caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

58
Bhisma Senin, 21 April 2014 Apa yang direnungkan Bhisma, menjelang ajalnya datang? Dikisahkan dalam Mahabharata, panglima perang tua ini akhirnya roboh dari keretanya. Ia tergeletak, bersandar pada puluhan anak panah yang menghunjam tubuhnya. Ia belum tewas. Matanya memandang ke keluasan medan pertempuran: tamasya yang mengerikan. Ratusan kereta perang hancur, ratusan kuda dan gajah terbunuh, ribuan jasad manusia tercincang atau remuk. Bau amis darah menyebar. Suara rintihan kesakitan terdengar dari tepi ke tepi. Muram. Langit seperti tak menghendaki matahari. Bhisma, seraya menahan sakit, melirik ke sekitarnya. Perang saudara itu sedang dihentikan. Ia lihat para kesatria dari kedua kubu yang bermusuhan mengumumkan gencatan senjata dan segera mereka datang menghampirinya. Dengan baju zirah yang kotor oleh lumpur dan debu, dengan luka-luka di pelipis dan di bahu, mereka datang untuk memberi hormat. Mereka tahu ia akan segera mati. Mula-mula Yudhistira yang bersimpuh di sebelah kirinya. Kemudian pangeran sulung Kurawa, Duryudana, di dekat kaki. Kemudian yang lain-lain. Terakhir Arjuna yang hampir dibunuhnya dalam pertempuran sejam yang lalu. Adakah semua berkabung? Atau harus menunjukkan diri berkabung? Apa arti seorang orang tua seperti dirinya, orang yang mungkin tak layak lagi dihormati karena ia tak lagi meletakkan diri sebagai penengah di atas sengketa, malah akhirnya memilih pihak-dengan pilihan yang membingungkan? Semua tahu (atau barangkali hanya menduga?) hati orang tua itu lebih dekat ke

Upload: ekho109

Post on 13-May-2017

233 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Bhisma

Senin, 21 April 2014

Apa yang direnungkan Bhisma, menjelang ajalnya datang?

Dikisahkan dalam Mahabharata, panglima perang tua ini akhirnya roboh dari keretanya. Ia tergeletak, bersandar pada puluhan anak panah yang menghunjam tubuhnya. Ia belum tewas. Matanya memandang ke keluasan medan pertempuran: tamasya yang mengerikan. Ratusan kereta perang hancur, ratusan kuda dan gajah terbunuh, ribuan jasad manusia tercincang atau remuk. Bau amis darah menyebar. Suara rintihan kesakitan terdengar dari tepi ke tepi. Muram. Langit seperti tak menghendaki matahari.

Bhisma, seraya menahan sakit, melirik ke sekitarnya. Perang saudara itu sedang dihentikan. Ia lihat para kesatria dari kedua kubu yang bermusuhan mengumumkan gencatan senjata dan segera mereka datang menghampirinya. Dengan baju zirah yang kotor oleh lumpur dan debu, dengan luka-luka di pelipis dan di bahu, mereka datang untuk memberi hormat. Mereka tahu ia akan segera mati.

Mula-mula Yudhistira yang bersimpuh di sebelah kirinya. Kemudian pangeran sulung Kurawa, Duryudana, di dekat kaki. Kemudian yang lain-lain. Terakhir Arjuna yang hampir dibunuhnya dalam pertempuran sejam yang lalu. Adakah semua berkabung? Atau harus menunjukkan diri berkabung? Apa arti seorang orang tua seperti dirinya, orang yang mungkin tak layak lagi dihormati karena ia tak lagi meletakkan diri sebagai penengah di atas sengketa, malah akhirnya memilih pihak-dengan pilihan yang membingungkan? Semua tahu (atau barangkali hanya menduga?) hati orang tua itu lebih dekat ke para pangeran Pandawa, tapi Bhisma justru memutuskan menjadi musuh mereka.

Dikisahkan bahwa seraya terbaring itu ia berpesan kepada Yudhistira agar membaca Vishnusahasranama, menyebut 1.000 nama Vishnu. Apa yang suci, apalagi yang mahasuci, tak dapat diringkas dengan satu sebutan karena tak tepermanai, dan juga karena begitu akrab, seperti rasa di hati yang tak bisa diikhtisarkan dengan satu-dua kata.

"Dharma teragung," Bhisma berbisik, "adalah Vishnu, yang tak punya awal dan tak punya akhir."

Kita tak tahu apa reaksi Yudhistira.

Mungkin pangeran sulung Pandawa ini akan tetap terkesima dan bertanya-tanya siapa sebenarnya Bhisma, apa yang membentuknya? Jangan-jangan Vishnusahasranama itu hendak

Page 2: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

menunjukkan bahwa dewa dan manusia adalah 1.000 kecenderungan dan keinginan dalam satu sosok, 1.000 paradoks dengan tafsir yang tak punya awal, tak punya akhir.

Legenda tentang orang ini menakjubkan: seorang anak berumur 16 tahun yang menghentikan arus Sungai Gangga dengan hunjaman anak panah. Seorang pangeran yang untuk kebahagiaan orang lain, ayahnya, memilih melepaskan haknya atas takhta dan menjadi brahmacari, tak akan menikah dan berketurunan.

Tapi ia ternyata juga tak hendak meninggalkan kerajaan. Ia tak berangkat ke hutan untuk bertapa sebagai vanaprashta. Ia malah terlibat jauh dalam kekuasaan: ia berperang untuk memperkuat Hastinapura, ia jadi wali raja bagi para pangeran ketika mereka masih anak-anak.

Mungkin itu panggilan tugas. Tapi mungkin itu juga tanda ia gagal melepaskan diri dari jaringan kepentingan kerajaan. Ketika Drupadi, perempuan yang dicoba ditelanjangi Pangeran Dursasana di depan umum itu, datang kepadanya minta dibela, di balairung itu Bhisma tak bergerak. Ia khawatir, bila Dursasana dihukum karena skandal itu, wibawa istana akan guncang. Ia hanya berkata, lirih, "Jalan dharma itu tak mudah dipahami."

Ataukah itu justru kearifan yang bukan main, karena justru di saat itu ditunjukkan bahwa kekuasaan hanya sia-sia? Drupadi tetap tak menyerah. Dursasana tak berhasil.

Ia sendiri, Bhisma, tak berhasil. Ketika bertahun-tahun yang lalu ia menyatakan sumpahnya yang menggetarkan untuk jadi brahmacari, ia merasa bisa menunjukkan bahwa tak ada takdir yang melekatkan kekuasaan pada diri seseorang. Kekuasaan seperti senjata: sesuatu yang ampuh, namun bisa ditanggalkan. Dan sebagaimana senjata, ia bisa berbahaya, juga untuk diri pemegangnya. Kekuasaan tak hanya bisa aku miliki; ia bisa memiliki aku. Melepaskan diri dari hasrat kekuasaan, Bhisma manusia bebas.

Tapi di antara para cucunya, tak ada yang mengikuti kearifan itu. Para Pandawa merasa hak mereka atas takhta benar dan sebab itu mutlak. Para Kurawa merasa posisi mereka tak bisa dikurangi. Bhisma ternyata tak bisa jadi tauladan: memperoleh takhta baginya bukan harga mati. Tapi Yudhistira dan Duryudana bersaudara tak bisa membaca tauladan itu.

Dalam hal itu, Bhisma gagal. Dan bukankah ia sendiri tak sanggup meninggalkan istana dan akhirnya mempertahankan takhta Kurawa di Hastina di peperangan itu?

Di tepi medan Kurusetra, dengan tubuh yang kian lama kian lemah, ia memejamkan matanya. Di akhir hidupnya ia menyaksikan kesia-siaan yang tak terkira. Ia sendiri contoh sikap luhur yang tak meyakinkan. Pangeran Kurawa hampir semuanya terbunuh. Juga generasi kedua Pandawa. Apa akhirnya kemenangan jika tak ada anak-anak yang akan melanjutkan kejayaan?

Kekuasaan: tak seorang pun mendapatkan apa yang dicarinya setelah itu. Mereka yang bertahun-tahun bersengketa dan menyiapkan perang habis-habisan tampaknya lupa cerita

Page 3: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

dalam Maitri Upanishad: seorang raja meninggalkan istana, hidup bertapa di hutan, dan bertemu dengan seorang aulia yang berkata, "Tuan, di tubuh ini, di himpunan tulang, kulit, otot, sperma, darah, lendir, air mata ini adakah yang baik untuk menikmati hasrat? Dunia melapuk seperti tubuh ngengat, pohon-pohon tumbuh dan kemudian kering."

Pada hari kesekian, Bhisma menutup mata selama-lamanya. Di saat itu ia bebas benar-benar.

Goenawan Mohamad

Page 4: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Pandawa

Minggu, 20 April 2014

Putu Setia

@mpujayaprema

Pandawa Lima tiba di hutan Kamyaka sebagai orang yang kalah. Kelima kesatria ini menjalani hukuman pembuangan selama 12 tahun, ditambah "denda" setahun untuk penyamaran. Hukuman ini sudah disepakati antara Pandawa dan Kurawa setelah pertarungan main dadu yang dahsyat di Kerajaan Hastina.

Epos Mahabharata menuturkan, permainan dadu itu penuh kecurangan ditambah wasit yang memihak salah satu kontestan: Kurawa. Meski tahu dizalimi, Yudhistira sebagai pemimpin Pandawa tetap meneruskan judi itu. Ia mempertaruhkan harta benda yang ada. Kalah. Lalu, ketika harta benda ludes, ia mempertaruhkan istrinya, Drupadi. Semua orang tercengang dan berdebar. Ternyata juga kalah. Akhirnya Kurawa yang dipimpin Duryudana melucuti seluruh pakaian Pandawa. Drupadi pun ditelanjangi oleh Dursasana, meski ada kekuatan Maha Tinggi yang menolong wanita yang tak tahu dirinya dijadikan taruhan. Kain yang dipakai Drupadi tak ada habis-habisnya sampai Dursasana lelah.

Kini, di hutan Kamyaka, Pandawa menjadikan kekalahan itu untuk suatu perenungan panjang tentang arti kehidupan. Yudhistira sangat menghargai kekalahan itu. Dia meminta adik-adiknya menghormati kekalahan. Jangan melawan, jangan melakukan protes. Apalagi pembangkangan atau merusak aset kerajaan. Kalah dan menang adalah akhir sebuah babak perjuangan, tapi perjuangan itu tak ada habisnya.

Apa yang dilakukan di hutan? Introspeksi. Yudhistira bersama adik-adiknya melakukan perenungan dengan bimbingan para Bhagawan. Bhagawan Sonaka, Bhagawan Domya, dan Bhagawan Byasa mengajari Pandawa tentang "ilmu kebenaran"-bahasa sekarang: berpolitik yang santun. Bhagawan Waka bahkan menasihati Yudhistira agar mempelajari etika kebrahmanaan (menjadi negarawan), bukan hanya dunia kesatria (politikus).

Suatu kali, entah menguji atau memprovokasi, Drupadi meminta Yudhistira dan adik-adiknya pulang ke Hastina dan berperang melawan Kurawa. "Marah sebagai salah satu sifat manusia, haruslah disalurkan jika ada ketidakadilan," ujar Drupadi. Apa jawaban Yudhistira? "Kemarahan harus ditahan karena itu pangkal kemalangan."

