blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx ·...

23
ISLAM DALAM KONTEKS PEMIKIRAN POST – MODERNISME (Telaah kritis terhadap “kritik nalar Islami” Mohammed Arkoun) Oleh : Ummu Iffah Abstrak This is study on Muhammed Arkoun, a moslem scholar who responded post modernis thoughts. He is an Algerian scholar who studied in western countries. In this article, the writer discusses and criticizes the idea of “ rasional criticism on Islam”. Additionaly, the writer also reniew the influence of post modernism toward Arkoun. PENDAHULUAN Perbincangan mengenai post modernisme belakangan ini mulai banyak direspon oleh kaum agamawan dan para peminat studi – studi agama meskipun baru pada masa menjelang tahun 90-an. Respon ini menguat 1 , namun sebenarnya sejak tahun 1984 Harvey Cox telah memberikan indikasi tentang kemunculan suatu teologi post modernisme, sebuah gerakan pembebasan yang didasari atas visi teologis dan aktivitas – aktivitas komunitas kristen lokal di berbagai tempat misalnya di Amerika Latin 2 . 1 Hans Kung, misalnya pertama kali memasukkan debat post modern di dalam bukunya, theology for Third millennium : An Ecumenical View(New York : Doubleday, 1998) kemudian di dalam karyanya global Responsibility : In Search of a New World Etik (New York : Crossroad, 1991). Sementara itu Huston Smith juga telah mengarang sebuah buku berjudul Beyond the Post Modern. Juga tidak bias diabaikan karya Ernest Gellner, Post Modernism, Reason and Religion, 1992 dan karya Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam : Predicament and promise, 1992. 2 Harvey Cox, Religion in Secular City : Toward a Postmodern Theologi ( New York : Simon and Schuster, 1984)

Upload: lamdung

Post on 13-Jun-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

ISLAM DALAM KONTEKSPEMIKIRAN POST – MODERNISME

(Telaah kritis terhadap “kritik nalar Islami” Mohammed Arkoun)Oleh : Ummu Iffah

Abstrak

This is study on Muhammed Arkoun, a moslem scholar who responded post modernis

thoughts. He is an Algerian scholar who studied in western countries. In this article, the

writer discusses and criticizes the idea of “ rasional criticism on Islam”. Additionaly, the

writer also reniew the influence of post modernism toward Arkoun.

PENDAHULUAN

Perbincangan mengenai post modernisme belakangan ini mulai banyak

direspon oleh kaum agamawan dan para peminat studi – studi agama meskipun baru

pada masa menjelang tahun 90-an. Respon ini menguat1, namun sebenarnya sejak tahun

1984 Harvey Cox telah memberikan indikasi tentang kemunculan suatu teologi post

modernisme, sebuah gerakan pembebasan yang didasari atas visi teologis dan aktivitas –

aktivitas komunitas kristen lokal di berbagai tempat misalnya di Amerika Latin2.

Salah satu persoalan menarik yang muncul dalam pembicaraan mengenai post

modernisme dan agama adalah bagaimana perspektif pemikiran post modern dapat

dipakai untuk melihat agama. Atau bagaimana post modernisme bisa digunakan sebagai

sebuah alat analisis atau sebuah strategi untuk melihat agama. Hal ini mungkin agak

riskan terutama karena sebagian orang menilai bahwa apa yang disebut sebagai

pemikiran post modernisme masih belum menemukan bentuknya yang jelas.

Namun persoalan penggunaan sebuah perspektif analisis atau strategi

tertentu untuk melihat agama, sesungguhnya bukan persoalan luar biasa, karena setiap

1 Hans Kung, misalnya pertama kali memasukkan debat post modern di dalam bukunya, theology for Third millennium : An Ecumenical View(New York : Doubleday, 1998) kemudian di dalam karyanya global Responsibility : In Search of a New World Etik (New York : Crossroad, 1991). Sementara itu Huston Smith juga telah mengarang sebuah buku berjudul Beyond the Post Modern. Juga tidak bias diabaikan karya Ernest Gellner, Post Modernism, Reason and Religion, 1992 dan karya Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam : Predicament and promise, 1992.2 Harvey Cox, Religion in Secular City : Toward a Postmodern Theologi (New York : Simon and Schuster, 1984)

Page 2: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

persoalan senantiasa dilihat dari perspektif tertentu, baik sosiologis, antropologis,

historis, fenomenologis dan sebagainya.

Salah satu pemikir Islam yang merespon pemikiran – pemikiran post

modernisme adalah Mohammed Arkoun, seorang pemikir Islam dari Aljazair yang

banyak mengenyam pendidikan di Barat. Tulisan di bawah ini akan mengkaji sekaligus

mengkritisi ide “kritik Nalar Islami” yang digulirkan Mohammed Arkoun dan juga

berusaha melihat seberapa jauh keterpengaruhan Arkoun terhadap pemikir post

modernisme.

Sketsa Biografis Mohammed Arkoun

Mohammad Arkoun dilahirkan pada 1 Pebruari 1928 di Tauriri-Mimoun

Grande Kabilia, Aljazair. Kabilia adalah sebuah pegunungan berpenduduk Berber.

Wilayahnya terbentang luas dari utara sampai selatan di bagian timur Aljazair. Kabilia

jadi koloni Perancis sejak tahun 1830 M. Perancis telah menjadikan daerah tersebut

sebagai pintu masuk Sahara, Wargala dan Mazb, daerah Afrika Utara3. Arkoun lahir

ketika Aljazair masih berada di bawah kekuasaan Perancis. Karenanya sejak awal, ia

terdidik dalam budaya dan sistem pendidikan Prancis.

