disampaikan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan ... · • ideologi negara kesatuan...

105
Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan Sekolah Staf Pimpinan Bank Indonesia (SESPIBI) Angkatan XXXI BRANCHLESS BANKING SETELAH MULTILICENSE : ANCAMAN ATAU KESEMPATAN BAGI PERBANKAN NASIONAL PUNGKY PURNOMO WIBOWO NIP. 11853

Upload: trannguyet

Post on 07-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan Sekolah Staf Pimpinan Bank Indonesia (SESPIBI)

Angkatan XXXI

BRANCHLESS BANKING SETELAH MULTILICENSE:

ANCAMAN ATAU KESEMPATAN BAGI PERBANKAN NASIONAL

PUNGKY PURNOMO WIBOWO NIP. 11853

Page 2: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulilah ke hadirat Allah SWT dan atas berkat

dan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan

jadwal yang ditentukan. Makalah ini Penulis susun dan persembahkan sebagai salah

satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan kepemimpinan di Bank Indonesia pada

SESPIBI Angkatan XXXI Tahun 2013. Dalam keterbatasan waktu yang tersedia dalam

program SESPIBI XXXI, Penulis berusaha untuk menghasilkan makalah yang dapat

memberikan kontribusi serta sumbangan pemikiran yang signifikan untuk Bank

Indonesia.

Dalam kesempatan ini, Penulis menyampaikan ungkapan terima kasih kepada

Dewan Gubernur Bank Indonesia dan Pimpinan Satuan Kerja yang telah memberikan

kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti SESPIBI XXXI ini. Ucapan terima kasih juga

Penulis haturkan kepada Direktur Program SESPIBI XXXI, Pimpinan dan seluruh Staf

Departemen Sumber Daya Manusia, Ibu Eni V. Panggabean selaku pembimbing,

kawan-kawan yang sangat inspiratif di program SESPIBI XXXI, khususnya Sdri. Yunita

Resmi Sari, Sdri. Elisabeth Sukawati, Sdr. Yudi Permana, kawan-kawan di Tim Financial

Inclusion yang telah membantu penyediaan data dan referensi guna penyusunan

makalah ini, dan para pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, yang telah

berkontribusi sehingga makalah ini dapat kami selesaikan.

Akhir kata, Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata

sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan

saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak.

Jakarta, 27 Juni 2013

ii

Page 3: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

ABSTRAK

Peran dan fungsi bank dalam perekonomian yang sangat strategis, membuat posisi perbankan sangat penting untuk mendorong kegiatan ekonomi. Bank dapat mempengaruhi dan menentukan semua aspek kegiatan ekonomi di suatu negara. Ketidakmampuan bank dalam memberikan layanan yang optimal akan menyebabkan kegiatan ekonomi terganggu dan bisa mengakibatkan semua sektor ekonomi tidak bisa bekerja optimal. Melihat dari perspektif demand dan supply, terlihat fungsi Bank sebagai agent of development dapat dikatakan belum dilakukan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan adanya kebijakan insentif yang dapat mengoptimalkan fungsi bank sebagai sebagai agent development. Diakhir tahun 2012 Bank Indonesia mengeluarkan Pengaturan multilicense dan pembukaan jaringan kantor diarahkan untuk mendorong Bank agar meningkatkan efisiensi kegiatan operasionalnya dan daya saing dengan ditunjang oleh permodalan yang kuat. Masih dalam upaya mengoptimalkan fungsi bank sebagai agent development, diawal 2013, Bank Indonesia meluncurkan program branchless banking dalam kerangka besar sebagai salah satu kegiatan financial inclusion. Dengan dukungan inovasi delivery channel Branchless Banking, pangsa pasar untuk unbanked people akan menjadi target bisnis yang menarik bagi perbankan di Indonesia. Disamping itu, dukungan kondisi geografis dan kondisi masyarakat Indonesia, branchless banking diharapkan akan dapat mendukung perluasan akses layanan jasa keuangan bagi masyarakat. Dari sini dapat terlihat adanya sinergi dari kedua kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Kedua kebijakan tersebut memiliki tujuan yang saling mendukung dalam rangka menjembatani permasalahan disparitas layanan keuangan perbankan dimana multilicense dan pengaturan pembukaan kantor cabang akan memberikan insentif bagi bank untuk membuka layanan di daerah yang masih minim layanan perbankan dan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Kedua kebijakan ini juga akan mampu bersinergi untuk mendorong efisiensi operasional bank memperluas jangkauan akses layanan perbankan bagi masyarakat dan meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM. Berdasarkan analisa kuantitatif dan kualitatif yang telah dilakukan, terdapat beberapa kesimpulan dan saran kepada Bank Indonesia sebagai otoritas yang mengawasi dan mengatur perbankan nasional saat ini dan OJK pada waktunya. Selanjutnya disampaikan juga strategi yang dapat ditempuh oleh perbankan nasional, OJK dan BI untuk menjaga agar tujuan dan pelaksanaan kegiatan branchless banking dapat terlaksana secara benar, tepat dan terukur. Keyword: Branchless Banking

iii

Page 4: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

EXECUTIVE SUMMARY

Bank sebagai lembaga intermediasi sangat berperan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi

utamanya bank yang sehat dan efisien. Perbankan yang efisien akan mendukung pertumbuhan

ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, masih banyak

penduduk Indonesia belum berbank baik menabung ataupun mendapat fasilitas pembiayaan.

Berdasarkan hasil survei Bank Dunia, kurang dari 50% penduduk Indonesia memiliki rekening

bank pada institusi keuangan formal (bank) dan hanya 17% dari penduduk yang mempunyai

akses kredit. Lebih jauh, hasil survei rumah tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun

2010 menunjukkan bahwa 62% rumah tangga tidak memiliki tabungan sama sekali. Jumlah

kepemilikan rekening masyarakat Indonesia dinilai masih rendah bahkan se-ASEAN.

Disisi lain, sektor UMKM yang merupakan sektor yang terbukti tangguh dalam menghadapi

krisis ekonomi kurang mendapat perhatian karena berbagai kendala. Sektor ini diperkirakan

memberikan kontribusi sebesar 57,1% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dengan

pangsa mencapai 99 persen dari total unit usaha di Indonesia serta menyerap 97.2% dari total

tenaga kerja. Ironisnya, pangsa kredit UMKM hanya 20% dari total kredit perbankan. Padahal

tiga penelitian yang ada terkait UMKM mengungkapkan potensi pembiayaan perbankan untuk

UMK masih cukup tinggi. Dengan menggunakan asumsi bahwa PDB sampai dengan tahun

2018 tumbuh 6,5%, dan potensi usaha Mikro dan Kecil di tahun 2018 diperkirakan mencapai

Rp1.588,42 triliun.

Fakta dimaksud mengakibatkan rasio outstanding kredit perbankan (27,49% terhadap GDP),

Kredit UMKM (0,67% terhadap GDP) maupun outstanding dana pihak ketiga (36,41%

terhadap GDP) terendah dikawasan. Masyarakat Indonesia ternyata lebih banyak

memanfaatkan layanan keuangan dari sektor informal atau tidak menabung sama sekali.Fakta

ini menjadi kendala untuk percepatan pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan

maupun mendukung sustainability pertumbuhan ekonomi.

Salah satu faktor yang menjadi penyebab terbatasnya layanan perbankan ke masyarakat

diseluruh pelosok adalah terbatasnya infrastruktur karena kondisi alam Indonesia yang

berkepulauan. Perhitungan skala ekonomis operasional bank di suatu daerah tersebut menjadi

faktor penting seperti tergambar kecilnya indikator jumlah layanan perbankan seperti kantor

cabang dan ATM untuk setiap 1000 km2 luasan wilayah.

Lebih jauh, masyarakat sendiri masih merasakan hambatan dalam memperoleh layanan jasa

keuangan formal dari perbankan. Selain keterbatasan infrastruktur lembaga keuangan

Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 iv

Page 5: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

dimaksud, juga disebabkan rendahnya penghasilan sehingga pendapatan yang diterima

penduduk desa lebih banyak digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan hasil survei Bank Dunia

79% masyarakat yang tidak memiliki tabungan karena tidak memiliki uang. Namun demikian,

masyarakat berpendapatan rendah adalah active money managers yang sangat membutuhkan

akses keuangan terhadap lembaga keuangan khususnya perbankan. Selain itu, rendahnya

pemahaman masyarakat tentang keuangan (financial literacy) dan belum tersedianya produk

yang sesuai untuk kelompok masyarakat kecil menambah rumit persoalan.

Untuk itu, perlu terobosan dan inovasi agar seluruh masyarakat dapat menikmati jasa layanan

dari perbankan. Hal ini juga terjadi diberbagai belahan dunia terutama di emerging economies

melalui dengan apa yang dinamakan dengan kebijakan keuangan inklusif. Salah satunya

melalui penerapan branchless banking. Keuangan Inklusif adalah sebuah kondisi dimana

masyarakat memiliki akses yang berkesinambungan terhadap jasa keuangan yang dibutuhkan

atau sebuah proses untuk menyediakan jasa keuangan kepada masyarakat luas dan rumah

tangga berpenghasilan rendah pada harga yang dapat dijangkau.

Untuk menajwab persoalan dimaksud dan atas dasar fakta dan trend yang terjadi, Bank

Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan dengan tujuan meningkatakan jangkauan akses

namun tanpa menimbulkan dampak negative yang berlebihan baik bagi perbankan sendiri,

masyarakat maupun perekonomin. Kebijakan dimaksud ditekankan kepada penguatan

ketahanan, daya saing, sekaligus penguatan fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan untuk

penguatan ketahanan dan daya saing perbankan dilakukan melalui penerapan aturan ijin

berlapis (multilisence). Sedangkan kebijakan dalam rangka perluasan akses keuangan

masyarakat melalui kebijakan branchless banking. Kedua kebijakan ini juga didukung dengan

penguatan fungsi intermediasi perbankan dilakukan melalui mewajibkan bank untuk

menyalurkan 20 persen dari total kredit untuk sektor UMKM secara gradual.

Namun demikian, kebijakan dimaksud tidak serta merta dapat mencapai tujuan yang

diharapkan, banyak kendala yang dihadapi seperti disebutkan diatas. Harapan agar kebijakan

ini diharapkan dapat menjangkau unbanked people dan masyarakat remote area untuk

menerima layanan perbankan, serta meningkatkan peranan bank dalam penyaluran kredit bagi

UMKM bukanlah pekerjaan mudah. Namun hal ini patut dilakukan mengingat berbagai

landasan teori mendukung kearah tersebut diantaranya :

• Tujuan negara yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban

dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 v

Page 6: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

• Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai

pandangan hidup bangsa Indonesia dimana implementasi branchless banking diharapkan

dapat membantu pemerataan pendapatan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, yang

merupakan pengamalan moral politik kenegaraan sila pertama, dimana meningkatkan

kesejahteraan umum adalah merupakan tanggung jawab yang suci, dalam membangun

dunia baru yang lebih baik berdasarkan keadilan sosial (sila kedua) serta dalam kerangka

memperjuangkan kepentingan nasional (sila ketiga), dengan demikian kedaulatan rakyat

(dalam bidang ekonomi) akan semakin tinggi. Karena itu negara wajib mendengarkan suara

rakyat (sila keempat) dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat dan mengikut

sertakan seluruh rakyat dalam (sila kelima) kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya serta

secara khusus memperhatikan warga bangsa yang lemah kedudukannya agar tidak terjadi

ketidakadilan serta kesewenang-wenangan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang

lemah.

• Pasal 27 ayat (2) UUD 45 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan

dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

• Pasal 28 ayat (2) UUD 45 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan

kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama

guna mencapai persamaan dan keadilan.

• Ketahanan Nasional, dimana kemiskinan yang disebabkan salah satunya karena rendahnya

akses pada lembaga keuangan. Implementasi BB merupakan salah satu strategi

pengentasan kemiskinan, secara tidak langsung akan meningkatkan ketangguhan

masyarakat, otomatis akan meningkatkan ketahanan ekonomi, yang pada gilirannya akan

meningkatkan Ketahanan Nasional.

• Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional (RPJPN) 2005-2025 dimana untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing,

dibutuhkan perekonomian domestik yang kuat yang berorientasi dan berdaya saing global,

dimana salah satunya adalah melalui pengembangan sektor keuangan. Pengembangan

sektor keuangan dilakukan melalui peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank

dan non-bank dalam pendanaan pembangunan terutama peningkatan akses pendanaan

bagi “orang yang kurang beruntung” dimanapun berada.

• Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa

untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional, pelaksanaan

pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya perekonomian nasional yang

berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri, andal, berkeadilan, dan mampu

bersaing di kancah perekonomian internasional.

Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 vi

Page 7: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

• Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank sebagai badan

usaha dalam kegiatannya adalah dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

• Teori Pembangunan untuk Rakyat oleh Ginanjar Kartasasmita menyebutkan bahwa

pembangunan dan kebijakan yang berorientasi serta berpihak pada kepentingan rakyat

dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam bukunya Pembangunan

untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan (1996). Pertumbuhan hanya

akan berkesinambungan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari rakyat

sendiri, baik berupa produktifitas rakyat maupun dana yang dihimpun melalui tabungan

rakyat. Makin tumbuh dan bekembang pembangunan yang berdasar pada daya rakyat

sendiri, maka makin kukuh pula kemandirian suatu bangsa. Kemandirian yang dibangun

adalah dengan rasa percaya diri dan dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain,

bukan dalam keterisolasian yang menyebabkan kemandegan (Kartawan, 2011).

• Teori Pengembangan UMKM oleh Selanjutnya hasil penelitian Syamsul Hadi dan kawan-

kawan dari CIReS dalam bukunya Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF menyebutkan

bahwa pembangunan Indonesia akan lebih kuat dan mandiri jika dalam prosesnya selalu

mengembangkan program pembangunan usaha kecil dan menengah yang komprehensif

(Syamsul Hadi dkk, 2004).

• Survei Bank Dunia di seluruh dunia menunjukkan bahwa sektor keuangan memiliki peran

penting dan signifikan dalam pengentasan kemiskinan, mengurangi perbedaan

pendapatan, dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian.

Karya tulis ini akan mencoba mengukur dan menganalisa efektivitas kebijakan yang dikeluarkan

yaitu pengaturan multi-license dan pembukaan jaringan kantor serta implementasi BB dalam

memperkuat struktur perbankan Indonesia dan pengaruhnya terhadap akses keuangan

masyarakat luas. Terdapat empat pokok permasalahan terkait kebijakan multi-license dan

branchless banking dimaksud dengan penekanan sebagai berikut:

1. Tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB dalam meningkatkan

akses keuangan masyarakat.

2. Tingkat potensi pembiayaan khususnya untuk UMKM yang besar akan semakin besar.

3. Tingkat efisiensi yang mungkin timbul.

4. Tingkat kebehasilan kebijakan Branchless Banking dalam meningkatkan akses keuangan,

dengan penekanan pada probabilitas peningkatan kepemilikan rekening tabungan serta

Estimasi Penambahan Rekening Tabungan.

Berbagai metode yang ada akan dimanfaatkan untuk menjawab rumusan permasalahan diatas,

baik dengan metode kuantitatif maupun kualitatif seperti Metode Data Envelope Analysis (DEA)

dan Matrix BCG untuk menjawab rumusan permasalahan pertama; dan Concentration Ratio

Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 vii

Page 8: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

(CR) serta Herfindahl-Hirschman Index (HHI) untuk permasalahan yang ketiga. Prediksi

peningkatan pengunaan jasa perbankan akan digunakan pendekatan regresi linear maupun

logistik untuk menjawab permasalahan keempat. Sementara itu analia kuatitatif melalui

konfirmasi dengan hasil penelitian yang ada dilakukan untuk menajwab permasalahan kedua.

Kajian ini juga diperkuat dengan anlisa SWOT dari penerapan branchless banking dan

multilicense sekaligus strategi untuk mengantisipasi ataupun memperkuatnya. Adapun analisa

SWOT terkait kedua kebijakan dimaksud antara lain sebagai berikut :

• Strength : seperti perbankan local lebih mengenal nilai-nilai kedaerahan, kemampuan

mengembangkan produk yang sesuai dengan karakteristik masyarakat, kemampuan untuk

bekerjasama dengan unit ekonomi lokal

• Weaknesses : seperti tingkat efisiensi usaha yang masih rendah, tingginya suku bunga

pinjaman khususnya kredit UMKM, masih kalahnya profesionalitas SDM, kurangnya inovasi

produk dan jasa, pelayanan yang rigid dan formalitas dan kemampuan pengelolaan risiko

dibidang mass market masih terbatas.

• Opportunity : seperti masih luasnya pangsa pasar, menurunkan risiko likuiditas dengan

mperoleh sumber dana retail baru, menurunkan risiko kredit dan melalui diversigikasi risiko

dengan peningkatan kredit UMKM khususnya kredit mikro dan efisiensi.

• Threat : seperti meningkatnya persiangan dengan ASEAN banking integration,

meningkatnya risiko operasional serta risiko reputasi.

Adanya kebijakan branchless banking dan multilicense tentunya perlu diliat efektivitasnya

melalui beberapa indicator, diantaranya a) Bertambahnya jumlah layanan bank. b) Tersedianya

produk bank yang sesuai, c) Bertambahnya jumlah pemilik rekening d) Tercapainya pemerataan

pendapatan masyarakat yang tercermin dari menurunnya Gini Ratio; e) jika keempat indikator

sebelumnya dapat terpenuhi, maka diharapkan tingkat kemisikinan akan turun.

Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan multilicense dan pembukaan

jaringan kantor dapat menjawab permasalahan disparitas layanan keuangan perbankan dan

kebijakan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people dan

masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Lebih jauh, kebijakan

multilicense dan branchless banking akan mampu bersinergi untuk mendorong efisiensi

operasional serta dapat meningkatkan penyaluran kredit bagi UMKM sekalgisu memudahkan

bank memnuhi kewajiban untuk menyalurkan kredit UMKM sebesar 20%.

Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 viii

Page 9: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii ABSTRAK ...................................................................................................... iii EXECUTIVE SUMMARY ................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xv BAB 1. PENDAHULUAN................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1

1.2 Rumusan masalah ..................................................................................... 3

1.3 Tujuan ...................................................................................................... 4

1.4 Metode Analisis ........................................................................................ 4

1.5 Alur Pikir ................................................................................................... 7

1.6 Pola Pikir ................................................................................................... 8

BAB 2. LANDASAN PEMIKIRAN DAN OPERASIONAL .......................................... 10

2.1 Landasan Pemikiran .................................................................................. 10

2.2 Paradigma Nasional .................................................................................. 11

2.2.1 Pancasila sebagai Landasan Ideal ..................................................... 11

2.2.2 UUD NRI Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional .................... 11

2.2.3 Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konseptual .......................... 12

2.3 Peraturan Perundang-undangan sebagai Landasan Operasional ................. 12

2.3.1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 ..................... 12

2.3.2 Undang-undang nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia ..... 13

2.3.3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ……………….13

2.4 Landasan Operasional Perbankan .............................................................. 14

2.4.1 Jenis Bank ....................................................................................... 14

2.4.2 Produk dan Kegiatan Usaha Bank .................................................... 14

2.5 Landasan Teori .......................................................................................... 15

2.5.1 Teori Akses Lembaga Keuangan ...................................................... 16

2.5.2 Teori Pembangunan untuk Rakyat ................................................... 16

2.5.3 Teori Pengembangan UMKM .......................................................... 18

Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 ix

Page 10: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

2.6 Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 18

2.6.1 Sarwono Sudarto, 2004: Optimalisasi Peran Perbankan Guna

Mendorong Pertumbuhan UMKM dan Koperasi dalam rangka

Meningkatkan Ketahanan Nasional .......................................................... 16

2.7 Perkembangan Lingkungan Strategis ......................................................... 16

2.8 Implikasi Financial Inclusion ....................................................................... 17

2.8.1 Terhadap Percepatan Perekonomian Masyarakat ............................. 17

2.8.2 Terhadap Ketahanan Nasional ......................................................... 17

2.9 Pokok-Pokok Persoalan dalam Financial Inclusion ...................................... 18

2.10 Kondisi Financial Inclusion yang Diharapkan ............................................ 18

2.11 Indikasi Keberhasilan ............................................................................... 19

BAB 3. KEBIJAKAN MULTILICENSE DAN PERLUASAN JARINGAN

KANTOR BANK .............................................................................................. 20

3.1 Banyak Masyarakat yang Belum Terlayani .................................................. 22

3.2 Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat terhadap Jasa Keuangan .... 23

3.2.1 Tingkat Pendapatan Masyarakat ...................................................... 23

3.2.2 Keterbatasan Ketersediaan Jasa Perbankan ...................................... 23

3.3 Latar Belakang Kebijakan Multilicense ....................................................... 24

3.3.1 Inefisiensi Perbankan nasional ......................................................... 24

3.3.2 Fokus Khusus pada Usaha Kecil, Mikro dan Menengah .................... 25

3.4 Kebijakan Perizinan Berjenjang (Multilicense) ............................................. 26

3.4.1 Modal Inti ....................................................................................... 27

3.5 Latar Belakang Kebijakan Branchless Banking ............................................ 29

3.5.1 Alternatif Model Branchless Banking .............................................. 31

BAB 4. ANALISA KEBIJAKAN BRANCHLESS BANKING SETELAH PENERAPAN

KEBIJAKAN MULTILICENSE UNTUK MEMPERLUAS BASIS NASABAH BANK .......... 37

4.1 Studi Empiris Kebijakan Multilicense, perluasan jariangan Kantor, dan BB di

Indonesia ........................................................................................................ 38

4.1.1 Studi Empiris Multilicense Terkait Modal inti, Perluasan Jaringan

Kantor, dan Tingkat Kejenuhan Bank........................................................ 38

4.1.2 Studi Empiris Pemetaan, Potensi, serta Forecasting Pembiayaan UMKM

(BCG Matrix) ............................................................................................ 46

Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 x

Page 11: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

4.1.3 Studi Empiris Analisis Efisiensi Perbankan Indonesia Berkaitan Dengan

Tingkat Efisiensi Yang Timbul dari Sinergi Pengaturan Multilicense,

Pembukaan Jaringan Kantor dan Implementasi Branchless Banking ........... 58

4.1.4 Analisis Penerapan Branchless Banking Dalam Meningkatkan Jumlah

Rekening .................................................................................................. 61

BAB 5. ANALISA SWOT PENERAPAN BRANCHLESS BANKING SETELAH KEBIJAKAN

MULTILICENSE DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERBANKAN NASIONAL ............. 64

5.1 Kapasitas Bank di Indonesia dibandingkan Bank di Negara ASEAN ............. 64

5.1.1 Perbandingan Asset dan Modal Inti Perbankan Nasional dengan

Regional ................................................................................................... 64

5.1.2 Modal Inti ....................................................................................... 65

5.1.3 Capital Adequacy Ratio (CAR) ......................................................... 66

5.2 Tingkat Efisiensi Bank di Indonesia ............................................................ 68

5.2.1 BOPO Bank ..................................................................................... 69

5.2.2 Net Interest Margin ......................................................................... 69

5.2.3 Loan to Deposit Ratio ...................................................................... 70

5.3. Analisis SWOT Perbankan Nasional dalam Melaksanakan Kebijakan

Branchless Banking setelah Penerapan Multilicense Policy ......................... 73

5.3.1 Penguatan Strategi SWOT dan Konsepsi Kebijakan .......................... 73

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 75

6.1 KESIMPULAN ............................................................................................ 75

6.2 SARAN ..................................................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 76

LAMPIRAN .................................................................................................... 85

Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 xi

Page 12: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Jumlah Bank Perkapita Maret 2012 ........................................................ 1

Gambar 1.2 Tingkat Kepadatan Bank di Beberapa Pulau Besar di Indonesia 2011 ....... 2

Gambar 1.3 Indeks Stabilitas Sistem Keuangan .......................................................... 11

Gambar 2.1 Kerangka Kerja Kebijakan Keuangan Inklusif (Financial Inclusion) ............ 12

Gambar 3.1 Persebaran Jaringan Kantor Bank di Indonesia ........................................ 21

Gambar 3.2 Rasio Jumlah Kantor Bank dengan Jumlah Kecamatan ............................ 21

Gambar 3.3 Pergeseran Distribudi Pendapatan Masyarakat Indonesia ......................... 22

Gambar 3.4 Presentase Jumlah Bank Komersial dan BPR di Pedesaan ......................... 24

Gambar 3.5 Akses Kepada Jasa Tabungan ................................................................. 24

Gambar 3.6 Kontribusi UMKM Dalam Perekonomian Indonesia ................................. 25

Gambar 3.7 Jumlah Bank Menurut Modal Inti ............................................................ 27

Gambar 3.8 Analisis GAP Kebijakan Multilicense di Indonesia ..................................... 28

Gambar 3.9 Ruang Lingkup Kegiatan Usaha Bank Berdasarkan BUKU ........................ 29

Gambar 3.10 Tingkat Akses Keuangan di Berbagai Negara Asia ................................. 30

Gambar 3.11 Model Branchless Banking .................................................................... 31

Gambar 3.12 Alur Bank-based Model ........................................................................ 35

Gambar 3.13 Alur Non-bank Based............................................................................ 35

Gambar 3.14 Alur Hybrid Model ................................................................................ 36

Gambar 4.1 Kerangka Kerja Analisis DEA Perbankan Indonesia .................................. 39

Gambar 4.2 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia ................................. 43

Gambar 4.3 BCG Matriks Tingkat Kepadatan Bank di Indonesia ................................. 44

Gambar 4.4 Sepuluh Provinsi dengan Share Dana Pihak Ketiga dan Kredit Terbesar di

Indonesia ................................................................................................................... 46

Gambar 4.5 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia dan Kebijakan

Branchless Banking .................................................................................................... 46

Gambar 4.6 Pemetaan Kondisi Pembiayaan UMKM di Indonesia ................................ 48

Gambar 4.7 Pemetaan Kondisi UMK di Indonesia ....................................................... 52

Gambar 4.8 Forecast Total kredit dan Kredit UMKM di Indonesia ............................... 53

Gambar 4.9 Analisis Perkembangan Kredit UMKM di Indonesia ................................. 54

Gambar 5.1 Perbandingan Asset 5 Bank Terbesar di Beberapa Negara ASEAN ............ 66

Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 xiii

Page 13: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Gambar 5.2 Modal Inti Bank Besar di ASEAN ............................................................. 66

Gambar 5.3 CAR Perbankan di Beberapa Negara ASIA Triwulan IV-2011.................... 68

Gambar 5.4 Perkembangan CAR, ATMR, dan Modal Industri Perbankan Nasional ...... 68

Gambar 5.5 Perkembangan ROA dan NIM Industri Perbankan Nasional ...................... 69

Gambar 5.6 BOPO Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011 .................. 69

Gambar 5.7 Perkembangan BOPO Industri Perbankan Nasional .................................. 70

Gambar 5.8 NIM Perbankan di Beberapa Negara ASIA Triwulan IV-2011 .................... 70

Gambar 5.9 LDR Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011 ..................... 72

Gambar 5.10 Rata-Rata Suku Bunga Kredit dan DPK Rupiah ...................................... 73

Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 xiv

Page 14: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Perbandingan Tingkat Penggunaan Layanan Keuangan Indonesia dengan

Negara Lain Tahun 2010 ............................................................................. 20

Tabel 3.2 Perbandingan Tingkat Akses Terhadap Perbankan Tahun 2010 ................... 21

Tabel 3.3 Bank Based Model ...................................................................................... 33

Tabel 3.4 Non-Bank Based Model .............................................................................. 34

Tabel 4.1 Status persaingan Usaha Tingkat Provinsi .................................................... 45

Tabel 4.2 Estimasi Kreditel Ritel dengan Alternatif 1 ................................................... 49

Tabel 4.3 Estimasi Kreditel Ritel dengan Alternatif 2 ................................................... 50

Tabel 4.4 Rangkuman Estimasi Potensi Pembiayaan UMK ........................................... 51

Tabel 4.5 Hasil Estimasi Markov Switching untuk Fungsi Kredit ................................... 56

Tabel 4.6 Matriks Transisi dan Matriks Durasi ............................................................. 57

Tabel 4.7 Perkembangan Efisiensi Perbankan dan Cooperation Ratio .......................... 59

Tabel 4.8 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia-Kredit ............................. 61

Tabel 4.9 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia-Kredit ............................. 61

Tabel 4.10 Hasil Perhitungan model regresi Logistik ................................................... 62

Tabel 4.11 Hasil Analisis Model Regresi Linier ............................................................. 63

Tabel 4.12 Estimasi Pertambahan Rekening Berdasarkan Zona Provinsi ....................... 64

Pungky Purnomo Wibowo – Nip. 11853 xv

Page 15: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fungsi utama bank adalah sebagai lembaga intermediasi, antara pihak yang kelebihan dana

(supply unit) dengan pihak yang membutuhkan dana (demand unit). Dana yang diterima

bank dapat disalurkan pada kegiatan-kegiatan produktif, menyerap tenaga kerja,

meningkatkan output dan pada akhirnya menggerakkan siklus perekonomian. Oleh karena

itu, pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat memerlukan dukungan industri perbankan1

yang sehat dan efisien.

