cdk 046 antibiotika

61

Upload: revliee

Post on 07-Jun-2015

3.541 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cdk 046 Antibiotika
Page 2: Cdk 046 Antibiotika

No. 46, 1987

Diterbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma

Daftar Isi : 2. Editorial

Artikel:

3. Pola Penggunaan Antibiotika di Beberapa Puskesmas dan Beberapa Faktor Yang Berkaitan

7. Tetrasiklin, Perlukah Dipermasalahkan ? 11. Pola Resistensi Kuman Streptokokus dari Abses Dentoalveolar

Terhadap Tiga Antimikroba Golongan Penisilin 14. Gambaran Resistensi Kuman Streptokokus dari Abses

Dentoalveolar Terhadap Tiga Antibiotika di Wilayah DKI Jakarta 18. Sensitivitas Kontrimoksazol Terhadap Streptokokus Yang Diisolasi

dari Pus Penderita Abses Gigi Dibandingkan dengan Sulfadiazin 21. Penggunaan Antibakteri Untuk Kasus Infeksi Saluran Nafas Bagian

Atas di Puskesmas 24. Pola Penulisan Resep Antibiotika di Kota Banjarmasin 28. Analisa Residu Tetrasiklin dalam Ayam Broiler

31. Dispepsia Non Ulser 33. Beberapa Aspek Hukum Surat Keterangan Sakit Ditinjau dari

Profesi Kedokteran 36. Darah dalam Tinja Neonatus 40. Etidpatogenesis Sindrom Defisiensi Imun Yang Didapat 44. Pengelolaan Program Imunisasi di Daerah Tingkat II (Kabupaten/

Kota madya) dan Pelaksanaannya di Wilayah Kerja Puskesmas 49. Uji Endotoksin Bakteri Menggunakan Limulus Amoebocyt Lysate

53. Informasi Obat: Ofloxacin: Antibakteri Quinolon Berspektrum Lebar Generasi Baru

55. Hukum & Etika: Tepatkah Tindakan Saudara ? 57. Humor Ilmu Kedokteran 59. Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran 60. Abstrak-abstrak

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Pembiakan bakteri di dalam berbagai media Karya Sriwidodo

Alamat redaksi: Majalah CERMIN DUNIA KEDOKTERAN P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp.4892808 Penanggung jawab/Pimpinan umum: Dr. Oen L.H. Pemimpin redaksi : Dr. Krismartha Gani, Dr. Budi Riyanto W. Dewan redaksi : DR. B. Setiawan, Dr. Bam-bang Suharto, Drs. Oka Wangsaputra, DR. Rantiatmodjo, DR. Arini Setiawati, Drs. Victor Siringoringo. Redaksi Kehormatan: Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro, Dr. R.P. Sidabutar, Prof. DR. B.Chandra, Prof. DR. R. Budhi Darmojo, Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo, Drg. I. Sadrach. No. Ijin : 151/SK/Dit Jen PPG/STT/1976, tgl.3 Juli 1976. Pencetak : PT. Temprint.

Tasi

ulisan dalam majalah ini merupakan pandang-n/pendapat masing-masing penulis dan tidak elalu merupakan pandangan atau kebijakan nstansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis

Page 3: Cdk 046 Antibiotika

Penyakit infeksi masih merajalela di negara-negara sedang berkembang. Demikian pula di Indonesia, radang saluran nafas bagian atas dan bawah, diare, infeksi kulit dan penyakit infeksi lain menempati urutan 10 besar pen yakit di Indonesia. Ini menurut Survai Kesehatan Rumah Tangga tahun 1982.

Antibiotika merupakan satu alternatif untuk melawan penyakit-penyakit infeksi tersebut; walaupun di dalam penggunaannya banyak dijumpai kesimpang- siuran dan salah-kaprah, sehingga problem-problem lain pun muncul, seperti misal-nya resistensi.

Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Farmasi, Badan Penelitian dun Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indo-nesia, mendukung adanva inasalah resistensi di atas. Dan, dari survei terhadap pola penggunaan antibiotika di beberapa Puskesmas pun rnenggambarkan peng-gunaan antibiotika yang kurang rasional. baik menrangkut segi indikasi, pemilihan jenis antibiotika, maupun dosis rang tidak adekuat.

Masalahnva memang tidak sederhana. Rurnit, dan menyangkut berbagai aspek. Tapi, kalau tidak mau diperbaiki mulai sekarang, kapan lagi ???

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 2

Page 4: Cdk 046 Antibiotika

Pola Penggunaan Antibiotika di Beberapa Puskesmas dan

Beberapa Faktor Yang Berkaitan*

Ellen Wijaya, Nani Sukasediati, Retno Gitawati, Umi Kadarwati Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Penggunaan antibiotika yang semakin meluas oleh ber-bagai kalangan, akhir-akhir ini semakin menjadi masalah. Salah satu masalah yang mendapat perhatian adalah resistensi kuman terhadap antibiotika, akibat penggunaan yang kurang terkontrol.

Beberapa survei dilakukan pada 6 puskesmas di Jawa untuk mendapatkan pola preskripsi kasus rawat jalan dan 41 puskesmas lainnya di Jawa dan luar Jawa, untuk mendapatkan pola kebutuhan dan kecukupan obat khususnya anti- biotika. Data kasus rawat jalan dan obat diambil dari tahun 1983.

Survei ini mendapatkan 1761 kartu medik kasus rawat jalan yang memperoleh 7124 obat, di mana 24,9% di antaranya adalah antibiotika sistemik. Dari sekian banyak jenis antibiotika, 4 jenis di antaranya paling banyak digunakan dan dibutuhkan adalah Trisulfa, Tetrasiklin, Kloramfenikol, dan Ampisilin. Beberapa penyakit yang diberi antibiotika sistemik antara lain : infeksi usus dan diare (95,1%), penyakit saluran napas atas (96,7%), influenza (93,1%), infeksi virus lain (100%). Tersedianya antibiotika di puskesmas dinyatakan tidak cukup oleh 28 puskesmas (68,3%). Untuk mengatasi kekurangan obat tersebut selain memberi resep untuk ditebus di apotik luar, sebagian besar puskesmas mengurangi regimen terapi.

Dari hasil di atas, diperoleh kesan adanya penggunaan antibiotika yang kurang rasional, baik indikasi maupun regimen terapi. Penggunaan antibiotikā yang kurang rasional dapat menimbulkan resistensi kuman terhadap antibiotika yang bersangkutan.

Makalah ini disajikan pada Seminar Nasional Antibiotika tanggal 9 – 11 Juni 1987 di ITB (Bandung). *) Berdasarkan Penelitian Pola Penggunaan Obat di Puskesmas, Rumah

Sakit Kelas C dan D dan Penelitian Pola Penggunaan Obat Esensial di Puskesmas yang dilaksanakan oleh Badan Litbang Kesehatan, dibiayai dengan dana WHO dan USAID 1984/1985.

PENDAHULUAN Penggunaan antibiotika yang semakin luas oleh berbagai

kalangan, akhir-akhir ini semakin menjadi masalah. Salah satu masalah yang mendapat perhatian adalah resistensi kuman ter-hadap antibiotika akibat penggunaan yang kurang terkontrol.

Perkembangan resistensi kuman terhadap antibiotika sangat dipengaruhi oleh intensitas pemaparan antibiotika di suatu wilayah. Tidak terkendalinya faktor-faktor pada peng-gunaan antibiotika, cenderung akan meningkatkan resistensi kuman yang semula sensitif1.

Preskripsi obat pada umumnya ditentukan oleh diagnosa penyakit yang ditegakkan. Preskripsi antibiotika diharapkan cukup rasional, meskipun tidak selamanya demikian. Jenis antibiotika yang tersedia di apotik swasta cukup bervariasi, sehingga preskripsi antibiotika dengan mudah dapat dilayani. Namun tidak demikian halnya dengan persediaan antibiotika di puskesmas, jenis antibiotika yang tersedia sangat terbatas, khususnya yang tercantum dalam DOE.

Terbatasnya persediaan obat baik dalam jenis maupun jumlah di puskesmas masih sering dikeluhkan2. Akibatnya tenaga kesehatan mungkin memberikan preskripsi antibiotika yang hams ditebus di apotik luar puskesmas, atau memberi obat sesuai dengan persediaan yang ada. Kemungkinan kedua di atas menyebabkan tidak terhindarkan preskripsi obat yang tidak tepat. Dalam hal pengadaan obat, terutama dalam hal kebutuhan dan kecukupan; perencanaan memegang peranan penting. Tidak adanya tenaga perencanaan yang terlatih, mengakibatkan perencanaan yang tidak berjalan baik.

Berdasarkan hal-hal di atas telah dilakukan penelitian untuk mengetahui gambaran pola penggunaan antibiotika di puskesmas dan mendapatkan pola kebutuhan serta kecukupan-nya. METODOLOGI

Penelitian merupakan suatu survei eksploratif, dilaksana-kan secara retrospektif terhadap :

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 3

Page 5: Cdk 046 Antibiotika

• kartu catatan medik yang berisi pola preskripsi obat dan pola penyakit pada tahun 1983. Diambil dari 6 puskesmas di 3 propinsi di Jawa.

• data kecukupan dan kebutuhan antibiotika pada tahun 1983. Diambil dari 41 puskesmas lain di 14 propinsi di dan luar Jawa.

Jumlah sampel (kartu catatan medik) adalah ± 1800 kasus. Pengambilan sampel secara acak sistematik sampai mencapai jumlah yang ditentukan.

Data yang dikumpulkan berupa : data penyakit, data preskripsi dan data kecukupan-kebutuhan obat (antibiotika). Obat disalin ke dalam fonnulir isian yang dirancang untuk keperluan tersebut.

Pengolahan data dilakukan secara manual dan elektronik dengan komputer. Hasil pengolahan data berupa tabel-tabel frekuensi dan tabel hubungan. HASIL DAN DISKUSI • Pola Penggunaan Antibiotika di Puskesmas

Dari 6 puskesmas yang diteliti, diperoleh 1761 kasus dengan 7124 preskripsi obat; 24,9% (1776 preskripsi) dari padanya merupakan golongan antibiotika. Jadi tiap kasus rata-rata,mendapat 1,4 preskripsi antibiotika. Hasil penelitian itti .juga menunjukkan bahwa preskripsi antibiotika merupakan preskripsi paling tinggi dibandingkan dengan obat lainnya, hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Preskripsi Obat*) Untuk Pelayanan 1761 Kasus di Puskesmas.

Jenis Obat*) Preskripsi Obat N %

1. 2. 3. 4. 5.

Antibiotika sistemik Vitamin, mineral, obat gizi lain Analgetik–an tipiretika Antialergi/antihistamin Liin-lain

1776 1581 1223 957 1587

24,9 22,2 17,2 13,4 22,3

Jumlah 7124 100,00

*) dinyatakan dalam klasifikasi farmakologidan terapi. Jenis antibiotika yang cukup dorninan digunakan di

Indonesia adalah turunan tetrasiklin, penisilin, koramfenikol, eritromisin dan streptomisin. Pola penggunaan antibiotika tersebut telah mencapai tingkat yang berlebihan, dan di antaranya masih digunakan secara tidak tepat1. Pada tabel berikut terlihat, jenis antibiotika yang paling sering dipreskripsi adalah trisulfa (26,1%), dan tetrasiklin (21,7%). Di sampling karena harganya yang relatif murah, hal ini mungkin disebnbkan juga karena hampir semua puskesmas menerima kedua jenis antibiotika tersebut cukup banyak dibandingkan jenis lainnya. Sedangkan antibiotika suntikan, yang banyak diberikan adalah oksitetrasiklin, 18,3%. Injeksi prokain-penisilin dan penisilin–G relatif jarang diberikan; masing-masing 3,6% dan 0,6% saja. Relatif seringnya pemberian suntikan oksitetrasiklin mungkin didasarkan pada pertimbang-an, tetrasiklin memiliki spektrum antibakteri lebih lebar dan lebih jarang menimbulkan reaksi anafilaktik dibandingkan

dengan penisilin. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Preskripsi Antibiotika Generik Sistemik di puskesmas.

Jenis Antibiotika N %

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10.

Trisulfa Tetrasiklin Oksitetrasiklin Ampisilin Kloramfenikol Prokaon-penisilin Sulfaguanidin Penisilin–G Kotrimoksazol Lain-lain

464 385 325 247 210 64 52 11 10 8

26,1 21,7 18,3 13,9 11,8 3,6 2,9 0,6 0,6 0,5

Jumlah 1776 100,0

Dari penelitian diperoleh, jumlah kasus yang mendapatkan

antibiotika adalah 71,4% (1257 kasus) dad seluruh kasus puskesmas; hal ini menunjukkan tingginya penggunaan anti-biotika di puskesmas. Ella dilihat dari jenis penyakit berdasar-kan diagnosa yang ditegakkan, memang terlihat adanya pe-nyakit infeksi yang cukup prevalen, seperti penyakit infeksi usus. Walaupun demikian, penyakit-penyakit saluran napas bagian atas dan influenza ditemukan sebagai jenis penyakit yang paling tinggi frekuensinya dan tidak seluruhnya merupa-kan infeksi bakterial (tabel 3). Tabel 3. Pola Penyakit*) (Diagnosa Utama) di Puskesmas.

Pola Penyakit Jumlah Kasus %

1. 2. 3.

4.

5. 6. 7. 8.

9.

10.

11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

Influenza Penyakit saluran napas bagian atas Penyakit saluran napas lain/bagian bawah dan the paru Penyakit kulit dan jaringan bawah kulit Penyakit infeksi usus dan diare Gejala/tanda kesakitan Luka terbuka, cedera, kecelakaan Kelainan/penyakit pada mata dan ad- neksa Penyakit rongga mulut, kelenjar liur dan gigi Kelainan/penyakit pada telinga dan mastoid Penyakit organ kelamin wanita Penyakit virus Pasca bedah Penyakit infeksi parasit Penyakit kelamin Penyakit lain-lain Tidak ada keterangan.

318 227

211 180

163 168 64

50 34

30

19 13 12 11 4

238 19

18,1 12,9

12,0 10,2

9,3 9,5 3,6

2,8 1,9

1,7

1,1 0,7 0,7 0,6 0,2 13,5 1,1

Jumlah 1761 100,0

*) Pola Penyakit (diagnosa utama) menurut I.C.D.-IX.

Tabel 4 menunjukkan, 93,1% kasus influenza diberi antibiotika. Dibanding dengan hasil survei ASKES 1976 (Vincent dkk.)4, didapatkan 87,5% kasus influenza dari praktek dokter swasta mendapat antibiotika, maka dengan

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 4

Page 6: Cdk 046 Antibiotika

demikian kasus influenza di puskesmas yang mendapat an-tibiotika cukup tinggi. Diagnosa influenza tidak tepat sebagai dasar pemberian antibiotika5,6. Salah satu alasan yang paling sering dikemukakan dalam banyak diskusi yang tidak resmi adalah untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder,-dan hal ini dikerjakan berdasarkan perkiraan bahwa daya tahan tubuh penderita influenza tersebut rendah. Jelas bahwa kebiasaan ini tidak dapat diterima begitu saja. Kecenderungan "peningkatan" penggunaan antibiotika sistemik untuk kasus influenza perlu mendapat perhatian, dan suatu penelitian khusus diperlukan untuk mendapat jawatan atas masalah tersebut. Selain pada kasus influenza, juga diberikan kepada 91,2% kasus penyakit mulut dan gigi. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa kasus penyakit mulut dan gigi yang terbanyak adalah gangguan pulpa, di mana antibiotika sistemik biasa diberikan untuk mengobati infeksi akibat gangrena pulpa tersebut7,8.

Ditemukan pula 13 kasus penyakit infeksi viral yang seluruhnya (100,0 %) diberi antibiotika sistemik, dengan rata-rata setiap kasus mendapat 1,9 antibiotika. Yang termasuk infeksi viral lain diantaranya adalah penyakit cacar air (varicella), herpes zooster, 'campak, gondong dan lain-lain. Di samping itu, terdapat 37,5% kasus dengan gejala dan rasa sakit/nyeri (misal : demam, yang umum menyertai infeksi viral) yang diberi antibiotika sistemik, walaupun belum jelas diagnosa dan etiologi penyakitnya. Pengobatan gejala sakit dengan antibiotika jelas tidak tepat5, dan merupakan penggunaan salah antibiotika yang dapat mencetuskan ma-salah.

Pada tabel di atas juga diperlihatkan lebih jelas, preskripsi antibiotika sistemik paling banyak diberikan untuk penyakit influenza, yaitu 20,5%. Di samping itu penggunaannya untuk penyakit saluran napas bagian atas juga cukup banyak (17,4%), penyakit infeksi usus (14,1%), penyakit tbc paru dan saluran napas lain (12,4%), penyakit kulit dan jaringan bawah kulit (10,8%) dan luka/cedera/kecelakaan (3,2%).

• Pola Kecukupan dan Kebutuhan Antibiotika di Puskesmas Dalam penelitian terdahulu, kekurangan jenis dan jumlah

obat terutama antibiotika telah sering dikeluhkan oleh pus- kesmas2. Hasil penelitian ini. juga mengungkapkan hal yang sama, beberapa jenis antibiotika sistemik masih sangat di- butuhkan oleh hampir semua puskesmas yang diteliti (tabel 5).

Tabel 5. Kebutuhan Beberapa Jenis Antibiotika di Beberapa Puskesmas

Jenis Antibiotika Oral Jumlah puskesmas yang Membutuhkan %

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Kapsul ampisilin Kapsul kloramfenikol Kapsul tetrasiklin Tablet trisulfa Xapsul eritromisin stearat Tablet trimetoprim

41 41 39 41 32 20

100,0100,095,1

100,078,0 48,8

Ampisilin, kloramfenikol dan trisulfa ternyata dibutuhkan oleh semua puskesmas yang diteliti, demikian juga dengan tetrasiklin 95,1% puskesmas menyatakan membutuhkannya. Bila dihubungkan dengan pola penggunaan ke 4 jenis antibioti-ka tersebut memang merupakan yang terbanyak dipreskripsi,

walaupun dalam penggunaannya nampak ada beberapa yang kurang tepat (tabel 2 & 4).

Dilihat dari persediaan antibiotika di puskesmas, hasil penelitian menunjukkan : 28 puskesmas (68,3%) menyatakan persediaan tidak cukup. Pada tabel berikut dapat dilihat lebih jelas kecukupan antibiotika berdasarkan lama penggunaan (tabel 6).

Tabel 6. Jumlah Puskesmas dan Lama Penggunaan Beberapa Antibiotika di Beberapa Puskesmas

Jenis Antibiotika Jumlah Puskesmas

1 – 3 bln. 4 – 6 bln. 7 – 9 bln. >9 bln. JUMLAH1. 2.

3. 4. 5.

ampisilin eritromisin stearat kloramfenikol tetrasiklin trisulfa

5 5

1 0 2

5 3

3 2 3

7 3 4 6 5

5 1

0 6 4

22 12

8 14 14

Secara umum nampaknya persediaan antibiotika tidak mencukupi kebutuhan, rata-rata lama penggunaan kurang dari satu tahun atau kurang dari waktu yang diperkirakan. Seperti ampisilin, dari 41 puskesmas hanya separuhnya yang menyatakan persediaan cukūp untuk satu tahun. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan ketidak-cukupan tersebut. Diantaranya : harga ampisilin relatif mahal sehingga penerimaan jenis antibiotika tersebut relatif lebih sedikit. Lima buah puskesmas menyatakan hanya cukup untuk persediaan 1–3 bulan saja. Lain halnya dengan kloramfenikol, tetrasiklin dan trisulfa; kebanyakan puskesmas menyatakan cukup, dalam hal ini kemungkinan kar8na ke 3 jenis antibiotika tersebut relatif harganya murah sehingga penerimaan lebih banyak. Khusus untuk eritromisin, walaupun hanya 12 puskesmas saja yang menyatakan kekurangan namun bukan berarti puskesmas lainnya menyatakan cukup, sebab ada beberapa puskesmas menyatakan tidak pernah menerima antibiotika tersebut. KESIMPULAN :

Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan : • Pola preskripsi antibiotika di puskesmas mengungkapkan bahwa antibiotika merupakan obat yang terbanyak dipreskrip- si. • Jenis antibiotika yang paling sering dipreskripsi adalah tri-sulfa dan tetrasiklin. Kemungkinan disebabkan oleh harga yang relatif murah atau penerimaan relatif lebih banyak dibandingkan jenis lainnya. • Pada penggunaan antibiotika, masih ada yang dapat di-golongkan irasional, misalnya penggunaan yang cukup banyak untuk kasus influenza, gejala sakit yang belum jelas etiologinya dan kasus lain di mana adanya infeksi bakterial masih belum jelas. • Beberapa jenis antibiotika ternyata sangat dibutuhkan oleh hampir semua puskesmas seperti : ampisilin, kloramfenikol, trisulfa dan tetrasiklin. Hal ini sesuai dengan pola penggunaan di mama antibiotika tersebut memang inerupakan yang ter-banyak dipreskripsi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 5

Page 7: Cdk 046 Antibiotika

• Persediaan ampisilin tidak cukup untuk kebutuhan pus- kesmas, hal ini diungkapkan oleh separuh puskesmas yang diteliti. Kemungkinan disebabkan oleh relatif mahalnya an- tibiotika tersebut, sehingga jumlah penerimaan relatif lebih sedikit

KEPUSTAKAAN 1) Umi K dkk. Pola Resistensi Kuman Kokus terhadap Enam Janis

Antibiotika di Wilayah Jakarta Timur, Kongres Nasional XII dan Korngres Ilmiah VI ISFI – 1986, Yogyakarta.

2) Abdul Chalid G dkk. Penelitian Perencanaan, Pengadaan dan Peng-

gunaan Obat Inpres di Kabupaten/Kotamadya, Rumah Sakit dan Puskesmas. Laporan 1981/1982. Puslit Farmasi, BPPK–Depkes RI.

3) International Classification of Diseases, IX Revision, 1975, vol 2, WHO Geneva 1978.

4) Gan V, Gan S. Pola Penggunaan Antimikroba oleh Dokter Praktek Swasta dalam Lingkungan Asuransi Kesehatan. Maj Kes Mas.

5) Goodman & Gillman. The Pharmacological Basis of Therapeutics, VI th ed. London: The Macmilan Co, 1980.

6) Ball AP et al. Antibacterial Drugs Today. New York: AIDS Press, 1977.

7) Burket LW. Oral Medicone Diagnosis and Treatment. Editor: Burket LW, 1971; pp 550–556.

8) Archer. Antibiotic Therapy. In: Oral and Maxillo Facial Surgery, vol 1, ed 5. eds. Archer. Philadelphia: WB Saunders Co, pp 410 – 418.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 6

Page 8: Cdk 046 Antibiotika

Tetrasiklin, Perlukah Dipermasalahkan?

Umi Kadarwati, Nani Sukasediati dan Ellen Wijaya Pusat Penelitian dah Pengembangan Pharmasi,

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan/ Departemen Kesehatan Rl, Jakarta

PENDAHULUAN

Sejak beberapa waktu lamanya telah dilaporkan adanya be. berapa jenis kuman yang resisten terhadap tetrasiklin, terutama kuman dari golongan kokus (40-80%). Ini menunjukkan, penggunaan tetrasiklin sebagai antibiotika berspektrum luas perlu dipertimbangkan dengan lebih teliti.

Penggunaan tetrasiklin terlihat masih cukup tinggi di unit-unit pelayanan kesehatan masyarakat seperti Puskesmas dan Rumah Sakit (20–40% dari seluruh antibiotika yang ada).

Paparan tetrasiklin di masyarakat dapat pula dilihat dari banyaknya produsen yang memproduksi sediaan golongan tetrasiklin. Terdapat 155 llama dagang, di antaranya 61,9% digunakan untuk manusia, 37,5% digunakan untuk hewan/ ternak, dan 0,6% digunakan untuk anti hama. pada tanaman jeruk.

. Mengingat bahwa tetrasiklin masih dapat dimanfaatkan untuk kasus-kasus tertentu', dan juga berdasarkan pertimbangan harga yang relatif cukup murah, mungkin sudah saatnya untuk dikaji lebih lanjut manfaat dan resiko penggunaannya pada saat ini.

PENDAHULUAN

Tetrasiklin yang telah dikenal sejak tahun 1952 sampai saat ini masih sering digunakan baik bagi manusia maupun untuk pengobatan hewan/ternak, bahkan akhir-akhir ini banyak digunakan untuk membasmi hama tanaman jeruk (CVPD)1,2. Sebagai antibiotika berspektrum luas, pada mulanya sangat efektif untuk menanggulangi berbagai infeksi lkuman, antara lain kuman gram positif dan kuman gram nega-tif. Demikian halnya dengan kuman lain seperti rickettsia, myco plasma, chlamydia, beberapa mycobacteria atypical, amuba dan sedikit terhadap fungi' ,3. Dengan telah lamanya masa peredaran, tetrasiklin saat ini dapat digolongkan ke dalam kategori "obat tua" yang mau tidak mau dengan ber-jalannya waktu telah mengalami penurunan efektifitasnya.

Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Antibiotika tanggal 9–11 Juni 1987 di 1TB, Bandung.

Berdasarkan pemantauan beberapa peneliti telah dilaporkan adanya gejala peningkatan resistensi kuman terhadap tetra-siklin, bahkan untuk kuman golongan kokus telah menunjuk-kan tingkat resistensi yang sangat tinggi, yaitu 40–80%4–7. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa penggunaan tetrasiklin sebagai antibiotika berspektrum luas perlu dipertimbangkan lebih diteliti lagi.

Paparan tetrasiklin di masyarakat dapat dilihat dari banyaknya sediaan tetrasiklin yang diproduksi oleh pabrik obat baik untuk keperluan manusia, hewan/ternak, maupun tanaman.

Penggunaan antibiotika yang tidak mengenai sasaran, tidak rasionil, di samping tidak menyembuhkan penyakit juga membawa dampak bagi lingkungannya, yaitu berupa pe-ningkatan junilah kuman resisten,. terjadinya resistensi silang di antara kuman yang tidak sejenis dan bahkan dapat mengarah pada terjadinya super infeksi yang sulit diobati. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional dapat diakibatkan oleh berbagai sebab, yaitu dari pemakai (dokter, dokter hewan, peternak, pembasmi hama, kemungkinan juga orang awam) dan juga faktor dari penyedia obat (keterbatasan dana, pabrik). Walaupun demikian, dalam beberapa hal atau keadaan seringkali pertimbangan aspek ekonomi mendapatkan prioritas melebihi yang lainnya.

Salah satu sarana penunjang yang diharapkan dapat membantu terciptanya terapi yang tepat dan rasional adalah informasi yang lengkap dan benar. Namun nampaknya tidak demikian halnya keadaan sekarang. Indikasi yang diberikan untuk tetrasiklin sangat bervariasi dan kadang-kadang bahkan tidak memberikan penjelasan yang diharapkan. Oleh karena itu makalah ini khusus akan menyorot masalah-masalah infonnasi yang disampaikan oleh pabrik-pabrik obat yang memproduksi berbagai macam sediaan tetrasiklin, yaitu de-ngan menggunakan buku-buku acuari ISO (1987), IIMS (1987), dan IOHI (1985) yang īnasih berlaku sampai seka-rang9,10, sebagai sumber data.

Makalah ini diajukan dalam rangka uji coba penilaian

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 7

Page 9: Cdk 046 Antibiotika

kembali terhadap salah satu "obat. tua" yang mungkin sudah tidak mendapatkan banyak simpati lagi karena perkembangan teknologi yang sudah maju, namun pada kenyataannya masih banyak beredar di masyarakat.

SEDIAAN TETRASIKLIN DAN INFORMASI YANG DI-SAMPAIKAN

Pola tersedianya obat untuk menunjang kesehatan masya-rakat pada urnumnya selalu dikaitkan dengan program peme-rintah dalam menjangkau pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas, berdasarkan pola penyakit yang dominan di masyarakat dan demikian pula faktor-faktor ekonomis yang seringkali bahkan menjadi faktor penentu.

Persediaan tetrasiklin natnpaknya masih akan tetap tinggi sampai dengan tahun 1990, walaupun ada kecenderungan menurun jika dibandingkan dengan keadaan tahun 1980.

Satnpai saat ini tetrasiklin masih merupakan antibiotika yang terbanyak yang tersedia di unit-unit pelayanan kesehatan seperti Pukesmas dan Rumah Sakit. Penggunaan tetrasiklin pada unit-unit tersebut masih cukup tinggi, yaitu 20–40% dari seluruh antibiotika yang tersedia pada unit-unit tersebut. Penggunaan tetrasiklin yang tinggi juga terlihat dari paparan tetrasiklin di masyarakat. Sediaan tetrasiklin saat ini disuplai oleh 63 pabrik untuk keperluan manusia, 19 pabrik untuk keperluan hewan/ternak, dan I pabrik untuk tanaman jeruk (tabel 1)11.

Dari berbagai pabrik tersebut dihasilkan 155 merek da-gang di pasaran, terdiri dari 61,9% (96) berupa obat untuk manusia, 37,5% (58) untuk hewan/ternak, dan 0,6% (1) untuk tanaman.

Tabel 1. Distribusi sediaan tetrasiklin dan turunannya berdasarkan pabrik yang memproduksi dan merek dagang yang dipasarkan.

Kelompok NI N2 (%) Obat Manusia Obat hewan/ternak Obat,tanaman

63 19 1

96 58 1

(61,9) (37,5) ( 0,6)

Jumlah 83 155 (100)

Keterangan : N1 = Jumlah pabrik yang memproduksi tetrasiklin. N2 = Jumlah merek dagang sediaan tetrasiklin.

Dari tabel 1 juga terlihat, jumlah merek dagang sediaan tetra-siklin jauh lebih besar daripada jumlah pabrik yang mempro-duksinya. Berarti, satu pabrik memproduksi lebih dari satu sediaan tetrasiklin, terutama terlihat pada kelompok obat hewan /ternak. Apabila dilihat dari bahan aktif masing-masing sediaan, tetrasiklin banyak digunakan untuk obat manusia, sedangkan untuk obat hewan banyak menggunakan oksitetra-siklirl, demikian pula satu-satunya obat tanaman menggunakan oksitetrasiklin (tabel 2). Dari tabel 2 terlihat pula, klortetrasiklin hanya digunakan untuk ternak/hewan saja. Bahan aktif lain yang berupa doksi-siklin, demeklosiklin, dan minosiklin juga digunakan untuk manusia, sedangkan untuk hewan/ternak baru menggunakan doksisiklin.

Dari seluruh sediaan tetrasiklin yang diinformasikan me-lalui ISO – IIMS – IOHI (199), 60,3% di antaranya disertai

Tabel 2. Frekwensi distribusi bahan aktif pada sediaan tetrasiklin (persentase).

Kelompok n(%) T(%) OT(%) KT(%) L(%)

Obat manusia Obathewan/ternak Obat tanaman

61,9 37,5 0,6

42,6 8,4 –

11,6 18,1 0,6

– 9,0 –

7,7 2,0 –

Jumlah 100,0 51,0 30,3 9,0 9,9

Keterangan : n = Jumlah merek dagang T = Tetrasiklin OT = Oksitetrasiklin KT = Klortetrasiklin L = Lain-lain (Doksisiklin, Demeklosiklin, Minosiklin) Tabel 3. Frekwensi distribusi indikasi yang diberikan oleh produsen tetrasiklin (persentase).

Kelompok ISO(%) HMS(%) IOHI(%) N(%)

Jumlah obat yang diinformasikan:

63(31,6)

78(39,2)

58(29,2)

199(100)

– dengan petunjuk jelas – dengan petunjuk terbatas – tidak ada petunjuk

44(22,1)

11(5,5) 8(4,0)

54(27,1)

23 (11,6)

1( 0,5)

22(11,1)

36(18,1)

120(60,3)

70(35,2)

9(4,5)

Keterangan : ISO = Informasi Spesialite Obat Indonesia IIMS = Indonesia Index of Medical Specialite IOHI = Index Obat Heenan Indonesia N = Jumlah dengan indikasi yang jelas, 35,2% dengan indikasi terbatas. Yang dimaksud dengan indikasi yang jelas adalah, walaupun sudah terdapat petunjuk yang jelas namun bobotnya tidaklah sama. Sehingga untuk mengetahui kebenaran indikasi tersebut masih diperlukan pengkajian lebih lanjut. Sedangkan untuk indikasi yang terbatas adalah indikasi dengan ungkapan-ungkapan pendek seperti : infeksi jasad renik yang peka ter-hadap tetrasiklin, antibiotika berspektrum luas, untuk berbagai infeksi, bahkan sebagian besar indikasi pada obat hewan/ ternak hanya menyatakan antibiotika untuk unggas/anak sapi/ kerbau/kelinci dan sebagainya atau kadang-kadang hanya ter-tulis antibiotika saja.