Sebagai anak yang dilahirkan di Kabilia, Arkoun mengenal dengan baik bahasa

tak tertulis Kabilia dan bahasa Arab yang merupakan bahasa keagamaan tertulis serta

bahasa Perancis. Dari tiga macam bahasa itu, Arkoun sadar bahwa bahasa bukan hanya

sarana teknis untuk mengungkapkan diri. Lebih dari itu bahasa mempunyai latar

belakang dan nilainya sendiri. Karena inilah Arkoun kemudian menyadari pula akan

keterbatasan yang ada pada bahasa yang bersangkutan. Sebuah bahasa kadang –

kadang tidak mampu memuat makna bahasa lain. Hal ini dialami Arkoun ketika harus

menerjemahkankata mitos dalam bahasa Arab.

Arkoun merampungkan pendidikan pendidikan sekolah dasar di Kabilia dan

sekolah menengah di kota pelabuhan Oran. Setamat SMA, ia melanjutkn belajar di

Universitas Aljir dengan spesifikasi bahasa dan sastra Arab.

3 Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, terj Rahayu S. Hidayat (Jakarta : INIS, 1994), I

Page 3: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

Pada saat pecah perang kemerdekaan, stabilitas politik dan ekonomi Aljazair

dalam keadaan tidak menentu lagi. Dalam kondisi itulah, imigrasi ke Perancis menjadi

impian dan harapan banyak orang – orang Aljazair yang masih berorientasi pada masa

depan. Mohammed Arkoun adalah salah satunya. Imigrasi ke Perancis dijadikan jalan

untuk melanjutkan studinya ke Universitas Sorbonne Noevele Paris. Pada tahun 1961,

Arkoun diangkat sebagai dosen di universitas tersebut. Tiga tahun kemudian (1969) ia

memperoleh gelar doktor dalam bidang sastra dengan desertasi ‘Humanisme Etis Ibnu

Miskawaih” (.1030 M)4.

Peta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal

Muhammed Arkoun dalam menatap realitas umat Islam ke depan. Tidak dapat

dipungkiri. Selain ia terpengaruh oleh gegap gempita perpolitikan ini, ia juga merasa

bahwa benturan antar budaya Kabilia, Islam dan Perancislah yang membuatnya

menyadari berbagai persoalan kebahasaan5.

Menurut hemat penulis, faktor yang mempengaruhi pemikiran Muhammed

Arkoun selain pergumulannya dalam bidang bahasa sehingga pemikirannya kental

dengan nuansa bahasa, juga karena pengembaraan intelektualnya. Dimulai dari

pendidikan tradisional di Kabilia, Arkoun meneruskan sekolah menengahnya di Aljir.

Perlu dicatat disini, bahwa sekolah menengah di Aljir ini merupakan perpanjangan

tangan dari kolonialis Prancis. Dengan kata lain merupakan wahana asimilasi

kebudayaan Perancis dengan negara jajahannya. Sehingga benturan kebudayaan yang

memicu ketegangan seringkali terjadi, terutama sebagai resistensi atas hegemoni

kolonialis Perancis. Dan Arkoun terlibat langsung dengan “konflik kebudayaan” tersebut.

Karir dan kegiatan intelektual Arkoun dimulai sebagai guru bahasa di SMA dan

dosen di Universitas Strasbourg dari tahun 1956 – 1959. Kemudian sejak tahun 1961,

Arkoun diangkat menjadi dosen pada Universitas Sorbone sampai 1969. Karir

kepengajarannya meluas ke hampir benua Eropa dan Amerika dari mulai doesn di

Universitas Lyon, Universitas of California, Princeton University, Temple University,

Universitas Katolik Louvain – La Neuve di Belgia, Berlin, Kolumbia, Denver di Amsterdam

Belanda dan Dunia Timur Tengah seperti di Aljir Tunis, Damaskus, Beirut dan Teheran.

4 Ibid, 15 John. L. Esposito, The Oxford Encyclopedy of Islamic Modern World, vol 11, 397

Page 4: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

Arkoun bukan hanya aktif dan hidup dari kampus ke kampus. Ia adalah orang

yang engage, melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aksi kemanusiaan seperti

anggota panitia untuk etika dan ilmu pengetahuan kehidupan dan kedokteran. Anggota

Majlis Nasional untuk AIDS dan lain – lain.

Meski demikian Arkoun bukanlah ilmuwan yang hanya mengandalkan bahasa

lisan. Banyak karya lahir dari “tangan dinginnya”. Karya – karyanya hampir semuanya

ditulis dalam bahasa Perancis dan jarang ditulis dalam Bahasa Arab atau Inggris.

Diantaranya karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah

Nalar Islami dan Nalar Modern, pelbagai tantangan dan jalan baru, Rethinking Islam,

pemikiran Arab dan berbagai pembacaan Al-Qur’an. Sedangkan yang diterjemahkan ke

dalam bahasa Arab adalah : A-Fikr Al-Islam: Qira’ah Ilmiyyah, al-Fikr al-Islami: Naqd wa

latihad, al Islam Asalah wa Mumarasah dan lain – lain. Sedangkan artikel – artikelnya

tersebar di jurnal – jurnal Internasional seperti Arabica dan Islamo Christiana.

