diatesis hemoragik aini

38
BAB I PENDAHULUAN Diatesis hemoragik diartikan sebagai keadaan patologi yang timbul karena kelainan faal hemostasis. Gangguan ini secara klinis ditandai dengan perdarahan abnormal yang mungkin spontan atau terjadi setelah suatu kejadian pemicu (misal, trauma atau pembedahan). Dilihat dari patogenesisnya, diathesis hemoragik dapat digolongkan menjadi diathesis hemoragik karena faktor vaskuler atau kelainan di pembuluh darah, karena faktor defisiensi atau disfungsi trombosit, dan diathesis hemoragik karena faktor koagulasi. (1,2) Manifestasi diatesis hemoragik secara umum menunjukan manifestasi perdarahan seperti purpura, ekimosis, mimisan, perdarahan yang sulit berhenti. Hal ini dapat menyebabkan suatu kondisi yang berakhir dengan syok jika bersifat masif. (2) Hemostasis mendasari terjadinya diatesis hemoragik. Hemostasis yang normal tergantung dari keseimbangan yang baik dan nteraksi yang kompleks antar komponennya, yaitu endotelium, trombosit, dan rangkaian koagulasi. Sel endotel mengatur beberapa aspek hemostasis yang acapkali saling bertentangan. Sel-sel endotel dalam keadaan normal memperlihatkan sifat antitombosit, antikoagulan, dan fibrinolitik. Namun sesudah jejas atau aktivasi, sel-sel endotel memperlihatkan fungsi prokoagulan. Keseimbangan antara aktivitas anti dan protrombosis yang dimiliki oleh sel-sel endotel akan menentukan apakah akan terjadi pembentukan 1

Upload: aini-zahra

Post on 02-Dec-2015

1.440 views

Category:

Documents


27 download

TRANSCRIPT

Page 1: diatesis hemoragik aini

BAB I

PENDAHULUAN

Diatesis hemoragik diartikan sebagai keadaan patologi yang timbul karena kelainan faal

hemostasis. Gangguan ini secara klinis ditandai dengan perdarahan abnormal yang mungkin

spontan atau terjadi setelah suatu kejadian pemicu (misal, trauma atau pembedahan). Dilihat

dari patogenesisnya, diathesis hemoragik dapat digolongkan menjadi diathesis hemoragik

karena faktor vaskuler atau kelainan di pembuluh darah, karena faktor defisiensi atau

disfungsi trombosit, dan diathesis hemoragik karena faktor koagulasi.(1,2)

Manifestasi diatesis hemoragik secara umum menunjukan manifestasi perdarahan

seperti purpura, ekimosis, mimisan, perdarahan yang sulit berhenti. Hal ini dapat

menyebabkan suatu kondisi yang berakhir dengan syok jika bersifat masif.(2)

Hemostasis mendasari terjadinya diatesis hemoragik. Hemostasis yang normal

tergantung dari keseimbangan yang baik dan nteraksi yang kompleks antar komponennya,

yaitu endotelium, trombosit, dan rangkaian koagulasi. Sel endotel mengatur beberapa aspek

hemostasis yang acapkali saling bertentangan. Sel-sel endotel dalam keadaan normal

memperlihatkan sifat antitombosit, antikoagulan, dan fibrinolitik. Namun sesudah jejas atau

aktivasi, sel-sel endotel memperlihatkan fungsi prokoagulan. Keseimbangan antara aktivitas

anti dan protrombosis yang dimiliki oleh sel-sel endotel akan menentukan apakah akan terjadi

pembentukan trombus, peningkatan pembentukan trombus, ataukah disolusi trombus.(3)

Fokus anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah menentukan apakah defek yang

dicurigai akuisita atau kongenital (diwariskan) dan mekanisme mana yang tampaknya

berperan (mekanisme primer atau sekunder). Anamnesis harus menentukan letak terjadinya

perdarahan, keparahan, dan lamanya perdarahan, umur awitan, apa saja yang telah dikerjakan

untuk mengendalikan perdarahan, apakah perdarahan spontan atau diimbas, riwayat keluarga,

anamnesis obat, pengalaman pasien dengan trauma terdahulu (misalnya, tindakan bedah,

biopsi, ekstraksi gigi). Pemeriksaan fisik menentukan sifat perdarahan (misalnya petekie,

ekimosis, hematoma, hemartrosis, perdarahan selaput lendir) dan mengidentifikasi tanda-

tanda penyakit primer sistemik. Manifestasi perdarahan khas pada pasien dengan defek

mekanisme hemostasis primer (interaksi trombosit dan pembuluh darah) adalah perdarahan

selaput lendir (misalnya epistaksis, hematuria, menoragia, gastrointestinal), petekie di kulit

dan selaput lendir, dan lesi ekimosis kecil-kecil yang multipel. Tanda perdarahan khas pada

1

Page 2: diatesis hemoragik aini

pasien dengan defek mekanisme hemostasis sekunder (sistem koagulasi) adalah perdarahan-

dalam ke dalam sendi dan otot, lesis ekimosis yang luas dan hematoma.(4)

2

Page 3: diatesis hemoragik aini

BAB II

HEMOSTASIS

Hemostasis adalah istilah kolektif untuk semua mekanisme fisiologi yang digunakan

oleh tubuh untuk melindungi diri dari kehilangan darah. Hemostasis adalah proses tubuh

yang secara simultan menghentikan perdarahan dari tempat cedera, sekaligus

mempertahankan darah dalam keadaan cair di dalam komponen vaskular. (1) Sistem

hemostasis berfungsi memulai pembekuan darah dan menghentikan perdarahan.Koagulasi

merupakan proses merubah darah menjadi bekuan darah seperti agar.Sistem hemostasis juga

mencegah pembekuan yang tidak diinginkan dan trombosis. Kelainan pada hemostasis dapat

menimbulkan perdarahan atau trombosis.(3)

Hemostasis yang normal tergantung dari keseimbangan yang baik dan nteraksi yang

kompleks antar komponennya, yaitu endotelium, trombosit, dan rangkaian koagulasi. Sel

endotel mengatur beberapa aspek hemostasis yang acapkali saling bertentangan. Sel-sel

endotel dalam keadaan normal memperlihatkan sifat antitombosit, antikoagulan, dan

fibrinolitik. Namun sesudah jejas atau aktivasi, sel-sel endotel memperlihatkan fungsi

prokoagulan. Keseimbangan antara aktivitas anti dan protrombosis yang dimiliki oleh sel-sel

endotel akan menentukan apakah akan terjadi pembentukan trombus, peningkatan

pembentukan trombus, ataukah disolusi trombus.(3)