Dalam proses intermediasi, bank memiliki kemampuan untuk menjembatani kepentingan

yang berbeda antara deposan dan peminjam dalam hal preferensi likuiditas atau waktu dari

uang. Pada level ekonomi makro bank merupakan sarana transmisi dari kebijakan moneter;

sedangkan pada level mikro ekonomi, bank merupakan sumber utama pembiayaan bagi para

pengusaha maupun individu (Konch, 2000).

Keberadaan masyarakat merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan oleh

perbankan, oleh karena itu, jumlah kantor bank di suatu wilayah harus memperhatikan

tingkat populasi dan kepadatan penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk di suatu

wilayah, maka semakin tinggi kebutuhan mereka terhadap jasa perbankan. Gambar 1.1

menunjukkan jumlah kantor bank dan jumlah bank perkapita di setiap provinsi di Indonesia.

Gambar 1.1 Jumlah Bank Perkapita Maret 2012

Sumber: Statistik Perbankan, Bank Indonesia, diolah.

DKI Jakarta merupakan provinsi dengan rasio jumlah bank perkapita tertinggi. Hal ini

disebabkan karena provinsi tersebut merupakan ibukota negara dengan tingkat aktivitas

1 Sampai dengan saat ini sistem keuangan masih didominasi oleh perbankan dengan pangsanya dilihat dari sisi asset mencapai 75,8 persen. Sementara itu, kontribusi lembaga keuangan lainnya seperti asuransi hanya mencapai 10,1 persen, perusahaan pembiayaan sebesar 6,1 persen, dan lembaga keuangan lainnya memiliki pangsa asset kurang dari 5 persen. Dari gambaran tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa sebagian besar masyarakat kita yang “melek” lembaga keuangan lebih memilih perbankan, padahal di sisi lain apabila masyarakat membutuhkan pembiayaan atau ingin mencari outlet penempatan dananya, pasar modal atau asuransi dapat dijadikan sebagai pilihan.

1

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 16: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

ekonomi yang tinggi. Sementara itu, Bali dan DI Yogyakarta memiliki rasio jumlah bank

perkapita tertinggi kedua dan ketiga setelah DKI Jakarta. Hal ini disebabkan karena kedua

Provinsi tersebut memiliki volume transaksi dan perputaran uang yang cukup tinggi mengingat

banyaknya wisatawan asing maupun lokal yang berkunjung. Di sisi lain, banyak Provinsi-

Provinsi yang memiliki jumlah penduduk yang banyak namun hanya dilayani dengan sedikit

kantor bank, seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Meskipun industri

perbankan memiliki perkembangan yang signifikan di Indonesia, akan tetapi, tingkat

persebaran bank di Indonesia tidak merata. Gambar 1.2 di bawah ini menunjukkan tingkat

kepadatan bank (bank density) di pulau-pulau besar di Indonesia.

Gambar 1.2 Tingkat Kepadatan Bank di Beberapa Pulau Besar di Indonesia 2011

Sumber: SEKDA-Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik, 2011, diolah.

Kepadatan bank dapat dilihat dari sisi spasial yaitu jumlah bank per kilometer persegi maupun

dari sisi ukuran pasar, yaitu jumlah bank per seribu penduduk. Gambar di atas menunjukkan

bahwa Jawa adalah pulau dengan jumlah kantor bank per kilometer persegi tertinggi. Setiap

dua kilometer persegi wilayah di Jawa dilayani oleh satu kantor bank. Sedangkan, di Maluku,

setiap 253 kilometer persegi wilayah hanya dilayani oleh satu kantor bank. Dari sisi ukuran

pasar, Sumatera merupakan pulau dengan jumlah kantor bank per seribu penduduk tertinggi.

Setiap seribu penduduk mampu dilayani oleh satu kantor bank. Sedangkan di Papua, setiap

17.000 penduduk hanya mampu dilayani oleh satu bank.

Untuk dapat berperan optimal dalam perekonomian, bank perlu untuk bekerja secara efisien.

Perbankan yang efisien berkaitan erat dengan sistem keuangan yang efisien. Sektor keuangan

yang efisien akan mendorong efektivitas alokasi sumber daya keuangan dan mengurangi

misalokasi sumber daya produktif. Selain itu, perbankan yang efisien akan mendukung

pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat.

Data terakhir yang menunjukkan bahwa perbankan Indonesia masih belum efisien. Salah satu

indikator inefisiensi adalah nilai net interest margin. Secara khusus, 14 bank Tier 3 dan Tier 4

dapat memenuhi himbauan BI untuk menurunkan suku bunga dana pihak ketiga yang

2

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 17: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

mendekati BI rate. Namun, ketika BI Rate stabil di kisaran 6.5 s.d 6.75% dan suku bunga dana

pihak ketiga (DPK) stabil di kisaran suku bunga penjaminan LPS, suku bunga kredit secara

umum masih berada di atas 10%. Hal ini menujukkan sebuah anomali, dimana seharusnya

suku bunga kredit berada di bawah 10%. Kondisi tersebut menyebabkan net interest margin

perbankan Indonesia masih berada pada kisaran 6% atau tertinggi di kawasan ASEAN+52.

Sebagai upaya untuk merealisasikan hal tersebut, maka Bank Indonesia mengeluarkan

beberapa kebijakan dalam rangka penguatan ketahanan, daya saing perbankan, sekaligus

penguatan fungsi intermediasi perbankan. Kebijakan untuk penguatan ketahanan dan daya

saing perbankan dilakukan melalui penerapan aturan ijin berlapis (multilisence). Sedangkan

dalam rangka penguatan fungsi intermediasi perbankan dilakukan melalui kebijakan yang

mewajibkan bank untuk menyalurkan 20% dari total kredit untuk sektor usaha mikro, kecil,

dan menengah; dan melalui perluasan akses keuangan masyarakat melalui kebijakan

branchless banking (selanjutnya disingkat BB).

1.2. Rumusan masalah

Terdapat empat pokok rumusan permasalahan yang coba dibahas terkait dengan

kebijakan branchless banking setelah multi license apakah merupakan ancaman dan

keuntungan bagi perbankan nasional. Keempat rumusan permasalahan di bawah ini

untuk menganalisis sinergi dari kedua kebijakan dimaksud dengan penekanan kepada:

5. Tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB3 oleh Bank

Indonesia (BI) dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat terhadap perbankan;

khususnya masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang UMKM (Usaha Mikro,

Kecil dan Menengah).

6. Tingkat potensi pembiayaan khususnya untuk UMKM yang besar diprediksi akan

semakin mendorong perbankan untuk mengambil potensi tersebut, terutama dengan

adanya kebijakan multilicense dan BB tersebut. Tingkat sinergi dari kedua kebijakan

tersebut selanjutnya akan berdampak positif; tidak hanya terhadap industri perbankan

dan perekonomian nasional; Namun dalam penulisan penelitian ini, akan dilihat lebih

jauh apakah terjadi down-side effect atau ancaman yang mungkin timbul apabila

tidak terjadi sinergi di antara kedua kebijakan tersebut.

7. Tingkat efisiensi yang mungkin timbul, sebagai akibat adanya sinergi pengaturan

multilicense, pembukaan jaringan kantor dan implementasi BB, terhadap kondisi

perbankan dan perekonomian Indonesia. Pengukuran peluang ini dilakukan dengan

2 Asean+5 terdiri dari negara Indonesia, Philipine, Thailand, Malaysia, Singapur dan Brunei, Kamboja,Laos, Myanmar dan Vietnam. 3 Kebijakan multilicense dan branchless banking (BB) tersebut akan dibahas secara mendalam di Bab 3.

3

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 18: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

membandingkan down-side effect atau ancaman dan sinergi antara kebijakan

multilicense dan BB tersebut.

8. Tingkat kebehasilan kebijakan branchless banking dalam meningkatkan akses

keuangan terhadap perbankan, dengan penekanan pada probabilitas peningkatan

kepemilikan rekening tabungan serta Estimasi Penambahan Rekening Tabungan.

Dalam hal ini apabila tingkat keberhasilan BB tersebut menunjukan hasil yang kurang

memuaskan, maka kebijakan BB tersebut dapat dipandang sebagai ancaman (down-

side effect) bagi perbankan nasional.

1.3 Tujuan Penelitian

Karya tulis ini akan mengukur dan menganalisa kemampuan pengaturan multilicense dan

pembukaan jaringan kantor serta implementasi BB dalam memperkuat struktur

perbankan Indonesia dan pengaruhnya terhadap akses keuangan masyarakat luas sebagai

bagian dari program inklusi keuangan, dengan menjawab keempat rumusan

permasalahan di atas. Dengan memiliki analisa yang komprehensif dari seluruh

permasalahan dalam penelitian ini, karya tulis ini diharapkan mampu menjawab dampak

positif berupa keuntungan atau kesempatan maupun ancaman (down-side effect) yang

mungkin timbul dari kebijakan branchless banking dan multilicense terhadap perbankan

dan perekonomian nasional. Penulisan penelitian ini mencoba menjelaskan pula critical

point yang perlu menjadi perhatian dalam implementasi kedua kebijakan tersebut.

1.4 Metode Analisis

Keempat rumusan pokok permasalahan di Sub Bab 1.2 di atas dapat dianalisa dengan

menggunakan 4 analisa kuantitatif4. Dua analisa kuantitatif (DEA dan Matrix BCG) yang

pertama dilakukan untuk menjawab rumusan permasalahan pertama dan kedua; dan

analisa kuantitatif Concentration Ratio (CR) yang selanjutnya dianalisis lebih jauh dengan

menggunakan metode Herfindahl-Hirschman Index (HHI) untuk menjelaskan rumusan

permasalahan yang ketiga; sementara rumusan permasalahan keempat dilakukan dengan

metode regresi logistik dan lineaer . Alur anisa kuantitatif yang akan dibahas secara

mendalam di Bab 4 dalam penulisan penelitian ini, dapat dijelaskan secara singkat sebagai

berikut:

1. Menjawab rumusan permasalahan pertama (tingkat urgensi dari

dikeluarkannya kebijakan multilicense dan BB)

a. Analisa kuantitatif mengenai perlunya diatur produk dan kegiatan perbankan

secara lebih terinci berdasarkan kapasitas yang dimiliki oleh bank yang meliputi

kapasitas modal inti, skala ekonomi dan struktur organisasi perusahaan dijelaskan

4 Analisa secara menyeluruh dengan menggunkaan analisa kuantitatif dapat diiukuti secara lengkap di Bab 4. 4

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 19: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

dengan menggunakan Metode Data Envelope Analysis (DEA)5.DEA ini

menggambarkan pentingnya kebijakan multilicense (perijinan berjenjang),

khususnya dalama pembukaan jaringan kantor bank dalam mendorong

optimalnya pelayanan kantor bank kepada masyarakat Indonesia.

b. Sebagai kelanjutan dari hasil yang diperoleh dari Analisa DEA di point 1 tersebut,

dilakukan analisa kejenuhan bank (bank density6) di seluruh wilayah Indonesia

sebagai dasar untuk perlunya dilakukan kebijakan inovatif untuk perluasan

pelayanan perbankan (antara lain kebijakan BB). Tingkat kejenuhan tersebut

diukur menggunakan teknik Matrix BCG, yang dikembangkan oleh Boston

Consulting Group pada tahun 19707, berdasarkan economic of scale dan financial

service coverage8.

2. Membahas permasalahan kedua (Tingkat Pemetaan dan Potensi Pembiayaan

UMKM Khususnya UMK)

Dilakukan dengan Analisa BCG Matriks untuk tingkat kejenuhan layanan perbankan

di suatu daerah tertentu. Hal ini dikonfirmasi pula dengan tiga hasil penelitian dari

Bank Tabungan Pensiunan Nasional, Kementerian Koperasi dan UMKM serta Bank

Indonesia (penelitian berdasarkan household survey tahun 2010) dan forecasting

kebutuhan kredit UMKM.

3. Merespon Permasalahan Ketiga (Tingkat Efisiensi dari Sinergi Pengaturan

Multilicense and BB)

a. Dalam menjelaskan tingkat efisiensi yang mungkin timbul dari sinergi kebijakan

multilicense dan BB, dilakukan perhitungan ukuran penguasaan pangsa pasar

kredit dan dana pihak ketiga (DPK) yang dilakukan oleh kelompok bank, yang

dikategorikan “besar” berdasarkan peraturan multilicense, terhadap total kredit

dan DPK. Ukuran tersebut disebut dengan Concentration Ration (CR).

5 DEA merupakan studi empiris yang dapat digunakan untuk mengevaluasi produktivitas dan performa sebuah bank dengan menggunakan pendekatan non parametik. Grigorian dan Manole (2005) melakukan penelitian pada sektor keuangan di Bahrain sedangkan Wezel (2010) melakukan studi empiris di Amerika Tengah. 6 Bank density mengukur kepadatan bank di suatu wilayah berdasarkan jangkauan layanan dan proporsi jumlah penduduk yang dilayani. Tingkat kejenuhan tersebut dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan total jumlah kantor bank di suatu wilayah dengan luas wilayah untuk melihat kepadatan bank dari sisi spasial jangkauan pelayanan. Disamping itu, tingkat kejenuhan bank juga dapat dilihat dengan membandingkan jumlah kantor bank dengan jumlah penduduk untuk melihat kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanannya. 7 Matriks ini didasarkan pada teori siklus produk (life cycle theory). BCG Matrix merupakan matriks 2x2 dengan variabel pangsa pasar monopoli sebagai sumbu axis dan tingkat pertumbuhan pasar sebagai sumbu ordinat. Model analisis ini dapat digunakan juga untuk memetakan industri perbankan per provinsi di wilayah Indonesia yang memiliki banyak pelaku pasar dengan persaingan monopolistik. Pengembangan model analisis ini untuk industri perbankan dilakukan dengan penyesuaian variabel pada sumbu X dan sumbu Y. 8 McKinnon (1973) dan Levine (1977) menyatakan bahwa persaingan yang sangat ketat akibat penumpukan jumlah bank pada suatu wilayah dapat menimbulkan kejenuhan bank (bank saturation). Sehingga pendirian bank dalam suatu wilayah harus melihat aspek density ratio atau jumlah bank per jumlah penduduk (ritonga et al, 2004)

5

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 20: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

b. Concentration ratio yang diperoleh dianalisis lebih jauh dengan menggunakan

Herfindahl-Hirschman Index (HHI). Indeks ini merupakan indeks yang secara umum

diterima sebagai ukuran konsentrasi pasar. Nilai HHI diukur sebagai jumlah dari

kuadrat pangsa pasar perusahaan yang berkompetisi. Dalam hal ini, apabila

dianggap bahwa pada sektor perbankan, keempat kelompok BUKU9 (Bank Umum

Kegiatan Usaha) bank sebagai kelompok yang berkompetisi dalam sektor

perbankan di Indonesia, maka HHI sektor perbankan di Indonesia dapat dikukur.

Nilai HHI ini diharapkan dapat menjawab tngkat efisiensi yang dapat timbul,

sebagai akibat adanya sinergi pengaturan multilicense dan implementasi BB,

sebagaimana dirumuskan dalam perumusan masalah kedua di atas.

4. Menjelaskan tingkat keberhasilan Branchless Banking dalam meningkatkan

probabilitas kepemilikan rekening tabungan dan estimasi peningkatan jumlah

rekening tabungan tersebut, dengan melakukan analisa sebagai berikut:

a. Untuk menghitung probabilitas kepemilikan rekening tabungan akan

digunakan model regresi logistik dengan melibatkan enam variabel prediktor

sebagai indikator kepemilikan rekening.

b. Model regresi linear digunakan untuk melakukan estimasi peningkatan

rekening tabungan jika ada penambahan layanan jasa keuangan. Dasar

perhitungan dengan menggunakan model regresi linier dari setiap zona

kejenuhan bank.

9 Kebijakan Multilicense menggolongkan perbankan di Indonesia menjadi 4 (empat) sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha 1 s.d. 4. Penjelasan tentang hal ini dapat diikuti dengan lengkap di Bab 3.

6

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 21: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

1.5 Alur Pikir

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka dapat dibuat alur pikir seperti gambar diatas. Terdapat disparitas (perbedaan) layanan keuangan

perbankan di Indonesia, terutama layanan keuangan yang masih terpusat di Pulau Jawa. Permasalahan spasial ini mendorong Bank Indonesia untuk

dapat meningkatkan layanan perbankan terutama di daerah luar Jawa. Kebijakan multilicense dan BB merupakan kebijakan yang tepat untuk keluar

dari permasalah tersebut. hal ini disebabkan karena untuk membuka bank baru, terutama di luar Jawa, membutuhkan biaya yang besar. Dengan

adanya branchless banking dan multilicense diharapkan kinerja dan akses layanan perbankan meningkat, sehingga pada akhirnya dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional.

DISPARITAS LAYANAN

KEUANGAN PERBANKAN

SECARA SPASIAL

PERBANKAN DI

INDONESIA

PELUANG

TANTANGAN

KEBIJAKAN MULTILICENSE,

BRANCHLESS BANKING

TINGKAT LAYANAN

PERBANKAN DI DAERAH

PERTUMBUHAN

EKONOMI

KEBIJAKAN MULTILICENSE

KEBIJAKAN PEMBUKAAN

KANTOR CABANG

PENINGKATAN KINERJA DAN

AKSES LAYANAN PERBANKAN

KESEJAHTERAAN

MASYAKARAT

7

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 22: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

1.6 Pola Pikir

Pengaruh Lingkungan atau Lingkungan strategis: • Global: Masyarakat Dunia • Regional: Masyarakat Ekonomi Asean • Nasional: Industri perbankan dan keuangan nasional

PELUANG : menjangkau unbanked people dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan, serta meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM tantangan dan kendala: (i) potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan disegmen UMKM yang menjadi pemicu antara

efisiensi pemain lain atau mematikan pemain lain (ii) penurunan resiko kredit UMKM (TAMBAL SULAM KREDIT) (iii) Jumlah penduduk yang tersebar di luar Jawa (iv) Ketidakstabilan kondisi lingkungan

PERLUASAN JARINGAN LAYANAN

PERBANKAN

KEBIJAKAN BANK INDONESIA : 1. MULTILICENSE 2. BRANCHLESS BANKING (BB)

Peningkatan (I) Performance (kinerja

perbankan): Profitabilitas, Efisiensi dan Stabilitas Sistem Keuangan.

(II) Memperluas akses layanan perbankan dan penyaluran kredit

Subyek Obyek Metoda

Seluruh bank di Indonesia yang meliputi supra struktur;. sub struktu dan infrastruktur.

Peraturan Perundangan; Perbankan: melalui perluasan jaringan layanan Masyarakat.: dengan meningkatnya

Legisasi dengan Perijinan berjenjang; branhless banking(BB) melalui bank & non bank-based model; Edukasi dan Sosialisasi

KESEJAHTERAAN MASYAKARAT

PERTUMBUHAN EKONOMI

8

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 23: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Pola pikir kajian ini dapat dijelaskan melalui bagan pola pikir diatas. Perluasan

jaringan layanan perbankan dapat dilakukan melalui kebijakan multilicense (perijinan

berjenjang) dan BB. Kebijakan ini bertujuan untuk memperluas basis nasabah dan

memperluas jaringan unit layanan keuangan dengan melakukan beberapa metode.

Kebijakan ini juga didukung dengan lingkungan strategis yaitu lingkungan tingkat

regional (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dan nasional.

Selanjutnya, peluang kebijakan ini diharapkan dapat menjangkau unbanked people

dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan, serta

meningkatkan peranan bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM. Adapun

tantangan untuk kedua kebijakan ini adalah terdapat potensi munculnya kepadatan

tingkat layanan perbankan di segmen UMKM. Secara umum dapat disebutkan,

bahwa dampak jangka pendek dari kedua kebijakan tersebut adalah peningkatan

performance, profitabilitas, efisiensi dan Stabilitas Sistem Keuangan yang saat ini

telah terjaga dengan baik (Gambar 1.3), yang pada nantinya dapat meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Secara lebih

khusus Bagan 1.5 dan 1.6 tersebut akan dijelaskan secara lebih mendalam di bab-

bab selanjutnya dalam penulisan makalah ini.

Gambar 1.3 Indeks Stabilitas Sistem keuangan

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 9

Page 24: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

BAB 2 LANDASAN PEMIKIRAN DAN OPERASIONAL

2.1 Landasan Pemikiran

Sesuai Pembukaan UUD 1945, Pemerintah Negara Republik Indonesia, tujuan negara

adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial. Selanjutnya, agar tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam

Pembukaan UUD 1945 dapat tercapai, diperlukan suatu strategi pembangunan nasional

yang tepat, terukur serta terarah.

Gambar 2.1 Kerangka Kerja Kebijakan Keuangan Inklusif (Financial Inclusion)

Sumber: Kantor Wakil Presiden RI, Strategi Nasional Keuangan Inklusif (Revisi), 2012

Namun demikian, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum tersentuh oleh jasa

layanan sektor keuangan formal. Salah satu upaya mengatasi hal ini, di beberapa

Negara, khususnya negara yang tergabung dalam G20, dengan melaksanakan program

financial inclusion (selanjutnya disingkat FI) atau kebijakan keuangan inklusif.

Pengurangan Kemiskinan

Stabilitas Sistem Keuangan

Pemerataan Pendapatan

Masyarakat yang berdaya beli dan produktif Sistem Keuangan yang m udah d iakses

Tujuan Utama

Untuk mencapai kesejahteraan ekonomi melalui pengurangan kemiskinan, pemerataan pendapatan & stabilitas sistem keuangan di Indonesia dgn menciptakan sistem keuangan yg dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat

Kelompok Sasaran

Kelompok Pekerja Migran dan Penduduk Daerah Terpencil Sangat Miskin Miskin Bekerja /

Produktif Hampir Miskinir Miskin Tidak Miskin

Lembaga Keuangan (Bank & Lembaga

Keuangan Non Bank) Saluran

Pemerintah

Keuangan Publik • Subsidi • Insentif Fiskal • Bantuan Sosial • BLT • Jamkesmas ,

dll

Produk / Jasa Keuangan • Tabungan • Kredit • Asuransi • Remitansi • Dana Pensiun • Reksa dana , dll

Ketahanan Intermediasi

Efisiensi

Fasilitas Intermediasi & Distribusi

Kebijakan / Peraturan Pendukung

Pemetaan Informasi Keuangan

Fasilitas Keuangan

Publik Strategi Perlindungan

Konsumen Edukasi

Keuangan

Pilar Keuangan Inklusif

• Mediasi Perbankan • Transparansi Produk • TabunganKu

• Branchless banking • Kredit “ Start - Up ” • Sertifikasi tanah

• Multilicensing • Kebijakan

B ranchless banking • Kebijakan kredit start - up

• Edukasi Pelajar , TKI, dan masyarakat

lain • Kampanye Bersama

• Financial Identity Number (FIN)

• Credit Rating Contoh Program

KERANGKA KEUANGAN INKLUSIF

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 10

Page 25: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Framework besar kegiatan FI Indonesia dapat digambarkan secara garis besar pada

Gambar 2.1.

Dalam Gambar 2.1 dapat diikuti bahwa salah satu program dalam keuangan inklusif (FI)

adalah kebijakan BB yaitu kegiatan layanan jasa perbankan dan sistem pembayaran

yang diselenggarakan oleh bank dan telco tanpa melalui kantor bank tapi

menggunakan teknologi dan pihak ketiga (agen) sehingga dapat meningkatkan akses

keuangan masyarakat dan kelompok miskin produktif) dan UMKM.

2.2 Paradigma Nasional

2.2.1 Pancasila sebagai Landasan Ideal

Pancasila sebagai Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

pandangan hidup bangsa Indonesia adalah suatu nilai-nilai luhur bangsa

Indonesia, yang mencerminkan moral dan akhlak manusia Indonesia dan

diyakini kebenarannya serta kesaktiannya.

Dalam hal ini, implementasi branchless banking diharapkan dapat membantu

pemerataan pendapatan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan, yang

merupakan pengamalan moral politik kenegaraan sila pertama, dimana

meningkatkan kesejahteraan umum adalah merupakan tanggung jawab yang

suci, dalam membangun dunia baru yang lebih baik berdasarkan kemanusian

yang adil dan beradab (sila kedua) serta dalam kerangka memperjuangkan

kepentingan nasional (sila ketiga), dengan demikian kedaulatan rakyat (dalam

bidang ekonomi) akan semakin tinggi. Karena itu negara wajib mendengarkan

suara rakyat (sila keempat) dan memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat

dan mengikut sertakan seluruh rakyat dalam (sila kelima) kehidupan ekonomi,

sosial, dan budaya serta secara khusus memperhatikan warga bangsa yang

lemah kedudukannya agar tidak terjadi ketidakadilan serta kesewenang-

wenangan dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.

2.2.2 UUD NKRI Tahun 1945 sebagai Landasan Konstitusional

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

merupakan sumber dari segala sumber hukum positif di Indonesia. Sebagai

sebuah negara hukum, maka seluruh penyelenggaraan negara diatur menurut

hukum yang berlaku. Dalam sistem hukum, maka semua orang memiliki

kedudukan yang sama dan setara tanpa diskriminasi. Sehingga semua orang

menjadi terlindungi sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NKRI

1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia.

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 11

Page 26: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Optimalisasi BB merupakan perwujudan dari amanat tujuan nasional yang

tercantum dalam Pembukaan UUD NKRI 1945 tersebut yakni memajukan

kesejahteraan umum yang berdasarkan keadilan sosial. Selanjutnya pada Pasal

27 ayat (2) menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan

dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Amanat pasal 28 ayat (2)

menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan

perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna

mencapai persamaan dan keadilan, salah satu caranya adalah dengan berbank.

Dengan demikian pelaksanaan branchless banking sesuai dengan dasar

konstitusional.

2.2.3 Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konseptual

Sudah jamak diketahui bahwa dalam mencapai tujuan nasional, bangsa

Indonesia menghadapi berbagai tantangan, ancaman, hambatan, dan

gangguan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar bangsa Indonesia.

