syok hemoragik

44
syok hemoragik, transfusi masif dan komplikasi,INGET INGET!!!! BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Syok hemoragik: disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada trauma tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa: Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan pleura. Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2 (dua) liter. Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter Tindakan utama dari syok hemoragik adalah mengontrol sumber perdarahan secepat mungkin dan penggantian cairan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui transfuse massif. Terdapat banyak masalah terkait dengan transfuse masif, termasuk infeksi, imunologi, dan komplikasi fisiologis yang berhubungan dengan pengumpulan, pengujian, pemeliharaan, dan penyimpanan produk darah. Dokter harus menyadari komplikasi ini dan strategi untuk mencegah dan mengobatinya. 1.2 Permasalahan Banyaknya kasus kecalakaan lalu lintas dewasa ini menyebabkan banyak perdarahan. Hal ini sering menyebabkan terjadinya syok hemoragik. Tidak hanya kecelakaan namun perdarahan post partum, perdarahan pada saat operasi juga menyebabkan perdarahan yang mudah mengarah ke syok hemoragik namun penanganan yang kurang baik dapat menyebabkan akibat yang fatal seperti kematian. Salah satu cara penanganannya adalah melalui transfusi massif, tetapi kita juga harus dapat memahami komplikasi yang mungkin dapat timbul dari transfusi massif yang diberikan. 1.3 Tujuan Penulisan

Upload: rantangnasi

Post on 17-Jan-2016

109 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

khbg

TRANSCRIPT

Page 1: syok hemoragik

syok hemoragik, transfusi masif dan komplikasi,INGET INGET!!!!

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Syok hemoragik: disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan tubuh. Jumlah

darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada trauma tumpul sering

diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa:

•         Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan pleura.

•         Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2 (dua) liter.

•         Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter

Tindakan  utama dari syok hemoragik adalah mengontrol sumber perdarahan secepat

mungkin dan penggantian cairan.  Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui

transfuse massif.  Terdapat  banyak masalah terkait dengan transfuse masif, termasuk infeksi,

imunologi, dan komplikasi fisiologis yang berhubungan dengan pengumpulan, pengujian,

pemeliharaan, dan penyimpanan produk darah. Dokter harus menyadari komplikasi ini dan

strategi untuk mencegah dan mengobatinya.

1.2  Permasalahan

Banyaknya kasus kecalakaan lalu lintas dewasa ini menyebabkan banyak perdarahan.

Hal ini sering menyebabkan terjadinya syok hemoragik. Tidak hanya kecelakaan namun

perdarahan post partum, perdarahan pada saat operasi juga menyebabkan perdarahan yang

mudah mengarah ke syok hemoragik namun penanganan yang kurang baik dapat

menyebabkan akibat yang fatal seperti kematian.  Salah satu cara penanganannya adalah

melalui transfusi massif, tetapi kita juga harus dapat memahami komplikasi yang mungkin

dapat timbul dari transfusi massif yang diberikan.

1.3  Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk membahas syok hemoragik secara

umum, transfuse massif serta komplikasinya agar dapat tertangani dengan baik sehingga

kasus kematian akibat syok hemoragik dapat berkurang.

Page 2: syok hemoragik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Kompartemen Cairan Tubuh 1,2

Tubuh orang dewasa terdiri dari: zat padat 40 % berat badan dan zat cair 60% berat

badan; zat cair terdiri dari: cairan intraselular 40 % berat badan dan cairan ekstraselular 20 %

berat badan; sedangkan cairan ekstraselular terdiri dari : cairan intravaskular  5 % berat badan

dan cairan interstisial  15 % berat badan.

Gambar 1. Distribusi Cairan Tubuh

Ada pula cairan limfe dan cairan transselular yang termasuk cairan ekstraselular.

Cairan transselular sekitar 1-3 % berat badan, meliputi sinovial, pleura, intraokuler dan lain-

lain. Cairan intraselular dan ekstraselular dipisahkan oleh membran semipermeabel.2

Cairan intraselular

Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang dewasa,

sekitar dua pertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-

rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi

hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular.3

Cairan ekstraselular

Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan

ekstraselular berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi baru lahir, sekitar

setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan

ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan

sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.3

Page 3: syok hemoragik

Gambar 2. Susunan Kimia Cairan Ekstraselular dan Intraselular4

Cairan ekstraselular dibagi menjadi:3

Cairan Interstitial

Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12 liter

pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap ukuran

tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang

dewasa.3

Cairan Intravaskular

Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume

plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6 liter, dimana 3 liter merupakan

plasma, dan sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih, serta platelet.3

Cairan Transselular

Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti

serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan.

Pada keadaan sewaktu, volume cairan transelular adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam

jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transselular.3

Gambar 3. Anatomi cairan tubuh4

Volume kompartemen cairan sangat dipengaruhi oleh Natrium dan protein plasma.

Natrium paling banyak terdapat di cairan ekstraselular, di cairan intravaskular (plasma) dan

interstisial kadarnya sekitar 140 mEq/L.5

Pergerakan cairan antar kompartemen terjadi secara osmosis melalui membran

semipermeabel, yang terjadi apabila kadar total cairan di kedua sisi membran berbeda. Air

akan berdifusi melalui membran untuk menyamakan osmolalitas. Pergerakan air ini dilawan

oleh tekanan osmotik koloid. Tekanan osmotik koloid atau tekanan onkotik sangat

dipengaruhi oleh albumin. Apabila kadar albumin rendah, maka tekanan onkotik rendah

sehingga tekanan hidrostatik dominan mengakibatkan ekstravasasi dan terjadi edema.5

Cairan ekstraselular adalah tempat distribusi Na+, sedangkan cairan intravaskular

adalah tempat distribusi protein plasma dan koloid; juga tempat distribusi K+, PO4– .

Elektrolit terpenting di dalam cairan intraselular: K+ dan PO4- dan di cairan ekstraselular:

Na+ dan Cl–.5

Osmolaritas adalah konsentrasi osmolar suatu larutan bila dinyatakan sebagai osmol

per liter larutan (osm/L). Osmolalitas adalah konsentrasi osmolar suatu larutan bila

dinyatakan sebagai osmol per kilogram air (osm/kg). Tonisitas merupakan osmolalitas relatif

suatu larutan. Osmolaritas total setiap kompartemen adalah 280 –300 mOsm/L. Larutan

Page 4: syok hemoragik

dikatakan isotonik, jika tonisitasnya sama dengan tonisitas serum darah yaitu 275 – 295

mOsm/kg.5

Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel

dari larutan dengan kadar rendah menuju larutan dengan kadar tinggi sampai kadarnya sama.

Seluruh membran sel dan kapiler permeabel terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan

tubuh di seluruh kompartemen sama. Membran semipermeabel dapat dilalui air (pelarut),

tetapi tidak dapat dilalui zat terlarut.5

Difusi adalah peristiwa bergeraknya molekul melalui pori-pori. Larutan akan bergerak

dari yang berkonsentrasi tinggi menuju konsentrasi rendah.Tekanan hidrostatik di dalam

pembuluh darah akan mendorong air secara difusi masuk melalui pori-pori. Difusi tergantung

kepada tekanan hidrostatik dan perbedaan konsentrasi.5

Perpindahan air dan zat terlarut di bagian tubuh menggunakan mekanisme transpor

pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan energi; mekanisme transpor

aktif membutuhkan energi berkaitan dengan Na-K Pump yang membutuhkan energi ATP.5

Pompa Natrium-Kalium adalah pompa yang memompa ion natrium keluar melalui

membran sel dan pada saat yang bersamaan memompa ion kalium ke dalam sel. Bekerja

untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.

Gambar 4. Pompa Natrium-Kalium

Berikut ini merupakan kebutuhan air dan elektrolit perhari:

Dewasa:

Air 30 – 35 ml/kg

Setiap kenaikan suhu 10 C diberi tambahan 10-15 %

K+ 1 mEq/kg ( 60 mEq/hari atau 4,5 g )

Na+ 1-2 mEq/kg ( 100 mEq/hari atau 5,9 g )

Bayi dan Anak:

Air 0-10 kg: 4 ml/kg/jam ( 100 ml/g )

10-20 kg: 40 ml + 2 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg

(1000 ml + 50 ml/kg di atas 10 kg)

20 kg : 60 ml + 1 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg

(1500 ml + 20 ml/kg di atas 20 kg)

K+ 2 mEq/kg (2-3 mEq/kg)

Na+ 2 mEq/kg (3-4 mEq/kg)2

Tabel 1. Perubahan cairan tubuh total sesuai usia3

Page 5: syok hemoragik

Tabel 2. Rata-rata harian asupan dan kehilangan cairan pada orang dewasa             

2.2  Definisi Syok dan Syok Hemoragik

Syok adalah suatu cardiac output yang tidak adekuat yang mengakibatkan kegagalan

sistem kardiovaskuler untuk pengangkutan oksigen dan nutrisi yang cukup untuk kebutuhan

metabolisme sel-sel tubuh. Akibatnya, terjadi disfungsi membran sel, metabolisme seluler

abnormal, dan tanpa terapi adekuat, dapat terjadi kematian sel.6

Syok hemoragik adalah kehilangan akut volume peredaran darah yang menyebabkan

suatu kondisi dimana perfusi jaringan menurun dan menyebabkan inadekuatnya hantaran

oksigen dan nutrisi yang diperlukan sel. Keadaan apapun yang menyebabkan kurangnya

oksigenasi sel, maka sel dan organ akan berada dalam keadaan syok.7

2.3  Etiologi Syok

Penyebab syok bervariasi, tetapi semua ditandai dengan perfusi jaringan inadekuat. 

Mekanisme patofisiologi dasar yang tejadi pada syok adalah: 

1.    Vasokonstriksi atau vasodilatasi luas memperburuk tonus & resistensi vaskuler  perifer.

2.    Penurunan volume intravaskuler (hipovolemia)

3.    Cardiac output inadekuat

Apapun jenis penyebab utama syok, respon tubuh pada umumnya sama. 

Syok dapat terjadi akibat berbagai keadaan yang dapat digolongkan sesuai empat mekanisme

etiologi dasarnya: (1) mekanisme kardiogenik, (2) mekanisme obstruktif, (3) perubahan

dalam volume sirkulasi, dan (4) perubahan dalam distribusi sirkulasi.7

2.4  Tahapan Syok6

Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih dapat

ditangani oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan ireversibel

(tidak dapat pulih).

Tahap kompensasi adalah tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjaga fungsi

normalnya. Tanda atau gejala yang dapat ditemukan pada tahap awal seperti kulit

pucat, peningkatan denyut nadi ringan, tekanan darah normal, gelisah, dan pengisian

pembuluh darah  yang lama. Gejala-gejala pada tahap ini sulit untuk dikenali karena biasanya

individu yang mengalami syok terlihat normal.

Tahap dekompensasi dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi-

fungsinya. Yang terjadi adalah tubuh akan berupaya menjaga organ-organ vital yaitu dengan

mengurangi aliran darah ke lengan, tungkai, dan perut dan mengutamakan aliran ke otak,

jantung, dan paru. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan diantaranya adalah rasa haus yang

Page 6: syok hemoragik

hebat, peningkatan denyut nadi, penurunan tekanan darah, kulit dingin, pucat, serta kesadaran

yang mulai terganggu.

