperoleh dari pengalaman nyata atau imajinasi?

Pengarang memperolehnya dari pengalaman nyata, melihat kehidupan seorang perempuan menderes getah karet di desa (nagari) gunung Malintang, kecematan Pangkalan Koto Baru, kabupaten Limapuluh Kota, provinsi Sumatera Barat. Dari pengalaman melihat ini, pengarang mengimajinasikan peristiwa-peristiwa apa saja yang dialami para tokoh cerita, dan bagaimana sikap tokoh cerita menghadapi setiap peristiwa yang dialami.

c. Berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam membuat cerpen Maryam?

Pengarang membutuhkan waktu selama tiga bulan.

d. Apakah pengarang dapat menunda dalam menuliskan ide?

Menunda proses penulisan ide dan gagasan, setelah terlebih dahulu menuliskan sinopsis dan kerangka cerita (outline).

e. Apa saja hambatan-hambatan dalam menuliskan cerpen Maryam?

Sulitnya menemukan peristiwa yang aktual dalam menemukan ide dan gagasan cerita. Apalagi dikaitkan dengan penggunaan bahasa daerah yang menjadi tuntutan para tokoh. Hambatan lainnya berupa terbatasnya waktu untuk menulis, karena banyak kesibukan yang dilakukan.

f. Apakah Anda pernah merasa jenuh dalam menuliskan ide?

Tidak bisa dipungkiri, sebagai manusia biasa pengarang memang tak lepas dari kata jenuh.

4. Editing tulisan a. Apakah setelah tulisan selesai, Anda langsung melakukan pengeditan?

Pengarang tidak langsung mengedit tulisan. Akan tetapi menyimpannya sampai pada waktu yang tidak ditentukan.

b. Apakah revisi selalu ada dalam suatu karya sastra?

Tentu. Sebab, revisi merupakan proses terakhir yang dilakukan pengarang

c. Apakah dalam tahap revisi, Anda dapat mengganti jalan cerita?

Pada tahap revisi, pengarang bisa saja mengganti jalan cerita dengan cara menghapusan paragraf dan mengganti alur cerita.

PEMBAHASAN Melalui cerpen ini dapat dilihat

bagaimana gambaran ekspresi pengarang pada saat menciptakan karya sastra. Di

dalam cerpen ini terlihat perasaan atau ekspresi pengarang, mulai dari perasaan bosan, bingung, gelisah, takut, kecewa, sedih, sabar, tak peduli, dan kasih sayang.

Sisi Rosida Analisis Cerpen Maryam Karya Afrion dengan Pendekatan Ekspresif

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 139

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari analisis data berikut: a. Takut

Takut merupakan perasaan yang sangat mendorong individu untuk menjauhi sesuatu dan sedapat mungkin menghindari kontak dengan hal itu. Rasa takut yang lain merupakan kelainan kejiwaan adalah kecemasan (anaxiety) yaitu rasa takut yang tidak jelas sasarannya sehingga menimbulkan kecemasan terus-menerus.

Perasaan takut merupakan salah satu dari emosi dasar, selain kebahagiaan, kesedihan, dan kemarahan. Perasaan takut suatu mekanisme pertahanan hidup dasar yang terjadi sebagai respon terhadap suatu stimulus tertentu.

Perasaan takut yang digambarkan pengarang pada tokoh Maryam, dialami tokoh dengan rasa menggigil, yakni ketakutannya terhadap mertuanya yang berusaha merayunya. Rasa takut ini bergejolak dalam tubuh Maryam. Seperti pada kutipan di bawah ini:

Menggigil tubuh Maryam mendengar perkataan Angku Gadang, apalagi ketika tangan Angku Gadang menyentuh bahunya. Tidak disangkanya, laki-laki yang selama ini menjadi mertua yang ia hormati, bahkan telah dianggapnya seperti orangtua kandungnya sendiri, kini berani terang-terangan mengajaknya untuk kawin. (Halaman 61) Pada kutipan di atas jelas

tergambar ketakutan yang sedang dialami oleh tokoh Maryam. Ketakutan tokoh digambarkan saat bahunya terasa menggigil. Rasa takut yang dialami tokoh Maryam yakni berupa kekhawatiran akan ancaman hal-hal buruk yang akan dilakukan oleh mertuanya. Sebelumnya, Angku Gadang hanya melontarkan rayuan pada Maryam, tetapi kali ini ia berani menyentuh bahunya.

Sebagai mertua, memang patut untuk menyayangi menantunya (Maryam). Akan tetapi, rasa sayang yang dirasakan Angku Gadang sangatlah berlebihan. Bahkan, Angku Gadang telah jatuh cinta dan ingin menikahi menantunya sendiri. Sehingga, memunculkan ancaman bagi Maryam. Hal inilah yang membuat Tokoh Maryam merasa takut dengan sosok Angku Gadang.

Ketakutan itu terus saja merasuki tubuh Maryam. Apalagi saat Angku Gadang Mulai berniat jahat. Seperti pada kutipan di bawah ini:

“Malu, Pak!”. “Tidak ada yang melihat! Ayolah….!” “Ah, jangan!” “Tak ada yang melihat!” “Tolong, Pak! Jangan!” “Ayolah!” “Aku tak mau!” (Halaman 62) Dari kutipan dialog di atas,

ketakutan Maryam digambarkan pengarang dengan adanya penolakan dari Maryam terhadap perbuatan Angku Gadang. Lekaki itu mencoba memaksa Maryam sengan perbuatan yang tidak sopan. Hal ini menimbulkan rasa takut bagi tokoh, sehingga ia menolaknya dengan secara tegas. Namun, tindakan nakal Angku Gadang menimbulkan rasa takut yang lebih hebat lagi. Seperti pada kutipan berikut:

Angku Gadang semakin lama semakin nakal. Maryam berusaha menjauh, melompati parit, kemudian pura-pura menyabit rumput di pinggir jalan besar. Dengan demikian, jika Angku Gadang terus mendekatinya atau berniat melakukan sesuatu, ia akan mudah menjerit dan berlari sejauh mungkin ke ladang penduduk kampung terdekat. (Halaman 62) Dari kutipan dialog di atas,

pengarang menggambarkan persaan takut melalui tindakan Maryam yang mencoba menghindar. Tokoh memilih untuk menjauhi Angku Gadang, berusaha menghindar dengan melompati parit, kemudian pura-pura menyabit rumput di pinggir jalan besar, dengan harapan kendaraan yang berlalu lalang dan penduduk kampung.

Tokoh Maryam berhasil meredam rasa takutnya dengan memanfaatkan lingkungan sekitar. Tetapi, Angku Gadang yang semakin kesal dengan sikap Maryam semakin menjadi-jadi, terlihat pada dialog berikut:

Gemetar Maryam mendengar ucapan Angku gadang. Sekian detik tubuhnya mengigil, wajah memucat, bagai tak ada darah mengairi urat nadinya. Tenggorkannya seperti dicekik puluhan makhluk. (Halaman 67)

Sisi Rosida Analisis Cerpen Maryam Karya Afrion dengan Pendekatan Ekspresif

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 140

Ketakutan tokoh digambarkan pengarang dengan rasa gemetar yang dirasakannya saat mendengar perkataan dari Angku Gadang. Ketakutan tokoh semakin bertambah saat tubuhnya mulai menggigil dan wajahnya memucat bagai tak ada darah mengaliri nadinya. Rasa takut yang dialami tokoh Maryam berupa rasa kekhawatiran dalam dirinya yang dikeluarkan lewat ekpresi tubuh, yakni gemetar, mengigil, dan pucat. b. Marah

Marah merupakan emosi dasar yang dialami oleh semua manusia. Biasanya disebabkan oleh perasaan tidak senang yang terjadi karena merasa tersakiti, tidak dihargai, berbeda pandangan, atau ketika menghadapi halangan untuk mencapai tujuan. Perubahan dalam diri atau emosi yang dibawa oleh kekuatan dan rasa dendam demi menghilangkan gemuruh di dalam dada.

Reaksi emosional akut tersebut ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang, termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, serangan lisan, kekecewaan, atau frustrasi, dan dicirikan oleh reaksi kuat pada sistem syaraf otonomik. Sumber utama dari kemarahan adalah hal-hal yang mengganggu aktifitas umtuk mencapai tujuannya. Dengan demikian, ketegangan yang terjadi dalam aktivitas itu tidak mereda, bahkan bertambah untuk menyalurkan ketegangan-ketegangan itu, individu yang bersangkutan menjadi marah, karena tujuannya tidak tercapai.

Pada cerpen Maryam karya Afrion, kemarahan tokoh Maryam berubah menjadi perasaan dendam. Adanya pemaksaan yang menimbulkan amarah yang tertahan, menyebabkan tokoh menjadi dendam, terlihat pada kutipan berikut:

Tubuh perempuan yang berdiri di hadapannya itu, seakan diliputi dendam yang panjang. Sebenarnya kalau tidak karena paksaan orang tua, Maryam tidak mau kawin diusia muda. (Halaman 65) Kemarahan yang timbul oleh tokoh

Maryam ditandai dengan adanya rasa dendam yang panjang di hatinya. Rasa dendam itu bermula dari sebuah penyesalan atas menikah diusia muda. Menikah diusia muda membuat tokoh gamang untuk bertindak, sehingga ia tidak dapat menikmati masa mudanya.

Sosok Maryam memang tipe wanita yang menerima takdirnya. Namun, takdir yang ia lalui menimbulkan rasa penyesalan yang panjang sehingga menimbulkan amarah bagi dirinya sendiri, juga terhadap orang tuanya.

Perasaan marah lainnya juga dialami tokoh dengan sebab yang berbeda. Tokoh menunjukkan rasa marahnya dengan adanya penolakan dan penegasan. Seperti pada kutipan berikut:

“Aku tidak mau kawin, Pak!” “Harus Maryam, kau harus mau.” “Tidak!” “Kalau kau tidak mau, kembalikan tanah anakku!” “Tidak, aku tidak mau!” (Halaman 67) Adanya penolakan yang dialami

tokoh, merupakan ekspersi perasaan marah yang digambarkan pengarang lewat kekesalan. Dalam hal ini, tokoh Maryam memberikan penegasan berulang-ulang bahwa ia tidak mau kawin. Bahkan, saat Angku Gadang memberikan ancaman, tokoh tetap memberi penegasan “tidak mau”. Dari sini dapat terlihat penegasan dan penolakan merupakan rasa marah dari tokoh Maryam.

Perasaan marah tokoh semakin meningkat, hal ini digambarkan ketika tokoh melawan dengan tindakan keras, yakni menghujamkan pisau ke tubuh Angku Gadang. Seperti pada kutipan berikut:

Maryam hampir terjatuh ketika Angku Gadang menarik kedua kakinya, namun secepat itu ia menghujamkan pisau deres hingga melukai wajah lelaki durjana itu. (Halaman 67) Rasa marah yang pada tokoh

Maryam digambarkan dengan tindakannya terhadap Angku Gadang. Tokoh berusaha melawan dengan menghujamkan pisau deres hingga melukai wajah Angku Gadang. Rasa marah ini muncul akibat perbuatan Angku Gadang yang terus menerus memaksanya. Maka, tokoh tidak lagi menunjukkan amarahnya dengan perkataan melainkan dengan perbuatan.

Tindakan yang ditimbulkan tokoh, memberikan kekesalan terhadap Angku

Sisi Rosida Analisis Cerpen Maryam Karya Afrion dengan Pendekatan Ekspresif

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 141

Gadang. Angku Gadang pun mulai lupa terhadap sikapnya, sehingga ia semakin nakal terhadap Maryam. Inilah yang membuat kemarahan Maryam menjadi memuncak yang tergambar pada kutipan berikut:

Seterusnya, ketika Angku Gadang mulai nakal, Maryam menggeliat menghentakkan tubuhnya. Maka lepaslah ia dari pelukan laki-laki itu. Menghindar, berlari menjauhi. Angku Gadang mengejar, namun dengan cepat Maryam menarik parang dari pinggangnya. Begitu Angku Gadang mendekat, diayunkannya parang sampai mengenai tangan lelaki itu. Hilang pikiran Maryam, pandangannya gelap. (Halaman 68) Dari kutipan di atas, pengarang

menggambarkan perasaan marah yang sedang dialami tokoh tersebut. Perasaan marah yang digambarkan pada tokoh Maryam yakni saat ia membunuh Angku Gadang. Maryam mengayunkannya parang sampai mengenai tangan lelaki itu. Pikirannya hilang kendali dan pandangannya gelap. Kemarahan yang dialami sosok Maryam disebabkan kebenciaannya terhadap Angku Gadang yang terus bersikap buruk padanya, sehingga menimbulkan amarah yang besar. c. Sedih

Sedih atau kesedihan merupakan perasaan manusia yang menyatakan kecewa atau frustrasi terhadap seseorang atau sesuatu. Kesedihan dapat menyebabkan reaksi fisik seperti menangis, sulit tidur, nafsu makan yang buruk, dan juga reaksi emosional, seperti penyesalan. Kesedihan dapat disebabkan oleh kehilangan sesuatu atau seseorang yang memiliki banyak nilai atau kelebihan kebosanan.

Emosi ini dapat meningkat jika penderita kesedihan datang untuk percaya ia bisa melakukan sesuatu untuk mengembalikan atau mencegah kerugian, bahkan jika ini merupakan sesuatu untuk dilakukan dalam praktek tidak mungkin untuk mencapai, dan independen dari kehendak sedih.

Kesedihan pada umumnya digambarkan sebagai sesuatu yang pahit, rasa sakit, perasaan tidak mampu, atau sebagai sesuatu yang gelap (gelap). Kesedihan merupakan hasil dari emosi seperti keegoisan, ketidaknyamanan,

rendah diri, iri hati, takut ketidakdewasaan, dan kekecewaan. Sedih adalah emosi yang dapat berakhir menyebabkan kepedihan, tergantung style masing-masing orang, orang. Dapat pula mengembangkan naluri negatif (balas dendam, amarah). Pada cerpen Maryam karya Afrion tokoh Maryam mengalami kesedihan-kesedihan dalam dirinya dengan reaksi emosional yang berbeda. Kesedihan ini tergambar ketika tokoh pada cerpen merasa dirinya terkekang oleh suaminya sendiri. Hal ini tergambar pada kutipan berikut:

Bukan main gundah perasaannya, kadang harus berdiam diri seharian di rumah. Hal itu membuat dirinya terkungkung. Maka itu, setiap hari menjelang siang, Maryam pergi ke ladang mengantarkan makanan untuk suami. Sesekali ia ikut menderes getah sambil mengumpulkan kayu bakar untuk di bawa pulang. (Halaman 65) Pada kutipan diatas, tergambar

kesedihan yang dialami tokoh. Kesedihan yang dialami dicerminkan pengarang saat dirinya merasakan kegundahan yang tinggi dan berdiam diri di rumah yang mengakibatkan dirinya merasa tertekan batin. Konflik batin dalam diri Maryam memang membuat dirinya sangat terpukul, sehingga ia memilih menghibur dirinya sendiri dengan pergi ke ladang mengantarkan makanan untuk suami. Sesekali ia juga ikut menderes getah sambil mengumpulkan kayu bakar untuk di bawa pulang guna mencegah kesedihan dan rasa tertekan dalam dirinya.

Perasaan sedih lainnya digambarkan pengarang dengan ketabahan dalam diri tokoh. Seperti pada kutipan berikut:

Tidak terbayang olehnya akan bekerja separuh waktu, seharian mengerjakan ladang, membuka hutan liar dan menanam bibit pohon karet yang baru. Padahal dulu ketika suaminya masih hidup, ia paling hanya sekali ikut. Itupun jika banyak peralatan yang akan dibawa. Kerjanya hanya menyiapkan makanan atau menyelupkan kaki ke parit kecil sambil membersihkan sampah yang menyumbat aliran. (Halaman 66) Perasaan sedih yang dialami tokoh

Maryam, pengarang menggambarkannya melalui ketabahan tokoh yang bekerja

Sisi Rosida Analisis Cerpen Maryam Karya Afrion dengan Pendekatan Ekspresif

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 142

separuh waktu mengerjakan ladang. Artinya, semenjak suaminya meninggal tokoh Maryam harus bekerja keras dari pagi hingga sore di ladang. Disaat ia harus memanggul nasib sendirian, ia merasa bersedih. Sebab, saat suaminya masih hidup ia hanya sekali ikut ke ladang. Itupun jika banyak peralatan yang akan dibawa, Maryam hanya menyiapkan makanan. Walaupun tokoh Maryam dibentuk dengan sikap pekerja keras, tetapi pengarang juga menggambarkan kesedihan Maryam dengan mengingat-ingat masa lalunya yakni sebelum suaminya meninggal. d. Gelisah

Perasaan gelisah merupakan hal yang menggambarkan seseorang tidak tentram hati maupun perbuatannya, merasa khawatir, tidak tenang dalam tingkah lakunya, tidak sabar ataupun dalam kecemasan. Kegelisahan ditimbulkan oleh suatu rasa ketidakpastian yang sedang dijalani.

Dalam cerpen Maryam karya Afrion, pengarang menggambarkan perasaan gelisah yang dialami tokoh saat ia gegabah dan berbuat dosa yaitu membunuh Angku Gadang. Seperti pada kutipan berikut:

Sekian lama ia menatap tubuh bersimbah darah itu, semakin tak menentu pikirannya. Maryam berteriak sekuat tenaga, memanggil Nek Suti, memanggil orang-orang kampung. Tapi tak satupun orang datang dan mendengar jeritannya. Terus ia berteriak, sampai serak suaranya, sampai ia lemas tak berdaya. (Halaman 68) Perasaan gelisah yang digambarkan

pengarang pada tokoh Maryam saat tokoh tak menentu pikirannya lalu berteriak sekuat tenaga memanggil Nek Suti dan memanggil orang-orang kampung. Lalu, tokoh Maryam melanjutkan teriakannya sampai serak suaranya, sampai ia lemas tak berdaya. Kegelisahan tokoh Maryam digambarkan pengarang akibat kecemasaannya terhadap tubuh Angku Gadang sudah tak bernyawa (meninggal). Kegelisahan tokoh yang berteriak sekuat tenaga merupakan salah satu rasa gelisah karena tidak tahu akan berbuat apa, sehingga ia mencapai rasa “panik” yang tinggi. e. Bingung

Bingung merupakan suatu keadaan di mana antara keinginan dan pikiran

terjadi perbedaaan sehingga tak tahu apa yang harus ia putuskan. Rasa bingung didasari adanya kecemasan, ketegangan, rasa tidak aman dan kekawatiran yang timbul karena dirasakan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui dan berasal dari dalam. Saat bingung, dapat juga timbul rasa gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan dan persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal.

Dalam cerpen Maryam karya Afrion, pengarang menggambarkan perasaan bingung yang dialami tokoh saat ia gegabah dan berbuat dosa. Seperti pada kutipan di bawah ini:

Maryam terduduk lemas, bersandar di batang pohon karet. Pikirannya menerawang jauh. Antara perasaan bersalah dan dosanya menghujam parang ke tubuh Angku Gadang, sudah matikah ia? (Halaman 68) Perasaan bingung yang

digambarkan pengarang pada tokoh Maryam meliputi rasa bersalahnya yang telah gegabah melakukan sesuatu, yakni membunuh Angku Gadang. Tokoh Maryam merasa tidak tentram hatinya juga tidak mengetahui yang harus ia lakukan. Hal ini tergambar saat ia terduduk lemas bersandar di batang pohon karet dengan pikiran “ling-lung” menerawang jauh. Perasaan bingung disebabkan rasa gelisah pada tokoh yang muncul di dalam benaknya antara perasaan bersalah dan berdosa sebab telah menghujamkan parang ke tubuh Angku Gadang. Rasa bingung tokoh digambarkan pengarang dengan emosi gelisah yang memuncak, yakni bertanya pada dirinya sendiri “Sudah matikah ia?” f. Jengkel

Jengkel merupakan rasa kesal yang mengendap dalam hati. Baru sekedar omongan, belum diwujudkan dalam tindakan dan masih disimpan dalam hati. Bila rasa jengkel itu sudah memuncak. Maka, bentuk emosi yang di dalamnya meliputi hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka dan mau muntah. Berubahlah menjadi rasa marah.

Dalam cerpen Maryam karya Afrion, pengarang menggambarkan perasaan jengkel yang dialami tokoh saat mertuanya berusaha merayunya. Seperti pada kutipan di bawah ini:

Kalau bukan karena mertua, sudah diludahinya muka

Sisi Rosida Analisis Cerpen Maryam Karya Afrion dengan Pendekatan Ekspresif

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 143

Angku Gadang. Tapi untunglah ia segera sadar, menghadapi laki-laki seperti itu, harus pandai memutar haluan. Tidak melawan juga tidak memberi harapan. Nafsu laki-laki dibendung akan semakin berontak. (Halaman 63)

Sikap jengkel yang digambarkan pengarang pada tokoh Maryam, yakni saat ia merasa jijik dengan sikap mertuanya. Terbesit dalam benaknya akan meludahi wajah Angku Gadang. Tapi, Maryam segera sadar menghadapi laki-laki seperti itu harus pandai memutar haluan. Tidak melawan juga tidak memberi harapan. Maka, tokoh hanya menyimpan perasaan benci dalam hatinya. g. Cinta dan Kasih Sayang

Kasih sayang merupakan suatu sikap saling menghormati dan mengasihi semua ciptaan Tuhan baik mahluk hidup maupun benda mati seperti menyayangi diri sendiri berlandaskan hati nurani yang luhur. Kasih sayang merupakan bagian dari rasa cinta begitu penting, bahkan manusia merasa kekeringan dalam hidup jika tanpa kasih sayang dengan manusia lainnya. Semua orang pasti ingin dicintai dan dikasihi secara sosial, dari bayi sampai lanjut usia semua membutuhkan cinta dan kasih sayang. Makna kasih sayang yang antarsosial merupakan cara memberi, peduli dan mempertahankan.

Pada cerpen Maryam karya Afrion, pengarang menggambarkan perasaan cinta dan kasih sayang pada tokoh Maryam lewat kesetiannya terhadap suaminya. Seperti pada kutipan di bawah ini:

“Aku telah bersumpah, Nek.” “Sumpah apa?” “Sumpah tidak mau kawin lagi.” “Benar kau tidak akan kawin lagi?” “Benar.” “Kenapa?” “Aku lebih tenang sendiri, lebih bebas.” “Kau kan masih muda.” “Kawin tidak menjadikan aku bisa sebebas sekarang ini.” “Sampai kapan?” “Sampai kapan pun.” (Halaman 64-65) Dari kutipan di atas pengarang

menggambarkan rasa cinta dan kasih sayang pada tokoh Maryam melalui sikap kesetiaan Maryam pada suaminya. Rasa

sayang Maryam digambarkan dengan sumpahnya tidak akan menikah lagi. Padahal, diusianya yang masih muda memungkinkan dirinya untuk menikah, tetapi tokoh Maryam berusaha setia dan tidak menghianati cinta suaminya yang telah meninggal. h. Tak Peduli

Sikap tak peduli merupakan sikap menyatakan tidak senang hati, menyatakan “terserahlah” tidak ikut memikirkan perkara orang lain. Sikap tidak peduli apa-apa dan tidak memperhatikan sama sekali. Pada cerpen Maryam karya Afrion, pengarang menggambarkan perasaan tak peduli pada tokoh Maryam dengan sikap tokoh yang dingin. Seperti pada kutipan di bawah ini:

“Jangan sembarangan menerima orang! Apalagi yang namanya laki-laki, tidak baik dilihat tetangga! Laki-laki kalau dikasih hati, makin lama makin melonjak,” ujar Nek Suti menasehati. “Mereka saja yang mata keranjang, Nek,” jawab Maryam datar. (Halaman 64) Dari kutipan di atas pengarang

menggambarkan sikap tidak peduli melalui sikap tokoh Maryam yang “cuek” saat dinasehati oleh Nek Suti. Tokoh Maryam seolah tidak memperdulikan apa yang terjadi pada dirinya kelak dan tidak mau memikirkan dampaknya. Ketidakpedulian tokoh menyebabkan ia tidak mau mengoreksi dirinya sendiri.

Sikap tak peduli lainnya digambarkan pengarang dengan perkataan tokoh yang tidak tertarik dengan sosok Angku Gadang. Seperti pada kutipan berikut:

“Aku tidak punya anak lagi, Maryam. Aku punya tanah yang banyak dan aku ingin mewariskannya untuk keturunanku, untukmu juga.” “Masih banyak perempuan lain, Pak! Kenapa harus saya!” (Halaman 66)

Dari kutipan di atas, ketidak pedulian tokoh digambarkan dengan rasa tidak suka dan pengalihan. Tokoh Maryam menolak rayuan Angku Gadang dengan sikap yang dingin tanpa memperdulikan perasaan Angku Gadang. i. Sabar

Sabar berarti sikap tahan menerima sesuatu penderitaan, tidak lekas marah, tidak lekas patah hati, tidak lekas putus asa. Perasaan sabar merupakan keadaan di mana seseorang tahan menghadapi

Sisi Rosida Analisis Cerpen Maryam Karya Afrion dengan Pendekatan Ekspresif

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 144

cobaan. Sikap sabar harus melaksanakan tugas, tindakan atau kewajiban dengan ikhlas, tidak menggerutu atau mengeluh saat menghadapi kesulitan dalam menghadapi tugas. Perbuatan dapat dilaksanakan dengan baik dan memperoleh hasil yang cukup baik, namun apabila perbuatan diiringi dengan keluh kesah saat melaksanakannya. Maka itu belum termasuk sabar, terutama dalam hal beribadah.

Pada cerpen Maryam karya Afrion, pengarang menggambarkan sikap sabar pada tokoh Maryam melalui kegigihannya dalam bekerja keras untuk mencari uang. Seperti pada kutipan di bawah ini:

Meneruskan kerja suami bukan pilihan mudah bagi Maryam, kalau ia tidak mau mati kelaparan dengan wajah keriput dan tubuh kurus kering. Ia harus bekerja keras mencari nafkah menyambung hidupnya. Ditinggal suami mati muda, hal yang tidak pernah disangka-sangka begitu cepat. Bekerjalah ia memaksakan diri, mengurus pohon karet peninggalan suami. Sebagaimana kebanyakan perempuan di kampung itu, terbiasa membantu suami mengurus ladang-ladang mereka. Meskipun hanya mengerjakan pekerjaan sesuai dengan kemampuan tenaga, selebihnya, mereka akan mengurus anak dan mengatur rumah tangga. (Halaman 60) Pada kutipan di atas pengarang

menggambarkan sikap sabar pada tokoh dengan kegigihannya bekerja keras. Pekerjaan yang tidak mudah dikerjakan sendiri oleh Maryam, tetapi ia menekuni pekerjaannya semampunya. Sebagaimana kebanyakan perempan di kampungnya, Maryam termasuk orang yang sabar menerukan kerja suami. Analisis Data Proses Kreatif Cerpen Maryam

Wellek dan Warren (1993:97) mengatakan proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi sejumlah pengarang, justru bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling kreatif.

Berdasarkan pendapat Kurniawan (2009:172) ada empat tahapan berkaitan dengan proses kreatif, yaitu: mencari ide,

mengolah ide, menuliskan ide, dan editing tulisan.

Berikut akan diuraikan proses kreatif Afrion dalam menciptakan cerpen Maryam.

1. Mencari Ide Menulis cerita dengan sumber ide

dari benda-benda di sekeliling kita dan menulis cerita dengan bahan dan sumber ide dari peristiwa yang terjadi di sekeliling kita.

Adapun jawaban pengarang atas pertanyaan yang berkaitan dengan proses kreatif pada cerpen Maryam karya Afrion, yaitu: a. Munculnya Ide cerpen Maryam

Ide cerita muncul dalam pikiran pengarang, setelah melihat kegigihan dan keuletan seorang perempuan. Setiap hari dari pagi hingga siang, perempuan itu bekerja sendiri di tengah perkebunan pohon karet yang luas dan sepi. Tidak pernah takut pada ancaman binatang buas, maupun tindak kejahatan manusia. Tekad perempuan itu hanya bekerja semampunya, bekerja menderes getah karet, mencari makan untuk mempertahankan keberlangsungan kehidupan. b. Lahirnya Ide Cerpen Maryam

Ide lahir dari sentuhan perasaan, merasa sedih, kasihan, dan prihatian, melihat sosok perempuan bekerja sendirian di tengah tanaman perkebunan karet PTP III. Tangannya yang lincah dan ulet, menderes batang-batang pohon karet, menampung cairan getah di semangkuk tempurung kelapa. Di desa gunung Malintang, kecamatan Pangkalan Koto Baru, kabupaten Limapuluh Kota, provinsi Sumatera Barat. Setelah suami meninggal dunia karena penyakit paru-paru kronis, perempuan itu memilih hidup sendirian. Menjadi pekerja di perkebunan menderes getah karet untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. c. Mencari dan Mengembangkan Ide pada Cerpen Maryam Pengolahan dan pendalaman ide meliputi adat istiadat, bahasa, dan budaya masyarakat Minang. Pekerjaan dan kebiasaan hidup masyarakat, khususnya keberadaan perempuan Minang dalam masyarakat adat Minangkabau. Perempuan sebagai lambang kehormatan dan kemuliaan, memiliki kepribadian sebagai contoh yang patut diteladan bagi

Sisi Rosida Analisis Cerpen Maryam Karya Afrion dengan Pendekatan Ekspresif

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 145

masyarakatnya, bagi kaumnya, dan bagi rumah tangganya. d. Referensi Lahirnya Suatu Ide

Ide cerita bisa saja dapat seketika, datang secara tiba-tiba, karena adanya sentuhan pandangan, penglihatan, pendengaran, dan rasa dalam kalbu. Sedangkan Ide cerpen Maryam karya Afrion, muncul dari keinginan pengarang menuliskan kisah kehidupan seorang perempuan penderes getah karet. Ide untuk menulis muncul begitu saja, karena rasa kasihan, rasa prihatin melihat kegigihan perempuan yang bertahan hidup di tengah kemiskinan dan penderitaan. Dari keinginan yang muncul secara tiba-tiba itu, pengarang mulai mencari referensi tentang keberadaan dan kedudukan perempuan dalam adat budaya masyarakat Minang melalui buku-buku bacaan, media massa koran, majalah, dan internet. e. Masa Pra-penulisan

Dalam hal penentuan latar cerita, berupa wilayah geografis tempat dimana terjadinya peristiwa, pengarang menetapkan tokoh utamanya dengan nama panggilan Maryam. Sedangkan untuk tokoh penentang dengan nama panggilan Angku Gadang dan tokoh penengah atau pelerai dengan nama panggilan Nek Suti. Penetapan nama-nama tokoh, disesuaikan dengan wilayah kehidupan dan adat budaya masyarakat Minang. f. Penelusuran Tempat Tertentu

dalam Mencari Ide Ketika menceritakan latar waktu,

suasana, dan tempat terjadinya peristiwa, memang pengarang perlu mendatangi tempat-tempat tertentu. Mencatat setiap benda-benda yang ditemui, menelusuri jalan setapak, bukit, parit yang mengalirkan air, sampai ke tepian sungai. Menelusuri deretan batang pohon karet, tanah perbukitan, dan lingkungan masyarakat di sekitar perkebunan karet, seperti pada kutipan berikut:

Begitu Maryam melihat Nek Suti melewati jalan setapak, Maryam pura-pura batuk. Diraihnya termos minuman yang terselip di pinggang. Pelan kakinya menelusuri jalan mendekati Nek suti, memanggilnya dengan mengacungkan parang. Nek Suti berdiri menunggu Maryam. (Halaman 63)

Penelusuran tempat dan wilayah sebagai latar cerita, penting bagi

pengarang untuk bisa mendeskripsikan cerita secara detail. Termasuk juga mengikuti setiap acara-acara adat yang dilakukan masyarakat desa Pangkalan Koto Baru. Mencatat segala sesuatu yang memungkinkan bisa dimasukkan ke dalam cerita pendek. g. Pengaruh Benda-Benda atau

Peristiwa dalam Karya Sastra Munculnya ide dalam membuat cerpen ini, memang dari melihat sosok perempuan penderes getah pohon karet tersebut. Melihat benda-benda yang digunakan, seperti pisau deres dan parang yang terselip di pinggang. Melihat cangkul di pikulan dan melihat sandal jepit yang dipakai. Kesemua benda-benda yang dilihat itu menimbulkan inspirasi dalam pikiran pengarang. Dari melihat benda, imajinasi saya berkembang membayangkan hal-hal yang menakutkan, sekaligus mengerikan. Peristiwa-peristiwa pembunuhan yang selalu dialami perempuan, terjadi ditempat-tempat sepi, jauh dari lingkungan masyarakat dan rumah-rumah penduduk.

