berita dirgantara
TRANSCRIPT
Berita
DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
VOL. 14 NO. 1 MARET 2013 ISSN 1411-8920
PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI
RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK
ESTABLISHMENT (ALE) NASIONAL Varuliantor Dear
DAMPAK AEROSOL TERHADAP LINGKUNGAN ATMOSFER Saipul Hamdi
KAJIAN PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM
(KMS) UNTUK LITBANG KEDIRGANTARAAN PADA LEMBAGA
PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN) Fahmi Alusi
MAKNA PUSAT PELUNCURAN ROKET DI PULAU MOROTAI:
TINJAUAN ASPEK PERTAHANAN DAN KEAMANAN Euis Susilawati
PROSES MANUFAKTUR DAN INTEGRASI STRUKTUR INASAT-1
LAPAN Widodo Slamet
DITERBITKAN OLEH:
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA
BERITA DIRGANTARA VOL. 14 NO. 1 HLM. 1 - 43 JAKARTA, MARET 2013 ISSN 1411-8920
Berita
DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
VOL. 14 NO. 1 MARET 2013 ISSN 1411-8920
PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI
RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK
ESTABLISHMENT ALE) NASIONAL ....................................................... Varuliantor Dear
1 – 8
DAMPAK AEROSOL TERHADAP LINGKUNGAN ATMOSFER ............. Saipul Hamdi
9 – 16
KAJIAN PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM
(KMS) UNTUK LITBANG KEDIRGANTARAAN PADA LEMBAGA
PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN) .................. Fahmi Alusi
17 – 24
MAKNA PUSAT PELUNCURAN ROKET DI PULAU MOROTAI:
TINJAUAN ASPEK PERTAHANAN DAN KEAMANAN ..................... Euis Susilawati
25 – 34
PROSES MANUFAKTUR DAN INTEGRASI STRUKTUR INASAT-1
LAPAN ................................................................................................... Widodo Slamet
35 – 43
DITERBITKAN OLEH:
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Jl. Pemuda Persil No. 1, Jakarta 13220, INDONESIA
BERITA DIRGANTARA VOL. 14 NO. 1 HLM. 1 - 43 JAKARTA, MARET 2013 ISSN 1411-8920
Berita
DIRGANTARA MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER
SUSUNAN DEWAN PENYUNTING BERITA
DIRGANTARA
Keputusan Kepala LAPAN
Nomor: 98 Tahun 2013
Tanggal: 22 April 2013
Pembina:
Drs. Sri Kaloka Prabotosari
Pemimpin Umum:
Dra. Ratih Dewanti, M.Sc
Pemimpin Redaksi:
Dra. Elly Kuntjahyowati, MM
Redaksi Pelaksana:
Adhi Pratomo, S.Sos
Dra. Sri Rahayu
Yudho Dewanto, ST
Zubaedi Muchtar
Haryati, SAP
Penyunting:
Ketua
Dra. Euis Susilawati, M.Si
Anggota
Ir. Widodo Slamet, MT
Gathot Winarso, ST, M.Sc
Ir. Timbul Manik, M.Eng
Dra. Sumaryati, MT
Ir. Ediwan, MT
Drs. Agus Harno N., M.Sc
Tata Letak
M. Luthfi
VOL.14 NO.1 MARET 2013 ISSN 1411-8920
DARI MEJA PENYUNTING
Sidang pembaca yang terhormat,
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, Berita Dirgantara Vol. 14, No. 1, Maret 2013 dapat hadir kembali ke hadapan para pembaca sekalian. Berita Dirgantara edisi kali ini memuat 5 (lima) artikel yaitu, “Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit Komunikasi Radio Hf Berdasarkan Data Jaringan Automatic Link Establishment ALE) Nasional” ditulis oleh Varuliantor Dear. Pada makalah ini disajikan metode penentuan rentang frekuensi kerja suatu sirkuit komunikasi radio HF dengan memanfaatkan data dari jaringan Automatic Link Establishment (ALE) nasional. Dengan jaringan ALE yang saat ini sedang dikembangkan oleh LAPAN, penentuan rentang frekuensi kerja dari sebuah sirkuit komunikasi radio HF dapat dilakukan berdasarkan rujukan data yang diperoleh. Rujukan tersebut berupa informasi dari rentang frekuensi yang berhasil digunakan oleh suatu sirkuit komunikasi pada jaringan ALE dalam periode harian maupun bulanan; “Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer” ditulis oleh Saipul Hamdi. Aerosol yang dilepaskan ke atmosfer melalui proses letusan gunung berapi dapat tersebar ke tempat yang jauh dan berpotensi memberikan dampak langsung dan tak langsung terhadap iklim. Selain menyebabkan terjadinya pendinginan global, aerosol juga mengubah sifat optis awan sehingga meningkatkan albedo awan dan berpotensi mengurangi jumlah curah hujan; “Kajian Pengembangan Knowledge Management System (KMS) untuk Litbang Kedirgantaraan pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan)” ditulis oleh Fahmi Alusi. Tulisan ini menjelaskan gagasan mengenai pengembangan Knowledge Management System di Lapan agar knowledge yang tercipta dalam kegiatan penelitian dapat terpelihara serta dapat mendukung terbentuknya budaya knowledge sharing guna meningkatan kinerja Lembaga; “Makna Pusat Peluncuran Roket di Pulau Morotai: Tinjauan Aspek Pertahanan Dan Keamanan” ditulis oleh Euis Susilawati. Pusat peluncuran roket di Pameungpeuk saat ini tidak lagi memenuhi syarat untuk digunakan meluncurkan roket-roket besar yang mampu membawa satelit (RPS). Kajian awal yang dilakukan Lapan merekomendasikan beberapa lokasi baru yang dapat dijadikan pusat peluncuran RPS; Artikel terakhir ditulis oleh Widodo Slamet dengan judul “Proses Manufaktur dan Integrasi Struktur Inasat-1 Lapan”. Struktur satelit memiliki fungsi sebagai pengikat dan pelindung muatan-muatan yang dibawa oleh satelit tersebut. Inasat-1 merupakan satelit nano yang digunakan sebagai sarana penelitian untuk meningkatkan kemampuan para peneliti di bidang teknologi satelit. Demikian makalah-makalah yang dapat kami sajikan dalam edisi kali ini, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya. Penyunting
Alamat Penerbit/Redaksi :
LAPAN, JL. Pemuda Persil No. 1
Rawamangun, Jakarta Timur 13220 Telepon : 4892802 (Hunting)
Fax : (012) 4894815
Email : [email protected] [email protected]
Milis : [email protected]
Berita Dirgantara merupakan terbitan ilmiah semi poluler di bidang
kedirgantaraan.
Terbit setiap 3 bulan, memuat tulisan yang bersifat ilmiah semi populer mengenai hasil-hasil penelitian, tinjauan atau pandangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan bidang kegiatan
kedirgantaraan dari para peneliti dan staf LAPAN maupun non LAPAN. Setiap orang dapat mengutip terbitan LAPAN dengan menyebutkan
sumbernya.
Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit..…….(Varuliantor Dear)
1
PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI
RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK
ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL
Varuliantor Dear
Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi,Pusat Sains Antariksa, Lapan
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Penentuan frekuensi kerja dari sebuah sirkuit komunikasi radio HF untuk
menjamin keberhasilan komunikasi erat kaitannya dengan kondisi lapisan ionosfer
yang dinamis. Salah satu cara yang telah banyak digunakan hingga saat ini adalah
berdasarkan hasil perhitungan nilai frekuensi kerja yang dapat dipantulkan oleh
lapisan ionosfer dari variasi nilai frekuensi plasma lapisan ionosfer yang terendah
(fmin) maupun yang tertinggi (foF2). Pada makalah ini disajikan metode penentuan
rentang frekuensi kerja suatu sirkuit komunikasi radio HF dengan memanfaatkan data
dari jaringan Automatic Link Establishment (ALE) nasional. Dengan jaringan ALE yang
saat ini sedang dikembangkan oleh LAPAN, penentuan rentang frekuensi kerja dari
sebuah sirkuit komunikasi radio HF dapat dilakukan berdasarkan rujukan data yang
diperoleh. Rujukan tersebut berupa informasi dari rentang frekuensi yang berhasil
digunakan oleh suatu sirkuit komunikasi pada jaringan ALE dalam periode harian
maupun bulanan. Dengan menggunakan data periode harian, rujukan dapat
digunakan untuk menentukan frekuensi kerja pada hari berikutnya. Sedangkan
dengan menggunakan data periode bulanan, perencanaan frekuensi kerja untuk bulan
berikutnya dapat dilakukan berdasarkan data satu bulan sebelumnya. Dengan kedua
jenis periode data tersebut, informasi yang diperoleh akan dapat digunakan untuk
perencanaan penentuan nilai rentang frekuensi kerja suatu sirkuit komunikasi radio HF.
1 PENDAHULUAN
Propagasi yang sangat dominan
terjadi pada komunikasi radio HF (3-30
MHz) adalah propagasi angkasa (skywave
propagation) (Collin, 1995). Oleh karena
itu keberhasilan komunikasi radio HF
sangat erat kaitannya dengan kondisi
lapisan ionosfer yang merupakan media
utama dari perambatan gelombang radio
propagasi angkasa.
Dikarenakan kondisi lapisan
ionosfer yang sangat dinamis, penentuan
frekuensi kerja komunikasi radio HF
yang bertujuan untuk menjamin
keberhasilan komunikasi, dilakukan
berdasarkan penelitian frekuensi plasma
lapisan ionosfer yang menentukan
frekuensi terendah dan tertinggi dari
pemantulan gelombang radio yang dapat
terjadi (Mc Namara, 1991). Dari hasil
penelitian yang diperoleh tersebut,
rentang nilai frekuensi kerja komunikasi
radio HF yang berupa batas frekuensi
terendah (LUF) dan tertinggi (MUF),
serta nilai frekuensi yang optimal (OWF),
diaplikasikan ke dalam bentuk per-
hitungan prediksi frekuensi. Parameter
yang digunakan dalam perhitungan
tersebut adalah jarak suatu sirkuit
komunikasi dan kondisi parameter
lapisan ionosfer seperti ketinggian (h)
dan frekuensi kritis (fmin atau fo) (Jiyo,
2005). Metoda ini dinyatakan cukup
efektif digunakan secara praktek dengan
tingkat keberhasilan mencapai 80%
(Dear et.al, 2012a).
Saat ini LAPAN telah membangun
stasiun komunikasi radio HF di beberapa
lokasi di Indonesia, yakni Bandung,
Pontianak, Watukosek, Manado, dan
Kototabang, yang disebut sebagai jaringan
Automatic Link Establishment (ALE)
Nasional (Dear, 2012b). Jaringan ini
dirancang untuk keperluan kegiatan
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:1-8
2
riset dinamika ionosfer yang terkait
dengan kondisi propagasi komunikasi
radio HF dan hal-hal lain yang terkait.
Pada makalah ini dibahas tentang
penentuan rentang frekuensi kerja
komunikasi radio HF dengan memanfaat-
kan data jaringan ALE nasional
tersebut. Tujuan dari makalah ini
adalah untuk memperkenalkan metode
awal dari salah satu pemanfaatan data
jaringan ALE nasional yang dapat
digunakan pada aplikasi komunikasi
radio HF.
2 JARINGAN ALE NASIONAL
Automatic Link Estabilshment (ALE)
merupakan salah satu teknologi terkini
dari komunikasi radio HF(HFlink, 2010).
ALE dirancang sebagai solusi dari
adanya permasalahan perubahan
frekuensi kerja akibat kondisi lapisan
ionosfer yang cukup dinamis. Dengan
teknologi sistem ALE yang diterapkan
pada perangkat komunikasi radio,
operator radio dapat lebih mudah
melakukan komunikasi yang dikehendaki.
Hal ini dapat terwujud dikarenakan
sistem ALE mampu mengevaluasi kondisi
propagasi secara real time.
Dikarenakan perangkat ALE
masih dikategorikan relatif mahal, maka
penggunaan teknologi ini sangat jarang
dimanfaatkan oleh operator radio secara
umum. Hanya beberapa institusi dengan
dana yang cukup besar yang mampu
menyediakan perangkat ini (Basarnas,
2011). Selain harga perangkat yang
cukup mahal, operasional sistem ALE
ternyata juga membutuhkan keahlian
dan pemahaman khusus oleh operator
radio yang melakukan. Sehingga dengan
kondisi tersebut perangkat ALE cukup
lama untuk dapat diterapkan di
masyarakat.
LAPAN saat ini telah mampu
menerapkan stasiun ALE dengan meng-
gunakan perangkat radio konvensional.
Dengan stasiun-stasiun ALE tersebut,
LAPAN telah membangun dan terus
mengembangkan jaringan ALE nasional
yang diperuntukkan untuk kegiatan
penelitian dan pengamatan. Beberapa
stasiun yang telah dibangun dan juga
direncanakan akan diterapkan dalam
waktu dekat disajikan pada Gambar 2-1.
Dari stasiun-stasiun ALE tersebut,
data yang dihasilkan berupa informasi
frekuensi kerja dan waktu komunikasi
seperti yang disajikan pada Gambar 2-2.
Data yang disajikan pada Gambar 2-2
tersebut kemudian diolah kembali untuk
kepentingan penelitian yang dilakukan.
Keteranga:
Telah dibangun Perencanaan KTB = Kototabang
BDG = Bandung PTK = Pontianak WTK = Watukosek
MDC = Manado BIK = Biak KOE = Kupang
Gambar 2-1: Peta stasiun ALE Lapan
Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit..…….(Varuliantor Dear)
3
Gambar 2-2: Data yang diperoleh dari stasiun Bandung pada jaringan ALE nasional
3 PENGOLAHAN DATA JARINGAN ALE
UNTUK PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA
Data yang diperoleh dari jaringan
ALE dapat diolah menjadi informasi
frekuensi kerja suatu sirkit komunikasi
berdasarkan waktu yang digunakan.
Data ini pertama kali di kelompokan
berdasarkan sumber sinyal atau stasiun
yang diterima (Callsign ID). Dari kelompok
sumber sinyal tersebut data yang
diperoleh kemudian disaring (filter) guna
menghilangkan data yang tidak valid
sesuai dengan metode verifikasi
berdasarkan urutan waktu penerimaan
data dan kesalahan sistem (Dear, 2012c ).
Setelah data tersebut disaring (filter)
maka data yang diperoleh dapat
disajikan dalam bentuk informasi
frekuensi kerja berdasarkan waktu
komunikasi suatu sirkit komunikasi
dengan periode harian maupun
bulanan. Pada Gambar 3-1 disajikan
diagram alur pengolahan data yang
dilakukan.
Dari proses yang dilakukan sesuai
diagram alur Gambar 3-1, maka akan
diperoleh data seperti pada contoh
Gambar 3-2. Pada Gambar 3-2 (a)
disajikan data teks yang berisikan
frekuensi berdasarkan waktu komunikasi
dari sebuah sumber stasiun yang
kemudian dapat diubah ke dalam
bentuk grafik seperti yang disajikan
pada Gambar 3-2(b). Pada Gambar 3-2(b)
tersebut disajikan informasi frekuensi
kerja rujukan sebuah sirkuit komunikasi
radio HF sesuai dengan periode data
yang digunakan.
Gambar 3-1: Diagram alur pengolahan data
ALE
MULAI
Klasifikasi Sumber
Sinyal (Stasiun)
Filter data yang
valid (Dear, 20123)
Frekuensi Harian,
dan Bulanan per
sirkuit komunikasi
SELESAI
Data ALE
per Stasiun
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:1-8
4
(a)
(b)
Gambar 3-2: Data hasil pengolahan dalam bentuk (a) teks, dan (b) dalam bentuk grafik
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada Gambar 4-1 disajikan contoh
hasil pegolahan data ALE selama 3 hari
untuk sirkuit komunikasi Bandung-
Watukosek, dan Pontianak-Watukosek
yang menunjukkan data dalam periode
harian. Berdasarkan data tersebut,
terlihat bahwa perbedaan frekuensi
kerja yang dapat digunakan setiap
harinya tidak terlalu jauh berbeda.
Terlihat kemiripan pola keberhasilan
penggunaan frekuensi antara hari yang
satu dengan hari lainnya dengan batas
nilai frekuensi tertinggi dan terendah
yang tidak jauh berbeda.
Pada Gambar 4-1(a) terlihat bahwa
rentang frekuensi yang dapat digunakan
antara pukul 13 hingga 23 WIB untuk
sirkuit komunikasi Bandung-Watukosek
adalah antara 7 hingga 18 MHz. Data
tersebut terlihat pada tanggal 22, 23,
dan 24 Oktober 2012. Dari hasil yang
disajikan, terdapat beberapa plot data
disekitar frekuensi 18 MHz. Kendatipun
demikian dalam rentang waktu tersebut
frekuensi yang dominan dapat digunakan
adalah frekuensi 18 MHz.
Dari Gambar 4-1(a) terlihat
bahwa antara pukul 00 hingga 06 WIB
pada tanggal 22 dan 24 Oktober 2012,
frekuensi yang dominan tercatat berada
pada rentang frekuensi 7 hingga 10 MHz.
