cdk_141_asma

61

Upload: ronald-mcgee

Post on 17-Oct-2015

165 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 2003

    http. www.kalbe.co.id/cdk

    International Standard Serial Number: 0125 913X

    141. Asma

    Daftar isi : 2. Editorial 4. English Summary

    Artikel

    5. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Indah Rahmawati, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono

    12. Peranan Infeksi Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumo-niae terhadap Eksaserbasi Asma Ira Melintira, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono

    19. Pengaruh Infeksi Virus pada Perkembangan Asma Adria Rusli, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono Karya Sriwidodo WS

    23. Asma Akibat Kerja Teguh H. Karjadi 27. Asma dan Polusi Udara M. Yusuf Hanafiah Pohan, Faisal

    Yunus, Wiwien Heru Wiyono Keterangan Gambar Sampul: Datura metel L. (kecubung) digunakan untuk meredakan gejala antara lain asma 30. Refluks Gastroesofagus pada Asma Agus Dwi Susanto, Wiwien

    Heru Wiyono, Faisal Yunus 39. Imunoterapi pada Asma Alergi Frans Abednego Barus, Wiwien

    Heru Wiyono, Faisal Yunus

    46. Peranan Magnesium pada Asma Bambang Irawan Harsono,

    Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono 51. Carpal Tunnel Syndrome Rudiansyah Harahap

    54. Kapsul 55. Produk Baru 56. Kegiatan Ilmiah 59. Indeks Karangan Tahun 2003 60. RPPIK

  • Asma istilah yang umum dipakai, bahkan awampun tidak asing

    dengan perkataan ini; tetapi ternyata asma masih banyak mempunyai aspek yang belum sepenuhnya dipahami; mula-mula dianggap sebagai reaksi imunitas, tetapi akhir-akhir ini peranan infeksi juga mulai di-bicarakan, belum lagi mengenai pengaruh kualitas udara dan lingkungan hidup pada umumnya.

    Kumpulan artikel yang sebagian besar berasal dari bagian Pulmono-logi dan Kedokteran Respirasi FKUI ini berusaha memberikan gambaran permasalahan asma dewasa ini, sekaligus juga membahas cara-cara penanggulangannya, baik melalui manipulasi lingkungan, pengobatan, pencegahan maupun faktor-faktor pencetusnya; tentu dengan harapan agar Sejawat dapat lebih memahami dan dengan demikian dapat me-nangani masalah asma dengan lebih baik.

    Di akhir halaman, kami kembali mencantumkan daftar artikel yang diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran sepanjang tahun 2003.

    Kami berharap dapat tetap bertemu di tahun mendatang dalam ke-adaan yang lebih baik dan sejahtera,

    Redaksi

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 2

  • 2003

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 3

    REDAKSI KEHORMATAN

    Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo

    Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

    Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno

    SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

    Prof. Dr. R. Budhi Darmojo

    Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

    Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort

    Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

    DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

    DEWAN REDAKSI

    KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc

    PEMIMPIN UMUM Dr. Erik Tapan

    KETUA PENYUNTING Dr. Budi Riyanto W.

    PELAKSANA Sriwidodo WS.

    TATA USAHA Dodi Sumarna

    ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. Telp. (021)4208171 E-mail : [email protected] : http://www.kalbe.co.id/cdk NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

    PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

    PENCETAK PT Temprint

    Dr. B. Setiawan Ph.D Prof. Dr. Sjahbanar SoebiantoZahir MSc.

    http://www.kalbe.co.id/cdk

    PETUNJUK UNTUK PENULIS

    Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

    Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan me-ngenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

    Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

    Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pe-ngarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/ skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan

    urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari ke-mungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pe-munculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: 1. Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore.

    London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-

    organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic phy-siology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.

    3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990; 64: 7-10.

    Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

    Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Tlp. (021) 4208171. E-mail : [email protected]

    Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

    Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

    International Standard Serial Number: 0125 913X

    Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulisdan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

  • English Summary

    PATHOGENESIS AND PATHOPHYSIO-LOGY OF ASTHMA Indah Rahmawati, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia/ Persahabatan Hospital, Jakarta, Indonesia

    Asthma as manifestation of chronic inflammation of respiratory tract has complex mechanisms; one of the mechanism is inflam-matory process which is character-ized by increased eosinophyles, mast cells, macrophages and T lymphocytes in respiratory tract lining.

    Other mechanism being con-sidered is the role of nervous system and certain neurotrans-mitters such as acetylcholine and epinephrine.

    These mechanisms can irre-versibly change the structure of respiratory tract that can lead to obstruction of air passage shown in asthma patients, particularly during attacks.

    Cermin Dunia Kedokt. 2003; 141: 5-11

    brw

    OCCUPATIONAL ASTHMA Teguh H. Karjadi Allergy Immunology Subdivision, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia/Cipto Mangunkusumo Ge-neral Hospital, Jakarta Indonesia

    Occupational asthma is one

    of the commonest occupational lung diseases. This condition can be triggered by irritation of agents in working environment through immunologic as well as pharma-cologic mechanisms.

    Diagnosis is made if there is connection between asthma at-tack(s) and working environment, established through thorough anamnesis, physical examination and certain laboratory findings.

    Cermin Dunia Kedokt. 2003; 141: 23-6

    brw

    GASTROOESOPHAGEAL REFLUX IN ASTHMA Agus Dwi Susanto, Wiwien Heru Wiyono, Faisal Yunus Department of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia/ Persahabatan Hospital, Jakarta, Indonesia

    Gastrooesophageal reflux is considered one of the preci-pitating factors in asthma attack. The incidence among asthma patients is 34 89%. The occur-rence of reflux is influenced by factors such as autonomic (dys) regulation, intrathoracic and intra-abdominal pressure, hiatus hernia, function of diaphragm, and me-dication use.

    The reflux can precipitate asthma attack through vagal reflex mechanism, bronchial hyperre-activity, microaspiration and neu-rogenic inflammation.

    This condition can be de-tected through physical signs and esophageal pH monitoring; and be managed with antireflux medi-cation, and in certain condition with surgery.

    Cermin Dunia Kedokt. 2003; 141: 30-8 brw

    Redaksi Cermin Dunia Kedokteran Mengucapkan

    Selamat Hari Raya : Idul Fitri 1 Syawal 1424 H

    Natal 25 Desember 2003 dan Tahun Baru 2004 Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 4

  • Artikel

    TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    Patogenesis dan Patofisiologi Asma

    Indah Rahmawati, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono

    Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

    PENDAHULUAN

    Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada beberapa dekade terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena degranulasi sel mast yang terinduksi bahan alergen, menyebabkan pelepasan beberapa mediator seperti histamin dan leukotrien sehingga terjadi kontraksi otot polos bronkus.1-3 Saat ini telah dibuktikan bahwa asma merupa-kan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga terjadi bronko-konstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf.2-5

    Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini ber-hubungan dengan luas inflamasi, menyebabkan obstruksi salur-an napas yang bervariasi derajatnya dan bersifat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan.3-8 Proses inflamasi pada asma khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast, makrofag serta limfosit-T di lumen dan mukosa saluran napas. Proses ini dapat terjadi pada asma yang asimptomatik dan bertambah berat sesuai dengan berat klinis penyakit.2,4-6,9,10 INFLAMASI SALURAN NAPAS

    Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks, melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi antar sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik dan remodelling.5,11-5

    Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas

    Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas humoral ditandai oleh produksi dan sek-resi antibodi spesifik oleh sel limfosit B sedangkan selular di-perankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster differentiation 8 (CD8) dan mensekresi ber-bagai sitokin. Sel limfosit T helper (CD4) dibedakan menjadi

    Th1 dan Th2. Sel Th1 mensekresi interleukin-2 (IL-2), IL-3, granulocytet monocyte colony stimulating factor (GMCSF), interferon- (IFN-) dan tumor necrosis factor- (TNF-) sedangkan Th2 mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF.5,9,11,15,16 Respons imun dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen primer ( primary antigen presenting cells/ APC).5,11,15,17 (Gambar 1). Mekanisme limfosit T - IgE

    Setelah APC mempresentasikan alergen / antigen kepada sel limfosit T dengan bantuan major histocompatibility (MHC) klas II, limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, ter-aktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan produknya akan mempengaruhi dan me-ngontrol limfosit B dalam memproduksi imunoglobulin. Inter-aksi alergen pada limfosit B dengan limfosit T spesifik-alergen akan menyebabkan limfosit B memproduksi IgE spesifik aler-gen. Pajanan ulang oleh alergen yang sama akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan berikatan dengan sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast, basofil, eosinofil, makrofag dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel tersebut maka sel akan teraktivasi dan berdegranu-lasi mengeluarkan mediator yang berperan pada reaksi infla-masi.5,11,13-18 Mekanisme limfosit T nonIgE

    Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan GMCSF. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga terjadi proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil, menge-luarkan berbagai protein toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu penyebab hiperesponsivitas saluran napas (airway hyperresponsiveness / AHR).5,14,15 GAMBARAN HISTOPATOLOGI

    Hasil pemeriksaan histopatologi penderita yang meninggal karena serangan asma menunjukkan gambaran inflamasi salur-

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 5

  • an napas. Lumen saluran napas tertutup oleh sumbatan mukus lengket yang terdiri atas protein plasma berasal dari pembuluh darah saluran napas dan glikoprotein mukus berasal dari sel epitel permukaan. Terjadi pelepasan sel epitel, penebalan lapis-an subepitel, penebalan lapisan otot polos karena hipertrofi dan hiperplasi sel goblet dan kelenjar mukus.4-6,12,18-21

    an napas. Lumen saluran napas tertutup oleh sumbatan mukus lengket yang terdiri atas protein plasma berasal dari pembuluh darah saluran napas dan glikoprotein mukus berasal dari sel epitel permukaan. Terjadi pelepasan sel epitel, penebalan lapis-an subepitel, penebalan lapisan otot polos karena hipertrofi dan hiperplasi sel goblet dan kelenjar mukus.

    Kurasan (lavage) bronkoalveolar penderita asma menun-

    jukkan kenaikan jumlah limfosit, sel mast dan eosinofil serta aktivasi makrofag sedangkan biopsi bronkus menunjukkan infiltrasi eosinofil, pelepasan epitel dan fibrosis subepi-tel.4,6,19,20,22 Gambar 2 memperlihatkan gambaran saluran napas pada orang normal dan pada penderita asma yang me-nunjukkan penyempitan saluran napas. Gambar 3 menunjuk-kan gambaran mukosa normal dan pada penderita asma. Kurasan (lavage) bronkoalveolar penderita asma menun-

    jukkan kenaikan jumlah limfosit, sel mast dan eosinofil serta aktivasi makrofag sedangkan biopsi bronkus menunjukkan infiltrasi eosinofil, pelepasan epitel dan fibrosis subepi-tel.

    MHC kls II Limfosit T

    IL-12+ IL-12- Th2

    Keterangan : Keterangan : MHC = major histocompatibility Ig = imunoglobulin MHC = major histocompatibility Ig = imunoglobulin AHR = airway hiperresponsiveness eos= eosinofil, AHR = airway hiperresponsiveness eos= eosinofil, Bas = basofil Bas = basofil

    Gambar 1. Mekanisme imunologi pada asma. Gambar 1. Mekanisme imunologi pada asma.

    4-6,12,18-21

    4,6,19,20,22 Gambar 2 memperlihatkan gambaran saluran napas pada orang normal dan pada penderita asma yang me-nunjukkan penyempitan saluran napas. Gambar 3 menunjuk-kan gambaran mukosa normal dan pada penderita asma.

    Gambar 2. Gambaran saluran napas normal dan pada penderita asma.