Tahap ireversibel dimana kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat

diperbaiki. Tahap ini terjadi jika tidak dilakukan pertolongan sesegera mungkin, maka aliran

darah akan mengalir sangat lambat sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah dan

denyut jantung. Mekanisme pertahanan tubuh akan mengutamakan aliran darah ke otak dan

jantung sehingga aliran ke organ-organ seperti hati dan ginjalmenurun. Hal ini yang menjadi

penyebab rusaknya hati maupun ginjal. Walaupun dengan pengobatan yang baik sekalipun,

kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat diperbaiki.

2.5  Stadium-Stadium Syok6

Syok memiliki beberapa stadium sebelum kondisi menjadi dekompensasi atau

irreversible sebagaimana dilukiskan dalam gambar berikut:

Stadium 1 ANTICIPATION STAGE

Gangguan sudah ada tetapi bersifat lokal. Parameter-paramater masih dalam batas

normal. Biasanya masih cukup waktu untuk mendiagnosis dan mengatasi kondisi dasar.

Stadium 2. PRE-SHOCK SLIDE

Gangguan sudah bersifat sistemik. Parameter mulai bergerak dan mendekati batas atas

atau batas bawah kisaran  normal.

Sadium 3 COMPENSATED SHOCK

Compensated shock bisa berangkat dengan tekanan darah yang normal rendah, suatu

kondisi yang disebut "normotensive, cryptic shock"  Banyak klinisi gagal mengenali bagian

dini dari stadium syok ini. Compensated shock memiliki arti khusus pada pasien DBD dan

perlu dikenali dari tanda-tanda berikut: Capillary refill  time > 2 detik; penyempitan tekanan

nadi, takikardia, takipnea, akral dingin.

Stadium 4 DECOMPENSATED SHOCK, REVERSIBLE

Di sini sudah terjadi hipotensi. Normotensi hanya bisa dipulihkan dengan cairan

intravena dan/atau vasopresor

Page 7: syok hemoragik

Stadium 5 DECOMPENSATED IRREVERSIBLE SHOCK

Kerusakan mikrovaskular dan organ sekarang menjadi menetap dan tak bisa diatasi.

2.6  Patofisiologi Syok Hemoragik

Telah diketahui dengan baik respons tubuh saat kehilangan volum sirkulasi. Tubuh

secara logis akan segera memindahkan volum sirkulasinya dari organ non vital dan dengan

demikian fungsi organ vital terjaga karena cukup menerima aliran darah. Saat terjadi

perdarahan akut, curah jantung dan denyut nadi akan turun akibat rangsang ‘baroreseptor’ di

aortik arch dan atrium. Volume sirkulasi turun, yang mengakibatkan teraktivasinya saraf

simpatis di jantung dan organ lain. Akibatnya, denyut jantung meningkat, terjadi

vasokonstriksi dan redistribusi darah dari organ-organ nonvital, seperti di kulit, saluran cerna,

dan ginjal. Secara bersamaan sistem hormonal juga teraktivasi akibat perdarahan akut ini,

dimana akan terjadi pelepasan hormon kortikotropin, yang akan merangsang pelepasan

glukokortikoid dan beta-endorphin. Kelenjar pituitary posterior akan melepas vasopressin,

yang akan meretensi air di tubulus distalis ginjal. Kompleks Jukstamedula akan melepas

renin, menurunkanMAP (Mean Arterial Pressure), dan meningkatkan pelepasan aldosteron

dimana air dan natrium akan direabsorpsi kembali. Hiperglikemia sering terjadi saat

perdarahan akut, karena proses glukoneogenesis dan glikogenolisis yang meningkat akibat

pelepasan aldosteron dan growth hormone. Katekolamin dilepas ke sirkulasi yang akan

menghambat aktifitas dan produksi insulin sehingga gula darah meningkat. Secara

keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik mengikuti

kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di otak dimana pasokan aliran

darah akan dipertahankan secara konstan melalui MAP (Mean Arterial Pressure). Ginjal juga

mentoleransi penurunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan pasokan aliran

darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari splanknik. Pada

kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa mencegah kerusakan

organ tubuh tertentu akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh.6

Gambar 5. Patofisiologi syok

Gambar 6.  Berbagai jenis umpan balik yang dapat menimbulkan perkembangan syok

2.7  Gejala Klinis Syok Hemoragik1,6,7

Gejala klinis tunggal jarang saat diagnosa syok ditegakkan. Pasien bisa mengeluh

lelah, kelemahan umum, atau nyeri punggung belakang (gejala pecahnya aneurisma aorta

Page 8: syok hemoragik

abdominal). Penting diperoleh data rinci tentang tipe, jumlah dan lama pendarahan, karena

pengambilan keputusan untuk tes diagnostik dan tatalaksana selanjutnya tergantung jumlah

darah yang hilang dan lamanya pendarahan. Bila pendarahan terjadi di rumah atau di

lapangan, maka harus ditaksir jumlah darah yang hilang.

Untuk pendarahan pada saluran cerna sangatlah penting dicari asal darah dari rektum

atau dari mulut. Karena cukup sulit menduga jumlah darah yang hilang dari saluran cerna

bagian bawah. Semua darah segar yang keluar dari rektum harus diduga adanya perdarahan

hebat, sampai dibuktikan sebaliknya.

Pendarahan saat trauma kadang sulit ditaksir jumlahnya. Karena rongga pleura,

kavumabdominalis, mediastinum dan retroperitoneum bisa menampung darah dalam

jumlahyang sangat besar dan bisa menjadi penyebab kematian. Perdarahan trauma eksternal

bisa ditaksir secara baik, tapi bisa juga kurang diawasi oleh petugas emergensi medis.

Laserasi kulit kepala bisa menyebabkan kehilangan darah dalam jumlah besar. Fraktur

multipel terbuka, juga bisa mengakibatkan kehilangan darah yang cukup besar.

Tabel 3. Lokasi & Estimasi Perdarahan

Lokasi Estimasi Perdarahan

Fr. Femur tertutup 1.5-2 liter

Fr.Tibia tertutup 0.5 liter

Fr. Pelvis 3 liter

Hemothorax 2 liter

Fr. Iga (tiap satu) 150 ml

Luka sekepal tangan 500 ml

Bekuan darah sekepal 500 ml

Pemeriksaan klinis pasien syok hemoragik dapat segera langsung berhubungan dengan

penyebabnya. Asal sumber perdarahan dan perkiraan berat ringannya darah yang hilang bisa

terlihat langsung. Bisa dibedakan perdarahan pada pasien penyakit dalam dan pasien trauma.

Dimana kedua tipe perdarahan ini biasanya ditegakkan dan ditangani secara bersamaan.

Syok umumnya memberi gejala klinis kearah turunnya tanda vital tubuh, seperti:

hipotensi, takikardia, penurunan urin output dan penurunan kesadaran. Kumpulan gejala

tersebut bukanlah gejala primer tapi hanya gejala sekunder dari gagalnya sirkulasi tubuh.

Kumpulan gejala tersebut merupakan mekanisme kompensasi tubuh, berkorelasi dengan usia

dan penggunaan obat tertentu, kadang dijumpai pasien syok yang tekanan darah dan nadinya

dalam batas normal. Oleh karena itu pemeriksaan fisik menyeluruh pada pasien dengan

dilepas pakaiannya harus tetap dilakukan.

Gejala umum yang timbul saat syok bisa sangat dramatis. Kulit kering, pucat dan

dengan diaphoresis. Pasien menjadi bingung, agitasi dan tidak sadar. Pada fase awal nadi

cepat dan dalam dibandingkan denyutnya. Tekanan darah sistolik bisa saja masih dalam batas

normal karena kompensasi. Konjungtiva pucat, seperti yang terdapat pada anemia kronik.

Page 9: syok hemoragik

Lakukan inspeksi pada hidung dan faring untuk melihat kemungkinan adanya darah.

Auskultasi dan perkusi dada juga dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat gejala

hematothoraks, dimana suara nafas akan turun, serta suara perkusi redup di area dekat

perdarahan.

Periksa pasien lebih lanjut dengan teliti dari ujung kepala sampai ujung kaki, yang dapat

mengarahkan kita terhadap kemungkinan adanya luka. Periksa adakah perdarahan di kulit

kepala, apabila dijumpai perdarahan aktif harus segera diatasi bahkan sebelum pemeriksaan

lainnya. Periksa juga apakah ada darah pada mulut dan faring.

Periksa abdomen dari tanda perdarahan intra-abdominal, misal: distensi, nyeri

palpitasi, dan perkusi redup. Periksa panggul apakah ada memar/ekimosis yang mengarah ke

perdarahan retroperitoneal. Adanya distensi, nyeri saat palpasi dan ekimosis mengindikasikan

adanya perdarahan intra-abdominal. Palpasi pula kestabilan tulang pelvis, bila ada krepitasi

atau instabilitas mengindikasikan terjadinya fraktus pelvis dan ini dapat mengancam jiwa

karena perdarahan terjadi pada rongga retroperitoneum. Kejadian yang sering dalam klinis

adalah pecahnya aneurisma aorta yang bisa menyebabkan syok tak terdeteksi. Tanda klinis

yang bisa mengarahkan kita adalah terabanya masa abdomen yang berdenyut, pembesaran

skrotum karena terperangkapnya darah retroperitoneal, kelumpuhan ekstremitas bawah dan

lemahnya nadi femoralis.

Fraktur pada tulang panjang ditandai nyeri dan krepitasi saat palpasi di dekat fraktur.

Semua fraktur tulang panjang harus segera direposisi dan digips untuk mencegah perdarahan

di sisi fraktur. Yang perlu diperhatikan terutama fraktur femur, karena dapat mengakibatkan

hilangnya darah dalam jumlah banyak, sehingga harus segera diimobilisasi dan ditraksi

secepatnya. Tes diagnostik lebih jauh perlu dilakukan untuk menyingkirkan perdarahan yang

mungkin terjadi di intratorakal, intra-abdominal,atau retroperitoneal.6

Jangan lupa pula untuk melakukan pemeriksaan rektum / rectal toucher. Bila ada

darah segar curiga hemoroid interna atau externa. Pada kondisi yang sangat jarang curigai

perdarahan yang signifikan terutama pada pasien dengan hipertensi portal. Pasien dengan

riwayat perdarahan vagina lakukan pemeriksaan pelvis lengkap, dan lakukan tes kehamilan

untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik.

Lakukan pemeriksaan sistematik pada pasien trauma termasuk pemeriksaan

penunjang primer dan sekunder. Luka multipel bisa terjadi dan harus mendapat perhatian

khusus, hati-hati perdarahan bisa menjadi pencetus syok lainnya, seperti syok neurogenik.

