balance of power
TRANSCRIPT
Balance of PowerDalam teori hubungan internasional : realisme, konsep balance of power merupakan perkembangan ide dasar dari sebuah konsep power. Thucydides menggunakan konsep tersebut untuk menjelaskan serangan Peloponnesian War pada abad 18. Sementara Ernst Haas mengemukakan bahwa ada 4 syarat badi eksistensi sistem ”balance of power”, yaitu :a. suatu multiplisitas aktor-aktor politik yang berdaulat yang muncul karena tidak adanya satu otoritasb. distribusi kekuatan yang relatif tidak seimbang (status, kekayaan, ukuran dan kapabilitas militer) di antara aktor-aktor politik yang membentuk sistemc. persaingan dan konflik yang berkesinambungan karena adanya persepsi dunia merupakan sumber langkad. pemahama implisit di antara para pemimpin negara besar bahwa kesinambungan distribusi kekuatan yang ada akan menguntungkan mereka.Terlepas dari perbedaan teori ”balance of power”, ada satu implikasi bahwa perubahan relatif kekuasaan politik dapat diamati dan diukur. (Wright, 1965: 743) Secara kondisional, sistem balance of power dianggap berada di antara keteraturan dunia (world order) dan kekacauan internasional (international chaos). Dalam tatanan dunia, membutuhkan suatu otoritas pusat yang mampu menetapkan suatu tata tertib bagi aktor politik. Ketidakteraturan dunia berarti aktor politik dapat survive berdasarkan hukum rimba, istilah yang terkuat berlaku di sini. Kurangnya lembaga global yang kuat bisa lebih meningkatkan perlindungan terhadap kedaulatan para partisipan sekaligus melemahkannya. Contoh konkrit : adanya bipolaritas perebutan kekuasaan antara AS dan Uni Soviet era perang dingin (1945) yang berakhir unsur unilateral AS sebagai pemenang. Namun, jika direlevansikan keadaan saat ini, balance of power yang terjadi cenderung multipolar di mana AS sudah tidak dianggap sebagai negara adikuasa atau negara penguasa tunggal. Adanya perkembangan teknologi nuklir di Iran, roket di Korea Utara, dan perkembangan ekonomi pesat Cina telah membuktikan bahwa setiap negara berusaha untuk bersaing ketat dan terus melangkah maju. Dari pihak lembaga internasional sendiri, PBB kurang menjangkau seluruh permasalahan negara karena adanya organisasi regional dan tumbuhnya regionalisme dalam merintangi era globalisasi.Dari serangkaian realita yang muncul, dapat disimpulkan bahwa adanya perkembangan teknologi mutakhir, globalisasi melalui arus internet yang kuat, weapons of mass destruction telah menggeser kekuasaan mutlak militer sehingga negara kecil ataupun nonstate actor mampu memiliki kekuasaan signifikan. Perubahan yang tak terduga ini telah menjadi kelemahan krusial bagi sistem balance of power. Konsep keseimbangan yang dihasilkan seringkali konseptual idealis dan mampu terhapus dengan mudah oleh adanya peristiwa mencekam layaknya serangan teroris tanggal 11 September 2001di gedung WTC, New York. http://theamazing-grace.blogspot.com/2010/03/keterkaitan-power-balance-of-power-dan.html
MACHIAVELLINISME VS NEOREALISME
Pemikiran – pemikiran politik Machiavelli merupakan dasar dari tradisi politik realisme
modern. Meski begitu, para pemikir neorealisme semakin melupakan bahwa paradigma
mereka berasal dari pemikiran Machiavelli. Padahal, seperti yang diargumenkan Markus
Fischer dalam artikel ini, doktrin Machiavelli tersebut merupakan pondasi dari perspektif
realisme dalam ilmu hubungan internasional. Politik luar negeri memang menjadi pusat
dari teori Machiavelli mengenai sifat dasar manusia dan kehidupan politik yang terjadi
akibat sifat manusia tersebut.
Dalam pandangan Machiavelli, kehidupan manusia merupakan ”perjuangan untuk
mendominasi satu sama lain” (struggle for domination). Hal utama yang paling penting
untuk mencapai tujuan itu adalah kekuatan. Pihak yang terbaik akan mendapatkan
kekayaan, keagungan, dan kemenangan. Tidak ada obligasi moral yang perlu
dipertimbangkan dalam mencapai tujuan ini. Seperti klaim Machiavelli dalam bukunya
yang kontroversial, Il Principle, seorang pemimpin, untuk bisa mengatur dan mengantar
negaranya menuju kejayaan, harus dapat bertindak melawan agama, kemanusiaan, dan
kepercayaannya. Seorang pemimpin harus belajar untuk tidak menjadi baik, ketika
memang harus melakukan itu.
Menurut Machiavelli, ada dua sifat dasar manusia yang membentuk kehidupan politik
seperti itu, yaitu sifat ambisius dan egois atau sifat pertama, serta sifat untuk bekerja
sama atau sifat kedua. Kedua sifat inilah yang akan membentuk unit – unit politik
eksklusif seperti negara-kota, kerajaan, dan negara. Kedua sifat ini pula yang akan
mendorong unit – unit politik tersebut untuk saling berperang, berekspansi, membentuk
aliansi, dan menaklukkan satu sama lain dalam kondisi tidak adanya satu otoritas sentral,
sebuah anarki.
Machiavelli mengklaim bahwa negara seharusnya diorganisasikan untuk berperang, dan
hal utama yang harus dikembangkan adalah kekuatan militer. Tujuan utama domestic
order, termasuk upaya – upaya mensejahterakan kota – kota dan penduduknya, adalah
pengembangan militer.
Institusi asing yang dapat mensubordinasikan unit – unit politik tersebut dalam beberapa
kewenangan, menurut Machiavelli, merupakan hal yang sangat sulit terjadi, dikarenakan
sifat pertama manusia tersebut. Dia menerima kemungkinan itu hanya bagi negara –
negara yang pemimpinnya memiliki sifat kedua sebagai sifat dominan.
Teori Machiavelli tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar pada neorealisme.
Melalui teori tersebut, munculnya unit – unit politik eksklusif seperti negara dan
pertanyaan – pertanyaan fundamental lain dapat dijelaskan, sebuah hal yang tidak bisa
dilakukan oleh para pemikir neorealisme murni. Perbedaan lain yang cukup tajam antara
para pemikir neorealisme dan Machiavelli mencakup masalah deterens, balance of power,
dan institusi – institusi antar pemerintah.
