buku ajar pupt 2015 - repository.unas.ac.id
TRANSCRIPT
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
Oleh:
Nonon Saribanon
TB Massa Djafar
Aris Munandar
Diterbitkan oleh:
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS NASIONAL
NOVEMBER 2016
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budayai
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, dengan selesainya
buku yang berjudul: Mengelola Perbatasan Pesisir Kalimantan Utara melalui
Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya. Buku ini disusun sebagai tambahan
referensi bagi mahasiswa dari berbagai program studi yang relevan. Meskipun
hanya mengambil lokasi pesisir perbatasan di Provinsi Kalimantan Utara,
tetapi terdapat benang merah yang menunjukkan bahwa dalam mengelola
perbatasan, pendekatan keamanan sering tidak menjadi urgen, dibandingkan
dengan pendekatan ekonomi dan sosial budaya.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional 1.
RI;
Kopertis Wilayah III Jakarta;2.
Universitas Nasional, khususnya LPPM;3.
Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Utara, Pemda Kabupaten Bulungan, 4.
Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan;
Rekan sejawat dan rekan-rekan lainnya yang telah membantu penyusunan 5.
buku ini.
Buku ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kami mengharapkan
masukan dari berbagai pihak bagi perbaikan di masa mendatang. Semoga buku
kecil ini bermanfaat bagi semua pihak.
Jakarta, 21 Oktober 2016
Tim Penulis
Prakata
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
ii
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budayaiii
PRAKATA …………………………..............................…………………………….... i
DAFTAR ISI ……………………………………….............................…………………. iii
BAB 1. PENDAHULUAN …………………………….........................………………. 1
BAB 2. SEJARAH PESISIR KALIMANTAN UTARA .................................. 5
2.1 Sejarah Tarakan ............................................................... 5
2.1.1 Era Kerajaan Tidung ................................................... 7
2.1.2 Era Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang ............ 9
2.1.3 Era Setelah Kemerdekaan ......................................... 11
2.2 Sejarah Nunukan ................................................................... 11
2.3 Sejarah Kesultanan Bulungan ............................................... 12
BAB 3. PETA SOSIAL BUDAYA DAN POLITIK DI PESISIR PERBATASAN
KALIMANTAN UTARA ......................................................... 15
3.1 Kondisi Sosial-Budaya Pesisir Kalimantan Utara ……..........… 17
3.2 Masyarakat Transnasional di Wilayah Pesisir Perbatasan
Kalimantan Utara ……………………........................................ 20
3.3 Hubungan Antar Etnik …………………….....................…………… 22
3.4 Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara sebagai
Rekonstruksi Identitas Kultural ............…………………............ 23
BAB 4. POTENSI EKONOMI MASYARAKAT PESISIR
KALIMANTAN UTARA .............................................................. 27
4.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir
Kalimantan Utara ............................................................... 29
4.2 Potensi Sumber Daya Alam .....................………………………… 32
Daftar Isi
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
iv
BAB 5. MENGELOLA PESISIRPERBATASAN KALIMANTAN UTARA
MELALUI PENDEKATAN EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA ........ 35
5.1 Pendekatan Sosial Budaya dalam Pengelolaan Psisir
Perbatasan Kalimantan Utara ……………........................……… 35
5.1.1 Nunukan sebagai Pintu Gerbang Aktivitas
Transnasional .............................................................. 36
5.1.2 Sejarah dan Dinamika Sosial-Ekonomi
Kabupaten Nunukan ................................................... 39
5.1.3 Relasi Etnis dalam Aktivitas Sosial-Ekonomi
di Nunukan ................................................................... 40
5.1.4 Kontestasi dan Perkembangan Struktur Sosial-Politik .... 46
5.1.5 Kebijakan Pembangunan Budaya di Kabupaten
Nunukan ......................................................................... 50
5.2 Pendekatan Ekonomi dalam Pengelolaan Pesisir Perbatasan
Kalimantan Utara ................................................................. 53
5.3 Zonasi Potensi dan Pengelolaan Kawasan Pesisir Perbatasan
Provinsi Kalimantan Utara ………............................………. 63
5.9 Roadmap Pembangunan Kawasan Pesisir Perbatasan
Kalimantan Utara ............................................................ 65
BAB 6. PENUTUP …………………..................................................……………. 67
DAFTAR PUSTAKA ………………...........................…………………………………. 71
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya1
Pengelolaan pesisir perbatasan Indonesia khususnya di Provinsi
Kalimantan Utara, memerlukan pendekatan yang beragam. Pendekatan
keamanan di perbatasan (security approach) yang dilaksanakan saat ini dirasakan
masih belum mampu menjawab permasalahan di wilayah perbatasan. Untuk itu,
diperlukan upaya lain yang mampu bersinergi dengan pendekatan keamanan di
wilayah perbatasan tersebut. Penguatan dari sisi sosial (social security) melalui
penguatan identitas budaya dalam kerangka peningkatan ketahanan nasional
dan upaya harmonisasi sosial, merupakan pendekatan yang tepat sejalan dengan
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Selain itu, juga perlu dikembangkan
pendekatan dari aspek kesejahteraan masyarakat pesisir perbatasan (prosperity
approach) melalui penguatan ekonomi masyarakat sesuai dengan potensi
sumber daya yang ada, khususnya peningkatan nilai tambah hasil perikanan
tangkap maupun tambak. Penguatan sosial dan ekonomi tersebut diharapkan
dapat memberi dampak bagi penguatan ketahanan nasional.
Kalimantan Utara adalah sebuah provinsi baru di Indonesia, dan
merupakan pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur yang dibentuk pada
tanggal 25 Oktober 2012. Provinsi ini terletak di bagian utara pulau Kalimantan,
berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah dan Sarawak Malaysia Timur.
Sebagai sebuah provinsi yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia,
Kalimantan Utara memiliki dinamika sosial-budaya, ekonomi, dan demografi
yang kompleks.
Provinsi Kalimantan Utara memiliki potensi alam yang sangat besar,
antara laini minyak, gas, kelautan dan tambang. Di samping itu, terdapat
PendahuluanBab 1
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
2
potensi perikanan dan pariwisata yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Provinsi Kalimantan Utara mencakup Kota Tarakan, Kabupaten Nunukan,
Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau dan Kabupaten Bulungan.
Wilayah terluar perairan Provinsi Kalimantan Utara mencakup Pulau Sebatik,
Mercusuar Karang Unarang di Ambalat, Pulau Maratua, Pulau Sambit, dan
Pulau Lingian. Daerah ini memiliki perbatasan sepanjang 2.004 kilometer
yang selama ini tidak terpantau Pemerintah semasa masih bergabung dengan
Provinsi Kalimantan Timur. Perbatasan darat Kalimantan Utara sangat potensial
untuk pengembangan perkebunan, dan perbatasan laut dapat menjadi tempat
beroperasi Armada Kapal Ikan, sekaligus menjaga kedaulatan di kawasan
Ambalat, sebagaimana Malaysia membangun ekowisata di Sipadan dan Ligitan
untuk membuktikan pertuanan atas wilayah tersebut (http://rahmanhumas.
blogspot.com, 2013).
Di samping potensi ekonomi, Provinsi Kalimantan Utara juga memiliki
potensi wisata yang sangat besar pada aspek kebudayaan, khususnya budaya
yang dimiliki oleh suku Dayak pedalaman dan suku Tidung di wilayah pesisir.
Keunikan yang menjadi ciri khas masyarakat pesisir merupakan sebuah aset
besar yang dimiliki oleh Kalimantan Utara, sehingga dapat menjadi potensi
wisata budaya yang tidak kalah menariknya dengan wisata budaya yang
dimiliki oleh daerah lain di Indonesia. Hampir setiap tahun daerah-daerah di
Kalimantan Utara menyelenggarakan festival budaya, khususnya Kabupaten
Bulungan yang menjadi salah satu tujuan wisata budaya yang didatangi oleh
para turis mancanegara dengan jumlah cukup besar hingga mencapai ratusan
orang setiap tahunnya.
Pesisir Kalimantan Utara memiliki sumber daya laut terutama perikanan
yang melimpah. Namun hingga sekarang, kekayaan laut tersebut belum dikelola
dan dimanfaatkan secara maksimal untuk menjadi pendorong kekuatan ekonomi
lokal. Beberapa wilayah bahkan terlalu mengandalkan pada kegiatan eksplorasi
migas dan penambangan batubara yang merupakan sumber ekonomi yang tidak
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya3
terbarukan. Sampai saat ini, belum ada cetak biru pengembangan kawasan
pesisir dan pulau terluar di Kalimantan Utara, baik dalam upaya memperkukuh
ketahanan nasional di wilayah perbatasan, maupun pengembangan aspek
ekonomi untuk kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. Untuk itu, perlu
disusun kebijakan strategis dalam kerangka pengelolaan wilayah pesisir
perbatasan Indonesia di Kalimantan Utara, sehingga dapat menjadi pijakan
dalam penyusunan cetak biru atau pun roadmap pembangunan wilayah dalam
jangka menengah lima tahun yaitu tahun 2015-2019.
Permasalahan yang sering muncul dalam pengelolaan wilayah
perbatasan di pesisir dan pulau terluar Provinsi Kalimantan Utara antara lain
adalah: (a) identitas sosial budaya yang menjadi ciri dan bagian yang terintegrasi
dengan budaya Indonesia, masih memerlukan penguatan khususnya dari aspek
kelembagaan; (b) sesuai dengan zonasi potensi ekonomi pesisir, perlu disusun
rencana pengembangan secara bertahap untuk mendorong berkembangnya
economic driven factor; (c) perlu rumusan kebijakan yang merujuk pada
identitas sosial budaya dan penguatan ekonomi pesisir yang secara bertahap
dapat mengurai permasalahan dan menjadi solusi dalam jangka menengah.