Tabel 4. Perdarahan & tanda-tandanya

Perdaraha

n

< 750 ml 750-1500

ml

1500-2000

ml

>2000 ml

CRT Normal Memanjan

g

memanjang Memanjang

Nadi < 100 > 100 > 120 > 140

Tek. Normal Normal Menurun Menurun

Page 10: syok hemoragik

sistolik

Nafas Normal 20-30 x/m > 30-40 x/m >35 x/m

Kesadara

n

Sedikit

cemas

Agak

cemas

Cemas,

bingung

Bingung, lesu

Penderita yang mengalami perdarahan, menghadapi dua masalah

yaitu berapakah sisa volume darah yang beredar dan berapakah sisa

eritrosit yang tersedia untuk mengangkut oksigen ke jaringan.

Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam

waktu beberapa jam. Penyebab kematian adalah syok progresif yang

menyebabkan hipoksia jaringan. Hipovolemia menyebabkan beberapa

perubahan :

•         Vasokonstriksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk

menyelamatkan organ primer (otak, jantung) dengan aliran darah yang

tersisa.

•         Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme

anaerob dengan produk asam laktat yang menyebabkan asidosis asam

laktat.

•         Asidosis asam laktat menyebabkan perubahan-perubahan sekunder

pada organ-organ primer dan organ-organ sekunder sehingga terjadi

kerusakan merata,

Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari

intravaskular sampai 10% EBV tidak mengganggu volume sebesar yang

hilang. Tetapi kehilangan yang lebih dari 25% atau bila terjadi

syok/hipotensi maka sekaligus kompartemen interstitial dan intrasel ikut

terganggu. Bila dalam terapi hanya diberikan sejumlah kehilangan

plasma volume (intravaskular), penderita masih mengalami defisit yang

menyebabkan syoknya irreversibel dan berakhir kematian.7

Dalam keadaan normal, jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan adalah:(cardiac

output x saturasi O2 x kadar Hb x 1,34) + (cardiac output x pO2 x 0,003).Unsur cardiac

output x pO2 x 0,003 karena hasilnya kecil dapat diabaikan,  maka tampak bahwa persediaan

oksigen untuk jaringan tergantung pada curah jantung /cardiac output, saturasi O2 dan kadar

Hb. Karena kebutuhan oksigen tubuh tidak dapat dikurangi kecuali dengan hipotermia atau

anestesi dalam, maka jika eritrosit hilang, total Hb berkurang, curah jantung harus naik agar

penyediaan oksigen jaringan tidak terganggu. Pada orang normal dapat menaikkan curah

jantung hingga 3 x normal dengan cepat, asalkan volume sirkulasi cukup (normovolemia).

Faktor Hb dan saturasi O2 jelas tidak dapat naik. Hipovolemia yang terjadi akan mematahkan

kompensasi dari curah jantung. Dengan mengembalikan volume darah yang telah hilang

dengan apa saja asal segera normovolemia, maka curah jantung akan mampu berkompensasi.

Jika Hb turun sampai tinggal 1/3, tetapi curah jantung dapat naik sampai 3 x, maka

Page 11: syok hemoragik

penyediaan oksigen ke jaringan masih tetap normal. Pengembalian volume mutlak

diprioritaskan daripada pengembalian eritrosit.

2.8  Transfusi Darah

Transfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari donor ke

sistem sirkulasi penerima melalui pembuluh darah vena. Berdasarkan sumber darah atau

komponen darah, transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu: 8

1.      Homologous atau allogenic transfusion, yaitu transfusi menggunakan darah dari orang lain.

2.      Autologous transfusion, yaitu transfusi dengan menggunakan darah resipien itu sendiri yang

diambil sebelum transfusi dilakukan.

            Transfusi darah umumnya >50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan untuk

menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau hanya

menaikkan volum intravaskular saja cukup dengan koloid atau kristaloid.9

Indikasi transfusi darah ialah:9

1.      Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr% atau Ht < 30%.

2.      Bedah mayor kehilangan darah > 20% volum darah.

2.9  Transfusi Masif

Perdarahan masif ialah perdarahan lebih dari sepertiga volum darah dalam waktu < 30

menit. Definisi tentang transfusi darah masif masih tak jelas dan banyak versi, misalnya:9

1.      Transfusi darah sebanyak lebih dari 1-2 kali volum darah dalam waktu lebih dari 24 jam.

2.      Transfusi darah lebih besar dari 50% volum darah dalam waktu singkat (misalnya, 5 unit

dalam 1 jam untuk berat 70kg).

Beberapa peneliti meninjau kemungkinan komplikasi dan manajemennya, terutama

karena mereka berhubungan dengan transfuse masif pada pasien trauma.Terdapat  banyak

masalah terkait dengan transfuse masif, termasuk infeksi, imunologi, dan komplikasi

fisiologis yang berhubungan dengan pengumpulan, pengujian, pemeliharaan, dan

penyimpanan produk darah. Dokter harus menyadari komplikasi ini dan strategi untuk

mencegah dan mengobatinya. Risiko kumulatif dari transfusi darah telah terkait dengan

jumlah unit packed red blood cells (PRBCs) yang ditransfusikan, meningkatkan waktu

penyimpanan darah ditransfusikan, dan mungkin leukosit donor. Sejumlah mekanisme

potensial yang mungkin mempunyai pengaruhi merugikan terkait dengan transfusi darah pada

trauma telah diusulkan. Beberapa data telah menyimpulkan bahwa transfusi darah harus

diminimalkan bila memungkinkan.10

2.9.1  Komponen Darah

a)      Whole blood

Page 12: syok hemoragik

Darah lengkap adalah unit darah selengkapnya yang diperoleh dari donor tanpa ada

pemisahan komponennya baik sel maupun non sel. Darah lengkap (whole blood) biasanya

disediakan hanya untuk transfusi pada perdarahan masif. Satu unit darah lengkap (450-540

ml) mengandung pengawet 60 ml CPDA-1 atau CP2D dengan kadar hematokrit 30-40%

dapat menaikkan kadar Hb resipien 1 gr%.Ketentuan standar jumlah darah 450 kurang lebih

45 ml diberi anti-koagulan / pengawet eritrosit. Modifikasi whole blood yaitu dipisahkan

kriopresipitat dan atau trombositnya.9,11

Antikoagulan yang dipakai adalah yang mengandung dekstrose. Dekstrose diperlukan

untuk nutrisi eritrosit. Contoh:12

                    i.            Citrate ² Phosphate ² Dextrose / CPD

                  ii.            Acid ² Citrate ² Dextrose / ACD ( dengan CPD atau ACD ini darah dapat disimpan sampai

21 hari)

                iii.            Citrate ² Phosphate ² Dextrose ² Adenine ² 1/CPDA-1 (dengan penambahan adenine darah

dapat disimpan sampai 35 hari). Dikenal antikoagulan CPDA-2, CPDA-3 yang mengandung

adenine dan dekstrose lebih tinggi daripada CPDA-1 sehingga eritrosit pekat dapat diawetkan

sampai 7 minggu.

                iv.            CPD + AS-1 / AS-2 (AS = additive solution yang terdiri dari salin, desktrose, manitol,

adenine)

                  v.            Citrate ² Phosphate, Double Dextrose + AS (terdiri dari salin, dekstrose, adenine).

                vi.            Heparin : tidak ditambah destrose, sehingga usia simpan hanya sampai 48 jam.

Penyimpanan

                    i.            Temperatur penyimpanan

Setelah darah diambil dari donor segera disimpan pada suhu antara 1-60C. Pada suhu

sekitar ini glikolisis terjadi secara perlahan-lahan. Suhu penyimpanan terbaik ialah 40C,

karena pada suhu ini asam laktat yang terbentuk akan sangat menurunkan pH dan fungsi

enzim heksokinase serta fosfofruktokinase sehingga glikolisis terhenti. Di bawah 10C maka

karena efek dari dekstrose eritrosit akan membengkak, menjadi sangat fragil dan cenderung

hemolisis. Di atas suhu 60C bakteri akan berkembang biak, sehingga umur hidup eritrosit

menjadi lebih pendek.12

                  ii.            Efek samping penyimpanan

Setelah disimpan maka store whole blood tidak lagi mengandung granulosit &

trombosit yang dapat berfungsi, demikian juga faktor pembekuan yang labil (faktor V, VII)

menjadi rusak. Darah yang diambil dari donor harus diperiksa lengkap selain golongan darah,

deteksi antibodi, juga tes untuk penyakit menular yang memerlukan waktu cukup lama untuk

melakukannya, sehingga darah harus disimpan. Di samping itu tidak ada indikasi kuat yang

menyokong keharusan menggunakan fresh whole blood / darah segar untuk ditransfusikan

kepada resipien. Darah ini mengandung leukosit yang masih mampu berfungsi

Page 13: syok hemoragik

membunuh bakteri, oleh karenanya bila memang sangat diperlukan darah segar maka dapat

dibiarkan pada temperatur kamar dalam waktu singkat, namun hal ini tidak

direkomendasikan.12

Tabel 1. Klasifikasi darah lengkap menurut lamanya penyimpanan2

Darah lengkap Lama Penyimpanan

Segar < 48 jam

Baru <6 hari

Biasa 35 hari

Indikasi penggunaan whole blood:9

                    i.            Pada penderita dengan kehilangan darah sangat banyak/berat (mencapai 25-30 %), sehingga

menimbulkan gejala hipovilemi/syok. Pada keadaan iniwhole blood diperlukan untuk

mengembalikan atau memelihara volume darah dan kapasitas mengangkut oksigen.

                  ii.            Pada keadaan dimana diperlukan pengembalian volume darah yang seimbang/sama

pentingnya dengan komponen seluler.

                iii.            Untuk transfusi tukar (exchange transfusion) pada bayi baru lahir.

Kontra indikasi:9

                    i.            Penderita dengan anemia kronik yang berat dimana telah terjadi kompensasi terhadap

penurunan sel darah merah yaitu dengan terjadinya peningkatan volume plasma /

peningkatan cardiac output sehingga kebutuhan O2jaringan dapat dipenuhi (anemia

normovolemik). Penderita ini tidak memerlukan plasma yang ada dalam whole blood,

sehingga dapat terjadi kelebihan volume yang memungkinkan bahaya udem paru dan payah

jantung.

                  ii.            Penderita yang hanya memerlukan pengembalian volume plasma, makawhole

blood merupakan kontraindikasi mengingat plasma mungkin mengandung mikroorganisme

yang menular

Fungsi fresh whole blood

Penggunaan fresh whole blood tanpa pendingin dibandingkan dengan sel darah merah

pada pasien trauma yang membutuhkan transfusi masif telah direncanakan dengan maksud

mengatasi koagulopati. Pendekatan ini memiliki masalah besar pada logistiknya.

Kebanyakan bank darah memproses hampir semua unit whole blood ke dalam komponen

darah, dan pada kasus darurat, fresh whole blood tidak tersedia, terutama dalam jumlah

banyak. Selain itu, di beberapa negara telah menginmplementasikan leukodeplesi universal,

contohnya semua unit darah mengalami leukodeplesi sebelum penyimpanan, whole

blood yang mengalami leukodeplesi tidak bisa lagi disebut ‘whole blood’ karena hampir

semua platelet dan beberapa faktor pembekuan terbuang ketika proses filtrasi leukosit.