Rangkaian peristiwa pada hemostasis pada lokasi jejas vaskular secara umum,yaitu: (3,5)

Setelah jejas awal terjadi terdapat periode vasokonstriksi arteriol yang singkat,

yang sebagian besar disebabkan oleh mekanisme refleks neurogenik dan

diperkuat oleh sekresi faktor lokal, seperti endotelin (vasokontriktor kuat yang

berasal dari endotel). Namun efeknya berlangsung sesaat, dan perdarahan akan

terjadi kembali karena efek ini tidak dimaksudkan untuk mengatasi trombosit

dan sistem pembekuan. (gambar 1.A)

Jejas endotel juga membongkar matriks ekstraseluler (ECM) subendotel yang

sangat trombogenik., yang memungkinkan trombosit menempel dan menjadi

aktif, yaitu mengalami suatu perubahan bentuk dan melepaskan granula

sekretoris. Dalam beberapa menit, produk yang disekresikan telah merekrut

3

Page 4: diatesis hemoragik aini

trombosit tambahan (agregasi) untuk membentuk sumbat hemostatik. Kejadian

ini merupakan proses hemostasis primer. (gambar 1.B)

Faktor jaringan, suatu faktor prokoagulan dilapisi membran yang disintesis oleh

endotel, juga dilepaskan pada lokasi jejas. Faktor ini bekerja bersama dengan

faktor trombosit yang disekresikan untuk mengaktifkan kaskade koagulasi, dan

berpuncak pada aktivitas trombin. Selanjutnya trombin akan memecah

fibrinogen dalam sirkulasi menjadi fibrin tidak terlarut, menghasilkan suatu

deposisi anyaman fibrin. Trombin juga menginduksi rekruitmen trombosit dan

pelepasan granula lebih lanjut. Rangkaian hemostasis sekunder ini memerlukan

waktu lebih lama dibandingkan dengan pembentukan trombosit awal. (gambar

1.C)

Fibrin terpolimerisasi dan agregat trombosit membentuk suatu sumbat

permanen yang keras untuk mencegah perdarahan lebih lanjut. Pada tahapan ini,

mekanisme kontraregulasi (misalnya aktivator plasminogen jaringan (t-PA)

digerakan untuk membatasi sumbat hemostatik pada lokasi jejas. (Gambar 1.D)

Gambar 1.(3)

Endotel

Sel endotel mengatur beberapa aspek (dan seringkali berlawanan) hemostasis normal.

Di satu sisi, pada tingkatan dasar sel ini menunjukan adanya perangkat antitrombosit,

4

Page 5: diatesis hemoragik aini

antikoagulan, dan fibrinolisis; di sisi lain, sel ini mampu menunjukan fungsi prokoagulan

setelah mengalami cedera atau aktivasi Endotel dapat diaktifkan oleh agen infeksi, faktor

hemodinamik, mediator plasma, dan oleh sitokin. Keseimbangan antara aktivitas anti

trombosis dan protrombosis endotel menentukan terjadinya pembentukan, perbanyakan, atau

penghancuran trombus (Gambar 2.).(3)

Suatu endotel utuh mencegah trombosit bertemu dengan ECM endotel yang sangat

trombogenik. Trombosit nonaktif tidak menempel pada endotel. Selain itu jika diaktifkan,

trombosit tersebut dihambat oleh prostasiklin endotel (PGI2) dan nitrit oksida agar tidak

menempel pada endotel di sekelilingnya yang tidak cedera. Kedua mediator ini merupakan

vasodilator kuat dan inhibitoragregasi trombosit . Sintesisnya oleh sel endotel dirangsang

oleh sejumlah faktor (misalnya, trombin dan sitokin) yang dihasilkan selama pembekuan. Sel

endotel juga menghasilkan adenosine difosfatase, yang memecah adenosin difosfat (ADP)

dan selanjutnya menghambat agregasi trombosit (sifat anti trombosis endotel).(3,6)

Sifat antikoagulan endotel diperantarai oleh molekul mirip heparin yang mempunyai

membran dan trombomodulin, yaitu reseptor trombin spesifik. Molekul menyerupai heparin

bekerja secara tidak langsung, molekul menyerupai heparin bekerja secara tidak langsung,

molekul tersebut merupakan kofaktor yang memungkinkan antitrombin III untuk

menginaktivasi trombin, faktor Xa, dan beberapa faktor pembekuan lainnya. Trombomodulin

juga bekerja secara tidak langsung, reseptor ini berikatan dengan trombin, mengubahnya dari

prokoagulan menjadi antikoagulan yang mampu mengaktivasi protein C antikoagulan.

Selanjutnya protein C aktif menghambat pembekuan melalui pemecahan proteolitik faktor Va

danVIIIa. Selain sifat anti trombosis dan anti koagulan, endotel juga mempunyai sifat

fibrinolisis. Sel endotel menyintesis t-PA, yang meningkatkan aktivitas fibrinolisis untuk

membersihkan deposit fibrin dari endotel.(3,6)

Gambar 2.(3)

5

Page 6: diatesis hemoragik aini

Sementara sel endotel menunjukan sifat yang dapat membatasi pembekuan darah, sel

tersebut juga bersifat protrombosis, yang memengaruhi trombosit, protein pembekuan, dan

sistem fibrinolisis. Jejas endotel menimbulkan adhesi trombosit pada kolagen subendotel, hal

ini dipermudah oleh faktor vonWillebrand (vWF), suatu kofaktor penting untuk mengikatkan

trombosit pada kolagen dan permukaan lain. Faktor Von Willebrand merupakan produk

endotel normal yang ditemukan dalam plasma, faktor ini tidak disintesis secara khusus

setelah terjadi jejas endotel. Sel endotel diinduksi pula oleh sitokin (misal TNF dan IL-1)

untuk menyekresi faktor jaringan, yang mengaktivasi jalur pembekuan eksterinsik. Dengan

berikatan pada faktor pembekuan Ixa dan Xa aktif, sel endotel lebih lanjut meningkatkan

aktivitas katalitik protein ini. Akhirnya, sel endotel juga menyekresi inhibitor aktivator

plasminogen (PAI) yang menekan fibrinolisis. (3,5,6)

Sebagai simpulan dari sifat-sifat endotel, sel endotel yang utuh terutama berfungsi

menghambat perlekatan trombosit dan pembekuan darah. Namun, jejas atau aktivasi sel

endotel menghasilkan suatu fenotipe prokoagulan yang berperan dalam pembentukan bekuan

terlokalisasi.(3)