2. Menuliskan Ide Adapun jawaban pengarang atas

pertanyaan yang berkaitan dengan proses kreatif pada cerpen Maryam karya Afrion, yaitu: a. Ketika Mulai Menulis Cerpen

Maryam Pengarang biasanya memulainya

dari pengenalan kehidupan tokoh utama (protagonis), mendeskripsikan suasana dan keadaan lingkungan tempat tokoh utama tinggal, mendeskripsikan suasana dan keadaan tempat tokoh utama bekerja menderes getah pohon karet. Mendeskripsikan masalah-masalah yang dihadapi tokoh utama hingga munculnya konflik. b. Pengolahan Ide Bersumber dari

Pengalaman Nyata dan Daya Imajinasi

Mengolah ide cerpen Maryam, pengarang memperolehnya dari pengalaman nyata, melihat kehidupan seorang perempuan menderes getah karet di desa (nagari) gunung Malintang, kecematan Pangkalan Koto Baru, kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. c. Waktu yang Dibutuhkan dalam

Membuat Cerpen Maryam Mengolah ide cerita, mulai dari

awal proses penulisan sampai pada proses

Sisi Rosida Analisis Cerpen Maryam Karya Afrion dengan Pendekatan Ekspresif

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 146

revisi (editing) cerpen Maryam, pengarang membutuhkan waktu selama tiga bulan. Dalam proses penulisan cerita, pengarang menulisnya secara bertahap sesuai dengan keadaan dan ketersediaan waktu pengarang untuk melanjutkan proses penulisan cerita.

Dalam mengolah ide cerita, pengarang menetapkan waktu seminggu. Ide cerita direnungkan terlebih dahulu, kemudian melakukan pengembangan imajinasi yang memungkinkan munculnya peristiwa dan tokoh-tokoh cerita. Ketika mulai menuliskan ide dan gagasan cerita, pengarang menetapkan waktu satu bulan. Setelah selesai penulisan, pengarang melakukan penyimpanan atau pengendapan cerita selama satu bulan, dan melakukan proses editing selama tiga minggu. d. Penundaan dalam Menuliskan Ide

Menunda proses penulisan ide, hakikatnya bisa membuat semua ide dan gagasan menjadi hilang. Tetapi dalam proses penulisan cerita Maryam, pengarang menunda proses penulisan ide dan gagasan, setelah terlebih dahulu menuliskan sinopsis dan kerangka cerita (outline). Karena dari sinopsis dan kerangka cerita itulah, pengarang tetap bisa melanjutkan proses penulisan cerita, tanpa takut kehilangan ide dan gagasan. Bahkan dalam proses melanjutkan penulisan cerita, pengarang mendapatkan ide-ide baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. e. Hambatan-Hambatan dalam

Menulis Cerpen Maryam Terkadang dalam menulis memang memiliki hambatan, misalnya sulitnya menemukan peristiwa yang aktual dalam menemukan ide dan gagasan cerita. Apalagi dikaitkan dengan penggunaan bahasa daerah yang menjadi tuntutan para tokoh. Hambatan lainnya berupa terbatasnya waktu untuk menulis, karena banyak kesibukan yang dilakukan. Seperti mengadakan riset dan penelitian dalam hal pengumpulan data dan bahan-bahan cerita. f. Kejenuhan dalam Menulis Ide

Tidak bisa dipungkiri, sebagai manusia biasa pengarang memang tak lepas dari kata jenuh. Merasa jenuh melakukan kegiatan atau aktivitas menulis bahwa jenuh menulis, selalu dirasakan pengarang pada saat melakukan kegiatan menulis dengan cerita yang sama atau menulis cerita yang berulang-ulang secara terus menerus. Pengarang tidak

menemukan masalah baru dengan konflik yang sama sekali baru.

3. Editing Tulisan a. Melakukan Pengeditan Setelah

Tulisan Selesai Ketika cerita sudah berakhir sampai

kepada penyelesaian dan kesimpulan, pengarang tidak langsung mengedit tulisan. Akan tetapi menyimpannya sampai pada waktu yang tidak ditentukan. Sudah menjadi kebiasaan pengarang melakukan pengendapan tulisan dengan menyimpannya di tempat khusus. Proses pengendapan cerita dilakukan untuk menetralisir pikiran dan imajinasi pengarang, menjauhi bayangan-bayangan para tokoh yang terdapat dalam cerita pendek.

Selama kurun waktu tiga bulan proses penulisan cerita ini pengarang melakukan revisi dengan mengedit cerita meliputi gaya bahasa, pilihan kata, dan alur cerita. b. Tahap Revisi dalam Karya Sastra

Revisi merupakan proses terakhir yang dilakukan pengarang, ketika menciptakan karya sastra. Dalam kurun waktu tiga bulan, cerita pendek Maryam karya Afrion, telah melakukan revisi cerita sebanyak lima kali. Karya disimpan dan diendapkan lagi, lalu dibaca kembali. Setiapkali dibaca, selalu ditemukan kesalahan pemakaian huruf, kata, kalimat, dan kesinambungan alur pada setiap paragrafnya. c. Mengganti Jalan Cerita dalam

Tahap Revisi Pada tahap revisi, pengarang bisa

saja mengganti jalan cerita dengan cara menghapusan paragraf, dan mengganti alur cerita. Biasanya penggantian jalan cerita disebabkan munculnya ide-ide baru dari sebab akibat pengembangan imajinasi pengarang.

Dalam cerita pendek Maryam, pengarang melakukan penggantian jalan cerita. Tokoh utama (Maryam) yang seharusnya pasrah menerima perlakuan tokoh penentang (Angku Gadang). Alur cerita diganti menjadi tokoh Maryam menggeliat menghentakkan tubuhnya, maka lepaslah ia dari pelukan Angku Gadang. Menghindar, berlari menjauhi. Angku Gadang mengejar, namun dengan cepat Maryam menarik parang dari pinggangnya. Begitu Angku Gadang mendekat, diayunkannya parang sampai mengenai tangan lelaki itu. SIMPULAN

Sisi Rosida Analisis Cerpen Maryam Karya Afrion dengan Pendekatan Ekspresif

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 147

Adapun yang menjadi kesimpulan hasil penelitian mengenai analisis cerpen Maryam karya Afrion dengan pendekatan ekspresif ini adalah gambaran ekspresi pengarang dalam cerpen tersebut, yakni adanya perasaan takut, marah, sedih, gelisah, bingung, jengkel, cinta/kasih sayang, tak peduli dan sabar yang digambarkan pengarang melalui narasi dan dialog tokoh pada cerpen Maryam karya Afrion. Proses kreatif cerpen Maryam dilatar belakangi saat pengarang melihat sosok perempuan bekerja sendirian di tengah perkebunan karet PTP III di Desa Gunung Malintang (Koto Baru). Kemudian pengarang menulis cerpen Maryam dengan menyesuaikan wilayah kehidupan dan adat budaya masyarakat Minang. Mencari ide, mengolah ide, menuliskan ide, dan editing tulisan merupakan proses-proses yang sangat penting dalam melahirkan cerpen Maryam. SARAN

Sehubungan dengan hasil penelitian di atas, maka yang menjadi saran penulis dalam penelitian ini adalah perlunya pendalaman pengetahuan dalam bidang sastra agar hasil yang disajikan dapat mencapai kesempurnaan. DAFTAR PUSTAKA Afrion. 2016. Lelaki Bukan Pilihan.

Medan: Star Indonesia Group. Ali, Mohammad dan Asrori, 2010.

Psikologi Remaja (Perkembangan Peserta didik). Jakarta: Bumi Aksara.

Endaswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Med Press.

Eneste, Pamusuk. 1984. Proses Kreatif. Jakarta: Gramedia.

Jakob, Sumardjo. 1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Purwokerto: Graha Ilmu.

Pradopo, Djoko Rachmat. 1997. Prinsip-

Prinsip Kritik Sastra. Bandung: Gajah Mada University Press.

Ratna Kutha, Nyoman. 2004. Teori,

Metode, dan Teknik Penelitian

Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sardjono, Partini. 1992. Pengantar

Pengkajian Sastra. Bandung: Pustaka Wina.

Semi, M. Atar. 1989. Kritik Sastra.

Bandung: Angkasa. Siswanto, Dr. Wahyudi. 2011. Pengantar

Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. Sugihastuti. 2011. Proses Kreatif dan

Teori dalam Intepretasi: Jurnalhumaniora.ugm.ac.id. Sugiyono, 2013. Metode Penelitian.

Bandung: Alfabeta. Teeuw, A. 1998. Sastra dan Ilmu Sastra.

Jakarta: Pustaka Jaya. Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian

Cerita Fiksi. Surakarta: Universitas 11 Maret.

Wellek, Rene. 1993. Teori Kesusastraan.

Jakarta: Gramedia. Wiyatmi. 2008. Pengantar kajian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 148

ANALISIS JENIS-JENIS METAFORA DALAM SURAT KABAR: KAJIAN SEMANTIK

Sukma Adelina Ray

Dikbind PPs Universitas Negeri medan [email protected]

Abstrak. Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari tentang makna. Kajian semantik kemudian berkembang dengan melibatkan unsur makna dan pengalaman manusia. Pemaknaan memegang peranan penting bagi kajian semantik karena pemaknaan merupakan proses akhir suatu komunikasi (aktivitas berbahasa) untuk mendapatkan kejelasan dan kebenaran dalam menangkap informasi makna akan sesuatu hal agar kelangsungan komunikasi tetap terjaga tanpa menimbulkan kesalahpahaman. Metafora adalah suatu strategi untuk menyampaikan pesan menggunakan pemakaian kata atau ungkapan lain secara implisit dengan membandingkan suatu hal yang abstrak dengan hal konkret. Struktur metafora utama yang utama ialah (1) topik yang dibicarakan; (2) citra atau topic kedua; (3) titik kemiripan atau kesamaan. Hubungan antara topik atau citra dapat bersifat objektif dan emotif. Berdasarkan pilihan citra yang dipakai oleh pemakai bahasa dan para penulis di berbagai bahasa, pilihan citra dapat dibedakan atas empat kelompok, yakni (1) metafora bercitra antropomorfik, (2) metafora bercitra hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke konkret, (4) metafora bercitra sinestesia atau pertukaran tanggapan/persepsi indra.

Kata Kunci: Semantik, Metafora, Surat Kabar

Abstract. Semantics is a branch of linguistics that learns about meaning. Semantic studies then develop by involving elements of human meaning and experience. Meaning plays an important role for semantic studies because meaning is the final process of communication (language activities) to get clarity and truth in capturing meaningful information about something so that the continuity of communication is maintained without causing misunderstandings. Metaphor is a strategy for conveying messages using implicit words or other expressions by comparing an abstract thing with concrete things. The main main metaphor structure is (1) the topic being discussed; (2) second image or topic; (3) point of similarity or similarity. The relationship between a topic or image can be objective and emotive. Based on the choice of images used by language users and writers in various languages, the choice of images can be divided into four groups, namely (1) anthropomorphic imagery metaphors, (2) animal-image metaphors, (3) abstract to concrete metaphors, (4) metaphor with synesthesia or exchange of sensory responses / perceptions. Keywords: Semantic, Metaphor, Newspaper

PENDAHULUAN Bahasa dan manusia merupakan

dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan berkaitan erat satu sama lain. Hal ini disebabkan dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin lepas dari bahasa sebagai alat komunikasi. Tanpa bahasa manusia akan sulit untuk melakukan komunikasi juga berinteraksi dengan yang lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman, bahasa juga mengalami perkembangan mengikuti perkembangan masyarakat penuturnya.

Manusia sebagai penutur bahasa memiliki kemampuan dan kreativitas untuk menciptakan dunia lambang untuk

menandai realitas, baik abstrak maupun kongkrit. Kreativitas manusia dalam penciptaan lambang tersebut menghasilkan berbagai bentuk bahasa, seperti bahasa natural (bahasa yang digunakan dalam kehidupa sehari-hari), bahasa artifisial (bahasa komputer), dan bahasa simbolis (bahasa matematika dan logika). Salah satu kreativitas berbahasa manusia itu terwujud dalam metafora.

Kajian metafora semakin mendapatkan posisi penting karena tumbuhnya kesadaran bahwa bahasa bukan hanya sekedar cerminan realitas, melainkan juga pembentuk realitas. Metafora adalah sebuah fenomena

Sukma Adelina Ray Analisis Jenis-jenis Metafora dalam Surat Kabar: Kajian Semantik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 149

kebahasaan yang berlaku dalam tataran semantik. Dalam kajian linguistik, semantik merupakan cabang dari ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna. Metafora terkait dengan relasi antara satu kata dengan kata lain dalam membentuk sebuah makna. Metafora dipandang sebagai bentuk bahasa yang khas, dan bisa juga aneh karena relasi kata dalam metafora melampaui batas relasi bahasa secara literal yang telah disepakati bersama dalam komunikasi keseharian. Metafora ditandai dengan penggantian ciri relasi, asosiasi, konseptualisasi, dan analogi dalam penataan hubungannya.

Metafora selama ini dikaitkan dengan pengkajian bahasa puisi dan bahasa sastra yang digunakan oleh penulis. Hubungan antar kata bersifat sugestif, tanpa kata-kata yang menunjukkan perbandingan secara jelas. Penggunaan metafora tidak terbatas dalam bahasa sastra, melainkan juga dalam bahasa keseharian bahkan dalam penulisan media surat kabar. Metafora berjasa dalam penciptaan istilah-istilah baru, seperti kaki kursi, kepala pasukan, mata angin, sayap pesawat, dan sebagainya. Kata-kata tersebut pada mulanya bekerja secara analogis. Penyangga kursi dianalogikan dengan kaki, pimpinan pasukan dianalogikan dengan kepala, penjuru angin dianalogikan dengan mata, dan bagian pinggir sayap yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan dianalogikan dengan sayap.

Pesatnya perkembangan teknologi global juga memicu penyebaran informasi yang sangat cepat. Informasi disebarkan melalui banyak media, sebagai contoh media massa dan media cetak. Bahasa yang digunakan pun beragam-ragam. Media massa, khususnya surat kabar sebagai salah satu media penyebaran bahasa, memuat berbagai informasi aktual yang sedang terjadi di kalangan masyarakat dan terbit secara periodik. Setiap surat kabar mempunyai cara penulisan dan pemilihan bahasa yang berbeda dalam berita yang ditulisnya, keragaman cara penyampain dan bahasa tiap surat kabar tersebut yang menjadikan unik dan menarik untuk diteliti lebih lanjut. Surat kabar yang dimaksud ialah berupa Koran.

Koran mempunyai dua fungsi, fungsi utama dan fungsi sekunder (Effendy, 1993: 47). Fungsi utama dari surat kabar adalah media yang digunakan

untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang ada di sekelilingnya baik di dalam maupun luar negeri, sebagai media penyampaian opini masyarakat tentang apa yang sedang terjadi dan sebagai media untuk jual beli dan promosi dengan cara pemasangan iklan dan media pencarian kerja melalui rubrik lowongan pekerjaan. Fungsi sekunder dari surat kabar ada beberapa macam, seperti menjadi wadah promosi atau mengkampanyekan proyek-proyek yang bersifat sekali dalam waktu tertentu, misalnya para calon wakil rakyat yang berkampanye menggunakan media massa salah satunya koran (Effendy, 1993: 245).

Di dalam menulis sebuah berita biasanya jurnalis menggunakan bahasa kiasan atau yg lebih umum sering disebut gaya bahasa atau majas untuk membuat tulisannya lebih menarik untuk dibaca. Gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan atau hal lain yang lebih umum (Tarigan, 1985: 5). Banyak gaya bahasa khususnya majas yang digunakan penulis atau wartawan di dalam surat kabar. Gaya bahasa sebagai bagian dari sarana penulisan kreatif, termasuk salah satu aspek kajian yang cukup bermanfaat dan menarik untuk ditelaah. Salah satu gaya bahasa yang digunakan dalam surat kabar (Koran) ialah gaya bahasa metafora. Keraf juga sependapat dengan Pradopo (2005:40) yang menyatakan bahwa metafora itu mempersamakan dua hal yang sesungguhnya tidak sama tanpa mempergunakan kata pembanding yaitu seperti, bak, bagai, bagaikan dan sebagainya.

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dijabarkan dalam pembahasan ini adalah mendeskripsikan jenis-jenis metafora yang terdapat dalam surat kabar Tribun Medan Edisi Hari Senin 6 November 2017. Dengan tujuan untuk mengetahui pendeskripsian jenis-jenis metafora yang terdapat dalam surat kabar Tribun Medan Edisi Hari Senin 6 November 2017. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian kualitatif. Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pende-katan deskriptif kualitatif digunakan karena penelitian ini berawal pada data

Sukma Adelina Ray Analisis Jenis-jenis Metafora dalam Surat Kabar: Kajian Semantik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 150

dan bermuarapada kesimpulan.(Moleong, 2007: 6) menyatakan bahwa data deskriptif berupa katakatatertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diteliti.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif kualitatif.Djajasudarma (1993:8) menjelaskan bahawa penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat menggambarkan, melukiskan, atau memaparkan secara sistematis, akurat, dan faktual mengenai data, sifat serta berhubungan fenomena yang teliti.Melalui penelitian ini, penulis bertujuan menganalisis semantik metapora dalam suarat kabar.Selain itu, metode deskriptif merupakan gambaran ciri-ciri data secara akurat sesuai dengan sifat alamiah data itu sendiri (Djajasudarma, 1993:16).

Subyek penelitian pada penelitian ini ialah jenis-jenis majas metafora pada surat kabar (Koran). Dan objek pada penelitian ini ialah surat kabar jenis Koran Tribun Medan.

Pada tahap pengumpulan data, hal pertama yang dilakukan peneliti adalah mencari data dengan membaca sumber data yang menggunakan teknik pengamatan cermat, yakni seleksi data yang sesuai dengan klasifikasi data menurut satuan kebahasaan. Seleksi data disesuaikan dengan tujuan penelitian, sedangkan data yang tidak berhubungan dengan penelitian akan diabaikan. Teknik lanjut yang dilakukan adalah teknik catat atau pemberian kode untuk memudahkan pengecekan.Data-data yang berupa jenis-jenis majas metafora kemudian dikelompokkan. Kemudian, mendes-kripsikan jenis-jenis majas metafora yang terdapat dalam Koran tersebut.

Adapun langkah-langkah penelitian dimulai dari: (a) penyediaan data yang berbentuk penggalan dari artikel yang terdapat dalam surat kabar Tribun Medan 06 November 2017 (b) klasifikasi data dengan menggunakan teknik catat dan teknik simak (c) analisis data dengan menggunakan konsep-konsep semantik jenis metafora (d) penyajian hasil penelitian dalam bentuk paper. HASIL PENELITIAN

Dari hasil pengklasifikasian data dengan menggunakan teknik simak dan catat, ditemukan beberapa petikan kalimat di surat kabar yang mengandung variasi semantik jenis metapora. (a) Metafora Bercitra Antropomorfik

Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora antropomorfik yang ada di surat kabar adalah:

“Excavator mini mengangkut seluruh tanah maupun berkas material dari bahu jalan”. (Tribun Medan) (b) Metafora Bercitra Hewan

Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora bercitra hewan adalah:

“Di tempat terpisah, kelompok supporter PSMS SMeCK Hooligan, akan tetap datang ke Bekasi mendukung tim kebanggaannya. Meski dilarang membawa atribut, mereka berjanji tetap mengawal Ayam Kinantan ke babak delapan besar”. (Tribun Medan) (c) Metafora Bercitra Konkret ke Abstrak

Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora bercitra abstrak ke konkret adalah:

“Di pertandingan pecah ke -11 Liga Premier di London Stadium, Minggu (5/11) dini hari misalnya salah berkontribusi mencetak dua gold dan membantu “si Merah” menang 4-1 atas West Ham United”. (d) Metafora Bercitra Sinestesia

Adapun kata atau frase yang mengandung variasi makna metafora sinestesia adalah:

“Janpiter menambahkan KKI Sumut akan terus berkontribusi utnuk mencetak karakter berpretasi untuk membawa harum nama Sumut dan bahkan Indonesia”. PEMBAHASAN

Adapun klasifikasi variasi makna dalam surat kabar beserta analisisnya adalah sebagai berikut:

a) Metafora Bercitra Antropomorfik Adapun kata atau frase yang

mengandung variasi makna metafora antropomorfik yang ada di surat kabar adalah:

Tabel 1. Makna Metafora Antropomorfik Konteks Denotatif

Kontek dalam Surata Kabar

1a. Anton memiliki bahu yang tegap karena rajin berolah raga

1b. Excavator mini mengangkut seluruh tanah maupun berkas material dari bahu jalan. (Tribun Medan)

Dari data 1a dan 1b kita dapat melihat bahwa ada perubahan makna kata

Sukma Adelina Ray Analisis Jenis-jenis Metafora dalam Surat Kabar: Kajian Semantik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 151

badan, yang semula berarti bagian tubuh manusia (animate), mejadi bagian dari jalan (inanimate). Penulis artikel dengan menulis kalimat ini berusaha menyamakan manusia dengan jalan dengan menggu-nakan persamaan yaitu sama-sama memiliki badan.

b) Metafora Bercitra Hewan Adapun kata atau frase yang

mengandung variasi makna metafora bercitra hewan adalah:

Tabel 2. Metafora Bercitra Hewan Konteks Denotatif

Konteks dalam Surata Kabar

1a. tono memilki ayam kinanatan yang sehat dan jago dalam bertanding

1b. Di tempat terpisah, kelompok supporter PSMS SMeCK Hooligan, akan tetap datang ke Bekasi mendukung tim kebanggaannya. Meski dilarang membawa atribut, mereka berjanji tetap mengawal Ayam Kinantan ke babak delapan besar. (Tribun Medan)

Kata ayam pada data 1a merujuk pada sejenis unggas yang bulunya biasanya berwarna putih, besar sesuai ukuran unggas, dan pandai dalam beradu sesame ayam. Sedang data 1b merujuk pada sebuah perbuatan yang menyerupai hewan ayam Kinantan.Ada perubahan makna disini.Ayam jenis Kinantan ini adalah ayam khas Sumatetara Utara yang biasanya di jadikan masayarakat sebagai ayam jago. Dan hal ini, menunjukkan bahwa tokoh PSMS tersebut seperti ayam Kinanatan yang jago dalam arena pertandingan.

c) Metafora Bercitra Konkret ke Abstrak Adapun kata atau frase yang

mengandung variasi makna metafora bercitra abstrak ke konkret adalah:

Tabel 3. Metafora Bercitra Konkret ke Abstrak

Konteks Denotatif Konteks dalam Surata Kabar

1a. Budi memiliki kaos bola berwarna merah dan sangat indah

1b. Di pertandingan pecah ke -11 Liga Premier di London Stadium, Minggu

dipandang mata. (5/11) dini hari misalnya salah berkontribusi mencetak dua gold dan membantu “si Merah” menang 4-1 atas West Ham United.

Pada data 3a terdapat kata ilustrasi merah yang berarti gambar atau penjelas untuk membantu memahami bahwa baju bola budi indah.Makna ilustrasi merah ini berubah ketika ilustrasi berada pada konteks 1b. Pada data 1b, terjadi penyamaan benda konkret yaitu Liverpool club sepakbola dari Inggris dengan benda Abstrak yaitu ilustrasi mera hsehingga menyebabkan benda konkret Liverpool menjadi benda abstrak dalam konteks tersebut. Metafora seperti inilah yan disebut metafora berciri abstrak ke konkret.

d) Metafora Bercitra Sinestesia Adapun kata atau frase yang

mengandung variasi makna metafora sinestesia adalah:

Tabel 4. Metafora Bercitra Sinestesia

Konteks Denotatif

Konteks dalam Surata Kabar

1a. Taman itu dipenuhi oleh beraneka bunga yang baunya harum sekali

1b. Janpiter menambahkan KKI Sumut akan terus berkontribusi utnuk mencetak karakter berpretasi untuk membawa harum nama Sumut dan bahkan Indonesia.

Pada data 1a dan 1b, terjadi perubahan makna kata harum.Pada data 1a, kata harum mengacu kepada sebuah sifat bau positif yang hanya bisa dikenali oleh indera penciuman. Pada 1b, terjadi penyimpangan makna dengan menya-makan nama dengan bunga yang mengeluarkan bau harum. Nama tidak dapat dicium baunya, sehingga munculnya kata harum setelah kata nama merupakan bahasa yang tidak sebenarnya atau yang kita kenal sebagai bahasa figuratif. Sifat yang dibandingkan adalah kedua entitas (bunga dan nama) dianggap memiliki sifat positif yang sama yaitu dapat dirasakan dari jarak yang jauh, serta diskai oleh

Sukma Adelina Ray Analisis Jenis-jenis Metafora dalam Surat Kabar: Kajian Semantik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 152

banyak orang. Bau harum bunga dapat tercium dari tempat jauh. Demikian juga nama seseorang yang berjasa pada bangsa akan dapat dikenal dari jarak yang jauh juga. SIMPULAN

Metafora adalah kemiripan dan kesamaan tanggapan pancaindra. Metafora adalah suatu strategi untuk menyampaikan pesan menggunakan pemakaian kata atau ungkapan lain secara implisit dengan membandingkan suatu hal yang abstrak dengan hal konkret. Struktur metafora utama yang utama ialah (1) topik yang dibicarakan; (2) citra atau topic kedua; (3) titik kemiripan atau kesamaan. Hubungan antara topik atau citra dapat bersifat objektif dan emotif. Berdasarkan pilihan citra yang dipakai oleh pemakai bahasa dan para penulis di berbagai bahasa, pilihan citra dapat dibedakan atas empat kelompok, yakni (1) metafora bercitra antropomorfik, (2) metafora bercitra hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke konkret, (4) metafora bercitra sinestesia atau pertukaran tanggapan/persepsi indra. SARAN Hasil penelitian ini dapat dijadikan perbandingan terutama dalam hal analisis metafora dan bahan rujukan serta masukan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 1989. Semantik Bahasa

Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Lyon, John. 1977. Semantics Volume I.

Cambridge: Cambridge University Press.

Pradopo, Rahmat Djoko. 1994. Stilistika dalam Buletin Humaniora No.1 tahun 1994.Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.

Shaw, Harry. 1972. Dictionary of Literary Terms. New York: McGraw-Hill Book Co.

Sumarsono.2007. Pengantar Semantik. . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suwandi, Sarwiji. 2008. Semantik: Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa.

Ullmann, Stephen. 1977. Semantics, An Introduction to the Science of Meaning. Diadaptasi oleh Sumarsono menjadi Pengantar

Semantik.2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wahab, Abdul. 1986. Kesemestaan Metafora Jawa. Malang: IKIP Malang.

Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 153

PEMEROLEHAN SINTAKSIS PADA ANAK AUTISME

Risma Martalena Tarigan Dikbind PPs Universitas Negeri Medan

[email protected]

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemerolehan bahasa dalam bidang sintaksis pada anak autis. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sumber data diperoleh berdasarkan wawancara terhadap orang tua dan guru anak autis dan pengamatan terhadap objek penelitian (anak autis). Data yang diperlukan diperoleh dengan teknik simak. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil bahwa pemerolehan sintaksis pada anak autis mengalami keterlambatan. Pemerolehan bahasa pada anak penderita autis berbeda dengan anak normal. Perbedaan tersebut sangat terlihat dari perilaku dan pola komunikasi yang dihasilkan oleh anak penderita autis. Penderita autis cenderung menghindari komunikasi. Kecuali dengan orang-orang yang telah lama dikenalnya seperti orang tuanya. Anak penyandang autis memperoleh sintaksis dari struktur luar yaitu ucapan yang didengarnya. Lalu ucapan tersebut diintegrasikan dari struktur dalam anak dan membentuk pola sintaksis. Anak memahami makna dari ucapan dan membentuk sintaksis dalam berkomunikasi. Ketika anak autis memperoleh sintaksis, maka ia terlebih dulu telah memaknai sintaksis tersebut. Jika anak autis gagal memaknai sintaksis tersebut, maka ia cenderung membeo. Kegagalan pemahaman semantik itu yang menyebabkan keterlambatan dalam pemerolehan sintaksis anak autis. kata kunci : pemerolehan sintaksis, anak autisme Abstract.The purpose of this study was to determine language acquisition in the field of syntax in autistic children. This research is a descriptive study with a qualitative approach. Sources of data obtained based on interviews with parents and teachers of autistic children and observations of the object of research (autistic children). The required data is obtained by referring to the technique. Based on the results of the study, results were obtained that the acquisition of syntax in autistic children was delayed. Language acquisition in autistic children is different from normal children. The difference is very visible from the behavior and communication patterns produced by autistic children. Autistic people tend to avoid communication. Except with people he has long known like his parents. Children with autism get the syntax of the outer structure, the speech they hear. Then the speech is integrated from the structure in the child and forms a syntactic pattern. Children understand the meaning of speech and form syntax in communication. When an autistic child gets syntax, he has first interpreted the syntax. If an autistic child fails to interpret the syntax, then he tends to parrot. The failure of the semantic understanding causes delays in the acquisition of syntax of autistic children. keywords : syntactic acquisition, autistic children

PENDAHULUAN Bahasa memiliki peran yang

sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahasa menjadi media dalam menyampaikan gagasan, berinteraksi dan berkomunikasi. Murriel E. Morley dalam Danuatmaja Boni (2003: 141) mengartikan bahasa sebagai istilah untuk menjelaskan makna dan pikiran yang dirumuskan ke dalam sistem linguistik, sebagai dasar mengangkut pikiran. Sementara itu Keraf (2004:1) menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kridalaksana dalam Chaer (2012:32)

menekankan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut jelaslah bahwa bahasa merupakan unsur yang tak dapat dipisahkan dari manusia, Karena selama manusia hidup, maka akan senantiasa membutuhkan bahasa dalam kehidupannya. Bahasa menjadi ciri dalam diri manusia. Jika kita membahas bahasa, berarti kita sedang membahas esensi manusia yang menjadikan manusia unik melalui bahasa. Manusia dirancang untuk

Risma Martalena Tarigan Pemerolehan Sintaksis pada Anak Autisme

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 154

berbahasa. Hal itu diperkuat dengan adanya sistem dalam otak manusia untuk memproses dan memproduksi bahasa. Selain itu, manusia dilengkapi dengan alat ucap dan LAD (Language Acquisition Device). Chomsky (1968) dalam Lazuardi (1991: 101) berpendapat bahwa sebagian besar kemampuan bicara manusia sebenarnya ditentukan oleh faktor genetikanya (LAD) dan bahwa setiap anak sudah dilengkapi dengan suatu alat perkembangan bahasa. Perkembangan bahasa yang dicakup dalam pemerolehan bahasa merupakan suatu topik yang menarik untuk diteliti. Mengingat kemampuan setiap anak dalam memperoleh bahasa berbeda-beda. Ada anak yang cepat memperoleh bahasanya. Tetapi ada juga anak yang mengalami keterlambatan dalam memperoleh bahasa. Proses penyerapan bahasa dalam sistem otak berlangsung secara bertahap dari bahasa sederhana menjadi bahasa yang kompleks. Menurut Lennenberg dalam Tarigan (1984) menyatakan masa penyerapan semua proses ini tidak dapat ditentukan karena banyak faktor seperti faktor lingkungan dan faktor pertumbuhan biologis.