Akar Epistimologi Pemikiran Arkoun

Arkoun tumbuh pada saat pesatnya perkembangan science di dunia barat,

baik sosial-humaniora maupun ilmu – ilmu alam. Momentum ini tidak bisa disia – siakan

dan dibiarkan tanpa makna. Sehingga tidak aneh kalau dalam setiap tulisannya kental

dengan nuansa istilah – istilah ilmu barat modern tersebut. Karena itu salah satu kritik

pada pemikiran Islam menurutnya adalah miskinnya pemikiran tersebut dari

penggunaan atau pemanfaatan perkembangan ilmu itu. Menurutnya pemikiran Islam

belum membuka diri pada kemodernan dan karena itu pula pemikiran Islam tidak

mampu menjawab tantangan yang dihadapi masyarakat Islam kontemporer. Lebih jauh

ia menegaskan bahwa perkembangan mutakhir ilmu – ilmu Barat tersebut belum

diterima oleh kalangan kaum muslimin. Akibatnya pemikiran Islam masih bersifat naif6.

Dalam lingkungan Islam, memang ilmu – ilmu sosial modern masih dianggap sebagai

ilmu bantu, bukan ilmu inti dan inilah yang mernjadikan ilmu – ilmu Islam menjadi kering

nuansa dan lebih bersifat “melangit” dan seringkali bersifat utopis.

6 Seperti dikutip Johan Hendrik Meuleman dalam tulisannya ‘Nalar Islam dan Nalar Modern : Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun dalam jurnal Ulumul Qur’an No 4 Vol VI, th. 1993, 97.

Page 5: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

Berangkat dari keprihatinan itu maka tidak aneh kalau Arkoun banyak

menggunakan pendekatan dan metodologi berbagai cabang ilmu sosial yang ada, mulai

dari antropologi, sosiologi, sejarah, linguistik dan filsafat. Ia beranggapan bahwa ilmu –

ilmu tersebut telah memberi andil untuk memotret dan memetakan kembali kinerja

keilmuwan dan pengalaman manusia7. Ilmu – ilmu sosial tersebut menurutnya juga bisa

digunakan untuk memahami I’imaginare- endapan kesadaran dan keyakinan yang

mengatur perilaku masyarakat serta mencapai pembacaan realitas secara langsung dan

total8. Latar Belakang pemanfaatan terhadap ilmu tersebut bertitik tolak dari

paradigmanya bahwa : menggunakan akal guna mempertebal iman9.

Dari sekian banyak khasanah keilmuwan sosial Barat modern tersebut yang

kerap muncul dan dijadikan pisau analisis Arkoun berasal dari filsuf – filsuf Prancis,

seperti Paul Ricour, Michael Foucault, Jecques Derrida, Pierre Bourdieu dari Inggris, Jack

Goody (ahli bahasa Swis), Ferdinand de Saussure (ahli semiotika Perancis), Roland

Barthes dan ilmuwan kesusasteraan Kanada, Northrop Frye. Istilah – istilah yang mereka

gunakan dipakai oleh Arkoun untuk mengurai teks-teks (termasuk al-Qur’an) dan

produk-produk pemikiran islam lainnya.

Yang perlu dicatat disini adalah bahwa Arkoun tidak secara keseluruhan

mengambil ide-ide Barat tersebut. Ia terkesan hanya mencomot sebagian dan terkadang

memaknainya dengan pengertiannya sendiri. Dari Ricour melalui dua karyanya,

Philosophie de la volonte (filsafat kehendak) dan Del ‘interprelation (perihal interpretasi)

ia mengambil konsep mitos sebagai kelanjutan dari “pemungutannya” terhadap konsep

bahasa dan semiotika Barthens dan de Saussure.

Ricour mengemukakan konsep mitos setelah menguraikan simbol-simbol

dasar yang mengungkapkan penghayatan manusia terhadap kejahatan. Mitos

digunakannya untuk menjelaskan darimana asalnya kejahatan tersebut. Menurutnya,

mitos adalah simbol sekunder yang menjelaskan simbol primer. Karena menggunakan

simbol, maka mitos tidak sama dengan bahasa rasional. Bahasa mistis tidak pernah bisa

7 Seperti diuraikan Amin Abdullah dalam tulisannya, “Arkoun dan Kritik Nalar Islam” dalam Meuleman (penyunting), Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme (Yogyakarta: LKIS,1996),13 Elaborasi lebih lanjut mengenai ini baca Pengantar Meulaman untuk Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, 128 Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, terj. Machasin (Jakarta : INIS, 1997),489 Suadi Putro, Muhammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas (Jakarta : Paradigma , 1998), 21 yang menjelaskan tentang keanehan Ibrahim dalam bentuk permohonan kepada Tuhannya untuk memperlihatkan bagaimana Dia menghidupkan orang mati. Baca QS Al- Baqarah 2:260. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa bukannya Ibrahim tidak percaya tapi agar bertambah tetap hati saya. Ayat ini lebih jauh memberi pelajaran berharga bahwa keimanan agar kuat harus ditopang dengan ilmu

Page 6: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

diganti begitu saja dengan bahasa rasional. Ia tidak mungkin diterjemahkan dengan

konsep-konsep. Meskipun demikian, mitos bukanlah khayalan yang tak bermakna. Ia

berperan dalam kehidupan manusia. Hanya menjadi tidak bermakna ketika itu maka

terjadilah apa yang menjadi penyembahan “idola-idola” atau berhala dan ketika itu

maka terjadilah apa yang disebutnya ‘pemistikan”. Sehingga yang harus ditiadakan

adalah salah pemahaman dan penyalahan mitos bukan mitosnya itu sendiri. Sebab, bila

ini terjadi maka mitos yang semula bersifat terbuka menjadi bersidat tertutup10.