Bervariasinya indikasi jelas untuk sediaan tetrasiklin dalam bentuk yang sarna seharusnya sejak lama perlu diper-tanyakan, terlebih lagi tampilnya indikasi terbatas dan bahkan tanpa indikasi mina sekali. Ataukah karena sudah mempercayai pemakai obat yang dianggap selalu lebih mengetahui/ berpengalaman dalam penggunaannya? (risk-benefit?). PEMBAHASAN

Banyaknya merek dagang yang terdapat di pasaran me-nunjukkan, tetrasiklin masih banyak digunakan/diperlukan terutama untuk keperluan manusia dan hewan/ternak. Walau-

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 8

Page 10: Cdk 046 Antibiotika

pun untuk keperluan tanaman hanya ada satu merek dagang saja, tetapi karena pemakaiannya untuk keperluan program nasional, kemungkinan penggunaannya dalam jumlah yang cukup besar. Apabila dipelajari lebih lanjut, nampak perbedaan dalam pemilihan bahan aktif yang lebih banyak digunakan. Tctrasiklin lebih banyak digunakan untuk keperluan manusia sedang oksitetrasiklin lebih banyak digunakan untuk hewan dan satu-satunya sediaan untuk keperluan hama tanaman. Walaupun terdapat perbedaan dalam penggunaan bahan aktifnya, namun hal itu tidak akan menghambat peningkatan resistensi kuman yang sudah resisten terhadap tetrasiklin. Bahkan jumlah tersebut cenderung akan meningkat terus baik untuk jenis yang sama maupun yang tidak sejenis sesuai de-ngan berjalannya waktu dan terjadinya resistensi silang.

W alaupun dari frekuensi distribusi indikasi yang diberikan pada setiap sediaan tetrasiklin sebagian besar telah memberikan petunjuk yang jelas, namun bobot petunjuk itu tidaklah sama, bahkan boleh dikatakan sangat bervariasi. Beberapa petunjuk yang seharusnya tidak sesuai lagi seringkali masih tertulis pada indikasi. Demikian pula dengan petunjuk yang tidak lengkap dan bahkan yang sama sekali tidak memberikan petunjuk penggunaan, jelas akan memberikan masalah tersendiri, terutama bagi pemakai jasa informasi tersebut. Tidak semua pemakai mengetahui kondisi terakhir dari suatu antirbiotika melalui media informasi yang lain, demikian pula telah diketahui, tidak semua pemakai adalah dokter. Sehingga apabila kebijakan seluruhnya diserahkan kepada pemakai sendiri, kemungkinan terjadinya penggunaan yang tidak rasional menjadi lebih besar, yang sclanjutnya akan inem-pengaruhi perkembangan resistensi yang terjadi. Oleh karena itu, sudah sewajarnyalah apabila produsen selalu memper-

siapkan petunjuk yang lengkap dan benar yang selalu di-evaluasi setiap jangka waktu tertentu untuk tetap memper-tahankan informasi yang terbaru setiap saat.

Efek terapetik tetrasiklin adalah pada penanggulangan penyakit infeksi dan sebagai bahan tambahan pada rnakanan ternak untuk memacu pertumbuhan. Penyakit yang dapat diobati dengan tetrasiklin adalah: Infeksi Riketsial, infeksi Chlamydia (kelompok Psitakosis-Limfogranuloma venereum),infeksi Myco-plasma pneumoniae, infeksi Hasil (Bruselosis, Tularemia, Kolera, Sampar), Infeksi Venerik (Gonore, Sifilis, Ulkus Molle, Granuloma Inguinale), Akne Vulgaris dan infeksi lain (Actyno-micosis, Frambosia, Gas Gangren, Leptospirosis, Muco-viscidosis, infeksi Saluran Kemih)3,12 . Sebagai antibiotika untuk menanggulangi infeksi kokus saat ini sudah dirasakan kurang bermanfaat, karena semakin banyak strain kuman yang te]ah menjadi resisten. W alaupun demikian, tetrasiklin mungkin masih bermanfaat bagi penderita yang tidak tahan terhadap penisilin. Tetrasiklin sama sekali tidak dianjurkan untuk infeksi meningokokal apabila masih ada antibiotika [lain yang masih efektif. Saat ini di luar negeri tetrasiklin tidak `lagi dianjurkan untuk penyakit yang disebabkan oleh Stafilokokus dan Strep. pyogenes, walaupun nampaknya Strep. pneumoniae telah menunjukkan penurunan tingkat resistensinya.

Tetrasiklin banyak dilaporkan sangat efektif untuk terapi akne, yaitu pada dosis yang amat kecil. Diperkirakan tetrasiklin tersebut dapat menurunkan kandungan asam lemak dalam sebum. Walaupun tetrasiklin diakui efektifitasnya ter-hadap akne, namun beberapa studi silang yang menggunakan

plasebo masih meragukan nilai dari terapi tersebut. Dalam hal ini penggunaan tetrasiklin yang menggunakan dosis rendah justru dihubungkan dengan lebih sedikitnya efek sampingan yang mungkin terjadi 1.

Pendapat lain menyarankan penggunaan tetrasiklin secara topikal, dibatasi hanya untuk penyakit mata saja. Salep mata yang mengandung tetrasiklin efektif untuk rnengobati trakoma dan infeksi lain pada mata oleh kuman gram positif dan negatif yang sensitif. Demikian pula diharapkan salep mata ini masih dapat digunakan pula untuk profilaksis oftalmia neonatorum pada neonatus1,2.

Di samping efek terapetik, tetrasiklin seperti juga anti-biotika lainnya juga memberikan efek non terapi. Pewarnaan gigi pada anak telah banyak diketahui, namun di samping itu masih banyak efek lain yang seringkali mengganggu, seperti gangguan pada lambung (reaksi toksik dan iritatif), gatal dan syok anafilaktik (hipersensitivitas), bersifat toksik terhadap hati dan ginjal, serta terjadinya efek samping akibat terjadinya perubahan biologik.

Seperti antibiotika berspektrum luas lainnya, penggunaan tetrasiklin juga dapat menjadi penyebab terjadinya suppr infeksi yaitu oleh kuman yang telah resisten dan kemungkinan juga jamur. Salah satu manifestasi super infeksi yaitu diare sebagai akibat dari terganggunya flora normal dalam usus pada pengobatan dengan tetrasiklin.

Dengan demikian penggunaan tetrasiklin haruslah diputus-kan dengan hati-hati (lebih teliti) tidak diberikan pada wanita hamil; tidak diberikan pada anak-anak jika tidak disertai dengan indikasi kuat, dan tidak diberikan untuk tujuan profilaksis. • Sebagai Obat Manusia

Penggunaan tetrasiklin untuk pengobatan manusia pada umumnya diberikan berdasarkan permintaan dokter. Dengan semakin dikenalnya tetrasiklin sebagai obat yang diharapkan kemanjurannya, tidaklah mengherankan apabila kemudian tetrasiklin banyak diproduksi oleh banyak pabrik (63) yang sampai saat inipun masih nampak demikian. Walaupun telah banyak dilaporkan adanya kuman-kuman yang resisten ter-hadap tetrasiklin, nampaknya tidak terlihat adanya usaha nyata untuk ikut menyampaikan informasi tersebut. Hal ini terlihat dari beragamnya indikasi yang diberikan pada kegunaan sedia-an tetrasiklin yang dipasarkan, sebagian dari indikasi tersebut sama sekali tidak memberikan penjelasan, nampaknya lebih cenderung menyerahkan kegunaan obat kepada dokter yang akan menggunakannya. Sebenarnya keadaan tersebut dapat di-mengerti, apalagi bagi golongan antibiotika yang pada umum-nya akan mengalami perubahan efektifitas. Namun hal ini sebenarnya dipandang kurang etis. Sebagai produsen ohat, dengan sendirinya telah mempunyai kelengkapan sarana pemberi informasi (apoteker, laboratorium, kepustakaan), tentunya dapat memberikan sutnbangan yang lebih sempurna. Hal ini juga mengingat bahwa tidak semua dokter dal= keadaan yang selalu siap mengetahui keadaan obat saat ini. Dalam hal tetrasiklin, kemungkinan lain adalah karena sifatnya yang berspektrum luas sehingga banyak alternatif lain yang mungkin masih dapat dijaring.

Tetrasiklin walaupun masih banyak diproduksi namun nampaknya memang sudah tidak banyak dipreskripsi oleh dokter melalui apotik swasta. Preskripsi tetrasiklin pada

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 9

Page 11: Cdk 046 Antibiotika

umumnya berasal dari dokterkulit, dokter umum dan dokter gigi. Menurunnya penggunaan tetrakslin kemungkinan sejalan dengan makin banyaknya antibiotika baru yang diperkenalkan dengan lebih banyak "kelebihan" masing-masing. Demnikian pula dengan telah terbukti adanya efek samping yang meng-ganggu terutama pada anak-anak dan gangguan-gangguan lain sebagai akibat dari efek toksiknya.

Banyaknya sediaan tetrasiklin digunakan di P sskesmas dan rumah sakit kelas C dan D dapat dimengerti, karena pola pelayanan obat pada unit-unit pelayanan kesehatan pemerintah pada dasarnya tidak lepas dari tujuan pemerataan pelayanan kesehatan yang dapat menjangkau masyarakat luas dan di-sesuaikan pula dengan dana yang tersedia. Tetrasiklin sampai saat ini masih merupakan jenis antibiotika dengan harga yang relatif murah, namun walaupun demikian sangat diharapkan bahwa penggunaannya hams tetap diusahakan serasional mungkin. Dengan kemungkinan laju resistensi dapat dihambat peningkatannya dan bahkan mungkin dapat ditekan selama tetrasiklin masih dapat dimanfaatkan. • Sebagai Obat Hewan

Seperti juga kegunaannya bagi manusia, tetrasiklin untuk pengobatan hewan antara lain dimaksudkan untuk: Pasteurel-losij, (ternak , domba, babi), Leptospirosis (ternak), Vibriosis (domba), Anaplasmosis, Virus pneumoniae (babi); Virus Influensa, dan pneumonia (domba)13

Dari penelitian terhadap sediaan tetrasiklin untuk hewan/ ternak, terlihat, untuk pengobatan hewan/ternak mencapai lebih dari separuh obat untuk manusia. Berarti bahwa paparan tetrasiklin yang berasal dari obat hewan cukup besar. Apabila pengelolaan terhadap tetrasiklin untuk obat hewan tidak diperlakukan sama dengan obat manusia, akan memberikan darnpak yang jelas tidak menguntungkan. Banyaknya sediaan tetrasiklin di Poultry Shop memberikan peluang tetrasiklin dapat diperoleh orang awam baik untuk keperluan sendiri (pengobatan) maupun untuk ternak (pengobatan dan bahan tan.bahan makanan ternak), namun kebenaran hal ini masih perlu dibuktikan. Mengingat bahwa tetrasiklin selain digunakan sebagai obat (kuratif, prefentif) juga sebagai tambahan makanan ternak untuk pemacu pertumbuhan, maka kemung-kinan adanya residu tetrasiklin dalam hasil olah hewan/ ternak perlu selalu dilakukan pemantauan. Penggunaan tetrasiklin oleh orang wain dikhawatirkan akan menunjang laju resistensi dari kuman-kuman yang semula sensitif. Demikian pula terjadi pada penggunaan tetrasiklin secara irasional lainnya. Sedangkan untuk rnenanggulangi hal-hal demikian jelas diperlukan informasi yang lengkap dan benar dan sampai pada pemakai. Dari hasil penelitian terlihat bahwa petunjuk yang sangat terbatas, paling banyak adalah untuk obat hewan. Sebagai Obat Hama Tanaman

Penggunaan tetrasiklin sebagai antihama yaitu dengan jalan penyuntikan batang pohon jelas memungkinkan ter-dapatnya residu pada tetrasiklin setiap bagian dari tanaman tersebut, terrnasuk bagian yang akan di makan oleh manusia. Oleh karenanya pemantauan terhadap residu tetrasiklin pada buah jeruk yang telah mendapatkan perlakuan tersebut, perlu

juga dilaksanakan. KESIMPULAN 1) Walaupun tetrasikin merupakan "obat tua" namun masih tetap dipertahankan kegunaannya di dalam waktu yang cukup lama, nampaknya memang perlu diperrnasalahkan. 2) Masalah pertama yang perlu diketengahkan adalah masa-lah perlunya infonnasi yang lengkap dan benar mengenai status terakhir dari obat. 3) Masalah ke dua adalah perlunya pemantauan terhadap buku-buku pegangan/petunjuk pemakaian obat. Dari penelitian yang telah dilakukan, terlihat, 60,3% memberikan petunjuk jelas namun belum tentu benar; 35,2% memberikan petunjuk terbatas yang berarti belum tentu jelas din benar, bahkan 9% tanpa memberikan penjelasan sama sekali yang berarti seluruh-nya diserahkan kepada kebijakan pemakai masing-masing. 4) Masalah ke tiga adalah perlunya selalu diadakan pemantau-an terhadap residu tetrasiklin pada hasil olah ternak/hewan dan tanaman jeruk yang mendapatkan perlakuan tertrasiklin. 5) Masalah ke ernpat adalah perlunya selalu dipantau adanya kuman-kuman yang resisten terhadap tetrasiklin, balk yang sudah menunjukkan maupun yang baru mulai resisten. 6) Masalah ke lima, yang tidak kalah pentingnya adalah masalah efek samping dari penggunaan tetrasiklin, terutama yang mengarah pada kemungkinan terjadinya super infeksi.

KEPUSTAKAAN 1. AMA Drug Evaluations. 5th ed. Chicago, Illinois: American Medical

Association. 1983; 1265-7. 2. Pedoman Penggunaan Gejala Penyakit CVPD. Direktorat Jendral

Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta, 1984. 3. Merle A Sande and Gerald L Mendell. Antimicrobial Agents. In:

Alfred Goodman Gilman, Louis S Goodman, Theodore W Rail, Ferid Murad (ed). Goodman and Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics. New York: Macmillan Publishing Co. 7th ed. 1170-1.

4. R Iswara S dkk. Pola Kepekaan Kuman Patogen terhadap Beberapa Janis Antimokroba di Medan sejak 1980 hingga Medio 1981. Mikrobiologi di Indonesia. 1983; 370-2.

5. Suharno J dkk. Pola Resistensi Kuman Yang Diisolasi dari Dalam dan Luar Rumah Sakit. Makalah Simposium Infeksi Nosokomial. 1980; 8-10.

6. Usman CW dkk. Isolasi Kuman Kokus dari Usapan Tenggorokan Anak-anak Sehat di Jakarta dan Gambaran Tes Resistensi terhadap Antibiotika_ Kumpulan Makalah Seminar Mikrobiologi II. 1981; 5-7.

7. Umi Kadarwati dkk. Penelitian Pola Resistensi Kuman terhadap Enam Janis Antibiotika di Wilayah Jakarta Timur. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan. 1984/1985.

8. ISO Indonesia. Edisi Parmako Terapi. Ikatan Sarjana larmasi Indonesia. Jakarta. 1987: 9: 53-60.

9. IIMS. IMS Pasific Ltd. Hongkong. 1987;16(1): 149-55. 10. IOHI. Departemen Pertanian, Jakarta 1985; I: 15-50. 11. Retno Gitawati dkk. Penelitian Pendahuluan Penggunaan Obat di

Puskesnras, RSU Kelas C dan D. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kcsehatan. 1984/1985.

12. Setiabudy R. Golongan Tetrasiklin dan Kloramfenikoi. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI. 1980; 2: 527-33.

13. Daykin PW. Veterinary Applied Pharmacology and Therapeutics. London: Bailliere, Tindall and Co. 1960; 544-5.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 10

Page 12: Cdk 046 Antibiotika

Pole Resistensi Kuman Streptokokus dari Asbes Dentoalveolar Terhadap Tiga

Antimikroba Golongan Penisilin

Nani Sukasediati, Ellen Wijaya, Hertiana Ayati, Martuti B. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi,

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Golongan penisilin merupakan segolongan antimokroba yang terhitung tua. Peranannya dalam penanggulangan infeksi sampai saat ini, tidak diragukan. Pada infeksi yang disebabkan oleh kuman gram +, khususnya streptokokus, penisilin-G merupakan obat terpilih. Meskipun demikian, penisilin-G tidak banyak digunakan untuk infeksi tersebut. Kemungkinan terjadinya syok anafilaktik merupakan salah satu alasan untuk tidak menggunakan penisilin-G secara parenteral1,2. Sampai saat ini sensitivitas penisilin-G terhadap streptokokus masih dianggap paling baik, namun kemungkinan dapat terjadi resistensi silang dengan antimikroba segolongan3 .

Kota-kota besar di mana terdapat banyak pilihan anti-mikroba lain, frekuensi penggunaan penisilin-G makin sedikit. 'ilihan lebih banyak pada antimokroba lain, seperti ampisilin meskipun teoretis efektifitasnya lebih rendah. Ampisilin adalah golongan penisilin dengan spektrum lebih luas dari pada penisilin-G1,2.

Frekuensi penggunaan antimikroba yang tinggi, apalagi untuk indikasi yang kurang tepat, berakibat pada semakin berkembangnya resistensi. Penelitian ini bermaksud mencari gambaran resistensi streptokokus terhadap 3 antimikroba golongan penisilin dan kemungkinan adanya resistensi silang antara sesama antimikroba tersebut. BAHAN DAN CARA KERJA

Sampel diambil dari "pus" penderita abses dentoalveolar 1engan kriteria penderita sebagai berikut : penderita tidak minum antibiotika selama 3 bulan terakhir. Sampel adalah penderita rawat jalan berasal dari 6 rumah sakit di DKI Jakarta selama 3 bulan, yang dikumpulkan secara case finding purposif.

Pada sampel dilakukān pemeriksaan mikrobiologi sebagai berikut : "pus" penderita sebagai sampel, sebelum 24 jam dibawa ke Laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan secara mikrobiologi (isolasi dan identifikasi) kuman streptokokus. Kemudian dilanjutkan dengan percobaan resistensi kuman se-

cara cakram. Cakram antibiotika yang digunakan adalah ampisilin 10 ug, metisilin 10 ug dan penisilin 1,5 IU produksi Oxoid Limited England. Batas kepekaan ditentukan oleh lebar zone hambatan pada antibiotika berdasarkan ketentuan dari oxoid sebagai berikut : − resisten : bila lebar zone hambatan 0 – < 2 mm − intermedeiate : bila lebar zone hambatan 2 – 3 mm. − sensitif : bila lebar zone hambatan > 3 mm. HASIL

Kuman streptokokus ditemukan dalam 75 sampel yang terkumpul. Dengan metoda hemolisa diperoleh 82,6% (62 sampel) adalah Streptokokus viridans (tipe a), 13,3% (10 sampel) tipe β dan sebagian kecil streptokokus tipe y, yaitu 4,0% (3 sampel). Dari sejumlah tersebut, diperoleh pola resitensi kuman streptokokus terhadap ke 3 jenis antimikroba yang dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1. Frekuensi Distribusi Kepekaan Kuman Streptokokus Terhadap Ampisilin, Penisilin-G dan Metisilin. Jenis antimikroba Jumlah Jumlah Total Resisten sensitif n % n % n %

ampisilin 25 33,3 50 66,7 75 100

penisilin-G 28 37,3 47 62,7 75 100

metisilin 34 45,3 41 54,7 75 100

Untuk lebih jelas dapat dilihat pada diagram di bawah ini

(Lihat Diagram I) Pada tabel 2 dapat dilihat perincian pola resistensi ber-

dasarkan tipe hemolisanya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 11

Page 13: Cdk 046 Antibiotika

Tabel 2. Frekuensi Distribusi Resistensi Kuman Streptokokus Me- nurut Tipe Hemolisa Terhadap Ampisilin, Penisilin-G dan Metisilin

Tipe Kuman Streptokokus Jenis antimikroba

Α Β γ Total

resisten

ampisilin penisilin-G metisilin

17 19 24

5 6 8

2 2 2

25 28 34

Selanjutnya pada tabel 3, terlihat resistensi kuman strep-

tokokus terhadap lebih dari satu antimikroba, bahkan di-antaranya resisten terhadap ketiga antimikroba tersebut.

Tabel 3. Frekuensi Distribusi Resistensi Silang Kuman Streptokokus Diantara Ampisilin, Penisilin-G dan Metisilin.

Jenis Antimikroba ampisilin penisilin-G metisilin

ampisilin penisilin-G metisilin

25 28 34

– 24 22

24 – 24

21 23 –

Disamping itu terdapat 19 sampel resisten terhadap ketiga antimikroba di atas. DISKUSI

Penisilin-G merupakan obat terpilih untuk infeksi strepto-kokus, namun tidak banyak digunakan dalam bidang kedokter-an gigi. Reaksi anafilaktik yang mungkin terjadi setelah pem-berian penisilin-G parenteral nampaknya terlalu dianggap berat. Sediaan penisilin per oral seperti penisilin-V belum po-puler karena relatif lebih mahal, meskipun penisilin-V meru-pakan alternatif yang cukup baik untuk infeksi gigi. Setelah penisilin-V, alternatif berikutnya adalah eritromisin. Namun karena efek sampingnya yang cukup mengganggu dan harga-nyji juga relatif maim] maka pemakaiannyapun terbatas4. K arena sebab-sebab tersebut maka kebutuhan untuk mengatasi infeksi lebih banyak dipenuhi oleh ampisilin.

Ampisilin dianggap menguntungkan karena dapat di-berikan per oral. Pemakaian ampisilin jauh lebih luas dari pada penisilin-G5. Meskipun demikian dari tabel 1 nampaknya tidak terdapat perbedaan tingkat resistensi pada ketiga jenis antimikroba tersebut.

Hasil penelitian ini meskipun belum menggambarkan secara benar, namun telah ada indikasi terjadinya resistensi terhadap penisilin-G secara mikrobiologik.

Streptokokus tipe a, yang biasa disebut Streptokokus viridans merupakan tipe streptokokus yang paling banyak terdapat dalam rongga mulut6'7. Bila ditinjau persentase kuman yang resisten terhadap keseluruhan, hanya 27,4% streptokokus a yang resisten terhadap ampisilin, 30,6% yang resisten terhadap penisilin-G.

Semula diduga bahwa penisilin-G lebih sensitif dari pada ampisilin karena jarang digunakan. Ternyata menurut peneliti-an ini telah ada indikasi terjadinya resistensi streptokokus terhadap penisilin-G. Hal ini dapat disebabkan karena penisilin diekskresikan dalam air liur, dengan demikian mudah mem-pengaruhi pola resistensi streptokokus a di dalam rongga

Diagram I. Grafik Persentase Kepekaan Kuman Streptokokus Ter-hadap Ampisilin, Penisilin-G dan Metisilin.

mulut, sehingga strain yang semula sensitif akan mati dan digantikan oleh strain yang resisten2.

Pada tabel 3, ditunjukkan resistensi streptokokus terhadap lebih dari 1 macam antimikroba tersebut. Secara terbatas dapat dikatakan, sebagian kuman yang resisten terhadap I antibiotika mungkin akan resisten pula terhadap antibiotika lain yang masih segolongan3.

Metisilin lebih tepat digunakan untuk strafilokokus penghasil penisilinase, karena sebagian benar stafilokukus menghasilkan /3 laktamase dan resisten terhadap penisilin-G. namun beberapa strain streptokokus cukup "susceptible" terhadap metisilin' . Dalam ISO 1987, produk metisilin belum tercantum, metisilinpun hanya diberikan secara parenteral, karena itu dapat dikatakan bahwa penggunaannya hampir tidak ada. Namun dari hasil uji resistensi ini menunjukkan bahwa streptokokus dari abses gigi tidak cukup peka terhadap metisilin, karena sensitivitasnya hanya 54,7%.

Keadaan ini semua telah merupakan petunjuk untuk menggunakan antibiotika hanya pada keadaan yang memang membutuhkan, seperti profilaksis antibiotika pada penderita cacat katup jantung pada waktu dilakukan manipulasi gigi Terjadinya resistensi pada pengobatan abses dentoalveolar. tidak hanya disebabkan oleh penggunaan antibiotika pada

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 12

Page 14: Cdk 046 Antibiotika

kedokteran gigi saja. Penggunaan antibiotika di luar kedokteran gigi pun akan dapat menyebabkan kerugian atau kegagalan pengobatan infeksi gigi. Seperti pada penderita cacat katup jantun,g yang pernah mendapat pengobatan penisilin, baik .sebelum ataupun sedang berjalan. Maka profilaksis antibiotika tidak hanya dengan prokain-penisilin saja, sebab streptokokus a mungkin sudah resisten terhadap penisilin4. KESIMPULAN • Kuman streptokokus dari abses dentoalveolar. yang sebagian besar adalah streptokokus tipe a, telah menunjukkan resistensi terhadap ampisilin, penisilin-G dan metisilin. • Penggunaan ampisilin perlu dibatasi pada keadaan yang memang membutuhkan. Profilaksis dengan penisilin sebelum manipulasi gigi pada keadaan yang membutuhkan, perlu di-perhatikan karena telah ada indikasi resistensi streptokokus terhadap penisilin. • Karena adanya resistensi streptokokus terhadap ke 3 anti-mikroba tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang lebih luas tentang sensitifitas kuman streptokokus terhadap penisilin-G maupun terhadap sediaan penisilin oral seperti penisilin-V, di klinik dan di laboratorium mikrobiologik. • Secara mikrobiologik, kuman streptokokus dari abses

dentoalveolar tidak cukup peka terhadap metisilin.

KEPUSTAKAAN

1. AMA Drug Evaluations, 6th. Edition, American Medical Association, Chicago, Illinois, 1986 : 1291-1335.

2. Garrod LP, Lambert HP and O'Grady F. Antibiotic and Chemotherapy, 5th. ed., Edinburgh: Churchill Livingstone, 1981: 298-302.

3. Vincent HS Gan, Antimikroba dalam: Sulistia Gan editor, Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta, 1980: 443 -461.

4. Darmansyah I. Pemilihan Antibiotika Untuk Infeksi Gigi dalam: Honggowidjojo H, Hidayat D, Subandoro S, Liesdianingsih Y, Forum Ilmiah II, FKG-Universitas Trisaksi, Jakarta, 1987: 9-12.

5. Wijaya E, Sukasediati N, Gitawati R, Kadarwati U, Penggunaan Antibiotika di Beberapa Puskesmas dan Beberapa Faktor Yang Berkaitan, Seminar Nasional Antibiotika, ITB, 1987.

6. Schuster GS, Streptococci and Streptococcal Infections, in Schuster GS (editor). Oral Microbiology and Infectious Disease. 2nd. student ed., Baltimore: Williams & Wilkins, 1980: 279-288.

7. Dillon HC, Caseel GH, Streptococci in Mc.Ghee JR, Michaels SM, Cassel GH (editor), Dental Microbiology, Philadelphia : Harper & Row Publishers, 1982: 338-415.

8. Sudarmono Pratiwi, Kebijakan Pemakaian Antibiotika Dalam Kaitannya dengan Resistensi Kuman dalam Simposium Perkembangan antibiotika pada Penanggulangan Infeksi dan Resistensi Kuman, IAMKI, Jakarta, 1986.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 13

Page 15: Cdk 046 Antibiotika

Gambaran Resistensi Kuman Streptokokus dari Abses Dentoalveolar Terhadap Tiga

Antibiotika di Wilayah DKI Jakarta

Hertiana Ayati*, Soenarso B.**, Nani Sukasediati*, Umi Kadarwati* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta * * Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN

Antibiotika yang telah terbukti bermanfaat bagi penyem-buhan infeksi sejak mulai awal ditemukannya, sekarang mulai menimbulkan masalah. Hal tersebut terjadi karena pengguna-annya yang terus-menerus meningkat dan tidak terkendali dengan baik. Masalah yang terpenting dalam hal ini adalah timbulnya strain kuman yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotika.

Antibiotika yang dikonsumsi masyarakat Indonesia pada tahun 1985 mencapai 28,8% dari seluruh obat yang dipre-skripsi, sedangkan penggunaan antibiotika di negara lain hanya 12 – 14%. Beberapa jenis yang cukup banyak digunakan adalah tetrasiklin, penisilin, kloramfenikol, eritromisin dan streptomisin beserta turunannya. Seperti juga di negara negara lain, penggunaan antibiotika tersebut telah mencapai tingkat yang berlebihan dan banyak di antaranya digunakan secara tidak tepat1.

Dari observasi terhadap penulisan resep dokter gigi di Jakarta (1986), didapatkan bahwa 78;6% resep dokter gigi mengandung antibiotika, dan yang terbanyak ditulis adalah ampisilin (63,6%) disusul oleh tetrasiklin (31,1%) dan eritro-misin (5,3%)2. Seperti telah diketahui, lamanya penggunaan dan tingginya frekuensi penggunaan antibiotika akan me-nentukan dampaknya terhadap resistensi kuman. Iswara dan kawan-kawan (1981) mengemukakan hasil penelitiannya di Medan, yaitu bahwa ampisilin dan penisilin telah kurang me*ivaskan untuk membunuh kuman stafilokokus dan tetra-siklin, bahkan kurang memuaskan untuk infeksi kuman pada umumnya. Sedangkan Umi Kadarwati dan kawan-kawan (1985) melaporkan, streptokokus beta hemolitikus, strepto-kokus pnemoniae dari usap tenggorok anak sehat dan anak sakit di Jakarta Timur telah menunjukkan resistensi terhadap tetrasiklin, streptomisin, kloramfenikol, ampisilin, eritromisin dan penisilin G walaupun dalam tingkat yang berbeda. Resis-tensi terhadap tetrasiklin adalah yang tertinggi pada penelitian tersebut3

Sebagai salah satu upaya untuk mengungkapkan tingkat resistensi kuman di masyarakat, dilakukan penelitian pola resistensi kuman streptokokus hemolitikus dari abses gigi di wilayah DKI Jakarta.

Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan pola resis-tensi kuman penyebab penyakit infeksi gigi dan mulut terhadap antibiotika yang serinA digunakan. Untuk penelitian ini dipilih kuman-kuman dari species streptokokus yang merupakan kuman penyebab terbanyak dan terpenting pada penyakit infeksi gigi dan mulut4,5. Sedangkan antibiotika yang diuji adalah ampisilin, tetrasiklin dan eritromisin. BAHAN DAN CARA KERJA

Sampel adalah pus dari penderita abses dentoalveolar dengan kriteria penderita sebagai berikut : • penderita dengan diagnosis abses dentoalveolar. • penderita rawat jalan. • kunjungan pertama untuk diagnosis tersebut. • penderita tidak minum antibiotika selama 3 bulan terakhir

(berdasarkan anamnesis). • penderita bukan pasien rujukan. • keadaan umum penderita baik. • pada pemeriksaan ekstra oral terdapat:

– tanda-tanda abses. – abses mencapai superfisial. – fluktuasi positif.

• pada pemeriksaan intra oral didapatkan: – gigi penyebab nonvital/karies profunda/gangren pulpa/

gangren radiks. – periodontitis. – perkusi positif. – mucobucalfold terangkat.

• kuman didapat dari isolat pus penderita tersebut di periksa di bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Gigi Universi-tas Indonsia selama bulan Juli – September 1986. Kuman yang diteliti adalah streptokokus tipe alfa, streptokokus

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 14

Page 16: Cdk 046 Antibiotika

hemolitikus tipe beta dan streptokokus tipe gama. • Penentuan klasifikasi streptokokus dilakukan menurut cara

Brown, berdasarkan daya hemolisis pada agar darah. • Alat pengumpul data pada penelitian ini adalah formulir

isian dan,alat-alat laboratoriurn. • Antibiotika yang dipergunakan berupa multodisk yang

mengandung 10 ug ampisilin, 10 ug eritromisin dan 10 ug tetrasiklin produksi Oxoid Limited England'dengan nomor kode 2023E.

• Aktivitas antibakteri : Penentuan kepekaan kuman secara cakram memakai agar nutrien + darah biri.

• Penentuan batas kepekaan berdasarkan ketentuan dari Oxoid.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari 75 sampel yang diperiksa, Streptokokus tipe alfa atau

yang biasa disebut Streptokokus viridans merupakan jenis yang terbanyak (82,7%), dibandingkan dengan kedua streptokokus tipe lainnya. Hal ini karena streptokokus tipe alfa merupakan jenis streptokokus yang banyak terdapat di dalam rongga mulut4-9.Tabel 1 menunjukkan, streptokokus tipe alfa terdapat paling banyak pada abses gingival (37,5%). Hal ini terjadi karena memang sampel dari abses gingival adalah sampel yang paling banyak terambil dalam penelitian ini.

