cushing syndrome
TRANSCRIPT
![Page 1: Cushing Syndrome](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022073017/55721246497959fc0b905905/html5/thumbnails/1.jpg)
Cushing Syndrome:
Suatu Penyakit Endokrin yang Tidak Jarang
Federica Guaraldi, MD and Roberto Salvatori, MD
Latar Belakang: Cushing syndrome (CS) disebabkan oleh paparan lama
dengan glukokortikoid dosis tinggi yang berasal dari sumber endogen atau
eksogen. Penyebab paling sering dari CS endogen adalah pituitary adenoma
(Cushing disease). Penyebab lainnya adalah tumor adrenokortikal dan
neoplasia yang memproduksi adrenocorticotropin ekstra pituitary
Tujuan: Artikel ini memberi informasi terbaru mengenai peningkatan
prevalensi CS pada populasi pasien tertentu. Peneliti memberikan suatu
pedoman klinis bagi dokter keluarga agar dapat mengenali CS, membahas
kelebihan dan kekurangan dari berbagai pemeriksaan diagnostik, dan
membahas pilihan terapinya.
Hasil: Insiden CS adalah 10 hingga 15 orang tiap 1 juta penduduk; pasien
dengan diabetes, obesitas, hipertensi, dan osteoporosis memiliki prevalensi
CS yang paling tinggi. Manifestasi klinis dari CS berkisar mulai gambaran
klinis yang khas (striae ungu, facial plethora, proximal myopathy) hingga
kondisi-kondisi umum seperti hipertensi, obesitas, dan diabetes. Pedoman
praktek klinis menyarankan pemeriksaan biokimiawi untuk skrining CS;
namun, sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan ini bervariasi. Oleh
karena itu, diperlukan analisis yang cermat untuk mencegah terjadinya
kesalahan diagnosis.
Kesimpulan: CS terkadang sulit didiagnosis. Pendekatan sistemik dalam
pemeriksaan pasien dan peningkatan kesadaran akan populasi pasien yang
berresiko tinggi akan dapat mengidentifikasi penyakit ini dengan tepat waktu
Kata kunci: diagnosis dengan bantuan komputer, kortisol, Cushing Syndrome,
Diagnosis, Metabolik
![Page 2: Cushing Syndrome](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022073017/55721246497959fc0b905905/html5/thumbnails/2.jpg)
Seorang wanita post menopause berusia 52 tahun memiliki riwayat obesitas (body
mass index [BMI] = 32), riwayat diabetes mellitus tipe 2 selama 4 tahun, dan riwayat
hipertensi selama 3 tahun, yang diobat dengan obat-obatan oral. Pasien
mendapatkan terapi metformin dan sitagliptin untuk diabetes (glycosylated
hemoglobin [HbA1c] = 7.8%), dan hipertensinya dikontrol dengan angiotensin-
converting enzyme inhibitor dan calcium channel blocker. Selain itu, ia diterapi
dengan sertraline untuk mengatasi depresi. Pasien datang ke unit gawat darurat
karena nyeri kaki yang persisten tanpa ada riwayat trauma.
Radiograf menunjukkan adanya fraktur dari tulang metatarsal ketiga. Fraktur
ini ditangani dengan imobilisasi. Adanya cedera ini membuat dokter keluarganya
menyarankan agar pasien melakukan pemeriksaan kepadatan mineral tulang. Skor
T dari lumbar (-2.4) dan leher femur (-2.3) menunjukkan osteopenia. Namun,
pemeriksaan untuk mencari penyebab berkurangnya densitas tulang ini semuanya
dalam batas normal (serum kalsium, hormon parathyroid, dan vitamin D) dan pasien
diberi bifosfonat untuk mencegah pengeroposan tulang lebih lanjut.
Empat bulan kemudian, pasien dibawa ke UGD karena nyeri abdomen akut
dan didiagnosis dengan divertikulitis. Hasil computed tomography (CT) scan
abdomen menunjukkan massa adrenal densitas rendah berukuran 2 cm di sisi kiri.