Trombosit

6

Page 7: diatesis hemoragik aini

Trombosit berperan penting dalam hemostasis normal. Pada saat dalam darah,

trombosit merupakan cakram halus dilapisi membran yang mengeluarkan sejumlah reseptor

glikoprotein kelompok integrin. Trombosit mengandung tipe granula yang spesifik. Granula-

α mengeluarkan molekul adhesi selektin-P pada membrannya dan mengandung fibrinogen,

fibronektin, faktor V dan VII, faktor 4 trombosit (kemokin pengikat heparin), aktor

pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF), serta transforming growth factor-α (TGF-

α). Granula lain merupakan benda padat (dense bodies), atau granula δ, yang mengandung

adenin nukleotida (ADP dan ATP), kalsium terionisasi, histamin, serotonin, dan epinefrin.(3)

Setelah terjadi jejas vaskular, trombosit bertemu dengan unsur ECM yang biasanya

tersimpan di bawah endotel yang utuh, unsur ini meliputi kolagen, proteoglikan, fibronektin,

dan glikoprotein adhesif lain. Saat bertemu dengan ECM, trombosit memiliki tiga reaksi

umum, yaitu adhesi dan perubahan bentuk, sekresi, dan agregasi. (Gambar 1.B)(3)

Adhesi trombosit pada ECM terutama diperentarai oleh interaksi dengan faktor Von

Willebrand, yang bertindak sebagai jembatan antara reseptor permukaan trombosit (misalnya,

glikoprotein Ib dan kolagen yang terpajan (Gambar 3.). Meskipun trombosit dapat melekat

langsung pada ECM, hubungan vWF-glikoprotein1b merupakan satu-satunya interaksi yang

cukup kuat untuk mengatasi daya gusur yang kuat dari darah yang sedang mengalir.(3)

Gambar 3.(3)

Sekresi kandungan kedua tipe granula terjadi setelah perlekatan.Proses tersebut dimulai

dengan pengikatan agonis pada reseptor permukaan trombosit yang diikuti dengan kaskade

7

Page 8: diatesis hemoragik aini

fosforilasi intrasel. Pelepasan kandungan benda padat tersebut sangat penting karena kalsium

diperlukan dalam kaskade pembekuan, dan ADP merupakan suatu mediator agregasi

trombosit yang poten. ADP juga meningkatkan pelepasan ADP lebih lanjut dari trombosit

lain, yang mengakibatkan pengerasan agregasi. Akhirnya, aktivasi trombosit menghasilkan

pengeluaran kompleks fosfolipid permukaan yang menyediakan suatu tempat yang penting

untuk nukleasi serta tempat pengikatan kalsium dan menghasilkan faktor pembekuan pada

jalur pembekuan interinsik.(3,5)

Agregasi trombosit terjadi setelah adhesi dan sekresi. Selain ADP, vasokonstriktor

tromboksan A2 (TXA2) yang disekresi oleh trombosit, juga merupakan rangsang penting

untuk agregasi trombosit. ADP dan TXA2 memulai suatu reaksi autokatalitik yang

mengakibatkan pembentukan agregat trombosit yang semakin membesar, yaitu sumbat

hemostatik primer. Agregasi primer ini bersifat reversibel., tetapi dengan mengaktifkan

kaskade pembekuan, trombin akan dihasilkan. Trombin berikatan pada reseptor permukaan

trombosit, dan bersama dengan ADP serta TXA2 akan menyebabkan agregasi yang lebih

lanjut. Kejadian ini diikuti dengan penyusutan trombosit, yang menghasilkan masa trombosit

yang menyatu secara ireversibel membentuk sumbat hemostatik sekunder definitif. Pada saat

yang sama, trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin di dalam dan di sekitar sumbat

trombosit, terutama untuk memperkuat trombosit pada tempatnya.(3)

Fibrinogen juga penting dalam agregasi trombosit. Aktivasi ADP trombosit

menginduksi perubahan konformasional reseptor GpIIb-IIIa pada permukaan trombosit

sehingga dapat mengikat fibribogen. Fibrinogen kemudian bekerja dengan menggabungkan

trombosit untuk membuat agregat besar.(3)

Perlu ditekankan bahwa prostaglandin PGI2 (disintesis oleh endotel) merupakan

vasodialtor dan menghambat agregasi trombosit, sedangkan TXA2 merupakan prostaglandin

yang berasal dari trombosit dan merupakan vasokonstriktor kuat. Saling memengaruhi antara

PGI2 dan TXA2 menghasilkan suatu mekanisme seimbang untuk mengatur fungsi trombosit

pada manusia. Dalam keadaan normal, mekanisme ini mencegah agregasi trombosit

intravaskular, tetapi setelah terjadi jejas endotel, mekanisme ini membantu pembentukan

sumbat hemostatik.(3,5)

Baik eritrosit maupun leukosit ditemukan pula pada sumbat hemostatik. Leukosit

melekat pada trombosit dan endotel melauli molekul adhesi dan turut berperan pada proses

peradangan yang menyebabkan trombosis. Trombin juga berperan melalui perangsangan

8

Page 9: diatesis hemoragik aini

adhesi netrofil dan monosit secara langsung, dan menghasilkan produk pecahan fibrin yang

berasal dari fibrinogen.(6)

Kaskade Pembekuan

Kaskade pembekuan merupakan komponen ketiga dari proses hemostasis (Gambar. 4.)(3)

Gambar 4.(3)

Kaskade pembekuan pada dasarnya merupakan suatu rangkaian perubahan enzimatik,

yang mengubah proenzim inaktif menjadi enzim aktif dan memuncak pada pembentukan

trombin. Trombin kemudian mengubah fibrinogen protein plasma yang dapat larut menjadi

fibrin protein fibrosa yang tidak dapat larut.(3,6)

9

Page 10: diatesis hemoragik aini

Setiap reaksi dalam jalur pembekuan berasal dari perakitan kompleks yang tersusun

atas enzim (faktor koagulasi teraktivasi), substrat (bentuk proenzim faktor koagulasi), dan

kofaktor (pemercepat reaksi). Komponen ini terpasang pada kompleks fosfolipid dan

dipersatukan oleh ion kalsium. Oleh karena itu, pembekuan cenderung terlokalisasi pada

tempat terjadinya perakitan semacam itu, misalnya pada permukaan trombosit aktif.(3,5)