Karena itu bangsa Indonesia membutuhkan Ketahanan Nasional yang tangguh,

salah satunya melalui pendekatan kesejahteraan. BB dapat sebagai sarana agar

setiap orang memperoleh haknya dalam mendapatkan layanan penuh dari

lembaga keuangan secara tepat waktu, aman, nyaman, dan terjangkau, tanpa

mengurangi harkat dan martabatnya. Dalam konteks Ketahanan Nasional, maka

ancaman kemiskinan yang juga disebabkan rendahnya akses pada lembaga

keuangan, dapat dikurangi melalui implementasi BB. Karena itu BB merupakan

salah satu strategi pengentasan kemiskinan, yang secara tidak langsung akan

meningkatkan ketangguhan masyarakat, dan selajutnya secara otomatis akan

meningkatkan ketahanan ekonomi, yang pada gilirannya akan meningkatkan

Ketahanan Nasional.

2.3 Peraturan Perundang-undangan sebagai Landasan Operasional

2.3.1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025.

Dalam arah RPJPN 2005-2025 disebutkan bahwa untuk mewujudkan bangsa

yang berdaya saing, dibutuhkan perekonomian domestik yang kuat yang

berorientasi dan berdaya saing global, dimana salah satunya adalah melalui

pengembangan sektor keuangan. Pengembangan sektor keuangan dilakukan

melalui peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank dan non-bank

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 12

Page 27: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

dalam pendanaan pembangunan terutama peningkatan akses pendanaan bagi

“orang yang kurang beruntung” dimanapun berada.

2.3.2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan

bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional

dan pelaksanaan pembangunan ekonomi diarahkan kepada terwujudnya

perekonomian nasional yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata,

mandiri, andal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomian

internasional. Sehingga menjadi tugas bagi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral

(saat ini juga otoritas pengawas dan pengaturan perbankan) untuk mendukung

semua upaya dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.

Sesuai UU BI, tugas utama Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 8, yaitu:

a) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; b) Mengatur dan

menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan c) Mengatur dan mengawasi Bank.

Sementara, terkait pengaturan dan pengawasan bank, diarahkan untuk

mengoptimalkan fungsi perbankan nasional sebagai: a) Lembaga kepercayaan

masyarakat dalam penghimpunan dan penyaluran dana; b) Pelaksana kebijakan

moneter; c) Lembaga yang ikut berperan dalam membantu pertumbuhan

ekonomi serta pemerataan. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut pendekatan

yang dilakukan adalah dengan menerapkan: a) Kebijakan untuk memberikan

keleluasaan berusaha (deregulasi); b) Kebijakan prinsip kehati-hatian bank

(prudential banking); dan c) Pengawasan bank yang mendorong bank tetap

mengacu kepada prinsip kehati-hatian. Berdasarkan Pasal 16 ayat (2) dan Pasal

29 beserta penjelasannya, selanjutnya diatur kewenangan Bank Indonesia dalam

pengaturan dan pengawasan bank10.

2.3.3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Bank sebagai badan usaha dalam kegiatannya adalah dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam kegiatannya, perbankan

10 (1) Kewenangan memberikan izin (right to license), yaitu kewenangan untuk menetapkan tatacara perizinan dan pendirian suatu bank; (2) Kewenangan untuk mengatur (right to regulate), yaitu kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek usaha dan kegiatan perbankan; (3)Kewenangan untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision); (4) Kewenangan untuk mengenakan sanksi (right to impose sanction), yaitu kewenangan untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan terhadap bank apabila suatu bank kurang atau tidak memenuhi ketentuan. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 13

Page 28: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

dihimbau dan diwajibkan untuk ikut membantu proses peningkatan taraf hidup

rakyat melalui bisnis yang dilakukan. Perbankan dengan fungsi utamanya

sebagai penghimpun dana dan penyalur pinjaman kepada masyarakat, memiliki

peranan yang strategis untuk melakukan hal tersebut. Untuk mewujudkannya

secara lebih efisien, salah satunya melalui penerapan BB.

2.4 Landasan Operasional Perbankan

2.4.1 Jenis Bank

Secara umum, jenis Bank berdasarkan fungsinya menurut Undang-Undang No.

7 Tahun 1992 yang telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 10 Tahun

1998 adalah:

No Jenis Keterangan

1 Bank Umum Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, artinya dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada.

2 Bank Perkreditan

Rakyat (selanjut-nya

disingkat BPR)

BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum selain itu cakupan wilayah BPR juga lebih sempit dibandingkan dengan cakupan wilayah bank umum.

2.4.2 Produk dan Kegiatan Usaha Bank

Berdasarkan UU, produk dan kegiatan usaha bank dapat dibedakan menjadi

beberapa jenis, antara lain:

No Jenis Keterangan

1 Penghimpunan Dana Dilakukan dalam bentuk tabungan, giro maupun deposito.

2 Penyaluran Dana Dilakukan dalam bentuk penyaluran dana pihak ketiga yang disimpan di bank melalui penyaluran kredit.

3 Trade Finance Berkaitan dengan perdagangan internasional atau ekspor impor.

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 14

Page 29: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

4 Treasury

Kegiatan inti dalam bank yang berfungsi dan bertanggung jawab untuk mengelola risiko likuiditas, risiko suku bunga, risiko nilai tukar, risiko kredit (dalam penempatan dana selain pada

kredit dan pembelian surat berharga / investasi),

risiko kepatuhan (compliance risk) yang terkait dengan treasury, dan risiko operasional yang terkait dengan fungsi treasury.

5 Keagenan dan Ker-ja

sama

Keagenan produk keuangan dalam bentuk instrumen investasi yang diterbitkan oleh penerbit asing di dalam dan luar negeri, antara lain agen reksadana, agen penjualan Surat Berharga Negara (selanjutnya disingkat SBN), bank kustodian, dan wali amanat.

6 Sistem Pembaya-ran

Antara lain penyelenggara kartu kredit, penerbitan kartu Auto Teller Machine (selanjutnya disingkat ATM), penerbitan kartu debet, kliring, inkaso, transfer, dan e-money.

7 E-banking

Jasa dan produk bank secara langsung kepada nasabah melalui elektronik dan saluran komunikasi interaktif. Beberapa media E-banking, antara lain internet banking, SMS atau m-banking, phone banking, dan ATM.

2.5 Landasan Teori

2.5.1 Teori Akses Lembaga Keuangan

Pengalaman Grameen Bank di Bangladesh sejak awal tahun 70-an, menjadi

dasar bagi Muhammad Yunus untuk menyatakan bahwa kemiskinan adalah

penyangkalan terhadap semua hak asasi manusia. Grameen Bank yang dikenal

sebagai bank untuk kaum miskin, hakikatnya adalah pelaksanaan FI yang luar

biasa, karena diberikan khusus kepada perempuan pada suatu negara dimana

perempuan dianggap sebagai warga negara kelas dua. Pengalaman itulah

kemudian memunculkan tulisan yang saat ini sangat dikenal di dunia keuangan

mikro, yaitu “akses terhadap lembaga keuangan adalah hak asasi manusia”

(Yunus, 2007). FI yang salah satu kegiatannya dilakukan melalui BB, yang

sebelumnya telah didahului dengan penerbitan kebijakan multilicense, pada

dasarnya sama dengan grameen bank yang memberikan akses seluas-luasnya

pada masyarakat untuk berbank.

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 15

Page 30: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

2.5.2 Teori Pembangunan untuk Rakyat

Ginanjar Kartasasmita menyebutkan bahwa pembangunan dan kebijakan yang

berorientasi serta berpihak pada kepentingan rakyat dapat meningkatkan

pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam bukunya Pembangunan untuk Rakyat,

Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan (1996). Pertumbuhan hanya akan

berkesinambungan dalam jangka panjang jika sumber utamanya berasal dari

rakyat sendiri, baik berupa produktifitas rakyat maupun dana yang dihimpun

melalui tabungan rakyat. Makin tumbuh dan bekembang pembangunan yang

berdasar pada daya rakyat sendiri, maka akan semakin kukuh pula kemandirian

suatu bangsa. Kemandirian yang dibangun adalah dengan rasa percaya diri dan

dalam keterbukaan pergaulan dengan bangsa lain, bukan dalam keterisolasian

yang menyebabkan kemandegan (Kartawan, 2011).

2.5.3 Teori Pengembangan UMKM

Selanjutnya hasil penelitian Syamsul Hadi dan kawan-kawan dari CIReS dalam

bukunya Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF menyebutkan bahwa

pembangunan Indonesia akan lebih kuat dan mandiri jika dalam prosesnya

selalu mengembangkan program pembangunan usaha kecil dan menengah

yang komprehensif (Syamsul Hadi dkk, 2004).

2.6 Tinjauan Pustaka

2.6.1 Sarwono Sudarto, 2004: Optimalisasi Peran Perbankan Guna

Mendorong Pertumbuhan UMKM dan Koperasi dalam rangka

Meningkatkan Ketahanan Nasional

Dalam tulisannya, Sarwono Sudarto (2004) menyebutkan bahwa kendala

pengembangan UMKM salah satunya adalah karena akses pembiayaan. Namun

dalam tulisan tersebut tidak menyebutkan solusi bagaimana membuka akses

dimaksud dalam rangka mengembangkan UMKM. Dalam hal ini, BI

menekankan kebijakan BB sebaagi salah satu cara untuk meningkatkan akses

keuangan masyarakat.

2.7 Perkembangan Lingkungan Strategis

Kondisi dunia yang semakin tanpa batas (borderless) membuat Indonesia tidak bisa

bersifat eksklusif dari percaturan dunia yang ada dewasa ini. Masing masing negara

saling membutuhkan mengingat terdapat perbedaan competitive advantage di masing-

masing negara. Di kawasan Asia, penerapan masyarakat ekonomi Asia maupun Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 16

Page 31: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

perdagangan bebas diregional perlu disikapi hati-hati dan dimanfaatkan. Langkah

strategis yang perlu dilakukan adalah melakukan adaptasi agar bisa memanfaatkan

peluang yang dihasilkan dari perubahan tersebut. Tingginya tingkat pertumbuhan

ekonomi dan masih besarnya masyarakat yang belum tersentuh jasa layanan bank di

Indonesia tentunya menarik industri perbankan dari negara lain (asing) untuk masuk ke

Indonesia sebagai negara dengan potensi market yang besar.

Peluang yang bisa diperoleh dari perubahan lingkungan tersebut, antara lain adalah a)

Dukungan masyarakat dunia yang tinggi (APEC dan G20) terhadap program FI; b)

Peningkatan hubungan dagang Indonesia dengan negara mitra semakin membutuhkan

layanan jasa perbankan; c) Rendahnya akses masyarakat kepada lembaga perbankan

sehingga mendorong terciptanya kebijakan strategis untuk meningkatkan akses

keuangan dimaksud; d) Peningkatan kesempatan perbankan untuk melakukan ekspansi

binisnya, e) lahirnya kebijakan yang integratif dan terpusat tentang FI.

Adapun kendala yang bisa terjadi dari lingkungan strategis, antara lain: a) Implementasi

Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 yang mendorong meningkatnya tingkat

kompetisi di sistem keuangan dan perbankan nasional sebagai akibat masuknya

lembaga keuangan dan perbankan asing; b) Fakta luasnya jangkauan wilayah Indonesia

yang harus dilayani menuntut adanya inovatif and strategic action; c) Rendahnya tingkat

efisiensi sektor perbankan nasional jika akan membuka jaringan kantor baru, dan d)

Rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat (financial literacy).

2.8. Implikasi Financial Inclusion melalui Branchless Banking

2.8.1 Terhadap Percepatan Perekonomian Masyarakat

Saat ini pendekatan pengentasan kemiskinan dengan penurunan tingkat

pengangguran salah satunya dilakukan dengan pendekatan akses terhadap

lembaga keuangan. Survei Bank Dunia di seluruh dunia menunjukkan bahwa

sektor keuangan memiliki peran penting dan signifikan dalam pengentasan

kemiskinan, mengurangi perbedaan pendapatan, dan meningkatkan

pertumbuhan perekonomian.11 Melihat kesenjangan pendapatan yang masih

lebar di Indonesia, maka akses terhadap lembaga keuangan sebagai alat untuk

mempercepat pemerataan pendapatan menjadi relevan dan strategic untuk

dilakukan.

11 Keterangan lebih detail lihat www.worldbank.org Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 17

Page 32: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

2.8.2 Terhadap Ketahanan Nasional

Data indeks Gini di Indonesia tahun 2012 sebesar 0,41 mengindikasikan

kesenjangan pendapatan masih sangat tinggi, sehingga dibutuhkan suatu

kebijakan nyata dalam mendukung percepatan pemerataan perekonomian,

khususnya pemerataan pendapatan masyarakat.

Kebijakan yang inovatif ini sangat diperlukan, mengingat apabila terdapat

ketidakmerataan pendapatan masyarakat, maka akan mengganggu proses

pembangunan nasional. Selanjutnya, disadari jika pembangunan nasional

terhambat terhambat, hal ini berakibat pada lemahnya Ketahanan Nasional

Indonesia. Sebagaimana dikemukakan diatas, salah satu wujud keberhasilan

pembangunan nasional adalah dengan menurunnya tingkat kemiskinan. Salah

satu strategi untuk mengatasi kemisikinan tersebut adalah melalui pemerataan

pendapatan masyarakat dengan memperluas akses terhadap lembaga

keuangan.

2.9 Pokok-Pokok Persoalan dalam Financial Inclusion

Berdasarkan uraian di atas, disadari bahwa pelaksanaan kegiatan FI di Indonesia tidak

dengan mudah dapat dilaksanakan. Hal ini dikarenakan masih adanya beberapa

persoalan strategis yang harus dicarikan solusinya. Beberapa pokok persoalan tersebut

adalah: terbatasnya infrastruktur lembaga keuangan; rendahnya pemahaman

masyarakat tentang keuangan (financial literacy); Belum tersedianya produk yang sesuai

untuk kelompok masyarakat kecil; Belum optimalnya kebijakan Pemerintah tentang FI,

dalam hal ini Pemerintah belum mengeluarkan kebijakan terpadu terkait dengan FI12.

2.10 Kondisi Financial Inclusion yang Diharapkan

Sesuai dengan pembukaan UUD1945 dan UU No. 17/2007 tentang RPJPN tersebut

diatas, maka pembangunan perekonomian harus dapat menjamin kesempatan

berusaha dan bekerja bagi seluruh masyarakat dan mendorong tercapainya

penanggulangan kemiskinan.

Berdasarkan dua landasan tersebut maka kebijakan perekonomian nasional juga harus

mengutamakan kelompok masyarakat bawah (lemah) sehingga akses perbankan harus

dibuka seluas-luasnya. Hal ini sangat sesuai dengan target dari kegiatan FI yang

dilaksanakan oleh BI.

12 Pada Bulan Juli 2012, telah diterbitkan Strategi National Keuangan Inklusif (SNKI) dari Tim Percepatan Penanggulangan Kemisininan dari kantor Wakil Presiden Republik Indonesia. Namun penerbitan SNKI tersebut masih bersifat soft launching, dan belum ditandatangani oleh Wapres RI maupun oleh Presiden Republik Indonesia. Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 18

Page 33: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

2.11 Indikasi Keberhasilan

Beberapa indikator dalam percepatan FI yang diharapkan bisa terlaksana dengan baik di Indonesia adalah: a) Bertambahnya jumlah kantor bank. Dalam hal ini penambahan jumlah kantor bank difokuskan kepada daerah di luar Jawa dan Bali karena lebih dari 52% kantor bank berada di Jawa; b) Tersedianya produk bank yang sesuai, bank dituntut untuk dapat menyediakan produk bank yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat tanpa harus mengurangi prinsip kehati-hatian dan menyediakan layanan produk keuangan tersebut dengan harga yang terjangkau untuk rakyat miskin; c) Bertambahnya jumlah pemilik rekening di bank. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa semikn banyak masyakarkat yang terlayani oleh perbankan; d) Tercapainya pemerataan pendapatan masyarakat yang tercermin dari menurunnya Gini Ratio yang saat ini sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi sebesar 0.41 di tahun 2012; e) jika keempat indikator sebelumnya dapat terpenuhi, maka diharapkan tingkat kemisikinan akan turun; sehingga total jumlah penduduk misikin akan berkurang tahap demi tahap.

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853 19

Page 34: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

BAB 3 KEBIJAKAN MULTILICENSE, PERLUASAN JARINGAN KANTOR DAN BRANCHLESS BANKING 3.1 Banyak Masyarakat yang Belum Terlayani

Berdasarkan hasil survei Bank Dunia, kurang dari 50% penduduk Indonesia memiliki

rekening bank pada institusi keuangan formal (bank). Selain itu kurang dari separuh

penduduk Indonesia yang memiliki tabungan di bank dan hanya 17% dari penduduk

yang mempunyai akses kredit melalui institusi keuangan formal (bank). Selebihnya

masyarakat lebih banyak memanfaatkan layanan keuangan dari sektor informal ataupun

tidak memiliki akses terhadap jasa keuangan dari segala jenis lembaga keuangan.13

Tabel 3.1 Perbandingan Tingkat Penggunaan Layanan Keuangan Indonesia

dengan Negara Lain tahun 2010

Sumber: Bank Dunia dan IMF

Hasil survei rumah tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada tahun 2010

menunjukkan bahwa 62% rumah tangga tidak memiliki tabungan sama sekali. Jumlah

kepemilikan rekening tabungan masih di bawah 50% total penduduk Indonesia. Saat ini

yang hanya sekitar 19,6% masyarakat Indonesia berusia di atas 15 tahun yang

mempunyai rekening tabungan. Sementara itu, jumlah rekening di Malaysia sudah

66,2%, Thailand 72,7%, Singapura 98,2% dan Indonesia hanya lebih baik dari

Kamboja. Jumlah kepemilikan rekening masyarakat Indonesia dinilai masih rendah

bahkan se-ASEAN.

Hal tersebut berdampak pada rasio outstanding kredit perbankan (27,49% terhadap

GDP), Kredit UMKM (0,67% terhadap GDP), Jumlah depositor di perbankan per 1000

13 The World Bank 2009. Improving Access to Financial Services in Indonesia Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 20

Page 35: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

penduduk dewasa, maupun outstanding dana pihak ketiga (36,41% terhadap GDP)

yang relatif lebih rendah sebagaimana Tabel 3.1. Kredit UMKM baru mencapai 0,67%,

masih jauh dibandingkan Malaysia dan Thailand. Dana Pihak Ketiga (DPK) share

terhadap GDP juga masih rendah yaitu sebesar 36,41%.

Salah satu faktor yang menjadi penyebab adalah terbatasnya infrastruktur karena

kondisi alam Indonesia yang berkepulauan menjadi kendala melayani masyarakat

daerah terpencil. Terbatasnya layanan perbankan ke beberapa daerah tersebut sejatinya

juga tidak terlepas dari perhitungan skala ekonomis operasional bank di suatu daerah

tersebut. Hal ini terlihat pada indikator indikator jumlah layanan perbankan seperti

kantor cabang dan ATM untuk setiap 1000 km2 serta rasio antara layanan perbankan

dengan luasan wilayah sebagaimana Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Perbandingan Tingkat Akses Terhadap Perbankan Tahun 2010

Sumber: Bank Dunia dan IMF

Di daerah Papua Barat dan Papua, sebuah layanan perbankan melayani radius lebih dari

1000 km2. Jarak yang jauh yang harus ditempuh masyarakat untuk menikmati layanan

perbankan yang juga dipersulit dengan kondisi medan dan minimnya infrastruktur.

Gambar 3.1 Persebaran Jaringan Kantor Bank di Indonesia

Sumber: Statistik Keuangan Daerah Berbagai Provinsi, Bank Indonesia, diolah

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 21

Page 36: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Disparitas layanan perbankan juga terjadi di tingkat kecamatan. Tingkat layanan

perbankan di tingkat kecamatan yang tertinggi ada di Jakarta, rata-rata setiap

kecamatan dilayani oleh 91 kantor bank. Sedangkan di Papua tingkat layanan

perbankannya paling rendah, dimana satu kecamatan hanya dilayani oleh kurang dari

satu kantor bank atau tidak semua kecamatan tersedia layanan perbankan. Disparitas

layanan bank menyebabkan terciptanya kondisi financial exclusion bahkan mengarah

kepada financial explotation.

Gambar 3.2 Rasio Jumlah Kantor Bank dengan Jumlah Kecamatan

Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.

Disparitas dalam pelayanan jasa keuangan tersebut selanjutnya menimbulkan kenaikan

pendapatan dari kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi yang jauh lebih cepat dari

pada kenaikan dari kelompok masyarakat terendah dan menengah (Gambar 3.3). Hal ini

harus segera diatasi dengan kebijakan serta tindakan yang cepat dan strategik,

khususnya dalam memperluas jaringan kantor perbankan nasional tanpa harus

meningkatakan biaya overhead cost perbankan secara signifikan bagi perbankan namun

dapat menjangkau masyarakat luas (outreach yang lebih luas).

Gambar 3.3 Pergeseran Distribusi Pendapatan Masyarakat Indonesia

Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 22

Page 37: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

3.2 Faktor yang Mempengaruhi Akses Masyarakat terhadap Jasa Keuangan

3.2.1 Tingkat Pendapatan Masyarakat

Masyarakat masih merasakan hambatan14 dalam memperoleh layanan jasa keuangan

formal dari perbankan. Selain keterbatasan fasilitas lembaga keuangan, juga disebabkan

rendahnya penghasilan di pedesaan sehingga pendapatan yang diterima penduduk desa

lebih banyak digunakan untuk konsumsi. Berdasarkan hasil survei Bank Dunia 79%

masyarakat yang tidak memiliki tabungan karena tidak memiliki uang. Namun demikian,

masyarakat berpendapatan rendah adalah active money managers yang sangat

membutuhkan akses keuangan terhadap lembaga keuangan khususnya perbankan.

3.2.2 Keterbatasan Ketersediaan Jasa Perbankan

Bank umum sebagai lembaga keuangan yang mendominasi sektor keuangan di

Indonesia ternyata hanya melayani sebagian kecil keluarga di Indonesia. Sektor informal

lebih banyak melayani masyarakat dibandingkan sektor perbankan. Dalam hal ini,

sepertiga dari penduduk Indonesia bahkan tidak memiliki tabungan, dan masuk ke

dalam kategori financially excluded atau penduduk yang terpinggirkan dari jasa

tabungan. Berdasarkan survei PODES (tahun 2005) dan survei ATF (tahun 2007), jumlah

layanan perbankan seperti keberadaan kantor bank komersil dan khususnya BPR

(Gambar 3.4) yang seharusnya bisa menyentuh masyarakat kelas bawah masih sangat

terbatas. Namun keberadaan bank komersil di daerah pedesaan menurut survei ATF

hanya 25,9% walaupun angka tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan survei

Bank Dunia yang hanya menunjukan porsi sebesar 16,1%.

14 Beberapa faktor penghambat akses masyrakat terhadap layanan jasa keuangan tersebut antara lain jauhnya jarak tempuh atau lamanya waktu yang diperlukan dari rumah kecabang bank atau ATM terdekat; persyaratan yang ditetapkan oleh bank khususnya untuk persyaratan identitas sulit dan memerlukan proses yang kompleks; besarnya biaya administrasi bulanan atau saldo minimum yang tinggi; produk seperti tabungan sederhana, kredit investasi atau asuransi kesehatan yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan; tingkat pengetahuan keuangan (financial literacy) yang rendah; dan psikologi dan budaya yang belum terbiasa menggunakan layanan perbankan. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 23

Page 38: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Gambar 3.4 Persentase Jumlah Bank Komersial dan BPR di Pedesaan

Sumber : Improving Access to Financial Services in Indonesia, Bank Dunia. 2009

Berdasarkan hasil survei Bank Dunia 2009, menunjukkan bahwa 38% penduduk

Indonesia termasuk financially excluded. Presentase penduduk yang masuk

financially included namun menabung di sektor informal mencapai 18%,

sehingga bila dijumlah dengan yang tidak memiliki perbankan adalah 56%

penduduk tidak menggunakan jasa perbankan. Hal ini menutut adanya suatu

kebijakan yang bersifat inovatif untuk meningkatkan akses layanan keuangan

penduduk kepada perbankan melalui peningkatan kantor atau point-point

layanan bank (Gambar 3.5).

Gambar 3.5 Akses kepada Jasa Tabungan

Sumber: meningkatkan akses terhadap jasa keuangan di Indonesia, Bank Dunia. 2009

3.3 Latar Belakang Kebijakan Multilicense dan Perluasan Jaringan Kantor

3.3.1 Inefisiensi Perbankan nasional

Perbankan Indonesia masih menunjukkan adanya inefisiensi, dari sisi skala

usaha, dimana struktur perbankan nasional memiliki rentang yang sangat lebar

berdasarkan modal inti yang dimiliki. Struktur perbankan Indonesia saat ini

didominiasi oleh 18 bank besar, dengan sebagian bank memiliki modal inti

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 24

Page 39: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

dibawah Rp5 triliun; hal ini mengandung konsekuensi sebagian kecil bank

Indonesia yang mampu beroperasi secara efisien.

Salah satu indikator inefisiensi adalah nilai net interest margin (selanjutnya

disingkat NIM). Saat ini net interest margin perbankan Indonesia masih berada

pada kisaran 6 persen atau tertinggi di kawasan ASEAN-5; padahal sektor

perbankan yang efisien sangat penting adalah merupakan sangat strategik

dalam rangka mendorong perekonomian dan stabilitas sistem keuangan.

Perkembangan tersebut apabila dihubungkan dengan adanya rencana

pembentukan Masyrakat Ekonomi Asean (selanjutnya disingkat MEA) pada

tahun 2020, dimana akan dilakukan penghapusan pembatasan perdagangan

jasa untuk semua sektor ekonomi yang tersisa, maka tingkat efisiensi sektor-

sektor utama termasuk sektor perbankan menjadi sangat mutlak dalam menjaga

momentum pertumbuhan ekonomi nasional, sebagai akibat meningkatnya

persaingan yang mungkin timbul akibat terbentuknya MEA. Untuk itu perlu

segregation pelayanan bank berdasarkan kekuatannya agar efisien dan

berdampak positif bagi perbankan sendiri, ekonomi dan stabilitas dalam bentuk

kebijakan perijinan berjenjang (multilicense).

3.3.2 Fokus Khusus pada Usaha Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM)

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa sebagian besar pendudk Indonesia

berusaha di sektor UMKM, maka perhatian kepada sektor UMKM menjadi suatu

hal yang mutlak dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Sektor UMKM

merupakan sektor yang terbukti tangguh dalam menghadapi krisis ekonomi

yang dialami Indonesia. Pada Krisis Asia 1998, sektor UMKM merupakan sektor

yang dapat bertahan dibandingkan dengan sektor yang lebih besar.

Gambar 3.6 Kontribusi UMKM dalam Perekonomian Indonesia

Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,2013.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 25

Page 40: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Data Kementerian Koperasi dan UKM (2011) menunjukkan bahwa UMKM

diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 57,1% terhadap Pendapatan

Domestik Bruto (PDB) (dengan menggunakan harga konstan tahun dasar 2011).

Dari kontribusi sebesar 57,1% tersebut, 32%merupakan kontribusi usaha mikro,

dan 10,99% merupakan kontribusi usaha kecil. Pangsa UMKM sendiri mencapai

99 persen dari total unit usaha di Indonesia. Sedangkan dalam hal tenaga kerja,

UMKM menyerap 97.2% dari total tenaga kerja di Indonesia (Gambar 3.6).