Pemeriksaan follow-up menunjukkan metanephrine urin normal, urinary free cortisol
(UFC) tepat di bawah batas atas (47 µg/24 jam; batas atas normal <50 µg/24 jam),
dan plasma adrenocorticotropic hormone (ACTH) rendah (<5 pg/mL).
Diagnosis Cushing syndrome (CS) mulai dipertimbangkan. Kegagalan
supresi kortisol (5.2 µg/dL; normal <1.8 µg/dL) setelah pemberian dexamethasone 1
mg (dexamethasone suppression test [DST]), dan 2 peningkatan ringan dari kadar
kortisol dalam saliva pada malam hari menegakkan diagnosis ini. ia menjalani
adrenalektomi laparoskopik kiri. Setelah periode insufisiensi adrenal selama 9 bulan,
sekresi kortisolnya normal kembali. Pasien mengalami penurunan berat badan (BMI
= 27, 1 tahun setelah operasi), hipertensinya membaik, diabetesnya dapat terkontrol
(HbA1C = 6.3%) dengan metformin saja, dan ia tidak mengalami fraktur baru.
Sebagai orang pertama yang berhubungan dengan pasien yang memiliki tanda-
tanda kelebihan kortisol, dokter keluarga harus dapat mengenali tanda-tanda
hypercortisolism dan memberikan terapi terbaik untuk pasien mereka.
![Page 3: Cushing Syndrome](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022073017/55721246497959fc0b905905/html5/thumbnails/3.jpg)
Hypercortisolism dan Cushing Syndrome
Cushing syndrome disebabkan oleh glukokortikoid yang berlebihan, baik
yang berasal dari sumber eksogen maupun endogen. CS eksogen (iatrogenik), jenis
yang paling sering ditemui, disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid oral, intra
artikular, topikal, atau inhalasi yang berlebihan sebagai terapi anti inflamasi atau
immunosupresan. Karena CS iatrogenik disebabkan oleh obat-obatan, maka
perlu dilakukan penurunan dosis obat secara bertahap untuk menghentikan
pemberian obat ini. CS endogen disebabkan oleh gangguan sekresi dinamis dari
aksis hypothalamus–pituitary–adrenal (HPA) yang normal (Gambar 1A), yang
menyebabkan sekresi kortisol yang berlebihan. Bentukan paling umum dari CS
endogen adalah ketergantungan ACTH. Cushing disease (CD) adalah
ketergantungan ACTH (ACTH dependent) yang disebabkan oleh adenoma pituitary
yang mendekresi ACTH, yang terjadi pada 80-85% kasus (Gambar 1B). Sejumlah
kecil kasus CS (<10%) karena ACTH disebabkan oleh sekresi ACTH ektopik (non
pituitari) (EAS) atau neoplasia jinak atau ganas yang merilis hormon kortikotropin,
seperti tumor neuroendokrin (Gambar 1D). pasien lainnya (15-20%) memiliki ACTH-
independent CS, yang disebabkan oleh hiperplasia adrenokortikal bilateral atau
tumor adrenokortikal yang mensekresikan kortisol secara berlebihan, sehingga
menekan ACTH (Gambar 1C). Pemeriksaan radiografi dapat mengidentifikasi massa
pada adrenal. Sejumlah tumor adrenal yang terdeteksi ini memiliki hormon yang
aktif. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penderita ACTH-independent CS jauh lebih
banyak daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Peningkatan Prevalensi Cushing Syndrome
Hanya sedikit informasi epidemiologis yang diketahui tentang insiden dan prevalensi
CS. Penyakit ini diperkirakan terjadi pada 10-15 orang per 1 juta populasi tiap
tahunnya. Oleh karena itu, Office of Rare Diseases of the National Institutes of
Health (NIH) menggolongkan penyakit ini sebagai penyakit yang jarang. Penelitian di
Italia, Spanyol, dan Denmark melaporkan bahwa insiden tahunan dari penyakit ini
adalah 0.7 hingga 2.4 per 1 juta populasi tiap tahunnya. Meskipun prevalensinya di
![Page 4: Cushing Syndrome](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022073017/55721246497959fc0b905905/html5/thumbnails/4.jpg)
populasi umum sangat sedikit, penelitian terbaru menunjukkan bahwa prevalensinya
sangat tinggi pada pasien yang berresiko tinggi, seperti pada penderita diabetes
mellitus, hipertensi, dan osteoporosis (terutama jika terdapat fraktur). Sebuah
penelitian pada 294 pasien diabetes mellitus tipe 2 dan 189 kontrol dengan usia,
jenis kelamin, dan BMI yang serupa menemukan bahwa Prevalensi hypercortisolism
sub klinis lebih tinggi pada penderita diabetes daripada pada kontrol (9.4% vs 2.1%).