Drupadi dalam kesempatan lain mengeluh: "Kanda sudah banyak berbuat kebajikan selama di kerajaan, tetapi kenapa nasib kita begini?" Yudhistira menjawab: "Berbuat kebajikan adalah

Page 5: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

kewajiban. Tetapi orang yang berbuat kebajikan dengan mengharapkan hasil itu namanya pedagang kebajikan." Drupadi berkata lagi: "Nasib manusia tak akan berubah jika manusia tak mengubah sendiri nasibnya." Bima yang mendengar ini sependapat: "Perang adalah kebajikan bagi seorang kesatria dan musuh harus kita perangi." Bima setuju untuk pulang dan berperang. Tapi Yudhistira menjawab: "Kita harus taat menjalani hukuman ini karena sudah disepakati lewat perjanjian. Kita harus hargai kekalahan itu, harus dihargai perjanjian itu, dan harus dihargai pembuangan ini. Kesatria sejati bukan saja harus mengalahkan musuh-musuhnya yang ada di luar, tetapi wajib membasmi musuh-musuhnya di dalam hati." Perdebatan mereda, dan Pandawa siap belajar menghargai kekalahan.

Pembaca Mahabharata tahu pasti, Pandawa akhirnya selamat dari pembuangan dan kembali ke istana dengan kemenangan. Para pemimpin partai dan utamanya calon anggota legislatif yang kalah dalam pemilu sebaiknya meniru Pandawa, menerima kekalahan dalam "judi politik" yang mungkin banyak kecurangan ini, lalu introspeksi. Sebuah sikap yang terhormat dibanding ngeyel atau menarik sumbangan yang sudah diberikan, yang justru akan menambah stres dan masuk rumah sakit jiwa.

Page 6: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Orientasi Kejuangan Kartini

Senin, 21 April 2014

Paulus Mujiran, Penulis

Melalui Keputusan Presiden Pertama RI Ir Sukarno Nomor 108 tanggal 2 Mei 1964, Kartini ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan. Sejak masih hidup, Kartini telah menarik perhatian, terutama dari bangsa Belanda. Melalui aktivitas korespondensi terekam keresahan mendalam tentang emansipasi dan hak kaum perempuan pada zamannya. Buku kumpulan tulisannya yang berjudul Door Duisternis Tot Licht, yang diterjemahkan oleh sastrawan Armijn Pane menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, mencatat orientasi kejuangan Kartini.

Orang boleh saja sinis dan menganggap Kartini sebagai anak birokrat yang kesepian pada masanya. Namun melalui aktivitas surat-menyuratnya justru membuka pemikiran, termasuk orang Belanda, dengan tulisan, "Bukan kepada pria kami melancarkan peperangan, tetapi terhadap anggapan kuno, adat, yang tidak lagi mendatangkan kebajikan bagi orang Jawa kami di kemudian hari." Masa gelap bagi Kartini adalah keadaan ketika rakyat pribumi sama sekali tidak menikmati kemajuan.

Kolonialisme Belanda menyebabkan rakyat terbelenggu dalam kemiskinan dan kebodohan. Sarana untuk membebaskan kondisi muram itu hanyalah dengan pendidikan. Dalam surat kepada sahabatnya, Stelle Zeenhandelaar, Kartini menulis, "Pemberian pengajaran yang baik kepada rakyat sama halnya dengan pemerintah memberikan obor ke dalam tangannya, agar ia menemukan sendiri jalan yang benar menuju tempat nasi itu berada." Kartini sangat menyadari, selama kebodohan dan kemiskinan membelenggu, kebebasan tidak akan diraih.

Karena itu, ia memandang kesetaraan tidak sebatas perkara gender. Pramoedya Ananta Toer dalam novel Panggil Aku Kartini Saja menulis, "Dialah yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang ada di Indonesia pertama kali timbul di Demak, Kudus, Jepara sejak pertengahan kedua abad yang lalu. Di tangannya, kemajuan itu dirumuskan, diperincinya, dan diperjuangkannya untuk kemudian menjadi milik nasion Indonesia."

Gagasan besar Kartini pada masanya terbilang maju dibanding generasi sezamannya yang menerima saja perlakuan jahat penjajahan. Di sinilah sebenarnya relevansi mengemukakan kembali orientasi kejuangan Kartini.

Kungkungan feodalisme dan budaya adat keraton yang ketat tidak menyurutkan niatnya sebarisan dengan kebanyakan pribumi yang menderita karena dijajah. Pengakuan ketokohan Kartini tertulis dalam novel Toety Heraty Selendang Pelangi-Tujuh Belas Penyair

Page 7: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Perempuan Indonesia, gerakan perempuan mendunia telah menggugah kesadaran perempuan secara meluas. Gelombang pertama menemukan gemanya di Tanah Air lewat tokoh seperti RA Kartini pada awal abad ke-20.

Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah (2009) menulis pernyataan Kartini kepada Ang San Mei, "Tanpa kebebasan berarti juga tanpa ada apa-apa bisa dicapai. Sedang di Priangan sana, katanya lagi, ada seorang wanita muda sudah berhasil mendirikan taman pendidikan seperti yang selama ini ia impikan. Dewi Sartika namanya (halaman 148)." Penggalan itu melukiskan ketidakbebasan Kartini. Meski dibelenggu, Kartini tetap dapat melakukan banyak hal. Sadar akan hal itu, peringatan Hari Kartini semestinya diberi muka baru. Orientasi perjuangan perempuan pada masa kini tidak pertama-tama melawan kaum laki-laki, melainkan memberikan akses atau kesempatan yang sama kepada semua perempuan. *

Page 8: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Gabo

Senin, 21 April 2014

Anton Kurnia, Penulis Cerpen dan Esai

Pertengahan Mei dua tahun lalu, jagat media sosial Twitter dihebohkan kabar yang tersiar dari akun pengarang terkemuka Italia, Umberto Eco: "Gabriel García Márquez dies. I received the news now from New York."

Kabar mengagetkan itu segera diklarifikasi oleh kerabat dekat sastrawan terpopuler Amerika Latin dan pemenang Hadiah Nobel Sastra 1982 itu. Gabo-panggilan akrabnya-masih segar-bugar dan berada di ibu kota Kolombia, negeri kelahirannya. Entah dari mana kabar burung itu bersumber dan tak jelas pula apa maksud si penyebar. Selain Gabo, sejumlah selebritas lain pernah digosipkan meninggal dunia lewat Twitter, termasuk Fidel Castro-pemimpin revolusi Kuba yang juga sahabat dekat Gabo selama puluhan tahun.

Namun kali ini kabar yang beredar bukan lagi isapan jempol. Sang maestro tutup usia dengan tenang pada 18 April 2014, sekitar sebulan setelah ulang tahunnya yang ke-86, 6 Maret lalu.

Sejak dua tahun terakhir Gabo telah melemah dirundung demensia. Kaburnya ingatan dan penurunan fungsi otak yang merupakan efek samping pengobatan kanker limpa yang dideritanya sejak 1999 telah merenggut bakat besar dan imajinasi liarnya yang legendaris. Sang pengarang agung terlibas ironi: dikutuk terpenjara dalam "kesunyian" di ujung hidupnya bagaikan tema utama novel-novelnya yang kerap berkisah tentang kesunyian manusia.

Dalam peta sastra dunia, Gabo dianggap salah seorang pelopor aliran realisme magis dan empu dalam sastra berbahasa Spanyol setelah Miguel de Cervantes, sang penulis novel klasik Don Quixote. Karya-karya Gabo telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa di seluruh dunia, termasuk bahasa Indonesia.

Cien años de soledad (1967, diindonesiakan sebagai Seratus Tahun Kesunyian), magnum opus-nya, adalah novel terkemuka di pentas sastra modern. Novel menakjubkan tentang empat generasi keluarga Kolonel Buendia yang berlatar kampung imajiner bernama Macondo itu membaurkan kenyataan dengan imajinasi liar di mana manusia dan hantu berbaur dan kejadian-kejadian fantastis bermunculan, diwarnai humor segar, konflik politik, intrik asmara, dan ironi kehidupan. Tak pelak, novel itu melejitkan Gabo ke puncak langit sastra dunia dan dianggap sebagai salah satu novel terbaik yang lahir pada abad ke-20 oleh majalah internasional berpengaruh Time.

Page 9: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Pada 1982, Gabo dianugerahi Hadiah Nobel Sastra. Dalam pidato penerimaan hadiah tersebut, Gabo, yang seumur hidupnya selalu bersimpati pada perjuangan kaum kiri di berbagai belahan dunia, mengingatkan hadirin akan sebuah kenyataan Amerika Latin: belantara "dunia ketiga" yang seakan-akan didominasi oleh kekerasan, junta militer, pertentangan ideologi, kemiskinan, dan keterbelakangan.

Dengan caranya sendiri, Gabo menolak stigma semacam itu. Lewat novel-novelnya yang penuh ironi dan membaurkan realitas dengan nuansa magis, ia menegaskan kesungguhan perlawanannya terhadap kekuasaan yang menindas, yang merampas ingatan secara paksa, dan tega melontarkan peluru panas untuk sebuah tuntutan kesejahteraan. "Kita bisa memiliki apa yang kita inginkan," ujarnya suatu kali, "tetapi kita harus memperjuangkannya agar bisa menikmatinya dengan layak."

Kini, Gabo telah tiada. Namun dunia akan selalu mengenang karya-karya besarnya. Selamat jalan, El Maestro! *

Page 10: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Kuda Troya dalam Politik

Senin, 21 April 2014

Seno Gumira Ajidarma, Wartawan

Musim koalisi telah tiba, para pemimpin partai besar yang kini mutlak membutuhkan sekutu, harus waspada terhadap politik Kuda Troya.

Sebetulnya strategi Kuda Troya adalah bentuk tipu daya klasik yang teracu pada mitologi Yunani tentang perebutan Kota Troya. Jauh sebelum dikisah-ulangkan penulis Romawi, Virgil, para penulis tragedi Yunani, seperti Sophocles dan Euripides, telah menuliskan kisah yang sama 400 tahun sebelumnya, pada abad ke-5 di Yunani, dengan penafsiran berbeda. Itulah kisah tentang dikepungnya Kota Troya selama sepuluh tahun oleh balatentara Yunani dan tak kunjung menyerah juga. Bahkan dengan tewasnya para pahlawan Yunani, lebih masuk akal bagi balatentara Yunani untuk mengundurkan diri-kecuali jika bisa menyerang dengan unsur kejutan.

Maka, atas akal Odysseus, dibangunlah patung kuda kayu raksasa yang di   dalamnya berongga dan bisa diisi sepasukan tentara. Pada pagi hari orang-orang Troya melihat perkemahan yang kosong, dan mengira Yunani telah menyerah. Mereka hanya melihat patung kuda raksasa itu, dan ketika masih terbengong-bengong tampak pula Sinon, warga Yunani yang ditinggal dengan cerita karangan: bahwa atas petunjuk ahli nujum, dirinya adalah calon korban bagi Athena yang marah karena Palladium dicuri. Kemarahan yang hanya bisa ditawar dengan darah. Menurut Sinon, dialah yang akan dikorbankan, tapi melarikan diri pada malam hari, dan tak ingin lagi menjadi orang Yunani.

Orang-orang Troya yang percaya saja, lantas bertanya untuk apa patung kuda raksasa itu. Sinon, yang memang pembicara fasih, berkisah bahwa orang Yunani berharap persembahan untuk Athena itu akan dibakar pihak Troya, sehingga kemarahan dewa Athena akan terarah kepada Troya. Mendengar itu, orang-orang Troya mengangkut kuda raksasa beroda tersebut ke dalam kota, dan bermaksud merawatnya agar terhindar dari murka Athena.

Ketika semua penduduk sudah terlelap dengan perasaan aman pada malam hari, pasukan Yunani keluar dari dalam patung, membuka pintu gerbang kota, dan balatentara Yunani yang ternyata hanya bersembunyi di sebuah pulau, mengalir masuk ke dalam kota. Malam itu kota dibakar, penduduknya dibantai, dan Troya dihapus dari muka bumi [Hamilton, 1961 (1940): 193-9].