Secara umum, dapat kita lihat bahwa pandangan – pandangan Machiavelli memang
merupakan dasar dari pandangan neorealisme (realisme modern). Seperti yang
dikemukakan Viotti dan Kauppi, aktor utama dalam paham realis
adalah negara, sedangkan aktor lain seperti perusahaan multinasional dan organisasi
transnasional tidak begitu penting[1]. Hal yang sama juga dapat kita simpulkan dari
pemikiran Machiavelli. Para pemikir realis juga menempatkan keamanan sebagai prioritas
utama masing – masing negara dalam ketiadaannya sebuah otoritas tunggal[2]. Logika
yang menjelaskan hal itu dapat dilihat dari filosofi Machiavelli mengenai sifat dasar
manusia, yaitu ambisius, egois, dan berusaha mendominasi satu sama lain. Filosofi
tersebut berimplikasi pada kondisi kehidupan antar negara yang harus selalu bersiaga
untuk perang. Hal ini disimpulkan mengingat negara yang diorganisasikan dari dan untuk
memenuhi sifat dasar manusia tersebut. Sebagai akibat dari state of war dan struggle for
domination ini pula, Machiavelli menganggap bahwa kekuatan (power) merupakan hal
utama yang harus dimiliki masing – masing negara, suatu hal yang dijadikan konsep inti
oleh para pemikir realisme modern.
Namun, ada beberapa poin yang menjadi perbedaan penting antara Machiavellinian dan
neorealis. Hal pertama yang akan penulis tunjukkan adalah perbedaan mengenai sumber
– sumber kekuatan. Seperti yang dijelaskan di atas, Machiavelli menekankan bahwa hal
utama yang menjadi modal dalam perjuangan mencapai dominasi adalah kekuatan
militer. Segala sesuatu dalam negara diorganisasikan untuk perang, termasuk juga usaha
– usaha untuk mensejahterakan masyarakat. Perekonomian tidak dimasukkan sebagai
modal utama seperti yang dikemukakan Machiavelli terkait dengan perang Peloponnesia
”…. the counsel and good soldiers of Sparta were worth more than the industry and the
money of Athens” (Discourses 2.10.3). Hal yang berbeda dikemukakan dalam buku yang
ditulis Viotti dan Kauppi. Di antara para realis sendiri tidak ada kesepakatan mengenai
definisi kekuatan, namun secara umum mereka berpendapat bahwa kekuatan tidak
hanya terbatas pada kekuatan militer, termasuk perekonomian, teknologi, maupun
kekuatan relatif seperti anggapan segolongan realis.[3]
Perbedaan ini dapat dianalisis dari perbedaan ideologi yang cukup mendasar antara
Machiavelli dan neorealis. Machiavelli hidup di abad 14-an, di mana paham Merkantilisme
yang menekankan peran negara yang sangat besar dalam perekonomian. Implikasi dari
peran negara ini adalah penggunaan kekuatan militer untuk mendominasi negara lain
demi mendatangkan kekayaan bagi negara induk sangat mendominasi negara Eropa. Hal
utama yang mendatangkan kekayaan bagi negara induk adalah kekuatan militernya yang
ditakuti. Neorealisme sendiri muncul di masa kapitalisme berkembang pesat, di mana
dominasi di negara lain dilakukan melalui kekuatan ekonomi para pemilik modal,
sehingga negara yang didominasi menjadi tergantung oleh negara kapital tersebut.
Kapitalisme sendiri sangat bergantung pada pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pengembangan kekuatan militer sendiri akhirnya bergantung juga pada
kemampuan ekonomi dan teknologi. Hal ini menyebabkan kekuatan (power) yang penting
bukan lagi hanya militer, tapi juga ekonomi, teknologi, dan aspek – aspek lain untuk
perjuangan mencapai dominasi di masa modern ini.
Hal ini seperti yang dikemukakan Joseph S. Nye, bahwa sumber – sumber kekuatan tidak
pernah statis, melainkan terus berubah sesuai perkembangan zaman.[4] Contoh dari
perubahan sumber kekuatan ini, pada abad ke-16, sumber kekuatan Spanyol yang
merupakan leading state saat itu adalah kekuatan militer, ikatan kerajaan dan
perdagangan kolonial. Hal yang berbeda terlihat pada leading state saat ini, yaitu
Amerika Serikat, di mana kekuatannya terletak pada economic scale, ilmu pengetahuan
dan teknologi yang mutakhir, budaya yang universal, kekuatan militer, dan nilai – nilai
demokrasi dan liberalisme.[5]
Perbedaaan penting lain terletak pada pendapat Machiavelli dan neorealis mengenai
dilema keamanan, deterens dan balance of power. Machiavelli menegaskan bahwa suatu
kondisi di mana suatu negara tidak akan menyerang negara lain karena kalkulasi
kerugian yang didapat melebihi keuntungan yang didapatkan dari serangan tersebut,
atau dalam kata lain sebuah deterens, adalah nyaris tidak mungkin. Suatu negara hampir
tidak mungkin mengatur kekuatan militernya sedemikian rupa sehingga cukup besar
untuk menggertak negara lain agar tidak menyerangnya, namun juga tidak cukup besar
untuk disadari sebagai sebuah ancaman. Kalaupun bisa dilakukan, maka hal itu hanya
akan membuat negara tersebut menjadi lebih rentan lagi terhadap negara yang semakin
kuat di masa mendatang. Hal yang kontras dikemukakan oleh para neorealis. Kenneth
Waltz, salah satunya, justru mengemukakan bahwa suatu negara harus mengambil jalan
tengah itu, agar tidak dianggap lemah maupun dianggap sebagai suatu ancaman.