Namun, pada tanggal 23 Oktober 2012
diperoleh hasil yang berbeda, dimana
frekuensi yang dominan tercatat adalah
pada rentang 7 MHz. Hal ini menunjukkan
bahwa data harian dapat digunakan,
akan tetapi cukup signifikan untuk
mengalami fluktuasi perubahan yang
terjadi secara seketika. Perubahan
tersebut dapat disebabkan oleh adanya
fenomena kondisi cuaca antariksa yang
mempengaruhi ionosfer (McNamara,1991).
Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit..…….(Varuliantor Dear)
5
(a)
(b)
Gambar 4-1: Hasil pengolahan data ALE selama 3 hari dari sirkuit (a) Bandung-Watukosek, dan (b)
Pontianak-Watukosek
Hal yang serupa juga ditunjukkan
pada data dari sirkuit Pontianak-
Watukosek seperti yang disajikan pada
Gambar 4-1(b). Pada rentang waktu
antara pukul 00 hingga 07 WIB,
frekuensi kerja yang berhasil digunakan
dominan berada pada rentang 7-10 MHz
baik pada tanggal 22, 23, maupun 24
Oktober 2012. Sedangkan pada pukul
14 sampai 23 WIB, rentang frekuensi
yang dominan tercatat berada pada
frekuensi 7 – 21 MHz hanya terjadi
pada tanggal 23 dan 24 Oktober 2012
saja. Pada tanggal 22 Oktober 2012
terlihat bahwa rentang frekuensi yang
dominan tercatat hanya berada pada
kisaran yang lebih rendah, yakni 7-15
MHz . Hal ini menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang signifikan antara
tanggal 22 apabila digunakan sebagai
rujukan untuk tanggal 23. Frekuensi
yang dapat digunakan pada hari
berikutnya ternyata memiliki rentang
frekuensi kerja yang lebih luas untuk
dapat digunakan. Hal ini menunjukkan
bahwa peluang penggunaan frekuensi
kerja yang dirujuk pada tanggal 22 tidak
100% sesuai untuk digunakan pada
tanggal 23 Oktober 2012 namun masih
bisa untuk digunakan.
Penggunaan hasil pengamatan
frekuensi kerja dalam periode harian
untuk digunakan pada hari berikutnya
perlu untuk selalu mempertimbangkan
kondisi cuaca antariksa seperti
fenomena tertentu pada matahari atau
fenomena cuaca antariksa lainnya.
Salah satu contoh yang terjadi adalah
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:1-8
6
pada rentang waktu antara pukul 09-12
WIB untuk tanggal 22 hingga 24 Oktober
2012. Terlihat tidak diperolehnya suatu
nilai frekuensi kerja yang dapat digunakan
pada rentang waktu tersebut yang
kemungkinan disebabkan oleh adanya
kemunculan lapisan E Sporadis.
Lapisan E Sporadis dapat memiliki sifat
sebagai efek screening (penghalang) dari
propagasi yang terjadi (Suhartini, 2010).
Berdasarkan hasil tersebut,
rentang frekuensi kerja yang dapat
digunakan pada hari berikutnya tidak
akan jauh berbeda dengan kondisi pada
hari sebelumnya. Pola dan nilai dari
rentang frekuensi kerja yang dapat
digunakan untuk sirkuit komunikasi
Bandung-Watukosek maupun Watukosek-
Pontianak pada hari berikutnya memiliki
pola dan nilai yang hampir sama dengan
hari sebelumnya. Namun untuk
penggunaan informasi frekuensi kerja
tersebut perlu memperhatikan kondisi
cuaca antariksa yang mempengaruhi
ionosfer di hari berikutnya. Salah satu
informasi cuaca antariksa yang paling
dominan adalah kondisi aktifitas Matahari.
Untuk antisipasi serta berdasarkan
pertimbangan teknis perencanaan
komunikasi yang umum digunakan
dalam komunikasi radio HF, penentuan
suatu frekuensi kerja umumnya dapat
dilakukan untuk skala periode bulanan.
Hal ini ditunjukkan seperti hasil yang
disajikan dari keluaran prediksi frekuensi
yang menyatakan bahwa nilai-nilai
frekuensi tersebut merupakan nilai
median bulanan dengan tingkat
keberhasilan mencapai 90% dalam satu
bulan (Lianne, 2010). Oleh karena itu,
dalam pemanfaatan data jaringan ALE
yang digunakan, nilai rentang frekuensi
kerja rujukan suatu sirkuit komunikasi
juga dapat dibuat dalam skala bulanan.
Data frekuensi harian dapat dikompilasi
ke dalam data frekuensi bulanan yang
akan menunjukkan frekuensi kerja yang
dapat digunakan setiap jamnya dalam
periode bulanan.
Pada Gambar 4-2 disajikan hasil
pengolahan data ALE untuk sirkuit
komunikasi Bandung-Watukosek pada
bulan Agustus, September, dan Oktober
2012. Data yang dipilih untuk disajikan
merupakan data modus setiap
waktunya dalam satu bulan. Hal ini
dilakukan agar data yang mewakili data
bulanan merupakan data yang sering
muncul sesuai dengan intepretasi dari
modus suatu data statistik.
Berdasarkan Gambar 4-2 terlihat
bahwa pola yang serupa dominan terjadi
setiap jamnya dalam ketiga bulan data
yang diperoleh. Batas frekuensi tertinggi
tercatat dominan berada pada rentang
15 MHz. Sedangkan batas frekuensi
terendah yang dominan tercatat berada
pada nilai 7 MHz. Dari data yang
diperoleh tersebut, hanya terdapat
beberapa waktu dengan nilai frekuensi
yang lebih tinggi (18-28 MHz) dan
rendah (3 MHz) dalam setiap bulannya.
Fenomena ini dapat terjadi dikarenakan
pada beberapa hari dalam satu bulan,
tercatat keberhasilan menggunakan
frekuensi–frekuensi tersebut dan
dikategorikan sebagai suatu hal yang
wajar. Keberhasilan tersebut dapat terjadi
karena adanya faktor kemunculan
lapisan E sporadis ionosfer dan juga
meningkatnya nilai foF2 pada beberapa
waktu maupun adanya fluktuasi
ketinggian lapisan ionosfer. Dengan
kondisi tersebut, dari ketiga bulan data
yang diperoleh, data yang diperoleh
menunjukkan bahwa rentang frekuensi
kerja yang dapat digunakan selama tiga
bulan tersebut adalah sama, yakni
berada pada rentang 7 hingga 15 MHz.
Informasi ini memiliki makna bahwa
rujukan rentang frekuensi kerja dari
data satu bulan sebelumnya juga dapat
digunakan untuk penentuan frekuensi
kerja di bulan berikutnya. Kendatipun
demikian, apabila periode bulanan
digunakan untuk periode lebih dari 3
bulan ke depan, maka informasi aktifitas
matahari khususnya tren dari siklus
matahari perlu diperhatikan sebagai
informasi tambahan. Hal ini terkait
dengan proses ionisasi yang memiliki
kesesuaian dengan pola bilangan bintik
hitam matahari sebagai indikasi dari
siklus aktifitas matahari (McNamara,1991).
Penentuan Rentang Frekuensi Kerja Sirkuit..…….(Varuliantor Dear)
7
Gambar 4-2: Hasil pengolahan data ALE untuk sirkuit komunikasi Bandung-Watukosek pada bulan Agustus, September, dan Oktober 2012
5 PENUTUP
Penentuan rentang frekuensi
kerja komunikasi radio HF dapat
dilakukan dengan memanfaatkan data
dari jaringan ALE nasional. Penentuan
dilakukan dengan merujuk pada data
pencatatan frekuensi kerja sistem ALE
dalam periode harian maupun bulanan.
Berdasarkan analisa dari contoh data
yang diperoleh, penggunaan data pada
skala periode harian memungkinkan
untuk digunakan sebagai rujukan
penentuan rentang frekuensi kerja pada
hari berikutnya. Sedangkan data periode
bulanan memungkinkan untuk
dimanfaatkan dalam perencanaan
penggunaan rentang frekuensi kerja
pada satu bulan berikutnya. Namun,
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:1-8
8
berdasarkan hasil yang diperoleh,
penentuan dengan menggunakan data
harian masih harus disertai dengan
catatan bahwa nilai tersebut dapat
digunakan pada saat kondisi cuaca
antariksa berada pada kondisi normal.
Hal ini dikarenakan kondisi cuaca
antariksa dapat mempengaruhi respon
ionosfer secara seketika yang juga
mempengaruhi propagasi komunikasi
radio HF. Dengan kondisi tersebut,
solusi penggunaan data periode bulanan
untuk merujuk perencanaan rentang
frekuensi kerja dalam satu bulan ke
depan merupakan pilihan yang dapat
dilakukan. Data periode bulanan yang
digunakan juga perlu memperhatikan
kondisi aktifitas matahari terutama dari
aspek tren siklus aktifitas matahari. Hal
ini juga sesuai dengan aplikasi secara
nyata dalam suatu perencanaan
komunikasi radio HF yang juga
dilakukan pada layanan prediksi
frekuensi komunikasi radio HF secara
umum.
DAFTAR RUJUKAN
BASARNAS, 2011. Kunjungan dan
Diskusi dalam Rapat Kerja
BASARNAS April 2011, Ciloto,
Bogor, 2011).
Collin, R.E, 1995. Antennas & Radiowave
Propagation. Mc Graww Hill,
1985, ISBN 0-0711808-6.
Dear, V., Syamsudin, S., Syidik, I.,F.,
Nurmali, D., Siradj, A.,M., 2012a.
Laporan Triwulan 2 Kegiatan
Penelitian Tahun 2012 Bidang
Ionosfer dan Telekomunikasi
Pusat Sains Antariksa, LAPAN,
2012.
Dear, V., 2012b. Pengamatan Propagasi
Komunikasi Radio HF Mengguna-
kan jaringan Automatic Link
Establishment (ALE) Nasional dan
Pemanfaatannya. Workshop
Kerjasama LAPAN-UNSRAT,
Manado 22 November 2012.
Dear, V., 2012c. Hasil Awal Uji Indeks T
Ionosfer Regional Menggunakan
Jaringan Stasiun Automatic Link
Establishment (ALE), Berita
Dirgantara, Vol.13 No.3 halaman
102-111.
Hflink, 2010. ALE Handbook for
Government Chapter 3. http://
hflink.com/standards/ download
April 2011.
Jiyo, Yatini, C. 2005. Pengaruh Badai
Antariksa Oktober-November 2003
Terhadap Lapisan Ionosfer dan
Komunikasi Radio, Warta LAPAN
Vol 7 No.3.
Lianne, 2010. WASAPS Version 5.3
Tutorial, IPS Radio and Space
Services, 2010.
McNamara, L.F. 1991. The Ionosphere:
Communications, Surveillance,
and Direction Finding, Krieger
Publishing Company.
Suhartini S, 2007. Komunikasi Jarak
Jauh menggunakan 2 Meteran,
Berita Dirgantara, Vol. 8 No. 3,
halaman 68-71.
Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)
9
DAMPAK AEROSOL TERHADAP LINGKUNGAN ATMOSFER
Saipul Hamdi
Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, Lapan
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Aerosol yang dilepaskan ke atmosfer melalui proses letusan gunung berapi
dapat tersebar ke tempat yang jauh dan berpotensi memberikan dampak langsung dan
tak langsung terhadap iklim. Selain menyebabkan terjadinya pendinginan global,
aerosol juga mengubah sifat optis awan sehingga meningkatkan albedo awan dan
berpotensi mengurangi jumlah curah hujan. Di lapisan troposfer, aerosol khususnya
aerosol sulfat yang terdeposisi ke permukaan melalui proses deposisi basah berpotensi
menyebabkan terjadinya hujan asam yang dapat mengganggu keseimbangan zat gizi di
dalam tanah bahkan mengancam kehidupan tumbuh-tumbuhan. Dalam kaitannya
dengan penipisan lapisan ozon, khususnya di belahan bumi utara, aerosol
mengganggu lapisan ozon melalui reaksi denitrifikasi yang menguraikan molekul ozon
menjadi oksigen. Reaksi ini terjadi pada musim panas yang menyediakan banyak
energi matahari untuk memulai reaksi tersebut. 1 PENDAHULUAN
Aerosol memainkan peranan
penting dalam iklim global melalui dua
mekanisme, yaitu dampak langsung dan
dampak tak langsung. Dampak langsung
aerosol terhadap iklim adalah dengan
cara menyerap dan menghamburkan
radiasi matahari sehingga dapat
menyebabkan terjadinya pendinginan
global, dan juga meningkatkan albedo
awan. Dampak aerosol secara tidak
langsung adalah dengan cara memodifi-
kasi sifat optis awan. Keberadaan
aerosol di stratosfer banyak disebabkan
oleh letusan gunung berapi yang
dahsyat, misalnya Gunung Pinatubo
(1991) di Filipina, sedangkan sumber
aerosol di lapisan troposfer didominasi
oleh aktivitas manusia khususnya
dalam penggunaan bahan bakar fosil.
Indonesia yang memiliki 400
gunung berapi dan 130 di antaranya
merupakan gunung berapi aktif tentu
saja memiliki peluang menjadi
penyumbang aerosol yang potensial di
lapisan stratosfer. Dengan letak geografis
yang sangat representatif di khatulistiwa
menjadikan gunung api aktif tersebut
akan memainkan peranan penting
dalam iklim global jika terjadi letusan
yang dahsyat. Berton-ton aerosol sulfat
yang dilepaskan dalam letusan gunung
berapi masuk ke dalam lapisan
stratosfer dapat mencapai ribuan
kilometer jauhnya, serta memberikan
kontribusi yang nyata dalam perubahan
iklim global.
Dalam skala global, aerosol yang
dikeluarkan oleh letusan Gunung
Pinatubo telah menyebabkan pendinginan
global (global cooling) dengan penurunan
suhu sebesar 0,5-0,7 °C di troposfer
bawah dan belahan bumi utara pada
September 1992 (Dutton and Christy,
1992). Selain berdampak pada iklim
global, aerosol juga diyakini dapat
menyebabkan hujan asam, bahkan
penipisan lapisan ozon melalui proses
heterogeneous reaction, khususnya di
daerah kutub utara. Makalah ini
disusun untuk menguraikan sumber
aerosol di lapisan toposfer dan stratosfer,
dampak aerosol terhadap iklim global
baik langsung maupun tidak langsung,
maupun dampaknya terhadap ozon
stratosfer, serta kaitan aerosol dengan
proses terjadinya hujan asam.
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16
10
2 AEROSOL DI LAPISAN TROPOSFER DAN STRATOSFER
2.1 Aerosol di Lapisan Troposfer
Aerosol adalah kumpulan dari
partikel-partikel padat yang tersuspensi
di dalam medium gas dalam waktu yang
cukup lama dan memungkinkan untuk
diamati dan diukur. Pada umumnya,
partikel aerosol berukuran 0,001-100 µm
sehingga kasat mata namun keberadaan-
nya tidak dapat dipungkiri. Aerosol
terdapat di atmosfer, dari permukaan
hingga ketinggian stratosfer. Bahkan
tanpa disadari, aerosol pun banyak
terdapat di dalam ruangan, terutama
ruangan tertutup dengan ukuran yang
sangat halus (nano aerosol).
Aerosol dapat terbentuk melalui
dua cara, yaitu proses buatan dan
proses alami yang berasal dari aktivitas
makhluk hidup. Pembakaran bahan
bakar fosil, umpamanya untuk kegiatan
industri dan transportasi, dipercaya
memberikan sumbangan yang cukup
besar terhadap peningkatan jumlah
aerosol atmosfer, khususnya di lapisan
troposfer bawah. Kandungan sulfur pada
bahan bakar fosil akan menghasilkan
aerosol sulfat ke udara. Hampir sebagian
besar jumlah aerosol yang terdapat di
lapisan troposfer bawah merupakan
turunan dari sulfurdioksida yang
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar
fosil. Demikian juga dengan kebakaran
hutan yang sering terjadi di beberapa
negara, termasuk Indonesia, menghasilkan
aerosol dalam jumlah yang sangat
banyak dan terdistribusi hingga ke
tempat yang sangat jauh (remote area).
Aerosol yang dihasilkan dalam persitiwa
kebakaran hutan lebih dikenal dengan
istilah aerosol organis ataupun black
carbon.
Aerosol juga dihasilkan oleh
tumbuh-tumbuhan berupa senyawa
organis tidak stabil (VOC: volatile organics
compounds). Informasi mengenai
mekanisme pelepasan VOC ini masih
sangat sedikit yang diketahui mengingat
sangat beragamnya jenis vegetasi yang
dikenal. Salah satu jenis VOC yang
sangat dikenal adalah Dimethyl Sulfide
(DMS), yaitu jenis VOC utama yang
dilepaskan oleh phytoplankton di lautan
dan berperan penting dalam siklus
sulfur di atmosfer. Selain itu, laut juga
menghasilkan aerosol melalui mekanisme
bursting bubbles pada permukaan laut.
Dengan demikian maka lautan merupakan
sumber aerosol yang sangat luas bagi
atmosfer bumi (Warneck, 1988). Aerosol
yang berasal dari laut utamanya
merupakan aerosol garam laut misalnya
Cl, Na, dan Ca.
