devic's disease print
DESCRIPTION
lampungTRANSCRIPT
DEVIC’S DISEASE
DEVIC’S DISEASE
I. DEFINISI
Devic’s disease atau dikenal dengan nama Neuromyelitisoptica (NMO)
merupakan penyakit idiopatik immunomediated demyelinating dan necrotizing
yang dominan mengenai saraf optik dan medula spinalis. Devic’s disease adalah
penyakit neurologis yang jarang terjadi, ditandai dengan terjadinya neuritis optik
dan myelitis. Devic’s disease juga dikenal sebagai sindrom Devic dan NMO.
Nama-nama sindrom Devic, penyakit Devic, dan NMO sering digunakan secara
bergantian, meskipun nama pertama mencakup semua pasien yang sesuai dengan
definisi sebelumnya dan yang kedua dan ketiga seharusnya hanya digunakan
untuk merujuk pasien diduga memiliki gangguan yang berbeda. Hal ini masih
kontroversial apakah Devic’s disease adalah varian dari multiple sclerosis atau
penyakit yang disebabkan oleh paparan virus varicella zoster yang menyebabkan
acute disseminated Encephalomyelitis (ADEM). NMO mungkin menjadi penyakit
monofasik, atau mungkin penyakit yang hilang-timbul yang merupakan penyakit
radang demielinasi yang pertama diketahui dengan penanda serum, yaitu antibodi
IgG-NMO.
II. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi devic’s disease (neuromielitis optika) adalah wanita sembilan kali
lebih banyak daripada pria. Median onsetnya berkisar umur 39 tahun dan dapat
juga terjadi pada anak-anak dan orang tua. Dalam literatur lain tertulis bahwa
serial onset untuk penyakit ini dari umur 1 tahun hingga 72 tahun. Penyakit ini
lebih sering pada orang Asia timur dan non kulit putih lainnya di seluruh dunia.
Jika penyakit ini dihubungkan dengan multiple sclerosis, maka kebanyakan pasien
dengan neuromielitisoptika dinegara maju adalah orang berkulit putih.
Selanjutnya, optikneuritis pada pasien Afrika-Amerika bisa mendasari
terjadinya neuromyelitis optica dimana lebih sering terjadi pada pasien non kulit
putih. Berbeda dengan multiple sclerosis, neuromielitis optika lebih banyak pada
orang non-kulit putih dan sebagian kecil populasi di Eropa dengan komponen
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 1
DEVIC’S DISEASE
genetik mereka yang mendukung, seperti AfroBrazilians (15% kasus penyakit
demielinasi), India Barat (27%), Jepang (20-30%), dan Asia timur, termasuk Cina
Hongkong (36%), Singapura (48%), dan India (10-23%). Ada beberapa data
yangdari negara-negara Amerika Latin selain Brazil.
Ada laporan kasus familial neuromielitisoptika tapi tidak menurun dalam
silsilah kelurganya, hal ini mungkin disebabkan karena pola pewarisan kompleks
atau alel memiliki kerentanan penetrasi yang rendah. MHC II alel kelas
DPB*0501 dikaitkan dengan optik-spinal multipel sklerosis di Asia timur, tetapi
alel ini ada dalam 60% dari Penduduk Jepang. MHC II alel kelas DRB1*1501
yang paling kuat terkait dengan beberapa sklerosis di negara maju dan pada pasien
etnis Jepang dengan western multiple sclerosis. Namun, alel ini tidak terkait
dengan optik-spinal multipel sklerosis di Asia timur.
III. ANATOMI
Visual jalur terdiri dari empat neuron yang terhubung bersama-sama:
1. Neuron pertama, fotoreseptor
2. Neuron kedua, neuron bipolar retina, yang mengirimkan impuls dari sel
batang dansel kerucut ke ganglion besar sel-sel retina
3. Neuron ketiga, sel-sel ganglion besar, akson yang bergabung untuk
membentuk optiksaraf dan meluas ke pusat visual primer (nucleus
geniculatum lateralis)
4. Neuron keempat, sel-sel geniculate, akson yang memproyeksikan sebagai
radiasi optik untuk korteks visual (daerah striate)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 2
DEVIC’S DISEASE
Gambar 1.Visual pathway
Jalur penglihatan dimulai pada retina dan terus melalui saraf optik ke chiasma
optik, kemudian berlanjut sebagai saluran optik ke corpus geniculatum laterale.