Provinsi Kalimantan Utara yang baru terbentuk 22 Oktober 2012 ini
dibentuk untuk menghidupkan ekonomi masyarakat di wilayah itu, yang selama
ini dianggap tertinggal. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Malaysia,
membuat sebagian warganya tergantung kepada Malaysia, khususnya dalam
aspek ekonomi. Selama ini di daerah perbatasan Indonesia dengan Malaysia,
warga memang lebih banyak membeli produk dari Malaysia dan bahkan di
beberapa daerah perbatasan, mata uang Ringgit menjadi alat pembayaran
sah. Untuk itu, tulisan-tulisan untuk memberikan masukan bagi proses-proses
pembangunan sosial-ekonomi di wilayah perbatasan, menjadi penting,
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
4
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya5
2.1 Sejarah Tarakan
Menurut cerita rakyat setempat, nama Tarakan berasal dari bahasa Suku
Tidung “Tarak” yang berarti bertemu dan “Ngakan” berarti makan. Secara
harfiah kata Tarakan dapat diartikan sebagai tempat bertemu dan tempat
istirahat makan. Masyarakat asli suku Tidung menyebut pulau ini dengan
sebutan “Pulau Turakon” artinya pulau tempat makanan. Seiring dengan proses
akulturasi budaya dengan penduduk pendatang, nama Turakon dalam bahasa
asli suku Tidung tersebut berubah menjadi Tarakan yang dipakai sebagai nama
kota hingga sekarang ini.
Pada masa silam, pulau ini memang menjadi tempat bertemu dan tempat
istirahat para nelayan yang menangkap ikan di perairan Pulau Tarakan dan
sekitarnya. Selain istirahat makan, ketika bertemu para nelayan juga melakukan
aktivitas perdagangan tradisional dengan sistem barter. Mereka melakukan
tukar menukar hasil tangkapan dan beberapa jenis barang kebutuhan sehari-
hari lainnya. Hal itu sangat dimungkinkan dengan kedudukan pulau Tarakan
sebagai tempat pertemuan arus muara Sungai Kayan, Sesayap dan Malinau.1
Setelah kemerdekaan, Tarakan juga berfungsi sebagai tempat transit bagi
sebagian penduduk yang akan melanjutkan perjalanan ke Sulawesi dan Tawau-
Malaysia.
Secara etno-linguistik, pemberian nama Pulau Tarakan di bagian utara
Kalimantan Utara ini berasal dari bahasa suku Tidung, memang mempunyai
dasar sejarah. Konon menurut cerita lisan rakyat setempat, suku Tidung sudah 1 “ Sejarah Kota Tarakan”, lihat wikipedia.com
Bab 2Sejarah Pesisir Kalimantan Utara
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
6
mendiami Pulau Tarakan ini sekurang-kurangnya selama enam generasi. Bila
satu generasi sama dengan 50 tahun, berarti Suku Tidung telah mendiami
Pulau Tarakan sekurang-kurangnya sejak 300 tahun silam.
Pada awalnya, Tarakan hanya sebuah perkampungan kecil para nelayan
yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota setelah ditemukan beberapa
sumur minyak bumi pada tahun 1896 oleh perusahaan perminyakan milik
Pemerintah Hindia Belanda Bataavische Pe roleum Maatschappij (BPM).
Seiring dengan meningkatnya aktivitas pengeboran dan eksplorasi minyak bumi
di Pulau Tarakan, maka penduduk mulai berdatangan ke pulau ini dari daerah
sekitarnya, dan bahkan dari luar daerah Kalimantan Utara. Ada penduduk yang
sengaja didatangkan oleh Belanda sebagai tenaga kerja kontrak, namun tidak
sedikit pula mereka yang datang sendiri mengadu nasib mencari rezeki di pulau
itu.
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya7
2.1.1 Era Kerajaan Tidung
Meskipun masih ada perdebatan di kalangan para penggiat sejarah
tentang keberadaan kerajaan Tidung Tarakan, namun orang suku Tidung sendiri
meyakini keberadaan Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) yang memerintah Suku
Tidung di utara Kalimantan Utara. Menurut cerita lisan rakyat setempat, Kerajaan
tersebut berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu. Beberapa
ilmuwan sejarah berpendapat kerajaan Tidung di Tarakan, sebenarnya adalah
bagaian dari kerajaan/ Kesultanan Bulungan.
Sebelumnya terdapat dua kerajaan di kawasan ini, selain kerajaan yang
khusus memerintah suku Tidung, juga terdapat Kesultanan Bukungan yang
berkedudukan di Tanjung Palas. Menurut silsilah suku Tidung, di pesisir timur
Pulau Tarakan yaitu di kawasan Binalatung, pernah ada Kerajaan Tidung yang
memerintah kira-kira antara tahun 1076-1156 Masehi. Kemudian kerajaan
tersebut pindah ke pesisir selatan Pulau Tarakan di kawasan Tanjung Batu pada
tahun 1156, lalu berpindah lagi ke wilayah Barat ke kawasan Sungai Bidang
kira-kira di tahun 1216. Setelah itu pada tahun 1394 Kerajaan ini berpindah lagi
jauh dari Pulau Tarakan ke daerah Pimping bagian Barat dan kawasan Tanah
Kuning, dan memerintah di sana hingga tahun 1557 Masehi.
Dalam cerita lisan rakyat Suku Tidung, diriwayatkan kerajaan suku Tidung
yang paling tua adalah kerajaan Menjelutung di Sungai Sesayap dengan
rajanya yang terakhir bernama Benayuk. Konon Kerajaan Menjelutung itu
berakhir karena ditimpa bencana alam berupa hujan ribut dan angin topan
yang sangat dahsyat sehingga air laut naik yang mengakibatkan perkampungan
mereka lenyap dan tenggelam ke dalam air (sungai) bersama-sama sebagian
besar warganya. Peristiwa tersebut di kalangan suku Tidung disebut Gasab,
yang kemudian memunculkan berberapa cerita mitos tentang Raja Benayuk
dari Menjelutung. Apabila cerita lisan rakyat suku Tidung mengandung
kebenaran, maka ada kemungkinan peristiwa itu sebenarnya adalah pasang
laut akibat tsunami yang telah menenggelamkan peradaban suku Tidung di
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
8
kawasan tersebut.
Dari cerita beberapa informan, disebutkan bahwa masa pemerintahan
Raja Benayuk hanya berlangsung selama 35 musim. Perhitungan musim
tersebut adalah berdasarkan hitungan hari bulan purnama yang dalam semusim
terdapat 12 purnama. Perhitungan musim tersebut kurang lebih sama dengan
perhitungan tahun Hijriah. Apabila dirangkaikan dengan riwayat beberapa Raja
yang dapat diketahui lama masa pemerintahan dan keterkaitannya dengan
Benayuk, maka tragedi yang telah menenggelamkan Kerajaan Menjelutung
tersebut terjadi pada sekitar awal abad ke-11 Masehi.
Menurut beberapa informan, dewasa ini jumlah populasi suku Tidung di
Kalimantan Utara diperkirakan ada ratusan ribu orang lebih, tersebar di wilayah
Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten
Bulungan, dan Kota Tarakan. Selain itu, orang suku Tidung juga bermukim di
wilayah Sabah, Malaysia.2
Bila dilihat dari etno-linguistik, suku Tidung dapat dibagi dalam 32 Sub-
Suku. Namun dari segi peristilahan bahasa dan penamaan benda-benda yang
banyak mempunyai persamaan dengan suku Tidung adalah orang Punan,
Berusan, Tenggalan, Bulungan dan kelompok suku Murutic (Murut). Menurut
Cense dan Uhlenbeck (1958), di wilayah Sabah bagian Barat terdapat kelompok-
kelompok kecil orang Murutic yang merupakan tetangga dari keturunan suku
Tidung yang bukan beragama Islam, namun bahasa yang dipakai mirip dengan
dialek bahasa Tidung Tarakan.
Meskipun mata pencaharian utama orang suku Tidung sebagai nelayan,
cara hidup mereka berbeda dari orang Bajau, Sulu dan Brunei. Mereka tidak
tinggal permanen di atas perahu, tetapi membangun rumah tinggal di dekat
dengan pantai. Dalam konteks suku Tidung telah terjadi variasi mata pencaharian
hidup mereka. Selain menangkap ikan dengan peralatan tradisional tetap
2 Wawancara dengan informan H.A. Edy Wijaya dan Rizal dilakukan pada tanggal 22 Mei 2012 di Rumah Adat Suku Tidung Tarakan.
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya9
dilakukan, orang Tidung Tarakan di pantai Amal mulai terlibat dalam usaha
budidaya rumput laut. Menurut H. Baharudin (52)3, saat ini di pantai Amal
sedikitnya ada 15 seorang pengusaha yang melakukan pembudidayaan rumput
laut di pesisir pantai tersebut. Kebanyakan orang suku Tidung terlibat sebagai
pekerja pada usaha budidaya dengan sistem bagi hasil.