Ditinjau dari segi ukuran maka
aerosol dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
inti aitken, inti besar, dan inti raksasa.
Namun, klasifikasi terhadap ukuran ini
sangat bergantung pada tujuannya
(Kumar et al., 2010). Misalnya untuk
tujuan kedokteran (toksikologi), aerosol
diklasifikasikan menjadi ultrafine (< 100
nm), fine (< 1000 nm), dan coarse (> 1000
nm). Namun demikian, pembatasan
klasifikasi tersebut tidaklah disepakati
secara tegas, dan sangat bergantung
pada tujuan dan penggunaannya.
Tabel 2-1: KLASIFIKASI AEROSOL BERDASARKAN DIAMETERNYA, SERING DIGUNAKAN OLEH METEOROLOGIST
Ukuran (diameter) Sumber
Inti Aitken < 0,001-0.1 µ Dihasilkan dari pembakaran, dan
konversi gas-partikel
Inti besar 0,1 – 1,0 µ Garam, spora halus, hasil pembakaran,
penggumpalan inti Aitken
Inti raksasa > 1 µ Garam, spora kasar, hasil dari proses
industri
Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)
11
2.2 Aerosol di Lapisan Stratosfer
Munculnya aerosol di lapisan
stratosfer didominasi kuat oleh letusan
gunung berapi yang menyemburkan
ribuan ton sulfur dioksida (SO2) ke
atmosfer di samping material debu
lainnya, bahkan mencapai lapisan
stratosfer. Gas SO2 dapat berubah
menjadi H2SO4/H2O langsung melalui
konversi gas ini ke partikel serta reaksi
heterogen dengan uap air melalui bantuan
radiasi matahari pada ketinggian tertentu
(McCormick et al., 1995). Di lapisan
stratostefer, aerosol sulfat ini dapat
menyebar hingga ke daerah yang sangat
jauh, bergantung pada keadaan meteo
makro dan sirkulasi global atmosfer.
Letusan gunung berapi yang dahsyat
akan meningkatkan secara cepat jumlah
aerosol sulfat di lapisan stratosfer.
Aerosol sulfat di lapisan stratosfer ini
memiliki waktu hidup yang lebih lama
dibandingkan dengan waktu hidupnya
di lapisan troposfer, khususnya troposfer
bawah.
Salah satu letusan gunung berapi
yang cukup dahsyat dan tercatat dalam
sejarah adalah letusan Gunung Pinatubo
di Philipina pada tanggal 15 Juni 1991.
Dunia ilmu pengetahuan mencatat
bahwa letusan ini telah mengeluarkan
sulfurdioksida yang sangat banyak
jumlahnya, dari 500 ton (13 Mei) menjadi
5.000 ton (28 Mei) atau meningkat
sebanyak 10 kali lipat dalam 2 minggu
pertama setelah letusan (Wikipedia, 2013).
Jumlah sulfurdioksida yang dilepaskan
selama terjadinya letusan adalah
sebanyak 30 juta ton (McCormick et al.,
1995). Gas sulfurdioksida akan bercampur
dengan air dan oksigen di atmosfer dan
berubah menjadi asam sulfat yang akan
mempercepat proses penipisan lapisan
ozon. Letusan ini juga menjadi salah
satu letusan yang mendapatkan perhatian
penuh dari seluruh ilmuwan dunia.
Beberapa perkembangan ilmu
pengetahuan yang diperoleh dari letusan
Mt. Pinatubo antara lain berkaitan
dengan proses-proses dinamika awan
dan aerosol, proses-proses radiatif bumi,
dan proses-proses kimia yang terjadi di
atmosfer. Selain berasal dari letusan
gunung berapi yang dahsyat, aerosol di
lapisan stratosfer juga berasal dari
debu-debu meteorit di lapisan mesosfer,
dan masuk ke dalam lapisan stratosfer
melalui proses pengendapan.
Gambar 2-1: Sumber aerosol di stratosfer (http://noaanews.noaa.gov)
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16
12
3 DAMPAK AEROSOL TERHADAP IKLIM GLOBAL
3.1 Dampak Langsung
Dampak aerosol secara langsung
terhadap sistem iklim bumi dapat dibagi
menjadi dua yaitu (i) meningkatkan proses
absorpsi (penyerapan) dan scattering
(penghamburan) radiasi matahari, dan
(ii) menghamburkan, menyerap, dan
memancarkan radiasi panas (Lohmann,
U. and J. Feichter, 2005). Adanya
aerosol di dalam atmosfer bumi akan
meningkatkan Aerosol Optical Depth (AOD)
dan memperluas penutupan awan yang
berakibat pada menurunnya radiasi net
matahari pada puncak awan sehingga
terjadilah pendinginan (Lohmann U. and
J. Feichter, 2005). Selain itu, aerosol-
aerosol karbon dan debu akan menambah
positive forcing pada puncak atmosfer,
setidaknya di daerah dengan albedo
permukaan yang tinggi, dan juga secara
langsung menghangatkan atmosfer. Efek
ini dapat diperkuat jika penyerapan
radiasi matahari dari partikel-partikel
aerosol ini terjadi di dalam tetes awan
(Chÿlek, et al., 1996). Peningkatan
temperatur ini akan mengurangi
kelembapan relatif dan bisa juga
menurunkan evaporasi tetes awan.
Pengurangan penutupan awan dan AOD
awan selanjutnya akan memperkuat
pemanasan sistem atmosfer bumi.
Akibat penyerapan energi matahari
oleh aerosol yang ada di atmosfer bumi
maka sebagian energi sinar matahari
akan tersimpan di atmosfer dan
berpotensi untuk memanaskan atmosfer
bumi. Sementara itu, penghamburan
radiasi matahari yang disebabkan oleh
aerosol menyebabkan radiasi matahari
terpantulbalikkan ke luar atmosfer
bumi. Dampak aerosol secara langsung
ini sangat bergantung pada sifat fisis
aerosol tersebut dan disebut sebagai single
scattering albedo, yaitu perbandingan
antara radiasi yang dihamburkan dengan
yang diserap oleh aerosol. Dalam hal ini,
aerosol yang berukuran 0,1-1 µm (inti
Aitken) merupakan partikel yang paling
efektif dalam menghamburkan radiasi
matahari sehingga memegang peranan
penting dalam iklim global. Karena
ukurannya yang sangat kecil dan
memiliki bobot yang sangat ringan maka
inti aitken berpotensi untuk ditemukan
pada ketinggian yang sangat tinggi
(lapisan stratosfer).
Sebagai gambaran, aerosol yang
bersumber dari letusan Gunung
Pinatubo pada tahun 1991 berdampak
langsung pada menurunnya intensitas
radiasi matahari langsung (direct solar
radiation) sebesar 25-30 % pada lokasi
pengamatan yang disebar pada 4 lintang
yang berbeda. Jumlah rata-rata Aerosol
Optical Depth (AOD) total yang dihitung
pada 10 bulan pertama setelah letusan
adalah sebesar 1,7 kali lebih besar
daripada yang teramati mengikuti letusan
gunung El Chichon pada tahun 1982.
Sementara itu, pada bulan September
1992 temperatur troposfer bawah global
dan pada troposfer telah mengalami
penurunan (global cooling) masing-masing
sebesar 0,5 dan 0,7 °C dibandingkan
dengan sebelum terjadinya letusan.
Terjadinya global cooling ini dikaitkan
dengan berkurangnya jumlah konsentrasi
uap air di troposfer (Soden B.J. et al.,
2002).
3.2 Dampak Tidak Langsung
Selain berdampak langsung
terhadap iklim, aerosol juga
memberikan dampak tidak langsung.
Dampak tidak langsung aerosol dapat
didefinisikan sebagai proses-proses yang
disebabkan oleh aerosol dan berdampak
pada gangguan keseimbangan radiasi
atmosfer bumi dengan cara memodulasi
albedo awan ataupun jumlah awan,
yaitu bertindak sebagai inti kondensasi
awan (CCN: cloud condensation nuclei)
dan inti es (IN: ice nuclei). Adanya
aerosol yang tersuspensi ke dalam awan
akan menyebabkan semakin banyaknya
inti awan (CN: cloud nuclei) sehingga
albedo awan menjadi meningkat dan
waktu hidup awan juga menjadi lebih
lama. Hal ini dapat menyebabkan
berkurangnya jumlah curah hujan.
Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)
13
Gambar 3-1: Dampak tidak langsung aerosol terhadap iklim global adalah dengan cara memodifikasi
sifat-sifat fisis awan
Dampak tidak langsung aerosol
terhadap iklim lainnya adalah
berkurangnya ukuran butiran awan
(cloud droplet). Butiran awan yang
terdapat di atas samudera atlantik
memiliki ukuran yang lebih kecil untuk
awan yang terpolusi dibandingkan dengan
awan yang bersih (Breguier et al, 2000;
Schwartz et al., 2002). Pengamatan
jangka panjang menggunakan satelit
untuk daerah China dan Eropa
menujukkan dampak tidak langsung
aerosol yaitu menurunkan planetary
albedo yang dapat dihubungkan dengan
penyerapan aerosol pada musim dingin
(Krüger and Graßl, 2002, 2004; Krüger
et al., 2004). Dengan demikian maka
butiran awan yang lebih kecil akan
mengurangi efisiensi presipitasi dan
sekaligus menambah waktu hidup awan
dan reflektivitasnya.
4 DAMPAK AEROSOL TERHADAP HUJAN ASAM
Aerosol yang berada di lapisan
troposfer, akan terdeposisi ke permukaan
bumi melalui proses deposisi basah dan
kering. Deposisi basah terjadi jika
aerosol terlarut ke dalam air hujan dan
turun bersama-sama dengan hujan.
Sebaliknya, deposisi kering terjadi
melalui proses pengendapan yang tidak
melibatkan kejadian hujan. Jika aerosol
yang terlarut ke dalam air hujan
merupakan senyawa yang bersifat asam
(misalnya turunan dari SO2 dan NOx)
maka pH air hujan akan mengarah
kepada pH yang bersifat asam. Dalam
hal ini, kemampuan tanah dalam
menetralisir senyawa yang bersifat asam
akan sangat menentukan kelestarian
lingkungan hidup. Tanah yang bersifat
asam cenderung akan kehilangan zat
gizi yang dibutuhkan oleh tetumbuhan
yang akhirnya akan menurunkan jumlah
tetumbuhan yang dapat tumbuh. Tentu
saja ini akan mengganggu keseimbangan
alam.
Efek hujan asam berbeda-beda
terhadap lokasi. Rusaknya permukaan
dedaunan ataupun batang pohon akan
menurunkan kemampuannya dalam
beradaptasi dengan iklim yang ekstrim
(panas atau hujan) dan juga mem-
pengaruhi kesuburannya. Hutan-hutan
dataran tinggi sangat mudah terkena
serangan penyakit karena mereka
dikelilingi oleh awan ataupun kabut
yang bersifat lebih asam. Tetumbuhan
juga menderita karena pengaruh hujan
asam terhadap tanah. Kontaminasi
hujan asam yang berlebihan pada tanah
akan cenderung menghilangkan zat gizi
yang penting, dan ini akan menurunkan
kandungan aluminium di dalam tanah.
Kekurangan senyawa alumunium
menyebabkan pertumbuhan tumbuhan
menjadi lebih lambat atau bahkan mati
sama sekali.
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16
14
Gambar 4-1: Proses deposisi basah dan kering yang mencuci atmosfer dari senyawa-senyawa aerosol
yang bersifat asam
5 DAMPAK AEROSOL TERHADAP
PENIPISAN LAPISAN OZON
Pemantauan aerosol stratosfer
secara rutin dilakukan sejak Oktober
1978 menggunakan sensor Stratospheric
Aerosol Measurement II (SAM II) yang
ditumpangkan pada Satelit NIMBUS 7.
Proyek penelitian ini mengarahkan
kepada penemuan PSCs dan diketahui
bahwa PSCs ini memiliki siklus musiman
di kedua belahan kutub dunia. Sifat-
sifat PSCs ini diketahui dari pengamatan
menggunakan sensor tersebut. Diketahui
bahwa koefisien peluruhan (extinction)
PSCs berkisar antara 10-3/km hingga
10-2/km. meskipun tidak ditemukan
awan dengan koefisien ekstingsi yang
lebih besar daripada 10-2/km namun
ada indikasi bahwa hampir sebagian
besar awan memiliki indikasi optical
depth. Ini penting karena meskipun
suhu di stratosfer mencapai -80°C
hingga -85°C, namun air murni akan
terkondensasi (dengan asumsi bahwa
kandungan air 5 ppmv). Jika setiap
partikel aerosol stratosfer ambient
menjadi tetes awan (water cloud droplet)
maka awan akan terkomposisikan dari
tetes dengan jejari 2-3 mikron dan awan
akan memiliki ekstingsi yang lebih besar
daripada 10-1/km.
Gambar 5-1: NIMBUS 7 dan SAM II yang
menempel (http://sage.nasa.Gov SAM/
Polar Stratospheric Clouds (PSCs)
merupakan awan stratosfer yang tersusun
atas larutan asam nitrit dengan
sejumlah kecil HCl dan H2SO4. PSCs
dapat juga terkomposisi dari campuran
bahan-bahan kimia yang lainnya,
terutama N2O5, ClO, dan ClNO3, dan
merupakan unsur penting dalam
peristiwa terjadinya lubang ozon. PSCs
memiliki efek yang tidak baik terhadap
Dampak Aerosol Terhadap Lingkungan Atmosfer (Saipul Hamdi)
15
ozon, yaitu (i) memisahkan oksida nitrat
(misalnya asam nitrit, NO2) yang dapat
bereaksi dengan klorin monoksida (ClO)
untuk membentuk klorin nitrat
(ClONO2), dan (ii) bertindak sebagai
tempat terjadinya reaksi fase gas yang
lambat menjadi sangat cepat secara
heterogen (gas yang bereaksi pada
permukaan benda padat). Efek yang
kedua ini dapat digambarkan sebagai
berikut,
HCl + ClONO2 --- pada permukaan es -- Cl2 (gas) dan HNO3
Reaksi tersebut dapat berlangsung
secara cepat pada permukaan butiran
awan cirrus stratosfer yang berwujud
kristal. Adanya SO2 di dalam butiran
awan akan mengubah sifat optis awan
sehingga berwujud sebagai kristal es
pada lapisan stratosfer. Selanjutnya,
klorin akan mempercepat proses
perusakan ozon melalui reaksi sebagai
berikut.
(1) Cl + O3 ClO + O2
(2) ClO + O Cl + O2
Hasil dari rangkaian reaksi tersebut
adalah O3 + O 2O2, yaitu berubahnya
satu molekul ozon menjadi 2 molekul
oksigen akibat adanya senyawa klorin.
SO2 gunung berapi dapat
mengurangi lapisan ozon dengan cara
menyerap radiasi matahari pada panjang
gelombang 180 – 390 nm, yaitu panjang
gelombang yang bersesuaian dengan
proses fotolisis O2 (diperlukan saat
pembentukan molekul ozon). Karena
terjadi pengurangan proses fotolisis
maka berakibat juga pada berkurangnya
proses pembentukan ozon. Selain
mengurangi proses pembentukan molekul
ozon, SO2 juga dapat menambah
konsentrasi ozon stratosfer, yaitu
dengan cara menyerap radiasi ultraviolet
matahari untuk menghasilkan precursor
ozon (atom O). Dengan kata lain, SO2
mengkatalisis proses pembentukan
ozon, seperti ditunjukkan pada persamaan
reaksi berikut ini:
SO2 + hν SO + O (λ < 220nm) (5-1)
SO + O2 SO2 + O (5-2)
2(O + O2 + M O3 + M) (5-3)
3O2 2O3 (5-4)
Pada panjang gelombang kurang
dari 220 nm, SO2 akan terurai menjadi
satu molekul SO dan satu atom O yang
bersifat tidak stabil. Molekul SO kemudian
akan bereaksi dengan molekul oksigen
lainnya untuk menghasilkan molekul
SO2 kembali dan satu atom O.
Selanjutnya atom oksigen dan molekul
oksigen akan bergabung kembali menjadi
molekul O3 . Akhirnya, dengan bantuan
molekul SO2 dan radiasi matahari (λ <
220nm) maka 3 molekul oksigen akan
diubah menjadi 2 molekul ozon pada
lapisan stratosfer.
6 PENUTUP
Aerosol stratosfer memiliki peran
yang sangat kuat dalam proses terjadinya
perubahan iklim. Dampak langsung
yang berkaitan dengan radiasi matahari
adalah terjadinya pendinginan global
atau global cooling, dan dampak tak
langsungnya adalah berkurangnya
intensitas hujan (curah hujan) karena
berubahnya sifat-sifat fisika awan.
Berubahnya sifat fisika awan bisa
terjadi dengan semakin mengecilnya
diameter butiran awan, ataupun
berubahnya titik leleh dan titik beku
awan.
Di lapisan troposfer dan per-
mukaan, aerosol sulfat banyak dihasilkan
dari aktivitas manusia khususnya
dalam pemakaian bahan bakar fosil.