Dalam strategi politik, yang diberlakukan sebagai perang, wacana Kuda Troya sering disebut,

Page 11: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

dalam penafsiran yang terus-menerus berkembang. Adapun saya mencatat beberapa hal:

Pertama, tentang takhayul: kita dapat mengandaikan bahwa baik orang Yunani maupun Troya berada dalam wacana ideologis yang sama, yakni percaya kepada kekuatan supranatural teridentifikasi yang berkuasa atas nasib. Namun orang Yunani pada waktu yang bersamaan memperlakukannya sebagai bagian dari instrumen tipu daya, yang justru menunjuk kemampuan untuk berjarak, demi kepentingan duniawi-artinya juga kepentingan politik.

Kedua, tentang penyusupan: Kuda Troya menjelaskan betapa pertempuran bukanlah melulu pertarungan frontal berhadapan, seperti pertarungan di arena, tapi juga pertarungan taktik dan manuver, antara lain dengan mengaburkan posisi keberhadapan itu, melalui peranan Sinon, sehingga pihak lawan tidak merasa seperti menghadapi lawan.

Ketiga, suatu serangan gelap dari dalam jauh lebih berbahaya dan mematikan daripada suatu pertarungan yang jujur, sebagai akibat dari kesempatan yang terbuka bagi penyusupan tersebut. Sinon adalah bentuk penyusupan awal, yang lebih berbahaya daripada masuknya pasukan yang bersembunyi di garba kuda raksasa, tetapi peranan pasukan pembuka gerbang inilah yang menentukan jatuhnya Troya.

Keempat, dalam mitologi ini bukan tak terdapat kewaspadaan Troya. "Aku takut kepada orang Yunani, meskipun ketika mereka memberi hadiah," ujar pendeta Laocoon dari pihak Troya, yang menganjurkan agar Kuda Troya itu dihancurkan saja. Pernyataan yang juga pernah disampaikan Cassandra, bahkan sebelum Sinon tiba. Ini menjelaskan tabu ideologis, yang tidak membenarkan kompromi dengan keuntungan apa pun, dan bahwa peringatan orang dalam lebih dari layak diperhatikan.

Dalam koalisi akan berlangsung kemungkinan kohabitasi alias "kumpul kebo" politik, di antara berbagai partai yang ideologinya belum tentu sejalan. Hal pertama justru menunjukkan bahwa kesamaan takhayul ideologis dapat melindungi manuver lawan; hal kedua dan ketiga, penyusupan dan serangan gelap, tidak akan terjadi jika hal keempat, tabu ideologis, diperhatikan-yang ketika dipadankan dengan hal pertama, membuat politik terbukti lebih rumit daripada gamblang, karena kesamaan ideologis tak menjamin ketulusan.

Betapa pun, nilai etis prinsip kemenangan adalah segalanya, jelas lebih rendah nilainya daripada sikap terhormat dalam kekalahan. Dalam hal sama-sama kalah, lebih baik kalah terhormat saja! *

Page 12: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Rumah

Selasa, 22 April 2014

Purnawan Andra, Peminat Kajian Sosial-Budaya Masyarakat

Rumah adalah bangunan fisik yang mewadahi interaksi keluarga. Di dalamnya berlangsung praktek-praktek kekerabatan seperti mengasuh anak, hubungan kakak-adik, sampai pembagian warisan. Terkait dengan hal itu, desain arsitektur rumah juga akan selalu memperhitungkan pola pertukaran sosial dan timbal balik dalam hubungan antar-rumah dan masyarakat.

Dalam masyarakat kita, rumah dikelola oleh perempuan melalui pekerjaan dan kehidupan kesehariannya. Perempuan mengelola rumah melalui pengawasan anak dan tenaga kerja domestiknya, termasuk pertukaran makanan dalam konteks sosial-kemasyarakatan bertetangga antarkeluarga. Dengannya, perempuan juga bisa melakukan aktivitas pribadi yang mempunyai arti penting dalam konteks ekonomi, baik bagi keluarga maupun masyarakat.

Namun, Newberry (2013) mensinyalir, dalam negara pascakolonial Indonesia, unit sosial terkecil yang bernama keluarga (dalam sebuah rumah) bukan semata merupakan kesatuan orang tua dan anak. Keluarga menjadi instrumen negara. Penetrasi program pemerintah dan ideologi yang diproduksi negara ke dalam kesadaran warga negara di komunitas kampung, yang umum di perkotaan Indonesia, dapat dimungkinkan berkat keberadaan keluarga. Keluarga menjadi sebuah "institusi" negara baru, sekalipun tidak memiliki status formal. Lebih jauh, keluarga dalam fungsi seperti ini telah mendomestikasi perempuan secara lebih kuat. Namun, pada saat yang sama, hal itu menegaskan otonomi mereka secara sosial dan politik. Hal ini menjelaskan mengapa negara berkepentingan terhadap rezim pengaturan perempuan. Rumah menyiratkan kuasa negara terhadap perempuan.

Negara berperan dalam mendoktrin masyarakat bahwa peran utama perempuan adalah mengasuh anak di rumah. Perempuan dilegitimasi dengan instrumen otoritas berupa sistem budaya dan agama yang dominan dalam membentuk konstruksi sosial yang ada selama ini sebagai kanca wingking. Bahkan, di lingkungan pendidikan formal, pendidikan kita juga bias gender. Buku-buku pelajaran masih saja memuat kalimat "Bapak Bekerja, Ibu ke Pasar" yang bersifat seksis dan patriarkis. Konsep nilai yang tak seimbang semacam ini menjadi kesadaran laten yang mengancam kualitas hubungan lelaki dan perempuan dalam sebuah rumah (tangga).

Pemerintah menempatkan keluarga pada suatu tatanan moral dan visi penting untuk menata

Page 13: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

masyarakat. Lewat program-program yang dijalankan organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan, pemerintah memberikan pelayanan sosial berbiaya murah. Melalui kegiatan PKK dan ide-ide retorik lainnya, negara mereproduksi kehidupan keseharian masyarakat, meski kadang tidak sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Perempuan seakan-akan dibebaskan dan diberi wadah lain, yang tampak sebagai "sangkar emas". Mereka keluar rumah, tapi kemudian ditangkap lagi oleh sebuah situasi yang identik dengan apa yang ditinggalkan sebelumnya.

Memang pemerintah sudah berganti dan kehidupan masyarakat bisa jadi telah berubah. Namun, pola-pola yang sama (dalam bentuk berbeda) barangkali masih tetap dilakukan negara dalam menciptakan keteraturan versi pemerintah. Karena itu, rumah penting dibaca sebagai dasar penciptaan pola interaksi yang lebih apresiatif terhadap peran perempuan sebagai pribadi yang eksis dalam konteks sosial masyarakatnya. *

Seleksi Anggota LSF

Page 14: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Selasa, 22 April 2014

Kemala Atmojo, Pengamat Perfilman

Tak lama lagi seleksi calon anggota Lembaga Sensor Film (LSF) mestinya dimulai. Untuk itu, penting bagi panitia seleksi untuk mendapatkan calon-calon anggota yang responsif terhadap kemajuan zaman dan progresif dalam pemikiran. Hal ini diperlukan agar LSF tidak menjadi momok mengerikan bagi insan perfilman Indonesia.

Sudah berpuluh tahun, bahkan sejak zaman Hindia Belanda, lembaga ini menjadi salah satu sarana ampuh bagi pemerintah untuk mengontrol kebebasan ekspresi dan menyeleksi apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh masyarakat. Sebab, begitulah kisah sensor film ini dimulai di negeri ini.

Ketika makin banyak film-film dari Eropa dan Amerika masuk, penguasa Hindia Belanda dan sebagian penduduk Eropa di sini merasa galau. Menurut pejabat di Hindia Belanda, film-film itu bisa mengubah citra masyarakat Eropa yang selama ini digambarkan sebagai masyarakat beradab, berpendidikan, taat hukum, dan lain-lain.

Untuk itu, pada 1916, diterbitkanlah undang-undang bernama Ordonansi Bioskop. Isinya adalah pembentukan komisi pemeriksaan film yang hendak diputar di sini. Pada 1919, dibuat undang-undang baru menggantikan undang-undang lama, dengan maksud memperketat film impor dan memperluas keberadaan komisi sensor di daerah-daerah lain.

Intinya, kebijakan sensor ini dimaksudkan untuk meredam citra miring mengenai perilaku orang Barat di mata penduduk lokal. Kekhawatiran ini kemudian dibungkus dengan aturan yang menyatakan bahwa komisi sensor berhak menggunting "film-film yang dianggap merusak kesusilaan umum, ketentuan umum, atau menjadi sebab dari munculnya gangguan umum yang dapat berpengaruh pada lingkungan."

Sayangnya, ketika Indonesia merdeka, kebijakan sensor ini diterima begitu saja dan diteruskan oleh Panitia Pengawas Film. Panitia ini berhak menggunting film dengan kriteria yang sangat umum: melanggar kesusilaan, mengganggu kententeraman umum, dan memberi pengaruh buruk kepada masyarakat. Usmar Ismail, tokoh perfilman kita, termasuk yang kurang sependapat atas diteruskannya kebijakan sensor film ini.   

Jadi, asumsi dasar pemerintah kolonial dan pemerintah era Reformasi sebenarnya masih sama: bahwa masyarakat kita ini masih bodoh. Mereka masih belum bisa membedakan mana fiksi dan mana fakta. Karena itu, mereka harus dilindungi dari tontonan yang (menurut versi pemerintah) kurang baik.

Page 15: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Kini, pada era Reformasi ini, keberadaan LSF masih tercantum dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009. Kemudian, pada 11 Maret lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2014 sebagai pengganti PP Nomor 7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film.

Ada beberapa perubahan substansial terjadi. Misalnya, dalam PP baru disebutkan bahwa LSF merupakan lembaga yang bersifat tetap dan independen yang berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia. Selain itu, LSF bertanggung jawab kepada presiden melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelumnya, dalam PP lama, disebutkan bahwa LSF merupakan lembaga non-struktural. Lalu, dalam PP baru, LSF sekarang dapat membentuk perwakilan di ibu kota provinsi.

Jumlah anggota LSF kini disebut sebanyak 17 orang, yang terdiri atas 12 (dua belas) orang dari unsur masyarakat dan 5 orang unsur pemerintahan. Sementara itu, dalam PP lama, jumlah anggota LSF hanya ditetapkan maksimal sebanyak 45 orang. Dalam PP baru disebutkan bahwa anggota LSF ditetapkan dengan keputusan presiden untuk masa jabatan 4 tahun. Dalam PP lama, anggota LSF diangkat oleh presiden atas usul Menteri Penerangan untuk masa tugas 3 tahun.

Dalam PP baru, faktor usia disebut secara jelas, yakni 35 sampai 70 tahun. Mereka akan diseleksi oleh panitia seleksi yang berasal dari pemangku kepentingan perfilman. Kemudian, menteri mengajukan dua kali lipat jumlah calon anggota LSF kepada presiden. Selanjutnya, presiden mengangkat 17 anggota LSF setelah berkonsultasi dengan DPR. Dalam PP lama, tidak disebutkan secara jelas proses seleksi calon anggota LSF, juga prosedur sampai pengangkatannya.

Lalu, unsur masyarakat sebagaimana dimaksud PP ini adalah mereka yang memiliki kepakaran dalam bidang pendidikan, perfilman, kebudayaan, hukum, teknologi informasi, pertahanan dan keamanan, bahasa, agama, atau kepakaran lain yang relevan. Jumlahnya 12 orang. Adapun unsur pemerintah terdiri atas kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang-bidang terkait.

