disertasi implikasi keputusan mahkamah …
TRANSCRIPT
DISERTASI
IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL MENGENAI KASUS PULAU-PULAU SIPADAN DAN LIGITAN TERHADAP TITIK
PANGKAL DAN DELIMITASI MARITIM (Kajian Hukum Internasional)
THE IMPLICATION OF THE ICJ DECISION CONCERNING SIPADAN-
LIGITAN ISLANDS CASE TOWARDS THE BASEPOINTS AND MARITIME DELIMITATION
(Studies on International Law)
Oleh :
Marcel Hendrapati P000431008
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
i
PERSETUJUAN UJIAN PROMOSI
IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL TERKAIT KASUS SIPADAN DAN LIGITAN TERHADAP TITIK PANGKAL DAN
DELIMITASI MARITIM (Kajian Hukum Internasional)
IMPLICATION OF THE ICJ DECISION CONCERNING SIPADAN-LIGITAN CASE TOWARDS THE BASEPOINTS AND MARITIME
DELIMITATIONS (Studies on International Law)
Diajukan oleh
Marcel Hendrapati P040031008
Menyetujui
Tim Promotor
Prof. Dr. Alma Manuputty, S.H., M.H. Promotor
Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H. Prof. Dr. Muhammad Ashri, S.H., M.H.
Ko-Promotor Ko-Promotor
Mengetahui Plt. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H.
ii
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang dapat diucapkan selain memuji dan bersyukur ke
hadapan hadirat Tuhan yang maha kuasa karena pertolongannya Disertasi
dengan judul “Implikasi Keputusan Mahkamah Internasional terkait Kasus
Sipadan dan Ligitan Terhadap Titik Pangkal dan Delimitasi Maritim (Kajian
Hukum Internasional), Implication of the Judgement of the International
Court of Justice relating to the Sipadan and Ligitan Case towards the
Basepoints and Maritime Delimitations (Studies on International Law)” dapat
diselesaikan dalam rangka memenuhi tugas akhir pada Program Studi
Doktor Ilmu Hukum (S3) Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Disadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan disertasi ini,
rintangan dan kendala yang dihadapi tidaklah sedikit. Namun atas berkat
Allah, kendala dan rintangan tersebut dapat dilewati dengan baik melalui
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu perkenankan saya menyampaikan
terima kasih yang tidak terhingga kepada Bapak dan Ibu sebagai guru saya
atas ilmu pengetahuan, bimbingan dan nasehat yang telah diberikan selama
proses pembelajaran, semoga diberkati oleh Allah yang maha kuasa.
Dari lubuk hati terdalam melalui kesempatan ini Penulis mengucapkan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibu Prof. Dr. Alma Manuputty,
S.H., M.H., dan Bapak Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H. serta Bapak Prof. Dr.
Muhammad Ashri, S.H., M.H., masing-masing sebagai Promotor dan Ko-
Promotor, yang dengan penuh kearifan dan keikhlasannya serta
pengorbanan meskipun di tengah-tengah kesibukan yang luar biasa dapat
iii
mengarahkan, membimbing dan mendorong Penulis dalam menyelesaikan
penelitian dan penulisan Disertasi ini.
Pernyataan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak dan Ibu Tim
Penguji proposal penelitian disertasi (Seminar Proposal), hasil penelitian
disertasi (Seminar Hasil) dan konsep disertasi (ujian tutup) dan akhirnya
disertasi (ujian promosi) atas segala masukan, arahan dan petunjuk yang
sangat berharga sehingga memperkaya penulisan disertasi ini. Perkenankan
Penulis menyebutkan hingga saat ini Tim Penguji tersebut, yaitu : Ibu Dr.
Melda Kamil, SH, LLM, Bapak Prof. Hamid Awaluddin, SH, LL.M, MA, Ph.D,
Prof. Dr. Marthen Arie, SH, MH, Prof. Dr. Juajir Sumardi, SH, MH, Prof. Dr.
Irwansyah, SH, MH, dan Dr. Maasba Magassing, SH, MH, masing-masing
selaku penguji.
Ungkapan syukur dan terima kasih yang setinggi-tingginya juga
disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah
memberikan baik beasiswa program pascasarjana maupun beasiswa
program sandwich ke Utrecht University sehingga penulis dapat menikmati
ketenangan dalam menjalani program strata 3 serta menyelesaikan
penelitian maupun penulisan disertasi.
Terima kasih yang setulus-tulusnya dan sedalam-dalamnya penulis
haturkan kepada Bapak Dr Hayyan Ul Haq dalam kedudukannya sebagai
dosen pembimbing selama mengikuti Program Sandwich 2012 pada School
of Law di Utrecht University, Netherlands. Kiranya Tuhan Yang Maha
iv
Pengasih dan Penyayang selalu melindungi Bapak serta keluarga di Den
Haag.
Ucapan terima kasih yang dalam penulis sampaikan kepada para
dosen Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin yang tidak sedikit pengorbanannya dalam memberikan ilmu dan
pengetahuan terutama ilmu hukum sehingga penulis dapat terbentuk sebagai
seorang ilmuan dalam bidang hukum. Semoga rahmat perlindungan dari
Tuhan yang Maha Kuasa senantiasa mendampingi dan menyertai
pengabdian dan pengorbanan Bapak dan Ibu beserta keluarga.
Kepada Rektor Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. dr. Idrus
Paturusi, Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Bapak
Prof. Dr. Mursalim, MS, Mantan Direktur Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Bapak Prof. Dr. dr. A. Razak Thaha, M.Sc, Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Bapak Prof. Dr. Aswanto, SH, M.Si, DFM
dan para wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Prof Dr. Ir
Abrar Saleng SH, MH, Dr. Ansyori Ilyas, SH, MH, Rommy Librianto, SH, MH,
dan Ketua Program Studi S3 Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Almarhum Bapak Prof. Dr. Mas Bakar SH, MH, Pelaksana
Tugas Ketua Program Studi S3 Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin Bapak Prof. Dr. Achmadi Miru, SH, MH, Penulis
menyampaikan perasaan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk melanjutkan
pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
v
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada :
- Asisten Direktur II Program Pascasarjana Bapak Prof. Dr. Syamsul Bachri,
SH, MH atas bantuan dan perhatian yang diberikan kepada penulis selama
perjalanan studi S3, terutama pada waktu penulis akan berangkat ke luar
negeri dalam rangka mengikuti program sandwich like di Utrecht University,
Netherlands pada tahun 2012.
- Prof. Dr. Sukarno Aburaerah, SH, Prof. Dr. Abdul Rasak, SH, MH, para
guru besar dan dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang tidak
sempat penulis sebutkan namanya satu demi satu, atas segala dorongan,
arahan dan dukungannya dan untuk itu penulis menyampaikan penghargaan
dan terima kasih yang dalam.
-Teman-teman Mahasiswa S3 Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin dari Angkatan 2010, antara lain Mustafa Bola, Abdul
Asis, Daksan Hasan, Abdul Harris, Kahar Lahae, Nur Azisah, Haeranah,
Ratna Musakkir, Amir Ilyas yang telah bersama-sama dalam susah dan
senang menjalani pendidikan S3 Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, melalui kesempatan ini tak lupa penulis
menghaturkan banyak terima kasih.
Kepada isteriku Elizabeth Maria Santosa dan anak-anakku Miriam,
Genty Pratama, Didy Khrisna, yang tabah mendampingi Penulis dalam
perjalanan studi S3.
Akhirnya dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis
menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis
vi
sebutkan satu demi satu yang selama ini telah memberikan dukungan baik
moril maupun materiil. Semoga Tuhan yang maha pengasih dan maha
penyayang dapat memberikan balasan yang setimpal kepada semuanya.
Amin.
Makassar, Agustus 2013
Marcel Hendrapati Japarno
vii
ABSTRAK MARCEL HENDRAPATI. Implikasi Keputusan ICJ terkait Kasus Sipadan dan Ligitan terhadap Titik Pangkal dan Delimitasi Maritim (Kajian Hukum Internasional). (Dibimbing oleh Alma Manuputty, S.M. Noor, dan Muhammad Ashri). Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui dan memahami implikasi putusan ICJ dalam kasus kedua pulau terhadap titik pangkal dan delimitasi maritim dari perspektif hukum nasional kedua negara dan (2) mengetahui dan memahami solusi seperti apa yang harus ditempuh kedua negara ketika tidak tercapai kesepakatan untuk menuntaskan masalah delimitasi maritim (final delimitation).
Tipe penelitian ini adalah normatif yaitu meneliti ketentuan yang ada, instrumen internasional maupun nasional. Penelitian ini dilakukan dengan menginventarisasi dokumen melalui studi pustaka dan studi lapangan. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan ICJ yang memenangkan
Malaysia berdasarkan prinsip ‘effective occupation’ bukanlah sesuatu yang baru karena sebelumnya telah diterapkan dalam berbagai kasus serupa, seperti kasus Pulau Palmas, Eastern Greenland, Clipperton Island. Fakta hukum ini berimplikasi terhadap titik pangkal dan delimitasi maritim dari perspektif hukum nasionalnya dan hukum internasional. Terbitnya PP 37/2008 oleh Indonesia dan ‘Baselines of Maritime Zones Act’ 2006 oleh Malaysia merupakan implikasi putusan ICJ terhadap titik pangkal dan delimitasi maritim dilihat dari perspektif hukum nasional masing-masing. Izin eksplorasi dari Malaysia untuk Shell Company menunjukkan keinginan negara itu untuk melakukan penyesuaian ‘equidistance line’ sebagai garis maritim yang masih berlaku. Keinginan ini mendorong Indonesia memanfaatkan azas ‘relevant circumstances’ (faktor geografi dan non geografi) bagi tercapainya ‘equitable solution’. Berbagai faktor relevan, termasuk Deklarasi Oda dapat digunakan Indonesia untuk mempertahankan ‘equidistance line’ dengan mengenyampingkan kedua pulau sebagai titik pangkal sebab konsep pengenyampingan sudah sering digunakan.bagi terwujudnya ‘equitable solution’. Karena kedua Negara belum menuntaskan batas maritimnya, maka mereka harus berupaya membuat ‘provisional arrangement’ dan tidak membahayakan atau menghambat penuntasan delimitasi maritim. Perjanjian ‘Prevention of Collisions at Sea’ 2003 sebagai implikasi lepasnya Sipadan dan Ligitan bertujuan menjamin berlangsungnya berbagai kegiatan di ‘disputed area’, serta melindungi posisi masing-masing pihak terkait penuntasan delimitasi maritim.
Kata Kunci : Titik Pangkal (Basepoints), Delimitasi Maritim (Maritime Delimitation), Solusi Berkeadilan (Equitable Solution), Keadaan Relevan (Relevant Circumstances).
viii
ABSTRACT
MARCEL HENDRAPATI. Implication of the ICJ Decision regarding the Case of Pulau Sipadan and Pulau Ligitan towards Basepoints and Maritime Delimitation (guided and advised by Alma Manuputty, S.M. Noor and Muhammad Asri).
This research is aimed at 1) understanding any implication of the ICJ decision regarding Sipadan and Ligitan islands towards basepoints and maritime delimitation from national law of each state point of view and 2) what kind of solution should be conducted by the two state when final delimitation on disputed area failed to be achieved.
This typical research is normative one, that is to explore and research any existing provisions, international and national instruments. This research is conducted in discovering any documents through library research. Any collected data is qualitatively analyzed.
The research’s results demonstrate that the ICJ decision awarding a victory to Malaysia based on effective occupation principle isn’t a new one, since such this principle has already been implemented in various similar cases, such as Palmas Island case, Eastern Greenland. In national law and international law it has implication to basepoints and maritime boundaries. Issue of Indonesian Government’s Regulation number 37 year 2008 and the issue of the Baselines of Maritime Zones Act 2006 as well conducted by Malaysia constitute the ICJ decision’s implication towards basepoints and maritime delimitation. Any exploration concession given by Malaysia for Shell Company indicates its intention to adjust equidistance line existing. This motivates Indonesian country to utilize relevant circumstances principle for equitable solution achievement. The various relevant factors, including Oda’s Declaration will be implemented by Indonesia to maintain equidistance line through neglecting the islands as basepoints, since neglect concept is often used for equitable result. The two states haven’t finalized maritime delimitation yet. Therefore they shall endeavour to make a provisional arrangement and not to jeopardize or hamper the reaching of the final agreement. Prevention of Collisions at Sea Agreement after the ICJ decision aimes at ensuring sustainability of various activities in disputed area and protecting the position of each state regarding final delimitation. Key Words: Basepoints, Maritime Delimitation, Relevant Circumstances, Equitable Solution.
ix
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL……………………………………………………………… i HALAMAN PERSETUJUAN ...............................…………………………... ii PRAKATA………………………………………..…………………………….. iii ABSTRAK………………………………………..…………………………….. viii ABSTRACT…………………………………………………………………….. ix DAFTAR ISI……………………………………………………………………. x DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………….. xiii DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………. xiv BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
A. Latar Belakang Permasalahan................................................ 1 B. Perumusan Masalah……………………………………………… 13 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………………………………. 13 D. Orisinalitas Penelitian……………………………………………. 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………..…. 18
A. Garis Pangkal (Baselines)………………………………………. 18 B. Gambaran Berbagai Macam Garis Pangkal............................. 25 C. Sejarah Penerapan Garis Pangkal Di Indonesia……………… 37 D. Malaysia Dan Konsep Garis Pangkal Kepulauan.................... 45 E. Latar Belakang Persengketaan Atas Sipadan Dan Ligitan...... 56 F. Pertimbangan Mahkamah Internasional Atas Konvensi London
1891 Dan Rangkaian Peralihan Hak…………………………… 61 G. Pertimbangan Mahkamah Internasional Atas Pengendalian
Efektif……………………………………………………………… 83 H. Pendapat Terpisah (Separate Opinion) dan Pendapat Berbeda
(Dissenting Opinion)…………………...................................... 91 I. Possession, Effective Ocupation, dan Pemetaan................... 98 J. Berbagai Teori Dalam Menganalisis Pengaruh Putusan ICJ
Terkait Sipadan Dan Ligitan Terhadap Delimitasi Maritim..... 113 1. Teori Hubungan Hukum Internasional Dan Nasional......... 113 2. Teori Keadilan.................................................................... 117 3. Teori Kedaulatan................................................................ 129
K. Konsep Delimitasi Maritim……………………………………… 137 L. Typology Delimitasi Maritim……………………………………. 147 M. Konferensi Den Haag Tentang Kodifikasi Hukum Internasional
1930……………………………………………………………….. 154 1. Delimitasi Laut Teritorial Antarnegara Yang Pantainya
Berdekatan……………………………………………………. 154
x
2. Delimitasi Laut Teritorial Antarnegara Yang Pantainya Saling Berhadapan (Opposite States)…………………….. 157
N. Pengaturan Hukum Delimitasi Maritim Dalam Konvensi Geneva 1958…………………………………………………….. 159
O. Pengaturan Hukum Delimitasi Maritim Dalam Konvensi Hukum Laut 1982………………………………………………… 168 1. Analisis Article 82 Dan 83…………………………………… 168 2. Konsep Garis Batas MaritimTunggal (Single Maritim
Boundary)…………………………………………………….. 176 P. Implementasi Azas-Azas Delimitasi Maritim………………….. 180
1. The North Sea Continental Shelf Cases 1969 (Federal Republic of Germany / Denmark, The Netherland)...……. 180
2. The Anglo French Continental Shelf Case (Prancis / Kerajaan Inggris, 1977)……………………………………... 192
3. Kasus Delimitasi Maritim Di Laut Hitam (Rumania v. Ukraina)……………………………………………………….. 204
4. Perjanjian Laut Barents (The Barents Sea Treaty)………. 208 5. Jan Mayen Case……………………………………………... 213
Q. Kerangka Pikir…..................................................................... 224 R. Definisi Operasional…………………………………………….. 231
BAB III METODE PENELITIAN….......................................................... 238
A. Tipe Penelitian....................................................................... 238 B. Lokasi Penelitian................................................................... 238 C. Jenis dan Sumber Data......................................................... 239 D. Analisis Data......................................................................... 239
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………… 241
A. Pulau-Pulau Ligitan Dan Sipadan, Dan Daerah Lepas Pantai Ambalat................................................................................. 241
B. Kesulitan Melakukan Delimitasi Maritim............................... 246 B.1. Mare Clausum dalam Perdebatan (Mare Clausum in
Dispute)……………………............................................ 246 B.2. Kesulitan Yang Melekat Dalam Menetapkan Garis
Batas ZEE / Landas Kontinen………………………..…. 255 B.3. Aturan Delimitasi Maritim Tidak Jelas………………… 257 B.4. Sifat Politis Dari Delimitasi Maritim…………………….. 263 B.5. Sengketa Kedaulatan Terhadap Pulau………………… 268 B.6. Tidak Efisiennya Prosedur Penyelesaian Sengketa
(Inefficiency of the Dispute Settlement Procedure)...... 273 C. Analisis atas Titik Pangkal (Base Points) Pasca Putusan
ICJ pada 2002…………………………………………………... 284 D. Analisis atas ‘Relevant Coast’ dan ‘Relevant Baselines’
Pasca Putusan ICJ Pada 2002............................................. 290
xi
E. Analisis atas Konsep Membangun Delimitasi Maritim Pasca Putusan ICJ Pada 2002....................................................... 294
E.1. Delimitasi Laut Teritorial antara ‘Adjacent States’…... 203 E.2. Delimitasi Laut Teritorial antara ‘Opposite States’….. 205
F. Analisis atas Equidistance Versus Equitable Principles…. 302 G. Analisis atas Garis Batas Maritim Tunggal (Single Maritime
Boundary) dikaitkan dengan Putusan ICJ pada 2002….. 307 H. Analisis atas Keadaan Khusus atau (Special or Relevant
Circumstances) dikaitkan dengan Putusan ICJ pada 2002 311 I. Zona Kerjasama Pengembangan (Joint Development Zone) 328 J. Substantive Equitable Solution………………………………. 346
BAB V PENUTUP……………………………………………………… 356
A. Kesimpulan…………………………………………………...... 356 B. Saran-Saran……………………………………………………. 359
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 361
xii
DAFTAR SINGKATAN
ICJ : International Court of Justice = Mahkamah Internasional
ITLOS : International Tribunal for the Law of the Sea KEPRES : Keputusan Presiden KHL : Konvensi Hukum Laut KM : Kilo Meter NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa PCIJ : Permanent Court of International Justice =
Mahkamah Internasional Permanen PP : Peraturan Pemerintah RI : Republik Indonesia UUD : Undang-Undang Dasar UU : Undang-Undang UNCLOS : United Nations Convention on the Law of the Sea =
Konvensi PBB mengenai Hukum Laut Geneva 1958 atau Konvensi Geneva 1958 atau Konvensi Hukum Laut 1982
ZEE : Zona Ekonomi Eksklusif
xiii
DAFTAR GAMBAR
- Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baselines) - Map of the General Geographical Setting in the Pulau Ligitan / Pulau
Sipadan - Peta Perbatasan Maritim Indonesia-Malaysia - Continental Shelf Boundary between the Netherlands and the Federal
Republic Germany and between the Latter and Denmark (North Sea Continental Shelf Cases
- The Greenland / Jan Mayen Case - The Anglo-French Continental Shelf Case - The Gulf of Maine Case - The Romania / Ukraine Case - Single Maritime Boundary between Dominican Republic and France
(Guadeloupe, Martinique) - Single Maritime Boundaries between Denmark and the German
Democratic Republic - Delimitation Line Fixed by the ICJ in the Qatar / Bahrain Case (Merits) - Separate Maritime Boundaries for Seabed and Superjacent Waters in the
1997 Perth Treaty between Australia and Indonesia - Zone of Cooperation in the Timor Gap - Joint Development Zone between Japan and South Korea - Joint Zone between Iceland and Norway (Jan Mayen) - Joint Development Zone between Tunisia and Libya
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan telah menjadi milik negeri
Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional pada tanggal
16 Desember 2002. Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh
Presiden RI (Soeharto) serta Perdana Menteri Malaysia (Mahathir
Mohammad) pada tahun 1996, maka apapun putusan Mahkamah
Internasional kedua negara wajib menerimanya sebagai keputusan yang
memiliki kekuatan mengikat (binding force) sehingga putusan itu harus
dipatuhi dan dilaksanakan oleh kedua negara1. Karena Putusan
Mahkamah Internasional memenangkan pihak Malaysia, maka sesuai
dengan kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua kepala pemerintahan
Indonesia berkewajiban untuk menerima dan menghormati hak
kepemilikan Malaysia atas kedua pulau yang merupakan zona perbatasan
(frontiers) meskipun sebelumnya dapat dipakai sebagai titik pangkal garis
pangkal kepulauan Indonesia.
Keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan negeri
tetangga (Malaysia) atas Indonesia dalam sengketa Sipadan-Ligitan
didasarkan atas alasan pengendalian dan penguasaan efektif (effective
occupation). Selain berhasil dalam menjaga dan memelihara kelestarian
1 Baradina, Pengaruh Keputusan ICJ dalam Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan bagi
Keutuhan Wilayah RI, dalam Awani Irewati, cs, Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia –
Malaysia di Laut Sulawesi, (Jakarta, Indonesian Institute of Sciences, 2006), Hlm. 2.
2
lingkungan, Malaysia berhasil membuktikan pemerintahnya menjalankan
fungsi-fungsi pemerintahan di wilayah persengketaan. Penerapan prinsip
“effective occupation” yang melandasi putusan Mahkamah Internasional
bukan kejadian pertama sebab prinsip seperti ini sudah sering digunakan
oleh lembaga penyelesaian sengketa internasional yang menangani
berbagai sengketa territorial, termasuk sengketa kedaulatan atas pulau.
Dalam kasus Pulau Palmas (Pulau Miangas) yang melibatkan
Amerika Serikat dan Belanda pada tahun 1906, maka arbitrasi yang
menggunakan Arbitrator tunggal yang bernama Judge Huber menerapkan
apa yang disebut pengendalian atau penguasaan efektif. Menurut pihak
Arbitrasi Pemerintah Hindia Belanda berhasil membuktikan pelaksanaan
fungsi-fungsi pemerintahan atas pulau tersebut secara damai dan terus
menerus,2 dan ini sama dengan sebuah bentuk pengendalian efektif yang
menciptakan hak (title) bagi Belanda atas pulau tersebut. Dengan lain
perkataan pelaksanaan administrasi pemerintahan merupakan
perwujudan kedaulatan territorial atas pulau Palmas yang kini dipakai
sebagai titik pangkal untuk penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia.
Selanjutnya dalam kasus Clipperton Island yang dipersengketakan
antara Perancis dan Meksiko pada akhir abad ke-19, maka lembaga
arbitrase yang diberi kewenangan atas kesepakatan kedua belah pihak
menyatakan bahwa Perancis berhak atas pulau tersebut karena negara ini
2 J. G. Starke, Introduction to International Law (London: Butterworths, 1984),
Hlm. 153-154; Lihat juga Ian Brownlie, Principles of Public International Law (Oxford: Oxford University Press), Hlm. 132.
3
terbukti melakukan pengendalian dan penguasaan efektif atas Clipperton
Island. Walaupun pihak Perancis hanya melakukan semacam proklamasi
mengenai hak kepemilikannya dan melakukan pemasangan bendera
nasionalnya di pulau tersebut, namun tindakan proklamasi seperti itu
sudah dipandang sebagai suatu cara dan bentuk penguasaan efektif
sehingga Perancis dinyatakan sebagai pemilik dan pemegang kedaulatan
territorial atas Clipperton Island yang berada di Samudera Pasifik.3
Terkait dengan putusan Mahkamah Internasional (ICJ) dalam
kasus Sipadan-Ligitan, maka kendati keputusan Mahkamah Internasional
yang memenangkan negeri jiran adalah sesuatu yang sudah final dan
mengikat berdasarkan Statuta ICJ, dan kedua negara sudah bersepakat
menerima apapun putusan yang akan dihasilkan, namun banyak kalangan
merasa kecewa atas sikap dan langkah yang diambil oleh otoritas terkait
dalam membela kepemilikan Indonesia atas kedua pulau terluar yang
terletak di perairan laut Sulawesi. Timbulnya perasaan kecewa dan kesal
dari berbagai elemen bangsa disebabkan bukan semata-mata akibat
kekalahan Indonesia di forum ICJ, melainkan juga akibat kurangnya
keuletan dan kegigihan dari otoritas terkait dalam memelihara warisan
Hindia Belanda.
Pihak otoritas dinilai terlalu dini dalam menerima hasil akhir yang
diputuskan oleh Mahkamah Internasional terkait sengketa kepemilikan itu.
Pihak berwenang tampaknya bersikap pasrah dan sama sekali tidak
3 Ibid., Hlm. 148-149; David H Ott, Public International Law in the Modern World,
(London: Pitman Publishing, 1987), Hlm. 117.
4
berbuat optimal dalam menjaga dan melindungi hak historis atas kedua
pulau kecil terluar yang sejak diundangkannya Undang-undang Nomor
4/Prp Tahun 1960 maupun Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996
seharusnya ditetapkan sebagai titik pangkal untuk penarikan garis pangkal
lurus kepulauan dalam rangka membangun garis batas maritim (maritime
delimitation). Tidak sedikit yang mempertanyakan sikap Pemerintah,
dalam hal ini Departemen Luar Negeri (yang saat ini bernama
Kementerian Luar Negeri) yang kurang gigih melakukan upaya hukum
yang dimungkinkan tanpa mengabaikan apa yang telah disepakati oleh
kedua pemimpin terkait penyelesaian kasus kepemilikan itu.
Sesungguhnya Statuta Mahkamah Internasional secara jelas
memungkinkan dilakukannya revisi atas putusan ICJ. Pasal 61 dari
Statuta ICJ menyatakan bahwa keputusan ICJ bersifat final dan mengikat
(final and binding), tetapi dapat diajukan suatu upaya hukum yang
dinamakan revisi (revision) atas dasar ditemukannya bukti baru (the
discovery of a new decisive factor), dengan ketentuan permohonan revisi
ini dilakukan dalam tenggang waktu 6 bulan sejak ditemukannya bukti
baru tersebut serta tidak melewati jangka waktu 10 tahun sejak keputusan
ICJ dijatuhkan.4
Pemerintah RI sudah tidak mungkin menggunakan upaya hukum
yang disebut revisi terhadap keputusan ICJ karena selain adanya
kemungkinan tidak ditemukan bukti baru terkait kepemilikan Indonesia
4 J.G. Starke, Op., Cit., Hlm. 480; Malcolm N. Shaw, International Law,
(Cambridge: Grotius Publications Limited, 1986), Hlm. 534.
5
atas kedua pulau, juga karena keputusan itu telah melampaui tenggang
waktu 10 tahun. Dapat dikatakan sejak keputusan tersebut pemikiran ke
arah penggunaan upaya hukum revisi terhadap putusan ICJ tidak pernah
eksis dan hal ini berdampak pada terjadinya penetapan zona ekonomi
eksklusif secara sepihak pada 2004 yang di dalamnya tercakup blok
pertambangan Ambalat. Padahal sebelumnya Pemerintah Indonesia telah
menerbitkan daftar koordinat geografis titik-titik pangkal bagi garis pangkal
kepulauan melalui pengundangan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2002 sehingga pola unilateralisme yang dilakukan oleh Malaysia
memunculkan isu delimitasi maritim antara kedua negara.
Klaim Malaysia atas Ambalat harus dimaknai sebagai kelanjutan
atas kemenangan yang diraih dalam kasus Sipadan-Ligitan sehingga
negara tersebut mengklaim kekuasaan hukum yang bersifat merangkak
(creeping jurisdiction)5. Negara itu tergoda untuk memperluas secara
perlahan-lahan yurisdiksi atas sebagian perairan laut Sulawesi yang
diukur dari garis-garis pangkal di sekitar Sabah dan Sarawak dan juga
kedua pulau yang berhasil dimenangkan melalui putusan ICJ.
Sengketa batas maritim antara Indonesia dan Malaysia muncul ke
permukaan sesudah perusahaan minyak Malaysia (Petronas)
memberikan lisensi eksplorasi untuk dua blok konsesi minyak laut dalam
(deep-water oil concession blocks), yaitu ND-6 dan ND-7 kepada
perusahaan eksplorasinya sendiri, Petronas Carigali pada 16 Februari
5 J.G. Starke, Introduction to International Law, (London, butterworths, 1984),
Hlm. 261.
6
2005.6. Anak perusahaan Petronas ini telah menjalin hubungan kemitraan
(joint venture) dengan perusahaan Shell yang sebagian sahamnya dimiliki
oleh Pemerintah Kerajaan Belanda (Royal Dutch).7.
Sebagian Blok tambang yang diklaim Malaysia (ND 6 dan ND 7)
mengalami duplikasi (overlapping) dengan blok yang diklaim Indonesia
(blok Ambalat dan blok Ambalat Timur), karena jauh sebelumnya
Pemerintah Indonesia melalui Pertamina telah memberikan lisensi
eksplorasi kepada perusahaan minyak bumi Italia ENI dan Amerika
Serikat Unocal. Daerah ini terletak di sebelah selatan zona yang
dipersengketakan dengan Malaysia, di perairan yang lebih dalam dari
Tarakan. ENI merencanakan ‘appraisal drilling’, yaitu semacam kegiatan
uji coba pengeboran di blok Ambalat dan blok Ambalat Timur untuk
menilai besar kecilnya keuntungan yang dapat diperoleh dari kegiatan
seperti ini. Indonesia mengklaim bahwa perairan teritorial Malaysia hanya
berjarak sekitar 19 KM (12 mil laut) dari Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan,
dan bahwa sebagian dari konsesi yang diberikan oleh Malaysia kepada
Shell dan Petronas Carigali saling tumpang-tindih dengan konsesi yang
telah diberikan Indonesia kepada ENI dan Unocal sejak tahun 1960-an8.
Persengketaan seperti itu memperlihatkan masing-masing negara
berkepentingan untuk melindungi dan mengamankan kepentingan
nasionalnya dari perspektif ketersediaan energy yang sangat vital bagi
6 Awani Irewati, Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia-Malaysia di Laut
Sulawesi, (Jakarta, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2006), Hlm. 130. 7 Ibid, Hlm. 130.
8 Ibid, Hlm. 130. Juga Asian Economic News, 7 Maret 2005,
http://findarticles.com/p/articles/mi_ mOWDP/is 2005 March 7/ai_nl 1854604.
7
lokomotif perekonomian di masa mendatang9. Sengketa perbatasan
maritim yang ditandai dengan konflik Ambalat pernah menimbulkan
ketegangan ketika seorang pejabat tinggi Indonesia mendesak pemerintah
untuk bersikap tegas terhadap negara tetangga, termasuk pemikiran ke
arah penggunaan cara-cara lain di luar saluran diplomatik.
Bersamaan dengan pernyataan itu, petinggi lainnya mendesak
pemerintah untuk meneruskan pembangunan mercusuar di Karang
Unarang (Unarang Shoal) dengan perlindungan penuh Angkatan Laut RI
karena keberadaan mercusuar di lepas pantai Pulau Sebatik penting
sebagai ‘warning signals’ bagi keselamatan pelayaran maupun terutama
sebagai tanda identifikasi kepemilikan Indonesia atas Karang Unarang.
Bentuk alamiah ini dapat dikualifikasi sebagai elevasi surut (low tide
elevation) yang dengan syarat tertentu dapat dipakai sebagai titik pangkal
bagi penarikan garis pangkal kepulauan untuk kemudian membangun
garis batas maritim dengan negara tetangga.10
Pengerahan dan penggelaran kekuatan Angkatan Laut oleh
Indonesia dan Malaysia pada saat itu pada dasarnya bertujuan untuk
menciptakan kehadiran mereka masing-masing di bagian laut yang
mengalami duplikasi (establishing a presence)11. If you don’t establish a
presence in terms of sovereignty claims, it’s a de facto recognition of the
other side’s claim of sovereignty. That’s why whenever somebody makes
9 Awani Irewati, cs, op.cit., Hlm. 131.
10 Perhatikan artikel 47 ayat 4 KHL 1982.
11 Mak Joon Nam dari Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, di dalam
Awani Irewati, op.cit., Hlm. 132.
8
a claim and you dispute it, you have to send in a counter-claim, or else
you send in a diplomatic note saying that you don’t recognize that claim.
So presence is so very important in establishing your claim12.
