dinamika gen dalam populasi

25
Ukuran Populasi Efektif Parameter dasar dari populasi biologis adalah jumlah populasi sensus, N, diartikan sebagai jumlah keseluruhan individu dari sebuah populasi. Namun jika dilihat dari perspektif populasi genetis dan evolusi, jumlah tersebut hanya meliputi individu-individu yang berperan aktif dalam reproduksi. Dikarenakan tidak semua individu berperan dalam reproduksi, maka jumlah populasi dalam proses evolusi berbeda dibandingkan jumlah sensus. Bagian ini disebut dengan ukuran populasi efektif, ditandai dengan N e . Wright (1931) mengenalkan konsep ukuran populasi efektif yang kemudian dengan kukuh menyatakan bahwa ukuran tersebut adalah ukuran ideal dari populasi yang memiliki dampak pada populasi nyata persis dengan teknik random sampling dalam frekuensi allele. Coba pertimbangkan, misalnya sebuah populasi dengan jumlah sensus N, dan anggap saja frekuensi allele A 1 pada generasi t adalah p. Jika jumlah individu yang berperan dalam reproduksi adalah N, maka selisih frekuensi allele A 1 pada generasi yang akan datang, p t+1 , dapat diperoleh dari rumus 2.13 dengan cara mengatur t = 1. Rumus 2.14 Singkatnya, dikarenakan tidak semua individu berperan dalam proses reproduksi, maka selisih yang didapatkan lebih besar dari yang didapatkan dari rumus 2.14.

Upload: gentongcantik

Post on 18-Jan-2016

66 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dinamika Gen Dalam Populasi

Ukuran Populasi Efektif

Parameter dasar dari populasi biologis adalah jumlah populasi sensus, N,

diartikan sebagai jumlah keseluruhan individu dari sebuah populasi. Namun jika

dilihat dari perspektif populasi genetis dan evolusi, jumlah tersebut hanya

meliputi individu-individu yang berperan aktif dalam reproduksi. Dikarenakan

tidak semua individu berperan dalam reproduksi, maka jumlah populasi dalam

proses evolusi berbeda dibandingkan jumlah sensus. Bagian ini disebut dengan

ukuran populasi efektif, ditandai dengan Ne. Wright (1931) mengenalkan konsep

ukuran populasi efektif yang kemudian dengan kukuh menyatakan bahwa ukuran

tersebut adalah ukuran ideal dari populasi yang memiliki dampak pada populasi

nyata persis dengan teknik random sampling dalam frekuensi allele.

Coba pertimbangkan, misalnya sebuah populasi dengan jumlah sensus N,

dan anggap saja frekuensi allele A1 pada generasi t adalah p. Jika jumlah individu

yang berperan dalam reproduksi adalah N, maka selisih frekuensi allele A1 pada

generasi yang akan datang, pt+1, dapat diperoleh dari rumus 2.13 dengan cara

mengatur t = 1.

Rumus 2.14

Singkatnya, dikarenakan tidak semua individu berperan dalam proses reproduksi,

maka selisih yang didapatkan lebih besar dari yang didapatkan dari rumus 2.14.

Ukuran populasi efektif adalah nilai yang digantikan untuk N dengan tujuan

memenuhi rumus 2.14, antara lain,

Rumus 2.15

Secara umum, nilai Ne lebih kecil, terkadang jauh lebih kecil bila

dibandingkan nilai N. Sebagai contoh, ukuran populasi efektif dari nyamuk

Anopheles gambiae diperkirakan kurang lebih 2.000 –sekitar enam kali lipat lebih

kecil dibandingkan jumlah populasi sensus.(Lehmann et al. 1998)

Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Sebagai contoh,

sebuah populasi dengan keturunan yang tumpang tindih (khususnya bila selisih

dari jumlah keturunan antar individu dalam angka besar), pada waktu tertentu

sebagian dari populasi akan diisi oleh individu-individu baik yang berada di masa

pre-reproduksi ataupun pasca-reproduksi. Karena stratifikasi usia inilah, ukuran

Page 2: Dinamika Gen Dalam Populasi

populasi efektif jauh lebih kecil dari ukuran sensus. Seperti menurut Nei dan

Imaizumi (1966), dalam manusia, Ne hanya sedikit lebih besar dari N/3.

Penurunan dalam perbandingan ukuran populasi efektif terhadap sensus

dapat juga terjadi pada fenomena perbedaan jumlah pria dan wanita yang terlibat

dalam reproduksi. Hal ini khususnya terjadi dalam spesies poligami seperti

mamalia sosial, burung territorial, atau dalam spesies yang memiliki kasta non-

reproduktif (seperti lebah sosial, semut, rayap dan tikus mol telanjang). Jika

dalam populasi terdiri dari Nm pria dan Nf wanita (N=Nm + Nf) Ne disepakati

sebagai berikut:

(Rumus 2.16)

Perhatikan bahwa Ne akan selalu lebih kecil dari N, kecuali apabila wanita yang

terlibat dalam reproduksi mempunyai jumlah yang sama dengan pria. Semisal

dalam contoh yang ekstrem, anggap saja terdapat sebuah populasi N yang mana

jumlah dari wanita dan pria nya adalah sama, semua wanita dan hanya satu pria

yang terlibat dalam proses reproduksi. Dari rumus 2.16 kita mendapatkan Ne = 2N

/ (1 + N/2). Jika N jauh lebih besar dari 1, seperti N/2 + 1 = N/2, maka Ne menjadi

4, tanpa menghiraukan ukuran sensus populasi.