Dari pandangan Ricour tersebut Arkoun menjelaskan bahwa mitos merupakan

salah satu unsur terpenting dari angan-angan sosial. Angan-angan sosial memegang

peranan penting untuk membentuk, melestarikan dan mengarahkan berbagai kelompok

sosial. Angan-angan sosial dibangun dari berbagai unsur : sejarah, realitis sosial dan

lingkungan yang bersangkutan. Salah satu unsur penting dari angan-angan sosial itu

adalah mitos yang berperan membentuk citra, cerita dan nilai. Dengan memperhatikan

hal-hal tersebut maka segala bentuk perkembangan pemikiran, baik masa lampau

maupun masa akan datang akan mudah dipahami. Dengan demikian mitos berfungsi

menjelaskan, menunjukkan dan membangun kesadaran kolektif pelakunya.

Pemahamannya tersebut kemudian diaplikasikan untuk baca al-Qur’an. Menurutnya, al-

Qur’an – sebagaimana teks-teks lainnya – juga bersusun mistis dan karenanya bisa

berubah menjadi motologi11, bila pemahaman terhadapanya tidak mengindahkan hal-hal

di atas.

Dari de Seussure dan Barthens, Arkoun mengambil semiotika12. Semiotika

adalah sains tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya : cara berfungsinya

(Sintaks semiotik), hubungan dalam tanda-tanda lain(semantiks esmiotik). Pengiriman

dan menerimaanya oleh mereka yang menggunakannya (pragmatik semiotik). Tanda,

menurut Seussure adalah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, antara

penanda (signifer) dan petanda (signified) atau makna13. Yang pertama adalah unsur

10 K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX jilid 11 (Jakarta : Gramedia, 196), 254 – 278. dalam buku tersebut dijelaskan bahwa Ricour membagi mitos menjadi empat : mitos kosmis, mitos tragis, mitos tentang Adam dan mitos Orfis. Dari sini timbul pertanyaan, Arkon mengambil mitos yang mana dari yang empat tersebut, apakah diambil semua dan dianggap sama atau bagaimana?. Samapai sejauh ini belum ada yang menjelaskan.11 Meuleman, Nalar Islami, 9912 Semiotika modern memiliki dua orang bapak pendiri : Charles Sanders Pierce (1839 – 1914) dan Ferdinan de Saussure (1857 – 1913). Dalam hal-hal tertentu seperti peristilahan antara keduanya ada sedikit perbedaan. Arkoun tampaknya lebih memilih tokoh kedu. Tidak jelas mengapa, namun bila ia merujuk pada Saussure maka mestnya menggunakan semiologi bukan semiotik lebih jauh baca Art van zoest, serba-serbi semiotika (Jakarta : Gremidia, 1996), 1 - 213 Yasraf Amir Piliang, Hiper Realitas kebudayaan 9Yogyakarta : LKIS, 1996), 111

Page 7: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

material dan yang kedua adalah unsur mental (anggita atau konsep). Penanda adalah

yang menandai dan pertanda adalah yang ditandai.

Menurut de Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbiter

(diada-adakan) dan stabil. Dikatakan arbiter sebab tidak ada keterkaitan logis antara

keduanya, misalnya antara kata rumah dengan rumah yang nyata. Sedangkan dikatakan

stabil, sebab sekali ia dinyatakan pohon misalnya, ia tetap pohon dalam konvensi

komunitas.

Dalam kajian selanjutnya Saussure memfokuskan pada kegiatan struktur yang

menopang bahasa itu sendiri. Ia masuk dalam aliran strukturalisme yaitu suatu aliran

pemikiran yang berupaya menyingkap struktur pemikiran, ungkapan dan tingkah laku

manusia. Dengan ini maka sebuah unsur hanya bermakna ketika ia dikaitkan dengan

peragkat unsur-unsur lain secara total. Disini jelas bahwa Saussure sangat menekankan

individu sebagai subyek yang bertindak sebagai pengguna kode-kode sosial yang sudah

ada. Karenanya ia tidak mengkaji bahasa dari sejarah perkembangan dan artikulasinya.

Intinya (1) strukturisme tidak menganggap penting kajian subyek sebagai

pencipta (tanda, kode), tapi melihatnya sebagai pengguna tanda dan kode yang telah

tersedia (2) tidak menaruh perhatian pada hubungan sebab akibat, tetapi pada relasi

struktur dan (3) tidak menganggap penting pertanyaan tentang sejarah, waktu dan

perubahan pada struktur. Tetapi pada kajian tentang sistem pada satu penggal waktu

tertentu. Dari sini kemudian Saussure menyatakan bahwa bahasa tidak hanya bisa dikaji

secara diakronik (perkembangan dan maknanya secara historis) tapi juga sinkronik (satu

hubungan diantara seerangkat unsur-unsur dalam wadah waktu yang historis).

Kemudian ia menjelaskan bahwa dalam kajian bahasa sinkronik, ada kata

kunci yang mesti diperhatikannya yakni langue dan parole. Langue adalah totalitas dari

sistem dan konvensi bahasa atau sistem kebahasaan, sedangkan parole adalah realitas

penggunaan bahasa atau pemakaian bahasa dalam ungkapan nyata. Langue merupakan

persyaratan bagi parole14.

Dalam pembahasannya, meskipun tidak dalam semuanya, Arkoun banyak

menggunakan analisis semiotik tersebut, meskipun akhirnya melampaui hal itu dan

meloncat pada persoalan makna, pembentukan dan perubahannya, penafsiran makna

dan perubahan dalam penafsiranya serta beralih ke Derrida dan Focoult. Menurutnya, 14 Ibid, 115 - 117

Page 8: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

analisis semiotis berguna untuk melihat teks sebagai suatu keseluruhan dan sebagai

suatu sistem dari hubungan-hubungan intern. Dengan ini maka, menurutnya, dalam

mendekati teks seorang peneliti terlepas dari interpretasi tertentu sebelumnya atau

praanggapan lainnya15.