Tabel 1. Distribusi Jenis Kuman menurut Diagnosis.

Jenis Streptokokus Jenis abses No. dentoalveolar

(Archer) alfa beta gama Jumlah

% % % % 1. 2. 3. 4. 5.

submukosal gingival fasial sublingual submandibular

12 28 6 0 16

16 37,5

8 0

21,3

0 5 2 1 2

0 6,7 2,7 1,3 2,7

2 1 0 0 0

2,7 1,3 0 0 0

14348 1

18

18,7 45,3 10,7 1,3 24.

Jumlah 62 82,6 10 13,4 3 4 75 100,0

Secara umum pada penelitian ini, kepekaan streptokokus terhadap eritromisin adalah yang paling tinggi (92%), sedang-kan kepekaan terhadap tetrasiklin adalah yang paling rendah (40%) dan kepekaan terhadap ampisilin 66,7% (tabel 2). Secara lebih terinci, jenis-jenis streptokokus yang resisten terhadap masing-masing antibiotika yang diteliti dapat dilihat pada tabel 3. Tabel ini memberikan kesan bahwa tidak terdapat perbedaan antara resistensi kuman streptokokus alfa, beta dan gama terhadap ke 3 antibiotika tersebut. Pada umumnya ketiga jenis streptokokus telah menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap tetrasiklin (60%) sedangkan terhadap ampisilin 33,3%.

Perangai kepekaan maupun resistensi kuman penyebab infeksi terhadap antibiotika senantiasa mempunyai kecende-rungan berubah sesuai dengan penggunaannya. Penggunaan yang terus-menerus meningkat dan tidak terkendali dengan baik akan menimbulkan masalah peningkatan resistensi kuman terhadap antibiotika10

Bila dilihat pola penggunaan obat dikalangan dokter gigi yang diobservasi dari resep-resep dari apotik swasta di

Tabel 2. Distribusi Kepekaan terhadap Antibiotika.

Kepekaan No. Antibiotika Peka Resisten

Jumlah

n % n % n % 1. 2. 3.

Ampisilin Eritromisin Tetrasiklin

50 69 30

66,7 92,0 40,0

25 6

45

33,3 8,0 60,0

75 75 75

100 100 100

Keterangan : Resistensi : lebar zona hambatan kurang dari 2 mm. Intermediate : lebar zona hambatan 2 - 3 mm. Peka : lebar zona hambatan lebih dari 3 mm. Tabel 3. Distribusi Jenis Streptokokus yang Resisten terhadap masing- masing antibiotika.

Jenis Streptokokus yang Resisten No. Antibotika

alpha beta gama Jumlah

n % n % n % n %

1. 2. 3.

Ampisilin Eritromisin Tetrasiklin

162 36

21,3 2,7 48,0

7 2 7

9,3 2,7 9,3

2 2 2

2,7 2,7 2,7

25 6 45

33,3 8,1 60,0

Jakarta (1986), 78,6% resep dokter gigi mengandung anti-biotika, dan antibiotika yang ditulis terdiri dari ampisilin 63,6%, disusul dengan tetrasiklin 31,1% sedangkan eritromisin hanya 5,3%2.

Penelitian ini menunjukkan, 33,3% streptokokus dari abses gigi telah resisten terhadap ampisilin, yang menunjukkan bahwa ampisilin pun telah mulai menunjukkan keterbatasannya untuk digunakan dalam pengobatan infeksi gigi. Dibidang kedokteran gigi, indikasi pemberian antibiotika adalah kasus-kasus penyakit gigi dan mulut yang sudah mengalami infeksi seperti halnya abses dentoalveolar akut. Selain itu juga lazim digunakan sebagai terapi pasca pencabutan gigi yang disertai luka dan cedera jaringan yang luas seperti odontektomi, ekstraksi multipel dan lain-lain, terutama pada pasien dengan higiene mulut yang buruk11. Hanya pada keadaan tertentu profilaksis antibiotika dapat dibenarkan, misalnya untuk mencegah timbulnya endokarditis pada penderita cacad katup jantung yang akan dimanipulasi giginya10. Pada pasien tersebut biasanya dilakukan rujukan terlebih dahulu kepada dokter umum/dokter spesialis dan resep antibiotika biasanya akan diberikan oleh dokter umum/ spesialis yang ditujuk tersebut. Dengan mengikuti indikasi dan aturan pemberian antibiotika yang tepat, dapat diharapkan akan terjadi penghambatan laju peningkatan resistensi kuman.

Lain halnya dengan tetrasiklin, nampaknya pemakaian tetrasiklin dikalangan dokter gigi tidak sebanyak ampisilin bila ditinjau dari observasi resep di apotik swasta2 namun yang tidak diketahui adalah pehggunaan tetrasiklin dikalangan dokter gigi di unit-unit pelayanan kesehatan pemerintah, terutama puskesmas. Tingginya resistensi terhadap tetrasiklin sampai saat ini memberikan dugaan besarnya pemakaian tetra-siklin di masyarakat. Di unit pelayanan kesehatan pemerintah terutama Puskesmas, tetrasiklin merupakan antibiotika yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 15

Page 17: Cdk 046 Antibiotika

paling banyak tersedia12. Disamping itu tetrasiklin tidak hanya digunakan untuk pengobatan pada manusia, akan tetapi juga dipergunakan pada hewan di berbagai peternakan hewan baik sebagai pengobatan, profilaksis maupun sebagai pemacu per-tumbuhan hewan serta sebagai antihama pada tanaman13 Bila dilihat dari pola penyakit yang umumnya adalah infeksi, tetrasiklin dianggap memadai karena spektrumnya luas. Dari observasi resep antibiotika di beberapa apotikdi Jakarta, tetrasiklin ternyata paling banyak dipreskripsi oleh dokter spesialis kulit/kelamin14. Sedangkan dikalangan dokter gigi preskripsi tetrasiklin berada diurutan yang kedua setelah ampisilin. Meskipun banyak kelemahannya, tetrasiklin tetap dipergunakan sebagai obat alternatif karana harganya yang relatif murah. Namun melihat tingginya resistensi terhadap tetrasiklin dalam penelitian ini, penggunaan tetrasiklin untuk pengobatan infeksi gigi perlu dipertimbangkan lebih seksama.

Eritromisin merupakan antibiotika dengan tingkat resis-tensi yang terendah dalam penelitian ini, Dengan demikian, untuk pengobatan infeksi gigi eritromisin mempunyai peluang yang cukup besar. Eritromisin jarang menimbulkan resistensi bila digunakan dalam jangka waktu yang pendek. Namun karena toksisitas dan efek samping yang relatif besar, apalagi bila dipergunakandalam jangka waktu yang lama yaitu 10 - 20 hari15. Selain itu harga yang relatif mahal menjadikan eritromisin cenderung dipakai sebagai obat pilihan kedua.

Tabel 4. menunjukkan, dari streptokokus yang sudah resisten terhadap tetrasiklin (n = 45), 66,7% masih sensitif terhadap ampisilin dan sebagian besar masih sensitif terhadap eritromisin (86,7%). Dari streptokokus yang resisten terhadap ampisilin (n = 25), sebagian (60%) juga resisten terhadap tetra-siklin dan hanya 20% yang juga resisten terhadap eritromisin. Sedangkan streptokokus yang sudah resisten terhadap eritro-misin (n = 6), seluruhnya (100%) resisten juga terhadap tetra-siklin, dan sebagian besar (83,3%) juga resisten terhadap ampisilin.

Tabel 4. Perangai Streptokokus hemolitikus (α,β,γ) yang telah resisten dengan 1 antibiotika Terhadap 2 Antibiotika yang lain.

Perangai Streptokokus Terhadap Masing-masing Antibiotika Lain

Tetrasiklin Ampisilin Eritromisin

Jumlah Strep. yang Resist. thd. 1 Anti-biotika

Peka Resisten Peka Resisten Peka Resisten

n % n % n % n % n % n % n % T A 1:

45 25 6

100 100 100

– 10 0

– 40 0

– 15 6

– 60

100

30 – 1

66,7 –

16,7

15 5

33,3 –

83,3

3920–

86,7 80 –

65–

13,3 20 –

Keterangan : T = tetrasiklin. A = ampisilin. E = eritromisin.

KESIMPULAN • Pada umumnya streptokokus a, (3 dan y yang berasal dari abses dentoalveolar telah resisten terhadap tetrasiklin, dan se bagian terhadap ampisilin. Resistensi yang tinggi terhadap tetrasiklin kemungkinan karena luasnya penggunaan tetra-

siklin di masyarakat (untuk manusia, hewan dan tanaman). • Walaupun resistensi terhadap eritromisin da.lam penelitian rendah, tetapi karena toksisitas dan efek samping yang relatif lebih besar serta harga yang relatif mahal, eritromisin enderung menjadi obat pilihan kedua. • Hasil penelitian ini nampaknya sejalan dengan hasil be-berapa penelitian lain yang menunjukkan kecenderungan peningkatan resistensi kuman terhadap antibiotika. SARAN • Walaupun ampisilin masih dapat digunkan untuk pengo-batan infeksi gigi, mengingat resistensi streptokokus terhadap ampisilin yang mencapai 33,3%, pēmakaian untuk pengobatan infeksi gigi memerlukan pertimbangan yang lebih seksama. • Pemakaian antibiotika harus berdasarkan indikasi yang tepat dan menurut cara pemberian yang benar sebagai usaha untuk menghambat laju peningkatan resistensi kuman. • Melihat tingginya resistensi terhadap tetrasiklin, pengguna-an tetrasiklin untuk pengobatan infeksi gigi kurang dianjurkan. • Eritromisin dapat dipakai untuk mengobati kasus infeksi gigi yang tidak berhasil diobati dengan tetrasiklin atau ampi-silin.

KEPUSTAKAAN

1. Sirait Midian, Pidato Pembuakan pada Simposium Perkembangan antibiotika pada Penanggulangan Infeksi dan Resistensi Kaman. September 1986.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 16

Page 18: Cdk 046 Antibiotika

2. Hertiana Ayati dkk. Observasi Terhadap Penulisan Resep-Resep Dokter Gigi di 2 Apotik di Jakarta. Kongres llmiah VI Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia November 1986.

3. Umi Kadarwati dkk. Penelitian Pola Resistensi Beberapa Jenis Kuman terhadap 6 Jenis Antibiotika di Wilayah Jakarta Timur, Laporan Penelitian Badān Litbang Kesehatan Depkes 1984-1985.

4. Schuster GS. Streptococci and Streptococcal Infections. dalam Schuster GS (editor). Oral Microbiology and Infectious Disease. 2nd student ed. Baltimore: William & Wilkins. 1980:279-288.

5. Dillon HC, Cassel GH. Streptococci. dalam McGhee JR, Michaels SM, Cassel GH. (editors). Dental Microbiology. Philadelphia: Harper & Row Publishers. 1982:388-415.

6. Alin K, Aagren E. The Bacterial Flora of Odontogenic Infections and its Sensitivity to Antibiotics. Acta Odontologica Scandinavica 1954, 12:85-98.

7. Feldman G, Larje O. The Bacterial Flora of Submucous Abscess Originating From Chronis Exacerbating Osteitis. Acta Odontologica Scandinavica 1966, 24:129-145.

8. Lewis MAO, MacFarlane TW, McGowan DA. Quantitative Bacteriology of Acute Dentoalveolar Abscesses. J Med MicrobioL 1986. 21:101-104.

9. Kelly FC, Hite KE. (editors) Miicrobiology 2 nd ed. New York: Appleton – Century – Crofts Inc. : 305-315.

10. Pratiwi Sudarmono. Kebijaksanaan Pemallaian Antibiotika dalam kaitannya dengan Resistensi Kuman. Kumpulan Makalah Simposium Perkembangan Antibiotika Pada Penanggulangan Infeksi dan Resistensi Kuman. September 1986.

11. Archer. Antillotic Therapy. dalam Archer (editor). Oral and Maxine Facial Surgery. vol. I. 5th. ed. Philadelphia: WB Saunders Company. 19:410-418.

12. Nani Sukasediati dkk. Penelitian Penggunaan Obat Esensial di Puskesmas. Laporan Penelitian Badan Litbangkes Dep. Kesehatan 1984-1985.

13. Umi Kadarwati dkk. Tetrasiklin, Perlukah dipermasalahkan?. Seminar Nasional Antibiotika Institut Teknologi Bandung. Juni 1987.

14. Reno Gitawati, Ellen Wijaya. Observasi Terhadap Penulisan Resep Antibiotika pada Beberapa Apotik di Jakarta. Kongres Nasional ke V Ikatan Ahli Farmakologi Indonesia November 1983.

15. Garrod LP, Lambert HP, O'Grady. Macrolides and Lincosamides. dalam Antibiotic and Chemotherapy. 5th. ed. Edinburgh: Churchill Livingstone. 1981:183-202.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 17

Page 19: Cdk 046 Antibiotika

Sensitivitas Kotrimoksazol terhadap Streptokokus Vang Diisolasi dari Pus

Penderita Abs . Gigi Dibandingkan dengan Sulfadiazin

Umi Kadarwati, Retno Gitawati, Martians Ayati, Ellen Wijaya

Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta PENDAHULUAN

Trisulfa dan kotrimoksazol merupakan sediaan obat anti-mikroba golongan sulfonamida yang termasuk dalam DOEN (Daftar Obat Esensial Nasional), oleh karenanya banyak ter-dapat pada unit-unit pelayanan kesehatan pemerintah. Trisulfa bahkan merupakan antimikroba terbanyak tersedia di Puskesmas, sedangkan kotrimoksazol disediakan claim jumiah yang sangat terbatas1,2 . Demikian pula keadaannya di Rumah Sakit kelas C dan D, trisulfa banyak digunakan disamping kotrimoksazol.

Dari observasi resep di apotik swasta, trisulfa nampaknya tidak banyak lagi dipreskripsi oleh dokter, pemilihan obat terlihat beralih pada kotrimoksazol (kombinasi sulfametoksazol dengan trimetoprim-nonsulfonamida). Hal ini terjadi dikemungkinan karena kekhawatiran terhadap meningkatriya tingkat resistensi kuman patogen terhadap trisulfa yang sejak lama telah digunakan. Pada unit-unit pelayanan pemerintah di DKI nampaknya telah terlihat pula kecenderungan untuk lebih banyak menggunakan kotrimoksazol daripada trisulfa. Banyaknya penggunaan antimikroba golongan sulfanomida pada unit-unit tersebut oleh dokter-dokter dari berbagai keahlian, ada kemungkinan obat tersebut juga digunakan untuk pengobatan infeksi gigi dan mulut, termasuk kasus abses dento alveolar akuta.

Abses dento alveolar akuta pada umumnya merupakan infeksi polimikroba terdiri dari berbagai bakteri anaerob dan fakultatif anaerob, namun yang seringkali dilaporkan adalah Streptococcus viridans3.

Penelitian ini ingin mengungkapkan sensitivitas kotri moksazol terhadap Streptokokus yang diisolasi dari pus pen-derita abses, gigi dan dibandingkan dengan sediaan tunggal sulfonamida yang telah lama tidak digunakan yaitu : sulfadi-azih yang juga merupakan salah satu komponen dari trisulfa.

Penelitian ini dilakukan di Jakarta dengan meiibatkan 6 Rumah Sakit untuk mendapatkan sampel dengan Cara pen-carian kasus, selama 3 bulan (Juli – September,1986).

BAHAN DAN CARA KERJA Sampel berupa kuman streptokokus yang diperoleh dari

penelitian pola resistensi kuman streptokokus dari abses gigi terhadap 3 antibiotika di wilayah DKI Jakarta, diuji ke-pekaannya terhadap cakram antimikroba kotrimoksazol dan sulfadiazin menurut cara yang lazim dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Kadar antimikroba pada cakram masing-masing adalah: − kotrimoksazol : 25 ug − sulfadiazin : 50 ug Kuman yang diuji kepekaannya yaitu : − Streptokokus hemolitikus tipe alfa − Streptokokus hemolitikus tipe beta dan − Streptokokus hemolitikus tipe gama HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari 75 isolat kuman streptokokus yang diuji kepekaan-nya, ternyata 68,0% resistensi terhadap kotrimoksazol dan 73,3% resisten terhadap sulfadiazin. Dengan demikian, sen-sitivitas kotrimoksazol hanya mencapai 32,0% yang nampak-nya tidak berbeda jauh dari sensitivitas sulfadiazin (26,7%). (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah Streptokokus sensitif dan resisten terhadap kotri moksazol dan sulfadiazin.

Sensitif Resisten N Jenis antimikroba n % n % n %

Kotrimoksazol 24 32,0 51 68,0 75 100,0

Sulfadiazin 20 26,7 55 73,3 75 100,0

Keterangan : N = jumlah kuman Streptokokus. Demikian pula apabila dilihat dari masing-masing tipe Strep-tokokus yang dipisahkan, menunjukkan keadaan yang tidak berbeda (tabel 2 dan diagram 1).

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 18

Page 20: Cdk 046 Antibiotika

Tabel 2. Distribusi resistensi Streptokokus tipe alfa, beta, gama, terhadap kotrimoksazol dan sulfadiazin.

Antimikroba Kotrimoksazol Sulfadiazin

Kuman (N) n % n %

Streptokokus alfa (62) Streptokokus beta (10) Streptokokus gama (3)

40 9 2

64,5 90,0 66,7

43 9 3

69,4 90,0 100,0

Keterangan : n = jumlah masing-masing tipe kuman. Pada tabel 2 terlihat pula, tingkat resistensi masing-ntasing tipe kuman yang diperoleh cukup tinggi, lebih dari setengah jumlah kuman tidak sensitif terhadap kotrimoksazol dan juga terhadap sulfadiazin. Diagram 1. Perbandingan jumlah kuman resisten (Streptokokus alfa, beta, gama) terhadap kotrimoksazol dan SD.

Streptokokus alfa adalah Streptokokus viridans, walaupun merupakan bakteri komensal, dalam jumlah besar dan menyebar (karena luka dan melalui peredaran darah), dapat menjadi patogen. Misalnya kasus subacute bacterial endo-carditis pada penderita katup jantung abnormal4.

Antimikroba golongan sulfonamida yang pada umumnya memberikan efek bakteriostatik, efektif untuk pencegahan namun bukan untuk terapi. K arena sifatnya yang berspektrum

luas dan bahkan dinyatakan sebagai golongan obat yang efikasi in vitro dan in vivo mempunyai korelasi langsung (dengan sedikit perkecualian), nampaknya penggunaan golongan antimikroba ini mempunyai arti tersendiri. Hal tersebut terlihat pula dari perkembangan sediaan obat yang semula berupa sediaan tunggal kemudian dikembangkan menjadi sediaan kombinasi seperti trisulfa dan kotrimoksazol. Berbeda dengan trisulfa yang efektivitasnya tetap sama dengan bentuk tunggal-nya, efektivitas kotrimoksazol merupakan interaksi sinergistik dari komponen penyusunnya (sulfametoksazol dan trimeto-prim). Bahkan interaksi sinergistik tersebut masih dapat terlihat walaupun kuman-kuman yang dihadapi sudah mulai menunjukkan resistensi terhadap masing-masing antimikroba. Bakteri yang kemudian menjadi resisten terhadap sulfonamida terutama yang terjadi invivo biasanya akan bersifat persisten dan ireversibel.Pada penelitian ini terlihat pada hasil uji kepekaan kuman terhadap sulfadiazin yang walaupun telah lama tidak digunakan masih menunjukkan tingkat resistensi yang cukup tinggi. Tidak adanya data pembanding sebenarnya sangat disayangkan5,6,7.

Streptokokus viridans in vitro diharapkan masih sensitif ter-hadap trimetoprim, namun laporan lain menyatakan bahwa Strep-tokokus pneumoniae telah mulai menunjukkan resistensi terhadap kotrimoksazol6. Demikian pula diharapkan kotrimoksazol masih sensitif terhadap Streptokokus pyogenes, namun karena keterbatasan penelitian ini, identifikasi dan isolasi kuman tidak dapat dilanjutkan, walaupun sebenarnya banyak hal yang cukup menarik (9 dari 10 kuman Streptokokus hemolitik beta resisten terhadap kotrimoksazol dan sulfadiazin)5,6.

Disamping resistensi yang terjadi pada masing-masing sediaan antimikroba, terlihat pula adanya kuman-kuman yang bersifat multiresisten baik terhadap kotrimoksazol maupun terhadap sulfadiazin (tabel 3, diagram 2).

Diagram 2. Multiresistensi kuman Strep. alfa, beta, gams, terhadap kotrimoksazol dan Sulfadiazin

Apabila dipelajari lebih lanjut, maka nampaknya multiresis-

tensi yang terjadi lebih mudah pada Streptokokus tipe beta dan gama daripada Streptokokus alfa. Multiresistensi tersebut hanya sebagian saja yang terjadi karena resistensi silang, karena resistensi silang tidak dapat diterapkan pada antimikroba dari golongan (kelas) lain. Tingginya resistensi terhadap kotri-

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 19

Page 21: Cdk 046 Antibiotika

moksazol mememberikan kesan kemungkinan telah mening-katnya kuman Streptokokus terhadap trimetoprirn sebagai bahan kombinasi sulfonamida, yang jelas memerlukan peneli-tian lebih lanjut. Tabel 3. Multi resistensi kuman-kuman Streptokokus alfa, beta, dan gama terhadap kotrimoksazol dan sulfadiazin.

Kotrimoksazol (n=51) Jenis anti- mikroba tipe alfa (40) beta (9) gama (2)

Sulfadiazin (n=55)i

alfa (43) beta (9)

gama (3)

24 – –

– 8 –

– – 2

KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : • Sensitivitas kortimoksazol terhadap streptokokus tidak berbeda jauh dari sulfadiazin yang sejak lama tidak digunakan, yaitu 32,0% dan 26,7%. • Penggunaan kotrimoksazol sebagai obat alternatif perlu

dipertimbangkan terhadap kuman streptokokus yang telah resisten, demikian pula untuk obat preventif jantung rematik dan pada penderita katup jantung abnormal.

KEPUSTAKAAN

1. Daftar Obat Esensial Nasional Departemen Kesehatan RI. 1983 : 33 2. Ellen Wijaya dkk. Pola Penggunaan Antibiotika di beberapa Puskesmas

dan beberapa faktor yang berkaitan. Seminar Nasional Antibiotika Juni 1987.

3. Hertiana Ayati dkk. Laporan Penelitian Pole Resistensi Kuman Streptokokus dari Abses Gigi terhadap 3 Antibiotika di Wilayah DKI Jakarta 1986/1987. Badan Litbangkes. Dep. Kea. 1987.

4. Lewis MAU, MacFarlane TW, McGowan DA. Quantitative Bacteriology of Acute Dentoalveolar Abscesses. J Med Microbiology. 1986. 21 : 101–4.

5. Geraro Bonang dan Enggar S. Kuswardono. Microbiology Kedokteran Untuk Laboratorium dan Klinik. Jakarta 1982 : 39–45.

6. Mandell GL and Sande MA. Antimicrobial Agents : Sulfonamides, Trimethoorim–Sulfamethoxazole, and Agents for Urinary Trac Infections. Dalam : Goodman and Gillman's The Pharmaclogical Basis of Therapeutics. Seventh Ed. 1986. 1095–108.

7. Sulfonamides and Trimethoprim. Dalam : AMA Drug Evaluation. Sixth Ed. 1986: 1451–67.

8. Slamet Djais dkk. Mikrobiologi Kedokteran Khusus : Streptococcus. Jakarta 1981; 1–2, 24–25.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 20

Page 22: Cdk 046 Antibiotika

Penggunaan Antibakteri Untuk Kasus Infeksi Saluran Nafas Bagian Atas

di Puskesmas

Retno Gitawati, Nani Sukasediati, Ellen Wijaya, Vincent HS Gan Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta ABSTRAK

Influenza dan infeksi saluran napas bagian atas (ISNA) masih merupakan jenis penyakit yang terbanyak ditemukan di puskesmas1,2. Penyebab utama kebanyakan ISNA adalah virus; karna itu antibiotika/anti bakteri tidak bermanfaat untuk digunakan. Ternyata dari penelitian ini didapatkan, penggunaan anti bakteri cukup tinggi, yaitu 94,7% dari 545 kasus ISNA mendapat anti bakteri. Sebagai contoh antara lain: 93,1% kasus influenza dan 94,8% kasus common-cold (selesma) diberi anti bakteri disamping obat-obat simtomatik.

Trisulfa dan tetrasiklin merupakan jenis anti bakteri tersering diberikan baik untuk influenza atau infeksi saluran napas bagian atas lain. Bahkan terdapat pula preskripsi klo ramfenikol untuk ISNA, walaupun penggunaan antibiotika ini jelas dibatasi untuk syok tifoid dan meningitis7.

Penggunaan antibakteri untuk ISNA karena virus me-nunjukkan ketidak-rasionalan penggunaan. Berbagai alasan dapat dikemukakan disini, antara lain kemungkinan untuk mencegah timbulnya komplikasi bakterial pada ISNA dan sebagainya, walaupun hal tersebut masih perlu dipertimbang-kan lagi. PENDAHULUAN

Infeksi saluran napas bagian atas (ISNA) masih merupakan jenis penyakit terbanyak ditemukan di I,ndonesia, khususnya di puskesmas1,2. Penyebab utama ISNA umumnya berbagai. jenis virus pernapasan, dengan gejala-gejala: rasa tidak enak/sakit di tenggorok, bersin, selesma, batuk, demam terutama pada bayi dan anak. Penyakit karena infeksi virus bisanya akan sembuh dengan sendirinya (self limiting disease) karena itu pada kunjungan pertama ke dokter/puskesmas pengobatan yang diberikan hanya bersifat simtomatik3,4. Penggunaan anti-bakteri pada kasus ini kurang dibenarkan, akan tetapi disinyalir penggunaan obat tersebut untuk ISNA di puskesmas masih sering dan cukup banyak.

Studi ini dilakukan untuk melihat jenis ISNA dan pola

pengobatannya di puskesmas, yang merupakan suatu survei eksploratif dan dilaksanakan secara retrospektif. BAHAN DAN CARA

Bahan untuk tulisan ini diambil dari data Penelitian Pola Penggunaan Obat di Puskesmas darn RSU kelas C dan D2. Penelitian berupa survei yang dilaksanakan secara retrospektif dengan mengambil sampel penderita yang berobat ke puskes-mas. Dari 6 buah puskesmas di Jawa, dipilih 1800 sampel (kasus) tahun 1983/1984 secara acak sistematik. Data di-turunkan dari kartu status berupa data preskripsi dan diagnosis penyakit, disalin ke dalam formulis isian. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan media elektronik/komputer dan disajikan dalam bentuk tabel persentase. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari 1800 kartu status/kasus puskesmas yang dipilih, hanya 1761 kasus yang dapat dianalisis dan 31% (545 kasus) di antaranya didiagnosis sebagai infeksi saluran napas bagian atas (ISNA). Jenis-jenis ISNA yang ditemukan terbanyak adalah influenza (58,4%), dan faringitis (26,1%).

Tabel 1. Distribusi jenis-jenis ISNA yang ditemukan di 6 puskesmas di Jawa pada 1983/1984.

Janis ISNA Jumlah kasus %

Influenza Faringitis Selesma ('common cold') Tonsilitis ISNA tidak spesifik

318 142 58 8 19

58,4 26,1 10,6 1,5 3,5

545 100,0

Telah diketahui influenza disebabkan oleh virus; demikian juga selesma (rinitis akut) pada dasarnya merupakan suatu

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 21

Page 23: Cdk 046 Antibiotika

gejala/sindrome yang timbul akibāt infeksi hanya oleh virus dan tidak disebabkan oleh kuman. Oleh karena itu, terapi yang diberikan hanyalah terapi simtomatik saja disamping istirahat yang cukup. Sebagian besar faringitis juga ditimbulkan oleh berbagai jenis virus pernapasan, meskipun faringitis dapat pula ditimbulkan oleh kuman (terutama Streptokokus beta-hemolitik), tetapi dari penelitian diperkirakan, frekuensi infeksi streptokokal hanya 2–7% dan jarang melebihi 10%3.

Walaupun telah diketahui bahwa anti-bakteri tidak rasional bila diberikan untuk kasus-kasus ISNA-viral, ternyata pada penelitian ini, 94,7% dari kasus 1SNA diberi anti-bakteri disamping obat simtomatik konvensional. Tabel 2. Kasus ISNA yang mendapat dan tidak mendapat anti-bakteri sistemik di puskesmas.

Anti-bakteri I + –

ISNA Juml. % Juml. % Influenza Faringitis Selesma Tonsilitis ISNA tidak spesifik

296 142 55 5 18

(93,1) (100,0) (94,8) (62,5) (94,7)

22 – 3 3 1

(6,9) –

(5,2) (37,5) (5,3)

516 (94,7) 29 (5,3)

Tabel 3. Kasus ISNA yang mendapat dan tidak mendapat obat-obat simtomatik.

Jum.kasus +

Jenis obat Juml. % Juml. %

Analgetik-antipiretik Antihistamin Antitusif-ekspektoran Vitamin

454 400 408 228

(83,3) (73,4) (74,9) (41,8)

91 145 137 317

(16,7) (26,6) (25,1) (58,2)

Nkasus = 545.

Jenis anti-bakteri yang terbanyak diberikan untuk ISNA adalah trisulfa dan tetrasiklin. Bahkan injeksi oksitetrasiklin dan prokain-penisilin juga diberikan di samping anti bakteri oral (Tabel 4). Keadaan ini dapat menggambarkan penggunaan anti bakteri yang cenderung berlebihan. Ditemukan pula 41 preskripsi kloramfenikol untuk kasus influenza, walaupun kloramfenikol telah dibatasi penggunaannya hanya untuk tifoid dan meningitis (Tabel 5). Penggunaan anti bakteri berspektrum Iuas dan cukup toksik tersebut, di samping tidak rasional juga akan merugikan perderita.

Telah dilaporkan bahwa banyak kuman telah resisten terhadap trisulfa dan tetrasiklin5,6. Di samping itu, trisulfa dike-tal banyak mempunyai efek samping, demikian pula tetrasiklin terutama pada bayi dan balita. Dengan demikian penggunaan trisulfa dan tetrasiklin yang cenderung berlebihan dan tidak rasional akan lebih banyak merugikan daripada memberikan manfaat.

Kecenderungan petugas kesehatan untuk memberikan antibakteri pada kasus-kasus ISNA kemungkinan disebabkan oleh berbagai bal. Diperkirakan alasan pemberian tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 4. Jenis anti bakteri yang dipreskripsi untuk kasus ISNA di puskesmas.

Jenis anti bakteri Jumlah.pres- kripsi %

Trisulfa Tetrasiklin Ampisilin Oksitetrasiklin, inj. Kloramfenikol Prokain-penisilin, inj. Kotrimoksazol Penisilin-C, inj. Eritromisin

200 152 135 102 61 12 5 3 3

29,7 22,6 20,1 15,2 9,1 1,8 0,7 0,4 0,4

. 673 100,0

Jumlah kasus ISNA : 545 kasus Jadi setiap kasus rata-rata mendapat 1,2 preskripsi anti bakteri. Tabel 5. Kasus ISNA dan jumlah preskripsi anti-bakteri yang diberikan.