Ukuran populasi efektif juga dapat disederhanakan lagi karena variasi

jangka panjang dalam ukuran populasi, yang bergiliran disebabkan oleh faktor-

faktor alami seperti bencana, siklus reproduksi, kepunahan lokal dan rekolonisasi.

Ukuran populasi efektif jangka panjang dalam suatu spesies untuk sebuah periode

dari generasi n dapat dirumuskan sebagai:

(Rumus 2.17)

Dimana Ni adalah jumlah populasi dari populasi ke-i. Dengan kata lain, Ne

equivalen dengan nilai dari Ni, sebagai akibatnya, nilai tersebut lebih mendekati

nilai terkecil dari Ni dibandingkan dengan nilai terbesar. Sama halnya jika sebuah

populasi mengalami penyempitan atau kemacetan, ukuran populais efektif jangka

panjangnya akan sangat berkurang walaupun setelah populasi tersebut berhasil

melalui penyempitan. Banyak yang mengira ukuran populasi efektif jangka

panjang (yaitu 2 juta tahun) dari manusia sudah diumumkan. Sebagian besar dari

mereka berfokus pada nilai Ne yaitu sekitar 10.000 (Li dan Saddler 1991;

Page 3: Dinamika Gen Dalam Populasi

Takahata 1993; Hammer 1995; Takahata et al. 1995; Harding et al. 1997; Sherry

et al. 1997; Clark et al. 1998).

Substitusi Gen

Substitusi gen diartikan sebagai proses dimana mutan allele secara total

menggantikan allele utama atau allele tipe liar dalam sebuah populasi. Dalam

proses ini, sebuah mutan allele muncul dalam populasi sebagai tiruan tunggal dan

menjadi satu-satunya setelah melawati beberapa generasi. Bagaimanapun juga,

tidak semua mutan mencapai tahap fiksasi. Bahkan mayoritas dari mereka

menghilang setelah beberapa generasi. Maka dari itu kita perlu mengangkat isu

probabilitas fiksasi dan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi

kemungkinan dari mutan baru allele untuk mencapai fiksasi dalam sebuah

populasi.

Waktu untuk sebuah mutan baru allele mencapai fiksasi disebut dengan

waktu fiksasi. Berikutnya kita akan mengidentifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi waktu dari sebuah mutan baru allele menggantikan allele yang

lama dalam sebuah populasi.

Mutan baru terus menerus muncul dalam populasi. Oleh karena itu,

substitusi gen berhasil terjadi, dengan sebuah allele menggantikan yang lain dan

membiarkan dirinya seiring waktu digantikan oleh allele yang baru. Demikian kita

dapat membahas laju subtitusi gen, yaitu jumlah fiksasi allele baru per unit

waktu.

Probabilitas Fiksasi

Kemungkinan atau probabilitas dari sebuah allele tertentu untuk menjadi satu-

satunya dalam sebuah populasi tergantung pada (1) frekuensi, (2) keuntungan dan

kerugian selektif, s, dan (3) ukuran populasi efektif, Ne. Selanjutnya kita harus

mempertimbangkan kasus pemilihan gen dan menganggap jika kecocokan relatif

dari tiga genotipe A1A1, A1A2, A2A2 adalah berturut-turut 1,1 + s, dan 1 + 2s.

Kimura (1962) menunjukkan bahwa probabilitas fiksasi dari A2 adalah

(Rumus 2.18)

Page 4: Dinamika Gen Dalam Populasi

dimana q adalah frekuensi awal dari allele A2. Karena e-r ≈1 – x untuk nilai kecil

dari x, Rumus 2.18 berubah menjadi sederhana; P ≈ q seiring dengan s mencapai

0. Maka dari itu, untuk allele netral, memiliki probabilitas fiksasi yang dengan

frekuensinya dalam populasi. Sebagai contoh, sebuah allele netral dengan

frekuensi 40 % akan menjadi satu-satunya (fixed) di 40% dari kasus, dan akan

hilang dalam 60% dari kasus. Secara tidak sengaja, hal ini sangat dapat dimengerti

karena dalam kasus allele netral, fiksasi terjadi karena dorongan genetis acak,

yang tidak menyerupai allele manapun.