    Dikutip dari (20)

    HI

    berrandapdansen

    nappernappooto

    hipsep4, mepro

    Sel dendrit Th1IFN-, limfotoksin, IL-2

    Imuniti seluler Inflamasi neurofilik

    IL-13 IL-4 IL-9

    IL-3 IL-5 GMCSF

    IL-4 IL-3

    IgE sel mast Bas Eos

    amasi (hista

    GEJALA ASMA

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 6 Mediator inflDikutip dari (5)Dikutip dari (5)PERESPONSIVITAS SALURAN NAPAS

    Hiperesponsivitas saluran napas adalah respons bronkus lebihan yaitu berupa penyempitan bronkus akibat berbagai gsangan spesifik maupun nonspesifik. Respons inflamasi at secara langsung meningkatkan gejala asma seperti batuk rasa berat di dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf sorik saluran napas.4,5,22,23 Hubungan antara AHR dengan proses inflamasi saluran

    as melalui beberapa mekanisme; antara lain peningkatan meabilitas epitel saluran napas, penurunan diameter saluran as akibat edema mukosa sekresi kelenjar, kontraksi otot

    los akibat pengaruh kontrol saraf otonom dan perubahan sel t polos saluran napas.5,11,22

    Reaksi imunologi berperan penting dalam patofisiologi eresponsivitas saluran napas melalui pelepasan mediator erti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), IL-3, IL-IL-5, IL-6 dan protease sel mast sedangkan eosinofil akan lepaskan platelet activating factor (PAF), major basic tein (MBP) dan eosinophyl chemotactic factor (ECF).11,19,22

    min, prostaglandin, leukotrien, enzim)

    AHR

    Obstruksi saluran

  • (A)

    (B) Gambar 3. Gambaran mukosa penderita asma (A) dan mukosa normal

    (B). Dikutip dari (20)

    SEL INFLAMASI

    Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma mes-kipun peran tiap sel yang tepat belum pasti. Gambar 4 menun-jukkan berbagai macam sel dan mediator yang terlibat pada asma..1,4-6,8,11,17,22 Sel mast

    Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang.24,25 Sel mast banyak didapatkan pada saluran napas terutama di sekitar epitel bronkus, lumen saluran napas, dinding alveolus dan membran basalis.1,4,5,7,22,24,25 Sel mast melepaskan berbagai mediator seperti histamin, PGD2, LTC4, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, GMCSF, IFN- dan TNF-.17,24 Interaksi mediator dengan sel lain akan meningkatkan permeabilitas vaskular, bronkokonstriksi dan hipersekresi mukus.25

    Sel mast juga melepaskan enzim triptase yang merusak vasoactive intestinal peptide (VIP) dan heparin. Heparin meru-pakan komponen penting granula yang berikatan dengan his-tamin dan diduga berperan dalam mekanisme antiinflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang dilepaskan eosinofil.1,22 Heparin menghambat respons segera terhadap alergen pada subyek alergi dan menurunkan AHR.8 Makrofag

    Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh aler-gen lewat reseptor IgE afinitas rendah.4,24 Makrofag ditemukan pada mukosa, submukosa dan alveoli yang diaktivasi oleh me-kanisme IgE-dependent sehingga berperan dalam proses infla-masi.1,4,6,8,24 Makrofag melepaskan berbagai mediator antara lain LTB4, PGF2 , tromboksan A2, PAF, IL-1, IL-8, IL-10, GM-CSF, TNF , reaksi komplemen dan radikal bebas. 1,5,6,8,24 Makrofag berperan penting sebagai pengatur proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan sebagai APC yang akan meng-hantarkan alergen pada limfosit T.4,22,24

    Gambar 4. Gambaran sel dan mediator inflamasi.

    Dikutip dari (22) Eosinofil

    Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-5 dan GMCSF.17,24 Infiltrasi eosinofil me-rupakan gambaran khas saluran napas penderita asma dan membedakan asma dengan inflamasi saluran napas lain. 1,4,5,8,22,25 Inhalasi alergen akan menyebabkan peningkatan jumlah eosinofil dalam kurasan bronkoalveolar (broncho-alveolar lavage = BAL). Didapatkan hubungan langsung antara jumlah eosinofil darah tepi dan cairan BAL dengan AHR.1,4,5,11

    SEL INFLAMASI Sel mast Makrofag Eosinofil Limfosit T Basofil Neutrofil Platelet SEL STRUKTURAL Sel epitel Sel otot polos Sel endotel Fibroblas Sel saraf

    MEDIATOR Histamin Leukotrien Prostaglandin Tromboksan PAF Kinin Adenosin Endotelin Oksigen reaktif Sitokin Kemokin

    EFEK Bronkokonstriksi Eksudasi plasma Hipersekresi mukus AHR Perubahan struktural

    Eosinofil berkaitan dengan perkembangan AHR lewat pelepasan protein dasar dan oksigen radikal bebas.4 Eosinofil melepaskan mediator LTC4, PAF, radikal bebas oksigen, MBP, eosinophyl cationic protein (ECP) dan eosinophyl derived neurotoxin (EDN) sehingga terjadi kerusakan epitel saluran napas serta degranulasi basofil dan sel mast.1,5,7,8,11,17,22,24 Eosi-nofil yang teraktivasi menyebabkan kontraksi otot polos bron-kus, peningkatan permeabilitas mikrovaskular, hipersekresi mukus, pelepasan epitel dan merangsang AHR.5,6,8,11,17,22,24 Neutrofil

    Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas.1,5,6,10,22,24 Diduga neutrofil menyebabkan kerusakan epitel akibat pelepas-

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 7

  • an bahan-bahan metabolit oksigen, protease dan bahan ka-tionik. Neutrofil merupakan sumber beberapa mediator seperti PG, tromboksan, LTB4 dan PAF.1,22,24 Neutrofil dalam jumlah besar ditemukan pada saluran napas penderita asma kronik dan berat selama eksaserbasi atau setelah pajanan alergen.4-6,10 Biopsi bronkus dan BAL menunjukkan bahwa neutrofil me-rupakan sel pertama yang ditarik ke saluran napas dan yang pertama berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat ber-henti.4,5,22,24 Limfosit T

    Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas penderita asma yang dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa bronkus.1,10,22,24 Biopsi bronkus penderita asma stabil mendapatkan limfosit intraepitelial atipik yang diduga merupa-kan limfosit teraktivasi.1,8 Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan mengeluarkan berbagai sitokin yang mempeng-aruhi sel inflamasi. Sitokin seperti IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat mempengaruhi produksi dan maturasi sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor), memperpanjang masa hidup eosinofil dari beberapa hari sampai minggu, kemotaktik dan aktivasi eosinofil.1,4,8,10,24 Basofil

    Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupa-kan sel yang melepaskan histamin dan berperan dalam fase lambat. Didapatkan sedikit peningkatan basofil pada saluran napas penderita asma setelah pajanan alergen.4,6,22 Sel dendrit

    Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling berpengaruh dan memegang peranan penting pada respons awal asma terhadap alergen. Sel dendrit akan mengambil aler-gen, mengubah alergen menjadi peptida dan membawa ke lim-fonodi lokal yang akan menyebabkan produksi sel T spesifik alergen.4,6,8,22 Sel dendrit berasal dari sel progenitor di sumsum tulang dan sel di bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan bermigrasi ke jaringan limfe lokal di bawah pengaruh GMCSF.5,6 Sel struktural

    Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endo-tel, miofibroblas dan fibroblas merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan mediator lipid pada respons inflamasi kronik.4,8,10 Pada penderita asma jumlah mio-fibroblas di bawah membran basal retikular akan meningkat. Terdapat hubungan antara jumlah miofibroblas dan ketebalan membran basal retikular.8 MEDIATOR INFLAMASI

    Banyak mediator yang berperan pada asma dan mem-punyai pengaruh pada saluran napas. Mediator tersebut antara lain histamin, prostaglandin, PAF , leukotrien dan sitokin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan kebocoran mikrovaskular, peningkatan sekresi mukus dan pe-narikan sel inflamasi. Interaksi berbagai mediator akan mem-pengaruhi AHR karena tiap mediator memiliki beberapa peng-

    aruh.1,2,4,10,22 Histamin

    Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan basofil.10,24 Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3 akan merang-sang saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari sel mast.1,2,10,22 Prostaglandin

    Prostaglandin (PG)D2 dan PGF2 merupakan bronkokons-trikstor poten.10 Prostaglandin E2 menyebabkan bronkodilatasi pada subyek normal invivo, menyebabkan bronkokonstriksi lemah pada penderita asma dengan merangsang saraf aferen saluran napas.10,26 Prostaglandin menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas dengan cara mengaktifkan reseptor trom-boksan-prostaglandin.1,2,22 Platelet activating factor (PAF)

    Dibentuk melalui aktivasi fosfolipase A2 pada membran fosfolipid, dapat dihasilkan oleh makrofag, eosinofil dan neutrofil.10,22 Pada percobaan in vitro ternyata PAF tidak me-nyebabkan bronkokonstriksi otot polos saluran napas, jadi PAF tidak menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Ke-mungkinan penyempitan saluran napas in vivo merupakan akibat sekunder edema saluran napas karena kebocoran mikro-vaskular yang disebabkan rangsangan PAF.1,10 Platelet activat-ing factor juga dapat merangsang akumulasi eosinofil, mening-katkan adesi eosinofil pada permukaan sel endotel, merangsang eosinofil agar melepaskan MBP dan meningkatkan ekspresi reseptor IgE terhadap eosinofil dan monosit.1,10,22 Leukotrien

    Berasal dari jalur 5-lipooksigenase metabolisme asam ara-kidonat, berperan penting dalam bronkokonstriksi akibat aler-gen, latihan, udara dingin dan aspirin.2,22,27 Leukotrien dapat menyebabkan kontraksi otot polos melalui mekanisme nonhis-tamin dan terdiri atas LTA4, LTB4, LTC4, LTD4 dan LTE4. Leukotrien dapat menyebabkan edema jaringan, migrasi eosi-nofil, merangsang sekresi saluran napas, merangsang prolife-rasi dan perpindahan sel pada otot polos dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular saluran napas.1,3,22,25,28 Sitokin

    Sitokin merupakan mediator peptida yang dilepaskan sel inflamasi, dapat menentukan bentuk dan lama respons infla-masi serta berperan utama dalam inflamasi kronik.1,2,4 Sitokin dihasilkan oleh limfosit T, makrofag, sel mast, basofil, sel epitel dan sel inflamasi.1,4,22,24,25 Sitokin IL-3 dapat memper-tahankan sel mast dan eosinofil pada saluran napas. Inter-leukin-5 dan GM-CSF berperan mengumpulkan sel eosinofil, Interleukin-4 dan IL-13 akan merangsang limfosit B mem-bentuk IgE.1,2,4,10,24,25

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 8

  • Endotelin Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel

    epitel. Merupakan mediator peptida poten yang menyebabkan vasokonstriksi dan bronkokonstriksi. Endotelin-1 meningkat jumlahnya pada penderita asma. Endotelin juga menyebabkan proliferasi sel otot polos saluran napas, meningkatkan fenotip profibrotik dan berperan dalam inflamasi kronik asma.4,8,22,29,30 Nitric oxide (NO)

    Berbentuk gas reaktif yang berasal dari L-arginin jaringan saraf dan nonsaraf, diproduksi oleh sel epitel dan makrofag me-lalui sintesis NO. Berperan sebagai vasodilator, neurotrans-miter dan mediator inflamasi saluran napas. Kadar NO pada udara yang dihembuskan penderita asma lebih tinggi diban-dingkan orang normal.4,5,8,22 Radikal bebas oksigen

    Beberapa sel inflamasi menghasilkan radikal bebas seperti anion superoksida, hidrogen peroksidase (H2O2), radikal hidroksi (OH), anion hipohalida, oksigen tunggal dan lipid peroksida. Senyawa tersebut sering disebut senyawa oksigen reaktif.1,5,22 Pada binatang percobaan, hidrogen peroksida dapat menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Superoksid berperan dalam proses inflamasi dan kerusakan epitel saluran napas penderita asma.1,5,22

