case epididimitis
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. E
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 21
Agama : Islam
Pekerjaan : TNI AD
Alamat : Bogor Utara RT. 3/9
Tanggal masuk RS : 17 Juni 2013
Tanggal pemeriksaan : 17 Juni 2013
Anamnesis
Alloanamnesis
Keluhan utama : nyeri pada kantung kemaluan
Keluhan tambahan : benkak pada kantung kemaluan
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien dating dengan keluhan nyeri pada kantung kemaluan sejak 3 hari
yang lalu. Nyeri dirasakan terus menerus dan bertambah saat melakukan aktivitas.
Selain nyeri pasien juga mengeluhkan bengkak pada kantung kemaluan sejak 1
minggu yang lalu. Awalnya pasien tidak menyadari pembekakan tersebut sampai
terlihat kantung kemaluan menjadi lebih kemerahan. Pasien juga mengeluhkan
demam sejak 1 minggu terakhir dan diketahui 2 minggu sebelumnya pasien
mengalami pembengkakan pada bagian leher dibawah telinga. BAK tidak ada
keluhan, berhubungan seksual disangkal, trauma pada daerah kemaluan disangkal,
batuk kronis disangkal.
Riwayat penyakit dahulu :
Keluhan serupa disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Keluhan serupa disangkal
Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 76 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,6 °C
Status generalis
Kepala
Bentuk : normocephal
Rambut : hitam, lurus
Mata : tidak terdapat edema palpebra kanan dan kiri
konjungtiva tidak anemis kanan dan kiri
sklera tidak ikterik kanan dan kiri
Hidung : tidak terdapat pernapasan cuping hidung
Mulut : perioral tidak sianosis
Leher
KGB : tidak teraba pembesaran
Trakea : berada di tengah dan tidak deviasi
Thoraks
Paru-Paru:
Inspeksi:
- Bentuk dan gerak simetris dalam statis dan dinamis
Palpasi:
- Sela iga simetris kanan dan kiri
- Fremitus taktil simetris di kedua lapang paru
- Nyeri tekan pada dada (-)
Perkusi:
- sonor pada kedua hemithoraks
Auskultasi:
- Vesikuler di seluruh lapang paru
- Wheezing -/-
- Ronchi -/-
Jantung :
Inspeksi
- Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
- Ictus cordis tidak teraba
Perkusi
- Batas kanan : linea sternalis dextra
- Batas kiri : linea mid clavikular sinistra
- Batas atas : linea parasternalis sinistra ICS III
Auskultasi:
- Bunyi jantung S1, S2, normal, S3 (-), S4 (-), murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi:
- Abdomen terlihat datar
Auskultasi:
- Bising usus (+)
Palpasi:
- Supel
- Tidak terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas
- Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi:
- Timpani pada seluruh lapang abdomen
Ekstremitas
Ekstermitas atas:
- Akral hangat
- Tidak terdapat edema pada tungkai kanan dan kiri
- Tidak sianosis
Ekstermitas bawah:
- Akral hangat
- Tidak terdapat edema pada tungkai kanan dan kiri
- Tidak sianosis
Status lokalis
Regio skrotalis
Inspeksi:
Terlihat bengkak pada scrotum sebesar bola golf, tampak kemerahan
Palpasi:
NT (+), teraba testis membesar sebesar bola golf, konsistensi kenyal pada
bagian belakang testis, nyeri tidak berkurang saat dinaikan
Perkusi:
-
Auskultasi:
Bising usus (-)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Lab darah:
- Hb : 13,4 g/dL
- Hematokrit : 38 %
- Leukosit : 9600 /μL
- Trombosit : 256.000 /μL
Pemeriksaan Radiologi
-
Pemeriksaan EKG
-
Diagnosis Kerja
Epididimitis testis dextra
Diagnosis Banding
Epididymo-Orchitis
Abses skrotum
Hernia skrotalis
Hirokel testis
Penatalaksanaan
Non medikamentosa:
- Bedrest
- Kompres dengan air es
- Edukasi
Medikamentosa:
- Antibiotik : Ciprofloxacin 2x500mg PO
- Analgetik : Asam Mefenamat 3x500mg PO
- Antipiretik : Paracetamol 3x500mg PO
Operative:
-
Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi
Epididimitis adalah suatu kondisi medis yang dalam hal ini terdapat peradangan
pada epididimis (suatu struktur melengkung di bagian belakang testis yang
fungsinya sebagai pengangkut, tempat penyimpanan, dan pematangan sel sperma
yang berasal dari testis). Kondisi ini mungkin dapat sangat menyakitkan, dan
skrotum bisa menjadi merah, hangat, dan bengkak. Ini mungkin akut (tiba-tiba
menyerang) namun jarang menjadi kronis.
