dampak komersialisasi pendidikan
DESCRIPTION
Makalah ini ditujukan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah pancasila. Jurusan Teknik Elektro Prodi Manajemen Informatika Politeknik Negeri Malang 2013TRANSCRIPT
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Menjadi bangsa yang maju tentu merupakan cita-cita yang ingin
dicapai oleh setiap negara di dunia. Salah satu elemen penting yang
mendukung kemajuan tersebut adalah pendidikan, sebab pendidikan
merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa.
Apabila output dari proses pendidikan itu berhasil maka kemajuan pun
ada di depan mata.
Kenyataan menunjukkan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia
saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Berbagai masalah masih sering
terjadi, mulai dari sarana yang tidak memadai, membengkaknya anak
putus sekolah, kurikulum yang selalu berubah, ketidakprofesionalan para
pendidik, hingga kepribadian peserta didik yang kurang terpuji. Namun hal
yang paling menambah buramnya pendidikan di negara ini adalah
masalah mahalnya biaya pendidikan sehingga tidak terjangkau bagi
masyarakat miskin.
Memang di zaman sekarang untuk memperoleh pendidikan yang
berkualitas baik biasanya harus menelan biaya yang tidak sedikit. Tidak
diingkari bahwa tiap tahunnya, hampir semua jenjang pendidikan terus
mengalami kenaikan biaya. Selain itu, akreditasi yang ditetapkan oleh
negara dijadikan ajang kompetisi untuk membangun lembaga pendidikan
berperspektif komersil. Akhirnya, mahalnya biaya pendidikan ini pun
menjadi paradoks bagi konstitusi negara ini.
1
Bukankah seharusnya pendidikan merupakan hak seluruh rakyat
Indonesia seperti yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi salah satu tujuan negara kita adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa. Bahkan disebutkan pula dalam Undang - Undang Dasar 1945
Pasal 31 ayat 1 berbunyi : “Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan” (UUD ’45.Surabaya:Serbajaya) Bagaimana mungkin tetap
mencapai tujuan nasioanal tersebut jika memperoleh pendidikan saja
terhalang masalah biaya.
Dalam salah satu tujuan pembukaan Undang – Undang Dasar
1945 diatas, ini mempunyai konsekuensi bahwa Negara harus
menyelenggarkan dan menfasilitasi seluruh rakyat untu memperoleh
pengajaran dan pendidikan yang layak. Tentu saja Negara dalam hal ini
pemerintah harus mengusahakan agar pendidikan dapat dinikmati oleh
seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan merupakan faktor kebutuhan yang
paling utama dalam kehidupan. Biaya pendidikan sekarang ini tidak murah
lagi karena dilihat dari penghasilan rakyat Indonesia setiap harinya.
Mahalnya biaya pendidikan tidak hanya pendidikan di perguruan tinggi
melainkan juga biaya pendidikan di sekolah dasar sampai sekolah
menengah atas/kejuruan walaupun sekarang ini sekolah sudah mendapat
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) semuanya masih belum mencukupi
biaya pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu.
2
Tak jarang terdengar istilah komersialisasi pendidikan di lingkungan
masyarakat Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi oleh semakin tingginya
biaya pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah
menengah (SMP dan SMA). Masih adanya pungutan-pungutan biaya
pendidikan bagi siswa SD dan SMP dianggap menyimpang dari aturan
yang ada, disebabkan untuk biaya pendidikan SD dan SMP mendapat
anggaran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah
karena sudah termasuk dalam program “Wajib Belajar Sembilan Tahun”.
Tak hanya SD hingga SMA, pendidikan di tingkat perguruan tinggi (PT),
baik negeri maupun swasta, biayanya juga ikut melambung tinggi
sehingga seringkali dirasa sangat memberatkan bagi sebagian besar
masyarakat dan menjadi salah satu halangan bagi lulusan SMA/sederajat
untuk melanjutkan pendidikan mereka di bangku perkuliahan.