Radiasi optik muncul di corpus geniculatum laterale dan berakhir di daerah visual
primer (area 17) dan dearah visual sekunder (daerah 18, 19) dari lobus oksipital.
Serabut saraf dari jaringan retina bertemu pada diskus optik sebelum melanjutkan
melalui saraf optik ke chiasma optik, serabut yang berasal dari medial (hidung)
menyeberang ke sisi yang berlawanan. Serabut optic dari lateral langsung menuju
ke corpus geniculatum laterale sehingga pada setiap bola mata mengandung serat
saraf dari setengah retina temporal dan setengah retina nasal. Corpus geniculatum
laterale adalah tempat bermuara dari keempat serabut optik. Serat eferen yang
membentuk radiasi optik, yang berakhir di korteks visual (korteks striate) dari
lobus oksipital. Fovea centralis merupakan daerah yang memiliki representasi
kortikal terbesar. Jalur visual terhubung dengan inti otak tengah (bagian medial,
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 3
DEVIC’S DISEASE
lateral, dan dorsal dari inti terminal wilayah pretectal, colliculussuperior), daerah
kortikal nonvisual (somatosensori, premotor, dan pendengaran), otak kecil, dan
pulvinar (bagian posterior thalamus).
IV. ETIOLOGI
Devic’s disease adalah suatu penyakit inflamasi dari sistem saraf pusat dimana
terdapat episode inflamasi dan kerusakan pada myelin dimana secara khusus
menyerang N.II dan saraf tulang belakang atau dengan kata lain terjadi
demielinasi pada serabut saraf optik. Demielinasi adalah gejala robeknya
(rusaknya) selubung mielin pada neuron. Pada beberapa referensi juga
menyatakan bahwa sebagian besar kasus penyakit devic adalah idiopatik dengan
proses autoimun. Predisposisi yang utama termasuk penyakit pulmonar TB, SLE,
infeksi virus varicella, HIV.
V. PATOGENESIS
Neuromyelitisoptica (NMO) adalah penyakit inflamasi dari sistem saraf pusat
(SSP) ditandai dengan serangan parah neuritis optik dan myelitis. Awalnya NMO
dianggap sebagai bentuk khusus dari multiple sclerosis (MS). Penelitian selama
10 tahun terakhir , dua penyakit ini telah terbukti jelas berbeda. NMO adalah
penyakitsel B-dimediasi terkait dengan anti aquaporin-4 antibodi dalam banyak
kasus. Baru-baru ini, bukti pengikatan antibodi, aktivasi komplement, dan
infiltrasi eosinofilik dapat disimpulkan bahwa penyakit Devic adalah penyakit
humoral, sedangkan MS merupakan proses mekanisme seluler. Hal ini diperkuat
oleh dengan ditemukannya antibodi IgG serum pada kapiler dalam batang otak
dan otak kecil. Telah dilaporkan bahwa penanda antibodi ini ditemukan dalam
setengah dari kasus neuromyelitis optica dan tidak ada dalam kasus MS. Penilaian
prevalensi menunjukkan bahwa NMO adalah jauh lebih jarang dibanding MS,
yang menjelaskan tidak adanya uji klinis acak dan strategi pengobatan NMO
divalidasi oleh evidance based medicine.
Dasar fitur patologis struktural NMO telah lama diketahui. Pada fase akut dari
penyakit ini sumsum tulang belakang mengalami pembengkakan secara difus dan
perlunakan pada multipel segmen dan kadang-kadang mengenai seluruh
perpanjangan neuronnya. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan nekrosis dari
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 4
DEVIC’S DISEASE
kedua subtansia alba dan grisea dengan infiltrasi makrofag terkait dengan
kehilangan akson dan myelin serta inflamasi perivaskular. Pada kasus kronik
terjadi atrofi dan kavitasi dari segmen sumsum tulang belakang dan saraf optik
yang terlibat dengan ditandai gliosis dan degenerasi kistik. Pada area yang
mengalami nekrosis, dinding kapiler menebal dan mengalami hyalinisasi. Dalam
lesi aktif akut terdapat infiltrasi makrofag yang luas, banyak limfosit B dan
beberapa CD3 + dan CD8 + T-limfosit, biasanya berhubungan dengan
eosinophilik dan infiltrat perivaskular granulosit.
