caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

58
Malin Senin, 07 April 2014 Masa lalu tak pernah berdiri sendiri. Andai ia berdiri sendiri, ia tak akan pernah ada. Kita mengingat, dan itu sebenarnya kita mengaitkan apa yang kita ingat-sesuatu yang muncul kembali dalam kepala kita-dengan isi kepala kita yang ada di tubuh kita hari ini. Sebab itulah orang tak akan mengingat semua hal secara komplet. Masa lampau hadir kembali dalam bentuk yang telah diraut masa kini. Mengingat sebenarnya berjalan di sebuah jalur yang terputus. Barangkali itulah yang terjadi dengan Si Malin Kundang. Dalam legenda yang terkenal ini, pada suatu hari ada seorang anak muda yang mendaratkan perahu besarnya di sebuah dusun pantai. Ketika ia melangkah ke darat dan berjalan beberapa belas meter memasuki dusun itu, seorang perempuan tua mendekatinya. Ia memanggil orang muda yang tampak gagah dan sukses itu sebagai "anakku, Malin". Syahdan, laki-laki itu menolak. Ia tak mau mengakui wanita tua itu sebagai ibunya. Perempuan tua itu pun sakit hati. Ia mengutuk. Kata sahibulhikayat, tak lama kemudian, badai pun datang, dan orang muda itu, yang sudah kembali ke perahunya, tenggelam. Ia dan kapalnya berubah jadi batu di tepi laut dari mana ia datang. Tapi benarkah ia harus dikutuk? Benarkah ia telah menampik ibu yang membesarkannya? Bukan mustahil ia seseorang yang lupa sama sekali dan tak mengenali lagi pantainya yang dulu. Jangan-jangan perempuan tua itu yang salah ingat dan salah sangka. Tanpa banyak pertanyaan, orang pun menyampaikan sebuah petuah melalui legenda Si Malin Kundang: lupa adalah sebuah

Upload: ekho109

Post on 22-May-2017

228 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

MalinSenin, 07 April 2014

Masa lalu tak pernah berdiri sendiri. Andai ia berdiri sendiri, ia tak akan pernah ada. Kita mengingat, dan itu sebenarnya kita mengaitkan apa yang kita ingat-sesuatu yang muncul kembali dalam kepala kita-dengan isi kepala kita yang ada di tubuh kita hari ini. 

Sebab itulah orang tak akan mengingat semua hal secara komplet. Masa lampau hadir kembali dalam bentuk yang telah diraut masa kini. Mengingat sebenarnya berjalan di sebuah jalur yang terputus.

Barangkali itulah yang terjadi dengan Si Malin Kundang. Dalam legenda yang terkenal ini, pada suatu hari ada seorang anak muda yang mendaratkan perahu besarnya di sebuah dusun pantai. Ketika ia melangkah ke darat dan berjalan beberapa belas meter memasuki dusun itu, seorang perempuan tua mendekatinya. Ia memanggil orang muda yang tampak gagah dan sukses itu sebagai "anakku, Malin". 

Syahdan, laki-laki itu menolak. Ia tak mau mengakui wanita tua itu sebagai ibunya. Perempuan tua itu pun sakit hati. Ia mengutuk. Kata sahibulhikayat, tak lama kemudian, badai pun datang, dan orang muda itu, yang sudah kembali ke perahunya, tenggelam. Ia dan kapalnya berubah jadi batu di tepi laut dari mana ia datang.

Tapi benarkah ia harus dikutuk? Benarkah ia telah menampik ibu yang membesarkannya? Bukan mustahil ia seseorang yang lupa sama sekali dan tak mengenali lagi pantainya yang dulu. Jangan-jangan perempuan tua itu yang salah ingat dan salah sangka.

Tanpa banyak pertanyaan, orang pun menyampaikan sebuah petuah melalui legenda Si Malin Kundang: lupa adalah sebuah kesalahan. Sebaliknya, mengingat dianggap jalan yang bersih dan sebab itu tepat arah yang sepatutnya. 

Saya tak percaya bahwa pernah ada jalan yang bersih itu. Di dunia kesadaran, tak ada jalan yang tepat arah. Mengingat adalah menafsirkan masa lalu, tapi sudah tentu kita tak akan bisa pergi untuk mencocokkan tafsir kita dengan masa lalu itu sendiri. Kita tak akan pernah bisa melangkah, biarpun sejenak, keluar dari waktu. Waktu bukan kereta api yang bisa sesekali berhenti dan masinisnya turun untuk menengok apa yang terjadi di gerbong belakang.

Di lain pihak, mengingat juga berarti membaca masa lalu dengan kecenderungan menatap ke masa depan. Mereka yang memandang masa silam dengan nostalgia, seperti sebagian orang yang kini menyambut kenangan tentang zaman Soeharto-dan memasang gambar senyum lebar presiden yang pada 1998 turun takhta itu-sebenarnya sedang menemukan alasan baru buat menyatakan kritik kepada masa sekarang. Dalam kritik itu tersirat hasrat untuk sesuatu di masa yang akan datang.

Page 2: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Sebab itu, nostalgia bukanlah kerinduan akan masa lalu. Nostalgia justru menginginkan sebuah masa depan. Kita tengok lagi dongeng Si Malin Kundang: bukan mustahil perempuan tua di dusun pantai itu ingin merangkul anak muda yang datang itu dengan harapan hidupnya akan jadi lebih bahagia-dan ia keliru.

Kita hidup dengan apa yang oleh Walter Benjamin disebut "kipas ingatan". Siapa saja yang mulai membuka lipatan "kipas ingatan" itu selalu menemukan hal-hal baru, bagian baru, bacaan baru. Tapi bila yang "lama" (yang diingat-ingat) akhirnya sama dengan yang "baru" (yang saat itu ditemukan), yang terjadi sebenarnya semacam paralelisme antara ingatan dan lupa. 

Apalagi lupa bisa punya peran yang diinginkan. Seperti nostalgia, lupa juga bisa merupakan protes terhadap hari ini yang tak menyenangkan.

Mari menari! 

Mari beria! 

Mari berlupa!

Ajakan itu menyeru dalam sajak Chairil Anwar, "Cerita buat Dien Tamaela". Tampak antara "tari", "ria", dan "lupa" ada benang merah yang mempertalikannya: gerak, dinamisme, mobilitas. Kata-kata kunci zaman modern. Semangat yang menampik kemandekan yang represif.

Tapi paradoks sajak Chairil Anwar ini adalah bahwa seruan itu diperdengarkannya dari sebuah suasana purba ketika dunia masih penuh dengan sihir. Suasana itu dihidupkan Chairil dengan citra-citra primitif: hidup yang dimulai dengan "dayung dan sampan" sejak seseorang lahir, lingkungan yang "dijaga datu-datu" di siang dan di malam. 

Paradoks cerita ini adalah bahwa kehendak "berlupa" akhirnya sama dengan kehendak kembali ke masa silam.

Kita menemukan motif yang sedikit berbeda dalam cerita Si Malin Kundang: masa lalu yang hendak dihidupkan kembali ("anakku, Malin") kemudian hendak dihapus. Bersama itu, masa depan mau ditiadakan. Si Malin dikutuk jadi batu: ia dibenamkan dalam kebekuan, seakan-akan batu yang mandek dan bisu itu hendak dijadikan imun dari sentuhan waktu.

Tapi jika demikian yang dikehendaki sang perempuan tua-atau dikehendaki sang empunya cerita-di sini kita temukan sebuah waham, setidaknya dugaan yang keliru. Batu di pantai itu jauh dari kekal. Ia juga berproses: akan datang lumut ke punggungnya, akan melekat siput-siput laut ke sisinya, dan akan terkikis ia oleh ombak. Sementara itu, orang akan datang dan pergi, memandangnya dengan cara yang terus berubah. Ada suatu masa ketika orang melihatnya sebagai peninggalan yang penuh dongeng, ada lagi masa lain ketika orang menatapnya sebagai perintang. 

Bahkan batu tak pernah mandek dan berdiri sendiri. 

Page 3: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Sebagaimana masa lalu yang murni tak pernah ada, begitu juga masa kini dan masa depan. Manusia tak bisa lupa sama sekali, manusia tak bisa ingat secara lengkap, juga manusia tak bisa tanpa diam-diam berharap. 

Goenawan Mohamad

Page 4: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Nyoblos

Minggu, 06 April 2014

Putu Setia

Hari pencoblosan masih beberapa hari lagi. Tapi saya sudah bermimpi mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). Apakah ini mimpi buruk atau mimpi baik, tak ada jawaban di buku Primbon Mimpi. Penyusun primbon kurang update menerangkan soal mimpi, tak mengikuti kemajuan zaman.

Ada yang tahu apa arti mimpi saya itu? Baik, saya ceritakan. Siang itu, dengan surat panggilan di tangan, saya mendatangi sebuah TPS. Lama sekali menunggu, tak juga dipanggil. Orang yang datang belakangan malah sudah selesai mencoblos, saya tetap duduk di kursi. Tak sabar, saya datangi petugas, kenapa saya tak dipanggil. "Lo, nama Bapak sudah saya panggil sejak tadi, tidak dengar, ya?" jawab si petugas.

Wow, saya baru sadar, nama yang dipanggil adalah nama saya yang lama. Tentu sesuai dengan surat panggilan. Paguyuban pendeta Hindu pernah mempersoalkan kemungkinan pergantian nama untuk pendeta ke Catatan Sipil. Supaya nama di KTP dan paspor menjadi "nama pendeta". Sebagai bukti ada perubahan nama adalah ada ritual yang bernama "seda angga", ritual kematian yang dikukuhkan dengan surat resmi Parisada Hindu, sehingga ada "kelahiran kedua" dengan nama baru. Tapi Catatan Sipil, konon setelah berkonsultasi ke pusat, tak mengizinkan dengan alasan "itu kepercayaan lokal". Bahkan ada bisik-bisik menyebut: "seperti tahayul". Ya, sudahlah.

"Apakah nanti setelah mencoblos, jari tangan saya juga dicelupkan ke tinta?" tanya saya ke petugas, setelah urusan panggil-memanggil selesai dengan damai. "Tentu saja, itu peraturan," jawab petugas. "Kalau Bapak tidak mencelupkan jari tangan ke tinta, nanti Bapak dikhawatirkan mencoblos lagi di tempat lain."

Saya katakan tak mungkin, bukankah surat panggilan hanya satu? Petugas semangat membantah, "Bisa saja ada orang yang tak jujur, surat panggilan dibuat dobel untuk Bapak. Atau Bapak sendiri yang tidak jujur, ke TPS lain dengan membawa KTP dan menyebut tak ada nama dalam daftar, lalu ngotot mencoblos. Tinta di jari itu untuk mengatasi ketidakjujuran."

"Kalian menghina," jawab saya tegas. "Pemilu selalu didengungkan dengan asas jurdil, jujur dan adil. Tapi kalian dan seluruh penyelenggara pemilu mengajarkan orang untuk menghina kejujuran itu. Ini pemilu yang primitif, sistem pemilu di negara yang tak berkembang, negeri yang jauh dari kemajuan teknologi. Di negeri lain, orang sudah memilih dengan sistem elektronik, dan penyelenggaraan pemilu ditangani lembaga statistik sejenis Biro Pusat Statistik. Ini pemilu boros dan rumit, ada KPU, ada Bawaslu, ada DKPP. TPS dijaga banyak orang masih perlu saksi-saksi, ada lembaga pemantau. Semua ini karena kejujuran itu tak ada,

Page 5: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

atau kejujuran itu sudah sejak awal dipastikan tidak ada untuk semua orang, termasuk kaum pendeta. Itu kan menghina?"