2.1.2 Era Hindia Belanda dan Pendudukan Jepang
Kehidupan tradisional masyarakat asli di Pulau Tarakan mulai terganggu
dan berubah, ketika pada tahun 1896 sebuah perusahaan perminyakan Hindia
Belanda, Bataavische Petroleum Maatchapij (BPM) menemukan sumur
minyak bumi di pulau ini. Untuk mengekplorasi minyak bumi Pulau Tarakan,
pemerintah Hindia Belanda mendatangkan banyak tenaga kerja dari luar,
terutama dari Pulau Jawa seiring dengan meningkatnya kegiatan pengeboran
sumur-sumur minyak. Mengingat semakin pesatnya perkembangan wilayah
ini, maka pada tahun 1923 Pemerintah Hindia Belanda menempatkan seorang
Asisten Residen di Pulau Tarakan yang membawahi 5 (lima) wilayah, yakni:
Tanjung Selor, Tarakan, Malinau, Apau (Apo) Kayan dan Berau. Sejalan dengan
penataan sistem pemerintahan setelah kemerdekaan Indonesia, Pemerintah
pusat mengubah status pemerintahan Kewedanan Tarakan bentukan kolonial
Belanda menjadi wilayah Kecamatan Tarakan dengan Keputusan Presiden RI
No. 22 Tahun 1963.
Dalam perang Asia Pasifik, tentara angkatan laut Jepang menyerang
Tarakan pada tanggal 11 Januari 1942, dan berhasil mengalahkan tentara
Belanda yang jumlahnya sedikit dalam waktu singkat. Dalam pertempuran yang
berlangsung selama2 hari, Belanda menyerah kalah dan separuh dari pasukan
Belanda di Pulau Tarakan gugur. Tujuan utama Jepang menyerang Tarakan
adalah untuk mengusai ladang minyak. Sebelum menyerah kepada Tentara
3 Wawancara dengan H. Baharudin alias H.Bali, dilakukan pada tanggal 22 Mei 2012 di tempat penjemuran rumput laut miliknya di Amal.
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
10
Jepang, pasukan Belanda
melakukan tindakan bumi
hangus terhadap ladang-
ladang minyak Tarakan.
Namun, Jepang dengan
cepat bisa melakukan
perbaikan terhadap
ladang-ladang minyak yang
telah dibumi-hanguskan
Belanda, sehingga sejak
awal tahun 1944 ladang
minyak Tarakan telah bisa
berproduksi kembali dengan menghasilkan 350.000 barrel minyak bumi setiap
bulannya.
Selama berada di bawah pemerintahan penjajahan Jepang, lebih kurang
5.000 orang penduduk pulau Tarakan menderita akibat perlakuan pasukan
pendudukan Jepang yang ditempatkan di pulau ini. Barang sandang dan bahan
makanan sulit didapat dan sebagai akibatnya banyak penduduk di pulau Tarakan
yang menderita kekurangan gizi. Selama masa pendudukannya, Jepang telah
membawa sebanyak 600 buruh dari Jawa ke Tarakan, serta para tentaranya
memaksa sekitar 300 wanita Jawa untuk bekerja sebagai “jungu ianfu” (wanita
penghibur) para tentara Jepang di Tarakan.
Penguasaan tentara Jepang terhadap ladang-ladang minyak di Tarakan
tidak berlangsung lama. Kapal Tanker Jepang pengangkut minyak yang terakhir
meninggalkan Tarakan pada bulan Juli 1944. Serangan udara tentara Sekutu yang
hebat di tahun-tahun itu telah menghancurkan produksi minyak dan fasilitas
penyimpanannya di Pulau Tarakan. Dalam serangan tentara sekutu tersebut
juga ikut terbunuh beberapa ratus orang penduduk sipil warga Indonesia. Oleh
karena kepentingannya di Pulau Tarakan semakin berkurang, maka pemerintah
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya11
pendudukan Jepang di Tarakan pada awal 1945 memindahkan salah satu dari 2
batalion infanteri yang ditempatkan di pulau itu, yaitu Batalion Infanteri 454 ke
Balik Papan. Batalion ini kemudian dihancurkan oleh Divisi ke-7 tentara Australia
yang tergabung dalam tentara sekutu pada bulan Juli dalam Pertempuran di
Balikpapan.
2.1.3 Era Setelah Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, administrasi pemerintahan di Pulau Tarakan
dibentuk dengan Keputusan Presiden RI. No. 22 tahun 1963 yang mengubah
status Kewedanaan Tarakan menjadi wilayah Kecamatan. Kemudian seiring
dengan perkembangan kota, status Tarakan berubah dan ditingkatkan menjadi
Kota Administratif (Kotif) berdasarkan dengan Peraturan Pemerintah No. 47
Tahun 1981. Enam belas tahun kemudian status Kotif Tarakan berubah menjadi
Pemerintahan Kota Otonom (Kotamadya) yang dibentuk berdasarkan UU RI.
No. 29 Tahun 1997. Peresmian Tarakan sebagai kota otonom dilakukan pada
tanggal 15 Desember 1997, dan tanggal tersebut sekaligus ditetapkan sebagai
hari jadi Kota Tarakan.4 Saat ini pemerintah Kota Tarakan terbagi menjadi empat
wilayah kecamatan, yaitu, Kecamatan Tarakan Timur, Kecamatan Tarakan Barat,
Kecamatan Tarakan Utara, dan Kecamatan Tarakan Tengah.
2.2 Sejarah Nunukan
Kabupaten Nunukan adalah salah satu kabupaten di Kalimantan
Utara,Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di kota Nunukan. Kabupaten
ini memiliki luas wilayah 14.493 km² dan berpenduduk sebanyak 140.842 jiwa
(hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010). Motto Kabupaten Nunukan adalah
“Penekindidebaya” yang artinya “Membangun Daerah” yang berasal dari
bahasa Tidung. Nunukan juga adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten
4 www.tarakankota.go.id
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
12
Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia.
Pada tahun 2003 terjadi tragedi kemanusiaan besar-besaran di Nunukan
ketika para pekerja gelap asal Indonesia yang bekerja di Malaysia dideportasi
kembali ke Indonesia lewat Nunukan. Pelabuhan Nunukan merupakan
pelabuhan lintas dengan kota Tawau, Malaysia. Bagi penduduk kota Nunukan
yang hendak pergi ke Tawau diperlukan dokumen PLB (Pas Lintas Batas). Setiap
hari rata-rata sekitar 8 unit kapal cepat dengan kapasitas kurang lebih 100
orang mondar-mandir antar Nunukan dengan Tawau, Malaysia.
Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten
Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah, peningkatan
pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran
Kabupaten bulungan ini di pelopori oleh R.A. Besing yang pada saat itu menjabat
sebagai Bupati Bulungan. Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan
otonomi daerah dengan didasari Undang-undang Nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Dengan dasar inilah dilakukan pemekaran
pada Kabupaten Bulungan menjadi 2 kabupaten baru lainnya, yaitu Kabupaten
Nunukan dan Kabupaten Malinau. Pemekaran Kabupaten ini secara hukum
diatur dalam UU Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten
Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat
dan Kota Bontang pada tanggal 4 Oktober 1999.
2.3 Sejarah Kesultanan Bulungan
Hikayat mengenai sejarah Daerah istimewa bulungan memang tak
dapat dilepaskan dari peran Kesultanan bulungan yang gigih mendukung
kemerdekaan Indonesia, karena memang pada faktanya status daerah
Istimewa bukan diminta, namun diberi oleh negara Republik Indonesia
melalui persetujuan pemerintah pusat. Dalam catatan sejarah Bulungan,
kepala daerah pertama sekaligus terakhir adalah Sultan Maulana Muhammad
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya13
Djalaluddin, beliau adalah seorang tokoh sejarah yang telah melewati tiga
masa sekaligus yaitu zaman belanda, zaman jepang dan era kemerdekaan.
Sultan Muhammad Djaluddin beserta para mentri Khususnya Datuk Bendahara
paduka Raja, begitu gigih melawan kehendak belanda di bulungan melalui
jalaur diplomasi, dalam sejarah Bendahara Paduka raja atas mandat Sultan
Muhammad Djalaluddin – beliau memang tidak disenangi oleh kolonial
belanda,- menjalin hubungan rahasia dengan Sultan Gunung Tabur dan
Sambaliung di berau untuk mendukung penuh kemerdekaan indonesia, namun
pihak kompeni ternyata tak berani menghalangi dengan tegas manuver politik
beliau. Demikan pula di tingkatan “akar rumput”, para tokoh pergerakan tak
tinggal diam demi menyukseskan integrasi kesultanan bulungan sebagai
bagaian dari NKRI tercinta yang kemudian hasil berbuah pada penyatuan
Bulungan sebagai bagian dari bangsa indonesia pada 17 Agustus 1949.
Peristiwa ini sendiri digambarkan dengan apik dalam sebuah memorie yang
ditulis mengenai kondisi pada saat itu: De an Nederlandse geest breidde ini
de voornaamste gebieden van dit gewest zicht zoodaning uit, dat hetbestuur
ijverde voor de invoering van corlog…, de verkiezing van afgvaardigden voor
ee Boerneo conferen e word een totale mislukking on kregan de enkele
gekezen afgevaardigden Als mandaat mede de aanslui ng hij de republik.
(semangat anti Belanda telah tersebar luas di daerah ini, sehingga pemerintah
berusaha untuk memberlakukan dalam keadaan perang …, Pemilihan utusan
ke konfrensi pembentukan negara kalimantan gagal total, karena beberapa
utusan yang terpilih memperoleh mandat pengabungan dengan Republik).