Karena itu, penggunaan fresh whole blood tidak dapat memperbaiki koagulopati karena

Page 14: syok hemoragik

perdarahan masif dan merupakan tindakan yang jarang dilakukan. Selain itu,

penggunaan fresh whole blood akan menghalangi tes skrining yang adekuat, yang akan

menurunkan keamanan transfusi darah. Jelasnya, tindakan transfusi untuk pasien dengan

perdarahan yang mengancam jiwa masih belum ideal. Ada batas pada apa yang dapat dicapai

dengan terapi penggantian komponen darah pada pasien trauma dengan pendarahan tak

terkendali.13

b)      Sel darah merah

Biasa juga disebut PRC (packed red blood cells), mengandung konsentrat eritrosit

dari whole blood yang disentrifugasi atau dengan metode apheresis. Satu unit PRC berisi

240-340 ml dengan hematokrit 75-80% dan Hb 24 gr/dl. Untuk menaikkan Hb 1 gr/dl

diperlukan PRC 4ml/kg atau 1 unit untuk menaikkan kadar Ht 3-5%.9,10

Dosis pada dewasa tergantung kadar hemoglobin semasa dan yang

akan dicapai. Satu kantong akan menaikkan kadar hemoglobin resipien

sekitar 1 g/dL. Pada neonatus, dosisnya 10-15 mL/kgBB akan

meningkatkan kadar hemoglobin 3 g/dL. Kadar hemoglobin akhir dapat

diperkirakan dengan rumus berikut:10

Kadar hemoglobin akhir = volume darah x hematokrit x 0,91

            Sel darah merah diberikan apabila:14

                                     i.            Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hemoglobin (Hb) <7

g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimptomatik dan/atau

penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah dapat

diterima.

                                   ii.            Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila ditemukan

hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan laboratorium.

                                 iii.            Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi

tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor oksigen lebih tinggi

(contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat).

                                 iv.            Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb ≤11 g/dL; bila

tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dL (seperti pada anemia bayi

prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang membutuhkan

suplementasi oksigen, batas untuk memberi transfusi adalah Hb ≤13 g/dL.

Rasional:

Transfusi satu unit darah lengkap (whole blood) atau sel darah merah pada pasien

dewasa berat badan 70 kg yang tidak mengalami perdarahan dapat meningkatkan hematokrit

kira-kira 3% atau kadar Hb sebanyak 1 g/dl. Tetapi,kadar Hb bukan satu-satunya faktor

penentu untuk transfusi sel darah merah. Faktor lain yang harus menjadi pertimbangan adalah

kondisi pasien, tanda dan gejala hipoksia, kehilangan darah, risiko anemia karena penyakit

yang diderita oleh pasien dan risiko transfusi.14

Page 15: syok hemoragik

Banyak transfusi sel darah merah dilakukan pada kehilangan darah ringan atau

sedang, padahal kehilangan darah itu sendiri tidak menyebabkan peningkatan morbiditas dan

mortalitas perioperatif. Meniadakan transfusi tidak menyebabkan keluaran (outcome)

perioperatif yang lebih buruk.9 Beberapa faktor spesifik yang perlu menjadi pertimbangan

transfusi adalah:14

                                      i.            Pasien dengan riwayat menderita penyakit kardiopulmonal perlu transfusi pada batas

kadar Hb yang lebih tinggi.

                                    ii.            Volume darah yang hilang selama masa perioperatif baik pada operasi darurat maupun

elektif, dapat dinilai secara klinis dan dapat dikoreksi dengan penggantian volume yang tepat.

                                  iii.            Konsumsi oksigen, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab antara lain adalah

demam, anestesia dan menggigil. Jika kebutuhan oksigen meningkat maka kebutuhan untuk

transfusi sel darah merah juga meningkat.

Pertimbangan untuk transfusi darah pada kadar Hb 7-10 g/dl adalah bila pasien

akan menjalani operasi yang menyebabkan banyak kehilangan darah serta adanya gejala

dan tanda klinis dari gangguan transportasi oksigen yang dapat diperberat oleh anemia.14

Kehilangan darah akut sebanyak <25% volume darah total harus diatasi dengan

penggantian volume darah yang hilang. Hal ini lebih penting daripada menaikkan kadar

Hb. Pemberian cairan pengganti plasma (plasma subtitute) atau cairan pengembang plasma

(plasma expander) dapat mengembalikan volume sirkulasi sehingga mengurangi kebutuhan

transfusi, terutama bila perdarahan dapat diatasi.14

Pada perdarahan akut dan syok hipovolemik, kadar Hb bukan satu-satunya

pertimbangan dalam menentukan kebutuhan transfusi sel darah merah. Setelah pasien

mendapat koloid atau cairan pengganti lainnya, kadar Hb atau hematokrit dapat digunakan

sebagai indikator apakah transfusi sel darah merah dibutuhkan atau tidak.14

Sel darah merah diperlukan bila terjadi ketidakseimbangan transportasi

oksigen, terutama bila volume darah yang hilang >25% dan perdarahan belum dapat

diatasi. Kehilangan volume darah >40% dapat menyebabkan kematian. Sebaiknya hindari

transfusi darah menggunakan darah simpan lebih dari sepuluh hari karena tingginya potensi

efek samping akibat penyimpanan. Darah yang disimpan lebih dari 7 hari memiliki kadar

kalium yang tinggi, pH rendah, debris sel tinggi, usia eritrosit pendek dan kadar 2,3-

diphosphoglycerate rendah.14,15

Pertimbangan dalam memutuskan jumlah unit transfusi sel darah merah:14

                                     i.            Menghitung berdasarkan rumus umum sampai target Hb yang disesuaikan dengan

penilaian kasus per kasus.

                                   ii.            Menilai hasil/efek transfusi yang sudah diberikan kemudian menentukan kebutuhan

selanjutnya.

Pasien yang menjalani operasi dapat mengalami berbagai masalah yang menyebabkan

peningkatan kebutuhan oksigen, seperti kenaikan katekolamin, kondisi yang tidak stabil atau

nyeri. Penurunan penyediaan oksigen juga dapat terjadi seperti hipovolemia dan hipoksia.

Page 16: syok hemoragik

Tanda dan gejala klasik anemia berat (dispnea, nyeri dada, letargi, hipotensi, pucat,

takikardia, penurunan kesadaran) sering timbul ketika Hb sangat rendah. Tanda dan gejala

anemia serta pengukuran transportasi oksigen ke jaringan merupakan alasan transfusi yang

lebih rasional.16

c)      Platelet

Merupakan derivat dari whole blood dengan kandungan >5,5 x 10 platelet per

kantong, dan 50 mL plasma. Dosis pemberian platelet pada kasus trombositopenia cukup 1

kantong, atau sesuai target kadar  platelet biasanya 40.000-50.000/mm. 1 kantong dapat

meningkatkan platelet sekitar 50-100.000/mm.11

Indikasinya adalah untuk mengatasi perdarahan karena kurangnya jumlah platelet,

dan fungsi platelet resipien yang tidak normal dengan kadar platelet kurang dari 40.000 pada

dewasa, dan kurang dari 100.000/mm3 pada neonatus.Kontraindikasi pemberian platelet

adalah terdapat autoimun trombositopenia atau trombotik trombositopeniapurpura.10,11

Transfusi trombosit dapat digunakan untuk:

                                     i.            Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila hitung trombosit

<50.000/uL, bila terdapat perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi <100.000/uL.

                                   ii.            Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/uL pada pasien yang akan menjalani

operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi masif.

                                 iii.            Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan.

Rasional:

Pada tahun 1987 Nasional Institute of Health Consensus

Conferencemerekomendasikan profilaksis transfusi trombosit untuk pasien dengan hitung

trombosit kurang dari 10.000-20.000/uL, sedangkan untuk pasien dengan hitung trombosit

>50.000/uL transfusi trombosit tidak memberikan keuntungan. Transfusi trombosit pada

hitung trombosit yang lebih tinggi diindikasikan untuk pasien dengan perdarahan sistemik

atau yang memiliki risiko tinggi mengalami perdarahan karena kelainan koagulasi, sepsis,

atau disfungsi trombosit.16,17

Penggunaan trombosit diindikasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan

perdarahan pada pasien dengan trombositopenia atau kelainan fungsi trombosit. Hitung

trombosit adalah faktor pemicu utama penggunaan trombosit, dengan faktor risiko terjadi

perdarahan dan banyaknya perdarahan akan mempengaruhi keputusan perlu tidaknya

transfusi. Apabila terdapat berbagai faktor yang berhubungan dengan perdarahan pada pasien

trombositopenia seperti demam, kelainan koagulasi, kegagalan hemostatik sistemik atau

terdapat tempat potensial timbulnya perdarahan karena operasi, maka dipertimbangkan

penggunaan trombosit untuk mempertahankan hitung trombosit >20.000/uL. Umumnya,

sebagian besar pedoman merekomendasikan hitung trombosit untuk prosedur operasi adalah

>50.000/uL, walaupun tidak ada penelitian terkontrol yang menyatakan hal tersebut. Untuk

pasien yang menjalani operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan (operasi mata atau

saraf), hitung trombosit perlu dipertahankan pada batas 100.000/uL.11,16

Page 17: syok hemoragik

Untuk kasus kelainan fungsi trombosit bawaan, ada bukti ilmiah menyatakan bahwa

transfusi trombosit efektif sebagai profilaksis operasi dan untuk terapi perdarahan. Sedangkan

bukti ilmiah untuk kelainan fungsi trombosit yang didapat masih kurang jelas.

Untuk kelainan fungsi trombosit akibat gagal ginjal maka pengobatan utamanya adalah

koreksi anemia, penggunaan desmopresin dan kriopresipitat. Dalam hal ini tidak ada bukti

ilmiah yang mendukung penggunaan trombosit.14

Penggunaan trombosit sebagai terapi pada pasien dengan trombositopenia dan/atau

kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan bermakna harus dikontrol. Transfusi

sel darah merah lebih dari 10 unit atau satu volume darah dalam 24 jam seringkali diikuti

dengan hitung trombosit <50.000/uL terutama bila 20 unit atau lebih telah ditransfusikan.14

d)     Frozen plasma

Biasa disebut fresh frozen plasma (FFP). 1 unit plasma biasa berisi 200 ml diperoleh

dari mengendapkan darah lengkap selama 72 jam. Semua faktor pembekuan ada kecuali

faktor V dan VIII. Pada plasma segar beku (FFP) faktor V dan faktor VIII tetap aktif. Plasma

segar diberikan biasanya setelah transfusi darah masif, setelah terapi warfarin dan

koagulopati pada penyakit hepar.9,11

Indikasi pemberian adalah terdapat perdarahan masif, setelah terapi warfarin dan

kuagulopati pada penyakit hati, atau trombotik trombositopenia purpura. Dosis

pemberian frozen plasma adalah 10-20 mL/kg.10

Transfusi FFP digunakan untuk:

                    i.            Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibitor koagulasi baik yang

didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi.

                  ii.            Neutralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang mengancam

nyawa.

                iii.            Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfusi masif atau

operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati.