Selajutnya, analisis semiotik Arkoun didapatkan dari Derrida meskipun ia lebih

setuju dengan Saussure, sebab Derrida tidak mengakui adanya “pertanda

transendental” yang berarti kalau hal itu diterapkan pada teks al-Qur’an, maka akan

menafikan kebenaran Ilahi atau tidak mengakui Allah sebagai yang berada di belakang

teks.

Berikutnya, yang didapatkannya dari Derrida adalah konsep dekonstruksi.

Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa konsepnya ini merupakan kritik terhadap tradisi

filsafat dan linguistik barat termasuk Saussure. Menurut Derrida, linguistik struktural

Saussure telah mengembangkan konsep oposisi biner antara ucapan dan tulisan, makna

dan bentuk, jiwa dan badan, transendental dan imanensi. Menurutnya, meskipun

keduanya hanyalah perantara atau representasi palsu dari kebenaran atau sesuatu yang

sudah tercemar dan berada di luar kawasan kebenaran yang ada pada hal pertama. Yang

pertama kemudian disebut logosentrisme.

Logosentrisme beranggapan bahwa “ada” adalah sama dengan kehadiran, dan

yang benar adalah lebih awal daripada pertanda.

Dekonstruksi adalah sebuah upaya penyangkalan terhadap oposisi tersebut

dan penolakan terhadap kebenaran logos itu sendiri. Bila dengan oposisi ucapan dan

tulisan merupakan pra kondisi dari bahasa dan ada sebelum ucapan oral. Karena itu

tidak benar kalau tulisan adalah representasi palsu atau topeng dari ucapan. Tulisan bisa

melepaskan diri dari ucapan. Tulisan bagaikan jejak tapak kaki yang mengharuskan kita

untuk mencari si empunya kaki itu. Berfikir, menulis dan berkarya adalah prinsip jejak

yang Derrida sebut dengan difference. Bila dikaitkan dengan logosentrisme Saussare,

maka prinsip difference adalah sebuah penolakan pada petanda atau makna absolut. Hal

ini terjadi karena selalu ada jarak menuju jejak. Pertanda absolut selalu berupa jejak

dibelakang jejak. Dengan itu maka selalu ada celah antara penanda dan pertanda atau

antara teks dan maknanya. Oleh karena itu pencarian makna absolut adalah mustahil16.

15 Meuleman, Nalar Islam, 16 - 1716 Piliang, Hipper, 79 – 80. di sana-sini tampak terdapt paradoks dalam diri Arkon. Karena itu hanya mencmot pemikiran tokoh-tokoh tersebut secara tidak utuh, sehingga pada satu sisi

Page 9: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

Dengan dekonstruksi, aturan-aturan yang menyelimuti logosentrisme dapat

diungkap. Sesuatu yang semula dilupakan atau disingkirkan dapat ditemukan kembali.

Meskipun untuk mencapai makna absolut adalah tidak mungkin. Pada tataran inilah

kemudian Arkon menyebut istilah apa yang tak terpikirkan (unthinkable) dan yang tak

terpikir (unthought).

Pemikir Perancis berikutnya yang berpengaruh pada Arkoun mengambil

konsep Episteme dan wacana. Episteme adalah sistem pemikiran yang dengannya

manusia menangkap (memandang dan memahami) kenyataan. Sedangkan wacana

adalah cara manusia membicarakan kenyataan dalam penggolongan, analisis dan

sebagainya. Karena itu, setiap zaman atau orang, lingkungan sosial, kelompok keahlian

dan peradaban memandang, memahami dan membicarakan kenyataan dengan cara

yang berbeda. Masing-masing mempunyai episteme dan wacana. Dengan memahami

ini, maka adalah tidak aneh kalau dengan paham dan wacana ini akan sangat toleran

terhadap realitas heterogen dan plural, terutama dalam memahami teks. Untuk

menganalisis hal tersebut Foucault mengusulkan apa yang disebut arkeologi

pengetahuan17.

Dengan ini semua, Arkoun membangun teori dan pemikirannya dan kemudian

melakukan kritik terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam. Bila melihat itu semua

maka yang ingin dibangun Arkoun adalah sebuah kritik terhadap bangunan Epistimologis

yang bertujuan bukan hanya mendekonstruksi tanpa ada tujuan. Dengan itu maka

tampak keterkaitan antara bahasa, pemikiran, ideology dan sejarah.

Dengan menempatkan seluruh bangunan keilmuan pemikiran pada tataran historis,

maka semuanya tidak ada yang sakral, bisa dikritik dan berubah serta dibongkar. dan

dengan demikian, ia menekankan perlunya mempertimbangkan aspek ruang dan waktu

misalnya, ia sepakat dengan Saussure dalam hal bahwa da pertanda transcendental. Berbeda dengan Derrida yang berpendapat sebaliknya, tapi pada saat yang sama ia memakai dekonstruksi atas logosentrismenya Saussure dan kembali mempertimbangkan enanda (bahasa lisan) dari pada bahasa tulis. Hal ini akan tampak ketika ia kemudian memakai “wacana dan episteme” Foucault. Karena itu memakai istilah logosentrisme, meskipun dengan definisi yang berbeda sepeeerti yang diddefinisikan Saussure. Dengan demikian Arkon memakai definisi logosentrisme yang dipakai Derida yang menyatakan bahwa manusia tidak bias mengungkapkan diri atau berfikir kecuali melalui bahasa, tradisi kebahasaan dan tradisi teks. Dengan itu maka ia kembali menggunggulkan kembali bahasa daripada bahasa tulis.17 Untuk lebih jauh memahami gagasan arkeologi pengetahuan tersebut baca Michel Fouctlt, The Archeology of Knowledge & the Diccourse on Language (New York, Harper Clophon Books, 1971)