Tetapi penggunaan dana BOS yang dicanangkan tidak sesuai
harapan. Yang seharusnya bisa digunakan untuk memfasilitasi sarana
prasarana pendidikan, malah digunakan untuk yang tidak sebaiknya
digunakan. Ini salah satu yang menyebabkan lembaga pendidikan zaman
sekarang menjadi dikomersialisasikan.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui pengertian komersialisasi pendidikan
2. Mengetahui dampak dari kompersialisasi pendidikan.
3. Untuk mengetahui solusi alternatif penanggulangan komersialisasi
pendidikan
1.3 Manfaat
1. Untuk mengetahui pengertian komersialisasi pendidikan
2. Untuk mengetahui dampak dari komersialisasi pendidikan.
3. Untuk mengetahui solusi alternatif penanggulangan komersialisasi
pendidikan.
3
BAB II
PERMASALAHAN
2.1Apa pengertian komersialisasi pendidikan ?
2.2Apa dampak dari komersialisasi pendidikan ?
2.3Apa solusi alternatif penanggulangan komersialisasi pendidikan ?
4
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Pengertian Pendidikan
Pendidikan (wikipedia.org) adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat
Pendidikan ( UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 ) adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya dan masyarakat.
Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata pendidikan berasal dari
kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran ‘an’, maka kata ini
mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara
bahasa definisi pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu tuntutan di
dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar
mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah
mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
5
Dapat disimpulkan dari beberapa pengertian pendidikan diatas
bahwa pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan
dirinya dan masyarakat untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi – tingginya.
3.2Kendala dalam Dunia Pendidikan
Kendala yang dihadapi dalam dunia pendidikan kita saat ini tak lain
disebabkan oleh beberapa hal yang sangat urgen dan sangat mendasar
bagi masyarakat, seperti:
1. Tingginya biaya pendidikan menyebabkan masyarakat kurang mampu
tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini
berakibat pada kehidupan sosial mereka dalam masyarakat, sebab
kondisi ini menyulitkan mereka untuk dapat berkompetisi secara global
melalui pendidikan. Untuk mengatasi hal ini masyarakat yang kurang
mampu harus diberi jalan untuk mendapat pendidikan yang lebih tinggi
dengan konsekuensi menggalakkan Gerakan Orang Tua Asuh
(GNOTA), pemerintah mengeluarkan kebijakan yang ditujukan bagi
perusahaan yang ada di Indonesia untuk mengeluarkan 1% dari
keuntungan mereka per tahun bagi dana pendidikan.
2. Mengejar dan mengagungkan gelar akademis telah menjadi budaya di
tengah-tengah masyarakat Indonesia. Hal ini mengakibatkan
masyarakat melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan gelar
akademis tersebut seperti jalan pintas tanpa melalui proses
pembelajaran dengan mengandalkan uang sehingga praktik
komersialisasi pendidikan semakin subur. Budaya ini harus diberantas
dengan cara adanya kebijakan pemerintah yang tegas untuk menutup
6
lembaga pendidikan yang telah melakukan kecurangan pendidikan
yang dapat mengurangi kualitas mutu pendidikan. Di samping itu
lembagalembaga pemerintah maupun swasta yang ada harus tegas
untuk tidak merekrut atau mempromosikan mereka yang memperoleh
gelar akademis melalui jalan pintas tersebut, dan diharapkan juga
adanya sebuah kontrol sosial dari masyarakat.
1.3Penyebab Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat
untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari
Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.
Orang miskin tidak boleh sekolah. Untuk masuk TK dan SDN saja saat
ini dibutuhkan biaya Rp 500.000,- sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada
yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai
Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari
kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis
Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai
upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite
Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih
luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan
uang selalu berkedok, "sesuai keputusan Komite Sekolah". Namun,
pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih
menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang
dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya
menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap
permasalahan pendidikan rakyatnya.
7
Kemunculan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan perubahan status empat Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN)
membuat bertambahnya masalah. Perubahan status tersebut
merupakan salah satu bentuk pelaksanaan privatisasi di bidang
pendidikan yang selama ini marak diterapkan dalam bidang
perekonomian dan pasar. Akibat yang ditimbulkan dari privatisasi
diantaranya adalah komoditasi kampus dan kenaikan biaya
operasional yang efeknya langsung dirasakan oleh para mahasiswa.