Menurut Waltz, dalam konteks penggunaan senjata nuklir, suatu negara tidak perlu
mengembangkan suatu kekuatan militer konvensional yang sangat besar untuk
meyakinkan penyerang bahwa biaya untuk menyerang negara tersebut sangat besar;
yang diperlukan adalah untuk meyakinkan penyerang bahwa resiko untuk mendapatkan
kehancuran yang besar secara cepat di wilayahnya terlalu beresiko.[6]
Perbedaan ini mengenai masalah deterens ini akan memicu perbedaan pendapat lain
yaitubalance of power. Machiavelli berpendapat bahwa di suatu masa pastinya akan ada
suatu negara yang akan menjadi sebuah encompassing empire, suatu negara terkuat
yang akan mendominasi kehidupan seluruh negara lain pada suatu masa, seperti Romawi
pada masanya. Kontras dengan pendapat itu, para neorealis selalu berpendapat bahwa
persaingan untuk saling mendominasi dalam sistem internasional selalu akan memicu
terjadinya suatu keseimbangan kekuatan, baik dalam bentuk dwipolar maupun
multipolar. Konsep balance of power ini dapat diartikan sebagai 3 hal yang berbeda, yaitu
distribusi kekuatan, sebuah kebijakan, dan juga sebuah sistem multipolar.[7]
Meskipun deterens dan balance of power merupakan 2 konsep yang berbeda, namun
kita dapat menganalisis hubungan antara pendapat Machiavellinian dan neorealis
mengenai dua masalah ini. Machiavelli, seperti dikatakan di atas, menolak sebuah ”jalan
tengah” dengan menjadi tidak terlalu lemah namun juga tidak dianggap sebagai
ancaman. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, sebuah state of war yang sangat
mendominasi kehidupan, di mana perang tidak terhindarkan, dan yang terkuatlah yang
akan mendominasi kehidupan seluruh negara. Ini menjelaskan mengenai
adanya encompassing empire yang telah dijelaskan Machiavelli di atas, dengan contoh
yang sangat jelas yaitu kerajaan Romawi di masanya.
Logika yang sama juga dapat digunakan untuk menganalisis pendapat neorealis
mengenai masalah ini. Menurut neorealis, deterens dimungkinkan untuk dilakukan. Suatu
negara tidak akan serta merta menyerang negara lain jika kalkulasi kerugian diperkirakan
melebihi hasil yang didapatkan, terutama karena second strike capabilities yang dimiliki
negara target. Maka, jika suatu negara meningkatkan kekuatan militernya, negara lain
cenderung akan meningkatkan kekuatan militernya juga untuk menyeimbangkan
kekuatan dan mengantisipasi serangan di masa depan. Suatu negara juga akan menahan
diri melakukan serangan, karena jika dia melakukannya dan memperoleh kemenangan,
maka negara lain akan meningkatkan kewaspadaannya terhadap negara tersebut dengan
meningkatkan kekuatan milternya sehingga negara tersebut akan lebih rawan diserang di
masa mendatang. Kondisi deterens inilah yang akan memicu balance of power, yang
bersifat alami sesuai dengan definisi pertama balance of power, yaitu distribusi kekuatan.
Selanjutnya, sebagai sebuah strategi, maka masing – masing negara akan
mengembangkanbalance of power ini sebagai sebuah kebijakan, di antaranya dengan
membentuk aliansi atau pakta pertahanan. Contoh dari balance of power ini adalah ketika
Inggris membentuk aliansi dengan Prancis untuk menjadi penyeimbang bagi kekuatan
Jerman di Eropa yang semakin meningkat pada tahun 1904.[8]
Dapat disimpulkan bahwa pemikiran – pemikiran Machiavelli memang merupakan pondasi
yang dapat menjelaskan asumsi asumsi utama realisme modern. Namun, seiring dengan
perubahan zaman, ada beberapa konsep dan pemikiran yang harus direvisi lagi,
meskipun hal itu tidak menghilangkan dasar – dasar filosofis neorealisme yang diletakkan
Machiavellinisme.
[1] Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism,
Globalim, ed. ke-2 ( ) , 35
[2] Ibid., 36
[3] Ibid., 44
[4] Joseph S. Nye, Jr, Understanding International Conflicts: An Introduction To Theory And
History, (HyperCollins College Publishers, 1993) , 53.
[5] Viotti dan Kauppi, op. Cit., 52
[6] James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff, Jr., Contending Theories of International
Relations: A Comprehensive Survey, ed. Ke-4 (Longman, 1997) , 377
[7] Nye, op. cit., 53-56
[8] Ibid., 61
http://blackswan313.wordpress.com/2009/07/14/machiavellinisme-vs-neorealisme/
“Balance Power in Cooperative Security Regimes”
DEC 22
Posted by Renny Candradewi 1 Votes
“Balance Power in Cooperative Security Regimes”
Artikel yang ditulis oleh Ralf Emmers mendiskusikan konsep Balance of
Power dalam politik internasional dan regional terutama berkaitan dengan
momen berdirinya ASEAN sebagai organisasi regional yang mengusung
konsep cooperative security.
Balance of Power memiliki pengertian dengan aspek yang terlalu luas dan berisi
banyak penjelasan dari beragam pandangan praktisi hubungan internasional;
antara lain menyebutkan bahwa Balance of Power dalam konteks politik
mencakup: (1)kondisi dan situasi terciptanya distribusi power (Inis Claude)*,
(2)kebijakan untuk menciptakan keseimbangan supaya tidak tercipta satu
kekuatan tunggal di atas lainnya—as a policy (Michael Sheehan)* sekaligus
mempelajari state system—Balance of Power as a system, (3)proses membuat
seimbang kekuatan yang ada pada beberapa kelompok negara dalam politik
internasional, regional maupun bilateral bahkan secara global. Meskipun
pengertian Balance of Power demikian luas, namun kesemuanya memiliki
kesamaan dasar dengan prinsipel dan nilai-nilai tertentu yakniBalance of
Power muncul karena adanya ancaman dan kebutuhan untuk
mempertahankan state system yang stabil. Sebagai tambahan, Balance of
Power juga dimaksudkan sebagai pengertian dari upaya kolektif untuk mencegah
adanya hegemoni berdasarkan pada politik internasional yang cenderung bipolar
daripada unipolar.
Teori Balance of Power sebagian besar muncul secara eksklusif dari pemikir
Realis yang meyakini bahwa Balance of Power bersandar pada kapabilitas dan
kuantitas power suatu negara, dimana power diasumsikan sebagai akumulasi
variabel (komponen-komponen politik, ekonomi, militer)—including intangible
and tangible factors as well as hard power & soft power combined
together. Walaupun demikian, teori Balance of Power mengandung sejumlah
ketidakpastian yang mengakibatkan teori Balance of Power gagal menjadi
barometer efektif untuk mengukur power yang dimiliki oleh negara.