Selain mengatalisis tahap akhir dalam kaskade pembekuan, trombin juga menunjukkan

berbagai macam efek terhadap pembuluh darah dan peradangan lokal, trombin secara aktif

bahkan turut berperan dalam membatasi luasnya proses hemostasis. Sebagian besar efek yang

diperentarai oleh trombin ini terjadi melalui reseptor trombin-tujuh protein pengikat

transmembran yang berpasangan dengan protein G. Mekanisme aktivasi reseptor melibatkan

pemotongan ujung reseptor trombin melalui aksi proteolisis trombin. Hal ini menghasilkan

suatu peptida tertambat yang berikatan pada sisa reseptor dan menyebabkan perubahan

konformasional yang diperlukan untuk mengaktivasi protein G yang menyertai. Oleh karena

itu, interaksi antara trombin dan reseptornya pada dasarnya merupakan proses katalis, yang

menjelaskan potensi yang mengesankan molekul trombin aktif walaupun dalam jumlah yang

relatif kecil dalam menghasilkan berbagai efek pada rangkaian berikutnya.(3)

Sekali diaktivasi, kaskade pembekuan harus terbatas pada tempat lokal cedera vaskular

untuk mencegah penggumpalan pada seluruh pembuluh darah. Selain membatasi aktivasi

faktor pada tempat fosfolipid yang terpajan, penggumpalan juga dikendalikan oleh

antikoagulan alami, yaitu antitrombin (misalnya, antitrombin III) menghambat aktivitas

trombin dan protease serum lainnya (faktor IXa, Xa, Xia, XIIa). Antitrombin III diaktivasi

melalui pengikatan terhadap molekul serupa heparin pada sel endotel. Selain antitrombin,

terdapat protein C dan S yang bergantung pada vitamin K yang menginaktifkan kofaktor Va

dan VIIIa.(3,5)

Selain menginduksi pembekuan, aktivasi kaskade pembekuan juga menggerakkan

kaskade fibrinolisis yang akan membatasi ukuran bekuan akhir. Hal ini terutama dilakukan

melalui aktivasi plasmin. Plasmin berasal dari penguraian enzimatik plasminogen

prekursornya yang inaktif di dalam darah., baik melalui jalur yang bergantung faktor XII

maupun melalui aktivator plasminogen. Plasminogen jaringan (t-PA) terutama disintesis oleh

sel endotel dan menjadi paling aktif jika melekat pada fibrin. Plasmin memecah fibrin dan

mengganggu polimerasinya (Gambar 5.). Produk pecahan fibrin (FSP) yang dihasilkan dapat

pula bertindak sebagai antikoagulan lemah. Setiap plasmin bebas segera membentuk

10

Page 11: diatesis hemoragik aini

kompleks dengan antiplasmin-α2 yang beredar dalam darah dan diinaktifkan sehingga

plasmin yang berlebih tidak melisiskan bekuan darah di mana pun di dalam tubuh.(3)

Gambar 5.(3)

Sel endotel mengatur lebih lanjut keseimbangan pembekuan dan antipembekuan

dengan melepaskan inhibitor aktivator plasminogen (PAI) yang dapat memblokade

fibrinolisis dan menghasilkan suatu efek propembekuan secara keseluruhan (Gambar 5.). PAI

tersebut ditingkatkan oleh sitokin tertentu dan mungkin berperan dalam trombosis

intravaskular yang menyertai inflamasi berat.(3)

BAB III

DIATESIS HEMORAGIK

11

Page 12: diatesis hemoragik aini

Diatesis hemoragik diartikan sebagai keadaan patologi yang timbul karena kelainan faal

hemostasis. Keadaan ini menyebabkan peningkatan resiko terjadinya perdarahan. Dilihat dari

patogenesisnya maka diathesis hemostatis hemoragik dapat digolongkan menjadi diathesis

hemoragik karena faktor vaskuler, karena faktor trombosit, dan diathesis hemoragik karena

faktor koagulasi.(1,2)

Berbagai pemeriksaan yang digunakan dalam evaluasi awal pasien dengan gangguan

perdarahan adalah (1) waktu perdarahan/bleeding time mencermikan watu yang diperlukan

pada pungsi kulit untuk menghentikan perdarahan, (2) hitung trombosit, (3) waktu

protrombin atau PT yang diukur dalam detik guna menguji keadekuatan jalur pembekuan

eksterinsik dan umum yang mencerminkan waktu yang dibutuhkan plasma untuk membeku,

(4) waktu tromboplastin parsial atau PTT guna menguji pembekuan interinsik dan umum.(1,7)

Bagan 1.(4)

Kelainan pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan melalui berbagai cara.

Meningkatnya fragilitas pembuluh disebabkan oleh defisiensi berat vitamin C (scurvy),

amiloidosis sistemik, pemakaian glukokortikoid jangka panjang, penyakit herediter yang

jarang mengenai jaringan ikat, dan sejumlah besar vaskulitis, dan infeksiosa. Selain itu,

12

Page 13: diatesis hemoragik aini

peningkatkan kerapuhan pembuluh darah terdapat pada meningokoksemia, endokarditis

infektif, penyakit riketsia, tifoid, dan purpura Henoch Schonlein. Diatesis hemoragik yang

murni disebabkan oleh fragilitas vaskular ditandai oleh (1) petekie dan ekimosis yang

tampaknya muncul spontan di kulit dan selaput lendir (mungkin akibat trauma ringan), (2)

hitung trombosit dan uji koagulasi (PT,APTT) yang normal, dan (3) waktu perdarahan yang

biasanya normal. Selain itu, seperti yang akan dibahas selanjutnya, koagulopati konsumtif

kadang-kadang berakar pada penyakit sistemik yang menyebabkan permukaan sel endotel

memudahkan terjadinya trombosis.(1,2,7)

Defisiensi trombosit (trombositopenia) merupakan penyebab penting perdarahan.

Defisiensi trombosit dapat terjadi pada berbagai kondisi klinis yang akan dibahas kemudian.

Terdapat gangguan dengan fungsi trombosit terganggu walaupun jumlahnya normal. Cacat

kualitatif tersebut mungkin didapat, seperti pada uremia, konsumsi aspirin, atau diwarisi

seperti penyakit Von Willebrand. Trombositopenia dan disfungsi trombosit serupa dengan

peningkatan fragilitas pembuluh darah, yaitu terdapat petekie dan ekimosis, serta mudah

memar, mimisan, perdarahan berlebihan akibat trauma ringan, dan menoragia. Demikian juga

PT dan APTT normal, tetapi berbeda dengan gangguan vaskular, waktu perdarahan selalu

memanjang. (1,2,7)

Diatesis perdarahan yang semata-mata disebabkan oleh gangguan pembekuan darah

berbeda dalam beberapa aspek yang disebabkan oleh kelainan dinding pembuluh darah atau

trombosit. PT, APTT, atau keduanya memanjang, sedang waktu perdarahan normal. Petekie

dan tanda lain perdarahan akibat trauma ringan biasanya tidak ditemukan. Namun dapat

terjadi perdarahan masif setelah prosedur operatif atau trauma berat. Selain itu, yang khas

adalah perdarahan pada bagian tubuh yang terkena trauma, seperti sendi ekstremitas bawah.(1,2,7)