Pada tahun 2009, bentuk BHMN digantikan dengan Badan Hukum
Pendidikan Pemerintah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. UU tersebut kemudian
dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-
136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret 2010, yang membuat pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 yang
mengembalikan status perguruan tinggi BHMN menjadi perguruan
tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah. Seluruh perguruan tinggi
BHMN ini akan dikembalikan statusnya menjadi perguruan tinggi yang
diselenggarakan oleh pemerintah. Saat ini, masa transisi pengalihan
status masih berlangsung hingga tahun 2013. Meskipun begitu,
kurangnya pengawasan pemerintah terkait tingginya biaya yang
dipatok perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, menjadi salah
satu penyebab masih rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia.
Karena faktor tersebut merupakan salah satu halangan bagi
masyarakat yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan di
jenjang yang lebih tinggi.
8
3.4 Aspek-Aspek yang Memunculkan “Komersialisasi” Pendidikan
a. Aspek Politik
Pendidikan yang merupakan kebutuhan dasar manusia dan yang
harus dipenuhi oleh setiap manusia juga memiliki aspek politik karena
dalam pengelolaan harus berdasarkan ideologi yang dianut negara.
Adapun ideologi pendidikan kita adalah ideologi demokrasi Pancasila,
yaitu setiap warga negara mendapat kebebasan dan hak yang sama
dalam mendapat pendidikan. Dalam Pembukaan UUD 45 pada alinea ke-
4 , hal ini pun tercermin ada kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Atas dasar itu sudah seharusnya pemerintah dalam menetapkan
setiap kebijakan pendidikan merujuk pada ideologi negara. Akan tetapi
dalam kenyataannya melalui pemerintah mengeluarkan peraturan (PP)
No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan
Hukum, pemerintah telah memberikan otonomi pada perguruan tinggi
dalam mengelola pendidikan lembaganya termasuk pencarian dana bagi
biaya operasionalnya.
Apabila pendidikan tetap mahal dan dikomersialisasikan,
masyarakat yang kurang mampu tidak akan dapat meningkatkan status
sosial mereka, dan ironisnya komersialisasi pendidikan ini didukung oleh
tatanan sosial dan diterima oleh masyarakat. Akibat longgarnya sanksi
social dan kurangnya kontrol pemerintah, komersialisasi pendidikan
tumbuh subur serta membentuk social gap atau diskriminasi dalam
pendidikan antara masyarakat yang mampu dengan yang tidak mampu.
9
b. Aspek Budaya
Budaya bangsa kita mengagungkan gelar akademis dan sebagai
contoh dihampir setiap dinding rumah yang keluarganya berpendidikan
selalu terpajang foto wisuda anggota keluarga lulusan dari universitas
manapun. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa kita masih menganut
budaya yang degree minded. Budaya berburu gelar ini berkembang pada
lembaga pemerintah yang mengangkat atau mempromosikan pegawai
yang memiliki gelar sarjana tanpa terlebih dahulu diteliti dan dites
kemampuan akademik mereka.
Ironisnya program pendidikan seperti ini banyak diminati oleh
pejabat-pejabat. Dengan komersialisasi pendidikan berarti ideologi
kapitalisme telah masuk kampus. Ideologi ini memberikan kebebasan
pada individu atau kelompok untuk berusaha, sementara intervensi
pemerintah harus berkurang. Akibat masuknya ideologi ini akan dapat
menggeser pendidikan demokrasi Pancasila kalau pemerintah tidak cepat
tanggap dalam hal ini.
c. Aspek Ekonomi
Ekonomi sudah pasti kita akan membicarakan aspek ekonomi
terkait dengan masalah biaya. Biaya pendidikan nasional seharusnya
menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi dengan keluarnya UU
No. 20 Tahun 2003 pada bab XIV pasal 50 ayat 6 dinyatakan bahwa
perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam
mengelola pendidikan lembaganya. Hal ini menunjukkan ketidak
mampuan pemerintah membiayai pendidikan nasional, khususnya
pendidikan tinggi yang dulu mendapat subsidi dari pemerintah sebanyak
75% dan 25% lagi berasal dari biaya masyarakat termasuk dana SPP.