Menyadari peran penting UMKM dalam perekonomian, dan berdasarkan UU

No.20 tahun 200815 mengenai Usaha Mikro Kecil dan Menengah, maka Bank

Indonesia mengeluarkan PBI No.14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau

Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka

Pengembangan UMKM. Dalam ketentuan tersebut bank umum diwajibkan

memberikan kredit/pembiayaan kepada UMKM sekurang-kurangnya 20% dari

total kredit/pembiayaan bank. Batasan minimum ini akan diimplementasikan

secara bertahap sampai dengan tahun 2018.

3.4 Kebijakan Perizinan Berjenjang (Multilicense)

Kebijakan Perijinan Berjenjang yang telah disebutkan di atas, mengatur perbankan

nasional dengan melakukan penggolongan (segregration) perbankan Indonesia

berdasarkan modal inti dan mengkaitkannya dalam kegiatan usaha yang boleh

dilakukan oleh masing-masing individual bank. Dalam pembahasan mengenai kebijakan

multilicense ini, pembahasan difokuskan pada perluasan jaringan kantor bank sebagai

akibat dari terbatasnya layanan jasa keuangan oleh bank sebagaimana telah dibahas di

atas.

15 Berdasarkan UU No.20 tahun 2008 tentang UMKM, usaha UMKM tersebut didefinisikan sebagai berikut: Usaha Mikro merupakan usaha produktif milik orang perorangan dan/badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro, dengan kriteria sebagai usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak sebesar Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak sebesar Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah); Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil. Kriteria usaha kecil adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta rupiah); dan Usaha Menengah merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tak langsung dari usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sesuai kriteria usaha menengah. Kriteria usaha menengah menurut UU ini adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah).

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 26

Page 41: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

3.4.1 Modal Inti

Dalam upaya untuk memperluas jaringan layanan perbankan di wilayah

Indonesia, salah satu kebijakan yang ditetapkan adalah dengan kebijakan

perizinan berjenjang. Perizinan berjenjang terkait produk dan aktivitas

disesuaikan dengan kapasitas permodalan setiap bank agar dapat beroperasi

secara efisien dan ideal, seperti dalam Gambar 3.7.

Gambar 3.7 Jumlah Bank Menurut Modal Inti

Tier 4: 4 Bank

Tier 3: 14 Bank

Tier 2: 38 Bank

Tier 1: 53 Bank

Berdasarkan analisis gap diagram dibawah (Gambar 3.8), Bank Indonesia telah

merumuskan kebijakan mengenai multilisence dengan beberapa pertimbangan:

a) Perijinan jenis kegiatan usaha bank umum tidak dapat lagi diberikan sama

untuk semua bank karena beragamnya kondisi bank; b) Perijinan jenis kegiatan

usaha perlu diatur ulang berdasarkan kapasitas yang dimiliki setiap bank sesuai

kemampuan modal dan kinerja; c) Penataan perijinan kegiatan usaha bank

diharap juga dapat mewujudkan ketahanan struktur perbankan nasional yang

kokoh dan berdaya saing; d) Pengaturan perijinan kegiatan usaha bank

diarahkan untuk meningkatkan kapasitas tata kelola bank sehingga mempunyai

kemampuan dalam mengendalikan risiko; e) Tantangan persaingan yang

dihadapi perbankan nasional terutama menghadapi implementasi Masyarakat

Ekonomi ASEAN 2015. f) Mewujudkan perbankan nasional yang mempunyai

daya saing lokal, nasional dan regional serta penyediaan pembiayaan yang

efisien; g) Meningkatkan fungsi intermediasi bank khususnya pembiayaan

UMKM.

Modal Inti < Rp 1 Trilyun

Modal Inti Rp 1-5 Trilyun

Modal Inti Rp 5-30 Trilyun

Modal Inti > Rp 30 Trilyun

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 27

Page 42: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Gambar 3.8 Analisis Gap Kebijakan Multilisence di Indonesia

Beberapa hal yang menjadi ruang lingkup dalam perijinan berjenjang, antar lain

(Gambar 3.9):

a. Target nasabah, sebagai lending indikatif adalah: BUKU 1: Segmen Plafond s.d

Rp10M minimal 70%; BUKU 2: Segmen Plafond s.d Rp10M minimal 60%;

BUKU 3: Segmen Plafond s.d Rp10M minimal 20% dan maksimal 40%; BUKU

4: Segmen Plafond s.d Rp10M minimal 20% dan maksimal 30%;

b. Izin atas produk/aktivitas dan pembukaan jaringan kantor. Dalam hal ini,

semua bank umum kelompok usaha wajib memperoleh izin/persetujuan atas

produk/aktivitas tertentu serta pembukaan jaringan kantor (seluruh jaringan

kantor);

c. Perluasan produk dan aktivitas. Bank dapat memperluas cakupan produk dan

aktivitas dengan produk dan aktivitas BUKU lain sepanjang dapat

meningkatkan modal inti sesuai persyaratan;

d. Jumlah Jaringan Kantor. Bank Umum Kelompok Usaha yang mempunyai

modal inti lebih tinggi dapat memiliki jumlah jaringan kantor yang lebih

banyak berdasar perhitungan theoretical capital;

e. Bank Fokus. Bank dapat menjadi bank focus pada sector ekonomi/kegiatan

tertentu dengan persetujuan pengawas.;

f. Kepemilikan perusahaan anak (konglomerasi). BUKU 1: Tidak diperkenankan;

BUKU 2: Diperkenankan pada lembaga keuangan di Indonesia. Maksimal

sebesar 15% dari modal bank; BUKU 3: Diperkenankan pada lembaga

keuangan di Indonesia dan/atau luar negeri. Maksimal sebesar 25% dari

1. Ketahanan perbankan

2. Peningkatan governance

3. Daya saing local, nasional dan regional

4. Penyediaan pembiayaan yang efisien

5. Intermedia, unbanked people

6 Kontribusi pada

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 28

Page 43: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

modal bank. BUKU 4: Diperkenankan pada lembaga keuangan di Indonesia

dan/atau luar negeri. Maksimal sebesar 35% dari modal bank.

Sedangkan terkait dengan penyertaan dari bank Umum Konvensional kepada

anak perusahaan yang berupa Bank Umum Syariah diatur dengan komposisi

sebagai berikut: BUKU 1: Tidak Diperkenankan; BUKU 2: maksimal 20% dari

modal Bank; BUKU 3: maksimal 30% dari modal Bank; BUKU 4 : maksimal

35% dari modal Bank.

Gambar 3.9 Ruang Lingkup Kegiatan Usaha Bank berdasarkan BUKU

Hal dimaksud diatas dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.

14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor berdasarkan

Modal Inti Bank. Kebijakan ini dapat dipandang sebagai kebijakan yang inovatif

dalam memperluas jaringan kantor (point-point) layanan perbankan untuk

menjawab keterbatasan kesediaan jasa perbankan sebagaimana disampaikan

dalam Sub bab 3.2.2 mengenai keterbatasan kesediaan jasa perbankan.

3.5 Latar Belakang Kebijakan Branchless Banking

Keuangan Inklusif adalah sebuah kondisi dimana masyarakat memiliki akses yang

berkesinambungan terhadap jasa keuangan yang dibutuhkan (ADB, 2000). Sementara,

Leedladhar (2005) berpendapat bahwa inklusi keuangan adalah sebuah proses untuk

menyediakan jasa keuangan kepada masyarakat luas dan rumah tangga berpenghasilan

rendah pada harga yang dapat dijangkau. Upaya peningkatan inklusi keuangan ini

merupakan salah satu target kebijakan diberbagai negara, terutama negara

berkembang. Gambar 3.10 menunjukkan tingkat akses keuangan di Asia. Berdasarkan

gambar tersebut dapat dilihat bahwa tingkat akses keuangan di tiga negara dengan

jumlah penduduk terbesar di dunia (Cina, India, dan Indonesia) kurang dari 50 persen.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 29

Page 44: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Dari ketiga negara tersebut, India memiliki tingkat akses keuangan tertinggi dengan

tingkat sebesar 48 persen.

Gambar 3.10

Tingkat Akses Keuangan di Berbagai Negara di Asia

Sumber: World Bank Composite Measure of Access to Finance 2007 Report; WRI population data;

UNCTAD population data; AFI analysis and AFI -Tokyo, dalam Hannig (2009).

Secara umum, Honohan (2004) mengklasifikasikan hambatan-hambatan yang dihadapi

masyarakat dalam mengakses jasa keuangan dalam 3 kelompok utama, yaitu:

Hambatan harga (price barriers); Hambatan informasi (information barrier); dan

Hambatan desain produk dan jasa (product and service design barriers). Di Indonesia

sendiri, sektor perbankan memiliki pangsa pasar hingga mencapai 80% dari seluruh

total pangsa pasar lembaga keuangan, namun, jumlah populasi unbanked16, seperti

yang telah disebutkan di Sub bab 3.2.2 sebelumnya.

Kondisi tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan dunia,

menyikapi hal ini, berbagai negara telah menerapkan beberapa instrumen untuk

meningkatkan inklusi keuangan. Diantaranya melalui mobile banking, agent banking

(atau lazim dikenal sebagai branchless banking), state bank reforms, pemberdayaan

Lembaga Keuangan Mikro (Microfinance), dan perlindungan konsumen (consumer

protection) melalui peningkatan transparansi, keadilan, dan “melek” finansial (financial

literacy) konsumen. Sejalan dengan hal tersebut, kerangka dasar pembangunan dan

program-program pro rakyat yang dicanangkan pemerintah sejak awal, didasarkan

16 Hasil survei World Bank (2010) menunjukkan bahwa 32 persen penduduk Indonesia tidak memiliki tabungan, baik di lembaga keuangan formal maupun di lembaga keuangan informal dan dapat dikelompokkan sebagai financially excluded dari segi tabungan. Dari segi pinjaman, hanya 60 persen penduduk yang memiliki akses terhadap kredit (yang terdiri dari 17 persen penduduk yang meminjam di lembaga keuangan bank dan 43 persen meminjam di lembaga keuangan non-bank informal), sementara sekitar 40 persen penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap pinjaman (financially excluded dari sisi kredit). Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 30

Page 45: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

kepada empat pilar utama: pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environment dapat

dipandang sebagai hal yang sangat tepat dan sesuai dengan kerangka dasar

pemerataan hasil pembangunan guna mempercepat pencapaian keadilan sosial dan

pengurangan kemiskinan.17.

3.5.1 Alternatif Model Branchless Banking

Gambar 3.11 Model Branchless Banking (BB)

Sumber: diolah dari beberapa referensi model branchless banking

BB sebagai bagian dari program FI adalah saluran distribusi yang digunakan

untuk memberikan jasa keuangan dan sistem pembayaran secara terbatas

melalui unit khusus pelayanan keuangan (agen) tanpa harus melalui pendirian

kantor fisik bank. Bank Indonesia pada tahun 2012 mengeluarkan kebijakan BB

sebagai tindak lanjut kebijakan multilicense, yang telah dibahas di Sub Bab 3.4

di atas, sebagai salah satu strategi peningkatan inklusi keuangan di Indonesia.

Dalam aplikasi BB tersebut terdapat dua model yang umum digunakan yakni

bank based model dan non-bank based model. Selain itu terdapat juga hybrid

model yang merupakan perpaduan antara bank based dan non-bank based

model.

3.5.1.1 Bank Based Model dan Non Bank Based Model

17 Velix V. Wanggai, Meneguhkan Arah Pembangunan Yang berkeadilan: Safari Ramadhan Presiden SBY, Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2012, Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 31

Page 46: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Dalam model ini, penyelenggara layanan adalah Bank. Bank menciptakan

produk dan jasa keuangan, namun pendistribusian produk dan layanan tersebut

dilakukan melalui retail agent yang mengelola semua atau hampir semua

interaksi dengan nasabah.18 Bank berperan penuh mulai dari proses perizinan

awal, pelaksanaan operasional, pengelolaan financial dan sistem. Sementara,

perusahaan telco berperan menyediakan jaringan/saluran infrastruktur untuk

melakukan transaksi layanan perbankan. Perusahaan telco mendapatkan fee

dari penggunaan jaringan oleh nasabah19.

Adapun jenis saluran distribusi layanan dibagi menjadi dua yakni melalui retail

agent dan mobile banking yang disediakan oleh bank, dengan penjelasan

sebagai berikut:

a. Retail Agent (bank based model)

Retail agent berinteraksi dengan nasabah dalam menyedikan jasa layanan

keuangan (Tabel 3.3). Nasabah dapat melakukan penyetoran simpanan atau

penarikan uang dan bahkan transfer dana. Dalam proses penyediaan jasa,

retail agent melakukan komunikasi langsung dengan bank dengan

menggunakan telepon genggam maupun terminal Point of Sale (POS) dalam

bentuk EDC dan lainnya20.

18 Lyman et all, CGAP Focus Note No.38, 2006 19 Setiap nasabah mempunyai hubungan kontraktual langsung dengan lembaga keuangan formal (bank) meskipun nasabah melakukan transaksi melalui retail agent atau MNO. Hubungan kontraktual ini dapat berupa account based maupun one off transaction. Layanan yang disediakan merupakan layanan jasa keuangan standar seperti: tabungan/simpanan, kredit dan remmitance/transfer. 20 Di beberapa negara, retail agent dapat menangani prosedur pembukaan rekening dan dalam beberapa kasus dapat mengidentifikasi dan menyediakan jasa pinjaman untuk nasabah. Retail agent mengecek dokumen identitas nasabah dan proses transaksi, mendebit atau mengkredit rekening nasabah jika itu adalah pembelian atau transfer dana antar rekening. Catatan elektronik dari transaksi akan ditransfer langsung ke bank atau dikelola oleh agent proses pembayaran yang menyelesaikan transaksi di antara rekening nasabah dan rekening penerima. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 32

Page 47: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Tabel 3.3 Bank Based Model NASABAH RETAIL AGENT BANK

Tahap 1: Nasabah meminta jasa keuangan

Tahap 2: Retail agen mengecek ID nasabah dan memproses transaksi melalui infrastruktur bank (POS) atau payment processing agent

Tahap 3: Bank mengkredit dan mendebit rekening bank nasabah dan pihak lain untuk transaksi

Contoh Jasa Ditawarkan: Mendeposit atau me-narik dana dari akun e-money nasabah; transfer dana; pem-bayaran tagihan/ pa-jak; pengajuan dan pencairan pinjaman pembukaan rekening dan pengajuan apli-kasi credit card

Contoh Retail Agen: Outlet retail, organisasi social (LSM, MFIs, dll), kantor pos

Contoh pihak lain: termasuk retail agen (untuk deposit atau penarikan dana), penerima transfer dana (nasabah lain, perusa-haan listrik, dirjen pajak)

Sumber: Lyman et all, CGAP Focus Note No.38, 2006

Dalam penunjukan retail agent oleh bank, ada dua jenis agen yang

digunakan yaitu: 1). Super Agent: merupakan badan hukum dimana

bank menjalin kerjasama untuk distribusi layanan keuangan. Badan

hukum ini umumnya memiliki jaringan yang luas dan bisnis yang sudah

berjalan. Super Agent yang dapat digunakan oleh bank diantaranya PT.

Pos Indonesia, perusahaan distributor yang memiliki jaringan luas, dan

perusahaan telekomunikasi; 2). Sub Agent: merupakan jaringan dari

super agent yang tersebar di seluruh wilayah. Transaksi face to face

dengan nasabah akan berlangsung dengan sub-agen.

b. Mobile Financial Services (non-bank based model)

Layanan Mobile Financial Services (MFS) yang disediakan adalah mobile

banking, yang merupakan pengembangan dari layanan perbankan. Alur

branchless banking dengan menggunakan bank based model

digambarkam Gambar 3.12. Penerapan bank based model di Indonesia

dapat dijumpai dalam layanan mobile banking yang ditawarkan oleh

sebagian besar bank yang beroperasi saat ini. Layanan mobile banking

ini merupakan sarana penunjang transaksi bagi nasabah yang telah

mempunyai rekening di bank tersebut21.

21 Saat ini layanan mobile banking masih terbatas pada pengecekan saldo, transfer dana, pembelian barang dan bayar tagihan. Sedangkan untuk pembukaan rekening, penambahan simpanan dan pembukaan rekening tidak dapat dilakukan dalam mobile banking. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 33

Page 48: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Gambar 3.12 Alur Bank-based Model

Adapun penyelenggaran MFS (Tabel 3.4) melalui non-bank model adalah

skema penyelenggaraan BB dimana seluruh proses perizinan dan

operasional dilakukan oleh institusi non-bank. Institusi tersebut

menyediakan jasa perbankan yang paling dasar dan bank tidak terlibat

langsung dalam operasional bisnis. Nasabah tidak memiliki hubungan

kontraktual dengan bank dan produk yang ditawarkan berupa electronic

money (E-money). E-money merupakan nilai uang yang diukur dengan

mata uang yang disimpan dalam bentuk elektronik dan dapat digunakan

melakukan transaksi pembayaran yang diterima oleh entitas lain selain

penerbit. 22

Tabel 3.4 Non-bank Based Model23 NASABAH RETAIL AGENT NONBANK BANK

Tahap 1: Nasabah meminta jasa keuangan atau penjualan via hand phone atau smart card

Tahap 2: Retail agen mengecek ID nasabah dan memproses transaksi mewakili non-bank, via hand phone atau smart card reader

Tahap 3: Non-bank meregister transaksi, mengupdate akun e-money (virtual) milik nasabaj dan pihak lain untuk transaksi. Non-bank mengelola akun nasabah individu.

Tahap 4: Bank (secara umum) menyimpan dana dari penerbitan e-money non-bank, mewakili nonbank. Bank tidak memiliki hubungan dengan nasabah/retail agen.

22 The Bank for International Settlements (BIS, 1996), European Union (2008) 23 Lyman et all, CGAP Focus Note No.38, 2006 Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 34

Page 49: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Contoh Jasa Ditawarkan: Mendeposit/menarik dana dari akun e-money nasabah (cash in and cash out); pembelian barang;transfer dana;pencairan pinja- man/pembayaran angsuran dan pajak.

Contoh Retail Agen: Department Store, supermarket, penjual pulsa, usaha komersial lainnya

Contoh pihak lain: termasuk retail agen (untuk deposit, penarikan dana, atau pembelian barang), penerima transfer dana (nasabah lain, perusahaan listrik, dirjen pajak)

*ini merupakan praktek dari operator mobile phone di Filipina dan Kenya

Nasabah hanya bertransaksi dengan agen dengan menukarkan uang

tunai atau mentransfer sejumlah nilai uang dalam bentuk electronic

record (rekening virtual). Rekening virtual ini disimpan dalam server non-

bank seperti operator telekomunikasi dan atau penerbit stored value

card. Saldo dalam rekening tersebut dapat digunakan untuk

bertransaksi. Selain itu, non-bank based model dapat berupa jaringan

pembayaran (network payments) dimana nasabah bahkan pemerintah

dapat melakukan pembayaran kepada pihak ketiga24. Alur BB dengan

menggunakan non-bank based model dapat dilihat dalam Gambar 3.13.

Gambar 3.13 Alur Non-bank Based

Jenis e-money terdapat dua jenis yakni stored valued card dan mobile wallet

yang ditawarkan oleh perusahaan telekomunikasi, dengan rincian sebagai

berikut: 1) Stored Value Card (SVC) yang merupakan salah salah satu bentuk e-

money yang menggunakan media plastic card, serupa dengan debit card milik

24 Diharapkan perkembangan branchless banking ke depan ini bisa dimanfaatkan untuk mendukung program Pemerintah dalam penyaluran BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan program-program yang bersifat subsidi lainnya.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 35

Page 50: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

bank. SVC menggunakan teknologi magnetic stripe untuk menyimpan informasi

dan dana25. 2) Mobile Wallet merupakan salah satu bentuk e-money yang

disediakan oleh operator telekomunikasi (mobile network operator atau MNO).

Dalam aplikasi ini, konsumen menyetor atau mentransfer sejumlah dana dalam

rekening virtual yang dikelola oleh MNO. Rekening virtual ini terhubung

dengan nomer telepon pemilik dan pelanggan tidak harus memiliki rekening

bank. Electronic value yang ada di dalam kartu telepon dapat digunakan

sebagai alat pembayaran dan alat transfer dana.

3.5.1.2 Model Hybrid

Skema Hybrid Led adalah skema penyelenggaraan branchless banking di mana

terdapat kerjasama antara bank dengan institusi non-bank (operator

telekomunikasi, agen dan lainnya) dalam bentuk joint venture maupun

partnership, untuk menyediakan layanan perbankan penuh bagi nasabah

melalui telepon genggam.Dalam skema ini (Gambar 3.14), kedua belah pihak

(bank dan telco) memanfaatkan keunggulan masing-masing untuk menguasai

pasar yang dituju. Di mana, jasa-jasa mobile wallet (jasa-jasa yang terkait

dengan jaringan telekomunikasi seperti pengiriman uang melalui sms, pengisian

saldo elektronik, dan sebagainya) menjadi tanggung jawab MNO, sementara,

jasa-jasa mobile banking (terkait dengan pengelolaan simpanan atau tabungan,

transfer antar rekening, pengecekan saldo tabungan, dan lain-lain) menjadi

tanggung jawab dari bank26.

Gambar 3.14 Alur Hybrid Model

25 Meskipun demikian, SVC berbeda dengan debit card. Konsumen harus mengisi saldo kartu tersebut sebelum menggunakan kartu. Hal ini membatasi risiko overdraft, karena konsumen hanya dapat menggunakan dana sesuai dengan saldo yang diisi. 26 Dalam model ini juga terdapat interoperabilitas antar layanan yang diberikan MNO dan bank. Sebagai contoh, mesin ATM yang dikelola oleh bank dapat menjadi cashpoint bagi e-money yang diselenggarakan MNO. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 36

Page 51: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

BAB 4 ANALISA KEBIJAKAN BRANCHLESS BANKING SETELAH MULTI LICENSE (PERLUASAN JARINGAN KANTOR) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERBANKAN DAN PEREKONOMIAN NASIONAL

Sebagaimana telah disampaikan pada Bab 1 Pendahuluan, disadari bahwa Bank merupakan

komponen yang penting dari sistem keuangan karena fungsi dan perannya dalam

perekonomian. Fungsi Bank sebagai lembaga intermediasi khususnya dalam penyaluran kredit

mempunyai peranan penting bagi pergerakan roda perekonomian secara keseluruhan dan

memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Bank memiliki kemampuan untuk

menjembatani kepentingan yang berbeda antara deposan dan peminjam dalam hal preferensi

likuiditas atau waktu dari uang. Pada level ekonomi makro bank merupakan alat dalam

menetapkan kebijakan moneter sedangkan pada level mikro ekonomi bank merupakan sumber

utama pembiayaan bagi para pengusaha maupun individu (Konch, 2000).

Peran dan fungsi Bank dalam perekonomian yang sangat strategis, membuat posisi perbankan

sangat penting untuk mendorong kegiatan ekonomi. Bank dapat mempengaruhi dan

menentukan semua aspek kegiatan ekonomi di suatu negara. Ketidakmampuan Bank dalam

memberikan layanan yang optimal akan menyebabkan kegiatan ekonomi terganggu dan semua

sektor ekonomi tidak bisa bekerja optimal. Untuk dapat berperan optimal dalam perekonomian,

Bank perlu untuk bekerja secara efisien. Perbankan yang efisien berkaitan erat dengan sistem

keuangan yang efisien. Sektor keuangan yang efisien akan mempengaruhi alokasi sumber daya

keuangan dengan cara yang paling efektif dan mengurangi misalokasi sumber daya produktif.

Selain itu, perbankan yang efisien akan mendukung dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi

yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai upaya untuk merealisasikan hal tersebut, sebagaimana telah diulas secara mendalam

pada Bab 3, maka Bank Indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan dalam rangka penguatan

ketahanan dan daya saing perbankan, dan dalam rangka penguatan fungsi intermediasi

perbankan. Kebijakan untuk penguatan ketahanan dan daya saing perbankan dilakukan melalui

penerapan multilicense. Sedangkan kebijakan dalam rangka penguatan fungsi intermediasi

perbankan dilakukan melalui mewajibkan bank untuk menyalurkan 20% dari total kredit untuk

sektor UMKM; serta melalui perluasan akses masyarakat terhadap layanan keuangan melalui

BB.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 37

Page 52: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

4.1 Studi Empiris Kebijakan Multilisence, Perluasan Jaringan Kantor dan BB di

Indonesia

4.1.1 Studi Empiris Multilicense terkait Modal Inti, Perluasan Jaringan Kantor dan

Tingkat Kejenuhan Bank

4.1.1.1 Analisa Data Envelope Analysis (DEA)

Dalam Sub Bab ini, analisa DEA menjawab perumusan masalah pertama

mengenai tingkat urgensi dari dikeluarkannya kebijakan multilicense oleh BI

(November, 2012) dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat terhadap

perbankan; khususnya masyarakat yang melakukan usaha dalam bidang UMKM.

Studi empiris untuk menganalisis modal inti perbankan dan kegiatan usaha ini

dilakukan dengan beberapa pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah

dengan menggunakan metode Data Envelope Analysis (DEA)27. Metode DEA

yang digunakan dalam analisis ini adalah metode DEA yang dikembangkan oleh

Grigorian dan Manole (2005) dan Wezwel (2010). Metode DEA ini selanjutnya

akan dilengkapi dengan analisa tingkat kejenuhan Bank. Dalam penyusunan

makalah ini, disampaikan Analisa DEA yang telah dilakukan BI sebelum

dikeluarkannya kebijakan multilicense yang diperdalam lebih lanjut dengan

memasukan variable biaya tenaga kerja dan ratio biaya tenaga kerja terhadap

total biaya.

Analisis DEA untuk perbankan Indonesia dilakukan dengan menggunakan

kerangka kerja seperti yang tertera pada Gambar 4.1. Analisis tersebut

melibatkan dua jenis input, yaitu input nominal dan input rasio. Input nominal

yang digunakan adalah biaya tenaga kerja, aktiva tetap, dan dana pihak ketiga.

Sedangkan input rasio yang digunakan adalah rasio biaya tenaga kerja terhadap

total biaya, rasio aktiva tetap terhadap total aset, dan rasio dana pihak ketiga

terhadap total aset. Skor efisiensi suatu bank berada dalam range skor DEA 0

sampai dengan 100. Semakin tinggi skor DEA suatu bank, maka semakin efisien

bank tersebut. Metode DEA ini diestimasi untuk 120 bank di Indonesia.

27 DEA adalah merupakan metode yang digunakan untuk mengevaluasi produktivitas dan performa sebuah bank dengan menggunakan pendekatan nonparametrik. Grigorian dan Manole (2005) melakukan penelitian pada sektor keuangan di Bahrain sedangkan Wezel (2010) melakukan studi empiris mengenai efisiensi perbankan domestik dan asing di Amerika Tengah. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 38

Page 53: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Gambar 4.1. Kerangka Kerja Analisis DEA Perbankan Indonesia

Berdasarkan input nominal dan input rasio, kelompok bank yang paling efisien

ditunjukkan oleh skor DEA antara 85-100. Untuk kelompok ini, modal inti

perbankan yang efisien adalah sebesar Rp5,6 triliun. Sedangkan untuk level

moderate, dengan skor DEA 45-55, modal inti yang dimiliki perbankan pada

level ini adalah Rp1 triliun.

Selanjutnya, pendekatan kedua untuk menganalisis modal inti ini adalah dengan

menggunakan pendekatan pertumbuhan ekonomi. Terdapat dua model yang

dianalisis dalam pendekatan ini, yaitu model empiris dan model pertumbuhan.