BALANCE POWER OF POLITICS:
Balance of Power & Collective Security
Balance of Power bukan merupakan ide yang sama sekali baru, karena pada awal
abad 19, konsep Balance of Power telah tertuang dalam kesepakatan-
kesepakatan politik, pasca perang dan konflik, yang disimbolkan oleh aliansi-
aliansi dan kooperasi dan untuk jangka waktu tertentu konsep Balance of
Power terbukti menyediakan stabilitas regional bahkan internasional. Namun,
kelemahannya adalah sistem politik internasional yang selalu
dinamis;meski Balance of Power berkesempatan untuk menciptakan stabilitas
(produk legitimasiBalance of Power[1]), bukan berarti Balance of Power terus
menerus berpotensi melahirkan kondisi nonkonflik, terbukti PD II merupakan
produk gagal ide Balance of Power. Jika demikian, maka konsep Balance of
Power sebenarnya hanya berfungsi melahirkan opsi alternatif bagi terciptanya
kerjasama keamanan yang lebih komprehensif. Namun adapula yang membuat
persamaan konsep Balance of Power dengan konsep collective security,
persamaan tersebut terletak pada keduanya yang merupakan usaha untuk
menyeimbangkan kebijakan-kebijakan negara. Sedangkan perbedaannya
berpijak pada alasan dari kegiatan menyeimbangkan kebijakan tadi. Balance of
Power: berasal dari keyakinan bahwa setiap negara bertanggung jawab penuh
dengan keamanan masing-masing; collective security: berasal dari satu alasan
untuk menghindari satu ancaman yang sama.
Balance of Power & Comprehensive security
Comprehensive security merupakan seperangkat usaha untuk menciptakan
keamanan kolektif dengan memperluas area isu politik internasional, lebih dari
sekedar aspek militer melainkan juga meliputi fokus pada politik, ekonomi dan
permasalahan sosial pada semua level analisis dan kerjasama. Hal ini kali
pertama dipromotori oleh Jepang, untuk kemudian berusaha disesuaikan dengan
konsep collective dan comprehensive security ASEAN dimana berdirinya ASEAN
pertama kali berasal dari ide untuk menciptakan kemanan kawasan yang stabil
dengan mengadakan kerjasama secara kolektif antarnegara sekawasan. Adapun
kerjasama tersebut tidak terbatas pada isu militer dan keamanan secara fisik,
melainkan mencontohcomprehensive security Jepang yang mengusung ide:
keamanan kawasan dapat dijaga dengan stabil dengan memperluas area isu
politik regional kawasan. Hal ini yang menciptakan perlunya suatu rezim
keamanan untuk merealisasikan tujuan tersebut, sehingga Balance of
Powermenjadi faktor relevan untuk mendukung rezim keamanan.
The Relevance of Balance of Power factor to Regime for Cooperative Security
Rezim keamanan menyediakan norms, principles dan rules bagi
anggotanya. Balance of Powerakan menjadi relevan selama komponen-
komponen rezim keamanan di atas tidak mengungguli pertimbangan-
pertimbangan Balance of Power.
SIMPULAN
Konsep Balance of Power menjelaskan pendirian ASEAN, sebagai rezim
keamanan guna menjamin kestabilan kawasan terhadap ancaman luar, dengan
cara menggunakan nilai-nilai keamanan yakni cooperative,
collective dan comprehensive security. Cooperative securityrezim keamanan
Asean meliputi kewajiban untuk menjaga kestabilan keamanan masing-masing
negara; collective security rezim keamanan merupakan usaha secara kolektif
menjaga kestabilan keamanan kawasan dengan mengembangkan kepercayaan
sebagaimana nilai yang dianut Asean. Sedangkan comprehensive
security berkaitan dengan perluasan area isu politik regional untuk menjamin
keamanan kawasan yang lebih komprehensif dari sekedar hanya memiliki militer
dan hardpower.
OPINI
Akhirnya, konsep Balance of Power ditujukan untuk menciptakan stabilitas
keamanan, bukan lagi untuk menciptakan distribusi power secara paralel
antarnegara sebagaimana pengertian tentang Balance of Power sebelumnya.
Dengan demikian, the nature of Balance of Power theory has shifted and
evolved.
SUMBER
Emmers, Ralf. 2004. Cooperative Security and Balance of Power in ASEAN and
The ARF. New York: Routledge Curzon
*Teori Balance of Power, definition
[WEAKNESS AND ALTERNATIVES OF BALANCE OF POWER]
*Perbedaan teori Balance of Power sebagai kebjikan—policy dan sistem
*Asas-asas yang dianut oleh teori Balance of Power
*Teori balance of power berasal dari pemikiran Realis
*Power refers to? Sum of power components: realist and … mainstream?
*Balance of Power dimaksudkan untuk menolak adanya hegemoni berdasarkan
pada politik internasional yang cenderung bipolar daripada unipolar
*Balance of power mengandung perngertian ketidakpastian dalam mengukur
power
*Balance of power: power balancing between groups of states nor in bilateral
relationship
*Kesamaan balance of power dengan cooperative security, collective security
and comprehensive security
Relevansi Balance of Power faktor bagi rezim untuk cooperative security
BALANCE OF POWER AND THE CREATION OF ASEAN
http://frenndw.wordpress.com/2009/12/22/%E2%80%9Cbalance-power-in-cooperative-security-regimes%E2%80%9D/
MENGIDENTIFIKASI KONSEP POWER, BALANCE OF POWER DAN HEGEMONIC STABILITYDiposkan oleh Dinar Prisca Putri pada 00:35
Oleh: Dinar Prisca Putri
Power merupakan sebuah konsep yang seringkali digunakan dalam ranah politik dan juga
dalam lingkup hubungan internasional. Namun, sampai sekarang definisi mengenai konsep
power itu sendiri masih menjadi sebuah perdebatan. Salah satu masalah yang diperdebatkan
adalah apakah power dipandang sebagai sebuah atribut perseorangan, kelompok, atau negara
bangsa, atau apakah power dianggap sebagai hubungan antara dua aktor politik yang
memeiliki keinginan berbeda?
Secara harfiah, power berarti kekuatan atau kekuasaan. Menurut Nicholas J. Spykman, power
didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggerakkan manusia agar mengikuti kebiasaan
yang diinginkan pemilik power melalui cara persuasi dan paksaan. Dari pengertian ini, power
dapat dilakukan dengan menggunakan cara kekerasan seperti paksaan dan dengan cara
coorperative seperti persuasi. Sedangkan Hans J. Morgenthau, salah satu tokoh pemikir realis,
lebih suka mendefinisikan power sebagai suatu hubungan antara dua aktor politik, dimana
aktor A memiliki kemampuan untuk mengontrol atau mengendalikan pemikiran serta tindakan
aktor B.