Kita ingat bahwa sebuah mutan baru yang muncul sebagai satu buah

(tunggal) dalam populasi diploid dengan ukuran N, memiliki frekuensi awal 1 /

(2N). Maka probabilitas fiksasi dari allele mutan individual, P, dapat diperoleh

dengan cara mengganti q dengan 1 / (2N) dalam Rumus 2.18. Ketika s ≠ 0,

Rumus 2.19

Untuk mutasi netral, yaitu s = 0, rumus 2.19 menjadi

Rumus 2.20

Jika ukuran populasi bernilai sama dengan ukuran populasi efektif, rumus 2.20

berkurang menjadi

Rumus 2.21

Jika nilai absolute s normal, kita peroleh

Rumus 2.22

Untuk nilai positif dari s dan nilai besar dari N, rumus 2.22 berkurang menjadi

Rumus 2.23

Maka dari itu, jika sebuah mutasi yang bermanfaat muncul dalam sebuah populasi

besar dan manfaat selektif yang kecil terhadap semua allele lain, misalnya

mencapai 5%, probabilitas fiksasinya kurang lebih mencapai dua kali lipat dari

manfaat selektifnya sendiri. Sebagai contoh, jika sebuah mutasi kodominan

dengan s = 0.01 muncul dalam populasi, probabilitas dari fiksasinya adalah 2%.

Sekarang, mari kita bahas contoh angka. Sebuah mutan bar muncul dalam

populasi dengan 1000 individu. Berapakah probabilitasnya jika allele tersebut

menjadi tunggal (fixed) jika (1) allele tersebut netral, (2) allele tersebut memberi

manfaat selektif 0.01, atau (3) allele tersebut memiliki manfaat selektif 0.001?

Page 5: Dinamika Gen Dalam Populasi

Untuk lebih mudah, anggap saja bahwa N = Ne. Untuk kasus netral, probabilitas

fiksasi yang dihitung dengan menggunakan rumus 2.20 adalah 0,05%. Dari rumus

2.23 dan 2.21, kita peroleh probabilitas masing-masing 2% untuk manfaat selektif

dan 0.004% untuk mutasi yang rusak. Hasil-hasil ini layak diperhatikan, karena

mereka pada dasarnya berarti bahwa sebuah mutasi yang bermanfaat belum tentu

selalu menjadi tunggal dalam sebuah populasi. Sebaliknya, 98% dari seluruh

mutasi dengan manfaat selektif 0.01 akan hilang. Penemuan teoritis ini sangat

penting, karena menunjukkan bahwa persepsi terhadap evolusi adaptif sebagai

proses dimana mutasi bermanfaat muncul dalam populasi dan selalu mengambil

alih populasi dalam generasi-generasi berikutnya hanyalah konsep naif belaka.

Terlebih lagi, bahkan mutasi yang merusakkan memiliki kemungkinan yang

terbatas untuk menjadi tunggal dalam populasi, sekalipun yang terkecil.

Bagaimanapun juga, fakta belaka tentang allele perusak yang bisa menjadi tunggal

dalam populasi dengan mengorbankan allele yang “lebih baik” mengilustrasikan

dengan kuat pentingnya kesempatan dalam menentukan takdir mutasi selama

evolusi.

Waktu Fiksasi

Waktu yang diperlukan untuk fiksasi atau kehilangan dari allele tergantung pada

(1) frekuensi dari allele, (2) manfaat dan kerugian selektif, dan (3) ukuran dari

populasi. Sementara fiksasi atau kehilangan menjadi lebih pendek seiring dengan

frekuensi allele mencapai 1 atau 0.

Jika berurusan dengan mutasi baru, lebih nyaman untuk memperlakukan

fiksasi dan kehilangan secara terpisah. Untuk selanjutnya, kita berurusan dengan

rata-rata waktu fiksasi dari mutan-mutan tersebut yang nantinya akan menjadi

tunggal (fixed) dalam populasi. Variabel ini disebut sebagai waktu fiksasi

kondisional. Dalam kasus mutan baru yang memiliki frekuensi awal dalam

populasi diploid adlah dengan pengertian q = 1/(2N), rata-rata waktu fiksasi

kondisional, t, dihitung oleh Kimura dan Ohta (1969). Untuk mutasi netral,

diperkirakan dengan:

Rumus 2.24

Dan untuk mutasi dengan manfaat selektif s, diperkirakan dengan:

Page 6: Dinamika Gen Dalam Populasi

Rumus 2.25

Untuk mengilustrasikan perbedaan dari mutasi-mutasi dengan tipe

berbeda, anggap saja bahwa spesies mamalia memiliki ukuran populasi efektif

sekitar 106 dan rata-rata waktu generasi 2 tahun. Dengan kondisi-kondisi tersebut,

akan diperlukan mutasi netral, rata-rata, 8 juta tahun untuk menjadi tunggal (fixed)

dalam populasi. Sedangkan mutasi dengan manfaat selektif 1% akan menjadi

tunggal hanya dalam 5800 juta tahun saja. Yang menarik adalah; waktu fiksasi

kondisional untuk allele perusak dengan kerugian selektif –s sama dengan allele

yang memiliki manfaat selektif s (Maruyama dan Kimura 1974). Hal ini secara

tidak sengaja diamklumi karena tingginya probabilitas dari kehilangan allele

perusak. Oleh karena itu, agar allele perusak bisa menjadi tunggal dalam populasi,

fiksasi harus terjadi dengan sangat cepat.