10
Namun subsidi 75% dicabut dan kemudian pemerintah memberikan
status BHMN (Badan Hukum Milik Negara) kepada beberapa perguruan
tinggi negeri agar mengelola keuangannya masing-masing. Berbagai
program pendidikan ditawarkan oleh pengelola perguruan tinggi untuk
memaksimalkan potensi intuisinya dalam mencari sumber pendanaan.
Beberapa perguruan tinggi ternama membuka jalur khusus dalam
penerimaan mahasiswa baru dengan tarif mulai dari Rp.15 juta sampai
dengan Rp.150 juta.
Hal ini terjadi akibat dari lepasnya tanggung jawab pemerintah
dalam membiayai pendidikan sehingga berdampak pada komersialisasi
pendidikan di perguruan tinggi negeri (berstatus BHMN), yang tentu saja
menguntungkan. Alasan untuk menciptakan pendidikan yang bermutu
perlu biaya besar dan mahal bagi kalangan masyarakat yang kehidupan
ekonominya lemah, maka status BHMN akan menjadi momok yang
menakutkan.
d. Aspek Sosial
Aspek sosial terkait dengan dari hubungan dengan manusia.
Pendidikan sangat menentukan perubahan strata sosial seseorang, yaitu
semakin tinggi pendidikan seseorang, akan semakin meningkat pula strata
sosialnya, begitu juga sebaliknya. Sesuai dengan pendapat Kartono
(1997: 97) yang menyatakan: tingginya tingkat pendidikan dan tingginya
taraf kebudayaan rakyat akan menjadi barometer bagi pertumbuhan
bangsa dan negara yang bersangkutan. Akan tetapi bagaimana orang
dapat, mencapai pendidikan tinggi apabila biaya pendidikan tersebut
mahal dan hanya dapat dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi
mapan saja.lantas bagaimana dengan masyarakat golongan ekonomi
lemah.
11
e. Aspek Teknologi
Dengan berkembang pesatnya teknologi maka semakin menuntut
sekolah-sekolah untuk menunjang berbagai fasilitas yang mendukung
kegiatan belajar mengajar. Tapi, tak jarang lembaga pendidikan
menjadikannya sebagai tameng untuk melakukan komersialisasi
pendidikan. Biasanya lembaga pendidikan berujar, “Ini dilakukan agar
para peserta didik bisa mengikuti perkembangan teknologi yang dari hari
ke hari semakin maju. “
Oleh karena, uang masuk ataupun SPP di sekolah ataupun
perguruan tinggi semakin mahal, implikasinya peserta didik yang berasal
dari ekonomi menengah ke bawah tidak bisa menyanggupinya. Ujung-
ujungnya, mereka ketinggalan dalam hal teknologi. Padahal dengan
perkembangan teknologi bisa meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, kesejahteraan, dan kehidupan bangsa.
3.5Sumber Pendanaan Pendidikan Menurut Undang - Undang
Tertera pada Undang – Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab XIII Pendanaan Pendidikan Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Pendanaan pasal 46 ayat 2, “Pemerintah dan
pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan
sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat 4 Undang – Undang Dasar
1945”. Berati jelas dana untuk pendidikan pada dasarnya berasal dari
pemerintah. Bahkan pada pasal 31 ayat 4 mengamanatkan bahwa negara
harus memprioritaskan sekurang-kurangnya 20% dari APBN untuk
membiayai pendidikan. Ini dipertegas pada Undang – Undang nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bagian Keempat
Pengalokasian Dana Pendidikan pasal 49 ayat 1, “Dana pendidikan selain
gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20%
dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD”
12
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1Pengertian Komersialisasi Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komersialisasi
diartikan sebagai perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang
dagangan
Komersialisasi pendidikan dapat bermakna memperdagangkan
pendidikan,karena menurut kamus, kata komersial atau commercialize
berarti memperdagangkan. Komesialisasi pendidikan dimaknai sebagai
sebuah manajemen pendidikan yang menempatkan lembaga pendidikan
sebuah institusi komersial. Sebagai lembaga komersial, maka lembaga
pendidikan akan mengimplementasikan prinsip prilaku produsen, dalam
literatur ekonomi liberal, tujuan produksi adalah untuk ”Profit Maximilizing”
dalam hal ini dimaknai secara finansial.