Power terdiri dari segala sesuatu yang dimiliki manusia untuk menentukan dan memelihara
kontrol atau kekuasaan atas orang lain dan dia (power) meliputi seluruh hubungan sosial,
mulai dari kekerasan psikologis yang tidak kentara melaului mana seseorang bisa mengontrol
orang lain. (Morgenthau, 1973: 9)
Sebagai unit multidimensional, power memiliki lima dimensi utama, dimana Deutsch
mengemukakan tiga dimensi power (scope, domain, range) yang spesifik dan bisa diukur. Jadi,
kelima dimensi power tersebut, meliputi scope (ruang lingkup), domain, range, costs dan
means.
Pertama, melalui dimensi scope (ruang lingkup), Deustch ingin menunjukkan suatu kumpulan
atau koleksi semua perilaku kelas-kelas tertentu, hubungan dan pergaulan yang secara efektif
tunduk kepada power pemerintah. (Ibid: 34) Kumpulan tersebut meliputi semua jenis aktivitas
pemerintah dalam lingkup internal dan eksternal.
Dimensi kedua, yaitu domain membahas tentang kepada apa dan siapa power tersebut
dilaksanakan. Power tentunya biasa dilaksanakan terhadap rakyat, teritorial, dan kekayaan.
Deutsch membagi domain menjadi dua bagian, yaitu internal domain (wilayah dan populasi
dalam batas-batas suatu negara) dan eksternal domain (wilayah dan populasi di luar batas
suatu negara tetapi masih termasuk ke dalam “wilayah pengaruh”).
Kemuadian, range didefinisikan sebagai sebuah perbedaan antara imbalan yang tertinggi
(keikutsertaan) dengan hukuman terburuk (pencabutan hak) yang bisa dilimpahkan atau
dibebankan oleh si pemegang power kepada beberapa orang di dalam domainnya. (Deutch:
32) Range power sendiri juga dapat dibagi menjadi dua komponen, yaitu komponen internal
(menggunakan statistik anggaran belanja pemerintah dan menentukan berapa banyak
pengeluaran pemerintah untuk keamanan umum dan kesejahteraan sosial) dan komponen
eksternal (secara logis mengikuti bahasan range internal power).
Sedangkan yang dimaksud dengan costs adalah biaya yang dikeluarkan A dan B sama-sama
relevan terhadap penilaian pengaruh. (Baldwin,1989) Artinya, besar kecilnya biaya yang
dianjurkan oleh salah satu pihak berbanding lurus dengan penentuan pengaruh yang
dijalankan.
Dimensi kelima adalah means. Oleh Baldwin (1985), ada beberapa kategori yang mampu
mengklasifikasi jalur suatu pengaruh dalam hubungan internasional, yakni: jalur simbolik, jalur
ekonomis, jalur militer, dan jalur diplomatis.
Karena power yang dimiliki oleh tiap-tiap negara itu berbeda-beda, maka perlu adanya suatu
keseimbangan antara power yang dimiliki masing-masing negara, yang disebut sebagai
balance of power. Perimbangan kekuatan (balance of power) bukanlah konsep yang mudah
diukur. Ernst Hans mengasumsikan empat prasyarat bagi eksistensi sistem balance of power,
yaitu (1) multiplisitas aktor-aktor politik yang berdaulat, yang muncul karena tidak adanya
satu otoritas yang menguasai aktor-aktor tersebut; (2) distribusi kekuatan yang relatif tidak
seimbang di antara aktor-aktor politik yang membentuk sistem tersebut (3) persaingan dan
konflik yang berkesinambungan di antara aktor-aktor politik yang berdaulat; (4) pemahaman
implisit di antara para pemimpin negara yang besar bahwa kesinambungan distribusi kekuatan
akan menguntungkan mereka.
Balance of power dalam sistem kekuasaan ini muncul untuk menghasilkan tiga kondisi.
Pertama, keberagaman kedaulatan negara yang mucul haruslah tidak tunduk pada
keterpaksaan dari salah satu legitimasi kedaulatan negara lain yang lebih berkuasa. Kedua,
kontrol secara terus-menerus dari kompetisi akibat langkanya sumber daya atau nilai-nilai
konflik. Ketiga, menyamaratakan distribusi status, kekayaan, dan potensi power diantara aktor
politik yang masuk dalam suatu sistem.
Secara sistemik, balance of power digunakan untuk mencegah terjadinya sistem hegemoni
yang didefinisikan sebagai sebuah dominasi suatu negara terhadap negara atau kelompok
negara lain. Dengan kata lain, balance of power ini muncul karena adanya suatu pengaruh
besar dalam bidang militer dan teknologi oleh negara pemilik power yang besar, yang
kemudian disebut sebagai hegemoni. Walaupun pada kenyataannya, hegemoni suatu negara
itu tidak dapat dihilangkan dengan menggunakan sistem perimbangan kekuatan (balance of
power).
Konsep hegemoni dalam hubungan internasional dapat diartikan sebagai sebuah negara yang
memimpin suatu kelompok negara. Sedangkan hegemonic stability menjelaskan tentang
keberadaan rezim yang memiliki daya tarik nyata dan menjelaskan bahwa sistem ekonomi
internasional sebagai bentuk power daripada sebuah rational exchange. Adapun latar
belakang dari teori hegemoni stabilitas ini karena adanya sistem anarki internasional yang
sangat diagungkan oleh kaum neorealis. Anarki yang dimaksud ialah kompleksitas sistem
kedaulatan negara yang memicu munculnya dilema keamanan (security dilemma). Asumsi
dasar terbentuknya teori ini adalah adanya stabilitas sistem internasional yang membutuhkan
dominasi tunggal sebuah negara dengan tujuan memperkuat aturan interaksi antar anggota
yang paling penting dalam sistem internasional.
Menurut saya, dapat disimpulkan bahwa definisi dari konsep power yang beranekaragam dan
masih menjadi perdebatan oleh para ilmuwan politik tersebut telah menimbulkan pemahaman
yang kompleks tentang balance of power maupun hegemonic stability. Namun, di sini saya
setuju dengan teori stabilitas hegemoni, dimana hegemoni akan sulit untuk dihapuskan karena
tiap negara yang mempunyai hegemoni pasti akan senantiasa memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi negara lain agar negara tersebut bisa dikendalikan oleh pemilik hegemoni.