Antibakteri

ISNA TS Tetra Oksi-

tetra Ampi-silin

Kloram-fenikol

T,ain-lain

Influenza Faringitis .Selesma (commoncold) (Sonsilitis ISNA tidak spesifik

87 80 31 2 –

105 35 6 1 5

22 76 3 1 –

95 21 4 3 12

41 5 14 – 1

14 9 – – –

• Pada tahap pertama sulit untuk menentukan penyebab infeksi oleh virus atau bakteri. • Pengambilan swab pada kasus ISNA di puskesmas tidak lazim deakukan, dan biasanya petugas kesehatan dengan pengetahuan dan pengalaman-yang dimilikinya mampu men-diagnosis gejala ISNA karena infeksi virus. Petugas kesehatan umumnya cukup menyadari, di samping memberikan terapi simtomatik, yang terbaik adalah melakukan observasi terhadap perjalanan penyakit/gejalanya, dan menganjurkan penderita untuk melakukan kunjungan ulang setelah 4 hari bila ke-adaannya tidak membaik. Akan tetapi, dengan mengemukakan alasan untuk mencegah kegagalan terapi akibat ketidak-patuhan penderita serta alas-an psikologis ("rasa aman" petugas kesehatan terhadap kekuatiran terjadinya komplikasi), maka anti bakteri sudah diberikan pada kunjungan pertama penderita ke puskesmas. Namun mungkin lebih sering terjadi, penderita datang berobat setelah menderita demam beberapa hari, sehingga antibakteri dianggap perlu diberikan. Terbatasnya persediaan antibakteri di puskesmas dalam hal jenis mengakibatkan pemilihan antibakteri menjadi semakin tidak selektif. Keadaan ini dapat semakin memperbesar tim-bulnya resistensi kuman dan risiko timbulnya efek samping pada penderita, terutama bayi dan balita.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 22

Page 24: Cdk 046 Antibiotika

KESIMPULAN DAN SARAN • 94,7 % ISNA diberi antibakteri. Walaupun alasan pemberi-an ini bermacam-macam a.l. untuk mencegah komplikasi in-feksi bakterial, hal ini adalah kurang rasional. Penggunaan antibakteri yang luas dan tidak selektif dapat memperbesar resistensi kuman dan menimbulkan supra-infeksi serta efek-samping lain yang merugikan penderita. • Petugas kesehatan diharapkan hanya memberikan terapi simtomatik pada kunjungan pertama penderita dengan gejala f lSNA, dan menganjurkan penderita untuk kembali berobat bila keadaannya memburuk setelah 3–4 hari, serta diharapkan petugas kesehatan dapat memotivasi penderita untuk mematuhi anjurannya.

KEPUSTAKAAN

1. Pundarika RL dkk. Survei Kesehatan Rumah Tangga Laporan

Penelitian Badan Litbahg Kesehatan R.1., 1980.

2. Gitawati R dkk. Penelitian Pendahuluan Pola Penggunaan Obat di Puskesmas, RSU kelas C dan D. Laporan Penelitian 1984/1985. Puslitbang Farmasi, Badan Litbang Kesehatan R.I.

3. Sardjito R. "Peranan virus dalam infeksi saluran pernafasan dan penanggulangannya" dalam : Josodiwondo dkk. (ed). Mikrobiolo- gi di Indonesia. Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, 1983 : 145 – 154.

4. Stanbridge N. Antibiotics in respiratory infections. Therapaeia. Oct. 1983 : 17 – 18.

5. Kadarwati U dkk. Pola resistensi kuman kokus terhadap 6 jenis antibiotika di wilayah Jakarta Timur. Kongres Nasional XII dan Kongres Ilmiah VI-ISFI, 1986, Yogyakarta.

6. Trihendrokesowo dkk. Macam kuman (dari pelbagai bahan pe- meriksaan di Yogyakarta) dan pola kepekaannya terhadap be- berapa antibiotika. Mikrobiologi Klinik Indonesia. Maret 1987; 2 (1) : 6–12.

7. Daftar Obat Esensial Nasional 1983, Departemen Kesehatan R.I.

Page 25: Cdk 046 Antibiotika

Pola Penulisan Resep Antibiotika di Kota Banjarmasin

S.R. Muktiningsih, Sudibyo S., Ellen W., M. Nurhadi, Max Herman Yosef

Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK

Untuk mengeluar pula Jawa, terhadap sejumlahkota Banjarmasin (dilakukan terhadapJuni 1986. Aspek yang banyak diprbentuk sediaan antkeahlian dokter yhanya dibatasi pad

umlah seluruhdarijumlah tersebuResep antibiotika umum, yaitu 558dokter spesialis.

Data kasar yainformasi deskriptBanjarmasin padaindikator untuk mbiotika. PENDAHULUAN

Pada umumndiagaosis penyakitfaktbr lain yang inulls ramp, jenis oantiibiotika begituinfeksi, sehingga pyang meluas tentujuk~can oleh antib

Sementara ituberbagai macam bgolongan baru msediaannya. Hal i

Cermin Dunia24

tahui gambaran penggunaan antibiotika di telah dilakukan suatu analisis retrospektif resep dokter di seluruh apotik yang ada di 14 apotik), Kalimantan Selatan. Pengamatan resep yang masuk selama 3 hari di bulan yang dianalisis antara lain jenis antibiotika eskripsi, jenis pabrik yang memproduksi, ibiotika, jumlah obat yang diambil dan jenis ang menulis preskripsi tersebut. Analisa

a antibiotika oral dan injeksi. resep yang terkumpul adalah 2206 lembar, t 851 lembar (38,58%) berisi antibiotika. tersebut 'sebagian besar berasal dari dokter lembar (65,57%), selebihnya berasal dari

ng diperoleh dari penelitian ini merupakan if mengenai penulisan resep antibiotika di saat itu, yang dapat dipakai sebagai. encari informasi lebih lanjut tentang anti-

ya penulisan resep sangat ditentukan oleh yang ditegakkan. Di samping itu masih ada kut berperan, seperti kebiasaan dokter me-bat yang beredar dan lain-lain. Dewasa ini

populer sebagai obat untuk menanggulangi enggunaannya demikian meluas. Pemakaian banyak dipengaruhi oleh hasil yang ditun-iotika dalam pengobatan. produksi antibiotika bertambah dengan

entuk, baik dengan ditemukannya antibiotika aupun hasil pengembangan dari bentuk

ni dapat membingungkan tenaga kesehatan

dalam menentukan obat mana yang akan dipakai. Akibatnva kemungkinan dapat terjadi penulisan resep yang tidak tepat.

Bagaimana pola penulisan resep antibiotika di luar Jawa, sampai sekarang masih belum banyak diungkapkan. Maka untuk mengetahui pola penulisan resep antibiotika tersebut, telah dilakukan penelitian retrospektif terhadap sejumlah resep yang masuk di 14 apotik di Banjarmasin.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pola penulisan resep antibiotika di Banjarmasin dengan meng-ungkapkan jenis antibiotika apa yang banyak dipreskripsi, serta berbagai aspek yang berkaitan dengan preskripsi resep tersebut. METODOLOGI

Penelitian bersifat retrospektif terhadap sejumlah resep yang masuk di apotik, dilakukan di 14 apotik di Banjarmasin. Besar sampel adalah seluruh resep yang masuk selama 3 hari pada bulan Juni 1986. Data yang dikumpulkan berupa data resep antibiotika yang dipreskripsi dokter. Pengolahan data dilakukan secara manual, hasil disajikan dalam bentuk tabel univariat. HASIL Tabel 1. Distribusi Resep Antibiotika dan Non Antibiotika selama 3 hari pada Bulan Juni 1986 di 14 Apotik di Banjarmasin.

Janis resep Jumlah lembar R/ %

Resep Antibiotika Resep Non Antibiotilca

851 1355

38,58 61,42

Jumlah 2206 100,00

Dari seluruh resep yang dikumpulkan (2206 lembar). ternyata 851 lembar mengandung antibiotika; balk dalam bentuk sediaan tunggal maupun racikan yang dikombinasi dengan obat lain.

Kedokteran No. 46, 1987

Page 26: Cdk 046 Antibiotika

Tabel 2. Distribusi Jumlah Resep Antibiotika Menurut Jenis Pengambilan.

Jenis pengambilan resep Jumlah lembar R/ %

Diambil separuh Diambil seluruhnya

168 683

19,74 80,26

Jumlah 851 100,00

Jumlah resep antibiotika yang diambil separuh ternyata ada 168 lembar (19,74%) dari seluruh resep antibiotika, sedangkan yang diambil seluruhnya sejumlah 683 lembar. Tabel 3. Distribusi Jumlah lembar Resep Antibiotika* Menurut Bentuk Sediaan.

Bentuk sediaan Golongan antibiotika

Tunggal Racikan Jumlah %

aminoglikosida sefalosporina makrolida kloramfenikol penisilina tetrasiklina kombinasi lain-lain

9 2 48 75

383 61 77 89

– 2 – 19 48 9 10 19

9 4 48 94

431 70 87

108

1,05 0,47 5,64

11,04 50,65 8,22

10,22 12,69

Jumlah 744 107 851 100,00

* Antibiotika dibagi dalam nama golongan. Dari seluruh resep antibiotika yang dipreskripsi, ternyata golongan penisilina paling banyak ditulis (50,65%), dan lebih banyak diberikan dalam bentuk sediaan tunggal. Sekilas nampak bahwa antibiotika yang dipreskripsi lebih banyak diberikan dalam bentuk sediaan tunggal (744 lembar) dari pada dalam bentuk racikan (107 lembar). Tabel 4. Distribusi Jumlah Nama Paten dan Jenis Pabrik produsen antibiotika yang dipreskripsi.

Jenis pabrik Golongan Antibiotika Jumlah nama paten

1 2 3 4 aminoglikosida sefalosporina kloramfenikol makrolida penisilina tetrasiklina kombinasi lain-lain

2 3 14 11 36 17 6 11

1 3 6 5 11 6 4 6

1 – 2 4 5 5 1 1

– – 2 1 8 2 – 1

– – 1 1 1 1 – –

Jumlah 100 42 19 14 4

Keterangan: 1 = PMA; 2 = PMDN:: 3 = S. Nasional; 4 = BUMN. (lihat Tabel 5, 6, 7) DISKUSI

Dari hasil penelitian terkumpul 2206 lembar resep, 851 lembar (38,58%) adalah resep antibiotika (tabel 1.). Dari resep antibiotika tersebut, ternyata 19,74% hanya diambil separuh-nya. Hal ini mungkin dapat disebabkan karena tingginya harga obat sehingga masyarakat.tidak dapat menebus seluruh-

Tabel 5. Distribusi Jumlah nama Paten Antibiotika yang Beredar di Indonesia menurut IIMS '86 dan ISO '86.

Golongan antibiotika IIMS 19&6 ISO 1986

aminoglokosida sefalosporina kloramfenikol makrolida penisilina tetrasiklina kombinasi lain-lain

20 19 46 33

121 75 34 17

16 16 50 27 103 72 12 35

Jumlah 365 331

Dari tabel 4 dan 5 terlihat bahwa : Jumlah nama paten antibiotika yang terbanyak dipreskripsi adalah golongan penisilina. Antibiotika tersebut terbanyak diproduksi oleh PMA. Dari 121 nama paten penisilina yang terdapat di IIMS '86 dan 103 di ISO '86, ternyata hanya 36 nama paten saja yang dipreskripsi oleh dokter di Banjarmasin. Tabel 6. Distribusi Jumlah Lembar Resep Antibiotika yang Dipreskripsi menurut Jenis Keahlian Dokter.

Jenis Keahliap Dokter Jumlah lembar resep antibiotika %

Umum anak kebidanan gigi bedah tulang paru-paru THT penyakit dalam jantung mata

558 181 10 38 2 7 27 12 8 8

65,57 21,27 1,17 4,46 0,23 0,82 3,17 1,38 0,92 0,92

Jumlah 851 100,00

Dari tabel di atas terlihat bahwa yang terbanyak menulis preskripsi antibiotika adalah dokter umum (65,57%), disusul oleh dokter anak (21,27%), doktergigi (4,46%) dan THT (3,17%). Tabel 7. Gambarar jenis Antibiotika yang Pernah Dipreskripsi menurut Jenis Keahlian Dokter.

Jenis Antibiotika Jenis keahlian dokter 1 2 3 4 5 6 7 8

umum * * * * * * * * anak * * * * * * * * kebidanan * * * * gigi * * * * bedah tulang * . * paru-paru * * * THT * * * penyakit dalam * * * * jantung * * mata *

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 25

Page 27: Cdk 046 Antibiotika

Keterangan : 1 = aminoglikosida; 2 = sefalosporina; 3 =kloramfenikol; 4 = nurkrolida; 5 = penisilina; 6 = tetrasiklina; 7 = kom binasi; 8 = lain-lain. Terlihat bahwa dokter umum dan dokter anak dalam preskripsi antibiotika lebih bervariasi. nya. Sebagian besar antibiotika yang dipreskripsi adalah produksi PMA. Hal ini kemungkinan menjadi salah satu sebab tingginya harga obat, sehingga resep hanya diambil setengah. Namun harus tetap diperhitungkan adanya faktor-faktor lain seperti kesadaran dan pengetahuan pasien akan pengobatan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.

Golongan penisilina dewasa ini merupakan antibiotika yang banyak sekali digunakan untuk penyakit infeksi. Dari hasil survei ini ternyata golongan ini mencakup 50,65% dari seluruh antibiotika yang dipreskripsi oleh dokter (tabel 3). Hal ini dikarenakan golongan penisilina mempunyai aktifitas anti-bakteri yang baik, terutama untuk infeksi akibat kuman gram+1. Hal ini pun dapat terlihat pada tabel 7, di mana hampir semua dokter yang ada pernah mempreskripsi golongan ampisilina.

Selain golongan penisilin, antibiotika kombinasi nampak cukup banyak dipreskripsi (10,22%). Jenis kombinasi tersebut adalah kombinasi antara ampisilin-kloksasilina. Kombinasi ampisilin-kloksasilin memang menghasilkan efek sinergistik secara klinis, tetapi indikasinya terbatas pada saluran kemih yang disebabkan oleh hasil gram + yang resisten terhadap ampisilin. Sedangkan untuk infeksi yang lain tidak ada bukti klinis yang meyakinkan bahwa kombinasi ini memberikan efek sinergistik. Karena itu lebih baik memberikan ampisilin atau kloksasilin saja dengan dosis yang adekuat, sehingga tidak meningkatkan biaya pengobatan yang tidak perlu2. Produk inipun sekarang telah sangat dibatasi peredarannya.

Dalam penelitian ini golongan kloramfenikol yang di-preskripsi adalah 11,09%. Dengan adanya efek samping anemia aplastik pada pemakaian kloramfenikol, seyogyanya penggunaannya terbatas pada infeksi tertentu seperti tifoid dan meningitis di rumah sakit dan di bawah pengawasan dokter yang memberikan pengobatan tersebut3.

Pēmakaian tetrasiklin di Banjarmasin adalah sebesar 8,22% (tabel 3). Namun penggunaan tetrasiklin di puskesmas terutama di daerah-daerah cukup tinggi. Beberapa survei kepekaan mikroba tcrhadap beberapa antibiotika di berbagai daerah men unjukkan resistensi tetrasiklin yang cukup tinggi terhadap mikroba4,5,6. Di samping itu perlu adanya kewaspadaan terhadap efek samping yang dapat timbul, antara lain: hipoplasia email yang menyebabkan pewarnaan gigi dan penimbunan dalam jaringan skclet. Dengan demikian rendahnya preskripsi tetrasiklin antara lain disebabkan efek samping tersebut atau masalah resistensi yang mulai berkembang akibat penggunaan di bidang non medik.

Dewasa ini nama paten antibiotika yang dipasarkan di Indo-nesia cukup banyak, menurut IIMS '86 ada 365 nama paten dan ISO '86 ada 331 nama paten (tabel 5). Dari seluruh antibiotika yang ada ternyata paling banyak diproduksi adalah golongan penisilin, yaitu 121 nama paten menurut IIMS '86 dan 103 nama paten menurut ISO '86. Dari sekian banyak nania paten golongan penisilin ternyata hanya 36 nama paten saja yang dipreskripsi oleh dokter di Banjarmasin dan merupakan produk PMA.

Dilihat dari jenis keahlian dokter, ternyata dokter umum

merupakan dokter yang paling banyak menulis resep anti-biotika dan meliputi semua jenis antibiotika yang ada. Ke-mudian disusul oleh dokter anak (tabel 6 dan 7). Hal ini dapat dimengerti karena dokter umum dan dokter anak menghadapi beraneka ragam penyakit. Sedangkan dokter spesialis lainnya sudah lebih terarah jenis penyakit yang dihadapinya, sehingga penggunaan antibiotika juga semakin terarah jenisnya.

Dengan adanya bahaya efek samping maupun resistensi kuman di dalam pengobatan dengan antibiotika, tenaga kesehatan perlu lebih memperhatikan pedoman pengobatan yang rasional, efektif dan aman. Hal ini tidak hanya terbatas pada pengobatan antibiotika saja. Pengertian rasional ialah bahwa diagnosis penyakit harus ditegakkan dengan tepat, sehingga pemilihan obat dapat dilakukan dengan tepat dan akan kena pada sasarannya dengan menimbulkan efek samping yang seminimal mungkin7. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : • masih adanya pasien yang mengambil obat dengan menebus hanya separuh dari dosis yang telah diberikan dokter. Adanya informasi yang jelas memang diperlukan dalam pemakaian antibiotika kepada pasien, untuk penggunaan yang efektif dan aman sertamemperkecil kemungkinan resistensi. • golongan penisilin merupakan antibiotika terbanyak di-preskripsi oleh dokter di Banjarmasin, terutama dalam bentuk sediaan tunggal (paten). • Antibiotika golongan penisilin dipreskripsi oleh dokter umum maupun dokter ahli. • Hanya 1/3 nama paten antibiotika yang dimanfaatkan

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 26

Page 28: Cdk 046 Antibiotika

oleh dokter di Banjarmasin dibandingkan dengan nama paten antibiotika yang beredar di Indonesia pada saat itu. Antibiotika yang diproduksi oleh pabrik PMA lebih banyak dipreskripsi dokter di Banjarmasin. • Penulisan resep antibiotika lebih banyak dilakukan oleh dokter umum, dibandingkan dengan dokter ahli lain, yang kemudian diikuti oleh dokter spesialis anak.

KEPUSTAKAAN

1. Gan VH, Antimikroba, Farmakologi dan Terapi, edisi II, Sulistia Gan

dick., Bagian Farmakologi FKUI., Jakarta, 1980: 443-569. 2. Rianto S. Kombinasi Tetap Derivat Penisilina, Simposium Kombinasi

Antimikroba, FKUI, Jakarta, 1982. 3. Daftar Obat Esensial Nasional, Dep. Kes RI., 1983. 4. Usman CW dkk., Jenis Kuman Isolat RS dan Pola Kepekaannya terhadap

antibiotika, dalam Mikrobiologi Klinik Indonesia, vol. 2, no. 2, Juli 1987: 3-9.

5. Ni Made Mertaniasih dkk. Pola Kepekaan Kuman Terhadap Beberapa antibiotika di Surabaya, Konas IAMKI 1987.

6. R. Iswara S., dkk., Pola Kepekaan Kuman Patogen terhadap Antibiotika di Medan, Januari–Juli 1987, Konas IAMKI 1987.

7. Setiawan B. Penggunaan Antibiotika Secara Rasional, efektif dan aman, Simposium Antibiotika, Cermin Dunia Kedokteran edisi khusus, 1976: 1-4.

8. Indonesia Index of Medical Spesialisties, vol 15, no. 1, Februari 1986.

9. Informasi Spesialite Obat Indonesia, vol 1, Januari 1986. 10. Ramonasari N, Erni H. Survei Penggunaan Kombinasi Antimikroba pada

Resep Apotik RS Dr. Ciptomangunkusumo, Simposium Kombinasi Antimikroba, FKUI, Jakarta, 1982.

11. Sande MA and Mandel GL. Antimicrobial agents, in The Phar-macological basis of Therapeutics, 6th. ed., Goodman LA and Gilman A. (eds). New York: Macmillan Publishing Co. 1980; 1097-1105.

12. Stephen C Edberg, Stephen A Berger, Antibiotics and Infection, Boradway, N.Y: Publisher Churchill Livingstone Inc. 1560, 1983.

13. Weinstein L. Antimicrobial Agents, in The Pharmacological Basis of Therapeutics, 6th., Goodman LA and Gilman A (eds). New Yorks: Machmillan Publishing Co, 1980.

14. Wilmana PF, Istiantoro J. Handoko T dan Kurnadi L. Pola Penulisan Resep Antibiotika di Jakarta Awal tahun 1976, Cermin Dunia Kedokteran, 1977: 11-15.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 27

Page 29: Cdk 046 Antibiotika

Analisa Residu Tetrasiklin dalam Ayam Broiler

Pudji Lastari *), Evie Herawati Kristyanto *), Noer lndah Pracoyo **)

* Pusat Penelitian dan Pengembangan Fannasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

** Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN

Residu antibiotika dalam makanan/minuman kemungkin-an merupakan salah satu faktor penyebab resistensi kuman terhadap antibiotika1. Resistensi kuman terhadap tetrasiklin di Jakarta telah terbukti ada, yaitu resistensi kuman kokus yang diisolasi dari usap tenggorokan anak sehat yang memberikan angka cukup tinggi2. Antibiotika dalam bidang peternakan digunakan untuk pengobatan penyakit dan sebagai bahan tambahan dalam makanan/minuman untuk merangsang pertumbuhan2-6.

Antibiotika yang diijinkan sebagai bahan tambahan dalam makanan/minuman ayam adalah : Basitrasin, Oleandomisiu, Virginiamisin dan Kitamisin7,8. Diduga antibiotika lain juga sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam makanan/minuman ayam, terutama tetrasiklin karena mudah didapat dan harganya relatip murah6. Tetrasiklin untuk pengobatan ayam diperbolehkan, tetapi sebagai bahan tambah-an dalam makanan/minuman dilarang. Tetrasiklin dalam tubuh ayam masih meninggalkan residu sampai waktu (withdrawal time = waktu henti) 5 hari4. Dikhawatirkan ayam telah di-potong sebelum waktu henti tersebut dilampaui, karena kurangnya pengetahuan atau terdesak oleh keadaan ekonomi.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran mengenai pencemaran daging dan hati ayam broiler oleh residu tetrasiklin.

BAHAN DAN CARA KERJA 1) Penelitian ini dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan kesehat-an Departemen Kesehatan RI, mulai April 1985 sampai dengan Maret 1986. 2) Sampel adalah daging dan hati dari 70 ayam broiler, di-ambil dari 70 tempat pemotongan ayam (TPA) di Jakarta

Pusat9. Setiap sampling diambil 10 ekor ayam dari 10 TPA. Sampel tidak diambil dari peternakan di daerah tersebut dan ayam sudah siap dipasarkan. 3) Penyediaan sampel10 :

Sampel dipotong kecil-kecil, ditambah larutan dapar kalium dihidrogen fosfat pH = 4,5 sampai volume 2 X beratnya, kemudian diblender. Diamkan 1 jam, aduk 10 menit supaya ekstraksi sempurna. Pusingkan, ambil bagian yang jernih (ekstraknya). 4) Pembanding adalah ekstrak yang berasal dari daging dan hati ayam broiler dengan konsentrasi tetrasiklin HCl (Fanna-kope Indonesia Edisi III) setara dengan 0,5 ppm tetrasiklin. 5) Blangko adalah ekstrak yang berasal dari daging dan hati ayam broiler bebas anti biotika. 6) Penyediaan jasad renik dan media perbenihan10 : Jasad renik Bacillus subtilis ATCC 6655 disuburkan kembali dalam Heart Infusion Broth (H1B, Difco) pada temperatur 37°C selama 6 – 18 jam, kemudian diencerkan dengan H 1 B sampai konsentrasi 180 X 107 per mil, selanjutnya ditanam pada Mueler Hinton Medium (MHM, Difco) pH = 5,8 dan tebal = 3.mm. 7) Pemeriksaan sampel : a) Penetapan adanya hambatan pertumbuhan jasad renik10. Metoda ini mempunyai sensitivitas = 0,4 ppm. Ekstrak sampel, pembanding dan blangko masing-masing 100 mcl diteteskan pada kertas disk berdiameter 12,7 mm, kemudian diletakkan pada media yang telah ditanami Bacillus subtilis ATCC 6655, masing-masing 3 X. Inkubasi pada temperatur 37°C selama 18 – 24 jam, kemudian dilihat apakah ada hambatan pertumbuhan jasad renik tersebut. Sampel yang menghambat pertumbuhan jasad renik dilanjutkan pemeriksaannya dengan identifikasi terhadap adanya tetrasiklin. b) ldentifikasi terhadap adanya tetrasiklin.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 28

Page 30: Cdk 046 Antibiotika

ldentifikasi dengan modifikasi cara Schothorst11, yaitu inembandingkan pola diameter daerah hambatan pertumbuhan jasad renik sampel terhadap pembanding. Ekstrak sampel dan pembanding diletakkan pada 4 cawan petri berisi media per-benihan yang masing-masing telah ditanami dengati Bacillus subtilis ATCC 6655, ATCC 6653, ATCC 6633 dan Bacillus cereus ATCC 11778, masing-masing 3 X. Apahila pola dia-meter daerah hambatan pertumbuhan jasad renik sampel sama atau sejajar dengan pembanding, maka sampel mengandung residu tetrasiklin. HASIL DAN DISKUSI

Penetapan adanya hambatan pertumbuhan jasad renik Tabel 1. Jumlah sampel yang memberikan hambatan pertumbuhan jasad renik.

Sampel Jumlah sampel Ada hambatan

Daging 70 0

Hati 70 46

Identifikasi terhadap adanya tetrasiklin Tabel 2. Diameter daerah hambatan pertumbuhan jasad renik oleh tetraksilin pembanding dalam sampel hati.

Jasad renik Diameter hambatan (mm)

Bacillus subtilis ATCC 6655 Bacillus subtilis ATCC 6653 Bacillus subtilis ATCC 6633 Bacillus cereus ATCC 11778

12,7 13 13

14,5

Gambar : Pola diameter daerah hambatan pertumbuhan jasad renik oleh tetrasiklin pembanding dalam hati dan beberapa sampel hati. Diameter hambatan (mm)

Hasil pemeriksaan penetapan adanya hambatan per-tumbuhan jasad renik menunjukkan, semua sampel daging negatip dan 65,71% sampel hati positip. Blangko hati yang berasal dari ayam bebas antibiotika ternyata juga ada yang menghambat pertumbuhan jasad renik. Diduga, hati me-ngandung zat yang dapat menghambat pertumbuhan jasad renik untuk melindungi diri dari kuman penyakit1 , sehubungan dengan fungsi sebagai detoksifikasi.

Setelah dilakukan identifikasi terhadap tetrasiklin, ternyata semua sampel hati yang menghambat pertumbuhan jasad renik mempunyai pola diameter daerah hambatan yang berbeda dengan pembanding tetrasiklin. Begitu pula dengan blangko hati yang menimbulkan hambatan pertumbuhan jasad renik. Dari penelitian ini semua sampel yang diperiksa tidak terdeteksi adanya residu tetrasiklin, tanpa menutup kemungkinan adanya residu antibiotika lain. KESIMPULAN

Penelitian analisa residu tetrasiklin dalam ayam broiler terhadap 70 sampel daging dan 70 sampel hati memberikan gambaran, semua sampel daging tidak menghambat per-tumbuhan Bacillus subtilis ATCC 6655 dan 65,71% sampel hati memberikan hambatan pertumbuhan. Setelah dilakukan identifikasi, ternyata hambatan yang ditimbulkan oleh sampel hati tidal( terdeteksi adanya residu tetrasiklin. Jadi daging dan hati ayam broiler yang diperiksa tidak tercemar oleh residu tetrasiklin.

KEPUSTAKAAN

1. Smither R, et al. Antibiotic Residues in Meat in The United Kingdom; Journal of Hygiene; Cambridge; 1980; 85 : 359.

2. The Public Health Aspects of The Use of Antibiotics in Food and Feed Stuffs; Technical Report Series No. 260; WHO; Geneva; 1963.

3. Code of Federal Regulation XXI; Food and Drug part 500 to 599; published by The Office of The Federal Register, National Archives and Record Service, General Services Administration; revised as fo April 1, 1980.

4. Lewis BP Jr, MS and LO Wilken PhD. Veterinary Drug Index; USA; W.B. Saunders Company; 1982.

5. Meyer Jones L, Nicholas H Booth, Leslie F Mc Donald. Veterinary Pharmacologie; fourth Edition; The Jowa State University.

6. Sihombing MP, dkk. Laporan Penelitian Physician Sampless; Fakultas Farmasi Universitas Airlangga; 1978.

7. Peraturan Perundangan Kesehatan Hewan; I; Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian.

8. Peraturan Perundangan Kesehatan Hewan; Jurnal Pelayanan Kesehatan Hewan; 11 (khusus); 1/I/85; Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. Laporan Pembinaan Tempat Potong Ayam di Wilayah DKI Jakarta, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta; 1983.

9. Murad J dan EH Kristyanto. Metoda Pemeriksaan Tetrasiklin Dalam Daging Ayam Dengan Menggunakan Bacillus; disajikan pada Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional IV; Jakarta; September, 1986.

10. Schothorst M van and Peelen Knol G. Detection and Identification

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 29

Page 31: Cdk 046 Antibiotika

of Some Antibiotics in Slaughter. Animals; Neth J Vet Sci; 1970; 3:85 -93. 12. Kristyanto EH, Pudji Lastari dan Pracoyo NI. Analisa Pendahuluan

Residu Tetraksiklin dalam Ayam Broiler secara Mikrobiologi; disajikan pada Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional IV; Jakarta; September, 1986.

13. Specification for Identity and Purity of Food Additives and their Toxicological Evaluation; Some Antibiotics; Technical Report Series No. 430; WHO; Geneva; 1969.

14. Usman Ch W, dkk. Isolasi Kuman-kuman Coccus dari usap teng- gorokan anak-anak sehat di Jakarta dan gambaran tes resistensi terhadap antibiotika; disajikan pada Seminar Mikrobiologi II;

Yogyakarta; 1978.

UCAPAN TERIMA KASIH Atas terlaksananya penelitian ini kami mengucapkan terima kasih

kepada : 1. Dra. Sdri Sugati Syamsuhidayat, Kepala Puslitbang Farmasi 2. dr. Iskak Koiman, Kepala Puslit Penyakit Menular. 3. dr Cyrus H Simanjuntak, Puslit Penyakit Menular. 4. drh Oni Saaroni, Kepala Dinas Peternakan DKI Jakarta. 5. Staf Peneliti dan Pembantu peneliti yang telah membantu terlaksananya

penelitian ini.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 30

Page 32: Cdk 046 Antibiotika

Dispepsia Non Ulser

Dr. A. Azis Rani, Dr. Daldiyono, Dr. Ismail Ali, Dr. Chudahman M, Dr. R. Simadibrata.

Subbagian Gastroenterologi Raglan I/mu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Sindroma dispepsia sudah sejak lama dikenal, terdiri dari kumpulan gejala nyeri epigastrium, rasa kembung, nausea, anoreksia dan flatulen. Sebagian besar dihubungkan dengan kelainan organik saluran cerna dan sistem hepatopankreatiko bilier, atau bagian dari penyakit sistemik. Sebagian lagi me-rupakan sekelompok penderita sindroma dispepsia tanpa adanya kelainan organik, sehingga menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaan jangka panjang.

Sesuai dengan kemajuan diagnostik penyakit saluran cerna, dikenal istilah dispepsia fungsional, X ray negative dyspepsia, dispepsia non ulser, atau dispepsia non ulser yang esensial. Dengan perkembangan endoskopi, seluruh saluran cerna tennasuk saluran pankreas dan bilier, telah dapat di-periksa dengan seksama, secara langsung atau dengan meng-gunakan kontras. Kenyataannya hasil pemeriksaan tersebut belum dapat mengungkapkan penyebab sindroma ini secara keseluruhan.

Berbagai penjelasan telah dikemukakan mengenai pe-nyebab gejala-gejala tersebut, diantaranya adalah kemungkin-an gangguan motilitas saluran cerna. Secara fungsional, gangguan motilitas akan menyebabkan pengosongan lambung terganggu, refluks enterogastrik, pseudo obstruksi intestinal kronik, dan irritable bowel syndrome, dengan gejala yang tumpang tindih.

Pengetahuan mengenai gangguan motilitas akan mem-perluas pandangan mengenai kelainan fungsional saluran cerna ini dan dapat menjadi dasar dalam pengobatan yang rasional. Dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah gangguan fungsional pada saluran cerna bagian atas, yaitu dispepsia non ulser.

Klasifikasi Penyebab sindroma dispepsia sebagian besar karena penyakit organik saluran cerna, sedang di luar saluran cerna kita me-ngenal diabetes mellitus, penyakit tiroid, atau kelainan susunan saraf pusat (CVD). Berikut ini salah satu klasifikasi sindroma dispepsia:

I.A. Kelainan organik saluran cerna. A.I.1. Saluran cerna bagian atas

− Esofagitis refluks − Gastritis/duodenitis − Tukak pep tik (esofagus, lambung, duodenum) − Tukak anastomose Karsinoma gaster − Dilatasi gaster − Hipertropi pilorus − Gastroptosis − Divertikulum gaster/duodenum − Duodenal ileus, TBC usus, adhesi usus/mesen-

terium. A.I.2. Saluran cerna bagian bawah : Karsinoma kolon; A.I.3. Pankreas :

− Pankreatitis kronis − Karsinoma pankreas

A.1.4. Sistim bilier: − Kholesistitis − Batu kandung empedu

A.1.5. Hati − Hepatitis akut/kronis − Karsinoma hati.