2. Epidemiologi
Epididimitis diderita 1 dari 144 pasien laki-laki (0,69 %) pada usia 18-50 tahun
atau sekitar 600.000 kasus pada laki-laki usia 18-35 tahun di Amerika Serikat.
Epididimitis diderita terutama oleh laki-laki usia 16-30 tahun dan usia 51-70
tahun. Dilaporkan baru-baru ini terdapat kasus meningkatnya penyakit ini di
Amerika Serikat yang dihubungkan dengan meningkatnya laporan kasus
Chlamydia dan Gonorrhoeae.
3. Etiologi
Bermacam penyebab timbulnya epididimitis tergantung dari usia pasien, sehingga
penyebab dari timbulnya epididimitis dibedakan menjadi :
Infeksi bakteri non spesifik
Bakteri coliforms (misalnya E coli, Pseudomonas, Proteus, Klebsiella) menjadi
penyebab umum terjadinya epididimitis pada anak-anak, dewasa dengan usia
lebih dari 35 tahun dan homoseksual. Ureaplasma urealyticum, Corynebacterium,
Mycoplasma, dan Mima polymorpha juga dapat ditemukan pada golongan
penderita tersebut. Infeksi yang disebabkan oleh Haemophilus influenza dan N
meningitides sangat jarang terjadi.
Penyakit Menular Seksual (PMS)
Chlamydia merupakan penyebab tersering pada laki-laki berusia kurang dari 35
tahun dengan aktivitas seksual aktif. Infeksi yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrhoeae, Treponema pallidum, Trichomonas dan Gardnerella vaginalis juga
sering terjadi pada populasi ini.
Virus
Virus menjadi penyebab yang cukup dominan pada anak-anak. Pada epididimitis
yang disebabkan oleh virus tidak didapatkan adanya pyuria. Mumps merupakan
virus yang sering menyebabkan epididimitis selain Coxsackie virus A dan
Varicella.
TB (Tuberculosis)
Epididimitis yang disebabkan oleh basil tuberculosis sering terjadi di daerah
endemis TB dan menjadi penyebab utama terjadinya TB urogenitalis.
Penyebab infeksi lain (seperti Brucellosis, Coccidioidomycosis, Blastomycosis,
Cytomegalovirus, Candidiasis, CMV pada HIV) dapat menjadi penyebab
terjadinya epididimitis namun biasanya hanya terjadi pada individu dengan sistem
imun tubuh yang rendah atau menurun.
Obstruksi (seperti BPH, malformasi urogenital) memicu terjadinya refluks.
Vaskulitis (seperti Henoch-Schönlein purpura pada anak-anak) sering
menyebabkan epididimitis akibat adanya proses infeksi sistemik.
Penggunaan Amiodarone dosis tinggi
Amiodarone adalah obat yang digunakan pada kasus aritmia jantung dengan dosis
awal 600 mg/hari-800 mg/hari selama 1-3 minggu secara bertahap dan dosis
pemeliharaan 400 mg/hari. Penggunaan Amiodarone dosis tinggi ini (lebih dari
200 mg/hari) akan menimbulkan antibodi miodarone HCL yang kemudian akan
menyerang epididimis sehingga timbullah gejala epididimitis. Bagian yang sering
terkena adalah bagian cranial dari epididmis dan kasus ini terjadi pada 3-11 %
pasien yang menggunakan obat Amiodarone.