Peristiwa ini manjadi era penting masa transisi pemerintahan Kesultanan
Bulungan yang telah mengakar berabad lamanya. Setelah bergabung dengan
RI, posisi Kesultanan Bulungan sebagai wilayah swapraja dimantapkan melalui
surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 186 / ORB / 92 / 14
tertanggal 14 Agustus 1950 yang kemudian disahkan menjadi UU Darurat 3
/ 1953 dari pemerintah Negara RI. Kemudian wilayah Bulungan berdasarkan
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
14
UU N0. 22 /1948 menjadi Daerah Istimewa Bulungan. Keputusan itu membuat
Sultan Djalaluddin dimandatkan oleh negara Republik Indonesia menjadi Kepala
Daerah Istimewa yang pertama sekaligus yang terakhir hingga akhir hayatnya
tahun 1958.
Pada masa transisi pemerintahan seperti ini, karena tak memiliki
gedung pemerintahan yang memadai, Kepala Daerah istimewa saat itu,
maulana Muhammad Djalaluddin kemudian menetapkan istana Bulungan
yang tingkat dua itu sebagai gedung kepala daerah istimewa dimana semua
kegiatan pemerintahan dipusatkan di istana, jadi sesungguhnya sistem satu
atap dalam pola pemerintahan sejarah modern Bulungan memang bukan hal
yang baru. Masyarakat Bulungan memang dikenal cukup terbuka dengan hal-
hal baru demikian dengan berorganisasi dan politik, menariknya walau telah
lama hidup dalam suana kesultanan yang memang masih bernuansa monarky
namun Sultan tak pernah menggunakan hak dan kekuasaannya untuk melarang
rakyatnya dalam kegiatan politik praktis, perubahan yang mulus menang tak
lepas kepemimpinan akhir Sultan Djalaluddin yang kharismatik. Menariknya
pemerintah pusat sendiri baru berani mencabut status hal istimewa Bulungan
setelah almarhum berpulang ke rahmatullah pada tahun 1958.
Setahun kemudian tepatnya setelah UU Nomor 27 tahun 1959 disahkan,
berakhirlah status daerah istimewa Bulungan. Sebelumnya telah dibentuk
Dewan Perwakilan Rakyat pertama di Bulungan yang diketuai oleh Muhammad
Zaini Anwar (1955-1959). Pada tanggal 12 oktober 1960, dilantik Bupati pertama
Bulungan Andi Tjatjo Gelar Datuk Wiharja (1960-1963) yang juga masih kerabat
Kesultanan Bulungan. Dimasa beliau ini Ibu kota Kabupaten Bulungan di pindah
dari Tanjung Palas ke tanjung Selor (http://muhammadzarkasy-bulungan.
blogspot.co.id/)
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya15
Kalimantan di bagian utara meliputi Sabah, Sarawak, Brunei dan
Karasikan yang sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Utara. Dalam sejarahnya
negeri-negeri di bagian utara pulau Kalimantan ini adalah wilayah pengaruh
Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu. Raja pertama dari Kesultanan Bulungan
yang berada di Kalimantan Utara berasal dari Brunei. Namun pada masa Hindu
wilayah utara Kalimantan tersebut hingga sebagian Sabah merupakan bekas
wilayah Berau. Daerah Kesultanan Bulungan merupakan bekas daerah milik
Kerajaan Berau yang melepaskan diri. Kerajaan Berau menurut Hikayat Banjar
termasuk dalam pengaruh mandala Kesultanan Banjar sejak zaman dahulu
kala, ketika Kesultanan Banjar masih bernama Kerajaan Negara Dipa/Kerajaan
Negara Daha. Dalam tahun 1853, Bulungan sudah dimasukkan dalam wilayah
pengaruh Belanda. Sampai tahun 1850, Bulungan/Kaltara berada di bawah
Kesultanan Sulu.
Provinsi Kalimantan Utara Sebagai Provinsi ke-34 Indonesia, memiliki
luas daratan 71.176,72 km2 dengan populasi pada tahun 2010 sebanyak
530.425 jiwa, dan kepadatan penduduk 7,5 orang/km². Provinsi Kalimantan
Utara terdiri atas 4 kabupaten, dan 1 kota, dengan 47 kecamatan didalamnya.
Kabupaten-kota yang berada di wilayah pesisir adalah Kabupaten Bulungan,
Tana Tidung, dan Nunukan, serta Kota Tarakan. Kota Tarakan merupakan pusat
perekonomian dan jasa terbesar di wilayah Kalimantan Utara dengan jumlah
penduduk terbesar 239.787 jiwa pada tahun 2011 di pulau kecil dengan luas
250,80 km² dan kepadatan hampir mencapai 1.000 jiwa per/km². Tarakan juga
Bab 3Peta Sosial Budaya dan Politik
di Pesisir Perbatasan Kalimantan Utara
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
16
merupakan pusat transportasi udara maupun laut di Kalimantan Utara, Bandar
Udara Juwata merupakan bandar udara berstatus internasional terbesar di
wilayah Kalimantan Utara dengan rata-rata penumpang per tahun mencapai
1 juta penumpang, dan Pelabuhan Malundung juga merupakan pelabuhan
terbesar di Kalimantan Utara yang dikelola oleh PT. Pelindo IV. Kota Tarakan
juga memiliki beberapa pelabuhan kecil lainnya seperti Pelabuhan Tengkayu I
dan II serta Pelabuhan Ferry Juata Laut.
Kabupaten Bulungan adalah kebupaten induk bagi semua wilayah
di Kalimantan Utara sebelum tahun 1997 yang memekarkan Kota Tarakan,
kemudian tahun 1999 memekarkan Kabupaten Malinau dan Kabupaten
Nunukan, serta tahun 2007 pemekaran terakhir yaitu Kabupaten Tana Tidung.
Kabupaten Bulungan memiliki luas wilayah 18.010,50 km² dan penduduk
135.915 jiwa pada tahun 2011 serta berpusat di Kecamatan Tanjung Selor.
Bulungan juga merupakan daerah yang dicanangkan sebagai ibukota Provinsi
Kalimantan Utara.
Kabupaten Nunukan adalah kabupaten terbesar kedua setelah Kota
Tarakan dengan penduduk 140.842 jiwa pada tahun 2010 dengan luas wilayah
14.493 km² yang berpusat di Pulau Nunukan Timur tepatnya di Kecamatan
Nunukan. Kabupaten Nunukan merupakan kabupaten yang berbatasan darat
maupun laut dengan negara bagian Malaysia yaitu Sabah dan Sarawak, setiap
harinya di Pelabuhan Tunon Taka yang merupakan pelabuhan yang dikelola
BUMN atau lebih tepatnya dikelola PT. Pelindo IV selalu dipadati penumpang
yang pada umunya berdagang dan sebagian lagi Tenaga Kerja Indonesia yang
berpergian ke Tawau, Sabah, Malaysia Timur. Nunukan juga memiliki bandar
udara domestik yang akan dicalonkan sebagai bandar udara internasional yaitu
Bandar Udara Nunukan sebagai bandara terbesar kedua di Kalimantan Utara.
Kabupaten Tana Tidung merupakan kabupaten termuda, terkecil serta
berpenduduk tersedikit di Kalimantan Utara, yang berada di arus Sungai
Sesayap dan berpenduduk 22.503 jiwa pada tahun 2011 dengan luas wilayah
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya17
4.828,58 km². Tana Tidung sama seperti Kabupaten Malinau yang pada
umumnya berpenduduk Suku Tidung, namun sangat jarang Suku Dayak tetapi
yang terdapat hanyalah Suku Berushu.
Melalui pembentukan provinsi baru, diharapkan kesejahteraan rakyat,
dan ketahanan nasional dapat diwujudkan. Setelah pemerintahan Kalimantan
Utara dibentuk, maka akan ada pusat pemerintahan baru di perbatasan yang
seluruhnya akan mengendalikan kegiatan pembangunan, baik di bidang
pendidikan, kesehatan, di bidang pelayanan publik, sehingga memiliki otoritas
mandiri dalam membentuk pola kebijakan ekonomi, kebijakan pembangunan.
Meski secara resmi telah dibentuk tetapi pemilihan kepala daerah Kalimantan
Utara baru akan dilakukan dua tahun mendatang, yaitu tahun 2015. Perlu
disadari bahwa tujuan pemekaran wilayah adalah untuk meningkatkan
pelayanan publik yang lebih prima, bukan menciptakan daerah-daerah baru
yang justru menambah beban baru. Pembentukan Kalimantan Utara secara
mendasar ditujukan untuk menghidupkan ekonomi warga perbatasan, meskipun
perlu disadari hal tersebut tidak dapat langsung menjawab permasalahan di
perbatasan (Bappeda Kota Banjarmasin, 2013).
3.1 Kondisi Sosial-Budaya Pesisir Kalimantan Utara
Secara kultural, bumi Kalimantan Utara merupakan wilayah
bermukimnya kelompok etnik/suku bangsa Bulungan, Tidung, Dayak dan Banjar,
sebagai penduduk asli (putra daerah). Oleh karena itu, bahasa dominan yang
digunakan mencerminkan keberadaan kelompok etnik tersebut, yang dalam
kesatuannya diikat oleh Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu keragaman
etnik tersebut. Secara historis, negeri-negeri di bagian utara pulau Kalimantan,
meliputi Sarawak, Brunei dan sebagian besar Sabah adalah wilayah mandala
negara Kesultanan Brunei yang berbatasan dengan mandala negara Kerajaan
Berau. Sejak masa Hindu hingga masa sebelum terbentuknya Kesultanan
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
18
Bulungan, daerah yang sekarang menjadi wilayah provinsi Kalimantan Utara
hingga daerah Kinabantangan di Sabah bagian Timur merupakan wilayah
mandala negara Berau yang dinamakan Nagri Marancang. Namun belakangan
sebagian utara Nagri Marancang (alias Sabah bagian Timur) terlepas dari
Berau karena diklaim sebagai wilayah mandala Brunei, kemudian oleh Brunei
dihadiahkan kepada Kesultanan Sulu dan Suku Suluk mulai bermukim di
sebagian wilayah tersebut. Kemudian kolonial Inggris menguasai sebelah utara
Nagri Marancang dan Belanda menguasai sebelah selatan Nagri Marancang
(sekarang provinsi Kaltara) (http://rahmanhumas.blogspot.com, 2013).