Melalui deposisi basah maka aerosol
sulfat akan terlarut ke dalam air hujan
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:9-16
16
dan jatuh ke permukaan bumi dalam
bentuk hujan asam. Hujan yang bersifat
asam tentu saja akan mengganggu
keseimbangan lingkungan. Dampak
langsung hujan asam terhadap
tumbuhan adalah menyebabkan
tumbuhan menjadi kering dan
selanjutnya mati, sedangkan dampak
jangka panjangnya adalah mengurangi
tingkat kesuburan tanah sehingga
mengganggu pertumbuhan tanaman.
SO2 yang dihasilkan dari letusan
gunung berapi dapat berperan sebagai
penghambat proses pembentukan ozon
di stratosfer dengan cara menyerap radiasi
matahari (λ 180-390 nm) sehingga
mengurangi proses fotolisis yang
diperlukan dalam pembentukan ozon,
dan secara bersamaan dapat pula
mengkatalisis proses pembentukan ozon
dengan cara menyerap radiasi matahari
lainnya (λ < 220 nm).
DAFTAR RUJUKAN
Breguier, J.L.; Pawlowska, H.; Schuller,
L.; Preusker, R.; Fischer, J.; and
Fouquart, Y., 2000. Radiative
Properties of Boundary Layerclouds:
Droplet Effective Radius Versus
Number Concentration, J. Atmos.
Sci., 57, 803-821.
Chÿlek, P.; G.B. Lesins; G. Videen;
J.G.D. Wong; R.G. Pinnick; D.
Ngo; J.D. Klett, 1996. Black
Carbon and Absorption of Solar
Radiation By Clouds. J. Geophys.
Res., 101, 23 365–23 371.
Dutton, E.G.; J.R. Christy, 1992. Solar
Radiative Forcing at Selected
Locations and Evidence for Global
Lower Tropospheric Cooling
Following the Eruptions of El
Chichón and Pinatubo.
Geophysical Research Letters,
Volume 19, p. 2313-2316.
Kumar, P; A. Robins; S. Vardoulakis; R.
Britter, 2010. A Review of the
Characteristics of Nanoparticles in
the Urban Atmosphere and the
Prospects for Developing Regulatory
Controls. Atmospheric Environment,
44.
Krüger, O.; Graßl, H., 2002. The Indirect
Aerosol Effect Over Europe.
Geophys. Res. Lett., 29.
Krüger, O.; Graßl, H., 2004. Albedo
Reduction by Absorbing Aerosols
Over China”. Geophys. Res. Lett.
Krüger, O.; R. Marks; H. Graßl, 2004.
Influence of Pollution on Cloud
Reflectance. J. Geophys. Res., 109.
Lohmann, U.; J. Feichter, 2005. Global
Indirect Aerosol Effets: a Review.
Atmospheric Chemistry and
Physics, 5, 715-737.
McCormick, M.P.; L.W. Thomason; C.R.
Trepte, 1995. Atmospheric Effects
of the Mt Pinatubo Eruption.
Nature, 373, 399-404.
McElroy, M.B.; R.J. Salawitch; S.C.
Wofsy; J.A. Logan, 1986. Reduction
of Antarctic Ozone Due to Synergistic
Interactions of Chloride And
Bromine. Nature, 321, 759-762.
Schwartz, S. E.; Harshvardhan;
Benkovitz, C., 2002. Influence of
Anthropogenic Aerosol on Cloud
Optical Depth and Albedo Shown
by Satellite Measurements and
Chemical Transport Modeling. Proc.
Nat. Acad. Sciences, 99, 1784–
1789.
Soden, B.J.; R. T. Wetherald; G. L.
Stenchikov; A. Robock, 2002.
Global Cooling After Eruption of
Mount Pinatubo: a Test of Climate
Feedback by Water Vapor.
Science, 297, 727-730.
Solomon, S.; R. R. Garcia; F. S. Rowland;
D. J. Wuebbles, 1986. On The
Depletion of Antarctic Ozone.
Nature, 321, 755–758.
Warneck, P., 1988. Chemistry of the
Natural Atmosphere. San Diego
Academic Press.
Wikipedia, 2013. http://en.wikipedia. org/
wiki/Mount_Pinatubo, diunduh
pada tanggal 21 Juni 2013 pukul
10:10 WIB.
Kajian Pengembangan Knowledge Management...... (Fahmi Alusi)
17
KAJIAN PENGEMBANGAN KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM
(KMS) UNTUK LITBANG KEDIRGANTARAAN PADA LEMBAGA
PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL (LAPAN)
Fahmi Alusi
Pranata Komputer Pertama, Biro Kerjasama dan Humas, Lapan
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Lapan adalah lembaga pemerintah yang bertugas melakukan penelitian dan
pengembangan kedirgantaraan dan pemanfaatannya. Sejak didirikan pada tahun 1963
hingga saat ini sudah banyak karya penelitian dan pengembangan yang dihasilkan.
Pengetahuan yang tercipta selama proses penelitian hendaknya dapat disimpan dan
dikelola dengan baik untuk dapat dijadikan best practice dikemudian hari. Seringkali
pengetahuan tidak terdokumentasi sehingga ketergantungan pada satu orang yang
menguasai bidang pekerjaan spesifik sangat tinggi. Supaya penyebaran pengetahuan
dapat merata dan kinerja dapat ditingkatkan perlu adanya peran aktif pegawai dalam
berbagi pengetahuan. Tulisan ini menjelaskan gagasan mengenai pengembangan
Knowledge Management System di Lapan agar knowledge yang tercipta dalam kegiatan
penelitian dapat terpelihara serta dapat mendukung terbentuknya budaya knowledge
sharing guna meningkatkan kinerja Lembaga. Metode penelitian yang digunakan
bersifat kualitatif deskriptif dengan melakukan kajian terhadap dokumen renstra,
analisis strategi sistem informasi dan pengembangan konsep KMS. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa kebutuhan pengembangan KMS berada pada kuadran high
potential. Adapun fitur KMS yang diusulkan terdiri dari taxonomy, search, publishing,
personalization, integration, collaboration, web service, security, scalability dan
extendibility. Diharapkan dengan menerapkan fitur dan elemen KMS ini dapat
menumbuhkan budaya knowledge sharing guna mendukung peningkatan kinerja
lembaga.
1 PENDAHULUAN
Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional adalah lembaga
pemerintah non kementerian yang
bertugas melaksanakan penelitian dan
pengembangan (litbang) kedirgantaraan
beserta pemanfaatannya. Sebagai
lembaga penelitian pastilah sangat
banyak pengetahuan yang sudah
tercipta dalam kegiatan penelitian.
Namun seringkali pengetahuan tersebut
tidak terdokumentasi sehingga keter-
gantungan pada satu orang yang
menguasai bidang pekerjaan spesifik
sangat tinggi. Supaya penyebaran
pengetahuan dapat merata dan kinerja
dapat ditingkatkan perlu adanya peran
aktif pegawai dalam berbagi pengetahuan.
Saat ini Lapan telah memiliki sistem
perpustakaan online (perpustakaan.lapan.
go.id) yang berfungsi sebagai sistem
informasi transaksi perpustakaan serta
sarana dokumentasi koleksi perpusta-
kaan. Koleksi ini berupa buku dan
publikasi ilmiah baik terbitan Lapan
maupun luar. Selain itu Lapan juga
telah memiliki sistem jurnal online
(jurnal.lapan.go.id) yang berfungsi sebagai
sarana dokumentasi khusus publikasi
ilmiah terbitan Lapan. Kedua sistem
informasi tersebut hanya mendokumen-
tasikan pengetahuan berupa hasil
litbang yang sudah terpublikasi secara
resmi dalam bentuk terbitan, sedangkan
pengetahuan yang tercipta dari proses
pelaksanaan kegiatan belum terdokumen-
tasi. Pengetahuan yang dimaksud
contohnya adalah best practice suatu
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:17-24
18
pelaksanaan kegiatan, panduan
penggunaan alat yang spesifik, tahapan
instalasi sistem, dan pengetahuan
lainnya yang biasanya tersimpan pada
seseorang yang menguasai pekerjaan
spesifik namun pengetahuan tersebut
sangat diperlukan untuk diketahui orang
lain demi menjaga kesinambungan
jalannya sistem.
Untuk mengatasi permasalahan
tersebut diperlukan adanya suatu sistem
yang dapat mendukung dalam proses
penciptaan knowledge, penangkapan
knowledge, penyimpanan knowledge,
penyebaran knowledge, dan pemanfaatan
knowledge. Sistem tersebut dinamakan
Knowledge Management System (KMS).
Tulisan ini bertujuan mengkaji mengenai
pengembangan KMS untuk litbang
kedirgantaraaan di Lapan agar
knowledge yang tercipta pada kegiatan
penelitian dapat terpelihara serta dapat
membentuk budaya knowledge sharing
guna mendukung peningkatan kinerja
Lapan. Metode yang digunakan bersifat
kualitatif deskriftif dengan teknik
pengambilan data melalui studi dokumen.
2 KNOWLEDGE MANAGEMENT SYSTEM
Knowledge adalah informasi yang
memiliki nilai dan dapat digunakan
untuk pengambilan keputusan dengan
tujuan tertentu (Becerra et al, 2004).
Kebanyakan organisasi belum
atau tidak mengetahui potensi knowledge
tersembunyi yang dimiliki oleh
anggotanya. Hal ini juga dapat terjadi di
Lapan. Riset Delphi Group menunjukkan
bahwa knowledge dalam organisasi
tersimpan dalam struktur berikut
(Setiarso, 2007):
- 42% dipikiran (otak) pegawai
- 26% dokumen kertas
- 20% dokumen elektronik
- 12% knowledge base elektronik.
Data ini menunjukan bahwa porsi
knowledge terbesar (42%) tersimpan
dalam pikiran/otak manusia saja.
Knowledge yang semacam ini disebut
tacit knowledge, yaitu pengetahuan yang
tersembunyi. Sedangkan explicit
knowledge berbentuk dokumen kertas
(26%), dokumen elektronik (20%) dan
benda elektronik berbasis knowledge
(12%). Potensi tacit knowledge harus
digali lalu dieksplisitkan, disimpan,
diorganisir bersama komponen knowledge
lainnya untuk kemudian di sharing
sehingga dapat dimanfaatkan oleh orang
lain. Proses tersebut dapat dilakukan
melalui knowledge management.
Knowledge Management adalah
sebuah teori manajemen yang diperkenal-
kan pada tahun 1990-an dan definisi
yang diberikan oleh beberapa ahli
memiliki makna yang berbeda bergantung
pada sudut pandang masing-masing ahli
tersebut. Gottschalk (2005) mendefinisi-
kan knowledge management sebagai
metode untuk mensimplifikasi dan
meningkatkan, menciptakan, menangkap,
proses membagi, mendistribusi, dan
memahami knowledge organisasi.
Sedangkan sistem yang mendukung dalam
proses siklus pengetahuan tersebut
dinamakan Knowledge Management
System (KMS).
KMS yang akan dibangun
hendaklah memenuhi kebutuhan
Knowledge Management proses yang
akan berjalan. Menurut Davenport et.al
(1988) sasaran umum dari KMS adalah:
a. menciptakan knowledge: knowledge
diciptakan begitu manusia
menentukan cara baru untuk
melakukan sesuatu atau menciptakan
know-how. Kadang-kadang knowledge
eksternal dibawa ke dalam
organisasi/institusi;
b. menangkap knowledge : knowledge
baru diidentifikasi sebagai nilai dan
direpresentasikan dalam suatu cara
yang masuk akal;
c. menjaring knowledge : knowledge
baru harus ditempatkan dalam
konteks agar dapat ditindaklanjuti.
Hal ini menunjukkan kedalaman
manusia (kualitas tacit) yang harus
ditangkap bersamaan dengan fakta
explicit;
Kajian Pengembangan Knowledge Management...... (Fahmi Alusi)
19
d. menyimpan knowledge: knowledge
yang bermanfaat harus disimpan
dalam format yang baik dalam
penyimpanan knowledge, sehingga
orang lain dalam organisasi dapat
mengaksesnya;
e. mengolah knowledge: seperti perpus-
takaan, knowledge harus dibuat up-
to-date. Hal tersebut harus di review
untuk menjelaskan apakah relevan
atau akurat.
f. menyebarluaskan knowledge:
knowledge harus tersedia dalam
format yang bermanfaat untuk semua
orang dalam organisasi yang
memerlukan, dimanapun dan tersedia
setiap saat.
Analisa Critical Succes Factor (CSF)
adalah sebuah teknik yang tidak hanya
digunakan untuk mengembangkan
strategi sistem informasi tetapi juga
untuk pengembangan strategi bisnis.
Hasil dari analisis CSF adalah berupa
kebutuhan informasi yang dibutuhkan
oleh organisasi untuk kemudian
direkomendasikan sistem informasi apa
yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan
informasi tersebut. (Bui Ho, 2008).
Gambar 2-1: Kerangka pikir kegiatan
3 ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisis Strategi Sistem Informasi
Analisis strategi sistem informasi
dilakukan dengan menggunakan teknik
Critical Success Factor dengan merujuk
pada tujuan organisasi dalam dokumen
Renstra Lapan, sebagaimana tertera
pada Tabel 3-1. Untuk mewujudkan
tujuan organisasi yang tertera pada
kolom tujuan dibutuhkan suatu kondisi
tertentu yang menjadi faktor pendukung
kesuksesan pencapaian tujuan (kolom
CSF). Untuk mewujudkan faktor kesuk-
sesan tersebut dibutuhkan adanya
strategi sistem informasi (kolom strategi
SI). Pelaksanaan strategi sistem informasi
direalisasikan dengan membangun
Sistem Informasi yang menjadi Solusi SI.
Tabel 3-1: ANALISIS CRITICAL SUCCESS
FACTOR
Tujuan CSF Strategi
SI Solusi
SI
Mening
katkan
Kapasi
tas
Penguasa
an
Teknologi
Roket,
Satelit
dan
Penerban
gan
Ada
nya
akses
infor
masi
dan
penge
tahu
an
bidang
tekno
logi
roket,
satelit
dan
pener
bang
an
Mengelola
dan
menyedia
kan
informasi
penelitian
bidang
Teknologi
Roket,
Satelit dan
Penerbang
an
SI
Peneliti
an
bidang
Tekno
logi
Dirgan
tara
KMS
BI
Mening
katnya
Kapasitas
Kemandiri
an dan
Produksi
dan
Layanan
Data/
Informasi
Penginde
raan
Ada
nya
akses
infor
masi
dan
penge
tahu
an
bidang
Tekno
logi
Mengelola
dan
Menyedia
kan
Informasi
mengenai
penelitian
di bidang
teknologi
dan Data
pengindera
an jauh
SI
Peneliti
an
bidang
teknolo
gi dan
Data
pengin
deraan
jauh
KMS
BI
CSF
Renstra
Port Folio
Aplikasi
User Requirement
and Behaviour Analysis
Fitur dan Elemen
KMS LAPAN
Improve Knowledge Sharing Culture
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:17-24
20
Jauh
Untuk
Pengguna
Berbagai
Sektor
dan
Data
pengin
deraan
jauh
Mening
katnya Kapasitas Produksi, Layanan dan Peman faatan Data/Info Sains
Atmosfer dan Antariksa Serta Bahan Kebijakan Nasional Kedirgan taraan
Ada
nya akses infor masi dan penge tahu an bidang
Sains Tekno logi Atmos fer dan Anta riksa
Mengelola
dan Menyedia kan Informasi mengenai penelitian di bidang Sains Teknologi
Atmosfer dan Antariksa
SI Peneliti
an bidang Sains Tekno logi Atmos fer dan Antarik sa KMS BI
Mening katnya Kualitas Dukung
an Manaje men bagi Koordi nasi dan Pelayanan Perenca naan, Kepega waian, Aset, Keuangan, Pengawa san dan Komuni kasi/ Pelayanan
Masyara kat Untuk Mendu kung Kinerja LAPAN
Ada nya proses penge
lolaan infor masi dan penge tahu an mengenai Mana jemen bagi Koordinasi dan Pela yanan,
Peren cana an, Kepe gawai an, Aset, Ke uang an,
Pengawasan dan Komunikasi/ Pela yanan Masyarakat
Mengelola dan Menyedia kan
Informasi mengenai Manaje men bagi Koordinasi dan Pelayanan, Perenca naan, Kepegawaian, Aset, Keuangan, Pengawasan dan Komunikasi/ Pelayanan
Masya rakat
SI Forenmonev SI
Kepega waian SI Aset SI Audit Portal Web SI Keuang an SI e-arsip SJDIH Online Library KMS BI
Keterangan:
SI = Sistem Informasi KMS = Knowledge Management Sistem BI = Business Inteligent
Analisis CSF menghasilkan
beberapa Solusi SI. Solusi SI ini
kemudian dikelompokkan dalam suatu
tabel yang disebut portfolio aplikasi
dimana dalam tabel ini Solusi SI yang
dihasilkan dikelompokkan menjadi 4
kategori, yaitu High Potensial (aplikasi
yang kemungkinan penting dikemudian
hari), Strategic (aplikasi yang kritis
terhadap strategi bisnis di masa datang),
Key Operational (aplikasi yang digunakan
saat ini oleh organisasi dan menentukan
keberhasilan bisnisnya), Support (aplikasi
yang bermanfaat tetapi tidak kritis
terhadap keberhasilan bisnis).