Prostatitis
Prostatitis merupakan reaksi inflamasi pada kelenjar prostat yang dapat
disebabkan oleh bakteri maupun non bakteri dapat mnyebar ke skrotum
menyebabkan timbulnya epididimitis dengan rasa nyeri yang hebat,
pembengkakan, kemerahan dan jika disentuh terasa sangat nyeri. Gejala yang juga
sering menyertai adalah nyeri di selangkangan, daerah antara penis dan anus serta
punggung bagian bawah, demam dan menggigil. Pada pemeriksaan colok dubur
didapatkan prostat yang membengkak dan terasa nyeri jika disentuh
Tindakan pembedahan seperti prostatektomi
Prostatektomi dapat menimbulkan epididimitis karena terjadinya infeksi
preoperasi pada traktus urinarius. Hal ini terjadi pada 13 % kasus yang dilakukan
prostatektomi suprapubik.
Kateterisasi dan instrumentasi
Terjadi epididimitis akibat tindakan kateterisasi maupun pemasangan
instrumentasi dipicu oleh adanya infeksi pada urethra yang menyebar hingga ke
epididimis.
Blood borne infection
Epididimitis terjadi melalui infeksi yang penyebarannya melalui darah dari focus
primer yang jauh, seperti kulit, gigi, telinga, dan tenggorokan.
4. Patofisiologi
Epididimitis merupakan suatu infeksi epididimis yang biasanya turun dari prostat
atau saluran urine yang terinfeksi. Kondisi ini dapat juga terjadi sebagai
komplikasi dari Gonorrhoeae. Pada pria dibawah 35 tahun penyebab utama
epididimitis adalah Chlamydia trachomatis. Infeksi mulai menjalar dari bagian
atas melalui urethra dan duktus ejakulatorius kemudian berjalan sepanjang vas
deferens ke epididimis. Rasa nyeri dirasakan pada unilateral dan rasa sakit pada
kanalis inguinalis sepanjang jalur vas deferens kemudian mengalami nyeri dan
pembengkakan pada skrotum dan daerah lipatan paha. Epididimis menjadi
bengkak dan sangat sakit, suhu tubuh meningkat, menggigil, demam dan urine
dapat mengandung nanah (pyuria) dan bakteri (bakteriuria).
5. Klasifikasi
Epididimitis dapat diklasifikasikan menjadi akut dan kronis, tergantung pada
lamanya gejala.
Epididimitis akut
Epididimitis akut memiliki waktu timbulnya nyeri dan bengkak hanya dalam
beberapa hari (kurang dari enam minggu). Epididimitis akut biasanya lebih berat
daripada epididimitis kronis.
Epididimitis kronis
Epididimitis yang telah terjadi selama lebih dari enam minggu, ditandai oleh
peradangan bahkan ketika tidak adanya suatu infeksi. Pengujian diperlukan untuk
membedakan antara epididimitis kronis dengan berbagai gangguan lain yang
dapat menyebabkan nyeri skrotum konstan, termasuk di dalamnya kanker testis,
urat skrotum membesar (varikokel), dan kista dalam epididimis. Selain itu, saraf-
saraf di daerah skrotum yang terhubung ke perut kadang-kadang menyebabkan
sakit mirip hernia. Kondisi ini dapat berkembang bahkan tanpa adanya penyebab
yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam kondisi seperti ini diperlukan perawatan
yang mungkin agak lama. Hal ini dikarenakan terdapat hipersensitivitas struktur
tertentu, termasuk saraf dan otot, yang dapat menyebabkan atau berkontribusi
pada epididimitis kronis.