Adapun istilah “komersialisasi pendidikan” mengacu pada dua
pengertian yang berbeda, yaitu:
1. Komersialisasi pendidikan yang mengacu lembaga pendidikan dengan
program serta perlengkapan mahal.
Pada pengertian ini, pendidikan hanya dapat dinikmati oleh
sekelompok masyarakat ekonomi kuat, sehingga lembaga seperti ini
tidak dapat disebut dengan istilah komersialisasi karena mereka
memang tidak memperdagangkan pendidikan. Komersialisasi
pendidikan jenis ini tidak akan mengancam idealisme pendidikan
nasional atau idealisme Pancasila, akan tetapi perlu dicermati juga,
karena dapat menimbulkan pendiskriminasian dalam pendidikan
nasional.
13
2. Komersialisasi pendidikan yang mengacu kepada lembaga pendidikan
yang hanya mementingkan uang pendaftaran dan uang gedung saja,
tetapi mengabaikan kewajiban-kewajiban pendidikan. Komersialisasi
pendidikan ini biasanya dilakukan oleh lembaga atau sekolah-sekolah
yang menjanjikan pelayanan pendidikan tetapi tidak sepadan dengan
uang yang mereka pungut dan lebih mementingkan laba.
Itu hal yang lebih berbahaya lagi, komersialisasi jenis kedua ini dapat
pula melaksanakan praktik pendidikan untuk maksud memburu gelar
akademik tanpa melalui proses serta mutu yang telah ditentukan sehingga
dapat membunuh idealisme pendidikan Pancasila.
Komersialisasi ini pun telah berdampak pada tingginya biaya
pendidikan. Secara gamblang, masyarakat “disuguhi sesuatu” yang
(seolah-olah) mengamini kondisi tersebut. Contoh sederhana dapat dilihat
ketika memasuki tahun ajaran baru. Tak terbayangkan betapa banyaknya
orang tua yang mengeluh akibat buku pelajaran yang digunakan tahun
ajaran sebelumnya tidak lagi dapat digunakan di tahun ajaran berikutnya.
Kondisi ini tentu sangat memberatkan masyarakat yang sebagian
besar masih hidup di bawah garis kemiskinan. Siswa dipaksa
menggunakan buku pelajaran baru sebagai pengganti buku lama yang
konon “tidak layak” dipakai acuan lagi, dengan harga yang relatif tinggi.
Padahal jika dicermati, materi atau pokok bahasan di dalamnya sama
persis, tanpa ada “ilmu” baru yang dicantumkan.
Di sisi lain, pengelolaan dunia pendidikan kita juga masih
menggunakan konsep liberal. Artinya, konsep dunia pendidikan ini lebih
mengutamakan kompetisi daripada persamaan hak untuk memperoleh
pendidikan. Jika tetap mengedepankan pola ini, bagaimana nasib siswa
yang berasal dari keluarga tidak mampu.
14
4.2 Dampak Komersialisasi Pendidikan
Rakyat kalangan bawah yang menginnginkan pendidikan, tak
mampu untuk me-realkan keinginannya dikarenakan biaya
pendidikan yang mahal.
Memperkaya pihak – pihak tertentu.
Biaya yang dibayar oleh wali murid/wali mahasiswa/i tidak
sebanding dengan sarana – prasarana yang diterima.
Biaya yang dibayar tidak sebanding dengan kualitas lulusan suatu
lembaga pendidikan formal – informal.
Menimbulkan kesenjangan sosial kelompok orang – orang kaya
dan kelompok orang – orang miskin.
Komersialisasi Pendidikan tanpa adanya alternatif lain untuk
mengimbanginya akan menyebabkan orang berlomba – lomba
untuk memperoleh pendidikan di Universitas atau Sekolah yang
terkenal, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ujung-
ujungnya bagi kelompok kaya, ada yang mencari jalan pintas agar
dapat gelar S2 dan S3 dari Universitas atau Sekolah begengsi
dengan mengucurkan dana yang besar agar mendapatkan
kemudahan – kemudahan.
15
4.3Solusi alternatif penanggulangan komersialisasi pendidikan
Munculnya komersialisasi pendidikan adalah sebagai akibat dari
pelepasan tanggung jawab pemerintah yang telah mencabut subsidi
pembiayaan terutama pada perguruan tinggi dan pemberian hak otonomi
serta status BHMN pada perguruan tinggi negeri.