A. Purpura Henoch Schonlein

Purpura Henoch Schonlein (HSP) merupakan kelainan inflamasi yang ditandai oleh

vaskulitis generalisata pada pembuluh darah kecil di kulit, saluran cerna, ginjal, sendi, dan

meskipun jarang dapat di paru dan susunan saraf pusat. Purpura Henoch Schonlein

merupakan vaskulitis yang sering terjadi pada anak-anak. Etiologinya belum diketahui,

diperkirakan beberapa faktor berperan, yaitu genetik, lingkungan, dan diperkirakan reaksi

autoimun yang diperantarai imunoglobulin A.(8)

a. Epidemiologi

13

Page 14: diatesis hemoragik aini

Penyakit ini ditemukan di temukan pada usia beberapa bulan hingga usia belasan tahun.

Sebesar 50% anak-anak yang terkena adalah di bawah usia 5 tahun dan sekitar 75%

berusia di bawah 10 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa 10-20,4 per 1000 anak

menderita HSP. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan yang menderita

HSP adalah 2:1(8,9)

b. Manifestasi klinis

Penyakit ini dapat dimulai dengan gejala prodromal demam, nyeri kepala, dan

anoreksia. Kemudian muncul lesi kulit, nyeri perut, edema perifer, muntah, dan atau tanpa

disertai artritis. Erupsi kulit akan berlangsung kira-kira 3 minggu. Gejala saluran cerna

dialami oleh 85% kasus, umumnya berupa nyeri perut kolik. Artritis ditemukan pada 75%

kasus. Keterlibatan ginjal ditemukan pada 30-35% kasus dan dapat menetap hingga 6 bulan

kemudian. Gejala yang muncul adalah hematuria ringan, proteinuri, oligouri, hingga gagal

ginjal.(8,9)

Gambar 6.(8)

c. Kriteria Diagnosis

14

Page 15: diatesis hemoragik aini

Menurut American College of Rheumatology, diagnosis Purpura Henoch Schonlein

dapat ditegakkan bila memenuhi minimal 2 dari 4 gejala berikut, yaitu :(10)

Onset pertama terjadi pada usia ≤ 20 tahun

Purpura non trombositopenia yang dapat dipalpasi

Angina abdominal

Pada biopsi ditemukan granulosit pada dinding arteriol atau venula

Menurut European League Against Rheumatism, diagnosis Purpura Henoch dapat

ditegakkan bila terdapat :(8)

Purpura yang dapat dipalpasi

Diikuti minimal satu gejala berikut : nyeri perut difus, deposisi IgA yang

predominan pada biopsi kulit, artritis akut dan kelainan ginjal (hematuri dan

atau proteinuria)

d. Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk purpura Henoch Schonlein.

Pada pemeriksaan darah tepi lengkap dapat menunjukkan leukositosis dengan eosinofilia dan

pergeseran hitung jenis ke kiri. Trombositosis dijumpai pada 67% pasien. Laju endap darah

tidak selalu meningkat.Urinalisa menunjukkan hematuria, kadang-kadang dapat dijumpai

proteinuria. Pada pemeriksaan fungsi ginjal, ureum kreatinin mungkin meningkat.(4,8)

e. Tatalaksana

Pada dasarnya tidak ada pengobatan yang spesifik untuk PHS. Tindakan suportif

diberikan sesuai dengan kondisi klinis saat itu. Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan obat

golongan NSAIDs seperti ibuprofen atau parasetamol 10 mg/kgBB. Jika terjadi edema

tungkai, dilakukan elevasi tungkai. Beri diet lunak selama terdapat keluhan perut seperti

muntah dan nyeri perut.(4,8)

Pertimbangkan pemberian kortikosteroid pada kondisi yang sangat berat seperti

sindrom nefrotik menetap, edema, perdarahan saluran cerna, nyeri abdomen berat,

keterlibatan susunan saraf pusat dan paru. Lama pemberian berbeda-beda. Faeda memakai

metilprednisolon 250-750 mg intravena per hari selama 3-7 hari dikombinasikan dengan

siklofosfamid 100-200 mg per hari untuk fase akut pada PHS yang berat. Dilanjutkan dengan

pemberian kortikosteroid dan siklofosfamid selama 30-75 hari selang sehari; sebelum

akhirnya siklofosfamid dihentikan langsung, dan tappering off steroid hingga 6 bulan.(4,8)

B. Trombositopenia

15

Page 16: diatesis hemoragik aini

Rentang hitung jumlah trombosit normal berkisar antara 150 - 450 x 103/μL. Risiko

perdarahan tidak akan meningkat sampai penurunan jumlah trombosit yang signifikan hingga

dibawah 100 x 103/ μL. Jumlah trombosit lebih besar dari 50 x 103/ μL cukup untuk

kelangsungan hemostasis dalam sebagian besar situasi. Pasien dengan trombositopenia

sedang, dengan jumlah trombosit antara 30 sampai 50 x 103/ μL jarang mengalami gejala

(seperti mudah lecet atau berdarah), bahkan dengan trauma yang signifikan. Pasien yang

secara persisten hitung trombositnya antara 10 - 30 x 103/ μL kadangkala juga tanpa gejala

dengan aktivitas keseharian yang normal namun memiliki risiko perdarahan berlebihan pada

trauma yang signifikan. Perdarahan spontan tidak akan terjadi kecuali hitung trombositnya

kurang dari 10 x 103/ μL. Pasien seperti ini biasanya mengalami ptekie dan lecet, namun

bahkan kadangkala juga asimptomatik. Pada sebagian besar kasus, terlihat bahwa jumlah

trombosit harus kurang dari 5 x 103/ μL untuk menyebabkan perdarahan kritis spontan

(seperti perdarahan intracranial tanpa disebabkan trauma).(1,11)

Trombositopenia terjadi karena satu atu lebih dari tiga proses berikut, 1) penuruan

produksi oleh sumsum tulang, 2) sekuestrasi, biasa terjadi pada pembesaran limpa, 3)

peningkatan destruksi trombosit.(2,11)