Menariknya, hypercortisolism umumnya terjadi karena gangguan pada adrenal.
Sebanyak 200 pasien dengan diabetes mellitus yang tidak terkontrol dengan baik
(HbA1C 8%) menjalani skrining hypercortisolism dan 5.5% di antaranya didiagnosis
dengan CS, mayoritas karena gangguan adrenal. Pada sebuah penelitian pada
penderita osteoporosis tanpa hypercortisolism, 4.8% pasien memiliki
hypercortisolism subklinis. Prevalensi ini meningkat hingga 10.8% pada penderita
osteoporosis dengan fraktur vertebrae. Di antara 1020 pasien hipertensi, 21 orang
(2.1%) memiliki kadar kortisol yang tinggi. Laporan ini perlu dikonfirmasi oleh
penelitian yang lebih besar dan hasilnya dapat dipertimbangkan sebagai bahan
pembuatan pedoman skrining pasien. Secara keseluruhan, hasil ini menunjukkan
bahwa insiden CS lebih tinggi daripada yang diperlkirakan sebelumnya. Namun,
skrining CS menimbulkan kontroversi, karena kekurangannya dianggap melebihi
kelebihannya.
Mengenali Hypercortisolism pada Pasien Anda
Identifikasi CS dini dapat mencegah terjadinya konsekuensi fisik jangka panjang dan
meningkatkan mortalitas yang dapat terjadi bila penyakit ini tidak diobati. Seperti
yang dijelaskan di laporan kasus pasien pada awal artikel ini, identifikasi CS
seringkali sangat rumit hingga penegakkan diagnosis tertunda. Penegakkan
diagnosis yang terlambat ini umumnya disebabkan karena tanda-tanda dan gejala
hypercortisolism seperti obesitas, diabetes, hipertensi, tulang keropos, dan depresi
sangat sering ditemukan pada populasi umum (Tabel 1). Skrining CS harus
dilakukan pada semua pasien yang memiliki massa di adrenal, terutama jika
kepadatan CT nya rendah (<20 Hounsfield units).
![Page 5: Cushing Syndrome](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022073017/55721246497959fc0b905905/html5/thumbnails/5.jpg)
Gambar 1. Perbedaan aksis hypothalamus–pituitary–adrenal (HPA) antara
pasien normal dan pasien CS. A: HPA aksis normal. B: Adrenocorticotropic
hormone (ACTH) dependent (Cushing disease). C: ACTH independent
(Cushing syndrome). D: Ectopic ACTH syndrome. CRH, corticotropin-releasing
hormone.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa prevalensi CS lebih tinggi daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah skrining perlu
dilakukan pada penderita yang memiliki diagnosis klinis yang disebabkan oleh
kelebihan kortisol endogen. Meskipun terdapat pedoman klinis mengenai metode,
diagnosis, dan pilihan terapi; belum ada pedoman mengenai kapan skrining perlu
dilakukan.
Pendekatan “jika Anda memikirkan tentang hal itu, Anda sebaiknya
melakukannya” menimbulkan sejumlah besar pemeriksaan yang sebenarnya tidak
diperlukan. Hal ini dapat mengurangi jumlah pasien yang tidak terdeteksi. Diagnosis
CS sulit ditegakkan, karena dokter seringkali tidak waspada akan tanda dan gejala
dari penyakit ini dan tidak mengetahui populasi pasien yang berresiko tinggi.