Perlu diketahui banyak dari para pe-bisnis menjadikan dunia
pendidikan sebagai salah satu tonggak utama usaha mereka dengan
membuka yayasan-yayasan pendidikan tentu saja dengan tujuan
“mendapatkan keuntungan” bukan lagi “mencerdaskan kehidupan bangsa”
seperti tertera pada UUD 1945.
Prinsip nirlaba mestinya menjadi roh dalam penyelenggaraan
pendidikan nasional. Sehingga diharapkan bisa mencegah terjadinya
praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan. Karena prinsip
nirlaba dalam penyelenggaraan pendidikan, menekankan bahwa kegiatan
pendidikan tujuan utamanya tidak mencari laba, melainkan sepenuhnya
untuk kegiatan meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan
pendidikan.
Dewasa ini seperti yang sudah diketahui dana APBN sebesar 20%
tidak dapat mencegah makin maraknya komersialisasi pendidikan di
Indonesia, belum lagi pendidikan yang seyogyanya dijadikan jasa yang
dapat dinikmati setiap orang seolah-olah menjadi komoditas utama yang
dapat bahkan harus dijual dengan harga tinggi.
16
Berikut solusi alternatif penanggulangan komersialisasi pendidikan :
Pembentukan lembaga non pemerintah yang diberi kewenangan
untuk mengawasi jalannya sistem pendidikan.
Alasan mengapa lembaga ini harus bersifat non pemerintah adalah
agar dalam pelaksanaannya, lembaga ini tidak terpengaruh dan tidak
tertekan oleh pihak manapun. Lembaga ini nantinya diharapkan mampu
bersikap mandiri dan independen, sehingga ketika terjadi
penyimpangan, mereka berani melaporkan apa yang sebenarnya
terjadi tanpa takut akan ancaman apapun dan dari siapapun. Lembaga
ini berhak melakukan evaluasi terkait kebijakan-kebijakan pemerintah di
bidang pendidikan, seperti dana BOS dan sekolah dengan status RSBI,
agar dapat berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun bersifat non
pemerintah, dalam melaksanakan tugasnya, lembaga ini tetap harus
berkoordinasi dengan Departemen Pendidikan untuk mencapai tujuan
mulia bersama.
Pemberian beasiswa yang lebih gencar kepada para pelajar yang
berprestasi dan tidak mampu dalam hal biaya.
Upaya ini sebagai antisipasi agar para pelajar yang berprestasi dan
tidak mampu dapat terus melanjutkan pendidikan tanpa harus terbebani
biaya dan termotivasi untuk belajar lebih baik. Meski begitu, dalam
distribusinya nanti, perlu ada survey terlebih dahulu terkait kondisi
pelajar yang sesungguhnya agar pemberian beasiswa tersebut dapat
tepat sasaran dan penggunaan. Selain survey, juga perlu adanya
sosialisasi terkait segala bentuk beasiswa, karena kurangnya akses
informasi bagi pelajar yang tidak mampu, menjadikan mereka seringkali
tidak begitu paham tentang berbagai informasi terkait beasiswa
tersebut.
17
Pencanangan program “Wajib Belajar 12 Tahun”.
Pada program ini, nantinya SMA/sederajat memperoleh aliran dana
BOS, sehingga biaya pendidikan dapat ditanggung oleh pemerintah
dan tidak begitu memberatkan bagi orangtua/wali murid. Hal ini
dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi komersialisasi dan
komoditasi pendidikan di jenjang SMA, dan biaya tinggi tak lagi menjadi
alasan bagi mereka yang tidak mampu untuk berhenti belajar di
sekolah.
Pemeriksaan rutin transaksi keuangan di seluruh lembaga
pendidikan (tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi), baik
negeri maupun swasta, oleh lembaga pemerintah dan non
pemerintah.
Dari lembaga pemerintah dapat diwakilkan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), sedangkan dari lembaga non pemerintah dapat
diwakilkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli
dengan dunia pendidikan. Solusi ini diambil sebagai langkah antisipasi
terjadinya penggunaan dana yang tidak tepat serta penyelewengan
dana oleh oknum-oknum tertentu yang ingin mengambil keuntungan
dari proses pendidikan.