Ya, sudahlah. Yang penting sekarang bagaimana mendapatkan anggota LSF yang tidak berpikir kolot sekaligus sok tahu. Sebab, yang akan menanggung akibat dari kebodohan itu bukan hanya insan perfilman Indonesia, tapi seluruh rakyat Indonesia. *

Politik Kecemasan

Page 16: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Selasa, 22 April 2014

Munawir Aziz, Peneliti

Panggung politik Indonesia saat ini menggunakan kecemasan sebagai lakon. Kecemasan hadir sebagai metafora untuk membayangkan sebuah bangsa yang gelisah, masyarakat yang gundah. Bagaimana tidak? Di tengah kepungan janji-janji, isu-isu tentang gerakan untuk menggagalkan pemilu bergulir. Usaha penggagalan ini adalah kontestasi antara kekuatan yang saling menyimpan dendam. Dua poros utama saling bertikai di panggung kekuasaan: mereka yang merebut dan mereka yang mempertahankan kekuasaan.

Tentu saja, selalu ada kelompok yang kalah di tengah pertarungan. Selalu ada kelompok yang berusaha memenangi pertandingan. Tapi politik juga menyimpan kemungkinan bahwa mereka yang kalah belum tentu menjadi gagal. Dan mereka yang menang belum tentu merayakan kesuksesan. Artinya apa? Situasi chaos merupakan penanda bahwa dinamika politik menjadi instrumen utama dalam perebutan kekuasaan.

Pemilu legislatif sudah usai digelar pada 9 April lalu. Peta penguasa berubah, partai yang dalam satu dekade mendominasi kekuasaan harus rela berada di deretan tengah. Sebaliknya, partai yang pada dua periode pemerintahan kemarin menjadi oposisi masuk sebagai petarung utama. Selalu saja ada konsekuensi-konsekuensi dari pertarungan politik. Pada titik inilah pertarungan sesungguhnya terjadi. Kekuasaan selalu memberi ruang untuk kompromi. Pada celah inilah koalisi menemukan maknanya.

Satu dekade kekuasaan partai biru menghasilkan sejarah tentang dinamika masa reformasi. Mereka yang pernah menjadi panglima saat ini harus rela menjadi prajurit, bahkan tidak boleh lagi ikut berlaga dalam gelanggang. Mereka yang tersingkir inilah yang kemudian mengalami stres dan kehilangan spirit. Bahkan, di sisi lain, mereka menghimpun kekuatan untuk mengacaukan peta kekuasaan. Inilah akar dari kekisruhan politik dalam lima abad terakhir, dari masa Majapahit, Demak, Pajang, hingga kekuasaan Mataram. Yang tersingkir akan berusaha membalas dendam dan mengerahkan keributan. Dan tentu saja, politik tidak ditujukan bagi orang-orang yang kalah dan menyerah.

Kecemasan lahir dari upaya untuk mengacaukan keamanan, menggoyang stabilitas politik. Kecemasan menjadi efek samping dari pertarungan kekuasaan yang tak pernah berakhir. Kekuatan-kekuatan militer, intelijen, ekonomi, dan kultural menjadi bagian dari instrumen yang kemudian dipanggungkan sebagai episode politik. Dari kekuatan itulah politikus saling menyerang dengan menggunakan amunisinya.

Jika direnungkan secara mendalam, sejatinya politik adalah alat (wasilah), bukan tujuan (ghayah). Mereka yang salah membedakan alat dan tujuan akan kehilangan visi. Kemudian,

Page 17: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

visi yang tak tepat sasaran akan menghasilkan eksekusi yang gagal. Jika demikian, yang muncul adalah politikus-politikus tanpa ide. Politikus yang bingung untuk memainkan perannya, karena gagal menginspirasi, akan memiliki konsep yang tanpa isi dan kalap dalam eksekusi.

Inilah wajah politik kita saat ini? Semoga barisan politikus yang menduduki kuasa legislatif dan eksekutif adalah mereka yang "waras di zaman edan". Bukan sebaliknya. * 

Doremifasol Sudjojono

Page 18: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Selasa, 22 April 2014

Agus Dermawan T., Pengamat Budaya dan Seni

Pada 6 April 2014, ketika bangsa Indonesia bersiap-siap memasuki bilik pemilu legislatif, di Hong Kong terjadi keriuhan prestasi. Lukisan seniman Indonesia, S. Sudjojono (1913-1986), terbeli di biro lelang Sotheby's dengan hammer price HK$ 58,36 juta, atau sekitar Rp 85,7 miliar. Atau terbayar sekitar Rp 100 miliar ketika ditambah premium 21 persen. Lukisan berukuran sekitar 2 meter itu berjudul Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro, ciptaan 1979. Pencapaian ini mengalahkan harga lukisan Lee Man Fong, Bali Life, yang terbeli seharga HK$ 35,9 juta pada lelang Christie's Hong Kong, November 2013.

Pencapaian mengejutkan itu lantas membawa masyarakat seni Asia menengok Indonesia dengan sejumlah pertanyaan. Bagaimana mungkin di negeri yang mengkonsentrasikan seluruh dayanya kepada pengembangan ekonomi, seraya agak melupakan pembangunan infrastruktur kesenian, mampu melahirkan seniman berkualitas tinggi? Bagaimana mungkin di negeri yang gemar memperdaya kesenian dan seniman sebagai alat politik, mampu menelurkan karya begitu reputatif?

Bagi saya, reputasi mutu (dan harga) lukisan Sudjojono berkait erat dengan cara berpikir pelukisnya, yang kemudian bermuara pada metodologi penciptaannya. Sudjojono selalu mengatakan bahwa seorang pelukis sejati sebaiknya berangkat dari realis. Karena dengan basis realis itu, pelukis terpaksa belajar semua unsur kesenilukisan dari dasar. "Pelukis itu seperti pemain piano. Sebelum masuk ke nada dan irama, sebelum memainkan aransemen, harus tahu doremifasollasi dulu."

Sudjojono mengatakan bahwa do itu penguasaan seluk-beluk bentuk. Re itu pencerapan karakter makhluk hidup dan benda-benda. Mi itu pengetahuan atas situasi obyek dalam satu momen. Fa itu penghayatan atas suasana yang melingkupi obyek. Sol itu pengelolaan warna. La itu kemampuan menghadirkan semua unsur dalam rangkuman yang mampu bicara. Si itu kemampuan meringkus isi kanvas dalam harmoni. Apabila semua unsur dasar itu sudah bunyi, lukisan pun jadi.

Ihwal penguasaan doremifasol itu memang tampak pada lukisan-lukisannya. Dalam melukis makhluk hidup, ia sangat menguasai aspek anatomi secara rinci. Dalam melukis benda, ia memahami karakter dan sifat-sifatnya. Semua itu lantas dirangkum dalam sebuah kejadian bersuasana, yang ujungnya menawarkan cerita.

Sudjojono ternyata memetik pelajaran ini dari para politikus sejati. Ia memberi contoh betapa Churchill lebih dulu menghayati akar kehidupan dan dasar hati-pikiran rakyatnya sebelum memimpin bangsa Inggris.

Page 19: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, sampai Tan Malaka juga melakukan hal yang sama. Mereka mempelajari sisik-melik bangsanya dengan sangat teliti. Mereka mengeja cermat lapisan-lapisan aspirasi bangsanya. Apa yang mereka pelajari itu lantas dikomposisi satu per satu, sampai akhirnya jadi lukisan besar berwarna-warna yang bernama Indonesia.

Keseriusan meniti pernik politik bagai yang direfleksikan seni lukis Sudjojono, kini nyaris tidak ada dalam jagat politik Indonesia. Sekarang siapa pun merasa bisa jadi politikus. Siapa pun merasa mampu jadi wakil atau pemimpin rakyat, meski tak pernah belajar serius doremifasolnya rakyat. Itu yang menyebabkan politik Indonesia cenderung murah harganya. Dan sulit untuk laku apabila dilelang di negeri mana pun! *

Gerakan Literasi Lokal

Page 20: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Selasa, 22 April 2014

Agus M. Irkham, Pegiat Literasi

Pertengahan April lalu, ada acara temu pegiat literasi dan pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di Rumah Belajar MEP, Jombang, yang dihadiri para aktivis literasi, pegiat budaya baca, dan pengelola TBM dari Bojonegoro, Sidoarjo, Tulungagung, Malang, Surabaya, dan Lumajang.

Menariknya, yang hadir bukan hanya pengelola TBM, tapi juga para penulis lokal. Di antaranya, Suharyo A.P. (penulis 45 buku); Henri Nurcahyo, penulis puluhan buku, buku terakhirnya Teater Sepakbola Indonesia (ditulis bersama Teguh Wahyu Utomo); dan Siwi Sang, penulis buku sejarah kontroversial Girindra.

Secara khusus, saya--menjadi narasumber--berbicara tentang proses kreatif menulis dan peran penulis dalam menggerakkan budaya membaca dan terutama menulis di TBM. Menulis, yang sebelumnya merupakan aktivitas yang bersifat personal dan sangat individual, setelah dicangkokkan dalam kegiatan TBM, harapan saya akan menjadi kegiatan komunal dan menjadi sarana belajar bersama.

Menulis bukan lagi semata-mata aktivitas yang berorientasi pada kekaryaan yang bersifat fisikal (buku), tapi sekaligus menjadi sarana dan jembatan sekaligus bagi masyarakat untuk semakin mengenal lingkungannya. Karena, bagaimana akan timbul rasa cinta dan memiliki jika kenal saja tidak? Jadi, rasa cinta Tanah Air dalam konteks keindonesiaan hakikatnya dapat ditumbuhkan dan dimulai dari yang paling dekat dengan kita.

Para penulis bisa ambil bagian dalam gerakan literasi lokal dengan menyelenggarakan kelas-kelas penulisan di TBM; menyelenggarakan bengkel penulisan dan klub-klub menulis; menemani dan membimbing para pengelola TBM serta masyarakat di sekitar TBM untuk belajar menjelajah makna kata; bersama-sama menziarahi dan mengakrabi sejarah kehidupan terdekat kita. Gerakan literasi lokal adalah sebuah gerakan yang diprakarsai oleh para pengelola TBM, yang berpamrih hendak menjadikan warga dan tanah yang ia pijak, udara yang ia hirup, dan air yang ia minum sebagai subyek sejarah, bukan obyek.

Hakikat gerakan literasi lokal ini senapas dengan gerakan menulis sejarah kampung. Dalam buku Ngeteh di Patehan: Kisah Beranda Belakang Keraton Yogyakarta (2011), Muhidin M. Dahlan menulis paling kurang ada tiga landasan mengapa menulis sejarah kampung-berarti juga gerakan literasi lokal-ini penting. Pertama, bentuk upaya memberdayakan warga sebagai subyek yang otonom dalam memberikan makna baru bagi kampung mereka, baik dalam segi sejarah maupun potensi-potensi yang ada dalam kampung.

Page 21: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Kedua, memberi kesempatan kepada generasi sebuah zaman dalam komunitas warga untuk memberikan kontribusi positifnya, khususnya bagi penggalian, pengolahan, maupun pandangan masa depan atas sebuah masyarakat. Dengan demikian, diharapkan tumbuh cara berpikir historis (manusia yang berkesadaran sejarah). Ketiga, masyarakat bisa membandingkan kegagalan dan keberhasilan masa lalu kampungnya dengan situasi kekinian.

Gerakan literasi lokal ini telah berlangsung di banyak tempat. Mulai dari Kediri (Jawa Timur), Donggala (Sulawesi Selatan), Manokwari (Papua Barat), Majalengka (Jawa Barat), Labuhan Batu (Sumatera Utara), Solo (Jawa Tengah), Lubuklinggau (Sumatera Selatan), hingga Serang (Banten). Dari kampung masing-masing, mereka memberikan pandangan pertama untuk jatuh cinta kepada Indonesia kita.?