Anak yang menderita autisme pada umumnya mengalami gangguan dalam pemerolehan bahasa. Hal itu diungkapkan oleh Armisa dalam penelitiannya yang menyatakan anak autis yang menderita gangguan pada otak mengakibatkan hilangnya fungsi interaksi dan komunikasi. Anak autisme menjadi memiliki dunia sendiri dan tak memperdulikan lingkungan sekitar. Perihal tersebut tentunya, menjadikan anak autisme sulit memperoleh bahasa lebih lagi untuk menggunakannya dalam kehidupannya sehari-hari. Berdasarkan penelitian Ezmar dan Ramli dalam penelitiannya menyatakan anak yang mengalami gejala autis seringkali memiliki masalah dengan kemampuan berbahasanya. Bahkan 2/3 sampai 50% anak penderita autis, tidak mengalami perkembangan bahasa dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Hal itu didukung oleh pendapat yang menyatakan salah satu gejala utama autis adalah gangguan bahasa dan komunikasi, sebanyak 40% anak autis tidak bisa berbicara sama sekali (Zambrano, Garcia, Southa, 2002). Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu Nara (guru yang mengajari

anak penderita autis) menyatakan bahwa anak autis mengalami kesulitan dalam memperoleh bahasa. Hal itu terjadi pada siswanya belum bisa memahami bahasa dan mengucapkan bahasa secara tepat. Anak autis memiliki gangguan dalam berbahasa sehingga proses penyerapan bahasa anak autis berbeda dengan anak normal pada umumnya. Hal itu senada dengan pendapat Priyatna yang menyatakan Anak dengan autisme sering mengulang kata yang didengar sebelumnya atau biasa disebut echolalia (meniru atau membeo) serta kesulitan memahami percakapan yang sedang ditunjukkan kepadanya (Priyatna, 2010). Ibu Nara yang sudah berpengalaman dalam mengajari anak autis menyatakan konsentrasi anak autis dalam pengajaran bahasa perlu mempertimbangkan mental anak serta aspek suasana hati (mood). Karena jika mental dan suasana hati anak tidak terkendali maka akan sangat sulit bagi anak untuk menyerap bahasa. Hal itu didukung oleh penelitian Suteja yang menyatakan,

Kebiasaan anak-anak autis sangat terganggu secara fisik maupun mental, bahkan seringkali menjadi anak-anak yang terisolir dari lingkungannya dan hidup dalam dunianya sendiri dengan berbagai gangguan mental dan perilaku. Perilaku itu biasanya, sering bersikap semaunya sendiri tidak mau diatur, perilaku tidak terarah (mondar-mandiri, lari-lari, manjat-manjat, berputarputar, lompat-lompat, ngepak-ngepak, teriak-teriak, agresif, menyakiti diri sendiri, tantrum (mengamuk), sulit konsentrasi, perilaku refetitif.

Berdasarkan observasi awal pada anak autis berinisial B, gangguan berbahasa terlihat jelas. Gangguan dalam memperoleh bahasa menjadi perhatian khusus bagi peneliti. Sistem saraf dan sistem otak yang dianugrahkan pada anak untuk memperoleh bahasa, tetapi pada kasus anak autis pemerolehan bahasa tersebut terkendala. Bahkan dapat dikatakan bahwa pemerolehan bahasa pada anak autis bersifat lambat. Hal ini menjadi dasar dalam penelitian ini. Peneliti tertarik untuk meneliti kasus gangguan berbahasa ini karena perbedaan pemerolehan bahasa antara anak normal dengan anak penderita autis. Pemerolehan bahasa yang menjadi perhatian peneliti yaitu kompetensi dan performansi dari anak autis dalam berbahasa.

Risma Martalena Tarigan Pemerolehan Sintaksis pada Anak Autisme

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 155

METODE PENELITIAN Lokasi penelitian merupakan tempat penelitian akan berlangsung. Penelitian ini dilaksanakan di Jalan Raya Emplasment PTPN - II Kebun Tandem Hilir, Kecamatan Hamparan Perak, Kab. Deli Serdang dan di Bandara Kualanamu. Penelitian ini dilaksanakan pada minggu keempat bulan November tahun 2018. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena dan berbentuk kata-kata atau gambar bukan berupa angka-angka atau koefisien tentang hubungan antarvariabel. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Alasan penggunaan pendekatan kualitatif bersandar pada pendapat Moleong (2000:4-8) tentang ciri-ciri penelitian kualitatif, diantaranya; manusia sebagai alat (instrument), metode kualitatif, analisis data secara induktif, teori dari dasar (grounded theory), deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, adanya batas yang ditentukan oleh fokus, adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, desain yang bersifat sementara. Menurut Lofland dan Lofland (1984:47) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lainnya. Dalam penelitian ini sumber data primernya adalah kata-kata dan tindakan dari objek yang diteliti yaitu seorang anak laki-laki penyandang autis. Penelitian juga dilakukan pada orang tua dan guru anak penyandang autis. Data primer tersebut kemudian dikemas dalam data sekunder yang berupa foto, rekaman dan catatan penelitian. Selain itu, sumber data tertulis seperti buku dan jurnal juga menjadi bagian penting dalam sumber data penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan wawancara dan pengamatan yang dilakukan pada objek penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode simak. Kemudian, teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik rekam dan teknik catat (Sudaryanto, 1993:49). Menurut Sudaryanto (1993:134) metode simak merupakan pengumpulan data yang dilakukan melalui proses penyimakan terhadap penggunaan bahasa yang diteliti.

HASIL PENELITIAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh data dari informan bahwa pemerolehan bahasa pada anak penderita autis berbeda dengan anak normal. Perbedaan tersebut sangat terlihat dari perilaku dan pola komunikasi yang dihasilkan oleh anak penderita autis. Penderita autis cenderung menghindari komunikasi. Kecuali dengan orang-orang yang telah lama dikenalnya seperti orang tuanya. Informan menyatakan bahwa kegiatan komunikasi pada anak autis mengalami keterlambatan. Hal itu seiring dengan perilaku yang sulit dikendalikan dan emosi yang tidak menentu sehingga memaksa dan memarahi hanya akan membuat keadaan semakin parah. Informan menyatakan bahwa hal utama yang dilakukan pada penderita autis adalah memahami apa yang ia rasakan dan tidak memaksakan hal yang tidak ia sukai. Kendalikan terlebih dulu mentalnya maka komunikasi dapat terjadi. Berdasarkan pengamatan pada objek penelitian, maka diperoleh sintaksis yang diujarkan penderita autis. Sintaksis tersebut yaitu : 1. Kegiatan Saat di Bandara

Tabel 1. Deskripsi Sintaksis Saat di Bandara

No Sintaksis keterangan 1. Informan : Kita

dimana nak? Adik B : pesawat Informan : Kita dimana B ? B : Pesawat

adanya ekolalia dari penderita autis yang sebenarnya belum memahami konsep bandara karena baru pertama kali diajak ke bandara. Pesawat yang dimaksud disini yaitu bandara.

2. B : Apa itu, ma…ma..mama…

Adanya pengulangan berkali-kali seiring tindakan yang mengharuskan pertanyaannya dijawab dan jangan diabaikan.

3. (saat melihat adiknya memanjat pegangan gedung) B : eh, jangan manjat-manjat

adanya pemahaman makna bahwa manjat berbahaya karena bisa menyebabkan jatuh. Apa yang diucapkan B dalam sintaksis ini lahir dari pemahaman semantik yang diperolehnya.

Risma Martalena Tarigan Pemerolehan Sintaksis pada Anak Autisme

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 156

Perilaku B menunjukkan rasa peduli terhadap peristiwa.

4. Informan : Mau ketemu mas kita ya ? B : Dimana ma?

adanya pemahaman secara harfiah pada sintaksis dari informan sehingga B menyimpulkan bahwa ia akan bertemu seseorang.

5. B : ma, ma, ma, naik lift Informan : Apa nak? B : naik lift yang ini (sambil menunjuk lift) Informan : yang mana sayang? B : ma, ini ma, ma, ini, ma.. Informan : Berani B naik lift sendiri? B : Berani Ayah B : jangan-jangan nak Informan : nanti liftnya gak bisa tertutup naik..berat kali B

adanya bahasa meminta dan mengungkapkan perasaannya pada ibunya. B sebenarnya sangat senang menaiki lift. B sangat memahami konsep lift dalam pemikirannya. Dan pemilihan sintaksis yang kuat membuat pemahaman bagi orang yang mendengarnya. Hanya saja, pengulangan kata dan perilaku yang masih sering ditunjukkan oleh B.

6. B : ada buah-buahan ma (menunjuk gedung) Informan : buah apa nak?mana coba?dimana? B : binggung dan menggoyangkan tangan

Sebelum menaiki tangga, B melihat ada buah-buahan yang dijual di bandara. Ia mengatakan kalimat itu karena mengira buah tersebut pasti ada dijual di tempat itu. Tetapi saat ditanya dimana, ia binggung dan tidak tahu mengatakan tempat yang dilihatnya tadi. Jika tidak melihat konteks dan rangkaian peristiwa yang terjadi maka akan terjadi kebinggungan. Tetapi saat diingat alur yang terjadi, maka sintaksis B dapat diterima tetapi waktu pengucpannya tidak sesuai. Hal

itu dipengaruhi mental B.

7. Informan : Ayok pulang kita B : Dah yok Ma, ega mana ma? Informan : ega udah pulanglah

adanya hal yang belum dipahami dari pejelasan informan sebelumnya. Oleh sebab itu B kembali bertanya

8. B : Sini lah no,,jangan lasak kali lah no, akhh

adanya nada tinggi dari kalimat yang diucapkan karena adik B sulit diatur. Hal ini menimbulkan kemarahan B.

2. Kegiatan Saat Mendengarkan Lagu

Tabel 2. Deskripsi Sintaksis saat Mendengarkan lagu

No Sintaksis Keterangan 1 Ibu B : Mana

lagunya? Lagu Tik Tok Mas B : Tik-Tok? Tik Tok mana Ma? Ibu B : Ini kan tik tok ini Ini kan B? B : Bukan, bukan yang ini Ibu B : Jadi ? mau tik tok yang mana nak? B : Yang tadi, yang tadi pa

Adanya pemahaman semantik B pada pembicaraan yang sedang dibahas. tetapi kurangnya penguasaan kalimat menjadikan B minim dalam mengembangkan bahasanya.

PEMBAHASAN Berdasarkan data yang diperoleh, anak penyandang autis memperoleh sintaksis dari struktur luar yaitu ucapan yang didengarnya. Lalu ucapan tersebut diintegrasikan dari struktur dalam anak dan membentuk pola sintaksis yang sesuai konteksnya. Anak memahami makna dari ucapan dan membentuk sintaksis dalam berkomunikasi. Namun anak saat anak siap dalam berbahasa, anak cenderung membeo/ekolalia. Hal tersebut senada dengan teori Greenfield dan Smith bahwa dalam memperoleh sintaksis, anak akan cenderung memahami makna dari ujaran lalu mengucapkannya. Data : Informan : Kita dimana nak? Adik B : pesawat Informan : Kita dimana B ? B : Pesawat (menyatakan bandara) Ketika terjadinya pembicaraan tersebut B tidak siap dalam menjawab pertanyaan informan. B pernah mendengar kata bandara tetapi ia belum memahami

Risma Martalena Tarigan Pemerolehan Sintaksis pada Anak Autisme

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 157

makna bandara. Sehingga ia cenderung membeo dari jawaban adiknya. Data : (saat melihat adiknya memanjat pegangan gedung) B : eh, jangan manjat-manjat Saat B melihat adiknya memanjat pegangan gedung, B mengucapkan “ eh, jangan manjat-manjat.” B memahami jika adiknya memanjat dan terjatuh akan menyebabkan hal yang membahayakan sang adik. Oleh sebab itu, B melarang adiknya. Data : Informan : Mau ketemu mas kita ya ? B : Dimana ma? Dalam percakapan tersebut, B menganalisis dan mencari makna dari ujaran informan. B mengetahui makna dari “mau ketemu mas kita ya?” sehingga B menjawab “Dimana ma?” yang berarti hendak ketemu mas dimana. Data : B : ma, ma, ma, naik lift Informan : Apa nak? B : naik lift yang ini (sambil menunjuk lift) Informan : yang mana sayang? B : ma, ini ma, ma, ini, ma.. Informan : Berani B naik lift sendiri? B : Berani Ayah B : jangan-jangan nak Informan : nanti liftnya gak bisa tertutup nak..berat kali B Berdasarkan percakapan tersebut, B sangat menyukai sekaligus memaknai bahwa menaiki lift adalah hal yang sangat menyenangkan. Oleh sebab itu, B tidak ragu dalam meminta untuk menaiki lift. B menghasilkan ujaran yang yang ia tahu benar maknanya. Walaupun B seringkali mengabaikan struktur kalimat yang utuh tetapi sintaksis yang dihasilkan B berlandaskan makna yang telah ia peroleh sebelumnya. Data : B : ada buah-buahan ma (menunjuk gedung) Informan : buah apa nak?mana coba?dimana? B : binggung dan menggoyangkan tangan Berdasarkan percakapan tersebut, B mengatakan sintaksis yang memiliki makna tetapi tidak sesuai dengan waktu dan tempat saat B berujar. B melihat pedagang buah sebelumnya. Tetapi saat naik lantai 2 di bandara, ia mengingat dan ingin membeli buah-buah tadi. Hal tersebut menimbulkan

kebingungan. B juga menjadi binggung karena tidak dapat menjelaskan maksud dari ucapannya sehingga ia diam dan menggoyang-goyangkan tangannya. Ia berusaha mencari sintaksis yang tepat untuk menyatakan maksudnya tetapi ia tidak menemukannya. Data : Informan : Ayok pulang kita B : Dah yok Ma, ega mana ma? Informan : ega udah pulanglah Berdasarkan percakapan tersebut, B belum memahami makna dari informan sebelumnya sehingga ia kembali bertanya untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. Data : B : Sini lah no,,jangan lasak kali lah no, akhh Ujaran tersebut menyatakan rasa kesal B terhadap adiknya yang berlari-lari di tengah keramaian di bandara. Ia takut adiknya tidak terlihat karena keramaian sehingga ia memarahi adiknya. Ujaran tersebut disertai nada kesal B. Data : Ibu B : Mana lagunya? Lagu Tik Tok Mas B : Tik-Tok? Tik Tok mana Ma? Ibu B : Ini kan tik tok ini Ini kan B? B : Bukan, bukan yang ini Ibu B : Jadi ? mau tik tok yang mana nak? B : Yang tadi, yang tadi pa Berdasarkan data di atas, B memahami percakapan yang terjadi dan berusaha mengutarakan keinginannya. B sangat sulit mengutarakan bahasa yang utuh dalam mengutarakan pemikirannya. Tetapi melalui bahasa sederhana dan sintaksis yang tidak lengkap, ia mencoba berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Penelitian ini mengacu pada teori Greenfield dan Smith. Pemerolehan struktur kalimat didasarkan oleh pemahaman semantik. Artinya saat individu mengetahui makna dari yang ingin diucapkannya, maka struktur kalimat individu tersebut mulai diperoleh dan dikembangkan. Anak autis juga memiliki struktur yang sama dengan anak normal. Ketika anak autis memperoleh sintaksis, maka ia terlebih dulu telah memaknai sintaksis tersebut. Jika anak autis gagal memaknai sintaksis tersebut, maka ia cenderung membeo. Kegagalan pemahaman semantik itu yang

Risma Martalena Tarigan Pemerolehan Sintaksis pada Anak Autisme

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 158

menyebabkan keterlambatan dalam pemerolehan sintaksis anak autis. SIMPULAN Anak autis memperoleh sintaksis dengan memaknai percakapan dan hal yang ingin diutarakan. Tetapi pola sintaksis yang dihasilkan anak autis masih sederhana. Seringkali anak autis menyebutkan frase- frase dalam mengutarakan sintaksis yang ingin diujarkannya. Saat keadaan tidak siap, anak autis akan cenderung membeo/ ekolalia. Hal itu disebabkan karena kegagalan pemahaman semantik pada anak autis sehingga pengungkapan pemikirannya dalam bentuk bahasa menjadi terhambat. Dalam memperoleh sintaksis, anak memahami terlebih dahulu bentuk percakapan yang didengarnya. Hal tersebut menyusun pola-pola kalimat yang dapat diujarkannya setelah mengetahui makna percakapan tersebut. Jika belum mengetahui maknanya, ia akan cenderung diam dan tidak merespon. SARAN Penelitian ini hanya membahas pemerolehan bahasa dari segi sintaksis pada anak autisme. Penelitian-penelitian yang relevan dan mencakup pemerolehan bahasa seperti semantik, fonologi, morfologi dan pragmatik akan memberikan wawasan yang lebih luas untuk mengetahui secara utuh pemerolehan bahasa pada anak autisme. DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa

Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Aprianti, Yuli. 2012. Pemerolehan

Kalimat Anak Autis di SDLB Banjarbaru, Skripsi, Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat.

Basuki, Imam Agus. 2005. Linguistika

Teori dan Terapannya. Yogyakarta: Grafika Indah.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum.

Jakarta: Renika Cipta. ___________. 2009. Sintaksis Bahasa

Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta Renika Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Unika Atma Jaya.

Desmita, 2009. Psikologi Perkembangan

Peserta Didik. Bandung: Rosda. Grifin, Simone dan Dianne Sandler. 2010.

Motivate to Communicate “300 Permainan dan Aktivitas untuk Anak Autis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007.

Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Bogor: Carasvatibook.

Kridalaksana, Harimurti. 1992.

Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Lelono, Djoko. 2009. Pedoman Penulisan

Skripsi. Banjarmasin: JPOK-FKIP Unlam.

Parera, Jos Daniel. 1991. Sintaksis.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Risma Martalena Tarigan Pemerolehan Sintaksis pada Anak Autisme

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 159

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 160

STRATEGI DAN IMPLEMENTASI PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER PESERTA DIDIK

Mepri Yanti Pandiangan

Dikbind PPs Universitas Negeri Medan [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) strategi pelaksanaan pendidikan karakter disekolah; dan (2) implementasi pelaksanaan pendidikan karakter peserta didik. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.Pengumpulan data dilakukan denan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi.Pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi, yaitu dengan pengecekan terhadap informasi hasil wawancara dengan dokumentasi dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pelaksanaan pendidikan karakter peserta didik dapat dilakukan melalui: pengintegrasian nilai dan etika pada mata pelajaran, internalisasi nilai positif yang di tanamkan oleh semua warga sekolah, pembiasaan dan latihan, pemberian contoh dan teladan, penciptaan suasana berkarakter di sekolah, serta pembudayaan. Implementasi pendidikan karakter peserta didik dilakukan melalui keterpaduan antara pembentukan karakter dengan pembelajaran, manajemen sekolah, dan kegiatan ekstrakurikuler.

Kata Kunci: Strategi, Implementasi, Pendidikan Karakter

Abstract. This study aims to understand: (1) strategies for implementing character education in schools; and (2) the implementation of student character education. This research is a qualitative descriptive study. Data collection is done with observation, interview, and documentation techniques. Checking the validity of the data is done by triangulation techniques, namely by checking the information on the results of interviews with rules and observations. The results of the study show that the strategies for implementing student training can be done through: integrating values and ethics on subjects, internalizing positive values instilled by all school members, habituating and training, giving examples and examples, related to character in school, and culture. The implementation of student character education is carried out through integration between character building with learning, school management, and extracurricular activities. Keywords: Strategy, Implementation, Character Education

PENDAHULUAN Dalam UU RI No 20 Tahun 2003

disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan serta mem-bentuk watak peradaban bangsa yang ber-martabat untuk mewujudkan cita-cita bang-sa, yaitu mencerdaskan kehidupan berbang-sa serta berupaya untuk mengembangkan potensi serta kemampuan peserta didik dan menjadikan mereka menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, berilmu cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara.Pendidikan karakter adalah suatu proses pendidikan yang holistic yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan peserta didik sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup mandiri silabus.org dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. (Rahardjo 2010:16)

Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah, bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat tabiat, temperamen dan watak, sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak sedangkan pendidikan dalam arti sederhana sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina, kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dalam perkembangannya , istilah pendidikan atau paedagogie, berarti bimbingan atau pertolongan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.

Mepri Yanti Pandiangan Strategi dan Implementasi Pelaksanaan Pendidikan Karakter Peserta Didik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 161

Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan seseorang atau kelompok lain agar menjadi dewasa untuk mencapai tingkat hidup atau penghidupam lebih tinggi dalam arti mental. Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (1991) adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seserorang yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Jadi, Pendidikan karakter adalah sebuah system yang menanamkan nilai-nilai karakter pada peserta didik, yang mengandung komponen pengetahuan, kesadaran individu, tekad, srta adanya kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nlai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, linkungan, maupun bangsa, sehingga akan terwujud insane kamil.Pendidikan karakter itu sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang baru bagi masyarakat Indonseia. Bahkan awal kemerdekaan, masa orde baru, masa orde lama, dan kini orde reformasi telah banyak langkah- langkah yang sudah dilakukan dalam rangka pendidikan karakter dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda. Dalam UU tentang pendidikan nasional yang pertama kali, ialah UU 1964 yang berlaku tahun 1947 hingga UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 yang terakhir pendidikan karakter telah ada, namun belum menjadi fokus utama pendidikan. Pendidikan akhlak (karakter) masih digabung dalam mata pelajaran agama dan diserahkan sepenuhnya kepada guru agama. Pelaksanaan pendidikan karakter kepada guru agama saja sudah menjadi jaminan pendidikan karakter tidak akan berhasil. Maka wajar saat ini pendidikan karakter belum menunjukkan hasil yang optimal (Gunawan, 2012 :iii).

Semua perilaku negatif masyarakat Indonesia baik yang terjadi kalangan pelajar ataupun mahasiswa maupun kalangan yang lainnya, jelas ini menunjukkan kerapuhan karakter yang cukup parah yang salah satunya lembaga pendidikan. Dalam pelaksanaan pendidikan karakter tidaklah hanya diserahkan kepada guru agama saja, karena dalam pelaksanaan pendidikan harus dipikul oleh semua pihak, temasuk kepala sekolah, para guru, staf tata usaha, tukang sapu, penjaga kantin, dan bahkan

orang tua di rumah. Untuk mewujudkan siswa yang berkarakter, diperlukan upaya yang tepat melalui pendidikan. Karena pendidikan mempunyai peranan penting dan sentral dalam menanamkan, mentransformasikan dan menumbuh kembangkan karakter positif siswa, serta mengubah watak siswa yang tidak baik menjadi baik (Gunawan, 2012 :iv-v). Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi pembangunan karakter sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan norma-norma di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama. Pembangunan karakter dan pendidikan karakter menjadi suatu keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas, akan tetapi juga mempunyai budi pekerti dan sopan santun sehingga keberadannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya maupun orang lain.”Intinya pendidikan karakter harus dilakukan pada semua tingkat pendidikan hingga Perguruan Tinggi karena harus mampu berperan sebagai mesin informasi yang membawa bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas, santun, sejahtera dan bermartabat serta mampu bersaing dengan bangsa manapun” (Amri, 2011 : 50). Sehingga tidak ada yang menyangkal bahwa karakter merupakan aspek yang penting untuk kesuksesan manusia masa yang akan datang. Karakter yang kuat akan membentuk mental yang kuat serta akan membentuk karakter yang kuat pula, pantang menyerah, berani mengarungi proses panjang, serta menerjang arus badai yang bergelombang dan berbahaya. Oleh karena itu, pendidikan karakter menjadi keniscayaan bagi bangsa ini untuk membangun mental pemenang bagi generasi bangsa di masa yang akan datang (Asmani, 2011 :19-20). Dalam pembentukan karakter seorang siswa, belum bisa langsung baik karena, itu tergantung dimana dia bersekolah, lingkungan keluarga, lingkungan teman, dan masyarakat. Jadi pembentukan karakter ini sangat berpengaruh dengan pergaulan yang anak iitu miliki.Dengan demikian, untuk menanggulangi masalah tersebut maka adanya perhatian khusus kepada siswa agar lebih baik dari pihak guru dan orang tua siswa. Mengenai cara

Mepri Yanti Pandiangan Strategi dan Implementasi Pelaksanaan Pendidikan Karakter Peserta Didik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 162

berbicara, cara berpakaian, kedisiplinan, cara bergaul dengan teman dan lainsebagainya.

Peserta didik merupakan salah satu sekolah yang ada di Medan yang didik menjadi anak-anak sukses didalam jurusan masing masing dengan apa yang telah dipilihnya. Dengan demikian harapan para guru, siswa tersebut berguna bagi lingkungan keluarga masyarakat maupun lingkungan ruang kerja.Sedikit gambaran tentang Peserta didik bahwa penulis mengadakan penelitian di Sekolah Menengah Atas dikarenakan menurut pengamatan penulis waktu PPL tersebut, bahwasanyadidalam lingkungan Peserta didik guru dan murid selalu membiasakan adanya rasa kasih saying antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru. Penulis juga melihat bahwa etika berbicara dan tata sopan santun dengan guru juga kurang dalam pembentukan karakter siswa. Dengan hal tersebut maka terlihatlah rasa kekeluargaan salah satunya yaitu dengan saling berjabatan tangan ketika bertemu dalam lingkungan sekolah tersebut dan rasa kekeluargaan itu justru mengurangi sopan santun siswa dalam batasan etika berbicara mereka. Adapun keadaan tersebut terjadi karena mereka tinggal dilingkungan tempat tinggal yang tidak mendukung karakter yang mereka miliki disekolah sehingga nilai yang ditanam disekolah menjadi berkurang dalam pendidikan berkarakter.

Pemahaman yang mendalam dari praktisi pendidikan terhadap konsep pen-didikan karakter menjadi taruhan bagi keberhasilan pendidikan karakter di setiap satuan pendidikan.Meskipun pendidikan karakter sudah diintegrasikan di sekolah-sekolah di Wilayah Kota Medan, na-mun hasil nyatanya belum terlihat dengan jelas. Proses pendidikna karakter tidak da-pat langsung dilihat hasilnya dalam proses waktu yang singkat, tetapi memerlukan proses yang kontinyu dan konsisten. Pendidikan karakter berkaitan dengan waktu yang panjang sehingga tidak dapat dilakukan dengan satu kegiatan saja.Itulah sebabnya pendidikan karakter sangat penting. Pendidikan karakter harus diimplementasikan kemudian diintegrasi-kan dalam kehidupan sekolah, baik dalam konteks pembelajaran di dalam kelas mau-pun di luar kelas. Oleh karena itu, peneli-tian ini dimaksudkan untuk mengidenti-fikasi strategi dan implementasi pelaksanaannya. Dalam menanamkan

pendidikan karakter di Peserta didik sudah maksimal akan tetapi realita yang terjadi peserta didiknya belum begitu menerapkan dari nilai-nilai karakter yang diharapkan. Baik dalam menerapkan akhlak peserta didik dari segi menghormati guru, tingkah laku kepada guru yangkurang sopan. Dengan dasar itulah penulis memilih Peserta didik sebagai objek.Ini menunjukkan Peserta didik juga mempunyai peduli terhadap pertumbuhan akhlak, membina keprofesionalan seorang siswa yang berprestasi dan juga terdapat juga pada pendidikan karakter, akan tetapi pada realitanyanya masih ada beberapa kelakuan siswa yang tidak sesuai dengan peraturan disekolah. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk membahasnya dalam bentuk Tesis yang berjudul ”Strategi Dan Implementasi Pelaksanaan Pendidikan Karakter Peserta Didik”. METODE PENELITIAN Untuk melakukan penelitian ini diperlukan metode penelitian yang tersusun secara sistematis, dengan tujuan agar data yang diperoleh benar keabsahanya sehingga penelitian ini layak untuk diuji kebenarannya dan dapat dipertanggung jawabkan. Ada tiga implikasi pertama bahwa adanya karakter tanggung jawab dalam pembelajaran matematika kelas cerdas yang membangun keaktifan belajar siswa. Kedua, adanya karakter disiplin dalam pembelajaran matematika kelas cerdas istimewa dapat membangun ketaatan siswa saat proses pembelajaran. Ketiga, adanya karekter jujur dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas cerdas istimewa dapat membangun kepercayaan guru terhadap peserta didik saat pembelajaran berlangsung.