Eh, saya terbangun. Saya sudah berusaha membalik bantal, konon dengan cara itu saya bisa tidur pulas lagi dan melanjutkan mimpi. Tapi tak bisa. Saya penasaran, apakah saya jadi mencoblos dalam mimpi itu atau tidak?

Dalam terjaga, saya teringat ucapan almarhum Guru Nabe saya, "Pendeta tak perlu mencoblos." Alasannya? Guru dengan bijak menjawab, "Ini jawaban yang gampang supaya tak berdebat, pendeta tak lagi berurusan dengan duniawi. Yang benar adalah soal nama dan kejujuran yang disangsikan dengan mencelupkan jari ke tinta. Apalagi tinta itu bukan barang suci bagi pendeta karena sudah dipakai banyak orang."

Untunglah pendeta Hindu tak sampai dua ribu di negeri ini, apalah artinya ke-golput-an mereka. Dan kalaupun mimpi saya bersambung, saya tahu apa ending-nya.

Page 6: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Penyetan

Minggu, 06 April 2014

M. Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

Seorang pengamat politik senior mengeluh mengapa belakangan ini sering menemukan kata setan yang dilekatkan pada makanan. Banyak warung yang menawarkan menu makanan yang di belakangnya dilekatkan kata setan. Rupanya ada pesan khusus dari pemanfaatan kata setan itu, yakni menu makanan ekstrem atau sangat pedas. Tiba-tiba saya ingat seorang nyonya rumah tangga dari Solo yang sering bilang tidak hanya "pedese koyo setan".

Iya, sang pengamat politik senior itu bisa paham bahwa pemanfaatan kata setan adalah untuk menyangatkan. Tapi, yang membuatnya gelisah adalah, bukankah dalam agama, kita diajarkan untuk berlindung kepada Tuhan dari godaan setan yang terkutuk? Lagi pula, kalau setan itu merujuk pada kata sifat, maka ia dilekatkan pada semua tabiat yang jelek dan jahat. Mengapa kita disuruh memakan makanan yang di belakangnya dilekatkan sifat jahat?

Saya menimpali pendek, bagaimana kalau dibalik, kalau kita usulkan yang dilekatkan bukan setan, melainkan malaikat? Maka rawon setan, misalnya, diganti saja dengan rawon malaikat. Dia protes, karena itu mendesakralisasi makna malaikat.

Itu semua saya ingat ketika saya melintas di depan konter makanan di sebuah mal di Jakarta Selatan yang bertajuk "penyetan". Tentulah sekilas kata penyetan agak menyesatkan, karena ternyata kata dasarnya bukan setan, melainkan penyet. Sebab, yang ditawarkan adalah jenis-jenis makanan penyet, dari tempe, ayam, hingga iga penyet. Makanan jenis ini, populernya pertama kali di Jawa Timur, kemudian merambat ke Jakarta.

Penyetan? Si empunya makanan mengambil dua keuntungan sekaligus dari kata ini, penyet dan setan. Maksudnya, dipenyet langsung "kesetanan", karena pedas.

Membaca surat kabar hari itu, saya terinspirasi bahwa kata penyetan segera mudah berpindah ke dunia politik. Para ulama dan sejumlah pemimpin ormas Islam mengungkapkan keprihatinannya terhadap proses politik yang dikendalikan oleh para pemodal dari konglomerat hitam. Kemudian mereka mengecamnya. Yang dikecam adalah konglomerat hitam, yang dalam bayangan saya kumpulan para penyetan. Tapi kali ini bukan penyet kata dasarnya, melainkan setan.

Konglomerat hitam berwatak setan, memakai jurus-jurus setan untuk memanipulasi dan menilap semuanya demi memperkaya diri dan kelompok bisnisnya di atas penderitaan yang

Page 7: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

lain. Mereka beraktivitas bisnis legal dan ilegal. Meminjam Jeffrey Winters, mereka para oligark yang berkepentingan memanfaatkan dunia politik untuk mempertahankan pertahanan kekayaan (wealth defense) masing-masing. Mereka bisa masuk langsung ke dunia politik, tapi juga bisa menjadikan para politikus sebagai boneka-boneka.

Dari sisi ini, bisa muncul istilah begini, "Sayang, ya, dia itu orang yang baik, bersih, jujur, merakyat, "tidak neko-neko" dan sederhana, tapi sayang di sekitarnya para penyetan!" Penyetan yang dimaksud, mereka yang membisiki kebijakan jahat dan berkepentingan mengendalikan sang politikus. Penyetan ialah pembisik yang jahat.*

Page 8: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Robin Hood dan Negara

Senin, 07 April 2014

Novriantoni Kahar, @novri75

Pekan lalu (21-23 Maret 2014), atas nama Yayasan Denny J.A., saya ke Malaysia guna memenuhi undangan kawan-kawan IDEAS (Institute for Democracy and Economic Affairs) untuk acara Regional Liberal Colloquium. Pertemuan ini dihadiri kawan-kawan Malaysia, Singapura, Indonesia, India, Amerika, dan Jerman. Tak banyak, cuma 13 orang. Di Kuala Lumpur, kami berbincang ihwal kebebasan, keadilan, dan kesetaraan, berdasarkan refleksi dan pengalaman masing-masing kami. Esai ini ingin berbagi oleh-oleh dari negara jiran itu dalam bentuk renungan.

Permenungan yang saya kira relevan adalah soal apa itu negara, untuk apa dia ada, dan bagaimana dia bekerja. Topik ini saya kira penting, karena menjelang pemilu, kita menyaksikan begitu banyak orang yang "peduli" mengurusi negara dengan cara memperebutkan posisi-posisi kuncinya. Kita kini sedang menyaksikan kampanye masif dari para calon anggota legislatif maupun calon presiden. Semua mengumbar janji bla-bla-bla jika kelak berkuasa memimpin sebuah negara. Namun apakah itu negara?

Menurut filsuf liberal-klasik asal Prancis, Frédéric Bastiat, yang renungan-renungannya menjadi bahan bacaan kami dalam pertemuan itu, negara pada hakikatnya adalah "entitas yang dikhayal-agungkan banyak orang demi menopang hidupnya dengan tanggungan pihak lainnya" (the state is the great fictitious entity by which everyone seeks to live at the expense of everyone else). Menurut dia pula, negara yang baik adalah negara yang bekerja bak polisi pamong praja (common police force). Fungsinya hanya menjamin tidak dijarahnya harta-benda siapa pun warga negara, seraya berupaya mewujudkan keadilan dan keamanan.

Bagi Bastiat dan umumnya kaum liberal, negara merupakan setan yang tak dapat ditolak (necessary evil) dan karena itu mesti berfungsi minimal saja. Ini berbeda dengan rumusan kaum maksimalis yang menggantungkan banyak harapan kepada negara. Pada kaum maksimalis, negara dituntut mengendalikan ekonomi, menjaga keamanan, meningkatkan kesehatan, mengendalikan kemacetan, mengindahkan kesenian, bahkan menguatkan keimanan. Mereka lupa, negara selalu punya dua tangan: tangan kasar (rough hand) yang pasti mengambil, dan tangan lembut (gentle hand) yang terkadang memberi.

Merenungkan Bastiat, saya membayangkan negara bekerja bagaikan Robin Hood yang mencuri untuk dapat memberi. Tatkala dua tangan itu bekerja, tentu ada saja pihak yang diuntungkan dan ada pula yang dirugikan. Sebuah negara mungkin saja masih sehat bila aksi

Page 9: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

pencurian ala Robin Hood itu masih menguntungkan khalayak banyak. Yang celaka adalah bila negara justru menyengsarakan semua, baik akibat salah kelola atau tak bekerjanya mekanisme Robin Hood dengan saksama dan bijaksana.

Nah, menjelang Pemilu, kita menyaksikan aksi-aksi berbagi dan memberi yang diumbar para calon penyelenggara negeri. Namun sadarkah kita dari mana mereka mengambil agar kelak mampu memberi? Seberapa banyak mereka mengambil dan berapa porsi kelak mereka berikan? Kampanye memang musim bermurah hati, tapi kita perlu pula mencurigai janji-janji semanis madu dan lagak-tingkah seputih susu. Sebab, dalam politik, hampir mustahil membayangkan langkah-langkah tanpa pamrih. Para politikus bukanlah orang suci atau para nabi yang terus dibisikkan Tuhan agar "jangan memberi dengan harapan mendapat lebih!" (QS al-Muddatsir: 6). *

Page 10: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Kampanye sebagai Teater Narsis

Senin, 07 April 2014

Seno Gumira Ajidarma, Wartawan

Politik bukanlah teater dan teater bukanlah politik, tetapi narsisisme bekerja dalam dunia politik maupun teater, sehingga dalam konteks narsisisme keduanya terbandingkan. Narsisisme teracu kepada pemuda Narcissus yang dikisahkan oleh Ovid, penyair Romawi yang hidup dalam masa kekuasaan Kaisar Augustus (63 SM-14 M). Pemuda tampan yang selalu menolak cinta itu, terkutuk untuk mencintai bayangannya sendiri di permukaan kolam, dan akan tersiksa begitu rupa sehingga hanya kematian yang bisa membebaskannya [Hamilton: 1961 (1940), 87-8]. Cerita ini teradaptasi secara ideologis, sebagai cinta kepada diri melebihi cinta kepada siapa pun, sehingga disebut narsisisme.

Dalam politik maupun teater, publik merupakan faktor integral, dan bersama publik pula praktek narsisisme berlangsung. Dalam pertandingan sepak bola, para bintang dipuja publik seperti dewa, meskipun seorang pemain yang menceploskan bola ke gawang tingkahnya kekanak-kanakan. Namun, ketika bintang yang sama tidak dapat memberi kemenangan lagi, publik yang narsis akan menghinanya, karena bagi publik yang narsis ini kesebelasan favoritnya harus menang terus. Meskipun seorang bintang di puncak prestasi berhak atas kebebasan penakluk, dalam hubungannya dengan publik suatu kekalahan akan membuat dirinya dianggap pengkhianat.

Maka disebutkan, seperti dikutip Wiratmo Soekito dari Schmidbauer (1981), kepahlawanan itu paradoksal, karena kepahlawanan akan absen setiap kali terjadi pendewaan. Bagi seorang narsis, seorang pahlawan tidak boleh kalah, harus menang, jika tidak ia bukan lagi pahlawan (Soekito, 9/11/1984: 6-9). Namun, dalam teater narsis, bukan publik, melainkan produser, sutradara, dan para aktor yang narsis, ketika mengecam penonton yang terkantuk, kurang berminat, bahkan mungkin meninggalkan gedung pertunjukan-karena yang sewajarnya terjadi, adalah publik yang menghakimi, bukan para pementas. Para dramawan cukup menerima saja, apakah dikecam atau dipuji.

Teater narsis, ketika tidak dibela publiknya, memuji dirinya sendiri, sehingga seorang aktor tidak lagi memerankan suatu karakter, melainkan melakukan identifikasi kepada dirinya sebagai karakter ideal, dan terkagum-kagumlah ia kepada dirinya sendiri. Bentuk teater narsis ini jika dioper ke dunia politik, ibarat pemimpin revolusi yang mengecam rakyat karena tidak mendukung revolusi, ketika seharusnya rakyatlah yang menilai, menghakimi, atau mengecam kerja pemimpinnya (Soekito, 15/3/1985: 6-9). Demikianlah seorang narsis mengira akan bisa berbahagia dengan hanya mencintai dirinya sendiri.