Rasional:

Penggunaan FFP seringkali tidak tepat baik dari segi indikasi maupun jumlah FFP

yang diberikan. Penggunaan FFP dianjurkan pada beberapa kondisi klinis, tetapi belum

menunjukkan adanya keuntungan atau dianggap sebagai terapi alternative yang aman dan

memuaskan.14

e)      Cryoprecipitated AHF

Sering disebut sebagai cryoprecipitated antihemophilic faktor. Didapatkan dengan

mencairkan FFP pada suhu 1-60C. Mengandung 150 mg fibrinogen, 80 IU faktor VIII:C,

faktor VIII:vWF (von Willebrand faktor), faktor XIII, fibronectin, dan 5-20mL plasma.Dosis:

kebutuhan fibrinogen : 250 fibrinogen/kantong. Biasanya sekitar 1kantong per 7-10

Page 18: syok hemoragik

kgBB. Indikasinya adalah perdarahan karena defisiensi fibrinogen dan faktor XIII serta

pasien dengan hemofili A atau von Willebrand’s disease.10

Kriopresipitat digunakan untuk:

                    i.            Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani prosedur invasif

dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan.

                  ii.            Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami perdarahan atau

yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau akan menjalani operasi.

Rasional:

Pada tahun 1994 CAP merekomendasikan transfusi kriopresipitat pada pasien dengan

hipofibrinogenemia, penyakit von Willebrand dan pasien hemofilia A (ketika konsentrat

faktor VIII tidak tersedia). Rekomendasi yang sama juga dibuat oleh ACOG. BCSH

merekomendasikan pemberian transfusi kriopresipitat pada pasien yang mendapat

transfusi masif dengan perdarahan mikrovasular bila kadar fibrinogen <80

mg/dl.14,15,16,17

Kelompok kerja ASA pada tahun 1996 merekomendasikan pertimbangan memberikan

kriopresipitat sebagai profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen kongenital atau

penyakit von Willebrand yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat yang

akan menjalani operasi tetapi tidak mengalami perdarahan; pasien dengan penyakit von

Willebrand yang mengalami perdarahan; koreksi pada pasien dengan perdarahan

mikrovaskular karena transfusi masif dengan konsentrasi fibrinogen <80-100 mg/dl.16

NHMRC-ASBT pada tahun 2001 menyatakan bahwa penggunaan kriopresipitat

mungkin tepat pada pasien dengan defisiensi fibrinogen bila terdapat manifestasi perdarahan,

prosedur invasif, trauma atau DIC. Penggunaan kriopresipitat umumnya tidak tepat pada

terapi hemofilia, penyakit von Willebrand, atau defisiensi faktor XIII atau fibrinektin, kecuali

tidak ada terapi alternative lainnya.14

f)       Granulosit

Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada pasien

neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik.Transfusi granulosit

mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek,sedemikian sehingga sehari-hari 10

transfusi granulosit pada umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit menurunkan insiden

timbulnya reaksi graft-versus-host, kerusakan endothelial berhubungan dengan paru-paru,

dan lain permasalahan berhubungan dengan transfusi leukosit (lihat di bawah), tetapi

mempengaruhi fungsigranulosit. Ketersediaan filgrastim (granulocyte colony-

stimulating faktor, atau G-CSF) dan sargramostim (granulocyte-macrophage colony-

stimulating faktor, atau GM-CSF) telah sangat mengurangi penggunaan transfusi

granulosit.10,15

 2.9.2 Efek transfusi sel darah merah masif pada koagulasi

Page 19: syok hemoragik

Transfusi darah pada masa lampau sebagian besar bergantung pada penggunaan

whole blood, sedangkan pada praktek modern didasarkan pada konsep terapi komponen

darah spesifik. Di negara maju, unit darah yang paling utuh dipisahkan dalam 18-24 jam ke

dalam sel darah merah, trombosit dan plasma, dan di beberapa pusat penyimpanan darah,

kriopresipitat dipersiapkan setelah pencairan FFP di 2-4oC. Terapi komponen darah

mengoptimalkan penggunaan sumber daya dengan memungkinkan komponen yang akan

digunakan pada pasien. Hal ini untuk menghindari efek yang memiliki potensi berbahaya

yang disebabkan oleh kelebihan bahan-bahan transfusi. Misalnya, transfusi whole blood,

bukan sel darah merah dalam larutan aditif, untuk pasien anemia meningkatkan risiko terkait

plasma seperti reaksi transfusi TRALI (transfusion related acute lung injury), yang berkaitan

dengan adanya antibodi untuk HLA atau leukosit dalam plasma donor. 19

Meskipun terapi komponen spesifik menyediakan keuntungan logistik dan ekonomi,

pada transfusi koagulopati RBC masif, koagulopati karena rendahnya level platelet dan faktor

pembekuan terjadi pada fase yang lebih awal dibandingkan dengan penggunaan whole blood.

Satu unit whole blood berisi sekitar 200 ml plasma dengan jumlah yang cukup untuk faktor

koagulan yang stabil, terutama fibrinogen. Sebaliknya, hanya sejumlah plasma yang tak

berarti, begitu pula dengan faktor koagulasi dan platelet, terdapat di unit sel darah merah, dan

larutan plasma tanpa aditif ditambahkan ke unit tersebut untuk menyediakan nutrisi dan

energi untuk sel darah merah, serta penyangga pH selama penyimpanan. Selama perang

Vietnam, ketika whole blood yang disimpan digunakan, ditemukan bahwa jumlah trombosit

tidak turun di bawah 100.109 liter-1, bahkan setelah transfusi 6 liter. Sebaliknya pada saat ini,

85% dari pasien yang menerima setidaknya 10 unit sel darah merah dalam larutan aditif

mengalami trombositopenia. 19

Hubungan antara volume darah yang hilang, penggantian volume darah dan reduksi

pada faktor koagulan masih sulit ditemukan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor termasuk

dinamika kehilangan darah, kesulitan dalam memperkirakan jumlah darah yang hilang

sesungguhnya, variasi pada jumlah faktor pembekuan dan fungsi sistem organ yang terlibat

dalam hemostasis pada setiap individu seperti hepar, limpa, dan sumsum tulang. Martinowitz

menemukan pada 36 pasien dengan trauma berat, setelah menerima transfusi sel darah merah

dalam jumlah besar dengan rata-rata pemberian sebanyak 21 unit, jumlah rata-rata fibrinogen

sebanyak 1.5gr/liter (interkuartil range 1.1 ± 2.6gr/liter). Temuan yang mirip juga diutarakan

oleh Hiippala yang menemukan jumlah fibrinogen <1.0gr/liter setelah penggantian sekitar 1.5

volume darah pada 60 pasien dengan operasi besar. Namun, McLoughlin menemukan bahwa

jumlah fibrinogen di bawah 1.0 gr/liter terjadi setelah penggantian 0.5 volume darah. Namun

demikian, penelitian tersebut dilakukan pada 8 pasien yang memiliki ambang jumlah

fibrinogen yang rendah (sekitar 1.6 gr/liter). 19

Pada prinsipnya, pengukuran kemampuan hemostatik berkala harus menyertakan

panduan untuk penanganan pasien. Celakanya, tes yang sering digunakan, PT dan aPTT, tes

umum yang sebenarnya dikembangkan untuk memonitor terapi antikoagulan dan nilai

Page 20: syok hemoragik

prediksi pada seting trauma dan pembedahan, belum divalidasi. Pengukuran konsentrasi

fibrinogen yang diulang-ulang dapat membantu menentukan kapan terapi penggantian.

fibrinogen dibutuhkan pada pasien. Data Thromboelastograph® menyediakan pemeriksaan

proses koagulasi dari pembentukan klot sampai lisisnya klot itu secara kualitatif dan dinamis,

serta penggunaan Thromboelastograph® dapat berguna pada pasien trauma. Meningkatnya

kandungan asam dari unit sel darah merah juga menyebabkan koagulopati. pH unit sel darah

merah rendah, dan menurun secara progresif selama penyimpanan, karena produksi asam

laktat oleh sel darah merah, dimana pH awalnya 7.0 menjadi sekitar 6.3 pada akhir masa

hidupnya. Karena kemampuan penyangga plasma yang tinggi pada sirkulasi, transfusi sel

darah merah dengan pH yang rendah biasanya tidak menyebabkan gangguan keseimbangan

asam basa. Namun, pada kasus pasien trauma yang sudah asidosis, transfusi sel darah merah

masif menyebabkan peningkatan asam yang dapat memperparah koagulopati yang sudah

terjadi.19

Transfusi sel darah merah pasti dapat menyelamatkan nyawa pasien trauma dengan

syok perdarahan. Namun, dengan komponen sel darah merah modern yang tidak

mengandung platelet dan faktor koagulasi, koagulopati terjadi pada fase awal transfusi sel

darah merah masif. Jumlah yang berlebihan dari antikoagulan sitrat teradapat dalam

FFP. Pasien trauma, biasanya mengalami shock hipovolemi atau hipotermia, dan ketika

menerima FFPdalam jumlah besar dapat mengalami hipokalsemia akibat pengikatan sitrat

pada ion kalsium yang tersirkulasi. Karena ion kalsium adalah salah satu elemen esensial

pada koagulasi, hipokalemia dapat berperan dalam koagulopati.19

2.10  Reaksi Transfusi Darah20

1.      Reaksi transfusi darah secara umum

Tidak semua reaksi transfusi dapat dicegah. Ada langkah-langkah tertentu yang

perludilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi, walaupun demikian tetap

diperlukan  kewaspadaan dan kesiapan untuk mengatasi  setiap  reaksi  transfusi yang

mungkin terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi dan gejalanya bermacam-

macamserta  dapat  saling  tumpang  tindih.  Oleh  karena  itu,  apabila  terjadi  reaksi  transfu

si, maka  langkah  umum  yang  pertama  kali  dilakukan  adalah  menghentikan  transfusi,

tetap  memasang  infus untuk pemberian  cairan NaCl 0,9% dan segera memberitahu

dokter jaga dan bank darah.

2.      Reaksi Hemolisis

Reaksi Hemolisis pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel

darah merah yang ditransfusikan oleh antibodi resipien. Lebih sedikit biasanya

hemolisis  sel  darah  merah  resipien  terjadi  sebagai  hasil  transfusi  antibodi sel darah

merah.  Trombosit  konsentrat  yang  inkompatible,  FFP,  clotting factor,

atau  cryoprecipitate  berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-A atau anti-B (atau kedua-

Page 21: syok hemoragik

duanya) alloantibodi. Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan hemolysis

intravascular.

Reaksi  Hemolisis  biasanya  digolongkan akut (intravascular) atau

delayed (extravascular).

a.      Reaksi hemolisis akut

Hemolisis   Intravascular   akut   pada   umumnya   berhubungan  dengan

Inkompatibilitas ABO dan frekwensi yang dilaporkan kira-kira 1:38,000

transfusi.  Penyebab  yang  paling  umum  adalah  mis-identifikasi  suatu  pasien, spesimen  

darah,  atau  unit  transfusi.  Reaksi ini  adalah  yang  terberat.  Resiko suatu reaksi hemolytic 

fatal terjadi 1dalam 100,000 transfusi.