Asumsi yang digunakan dalam estimasi model empiris adalah pertumbuhan

ekonomi berada pada kisaran 6–6,5%. Dengan asumsi ini, untuk mencapai

pertumbuhan kredit perbankan total sekitar 22–23%, diperlukan rasio modal

inti perbankan (rasio Tier-1) sekitar 11–13%. Model estimasi berupa model

empiris ini mengacu pada model estimasi yang digunakan oleh Hagerty (2009),

Bikker dan Hu (2001), Naceur dan Kandil (2007), dan Aydin (2008) dimana

model estimasi merupakan model pertumbuhan kredit dari sisi demand dengan

periode data 2003:1 - 2010:3. Hasil simulasi dengan menggunkan model

empiris menghasilkan modal inti bank pada Tier-1 sebesar Rp2,12 triliun (untuk

analisis pada seluruh bank) dan modal inti sebesar Rp0,95 triliun untuk bank-

bank di luar 14 bank besar.

Sedangkan untuk pendekatan dengan modal pertumbuhan asumsi yang

digunakan adalah: a) Pertumbuhan ekonomi 6–7% dan didukung pertumbuhan

kredit minimum 21%; b) Analisis dilakukan pada bank kecil dengan modal

kurang dari Rp1 triliun dengan total asset sebesar 10% dari seluruh asset

perbankan; c) Bank kecil adalah homogen; d) Fungsi intermediasi 80% dan

likuiditas bank yang optimal; e) ROA sebesar 2,7%; f) Laba tahun berjalan yang

menjadi modal inti sebesar 50%.

Hasil simulasi menunjukkan bahwa modal inti dari 71 bank yang menjadi sampel

dalam estimasi ini akan meningkatkan modalnya memiliki modal inti sebesar

Rp1 triliun pada tahun 2019/2020. Hasil simulasi dampak dilakukan terhadap

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 39

Page 54: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

kondisi perbankan apabila kebijakan modal inti ini dilaksanakan. Dampak yang

dianalisis dalam hubungannya dengan kegiatan usaha untuk masing-masing

kelompok bank. Hasil simulasi menunjukkan bahwa bank pada Tier 1

merupakan kelompok bank yang akan terkena dampak paling signifikan

terhadap kebijakan multilicense ini.

Sedangkan untuk simulasi mengenai alokasi kredit produktif, apabila ditetapkan

alokasi kredit minimal untuk masing-masing kelompok bank, maka terdapat

beberapa bank yang saat ini belum memenuhi kriteria persentase minimal kredit

produktif untuk masing-masing kelompok.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa perbankan di Indonesia belum memiliki

tingkat modal inti yang efisien. Sehingga terdapat bank yang melakukan

berbagai kegiatan usaha namun tidak didukung dengan modal inti yang sesuai.

Hal ini menyebabkan perbankan di Indonesia dikatakan belum efisien. Oleh

karena itu, perumusan masalah pertama pada Bab 1 telah dijawab dengan

analisa tersebut di atas bahwa kebijakan multilicense sangat diperlukan untuk

memperbaiki kondisi dan struktur perbankan nasional.

Selanjutnya untuk mengatur perbankan di Indonesia dalam rangka

meningkatkan efisiensi, maka perbankan Indonesia perlu diatur secara lebih

terinci berdasarkan kapasitas yang dimiliki setiap bank. Namun pengaturan ini

dapat menyebabkan adanya beberapa bank yang saat ini telah melakukan

beberapa kegiatan usaha tidak lagi dapat melakukan kegiatan tersebut karena

dianggap memiliki modal yang tidak mencukupi. Oleh karena itu, dalam hal

kebijakan pengelompokan perbankan berdasarkan modal inti dan kegiatan

usaha, perlu disusun sebuah mekanisme yang memungkinkan bank-bank yang

dianggap tidak dapat melakukan suatu aktivitas usaha, untuk menyesuaikan

kegiatannya ataupun jumlah modalnya28.

4.1.1.2 Analisa Tingkat Kejenuhan Bank (Bank Density)

Sesuai dengan perumusan masalah pertama di Bab 1 dan tujuan penelitian

dalam penulisan makalah ini, maka analisa DEA ini harus dilengkapi lebih jauh

dengan analisa tentang pembukaan jaringan kantor. Dalam pembukaan jaringan

kantor bank, perlu dipertimbangkan beberapa faktor agar keberadaan bank

dapat memberikan manfaat yang optimal dan mendorong distribusi kantor

28 Sebagai contoh bagi bank yang produk dan jenis usahanya melampaui yang diperkenankan oleh BUKU dimana bank tersebut berada dapat meningkatkan modal intinya sehingga berada pada BUKU yang lebih tinggi dengan cakupan dan aktivitas usaha yang lebih luas, atau secara bertahap menghentikan produk dan aktivitasnya sesuai dengan aktivitas yang diperkenankan untuk BUKU dimana bank tersebut berada. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 40

Page 55: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

layanan bank yang lebih merata. Diharapkan melalui analisa ini akan

menguatkan jawaban untuk rumusan permasalahan pertama yang telah

dijelaskan melalui metode DEA. Disparitas kantor layanan bank antar wilayah

dapat mempengaruhi aksesibilitas masyarakat terhadap perbankan. Jika

dibiarkan dengan skema kebijakan yang berlaku, dapat diduga layanan bank

masih terkonsentrasi di pusat-pusat aktivitas ekonomi. Sehingga diperlukan

insentif agar bank tertarik membuka layanan di wilayah underbanked. Jika

perbankan bersedia masuk zona underbanked, maka fungsi bank sebagai agent

of development dan agent of services dapat lebih optimal. Rincian detail tentang

analisa ini dapat diikuti di Lampiran 1.

Seperti yang telah disebutkan di atas, analisa kuantitatif DEA, yang dilakukan

untuk menjawab perumsusan masalah pertama yang menjadi alasan kuat dan

strategik untuk mengeluarkan kebijakan multilicense, dilengkapi dengan analisa

tingkat kejenuhan bank (bank density29) dalam suatu daerah terkait dengan

tingkat persaingan bank di daerah tersebut. McKinnon (1973) dan Levine (1997)

menyatakan bahwa persaingan yang sangat ketat akibat penumpukan jumlah

bank pada suatu wilayah dapat menimbulkan kejenuhan bank (bank saturation).

Sehingga pendirian bank dalam suatu wilayah harus melihat aspek density ratio

atau jumlah bank per jumlah penduduk.30 Analisa tingkat kejenuhan bank

dalam Sub Bab 4.1.1 ini merupakan hasil analisa yang telah dilakukan BI

(November, 2012) dalam rangka penyusunan kebijakan multilicense dengan

ditambahkan variabel deposito dan giro sebagai komponen dari DPK (Dana

Pihak Ketiga) untuk masing-masing Provinsi.

Terdapat dua cara menghitung bank density. Kedua cara tersebut dapat

diformulasikan sebagai berikut:

1. Kepadatan dari sisi spasial jangkauan pelayanan, yang diformulasikan

dengan:

2. Kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanan, yang diformulasikan dengan:

29 Bank density mengukur kepadatan bank di suatu wilayah berdasarkan jangkauan layanan dan proporsi jumlah penduduk yang dilayani. Kepadatan bank dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan total jumlah kantor bank di suatu wilayah dengan luas wilayah untuk melihat kepadatan bank dari sisi spasial jangkauan pelayanan. Selain itu, kepadatan bank juga dapat dilihat dengan membandingkan jumlah kantor bank dengan jumlah penduduk untuk melihat kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanannya. 30 Ritonga et al (2004) Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 41

Page 56: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Semakin besar nilai bank density dari sisi spasial menunjukkan semakin padat

jumlah kantor bank di setiap kilometer persegi wilayah. Sedangkan, semakin

besar bank density dari sisi jangkauan pasar pelayanan, maka semakin banyak

penduduk yang dilayani oleh bank di suatu wilayah. Kedua hal tersebut

mengindikasikan tingkat persaingan yang tinggi di sektor perbankan. Tingkat

persaingan yang tinggi dapat mengarah pada kejenuhan sektor perbankan di

wilayah tersebut.

Pengukuran tingkat kepadatan bank dapat pula dilihat dengan menggunakan

pendekatan BCG matriks. Metode ini dikembangkan oleh Boston Consulting

Group pada tahun 1970. Matriks ini didasarkan pada teori siklus produk (life

cycle theory). BCG Matrix merupakan matriks 2x2 dengan variabel pangsa pasar

monopoli sebagai sumbu aksis dan tingkat pertumbuhan pasar sebagai sumbu

ordinat. Model analisis ini dapat digunakan juga untuk memetakan industri

perbankan per provinsi di wilayah Indonesia yang memiliki banyak pelaku pasar

dengan persaingan monopolistik. Pengembangan model analisis ini untuk

industri perbankan dilakukan dengan penyesuaian variabel pada sumbu X dan

sumbu Y. Matriks yang dibentuk melalui analisis ini dapat dilihat pada Gambar

4.2.

Gambar 4.2 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia

Selanjutnya Matriks BCG pada Gambar 4.3 menunjukkan matriks BCG untuk

kepadatan bank di setiap provinsi di Indonesia. Matriks tersebut dibentuk

dengan menggunakan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 42

Page 57: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

No Propinsi1 Aceh2 Sumatera Utara3 Sumatera Barat4 Riau5 Jambi6 Sumatera Selatan7 Bengkulu8 Lampung9 Kepulauan Bangka Belitung10 Kepulauan Riau11 DKI Jakarta12 Jawa Barat13 Jawa Tengah14 DI. Yogyakarta15 Jawa Timur16 Banten17 Bali18 Nusa Tenggara Barat19 Nusa Tenggara Timur20 Kalimantan Barat21 Kalimantan Tengah22 Kalimantan Selatan23 Kalimantan Timur24 Sulawesi Utara25 Sulawesi Tengah26 Sulawesi Selatan27 Sulawesi Tenggara28 Gorontalo29 Sulawesi Barat30 Maluku Utara31 Maluku32 Papua33 Papua Barat

UNDERBANKED EQUILIBRIUM MODERAT

EQUILIBRIUM RENDAH

OVERBANKED

Sumber: Data PDRB Provinsi atas dasar harga berlaku 2010 dari BPS Data Penduduk hasil Sensus 2010 dari BPS Data DPK dan Kredit per Desember 2011 dari SEKDA

sebagai sumbu tegak dan faktor Dana Pihak Ketiga (DPK) perkapita dan kredit

perkapita sebagai sumbu mendatar. Nilai threshold pertumbuhan PDRB

ditentukan dengan angka pertumbuhan PDRB nasional (harga berlaku),

sedangkan nilai threshold faktor DPK perkapita dan kredit perkapita digunakan

DPK perkapita dan kredit perkapita nasional.

Gambar 4.3 BCG Matriks untuk Tingkat Kepadatan Bank di Indonesia

Berdasarkan Gambar 4.3, masih banyak provinsi di Indonesia yang berada di

area underbanked. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya provinsi yang berada di

kuadran kiri atas, yaitu sebanyak tiga belas provinsi. Ketiga belas provinsi

tersebut memiliki akses yang rendah terhadap pelayanan jasa perbankan,

namun potensi pertumbuhan ekonomi dan economies of scale yang dimiliki

cukup tinggi. Sementara itu, terdapat sepuluh provinsi yang berada di area

overbanked (kuadran kanan bawah) dengan pelayanan jasa perbankan yang

tinggi namun memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah. Masing-masing

terdapat lima provinsi baik yang berada pada area low equilibrium banked

dengan akses pelayanan jasa perbankan dan pertumbuhan ekonomi yang

rendah maupun middle equilibrium banked dengan akses pelayanan jasa

perbankan dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Provinsi untuk setiap

katagori dalam matriks pada Gambar 4.3 dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 43

Page 58: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Tabel 4.1 Status Persaingan Usaha Tingkat Provinsi

No Underbanked Equilibrium Rendah Equilibrium Moderat Overbanked

1 Lampung Aceh Papua Kalimantan Timur

2 Jambi Sulawesi Tenggara Sumatera Utara Kepulauan Riau

3 Papua Barat DI Yogyakarta *) Riau Bali

4 Sulawesi Barat Jawa Tengah *) Kalimantan Tengah Sulawesi Utara

5 Sulawesi Selatan Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Banten

6 Nusa Tenggara Barat Jawa Barat *) DKI Jakarta

7 Maluku Utara Bangka Belitung

8 Nusa Tenggara Timur Bengkulu

9 Gorontalo Jawa Timur *)

10 Sulawesi Tengah

11 Sumatera Selatan

12 Maluku

13 Sumatera Barat

Keterangan: *) cenderung overbanked

Dari berbagai studi mengenai kepadatan bank tersebut dapat dilihat bahwa

distribusi kantor bank sangat terkait dengan tingkat kegiatan ekonomi di suatu

daerah. Kegiatan ekonomi yang masih dominan berada di Jawa menjadi pull

factor bagi bank untuk memperluas jaringan kantor di wilayah ini saja.

Sedangkan sebagian besar provinsi di luar Jawa masuk pada kategori

underbanked (Gambar 4.4). Pada kondisi ini, diperlukan kebijakan yang bersifat

insentif sehingga mendorong perbankan untuk melayani di wilayah-wilayah

underbanked. Kebijakan ini tentu harus dilakukan oleh Bank Indonesia agar

bank bisa menjalankan salah satu fungsinya, yaitu sebagai agent of

development.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 44

Page 59: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Gambar 4.4. Sepuluh Provinsi dengan Share Dana Pihak Ketiga dan Kredit Terbesar di Indonesia

Sumber: Bank Indonesia, 2013

Dalam hubungannya dengan kebijakan branchless banking, maka matriks BCG

pada Gambar 4.3 diadaptasi menjadi Gambar 4.5. Pada matriks tersebut dapat

dilihat bahwa prioritas utama dari kebijakan branchless banking adalah daerah

yang berada pada Kuadran IV atau daerah underbanked. Sedangkan prioritas

kedua adalah daerah Kuadran III, atau daerah Low Equilibirum Banked. Daerah

Medium Equilibrium Banked atau Kuadran I adalah daerah menjadi prioritas

ketiga dalam kebijakan ini.

Gambar 4.5 BCG Matriks Tingkat Kejenuhan Bank di Indonesia dan

Kebijakan Branchless Banking

Dengan hasil dari analisa DEA (Sub Bab 4.1.1.1) dan Analisa BCG Matriks (Sub

Bab 4.1.1.2) yang telah dilakukan di atas, dapat diangap sebagai jawaban dari

perumusan masalah pertama akan pentingnya kebijakan multilicense dan BB

yang saling melengkapi satu sama lain; dimana dengan adanya sinergi kedua

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 45

Page 60: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

kebijakan tersebut, masyarakat (walaupun berada di pedesaan) akan

dimungkinkan untuk mendapatkan layanan keuangan dengan harga yang

mudah, aman dan terjangkau sesuai dengan tujuan dari kegiatan Financial

Inclusion (dijelaskan di Bab 2).

4.1.2 Studi Empiris Pemetaan, Potensi serta Forecasting Pembiayaan UMKM (BCG

Matrix)

4.1.2.1 Analisa Pemetaan dan Potensi Kredit UMKM

Dalam menjawab perumusan masalah kedua seperti yang telah

dijelaskan di atas, dalam penulisan makalah ini, dilakukan pula

pemetaan akses masyarakat yang bergerak dalam bidang UMKM

khususnya UMK (Usaha Mikro Kecil) terhadap perbankan. Analisa ini

dilakukan untuk melihat apakah ada potensi peningkatan akses

keuangan kelompok masyarakat tersebut sebagai akibat kebijakan

multilicense dan branchless banking. Dalam hal ini, Pemetaan dengan

menggunakan BCG Matrix digunakan pula untuk memetakan kondisi

pembiayaan UMKM di Indonesia saat ini. Metode yang digunakan

sebelumnya dimodifikasi dengan mengubah sumbu X menjadi kredit

UMK per kapita. Pemetaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.6.

Berdasarkan analisa tersebut dapat dilihat bahwa di provinsi Lampung,

Maluku, Jawa Timur, dan Sumatra Selatan merupakan provinsi yang

masuk dalam katagori underbanked untuk pembiayaan UMKM.

Sedangkan provinsi Bali, Papua, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta

merupakan provinsi yang masuk dalam katogori overbanked dalam

pembiayaan UMKM.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 46

Page 61: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Gambar 4.6 Pemetaan Kondisi Pembiayaan UMKM di Indonesia

Namun secara umum, pembiayaan UMKM masih dianggap sebagai pembiayaan

yang masih memiliki potensi yang sangat besar. Hasil analisis potensi pasar bagi

sektor UMKM yang dilakukan dalam penelitian ini dikonfirmasi pula dengan

hasil estimasi yang telah dilakukan sebelumnya (tiga penelitian terdahulu).

Ketiga penelitian tersebut dijelaskan dengan singkat sebagai berikut.

a. Penelitian: Hasil Riset BTPN

Estimasi potensi pasar ini dilakukan dengan menggunakan kajian DPNP

tahun 2012. Menurut kajian tersebut, potensi pasar kredit UMK di Indonesia

sebesar Rp1500 triliun. Potensi ini mencakup pembiayaan oleh bank

konvensional maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dari potensi pasar

sebesar Rp1500 triliun tersebut, baru sekitar Rp281,84 triliun pembiayaan

yang telah disalurkan melalui kredit oleh bank umum maupun BPR. Angka

ini baru mencakup 18,8 persen dari total potensi yang diperkirakan.

Berdasarkan estimasi tersebut, maka masih ada potensi sebesar 81,2 persen

atau sebesar Rp1.218,16 yang belum tergarap. Namun estimasi tersebut

belum memperhitungkan UMKM yang telah dibiayai melalui Lembaga

Keuangan Mikro (LKM). Secara lengkap estimasi tesebut dapat dilihat pada

Tabel 4.2.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 47

Page 62: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Tabel 4.2 Estimasi Kredit Ritel dengan Alternatif 1

Potensi UMK Total Kredit (Rp T)

Potensi UMK Rp 1.500

Kredit UMK oleh BPR dan Bank Umum Rp 281,84 (18,8%)

Belum tergarap Rp 1.218,16 (81,2%)

Sumber : DPNP, Kajian Market Competition, Bank Indonesia – 2012 (Hasil diskusi dengan BTPN)

Studi tersebut juga mengestimasi pertumbuhan pembiayaan UMKM tahun

2018. Dengan mengasumsikan pertumbuhan kredit sebesar 20%, maka

pada tahun 2018, jumlah minimum pembiayaan UMKM yang wajib

disalurkan oleh perbankan diperkirakan mencapai Rp1.617,13 triliun. Angka

ini diperoleh dengan menghitung 20 persen dari total kredit yang disalurkan.

Namun studi tersebut juga menggarisbawahi adanya kecenderungan bank

untuk menyalurkan kredit kepada usaha Menengah dibandingkan UMK.

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang mendorong perbankan untuk

menyalurkan kredit kepada UMK.

b. Penelitian dengan Data Kementrian Koperasi dan UKM

Alternatif kedua estimasi potensi pasar UMK dilakukan dengan

menggunakan data Kementrian Koperasi dan UKM. Berdasarkan data

tersebut, potensi usaha mikro dan Kecil pada tahun 2011 masing-masing

diperkirakan mencapai Rp761,28 triliun dan Rp261,32 triliun. Sementara

total kredit UMK yang sudah disalurkan oleh bank umum dan BPR mencapai

27,56%, yaitu Rp261,45 triliun disalurkan oleh bank umum dan Rp20,39

triliun disalurkan oleh BPR (angka tersebut belum memperhitungkan UMK

yang telah dibiayai melalui Lembaga Keuangan Mikro lainnya). Dengan

demikian, masih terdapat potensi pembiayaan kredit UMK oleh perbankan

sekitar Rp740,71 triliun atau sekitar 72,44%. Hasil estimasi tersebut dapat

dilihat pada Tabel 4.3.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 48

Page 63: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Tabel 4.3 Estimasi Kredit Ritel dengan Alternatif 2

Potensi UMK Total Kredit (Rp T)

Potensi UMK (data Kemenkop) Rp1.022,55 (100,00%)

Usaha Mikro Rp761,23

Usaha Kecil Rp 261,32

Penyaluran Kredit UMK oleh Bank Umum dan BPR Rp281,84 (27,56%)

Kredit Mikro Rp112,73

Kredit Kecil Rp169,11

Belum tergarap Rp 740,71 (72,44%)

Usaha Mikro Rp648,5

Usaha Kecil Rp92,21

c. Penelitian Household Produktif Non-Pegawai

Penelitian ketiga estimasi potensi pasar UMK dilakukan dengan

menggunakan data Survei Rumah Tangga DPNP. Berdasarkan data survei ini,

rumah tangga produktif non-pegawai adalah sebesar 57,63% dari total

rumah tangga. Sementara itu, berdasarkan data BPS Agustus 2012, bukan

angkatan kerja – sektor rumah tangga mencapai 33,6 juta penduduk.

Dengan demikian, proyeksi potensi UMK mencapai 19,4 juta penduduk. Dari

19,4 juta penduduk tersebut, diasumsikan 75% merupakan potensi pangsa

usaha Mikro dan 25% merupakan potensi pangsa usaha Kecil (mengacu

kembali kepada data Kementrian Koperasi dan UKM, 2011). Besarnya skala

UMK per penduduk adalah sebesar jumlah kredit per rekening saat ini, yaitu

Rp16,93 juta per 1 unit usaha Mikro dan Rp144,35 juta per 1 unit usaha

Kecil (data sampai dengan Desember 2012). Sehingga, besarnya potensi

UMK dapat dihitung sebagai berikut: ditambah dengan Usaha Mikro: 75% x

19,4 juta penduduk x Rp16,93 juta = Rp245,88 triliun; Usaha Kecil: 25% x

19,4 juta penduduk x Rp144,35 juta = Rp698,80 triliun; sehingga Total

potensi usaha: Rp245,88 triliun + Rp689,80 triliun = Rp944,68 triliun.

Dengan memperhitungkan angka penyaluran kredit UMK oleh perbankan

(bank umum dan BPR) sebesar Rp281,84 triliun, maka masih terdapat

potensi pembiayaan UMK oleh perbankan sebesar Rp622,84 triliun atau

70,17% (belum memperhitungkan UMK yang telah dibiayai melalui

Lembaga Keuangan Mikro lainnya).

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 49

Page 64: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Ketiga penelitian di atas menunjukkan bahwa potensi pembiayaan perbankan untuk

UMK masih cukup tinggi (ketiga alternatif estimasi tersebut dirangkum pada Tabel 4.4).

Potensi pasar kredit UMK masih sangat besar dan hanya kurang dari 30% yang baru

tergarap, baik melalui pembiayaan oleh bank konvensional maupun BPR. Dengan

menggunakan asumsi bahwa PDB sampai dengan tahun 2018 akan tumbuh pada

angka yang sama, yaitu 6,5%, dan usaha Mikro dan Kecil memiliki pangsa yang relatif

sama, maka potensi usaha Mikro dan Kecil di tahun 2018 diperkirakan mencapai

Rp1.588,42 triliun. Walaupun demikian potensi ini lebih rendah dibandingkan dengan

prediksi jumlah kredit UMKM yang disalurkan oleh perbankan pada tahun 2018

(Penelitian 1), yaitu Rp1.617,13 triliun (dengan asumsi pertumbuhan kredit 20% per

tahun dan semua bank memenuhi ketentuan minimum penyaluran kredit kepada

UMKM).

Tabel 4.4 Rangkuman Estimasi Potensi Pembiayaan UMK

Alternatif Pendekatan Potensi UMK

Jumlah Potensi

Jumlah Pembiayaan UMK oleh Bank Umum

dan BPR (Rp T)

Potensi Pembiayaan UMK

UMK (Rp T) Rp T % Alternatif

1 Hasil Riset BTPN 1500

281,84

1218,16 81,20

Alternatif 2

Kementrian Koperasi dan UKM

1022,55 740,71 72,44

Alternatif 3

Pendekatan RT Produktif Non-

Pegawai 944,68 662,84 70,17

Analisis potensi kredit UMKM juga dilakukan dengan menggunakan BCG Matrix yang

digunakan untuk mengukur tingkat kejenuhan kredit. Dalam analisis ini, pertumbuhan

PDRB kembali menjadi sumbu Y, namun pada analisis ini sumbu X menunjukkan potensi

UMK. Empat kuadran dalam analisis ini adalah: a) Kuadran 1: potensi tinggi, economic

of scale tinggi; b)Kuadran 2: potensi tinggi, economic of scale rendah; c) Kuadran 3:

potensi rendah, economic of scale rendah; d) Kuadran 4: potensi rendah, economic of

scale tinggi.

Hasil analisis yang dilakukan dapat diikuti dalam Gambar 4.7, menujukkan provinsi yang

memiliki potensi tinggi dan economic of scale tinggi adalah Papua Barat dan Kalimantan

Timur. Sedangkan provinsi yang termasuk ke dalam kuadran potensi rendah dan

economic of scale rendah adalah provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan

Barat, Nusa Tenggara Barat dan Papua.

Berdasarkan analisa BCG Matrix untuk pemetaan potensi pembiayaan UMKM di atas,

dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kebijakan branchless banking, yang

memungkinkan bank untuk memberikan layanan keuangan tanpa harus membangun Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 50

Page 65: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

kantor fisik bank melainkan melalui point of service (agen), dimana pendiriannya tidak

diperhitungkan dalam perluasan jaringan kantor dalam kebijakan multilicense, akan

mendorong perbankan untuk mempunyai kecenderungan memberikan kredit UMK

dalam menjalankan kegiatan usahanya.

Gambar 4.7 Pemetaan Kondisi UMK di Indonesia

4.1.2.2 Studi Empiris Forecasting Total Kredit dan Kredit UMKM di Indonesia

Melalui dua kebijakan tersebut, branchless banking dan multilicense, diharapkan

perbankan Indonesia dapat menjadi sektor perbankan yang lebih kuat dan dapat

meningkat outreach kepada masyarakat. Perbankan diharapkan dapat menjangkau

unbanked people dan meningkatkan penyaluran kredit ke sektor UMKM. Namun

dengan adanya kedua kebijakan tersebut, maka muncul pula downside effect

(ancaman) yang menyertainya. Dengan adanya kedua kebijakan tersebut, terdapat

potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan di segmen UMKM. Hal ini

disebabkan pangsa UMKM yang sebelumnya menjadi pasar bagi Bank Perkreditan

Rakyat (BPR), bank dalam katagori BUKU 1 dan lembaga keuangan mikro. Untuk

menganalisis hal tersebut lebih jauh lagi, maka dikembangkan sebuah model untuk

menentukan kapan saatnya pangsa kredit UMKM tersebut telah jenuh dan potensi yang

ada telah dapat terpenuhi.

Model estimasi dilakukan dengan melakukan forecasting sederhana untuk jumlah total

kredit. Untuk memperoleh hasil forecasting yang baik, maka beberapa model diestimasi

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 51

Page 66: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

dan dibandingkan nilai forecast yang diperoleh dengan nilai total kredit aktual. Langkah

ini disebut dengan forecasting ex-post. Dalam langkah ini, diperoleh beberapa model

forecasting. Dari beberapa model tersebut, dilakukan evaluasi untuk memilih tiga model

terbaik dengan menggunakan ukuran-ukuran kebaikan forecast. Rata-rata hasil

forecasting ketiga model terbaik tersebut merupakan kandidat nilai forecast total kredit.

Hasil forecast tersebut dievaluasi dengan menggunakan uji beda rata-rata, uji beda

median, dan uji beda varian, untuk memastikan bahwa nilai total kredit hasil forecast

secara statistik tidak berbeda dengan nilai total kredit aktual.