Artinya jika saudara tidak membuktikan kehadiran saudara dilihat
dari aspek klaim kedaulatan, jika saudara tidak melakukan klaim
kedaulatan, maka klaim kedaulatan Negara lain mendapat pengakuan
secara de facto. Itulah sebabnya kapanpun seseorang melakukan klaim
dan saudara menentangnya, maka saudara harus melakukan klaim
balasan, atau jika tidak maka saudara harus mengirim nota diplomatik
yang menyatakan bahwa saudara tidak mengakui klaim tersebut. Dengan
demikian kehadiran itu sangat penting dalam membuktikan klaim saudara.
Sengketa blok Ambalat bukanlah merupakan sengketa kedaulatan
territorial (territorial souvereignty dispute) sebab Ambalat tidak berada di
perairan territorial kedua negara dengan lebar maksimal 12 mil laut
terhitung dari garis pangkal. Blok tambang Ambalat berlokasi di landas
kontinen atau zona ekonomi eksklusif yang jauhnya bisa mencapai 200
mil laut dari garis pangkal (baseline). Meskipun suatu negara mempunyai
hak-hak berdaulat atas sumber daya alam di zona 200 mil, Negara
tersebut tidak memiliki kedaulatan atas zona seperti ini sebab zona seperti
ini statusnya berada dan tunduk di bawah rezim hukum hak-hak berdaulat
(souvereign rights) Negara pantai.
12
Awani Irewati dkk, op.,cit., Hlm. 132
9
Blok pertambangan Ambalat yang menjadi daerah yang
dipersengketakan (disputed area) terletak di bagian laut yang sangat
dalam antara 500 meter hingga 4 KM13. Karena teknologi eksplorasi
dewasa ini sudah dapat mencapai kedalaman 2 KM, maka daerah
Ambalat menjadi sangat penting, apalagi setelah terungkap kalau minyak
bumi yang terkandung di dalamnya sangat baik kulitasnya, sehingga perlu
ada upaya dalam menyelesaikan delimitasi maritim sesuai ketentuan dan
prosedur hukum yang berlaku dan tidak dengan melakukan tindakan
sepihak seperti yang dilakukan Malaysia pada tahun 1979 dan 2004.
Mengenai masalah delimitasi maritim antara Indonesia dan
Malaysia, seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Malaysia pernah
menyatakan bahwa tidak tertutup kemungkinan masalah garis batas
maritim di bagian laut yang mengalami duplikasi bisa saja diselesaikan di
Mahkamah Internasional, sebagaimana sengketa kepemilikan Sipadan
dan Ligitan. Pernyataan tendensius otoritas dari Negara tetangga sangat
terkait dengan latarbelakang berlarut-larutnya perundingan garis batas
maritim antarkedua negara.
Kepala pemerintahan kedua Negara, Presiden Yudhoyono dan
Perdana Menteri Achmad Badawi membicarakan masalah Ambalat
melalui telepon (7 Maret 2005) dan keduanya sepakat menyelesaikan
13
Victor Prescott and Clive Schofield, The Maritime Political Boundaries of the World, (Leiden/ Boston, Martinus Nijhoff Publishers, 2005), Hlm. 451 – 452.
10
persengketaan dengan cara in a cordial manner atau dengan cara yang
bersahabat.14
Pembicaraan yang dilakukan oleh kedua pemimpin lalu diikuti
dengan pertemuan kedua Menteri Luar Negeri, Hassan Wirayuda dan
Syed Hamid Albar (9 Maret 2005), yang menyatakan bahwa kedua belah
pihak mengambil langkah-langkah yang perlu untuk meredakan keadaan
dan membentuk tim khusus untuk bertemu secara berkala untuk
mengelola dan menyelesaikan sengketa tersebut. Berbagai pertemuan tim
teknis dilakukan secara tertutup dengan maksud untuk memberikan para
anggota tim maximum flexibility to propose creative solutions, free from
instrusive media scrutiny sehingga mereka lebih leluasa mengajukan
solusi kreatif, bebas dari tekanan media. Namun setiap proposal yang
diajukan dalam negosiasi tidak mengurangi posisi masing-masing
pemerintah dan tak ada yang bisa disepakati sampai segala sesuatunya
disepakati (nothing is agreed until everything is agreed) sehingga
negosiasi seperti ini tidak bisa ditentukan waktunya. Malahan beberapa
tahun lalu Menteri Luar negeri RI, Marty Natalegawa pernah mengatakan
perundingan garis batas maritim di Laut Sulawesi bisa memakan waktu
yang sangat lama, antara 5 hingga 32 tahun lamanya15.
Dalam konteks negosiasi garis batas maritim, sebagaimana
diketahui potensi kehadiran minyak dan gas bumi dapat dipastikan
14
Bill Guerin, Sulawesi Sea Roundredges Up Defences, Asia Times Online; Border Dispute to be settled amicably; President, The Jakarta Post, 7 Maret 2005. Dalam Awani Irewati, dkk, op., cit., Hlm. 134
15 Kompas, 4 September 2011, Hlm. 1
11
memainkan peranan penting dan menjadi faktor pendorong bagi kedua
negara untuk merundingkan batas-batas maritim di daerah yang dianggap
dipersengketakan (disputed area). Akan tetapi biasanya tidak satu
pihakpun yang mendapatkan seluruh wilayah yang dipersengketakan
sebab pada umumnya sangat sulit untuk menentukan ketepatan posisi,
kuantitas dan kualitas ketersediaan hidrokarbon tanpa adanya eksplorasi
yang ekstensif16. Apabila tercapai persetujuan garis batas maritim, maka
mungkin saja sumber daya laut yang dipersengketakan berada di tempat
yang salah dari penarikan garis itu. Hal ini sangat penting dikaitkan
dengan informasi yang menyatakan kualitas minyak bumi di Blok Ambalat
sangat baik kualitasnya.
Di Blok Ambalat unsur-unsur penting yang dikemukakan di atas
dapat saja berperan dalam perundingan garis batas maritim. Jika garis
delimitasi dirundingkan dan kemudian diterima secara timbal balik oleh
kedua belah pihak, maka selesai persoalannya. Akan tetapi karena posisi
para pihak saling bertentangan, maka mungkin sulit tercapai sebuah
penyelesaian, setidak-tidaknya dalam waktu singkat. Jika garis batas
maritim tidak tercapai, maka terbuka penyelesaian alternatif. Indonesia
dan Malaysia dapat menetapkan seluruh atau sebagian klaim yang
bertumpang-tindih ditetapkan sebagai zona kerjasama pengembangan
(joint development zone)17. Kedua negara berpengalaman dalam
16
Awani Irewati, op. cit., Hlm. 135. 17
Clive Schofield dan I Made Andi Arsana, Ambalat Revised:The Way Forward ?, The Jakarta Post, 9 Juni 2005.
12
masalah joint development zone. Indonesia bersama-sama dengan
Australia, merupakan pencetus dari zona kerjasama yang sangat
kompleks yang mengatur daerah Celah Timor, yang kini untuk sebagian
diambil alih oleh Timor Leste. Malaysia melalui dua macam persetujuan
melakukan kerjasama pengembangan dengan Thailand dan Vietnam.
Namun demikian Indonesia sudah menolak tawaran Malaysia tahun 2006
untuk mengadakan kerjasama dalam mengeksplorasi sumber daya
minyak dan gas bumi di perairan Blok Ambalat sehingga Perdana Menteri
Abdullah Ahmad Badawi mengakui bahwa masalah delimitasi maritim di
Blok Ambalat bukanlah sesuatu yang mudah untuk diselesaikan18.
Pemerintah Malaysia mengusulkan adanya kerjasama antara
perusahaan minyak Petronas dan Pertamina di Ambalat dan
mengharapkan sengketa dan perbedaan pendapat itu tidak menghalangi
kedua pihak untuk membuka peluang kerjasama di perairan Ambalat.
Namun Menteri Luar Negeri RI, Hassan Wirayuda menolak usulan
kerjasama seperti itu sebab Indonesia berkepentingan untuk terlebih
dahulu melakukan upaya-upaya maksimal dalam menyelesaikan
delimitasi maritim yang bersifat permanen. Selama belum tercapai garis
batas maritim yang bersifat final sebagai implikasi potensial19 dari putusan
18
Kompas, 14 Januari 2006.
19Sebenarnya pengaruh berupa potensi terjadinya pergeseran atas titik pangkal
dan garis-garis batas maritim tidak hanya disebabkan kasus Sipadan-Ligitan, tetapi juga dapat disebabkan kasus-kasus lain seperti lepasnya pulau Pasir yang oleh pihak Australia dinamakan dengan istilah Ashmore Island dari wilayah kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia menyusul adanya perjanjian yang ditandatangani oleh Indonesia dan Australia pada tahun 1974. Perjanjian ini memberikan “payung hukum” bagi aktivitas nelayan tradisional Indonesia untuk dapat memanfaatkan daerah-daerah yang
13
ICJ terkait kasus kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, maka Indonesia
tidak akan mau membicarakan kerjasama pengelolaan migas di Blok
Ambalat.
Perkembangan selanjutnya menyangkut upaya penyelesaian
delimitasi maritim pasca Sipadan-Ligitan adalah bahwa pada tanggal 17
Desember 2010 Pemerintah RI lewat Pertamina mengumumkan Petronas
menjadi mitra Pertamina dan menandatangani kesepakatan awal
kemitraan di Blok East Natuna. Pemilihan Petronas dikaitkan dengan
upaya Pemerintah Indonesia untuk meredam sengketa di daerah
perbatasan terutama wilayah Ambalat yang hingga kini belum tuntas, di
mana Malaysia menunjukkan sikap percaya diri dan cenderung kurang
kooperatif terutama setelah kemenangannya dalam kasus Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan.20 Di sisi lain masuknya Petronas ke Blok East Natuna
dinamakan Scott Reefs, Seringapatan Reef, Browse Island, Ashmore Reef, Cartier Island dan beberapa wilayah di sekitarnya. Perjanjian ini dikenal dengan istilah Memorandum of Understanding (MoU) Box 1974 yang kemudian diperbaharui pada tahun 1989. Namun sejak ditetapkannya daerah Ashmore Reef pada tahun 1983 sebagai daerah yang dilindungi atau suaka alam laut, maka aktivitas nelayan tradisional Indonesia tampaknya semakin terbatas. Nelayan hanya diperbolehkan mendarat di antara zona MoU pada kedua pulau Ashmore Islands untuk mengambil air tanah.
19 Padahal sebelum berlakunya
MoU Box Pulau Pasir yang oleh Australia dinamakan Ashmore Island adalah milik RI atas asar faktor geografis yang memperlihatkan sedemikian dekatnya pulau Pasir dengan Pulau Rote yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Di samping itu warga masyarakat provinsi ini khususnya yang berasal dari Pulau Rote secara turun menurun menggunakan pulau Pasir sebagai habitatnya dalam mencari nafkah. Nelayan Indonesia sudah cukup lama melakukan aktivitas di perairan utara Australia Barat dan sekitarnya termasuk wilayah Northern Territory untuk mencari ikan. Namun demikian faktor kedekatan geografis serta faktor sosial ekonomi sudah tidak memiliki makna apapun karena sejak berlakunya perjanjian tahun 1974 Pulau Pasir telah beralih ke tangan Australia sehingga kita kehilangan salah satu titik pangkal yang berpengaruh terhadap penentuan garis-garis batas maritim.
20 Eddy Purwanto, Manuver Malaysia di Natuna (Kompas : 15 Maret 2012), Hlm.
Ini semacam Joint Development Zone antara RI dan Malaysia dan harus dilihat sebagai pengaturan yang bersifat sementara (provisional arrangement) dalam rangka mencapai solusi yang adil (equitable solution). Lihat Thomas A. Mensah, Joint Development Zones as an Alternative Dispute Settlement Approach in Maritim Boundary Delimitation, dalam
14
diyakini sebagai strategi Malaysia dalam mencuri start di kawasan Laut
Cina Selatan. Namun demikian baru-baru ini negeri tetangga yang sudah
menandatangani Nota Kesepahaman Kemitraan di lapangan gas Blok
East Natuna tiba-tiba mengundurkan diri dengan alasan Blok East Natuna
tidak lagi menjadi prioritas Petronas, antara lain karena biaya produksi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan lapangan gas lainnya mengingat
Blok East Natuna berlokasi di laut dalam.21
Dengan kejadian seperti ini, Indonesia harus lebih waspada
menghadapi kemungkinan manuver geopolitik Malaysia. Dengan
melemahnya harga gas di pasaran internasional, Malaysia cenderung
mencari minyak karena ke depan minyak akan kian langka dan harganya
akan melambung hingga mencapai keseimbangan baru. Diduga dalam
waktu dekat Malaysia kembali akan mengklaim Ambalat mengingat
sumber daya yang terkandung di Blok Ambalat untuk sebagian besar
terdiri dari minyak bumi sehingga secara ekonomis lebih menguntungkan.
Fakta mundurnya Malaysia dari Nota Kesepahaman Kemitraan 2010
memberikan kontribusi kepada penulis untuk mengeksplorasi implikasi
dari putusan ICJ dalam kasus Sipadan dan Ligitan terhadap titik pangkal
dan delimitasi maritim yang pada gilirannya dapat berimplikasi terhadap
penetapan garis-garis batas maritim antara kedua negara.
Rainer Lagoni and Daniel Vignes, Maritim Delimitation, (Leiden/ Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2006), Hlm. 146-147.
21 Blok East Natuna adalah lapangan gas raksasa yang memiliki 46 triliun kaki
kubik, yang terletak di alur Indo ASEAN,
15
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah
dikemukakan di atas, setelah masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan diputuskan oleh ICJ, maka pokok permasalahan yang akan
diteliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana implikasi putusan ICJ dalam kasus Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan terhadap titik pangkal dan delimitasi maritim ditinjau
dari perspektif hukum nasional Indonesia dan Malaysia ?
2. Solusi seperti apa yang dapat dilakukan kedua Negara apabila
mereka tidak dapat menyelesaikan secara tuntas masalah titik
pangkal dan delimitasi maritime di daerah yang dianggap
dipersengketakan (disputed area) pascaputusan ICJ ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
C.1. Tujuan Penelitian
Bertolak dari perumusan masalah, maka penelitian ini dilakukan
dengan tujuan :
1. Untuk mengetahui dan memahami implikasi putusan ICJ dalam
kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terhadap titik pangkal dan
delimitasi maritim dilihat dari perspektif hukum nasional masing-
masing Negara.
2. Untuk mengetahui dan memahami solusi yang dapat dilakukan oleh
kedua Negara ketika mereka tidak dapat menyelesaikan secara
16
tuntas masalah titik pangkal dan delimitasi maritim pasca putusan
ICJ.
C.2. Kegunaan Penelitian
Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat :
1. Memberikan masukan bagi pengembangan ilmu hukum terkait
dengan implikasi putusan ICJ tersebut terhadap titik pangkal dan
delimitasi maritim ditinjau dari perspektif hukum nasional masing-
masing Negara.
2. Memberikan masukan bagi pengembangan ilmu hukum terkait
solusi yang dapat dilakukan dan ditempuh apabila kedua Negara
tidak dapat menyelesaikan secara tuntas masalah titik pangkal dan
delimitasi maritim pascaputusan ICJ.
D. Orisinalitas Penelitian (Originality of the Research)
Penelitian mengenai ‘Implikasi Putusan ICJ dalam kasus Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan terhadap Titik Pangkal bagi Penarikan Garis
Pangkal Kepulauan dan Delimitasi Maritim’ pada dasarnya dimaksudkan
untuk menemukan jawaban tentang adanya implikasi keputusan ICJ
dalam kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terhadap titik pangkal bagi
penarikan garis pangkal kepulauan serta kemungkinan adanya pengaruh
ataupun implikasi terhadap penetapan garis-garis batas maritim di landas
kontinen dan zona ekonomi eksklusif antara kedua negara. Melalui
eksplorasi atas berbagai macam referensi dalam bentuk literatur, jurnal
dan dokumen serta referensi lainnya yang dilakukan oleh penulis, maka
17
dapat disimpulkan bahwa obyek kajian dalam penelitian ini merupakan
obyek yang masih baru karena sejauh ini belum ada penelitian yang
berfokus pada permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
Sejauh pengetahuan penulis, terdapat penelitian tentang pengaruh
ataupun implikasi suatu fakta hukum terhadap wilayah negara, terhadap
wilayah perbatasan ataupun terhadap garis-garis perbatasan, khususnya
di laut yang diistilahkan juga dengan garis-garis batas maritim. Meskipun
selama ini terdapat penelitian mengenai hubungan antara suatu fenomena
(dan serangkaian fakta yang menyertainya) dengan wilayah perbatasan
(frontier) maupun garis-garis perbatasan darat dan maritim (maritime
boundaries), namun dapat dikatakan bahwa penelitian-penelitian tadi pada
dasarnya dilakukan dengan cara serta pendekatan yang berbeda daripada
pendekatan yang digunakan oleh penulis.
Suatu penelitian disertasi mengenai pengaruh atau implikasi
lepasnya Provinsi Timor Timur dari NKRI terhadap garis batas maritim di
Laut Timor telah dilakukan oleh Marnikson C. Wila yang telah berhasil
mempertahankan Disertasinya di Universitas Padjadjaran Bandung
beberapa tahun lalu. Meskipun diakui penelitian disertasinya secara
substansial berfokus pada pengaruh kehadiran Negara Timor Leste
sebagai negara tetangga terhadap delimitasi garis batas maritim di bekas
wilayah Celah Timor (the Timor Gap), namun variabel penelitian yang
18
ditampilkan oleh Marnikson C. Wila jelas berbeda dengan variabel
penelitian yang digunakan penulis22.
Selain penelitian disertasi oleh Marnikson C. Wila tersebut, ada
pula artikel penelitian yang dibuat oleh Budi Setiawan, mahasiswa
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada pada tahun 2010 dengan judul
Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan : Dampaknya terhadap Strategi
Ketahanan Nasional. Penelitiannya menitikberatkan pada dampak
hilangnya kedua pulau tersebut terhadap strategi ketahanan nasional
Indonesia. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kesadaran semua
elemen bangsa dalam memulihkan, memelihara dan meningkatkan
ketahanan nasional pada masa mendatang sehingga diharapkan kasus
lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan seharusnya menjadi kasus terakhir
yang tidak boleh terulang kembali di masa-masa mendatang.
Ada juga penelitian dari Baradina yang menulis tentang Pengaruh
Keputusan ICJ dalam Kasus Kepulauan Sipadan dan Ligitan bagi
Keutuhan Wilayah RI23. Dengan membaca hasil penelitiannya, maka
dapat disimpulkan bahwa penelitiannya berfokus pada dampak lepasnya
22
Dalam perundingan garis batas maritim di Laut Timor antara Indonesia dengan Timor Leste, negeri yang disebut terakhir hendak menggunakan garis-garis pangkal yang merujuk pada bekas garis-garis dari zona “joint development” di wilayah Timor Gap, di mana garis-batas maritimnya diklaim sejauh 100 mil laut terhitung dari bekas garis-garis wilayah Timor Gap. Kondisi seperti ini berbeda dengan proses perundingan yang sedang berlangsung antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malaysia, di mana negeri serumpun ini menerapkan konsep Negara kepulauan yang mengakomodasi titik pangkal pada wilayah Sabah dan Sarawak (Malaysia Timur) serta titik pangkal pada pulau-pulau terluarnya, khususnya titik pangkal di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sehingga garis batas maritim (zona ekonomi eksklusif) versi Malaysia dihasilkan dengan melakukan penyesuaian terhadap metode ‘equidistance line’.
23 Baradina, Pengaruh Keputusan ICJ dalam Kasus Kepulauan Sipadan dan
Ligitan Bagi Keutuhan Wilayah RI, [email protected], Hlm. 1.
19
kedua pulau tersebut terhadap keutuhan territorial NKRI, sementara fokus
penelitian penulis pada titik pangkal (basepoints) dan delimitasi maritim
antara Indonesia dan Malaysia sehingga bagaimanapun pendekatan
terhadap permasalahan yang relatif sama sangat berlainan variable
penelitiannya sehingga menunjukkan orisinalitas penelitian penulis.
Permasalahan yang ditampilkan oleh Baradina adalah bagaimana
pengaruh putusan ICJ dalam kasus Sipadan – Ligitan terhadap keutuhan
wilayah NKRI dan bagaimana menyelesaikan masalah yang timbul pasca
lepasnya kedua pulau tersebut dari NKRI. Sedangkan permasalahan yang
penulis kemukakan adalah bagaimana implikasi putusan ICJ terhadap titik
pangkal (base point) bagi penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia
dan delimitasi maritim sehingga dengan demikian orisinalitas penelitian ini
dapat ditegakkan kebenarannya. .
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Biasanya garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar dari
jalur-jalur laut (maritime zones) adalah garis air rendah di sepanjang
pantai (the low-water line along the coast) sebagaimana diberi tanda
melalui peta berskala luas yang resmi diakui oleh negara pantai24. Akan
tetapi Keputusan Mahkamah Internasional dalam Anglo-Norwegian
Fisheries Case 18 Desember 1951 menerapkan metode lain dalam
menetapkan garis pangkal. Sejak keputusan itu dikeluarkan metode yang
diterapkan oleh Mahkamah dalam perkara perikanan antara Inggeris dan
Norwegia, yaitu metode atau cara penarikan garis pangkal lurus ternyata
memperoleh pengakuan, yang kemudian dituangkan dalam pasal-pasal 7,
9 dan 10 Konvensi Hukum Laut 1982.
A.Titik Pangkal (basepoint) dan Garis Pangkal (baseline)
Titik pangkal (basepoint) yang dipakai dalam analisis Konvensi
Hukum Laut berarti suatu titik di garis pangkal. Apabila satu garis pangkal
lurus bertemu dengan garis pangkal lurus lain di titik yang sama, maka
satu garis dapat dikatakan berbelok dan berubah pada titik itu guna
membentuk garis pangkal lain25. Titik seperti itu dapat diistilahkan dengan
titik yang mengubah garis pangkal (baseline turning point) atau secara
24
SHI Jiuyong, The Wang Tieya Lecture in Public International Law : Maritime Delimitation in the Jurisprudence of the International Court of Justice, Chinese Journal of International Law (2010), Chinesejil, Oxfordjournals.org/at University Library Utrecht on November 15, 2012, Hlm.276
25 George K. Walker, Definitions for the Law of the Sea (Terms not defined by the 1982
Convention), (Leiden.Boston, Martinus Nijhoff Publishers, 2012), Hlm. 113-114.
21
sederhana disebut titik pangkal (basepoint). Bagaimanapun titik (point)
adalah sebuah lokasi yang dapat ditentukan dengan koordinat geografis
dan data geodetic yang memenuhi standard Konvensi Hukum Laut.
KHL 1982 menghitung landas kontinen di luar laut teritorial negara
pantai yang merupakan kelanjutan alamiah (the natural prolongation) dari
wilayah daratan, atau pada jarak 200 mil laut dari garis pangkal yang
dipakai untuk mengukur lebar laut territorial di mana ujung luar tepian
kontinen (the outer edge of the continental margin) tidak mencapai jarak
tersebut. Akan tetapi landas kontinen tidak boleh melampaui batas-batas
yang dinyatakan dalam pasal 76 ayat 4 dan 76 ayat 6. Pasal 76 ayat 4
KHL 1982 menyatakan bahwa : 26
a. Untuk tujuan Konvensi, negara pantai harus menetapkan ujung luar
atau titik luar tepian kontinen kemana pun tepian ini melampaui 200 mil
laut dari garis pangkal yang dipakai untuk mengukur lebar laut territorial,
atau dengan:
(i) suatu garis yang ditarik sesuai dengan pasal 76 ayat 7 dengan
menunjuk pada titik-titik terluar yang pasti dimana ketebalan
batu sedimentasi adalah paling sedikit 1% dari jarak terdekat
antara titik tersebut dengan kaki lereng kontinen.
(ii) suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk
pada titik-titik pasti yang terletak tidak lebih dari 60 mil laut dari
kaki lereng kontinen.
26
Ibid, Hlm. 115
22
b. Dalam hal tidak terdapat bukti yang bertentangan, kaki lereng kontinen
harus ditetapkan sebagai titik perubahan maksimum dalam tanjakan pada
kakinya.
Titik-titik tetap yang merupakan garis batas luar landas kontinen pada
dasar laut , yang ditarik sesuai dengan ayat 4 (a) (i) dan (ii), tidak boleh
melebihi 350 mil laut dari garis pangkal dari mana laut territorial diukur
atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman
(isobaths) 2.500 meter, yaitu suatu garis yang menghubungkan
kedalaman 2.500 meter. Akan tetapi pasal 76 ayat 6 menetapkan
batasnya hanya sampai 350 mil laut, sekali lagi dari garis pangkal dari
mana diukur lebar laut territorial. Berdasarkan pasal 76 ayat 7 negara
pantai harus menetapkan batas luar landas kontinennya di mana landas
kontinen itu melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut
territorial diukur dengan cara menarik garis-garis lurus (straight lines) yang
tidak melebihi 60 mil laut panjangnya, dengan menghubungkan titik-titik
tetap yang ditetapkan dengan koordinat lintang dan bujur.
The ILA Committee on Legal Issues of the Outer Limits of the
Continental Shelf mengomentari adanya saling mempengaruhi antara
ketentuan pasal-pasal 76 ayat 4, 76 ayat 6 dan 76 ayat 7 KHL 1982.
Terdapat kasus-kasus dimana batas luar landas kontinen yang melampaui
200 mil laut harus dihubungkan dengan batas luar landas kontinen pada
200 mil laut. Situasi ini menimbulkan pertanyaan apakah suatu negara
pantai diharuskan memilih suatu titik tetap (a fixed point) yang memenuhi
23
syarat-syarat yang terdapat dalam pasal-pasal 76 ayat 4 dan 76 ayat 6
dan atau berlokasi di batas 200 mil laut atau di dalam jarak 200 mil laut
dari garis pangkal (dalam hal yang disebut terakhir, batas luar landas
kontinen yang melampaui 200 mil laut dapat dihubungkan dengan garis
batas luar di 200 mil laut pada titik persilangan kedua garis itu).
Pandangan kedua mungkin adalah bahwa suatu negara pantai dapat
menggunakan setiap titik (any point) pada batas luar 200 mil laut yang
dapat dihubungkan dengan suatu titik tetap (a fixed point) di luar 200 mil
laut yang memenuhi persyaratan pasal 76 ayat 4 sampai pasal 76 ayat 6.
Dalam hal-hal tersebut di atas pendapat mana yang akan dipilih itu
tergantung pada penafsiran terhadap pasal 76 ayat 4 dan 76 ayat 727.
Pasal 83 KHL 1982 yang mengatur penetapan garis batas landas
kontinen di antara ‘opposite states’ atau ‘adjacent states’, tidak memiliki
ketentuan yang menyangkut garis pangkal, tetapi pasal 6 ayat 1 Konvensi
Geneva 1958 mengenai landas kontinen mengatakan bahwa jika tidak
terdapat persetujuan antara ‘opposite states’, dan kecuali ‘special
circumstances’ membenarkan garis lain, maka garis perbatasan adalah
garis tengah (median line), yang setiap titiknya adalah sama jaraknya dari
titik-titik terdekat garis pangkal dari mana laut territorial Negara tersebut
27
Negara pantai yang menetapkan landas kontinen lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut territorial diukur berkewajiban untuk menyerahkan data mengenai landas kontinen seperti itu kepada the Commission on the Limits of the Continental Shelf; rekomendasidari Komisi itu menyangkut batas-batas untuk landas kontinen seperti itu bersifat mengikat
27. Pasal 82 ayat 1 dan 82 ayat 4 KHL 1982 mensyaratkan atau mengharuskan negara-
negara yang mengeksploitasi landas kontinen di luar 200 mil laut dari garis pangkal dari mana laut territorial itu diukur, untuk melakukan pembayaran atau semacam kontribusi melalui Otorita, yang harus mendistribusikan hasil-hasilnya kepada negara-negara peserta KHL 1982 atas dasar pembagian yang adil (equitable sharing).
24
diukur. Ketentuan seperti ini juga berlaku bagi ‘adjacent states28. Garis-
garis yang ditarik menurut pasal 6 ayat 1 atau pasal 6 ayat 2 Konvensi
Geneva 1958 mengenai landas kontinen harus merujuk pada titik-titik
tetap permanen yang dapat diidentifikasi di daratan (fixed permanent
identifiable points on the land).
Terkecuali ditentukan lain dalam Konvensi, garis pangkal normal
sebagai patokan (benchmark) untuk mengukur laut territorial adalah garis
air rendah di sepanjang pantai sebagaimana dinyatakan pada peta
berskala luas yang resmi diakui oleh Negara pantai. Pulau karang atau
deretan karang (atolls or fringing reefs) dapat berfungsi sebagai titik
pangkal dan garis pangkal yang menghubungkan titik pangkal seperti ini
adalah garis air rendah ke arah laut. Apabila garis pantai menjorok jauh ke
dalam dan terputus-putus, atau jika terdapat sederetan pulau di sepanjang
pantai di dekatnya, maka titik-titik tertentu yang dianggap tepat dapat
dihubungkan melalui metode penarikan garis pangkal lurus dari mana
lebar laut territorial diukur. Jika hal itu terjadi, maka dalam menetapkan
garis pangkal yang bersifat khusus harus diperhitungkan kepentingan
ekonomi yang bersifat istimewa bagi kawasan tersebut, di mana
kenyataan dan arti pentingnya sudah terbukti melalui kebiasaan yang
sudah berlangsung lama29.
Delta dan kondisi alam lain dapat berfungsi sebagai titik pangkal.
Akan tetapi apabila menghasilkan garis pantai yang sangat tidak stabil,
28
Pasal 6 ayat 2 Konvensi Geneva 1958 mengenai landas kontinen. 29
Pasal 7 ayat 1 dan ayat 5 KHL 1982. Bandingkan dengan pasal 4 ayat 1 dan ayat 4 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut teritorial dan jalur tambahan.
25
maka dapat dipilih titik-titik tepat pada garis air rendah yang paling jauh
menjorok ke laut dan meskipun kemudian garis air rendah mundur, garis
pangkal lurus itu tetap berlaku sampai dirubah oleh Negara pantai sesuai
dengan ketentuan konvensi30.
Pada prinsipnya elevasi surut tidak dapat digunakan sebagai titik
pangkal sehingga garis pangkal lurus tidak dapat ditarik ke dan dari
elevasi surut. Namun jika di atas elevasi surut telah didirikan mercu suar
atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan
laut, maka garis pangkal lurus dapat ditarik ke dan dari elevasi surut dan
dengan demikian elevasi surut ini berfungsi sebagai titik pangkal. Di
samping itu apabila penarikan garis pangkal lurus dari dan ke elevasi
surut telah mendapatkan pengakuan internasional secara umum, maka
hal ini berarti bahwa elevasi surut itu sudah berfungsi sebagai titik
pangkal.
Apabila sebuah sungai mengalir langsung ke laut, maka garis
pangkal adalah suatu garis lurus melintasi mulut sungai di antara titik-titik
pada garis air rendah kedua tepi sungai.
Jika jarak antara titik-titik garis air rendah pada pintu masuk
alamiah suatu teluk tidak melebihi 24 mil laut, maka garis penutup dapat
ditarik antara kedua garis air rendah tersebut dan perairan yang tertutup
dianggap sebagai perairan pedalaman. Apabila jarak di antara titik-titik
30 Penarikan garis pangkal lurus tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum dari
pada pantai dan bagian-bagian laut yang terletak di dalam garis pangkal ini harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada rezim perairan pedalaman.
26
garis air rendah pada pintu masuk alamiah sebuah teluk melebihi 24 mil
laut, maka suatu garis pangkal lurus yang panjangnya 24 mil laut harus
ditarik di dalam teluk tersebut sedemikian rupa sehingga menutup suatu
daerah perairan yang maksimum yang mungkin dicapai dengan garis
sepanjang itu. Namun ketentuan seperti itu tidak diterapkan pada apa
yang disebut ‘historic bays’ atau dalam setiap hal dimana sistem garis
pangkal lurus menurut pasal 7 diterapkan.
Instalasi pelabuhan permanen yang terluar yang merupakan bagian
integral dari sistem kepelabuhanan dianggap sebagai bagian dari pantai
dan dengan demikian dapat berfungsi sebagai titik pangkal. Akan tetapi
instalasi lepas pantai dan pulau buatan tidak akan dianggap sebagai
instalasi pelabuhan yang permanen sehingga tidak mempunyai fungsi
sebagai titik pangkal31.
Elevasi surut adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara
alamiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada waktu air
surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang.
Dalam hal elevasi surut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu
jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari daratan utama atau
sebuah pulau, maka elevasi seperti itu dapat digunakan sebagai titik
pangkal bagi penarikan garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial.