Pemeriksaan skrining juga seringkali tidak dilakukan karena memberi beban
finansial pada sistem kesehatan.
Gambaran klinis dari hypercortisolemia meliputi facial plethora,
supraclavicular fat pads, buffalo hump, truncal obesity, dan purple striae (Tabel 1).
Pada kasus ini, pemeriksaan biokimiawi dapat mengkonfirmasi kecurigaan klinis ini.
Apabila tanda dan gejalanya tidak jelas, maka hal ini disebut dengan CS subklinis
(atau preklinis). Keadaan gangguan pengaturan kortisol ini umumnya terjadi pada
ACTH-independent CS. Definisi “subklinis” digunakan karena penyakit ini dapat
berevolusi menjadi hypercortisolism klinis. Kriteria dari CS subklinis masih
kontroversial, dan hingga saat ini belum ada konsensus mengenai definisinya.
Konferensi NIH State-of-the-Science menyarankan penggunaan istilah “hipersekresi
glukokortikoid otonom subklinis” untuk menggambarkan keadaan ini.
Diagnosis ini ditegakkan melalui 2 kriteria yang disertai dengan tanda-tanda
hypercortisolism, seperti peningkatan UFC atau DST yang abnormal atau uji saliva:
![Page 6: Cushing Syndrome](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022073017/55721246497959fc0b905905/html5/thumbnails/6.jpg)
(1) pasien tidak memiliki fenotipe CS yang jelas, meskipun terdapat tanda-tanda fisik
yang menunjukkan hypercortisolism (rasa penuh di wajah atau supra klavikula dan
obesitas sentral); dan (2) pasien memiliki massa di adrenal.
Tekanik pencitraan dapat mengidentifikasi tumor sebelum timbul gejala klinis.
Namun, insiden CS subklinis terus meningkat dan diperkirakan akan melebihi CS
klinis. Penyakit ini harus dibedakan dengan pituitary CS ringan dan keadaan
hypercortisolism yang terjadi pada stress kronis, depresi, dan penggunaan alkohol
yang berlebihan. Hal ini disebut dengan “sindroma pre Cushing”. Diagnosis banding
ini sulit dibedakan, bahkan oleh ahli endokrin. Oleh karena itu, masalah ini tidak
akan dibahas dalam artikel ini.
Apabila terdapat kecurigaan CS klinis, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah mengkonfirmasi adanya hypercortisolemia. Setelah diagnosis CS
terkonfirmasi, harus dicari tahu penyebab dasarnya. Pemeriksaan skrining
biokimiawi yang spesifik untuk mengukur kadar kortisol bebas dan serum serta
metode pencitraan yang sensitif untuk mengidentifikasi neoplasma pada kelenjar
adrenal dan pituitary dapat meningkatkan identifikasi penyakit ini.
Tabel 1. Gambaran klinis dari Cushing Syndrome
Tanda yang
lebih spesifik
Tanda umum Gejala
Spesifik
Gejala Umum
Striae (lebar >1
cm)
Facial plethora
Myopati
proksimal
Mudah memar
Acne
Edema perifer
Kelemahan otot
Obesitas trunkus
Supraclavicular fullness
Dorsocervical “buffalo”
hump
Tidak ada Depresi
Lelah
Penambahan berat
badan
Nyeri punggung
Iritabilitas
Penurunan libido
Gangguan menstruasi
![Page 7: Cushing Syndrome](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022073017/55721246497959fc0b905905/html5/thumbnails/7.jpg)
Adanya kelainan anatomi pituitary atau adrenal tidak selalu berarti bahwa kelainan
ini mengganggu keseimbangan hormon atau memerlukan tindakan operasi. Terlebih
lagi, tingginya prevalensi penyakit lain yang menimbulkan gejala CS, seperti
sindroma polikistik ovarium, harus tetap diingat.
Gambar 2. Algoritme proses keputusan klinis untuk mendiagnosis pasien
dengan suspek
Cushing syndrome (CS). UFC, urinary free cortisol; DST, dexamethasone
suppression test; Dex, dexamethasone; CRH, corticotropinreleasing
hormone.