Setelah model terbaik diperoleh, maka model tersebut digunakan untuk melakukan

forecast nilai total kredit sampai dengan tahun 2020. Nilai kredit UMKM diasumsikan

sebesar 20% dari nilai total kredit (threshold 20% tersebut diatur dalam kebijakan

multilicense). Hasil estimasi nilai total kredit dan kredit UMKM dapat dilihat pada

Gambar 4.8.

Gambar 4.8 Forecast Total Kredit dan Kredit UMKM Indonesia

Setelah nilai foracast total kredit UMKM sampai dengan tahun 2020 dapat diperoleh,

maka hasil ini dibandingkan dengan nilai potensi kredit UMKM yang telah diestimasi

sebelumnya. Dari hasil analisis potensi kredit UMKM telah dapat diestimasi bahwa

terdapat tiga alternatif nilai potensi kredit UMKM di Indonesia, yaitu Rp1.500 triliun,

Rp1.022,55 triliun, dan Rp944,68 triliun. Dari ketiga alternatif tersebut, maka nilai

Rp1.500 disebut sebagai threshold optimis, sedangkan Rp944,68 triliun merupakan

threshold pesimis. Nilai forecast total kredit UMKM kemudian dianalisis untuk

mengetahui periode waktu kedua threshold tersebut dapat terlampaui. Hasil analisis

yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4.9.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 52

Page 67: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua threshold tersebut dapat dilampaui dalam

waktu kurang dari 10 tahun semenjak PBI mengenai pembiayaan UMKM dikeluarkan.

Dengan asumsi bahwa nilai potensi tersebut konstan, maka threshold pesimis akan

dapat dilalui pada tahun 2016. Sedangkan untuk threshold optimis akan dapat

dilampaui pada tahun 2019. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa

sebelum threshold terlampaui, maka semua lembaga keuangan akan berusaha

memanfaatkan potensi kredit UMKM yang tersedia. Hal ini menjawab rumusan

permasalahan kedua di Bab 1 bahwa kebijakan multilicense dan branchless banking

akan sangat membantu pembiayaan perbankan (seluruh BUKU dan BPR) kepada UMKM

khususnya UMK sepanjang threshold belum terlampaui.

Gambar 4.9 Analisis Perkembangan Kredit UMKM di Indonesia

Sumber: CEIC, diolah dan Estimasi Analisis Potensi Kredit UMKM oleh Bank Indonesia

Dalam penulisan penelitian ini, analisa di atas dilengkapi pula dengan memodelkan

perekonomian dengan mengasumsikan adanya rezim tunggal (single regime) memiliki

kelemahan, yaitu memberikan hasil pengukuran volatilitas yang relatif tidak fleksibel

dan dianggap konstan sepanjang estimasi. Salah satu cara untuk mengatasi masalah

tersebut adalah dengan mengijinkan kemungkinan adanya model regime-switching

(perpindahan rezim). Dalam model regime-switching, parameter estimasi berbeda untuk

setiap rezim. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi kemungkinan adanya mekanisme

ekonomi yang menyebabkan variabel dependen mengalami perubahan (switching)

selama proses estimasi. Walaupun rezim itu sendiri tidak dapat diobservasi, akan tetapi

probabilitas terjadinya rezim tersebut dapat diestimasi berdasarkan suatu set informasi

yang tersedia (Santoso, 2008).

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 53

Page 68: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Hamilton (1989) mengembangkan sebuah model Markov-switching untuk memodelkan

data runtun waktu dengan kemungkinan adanya perubahan rezim. Setelah itu,

berbagai pengembangan terhadap model Markov-switching banyak dilakukan. Sebuah

model dengan structural break pada parameter dapat diformulasikan sebagai berikut

(Kim dan Nelson dalam Santoso (2008):

, dengan

Dimana adalah variabel dependen, adalah vektor variabel eksogen, dan

adalah residual. Residual ( ) daripersamaan conditional mean di atas, diasumsikan

berdistribusi normal yang dapat dituliskan sebagai berikut:

Apabila diasumsikan terdapat dua rezim, dimana rezim 1 (stabil) dan rezim 2 (volatil),

maka conditional mean dari persamaan di atas adalah:

sedangkan, conditional variance-nya adalah sebagai berikut:

dimana, adalah variabel random yang dapat dituliskan sebagai berikut:

(stabil) atau (volatil)

Pada persamaan conditional mean di atas, kondisi stabil ( ) ditunjukkan oleh

parameter dan ; sedangkan pada saat kondisi volatil ( ) ditunjukkan oleh

parameter β2 dan . Menurut Kim dan Nelson (dalam Santoso, 2008), apabila St

dapat diobservasi dan diketahui sebelumnya (a priori), maka persamaan conditional

mean dapat diestimasi dengan menggunakan variabel dummy. Namun, apabila St

merupakan rezim yang tidak dapat diobservasi (unobserved states) pada waktu t dan

tidak diketahui a priori, maka model Markov-switching dapat digunakan untuk

mengestimasinya. Dalam hal ini, untuk memodelkan Sttersebut, Hamilton (1994)

menggunakan ordo pertama rantai Markov (first order Markov-chain).

Dalam penelitian ini, model regime switching digunakan untuk mengestimasi faktor-

faktor yang mempengaruhi permintaan kredit. Dengan menggunakan metode ini, maka

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 54

Page 69: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

akan dapat diketahui apakah ada perbedaan dalam permintaan kredit pada periode

stabil, dan pada periode volatil. Persamaan conditonal mean yang diestimasi adalah

sebagai berikut:

Dimana Outstanding Creditt adalah tingkat pertumbuhan

domestik kredit, gt adalah pertumbuhan ekonomi, inft adalah inflasi, t t adalah suku

bunga pinjaman, dan gexetadalah tingkat perubahan nilai tukar. Hasil estimasi Markov

Switching untuk persamaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.11, sedangkan matriks

transisi dan matriks durasi dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Hasil Estimasi Markov Switching Model

Dependen Variabel: Pertumbuhan Kredit Domestik

Observasi: Januari 2002 - Januari 2013

Variabel Koefisien Standar Error z-Statistik Prob.

State 1: Kondisi Volatil

C 0.05406 0.01169 4.62505 0.00000

Suka Bunga Pinjaman -3.21611 0.81072 -3.96697 0.00010

Inflasi -0.16958 0.10085 -1.68150 0.09270

Log(Sigma) -5.02574 0.17814 -28.21227 0.00000

State 2: Kondisi Stabil

C 0.04413 0.01995 2.21215 0.02700

Suku Bunga Pinjaman -2.99429 1.71000 -1.75105 0.07990

Inflasi 0.00830 0.16819 0.04933 0.96070

Log(Sigma) -3.88684 0.09195 -42.27189 0.00000

Parameter Matriks Transisi

P11-C 1.28988 0.76099 1.69499 0.09010

P21-C -2.44925 1.00483 -2.43748 0.01480 Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,BI, 2013

Dalam estimasi, variabel independen disimulasikan untuk mendapatkan hasil estimasi

yang robust. Hasil estimasi juga menunjukkan variabel pertumbuhan nilai tukar dan

pertumbuhan ekonomi tidak secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan kredit

domestik. Variabel yang mempengaruhi pertumbuhan kredit domestik dalam estimasi

yang robust adalah suku bunga pinjaman dan inflasi.

Dari hasil estimasi diperoleh nilai koefisien yang berbeda untuk dua kondisi yang

diamati, yaitu kondisi stabil dan kondisi volatil. Pengaruh inflasi dan suku bunga

pinjaman juga berbeda untuk dua kondisi tersebut. Pada kondisi stabil, pada α=10

persen, maka hanya suku bunga pinjaman yang berpengaruh terhadap pertumbuhan

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 55

Page 70: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

kredit domestik, sedangkan untuk kondisi volatil, suku bunga pinjaman dan inflasi

berpengaruh terhadap pertumbuhan domestik kredit. Koefisien suku bunga pinjaman

pada kondisi volatil lebih tinggi dibandingkan dengan koefisien pada kondisi stabil. Hal

ini menunjukkan bahwa suku bunga pinjaman memiliki kecenderungan efek negatif

lebih tinggi pada kondisi volatil dibandingkan dengan kondisi stabil. Sedangkan nilai

inflasi hanya secara signifikan dan negatif mempengaruhi pertumbuhkan domestik

kredit pada kondisi volatil.

Tabel 4.6 menunjukkan hasil estimasi transisi dan durasi. Hasil estimasi menunjukkan

bahwa probabilitas untuk tetap berada pada kondisi stabil, maupun kondisi volatil lebih

tinggi dibandingkan dengan probabilitas untuk berpindah dari kondisi stabil – volatil,

ataupun dari kondisi volatil – stabil. Probabilitas untuk berpindah dari kondisi stabil ke

volatil juga lebih kecil dibandingkan dengan probabilitas untuk berpindah dari kondisi

volatil ke stabil (0,0795 dibandingkan dengan 0.2159). Sedangkan ekspektasi

perekonomian berada pada kondisi volatil adalah selama 4,6 bulan, dan berada pada

kondisi stabil selama 12,6 bulan.

Tabel 4.6 Matriks Transisi Probabilitas dan Durasi

Matriks Transisi Probabilitas

State 1: Volatil State 2: Stabil

State 1: Volatil 0.7841 0.2159

State 2: Stabil 0.0795 0.9205

Ekspektasi Durasi untuk Masing-Masing State

State 1: Volatil 4.632342

State 2: Stabil 12.57967

Sumber: diolah dari data Bank Indonesia, BI, 2013

4.1.3 Studi Empiris Analisis Efisiensi Perbankan Indonesia Berkaitan dengan

Tingkat Efisiensi yang timbul dari Sinergi Pengaturan Multilicense,

Pembukaan Jaringan Kantor dan Implementasi BB

4.1.3.1 Pengukuran Efisiensi dengan Menggunakan Concentration Ratio

Dalam penulisan makalah ini, tingkat efisiensi perbankan yang diukur

dengan CR31 menggunakan dua buah rasio32 yaitu Net Interest Margin

31 Dalam hal ini ukuran efisiensi perbankan diregresi terhadap sekelompok variabel yang diasumsikan memperngaruhi efisiensi tersebut, dimana salah satunya adalah concentration ratio (CR) yang merupakan variabel sebagai proxy dari kebijakan multilisence. Dalam hal ini ukuran efisiensi perbankan diregresi terhadap sekelompok variabel yang diasumsikan memperngaruhi efisiensi tersebut, dimana salah satunya adalah concentration ratio (CR) yang merupakan variabel sebagai proxy dari kebijakan multilisence. 32 Untuk memilih variable yang tepat dalam perhitungan CR digunakan pendekatan Granger Casuality. Apabila terdapat dua buah variabel X dan Y, kita tidak memliki informasi apakah variabel X mempengaruhi variabel Y Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 56

Page 71: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

(NIM) dan BOPO (Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional).

Kedua nilai tersebut dapat dibandingkan dengan perkembangan

penguasaan pasar oleh bank besar di Indonesia, yang dalam hal ini

merupakan bank yang berada pada BUKU 4. Hal ini untuk melihat

apakah kenaikan penguasaan pasar oleh bank yang berada pada BUKU

4 diikuti dengan kenaikan nilai NIM dan BOPO. Apabila kenaikan

penguasaan pasar oleh bank BUKU 4 diikuti dengan kenaikan nilai NIM

dan BOPO, maka dapat disimpulkan bahwa efisiensi perbankan

Indonesia dipengaruhi oleh Bank BUKU 4, yang merupakan bank besar

di Indonesia. Ukuran penguasaan pasar yang digunakan dalam analisis

ini adalah pangsa kredit bank pada BUKU 4 terhadap total kredit, dan

pangsa dana pihak ketiga terhadap total dana pihak ketiga. Ukuran

tersebut disebut dengan consentration ratio (CR)33 seperti ditunjukkan

pada Tabel 4.7

. Tabel 4.7 Perkembangan Efisiensi Perbankan dan Concentration Ratio

ataukah variabel Y mempengaruhi variabel X. Untuk dapat mengetahui mengenai arah hubungan antar variabel, maka diperlukan sebuah uji statistik. Salah satu uji yang digunakan secara luas adalah Granger Causality Test. Apabila ada dua persamaan sebagai berikut.

ttttttt eXXYYX +++++= −−−− 24132211 ββββα (1)

ttttttt eXXYYY +++++= −−−− 24132211 γγγγδ (2)

Granger Causality Test dilakukan untuk mengetahui apakah variabel Y mempengaruhi variabel X. Apabila variabel Y mempengaruhi variabel X, maka lag dari variabel Y akan signifikan pada persamaan (1) . Apabila pada persamaan (2), lag variabel X tidak mempengaruhi variabel Y, maka dikatakan bahwa variabel Y secara unilateral Granger cause variabel X. Demikian pula sebaliknya, apabila pada persamaan (2) lag variabel X secara signifikan mempengaruhi variabel Y, namun pada persamaan (1) lag variabel Y tidak signifikan mempengaruhi X, maka dapat disimpulkan bahwa variabel X secara unilateral Granger cause variabel Y. Namun hasil pengujian dapat pula memberikan hasil lag variabel Y signifikan mempengaruhi variabel X pada persamaan (1) dan lag variabel X mempengaruhi variabel Y pada persamaan (2). Apabila hasil ini yang diperoleh, maka kesimpulan yang dapat dihasilkan adalah terdapat hubungan dua arah antara X dan Y. Sedangkan apabila kedua variabel tidak saling signifikan mempengaruhi, maka kesimpulan yang dapat dihasilkan adalah kedua variabel tersebut merupakan variabel yang independent. Ketiga variabel tersebut diestimasi dengan metode Granger Causality dengan lag 1 sampai dengan 12. Hasil estimasi Granger Causality menunjukkan bahwa ROA granger cause NIM dan BOPO, sedangkan NIM granger cause BOPO. Oleh karena itu, dalam estimasinya, BOPO akan menjadi variabel dependen. Sedangkan sebagai variabel independen adalah NIM, ROA, jumlah bank, loan to deposit ratio, total kredit, dan concentration ratio dari bank BUKU 4. Model dasar diestimasi dengan dengan menggunakan metode Autoregressive Distributed Lag.

33 Semula terdapat tiga variabel efisiensi yang digunakan, yaitu NIM, BOPO, dan return on asset (ROA). Untuk memilih variabel yang tepat untuk digunakan metode Granger Causality. Apabila terdapat dua buah variabel X dan Y, kita tidak memliki informasi apakah variabel X mempengaruhi variabel Y ataukah variabel Y mempengaruhi variabel X. Untuk dapat mengetahui mengenai arah hubungan antar variabel, maka diperlukan sebuah uji statistik. Salah satu uji yang digunakan secara luas adalah Granger Causality Test. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 57

Page 72: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

CR-4 Kredit (%) CR-4 DPK (%) NIM BOPO (%)

Dec-01 47.10 59.59

Dec-02 48.58 58.37

Dec-03 48.56 56.75

Dec-04 49.12 54.68

Dec-05 46.21 51.05

Dec-06 45.55 50.46 5.80 86.45

Dec-07 45.08 51.86 5.70 78.83

Dec-08 45.87 51.34 5.66 84.10

Dec-09 46.80 52.29 5.56 81.57

Dec-10 45.38 50.48 5.73 79.96

Dec-11 45.12 49.13 5.91 85.34

Dec-12 45.66 48.74 5.49 74.15

Jan-13 45.47 47.66 5.53 79.58

Feb-13 45.63 46.88 5.34 78.52

Mar-13 45.65 46.36 5.41 75.46 Sumber: diolah dari data Bank Indonesia,BI, 2013

Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum efisiensi perbankan di

Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai

BOPO dan nilai NIM yang semakin menurun. Sedangkan nilai CR-4 untuk

Kredit maupun DPK menunjukkan nilai yang relatif stabil semenjak tahun

2002, tanpa adanya peningkatan rasio yang sangat signifikan. Hal ini

menunjukkan dugaan tidak adanya hubungan yang jelas antara

consentration ratio dengan efisiensi perbankan.

4.1.3.2 Pengukuran Efisiensi dengan Menggunakan HHI34

Concentration ratio yang diperoleh dianalisis lebih jauh dengan

menggunakan Herfindahl-Hirschman Index (HHI). Indeks ini merupakan

indeks yang secara umum diterima sebagai ukuran konsentrasi pasar.

Nilai HHI diukur sebagi jumlah dari kuadrat pangsa pasar perusahaan

yang berkompetisi. Apabila dianggap bahwa pada sektor perbankan,

keempat kelompok BUKU bank sebagai kelompok yang berkompetisi

dalam sektor perbankan di Indonesia, maka HHI sektor perbankan di

Indonesia dapat diestimasi.

34 HHI adalah Herfindahl-Hirschman Index. HHI merupakan index yang digunakan sebagai ukuran konsentrasi pasar. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 58

Page 73: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Institusi yang menggunakan nilai HHI sebagai ukuran dalam

pengambilan keputusan adalah US Departemen of Justice (USDOJ)

dalam hal keputusan untuk pemberian ijin merger. USDOJ menganggap

nilai indeks kurang dari 1500 menunjukkan pasar yang kompetitif,

indeks 1500-2500 merupakan pasar yang terkonsentrasi secara moderat,

dan nilai indeks lebih dari 2500 merupakan pangsa pasar yang sangat

terkonsentrasi. Merger perusahaan yang meningkatkan nilai HHI lebih

dari 200 nilai indeks dinilai akan menunjukkan adanya kemungkinkan

monopoli pasar. Hasil estimasi HHI bank dengan ukuran konsentrasi

kredit dan DPK dapat dilihat pada Tabel 4.8 dan Tabel 4.9.

Hasil estimasi HHI untuk Indonesia menunjukkan bahwa HHI Indonesia,

baik dengan menggunakan kredit maupun menggunakan dana pihak

ketiga, menunjukkan angka di atas 3000. Nilai HHI untuk Kredit

menunjukkan nilai yang stabil, sedangkan untuk DPK menunjukkan

angka HHI yang cenderung menurun. Walaupun demikian, apabila

digunakan nilai USDOJ sebagai ukuran konsentrasi pasar, maka industri

perbankan Indonesia merupakan pasar yang sangat terkonsentrasi.

Dengan kebijakan multilisence yang telah dilaksanakan, maka pangsa

pasar yang telah ada saat ini memiliki indikasi tidak akan mengalami

perubahan. Sehingga sektor perbankan Indonesia merupakan sektor

yang terkonsentrasi.

Tabel 4.8 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia - Kredit

Periode Share terhadap Total Kredit

BUKU 4 BUKU 3 BUKU 2 BUKU 1 HHI

Dec-01 47.10% 29.77% 17.72% 5.42% 3448

Dec-02 48.58% 30.10% 15.99% 5.33% 3550

Dec-03 48.56% 29.44% 16.65% 5.35% 3531

Dec-04 49.12% 30.03% 15.77% 5.08% 3589

Dec-05 46.21% 32.00% 16.81% 4.98% 3467

Dec-06 45.55% 32.54% 16.80% 5.11% 3442

Dec-07 45.08% 32.32% 17.51% 5.10% 3409

Dec-08 45.87% 31.51% 17.86% 4.76% 3438

Dec-09 46.80% 31.39% 16.96% 4.85% 3487

Dec-10 45.38% 32.97% 16.82% 4.84% 3452

Dec-11 45.12% 32.99% 16.95% 4.94% 3436

Dec-12 45.66% 32.23% 17.09% 5.02% 3441

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 59

Page 74: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Jan-13 45.47% 32.29% 17.20% 5.05% 3431

Feb-13 45.63% 32.07% 17.24% 5.06% 3433

Mar-13 45.65% 31.95% 17.32% 5.07% 3431

Tabel 4.9 Herfindahl-Hirschman Index Perbankan Indonesia - Kredit

Periode

Share terhadap Total Dana Pihak Ketiga

BUKU 4 BUKU 3 BUKU 2 BUKU

1 HHI

Dec-01 59.59% 25.75% 11.18% 3.49% 4351

Dec-02 58.37% 25.76% 11.90% 3.97% 4228

Dec-03 56.75% 26.01% 12.94% 4.30% 4083

Dec-04 54.68% 26.77% 14.03% 4.52% 3923

Dec-05 51.05% 27.91% 16.15% 4.89% 3670

Dec-06 50.46% 26.51% 17.48% 5.55% 3585

Dec-07 51.86% 25.91% 17.04% 5.19% 3678

Dec-08 51.34% 27.59% 16.86% 4.20% 3699

Dec-09 52.29% 27.23% 16.17% 4.31% 3756

Dec-10 50.48% 29.20% 15.82% 4.50% 3671

Dec-11 49.13% 29.82% 16.15% 4.91% 3587

Dec-12 48.74% 30.12% 16.11% 5.03% 3568

Jan-13 47.66% 30.74% 16.30% 5.31% 3510

Feb-13 46.88% 30.85% 16.84% 5.43% 3462

Mar-13 46.36% 30.89% 17.18% 5.57% 3430

Analisis efisiensi perbankan dalam hubungannya dengan consentration ratio juga

dilakukan dengan menggunakan model ekonometrika. Dalam hal ini ukuran efisiensi

perbankan diregresi terhadap sekelompok variabel yang diasumsikan memperngaruhi

efisiensi tersebut, dimana salah satunya adalah concentration ratio (CR) yang

merupakan variabel sebagai proxy dari kebijakan multilisence.

Terdapat tiga variabel efisiensi yang digunakan, yaitu NIM, BOPO, dan return on asset

(ROA). Untuk memilih variabel yang tepat digunakan metode Granger Causality. Hasil

estimasi Granger Causality menunjukkan bahwa ROA granger cause NIM dan BOPO,

sedangkan NIM granger cause BOPO. Oleh karena itu, dalam estimasinya, BOPO akan

menjadi variabel dependen. Sedangkan sebagai variabel independen adalah NIM, ROA,

jumlah bank, loan to deposit ratio, total kredit, dan concentration ratio dari bank BUKU

4.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 60

Page 75: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

4.1.4 Analisis penerapan branchless banking dalam meningkatkan jumlah

Rekening

4.1.4.1 Probabilitas Peningkatan Kepemilikan Rekening Tabungan

Untuk menghitung probabilitas kepemilikan rekening tabungan

berdasarkan beberapa variabel digunakan model regresi logistik. Model

ini menggunakan enam variabel prediktor sebagai indikator kepemilikan

rekening. Hasil perhitungan dengan model regresi logistik ditunjukkan

dalam Tabel 4.10 berikut ini.

Tabel 4.10 Hasil Perhitungan Model Regresi Logistik

Sumber: diolah dari data Bank Indonesia, BI, 2013

Semua prediktor yang dipergunakan, berpengaruh secara signifikan,

ditunjukkan oleh nilai P>z yang kurang dari 5%. Peluang responden di

desa untuk memiliki rekening bank lebih kecil dari pada responden yang

berada di kota, ditunjukkan dengan tanda negatif pada koefisien

regresinya (-.6327368). Bagi responden yang merasa mudah

menjangkau lokasi bank, peluang untuk memiliki rekening bank lebih

kecil dari pada responden yang merasa sangat mudah menjangkau

bank. Bagi responden yang merasa sulit menjangkau lokasi bank,

peluang untuk memiliki rekening bank lebih kecil dari pada responden

yang merasa sangat mudah menjangkau bank. Peluang responden yang

tidak memiliki usaha untuk memiliki rekening bank lebih kecil

dibandingkan dengan responden yang memiliki usaha. Peluang

responden yang berada di Jawa untuk memiliki rekening bank lebih

besar dibandingkan dengan responden yang berada di luar Jawa.

Peluang responden untuk memiliki rekening bank akan meningkat jika

pengeluarannya semakin besar.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 61

Page 76: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

4.1.4.2 Probabilitas Estimasi Peningkatan Rekening Tabungan

Model regresi linear digunakan untuk melakukan estimasi peningkatan

rekening tabungan jika ada penambahan layanan jasa keuangan. Dasar

perhitungan dengan menggunakan model regresi linier dari setiap zona

kejenuhan bank.

Tabel 4.11 Hasil Analisis Model Regresi Linier

Sumber: diolah dari data Bank Indonesia, BI, 2013

Zona kejenuhan bank yang didasarkan pada studi Bank Indonesia

sebelumnya, yang mengklasifikasi provinsi dalam wilayah underbanked,

low equilibrium banked, medium equilibrium banked dan over banked35.

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan model regresi

linier, ditunjukkan dalam Tabel 4.11.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, pengaruh penambahan jumlah

jaringan layanan bank (traditional office dan agent banking) terhadap

peningkatan jumlah rekening bank dihitung berdasarkan tingkat

kejenuhan bank di setiap provinsi. Hasil estimasi penambahan rekening

jika ada pertambahan jaringan layanan ditunjukkan dalam Tabel 4.12

Tabel 4.12 Estimasi Pertambahan Rekening Berdasarkan Zona Provinsi

Sumber: diolah dari data Bank Indonesia Bank, BI, 2013

35 Underbanked: Lampung, Jambi, Papua Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, NTB, Maluku Utara, NTT, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, Maluku, Sumatera Barat. Low Eq. Bank: NAD, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kepulauan Bangka-Belitung, Bengkulu Medium Eq. Bank: Kalimantan Selatan, Kalumantan Tengah, Riau, Sumatera Utara, Papua Overbanked: seluruh Provinsi di Jawa, Bali, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 62

Page 77: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan model regresi linier

menunjukkan bahwa penambahan jumlah rekening tabungan yang

terbanyak akan terjadi di zona medium equilibrium bank, sedangkan

yang terendah berada di zona low equilibrium bank. Hal ini juga

mengindikasikan bahwa dari sisi economic of scale pertambahan jumlah

jaringan bank selama ini sudah cukup rasional. Sebaliknya, jika ditinjau

dari sisi peranan bank sebagai agent of development menunjukkan

peranan bank dalam pengembangan jaringan layanan perlu lebih

dioptimalkan.

BAB 5

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 63

Page 78: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

KONSEPSI KEBIJAKAN UNTUK MENDUKUNG EFEKTIFITAS KEBIJAKAN MULTILICENSE DAN BRANCHLESS BANKING

Sebelum dilakukan analisa kebijakan untuk mendukung kebijakan multilicense dan branchless

banking tersebut dan dengan didukung analisa perumusan masalah secara mendalam seperti

yang telah disampaikan dalam Bab 4, dalam penulisan penelitian di Bab 5 ini akan dilakukan

analisa SWOT (Strength, Weakness, Oppurtunity and Threat) tersebut dengan menggunakan

hasil analisa yang diperoleh di Bab 4 tersebut dan terlebih dahulu menghubungkannya dengan

perkembangan terakhir dari industri perbankan nasional dan regional yang dapat diperoleh

datanya.

Dengan melakukan analisa SWOT tersebut, penulisan makalah ini akan mencoba mengajukan

beberapa alteranatif kebijakan yang dapat digunakan untuk menjawab perumusan masalah di

Bab 1 Pendahuluan; yang selanjutnya dapat dipertimbangkan guna menjawab pertanyaan

dalam penulisan makalah ini yaitu apakah kebijakan multilicense dan branchless banking akan

memberikan dampak positive benefit (keuntungan) atau menimbulkan risiko (ancaman)

terhadap industri perbankan nasional dan perekonomian Indonesia khsususnya.