Tabel 3-2: PORTFOLIO APLIKASI LAPAN
Strategic High Potential
1. Portal Web
1. Business
Inteligence 2. Knowledge
Management System (KMS)
Key Operational Support
1. SI Lit Tekgan 2. SI Lit Inderaja 3. SI Lit Sains
Atmosfer dan Antariksa
4. SI Lit Kebijakan Kedirgantaraan
1. Siforenmonev 2. Online Library 3. JDIH 4. SI Keuangan 5. SI e-arsip 6. SI aset 7. SI Kepegawaian
Berdasarkan analisis CSF dan
portfolio aplikasi di atas dapat disimpulkan
bahwa LAPAN memerlukan adanya
Knowledge Management System, dan
posisinya berada pada kuadran high
potential hal ini karena implikasi yang
ditawarkan dari penerapan KMS cukup
tinggi terhadap peningkatan kinerja
organisasi. Contohnya, knowledge yang
sudah tercipta dapat terdokumentasi
dan disebarkan dengan baik untuk
kemudian dapat dimanfaatkan sebagai
referensi kegiatan penelitian selanjutnya
sehingga proses penelitian dapat
Kajian Pengembangan Knowledge Management...... (Fahmi Alusi)
21
berjalan berkesinambungan. Hal ini
dapat meningkatkan efektifitas dalam
kegiatan penelitian yang akan berujung
pada peningkatan kinerja lembaga.
3.2 Konsep Knowledge Management System
Berdasarkan analisis kebutuhan
pengguna, knowledge management
system LAPAN hendaknya memiliki 7
(tujuh) fitur dan 2 (dua) fitur penunjang.
Ketujuh fitur dimaksud adalah sebagai
berikut:
Taxonomy
Search
Publishing
Personalization
Integration
Collaboration
Web Service
Dan fitur penunjang:
Security
Scalability dan extensibility
Taxonomy: pengelompokkan,
klasifikasi dan kategorisasi dari isi KMS
dilakukan secara hirarkis, artinya item-
item yang sama dikelompokkan ke
dalam wadah dengan kategori tertentu,
kemudian kategori-kategori yang sama
dikelompokkan lagi ke dalam wadah yang
lebih besar. Dengan demikian akan
memudahkan dalam pengelompokan dan
penyampaian informasi, dan memudahkan
user dalam mencari dan menggali isi
sistem.
Searching: fitur ini memfasilitasi
pencarian informasi dan pengetahuan
yang diinginkan dalam KMS. Dengan
fitur ini user akan diantar dan
ditunjukkan dimana dan bagaimana
pengetahuan dapat diperoleh.
Publishing: fitur ini memfasilitasi
penyampaian informasi, pengetahuan
dan dokumen lain sebagai isi KMS
kepada seluruh pengguna dengan
menggunakan format seperti HTML,
PDF, XML dan lain-lain. Dengan fitur ini
dimungkinkan user menciptakan
pengetahuannya dan kemudian men-
distribusikan pengetahuannya tersebut
kepada seluruh user yang mengaksesnya.
Personalization: fitur ini berkaitan
dengan sistem identifikasi user dan
sistem update informasi user. Sistem
identifikasi user adalah sistem yang
memiliki kemampuan untuk menampilkan
informasi sesuai dengan status user.
Status user dibedakan berdasarkan
batasan/wewenang dari user, yaitu:
administrator, manajer dan user. Karena
perbedaan wewenang tersebut maka
digunakan sistem pembeda dalam
mengakses KMS. Sistem pembeda
menggunakan user identification (user ID)
dan password, yang akan selalu
ditanyakan di setiap awal penggunaan
KMS. Sistem update informasi user
adalah sistem yang memberikan fasilitas
kepada user untuk meng-update data
pribadi user, seperti perubahan alamat,
nomor telepon, jadwal, diklat atau seminar
yang telah diikuti, memilih menu yang
disajikan KMS sesuai kesukaan dan
sebagainya.
Integration, fitur ini merupakan
kemampuan sistem menggabungkan
data atau aplikasi-aplikasi yang berbeda
dalam KMS. Untuk melakukan hal ini
KMS dilengkapi dengan software yang
dapat mencari dan dapat menjadi
tempat penggabungan data/aplikasi
yang ada. Fitur ini berperan sebagai
combination pada proses pembentukan
pengetahuan (konsep SECI). Melalui
fitur ini, dimungkinkan penciptaan
pengetahuan baru, modifikasi atau
inovasi-inovasi baru sesuai dengan
pemahaman dan interpretasi user
terhadap pengetahuan.
Collaboration, fitur ini memfasilitasi
user untuk melakukan komunikasi,
koordinasi, diskusi dan bebagi
pengetahuan secara on-line. Untuk
memenuhi fungsi ini KMS dapat
digunakan software seperti Groupware.
Web Service, KMS juga dilengkapi
dengan fitur dimana user dapat menggali
pengetahuan di luar organisasi, dengan
menghubungkan/menghantarkan user
ke dalam dunia internet. World Wide Web
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:17-24
22
merupakan tempat penyimpanan dinamis
dengan jutaaan dokumen dan
pengarang/penulis dari seluruh dunia.
Security, sistem keamanan KMS,
selain dilakukan pembatasan akses
melalui sistem user ID dan password
untuk menghindari pengguna-pengguna
yang tidak berwenang (unauthorized user),
dapat dilakukan dengan mengaplikasikan
software pengamanan sistem seperti
firewall, untuk memblok baik informasi
yang keluar dari organisasi maupun
informasi masuk yang akan meng-
kontaminasi data-data organisasi.
Scalability dan Extensibility:
skalabilitas berhubungan dengan
penambahan atau pengurangan jumlah
akses sesuai dengan perubahan jumlah
pengguna. Pada umumnya akses lebih
besar akan diberikan kepada pegawai
yang jabatannya lebih tinggi dan atau
yang diberi kewenangan tertentu.
Ekstensibilitas berhubungan dengan
update pengetahuan/informasi dalam
KMS. Dengan fitur ini KMS mempunyai
kemampuan untuk menambah dan
mengembangkan pengetahuan atau
aplikasi-aplikasi baru sesuai perkem-
bangan pengetahuan dan teknologi yang
dibutuhkan oleh organisasi.
Dari 7 (tujuh) fitur yang diusulkan
tersebut di atas, 4 (empat) fitur seperti
Taxonomy, Search, Publishing dan Web
Service sudah dimiliki oleh Sistem
Informasi Lapan saat ini khususnya
Aplikasi Perpustakaan Online namun
fungsi dasar Perpustakaan Online berbeda
dengan Knowledge Management System.
Sehingga pengembangan Knowledge
Management System sangat penting
untuk dilakukan.
3.3 Pengembangan Aplikasi
Pengembangan aplikasi KMS
dilakukan melalui dua tahap yaitu:
Memilih penggunaan teknologi untuk
pengembangan aplikasi. Berdasarkan
observasi penggunaan teknologi di
Lapan sebagian besar aplikasi berbasis
website dengan menggunakan database
MySQL, oleh karena itu untuk
kemudahan perawatan dan standarisasi
teknologi disarankan untuk mengguna-
kan aplikasi Apache sebagai web server,
MySQL sebagai database server dan
PHP sebagai bahasa pemrogramannya.
Hal ini dilakukan juga karena Aphace
dan MySQL cukup mudah dalam
implementasi dan pengelolaannya selain
itu merupakan aplikasi opensource
yang tidak berbayar sehingga dapat
menghemat anggaran dalam imple-
mentasinya.
Membuat aplikasi sesuai rancangan
proses, kebutuhan dan kondisi
organisasi. Untuk hal ini agar mem-
permudah dalam proses pengembangan
dan efisiensi biaya disarankan untuk
menggunakan software Content
Management System (CMS) yang
bersifat opensource.
3.4 Menumbuhkan Budaya Knowledge Sharing
Knowledge management system
merupakan strategi untuk meningkatkan
efektifitas dan peluang/kesempatan
pengembangan kompetensi. Beberapa hal
yang perlu dilakukan untuk menumbuh-
kan budaya berbagi pengetahuan
diantaranya (Munir dkk, 2001):
Menciptakan know-how dimana setiap
pegawai berkesempatan dan bebas
menentukan cara baru untuk
menyelesaikan tugas dan berinovasi
serta peluang untuk mensinergikan
pengetahuan eksternal ke dalam
institusi.
Menangkap dan mengidentifikasi
pengetahuan yang dianggap bernilai
dan direpresentasikan dengan cara
yang logis.
Penempatan pengetahuan yang baru
dalam format yang mudah diakses
oleh seluruh pegawai dan pejabat.
Pengelolaan pengetahuan untuk
menjamin kekinian informasi agar
dapat direview untuk relevansi dan
akurasinya.
Format pengetahuan yang disediakan
di KMS adalah format yang user
Kajian Pengembangan Knowledge Management...... (Fahmi Alusi)
23
friendly agar semua pegawai dapat
mengakses dan mengembangkan setiap
saat.
Knowledge Management System
yang dirancang sudah memperhatikan
hal-hal yang dapat menumbuhkan
budaya knowledge sharing tersebut,
sehingga dengan implementasi KMS ini
diharapkan dapat menumbuhkan budaya
knowledge sharing di Lingkungan Lapan
dalam rangka mendukung peningkatan
kinerja Lembaga.
Gambar 3-1: Elemen Knowledge Management
System LAPAN (mengadopsi dari model Setiarso, (2007))
4 PENUTUP
Berdasarkan Analisis Strategi
Sistem Informasi, Lapan memerlukan
adanya Knowledge Management System
yang berada di kuadran high potential,
hal ini berarti dengan menerapkan
knowledge management system dapat
berpotensi tinggi untuk meningkatkan
kinerja Lembaga.
Dengan mengembangkan
knowledge management system inovasi
di Lapan, maka perkembangan Lapan
sebagai lembaga penelitian menjadi
lebih cepat karena dengan pola siklus
knowledge management, setiap knowledge
yang tercipta dapat terpelihara dengan
baik, sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai best practice dalam penelitian
selanjutnya. Dengan menerapkan
knowledge management system, juga
diharapkan dapat menumbuhkan budaya
knowledge sharing di lingkungan Lapan
guna mendukung peningkatan kinerja
Lembaga.
Fitur knowledge management
system yang diusulkan meliputi:
Taxonomy, Seacrh, Publishing, Personali-
zation, Integration, Collaboration,dan
Web Service.
Sedangkan elemen knowledge
management system Lapan yang
diusulkan terdiri dari: aspek teknologi,
aktivitas, komponen dan interface.
DAFTAR RUJUKAN
Becerra–Fernandez, I., Avelino Gonzalez,
Rjiv Sabherwal, 2004. Knowledge
Management: Challenges, Solutions,
and Technologies, Pearsons
Education Inc., Upper Siddle
River, New Jersey.
Bui Ho, Lim, Bawa Wuryaningtyas,
Ronald, 2008. Penerapan
Knowledge Management System
Pada Perusahaan Bisnis
Konsultansi PT Piramida Sejahtera
Abadi (Red Piramid): Jurnal
Piranti Warta Vol11 No.3 Agustus
2008.
Knowledge Management System LAPAN
Technology
1. RDMS2. Client Server3. Web Service A.I/ES
Activity
1. Web Browsing2. Computer based colaboration3. Search4. Data Mining
Component
1. Database
2. Web Platform
3. Data Management Tools
4. Massenging Engine
5. Search engine
6. Web service
7. Document management
8. Interface engine
Interface
1. Web base Application
2. Mailling list
3. Web Forum
4. C/S Application
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:17-24
24
Davenport, Thomas H and Prusak,L, 1998.
Working Knowledge, McGraw-Hill,
Singapore.
Gottschalk, Peter, 2005. Strategic
Knowledge Management Technology
Hersey: Idea Group Publishing.
Munir, Ningky, 2001. Proses Penciptaan
Pengetahuan di perusahaan.
Jakarta: Seminar Ikatan
Pustakawan Indonesia.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional, Rencana Strategis
LAPAN 2010 – 2014, Jakarta.
Setiarso, Bambang, 2007. Penerapan
Knowledge Management pada
Organisasi: Studi Kasus Salah Satu
Unit Organisasi LIPI. http://ilmu
komputer.org/wp-content/uploads/
2007/04/bse-ksni.pdf, diakses
tanggal 14 Oktober 2012.
Makna Pusat Peluncuran Roket di Pulau ..... (Euis Susilawati)
25
MAKNA PUSAT PELUNCURAN ROKET DI PULAU MOROTAI:
TINJAUAN ASPEK PERTAHANAN DAN KEAMANAN
Euis Susilawati
Peneliti Pusat Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan (Pusjigan), Lapan
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Pusat peluncuran roket di Pameungpeuk saat ini tidak lagi memenuhi syarat
untuk digunakan meluncurkan roket-roket besar yang mampu membawa satelit (RPS).
Kajian awal yang dilakukan Lapan merekomendasikan beberapa lokasi baru yang
dapat dijadikan pusat peluncuran RPS. Salah satunya adalah Pulau Morotai,
Halmahera Utara dengan pertimbangan geografis di mana peluncuran dari lokasi ini
akan secara bebas diarahkan ke arah Timur menuju Samudera Pasifik tanpa melewati
negara tetangga. Namun untuk menetapkan layak tidaknya sebuah lokasi sebagai
Pusat Peluncuran perlu dikaji dari berbagai aspek. Makalah ini menguraikan makna
pusat peluncuran roket apabila dibangun di Pulau Morotai yang ditinjau dari aspek
pertahanan dan keamanan. Dengan pemahaman bahwa teknologi roket adalah
teknologi guna ganda di mana roket dapat digunakan untuk kepentingan sipil dan
militer (antara lain digunakan sebagai misil balistik), maka apabila Indonesia mampu
meluncurkan satelit ke orbit rendah (LEO), mengandung makna bahwa Indonesia
mempunyai kemampuan membuat misil balistik dengan jangkauan antara 2500 km -
3500 km. Apabila roket atau misil ini diluncurkan dari Pulau Morotai, diperkirakan
menjangkau ke beberapa negara antara lain Republik Palau, Vietnam, Kamboja,
Malaysia, Filipina, Australia dan kawasan konflik Laut China Selatan. Dengan
demikian keberadaan pusat peluncuran roket ini akan memberikan efek deterrence
(penangkal) atau efek penggetar bagi negara-negara yang berada pada jangkauan
tersebut. Effek deterrence ini merupakan sebuah elemen pertahanan dan keamanan
yang mendukung wilayah perbatasan Indonesia bagian Timur dan eksistensi
kedaulatan NKRI.
1 PENDAHULUAN
Saat ini Indonesia (dalam hal ini
Lapan) sedang mengembangkan roket
pengorbit satelit (RPS) untuk membawa
satelit sekelas nano ke orbit ekuator
dengan ketinggiaan 300 km dan dapat
diluncurkan dari bumi Indonesia (Lapan,
2008). Indonesia telah memiliki stasiun
peluncuran roket di Pameungpeuk,
Garut, Jawa Barat. Namun keberadaan
stasiun peluncuran roket di Pameungpeuk
saat ini sudah tidak memenuhi syarat
lagi baik dari sisi lokasi maupun dari
sisi kapasitasnya sebagai sebuah tempat
peluncuran, apalagi untuk meluncurkan
roket yang besar seperti RPS. Dengan
demikian diperlukan stasiun peluncuran
baru yang memenuhi persyaratan dari
berbagai aspek untuk digunakan
meluncurkan RPS. Dari hasil kajian
awal yang dilakukan Lapan terdapat
beberapa lokasi yang dapat dipertimbang-
kan untuk dijadikan sebuah stasiun
peluncuran baru, salah satunya adalah
Pulau Morotai (Lapan, 2008).
Kajian awal tersebut baru
melihat dari aspek geografis Pulau
Morotai yang berdekatan dengan
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:25-34
26
Samudera Pasifik dan berada di wilayah
ekuator. Secara teknis apabila lokasi
peluncuran di Pulau Morotai, maka arah
peluncuran ke orbit geostasioner dapat
diarahkan secara bebas ke arah Timur
menuju samudera Pasifik, sehingga
peluncuran roket bisa dilakukan secara
langsung tanpa melewati negara tetangga.
Sedangkan secara ekonomis peluncuran
dari lokasi yang berada di ekuator akan
lebih murah.
Kajian awal tersebut kemudian
ditindaklanjuti pada tahun 2011 dengan
Tim Lapan melakuan survey ke Pulau
Morotai. Dari survey awal ini dihasilkan
beberapa lokasi alternatif yang dapat
dipertimbangkan dan dikaji lebih lanjut
menjadi pusat peluncuran RPS. Untuk
menentukan layak tidaknya suatu
tempat menjadi pusat peluncuran roket
yang mampu meluncurkan satelit
tentunya tempat ini tidak hanya
memenuhi persyaratan dari sisi letak
geografis, tetapi juga harus memenuhi
persyaratan lainnya baik teknis maupun
non-teknis. Dengan demikian diperlukan
pengkajian yang lebih mendalam yang
ditinjau dari berbagai aspek seperti
politik, pertahanan dan keamanan
negara, ekonomi, sosial,dan budaya.