Gejala-gejala yang ditemui

pada pasien yang sadar,  meliputirasa dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada pasien

yang dianestesi,  manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu meningkat, 

tachycardia tak dapat dijelaskan, hypotensi, hemoglobinuria,  dan oozing yang difus dari

lapangan operasi.Disseminated Intravascular

Coagulation, shock,  dan  penurunan  fungsiginjal dapat berkembang dengan cepat.

Beratnya suatu reaksi  seringkali tergantung pada berapa banyak  darah

yang inkompatibel yang sudahdiberikan. Gejala yang berat dapat terjadi setelah transfusi 10-

15ml darah yang ABO inkompatibel.

Manajemen reaksi hemolisis dapat simpulkan sebagai berikut;

         Jika  dicurigai  suatu  reaksi  hemolisis,  transfusi  harus dihentikan dengan segera.

         Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien.

         Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin.

         Osmotic  diuresis  harus  diaktifkan  dengan  mannitol  dan cairan kedalam pembuluh darah.

         Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian  platelets dan FFP

b.      Reaksi hemolisis lambat

Suatu reaksi hemolisis  lambat biasanya disebut hemolisisextravaskular

biasanya ringan dan disebabkan oleh antibodi non Dantigen sistem Rh atau ke

alel  asing di  sistem  lain seperti Kell, Duffy,atau Kidd antigen. Berikut suatu

transfusi  ABO  dan  Rh  D-kompatibel, pasien mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk

antibodi untuk melawan  antigen asing. Pada  saat  itu  sejumlah antibodi ini sudah terbentuk

(beberapa  minggu  sampai  beberapa bulan),

tranfusi seldarah  telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari  itu,  titer antibody

menurun dan mungkin tidak terdeteksi. Terpapar kembali denganantigen asing

yang sama selama transfusi sel darah, dapat mencetuskan  respon antibodi

melawan antigen asing.

Peristiwa ini dilihat  jelas dengan Sistem Kidd antigen. Reaksihemolisis pada tipe la

mbat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dangejala

biasanya  ringan,  terdiri dari malaise,  jaundice,  dan demam. Hematokrit  pasien

Page 22: syok hemoragik

tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanyaperdarahan. Serum bilirubin

unconjugated meningkat sebagai hasilpemecahan hemoglobin. Diagnosa antibodi-reaksi

hemolisis lambat mungkin  difasilitasi oleh antiglobulin  (Coombs)Test.

Coombs test mendeteksi adanya antibodi di

membran  sel  darah.Test  ini  tidak  bisa membedakan  antara membran  antibodi

resipienpada sel darah merah dengan membran antibodi donor pada sel darah

merah. Jadi, ini memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang lebih terperinci pre-transfusi pada

kedua spesimen : pasien dan  donor.

Penanganan  reaksi  hemolisis  lambat  adalah  suportif. Frekuensi  reaksi

transfusi hemolisis lambat diperkirakan kira-kira1:12.000 transfusi. Kehamilan

(terpapar sel darah merah janin) dapatjuga menyebabkan pembentukan allo-tibodies pada sel

darah merah.Manajemen: perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin, blood film, LDH, direct

antiglobulin  test, renal profile, serum bilirubin, haptoglobin, dan

urinalisis. Fungsi ginjal harus dimonitoring ketat. Terapi spesisfiksangat jarang dibutuhkan,

hanya saja pada transfusi selanjutnya perlu berhati-hati  dengan melakukan screening

golongan darah dan atibodi.

c.       Reaksi imun nonhemolisis

Reaksi imun nonhemolisis adalah dalam kaitan  dengan sensitisasi  dari resipien ke

donor lekosit, platelet, atau protein plasma.

3.      Reaksi Febris

Sen s iti s a s i     leuko s it     atau       platelet       s ecara     khas     manife s ta s inya     adalah

reak s i   febri s . Reaksi ini umumnya 1-3% tentang episode transfusi danditandai

oleh suatu peningkatan temperatur tanpa adanya hemolisis. Pasiendengan suatu

riwayat  febris berulang   harus menerima  tranfusi  lekosit saja.Transfusi   darah

merah  dapat  dibuat  leukositnya  kurang  dengan  sentrifuge, filtrasi,  atau  teknik freeze-

thaw.

4.      Reaksi Urtikaria

Reaksi  Urtikaria   pada  umumnya  ditandai  oleh  eritema,  penyakit gatal

bintik  merah  dan  bengkak,  dan  menimbulkan  rasa  gatal  tanpa demam.  Pada

umumnya (1%  tentang  transfusi) dan dipikirkan  berkaitan dengan  sensitisasi

pasien terhadap transfusi protein plasma. Reaksi urtikariadapat diatasi  dengan

obat antihistamin (H dan mungkin  H2 blockers) dansteroid.

5.      Reaksi Anafilaksis

Reaksi Anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 1 dari 150,000 transfusi).

Reaksi  ini  berat  dan  terjadi  setelah  hanya  beberapa  mililiter  darah  ditranfusi, secara kha

s pada IgA pasien dengan defisiensi anti-IgA yangmenerima tranfusi

darah yang berisi  IgA. Prevalensi defisiensi  IgAdiperkirakan   1:600-800 pada

populasi  yang  umum.  Reaksi  ini  diatasi dengan  pemberian  epinefrin,  cairan,

kortikosteroid, H1, dan H2 bloker. Pasiendengan

Page 23: syok hemoragik

defisiensi IgA perlu menerima Washed Packed Red Cells, deglycerolizedfrozen red cells, ata

u IgA-Free blood Unit .

Tandanya  meliputi  hipotensi,  bronkospasme,  periorbital  dan  laryngeal edema,

mual & muntah,  erythema,  urtikaria,  konjunctivitis,  dyspnoea, nyeri dada, dan

nyeri abdomen. Manajemen:  hentikan  transfusi  sampai gejala menghilang selama 30

menit. Untuk menghilangkan gejala berikanantihistamin,misalnya chlorpheniramine 10mg.

Berikan chlorpheniramine sebelum transfusi berikutnya dilakukan.

6.      Edema Pulmoner Nonkardiogenik

Sindrom  acute   lung   injury   (Transfusion-Related  Acute  Lung  Injury[TRALI])  

merupakan  komplikasi  yang  jarang  terjadi(<1:10,000).  Ini   berkaitan

dengan   tran s fu s i   antileuko s i t ik   atau   anti - H LA   antibodi   yang   s aling   berhubungan

dan     menyebabkan     s el     darah     putih     pa s ien     teragrega s i     di     s irkula s i   pulmoner . Tranfusi  se

l  darah  putih  dapat  berinteraksi  dengan leukoaglutinin.  Perawatan Awal   TRALI   adalah  

 sama   dengan   Acute  Respiratory   distress   syndrome (ARDS), tetapi dapat sembuh

dalam 12-48

jamdengan terapi suportif. Manajemen:  atasi  distres  pernapasan  dengan ventilator,  dan  b

erikan steroid.

7.      Graft versus Host Disease

Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien i m m une - co m p r o m i s e d . Produk sel darah 

berisi  limfosit mampu mengaktifkan  respon  imun.Penggunaan  filter

leukosit khusus sendiri  tidak dapat dipercaya mencegahpenyakit graft-versus-

host.  Iradiasi  (1500-3000  cGy)  sel  darah  merah, granulocyte,  dan  transfusi

platelet  secara  efektif  menginaktifasi  limfosit tanpa  mengubah  efikasi  dari transfusi.

8.      Purpura Post-transfusi

Thrombositopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan iniberkaitan

dengan  berkembangnya  aloantibodi  trombosit.  Karena  alasan  yang tidak  jelas,

antibodi  menghancurkan  trombosit.  Hitung  trombosit   secara  jelas menurun  1

minggu setelah tranfusi. Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan.

9.      Imunosupresi

Transfusi leukosit merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi.

Ini adalah  terlihat  jelas  pada  penerima  cangkok  ginjal, di mana

transfusi  darah  preoperatif  nampak  untuk  meningkatkan  survival  dari

graft. Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhanmalignan

mungkin   lebih   mirip   pada   pasien   yang   menerima   transfusi  darah   selama

pembedahan. Dari kejadian yang ada juga menyatakan bahwatranfusi  leukosit

allogenik dapat mengaktifkan virus laten pada resipien. Padaakhirnya, transfusi

darah  dapat   meningkatkan  timbulnya  infeksi  yang  seriussetelah  pembedahan

atau  trauma.

Page 24: syok hemoragik

10.  Komplikasi Infeksi

1)      Infeksi Virus Hepatitis

Sampai   tes   rutin   untuk   virus   hepatitis   telah   diterapkan,   insidensi timbulnya 

hepatitis  setelah transfusi  darah  7-10%.  Sedikitnya  90%  tentang

kasus  ini  adalah  dalam  kaitan  dengan  hepatitis  C  virus.  Timbulnya  hepatitis

posttransfusi  antarab  1:63,000  dan  1:1,600,000,  75%  tentang  kasus  ini adalah

anikterik, dan sedikitnya 50% berkembang menjadi penyakit hatikronis. Lebih

dari  itu,  tentang  kelompok  yang  terakhir  ini,  sedikitnya  10-20% berkembang

menjadi cirrhosis.

2)      Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)

Virus  yang  bertanggung  jawab  untuk  penyakit  ini,  HIV-1,  ditularkan

melalui transfusi darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti HIV-1 dan HIV-2

antibodi. Dengan adanya FDA yang menguji asam nukleat

memperkecil  waktu  kurang  dari  satu  minggu  dan  menurunkan  resiko  dari

penularan HIV melalui tranfusi 1:1.900.000 tranfusi.

3)      Infeksi Virus Lain

Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya

menyebabkan  penyakit sistemik ringan atau asimptomatik. Yang kurang menguntungkan

pada beberapa individu menjadi pembawa         infeksi

asimptomatik;  lekosit dalamdarah dari donor  dapat menularkan virus.

Pasien immunosupresif dan Immunocompromise (misalnya, bayi prematur dan

penerima transplantasi organ) peka terhadap infeksi CMV beratsetelah tranfusi.

Idealnya, pasien - pasien menerima hanya CMV negatif.

Studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV dari  transfusi

dari  darah  yang  leukositnya  berkurang  sama  dengan  tes  darah

yang  CMV negatif.  Oleh  karena itu, pemberian  darah dengan leukosit yang

dikurangisecara klinis cocok  diberikan  pada  pasien  seperti  itu. Human T sel

virus lymphotropic I dan  II (HTLV-1 dan  HTLV-2)  adalah leukemia dan lymphoma virus,

kedua-duanya telah dilaporkan  ditularkan melalui transfusi darah; leukemia dihubungkan

dengan myelopathy.  Penularan  Parvovirus telah

dilaporkan setelah transfusi faktor pembekua dan dapat mengakibatkan krisis

transient aplastic pada pasien immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus

nampaknya mengurangi tetapi tidak mengeliminasi timbulnya komplikasidi atas.