I.B. Kelainan non organik saluran cerna: − Gastralgia − Dispepsia karena asam lambung − Dispepsia flatulen − Dispepsia alergik − Dispepsia essensial − Pseudoobstruksi intestinal kronik − Irritable bowel syndrome

II. Penyakit organik di luar saluran cerna: II. 1. Diabetes mellitus: gastroparesis 2; Hipertiroid 3. Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi). III. Psikogen : – Histeria

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 31

Page 33: Cdk 046 Antibiotika

Psikosomatik. Motilitas saluran cerna Motilitas saluran cerna pada dasarnya diatur melalui mekanis-me hormonal dan neural. Pada saluran cerna bagian atas, mekanisme hormonal lebih berperan, sedang mekanisme neural lebih menonjol pada saluran cerna bagian bawah. Pada keadaan atau waktu tertentu mungkin saja terjadi pergeseran yang sesuai dengan kebutuhan. Pengaruh hormon pada motilitas saluran cerna Dewasa ini telah diketahui beberapa honnon saluran cerna, misalnya gastrin, cholecystokinin (CCK), sekretin, glukagon, motilin, vasoactive intestinal polypeptide (VIP), gastric inhibi-tory peptide(GIP), enterogastron, somatostatin, dan subtansi P. Tidak semua hormon ini jelas pengaruhnya terhadap motilitas salu ran cerna, dan terdapat efek yang berbeda pada gaster, duodenum, usus halus atau usus besar. Berikut ini beberapa hormon yang sudah diketahui efeknya secara tersendiri (Lihat Tabel 1). Tabel 1. Beberapa hormon yang sudah diketahui efeknya secara tersendiri.

Lower Esophageal Sphincter Stomach Pylorus Smallintestine Colon

Gastrin cholecystokinin Secretin Glucagon Medlin

(antral) (fundal)

(proximal duodenum) (distal duode- num and jejenum)

Seperti telah dikemukakan masih belum jelas interaksi hormon-hormon ini pada kadar yang berbeda-beda, sehingga efek fisiologis secara keseluruhan belum dapat dipastikan. Regulasi neural pada motilitas saluran cerna Sistem saraf yang berperanan penting dalam mengatur motilitas saluran cerna adalah sistem saraf otonom dan somatik. Saraf somatik mempengaruhi otot skelet dan otot lurik saluran cerna bagian atas (esofagus proksimal). Sistem saraf otonom yang mengatur otot polos saluran cerna, terdiri dari neuron preganglion, sel neuron, akson post ganglion, dan neuron intra-mural. Dikenal 3 macam saraf otonom, yaitu simpatis, para-simpatis, dan enterik. Aktivitas saraf otonom dimungkinkan dengan adanya neurotransmitter kolinergik, adrenergik dan non kolinergik non adrenergik.

Neurotransmitter non kolinergik non adrenergik (NCNA) terutama bersifat inhibisi, dan tidak dapat pengaruhi oleh anta-gonis adrenergik atau kolinergik. Kemungkinan yang tergolong pada neurotransmitter NCNA adalah serotoninergik, puri-nergik, peptidergik, substansi P, neurotensin, somatostatin,

substansi opioid, VIP,, thyrotropin releasing factor (TRF), dan gamma amino butyric acid (GABA). Saraf simpatik pada umumnya bersifat menghambat motilitas usus, kecuali eksitasi pada sfingter . Neurotransmitter sistem ini adalah norepinefrin, epinefrin, dan dopamin, yang bekerja pada reseptor alfa1,2 dan beta1,2.

Inhibisi usus terutama terjadi akibat aktifasi reseptor alfa yang menghambat pelepasan asetilkolin pada presinap terminal dan inhibisi neuron eksistatori intramural. Dopamin merupakan stimulan polos saluran cerna, dapat bersifat inhibisi. Saraf parasimpatis terdiri dari saraf utama, yaitu vagus dan sakral. Saraf sakral berperan pada refleks defekasi. Pengaruh vagus terhadap saluran cerna bersifat umum, karena ikut berperan pada sekresi hormon saluran cerna. Stimulasi vagus menyebabkan relaksasi sfingter esofagus, relaksasi fundus, dan peningkatan aktivitas propulsi bagian distal lambung. Seperti telah dikemukakan, peran vagus pada motilitas saluran cerna bersifat tidak langsung, tapi secara sekunder dengan mempengaruhi sekresi hormon saluran cerna. Bilateral vagotomi akan menyebabkan dilatasi, tonus dan peristaltik menurun serta perlambatan pengosongan lambung.

Saraf enterik terdiri dari 2 pleksus yaitu auerbach (myen-terik) dan Meisner. Sistem ini meliputi: reseptor sensorik, neuron aferen, neuron integratif dan neuron motorik. Peran-annya terutama pada berbagai refleks saluran cerna, seperti peristaltik esofagus, relaksasi sfingter esofagus, relaksasi dan akomodasi gaster proksimal, peristaltik antrum, propulsi usus halus dan kolon, relaksasi pilorus, ileocoecal, oddi dan anal. Reflek-reflek tersebut melibatkan neuron eksitasi kolinergik, neuron eksitasi – inhibisi non kolinergik – non adrenergik. Jadi dapat disimpulkan bahwa eksitasi atau inhibisi otot polos dipengaruhi saraf kolinergik atau non kolinergik – non adre-nergik, sedang saraf simpatis bersifat inhibisi saja. Untuk otot sfingter tonusnya dipengaruhi oleh saraf non kolinergik – non adrenergik.

Gangguan motilitas pada dispepsia non ulser

Dalam hal ini yang terganggu adalah motilitas lambung dan duodenum. Dengan pemeriksaan elektrotniografi peroral telah diketahui adanya disritinia lambung (Gastric dysrhyth-mia). Tipe distritmia lambung • Takigastria • Aritmia, Takiaritmia • Bradigastria • Hipo atau Agastrotonia. Pengosongan lambung yang terlambat akibat bradigastria akan menimbulkan rasa cepat penuh, kembung, dilatasi antrum yang akan merangsang sekresi asam lambung dan menimbulkan nyeri. Pengosongan yang terlalu cepat menyebabkan keasaman di duo-denum meningkat, gangguan sekresi hormon usus, dan meng-akibatkan enzim pankreas tidak dapat bekerja secara optimal. Nampak bahwa gangguan motilitas tidak hanya ditentukan oleh mekanisme neural, tetapi juga oleh faktor-faktor hormonal usus dan intraluminer seperti enzim pencernaan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 32

Page 34: Cdk 046 Antibiotika

Beberapa Aspek Hukum Surat Keterangan Sakit Ditinjau dari

Profesi Kedokteran

Dr. Soeharto Pusat Kesehatan Masyarakat Pandaan, Kabupaten Pasuruan,

Jawa Timur PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini ramai dibicarakan di dalam beberapa mass media, tentang tidak dapat dilaksanakannya proses peradilan terhadap seorang terdakwa oleh karena terdakwa sedang dalam keadaan sakit. Kejadian sakit terdakwa ini terjadi berulang-ulang sehingga sangat mengganggu jalannya proses peradilan terhadap terdakwa, karena Hakim berulang kali harus menunda sidang sampai terdakwa menjadi sehat kembali.

Sebenarnya, masalah kesakitari yang terjadi pada manusia adalah hal yang biasa, di mana kemudian penderita pergi ke-pada seorang dokter untuk berobat agar menjadi cepat sembuh dan dapat cepat bekerja kembali. Untuk membantu usaha pengobatannya ini, Dokter akan memberikan istirahat beberapa hari sesuai dengan perkiraan Dokter tentang lamanya penyembuhan yang diperlukan oleh penderita agar menjadi pulih kembali secara fisik maupun mental. Untuk kepenting-'an administratif, biasanya seorang Dokter akan memberikan Surat Keterangan istirahat karena sakit kepada penderita.

Surat keterangan Dokter untuk istirahat sakit ini diperlu-kan, karena penderita mempunyai perikatan dengan orang lain atau pihak-pihak lain, sehingga perikatan ini secara tidak langsung akan melibatkan Dokter yang memberikan surat keterangan sakit kepada penderita tersebut. Di dalam hal ini, seorang Dokter dalam memberikan surat istirahat tidak dapat begitu saja menentukan lamanya istirahat untuk penderita atau pasiennya, tetapi juga harus mempertimbangkan hal-hal yang menyangkut diri penderitanya. Pertimbangan mengenai lamanya istirahat ini dimungkinkan karena mengenai keadaan sehat sendiri yang mempunyai kriteria-kriteria dan tingkatan, di man seorang Dokter dapat menentukan lamanya istirahat bagi pasiennya sesuai dengan pendapat Dokter itu sendiri, di samping ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh ilmu kedokteran. Jadi, walaupun sudah ada pegangan-pegang- an yang sesuai dengan ilmu kedokteran, sering seorang Dokter harus memakai pendapatnya sendiri di dalam menentukan lamanya seorang penderita harus istirahat karena sakit. Se-orang Dokter harus mempertimbangkan segala sesuatu yang

menyangkut sakit atau penyakit pasiennya, tentang pasiennya itu sendiri maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan pasien-nya tersebut. Pada pokoknya, seorang penderita makin cukup istirahati ya makin baik pula kesehatannya.

Permasalahan surat keterangan sakit ini akan menjadi lebih sulit apabila penderita tersebut mempunyai masalah dalam bidang peradilan, misalnya penderita itu seorang terdakwa. Dalam proses peradilan ini, penderita sebagai terdakwa harus memenuhi panggilan pengadilan untuk hadir dalam per-sidangan. Di sini seorang Dokter dalam menggunakan pen-dapatnya untuk menentukan lama istirahat bagi pasiennya harus berhati-hati, jangan sampai membuat "kekeliruan" sehingga kekeliruan ini akan menimbulkan tindak pidana yang pada gilirannya akan menimbulkan pertanggungan-jawab pidana yang dapat menyulitkan Dokter sendiri. BATASAN DAN PENGERTIAN • Dokter Adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan ke-dokterannya pada suatu Universitas serta mendapatkan izasah Dokter. Di dalam melaksanakan profesi kedokterannya, ia harus mendapatkan izin menjalankan pekerjaan Dokter dari pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerin-tah Nomor 32 tahun 1964. • Pasien atau penderita Adalah seseorang yang menderita sakit dan mencari kesembuh-annya dengan meminta jasa kepada Dokter. Di dalam mencari upaya kesembuhan ini, penderita atau pasien secara sukarela menyerahkan kesehatannya kepada Dokter. Dokter, baik se-bagai ahli kesehatan maupun sebagai petugas kesehatan, secara hukum membuat perikatarrdengan pasiennya. • Sehat Adalah suatu keadaan manusia, di man terdapat keseimbang- an yang sempurna, baik fisik, mental, social dan ekonomi, serta tidak hanya karena tidak adanya penyakit serta cacad. Di dalam pengertian sehat di sini, mengandung hal-hal yang komplek, serta di samping adanya kriteria-kriteria yang. Dapat

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 33

Page 35: Cdk 046 Antibiotika

diukur. juga mengandung hal-hal yang tidak dapat diukur dan sitatnya rclatif. Dokter dapat memberikan pendapat tentang schat ini sesuai dengan pandangannya dengan faktor-faktor yang ntcmpcngaruhi kesehatan yang mampu ia lihat dan per-timbangkan. • Perbuatan pidana Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang. Perbuatan pidana ini disebut juga dengan delik. Menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dal= pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat dikatakan pub, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial. Suatu hal yang perlu diingat, tidak semua perbuatan yang melawan hukum atau yang bersifat merugikan masyarakat diberi sanksi pidana. Begitu juga kita tidak dapat mengatakan bahwa hanya perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian yang besar saja yang dijadikan perbuatan pidana. Untuk itu, menjadi kewajiban pemerintah untuk dapat dengan bijaksana menentu-kan apa-apa yang diklasifikasikan sebagai perbuatan pidana itu, sesuai dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Jadi syarat utama dari adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang dan mengancam dengan pidana kepada barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Perbuatan melawan hukum yang tidak dilarang dan di-ancarn oleh undang-undang dengan pidana, tidak merupakan perbuatan pidana, melainkan hanya mernungkinkan orang yang terkena perbuatan itu, sebagai penderita, untuk menuntut penggantian kerugian dalam lapangan hukum perdata. Dalam menentukan perbuatan apa yang dipandang sebagai perbuatan pidana, kita menganut asas legalitet, artinya, tiaptiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang. • Pertanggungjawaban pidana Perbuatan yang tercela oleh masyarakat, dipertanggungjawab-kan kepada si pembuatnya, artinya celaan yang obyektif ter-hadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa. Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal per-tanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian dipidana, tergantung apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang melakukan kesalahan, maka akan dipidana. Tetapi apabila dia tidak mempunyai kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, terdakwa harus : a. melakukan perbuatan pidana b. mampu bertanggung jawab c. dengan sengaja atau alpa d. tidak ada alasan pemaaf • Kemampuan bertanggung jawab Simons mengatakan, kesalahan adalah keadaan kejiwaan orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian sehingga orang itu dapat

dicela karena perbuatan tadi. Keadaan bathin atau kejiwaan seseorang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan soal yang lazim disebut masalah kemampu-an bertanggung-jawab, sedangkan hubungan antara keadaan bathin dengan perbuatan yang dilakukan merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf. Jadi hal mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan. ASPEK HUKUM DARIPADA SURAT KETERANGAN SAKIT

Tertundanya suatu proses-peradilan terhadap seseorang terdakwa karena terdakwa menderita sakit, yang diperkuat dengan adanya surat keterangan istirahat dari Dokter, dapat terjadi pada setiap proses peradilan. Dalam keadaan di mana terdakwa tidak dapat menghadiri sidang, merupakan hal yang mungkin dapat terjadi pada diri seseorang. Namun apabila kejadian sakit ini terjadi berulang-ulang dan disertai surat Dokter berkali-kali, sehingga mengganggu suatu proses per-adilan, dapat timbul beberapa pertanyaan mengcnai sakit dan surat keterangan Dokter tersebut; apakah terdakwa benarbenar sakit? Apakah surat keterangan Dokter itu benar? Mengapa apabila terdakwa sakit dalam waktu yang lama tidak dirumah-sakitkan? Akan timbul kesan bahwa Dokter tersebut tidak benar dalam membuat surat keterangan sakit atau surat keterangan Dokter tersebut palsu.

Dalam pasal 267 Kitab Undang-undang Hukum pidana, dinyatakan: 1) Seorang Dokter yang dengan sengaja memberikan suatu keterangan tcrtulis yang palsu mengenai ada atau tidak adanya penyakit, kelemahan-kelemahan badan atau cacad-cacad badan dihukum penjara dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. 2) Apabila keterangan itu telah diberikan dengan maksud agar seseorang itu diterima untuk dirawat di suatu Rumah Sakit Jiwa atau agar seseorang itu dicegah untuk dirawat di sana, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun dan enam bulan. 3) Dihukum dengan hukuman-hukuman yang sama barang-siapa dengan sengaja mempergunakan keterangan palsu ter-sebut, seolah-olah isinya itu adalah sesuai dengan kebenaran.

Kemudian pada pasal 268 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia tertulis : 1) Barangsiapa membuat secara palsu atau memalsukan surat keterangan dokter mengenai ada atau tidak adanya penyakit, kelemahan-kelemahan badan atau cacad-cacad badan, dengan maksud memperdaya kekuasaan umum atau penanggung-penanggung, dihukum dengan hukuman penjara selama-lama-nya empat tahun. 2) Dihukum dengan hukuman yang sama, barangsiapa dengan maksud yang sama mempergunakan surat keterangan yang palsu atau dipalsukan termaksud di atas, seolah-olah surat keterangan itu adalah ash dan tidak dipalsukan.

Seorang dokter yang telah menyelesaikan pendidikannya, serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, dapat melaksanakan tugas-tugas kedokteran-nya. Sebagai akibat dari pekerjaannya dokter mempunyai kewajihan-kewajiban yang telah dinyatakan di dalam Undang-undang nomor 6 tahun 1963. Di samping itu seorang dokter

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 34

Page 36: Cdk 046 Antibiotika

dalam melaksanakan tugasnya harus pula memperhatikan sumpah dokter serta kode etik kedokteran. Selama pendidik-annya seorang dokter telah diberikan ilmu tentang bermacam-macam penyakit serta cara-cara pengobatannya. Beberapa organisasi profesi kedokteran di negara-negara lain telah pula mengeluarkan etika kedokteran yang antara lain merumuskan beberapa tugas dan kewajiban-kewajiban yang mencakup kewajiban-kewajiban umum, kewajiban terhadap penderita atau pasien, kewajiban tentang melaksanakan profesinya, kewajiban terhadap sesama dokter, dan kewajiban terhadap sesama tenaga kesehatan. Seorang dokter mempunyai kewajiban umum, misalnya untuk senantiasa memelihara pengetahuan dan ilmunya dengan sebaik-baiknya. Terhadap penderita atau pasien, seorang dokter harus senantiasa membantu sepenuhnya. Setiap dokter wajib bersikap tulus dan mempergunakan segala ilmunya dan ketrampilannya untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, ia wajib berujuk kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

Kembali kepada masalah pemberian surat keterangan sakit yang dianggap tidak benar, maka harus dilihat dahulu tentang bagaimana dokter tersebut mengeluarkan surat keterangan. Apabila surat keterangan tersebut dianggap palsu, maka se-benarnya yang termasuk dalam perbuatan pidana hanyalah sifat-sifat dari perbuatan itu. Memberi keterangan palsu tentang ada atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacad. Apabila sifat-sifat dari perbuatan ini, seperti tersebut di atas telah ada (pasal 267), telah ada pulalah perbuatan pidananya. Bila dalam keadaan sebenarnya dokter memberikan surat keterangan, di man surat keterangan tersebut menyebutkan tentang adanya atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacad; ternyata keterangan tersebut tidak benar, maka sudah dapat dikatakan bahwa dokter tersebut telah melakukan perbuatan pidana. Pembuatnya itu diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Apakah dokter tersebut dipidana, hal ini akan bergantung kepada sifat-sifat orang yang melakukan perbuatan itu. Keada-an pada waktu dokter tersebut membuat atau memberikan surat keterangan tersebut harus menjadikan pertimbangan. Bukan tidak mungkin bahwa dokter telah memberikan surat keterangan palsu karena dipaksa oleh orang lain, dan paksaan ini demikian menekan batin dokter, sehingga ia terpaksa me-nuruti kehendak dari orang yang memaksa itu, walaupun ia mengetahui benar bahwa perbuatannya itu terlarang. Kemung-kinan lain, dokter memberikan surat keterangan tentang ada atau tidak adanya penyakit, ada atau tidak adanya kelemahan dan cacad, padahal keadaan sebenarnya tidak demikian. Apa-kah surat keterangan dokter tersebut palsu. Dalam hal ini mungkin dokter telah memberikan apa yang telah sesuai dengan keyakinannya tentang keadaan pasiennya, sesuai dengan pedoman bahwa seorang dokter harus melakukan sesuatu yang telah diyakini untuk kebaikan pasiennya. Dalam hal ini mungkin dokter telah meyakini bahwa untuk kebaikan pasiennya, harus diberikan keterangan tersebut. Pada keadaan yang demikian, akan dapat terjadi, apa yang telah diperbuat oleh dokter tersebut semata-mata karena kekeliruan ilmiah, sehingga dokter tersebut memberikan surat keterangan. Dalam

hal di atas dokter mungkin tidak dipidana, tetapi bukan karena dokter tersebut tidak melakukan perbuatan pidana, dokter jelas telah melakukan perbuatan pidana tetapi dinilai bahwa dokter tersebut tidak melakukan kesalahan. Dalam contoh pertama dokter melakukan tindak pidana karena adanya alasan pemaaf, yaitu dokter dalam keadaan terpaksa membuat surat keterangan. Sedang dalam contoh kedua dinilai bahwa dokter tersebut tidak dipidana karena tidak ada kesengajaan. Mem-berikan keterangan tidak benar sebagai akibat dari kekeliruan ilmiah tidak mengakibatkan dipidana. Menurut kelazimannya, dalam pengertian perbuatan pidana dicakup sebagai 'isinya sifat-sifat dari perbuatan yang terlarang dan kesalahan dari si terdakwa.

Secara teoretis, konsekuensinya adalah, melakukan per-buatan pidana tentu dipidana. Sedang sifat-sifat yang lain yang ada pada terdakwa diperlukan hanya untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana yang dijatuhkan.

PENUTUP

Dalam melaksanakan tugasnya, seorang dokter harus ber-pegang kepada segala peraturan-peraturan yang berlaku. Di Indonesia, walaupun belum ada aturan-aturan yang jelas me-rumuskan mengenai profesi kedokteran, ada Undang-undāng nomor 6 tahun 1963 yang mengatur mengenai pelaksanaan pekerjaan dokter atau dokter gigi. Tugas dan kewajiban se-orang dokter mencakup kewajiban-kewajiban umum, ke-wajiban terhadap penderita, kewajiban tentang cara melaksana-kan profesi, kewajiban terhadap sesama dokter, dan kewajiban terhadap sesama tenaga kesehatan.

Seperti juga pekerjaan-pekerjaan dalam bidang lain yang mempunyai hubungan kerja dengan orang lain, pekerjaan dokter mempunyai akibat hukum. Kesalahan dalain melaku-kan pekerjaan dapat berakibat terlibat dalam perbuatan pidana yang berakibat ancaman pidana bagi dokter. Pemberian surat keterangan sakit kepada penderita, seorang dokter tidak dapat hanya mempertimbangkan kesehatan penderita saja, tetapi juga perlu memperhatikan semua aspek yang menyangkut diri pasien. Pemberian surat keterangan tanpa memperhatikan hal-hal di atas dapat menimbulkan kesan, telah memberikan ke-terangan yang tidak benar tentang diri penderita. Menurut pasal 267 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, hal yang de-mikian dapat diancam sanksi pidana penjara selama-lamanya empat tahun. Tidak semua perbuatan pidana berakibat di-pidananya orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut, oleh karena perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggungan jawab pidana, sehingga memberikan konsekuensi yang ber-lainan dengan pengertian yang tidak mengandung ide pemi-sahan.

KEPUSTAKAAN

1. Lumintang PAI : Hukum Pidana Indonesia. 2. Roeslan Salch. Perbuatan Pidana dan Pertanggungan jawab Pidana. Dua

pengertian dasar dalam ilmu Hukum. 3. Soeryono Sockanto. Aspek Hukum dan Etika Kedokteran di Indonesia. 4. Ubaidah. Kumpulan Kuliah ilmu Hukum semester II tahun 1986. 5. Berita IDI : Ruang Etikdan Hukum. Edisi April, Mci, Juni, 1980.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 35

Page 37: Cdk 046 Antibiotika

Darah Dalam Tinja Neonatus

Dr. Firman Sitepu, Dr. Djauhariah AM dan Dr. Nassir Abbas

Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RSU Ujungpandang, Ujungpandang

PENDAHULUAN

Darah dalam tinja neonatus (DDTN) dapat berupa hema-tokezia atau melena. Hematokezia berarti tinja mengandung darah yang terlihat berwarna merah darah, sedangkan melena berwarna hitam atau coklat kehitaman karena sudah mengalami perubahan kimiawi selama dalam saluran cerna. Banyaknya darah bervariasi dari titik terlihat dengan mata telanjang sampai perdarahan masif'. Meskipun insidensi DDTN belum diketahui secara pasti namun keadaan ini tidak jarang terjadi.

DDTN sering menggelisahkan orang tua dan segera mem-bawanya ke dokter. Di lain pihak, dokter sering sukar mene-gakkan diagnosis.

Sebagian kasus memerlukan penanganan yang serius ber-gantung pada penyebab dan beratnya perdarahan.

Tujuan tulisan ini membicarakan beberapa aspek DDTN. ETIOLOGI

DDTN dapat disebabkan karena darah ibu yang tertelan atau perdarahan dalam saluran cerna. Sebab musabab per-daerahan saluran cerna pada neonatus antara lain: perdarahan idiopatik, penyakit perdarahan bayi barn lahir, necrotizing enterocolitis , tukak tekanan pada lambung atau duodenum, alergi susu sapi, gastroenteritis, esofagitis, fisura ani, volvulus dan lain-lain. • Tertelan darah ibu

Biasanya darah tertelan selama persalinan dan melena ter-jadi 48 – 72 jam pertama. Kadang-kadang darah berasal dari fisura mammae sewaktu menetek, dalam hal ini umumnya me-lena, ditemukan setelah bayi berumur lebih 3 hari. Keadaan umum penderita baik1-4. Pemeriksaan hemoglobin dan hema-tokrit secara berrkala menunjukkan nilai normal. Darah ibu (Hb A) dan darah neonatus (Hb F) dapat dibedakan dengan uji

denaturasi alkali (Apt-Downey test). • Perdarahan idiopatik

Meskipun sudah dilakukan pemeriksaan lengkap dengan alat diagnostik yang piling mutakhir seperti endoskopi, arte-riografi dan radio nuklear, namun sebagian kasus yang tidak sedikit tidak dapat dijumpai lesi yang spesifik5. Perdarahan pada bayi golongan ini akan berhenti sendiri tanpa gejala sisal .

• Penyakit perdarahan bayi baru lahir (PPBBL) PPBBL yang klasik disebabkan oleh defisiensi vitamin K,

akibatnya'terjadi defisiensi faktor-faktor pembekuan yang ber-gantung pada vitamin K yaitu faktor II, VII, IX dan X. Dalam keadaan normal waktu lahir partial thromboplastin time (PTT) dan prothrombin time (PT) nilainya normal, kemudian memanjang dan maksimum pada hari ke 2–3, lalu menurun kembali sampai normal pada akhir minggu pertama. PT dan PTT yang memanjang akan lebih panjang lagi pada defisiensi vitamin K sehingga terjadilah perdarahan6. Timbulnya per-darahan paling sering hari ke 2–5 setelah lahir7. Defisiensi vitamin K pada bayi baru lahir dapat disebabkan karena fungsi hati belum matang, ibu menderita defisiensi vitamin K dan usus bayi yang masih steril. PPBBL dapat juga oleh trombosito-penia3 . Gejala klinik selain hematokezia/melena juga ditemu-kan perdarahan di tempat lain misalnya tali pusat, hidung, kulit, selaput lendir, subgalea dan intrakranium.

• "Necrotizing enterocolitis "(NEC) NEC pada bayi baru lahir merupakan penyakit akut dan

berat yang disertai ulserasi dan nekrosis setempat atau tersebar pada usus halus bagian bawah dan usus besar.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya NEC antara lain: gangguan sirkulasi (iskemia) mukosa usus, infeksi ter-

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 36

Page 38: Cdk 046 Antibiotika

utama bakteri gram negatip, makanan seperti susu sapi, lebih-lebih kalau osmolaritasnya tinggi1.

Gejala klinik sudah dapat ditemukan sejak hari petama sampai minggu ke-4, tetapi paling sering pada umur 5 hari pertama. Mungkin gejala diawali dengan perut gembung. mun-tah dan hematokezia disusul oleh tanda-tanda perforasi dan peritonitis, asidosis berat, letargi, pembekuarr intravaskuler diseminata, sepsis dan renjatan. Kasus dengan perjalanan pe-nyakit tidak begitu mendadak memperlihatkan bayi letargi, malas minum, perut gembung, tinja bercampur darah dan di-ikuti tanda-tanda ileus. Beberapa hari kemudian mungkin disertai perforasi usus dan peritonitis.

Pada kebanyakan kasus NEC, foto polos abdomen mem-perlihatkan distensi-usus halus dan penimbunan gas intramural. Kemudian gas menembus dinding usus dan memberikan gam-baran spesifik yang disebut pneumatosis cystoides intestinalis. Selain itu dpat terlihat udara bebas dalam rongga peritonium atau sistem porta. Kalau ditemukan udara dalam sistem porta biasanya prognosis buruk2.

Tidak dijumpainya kelainan radiologik seperti tersebut di atas, maka kemungkinan diagnosis ialah tukak tekanan pada lambung atau duodenum2. • Tukak tekanan pada lambung atau duodenum (TTLD )

Kemungkinan TTLD hams dipikirkan kalau terjadi hema-temesis dan hematokezia/melena pada bayi baru lahir (terutama 48 jam pertama) yang mempunyai riwayat: persalinan lama, hipoksia berulang, hipoglikemia, hematoma subdural, menigitis atau sepsis1,7.

Tanda-tanda dan gejala yang paling sering ialah perdarahan saluran cerna yang hebat, perut gembung dan perforasi. Selang nasogastrik membantu menegakkan diagnosis dan X-ray abdomen dapat menunjukkan tanda-tanda perforasi. • Alergi susu sapi

Protein susu sapi kadang-kadang dapat menyebabkan reaksi alergik sejak minggu pertama kehidupan2. Manifestasi klinik mungkin ditemukan pada sistem pernapasan, kulit dan saluran cerna8. Tanda-tanda dan gejala saluran cerna dapat berupa muntah, kolik, konstipasi dan diare dengan atau tanpa darah . Pemeriksaan mukosa dengan sigmoidoskopi mem-perlihatkan bintik-bintik perdarahan multipel dan rapuh. Mikroskopik terlihat proses radang dengan infiltrasi sel plasma dan eosinofil pada mukosa.

X-ray (barium enema) menunjukkan spasme segmental dan ulserasi di daerah kolon9. Apabila pemberian susu sapi dihentikan akan terjadi penyembuhan yang sempurna2. • Gastroenteritis

Gejala klinik infeksi saluran cerna dapat berupa muntah dan diare dengan atau tanpa darah. Kadang-kadang diare sen-diri menyebabkan fisura-ani1 . Diagnosis ditegakkan dengan biakan tinja dan mikro-orgnisme patogen biasanya shigella dan salmonella. • Esofagitis

Dapat terjadi karena regurgitasi asam yang berulang- ulang pada esofagus, kemudian terjadi perdarahan, oleh

khalasia atau hernia hiatus. Gejala klinik khalasia/hernia hiatus antara lain muntah, hematemesis, melena, pneumonia aspirasi dan gangguan pertumbuhan.

Diagnosis khalasia berdasarkan fluoroskopi dan foto aliran balik barium dari lambung ke esofagus selama pernapasan atau apabila perut ditekan dari luar sedangkan hernia hiatus berdasarkan X-ray dan gsofaguskopi10. • Fisura ani

Mekonium atau tinja yang besar dan keras, pemeriksaan rektum, kadang-kadang melukai selaput lendir anus menye-babkan perdarahan. Kelainan ini dapat dilihat dengan me-lebarkan anus atau memasukkan tabung reaksi yang kecil ke dalamnya1. • Volvulus

Bagian usus yang terikat di dinding belakang rongga perut hanya pada 2 tempat yaitu duodenum dan kolon proksimal sehingga puliran usus dapat terjadi di antara kedua tempat tersebut, balk secara komplit maupun parsial. Letaknya obstruksi hampir selalu pada duodenojejunal junction. Sirkulasi darah di daerah obstruksi sering tersumbat menyebabkan gangren6. Gejala klinik ialah muntah dan perut gem-bung yang timbul akut disertai tinja bercampur darah; biasanya mulai beberapa hari setelah lahir1,6. X-ray abdomen memperlihatkan tanda-tanda obstruksi.

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Riwayat penyakit Data yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis

misalnya: • umur penderita: Kelainan yang dapat menyebabkan tinja berdarah spesifik untuk kelompok umur tertentu. Umpamanya tertelan darah ibu waktu persalinan biasanya ditemukan darah dalam tinja/mekonium 48–72 jam pertama. PPBBL paling sering hari ke 2–5. • menduga asal perdarahan: dari saluran cerna atau darah ibu yang tertelan. • menaksir banyaknya perdarahan: apakah terlihat seperti ga-ris menetes, satu sendok dan sebagainya. TTLD dan PPBBL dapat memberikan perdarahan hebat sedangkan esofagitis, fisura ani dan gastroenteritis biasanya hanya sedikit7. • warna darah: berwarna merah terang, merah gelap atau hitam seperti ter. Warna hitam biasanya perdarahan saluran cerna bagian atas dan warna merah terang berasal dari saluran cerna bagian distal. Tetapi perdarahan masif pada lambung mungkin berwarna merah, selain itu perdarahan yang menetes lambat dari ileum kadang-kadang menjadikan tinja seperti ter2. • letaknya darah dalam tinja: Di bagian luar seperti garis mungkin lesinya di ampula rektum atau saluran anus10, se-dangkan dari saluran cerna yang lebih proksimal darah ber-campur dengan tinja. • perdarahan di tempat lain: misalnya di kulit, selaput lendir, tali pusat dan lain-lain. Kelainan ini biasanya karena penyakit perdarahan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 37

Page 39: Cdk 046 Antibiotika

• keadaan penderita: apakah nampak sakit, demam, pucat, sakit perut, diare, konstipasi, muntah atau tanpa kelainan lain. Misalnya pada TTLD dan NEC bayi nampak sakit jelas, sebaliknya tertelan darah ibu dan fisura ani keadaan umumnya baik. • riwayat kehamilan dan persalinan: Prematuritas dan persa-linan yang sulit sering berhubungan dengan TTLD dan NEC. • makanan: Apakah bayi mendapat ASI, susu sapi atau obat-obat tertentu. Kalau minum ASI mungkin tertelan dari ftssura mammae; susu sapi kadang-kadang menyebabkan alergi dan obat-obat tertentu seperti ampisilin dan linkomisin dapat memberikan gambaran seperti darah dalam tinja.