Gambar 2. Patogenesis NMO
Gambar 3. Mekanisme kerusakan parenkim akibat NMO
Hal yang mengejutkan komunitas riset MS, bukanlah antigen dari myelin atau
neuron terkait yang ditemukan, melainkan antibodi aquaporin-4 water channel,
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 5
DEVIC’S DISEASE
komponen dari kompleks protein distroglikan terletak di astrosit pada sawar darah
otak.
VI. GEJALA KLINIK
Penyakit Devic’s atau yang sering disebut sebagai neuromyelitis optica
mengacu pada kondisi dimana terjadi mielopati dan unilateral atau bilateral
neuritis optik tanpa melibatkan adanya kerusakan di otak. Oleh karena itu, gejala
dan tanda yang ditimbulkan akan sangat bervariasi tergantung lokasi yang terkena
kelainan. Maka, seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa gejalanya mengenai
nervus II dan saraf tulang belakang akan memunculkan gejala-gejala seperti:
1. Kehilangan penglihatan
2. Sentral skotoma
3. Umumnya terjadi nyeri mata
4. Kehilangan penglihatan warna (akromathopsia)
5. Diskus optikus bisa didapatkan membengkak dan kemerahan pada
funduskopi jika area diemilinisasi inflamasi terletak langsung dibelakang
papil nervus optikus
6. Gejala-gejala myelopati paraparese
Dapat juga kita menggunakan kriteria Wingrchuck:
1. Kriteria absolut
Neuritis optik
Myelitis akut
Tidak ditemukan penyakit diluar nervus optik dan tulang belakang
2. Kriteria tambahan (mayor)
Tidak ada kelainan otak pada MRI
Abnormalitas tulang belakang lebih 2 segmen
CSF lebih 50 dan WBC lebih 5 PMN
3. Kriteria suportif
Optik neuritis bilateral
Ketajaman lebih buruk dari 20/200
Kekuatan 3/5 paling sedikit pada 1 limb
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 6
DEVIC’S DISEASE
VII. PEMERIKSAAN KLINIK
Diagnosis neuromyelitis optica dibuat berdasarkan anamnesis yang lengkap
khususnya tentang riwayat penyakit, evaluasi klinis menyeluruh, dan berbagai
pemeriksaan khusus. Tes tersebut meliputi tes darah, pemeriksaan cairan
serebrospinal (CSF), sinar-x seperti MagneticResonance Imaging (MRI) atau
Computed tomography (CT atau CAT) scan. Sebuah tes darah, NMO-IgG, baru-
baru ini ditemukan yang sangat spesifik dan cukup sensitif untuk neuromyelitis
optica. Telah terbukti bahwa mendeteksi antibodi yang spesifik untuk protein
astrosit, aquaporin-4. Hal ini sangat membantu pada kecurigaan neuromyelitis
optica. Salah satu keberhasilan diagnosis neuromielitis optika tergantung pada
membedakannya dari MS.
VIII. DIAGNOSA BANDING
1. Multiple sklerosis
MS adalah suatu penyakit autoimmun yang menyerang myelin danmyelin
forming sel pada otak dan medula spinalis, akan tetapi pada MS sebenarnya bukan
suatu autoimmun murni oleh karena tidak adanya antigen respon immun yang
abnormal. Kausa MS terdiri dari:
a. Virus : infeksi retrovirus akan menyebabkan kerusakan oligodendroglia
b. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan heat shock protein
sehingga menyebabkan pelepasan sitokin
c. Defek pada oligodendroglia
d. Diet : berhubungan dengan komposisi membran, fungsi makrofag, sintesa
prostaglandin
e. Genetika : penurunan kontrol respon imun
f. Mekanisme lain : toksin, endokrin, stres
MS merupakan penyakit demielinisasi yang mengenai serebelum, saraf
optikus dan medula spinalis (terutama mengenai traktus kortikospinalis dan
kolumna posterior), secara patologi memberi gambaran plak multipel di susunan
saraf pusat khususnya periventrikuler subtansia alba.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 7
DEVIC’S DISEASE
Gejala Klinis MS:
Kelemahan umum yang biasanya muncul setelah aktivitas minimal,
kelemahan bertambah berat dengan adanya peningkatan suhu tubuh dan.