C. Purpura Trombositopenia Imun (PTI)

a. Definisi

Purpura Trombositopenia Imun (PTI) atau morbus Wirholf dahulu dikenal dengan

Purpura Trombositopenia Idiopatik merupakan suatu kelainan didapat yang berupa gangguan

autoimun yang mengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya penghancuran trombosit

secara dini dalam sistem retikuloendotelial akibat adanya autoantibodi terhadap trombosit

yang biasanya berasal dari Immunoglobulin G. Kata trombositopenia menunjukan bahwa

terdapat angka trombosit yang rendah, sedangkan kata purpura berasal dari suatu deskripsi

akan kulit yang berwarnalebam karena gejala penyakit ini, warna ungu pada kulit disebabkan

oleh merembesnya darah di bawah kulit. Oleh karena itu penyakit ini merupakan suatu

sindrom klinis berupa manifestasi perdarahan (purpura, petekie, perdarahan retina, atau

perdarahan nyata lain) disertai trombositopenia menetap (angka trombosit darah perifer

kurang dari 150.000/mL). Masa hidup trombosit normal adalah sekitar 7 hari, tetapi

memendek pada ITP menjadi berkisar 2-3 hari sampai beberapa menit.(2,11)

b. Epidemiologi

16

Page 17: diatesis hemoragik aini

Berdasarkan onset penyakit, PTI dibedakan menjadi tipe akut bila kejadiaanya kurang

atau sama dengan 6 bulan (umumnya terjadi pada anak-anak) dan kronik bila lebih dari 6

bulan (umumnya terjadi pada orang dewasa). Insidensi PTI pada anak antara 4,0-5,3 per

100.000. PTI akut umumnya terjadi pada anak-anak usia 2-6 tahun.Sebesar 7-28% anak-anak

dengan PTI akut berkembang menjadi kronik. Ratio antara perempuan dan laki-laki adalah

1:1 pada penderita PTI akut, sedang pada penderita PTI kronik adalah 2:1.(2,8,11)

PTI akut lebih sering dijumpai pada anak-anak, jarang pada dewasa, onset penyakit

biasanya mendadak, riwayat infeksi mengawali terjadinya perdarahan berulang, sering

dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan penyakit saluran napas yang

disebabkan oleh virus merupakan 90% dari kasus pediatrik trombositopenia imunologik.

Virus yang paling banyak diidentifikasikan adalah varicella zooster dan eibsten barr.

Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranial terjadi

kurang dari 1% pasien. PTI akut pada anak biasnaya self limiting, remisi spontan terjadi pada

90% penderita, 60% sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.(2,8,11)

c. Manifestasi Klinis

Pada umumnya berat dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit.

Secara umum hubungan antara jumlah trombosit dan gejala antara lain bila pasien dengan

trombosit > 50.000/mL maka biasanya asimtomatik, trombosit 30.000-50.000 /mL terdapat

luka memar/hematom, trombosit 10.000-30.000 /mL terdapat perdarahan spontan, menoragi,

dan perdarahan memanjang bila luka, trombosit < 10.000 /mL terjadi perdarahan mukosa

(epistaksis, perdarahan gastrointestinal, dan genitourinaria) dan resiko perdarahan sistem

saraf pusat.(2,11)

d. Pemeriksaan Fisik

Pada umumnya pasien ITP tampak sehat, namun tiba-tiba mengalami perdarahan pada

kulit (petekie atau purpura) atau pada mukosa hidung (epistaksis). Perlu juga dicari riwayat

tentang penggunaan obat atau bahan lain yang dapat menyebabkan trombositopenia (Tabel

1.). Riwayat keluarga umumnya tidak didapatkan. Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya

didapatkan bukti adanya perdarahan tipe trombosit (platelet-type bleeding), yaitu petekie,

purpura, perdarahan konjungtiva, atau perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan

kemungkinan suatu penyakit lain, jika ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa,

meskipun ujung limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10% anak dengan ITP.(2,11)

Gambar 7.(12)

17

Page 18: diatesis hemoragik aini

Tabel 1.(11)

e. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan darah lengkap, selain trombositopenia, hitung darah lain normal.

Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk menyngkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan

hematologi lain. Megatrombosit sering terlihat pada pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan

sumsum tulang hanya dianjurkan pada kasus-kasus yang tidak khas, yaitu pada riwayat

penyakit dan pemeriksaan fisik yang tidak umum (misalnya demam, penurunan berat badan,

kelemahan, nyeri tulang, pembesaran hati dan atau limpa), kelainan eritrosit dan leukosit

pada pemeriksaan darah tepi, kasus yang akan diobati dengan steroid, baik sebagai

pengobatan awal atau yang gagal diterapi dengan imunoglobulin intravena.(11)

f. Tatalaksana

18

Page 19: diatesis hemoragik aini

Tata laksana ITP pada anak meliputi tindakan suportif dan terapi farmakologis.

Tindakan suportif merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan ITP pada anak,

diantaranya membatasi aktifitas fisik, mencegah perdarahan akibat trauma, menghindari obat

yang dapat menekan produksi trombosit atau merubah fungsinya (tabel 1.), dan yang tidak

kalah pentingnya adalah memberi pengertian pada pasien dan atau orang tua tentang

penyakitnya.(12,13)

Sebagian besar kasus ITP pada anak tidak perlu dirawat di rumah sakit, oleh karena

dapat sembuh sempurna secara spontan dalam waktu kurang dari 6 bulan. Pada beberapa

kasus ITP pada anak didapatkan perdarahan kulit yang menetap, perdarahan mukosa, atau

perdarahan internal yang mengancam jiwa yang memerlukan tindakan atau pengobatan

segera. Transfusi trombosit jarang dilakukan dan biasanya tidak efektif, karena trombosit

yang ditransfusikan langsung dirusak.(14,15,16,17)

Pada divisi Hematologi IKA FKUI/RSCM semua pasien ITP dirawat karena

dikuatirkan timbulnya perdarahan intrakranial. Jika saat masuk disertai perdarahan

(epistaksis, perdarahan gusi, melena, perdarahan kulit yang luas), maka pengobatan diberikan

seperti pasien ITP kronis yaitu prednison 2 mg/kgbb selama 3-6 bulan dan suspensi trombosit

bila diperlukan. Bila belum sembuh selama 3-6 bulan, maka pengobatan prednison diberikan

bersama azathiophrine (imuran) 1-2 mg/kgbb. Bila belum sembuh juga, maka

dipertimbangkan tindakan splenektomi.(18)

D. Penyakit Von Willebrand

a. Definisi

Penyakit Von Willebrand (PVW) adalah kelainan perdarahan herediter disebabkan oleh

defisiensi faktor Von Willebrand (FVW). FVW adalah suatu glikoprotein yang memiliki

fungsi memudahkan adhesi trombosit dengan menghubungkan reseptor membran trombosit

ke subendotel pembuluh darah dan sebagai pembawa plasma bagi faktor VIII. Penyakit Von