Pemeriksaan fisik Yang sangat menolong untuk menegakkan diagnosis

antara lain1 : • tanda-tanda vital: apakah ada hipovolemia atau renjatan. • lesi pada kulit: misalnya purpura karena PPBBL. • pemeriksaan abdomen: mungkin dijumpai tanda-tanda perut gembung dengan tumor yang menunjukkan suatu obstruksi dengan perdarahan yang dapat ditemukan pada volvulus. Tumor yang bergerak mendukung lokasinya di daerah usus atau mesenterium. • pemeriksaan nasofaring: untuk mencari sumber perdarahan. • pemeriksaan rektum: anus dilebarkan atau dimasukkan tabung kecil ke dalamnya untuk melihat adanya fisuraani.

Pemeriksaan khusus Darah dalam tinja dapat dibuktikan dengan uji guajakol

atau uji benzidin. Apakah darah bayi atau ibu, diperiksa dengan uji denaturasi alkali (test Apt-Downey). Pemeriksaan darah lengkap serta Hb dan Ht dimonitor tiap 4–24 jam untuk menilai beratnya perdarahan. Pemeriksaan hitung trombosit, waktu perdarahan, PTT dan PT untuk membedakan penyakit perdarahan atau lesi setempat pada saluran cerna.

Bergantung pada sangkaan diagnosis mungkin diperlukan pemeriksaan, seperti selang nasogastrik, foto polos perut, "barium meal", biakan tinja dan lain-lain. Akhir-akhir ini di-gunakan pemeriksaan arteriografi, endoskopi dan radionuklear.

PENGOBATAN

Pengobatan DDTN bergantung pada etiologi dan beratnya perdarahan. Kalau kehilangan darah cukup banyak mungkin diperlukan transfusi darah. Tertelan darah ibu tidak perlu di-obati. Perdarahan idiopatik dan fisura ani pada neonatus biasa-nya sembuh spontan.

Yang berikut memerlukan penanganan: • Penyakit perdarahan bayi baru lahir

Pada kausa defisiensi vitamin K diberikan vitamin K dan biasanya perdarahan berhenti cepat dalam beberapa jam. Dosis 9,5–1 mg im/iv yang dapat diulang beberapa kali bila perlu6. Pada trombositopenia yang berat ada kecenderungan terjadi perdarahan otak, oleh karena itu diperlukan transfusi trom-bosit3. • Tukak tekanan pada lambung atau duodenum

Pasang selang nasogastrik, perdarahan tukak dapat di-

kontrol dengan pembilasan berulang menggunakan larutan garam fisiologik yang dingin seperti es' . Jika'terjadi perforasi segera operasi. • "Vecrotizing enterocolitis"

Setelah diagnosis ditegakkan segera pasang pengisap lam-bung secara intermitten atau menetap dan hentikan makanan per os. Keperluan cairan dan kalori diberikan melalui infus. Di-berikan antibiotika, biasanya kombinasi penisilin dan kanami-sin, Setiap 6–12 jam dibuat ulangan foto polos perut tegak untuk melihat perkembangan penyakit. Sebagian kasus meng-alami perbaikan setelah 48–72 jam tetapi kebanyakan me-laporkan angka kematian di atas 50%, sehin,.4.a ada kecen-derungan menangani kasus lebih agresif.

Apabila dengan tindakan konservatif tidak terdapat per-baikan, dianjurkan operasi sekalipun tidak ada perforasi2. • Gastroenteritis

Bergantung pada etiologinya, untuk shigella dapat diberi-kan ampisilin parenteral atau per os 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis. Selain itu sering digunakan tetrasiklin, sulfona-mid dan kloramfenikol10. Dipertimbangkan pula pemberian cairan dan elektrolit. • Alergi susu sapi

Pemberian susu sapi dihentikan. • Volvulus

Sekali diagnosis ditegakkan, terapi pilihan ialah operasi. Kadang-kadang obstruksi dapat sembuh spontan tetapi kalau ditunggu keadaan ini terjadi dapat menyebabkan nekrosis usus lebih luas sehingga lebih merugikan penderita4.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 38

Page 40: Cdk 046 Antibiotika

• Esofagitis Umumnya kausa esofagitis ialah hernia hiatus atau kha-

lasia. Oleh sebab itu pengobatannya digunakan terhadap pe-nyebabnya. Biasanya dimulai dengan pengobatan konservatif misalnya dengan memberikan makanan yang lebih kental dan posisi bayi setengah duduk/memakai kursi khusus. Kebanyakan kasus (80%) hernia hiatus akan sembuh dengan cara ini dalam waktu lebih kurang 3 bulan. Khalasia umurnnya bersifat sementara dan akan menghilang setelah umur 6 bulan tetapi satu-satu ada yang menetap5.

Kasus-kasus yang gagal dengan tindakan konservatif di-lakukan koreksi bedah yang berarti bahwa selama masa neo-natus tidak dilakukan operasi.

KEPUSTAKAAN

1. Pascoe DJ and Grossman M. Quick Reference to Paediatric Emergencies. Philadelphia–Toronto: JB Lippincott 1973; pp 147–52.

2. Behrman RE. Neonatology, Diseases of The Fetus and Infant Saint Louis: CV Mosby Co. 1973; pp 400–1.

3. Black J. Neonatal Emergencies and Other Problem. London: Butterworths. 1972; pp87–93.

4. Davies PA, Robinson RI, Scopes JW, Tizard JPM and Wiggles-worth IS. Medical Care of Newborn Babies. Clinics in Develop-mental Medicine nos. 44/45. 1972; pp 196–7, 202, 206–10.

5. Berman WF and Holtzapple PG. Gastrointestinal Hemorrhage. Ped Clin North Am. 1975; 23:885–95.

6. Schaffer AJ and Every ME. Diseases of The New Born 3rd ed. Philadelphia–London–Toronto: WB Saunders Co. 1971; pp 271–2, 322–4, 519–21.

7. Roy CC, Silverman A and Cozzetto FJ. Paediatric Clinical Gas-troenterology 2nd ed. Saint Louis: CV Mosby Co. 1975; pp 26–30, 88–94.

8. Susanto AH. Cow's Milk Protein Sensitive Enteropathy. Clinical and Histological Features in Infants. Paediatr Indones. 1982; 22:65–9.

9. Swischuk LE and Hayden CK. Barium Enema Finings (? Segmental Colitis) in Four Neonates with Bloody Diarrhea – Possible Wow's Milk Allergy. Paediatr Radiol. 1985; 15:34–37.

10. Kempe CH, Silver HK, and O'Brien D. Current Paediatric Diagnosis & Treatment 4th ed. Los Altos, California: Lange Medical Publ. 1976; pp 414–5, 434, 442, 733–5, 737.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 39

Page 41: Cdk 046 Antibiotika

Etiopatogenesis Sindrom Defisiensi Imun Yang Didapat

Drs.med. Eddy Hartono*, Drs.med. I Made Jeren*, Dr. Ketut Ngurah** *Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar

**Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar PENDAHULUAN1-4

Sindrom defisiensi imun yang didapat (SDID), yang lebih populer dengan sebutan AIDS (acquired immune de- ficiency syndrome) merupakan penyakit defisiensi imunitas seluler, sedangkan penyebab defisiensi tersebut tidak ditemu-kan pada penderita. Akibat kehilangan kekebalan, penderita AIDS mudah terkena infeksi bakteri, jamur, parasit dan virus yang bersifat oportunistik. AIDS yang sering disertai keganasan, khususnya sarkoma Kaposi dan limfoma yang menyerang otak.

SDID pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1981. Namun dalam penelitian retrospektif menunjuk-kan, AIDS bermula lebih awal, yaitu pada akhir tahun 1970 penyakit ini telah ditemukan di Afrika Tengah dan Caribia dengan pola infeksi yang berbeda. Infeksi AIDS di Amerika Serikat paling banyak terjadi pada kelompok homoseksual, sedangkan di. Afrika Tengah dan Caribia tidak menunjukkan faktor risiko yang khas. Pada mulanya penyakit ini dilaporkan pada laki-laki homoseksual, tetapi kemudian ditemukan pula pada mereka yang bukan homoseksual bahkan pada anak-anak.

Oleh karena AIDS merupakan penyakit pembawa maut dengan jumlah kasus yang cenderung meningkat progresif, maka banyak menarik perhatian para ilmuwan kedokteran. Telah banyak dilakukan penelitian guna menyingkap tabir rahasia AIDS, namun jangkauan pengetahuan tentang AIDS hingga saat ini masih terbatas.

Meskipun penyakit AIDS belum bisa ditangani secara tuntas, tetapi dengan mengetahui dan mempelajari etiopato-gerlesisnya diharapkan dapat menekan kasus atau minimal bisa mencegahnya. Dalam makalah ini akan dibahas etiologi dan patogenesis, kriteria diagnostik, epidemiologi dan sedikit mengenai pencegahan dan pengobatannya.

ETIOPATOGENESIS AIDS Etiologi2-10

Sampai saat ini penyebab AIDS belum diketahui dengan jelas. Namun pola epidemiologisnya memberikan gambaran, penyebabnya adalah sejenis bahan yang dapat ditransmisikan, baik berupa kontak seksual, melalui serum, maupun melalui plasenta. Walaupun banyak yang diduga sebagai penyebabnya, baik secara sendiri maupun sebagai kofaktor, tetapi virus diduga sangat kuat sebagai penyebabnya. Hal ini ditunjang oleh beberapa pengamatan, antara lain: 1. distribusi penyakit sesuai dengan hepatitis B di negara-

negara industri.. 2. karakteristik patofisiologinya sesuai dengan penyakit virus

pada binatang. 3. AIDS terjadi pada penerima darah meskipun darah itu

telah disterilkan dengan filter, sehingga ada dugaaa bahwa penyebabnya adalah bahan yang dapat melalui filter.

4. data epidemiologis menunjukkan bahwa penyebaran terjadi karena kontak antar individu.

5. pemeriksaan dengan teknik laboratorium sederhana ter-nyata tidak ditemukan bakteri, jamur, mikoplasina dan beberapa jenis bahan sebagai penyebabnya. Mengingat hubungannya dengan keganasan, imunosu-

presif dan infeksi oportunistik, retrovirus diduga sebagai penyebab AIDS. Beberapa artikel yang dipublikasikan oleh National Cancer Institute menunjukkan human T cell lym-photrophic virus (HTLV III)" yang merupakan suatu retro-virus. HTLV iii ini berhasil diisolasi dari sejumlah penderita AIDS atau yang memperlihatkan gejala prodromal AIDS. Antibodi terhadap HTLV III-antigen ini ditemukan pada sejumlah sampel serum, yaitu 88% dari penderita AIDS dan 79% dari penderita dengan sindrom limfadenopati. Hanya

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 40

Page 42: Cdk 046 Antibiotika

satu dari 64 orang yang sehat mempunyai antibodi terhadap HTLV III-antigen ini. Dari penelitian di Perancis dilaporkan telah dapat diisolasi dua bentuk virus yang mirip dengan retrovirus. Yang pertama berhasil diisolasi dari kelenjar limfe laki-laki homoseksual dengan limfadenopati dan diberi nama lymphadenopathy virus (LAV). Bentuk kedua diisolasi dari kultur limfosit T penderita hemofilia B, virus ini diberi nama immunodeficiency associated virus (IDAV).

Penelitian lebih lanjut menunjukkan, HTLV III yang di-temukan oleh Gallo (1984) dan LAV yang ditemukan Monta-gier dkk (1983), ternyata identik dan dapat diiosolasi dari penderita AIDS dan AIDS related complex. Gallo dkk di Washington dapat membuktikan adanya hubungan erat antara AIDS dengan varian baru dari T cell leucemia virus (HTLV I), yakni virus yang dapat venyebabkan adult T cell leucemia melalui transformasi set T. Virus serumpun yang dapat me-nimbulkan proliferasi patologis dari sel T dinamakan HTLV II, sedangkan HTLV 111 mempunyai kemampuan menghancur-kan sel T.

HTLV III termasuk kelompok retrovirus karena ke-mampuannya mensintesis deoxyribonucleic acid (DNA) dari ribonucleic acid (RNA). Dalam keadaan normal RNA dibentuk. dari DNA. HTLV 111 diaineternya 100-120 mm dan mempunyai nukleus silindris. Virus ini sangat 'infeksius dan siap ditransmisikan melalui darah, saliva dan cairan semen pen-derita homoseksual.

Patogenesis1,4,6,7

Berdasarkan data yang ada ternyata transmisi terbanyak adalah melalui kontak seksual pada penderita homoseksual. Cara transmisi lainnya bisa melalui jarum suntik yang dipakai pecandu narkotika. dan juga melalui transfusi darah seperti penderita hemofilia. Belum dibuktikan adanya transmisi malalui kulit, barang-barang rumah tangga atau melalui udara. Penularan dapat pula melalui kontaminasi selaput lendir oleh darah atau cairan tubuh penderita AIDS, melalui air susu ibu penderita AIDS kepada bayi atau melalui plasenta. Belakangan ini ada pelbagai laporan bahwa. orang tanpa kontak erat pun dapat ketularan, misalnya kalau ada lecet atau luka di kulit. Masa inkubasi virus AIDS 13 bulan - 5 tahun.

Dalam sistem imunologi yang normal, bila suatu virus menginvasi tubuh yang sehat, virus akan dideteksi dan di-identifikasi oleh makrofag. Makrofag akan memberitahu sel T agar waspada. Sel T diaktivasi dan mengadakan multiplikasi dalam pelbagai jenis sel T. Helper T cell (sel T penolong) akan menstimulasi sel B. Sel B mengadakan multiplikasi dan memproduksi antibodi yang akan menyerang dan mematikan virus yang masuk.

Pada serangan virus AIDS keadaannya berbeda.Jika virus AIDS menyerang tubuh, virus ini akan menginfeksi sel T penolong. Virus memblokir kemampuan sel T untuk me- ngenal zat asing. Kemudian virus mengubah sel T penolong menjadi tempat berkembangbiaknya. Karena sel T tidak lagi memegang peranan dalam melawan infeksi, virus AIDS dengan leluasa mengadakan inultiplikasi dan menyebar ke seluruh

tubuh. Sementara itu, sel T yang sudah rusak memproduksi virus AIDS dan menyerang sel T yang lain. Jelas, dengan adanya infeksi virus AIDS, jumlah helper T limfosit (limfosit T penolong) akan semakin menurun dan sistem imunologis tidak berfungsi lagi. Limfadenopati dan gejala klinik lainnya akan tampak. Virus, selain bersifat limfotropik juga bersifat neurotropik dan menyerang limfosit T4 dan sel otak. Dengan demikian, sistem imun pertahanan tubuh dan sistem saraf pusat akan hancur.

Dengan menurunnya sistem imunologis maka akan timbul infeksi oportunistik, seperti radang paru-paru Pneumocystic carinii, sarcoma Kaposi dan infeksi Mycobacterium avium intraseluler.

KRITERIA DIAGNOSTIK DAN GEJALA KLINIK2,7,11,12,13

Penyakit AIDS dapat bervariasi dari ringan sampai berat. Diagnostiknya berdasarkan adanya defisiensi imunitas seluler yang penyebab penyakitnya tidak diketahui dengan jelas. Karena gejala-gejala ini tidak spesifik untuk AIDS maka diperlukan anamnesis yang cermat mengenai faktor risikonya. Berdasarkan gejala kliniknya, AIDS diklasifikasikan sebagai berikut :

Full Blown AIDS Terlihat adanya kemunduran imunitas seluler lengan di-

temukannya sarkoma Kaposi, radang paru-paru Pneumocystic carinii dan infeksi oportunistik lainnya. Penyebab kemunduran imunitas tersebut tidak diketahui dengan jelas.

AIDS Related Complex Penderita AIDS related complex (ARC) menunjukkan

gejala limfadenopati yang tersebar luas, penurunan berat badan dengan cepat, febris, luka-luka di mulut, diare kronis, rasa lemah, limfopenia, anemia, idiopatik trombositopenia, pengurangan jumlah limfosit T4 serta pengurangan rasio T4/T8. Para penderita ini tidak ditemukan infeksi oportunistik dan sarkoma Kaposi. Chronic Lymphadenopathy Syndrome

Ditemukan limfadenopati pada laki-laki homoseksual minimal selama tiga bulan dan mengenai lebih dari dua ke-lenjar ekstrainguinal tanpa penyebab yang jelas.

Pre-AIDS Pada tenninologi ini penderita sangat mungkin berkem-

bang menjadi f dl blown AIDS. Akan tetapi, karena belum ada bukti yang jelas, kapan orang menjadi All blown AIDS, terminologi ini masih sulit dipastikan.

Amstrong (1983) membuat kriteria diagnostik berdasarkan adanya infeksi oportunistik oleh bakteri, jamur, parasit dan virus. Kriteria tersebut, yaitu bila seseorang menderita satu jenis infeksi yang tercantum dalam tabel I, atau menderita dua maupun lebih infeksi yang tercantum dalam tabel II, maka orang tersebut mungkin menderita AIDS. GAMBARAN LABORATORIUM2,7,8,14

Kelainan imunologis yang terlihat pada AIDS ialah pe-

Tabel I

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 41

Page 43: Cdk 046 Antibiotika

Penyakit yang disebabkan oleh salah satu dari organisme-orga- nisrne di bawah ini merupakan petunjuk adanya AIDS

Bakteri Fungus Parasit Virus

Mycobacterium intracellulare avium complex

Esofagitis karena Candida

Pneumonia Pneumocys- tic carinii Ensefalitis karena Toxoplasma gondii

Bentuk diseminata virus Cytomegalus herpes simplex yang progresif ulseratif Lekoensefalopatia progresif multifokal

Tabel II Penyakit yang disebabkan oleh dua atau lebih organisme di bawah ini merupakan petunjuk adanya AIDS

Bakteri Fungus Parasit Virus

Pneumonia ka- rena Legionella spp., Mycobac- terim tbc. Nocardia Listeria Brucella

Cryptococcus neoformans Histoplasma capsulatum Coccidiodes Blastomyses

Cryptosporidio- sis (diare lebih dari satu bulan) Strongiloides

Varicella herpes zos- ter diseminata Adenovirus Epstein Barr virus

nurunan jumlah limfosit, yaitu rasio T helper (T4) dengan T supressor terbalik dan kurang daripada 1. Pada full blown AIDS, tanda khas yang tampak yaitu depresi dan disfungsi limfosit T4 disertai hiperaktivitas dari sel B. Kelainan fungsi sel T dapat dilihat baik invivo inaupun invitro. Invivo berupa alergi kulit, penurunan hipersensitivitas tipe lambar terhadap anteigen yang sudah dikenal seperti Candida, Mumps dan Purified Protein Derivate (PPD). Invitro berupa penurunan transformasi blast dari limfosit pada rangsangan nonspesifik dengan miteogen seperti pytohemaglutinin atau rangsangan spesifik dengan toksoid tetanus atau PPD. Atau dengan me-nurunnya reaksi limfosit campuran pada rangsangan antigen allo pada pertnukaan limfosit. Pada permulaan penyakit di-temukan peningkatan konsentrasi imunoglobulin G (Ig G) dan imunoglobulin A (Ig A). Di samping itu, terjadi penurunan proteksi gamma interferon dan interleukin 2. EPIDEMIOLOGI11-13

The Centers for Disease Control (CDC) menerima laporan sejumlah 593 kasus sarkoma Kaposi, pneumonia Pneumocys-tic carinii dan infeksi oportunistik lainnya dalam periode Juni 1981 – September 1982. Penderita pada umumnya berumur 15 - 60 tahun tanpa penyakit imunosupresif mau- pun pengobatan dengan imunosupresan. Dari sejumlah kasus tersebut, 41% penderita telah meninggal. Jumlah penderita terus meningkat hingga bulan Mei 1985 diperkirakan sekitar 12.000. Laporan terakhir pada bulan September 1985 di Xmerika Serikat sudah mencapai 13.000 kasus. Begitu pula halnya jumlah penderita di Eropah meningkat dengan cepat. Misalnya di Perancis, ditemukan tiga kasus baru setiap minggu selama akhir tahun 1984. Di Jerman Barat dan Inggris pun

ditemukan dua penderita baru tiap minggu. Sedangkan di Swiss dan Belanda hanya ditemukan satu kasus baru tiap minggunya. Laporan dari Asia hanya menyebutkan satu dua kasus saja. Dan di Jakarta ditemukan tiga kasus bentuk ringan (AIDS related complex ).

Pola infeksi penderita AIDS di negara Barat umumnya mengikuti kaidah seperti berikut : − 75% pada kelompok homoseksual atau biseksual, − 13% pada kelompok pecandu narkotika yang menggunakan

obat secara intra vena, − 6% pada orang-orang Haiti tanpa riwayat homoseksual

maupun pecandu obat bius, − 0,3% pada kelompok penderita hemofilia, − 5% pada kelompok tanpa risiko yang jelas.

Di negara Afrika Tengah seperti Zaire, Ruanda dan Burundi, penyakit ini merupakan penyakit heteroseksual dengan jumlah penderita pria dan wanita sama. Menurut laporan penelitian di negara-negara maju ternyata AIDS tidak mengenai semua orang. Ada golongan masyarakat yang mem-punyai risiko tinggi terinfeksi AIDS, yakni kaum homoseksual atau biseksual, penderita hetnofilia yang sering mendapat transfusi darah dan'mereka yang sejak lahir mempunyai sistem imun yang lemah. Mungkin juga faktor genetik seperti pada penduduk Haiti, Zaire dan Chad di Afrika. AIDS ditemukan pula pada orang-orang Haiti yang berada di Amerika Serikat yang bukan homoseksual maupun pecandu narkotika. Dengan demikian, mungkin ada hubungan AIDS pada orang Haiti dengan endemik sarkoma Kaposi di Afrika dan adanya kun-jungan para homoseksual dari Amerika Serikat ke Haiti yang kemudian mendapat infeksi – yang selanjutnya ditularkan di Amerika Serikat. Hal ini menitnbulkan suatu hipotesis, apakah sumber penyebab AIDS berasal dari Afika Tengah? Sampai sekarang Haitian Connection ini belum terungkap.

Peter Pot dari Institute of Tropical Medicine, Antwerpen, Belgia, mendapatkan prevalensi dan distribusi yang sama pada laki-laki dan wanita di Kinshasa dan Zaire pada tahun 1983. Hal ini membuktikanbahwa di Zaire terdapat penularan secara heteroseksual dan mempunyai pola epidemiologi yang berbeda dengan yang terjadi di Amerika dan Eropa.

Dari penelitian lain juga ditemukan, AIDS dapat ditularkan secara heteroseksual terutama pada mereka yang sering :kontak dengan wanita tuna susila.

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN Pencegahan 3.13,15,16

Dewasa ini sedang giat dilakukan penelitian untuk mem-buat vaksin anti AIDS oleh para ilmuwan walaupun hasilnya masih jauh dari memuaslcan, Karena belum ada obat yang efektif untuk memperbaiki defisiensi imunitas seluler, tindakan pencegahan amatlah penting. Langkah-langkah untuk men-cegah penyebaran AIDS adalah sebagia berikut : • menghindari hubungan kelamin dengan penderita AIDS

atau tersangka penderita AIDS, • mencegah hubungan kelamin dengan pasangan yang banyak

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 42

Page 44: Cdk 046 Antibiotika

atau dengan orang yang mempunyai riwayat banyak pasang-an,

• menghindari hubungan kelamin dengan pecandu narkotika yang mēnggunakan alat suntik,

• mencegah orang-orang yang termasuk risiko tinggi menjadi donor darah,

• pemberian transfusi darah hanya untuk pasien yang benar-benar perlu,

• pada setiap suntikan hams dijaga sterilitas alat suntiknya. Pengobatan2,8,11,13

Terapi yang efektif untuk AIDS sampai saat ini masih jauh dari memuaskan. Pengobatan ditujukan untuk infeksi opor-tunistik atau tumor sarkoma Kaposi, memperbaiki sistem imun dan memberantas virus penyebabnya. Pengobatan infeksi oportunistik tergantung pada penyebab infeksinya. Misalnya pneumoni Pneumocystic carinii diobati dengan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol. Tetapi, obat ini sering menimbulkan efek samping berupa rash hipersensitif dan leukopenia pada 30% dari kasus. Ketokonazol per oral atau ampoterisin B intra vena sering dicoba untuk infeksi Candida albican. Sarkoma Kaposi dicoba dengan vinblastin dan efo-posid. Sedangkan infeksi Mycobacterium avium intraselular dicoba dengan ansamisin. Terapi untuk memulihkan sistem imun sampai sekarang belum berhasil. Obat-obat yang telah dicoba angara lain : imunomodulator seperti isoprinosin, produk biologis seperti interleukin 2, gamma interfeon dan bahkan transplantasi sumsum tulang.

Semua usaha pengobatan di atas belum memberi hasil yang baik sehingga usaha terakhir dilakukan dengan mpm-berāntas virus penyebabnya dengan obat anti virus. HTLV Ill, virus penyebab AIDS ini mempunyai enzim reverse transcrip-tase sehingga virus ini dapat membentuk DNA dari RNA yang digunakan untuk replikasi. Usaha pemutusan rantai ini dicoba dengan obat-obat yang bersifat inhibitor reverse iranscriptase seperti suramin heksasodium dan HCA-23. Obat lain yang dapat menghambat replikasi virus adalah trisodium fosfonofomiat, ribavirin dan ansamisin. Efektivitas obatobat ini masih dalam penyelidikan. RINGKASAN

Telah dibahas etiopatogenesis, kriteria diagnostik, epi-demiologi, pencegahan dan pengobatan sindrom defisiensi imun yang didapat. SDID merupakan penyakit defisiensi imunitas seluler yang pada penderitanya tidak ditemukan penyebab defisiensi tersebut. Penderita AIDS mudah ter- infeksi bakteri, jamur, parasit dan virus yang bersifat opor

tunistik serta sering menderita keganasan, khususnya sarkoma Kaposi dan limfoma yang menyerang otak.

HTLV III diduga sebagai penyebab AIDS yang merupakan retrovirus, mengingat kemampuannya mensintesis DNA dari RNA. Virus ini mempunyai kemampuan menghambat sel T untuk mengenal bahan asing yang mengakibatkan hilangnya kemampuan sel T melawan infeksi.

Jumlah kasus cenderung meningkat, sementara pengetahu-an mengenai etiopatogenesis AIDS masih terbatas, begitu pula hasil pengobatannya masih jauh dari memuaskan. Oleh karena itu, usaha pencegahan merupakan hal yang amat panting terutama pada kelompok risiko tinggi.

KEPUSTAKAAN

1. American Medical Association Council's Advisory Panel on AIDS : The Acquired Immune Deficiency Syndrome, JAMA, Southeast Asian Edition 1985; 1 : 54.

2. WHO : Acquired Immune Deficiency Syndrome Emergencies, WHO Publication STD/1984, 1, Geneva 1984.

3. Shannon KM & Ammann AJ. Acquired Immune Deficiency Syndrome in Childhood, J Pediat 1985; 106, : 332.

4. Sukardika K, Oka TG. Etiopatogenesis AIDS, Suatu Hipotetik. Kumpulan Naskah Semiloka Masalah AIDS, IDI Cab. Denpasar, Okt. 1985.

5. Bakta M: Masalah AIDS Aspek Klinis dan Pencegahannya dalam Keluaiga. KPPIK VIII FK Unud, Feb. 1986.

6. Rapoza NP et aL The Acquired Immune Deficiency Syndrome, JAMA SEA, Feb. 1985, 54.

7. Djuanda S. Acquired Ommune Deficiency Syndrome, Majalah ILUNI FK, No. 5, Th. IV, Des 1985; 14.

8. Matondang CS. Sindroma Defisiensi Imum Yang Didapat (AIDS). MKI Vol. 35, No. 12, Des. a985, 725.

9. Staal FW, Gallo R. The HTLV Story. Medicine Digest Asia, VoL 4, No. 2, Feb. 1986, 19.

10. Edghill K. AIDS An Update. Far East Health Nov. 1985, 14. 11. Moerdowo RM. Tinjauan Data Tentang Acquired Immune Deficiency

Syndrome. Kumpulan Naskah Semiloka Masalah AIDS, IDI Cab. Denpasar, Okt. 1985.

12. NIH Conference : The Acquired Immune Deficiency Syndrome An Update. Annal of Internal Medicine, June 1985.

13. Budimulya U. Acquired Immune Deficiency Syndrome. MKI Vol. 35, No. 12, Des. 1985, 735.

14. Djelantik S. Laboratorium Didalam Membantu Diagnosa AIDS. Kumpulan Naskah Semiloka Masalah AIDS, IDI Cab. Denpasar, Okt. 1985.

15. Duarsa W, Bratiarta. Acquired Immune Deficiency Syndrome. Kumpulan Naskah Semiloka Masalah AIDS, IDI Cab. Denpasar, Okt. 1985.

16. Sumendra W. Beberapa Penjetasan Mengenai Penyakit AIDS. Kumpulan Naskah Semiloka Masalah AIDS, IDI Cab. Denpasar, Okt. 1985.

Ucapan Terima Kasih Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. I Made Bakta, dosen ahli ilmu penyakit dalam FK Unud Denpasar atas segala bimbingan dan petunjuk-petunjuknya sehingga makalah ini dapat diselesaikan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 43

Page 45: Cdk 046 Antibiotika

Pengelolaan Program Imunisasi di Daerah Tingkat II(Kabupeten/Kotamadya)

dan Pelaksanaannya di Wilayah Kerja Puskesmas

Dr. Morrison David Ilahude Surabaya

PENDAHULUAN

Upaya peningkatan status kesehatan masyarakat di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, mem-butuhkan penyusunan program yang komprehensif dan cermat, meliputi upaya pencegahan, pemeliharaan, pemulihan dan peningkatan. Di samping itu, upaya motivasi (melalui PKM) memberikan sumbangan yang amat penting dalam meningkat-kan pengetahuan dan kesadaran masyarakat sehingga bersedia berpartisipasi dalam upaya penanggulangan masalah kesehatan di lingkungannya.

Para perencana program kesehatan mulai dari tingkat Pusat sampai ke tingkat Daerah senantiasa menghadapi pilihan yang sulit dalam menyusun program, karena terbatasnya sumber daya yang tersedia. Di antara pilihan-pilihan yang sulit itu, disadari, upaya preventif yakni program imunisasi merupakan salah satu upaya yang paling efektif dan mempunyai andil yang besar dalam menurunkan angka kematian bayi, yang di Indonesia sendiri masih mencapai 90 per mil, suatu angka yang tergolong tinggi di kawasan ASEAN.

Selama beberapa dekade terakhir ini, program imunisasi makin ditingkatkan seiring dengan meningkatnya kualitas dan stabilitas vaksin serta lancarnya sarana cold chain.

Program imunisasi itu sendiri adalah bentuk pelayanan kesehatan yang bersifat massal, karena jangkauan sasarannya yang meliputi keseluruhan kelompok populasi tertentu (bayi, anak-anak dan ibu hamil). Oleh karenanya dukungan dan partisipasi masyarakat mutlak diperlukan. Adanya organisasi kemasyarakatan yang telah mantap melaksanakan program-programnya sampai di pedesaan, yakni LKMD/PKK merupa-kān wadah yang amat penting dan amat potensial untuk di-libatkan dalam kegiatan program imunisasi sehingga keberhasilan program dapat diharapkan tercapai sampai tingkat yang optimal.