Metode Pemeriksaan Biokimiawi
Kadar kortisol dalam tubuh berubah-ubah sesuai dengan siklus harian, dimana
kadar tertinggi ditemukan pada pagi hari dan kadar terrendah ditemukan pada
malam hari. Pemeriksaan biokimiawi tidak harus dilakukan oleh ahli endokrtin.
Dokter keluarga dapat mengikuti pedoman praktek klinis, yang menyarankan salah
satu dari ketiga metode pemeriksaan berikut ini untuk menskrining CS pada pasien:
uji UFC 24 jam, uji kortisol saliva pada malam hari, atau 1-mg overnight DST
(Gambar 2). Pemeriksaan ini mendeteksi peningkatan kadar kortisol dalam urin atau
saliva atau menunjuukan feedback yang abnormal ke aksis HPA, yang semuanya
merupakan karakteristik dari CS (namun tidak eksklusif pada penyakit ini). seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak ada tanda eksklusif untuk CS. Tidak ada
rekomendasi mengenai penggunaan satu dari ketiga pemeriksaan skrining ini. kami
menyarankan agar dokter keluarga secara konsisten menggunakan 1 jenis
pemeriksaan agar dapat memahami lebih dalam mengenai kelebihan dan
kekurangan dari pemeriksaan tersebut. Karena kadar kortisol bervariasi dan
sensitivitas dan spesifisitas dari pemeriksaan ini sub optimal, diperlukan 2 hasil
pemeriksaan yang positif sebelum diagnosis CS dapat ditegakkan.
![Page 8: Cushing Syndrome](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022073017/55721246497959fc0b905905/html5/thumbnails/8.jpg)
Karakteristik spesifik dari pemeriksaan biokimiawi
Kortisol Bebas dalam Urin
Pemeriksaan UFC mengukur kadar kortisol bebas dalam waktu 24 jam dengan
menggunakan metode berbasis antibodi atau metode liquid chromatography. Nilai
lebih dari 4 kali batas normal dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis CS,
sedangkan hypercortisolism tingan umumnya memiliki kadar 2 hingga 3 kali melebihi
normal. Kadar kortisol yang berlebihan ini juga ditemukan pada pasien dengan
stress, depresi atau overdosis alkohol (sindroma pre Cushing). UFC pada pasien
dengan CS subklinis mungkin masih dalam batas normal. Untuk memastikan akurasi
pemeriksaan ini, klirens kreatinin pasien harus dikukur, karena pemeriksaan UFC
tidak akurat bila klirens kreatiin pasien >60 mL/menit; selain itu, UFC juga tampak
meningkat lebih dari yang sebenarnya pada pasien yang menghasilkan lebih dari 5L
urin setiap harinya. Beberapa obat-obatan dapat mempengaruhi kadar kortisol
secara langsung atau tidak langsung (digoxin, carbamazepine, dan glukokortikoid
sintetik), sehingga harus dipertimbangkan saat mengukur UFC pasien. volume urin
24-jam dan kadar kreatinin alam urin juga harus diperhatikan, karena hal ini dapat
mencerminkan pengumpulan bahan yang kurang atau berlebihan. Dokter harus
memastikan kepatuhan pasien terhadap protokol pemeriksaan, karena seringkali
diagnosis salah ditegakkan karena cara pengumpulan yang tidak tepat. Yang
terakhir, penghitungan ulang perlu dilakukan, terutama apabila UFC total terlampaui
tinggi atau rendah, untuk memastikan agar UFC total terhitung dengan benar.