Page 11: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Perbandingan ini tidak membuat teater dan politik lebur, karena memang merupakan entitas terpisah, tetapi dalam masa kampanye dalam rangka pemilihan umum, peleburan antara teater dan politik itu pun terjadi. Dalam peristiwa politik sehari-hari, panggung adalah sebuah metafor, suatu perumpamaan, karena publik mengikuti semua drama politik dari media massa maupun gosip, ketika para aktor politik pada dasarnya memang cukup menampilkan dirinya sebagai politikus sahaja.

Namun, dalam masa kampanye, para politikus justru terpaksa memainkan peran sebagai aktor, meskipun mereka itu bukan aktor profesional. Dalam hal para aktor profesional yang terjun ke politik, satu-satunya peran yang bisa dibawakan dalam masa kampanye juga setali tiga uang: aktor maupun non-aktor, keduanya harus memainkan peran (baca: menjadi aktor) sebagai pemimpin rakyat. Betapa pun, seni orasi adalah bagian sah dari kemampuan retorika seorang politikus.

Peleburan teater dan politik dalam masa kampanye terjadi karena para calon presiden (capres) berhadapan dengan publik secara langsung di atas sebuah panggung. Seperti orang panggung, para politikus ini harus menguasai publik dari atas panggung itu, menaklukkan dan membuainya, untuk memberi kesan dirinya layak pilih. Sebetulnya bukan hanya di panggung, tapi juga di koran, televisi, dan "film iklan" yang selalu menampilkan adegan bersalaman dengan rakyat, para politikus suka atau tidak suka terdudukkan sebagai aktor. Sama seperti seorang aktor harus meyakinkan publik bahwa dirinya adalah peran seperti yang dimainkannya.

Bedanya, dalam teater terdapat kesepakatan bahwa apa yang tampak di panggung adalah seni peran atau tontonan; sedangkan dalam kampanye politik, peran yang tampak di panggung disepakati sebagai pribadi sang pemimpin yang "sesungguhnya". Mengandaikan politik sebagai teater yang bukan sandiwara, yang dengan caranya masing-masing seorang politikus berperan sebagai capres terbaik, terpenuhilah persyaratan untuk menunjukkan betapa kampanye politik adalah teater narsis. Seperti layaknya teater narsis, para calon yang tidak terpilih tidak mungkin menyalahkan dirinya sendiri, misalnya sebagai bukan capres terbaik. Ada kemungkinan yang tersedia hanyalah menyalahkan publik. *

Page 12: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Mengatasi Kemacetan Jakarta

Selasa, 08 April 2014

Djulianto Susantio, Pengguna Sarana Transportasi Umum

Kemacetan di Jakarta adalah momok. Adanya bus Transjakarta sebelumnya diharapkan akan mengurangi kemacetan. Karena mempunyai jalur sendiri, lama waktu tempuh pun bisa diprediksi. Ternyata, prakteknya agak menyimpang. Banyak angkutan umum lain dan kendaraan pribadi justru sering menerobos busway sehingga laju bus Transjakarta ikut tersendat.

Harapan masyarakat pun belum terpenuhi. Jumlah bus masih belum memenuhi harapan dan menyebabkan para penumpang sering berdesak-desakan di dalam bus. Waktu tunggu kedatangan bus pun cukup lama, bisa sampai 30 menit, bahkan lebih. Dampaknya, antrean sangat panjang sehingga penumpang tidak bisa mengontrol diri. Akibat lain, masyarakat masih lebih senang menggunakan kendaraan pribadi.

Saat ini bus Transjakarta telah memiliki 12 koridor. Rencananya, akan ada tambahan tiga koridor hingga menuju Depok dan Tangerang. Apakah ini akan mengurangi kemacetan, kita tunggu saja.

Sebenarnya, bus Transjakarta mampu mengatasi kemacetan parah di Ibu Kota. Namun ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Pertama, jumlah bus Transjakarta ditambah minimal 1.000 kendaraan lagi. Memang, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan kewalahan menyediakan dana. Untuk itu, pemerintah provinsi bisa meminta bantuan dari para pengusaha untuk membentuk konsorsium. Merekalah yang akan membeli bus dari berbagai negara.

Paparkan harga bus secara transparan ke masyarakat. Dengan demikian, tidak ada indikasi korupsi seperti dalam kasus bus gandeng Transjakarta yang dibeli dari Tiongkok. Taruhlah harga sebuah bus seharga Rp 1-1,5 miliar. Karena ini untuk kepentingan masyarakat banyak, mintalah pembebasan bea dari pemerintah pusat. Untuk eksekusinya di lapangan, perusahaan jasa bisa mengurus kedatangan bus. Tentu ada fee untuk mereka. Setelah bus baru datang, perbaiki kondisi bus-bus lama yang sudah kurang layak. Sekarang ini banyak pendingin udara di bus tidak hidup, pintu susah dibuka, kursi rusak, dan lampu dalam tidak menyala.

Dengan banyaknya bus Transjakarta di semua koridor, penumpang akan merasakan keamanan, kenyamanan, dan ketepatan waktu. Waktu keberangkatan bus harus benar-benar diperhitungkan, misalnya, setiap tiga menit untuk waktu sibuk, taruhlah pukul 05.00-08.00 dan pukul 16.00-19.00. Waktu-waktu di luar jam sibuk mungkin ditargetkan kedatangan bus

Page 13: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

setiap lima menit. Satu hal lain, jalur bus Transjakarta harus dibuat steril dengan penjagaan ketat.

Jalur antrean di setiap halte pun harus diubah ke belakang, sehingga penumpang bisa tertib. Jangan seperti sekarang, antrean kacau balau sehingga sering kali penumpang dorong-mendorong dan berebut naik bus. Rute cukup dibuat satu sebagaimana aturan awal, misalnya Pulugadung-Harmoni untuk koridor 2. Rute jangan ditambah dengan Pulogadung-Bundaran Senayan dan Pulogadung-Kalideres, sehingga mengacaukan antrean. Apalagi pintu keluar-masuk penumpang di halte cuma satu.

Kemacetan di Jakarta bisa berkurang asalkan pembenahan sarana transportasi benar-benar diperhatikan. Mudah-mudahan dengan adanya kereta bawah tanah (MRT), kereta tunggal (monorel), metro kapsul, dan bus Transjakarta, didukung kereta api reguler, kemacetan Jakarta mampu teratasi sedikit demi sedikit.*

Page 14: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Dampak Ekonomi Pemilu 2014

Selasa, 08 April 2014

Teguh Dartanto, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Kedigdayaan perekonomian Indonesia yang selalu tumbuh lebih dari 6 persen sejak 2010 terlihat lunglai pada 2013. Laporan Badan Pusat Statistik pada 2014 menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh 5,78 persen pada 2013, sebuah angka pertumbuhan yang jauh dari cukup untuk menyerap penganggur dan mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi yang menurun dari 6,26 persen (2012) menjadi 5,78 persen (2013) menebarkan virus pesimisme dan kekhawatiran para pelaku usaha terhadap prospek perekonomian Indonesia pada 2014. Dengan begitu, mereka cenderung untuk bersikap menunggu (wait and see) dalam melakukan investasi. Tahun 2014 merupakan tahun politik yang dikhawatirkan akan menimbulkan sedikit kebisingan dan kegaduhan politik. Ditambah dengan adanya suksesi kepemimpinan nasional, sedikit-banyak hal ini akan mempengaruhi perekonomian Indonesia.

Kita tidak perlu terlalu pesimistis dan khawatir terhadap hajatan politik 2014, karena hajatan politik dengan dana triliunan rupiah dapat menjadi kebijakan counter cyclical yang dapat menstimulus perekonomian Indonesia. Seberapa besar dampak pengungkit Pemilu 2014 terhadap perekonomian Indonesia sangat bergantung pada seberapa besar uang yang beredar dalam perekonomian sebagai akibat dari kegiatan Pemilu 2014. Hal ini juga bergantung pada bagaimana dana tersebut dialokasikan.

Penelitian LPEM FEUI yang dilakukan oleh Dartanto, Nowansyah, dan Fairu (2014) menunjukkan bahwa dana yang bergulir dalam Pemilu 2014 berjumlah sekitar Rp 85-115 triliun. Dana ini merupakan hasil penjumlahan dari dana APBN, dana bantuan pemilu dari APBD, dana kampanye partai, dana kampanye presiden, dan dana kampanye calon DPR/DPD/DPRD provinsi/DPRD kabupaten/kota.

Data menunjukkan bahwa biaya investasi politik/dana kampanye bagi para calon legislator sebesar Rp 750 juta-1 miliar per caleg DPR dan sebesar Rp 250-500 juta per caleg DPRD provinsi. Dengan mengalikan dana investasi politik tersebut dengan jumlah calon legislator yang berlaga dalam Pemilu 2014, yaitu 6.708 (caleg DPR), 929 (caleg DPD), 23.287 (caleg DPRD provinsi), dan 200.874 (caleg DPRD kabupatan/kota), akan diperoleh perkiraan jumlah dana yang bergulir dalam perekonomian.

Page 15: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Suntikan dana sebesar Rp 115 triliun merupakan berkah tersendiri di tengah kelesuan perekonomian saat ini. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2009 dan alokasi dana APBN, dana Pemilu 2014 akan dibelanjakan di sektor-sektor yang berkaitan dengan aktivitas kampanye, yaitu 17,99 persen (industri kertas, percetakan, dan barang dari kertas), 12,46 persen (industri tekstil dan pakaian), 17,5 persen (transportasi dan telekomunikasi), 12,1 persen (industri manufaktur), 13,18 persen (hotel dan restoran), serta 6 persen (jasa swasta, iklan, dan lainnya). Sektor-sektor inilah yang akan diuntungkan dengan adanya Pemilu 2014.

Estimasi Dartanto, Nowansyah, dan Fairu (2014), dengan menggunakan tabel input-output 2010 menunjukkan bahwa dana Rp 115 triliun yang berputar selama Pemilu 2014 akan membangkitkan dampak tidak langsung dalam perekonomian sebesar Rp 89 triliun. Jadi, dampak langsung dan tidak langsung Pemilu 2014 adalah sebesar Rp 205 triliun. Dampak tidak langsung dihasilkan oleh multiplier effect kegiatan kampanye yang menggairahkan aktivitas ekonomi. Contohnya, kegiatan percetakan suara serta alat peraga kampanye tidak hanya mendorong aktivitas di sektor tersebut, tapi juga akan meningkatkan aktivitas industri kertas, cat, buruh cetak, serta backward and forward linkage lainnya dalam perekonomian.

Melihat besarnya dana yang bergulir dalam Pemilu 2014, target pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen pada 2014 bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai. Dengan skenario moderat-optimistis, aktivitas Pemilu 2014 akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5-0,7 persen. Sektor-sektor industri yang tumbuh cemerlang dengan adanya Pemilu 2014 adalah industri kertas dan percetakan (7,54 persen), industri tekstil dan pakaian jadi (2,85 persen), transportasi dan telekomunikasi (1,37 persen), serta hotel dan restoran (1,65 persen).

Jika kita melihat dampak Pemilu 2014 terhadap penciptaan lapangan kerja, tidak ada ruang pesimisme dalam melihat perekonomian Indonesia pada 2014. Aktivitas Pemilu 2014 akan mendorong terciptanya kesempatan kerja untuk 2,48 juta orang, di mana sebesar 217 ribu kesempatan kerja tercipta di sektor industri tekstil dan pakaian jadi, 170 ribu di sektor transportasi dan telekomunikasi, dan 113 ribu di sektor industri kertas dan percetakan.