Apabila elevasi surut berada seluruhnya pada suatu jarak yang melebihi
lebar laut teritorial dari daratan utama atau suatu pulau, maka elevasi
31
George K. Walker, op.cit., Hlm. 119.
27
seperti ini tidak memiliki laut teritorial karena tidak berfungsi sebagai titik
pangkal.
Dalam menetapkan lebar dari jalur laut, seperti laut teritorial dan
jalur laut lain di negara pantai, maka pertama-tama harus ditetapkan dari
titik mana harus diukur batas luar jalur laut itu. Demikian garis pangkal
(baselines) berfungsi untuk menghitung dan mengukur batas luar laut
territorial serta jalur-jalur lain dari negara pantai yang bersangkutan,
seperti jalur tambahan (the contiguous zone), zona perikanan eksklusif
(the exclusive fishing zone) dan zona ekonomi eksklusif (the exclusive
economic zone) maupun landas kontinen32.
Garis pangkal juga merupakan garis perbatasan antara perairan
pedalaman dan laut territorial. Meskipun garis perbatasan (boundary)
tidak menunjukkan batas luar dari wilayah negara, karena dalam hukum
internasional laut territorial adalah bagian wilayah negara, garis
perbatasan itu menjadi garis pemisah (demarcation) antara daerah
maritim yang disebut perairan pedalaman di mana Negara lain pada
umumnya tidak menikmati hak apapun di satu pihak dengan daerah
maritim yang disebut laut territorial dan jalur-jalur lainnya di mana negara
lain umumnya menikmati hak-hak tertentu di lain pihak.
Secara tradisional para penulis dan konvensi-konvensi
internasional (termasuk Konvensi Hukum Laut) menganggap kaidah-
kaidah terkait garis pangkal sebagai kumpulan hukum yang berkaitan
32
R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, (Manchester: University Press, 1983), Hlm. 25.
28
dengan laut territorial. Hal ini dapat dibenarkan pada waktu itu ketika laut
territorial adalah satu-satunya zona yurisdiksi negara pantai. Akan tetapi
dewasa ini garis pangkal digunakan untuk mengukur bukan hanya batas
luar dari laut territorial, melainkan juga batas luar dari jalur tambahan,
zona perikanan eksklusif dan zona ekonomi eksklusif, dan dalam
keadaan-keadaan tertentu batas luar dari landas kontinen sehingga sudah
tidak tepat mengatakan garis pangkal sebagai bagian dari pada hukum
yang berkaitan dengan laut teritorial semata-mata33.
Persoalan garis pangkal pernah dibahas dalam Konferensi
Kodifikasi Den Haag 1930. Konferensi ini tidak berhasil dalam
mengadopsi suatu konvensi tentang hukum laut. Namun demikian
pekerjaan yang dibuat oleh konferensi dalam hubungan dengan garis
pangkal digunakan sebagai dasar bagi Komisi Hukum Internasional
(International Law Commission atau disingkat dengan ILC) ketika
membicarakan dan membahas masalah garis pangkal sebagai obyek
kajian hukum laut pada awal tahun 1950-an. Sejumlah pasal yang
dihasilkan oleh ILC mengenai garis pangkal dimasukkan ke dalam
Konvensi Geneva 1958 mengenai laut territorial dan jalur tambahan.
Pasal 3-11 dan Pasal 13 dari Konvensi 1958 yang memuat
pengaturan tentang garis pangkal tidak hanya mengikat 46 negara peserta
pada waktu itu, tetapi juga sudah dianggap sebagai kaidah hukum
kebiasaan internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 melalui pasal 4 - 14
33
Ibid., Hlm. 26.
29
dan pasal 16 untuk sebagian besar mengulangi dan menegaskan kembali
perumusan ketentuan-ketentuan Konvensi Geneva terkait garis pangkal
dan hanya menambah ketentuan mengenai keadaan geografis
(geographical situations) yang tidak dibahas oleh ILC atau konferensi
Geneva pada tahun 1958. Patut disayangkan Konvensi Hukum Laut 1982
tidak berupaya untuk mengatasi kekaburan dan mengisi kekosongan
hukum yang terdapat dalam Konvensi Geneva 1958 sehingga banyak
kalangan mengusulkan dilakukannya perbaikan terhadap ketentuan-
ketentuan seperti itu34. Usaha mengatasi ketidakjelasan tersebut penting
dilakukan untuk mencegah dan mengatasi perbedaan tafsir yang dapat
mengakibatkan timbulnya sengketa terkait titik pangkal bagi penarikan
garis pangkal di antara negara-negara tetangga pada masa mendatang.
B. Sengketa Titik Pangkal dan Garis Pangkal
Korea dan Cina terlibat dalam sebuah persengketaan, tetapi bukan
sengketa atau konflik teritorial atas satu pulau ataupun lebih dari satu
pulau. Kedua negara samasekali tidak mudah membuat persetujuan
mengenai titik pangkal yang sebenarnya (valid basepoints) karena
terdapat beberapa pulau yang bermasalah (several problematic islets) dan
fitur bawah laut (submerged features) yang letaknya jauh dari pantai35.
Seperti diketahui, Korea menentang beberapa di antara ‘the straight
baselines’ yang diadopsi Cina pada tahun 1996 atas dasar ketentuan
34
Ibid., Hlm. 26 35
Sun Pyo Kim, Maritime Delimitation and Interim Arrangements in North East Asia, (The Hague/ London/ New York, Martinus Nijhoff Publishers, 2004), Hlm. 208 – 209.
30
pasal 7 KHL 1982. Antara lain sengketa mengenai pengaruh Haijiao
(Barren Island atau Tungtao), Dongnanjiao, Machaiheng dan Waikejiao
yang digunakan Cina dalam menarik ‘straight baselines’ bisa sangat
bermasalah dalam perundingan. Haijiao adalah sebuah karang kecil (a
tiny rock) yang terletak sekitar 69 mil laut dari Shanghai dan Dongnanjiao
juga sebuah karang kecil yang letaknya lebih jauh ke luar dibandingkan
dengan Haijiao. Machaiheng dan Waikejiao tampaknya merupakan fitur
pasir bawah laut (submerged sand features) yang berada sekitar 40 mil
laut dari pantai Cina.
Pemerintah Korea tampaknya menentang legalitas penggunaan
Haijiao, Hainanjiao, Machaiheng dan Waikejiao sebagai ‘basepoints for
drawing straight baselines’. Hal ini disebabkan karena menurut seorang
pakar hukum laut Korea, Hee-Kwon Park, ‘straight baselines yang
melintasi Haijiao dan Hainanjiao menyimpang terlalu jauh dari arah umum
daripada pantai dan daerah yang berada di dalam garis pangkal yang
melintasi kedua karang itu terlalu jauh dari daratan utama (mainland)
untuk dapat tunduk pada rezim perairan pedalaman. Mantan pejabat
Kementerian Luar Negeri Korea itu juga menegaskan bahwa Machaiheng
dan Weikejiao mungkin merupakan tumpukan pasir bawah laut
(submerged sand banks) atau elevasi surut (low-tide elevations) dan tidak
terdapat deretan pulau di sekitarnya. Demikian pula Departemen Luar
Negeri Amerika Serikat melihat kalau Machaiheng berlokasi di perairan
31
dengan kedalaman kurang dari 3 meter dan Weikejiao adalah sebuah
elevasi surut36.
Akan tetapi Cina berusaha mempertahankan legalitas atau
keabsahan masalah penggunaan Haijiao, Dongnanjiao, Machaiheng dan
Weikejiao sebagai ‘basepoints for straight baselines’ dan dengan begitu
Cina berupaya memanfaatkan fitur-fitur seperti itu sebagai ‘basepoints in
the delimitation’, sebagai titik pangkal dalam menetapkan dan
membangun garis batas maritim. Cina juga mungkin berkeinginan
menentang Pulau Soheuksando yang dimiliki Korea yang terletak sekitar
60 mil jauhnya dari mainland Korea dan digunakan oleh pihak Korea
untuk menarik ‘straight baselines’ pada tahun 1978. Meskipun Pulau
Soheuksando yang dimiliki Korea didiami serta jauh lebih luas dari pada
Haijiao dan Dongnanjiao dan pihak Cina tidak pernah menentang
penggunaan Soheuksando sebagai suatu ‘basepoint’ for drawing straight
baselines’, namun pengaruh pulau milik Korea itu sebagai titik pangkal
dalam menarik garis perbatasan dapat ditentang oleh Cina atas alasan-
alasan strategi. Bagi Cina Pulau Soheuksando yang digunakan sebagai
‘basepoint for straight baselines’ oleh pihak Korea, tidak ada masalah,
tetapi ketika Korea menggunakannya sebagai ‘basepoint for maritime
delimitation’, Cina menentang hal seperti ini berdasarkan alasan dan
pertimbangan strategi.
36
Ibid, Hlm.209.
32
Selanjutnya dalam ‘the Qatar v. Bahrain case’, Bahrain
berpendapat bahwa berbagai bentuk alamiah (maritime features) yang
terletak di lepas pantai timur pulau-pulau utama yang dimiliknya dapat
disamakan dengan sederatan pulau yang merupakan kesatuan dengan
daratan utama (the mainland) dan bahwa Bahrain berhak menarik garis
pangkal lurus yang menghubungkan bentuk-bentuk alamiah tersebut (the
maritime features).37 Mangenai hal ini Mahkamah tidak setuju dengan
pendapat Bahrain. Walaupun Mahkamah mengakui bahwa bentuk-bentuk
alamiah atau fitur-fitur laut yang bersangkutan adalah bagian dari seluruh
konfigurasi geografis yang dimiliki Bahrain, namun Mahkamah melihat
bahwa fitur-fitur seperti itu bukan bagian dari pantai yang menjorok jauh
ke dalam, bahwa fitur-fitur seperti itu berbeda dari pada situasi yang
dianalisis dalam kasus Anglo-Norwegian Fisheries Case dan tidak
mempunyai karakter sebagai sederetan pulau (a fringe of islands)
sebagaimana diatur dalam Konvensi Hukum Laut. Hal seperti ini memiliki
makna bahwa fitur-fitur alamiah milik Bahrain tidak dapat digunakan
sebagai titik pangkal dalam menarik garis pangkal maupun dalam
membangun garis batas maritim dengan pihak Qatar.
Menurut Mahkamah, Bahrain pun berpendapat bahwa karena
negaranya adalah Negara kepulauan de facto, meskipun tidak secara
formal menyatakan demikian, Negaranya mempunyai hak untuk menarik
garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari
37
Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain, Merits, Judgment, ICJ Reports 2001. Ibid, Hlm. 276
33
pulau-pulau serta karang-karang kering terluar dari kepulauan itu
berdasarkan pasal 47 KHL 198238. Akan tetapi menurut Mahkamah,
karena Bahrain tidak menyatakan tunduk secara formal sebagai Negara
kepulauan ataukah Negara pantai biasa, Mahkamah tidak dapat
mengambil sikap atas masalah ini. Oleh karena itu garis pangkal yang
digunakan dalam kasus seperti ini adalah garis pangkal normal (normal
baselines) yang dihitung dan diukur dari daratan utama (mainland) negara
tersebut.
Mahkamah juga menghadapi kesulitan kedua dalam menentukan
garis pangkal yang dapat diterapkan dalam kasus ini akibat hadirnya
elevasi surut (low-tide elevation) di daerah itu. Berdasarkan pasal 13 KHL
1982, elevasi surut (low-tide elevation) adalah wilayah daratan yang
terbentuk secara alamiah yang dikelilingi dengan serta berada di atas
permukaan air ketika air laut surut, tetapi berada di bawah permukaan air
ketika air laut pasang. Wilayah yang dinamakan elevasi surut dapat
digunakan sebagai titik bagi garis pangkal apabila seluruh atau sebagian
wilayah seperti ini terletak pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut
territorial dari daratan utama (mainland) atau dari suatu pulau (an island).
Akan tetapi dalam perkara Qatar dan Bahrain, elevasi surut tertentu
berada di daerah di mana laut territorial dari kedua Negara tumpang tindih
satu sama lain, karena masing-masing Negara mengklaim laut territorial
dengan12 mil laut dan jarak antara pantai daratan utama Bahrain dan
38
Ibid, Hlm. 277.
34
pantai jazirah Qatar tidak lebih dari 24 mil laut dimanapun juga. Pada
prinsipnya masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan garis air
rendah (low-water line) dari elevasi surut untuk mengukur lebar laut
territorial. Untuk maksud delimitasi persaingan hak-hak Negara yang
bersumber dari ketentuan-ketentuan relevan dari KHL 1982 tampaknya
harus dinetralisasi satu sama lain.
Bagaimanapun Bahrain berpendapat kalau dia telah
menyampaikan bukti yang memadai mengenai hak kedaulatannya atas
seluruh elevasi surut dan bahwa dia sendiri memiliki hak untuk
memperhitungkannya dalam rangka menetapkan ‘the equidistance line’.
Mahkamah menolak alasan Bahrain ini dan menyatakan bahwa suatu
Negara tidak dapat memperoleh kedaulatan dengan mengambil suatu
elevasi surut yang terletak di dalam batas-batas laut teritorialnya di mana
elevasi surut yang sama juga terletak di dalam batas-batas laut territorial
Negara lain. Mahkamah berkesimpulan bahwa elevasi surut ini tidak dapat
digunakan sebagai bagian dari garis pangkal,39 atau dengan kata lain
elevasi surut tersebut tidak dapat digunakan sebagai titik pangkal dalam
membangun garis batas maritim berdasarkan garis sama jarak
(equidistance line), meskipun elevasi surut tersebut dapat digunakan
sebagai titik pangkal dalam menarik garis air rendah sebagai garis
pangkal normal.
39
ICJ Reports 2001, p. 101 – 103, para.204 – 209.
35
Dalam kasus Libya v. Malta, Libya menganjurkan agar celah bawah
laut yang lokasinya lebih dekat dengan pantai Malta dari pada pantai
Libya seharusnya digunakan sebagai garis perbatasan (boundary line)
antara landas kontinen Libya dan Malta. Namun demikian Mahkamah
menyatakan bahwa karena perkembangan hukum memungkinkan suatu
Negara mengklaim bahwa landas kontinen itu sampai sejauh 200 mil dari
pantainya, apapun ciri-ciri geologis dari dasar laut dan tanah di bawahnya,
bukanlah merupakan alasan untuk menganggap faktor geologis dan
geofisik di dalam jarak tersebut berperan untuk membuktikan hak hukum
Negara-negara yang bersangkutan atau untuk memulai delimitasi di
antara Negara-negara tersebut40.
Ketentuan batas landas kontinen hingga 200 mil laut terhitung dari
garis pangkal jelas dimaksudkan untuk memverifikasi keabsahan hak
(validity of title), karena setidak-tidaknya sejauh daerah-daerah itu terletak
pada jarak kurang dari 200 mil dari pantai tersebut, hak (entitlement)
hanya bergantung pada jarak dari pantai Negara-negara pengklaim atas
bagian dasar laut yang diklaim melalui landas kontinen, dan ciri-ciri
geologis atau geomorfologis dari daerah itu samasekali tidak penting. Hal
ini disebabkan karena jarak antarpantai para pihak kurang dari 400 mil,
dan tidak ada ciri geofisik (geophysical feature) bisa berada lebih dari 200
mil dari pantai, ciri yang dinyatakan sebagai ‘the rift zone’ tidak mungkin
40Continental Shelf (Libyan Arab Jamahiriya/Malta), Judgment, I.C.J. Reports
1985, Hlm. 40, para. 48.
36
merupakan diskontinuitas mendasar yang mengakhiri perluasan landas
kontinen Malta ke arah selatan dan perluasan Libya ke arah utara seakan-
akan diskontinuitas itu adalah perbatasan alamiah (natural boundary)41.
Dalam kasus Libya v. Malta, Libya antara lain mengemukakan
bahwa celah bawah laut yang letaknya lebih dekat dengan pantai Malta
dibandingkan dengan pantainya sendiri, menurut Libya seharusnya
digunakan sebagai garis perbatasan (boundary line) antara landas
kontinen Libya dan Malta. Akan tetapi menurut Mahkamah, sesuai
perkembangan hukum laut internasional suatu Negara dapat mengklaim
landas kontinen sampai sejauh 200 mil dari pantainya. Meskipun Libya
mempunyai ciri-ciri geologis berupa celah bawah laut yang dekat dengan
pantai Malta, celah bawah laut seperti ini tidak dapat dipergunakan
sebagai garis batas landas kontinen antara kedua Negara. Hal ini
mengandung makna bahwa celah bawah laut (the rift zone) yang diklaim
Libya sebagai garis batas landas kontinen dengan pihak Malta tidak dapat
dipakai sebagai titik pangkal dalam menarik garis pangkal maupun dalam
membangun garis batas maritim.
C. Gambaran Berbagai Macam Garis Pangkal
Apa yang dimaksud dengan garis pangkal biasa, garis pangkal
lurus, garis pangkal lurus kepulauan. KHL 1982, Undang-Undang Nomor 6
41
SHI Jiuyong, The Wang Tieya Lecture in Public International Law : Maritime Delimitation in the Jurisprudence of the International Court of Justice, Chinese Journal of International Law (2010), Chinesejil, Oxfordjournals.org/at University Library Utrecht on November 15, 2012, Hlm.287.
37
Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002
mengemukakan sebagai berikut.
Garis pangkal biasa (normal baselines) adalah garis-garis air
terendah di sepanjang pantai pada waktu air sedang surut sehingga
mengikuti segala lekuk liku (bentuk-bentuk morfologi) dari pantai suatu
negara. Pada mulut atau muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak
melebihi 24 mil laut, dan pada pelabuhan, maka harus diperhatikan bahwa
garis air terendah itu dapat ditarik sebagai suatu garis lurus. Garis air
terendah yang ditarik sebagai garis lurus (straight lines) pada perairan di
sekitar muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut
serta pada perairan pelabuhan bilamana sungai, teluk dan pelabuhan itu
tidak berada pada pulau-pulau terluar. Akan tetapi bilamana letak
geografisnya berada pada pulau-pulau terluar, maka garis air terendah
pada muara sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut
maupun pada pelabuhan, dapat ditarik sebagai suatu garis penutup
(closing lines).
Garis pangkal biasa lazimnya dipergunakan oleh negara yang
dikualifikasi sebagai negara pantai normal (normal coastal state), seperti
Malaysia, Korea Utara, Korea Selatan, RRC, AS, Australia dan banyak
negara pantai biasa lainnya yang wilayahnya berupa sebuah daratan atau
kontinen semata-mata walaupun tidak tertutup kemungkinan memiliki satu
pulau kecil atau lebih yang mungkin secara geografis berada jauh dari
wilayahnya..
38
Untuk mempermudah pemahaman mengenai garis pangkal biasa
(normal baselines), maka di bawah ini dibentangkan gambar mengenai
garis seperti itu yang dapat ditemukan pada bagian lampiran disertasi
ini.42 Selanjutnya garis pangkal lurus (straight baselines) adalah garis air
terendah yang menghubungkan titik-titik pangkal berupa titik-titik terluar
yang terdapat pada pantai daratan utama (mainland) suatu negara atau
pada pantai gugusan pulau yang berada di depannya (daratan utama).
Garis pangkal lurus hanya dapat diterapkan oleh negara yang
memiliki daratan utama, namun garis pantainya berliku-liku tajam pada
daratan utama tersebut. Selain memiliki daratan utama yang pantainya
berliku-liku tajam, negara tersebut juga memiliki gugusan pulau-pulau
yang letaknya berdekatan dengan pantai daratan utama. Negara tersebut
juga memiliki apa yang dinamakan delta maupun kondisi alam lainnya
yang menyebabkan garis pantainya sangat tidak menentu, seperti
terdapatnya apa yang dinamakan fyord baik pada daratan utama maupun
pada deretan dan gugusan pulau di dekatnya.
Negara dengan kondisi geografis seperti itulah yang dapat
menggunakan dan menerapkan garis-garis pangkal lurus di mana
perairan yang terdapat atau berada pada sisi dalam dari garis-garis
pangkal lurus itu adalah merupakan perairan pedalaman (internal waters),
sementara perairan yang terletak pada sisi luar dari garis-garis pangkal
lurus itu adalah merupakan jalur laut territorial yang lebarnya maksimal 12
42
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1990), Hlm. 110.
39
mil laut yang dihitung atau diukur dari garis-garis pangkal lurus. Namun
demikian garis pangkal lurus bukan sesuatu yang dapat berdiri sendiri
karena harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal
normal yang disebut juga garis air terendah atau garis air surut43.
Di samping persyaratan tadi, maka untuk dapat menerapkan garis
pangkal lurus, maka negara dengan kondisi geografis seperti itu harus
memiliki kepentingan ekonomi yang bersifat khusus atau spesifik di mana
kepentingan ekonominya atas perairan yang terbentuk berdasarkan garis
pangkal lurus adalah merupakan suatu kenyataan serta sesuatu yang
sangat signifikan yang secara jelas dapat dibuktikan melalui praktek yang
telah berlangsung lama.
Persyaratan berikutnya adalah bahwa garis pangkal lurus tersebut
tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum pantai negara yang
bersangkutan. Akhirnya garis pangkal lurus tidak boleh ditarik dari elevasi
surut (low tide elevation) maupun menuju ke elevasi surut sehingga
elevasi surut itu tidak boleh digunakan sebagai titik pangkal atau titik
terluar terkecuali elevasi surut itu telah memiliki mercu suar atau instalasi
serupa yang terus menerus berada di atas permukaan air laut.
Negara yang pertama kali menerapkan garis pangkal lurus adalah
negeri Norwegia karena wilayahnya secara geografis terdiri dari daratan
utama yang pantainya sangat berliku-liku tajam (terdapat anak-anak laut,
fyord etc) serta di dekat daratan utama bertebaran gugusan pulau-pulau.
43
George K. Walker, op. cit., Hlm. 118 – 119.
40
Penduduk Norwegia menggantungkan hidupnya pada kegiatan
penangkapan ikan di perairan sekitar wilayah daratan serta deretan pulau-
pulau di depannya, di mana hal ini sudah berlangsung lama secara turun
menurun sehingga bagi bangsa Norwegia wilayah perairan tersebut
memiliki kepentingan dan nilai ekonomi yang istimewa44. Faktor-faktor
inilah yang mendorong Norwegia sehingga mengeluarkan suatu peraturan
yang dinamakan Dekrit Raja Norwegia (the Royal Decree) pada tahun
1935 yang menetapkan wilayah perairannya sebagai wilayah perikanan di
laut territorial serta perairan pedalaman, di mana terbentuknya wilayah
perairan ini didasarkan atas penerapan garis pangkal lurus yang
merupakan garis-garis air terendah yang menghubungkan titik-titik terluar
yang terdapat pada pantai daratan utama maupun pada gugusan pulau
yang berdekatan dengan daratan utama tersebut.
Negara yang memiliki elevasi surut berkewajiban untuk
membangun mercu suar atau semacam instalasi di atas elevasi surut
tersebut yang tujuannya di samping untuk menunjukkan atau
membuktikan kepemilikannya atas elevasi surut, juga terutama untuk
melindungi dan menjamin keselamatan pelayaran bagi kapal-kapal yang
melewati atau melintasi perairan di sekitar elevasi surut. Dengan demikian
mercu suar atau instalasi tersebut mempunyai fungsi sebagai tanda
peringatan (warning signals) bagi para pemakai laut agar berhati-hati
ketika melintasi perairan di sekitar elevasi surut sebab perairan yang
44
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1978), Hlm. 105.
41
berada di sekitar atau di sekeliling elevasi surut itu merupakan perairan
yang sangat dangkal atau perairan yang di bawahnya terdapat beting atau
karang-karang kering sehingga dapat membahayakan keselamatan
berlayar apabila negara pantai yang bersangkutan tidak membangun
mercu suar di atas elevasi surut.
Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut territorial dan jalur
tambahan dan kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 7 KHL 1982
menciptakan semacam azas keseimbangan antara kepentingan Negara
pemilik elevasi surut dan sarana di atasnya di satu pihak dengan
kepentingan negara-negara lain yang memanfaatkan perairan di sekitar
sarana mercusuar atau instalasi di atas elevasi surut tersebut. Azas
keseimbangan tersebut tidak lain dari pada penerapan prinsip keadilan
yang melandasi hak dan kewajiban antara negara pantai dengan negara
yang kapalnya memanfaatkan perairan di sekitar mercu suar atau instalasi
di atas elevasi surut yang bisa berfungsi sebagai titik pangkal bagi
penarikan garis pangkal lurus.
Apa yang dinamakan elevasi surut (low tide elevation) tentu
berbeda dengan pulau (natural island). Walaupun di antara keduanya
terdapat persamaan di mana keduanya baik pulau maupun elevasi surut
adalah merupakan wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah,
namun sebuah pulau senantiasa berada di atas permukaan air laut
kendati air laut sedang mengalami gejala atau peristiwa pasang yang
42
setinggi-tingginya 45 Sedangkan apa yang disebut elevasi surut hanya bisa
muncul di atas permukaan air laut ketika air laut sedang surut, tetapi
ketika sedang mengalami pasang yang setinggi-tingginya, elevasi surut
tersebut umumnya tenggelam dan tidak kelihatan di atas permukaan air
laut sehingga demi keselamatan pelayaran Negara pemiliknya
berkewajiban membangun mercu suar di atasnya.
Malaysia telah mengundangkan pada tanggal 1 Mei 2007 Undang-
Undang tentang Garis Pangkal Zona-Zona Maritim atau the Baselines of
Maritime Zones Act (Act 660). Undang-undang ini menetapkan garis
pangkal normal (normal baselines) harus mengikuti garis air rendah (low-
water line) sebagaimana dinyatakan pada peta dengan skala luas.
Undang-undang yang sama menetapkan penggunaan garis pangkal lurus
(straight baselines) yang menghubungkan titik-titik pangkal tertentu di
sepanjang pantai.46 Undang-undang ini memungkinkan adanya legislasi
dan Malaysia tidak mempublikasikan peta atau daftar koordinat geografis
menyangkut garis pangkal lurus. Bagaimanapun juga Malaysia
seharusnya menjamin bahwa penggunaan garis pangkal lurus
berdasarkan ‘the 2006 Act’ adalah sesuai dengan artikel 7 KHL 1982
seperti yang ditafsirkan oleh Mahkamah dalam kasus Qatar v. Bahrain47,
45
Pasal 12 Konvensi Hukum Laut 1982. 46
Robert Beckman, Moving Beyond Disputes over Island Souvereignty : ICJ Decision Sets Stage for Maritime Boundary Delimitation in the Singapore Straits, Ocean Development & International Law, 40, 2009, Hlm. 5-6.
47 Many coastal states, especially states in East Asia and Southeast Asia, have
given a liberal or, indeed, excessive interpretation to Article 7, and have employed straight baselines in circumstances that arguably do not meet the requirements in Article
43
yang pada dasarnya menyatakan bahwa artikel 7 KHL 1982 bermaksud
untuk mengatur secara khusus garis pantai yang rumit dan tidak teratur, di
mana penggunaan normal baselines bisa mempersulit batas-batas
yurisdiksi maritim. Jika garis pangkal lurus negara tersebut berlebih-
lebihan (excessive in character), maka garis pangkal seperti itu tidak
mungkin dapat diterima oleh negara pantai tetangganya.
Dalam Case Concerning Sovereignty Over Pedra Branca / Pulau
Batu Puteh, Middle Rocks and South Ledge Between Malaysia and
Singapore, Indonesia dan Singapura mungkin akan mengambil posisi
bahwa Malaysia seharusnya menggunakan metode garis pangkal normal
yang mengikuti garis air rendah di sebelah timur Selat Singapura. Hal ini
disebabkan karena pantai Malaysia di daerah Johor tampaknya tidak
memiliki sederetan pulau (a fringe of islands) dan tidak berliku-liku tajam,
dan dengan demikian tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan
garis pangkal lurus berdasarkan ketentuan artikel 7.
Akhirnya tentang garis pangkal lurus kepulauan (straight
archipelagic baselines) dapat diterapkan oleh negara yang dikualifikasi
sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State) seperti halnya Indonesia
yang kini mulai memperkenalkan konsepsi Benua Maritim Indonesia48.
7. Nonetheless, the intent of Article 7 of UNCLOS is clear to deal with especially complex and irregular coastlines where the use of normal baselines would result in similarly convoluted maritime jurisdictional limits. This interpretation of Article 7 is supported by the decision in the Qatar/Bahrain case, which stated unequivocally that the method of straight baselines in accordance with Article 7 of UNCLOS “must be applied restrictively. Ibid., Hlm. 5
48 Konsepsi Benua Maritim Indonesia atau disingkat Konsepsi BMI adalah
gagasan mantan Presiden RI BJ. Habibie yang sesungguhnya merupakan
44
Garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) adalah
garis-garis air terendah yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-
pulau dan karang kering terluar yang dimiliki oleh Negara Kepulauan.
Syarat utama penarikan garis pangkal lurus kepulauan adalah bahwa
garis pangkal lurus kepulauan harus meliputi pulau-pulau utama (main
islands) dari negara kepulauan tersebut. Garis pangkal lurus kepulauan
Indonesia harus dapat mencakup pulau-pulau utama seperti Pulau Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Selain daripada itu
dengan penarikan garis pangkal lurus kepulauan, maka perbandingan
antara luas wilayah perairan dengan luas wilayah daratan termasuk atoll
atau karang kering harus berkisar antara satu berbanding satu sampai
sembilan berbanding satu.
Dengan mencermati wilayah Indonesia yang sebagian besar terdiri
dari wilayah perairan yang menyatu dengan wilayah daratan melalui
penerapan garis pangkal lurus kepulauan, dengan memperhatikan Pulau
Sumatera atau Pulau Jawa serta wilayah perairan di sekitarnya, maka
tampak perbandingan antara luas wilayah perairan di sekitar Pulau
Sumatera ataupun di sekitar Pulau Jawa dengan luas wilayah daratan
Pulau Sumatera ataupun wilayah daratan Pulau Jawa adalah sekitar dua
pengembangan dari konsepsi Nusantara ataupun wawasan nusantara. Konsepsi BMI menegaskan Indonesia harus dilihat sebagai sebuah benua laut yang di atasnya bertebaran pulau-pulau besar dan kecil seakan-akan pulau-pulau ini melekat dan menempel pada wilayah laut yang sedemikian luas. Hal ini berbeda dari konsepsi nusantara ataupun wawasan nusantara yang memperlihatkan wilayah perairan di sekitar dan di antara pulau-pulau seakan-akan melekat dan tidak terpisahkan dari wilayah daratan Indonesia. Lihat Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Kerangka Kebijakan Pola Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin, 1999, Hlm. 11-15.
45
atau tiga berbanding satu. Akan tetapi ketika mencermati Kepulauan
Maluku (Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara) serta wilayah
perairan di sekitarnya, maka luas wilayah perairannya dengan luas
wilayah daratannya perbandingannya dapat mencapai sembilan
berbanding satu.
Selanjutnya terdapat beberapa pembatasan dalam menerapkan
garis pangkal lurus kepulauan. Pertama, setiap garis pangkal lurus
kepulauan dapat mempunyai kepanjangan maksimal 100 mil laut, dengan
demikian panjangnya bisa kurang dari 100 mil laut, tetapi tidak boleh
melebihi 100 mil laut. Namun ketentuan mengenai pembatasan setiap
garis pangkal lurus kepulauan ini masih disertai dengan suatu
pengecualian yang menyatakan dari jumlah keseluruhan garis-garis
pangkal lurus kepulauan yang terbentuk, maka 3 persen di antaranya
dimungkinkan untuk mencapai kepanjangan maksimum hingga 125 mil
laut49.
Dengan berpatokan pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia, maka sesuai dengan jumlah pulau terluar
terdapat 166 titik pangkal. Jumlah titik pangkal ini menghasikan 125 garis
pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) serta 26 garis
pangkal biasa (normal baselines).
49
George K. Walker, op. cit., Hlm. 120
46
Pembatasan berikutnya adalah bahwa garis-garis pangkal lurus
kepulauan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum
kepulauan tersebut, yang pengertiannya sama dengan tidak boleh
menyimpang terlalu jauh dari arah pantai dari kepulauan maupun dari
pulau-pulau pada umumnya. Dengan mencermati estimasi keseluruhan
garis-garis pangkal kepulauan Indonesia yang menyatukan wilayah
kepulauan serta wilayah perairan, maka kelihatan sekali garis-garis
pangkal kepulauan Indonesia secara terpadu memperlihatkan konfigurasi
yang mirip dan menyerupai seekor kuda lumping yang terkenal dalam seni
budaya Jawa sehingga memenuhi ketentuan yang menyatakan garis
pangkal lurus kepulauan tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari
konfigurasi umum kepulauan RI.