Willebrand merupakan kelainan perdarahan kronis yang ditandai dengan agregasi trombosit

maupun pembentukan pembekuan tidak terjadi. Penyakit ini diturunkan secara autosomal

dominan.(1,4)

b. Klasifikasi

Terdapat 3 varian utama PVW, masing-masing berbeda dalam beratnya gejala. PVW

juga disebut sebagai pseudohemofilia atau hemofilia vaskular. PVW disebabkan oleh

kelainan kuantitatif dan atau kualitatif FVW (Tabel 2.).(19,20)

Tabel 2.(20)

19

Page 20: diatesis hemoragik aini

Revised Classification of vWD tahun 1994 (Tabel 2.) membagi PVW menjadi dua

kategori utama yaitu kelainan kuantitas (tipe 1 dan tipe 3) atau kualitas FVW (tipe 2). PVW

tipe 1 ditandai defisiensi parsial FVW di plasma dan atau trombosit. PVW tipe 3 tidak

didapatkan FVW di plasma dan atau trombosit. PVW tipe 1 dan tipe 3 dibedakan menurut

derajat defisiensi FVW plasma (tipe 1 derajat defisiensi lebih ringan, antara 20–40 U/dl), pola

pewarisan otosomal dominan dan gejala perdarahan lebih ringan.(4)

c. Manifestasi Klinis

Gejala paling sering terjadi meliputi perdarahan gusi, hematuri, epistaksis, perdarahan

saluran kemih, darah dalam feses, mudah memar, menoragia. Pasien dengan kadar faktor VIII

yang sangat rendah bahkan dapat menunjukan hemartrosis dan perdarahan jaringan dalam

tubuh. Seringkali gambaran kelainan itu tidak nyata sampai terdapat faktor pemberat seperti

trauma atau pembedahan.(2,4)

d. Diagnosis

Diagnosis PVW memerlukan kecurigaan terhadap gambaran klinis tingkat tinggi dan

kecakapan pemanfaatan laboratorium. Bila pasien dalam keadaan kritis, sulit menetapkan

diagnosis yang tepat. Bila PVW dianggap merupakan faktor penunjang pada perdarahan

pasien, lebih dahulu harus diobati secara empiris dan penelusuran laboratoris yang rumit

ditunda sampai pasien secara klinis stabil dan tidak mendapat produk darah dan obat selama

beberapa minggu.(2)

Untuk evaluasi terdapatnya PVW harus mencakup pemeriksaan Bleeding Time (BT),

hitung trombosit, PT, APTT. PVW ringan tipe 1 biasanya hasil pemeriksaan normal. Bila

penyakit lebih berat BT memanjang antara 15-30 menit sedang hitung trombosit normal.

Pasien dengan defisiensi berat FWV atau kelainan faktor VIII mengikat FWV berakibat

pemanjangan APTT sekunder akibat menurunnya kadar faktor VIII dalam plasma. Untuk

menetapkan diagnosis diperlukan pemeriksaan khusus kadar FVW dan fungsinya.(4)

20

Page 21: diatesis hemoragik aini

e. Tatalaksana

Secara umum terapi PVW meliputi pemberian obat, transfusi darah, dan menghindari

keadaan yang dapat menyebabkan rudapaksa. Terapi terdiri dari penggantian FVW dengan

menggunakan plasma beku segar (PBS) atau kriopresipitat. Kriopresipitat adalah terapi yang

lebih dipilih untuk perdarahan berat. Dosis yang dianjurkan adalah 2-4 kantong

kriopresipitat/10 kg, yang dapat diulangi tiap 12-24 jam, tergantung pada episode perdarahan

yang diterapi atau dicegah.(4)

E. Hemofilia

Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang

diturunkan secara sex-linked recessive pada kromosom X. Gen yang mengkode hemofilia

terletak pada ujung lengan panjang kromosom X. Meskipun hemofilia merupakan penyakit

herediter tetapi sekitar 20-30% pasien tidak memiliki riwayat keluarga dengan gangguan

pembekuan darah, sehingga terjadi mutasi spontan akibat lingkungan endogen ataupun

eksogen.(4,9)

a. Epidemiologi

Hampir semua penderita hemofilia adalah laki-laki, tetapi hemofilia juga dapat terjadi

pada perempuan namun jarang. Angka kejadian hemofilia A diperkirakan berkisar 1:10.000

kelahiran bayi, sedangkan angka kejadian hemofilia B 1:30.000-50.000 kelahiran bayi laki-

laki. Sekitar 80-85% kasus merupakan hemofilia A.(9)

Sampai saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-linked

recessive, yaitu Hemofilia A (hemofilia klasik) yang terjadi akibat defisiensi atau disfungsi

faktor pembekuan VIII; Hemofilia B yang terjadi akibat defisiensi faktor IX.(9)

b. Manifestasi klinis

Secara klinis perdarahan pada hemofilia A dan B tidak dapat dibedakan. Terdapat

riwayat perdarahan abnormal yang bersifat terlamabat (delayed bleeding) dan letaknya dalam

misalanya hemartosis, hematoma, perdarahan intrakranial yang terjadi spontan atau akibat

trauma. Manifestasi perdarahan lain misalnya berupa epistaksis atau hematuria. Seorang bayi

harus dicurigai menderita hemofilia jika ditemukan bengkak atau hematoma pada saat anak

mulai berjalan atau merangkak. Pada anak yang lebih besar dapat timbul hemartrosis di sendi

lutut, siku , atau pergelangan tangan.(9)

c. Pemeriksaan penunjang

21

Page 22: diatesis hemoragik aini

Darah tepi rutin, terutama jumlah trombosit. Pemeriksaan masa perdarahan, masa

protrombin, masa trombin, masa tromboplastin parsial. Pemeriksaan hemostasis khusus ,

pemeriksaan faktor VII dan XII.(9)

F. Koagulasi Intravaskular Diseminata

a. Etiologi

Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) merupakan kelainan trombohemoragik yang

bisa bersifat akut, subakut, atau kronik dan terjadi sebagai komplikasi sekunder pada berbagai

penyakit (Tabel 3.). DIC ditandai oleh rangkaian koagulasi yang menimbulkan pembentukan

mikrotrombus di seluruh mikrosirkulasi. Sebagai akibat dari kelainan trombosis ini, terjadi

konsumsi trombosit, fibrin, serta faktor koagulasi, dan secara sekunder terdapat aktivasi

mekanisme fibrinolitik. Dengan demikian, KID dapat ditemukan bersama gejala atau tanda-

tanda yang berhubungan dengan infark akibat mikrotrombus dan terjadi diatesis hemoragik

yang terjadi karena aktivasi mekanisme fibrinolitik dan deplesi unsur-unsur yang diperlukan

bagi hemostasis.(11)

Tabel 3.(11)

b. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis KID dapat berkaitan dengan peristiwa KID itu sendiri, dengan

penyakit yang mendasari, atau keduanya. Perdarahan pada kulit, seperti petekie, ekimosis,

dari bekas suntikan atau tempat infus pada mukosa, sering ditemukan pada KID akut.