Wilayah yang menjadi provinsi Kalimantan Utara merupakan bekas
wilayah Kesultanan Bulungan dan Kerajaan Tidung. Kedua-duanya merupakan
bekas daerah bagian milik dari negara Berau yang telah melepaskan diri, namun
kemudian menjadi daerah perluasan pengaruh Kesultanan Sulu. Sampai tahun
1850, negeri Bulungan dan negeri Tidung masih diklaim sebagai negeri bawahan
dalam mandala negara Kesultanan Sulu [bekas bawahan Brunei]. Namun dalam
tahun 1853, negeri Bulungan dan negeri Tidung sudah dimasukkan dalam
wilayah Hindia Belanda atau kembali menjadi bagian dari Berau. Walaupun
belakangan negeri Bulungan dibawah kekuasaan Pangeran dari Brunei dan
negeri Tidung dibawah kekuasaan menantu Raja Tidung yang merupakan
Pangeran dari Sulu, namun kedua negeri tersebut masih tetap termasuk dalam
mandala negara Berau (http://rahmanhumas.blogspot.com, 2013).
Berdasarkan perjanjian antara negara Kesultanan Banjar dengan VOC
Belanda yang dibuat pada tanggal 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826, maka secara
hukum negara Kesultanan Banjar menjadi daerah protektorat VOC Belanda
dan beberapa daerah bagian dan negara bagian yang diklaim sebagai bekas
Vazal Banjar diserahkan sebagai properti VOC Belanda, maka Kompeni Belanda
membuat batas-batas wilayahnya yang diperolehnya dari Banjar berdasarkan
perjanjian tersebut, yaitu wilayah paling barat adalah negara bagian Sintang,
daerah bagian Lawai dan daerah bagian Jelai (bagian dari negara bagian Kota
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya19
Waringin) sedangkan wilayah paling timur adalah negara bagian Berau. Negara
bagian Berau meliputi negeri Kesultanan Gunung Tabur, negeri Kesultanan
Tanjung/Sambaliung, negeri Kesultanan Bulungan dan distrik Tidung yang
meupakan bekas Kerajaan Tidung yang dihapuskan tahun 1916, berdasarkan
peta Hindia Belanda tahun 1878 saat itu menunjukkan posisi perbatasan
jauh lebih ke utara dari perbatasan Kaltara-Sabah hari ini, karena mencakupi
semua perkampungan Suku Tidung yang ada di wilayah Tawau. Oleh karena
itu, secara historis-kultural, antara masyarakat Kalimantan Utara dengan
masyarakat negeri Sabah merupakan warga serumpun yang berasal dari
kelompok etnik yang sama. Hal ini berimplikasi pada terjadinya ketidaksesuaian
antara batas etnis-kultural dengan batas politis-terotorial yang lahir kemudian,
seiring dengan terbentuknya negara yang memisahkan mereka secara politis
(kewarganegaraan) (http://rahmanhumas.blogspot.com, 2013).
Dalam perkembangannya, mobilitas penduduk menuju Kalimantan
Utara, terutama yang berasal dari Sulawesi Selatan (Bugis), telah menjadikan
Kalimantan Utara sebagai tujuan migrasi yang penting. Orang Bugis merupakan
penduduk pendatang yang paling dinamis di kawasan ini, bahkan merambah
jauh ke utara memasuki kawasan negeri Sabah (Tirtosudarmo, 2005). Potensi
ekonomi, baik lokal maupun transnasional (terkait kedekatannya secara
geografis dan kultural dengan Sarawak dan Sabah), telah menjadikan daerah ini
sebagai daya tarik bagi penduduk dari daerah sekitarnya sehingga mendorong
arus migrasi yang cukup masif. Masuknya arus migrasi yang masif ke wilayah
Kalimantan Utara ini, pada gilirannya, membawa implikasi sosial, ekonomi, dan
politik yang berpengaruh terhadap pola interaksi di antara kelompok etnik.
Terjadinya kontestasi, konflik, dan dominasi, di samping kerjasama, mewarnai
pola-pola hubungan antar etnik yang berlangsung dalam ranah kultural,
ekonomi, dan politik, di Kalimantan Utara.
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
20
3.2 Masyarakat Transnasional di Wilayah Pesisir Perbatasan Kalimantan Utara
Fakta historis menjelaskan bahwa masyarakat Kalimantan Utara
dengan Sabah dan Sarawak memiliki akar budaya etnik yang sama, yang terjalin
secara turun temurun melalui hubungan sosial, ekonomi, kekerabatan, dan
kepentingan lainnya. Terbangunnya relasi-relasi tersebut dimungkinkan oleh
dua aspek utama. Pertama, adanya ikatan kekerabatan yang terbentuk oleh
hubungan perkawinan antar warga dalam satu komunitas. Kedua, ikatan yang
dibangun melalui hubungan ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan (John
Habba, 2000).
Menurut Rogers (1983), relasi-relasi antar individu/kelompok
komunitas tersebut memiliki tendensi relasional yang berciri homophily,
yakni warga komunitas cenderung membangun jaringan sosial dengan warga
komunitas yang mempunyai kesamaan. Dalam hal ini, kesamaan dalam budaya,
pekerjaan, agama, dan kepentingan. Dalam perkembangannya, pola jaringan
sosial bersifat heterophily dalam bentuk kontrak sosial antar individu, meskipun
lingkupnya masih terbatas dibandingan dengan hubungan homophily (John
Habba, 2000).
Daerah Kalimantan Utara dan Sabah merupakan sebuah entitas
kebudayaan dan geografis yang memiliki sejarah lokal yang sama. Kesamaan
kultural dan sejarah ini telah membuat kedekatan etnis yang sudah tercipta, tidak
dapat dihilangkan begitu saja oleh adanya pembagian wilayah administratif,
seiring dengan hadirnya negara sebagai realitas politik. Sampai saat ini,
penduduk yang ada di kedua wilayah perbatasan tersebut masih menjalankan
hubungan-hubungan sosial, kekerabatan, dan ekonomi, tanpa dibatasi oleh
batas-batas geopolitik yang ada.
Kesatuan etnis dan relasi sosial-ekonomi yang berlangsung antar
warga masyarakat di perbatasan, satu sama lain saling mengkonstruksikan
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya21
dan mengintegrasikan mereka dalam satu kesatuan komunitas, sebagai “fakta
sosial” yang mengarahkan kehidupan masyarakat di perbatasan, terlepas dari
keberadaan negara sebagai fakta sosial lain, yang kehadirannya sangat minimal,
mengawasi keberadaan warganya di perbatasan. Keberadaan masyarakat
pebatasan sebagai suatu komunitas yang keanggotaannya meliputi dua wilayah
negara yang berbeda, seakan-akan memiliki dunianya sendiri, dengan segala
aturan, norma, dan praktik-praktik kultural yang ada di dalamnya.
Gambaran ini belangsung dalam kehidupan komunitas perbatasan di
Desa Sebunga, terutama ketika negara belum hadir di tengah-tengah mereka
dengan seperangkat kebijakan yang mengatur dan mengawasi aktivitas
masyarakat di perbatasan. Relasi-relasi ekonomi dan kultural, serta tatanan
sosial yang terbangun di dalamnya menjadi satu kebutuhan dan keharusan
sosial bagi masyarakat dalam rangka menjamin kesinambungan kehidupan
mereka sebagai suatu sistem komunitas. Relasi-relasi ekonomi dalam bentuk
perdagangan, hubungan kerja, serta relasi-relasi sosial kultural; perkawinan,
upacara adat, dan sebagainya, berlangsung sebagai suatu kenyataan sosial
masyarakat di perbatasan. Sekalipun batas-batas teritorial telah ditetapkan dan
disadari keberadaannya oleh masyarakat, tetapi tidak menjadi penghalang bagi
mereka untuk membangun relasi ekonomi dan kultural yang sudah berlangsung
secara turun-temurun.
Praktik ini terus berjalan dalam arena lintas batas, melampaui wilayah
Indonesia dan Malaysia, dengan berbasiskan kesatuan kultural. Kondisi ini
berjalan sampai negara hadir secara lebih konkrit dengan melakukan regulasi
dan pengawasan terhadap arus lintas barang dan orang di perbatasan negara.
Pengaturan tersebut dilakukan dengan membangun pintu perbatasan (border
gate) dan menempatkan aparatnya untuk mengawasi wilayah tersebut.
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
22
3.3 Hubungan Antar Etnik
Kontestasi dalam berbagai ranah kultural, ekonomi, dan politik,
memang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat majemuk.
Terlebih, dalam kondisi terbatasnya sumber-sumber ekonomi dan politik,
kemungkinan terjadi konflik menjadi sangat potensial untuk memperebutkan
sumber daya yang terbatas tersebut. Dalam kondisi seperti ini, isu identitas
etnik-kultural seringkali dijadikan penguat untuk mempertajam pola hubungan
konflik yang terjadinya. Namun, kekhawatiran ini tidak terjadi di Kalimantan
Utara, sebagaimana yang telah berlangsung di Kalimantan Barat (kabupaten
Sambas) dan Kalimantan Tengah (Kota Sampit). Di Provinsi Kalimantan Utara,
Khususnya Kabupaten Nunukan sebagai daerah tujuan migrasi yang paling
besar di Kalimantan Utara, sebuah kesepakatan dicapai – mengikuti apa yang
telah dilakukan di banyak tempat di Kalimantan Utara (Kalimantan Timur) – oleh
kelompok-kelompok etnik tersebut ditambah dengan Ikatan Sarjana Nunukan
(Soewarsono, 2005), untuk mencegah terjadinya konflik.