Selanjutnya dinyatakan bahwa garis pangkal lurus kepulauan tidak
boleh ditarik ke dan dari elevasi surut sehingga tidak dapat dipakai
sebagai titik pangkal apabila elevasi ini terletak di sekitar pulau terluar.
Namun elevasi ini bisa saja digunakan sebagai titik pangkal asal saja di
atasnya telah dibangun dan dipasang mercu suar atau instalasi serupa
yang secara terus menerus berada di atas permukaan laut sehingga tidak
membahayakan keselamatan berlayar. Di samping itu elevasi surut
tersebut dapat digunakan sebagai titik pangkal bilamana seluruh atau
sebagian dari elevasi surut itu terletak dalam jarak yang tidak melebihi
lebar laut territorial yang diukur atau dihitung dari pulau terdekatnya.50
50
Ibid., Hlm. 120 - 121
47
Terkait pembangunan mercu suar Indonesia di atas elevasi surut di
lepas pantai Pulau Sebatik yang dinamakan Karang Unarang, hal seperti
ini dilakukan untuk membuktikan kepemilikan atas Karang Unarang serta
kewajiban Indonesia dalam menjamin keselamatan pelayaran bagi kapal-
kapal asing yang sering melewati daerah perbatasan di sekitar Pulau
Sebatik. Dengan terlepasnya Pulau Ligitan dan Sipadan, maka dengan
sendirinya terjadi perubahan dan pergeseran dari titik pangkal di Pulau
Ligitan ke titik pangkal di Karang Unarang (di lepas pantai Pulau Sebatik)
dan untuk selanjutnya dilakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan
dari Karang Unarang ke titik pangkal antara lain di Pulau Maratua, Pulau
Sebatik, Pulau Gosong, Pulau Dolangan dan Pulau Salando yang berada
di Laut Sulawesi.
Pembatasan lain yang harus menjadi perhatian dalam menerapkan
garis pangkal lurus kepulauan adalah bahwa garis pangkal lurus
kepulauan tidak boleh ditarik sedemikian rupa sehingga memotong
perairan laut territorial negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi
eksklusif51. Dengan mencermati perairan kepulauan di sekitar Kepulauan
Natuna sebagai wilayah perairan RI yang terletak antara Semenanjung
Barat dengan Semenanjung Timur Malaysia, laut territorial Malaysia pada
kedua semenanjung tersebut dapat dikatakan samasekali tidak terganggu,
dalam arti tidak mengalami duplikasi (overlapping) dengan laut territorial
Indonesia ketika diterapkan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia yang
51
George K. Walker, loc.cit.
48
menghubungkan pulau-pulau terluar di Laut Natuna yang berdekatan
dengan wilayah Malaysia.
Garis pangkal lurus kepulauan bukan sesuatu yang berdiri sendiri,
melainkan harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal
lain52 sebab eksistensinya bergantung pada garis seperti ini, seperti garis
pangkal normal, garis pangkal lurus dan garis-garis penutup pada teluk,
sungai dan pelabuhan baik yang berada pada bagian dalam maupun
bagian luar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia.53
Garis pangkal lurus kepulauan atau garis pangkal kepulauan
Indonesia harus ditegaskan melalui sebuah Peta yang dapat dinamakan
peta garis pangkal kepulauan bertujuan untuk menjamin batas-batas
wilayah, melindungi kedaulatan dan keutuhan territorial dalam
hubungannya dengan negara-negara tetangga. Selama belum dibuat peta
garis pangkal kepulauan Indonesia, maka dapat dibuat Daftar Koordinat
Geografis Titik-Titik Garis Pangkal. Meskipun hingga saat ini pemerintah
belum membuat Peta, tetapi sudah ditetapkan Daftar Koordinat Geografis
(sebagai pengganti Peta) yang disusun menurut skala yang memadai
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 mengenai
Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
Daftar Koordinat ini telah didepositkan pada Sekjen PBB agar supaya
mendapatkan legitimasi dari PBB. Akan tetapi sejauh mana legitimasi dari
52
Pasal 14 Konvensi Hukum Laut 1982 (Kombinasi cara-cara penetapan garis pangkal). The Coastal State may determine baselines in turn by any of the methods provided for in the foregoing articles to suit different conditions.
53 I Wayan Parthiana, ibid., Hlm. 117.
49
Negara peserta KHL 1982 terhadap peta ataupun daftar koordinat titik-titik
garis pangkal kepulauan Indonesia memerlukan penelitian tersendiri.
D. Latar Belakang Persengketaan atas Pulau Sipadan dan Ligitan
Munculnya pertama kali sengketa wilayah Indonesia-Malaysia di
Laut Sulawesi menyangkut masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan telah ditempuh melalui berbagai macam cara penyelesaian
yang mengutamakan persahabatan antara kedua negara guna mencari
pemecahan yang seadil-adilnya.54
Masalah itu sendiri timbul pada tahun 1969 ketika delegasi kedua
negara mengadakan pertemuan untuk menetapkan garis batas landas
kontinen masing-masing negara. Pada saat itu kedua delegasi sepakat
untuk tidak membicarakan masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan karena di samping pembicaraan mengenai kedua pulau itu bisa
mengeruhkan suasana damai seusai konfrontasi kedua negara, juga
adanya kepekaan politik saat itu terkait tuntutan Filipina atas Sabah
sehingga kedua pihak sepakat membiarkan kedua pulau itu dalam posisi
status quo.55
54
S.M. Noor, Politik Hukum dalam Praktek Ratifikasi di Indonesia, (Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2008), Hlm. 202.
55 Ibid., Hlm. 204. Sabah sebagai wilayah Malaysia akhir-akhir ini menjadi berita
hangat di mass media setelah Kesultanan Sulu mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayahnya yang disewa oleh Inggeris sejak abad 19. Hubungan sewa menyewa terkait pulau Sabah masih dilanjutkan oleh Pemerintah Malaysia; Lihat S.M. Noor, Insiden Sabah dan Klaim Batas Sejarah, Harian Kompas, 14 Maret 2013, Hlm. 6; Terlepas pandangan beliau dari aspek hubungan internasional, maka ada makna lain dari kasus Sabah dikaitkan dengan penetapan garis batas maritim antara Indonesia dan Malaysia dengan memperhatikan keadaan khusus atau relevan. Kasus Sabah harus ditempatkan sebagai salah satu faktor geografis yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan delimitasi maritim.
50
Setelah masalah ini didiamkan dan berjalan selama satu
dasawarsa, Pemerintah Indonesia pada 8 Februari 1980 menyampaikan
nota protes kepada Pemerintah Malaysia karena pada bulan Desember
1979 Malaysia menerbitkan peta yang memasukkan kedua pulau itu ke
dalam wilayahnya. Bahkan Presiden Soeharto pun segera menemui
Perdana Menteri Husain Onn yang disusul dengan pertemuan tingkat
Menteri. Nota protes dari pihak Indonesia dan nota balasan dari pihak
Malaysia tidak terelakkan sehingga kedua Negara membentuk suatu
kelompok kerja yang disebut Joint Working Group on Pulau Sipadan and
Pulau Ligitan guna menyelesaikan sengketa kepemilikan atas kedua pulau
itu.
Kelompok kerjasama tersebut telah mengadakan beberapa kali
pertemuan. Pertemuan pertama dilakukan di Jakarta pada bulan Juli
tahun 1992, di mana Indonesia menegaskan posisinya mengenai
kepemilikan atas kedua pulau itu dengan menyampaikan argumentasi
hukum dan beberapa dokumen serta peta untuk mendukung klaimnya
atas kedua pulau itu. Demikian pula Malaysia telah menyerahkan sebuah
Memorandum Pemerintahnya disertai dokumen pendukungnya, kemudian
terjadi tukar menukar dokumen, tetapi belum dibahas substansinya.56
Pertemuan kedua diselenggarakan di Kuala Lumpur pada bulan
Januari tahun 1994, di mana hasilnya dapat dikatakan relatif sama dengan
pertemuan pertama. Namun tercapai kemajuan yang ditandai dengan
56
Ibid., Hlm. 202-204
51
adanya kesepakatan untuk mempercepat proses penyelesaian sengketa
kepemilikan atas kedua pulau tersebut, yakni dengan mengadakan
pertemuan lanjutan di Indonesia. Kemajuan hasil pertemuan ini
mencerminkan amanat hasil pertemuan Presiden Soeharto dengan
Perdana Menteri Mahathir Muhammad di Pulau Langkawi pada bulan Juli
1992 bahwa sengketa kedua pulau itu perlu segera diselesaikan agar
tidak membebani generasi mendatang.57
Kemajuan lain selama putaran kedua adalah dikeluarkannya
pernyataan pers bersama yang menyebutkan kedua delegasi
menyampaikan sejumlah dokumen untuk menegaskan posisi masing-
masing. Di samping itu kedua delegasi menyepakati sejumlah prinsip,
antara lain bahwa masalah Sipadan dan Ligitan akan diselesaikan dengan
prinsip-prinsip hukum internasional, termasuk perjanjian yang relevan,
konvensi-konvensi dan berbagai saling pengertian yang melibatkan pihak
yang relevan dan waktu yang relevan pula. Selanjutnya dinyatakan bahwa
suatu penyelesaian segera atas masalah sengketa Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan akan berdampak positif bagi hubungan persahabatan dan
bertetangga kedua negara. Terakhir, penyelesaian sengketa ini harus
melalui konsultasi dan atau melalui cara damai.
Putaran ketiga perundingan penyelesaian sengketa atas kedua
pulau itu diadakan di Jakarta pada bulan September 1994. Malaysia
berkeinginan untuk segera menyelesaikan sengketa tersebut dengan
57
Ibid., Hlm. 206
52
melibatkan pihak ketiga. Malaysia mengajak Indonesia untuk
menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di depan ICJ
karena ICJ sebagai pihak ketiga dipandang mampu menyelesaikan isu
tersebut secara berwibawa, netral, aman dan sesegera mungkin.
Sebaliknya pihak Indonesia dalam pidato penutupan Kelompok Kerjasama
putaran ketiga ini oleh Ketua delegasinya menyatakan bahwa Indonesia
belum merasa perlu melibatkan pihak ketiga. Namun bila kelak memang
harus demikian, Indonesia memilih Dewan Tinggi (High Council) ASEAN
sebagai pihak ketiga.
Malaysia menolak menggunakan “High Council” dalam
menyelesaikan sengketa tersebut karena negara itu khawatir mekanisme
seperti itu akan banyak menghabiskan waktu. Pihak Malaysia tidak
menghendaki penyelesaiannya berlarut-larut sehingga bisa mengganggu
hubungan baik kedua negara. Sedangkan alasan Indonesia memilih
ASEAN High Council apabila memang sudah dibutuhkan pihak ketiga,
yaitu karena lembaga itu tentu saja memiliki pengetahuan yang lebih baik
mengenai masalah yang terjadi di kawasan ASEAN.
Negosiasi dan diplomasi yang telah dilakukan oleh kedua negara
selama bertahun-tahun tidak menghasilkan solusi mengenai kepemilikan
atas kedua pulau tersebut. Tidak tercapainya titik temu soal Sipadan dan
Ligitan menyebabkan pada tahun 1994 Presiden Soeharto dan Perdana
Menteri Mahathir Mohammad sepakat untuk mengangkat Wakil Pribadi
(Special Representative) guna menyelesaikan masalah tersebut. Presiden
53
Soeharto menunjuk Mensesneg. Moerdiono, sedangkan PM Mahathir
Mohammad menunjuk Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim. Kedua
Wakil Pribadi itu mengadakan empat kali pertemuan di Kuala Lumpur dan
Jakarta, tetapi keduanya tidak berhasil mencapai kesepakatan.58
Lewat pertemuan mereka di Kuala Lumpur pada 21 Juni 1996,
Moerdiono dan Anwar Ibrahim menandatangani laporan bersama yang
diajukan kepada Presiden Soeharto dan PM Mahathir Mohammad yang
isinya merekomendasikan agar sengketa soal Sipadan dan Ligitan dibawa
ke Mahkamah Internasional. Rekomendasi itu diterima oleh kedua Kepala
Pemerintahan.
Tanggal 31 Mei 1997 Malaysia dan Indonesia secara resmi
memulai proses penentuan hak klaim atas Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan dengan menyerahkannya kepada Mahkamah Internasional.
Perjanjian khusus untuk secara bersama-sama menyerahkan pertikaian
kedaulatan atas kedua pulau itu kepada Mahkamah Internasional
ditandatangani oleh Menlu RI Ali Alatas dan Menlu Malaysia Abdullah
Ahmad Badawi di Kuala Lumpur menjelang pertemuan informal para
Menlu ASEAN. Sebelum diajukan secara resmi kepada Mahkamah
Internasional, perjanjian khusus (Special Agreement) itu harus terlebih
dahulu diratifikasi oleh parlemen masing-masing negara. Setelah
diratifikasi, kedua pihak akan bertemu lagi untuk menentukan tanggal
penyerahan kasus itu kepada Mahkamah Internasional. Penyerahan
58
Ibid., Hlm. 210
54
kasus itu dilakukan bersama-sama. Tidak ada pihak yang mendahului
pihak lain, tetapi diajukan secara bersama-sama. Kedua pihak
menyatakan apapun hasil keputusan Mahkamah Internasional nanti akan
bersifat final dan mengikat.59
E. Pertimbangan Mahkamah Internasional atas Konvensi London1891
dan Rangkaian Peralihan Hak (A Chain of Title)
Mahkamah melihat dan mencatat bahwa klaim kedaulatan
Indonesia atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan terutama sekali
berlandaskan pada Konvensi yang diadakan oleh Inggris dan Belanda
pada 20 Juni 1891 guna menentukan batas-batas antara kepemilikan
Belanda di Pulau Borneo serta negara-negara bagian (States) di pulau
yang sama yang berada di bawah proteksi Inggris. Indonesia juga
menyandarkan diri pada serangkaian penguasaan efektif (effectivities) di
mana penguasaan efektif ini diklaim oleh Belanda dan Indonesia
memperkuat haknya yang sesuai dengan perjanjian (its conventional title).
Dalam persidangan di pengadilan (the oral proceedings) Indonesia
berpendapat, dengan menggunakan argumentasi yang bersifat alternatif,
bahwa jika Mahkamah harus menolak haknya yang didasarkan atas
Konvensi 1891, maka Indonesia masih dapat mengklaim kedaulatan atas
pulau-pulau yang dipersengketakan sebagai pengganti Sultan Bulungan
yang memiliki kekuasaan (authority) terhadap pulau-pulau tersebut.
59 DPR-RI memberikan persetujuan kepada Pemerintah untuk melakukan
ratifikasi perjanjian Indonesia dan Malaysia untuk berperkara di depan Mahkamah Internasional pada tanggal 31 Desember 1997. Baca Arif Havas Oegroseno, Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia, Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law: Volume 6 Number 3 April 2009), Hlm. 308
55
Pihak Malaysia berpendapat bahwa negaranya mendapatkan
kedaulatan atas pulau Ligitan dan pulau Sipadan karena diduga
negaranya meneruskan hak yang sebenarnya dipegang oleh bekas
penguasa, yakni Sultan Sulu. Malaysia mengklaim bahwa hak ini lalu
beralih ke pihak Spanyol, lalu ke pihak Amerika Serikat, kemudian ke
pihak Inggeris (Great Britain) atas nama Negara Borneo Utara, lalu ke
pihak Kerajaan Inggeris dan Irlandia Utara (the United Kingdom of Great
Britain and Northern Ireland), dan akhirnya beralih ke pihak Malaysia
sendiri.
Dengan memakai argumen alternatif Malaysia berpendapat bahwa
jika Mahkamah harus berkesimpulan bahwa pulau-pulau yang
dipersengketakan itu sejatinya adalah milik Belanda, maka penguasaan
yang dilakukannya secara efektif bagaimanapun juga dapat menggantikan
hak Belanda atas kedua pulau tersebut.
Mahkamah melihat bahwa Indonesia mengklaim memiliki
kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terutama berdasarkan
atas Konvensi tahun 1891, di mana ketentuan-ketentuan, konteks,
maksud dan tujuannya, menetapkan bahwa garis lintang yang paralel
dengan 4o 10’ lintang utara sebagai garis pembagi kepemilikan masing-
masing pihak di daerah yang kini dipersengketakan. Dalam hubungan ini
Mahkamah menyatakan bahwa garis yang ditetapkan di dalam Konvensi
1891 sejak awal tidak dimaksudkan sebagai garis pembagi atau
sebetulnya sebagai suatu batas maritim sebelah Timur Pulau Sebatik,
56
tetapi garis tersebut harus dianggap sebagai suatu garis alokasi : daerah-
daerah daratan, termasuk pulau-pulau yang terletak di sebelah utara dari
garis lintang yang sejajar dengan 4o 10’ lintang utara dianggap sebagai
kepunyaan Inggris, sedangkan daerah-daerah daratan yang terletak di
sebelah selatan dari garis tersebut dianggap sebagai kepunyaan Belanda.
Karena pulau-pulau yang dipersengketakan terletak di sebelah selatan
dari garis yang sejajar dengan 4o 10’ lintang utara, maka berdasarkan
Konvensi 1891 hak atas pulau-pulau tersebut diberikan kepada Belanda
dan kini diberikan kepada pihak Indonesia.
Pada dasarnya Indonesia menyandarkan diri pada Artikel IV dari
Konvensi 1891dalam mendukung klaim kedaulatan atas pulau Sipadan
dan pulau Ligitan. Ketentuan artikel itu berbunyi sebagai berikut :
“Dari 4o10’ lintang utara pada pantai timur garis batas itu harus dilanjutkan menuju ke arah timur sepanjang garis paralel melintasi Pulau Sebatik : sehingga bagian dari pulau yang berada di sebelah utara dari garis parallel tersebut jelas menjadi milik dari the British North Borneo Company, sedangkan bagian pulau yang berada di sebelah selatan garis paralel tersebut menjadi milik Belanda”. Mahkamah melihat bahwa Indonesia bukanlah negara peserta
(party) pada Konvensi Wina 23 Mei 1969 mengenai Hukum Perjanjian.
Namun demikian Mahkamah mengemukakan bahwa menurut hukum
kebiasaan internasional, yang tercermin melalui Pasal 31 dan Pasal 32
dari Konvensi Wina, suatu perjanjian harus ditafsirkan dengan itikad baik
menurut arti yang lazim diberikan pada ketentuan itu dalam konteksnya
serta berdasarkan atas maksud dan tujuannya. Bagaimanapun juga
penafsiran harus didasarkan atas teks perjanjian. Sebagai pelengkap
57
dapat digunakan cara-cara interpretasi, seperti pekerjaan persiapan dalam
membuat perjanjian maupun keadaan-keadaan pada waktu perjanjian itu
ditutup.
Mengenai istilah-istilah dalam Artikel IV, Indonesia tetap
berpendapat bahwa artikel ini sama sekali tidak menganjurkan garis yang
sejajar dengan 4o 10’ lintang utara harus berhenti di pantai timur pulau
Sebatik. Menurut Malaysia, pengertian sederhana dan lazim mengenai
kata-kata ‘across the Island of Sebatik’ menggambarkan dalam bahasa
Inggeris dan Belanda suatu garis yang melintasi Sebatik dari pantai barat
ke pantai timur dan tidak berlanjut ke laut.
Mahkamah melihat kalau para pihak berbeda pendapat tentang
bagaimana preposisi atau kata depan ‘across’ (dalam bahasa Inggris)
atau ‘over’ (dalam bahasa Belanda) dalam kalimat pertama dari Artikel IV
Konvensi 1891 seharusnya ditafsirkan. Mahkamah mengakui kata seperti
itu (across) bukan tanpa kekaburan (ambiguity) sehingga dapat ditafsirkan
oleh para pihak. Sesungguhnya garis yang ditetapkan oleh perjanjian
dapat melintasi sebuah pulau dan berakhir di pantai pulau itu atau garis itu
berlanjut melampaui pulau itu.
Para pihak juga tidak sepakat mengenai interpretasi terhadap
kalimat sama yang berbunyi ‘garis batas harus dilanjutkan menuju ke
timur sepanjang garis parallel 4o 10’ lintang utara’. Dalam pandangan
mahkamah, istilah ‘shall be continued’ juga tidak tanpa kekaburan
(ambiguity). Artikel I dari Konvensi 1891 menentukan titik awal perbatasan
58
di antara kedua negara, sementara Artikel II dan III mendeskripsikan
bagaimana garis perbatasan tersebut berlanjut dari satu bagian ke bagian
berikutnya. Oleh karena itu apabila Artikel IV menentukan garis batas itu
harus dilanjutkan lagi dari pantai timur Borneo sepanjang garis parallel 4o
10’ lintang utara serta melintasi pulau Sebatik, maka hal ini tidak harus
berarti garis batas seperti itu berlanjut sebagai garis alokasi di luar pulau
Sebatik. Lagi pula Mahkamah beranggapan bahwa perbedaan tanda baca
pada kedua versi dari Artikel IV Konvensi 1891 tidak membantu
menjelaskan arti dari teks dalam hubungan dengan kemungkinan
perluasan garis ke laut, yaitu ke timur pulau Sebatik.
Mahkamah melihat bahwa setiap kekaburan (ambiguity) dapat
dihindari apabila ditegaskan oleh Konvensi 1891 sehingga garis paralel 4o
10’ lintang utara, di luar pantai timur pulau Sebatik, merupakan garis yang
memisahkan pulau-pulau yang berada di bawah kedaulatan Inggris
dengan pulau-pulau yang berada di bawah kedaulatan Belanda.Tidak
diaturnya hal tersebut jelas tidak dapat diingkari sehingga Mahkamah
mendukung pendirian Malaysia. Demikian pandangan Mahkamah
menyangkut teks artikel IV dari Konvensi London 1891 yang pada
prinsipnya menolak pengertian garis yang sejajar dengan 4o10’ lintang
utara sebagai garis alokasi atau garis pembagian wilayah kedaulatan
antara Inggris dan Belanda karena teks artikel itu adalah kabur sehingga
memerlukan penafsiran.
59
Mengenai konteksnya, Mahkamah beranggapan bahwa
memorandum penjelasan yang dibuat Pemerintah Belanda (the Dutch
Explanatory Memorandum) yang dilampirkan pada rancangan undang-
undang ratifikasi Konvensi 1891 menegaskan beberapa hal penting.
Memorandum itu menunjuk adanya fakta bahwa selama berlangsungnya
perundingan, delegasi Inggris mengusulkan garis perbatasan berlanjut
terus ke arah timur dari pantai timur Borneo Utara, dengan melewati Pulau
Sebatik dan Nanukan Timur. Menyangkut Sebatik, Memorandum itu
menjelaskan adanya kesepakatan soal pembagian pulau sesuai usul
Pemerintah Belanda dan pembagian seperti ini dianggap perlu untuk
memberikan akses ke daerah pantai bagi kepentingan masing-masing
pihak. Memorandum tersebut tidak memuat petunjuk mengenai
pembagian pulau-pulau lain yang terletak (lebih) jauh ke timur, dan
terutama tidak menyebut Sipadan dan Ligitan.
Mengenai peta yang dilampirkan pada ‘the Explanatory
Memorandum’, Mahkamah melihat peta ini memperlihatkan empat macam
garis berwarna, di mana garis perbatasan yang akhirnya disepakati
ditandai dengan garis merah. Pada peta itu garis merah berlanjut terus ke
laut, sejajar dengan 4o10’ lintang utara hingga selatan Mabul Island,
perluasan ke laut tidak dikomentari dalam Memorandum dan juga tidak
dibicarakan di Parlemen Belanda. Mahkamah juga melihat peta tersebut
hanya menunjukkan sejumlah pulau yang terletak di utara dari garis
60
parallel 4o10’. Selain beberapa karang, tidak ada pulau yang ditunjukkan
di selatan garis tersebut.
Mahkamah mengamati bahwa berkas kasus ini sama sekali tidak
memberi kesan kalau Sipadan dan Ligitan, atau pulau-pulau lain seperti
Mabul adalah wilayah yang dipersengketakan antara Inggris dan Belanda
ketika konvensi 1891 ditutup. Oleh karena itu Mahkamah tidak dapat
menerima argumen Indonesia yang menyatakan garis merah di peta
diperluas guna menyelesaikan setiap sengketa di perairan di luar Sebatik
sehingga dengan demikian Sipadan dan Ligitan diperuntukkan bagi
Belanda.
Mahkamah juga tidak menerima argumen Indonesia menyangkut
nilai yuridis dari peta yang dilampirkan pada “the Explanatory
Memorandum”. Mahkamah mengamati bahwa “the Explanatory
Memorandum” maupun peta tidak pernah dikirimkan oleh Pemerintah
Belanda kepada Pemerintah Inggris, tetapi hanya diteruskan kepada
Pemerintah Inggris oleh pejabat diplomatiknya di Den Haag. Pemerintah
Inggeris tidak memberi reaksi terhadap pengiriman yang bersifat internal
ini. Tidak adanya reaksi terhadap garis di peta yang dilampirkan pada
Memorandum tidak berarti Inggris menyetujui garis seperti itu.
Mahkamah berkesimpulan bahwa a) peta tidak dapat dianggap
sebagai suatu persetujuan terhadap perjanjian yang diadakan di antara
semua peserta terkait ditutupnya perjanjian dalam pengertian Artikel 31
ayat 2a Konvensi Wina, atau b) suatu instrumen yang dibuat oleh satu
61
negara peserta terkait ditutupnya perjanjian serta diterima oleh para
peserta lainnya sebagai instrumen terkait dengan perjanjian itu, di dalam
pengertian Pasal 31 ayat 2b Konvensi Wina. Peta terlampir pada
Memorandum Penjelasan Undang-Undang Ratifikasi Belanda yang
diserahkan kepada Pemerintah Inggeris melalui pejabat diplomatiknya di
Den Haag, tetapi tidak ditanggapi oleh Pemerintah Inggris. Hal ini tidak
dapat ditafsirkan sebagai persetujuan Inggris terhadap konteks atau isi
Konvensi London 1891 yang sudah ditutup sesuai artikel 31 paragraf 2a
Konvensi Wina 1969; juga tidak dapat ditafsirkan sebagai persetujuan
Inggris terhadap peta buatan Belanda yang dilampirkan pada
Memorandum Penjelasan Undang-Undang Ratifikasi Konvensi 1891
sesuai artikel 31 ayat 2b Konvensi 1891.
Mengenai tujuan dari Konvensi 1891, dengan mengeksaminasi
argumen Indonesia dan Malaysia, Mahkamah berpendapat bahwa
maksud dan tujuan dari Konvensi 1891 adalah menetapkan batas-batas
kepemilikan atau kedaulatan para pihak di dalam pulau Borneo sendiri,
sebagaimana dinyatakan dalam mukadimah konvensi bahwa para pihak
berkeinginan menentukan garis batas kedaulatan atau kepemilikan
Belanda di pulau Borneo dan negara-negara bagian (States) di pulau itu
yang berada di bawah perlindungan Inggris. Dalam pandangan
Mahkamah, penafsiran seperti ini didukung dengan skema Konvensi
1891. Mahkamah tidak mendapatkan sesuatu dalam Konvensi yang
menyarankan bahwa para pihak bermaksud menetapkan batas-batas
62
kedaulatan atau kepemilikan (possessions) di sebelah timur pulau Borneo
dan Sebatik ataupun para pihak bermaksud membagi kedaulatan
terhadap setiap pulau lain.
Mahkamah berkesimpulan bahwa teks Artikel IV dari Konvensi
1891, apabila dikaitkan dengan konteks serta maksud dan tujuan
Konvensi, tidak dapat ditafsirkan sebagai artikel yang menetapkan garis
pembagian kedaulatan terhadap pulau-pulau hingga ke laut, hingga ke
timur pulau Sebatik.
Mengenai sarana pelengkap untuk memperkuat interpretasi
Mahkamah, yakni pekerjaan persiapan (travaux preparatoir) Konvensi
1891 serta keadaan-keadaan ketika perjanjian diadakan, maka
Mahkamah beranggapan tidak perlu digunakan cara interpretasi yang
bersifat pelengkap, seperti pekerjaan persiapan Konvensi 1891 maupun
keadaan-keadaan pada waktu dibuatnya perjanjian guna menentukan arti
Konvensi tersebut. Akan tetapi seperti dalam kasus-kasus lain, Mahkamah
dapat menggunakan cara-cara interpretasi yang bersifat pelengkap dalam
memperkuat penafsiran atas teks Konvensi. Demikian pendapat
Mahkamah soal pasal 4 Konvensi 1891 bahwa pasal itu tidak
dimaksudkan untuk membagi kedaulatan atau kepemilikan atas pulau-
pulau di luar Pulau Sebatik sebab dari teks, konteks dan tujuannya pasal
itu hanya menetapkan batas-batas kepemilikan di Pulau Borneo dan garis
pembagian dari pantai timur Pulau Sebatik ke pantai barat pulau ini sejajar
dengan garis 40 10’Lintang Utara.
63
Mahkamah melihat bahwa dengan mengikuti pembentukannya
pada bulan Mei 1882, perusahaan Inggeris yang disebut the British North
Borneo Company (BNBC) menyatakan hak-hak yang menurut keyakinan
Mahkamah diperoleh dari Alfred Dent dan Baron von Overbeck, keduanya
mendapatkan dari Sultan Sulu, yakni hak atas wilayah (territories) yang
berada di pantai timur laut pulau Borneo (di negara bagian Tidoeng)
sampai selatan the Sibuco River; kemudian terjadi konfrontasi antara
perusahaan tersebut dengan Belanda, di mana Belanda menegaskan hak
kepemilikannya dari Sultan Bulungan, dengan dimasukkannya wilayah-
wilayah Tidoeng. Kondisi seperti ini yang menyebabkan Inggris dan
Belanda membentuk Joint Commission pada 1889 untuk menyelesaikan
persengketaan.
The Joint Commission bertemu tiga kali dan membicarakan secara
intensif masalah yang berkaitan dengan daerah yang dipersengketakan,
yaitu pantai timur laut pulau Borneo. Dalam pertemuan terakhir yang
diadakan pada 27 Juli 1889 itulah delegasi Inggris mengusulkan agar
garis perbatasan (the boundary) seharusnya lewat di antara pulau-pulau
Sebatik dan Nunukan Timur, tetapi ditolak oleh Belanda. Gagasan spesifik
tentang pulau Sebatik yang dibagi sekitar 4o 10’ lintang utara merupakan
satu-satunya gagasan yang diperkenalkan kemudian dan ternyata
disetujui Belanda sesuai suratnya tertanggal 2 Februari 1891.
Selama perundingan para pihak menggunakan berbagai sketsa
peta (sketch-maps) untuk menjelaskan usul dan pandangan mereka.
64
Mahkamah beranggapan bahwa apa pun tidak mungkin dapat disimpulkan
dari panjangnya garis-garis pada ketiga sketsa peta (sketch-maps).
Mahkamah berkesimpulan bahwa baik travaux preparatoires atau
rancangan persiapan Konvensi 1891 maupun keadaan-keadaan pada
waktu dibuatnya perjanjian ini dianggap tidak dapat mendukung posisi
Indonesia yang berpendapat para peserta Konvensi setuju tidak hanya
atas berlakunya garis perbatasan di darat tetapi juga atas garis
pembagian (an allocation line) di luar pantai timur Sebatik.
Mahkamah mengamati bahwa hubungan antara Belanda dan
Kesultanan Bulungan diatur melalui serangkaian kontrak atau perjanjian
yang berlaku di antara keduanya. Kontrak tanggal 12 November 1850 dan
2 Juni 1878 menetapkan batas-batas Kesultanan itu. Batas-batas ini
sampai ke utara dari perbatasan darat yang akhirnya disetujui pada tahun
1891 antara Belanda dan Inggris. Atas alasan ini Belanda melakukan
konsultasi dengan Sultan Bulungan sebelum menutup perjanjian dengan
pihak Inggris dan Belanda juga diwajibkan pada 1893 untuk
mengamandemen Kontrak 1878 agar supaya memperhatikan penetapan
garis-garis batas pada 1891. Teks baru menetapkan bahwa Pulau
Tarakan serta Nunukan dan bagian Pulau Sebatik yang terletak di selatan
garis perbatasan yang termasuk Bulungan bersama-sama dengan pulau-
pulau kecil milik Pulau Tarakan dan Nanukan, sejauh pulau-pulau ini
terletak di selatan dari garis perbatasan. Mahkamah mengamati kalau
ketiga pulau tersebut dikelilingi oleh banyak pulau kecil yang secara
65
geografis dapat dikatakan milik pulau-pulau tersebut. Akan tetapi
Mahkamah beranggapan bahwa hal seperti itu tidak dapat berlaku pada
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, yang terletak lebih dari 40 mil laut dari
ketiga pulau tersebut.