Dalam gambar 2.7, kami sajikan dinamika substitusi gen dalam bentuk

skema untuk mutasi bermanfaat dan netral. Kami faham bahwa mutasi bermanfaat

cepat hilang / musnah dan juga cepat menjadi tunggal dalam populasi. Sebaliknya,

perubahan frekuensi mutasi netral lambat, dan waktu fiksasinya jauh lebih lama

dibandingkan mutan bermanfaat.

Figure2.7

Gambar skema tentang dinamika substitusi gen (a) mutasi bermanfaat dan (b)

mutasi netral. Mutasi bermanfaat sangat cepat musnah dan juga cepat menjadi

tunggal, sehingga peran mereka dalam polimorfisme sangatlah kecil. Sebaliknya,

frekuensi dari allele netral berubah dengan sangat lambat, sehingga jumlah

polimorfisme sementara yang besar dapat dihasilkan. Waktu fiksasi kondisional

adalah t¯, dan 1/K adalah rata-rata waktu antar dua fiksasi berurutan. Dimodifikasi

dari Nei (1987)

Laju Subtitusi Gen

Saat ini mari kita membahas tentang laju subtitusi gen, diartikan sebagai jumlah

mutan yang mencapai fiksasi per unit waktu. Pertama-tama, kita harus

memikirkan mutasi netral lebih dahulu. Jika mutasi netral terjadi pada laju u per

gen per generasi, maka jumlah mutan yang muncul pada lokus dalam populasi

Page 7: Dinamika Gen Dalam Populasi

diploid dengan ukuran N adalah 2Nu per generasi. Karena probabilitas fiksasi dari

masing-masing mutan tersebut adalah 1 / (2N), kita peroleh laju substitusi gen dari

allele netral dengan mengkalikan jumlah mutasi dengan probabilitas fiksasi

mereka:

Rumus 2.26

Maka dari itu, untuk mutasi netral laju substitusi gen sama dengan laju mutasi –

sebuah hasil yang sederhana dan penting (Kimura 1968b). Hasil ini dapat

dimengerti secara mudah dengan mencamkan bahwa dalam populasi yang besar,

jumlah mutasi yang muncul tiap generasi tinggi, namun probabilitas fiksasi tiap

mutasi sangat rendah. Sebagai perbandingan, dalam populasi kecil, jumlah mutasi

yang muncul tiap generasi sangat rendah, namun probabilitas fiksasi tiap mutasi

tinggi. Sebagai akibatnya laju substitusi gen dari mutasi netral independen

terhadap ukuran populasi.

Untuk mutasi bermanfaat, laju substitusi gen juga dapat diperoleh dengan

mengkalikan laju mutasi dengan probabilitas fiksasi untuk allele bermanfaat

seperti pada rumus 2.23. untuk seleksi gen dengan s ˃ 0, kita peroleh

Rumus 2.27

Dengan kata lain, laju substitusi dari seleksi gen tergantung pada ukuran populasi

(N), seleksi bermanfaat (s) dan juga laju mutasi (u).

Kebalikan dari K (yaitu 1/K) adalah rata-rata waktu dari dua fiksasi.

Gambar 2.7.

Polimorfisme Genetik

Sebuah populasi disebut monomofis pada lokus apabila hanya terdapat satu allele

dalam lokus. Sebuah lokus dikatakan polimorfis apabila terdapat dua allele atau

lebih dalam populasi. Bagaimanpun juga, jika satu allele memiliki frekuensi

tinggi, misalnya 99% atau lebih, maka allele lainnya kemungkinan tidak

terobservasi dalam sampel, kecuali sampel tersebut sangat besar. Maka, agar

praktis, sebuah lokus umumnya dikatakan polimorfis hanya apabila frekuensi dari

allele yang paling umum adalah kurang dari 99%. Definisi ini jelas-jelas muncul

begitu saja, dan di dalam buku, siapapun mungkin menemukan level yang berbeda

dari 99%.

Page 8: Dinamika Gen Dalam Populasi

Perbedaan Gen

Salah satu cara yang paling sederhana dalam menghitung tingkat polimorfisme

dalam populasi adalah dengan menghitung proporsi rata-rata dari loki polimorfis

(P) dengan membagi jumlah lokus polimorfis dengan jumlah lokus yang diambil

sebagai sampel. Sebagai contoh, jika 4 dari 20 lokus adalah polimorfis, maka P =

4/20 = 0.20. Bagaimanapun juga, penghitungan ini tergantung pada jumlah

individu yang dipelajari, karena semakin kecil ukuran sample, semakin sulit untuk

mengidentifikasi lokus polimorfis begitu saja.

Metode yang lebih tepat dari variabilitas gen adalah rata-rata perkiraan

heterozigositas, atau diversitas gen. Metode ini (1) tidak bergantung pada

penggambaran polimorfisme tidak tentu, (2) dapat dihitung secara langsung dari

frekuensi allele yang diketahui, dan (3) hanya sedikit terpengaruh oleh efek dari

penarikan sampel. Diversitas gen atau expected heterozygosity lokus tunggal,

seperti dibawah ini:

Rumus 2.28

Dimana xi adalah frekuensi dari allele i dan m adalah jumlah allele pada lokus.