Jokowi dan Memorie van Overgave

Page 22: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Rabu, 23 April 2014

J.J. Rizal, Sejarawan, @JJRizal

Pada 25 November 1632, Souw Beng Kong dan para pengusaha serta pemimpin orang Cina di Batavia mempersembahkan medali kepada Gubernur Jenderal Jaques Specx. Saat itu Specx baru mengakhiri masa jabatannya. Meskipun singkat memimpin Batavia, Specx, yang memerintah pada 1629-1632, dianggap telah memberikan banyak keuntungan. Ia sodorkan proyek pembangunan kanal, tembok benteng, pemungutan pajak, pemasokan kebutuhan kota dan bahan perdagangan, kepada orang Cina sebagai kontraktornya.

Selang 382 tahun kemudian, pada 13 Maret 2014, di tempat yang sama yang kini disebut Kota Tua Jakarta, peristiwa itu diulang oleh Lin Che Wei, salah seorang pengusaha dan ahli ekonomi yang tergabung dalam konsorsium revitalisasi Kota Tua Jakarta. Mereka memberi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, medali emas. Menurut berita, Lin Che Wei menyatakan pemberian medali itu spesial karena mengait kebiasaan gubernur yang telah menyelesaikan tugasnya ketika zaman Belanda.

Tentu spesial. Sebab, Jokowi belum melepas tugas gubernur. Terlebih karena semasa kuasa Belanda, setelah Specx, tiada lagi gubernur jenderal yang mendapat medali seusai menjabat. Tapi sedikit yang tahu Specx sudah mendapat surat recall dari Heeren XVII alias para penguasa Kompeni pada 17 Maret 1632. Specx ketahuan tak beres kerja ketika menjabat di Firando, Jepang. Apalagi, selama menjabat di Batavia, hanya tiga kali Specx bikin laporan kerja. Alhasil, tiada bahan pasti yang dapat dijadikan rujukan kinerja Specx selain puja-puji elite Cina.

Tulisan ini tak hendak membandingkan Jokowi dengan Specx. Tujuannya menyorot tradisi yang menyejarah dan baik dari masa Belanda yang hilang. Tradisi yang lebih penting daripada menyerahkan medali, yaitu adat bahwa setiap pejabat Kompeni kudu bikin laporan kerja. Ketika Kompeni bubar pada akhir abad ke-19, tradisi itu dilanjutkan pemerintah Hindia Belanda. Sohor bilamana seorang residen--kini setingkat gubernur--akan melepas jabatan, maka ia mesti bikin Memorie van Overgave atau naskah serah-terima berisikan laporan pertanggungjawaban kerjanya yang menyeluruh.

Memorie van Overgave ini diadatkan agar ada referensi bagi pejabat yang menggantikan. Dari beberapa Memorie van Overgave yang dibuat Residen Batavia periode awal abad ke-20, terlihat bagaimana masing-masing residen memfokuskan program kerjanya. Sebut saja Residen P. De Roo de la Faille (Agustus 1916-Februari 1919) yang berbasis laporan residen sebelumnya, Rijfsnijder, mengkreasikan tindakan baru yang membuatnya dikenang sebagai residen cemerlang. Berkat laporan De la Faille, pejuang rakyat, M.H. Thamrin, punya basis argumen di gemeente Batavia dan Volkraad.

Page 23: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Setelah proklamasi 1945, adat bikin Memorie van Overgave lenyap. Ali Sadikin menghidupkannya kembali ketika akan turun pada 1977. Pejabat penggantinya diharapkan tahu apa-apa yang sudah dan apa yang harus dikerjakan. Selain itu, sering dilupakan, tujuannya juga "untuk menjawab hal-hal yang biasa dipertanyakan" rakyat Jakarta dan para pengkritiknya. Selama 10 tahun Bang Ali memimpin Jakarta, pers bikin banyak liputan. Itu mencerminkan kerjanya, tapi bukan yang sebenarnya. "Mencuplik kadar sensasionil kerja saya dapat memperoleh gambaran sepihak tentang kenyataan sesungguhnya dari jejak yang saya tinggalkan," katanya dalam pengantar Memorie van Overgave dirinya yang kemudian diedarkan luas sebagai buku Gita Jaya.

Sampai di sini, Bang Ali menolak citra keliru dan berlebihan pers. Ia ingin bicara langsung dan tak sepotong-sepotong kepada para pelanjut, para pengkritik, serta rakyat Jakarta. Ia ingin meyakinkan via Gita Jaya bahwa ia merakyat bukan hanya karena getol-istilah Rendra-"turun memeriksa keadaan", tapi karena mampu bikin kebijakan strategis yang rinci untuk kepentingan lebih luas dan jangka panjang Jakarta, serta menggerakkan publik bersama birokrasinya untuk mewujudkannya dengan kerja. Sebab itu, ketika ditanya apa yang membuatnya berhasil, Bang Ali menjawab: "Saya bekerja, sayang gubernur yang lain tidak."

Masa Jokowi jauh lebih pendek ketimbang Bang Ali. Tapi keteladanan tidak ditentukan oleh durasi memimpin. Ukurannya kerja. Sebagai gubernur, Jokowi memang kerap bilang, "Saya bekerja siang-malam."

Mari kembali kepada urusan ukuran pokok dan sumber keteladanan seorang pemimpin: kerjanya. Bagaimana cara mendapat garansi Jokowi membuat Memorie van Overgave, agar ide dan hasil kerjanya tak hanya terdokumentasi, tapi juga jadi bukti kerja nyatanya.

Lebih jauh dengan Memorie van Overgave itu, masyarakat pun dapat melihat konsep Jokowi tentang "Jakarta Baru" dan arah pasti untuk mengawal mewujudkannya kelak jika ia terpilih. Setelah itu, semoga dapatlah Jokowi mengikuti jejak Bang Ali mengutip sosok yang mereka kagumi, Sukarno, "dit heeft Ali Sadikin gedaan" (ini yang telah dikerjakan Ali Sadikin) dan kini "dit heeft Jokowi gedaan". *

Menggenjot Kebahagiaan

Page 24: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Kamis, 24 April 2014

Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik

Setiap orang tentu mendambakan kebahagiaan. Di Negeri Abang Sam, mengejar kebahagiaan (pursuit of happiness) bahkan dianggap sebagai hak asasi yang melekat pada diri setiap orang, seperti halnya hak untuk hidup (life) dan memperoleh kebebasan (liberty). Dalam konteks Indonesia, tentu menarik bila kita menyoal: apakah 249 juta penduduk negeri ini sudah hidup bahagia?

Definisi kebahagiaan sangatlah kualitatif, karena menyangkut perasaan atau kondisi emosional yang dirasakan oleh seseorang pada saat tertentu. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kualitas hidup yang tengah dirasakan. Karena itu, pengukuran kebahagiaan bukanlah sesuatu yang mudah. Meskipun tak mudah, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengukur kebahagiaan. Upaya ini didasari oleh kesadaran bahwa kebahagiaan merupakan variabel sosial yang perlu dievaluasi progresnya.

Pada 2012, laporan bertajuk "World Happiness Report" dirilis untuk pertama kalinya oleh PBB. Laporan tersebut menyebutkan Indonesia berada di peringkat ke-83 dalam soal kebahagiaan dari 156 negara yang disurvei. Dalam World Happiness Report 2013, peringkat kebahagiaan penduduk Indonesia naik cukup signifikan dengan menempati peringkat ke-76 dari 156 negara.

Di Indonesia, pengukuran kebahagiaan mulai dilakukan pada 2013 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kebahagiaan diukur melalui tiga dimensi, yakni dimensi personal (pendapatan, tingkat pekerjaan, kondisi rumah, dan aset yang dimiliki), dimensi sosial (hubungan dengan individu lain yang terdekat, termasuk anggota keluarga), dan dimensi lingkungan (keamanan dan hubungan dengan tetangga). Hasilnya baru saja dirilis pada Selasa lalu (15 April).

Hasil wawancara terhadap 9.500 responden yang tersebar di seluruh Indonesia menunjukkan, skor indeks kebahagiaan penduduk Indonesia sebesar 65,11. Artinya, mayoritas orang Indonesia merasa bahagia menjalani hidupnya. Rentang skor indeks berkisar antara 0 (sangat tidak bahagia) hingga 100 (sangat bahagia).

Namun patut diperhatikan, hal ini hanyalah gambaran umum yang sifatnya agregasi atau rata-rata. Skor 65,11 sebetulnya juga menunjukkan proporsi orang Indonesia yang tidak bahagia masih cukup besar. Pasalnya, angka ini tak terlalu jauh dari ambang batas skor ketidakbahagiaan yang sebesar 50.

Hasil survei juga memperlihatkan, pendapatan sangat berpengaruh terhadap tingkat kebahagiaan. Memang, kebahagiaan tidak melulu ditentukan oleh kondisi materi: miskin atau

Page 25: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

kaya. Tapi faktanya, di Indonesia, semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi pula tingkat kebahagiaannya.

Tentunya, pertumbuhan yang diinginkan adalah pertumbuhan inklusif, yang dibarengi dengan pemerataan (growth with equity). Nyaris sepuluh tahun terakhir, kita selalu disuguhi angka-angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, 5-6 persen. Namun, pada saat yang sama, ketimpangan pendapatan kian melebar dan realitas kemiskinan seolah tak banyak berubah.

Data statistik menunjukkan, pada 2013, gini rasio sudah mencapai 0,41. Artinya, ketimpangan pendapatan telah memasuki skala medium, dan pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Sementara itu, sekitar 28,6 juta penduduk negeri ini masih bergelut dengan kemiskinan. Sulit rasanya mereka dapat merasakan kebahagiaan bila untuk memenuhi kebutuhan hidup sebesar Rp 300 ribu dalam sebulan saja mereka sudah kewalahan. *

Menjaga Suara

Page 26: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Kamis, 24 April 2014

Sidik Pramono, Peneliti Pol-Tracking Institute

"Menjaga suara jauh lebih berat daripada mencari suara," begitu kurang-lebih status BlackBerry Messenger (BBM) seorang anggota DPR 2009-2014 setelah 9 April. Pernyataan itu mencerminkan keluhan dari para calon anggota legislatif, termasuk dari banyak inkumben di parlemen, tentang dahsyatnya persaingan internal para calon dalam Pemilu 2014. Kondisi ini bahkan disinyalir lebih berat ketimbang saat Pemilu 2009, apalagi Pemilu 2004. Inilah salah satu konsekuensi dari pemilu dengan sistem proporsional terbuka dan penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak.

Dengan kondisi para calon (secara tidak langsung harus) bekerja sama untuk mengamankan perolehan kursi bagi partainya, penentuan calon menjadi tahapan berikutnya yang krusial. Boleh saja total perolehan suara partai politik (berikut calonnya) tidak berubah, namun pergerakan suara antarcalon dalam satu partai sangat mungkin terjadi. Antarpartai bisa saling kontrol untuk memastikan perolehan kursi mereka tidak hilang ke partai lain. Di lingkup internal, para calon sendirilah yang harus memastikan suaranya tak susut dan beralih ke calon lain dari partainya sendiri. Itulah yang membuat para calon (dan tim suksesnya) pada saat-saat ini tak kalah sibuk di daerah pemilihannya dibandingkan dengan saat kampanye dan hari H pemungutan suara.