Berdasarkan tinjauan umum penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas, tampaknya peneliti belum menemukan sebuah riset hubungan pendidikan karakter dalam berbicara pada pendidikan bahasa Indonesia.Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif untuk mengungkap strategi dan implementasi pendidikan karakter yang sudah dilakukan oleh peserta didik.Subjek penelitian ini adalah kepala sekolah, siswa, dan guru.Teknik pengumpulan data yang di-gunakan dalam penelitian ini adalah wa-wancara, observasi, dan dokumentasi.Wawancara digunakan untuk menjaring data atau informasi yang

Mepri Yanti Pandiangan Strategi dan Implementasi Pelaksanaan Pendidikan Karakter Peserta Didik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 163

berkaitan dengan ber-bagai kebijakan yang dilakukan sekolah dalam pelaksanaan pendidikan karakter disiplin.Observasi dilakukan untuk melihat implementasi pendidikan karakter disiplin melalui pembelajaran di kelas.Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data tentang tata tertib sekolah dan renca-na pembelajaran yang dibuat oleh guru. Untuk memperoleh data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan keabsahan data.Dalam penelitian ini tek-nik pemeriksaan keabsahan data yang di-gunakan adalah teknik triangulasi, yaitu teknik penyilangan informasi yang diperoleh dari sumber sehingga pada akhirnya hanya data yang absah saja yang digunakan untuk mencapai hasil penelitian (Ari-kunto, 2006:18). Teknik triangulasi dilakukan dengan caratriangulasi metode, yaitu dengan mengecek ulang informasi hasil wawancara dengan dokumentasi dan observasi. HASIL PENELITIAN Strategi Pelaksanaan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter dapat diimple-metasikan melalui beberapa strategi danpendekatan yang meliputi: (1) pengintegra-sian nilai dan etika pada mata pelajaran; (2) internalisasi nilai positif yang di tanamkan oleh semua warga sekolah (kepala sekolah, guru, dan orang tua); (3) pembiasaan dan latihan; (4) pemberian contoh dan teladan; (5) penciptaan suasana berkarakter di seko-lah; dan (6) pembudayaan. Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendi-dikan Nasional mengembangkan Grand De-sign pendidikan karakter untuk setiap ja-lur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Berdasarkan grand design yang di kem-bangkan Kemendiknas (2010), secara psi-kologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu ma-nusia (kognitif, afektif, konatif, dan psiko-motorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan ma-syarakat) dan berlangsung sepanjang ha-yat.

Grand design menjadi rujukan kon-septual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaianpada setiap ja-lur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakterdalam konteks totalitas proses psi-

kologis dan sosial-kultural tersebut dike-lompokan dalam: (1) olah hati (spiritual andemotional development); (2) olah pikir (in-tellectual development); (3) olah raga dan ki-nestetik (physical and kinestetic development); dan (4) olah rasa dan karsa (affective andcreativity development). Keempat proses psikososial tersebut secara terpadu saling ber-kait dan saling melengkapi, yang bermuara pada pembentukan karakter yang menjadi perwujudan dari nilai-nilai luhur. Pengem-bangan dan implementasi pendidikan ka-rakter perlu ini dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut. Potensi Siswa/Peserta Didik

Siswa 124 siswa, dengan perincian seperti terlihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Jumlah Siswa No Kelas Jumlah Siswa 1. VI 39 siswa 2. VII 43 siswa 3. VIII 42 siswa

Tabel 2. Perbandingan Siswa Laki-laki Dan

Perempuan No

Kelas P L Jumlah

1. VI 21 18 39 siswa 2. VII 23 20 43 siswa 3. VIII 22 20 42 siswa Jumlah 66 58 124 PEMBAHASAN Fasilitas Belajar Mengajar dan Media

Fasilitas kegiatan belajar mengajar yang dimiliki oleh peserta didik dapat dikatakan lengkap meliputi: pa-pan tulis, meja, kursi, kapur, tape, player, video, kaset, komputer, perpustakaan, spidol, dan proyektor. Fasilitas ini digunakan untuk membantu kelancaran kegiatan belajar mengajar maupun kegiatan sekolah lainnya.Menurut Fitri (2012), strategi pembe-lajaran pendidikan karakter dapat dilihat dalam empat bentuk intregrasi. Berikut integrasi pembelajaran pendidikan karakter peserta didik.

Pertama, integrasi dalam mata pelajaran. Pelaksanaan pendidikan karakter dilakukan secara terintegrasi ke dalam penyusunan silabus dan indikator yang merujuk pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang terdapat dalam KTSP. Berikut merupakan salah satu contoh inte-grasi ke dalam mata pelajaran Pendidikan Agama: (1) bersalaman dengan mencium tangan guru untuk memunculkan rasa hormat dan tawadhu kepada guru; (2) penanaman sikap disiplin dan syukur melalui shalat berjamaah pada

Mepri Yanti Pandiangan Strategi dan Implementasi Pelaksanaan Pendidikan Karakter Peserta Didik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 164

waktunya; dan (3) penanaman nilai ikhlas dan pengorbanan melalui penyantunan terhadap anak yatim dan fakir miskin.

Kedua, integrasi melalui pembelajaran tematis.Pembelajaran tematis adalah pendekatan dalam pembelajaran yang se-cara sengaja mengaitkan atau memadukan beberapa kompetensi dasar dan indikator dari beberapa mata pelajaran untuk di-kemas dalam satu kesatuan. Pembelajaran tematis dapat dikembangkan melalui: (1) pemetaan kompetensi untuk memperoleh gambaran kompreherensif dan utuh semua standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator dari berbagai mata pelajaran yang di padukan dalam tema yang dipilih; (2) identifikasi dan analisis untuk setiap standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator yang cocok untuk setiap tema; (3) menetapkan jaringan tema, menghubungkan KD dan indikator dengan tema sehingga akan tampak kaitan antar tema, kompetensi dasar, dan indicator; (4) penyusunan silabus: silabus tematik sudah di masukkan pendidikan karakter yang akan di ajarkan pada siswa; (5) penyusunan RPP pendidikan karakter.

Ketiga, integrasi melalui pembiasaan. Pengkondisian dan pembiasaan untuk mengembangkan karakter dapat dilakukan dengan cara: (1) mengucapkan salam saat mengawali belajar mengajar; (2) berdoa se-belum memulai pekerjaan untuk menanam-kan nilai syuku; (3) pembiasaan pemberian kesempatan kepada orang lain untuk berbicara sampai selesai sebelum memberikan komentar; (4) pembiasaan angkat tangan bila hendak bertanya, menjawab, bependa-pat dan hanya berbicara setelah dipersilah-kan; (5) pembiasaan bersalaman saat bertemu guru; dan (6) melaksanakan sholat berjamaah di sekolah.

Keempat, intergrasi melalui kegiatan ekstra kurikuler. Kegiatan ekstrakuriluer antara lain: (1) pramuka: siswa dilatih dan dibina untuk mengembangkan diri dan meningkatkan hampir semua karakter, mi-salnya: melatih disiplin, jujur, menghargai waktu, tenggang rasa; (2) palang merah re-maja untuk menumbuhkan rasa kepedu-lian kepada sesama juga melatih percakap-an sosial dan jiwa social; (3) olahraga untuk mengajarkan nilai sportifitas dalam ber-main menang ataupun kalah bukan menjadi tujuan utama melainkan nilai

kerja ke-ras dan semangat juang yang tinggi; (4) karya wisata: pembelajaran di luar kelas yang langsung melihat realitas sebagai bahan pengayaan peserta didik dalam belajar melalui kunjungan ke tempat tertentu; dan (5) outbond, yakni aktivitas di luar kelasdengan menekankan aktivitas fisik yang penuh tantangan dan petualangan. Menurut Mulyasa (2006), beberapa hal yang dapat dilakukan oleh para guru dalam iklim belajar yang kondusif antara lain sebagai berikut. Pertama, mempelajari pengalaman peserta didik di sekolah me-lalui catatan komulatif.Kedua, mempelajari nama-nama peserta didik secara langsung, misalnya melalui daftar hadir di kelas.Ke-tiga, mempertimbangkan lingkungan pem-belajaran dan lingkungan peserta didik.Keempat, memberikan tugas yang jelas, da-pat dipahami.sederhana, dan tidak bertele-tele. Kelima, menyiaapkan kegiatan sehari-hari agar apa yang dilakukan pembelajaran sesuai dengan yang direncanakan dan tidak terjadi banyak penyimpangan. Keenam, bergairah dan bersemangat dalam melakukan pembelajaran agar dijadikan teladan oleh peserta didik.Ketujuh, berbuat sesuatu yang berbeda dan bervariasi, jangan mononton sehingga merangsang disiplin dan gairah belajar peserta didik.

Kedelapan, menyesuaikan argumentasi dengan kemampuan peserta didik untuk bisa sesuai dengan pe-mahaman guru atau mengukur peserta didik dari kemampuan gurunya. Untuk bisa mencapai pribadi yang bermoral, salah satu cara yang dapat di lakukan adalah memberikan pembelajaran secara efektif, efisien, dan menarik atau dalam bahasa sekarang disebut dengan PAIKEM (Praktis, Aktif, Inovatif, Kreatif, dan Menyenangkan) untuk dapat men-capai pembelajaran karakter yang berkua-litas, perlu dirancang strategi yang inova-tif. Pembelajaran unggul adalah proses be-lajar mengajar yang di kembangkan dalam rangka membelajarkan semuas siswa ber-dasarkan tingkat keunggulannya untuk menjadikannnya beriman dan bertakwa ke-pada Tuhan Yang Maha Esa dan mengua-sai ilmu pengetahuan dan teknologi secara mandiri. Namun dalam kebersamaan, mam-pu menghasilkan karya terbaik untuk meng-hadapi persaingan pasar bebas.

Mepri Yanti Pandiangan Strategi dan Implementasi Pelaksanaan Pendidikan Karakter Peserta Didik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 165

Dewasa ini, pembelajaran yang ter-pusat pada siswa (student center) lebih di-kenal dengan istilah PAIKEM (Praktis, Aktif, Inovatif, Kreatif, dan Menyanang-kan) yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, pembelajaran aktif merupakan se-buah pendekatan pendekatan pembelajar-an yang lebih banyak melibatkan aktivitas peserta didik dalam mengakses berbagai informasi dan pengetahuaan untuk diba-has dan dikaji dalam pembelajaran di kelas sehingga mereka mendapatkan berbagai pengalaman yang dapat meningkatkan pe-mahaman dan kompetensinya. Kedua, pem-belajaran kreatif mengharuskan guru dapat memotivasi dan memunculkan kreativitas peserta didik selama pembelajaran berlang-sung dengan menggunakan metode atau strategi yang bervariasi, misalnya kerja kelompok, bermain peran, dan memecahkanwahan; (2) hubungan profesional; dan (3) hubungan sederajat atau sukarela yang didasarkan pada nilai-nilai positif, seperti persaudaraan, kedermawanan, kejujuran, saling menghormati, dan sebagainya.

Pengembangan pendidikan dalam mewujudkan budaya berkarakter di seko-lah yang bersifat di sekolah yang bersifat horizontal tersebut dapat dilakukan me-lalui pendekatan pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuatif atau mengajak kepada warga sekolah dengan cara halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sikap kegiatannya berupa proaksi, yakni mem-buat aksi atau inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan sendiri, dan membaca munculnya aksi-aksi agar dapat ikut mem-beri warna dan arah pada perkembangan nilai-nilai religiusitas di sekolah.Dapat pula berupa antisipasi, yakni tindakan aktif menciptakan situasi dan kondisi ideal agar tercapai tujuan idealnya.

Lebih detail, pembentukan karakter positif dapat dilakukan melalui empat pen-dekatan berikut.

Pertama, pendekatan ins-truktif-struktural, yaitu strategi pemben-tukan karakter di sekolah sudah menjadi komitmen dan kebijakan pemimpin seko-lah sehingga lahir berbagai peraturan atau kebijakan yang mendukung terhadap ber-bagai kegiatan berkarakter di sekolah be-serta berbagai sarana dan prasarana pen-dukungnya termasuk dari sisi pembiasaan.

Kedua, pendekatan formal-kurikuler, yaitu strategi pembentukan

karakter di sekolah dilakukan dalam pengintegrasian dan peng-optimalan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di semua mata pelajaran dan karakter yang dikembangkan.

Ketiga, pendekatan mekanik- fragmented, yaitu strategi pembentukan karakter di sekolah di dasari oleh pemahaman bahwa kehidupan terdiri atas berbagai aspek dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan se-perangkat nilai kehidupan yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fung-sinya.

Keempat, pendekatan organik-sistematis, yaitu pendidikan karakter merupakan kesatuan atau sebagai sistem sekolah yang berusaha mengembangkan pandang-an atau semangat hidup berbasis nilai dan etika, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup, perilaku, dan keterampilan hidup yang berkarakter bagi seluruh warga sekolah. Berikut ini merupakan kegiatan penanaman pendidikan karakter yang di observasi oleh penulis. Pengamatan Kultur Siswa 1. Kedisiplinan

Kedisiplinan di lingkungan sekolah di mana anak sedang melakukan kegiatan belajarnya. Di lingkungan sekolah kedisiplinan ini diwujudkan dalam pelaksanaan tata tertib sekolah.Masih terlihat beberapa anak yang masih belum sesuai dengan tata tertib misalnya dalam hal berpakaian seragam. Beberapa anak juga masih terlambat mengikuti apel pagi. 2. Kerapian

Siswa laki-laki dalam berpakaian sudah rapi seperti baju sudah dimasukkan, menutup aurat terbukti dengan memakai celana panjang, sudah memakai ikat pinggang, serta rambut juga tidak ada yang panjang, sedangkan putri karena bajunya panjang maka bajunya memang dikeluarkan, memakai jilbab bagi yang beragama islam 3. Sopan Santun

Siswa sopan terhadap guru maupun tamu yang datang ke sekolah. Pada setiap paginya terdapat guru yang piket men-jaga gerbang sekolah untuk menyambut siswa yang datang pada pagi hari untuk bersalaman, Siswa mengucapkan salam dan mencium tangan ketika bertemu dengan guru 4. Kerjasama

Kerjasama siswa terlihat terutama pada waktu proses pembelajaran seperti

Mepri Yanti Pandiangan Strategi dan Implementasi Pelaksanaan Pendidikan Karakter Peserta Didik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 166

pe-laksanaan tugas kelompok, baik tugas di kelas maupun tugas di rumah. 5. Tanggung Jawab

Tanggung jawab siswa sebagai pelajar adalah belajar dengan baik, mengerja-kan tugas sekolah yang sudah diberikan kepadanya dan tidak meninggalkan tu-gasnya sebelum berhasil menyelesaikan-nya, disiplin dalam menjalani tata tertib sekolah. 6. Ketaatan beribadah

Adanya sholat dhuhur berjamaah selu-ruh warga sekolah, sholat dhuha dan mengaji bersama. 7. Kepedulian

Kepedulian siswa-siswi akan kebersihan masih kurang. Hal ini terbukti dengan masih terlihatnya sampah di lingkungan sekolah khususnya di dalam kelas 8. Kemandirian

Siswa berusaha menyelesaikan setiap tugas dengan waktu secepat dan seefisien mungkin, kemandirian belajar dilakukan dalam kegiatan berdiskusi. Pe-ran aktif siswa dalam berbagai kegiatan tersebut, mengindikasikan bahwa siswa tersebut memiliki kemandirian belajar yang tinggi. 9. Kerajinan

Siswa- siswi rajin dalam melaksanakan tugas dari guru ini terbukti setiap siswa diberikan tugas mata pelajaran tidak ada siswa yang telat mengumpulkan tugas. Kultur Guru 1. Keteladanan

Guru dapat menunjukkan sikap yang sopan, ucapan yang menyejukkan dan mempunyai pribadi yang menyenang-kan semua siswanya. Guru sudah mem-berikan contoh seperti rajin, tepat waktu, bertanggung jawab dan lain sebagai-nya. Selain itu, guru yang bersangkutan selalu hadir dengan penuh keceriaan, memberikan bimbingan, bantuan, saran, kritik yang membangun dengan niat yang ikhlas.Apa yang dilakukan guru di luar kelas setidak-tidaknya dapat memberikan image yang positif jikalau mampu diperankan dengan baik 2. Kedisplinan

Kedisiplinan guru dalam mengajar, sikap disiplin pribadi guru juga terlihat adanya semangat dan rasa tanggung jawab untuk melaksanakan tugas, tidak adanya kecintaan terhadap pekerjaan sebagai pendidik. 3. Kerapian

Guru memperhatikan kerapian berpa-kaian dan penampilan selain mampu menimbulkan kepercayaan diri juga da-pat menciptakan daya tarik bagi siswa. Guru sudah berpakaian serasi dan tidak mencolok agar siswanya tertarik meng-ikuti pelajaran yang diberikan. 4. Sopan Santun

Guru berbicara dengan nada yang baik, menghargai siswanya, bersikap sabar terhadap siswa. 5. Kerjasama

Sudah terlihat adanya kerjasama antara guru dengan siswa terutama pada saat proses pembelajaran, serta kerjasama an-targuru yang terlihat pada terbukanya terhadap saran dan kritik antar guru, serta saling tukar menukar informasi yang positif untuk kemajuan di bidang pembelajaran. 6. Tanggung Jawab

Tanggung jawab guru sudah menguasai cara pengajaran yang efektif dimana guru harus bisa menjadi model bagi murid, bisa memberi nasihat, mengua-sai teknik bimbingan serta layanan dan bisa membuat serta melaksanakan eva-luasi yang lain.

7. Ketaatan beribadah Ketaatan beribadah terutama

disekolah terlihat ketika adanya sholat berjamaah yang dilakukan pada waktu sholat dhu-hur. 8. Kemandirian

Guru yang mandiri mampu mengembangkan kreativitas dalam mempersiap-kan desain pembelajarannya, salah satu-nya guru membuat media powerpoint dalam pembelajaran. Hal itu merupakan cara guru mengaktifkan siswa agar me-rasa terlibat dalam proses belajar dan cara guru memberikan informasi kepada siswa. 9. Kepedulian

Guru mengembangkan hubungan-hu-bungan dengan para muridnya, mendengarkan para muridnya, menciptakan sebuah suasana yang hangat, menge-tahui murid secara individual, memperlihatkan empati, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan akademik dan emosio-nal para muridnya

Pendidikan karakter dilaksanakan dalam tiga kelompok kegiatan.Pertama, pembentukan karakter yang terpadu dengan pembelajaran pada mata pelajaran. Berbagai hal yang terkait dengan karakter

Mepri Yanti Pandiangan Strategi dan Implementasi Pelaksanaan Pendidikan Karakter Peserta Didik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 167

(nilai-nilai, norma, iman dan ketaqwaan, dan lain-lain) dirancang dan diimplementasikan dalam pembelajaran mata pelajaran-mata pelajaran yang ter-kait, seperti Agama, PKn, IPS, IPA, Penjas Orkes, dan lain-lain. Hal ini dimulai dengan pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata oleh pe-serta didik dalam kehidupan sehari-hari.Kedua, pembentukan Karakter yang ter-padu dengan manajemen sekolah. Berbagai hal yang terkait dengan karakter (nilai-ni-lai, norma, iman dan ketaqwaan, dan lain-lain) dirancang dan diimplementasikan da-lam aktivitas manajemen sekolah, seperti pengelolaan: siswa, regulasi/peraturan se-kolah, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, keuangan, perpustakaan, pem-belajaran, penilaian, dan informasi, serta pengelolaan lainnya. Ketiga, pembentukan karakter yang terpadu dengan ekstra kuri-kuler. Beberapa kegiatan ekstra kurikuler yang memuat pembentukan karakter an-tara lain: (1) olahraga (sepak bola, bola voli, bulu tangkis, tenis meja, dan lain-lain); (2) keagamaan (baca tulis Al Qur’an, kajian hadis, ibadah, dan lain-lain); (3) seni buda-ya (menari, menyanyi, melukis, teater); (4) KIR; (5) Kepramukaan; (6) Latihan Dasar Kepemimpinan Peserta didik (LDKS); (7) Palang Merah Remaja (PMR); (8) Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (PASKIBRAKA); (9) pameran, lokakarya; dan (10) kesehatan, dan lain-lainnya. SIMPULAN

Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, dapat dikemukakan beberapa sim-pulan sebagai berikut. Pertama, strategi pembelajaran pendidikan karakter di sekolah dapat diintegrasikan dalam 4 bentuk, yaitu antara lain: (1) pengintegrasian nilai dan etika pada mata pelajaran; (2) interna-lisasi nilai positif yang di tanamkan oleh semua warga sekolah; (3) pembiasaan dan latihan, pemberian contoh dan teladan; dan (4) penciptaan suasana berkarakter di seko-lah serta pembudayaan. Kedua, implementasi pendidikan karakter peserta didik dapat dilakukan melalui: (1) keterpa-duan antara pembentukan karakter dengan pembelajaran; dan (2) manajemen sekolah dan ekstrakurikuler. SARAN

Berdasarkan dua simpulan di atas, dapat diberikan saran-saran sebagai beri-

kut.Pertama, guru sebagai sosok yang di-gugu dan ditiru mempunyai peran pentingdalam implementasi pendidikan karakter di sekolah maupun di luar sekolah. Sudah sepantasnya guru harus memiliki karakter yang baik, memiliki kompetensi kepribadi-an yang baik, dimana kompetensi kepriba-dian tersebut menggambarkan sifat pribadi dari seorang guru. Kedua, banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pen-didikan karakter di sekolah. Konsep karak-ter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksana-an pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktikkan. Dimulai dengan belajar taat dengan per-aturan sekolah. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tata-nan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata yang diaplikasikan oleh tenaga pendidik dan kependidikan di se-kolah dalam keseharian kegiatan di seko-lah DAFTAR PUSTAKA Adel, Sayyed Mohham Reza. Davoudi dan

Ramezanzadeh. 2016. “A Qualitative Study of Politeness Strategies Used by Iranian EFL learners in a Class Blog”. Journalof Language Teaching Research, Iran Hakim Sabzevari University. Vol. 04.No. 47-62.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Badan Penelitian dan Pengembangan

Puskur Kemendiknas. 2010. Bahan Pelatihan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemen-diknas.

E. Mulyasa. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Panduan Praktis. Bandung: Remaja Rosda.

Karya. Fitri, Agus Zaenul. 2012. Reinventing Human Character: Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Karakter Religius dan Nasionalisme di MAN Temanggung. Jurnal Paramitha. Vol 5. No 2. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Mepri Yanti Pandiangan Strategi dan Implementasi Pelaksanaan Pendidikan Karakter Peserta Didik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 168

Wahyu, Purhantara. 2010. Metode Kualitatif Untuk Bisnis. Yogyakarta: Graha.

Wagiran. 2013. Implementasi Kurikulum 2013 dalam Pembelajaran dan Penilaian. Semarang: Bahtera Wijaya Perkasa.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 160

NILAI MORAL DALAM LEGENDA LUTUNG KASARUNG YANG SAKTI DAN KISAH TERBAIK NUSANTARA

LAINNYAKARYA KAK GUN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

DI SEKOLAH

Tanita Liasna Dosen STKIP Budidaya Binjai

[email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai moral yang terkandung dalam legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun danimplikasi pembahasan legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun terhadap pembelajaranbahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif analisis. Hasil yang tergambar dalam penelitian ini adalah (1) Terdapat 50 nilai moral yang terkandung dalam legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun yang terbagi menjadi 7 pola, yaitu kejujuran, nilai-nilai otentik, bertanggung jawab, kemandirian moral, keberanian moral, kerendahan hati, dan realistik dan kritis (2) Implikasi legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun yakni pembelajaran dalam KD 3.7 yang berbunyi mengidentifikasi nilai-nilai dan isi yang terkandung dalam cerita rakyat (hikayat) baik lisan maupun tulisan. Media yang digunakan berupa kumpulan legenda yang akan dianalisis. Kata Kunci : nilai moral, legenda Lutung

Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun, implikasi, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia

Abstrac. This study is aimed to find out the moral values in the legendary Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara Lainnya by Kak Gun and the implications moral values of the legendary Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara Lainnya by Kak Gun to learning Indonesian language and literature at school. The method which used in this research is descriptive qualitative method of analysis. The results of this study indicatedare (1) There are 50 moral values in the in the legendary Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara Lainnya by Kak Gun divided into 7 patterns is honesty, authentic values, responsibility, independence moral, moral bravery, humility, and realistic and critical (2) Implications in the legendary Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara Lainnya by Kak Gun in the KD 3.7 which reads identifying values and content contained in folklore (saga) both oral and written. The media used is a collection of legends to be analyzed. Keywords: moral values, the legendary Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara Lainnya by Kak Gun, implications, learning Indonesian language and literature

PENDAHULUAN

Sastra merupakan salah satu hal yang selalu menjadi perbincangan dalam

Tanita Liasna Nilai Moral dalam Legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara

Lainnya Karya Kak Gundan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 161

masyarakat. Sebab melalui sastra seseorang bisa mengungkapkan ide, gagasan, isi hati dan pikirannya. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Lubis (2010:1-2) bahwa sastra adalah ungkapan bathin manusia yang paling luhur mengenai peristiwa kehidupan manusia yang dikemukakan dengan bahasa yang indah untuk dapat dinikmati oleh pembacanya. Salah satu jenis sastra adalah sastra anak. Purba (2007:62) menyatakan bahwa sastra anak adalah sastra yang mencerminkan perasaan, pengalaman anak-anak masa kini yang dapat dipahami melalui mata anak-anak. Kurniawan (2009:4-5) menyatakan sastra anak mencakup aspek (1) Bahasa yang digunakan dalam sastra anak adalah bahasa yang mudah dipahami oleh anak, yaitu bahasa yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan pemahaman anak (2) Pesan yang disampaikan berupa nilai-nilai, moral, pendidikan yang disesuaikan pada tingkat perkembangan dan pemahaman anak.

Cerita rakyat adalah salah satu contoh sastra anak. Cerita rakyat sebagai bagian yang dari sastra lisan yang hidup menjadi bagian penting masyarakat, diwariskan secara lisan dari mulut ke mulut (oral literature) dan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam Wiguna dan Alimin (2018:144) Wardani menyampaikan bahwa cerita rakyat dapat digunakan sebagai sarana untuk mendidik anak-anak, memberikan motivasi, meningkatkan perilaku dan kepribadian. Beberapa fungsi cerita rakyat diantaranya sarana untuk menghibur, mendidik, alat validasi regulasi dan lembaga budaya, dan sarana untuk menyampaikan kebiasaan dan aturan dalam masyarakat. Salah satu bagian dari cerita rakyat adalah legenda. Dalam Mursini (2011:59) Mitchell mengemukakan bahwa legenda (legends) dapat dipahami sebagai cerita magis yang sering dikaitkan dengan tokoh, peristiwa, dan tempat-tempat yang nyata. Berbagai cerita yang diangkat menjadi legenda adalah tokoh dan peristiwa yang memang nyata, ada, dan terjadi di dalam sejarah. Legenda dapat dibedakan ke dalam legenda tokoh, tempat, dan peristiwa.

Legenda sebagai bagian dari cerita rakyat banyakberbicara mengenainilai-nilai danetika,sehingga legenda menjadi

cerminan hidup bagi masyarakat untuk menciptakan manusia yang lebih baik. Salah satu nilai yang terkandung dalam sebuah legenda adalah nilai moral.

Moral merupakan salah satu nilai yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan berkebangsaan. Suseno (1987:19) mengemukakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia.Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menetukan benar salahnya sikap dan tindakan manusia. Nilai moral bertolak pada sikap dan perilaku yang dapat dilihat melaui perbuatan. Perbuatan yang terlihat terpuji dan baik secara lahiriyah akan dinilai memiliki moral yang baik. Penilaian dipengaruhi oleh pandangan hidup bangsa yang bersangkutan.

Namun realita yang terjadi di masyarakat, tergambar bahwa moral semakin mengalami penurunan. Hal yang sama disampaikan oleh Nurfajriah (2014:2) menyatakan bahwa keadaannyata di dunia pendidikan dewasa ini, tampak memiliki gejala-gejala yang menunjukkan rendahnya kualitas moral seseorang. Hal tersebut dapat dilihat dari moral seorang anak terhadap orang tua seperti melawan dan menentang, maraknya perilaku seks, mewabahnya penyalahgunaan obat-obatan terlarang, dan lain sebagainya.

Penyelesaian masalah moral tersebut menjadi tugas seluruh bagian yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Nurfajriah (2014:2) mengemukakan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan, bertugas memberikan pembelajaran moral kepada siswanya. Pembelajaran moral ini dapat dilakukan dengan memberikan pembinaan dalam pembelajaran karya sastra. Legenda sebagai sebuah karya sastra anak yang mengandung nilai-nilai moral dapat menjadi alternatif bacaan yangdapat memberikan pemahaman mengenai nilai- nilai kehidupan positif yang patut diteladani, baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun Tuhan.

Penulis tertarik dengan kumpulan legenda yang berjudul Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun. Terdapat 30 legenda yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Legenda yang dikisahkan dalam kumpulan legenda ini disampaikan dengan bahasa yang

Tanita Liasna Nilai Moral dalam Legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara

Lainnya Karya Kak Gundan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 162

sederhana dan dilengkapi dengan gambar yang menarik. Berpedoman pada latar belakang masalah, maka masalahdalampenelitianini yaitu (1) Bagaimana nilai moral yang terkandung dalam legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun? (2) Bagaimana implikasipembahasan legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun terhadap pembelajaranbahasa dan sastra Indonesia di sekolah? METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif analisis. Ratna (2008:53) menyampaikan bahwa metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah legenda yang berjudul Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun. Selain itu, sebagai penunjang penelitian ini dalam pengambilan rujukan dan teori dipergunakan buku-buku teori, penelitian yang berhubungan dengan nilai moral, serta melalui jurnal dan juga internet. Kemudian, untuk mengetahui implikasi legenda ini sebagai bahan ajar maka akan dihubungkan dengan Kompetensi Dasar dalam Kurikulum. Teknik pengumpulan data dalam penelitianini adalah metode library research/ studi kepustakaan. Proses pengolahan data dimulai dengan mengelompokan data-data yang terkumpul melalui kajian pustaka maupun catatan yang dianggap dapat menunjang dalam penelitian ini untuk diklasifikasikan dan dianalisis berdasarkan kepentingan penelitian. Hasil analisis data tersebut selanjutnya disusun dalam bentuk laporan dengan teknik deskriptif analisis, yaitu dengan cara mendeskripsikan keterangan-keterangan atau data-data yang telah terkumpul dan dianalisis berdasarkan teori-teori yang ada. Untuk mengetahui keabsahan dalam penelitian ini, digunakan triangulasi teori. Dalam penelitian ini, keajegan mengacu pada kemungkinan peneliti selanjutnya memeroleh hasil yang sama apabila penelitian dilakukan sekali lagi dengan subjek yang sama.

HASIL PENELITIAN Terdapat 50nilai moral yang terkandung dalam legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun yang terbagi menjadi 7 pola, yaitu kejujuran, nilai-nilai otentik, bertanggung jawab, kemandirian moral, keberanian moral, kerendahan hati, dan realistik dan kritis. PEMBAHASAN Nilai Moral dalam Legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun

Dalam penelitian ini penulis menganalisis nilai moral dalam legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun.Suseno(1987: 57) menyampaikan bahwa norma moral adalah tolak ukur untuk menetukan benar tidaknya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya.Nilai moral bertolak pada sikap, kelakuan yang dapat dilihat melaui perbuatan. Perbuatan yang dapat terlihat terpuji dan baik secara lahiriyah akan dinilai memiliki nilai moral yang baik. Penilaian dipengaruhi oleh pandangan hidup bangsa yang bersangkutan.