5.1 Kapasitas Bank di Indonesia dibandingkan Bank di Negara ASEAN

5.1.1 Perbandingan Asset dan Modal Inti Perbankan Nasional dengan Regional

Dari sisi asset, 5 bank terbesar di Indonesia (Mandiri, BRI, BCA, BNI, CIMB Niaga) masih

unggul dibandingkan Filipina dan Vietnam, tetapi jauh lebih rendah jika dibandingkan

dengan bank-bank terbesar dari Singapura, Malaysia dan Thailand. Hal ini mengandung

konsekuensi yang sangat mendalam terhadap peta kompetisi industri perbankan

nasional terutama dengan rencana dibentuknya Masyarakat Ekonomi Asia (MEA)36;

dimana dengan MEA ini akan mengandung konsekuensi adanya QAB (Qualified Asean

Bank). Sampai dengan saat ini, apabila dikomparasi maka daya saing perbankan

nasional masih rendah; hal ini dapat dipandang sebagai ancaman (threat) bagi

perbankan nasional. Bank-bank di Indonesia berada di “borderline” dibandingkan

dengan bank-bank di Singapura, Malaysia dan Thailand baik dilihat dari sisi modal, aset

dan efisiensi (Gambar 5.1 dan Gambar 5.2).

36 Pilar utama dan paling penting dari MEA ini adalah integrasi sektor perbankan. Untuk itu, pada tahun 2020 para

petinggi otoritas perbankan di ASEAN bersepakat bahwa semua negara ASEAN minimal memiliki 1 (satu) bank yang

berkualitas pada tingkat ASEAN (Qualified ASEAN Banks-QAB). Dalam penetapan QAB tersebut, beberapa negara

ASEAN mengusulkan bahwa pendekatan multilateral hanya dapat dilakukan dalam rangka penetapan kriteria QAB,

sedangkan penetapan bank yang menjadi QAB dilakukan dengan pendekatan bilateral.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 64

Page 79: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Oleh karena itu, kesiapan perbankan Indonesia khususnya dari sisi permodalan, efisiensi

dan daya saing perlu diupayakan dengan sungguh-sungguh, di tengah kewajibannya

untuk mematuhi aturan internasional dan tetap mempertahankan eksistensinya di pasar

domestik. Persiapan sungguh-sungguh dari industri perbankan nasional dan BI sebagai

otoritas pengawas dan pengaturan perbankan nasional37 adalah mutlak untuk

dilaksanakan guna memperkuat daya saing dan kemampuan perbankan nasional dalam

memanfaatkan “new market” sebagai dampak terbentuknya MEA sebagai suatu

Oppurtunity (kesempatan).

Gambar 5.1 Perbandingan Asset 5 Bank Terbesar di Beberapa Negara ASEAN

Sumber: diolah dari beberapa data, BI, 2013. 5.1.2 Modal Inti

Gambar 5.2 Modal Inti Bank Besar di ASEAN

Sumber: Bankscope, Bank Indonesia diolah (Desember 2011)

37 Kewenangan sebagai otoritas pengawas dan peraturan perbankan nasional akan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan di awal tahun 2014. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 65

Page 80: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Dibandingkan bank-bank dari negara ASEAN yang lain, modal inti 4 bank - tier 4

di Indonesia relatif kecil. Lebih dari separuh dari 12 Bank terbesar di ASEAN

mempunyai modal inti di atas Rp50 Trilyun, bahkan 3 bank dari Singapura

mempunyai modal inti lebih dari Rp150 trilyun. Sedangkan 4 bank terbesar di

Indonesia modal intinya kurang dari Rp50 Trilyun. Keterbatasan (weakness)

kapasitas modal (Gambar 5.1 dan Gambar 5.2) yang dimiliki bank di Indonesia

tentunya akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi usaha dan efisiensi

operasional; sehingga pada akhirnya akan mengurangi kemampuan bersaing

industri perbankan nasional dengan QAB dari Negara-negara lain. Kelemahan

(weakness) ini harus diatasi dan strategi kebijakan untuk meningkatkan

kemampuan bersaing perbankan nasional melalui peningkatan modal inti dan

melalui strategi peningkatan perluasan jaringan kantor; seperti di antaranya

melalui kebijakan branchless banking dan multilicense tersebut.

5.1.3 Capital Adequacy Ratio (CAR)

Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio untuk mengukur kemampuan

permodalan yang dimiliki oleh bank untuk untuk mengatasi kemungkinan

terjadinya kerugian dalam kegiatan operasional (perkreditan dan perdagangan

surat- surat berharga).38 Semakin tinggi nilai CAR, di atas nilai minimum, maka

semakin besar kemampuan bank untuk mengatasi kemungkinan terjadinya

kerugian.

Dari Gambar 5.3 menunjukkan bahwa rata-rata CAR di tujuh negara tersebut

berada di atas batas minimal ketentuan dalam BASEL II yakni 8%. Dari ketujuh

negara tersebut dapat dilihat bahwa perbankan di India mempunyai CAR yang

relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Sementara itu CAR

perbankan Indonesia masih berada di atas nilai minimum dan lebih tinggi dari

Malaysia, Singapura, dan Hongkong. CAR dan modal inti industri perbankan

nasional sendiri menunjukan trend yang meningkat sampai dengan kuartal 1-

2013 (Gambar 5.4).

Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya terdapat aspek kekuatan (strength) bagi

perbankan nasional untuk menyalurkan kredit yang lebih besar dari pada tingkat

kredit yang disalurkan saat ini, khususnya untuk melakukan penyaluran kredit

UMKM yang relatif total nilai kredit per individu peminjamnya lebih kecil dan

dapat mempunyai outreach (jangkauan) yang lebih luas terhadap kelompok

masyarakat yang bergerak dalam sektor informal (UMK).

38 SE BI No 30/11/KEP/DIR, 30 April 1997 Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 66

Page 81: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Untuk mempunyai kekuatan dengan jangkauan yang lebih luas tersebut adalah

masih “sangat mungkin” dipertimbangkan guna diimplementasikan mengingat

CAR yang masih tinggi dan ini sejalan dengan target dari bank sebagai

economic agent yang tentunya berusaha mendapatkan profit dan ROA yang

lebih besar melalui penyaluran kredit kepada masyarakat khususnya UMKM

(NIM dan ROA perbankan nasional tampak masih sangat tinggi seperti terlihat

pada Gambar 5.5). Kondisi ini dapat dipertimbangkan sebagai opportunity

(kesempatan) bagi perbankan nasional.

Gambar 5.3 CAR Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013.

Gambar 5.4 Perkembangan CAR, ATMR dan Modal Industri Perbankan Nasional

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 67

Page 82: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Gambar 5.5 Perkembangan ROA dan NIM Industri Perbankan Nasional

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013

5.2 Tingkat Efisiensi Bank di Indonesia

5.2.1. Biaya Operasional Pendapatan Operasional Bank

Rasio Biaya Operasional – Pendapatan Operasional (BOPO) merupakan rasio

sederhana untuk melihat tingkat efisiensi operasional perbankan. Rasio ini

membandingkan jumlah biaya operasional yang dikeluarkan oleh bank dengan

pendapatan operasional yang diterima oleh bank atau dengan kata lain melihat

alokasi biaya terhadap pendapatan yang diterima. Semakin besar nilai rasio ini,

maka bank tersebut dapat dikatakan semakin tidak efisien.

Gambar 5.6 BOPO Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013

Dari Gambar 5.6 dan Gambar 5.7 menunjukkan perbankan Indonesia memiliki rasio

BOPO yang relatif paling tinggi dibandingkan dengan beberapa negara yang lain. Hal ini Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 68

Page 83: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

menunjukkan kelemahan (weakness) industri perbankan nasional; kelemahan ini

dikarenakan kurang efisiennya bank dalam pengelolaan biaya operasionalnya. Jika

melihat pada Gambar 5.7 di atas maka, perbankan di Singapura, Malaysia, dan

Hongkong memiliki nilai BOPO yang relatif lebih rendah dikawasan.

Gambar 5.7 Perkembangan BOPO Industri Perbankan Nasional

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013

5.2.2 Net Interest Margin (NIM)

NIM merupakan rasio untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam

mengelola asset produktif untuk menghasilkan pendapatan bunga bunga

bersih. Semakin besar nilai rasio ini menunjukkan bahwa produktivitas asset

untuk menghasilkan pendapatan bunga semakin tinggi sehingga kemungkinan

kondisi bermasalah bank tersebut semakin kecil.39

Gambar 5.8 NIM Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011

*NIM untuk Singapura adalah NIM per Kuartal II Tahun 2011 Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013

Pada Gambar 5.8 di atas, tampak bahwa nilai NIM Indonesia paling besar

dibandingkan dengan beberapa negara lain. NIM yang tinggi ini dipicu oleh

39 SE BI No 6/23/DPNP Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 69

Page 84: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

tingkat bunga pinjaman yang relatif tinggi dan spread antara pendapatan bunga

dengan biaya bunga yang dibayarkan besar. Di satu sisi, hal ini menunjukan

adanya Strength (kekuatan) bagi industri perbankan nasional; namun di sisi yang

lain, hal ini juga menunjukan bahwa perbankan nasional menikmati profit yang

lebih tinggi dan kurang memperhatikan bagaimana memberikan pelayanan

keuangan kepada masyarakat yang lebih luas sebagaimana dijelaskan dalam Bab

1 pada penelitian ini.

Persepsi yang mengedepankan profit dengan kurang memperhatikan jumlah

nasabah kecil tersebut dapat dipandang sebagai threat (ancaman) terhadap

kelangsungan NIM tinggi itu sendiri karena ke depan dengan karaketristik

perbankan yang cenderung memiliki DPK dengan jangka waku yang pendek

(short term liquidity) sehingga ke depan dapat diprediksikan untuk

mempertahankan NIM tinggi tersebut perbankan harusnya lebih menjangkau

pembiayaan kepada UMKM.

Dengan mengambil hasil analisa untuk menjawab perumusan masalah keempat

dalam Bab 4, yang menunjukan terdapatnya probabilitas peningkatan yang

signifikan dalam penambahan jumlah rekening dan penambahan DPK yang

dapat dihimpun oleh industri perbankan nasional serta kesempatan yang besar

dalam penyaluran kredit kepada sektor UMKM (hasil analisa masalah untuk

perumusan masalah ketiga di Bab 4 Analisa) maka ke depan perbankan nasional

dapat disarankan untuk mengunakan kebijakan branchless banking sebagai

alternatif kegiatan perluasan kantor kepada sektor UMKM dan hal ini didukung

pula dengan kebijakan multilicense yang memperbolehkan perluasan jaringan

kantor dangan tidak memperhitungkan pendirian agent (branchless banking)

tersebut dalam komponen kecukupan modal intinya. Hal ini merupakan

opportunity (kesempatan) bagi industri perbankan nasional.

5.2.3 Loan to Deposit Ratio

Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan rasio untuk menilai tingkat likuiditas

suatu bank, dengan membandingkan jumlah kredit yang disalurkan terhadap

DPK yang dihimpun40.

40 Semakin tinggi nilai LDR menunjukkan porsi penyaluran dana dari penghimpunan dana pihak ketiga adalah semakin besar. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 70

Page 85: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Gambar 5.9 LDR Perbankan di Beberapa Negara Asia Triwulan IV-2011

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013

Berdasarkan Gambar 5.9 di atas, mayoritas negara memiliki rasio LDR yang

seimbang berada pada kisaran 70% - 90%. LDR Thailand memiliki nilai yang

terbesar dibandingkan dengan enam negara yang lain. Hal ini menunjukkan

bahwa porsi penyaluran dana masyarakat dengan menggunakan dana pihak

ketiga yang dihimpun masih besar41.

Bank Indonesia berusaha mendorong pencapaian LDR ini dengan mengeluarkan

peraturan GWM (Giro Wajib Minimum) – LDR42 pada awal 2012. Hal ini diikuti

pula dengan penerapan penyampaian informasi tentang seluruh komponen

pembentukan biaya dalam suku bunga dasar kredit (SBDK) sehingga diharapkan

dapat memberikan tingkat suku bunga kredit yang lebih rendah kepada

masyrakat. Hal ini menunjukan perkembangan yang menggembirakan dimana

SBDK dan Suku Bunga DPK Rupiah menunjukan perkembangan yang menurun

sampai dengan kuartal 1-2013 (Gambar 5.10). Selanjutnya dengan

mengkombinasikannya dengan kebijakan branchless banking, perbankan

nasional diharapkan dapat memanfaatkan kebijakan tersebut dengan

mempunyai jaringan yang lebih luas dalam menawarkan produk keuangan

dengan harga yang lebih terjangkau kepada masyarakat (opportunity).

41 Nilai penyaluran dana melebihi nilai dana pihak ketiga yang dihimpun, sehingga kemungkinan bank menggunakan modal sendiri ataupun pinjaman untuk memberikan pinjaman semakin besar. 42 Peraturan GWM-LDR ini mempersyaratkan perbankan nasional untuk menyediakan GWM yang dipelihara di BI lebih besar apabila individu bank tersebut tidak dapat mencapai tingkat LDR yang dipersyaratkan. Di sisi yang lain, individu bank untuk meningkatkan CAR nya melalui peningkatan modal inti apabila LDR yang dicapai telah melebihi batas yang LDR yag dipersyaratkan. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 71

Page 86: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Gambar 5.10 Rata-Rata Suku Bunga Kredit dan DPK Rupiah

Sumber: Diolah dari data Bank Indonesia, 2013

5.3 Analisis SWOT dan Konsepsi Kebijakan dalam Melaksanakan Kebijakan Branchless

Banking setelah Penerapan Multilicense Policy

Dalam melakan analisa SWOT di Bab 5.3 ini, SWOT diolah dengan penekanan dari hasil

analisa kualitatif dan kuantitatif yang telah dijelaskan di Bab 4 dalam menjawab

permasalahan yang telah dirumuskan secara jelas di Bab 1. Selanjutnya analisa, SWOT

dapat disampaikan sebagai berikut:

Strength Opportunity • Nilai-nilai lokal yang dipahami oleh bank-bank

lokal dapat menjadi keuntungan dalam pengembangan kegiatan Branchless Banking.

• Kemampuan mengembangkan produk keuangan yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat di setiap daerah.

• Kemampuan membuat standar pelayanan nasabah yang disesuaikan dengan karakteristik kegiatan harian yang dilakukan masyarakat.

• Kemampuan melakukan mitigasi risiko kredit dan risiko operasional dengan memanfaatkan kelembagaan lokal yang ada di masyarakat.

• Kemampuan untuk bekerjasama dengan unit ekonomi lokal lebih tinggi.

• Telah mempunyai debitur UMKM • Kebijakan BB ini akan mampu mengenalkan

produk perbankan dengan relatif biaya yang rendah sebagai akibat adanya kebijakan SBDK.

• Masih banyak pangsa pasar tersedia baik di nasional maupun regional (ASEAN).

• Kesempatan untuk memperluas pasar di tingkat ASEAN seiring dengan adanya ASEAN banking integration.

• Memperluas jaringan “keagenan” di seluruh pelosok tanah air.

• Kesempatan memperoleh sumber dana retail. • Memperluas kredit UMKM khususnya kredit

mikro. • Memanfaatkan debitur UMKM yang ada menjadi

calon agen. • Menurunkan risiko likuiditas • Diversifikasi kredit dan menurunkan risiko kredit • Kesempatan menurunkan suku bunga kredit

dengan peningkatan kompetisi. • Saluran program bantuan pemerintah yang aman

dan efisien • Persaingan yang lebih sempurna. • Kerjasama dengan LKM dan unit usaha lokal.

Weakness Threat • Tingkat efisiensi usaha yang masih rendah

menjadi hambatan dalam pengembangan usaha bagi perbankan nasional (comfort

• ASEAN banking integration memudahkan bank-bank asing (ASEAN) untuk masuk dan beroperasi di Indonesia

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 72

Page 87: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

zone) • Masih tingginya biaya operasional • Tingginya net interest margin (NIM) • Tingginya suku bunga pinjaman khususnya

kredit UMKM • Masih kalahnya profesionalitas SDM

perbankan nasional • Kurangnya inovasi produk dan jasa • Tidak adanya produk yang cocok untuk

masyarakat kecil. • Terlalu fokus pada nasabah besar • Pelayanan yang rigid dan formalitas • Kurangnya persaingan, pasar tidak sempurna

khusunya sektor UMKM • Kemampuan pengelolaan risiko dibidang

mass market masih terbatas.

• Berkembangnya shadow banking activity menawarkan kredit yang cocok

• Masuknya pemain asing non bank • Salah strategy akan menjadi backfire karena

keterbatasan kemampuan SDM dan salah penggunaan sistem informasi.

• Meningkatnya risiko operasional • Meningkatnya risiko reputasi.

5.3.1 Penguatan Strategi SWOT dan Konsepsi Kebijakan

Dengan membahas penguatan strategi SWOT di atas, dalam Sub Bab 5.3.1 ini,

disampaikan pula penguatan strategi dalam sinergi kebijakan branchless

banking dan multilicense guna meningkatkan tingkat akses masyarakat

terhadap layanan keuangan yang dapat diusulkan untuk masing-masing Aspek

SWOT sebagai berikut:

1. Aspek Strength: yang harus dilakukan oleh perbankan nasional adalah

melakukan standarisasi pelayanan yang didasarkan pada nilai-nilai lokal dari

setiap kantor layanan (“agen”) sebagai “extended arms” (kepanjangan

tangan) dari Bank. Strategi ini dapat meningkatkan daya saing sekaligus

memitigasi risiko yang mungkin timbul baik dari technology risk maupun

operational risk. Hal ini dapat dilakukan oleh Bank Indonesia selaku regulator

dengan mempersyaratkan peraturan atau kebijakan Branchless Banking yang

mengedepankan peraturan yang detail dalam Standard Operating Procedure

(SOP) untuk pengawasan dan pengaturan kegiatan agen.

2. Aspek Weaknesses: yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan

efisiensi operasional seperti memanfaatkan dukungan teknologi. Hal ini

harus didukung dengan bisnis model yang tepat pula; serta ditunjang pula

dengan peningkatan kemampuan risk management dibidang mass market.

Dengan menyadari bahwa saat ini kegiatan Branchless Banking ini masih

dalam proses uji coba (pilot project), hal ini harus dapat dimanfaatkan

sebaik-baiknya oleh BI melalaui kebijakan dengan memberikan bentuk

business model yang paling cocok untuk kegiatan BB guna mendorong

peningkatan akses keuangan masyarkat khususnya di pedesaan lebih cepat.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 73

Page 88: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

3. Aspek Opportunity: yang perlu dilakukan adalah melakukan penetrasi pasar

domestik yang masih sangat luas dengan meningkatkan kemampuan

teknologi dan SDM serta memanfaatkan unit-unit usaha lokal sebagai agen.

Proses Pilot Project BB yang sedang dilakukan oleh BI dengan melibatkan 5

(lima) bank yang telah disebutkan di atas harus dapat dilakukan secara

mendalam dan lebih detail dalam waktu yang lebih cepat, mengingat

besarnya pangsa pasar dan tingginya animo masyarakat berdasarkan

temuan pilot project. Peraturan BB selanjutnya harus segera dikeluarkan

mengingat MEA yang akan segera dilaksanaka di 2015.

4. Aspek Threat: yang harus dilakukan pertama kali adalah menjadi yang

pertama, terjun terlebih dahulu mengembangkan branchless banking

sehingga mampu menjadi technical barrier bagi bank-bank asing dari ASEAN

(adanya MEA di 2015). Hal ini terutama harus didukung dengan kebijakan

dan kegiatan peningkatan edukasi keuangan, pedlindungan nasabah

(consumer protection) dan marketing campaign yang cocok degan

melibatkan seluruh stakeholder (perbankan, masyarakat, regulator dan

kementerian terkait).

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 74

Page 89: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari uraian dari bab-bab diatas terkait permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I, dapat

disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Kebijakan multilicense dan pembukaan jaringan kantor dapat menjawab permasalahan

disparitas layanan keuangan perbankan. Kebijakan multilicense; dan pengaturan

pembukaan kantor cabang akan memberikan insentif bagi bank untuk membuka layanan

didaerah yang masih minim layanan perbankan. Hal ini tampak jelas dan didukung dengan

hasil analisa kuantitatif di Bab 4 untuk menjawab rumusan permasalahan pertama.

Sehingga dapat disimpukan bahwa kebijakan multilicense dan branchless banking adalah

merupakan keuntungan bagi perbankan dan perekonomian nasional.

2. Kebijakan branchless banking akan memungkinkan bank menjangkau unbanked people

dan masyarakat di remote area untuk menerima layanan perbankan. Berdasarkan hasil

analisis dengan menggunakan model regresi linier menunjukkan bahwa penambahan

jumlah rekening tabungan yang terbanyak akan terjadi di zona medium equilibrium bank,

sedangkan yang terendah berada di zona low equilibrium bank. Kesimpulan ini dapat

dipandang sebagai kesimpulan yang sangat strategis dan hal ini didukung dengan hasil

penelitian kuantitatif untuk menjawab rumusan permasalahan kedua dan ketiga di Bab 4

serta analisa kualitatif di Bab 5 sebelumnya.

3. Kebijakan multilicense dan branchless banking akan mampu bersinergi untuk mendorong

efisiensi operasional bank memperluas jangkauan akses layanan perbankan bagi masyarakat

dan meningkatkan peranan Bank dalam penyaluran kredit bagi UMKM yang mempunyai

potensi yang masih sangat luas (analisa untuk menjawab rumusan permalahan ketiga di

Bab 4). Melalui kebijakan multilicense bank mendapatkan insentif untuk masuk ke daerah-

daerah yang tingkat persaingannya masih rendah. Sedangkan dari sisi kebijakan branchless

banking, bank-bank akan dapat mendapatkan alternatif perluasan jaringan dan produk

layanan (peningkatan jumlah rekening tabungan43) melalui pemanfaatan teknologi mobile

atau keagenan dengan biaya yang lebih efisien.

4. Kebijakan multilicense yang mewajibkan bahwa bank wajib menyalurkan 20% dari total

kreditnya untuk UMKM dan branchless banking yang akan meningkatkan outreach

perbankan kepada masyarakat underbanked dan unbanked diharapkan akan dapat

43 Hal ini didukung dengan analisa kuantitaif untuk menjawab rumusan permasalahan keempat yang telah disampaikan di Bab 4 sebelumnya. Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 75

Page 90: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

meningkatkan pembiayaan ke sektor UMKM. Namun akan muncul pula downside effect

(ancaman) dalam bentuk potensi munculnya kepadatan tingkat layanan perbankan di

segmen UMKM. Dengan asumsi bahwa nilai potensi pembiayaan UMKM konstan, dapat

disimpulkan bahwa sebelum threshold terlampaui (analisa kuantitatif pemetaan dan potensi

pembiayaan umkm di Bab 4 serta analisa kualitatif di Bab 5 sebelumnya) maka semua

lembaga keuangan akan berusaha memanfaatkan potensi kredit UMKM yang tersedia.

5. Penurunan risiko kredit karena diversifikasi kredit melalui kredit UMKM. Hal ini dikarenakan

ada learning curve yang harus dilalui oleh bank-bank yang baru pertama kali masuk

melayani segmen UMKM. Pada tahap awal ini juga besar kemungkinan terjadinya praktek

kredit tambal sulam pada UMKM dengan semakin banyaknya bank yang menawarkan

kredit UMKM. Bank-bank yang baru melayani UMKM akan cenderung mengambil alih

nasabah UMKM yang selama ini telah dilayani bank lain dibandingkan harus mencari

nasabah UMKM yang benar-benar baru. Hal ini didukung dengan analisa kuantitatif

tentang analisa potensi pembiayaan kredit UMKM di Bab 4).

6. Bank memperoleh sumber dana retail baru dan peningkatan pendapatan dengan nasabah

dan debitur yang lebih luas. Kegiatan Branchless Banking dan Multilicense policy ini dapat

dipandang sebagai “break through policy” dalam memanfaatkan kesempatan ini (analisa

kuantitatif untuk rumusan permasalahan kedua dan ketiga di Bab 4 serta analisa kualitatif di

Bab 5).

6.2 Saran Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, dapat disarankan untuk menerbitkan:

1. Peraturan-peraturan terkait dengan kebijakan multilicense dan branchless banking sebagai

berikut:

i. Untuk menjawab kesimpulan 4 dan Rumusan Permasalahan dan hasil analisa 1 dan 4 di

atas, perlu dibuat peraturan yang dapat “memitigasi atau mencegah risiko” dari

“runtuhnya” lembaga-lembaga keuangan mikro (BPR, Koperasi, Lembaga Kredit

Pedesaan dan lainnya serta BUKU 1) sebagai akibat kegiatan branchless banking

(Bersifat: Mendesak dan harus diterbitkan dalam jangka pendek atau kurang dari 6

Bulan). Untuk mendorong BPR dan LKM terlibat dalam branchless banking, perlu

dilakukan pembatasan kegiatan branchless banking, yaitu hanya diperbolehkan

melakukan kegiatan dari sisi pengumpulan dana dan bukan dari sisi penyaluran kredit

terlebih dahulu dalam jangka waktu 1 tahun pertama;

Dalam kurun waktu 1 tahun tersebut, adalah suatu keharusan untuk regulator dan

otoritas pengawas (BI s.d. akhir 2013 dan OJK mulai awal 2014) untuk memfasilitasi

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 76

Page 91: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

pembentukan APEX Bank (Bank Umum dengan BPR dan lembaga keuangan mikro),

Linkage Program dan mendorong lembaga keuangan mikro sebagai agent bank.

ii. Dalam menjawab permasalahan dan hasil analisa 1, dan 2 dan 4 serta merespon

kesimpulan 1, 2, 3, 6 dan 7, untuk mendukung pencapaian penyaluran kredit kepada

sektor mikro khususnya, maka dapat diusulkan untuk mengeluarkan peraturan

pemberian “short term dan uncollaterised” loan (kredit harian, mingguan dan bulanan)

setelah kurun waktu 1 tahun tersebut di atas dalam kegiatan branchless banking. Hal ini

sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan usaha mikro. (Bersifat: Moderat dan

dapat diterbitkan dlm jangka waktu menengah: 1 s.d 3 thn).

iii. Sementara untuk menanggapi rumusan permasalahan dan hasil analisa ke 3 dan

kesimpulan ke 6, perlu segera diterbitkan pengaturan tentang keharusan kepada Bank

untuk selalu melengkapi pemberian kredit UMKM dengan asuransi; khususnya mikro

asuransi untuk pemberian kredit mikro. (Bersifat: Moderat dan dapat diterbitkan dlm

jangka waktu menengah: 1 sd 3 thn).

iv. Sebagai saran untuk hasil perumusan dan analisa ke 4 serta hasil kesimpulan ke 5, maka

perlu dipertimbangkan untuk segera melaksanakan pilot project Financial Identity

Number (FIN) dalam rangka mengurangi assymetric information dan meningkatkan

eligibilitas dari unbanked people kepada institusi perbankan. (Bersifat: Mendesak dan

harus diterbitkan dalam jangka pendek atau kurang dari 6 bulan). Perlu

dipertimbangkan kebijakan yang mempermudah proses merger dan akusisi oleh bank

kelompok besar terhadap bank lain dalam kelompok yang lebih kecil sebagai

konsekuensi kemungkinan . Dalam hal ini perlu juga dilakukan proses monitoring yang

lebih dalam mengenai dampak branchless banking terhadap bank-bank kecil.

v. Perlu diatur secara detail, mengenai edukasi dan perlindungan konsumen untuk

terjaganya hak konsumen dalam melakukan kegiatan transaksi keuangan terbatas yang

terkait dengan hak-hak konsumen dan kemungkinan terjadinya misconduct sebagai

akibat teknologi yang digunakan oleh bank yang bersangkutan tidak atau kurang

memenuhi persyaratan khususnya untuk masyarakat yang berada di sektor “informal

dan pedesaan”.

1. Diusulkan untuk melakukan standarisasi yang mendasarkan pada nilai-nilai lokal dari setiap

kantor layanan (agen) untuk kegiatan branchless banking (mendesak, jangkap pendek).