4)      Infeksi Parasit

Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi sepertimalaria,

toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.

5)      Infeksi Bakteri

Page 25: syok hemoragik

Kontaminasi bakteri adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi.

Prevalensi  kultur  positif  dari  kantong  darah  berkisar  dari  1/2000 trombosit sampai  1/70

00  untuk  RBC.  Prevalensi   sepsis  oleh  karena  transfusi  darah

berkisar dari 1/25,000  tromobosit  sampai 1/250,000 untukRBC. Angka-angka

ini secara  relatif besar dibandingkan ke resiko HIV atauhepatitis, yang adalah

di  sekitar  1/1-2  juta.  Baik  bakteri  gram-positif (Staphylococus)  dan  bakteri gram-

negatif  (Yersinia  dan  Citrobacter)  jarang mencemari  transfusi  darah  dan

menularkan penyakit. Untuk mencegahkemungkinan kontaminasi dari bakteri,

darah  harus  berikan  dalam  waktu kurang  dari  4  jam.  Penyakit  bakteri  yang

ditularkan   melalui   transfusi  darah   dari   donor   meliputi   sifilis,   brucellosis, salmonello

sis, yersiniosis,dan berbagai macam rickettsia.

Manajemen: penanganan kasus ini adalah dengan memberikan antibiotiksesuai  bakte

ri penginfeksi. Bila jenis bakterinya tidak diketahui, kombinasi

berikut dapat dipertimbangkan:

         Bakteri  gram  negatif:  piperacillin  4,5  g  tds  iv;  atau  ceftriaxone  1 g 1x/hari; atau

meropenem 1 g tds iv.

         Bakteri gram positif: teicoplain 400mg bd iv x2; atau vancomycin 1 g bd iv.

6)      Overload Cairan

Overload  cairan  terjadi  bila  transfusi  dilakukan  terlalu  cepat. Gagal

jantung  ventrikel  kiri  akut  sering  terjadi  disertai  dyspnoe, tachypnoea,  batuk

kering, peningkatan JVP, ronki basal paru, hipertensi, dan

takikardi. Manajemen: hentikan transfusi, dan berikan oksigen dan diuretik.

7)      Iron Overload

Komplikasi ini sering terjadi pada resipien dengan kelainan yang

hidupnya  bergantung pada transfusi darah seperti

thalasemia dan sickle  cell.Komplikasi ini terjadi bila transfusi sudah mencapai 10-50

kantong.Manajemen; iron chelation therapy dengan desferoxamine 30-50

mg subkutanatau infus lambat saat malam, minimal 5x/minggu.

2.11     Transfusi Darah Masif20

Transfusi  massif  adalah  transfusi  sejumlah  darah  yang  telah  disimpan,

dengan  volume  darah  yang

lebih  besar  daripada  volume  darah  resipien dalam waktu   24   jam.  Pada  keadaan   ini   d

apat   terjadi   hipotermia   bila  darah  yang

digunakan tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia dankelainan koagulasi

karena   terjadi   pengenceran   dari   trombosit   dan  factor-   factor   pembekuan.

Penggunaan   darah   s impan   dalam   w aktu   yanglama   akan   menyebabkan   terjadinya

Page 26: syok hemoragik

beberapa     komplika s i     diantaranya     adalah   kelainan     jantung,     a s ido s i s ,     kegagalan

hemo s tatik,   acute   lung inju r y.

Transfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu sampai

dua kali volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan 10-20

unit.

Transfusi masif adalah penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih banyak dari

total volume darah pasien dalam waktu <24 jam (dewasa: 70 ml/kg, anak/bayi: 80-90 ml/kg).

Morbiditas dan mortalitas cenderung meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan

oleh banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi karena trauma awal, kerusakan

jaringan dan organ akibat perdarahan dan hipovolemia. Seringkali penyebab dasar dan risiko

akibat perdarahan mayor yang menyebabkan komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu

sendiri. Namun, transfusi masif juga dapat meningkatkan risiko komplikasi.

1)      Koagulopati

Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional

thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari faktor koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien

normal. Koagulopati  di  definisikan  sebagai  nilai  PPT  lebih  besar  dari 14,2  atau  ni

lai APTT  lebih lama dari 38,4 detik.

Koagulopati  ini disebabkan  oleh  pelepasan  faktor  jaringan  (salah  satunya trombopla

stin,  yang  banyak terdapat di parenkim otak ) dan koagulan lain dariparenkim otak yang ru

sak, yang masuk

ke peredaran darah sistemik dan mempengaruhiproses pembekuan darah. Jika kerusakan

parenkim di otak cukup luas dantromboplastin banyak masuk ke sirkulasi sistemik, akan me

nyebabkan  aktivasi  faktor pembekuan  darah  yang  tidak  terkontrol  dan  selanjutnya

akan   mengakibatkan  koagulopati   sistemik   atau   disebut   disseminated   intravaskular

coagulation (DIC).

2)      DIC ( disseminated   intravaskular coagulation)

DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun hal ini lebih disebabkan alasan

dasar dilakukannya transfusi (syok hipovolemik, trauma, komplikasi obstetrik).

Terapi ditujukan untuk penyebab dasarnya. DIC (disseminated intravaskular

coagulation) ditandai dengan proses  aktivasi dari sistem koagulasi yang menyeluruh yang

menyebabkan pembentukan  fibrin di  dalam pembuluh darah sehingga   terjadi   oklusi  

trombotik   di   dalam pembuluh   darah   berukuran   sedang   dan   kecil. Proses   tersebut  

menjadikan   aliran   darah terganggu   sehingga   terjadi   kerusakan   pada banyak organ

tubuh. Pada saat yang bersamaan, terjadi   pemakaian   trombosit  dan   protein   dari faktor-

faktor   pembekuan   sehingga   terjadi perdarahan.

Sebelum   dikenal   istilah   CID,   dahulu dikenal   istilah-istilah  lain yang diberikan

sesuai dengan patofisiologinya:

         Coagulation consumption

         Hyperfibrinosis

Page 27: syok hemoragik

         Defibrinasi

         Thrombohaemoraghic Syndrome

DIC ( disseminated   intravaskular coagulation) merupakan keadaan yang  termasuk

dalam   kategori   kedaruratan   medik,   sehingga memerlukan   tindakan  medis   dan  

penanganan segera.   Tindakan   dan   penanganan   yang diberikan tergantung dari

patofisiologi  penyakit yang mendasarinya,  apakah  terjadi  secara akut atau memang sudah

ada penyakit  yang sudah lama   diderita.   Namun   yang   utama   dalam memberikan  

penanganan   tersebut   adalah mengetahui   proses   patologi   DIC   itu   sendiri,sepeti  

telah   disebutkan   sebelumnya,   yakni terjadinya proses  trombosis mikrovaskular dan

kemungkinan   terjadi   perdarahan   (diatesa hemoragik) secara bersamaanTanda-tanda  

yang   dapat   dilihat   pada penderita DIC yang disertai dengan perdarahan misalnya: 

petekie, ekimosis, hematuria, melena, epistaksis,   hemoptisis,   perdarahan   gusi, penurunan

kesadaran hingga terjadi koma yang disebabkan oleh perdarahan otak. Sementara tanda-tanda

yang dapat dilihat pada trombosis mikrovaskular adalah gangguan aliran darah yang

mengakibatkan terjadi iskemia pada organ dan berakibat pada kegagalan fungsi organ 

tersebut,  seperti:  gagal  ginjal  akut,  gagal nafas akut, iskemia fokal, gangren pada kulit.

Berikut   ini   adalah   kondisi   klinik   yang dapat menyebabkan terjadinya DIC:

         Sepsis

         Trauma

o   Cidera jaringan berat

o    Cidera kepala

o   Emboli lemak

         Kanker

o   Myeloproliferative disorder

o   Tumor padat

         Komplikasi Obstetrik

o   Emboli cairan amnion

o   Abruptio Placenta

         Kelainan pembuluh darah

o   Giant hemangioma

o   Aneurysma Aorta

         Reaksi terhadap toksin

         Kelainan Imunologik

o   Reaksi alergi yang berat.

o   Reaksi hemolitik pada transfusi

o   Rejeksi pada transplant

Pada   pasien   dengan   DIC,   terjadi pembentukan   fibrin   oleh   trombin   yang

diaktivasi oleh faktor  jaringan.  Faktor  jaringan, berupa   sel  mononuklir   dan   sel  

Page 28: syok hemoragik

endotel   yang teraktivasi,  mengaktivasi   faktor  VII.  Kompleks antara   faktor   jaringan  

dan   faktor   VII   yang teraktivasi tersebut akan mengaktivasi faktor X baik   secara  

langsung  maupun  tidak   langsung dengan  cara  mengaktivasi   faktor   IX dan VIII. Faktor  

X   yang   teraktivasi   bersama   dengan faktor  V  akan mengubah protrombin menjadi

trombin.   Di   saat   yang   bersamaan   terjadi konsumsi   faktor   antikoagulan   seperti

antitrombin   III,   protein   C   dan   jalur penghambat-faktor   jaringan,   mengakibatkan

kurangnya faktor-faktor tersebut. Pembentukan fibrin   yang   terjadi   tidak   diimbangi  

dengan penghancuran   fibrin   yang   adekuat,   karena sistem  fibrinolisis   endogen  

(plasmin)   tertekan oleh   penghambat-aktivasi   plasminogen   tipe   1 yang   kadarnya  

tinggi   di   dalam   plasma menghambat   pembentukan   plasmin   dari plasminogen. 

Kombinasi   antara  meningkatnya pembentukan   fibrin   dan   tidak   adekuatnya

penghancuran   fibrin  menyebabkan   terjadinya trombosis intravaskular yang menyeluruh.

Diagnosis   DIC   tidak   dapat   ditegakan hanya berdasarkan satu tes laboratorium,

karena itu   biasanya   digunakan   beberapa     hasil pemeriksaan   laboratorium   yang  

dilakukan berdasarkan kondisi klinik pasien.

Dalam praktik klinik diagnosis DIC dapat ditentukan atas dasar temuan sebagai

berikut:

1.      adanya   penyakit   yang   mendasari terjadinya DIC.

2.      Pemeriksaan   trombosit   kurang   dari 100.000/mm³.

3.      Pemanjangan   waktu   pembekuan   (PT, aPTT).

4.      Adanya   hasil   degradasi   fibrin   di   dalam plasma  (ditandai  dengan peningkatan D-

dimer).

5.      Rendahnya kadar  penghambat  koagulasi (Antitrombin III)

Rendahnya   trombosit   pada   DIC menandakan   adanya   aktivasi   trombin   yang

terinduksi   dan   penggunaan   trombosit. Memanjangnya waktu pembekuan menandakan

menurunnya   jumlah   faktor   pembekuan   yang tersedia seperti vitamin K. Pemeriksaan  

kadar   penghambat pembekuan   (AT   III   atau   protein   C)   berguna untuk   memberikan  

informasi   prognostik. Pemeriksaan   hasil   degradasi   fibrin   seperti  D-dimer,   akan  

membantu   untuk   membedakan DIC dengan kondisi   lain yang memiliki  gejala serupa,  

pemanjangan  waktu   pembekuan   dan turunnya  trombosit,  seperti  pada penyakit  hati

kronik.