    Jumlah oksidan yang berlebihan pada saluran napas akan menyebabkan bronkokonstriksi, hipersekresi mukus dan ke-bocoran mikrovaskular serta peningkatan respons saluran napas. Radikal bebas oksigen dapat merusak DNA, menyebab-kan pembentukan peroksida lemak pada membran sel dan menyebabkan disfungsi reseptor adrenergik saluran napas.1,22 Bradikinin

    Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat pengaruh kalikrein dan kininogenase. Secara in vivo merupakan konstriktor kuat saluran napas dan secara in vitro merupakan konstriktor lemah.1,10,22 Pada penderita asma bradi-kinin merupakan aktivator saraf sensoris yang menyebabkan keluhan batuk dan sesak napas, menyebabkan eksudasi plasma, meningkatkan sekresi sel epitel dan kelenjar submukosa.1,22 Bradikinin dapat merangsang serat C sehingga terjadi hiper-sekresi mukus dan pelepasan takikinin.10,21 Neuropeptida

    Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene-related peptide (CGRP) terletak di saraf sen-sorik saluran napas. Neurokinin A menyebabkan bronkokons-triksi, substan P menyebabkan kebocoran mikrovaskular dan CGRP menyebabkan hiperemi kronik saluran napas.10 Adenosin

    Merupakan faktor regulator lokal, menyebabkan bronko-konstriksi pada penderita asma. Secara in vitro merupakan bronkokonstriktor lemah dan berhubungan dengan pelepasan histamin dari sel mast.10 MEKANISME SARAF

    Berbagai proses yang terjadi pada asma dapat disebabkan

    melalui mekanisme saraf yaitu mekanisme kolinergik, adre-nergik dan nonadrenergik nonkolinergik. Kontrol saraf pada saluran napas sangat kompleks.1,5,22,23,31 Mekanisme kolinergik

    Saraf kolinergik merupakan bronkokonstriktor saluran napas dominan pada binatang dan manusia. Peningkatan refleks bronkokonstriksi oleh kolinergik dapat melalui neurotransmiter atau stimulasi reseptor sensorik saluran napas oleh modulator inflamasi seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin.1,22,23,31 Mekanisme adrenergik

    Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran napas secara tidak langsung yaitu melalui katekolamin/ epinefrin dalam tubuh. Mekanisme adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin dalam darah, reseptor adrenergik dan reseptor adrenergik. Perangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan bronkokonstriksi dan perangsangan reseptor adrenergik akan menyebabkan bronkodilatasi.1,22,31 Mekanisme nonadrenergik nonkolinergik (NANC)

    Terdiri atas inhibitory NANC (i-NANC) dan excitatory NANC (e-NANC) yang menyebabkan bronkodilatasi dan bron-kokonstriksi. Peran NANC pada asma belum jelas, diduga neuropeptida yang bersifat sebagai neurotransmiter seperti sub-stansi P dan neurokinin A menyebabkan peningkatan aktivitas saraf NANC sehingga terjadi bronkokonstriksi. Kemungkinan lain karena gangguan reseptor penghambat saraf NANC me-nyebabkan pemecahan bahan neurotransmiter yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP).1,6,22,23 PATOFISIOLOGI ASMA

    Perubahan akibat inflamasi pada penderita asma merupa-kan dasar kelainan faal. Kelainan patologi yang terjadi adalah obstruksi saluran napas, hiperesponsivitas saluran napas, kon-traksi otot polos bronkus, hiperesekresi mukus, keterbatasan aliran udara yang ireversibel, eksaserbasi, asma malam dan analisis gas darah.5,7,9,23,32,33 Obstruksi saluran napas

    Bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat membaik spontan atau dengan pengobatan. Penyempitan saluran napas ini menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus terhadap berbagai stimuli. Penyebab-nya multifaktor, yang utama adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi.5,23,32 Hiperesponsivitas saluran napas

    Mekanisme pasti hiperesponsivitas saluran napas belum diketahui jelas, diduga karena perubahan sifat otot polos salur-an napas sekunder terhadap perubahan fenotip kontraktilitas. Inflamasi dinding saluran napas terutama di daerah peribron-kial dapat menambah penyempitan saluran napas selama kon-traksi otot polos. Hiperesponsivitas saluran napas dapat diukur dengan uji provokasi bronkus.5,23,32 Konstraksi otot polos bronkus

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 9

  • Pada penderita asma terjadi peningkatan pemendekan otot polos bronkus saat kontraksi isotonik. Perubahan fungsi kon-traksi mungkin disebabkan oleh perubahan aparatus kon-traksi.5,23

    Hipersekresi mukus Terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet pada

    saluran napas penderita asma. Penyumbatan saluran napas oleh mukus hampir selalu didapatkan pada asma yang fatal.5,7,32 Hipersekresi mukus akan mengurangi gerakan silia, mempeng-aruhi lama inflamasi dan menyebabkan kerusakan struktur/ fungsi epitel.21 Keterbatasan aliran udara ireversibel

    Penebalan dinding saluran napas adalah karakteristik re-modelling yang terdapat pada saluran napas besar maupun kecil. Gambaran ini terlihat secara patologi maupun radio-logi.2,5,8 Eksaserbasi

    Episode eksaserbasi merupakan gambaran yang umum pada asma. Faktor penyebab eksaserbasi antara lain rangsangan penyebab bronkokonstriksi saja (inciter) seperti latihan, udara dingin, kabut / asap dan rangsangan penyebab inflamasi (in-ducer) seperti pajanan alergen, sensitisasi zat di tempat kerja, ozon dan infeksi saluran napas oleh virus.4,5,23 Asma malam

    Biopsi transbronkus pada penderita asma malam menun-jukkan akumulasi eosinofil dan makrofag pada malam hari di alveolar dan jaringan peribronkus.2,5,23 Analisis gas darah

    Asma menyebabkan gangguan pertukaran gas; derajat hi-poksemia berkorelasi dengan penyempitan saluran napas akibat ketidakseimbangan ventilasi perfusi.2,5,23 REMODELLING SALURAN NAPAS

    Gambaran utama penderita asma adalah radang saluran napas; ditemukan pula kelainan saluran napas ireversibel seper-ti hipertrofi otot polos saluran napas, hiperplasia kelenjar mukosa, proliferasi pembuluh darah dan deposisi kelenjar pada membran subbasalis.2,5,8,11,13,17,20

    Remodelling merupakan reaksi tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak akibat inflamasi dan diduga menyebabkan perubahan ireversibel pada asma.5,11,13 Fibroblas berperan pen-ting dalam remodelling dan proses inflamasi. Fibroblas meng-hasilkan kolagen, serat elastik dan retikular, proteoglikans dan glikoproteindari matriks ekstraselular ( ECM ).2,5,34 KESIMPULAN 1. Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hambatan aliran udara dan peningkatan AHR. 2. Proses inflamasi pada asma khas ditandai dengan pening-katan eosinofil, sel mast, makrofag dan limfosit T di lumen dan mukosa saluran napas.

    3. Kontrol saraf kolinergik, adrenergik dan nonadrenergik nonkolinergik ikut berperan dalam AHR. 4. Remodelling diduga merupakan penyebab obstruksi salur-an napas yang ireversibel pada penderita asma.

    KEPUSTAKAAN 1. Supartini NI, Santoso DI, Kardjito T. Konsep baru patogenesis asma

    bronkial. Paru 1995; 15: 156-61. 2. OByrne P. Pathogenesis. In: OByrompson NC. ed. Manual of asthma

    management. 2nd ed. London: WB Saunders; 2001. p. 27-40. 3. Davies RJ, Wang J, Abdelaziz MM, Calderon MA, Khair O, Devalia JL,

    et al. New insights into understanding of asthma. Chest 1997; 111: 2S-10S.

    4. Barnes PJ, Drazen JM. Pathophysiology of asthma. In: Barnes PJ, Drazen JM, Rennard S, Thomson NC, eds. Asthma and COPD basic mechanisms and clinical management. 1st ed. London: Academic Press; 2002. p. 343-59.

    5. National Institutes of Health. Definition. In: Global initiative for asthma. Bethesda: National Institutes of Health; 2002. p. 50-9.

    6. Boushey HA, Corry DB, Fahy JV. Asthma. In: Murray JF, Nadel JA, Mason RJ, Boushey HA, eds. Textbook of respiratory medicine. 3rd ed. California: WB Saunders Co.; 2000. p. 1247-90.

    7. Nadel JA, Busse WW. Asthma. Am J Respir Crit Care Med 1998; 157: S130-8.

    8. Bousquet J, Jeffery PK, Busse WW, Johnson M, Vignola AM. Asthma from bronchoconstriction to airways inflammation and remodeling. Am J Respir Crit Care Med 2000; 161: 1720-45.

    9. ODonnell WJ, Drazen JM. Life-threatening asthma. In:Ayres SM, Grenvik A, Holbrook PR, Shoemaker WC, eds. Textbook of Critical Care. 3rd ed. London: WB Saunders Co; 1995. p. 750-5.

    10. Hawrylowicz , Lee TH. Inflammatory mediators and cytokines in asthma. In: Clark TJH, Godfrey S, Lee TH, Thompson NC, eds. Asthma 4th ed. London: Arnold; 2000. p. 128-45.

    11. Sundaru H. Respons imun pada asma bronkial. Dalam: Alwi F, Setiati S, Kasjmir YI, Bawazier LA, Syam AF, Mansjoer A, Suprahoita, eds. Naskah lengkap PIT IPD 2002. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian IPD FKUI; 2002. p. 1-6.

    12. Vignola AM, Chanez P, Bonsignore G, Godard P, Bousquet J. Structural consequences of airway inflammation in asthma. J Allerg Clin Immunol 2000; 105: S514-7.

    13. Baratawidjaja K. Patogenesis asma bronkial dan penatalaksanaannya. Dalam: Bahar A, Pitoyo CW, Mansjoer A, eds. Cardiovascular respira-tory immunology from pathogenesis to clinical application. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian IPD FKUI; 2003. p. 110-6.

    14. Kaliner MA. Pathogenesis of asthma. In: Rich RR, Fleisher TA, Schwartz BD, Shearer WT, Strober W, eds. Clinical immunology principles and practice. Philadelphia: Mosby-Year Book Inc; 1996. p. 909-22.

    15. Trowsdale J. Antigen presentation. In: Roitt I, Brostoff J, Male D, eds. Immunology. Edinburg: Mosby; 2001. p. 105-15.

    16. Pearlman DS. Pathophysiology of the inflammatory response. J Allerg Clin Immunol 1999; 104: S132-7.

    17. Busse WW , Lemanske RF. Asthma. N Engl J Med 2001; 344: 350-62. 18. Oettgen HC, Geha RS. IgE regulation and roles in asthma pathogenesis. J

    Allerg Clin Immunol 2001; 107: 429-40. 19. Nayar R, Yeldandi AV. Pathology of acute asthma. In: Hall JB,

    Corbridge TC, Rodrigo C, Rodrigo GJ, eds. Acute asthma assessment and management. 1st ed. Boston: McGraw-Hill; 2000. p. 49-55.

    20. Jeffery PK. Pathology of asthma. In: Clark TJH, Godfrey S, Lee TH, Thompson NC, eds. Asthma. 4th ed. London: Arnold; 2000. p. 1265-76.

    21. Donno MD, Bittesnich D, Chetta A, Olivieri D, Lopez-Vidriero MT. The effect of inflammation on mucociliary clearance in asthma. Chest 2000; 118: 1142-9.