Kortisol Saliva pada Malam Hari
Pemeriksaan kadar kortisol dalam saliva pada malam hari dapat mengukur kadar
kortisol bebas saat tingkat produksinya berada di titik terrendah dalam waktu 24 jam
(umumnya pada jam 11-12 malam). Pada penderita CS, tidak ada pola siklik sekresi
kortisol, sehingga kadar kortisol pada malam hari tidaklah rendah. Waktu
pengumpulan harus disesuaikan dengan waktu tidur pasien yang normal, dan harus
disesuaikan pada pasien yang selalu tidur pada waktu subuh.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan di kebanyakan laboratorium komersial yang
besar. Pasien diberi tabung kosong untuk mengumpulkan saliva, atau kapas untuk
![Page 9: Cushing Syndrome](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022073017/55721246497959fc0b905905/html5/thumbnails/9.jpg)
dikunyah selama 2 hingga 3 menit lalu diletakkan dalam tabung plastik. Karena
tabung ini sangat stabil pada suhu ruangan, tabung ini dapat dikirim ke laboratorium
untuk dianalisis. Gaya hidup dan kebiasaan pasien (misalnya, jadwal tidur yang tidak
teratur, seperti pada pekerja shift, atau kebiasaan merokok sebelum pemeriksaan)
dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan, sehingga harus dihindari. Pengaruh dari
kontaminasi darah juga belum diketahui, sehingga pasien harus ditanya apakah ia
langsung menggosok giginya segera setelah pengumpulan saliva. Metode
pemeriksaan ini dapat mendiagnosis CS dengan akurat, karena sensivitas dan
spesifitasnya yang tinggi.
Uji Supresi Dexamethasone
DST menggunakan dexamethasone, suatu glukokortikoid sintetik, untuk menekan
produksi ACTH dan sekresi kortisol. Pemeriksaan skrining yang dianjurkan adalah
DST 1 mg pada sepanjang malam hari, yang mengukur serum kortisol pada jam 8
pagi setelah pemberian dexamethasone oral pada jam 11 malam.
Bila kadar kortisol <1.8 µg/dL, sensitivitas dari DST ini <95%. Sebuah
laporan yang membandingkan senstivitas dari DST pada malam hari dengan DST
selama 2 hari menunjukkan bahwa kedua uji ini memiliki sensitivitas yang sama
besar. Riwayat pasien harus ditanyakan untuk mencegah hasil false-positive karena
peningkatan klirens dexamethasone oleh hepar yang disebabkan oleh konsumsi
alkohol berlebih atau penggunaan obat-obatan seperti fenitoin atau rifampin. Pada
kasus yang membingungkan, dapat dilakukan pemeriksaan kadar dexamethasone
dan kortisol secara simultan. Peningkatan serum kortisol karena peningkatan
globulin pengikat kortikosteroid yang disebabkan oleh estrogen oral dapat
mengurangi spesifitas pemeriksaan ini.
Terdapat sejumlah penelitian untuk mengetahui pemeriksaan mana yang
paling baik untuk mendiagnosis CS. Namun, belum ada penelitian yang
membandingkan kualitas antar pemeriksaan untuk mengetahui siapa dan kapan
pemeriksaan ini perlu dilakukan. Sebuah meta-analisis terbaru menemukan bahwa
ketiga pemeriksaan ini memiliki tingkat akurasi yang sama. Pemeriksaan kortisol
dalam salive dan DST tampaknya lebih sensitif daripada UFC. Pada kasus tertentu,
![Page 10: Cushing Syndrome](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022073017/55721246497959fc0b905905/html5/thumbnails/10.jpg)
pemeriksaan skrining biokimiawi mungkin tidak dapat menegakkan diagosis CS,
karena saling berlawanan satu sama lain. Karena banyaknya massa adrenal dan
adenoma pituitary yang tidak berhubungan dengan CS, pencitraan sebaiknya hanya
digunakan setelah skrining biokimiawi telah mengkonfirmasi diagnosis
hiperkortisolism. Pada kasus tertentu, mungkin diperlukan pemeriksaan hormon
yang merilis dexamethasone/kortikotropin, untuk membedakan CD dengan pseudo-
Cushing, dimana tubuh menghasilkan kortisol secara berlebihan karena adanya
produksi ACTH yang berlebihan yang disebabkan oleh stress kronis, depresi, atau
konsumsi alkohol. Perlu diketahui bahwa tidak ada pemeriksaan yang 100% sensitif
atau spesifik, sehingga diperlukan kewaspadaan untuk menghindari kesalahan
diagnosis. Di tempat praktek kami, kami melakukan pendekatan konservatif dan
tidak melakukan pemeriksaan foto (atau operasi) kecuali jika kami telah yakin
dengan diagnosisnya secara biokimiawi. Kami menekankan pendekatan “first do no
harm” dan melakukan pemeriksaan berulang kali untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis CS (“tincture of time”) sebelum dilakukan operasi.