Alasan penulis melakukan penelitian yang berhubungan dengan nilai moral di dunia pendidikan dewasa ini, tampak memiliki gejala-gejala yang menunjukkan rendahnya kualitas moral seseorang. Etika dan moral yang ditunjukkan oleh masyarakat, khususnya di lembaga sekolah tampak memprihatinkan. Degradasi moral dan etika serta perilaku yang jauh dari tuntunan berulangkali dipertontonkan.Dalam Ningrum (2015:19) remaja modern sekarang punya kecenderungan dan permisif terhadap hubungan seks pranikah. Dari survey yang diadakan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak pada bulan Januari – Juni 2010 di kota-kota besar di Indonesia yang melibatkan 4500 siswa sekolah pertama dan menengah memperlihatkan bahwa 62.7 5 siswa perempuan sudah tidak perawan lagi. Tidak hanya itu saja, maraknya kasus pembunuhan dan penganiayaan antar siswa memperlihatkan semakin terpuruknya kondisi moral generasi muda saat ini.

Tanita Liasna Nilai Moral dalam Legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara

Lainnya Karya Kak Gundan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 163

Salah satu kumpulan cerita rakyat yang banyak menggambarkan pesan moral dalam ceritamya adalah kumpulan legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun. Terdapat 30 legenda yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Dalam kumpulan legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya nilai moral yang muncul berupa kejujuran, nilai-nilai otentik, kesediaan untuk bertanggung jawab, kemandirian moral, keberanian moral, kerendahan hati, serta realistik dan kritis. Nilai moral berupa kejujuran merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Dari 30 legenda dalam kumpulan Legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun terdapat 8 bentuk nilai moral kejujuran, salah satunya seperti yang tergambar dalam kutipan berikut.

Setelah Bawang Putih menceritakan segala hal yang dialaminya, ibu Bawang Merah langsung memerintahkan Bawang Merah untuk pergi ke rumah Nenek itu (Bawang Merah Bawah Putih, hlm.38) Dalam kutipan di atas jelas

tergambar bagaimana jujurnya seorang Bawang Putih pada ibu tiri dan saudara tirinya, Bawang Merah. Meskipun ibu tiri dan saudara tirinya tidak baik padanya, tetapi dia masih jujur dan memberikan hadiah yang dia peroleh dari orang lain kepada ibu tiri dan saudara tirinya.

Nilai moral yang ditemukan berikutnya adalah nilai-nilai otentik. Suseno (1987:143) mengemukakan bahwa manusia otentik adalah manusia yang menghayati, menunjukkan dirinya sesuai dengan keasliannya, dengan kepribadian yang sebenarnya. Terdapat 4 bentuk nilai-nilai otentik. Salah satunya tergambar dalam legenda Kisah Dua Pangeran.

Pangeran Hamda yang melihat hal itu segera ikut berperang. Dia membela dan melindungi Pangeran Danar mati-matian. Karena keahliannya berpedang, Pangeran Hamda berhasil mengalahkan prajurit dari kerajaan seberang sehingga Pangeran Danar dan prajurit Kerajaan Batu Mulia selamat (Kisah Dua Pangeran, hlm.112).

Dalam kutipan di atas tergambar bagaimana Pangeran Hamda tetap

menolong saudara laki-lakinya Pangeran Danar, padahal ketika itu dia merasakan kecemburuan atas prestasi yang diraih oleh Pangeran Danar. Pangeran Hamda tetap menjadi dirinya sendiri, tetap memiliki jiwa ksatria walaupun ada rasa cemburu yang hadir dalam dirinya. Lalu, nilai moral bertanggung jawab adalah nilai moral yang muncul dalam legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun. Tanggung jawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara, dan Tuhan yang Maha Esa. Terdapat 7 nilai moral dalam legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya.Salah satu contoh nilai moral bertanggung jawab adalah sebagai berikut.

Namun seorang bidadari kehilangan pakaiannya sehingga ia tidak bisa terbang kembali ke langit. Kemudian ia pun menangis tersedu-sedu. “Siapa pun yang menemukan pakaianku jika dia laki-laki akan kujadikan suami dan jika dia perempuan akan kujadikan saudara,” sumpah sang Bidadari... Sesuai dengan sumpahnya, Nawang Wulan kemudian menikah dengan Jaka Tarub. (Jaka Tarub dan Nawang Wulan, hlm.46)

Melalui kutipan ini jelas tergambar Nawang Wulan bertanggung dengan sumpah yang telah ia sampaikan. Ia rela diperistri Jaka Tarub yang ia anggap telah menolongnya. Nilai moral selanjutnya yang terkandung dalam legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnyaadalah kemandirian moral. Suseno (1987:146-147) menyampaikanmandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat dibeli oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan. Terdapat 4 kemandirian moral. Salah satunya adalah sebagai berikut.

Namun tidak demikian dengan Klenting Kuning. Dia menolak permintaan Yuyu Kangkang untuk dicium. Yuyu Kangkang pun tidak mau untuk menyeberangkan Klenting Kuning. Klenting Kuning lalu mengeluarkan cambuk sakti pemberian Bangau ajaib dan dipukulkannya pada sungai itu. Seketika itu air sungai pun menjadi

Tanita Liasna Nilai Moral dalam Legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara

Lainnya Karya Kak Gundan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 164

kering. Akhirnya Yuyu Kangkang ketakutan tidak berdaya dan mengantarkan Klenting Kuning ke tempat sayembara tersebut.(Klenting Kuning dan Ande-ande Lumut, hlm.74).

Berdasarkan kutipan di atas jelas tergambar kemandirian moral tokoh Klenting Kuning. Dia tetap pada kejujuran yang ia miliki. Dia tidak terpengaruh pada orang lain yang rela mencium Yuyu Kangkang demi sampai ke seberang sungai untuk mengikuti sayembara yang diadakan Ande-ande Lumut. Kemudian, nilai moral yang terkandung dalam kumpulan legenda tersebut adalah keberanian moral. Suseno (1987:148) mengemukakan bahwa keberanian moral berarti berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil. Terdapat 8 keberanian moral dalam legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya, salah satunya adalah sebagai berikut.

Pada waktu itu Belanda sedang menjajah Indonesia. Si Pitung merasa iba menyaksikan penderitaan yang dialami oleh rakyat kecil. Sementara itu kompeni dan para tuan tanah hidup bermewah-mewah. Dibantu oleh dua temannya yaitu Rais dan Jii, Si Pitung mulai merencanakan perampokan terhadap rumah Tauke dan tuan tanah kaya yang serakah. Seluruh hasil rampokkannya dibagi-bagikan pada rakyat miskin dan anak yatim piatu. (Si Pitung, hlm.68-69). Dari kutipan tersebut jelas terlihat

bahwa Si Pitung adalah orang berpihak pada yang lebih lemah melawan yang kuat, yang memperlakukannya dengan tidak adil.

Lalu, nilai moral yang terkandung dalam legenda tersebut adalah kerendahan hati. Suseno(1987:148) mengemukakan kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya. Salah satu bagian yang menggambarkan sikap rendah hati adalah sebagai berikut.

Besoknya si nenek mencari ikan lagi, tetapi tak seekor ikan pun didapatkannya. Dengan perasaan kecewa nenek pun pulang ke gubuknya, alangkah terkejutnya dia ternyata di meja makan sudah tersedia masakan yang enak-enak. Begitu pula hari-hari berikutnya. Suatu hari nenek mencari tahu apa yang terjadi, ternyata yang memasak semua masakan itu sewaktu ia pergi adalah Keong Mas yang berubah

menjadi gadis cantik.... (Keong Mas, hlm.28). Kutipan di atas menggambarkan

bagaimana kerendahan hati Putri Candra Kirana yang mau menyiapkan makanan di dapur untuk nenek yang telah menolongnya, padahal dia adalah seorang putri dari sebuah kerajaan. Nilai moral terakhir yang muncul dalam legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya adalah realistik dan kritis. Realistik adalah bersikap real. Sikap real harus dibarengi dengan sikap kritis. Seperti yang disampaikan Suseno (1987:150) bahwa sikap realistik tidak berarti bahwa kita menerima realitas begitu saja. Kita mempelajari keadaan dengan serealis-realisnya supaya dapat kita sesuaikan dengan tuntutan prinsip-prinsip dasar. Dengan kata lain, sikap realistik harus berbarengan dengan sikap kritis. Salah satu bagian cerita yang menggambarkan realistik dan kritis adalah sebagai berikut.

Akhirnya mereka menemukan suatu cara. Penduduk berpura-pura membutuhkan pertolongan Kebo Iwa untuk membangun kembali rumah-rumah serta pura yang telah dirusak Kebo Iwa.... Setelah rumah dan pura selesai dibangun, Kebo Iwa lalu mulai menggali sumur. Karena tidak ada alat akhirnya Kebo Iwa menggunakan kedua tangannya yang besar untuk menggali tanah. Lama-kelamaan sumur yang digali Kebo Iwa semakin dalam. Kebo Iwa juga menggunakan sumur tersebut sebagai tempat peristirahatannya. Suatu hari ketika Kebo Iwa sedang tidur nyenyak di dalam sumur, kepala kampung segera mengumpulkan warganya di tepi sumur lalu memerintahkan warga melempari Kebo Iwa dengan kapur. (Asal Muda Danau Batur, hlm.78-79). Melalui kutipan itu dapat

diketahui bahwa Kepala Kampung memiliki nilai moral realistik dan kritis. Dia mengajak para warga untuk bersama-sama memusnahkan Kebo Iwa yang selalu meresahkan warga dengan kelakuannya yang senang memakan manusia. Implikasi Legenda Lutung Kasarung Yang Sakti Dan Kisah Terbaik Nusantara LainnyaKarya Kak Gun Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah

Sastra sangat berperan aktif dalam pembangunan moral masyarakat. Karena sastra atau karya sastra Indonesia,

Tanita Liasna Nilai Moral dalam Legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara

Lainnya Karya Kak Gundan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 165

bukanlah sebuah akal-akalan atau sekedar rekaan, namun sastra adalah saksi kemanusiaan yang berbentuk refleksi mendalam tentang kehidupan manusia. Melalui karya sastra, dapat dikenali keadaan serta fragmen-fragmen kehidupan sosial masyarakat yang kita lihat, alami, cermati, dan hayati, baik dari bidang sosial, politik, ekonomi, moral, serta nilai.

Salah satu pembelajaran wajib yang ada di Sekolah adalah pembelajaran bahasa Indonesia. Tujuan umum pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah agar siswa mampu mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan sastra, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Tujuan umum tersebut dijabarkan lagi dalam tujuan khusus yaitu agar siswa mampu menikmati, menghayati, memahami, dan menarik manfaat-manfaat karya sastra, diharapkan dengan belajar sastra, siswa dapat lebih memahami esensi kehidupan.

Cara yang ditempuh guru bahasa Indonesia untuk membimbing dan mengarahkan kepribadian siswa agar bertingkah laku baik adalah memanfaatkan karya sastra. Salah satunya adalah memberikan siswa bahan bacaan berupa karya sastra yang mengandung aspek moral. Cerita rakyat merupakan salah satu ragam sastra lisan. Legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun adalah salah satu bagian dari cerita rakyat yang mengandung nilai moral yang dapat diimplikasikan dalam pembelajaran di sekolah.

Implikasi hasil penelitian nilai moral yang terkandung dalam legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya karya Kak Gun memiliki keterlibatan erat dengan pembelajaran bahasa dan Sastra Indonesia, yakni pembelajaran dalam KD 3.7 yang berbunyi mengidentifikasi nilai-nilai dan isi yang terkandung dalam cerita rakyat (hikayat) baik lisan maupun tulisan. Media yang digunakan berupa kumpulan legenda yang akan dianalisis.

Legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya merupakan sebuah kumpulan legenda yang relevan untuk dijadikan sebagai materi pembelajaran karena isi cerita mengandung banyak nilai moral

yang dapat menambah pemahaman baru pada siswa.

Berkaitan dengan kegiatan menganalisis nilai moral dalam legenda, maka siswa akan mempraktikkan keterampilan berbahasa berupa membaca dan menulis. Siswa mengawali kegiatan pembelajaran dengan membaca isi cerita untuk menganalisis nilai moral, kemudian menuliskan hasil analisis tersebut. SIMPULAN Legenda menjadi sebuah bagian dari cerita rakyat yang mengandung banyak nilai, salah satunya adalah nilai moral. Nilai moral yang terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu kejujuran, nilai-nilai otentik, bertanggung jawab, kemandirian moral, keberanian moral, kerendahan hati, dan realistik dan kritis merupakan nilai yang seharusnya ditumbuhkembangkan kembali dalam pikiran generasi muda, mengingat moral generasi muda mengalami kemerosotan. Salah satu cara untuk mengajarkan kembali nilai moral kepada generasi muda adalah dengan mengajak siswa di sekolah untuk menganalisis nilai moral yang terkandung dalam sebuah legenda. DAFTAR PUSTAKA Gun, Kak. 2016. Legenda Lutung

Kasarung yang Sakti dan Kisah-kisah Terbaik Nusantara Lainnya. Yogyakarta: Cakrawala.

Kurniawan, Heru. 2009.

SastraAnakdalamKajianStrukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hinggaPenulisanKreatif.Yogyakarta: GrahaIlmu.

Lubis, Saripuddin. 2010. Lebih Dekat

dengan Sastra Kita. Binjai: Lestari Grafika.

Mursini. 2011. Apresiasi dan

Pembelajaran Sastra Anak-anak. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

Ningrum, Diah. 2015. “Kemerosotan

Moral di Kalangan Remaja: Sebuah Penelitian Mengenai Parenting Styles dan Pengajaran Adab” dalam Jurnal Unisia, Vol. XXXVII No. 82 Januari 2015.

Nurfajriah, Siti. 2014. Nilai Moral dalam

Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo

Tanita Liasna Nilai Moral dalam Legenda Lutung Kasarung yang Sakti dan Kisah Terbaik Nusantara

Lainnya Karya Kak Gundan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 166

dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Purba, Antilan. 2007. Kompleksitas Sastra

Indonesia. Medan: USU Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori,

Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suseno, F.M. 1987. Etika Dasar:

Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: APD.

Wiguna, Al Ashadi Alimin. 2018.

“Analisis Nilai-nilai Moral dalam Cerita Rakyat Kalimantan Barat” dalam Jurnal Pendidikan Bahasa, Vol. 7, No. 1, Juni 2018.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 167

EFEKTIVITAS MEDIA AUDIO VISUAL “MERAJUT ASA” DI TRANS7 TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS CERITA PENDEK OLEH

SISWA KELAS VII MTs NEGERI 3 MEDAN

Kursitasari Dikbind PPs Universitas Negeri Medan

[email protected] Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan media audio visual “Merajut asa” di Trans 7 dalam pembelajaran menulis cerita pendek oleh siswa kelas VII MTs Negeri 3 Medan . Penelitian ini dilaksanakan di MTs Negeri 3 Medan, jumlah populasi dalam penelitian ini 239 siswa, dan yang menjadi sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua kelas yaitu kelas VII-2 terdapat 40 siswa dan VII-4 terdapat 39 siswa. jadi seluruh sampel berjumlah 79 siswa. Kelas VII-2 sebagai kelas eksperimen yaitu kelas yang menerima pembelajaran menggunakan media pembelajaran audio visual “Merajut Asa” sedangkan kelas VII-4 sebagai kelas kontrol tanpa menggunakan media pembelajaran audio visual. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan desain Posstest-Only Control Design. Dengan desain tersebut, akan dibandingkan kemampuan menulis cerpen siswa yang dibimbing dengan menggunakan media pembelajaran audio visual “Merajut Asa” dengan kemampuan menulis cerpen tanpa menggunakan media audio visual. Dari hasil analisis data diperoleh rata-rata kemampuan menulis cerpen dengan menggunakan media pembelajaran audio visual “Merajut Asa” yaitu 79,53 dengan standar deviasi 7,14. Sedangkan kemampuan menulis cerpen tanpa menggunakan media pembelajaran audio visual yaitu 63,36 dengan standar deviasi 9,40. Dari hasil analisis statistika diperoleh harga t sebesar 6,6. Setelah dibandingkan dengan t dengan df = (n + n ) − 2), (40+39) - 2 = 77. Pada tabel t dengan df 77 diperoleh taraf signifikan 5% = 1,664 karena t yang diperoleh lebih besar dari t yaitu t > t , yakni 6,6 > 1,664 Maka hipotesis nihil (H ) ditolak dan hipotesis alternatif (H ) diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran audio visual “Merajut Asa” lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan menulis cerpen oleh siswa kelas VII MTs Negeri 3 Medan . Kata kunci: efektivitas, media audio-visual, cerita pendek Abstract. This study aims to determine the effectiveness of the use of audio-visual media “Merajut asa” in Trans 7 in learning to write short stories by class VII students of State MTs 3 Medan . This research was conducted in Medan State MTs 3, the population in this study was 239 students, and the sample in this study consisted of two classes, namely class VII-2, there were 40 students and VII-4 there were 39 students. so all the samples were 79 students. Class VII-2 as an experimental class is a class that receives learning using audio-visual learning media “Merajut asa” while class VII-4 as a control class without using audio visual learning media. The method used in this study is an experimental method with the design of Posstest-Only Control Design. With the design, it will be compared to the ability to write short stories of students who are guided by using audio visual learning media “Merajut asa” with the ability to write short stories without using audio visual media. From the results of data analysis, the average ability to write short stories is obtained by using “Merajut asa” audio-visual learning media, which is 79.53 with a standard deviation of 7.14. While the ability to write short stories without using audio visual learning media is 63.36 with a standard deviation of 9.40. From the results of statistical analysis, the 푡 price is 6.6. After being compared with 푡 with df = (푛 + 푛 )− 2), (40+39) - 2 = 77. In 푡 with df 77 obtained a significant level of 5% = 1,664 because 푡 obtained is greater than 푡 namely푡 > 푡 ,, which is 6.6> 1.664 Then the null hypothesis (퐻 )is rejected and the alternative hypothesis (퐻 )is accepted. Thus it can be concluded that “Merajut asa” audio-visual learning media is more effective in improving short story writing skills by class VII students of State 3 of MTs Medan. Keywords: effectiveness, audio-visual media, short stories

Kursitasari Efektivitas Media Audio Visual “Merajut Asa” di Trans7 terhadap Kemampuan Menulis

Cerita Pendek oleh Siswa Kelas VII MTs Negeri 3 Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 168

PENDAHULUAN Keterampilan menulis sangat

penting bagi setiap siswa. Penulis perlu memiliki banyak ide, ilmu pengetahuan, dan pengalaman hidup. Hal ini merupakan modal dasar yang harus dimiliki dalam kegiatan menulis. Disamping modal dasar itu, seorang penulis harus menguasai banyak perbendaharaan kata untuk menyampaikan ide-ide, pengetahuan, serta pengalaman yang dimiliki. Tujuan menulis adalah sebagai alat komunikasi secara tidak langsung. Penulis dan pembaca dapat berkomunikasi melalui tulisan. Pada prinsipnya menulis adalah menyampaikan pesan penulis kepada pembaca, sehingga pembaca memahami maksud yang dituangkan atau maksud yang disampaikan melalui tulisan tersebut.

Menulis merupakan salah satu dari keterampilan berbahasa yang diajarkan kepada peserta didik sebagai keterampilan produktif, menulis menghendaki peserta didik untuk mampu menggalih, menemukan, mengungkapkan gagasan, perasaan, pengalaman serta menggunakan bahasa yang tepat. Namun tidak semuanya peserta didik dapat menunjukkan kemampuan tersebut. Dalam menulis peserta didik merasakan kurangnya keyakinan, minat dan latihan yang memadai untuk menulis.

Pengembangan kemampuan menulis perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh sejak pendidikan dasar. Kemampuan menulis tidak dapat diperoleh secara alamiah tetapi harus dipelajari secara sungguh-sungguh. Hal ini dilakukan mengingat menulis merupakan sarana yang penting untuk mengembangkan kemampuan intelektual anak sejak pendidikan paling dasar.

Mengingat pentingnya menulis bagi peserta didik, tenaga pendidik semestinya bisa membangkitkan peserta didik untuk menulis serta menjadikan menulis itu sebagai pekerjaan yang alami dan menyenangkan, biasanya peserta didik kesulitan untuk menguraikan atau menuangkan ide, gagasan maupun pikiran kedalam bentuk karangan seperti menulis. Salah satu diantaranya keterampilan berbahasa yaitu menulis cerita pendek, cerpen yang baik yaitu cerpen yang mampu menyentuh hati para pembacanya, karena cerpen adalah hasil ekspresi penulis.

Berdasarkan pengalaman peneliti masih banyak siswa tidak mampu menulis cerpen berdasarkan ciri-ciri cerpen, kurang bervariasinya guru dalam mengembangkan media pembelajaran, kurangnya sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah.Solusi yang bisaditawarkan oleh peneliti dengan permasalahan diatas yaitu dengan memilih dan menggunakan media pembelajaran yang dapat merangsang minat belajar peserta didik agar pembelajaran tidak terlihat monoton. Dalam pemilihan media pembelajaran, peneliti memilih media audio visualsebagai perantara dalam menulis cerita pendek yang mampu mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indra.

Penerapan media audio visual ditujukan untuk meningkatkan efektivitas proses pembelajaran sehingga diharapkan peserta didik mampu mengembangkan daya nalarnya. Jadi dari permasalahan yang dipaparkan diatas, mengunggah peneliti untuk melakukan penelitian terhadap “Efektivitas media audio visual “Merajut Asa” di Trans7 terhadap kemampuan menulis cerita pendek oleh siswa kelas VII MTs Negeri 3 Medan”.Dengan media diharapkan kemampuan siswa dalam menulis cerpen dapat meningkat.

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan masalah di atas, peneliti merumuskan sebagai berikut: (a) Bagaimana kemampuan menulis cerita pendek dengan menggunakan media audio visual “Merajut asa” di Trans7 oleh siswa kelas VII MTs Negeri 3 Medan? (b) Bagaimana kemampuan menulis cerita pendek tanpa menggunakan media audio visual “Merajut asa” di Trans7 oleh siswa kelas VII MTs Negeri 3 Medan? dan (c) Apakah penggunaan media audio visual “Merajut asa” di Trans7 efektif digunakan dalam pembelajaran menulis cerita pendek oleh siswa kelas VII MTs Negeri 3 Medan? METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan penulis ini adalah metode eksperimen yaitu metode yang bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan hasil sebagai akibat adanya perbedaan perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen menerapkan media audio visual “Merajut Asa” di Trans7 dalam kemampuan menulis cerpen

Kursitasari Efektivitas Media Audio Visual “Merajut Asa” di Trans7 terhadap Kemampuan Menulis

Cerita Pendek oleh Siswa Kelas VII MTs Negeri 3 Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 169

dan kelas kontrol menerapkan metode ceramah terhadap kemampuan menulis cerpen.

Metode ini dipilih sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan media audio visual “Merajut Asa” di Trans7 terhadap kemampuan menulis cerpen. Tabel 1. Desain Eksperimen Posstest-Only

Control Design Kelompok Kelas Perlakuan Post

Test 푅 Eksperimen

(VII-2) X 푂

푅 Kontrol (VII-4)

Keterangan: R = Kelas Eksperimen R = Kelas Kontrol X = Perlakuan (penggunaan Media Audio Visual “Merajut Asa”) O = Pemberian Posttest menggunakan media audio visual “Merajut Asa” O = Pemberian Posttest tanpa menggunakan media Audio Visual

Sugiyono (2016:148) mengatakan “Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati.” Oleh karena itu benar tidaknya suatu data sangat menentukan bermutu tidaknya instrumen pengumpulan data.Instrumen penelitian atau alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes esai dalam bentuk penugasan. yang diperoleh melalui dua kelas yaitu kelas VII-2 yang terdiri dari 40 siswa yang disebut dengan kelas eksperimen serta diberi perlakuan dan kelas VII-4terdiri dari 39 siswa sebagai kelas kontrol. Jumlah keseluruhan populasi yaitu 79 siswa. HASIL PENELITIAN

Instrumen pemerolehan data dalam penelitian ini berupa tes esai yang berbentuk penugasan yang diperoleh melalui dua kelas yaitu kelas VII-2 yang terdiri dari 40 siswa yang disebut dengan kelas eksperimen serta diberi perlakuan dan kelas VII-4terdiri dari 39 siswa sebagai kelas kontrol. Jumlah keseluruhan populasi yaitu 79 siswa. Dengan instrumen tersebut diperoleh data untuk variabel 푋 pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran audio visual “Merajut Asa” terhadap kemampuan menulis cerpen dan variabel 푋 tanpa menggunakan media audio visual terhadap kemampuan menulis cerpen.

Segala hal telah dilakukan peneliti untuk memperoleh hasil penelitian yang maksimal dengan tahapan yang telah direncanakan sebelumnya. Sebelum melakukan penelitian seorang peneliti terlebih dahulu mempersiapkan silabus serta RPP yang sesuai dengan kurikulum MTs Negeri 3 Medan, agar peneliti dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan konsep yang telah direncanakan melalui media pembelajaran sebagai alat bantu proses belajar mengajar.

Segala hal telah dilakukan peneliti untuk memperoleh hasil penelitian yang maksimal dengan tahapan yang telah direncanakan sebelumnya. Sebelum melakukan penelitian seorang peneliti terlebih dahulu mempersiapkan silabus serta RPP yang sesuai dengan kurikulum MTs Negeri 3 Medan, agar peneliti dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan konsep yang telah direncanakan melalui media pembelajaran sebagai alat bantu proses belajar mengajar.Sebelum melakukan penelitian seorang peneliti terlebih dahulu mempersiapkan silabus serta RPP yang sesuai dengan kurikulum MTs Negeri 3 Medan, agar peneliti dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan konsep yang telah direncanakan melalui media pembelajaran sebagai alat bantu proses belajar mengajar. PEMBAHASAN

Berdasarkan penjelasan diatas maka diperoleh jawaban dari rumusan masalah yaitu Hasil posttest dari kelompok eksperimen dengan menggunakan media audio visual “Merajut Asa” memperoleh mean kemampuan menulis cerpen 79,53 dalam kategori baik sekali, sementara kelompok kontrol tanpa menggunakan media audio visual “Merajut Asa” memperoleh mean 63,36 dalam kategori cukup. Pemerolehan mean ini menandakan bahwa kelompok penggunaan audio visual “Merajut Asa” lebih memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa menggunakan media audio visual “Merajut Asa”.Pengujian normalitas menggunakan uji Lilliefors dihasilkan bahwa daftar populasi berdistribusi normal pada kedua kelas.Pengujian homogenitas menggunakan uji F diperoleh nilai 퐹 < 퐹 yakni 1,73 < 3,12. Hal ini membuktikan sampel berasal dari kelompok yang homogen, artinya data

Kursitasari Efektivitas Media Audio Visual “Merajut Asa” di Trans7 terhadap Kemampuan Menulis

Cerita Pendek oleh Siswa Kelas VII MTs Negeri 3 Medan

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 170

yang diperoleh dapat mewakili populasi. Kedua kelas mendapatkan nilai rata-rata yang berbeda. Kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Maka disimpilkan bahwa siswa yang diajarkan dengan menggunakan media audio visual “Merajut Asa” lebih efektif diterapkan, agar adanya peningkatan kemampuan siswa dalam menulis cerpen.

Media audio visual “Merajut Asa” lebih efektif digunakan dalam kemampuan menulis cerpen pada siswa kelas VII MTs Negeri 3 Medan . Hal ini dibuktikan dengan perhitungan menggunakan uji “t”, yaitu 푡 > 푡 yaitu 6,6 > 1,664 sehingga alternatif (퐻 ) pada penelitian ini terbukti kebenarannya diterima. SIMPULAN

Berdasarkan hasil uji coba, dapat disimpulkan bahwa media Audio Visual “Merajut Asa” di Trans 7 Terhadap Kemampuan Menulis Cerita Pendek sangat baik digunakan sebagai pendukung pembelajaran menulis cerita pendek, karena sesuai dengan kebutuhan siswa. SARAN

Oleh karena itu,disarankan kepada guru mata pelajaran bahasa Indonesia untuk menggunakan media Audio Visual yang mampu merangsang tingkat berpikir siswa agar menarik perhatian untuk menulis sebuah cerita pendek dalam proses pembelajaran di kelas dan Media audio visual “Merajut Asa” dapat dijadikan sebagai alternatif untuk meningkatkan keterampilan menulis, khususnya keterampilan menulis cerpen. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur

Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik). Jakarta: PT. Rineka Cipta.

___.2016. Dasar-dasar Evaluasi

Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Hamdani. 2011. Strategi Belajar

Mengajar. Bandung: Pustaka Setia.

Sudijono, Anas. 2010. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Sudjana, 2015. Metode Statistika.

Bandung: Tapsito

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 171

KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN BAHAN AJAR INTERAKTIF YANG BERBASIS KEARIFAN LOKAL BREBES DALAM MATA KULIAH SEMANTIK

Prasetyo Yuli Kurniawan

PBSI Universitas Muhadi Setiabudi [email protected]

Abstrak. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan perkuliahan semantik dengan menggunakan bahan ajar interaktif yang berbasis kearifan lokal Brebes dan menguji keefektifan bahan ajar interaktif yang berbasis kearifan lokal Brebes. Metode pada penelitian ini digunakan metode eksperimen. Bentuk eksperimen dalam penelitian ini yaitu one group pretest-postest design. Jenis eksperimen tersebut menggunakan satu kelas dan terdapat tes awal sebelum diberi perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa nilai awal (pretest) terdapat mahasiswa yang belum tuntas sebanyak 22 mahasiswa dan nilai akhir (postest) pada mahasiswa sudah tuntas semua. Hasil uji keefektifan berdasarkan tabel independent samples test menyatakan adanya perbedaan signifikan hasil pretest dan posttest. Dengan demikian dapat d isimpulkan bahwa bahan ajar interaktif mata kuliah semantik yang berbasis kearifan lokal Brebes efektif digunakan dalam perkuliahan. Kata Kunci: metode eksperimen, bahan ajar interaktif, kearifan lokal Brebes, semantik. Abstract. The purpose of this study is to describe and associated semantics with the use of interactive learning materials based local wisdom of Brebes and test the effectiveness of interactive learning materials based local wisdom Brebes. This research method used a method of experimentation. The form of experiments in this study i.e. one group pretest-postest design. The type of the experiment using a single class, and there are initial tests before being given the treatment. The results of this study showed that the initial value (pretest) there are students who hadn't as much as 22 students and the final value (postest) on students already finished all. Test result table based on the effectiveness of independent samples test stating the existence of significant differences result pretest and posttest. Thus it can be d isimpulkan that interactive learning materials courses semantics based local wisdom Brebes effectively used in lectures.