Ada beberapa kondisi yang diciptakan untuk mengantisipasi terjadinya
konflik. Pertama, para pendatang (kaum migran) di Provinsi Kalimantan Utara
bukanlah sebuah kelompok minoritas – sebagaimana halnya orang Madura di
Sambas dan Sampit. Kedua, berbagai kelompok etnis di Kalimantan Utara, secara
ekonomi tidak berada dalam suatu daerah kegiatan yang sama. Penduduk asli,
lebih berada pada sektor ekonomi “subsistensi”, sedangkan para pendatang
adalah kelompok tenaga kerja atau para pedagang yang melakukan aktivitas
jual-beli komoditas. Di sini, terjadi pembagian kerja secara ekonomis di antara
berbagai kelompok etnis. Para pendatang Bugis dan orang Sulawesi Selatan
lainnya lebiih merupakan para pedagang/pengusaha. Orang Timor terkenal
sebagai petani sayur mayur yang cukup berhasil. Sedangkan, orang Tidung,
selain sebagai petani juga nelayan. Bahkan, para Nelayan Tidung lah yang
memberikan nama Nunukan pada pulau yang sekarang didiami oleh mayoritas
orang Bugis dan Sulawesi Selatan lainnya di Provinsi Kalimantan Utara. Ketiga,
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya23
terdapat suatu pengkonsentrasian pemukiman berbagai kelompok etnis di
dalam wilayah Kabupaten Nunukan. Penduduk asli Dayak Londaye terkonsentrasi
di Kecamatan Krayan, Dayak Tagel dan Murut terkonsentrasi di Kecamatan
Lumbis, etnis Tidung bersama dengan Dayak Tenggaleng merupakan penduduk
utama Kecamatan Sembangkung. Sedangkan orang Timor membentuk sebuah
pemukiman khusus di Kecamatan Sebatik. (Soewarsono, 2005).
3.4 Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara sebagai Rekonstruksi Iden tas Kultural
Terbentuknya kabupaten baru yaitu Malinau dan Nunukan, serta
pemberian status Tarakan sebagai kota, kemudian sebuah gagasan dilontarkan
oleh sejumlah kalangan, baik yang berada di Kabupaten Berau, Kabupaten
Bulungan, maupun Kota Tarakan, mengenai perlunya dibentuk sebuah provinsi
baru di utara wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Bagi para penggagasnya,
penciptaan provinsi ini merupakan sebuah cara untuk mempercepat proses
pembangunan wilayah utara provinsi Kaltim tersebut. Gagasan terus
berkembang dan mengarah pada sebuah gerakan, yang kemudian dikondisikan
dengan rencana pembentukan provinsi di dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) menjadi 40 provinsi pada tahun 2004 (Gagasan dan gerakan
pembentukan Provinsi Kalimantan Utara dapat dilihat dalam Kaltim Post, 1
Maret 2001 dan Kompas, 3 April 2001).
Pembentukan provinsi Kalimantan Utara yang meliputi empat
kabupaten, yaitu Berau, Bulungan, Malinau, dan Nunukan, serta satu Kota
Tarakan, direncanakan akan rampung pada tahun 2002. Namun, beberapa
kalangan di pulau Nunukan terus menerus memperlihatkan sikap penolakan
terhadap rencana pembentukan provinsi baru tersebut. Argumen penolakan
tersebut terkait dengan keterbatasan dana percepatan proses pembangunan,
sementara dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terus
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
24
melonjak. Jika provinsi terbentuk, APBD dana perimbangan pusat-daerah
harus dilepaskan, dan hal ini akan membebani kabupaten/kota dalam upaya
percepatan pembangunan daerahnya. (Soewarsono, 2005).
Bagi para penggagas dan penggeraknya, alasan-alasan penolakan
tersebut dianggap hal yang masuk akal, namun gagasan pembentukan tersebut
dianggap lebih penting daripada sekedar permasalahan dana pembangunan,
Bagi mereka pembentukan provinsi baru Kalimantan Utara lebih memiliki nilai
strategis dalam rangka memberikan penguatan dan rekonstruksi kebangkitan
penduduk ‘asli’ di utara Kalimantan Timur yang selama itu terpinggirkan,
bahkan tergeser oleh masuknya pendatang baru yang semakin masif. Oleh
karena itu, pembentukan provinsi ini menjadi langkah antisipatif-politik yang
bisa mencegah kemungkinan terjadinya konflik horisontal akibat kesenjangan
antar-etnis, dan sekaligus memperkuat kedaulatan negara di perbatasan yang
selama ini terusik oleh adanya arus transnasional akibat kesenjangan ekonomi
dengan negara tetangga (Sabah dan Sarawak).
Selain itu, penguatan dan rekonstruksi penduduk asli dianggap penting
karena alasan sejarah. Bahwa di utara Kaltim terdapat beberapa kerajaan
yang merupakan pusat-pusat politik, yaitu di Berau terdapat kerajaan Gunung
Tabur dan Sambaliung; di Bulungan terdapat kerajaan Bulungan dan Pasir.
Berdasarkan “Zelf Bestuurssregelen” tahun 1938, semua kerajaan tersebut
diakui keberadaannya oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah
Republik Indonesia pun mengakuinya melalui Undang-Undang Darurat No. 3
tahun 1953 dengan menjadikan kerajaan-kerajaan tersebut sebagai daerah-
daerah istimewa (Soewarsono, 2005). Namun, dalam perkembangannya, fakta
historis ini tidak mendapatkan pengakuan, dan keberadaan penduduk asli
dianggap tidak mendapatkan tempat yang cukup dalam struktur politik yang
ada. Oleh karena itu, alasan-alasan sosial, politik, dan historis ini, menjadi lebih
penting dan strategis untuk merekonstruksi eksistensi penduduk asli daripada
sekedar alasan keterbatasan dana.
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya25
Setelah melalui pergulatan panjang, pada akhirnya, Provinsi Kalimantan
Utara resmi disahkan sebagai provinsi ke-34, melalui Rapat Paripurna DPR RI
pada tanggal 25 Oktober 2012 berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun
2012. Pada tanggal 22 April 2013 telah dilantik Penjabat Gubernur Kalimantan
Utara oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi atas nama Presiden RI. Pada
waktu yang bersamaan pula maka, Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara telah
resmi diselenggarakan.
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
26
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya27
Selama ini masyarakat pesisir sering kali dipandang sebagai masyarakat
yang tertinggal secara ekonomi. Mereka tergolong masyarakat marjinal yang
kurang tersentuh program pembangunan. Wajar pula bila mereka akrab dengan
stempel kemiskinan, keterbelakangan, serta rendahnya pendidikan. Padahal
secara normatif, masyarakat pesisir seharusnya merupakan masyarakat yang
sejahtera karena potensi sumber daya alamnya yang besar.
Masyarakat pesisir yang dimaksud terdiri atas nelayan, pembudidaya
ikan, pengolah dan pedagang hasil laut, serta masyarakat lainnya yang
kehidupan sosial ekonominya tergantung pada sumber daya kelautan
dan perikanan. Kemiskinan masyarakat pesisir berakar pada keterbatasan
mengakses permodalan yang ditunjang oleh kultur kewirausahaan yang tidak
kondusif yang dilandasi dengan sifat usaha yang individual, tradisional, dan
subsisten. Salah satu indikasi keterbatasan akses modal tersebut ditandai
dengan realisasi penyerapan modal melalui investasi pemerintah dan swasta
selama periode Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I) yang hanya 0,02
persen dari keseluruhan modal pembangunan. Konsekuensinya, kebutuhan
permodalan nelayan dipenuhi oleh rentenir, tengkulak, tauke atau ponggawa
yang dalam kenyataannya secara jangka panjang tidak banyak menolong untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka. Malah sebaliknya, cenderung menjerat
dalam lilitan hutang yang tak pernah bisa dilunasi. Demikian pula kultur
kewirausahaan mereka masih bercorak manajemen keluarga, dengan orientasi
sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten).
Bab 4Potensi Ekonomi
Masyarakat Pesisir Kalimantan Utara
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
28
Indikasi kemiskinan nelayan itu dengan mudah dapat dilihat pada saat
memasuki desa nelayan. Kondisi perumahan yang kumuh adalah sebuah
citra umum yang selalu dikaitkan dengan kehidupan nelayan. Selain itu,
perabotan yang seadanya, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sandang
dan kesehatan yang rendah, merupakan gambaran yang tidak terlepas dari
kehidupan nelayan pada umumnya. Begitu pula kondisi pendidikan yang juga
rendah. Walaupun gambaran seperti itu tidak seluruhnya benar, namun itulah
kenyataan umum yang terlihat pada saat ini.
Pertumbuhan yang diperoleh dari sektor ekonomi berbasis sumber
daya kelautan cukup tinggi dan sumbangan yang diberikan sektor itu cukup
nyata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun pada kenyataannya
terkesan kurang berdampak pada para nelayan dan umumnya masyarakat
pesisir. Mereka sebagai pelaku dan objek dari pembangunan tetap saja masih
terjebak dalam kemiskinan dan ketertinggalan. Dengan karunia kekayaan alam
yang begitu besar, sungguh ironis jika masyarakat pesisir masih terjebak dalam
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya29
kubangan krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Permasalahan nelayan dan masyarakat pesisir merupakan permasalahan
yang kompleks. Karenanya, usaha pemberdayaan nelayan membutuhkan
perhatian yang serius dan pengkajian yang mendalam oleh berbagai pihak
terkait. Dengan demikian, diharapkan dapat lebih arif dalam memahami
persoalan nelayan dan upaya optimalisasi produktivitas nelayan.