    22. Barnes PJ, Djukanovic, Holgate ST. Pathogenesis of asthma. In: Gibson GJ, Geddes DM, Costabel U, Sterk P, Corrin B, eds. Respiratory medi-cine, 3rd ed. London: Academic Press; 2003. p. 1212-52.

    23. Sterk PJ, Roisin RR. Pathophysiology of asthma. In: Clark TJH, Godfrey S, Lee TH, Thompson NC, eds. Asthma. 4th ed. London: Arnold; 2000. p. 1278-92.

    24. Busse WW, Parry DE. The biology of asthma. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM, eds. Fishmans pulmo-

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 10

  • nary diseases and disorders. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 1998. p. 721-33.

    25. Bingham CO, Austen FK. Mast-cell responses in the development of asthma. J Allerg Clin Immunol 2000; S527-34.

    26. Hertert TV, Dworski RT, Mellen BG, Oates JA, Murray JJ, Sheller JR. Prostaglandin E2 decreases allergen-stimulated release of prostaglandin D2 in airways of subjects with asthma. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162: 637-40

    27. OByrne PM. Leukotrienes in the pathogenesis of asthma. Chest 1997; 111: 27S-34S.

    28. OByrne PO. Asthma pathogenesis and allergen-induced late respons. J Allerg Clin Immunol 1998; 102: S85-9.

    29. El-Gamal Y, Hossny E, Awwad K, Mabrouk R, Boseila N. Plasma endhotelin-1 immunoreactivity in asthmatic children. Ann Allerg Asthma Immunol 2002; 88: 370-3.

    30. Borish L. Endhotelin-1: a useful marker for asthmatic inflammation ?.

    Ann Allerg Asthma Immunol 2002; 88: 345-7. 31. Barnes PJ. Is asthma a nervous disease ?. Chest 1995; 107: 119S-23S. 32. Spahn J, Covar R, Stempel DA. Asthma: Addressing consistency in

    results from basic science, clinical trials and observational experience. J Allerg Clin Immunol 2002; 109: S490-502.

    33. Carroll NG, Mutavdzic S, James AL. Increased mast cells and neutrophils in submucosal mucous glands and mucus plugging in patients with asthma. Thorax 2002; 57: 677-82.

    34. Djukanovic R. Asthma: a disease of inflammation and repair. J Allerg Clin Immunol 2000; 105: 522-6.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 11

  • TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    Peranan Infeksi

    Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae terhadap Eksaserbasi Asma

    Ira Melintira, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono

    Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

    PENDAHULUAN

    Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas dengan peningkatan insidens di seluruh dunia.1 Berbagai faktor berperan dalam terjadi asma termasuk infeksi saluran napas. Infeksi saluran napas mempunyai peran penting menimbulkan eksaserbasi asma pada anak dan dewasa.2,3 Eksaserbasi asma merupakan masalah yang sering dihadapi dalam penanganan asma. Penyebab tersering infeksi saluran napas adalah infeksi virus saluran napas biasanya rhinovirus, coronavirus atau influenza.4,5

    Infeksi saluran napas karena bakteri atipik seperti Chlamy-dia pneumoniae (C. pneumoniae) dan Mycoplasma pneumo-niae (M. pneumoniae) merupakan penyebab eksaserbasi asma.3,4,6-8 Kedua mikroorganisme ini didapatkan dalam salur-an napas pasien asma yang stabil dan kronik.8 Allegra dkk.dikutip dari 9 menemukan 11% kasus serokonversi infeksi kedua mikro-organisme ini dari 74 pasien asma dewasa yang mengalami eksaserbasi.

    Penelitian lain pada anak dan dewasa muda menunjukkan bahwa infeksi dengan bakteri atipik ini berperan dalam eksaser-basi, menyebabkan infeksi yang persisten dan terlibat dalam patogenesis asma.1,2,3,8 Kedua mikroorganisme ini mempunyai struktur yang berbeda tetapi mempunyai kesamaan epide-miologis dan karakteristik klinis infeksi dan penyakit pada manusia.7

    Diagnosis infeksi Chlamydia pneumoniae dan Myco-plasma pneumoniae sering berdasarkan temuan klinis saja se-dangkan diagnosis definitif infeksi dapat dikonfirmasikan me-lalui pemeriksaan serologis, biakan dan metode deteksi asam nukleat seperti polymerase chain reaction (PCR).10,11 Pemberi-an terapi antibiotik makrolid dari berbagai penelitian dapat memperbaiki eksaserbasi asma yang disebabkan infeksi kedua mikromikroorganisme ini. 8,10,12-14 ASMA DAN PATOGENESIS

    Asma merupakan penyakit inflamasi kronik pada saluran

    napas. Inflamasi kronik ini disebabkan oleh hiperesponsif saluran napas terhadap berbagai rangsangan dengan gejala ek-saserbasi yang berulang dan penyempitan saluran napas yang reversibel.4,15,16

    Konsep terbaru patogenesis asma adalah proses inflamasi kronik pada dinding saluran napas yang menyebabkan penyem-pitan saluran napas dan hiperesponsif saluran napas. Gambar-an khas inflamasi ini adalah peningkatan sejumlah eosinofil teraktivasi, sel mast, makrofag dan limfosit T dalam lumen dan mukosa saluran napas. Sel limfosit berperan penting dalam respons inflamasi melalui pelepasan sitokin-sitokin multifung-sional.15,17 Limfosit T subset T helper-2 (Th-2) yang berperan dalam patogenesis asma akan mensekresi sitokin interleukin 3 (IL-3), IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan granulocyte-mono-cyte colony stimulating factor (GM-CSF). Hipertrofi dan hiper-plasi otot polos bronkus, sel goblet dan kelenjar bronkus serta hipersekresi kelenjar mukus menyebabkan penyempitan salur-an napas. Proses inflamasi saluran napas pada asma mendasari gangguan obstruksi saluran napas dengan gejala khas asma berupa batuk, rasa berat di dada, sesak dan mengi. Hiperes-ponsif saluran napas akan merangsang terjadi bronkokons-triksi.4,15,18

    Faktor risiko terjadi asma yaitu faktor risiko pejamu (host) dan faktor risiko lingkungan. Salah satu faktor risiko lingkung-an yang berperan dalam eksaserbasi asma adalah infeksi salur-an napas (tabel 1).15 INFEKSI SALURAN NAPAS DAN EKSASERBASI ASMA

    Eksaserbasi asma adalah episode peningkatan progresiviti secara cepat dengan pernapasan pendek, batuk, mengi, rasa berat di dada atau beberapa kombinasi dari gejala-gejala ini.15,18,19 Episode eksaserbasi merupakan masalah yang sering dalam penanganan eksaserbasi asma. Eksaserbasi yang dise-babkan oleh bakteri, walaupun cukup jelas tetapi insidens sulit ditentukan pasti karena biakan tidak selalu dilakukan dan virus

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 12

  • merupakan mikroorganisme lain penyebab penting eksaser-basi.8

    Infeksi saluran napas mempunyai hubungan yang kom-pleks dengan asma. Infeksi pada awal kehidupan berhubungan dengan peningkatan risiko terbentuknya asma sedangkan infek-si yang terjadi pada tahap kehidupan selanjutnya dapat ber-hubungan dengan awitan (onset) eksaserbasi asma.20

    Hubungan antara asma dan infeksi saluran napas merupa-kan hal penting ditinjau dari dua hal. Pertama yaitu infeksi saluran napas karena virus dan mikroorganisme seperti M. pneumoniae dan C. pneumoniae merupakan penyebab sering eksaserbasi asma. Kedua yaitu infeksi virus sinsitial saluran napas (respiratory syncytial virus= RSV), C. pneumoniae mungkin menyebabkan terjadi asma.6

    Mekanisme patofisiologis yang berperan adalah kolonisasi bakteri, kerusakan bersihan mukosiliar, peningkatan sekresi mukus akibat hiperplasia sel goblet yang akhirnya menyebab-kan terjadi infeksi.2

    Tabel 1. Faktor risiko potensial terbentuk asma FAKTOR PEJAMU (HOST) - Predisposisi genetik - Atopi - Hiperesponsif saluran napas - Jenis kelamin - Ras FAKTOR LINGKUNGAN Faktor yang mempengaruhi kerentanan terbentuk asma pada individu yang terpajan dengan faktor predisposisi Alergen dalam rumah

    - Tungau debu rumah - Alergen pada hewan - Alergen kecoa - Jamur

    Alergen luar - Tepung sari - Jamur

    Pajanan pekerjaan Asap rokok

    - Perokok pasif - Perokok aktif

    Polusi udara - Polutan luar rumah (outdoor pollutants) - Polutan dalam rumah (indoor pollutants)

    Infeksi saluran napas - Higiene

    Infeksi parasit Status sosial ekonomi Diet dan obat obatan Obesiti Faktor yang menyebabkan eksaserbasi asma dan atau menyebabkan gejala yang menetap. Polutan dalam dan luar rumah Polusi udara dalam dan luar rumah Infeksi respirasi Latihan dan hiperventilasi Perubahan cuaca Sulfur dioksida Pengawet makanan Asap rokok Iritasi spray, parfum

    Dikutip dari (15)

    CHLAMYDIA PNEUMONIAE Karakteristik mikrobial

    Genus Chlamydia terdiri atas tiga spesies yaitu Chlamydia pneumoniae (C. pneumoniae), Chlamydia psittaci dan Chlamydia trachomatis.13 Chlamydia pneumoniae merupakan bakteri gram negatif, obligat intraselular, bermultiplikasi dalam vakuol yang dibatasi membran dalam sel pejamu eukariotik tetapi tidak dapat membentuk energi sendiri yaitu adenosin trifosfat (ATP) sehingga tergantung dari deposit ATP sel pejamu.1,13,19,20-22

    Chlamydia pneumoniae mempunyai siklus replikasi spesi-fik yang membedakan dengan mikroorganisme lainnya yaitu pembentukan badan inklusi intraselular.10,13,20 Selama siklus pembentukan terdapat dua bentuk C. pneumoniae yaitu badan elementer menyerupai spora infeksius (elementary body=EB) dengan diameter 0,3 m dan badan retikulat replikatif nonin-feksius (reticulate body=RB).10,13,14 Epidemiologi

    Dua isolasi klinis pertama C. pneumoniae diidentifikasi dari strain TW-183 yang diisolasi dari konjungtiva anak Taiwan tahun 1965 dan strain AR-39 yang diisolasi dari anak sekolah dengan faringitis tahun 1986.10 Gabungan dua strain isolasi ini secara resmi dikenal dengan nama C. pneumoniae strain taiwan acute respiratory tract (TWAR) tahun 1989 me-rupakan penyebab penting pneumonia.13,19

    Chlamydia pneumoniae dapat menyebabkan infeksi salur-an napas atas seperti faringitis, otitis, sinusitis dan infeksi salur-an napas bawah seperti bronkitis akut, eksaserbasi bronkitis, asma dan pneumonia yang didapat dari masyarakat (commu-nity-acquired pneumoniae).23 Data klinis dan epidemiologis memperlihatkan peranan C. pneumoniae dalam peningkatan in-sidens asma. Gambaran khas Chlamydia adalah kecenderungan untuk menetap sehingga menyebabkan infeksi kronik berhu-bungan dengan berbagai penyakit kronik seperti penyakit paru obstruktif kronik dan asma.1

    Penelitian seroepidemiologi menunjukkan bahwa infeksi C. pneumoniae telah tersebar luas dengan setengah dari po-pulasi dewasa muda menjadi seropositif.13 Survei epidemio-logis mengemukakan peningkatan prevalens antibodi terhadap infeksi C. pneumoniae dengan peningkatan umur yaitu dari 10% pada usia 5-10 tahun sampai mencapai 30-45% di usia dewasa muda dan sering meningkat sampai 80% pada usia tua.Dikutip dari 11