Keyword: experimental methods, interactive learning materials, local wisdom of Brebes, semantics.

PENDAHULUAN Dalam perkuliahan, seorang dosen

harus mampu memberikan materi kepada mahasiswa dengan cara yang menarik. Materi tersebut bisa dikemas dengan menggunakan berbagai pendekatan. Misalnya dengan menggunakan media, model, maupun bahan ajar tertentu. Bahan ajar yang baik harus memperhatikan hal berikut seperti (1) penyusunan garis besar isi bahan ajar, (2) penulisan isi bahan ajar. (3) Perancangan tata letak dan penggunaan ilustrasi bahan ajar, (4) penggunaan bahasa bahan ajar, dan (5) pengintegrasian media audio dan video bahan ajar Achmad (2009:2).

Bahan ajar yang bisa dimanfaatkan dosen sangat beragam. Bahan ajar tersebut misalnya bahan ajar cetak, bahan ajar dengar (audio), bahan ajar dengar (audio visual), dan bahan ajar interaktif. Bahan ajar interaktif ini sangat penting sebagai penunjang keberhasilan

pembelajaran (Malalina, 2014). Dosen perlu mengemas bahan ajar tersebut sesuai dengan kebutuhan. Disesuaian dengan mata kuliah yang akan diampu misalnya dalam mata kuliah semantik.

Berdasarkan observasi yang telah dilakukan pada mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Univesitas Muhadi Setiabudi, mahasiswa kurang memahami hakikat dari semantik. Hal tersebut dibuktikan dengan rata-rata predikat mata kuliah semantik yaitu C. Banyak hal yang melatarbelakangi itu terjadi, misalnya di daerah sekitar kampus Universitas Muhadi Setiabudi masih sangat terbatas sekali sumber pustaka yang dijadikan referensi untuk mahasiswa. Bahkan diperpustakaan kampus pun masih terbatas buku-buku yang ada kaitannya dengan semantik. Oleh karena itu, perlunya bahan ajar tentang mata kuliah semantik sebagai penunjang mahasiswa dalam perkuliahan.

Prasetyo Yuli Kurniawan Keefektifan Penggunaan Bahan Ajar Interaktif yang Berbasis Kearifan Lokal Brebes

dalam Mata Kuliah Semantik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 172

Bahan ajar juga perlu mengandung nilai-nilai tertentu agar mahasiswa bukan hanya mendapatkan kompetensi pedagogik, namun juga kompetensi afektif yang dilandasi dengan nilai-nilai luhur. Nilai-nilai yang tepat untuk diterapkan pada mahasiswa yaitu nilai kearifan lokal. Fenomena pada masa sekarang ini, kebudayaan leluhur pada saat ini mulai luntur oleh arus kebudayaan asing yang dikemas kedalam berbagai media. Dunia pendidikan diharapkan mampu berperan dalam menanamkan pengetahuan bermuatan budaya.

Kearifan lokal brebes juga perlunya dijaga dan dilestarikan oleh mahasiswa misalnya seperti gagasan, aktivitas, dan artefak. Wujud nyata ketiga kearifan lokal Brebes tersebut misalnya khaul (memperingati satu tahun kematian), kerigan (membersihkan saluran air dan sampah), dan calung (musik bambu). Terlebih lagi mahasiswa Universitas Muhadi Setiabudi. Namun pada kenyataannya mereka sudah tidak mengenali budayanya sendiri. Hal tersebut perlu menjadi perhatian khususnya pakar pendidikan. Universitas Muhadi Setiabudi selaku penyelenggara pendidikan harus ikut serta membangun dan melestarikan kearifan lokal Brebes. Hal tersebut sejalan dengan misi pembangunan daerah Kabupaten Brebes Tahun 2005-2025 yaitu sebagai berikut

“Mewujudkan pengamalan nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Makin kuatnya karakter masyarakat yang berbasis pada agama dan nilai-nilai budaya, sehingga menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, bermoral, beretika berdasarkan pada falsafah Pancasila, yang akhirnya mampu berpikir, bersikap, dan bertindak sebagai manusia yang tangguh, kompetitif, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, menjunjung nilai-nilai luhur budaya bangsa, mengedepankan kearifan lokal, dan selalu berkembang secara dinamis”.

Melihat misi dari pembangunan daerah Kabupaten Brebes tersebut, penelitian ini sejalan dengan misi tersebut karena dalam penelitian ini akan menggugahkan kesadaran akan pentingnya kearifan lokal bagi mahasiswa. Kesadaran itu tidak lain untuk masyarakat brebes khususnya mahasiswa di Universitas Muhadi Setiabudi. Selain

itu juga mahasiswa akan mendapatkan kekayaan pengetahuan tentang cabang ilmu linguistik yang berkaitan tentang kalimat melalui bahan ajar interaktif. Oleh karena itu, berdasarkan permasalahan yang sudah dipaparkan bahwa penelitian ini perlu dilakukan agar bisa menguji keefektifan bahan ajar interaktif yang sudah terdapat nilai-nilai kearifan lokal Brebes. Selain mendapat alternatif bahan ajar yang mampu menunjang perkuliahan semantik, bahan ajar ini juga memberikan nilai-nilai kearifan kepada mahasiswa.

Penelitian ini berpijak pada penelitian sebelumnya. Salah satu penelitian yang dijadikan pustaka yaitu penelitian yang dilakukan oleh Rosida (2017) dengan judul “Efektivitas Penggunaan Bahan Ajar E-Book Interaktif dalam Menumbuhkan Keterampila Berpikir Kritis Siswa”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan e-book interaktif dalam menumbuhkan keterampilan berpikir kritis siswa, dengan topik dampak pencemaran bagi kehidupan. Hasil penelitian menunjukan bahwa bahan ajar interaktif e-book efektif untuk menumbuhkan keterampilan berpikir siswa. Relevansi penelitian yang dilakukan Rosida dengan penelitian ini yaitu terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada variabel yang diuji keefektifannya yaitu bahan ajar interaktif. Namun perbedaannya pada subjek penelitian. Jika penelitian Rosida sasarannya yaitu kepada siswa, jika penelitian ini sasarannya yaitu mahasiswa PBSI Universitas Muhadi Setiabudi.

Penelitian ini juga relevan dengan penelitian lain. Salah satu penelitian yang dijadikan pustaka di jurnal internasional yaitu Parris (2010) dengan jurnal artikel “Cultural Dimensions of Learning:Addressing the Challenges of Multicultural Instruction” Vol 11. No. 2 (2010) memaparkan, pembelajaran berbasis budaya sangat diperlukan bagi peserta didik. Dengan menerapkan pembelajaran berbasis budaya, secara tidak langsungakan mengajarkan sikap cinta terhadap budaya dan bangsa. Karena pembelajaran berbasis budaya, implikasinya yaitu memperkenalkan kepada peserta didik tentang potensi-potensi sebuah daerah sehingga peserta didikakan lebih mengenal budaya daerahnya.Pembelajaran berbasis budaya

Prasetyo Yuli Kurniawan Keefektifan Penggunaan Bahan Ajar Interaktif yang Berbasis Kearifan Lokal Brebes

dalam Mata Kuliah Semantik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 173

juga mengajarkan kepada anak untuk bersikap tenggang rasa kepada sesama teman yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Jadi artikel yang dituliskan oleh Parris, dijadikan acuan Penelitian ini untuk penguatan penerapan nilai budaya dalam pengembangan bahan ajar interaktif dalam mata kuliah semantik. Berdasarkan beberapa alasan yang melatarbelakangi dilakukan penelitin dan studi pustaka relevan, dapat ditarik simpulan judul penelitian yaitu keefektifan penggunaan bahan ajar interaktif yang berbasis kearifan lokal Brebes dalam perkuliahan semantik. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsi perkuliahan semantik dengan bahan ajar interaktif dan menguji keefektifan bahan ajar interaktif dalam mata kuliah semantik. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang dikendalikan (Sugiyono, 2012:109). Jenis eksperimen pada penelitian ini yaitu pre-experiment dengan desain One-shoot Pretest-Posttest. Data, Instrument, dan Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan fakta empirik yang dikumpulkan oleh peneliti sebagai pemecah masalah dalam penelitian. Data pada penelitian ini yaitu data nilai awal (pretest) mahasiswa pada mata kuliah semantik dan data nilai akhir (posttest) mahasiswa pada mata kuliah semantik.

Instrumen penelitian yang digunakan terdapat beberapa macam. Instrumen dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut. 1. Tes

Tes digunakan untuk mengetahui kemampuan mahasiswa dalam mata kuliah semantik. Tes ini digunakan pada awal atau sebelum diberi perlakuan dan pada akhir setelah diberi perlakuan. 2. Angket

Angket pada penelitian ini digunakan untuk mendapat tanggapan dari mahasiswa tentang bahan ajar interaktif yang telah diberikan. Hal tersebut bertujuan sebagai tolok ukur sejauh mana bahan ajar dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa. 3. Dokumentasi

Dokumentasi digunakan sebagai pencatatan peristiwa penelitian. Dokumentasi pada penelitian ini berupa gambar-gambar pada saat penelitian ini berlangsung dari awal sampai akhir.

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Memberikan pretest

Pada teknik pengumpulan data ini, mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia diberikan soal-soal yang berkaitan tentang materi semantik. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal mahasiswa sebelum diberikan perlakuan (treatment) dengan menggunakan bahan ajar interaktif yang berbasis kearifan lokal Brebes. b. Memberikan perlakuan (treatment)

Perlakuan (treatment) pada penelitian ini dilakukan setelah mahasiswa menyelesaikan pretestnya. Pada teknik pengumpulan data ini, perkuliahan semantik menggunakan bahan ajar interaktif yang berbasis kearifan lokal Brebes sebagai bentuk perlakuan kepada mahasiswa. c. Memberikan posttest

Pada tahap pengumpulan data ini, mahasiswa diberikan tes akhir untuk mengetahui perbandingan kemampuan mahasiswa sebelum digunakan bahan ajar interaktif yang berbasis kearifan lokal Brebes dan sesudah menggunakan bahan ajar tersebut. Soal yang digunakan untuk posttest tidak jauh berbeda dengan soal ketika mahasiswa diberikan soal pretest. d. Memberikan Angket

Angket diberikan setelah dilakukan tes akhir (posttest). Angket tersebut digunakan untuk mengetahui tanggapan mahasiswa terhadap bahan ajar interaktif. Teknik Analisis Data

Teknik analisis pada penelitian ini berupa uji normalitas data, uji homogenitas data, uji hipotesis keefektifan produk. Untuk lebih lengkapnya dijelaskan sebagai berikut.

a. Uji Normalitas Data

Uji normalitas data digunakan untuk mengetahui data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Untuk menguji kenormalan data digunakan SPSS. b. Uji Homogenitas Data

Uji homogenitas data bertujuan untuk menguji data sampel yang diambil

Prasetyo Yuli Kurniawan Keefektifan Penggunaan Bahan Ajar Interaktif yang Berbasis Kearifan Lokal Brebes

dalam Mata Kuliah Semantik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 174

homogen atau tidak dari populasi yang sama. Untuk menguji data sampel digunakan uji Levene’s test dalam SPSS. c. Uji Hipotesis Data

Setelah melakukan uji syarat (uji normalitas dan homogenitas), tahap selanjutnya yaitu uji hipotesis data. Nilai mahasiswa dari data awal dan data akhir diolah menggunakan SPSS dan didapatkan nilai signifikansi pada Independent Sample Test. HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian terdiri atas dua aspek yaitu data nilai mahasiswa mata kuliah semantik dan keefektifan bahan ajar interaktif yang berbasis kearifan lokal Brebes pada mata kuliah semantik. Untuk lebih lengkapnya dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Data Nilai Mahasiswa Mata Kuliah

Semantik

Data nilai mahasiswa terdiri atas data nilai awal (pretest) dan nilai akhir (posttest). Pada data nilai awal diperoleh dari tes yang diberikan kepada mahasiswa sebelum diberi perlakuan menggunakan bahan ajar interaktif yang berbasis kearifan lokal Bebes. Nilai mata kuliah semantik pada tes awal (pretes) kelas eksperimen mahasiswa PBSI Universitas Muhadi Setiabudi berbentuk data nilai awal mahasiswa. Adapun nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Berdasarkan hasil analisis dapat dikemukakan bahwa hasil tes awal atau pretes yang dilaksanakan sebelum mendapatkan perlakuan (treatment) yaitu skor terendah 64 dan skor tertinggi 84. Dari data tersebut terlihat bahwa ada 22 mahasiswa yang belum tuntas. Hal tersebut dibuktikan dengan pencapaian nilai semantik antar rentang 75 – 84 sebanyak 3 mahasiswa, 65-74 sebanyak 12 mahasiswa dan 00-64 sebanyak 10 mahasiswa.

Selanjutnya, data nilai semantik pada tes akhir (posttest) kelas eksperimen diperoleh dengan menggunakan bahan ajar interaktif yang berbasis kearifan lokal Brebes. Bahan ajar tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Bahan Ajar Interaktif Setelah mahasiswa mendapat

perlakuan dengan menggunakan bahan ajar interaktif tersebut maka diperoleh nilai akhir (posttest) mata kuliah semantik. Berdasarkan hasil analisis data, dapat dikemukakan bahwa hasil tes akhir (posttest) mata kuliah semantik yang dilaksanakan dengan menggunakan bahan ajar interaktif mata kuliah semantik yang berbasis kearifan lokal Brebes sudah memenuhi ketuntasan perluliahan yaitu skor terendah 75 dan skor tertinggi 89. Dapat dikatakan bahwa hasil tes akhir mahasiswa sudah tuntas semua. Hal tersebut dibuktikan dengan pencapaian nilai kemampuan menulis teks prosedur antar rentang 75 – 84 sebanyak 18 mahasiswa dan 85 – 100 sebanyak 7 mahasiswa. b. Keefektifan Bahan Ajar Interaktif

Keefektifan bahan ajar interaktif mata kuliah semantik yang berbasis kearifan lokal Brebes terdiri atas uji normalitas data, uji homogenitas data, dan uji hipotesis data. Uji normalitas data dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.

Berdasarkan hasil analisis data, Uji normalitas yang digunakan menggunakan Shapiro-Wilk, yang diperoleh signifikansi sebesar 0,074 lebih besar dari 0,05 (signifikansi yang digunkan), maka ha ditolak dan ho diterima, artinya data tersebut berdistribusi normal.

Setelah dilakukam uji normalitas data, selanjutnya yaitu uji homogenitas data. Berdasarkan hasil analisis data tersebut terlihat bahwa t hitung = 8,665 sedangkan t tabel = 2,00. Artinya t hitung > t tabel. Hal ini berarti 퐻 diterima. Jadi, ada pengaruh antara variabel bebas dengan tingkat kepercayaan 95% atau α = 5% dengan (df) = 48. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata nilai mahasiswa pretes dan postes kelas

Prasetyo Yuli Kurniawan Keefektifan Penggunaan Bahan Ajar Interaktif yang Berbasis Kearifan Lokal Brebes

dalam Mata Kuliah Semantik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 175

eksperimen dengan menggunakan bahan ajar. Dapat dikatakan bahwa bahan ajar interaktif mata kuliah semantik yang berbasis kearifan lokal Brebes dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa PBSI Universitas Muhadi Setiabudi Brebes khususnya pada mata kuliah semantik. PEMBAHASAN

Peningkatan kemampuan mahasiswa dalam mata kuliah semantik ditunjang dari beberapa faktor. Faktor tersebut diantaranya yaitu bahan ajar. Dosen harus mampu memilah bahan ajar yang tepat agar efektif dan efesien. Hal tersebut karena bahan ajar efektif dalam meningkatkan kemampuan mahasiswa. Selain efektif, bahan ajar juga harus menyenangkan. Bahan ajar tersebut ada beberapa macam salah satunya yaitu media pembelajaran bermain sambil belajar. Sama halnya dengan yang dikemukakan oleh Nurpratiwiningsih (2018) bahwa bahan ajar yang menekankan pada penndekatan permainan, maka akan mudah memberikan materi yang hendak disampaikan. Begitu juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Arsanti (2018), Harijanto (2007), dan Oka (2017) bahwa bahan ajar dapat memudahkan mahasiswa dalam mempelajari mata kuliah tertentu. Sehingga kemampuan mahasiswa pun bisa meningkat

Kemampuan mahasiswa bukan hanya ditekankan dalam kemampuan pedagogik saja. Namun juga harus seimbang dengan kemampuan afektif. Afektif mahasiswa tercermin dalam ruang lingkup kelas pada saat perkuliahan. Namun, mahasiswa harus mencerminkan kemampuan afektif bukan hanya sebatas ruang lingkup kelas. Tetapi juga harus mencerminkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Sikap mahasiswa bertolok ukur pada tata norma yang ada pada masyarakat. Norma-norma yang berlaku biasanya tradisi dari leluhur daerah tersebut. Salah satu contoh tradisi atau warisan luhur yang masih kental yaitu kearifan lokal Brebes. Masyarakat Brebes khususnya generasi muda pada zaman sekarang kurang memegang norma leluhur yang ada. Hal tersebut berdampak pada nilai-nilai atau perilaku keburukan generasi muda yang merajalela. Hal tersebut harus ditangani dengan serius. Generasi muda harus ditanamkan nilai-

nilai kearifan lokal. Salah satu cara penanaman tersebut yaitu dengan mengintegrasikan dalam pembelajaran. Sesuai dengan pendapat Winarto (2016), Parris (2010), Zinnurain (2017), Lestariningsih (2017), Ferdianto (2018) bahwa dengan mengintegrasikan kearifan lokal dalam pembelajaran di kelas maka akan menggugah mahasiswa tentang keasadaran pentingnya kearifan lokal. Nilai-nilai luhur yang perlu dilestarikan oleh mahasiswa pada khususnya. SIMPULAN

Perkuliahan semantik dalam penelitian ini menggunakan bahan ajar interaktif yang berbasis kearifan lokal. Berdasarkan data nilai awal bahwa banyak mahasiswa yang belum tuntas. Namun setelah diberi perlakuan dan diberi tes akhir, semua mahasiswa bisa tuntas dalam mata kuliah semantik.

Uji keefektifan dilakukan dengan beberapa uji yaitu uji normalitas data, uji homogenitas, dan uji hipotesis. Berdasarkan tabel pengolahan data menggunakan SPSS dapat diketahui bahwa data nilai awal (pretest) dan data nilai akhir (posttest) berdistribusi normal dan homogen. Setelah dilakukan uji syarat (uji normalitas data dan homogenitas data) tahap selanjutnya yaitu uji hipotesis. Uji hipotesis menggunakan independent samples test dalam SPSS. Berdasarkan hasil uji yang dilakukan menyatakan bahwa adanya perbedaan signifikan hasil pretest dan posttest pada mahasiswa PBSI UMUS. Nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bahan ajar efektif diterapkan dalam perkuliahan semantik. SARAN

Dalam penelitian ini ada beberapa saran yang dapat dijabarkan yaitu bahwa dosen sebaiknya memberikan sumbangsih keilmuannya yang kreatif dalam hal bahan ajar di perkuliahan. Kemudian mahasiswa sebaiknya juga harus menumbuhkan rasa untuk melestarikan dan meningkatkan wawasannya tentang kearifan budayanya. DAFTAR PUSTAKA Achmad, Said Suhil. 2009. Pengantar

Pengembangan Bahan Ajar di Perguruan Tinggi. Pekanbaru.

Arsanti, Meilan. 2018. Pengembangan

Bahan Ajar Mata Kuliah Penulisan Kreatif Bermuatan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter

Prasetyo Yuli Kurniawan Keefektifan Penggunaan Bahan Ajar Interaktif yang Berbasis Kearifan Lokal Brebes

dalam Mata Kuliah Semantik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 176

Religius bagi Mahasiswa Prodi PBSI, FKIP, UNISSULA. Jurnal Kredo Vol. 1 No. 2. Retrieved from http://jurnal.umk.ac.id/index.php/kredo/article/view/2107.

Ferdianto, Ferry & Setiyani. 2018.

Pengembangan Bahan Ajar Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal Mahasiswa Pendidikan Matematika. JNPM Vol. 2 No.1 hal.37. Retrieved from http://jurnal.unswagati.ac.id/index.php/JNPM/article/view/781.

Harijanto. 2007. Pengembangan Bahan

Ajar untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran Program Pendidikan Pembelajar Sekolah Dasar. Didaktika. Vol. 2 No.1 Hal. 216-226. Retrieved from https://utsurabaya.files.wordpress.com/2010/08/harijanto1-pengembangan-bahan-ajar-sd.pdf.

Lestariningsih, Novi & Siti Partini

Suardiman. 2017. Pengembangan Bahan Ajar Tematik-Integratif Berbasis Kearifan Lokal untuk Meningkatkan Karakter Peduli dan Tanggung jawab. Jurnal Pendidikan Karakter Tahun VII No.1. Retrieved from https://journal.uny.ac.id/index.php/jpka/article/view/15503

Malalina & Nila Kesumawati. 2014. Pengembangan Bahan Ajar Interaktif Berbasis Komputer Pokok Bahasan Lingkaran untuk Kelas VIII Sekolah Menengah Pertama. Vol.8 No. 1. Hal. 55-70. Retrieved from https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jpm/article/view/1861

Nurpratiwiningsih, Laelia & Didik Tri Setiyoko. 2018. Development of Education Games Map Material as a Learning Media for Elementary School Students. Vol. 7 No. 3. Hal 249-257. Retrieved from https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jpe/article/view/26251

Parris, Patrick. 2010. Cultural Dimensions of Learning: Addressing the Challenges of Multicultural Instruction. Vol.11 No.2.

Pemerintah Daerah Brebes. 2008.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Brebes Tahun 2005-2025. Sekretariat Bapeda. Brebes.

Oka, Gde Putu Arya. 2017.

Pengembangan Bahan Ajar Interaktif Berbasis Component Display Theory (CDT) pada Mata Kuliah Multimedia Jurusan Teknologi Pendidikan FIP Undiksha. E-Jurnal Imedtech Vol.1 No.1. Retrieved from http://ejournal.citrabakti.ac.id/index.php/imedtech/article/view/8

Rosida, Noor Fadiawati, & Tri Jalmo.

2017. Efektivitas Penggunaan Bahan Ajar E-Book Inr=teraktif dalam Menumbuhkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa. Jurnal Pembelajaran Fisika. Vol 5, No 1. Retrieved from http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/JPF/article/view/11886

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian

Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung. Alfabeta.

Winarto. 2016. Pengembangan Model

Wisata Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal dengan Pendekatan Saintifik di Brebes Selatan sebagai Alternatif Model Belajar Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Dialektika Vol. 6 No. 2. Retrieved from https://journal.peradaban.ac.id/index.php/jdpgsd/article/view/6

Zinnurain dan Ahmad Muzanni. (2017). Pengembangan Buku Ajar Berbasis Kearifan Lokal pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar. Jurnal Ilmiah IKIP Mataram Vol. 4. No. 2. Retrieved from http://ojs.ikipmataram.ac.id/index.php/jiim/article/view/192

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 177

PENGARUH MEDIA LAGU TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS PUISI PADA SISWA KELAS X MIA SMA NEGERI 1 TANJUNG MORAWA

Silvia Siburian

Dikbind PPs Universitas Negeri Medan [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan menulis puisi siswa tanpa menggunakan media lagu dan kemampuan menulis puisi siswa dengan menggunakan media lagu di SMA Negeri 1 Tanjung Morawa. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas X MIA 1 SMA Negeri 1 Tanjung Morawa. Pemilihan kelas dilakukan secara acak dan didapat kelas X MIA 1 dengan jumlah siswa 34 orang.Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode eksperimen dengan media lagu dan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh media lagu terhadap kemampuan menulis puisi pada siswa kelas X MIA SMA Negeri 1 Tanjung Morawa 2016/2017. Hal ini dibuktikkan dengan pengujian hipotesis yang dilakukan dengan cara uji t satu pihak yaitu pihak kanan, dengan kriteria pengujian, tolak h0 jika t’ ≥ 1,68, karena hasil t’ = 5,79 maka 5,79 ≥ 1,68 oleh karena itu h0 ditolak dan ha diterima. Oleh karena itu perlu dilakukan adanya media lagu terhadap kemampuan menulis puisi pada guru SMA Negeri 1 Tanjung Morawa guna meningkatkan hasil belajar khususnya hasil kemampuan menulis puisi dengan menggunakan media lagu.

Kata kunci : Media Lagu , Kemampuan Menulis Puisi

Abstract. This study aims to determine the ability to write poetry by students without using the media song and the ability to write poetry students by using media songs in SMA Negeri 1 Tanjung Morawa. The sample of this research is the students of class X MIA 1 SMA Negeri 1 Tanjung Morawa. Random sampling technique was chosen consisting of 34 people. This research uses experiment method with song media through quantitative approach. The results of this study indicate that there is influence of song media on the ability to write poetry by students of class X MIA SMA Negeri 1 Tanjung Morawa in 2016/2017 academic year. This is proven by hypothesis testing done through one party's right-side T test, with test criterion, reject h0 if t '≥ 1.68, since the result t = 5.79 then 5.79 ± 1.68 because that of that Ho rejected and Ha accepted. Therefore, song media needs to be provided to improve the ability to write poetry students in SMA Negeri 1 Tanjung Morawa to improve learning outcomes, especially the result of the ability to write poetry by using media songs.

Keywords: Song Media, Writing Poetry Ability PENDAHULUAN

Menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa yang tidak dapat dipisahkan dari proses belajar mengajar yang berlangsung di sekolah. Hal ini dikarenakan dalam silabus mata pelajaran bahasa Indonesia dicantumkan empat keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa, yakni (1) keterampilan mendengarkan (listening skills), (2) keterampilan berbicara (speaking skills), (3) keterampilan membaca (reading skilss), (4) keterampilan menulis (writing skills). Keempat keterampilan berbahasa tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.

Menulis menuntut adanya informasi dan pengetahuan, keterampilan

menulis tidak lagi dipahami hanya sekadar proses pengungkapan gagasan atau cara berkomunikasi melalui tulisan. Menulis telah menjadi pilihan untuk mengaktualisasikan diri, alat untuk membebaskan diri dari berbagai tekanan emosi, sarana membangun dan menunjukkan indentitasnya. Seorang penulis mengatakan bahwa “Keterampilan menulis berfungsi sebagai alat komunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain, dalam kegiatan menulis ini, penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa dan kosa kata” (Tarigan, 2008: 3).

Sehubungan dengan hal ini menulis dipergunakan melaporkan/ memberitahukan, dan mempengaruhi maksud serta tujuan. Hal ini dapat dicapai

Silvia Siburian Pengaruh Media Lagu Terhadap Kemampuan Menulis Puisi pada Siswa Kelas X MIA

SMA Negeri 1 Tanjung Morawa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 178

dengan baik oleh orang- orang yang menyusun pikirannya dan mengutarakannya dengan jelas. Kejelasan ini bergantung pada pikiran, pemikiran, dan struktur kalimat.

Keterampilan menulis memiliki suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif, keterampilan menulis tidak akan datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktik yang banyak dan secara teratur. Dalam kehidupan modern ini, jelas bahwa keterampilan menulis memiliki suatu ciri-ciri dari orang yang terpelajar atau bangsa yang terpelajar.

Menulis merupakan materi pembelajaran yang dirasa cukup sulit pada siswa kelas X MIA SMA Negeri 1 Tanjung Morawa, hal ini menyebabkan siswa kurang tertarik dalam belajar sehingga menyebabkan hasil belajar yang diperoleh oleh siswa sangat rendah yaitu dengan nilai rata-rata 65, sementara hasil yang ingin dicapai berdasarkan KKM 75.

Pembelajaran keterampilan menulis memiliki beberapa jenis kegiatan salah satunya yaitu menulis puisi, terdapat dalam silabus kelas X SMA yaitu, menulis puisi baru dengan memperhatikan bait, rima, irama. Tujuan yang ingin dicapai dalam materi ini adalah siswa mampu mengindentifikasi puisi baru berdasarkan bait, rima, dan irama.

Dalam kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia, menulis puisi salah satu kompetensi yang sudah diajarakan sejak Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), siswa mampu mengungkapkan pikiran dan perasaan melalui kegiatan menulis puisi. Kemampuan menulis puisi tidak dapat muncul begitu saja tanpa adanya teori dan latihan secara rutin yang dilakukan oleh siswa. Agar mencapai hasil yang mempunyai nilai tinggi dalam menulis puisi. Maka siswa harus melakukan latihan agar mencapai hasil yang indah dan kreatif, apabila kemampuan menulis tidak ditingkatkan, maka kemampuan siswa menuangkan pikiran dan perasaan melalui kegiatan menulis puisi berkurang dan kemampuan siswa untuk berimajinasi menjadi terbatas.

Demikian halnya dengan pembelajaran menulis puisi. Pembelajaran menulis puisi membutuhkan latihan yang berulang dan intensif, dengan latihan yang intesif dapat memudahkan siswa dalam

memunculkan ide, pengetahuan, dan perasaan. Akan tetapi, dalam pembelajaran puisi disekolah sering sekali dihadapkan banyak kendala seperti kurang menarik dalam penyampaian materi dan pemahaman materi pada siswa oleh guru. Sebagian guru masih menggunakan metode pembelajaran ceramah dan penugasan berbasis buku teks tanpa melakukan variasi pembelajaran lainnya. Tidak ada peran aktif siswa dalam pembelajaran karena proses pembelajaran bersifat satu arah. Guru menjadi inti dari pembelajaran, sedangkan siswa menjadi pasif dalam pembelajaran, guru berperan penting dalam mendorong motivasi menulis siswa sehingga mendorong siswa untuk berlatih menulis puisi yang baik dan benar.

Berdasarkan uraian tersebut diperlukan inovasi pembelajaran untuk memecahkan permasalahan diatas. Inovasi tersebut dapat berupa penggunaan model, strategi, media, pendekatan, dan metode pembelajaran. Hal tersebut dilakukan agar siswa aktif dalam pembelajaran. Terdapat media pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis, salah satunya adalah media lagu.

Penggunaan teknik akrostik dengan media lagu dilakukan dalam jurnal Suhadi (2014: 6-7) mengalami peningkatan secara signifikan dengan peningkatan elemen-elemen berbahasa yaitu: a. Hampir semua siswa mengalami peningkatan penguasaan kosa kata, b. Lebih dari 75 persen siswa lebih mampu menyusun kalimat dengan pola yang benar, c. Sekitar 70 persen mampu menulis karangan dengan gaya penulisan yang lebih jauh lebih baik, d. Setelah menggunakan teknik akrostik dengan media lagu siswa mampu menulis dengan baik.