Page 10: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

dalam memahami produk pemikiran18. Historisitas menurutnya berperan untuk

merekontruksi makna lewat penghapusan relevansi antara teks dan konteks dan jika

metode ini diaplikasikan pada teks – teks keagamaan, maka makna baru yang secara

potensial bersemayam dalam teks – teks tersebut akan muncul.

Kritik Nalar Islami Mohammed Arkoun

Nalar Islami yang dimaksudkan oleh Arkoun adalah nalar ortodoksi,

epistimologi skolastik atau pemikiran Islam klasik19. Ide kritik nalar Islam yang digulirkan

oleh Arkoun itu merupakan respon terhadap kegelisahan intelektualnya terhadap

kestagninasian dan kejumudan ilmu – ilmu agama Islam, padahal kehidupan manusia

telah berubah sedemikian fantastisnya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, dari

segi intensitas maupun ekstensitasnya.

Dari sini Arkoun mulai mencoba menelaah kenyataan itu lewat disiplin ilmu

social post modernisme untuk memperoleh gambaran dan kejelasan sekaligus ingin

mengungkap dan membedah realitas yang menyelimuti ilmu – ilmu agama Islam

tersebut.

Dalam studi naskahnya, Arkoun secara teliti dan jujur menelaah bagaimana

sebenarnya proses teks – teks dan naskah – naskah keagamaan Islam klasik itu dahulu

disusun. Suatu pekerjaan yang sama sekali tidak mudah. Menurut telaah filosofis, teks –

teks apapun termasuk di dalamnya teks – teks keagamaan tidak muncul begitu saja dari

langit. Teks tidak muncul dari ruang hampa kebudayaan. Teks – teks dan naskah –

naskah keagamaan apapun bentuknya adalah dikarang, disusun, diciptakan oleh

pengarangnya sesuai dengan tingkat pemikiran manusia saat naskah – naskah tersebut

disusun dan tidak terlepas sama sekali dari pergolakan social politik dan sosial budaya

yang mengitarinya. Bahkan tidak jarang dipengaruhi oleh angan – angan sosial dari si

penyusun atau pengarang naskah itu sendiri dalam merespon tantangan zamannya.

Sering sekali juga terjadi suatu naskah keagamaan dikarang dan disusun oleh

pengarangnya atas campur tangan dan pesan sponsor penguasa dan kekuatan politik

yang dominan saat itu.

18 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam Today (Washington : Center for Contemporary Arab Studies George Town University, t.th) 4-519 Mohammad Arkoun, Tarikhiyah al-Fikr al – Arabi al-Islami; terj Hasyim Saleh (Beirut, Markas al- Inma’ al-Qaumi, 1986), 22

Page 11: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

Pergolakan dan pergumulan sejarah dalam dataran kehidupan sosial – empiris

baik yang berupa pertentangan kepentingan politik, dominasi kekuatan sosial tertentu,

dominasi mainstream pemikiran keagamaan, keinginan luhur penguasa untuk menjaga

stabilitas dan keamanan Negara , perlindungan terhadap kepentingan ekonomi

golongan masyarakat tertentu dan sebagainya ikut menentukan corak konsepsi, cara

berfikir, kebijakan, made of thought, suatu generasi yang hidup pada era penggal

sejarah tertentu. Konsepsi atau pemikiran keagamaan pada umumnya juga merupakan

cermin dari dinamika pergumulan realitas sosio-historis pada penggal sejarah tertentu

yang terumuskan, terkonsepsikan, dan terungkap dalam bahasa tertentu.

Karena latar belakang itulah concern Arkoun terfokus pada problematika

bahasa dalam pengertian yang luas, bukan hanya sekedar alat komunikasi. Hubungan

antara bahasa pemikiran sejarah, Persaingan antara berbagai jenis bahasa dan cara

berfikir, Menurut Arkoun bahasa mempunyai keterkaitan erat dengan masyarakat dan

pemikirannya. Artinya pembentukan rasio bukan hanya terjadi secara intrinsik, tetapi

juga ekstrinsik, yakni melalui faktor – faktor sosial politik dan relasi – relasi historis.

Dengan demikian tidak ada rasio transcendental yang universal. Yang ada hanyalah rasio

– rasio yang dibatasi determinan – determinan sejarah. Arkoun ingin memperlihatkan

bahwa kontruksi itu mempunyai fokus sosio – historisnya sendiri20. Dengan pemikiran itu

maka Arkoun pada hakekatnya telah melakukan kritik ideologi21.

Berpijak dari bahasa itulah Arkoun melakukan kritik Nalar Islami dan orientalis

barat dengan dekontruksi ala Derrida. Menurut Arkoun bangunan keilmuan islam yang

ada dan diwarisi sekarang, pada mulanya tidak bisa dilepaskan dari keterkaitan dengan

ideologi resmi atau ideologi perlawanan. Hal ini mengakibatkan pemikiran keagamaan

menjadi tertutup dan dibatasi dengan apriori ideologis.