Selain karena faktor "saling-menggembosi", bisa jadi perubahan itu terjadi karena kesepakatan sukarela antarcalon sendiri. Keharusan menjaga "marwah" partai, misalnya, menjadikan seseorang fungsionaris partai yang secara struktural memiliki posisi lebih tinggi bisa saja dikatrol perolehan suaranya dengan transfer suara dari calon yang lainnya. Bisa juga karena pertimbangan untuk meloloskan calon yang dinilai sebagai calon terbaik, suara pemilih yang hanya mencoblos tanda gambar partai dialihkan ke calon bersangkutan. Meski sulit dibuktikan, tentunya model seperti itu tidak benar-benar terjadi secara sukarela. Mekanisme penggantian antarwaktu (PAW) di tengah masa jabatan bisa menjadi alternatif kompensasi pengalihan suara tersebut.

Paparan di atas memperlihatkan bahwa popularitas dan elektabilitas ataupun tingkat publikasi di media massa memang penting bagi seorang calon. Namun pertarungan tidak hanya terhenti saat pemilih sudah memberikan suaranya di bilik suara. Tidak ada jaminan bahwa perolehan suara akan mulus sampai ke tahapan penetapan hasil akhir pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum-serta penetapan perolehan kursi dan penetapan calon terpilih.

Seturut dengan rekapitulasi yang bertahap, kesempatan untuk menggugat hasil pemilu pun terbuka dari tingkat tempat pemungutan suara (TPS) sampai ke Mahkamah Konstitusi. Rekapitulasi perolehan suara di setiap tingkatan memungkinkan pengajuan keberatan dan

Page 27: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

koreksi.

Akhirnya, peran rakyat pemilih tentu tidak boleh berhenti sebatas di bilik suara. Menjaga suara semestinya bukan melulu kewajiban para calon yang masih khawatir bisa-tidaknya mereka mendapatkan kursi di parlemen. Rakyat tentu tidak mau diwakili oleh anggota parlemen yang tidak berhak, bukan? *

Islam Yes, Partai Islam No?

Page 28: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Kamis, 24 April 2014

M. Dawam Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi '45, Yogyakarta

Pada awal 1970, dalam pidato halalbihalal bersama Gerakan Pemuda Islam (GPI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Pelajar Islam Indonesia (PII) berjudul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat", Ketua PB HMI ketika itu Nurcholish Madjid mengobservasi gejala yang mencerminkan sikap "Islam Yes, Partai Islam No".

Latar belakangnya adalah bahwa pada masa Orde Baru, partai Islam Masyumi ditolak rehabilitasinya setelah dibubarkan pada 1960, yang diinterpretasikan sebagai pembendungan gerakan politik yang mencita-citakan terbentuknya negara Islam di Indonesia. Sebagai dampak dari politik Islam Orde Baru itu, umat Islam merasa takut terlibat dalam gerakan Islam politik. Situasi Islam politik itu digeneralisasi sebagai gejala penolakan terhadap partai politik Islam.

Pada waktu itu, observasi itu mendapat penolakan langsung dari dua tokoh mantan Ketua PB HMI, yaitu Ismail Hasan Metareum dan Sulastomo, keduanya aktivis PPP yang menggantikan kesimpulan Cak Nur dengan pandangan "Islam Yes, Partai Islam (juga) Yes". Bagi kedua tokoh itu, partai Islam dibutuhkan sebagai alat perjuangan dan media dakwah yang disebut oleh tokoh NU dan mantan Menteri Agama RI, KH Saefuddin Zuhri sebagai "dakwah politik". Pada masa Reformasi, Cak Nur tidak menentang berdirinya partai-partai Islam baru, walaupun ia tidak terlibat di dalam salah satu partai itu.

Dengan demikian, persepsi penolakan terhadap partai Islam itu berkaitan dengan tujuan gerakan Islam politik, yaitu pembentukan negara Islam, melalui penerapan syariat Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan kenegaraan, sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar Partai Masyumi yang juga diperjuangkan oleh semua partai-partai Islam sebagaimana tampak dalam Sidang Konstituante 1958-1959. Pada masa Demokrasi Liberal itu, partai-partai Islam sesungguhnya telah berjuang melalui mekanisme demokrasi.

Kenyataannya, baik pemerintah Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Sukarno maupun pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto tidak melarang partai Islam. Pada masa Demokrasi Terpimpin, tampil dua partai besar Islam, yaitu Nahdhatul Ulama (NU) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Tapi keduanya mendukung pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Pada masa Orde Baru, yang tampil adalah Partai NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Partai Tarbiyatul Islam (Perti). Tapi pada 1973 ketiga partai itu digabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang didukung oleh dua organisasi besar, yaitu NU dan Muhammadiyah. Tapi PPP ini pun diarahkan untuk mendukung pemerintahan Orde Baru, terutama dalam penciptaan stabilitas politik. Dengan demikian, salah satu kebutuhan

Page 29: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

terhadap partai Islam adalah guna memperoleh dukungan politik umat Islam.

Observasi Cak Nur itu disalahpahami sebagai mencerminkan pandangannya yang menolak partai Islam. Padahal, dalam Pemilu 1977, ia terjun langsung dalam kampanye mendukung PPP dengan agenda "Memompa Ban Gembes". Tapi dalam pidato kebudayaan di TIM 1972 yang berjudul "Menyegarkan Pemahaman Pemikiran Islam", ia memang menolak wacana "negara Islam" dan sebagai gantinya menganjurkan wacana mengenai "keadilan sosial".

Sukarno, dalam tulisan polemiknya dengan Mohammad Natsir, tidak menolak Islamisme sebagai ideologi kebangsaan. Tapi ia menolak cita negara Islam, dan di lain pihak menganjurkan perjuangan pemberlakuan syariat Islam secara demokratis melalui partai Islam yang memperbanyak wakil-wakilnya di parlemen agar bisa melakukan legislasi syariat Islam. Dengan perkataan lain, ia menerima Islam yang demokratis. Sikap Sukarno itu dapat dirumuskan sebagai "Negara Islam No, Partai Islam Yes".

Tapi kini, penolakan terhadap partai Islam justru datang dari gerakan sosial Islam sendiri, sebagaimana tampak dalam sikap mereka terhadap penyelamatan partai-partai Islam dalam pemilihan legislatif 2014. Dari seruan MUI yang menganjurkan kepada umat Islam untuk memilih caleg-caleg yang seiman, tersembunyi sikap mereka yang tidak mendukung partai-partai Islam. Dengan demikian, kesan observasi Cak Nur pada awal Orde Baru mengenai gejala sikap "Islam Yes, Partai Islam No" tampak lagi sekarang.

Gejala itu tampak pula dari pernyataan Ketua PB NU yang menolak gagasan poros tengah Islam, karena menurut dia sikap itu menunjukkan primordialisme yang berarti kemunduran dari paham pluralisme yang sudah diikuti oleh NU sejak Gus Dur. Sikap yang sama juga dinyatakan oleh mantan Ketua PP Muhammadiyah dan pendiri PAN, M. Amien Rais, yang menolak gagasan poros tengah partai-partai Islam yang dianggap telah kedaluwarsa dan menganjurkan "koalisi Indonesia Raya" yang merangkul partai-partai kebangsaan.

Sebagai kesimpulan, kini di kalangan Islam pun telah berkembang wacana yang tidak saja meninggalkan cita-cita negara Islam, tapi juga membiarkan hilangnya partai Islam dari bumi Indonesia. *

Buku!

Page 30: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Kamis, 24 April 2014

Bandung Mawardi, Saudagar Buku

Buku adalah senjata melawan ketakutan dan merawat kewarasan. Film The Book Thief dengan sutradara Brian Precival, berdasarkan novel garapan Markus Zusak, mengisahkan kebermaknaan buku bagi bocah saat berlangsung Perang Dunia II. Di Jerman, kaum Nazi sering mengadakan upacara pembakaran buku di ruang publik. Si bocah bernama Liesel melihat dengan sedih dan marah. Seusai upacara, si bocah nekat mengambil sebuah buku dalam kondisi masih berasap dan terbakar di bagian pinggir. Bocah pulang ke rumah bersama buku, mendapati keajaiban meski rawan dihukum oleh kaum Nazi. Ketakutan dilawan dengan buku.

Di Indonesia, bocah-bocah juga mendapati buku sebagai keajaiban, sejak abad XVIII. Buku memicu keberanian menghadapi perubahan zaman, menaruh ketakutan di tepian sejarah. Buku-buku tercetak diperkenalkan oleh bangsa-bangsa asing. Buku mengendarai kapal, bergerak di atas lautan, melintasi negeri demi negeri. Nusantara turut berubah dengan kehadiran buku.

Buku pun menentukan nasib bocah-bocah di Nusantara. Christantiowati (1996) mencatat bahwa buku-buku bacaan bocah memuat maksud hiburan, pengajaran agama, moral, dan intelektualitas. Ketakjuban atas buku memberi rangsangan modernisasi. Dunia ada di dalam buku. Pada 1881, bocah-bocah di Nusantara mendapati cerita agung berjudul Lelampahanipoen Robinson Crusoe berdasarkan saduran A.F. Van de Wall, diterjemahkan ke bahasa Jawa oleh Mas Ngabehi Reksa Tenaja.

Sejarah Nusantara tak melulu berisi tentang perebutan kekuasaan, perang, persaingan dagang, dan eksploitasi rempah. Buku termasuk membentuk dan mempengaruhi sejarah. Bermula dari buku, bocah-bocah bergerak ke ambisi kemodernan. Buku mengubah Nusantara. Adegan membaca mengartikan kesadaran berubah ke arah "kemadjoean". Buku menjadi modal pemodernan, mengajak bocah-bocah mengimajinasikan dunia dengan huruf-huruf. Gairah aksara dan agenda literasi memicu kemunculan ide-ide transformatif. Bagi bocah, buku adalah berkah.

Sekarang, buku-buku perlahan asing bagi bocah. Sistem pendidikan merenggangkan bocah dengan buku. Pengertian buku adalah buku pelajaran dan buku-buku latihan soal ujian. Buku bacaan dipinggirkan oleh buku-buku bermuatan misi "kecerdasan". Nasib ditentukan oleh ketekunan membaca buku pelajaran, sejak SD sampai SMA. Dominasi buku pelajaran dilengkapi dengan buku-buku materi perkuliahan saat angan bernasib baik bergantung pada ijazah dari perguruan tinggi. Buku tak lagi menimbulkan ketakjuban. Buku adalah "teror" dan "imperatif".

Page 31: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Kita tak usah terkejut jika mendapati laporan bahwa murid dan mahasiswa di Indonesia tak memiliki kebiasaan membaca buku-buku untuk penghiburan, pencerahan, pemartabatan. Selama sekolah dan kuliah, daftar buku bacaan selalu rendah. Kenikmatan membaca buku biografi, novel, puisi, dan cerpen digantikan oleh dominasi materi pelajaran dan perkuliahan.

Kita pantas mengingat puisi berjudul Buku gubahan Ramadhan K.H., berisi ketakjuban membaca buku: "Menikmati huruf-huruf, merasuk dalam hatiku." Joko Pinurbo dalam puisi berjudul Ibuku mengingatkan: "Buka hidupmu dengan buku." Hidup bersama buku berarti hidup dengan suluh huruf, bahasa, ide, imajinasi. Buku tak melulu berurusan dengan ujian. Buku membuktikan derajat keadaban dan kesanggupan menjadi manusia berliterasi. Oh, buku....*

Kalah

Page 32: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Kamis, 24 April 2014

M. Alfan Alfian, Dosen Universitas Nasional

Seseorang berkata kepada Sang Guru, "Jabarkan tentang mereka yang kalah." Kemudian Sang Guru menjawab bahwa yang kalah adalah mereka yang tidak pernah gagal. Kalah berarti kita bertekuk lutut dalam peperangan atau pertempuran. Gagal berarti kita tidak meneruskan pertempuran. Kekalahan terjadi ketika kita tidak berhasil mendapatkan sesuatu yang sangat kita inginkan. Kegagalan tidak mengizinkan kita bermimpi.