Untuk lokus tertentu, h adalah kemungkinan bahwa dua allele yang dipilih secara

acak dari populasi berbeda satu sama lain. Rata-rata nilai h dari seluruh lokus

yang diteliti, H, dapat digunakan sebagai perkiraan tingkat dari perubahan gen

(genetic variability) dalam populasi. Yaitu,

Rumus 2.29

Dimana h, adalah diversitas gen pada lokus i, dan n adalah jumlah lokus.

Seperti yang sudah kita lihat sebelumnya, aliran gen random adalah tenaga

anti-polimorfis dalam evolusi. Maka dari itu, diversitas gen diharapkan dapat

berkurang dengan adanya aliran gen random. Wright (1942) dan Kimura (1955)

menunjukkan bahwa dengan tidak-adanya input mutasi, diversitas gen akan

berkurang dengan fraksi 1/2Ne tiap generasi, dimana Ne adalah ukuran populasi

efektif.

Keanekaragaman Nukleotida

Page 9: Dinamika Gen Dalam Populasi

Keanekaragaman gen menghitung h dan H digunakan secara ekstensif dalam

elektroforesis dan pembatasan data enzim. Bagaimanapun juga, sebagian besar

dari mereka tidak cocok untuk rangkaian data DNA, karena tingkat dari diversitas

gen pada tingkat DNA di alam sangat luas. Secara khusus, bila

mempertimbangkan rangkaian panjang, setiap rangkaian dalam sampel cenderung

berbeda satu nukleotida atau lebih dari rangkaian lainnya, dan hampir pada semua

kasus, h dan H keduanya akan mendekati 1. Maka,

Figure2.8

Dua grup dari empat rangkaian DNA. Pada (a) tiap rangkaian berbeda dengan

rangkaian manapun pada satu situs nukelotida (yang berwarna abu-abu). Pada (b)

tiap rangkaian berbeda dengan rangkaian manapun pada dua situs nukleotida atau

lebih. Meskipun demikian, karena pada kedua kasus tiap rangkaian yang

ditunjukkan dalam kelompoknya hanya sekali, nilai dari diversitas /

keanekaragaman lokus-tunggal dari keduanya akan sama.

Ukuran keragaman gen tersebut tidak akan membedakan di antara lokus

berbeda atau dalam populasi dan tidak lagi menjadi ukuran informatif dari

polimorfisme. Perhatikan, misalnya, kedua grup dari rangkaian pada gambar 2.8.

Secara intuitif kita mungkin berpikir bahwa rangkaian gambar 2.8b lebih

polimorfis dibandingkan dengan rangakaian pada gambar 2.8a. Bagaimanapun

juga, nilai h dan H dari kedua rangkaian tersebut sama.

Untuk rangkaian data DNA, metode yang lebih tepat dari polimorfis dalam

sebuah populasi adalah rata-rata dari jumlah perbedaan nukleotida per site pada

kedua rangkaian yang dipilih secara acak. Metode penghitungan ini disebut

sebagai keanekaragaman (diversity) nukleotida dan ditandai dengan Π:

Rumus 2.30

Dimana xi dan xj adalah frekuensi dari rangkaian data DNA ke-i dan ke-j, dan πij

adalah proporsi nukleotida yang berbeda antara tipe ke-i dan ke-j. Nilai Π dari

rangakaian pada gambar 2.8 adalah 0,031 dan 0,094, yang berarti bahwa ukuran

keanekaragaman nukleotida sesuai dengan persepsi intuitif kita jika grup (a) lebih

cenderung berubah-ubah dibandingkan grup (b). (Perhatikan bahwa untuk kasus

dengan πij = 1, nilai dari Π akan sama dengan nilai h pada rumus 2.28)

Page 10: Dinamika Gen Dalam Populasi

Salah satu penelitian keanekaragaman nukleotida pertama adalah pada

tingkat rangakaian DNA yang mengandung lokus alkohol dehydrogenase (Adh)

pada Drosophila melanogaster. Sebelas rangkaian yang mencakup (Adh)

dirangkai oleh Kreitman (1983). Rangkaian yang disusun tersebut panjangnya

mencapai 2.379 nukleotida. Terlepas dari pengurangan dan penambahan, terdapat

Sembilan allele berbeda, satu diantaranya terwakili dalam sampel dengan tiga

rangkaian (8-F, 9-F, 10-F), sedangkan sisanya hanya terwakili masing-masing

satu rangkaian, gambar 2.9. Oleh karena itu, frekuensi dari x1-x8 = 1/11,

sedangkan frekuensi dari x9 = 3/11.