Kemudian Mahkamah menegaskan bahwa Konvensi 1891
memasukkan suatu klausula yang menetapkan bahwa pada masa
mendatang para pihak harus dapat menentukan rangkaian garis
perbatasan secara lebih tepat. Dengan demikian Artikel V Konvensi
menyatakan posisi garis perbatasan yang pasti, sebagaimana diterangkan
dalam keempat Artikel sebelumnya, akan ditentukan melalui persetujuan
yang bersifat timbal balik, setiap saat Pemerintah Belanda dan Inggris
memikirkan hal tersebut.
Persetujuan pertama ditandatangani di London oleh Inggris dan
Belanda pada 28 September 1915 yang berkaitan dengan garis batas
antara Negara Borneo Utara dan milik Belanda di Borneo. Melalui
persetujuan tersebut, kedua Negara menyetujui dan memperkuat sebuah
laporan bersama, yang dituangkan ke dalam persetujuan dan peta
terlampir yang disusun oleh Komisi Gabungan (Mixed Commission). Para
Komisioner memulai pekerjaannya di pantai timur pulau Sebatik dan dari
timur ke barat berusaha menetapkan garis perbatasan di tempat yang
disepakati pada 1891, sebagaimana tercantum dalam mukaddimah
perjanjian itu.
66
Menurut pendapat Mahkamah, apa yang ditetapkan oleh para
komisioner secara sederhana bukan batas pemisah (simply a demarcation
exercise) karena para pihak bertugas mengklarifikasi rangkaian garis yang
hanya mungkin tidak tepat dari segi perumusan Konvensi 1891 secara
umum maupun panjang garis yang sewajarnya. Mahkamah memutuskan
bahwa para pihak bermaksud mengklarifikasi penetapan batas pada 1891
dan hakekat pemisahan itu menjadi sangat jelas ketika teks perjanjian itu
diuji dengan saksama dan perjanjian itu tidak menunjukkan batas-batas
alamiah secara fisik sesuai ketentuan dari the Boundary Treaty pada 20
Juni 1891.
Mahkamah juga mengamati bahwa rangkaian garis batas yang
akhirnya diadopsi dalam the 1915 Agreement tidak seluruhnya sesuai
dengan rangkaian garis batas dari Konvensi 1891. Berdasarkan hal-hal
yang telah dikemukakan di atas, Mahkamah tidak dapat menerima
argumentasi Indonesia bahwa the 1915 Agreement adalah persetujuan
demarkasi semata-mata; Mahkamah juga tidak dapat menerima
kesimpulan yang dibuat oleh Indonesia bahwa sesungguhnya the 1915
Agreement mewajibkan para pihak untuk memperhatikan rangkaian garis
ke laut di timur Pulau Sebatik.
Setelah menguji hak dan mukaddimah dari the 1915 Agreement
dan syarat-syarat yang tertera di dalam laporan Komisi tersebut,
Mahkamah berkesimpulan bahwa the 1915 Agreement diasumsikan
mencakup seluruh garis perbatasan antara wilayah Belanda dan Negara
67
Borneo Utara di bawah kekuasaan Inggris dan bahwa para komisioner
menjalankan tugas yang bermula di ujung timur Pulau Sebatik. Dalam
pandangan Mahkamah, jika garis perbatasan itu berlanjut terus ke pantai
Sebatik, maka setidak-tidaknya beberapa pulau yang disebutkan (some
mention) dapat diharapkan tercakup di dalam Agreement tersebut. Di
samping itu Mahkamah beranggapan bahwa eksaminasi terhadap peta
yang terlampir pada the 1915 Agreement memperkuat interpretasi
terhadap Agreement tersebut.
Selanjutnya Mahkamah berpendapat bahwa sebuah perdebatan
yang dinyatakan pihak Indonesia terjadi di dalam Pemerintahan Belanda
antara tahun 1922 dan 1926 mengenai apakah isu delimitasi atau
penetapan garis batas perairan territorial dari pantai timur Pulau Sebatik
harus dibicarakan bersama dengan Pemerintah Inggris, perdebatan
tersebut menyarankan bahwa pada tahun 1920-an otoritas Belanda yang
memiliki informasi terbaik tidak menganggap ada persetujuan 1891
mengenai perluasan sampai ke laut dari garis yang ditarik di daratan
sejajar dengan 4o 10’ lintang utara.
Untuk melakukan penafsiran terhadap ketentuan artikel IV
Konvensi 1891 berdasarkan praktek negara-negara peserta dalam
memberikan konsesi, akhirnya Mahkamah berpendapat untuk tidak
menarik kesimpulan, tetapi praktek negara-negara peserta ke depan
harus dieksaminasi guna memperkuat kesimpulan yang membenarkan
dilakukannya interpretasi terhadap artikel IV konvensi tersebut.
68
Mengenai peta, Mahkamah melihat peta yang menggambarkan
kesepakatan para pihak yang terlampir pada Konvensi 1891 dan secara
resmi mengungkapkan kemauan Inggris dan Belanda mengenai
kelanjutan garis batas, sebagai garis pembagi (an allocation line), menuju
ke laut sebelah timur pulau Sebatik.
Mahkamah melihat bahwa selama berlangsungnya persidangan
para pihak menunjukkan kedua peta: peta yang dilampirkan pada the
Explanatory Memorandum yang dilampirkan oleh Pemerintah Belanda
pada rancangan undang-undang yang diajukan pada Kementerian luar
negeri (the States-General) bagi pengesahan Konvensi 1891 dan peta
yang dilampirkan pada the 1915 Agreement. Mahkamah sudah
mengemukakan keputusannya tentang nilai hukum dari peta-peta seperti
itu 60.
Sambil menguji peta-peta lain yang dihasilkan oleh para pihak,
Mahkamah memutuskan bahwa terkecuali peta yang dilampirkan pada the
1915 Agreement bahan pemetaan yang diserahkan oleh para pihak tidak
meyakinkan terkait dengan penafsiran article IV dari the 1891 Convention.
Pada akhirnya Mahkamah tiba pada kesimpulan bahwa Article IV, yang
ditafsirkan dalam konteksnya serta berdasarkan maksud dan tujuan
Konvensi menetapkan perbatasan antara kedua belah pihak sampai pada
ujung timur (the eastern extremity) Pulau Sebatik dan tidak menetapkan
lebih jauh suatu garis pembagi ke arah timur. Kesimpulan seperti ini
60
Lihat paragraph 47, 48 dan 72 ICJ Report 2002
69
dikuatkan baik oleh travaux preparatoires maupun praktek yang dilakukan
kemudian oleh para peserta Konvensi 1891.
Kemudian Mahkamah beralih ke persoalan apakah Indonesia atau
Malaysia memperoleh hak atas Ligitan dan Sipadan dengan jalan suksesi
(title by succession). Menurut Mahkamah selama persidangan putaran
kedua, Indonesia berpendapat bahwa jika Mahkamah harus menolak
klaim yang dilakukannya terhadap pulau-pulau yang dipersengketakan
atas dasar Konvensi 1891, Indonesia akan mempunyai hak (title) sebagai
penerus atau pengganti (successor) Belanda, yang secara silih berganti
memperoleh haknya melalui perjanjian dengan Sultan Bulungan,
pemegang hak asli (the original title-holder). Malaysia berpendapat
Sipadan dan Ligitan tidak pernah dimiliki oleh Sultan Bulungan61.
Mahkamah melihat bahwa berbagai kontrak perbudakan yang
diadakan antara Belanda dan Sultan Bulungan sudah diuraikan ketika
Mahkamah mempertimbangkan Konvensi 1891. Mahkamah menegaskan
bahwa dalam kontrak 1878 kepemilikan pulau oleh Sultan Bulungan
digambarkan sebagai Tarakan, Nunukan dan Sebatik, dengan pulau-pulau
kecil di sekitarnya. Ketika kontrak tersebut diamandemen pada tahun
1893, ketiga pulau dan pulau-pulau kecil di sekelilingnya dideskripsikan
dengan istilah-istilah yang serupa walaupun memperhitungkan pembagian
Sebatik atas dasar Konvensi 1891.
61
ICJ Report 2002, paragraph 48
70
Selanjutnya Mahkamah menyatakan bahwa kata-kata ‘the islets
belonging thereto’ yang artinya pulau-pulau kecil yang termasuk ke dalam
ketiga pulau tersebut hanya dapat ditafsirkan sebagai pulau-pulau kecil
(the small islands) yang terletak di sekitar ketiga pulau tersebut, dan tidak
menunjuk pada pulau-pulau yang jaraknya lebih dari 40 mil laut. Dengan
demikian Mahkamah tidak dapat menerima pendirian Indonesia bahwa
negara ini mewarisi hak atas pulau-pulau yang dipersengketakan dari
Belanda melalui kontrak tersebut yang menyatakan bahwa Kesultanan
Bulungan yang dideskripsikan di dalam kontrak tersebut merupakan
bagian dari Hindia Belanda (Netherlands Indies).
Kemudian Mahkamah menyatakan bahwa pihak Malaysia
bersikukuh bahwa Malaysia memperoleh kedaulatan atas pulau-pulau
Sipadan dan Ligitan berdasarkan apa yang dinamakan serangkaian
peralihan hak (a chain of title) yang semula dipegang atau dimiliki oleh
bekas penguasa, yaitu Sultan Sulu, kemudian hak ini beralih kepada
Spanyol, lalu kepada Amerika Serikat, selanjutnya kepada Inggris atas
nama Negara Borneo Utara (the State of North Borneo), kepada Kerajaan
Inggeris Raya dan Irlandia Utara (the United Kingdom of Great Britain and
Northern Ireland) dan akhirnya beralih kepada Malaysia. Rangkaian hak
seperti inilah (the chain of title) yang menurut Malaysia memberinya hak
atas Sipadan dan Ligitan berdasarkan perjanjian62.
62
ICJ Report 2002, paragraph 59
71
Pada mulanya Mahkamah melihat bahwa pulau-pulau yang
dipersengketakan tidak mempunyai nama dalam instrumen hukum
internasional apapun yang disampaikan oleh Malaysia dalam
membuktikan apa yang dianggap sebagai serangkaian peralihan hak.
Mahkamah melihat bahwa kedua pulau tidak dimasukkan sebagai hibah
dari Sultan Sulu yang menyerahkan semua hak dan kekuasaan atas
barang miliknya di Borneo, termasuk pulau-pulau di dalam batas 3 liga
laut, kepada Alfred Dent dan Baron von Overbeck pada 22 Januari 1878,
suatu fakta yang tidak dibantah oleh para pihak.
Akhirnya Mahkamah melihat bahwa walaupun kedua belah pihak
bersikukuh bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bukanlah daerah tidak
bertuan (terra nullius) selama masa peralihan hak, namun masing-masing
pihak mengklaim sebagai pemegang hak atas pulau-pulau itu dengan
alasan mendasar yang saling bertentangan63.
Mahkamah pertama-tama membahas masalah mengenai apakah
Sipadan dan Ligitan milik Sultan Sulu. Dalam semua dokumen yang
relevan, kesultanan itu selalu digambarkan sebagai kepulauan Sulu dan
daerah jajahannya (the Archipelago of Sulu and dependencies thereof)
atau pulau Sooloo dengan semua jajahannya (the Island of Sooloo with all
its dependencies). Akan tetapi dokumen-dokumen itu tidak menjawab
pertanyaan apakah Ligitan dan Sipadan yang jaraknya dari pulau utama
Sulu, adalah daerah jajahan kesultanan. Mahkamah kemudian menunjuk
63
ICJ Report 2002, paragraph 62
72
dugaan Malaysia tentang adanya hubungan antara Sultan Sulu dan Bajau
Laut yang mendiami pulau-pulau di lepas pantai Borneo Utara dan dari
waktu ke waktu dapat menggunakan kedua pulau yang tidak berpenghuni.
Mahkamah berpendapat bahwa hubungan seperti itu mungkin saja ada,
tetapi tidak dengan sendirinya membuktikan klaim territorial Sultan Sulu
atas kedua pulau kecil tersebut atau dianggap sebagai miliknya. Tidak
terbukti kalau Sultan Sulu menjalankan secara aktual kekuasaan atas
Ligitan dan Sipadan.
Tentang dugaan adanya peralihan hak atas Sipadan dan Ligitan,
maka Mahkamah melihat bahwa dalam Protokol perjanjian antara Spanyol
dan Sultan Sulu yang mengesahkan dasar-dasar perdamaian dan
kapitulasi 22 Juli 1878 Sultan Sulu secara definitif menyerahkan
kepulauan Sulu dan daerah jajahannya kepada Spanyol. Akan tetapi
Mahkamah berkesimpulan bahwa tidak ada bukti bahwa Spanyol
menganggap Ligitan dan Sipadan tercakup dalam Protokol tersebut.
Mahkamah melihat bahwa Sultan Sulu melepaskan hak-hak berdaulat
atas segala yang dimilikinya bagi kepentingan Spanyol , dengan demikian
dia sudah kehilangan hak apapun yang bisa dimilikinya terhadap pulau-
pulau yang berlokasi di luar batas 3 kumpulan laut (3 marine league) dari
pantai Borneo Utara. Oleh karena itu Mahkamah berpendapat bahwa
Spanyol adalah satu-satunya Negara yang dapat meletakkan dan
melakukan klaim atas Ligitan dan Sipadan berdasarkan atas instrumen
yang relevan, tetapi tidak terdapat bukti bahwa Spanyol melakukan klaim
73
secara aktual. Selanjutnya Mahkamah mengamati bahwa pada waktu itu
baik Inggris, atas nama Negara Borneo Utara maupun Belanda tidak
mengklaim Sipadan dan Ligitan secara tegas ataupun diam-diam.
Mata rantai berikut dalam rangkaian peralihan hak adalah Traktat 7
November 1900 antara AS dan Spanyol, yang dengan traktat ini Spanyol
melepaskan kepada AS semua hak dan klaim hak atas semua pulau yang
termasuk kepulauan Philipina yang tidak tercakup dalam traktat
perdamaian 10 Desember 1898. Mahkamah pertama-tama melihat bahwa
meskipun tidak dipersoalkan Sipadan dan Ligitan tidak berada di dalam
ruang lingkup the 1898 Treaty of Peace, the 1900 Treaty tidak
menetapkan secara terperinci pulau-pulau, selain daripada Cagayan Sulu
dan Sibutu dan daerah jajahannya (dependencies) yang diserahkan
Spanyol kepada AS64. Dengan traktat 1898 Spanyol melepaskan setiap
klaim yang mungkin dimilikinya atas Ligitan dan Sipadan atau pulau-pulau
lain di luar batas 3 liga laut dari pantai Borneo Utara. Peristiwa-peristiwa
yang terjadi kemudian menunjukkan bahwa AS sendiri ragu-ragu
mengenai pulau-pulau mana yang menjadi haknya berdasarkan the 1900
Treaty.
Suatu pengaturan yang bersifat sementara antara Inggris dan AS
dibuat pada tahun 1907 melalui pertukaran nota (Exchange of Notes).
Pertukaran Nota ini yang tidak menyangkut pengalihan kedaulatan
territorial (transfer of territorial souvereignty), mengatur tentang kelanjutan
64
ICJ Report 2002, paragraph 70.
74
pengelolaan oleh BNBC atas pulau-pulau yang terletak lebih dari 3 liga
laut dari pantai Borneo Utara, tetapi tidak menyelesaikan masalah pihak
mana yang memiliki pulau-pulau tersebut. Pengaturan sementara ini
bertahan hingga 2 Januari 1930, ketika suatu perjanjian diadakan antara
Inggeris dan AS, yang di dalam perjanjian ini ditarik suatu garis yang
memisahkan pulau-pulau yang termasuk kepulauan Philipina di satu pihak
dan pulau-pulau yang termasuk Negara Borneo Utara di lain pihak. Artikel
III dari perjanjian 1930 menyatakan bahwa semua pulau di selatan dan
barat dari garis tersebut seharusnya milik Negara Borneo Utara (the State
of North Borneo). Dari titik terdalam (from a point well) sampai timur laut
Sipadan dan Ligitan, garis itu meluas ke utara dan ke timur.
Konvensi 1930 tidak menyebut suatu pulau dengan nama selain
daripada the Turtle and Mangsee Islands yang dinyatakan berada di
bawah kedaulatan Inggris. Dengan membuat perjanjian 1930, AS
melepaskan setiap klaim yang mungkin dimilikinya atas Sipadan dan
Ligitan dan pulau-pulau yang berdekatan. Akan tetapi Mahkamah tidak
dapat berkesimpulan baik dari the 1907 Exchange of Notes atau dari the
1930 Convention atau dari setiap dokumen yang berasal dari masa
campur tangan Pemerintah AS bahwa AS melakukan klaim kedaulatan
atas pulau-pulau tersebut65.
Oleh karena itu tidak dapat dipastikan bahwa dengan perjanjian
tahun 1930 AS memindahkan dan mengalihkan hak atas Ligitan dan
65
ICJ Report 2002, paragraph 73
75
Sipadan kepada Inggris, seperti yang ditegaskan oleh Malaysia. Di pihak
lain, Mahkamah tidak dapat mengabaikan pendapat Inggris bahwa
sebagai akibat dari Konvensi tahun 1930 Inggris mendapatkan atas nama
the BNBC, hak atas semua pulau di luar zona 3 liga laut yang telah
dikelola oleh perusahaan itu, terkecuali Pulau Turtle dan Mangsee. Tak
satupun pulau yang terletak di luar zona tiga kumpulan laut pernah dimiliki
Inggeris sebelum melakukan klaim secara formal. Apakah dalam hal
Sipadan dan Ligitan serta pulau-pulau yang berdekatan hak itu diperoleh
sebagai akibat dari Konvensi 1930 sesungguhnya kurang relevan
dibandingkan dengan fakta bahwa pendirian Inggris soal pengaruh
Konvensi 1930 tidak ditentang oleh negara lain.
Negara Borneo Utara diubah menjadi sebuah koloni pada tahun
1946. Kemudian berdasarkan Article IV dari Perjanjian 9 Juli 1963,
Pemerintah Kerajaan Inggris setuju untuk mengambil langkah-langkah
tepat dan tersedia bagi mereka untuk menjamin diberlakukannya oleh
Parlemen sebuah undang-undang yang mengatur tentang penyerahan
kedaulatan dan yurisdiksi Inggris terkait dengan Borneo Utara, Sarawak
dan Singapura demi kepentingan Malaysia.
Pada tahun 1969 Indonesia menantang dan menggugat hak
Malaysia atas Ligitan dan Sipadan serta mengklaim memiliki hak atas
kedua pulau atas dasar Konvensi 1891. Mengingat hal-hal yang telah
dikemukakan di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa Mahkamah tidak
dapat menerima pendirian pihak Malaysia mengenai adanya rangkaian
76
peralihan hak yang terus menerus mulai dari apa yang diduga sebagai
pemegang hak yang asli (original title-holder), Sultan Sulu, sampai kepada
Malaysia sebagai pemilik masa kini. Tidak dapat dipastikan bahwa
Sipadan dan Ligitan adalah milik Sultan Sulu, demikian juga tidak dapat
dipastikan para pemegang hak di kemudian hari mendapatkan hak atas
kedua pulau itu berdasarkan sebuah perjanjian. Jika hak dari negara yang
menyerahkan itu cacat, maka hak dari negara yang diserahi wilayah akan
dirusak atau ditiadakan dengan cacat yang sama. Hal ini diungkapkan
dengan peribahasa Latin nemo dat quod non habet.66 Oleh karena itu
Mahkamah tidak dapat memutuskan bahwa Malaysia mewarisi hak
berdasarkan perjanjian (a treaty-based title) dari pendahulunya, the United
Kingdom of Great Britain and Northern Ireland.
F. Pertimbangan Mahkamah Internasional atas Pengendalian Efektif
Mahkamah mempertimbangkan apakah bukti yang diajukan oleh
pihak-pihak bersengketa terkait dengan pengendalian efektif dapat
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk menentukan
kepemilikan dan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
sebagaimana ditentukan di dalam Special Agreement.
Mahkamah melihat bahwa kedua belah pihak mengklaim bahwa
pengendalian efektif yang dilakukannya semata-mata mengkonfirmasi
dan memperkuat hak yang didasarkan atas perjanjian (a treaty-based
title). Atas alasan yang bersifat alternatif, Malaysia mengklaim
66
L.C. Green, International Law through the Cases, 1978, (Toronto, Canada: The Carswell Compaby Limited, 1978), Hlm. 421.
77
mendapatkan hak atas Ligitan dan Sipadan berdasarkan penguasaan dan
pengelolaan yang terus menerus dan damai (continuous peaceful
possession and administration), tanpa ada keberatan dari pihak Indonesia
atau pendahulunya terkait dengan hak tersebut.
Mahkamah mengindikasikan bahwa dengan memutuskan tidak
satu pihak pun mempunyai hak berdasarkan perjanjian terhadap Ligitan
dan Sipadan, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pengendalian
efektif sebagai sebuah isu atau masalah tersendiri dan terpisah.
Mahkamah melihat bahwa dalam mendukung argumen-argumennya
terkait pengendalian efektif, Indonesia menyebutkan kegiatan patroli di
daerah itu oleh kapal-kapal Angkatan Laut Kerajaan Belanda, kegiatan
Angkatan Laut Indonesia, maupun kegiatan nelayan Indonesia.
Selanjutnya Mahkamah melihat bahwa mengenai Undang-Undang
Nomor 4/ Prp. Tahun 1960 mengenai Perairan Indonesia yang
diundangkan pada tanggal 18 Februari 1960 yang menentukan garis
pangkal kepulauan Indonesia, Indonesia memang mengakui tidak
memasukkan Sipadan dan Ligitan pada waktu itu sebagai titik pangkal
(base points) dengan tujuan untuk dapat menarik garis pangkal serta
membangun perairan kepulauan dan laut teritorialnya, meskipun hal ini
tidak dapat ditafsirkan seakan-akan Indonesia menganggap pulau-pulau
itu tidak termasuk wilayah Indonesia. Indonesia tidak memasukkan Ligitan
78
dan Sipadan sebagai titik pangkal meskipun tidak berarti kedua pulau ini
bukan wilayah Indonesia67.
Menyangkut pengendalian efektif di Pulau Sipadan dan Ligitan,
Malaysia menyebut pengawasan terhadap pengambilan penyu dan
pengumpulan telur-telurnya, yang diduga sebagai kegiatan ekonomi paling
penting di Sipadan selama bertahun-tahun. Malaysia juga bersandar pada
Peraturan tahun 1933 tentang tempat perlindungan satwa burung di
Sipadan. Selanjutnya Malaysia menegaskan bahwa otoritas kolonial
Inggeris di Borneo Utara telah mendirikan mercusuar di Pulau Ligitan dan
Pulau Sipadan pada awal tahun 1960-an dan bahwa mercusuar ini tetap
berdiri hingga hari ini dan dipelihara oleh otoritas Malaysia.
Mahkamah pertama-tama mengingatkan adanya pernyataan dari
Mahkamah Internasional Permanen dalam kasus perkara Legal Status of
Eastern Greenland (Denmark v. Norway) case68.
“a claim to souvereignty based not upon some particular act or title such as a treaty of cession but merely upon continued display of authority, involves two elements each of which must be shown to exist :: the intention and will to act as souvereign, and some actual exercise or display of such authority”.
Terjemahannya adalah sebagai berikut :
“Tuntutan kedaulatan yang tidak didasarkan atas beberapa tindakan tertentu atau hak seperti perjanjian penyerahan, tetapi semata-mata didasarkan atas pelaksanaan kekuasaan yang terus menerus, mengandung dua unsur, di mana masing-masing unsur harus ditunjukkan dan dibuktikan eksistensinya : yakni adanya niat atau maksud dan kehendak untuk bertindak selaku penguasa serta
67
ICJ Report 2002, paragraph 75. 68
Nugzar Dundua, Delimitation of Maritime Boundaries between Adjacent States,
(United Nations-The Nippon Foundation Fellow: 2006-2007), Hlm.56.
79
adanya beberapa tindakan atau pelaksanaan kedaulatan secara nyata”.
Keadaan lain yang harus diperhatikan oleh setiap pengadilan yang
akan memutuskan masalah klaim kedaulatan atas suatu wilayah tertentu,
adalah sejauh mana kedaulatan itu juga diklaim oleh negara lain.
Mahkamah Internasional Permanen melanjutkan :
‘Tidak mungkin membaca rekaman putusan kasus kedaulatan territorial tanpa melihat bahwa dalam banyak kasus pengadilan kurang merasa puas dengan pelaksanaan hak-hak kedaulatan secara aktual, dengan ketentuan negara lain tidak dapat memahami klaim yang lebih besar, khususnya kasus klaim kedaulatan terhadap daerah yang penduduknya kurang atau tidak berpenghuni’. Mahkamah menegaskan bahwa teristimewa dalam kasus pulau-
pulau yang sangat kecil yang tidak dihuni atau tidak didiami secara
permanen seperti Sipadan dan Ligitan, yang kecil nilai ekonominya
(setidak-tidaknya hingga waktu-waktu terakhir) sesungguhnya
pengendalian efektif umumnya akan jarang terjadi.
Selanjutnya Mahkamah tidak dapat mempertimbangkan tindakan
yang terjadi setelah ternyata timbul persengketaan kecuali tindakan itu
adalah kelanjutan tindakan sebelumnya dan tindakan itu tidak
dimaksudkan untuk memperbaiki posisi hukum dari pihak yang
menyandarkan diri pada tindakan tersebut. Oleh karena itu Mahkamah
terutama menganalisis pengendalian efektif (effectivities) yang terjadi
sebelum 1969, tahun ketika para pihak menyatakan klaimnya terhadap
Sipadan dan Ligitan.
80
Akhirnya Mahkamah hanya dapat menganggap tindakan itu
merupakan pelaksanaan kedaulatan yang tidak dapat diragukan,
khususnya terhadap pulau-pulau yang dipersengketakan. Oleh karena itu
peraturan-peraturan atau undang-undang administratif yang bersifat
umum dapat dianggap sebagai pengendalian efektif menyangkut Ligitan
dan Sipadan hanya apabila ketentuan-ketentuannya secara jelas
menyinggung atau bersangkut paut dengan kedua pulau tersebut.
Mengenai pengendalian efektif yang digunakan sebagai dasar oleh
pihak Indonesia, maka Mahkamah mengawali dengan menegaskan
bahwa tak satupun dari tindakan-tindakan pengendalian efektif
(effectivities) memiliki karakter legislasi ataupun regulasi (legislative or
regulatory character). Di samping itu Mahkamah tidak dapat mengabaikan
adanya fakta bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 yang dipakai
untuk menarik garis pangkal kepulauan Indonesia yang dilengkapi dengan
peta tidak menyebut atau menunjukkan Sipadan dan Ligitan sebagai titik
pangkal (base points) atau titik yang menentukan (turning points).
Mengenai kehadiran Angkatan Laut Belanda dan Indonesia di
perairan sekitar Sipadan dan Ligitan, sebagaimana dikemukakan oleh
Indonesia, maka menurut pendapat Mahkamah, kehadirannya tidak dapat
disimpulkan berdasarkan laporan perwira komandan kapal destroyer
Belanda Lynx yang melakukan patroli di daerah itu pada tahun 1921,
ataupun berdasarkan sebuah dokumen lain yang diajukan oleh Indonesia
terkait kegiatan ‘surveillance’ yang dilakukan Angkatan Laut Belanda atau
81
Indonesia dan kegiatan patroli sehingga otoritas Angkatan Laut yang
bersangkutan menganggap Sipadan dan Ligitan serta perairan di
sekelilingnya harus berada di bawah kedaulatan Belanda atau
Indonesia69.
Akhirnya Mahkamah melihat bahwa kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh perseorangan (private persons) seperti nelayan-nelayan
Indonesia, tidak dapat dilihat sebagai pengendalian efektif (effectivities)
jika kegiatan-kegiatan seperti itu tidak terjadi atas dasar regulasi resmi
atau di bawah otoritas Pemerintah. Mahkamah berkesimpulan bahwa
aktivitas yang digunakan dan diandalkan oleh Indonesia tidak merupakan
tindakan hak kedaulatan yang mencerminkan adanya maksud dan
kemauan untuk bertindak dalam kapasitas tersebut.
Mengenai pengendalian efektif yang digunakan oleh Malaysia,
maka pertama-tama Mahkamah mengamati bahwa sesuai dengan
Konvensi 1930 Amerika Serikat melepaskan setiap klaim yang mungkin
saja dimilikinya terhadap Sipadan dan Ligitan dan bahwa tidak ada negara
lain yang menyatakan kedaulatannya pada waktu itu ataupun
berkeberatan terhadap kelanjutan pemerintahan oleh Negara Borneo
Utara.
Selanjutnya Mahkamah mengamati bahwa kegiatan-kegiatan yang
terjadi sebelum dibuatnya perjanjian tidak dapat dilihat sebagai tindakan
kedaulatan (a titre souverain), karena Inggris pada waktu itu tidak
69
ICJ Report 2002, paragraf 76
82
mengklaim kedaulatan atas nama Negara Borneo Utara terhadap pulau-
pulau di luar batas 3 liga laut (3-marine-league). Karena Inggris
mengambil posisi bahwa perusahaan the BNBC diberikan hak untuk
mengurus dan mengelola pulau-pulau itu, suatu posisi yang secara formal
diakui oleh AS sesudah tahun 1907, maka kegiatan pengelolaan seperti
ini tidak dapat dikesampingkan70.
Langkah-langkah yang diambil baik untuk mengatur dan
mengawasi pengumpulan telur penyu maupun perlindungan satwa
burung, seperti ditegaskan oleh pihak Malaysia sebagai bukti adanya
pengendalian efektif terhadap pulau-pulau itu, dalam pandangan
Mahkamah, harus dilihat sebagai penegasan adanya kekuasaan yang
bertujuan untuk mengatur dan mengelola wilayah yang sudah bernama..
Mahkamah melihat bahwa pembangunan dan pengoperasian
mercu suar dan alat bantu navigasi (lighthouses and navigational aids)
biasanya tidak dianggap sebagai manifestasi kedaulatan Negara. Akan
tetapi Mahkamah melihat (recall) bahwa di dalam keputusannya dalam
kasus menyangkut “Maritime Delimitation and Territorial Questions
between Qatar and Bahrain (Qatar v. Bahrain)”, Mahkamah menyatakan
sebagai berikut :71
“Certain types of activities invoked by Bahrain such as the drilling of artesian wells, taken by themselves, be considered controversial as
70
ICJ Report 2002, paragraf 78. 71
Barbara Kwiatkowska, The Qatar v. Bahrain Maritim Delimitation and Territorial Questions Case. Ocean Development & International Law, 33, 2002 (Taylor and francis, 2002), Hlm. 227-228; Lihat juga Bernard H. Oxman, Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain, International Court of Justice, March 16, 2001. The American Journal of International Law, Vol. 96 No.11 January 2002, Hlm.198.
83
acts performed a titre de souverain. The construction of navigational aids, on the other hand, can be legally relevant in the case of very small islands. In the presenr case, taking into account of the size of Qit’at Jaradah, the activities carried out by Bahrain on that island must be considered sufficient to support Bahrain’s claim that it has souvereignty over it”.72 Terjemahannya adalah sebagai berikut :
“Tipe kegiatan tertentu yang dikemukakan oleh Bahrain seperti pengeboran sumur artesis yang dilakukannya dapat dianggap kontroversial sebagai tindakan kedaulatan. Di lain pihak pendirian alat bantu navigasi dapat mempunyai relevansi yuridis dalam hal pulau-pulau yang sangat kecil. Dalam kasus ini dengan memperhatikan ukuran dari Qit’at Jaradah, aktivitas yang dijalankan oleh Bahrain di atas pulau itu harus dianggap memadai untuk mendukung klaim kedaulatan Bahrain atas pulau tersebut”. Menurut pandangan Mahkamah, pertimbangan yang sama dapat
pula diterapkan pada kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Mahkamah
melihat bahwa kegiatan-kegiatan yang diandalkan oleh Malaysia baik atas
namanya sendiri maupun sebagai negara pengganti dari Inggeris adalah
sederhana dalam hal jumlahnya, tetapi kegiatan-kegiatan itu memiliki
berbagai karakter serta meliputi tindakan-tindakan di bidang legislatif,
administratif dan yudisial. Kegiatan-kegiatan itu berlangsung selama
tenggang waktu yang wajar dan menunjukkan suatu pola yang
mengungkapkan adanya maksud untuk menjalankan fungsi-fungsi negara
terkait dengan kedua pulau dalam konteks pengelolaan pulau dalam skala
lebih luas73.