Perdarahan ini jugabisa masif dan membahayakan, misalnya pada traktus gastrointestinal,

22

Page 23: diatesis hemoragik aini

paru, susunan saraf pusat atau mata. Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi

organ yang luas. Pada kulit dapat berupa bula hemoragik, nekrosis akral dan gangren.(11)

Gambar 8.(12)

c. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium dasar,leukositosis sering ditemukan. Granulositopenia

juga dapat terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang untuk mengimbangi kerusakan

netrofil yang cepat. Pemeriksaan hemostasis yang secara rutin dapat dilakukan adalah masa

protrombin, masa protrombin parsial teraktivasi, D-dimer, antitrombin III, fibrinogen, dan

masa trombin. Pemeriksaan koagulasi serial umumnya lebih menolong daripada satu kali

pemeriksaan dalam mendiagnosis KID.(4,11)

d. Tatalaksana

Penatalaksanaan KID terdiri dari 2 bagian, yaitu segera mengatasi penyakit yang

mendasari dan terapi suportif yang agresif, termasuk hipovolemia dan hipoksemia. Jika kadar

fibrinogen, trombosit, atau faktor pembekuan rendah dan pasien mengalami perdarahan atau

akan menjalani prosedur invasif, pemberian faktor pembekuan seperti kreopresipitat, plasma

beku segar, atau trombosit konsentrat mungkin diperlukan. (11)

G. Defisiensi Vitamin K

Vitamin K merupakan naftoquinon yang berperan serta pada fosforilasi oksidatif. Tidak

adanya atau kegagalan dalam absorbsi vitamin K berakibat pada hipoprotrombinemia dan

menurunnya sintesis prokonvertin hati. Protrombin (faktor II) dan prokonvertin (faktor VII)

penting untuk proses koagulasi.(2)

23

Page 24: diatesis hemoragik aini

Vitamin K terdiri atas cincin kuinon yang terikat pada rantai samping dan bervariasi

menurut sumber vitamin tersebut. Vitamin K1 (filokuinon) ditemukan di dalam sebagian

besar sayuran yang dapat dimakan, khususnya sayuran daun hijau. Vitamin K2 (menadion)

diproduksi oleh bakteri usus. Setelah penyerapan, menadion dikonversi dalam tubuh menjadi

menadion yang aktif. Penekanan bakteri usus oleh berbagai antibiotik dapat menyebabkan

defisiensi vitamin K. Susu sapi lebih banyak mengandung vitamin K daripada air susu ibu.(2)

Defisiensi vitamin K atau hipoprotrombinemia harus dipikirkan pada semua penderita

dengan gangguan perdarahan. Insiden penyakit perdarahan neonatus telah sangat menurun

dengan pemberian vitamin K.(2,4)

Pemberian vitamin K oral dapat memperbaiki defisiensi protrombin ringan. Pemberian

untuk bayi 1-2 mg/hari biasanya cukup. Jika defisiensi protrombin berat dan manifestasi

perdarahan telah tampak, harus diberikan 5 mg/hari secara parenteral.(4)

24

Page 25: diatesis hemoragik aini

BAB IV

Daftar Pustaka

1. Cotran, Ramzi, dkk. Robbins Buku Ajar Patologi. Ed. 7. Vol. 1. Jakarta : EGC.

2007.

2. Fauci, Longo, dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Ed. USA :

McGraw-Hill Companies. 2008.

3. Cotran, Ramzi, dkk. Robbins Buku Ajar Patologi. Ed. 7. Vol. 2. Jakarta : EGC.

2007.

4. M. Kliegman, Robert. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th Ed. Philadelphia : W. B.

Saunders Company.

5. A. Price, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed. 6.

Jakarta : EGC. 2005.

6. Siegenthaler, Walter. Differential Diagnosis in Internal Medicine from Symptoms

to Diagnosis. Germany : George Thieme Verlag. 2007.

7. Sacher, A. Ronald. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta :

EGC. 2002.

8. Clasidy, Petty, Laxer. Textbook of Pediatric Rheumathology. Philadelphia :

Saunders. 2005.

9. Sastroasmono, Sudigdo, dkk. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit

Anak. Jakarta : FKUI. 2007.

10. Mills JA, Michel BA, Bloch DA, Calabrese LH, Hunder GG, Arend WP, et al. The

American College of Rheumatology, Criteria for the Classification of Henoch-

Schonlein purpura. 1990.

11. Sudoyo, Aru w.,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Internal Publishing.

2009

12. Lanzkowsky P. Manual of pediatric haematology and oncology, 2nd Ed. New York:

Churchill Livingstone, 1995.

13. Corrigan JJ. Platelet and Vascular Disorders. Dalam : Miller DR, Baehner RL,

penyunting. Blood Disease of Infancy and Childhood, 6th Ed. Philadelphia: Mosby.

1990.

14. Yu WC, Korb J, Sakamoto KM. Idiopathic Trombocytopenic Purpura. Pediatr Rev

2000.

25

Page 26: diatesis hemoragik aini

15. Medeiros D, Buchanan GR. Current Controversies in the Management of Idiopathic

Thrombocytopenic Purpura During Childhood. Pediatr Clin North Am.1996.

16. Douglas B, Cines MD, Immune Thrombocytopenic Purpura. N Engl J Med. 2002.

17. Imbach P. Immune Thrombocytopenic Purpura. Dalam: Lilleyman JS, Hann IM,

Blanchette VS, penyunting. Pediatric Hematology, edisi ke 2. New York: Churchill

Livingstone. 1998.

18. Munthe BG. Purpura Trombositopenik Idiopatik. Dalam : Wahidiyat I, Gatot D,

Mangunatmadja I, penyunting naskah lengkap pendidikan tambahan berkala ilmu

kesehatan anak ke XXIV. Jakarta. 1996.

19. Castaman G, Federici AB, Rodeghiero F, Mannucci PM. Von Willebrand’s Disease

in the year 2003: towards the complete identification of gene defects for correct

diagnosis and treatment haematologica. 2003.

20. Federici AB. Clinical Diagnosis of Von Willebrand disease. 2004.

26