Empat puluh tiga dari situs nukleotida tersebut adalah polimorfis. Pertama-

tama, kami menghitung proporsi nukleotida berbeda dari masing-masing pasang

allele. Misalnya, allele 1-S dan 2-S berbeda satu sama lain sebanyak tiga

nukleotida dari keseluruhan 2.379, atau π12 = 0,13%. Nilai πij dari semua pasang

sampel terdaftar dalam tabel 2.1. Dengan menggunakan rumus 2.30, diversitas

nukleotida diperkirakan sebagai Π = 0.007. Enam dari allele yang diuji adalah

varian elektroforesis yang bermigrasi lambat (S), dan lima sisanya cepat (F). Hasil

dari S dan F dibedakan satu sama lain dengan mengganti satu asam amino yang

memberi mobilitas elektroforetis yang berbeda pada protein. Diversitas nukleotida

dari masing-masing kelas elektroforesis tersebut dihitung secara terpisah. Kami

memperoleh Π = 0.006 untuk kelas S, dan Π = 0.003 untuk kelas F, yang berarti

bahwa kelas S dua kali lebih cenderung berubah-ubah dibandingkan dengan kelas

F.

Kekuatan Pendorong Evolusi

Penjelasan tentang evolusi dapat secara luas diklasifikasikan menjadi tiga macam

berdasarkan kepentingan relatif yang diberikan kepada aliran genetis acak versus

bermacam-macam bentuk seleksi dalam menentukan hasil evolusi tertentu.

Hipotesis mutationist adalah teori-teori dimana fenomena evolusi…

Figure2.9

Situs nukleotida polimorfis di antara 11 rangkaian dari gen alcohol dehydrogenase

dalam Drosophila melanogaster. Ekson ditunjukkan dalam bentuk kotak; bagian

yang berubah diberi warna hitam. Hanya perbedaan antara rangkaian yang

Page 11: Dinamika Gen Dalam Populasi

consensus saja yang ditunjukkan. Titik-titik diatas menandakan identitas dengan

rangkaian konsensus. Tanda bintang pada ekson 4 menandakan situs penggantian

lysine-for-threonine yang bertanggung jawab atas perbedaan mobilitas antara

allele elektroforesis cepat (F) dan lambat (S). Dimodifikasi dari Hartl dan Clark

(1997).

Tabel 2.1

Dari Nei (1987); data dari Kreitman (1983)

Jumlah situs yang dibandingkan adalah 2.379. S dan F mengindikasikan migrasi

allele elektroforesis yang lambat dan cepat.

sebagian besar dijelaskan dengan efek dari pemasukan mutasi dan aliran genetic

acak. Hipotesis neutralist menjelaskan fenomena evolusi dengan menekankan

pada efek mutasi, aliran genetis acak, dan seleksi pemurnian. Penjelasan

selectionist menekankan pada efek dari mode seleksi yang bermanfaat dan

penyeimbang sebagai kekuatan pendorong utama dalam proses evolusi. Perbedaan

diatas memberikan kerangka pemikiran dalam memahami beberapa kontroversi

paling penting dalam sejarah evolusi molekul.

Teori Neo-Darwin dan Hipotesis Mutasi Netral

Darwin mengajukan teorinya tentang evolusi oleh seleksi alam tanpa pengetahuan

tentang sumber-sumber dari keanekaragaman populasi. Setelah hukum Mendel

ditemukan kembali dan variasi genetis terbukti disebabkan oleh mutasi,

Darwinisme dan Mendelisme digunakan sebagai kerangka pemikiran dari apa

yang kemudian disebut sebagai teori evolusi sintetis, atau neo-darwinisme.

Menurut teori ini, walaupun mutasi dikenali sebagai sumber paling canggih dari

variasi genetis, seleksi alam (positif) tetap satu-satunya memiliki peran dalam

membentuk susunan genetis populasi dan dalam proses substitusi gen.

Seiring berjalannya waktu, neo-Darwinisme menjadi dogma dalam biologi

evolusi, dan seleksi dianggap menjadi satu-satunya kekuatan yang mampu

mendorong proses evolusi. Faktor-faktor seperti mutasi dan aliran genetis acak

dianggap hanya sebagai penyumbang peranan yang paling sedikit. Paham neo-

Darwinisme tersebut dikenal sebagai pan-selectionism.

Page 12: Dinamika Gen Dalam Populasi

Menurut sudut pandang selectionist terhadap proses evolusi, substitusi gen

terjadi sebagai akibat dari seleksi untuk mutasi bermanfaat.

Di sisi lain, polimorfisme dipertahankan oleh seleksi penyeimbang. Oleh karena

itu, selectionist menganggap substitusi dan polimorfisme sebagai dua fenomena

terpisah yang didorong oleh proses evolusi yang berbeda. Substitusi gen adalh

hasil akhir dari proses adaptasi positif dimana sebuah allele baru mengambil alih

generasi yang akan datang dari sebuah populasi jika dan hanya fenomena tersebut

meningkatkan kelangsungan hidup dari organisme, sedangkan polimorfisme

terpelihara saat keberadaan dari dua allele atau lebih pada sebuah lokus

bermanfaat bagi organisme atau populasi. Teori neo-Darwin mengatakan bahwa

sebagian besar polimorfisme genetis di alam stabil, yang berarti allele yang sama

bertahan pada frekuensi tetap untuk jangka waktu yang lama pada proses evolusi.

Pada akhir masa 1960-an, terjadi sebuah revolusi genetika populasi.