Kelemahan seperti ini dapat dosertai kekakuan pada ekstermitas sampai
drop foot
Gangguan sensoris, baal, kesemutan, perasaan seperti diikat, ditusuk
jarum
Gangguan serebelum : 50% kasus memberi gejala intension tremor,
ataksia, titubasi kepala, disestesia, dan dikenal sebagai trias dari Charcott:
nistagmus, gangguan bicara, intension tremor
Gangguan batang otak
Gangguan N. Optikus (Neuritis optika)
Gangguan fungsi luhur. fungsi luhur umunya masih dalam batas normal,
akan tetapi pada pemeriksaan neuropsikologi didapatkan perlambatan
fungsi kognisi sampai sedang atau kesulitan menemukan kata.
Karena tidak ada yang spesifik untuk MS, maka diagnosa terutama
berdasarkan adanya remisi dan relaps pada orang muda, dengan lesi multifocal
dan asimetrik pada traktus subtansia alba:
Clinically definite MS.
Terbukti dari riwayat penyakit dan pemeriksaan neurologi terdapat lebih
dari satu lesi atau dua episode gejala dari satu lesi dan bukti lesi pada MRI
atau evoked
Laboratory supported definite MSI.
Terbuktinya ada dua lesi dari riwayat penyakit dan pemeriksaan jika hanya
saru lesi yang terbukti maka lesi lain terbukti dari MRI atau evoked
potensial dan kadar Ig G abnormal
Clinically probable MS
Jika hanya dari pemeriksaan atau anamnesa dan bukan dari keduanya,
terbukti ada lebih dari satu lesi. Jika hanya satu lesi terbukti dari anamnesa
dan hanya satu dari pemeriksaan neurologik, evoked potensial atau adanya
bukti pada MRI lebih lesi dan pemeriksaan IgG CSF normal.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 8
DEVIC’S DISEASE
Penatalaksanaan:
1. Relaps akut:
Metilprednisolon per infus 1 gram/hari selama 7-10 hari, kemudian po(per
oral) prednison 80 mg selama 4 hari kemudian tapering off 40,20,10 mg
masing-masing 4 hari
2. Pencegahan relaps dengan interferon B: efektif untuk mencegah relaps
pada MS, cara pemberian injeksi subkutan, obat ini untuk penderita 2 atau
lebih serangan pada 2 tahun pertama. Sekarang digunakan intarvenous IgG
dengan dosis 0,4 gr/koagulan.hari selama 5 hari, kemudian dibooster 0,4
gr/koagulan/hari setiap 2 bulan dalam 2 tahun.
3. Kronik progresif Dapat diberikan immunosupresan misalnya azahioprin,
methotrexate, cyclophosphamide tetapi sayang hasilnya tidak memuaskan
4. Terapi simtomatis: Bangkitan dapat diberi carbamazepin Nyeri karena
neuralgia trigeminal diberikan carbamazepin, fenitoin, gabapentin,
baclofen + amitriptilin spastisitas diber baclofen
5. Kelemahan umum dapat diberikan anti kolinergik misal ditropan,
propantelin 2-3 x/hari
2. Schilder disease
Schilder myelinoclastic diffuse sclerosis merupakan penyakit demielinasi
sporadis langka yang biasanya menyerang anak-anak antara 5 dan 14 tahun.
Penyakit ini pertama kali dijelaskan oleh Paul Schilder pada tahun 1912 sebagai
sindrom penyakit demielinasi akut yang parah dan fulminan. Terdapat lesi
demielinasi yang luas dari kedua belahan otak dengan berbagai tingkat
cedera aksonal.
Kriteria diagnostik ditetapkan oleh Poser tahun 1985:
Satu atau dua plak yang lebih dari 2 cm diameter dan simetris.
Tidak ada lesi lain yang timbul dan tidak ada kelainan sistem saraf
perifer.
Hasil fungsi ginjal dan serum asam lemak rantai panjang normal.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 9
DEVIC’S DISEASE
Hasil pemeriksaan patologi myelinoclastic sclerosis diffuse yakni
subakut atau kronis.
Gejala klinis yang dapat timbul dari penyakit ini adalah:
Onset penyakit biasanya subakut, tetapi mungkin lebih mendadak.
Sering timbul mendadak setelah suatu penyakit infeksi. Gejala dapat
dimulai dengan sakit kepala, malaise dan demam.