DAFTAR PUSTAKA
Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations Third Edition. Palgrave Macmillan: New
York.
Columbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1990. Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan
dan Power. Abardin: Bandung
Griffiths, Martin dan O’Callaghan, Terry. 2006. International Relation: The Key Concept.
Routlage Key Guides: New York.
Mc Keown, Timothy J.. 1983. International Organization:Hegemonic Stability Theory and 19th
Century Tarrif Levels in Eourope. MIT Press.
Morgenthau, Hans J.. 1973. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. Knopf:
New York.
http://dinarprisca.blogspot.com/2010/04/mengidentifikasi-konsep-power-balance.html
Power, Balance of Power, Teori Stabilitas Hegemoni
APR 26
Posted by Renny Candradewi 1 Votes
Renny Candradewi 070810532
Setiap penjelasan selalu dimulai dengan definisi yang tepat. Mendefinisikan
esensi power tidaklah mudah, bahkan sampai sekrang masih sering
diperdebatkan. Perhatian terhada pwoer terus menerus menjadi kajian yang
menarik dan seringkali menimbulkan beragam persoalan. Manakala
mendefinisikan suatu power maka sebagian besar akan merujuk pada konsepsi
pemikiran realis. Menurut seorang realis, Robert Dahl (2002), kapabilitas suatu
negara banyak sekali ditentukan oleh sejuumlah power yang ia miliki. Dan power
merupakan subjek utama dalam hubungan internasional yang takkan pernah
kehilangan pengaruhnya untuk menyediakan berbagai alasan maupun jawaban
dalam konteks politik internasional.
Untuk bisa mengidenfikasikan dan menganalisa konsep awal power dalam
hubungan internasional, kita mesti memahami perkembangan power di negara
besar dan negara kecil. Ditinjau dari segi pemikiran dan teori sistem
internasional oleh Geopolitik. Power secara alami muncul karena distribusi
geografi yang tidak seimbang dari sudut luas wilayah. Karen A Mingst juga
menambah dimensi alami power muncul karena kepemilikan minyak, jumlah
sumber daya alam atau populasi (Mingst, 2009).
Definisi power suatu negara menurut liberal ditentukan oleh kekuatan ekonomi
dan industrialisasi. Boleh jadi suatu negara tidak memiliki luas wilayah yang
signifikan tetapi dilain sisi ia memiliki basis ekonomi dan industri kuat, maka
negara tersebut bisa diasumsikan negara kuat. Power menurut Marxisme
ditentukan oleh dominasi kelas yang lebih tinggi kepemilikan faktor produksi
untuk bisa menindas kelas marjinal.
Dalam bukunya, Robert Dahl mengulas dengan jelas apa yang dimaksud oleh
power. Robert Dahl menamai power sebagai suatu atribut yang melekat secara
langsung pada suatu negara ketika ia dibandingkan dengan negara lain. Kedua,
power menurut Robert Dahl adalah kemampuan suatu negara untuk membuat
negara lain melakukan sesuatu yang semula tidak diinginkannya. Power yang
meliputi tangible dan intangible power (Anonim, 2008).
Intangible power meliputi kepimimpinan dan kepribadian, efisiensi organisasi
birokrasi, tipe pemerintahan, persatuan masyarakat, reputasi, dukungan luar
negeri dan ketergantungan. Sedangkan tangible power meliputi wilayah,
populasi, sumber alam dan kapasitas industri, kapasita pertanian, kekuatan
militer dan mobilitas (Anonim, 2008).
Balance of power
Pada beragam pengertian, balance of power merupakan konsep yang telah
dipegang sepanjang sejarah, praktisi, dan negarawan—statesmen; sehingga
perilaku demikian membawa konsekuensi pada tingkat beragam pengertian pada
setiap orang berbeda. Walaupun demikian tidak terdapat konsesus resmi
definisi balance power secara tepat (Emmers, 2004. p.40-41), beragam
pandangan definisi tersebut terletak pada pemahaman pada berbagai istilah
yakni sebagai suatu simbol, situasi, kebijakan, dan sistem (Emmers, 2004. p.41 ).
Pengertian yang demikian banyak dan luas sebagaimana diutarakan oleh Inis
Claude (1962: 13) disebabkan konsepnya yang mudah dipahami serta
banyaknya literatur antara lain sebagai berikut (Sheehan, 1996, p.1-2):
1. Masa klasik: distribusi power yang sama di antara Princes of Europe → memungkinkan bagi salah satu dari mereka untuk mengganggu ketenangan yang lain (Anonymous, Europe’s Catechism, 1741);
Pada Midieval Era di mana masing-masing kerajaan di Eropa berlomba untuk
memperkuat diri; semakin intensnya kompetisi tersebut, makin intens pula
adanya ancaman yang memicu kapabilitas ketenangan negara lain yang secara
geografis berdekatan.
1. Aksi dari negara lain untuk menghambat negara tetangganya untuk menjadi lebih kuat dan menjaga keseimbangan dan kesejajaran antarnegara tetangganya—terdekatnya (Fenelon, 1835);
Balance of power sebagai reaksi yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas
keamanan regional antarnegara yang berdekatan.
1. Menjaga keseimbangan: yang lemah seharusnya tidak dihancurkan oleh negara yang lebih kuat → merupakan prinsip yang membentuk kesatuan pada peta politik sejarah Eropa Modern (Stubbs, 1886);
Balance of power sebagai kolektif reaksi untuk mencegah terbitnya satu
kekuatan dominan yang berpotensi mendesak yang lemah.
1. Suatu penyusunan hubungan sehingga tidak akan ada negara yang berada pada posisi lebih kuat di atas negara-negara lainnya (Vattel, 1916);
Seperti halnya poin ketiga yang mana balance of power sebagai kolektif reaksi
karena adanya kesadaran bersama untuk menghindari munculnya negara yang
terkuat di antara yang lainnya.
1. Balance of Power beroperasi melalui aliansi-aliansi yang tidak memberi peluang adanya satu dominan power yang tumbuh lebih kuat sehingga berpotensi mengancam keamanan yang lain (Palmer and Perkins, 1954);
Balance of power sebagai strategi untuk menciptakan stabilitator regional
melalui keikutsertaan dalam aliansi maupun kelompok kerjasama keamanan
yang kolektif.1. Balance of Power: merujuk pada hubungan aktual antarnegara dimana power
terdistribusi secara paralel pada semua negara (Morgentahu, 1978);
Balance of power merupakan strategi alternatif melakukan atau mempengaruhi
distribusi power.