Ketersediaan dari rangkaian data protein menghapuskan batasan-batasan spesies

dalam penelitian genetika populasi dan untuk pertama kali memberikan data

empiris yang cukup untuk meneliti teori tentang proses substitusi gen. Pada tahun

1968, Kimura meyakini bahwa sebagian besar dari perubahan molekul dalam

evolusi disebabkan oleh fiksasi acak dari mutasi netral dan mutasi hampir netral

(Kimura 1968a; lihat juga King dan Jukes 1969). Hipotesis ini kini dikenal

sebagai teori netral evolusi molekul, berpendapat bahwa pada tingkat molekul,

sebagian besar perubahan evolusi dan banyak variabilitas dalam spesies bukanlah

disebabkan oleh seleksi positif dari allele bermanfaat ataupun seleksi

penyeimbang, namun disebaban oleh aliran genetis acak dari allele mutan yang

netral secara selektif (atau hampir). Netralitas, dalam arti teori, tidak menunjukkan

kesetaraan yang tepat pada kelangsungan hidup dari semua allele. Hal ini hanya

berarti bahwa takdir dari allele sangat ditentukan oleh aliran genetis acak. Dengan

kata lain, seleksi mungkin saja terjadi, namun intensitasnya sangat lemah untuk

mengimbangi pengaruh dari efek resiko. Untuk mewujudkan ini, nilai absolut dari

manfaat dan kerugian selektif dari sebuah allele |s|, harus lebih kecil dari 1/(2Ne),

dimana Ne adlah ukuran populasi efektif.

Menurut teori netral, frekuensi allele sangat ditentukan oleh peraturan

stokastik, dan gambaran yang kita peroleh sewaktu-waktu hanyalah keadaan

Page 13: Dinamika Gen Dalam Populasi

sementara yang menggambarkan kerangka sementara dari proses dinamis yang

sedang berlangsung. Sebagai akibatnya, polimorfis lokus terdiri dari allele yang

dalam perjalanan menuju fiksasi dan juga akan punah. Dilihat dari perspektif ini,

semua perwujudan molekul yang relevan terhadap proses evolusi harus dianggap

sebagai hasil dari proses input mutasi yang berkesinambungan dan kepunahan

acak yang terjadi bersamaan atau fiksasi allele. Maka dari itu, teori netral

menganggap substitusi dan polimorfis sebagai dua aspek dari fenomena yang

sama. Substitusi adalah sebuah proses yang lama dan bertahap dimana frekuensi

allele mutan meningkat atau menurun secara acak, hingga allele benar-benar

tunggal atau musnah. Pada waktu tertentu, lokus yang sama akan memiliki allele

tidak pada frekuensi 0% ataupun 100%. Mereka adalah lokus polimorfis. Menurut

teori netral, polimorfis paling genetis dalam populasi (a) tidak stabil dan (b)

sementara, berarti bahwa frekuensi allele naik turun seiring waktu dan allele

tersebut tergantikan terus-menerus.

Hal yang menarik dari teori netral adalah meskipun dalam bentuk yang

paling ketat, ia tidak membutuhkan adaptasi terlebih dahulu. Menurut Kimura

(1983), sebuah populasi yang bebas dari seleksi mampu mengakumulasi banyak

allele netral polimorfis. Kemudian jika suatu perubahan pada keadaan ekologi

terjadi, beberapa allele netral tidak lagi menjadi netral namun merusak, melawan

apapun yang mungkin dijalankan seleksi pemurnian. Setelah allele-allele tersebut

dihapus, populasi akan lebih beradaptasi dengan keadaan sekitarnya daripada

sebelumnya. Oleh karena itu, setidaknya secara teoritis, evolusi adaptif mungkin

saja terjadi tanpa adanya seleksi positif.

Inti dari perselisihan antara neutralist dan selectionist berfokus pada

distribusi nilai kelangsungan hidup dari allele mutan. Kedua teori tersebut setuju

bahwa sebagian besar mutasi baru bersifat perusak, dan juga bahwa mutasi-mutasi

ini cepat terhapus dari populasi sehingga mereka sama sekali tidak berkontribusi

pada laju substitusi maupun jumlah polimorfisme dalam populasi. Perbedaan

tersebut berfokus pada proporsi relative dari mutasi netral di antara mutasi non-

perusak. Saat selectionist mengatakan bahwa sangat sedikit mutasi yang secara

selektif netral, neutralist berpendapat bahwa mayoritas dari mutasi non-perusak

bersifat netral secara efektif.