Aspek lain yang juga penting dalam ketahanan nasional adalah
identitas budaya yang kuat sebagai bagian dari budaya Indonesia. Salah satu
upaya untuk mengembangkan identitas budaya tersebut antara lain dengan
menumbuhkembangkan produk lokal yang lekat dan menjadi ciri khas, seperti
batik dan kerajinan Tidung, rumah Baloy, dan lain-lain.
4.1 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Kalimantan Utara
Untuk memberdayakan masyarakat pesisir, selain perlu pembinaan
menyangkut pola hidup, diperlukan juga faktor-faktor lain yang berpengaruh,
seperti rasa percaya diri, sarana perahu/kapal, alat tangkap, teknologi,
pelabuhan, pendidikan, keterampilan, peningkatan SDM, etos kerja,
manajemen, kemandirian, kreativitas usaha, budaya menabung, hingga kultur
masyarakat. Begitu pula dibutuhkan dukungan pemerintah dan berbagai pihak
terkait, termasuk media massa. Semua itu menjadi faktor yang berpengaruh
pada upaya optimalisasi produktivitas nelayan.
Pengelolaan wilayah pesisir dari pulau-pulau kecil sebagai bagian integral
dari pembangunan kelautan dan perikanan, saat ini mendapat perhatian
dengan skala prioritas yang tinggi, dan menjadi bagian dari orientasi kebijakan
perencanaan pembangunan nasional. Hal tersebut terjadi karena wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki arti strategis dengan potensi yang besar
dari sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya.
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
30
Saat ini banyak program pemberdayaan yang mengklaim sebagai
program yang berdasarkan kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat
(bo om up), tetapi ironisnya masyarakat tetap saja tidak merasa memiliki
akan program-program tersebut, sehingga tidak aneh banyak program yang
hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan
masyarakat. Pertanyaan kemudian muncul apakah konsep pemberdayaan yang
salah atau pemberdayaan dijadikan alat untuk mencapai tujuan tertentu dari
segolongan orang.
Memberdayakan masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi
masyarakat pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan
melaksanakan kegiatannya, yang akhirnya menciptakan kemandirian permanen
dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Memberdayakan masyarakat pesisir
tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat lainnya,
karena di dalam habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan
masyarakat diantaranya: a) masyarakat nelayan tangkap; b) masyarakat nelayan
pengumpul/bakul; c) masyarakat nelayan buruh; d) masyarakat nelayan tambak
dan masyarakat nelayan pengolah.
Setiap kelompok masyarakat
tersebut haruslah mendapat
penanganan dan perlakuan khusus
sesuai dengan kelompok, usaha,
dan aktivitas ekonomi mereka.
Pemberdayaan masyarakat tangkap
misalnya, mereka membutuhkan
sarana penangkapan dan kepastian
wilayah tangkap. Berbeda dengan
kelompok masyarakat tambak, yang
mereka butuhkan adalah modal kerja
dan modal investasi, begitu juga
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya31
untuk kelompok masyarakat pengolah dan buruh. Kebutuhan setiap kelompok
yang berbeda tersebut, menunjukkan keanekaragaman pola pemberdayaan
yang akan diterapkan untuk setiap kelompok tersebut.
Pembangunan kawasan perbatasan di Kalimantan Utara merupakan
bagian integral dari pembangunan kawasan perbatasan secara nasional. Wilayah
perbatasan di Kalimantan Utara memiliki potensi sumber daya alam yang cukup
besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan
keamanan negara. Namun secara umum pembangunan wilayah perbatasan
masih jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara
tetangga.
Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah ini
umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga
negara tetangga. Hal ini telah mengakibatkan timbulnya berbagai kegiatan
ilegal di daerah perbatasan yang dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat
menimbulkan berbagai kerawanan sosial.
Keadaan wilayah perbatasan Kalimantan Utara dengan negara Malaysia
hingga saat ini kondisinya masih sangat memprihatinkan. Permasalahan
mendasar pembangunan di wilayah perbatasan adalah isolasi
wilayah, sehingga berdampak terhadap kegiatan pengembangan
kawasan pada seluruh bidang pembangunan, termasuk kualitas
sumber daya manusia, pendidikan, kesehatan, infrastruktur,
dan pertanian dalam arti luas. Kawasan perbatasan di Provinsi
Kalimantan Utara memiliki permasalahan pada (Sutisna dkk, 2011)
: a) Rendahnya kualitas sumber daya manusia, yang dapat diukur
dengan menggunakan indikator Indeks Pembangunan Manusia
(IPM); b) Keterbatasan sarana prasarana pendukung, kondisi
transportasi antar wilayah di perbatasan masih belum mampu
menjadi penopang kegiatan ekonomi masyarakat; c) Buruknya
kondisi kesehatan, pelayanan kesehatan di kawasan perbatasan
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
32
masih minim; d) Keterbatasan sarana dan kualitas pendidikan; e) Keterbatasan
jangkauan telekomunikasi, sarana perhubungan khususnya telekomunikasi di
kawasan perbatasan Kalimantan masih sangat terbatas; f) Buruknya kondisi
perekonomian, secara umum kondisi kedua wilayah perbatasan masih sangat
berbeda, wilayah Malaysia relatif lebih maju dibandingkan dengan wilayah
Indonesia; g) Pemekaran wilayah yang tidak diikuti oleh kesiapan aparatnya;
h) Degradasi sumber daya alam yang berdampak pada kerusakan ekosistem
alam dan hilangnya keanekaragaman hayati; i) Lunturnya rasa nasionalisme
dan rendahnya kesadaran politik masyarakat perbatasan Kalimantan Timur
akibat sulitnya jangkauan pembinaan dan adanya peluang ekonomi di negara
Malaysia; j) Terancam dan berkurangnya pulau-pulau terluar dalam wilayah
NKRI di kawasan perbatasan Kalimantan Utara.
4.2 Potensi Sumber Daya Alam
Kabupaten Nunukan sebagai pintu gerbang utama kawasan pebatasan
di Kalimantan Utara, memiliki potensi alam yang luar biasa, antara lain
potensi kelautan (perikanan dan rumput laut). Potensi sumber daya perikanan
tangkap di perairan Nunukan diperkirakan cukup besar. Perairan Pulau Sebatik
diperkirakan mempunyai potensi udang sekitar 2.500 ton/tahun, sedangkan
potensi ikan demersal dan pelagis mencapai 54.860
ton/tahun, dengan tingkat pemanfaatan ikan demersal
dan pelagis sekitar 61% (DKP dan LIPI, 2010). Di sektor
perkebunan, luas areal komoditi kelapa sawit pada tahun
2014 mengalami peningkatan. Sebagian besar dari luas
areal kelapa sawit terdapat di Kecamatan Nunukan,
Sebuku, Sebatik, Sembakung, Sebatik Barat dan Luas areal
komoditi kelapa sawit mengalami peningkatan sebesar
10,59% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sektor
perkebunan di Kabupaten Nunukan merupakan salah ��������� ������������������������������
���������������� !"�#$"%�
������������ ����������������������
�����������
�����������
����� !��&����� !��&
������������������ ���������������������
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya33
satu penopang ekonomi daerah yang sangat potensial. Sektor perkebunan
yang menjadi primadona antara lain kelapa sawit, kakao, kopi, lada dan
kelapa. Industri perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Nunukan merupakan
sektor unggulan yang tengah digalakkan melalui program sawit sejuta hektar.
Areal pengembangan perkebunan dan industri pengolahan CPO dipusatkan
di sepanjang perbatasan Indonesia dan Malaysia (Dinas Perkebunan dan
Kehutanan, Kabupaten Nunukan, 2015).
Kemudian, sektor pertanian merupakan sektor primer yang mendominasi
aktivitas perekonomian di Kabupaten Nunukan. Pertanian yang meliputi
pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan
selalu diupayakan untuk menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Pada
tahun 2014 luas panen padi (sawah+ladang) di Kabupaten Nunukan mengalami
kenaikan, dimana tanaman padi naik sebesar 9,42%. Secara otomatis produksi
tanaman padi juga mengalami kenaikan, yaitu menjadi 43.496 ton tetapi terjadi
penurunan produktivitas padi sebesar 0,6%. Kecamatan Lumbis adalah daerah
yang mempunyai luas panen dan jumlah produksi padi ladang yang lebih besar
dibandingkan kecamatan yang lain, yaitu 37,23% dari total luas panen serta
37,10% dari total produksi (Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Kabupaten
Nunukan, 2015).
Di sektor pertambangan, Kabupaten Nunukan termasuk daerah yang
memiliki masa depan cemerlang, karena menyimpan potensi tambang yang
beragam. Di lautan sekitar Nunukan terdapat cekungan yang menyimpan
minyak dan gas, sedangkan di daratan selain ada minyak dan gas, juga
batubara dan emas. Sayangnya, potensi pertambangan tersebut belum bisa
dikelola secara menyeluruh, disebabkan baru pada tahap pengkajian. Di sisi
lain ternyata beberapa lokasi pertambangan masuk dalam kawasan Taman
Nasional Krayan Mentarang. Sebenarnya ada satu lokasi di Kecamatan Krayan
memiliki kandungan batu bara yang sangat tinggi seluas puluhan ribu hektar,
namun lokasi potensi batubara tersebut belum memiliki akses jalan, lokasi
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
34
tersebut juga berada di kawasan Taman Nasional Krayan Mentarang yang
termasuk kawasan Hutan Lindung (Dinas Pertambangan dan Energi, Kabupaten
Nunukan, 2015).