6. Manifestasi klinis
Gejala yang timbul tidak hanya berasal dari infeksi lokal namun juga berasal dari
sumber infeksi yang asli. Gejala yang sering berasal dari sumber infeksi asli
seperti duh urethra dan nyeri atau itching pada urethra (akibat urethritis), nyeri
panggul dan frekuensi miksi yang meningkat, dan rasa terbakar saat miksi (akibat
infeksi pada vesika urinaria yang disebut Cystitis), demam, nyeri pada daerah
perineum, frekuensi miksi yang meningkat, urgensi, dan rasa perih dan terbakar
saat miksi (akibat infeksi pada prostat yang disebut Prostatitis), demam dan nyeri
pada region flank (akibat infeksi pada ginjal yang disebut Pielonefritis). Gejala
lokal pada epididimitis berupa nyeri pada skrotum. Nyeri mulai timbul pada
bagian belakang salah satu testis namun dengan cepat akan menyebar ke seluruh
testis, skrotum dan kadang ke daerah inguinal disertai peningkatan suhu badan
yang tinggi. Biasanya hanya mengenai salah satu skrotum saja dan tidak disertai
dengan mual dan muntah. Selain itu bisa juga disertai dengan pembengkakan dan
kemerahan testicular dan/atau scrotal dan urethral discharge. Gejala lain yang
mungkin ditemukan antara lain benjolan di testis, pembengkakan testis pada sisi
epididimis yang terkena, pembengkakan selangkangan pada sisi yang terkena,
nyeri testis ketika buang air besar, keluar nanah dari urethra, nyeri ketika
berkemih, nyeri ketika berhubungan seksual atau ejakulasi, darah di dalam semen,
dan nyeri selangkangan.
7. Pemeriksaan diagnostik/penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap dimana ditemukan leukosit meningkat dengan shift to
the left (10.000-30.000/ µl).
Sperma analisa dimana terdapat leukosit > 1 juta/ml
Kultur semen sebagai konfirmasi untuk mendapatkan kuman penyebab dari
epididimitis.
Kultur urine dan pewarnaan gram untuk kuman penyebab infeksi.
Analisa urine untuk melihat apakah disertai pyuria atau tidak.
Tes penyaringan untuk Chlamydia dan Gonorrhoeae.
Kultur darah bila dicurigai telah terjadi infeksi sistemik pada penderita.
B. Pemeriksaan radiologis
1. Colour Doppler Ultrasonography
Pemeriksaan ini memiliki rentang tentang kegunaan yang luas dimana
pemeriksaan ini lebih banyak digunakan untuk membedakan epididimitis dengan
penyebab akut skrotum lainnya.
Keefektifan pemeriksaan ini dibatasi oleh nyeri dan ukuran anatomi pasien
(seperti ukuran bayi berbeda dengan dewasa).
Pemeriksaan menggunakan ultrasonografi dilakukan untuk melihat aliran darah
pada arteri testikularis. Pada epididimitis, aliran darah pada arteri testikularis
cenderung meningkat.
Ultrasonografi juga dapat dipakai untuk mngetahui adanya abses skrotum sebagai
komplikasi dari epididimitis.
Epididimitis kronis daapt diketahui melalui pembesaran testis dan epididimis yang
disertai penebalan tunika vaginalis dimana hal ini akan menimbulkan gambaran
echo yang heterogen pada ultrasonografi.
2. Nuclear Scintigraphy
Pemeriksaan ini menggunakan technetium-99 tracer dan dilakukan untuk
mengkonfirmasi hasil pemeriksaan aliran darah yang meragukan dengan memakai
ultrasonografi.
Pada epididimitis akut akan terlihat gambaran peningkatan penangkapan kontras.
Memiliki sensitivitas dan spesifitas 90-100 % dalam menentukan daerah iskemia
akibat infeksi.
Pada keadaan skrotum yang hiperemis akan timbul diagnosis negatif palsu.
Keterbatasan dari pemeriksaan ini adalah harga yang mahal dan sulit dalam
melakukan interpretasi.
3. Vesicourethrogram (VCUG), Cystourethroscopy, dan USG abdomen
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui suatu anomali congenital pada
pasien anak-anak dengan bakteriuria dan epididimitis.
8. Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi ditemukan skrotum bisa menjadi merah dan bengkak. Ini mungkin
akut (tiba-tiba menyerang) namun jarang menjadi kronis, dan terdapat pembesaran
skrotum dan isinya, dan terdapat nanah pada urine.