1. Balance of Power merujuk pada respon untuk melakukan ukuran (pemantauan dan pengawasan) yang ekivalen secara individual maupun kolektif guna meningkatkan power mereka (Claude, 1962);
Balance of power sebagai tool efektif untuk melakukan check and balance posisi
dan pemetaan power yang dimiliki masing-masing negara.1. Balance of Power merupakan prinsip dasar guna merenggangkan power yang
sanggup mengintervensi pada satu sisi, dimana ada bahaya potensi meletusnya perang, untuk menjamin bahwa yang kalah—lemah tidak tereliminasi dari sistem dan tidak terserap ke dalam kolosus yang sedang berkembang (Quester, 1977).
Balance of power merupakan efektif tool untuk mendispersi power guna
mengurangi potensi konflik dan perang.
Dari berbagai pengertian di atas, tentunya menimbulkan permasalahan tentang
bagaimana menggunakan konsep dan istilah balance of power dalam hubungan
dan politik internasional. Salah satu permasalahan intelektual disebabkan oleh
power sebagai suatu konsep dan istilah, adalah interprestasi berbeda pada tiap
orang yang berbeda pula. Beberapa diantaranya mengasumsikan “power” tidak
hanya mengandung arti kekuatan militer, tetapi juga mengandung implikasi
kekuatan politik dan ekonomi—oleh realis disebut tradisional power. Bagi yang
lainnya, power tidak hanya menyangkut aktivitas spesifik seperti tersebut di
atas, tetapi juga kemampuan untuk mempengaruhi perilaku state lain (Sheehan,
2004, p.7.).
Teori Stabilitas Hegemoni oleh Charles Kindleberg, menyatakan ekonomi dunia
liberal yang terbuka memerlukan keberadaan seorang hegemoni atau kekuatan
dominan. Hegemoni dan stabilitas dalam ekonomi politik internasional
menggunakan kerangka penjelasan yang dikemukakan oleh teori ini. Robert
Keohane seorang neo-realis strukturalis mengungkapkan hal serupa yang mana
keadaan dunia dengan hegemoni menjamin kestabilan seperti semasa system
dunia bipolar (Keohane 1980, p. 132).
OPINI
Balance of power merupakan ide, konsep politis sekaligus strategi kebijakan
yang relevan terhadap kondisi empiris situasi politik internasional yang anarkis
yang tertuang dalam beragam definisi dan pengertian berbeda, kemudian
dipelajari menjadi panduan kebijakan politik luar negeri baik oleh praktisi
hubungan internasional—untuk memahami perilaku kolektif states, maupun
statesmen sebagai strategi untuk menyusun perjanjian—agreement dalam usaha
membela kepentingan nasional. Secara khusus, ASEAN sebagai rezim regional
menjadi ilustrasi adanya pengaruh faktor balance of power pada perilaku
anggotanya yang secara politis saling berseberangan tetapi masih
mempertahankan konsep sekuriti sebagai alasan mendasar mendirikan
kelompok kerjasama kooperatif maupun satuan organisasi regional yang
dijanjikan mampu menciptakan stabilitas dan keamanan kawasan.
Balance of power menurut sudut pandang realis: memandang masyarakat
internasional sebagai aksi-reaksi yang tidak ekivalen—assymetris: power
berhadapan dengan weakness. Basis dasar asimetris antar-state tersebut dapat
diseimbangkan, yakni dengan cara setiap state bertindak saling mengawasi
terhadap posisi masing-masing—check and balance. Karena politik internasional
yang anarkis perlawanan dengan keamanan dan stabilitas jangka panjang,
makanation-states semestinya memotori terciptanya keseimbangan dalam
sistem power, sehingga dalam jangka absolut, keamanan, stabilitas, power, dan
pengaruh dapat kemudian lebih potensial ditingkatkan. Adalah tugas seorang
negarawan—statesmen untuk mendemonstrasikan dan memprioritaskan
kepentingan masing-masing berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi
dengan membuat kebijakan dan penyesuaian berdasarkan tujuan menciptakan
stabilitas yang kondusif. Maka dari itu, Morgenthau berpendapat bahwa balance
of power dan politik luar negeri yang diciptakan untuk diraih dan dipelihara
bukanlah hal yang tidak mungkin, lebih dari itu, merupakan mekanisme penting
untuk menstabilkan komunitas internasional (Sheehan, 1996, p.8.).
Berkaitan erat dengan power, di dalam balance of power terdapat
konsep national interestdan objectives antara lain tujuan fundamentalnya adalah
menolak adanya hegemoni secara regional maupun global, yang pada intinya
untuk mencegah terbitnya hegemoni dengan mengijinkan semua state untuk
memelihara identitas, kesatuan, dan independensinya, hingga pada level optimal
mencegah potensi agresi perang, dan lain sebagainya. Teori balance of
power maka dari itu erat kaitannya dan kedudukannya selaras dengan
pandangan tradisional realis mengenai hubungan internasional.secara tidak
langsung dimaksudkan untuk menyediakan kondisi internasional yang stabil dan
damai (Emmers, 2004, p.42), sekaligus sebagai faktor penstabil dalam
masyarakat negara-negara yang berdaulat Morgenthau, 1955. p.185) Dari
pengertian di atas, intinya teori balance of power sebenarnya merupakan konsep
penting dalam menciptakan dan memelihara stabilitas komunitas internasional.
Balance of power sebagai suatu strategi umumnya diterapkan oleh hegemon
untuk mencegah timbulnya satu kekuatan yang sanggup menyaingi sphere of
influencenya.
Kekuatan hegemoni harus mampu membuat dan menjaga keberlangsungan
peraturan yang ia buat dipatuhi oleh seluruh negara. Kekuatan hegemoni dalam
menjaga kestabilan ekonomi terletak pada komitmen untuk mematuhi peraturan
dan norma-norma internasional yang ia tetapkan misalnya norma yang dibentuk
dalam rezim internasional. Sumber kekuatan ekonomi menurut teori stabilitas
hegemoni Kindleberg terdapat pada tiga hal, yakni hegemoni, norma liberal, dan
kepentingan sama.