Di samping itu Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa
pada waktu kegiatan-kegiatan itu dilakukan, maka baik Indonesia maupun
72
Judgment Merits ICJ Reports 2001, para. 197. 73
ICJ Report 2002, paragraf 79.
84
pendahulunya, Belanda tidak pernah menyatakan penolakan atau
kecamannya. Dalam hubungan ini, Mahkamah melihat bahwa pada tahun
1962 dan 1963 otoritas Indonesia bahkan tidak mengingatkan otoritas dari
koloni Borneo Utara, atau Malaysia setelah kemerdekaannya, bahwa
pembangunan mercusuar pada masa itu terjadi di wilayah yang mereka
anggap sebagai wilayah Indonesia, sekalipun mereka menganggap
mercusuar tersebut hanya dimaksudkan untuk keselamatan navigasi di
wilayah yang mempunyai kepentingan khusus bagi navigasi di perairan
Borneo Utara, tindak tanduk seperti itu tentu saja luar biasa (unusual).
Berdasarkan keadaan-keadaan dalam kasus ini dan teristimewa
dari segi pembuktian yang diajukan oleh para pihak, maka Mahkamah
berkesimpulan bahwa Malaysia memiliki hak (title) atas Ligitan dan
Sipadan atas dasar pengendalian efetif (effectivities) yang telah
dikemukakan di atas.
Atas alasan-alasan tersebut di atas, maka dengan 16 suara
melawan satu suara, Mahkamah memutuskan bahwa kedaulatan atas
Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan itu dimiliki oleh Malaysia (Finds that
souvereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan belongs to Malaysia).
G. Pendapat Terpisah (Separate Opinion) dan Pendapat Berbeda
(Dissenting Opinion)74
Judge Oda menganggap kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
sebagai sebuah kasus yang lemah karena tak ada pihak yang
74
ICJ Report 2002, Paragraph 86. Dapat juga dilihat di dalam Jurisdictionary Vol.1 No. 2 April 2005, Hlm. xxv.
85
menunjukkan kekuatan dalam mendukung klaimnya terhadap kedua pulau
tersebut atas dasar apapun. Judge Oda melihat Mahkamah diminta
memilih di antara kedua pihak dalam memutuskan kedaulatan, dan dia
menganggap bahwa dengan melakukan pilihan Mahkamah mencapai
suatu putusan yang layak.
Dalam pandangan Oda untuk memahami kasus ini dengan sebaik-
baiknya, perlu disadari adanya fakta-fakta serta keadaan-keadaan yang
melatarbelakangi. Dia melihat keberadaan Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan diketahui sejak abad sembilan belas, tetapi baik Indonesia maupun
Malaysia tidak melakukan klaim kedaulatan atas kedua pulau itu sampai
akhir tahun 1960an. Sebelumnya tidak pernah ada sengketa antarkedua
negara menyangkut kedaulatan atas pulau-pulau itu. Sengketa yang
mungkin timbul ketika itu semata-mata menyangkut penetapan batas-
batas landas kontinen di antara kedua negara yang memang menarik
perhatian karena adanya cadangan minyak bawah laut, tetapi sengketa itu
bukan kedaulatan atas pulau-pulau itu.
Pada pertengahan tahun 1960an di seluruh penjuru dunia diadakan
perjanjian-perjanjian antarnegara tetangga untuk menetapkan garis batas
landas kontinen. Indonesia dan Malaysia berhasil membuat perjanjian
delimitasi landas kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Namun
perundingan-perundingan di daerah sebelah timur Borneo mengalami
jalan buntu pada bulan September 1969 dan para pihak sepakat untuk
86
menangguhkannya. Para pihak menganggap tanggal itu menjadi tanggal
kritis (critical date) terkait sengketa kedaulatan.
Sebelum dilakukan negosiasi, maka Indonesia dan Malaysia juga
sudah memberikan kepada perusahaan minyak Jepang konsesi
eksplorasi dan eksploitasi minyak di daerah yang bersangkutan. Zona-
zona konsesi itu tidak tumpang tindih (overlap) dan baik Indonesia
maupun Malaysia tidak mengklaim bahwa zona konsesi yang dimilikinya
dilanggar oleh pihak lain.75
Judge Oda memutuskan bahwa, bertentangan dengan pernyataan
dalam Special Agreement, satu-satunya persengketaan di sekitar tahun
1969 adalah persengketaan menyangkut delimitasi landas kontinen dan
bahwa sengketa delimitasi seperti ini sewajarnya diserahkan kepada
Mahkamah dengan membuat persetujuan bersama (joint agreement).
Selanjutnya Judge Oda melihat bahwa Permohonan (Application) Philipina
pada tahun 2001 agar diizinkan melakukan intervensi tidak menyangkut
hak para pihak atas kedua pulau, tetapi menyangkut penetapan garis
batas landas kontinen di antara para pihak76.
Pada tahun 1960an azas umum mengenai delimitasi landas
kontinen adalah azas yang ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) dari
Konvensi Geneva 1958 tentang landas kontinen. Ketentuan ini sangat
kabur karena tidak menjelaskan garis pangkal (baselines) yang
seharusnya digunakan untuk mengonstruksi atau membangun garis
75
Ibid., Hlm. xxvi. 76
Ibid., Hlm. xxvi
87
tengah (median line). Di samping itu ketentuan tersebut juga tidak
menjelaskan keadaan-keadaan khusus (special circumstances) yang
dapat membenarkan penyimpangan dari garis tengah (median line) dalam
kaitan dengan pulau-pulau tertentu.
Judge Oda menaruh kecurigaan bahwa keprihatinan kedua pihak
dalam perundingan mengenai delimitasi landas kontinen masing-masing
itu terutama berkaitan dengan definisi dari garis pangkal (the definition of
the baselines) dan peran yang dapat dimainkan oleh kedua pulau dari
aspek kriteria special circumstances. Kenyataannya, para pihak
(khususnya Indonesia) mungkin berkesimpulan bahwa kedaulatan atas
pulau-pulau tersebut akan dapat memberikan mereka hak terhadap
landas kontinen yang jauh lebih luas. Dalam pandangan Judge Oda, isu
kedaulatan timbul semata-mata akibat manuver para pihak untuk
mendapatkan bargaining position yang lebih baik dalam penentuan batas-
batas landas kontinen. Hal seperti ini terjadi akibat adanya
kesalahpahaman (misconception) para pihak yang gagal memahami
bahwa menurut azas special circumstances, sebuah garis delimitasi juga
dapat ditarik dengan mengesampingkan kedua pulau tersebut.
Meskipun sekarang Malaysia dihadiahi kedaulatan atas pulau-pulau
itu, pengaruh keputusan Mahkamah terhadap penentuan garis batas
landas kontinen seharusnya dipertimbangkan dari perspektif lain. Prinsip
mengenai delimitasi landas kontinen ditetapkan dalam pasal 83 Konvensi
Hukum Laut 1982 yang menghendaki suatu penyelesaian yang adil (an
88
equitable solution). Permasalahannya adalah bagaimana pertimbangan
keadilan itu berlaku pada pulau-pulau itu. Judge Oda berkesimpulan
bahwa keputusan yang sekarang ini tidak perlu mempunyai hubungan
langsung dengan penetapan garis batas landas kontinen77. Demikian
deklarasi hakim Oda yang mengandung semacam pendapat terpisah
(separate opinion) yang pada prinsipnya menyatakan kedua pihak,
termasuk Malaysia tidak memiliki bukti kepemilikan yang benar-benar kuat
atas kedua pulau yang dipersengketakan sehingga dia menamakan kasus
itu sebagai kasus lemah berdasarkan fakta-fakta yang melatarbelakangi
sengketa teritorial. Gagalnya negosiasi kedua negara untuk menetapkan
garis batas landas kontinen pada tahun 1960-an, permohonan Filipina
untuk melakukan intervensi dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
semata-mata untuk menentukan garis batas maritim terutama adanya
mispersepsi soal kedaulatan dalam memperkuat bargaining position
terkait penentuan garis batas landas kontinen. Padahal menurut Judge
Oda dilihat dari segi ‘special circumstances’ garis batas landas kontinen
dapat saja ditarik dengan mengesampingkan kedua pulau atau tanpa
memperhatikan kepemilikan dan kedaulatan atas kedua pulau itu.
Judge Franck menyetujui putusan serta alasan Mahkamah dalam
menolak pendirian pihak Malaysia yang mewarisi kedaulatan atas Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan suatu rangkaian peralihan hak (a
77
Ibid., Hlm. xxvi
89
chain of title) yang merentang dari Sultan Sulu kepada Spanyol, kepada
Amerika Serikat, kepada Inggeris, dan akhirnya kepada Malaysia.
Mengenai pengendalian efektif (effectivities), tindakan-tindakan
yang dijalankan oleh para pihak dalam kapasitasnya sebagai negara
berdaulat terkait dengan kedua pulau itu78.
Malaysia membangun alat bantu navigasi yang dalam perkara-
perkara lain Mahkamah menganggapnya bukan merupakan tindakan yang
menunjukkan klaim kedaulatan. Tindakan Malaysia yang membangun
resort wisata untuk melakukan kegiatan selam bawah laut itu terjadi
setelah tanggal yang kritis (critical date), padahal para pihak telah
bersepakat untuk menghentikan aktivitas apapun pada kedua pulau
tersebut sehingga pembangunan resort wisata Malaysia tak dapat
digunakan sebagai alat bukti. Usaha pihak Belanda dalam mengawasi
pembajakan laut (piracy) melalui laut dan udara di daerah itu
menunjukkan adanya kepentingan aktif yang setidak-tidaknya mempunyai
kekuatan sama dengan apa yang dimiliki oleh Inggris. Penilaian terhadap
aktivitas ini serta aktivitas kecil lainnya tidak mungkin menghasilkan
sesuatu yang tidak menentukan (inconclusive results)79.
Di samping itu Mahkamah pun seharusnya tidak memulai tugas
yang tidak menyenangkan karena pengendalian efektif (effectivities)
seperti itu tidak relevan ketika hak atas wilayah sudah ditetapkan dengan
perjanjian. Dalam hal ini Judge Franck mempertahankan Konvensi 1891
78
ICJ Report 2002, paragraph 83. 79
Ibid., Hlm. xxvii.
90
(the Anglo-Dutch Convention of 1891) dalam menetapkan seluruh garis
perbatasan antara negara-negara kolonial (colonial predecessors) di
Borneo milik Malaysia dan Indonesia, menetapkan suatu garis yang
dimaksudkan untuk menyelesaikan klaim territorial yang berpotensi
menimbulkan konflik di antara dua kerajaan. Maksud dan tujuannya
adalah untuk membawa ketenteraman di daerah yang tumpang tindih dan
menurut Vienna Convention on the Law of Treaties, tujuan seperti itu
seharusnya dihormati oleh Mahkamah.
Terutama artikel IV dari Konvensi 1891, dalam menetapkan garis 4o
10’ lintang utara untuk membagi wilayah di luar pantai timur Borneo dan di
seberang pulau Sebatik seharusnya diasumsikan sebagai garis
memanjang (extend) sejauh diperlukan untuk membagi kedua pulau yang
secara jelas terletak di selatan garis 4o 10’ lintang utara dan dengan
demikian dapat menyelesaikan setiap sumber pertikaian pada masa
mendatang. Seharusnya diasumsikan bahwa perjanjian yang
dimaksudkan untuk menyelesaikan semua isu yang menonjol di daerah itu
agaknya tidak bermaksud untuk menyerahkan pembagian Sipadan dan
Ligitan pada pengumpulan telur penyu dan patroli pengawasan terhadap
kejahatan perompakan laut (piracy patrolling)80.
Sesungguhnya terdapat banyak bukti yang membenarkan asumsi
logis seperti ini, jika asumsi ini dapat dibantah, tetapi tidak dibantah. Peta
Pemerintah Hindia Belanda yang menyertai the Explanatory Memorandum
80
Ibid., hlm. xxvii
91
guna mendesak Menteri Luar Negerti meratifikasi Konvensi 1891, (peta
tersebut) memperlihatkan garis 4o 10’ lintang utara yang memanjang dan
meluas ke laut ke arah timur Sebatik. Peta ini dikenal baik oleh
Pemerintah Inggris setelah diserahkan oleh Menterinya di Den Haag.
Tidak ada keberatan dari pihak London. Pada waktu-waktu terakhir
konsesi eksplorasi minyak dilakukan oleh kedua negara dengan hati-hati
guna menghormati perluasan garis seperti itu di sebelah timur Pulau
Sebatik. Fakta-fakta seperti itu sepatutnya mendukung kesimpulan bahwa
garis 4o 10’ tidak dimaksudkan untuk berakhir hanya di pantai timur Pulau
Sebatik saja.
Di samping itu asumsi hukum (the legal presumption) yang diakui di
dalam yurisprudensi Mahkamah bahwa traktat yang menetapkan daerah
pinggiran atau perbatasan (borders), garis-garis perbatasan (boundaries)
dan garis-garis pembagian (lines of allocation) di antara negara-negara
dimaksudkan untuk menimbulkan akibat (to effect closure), anggapan
hukum seperti ini memainkan peranan penting dalam menetapkan rezim
hukum yang dapat mendukung terwujudnya perdamaian dunia. Perjanjian-
perjanjian seperti ini seharusnya ditafsirkan secara luas, tidak secara
sempit seakan-akan perjanjian-perjanjian ini merupakan kontrak penjualan
gandum. Atas dasar ini, garis 4o 10’ yang dinyatakan dalam Konvensi
1891 seharusnya diakui sebagai garis pembagi dalam perkara tersebut81 :
“The decision of the ICJ in the Sipadan and Ligitan case provides a useful precedent for the South China Sea because the Court
81
Ibid., Hlm. xxviii.
92
awarded sovereignty over the islands to Malaysia on the basis of the effectivités it was able to demonstrate. Malaysia could point to various acts of administration that demonstrated an effective exercise of authority in respect of the islands. Malaysia was, moreover, able to rely on the earlier colonial measures adopted by Britain in North Borneo to regulate the taking of turtle eggs from the islands and the construction and operation of lighthouses there. It was also relevant to the court that Indonesia made no protest against these activities”.
H. Pengendalian Efektif (Effective Occupation)82
Kemenangan Malaysia atas Indonesia dalam kasus Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan di depan Mahkamah Internasional didasarkan atas
prinsip pengendalian efektif (effective occupation) yang merupakan azas
hukum internasional umum. Masing-masing Negara mengajukan prinsip
seperti itu dalam berbagai bentuk kegiatan terkait dengan kedua pulau
yang dipersengketakan dengan tujuan untuk membuktikan hak
kepemilikannya. Namun berbagai kegiatan atau tindakan yang dilakukan
Malaysia ataupun pendahulunya atas kedua pulau tersebut membuktikan
terpenuhinya prinsip pengendalian efektif sehingga kedua pulau tersebut
dinyatakan sebagai milik Malaysia.
Demikian pentingnya prinsip pengendalian efektif sebagai azas
hukum internasional yang dapat menciptakan hak atau kedaulatan atas
suatu wilayah, maka berikut ini akan dibahas prinsip tersebut dengan
mengemukakan pelbagai kasus yang telah diputuskan oleh arbitrasi
ataupun peradilan internasional. Kasus-kasus itu antara lain adalah kasus
persengketaan Pulau Palmas (Palmas Island Case) yang melibatkan
82
ICJ Report 17 December 2002, paras 126-129; Jurisdictionary, Vol.1 No.2 April 2005, Hlm. xx. .
93
Pemerintah Hindia belanda dan Amerika Serikat, kasus Clipperton Island
antara Pemerintah Perancis dan Meksiko dan kasus Eastern Greenland
antara Denmark dan Norwegia serta kasus-kasus territorial lainnya yang
telah diputuskan oleh pengadilan internasional83.
Dalam kasus Pulau Palmas, Arbitrator yang bernama Max Huber
mengatakan bahwa jika kedaulatan territorial dijalankan secara terus
menerus dan damai atau tidak ditentang oleh negara lain, maka hal
seperti ini sama dengan hak atau ‘title´, yaitu terciptanya hak. Manifestasi
kedaulatan territorial sesungguhnya mempunyai berbagai bentuk sesuai
dengan situasi dan kondisi setempat. Meskipun pada prinsipnya
pelaksanaan kedaulatan harus terus menerus, dalam kenyataan
kedaulatan itu tidak mungkin dilaksanakan setiap saat dan tempat dalam
suatu wilayah. Kedaulatan teritorial itu mensyaratkan pelaksanaan fungsi-
fungsi negara secara terus menerus dan damai84.
Hak Amerika Serikat yang didasarkan atas penemuan Pulau
Palmas oleh Spanyol, perjanjian Paris 1898 yang berisi penyerahan hak
Spanyol kepada Amerika Serikat dan dekatnya pulau tersebut dengan
kepulauan Philipina, tidak dapat membuktikan kalau Spanyol menjalankan
kedaulatannya atas Pulau Palmas.
Selanjutnya Max Huber menguji argumentasi Pemerintah Hindia
Belanda soal pelaksanaan kedaulatan negara atas pulau tersebut yang
83
Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, (London, George Allen and Unwin, 1983’, Hlm. 143.
84 Malcolm N. Shaw, International Law, (Cambridge, Grotius Publications
Limited, 1986), Hlm. 240 – 241.
94
dijalankan secara terus menerus dan damai. Menurutnya penduduk pulau
tersebut sudah menjalin hubungan dan komunikasi dengan perusahaan
Inggeris yang berada di India, yaitu the East India Company. Sejak tahun
1677 dibuat semacam kontrak antara pïhak Hindia Belanda dengan pihak
raja-raja yang ada di Pulau Palmas dan akibatnya pulau yang dahulu
terpecil atau terisolasi lalu menjadi wilayah yang bersifat terbuka dan
terjalin hubungan antara Negara kolonial dan daerah jajahan. Semuanya
ini menunjukkan bahwa antara tahun 1700 sampai tahun 1906
pelaksanaan kedaulatan Hindia Belanda di pulau tersebut telah berjalan
secara damai atau tidak mendapat perlawanan dari Negara lain sehingga
dapat dianggap sebagai bukti adanya kedaulatan Negara tersebut
terhadap pulau yang bersangkutan. 85
Kasus Clipperton Island yang melibatkan dua Negara, yakni Perancis
dan Meksiko juga ditangani dan diselesaikan oleh arbitrasi internasional
berdasarkan atas persetujuan kedua Negara tersebut. Meksiko mengklaim
hak atas pulau yang berdekatan dengan kepulauan Hawai di Samudera
Pasifik dengan alasan bahwa pulau itu diduga ditemukan pertama kali
oleh Spanyol. Akan tetapi arbitrator menyatakan bahwa walaupun pihak
Meksiko memiliki hak historis terkait statusnya sebagai Negara pengganti
dari Spanyol, namun hak seperti ini tidak ditunjang dengan pelaksanaan
kedaulatan atas Pulau Clipperton.
85
Ibid, Hlm. 241.
95
Perancis menyatakan pulau tersebut adalah tanah yang tidak bertuan
(terra nullius) ketika seorang perwira Angkatan Laut Perancis mendarat di
pulau Clipperton dan kemudian melakukan proklamasi kedaulatan
Perancis atas pulau itu pada tahun 1858. Masalahnya menurut pihak
arbitrasi adalah apakah Perancis sudah mulai melakukan apa yang
disebut ´effective occupation´ pada waktu itu. Jika Perancis tidak
melakukan pengendalian efektif, maka menurut arbitrasi Meksiko tentu
saja mempunyai hak untuk beranggapan bahwa pulau tersebut dapat
didudukinya pada tahun 189786.
Arbitrator menyatakan bahwa pendudukan (occupation)
mensyaratkan adanya tindakan penguasaan aktual (an actual taking of
possession), yaitu suatu tindakan atau serangkaian tindakan yang
bertujuan untuk menguasai suatu wilayah. Pada umumnya ´an actual
taking of possession´ atau tindakan penguasaan aktual hanya terjadi
apabila Negara yang bersangkutan mendirikan di dalam wilayah tersebut
sebuah organisasi yang mampu menciptakan peraturan hukum dan
peraturan hukum ini dipatuhi dan dihormati. Namun tindakan atau langkah
seperti ini hanyalah salah satu cara untuk melakukan tindakan
penguasaan actual sehingga hal ini tidak sama dengan tindakan
penguasaan actual (an actual taking of possession).
Menurut arbitrator, terdapat kasus-kasus yang memperlihatkan
bahwa tindakan menciptakan peraturan tidak selalu harus digunakan. Jika
86
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 1979), Hlm.152 – 153).
96
ternyata suatu wilayah sama sekali tidak berpenduduk dan diduduki atau
dikuasai secara aktual oleh suatu Negara yang kemudian melakukan
semacam proklamasi kedaulatan atas wilayah itu, maka sejak proklamasi
ini tindakan penguasaan seperti ini (an actual taking of possession) harus
dianggap tuntas dan ´occupation´ yang dilakukannya telah sempurna
adanya. Dengan demikian menurut arbitrator, Perancis memperoleh pulau
Clipperton ketika Negara ini melalui perwira Angkatan Laut membuat
proklamasi kedaulatan terhadap pulau tersebut pada 17 November 1858
dan okupasi atau aneksasi tersebut meskipun hanya bersifat simbolis
secara jelas telah menimbulkan akibat hukum.
Dalam ´the Eastern Greenland Case´ yang diputuskan oleh
Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International
Justice), Norwegia berpendapat bahwa ´Eastern Greenland´ adalah tanah
yang tidak bertuan (terra nullius) yang ditemukan untuk pertama kalinya
oleh Negara tersebut sehingga dia mempunyai hak atas daerah tersebut.
Sebaliknya Denmark mengemukakan bahwa dia berhak atas seluruh
wilayah Greenland, termasuk ´Eastern Greenland´ berdasarkan atas azas
yang dinamakan ´effective occupation´ atas wilayah Greenland Timur, di
mana dia telah melaksanakan kedaulatannya sejak lama atas seluruh
wilayah Greenland secara efektif87.
Pendapat kedua belah pihak kemudian diuji oleh Mahkamah
Internasional Permanen (PCIJ), terutama pendirian Denmark menyangkut
87
Malcolm N. Shaw, International Law (Second Edition), (Cambridge: Grotius Publications Limited, 1986), Hlm. 250 – 251.
97
apakah okupasi (occupation) yang dilakukannya adalah sah atau tidak
menurut hukum internasional. Menurut Mahkamah, pada umumnya sah
tidaknya suatu okupasi ditentukan oleh prinsip keefektivan (the principle of
effectiveness). Dalam kasus itu Mahkamah menyatakan agar supaya
okupasi itu dilakukan secara efektif, maka harus dipenuhi dua
persyaratan, yaitu88 : 1) Negara yang bersangkutan memang mempunyai
maksud (intention) untuk menguasai wilayah tersebut; 2) Negara yang
bersangkutan menjalankan kedaulatannya secara tepat.
Menurut PCIJ, Denmark dapat membuktikan kedua syarat tersebut
sehingga okupasi atau penguasaan yang dilakukannya benar-benar efektif
dan dengan demikian penguasaan (occupation) itu adalah sah menurut
hukum internasional.
Dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, pihak Indonesia sudah
berupaya membuktikan haknya menurut hukum (legal title) atas kedua
pulau tersebut yang didasarkan atas Konvensi London 1891. Untuk
memperkuat hak hukum ini, Nederland sebenarnya telah menjalankan
pengendalian efektif atas kedua pulau tersebut melalui serangkaian fungsi
pemerintahan di perairan sekitar kedua pulau tersebut, antara lain dengan
beroperasinya kapal Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang disebut HMS
Lynx yang melakukan kegiatan pengawasan dan penanggulangan
terhadap berbagai macam kejahatan yang terjadi di perairan, termasuk
perairan sekitar Sipadan dan Ligitan.
88
J.G. Starke, Introduction to International Law, (London, Butterworths, 1984), Hlm. 155.
98
Pengendalian efektif atas wilayah pulau Sipadan juga dapat
diketahui dari adanya tulisan-tulisan yang tertera pada sebuah tugu yang
didirikan di pulau itu oleh otoritas Hindia Belanda. Kegiatan surveilans
yang dilaksanakan oleh kapal-kapal patroli Hindia Belanda dan kemudian
dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia, dan akhirnya kegiatan nelayan-
nelayan tradisional Indonesia dengan melakukan penangkapan ikan di
perairan sekitar pulau-pulau perbatasan, termasuk di dalamnya Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan, semuanya ini membuktikan terciptanya hak
(title) Indonesia yang membuktikan berjalannya fungsi-fungsi administrasi
pemerintahan sejak zaman kolonial yang merupakan pencerminan dari
azas ‘effective occupation’. Namun demikian bagi ICJ apa yang
dikemukakan oleh pihak Indonesia, termasuk tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh Belanda tidak berkarakter legislasi sehingga semuanya
bukan merupakan ‘effective occupation’.
Penetapan peta89 oleh Pemerintah Hindia Belanda yang
melampirkannya pada undang-undang pengesahan Konvensi London
89 Dalam “the Beagle Channel Arbitration” tahun 1977 tribunal internasional menguatkan
azas-azas yang mengatur penggunaan peta sebagai bukti atau petunjuk (evidence) sebagai berikut
89 :
Peta yang dibuat sebelum adanya perjanjian dapat menjelaskan maksud para pihak.
Peta dapat mengungkapkan secara jelas mengenai situasi dan fakta yang dikenal bagi para negosiator perjanjian.
Peta yang dipublikasikan setelah perjanjian ditutup atau dibuat dapat menjadi bukti atau petunjuk bagaimana para pihak bermaksud untuk menafsirkan perjanjian.
Peta dapat mengindikasikan reputasi atau kepercayaan yang meluas mengenai urusan-urusan (affairs) dalam suatu negara.
Peta digunakan untuk menunjukkan pandangan yang diambil oleh pemerintah pada waktu dipublikasikan.
Peta memberikan bukti atau petunjuk mengenai pandangan negara-negara dan para pejabatnya ketika perjanjian dirundingkan apabila bertentangan dengan posisi atau pandangannya yang ditegaskan selama tribunal membuat pertimbangan.
Peta yang dihasilkan secara sepihak, diundangkan ataupun diadopsi oleh suatu negara tidak perlu berarti samasekali tidak memiliki nilai.
99
1891 serta ‘explanatory memorandum’ 1915 tersebut adalah bagian dari
fungsi-fungsi administrasi pemerintahan. Hal ini membuktikan terwujudnya
pengendalian efektif terhadap perairan di sekitar kedua pulau yang
dipersengketakan. Peta yang dilampirkan pada naskah perjanjian yang
sudah diratifikasi Pemerintah Kerajaan Belanda dan ratifikasinya telah
disampaikan kepada Pemerintah Kerajaan Inggris melalui pejabat
diplomatiknya di Den Haag, menunjukkan dan membuktikan adanya
pengakuan Inggeris terhadap makna dan substansi dari peta tersebut
yang menggambarkan garis batas yang paralel dengan 4o 10’ Lintang
Utara sebagai garis alokasi dan pembagian kedaulatan antara kedua
negara di kawasan tersebut. Hal ini disebabkan karena Konvensi
London1891 dengan peta terlampir bertujuan untuk meningkatkan
hubungan persahabatan di antara Negara-negara, dan pada waktu
bersamaan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional,
termasuk di kawasan Asia Tenggara. Dengan demikian peta dalam
konteks Konvensi 1891 menjadi petunjuk atau bukti mengenai maksud
kedua Negara dalam menetapkan garis yang ditarik dari pantai Timur
Borneo dan pantai Barat Pulau Sebatik melintasi pulau ini dan berlanjut
Sikap negara-negara dan para pejabatnya terhadap peta dapat menjadi bukti atau
petunjuk mengenai maksudnya, tanpa memperhatikan akurasi peta dari segi teknis. Demikian berbagai azas penggunaan peta sebagai bukti mengenai wilayah perbatasan territorial, sebagaimana tertera dalam “the Beagle Channel Arbitration”. Dengan memperhatikan azas
azasnya, maka peta yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1915 dapat dianggap menjadi cikal bakal lahirnya azas-azas terkait dengan peta bagi kasus the Beagle Channel Arbitration. Azas-azas itu antara lain adalah bahwa peta dapat menjelaskan situasi atau fakta yang diketahui para negosiator. Victor Prescott and Gillian D. Triggs, International Frontiers and Boundaries’.Law, Politics and Geography, (Leiden. Boston: Martinus Nijhoff Publishers, Leiden Boston, 2008), Hlm. 193-194.
100
menuju ke arah Timur, sepanjang garis yang sejajar dengan 4o 10’ Lintang
Utara90.
Garis paralel seperti tercantum dalam peta tersebut mempunyai
fungsi sebagai garis pembagian kedaulatan antara Inggris dan Belanda
sehingga dapat memberi kontribusi bagi masyarakat internasional dalam
rangka mencegah timbulnya konflik territorial antarnegara dan pada waktu
yang sama dapat menciptakan perdamaian dan keamanan internasional
di kawasan tersebut.
Pihak Inggeris dan Belanda delegasinya sudah mengenal situasi
perbatasan pada tahun 1891 ketika kedua negara kolonial mengadakan
perundingan untuk membuat perjanjian soal pembagian wilayah atas
dasar garis yang ditarik dari pantai Timur Borneo atau pantai Barat Pulau
Sebatik melintasi Pulau Sebatik dan berlanjut terus sepanjang garis
tersebut sejajar dengan 4o l0’ Lintang Utara. Semua wilayah yang terletak
di sebelah utara dari garis parallel 4o 10’ lintang utara adalah milik Inggris,
sedang wilayah-wilayah yang terletak di sebelah selatan dari garis seperti
itu, termasuk pulau-pulau Sipadan dan Ligitan (di samping pulau-pulau
Sebatik, Tarakan dan Nunukan) adalah milik Belanda.
Penetapan peta yang dilakukan secara sepihak (unilateral act) oleh
Malaysia mengenai zona ekonomi eksklusif91 tidak lama setelah keluarnya
90
ICJ Report 2002, (paras. 81-91); Jurisdictionary, Vol.1 No.2 April 2005, Hlm. xv. 91
Undang-undang yang diterbitkan oleh Malaysia pada waktu itu adalah ‘the Baselines of Maritime Zones Act 2006 dan telah diundangkan atau diberlakukannya pada 1 Mei 2007. Namun Undang-undang seperti itu telah ditentang oleh pihak Indonesia sebab sudah mengganggu kedaulatan dan keutuhan territorial Indonesia.
101
putusan ICJ soal Sipadan dan Ligitan tidak dapat dibenarkan ditinjau dari
perspektif historis dan yuridis. Klaim perairan di sekitar blok pertambangan
Ambalat di laut Sulawesi melalui penetapan zona ekonomi ekskusif dan
implementasinya melalui pemberian konsesi eksplorasi dan eksploitasi
minyak kepada perusahaan Belanda (Shell) bagaimanapun tidak boleh
dibiarkan karena peta zona ekonomi eksklusif yang ditetapkan secara
sepihak berpotensi menggerogoti bagian tertentu dari perairan kepulauan
Indonesia yang telah diakui masyarakat internasional melalui KHL 1982.
I. Konsep Delimitasi Maritim
Delimitasi maritim (maritime delimitation) dapat didefinisikan
sebagai proses penetapan garis-garis yang memisahkan ruang lingkup
wilayah yurisdiksi Negara pantai (the spatial ambit of coastal State
jurisdiction) atas ruang laut (maritime space) dimana hak hukumnya
tumpang tindih dengan hak hukum Negara lain. Delimitasi maritim muncul
sebagai akibat dari terjadinya duplikasi (overlapping) antara bagian laut
tertentu yang diklaim oleh dua negara tetangga atau lebih. Definisi seperti
ini memerlukan lima macam komentar92 :
1. Delimitasi maritim harus dilaksanakan apabila terdapat hak-hak
hukum yang tumpang tindih di antara Negara-negara atas ruang
laut yang sama (the same maritime space). Oleh karena itu
delimitasi maritim tidak berkaitan dengan tindakan memisahkan
ruang laut di bawah yurisdiksi Negara pantai dari laut bebas atau
92
Yoshifumi Tanaka, Op., Cit., Hlm. 7.
102
kawasan (International seabed area) yang atasnya tidak ada
Negara yang mempunyai hak hukum (legal title).