Yang paling menggembirakan adalah terciptanya kesempatan kerja sekitar 894 ribu di sektor jasa-jasa lainnya (yang tidak jelas batasannya), termasuk aktivitas pengerahan massa dalam kegiatan kampanye dan saksi-saksi dalam pemilu. Walaupun kesempatan kerja yang tercipta sebagian besar bukan kesempatan kerja tetap, hal ini sudah cukup memberi manfaat yang besar dalam membantu mengurangi angka pengangguran di Indonesia. *

Page 16: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Aku Rapopo

Selasa, 08 April 2014

Musyafak, Staf Balai Litbang Agama Semarang

Belakangan ini, masyarakat Indonesia seolah dipaksa mengecap sekaligus mengucap idiom aku rapopo. Bukan hanya populer di jejaring sosial yang dituliskan dengan hashtag #akurapopo, bahkan, idiom satire tersebut telah menjadi idiom politik. Beberapa politikus yang sedang mendekati ring-1 pemilihan presiden menggunakan idiom itu ketika menanggapi pernyataan politik lawan yang dianggap berbau kampanye hitam.

Mulanya adalah Jokowi yang bilang "aku rapopo" untuk menanggapi tudingan bahwa dirinya merupakan calon presiden boneka. Berikutnya, Prabowo mengatakan "saya juga rapopo" ihwal tuduhan pelanggaran HAM yang dialamatkan kepadanya selama menjabat Danjen Kopassus. Dalam kesempatan lain, SBY juga mengatakan "rapopo" terhadap orang-orang yang menjelek-jelekkan dirinya.

Aku rapopo merupakan idiom yang dinukil dari bahasa Jawa "aku ora opo-opo" (disingkat menjadi aku rapopo) yang berarti "saya tidak apa-apa". Idiom ini memaknakan sikap ketabahan pengujarnya ketika ditimpa hal-hal tidak mengenakkan.

Makna tersebut bisa dirunut dalam prinsip-prinsip etis orang Jawa yang mengedepankan sikap nrima dan sabar. Karakter orang Jawa memang biasa ngempet lara (menahan sakit) atau ngempet eluh (menahan tangis).

Niels Mulder, dalam bukunya, Pribadi dan Masyarakat Jawa (1985), menegaskan bahwa orang Jawa pada umumnya berusaha menyesuaikan diri terhadap bentuk-bentuk dan harapan sosial. Pada saat bersamaan, mereka pun berusaha menghindari pertikaian dan gangguan untuk menjaga keteraturan dan kedamaian.

Idiom aku rapopo tampaknya bermuara pada upaya orang Jawa untuk menjaga ketertiban sosial. Sabar dan nrima menjadi pegangan untuk tidak terlibat dalam konfrontasi yang bisa mengacaukan ketertiban. Walhasil, aku rapopo yang diucapkan Jokowi, Prabowo atau SBY, mengenai opini negatif terhadap diri mereka, memaknakan sikap sabar dan mengalah. Aku rapopo adalah sejenis pilihan untuk bersikap diam agar keadaan tidak kian keruh dan ricuh, meski di dalam diri memeram rasa sakit.

Ucapan aku rapopo memang merepresentasikan sikap arif. Namun, sebagai sikap politik, aku rapopo justru bisa menjadi penyakit laten yang mengeroposi tubuh dan jiwa politik.

Page 17: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Aku rapopo memaknakan sikap permisif, tak ubahnya pepatah "biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu". Hal ini menandakan seolah-olah politikus sudah bersikap benar ketika menyatakan dirinya tidak apa-apa saat terkena tuduhan miring atau fitnah. Politikus tidak menanggapi opini negatif dengan menggunakan argumentasi dan data yang bisa menerangkan bahwa tudingan yang ditujukan kepadanya adalah sesuatu yang mentah.

Para politikus semacam ini adalah orang-orang yang mempraktekkan politik nirkonfrontasi. Sebagaimana disinggung oleh Donny Gahral Adian dalam buku Teori Militansi: Esai-esai Politik Radikal (2011), dewasa ini konfrontasi tengah absen dalam mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik. Konfrontasi kini tergantikan dengan negosiasi-kompromi di kalangan politikus.

Betapa kita merindukan politik yang berkonfrontasi dan berdebat secara gentle untuk menerangkan mana yang hitam dan mana yang putih. Bukan sikap politik yang ambigu sebagaimana termuat dalam idiom aku rapopo.

Di tengah keruwetan hidup berbangsa dan kegentingan politik hari ini, masihkah kita akan bilang aku rapopo? Kalau iya, berarti kita permisif, atau bahkan menyerah! *

Page 18: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Partisipasi dan Pemilu

Rabu, 09 April 2014

Mimin Dwi Hartono, Koordinator Jaringan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia

Dalam setiap pemilihan umum (pemilu), angka partisipasi masih dipakai sebagai indikator terpenting keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum. Pada masa Orde Baru, angka partisipasi warga negara dalam memilih jauh lebih tinggi dibanding pemilu era reformasi yang akan segera terlaksana untuk ketiga kalinya (2004, 2009, dan 2014).

Pada era Orba yang hanya diikuti oleh tiga parpol--PPP, Golkar, dan PDI--angka partisipasi hampir mencapai 100 persen karena doktrin penguasa kepada warga negara bahwa memilih adalah kewajiban. Yang tidak memilih dianggap telah melawan negara (subversi) dan dikriminalkan. Sebagian besar suara digiring lari ke Golkar sebagai penguasa tunggal waktu itu. Dua parpol lain hanya sebagai "pelengkap penderita".

Sedangkan di era reformasi, yang ditandai dengan perombakan struktur dan pelaksanaan pemilu serta membaiknya kesadaran hak asasi manusia dan politik warga, angka partisipasi menurun secara drastis. Pada Pemilu 2009, angka partisipasi sebanyak 78 persen, sebelumnya pada 2004 sebanyak kurang-lebih 88 persen. Memilih dimaknai sebagai hak asasi warga, sehingga mempunyai kebebasan untuk memilih ataupun tidak. Bagaimana dengan angka partisipasi pada pemilu 9 April ini?

Memakai angka partisipasi sebagai indikator keberhasilan pemilu bisa menjebak. Dalam pemerintahan yang otoriter semasa Orba, partisipasi adalah hasil dari mobilisasi dan indoktrinasi penguasa dengan mempergunakan kekuatan militer untuk memaksa warga mempergunakan hak pilihnya. Tingginya angka partisipasi adalah ukuran yang semu, tidak bisa dipergunakan sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan pemilu pada waktu itu.

Yang terjadi adalah sebaliknya, terjadi pelanggaran hak politik, yaitu hak pilih, karena seseorang mempergunakan hak pilihnya bukan atas dasar kesadaran, tapi karena dipaksa. Mobilisasi partisipasi terjadi dari tingkatan penguasa di tingkat desa hingga pemerintah pusat untuk mengukuhkan kekuasaan partai penguasa.

Pada masa reformasi, turunnya angka partisipasi bukan semata kegagalan dalam penyelenggaraan pemilu. Justru yang terjadi sebaliknya, yaitu tumbuhnya kebebasan sipil dan politik bagi warga atas hak pilihnya. Memilih bukan merupakan kewajiban, melainkan hak asasi manusia.

Page 19: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Dengan begitu, angka partisipasi bisa merefleksikan beragam makna. Pertama,  bentuk dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik. Meskipun orde reformasi adalah era multipartai, partai politik masih gagal dalam mengekspresikan kedaulatan rakyat. Parpol hanya menjadi alat bagi elite politik untuk memobilisasi suara rakyat guna ikut berebut kue kekuasaan. Rendahnya angka partisipasi dengan demikian bukan semata kegagalan penyelenggaraan pemilu, tapi kegagalan partai politik dalam mendapatkan kepercayaan rakyat.

Kedua, angka partisipasi yang beragam dari satu daerah ke daerah lain menunjukkan tingkat kedewasaan demokrasi dalam konteks sosial yang berbeda-beda. Jika angka partisipasi warga di kota lebih rendah daripada di pedesaan, bukan berarti kedewasaan politik di desa lebih baik. Tapi, bisa berarti bahwa minim atau dibatasinya akses informasi di desa, sehingga tidak ada banyak pilihan bagi warga untuk tidak memilih.

Kehidupan di desa yang lebih kuat kohesi sosialnya dan dekat secara kultur sering menjadi hambatan bagi warga dalam merefleksikan kebebasan hak pilihnya. Sedangkan di kota, masyarakat lebih bebas untuk mengekspresikan hak pilihnya tanpa dibebani oleh emosi dan persoalan kultur. Dengan demikian, angka partisipasi harus dimaknai secara beragam, bergantung pada konteks sosial dan budaya setempat.

Menurut Sherry Arnstein (1969), ada berbagai tingkatan kualitas partisipasi. Dari manipulasi, mobilisasi, konsultasi, hingga keterlibatan masyarakat secara seutuhnya (partisipasi sejati). Sampai saat ini, partisipasi masih sebatas pada konsultasi, yang tentunya lebih baik daripada era Orba, di mana partisipasi sebenarnya adalah mobilisasi dan manipulasi.

Idealnya, untuk mewujudkan pemilu yang kredibel dan berkualitas, harus diciptakan ruang dan mekanisme partisipasi yang seutuhnya, di mana warga menyusun mekanisme demokrasi dan mempunyai kekuatan untuk mengambil keputusan yang mengikat partai politik dan negara.

Konteks majunya Jokowi sebagai calon presiden bisa menjadi contoh bahwa partisipasi yang seutuhnya mulai tampak dan tumbuh. Kekuatan dan suara rakyat yang direfleksikan melalui berbagai media, baik polling, diskusi, maupun gerakan dukungan di daerah-daerah, telah berhasil menjadi kekuatan penekan dari atas ke bawah, sehingga akhirnya Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP menunjuk Jokowi sebagai capres.

Semoga hal tersebut menjadi awal yang baik bagi semakin tumbuhnya partisipasi yang utuh untuk menciptakan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas. Partisipasi yang utuh bisa membentuk pemerintahan yang kuat dan efektif, serta warga negara yang aktif terlibat dalam mengontrol pemerintahan secara berkelanjutan. Semoga pemilu 9 April 2014 menjadi tonggaknya.

Page 20: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Malaikat Penolong

Rabu, 09 April 2014

Dianing Widya, Novelis

Kampanye sudah lewat. Tapi tak bisa begitu saja lepas dari ingatan kita bagaimana hiruk-pikuk kampanye itu. Janji-janji meluncur bagai lautan hujan. Semua partai dan caleg berlomba-lomba mengulurkan tangan kepada rakyat. Para politikus mendadak menjadi malaikat penolong. Polanya persis sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Mereka hanya datang kepada rakyat ketika kampanye.

Rakyat, dalam situasi apa pun, memang selalu menjadi obyek bagi para politikus. Didekati saat mereka membutuhkan dukungan demi kekuasaan. Kekuasaan diperjuangkan dengan berbagai cara. Mereka tak hanya menebar janji, tapi juga menebar uang dan barang. Rakyat memang menerima karena menganggap pemberian itu wajar. Suap para politikus kepada rakyat disambut dengan gurauan renyah "wani piro?". Gurauan itu seperti hendak menandai adanya praktek transaksi jual-beli dalam perolehan suara.

Jika ditilik lebih jauh, tindakan memberi uang ataupun barang bukan hanya mencederai pesta demokrasi. Itu sekaligus preseden buruk bagi rakyat. Sesungguhnya di sini politikus sedang mengajarkan, "Beginilah cara menyuap." Dalam bahasa lain, "Saya menyuap Anda, maka Anda harus memilih saya." Di sana memang tidak ada "perjanjian" secara formal, tapi tidak bisa dielakkan ada paksaan halus untuk memilih.