Menjadi hegemoni dan mempertahankan sistem yang mendukung hegemoni
bukanlah hal yang mudah. Antonio Gramsci menyatakan memelihara sistem
hegemoni haruslah didukung oleh kekuatan negara besar. Jika tidak terdapat
kekuatan negara-negara besar yang mendukungnya maka sistem hegemoni
tersebut akan sangat mudah sekali kolaps. Menurut teori ini ekonomi pasar
terbuka terdapat collective dan public good: adalah good yang setiap konsumsi
oleh individual atau yang lainnya tidak mengurangi kuantitasnya atau akan
selalu tersedia bagi konsumer yang lainnya. Singkatnya, konsumer dapat
mengkonsumsi good tersebut tanpa harus membayarnya. Namun, kendala yang
muncul mengancam sistem hegemoni tersebut ialah adanya free rider dan
kecurangan. Hegemoni selain menanggung beban adanya free rider dan
kecurangan (monopoli) mendapatkan keuntungan karena sphere of influence-
nya meluas, ia berhak menetapkan siapa yang berhak masuk dan siapa yang
tidak.
Norma liberal yang dianut dalam ekonomi politik internasional mendukung
pernyataan bahwa sistem pasar terbuka beoperasi berdasarkan rasional yang
berjalan dengan sendirinya dimana terdapat supply bertemu
dengan demand (mekanisme pasar), masing-masing aktor bergerak dengan
memaksimalkan interest masing-masing, serta (Gilpin, 1987). Pasar cenderung
bersifat dinamis, karenanya hegemoni mesti fleksibel dalam melakukan berbagai
penyesuaian.
Untuk alasan internal dan eksternal, hegemoni mengalami berbagai tantangan
antara lain free rider, cheating, dan sementara ia sibuk memlihara sistem supaya
stabil, negara-negara lain mendapatkan keuntungan lebih dari berjalannya
sistem. Semakin sphere of global influenceterdispersi ke mana-mana, makin sulit
memelihara pengaruhnya supaya tetap stabil (Kindleberger, 1981, p.251).
Jika tidak sanggup mempertahankan keeskistensiannya, maka kekuatan
hegemoni perlahan akan menurun. Penurunan hegemoni dapat dijelaskan
melalui empat fase hegemoni teori sistem dunia Modelsky (Flint, 2007).
Fase yang menjelaskan turunnya pamor hegemoni adalah ketika (1) peraturan-
peraturan yang dibuat sudah tidak ditaati oleh negara-negara lain, (2) hegemoni
mendapat tantangan dari pergolakan ekonomi domestik dan perlawanan dari
entitas yang tidak menyukainya, (3) adanya negara core baru yang muncul dari
negara periphery maupun semiperiphery. Jika kekuatan hegemoni tersebut tidak
mampu bertahan dari ancaman-ancaman tersebut, maka ia cenderung akan
mengalami diintegrasi (collaps) (Flint, 2007).
Teori stabilitas hegemoni, isu keamanan dan politik menjadi subjek utama yang
mengakibatkan dinamika pada ekonomi internasional. Kedua hal tersebut saling
mempengaruhi satu sama lain dimana ekonomi internasional tidak bisa
dipisahkan dari politik dan kebijakan suatu negara apalagi yang berkaitan
dengan isu keamanan. Suatu hegemoni mutlak diperlukan untuk menjaga
kestabilan politik dan keamanan. Secara langsung keamanan dan politik menjadi
lingkungan tempat berkembangnya ekonomi internasional. Sehingga bisa juga
ditarik kesimpulan ekonomi dan lingkungan saling berhubungan, jika lingkungan
berubah maka ekonomi juga mengikutinya.
Pertanyaan berikutnya, teori manakah yang paling relevan? Secara pribadi saya
ingin berpendapat bahwa tidak ada teori yang benar-benar 100% relevan
terhadap tatanan ekonomi internasional sekarang. Ketiganya saling
komplementer dari pada kontradiktif. Dalam hal tertentu, ekonomi internasional
bergerak berdasarkan supply and demand aktor-aktor ekonomi di luar state.
Yang membuat integrasi ekonomi terjadi pada level yang sangat signifikan. Hal
ini seolah menyiratkan bahwa perekonomian itu bergerak sesuai dengan invisible
hand-nya Adam Smith. Artinya tidak ada faktor lain yang diikutsertakan dalam
telaah dinamika ekonomi politik internasional. Akan tetapi seolah teori ini
menjadi ketinggalan jaman, ketika faktor politik dan lingkungan dilibatkan.
Negara tetap menjadi aktor utama dan influensial dalam mempengaruhi dan
mengarahkan tatanan dunia sesuai dengan yang diinginkan, dalam hal ini
disebutkan oleh seorang hegemon. Hegemon berperan untuk
menciptakan environment yang favorable buat ladang subur perekonomian.
Negara tetap secara politis berperan mengurangi batasan-batasan ekonomi yang
mesti dicapai dalam suatu insitusi bersama dimana persaingan negatif akibat
konflik kepentingan bisa dinegosiasikan. Teori sistem dunia modern memegang
peran lainnya dalam menyediakan bukti bahwa perekonomian cenderung
menciptakan sistem hierarki antara negara yang terklasifikasi dalam
negara core dan negara periphery. Menurutnya ini adalah hal yang terjadi secara
natural, ada yang tergantung dan ada yang menggantungkan diri. Inilah yang
membentuk sistem secara utuh dan dinamis. Manakala salah satu variabel diatas
mengalami pergeseran dan perubahan either insignifacantly nor indisively, maka
dinamika itu merupakan suatu yang abadi.
REFERENSI
Mingst, Karen. 2009. The Essentials of International Relations. New York: Norman
Pub. Ch. 3., 68-72.
Wallerstein, Immanuel. 1974. The Modern World-system. New York: Academic
Press.
Hobden, Stephen and Richard Wyn Jones. 2001. “Marxist Theories of
International Relations”, ins: Baylis, John and Steve Smith. 2001. The
Globalization of World Politics. London: Oxford University Press. Ch. 10., p 200-
226.
Burchill, Scott, et.al. 2004. Theories of International Relations. London: Palgrave
Macmillan
Emmers, Ralf. 2004. Cooperative Security and Balance of Power in ASEAN and
The ARF. New
York: Routledge Publishing. p. 10-39, 40-60.
Sheehan, Michael. 1996. The Balance of Power: History and Theory. New York :
Routledge
Publishing. p. 1-23, 53-96.
Anonim. 2008. Power dan Kapabilitas Negara-Bangsa dalam Pengantar Hubungan
Internasional. Surabaya: Universitas Airlanggahttp://frenndw.wordpress.com/2010/04/26/power-balance-of-power-teori-stabilitas-hegemoni/