2. Terkait dengan hal tersebut di atas, maka harus dibedakan
antara batas-batas laut (maritime limits) dan delimitasi maritim
(maritime delimitation). Pembentukan batas-batas laut (the
establishment of maritime limits) meliputi penarikan garis yang
membatasi ruang laut dari satu negara pantai saja (the maritime
spaces of a single State), yaitu ruang yang tidak bersentuhan
dengan ruang laut milik Negara pantai lainnya. Dengan demikian
tujuan dari ‘maritime limit’ adalah menggambarkan ruang-ruang
laut yang berada di bawah yurisdiksi negara pantai, yang
dianggap terpisah (in isolation). Dalam pengertian itu, tindakan
menetapkan batas-batas maritim (maritime limits) merupakan
tindakan sepihak (unilateral act)93.
Pada umumnya batas luar zona maritim (the outer limit of a
maritime zone) pada saat bersamaan merupakan batas dalam dari zona
lainnya (the inner limit of another zone). Misalnya batas luar dari perairan
pedalaman membentuk dan merupakan batas dalam dari laut territorial
(the inner limit of the territorial sea), dan batas luar dari laut territorial juga
menjadi batas dalam dari jalur tambahan, zona ekonomi eksklusif serta
landas kontinen. Batas luar zona ekonomi eksklusif yang lebar
maksimalnya mencapai 200 mil dari garis pangkal yang dipakai untuk
93
Yoshifumi Tanaka, Op., Cit., Hlm. 7-8.
103
mengukur lebar laut territorial menandai dimulainya laut bebas, dasar
samudera dalam (international seabed area) dan bagian terluar landas
kontinen di luar 200 mil laut jika kelanjutan alamiah wilayah daratan
sampai ke sana. Akhir dari landas kontinen yang terluar merupakan batas
kawasan ke arah darat (landward limit of the International Seabed Area).
Di lain pihak, delimitasi maritim (maritime delimitation) adalah suatu
tindakan yang harus dijalankan oleh dua negara atau lebih, karena tujuan
delimitasi maritim adalah untuk memisahkan daerah-daerah yang
tumpang tindih di mana hak hukum dari negara-negara pantai berbenturan
satu sama lain. Hal ini disebabkan karena masing-masing negara
mencoba untuk melaksanakan yurisdiksi spasial (spatial jurisdiction) di
atas ruang laut yang sama. Kenyataan ini menunjukkan karakteristik
delimitasi maritim yang esensial, yaitu karakteristik internasional
(international character)94.
Majelis hakim ICJ dalam the Gulf of Maine case menegaskan
pandangan itu sebagai suatu kaidah fundamental dalam hukum delimitasi
maritim. Delimitasi maritim di antara negara-negara dengan pantai yang
saling berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) tidak dapat
dilakukan secara sepihak (unilaterally) oleh salah satu dari negara-negara
yang bersangkutan sehingga delimitasi maritim selalu memiliki karakter
internasional dalam arti delimitasi maritim bukanlah tindakan sepihak
(unilateral act), melainkan harus dilaksanakan di antara banyak negara.
94
Ibid., Hlm. 8
104
Menurut definisi yang ada (given), fenomena delimitasi maritim
dibatasi pada negara-negara. Negara anggota federasi, organisasi
internasional, seperti the International Sea-Bed Authority (ISA), bukanlah
subyek yang dapat melakukan delimitasi maritim. Dalam kenyataan batas
dari Kawasan (the International Seabed Area) ditentukan secara sepihak
oleh Negara-negara pantai, bukan oleh ISA. Dengan menentukan outer
limit of the continental shelf’, maka Negara pantai wajib mengajukan
sebuah salinan peta atau daftar koordinat geografis kepada Sekretaris
Jenderal ISA (Pasal 84 ayat 2 KHL 1982).95
Delimitasi ruang-ruang laut (maritime spaces) berkaitan dengan
pemisahan wilayah yurisdiksi negara (spatial ambit of State jurisdiction).
Yurisdiksi negara yang didelimitasi dan ditetapkan batas-batasnya
memiliki sifat spatial (spatial nature); yurisdiksi negara dapat dianggap
sebagai spatial, karena hal ini berbeda dari yurisdiksi personal atau tipe
yurisdiksi lainnya.96 Kenyataannya yurisdiksi negara pantai atas perairan
95
Lihat Pasal 76 ayat 1 KHL 1982. Negara pantai mempunyai hak hukum (legal title) atas landas kontinen hingga 200 mil laut tanpa memperhatikan ciri-ciri geologis dan geomorfologis dari dasar laut. Di lain pihak batas luar landas kontinen di luar batas 200 mil laut harus ditentukan sesuai dengan criteria yang tercantum dalam Pasal 76 ayat 4 KHL 1982. Bagaimanapun batas luar landas kontinen tidak boleh melampaui 350 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut territorial diukur atau tidak boleh melampaui 100 mil laut terhitung dari batas kedalaman isobaths 2500 meter. Dalam hal ini Negara pantai harus menyampaikan informasi tentang batas-batas landas kontinen di luar 200 mil kepada “the Commission on the Limits of the Continental Shelf” yang terbentuk berdasarkan Annex II (Pasal 76 ayat 8 KHL 1982).
96 Spatial jurisdiction dapat didefinisikan sebagai yurisdiksi yang berkaitan
dengan suatu ruang tertentu dan hanya dapat dilaksanakan di dalam ruang yang bersangkutan. Territorial jurisdiction adalah sebuah contoh khas dari spatial jurisdiction, tetapi konsep spatial jurisdiction lebih luas daripada territorial jurisdiction. Meskipun diperdebatkan atau dibantah bahwa territorial jurisdiction adalah sama dengan kedaulatan territorial, spatial jurisdiction mencakup tidak hanya territorial souvereignty
105
pedalaman dan laut territorial, tanpa disangsikan mempunyai karakter
kewilayahan (territorial), yaitu mempunyai karakter ruang (spatial
character). Di samping itu, yurisdiksi atas zona ekonomi eksklusif dan
landas kontinen juga dapat dianggap sebagai spatial dalam pengertian
bahwa yurisdiksi seperti ini semata-mata hanya dapat dilaksanakan di
ruang yang bersangkutan (space), meskipun harus dibedakan dari
kedaulatan territorial yang sesungguhnya.
Adalah benar yurisdiksi negara pantai atas zona ekonomi eksklusif
dan landas kontinen dibatasi pada hal-hal yang sudah ditentukan oleh
hukum internasional. Akan tetapi dalam hal-hal seperti ini Negara pantai
dapat melaksanakan hak-hak berdaulat, tanpa memperhatikan
nasionalitas dari obyek-obyek yang ada di zona ekonomi eksklusif dan
landas kontinen. Di samping itu hak-hak berdaulat itu dilaksanakan secara
eksklusif. Yurisdiksi atas zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen
dapat dipahami hanya sebagai yurisdiksi atas ruang (spatial jurisdiction),
bukan sebagai yurisdiksi terhadap seseorang (personal jurisdiction) atau
tipe yurisdiksi lain97.
Dalam hubungan ini mungkin relevan menyinggung isu terminologi
yang berkaitan dengan garis delimitasi (delimitation line) dan perbatasan
(boundary). Istilah boundary digunakan untuk wilayah daratan dan
tetapi juga yurisdiksi atas landas kontinen dan ZEE. Lihat Yoshifumi Tanaka, op.cit., Hlm. 9
97 Maria Gavouneli,Functional Jurisdiction in the Law of the Sea, (Leiden /
Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2007, Hlm. 61-62.
106
wilayah lain (other spaces) yang tunduk di bawah kedaulatan penuh (full
souvereignty). Sedangkan untuk ruang maritim (maritime spaces) di mana
Negara pantai menjalankan kewenangan yang sifatnya fungsional, tetapi
bukan kedaulatan penuh sehingga istilah limits atau lines of delimitation
memang sudah tepat.
Majelis ICJ dalam kasus the Gulf of Maine case tampaknya
mendukung pandangan ini. Di sisi lain, Mahkamah Arbitrasi dalam kasus
“the Guinea versus Guinea-Bissau case” memutuskan bahwa praktek
tidak selalu merefleksikan perbedaan seperti itu. Ternyata, dalam kasus
“the North Sea Continental Shelf Cases”, ICJ menggunakan istilah
boundary atau boundary line dalam naskah autentik yang berbahasa
Inggris, sementara kata ‘limites’ atau ‘lignes de delimitation’ digunakan
dalam terjemahan berbahasa Perancis. Dalam kasus the Greenland/ Yan
Mayen case, ICJ menggunakan istilah boundary untuk landas kontinen
dan zona perikanan dalam naskah autentik berbahasa Inggris, sementara
kata delimitation digunakan dalam terjemahan Perancis.
Dalam kasus Anglo-French Continental Shelf case, Mahkamah
Arbitrasi menggunakan istilah boundary dalam teks Inggris. Dalam
keputusan the Guinea versus Guinea-Bissau, istilah ‘frontiere’ diadopsi
dalam naskah autentik dalam bahasa Perancis, dan putusan atas kasus
the Guinea-Bissau/Senegal menggunakan (referred to) istilah ‘frontieres
maritims’.
107
Dalam praktek perjanjian ungkapan maritime boundary cenderung
digunakan untuk menetapkan garis batas landas kontinen dan zona
ekonomi eksklusif atau zona perikanan. Ulasan sekilas ini
memperlihatkan, sebagaimana Calflisch sendiri telah menerimanya,
bahwa ‘delimitation line’ dan ‘boundary’ tidak dibedakan secara jelas.
Terutama garis delimitasi untuk landas kontinen dan zona ekonomi
eksklusif atau zona perikanan sering disebut batas maritim tunggal (a
single maritime boundary) dalam ‘case law’98 serta pendapat para penulis.
Oleh karena itu dalam kajian ini istilah garis delimitasi (delimitation line)
dan perbatasan (boundary) akan dipergunakan secara silih berganti.99
Beberapa penulis membedakan konsep hukum delimitasi maritim
(maritime delimitation), yaitu pembedaan antara konsep delimitasi
(delimitation) dengan konsep pembagian secara adil (apportionment), dan
perbedaan antara delimitasi yang deklaratif (delimitation declarative,
declaratory delimitation) dan delimitasi yang bersifat konstitutif
(delimitation constitutive or man-made delimitation).
Adalah ICJ yang dalam the North Sea Continental Shelf cases
1969 menekankan pembedaan (distinction) antara ’delimitation’ dan
‘apportionment’. Dalam menguji konsep tentang bagian yang adil dan
wajar (a just and equitable share) yang dinyatakan oleh Jerman Barat (the
Federal Republic of Germany), maka Mahkamah membedakan dengan
98
Yoshifumi Tanaka, op.cit., Hlm. 10-11.
99George K. Walker, Definitions for the Law of the Sea. Terms not Defined by the
1982 Convention, (Leiden. Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2012), Hlm.164.
108
jelas antara ‘delimitation’ dan ‘apportionment’ dengan mengatakan bahwa:
tugas Mahkamah dalam proses persidangan saat ini terutama berkaitan
dengan delimitasi dan bukan pembagian secara adil atas wilayah yang
bersangkutan, atau pembagian ke dalam beberapa sektor. Delimitasi
adalah sebuah proses yang mencakup penetapan batas-batas wilayah,
yang pada prinsipnya sudah termasuk (wilayah) Negara pantai dan bukan
penentuan atas sesuatu yang baru (determination de novo) dari suatu
wilayah sehingga menurut Mahkamah, konsep a just and equitable share,
yang berkenaan dengan gagasan pembagian secara adil (apportionment),
adalah bertentangan dengan konsep delimitasi.
Namun demikian tampaknya pembedaan seperti itu ternyata lemah.
Dalam keputusan yang sama, ternyata Mahkamah menegaskan bahwa
jika harus menerapkan prinsip kepatutan (equitable principles), maka
delimitasi dimaknai menyerahkan bagian-bagian yang tumpang tindih
kepada para pihak, bagian-bagian inilah yang harus dibagi di antara
mereka dalam proporsi yang disepakati atau apabila kesepakatan tidak
tercapai, harus dibagi secara wajar (equally). Akan tetapi gagasan
pembagian itu sendiri dalam proporsi yang disepakati (agreed proportion)
atau gagasan tentang pembagian yang wajar (equal division) akan
mengarah pada gagasan tentang apportionment.100
Hal yang sama juga berlaku bagi apa yang disebut konsep
kesesuaian (proportionality) antara luas bagian landas kontinen yang
100
Yoshifumi Tanaka, op.cit., Hlm.11-12.
109
dimiliki Negara pantai dengan kepanjangan pantainya yang diukur dengan
arah garis pantai pada umumnya. Konsep ‘proportionality’ itu dikaitkan
dengan konsep pembagian landas kontinen secara adil (apportionment).
Dengan demikian konsep delimitasi maritim harus memasukkan beberapa
aspek pembagian secara adil, terutama konsep ‘proportionality’.
Dalam menyelesaikan garis batas maritim di bagian laut yang
dipersengketakan antara Indonesia dan Malaysia sebagai dampak dari
putusan ICJ atas kasus Sipadan dan Ligitan, konsep-konsep seperti
‘equitable’ dan ‘proportionality’ perlu ditempatkan sebagai bagian integral
dari konsep delimitasi maritim karena berdasarkan perkembangan hukum
laut dewasa ini penentuan garis batas maritime di antara negara-negara
tetangga harus bermuara pada tercapainya hasil yang berkeadilan
(equitable result) tanpa memperhatikan metode yang digunakan dalam
proses delimitasi maritim. Konsep ‘equitable’, proportionality dan konsep
lain yang mencerminkan azas keadilan atau kepatutan bagaimanapun
harus memperhitungkan keadaan-keadaan relevan (relevant
circumstances) yang tidak hanya terbatas pada kondisi geografis, tetapi
juga kondisi non geografis, termasuk di dalamnya kondisi sosial-politik dan
ekonomi Indonesia. Hanya melalui konsep seperti itu dapat tercapai
keadilan yang substansial, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945.
Pada tataran internasional masalah delimitasi maritim sudah ada
pengaturannya dalam beberapa perjanjian hukum laut, seperti Konvensi
110
Geneva 1958 yang diganti dengan Konvensi Hukum Laut 1982, yang
telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun
1985. Masalah delimitasi maritim, seperti delimitasi laut wilayah, zona
ekonomi eksklusif dan landas kontinen dapat ditemukan dalam beberapa
peraturan hukum nasional Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1973 mengenai landas kontinen, Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1996 mengenai perairan Indonesia dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1983 mengenai zona ekonomi eksklusif dan peraturan perundangan
lainnya. Peraturan perundang-undangan ini (terkecuali Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1973) merupakan implementasi ketentuan-ketentuan KHL
1982 sebab Indonesia selain berkepentingan untuk memanfaatkan azas-
azas dan ketentuan-ketentuan konvensi, khususnya yang terkait soal
delimitasi maritim, juga telah mengikatkan diri pada konvensi tersebut
berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, namun dengan
tetap mengedepankan kepentingan nasional yang bersifat fundamental..
J. Typology Delimitasi Maritim
Konvensi Geneva 1958 mengatur berbagai tipe delimitasi maritim :
(i) Delimitasi laut territorial (Pasal 12 Konvensi mengenai Laut Teritorial
dan Zona Tambahan), (ii) Delimitasi zona tambahan (Pasal 24 Konvensi
yang sama, dan (iii) Delimitasi landas kontinen (Pasal 6 Konvensi
mengenai Landas Kontinen). Tidak ada ketentuan menyangkut delimitasi
perairan pedalaman meskipun masalah ini bisa timbul, misalnya dalam hal
sebuah teluk (bay) dengan beberapa negara tepi di sekitar teluk itu.
111
Ketentuan delimitasi laut territorial dan landas kontinen pada
hakekatnya merumuskan azas yang terdiri dari tiga ketentuan yang sama
tentang ’agreement-equidistance-special circumstances’. Akan tetapi
mengenai delimitasi jalur tambahan ditetapkan azas murni mengenai
agreement-equidistance tanpa menyebut special circumstances (Pasal 24
Konvensi mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan)101.
KHL 1982 menyebut secara eksplisit tiga macam tipe delimitasi
maritim : (i) delimitasi laut territorial (Pasal 15); (ii) delimitasi zona ekonomi
eksklusif (Pasal 74); (iii) delimitasi landas kontinen (Pasal 83).
Sebagaimana halnya dengan Konvensi Geneva 1958, tidak ada ketentuan
yang mengatur tentang delimitasi perairan pedalaman. Berbeda dengan
Konvensi Geneva 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan,
maka KHL 1982 tidak menyinggung delimitasi jalur tambahan.
Meskipun tidak diatur dalam KHL 1982, dalam kaitan delimitasi
zona ekonomi eksklusif atau zona perikanan dan landas kontinen, timbul
masalah garis batas maritim tunggal (single maritime boundary) yang
akan menentukan batas-batas landas kontinen dan zona ekonomi
eksklusif atau zona perikanan hanya dengan menggunakan satu macam
garis semata-mata102.
101
SHI Jiuyong, The Wang Tieya Lecture in Public International Law : Maritime Delimitation in the Jurisprudence of the International Court of Justice, (Chinese Journal of International Law, 2010), Hlm. 273-274, http://chinesejil oxfordjournals.org/ at University Library Utrecht on November 15, 2012
102 Ibid, Hlm. 15; Clive R. Symmons, The Maritime Zones of Islands in
International Law, (The Hague / Boston/ London: Martinus Nijhoff Publishers, 1979), Hlm. 179-182.
112
Pertama, apabila landas kontinen dan zona perikanan bereksistensi
sesuai dengan perjanjian dan hukum kebiasaan, maka masalah yang
mungkin muncul adalah apakah batas-batas maritim di landas kontinen
dan zona perikanan harus bersamaan (coincide). Karena faktor-faktor
relevan yang berkaitan dengan dasar laut (landas kontinen) dan perairan
yang berada di atasnya (zona perikanan) ternyata bisa berbeda-beda,
maka garis-garis delimitasi landas kontinen dan zona perikanan tidak
perlu bersamaan (coincide), tetapi perlu dilakukan secara terpisah dan
tersendiri dan hal seperti ini bukan persoalan hipotesa.
Dalam menarik garis batas maritim yang bersamaan (coincident)
baik untuk landas kontinen maupun zona perikanan, maka ICJ dalam
kasus the Greenland / Jan Mayen case menganggap adanya kesempatan
yang sama untuk berpartisipasi dalam melakukan eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya perikanan (equitable access to fisheries) yang
hanya terkait dengan perairan yang berada di atasnya, sebagai sebuah
keadaan relevan (relevant circumstance)103.
Kedua, masalah yang sama akan muncul dalam hubungan dengan
delimitasi landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif. Mengenai hal ini,
Pasal 74 mengenai delimitasi zona ekonomi eksklusif itu identik dengan
Pasal 83 mengenai delimitasi landas kontinen. Delimitasi zona ekonomi
eksklusif (landas kontinen) di antara Negara-negara dengan pantai yang
103
Jonathan I. Charney, Maritime Delimitation in the Area between Greenland and Jan Mayen, dalam The American Journal of International Law, Vol. 88, No. 1 (January 1994), Hlm.105-109
113
saling berhadapan (opposite) dan saling berdampingan (adjacent) harus
dilakukan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, seperti
dinyatakan dalam Pasal 38 Statuta ICJ, agar tercapai suatu penyelesaian
yang adil (an equitable solution). Dengan demikian delimitasi zona
ekonomi eksklusif dan landas kontinen ditentukan dengan aturan yang
sama.
Namun demikian apabila aturan yang sama pun berlaku pada zona
ekonomi eksklusif dan landas kontinen, hal ini tidak berarti bahwa kedua
garis batas yang dihasilkannya harus selalu bersamaan atau bertepatan
(coincide). Dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang dianggap
relevan bisa berbeda untuk dasar laut dan perairan di atasnya, maka
kemungkinan garis delimitasi landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif
akan berbeda pula. Misalnya, walaupun lokalisasi sumber daya perikanan
bisa relevan bagi garis batas zona ekonomi eksklusif, garis batas landas
kontinen mungkin mensyaratkan lokasi deposit mineral sebagai faktor
relevan yang harus dipertimbangkan. Dalam hal ini garis delimitasi yang
adalah wajar untuk perairan di atasnya (superjacent waters) tidak harus
memiliki kualitas yang sama untuk dasar laut (seabed) sehingga apa yang
dianggap wajar untuk garis delimitasi perairan zona ekonomi eksklusif
atau zona perikanan tidak harus wajar untuk garis delimitasi landas
kontinen104.
104
Yoshifumi Tanaka, loc.cit.
114
Perbedaan faktor-faktor relevan untuk dasar laut dan perairan di
atasnya menimbulkan risiko terciptanya persaingan dua macam garis (two
competing lines) yang membagi bagian-bagian yang bersamaan
(coincident areas) dan menciptakan suatu situasi di mana bagian zona
ekonomi eksklusif yang dimiliki satu negara bisa tumpang tindih dengan
bagian landas kontinen negara lain dan menimbulkan masalah yurisdiksi
yang bersifat kompleks sehingga tidak jarang ada pemikiran mengenai
penarikan garis batas maritim tunggal untuk landas kontinen dan zona
perikanan serta penarikan garis batas maritim tunggal untuk landas
kontinen dan zona ekonomi eksklusif105.
K. Konferensi Den Haag tentang Kodifikasi Hukum Internasional 1930
K.1. Delimitasi Laut Teritorial antarnegara yang Pantainya
Berdekatan
Konferensi Den Haag 1930 berusaha mengkodifikasi hukum
delimitasi maritim. Diskusi bermula dalam Komite Ahli Liga Bangsa-
Bangsa (LBB) pada 1925. Laporan dari Sub Komite berkenaan dengan
delimitasi laut territorial dari Negara-negara yang berdampingan, Reporter
M.Schucking menyatakan bahwa106 dalam hal negara-negara wilayah
lautnya tumpang tindih satu sama lain, masalah itu harus diselesaikan
105
Ibid., Hlm. 14
106 Ibid., Hlm. 32 In the case of existing States, the matter will be settled by
historical considerations. In the event of a political change in the existing frontiers between riparian States, it would be advisable to establish special rules in each case having regard to the special geographical circumstances which have led to the fixing of a new frontier. It would be better to arrange for the conclusion of a special agreement between the States concerned, or for the settlement of the matter by arbitration or an ordinary tribunal, than to lay down an immutable principle.
115
dengan pertimbangan historis. Apabila terjadi perubahan politik di wilayah
perbatasan (frontiers) yang ada di antara negara-negara tepi, maka
sebaiknya menetapkan aturan-aturan khusus dalam setiap kasus, dengan
memperhatikan keadaan geografis khusus dengan tujuan menentukan
perbatasan baru (the fixing of a new frontier). Lebih baik membuat
perjanjian khusus di antara negara-negara yang bersangkutan atau
menyelesaikan masalah tersebut melalui arbitrasi atau tribunal biasa,
daripada menetapkan suatu azas yang bersifat tetap107.
Di dalam proposal, tidak ada system delimitasi yang dianjurkan.
Barbosa de Magalhaes mengecam pendapat ini, dengan
mengatakan : apa yang tidak saya lihat adalah mengapa aturan-aturan ini
tidak dapat dijelmakan di dalam Konvensi. Saya berpikir hal seperti ini
harus dilakukan. Kemudian dia mengusulkan klausula berikut : batas
antara perairan territorial suatu Negara dan perairan territorial Negara lain
dibentuk dengan suatu garis yang ditarik tegak lurus pada pantai dari titik
di mana wilayah perbatasan (the frontier) di antara kedua Negara
mencakup pantai tersebut. Wickersham juga menegaskan keberadaan
laut territorial dari negara-negara yang saling berdampingan satu sama
lain, meskipun substansi pandangannya berbeda daripada pandangan
Barbosa de Magelhaes. Dengan demikian walaupun Schucking
menganggapnya tidak tepat untuk menetapkan aturan umum delimitasi
laut territorial dari Negara-negara yang saling berdampingan, Barbosa de
107
Yoshifumi Tanaka, Predictability and Flexibility in the Law of Maritime Delimitation, (Oxford and Portland, Oregon, Hart Publishing, 2006), Hlm. 32 – 34.
116
Magelhaes dan Wickersham berpendapat pentingnya keberadaan aturan
seperti itu, kendatipun pandangan mereka mengenai aturan yang disebut
terakhir itu berbeda.
Poin penting yang harus diingat adalah bahwa pertentangan
pendapat ini mencerminkan sebuah pertentangan serupa dengan yang
timbul dari kontroversi antara Storni dan Gidel, yaitu antara model yang
didasarkan atas solusi kasus per kasus, yang menghindari formulasi suatu
aturan umum, dan model yang didasarkan atas perlunya suatu aturan
umum. Bagaimanapun juga akibat perbedaan pandangan ini, tidak
dirumuskan ketentuan mengenai aturan yang berlaku pada delimitasi laut
territorial di antara Negara-negara yang saling berdampingan108.
K.2. Delimitasi Laut Teritorial antarnegara yang Pantainya Saling
Berhadapan (Opposite States)
Perbedaan antara dua model ini juga dapat ditemukan dalam
argument-argumen mengenai delimitasi laut territorial dari Negara-negara
yang saling berhadapan. Dalam Pasal 6 dari Rancangan Konvensi,
Schucking menyarankan agar Selat yang lebarnya tidak melebihi 10 mil
yang pantainya dimiliki beberapa Negara akan membentuk bagian laut
territorial sampai garis tengah. Berbeda dengan delimitasi laut territorial
dari negara-negara yang saling berdampingan, dia menganggap mungkin
dapat ditetapkan suatu aturan umum yang menggunakan garis tengah
108
Ibid., Hlm. 33
117
untuk menetapkan garis-garis batas laut territorial dalam situasi pantai
yang saling berhadapan (opposite states)109.
Akibat kuatnya usulan seperti itu, Dasar Pembicaraan Nomor 16
(Basis of Discussion No.16), yang dipersiapkan untuk Konferensi Den
Haag, merumuskan aturan berikut. Apabila dua negara tepi di suatu selat
yang tidak lebih lebar dari dua kali lebar perairan territorial, maka perairan
territorial masing-masing Negara pada prinsipnya sampai ke garis tengah
di selat itu.
Pada Konferensi Den Haag, Basis of Discussion No.16 dikecam
oleh berbagai delegasi. Kritikan penting dilakukan oleh M.Raestad
(Norwegia) yang menyatakan : ‘Saya pikir bahwa Basis No.16 akan lebih
pantas dalam suatu konvensi khusus dan tidak dinyatakan dalam
konvensi umum’. Pandangan ini mencerminkan pilihan terhadap
pendekatan kasuistis (the case-by-case approach).
Kemudian Basis of Discussion No.16 diuji kembali oleh the Legal
Sub-Committee, di mana seorang pelapor (rapporteur) mengusulkan : …
Pandangan ini juga bersandar pada penyelesaian yang bersifat kasuistis.
Dengan demikian pertentangan di antara kedua model seperti itu terulang
kembali. Pada akhirnya Konferensi Den Haag gagal mengadopsi seluruh
aturan yang mengatur delimitasi laut territorial antarnegara dengan pantai
yang saling berhadapan (opposite states).
109
Ibid., Hlm. 34
118
Sebelum 1930 setidak-tidaknya sulit mengidentifikasi hukum yang
berlaku pada delimitasi laut territorial, meskipun terdapat kecenderungan
untuk mendukung the median line, terutama dalam konteks delimitasi di
selat. Ternyata kegagalan Konferensi Den Haag dalam menetapkan
aturan delimitasi menunjukkan tidak adanya kepastian hukum dalam
bidang ini. Namun analisis tersebut di atas tampaknya menjelaskan segi-
segi permasalahan yang bersifat mendasar.110
Pada awalnya dua model hukum delimitasi maritim yang saling
bertentangan dikembangkan oleh para penulis dan juga di dalam Komite
Para Ahli serta Konferensi Den Haag. Model penyelesaian yang bersifat
kasuistis dimaksudkan untuk mencapai hasil yang patut dan adil
(equitable results) melalui persetujuan dan bertujuan untuk mencegah
hasil yang tidak patut dan adil akibat penerapan aturan garis tengah
sehingga pada dasarnya model seperti itu berusaha mempertahankan
flexibility hasil delimitasim maritim.
Model lain, yang didasarkan atas teknik garis tengah (the median-
line technique) dibela secara khusus (typically) oleh Gidel. Model ini
bertujuan untuk menjamin hasil yang patut dan adil (equitable results)
dengan menggunakan sistem garis tengah yang perlu dimodifikasi. Model
ini menekankan adanya stabilitas dan prediktabilitas. Dengan demikian
tampak bahwa perbedaan antara kedua model tersebut terletak dalam
penekanan pada fleksibilitas dan prediktabilitas.
110
Ibid., Hlm. 34
119
Meskipun kedua model tersebut berbeda, mungkin mengikuti
konsep fundamental yang bersifat umum: penyelidikan terhadap equitable
results. Dalam hal ini patut diketahui bahwa pada permulaan 1920-an dan
1930-an baik Gidel maupun Storni memberi perhatian terhadap konsep
‘equity’ dalam delimitasi maritim. Dapat dikatakan bahwa konsep ‘equity’
yang kemudian menjadi inti hukum delimitasi maritim, sudah mulai muncul
pada awal abad ke-20.
L. Pengaturan Hukum Delimitasi Maritim berdasarkan Konvensi
Geneva 1958
Usaha mengkodifikasi hukum delimitasi maritim berhasil pada
Konferensi Hukum Laut PBB pertama (UNCLOS I) 1958. UNCLOS I
berbeda daripada Konferensi Den Haag 1930 setidak-tidaknya dalam dua
hal. Pertama, UNCLOS I membahas tidak hanya delimitasi laut territorial,
tetapi juga delimitasi jalur tambahan dan landas kontinen. Kedua,
UNCLOS I berhasil dalam mengadopsi aturan-aturan delimitasi untuk laut
territorial, jalur tambahan, dan landas kontinen111.
Ketentuan-ketentuan Konvensi Geneva 1958 yang mengatur
delimitasi maritim adalah pasal 12 dan 24 dari Konvensi mengenai Laut
Teritorial dan Jalur Tambahan, serta artikel 6 Konvensi mengenai Landas
Kontinen. Karena adanya kemiripan struktur aturan, mungkin tepat
dianalisis secara bersama pasal 12 Konvensi Laut Teritorial dan Jalur
Tambahan serta pasal 6 Konvensi Landas Kontinen.
111
Ibid, Hlm. 37 – 38.
120
Pasal 12 ayat 1 dari Konvensi Laut Teritorial dan Jalur Tambahan
menetapkan bahwa : Apabila pantai dari dua Negara saling berhadapan
(opposite) atau berdampingan (adjacent), tidak satupun dari kedua
Negara ini berhak, terkecuali ada persetujuan di antara mereka yang
menyatakan sebaliknya, untuk memperluas laut territorial di luar garis
tengah yang setiap titiknya adalah sama jaraknya dari titik-titik terdekat
pada garis pangkal dari mana lebar laut territorial masing-masing negara
itu diukur. Ketentuan ayat ini tidak akan berlaku, apabila perlu
berdasarkan alasan hak historis atau keadaan khusus lain untuk
menentukan garis batas laut teritorial dari kedua Negara dengan cara
yang berbeda (at variance) dengan ketentuan itu.
Secara singkat aturan rangkap tiga (the triple rule) mengenai
‘agreement-equidistance-special circumstances’ berlaku pada delimitasi
laut territorial. Aturan rangkap tiga tersebut juga dapat ditemukan dalam
pasal 6 Konvensi Geneva 1958 mengenai landas kontinen. Pasal 6 ayat 1,
yang mengatur delimitasi dari pantai yang saling berhadapan,
menetapkan bahwa :
“ Apabila landas kontinen yang sama adalah berbatasan (adjacent) dengan wilayah dari dua Negara atau lebih yang pantainya saling berhadapan (opposite), maka garis batas landas kontinen yang dimiliki oleh masing-masing Negara harus ditentukan dengan persetujuan di antara Negara-negara yang bersangkutan. Dalam hal tidak terdapat persetujuan, dan kecuali garis batas lain dibenarkan karena adanya keadaan-keadaan khusus, maka garis batas itu adalah ‘median line’, di mana setiap titiknya adalah sama jaraknya dengan titik terdekat garis pangkal dari mana lebar laut territorial masing-masing negara diukur”.