Dalam konteks inilah praktek korup dan suap menjadi lestari. Untuk menduduki kekuasaan, politikus harus mampu menyuap rakyat. Berapa pun besar nominalnya, tak jadi soal. Ibarat bertani atau berladang, tentulah harus ada modalnya. Ini adalah pohon yang mereka tanam yang pada saatnya akan mereka petik buahnya.

Maka, kekuasaan pun bukan lagi jalan untuk mengabdi, tapi jalan untuk menggemukkan pundi-pundi. Ia hanya (dan hanya) sebagai lahan pekerjaan yang menjanjikan. Bahkan, bukan cuma menjanjikan duit banyak, tapi juga popularitas dan peningkatan kelas sosial. Politik pun menjadi salah satu jalan untuk naik ke kelas sosial lebih tinggi. Perekrutan yang dilakukan partai sering bukan didasari kecakapan. Mereka lebih senang sosok yang dikenal. Lihatlah betapa banyak selebritas mendadak jadi politikus.  

Lewat politik, siapa pun bisa menduduki kelas sosial baru yang lebih tinggi. Bahkan, maling pun bisa naik kelas sosial, jika ia memilih jalan politik. Yang terpenting ia punya modal untuk itu. Tidak selalu modal duit, terpenting terkenal, relasi dan kedekatan dengan link

Page 21: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

partai politik. Setelah itu tinggal merancang strategi dan taktik, kalau perlu menjual tanah warisan atau pinjam sana-sini. Sebab, toh nanti uang itu akan kembali.

Jadi, pemilu menjadi jalan personal bagi para calon legislator untuk meraih kesuksesan dan kemakmuran dirinya sendiri. Rakyat adalah urusan kedua. Sebab, memikirkan rakyat adalah bagian dari job description pekerjaannya. Ia duduk di gedung parlemen untuk mencari uang, bukan sedang mengabdi. Ini sama saja dengan orang-orang yang bekerja di perusahaan, melayani pelanggan adalah bagian dari deskripsi pekerjaan (tugas), bukan sebagai pengabdian.

Adapun jika itu pengabdian, ia tidak menggantungkan hidup (apalagi memperkaya diri) pada apa yang dia lakukan. Maka itu, orang-orang yang kita saksikan hari-hari ini bukanlah malaikat penolong, tapi segerombolan pemburu yang sedang mencari mangsa. Mereka siap memakan apa saja dan siapa saja. Mereka sangat buas dan berbahaya. Waspadalah! *

Page 22: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Kuku

Rabu, 09 April 2014

Irfan Budiman, @irfanbud

Ketika ponpin alias telepon pintar terjangkau harganya dan siapa pun bisa memilikinya, barulah terasa betul kegunaan memiliki kuku-kuku tangan yang dipotong pendek. Menggunakan jenis ponpin apa saja bisa lancar. Tanpa ada kuku-kuku di ujung jari, membuka aplikasi yang diinginkan menjadi lebih mudah. Dijamin tidak akan meleset.

Nyatanya benar perintah orang tua dan guru di sekolah dulu. Mereka selalu bawel meminta anak-anak atau muridnya untuk menggunting kuku-kuku di tangan. Pesan mereka, kuku yang pendek dan rapi teramat baik untuk kesehatan. Bagus juga kelihatannya.  

Namun, di masa itu, permintaan itu seperti pemaksaan. Anak-anak selalu malas atau lupa untuk menggunting kuku sampai harus dikejar-kejar segala. Lolos dari sergapan orang tua, di sekolah ada razia kuku, yang biasanya digelar bersamaan dengan pemeriksaan rambut dan gigi. Mereka akan memeriksa kuku-kuku para murid. Mereka yang punya kuku panjang, apalagi kotor, sudah pasti terkena hukuman.  

Satu pesan dari orang tua yang saya ingat, lebih baik memiliki kuku-kuku yang pendek dan dipotong rapi. Lagi pula, kuku-kuku panjang sepertinya hanya pantas dimiliki oleh kaum wanita. Mereka yang sudah cantik akan terlihat lebih cantik bila dengan kuku-kuku yang panjang yang dipulas oleh cat kuku yang berwarna-warni. Rona-rona di kuku-kuku mereka yang sewarna dengan busana yang dipakai mempercantik penampilan mereka.  

Memiliki kuku yang panjang bisa menimbulkan masalah. Seorang pemain sepak bola, sebelum masuk lapangan, selalu diperiksa kuku-kukunya. Mereka yang berkuku panjang dilarang masuk sebelum memotongnya. Memiliki kuku panjang juga bisa melakukan kecurangan. Di masa Orde Baru sudah lumrah terdengar cerita soal tidak sahnya suara karena ulah para oknum saat penghitungan suara dilakukan.

Saat penghitungan suara tiba-tiba didapatkan banyak kartu suara yang tidak sah. Itu terjadi ternyata karena ada coblosan lebih dari satu. Atau dianggap tidak sah karena kertas suara yang rusak. Syahdan hal itu dilakukan oleh pemilik kuku-kuku panjang. Mereka beraksi dengan hebat. Mereka memiliki kecepatan dan kelihaian tersendiri, kuku-kuku panjang di jempol akan menusuk kertas itu. Hasilnya, kertas suara itu tidak sah.  

Kertas suara ketika itu memang tidak sebesar dan selebar saat itu. Maklum, hanya ada

Page 23: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

gambar dari tiga partai politik peserta pemilu. Dengan ukuran kertas suara yang lebih kecil, persoalan kecepatan tangan dalam mencoblos menjadi lebih mudah. Maka, di masa itu, ada perintah jangan golput karena kertas suara yang kosong akan dicoblos oleh kuku-kuku ajaib itu. Alhasil, gerakan coblos semua pilihan pun menjadi imbauan lain. Maksudnya, agar suara itu benar-benar tidak sah dan tidak mungkin akan disalahgunakan oleh petugas penghitung suara yang licik.

Lantas bagaimana dengan kecurangan dalam pemilihan umum saat ini? Tidak ada yang tahu. Namun, terlepas dari semua itu, saat berangkat ke kotak suara, mereka yang kebetulan menjadi panitia lebih baik menggunting kuku-kuku di tangannya dengan rapi. Baik juga untuk mereka yang akan memilih. Tinta ungu yang menempel di jari sebagai tanda sudah memilih akan lebih mudah dibersihkan. Tinta ungu itu tidak akan sampai masuk ke balik kuku-kuku yang panjang. Lebih indah dan sehat. Persis seperti nasihat orang tua di masa kecil dulu. *

Page 24: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Jokowi, Perahu Papua Dikayuh ke Mana?

Kamis, 10 April 2014

Frederika Korain, Alumnus Australia National University

Ketika Jokowi berkampanye ke Jayapura, suami saya menjabat tangan Jokowi di Airport Sentani. Banyak warga, orang asli Papua maupun pendatang, berebut bersalaman. Mereka cerita Jokowi keluar lewat ruang kedatangan penumpang umum, bukan VIP ala kebanyakan pejabat.

Sejumlah perempuan asli Papua memeluk Jokowi. "Tuhan memberkati Bapa," kata mereka. Ia menjadi suatu doa dan asa tak terucap bahwa akan ada perubahan bagi Papua yang adil, damai, dan bermartabat bila Jokowi terpilih sebagai presiden.

Jokowi bilang dia mau "menyelesaikan Papua dengan hati dan kerja nyata, bukan janji-janji". Jokowi bicara soal pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur.

Bagi kami, orang Papua, ucapannya mengingatkan pada ungkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika berpidato di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada 16 Agustus 2011. Yudhoyono bicara "membangun Papua dengan hati" serta menghormati "hak-hak asasi manusia dan budaya Papua".

Namun tak ada wujud nyata dari janji Yudhoyono. Papua tetap diurus dengan cara sama sejak Papua dimasukkan dalam administrasi Indonesia pada 1963. Kekerasan negara tetap ada. Tahanan politik, yang ditiadakan Presiden Abdurrahman Wahid, meningkat pada era Yudhoyono. Pada 2007, Yudhoyono mengeluarkan aturan yang larang bendera Bintang Kejora. Ini menciptakan kekerasan aparat terhadap setiap orang Papua yang menaikkan bendera Bintang Kejora. Polisi membatasi noken Bintang Kejora, kalung, gelang, topi, dan lain-lain.

Setiap bulan, setiap minggu, ada orang Papua dipukul tentara, polisi, atau sipir penjara. Kini, ada 74 tapol tersebar di berbagai penjara di seluruh Papua. Pemerintahan Yudhoyono berdalih tak ada "tahanan politik" di Indonesia. Ini bohong. Pada 2011, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan Filep Karma, seorang tapol di penjara Abepura, "ditahan sewenang-wenang" oleh pemerintah. PBB minta Karma dibebaskan, namun Yudhoyono tak peduli.

Ditambah lagi dengan eksploitasi sumber daya alam yang tanpa hiraukan hak orang Papua. Ia terus saja berlangsung dari Teluk Bintuni sampai Merauke. Papua diisolasi dari dunia luar, sejak 1963, dengan adanya pembatasan terhadap wartawan, akademikus, pekerja

Page 25: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

kemanusiaan, bahkan pengamat dari PBB.

Inikah apa yang disebut Yudhoyono sebagai "menata Papua dengan hati"? Jika Jokowi datang dengan ungkapan sama dengan Yudhoyono, sulit bagi kami di Papua untuk melihat adanya harapan bagi Papua yang adil, damai, dan bermartabat. Apalagi Jokowi diusung PDI Perjuangan dengan rekam jejak gelap di Papua. Presiden Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1/2003, yang memecah Papua menjadi dua provinsi. Ini langkah awal yang mengacaukan Otonomi Khusus di Papua lewat Undang-Undang Nomor 21/2001.

Pada masa Megawati, Theys Eluay, pemimpin Papua, dibunuh tujuh prajurit Kopassus pada 10 November 2001. Proses hukumnya berbelit-belit, hukuman tak adil, dan bikin luka mendalam di hati rakyat Papua. Dalam periode Megawati, terjadi pembengkakan militer di Papua: angkatan darat, laut, serta udara.

Ini pekerjaan rumah Jokowi. Masih ada tiga bulan menuju pemilihan presiden. Kami harap Jokowi menjabarkan kebijakan atas Papua. Dia sebaiknya ikuti PBB agar Papua dibuka kepada dunia luar. Dia sebaiknya ingat Wahid yang membiarkan Bintang Kejora, lambang budaya Papua. *

Page 26: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Kontrak, Baiat, Nyoblos

Kamis, 10 April 2014

Azis Anwar Fachrudin, Penulis

Pada mulanya, manusia adalah bebas. Manusia, dalam kondisi alami-prapolitik, ialah merdeka mutlak. Dalam kondisi ini, kita punya (1) ide Hobbes yang bilang manusia itu berhawa nafsu dan, karena itu, memangsa satu sama lain; dan (2) ide Locke yang bilang manusia itu berakal dan, karena itu, cenderung mencari damai. Tapi, di luar perbedaan itu, keduanya sepakat bahwa manusia adalah bebas secara alami karena tak memiliki otoritas politis dari dan terhadap orang lain.

Manusia kemudian menanggalkan sebagian kebebasannya saat ia memasuki keadaan politis: menjadi anggota masyarakat. Karena itu, otoritas politis yang sah ialah dia yang mendapat pelimpahan hak dari anggota masyarakatnya. Mekanismenya dilakukan dengan konsesi, kesepakatan, atau-istilah Rousseau, inspirator Revolusi Prancis itu-kontrak sosial. Inilah benih demokrasi (konteks zaman Rousseau: gerakan Revolusi Prancis menumbangkan monarki [monarque]; kekuasaan yang terlimpahkan dari Tuhan, bukan kesepakatan rakyat).