Page 14: Dinamika Gen Dalam Populasi

Kontroversi yang memanas tentang hipotesis mutasi netral selama 1970-an

dan 1980-an memiliki imbas yang signifikan pada evolusi molekul. Pertama-tama,

kontrofersi tersebut menuntun kepada pengakuan umum bahwa efek aliran genetis

acak tidak dapat diabaikan jika mempertimbangkan dinamika evolusi dari

perubahan molekul. Kedua, perpaduan antara biologi molekul dan genetika

populasi telah sangat diperkuat oleh pengenalan konsep bahwa evolusi molekul

dan polimorfisme genetic merupakan dua aspek dari satu fenomena yang sama

(Kimura dan Ohta 1971). Walaupun kontrofersi tetap berlanjut, kini telah diakui

bahwa teori evolusi yang memadai seharusnya konsisten terhadap kedua aspek

proses evolusi pada tingkat molekul tersebut. Nyatanya, tanpa teori netral sebagai

hipotesis null, paradigma selectionist muncul nyaris menjadi “sebuah teori yang

tidak menjelaskan apapun karna telah menjelaskan semua.” (Lewontin 1974).

Menguji hipotesis mutasi netral

Menurut hipotesis mutasi netral, variasi dalam populasi dan perbedaan antara

populasi adalah disebabkan oleh mutasi netral atau hampir netral. Dengan kata

lain, polimorfisme adalah fase sementara dari evolusi molekul, dan laju evolusi

secara positif berhubungan dengan tingkat variasi dalam populasi (Kimura dan

Ohta 1971). Sehingga siapapun mungkin menguji hipotesis mutasi netral dengan

cara membandingkan tingkat variasi rangkaian DNA dalam populasi dengan

variasi antar populasi. Pengujian ini sudah banyak dikembangkan (contohnya,

Kreitman dan Aguade 1986; Hudson et al. 1987, Sawyer dan Hartl 1992).

Selanjutnya, kami berikan metode sederhana yang dikemukakan oleh McDonald

dan Kreitman (1991).

Perhatikan dua sampel dari rangkaian coding protein dari spesies 1 dan 2.

Situs nukleotida pada rangkaian tersebut dikatakan sebagai polimorfis jika

rangkaian tersebut menunjukkan variasi pada salah satu atau kedua spesies.

Sebuah situs dianggap mewakili perbedaan pasti antara dua spesies apabila situs

tersebut menunjukkan tidak adanya variasi intraspesifik dalam kedua spesies

namun berbeda antar spesies. Semua situs lainnya dalah monomorfis dan tidak

digunakan dalam analisis.

Tabel 2.2

Page 15: Dinamika Gen Dalam Populasi

Data dari Eanes at al. (1993).

Perbandingan diatas berdasarkan pada 32 rangkaian dari D. melanogaster dan 12

rangkaian dari D. simulans, dengan panjang keseluruhan 1.705 bp.

Perbedaan antara polimorfis dan situs fixed selanjutnya dibagi menjadi dua

kategori, sinonim dan non-sinonim. Metode McDonald-Kreitman menggunakan

2x2 tabel kemungkinan untuk menguji independensi dari satu klasifikasi

(polimorfis versus fixed) dengan yang lain (sinonim versus non-sinonim). Tes

diadakan berdasarkan asumsi berikut: (1) hanya mutasi sinonim yang mungkin

adaptif, (2) mutasi sinonimus selalu netral, dan (3) mutasi yang secara selektif

bermanfaat akan menjadi tunggal lebih cepat dalam populasi dibandingkan mutasi

netral, dan sebab itu jarang ditemukan dalam suatu keadaan polimorfis. Dibawah

hipotesis mutasi netral, yang diharapkan adalah rasio dari perbedaan

nonsinonimus tetap menjadi perbedaan sinonimus tetap akan sama dengan rasio

polimorfisme nonsinonimus menjadi polimorfisme sinonimus. Perbedaan

signifikan antara dua rasio akan dapat digunakan untuk menolak hipotesis mutasi

netral.

Tabel 2.2 menunjukkan jumlah dari perubahan sinonimus dan

nonsinonimus tetap pada gen glukosa-6-fosfat deydrogenase (G6PD) antara

Drosophila melanogaster dan D. simulans sebagai contoh penggunaan metode

McDonald dan Kreitman untuk mendeteksi selisih dari evolusi netral (Eanes et al.

1993). Rasio dari perbedaan nonsinonimus tetap menjadi sinonimus tetap adalah

21/26 = 0.81, sebaliknya, rasio dari polimorfisme nonsinonimus menjadi

polimorfisme sinonimus hanya 2/36 = 0.06. Perbedaan yang sangat signifikan ini

menunjukkan kelebihan sepuluh kali lipat dari perubahan sinonimus terhadap

yang diharapkan jika gen G6PD sudah berkembang dalam cara netral yang ketat.

Penggunaan metode McDonald-Kreitman dan tes-tes lainnya telah

mengungkapkan pola penting dalam evolusi molekul, termasuk (1) seleksi positif

langsung pada beberapa lokus nuklir di Drosophila (sebagai contoh, Tsaur et al.

1998) dan ketiadaan pada linnya (contoh, King 1998), (2) seleksi penyeimbang

pada beberapa lokus di manusia (contoh, Hughes dan Nei 1989), (3) sedikitnya

allele perusak pada DNA mitokondrial hewan (contoh, Nachman 1998), dan (4)

Page 16: Dinamika Gen Dalam Populasi

sebuah penggabungan positif antara tingkat diversitas nukleotida dan laju

penggabungan ulang (contoh, Begun dan Aquadro 1992).