Identifikasi Penyebab dari Cushing Syndrome
Setelah diagnosis CS telah ditegakkan melalui pemeriksaan skrining biokimiawi,
penyebab dari kelebihan kortisol ini harus dicari. CS ACTH-independent dan ACTH-
dependent dibedakan melalui pemeriksaan kadar ACTH dalam plasma. Pasien
dengan CS ACTH-independent biasanya mengalami supresi kadar ACTH plasma
yang bersirkulasi karena produksi kortisol yang berlebihan (kadar kortikotropin <5
pg/mL). Jenis CS ini, biasanya disebabkan oleh adenoma adrenal, dapat dideteksi
melalui CT scan adrenal untuk menemukan tipe dan lokasi lesi. Bila ACTH plasma
tidak berkurang, maka diagnosis CS ACTH dependent dapat ditegakkan. Seringkali
CD dan EAS sulit dibedakan dan dokter keluarga harus merujuk pasien ke ahli
endokrin yang berpengalaman dalam menangani pasien CS. Pengambilan sampel
pada sinus petrosal inferior bilateral merupakan teknik invasif yang dapat
membedakan sumber ACTH dari pituitary dan non pituitary. Pada penderita CD,
kadar ACTH dalam sinus petrosal inferior akan meningkat jauh dibandingkan
kadarnya di perifer. sebaliknya, pada CS ektopik, kadar ACTH dalam sinus petrosal
inferior dan perifer hampir sama karena tumor terletak di lokasi lain. Perlu diingat
![Page 11: Cushing Syndrome](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022073017/55721246497959fc0b905905/html5/thumbnails/11.jpg)
bahwa pengambilan sampel nasal petrosal inferior tidak dapat membedakan CD dan
pseudo-Cushing, karena pada kedua kondisi ini pituitary merupakan sumber sekresi
ACTH yang berlebihan.
Manajemen dan Terapi Cushing Syndrome
Metode Operasi
Tujuan dari terapi CS adalah pengembalian keadaan klinis, kadar kortisol yang
normal, dan kontrol jangka panjang tanpa rekurensi. Pada ACTH-independent CS
yang disebabkan oleh adenoma adrenal, pasien harus diterapi dengan
adrenalektomi unilateral. Manfaat dari operasi ini pada penderita CS subklinis tidak
begitu jelas.
Pada kasus hiperplasia bilateral, mungkin diperlukan adrenalektomi bilateral;
namun terapi ini dapat menimbulkan insufisiensi adrenal dan membutuhkan terapi
penggantian hormon dengan glukokortikoid dan mineralokortikoid. Penelitian terbaru
membuktikan manfaat dari adrenalektomi unilateral dalam menurunkan kortisol
dalam urin, tekanan darah, dan berat badan; bahkan pada kasus hiperplasia
makronodular bilateral.
Transsphenoidal adenomectomy (TSA) adalah pilihan terapi pada mayoritas
pasien CD. Tujuan dari TSA adalah reseksi adenoma pituitary secara komplit dan
koreksi hypercortisolism tanpa menimbulkan defisiensi pituitary yang permanen. Bila
dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman, TSA dapat memberikan
kesembuhan dengan sangat cepat. Angka remisi setelah TSA pada pasien dengan
mikroadenoma bervariasi (65-90%) dan tergantung dari operasi, ukuran, dan lokasi
tumor. Operasi pituitary berulang dan radioterapi pituitary dapat dilakukan pada
pasien dengan hypercortisolism persisten setelah TSA. Namun, operasi berulang ini
dapat meningkatkan resiko terjadinya insufisiensi pituitary; sehingga hanya
disarankan bila terbukti terdapat sisa adenoma pituitary.