Saya menemukan spirit kontrak sosial itu, dalam idenya yang purba, justru di mekanisme "baiat" ala tribalisme Arab-dan mungkin juga di komunitas nomadisme-kesukuan di kawasan lain-yang ada jauh sebelum Revolusi Prancis muncul.

Ada mekanisme antarsuku, agar damai atau terlindungi dari gangguan suku lain,  suku yang lemah berpakta-beraliansi (tahaluf) dengan suku yang kuat. Sebagai imbalan perlindungan itu, ada oase atau hasil perburuan yang dijadikan upeti. Nabi Muhammad dulu, setelah Madinah kuat, juga menerima baiat-baiat dari suku-suku di seputar Jazirah Arab.

Baiat adalah mekanisme pelimpahan otoritas itu. Kontrak sosialnya jelas: mana wilayah hak yang didapat dan mana kewajiban yang mesti dibayarkan. Mereka, para suku itu, manusia bebas yang hidup dengan sistem politik yang sederhana, dan tak sekompleks-kalau bukan seruwet-demokrasi kita hari ini, di negeri ini.

Demokrasi kita, secara prosedural, dirayakan dengan pemilu. Tak seperti baiat yang jelas siapa yang berbaiat dan apa kontraknya, saat nyoblos kita sedikit kenal, atau malah tak kenal sama sekali, dengan caleg yang dicoblos. Di sini orang yang baik, yang berusaha memilih dengan nurani, pun rawan tertipu. Bagaimana memilih dengan nurani kalau tak kenal yang dicoblosnya?

Page 27: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Kontraknya pun tak jelas. Sebab, ideologi partai-partai kita berubah-ubah dan sebagian tak jelas jenis kelaminnya. Itu baru partai, belum perilaku calegnya yang semakin menambah keburaman "baiat" macam apa yang hendak diberikan.

Pada kenyataannya, setelah si caleg menjabat, kita tak bisa menuntut hak "baiat" itu. Sebab, pemilu kita bebas tapi rahasia, sehingga si caleg bisa berapologi dengan minimal satu dari dua hal: (1) dengan berkata, "Mana bukti kamu milih saya?"; atau (2) dengan berkata, "Ya, itu salahmu memilih saya! Harusnya kamu pilih yang lain dong!"

Itu satu kemungkinan. Kemungkinan lainnya, boleh jadi kontrak sosial dalam pemilu kita memang sudah jelas, yakni saat masyarakat bersedia memilih caleg tertentu karena si caleg telah sukses melangsungkan serangan fajar yang melebihi jumlah "donasi" caleg lainnya. Pemilu kita, bahkan setelah lebih dari satu dekade seusai reformasi, masih ada yang di-kontrak-sosial-kan dengan uang. *

Page 28: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Kembalikan Irian Pada Bangsa Indonesia!

Kamis, 10 April 2014

Asvi Warman Adam, Sejarawan LIPI

Tanggal 1 Desember 1961, 70 figur politik Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora (disebut juga Bintang Fajar, Sampari, atau The Morning Star) bersanding dengan bendera Belanda Merah-Putih-Biru. Para elite Papua pengikut Belanda itu juga menyepakati nama Papua Barat untuk bangsa mereka, lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua, lambang negara "Burung Mambruk" dan semboyan "Satu Rakyat, Satu Jiwa (One People, One Soul)".

Peristiwa ini dipandang pemerintah Indonesia sebagai percobaan membuat negara boneka Papua oleh pihak Belanda. Nieuw Guinea memang termasuk bagian Hindia-Belanda, yang status wilayahnya belum selesai dengan Konferensi Meja Bundar pada 1949. Setelah itu, dilakukan beberapa kali perundingan, baik bilateral maupun di PBB, namun tidak membuahkan hasil.

Sebagai penolakan terhadap pembentukan negara boneka Papua itu, Presiden Sukarno mencanangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) di Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Tanggal 19 Desember dipilih untuk mengingatkan tanggal agresi militer Belanda ke ibu kota Yogyakarta pada 1948. Salah satu komando adalah mengibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat. Jadi, yang akan direbut dari penjajah Belanda adalah Irian Barat, bukan Papua.

Nama Irian (ada pula yang mengeja "iryan") diusulkan Frans Kaisiepo (sumber lain menyebutkan sepupunya Marcus Kaisiepo) dalam Konferensi Malino pada 1946. Dalam bahasa Biak, kata "irian" berarti "negeri yang panas hawanya" atau juga "mentari yang menghalau kabut". Ini bermula dari kisah nelayan Biak yang naik sampan menuju Pulau Besar (daratan Papua). Jika melihat sebersit sinar mentari pagi, mereka berteriak "irian", artinya, mentari akan menghalau kabut dan harapan mencapai pulau besar akan tercapai. Kaisiepo menegaskan, dia tidak sudi lagi disebut "Papua", karena nama itu di Nieuw Guinea identik dengan "bodoh, malas, kotor".

Residen van Eechoud tidak senang dengan usul Kaisiepo tadi. Tapi apa lacur? Jawatan Penerangan Belanda (RVD) di Batavia, di mana J.H. Ritman mantan pemred Bataviaasch Niuesblad dan H. Van Goudoever mantan pemred De Locomotif bekerja, sudah telanjur menggunakan nama Irian. Bahkan di tengah masyarakat Biak beredar ungkapan bahwa Irian ialah singkatan dari "Ikut Republik Indonesia Anti-Nederland". Kelak Presiden Sukarno juga menggunakan sebutan Irian.

Page 29: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Setelah Trikora diumumkan, segera dibentuk Komando Mandala yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Infiltrasi dilakukan oleh tentara Indonesia. Komodor Jos Sudarso gugur dalam pertempuran di laut Arafuru. Sementara itu, di sisi lain, diplomasi Indonesia sangat menentukan. Sukarno melakukan perundingan dengan Presiden Amerika Serikat J.F. Kennedy. Menteri Luar Negeri Soebandrio berpidato di PBB. Jenderal Nasution bermanuver dengan rencana pembelian senjata kepada Uni Soviet. Akhirnya AS mendukung Indonesia dan memojokkan Belanda. Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 1 Mei 1963 dan pada 1969 dilakukan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), yang walaupun dilakukan tidak dengan sistem one man one vote, sudah diakui sah oleh PBB.

Sejak 1969 telah dilakukan pembangunan fisik di bumi Irian yang sayangnya disertai dengan kekerasan dan tidak luput dari pelanggaran HAM berat. Ini menjadi memoria passionis (masa kelam) masyarakat Irian. Karena itu, menurut saya, berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi di sana sepanjang Orde Baru sampai era Reformasi harus diusut tuntas. Kasus pembunuhan Theys Eluai hanya mengadili pelaku lapangan, bukan aktor intelektualnya. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Irian perlu pula dibentuk.

Pada tanggal 1 Januari 2000, Presiden Abdurrachman Wahid menyampaikan bahwa kata Irian Jaya diganti dengan Papua. Ini katanya untuk meredam konflik. Menurut saya, penggantian kata tersebut tidak menyelesaikan masalah mendasar. Persoalan orang Papua yang utama adalah menyangkut sumber daya alam dan kewenangan daerah. Otonomi khusus harus dilakukan secara efektif demi kesejahteraan rakyat Irian, bukan elitenya saja. Dewasa ini, pemekaran kabupaten dan kota di Irian lebih banyak menjadi masalah ketimbang solusi. Sementara itu, pemerintah Indonesia tidak berdaya menekan Freeport agar membangun smelter yang jelas membuka lapangan kerja di daerah.

Penggantian nama Papua itu menghilangkan sejarah perjuangan merebut Irian Barat dari penjajah Belanda. Padahal perjuangan itu dapat disambungkan dengan benih persemaian nasionalisme di bumi Irian melalui para Digulis sejak tahun 1926-1927. Dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, para tokoh Irian juga turut serta. Frans Kaisiepo, Martin Indhey, Silas Papare, dan Abraham Dimara telah diangkat menjadi pahlawan nasional karena jasa-jasa dan pengorbanan mereka untuk negara dan bangsa Indonesia.

Gus Dur tidak mengeluarkan Keputusan Presiden, namun penggantian nama tersebut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Bergantung pada parlemen yang baru dipilih 9 April 2014 untuk merevisi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus, sehingga Papua kembali menjadi Irian. *

Page 30: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Efek Jokowi?

Jum'at, 11 April 2014

Arya Budi, Peneliti pada Pol-Tracking Institute

Pada awalnya, elektabilitas Jokowi dalam survei menembus 30 persen. Bahkan, sejauh riwayat survei, pengolahan simulasi "Pencapresan Jokowi" terhadap pilihan partai berhasil mendongkrak PDIP menembus angka elektabilitas 30 persen, termasuk pada survei Pol-Tracking bulan Desember 2013. Namun PDIP hanya sampai pada angka 19 persen suara di berbagai hitung cepat (quick count).

Pengolahan simulasi inilah yang kemudian menjadi pembicaraan publik secara luas dan elite politik soal efek Jokowi terhadap pilihan pemilih yang didominasi swing voters sebesar 70-80 persen dari total 186 juta pemilih. Hasilnya, prediksi dan ekspektasi publik/elite atas Jokowi terhadap PDIP melalui hasil beberapa survei berbeda dengan hasil hitung cepat yang bahkan masih kalah dibanding SBY Effect yang menaikkan PD menembus 20 persen walaupun tipis. Jika dibandingkan antara partai dan rentang pemilu, PD naik hampir tiga kali lipat dari 7 persen pada 2004 menjadi 20,8 persen pada 2009. Sedangkan PDIP naik tak sampai setengah (50 persen) kali lipat dari 14 persen pada 2009 menjadi 19 persen pada 2014. Ada beberapa alasan yang menjelaskan efek Jokowi sangat lemah bagi PDIP.

Pertama, survei versus pemungutan suara. Harus diketahui bahwa ada alasan metodologis kenapa Jokowi seolah-olah berefek besar bagi PDIP dalam berbagai survei. Dalam survei, pemilih (responden) didatangi oleh surveyor. Sedangkan dalam pemungutan suara, pemilih datang ke TPS. Artinya, ada angka pemilih yang memilih PDIP pada saat survei, tapi tidak datang ke TPS alias tidak memberikan suara. Pada pertanyaan survei untuk menguji faktor Jokowi, orang menjawab pilihan partai (PDIP) karena ada pertanyaan "Jika Jokowi menjadi capres…". Sedangkan dalam pemungutan suara, pemilih hanya dihadapkan pada lembar surat suara partai dengan daftar caleg. Tidak ada variabel Jokowi sama sekali, baik verbal maupun tertulis/cetak. Terakhir survei dilaksanakan beberapa hari atau minggu sebelum pemilihan legislatif, sementara banyak pemilih yang belum menentukan pilihan dengan kisaran angka "tidak tahu/tidak jawab" 20-30 persen. Artinya, ada potensi distribusi sumbangan suara ke beberapa partai dari jumlah respons yang belum menentukan pilihan (undecided voters).

Kedua, ambiguitas internal PDIP soal deklarasi Jokowi sebagai capres. Jokowi "dideklarasikan" atau dimandatkan oleh partai (baca: Megawati) dua hari sebelum kampanye terbuka pada 16 Maret 2014 di tengah-tengah kesimpangsiuran capres PDIP yang masih belum pasti antara Mega atau Jokowi. Hal ini berbeda dengan Aburizal dan Prabowo yang, seolah, tanpa deklarasi pun, publik sudah tahu mereka capres dari Golkar dan Gerindra.