Berbagai kelainan neurologis dapat terjadi, termasuk aphasia, gangguan
memori, mudah marah, kebingungan, disorientasi, dan gangguan perilaku.
Pasien mungkin tampak psikotik.
Ketulian biasa terjadi, defisit batang otak atau cerebellar termasuk
vertigo, kelumpuhan pergerakan mata, nistagmus, kelumpuhan otot wajah,
dysarthria atau disfagia. Kelainan saraf kranial perifer dapat terjadi,
termasuk optik neuritis dan atrofi optik.
Kebutaan kortikal biasa terjadi. Hemiparesis atau defisit sensorik kortikal
mungkin terjadi.
Malnutrisi dan cachexia umumnya dilaporkan pada tahap kronis penyakit.
Pada pemeriksaan tambahan akan ditemukan hal-hal seperti:
Pemeriksaan serum asam lemak rantai panjang dan fungsi ginjal harus
normal, jika tidak diagnosis adrenoleukodystrophy mungkin terjadi.
EEG: kelainan seperti lateralisasi periodik epileptiform discharge
menyarankan diagnosis alternatif SSPE atau rubella progresif
panencephalitis.
Punksi lumbal :
CSF mungkin normal atau mungkin berisi limfosit dan monosit.
Ringan sampai moderat elevasi protein CSF sering ditemukan.
Peningkatan IgG CSF ditemukan dalam 50-60% kasus. Kelainan CSF
pada status imun CSF, seperti oligoclonal band atau elevasi dari CSF
serum indeks IgG atau sintesis rata-rata IgG CSF, lebih mengarah pada
SSPE atau progresif rubella panencephalitis.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 10
DEVIC’S DISEASE
Mengesampingkan etiologi infeksi sangat penting: termasuk kultur
virus pada CSF, secret hidung atau orofaringeal, dan swab dubur.
Titer akut yang akan diuji harus mencakup Brucella spp; Bartonella
spp, Ebstein-Barr virus, cytomegalovirus, Mycoplasma spp. dan virus
herpes.
MRI: menunjukkan satu atau dua lesi besar terimpit di dalam substantia
alba, biasanya pada centrum semiovale. Lesi tambahan di otak atau
sumsum tulang belakang dapat diartikan multiple sclerosis, acute
disseminated encephalomyelitis atau diagnosis alternatif lainnya.
EEG lanjutan: menunjukkan penurunan progresif di latar belakang
organisasi, dengan didominasi tegangan tinggi perlambatan yang tidak
teratur. Kelainan lateralisasi berkala atau gangguan tegangan tinggi
lainnya pseudo-berirama mengarah pada diagnosis SSPE.
Spesimen biopsi otak mungkin diperlukan untuk menyingkirkan infeksi,
tumor, dan vaskulitis atau proses inflamasi.
Penanganan:
Kortikosteroid mungkin efektif pada beberapa pasien.
Tidak ada informasi mengenai khasiat terapi imunomodulator pada
penyakit Schilder seperti yang ditetapkan oleh Poser.
Manajemen penanganan yang paling utama mendukung, termasuk
fisioterapi, terapi okupasi dan dukungan nutrisi pada tahap selanjutnya.
IX. PENATALAKSANAAN
Terapi kortikosteroid intravena (metilprednisolon) 1 gram/hari untuk 3 sampai
5 hari, dengan atau tanpa penurunan dosis berkala prednison oral, dari 1
mg/kg/hari untuk 11 hari umumnya merupakan pengobatan awal untuk serangan
akut neuritisoptik atau myelitis. Pada pasien yang tidak segera tanggap terhadap
pengobatan kortikosteroid, dapat dilakukan terapi plasmapheresis sebanyak 7 kali
(1,0-1,5 volume plasma setiap pertukaran) selama 2 minggu. Dalam serangkaian
observasi dari 6 pasien dengan neuromyelitis optica, 50% tingkat respon klinis
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 11
DEVIC’S DISEASE
yang baik dilaporkan ketika plasmapheresis digunakan untuk mengobati pasien
dengan serangan yang refrakter terhadap terapi kortikosteroid.