Makalah ini membahas makna
pembangunan pusat peluncuran roket
di Pulau Morotai yang dilihat dari aspek
pertahanan dan keamanan. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah
metode kepustakaan (library research)
melalui berbagai referensi baik buku,
jurnal ilmiah, prosiding, maupun sumber-
sumber lain yang dinilai relevan.
Referensi kepustakaan tersebut diperoleh
dari perpustakaan dan situs internet.
Dalam membahas aspek pertahanan
dan keamanan pusat peluncuran roket
di Pulau Morotai ini, pertama diuraikan
mengenai Pulau Morotai secara geopolitik
dan geostrategi termasuk potensi
ancaman keamanan di Pulau Morotai.
Kemudian diuraikan bagaimana makna
pusat peluncuran roket di Morotai
dalam kaitannya dengan pertahanan
dan keamanan.
2 GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI PULAU MOROTAI
Geopolitik merupakan suatu ilmu
penyelenggaraan negara, yang mengkaji
pengambilan kebijakan suatu negara
yang didasarkan pada keadaan geografis
negara bersangkutan. Geopolitik memiliki
empat unsur yang menjadi prasyarat
doktrin suatu negara yakni antara lain
konsepsi ruang, konsepsi frontier,
konsepsi politik kekuatan, dan konsepsi
keamanan negara dan bangsa
(Yudhoyono, n.y). Ruang merupakan inti
dari geopolitik, sehingga senantiasa ada
upaya untuk memperluas wilayah
pengaruh tiap-tiap bangsa yang jauh
melampaui kedaulatannya.
Sedangkan geostrategi merupakan
pelaksanaan dari geopolitik atau
memanfaatkan konstelasi geografis negara
dalam menentukan kebijakan, tujuan,
sarana-sarana untuk mencapai tujuan
negara. Geostrategi ini diperlukan untuk
mewujudkan dan mempertahankan
integrasi bangsa yang majemuk
berdasarkan pembukaan dan Undang-
Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan
dan mempertahankan integrasi bangsa
adalah dengan memperkuat dalam segala
bidang pembangunan salah satunya
pembangunan kekuatan pertahanan.
Dengan demikian geopolitik dan
geostrategi sangat erat kaitannya,
dimana kedua-duanya berupaya untuk
mempertahankan wilayah, dan mencapai
tujuan nasional.
Dalam kaitannya dengan geopolitik
yaitu terkait ruang, Pulau Morotai
merupakan daerah yang masih alami
dan banyak menyimpan kekayaan alam
seperti emas, pasir besi, tembaga, nikel
dan bahan galian lainnya, tetapi baru
sedikit yang sudah dikelola atau
dikembangkan. Pulau Morotai walaupun
bukan termasuk pulau-pulau kecil terluar,
tetapi merupakan pulau terdepan di
wilayah NKRI, terutama di kawasan Asia
Makna Pusat Peluncuran Roket di Pulau ..... (Euis Susilawati)
27
Pasifik. Secara geografis Pulau Morotai
terletak antara 20º0' LU – 2º40' LU dan
128º15' BT – 129º08'BT dengan luas
keseluruhan 2.314,90 km2 (BPS, 2012).
Kabupaten Pulau Morotai terdiri dari 5
(lima) kecamatan, yaitu Morotai Jaya,
Morotai Selatan, Morotai Utara, Morotai
Selatan Barat, dan Morotai Timur.
Jumlah penduduk Kabupaten Pulau
Morotai ini sebanyak 53.968 jiwa, di
mana kecamatan Morotai Selatan
mempunyai penduduk terbanyak yaitu
17.930 jiwa, dan Morotai Timur
mempunyai penduduk yang paling
sedikit yaitu 7.237 jiwa (BPS,2012). Pulau
Morotai yang terletak dikawasan Timur
Indonesia ini berbatasan dengan
Samudera Pasifik dan Laut Halmahera
di sebelah Utara; Laut Halmahera di
sebelah Timur; Selat Morotai di sebelah
Selatan; Laut Sulawesi dan Laut
Halmahera di sebelah Barat, serta
berbatasan dengan negara tetangga
Filipina dan Republik Palau (berada di
bawah kekuasaan Amerika Serikat) yang
berada di Samudera Pasifik (Utara
Indonesia).
Dengan demikian secara geo-
strategis Pulau Morotai berada pada
posisi strategis karena merupakan Pulau
yang secara maritim berada di kawasan
perbatasan dan juga termasuk pulau
terdepan di kawasan timur Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Posisi strategis ini menjadikan Morotai
sebagai pintu gerbang untuk berinteraksi
langsung dengan Negara tetangga, serta
memiliki nilai strategis terhadap
kedaulatan Negara, Pertahanan dan
Keamanan. Laut Pulau Morotai
merupakan pintu pertahanan dan
keamanan NKRI yang harus diperkuat
oleh seluruh elemen bangsa, terutama
masyarakat sebagai Komponen Dasar
Sishankamrata (Sitem Pertahanan dan
Keamanan Rakyat Semesta) dalam
memperjuangkan dan mempertahankan
Pulau Morotai sampai kapanpun, tetap
dalam bingkai NKRI.
Posisi strategis Morotai ini juga
dapat dilihat dari sejarah di mana pada
Perang Dunia II (1939-1945) Morotai
telah dijadikan basis camp oleh tentara
Sekutu dan Australia untuk menyerang
balik tentara Jepang, terutama di
kawasan Asia Pasifik. Pada saat Perang
Dunia II Pulau Morotai pernah dua kali
dikuasai oleh tentara asing. Yang
pertama angkatan bersenjata Jepang
melakukan invasi ke Morotai dan
menjadikan Pulau Morotai sebagai basis
militer untuk masuk lebih dalam ke
wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara.
Kemudian angkatan bersenjata sekutu
terutama Amerika Serikat (AS) dan
Australia, mengusir kehadiran militer
Jepang dari wilayah Asia Tenggara, dan
menekannya untuk masuk kembali ke
Jepang (Nainggolan, 2011).
Sebagai pusat konsolidasi militer
AS untuk menaklukkan Jepang, Mac
Arthur pemimpin angkatan bersenjata
AS membawa 3.000 pesawat tempur
sekutu, yang terdiri dari pesawat angkut,
pengebom, dan 63 batalion tempur ke
Morotai (Majalah Tempo, 2012). Untuk
ini AS membangun pangkalan udara Pitu
yang dilengkapi dengan 7 (tujuh) landasan
dengan masing-masing mempunyai
panjang 3.000 m. Pangkalan Udara Pitu
ini sampai sekarang masih ada di Pulau
Morotai. Dengan demikian baik Jepang
maupun AS menggunakan Pulau Morotai
sebagai batu loncatan untuk menguasai
Asia Pasifik dan Asia Tenggara.
Bagi Indonesia sendiri Pulau
Morotai yang merupakan pulau terdepan
kawasan Indonesia Timur berpotensi
untuk dikembangkan menjadi gerbang
utama baru Indonesia dengan negara-
negara di kawasan Asia Pasifik sebagai
sabuk keamanan nasional (national
security belt).
3 POTENSI ANCAMAN KEAMANAN DI PULAU MOROTAI
Sebagaimana telah diuraikan
bahwa Pulau Morotai terletak di kawasan
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:25-34
28
perbatasan dan juga merupakan pulau
terdepan di kawasan Timur NKRI.
Tempat-tempat yang berada pada posisi
seperti ini biasanya mempunyai potensi
ancaman keamanan yang besar. Secara
umum ancaman keamanan di wilayah
perbatasan Indonesia dapat dibagi ke
dalam 2 (dua) kategori, yaitu ancaman
yang berasal dari aktor non-negara dan
aktor negara. Ancaman yang berasal
dari aktor non negara antara lain
penyelundupan, pencurian sumber daya
alam, dan perompakan. Sedangkan
ancaman yang berasal dari aktor negara
antara lain agresi, konflik perbatasan,
dan pelanggaran kedaulatan.
Dari sisi ancaman faktor non-
negara, hingga saat ini pencurian ikan
(illegal fishing) oleh nelayan asing dan
masuknya imigran gelap masih terjadi di
Pulau Morotai. Wilayah perbatasan laut
dikawasan Pulau Morotai masih menjadi
pintu keluar masuk yang paling bebas
sehingga berbahaya. Banyak penyelun-
dupan senjata api dari luar yang masuk
melalui perbatasan Morotai. Senjata api
yang diselundupkan melalui wilayah
perbatasan ini tidak menutup kemung-
kinan akan digunakan untuk kepentingan
jaringan internasional teroris. Selain itu
nelayan Pilipina dan China hampir setiap
bulannya tertangkap karena mencuri
ikan di Pulau Morotai (Kompas, 2010).
Dari sisi ancaman aktor negara,
persoalan perbatasan Indonesia didomi-
nasi oleh masalah sengketa perbatasan
dan pelanggaran kedaulatan oleh negara
asing. Indonesia setidaknya berbatasan
dengan 10 (sepuluh) negara tetangga
yaitu Thailand, Malaysia, Singapura,
Papua Nugini, Palau, India, Timor Leste,
Filipina, Australia, dan Vietnam. Sampai
saat ini Indonesia masih memiliki
sejumlah sengketa perbatasan yang belum
terselesaikan dengan negara-negara
tetangga tersebut. Masalah perbatasan
Indonesia di wilayah utara yang belum
terselesaikan antara lain perbatasan
antara Morotai dengan Filipina dan
Republik Palau (Kementerian Luar Negeri,
2011).
Perbatasan Morotai-Filipina ini
rentan akan masuknya berbagai ancaman
karena pengamanan di wilayah utara
Indonesia itu sangat lemah. Akibatnya
praktik penyelundupan barang, orang,
dan pencurian ikan oleh kapal asing
terus berlangsung. Para nelayan asing
dengan leluasa masuk ke wilayah
Morotai dan dengan mudah melarikan
diri ke wilayah Filipina apabila dihalau.
Sedangkan sengketa perbatasan
Indonesia dengan Republik Palau yaitu
mengenai tumpang tindih antara Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia
dengan Zona Perikanan yang diperluas
Republik Palau (Kementerian Luar
Negeri, 2011). Sengketa yang terjadi
karena penarikan zona perikanan yang
dilakukan oleh Palau akan merugikan
negara Indonesia karena mengambil
bagian ZEE Indonesia. Kedua negara
juga memiliki ambisi untuk mengambil
keuntungan di perbatasan wilayah ini
karena terdapat banyak peninggalan
benda-benda sejarah sebagai asset
penting.
Potensi ancaman di Pulau Morotai
tidak hanya ancaman yang berasal dari
sekitar Morotai, tetapi juga berasal dari
berbagai masalah atau konflik di kawasan
Asia Pasifik yang akan berpengaruh
kepada keamanan Indonesia. Konflik
dimaksud seperti konflik Laut China
Selatan (LCS). Konflik LCS merupakan
konflik klaim kepemilikan terhadap
suatu wilayah dan adanya tumpang
tindih yurisdiksi nasional atau ZEE oleh
6 (enam) negara yaitu China, Malaysia,
Taiwan, Vietnam, Brunei, dan Philippines,
bahkan oleh Indonesia. Kawasan LCS ini
juga menjadi jalur lintas perdagangan
internasional dan rute armada militer
negara-negara. Sampai sekarang konflik
LCS ini masih berlangsung, bahkan
cenderung memanas (Antara, 2013).
China mengklaim seluruh laut di China
Selatan yang berada di kawasan Asia
Makna Pusat Peluncuran Roket di Pulau ..... (Euis Susilawati)
29
Gambar 3-1: Posisi Indonesia (Pulau Morotai) di Kawasan Asia Pasifik
Tenggara merupakan wilayah China.
Sebagaimana diketahui bahwa wilayah
Natuna (berbatasan dengan LCS)
memiliki cadangan gas 14 juta barel dan
gas bumi diperkirakan 1,3 milyar kubik.
Jika tidak dijaga dengan baik Pulau
Natuna ini, maka kemungkinan akan
diklaim negara lain (Jakarta Greater,
2012). Kondisi ini cukup rawan bagi
Indonesia dan akan mudah terimbas
bila terjadi konflik regional Asia Pasifik.
Demikian juga dengan Pulau Morotai
sebagai salah satu pulau terdepan
Indonesia di wilayah perbatasan Indonesia
dengan negara-negara tetangga yang
berkonflik di LCS tentunya juga tidak
akan terlepas dari dampak ancaman
keamanan. Posisi Pulau Morotai di
kawasan Asia pasifik sebagaimana
terlihat dalam Gambar 3-1.
4 MAKNA PUSAT PELUNCURAN ROKET DI PULAU MOROTAI TERKAIT PERTAHANAN KEAMANAN
Terhadap kondisi adanya potensi
berbagai ancaman di Morotai tersebut,
salah satunya adalah mengantisipasi
dengan melakukan upaya menangkal
terlebih dahulu terhadap potensi
ancaman. Upaya penangkalan ini adalah
dengan cara menekan kadar potensi
melalui pengerahan kekuatan baik
kekuatan lunak (soft power) maupun
kekuatan keras (hard power) sehingga
tidak menjadi sebuah ancaman nyata.
Pada kondisi ini seringkali yang berlaku
adalah mewujudkan penangkalan dengan
pengerahan kekuatan keras. Konsep
penangkalan inilah yang dalam konteks
keamanan internasional kemudian
dikenal dengan deterrence. Deterrence
atau penangkalan adalah ancaman
dengan menggunakan offensive attack
sebagai pertahanan dengan menangkal
suatu serangan dan menimbulkan efek
penggentar.
Secara teknis pusat peluncuran
roket digunakan untuk meluncurkan
roket baik roket-roket kecil maupun
roket besar yang mampu menempatkan
satelit ke orbitnya sesuai dengan
kebutuhan. Pusat peluncuran roket
terdiri dari berbagai fasilitas strategis
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:25-34
30
yang secara keseluruhan saling
menunjang dalam peluncuran roket.
Konfigurasi teknis sebuah pusat
peluncuran roket setiap negara berbeda-
beda, namum pada umumnya secara
garis besar terdiri dari landasan pacu
(launching pads), gedung assembly, gedung
kendali peluncuran, gedung pelacak
untuk roket dan satelit, dan fasilitas
lainnya yang mendukung peluncuran.
Gambar 4-1 adalah contoh sebuah
komplek pusat peluncuran Naro di
Korea Selatan. Pusat peluncuran Naro
ini terletak di sebuah pulau Oenaro
(Oenaro Island) yang kemudian dikenal
dengan Pulau Naro, Goheung County,
Provinsi Jeollanam (Global Post, 2013)
dan berada sekitar 485 Kilometer di
bagian Selatan Seoul (Korea Times,
2009). Pulau Naro ini terpilih menjadi
pusat peluncuran pertama Korea Selatan
pada tahun 1999 dengan pertimbangan
bahwa lokasi ini berada di pantai Timur
Laut sehingga arah lintasan roket ke
Samudera Pasifik dan tidak akan
melewati negara terdekatnya yaitu
Jepang. Sebenarnya pada awal studi
kelayakan, secara ekonomi pembangunan
pusat peluncuran di Pulau Naro ini
tidak begitu baik, namun pemerintah
Korea Selatan memutuskan untuk
membangun pusat peluncuran di Pulau
Naro ini dengan alasan keamanan
(English.chosun.com, 2001). Sebagaimana
diketahui Korea Selatan telah berhasil
meluncurkan roket KSLV-1 dengan
membawa satelitnya dari pusat
peluncuran Naro pada tanggal 30
Januari 2013 (Bergin, 2013).
Gambar 4-1: Komplek Pusat Peluncuran Roket Naro (Sumber: Bergin, 2013)
Makna Pusat Peluncuran Roket di Pulau ..... (Euis Susilawati)
31
Keberadaan berbagai fasilitas
strategis dalam sebuah pusat peluncuran
tersebut tentunya diperlukan upaya
untuk mengamankan fasilitas ini oleh
berbagai pihak yang terkait, termasuk
melibatkan masyarakat setempat. Dengan
demikian secara internal keberadaan
pusat peluncuran roket di sebuah lokasi
tertentu, akan menimbulkan efek
deterrence terhadap ancaman keamanan
yang berasal dari sekitar lokasi tersebut.
Selain itu keberadaan sebuah
tempat peluncuran di sebuah negara
baik digunakan untuk meluncurkan
roket kecil maupun yang mampu
membawa satelit juga mempunyai
makna lain, mengingat teknologi roket
merupakan teknologi dual use (guna
ganda). Guna ganda artinya bahwa roket
tersebut dapat digunakan membawa
satelit untuk berbagai kepentingan sipil
atau untuk kepentingan militer.
Secara teknis teknologi roket
mempunyai banyak kesamaan dengan
teknologi balistik misil. Perbedaan yang
sangat mendasar adalah bahwa roket
mempunyai kemampuan untuk meng-
ubah trayektorinya pada saat roket
mencapai kecepatan mengorbit. Sedang-
kan misil balistik, meskipun dapat
mencapai kecepatan mengorbit, tidak
dapat mengubah lintasannya untuk
mengitari Bumi, tetapi akan mengikuti
lintasan parabola kembali ke Bumi.