PERAN SERTA LKMD/PKK DALAM PROGRAM IMUNISASI

Berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, LKMD adalah salah satu perangkat Desa di samping Kepala Desa, yang.merencana-kan dan melaksanakan semua kegiatan pembangunan di Desa. Dalam wadah LKMD ini terdapat seksi-seksi yang mencermin-kan seluruh kegiatan pembangunan yang diproyeksikan baik oleh Pusat maupun Daerah. Salah satu seksi yang terdapat dalam wadah LKMD tersebut adalah PKK. PKK itu sendiri mempunyai program pokok yang sudah dibakukan sebagai 10 Program Pokok PKK. Salah satu dari kesepuluh program pokok tersebut adalah program kesehatan sebagai pokok program yang ke 7. Baik LKMD maupun PKK selama ini telah merupakan wadah organisasi yang mantap eksistensinya (meskipun mungkin di desa-desa tertentu belum mantap pro-gramnya) karena adanya Tim Pembina LKMD dan Tim Peng-gerak PKK, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah dan Kecamatan. Karena itu, integrasi program kesehatan fungsional Dinas Kesehatan ke dalam program kesehatan LKMD/PKK bukan merupakan hal yang tidak mungkin di- laksanakan. Dasar Pemikiran

• Angka kematian bayi yang tergolong tinggi di kawasan ASEAN, yakni 90 permil dengan penyebab kematian terbanyak adalah penyakit diare dan penyakit menular yang dapat dicegah melalui imunisasi (immunisable). Kenyataan ini merupakan hal yang dapat dijadikan dasar motivasi terhadap ibu-ibu dalam jajaran PKK maupun masya-rakat, karena mereka dengan sendirinya amat berkepentingan demi kesejahteraan anak-anaknya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 44

Page 46: Cdk 046 Antibiotika

• Kerugian yang diakibatkan oleh tingginya angka kematian bayi itu adalah hilangnya potensi generasi penerus bangsa. Bayi yang sakit-sakitan atau cacad (polio) merupakan beban yang harus ditanggung bangsa khususnya keluarga yang ber-sangkutan. Besarnya angka kematian bayi tersebut menyebab-kan hilangnya sebagian modal dasar pembangunan, yakni jwnlah penduduk. Kenyataan ini dapat dijadikan pendorong timbulnya partisipasi LKMD dalam kegiatan penanggulangan masalah kesehatan khususnya program imunisasi. • Pendekatan strategis Pembangunan Kesehatan dalam Repelita IV. Untuk mencapai sasaran menurunnya angka ke-matian bayi menjadi 70 permil secara efektif dan efisien, sekaligus dapat menangani juga masalah kesehatan lain yang erat kaitannya dengan kematian bayi, maka diadakan kegiatan lapangan yang disebut posyandu KB - Kesehatan di desa-desa, dengan 5 jenis kegiatan yakni pelayanan KIA, KB, Gizi, Pe-nanggulangan Diare dan Imunisasi. • Peranan Ibu Rumah Tangga yang biasanya paling tanggap terhadap masalah kesehatan dan menentukan keputusan dalam mengatasi gangguan kesehatan dalam keluarganya. Karena itu amat pentingnya usaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran lbu Rumah Tangga kearah "konsep mandiri" dalam kesehatan keluarga, sehingga Ibu mampu jadi pusat pembinaan dan pelayanan kesehatan bagi keluarganya. • Peranan Tim Penggerak PKK (sebagai perencana, pe-laksana, pengendali dan penggerak di masing-masing tingkat pemerintahan) dalam program imunisasi ini dapat berfungsi dalam Perencanaan Program Kerja, melaksanakan dan meng-gerakkan potensi masyarakat, memberikan motivasi, mengen-dalikan dan mengawasi pensuksesan program imunisasi. • Peran bantu Tim Penggerak PKK secara aktif berupa : penyuluhan dari ibu ke ibu, registrasi penduduk sasaran, penyusunan daftar vaksinasi, kunjungan ulang ke rumah penduduk sasaran dalam rangka pemberitahuan sekaligus motivasi agar ibu-ibu datang lagi ke posyandu sesuai jadual (untuk revaksinasi), terbukti sangat menentukan keberhasilan program 'imunisasi. Jadi peran bantu Tim Penggerak PKK adalah sebagai motivator dan penggerak. Maksud dan Tujuan Peranbantu PKK • Sesuai dengan fungsi Tim Penggerak PKK, maksud peran-bantu PKK adalah mensukseskan salah satu program sektoral (Imunisasi) yang berkaitan pula dengan kesejahteraan keluarga. Dengan adanya motivasi dan penggerakan terhadap masyarakat, cakupan imunisasi jelas meningkat. • Tujuan peran bantu PKK adalah meningkatkan cakupan imunisasi. Agar terwujud dengan nyata, perlu diadakan upaya-upaya : a. Tini Penggerak PKK di semua tingkat pemerintahan di-

usahakan mengetahui dan menyadari pentingnya program imunisasi, serta berupaya meningkatkan jangkauan sasaran-nya.

b. Tim Penggerak PKK di semua tingkat pemerintahan di-usahakan agar mampu melaksanakan langkah-langkah yang

diperlukan untuk meningkatkan jangkauan sasaran.

Kebijaksanaan • lbu sebagai pusat pembinaan dan pelayanan kesehatan keluarga; jika pengetahuan dan kemampuannya untuk me-nangani masalah kesehatan secara dini terbatas, maka masalah kesehatan tersebut bertambah berat sehingga memerlukan pertolongan medik, artinya beban keluarga bertambah berat pula. Karena itu peningkatan pengetahuan dan kemampuan mereka diarahkan untuk: a. Mengenal resiko utama keluarga. b. Mengetahui cara sederhana untuk mencegah atau meng-atasinya. c. Mengetahui cara untuk mencari pertolongan medik jika diperlukan. • Ibu menjadi partner untuk mensukseskan program imuni-sasi, karena cara kerjanya bisa luwes dalam menggarap sasaran program imunisasi (sesama ibu rumah tangga). Peranbantu ibu rumah tangga dalam penyuksesan program imunisasi dapat dijabarkan menjadi: a. Sebagai motivator, yang menggugah kesadaran dan

persepsi masyarakat terhadap kesehatan. b. Sebagai penggerak dengan cara melaksanakan beberapa

kegiatan konkrit seperti : − Mencatat kelahiran bayi dalam periode tertentu yang

kemudian dapat dipakai sebagai register vaksinasi. Menyusun jadual vaksinasi di wilayahnya bersama pe-tugas kesehatan (juru imunisasi).

− Memberitahukan penduduk sasaran tentang waktu dan tempat vaksinasi yang akan dilaksanakan.

− Mengunjungi serta menggerakkan penduduk sasaran yang tidak datang pada vaksinasi pertama maupun ulangan yang diperlukan.

Pokok-pokok Kegiatan • Pertemuan Orientasi Dilaksanakan antar Tim Penggerak PKK se--Dati II dengan. maksud : – Memotivasi dan memupuk keyakinan tentang pentingnya peranbantu PKK secara aktif dan terencana dalam program imunisasi. – Inventarisasi jalur-jalur PKK yang bermanfaat dan dapat mengembangkan mekanisme peranbantu tersebut. – Penyusunan rencana operasional bersama antara sektor Kesehatan dan PKK (BangDes). • Penataran Dilaksanakan bagi Tim Penggerak PKK tingkat propinsi, Dati II, Kecamatan dan kader Desa agar dapat melaksanakan peranbantu secara nyata. Langkah-langkah tersebut berupa: – Penyusunan buku petunjuk serta kurikulum bersama. – Latihan fasilitator. – Latihan Tim Penggerak PKK tingkat Kecamatan. – Latihan Kader PKK Desa. • Pelaksanaan Peranbantu secara operasional disusun bersama antara Tim

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 45

Page 47: Cdk 046 Antibiotika

Penggerak PKK Kecamatan dengan Puskesmas berdasarkan juklak yang disusun bersama pula. Ini dapat dilakukan melalui Mini Lokakarya Puskesmas yang nierupakan kegiatan rutin bulanan. Pengawasan dapat dilakukan dalam wadah LKMD. • Evaluasi sederhana Diarahkan untuk mengukur hasil-guna peranbantu PKK dalam meningkatkan cakupan imunisasi. Selanjutnya dapat di-kembangkan dengan beberapa penilaian kualitatif, antara lain: – persentase cakupan bayi yang mendapat imunisasi penuh. – perubahan angka kematian bayi sebagai akibat program

imunisasi. – Perubahan angka kelahiran. • Penyebaran informasi kepada masyarakat Hasil evaluasi dapat diinformasikan kepada masyarakat, khususnya ibu-ibu rumah tangga untuk dikaji, dengan maksud – menciptakan kepuasan (bila berhasil) yang akhirnya me-

yakinkan mereka untuk meningkatkan peranbantunya. – Dalam jangka panjang : tercapainya tujuan pembangunan

kesehatan : "Peningkatan kemampuan penduduk untuk menolong dirinya sendiri".

Pengorganisasian • Tingkat Dati II Tim Penggerak PKK – Dati II bekerjasama dengan Bangdes dan Dinas Kesehatan, menyelenggarakan penataran petugas pelaksana dalam wilayahnya, mengadakan pembinaan dalam pelaksanaan, memonitor serta menyesuaikan pelaksanaan di lapangan dengan petunjuk dari tingkat propinsi yang telah ditetapkan sebelumnya. • Tingkat Kecamatan

Tim Penggerak PKK kecamatan bekerjasama dengan Bangdes Kecamatan dan Puskesmas menyelenggarakan penataran Kader Desa, membina pelaksanaan di lapangan, membina LKMD (Seksi Kesehatan dan seksi PKK), memonitor dan menyesuaikan pelaksanaan di lapangan dan memberikan laporan ke tingkat Dati II sesuai ketentuan. • Tingkat Desa Ibu-ibu anggota PKK Desa bersama Kader PKK mewujudkan peranbantunya dalam pelaksanaan vaksinasi, mengadakan pencatatan sederhana dan memberikan laporan sesuai ketentu-an. PERENCANAAN

Sebelum Program Imunisasi dilaksanakan dengan me-manfaatkan peran bantu PKK (LKMD), tentu saja Dinas Ke-sejratan secara intern menyusun dahululangkah-langkah pe-renanaan sebagai berikut: 1) Identifikasi masalah yang berkaitan dengan program imuni-sasi. Data-data pelaksanaan program sebelumnya dianalisa menyangkut besarnya angka cakupan imunisasi, angka drop out, hambatan-hambatan yang ditetnukan di lapangan, ter-batasnya sumberdaya (tenaga, dana dan perlatan termasuk persediaan vaksin dan cold chain). sulitnya transportasi dan luasnya wilayah operasi dan lain-lain yang penting sebagai

bahan masukan dalam proses pengambilan keputusan. 2) Identifikasi wilayah yang akan diintervensi yang meliputi analisa data penduduk, sarana perhubungan yang ada, luas wilayah dan lain-lain. 3) Menentukan prioritas program berdasarkan prevalensi penyakit menular yang dapat diimunisasi, serta tersedianya vaksin dan sarana cold chain baik di tingkat Dinas Kesehatan maupun Puskesmas. Wilayah kerja Puskesmas yang mem-punyai prevalensi penyakit yang dapat diimunisasi, yang tinggi tentu saja harus diprioritaskan pengadaan vaksin dan sarana cold chain-nya. Jika perlu dilakukan intervensi yang bersifat crash program. Demikian pula di wilayah kerja suatu Puskes-mas diperkirakan (berdasarkan pengalaman) sulit menggerak-kan peran bantu PKK (LKMD). Untuk wilayah kerja seperti itu diperlukan upaya PKM yang intensif lebih dahulu. 4) Menetapkan tujuan (Objective/Goal). Ditentukan berdasarkan data populasi yang harus diberi ke-kebalan melalui program imunisasi, dikaitkan dengan target nasional yang telah ditentukan dari pusat yakni : Bayi : 3.5% dari jumlah penduduk. Ibu Hamil : 4.4% dari jumlah penduduk. Pasangan Usia Subur (terma- suk yang hamil) : 14% dari jumlah penduduk. Murid SD Kelas I dan Kelas VI : sesuai dengan jumlah murid di masing-masing kelas. 5) Menyusun rencana kegiatan dan jadualnya.

Langkah ini disusun dalam suatu lokakarya atau rapat koordinasi di tingkat Dati II, dan dalam suatu mini lokakarya di Tingkat Puskesmas. Ini akan menghasilkan rencana operasional bersama. 6) Evaluasi.

Dilaksanakan baik mulai dari tahap perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan dan diakhiri pelaksanaan tahunan. Jadi evaluasi harus dilakukan secara periodik atau sewaktuwaktu dalam rangka pengawasan dan pengendalian program, serta sebagai bahan masukan dalam penetapan kebijaksanaan pelaksanaan selanjutnya.

Setelah langkah-langkah perencanaan disusun dan di-tentukan, hasil keputusan ini dibahas lebih lanjut dalam lokakarya tingkat Dati II dalam rangka penyusunan rencana operasional bersama. PENYUSUNAN RENCANA DAN JADWAL KEGIATAN

Rencana dan jadual kegiatan program imunisasi yang melibatkan peran bantu PKK (LKMD) dapat dijabarkan sebagai berikut: Rencana dan jadwal kegiatan di tingkat Dati II • Persiapan − Penyusunan Perencanaan Program Imunisasi Dinas Ke-

sehatan. − Pendekatan rencana pelaksanaan program dengan Penguasa

Wilayah Tk II, Bangdes, dan Ketua Tim Penggerak PKK tingkat II.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 46

Page 48: Cdk 046 Antibiotika

– Penentuan waktu, tempat dan jadual acara lokakarya/ rapat koordinasi Dati II.

• Pelaksanaan a) Mengadakan Lokakarya/Rapat kordinasi. Peserta : Tim Penggerak PKK Dati II/Bangdes Dinas Kesehatan Para Kepala Puskesmas. Tujuan : – Meningkatkan keyakinan dan memantapkan kesepakatan

mengenai pentingnya peran bantu PKK secara aktif dan terencana dalam program imunisasi.

– Menetapkan jalur-jalur PKK yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan mekanisme peran bantu.

– Menyusun rencana operasional bersama, meliputi : Pe-nataran Tim Penggerak PKK Kecamatan, Penyusunan petunjuk pelaksanaan dilapangan, Menentukan jadwal bimbingan/pembinaan dan monitoring pelaksanaan di lapangan.

b) Penataran petugas pelaksana Kecamatan. Peserta : Tim Penggerak PKK Kecamatan. Penatar: Bangdes Dinas Kesehatan Tim Penggerak PKK Dati II c) Bimbingan/pembinaan dan monitoring pelaksanaan peran-bantu PPK dalam program imunisasi di Kecamatan. Untuk Dati II yang memiliki Kecamatan dalam jumlah yang besar, bimbingan dan monitoring ini dapat dilaksanakan bertahap pada beberapa Kecamatan, dilanjutkan dengan beberapa kecamatan dalam tahap berikutnya dan seterusnya. Atau di-bentuk Tim-tim yang bertanggung jawab membimbing dan memonitor pelaksanaannya di beberapa Kecamatan tertentu. • Evaluasi

Evaluasi dilakukan secara periodik dengan menganalisa laporan kegiatan yang masuk dari wilayah Kecamatan dan dari hasil monitoring. Dapat juga dilaksanakan dengan cara mengadakan evaluasi mendadak secara langsung di lapangan.

Jadual kegiatan disusun dengan menggunakan model Gant's Chart (Lihat Tabel 1). Rencana dan Jadual Kegiatan di tingkat Kecamatan. • Persiapan – Penyusunan Rencana Program Imunisasi Puskesmas. Pus-

kesmas harus membuat juga perencanaan program yang mencakup wilayah kerjanya.

– Pendekatan rencana pelaksanaan program imunisasi melalui peran bantu PKK/LKMD dengan Penguasa Wilayah Kecamatan, Bangdes Kecamatan dan Ketua Tim Penggerak PKK Kecamatan.

– Penetapan waktu, tempat dan jadual acara Mini lokakarya yang khusus membahas program imunisasi dengan peran bantu PKK.

• Pelaksanaan a) Menyelenggarakan Minilokakarya khusus membahas pro-

Tabel 1. Jadwal Kegiatan Peranbantu PKK dalam Program Imunisasi. Dati II :

gram imunisasi dngan peran bantu PKK. Peserta : Tim Penggerak PKK Kecamatan Bangdes Kepala Puskesmas bersama staff.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 47

Page 49: Cdk 046 Antibiotika

Tujuan: – Memantapkan kesepakatan mengenai pentingnya peran

bantu PKK secara aktif dan terarah dalam program imu-nisasi.

– Menetapkan jalur-jalur PKK yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan mekanisme peranbantu PKK. Menyusun rencana operasional terpadu, meliputi: • Penatar-an Kader PKK/Desa, menentukan jadual bimbingan dan monitoring pelaksanaan program di lapangan.

b) Melaksanakan Penataran Kader Desa/ibu-ibu PKK Desa. Peserta : Kader Desa yang ditunjuk oleh Desa yang bersangkut an. Penatar: Bangdes Kecamatan Tim Penggerak PKK Kecamatan Puskesmas – Mempersiapkan vaksin dan perlengkapan cold chain yang

akan digunakan di pos-pos pelayanan terpadu.

• Evaluasi Evaluasi dilaksanakan setiap bulan pada waktu diadakan

Mini lokakarya yang merupakan kegiatan rutin Puskesmas. Jadual kegiatan program imunisasi tingkat kecamatan

dapat pula disusun menurut model Gant's Chart seperti cara penyusunan jadual kegiatan tingkat Dati II.

KEPUSTAKAAN 1. Angle AN et. al "Immunization Program" Guidelines for

Analysis of Communicable Disease Control Planning in Developing Countries, International Health Planning Method Series. DHEW Publication No. (PHS) 79-50080.

2. Departemen Kesehatan RI, Direktur Jenderal P3M. "Immunisasi Milik Ibu Hamil, Bayi Dan Anak-Anak. de Quadros, Ciro A. "Appropriate Technology in

Extension of Immunisation" World Health Forum, An International Journal of Health Development 1981, Vol. 2, No. 4. pp. S48-550. Ruspandi, Hanny. "Program Immunisasi di Jawa Timur". Tim Penggerak PKK Pusat. "Peranbantu PKK Dalam-Akselerasi Pro-gram Immunisasi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 48

Page 50: Cdk 046 Antibiotika

Uji Endotoksin Bakteri Menggunakan Limulus Amoebocyt Lysate

Drs. Usman Suwandi Pusat Penelitian dan Pengembangan PT Kalbe Farma, Jakarta

PENDAHULUAN

Salah satu persyaratan produk-produk untuk injeksi yaitu harus babas dari kontaminasi mikroorganisme. Mikroorganisme kontaminan biasanya dieliminasi dengan Cara sterilisasi. Mati-nya mikroorganisme dalam produk farmasi, belum menjamin tiadanya efek-efek merugikan akibat kontaminan mikroorga-nisme. Karena apabila komponen-komponen penyusun mikro-organisme yang sudah mati tersebut dalam jumlah yang cukup, mereka akan dapat menimbulkan efek-efek yang tidak di-kehendaki. Salah satu komponen penyusun dinding sel bakteri, khususnya dari golongan gram negatif yang sering menimbul-kan efek merugikan adalah Lipopolisakarida, yang dikenal sebagai endotoksin. Endotoksin diperkirakan merupakan substansi pirogenik yang sangat aktif dibandingkan dngan sub-stansi pirogenik yang lain, seperti miko bakteria, fungi, DNA dan RNA virus, protein, polipeptida dan lain sebagainya. Kehadiran substansi pirogenik dalam produk-produk farmasi jelas tidak diharapkan. Walaupun dalam batas-batas tertentu masih dapat ditolerir, namun usaha untuk mengeliminasi se-banyak mungkin tetap dilakukan. Dengan demikian diperlukan suatū detektor yang baik dan mampu menomitor endotoksin dalam jumlah relatif sedikit.

Setelah mengetahui bahwa endotoksin dari suatu jenis bakteri ternyata mampu menggumpalkan darah salah satu jenis invertebrata dari spesies Limulus poli'phemus, kemudian Levin & Bang mengembangkan suatu metode untuk mendeteksi endotoksin. Metode tersebut kemudian dikenal sebagai Limulus Aroebocyt Lvsate (LAL).

Terdeteksinya endotoksin pada jumlah yang relatif kecil 'dalam sediaan Injeksi pada waktu In Process mempunyai keuntungan ganda. Disatu fihak menghindari masuknya endo-toksin dalam batas ambang yang tidak dikehendaki ke tubuh pasien, dilain fihak perusahaan mendapat keuntungan dengan

diketahuinya endotoksin lebih awal, sehingga eliminasi dapat segera dilakukan sebelum memasuki proses berikutnya. ENDOTOKSIN

Salah satu ciri Khas bakteri Gram Negatif terletak pada penyusun dinding selnya, yaitu adanya Lipopolisakarida (LPS) yang kemudian dikenal dengan istilah Endotoksin. Di samping Lipopolisakarida, dinding sel juga tersusun dari mukopeptida, lipid, protein, lipoprotein dan bahan yang lain. Salah satu yang menarik dari endotoksin adalah sifat toksik dan antigenik yang dimilikinya. Sifat toksin dikaitkan dengan .senyawa lipid penyusunnya, sedang penyusun yang lain yaitu polisakarida berperanan dalam membentuk sifat antigenik. Menurut Chandler Stetson dalam Bacterial Infection of Man (1965), polisakarida endotoksin pada umumnya terdiri dari D. Glukosamin, heptosa & glukosa: selain itu juga mengandung salah satu atau lebih gula-gula lain seperti pentosa, desoksiheksosa, dideoksiheksosa, manosa atau galak-tosamin.

Endotoksin mempunyai potensi bervairasi tergantung pada jenis mikroorganismenya, tetapi efek yang ditimbulkan secara kualitatif adalah sama. Sediaan endotoksin dapat di-peroleh dengan ekstraksi bakteri utuh atau sediaan dinding sel bakteri. Apabila endotoksin diinjeksikan pada binatang percobaan, ia akan dapat menimbulkan demam, leukopenia, syok dan kematian; tergantung pada dosis, bahan dan rute pemberian. Seperti yang dilaporkan oleh Thomas .1. Novitsky (1984), jika endotoksin Escher'icia colt, yaitu suatu bakteri yang biasa hidup dalam saluran pencernaan, diinjeksikan pada manusia 1 ng/Kg Berat Badan, akan menyebabkan demam dan bila dosisnya diperhesar akan menimbulkan syok dan mungkin kematian. Demikian juga hasil penyelidikan Greisman

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 49

Page 51: Cdk 046 Antibiotika

dan Hornick yang dilaporkan oleh H. Bickel dan K.H. Meyer (1982), menunjukkan, dosis ambang endotoksin Salmonella typhosa pada manusia dan kelinci yaitu diantara 0,1 - 1,0 ng/kg berat badan, sedangkan dosis ambang untuk Pseudomonas lebih besar daripada 50 ng/kg berat badan. Dosis Pirogenik (DP-50) endotoksin standar pada kelinci yaitu 1 EU (Endotoksin Unit) per kg berat badan. 1 EU merupakan dosis yang dapat disamakan kegiatannya/potensinya dengan 0,194 ng EC-2 ERS (Endotoxin Reference Standard). Dosis Pirogenik (DP-50) yaitu dosis yang menyebabkan 50% kelinci yang diinjeksi memper$hatkan kenaikan suhu tubuh sedikitnya 0,6°C.

Di samping menyebabkan pirogenitas dan lethalitas, J. Dony (1981) inenyatakan, endotoksin bakteri pada mamalia juga mempunyai efek biologis yang lain, seperti reaksi epinefrin, inflamasi pada kulit, toleransi dan resistensi non spesifik terhadap injeksi, proteksi efek "vascular" dan haemo-dinamik terhadap radiasi, metabolism karbohidrat, efek seluler, abortus, artritis, stimulasi produksi interferon, dan_ sebagainya. Selain itu, endotoksin juga akan mempengaruhi imunitas non spesifik terhadap infeksi bakteri, fagositosis dan sintesis antibodi. Karena sifat resistensi non spesifik tersebut, binatang yang diinjeksi endotoksin berulang-ulang akan menjadi tidak responsif terhadap pirogenitas dan efek biologis yang lain. Efek toleransi endotoksin adalah juga non spesifik, dengan demikian hewan yang tidak responsif tersebut bila diinjeksi dengan cndotoksin dari jenis bakteri lain juga akan memperlihatkan efek tidak responsif.

UJI "LIMULUS AMOEBOCYTE LYSATE" (LAL) Reagensia LAL dibuat dari ekstrak set darah Horseshoe

Crab dari spesies Limulus polvphentus, yaitu jenis invertebrata yang telah hidup pada jaman pra sejarah. Corpuscula darah Limulus hanya terdiri dari satu macam set darah yang disebut sebagai Amoebocvte. Amoebocvte dalam banyak hal menye-rupai platelet, tetapi ukurannya agak lebih besar.

Untuk mendapatkan reaksi yang optimal antara reagensia LAL dengan endotoksin, Thomas J. Novitsky (1984) me-nyebutkan perlunya unsur-unsur yang harus ada dalam rea-gensia LAL, yaitu : – pro-clotting enzynze (zymogen). – clotting protein (coagulogen). – Garam anorganik. Uji LAL didasarkan atas kemampuan endotoksin menyebabkan koagulasi "protein coagulogen", sebagai unsur reagensia LAL, sehingga terbentuk "Gel". Untuk mengevaluasi hasil reaksi tersebut, Marlys Weary (1986) menyebutkan adanya 4 metode dasar yang dapat dipakai, yaitu antara lain : The gel-clot end point test: The turbidometric assay; The cobrimetric assay; dan Chromogenis substrate test. Metode yang disebutkan pertama adalah yang paling Bering digunakan untuk mengevaluasi Uji LAL.

Sebagai gambaran masing-masing metode dan tahapan-tahapan untuk melakukan uji LAL adalah sebagai berikut :

"The gel-clot end point test" (Uji penggumpalan gelatin)

1) Reagensia LAL dicampur dengan sampel larutan uji dalam tabling galas masing-masing dengan volume sama yaitu 1,0 ml. 2) Setelah dicampur, tabung gelas tersebut diinkubasi pada temperatur 37°C ± 2°C selama 60 menit ± 1 menit. 3) Pembacaan pengujian larutan yaitu tabung galas dari inku-bator diambil dengan hati-hati, kemudian membaliknya 180°, sehingga permukaan atas tabung berada di bagian bawah. 4) Hasil pembacaan adalah : – Positif ( + ) jika terbentuk gelatin pada yang tetap, berarti

contoh larutan uji tersebut mengandung sedikitnya sama dengan sensitivitas Reagensia yang digunakan.

– Negatif ( – ) jika tidak terbentuk•gelatin padat yang tetap, berarti bahwa contoh larutan uji tersebut tidak mengandung endotoksin atau lebih sedikit daripada sensitivitas reagensia yang digunakan.

Dalam menginterpretasikan hasil pembacaan untuk memper-kirakan kandungan endotoksin dalam contoh, tergantung pada sensitivitas reagensia. Oleh karena itu dalam melakukan pengujian perlu rnemilih reagensia yang sesuai dengan ke-butuhan, karena begitu banyak macam reagensia dengan sensitivitas bermacam-macam. Hampir setiap reagensia me-merlukan penanganan dan penyimpanan yang berlainan. Demikian juga tentang persiapan dan pelaksanaan pengujian LAL. Sebagai contoh perbandingan tentang variasi pengelola-an dari berbagai reagensia dalam pengujian LAL dapat dilihat pada tabel 1. Pemakaian reagensia dan contoh larutan uji dengan volume 0,1 ml, selanjutnya dikenal sebagai metode makro. D. Kruger (1982) dalam artikelnya menyebutkan bahwa saat ini telah dikembangkan suatu micro method dan lamellae micro method. Jika dibandingkan dengan makro, kedua metoda tersebut menggunakan volume reagensia yang lebih sedikit, yaitu 10 ul. Dengan demikian kedua metode ini lebih menghemat pemakaian reagensia. Pembacaan hasil pada kedua metode tersebut, pembentukan gelatin tidak diamati dalam tabung gelas seperti pada metode makro, tetapi di- amati dengan microscope slide. D. Kruger (1982) juga telah melakukan suatu perbandingan menggunakan metode makro dan mikro, ternyata memperlihatkan hasil yang tidak ber- beda. "The turbidometric test" (uji kekeruhan)

Dalam metode ini, cara inkubasi adalah sama seperti metode yang telah disebutkan di atas. Kalau dalam metode I tersebut evaluasi hasil diamati dari terbentuknya gelatin, sebalknya dalam metode ini dicegah jangan sampai terbentuk gelatin. Cara menghindari terbentuknya gel yaitu dengan mengencerkan reagen LAL atau dengan menambah volume larutan uji sebelum pengujian mulai dilakukan. Dalam metode ini yang diharapkan adalah terbentuknya kekeruhan, yaitu sebagai akibat presipitasi "protein coagulogen". Dasar dari metode ini yaitu peningkatan jumlah endotoksin akan me-nyebabkan hertambahnya kekeruhan dan bertambahnya kekeruhan ini sebanding dengan bertambahnya endotoksin.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 50

Page 52: Cdk 046 Antibiotika

Nilai optical density dibaca dengan menggunakan spektro-fotometer. Hasil yang didapat akan memberikan konsentrasi endotoksin secara kuantitatif, yaitu dengan mengekstrapolasi-kan dalam kurva standar, dan kurva standar diperoleh dengan membuat scri konsentrasi endotoksin. Tabel 1 : Comparison of qualitative LAL-Tests.

Sumber: Kruger D. The detection of pyrogens with the Limulus Test. Drug Made in German 1982; Vol. 25; No. 1.

Tabel 2 Syarat Batas Kandungan Endotoksin Bakteri dalam bebe- rapa monograp USP XXI.

– V adalah total dosis maksimum yang dianjurkan. – Sebagai standar menggunakan Endotoxin Reference Standard-USP.

"The colorimetric test" (uji warna) Metode ini didasarkan atas terbentuknya warna, sedang-

kan caranya hampir sama dengan metode kedua. Namun dalam metode ini presipitasi protein dengan menggunakan

Page 53: Cdk 046 Antibiotika

centri fuge. Konsentrasi endotoksin dalam suatu contoh juga diperoleh dengan mengekstrapolasikan dalam kurva standar dan pembacaan juga menggunakan spektrofotometer. "The chromogenic subsrate test"

Metode ini berbeda dengan metode-metode yang ter-daliulu. Metode yang disebutkan sebelumnya tergantung se-penuhnya pada reagensia LAL, terutama kandungan "protein coagulogen" di dalamnya yang berfungsi membentuk gelatin protein. Sedangkan metode ini, fungsi untuk membentuk gel protein yaitu dari suatu substrat kromogenik sintetis untuk menggantikan "protein coagulogen". Substrat kromogenik sintetis ini mengandung rangkaian asam amino yang sama se-perti koagulogen reagensia. Pembacaan hasil juga seperti pada 2 metode sebelumnya, yaitu dengan menggunakan spektro-fotometer. DETEKSI ENDOTOKSIN BAKTERI

Dalam perkembangan cara mendeteksi Endotoksin Bak-teri, di USP XX telah membuat artikel metode LAL untuk memperkirakan konsentrasi endotoksin bakteri yang terkan-dung dalam preparat. Kemudian dalam USP XXI, pada be-berapa monograp telah dicantumkan persyaratan kandungan endotoksin bakteri yang diperbolehkan ada dalam sediaan farmasi, meliputi sediaan Radiofarmasi dan sediaan air. Per-syaratan tersebut sebagian dalam monograp baru dan sebagian lagi dipergunakan untuk menggantikan persyaratan babas pirogen. Macam-macam sediaan dan syarat kandungan endo-toksin yang diperbolehkan dapat dilihat pada tabel 2. KESIMPULAN

Endotoksin dalam jumlah relatif kecil mempunyai efek biologis sangat membayakan hidup manusia, sehingga dalam produk-produk farmasi khususnya yang berkaitan dengan se-

diaan parenteral perlu ditentukan batas-batas kandungan endotoksin yang diperbolehkan. Metode LAL merupakan sarana yang memadai, karena sensitivitasnya yang mampu mendeteksi kandungan endotoksin relatif kecil, dan kemam-puannya menetapkan kandungan endotoksin secara kuantitatif.

Melihat perkembangan pemakaian LAL di USP, dan ada-nya persyaratan batas kandungan endotoksin dalam beberapa monograp baru maupun persyaratan batas kandungan endo-toksin untuk menggantikan tes pirogen dalam beberapa monograp; tidaklah mustahil, pemakaian metode LAL dimasa mendatang sangat berperanan.

KEPUSTAKAAN

1. Baggerman C et al. A Comparative study on the performance of asbestos-

free depth filters for removal of pyrogens from infusion fluids J Pharm Pharmacol 1981; 33 : 685–691.