Pada palpasi ditemukan testis pada posisi normal vertikal, ukuran kedua testis
sama besar, dan tidak terdapat peninggian pada salah satu testis. Setelah beberapa
hari, epididimis dan testis tidak dapat teraba terpisah karena bengkak yang juga
meliputi testis. Akan teraba pembesaran atau penebalan dari epididimis secara
keseluruhan, di kauda atau di kaput yang mengindikasikan kuman penyebab
infeksi. Ditemukan juga rasa nyeri yang terlokalisir di epididimis dengan suhu
yang sedikit meningkat karena aliran darah meningkat di daerah tersebut. Kulit
skrotum teraba panas, kenyal, merah, dan bengkak karena adanya edema dan
infiltrate. Funikulus spermatikus juga turut meradang menjadi bengkak dan nyeri.
Hasil pemeriksaan refleks kremaster normal
Phren sign bernilai positif dimana nyeri dapat berkurang bila skrotum diangkat ke
atas karena pengangkatan ini akan mengurangi regangan pada testis. Namun
pemeriksaan ini kurang spesifik.
Pembesaran kelenjar getah bening di regio inguinalis.
Pada pemeriksaan colok dubur mungkin didapatkan tanda prostatitis kronis yaitu
adanya pengeluaran secret atau nanah setelah dilakukan masase prostat.
Biasanya didapatkan eritema dan selulitis pada skrotum yang ringan.
Pada anak-anak, epididimitis dapat disertai dengan anomali kongenital pada
traktus urogenitalis seperti ureter ektopik, vas deferens ektopik, dan lain-lain.
9. Kriteria diagnosis
Epididimitis akan sulit untuk membedakan dari torsio testis (kondisi ketika
saluran spermatika ke kedua testis memotong suplai darah). Keduanya dapat
terjadi pada waktu yang sama. Epididimitis biasanya memiliki bentuk serangan
bertahap. Pada pemeriksaan fisik, testis biasanya ditemukan berada dalam posisi
normal vertikal, ukuran yang sama dengan pasangannya, dan tidak naik tinggi.
Temuan khas adalah kemerahan, hangat, dan pembengkakan skrotum, dengan
kelembutan belakang testis, jauh dari tengah (ini adalah posisi normal dari
epididimis relatif terhadap testis). Refleks kremaster, apabila sebelumnya normal,
akan tetap terlihat normal. Ini adalah tanda yang berguna untuk mebedakannya
dari torsio testis.
Analisis urine kemungkinan normal atau tidak normal. Sebelum munculnya
teknik-teknik canggih pencitraan medis, eksplorasi bedah adalah standar
perawatan. Saat ini USG Doppler adalah tes yang lebih disukai. Hal ini dapat
menunjukkan peningkatan aliran darah (juga dibandingkan dengan sisi normal),
sebagai lawan dari torsio testis. Pengujian tambahan mungkin diperlukan untuk
mengidentifikasi penyebab yang mendasari. Pada anak-anak, sebuah kelainan
saluran kemih sering ditemukan. Pada pria aktif secara seksual, tes untuk penyakit
menular seksual dapat dilakukan. Ini mungkin termasuk mikroskop dan
pembiakan dari sampel urine, Gram strain dan pembiakan dari cairan atau swab
dari saluran kemih, tes amplifikasi asam nuklir (untuk memperkuat dan
mendeteksi DNA atau asam nukleat mikroba lainnya) atau tes untuk sifilis dan
HIV.
10. Diagnosis banding
Diagnosis banding epididimitis meliputi :
1) Orchitis
2) Hernia inguinalis inkarserata
3) Torsio testis
4) Seminoma testis
5) Trauma testis
11. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan epididimitis meliputi dua hal yaitu penatalaksanaan medis dan
bedah, yaitu :
a. Penatalaksanaan medis
Antibiotik digunakan bila diduga adanya suatu proses infeksi. Antibiotik yang
sering digunakan adalah :
Fluoroquinolones, namun penggunaannya telah dibatasi karena terbukti resisten
terhadap kuman Gonorrhoeae.
Cefalosporin (Ceftriaxon).