Pada tataran inilah Arkoun melakukan kritik terhadap logosentrisme dalam

Islam. Hal tersebut dikarenakan oleh ; (1) Pemikiran Islam dikuasai oleh nalar yang

dogmatis dan sangat terkait dengan kebenaran abadi (Tuhan). Jadi lebih bersifat estetis

etis daripada ilmiah (2) nalar yang bertugas mengenali kebenaran telah menjadi sempit

dan hanya berkutat dalam wilayah tempat kelahirannya saja, (3) di dalam kegiatannya,

nalar hanya bertitik tolak dari rumusan – rumusan umum dan menggunakan metode

20 Ibid, 6521 Untuk elaborasi lebih lanjut tentang kritik ideology baca F. Budi Hardiman, kritik Ideologi (Yogyakarta : Kanisius, 1990)

Page 12: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

analogi, implikasi dan oposisi, (4) peningkatan data – data empiris yang sederhana.

Sehingga berkaitan dengan dengan kebenaran transcendental (menjadi alat apologi) dan

(5) pemikiran Islam cenderung menutup diri dan tidak melihat matra kesejarahan, sosial,

budaya yang harus diikuti secara seragam dan memaksakan tindakan penirun buta (6)

pemikiran Islam lebih mementingkan suatu wacana lahir yang terproyeksikan dalam

ruang bahasa yang terbatas, sesuai kaedah – kaedah bahasa dan cenderung mengulang

suatu yang lama. Sedangkan wacana batin yang melampaui batas – batas logosentrisme

cenderung diabaikan22.

Lebih lanjut Arkoun menyatakan bahwa wacana – wacana logosentrisme telah

menutupi realitas dan menghambat dorongan – dorongan manusia yang kreatif dan

dalam Logosentris telah menafikan pluralitas dan perbedaan seperti perbedaan persepsi

dan bahasa, kesenjangan ekonomi kondisi sosial politik dan pertikaian antar umat serta

menghendaki keseragaman dan kebenaran universal terpusat tunggal23.

Sedangkan kritiknya terhadap tradisi orientalis barat adalah bahwa orientalis

tidak menjelaskan asal – usul naskah – naskah dan teks – teks keagamaan Islam secara

bahasa Arab klasik ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jerman dan lain – lain.

Corak dan model kajian seperti itu menurut Arkoun sama sekali tidak menolong umat

Islam untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya proses munculnya literatur keagamaan

Islam yang sedemikian melimpah yang seringkali dijejali angan – angan sosial yang hidup

saat itu dan kemudian dipaksakan untuk berlaku selamanya, tanpa mempertimbangkan

kesesuaian dengan waktu yang sebenarnya terbatas pada era tertentu saja24.

Arkoun ingin membangun pemikiran keagamaan yang terbuka, tanpa sikap

apriori teologis terhadap semua pengalaman keagamaan manusia dengan menggunakan

piranti keilmuan post modernisme

Berangkat dari itu semua, menurutnya jika kaum muslimin ingin mencari

kebenaran tentang dirinya, maka bukan hanya harus mengkaji ulang kebenaran wahyu,

tapi juga mengkaji ulang cara – cara khas yang dasarnya kebenaran itu dipahami,

dirasakan, dielaborasi, dijustifikasi, diberi wajah ortodoksi serta dihayati dalam konteks,

waktu dan ruang geografis tertentu. Hanya dengan cara ini setiap visi Islam bisa hidup,

22 Suadi, Mohammed Arkoun, 3823 Robert D.Lee Mencari Islam Autentik, terj Ahad Barquni (Badnung : Mizan 2000) 173-17424 Mohammed Arkoun Al Islam Autentik, terj Ahmad Barquni (Bandung :Mizan 2000), 173-174 Al-Qaumi,1990) 182

Page 13: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

tidak membeku dan menjadi toleran terhadap setiap perbedaan serta mengeliminasi

adanya truth claim.

Catatan Kritis tentang Arkoun dan Kritik Nalar Islaminya

Dari paparan di atas tampak bahwa Arkoun dalam mengkaji pemikiran Islam

terwadahi dalam ide kritik nalar Islaminya, banyak dipengaruhi oleh sejumlah aspek dari

pemikiran yang sering disebut post modernisme. Pengaruh ini tampak terutama dalam

tekanan yang selalu diberikan Arkoun pada hubungan yang erat antara sejarah

pemikiran dan bahasa. Kemudian, dalam rangka itu, Arkoun membantah kedaulatan

subyek dalam proses pemikiran dan menggaris bawahi perbedaan yang radikal antara

berbagai episteme dan wacana. Dari sini tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa

Mohammed Arkoun adalah termasuk salah satu pemikir post modernis Islam.

Namun, perlu dicatat disini bahwa Arkoun tidak secara keseluruhan

mengambil ide post modernisme tersebut. Ia terkesan hanya mencomot sebagian dan

terkadang memaknainya dengan pengertiannya sendiri. Dari Ricour misalnya ia hanya

mengambil konsep mitosnya, sedangkan dari de Saussure dan Barthens, Arkoun

mengambil semiotika kemudia ia meloncat ke dekontruksi Derrida.

Pengetahuannya terhadap sejumlah besar cabang ilmu pengetahuan barat

mutakhir, membuat karya Arkoun sangat kaya akan rujukan teoritis. Pada prinsipnya

kemajemukan rujukan itu adalah suatu hal yang positif. Namun Arkoun ternyata tidak

selalu sadar akan ketegangan antara berbagai acuan itu atau antara unsure tertentu dari

sumber rujukannya dan dari pendiriannya sendiri.