Rekomendasi   KonNas   Tatalaksana   DIC pada Sepsis tahun 2001Kriteria  minimal  

untuk   diagnosis   DIC adalah   didapatkan   keadaan   atau   gambaran klinik   yang   dapat 

menyebabkan  DIC  dengan manifestasi   perdarahan,   tromboemboli   atau keduanya,  

disertai   dengan   pemeriksaan laboratorium   trombositopenia   dan   gambaran eritrosit sel

Burr atau D-dimer positif.Bilamana   fasilitas   laboratorium memungkinkan   dapat  

digunakan   kriteria menurut  Bick atau berdasarkan  skor  DIC dari ISTH 2001.

Kriteria   Laboratorium   DIC   menurut KonNas   Tata   laksana  DIC   pada   sepsis

2001;

Page 29: syok hemoragik

1.      Hitung   trombosit:   trombositopeni   pada 98% DIC

2.      PT : memanjang pada 50-70% DIC

3.      aPTT : memanjang pada 50-60% DIC

4.      Masa Trombin : memanjang

5.      Fibrinogen

6.      sFM (soluble fibrin monomer)

7.      D-dimer : meningkat

8.      FDP : meningkat

9.      Antitrombin : menurun

Kriteria Laboratorium DIC menurut Bick, yaitu ;

1.      Aktivasi   prokoagualan:   PF1+2,   TAT,   D-dimer, fibrinopeptide

2.      Aktivasi   fibrinolitik:   D-dimer,   FDP, plasmin, PAP

3.      Konsumsi   inhibitor:   AT   III,   TAT,   PAP, Protein C & S

4.      Kerusakan/kegagalan   organ:   LDH, kreatinin, pH, pO2

Sistem Skor DIC (ISTH 2001)

1.      Penilaian   risiko:   apakah   terdapat penyebab DIC?(jika tidak ada, penilaian tidak

dilanjutkan)

2.      Uji   Koagulasi   (trombosit,   PT,   D-dimer, fibrinogen)

3.      Skor:

a.       Trombosit: > 100000 = 0 50000-100000   = 1 <50000 = 2

b.      D-dimer: < 500 = 0 500-1000   =   1>10000=2

c.       PT memanjang: <3 detik = 0 4-6 detik = 1 >6 detik = 2

d.      Fibrinogen: <100mg/dl = 1 >100 mg/dl = 0

4.      Jumlah skor:

a.        ≥ 5 : sesuai DIC :  skor diulang setiap hari

b.      < 5 : sugestif DIC :  skor diulang dalam 1-2 hari

Penatalakasanaan   DIC   yang   utama adalah   mengobati   penyakit   yang  

mendasari terjadinya  DIC.   Jika  hal   ini   tidak  dilakukan  , pengobatan  terhadap DIC 

tidak akan berhasil. Kemudian   pengobatan   lainnya   yang   bersifat suportive dapat

diberikan.

1.      Antikogulan

Secara   teoritis   pemberian   antikoagulan heparin akanmenghentikan proses

pembekuan, baik yang disebabkan oleh infeksi maupun oleh penyebab  lain.  Meski 

pemberian heparin  juga banyak   diperdebatkan   akan   menimbulkan perdarahan,   namun  

dalam   penelitian   klinik pada pasien KID,  heparin  tidak menunjukkan komplikas

perdarahan yang signifikan.

Dosis heparin yang diberikan adalah 300 – 500 u/jam dalam infus kontinu.

Indikasi:

Page 30: syok hemoragik

         Penyakit   dasar   tak   dapat   diatasi   dalam waktu singkat

         Terjadi  perdarahan meski  penyakit  dasar sudah diatasi

         Terdapat   tanda-tanda   trombosis   dalam mikrosirkulasi,   gagal   ginjal,   gagal   hati,

         sindroma gagal nafas

         Dosis: 100iu/kgBB   bolus   dilanjutkan   15-25 iu/kgBB/jam   (750-1250   iu/jam)  

kontinu,   dosis selanjutnya   disesuaikan   untuk  mencapai   aPTT 1,5-2 kali kontrolLow  

molecular   weight   heparin  dapat menggantikan unfractionated heparin.

2.      Plasma dan trombosit

Pemberian baik plasma maupun trombosit harus   bersifat   selektif.   Trombosit  

diberikan hanya   kepada  pasien  DIC  dengan  perdarahan atau   pada   prosedur   invasive  

dengan kecenderungan   perdarahan.   Pemberian   plasma juga   patut   dipertimbangkan,  

karena   di   dalam palasma   hanya   berisi   faktor-faktor  pembekuan tertentu saja,

sementara pada pasien DIC terjadi gangguan seluruh faktor pembekuan.

3.      Penghambat pembekuan (AT III)

Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien DIC,  meski biaya pengobatan  ini

cukup mahal. Direkomendasikan   sebagai   terapi substitusi bila AT III<70%

Dosis:

         Dosis  awal  3000  iu  (50  iu/kgBB)  diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infus kontinu

selama 3 – 5 hari.

Rumus:

         1 iu x BB (kg) x ∆ AT III, dengan target AT III > 120%

         ∆ AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III > 125%

4.      Obat-obat antifibrinolitik

Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan   perdarahan,   tetapi   pada  

pasien   DIC pemberian   antifibrinolitik   tidak   dianjurkan. Karena   obat   ini   akan  

menghambat   proses fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah,

akibatnya DIC yang terjadi akan semakin berat.

3)      Asidosis

Keadaan ini lebih disebabkan terapi hipovolemia yang tidak adekuat. Pada keadaan 

normal, tubuh dengan mudah mampu menetralisir kelebihan asam dari transfusi. Asidosis

metabolik hampir selalu menyertai syok dengan adanya akumulasi asam laktat akibat

hipoksemia, hal ini dikarenakan pada saat mengalami syok, konsumsi oksigen dalam oksigen

menurun akibat berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya

aliran darah yang mengandung oksigen kejaringan. Kekurangan ini menyebabkan sel

terpaksa melangsungkan metabolism anaerob dan menghasilkan asm laktat. Metabolisme

anaerobik mengalami komplikasi akibat penurunan fungsi hati dimana hati tidak mampu

Page 31: syok hemoragik

memetabolisir laktat yang terbentuk. Sehingga keasaman jaringan bertambah dengan adanya

asam laktat, asam piruvat, asam lemak dan keton.

4)      Hyperkalemia

Hal ini dikarenakan faktor penyimpanan darah menyebabkan konsentrasi kalium

ekstraselular meningkat, dan akan semakin meningkat bila semakin lama disimpan.

5)      Keracunan sitrat dan hipokalsemia

Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi penting

setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hipokalsemia penting, karena

menyebabkan depresi jantung,  tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika transfusi

melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan

penyakit atau disfungsi hepar (dan kemungkinan pada pasien hipotermi) memerlukan infus

kalsium selama transfusi masif.

Keracunan sitrat jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada transfusi darah lengkap

masif. Pasien yang mengalami keracunan sitrat ata mengaami deficit kalsium yaitu mereka

yang mendapatkan transfusi lasma, whole blood dan trombosit dengan ecepatan melebihi

100ml/menit, atau lebih rendah pada pasien dengan penyakit hati, dimana hati tidak bias

mengikuti pemberian sitrat dengan cepat, tidak bias memetabolisme sitrat, mengrangi

kalsium terionisasi.

Hipokalsemia terutama bila disertai dengan hipotermia dan asidosis dapat

menyebabkan penurunan curah jantung (cardiac output), bradikardia dan disritmia lainnya.

Proses metabolisme sitrat menjadi bikarbonat biasanya berlangsung cepat, oleh karena itu

tidak perlu menetralisir kelebihan asam.

6)      Kekurangan fibrinogen dan faktor koagulasi

Plasma dapat kehilangan faktor koagulasi secara progresif selama penyimpanan,

terutama faktor V dan VIII, kecuali bila disimpan pada suhu  -25°C atau lebih rendah.

Pengenceran (dilusi) faktor koagulasi dan trombosit terjadi pada transfusi massif.

7)      Kekurangan trombosit

Fungsi trombosit cepat menurun selama penyimpanan darah lengkap dan trombosit

tidak berfungsi lagi setelah disimpan 24 jam.

8)      Hipotermia

Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua produk darah

cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Hipotermia adalah kondisi dimana

tubuh kita mengalami penurunanan suhu  inti (suhu organ dalam). Hipotermia bias

menyebabkan terjadinya  pembengkakan di seluruh tubuh (Edema   Generalisata),  

menghilangnya   reflex   tubuh   (areflexia), koma,  hingga menghilangnya reaksi pupil mata.

Disebut hipotermia berat bila suhu tubuh < 320C. Untuk mengukur suhu tubuh pada

hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low reading termometer) sampai 250C. Di  

samping sebagai suatu gejala, hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir

dengan kematian. 

Page 32: syok hemoragik

Hipotermia terjadi ketika darah dingin dengan volume yang banyak diberikan dengan

cepat. Pemberiaan dengan cepat ini dapat menyebabkan pasien menggigil, hipotermi

vasokontriksi perifer dan aritmia ventrikuler yang dapat menjadi fibrilasi, sering terjadi pada

temperatur sekitar 30°C dan mengahambat resusitasi jantung hingga henti jantung.

Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah

sungguh mengurangi timbulnya insiden hipotermia yang terkait dengan transfuse. Pemberian

cepat transfusi masif yang langsung berasal dari pendingin menyebabkan penurunan suhu

tubuh yang bermakna. Bila terjadi hipotermia, berikan perawatan selama berlangsungnya

transfusi.

9)      Kelainan asam basa

Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan antikoagulan asam

sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merah (karbondioksida dan asam laktat),

berkenaan dengan metabolisme  asidosis metabolik yang berkaitan dengan transfusi tidaklah

umum. Yang terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi darah masif adalah alkalosis

metabolik postoperatif. Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolik berakhir dan

alkalosis metabolik progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan

resusitasi diubah menjadi bikarbonat oleh hepar.

10)  Perubahan konsentrasi kalium serum

Konsentrasi kalium ekstraselular dalam darah yang disimpan meningkat dengan waktu.

Jumlah kalium ekstraselular yang transfusi pada unit masing-msaing kurang dari 4 mEq

perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur darah ketika transfusi

melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah operasi, terutama sekali

dihubungkan dengan alkalosis metabolik

11)  Mikroagregat

Sel darah putih dan trombosit dapat beragregasi dalam darah lengkap yang disimpan

membentuk mikroagregat. Selama transfusi, terutama transfusi masif, mikroagregat ini

menyebabkan embolus paru dan sindrom distress pernapasan. Penggunaan  buffy coat-

depleted packed red cell  akan menurunkan kejadian sindrom tersebut.