2. Baggerman C et al. Physicochemical properties of endotoxins in large volume parenterals. J Pharm Pharmacol 1985: 37:521–527.

3. Bickel H. and Meyer KH. Appication of the LAL-test within the scope of Inprocess Controls with regard to Quantitative Aspects. Drug Made in German. 1982; vol. 25; No. 3:105--108.

4. Dony J. Biological effects of endotoxins and other microbial pyrogens. Pharm Int 1981; 2:209– 212.

5. Kruger D. The detection of pyrogens with the Limulus Test. Drug Made in German 1982; Vol. 25; No. 1:12–23.

6. Kruger D. The Limulus Test in Europe. Drug Made in German. 1983; vol. 26; no.4:196–204.

7. Novitsky TJ. Monitoring and Validation of High Purity Water Systems with the Limulus Amoebocyte Lysate Test for Pyrogens. Pharmaceutical Engineering 1984; 3:21–24.

8. Stetson C. Endotoxin. In : Bacterial and Mycotic Infentions of Man. 4th ed. Editors: Dubois RJ and Hirsch JG. London: X Pit-man Medical Publishing Co, LTD 1965: 304–306.

9. The United State Pharmacopeia 21st. revision. US Pharmacopeial Convention, Inc. Rockville 1984.

10. The United State Pharmacopeia 20th, revision. US Pharmacopeia! Convention, Inc. Rockville 1979.

11. Weary M. Pyrogen testing wit the Limulus Amoebocyte Lysate Test. Pharm Int 1986;4:99-102.

Untuk segala surat-surat, pergunakan alamat:

Redaksi Majalah Cermin Dunia Kedokteran

P.O. Box 3105 Jakarta 10002

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 52

Page 54: Cdk 046 Antibiotika

INFORMASI OBAT

Ofloxacin : Antibakteri Quinolon Berspektrum Lobar Generasi Baru

Ofloxacin merupakan suatu antibakteri sintetik derivat asam piridonkarboksilat yang ditemukan oleh Laboratorium Daiichi Seiyaku. Ofloxacin memiliki daya antibakteri yang lebih kuat terhadap bakteri gram negatip, seperti E. coli, K. pneumoniae, Serratia spp., Proteus spp., P. aeroginosa, clan H. influenzae dibandingkan dengan derivat asam piridonkar-boksilat lainnya. Selain itu ofloxacin juga memiliki daya anti-bakteri terhadap bakteri gram positip seperti Staphylococcus spp., Streptococci hemolitic dan Enterococci, di man deriv t quinolon lainnya tidak efektif. Ofloxacin menunjukkan efek yang sempurna terhadap infeksi-infeksi saluran napas, saluran kemih, saluran bilier, saluran cerna dan bermacam infeksi dermatologik, oftalmologik, otorhinologik dan ginekologik. SIFAT FISIKO-KIMIA Struktur kimia

Ofloxacin mempunyai struktur kimia sebagai beri!:ut

Nama kimia (+)-9-fluoro-2, 3-dihydro-3-methyl-10-(4-methyl-1–piperazi-nyl)-7oxo-7H-pyrido (1, 2, 3, -de) (1, 4) benzoxazine-6-carbo-xylic acid.

Rumus molekul dan berat molekul C 18H20FN304 (361, 37).

Titik lebur 260 – 270°C. Pemerian Serbuk kristal berwarna putih kekuning-kuningan, tidak berbau, rasa pahit.

Kelarutan Mudah larut dalam asam asetat dan kloroform, sedikit larut

dalam air, metanol, etanol atau aseton, dan sangat sukar larut dalam etil asetat dan benzena. pH larutan jenuh dalam air 7, 16.

STABILITAS Baik bahan baku maupun produk jadinya dalam bentuk

tablet film coated mempunyai stabilitas yang baik pada ber-bagai kondisi penyimpanan. AKTIVITAS ANTIBAKTERI

Ofloxacin mempunyai spektrum antibakteri yang luas ter-hadap bermacam bakteri gram positip dan gram negatip, ter-utama terhadap bakteri Staphylococcus spp., Streptococci hemolitic, Enterococci, E. coli, K. pneumoniae, Serratia spp., Proteus spp., H. influenzae dan N. gonorrhae. Ofloxacin efektif terhadap Enterobacteriaceae yang resisten terhadap asam nalidiksat, N. gonorrhae yang resisten terhadap gentamisin. Ofloxacin juga efektif terhadap beberapa bakteri anaerob.

Ofloxacin bekerja secara spesifik dengan menghambat sintesis DNA mikroorganisme. FARMAKOKINETIK

Absorpsi Pada pemberian dosis tunggal per oral pada sukarelawan

sehat, kadar serum ofloxacin meningkat sesuai dengan pe-ningkatan dosis. Pada pemberian dosis 100 mg, kadar serum puncak rata-rata adalah 1,0 mcg/ml setelah 2 jam. Sedang pada dosis 200 mg dan'300 mg, kadar puncak rata-rata berturutturut adalah 1,65 mcg/ml dan 2,8 mcg/ml.

Distribusi

Pada pemberian per oral, ofloxacin didistribusi dengan baik kedalam berbagai jarinigan termasuk kulit, saliva, tonsila palatina, sputum, prostat, cairan prostat, kandung empedu, empedu, air mata, uterus, ovarium, dan duktus ovarii.

Ofloxacin juga didistribusikan ke dalam ASI.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 53

Page 55: Cdk 046 Antibiotika

Metabolisme Pada pemberian per oral ofloxacin hanya sebagian kecil

yang dimetabolisme menjadi metabolit N-demethylated ofloxacin dan ofloxacin N-oxide.

Ekskresi Pada pemberian per oral ofloxacin terutama diekskresikan

melalui urin dalam bentuk tidak berubah. Kadar ofloxacin dalam urin meningkat sesuai` dengan pe-

ningkatan dosis. Pada pemberian oral 100 mg kadar puncak urin 115 mcg/ml pada 2 – 4 jam dan menurun menjadi 36 mcg/ml setelah 12 – 24 jam. Sebagian besar ofloxacin tidak dimetabolisme dalam tubuh, > 90% dosis per oral diekskresi-kan dalam urin dalam bentuk tidak berubah dan 4% dalam faeces setelah 48 jam.

EFIKASI KLINIK Pada berbagai uji klinik pemakaian ofloxacin memberikan

hasil yang memuaskan pada berbagai infeksi seperti infeksi saluran napas, uro-genital, kulit, jaringan lunak, saluran bilie.r, enteritis, mata, telinga, hidung, dan ginekologik.

INDIKASI • Pneumonia, bronkitis kronik, panbronkiolitis difus, bron-kiektasis dengan infeksi, infeksi sekunder pada penyakit per-napasan kronik. • Faringitis, laringitis, bronkitis akut, tonsilitis. • Pielonefritis, sistitis, prostatitis, epididimitis. • Uretritis gonokokal dan non-gonokokal. • Folikulitis, furuncle, furunkulosis, carbuncle, erysipelas, flegmon, limfangitis, limfaderitis, felon, abses subkutan, spiradenitis, akne konglobata, infeksi atheroma, abses perianal. • Mastadenitis, infeksi superfisial sekunder setelah trauma, luka bakar. • Kolesistitis, kolangitis. • Otitis media, sinusitis. • Blefaritis, hordeolum, dakriosistitis, tarsadenitis, keratohel-kosis. • Disentri basiler, enteritis.

EFEK SAMPING • Reaksi alergi : ruam kulit, gatal-gatal. Dalam keadaan se-perti ini pengobatan dengan ofloxacin•segera dihentikan. • Fungsi ginjal : peningkatan sementara BUN dan kreatinin serum. • Fungsi liver : peningkatan sementara S-GOT,S-GPT, alkalin fosfatase, -y-GTP, bilirubin total. • Gastrointestinal : mual, muntah, diare, anoreksia, nyeri perut, pyrosis, stomatitis. • Darah : penurunan sementara leukosit, eritrosit, Hb, hema-tokrit, platelet, dan peningkatan eosinofil. • Susunan sarah pusat : insomnia, pusing, dan sakit kepala. PERHATIAN DAN PERINGATAN • Ofloxacin tidak boleh diberikan' pada penderita yang hipersensitif terhadap ofloxacin. • Ofloxacin hendaknya diberikan secara berhati-hati pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal. • Keamanan ofloxacin pada wanita hamil belum dipastikan sehingga jangan diberikan pada wanita hamil. • Keamanan pada anak-anak belum dipastikan sehingga jangan diberikan pada anak-anak. • Oleh karena ofloxacin diekskresikan dalam ASI, hentikan menyusui selama menggunakan obat ini. DOSIS DAN CARA PEMBERIAN Ofloxacin diberikan pada orang dewasa dengan dosis sehari 200 – 600 mg per oral yang dibagi dalam 1 – 3 dosis. Dosis hendaknya disesuaikan dengan mikroorganisme penginfeksi dan tingkat keparahan penyakit. BENTUK

Table

OfloxacinFARMA DAIICHI

HI

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 54

SEDIAAN

t film coated 100 dan 200 mg. UMOR

akan diproduksi dan dipasarkan oleh PT. KALBE dengan merek dagang TARIVID dibawah lisensi

SEIYAKU CO. LTD., Tokyo, Japan.

LMU KEDOKTERAN

Victor S. Ringoringo

Page 56: Cdk 046 Antibiotika

Hukum & Etika Tepatkah Tindakan Saudara ?

Tepatkah Tindakan Saudara ? Saya bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit kecil, dan kebetulan adalah tenaga dokter satu-satunya di rumah-sakit tersebut. Maaf, saya mengajukan pertanyaan sehubungan dengan kasus yang saya alami.

Beberapa hari yang lalu, masuk rumah sakit seorang wanita umur 20 tahun (belum kawin) dengan perdarahan pervaginum. Pada pemeriksaan kami dapatkan: • Luka lecet baru di bagian bawah introitus vagina • Hymen non intak (ada robekan lama dan baru) • Luka robek di bagian bawah di daerah posterior portio. tanda-tanda tersebut merupakan sumber perdarahan per-vaginum. tanda-tanda hamil/abortus negatif.

Pada anamnesis, ternyata telah terjadi coitus (5 jam yang lalu). Problem: • Pasien tersebut adalah seorang mahasiswi yang tinggal di asrama. Yang pasti, mahasiswi tersebut (plus pacarnya yang juga berstatus mahasiswa), akan dikeluarkan dari asrama dan sekolahnya bila ternyata diketahui perdarahan akibat coitus atau abortus. • kedua mahasiswa tersebut hanya berani berterus-terang tentang keadaan yang sebenarnya (terjadinya coitus) kepada saya sebagai dokter, dan meminta dengan sangat supaya me-rahasiakannya, mengingat masa depan mereka. • Dalam surat keterangan yang diminta oleh sekolah (bukan VER), saya hanya menyebutkan bahwa perdarahan yang terjadi bukan akibat suatu abortus, tetapi akibat adanya luka dalam liang vagina tanpa menyebutkan alternatif penyebab luka. Pertanyaan: • Benarkah tindakan saya? • Kalau kemudian saya didesak oleh sekolah supaya men-jelaskan luka; dapatkah saya menyatakan bahwa telah terjadi coitus, sesuai keadaan sebenarnya? • Saya bingung; di satu pihak saya memegang rahasia jabatan, di lain' pihak saya dikejar perasaan seperti mau me-nutup-nutupi perbuatan yang tidak terpuji (dosa).

Mohon bantuan penjelasan. Dr. HRV Akay

Sulawesi Tenggara

Komentar TANGGAPAN DARI SEGI ETIKA KEDOKTERAN

Pertama-tama saya ingin menyampaikan rasa simpati saya pada sejawat Dr. Hanny R.V. Akay yang sedang melaksanakan bakti kemanusiaannya di satu RS Kecil di Sulawesi Tenggara, se-

bagai dokter tunggal. Hal ini menimbulkan nostalgia saya, sewaktu saya melaksanakan tugas yang sama pada awal 1960 di RS Kecil di Sulawesi Tenggara dengan sarana yang sangat minim. Demikian minimnya sarana yang tersedia, sehingga memberi infus pun tidak bisa, karena tidak ada giving set, biarpun ada cairan infus; bahkan beras pun pernah tidak punya dan kalau hujan turun, dapur terpaksa berhenti karena atapnya bocor besar.

Pernah saya akan melakukan kuretasi pada kasus abortus inkompletus, ternyata kuret tajam belum dikembalikan oleh tukang tambal ban sepeda, yang menggunakannya pengganti amplas. Kuretasi dilakukan juga dengan kuret tumpul dengan penerangan lampu senter. Namun berkat kebesaran Tuhan yang Maha Kuasa, penderita selamat juga. Pengantar ini sekedar untuk menambah semangat pengabdian Sejawat Hanny, yang secara riel bekerja sendirian, tetapi Tuhan selalu membimbing anda.

Kembali pada kasus yang sejawat hadapi, saya berpen-dapat sikap sejawat sudah betul ditinjau dari segi Etik Ke-dokteran, karena Sejawat telah berpegang pada kewajiban mempertahankan rahasia jabatan sejawat selaku dokter. Permintaan pimpinan sekolah, tidak cukup sebagai alasan untuk membuka rahasia jabatan. V.E.R. hanya boleh dibuat dan diberikan kepada penegak hukum yaitu penyisik perkara, bila kasus ini akan diajukan pada Pengadilan Negeri.

Kesangsian sejawat seolah-olah menutupi perbuatan tidak terpuji, dapat sejawat atasi dengan memberi nasihat yang baik kepada kedua orang tersebut, dan pengakuan mereka pada sejawat harus anda simpan sebagai titipan rasa kepercayaan pada Sejawat, yang juga mencerminkan kepercayaan yang bersangkutan terhadap integritas Sejawat sebagai dokter.

Demikian pendapat saya terhadap pertanyaan Sejawat. Semoga Sejawat tabah dan semoga Tuhan yang Maha Kuasa akan selalu melindungi T.S. selama T.S. juga tidak melupakan-Nya.

Dr. H. Masri Rustam

Direktorat Transfusi Darah PMI Ketua IDI Cabang Jakarta Pusat, Jakarta

TANGGAPAN DARI SEGI HUKUM KEDOKTERAN

Baiklah kita mengingat kembali kuliah-kuliah tentang "Rahasia Pekerjaan Dokter". Menurut hukum pidana, dikatakan, jika seorang dokter mem-

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 55

Page 57: Cdk 046 Antibiotika

buka rahasia pekerjaannya, ia dapat dituntut menurut K.U.H. Pidana pasal 322, yang berbunyi : (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang ia wajib menyimpannya karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ribu rupiah. (2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dituntut atas pengaduan orang itu. Dari ayat (2) dapat diketahui, bahwa membuka rahasia pe-kerjaan dari perorangan suatu delik aduan.

Selanjutnya dikatakan, bahwa karena kita mengikuti "aliran nisbi", maka terdapat 3 (tiga) hal yang menghapus pidana itu : 1. ada dayapaksa K.U.H. Pidana pasal 48) 2. melaksanakan suatu undang-undang (K.U.H. Pidana pasal 50) 3. ada perintah jabatan yang sah (K.U.H. Pidana pasal 51). Di samping ketiga hal ini, maka jika ada persetujuan si pasien rahasianya juga dapat dibuka, karena tidak bertentangan dengan hukum.

Dalam kasus yang anda tanyakan, sebenarnya anda telah membuka rahasia pekerjaan dokter dengan mengatakan "perdarahan yang terjadi bukan akibat suatu Abortus, tetapi

akibat adanya luka dalam liang vagina". Jika ke 4 penghapus pidana di atas dicocokkan dengan kasus anda, maka tidak ada satupun yang cocok. Tinggal sekarang ditelusuri, apakah kedua mahasiswa itu membuat suatu perikatakan/kontrak tertentu dengan kepala sekolah, misalnya jika dicurigai bahwa mereka melakukan coitus, kepala sekolah berhak mengetahui basil pemeriksaan oleh dokter. Jika perjanjian semacam ini juga tidak ada, maka kepala sekolah tidak berhak menanyakan kepada dokter tentang hasil pemeriksaannya dan dokter juga tidak perlu/wajib memberi tahukannya.

Menurut hukum perdata dokter yang membuka rahasia pekerjaannya, dapat dituntut berdasarkan K.U.H. Perdata pasal 1365 yang berbunyi : Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Jadi orang itu baru dapat menuntut, jika ia memang men-derita kerugian oleh perbuatan dokter tadi. Selama ia tidak menderita kerugian, maka ia tidak berhak menuntut dokter- nya.

Dr. Handoko Tjondroputranto

Lembaga Kriminologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 5 Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 56

Page 58: Cdk 046 Antibiotika

HUMOR ILMU KEDOKTERAN

POSYANDU Penyuluh : Dengan Posyandu ada-

lah sarana untuk menu-runkan angka kelahiran dan angka kematian bayi.

Kader : Itu sih gampang. Kalau untuk menurunkan angka-angka itu, harus juga menurunkan angka per-kawinan dan menaikkan angka perceraian.

Penyuluh : Lalu ?? Kader : Perceraian ditingkatkan,

perkawinan diper sukar. Penyuluh : ????

Dr. Farida Pudjiastuti Puskesmas Kaliangkrik, Magelang

JANGAN DIKATAKAN Seorang Profesor yang sudah agak lanjut usia, dengan muka menunduk berjalan hilir mudik di ruangan tunggu sebuah klinik bersalin. Tiba-tiba, dari dalam ruangan seorang suster dengan suara gembira tergopoh-gopoh mem-beritahukan kepada sang Profesor : "Prof, anak Prof telah lahir dengan selamat" Dengan gembira sang Profesor berjalan keluar,. tapi baru beberapa langkah ke-mudian ia balik kembali dan dengan serius berbisik pada suster tadi: "Suster, berita kelahiran ini jangan diberitahukan pada istri saya ya, karena saya ingin ……memberitahu langsung kepadanya !"

SUARA AJAIB DI RONGGA MULUT Suatu malam Jum'at Kliwon di dalam rongga mulut tuan A terjadi pertengkaran. Pertengkaran ini terjadi karena kesalahpahaman antara kelompok gigi seri/insisivum dan kelompok gigi geraham/molar. Geraham : "Aku benci deh sama kamu." G.S : "Loh kenapa, kok tiba-tiba anda sewot?" Geraham : "Habis .. ., kamu sib ... segala-segala ingin menang sendiri ...!" G.S : "Apanya sih yang menang?" Geraham : "Kalau tuan A sedang bersantap musti deh kamu yang paling duluan mencicipi hidangan, sedangkan kita-kita ini dapat sisa-sisanya." G.S : "Itu sih salah sendiri kenapa lahir belakangan dan mau ditempatkan di situ." Geraham : "Yang paling keki tuh ...!! bila malam Minggu tiba ..., kelompok kamu dapat bergaul akrab dengan saudara-saudaramu dari mulut Ny. A sedangkan kita-kita . . . cuma nonton dari jauh .." Kaninus/taring (menengahi) : "Sudah deh jangan ribut aje ..., ntar gua tusuk luh semua ..., bila perlu tukar tempat deh kalian ..." G.S. dan Geraham : "...? ...? ...? ...! ...! ...! ...! ...!? ...? ...?!!!„

dr. S. Hadian Kanwil Depkes Jawa Barat

NONA 'KAN BUKAN GANGSA ???? Peristiwa ini terjadi pada mata kuliah dermatologi beberapa puluh tahun lalu di FKUI/ RSCM. Kuliah diberikan oleh Almarhum Prof. Sartono Kertopati yang terkenal dengan gaya dan caranya yang lain dari pada yang lain. Oleh karena itu, para mahasiswa yang merasa "terpaksa" mengikuti kuliahnya berusaha menghindari untuk dipanggil ke depan ruang kuliah dengan menyembunyikan diri dengan duduk jauh di belakang. Pada suatu hari dalam kuliah tentang penyakit kelamin pada wanita, seorang mahasiswi dipanggil untuk maju ke depan. Pembicaraan berlangsung sebagai berikut Prof.: Nona, coba gambarkan vagina dilihat dari depan! Mahasiswi dengan tangan gemetar mencoba menggambar vagina dengan bagian-bagiannya yang penting. Mungkin oleh karena gugup atau memang kurang faham tentang bentuk vagina, maka digambarkan vagina dengan letak uretra di atas clitoris. Prof.: (dengan suara heran) : Apa nona sudah pernah melihat vagina????? Mahasiswi: (setelah diam sejenak) menjawab dengan suara lemah: Sudah. Prof.:Siapa punya????? Pada saat ini seluruh mahasiswa sudah tidak dapat menahan ketawa lagi. Mahasiswi: D.engan suara yang lebih lemah lagi: Saya punya! Prof.: Mana mungkin!!! Nona 'kan bukan gangsa????? OLH

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 57

Page 59: Cdk 046 Antibiotika

SAKIT PERUT KARENA GIGI BERLUBANG Seorang pria datang ke tempat praktek dokter dengan keluhan sakit perut. Dokter meraba perut pasien yang teraba keras sambil bertanya : "Selama ini makan apa saja?" Pasien : "Makanan saya biasa saja

dok" Dokter : "Coba diingat-ingat lagi ba-

rangkali ada yang di luar ke-biasaan"

Pasien : "Benar dokter, tak ada yang aneh, hanya saja kalau biasa- nya dikunyah maka sudah dua hari ini langsung ditelan tanpa dikunyah karena .gigi geraham sakit (berlubang)"

Dokter : "Nah sekarang ketahuan . . . , penyebab sakit perut itu ka- rena gigi berlubang, oleh ka- rena itu bapak harus ke dok- ter gigi, tapi obat yang ada di resep ini dimakan dulu."

Ny. Bambang SINDROM PASCABEDAH Seorang Nyonya mengajukan tuntutan kepada seorang dokter karena merasa dirugikan setelah suaminya menjalani operasi. Nyonya : "Saya akan menuntut dokter

di meja hijau, karena saya yakin pisau bedah dokter masih tertinggal di dalam perut suami saya!"

Dokter : "Lho, bagaimana Nyonya bisa tahu . . . ?!"

Nyonya : "Soalnya, setelah suami saya dioperasi – dia sering mengeluh perutnya butek seperti diudek-udek, hatinya perih seperti disayat- sayat terutama kalau saya terlambat pulang".

Dokter : "Oooooooo, itu gampang mengatasinya asalkan Nyo-nya mau menuruti nasehat saya. Nyonya harus betah tinggal di rumah mendam-pingi suami. Dengan kata lain, Nyonya tidak boleh lagi beroperasi di luar ru-mah!"

Dr. Ketut Ngurah Laboratorium Parasitologi Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana

KUA MOTIVASI KB Dalam suatu acara pernikahan di desa ujung kulon, di mana desa ini sangat sedikit peserta KB, maka Bapak KUA (Kantor Urusan Agama) langsung melaksanakan per-nikahan sambil motivasi KB. Maka terjadi Dialog antara Penganten Perempuan (PP) dengan Bapak KUA sehingga para tamu jadi mesem-mesem dan ketawa. KUA : bersediakah tuan putri saya nikahkan dengan si A, setelah ditanyakan sampai

………………….3 kali, setelah diancam bahwa diam tanda setuju. PP : beeeeerrrr ssseee dia pak. KUA : Saya menikahkan biasanya ada syarat. PP : Syaratnya apa saja Pak. KUA : KB dan PBB. PP : mohon dijelaskan pak syarat tersebut. KUA : KB maksudnya anak ikut program nasional KB (Keluarga Berencana) sehingga

tercapai NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera) kalau anak sudah bapak nikahkan dengan si A. PBB maksudnya Pokoknya kita Bantu memBantu, jadi anak membantu bapak sama-sama kita perjuangkan dan laksanakan program nasional dan bapak membantu anak untuk menikahkan-nya sehingga kita tercapai tujuan bersama dan tujuan masing-masing.

PP : saya bersedia pak, tetapi ada sedikit syarat pula. KUA : Apa pula pakai syarat segala. (pak KUA heran), apa-apaan ini saya yang

bikin syarat kamu juga ikut pakai syarat segala. PP : soalnya begini pak, saya jauh dari pelayanan KB, tetapi saya belum ingin

punya anak segera, jadi saya mau ikut KB yang paling baik yang dapat saya laksanakan sendiri, bersama suami.

KUA : berpikir, apa yang harus saya jelaskan dan mengena. Kua terpikir sistem penanggalan, ta'pi ragu-ragu menjelaskannya. Akhirnya KUA ter-pikir dan menjelaskan : begini nak, kalau hubungan badan, bilangin suami kalau mau keluar sperma jangan tancap gas, tetapi dicabut keluar tuan putri bingung. PP : m aa naa ttaa haaaan KUA juga bingung, sehingga terucapkan taaa hannkaaan Akhirnya para tamu laki-laki ketawa geeerrrrr dan perempuan mesem-mesem.

Dr. A. Hasibuan Taktakan Serang, .Iawa Barat

LINGKARAN SENGSARA Suatu hari, seorang pria setengah baya berpakaian ala dukun menuju rumah seorang dokter spesialis yang cukup tenar. Pria itu yang memang dukun, menuntun seorang penderita asma. Nampaknya serangan asmanya cukup berat, terlihat dari napasnya yang susah dan sengal-sengal. Sampai di rumah Pak Dokter, Pak Dukun be-serta pasiennya ternyata mendapat perlakuan kurang layak. Terjadilah dialog seperti berikut. Dukun : "Tolonglah pasien saya ini, dokter. Sesaknya keras sekali!" Dokter : "Maaf, di rumah tidak ada alat-alat. Bawa saja ke tempat praktek saya.

Nanti saya menyusul!" Pasien : (dengan napas tersengal-sengal menjelaskan kepada dukun) "Saya sudah ,pernah berobat di tempat praktek dokter ini. Saya tidak

mampu membayar rekeningnya. Lalu saya pindah ke dokter lainnya, juga saya tidak mampu menebus obatnya. Itulah sebabnya saya minta bantuan Pak Dukun. Sekarang untuk apa Pak Dukun mengantarkan saya ke sini?"

Dukun : (bingung setengah hidup)! Dokter : (tersinggung)! "Tunggu apa lagi, kalian? Jika memang ingin berobat, tunggulah di tempat

praktek saya!" Lepas berkata demikign, Pak Dokter dengan angkuh masuk ke kamarnya – meninggalkan tamunya yang masih penasaran.

kemudian Pak Dukun beserta pasiennya yang malang keluar dari rumah elite itu. Dalam hatinya tercetus sumpah-serapahnya ??!"

Dr. Ketut Ngurah Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Page 60: Cdk 046 Antibiotika

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 1. Peningkatan jumlah kuman yang resisten terhadap anti-

biotika tetrasiklin dapat disebabkan karena : a) Penggunaan tetrasiklin pada manusia yang irasional b) Penggunaan tetrasiklin yang meluas dalam peternakan c) Penggunaan tetrasiklin yang kurang terkontrol dalam

peternakan d) semua benar

2. Pada penelitian resistensi kuman Streptococcus spp. dari abses dentoalveolar terhadap 3 antibiotika di wilayah DKI Jakarta, diperoleh basil : a) Strain kuman yang paling banyak ditemukan adalah

Streptokokus hemolitikus tipe alfa b) Eritromisin dapat dipakai untuk mengobati kasus in-

feksi gigi yang tidak berhasil diobati dengan tetrasiklin maupun ampisilin

c) Resistensi kuman tertinggi terhadap tetrasiklin d) Semua benar

3. Pada survei penggunaan antibakteri untuk kasus infeksi sa-luran nafas bagian atas (ISNA) di Puskesmas, ditemukan bahwa jenis ISNA yang paling banyak ditemukan adalah : a) Faringitis b) Common Cold c) Influenza d) Tonsilitis e) ISNA non spesifik

4. Darah dalam tinja dapat dibuktikan dengan a) Uji guajakol b) Uji Apt-Downey c) Uji Benzidine d) Uji denaturasi alkali e) a dan b benar

5. Hematokezia atau melena pada neonatus dapat disebabkan karena a) Defisiensi vitamin K pada neonatus b) Necrotizing enterocolitis c) Tertelan darah ibu d) Semua benar

6. Berikut ini hormon-hormon yang berpengaruh pada moti-litas saluran cerna, kecuali : a) Gastrin

b) Cholecystokinin c) Asetilkolin d) Motilin

7. Sindroma dispepsia yang mudah dikenal dapat berupa a) Nyeri epigastrium b) Rasa kembung c) Nausea d) Flatulensi e) Semua benar

8. Berikūt ini virus yang berhasil diisolasi dari penderita AIDS a) Human T cell Lymphotrophic Virus (HTLV III) b) Lymphadenopathy Virus (LAV) c) Immuno Deficiency Associated Virus (IDAV) d) T cell Leucemia Virus (HTLV I) e) Semua benar

9. Radang paru-paru Pneumocustic carinii merupakan gejala klinik dari AIDS klas : a) Full blown AIDS b) AIDS Related Complex c) Chronic Lymphadenopathy Syndrome d) Pre AIDS

10. Berikut ini merupakan Imunomodulator yang sedang diuji efektivitasnya terhadap virus AIDS, kecuali : a) Isoprinosin b) Retrovir c) Interleukin 2 d) Gama interferron

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 59

Page 61: Cdk 046 Antibiotika

ABSTRAK - ABSTRAK PERKEMBANGAN OBAT AIDS

Menurut FDA Drug Bulletin, gamma-interferon tidak menunjukkan adanya keuntungan klinik untuk pengobatan AIDS. Gamma-interferon kini sedang diuji untuk pengobatan Mycobacterium avium intracellulare pada pasien AIDS di Cornell University. Berikut adalah komentar buletin FDA terhadap obat-obat yang sekarang ini diuji untuk melawan AIDS: • Suramin–Bayer tidak menunjukkan keun-

tungan klinik, walaupun memperlihatkan akti- vitas in vitro dan in vivo terhadap HTLV–III.

• Ribavirin–ICN dapat menununkan infeksi HTLV–III tetapi tidak menghapus aktivitas retrovirus.

• Isoprinosine (metisoprinol)–Newport pada penelitian di St Luke's Roosevelt hospital ti-dak menunjukkan efektivitas klinik pada pa-sien AIDS.

• Alpha Interferon dapat mereduksi tumor pada pasien AIDS dan Kaposi's sarcoma, meskipun responnya pada sebagian besar pasien hanya-lah sementara.

• HPA–23–Rhone–Poulenc pada sejumlah ka-sus dapat mereduksi atau membersihkan virus sementara dari darah, walaupun penelitian di Perancis pada penderita AIDS tidak menun-jukkah perbaikan klinik.

Pada pusat-pusat penelitian di USA sedang di-lakukan penelitian terhadap HPA–23 dan BW - A509U – Wellcome untuk mengobati AIDS. Juga ditambahkan bahwa Rifabu tin-Erb amont (ansamycin) sedang diuji untuk melawan nfeksi Mycobacterium avium intracellulare pada pasien AIDS, dan sekarang sedang dipertimbangkan oleh FDA untuk digunakan pada pasien dengan infeksi HTLV–lIl.

(SCRIP No. 1062, p.17)

PENGOBATAN ADIKSI DENGAN AKU-PUNKTUR

Perang terhadap narkotika telandicanangkan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Berbagai

usaha pencegahan dilakukan dan produk hukum dikeluarkan untuk mencegah jatuhnya korban narkotika baru, yang umumnya adalah generasi muda. Yang tidak kalah pentingnya adalah usaha pengobatan dan rehabilitasi. Harapan baru bagi usaha rehabilitasi penderita narkotika telah terbuka dengan dikembangkannya pengobatan akupunktur pada penderita adiksi narkotika. Saat ini, para ahli sedang mengembangkan teknik ākupunktur telinga pada penderita adiksi berbagai jenis obat seperti nikotin, kafein, kokain dan heroin. Metoda ini sudah dikembangkan di berbagai Pusat Kesehatan Jiwa di Amerika Serikat dengan hasil yang cukup memuaskan. Metoda ini dirintis pengembangan-nya, oleh Dr. Michael Smith, psikiater pada Lincoln Medical Centre, yang selama 13 tahun berkecimpung dalam pengobatan penderita adiksi narkotika. Sebelumnya; Dr Smith selalu meng-gunakan Metadon dalam pengobatan adiksi narkotika. Menurut pengalaman Dr. Smith, dengan metoda akupunktur ini penderita adiksi kokain, morfin, maupun heroin dapat diobati dan di-rehabilitasi dengan hasil yang cukup memuaskan dengan tingkat keberhasilan 40–50%.

VSR Asian Medical News, March 12, 1987

Cermin Dunia Kedokteran No. 46, 1987 60