    Penelitian lain mengemukakan bahwa 6-10% mikro-organisme ini dapat menyebabkan pneumonia yang didapat dari masyarakat dan dapat berhubungan dengan penyakit arteri koroner dan gejala mengi. Manusia merupakan reservoar C. pneumoniae dan penyebaran dari individu ke individu melalui droplet yang terinfeksi terutama dalam lingkungan tertutup seperti antar anggota keluarga, kelompok militer11,13,16 Gambaran klinis dan diagnosis

    Penelitian terbaru memperlihatkan bahwa manifestasi klinis pneumonia yang disebabkan oleh patogen atipik tidak dapat dibedakan dengan mudah dari penyebab tipikal.11 Chlamydia pneumoniae sering menyebabkan infeksi tanpa

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 13

  • gejala (asimptomatik) atau infeksi ringan saluran napas atas.23 Pada keadaan infeksi berat dapat terjadi pneumonia, bronkitis, faringitis, sinusitis, eksaserbasi asma.13 Gejala infeksi saluran napas atas seperti sakit tenggorokan, serak dan rinitis dengan atau tanpa demam. Infeksi ringan dapat sembuh dengan spontan atau berlanjut ke infeksi saluran napas bawah seperti batuk kering yang persisten, rasa tidak nyaman di dada, nyeri dada.10 Infeksi primer dapat menyebabkan pneumonia ringan atau bronkitis yang lama pada dewasa muda, secara klinis sama dengan infeksi dengan M. pneumoniae.11,13

    Pada pemeriksaan fisis paru didapatkan ronki dan mengi. Pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan laju endap darah (LED), hitung leukosit, walaupun pada banyak kasus didapatkan normal. Gambaran klasik foto toraks pada infeksi bakteri atipik yaitu infiltrat unilateral, subsegmental dan inter-stisial tanpa konsolidasi merupakan gambaran foto toraks yang tidak banyak membantu secara diagnostik.13,14 Guckle dkk.dikutip dari I menemukan infiltrat interstisial, konsolidasi yang unilateral atau bilateral.

    Chlamydia pneumoniae biasanya didiagnosis secara sero-logis sedangkan isolasi sangat sulit.11 Pemeriksaan micro-immunofluorescence (MIF) terbukti merupakan pemeriksaan serologis terbaik untuk mendeteksi infeksi akut Chlamydia. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi imunoglobulin M (IgM), IgG, IgA terhadap antigen Chlamydia.23 Kriteria diagnosis serologis infeksi Chlamydia yaitu pada infeksi akut didapatkan peningkatan empat kali titer IgG antara serum sampel yang diperoleh pada masa akut dan sembuh (convalescence) atau dari spesimen tunggal, titer IgM 1/16 atau titer IgG 1/512, dengan titer IgG sebelum dan setelah infeksi 1/16 dan

  • HUBUNGAN CHLAMYDIA PNEUMONIAE DENGAN EKSASERBASI ASMA

    Chlamydia pneumoniae dapat menjadi faktor pencetus asma bersama dengan RSV, parainfluenza dan M. pneumoniae karena kemampuan menyebabkan infeksi yang lama dan per-sisten selama beberapa bulan.4,20 Hubungan antara infeksi C. pneumoniae dan asma pertama kali dideskripsikan pada awal tahun 1990. Data klinis dan epidemiologi yang mendukung me-laporkan bahwa infeksi C. pneumoniae berperan dalam pening-katan insidens asma.1

    Chlamydia pneumoniae dapat menyebabkan infeksi kronik, persisten dan asimptomatik. Infeksi persisten C. pneumoniae berperan dalam terbentuk penyakit kronik pada manusia termasuk aterosklerosis dan asma.27 Penelitian terbaru menunjukkan bukti serologis infeksi kronik C. pneumoniae lebih sering terjadi pada pasien asma.2,4 Penelitian pada popu-lasi memperlihatkan peningkatan seroprevalens C. pneumoniae yang dihubungkan dengan peningkatan prevalensi asma. Mekanisme yang memperlihatkan hubungan antara infeksi chlamydia dengan asma belum jelas, kemungkinan dihubung-kan dengan inflamasi kronik bronkus.19,28 Miyashita dkk. melaporkan bahwa C. pneumoniae berperan sebagai faktor pencetus eksaserbasi asma dewasa.4

    Allegra dkk. melakukan penelitian hubungan infeksi akut C. pneumoniae terhadap eksaserbasi asma. Hasil penelitian memperlihatkan hubungan infeksi C. pneumoniae dengan eksa-serbasi asma.29,30 Hahn dkk.dikutip dari 20 pertama kali menunjuk-kan hubungan antara C. pneumoniae dan asma awitan dewasa dan mengi. Asma awitan dewasa ini dihubungkan dengan infeksi kronik C. pneumoniae. Mereka menemukan hubungan kuantitatif yang kuat antara titer antibodi infeksi C. pneumo-niae dengan mengi pada 365 pasien dengan penyakit saluran napas sebelumnya.dikutip dari 2

    Hahn dkk.dikutip dari 2 mengevaluasi titer IgG dan IgM pada 163 pasien yang memperlihatkan episode akut mengi dan eksaserbasi asma kronik. Hasil penelitian 12 pasien didiagnosis mendapat infeksi C. pneumoniae berdasarkan pemeriksaan serologi.

    Cunningham dkk.dikutip dari 30 menggunakan metode peme-riksaan PCR untuk melihat hubungan antara infeksi C. pneumoniae dengan eksaserbasi asma. Hasil penelitian didapat-kan C. pneumoniae dideteksi dari 24% anak yang mem-perlihatkan gejala eksaserbasi. HUBUNGAN CHLAMYDIA PNEUMONIAE, DERAJAT BERAT ASMA DAN PENGGUNAAN KORTIKOS-TEROID

    Black dkk. menemukan peningkatan titer antibodi Chlamy-dia yang berkaitan dengan beratnya asma, termasuk fungsi paru dan nilai gejala. Studi kohort pada pasien asma didapatkan hubungan antara peningkatan titer antibodi C. pneumoniae dengan pasien asma derajat sedang-berat dan tidak didapatkan hubungan bermakna terhadap pasien asma derajat ringan.30

    Penggunaan glukokortikoid dosis tinggi akan menyebab-kan peningkatan terhadap respons imun T helper-2 dan pene-kanan sistem imun T helper-1. Peningkatan titer antibodi C. pneumoniae dapat mempengaruhi derajat berat asma. Interaksi

    C. pneumoniae, glukokortikoid dan sistem imun pejamu pada asma merupakan suatu siklus yang tidak berujung pangkal. Infeksi C. pneumoniae yang persisten dan berulang menyebab-kan inflamasi kronik, fibrosis dan pembentukan jaringan parut yang akan mempercepat progresiviti asma (gambar 1).20

    Cook dkk.dikutip dari 1 menemukan peningkatan titer IgG dan IgA terhadap C. pneumoniae dan derajat berat asma. Penelitian ini juga mengungkapkan peningkatan titer IgG dan IgA ber-hubungan dengan penggunaan kortikosteroid dosis tinggi di-bandingkan dengan kortikosteroid dosis rendah. Peningkatan titer juga berkaitan dengan penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (forced expiratory volume).

    Infeksi kronik C. pneumoniae yang mungkin berperan dalam beratnya asma. Hal ini disebabkan karena terdapat pe-ningkatan produksi sitokin-sitokin termasuk interleukin-1 (IL-1), tumour necrosis factor (TNF) dan interleukin-6 pada sel monosit yang terinfeksi dengan C. pneumoniae serta pening-katan regulasi dan aktivasi IL-1, sekresi regulated upon acti-vation in normal T cell expressed and secreted (RANTES), IL-16 dan GM-CSF yang akan mempengaruhi derajat berat asma.30

    Penelitian kontrol terbaru pada 332 pasien asma terdapat bukti bahwa infeksi C. pneumoniae berperan dalam patogenesis asma.1 Infeksi C. pneumoniae mencetuskan respons imun lokal yang berkaitan dengan asma dengan produksi sitokin-sitokin proinflamasi yaitu TNF-, IL-1, IL-6, kemotaksis neutrofil dan menginhibisi apoptosis selular.20, 32 Infeksi mikroorganis-me ini tidak hanya menginfeksi epitel saluran napas dan sel mononuklear tetapi juga sel otot polos yang menghasilkan sejumlah besar sekresi IL-6 dan fibroblast growth factor. Data-data ini mendukung peranan C. pneumoniae terhadap pening-katan gejala dan derajat berat asma.20 Penelitian terbaru menun-jukkan bukti serologis infeksi kronik C. pneumoniae lebih sering terjadi pada pasien asma dan kemungkinan berperan dalam patogenesis asma.8

    Gambar 1. Hubungan antara infeksi C. pneumoniae, kortikosteroid (glukokortikoid=GCs) dan sistem imun pejamu dengan asma.

    Dikutip dari (20)

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 15

  • RESPONS IMUNOPATOLOGIS INFEKSI CHLAMYDIA PNEUMONIAE

    Infeksi C. pneumoniae dapat mencetuskan respons imun humoral dan selular.20 C.pneumoniae merupakan parasit intra-selular, terutama menginfeksi sel epitel dan makrofag. Mikro-organisme ini bereplikasi dalam sel dengan menggunakan beberapa protein yang menyerupai protein pejamu sehingga mencegah pengenalan infeksi mikroorganisme ini dengan sistem imun pejamu.1,20,28 Secara umum pada kasus infeksi bakteri intraselular, sistem imun selular berperan secara ter-pisah dalam proses resolusi infeksi C. pneumoniae.20 Mikro-organisme ini diketahui menyebabkan infeksi persisten dan berulang disertai dengan kerusakan sistem imunopatologis pada target organ yang mengakibatkan respons imun terhadap pro-tein antigen Chlamydia.4,19,28 Infeksi persisten didefinisikan sebagai kontak lama Chlamydia dengan sel pejamu dan mikro-organisme ini tetap hidup tetapi biakan negatif.1

    Infeksi kronik dan pajanan ulang C. pneumoniae dapat mencetuskan proses imunopatologis pada paru yang meliputi kerusakan epitel dan pelepasan mediator atau reaksi hiper-sensitivitas tipe lambat (delayed hypersensitivity) antigen protein C.pneumoniae yang menyebabkan inflamasi kronik saluran napas yang khas pada asma.4,17 Penelitian pada tikus secara genetik yang terinfeksi primer C. pneumoniae akan ter-jadi penurunan respons imun selular T helper 1 (Th-1) dan interferon- (IFN-) serta peningkatan respons imun T helper 2 (Th-2). Pada keadaan infeksi ulang (reinfeksi) terjadi pe-ngeluaran respons imun Th1 yang ditandai dengan peningkatan produksi IFN-.20

    Pada infeksi Chlamydia akan dikeluarkan antigen protein a 57-60 kDa yang merupakan anggota heat shock protein 60 (hsp60) yang berasal dari kelompok stress protein. Protein diproduksi dalam jumlah sedikit, produksinya akan meningkat dalam jumlah besar saat terjadi infeksi seperti infeksi Chlamydia.20,28 Huittinen dkk.28 meneliti peranan hsp60 pada infeksi C. pneumoniae terhadap terjadi asma dan obstruksi pada bronkus. Hasil penelitian memperlihatkan terdapatnya antibodi IgA terhadap keberadaan hsp60 C. pneumoniae yang berkaitan dengan asma dan beratnya obstruksi bronkus. Mi-yashita dkk.28 menunjukkan tanda seroreaktiviti anti-hsp60 pada infeksi persisten C. pneumoniae yang akan menghasilkan gejala pulmoner. Pelepasan antigen hsp60 yang persisten dan berulang akan menyebabkan infeksi sel epitel mukosa atau makrofag alveolar akan menyebabkan stimulasi antigen yang lama sehingga terjadi inflamasi kronik dan pada akhirnya ber-peran terhadap kerusakan jaringan serta pembentukan jaringan parut pada paru penderita asma.1,19,20 PERANAN INFEKSI MYCOPLASMA PNEUMONIAE TERHADAP EKSASERBASI ASMA