Penarikan uang untuk biaya sekolah seharusnya disampaikan
dengan jelas dan terinci.
Biasanya modus penarikan untuk pendidikan yang bermacam –
macam. Diantaranya pembayaran ekstrakulikuler, dana untuk
keselamatan, dana untuk membeli gorden kelas, biaya wisuda, serta
biaya untuk membeli LKS dan seragam. Pungutan tersebut semestinya
tidak perlu. Mengingat Dinas Pendidikan (Dindik) sudah mempunyai
anggaran khusus. Wajib belajar 9 tahun pun telah dibebaskan biaya
malalui penyaluran BOS daerah dan BOS nasional.
18
Mengadakan rapat komite sekolah yang terbuka, tidak transparan,
dan akuntabilitasnya terjamin
Komite sekolah seharusnya terbuka tentang program sekolah.
Untuk merumuskan kebutuhan, sekolah juga bisa melibatkan siswa,
karena yang tahun kebutuhannya adalah siswa sendiri. Dalam rapat
komite sekolah harus jelas dan transparan sehingga tidak ada wali
murid yang keberatan adannya tarikan dana.
Penggunaan dana BOS dengan sasaran yang tepat.
Adanya dana BOS dari Dinas Pendidikan seharusnya digunakan
dengan sebaik – baiknya untuk menunjang sarana – prasarana
lembaga pendidikan. Tak hanya biaya sekolah yang mahal tetapi
fasilitas yang didapat tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan.
Biaya yang besar dikeluarkan juga mempengaruhi kualitas dari peserta
didik. Semakin mahal sekolah maka semakin baik kualitas pendidikan
ditempat tersebut. Apakah hal ini dapat dibenarkan, tentu saja tidak.
Hal ini tidak menjamin.
Pengawasan ketat dari pihak Diknas Pendidikan terhadap lembaga
pendidikan.
Pengawasan ini digunakan untuk mencapai penggagalan komite
sekolah yang “nakal”. Penggunaan uang penarikan dari siswa
digunakan tidak semestinya. Yang mengakibatkan tindak korupsi.
Sudah banyak orang yang terlibat dalam lembaga pendidikan yang
terjerat tindak korupsi. Ini yang menyebabkan adanya rapat komite
yang tertutup. Pengaliran dana tidak jelas.
19
BAB V
PENUTUP
5.1Kesimpulan
Komersialisasi pendidikan mengacu pada dua hal yaitu komersialisasi
dalam arti :
1. Komersialisasi pendidikan yang mengacu lembaga pendidikan
dengan program serta perlengkapan mahal.
2. Komersialisasi pendidikan yang mengacu kepada lembaga
pendidikan yang hanya mementingkan uang pendaftaran dan uang
gedung saja, tetapi mengabaikan kewajiban-kewajiban pendidikan
Dari kedua acuan diatas, komersilisasi dianggap sangat
menguntungkan pihak – pihak tertentu saja. Tidak memikirkan kerugian
yang akan dialami pihak terkait.
Ilmu dan pendidikan menjadi barang komoditi yang bisa
diperjualbelikan, sedangkan manusia diposisikan sebagai konsumen.
20
5.2Saran
Perlu adanya badan pengawas intensif yang benar – benar mengawasi
jalannya dana untuk lembaga pendidikan. Tentu diikuti oleh anggota
badan pengawas sendiri yang tidak “nakal”. Yang akan mengakibatkan
kerugian Negara.
Dan jika mengimpikan sebuah proses pendidikan yang murah didalam
kondisi saat ini. Maka salah satu jalan adalah dengan membuat sebuah
model pendidikan baru, yaitu model pendidikan alternatif. Model
pendidikan yang berpihak kepada kaum menengah kebawah. Model
pendidikan yang bertujuan untuk membebaskan dari segala bentuk
ketertindasan. Impian hanya menjadi khayalan jika kita berharap bisa
mengubah system pendidikan formal sekarang ini, tanpa membentuk
sebuah sistem pendidikan alternatif sebagai bentuk perlawanan.
21