Levofloxacin atau Ofloxacin untuk mengatasi infeksi Chlamydia, pada kasus yang
disebabkan oleh organisme enterik (seperti E. coli) dan digunakan pada pasien
yang alergi penisilin.
Doxycycline, Azithromycin, dan Tetrasiklin digunakan untuk mengatasi infeksi
bakteri non gonokokal lainnya.
Pada anak-anak, Fluoroquinolones dan Doxycycline sebaiknya dihindari. Bakteri
yang menyebabkan infeksi saluran kemih sering menjadi penyebab epididimitis
pada anak. Kotrimoksasol atau penisilin yang cocok (misalnya Sefaleksin) dapat
digunakan. Jika ada penyakit menular seksual, pasangannya juga harus dirawat.
Penanganan epididimitis lainnya berupa penanganan suportif, seperti :
Pengurangan aktivitas.
Skrotum lebih ditinggikan dengan melakukan tirah baring total selama dua sampai
tiga hari untuk mencegah regangan berlebihan pada skrotum.
Kompres es/kompres dingin pada skrotum untuk mengurangi rasa sakit.
Pemberian analgesik dan NSAID.
Mencegah penggunaan instumentasi pada urethra.
b. Penatalaksanaan bedah
Penatalaksanaan di bidang bedah meliputi :
Scrotal exploration
Tindakan ini digunakan bila telah terjadi komplikasi dari epididimitis dan orchitis
seperti abses, pyocele, maupun terjadinya infark pada testis. Diagnosis tentang
gangguan intrascrotal baru dapat ditegakkan saat melakukan orchiectomy.
Epididymectomy
Tindakan ini dilaporkan telah berhasil mengurangi nyeri yang disebabkan oleh
epididimitis kronis pada 50 % kasus.
Epididymotomy
Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan epididimitis akut supurativa.
12. Komplikasi
Komplikasi dari epididimitis adalah :
1) Abses dan pyocele pada scrotum
2) Infark pada testis
3) Epididimitis kronis dan orchalgia
4) Infertilitas sekunder sebagai akibat dari inflamasi maupun obstruksi dari duktus
epididimis
5) Atrofi testis yang diikuti hipogonadotropik hipogonadism
6) Fistula kutaneus
7) Penyebaran infeksi ke organ lain atau sistem tubuh
13. Pencegahan
Pada saat menjalani pembedahan, seringkali diberikan antibiotik profilaktik
(sebagai tindakan pencegahan) kepada orang-orang yang memiliki risiko
menderita epididimitis. Epididimitis akibat penyakit menular seksual bisa dicegah
dengan cara tidak melakukan hubungan seksual diluar nikah. Apabila epididimitis
yang diderita disebabkan oleh STD (Sexual Transmitted Disease), pasangan atau
partner pasien juga perlu mendapatkan perawatan. Lakukan hubunagn seksual
yang aman, seperti seks monogamy (dengan 1 orang saja), dan penggunaan
kondom akan membantu untuk melindungi dari STD yang dapat menyebabkan
epididimitis. Apabila pasien menderita ISK kambuhan atau faktor risiko lain yang
bisa menyebabkan epididimitis, bisa disikusikan dengan dokter untuk menentukan
cara lain untuk mencegah kekambuhan dari epididimitis tersebut.
14. Prognosis
Epididimitis akan sembuh total bila menggunakan antibiotik yang tepat dan
adekuat serta melakukan hubungan seksual yang aman dan mengobati partner
seksualnya. Kekambuhan epididimitis pada seorang pasien adalah hal yang biasa
terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2008. Epididimitis and Orchitis. American Urology Association.
http://www.urologyhealth.com
Saladdin, Arianto. 2009. Penyakit-penyakit Intraskrotal-Penyakit yang
berhubungan dengan skrotum (kantung buah
zakar)
.http://www.reocities.com/ResearchTriangle/invention/5332/zakar-
nl.html
Reksoprodjo S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara. 1995,
Hal. 331-340.
Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2. Jakarta: EGC.
2005, Hal. 933-934.
http://emedicine.medscape.com