Radioterapi konvensional dan radiooperatif bertarget (knife atau cyberknife)
dapat mengeradikasi tumor pituitary, dengan hypercortisolemia pada 50-60% pasien
dalam 3-5 tahun. Defisiensi pituitary yang signifikan dapat terjadi setelah terapi.
![Page 12: Cushing Syndrome](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022073017/55721246497959fc0b905905/html5/thumbnails/12.jpg)
Terapi medis
Dari beberapa pendekatan tradisional yang telah dijelaskan, masing-masing
pendekatan memiliki resiko mortalitas atau defisiensi hormon yang persisten. Oleh
karena itu, diperlukan perkembangan terapi baru yang bertarget pada penyebab
dasar hypercortisolism. Pada pasien CS yang bukan merupakan kandidat operasi,
terdapat beberapa pilihan terapi medis.
Terapi yang bertarget pada adrenal seperti inhibitor steroidogenesis
(metyrapone dan ketoconazole), digunakan untuk menghambat sekresi secara
langsung. Ini merupakan terapi paliatif karena obat ini tidak mengatas penyebab
dasar atau mengembalikan dinamika sekresi HPA ke kondisi normal. Terlebih lagi,
ketoconazole dapat menyebabkan kerusakan liver dan membutuhkan pH asam
untuk dapat diabsorbsi. Baru-baru ini dilakukan penelitian pada penderita CS yang
mendapatkan terapi antagonis reseptor glukokortikoid mifepristone (RU486; Corcept
Therapeutics, Menlo Park, CA). Penelitian SEISMIC menunjukkan bahwa terapi ini
mengembalikan toleransi glukosa pada 60% pasien yang intoleran terhadap glukosa
dan menurunkan tekanan darah diastolik pada 43% pasien hipertensi. Namun, terapi
ini tidak menurunkan kadar kortisol sehingga dokter tidak memiliki cara untuk
menyesuaikan dosisnya. Pada penderita CD, diperlukan terapi medis yang bertarget
pada pituitary untuk menormalkan sekresi pituitary, mennormalkan kadar kortisol,
dan menghambat pertumbuhan tumor.
Penggunaan agen dopaminergik cabergoline (yang diakui sebagai terapi
prolaktinoma) terbukti dapat menurunkan kadar kortisol. Setelah penelitian fase II
selama 12 bulan, sebuah analog somatostatin yang baru, pasireotide (SOM230;
Novartis, East Hanover, NJ), terbukti dapat menurunkan UFC dalam waktu 6 bulan
pada mayoritas pasien dan normalisasi UFC pada 25% penderita CD setelah 12
bulan.
Kesimpulan
![Page 13: Cushing Syndrome](https://reader036.vdocuments.net/reader036/viewer/2022073017/55721246497959fc0b905905/html5/thumbnails/13.jpg)
Identifikasi CS dan penyebab yang mendasarinya seringkali merupakan tantangan
tersendiri. Hingga saat ini, belum ada pedoman mengenai siapa yang sebaiknya
menjalani skrining penyakit ini di pusat pelayanan kesehatan primer. Pedoman
praktek klinis dari Endocrine Society menyarankan agar pemeriksaan CS dilakukan
pada pasien yang memiliki beberapa gejala dan tanda dari sindroma ini.
Pasien yang berresiko tinggi, misalnya pasien dengan diabetes yang tidak
terkontrol, hipertensi, dan osteoporosis (terutama dengan fraktur) memiliki resiko
tinggi untuk terjadinya CS subklinis (mayoritas ACTH-independent). Masih belum
diketahui apakah skrining pada kelompok pasien ini efektif dari segi biaya.
Pemeriksaan harus dilakukan pada pasien yang memiliki massa di adrenal. Hanya
sejumlah kecil pasien dengan massa adrenal yang ternyata menderita CS.
Pemeriksaan skrining biokimiawi merupakan sarana yang paling baik dalam
mendiagnosis penyakit ini. setelah diagnosis ditegakkan, terapi lini pertamanya
adalah operai pengangkatan tumor. Namun demikian, karena operasi tidak selalu
efektif pada semua penderita CD, dapat diberikan terapi tambahan seperti operasi
ulangan, terapi radiasi, dan terapi medis.