Media lagu merupakan suatu media pembelajaran yang bisa dimanfaatkan untuk menggugah ide serta minat siswa dalam menulis puisi. Melalui media ini, diharapkan dapat menciptakan suasana belajar yang lebih menyenangkan bagi siswa, sementara itu guru lebih mudah mengarahkan siswa karena tercipta suasana belajar yang menyenangkan.

Penggunaan media lagu menawarkan berbagai cara untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menuangkan imajinasi dalam bentuk puisi,

Silvia Siburian Pengaruh Media Lagu Terhadap Kemampuan Menulis Puisi pada Siswa Kelas X MIA

SMA Negeri 1 Tanjung Morawa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 179

media lagu juga memberikan Suasana hatinya kedalam alunan kata-kata yang ada sehingga diharapkan siswa mampu menuliskan sebuah puisi sesuai dengan tema lagu yang telah ditentukan.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Media Lagu terhadap Kemampuan Menulis Puisi pada Siswa Kelas X MIA SMA Negeri 1 Tanjung Morawa”. METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat penting karena berhasil tidaknya suatu penelitian sangat ditentukan oleh metode yang digunakan. Metode yang dipakai sebagai alat untuk membantu dan memecahkan masalah dan menguji hipotesis. Sugiyono (2010: 2) mengatakan “Metode penelitian ialah cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan, dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah”.

Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan media lagu dan pendekatan kuantitatif. Metode ini digunakan karena peneliti ingin mengetahui pengaruh media lagu terhadap kemampuan menulis puisi siswa kelas X MIA SMA Negeri 1 Tanjung Morawa . 1. Deskriptif Data

Untuk mendeskripsikan data digunakan statistik deskripsi, yaitu menghitung rata-rata skor (M), Standar Deviasi (SD) dengan rumus:

푀푥 = ∑ Keterangan: Mx = Rata-rata ∑ fx = Jumlah dari hasil perkalian antara midpoint masing-masing interval dengan frekuensinya N = Jumlah sampel (Sudijono, 2008: 85)Menghitung standar deviasi digunakan rumus:

SDx =∑

Keterangan: SD = Standar Deviasi ∑fx2 = Jumlah hasil perkalian antara frekuensi masing-masing interval dengan X2

N = Jumlah Sampel (Sudijono, 2008: 161) Mencari standar error mean hasil pretest

SE M 2 = √

Mencari standar error mean hasil postest

SE M 1 = √

Mencari Standar error perbedaan mean kedua hasil

SE M1-M2 = 푆퐸 + 푆퐸 Sudijono (2008: 314-316) 2. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah populasi distribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji liliforefors seperti diungkapkan oleh Sudjana (2005: 466) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Pengamatan X1, X2, X3, …, Xn dijadikan bilangan baku Z1, Z2, Z3,.., Zn dengan menggunakan rumus: Z1 = ̅ Keterangan Xi = Batas kelas 푥̅= Rata-rata S = Standar deviasi b. Untuk tiap angka baku dihitung peluangnya dengan F (Zi) = P (Z ≤ Zi) dengan menggunakan distribusi normal. c. Menghitung proporsi Z1, Z2, Z3, …, Zn yang lebih kecil atau sama dengan dari Z1. Jika proporsi ini dinyatakan oleh S(Zi) = P (Z≤Zi) S(Zi) = , , ,… d. Menghitung selisih F (Zi) – S (Zi), kemudian menentukan harga mutlaknya.

e. Ambil harga yang paling besar antar selisih tersebut dengan L0 = diterima jika harga L0< Lt dengan taraf nyata α = 0,05 3. Uji Homogenitas

Jika dalam pengujian normalitas diperoleh data berdistribusi normal, maka dilakukan uji homogenitas yaitu kesamaan varians, dengan hipotesis. Uji homogenitas dilakukan dengan rumus yang dikutip dari Sudjana (2002: 261)

Fhitung =

Keterangan : S12 = Varians

terbesar S2

2 = Varians terkecil Pengujian Homogenitas

dilakukan dengan kriteria; diterima H0 jika Fhitung < Ftabel dan ditolak H0 jika Fhitung> Ftabel yang menyatakan bahwa sampel berasal dari populasi yang homogen. 4. Uji Hipotesis

Untuk menguji hipotesis ini dilakukan dengan cara membandingkan harga t hitung dan t tabel dengan tingkat kepercayaan α = 0,05% dengan ketentuan jika t hitung> t tabel, maka Ho ditolak Ha

Silvia Siburian Pengaruh Media Lagu Terhadap Kemampuan Menulis Puisi pada Siswa Kelas X MIA

SMA Negeri 1 Tanjung Morawa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 180

diterima dengan pengertian ada pengaruh media lagu terhadap kemampuan menulis puisi siswa kelas X MIA SMA Negeri 1 Tanjung Morawa.

Rumus uji t yang digunakan yaitu:

t’ >

(Sudjana 2005:243) dengan : t’ =

(Sudjana 2005:243) dimana X1 = rata rata hasil belajar

siswa menggunakan media lagu X2 = rata-rata belajar siswa tidak

menggunakan media lagu n1 = jumlah siswa n2 = jumlah siswa

푆 = Varians kelas yang menggunakan media lagu

푆 = Varians kelas yang tidak menggunakan media lagu

Dari persamaan tersebut maka tolak Ho

jika: t’ >

sebaliknya

Terima Ho jika t’ <

HASIL PENELITIAN Setelah melakukan prosedur

penelitian yang panjang, seperti uji normalitas, uji homogenitas dan pengujian hipotesis, maka diperoleh hasil dari penelitian tersebut. dari temuan penelitian, diketahui kemampuan menulis puisi dengan pengaruh media lagu diperoleh nilai rata-rata siswa berjumlah 79,55 dari jumlah siswa 34 orang, data dikonstribusikan dalam kategori sangat baik sebanyak 11 orang atau 33% kategori baik sebanyak 20 orang atau 58% perbedaan perolehan nilai rata-rata tersebut menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan menulis puisi dengan media lagu lebih tinggi dari pada nilai rata-rata kemampuan menulis puisi tanpa media lagu. PEMBAHASAN

Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan menulis puisi dengan pengaruh media lagu lebih baik dari pada kemampuan menulis puisi tanapa media lagu.dalam temuan penelitian, dilihat dari setiap perindikator menulis puisi dengan pengaruh media lagu memberikan peluang bagi siswa untuk berpikir kreatif, siswa dapat menuangkan ide-idenyaa dari lagu yang didengar, hal ini karena lirik lagu yang diperdengarkan tidak hanya sebatas kata-kata tetapi juga memberikan sugesti

yang meransang imajinasi siswa. Berbeda dengan menulis puisi tanpa media lagu skor yang diperoleh siswa lebih rendah dari pada penggunaan media lagu hal ini dikarenakan siswa sulit menuangkan ide-idenya, siswa hanya menulis puisi berdasarkan langkah-langkah menulis puisi yang tertera dari buku teks.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pengaruh media lagu lebih baik dari pada menulis puisi tanpa media lagu. Hal tersebut karena media lagu dapat membuat siswa lebih kreatif dalam menulis puisi, hal itu karena lagu merupakan ungkapan perasaan seseorang yang dituangkan melalui kata-kata yang undah, dalam hal ini lagu juga dapat menghilangkan kejenuhan siswa, karena lagu adalah kegiatan seorang musisi mencurahkan perasaannya sepenuh-penuhnya dan seutuh-utuhnya melalui bunyi-bunyian mengatur atau menata agar bunyi-bunyian yang dibuat indah, bagus atau enak didengar.

Lagu dapat digunakan untuk melatih daya analisis siswa dari apa yang mereka simak sehingga siswa mampu mengungkapkan diksi dari lagu, hal ini karena lagu yang diperdengarkan dapat member respon yang positif dalam kemampuan menulis puisi. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan menulis puisi siswa yang diajar menggunakan media lagu lebih tinggi atau lebih baik dari pada nilai rata-rata kemampuan menulis puisi siswa yang diajarkan tanpa media lagu. Kriteria pengujian adalah t’ = 5,79 atau 5,79 > 1,68 maka Ho ditolak, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwasanya Ho ditolak dan Ha diterima. Hal ini membuktikan bahwa pembelajaran menulis puisi dengan pengaruh media lagu lebih efektif dibandingkan menulis puisi tanpa media lagu. SIMPULAN 1. Berdasarkan hasil penelitian

kemampuan menulis puisi tanpa menggunakan media lagu diperoleh nilai rata-rata berjumlah 68,08 yaitu kurang, dengan standard deviasi berjumlah 7,37 dengan perolehan nilai tertinggi 85 dan nilai terendah 60

2. Berdasarkan hasil penelitian kemampuan menulis puisi dengan pengaruh media lagu diperoleh nilai rata-rata berjumlah 79,55 yaitu baik, dengan standard deviasi berjumlah

Silvia Siburian Pengaruh Media Lagu Terhadap Kemampuan Menulis Puisi pada Siswa Kelas X MIA

SMA Negeri 1 Tanjung Morawa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 181

8,94 dengan perolehan nilai tertinggi 95 dan terendah 65.

3. Adanya pengaruh kemampuan menulis puisi dengan menggunakan media lagu lebih efektif dari pada menulis puisi tanpa menggunakan media lagu hal ini dapat dilihat dari perbedaan perolehan nilai rata-rata, yaitu menulis puisi dengan pengaruh media lagu dengan nilai rata-rata 79,55 sedangkan menulis puisi dengan media teks dengan nilai rata-rata 68,08.

SARAN Berdasarkankesimpulan tersebut,

maka sebagai tindak lanjut dari penelitian ini dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi guru bidang studi menggunakan

media lagu dalam proses belajar mengajar disekolah untuk mencapai tujuan pembelajaran.

2. Bagi guru bidang studi bahasa Indonesia yang mengajar lokasi penelitian meningkatkan perhatiannya terhadap kemampuan siswa dalam menulis puisi termasuk penggunaan media pembelajaran yang digunakan.

3. Pentingnya diadakan penelitian lebih lanjut bagi peneliti yang lain sebagai langkah konkret peningkatan mutu pendidikan dengan menggunakan media pembelajaran yang beraneka ragam

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharismi. 2006. Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta.

Arikunto, Suharismi. 2009. Manajemen

Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta Arsyad, Azhar. 2007. Media Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Barus. 2010. Petunjuk Teknis Menulis Berita. Jakarta : Erlangga Departemen Pendidikan Nasional. 2007.

Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Handayani, Ratih Kanthi. 2011. Pengaruh

Media Pembelajaran Lagu terhadap Kemampuan Menulis Puisi Ditunjau dari Pemahaman Bahasa Figuratif Siswa Kelas 10 SMA N 1 Gemolong,Sragen

Tahun Pelajaran 2010/2011. Skrispi, FKIP USM.

Keraf, Gorys. 2004. Komposisi Sebuah

Pengantar Kemahiran Berbahasa. Jakarta : Nusa Indah

Kosasih. 2008. Apresiasi Sastra

Indonesia. Jakarta: Nobel Edumedia.

Kurniandra, TriRatna. 2014. Peningkatan

Keterampilan Menulis Puisi Pada Siswa Kelas V SD Negeri 3 Limbangan denga Teknik Latihan Terbimbing Melalui Media Lagu. Skripsi. Jakarta : sarjana . Unes.

Mursini. 2010. Bimbingan Apresiasi

Sastra Anak-anak Medan: USU Press.

Napitupulu. 2007. Puisi Teori Apresiasi

dan Sastra. I Ende Flores : Nusa Indah

Pradopo. 1990. Pengajaran Apresiasi

Puisi. Jakarta : P3G _______. 2002. Pengajaran Apresiasi Puisi. Jakarta : P3G Roekhan, Dkk. 1991. Pembelajaran

Keterampilan Berbahasa Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu

Subrata. 2001. Konsep dan Makna

Pembelajaran Unsur-unsur. Bandung

Sudjana. 2005. Metode Statistika.

Bandung: Tarsito Sudijono. 2008. Pengantar Statistik

Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian

Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung ; ALFABETA

_______. 2010. Metode Penelitian

Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung ; ALFABETA

Suhadi. “Peningkatan Dalam Keterampilan Menulis Puisi

Silvia Siburian Pengaruh Media Lagu Terhadap Kemampuan Menulis Puisi pada Siswa Kelas X MIA

SMA Negeri 1 Tanjung Morawa

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 182

Melalui Teknik Akrostik Dengan Media Lagu”. Dalam Jurnal Suhadi 5. (1).6-7

Sukardi. 2003.Metodologi Penelitian

Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Suroto. 1989. Apresiasi Sastra Indonesia.

Jakarta: Erlangga. Sutisna, Rosi Nofaludin. Kemahiran

Menulis Puisi dengan Media Lagu. Skripsi. Tanjung Pinang : Pascasarjana. Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Tarigan, Morsey. 1976. Menulis Sebagai

Keterampilan Berbahasa. Tarigan, Henry Guntur. 2005. Menulis

Sebagai Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Wadi, Rama. 2013. Hubungan Kebiasaan

Menyimak Lagu Terhadap Kemampuan Menulis Cerpen. Skripsi. Medan: Pascasarjana Unimed

Waluyo, Herman. J. 2005. Apresiasi Puisi.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Widijanto, Tjahjono. 2007. Pengajaran

Sastra Yang Menyenangkan. Bandung: PT.Pribumi Mekar.

Wiyanto, Asul. 2008. Pelajaran Bahasa

dan Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Wulandari, Intan Febriani.2011. Pengaruh

Media Ilustrasi Musik terhadap Kemampuan Menulis Puisi Siswa Kelas X Tahun Pelajaran 2010/2011. UIN

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 183

GANGGUAN BERPIKIR DIMENSIA (PIKUN) PADA LANSIA

Riky Gunawan Siregar Dikbind PPs Universitas Negeri Medan [email protected]

Abstrak. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gangguan berpikir pada lansia responden dari wanita lanjut usia di Dusun 1 Desa Celawan. Orang lanjut usia yang dipilih yang mempunyai kriteria berumur di atas 55 tahun. Responden yang diberikan CDT sebanyak 3 orang, tetapi tidak seluruhnya dapat dianalisis karena ada beberapa data yang tidak ditampilkan misalnya pendidikan, tidak ada hasil wawancara dan observasi mengenai keseharian responden. Dengan jumlah responden satu orang. Kata kunci: Gangguan Berpikir, Lansia Abstract. This study aims to determine thinking disorders in the elderly respondents from elderly women in Hamlet 1 Village Celawan. Selected elderly people who have criteria over the age of 55 years. Respondents who were given CDT were 3 people, but not all of them could be analyzed because there were some data that were not shown for example education, there were no results of interviews and observations about the respondents' daily lives. With the number of respondents one person Keywords: Thinking Disorder, Elderly

PENDAHULUAN Kapan orang menjadi tua? apakah

proses penuaan sebagai akibat fisik yang aus dan penurunan kemampuan terjadi tanpa adanya perubahan yang mendasar pada sikap individu?. Penuaan adalah suatu proses biologis, meskipun para ahli biologis belum menemukan kesimpulan untuk menjelaskan karakteristik umum dari penuaan (Cox, 1988, dalam Shirdev & Levey, 2004). Schaie dan Willis (1992) mengatakan bahwa tahap usia tua akan dialami oleh semua orang, ada perubahan fisik, psikis dan sosial yang terjadi. Di sisi lain kondisi fisik dan psikis setiap orang lanjut usia akan berbeda. Hal tersebut berkaitan dengan pengalaman masa lalu dan lingkungan sosial budaya mereka. Akibatnya, di berbagai negara akan mempunyai karakteristik usia lanjut yang berbeda, salah satunya adalah harapan hidupnya.

Saat ini penduduk yang berusia lanjut (> 60 tahun) di Indonesia terus meningkat jumlahnya bahkan pada tahun 2005-2010 diperkirakan akan menyamai jumlah balita yaitu sekitar 8,5% dari jumlah seluruh penduduk atau sekitar 19 juta jiwa. Kondisi ini merupakan suatu tantangan untuk mempertahankan kesehatan dan kemandirian para lanjut usia agar tidak menjadi beban bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat.

Dari jumlah itu, sekitar 15% diantaranya mengalami demensia atau pikun, di samping penyakit degeneratif lainnya seperti penyakit kanker, jantung, reumatik, osteoporosis, katarak (Prodia, 2007).

Menurut The World Factbook (2002), berbagai negara mempunai variasi yang besar pada harapan hidup penduduknya. Misalnya di Jepang dan Switzerland usia harapan hidup hampir mencapai 80 tahun. Kemiskinan, bencana alam, masalah politik dan ekonomi menyebabkan usia harapan hidup di berbagai negara seperti Bangladesh, Pakistan dan Chad tetap antara 50-60 tahun bahkan ada yang lebih rendah. Di negara-negara yang sedang berkembang usia harapan hidup berkisar 10 tahun atau lebih ada di bawah rata-rata usia harapan hidup penduduk dunia. (dalam Shirdev & Levey, 2004) Usia harapan hidup yang lebih lama akan menyebabkan perubahan yang terjadi pada struktur dan sistem pada masyarakat dunia. Berbagai permasalahan yang dialami oleh para orang lanjut usia seperti tersedianya tenaga kerja yang masih potensial, fasilitas untuk mereka, serta masalah medis dan psikis yang sering dialami (misal: depresi, demensia, penyakit jantung, darah tinggi).

WHO membagi epidemologi dan prevalensi demensia berdasarkan wilayah geografi di seluruh dunia menjadi empat

Riky Gunawan Siregar Gangguan Berpikir Dimensia (Pikun) pada Lansia

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 184

bagian yaitu (AMRO [wilayah Amerika], EURO [Eropa], EMRO [Afrika utara dan timur tengah], AFRO [Afrika], SEARO [Asia Selatan] and WPRO [wilayah Pasifik bagian barat]). Gambar di bawah ini memperlihatkan bagian wilayah di dunia yang memperlihatkan bukti-bukti penelitian prevalensi demensia. Bagian yang berwarna merah (Amerika utara, Eropa, Jepang dan Australis) memperlihatkan wilayah yang melakukan beberapa penelitian tentang demensia yang mempunyai metodologi yang dianggap berkualitas. Bagian yang berwarna merah muda, adalah penelitian epidemologi yang kurang mempertimbangkan kualitas dan kuantitas estimasi yang tepat. Bagian yang berwarna putih merupakan wilayah di dunia yang sama sekali tidak mempunyai penelitian tentang epidemologi demensia. Sedangkan bagian yang bertitik merah adalah wilayah yang kurang lebih hanya mempunyai satu penelitian tentang epidemologi demensia. (Final Report, 2005). Dari gambaran tersebut terlihat bahwa data-data tentang demensia tidak seluruhnya dapat diperoleh di berbagai budaya di dunia. Data-data tentang epidemologi dan prevalensi biasanya hanya pada negara-negara yang mempunyai sejarah metode penelitian yang baik (bagian berwarnamerah). Sebagian dari hasil-hasil penelitian tersebut akan diuraikan dibawah ini dengan judul “ Pengaruh Gabgguan Berbahasa Pada Pendrita Pikun (Dimensia) Pada Orang Usia Lanjut Di Desa Pantai Cermin Kec. Serdang Bedagai”. Adapun rumusan masalah pada uraian di atas sebagai berikut: (a) Bagaimana tinjauan gangguan berbahasa terhadap orang pikun atau dimensia pada orang lanjut usia? Dan (b) Bagaimana analisis fonologi dan sintaksis terhadap gangg`uan pikun atau dimensia pada kata-kata yang diucapkan atau sintaksis yang diucapkan terhadap penderita pikun pada lanjut usia?

Istilah demensi itu berasal dari bahasa asing emence yang pertama kali dipakai oleh Pinel (1745 - 1826). Pikun sebagaimana orang awam mengatakan merupakan gejala lupa yang terjadi pada orang lanjut usia. Pikun ini termasuk gangguan otak yang kronis. Biasanya (tetapi tidak selalu) berkembang secara perlahan-lahan, dimulai dengan gejala depresi yang ringan atau kecemasan yang kadang-kadang disertai dengan gejala

kebingungan, kemudian menjadi parah diiringi dengan hilangnya kemampuan intelektual yang umum atau demensia. Jadi istilah pikun yang dipakai oleh kebanyakan orang, terminologI ilmiahnya adalah demensia. (Schaei & Willis, 1991). Jabaran demensia sekarang adalah "kehilangan kemampuan kognisi yang sedemikian berat hingga mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan". (dalam Kusumoputro, 2006) Sedangkan Cummings dan Benson (1992) menggunakan istilah “senescence” yang menandakan perubahan proses menua yang masih dalam taraf normal dan istilah “senility” untuk gangguan intelektual yang terjadi pada lanjut usia tetapi belum mengalami “dementia” (Besdin,1987).

Sejak lama istilah perubahan dan gangguan intelektual tersebut dipergunakan tanpa ada jabaran yang rinci. Hampir semua orang lansia yang mengalami kemunduran fungsi mentalnya secara mudah disebut sebagai telah mengalami demensia. Dalam kenyataan belum tentu lansia sudah mengalami demensia dan mungkin hanya baru dalam taraf predemensia. Istilah predemensia belum begitu dikenal oleh masyarakat (Kuntjoro, 2002).

Keadaan demensia pada usia lanjut terjadi tidak secara tiba-tiba, tetapi secara berangsur-angsur melalui sebuah rangkaian kesatuan dimulai dari “Senescence” berkembang menjadi ”senility” yang disebut sebagai kondisi “pre-demensia” dan selanjutnya baru menjadi “dementia”. Pengenalan demensia masa kini dipusatkan pada pengenalan dini melalui rangkaian kesatuan tersebut yaitu mulai dari kondisi “senescence” yang dikenal sebagai “benign senescent forgetfulness (BSF)”, dan “age-associated memory impairment (AAMI)”, – berlanjut menjadi kondisi “Senility” yang antara lain dikenal sebagai “cognitively impaired not demented (CIND)”, dan “mild cognitive impairment ( MCI)”. Akhirnya barulah disusul fase “dementia” (Kuntjoro, 2002). Ditambahkan oleh Kusumoputro (2006) orang yang mengalami demensia selain mengalami kelemahan kognisi secara bertahap, juga akan mengalami kemunduran aktivitas hidup sehari-hari (activity of daily living/ADL) Ini pun terjadi secara bertahap dan dapat diamati. Awalnya, kemunduran aktivitas hidup sehari-hari ini berujud sebagai

Riky Gunawan Siregar Gangguan Berpikir Dimensia (Pikun) pada Lansia

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 185

ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas hidup yang kompleks (complex activity of daily living) seperti tidak mampu mengatur keuangan, melakukan korespondensi, bepergian dengan kendaraan umum, melakukan hobi, memasak, menata boga, mengatur obat-obatan, menggunakan telepon, dan sebagainya. Lambat laun penyandang tersebut tidak mampu melakukan aktivitas hidup sehari-hari yang dasar (basic activity of daily living) berupa ketidakmampuan untuk berpakaian, menyisir, mandi, toileting, makan, dan aktivitas hidup sehari-hari yang dasar (basic ADL). Jadi proses demensia terjadi secara bertingkat dalam tahapan-tahapan yang dapat diamati dan dikenali kalau saja orang dekatnya waspada.

Akibat proses penuaan, mau tidak mau terjadi kemunduran kemampuan otak. Diantara kemampuan yang menurun secara linier atau seiring dengan proses penuaan adalah (dalam Kuntjoro, 2002) : (a) Daya Ingat (memori), berupa penurunan kemampuan penamaan (naming) dan kecepatan mencari kembali informasi yang telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval from memory) dan (b) Intelegensia Dasar (Fluid intelligence) yang berarti penurunan fungsi otak bagian kanan yang antara lain berupa kesulitan dalam komunikasi non verbal, pemecahan masalah, mengenal wajah orang, kesulitan dalam pemusatan perhatian dan konsentrasi (dalam Flavel, 1997). Dari penelitian Finkel dan Pederson (2000), ditemukan bahwa ada hubungan antara bertambahnya umur dengan kecepatan untuk melakukan persepsi. Kemampuan mempersepsi (Perceptual speed) disini dicontohkan seperti melakakuan identifikasi suatu objek atau mengingat suatu digit symbol. Kemampuan persepsi ini penting karena akan mempengaruhi kemampuan kognitif seseorang. Biasanya akan mengalami penurunan seiring bertambahnya usia. METODE PENELITIAN

Penelitian ini di lakukan di Dusun 1 Desa Celawan kec. Pantai Cermin Kab. Serdang Bedagai.Pebelitian dilakukan selama dua minggu mulai dari tanggal 01 Mei -14 Mei 2018.Subjek penelitian merupakan responden dari wanita lanjut usia di Dusun 1 Desa Celawan. Orang lanjut usia yang dipilih yang mempunyai kriteria berumur di atas 55 tahun.

Responden yang diberikan CDT sebanyak 3 orang, tetapi tidak seluruhnya dapat dianalisis karena ada beberapa data yang tidak ditampilkan misalnya pendidikan, tidak ada hasil wawancara dan observasi mengenai keseharian responden. Dengan jumlah responden satu orang.

Instrumen penelitian ini berupa Observasi, yaitu melakukan pengaatan langsung ke subjek penelitian.Wawancara, yaitu mengadaan Tanya jawab secara langsung kepada informan yang diharapkan dapat memberi keterangan-keterangan yang diperlukan seperti wawancara dengan penderita pikun. Studi kepustakaan, yaitu menelaah beberapa literature yang berisi pendapat atau teori-teori para ahli yang berkenaan dengan per,asalahan yang diteliti.

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Dengan demikian, sumber data terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer atau objek focus dalam penelitian ini, yakni pnulis mengambil responden sebanyak satu orang yang terdapat di Dusun 1 Desa Celawan Kec. Pantai Cermin. Selanjutnya, data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui sumber-sumber material tertulis seperti buku cetak, internet, dan artikel serta karya tulis lainnya untuk mengambil informasi tambahan yang terkait dengan memeriksa, membavca, kemudian mencatat dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan dilakukan sejak pengumpulan data. Penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi proses daripada hasil. Data yang dignakan dalam hasil penelitian ini adalah kualitatif. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan merasa tidak mengalami kesulitan untuk mengadministrasikan tes ini pada responden. Dari observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti, hanya ada beberapa yang melaporkan penolakan. Penolakan tersebut bukan karena responden takut.

Hasil wawancara dan observasi tersebut memberikan gambaran bahwa meskipun banyak dari responden yang hanya berpendidikan SD bahkan ada yang lupa tempat sekolahnya, mereka tidak berkeberatan menyelesaikan tes tersebut. Kehati-hatian, banyak pertanyaan yang diajukan, memperlihakan kekhawatiran

Riky Gunawan Siregar Gangguan Berpikir Dimensia (Pikun) pada Lansia

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 186

karena takut berbuat salah, meminta bantuan. Menurut Schaie dan Willis (1991) adalah perilaku yang wajar saat lansia diberikan tes.

Responden bernama Warsiah berumur 62 tahun, pendidikan SD, ibu rumah tangga, saat ini ia masih aktif berolah raga pagi dan malam hari, serta membersihkan rumah. Ibu Warsiah merupakan yang menderita gangguan pikun atau dimensia. Faktor yang menyebabkan respoden pikun adalah faktor usia. Semakin tua seseorang maka akan semakin pikun. Hal tersebut memang benar adanya karena penyebab utama pikun adalah usia yang semakin bertambah. Orang yang berusia di atas 60 tahun dikategorikan sebagai lansia. Lansia pada umumnya lemah dalam mengingat hal-hal baru yang dijumpai/dipelajari. Hal itu disebabkan oleh hilangnya motivasi para lansia untuk mengingat sesuatu tersebut, kemampuan pendengaran yang semakin lemah, dan juga karena kurangnya perhatian terhadap objek yang dipelajari.

Ibu Warsiah mengalami pikun pada orang di masa lalunya. Ia hanya ingat pada anak dan orang-orang di sekelilingnya saja. Dan Dari hasil penelitian tersebut peneliti memperoleh kesimpulan, bahwa subjek (Warsiah) menderita gangguan berfikir, yaitu gangguan berfikir demensia (Pikun). Kesimpulan tersebut berdasarkan data-data yang sudah peneliti dapatkan antara lain:

Ketika peneliti menanyakan umur kepada subjek, subjek ragu dan berusaha mengingat-ngingat kembali, walaupun pada akhirnya subjek menyebutkan berapa umurnya, namun perkataan yang diucapkan sering di ulang-ulang dan tidak sesuai dengan umur yang sebenarnya, malahan ceritanya berbelit-belit. “Umur tidak sedikit lagi, kata orang sudah tua sudah lama hidupnya. Sudah berapa ya? Hmm...sudah 62 Tahun dikurang tiga hari, sekarang sudah 90 Tahun. Kemaren sudah 80+10 kan sudah Sembilan puluh, dikurang tiga hari, sekarang sudah sehari lagi sudah lama. Sudah berapa lama masuk pagi, sudah lebih seratus. Karena itu tidak ada orang yang umurnya segini, saya bersyukur saja”.

Saat penelitian berlangsung, subjek menyatakan bahwa pendengaran (telinganya) masih baik-baik saja atau

masih terdengar jelas, padahal tidak. Ketika peneliti bertanya, subjek selalu meminta peneliti untuk mengulang pertanyaanya lagi, contohnya ketika peneliti menanyakan berapa orang anaknya, pertanyaan peneliti tidak dapat ia dengar dengan baik, sehingga ia meminta pertanyaan tersebut di ulang lagi.

Pada saat penelitian berlangsung, tiba-tiba datang menantunya dan responden marah-marah dan menyuruh menantunya pulang. Lalu peneliti bertanya “Nek, itu siapa? Kenapa di suruh pulang?”. “ aku benci kali sama itu, jijik kali, ga seneng aku, cina itu” di situ rumahnya”. Sambil nenunjuk arah selatan. Lalu, peneliti menanyakan sama anak responden, ibu Jumiani. “Itu siapa, Bu?” “Itu menantunya, dahulu tidak suka dengan beliau karena beliau suku thionghoa. Lalu beliau masuk islam karena menikah dengan anak ibu Warsiah dan yang mengajari mengaji, sholat dan belajar tentang islam ibu ini. Sesudah menikah ibu Warsiah jadi biasa saja, setelah pikun ibu Warsiah mendadak jadi membenci beliau”.Dari pernyataan-pernyataan di atas terlihat jelas, bahwa perkataan subjek tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya, terkadang ia lupa (daya ingatnya berkurang), ia sering mengulang kata-kata yang sama, dapat dikatakan bahwa subjek menderita gangguan berfikir demensia (pikun). Lansia penderita demensia ini tidak memperlihatkan gejala yang menonjol pada tahap awal, subjek sebagaimana Lansia pada umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif. Faktor yang mempengaruhi terjadinya demensia pada subjek adalah faktor predisposisi, yaitu faktor perpindahan yang berhubungan dengan proses menua. Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita sendiri ialah sulit mengingat nama cucu mereka atau lupa meletakkan suatu barang. Seperti layaknya anak kecil terkadang subjek bertanya sesuatu yang sama berulang kali walaupun sudah kita jawab, tapi terus saja pertanyaan yang sama disampaikan. SIMPULAN

Lansia pada umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif. Faktor yang mempengaruhi terjadinya demensia pada subjek adalah faktor predisposisi, yaitu faktor perpindahan yang

Riky Gunawan Siregar Gangguan Berpikir Dimensia (Pikun) pada Lansia

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 187

berhubungan dengan proses menua. Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita sendiri ialah sulit mengingat nama cucu mereka atau lupa meletakkan suatu barang. Seperti layaknya anak kecil terkadang subjek bertanya sesuatu yang sama berulang kali walaupun sudah kita jawab, tapi terus saja pertanyaan yang sama disampaikan. SARAN

Penelitian ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan untuk itu diharapkan kepada pembaca untuk memperbaiki di masa yang akan datang dan penelitian ini dapat menjadi acuan pagi pembaca mengenai gangguan berpikir lansia penderita dimensi. DAFTAR PUSTAKA Harvey, RJ., Robinson, MS., Rossor, MN.