Penggalan kalimat di atas terdapat dalam novel Paulo Coelho, Manuskrip yang Ditemukan di Accra. Coelho menguraikan kalimat-kalimat bijak Sang Guru kepada penduduk Yerusalem yang plural, ketika kota itu dikepung.

Dalam politik, petuah Sang Guru itu lazim dipakai sebagai pembenaran bagi hadirnya politikus tipe petarung. Misalnya, ketika petinggi partai politik tetap nekat maju sebagai calon presiden, atau setidaknya calon kepala daerah, padahal di atas kertas peluangnya tipis, tim suksesnya membanggakan bahwa dia tipe petarung. Politikus petarung tidak mengenal kekonyolan, walaupun keberaniannya untuk maju ke arena pertandingan politik elektoral hanya untuk "kalah".

Aliran pilihan rasional segera mengecap itu semua kekonyolan. Kalau untuk kalah, mengapa memaksa maju? Tapi pastilah tokoh oligarki yang mampu memaksakan diri untuk tetap maju ke arena politik elektoral adalah sosok perekayasa politik hebat, kalau bukan licin. Kelak, dia akan puas dengan mengatakan dirinya tidak gagal, cuma kalah. Kalah itu pilihan terhormat, ketimbang gagal. Dalihnya memang klop dengan Sang Guru.

Tapi sosok politik beda dengan sosok non atau nirpolitik. Dalam politik, kegagalan atau kekalahan sang sosok berkonsekuensi bagi nasib dan masa depan gerbongnya. Sering kita dengar keluhan beranekaragam, ketika sosok kalah dalam kontes elektoral. Faksi loyalis yang tetap ikut yang kalah punya dalih berbeda, tapi mungkin hakikatnya sama, dengan yang pindah ke "tempat lain". Yang satu berjuang mencari celah untuk tetap eksis, satunya lagi juga beralasan mencari tempat untuk melanjutkan eksistensinya.

Yang membedakan, kesetiaan, kendati dalam politik berarti kefatalan. Yang eksis di tempat lain, yang dipandang tidak loyal, biasanya berujar, bagaimana mungkin engkau tetap setia kepada yang kalah, kalau hanya membuat hidupnya terseok-seok?

Sang Guru memang tidak menjelaskan apakah kesetiaan itu penting atau tidak dalam politik. Tapi, merujuk nasihatnya di atas, dapat dikatakan yang tidak setia adalah yang gagal, bukan yang kalah. Mereka yang masih setia ikut Pangeran Diponegoro sampai detik-detik terakhir

Page 33: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

bukanlah orang-orang yang gagal. Mereka sekadar orang-orang yang kalah. Dan, kalah yang dimaksud nilainya lebih tinggi dari yang gagal.

Para caleg yang jumlah dukungan suaranya tidak mencukupi untuk sebuah kursi, bagaimana menjelaskannya? Dari perspektif Sang Guru, mereka kalah, tapi tidak gagal. Tapi, yang kalah masih bisa dipilah. Kalah tanpa "politik uang" nilainya lebih tinggi, ketimbang yang menang atau kalah tapi tetap dengan menebar uang dan "segala cara". Yang terakhir inilah orang-orang yang gagal.*

Jokowi dan Calon Wakilnya

Page 34: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Kamis, 24 April 2014

Ridho Imawan Hanafi, Peneliti di Soegeng Sarjadi Syndicate

Siapa calon wakil presiden (cawapres) Jokowi? Pertanyaan itu kini menjadi pusat bincang politik nasional. Keingintahuan publik mengenai kandidat pendampingnya membuat ke mana Jokowi melangkah akan ditarik pada duga tanya pemilihan nama. Jokowi memang belum menyebut kepastian nama. Namun, begitu ada yang bertanya dengan sambil menyodorkan nama Jusuf Kalla, Mahfud Md., dan Ryamizard Ryacudu, Jokowi ternyata juga tidak menggeleng.

Sejauh ini tiga nama tersebut banyak diungkap di media sebagai kandidat yang memiliki potensi kuat untuk menjadi pendamping Jokowi pada Pilpres 2014. Mereka diyakini akan menjadi pendamping yang cocok bagi Jokowi. Ketiga tokoh tersebut dinilai memiliki integritas, kompetensi, dan deretan atribut kepemimpinan positif lainnya. Persoalannya, dihadapkan pada alternatif nama-nama mumpuni itu, nantinya hanya satu yang akan dipilih.

Maka, jalan timbang apa yang setidaknya bisa dibaca akan ditempuh untuk menentukan satu nama itu. Beragam pertimbangan bisa diurai. Namun saya mencoba menawarkan dua faktor pembacaan: politik dan personal. Pada faktor politik, pemilihan cawapres Jokowi akan banyak mempertimbangkan faktor partai sebagai pihak yang akan mengusung. Di sini, PDIP merupakan jangkar penentu. Karena tidak memperoleh suara yang cukup untuk bisa mengajukan capres-cawapres, PDIP kemudian menggandeng partai lain.

Satu partai, Partai NasDem, telah berjabat erat dengan PDIP. Dan, ada kemungkinan PDIP juga masih membuka pintu untuk partai lain. Dengan komposisi partai yang bekerja sama dengan PDIP seperti itu, pertimbangan pemilihan nama cawapres tidak lagi menjadi hak utuh PDIP. Partai lain memiliki hak bersuara untuk bersama mempertimbangkan nama cawapres. Dengan demikian, ketiga nama kandidat tidak bisa jika hanya menarik hati bagi PDIP, tapi juga harus memikat bagi partai lain.

Selain itu, faktor politik ini akan melalui pertimbangan bahwa Jokowi dan cawapresnya nanti harus memiliki basis dukungan yang kokoh di parlemen. Karena tidak cukup besar kekuatannya di parlemen jika hanya PDIP dan Partai NasDem, untuk itu cawapres Jokowi perlu sosok yang nantinya bisa mengajak partai politik lain untuk bergabung dalam barisan koalisi PDIP. Ajakan dukungan tersebut bisa sebelum pilpres digelar ataupun setelah pilpres.

Mendapatkan sosok dengan kemampuan memberi garansi keyakinan mendapat dukungan di parlemen bagi pemerintahan Jokowi kelak bukan perkara ringan. Ryamizard bukan tokoh berlatar belakang partai, sementara Kalla dan Mahfud juga bukan tokoh sentral di partai. Namun justru, dalam keterbatasan latar belakang itu, siapa yang berpotensi bisa meyakinkan PDIP dan Jokowi untuk mendapatkan rangkulan partai politik lain adalah salah satu faktor

Page 35: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

krusial untuk dijadikan cawapres.

Yang tak bisa luput dari pertimbangan politik adalah kemampuan elektabilitas (elective ability) cawapres. Artinya, cawapres adalah sosok yang bisa membantu menambah atau menguatkan elektabilitas Jokowi. Atau bisa dengan kata lain, jika salah satu di antara bakal cawapres dipasangkan dengan Jokowi, tidak memunculkan resistensi yang cukup besar di masyarakat. Bukan hanya itu, cawapres Jokowi diharapkan juga bisa diterima oleh banyak kelompok atau elemen kebangsaan.

Pembacaan kedua adalah faktor personal. Sosok cawapres Jokowi tidak bisa menghindari faktor ini. Faktor personal boleh dikatakan menjadi faktor yang di dalamnya termuat hal subyektivitas mutlak sang penimbang. Penimbang politik utama tidak lain adalah Megawati Soekarnoputri dan Jokowi sendiri. Pada Megawati, terdapat faktor penjamin bahwa siapa pun cawapres yang dipilih, tidak sampai menimbulkan gejolak internal di PDIP.

Sebagai unsur penimbangnya, Megawati tampaknya akan banyak menggunakan rekam jejak dan kedekatan pribadi. Unsur yang terakhir ini terkait soal bahwa Megawati ingin memastikan cawapres nanti tidak membuka sedikit celah yang bisa membuat repot Jokowi dan partai koalisi. Sedangkan untuk rekam jejak, Megawati bisa melihat lembar catatan-catatan politik para kandidat cawapres. Salah satunya bisa menyangkut apakah di antara kandidat memiliki catatan pernah bersinggungan dengan diri ataupun partainya atau tidak.

Adapun bagi Jokowi, nama kandidat cawapres harus memenuhi kecocokan kimiawi (chemistry). Sebab, jika Jokowi terpilih, ia dan wakilnya yang sehari-hari menjalankan roda kepemimpinan. Maka diperlukan kombinasi yang saling mengisi dan menguatkan. Kepemimpinan seperti itu hanya bisa dicapai jika keduanya berperan sesuai dengan posisi dan porsi masing-masing. Karena posisi wakil presiden sangat penting, maka tidak bisa jika ia berperan sebagai pelengkap atau ban serep.

Pada ujungnya, pasangan Jokowi dan cawapresnya akan diuji dengan tantangan yang tidak landai. Meskipun saat ini elektabilitas Jokowi belum dikalahkan oleh capres lain, hal tersebut belum cukup menjamin kemenangan. Karena itu, bagi PDIP dan partai koalisinya, bekerja keras pada pilpres 2014 adalah titian yang harus dilewati untuk mendekatkan tujuan. *

Sehari Tanpa Sepatu

Page 36: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Sabtu, 26 April 2014

Musyafak, Staf Balai Litbang Agama Semarang

Sepatu yang baik akan membawamu ke tempat yang baik. Bukan saja sebagai busana pelindung kaki, sepatu dipercaya punya andil dalam perjalanan nasib seseorang. Orang-orang dewasa bekerja atau bersosialita dengan mengenakan sepatu sebagus mungkin demi kenyamanan sekaligus gengsi. Anak-anak sekolahan bersepatu demi kesehatan dan rasa percaya diri. Bagi yang biasa bersepatu, pada 29 April ini Anda ditantang oleh TOMS Shoes-Mycoskie untuk beraktivitas tanpa alas kaki selama sehari. Berani?

Sekilas, gerakan One Day Without Shoes atau Sehari Tanpa Sepatu ini terdengar tak penting dan sensasional belaka. Di balik itu, ada cerita humanistik yang menyentuh tentang anak-anak di berbagai pelosok bumi yang belum bisa merasakan nikmatnya bersepatu.

Alkisah, pada 2006, pelancong Amerika Blake Mycoskie berlibur di Argentina. Sepatu menjadi persoalan dalam hidup Mycoskie ketika dia tahu anak di Negeri Tango itu tak mengenakan sepatu. Mycoskie terenyuh, tersentuh. Ketidakpunyaan sepatu bagi anak-anak dia pandang sebagai masalah yang berdampak cukup serius, semisal mengancam kesehatan dan kerentanan akan infeksi, atau menghambat anak-anak pergi ke sekolah.

Mycoskie ingin membantu mereka. Sempat  dia timbang-timbang untuk menjaring amal secara langsung dari masyarakat, tapi itu dirasa tidak efektif. Uniknya, dia memilih jalan berbisnis untuk beramal. Perusahaan sepatu berlabel TOMS lantas didirikan. Sepatu pertama yang diproduksinya adalah alpagarta, sepatu khas Argentina. Proses marketing pun berjalan dengan iringan slogan amal. Dari satu penjualan sepasang sepatu, TOMS menjanjikan sumbangan sepasang sepatu baru untuk anak-anak di Argentina dan di belahan dunia lain yang membutuhkan. Imbuhan cerita-cerita motivatif Mycoskie juga menjadi magnet tersendiri bagi publik Amerika untuk membeli sepatu TOMS.