Inisiasi dini plasmapheresis dianjurkan, terutama untuk pasien dengan
neuromielitisoptika dengan mielitis serviks parah, yang beresiko tinggi untuk
gagal napas neurogenik. Plasmapheresis juga baik untuk pasien dengan
kehilangan penglihatan akut yang memiliki neuritis optik dan refrakter terhadap
terapi kortikosteroid. Tidak ada percobaan terapeutik terkontrol yang memiliki
spesifitas pada kasus yang dicuriga neuromielitisoptika. Sampai saat ini, sebagian
besar pasien dengan neuromielitisoptika didiagnosis dengan progresif multipel
sklerosis parah dan diobati dengan terapi imunomodulator yang dipercaya dapat
mengurangi frekuensi kambuh pada multipel sklerosis (misalnya, interferon beta
dan glatiramer asetat). Namun pengamatan klinis tidak mendukung keampuhan
obat ini untuk pengobatan neuromielitisoptika.
Terapi maintenance imunosupresif digunakan untuk mengurangi kekambuhan
dari neuromielitisoptika. Temuan studi observasional kecil menunjukkan bahwa
azathioprine (biasanya 2,5-3mg/kg/hari) dalam kombinasi dengan prednison oral
(1,0 mg/kg/hari) mengurangi frekuensi serangan. Hasil laporan pengamatan 1-8
pasien menunjukkan bahwa mitoxantrone, imunoglobulin intravena, dan
rituximab dapat menginduksi remisiklinis neuromielitisoptika pada pasien yang
naif pengobatan atau yang terus kambuh meskipun upaya lain pada imunosupresi.
Gambar 4. Penggunaan immunosupresan pada NMOX. PROGNOSIS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 12
DEVIC’S DISEASE
Pasien-pasien ini rentan terhadap banyak komplikasi dan memerlukan
langkah-langkah untuk mencegah trombosis vena dan emboli paru, infeksi saluran
kemih, dekubitus, dan kontraktur. Pasien dengan sindrom monofasik devic
umumnya memiliki onset simultan atau cepat dari neuritis optik dan mielitis
(interval biasanya kurang dari 1 bulan). Meskipun beberapa memiliki cacat yang
signifikan, banyak yang sembuh dan memiliki sedikit atau tidak ada defisit
neurologi yang bersifat permanen. Pasien diprediksikan untuk myelitis berulang
dan neuritis optik. Sebagian besar pasien dengan kekambuhan NMO memiliki
penyakit yang sangat agresif dengan eksaserbasi sering dan parah dan prognosis
buruk. Kecacatan yang diderita tergantung dari kerusakan dari mielin. Beberapa
individu bisa kehilangan penglihatan di kedua mata dan kelemahan lengan dan
kaki. Kelemahan otot dapat menyebabkan kesulitan bernapas dan mungkin
memerlukan penggunaan ventilasi buatan. Kematian seorang individu dengan
neuromyelitisoptica paling sering disebabkan oleh komplikasi pernapasan dari
serangan myelitis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aminoff MJ, Greenbarg DA, Simon RP. Neuromyelitis Optic. In: Goetz CG, editor. Textbook of Clinical Neurology.3rd edition. San Francisco: McGraw-Hills; 2005. p. 1-4.
2. J. Sellner,M. Boggild, M. Clanet, et al. EFNS guidelines on diagnosis and management of neuromyelitisoptica. In: European Journal of Neurology. 17thedition. 2010. p.1019–1032.
3. Kahle W, Frotscher M. Visual Pathway and Ocular Reflex. In: Kahle W, Frotscher M, editors. Color Atlas of Human Anatomy.3rd edition. New York: Thieme. 2003. p. 354.
4. Baehr M, Frotscher M. Brainstem. In: Baehr M, Frotscher M, editors. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology.4th edition. New York. Thieme. 2005. p. 131.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 13
DEVIC’S DISEASE
5. Rohkamm, R. Normal and Abnormal Function of the nervous System. In: Rohkamm, R . Color Atlas of Neurology . Thieme: NewYork. 2004. p. 80.
6. Nord. 2012. Neuromyelitisoptica (Online), (http://www.rarediseases.org/rare-disease-information/rare-diseases/byID/479/viewFullReport, diakses 21 April 2014).
7. Japardi, I. Multiple sklerosis. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara : Medan. 2002. p. 1-7
8. Ilyas S. Penglihatan Menurun Tanpa Mata Merah. In: Ilyas S, editor. Ilmu Penyakit Mata.3rd edition. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2005.p.181-182.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF 14