Dalam perkembangannya misil balistik
ini kemudian digunakan untuk tujuan
sebagai sistem penghantar hulu ledak,
dan merupakan suatu bentuk sistem
persenjataan modern (Kadri, 2006).
Sebuah negara yang mempunyai
kemampuan dalam peroketan yang dapat
meluncurkan satelit ke orbit rendah
Bumi (Low Earth Orbit atau LEO ) dan
orbit menengah Bumi (Medium Earth
Orbit atau MEO) menunjukkan bahwa
negara tersebut mempunyai kemampuan
untuk membuat Intermediate-Range
Ballistic Missile (IRBM) yang mempunyai
jangkauan antara 2.500-3.500 km.
Sedangkan apabila mampu meluncurkan
satelit ke Geostationary Orbit (GSO)
artinya negara tersebut mempunyai
kemampuan untuk membuat misil
Intercontinental Ballistic Missile (ICBM)
yang mempunyai jangkauan lebih dari
3.500 km (Sitindjak, 2002).
Apabila Indonesia mempunyai
kemampuan dalam peroketan dengan
membawa satelit ke orbit rendah (LEO)
maka mengandung arti bahwa Indonesia
mempunyai kemampuan untuk membuat
misil balistik dengan jangkauan antara
2500 km - 3500 km. Apabila roket ini
diluncurkan dari Pusat Peluncuran Roket
di Pulau Morotai, dengan menggunakan
perhitungan jarak pada google map (Free
Map Tools, 2013), akan mengandung
arti bahwa jangkauan misil balistiknya
diperkirakan mencapai ke beberapa
negara misalnya Republik Palau (sekitar
850 km), Vietnam/Kamboja (2.750 km),
Malaysia/Filipina (sekitar 1.700 km),
Laut China Selatan (2200 km), dan
Australia (2.750 km). Dengan demikian
Pusat Peluncuran Roket di Morotai
kaitannya dengan sistem pertahanan
keamanan Indonesia akan memberikan
efek deterrence (penangkal) bagi negara
lain. Selain itu juga sekaligus dapat
memberikan efek penangkal untuk
menjaga keamanan pulau terluar
Indonesia lainnya. Pulau terluar
Indonesia yang berada di wilayah
Samudera Pasifik adalah Pulau Fani
dan berbatasan dengan negara Palau.
Ilustrasi jangkauan roket yang juga
dapat mengandung makna jangkauan
misil balistik dari Pulau Morotai
sebagaimana dilihat dalam Gambar 4-2.
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:25-34
32
Gambar 4-2: Ilustrasi Jangkauan Misil Balistik dari Pulau Morotai
Keterangan Gambar 4-2: Pulau Morotai ke: 1 Pulau Palau – sekitar 867 km 2 Filipina –sekitar 1.700 km
3 Malaysia- sekitar 1.700 km 4 Laut China Selatan-sekitar 2200 km 5 Kamboja/Vietnam-sekitar 2.750 km
5 PENUTUP
Pulau Morotai secara geopolitik dan
geostrategis merupakan pintu gerbang
pertahanan dan keamanan untuk
wilayah Indonesia bagian Timur. Dari
pembahasan dapat disimpulkan bahwa
apabila pusat peluncuran roket yang
mampu meluncurkan satelit dibangun
di Pulau Morotai, maka akan memberikan
kontribusi terhadap pertahanan dan
keamanan wilayah Indonesia bagian
Timur. Hal ini didasarkan pada
pemahaman bahwa teknologi roket
merupakan teknologi guna ganda, yaitu
dapat digunakan untuk kepentingan
sipil dan militer. Secara teknis teknologi
roket mempunyai banyak kesamaan
dengan teknologi balistik misil, dengan
modifikikasi maka roket ini dapat
menjadi misil balistik dan digunakan
untuk kepentingan militer. Roket yang
mampu meluncurkan satelit ke orbit
rendah Bumi (LEO) mengandung arti
bahwa Indonesia mempunyai kemampuan
untuk membuat misil balistik dengan
jangkauan antara 2500 km - 3500 km.
Apabila roket ini diluncurkan dari Pulau
Morotai, akan mengandung arti bahwa
jangkauan misil balistiknya diperkirakan
mencapai ke beberapa negara yang
berada dalam jangkauan tersebut antara
lain Pulau Palau, Filipina, Malaysia,
Kamboja, Vietnam, Laut China Selatan,
dan Australia. Kemampuan jangkauan
inilah yang akan memberikan efek
deterrence atau efek penggetar bagi
negara-negara yang berada di area
jangkauan tersebut. Effek deterrence
Arah ke Australia
1 2
3
4
5
Makna Pusat Peluncuran Roket di Pulau ..... (Euis Susilawati)
33
atau efek penggetar merupakan sebuah
elemen pertahanan dan keamanan yang
dapat berkontribusi dalam mendukung
pertahanan dan keamanan wilayah
perbatasan Indonesia bagian Timur dan
eksistensi kedaulatan NKRI.
DAFTAR RUJUKAN
Antara, 2013. China kerahkan armada
intai ke Laut China Selatan, http://
www.antaranews.com/berita/357
588/china-kerahkan-armada-intai-
ke-laut-china-selatan, 10 Februari
2013.
Bergin, 2013. South Korea launch STSAT-
2C via KSLV-1, http://www.nasa-
spaceflight.com/2013/01/south-
korea-stsat-2c-via-kslv-1/,
January 30, 2013.
BPS, 2012. Pulau Morotai Dalam Angka,
Badan Pusat Statistik Kabupaten
Halmahera Utara, Katalog BPS
No: 1102001.8207.
English.chosun.com, 2001. Oenaro Island
Picked for First Space Center,
http://english.chosun.com/site/d
ata/html_dir/2001/01/30/20010
13061192.html.
Free Map Tools, 2013. Measure a distance,
http://www.freemaptools.com/
measure-distance.htm.
Jakarta Greater, 2012. Pangkalan Miter
Natuna, http://jakartagreater.com/
2012/06/pangkalan-militer-natu-
na.
Kementerian Luar Negeri RI, 2011.
Wilayah Perbatasan NKRI, Tabloid
Diplomasi Media Komunikasi dan
Interaksi, No. 48 Tahun IV, 15
Oktober - 14 Nopember 2011.
Kompas, 2010. Morotai-Filipina Minim
Pengamanan, http://regional.
kompas.com/read/2010/07/16/
08410259/Morotai-Filipina. Minim.
Pengamanan.
LAPAN, 2008. Ringkasan Eksekutif,
Road-Map Pembangunan Sistem
Roket Pengorbit Satelit Indonesia.
Majalah Tempo, 2012. Morotai, Saksi
Sejarah Perang Dunia II, http://
www.tempo.co/read/news/2012/
03/20/204391498/Morotai-Saksi-
Sejarah-Perang-Dunia-II.
Nainggolan, 2011. Ancaman Keamanan
Non-Konvensional di Pulau Terluar
Indonesia:Kasus Kepulauan Morotai,
Jurnal Politica, Vol.2, No.2,
November 2011.
Sitindjak, Alfred, 2002. Kajian Peman-
faatan Teknologi Antariksa Untuk
Maksud Militer dan Implikasinya,
Hasil Litbang Pusat Analisis dan
Informasi Kedirgantaraan LAPAN
2002, Publikasi Ilmiah LAPAN,
ISBN: 979-8554-59-0.
Susilo Bambang Yudhoyono, n.y,
Geopolitik Kasawan Asia Tenggara:
Persfektif Maritim, binkorpspelaut.
tnial.mil.id/index.php?option=com_
docman.
Toto Marnanto Kadri, 2006. Analisis
Perkembangan Misil Balistik,
Jurnal Analisis dan Informasi
Kedirgantaraan, Vol.3. No.2,
Desember 2006, Lembaga
Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN).
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:25-34
26
Proses Manufaktur dan Integrasi Struktur ..... (Widodo Slamet)
35
PROSES MANUFAKTUR DAN INTEGRASI STRUKTUR INASAT-1
LAPAN
Widodo Slamet
Peneliti Pusat Teknologi Satelit, Lapan
e-mail: [email protected]
RINGKASAN
Struktur satelit memiliki fungsi sebagai pengikat dan pelindung muatan-muatan
yang dibawa oleh satelit tersebut. Inasat-1 merupakan satelit nano yang digunakan
sebagai sarana penelitian untuk meningkatkan kemampuan para peneliti di bidang
teknologi satelit. Inasat-1 telah diuji fungsional sebagai Enginering Model. Tujuan
penulisan ini adalah untuk menunjukkan bahwa proses desain hingga manufaktur
telah menghasilkan struktur satelit yang lolos uji getar. Proses manufaktur struktur
Inasat-1 diawali dengan perancangan untuk menentukan model dan komponen-
komponen struktur, dengan material aluminium AL-7075-T6. Manufaktur dilakukan
dengan berbagai peralatan yang ada, seperti CNC dan milling. Integrasi dilakukan
dengan menerapkan peta operasi yang menggambarkan aliran proses dari berbagai
jenis pekerjaan yang berhubungan secara logis. Pengujian dilakukan dengan cara
simulasi dan uji getar secara fisik. Hasil perancangan berupa struktur segi enam atau
heksagonal. Sedangkan hasil uji getar menunjukkan bahwa struktur Inasat-1
memenuhi persyaratan roket yaitu frekuensi natural > 45 Hz pada sumbu x dan y,
serta >90 Hz pada sumbu z.
1 PENDAHULUAN
Indonesia nano satellite-1 (Inasat-1)
merupakan satelit nano untuk
penelitian sistem satelit di Lapan. Misi
Inasat-1 adalah misi ilmiah untuk
mengukur kuat medan magnet orbit.
Satelit ini telah selesai hingga Engineering
Model. Untuk bisa diterbangkan perlu
satu langkah lagi yaitu Flight Model.
Untuk meningkatkan Inasat-1 hingga
Flight model dan diluncurkan, diperlukan
kebijkasanaan pimpinan Lapan.
Sistem satelit terdiri dari banyak
sub sistem, salah satunya adalah
struktur. Struktur merupakan sub sistem
yang mengikat dan melindungi semua
muatan yang dibawa satelit (Wijker,
2008). Struktur dirancang dan dibuat
sendiri karena tidak diperjualbelikan.
Berbeda halnya dengan sub sistem yang
lain yang bisa dibeli di komunitas
satelit. Oleh karena itu diperlukan
manufaktur di bengkel-bengkel yang ada,
baik di Lapan maupun di luar Lapan.
Sebelum dimulainya proses manufaktur,
diperlukan perancangan struktur.
Perancangan ini harus menghasilkan
desain yang bisa dimanufaktur (Shingley,
2004).
Proses manufaktur dilakukan
dengan menggunakan berbagai peralatan
seperti alat pembentuk (machining, sheet
metal forming, forging dan sebagainya).
Perancangan dilakukan dengan mem-
perhatikan berbagai faktor, misalnya
persyaratan lingkungan roket dan
antariksa, mesin-mesin yang akan
digunakan, dan kemudahan integrasinya.
Sebelum proses manufaktur dilakukan,
rancangan struktur perlu diuji meng-
gunakan software untuk memudahkan
analisa rancangan dan menghemat
waktu dan biaya jika analisa rancangan
menghasilkan struktur yang tidak
memenuhi persyaratan. Uji fisik dilakukan
setelah proses manufaktur dan integrasi
selesai. Tujuan penulisan ini adalah
untuk menunjukkan bahwa proses desain
hingga manufaktur telah menghasilkan
struktur satelit yang lolos uji getar.
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:35-43
36
2 PERANCANGAN STRUKTUR INASAT-1
2.1 Alur Perancangan
Untuk merancang sebuah struktur
satelit diperlukan berbagai langkah yang
terintegrasi dengan sub sistem yang lain
(Griffin, 2004). Selain itu diperlukan
pula masukan dari roket peluncurnya
mengenai persyaratan properties satelit,
misalnya batasan dimensi dan massa,
frekuensi natural, dan posisi Center of
Gravity (CoG) yang harus dipenuhi.
Yang tidak kalah pentingnya adalah
mengakomodasi solar panel yang
menjadi sumber energi bagi seluruh sub
sistem yang memerlukan catu daya.
Alur perancangan struktur Inasat-1
diperlihatkan pada Gambar 2-1.
Dalam alur perancangan tersebut,
persyaratan roket berupa dimensi dan
bobot maksimum yang diijinkan, posisi
pusat massa satelit, dan frekuensi
natural satelit. Sedangkan misi satelit
adalah untuk keperluan apa satelit ini
dibuat sehingga struktur satelit harus
mampu mendukung misi tersebut,
dalam hal ini misi Inasat-1 adalah misi
ilmiah. Semua sub sistem satelit harus
mampu ditampung oleh struktur dengan
persyaratan-persyaratan tertentu,
misalnya posisi antena, baterai, komputer
dan sebagainya.
Dengan persyaratan-persyaratan
tersebut maka dibuatlah model struktur
yang akan dianalisa menggunakan
software, misalnya nastran atau software
yang lain. Analisa yang dilakukan
adalah analisa dinamik, statik, dan
termal. Jika hasil analisa menyatakan
memenuhi syarat maka dibuatlah cetak
biru yang selanjutnya akan dilakukan
proses manufaktur.
Persyaratan
RoketMisi satelit
Konfigurasi
struktur
Sub sistem
Model Struktur
Analisa statik,
dinamik, dan
thermal
Data engineering
Blue print
struktur satelit
Pemilihan material
dan proses
manufaktur
Gambar 2-1: Alur perancangan struktur Inasat-1
Proses Manufaktur dan Integrasi Struktur ..... (Widodo Slamet)
37
2.2 Material
Kriteria umum yang digunakan
sebagai pertimbangan untuk memilih
material terbaik sebagai bahan struktur
Inasat-1 adalah (Sarafin, 1997)
Stiffness to Mass Ratio
Manufacturing Time
Uniformity (Kerataan Permukaan)
Durability (Daya tahan)
Stiffness to Mass Ratio merupakan
ukuran kekakuan dan kekuatan terhadap
masa. Sifat ini sangat penting dalam
memilih material struktur satelit sehingga
diberi bobot 40%. Manufacturing Time
adalah sifat yang berhubungan dengan
lamanya waktu yang diperlukan untuk
mengubah sebuah raw material menjadi
suatu bentuk yang diinginkan. Bobot
dari sifat ini adalah paling rendah, yaitu
15%, karena satelit memerlukan
kesempurnaan dalam pembuatannya
waktu menjadi tidak sepenting kriteria
yang lain. Suatu material yang tidak
rata pada permukaannya akan
menjadikan instrumen yang menempel
pada permukaan itu cepat rusak. Oleh
karena itu kerataan permukaan cukup
penting, dan diberi bobot 25%, lebih
besar dari pada Manufacturing Time.
Daya tahan (Durability) material diberi
bobot 20%, lebih rendah dari pada
kerataan permukaan. Seperti diketahui,
instrumen elektronik akan ditempelkan
pada permukaan material struktur
sehingga kerataan memiliki peran lebih
besar dibandingkan dengan durability.
Bedasarkan kriteria-kriteria di atas
maka disusunlah tabel bobot terhadap
kriteria material struktur.
Uji terhadap kriteria tersebut di
atas dilakukan terhadap aluminium Al
7075-T6 dan Al 6061-T6 dengan
ketebalan 2,54 cm. Hasil uji, dengan
memberikan pembobotan, ditunjukkan
oleh Tabel 2-1. Dari Tabel 2-1 tersebut,
aluminium 7075-T6 memiliki sedikit
kelebihan dari pada Al6061-T6. Inilah
alasan mengapa Al 7075-T6 lebih dipilih
dari pada Al6061-T6.
2.3 Model Struktur
Berbagai model struktur satelit
telah dibuat oleh para pendesain satelit,
antara lain kubus, balok, silinder, segi
enam atau heksagonal, bola, peluru,
dan sebagainya (Sarafin, 1997). Tidak
semua model akan dijadikan per-
timbangan karena kesulitan dalam proses
manufakturnya maupun kesulitan dalam
hal pengendaliannya. Hanya model-
model struktur yang umum, yaitu
bentuk kubus, balok, silinder, dan
heksagonal saja yang akan dijadikan
pertimbangan. Bentuk-bentuk yang lain
misalnya pensil, bola dan corong tidak
dibahas.
Tabel 2-1: PEMILIHAN MATERIAL BERDASARKAN PEMBOBOTAN PADA KRITERIA MATERIAL
Kriteria
Bobot
Al 7075-T6 Al 6061-T6
Nilai Bobot nilai
Nilai Bobot nilai
Stiffness to Mass Ratio
40 10 400 9 360
Manufacturing Time 15 10 150 10 150
Kerataan (Uniformity) Permukaan
25 10 250 10 250
Durability 20 10 200 10 200
Total 1000 960
Prioritas 1 2
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:35-43
38
Pertimbangan utama dalam
menentukan model adalah jumlah solar
sel yang harus bisa ditampung oleh
struktur. Jumlah solar sel akan
menentukan daya maksimum yang akan
digunakan oleh semua sub sistem.