2. Diusulkan untuk melakukan sinergi antara Bank dengan BPR serta lembaga keuangan mikro

lainnya misal menjadi agen dari Bank dalam kegiatan “Linkage” antara Bank, BPR dan

lembaga keuangan mikro. (Moderate, Jangka Menengah, 1 s.d 3 tahun).

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 77

Page 92: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

3. Disarankan untuk melakukan kegiatan kegiatan branchless banking secara bertahap,

dimulai dengan menabung untuk kemudian dilanjutkan dengan pemberian kredit. (Jangka

Panjang, 1 s.d 5 tahun).

4. Untuk meningkatkan efisiensi operasional dari proses pelayanan branchless banking

khususnya untuk pelayanan simpanan maupun kredit perlu didukung dengan pemanfaatan

teknologi sepenuhnya (Jangka Menengah, 1 s.d 3 tahun).

5. Peningkatan edukasi dan perlindungan konsumen untuk terjaganya hak konsumen

masyarakat kecil (Jangka Panjang, ongoing, sustained and komprehensif).

6. Perlu diterbitkan kebijakan yang mempermudah proses merger dan akusisi oleh bank

kelompok besar terhadap bank lain dalam kelompok yang lebih kecil (Pendek, saat ini s.d. 1

tahun).

Dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa branchless banking dan multilicense terbukti

akan memberikan dampak positive atau keuntungan dari pada dipandang sebagai ancaman

(down side effect) terhadap perbankan nasional dan perekonomian Indonesia. Selanjutnya,

untuk mendukung dampak positif dari sinergi kebijakan branchless banking dengan

multilicense (perijinan berjenjang), masih sangat perlu dilakukan penelitian lanjutan yang

melihat lebih jauh kemampuan Bank Kelompok 1 (BUKU 1), BPR, Koperasi dan Lembaga

Keuangan Mikro lainnya dalam “berkompetisi” memberikan layanan keuangan sebagai akibat

meningkatnya outreach Bank yang berada di kelompok besar (BUKU 2 s.d 4) dalam kegiatan

branchless banking tersebut.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 78

Page 93: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Branchless Banking and Consumer Protection in Brazil. Washington: CGAP

Aydin, B. 2008. Banking Structure and Credit Growth in Central and Eastern European Countries. IMF Working Papers, No.08/215.

Bank Indonesia.2013. Presentasi Financial Inclusion. Jakarta.

Bank Indonesia,Statistik Perbankan. berbagai tahun

Bank of Pakistan. 2008. Branchless Banking Regulations: for Financial Institutions Desirous to undertake Branchless Banking. Islamabad, Pakistan: Bank of Pakistan.

Bankable Frontier Associates. 2009. The Mzansi Bank Account Initiative in South Africa. Final Report. Bankable Frontier Associates.

Bankable Frontier Associates. 2010. Consumer Experiences in Branchless Banking. Final Report. Bankable Frontier Associates.

Basel Committee on Banking Supervision. 2005. Outsourcing in Financial Services. The Joint Forum. Switzerland: Bank for international Settlement.

Bikker, JA., dan Haixia Hu. 2001. Cyclical patterns in profits provisioning and lending of banks and procyclicality of the new basel capital requirements. Research Series Supervision (discontinued), No.39. Netherlands Central Bank, Directorate Supervision.

Boyd, C., Jacob, K. 2007. Mobile Financial Services and the Underbanked: Opportunies and challenges for M-Banking and M-Payment. Chicago: The Center of Financial Services Innovation.

Chatain, PL., Harnandes-Coss, R., Borowlk, K., Zerzan, A., 2008. Integrity in Mobile phone Financial Services : Measure for Mitigating Risk from Money Laundering and Terorist Financing. Washington: The World Bank.

Cohen, M., Hopkins, D., & Lee, J. 2008. Financial Education: A Bridge between Branchless Banking and Low-Income Clients. Working Paper No. 4. Washington: Microfinance Opportunities

Consultative Group To Assist The Poor. 2008. Notes on Regulation Of Branchless Banking in South Africa. Washington, D.C.: CGAP.

Consultative Group to Assist The Poor. 2008. Notes On Regulation Of Branchless Banking In India. Washington, D.C.: CGAP.

Consultative Group to Assist The Poor. 2008. Notes on Regulation Of Branchless Banking In Brazil. Washington, D.C.: CGAP.

Consultative Group to Assist The Poor. 2008. Technology program: Philippina. Country Note. Washington, D.C.: CGAP

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 79

Page 94: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Consultative Group to Assist The Poor. 2009. Notes on Regulation Of Branchless Banking in Brazil. Washington, D.C.: CGAP.

Consultative Group to Assist The Poor. 2010. Technology program: Mexico. Country Note. Washington, D.C.: CGAP.

Consultative Group to Assist The Poor. 2010. Technology program: Brazil. Country Note. Washington, D.C.: CGAP.

Consultative Group To Assist The Poor. 2010. Update On Regulation Of Branchless Banking In South Africa. Washington, D.C.: CGAP.

Consultative Group to Assist The Poor. 2010. Financial Access 2010: The State of Financial Inclusion Through the Crisis. Washington, D.C.: CGAP.

Consultative Group to Assist The Poor. 2010. Financial Access 2010: The State of Financial

Inclusion Through the Crisis. Powerpoint Presentation. Washington, D.C.: CGAP.

Dass, R., Pal, Sujoy. 2011. Adoption of Mobile Financial Services among Rural Under-Banked. India: India Institute of Management.

Dias, D. & McKee, K. 2010. Protecting Branchless Banking Consumers: Policy Objectives and Regulatory Options. Washington: CGAP

Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan. 2011. Penerapan Branchless Banking di Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia.

Dittus, P and Michael, K. 2011. On Harnessing the Potential of Financial Inclusion. BIS Working Paper No:347. Switzerland: Bank for international Settlement.

Ehrhardt C., dan Brigham F. 2005. Financial Management Theory and Practice, 11ed. USA: Thomson corporation.

Faz, X., & Moser, T. 2013. Advancing Financial Inclusion through Use of Market Archetypes. Washington: CGAP

Flaming, M., Prochaska, K., & Staschen, S. 2009. Diagnostic Report on the Legal and Regulatory Environment for Branchless Banking in Indonesia. Washington: CGAP

Gitman, L J. 2009. Principles of Managerial Finance, 12ed. The Addison Wesley Publishing.

Grigorian, DA., dan Vlad M. 2005. A Cross-Country Non-Parametric Analysis of Bahrain's Banking Sector. IMF Working Papers, No.05/117. Washington: IMF.

Hagerty, J. 2009. Fannie and Freddie to Aid Mortgages Banks. The Wall Stresst Journal, 8 Oktober 2009.

Hamilton, JD. 1989. A New Approach to the Economic Analysis of Nonstationary Time Series and the Business Cycle. Econometrica 57: 357-384.

Hamilton, JD. 1994. Time Series Analysis. New Jersey: Princeton University Press.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 80

Page 95: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Hannig. A. 2009. Financial Inclusion Policies: An Overview of the Issues presented on seminar Alliance or Financial Inclusion. Tokyo. 31 March 2009

Hannig. A. 2009. The Financial Crisis-Opportunity for Financial Inclusion presents on Bank Indonesia 7th Annual International Seminar. Alliance for financial inclusion. 14 June 2009. Nusa Dua – Bali. Indonesia

Honohan. P. 2004. Measuring Microfinance Access: Building on Existing Cross-Country Data.

IFC. 2010. Mobile Banking in Indonesia: Assessing the Market Potential for Mobile Technology to Extend Banking to the Unbanked and Underbanked. Jakarta: IFC.

Ivatory, G dan Mas, I. 2008. The Early Experience with Branchless Banking. Focus Note 46. Washington: CGAP.

Kantor Wakil Presiden Indonesia, 2012. Strategi Nasional Keuangan Inklusif. Jakarta.

Kartasasmita, G. 1996. Teori Pembangunan. Jakarta

Kendall, J, Mylenko, N, and Ponce A. 2010. Measuring Financial Access around the World. Policy Research Working Paper No: 5253. Washington: World Bank.

Klein,, M and Colin M. 2011. Mobile Banking and Financial Inclusion: The Regulatory Lessons. Germany: Frankfrut School of Finance and Management.

Konch, TW., dan Donald, SSM. 2000. Bank Management, edisi ke-empat. Orlando: The Dryden Press.

Lauer, K., Dias, D., and Tarazi, M. 2011. Bank Agents: Risk Management, Mitigation, and Supervision. Washington: CGAP

Levine, R. 1997. Napoleon, Bourses, and Growth in Latin America. Amerika : Research Department Publications.

Lozano, DMA., Mandrile, M.2009. A New Agent Model for Branchless Banking in Colombia. Roma: IDLO.

Lyman, TR., Ivatury, G., Staschen, S. 2006. Use of Agents in Branchless Banking for the Poor: Rewards, Risks, and Regulation. Washington : CGAP.

Lyman, TR., Pickens, M., Porteus, D. 2008. Regulating Transformational Brancheless Banking: Mobile Phones and Other Technology to Increase Access to Finance. Washington: CGAP.

Makin, P. 2009. Regulatory Issues around Mobile Banking. Consult Hyperion. OECD.

Mas, I. 2009. The Economic of Branchless Banking. Majalah Innovations Volume 4 Issue 2.

Mas, I., and Siedek, H. 2008. Banking through Networks of Retail Agents. Washington: CGAP

McKinnon, R. 1973. Money and Capital in Economic Development. Washington: Brookings Institution

MicroSave. 2011. Optimising Performance And Efficiency Series. E/M Banking Vol.III. Mahanagar,India. Microsave.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 81

Page 96: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Mohanty, Madhusudan dan Philip Turner. 2010. Banks and financial intermediation in emerging Asia: reforms and new risks. BIS Working Papers, No.313

Samy, BN dan Kandil, M. 2009. The impact of capital requirements on banks' cost of intermediation and performance: The case of Egypt. Journal of Economics and Business, vol.61(1), hal 70-89. Washington: Elsevier.

Pramono, B, Yanuarti T, Purusitawati,PD , Tyas, Y, Emmy D.K.2006. Dampak Pembayaran Non Tunai Terhadap Perekonomian dan Kebijakan Moneter. Jakarta: Bank Indonesia

Santoso, B. 2008. Apakah Krisis Rupiah Dapat Diprediksi? Aplikasi Model Markov Switching. Dalam Abimanyu, Anggito dan M.H Imansyah (Ed.). Sistem Pendeteksian Dini Krisis Keuangan di Indonesia: Penerapan Berbagai Model Ekonomi. Yogyakarta: BPFE.

Saunders, A dan Garnett, MM. 2008. Financial Institutions Management : A Risk Management Approach,edisi ke-enam. Mc Graw-Hill International Edition. New York: Mc Graw-Hill.

Saxena, Amitabh. 2009. Accelerating Financial Inclusion through Innovative Channels-10 Obstacles for MFIs Launching Alternative Channels and What Can Be Done About Them. Boston: ACCION International

SEKDA, Bank Indonesia, dan Badan Pusat Statistik (BPS). 2011

Subramanian, L, Dennis S, and Ashlesh S. 2009. Secure Branchless Banking. Montana: NSDR.

Surat Edaran (SE) BI No 30/11/KEP/DIR

Surat Edaran (SE) BI No 6/23/DPNP

Triandari, SS dan Santoso, ATB. 2000. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta :Salemba Empat

Tarazi, M., Breloff, P. 2009. Scenarios for Branchless Banking in 2020. Washington: CGAP.

Tarazi, M., Breloff, P. 2010. Nonbank E-Money Issuers: Regulatory Approaches to Protecting Customer Funds. Washington: CGAP.

Tarazi, Michael and Paul Breloff. 2011. Regulating Banking Agents. Focus Note 68. Washington, D.C.: CGAP.

Undang-undang (UU) No.10 Tahun 1998

Undang-undang (UU) No.12 Tahun 2011

Undang-undang (UU) No.20 Tahun 2008

Undang-undang (UU) No.23 Tahun 1999

Undang-undang (UU) No.7 Tahun 1992

Wezel, T. 2010. Bank Efficiency Amid Foreign Entry: Evidence from the Central American Region. IMF Working Papers,No.10/95. Washington: IMF.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 82

Page 97: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Wanggai, VV. 2012. Meneguhkan Arah Pembangunan yang Berkeadilan. Jakarta: Kabinet Republik Indonesia.

Pungky Purnomo Wibowo – NIP.11853 83

Page 98: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

LAMPIRAN 1

Pembukaan Jaringan Kantor berdasarkan Kebijakan Multilicense

Terkait dengan pembukaan jaringan kantor bank dalam kebijakan multilicense (perijinan

berjenjang), terdapat beberapa prinsip yang dijadikan dasar kebijakan perijinan kantor, yaitu:

Mendukung peningkatan ketahanan bank; Meningkatkan daya saing dan efisiensi;

Meningkatkan fungsi intermediasi; dan Mendukung penerapan tata kelola yang baik

Kebijakan multilicense menentukan kriteria dalam pembukaan jaringan kantor bank. Kriteria yang

ditetapkan harus tetap merujuk pada keempat prinsip di atas. Empat aspek kriteria pembukaan

jaringan kantor bank yaitu:

1. Tingkat Kesehatan Bank (TKS)

TKS bank didasarkan pada penilaian Bank Indonesia (BI) dalam tiga periode terakhir. Dalam hal

ini, hanya bank dengan peringkat komposit (PK) minimal 3 yang dapat mengajukan permohonan

pembukaan jaringan kantor bank.

2. Alokasi modal inti berdasarkan theoretical capital

Alokasi modal inti dihitung dari alokasi modal inti dasar (base theoretical capital) dan koefisien

zona jaringan kantor bank. Dalam hal ini, terdapat dua ketentuan pengalokasian berdasarkan

jenis bank, yaitu:

a. Bank yang tergolong pada Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 1 dan 2

Alokasi modal inti dasar yang ditetapkan adalah Rp8 miliar (kantor cabang), Rp4 miliar (kantor

cabang pembantu), Rp2,5 miliar (KCP mini), dan Rp1 miliar (kantor kas).

b. Bank yang tergolong pada BUKU 3 dan 4

Alokasi modal inti dasar yang ditetapkan adalah Rp10 miliar (kantor cabang), Rp5 miliar (kantor

cabang pembantu), Rp3,5 miliar (KCP mini), dan Rp2 miliar (kantor kas).

3. Pangsa kredit UMKM

Pangsa kredit UMKM dijadikan sebagai variabel insentif dalam membuka jaringan kantor.

Sebagai acuan, BI menetapkan threshold pangsa kredit UMKM sebesar 20 persen. Dalam hal ini,

terdapat dua alternatif pembukaan kantor cabang berdasarkan threshold tersebut, yaitu:

85

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 99: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

a. Jika pangsa kredit UMKM mencapai 20 persen dan eligibel untuk dapat membuka kantor baru,

maka bank akan diberikan insentif berupa penambahan jumlah kantor yang bisa dibuka sebesar

20 persen dari jumlah yang semula disetujui, maksimum sebesar rencana pembukaan kantor

dalam Rencana Bisnis Bank (RBB).

b. Jika pangsa kredit UMKM mencapai 20 persen, namun tidak eligibil untuk membuka kantor baru,

maka bank diharuskan mengalokasikan sebagian atau seluruh laba bersihnya sebagai eligibilitas

khusus untuk pembukaan jaringan kantor baru44.

4. Pendekatan pengawasan (supervisory approach/SA)

Dalam hal ini, BI menggunakan indikator efisiensi dan pemanfaatan laba bersih yang didasarkan

hasil evaluasi RBB bank. Indikator efisiensi digunakan untuk menentukan jumlah kantor cabang

yang dapat dibuka berdasarkan yang telah diajukan pada RBB. Dalam hal ini, BI akan

menggunakan rasio kinerja Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) dan Net

Interest Margin (NIM). Semakin rendah rasio BOPO dan NIM, maka bank akan diberikan insentif

dalam pembukaan kantor cabang. Sebaliknya, semakin tinggi rasio BOPO dan NIM, maka jumlah

kantor cabang yang dapat dibuka bank akan dibatasi. Setiap BUKU memiliki nilai threshold BOPO

yang berbeda-beda. Walaupun demikian, ketentuan yang diberlakukan tetap mengikuti pola

yang sama. Grafik 1.1 menjelaskan pola tersebut.

Grafik 1.1

Proporsi Pembukaan Jaringan Kantor berdasarkan NIM dan BOPO

Dilarang Membuka Jaringan Kantor

Area 2(50%)

Area 1(100%)

6%

5%

TB1 TB2

NIM

BOPO

Area 2(50%)

Area 3(25%)

44Dalam hal bank menggunakan eligibilitas khusus untuk membuka jaringan kantor baru, alokasi modal inti dasar yang digunakan adalah 120% dari alokasi modal inti dasar yang ditetapkan untuk eligibilitas positif.

86

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 100: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Pada Grafik 1.1, threshold NIM untuk setiap BUKU ditetapkan sama untuk setiap BUKU, yaitu 5

person dan 6 person. Keempat threshold yang ada kemudian membentuk 4 jenis area yang

mengindikasikan jumlah jaringan kantor yang dimungkinkan untuk dibuka. Area dengan nilai

persentase, merupakan area dimana bank dapat membuka kantor cabang sebanyak persentase

tersebut terhadap RBB. Persentase tertinggi adalah 100 persen (Area 1), dimana bank dapat

membuka kantor cabang sebanyak yang telah diajukan dalam RBB. Adapun threshold BOPO

untuk masing-masing BUKU dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1

Threshold BOPO untuk Setiap BUKU

Threshold BUKU

1

BUKU

2

BUKU

3

BUKU

4

TB1 80% 77,5% 75% 70%

TB2 85% 82,5% 80% 75%

Pembagian Provinsi berdasarkan Kepadatan Bank

Hasil analisis tingkat kepadatan bank dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun zona bank

di daerah. Hasil analisis tingkat kepadatan bank yang telah dilakukan menempatkan setiap

provinsi pada 6 kategori zona dengan derajat yang berbeda berdasarkan tingkat kepadatan

setiap provinsi. Scoring atas kepadatan setiap provinsi bisa dijadikan dalam dalam menetapkan

koefisien (Q).

Jumlah modal dan tingkat efisiensi yang memadai bagi bank yang berekspansi jaringan akan

mendorong perekonomian nasional. Wilayah ekspansi perbankan dibagi dalam enam zona. Zona

1-3 untuk menandakan wilayah padat, artinya kepadatan bank sudah cukup tinggi. Zona 4-6

untuk wilayah yang longgar, artinya bank yang ada di wilayah tersebut belum cukup banyak.

Setiap zona menghasilkan koefisien dan diperhitungkan dalam estimasi untuk eligibilitas

ekspansi. Variabel yang digunakan dalam penentuan koefisien zona ini antara lain pertumbuhan

ekonomi, jumlah bank, intermediasi perbankan, dan dana bank yang beredar di zona tersebut.

Semakin padat suatu zona, maka koefisiennya akan semakin besar. Tabel 1.2 dan Grafik 1.2

menunjukkan seluruh zona untuk perbankan Indonesia berikut dengan koefisien untuk masing-

masing zona

87

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 101: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Tabel 1.2

Zona Bank dan Koefisien

Zona Koefisien Zona Koefisien Zona Koefisien Zona Koefisien

ZONA 1 ZONA 3 ZONA 5 ZONA 6

Jakarta 5

Kaltim

3

Aceh

1

Papua

Barat

0,5

ZONA 2 Kepri Sultra Sulbar

Bali

4

Sumut Kalbar NTB

Yogyakarta ZONA 4 Babel Malut

Jateng Papua

2

Bengkulu NTT

Banten Sulut Lampung Gorontal

o

Jabar Riau Jambi Sulteng

Jatim Kalten

g

Sumbar Maluku

Kalsel

Sulsel

Sumsel

Grafik 1.2

Peta Persaingan Usaha Perbankan Indonesia

88

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 102: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Estimasi Theoretical Capital untuk Penambahan Kantor Cabang

Perhitungan Theoretical Capital (TC) digunakan untuk melakukan analisis eligibilitas pembukaan

kantor cabang di daerah. Dalam pendekatan TC, setiap kegiatan usaha dan produk dikaitkan

dengan kapasitas modal. Berdasarkan perhitungan TC, maka bank yang ingin memperluas

jaringan kantor harus mempertimbangkan modal inti yang dimiliki. Semakin besar modal inti

yang dimiliki oleh suatu bank, maka kemampuan untuk memperluas jaringan kantor juga

semakin besar. Kenaikan yang didasarkan atas pendekatan ini diharapkan akan mendorong

efisiensi perbankan yang pada akhirnya akan mendorong daya saing dan tata struktur perbankan

yang semakin besar dan kegiatan dan produk bank semakin banyak dan luas. Selain itu, modal

bank juga digunakan untuk absorbsi resiko.

Pada saat bank membuka jaringan kantor, maka bank wajib menyediakan alokasi modal yang

jumlahnya ditetapkan menurut lokasi jaringan kantor. Penetapan alokasi modal untuk suatu

jaringan kantor ditentukan berdasarkan tingkat persaingan usaha wilayah (zona) menurut analisis

Bank Indonesia. Besarnya TC merupakan perkalian antara rata-rata nasional biaya pembukaan

jaringan kantor dengan koefisien zona tertentu, atau dapat diformulasikan sebagai berikut:

Dimana: TCp : Theoretical Capital di suatu provinsi B : rata-rata biaya pembukaan kantor cabang secara nasional Qp : Koefisien di suatu provinsi

pp QBTC ×=

89

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 103: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

Hasil indikatif rata-rata biaya pembukaan jaringan kantor di wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan,

Bali dan NTB, Sulawesi, Maluku, dan Papua dapat dilihat pada Tabel 1.3.

Tabel 1.3

Indikatif Rata-rata Nasional Biaya Pembukaan Kantor Bank

Jenis Kantor Bank Rata-rata Biaya Pembukaan

(Rp Miliar)

Kantor Cabang 21,81

Kantor Cabang Pembantu 10,21

Kantor Kas 3,31

Berdasarkan rata-rata biaya indikatif pembukaan kantor cabang, maka modal yang diperlukan

untuk membuka kantor akan dapat diketahui, dengan memperhitungkan koefisien (q) sebagai

faktor pengali. Simulasi atas perhitungan Theoritical Capital pada beberapa wilayah dapat dilihat

pada Tabel 1.4.

Tabel 1.4

Simulasi Perhitungan Theoretical Capital Pembukaan Kantor Cabang

Zona Provinsi Rata-rata Nasional Biaya Pembukaan Kantor (Rp Miliar)

Koefisien Theoretical Capital (Rp Miliar)

(B) (Q) (TC)

1 DKI Jakarta 21,8 5 109

2 Jawa Tengah 21,8 4 87.2

3 Kepulauan Riau 21,8 3 65.4

4 Kalimantan Tengah 21,8 2 43.6

5 Aceh 21,8 1 21.8

6 Nusa Tenggara Barat

21,8 0,5 10.9

Contoh analisis eligibilitas pembukaan kantor cabang adalah sebagai berikut:

Modal inti Bank A (BUKU 1) Rp800 miliar, dengan PK TKS 2

Bank A saat ini memiliki:

a. 13 kantor cabang (KC), yaitu 8 di DKI Jakarta dan 5 di Jawa Tengah

90

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 104: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

b. 10 kantor cabang pembantu (KCP), yaitu 5 di DKI Jakarta dan 5 di Jawa Tengah

c. 10 kantor kas (KK), yaitu 4 di DKI Jakarta dan 6 di Jawa Tengah

Apabila Bank A berencana membuka 1 KC lagi di Jawa Tengah, maka eligibilitasnya adalah:

Jenis Kantor

Zona Provinsi Rata-rata Biaya

Koefisien Kantor Eksisting

Total TC

KC 1 DKI Jakarta 8 5 8 320

2 Jawa Tengah 8 4 5 160

KCP 1 DKI Jakarta 4 5 5 100

2 Jawa Tengah 4 4 5 80

KK 1 DKI Jakarta 1 5 4 20

2 Jawa Tengah 1 4 6 24

Total Alokasi Modal Inti untuk jaringan kantor eksisting 704

Alokasi modal yg dibutuhkan untuk buka 1 KC di Jateng = 1x8x4 = 32m

Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulan bahwa modal inti Bank A mencukupi untuk

alokasi modal kantor-kantor eksisting (modal inti (Rp800 miliar > modal inti untuk jaringan

kantor eksisting (704 miliar)). Bank A masih memiliki sisa modal inti sebesar Rp96 miliar.

Secara kuantitatif, Bank A dapat membuka kantor baru.

Untuk membuka 1 KC di Jawa Tengah, Bank A memerlukan alokasi modal inti sebesar Rp32

miliar. Secara kuantitatif, Bank A dapat membuka kantor baru di Jawa Tengah (Rp32 miliar

< Rp96 miliar). Bank A masih akan memiliki sisa alokasi modal inti sebesar Rp64 miliar.

Berdasarkan analisis TC tersebut, maka alokasi modal untuk pembukaan jaringan kantor tidak

boleh menyebabkan modal inti bank menjadi di bawah ketentuan yang berlaku. Apabila setelah

dikurangi dengan alokasi modal untuk pendirian jaringan kantor bank, modal inti bank

berkurang dari ketentuan yang berlaku, permohonan tidak akan diproses kecuali bank

menambah modal sehingga modal inti bank memenuhi ketentuan yg berlaku.

Selain itu, untuk menghindari pembukaan kantor bank hanya di daerah overbanked, maka perlu

dirancang sebuah aturan untuk dapat memeratakan kantor bank di seluruh wilayah. Sebagai

contoh, pembukaan 1 kantor cabang pada BUKU 3 dan BUKU 4 di zona tinggi (overbanked) wajib

diikuti dengan pembukaan 2 kantor cabang di zona rendah (underbanked). Kebijakan ini disebut

91

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853

Page 105: Disampaikan dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan ... · • Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa

juga dengan pola public service obligation (PSO). Pola PSO sangat sesuai untuk diterapkan karena

pola ini terkait dengan fungsi bank sebagai agent of development.

Berdasarkan berbagai kriteria tersebut, maka kondisi bank yang dapat melakukan perluasan

jaringan kantor adalah bank yang dapat memenuhi keempat kriteria seperti ditunjukkan dalam

Tabel 1.5.

Tabel 1.5.

Indikator untuk Bank yang Akan Melakukan Perluasan Kantor Cabang

TKS TC Efisiensi Laba Bersih UMKM Kesimpulan

Min PK 3 Memiliki kelebihan modal untuk buka jarkan (+)

SA SA ≥ 20% 1. Bank dapat membuka jarkan. 2. Mendapat insentif membuka

jarkan sebesar 20% karena bank menyalurkan UMKM

3. Maksimal jumlah kantor sebesar rencana buka jarkan dalam RBB yg disetujui BI

Min PK 3 Memiliki kelebihan modal untuk buka jarkan (+)

SA SA < 20% Bank dapat membuka jarkan namun tidak mendapat insentif perluasan jarkan

Min PK 3 Tidak memiliki kelebihan modal untuk buka jarkan (-)

SA SA ≥ 20% 1. Bank dapat membuka jarkan apabila bersedia mengalokasikan sebagian laba bersih sebagai TC kantor baru dan sebagian lainnya untuk menutup TC negatif

2. TC dihitung sebesar 120% dari TC normal (penalty 20%)

Min PK 3 Tidak memiliki kelebihan modal untuk buka jarkan (-)

SA SA < 20% Bank tidak dapat membuka jarkan, kecuali menambah modal intinya

92

Pungky Purnomo Wibowo – Nip.11853