    Mycoplasma pneumoniae telah dilaporkan dapat menye-babkan eksaserbasi asma pada manusia tetapi peran mikro-organisme ini dalam patogenesis asma kronik tidak dapat di-terangkan dengan jelas.26 Kraft dkk. meneliti delapan pasien asma kronik yang stabil dengan 11 kelompok kontrol. Hasil penelitian didapatkan M. pneumoniae terdapat lebih besar pada saluran napas bawah pasien asma kronik yang stabil dibanding-

    kan kelompok kontrol.2,8 Bowden dkk.2 melaporkan infeksi M. pneumoniae pada

    hewan dapat menyebabkan penyakit saluran napas dan gambar-an patologi yang mirip asma. Infeksi M. pneumoniae dapat menyebabkan mengi dan gejala-gejala respirasi saluran per-napasan bawah seperti meningkatnya batuk, mengi dan obs-truksi saluran napas bawah pada anak dengan asma.10,31 Pene-litian lain pada anak memperlihatkan bahwa infeksi M. pneumoniae dapat menginduksi gejala asma dan menyebabkan obstruksi bronkus. Penelitian ini menghasilkan kurang dari 5% eksaserbasi asma pada anak disebabkan oleh infeksi M. pneumoniae.31

    Infeksi M. pneumoniae dapat menyebabkan peningkatan hiperesponsif saluran napas pada penelitian terhadap tikus jenis BALB/c (murine model).33 Bukti epidemiologis memperlihat-kan hubungan antara infeksi M. pneumoniae dengan hiperes-ponsif saluran napas pada individu bukan asma.26,33 Tidak ditemukan hubungan antara peningkatan titer IgG dan IgA dengan beratnya asma.1 PATOGENESIS INFEKSI MYCOPLASMA PNEUMO-NIAE TERHADAP EKSASERBASI ASMA

    Hoek dkk. melaporkan bahwa M. pneumoniae dapat meng-infeksi sel epitel saluran napas dan mengaktivasi sel mast serta mencetuskan peningkatan produksi sitokin seperti IFN-, IL-1, IL-2, IL-4, IL-6 dan TNF- yang berperan dalam eksaserbasi asma.32 Mycoplasma pneumoniae dapat menetap di dalam saluran napas selama beberapa bulan selama proses infeksi sehingga menyebabkan penurunan arus puncak ekspirasi dan peningkatan hiperesponsif saluran napas pada individu bukan asma.8,26

    Pada murine model infeksi M. pneumoniae dapat terjadi hiperesponsif saluran napas yang terlihat pada hari ke- 3, 7 dan 14 setelah infeksi. Infiltrasi neutrofil terjadi pada hari ketiga, diikuti dengan pengurangan neutrofil dan peningkatan makro-fag pada hari ke-21. Interferon- dan T helper 1 disupresi pada hari ketiga dan ketujuh sehingga terlihat respons Th- 2 ter-hadap hiperesponsif saluran napas menyerupai asma.8,32 PENATALAKSANAAN

    Penatalaksanaan eksaserbasi asma yang disebabkan oleh infeksi bakteri pada prinsipnya sama dengan penanganan eksa-serbasi dan pemberian antibiotik untuk mengatasi penyebab eksaserbasi.29 Prinsip penanganan eksaserbasi secara umum dapat dilihat pada algoritma berikut.15

    Bukti penggunaan antibiotik dalam penanganan eksaser-basi asma masih sangat jarang.31 Antibiotik yang digunakan harus mempunyai aktiviti antibakteri yang mencapai fokus infeksi. Infeksi mungkin terbentuk dalam rongga interstisial jaringan atau dalam sel, sehingga kandungan fisikokimia obat diharapkan dapat terdistribusi dalam jaringan tubuh dan me-nembus ke dalam sel. Prinsip terapi antibiotik terbaik pada infeksi bakteri atipik seperti C. pneumoniae dan M. pneumo-niae adalah kombinasi obat dengan aktiviti tinggi dengan ke-mampuan mencapai konsentrasi intraselular yang tinggi.14

    Obat-obat yang aktif secara potensial pada infeksi M. pneumoniae seperti tetrasiklin, makrolid, kloramfenikol dan

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 16

  • fluorokuinolon. Obat-obat seperti betalaktam, sulfonamid dan rifampisin tidak efektif untuk mengatasi infeksi oleh mikro-organisme ini.22 Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan eksaserbasi asma

    Dikutip dari (15)

    Klindamisin, rifampisin, tetrasiklin, makrolid dan fluoro-kuinolon terakumulasi dalam sel fagosit. Makrolid menunjuk-kan kapasiti terbesar akumulasi intraseluler dalam sitosom dan lisosom.14 Pada sel neutrofil polimorfonuklear (PMN), makro-lid mempunyai perbandingan rasio konsentrasi selular dan ekstraselular (C/E) bervariasi mulai dari 2-14 pada obat eritro-misin dan mencapai konsentrasi tertinggi untuk klaritromisin dan azitromisin. Azitromisin mempunyai waktu paruh sangat panjang sekitar 50 jam, konsentrasinya tinggi di jaringan dan intraselular khususnya PMN, makrofag alveolar dan fibroblas. Perbandingan C/E dalam makrofag sekitar 300 setelah 48 jam, tetapi nilainya mungkin meningkat lebih dari 1000 setelah 3-4 hari pemberian.14

    Penggunaan makrolid telah dilaporkan dapat mengatasi asma kronik dan mengurangi responsif histamin terhadap bron-kus.31 Selain itu makrolid merupakan antimikrobial yang efek-tif untuk terapi infeksi C. pneumoniae dan M. pneumoniae.8 Konno dkk.dikutip dari 8 melaporkan bahwa makrolid dapat menu-runkan ekspresi TNF, IL-3, IL-4, IL-5 pada murine model dan produksi mukus serta hiperesponsif bronkus. Pemberian azitro-misin dengan konsentrasi 1, 5 dan 10 g/ml dapat menurunkan secara bermakna IL-1a dan TNF pada 100% individu. 14

    Makrolid efektif untuk terapi asma karena dapat memper-

    lambat clearance metilprednisolon sehingga efek yang di-timbulkan menjadi lebih lama. Penggunaan makrolid seperti tro-leandomisin (TAO) dan klaritromisin dapat mengurangi penggunaan kortikosteroid pada pasien asma berat yang tergantung kortikosteroid.8,12 Troleandomisin dilaporkan dapat menghambat bersihan metilprednisolon.12 Garey dkk.dikutip dari 8 melaporkan tiga pasien asma berat tergantung kortikosteroid yang diterapi dengan klaritromisin 500 mg dua kali sehari, dua dari tiga pasien menghentikan pemberian prednison dan satu pasien dapat di tapering off dengan pemberian prednison 5 mg/hari.

    Penilaian beratnya eksaserbasi Arus puncak ekspirasi (APE) < 80%

    dari nilai prediksi (selama 2 hari)/70% jika tidak respons terhadap bronkodilator

    Gambaran klinis : batuk , sesak napas, mengi, rasa berat di dada penggunaan

    Hahn dkkdikutip dari 2 memberikan klaritromisin atau azitro-misin selama 6 hingga 16 minggu pada tiga pasien asma dewasa tidak terkontrol yang tergantung steroid dengan bukti serologis infeksi C. pneumoniae. Semuanya dapat menghenti-kan kortikosteroid oral dan tetap mendapatkan terapi asma. Hasil penelitian ini kurang bermakna karena sampel yang di-gunakan sangat kecil. Peneliti tersebut juga mengobati 46 pasien asma kronik yang stabil dengan doksisiklin, azitromisin atau eritromisin selama 3-9 bulan, setelah enam bulan terjadi resolusi sempurna pada empat pasien asma dengan infeksi C. pneumoniae.dikutip dari 30 Grayston dkk.21 menganjurkan pemberi-an tetrasiklin 2 gram per hari selama 7-10 hari atau 1 gram per hari selama 21 hari untuk infeksi C. pneumoniae. Yano dkkdikutip dari 8 mengobati pasien eksaserbasi asma disebabkan infeksi M. pneumoniae dengan eritromisin 1200 mg/hari sela-ma satu minggu didapatkan kesembuhan.

    Terapi awal I h l i i

    Respons tidak sempurna

    Episode sedang (APE 60-80% prediksi)

    Kortikosteroid oral

    Inhalasi antikolinergik 2 i

    Respons baik Episode ringan (APE 80%) respons terhadap 2 agonis diberi-kan selama 4 jam 2 agonis tiap

    3-4 jam (24-48

    Respons buruk Episode berat (APE < 60% prediksi) Kortikosteroid oral Pengulangan 2

    agonis Inhalasi

    antikolinergik Makrolid dan tetrasiklin dilaporkan menunjukkan efek antiinflamasi yang tidak tergantung dari aktivitas antimikrobial tersebut.12 Klaritromisin dilaporkan merupakan makrolid yang mempunyai efek antiinflamasi sebaik efek antibiotik terhadap infeksi C. pneumoniae dan M. pneumoniae sehingga berperan dalam mengatasi asma kronik.8 Klaritromisin mempunyai efek antiasma sebaik efek antibiotik. Efek antiasma ini dihubungkan dengan penekanan infiltrasi eosinofil.21

    Amasayu dkk.dikutip dari 8 memberikan klaritromisin 200 mg, dua kali sehari selama delapan minggu pada pasien asma derajat ringan sampai sedang, diperoleh perbaikan gejala klinis dan penurunan eosinofil pada sputum. Pemberian jangka lama antibiotik ini dapat memperbaiki fungsi paru dan inflamasi saluran napas pada pasien asma walaupun aktiviti mekanisme farmakologis dan hubungan dengan patogenesis asma tidak diketahui. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa klaritro-misin ditoleransi baik dan efektif mengurangi hiperesponsif bronkus serta bronkokonstriksi yang diinduksi alergen.dikutip dari 21 Klaritromisin dan eritromisin dapat menghambat pelepasan endotelin-1 pada pasien asma kronik yang stabil. Endotelin-1 diketahui dapat menginduksi terjadinya bronkokonstriksi dan merangsang pengeluaran mukus serta menyebabkan edema mukosa.21 Hideaki dkk.dikutip dari 12 melakukan penelitian efek penekanan klaritromisin terhadap hiperesponsif saluran napas. Hasil penelitian memperlihatkan klaritromisin memperlihatkan efek antiinflamasi bronkus yang dihubungkan dengan penurun-an infiltrasi eosinofil. Klaritromisin berguna melawan infeksi C. pneumoniae dan M. pneumoniae dalam peranannya terhadap patogenesis asma.21 Pemberian terapi klaritromisin dapat me-nyebabkan penurunan bermakna IL-6 dan TNF- pada 60-80%

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 17

  • individu. Pemberian azitromisin 1,5 gram selama lima hari hanya 70-83% mampu menyingkirkan C. pneumoniae dari pasien dengan biakan sekret nasofaring yang positif mikro-organisme tersebut.23 KESIMPULAN 1. Infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae dari berbagai penelitian dapat me-nyebabkan eksaserbasi asma. 2. Kedua mikroorganisme ini dapat menyebabkan infeksi yang kronik dan persisten 3. Diagnosis infeksi kedua mikroorganisme ini dengan pe-meriksaan serologi karena biakan kuman sulit dilakukan. 4. Makrolid merupakan antibiotik yang mempunyai sifat anti-mikrobial dan antiinflamasi mempunyai peranan penting dalam mengatasi eksaserbasi asma yang disebabkan oleh kedua mikroorganisme ini.