Selanjutnya adalah pertimbangan
kemudahan manufaktur. Perbandingan
model-model struktur ditunjukkan oleh
Tabel 2-2.
Sesuai dengan Tabel 2-2, maka
model yang dipilih adalah bentuk struktur
heksagonal atau segi enam. Heksagonal
memiliki luas yang cukup untuk
menampung jumlah solar sel dan stabil
dilihat dari geometrinya, serta mudah
dimanufaktur. Secara visual, model
struktur ditunjukkan oleh Gambar 2-2.
Model struktur Inasat-1 diperkirakan
memiliki 10 kg dengan diameter kurang
dari 300 mm, sedangkan tingginya kurang
dari 350 mm.
Tabel 2-2: PEMILIHAN MODEL STRUKTUR DENGAN KRITERIA LUAS PERMUKAAN DAN KEMUDAHAN MANUFAKTUR
Bentuk (model) Kestabilan Luas
permukaan
Kemudahan manufaktur
Kubus Tidak stabil Kurang Mudah
Balok Stabil Kurang Mudah
Silinder Stabil Cukup Sulit
Heksagonal Stabil Cukup Mudah
Panel luar
Rangka (frame)
Kolom 2 Kolom 1Panel dalam
Tutup bawah
Tutup atasTatakan antena
Interface
ke adapter roket
Gambar 2-2: Model struktur Inasat-1 berbentuk heksagonal
Proses Manufaktur dan Integrasi Struktur ..... (Widodo Slamet)
39
3 PROSES MANUFAKTUR DAN INTEGRASI
3.1 Proses Manufaktur
Proses manufaktur adalah proses
untuk mengubah bahan baku (raw
material) menjadi suatu bentuk yang
sesuai dengan keinginan dengan mem-
pertimbangkan berbagai aspek, antara
lain adalah kebutuhan, teknologi, dan
ekonomi. Proses manufaktur untuk
sebuah struktur satelit, aspek ekonomi
dikesampingkan karena faktor jumlah
yang terbatas, dan mengutamakan
keamanan karena sekali diluncurkan
tidak bisa diperbaiki lagi.
Untuk mempermudah manufaktur,
struktur satelit ini harus dipisah-
pisahkan sesuai dengan fungsinya
(Shingley, 2004). Yang pertama adalah
kelompok struktur primer yang
merupakan tulang punggung struktur
satelit. Sedangkan yang kedua adalah
struktur sekunder yang terdiri dari boks
yang menampung rangkaian elektronik
atau instrumen lain, misalnya sensor
dan aktuator. Struktur tersier belum
perlu dibicarakan mengingat tulisan ini
membahas konsep rancangan. Struktur
tersier berupa konektor-konektor dan
pengkabelan sub-sub sistem. Tabel 3-1
menunjukkan bagian atau komponen
utama struktur Inasat-1. Hampir semua
bagian struktur Inasat-1 terbuat dari
logam dan didominasi oleh logam
aluminium. Pada umumnya pengolahan
logam terdiri dari proses machining,
chemical milling, sheet metal forming,
casting, forging, dan extruding.
Dari komponen atau bagian-
bagian struktur dapat dikelompokkan
berdasarkan posisi pendukung struktur,
yaitu struktur utama (primer), struktur
sekunder, dan struktur tersier (Ulrich,
2000). Tabel 3-2 menunjukkan bagian-
bagian struktur (parts) beserta pabrikasi
yang dibutuhkan, sedangkan Gambar 3-1
menunjukkan salah satu proses
manufaktur struktur Inasat-1.
Tabel 3-1: BAGIAN-BAGIAN STRUKTUR PRIMER INASAT-1
Jenis Fungsi Material Jumlah
Panel luar Meletakkan solar sel
Melindungi boks muatan
Al 7075 T6 6
Rangka (frame) Penguat struktur Al 7075 T6 6
Penopang 1 Penyangga struktur
Penyambung antar frame Al 7075 T6 4
Penopang 2
Penyangga struktur
Penyambung antar frame
Tempat melekatkan
panel dalam
Al 7075 T6 2
Panel dalam Tempat menempelnya
boks muatan Al 7075 T6 2
Tutup bawah
Pelindung boks muatan
Penyambung dengan
interface roket
Al 7075 T6 1
Tutup atas
Pelindung boks muatan
Tempat meletakkan
antena
Al 7075 T6 1
Tatakan antena Memegang antena Al 7075 T6 4
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:35-43
40
Tabel 3-2: BAGIAN-BAGIAN (PART) STRUKTUR INASAT-1
(a)
(b)
Gambar 3-1: Salah satu proses manufaktur Inasat-1 (a) dan mesin CNC (b)
3.2 Integrasi
Sistem Inasat-1 diuraikan menjadi
sub sistem, sub sistem diuraikan
menjadi komponen, komponen menjadi
part (Kazanas,1999). Oleh karena itu
integrasi diawali dari penggabungan
beberapa part menjadi komponen,
beberapa komponen digabungkan menjadi
sub sistem, dan terakhir sub sistem
menjadi sistem satelit. Proses integrasi
akan dipandu dengan petunjuk integrasi
sehingga dapat dilakukan oleh teknisi,
siapapun teknisinya.
Untuk memudahkan pembuatan
pekerjaan perlu dibuat peta operasi
yang sangat berguna dalam melakukan
pekerjaan integrasi. Peta operasi meng-
gambarkan aliran proses dari berbagai
jenis pekerjaan yang berhubungan
secara logis hingga menghasilkan suatu
produk yang sesuai dengan apa yang
diinginkan atau dikehendaki (Campbell,
1996). Gambar 3-2 menunjukkan aliran
proses integrasi sistem satelit Inasat-1.
Komponen Part Pabrikasi
Struktur Primer
Panel CNC, drilling, tab, coating
Frame CNC, drilling, tab, coating
Penopang CNC, drilling, tab, coating
Struktur
Sekunder
Boks miling, drilling, tab, coating
Antena, dudukan integrasi, bubut dan tab
Solar panel integrasi
Adapter integrasi
Struktur Tersier
Fasterner pabrikan
Konektor pabrikan
Pengkabelan integrasi
CNC: Computer Numerical Control
Proses Manufaktur dan Integrasi Struktur ..... (Widodo Slamet)
41
A B C D
E
F
G
H
ISub
assy
Assy 1
Assy 2
Assy 3
Nama proses
Perakitan/assembly
Gambar 3-2: Peta operasi aliran proses integrasi sistem satelit Inasat-1. Proses A dan proses B
menghasilkan sub assembly. Proses C digabung dengan hasil sub assembly menghasilkan assembly 3, dan seterusnya akan menghasilkan sebuah sistem, dalam hal
ini sistem satelit
Gambar 3-3: Menunjukkan struktur Inasat-1 yang telah dirakit namun belum terpasang panel
luarnya
4 UJI GETAR
Setelah selesai diassembly atau
dirakit, struktur perlu diuji getar dengan
standar uji yang ditentukan oleh
peluncurnya. Struktur harus mampu
bertahan pada hentakan (shock) 20 G
pada frekuensi 100 Hz hingga 1000 G
(satuan gravitasi) pada frekuensi di atas
1000 Hz untuk semua sumbu. Pada
getaran random struktur harus mampu
bertahan pada 6,7 GRMS (G root mean
square) pada Power Spectral Density
(PSD) roket (India Space Research
Organisation (ISRO), 2004). PSD roket
PSLV untuk meluncurkan Inasat-1
diperlihatkan oleh Gambar 4-1. Tabel 4-1
menunjukkan tingkat uji getar random,
sedangkan Tabel 4-2 menunjukkan hasil
uji getar moda random. Tingkat kelolosan
uji getar adalah jika frekuensi natural
sumbu x dan sumbu y lebih besar dari
45 Hz, sumbu z lebih besar dari 90 Hz.
Sumbu z adalah sumbu satelit yang
sejajar dengan arah roket, sedangkan
sumbu x dan sumbu y adalah sumbu
lateral yang tegak lurus dengan sumbu z.
Berita Dirgantara Vol. 14 No. 1 Maret 2013:35-43
42
0,001
0,002
0,01
0,03
0,1
10 100 1000 10000
Frekuensi (Hz)
G2 /Hz
Gambar 4-1: Power spektal density (PSD) roket PSLV untuk meluncurkan Inasat-1
Tabel 4-1: Tingkat uji getar random
Frekuensi Kualifikasi PSD (g2/Hz)
Akseptansi PSD (g2/Hz)
20 0,002 0,001
110 0,002 0,001
250 0,034 0,015
1000 0,034 0,015
2000 0,009 0,004
Grms 6,7 4,47
Durasi 2 min/aksis 1 min/aksis
Tabel 4-2: Hasil pengukuran frekuensi natural
Frekuensi Natural
Uji getar random (Hz)
Sumbu x 155,259
Sumbu y 122,951
Sumbu z 225,172
Proses Manufaktur dan Integrasi Struktur ..... (Widodo Slamet)
43
5 PENUTUP
Struktur Inasat-1 berfungsi untuk
mengikat dan melindungi muatan-
muatan yang dibawanya. Struktur
Inasat telah dirancang dengan alur
perancangan yang diawali dari misi dan
persyaratan roket. Dari berbagai
persyaratan, terutama jumlah solar sel,
batasan dimensi dan bobot serta
kestabilan pengendalian maka diputuskan
struktur Inasat-1 berbentuk segi enam
(hexagonal).
Struktur Inasat-1 juga telah
dimanufaktur yang menghasilkan struktur
yang mampu berfungsi sesuai dengan
tujuannya. Proses manufaktur struktur
Inasat_1 dilakukan dengan berbagai
mesin seperti CNC, milling, tab dan
drilling.
Sedangkan proses integrasi
dilakukan dari penyambungan komponen-
komponen hingga menjadi bentuk
struktur Inasat-1. Struktur ini juga
disimulasi menggunakan software nastran
dan diuji getar dengan menghasilkan
frekuensi natural yang memenuhi syarat
peluncurnya, yaitu frekuensi natural
> 45 Hz pada sumbu x dan y, serta >90
Hz pada sumbu z.
Pelajaran terpenting dari proses
manufaktur struktur Inasat-1 adalah
pengalaman lapangan dan mengetahui
mitra kerja yang memiliki fasilitas
permesinan dan pengujian di Indonesia,
yang dapat dimanfaatkan oleh Lapan.
Pelajaran berikutnya adalah proses yang
harus diikuti secara terurut untuk
dijadikan SOP perancangan, pembuatan
dan pengujian struktur satelit.
DAFTAR RUJUKAN
Campbell, James S., 1996. Principles of
Manufacturing and Processes, Mc-
Graw Hill Book Co., New York.
Griffin, Michael, D., 2004. Space Vehicle
Design 2nd, AIAA Educations
Series, Virginia.
Kazanas, H. C., 1999. Basic Manufacturing
Processes, Macmillan, New York.
Manual user guide polar satellite launch
vehicle (PSLV), Indian space
researh organisation (ISRO), 2004.
Sarafin, Thomas P., 1997. Spacecraft
Structurees and Mechanisms,
Microcosm Press, Torrance,
California.
Shingley, Joshep E., 2004. Mechanical
Engineering Design 7th Edition,
Mc-Graw Hill Book Co., Singapore.
Ulrich, Karl T., 2000. Product Design and
Development 2nd Edition, Mc-Graw
Hill Book Co., Singapore.
Wijker, Jakob Job, 2008. Spacecraft
Structure, Springer, Leiden,
Netherlands.
PEDOMAN BAGI PENULIS
BERITA DIRGANTARA
Berita Dirgantara adalah majalah ilmiah semi populer bersifat nasional untuk pemasyarakatan hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah di bidang sains, teknologi, dan pemanfaatan dirgantara serta kebijakan kedirgantaraan yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sifat semi populer berarti istilah teknis dijelaskan secara lebih populer dan tidak menggunakan rumus-rumus, kecuali rumus sederhana yang mudah dipahami awam. Gambar dan ilustrasi yang lebih menjelaskan isi karya tulis ilmiah sangat diharapkan.
Berita Dirgantara mengundang para penulis untuk mengirimkan naskah atau karya asli hasil penelitian, pengembangan, pemikiran, dan/atau ulasan ilmiah yang belum dipublikasikan atau dikirimkan ke media publikasi manapun. Naskah yang dikirim akan dievaluasi Dewan Penyunting dari segi keaslian (orisinalitas), kesahihan (validitas) ilmiah, dan kejelasan pemaparan. Penulis berhak menanggapi hasil evaluasi. Dewan Penyunting berhak menyempurnakan naskah tanpa mengurangi isi/maknanya. Naskah yang tidak dimuat, dikembalikan kepada penulis dengan alasan penolakannya. Penulis yang naskahnya dimuat mendapat 3 eksemplar dari nomor yang diterbitkan. Bagi naskah yang ditulis kolektif, hanya disediakan 2 eksemplar untuk masing-masing penulis. Ketentuan bagi penulis pada Berita Dirgantara ini adalah sebagai berikut.
a. Pengiriman naskah
Naskah dikirim rangkap 4 (empat), ditujukan ke Sekretariat Dewan Penyunting Berita Dirgantara dengan alamat, Bagian Publikasi dan Promosi LAPAN Jalan Pemuda Persil No. 1, Jakarta Timur 13220. Naskah diketik dengan MS Word dengan Bookman Old Styles font 11 pt pada kertas A4 dengan spasi ganda. Khusus untuk judul naskah ditulis huruf besar dengan font 16 pt. Penulis yang naskahnya diterima untuk dipublikasikan, diminta menyerahkan file dalam disket, atau dikirim melalui e-mail ke Sekretariat Dewan Penyunting ([email protected]; [email protected]).
b. Sistematika penulisan
Naskah terdiri dari halaman judul dan isi karya tulis ilmiah. Halaman judul berisi judul yang ringkas tanpa singkatan, nama (para) penulis tanpa gelar, instansi/perguruan tinggi, dan e-mail penulis utama. Halaman isi karya tulis ilmiah terdiri dari (a) judul, (b) ringkasan dalam bahasa Indonesia tidak lebih dari 200 kata dan tersusun dalam satu alinea, (c) batang tubuh naskah yang terdiri dari 1. Pendahuluan, 2. Bab-bab bahasan, 3. Penutup, dan (d) daftar rujukan.
c. Gambar dan Tabel
Gambar atau foto harus dapat direproduksi dengan tajam dan jelas. Gambar atau foto warna hanya diterima dengan pertimbangan khusus. Gambar dan tabel dapat dimasukkan dalam batang tubuh atau dalam lampiran tersendiri. Untuk kejelasan penempatan dalam jurnal, gambar dan tabel harus diberi nomor sesuai nomor bab dan nomor urut pada bab tersebut, misalnya Gambar 2-2 atau Tabel 2-1 yang disertai keterangan singkat gambar dan judul dari tabel yang bersangkutan.
d. Persamaan, Satuan, dan Data Numerik
Persamaan sederhana diketik atau ditulis tangan (untuk simbol khusus) dan diberi nomor di sebelah kanannya sesuai nomor bab dan nomor urutnya, misalnya persamaan (1-2). Satuan yang digunakan adalah satuan internasional (CGS atau MKS) atau yang lazim pada cabang ilmunya. Data numerik menggunakan ejaan Bahasa Indonesia dengan menggunakan koma untuk angka desimal.
e. Rujukan
Rujukan di dalam naskah ditulis dengan (nama, tahun) atau nama (tahun), misalnya (Hachert and Hastenrath, 1986). Lebih dari dua penulis ditulis “et al.”, misalnya Milani et al. (1987). Daftar rujukan hanya mencantumkan makalah/buku atau literatur lainnya yang benar-benar dirujuk di dalam naskah. Daftar rujukan disusun secara alfabetis tanpa nomor. Nama penulis ditulis tanpa gelar, disusun mulai dari nama akhir atau nama keluarga diikuti tanda koma dan nama kecil, antara nama-nama penulis digunakan tanda titik koma. Rujukan tanpa nama penulis, diupayakan tidak ditulis ‘anonim’, tetapi menggunakan nama lembaganya, termasuk rujukan dari internet. Selanjutnya tahun penerbitan diikuti tanda titik. Penulisan rujukan untuk tahun publikasi yang sama (yang berulang dirujuk) ditambahkan dengan huruf a, b, dan seterusnya di belakang tahunnya. Rujukan dari situs web dimungkinkan dengan menyebutkan tanggal pengambilannya. Secara lengkap contoh penulisan rujukan adalah sebagai berikut.
Donald, McLean,1990. “Automatic Flight Control System”, Prentice Hall International (UK) Ltd. Hachert, E. C. and S. Hastenrath, 1986.”Mechanisms of Java Rainfall Anomalies”, Mon Wea. Rev. 114, 745-757. Martinez, I. 2011, “Aircraft Enviromental Control”; http:// webserver.dtm. upm.es/~isidoro/tc3/ Aircraft ECS.htm;
download Agustus 2011.Adam Higler Bristol Publishing, Ltd. Wu L.; F.X. Le Dimet; B.G. Hu; P.H. Cournede; P. De Reffye, 2004. “A Water Supply Optimization Problem for
Plant Growth Based on Green Lab Model”, Cari 2004-Hammamet. p: 101-108.