2003.The Prevalence and Cause of Dementiain People Under The Age of 65 Years.JNNP online. 74: 1206-1209.

Jefferies, K and Agrawal, N. 2009. Early-

Onset Dementia. Journal of Continuing Professional Development. 15: 380-388.

Kuntjoro, ZS. 2002. Pengenalan Dini

Demensia (Predemensia). Diambil dari: www.e-psikologi.com/usia/170602.htm.

Kusumoputro. 2007. Kelemahan Kognisi

RinganMsebagai Awal Pikun Alzheimer pada Lanjut Usia. Diambil dari: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/01/opini/401780.htm.

Sampson, EL., Warren, JD., and Rossor,

MN. 2004. Young Onset Dementia. Postgraduate Medical Journal. 80, 125-139.

Shah, A. 2004. Crosss-Cultural Issues and

Cognitive Impairment, http://www.rcpsych.ac.uk/pdf/Dementia %20%20Culture.pdf.

Shulman, KI., Gold, DP., Cohen, CA., and

Zucchero, CA. 1993. Clock Drawing and Dementia In The Community: ALongitudinal Study. Int J Geriatry Psychiatry. 8: 487-496.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 188

GANGGUAN BERBICARA PADA AFASIA WERNICKE

Riska Damayanti Dikbind PPs Universitas Negeri Medan

[email protected]

Abstrak. Salah satu gangguan berbicara yang banyak terjadi adalah afasia. Anak yang mengalami afasia tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata. Pada afasia wernicke anak hanya mampu mengeluarkan isi pikiran, tetapi tidak mengerti pembicaraan orang lain. Perkembangan bahasa anak afasia wernicke ini sama dengan anak normal lainnya. Anak lancar berbicara tetapi tanpa ujung dan intinya, membuat kalimatnya tidak beraturan (berantakan). Anak afasia wernicke dapat dilihat yakni umur di atas 3-4 tahun. Kata kunci: Gangguan Berbicara, Afasia Wernicke Abstract. One of the most common talking disorders is aphasia. Children who experience aphasia are unable to understand or express words. In aphasia wernicke children are only able to issue the contents of the mind, but do not understand the talk of others. The development of Wernicke's aphasic language is the same as that of other normal children. Children speak fluently but without end and essence, make the sentence irregular (messy). Wernicke's aphasia children can be seen at ages above 3-4 years.

Keywords: Speech Disorder, Aphasia Wernicke

PENDAHULUAN Pada dasarnya setiap manusia

berkomunikasi menggunakan sederetan fungsi kebahasaan yang diaplikasikan melalui proses formulasi, menyimak bahasa, menghasilkan nada-nada tertentu, menghasilkan pengucapan bunyi bahasa, membuat lagu kalimat dan berinteraksi melalui komunikasi. Akan tetapi kemampuan tiap orang dalam menguasai fungsi kemampuan berbahasa tertentu berbeda satu sama lain. Ada orang yang dengan cepat mengaplikasikan fungsi kebahasaan tersebut. (Subyantoro, 2013: 28).

Kemampuan berbahasa setiap anak itu berbeda-beda, ada yang mampu berbahasa dengan sempurna yaitu mampu berbahasa sesuai dengan kaidah kebahasaan seperti stuktur bahasa, intonasi, dan konteks. Ada juga anak yang tidak mampu berbahasa secara sempurna atau mengalami gangguan berbahasa. Chaer (2009: 148) menyatakan bahwa secara umum terdapat dua penyebab gangguan berbahasa. Pertama, gangguan akibat faktor medis, yaitu gangguan yang diakibatkan kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan-kelainan alat-alat bicara. Kedua, akibat faktor lingkungan sosial seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat.

Anak yang menderita gangguan otak baik gangguan akibat faktor medis

atau gangguan karena kelainan fungsi otak juga melewati tahap pemerolehan bahasa. Namun, pemerolehan bahasa pada anak tidak normal akan berjalan lambat dan sesuai dengan perkembangannya.

Salah satu gangguan yang banyak terjadi adalah afasia. Dalam bidang neurologi, afasia didefinisikan sebagai suatu gangguan kebahasaan yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau cedera pada erea bahasa otak (Subyantoro, 2013:29)

Darley (1982) mengemukakan bahwa afasia biasanya melukiskan suatu kerusakan atau pelemahan bahasa akibat terjadinya cedera otak pada area dominan bahasa cerebral hemisphere. Afasia dapat terjadi mengikuti stroke dan traumatic brain injury, dapat pula dihubungkan dengan penyakit yang mempengaruhi unsur dan fungsi otak (Nadeau, Rothi, & Crosson, 2000).

Definisi lain mengungkapkan afasia dicirikan sebagai permasalahan bahasa dan cognitive communication yang berhubungan dengan kerusakan otak lainnya seperti dementia dan traumatic brain injury (Orange & Kertesz, 1998). Bagaimanapun, penje‐ lasan terhadap afasia bukan sederhana semata‐mata sebagai kekacauan berbahasa, melainkan sebagai suatu kesatuan klinis yang kompleks.

Riska Damayanti Gangguan Berbicara pada Afasia Wernicke

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 189

Secara klinis Kertezs (1979) menguraikan afasia sebagai bagian dari neurology di mana gangguan terjadi pada pusat bahasa ditandai oleh paraphasias, kesukaran menemukan kata‐kata, pemahaman yang berbeda dan berubah lemah. Disamping itu berkaitan pula dengan gangguan membaca dan menulis yang lazim seperti dysarthria, konstruksi non‐verbal, kesulitan menyelesaikan masalah serta kelemahan dalam memberi dan merespon melalui isyarat( impairment of gesture).

Pada afasia wernicke berhubungan dengan kerusakan pada daerah wernicke, yaitu pusat bahasa yang bertanggung jawab untuk memproduksi makna. Interpretasi kata selama pemahaman dan pemilihan kata dalam memproduksi ujaran. Penderita afasia wernicke hanya lancar mengeluarkan isi pikiran.

Anak afasia wernicke dapat dilihat ketika dia sudah lancar atau bisa bicara, yakni sekitar pada umur 3-4 tahun. Dilihat ketika dia berbicara dengan orang lain dia bisa memahami maksud dari pembicara itu atau tidak. Pada waktu berbicara, anak yang mengalami afasia wernicke hanya berbicara sesuai dengan persepsi dan pendapat dirinya sendiri. Anak tampak lancar berbicara tetapi kalimat yang dikeluarkan kacau atau disebut juga dengan gado-gado kata. Mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya tetapi tidak nyambung dengan apa yang dibicarakan afasia wernicke disebut juga dengan afasia sensorik merupakan kemampuan memahami lawan bicara, ia tidak mampu menyimak apa yang dibicarakan.

Anak yang mengalami afasia wernicke ini sering berbicara tanpa arti yang tidak bisa dipahami oleh lawan bicara. Kerusakannya pada wernicke area jadi untuk tercapainya agak susah. Anak dimulai dengan menggunakan alat peraga, menjelaskan maksud dengan tujuan si anak mengenal maksud dari pembicara. Mula-mula dari pendengaran yang tidak begitu jelakemudian anak menangkap asumsi lain dari pembicaraan. Anak mampu berbicara, dengan apa yang dibicarakan. Ia bisa saja memahami apa yang diterangkan tetapi kesulitan untuk mengatakan asumsinya tersebut, ragi dan tidak yakin. Jelas anak afasia wernicke ini mengalami ganguan saraf sensorinya yang berpengaruh juga pada pendengaran,

menyebabkan perbedaan asumsi pembicara dengan pikiran. Anak tidak mampu menirukan apa yang diucapkan oleh lawan bicara.

Perkembangan bahasa anak afasia wernicke ini sama dengan normal lainnya. Anak tidak begitu gagap seperti anak afasia broca atau autis. Anak lancar berbicara tetapi tanpa ujung dan intinya, membuat kalimatnya menjadi berantakan.

Suatu komunikasi dikatakan berhasil apabila pesan yang disampikan pembicara dapat dipahami dengan baik oleh penyimak sesuai dengan maksud pembicara tersebut. Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin cerah dan jelas pikiran seseorang semakin terampil seseorang berbahasa. Melatih keterampilan berbaha berarti melatih keterampilan berfikir (Dawson 1963:27 dan Traigan 1980:11). METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif yaitu metode yang bermaksud untuk menggambarkan/ melukiskan keadaan subjek/objek penelitian. (Hadari Nawawi, 1989:63).

Penelitian ini bermaksud mendeskripsikan tentang ganguan berbicara Khlalisa. Khalisa mampu berbicara tetapi tidak mampu menyimak perkataan orang lain. Khalisa adalah anak kelas 6 SD dengan umur 12 tahun. HASIL PENELITIAN

Beradasarkan hasil penelitian, afasia wernicke tidak mampu menyimak secara baik, anak tersebut hanya membuat persepsinya saja dalam manjawab pertanyaan lawan bicaranya. Anak tidak mampu menyimak lawan

bicaranya Pewawancara : Alamat kamu dimana ? Dinda : Saya bersaudara dan tingal bersama ibu saya

Disini jelas sekali terlihat bahwa anak afasia wernicke tidak mampu menyimak dengan baik, dia hanya mampu membuat persepsi sendiri, yang ditanya lawan bicara dengan jawaban yang diberikan anak afasia wernicke tidak sesuai. Dia hanya mampu menerka-nerka pertanyaan yang diberikan anak afasia wernicke. Makanya ada asumsi

Sekilas ada asumsi bahwa anak afasia wernicke dipengaruhi oleh pendengaran yang tidak sempurna, jadi

Riska Damayanti Gangguan Berbicara pada Afasia Wernicke

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 190

maksud dari pembicara tidak disimak baik oleh si anak.

Diperkuat oleh (Wernicke, 1874) area wernicke adalah bagian pada bagian dari otak manusia yang berada pada bagian korteks otak besar, bagian posterior kiri dari gyrus temporalis superior, mengelilingi korteks pendengaran, di fissure sylvian adalah bagian pertemuan lobus temporalis dan parietalis otak. Akibat kerusakan yang terjadi dalam sistem otak anak tersebut. Mengakibatkan sistem komunikasi antara anak tersebut terganggu. Anak tidak mampu

mengungkapkan isi pikirannya untuk lawan bicaranya.

Pewawancara : Bagaiamana pengalaman kamu sewaktu mos ? Dinda : saya kelas satu. Guru-

guru di Man Islamiyah ini baik, cantik. Teman-teman saya baik. Saya suka pelajaran bahasa Indonesia karna cantik.

Wawancara selanjutnya, pewawancara manayakan bagaiamana pengalamannya sewaktu mos, dalam wawancara tersebut dia menceritakan bagaiamana perasaannya sekarang, padahal jawaban yang dilontarkan tidak seperti itu. Disini jelas sekali apa terlihat yang diucapkannnya juga tidak mempunyai makna, pewawancara tidak mengerti maksud yang disampikannya, tujuannya kemana. Dia hanya membuat persepsi saja dalam menjawab pertanyaan si pewawancara, diperkuat oleh (Subyantoro, 2013: 29) anak afasia wernicke ini tidak mempunyai kemampuan untuk menangkap apa yang dibicarakan orang lain, hanya mengerti dengan apa yang ada di dalam pikirannya, itu karena adanya kerusakan pada lobus.

Seharusnya dia menjawab pengalaman saya sewaktu mos sangatlah berkesan, selama mos kami diajar untuk sealu berbagai. Karena bagi teman kami yang tidak membawa bekal makan siang, agar disuruh membagi setiap orang bekal makan siangnya, dan diberikan kepada teman yang tidak membawa bekal makan siang tersebut, itu anjuran kakak osis yang telah memberikan arahan dalam acara Mos kami. Itu yang seharusnya diucapkan anak afasia wernicke. Tetapi dia tidak mampu mengeluaran isi pikirannya, dan apa di

ucapkannya tidak memiliki makna, sehingga lawan bicaranya susah untuk berokunikasi dengannya. PEMBAHASAN

Penyajian hasil dari penelitian deskriptif. Metode deskriptif yaitu metode yang bermaksud untuk menggambarkan/ melukiskan keadaan subjek/objek penelitian. Bahwa Khalisa tidak mampu menagkap atau memproses pertanyaan dari pewawancara. Bisa dipastikan ada kesalah di dalam sel saraf otak kiri khalisa. Maka dari itu perlu adanya penanganan khusus untuk penyembuhan khalisa. Yang paling mampu untuk mendiagnosa Khalisa adalah dokter spesialis saraf.

Perolehan dari hasil penelitan tersebut bahwa khalisa wajib untuk mengikuti terapi sel saraf untuk mampu menyimak lawan berbicaranya. Karna penyakit afasia itu sangat mempengaruhi pertumbuhan masa depannya yang akan datang.

Dilakukan peneltian ini guna untuk membantu anak-anak yang lain yang terkena afasia wernicke agar orang tuanya lebih tanggap dan lebih cepat mengobati anaknya yang terkena afasia tersebut. Karena kalau dilihat dari fisik memang penyakit afasia ini tidak terlihat cacat, hanya saja ketika di ajak komunikasi akan sangat mengalami kesulitan dalam sistem menyimak. SIMPULAN

Khalisa tidak mampu berbicara dengan baik, dengan apa yang ada dalam pikirannya tetapi berbeda dengan maksud yang dibicarakannya. Afasia wernicke yang diderita oleh Khalisa mengalami gangguan sensorisnya yang berpengaruh juga pada pendengarannya, menyebabkan perbedaan asumsi pembicaraan dengan pikiran. Khalisa tidak mampu menirukan yang diucapkan oleh lawan bicara. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan yakni penelitian Gangguan Komunikasi Anak Afasia Wernicke semoga penelitian ini bagi seseorang yang normal tidak mengucilkan atau tidak mencaci anak afasia werncike ketika saat berkomunikasi. Karena anak afasia wernicke tidak mamu memahami atau tidak mampu menyimak apa yang diucapkan anak afasia wernicke.

Untuk itu peneliti menyarankan agar anak afasia wernicke mengembangkan penelitian cara mudah

Riska Damayanti Gangguan Berbicara pada Afasia Wernicke

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 191

berkomunikasi dengan afasia wernicke atau cara berbicara dengan afasia wernicke supaya apa yang diucapkan sampai kepada penderita afasia wernicke. DAFTAR ISI Arifuddin. 2013. Neuropsikolinguistik.

Jakarta: RajaGrafindo. Chaer Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian

Teoritik. Jakarta:Rineka Cipta. Dardjowidjojo Soenjoyo. 1991. PELLBA

4. Jakarta: Kansius. Subyantoro. 2013. Ganguan Berbahasa.

Yogyakarta: Ombak. Tarigan, Henry Guntur. 1981. Berbicara

sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:Angkasa.

Delfiza dkk. 2013. Kalimat Penderita

Afasia (Studi Kasus pada Anggela Efellin). Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol.1 No 2.

Dachrud Musdalifah. 2010. Studi Metaanalisis terhadap Intensitas Terapi pada Pemulihan Bahasa Afasia. Jurnal Psikologi Vol. 37 No1.

Kasondra, Sharon, dkk. Perspektive

Devising a Method to Study if Wernicke's Aphasia Patients are Aware That They Do Not Comprehend Language or Speak It Understandably. Neuroscience Education (JUNE), Fall 2017, 16(1):E5-E12.

BAHASTRA

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ISSN: 2550-0848; ISSN Online : 2614-2988

Vol. 3, No. 2, Maret 2019

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 192

MEMORI WANITA DALAM MULTITASKING KAJIAN NEUROPSIKOLINGUISTIK

M. Irwan Syahputra

Dikbind PPs Universitas Negeri Medan [email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keefektivan memori pada wanita dalam multitasking. Multitasking atau tugas berganda menyiratkan adanya lebih dari satu tugas di dalamnya. Kondisi tugas berganda adalah adanya beberapa tugas yang independen dan tidak berhubungan yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Peneltian dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui metode observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Wanita dapat melakukan kemampuan multitasking dengan baik. Memori wanita dalam multitasking seringkali mengalami hambatan disebabkan efektivitas otak yang bekerja kurang maksimal yaitu pada memori jangka pendek. Namun secara garis besar, multitasking pada wanita lebih baik dibandingkan pada pria. Kata Kunci: multitasking, memori, wanita Abstract. This study aims to determine the extent of effectiveness of memory in women in multitasking. Multitasking or multiple tasks implies more than one task in it. Multiple task conditions are the presence of several independent and unrelated tasks that are carried out at the same time. The research was conducted with a qualitative approach through observation and interview methods. Research results show that women can perform multitasking abilities well. Memory of women in multitasking often experiences obstacles due to the effectiveness of the brain that works less optimally in short-term memory. But broadly speaking, multitasking in women is better than in men. Keyword: multitasking, memory, woman

PENDAHULUAN Setiap manusia memiliki memori

untuk menyimpan informasi yang penting bagi dirinya dan membantu dalam berkomunikasi antarsesama. Salah satu pembeda utama manusia normal dan tidak normal yaitu memori, karena memori merupakan bagian integral dari eksistensi manusia. Segala sesuatu yang kita ketahui tentang dunia kita peroleh dari pengalaman yang kita simpan dalam memori. Dalam istilah yang lebih fisiologis atau neurologis, memori merupakan satu set pengkodean koneksi saraf dalam otak, yaitu penciptaan kembali atau rekonstruksi pengalaman masa lalu oleh pelepasan sinkron neuron yang terlibat dalam pengalaman asli.

Otak wanita dikonstruksi untuk bisa melakukan banyak hal dalam waktu bersamaan. Ini membuat wanita bisa mengetik sambil nonton film sambil mengawasi anak dan saat bersamaan juga masak. Sementara lelaki tidak, otak mereka hanya diprogram untuk mengerjakan satu hal pada satu waktu. Itulah sebabnya lelaki bisa marah saat diajak bicara pas nonton film, sementara wanita, kadang merasa mengerjakan satu

hal saja pada satu waktu adalah kemubaziran. Mereka bisa menghemat waktu dengan menyelesaikan beberapa pekerjaan secara bersamaan dan hasil semua pekerjaan itu sama baiknya. Ini karena mereka memiliki kemampuan multitasking atau tugas ganda, mengerjakan 4 sampai 6 aktivitas sekaligus dalam waktu bersamaan.

Multitasking1 atau tugas berganda menyiratkan adanya lebih dari satu tugas di dalamnya. Salvucci dan Taatgen (2011) menambahkan bahwa kondisi tugas berganda adalah adanya beberapa tugas yang independen dan tidak berhubungan yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Hal inilah yang membedakannya dengan tugas kompleks. Selanjutnya Appelbaum dan Marchionni (2008) memandang tugas berganda menjadi dua jenis yaitu tugas ganda (dual task) atau dua tugas yang dilakukan bersamaan dan switching task atau lebih dari satu tugas yang dilakukan dengan beralih diantara tugas-tugas tersebut.

Sementara Salvucci dan Taatgen (2011) menyebutnya sebagai tugas berganda bersamaan (concurrent multitasking) yaitu setiap tugas

M. Irwan Syahputra Memori Wanita dalam Multitasking Kajian Neuropsikolinguistik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 193

berlangsung bersamaan/simultan atau hanya dengan interupsi singkat. Bentuk lainnya adalah tugas berganda sekuensial (sequential multitasking) yaitu individu memberikan perhatian yang lebih lama pada satu tugas sebelum berpindah pada tugas lain, meskipun tetap terjadi tumpang tindih perhatian.

Menurut penelitian yang diterbitkan oleh Royal Society Open Science, hormon seks wanita yang bekerja pada otak dapat menentukan kemampuan wanita untuk melakukan berbagai tugas dalam satu waktu, atau yang biasa disebut dengan multitasking. Studi ini juga menemukan bahwa hormon-hormon itu menurun seiring dengan pertambahan usia, maka kemampuan multitasking itupun bisa jadi ikut menurun di kemudian hari. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan data yaitu sebagai berikut. a. Metode Observasi (pengamatan)

Metode observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindera mata dan dibantu dengan pancaindera lainnya. Adapun observasi yang dilakukan penulis termasuk dalam jenis observasipartisipasif. Yaitu penulis terlibat langsung dengan kegiatan sehari-hari orangyang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian.

Dalam metode observasi ini penulis tidak hanya mengamati obyek studi, tetapi juga mencatat hal-hal yang terdapat pada obyek tersebut. Selain itu, metode ini penulis gunakan untuk mendapatkan data tentang situasi dan kondisi secara universal dari obyek penelitian, yaitu memori wanita dalam multitasking. b. Metode Wawancara (interview)

Metode wawancara/interview adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewancara dengan responden/orang yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara.

Dalam menggunakan metode ini peneliti mengadakan tanya jawab secara langsung kepada responden dengan

membawa instrumen penelitian sebagai pedomanpertanyaan tentang hal-hal yang akan ditanyakan dengan cara menanyakan beberapa pertanyaan untuk mencari data tentang memori wanita dalam multitasking. Adapun pedoman wawancara yakni sebagai berikut. HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh data dari informan bahwa wanita dapat melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu

Hasil Wawancara 1. Pekerjaan apa saja yang bisa Anda lakukan secara bersamaan dalam satu waktu? Jawaban: Mencuci baju, memasak, mengasuh anak, dan melihat HP. 2. Apakah ada kendala dalam mengerjakan beberapa pekerjaan dalam satu waktu? Jawaban: Tidak ada karena saya mengerjakannya dengan hati dan tanggung jawab. 3. Apa yang melatarbelakangi Anda dalam mengerjakan beberapa pekerjaan dalam satu waktu? Jawaban: Yang melatarbelakangi saya adalah tanggung jawab sebagai istri sekaligus ibu. 4. Bagaimana respon orang-orang sekitar Anda terhadap hasil pekerjaan Anda? Jawaban: Sampai saat ini selalu positif dan tidak ada kekurangan. 5. Pekerjaan apa saja yang menurut Anda sulit dilakukan dalam satu waktu ?

Jawaban: Sampai saat ini ketika anak menangis, saat itu yang membuat saya agak kesusahan, tapi itu tidak begitu masalah.

a) Apa tujuan Anda mengerjakan beberapa pekerjaan dalam satu waktu? Jawaban: Supaya suami dan anak-anak menjadi tenang ketika di rumah.

PANDUAN WAWANCARA

b) Pekerjaan apa saja yang bisa Anda lakukan secara bersamaan dalam satu waktu? c) Apakah ada kendala dalam mengerjakan beberapa pekerjaan dalam satu waktu? d) Apa yang melatarbelakangi Anda dalam mengerjakan beberapa pekerjaan dalam satu waktu? e) Bagaimana respon orang-orang sekitar Anda terhadap hasil pekerjaan Anda? f) Pekerjaan apa saja yang menurut Anda sulit dilakukan dalam satu waktu ? g) Apa tujuan Anda mengerjakan beberapa pekerjaan dalam satu waktu?

M. Irwan Syahputra Memori Wanita dalam Multitasking Kajian Neuropsikolinguistik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 194

bersamaan. Informan menyatakan bahwa Wanita dapat melakukan kemampuan multitasking dengan baik. Memori wanita dalam multitasking seringkali mengalami hambatan disebabkan efektivitas otak yang bekerja kurang maksimal yaitu pada memori jangka pendek. Namun secara garis besar, multitasking pada wanita lebih baik dibandingkan pada pria. Berdasarkan wawancara pada responden maka diperoleh hasil sebagai berikut. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa wanita dapat melakukan beberapa pekerjaan dalam waktu bersamaan. Kemampuan ini tidak dipengaruhi oleh faktor latar belakang profesi karena responden yang diamati semua menunjukkan dapat melakukan tugas berganda (multitasking). Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa kemampuan multitasking tidak dipengaruhi oleh latar belakang profesi, melainkan dipengaruhi oleh faktor kecerdasan, kepribadian, dan cara kerja (Wulanyani, 2014).

Hasil penelitian lain yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa responden sering mengalami lupa terhadap beberapa pekerjaan. Seringkali beberapa pekerjaan yang akan dikerjakan akan terlupa tidak berapa lama kemudian. Fenomena ini berasal dari kemampuan memori jangka pendek responden yang kurang bekerja maksimal. Dalam Burgess (2000) dinyatakan bahwa memang aktivitas multitasking merupakan aktivitas yang kurang sehat dan dapat menurunkan efektivitas kerja otak, namun faktanya kemampuan multitasking banyak dibutuhkan dalam kegiatan sehari-hari.

Secara spesifik, faktor kecerdasan juga berkaitan dengan aspek memori sebagai salah satu faktor kontrol kognitif (Wulanyani, 2015). Mekanisme memori atau ingatan merupakan suatu mekanisme yang kompleks. Untuk memproses suatu pengalaman atau informasi ke dalam ingatan maka sistem saraf harus menciptakan kembali pola perangsangan yang sama di dalam susunan saraf pusat di masa yang akan datang. Untuk mengingat suatu informasi yang diterima seseorang harus melalui tiga tahap sebagai berikut:

a) Belajar / learning berupa encoding, penyandian atau mencatat informasi.

b) Retensi / retention berupa penyimpanan informasi yang telah diperoleh (storage).

Memori jangka pendek atau short term memory pada memori kerja (working memory) merupakan ingatan tentang fakta, kata, bilangan, huruf, atau lebh pada suatu waktu. Memori jangka pendek merupakan suatu sistem memori yang digunakan untuk menyimpan dan memproses informasi yang sedang dipikirkan seseorang.

Memori jangka pendek yang tidak diberikan suatu perlakuan seperti pengulangan terus menerus akan terhapus dalam jangka waktu tertentu. Memori jangka pendek selain berfungsi untuk menyimpan informasi yang dibutuhkan untuk waktu yang pendekdan berperang sebagai ruang kerja untuk perhitungan mental juga berfungsi sebagai pemberhentian sebelum menjadi memori jangka panjang. SIMPULAN

Wanita dapat melakukan kemampuan multitasking dengan baik. Memori wanita dalam multitasking seringkali mengalami hambatan disebabkan efektivitas otak yang bekerja kurang maksimal yaitu pada memori jangka pendek. Namun secara garis besar, multitasking pada wanita lebih baik dibandingkan pada pria. SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan kerja otak pada kemampuan multitasking. DAFTAR PUSTAKA Anderson JR. Perspectives on Learning

and Memory. 1999. In Anderson JR.eds. Learning and mMemory: an integrated approach, 2nd ed. USA: John Wiley and Sons, Inc.

Appelbaum, S. H., & Marchionni, A.

2008. The Multi-tasking paradox: perceptions, problems and strategies. Management Decision, 46(9), 1313-1325.

Arifuddin. 2013. Neuropsikolinguitik.

Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Burgess, P. W. 2000. Strategy application

disorder: the role of the frontal lobe in human multitasking research. Psychological Research, 63, 279–288.

M. Irwan Syahputra Memori Wanita dalam Multitasking Kajian Neuropsikolinguistik

Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 195

Jessy Lee. Tips untuk orang pelupa. (cited 2008 May 2016). Available from http://www.kisfmjakarta.com/lifestyle.php?kategori+&id=6018&start=0&PHPSESSID=08454538b687ac015105de26aa5d53bf.

Ni Made Swasti Wulanyani. 2015.

Momori dalam Multitasking. Psikologi, 23, 112 – 116.

Salvucci, D. D., & Taatgen, N. A. 2011.

The Multitasking Mind. New York: Oxford University Press.

Tortora GJ &Grabowski SR.1999.

Principles of anatomy and physiology, 9th ed, Canada John Wiley & Sons.

Woodworth RS & Schlosberg H. 1954.

Experimental psychology, 2 nd ed. New York. Rinehart H & Winston.

Wulanyani, N.M.S. 2015. Memori dalam

Multitasking. buletin Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Volume 23, No. 2, Desember 2015: 112-116 ISSN: 0854-7108.

Wulanyani, N.M.S. 2014. Faktor

Kecerdasan, Kepribadian, dan Cara Kerja yang Memengaruhi Performance Tugas Berganda. Yogyakarya. DISERTASI. Fakultas Psikologi UGM.

PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL BAHASTRA

1. Judul Artikel

Judul artikel diberi catatan kaki yang menunjukkan sumber biaya penelitian dan pengabdian masyarakat. Nama penulis diikuti nama perguruan tinggi tempat penulis bekerja, semua nama penulis ditulis tanpa gelar.

2. UrutanMateri

a. Judul artikel dalam bahasa Indonesia (tidak boleh lebih dari 14 kata) dan bahasa Inggris (tidak boleh lebih dari 10 kata)

b. Nama penulis (ditulis lengkap tanpa singkatan dan gelar) c. Abstrak (dalam bahasan Indonesia dan bahasa Inggris) d. Pendahuluan, mencakup: perumusan masalah, tujuan dan manfaat e. Metode penelitian f. Hasil dan pembahasan g. Simpulan dan saran h. Daftar pustaka i. Lampiran (jika ada)

3. Daftar Pustaka Daftar pustaka disusun berdasarkan abjad dengan urutan: nama pengarang, judul buku, lokasi dan sumber/ penerbit. Contoh: Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standart Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

4. Gambar dan Foto Dicetak berwarna dan diberi nama pada bagian bawah gambar tersebut.

5. Pengetikan Pengetikan dilakukan dengan jarak 1 spasi, jenis huruf Times New Roman, ukuran huruf 12, diketik di kertas HVS A4. Jumlah tulisan beserta lampirannya maksimum 15 halaman.

6. Syarat Tulisan Artikel/tulisan yang akan dimuat pada Jurnal Keguruan belum pernah diterbitkan pada jurnal ilmiah lainnya.

7. Administrasi

Artikel yang diserahkan ke Sekretariat Jurnal Keguruan diberikan dalam bentuk hardcopy sebanyak 1 (satu) set yang selanjutnya akan dikoreksi oleh Mitra Bestari. Jika artikel tersebut sudah layak untuk diterbitkan, penulis harus menyerahkan softcopy dari tulisan tersebut.