    KEPUSTAKAAN 1. Gencay M, Rudiger JJ, Tamm M, Soler M, Perruchoud AP, Roth M.

    Increased frequency of Chlamydia pneumoniae antibodies in patients with asthma. Am J Respir Crit Care Med 2001; 163: 1097-100.

    2. Kraft M. Pathobiology of asthma: implications for treatment-the role of bacterial infections in asthma. Clin Chest Med 2000; 21: 1231-4.

    3. Sharma S, Anthonisen N. Antibiotics. In: Barnes PJ, Drazen JM, Rennard S, Thomson NC, editors. Asthma and COPD basic mechanism and clinical management. London: Academic Press; 2002. p.573-83.

    4. Miyashita N, Kubota Y, Nakajima M, Niki Y, Kawane H, MathsushimaT. Chlamydia pneumoniae and exacerbations of asthma in adults. Ann. Allergy Asthma Immunol 1998; 80: 405-9.

    5. Liebermen D, Printz S, Ben-Yaakov M, Lazarovich Z, Ohana B, Friedman MG, et al. Atypical pathogen infection in adults with acute exacerbation of bronchial asthma. Am J Respir Crit Care Med 2003; 167: 446-50.

    6. Issac D, Joshi P. Pathogenesis respiratory infections and asthma. Med J Austr 2002; 177(Supp 6): S50-1.

    7. Cook PJ. Antimicrobial therapy for Chlamydia pneumoniae: its potential role in atherosclerosis and asthma. J Antimicrob Chemoter 1999; 44: 145-8.

    8. Kraft M, Cassel GH, Pak J, MartinRJ. Mycoplasma pneumoniae and Chlamydia pneumoniae in asthma. Effect of clarithromycin. Chest 2002; 121: 1782-8.

    9. Joanne JL. Asthma. In: Thurlbeck WM, Wright JL, editors. Thurlbecks chronic airflow obstruction. 2nd edition. London: B.C. Decker Inc; 1999. p.255-83.

    10. Nelson CT. Mycoplasma pneumoniae and Chlamydia pneumoniae in pediatrics. Semin Respir Infect 2002; 17:10-4.

    11. Hammerschlag MR. Chlamydia pneumoniae and the lung. Eur Respir J 2000; 16: 1001-7.

    12. Spahn JD, Fost DA, Covar R, Martin RJ, Brown EE, Szefler SJ, et al. Clarithromycin potentiates glucocorticoid responsiveness in patients with asthma: result of a pilot study. Ann Allergy Asthma Immunol 2001; 87: 501-5.

    13. Geddes GJ. Pneumonia and other acute respiratory infections. In: Gibson

    GJ, Geddes DM, Costabel U, Sterk PJ, Corrin B, editors. Respiratory medicine. 3rd edition. London: WB Saunders: 2003. p.862-97.

    14. Allegra L, Blasi F. Problems and perspectives in the treatment of respiratory infections caused by atypical pathogens. Pulmonar Pharmacol & Ther 2001; 14: 265-70.

    15. National Institutes of Health. Risk Factors. In: Global Initiative for Asthma. Bethesda: National Institutes of Health; 2002. p.28-37.

    16. Brinke AT, Van Dissel JT, Sterk PJ, Zwinderman AH, Rabe KF, Bel EH. Asthma, rhinitis, other respiratory diseases. J Allergy Clin Immunol 2001; 107: 449-54.

    17. Hahn DL, Dodge RW, Golubjatnikov R. Associations of Chlamydia pneumoniae (strain TWAR) infection with wheezing, asthmatic bron-chitis, and adult onset asthma. JAMA 1991; 266: 225-30.

    18. Lemanske RF, Busse WW. Asthma. J Allergy Clin Immunol 2003; 111: S502-19.

    19. Hahn DL, Peeling RW, Dillon E, MCDonald R, Saikku P. Serologic markers for Chlamydia pneumoniae in asthma. Ann Allergy Asthma Immunol 2000; 84: 227-33.

    20. Hertzen LC. Role of persistent infection in control and severity of asthma: focus on Chlamydia pneumoniae. Eur Respir J 2002; 19: 546-56.

    21. Amayasu H, Yoshida S, Ebana S, Yamamoto Y, Nishikawa T, Shoji T, et al. Clarithromycin suppresses bronchial hyperresponsiveness associated with eosinophilic inflammation in patients with asthma. Ann Allergy Asthma Immunol 2000; 84: 594-8.

    22. Josodiwondo S. Mycoplasma. Dalam: Chatim A, Sjahrurachman A, Soebandrio A, Karuniawati A, Santoso AU, Sudarmono P, editors. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara; 1993. p.242-4.

    23. Hammerschlag MR. Minireview antimicrobial susceptibility and therapy of infections caused by Chlamydia pneumoniae. Antimicrob Agents Chemother 1994; 9: 1873-8.

    24. Hoek KL, Cassel GH Duffy L, Atkinson TP. Mycoplasma pneumoniae-induced activation and cytokin production in rodent mast cells. J Allergy Clin Immunol 2002; 109: 470-6.

    25. Phinogold SM, Goetz MB. Pyogenic bacterial pneumoniae, lung abscess, and empyema. In: Murray JF, Nadel JA, Mason RJ, Baushey HA, editors. Textbook of respiratory medicine. 3rd edition. Philladelpia: WB Saunders Company; 2002. p.986-1033.

    26. Kraft M, Cassel GH, Henson JE, Watson H, Williamson J, Marmion BP, et al. Detection of Mycoplasma pneumoniae in the airways of adults with chronic asthma. Am J Respir Crit Care Med 1998; 158: 998-1000.

    27. Kutlin A, Roblin PM, Hammerschlag MR. Effect of prolonged treatment with azithromycin, clarithromycin, or levofloxacin on Chlamydia pneumoniae in continuous-infection model. Antimicrob Agents Che-mother 2002; 46: 409-12.

    28. Huittinen T, Hahn D, Antilla T, Walstrom E, Seiku P, Leinonen M. Host immune response to Chlamydia pneumoniae heat shock protein 60 is associated with asthma. Eur Respir J 2001; 17: 1078-82.

    29. Allegra L, Blasi F, Centanni S, Cossentini R, Denti F, Raccanelli R, et al. Acute exacerbations of asthma in adults: role of Chlamydia pneumoniae infection. Eur Respir J 1994; 7: 2165-8.

    30. Black PN, Scicchitotano R, Jenkins CR, Blasi F, Allegra L, Wlodarczyk J, et al. Serological evidence of infection with Chlamydia pneumoniae is related to severity of asthma. Eur Respir J 2000; 15: 254-9.

    31. Lemanske RF, Lemen RJ, Gem JE. Infections in childhood. In : Barnes PJ, Left AR, Grunstein MM, Woolcock AJ, editors. Asthma. Philladelpia: Lippincott-Raven; 1997. p.1207-15.

    32. Kroegel C. Chlamydia pneumoniae, clarithromycin, and severe asthma. Chest 2001; 120: 1035-6.

    33. Martin RJ, Chu HW, Honour JM, Harbeck RJ. Airway inflammation and bronchial hiperresponsiveness. Am J Respir Cell Mol Biol 2001; 24: 577-82.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 18

  • TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    Pengaruh Infeksi Virus

    pada Perkembangan Asma

    Adria Rusli, Faisal Yunus, Wiwien Heru Wiyono

    Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta

    PENDAHULUAN

    Setelah ditemukannya teknik biologi molekular seperti pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR), hibridisasi in situ, reverse transcriptase (RT)-PCR dan PCR in situ, banyak penelitian yang melaporkan virus sebagai penyebab serangan asma. Infeksi virus dapat bersifat lokal pada saluran napas seperti Respiratory syncytial virus (RSV) atau bagian dari infeksi sistemik seperti campak atau cacar air. Infeksi virus dapat menyebabkan kelainan yang bervariasi seperti common cold, faringitis, trakeobronkitis, bronkitis atau pneumonia. Ke-lainan tersebut akhirnya dapat menyebabkan kelainan saluran napas yang bersifat kronik. Asma merupakan kelainan saluran napas kronik.1

    Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute tahun 1995, asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi terutama sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada individu yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode berulang mengi, sesak napas, rasa berat di dada dan batuk pada malam atau pagi hari. Gejala tersebut biasanya dihubungkan dengan penyempitan saluran napas yang difus dengan derajat yang bervariasi dan dapat membaik seluruhnya atau sebagian secara spontan atau dengan pengobatan. Inflamasi menyebabkan peningkatan kepekaan (hipereaktiviti) saluran napas terhadap berbagai macam rang-sangan.2

    Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai epi-demiologi, patogenesis, respons imun selular infeksi virus dan hubungan mengi pada anak dengan asma. EPIDEMIOLOGI

    Asma pada anak masih menjadi masalah kesehatan karena memerlukan biaya yang tinggi, ketidakhadiran di sekolah dan kunjungan ke rumah sakit yang masih tinggi.3,4 Kekerapan anak yang menderita asma di Inggris sekitar 2033%.1 Infeksi virus pada saluran napas merupakan penyebab utama terjadinya mengi pada anak dan dewasa yang menderita asma yaitu 10-

    85% pada anak dan 10-45% pada dewasa.3 Virus yang me-nyebabkan infeksi pada saluran napas adalah Respiratory syncytial virus (RSV), rhinovirus, parainfluensa, adenovirus, influensa, dan coronavirus1,5 seperti tampak pada tabel 1.

    Tabel 1. Virus saluran napas dan penyakit yang diakibatkan Tipe Virus Serotipe cc Asma Pneumonia Bronkitis Bronkiolitis

    rhinovirus 1-100 + +++ +++ + / - + + coronavirus 229E OC43 ++ ++ influensa A, B, C + + ++ + parainfluensa 1,2,3,4 + + +/- ++ + RSV A, B + + + + +++ adenovirus 1-43 + + ++ + + Keterangan : cc : common cold +/- : jarang + : diketahui ++ : sering +++ : penyebab utama

    Dikutip dari (1)

    Respiratory syncytial virus merupakan penyebab utama terjadinya mengi pada anak,6-12 sedangkan rhinovirus sebagai penyebab serangan asma akut.13-16 McIntosh melaporkan 32 anak usia 1-5 tahun yang menderita asma, dari 139 episode serangan asma ditemukan 58 episode (42%) disebabkan oleh RSV.3 Respiratory syncytial virus terdiri atas 2 subtipe yaitu tipe A dan B, namun tidak ada perbedaan antara keduanya dalam hal peningkatan insidens mengi atau bronkiolitis.1 Kira-kira 60-70% gejala mengi akan menghilang sejalan dengan bertambahnya usia dan hanya 30% yang akan berkembang menjadi asma, biasanya pada anak yang sebelumnya sudah mempunyai faktor atopi.3

    Atopi dapat dijumpai pada anak yang terinfeksi campak atau tidak terinfeksi tuberkulosis (tb). Shaheen tahun 1994 melaporkan sepertiga dari jumlah anak yang menderita campak di Guinea-Bissau Afrika Barat mempunyai sensitisasi terhadap alergen lebih besar dibandingkan dengan anak yang mendapat vaksin campak. Hubungan tidak terinifeksi tb dengan atopi dilaporkan Shirakawa, 867 anak sekolah mendapat imunisasi

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 19

  • BCG pada saat lahir, 6 dan 12 tahun; pada anak dengan respons tuberkulin kuat mempunyai serum IgE dan sitokin Th2 rendah sedangkan sitokin Th1 meningkatdikutip dari 8(gambar 1). Healthy infant

    20

    RSV PIV Wheezing illness Resolution Child or adult with asthma Rhinovirus Exaceration of asthma Gambar 1. Hubungan infeksi virus, mengi dan asma Keterangan : RSV : respiratory synsytial virus PIV : parainfuenza virus TB : tuberkulosis

    Dikutip dari (8) PATOGENESIS

    Sebagian besar anak terinfeksi RSV pada usia kurang dari 2 tahun dan dapat menyebabkan mengi karena7 :1. Terjadi respons imun yang menyebabkan inflamasi pada individu tertentu. 2. Anatomi saluran napas diameternya lebih kecil sehingga hasil reaksi inflamasi akan menyumbat. 3. Biasanya terjadi penurunan sistem imun yang akan me-ningkatkan sensitisasi alergen dan tidak aktifnya respons anti-virus sehingga infeksi semakin berat.