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya67
Perhatian terhadap pembangunan budaya menjadi sangat penting
mengingat intersitas relasi dan kontestasi antar kelompok budaya (etnis)
sangat tinggi sebagai akibat dari arus migrasi yang cukup besar di wilayah
perbatasan. Daya tarik ekonomi baik lokal maupun transnasional dari negara
tetangga (Sabah-Sarawak) menjadi faktor penarik (pull factors) bagi masuknya
kaum pendatang terutama dari Bugis, Jawa, Timor, yang kemudian menjadi
warga yang sangat dominan di Kalimantan Utara. Kompleksitas budaya ini
memerlukan penataan yang serius melalui kebijakan pembangunan daerah,
yang memungkinkan terjadinya relasi antar-budaya yang mendukung terhadap
pencapaian pembangunan daerah. Dalam hal ini, kebijakan pembangunan
ekonomi harus mampu memberdayakan kelompok-kelompok etnik yang ada,
yang belum secara spesifik memasukkan aspek-aspek budaya sebagai identitas
yang penting dalam pembangunan.
Potensi ekonomi melalui kegiatan wirausaha di wilayah pesisir Provinsi
Kalimantan Utara sangat besar. Hal tersebut antara lain karena besarnya volume
perdagangan ikan di sana dengan jaringan distribusi yang telah terbentuk,
baik skala nasional maupun internasional. Untuk itu, potensi tersebut harus
dimanfaatkan secara optimal dalam membangun kewirausahaan yang dapat
menjadi sumber kegiatan ekonomi yang mampu menyerap banyak tenaga
kerja. Di samping itu, sejalan dengan pertumbuhan kewirausahaan yang pesat,
dan industri berbasis sumber daya perikanan dan kelautan, maka perbaikan
lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir pun akan semakin baik.
Bab 6Penutup
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
68
Prioritas pembangunan Kawasan Pesisir Perbatasan Indonesia di
Provinsi Kalimantan Utara 2016-2020 adalah 1. Infrastruktur dan Penguatan
Kelembagaan Sosial Ekonomi; 2. Peningkatan Kesejahteraan dan Kemandirian
Masyarakat. Hal tersebut merupakan dasar bagi pembangunan masyarakat
pesisir, sehingga diharapkan dapat berkembang penguatan aspek sosial budaya
dan ekonomi, dalam kerangka ketahanan nasional. Selain itu, rincian roadmap
dapat dikembangkan sesuai dengan skala dan potensi wilayahnya masing-
masing, dengan penekanan pada pengembangan sistem informasi secara
terpadu tentang aspek ekonomi pesisir yang dapat diakses oleh kelompok-
kelompok usaha ekonomi kecil dan menengah agar dapat terus mengikuti
perkembangan global.
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya69
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
70
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya71
Achda, BT; Saribanon, N; Isman, Z; Rambe, S. 2012. Pulau Bunyu dalam Arus
Perubahan. Jakarta: IPM dan PT Pertamina EP Region KTI Field Bunyu.
-------------------------------- 2004. Mendahulukan yang Ter nggal, Laporan Studi
Penjajakan Kebutuhan Program Adopsi Desa Miskin di Jawa Barat.
Jakarta: PPM Universitas Nasional dan Depsos RI, 2004.
Achda, B. Tamam. The Sociological Context of Corporate Social Responsibility
Development in Indonnesia. Corporate Social Responsibility and
Environmental Management 13 (5): 30-35.
Askin, Mohammad. Seluk Beluk Hukum Lingkungan, Disesuaikan Dengan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009. Jakarta: Nekamatra, 2010.
Bappeda Kota Banjarmasin, 2012. http://bappeda.banjarmasinkota.
go.id/2012/10 /provinsi-kalimantan-utara-sebagai.html. [31 Mei 2013]
Basrowi dan Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro.
Insan Cendekia. Surabaya.
Blaine, R Worthen., James R Sanders., Jody L Fitzpatrick., “Program Evalua on.
Alterna ve Approaches and Prac cal Guidelines”,2 nd Ed, Longman
publisher, 1997
Castells, Manuel. 2010. The Power of Iden ty. Second Edition. United Kingdom.
Willey-Blackwell Ltd.
Chambers , R. Par cipatory Learning and Ac on Reflec on : Future Direc on.
Brighton-UK: IDS-University of Sussex.
Daftar Pustaka
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
72
Conley, W. William. 1973. The Kalimantan Kenyah: A Study Of Tribal Conserva on
in Terms Dynamic Cultural Themes. Thesis Ph.D, School of World Mission,
Michigan: University Microfilm.
Dhongo, Petrus C. “Orang Bajo di Wuring: Rumah-Rumah di Atas Laut”. Paper,
2006.
Diana, Kendall. 2003. Sociology in Pure Times. Ch. 10 Belmont, CA: Wadswort/
Thomson Learning.
Dwianto, Raphaella Dewantari. “Pendekatan Pemberdayaan dalam
Pembangunan Komunitas”. Paper, tahun 2002.
Dwianto, Raphaella Dewantari. “Pendekatan Pemberdayaan dalam
Pembangunan Komunitas”. Paper, tahun 2002.
Geo, Khaeruddin Elang. Pulau Bunyu, Kemarin, Hari Ini dan Esok (Sejarah yang
Terlupakan. Makasar: LP3i Makasar, 2010.
Guba, E.G and Lincoln, Y.S. “Effective Evolution”. Jossey-Bass Publishers;
Clofornia. 1981.
Habba, John. 2000. “Hubungan Sosial Antara Kelompok Etnis di Entikong dan
Jagoi Babang” dalam Dinamika Sosial Budaya di Daerah Perbatasan
Kalimantan, Sarawak dan Sabah. PMB-LIPI. Jakarta
He, Baogang and Will Kymlicka, eds. 2005. Mul culturalism in Asia. New York:
Oxford University Press.
http://rahmanhumas.blogspot.com/2013/08/profil-kalimantan-utara.html
Diunduh tanggal 27 Juni 2014.
Isaac, S. ; Michael W.B. “Handbook in Research and Evalua on (Second
edi on)”, EdITS publisher: san Diego, Calofornia.
Kaufman, R. And Thomas, S. “Evalua on Without Fear”. New Viewpoints:New
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARA
melalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya73
York. 1980.
Kymlicka, W. 1995. Mul cultural Ci zenship: A Liberal Theory of Minority Rights.
Oxford, Clarendon Press.
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Jembatan,
1982.
Koentjaraningrat, 1989. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Grasindo. Jakarta.
Martin, D. 1991. Geographic Information Systems Socioeconomic
Applications. Routledge. London.
Munandar, Aris. “Memahami Identitas Sosial Komunitas Lokal Di daerah
Perbatasan Indonesia-Malaysia” dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan.
P2E-LIPI. Vol. XIX (1), 2011.
Patton, M. Q. “Qualita ve Evalua on Methods”. Sage Profesional Publications,
Inc. California.. 1987.
-----------------“ Qualita ve Evalua on And Research Methods”, Second Edition.
The International profesional Publishers Newbury Park: London. 1990.
Rambe, S; Achda, BT; Saribanon, N; Isman, Z. 2012. Tarakan Kota
Persinggahan. Jakarta: IPM dan PT Pertamina EP UBEP
Sangasanga&Tarakan Field Tarakan.
Rogers, Everet M. 1983. Diffusion of Innova on. The Free Press. New York
Rudito, Bambang dan Melia Famiola. Social Mapping Metode Pemetaan Sosial,
Teknik Memahami Suatu Masyarakat Atau Komuni . Bandung: Rekayasa
Sains, 2008.
MENGELOLA PERBATASAN DI PESISIR KALIMANTAN UTARAmelalui Pendekatan Ekonomi dan Sosial Budaya
74
Scriven, Michael. “Evaluation Bias and Its Control”. Occasional Paper, University
of california, Berkeley, 1975
Soewarsono. 2005. “Kabupaten Perbatasan Nunukan: Beberapa Karakteristik”
dalam Tirtosudarmo dan Habba (Editor). 2005. Dari En kong Sampai
Nunukan: Dinamika Daerah Perbatasan Kalimantan - Malaysia Timur
(Sarawak-Sabah). Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Sudirman Saad (ed). 2006. “Tahun Program PEMP, Sebuah Refleksi” Direktorat
Pemberdayaan masyarakat Pesisir.
Sudirman Saad dkk. 2007. “Profil Koperasi Masyarakat Pesisir” edisi 2. Direktorat
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir.
Sutisna, S; Sumarsono, S; Wasistiono, S; Djojosoekarto, A; Sumarwono, R;
Suryaman, C. 2011. Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Perbatasan
di Indonesia. Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di
Indonesia.
Suyadi; Fitriadi; Daroni; Zaini, A. 2011. Rmusan Rekomendasi Kebijakan
Pengelolaan Perbatasan di Kalimantan Timur. Jakarta: Kemitraan bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.
Tirtosudarmo, Riwanto. 2005. “Nunukan Sebagai Wilayah Transit” dalam
Tirtosudarmo dan Habba (Editor). 2005. Dari En kong Sampai Nunukan:
Dinamika Daerah Perbatasan Kalimantan - Malaysia Timur (Sarawak-
Sabah). Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Nunukan Tahun
2010-2015.