Page 31: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Ada ambiguitas politik mengenai waktu atau timing deklarasi Jokowi oleh Mega. Deklarasi pada dua hari menjelang kampanye terbuka bisa dilihat sebagai sebuah keterlambatan ketika partai lain secara jelas "mendeklarasikan" atau menyatakan capres masing-masing. Tentu karena PDIP juga mempunyai dualisme politik di tengah status quo yang kuat oleh Mega dan Jokowi sebagai emerging figure. Di sisi lain, pencapresan Jokowi disambut setengah hati oleh segenap kepengurusan PDIP, bahkan bisa jadi oleh Megawati sendiri. Akhirnya Jokowi tidak tereksplorasi sebagai capres PDIP dengan karakteristik platform partai dan karakter personalnya. Yang muncul kemudian di berbagai iklan kampanye adalah penguatan figur Puan Maharani dan Megawati sendiri.

Ketiga, gempuran politik terhadap Jokowi dan Megawati. Deklarasi Jokowi tiga minggu sebelum pileg juga mengakibatkan blunder politik tersendiri bagi PDIP, karena PDIP-Jokowi seolah menjadi musuh bersama. Hasilnya, serangan muncul dari banyak sudut terhadap figur Jokowi dengan mengasosiasikannya sebagai pelaksana tugas/mandat, bukan capres-kalau tidak disebut "capres boneka". Serangan juga akhirnya menyasar Megawati selama kepemimpinannya sebagai presiden soal aset negara.

Keempat, kerja mesin partai. Mesin partai meliputi skill atau strategi, jaringan (links), dan sumber daya logistis (resource) partai. Sebagai perbandingan, meroketnya PD dari 7 persen pada 2004 menjadi 20,8 persen (hampir tiga kali lipat) pada 2009 terjadi karena terciptanya banyak jaringan, seperti aktivis (sebagai misal bergabungnya AU sebagai mantan Ketum PB HMI), purnawirawan militer yang terhimpun ke dalam tim-tim kerja kampanye, serta pengusaha sebagai pengepul logistik partai. Kini kemewahan itu tidak lagi dinikmati PD. Adapun PDIP sebagai partai senior mempunyai sejarah politik yang kurang "akrab" dengan militer dan beberapa pengusaha, sehingga hal ini tidak bisa memaksimalkan link dan resource dari pembilahan elite-sosial itu. Tidak maksimalnya efek Jokowi terhadap PDIP juga terjadi lantaran Jokowi adiktif bagi para caleg PDIP, sehingga caleg merasa cukup aman hanya dengan "memasang gambar" Jokowi.

Terakhir, sejauh ini Jokowi belum mengeluarkan gagasan kebangsaannya atau rumusan platform kebijakan yang disusun partai, seperti Enam Agenda Pokok oleh Prabowo-Gerindra atau Negara Kesejahteraan 2045 oleh ARB-Golkar. Kita tunggu apakah ada gagasan dan program kebijakan Jokowi-PDIP untuk negeri ini? *

Page 32: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Pemilu dan Patronase Birokrasi

Jum'at, 11 April 2014

Anggun Trisnanto, Dosen Universitas Brawijaya

Dalam banyak hal, negara-negara Asia Timur yang telah maju, semisal Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, adalah contoh state building yang dikemudikan dengan model pembangunan negara (developmental state) dan didukung penuh oleh birokrasi yang profesional (lihat contoh developmental state model Jepang). Indonesia, kebalikannya, birokrasi pemerintah sering diidentikkan dengan konotasi negatif, seperti lamban, tambun, korup, dan nepotis. Bagaimana kondisinya sekarang?

Penelitian pada 2013 oleh Blunt et al menyibak fakta bahwa politik patronase dan klientilisme masih kental di Tanah Air. Parahnya, praktek-praktek ini muncul di birokrasi Indonesia, walaupun signifikansinya berbeda di level kementerian dan di level pemerintah daerah. Reformasi birokrasi yang diinginkan oleh dunia internasional tidak serta-merta bisa dilakukan. Banyak lembaga donor berasumsi bahwa reformasi neoliberal dengan agenda liberalisasi ekonomi, tata kelola pemerintahan, dan privatisasi akan mengikis praktek-praktek patronase dan klientilisme. Nyatanya tidak!

Jauh panggang dari api; faktanya, dua agenda ini malah menguatkan satu sama lain. Reformasi neoliberal dan patronase bisa berlenggang mulus di arena pemerintahan Indonesia (Aspinall 2013). Proses pengadaan barang yang tidak transparan dan "proyek" pembangunan adalah sumber pendapatan ilegal bagi birokrat. Dalam bahasa Aspinall, birokrat sibuk untuk memburu "proyek". Dualisme inilah yang dikategorikan oleh banyak academia sebagai neopatrimonialisme. Di satu sisi adalah sistem legal rasional, sedangkan di sisi lainnya adalah hubungan patron-client. Proyek diidentikkan dengan upaya birokrat dengan menggunakan posisinya di pemerintahan untuk mengambil keuntungan pribadi dari program pemerintah.

Fakta ini tentunya menjadi pekerjaan rumah yang luar biasa berat bagi siapa pun presiden Indonesia pada Oktober 2014. Dengan melihat profil masing-masing capres dan partai pengusungnya, tulisan ini cukup pesimistis untuk melihat prospek Indonesia ke depan. Patrimonial dalam banyak hal adalah hubungan simbiosis patron-client yang terbentuk dengan memberikan pertukaran keuntungan bagi patron dan client. Masing-masing mendapatkan keuntungan dari hubungan ini. Hampir semua partai politik di Indonesia masih menggaungkan nama-nama dan bukan program-program.

Memilih nama-nama itu setidaknya akan melegitimasi keberlanjutan patronase di republik ini. Ekses sistem patronase ini bisa dijumpai dalam beberapa bentuk misalnya adalah

Page 33: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

perburuan rente dan korupsi. Rente dalam ekonomi dikenal sebagai sumbatan utama yang mengakibatkan naiknya ongkos transaksi dan mengasimetrikan informasi. Demikian juga korupsi. Dalam terminologi patrimonial, korupsi adalah penggunaan aset negara untuk kepentingan pribadi dan atau golongan. Melegitimasi patronase akan sama halnya dengan memuluskan praktek perburuan rente dan korupsi.

Menelisik kembali hasil perolehan suara sementara yang masih menempatkan partai politik dengan sistem patronase, kita bisa berasumsi bahwa akan butuh waktu dan kesabaran lebih untuk melihat korupsi dan perburuan rente hilang dari Indonesia. *

Page 34: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Noah

Jum'at, 11 April 2014

Agus Dermawan T., Pengamat Budaya dan Seni

Film Noah yang dibintangi Russel Crowe dilarang beredar di Indonesia oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Alasannya, cerita film yang memakan biaya US$ 125 juta itu tidak sesuai dengan yang tertulis dalam kitab suci!

Noah, atau Nuh, adalah manusia paripurna. Namanya menjadi legenda besar dalam Injil Perjanjian Lama. Sosoknya menjadi perbincangan dalam kitab-kitab Taurat. Bahkan Surat Hud ayat 25 dalam Al-Quran menobatkan Nuh sebagai Nabi. Lalu, pada suatu kali, Nuh menerima wahyu: Tuhan akan menenggelamkan jagad para pendosa lewat banjir dahsyat akibat hujan selama 40 hari 40 malam.

Namun Tuhan tidak ingin memusnahkan semua isi dunia. Menurut Alkitab, Genesis 6-9, sebelum banjir datang, Nuh diperintahkan untuk membuat perahu berpanjang 300 hasta dan berlebar 50 hasta. Dengan perahu itu, Nuh diminta menyelamatkan semua mahkluk yang percaya kepada jalan kebenaran, yang diperlukan untuk kelangsungan hidup mahkluk di bumi pada kemudian hari. Syahdan, perahu Nuh selesai tujuh hari sebelum banjir datang.

Hujan akhirnya diturunkan. Negeri-negeri tenggelam, ratusan ribu manusia mati. Termasuk satu putra Nuh sendiri yang bernama Kan'an. Menurut cerita, setelah air surut, perahu Nuh itu kandas di atas puncak Gunung Ararat di daerah Armenia.

Bagi orang-orang pengandal rasio, dan bagi para seniman pengembang imajinasi, cerita Nuh ditangkap sebagai hiperbolisme cerita nyata. Namun substansinya sungguhlah senantiasa dipercaya: bahwa Tuhan bisa marah besar, dan ada orang terpilih yang diutus untuk menuntaskan problem. Karena itu, kisah nyata Nuh selalu menjadi bahan penelitian oleh para ilmuwan, dan menjadi inspirasi bagi seniman.

Dari situ lantas muncul sangat banyak versi atas kisah Nuh. Ada yang menemukan fakta bahwa hewan yang dibawa Nuh hanya 135 pasang. Tapi hal ini pun diragukan. Sementara itu, BBC Worldwide Limited lewat film ilmiah Noah and the Great Flood mengungkap bahwa panjang perahu Nuh sesungguhnya hanya belasan meter. Dan yang diselamatkan cuma 7 pasang hewan halal, yang notabene adalah ternak peliharaannya. Di situ malah disebut bahwa Nuh adalah petani anggur yang kadang mabuk. Bahkan punya utang kepada pedagang.

Dalam dunia seni di berbagai negara, kisah Nuh telah menjadi inspirasi tak ada habisnya.

Page 35: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Pengembangan dan penafsiran lantas muncul dalam drama, tari, puisi, novel, musik sampai seni rupa. Ada yang berangkat dari pemahaman religi, ada yang bertolak dari pemahaman moral dan sosial. Ada yang semata-mata dari aspek visual.

Kisah dan sosok Nabi Nuh sudah jadi mitos (dan mitologi) yang terus-menerus diinterpretasi. Puluhan tahun lalu guru pencak-silat saya di Rogojampi, Gunadi, juga menegaskan mitos penuh tafsir ini. Ia mengatakan, dalam pemahaman Jawa, yang jadi lakon utama dalam mitos Nuh malah bukan Nabi Nuh, melainkan air. Lantaran sang air di situ adalah Tuhan itu sendiri. Peluhuran Tuhan sebagai air termanifestasi lewat ungkapan "banyu pinerang ora bakal pedhot". Air adalah benda yang tak pernah bisa dibelah, seperti Tuhan.

Majalah Tempo (7/4/2014) menulis bahwa pelarangan LSF atas film Noah adalah bentuk pelecehan terhadap kecerdasan masyarakat. Mungkin benar. Padahal kesalahan LSF cukup sederhana: para anggota LSF kurang pengetahuan dan kurang keterbukaan dalam memahami kisah Nuh. *

Page 36: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Intelijen dan Pemilu 2014

Sabtu, 12 April 2014

Soleman B. Ponto, Kepala Badan Intelijen Strategis (ka-BAIS) TNI 2011-2013

Dalam setiap peristiwa "besar" di dunia dan tentunya juga negeri ini, intel selalu mengiringi. Dari aksi terorisme hingga perhelatan akbar seperti pemilu.

Baru-baru ini, kembali muncul sinyalemen dari salah satu partai yang menyatakan ada indikasi gerakan mengacaukan Pemilihan Umum 2014. Informasi itu, menurut dia, diperolehnya berdasarkan pengumpulan data dan informasi intelijen yang diklaimnya akurat.

Selama ini persepsi yang ditangkap oleh publik ketika mendengar atau membaca tentang peran intelijen relatif selalu dialamatkan ke institusi (negara) yang berlabelkan intelijen. Anggapan ini terbentuk karena selama puluhan tahun, khususnya selama era Orde Baru, fungsi institusi ini berkonotasi negatif. Akibatnya, ketika kata intelijen digulirkan kembali pada saat ini, anggapan tersebut seakan masih melekat dan susah dihilangkan. Selagi tidak ada fakta dan bukti, anggapan bahwa institusi negara yang berlabel intelijen berada di balik aksi negatif harus dibuang jauh-jauh.