    Virus masuk ke saluran napas melalui mukosilier dan bereplikasi dalam 24 jam pertama. Masuknya virus ke epitel saluran napas menyebabkan respons imun nonspesifik dini dari sel epitel dan fagosit serta respons imun dari sel T. Pada respons imun nonspesifik dini, setelah masuk ke sel epitel virus akan merangsang sistem proteolisis kappa B dan mengaktifkan nuclear factor kappa B (NF kappa B) yang selanjutnya akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti granulocyte- macro-phage colony stimulating factor (GM-CSF), interleukin-6 (IL-6), IL-8, regulated on activation normal T-cell expressed and secreted (RANTES), dan IL-11.5,6,8 Dari makrofag akan di-keluarkan tumour necrosis factor- (TNF-), IL-8, dan inter-feron- (IFN-) yang m n proinfla-masi.6-8 Pada respon imu ktifasi oleh virus akan dihasilkan IF dan IL-10 yang akan meregulasi sel gga terjadi inflamasi,7,8 seperti tampa

    Pada bayi baru lahirterutama ibunya, didapadibandingkan dengan buberhubungan dengan krokelainan kromosom 5q dMarsh (1994) yang men

    IgE tinggi ditemukan kelainan kromosom 5q. Hal ini dibantah oleh Kamitani (1997) yang mengatakan tidak ada hubungan antara kromosom 5q dengan asma atau atopi. Folster (1998) melaporkan hubungan antara kelainan kromoson 11q pada orang dengan riwayat atopi dan serum IgE yang tinggi, hal yang sama dilaporkan juga oleh Shirakawa (1994).17

    Gambar 2. Respons inflamasi infeksi virus pada saluran napas Epi= epitel, IFN-= interferon, Mac= makrofag, IL-5= interleukin-5 TNF- = tumour necrosis factor-, GM-CSF= granulocyte macrophage colony stimulat-ing factor, RANTES= regulated on activation normal T-cell expressed and secreted .

    Dikutip dari (8) RESPONS IMUN SELULAR Makrofag

    Makrofag dapat ditemukan di mukosa, submukosa saluran napas dan alveoli. Makrofag di alveoli (makrofag alveolar) me-rupakan sel terbanyak yang ditemukan pada pemeriksaan kurasan bronkoalveolar yaitu kira-kira 90%.8 Fungsi makrofag memfagosit virus melalui TNF dan INF , selain itu fungsi-nya mempresentasikan antigen kepada sel T yang selanjutnya akan mengeluarkan sitokin dan mediator seperti INF , RANTES, GM-CSFdan IL-5.1,8 Limfosit

    Pada infeksi virus jumlah limfosit bertambah di jaringan

    Atopy Early childhood

    infections

    Cermin Dunia Kedokempunyai efek antivirus dan seluler sel T yang tera

    N-, GM-CSF, IL-4, IL-5, efektor dan eosinofil sehin

    k pada gambar 2. dari orang tua dengan riwayat atopi tkan IL-4 dan IL-5 yang meningkat kan atopi. Pada manusia faktor atopi mosom 5q31- q33 dan 11q. Hubungan an atopi pertama kali dilaporkan oleh dapatkan pada orang dengan serum

    paru dan sebaliknya menurun di pembuluh darah perifer kerena terjadi migrasi. Peningkatan jumlah limfosit berbanding lurus dengan derajat reaktiviti infeksi virus.6 Respons antigen akan mengaktivasi Th2 atau Th1 dan Th2. Percobaan dengan binatang yang terinfeksi RSV didapatkan aktivasi Th1 atau Th2 ter-gantung pada jenis protein virus. Pada penderita asma yang terinfeksi rhinovirus 16 didapatkan sitokin Th1 dan Th2 yang

    teran No. 141, 2003

  • seimbang banyaknya dalam sputum. Sitokin Th1 adalah INF dan sitokin Th2 adalah IL- 5 yang selanjutnya akan mempeng-aruhi produksi dan pematangan eosinofil.1

    Sel mast Sel mast banyak ditemukan pada saluran napas terutama di

    epitel bronkus, lumen saluran napas dan membran basalis. Jumlah sel mast akan meningkat setelah infeksi virus. Sel mast akan mengeluarkan mediator inflamasi leukotrien (LT)C4. Selama infeksi RSV terjadi peningkatan jumlah LT C4 yang berbanding lurus dengan beratnya gejala penyakit. Pada anak yang menderita bronkiolitis jumlah sel mast meningkat 5 kali lebih banyak dibandingkan dengan anak yang menderita gejala penyakit saluran napas atas. Leukotrien C4 merupakan salah satu mediator yang menyebabkan bronkokonstriksi pada asma.1 Eosinofil

    Infiltrasi eosinofil di saluran napas merupakan gambaran yang khas pada penderita asma alergi.6,8 Pada biopsi epitel bronkus didapatkan jumlah eosinofil yang meningkat pada orang normal dan penderita asma yang terinfeksi rhinovirus. Eosinofil akan meningkat lebih dari 6 minggu pada penderita asma. Eosinofil berkumpul di saluran napas di bawah pengaruh IL-5, GM-CSF, IL-8 dan RANTES.1,18

    Granulocyte-macrophage colony stimulating factor mem-pegaruhi pembentukan eosinofil di sumsum tulang dan mem-perpanjang umur eosinofil namun jumlahnya tidak meningkat pada penderita yang terinfeksi virus saluran napas atas. Re-gulated on activation normal T-cell expressed and secreted akan meningkat jumlahnya pada sekret hidung anak asma yang terinfeksi virus. Regulated on activation normal T-cell express-ed and secreted berfungsi mempengaruhi produksi eosinofil di sumsum tulang dan memperpanjang umur eosinofil. Pada bina-tang percobaan diketahui eosinofil mempunyai efek antivirus.1 Neutrofil

    Jumlah neutrofil akan meningkat pada penderita asma dan bukan asma yang terinfeksi virus. Peningkatan terjadi pada hari ke 4 dan berbanding lurus dengan IL-8. Interleukin 8 me-rupakan kemokin yang mengaktivasi neutrofil, limfosit, basofil dan eosinofil. Pada penderita asma atopi yang terinfeksi Rhinovirus 16 didapatkan peningkatan IL-8 dan neutrofil pada kurasan cairan hidung selama masa akut infeksi, kadar neutrophil myeloperoxidase berbanding lurus dengan beratnya gejala asma.1

    Wark melaporkan penderita asma yang terinfeksi virus akan terjadi peningkatan neutrofil yang berbanding lurus dengan berat serangan asma dan lama rawat di rumah sakit. Pada penelitian ini, Wark melakukan pengukuran eosinophil cation protein ( ECP) dan enzym lactate dehydrogenase (LDH).5

    Natural killer cell (NK cell) Natural killer cell merupakan sel yang penting dalam

    respons imun, fungsinya mengeliminasi sel target termasuk sel yang terifeksi virus. Natural killer cell dibentuk saat permulaan

    infeksi virus namun perannya pada saluran napas penderita asma belum jelas.1 Hubungan infeksi virus dan inflamasi saluran napas

    Hubungan infeksi virus dan infamasi saluran napas adalah pada penderita asma yang terinfeksi virus lebih berat gejala gangguan pernapasannya dibandingkan dengan penderita bukan asma yang terinfeksi virus. Mekanisme imonologi hu-bungan ini secara detail belum jelas namun diduga infeksi virus meningkatkan sensitivitas saluran napas penderita asma. Hipo-tesis lain tentang patogenesis serangan asma yang disebabkan infeksi virus dapat dilihat pada table 2.1 Tabel 2. Hipotesis patogenesis serangan asma karena infeksi virus Kerusakan epitel Gangguan bersihan siliar

    Permiabilitas meningkat Kehilangan fungsi proteksi

    Produksi mediator Komplemen Metabolisme asam arakidonat Produksi oksigen reaktif

    Induksi inflamasi Sitokin Kemokin Aktivasi sel imun Induksi adesi molekul

    Disregulasi Ig E Ig E total meningkat Produksi Ig E antivirus

    Remodeling saluran napas Otot polos saluran napas Fibroblas Mielofibroblas Faktor pertumbuhan

    Respons saraf Sensitivitas kolinergik meningkat Modulasi metabolisme neuropeptid Disfungsi reseptor adrenergik

    Dikutip dari (1)

    Hubungan mengi bayi dan asma Mengi bayi dapat terjadi jika ada faktor predisposisi se-

    perti prematur, fungsi paru yang rendah saat lahir ibu perokok, sering terinfeksi virus.dan faktor risiko utama infeksi virus terutama RSV dan terpajan asap rokok. Mengi bayi akan men-jadi asma bila mempunyai faktor risiko seperti lahir dari ibu yang menderita alergi atau asma, terpajan alergen, dan faktor risiko utama infeksi virus terutama rhinovirus dan terpajan asap rokok,20(tabel 3).

    Interaksi faktor predisposisi dan faktor risiko sehingga me-nyebabkan gejala mengi dapat dilihat pada gambar 3.9 Tabel 3. Hubungan mengi bayi dan asma

    Mengi Bayi Asma factor predisposisi

    prematur fungsi paru rendah ibu perokok infeksi virus

    foktor genetik ibu asma ibu atopi dermatitis atopi alergi makanan terpajan aeroallergen

    faktor risiko utama

    infeksi virus terutama RSV terpajan asap rokok

    infeksi virus terutama RV terpajan aeroallergen terpajan asap rokok

    Dikutip dari (20)

    Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003 21

  • Gambar 3. Interaksi faktor predisposisi dan faktor risiko terjadinya

    mengi

    Dikutip dari (9) RANGKUMAN

    Infeksi virus dapat menimbulkan gejala mengi pada bayi usia kurang dari 2 tahun. Virus yang tersering menyebabkan gejala mengi adalah RSV dan rhinovirus. Mengi akan ber-kembang menjadi asma bila bayi tersebut mempunyai faktor risiko seperti atopi, terpajan alergen, terpajan asap rokok, terinfeksi virus, ibu asma atau perokok. Faktor risiko atopi ber-hubungan dengan kelainan pada kromosom 5q31-q33 dan 11q.

    Masuknya virus ke saluran napas akan mengakibatkan respons imun nonspesifik sel epitel dengan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti GM-CSF, IL-6, IL-8, RANTES, dan IL-11. Dari makrofag akan dikeluarkan TNF-, INF-, dan IL-8 yang mempunyai efek antivirus dan proinflamasi. Respons imun selular infeksi virus akan mengakibatkan sel T me-ngeluarkan IFN-, GM-CSF, IL-4. IL-5 dan IL-10. Pada infeksi virus terjadi peningkatan jumlah makrofag, limfosit, sel mast, eosinofil dan neutrofil.

    KEPUSTAKAAN 1. Massage SD, Johnston SL. The immunology of virus infection in asthma.

    Eur Respir J 2001; 18: 1013-25.

    2. McConnell WD, Holgate ST. The definition of asthma: its relationship to other chronic obstructive lung diseases. In: Clark TJH, Godfrey S, Lee TH, Thomson NC eds. Asthma, 4th ed. New York. Oxford University Press Inc; 2000, p. 1-25.

    Infeksi vir