Satu contoh yang menonjol berkaitan dengan pengaruh Derrida terhadap

Arkoun. Jika Arkoun banyak mengacu kepada Derrida, mengherankan bahwa dalam dua

hal ia justru mempunyai pendirian yang sangat bertentangan dengan visi Derrida.

Arkoun menganggap bahasa lisan lebih awal dan lebih asli daripada bahasa

tulis. Pendapatnya ini dipengaruhi oleh antropolog Britania Jack Goody. Sementara

Derrida justru mempunyai visi sebaliknya. Untuk menghindari salah faham mengenai

perbedaan pendirian Goody dan Derrida tentang hubungan antara bahasa lisan dan

bahasa tulis, perlu ditambahkan bahwa Goody membicarakan persoalan antropologis .

Page 14: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

Sementara Derrida melihatnya dari sudut filosogis. Namun Arkoun mengaitkan

persoalan antropologis dengan mengacu kepada Goody dan persoalan filosogis mengacu

pada Derrida dan pengaitan itulah menimbulkan pertanyaan yang belum dijawab oleh

Arkoun.

Kemudian Arkoun tidak menolak anggitan petandan transendental. Dalam hal

inipun uraian Arkoun sangat bertentangan dengan anggapan Derrida.

Kritik selanjutnya yang patut ditujukan pada Arkoun adalah tentang bahasa

Arkoun. Tidak dapat dipungkiri bahwa Arkoun menggunakan bahasa yang serba rumit.

Sebagian hal itu bias dimaafkan dan dibenarkan sebagaimana dikemukakan Arkoun

sendiri, hampir mustahil mengungkapkan gagasan dalam bahasa bangsa yang belum

memikirkannya. Akan tetapi bagaimanapun Arkoun memang seolah – olah menggemari

gaya tulis yang serba rumit.

Salah satu aspek dari kesulitan bahasa Arkoun adalah kecenderungannya

memakai aneka istilah dan anggitan tanpa rumusan yang jelas atau dalam berbagai arti

yang berbeda. Satu contoh penggunaan istilah langue dan language yang termashyur

dari karya Ferdinand dan Saussure, tetapi oleh Arkoun dipakai dalam arti yang tidak atau

tidak selalu sama.

Aspek lain dari karya Arkoun yang kurang memuaskan adalah inkonsistenanya

dalam memegang ide, di satu sisi ia menghimbau para peneliti Islam agar melampaui

batas studi Islam yang tradisional dengan mendekati Islam melalui karya tertulis

berbagai tokoh klasik. Disisi lain Arkoun sendiri tampaknya memusatkan perhatian pada

berbagai teks dari tokoh besar klasik atau juga tokoh besar kontemporer yang mewakili

tradisi tertentu.

Demikian juga, Dekontruksi Nalar Islam yang digulirkan Arkoun tanpa disertai

penawaran dogma alternative atau doktrin tertentu untuk mengganti yang lama, ini

membuat orang yang mencari kemudahan suatu pegangan yang dengan jelas

memecahkan segala persoalan yang dihadapi untuk selamanya. Sebagaimana

ditawarkan oleh tradisionalisme atau juga oleh “Fundamentalisme” dalam Islam akan

dikecewakan Arkoun.

Disamping kelemahan – kelemahan pemikirannya, Arkoun dengan kritik nalar

Islaminya juga mempunyai kontribusi positif terhadap bangunan epistemology keilmuan

Page 15: blog.iain-tulungagung.ac.idblog.iain-tulungagung.ac.id/.../sites/84/2013/11/post-modernisme.docx · Web viewPeta perpolitikan yang demikian membingungkan merupakan pijakan awal Muhammed

Islam. Dengan kritik nalar Islami, pemikiran umat Islam akan terbebaskan dari segala

macam citra dan gambaran yang sempit. Dan dengannya juga umat islam dapat

membedakan wahyu dengan sejarah, mengembalikan posisi wahyu transenden kepada

tempat semula. Pengembalian ini dilakukan karena wahyu setelah mengalami

pembauran dengan sejarah manusia (ideology, politik, serta kepentingan lainnya) telah

tereduksi oleh beberapa nilai yang dikandungnya, disinilah diperlukan sikap kritis

tersebut terhadap semua jenis teologisme Islam (termasuk semua cabang epistemology

seperti fiqh, tafsir, ilmu kalam, aqidah dan lain – lain) karena bagaimanapun semua itu

adalah ciptaan manusia juga dan kita berhak meletakkan di atas meja kritisisme.

PENUTUP

Pemikiran Arkoun dilatari oleh setting sosial, baik ketika dia masih berada di

Aljazair maupun di Prancis. Kesadaran kebahasan misalnya bermula dari benturan

kebudayaan Arab – Aljazair dan Prancis. Belajar dari situ, Arkoun Nampak sangat kaya

dengan khazanah klasik Islam, sekaligus dengan perkembangan disiplin ilmu modern di

Barat.

Ada beberapa catatan yang tidak lebih sebagai perajut ide dari pemikiran

Arkoun yang njelimet, Karena banyak inkonsistensi yang diperlihatkan oleh Arkoun. Hal

ini tampak sinkretisme dan eklektisme yang dilakukannya terhadap ide – ide Barat Post

Modern. Ada dilemma sehingga harus mengambil sana sini yang sesuai saja, belum lagi

pembacaan ide atau gagasan barat yang tidak tuntas, sehingga mengakibatkan

pengutipan terhadapnya salah

Meski demikian, Arkoun telah membuka cakrawala baru bagi pengkajian

khazanah Islam. Dan juga metodelogi pembaharuan yang ditawarkan, tetap layak di

apresiasikan.