Secara harfiah, intelijen mengandung pengertian kecerdasan, akal, kecerdikan, atau inteligensia. Dengan kata lain, dalam konteks menjelang Pemilu 2014, ketika ada anggapan terjadi "perang intelijen", yang terjadi sebenarnya adalah perang antar-kecerdasan untuk mencapai tujuan masing-masing. Tiap-tiap partai dan institusi lain menggali potensi diri, menyiapkan amunisi, mengukur kelemahan lawan, menilai momentum yang tepat, dan segala macam analisis dengan "kecerdasan" tingkat tinggi untuk mencapai tujuannya. Tentang hal ini, Sun Tzu sudah pernah berpesan, "Know your enemy, know yourself; your victory will never be endangered."

Jika dicermati lebih mendalam tentang upaya mengacaukan Pemilu 2014, sebenarnya ada sebuah fenomena kecerdasan (intelijen) tingkat tinggi yang justru seharusnya lebih diperhatikan daripada "sekadar" soal kotak suara yang terbuat dari kardus. Menurut analisis penulis, aspek legalitas pemilu akibat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 23 Januari 2014, bahwa Undang-Undang Nomor 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, adalah sebuah masalah besar. Bisa jadi hal ini adalah skenario dengan kecerdasan (intelijen) yang amat tinggi.

Mengapa demikian? Karena sudah jelas, terang-benderang landasan hukum Pemilu 2014

Page 37: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat tapi masih dijadikan dasar hukum. Dengan kata lain, hasil pemilu bisa dinilai inkonstitusional atau tidak berdasarkan UUD 1945. Pihak-pihak yang menang, baik presiden, wakil presiden, maupun anggota DPR, semuanya menjadi tidak sah karena menggunakan produk hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. (Tentang hal ini, penulis telah menyajikannya di Koran Tempo edisi 28 Februari 2014 dengan judul "Peluang Kudeta Konstitusional 2014")

Anehnya, "saran" MK bahwa dasar hukum pemilu tersebut bisa dilaksanakan pada 2014, dan mulai berlaku pada 2019 dan pemilihan umum seterusnya diikuti oleh penyelenggara pemilu (pemerintah dan KPU). Padahal MK tidak berhak dan tidak punya kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 untuk menyatakan waktu berlakunya sebuah undang-undang. "Kecerdasan" tingkat tinggi seperti inilah yang seharusnya digulirkan oleh partai politik, akademikus, dan sejumlah elemen bangsa.

Dalam sejarah perjalanan peralihan kekuasaan di negeri ini, beberapa kali kita dihadapkan pada benturan antara konstitusi dan kondisi politik. Kita bisa menyaksikan dan membaca dari sejarah bagaimana situasi politik dan konstitusi yang berlaku pada peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, dari Soeharto ke B.J. Habibie, dan dari KH Abdurahman Wahid ke Megawati Soekarnoputri.

Idealnya, intelijen dari semua elemen bangsa, baik dari pemerintah maupun partai politik, melakukan sejumlah langkah. Dalam pandangan penulis, setidaknya ada tiga langkah yang harus dilaksanakan. Pertama, penyelidikan secara terencana dan terarah dengan mengumpulkan dan memperoleh informasi yang dibutuhkan, membuat perkiraan mengenai kemungkinan yang akan dihadapi serta menyusun perencanaan tindakan yang akan diambil terhadap kemungkinan munculnya peng-(ke)-gagalan Pemilu 2014.

Kedua, pengamanan terhadap semua usaha, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan yang ditujukan guna menghindari terjadinya kekacauan dan kehancuran material yang merugikan bangsa. Dan ketiga, penggalangan, yakni aksi yang diarahkan untuk menciptakan sebuah kondisi kehidupan berbangsa menjadi aman, tentram, serta demokrasi berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan diterima oleh semua elemen bangsa.

Langkah cerdas ini perlu segera dirintis dan dilakukan, sebelum (kemungkinan) peristiwa besar yang merugikan bangsa ini terjadi. *

Page 38: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Pemimpin Dewasa

Sabtu, 12 April 2014

Djoko Subinarto, Alumnus Universitas Padjadjaran

Indonesia ke depan membutuhkan sosok pemimpin yang benar-benar dewasa, yang  mampu mengontrol emosinya dengan baik, sehingga menciptakan suasana damai dan bersahabat bagi semua kalangan. Hajat akbar lima tahunan untuk memilih presiden dan wakilnya dijadwalkan berlangsung pada 2014 ini. Pada momen inilah kita menentukan secara langsung siapa yang bakal memimpin Republik ini untuk masa lima tahun ke depan.  

Sejauh ini, sudah ada sejumlah figur yang telah siap mencalonkan dirinya untuk  bertarung memperebutkan kursi RI-1. Pun sejumlah kalangan sudah mulai ramai  bersuara menyatakan dukungan kepada sejumlah calon tertentu yang  dijagokannya.

Tentu saja, yang selalu menarik untuk dipertanyakan sekaligus diperbincangkan  adalah siapa figur yang kira-kira paling layak memimpin Indonesia di masa  depan dan kriteria apa saja yang semestinya dimiliki oleh calon orang nomor  satu di negeri ini? Ini sudah barang tentu terkait erat dengan persyaratan  umum dan persyaratan khusus yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.

Raymond Bernard Cattell, seorang psikolog, menyebutkan bahwa salah satu syarat  penting untuk menjadi seorang pemimpin adalah kedewasaan. Bahkan, kedewasaan ini jauh lebih penting ketimbang syarat-syarat lainnya, semisal usia atau pengalaman. Secara umum, paling tidak ada empat hal yang dapat menunjukkan apakah seorang calon pemimpin itu dewasa atau tidak.

Pertama, aspek emosional. Calon pemimpin yang dewasa mampu mengontrol emosinya secara baik. Persoalan apa pun yang dihadapi tidak akan membuat emosi seorang pemimpin meledak-ledak. Seorang calon pemimpin harus mampu menciptakan suasana damai dan sejuk, bukan justru membuat suasana senantiasa panas dan penuh amarah.

Kedua, aspek intelektualitas. Intelektualitas di sini dapat dilihat  dari kapabilitas diri dalam membangun pendirian. Seorang calon pemimpin harus  memiliki pendirian serta prinsip yang teguh dan ditopang dengan rasionalitas  dan kreativitas. Ia bukan seorang peragu dan gampang dipengaruhi serta  terombang-ambing dalam situasi apa pun.

Ketiga, aspek moral. Moral menjadi landasan utama bagi individu yang dewasa.  Setiap perkataan dan perbuatan dilandaskan pada moral. Maka, calon pemimpin  yang dewasa

Page 39: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

adalah pemimpin yang mendasarkan pola kepemimpinannya pada  kekuatan moral, bukan mendasarkan pola kepemimpinannya pada kekuasaan serta  kepentingan sempit dan sesaat.

Keempat, aspek sosial dan spiritual. Individu yang dewasa memiliki  sikap terbuka terhadap orang/golongan lain. Bukan hanya itu, ia juga  terbuka bagi setiap perubahan. Pada ranah spiritual, individu yang dewasa  memiliki keyakinan yang tidak sempit, sehingga mampu membina hubungan dengan orang-orang yang berbeda pandangan dan keyakinan. Dengan demikian, calon pemimpin yang dewasa harus bisa terbuka kepada siapa pun dan terbuka dengan setiap perubahan, sekaligus mampu membina hubungan dengan kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dan keyakinan.

Kita akan sangat beruntung jika pemilu yang kita gelar tahun ini mampu  melahirkan sosok pemimpin yang benar-benar dewasa.*

Page 40: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

Mencari Pangeran

Sabtu, 12 April 2014

Ahmad Wayang, Bergiat di Rumah Dunia

Saya masih merekam situasi dan kondisi detik-detik saat Sang Gubernur Banten pertama kali ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka--itu terjadi pada pengujung akhir 2013. Bumi Banten seakan berguncang dahsyat! Banyak yang bersyukur ketika borok-borok Banten terbongkar KPK. Percayalah, kami sama sekali tidak membenci sosok Ratu, melainkan membenci perbuatan-perbuatannya yang salah dan jelas-jelas melanggar hukum. Namun, tak ditampik, banyak pula yang mendukung Sang Gubernur. Tapi inilah hidup. Ada yang pro dan kontra.

Bicara Banten, saya rasa tak akan bisa terlepas dari sebuah buku puisi karya Toto S.T. Radik berjudul Kepada Para Pangeran (Gong Publishing, Oktober 2013). Membaca sepilihan puisi Toto yang ditulis dalam rentang waktu 1994-2006 seolah saya menemukan gambaran atau peta Banten pada masa lalu dan masa kini. Toto banyak menulis tentang kampung yang sunyi, Banten yang uzur, dan kegelisahannya terhadap Banten; siapakah membangun seraya meruntuhkan?/ siapakah tersesat dalam hutan kenangan?/ ialah yang alpa ialah yang tak tahu/ ialah yang pongah ialah yang dungu/ banten yang uzur/ nagari yang lantak/ nyanyi pedihmu kelak, pangeran… (Aku Datang dari Masa Depan).

Puisi itu seperti mengajak kita untuk melihat Banten dari dekat. Toto, seperti halnya banyak warga Banten, sangat merindukan pemimpin yang berani melawan dinasti yang sedemikian kuat mengakar. Proyek-proyek Banten dikuasai segelintir orang-orang kepercayaan dinasti. Kita kemudian tak bisa melawan. Media lokal kehilangan gigi saat memberitakan kebobrokan Banten. Akhirnya banyak masyarakat yang lebih memilih menyimpan golok dan mengasah pena--meminjam kredo Toto S.T. Radik (Simpan Golokmu, Asah Penamu!). Tafsir lain adalah warga Banten tidak lagi merindukan seorang pemimpin bergelar Ratu. Mereka  merindukan seorang Pangeran.

Lupakan luka masa lalu sejenak. Selanjutnya bergegas membuat sejarah baru. Seperti dalam sajak berjudul Singarajan: menyalakan harapan hari demi hari. Ya, Banten masih punya harapan, masih memiliki orang-orang hebat dan lebih berani memerangi korupsi dan membawa Banten ke titik terang. Semangat Banten akan kembali hidup, barangkali salah satu kuncinya dengan bersatunya para Pangeran Banten dan saling merapatkan barisan.

Saya percaya masih banyak orang baik di Banten dan mencintai Banten sepenuh hati, bukan sekadar sebatas ungkapan kata cinta, tapi dibuktikan lewat kerja dan karya: perlahan kulantunkan pupuh-pupuh keramat/ menjemput cahaya/ menangkap gerimis pertama/ dan

Page 41: caping+cari angin+kolom tempo 6.4.2014-12.4.2014

berbahagia. Kami mencari Pangeran yang sekian lama hilang dan dirindukan warga Banten. Dan suara kami, kerinduan kami mencari sosok Pangeran seakan terwakilkan lewat puisi Toto ini; di manakah engkau, di manakah kalian wahai para pangeran?/ dan nagari apakah  yang tak lagi punya lazuardi, tempat cahaya menulis tanda? (Kepada Para Pangeran).

Semoga para Pangeran Banten yang masih bersembunyi di hutan-hutan purba itu mau kembali ke Banten dan bersama-sama berbenah diri membangun Banten. Kita yang akan sama-sama menuliskan sejarah baru untuk Banten. *