Mycoskie sukses menarasikan gerakan bisnis-amalnya: masa depan kesehatan dan pendidikan satu anak turut "terbayar" ketika satu orang membeli sepasang sepatu TOMS. Pada 2010 Mycoskie kembali ke Argentina untuk merayakan penjualan 1 juta pasang sepatu. Kisah itu bisa dibaca dalam memoar yang ditulis Mycoskie, Start Something That Matters (2012).

Kisah-kisah Mycoskie mengingatkan saya pada film Children of Heaven. Film dari Iran itu mengisahkan, betapa sepatu menjadi persoalan yang tak sepele bagi dua bocah kakak-beradik. Kisah tentang sepatu itu menarasikan konflik batin, kekecewaan, harapan, dan semangat anak-anak. Dari Indonesia sendiri, belum lama ini juga terbit film Sepatu Dahlan. Film biografis ini mengisahkan suka-duka seorang anak yang berjuang melewati kemiskinan.

Page 37: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Dahlan kecil biasa berangkat ke sekolah berjalan puluhan kilometer dengan kaki telanjang. Sepatu menjadi salah satu harapan yang penting baginya.

Begitulah, anak-anak sekolah tak bersepatu adalah kisah yang tak asing di negeri kita sendiri. Sampai hari ini, banyak anak di pelosok desa yang belum bersepatu. Mereka berjalan tanpa alas kaki melintasi jalanan terjal atau becek ketika berangkat sekolah. Gerakan Sehari Tanpa Sepatu yang digagas Mycoskie adalah untuk mereka: merasakan derita anak-anak tak bersepatu dan tergerak membantunya. *

Informasi Arkeologi Melalui Situs

Page 38: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Sabtu, 26 April 2014

Djulianto Susantio, Sarjana Arkeologi

Pekerjaan arkeologi (ilmu purbakala) yang disebut ekskavasi (penggalian) terbilang sangat khas. Ekskavasi dilakukan dengan metode khusus, lengkap dengan pencatatan dan perekaman.

Sesuai dengan amanat undang-undang, ekskavasi hanya boleh dilakukan oleh instansi arkeologi atau dengan pengawasan arkeolog berkompeten. Karena kegiatan arkeologi dibiayai oleh pajak masyarakat melalui APBN/APBD, proses dan penelitian tersebut harus dipublikasikan.

Pada 1970-an, di dunia Barat berkembang ilmu public archaeology (arkeologi publik). Prinsip dasar ilmu ini adalah "masa lalu milik setiap orang". Tentu bukan berarti setiap orang boleh merusak warisan-warisan masa lalu. Namun perusakan warisan-warisan masa lalu masih terjadi hingga kini. Penghancuran bangunan lama, penggalian liar untuk mencari harta karun, dan corat-coret (gravitisme/vandalisme) merupakan sebagian kecil dari tindakan negatif yang teridentifikasi.

Tindakan negatif itu mungkin terjadi karena kurangnya informasi atau sosialisasi yang diberikan oleh pihak arkeologi. Misalnya Pusat Arkeologi Nasional dengan Unit Pelaksana Teknis Balai Arkeologi di bidang penelitian dan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman dengan Unit Pelaksana Teknis Balai Pelestarian Cagar Budaya di bidang pelestarian. Di luar itu ada dinas terkait, Balai Pelestarian Nilai Budaya, kampus, dan museum-museum di sejumlah daerah.

Pada zaman modern ini, publikasi dan apa pun bentuk komunikasi tidak bisa dilepaskan dari komputer dan Internet. Internet bersifat cepat dan murah, bahkan bisa diakses kapan saja, oleh siapa saja, dan di mana saja. Masyarakat atau publik seharusnya berhak menuntut para arkeolog untuk menginformasikan apa yang telah dikerjakannya dan manfaat apa yang mereka dapatkan terhadap hasil penelitian tersebut (Tjahjono Prasodjo, 2004).

Arkeolog Defri Elias Simatupang (2008) mengatakan ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh instansi pemerintah dengan memiliki laman, antara lain untuk memperkenalkan profil instansi, sehingga memiliki nilai jual di mata masyarakat global; sebagai media untuk menginformasikan data, dan sebagai media untuk mengembangkan database berbagai data penelitian.

Pada masa kini jelas laman ataupun blog merupakan ujung tombak penyampaian informasi kepada khalayak. Hal itu pernah disampaikan arkeolog muda Harry Octavianus Sofian dalam

Page 39: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

kegiatan Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (2011).    

Sebenarnya sejumlah instansi pernah dan masih punya laman arkeologi. Namun kelangsungan hidup laman sering terganggu karena ketidak-profesionalan pengelolanya. Biasanya laman tersebut hanya muncul pada tahun anggaran tertentu. Setelah itu mati karena pengelola tidak memperpanjang (membayar) iuran tahunan.

Ironisnya lagi, pengelolaan laman dilakukan oleh pihak ketiga melalui sistem tender (lelang), sehingga penyampaian informasi kurang bisa dipertanggungjawabkan. Kalaupun ada laman yang hidup, biasanya jarang melakukan pembaruan (update) tulisan. Sebuah laman milik instansi tertentu pernah bergonta-ganti domain karena sistem lelang itu. Pemborosan ini terjadi karena laman mati-hidup berkali-kali. Laman sesungguhnya bisa dibangun oleh SDM setiap instansi yang memiliki kemampuan khusus. Pilihan lain adalah bekerja sama dengan penyedia jasa yang berkualitas.*

Aceh Didikte, Aceh Bangkit

Page 40: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

Sabtu, 26 April 2014

Aboeprijadi Santoso, Wartawan

Agustus 2008: Tgk Muhammad Usman Lampoh Awe (alm.), tokoh kepercayaan Hasan Tiro, menggambarkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah Perdamaian Helsinki (2005) bagai "kapal oleng: ada ombak dari depan, ada angin dari samping, ada ribut di belakang. GAM seperti kapal yang harus tetap menuju tujuan ..." Seputar pemilihan legislatif 2014, kiasan itu bak dejavu. Partai Aceh (PA), partai bekas GAM, merosot, tapi masih dominan. Golkar, Demokrat, NasDem menyusul dan parlok (parpol lokal) eks GAM yang bersitegang dengan PA, Partai Nasional Aceh (PNA), berada di peringkat rendah. Di basisnya, Pidie, Aceh Besar, dan Aceh Timur, PA kokoh, tapi PNA tidak.

Hampir satu dasawarsa setelah perdamaian, kedua kubu eks-GAM bersaing untuk membangun Aceh. Gubernur Tgk Zaini Abdullah menunjuk tak kurang sembilan pasal Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) untuk melaksanakan MoU Helsinki yang lama dinanti, tapi tak dituntaskan pusat. Padahal ini seputar kewenangan dan sumber daya migas, antara lain soal batas laut 200 mil untuk eksplorasi minyak lepas pantai Simeuleu.

Ada apa di balik kealotan Jakarta? Apa yang dirujuk sebagai kealotan dan kecurigaan itu kentara dalam keamanan. Setiap letupan kekerasan sejak 2009, tersangkanya boleh jadi pihak lokal, tapi orang mafhum: ada aparat "bermain". Itu sebabnya anggaran dan jumlah tentara serta polisi bertambah. Aceh menjadi "Serambi Kekerasan" yang tak pernah absen dalam daftar provinsi dengan perhatian khusus. Pada 2009 hingga Pilkada 2012, serangan organisasi tanpa bentuk (OTB) meningkat.

"Operasi Soenarko" itu bersamaan dengan menajamnya perpecahan eks-GAM tadi. Pangdam asal Kopassus tersebut menjelang Pilkada 2012 membidani tampilnya Partai Gerindra di Aceh dan menggalang suara tambun bagi PA dari Aceh Tengah yang sarat milisi anti-GAM. Ini menjamin kemenangan besar PA menggusur Irwandi Yusuf dari kursi gubernur. Di lain pihak, perkongsian Gerindra-PA dinilai perlu karena melindungi PA dari kecurigaan terus-menerus dari Jakarta tentang "agenda kemerdekaan". Gerindra juga memasok dana miliaran rupiah. Pada gilirannya, perkongsian strategis itu menjamin suara Aceh bagi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014. Strange bedfellows mengingat cacat HAM pada Prabowo pada 1980-an. Bagi Aceh, perkongsian ini sama pentingnya dengan perkongsian PA dengan Partai Demokrat lima tahun sebelumnya yang menyumbang bagi kemenangan besar Susilo Bambang Yudhoyono pada Pilpres 2009. Pola aliansi ini menjamin stabilitas hubungan pusat dan Aceh.

"Ombak dari depan, angin dari samping, ribut di belakang" terus mengguncang Aceh. "Ombak" datang dari Jakarta, "angin" dari persaingan lokal, tapi "ribut di belakang" itu

Page 41: caping + cari angin + kolom tempo 20.4.2014-26.4.2014

berkisar mantan kombatan. "Janganlah melepas harimau liar," seorang aktivis menghardik Wiranto ketika jenderal ini mencabut DOM. Seusai perang, petani dan gerilyawan menjadi warga sipil, tapi itu memerlukan infrastruktur penghidupan. MoU Helsinki menyepakati perlengkapan hidup bagi 3.000 mantan kombatan, padahal jumlah mereka jauh lebih besar.

Para peneliti menilai ada transisi "kombatan menjadi kontraktor", tapi ini hanya separuh kenyataan. Sejumlah eks panglima GAM pada masa Gubernur Irwandi menjadi kontraktor ketika BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi) menopang Aceh dengan proyek-proyek. Sebagian hidup dari fee, tapi ini tak menjangkau ribuan anak buah para panglima tersebut. Mereka menjadi reservoir bagi penguasa yang menguasai sumber daya. Walhasil, bila semula kontraktor menjamur, kini pada masa Gubernur Zaini, sejak para mantan panglima wilayah GAM "dipecat" dan anak buahnya "lepas" dari struktur, mereka menjadi potensi rawan.  

Bila "ombak" Jakarta dan perkongsian tadi memenangkan PA dalam Pilkada 2012, pembubaran struktur kombatan bukan hanya mengguncang loyalitas, tapi juga mengalihkan relasi klientelisme ke penguasa baru: PA. Di bawah PA, Aceh disebut nyaris jadi one party-state. Seorang petinggi PA menuai onar ketika mengancam warga agar "keluar dari Aceh bila tak suka PA". Maka pemilihan legislatif 2014 dapat mengukur seberapa jauh suara elektorat menjadi pembelajaran ataukah hukuman atas tendensi otokratik. Layaknya demokrasi yang sehat, Aceh perlu oposisi yang mampu mengimbangi penguasa. Selama dua kubu eks GAM dalam imbangan yang timpang, ruang akan terpelihara bagi pihak ketiga untuk bermain: mendikte atau berkongsi.

Aceh juga sebuah kisah kebangkitan. Di daerah dengan UMP tertinggi ini lapisan menengah bertumbuh-kembang. Ada mantan kombatan yang sukses berbisnis--semacam Tgku Jamaica dan Tgku Batee--dan bakal siap jadi politikus. Unsur-unsur civil society mengisi kader parpol.

Walhasil, Aceh bukan cerita kegagalan. Momok Leviathan silih berganti sosok di Aceh: Hindia Belanda memeranginya, Sukarno memasukkan Aceh dalam provinsi Sumatera Utara, lalu Orde Baru beringas. Perdamaian Helsinki telah menjadi berkah milik rakyat Aceh. Mencurigai Aceh sama dengan memusuhi berkah tersebut. Yang perlu, saran Tgk Rafli, "mewakafkan keikhlasan" agar "Aceh dapat tampil dinamis dengan roh ke-Aceh-an dan roh peradaban". *