121
Pasal 6 ayat 2 Konvensi yang sama, yang menyangkut delimitasi
landas kontinen antarnegara yang pantainya saling berdampingan,
menetapkan:
“Apabila landas kontinen yang sama berbatasan (adjacent) dengan wilayah dari dua Negara yang berdampingan (adjacent), maka garis batas landas kontinen harus ditentukan dengan persetujuan di antara Negara-negara tersebut. Dalam hal tidak ada persetujuan dan kecuali garis batas lain dibenarkan karena adanya keadaan-keadaan khusus, maka garis batas landas kontinen harus ditentukan dengan menerapkan prinsip sama jarak (the principle of equidistance) dari titik terdekat garis pangkal dari mana lebar laut territorial masing-masing negara diukur”. Kecuali untuk menggunakan kata-kata ‘the median line’ untuk
Negara-negara yang pantainya saling berhadapan (opposite coasts) serta
prinsip sama jarak (the principle of equidistance) untuk Negara-negara
yang pantainya saling berdampingan (adjacent coasts), maka pasal 6 ayat
1 dan 2 berisi aturan yang sama, yaitu ‘agreement-equidistance (median-
line)-special circumstances’.
Benarlah ada beberapa perbedaan antara pasal 12 Konvensi Laut
Teritorial dan Jalur Tambahan dengan pasal 6 Konvensi Landas Kontinen.
Berlainan dengan pasal 6 Konvensi Landas Kontinen, maka pasal 12
Konvensi Laut Teritorial dan Jalur Tambahan menekankan
‘equidistance’ dengan cara negatif dengan menyatakan apabila di antara
mereka tidak tercapai persetujuan yang menyatakan sebaliknya (failing
agreement between them to the contrary).112
112
Menurut Judge Sorensen, formulasi yang lebih tepat mungkin adalah formulasi negative, yang didasarkan atas model Pasal 12 Konvensi Laut Teritorial dan Jalur Tambahan. Tidak ada Negara yang mempunyai hak untuk memperluas area landas
122
Selanjutnya, walaupun pasal 6 Konvensi Landas Kontinen
membedakan istilah ’equidistance’ dan ‘median line’ sebagai sesuatu yang
cocok dengan keadaan dari pantai yang saling berdampingan dan saling
berhadapan (adjacent and opposite coasts), secara berurutan pasal 12 (1)
Konvensi Laut Teritorial dan Jalur Tambahan menggunakan kata-kata
yang sama, yaitu ‘the median line every point of which is equidistant from
the nearest points on the baselines’ guna menentukan batas-batas laut
territorial Negara-negara yang pantainya saling berdampingan dan saling
berhadapan (delimitation of adjacent and opposite coasts). Di samping itu,
dalam pasal 6, tidak menunjuk hak historis (historic title) sebagai suatu
keadaan khusus. Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan seperti itu,
aturan yang sesungguhnya berlaku adalah sama, yaitu, aturan rangkap
tiga mengenai ‘agreement-equidistance-special circumstances’.
Menyangkut ciri-ciri penting dari ketentuan-ketentuan ini, dua hal
bisa dilakukan. Pertama, dengan menetapkan aturan rangkap tiga (the
triple rule); kedua Konvensi Geneva mengadopsi sebuah model yang
didasarkan atas aturan umum dari ‘equidistance-special circumstances’,
dan aturan seperti ini berlaku dalam hal tidak ada suatu ‘agreement’.
Dengan demikian model penyelesaian yang bersifat kasuistis (the case by
case solution) tidak sepenuhnya mendapat dukungan para peserta
UNCLOS I, meskipun dalam rancangan persiapannya (travaux
kontinennya di luar garis yang setiap titiknya sama jaraknya dari pantai. Dissenting Opinion dari Judge Sorensen dalam “the North Sea Continental Shelf cases, ICJ Reports 1969, Hlm. 252.
123
preparatoires) terdapat argumen-argumen yang mendukung delimitasi
yang hanya didasarkan atas persetujuan.113
Kedua, tampaknya konsep keadilan (the concept of equity) menjadi
landasan bagi kedua ketentuan itu. Dalam hal ini, harus diperhatikan fakta
bahwa kedua ketentuan menunjuk pada ‘special circumstances’.
Referensi seperti ini jelas dimaksudkan untuk mengoreksi hasil yang tidak
wajar (inequitable results) akibat mekanisme berlakunya metode
‘equidistance’114. Inilah makna dari konsep ‘special circumstances’. Dalam
hubungan ini dapat dikatakan bahwa referensi pada ‘special
circumstances’ dimaksudkan untuk mencapai hasil yang wajar.
Sebagaimana diperlihatkan di bawah, pandangan seperti itu didukung
juga oleh putusan dalam perkara Anglo-French Continental Shelf’115.
Aturan rangkap tiga yang dirumuskan di atas perlu dikomentari.
Pertama, seseorang bisa berpendapat bahwa referensi ‘agreement’ dapat
diabaikan apabila sudah terbukti dengan sendirinya (self-evident).
113
Yoshifumi Tanaka, Op., Cit., Hlm. 39
114 Although the equidistance method was referred to in the 1958 Convention on
the Continental Shelf, its application was not assured, as the method often did not produce a delineated boundary line in keeping with the parties’ notion of equity. One reason for this undeniably disappointing result is that when an equidistance line moves away from the baseline the inequity of the partitioned areas often increases. An offshore island may occasion an increasingly inequitable portion of the continental shelf falling to it further offshore. Lihat Wijnand Langeraar, Maritime Delimitation The Equiratio method a new approach, (Marine Policy January 1986, Hlm. 5.
115 Clive R. Symmons, op,cit., Hlm. 133-134. Mahkamah Arbitrasi secara implisit
tampaknya menerima pendapat Inggeris mengenai arti pulau yang terdapat dalam konvensi, tetapi Mahkamah Arbitrasi menekankan fakta bahwa ‘the Channel Islands’ bukanlah merupakan ‘semi-independent States’ yang dengan sendirinya memiliki hak atas landas kontinennya sendiri berhadapan dengan Republik Perancis suatu status (seperti ‘island territories’ milik Inggris) yang menurut pendapat Mahkamah tidak mengabaikan relevansi ukuran dan pentingnya pulau tersebut.
124
Terkecuali Negara-negara melakukan tindakan yang bertentangan dengan
jus cogens, Negara-negara senantiasa bebas untuk menutup ataupun
tidak menutup suatu perjanjian. Namun referensi ‘agreement’ sekurang-
kurangnya bermanfaat karena secara tidak langsung menyatakan
delimitasi yang dilakukan secara sepihak (unilateral delimitation) dianggap
tidak sah (valid).
Kedua, hubungan antara ‘equidistance’ dan ‘special circumstances’
dalam masing-masing ketentuan bisa menjadi sebuah persoalan.
Mengenai masalah ini tampaknya ada dua pandangan yang saling
bertentangan. Pandangan pertama menemukan suatu hirarki dalam dua
unsur ini. Secara teoritis, terdapat dua kemungkinan : ‘equidistance’
sebagai sebuah azas atau prinsip dan ‘special circumstances’ sebagai
sebuah pengecualian, atau sebaliknya ‘special circumstances’ sebagai
sebuah prinsip dan ‘equidistance’ sebagai sebuah pengecualian.
Dari aspek rancangan persiapan (travaux preparatoires), maka
kemungkinan yang disebut pertama tampaknya masuk akal (reasonable).
Dalam uraian mengenai artikel 12, yang menetapkan aturan delimitasi laut
territorial, ILC menyebut bahwa ‘meskipun Komisi mencatat bahwa
‘special circumstances’ mungkin mengharuskan untuk sering bertitik tolak
dari garis tengah yang pasti (the mathematical median line), Komisi itu
berpikir sebaiknya memakai (adopt) sebagai aturan umum, system
‘median line’ sebagai landasan untuk menentukan garis batas116.
116
Yoshifumi Tanaka, op.cit., Hlm. 40-41
125
Selanjutnya mengenai delimitasi landas kontinen, ILC menyatakan
pada 1953 bahwa ILC kini merasa dalam posisi untuk merumuskan suatu
aturan umum (general rule), yang didasarkan atas prinsip sama jarak (the
principle of equidistance), yang berlaku pada garis batas landas kontinen
baik dari negara-negara yang pantainya saling berdampingan maupun
dari Negara-negara yang pantainya saling berhadapan satu sama lain.
Menurut pandangan kedua, hubungan antara ‘equidistance’ dan
‘special circumstances’ tidak dapat dilihat sebagai hubungan hirarkis.
Mengenai pandangan kedua, mungkin ada dua macam penafsiran.
Pertama, beberapa orang berpendapat bahwa apabila terdapat ‘special
‘circumstances’, maka tidak ada ruang bagi ‘equidistance’. Sebaliknya
apabila tidak terdapat ‘special circumstances’, maka akan berlaku metode
‘equidistance’. Dengan kata lain, pandangan ini menganggap
‘equidistance’ dan ‘special circumstances’ mempunyai sifat eksklusif
secara timbal balik (mutually exclusive).
Menurut pandangan lain, ‘equidistance’ dan ‘special circumstances’
bukanlah dua aturan yang terpisah dan berdiri sendiri, melainkan satu
kesatuan yang dimaksudkan untuk mencapai hasil yang wajar dan adil.
Sebagaimana akan dijelaskan kemudian, ini adalah pendapat dari
Mahkamah Arbitrasi dalam kasus ‘the Anglo-French Continental Shelf’
pada 1977. Pendapat ini akan memunculkan metode delimitasi maritim
melalui dua tahap, yaitu setelah menerapkan untuk sementara metode
‘equidistance’ pada tahap pertama, maka garis yang ditarik untuk
126
sementara harus disesuaikan kemudian, dengan memperhatikan
keadaan-keadaan khusus117.
Secara teoretis, semua interpretasi tersebut tampaknya mungkin,
dan sulit mendapatkan jawaban pasti (authoritative answer) dalam
kerangka Konvensi. Akan tetapi masalah lebih penting yang harus diingat
adalah mempertimbangkan bagaimana menerapkan ketentuan-ketentuan
tersebut dalam ‘case law’ dan praktek negara, dan apa hubungan antara
ketentuan-ketentuan perjanjian dan hukum kebiasaan terkait metode
delimitasi maritim.
Poin ketiga yang harus diuji adalah konsep ‘special circumstances’.
Dari diskusi-diskusi di dalam ILC maupun UNCLOS I, nyatalah bahwa
konsep ‘special circumstances’ dimaksudkan untuk menghindari hasil
yang tidak wajar akibat mekanisme penggunaan metode equidistance.
Akan tetapi masalahnya adalah bahwa seluk-beluk atau rincian mengenai
‘special circumstances’ adalah jauh dari jelas, atau dengan lain perkataan
sama sekali tidak jelas.
Benarlah beberapa contoh yang dianggap sebagai special
circumstances dapat ditemukan dalam diskusi-diskusi di ILC dan UNCLOS
I. Misalnya mengenai delimitasi laut territorial, laporan dari ‘the Committee
of Experts’ yang dikonsultasikan oleh ILC menunjukkan kepentingan
navigasi dan penangkapan ikan sebagai contoh dari ‘special
circumstances’.
117
Ibid., Hlm. 41
127
Selama UNCLOS I, delegasi Kerajaan Inggeris mengemukakan,
berbagai contoh mengenai ‘special circumstances’, konfigurasi pantai-
pantai tertentu, terusan atau selat yang dapat dilewati kapal (navigable
channels), dan pulau-pulau (islands). Di samping itu, delegasi Jerman
mengusulkan agar ditambahkan ‘historical rights’. Dalam konteks
delimitasi landas kontinen, ILC menyebut satu demi satu konfigurasi
pantai yang luar biasa serta pulau-pulau maupun terusan yang dapat
dilayari sebagai contoh-contoh terkait keadaan khusus (special
circumstances).
Selama UNCLOS I delegasi Kerajaan Inggeris mengusulkan agar
kehadiran pulau kecil atau besar, hak-hak untuk mengeksploitasi mineral
tertentu atau hak-hak perikanan, dan keberadaan terusan dan selat yang
dapat dilayari adalah contoh-contoh special circumstances. Namun
demikian ciri-ciri seperti ini semata-mata bersifat illustratif, dan bahwa
tidak ada definisi yang pasti (authoritative definition) mengenai ‘special
circumstances’ memang benar adanya.
Mengenai aturan delimitasi zona tambahan dan perairan
pedalaman, dua hal harus dicatat. Pertama, berkenaan dengan delimitasi
zona tambahan, maka pasal 24 (3) Konvensi Geneva mengenai Laut
Teritorial dan Jalur Tambahan menentukan suatu aturan delimitasi yang
berbeda daripada aturan yang mengatur laut territorial dan landas
kontinen.
128
Apabila pantai dari dua negara saling berhadapan atau saling
berdampingan satu sama lain, tak satu pun dari kedua Negara yang
berhak, terkecuali di antara mereka ada persetujuan sebaliknya, untuk
memperluas zona tambahannya melebihi garis tengah yang setiap titiknya
adalah sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal dari mana
lebar laut territorial kedua negara itu diukur. Dengan demikian metode
‘equidistance’ murni berlaku pada delimitasi zona tambahan. Tidak
adanya sebutan ‘special circumstances’ mungkin disebabkan karena
terbatasnya kewenangan Negara pantai di zona tambahan.
Kedua, Konvensi-Konvensi Geneva tidak menyebutkan delimitasi
perairan pedalaman (internal waters). Dengan mempertimbangkan bahwa
Negara pantai bahkan mempunyai kewenangan yang lebih luas di
perairan pedalamannya dari pada di laut teritorialnya, tampaknya dapat
menerapkan aturan rangkap tiga dengan cara analogy pada perairan
pedalaman yang dimiliki oleh dua negara pantai yang berbatasan..
M. Pengaturan Hukum Delimitasi Maritim berdasarkan Konvensi
Hukum Laut 1982
M.1. Azas-azas Delimitasi Maritim
KHL 1982 berbeda dari Konvensi Geneva 1958 dalam tiga hal.
Pertama, hukum yang berlaku pada delimitasi landas kontinen dipisahkan
dari hukum mengenai delimitasi laut territorial. Walaupun delimitasi laut
territorial diatur dengan aturan rangkap tiga yang sifatnya tradisional
(pasal 15), namun delimitasi landas kontinen harus mengikuti aturan yang
129
berbeda. Kedua, delimitasi zona tambahan tidak lagi disebut di dalam teks
Konvensi, dan dengan demikian aturan yang berlaku pada zona tambahan
tetap tidak jelas. Ketiga dan paling penting, pasal 74 (1) dan 83 (1) KHL
1982 merumuskan aturan yang identik untuk delimitasi landas kontinen
maupun delimitasi ZEE.
Delimitasi ZEE atau landas kontinen di antara Negara-negara
dengan pantai yang saling berhadapan atau berdampingan satu sama lain
harus dilakukan melalui persetujuan atas dasar hukum internasional,
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 38 Statuta ICJ, agar tercapai
sebuah solusi yang patut dan adil (equitable solution). Dengan demikian
delimitasi zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen diatur dengan
aturan yang sama.
Sebelum menganalisis pasal-pasal 74 (1) dan 83 (1), maka perlu
dikemukakan secara singkat mengenai sejarah terbentuknya (legislative
history) ketentuan-ketentuan tersebut. Sejak awal tidak terdapat
kesepakatan di antara para pendukung ‘equidistance’ dan para
pendukung ‘equitable principles’. Khususnya, pertentangan ini ditunjukkan
dengan jelas melalui dua proposal yang saling bertentangan yang dibuat
di dalam Negotiating Group 7 (NG 7) pada sidang ke tujuh pada 1978.
Salah satu usulan didasarkan atas ‘equidistance’ sebagai suatu aturan
umum, dan usulan ini diajukan oleh 20 negara:118
118
The delimitation of the Exclusive Economic Zone/ Continental Shelf between adjacent or opposite States shall be effected by agreement employing as ageneral principle, the median or equidistance line, taking into account any special circumstance where this is justified.
130
’Delimitasi ZEE / Landas Kontinen di antara negara-negara yang saling berdampingan atau berhadapan satu sama lain harus dilakukan dengan persetujuan yang menggunakan garis tengah atau garis sama jarak sebagai suatu prinsip umum dengan memperhitungkan setiap keadaan khusus apabila hal ini dibenarkan’. Usulan lainnya berpedoman dan mengandalkan persetujuan yang
diadakan menurut ‘equitable principles’, dan usulan ini didukung oleh 27
negara :119
‘Delimitasi ZEE / landas kontinen di antara negara-negara yang saling berdampingan dan atau berhadapan satu sama lain harus dilakukan dengan persetujuan sesuai dengan ‘equitable principles’, sambil memperhitungkan semua keadaan relevan dan mempergunakan setiap metode, apabila perlu, guna mencapai suatu ‘equitable solution’.120 Sementara formula pertama mengadopsi ‘equidistance-special
circumstances model’ demi untuk kepentingan menjamin ‘predictability’,
formula kedua mengikuti model penyelesaian yang bersifat kasuistis (case
by case solution model) yang menekankan ‘flexibility’. Dalam pengertian
ini, bisa dikatakan bahwa perbedaan nyata (the marked difference) di
antara kedua kelompok mencerminkan adanya dilemma antara
‘predictability and flexibility of law’.
Meskipun dalam sidang ini, Ketua NG7, Ero J. Manner
mempersiapkan usulan informal, tidak terwujud kompromi di antara
119
The delimitation of the exclusive economic zone between adjacent or/ and opposite States shall be effected by agreement, in accordance with equitable principles, taking into account all relevant circumstances and employing any methods, where appropriate, to lead to an equitable solution.
120 KI Beom Lee, The Flexibility of the Rules Applied in Maritim Boundary
Delimitation, (Edinburgh: School of Law, the University of Edinburgh) Background Document for 4
th March 2011 Presentation, Hlm.4 - 5; Yoshifumi Tanaka, op.cit., Hlm. 45.
131
mereka yang mendukung ‘equidistance’ dan mereka yang mendukung
‘equitable principles’. Mengenai hal ini harus diperhatikan bahwa
pertentangan antarkedua kelompok dikaitkan dengan inti masalah lain
yang sulit, masalah penyelesaian sengketa secara damai.
Para pendukung ‘equidistance’, mendukung ditetapkannya system
yang bersifat memaksa oleh pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa
delimitasi. Sebaliknya para pendukung ‘equitable principles’ pada
umumnya menolak gagasan acara peradilan yang bersifat memaksa.
Konfrontasi di antara kedua kelompok itu tidak terselesaikan
selama sidang ke-8 pada 1979. Perbedaan-perbedaan yang terkait
mekanisme penyelesaian secara damai tidak dapat diselesaikan. Dalam
sidang ke-9 pada 1980, Ketua NG7 mengajukan sebuah usulan :
‘Delimitasi ZEE (Landas Kontinen) di antara negara-negara dengan pantai
yang saling berhadapan atau berdampingan satu sama lain harus
dilakukan dengan persetujuan sesuai dengan hukum internasional.
Persetujuan seperti ini harus sesuai dengan ‘equitable principles’, yang
menggunakan garis tengah atau garis sama jarak (the median or
equidistance line), apabila memang perlu, dan memperhatikan semua
keadaan yang ada dan berlaku di daerah yang bersangkutan.
Usulan itu lalu menjadi pasal 74/83 dalam ‘the Informal Composite
Negotiating Text (ICNT) / Revision 2 of 11 April 1980’. Namun demikian
teks tersebut tetap kontroversial dan tidak dicapai kesepakatan mengenai
132
hal seperti itu. Untuk kelompok yang ‘pro-equitable principles’, ketentuan-
ketentuan itu tidak dapat diterima karena bersandar pada ‘equidistance’.
Negara-negara yang ‘pro-equidistance’ tidak puas dengan teks
tersebut karena menurut ICNT / Revision 2, sengketa yang berhubungan
dengan delimitasi garis batas laut, melalui deklarasi, dapat dikecualikan
dari prosedur yang bersifat memaksa (compulsory procedure), meskipun
konflik sedemikian dapat diserahkan kepada konsiliasi. Disebabkan
pertentangan antara kedua aliran pemikiran, malahan satu tahun sebelum
Konvensi baru diadopsi, tidak tercapai persetujuan menyangkut aturan
yang berlaku pada delimitasi ZEE dan landas kontinen.
Untuk memecahkan kebuntuan ini (deadlock), pada 1981 Presiden
Koh mengusulkan sebuah ‘draft article’ yang dapat menghasilkan
kompromi. Presiden Koh menjelaskan bahwa dirinya mendapat kesan
(impression) bahwa proposal yang telah dikemukakan di atas memperoleh
dukungan luas dan substansial dari kedua kelompok delegasi yang paling
berkepentingan maupun dari Konferensi secara keseluruhan.
Pada 28 Agustus 1981, ‘draft article’ itu dituangkan ke dalam ‘Draft
Convention’, yang menjadi Konvensi Hukum Laut 1982 yang diadopsi
pada 30 April 1982 (the UN Convention on the Law of the Sea). Dengan
beberapa modifikasi yang disarankan oleh Panitia Perancang dan
disetujui oleh Sidang Pleno (the Plenary Conference) pada 24 September
1982, teks tersebut akhirnya menjadi pasal 74 (1) dan 83 (1) dalam
133
Konvensi Hukum Laut121. Seperti diketahui kedua ketentuan itu membawa
permasalahan dalam berbagai hal.
Persoalan paling serius dengan ketentuan-ketentuan ini adalah
tidak adanya ketegasan (specificity) soal metode delimitasi maritim sebab
pasal 74 (1) dan 83 (1) menghilangkan setiap referensi mengenai metode
delimitasi. Dalam hal tidak terdapat suatu metode delimitasi, maka
ketentuan-ketentuan ini tetap tidak bermakna dalam situasi tertentu.
Selanjutnya, penggunaan istilah ‘in order to achieve an equitable
solution’ bersama dengan ‘agreement’ bertentangan dengan aturan
hukum internasional, yang menurut aturan ini Negara-negara bisa secara
bebas menentukan isi persetujuan dalam hal tidak ada jus cogens. Tidak
dinyatakan bahwa pasal 74 (1) dan pasal 83 (1) adalah jus cogens.
Demikian Negara-negara dapat secara bebas menutup suatu persetujuan
meskipun tidak patut dan adil.
Karena konsep ‘equitable solution’ sangat kabur, maka referensi ini
hanya memberi sedikit pengertian. Lagi pula pada pemandangan pertama,
pasal 74 dan 83 menganjurkan delimitasi harus dilakukan hanya dengan
persetujuan, tetapi penafsiran seperti ini tidak sesuai dengan kenyataan.
Dalam realitasnya berbagai sengketa delimitasi maritim diajukan di depan
ICJ atau pengadilan arbitrasi, dan hukum kasus (case law) memainkan
peranan penting dalam hukum delimitasi maritim. Berdasarkan fakta-fakta
ini, maka wajar disimpulkan bahwa pasal 74 dan pasal 83 tidak
121
Ibid., Hlm. 47
134
dimaksudkan untuk mengenyampingkan ‘judicial settlement’ dalam hal
tidak ada perjanjian. Kedua pasal ini justru membuka peluang bagi para
pihak untuk menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa delimitasi
maritim lewat arbitrasi atau peradilan internasional apabila ada
kesepakatan.
M.2. Konsep Garis Batas Maritim Tunggal (Single Maritime Boundary)
Dalam perkara di depan Mahkamah, negara-negara bisa memohon
kepada Mahkamah untuk menentukan garis batas maritim tunggal (single
maritime boundary) untuk landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif.
Hal ini muncul dalam kasus Qatar v. Bahrain. Garis seperti ini memberikan
keuntungan karena pengaturan atau regulasinya sederhana. Konvensi-
konvensi Geneva 1958 dan KHL 1982 tidak menunjuk konsep ‘single
maritime boundary’. Namun ternyata dalam kasus Qatar v. Bahrain,
Mahkamah melihat bahwa :
‘the concept of a single maritime boundary does not stem from multilateral treaty law but from State practice, and . . . finds its explanation in the wish of States to establish one uninterrupted boundary line delimiting the various-partialy coincident zones of maritime jurisdiction appertaining to them’122. Konsep garis batas maritim tunggal (single maritime boundary)
tidak berasal dari hukum perjanjian multilateral, tetapi berasal dari praktek
negara-negara, dan konsep seperti ini dapat dijelaskan dari keinginan
negara-negara untuk menetapkan satu macam garis perbatasan yang
122
SHI Jiuyong, Maritime Delimitation in the Jurisprudence of the ICJ Downloaded from http://chinesejil.oxfordjournals.org/ at University Library Utrecht on November 15, 2012.
135
tidak terputus yang menentukan berbagai zona yurisdiksi maritim milik
Negara-negara yang bersangkutan walaupun untuk sebagian bisa
bersamaan atau bertepatan (coincident).
Ketika zona yurisdiksi itu bertepatan, maka penentuan satu macam
garis batas untuk berbagai obyek delimitasi hanya dapat dilaksanakan
dengan menerapkan kriteria atau kombinasi kriteria yang tidak
memberikan perlakuan istimewa kepada salah satu obyek delimitasi
sehingga merusak obyek lain, dan pada waktu bersamaan obyek
delimitasi itu adalah sedemikian sehingga sesuai dengan bagian setiap
zona, telah ditetapkan oleh Mahkamah dalam the Gulf of Maine case123.
In that case, the Chamber was asked to draw a single line which would delimit both the continental shelf and the superjacent water column124. Berdasarkan hal-hal tersebut, tampaknya satu-satunya keuntungan
dari pasal 74 dan pasal 83 adalah pasal-pasal ini menyebabkan timbulnya
kompromi di antara kedua aliran pemikiran dan menetapkan beberapa
macam aturan delimitasi dalam Konvensi yang baru125. Kedua artikel yang
123
ICJ Reports, 1984, para. 194, Hlm. 327.
124 Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain,
Merits, Judgment, ICJ Reports 2001, Hlm. 93 para.173.
125 Hukum delimitasi maritim dapat dikatakan telah berkembang melalui tiga
tahapan : Tahap pertama sebelum tahun 1958 ketika aturan hukum internasional yang mengatur delimitasi wilayah maritim tidak terkodifikasi. Hukum kebiasaan internasional hanya mengakui kedaulatan Negara pantai atas perairan yang berdekatan dengan pantainya (umumnya sampai jarak 3 mil laut), yaitu laut territorial. Beberapa Negara juga mengklaim suatu zona laut bebas yang bersinggungan atau berdekatan dengan laut territorial (atau zona tambahan dengan tujuan untuk mencegah dan menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, imigrasi, fiskal dan kesehatan. Pada saat yang sama tidak terdapat hukum kebiasaan menyangkut hak untuk menjalankan kedaulatan di bagian-bagian laut di luar laut territorial. Tahap kedua antara tahun 1958 dan 1982 ketika hukum delimitasi maritim diatur oleh ‘the 1958 Geneva
136
dapat dikatakan identik formulasinya dimaksudkan agar delimitasi maritim
di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dilakukan melalui
perjanjian berdasarkan kaidah-kaidah hukum internasional sebagaimana
tertera dalam pasal 38 Statuta ICJ dengan tujuan untuk mencapai solusi
yang berkeadilan (equitable solution).
Selama belum tercapai persetujuan delimitasi maritim di daerah
yang dipersengketakan (disputed area), dapat dibuat pengaturan yang
bersifat sementara (provisional arrangement). Namun pengaturan seperti
ini tidak boleh menghalangi dan membahayakan tercapainya perjanjian
yang bersifat final dan permanen. Kedua pasal ini tidak menegaskan
metode seperti apa yang dapat digunakan untuk menentukan garis batas
maritim baik yang bersifat tunggal (single maritime boundary) yang
berlaku di landas kontinen dan sekaligus di zona ekonomi eksklusif
maupun garis batas maritim yang bersifat terpisah (separate boundary) di
Conventions’ (the Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone, the Convention on the High Seas, the Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas, the Convention on the Continental Shelf). Selama fase kedua laut territorial yang lebarnya 12 mil laut semakin mendapat pengakuan dari Negara-negara, sebagaimana hak negara-negara atas landas kontinen. Tahap ketiga yang terjadi kemudian sampai tahun 1982, ketika Konvensi Hukum Laut 1982 ditutup menambah pada laut territorial, zona tambahan dan landas kontinen, yaitu daerah laut yang keempat yang dinamakan zona ekonomi eksklusif. Selama perkembangan hukum delimitasi maritim, timbul ketegangan antara dua metode delimitasi yang jelas berbeda. Berdasarkan metode ‘equidistance line’, maka garis batas maritim di antara Negara-negara harus mengikuti ‘median line’yang setiap titiknya sama jauhnya dari titik-titik terdekat di pantai. Metode lain mencoba mengatasi ketidakadilan (inequities) yang bisa terjadi dalam delimitasi berdasarkan équidistance’ (terutama dalam hal pantai yang berdampingan ataupun berhadapan satu sama lain) dan menganjurkan delimitasi berdasarkan azas kepatutan atau yang mendatangkan hasil yang wajar (equitable results). Pendekatan yang diadopsi berdasarkan hukum kebiasaan internasional dan Konvensi Hukum Laut, dan diterapkan oleh Mahkamah, dapat dikatakan merupakan kombinasi atau perpaduan antara kedua metode delimitasi. See SHI Jiuyong, The Wang Tieya Lecture in Public International Law : Maritim Delimitation in the Jurisprudence of the International Court of Justice, 2010, http://chinesejil.oxfordjournals.org/at University Library Utrecht on November 15, 2012, Hlm. 273 – 274.
137
masing-masing zona yang dipersengketakan. Namun demikian berbagai
kasus delimitasi maritim di depan Mahkamah ataupun Arbitrasi
Internasional menunjukkan bahwa metode delimitasi, seperti ‘median line’
untuk negara-negara yang pantainya saling berhadapan (opposite States),
‘equidistance line’ untuk negara-negara yang pantainya saling
berdampingan (adjacent states) tetap mempunyai peranan penting dalam
menyelesaikan garis batas maritim (single boundary or separate
boundary)126.
Mahkamah atau tribunal internasional tidak jarang menggunakan
metode ‘median dan equidistance line’ sebagai cara untuk membuat
pengaturan delimitasi yang sifatnya sementara, sepanjang menurut
pandangan Mahkamah metode seperti itu dapat mendatangkan hasil yang
wajar (equitable result) bagi para pihak. Di samping itu dalam perkara
delimitasi maritim, Mahkamah atau tribunal internasional dapat pertama-
tama menarik ‘equidistance line’ di antara kedua wilayah pantai yang
berhadapan atau berdampingan satu sama lain. Kemudian
mengidentifikasi berbagai keadaan yang berada di sekitar para pihak dan
selanjutnya mempertimbangkan relevansinya dalam penentuan garis
batas maritim127. Penentuan garis batas maritim dengan memperhatikan
126
Accordingly, the single Qatar/Bahrain maritim equidistant (median) boundary was constructed by the Court in two sectors, comprising:· the southern sector of partially overlapping territorial seas, and· the northern sector of partially overlapping continental shelves and EEZs. See Barbara Kwiatkowska, The Qatar v. Bahrain Maritim Delimitation and Territorial Questions, Ocean Development & International Law, 33, Hlm. 240
127 Southern stretch of the boundary line. In the southern part of the delimitation
area, the Court, basing itself on the “equidistance/special circumstances” rule codified in Article 15 of the LoS Convention and corresponding to Article 12 of the 1958 Territorial
138
keadaan-keadaan relevan (relevant circumstances) dilakukan dengan
cara sedemikian rupa sehingga dapat menghadirkan penyelesaian yang
adil (equitable solution).
N. Kesulitan Melakukan Delimitasi Maritim
N.1. Mare Clausum dalam Perdebatan (Mare Clausum in Dispute)128
Ketika Grotius menulis risalah Mare Liberum pada bulan Maret
1609, dia memulai sesuatu yang sangat kontroversial mengenai hukum
laut. Bagi Grotius, laut secara keseluruhan terlalu luas untuk dikuasai oleh
suatu bangsa atau ras dan oleh karena itu laut seharusnya dilihat sebagai
harta bersama (res communis) dan seharusnya terbuka bagi semua
bangsa. Meskipun Grotius dalam tulisannya yang terkenal ini terutama
bermaksud untuk menentang monopoli Portugis atas lintas pelayaran di
sekitar Tanjung Pengharapan (the Cape of Good Hope) serta
perdagangan dengan East Indies, kebebasan penangkapan ikan juga
merupakan suatu unsur penting dalam konsepnya tentang kebebasan laut
(the freedom of the sea)129.
Akan tetapi ketika Raja Inggeris James I dalam waktu kurang dari
dua bulan setelah terbitnya Mare Liberum, mengeluarkan pengumuman
Sea and Contiguous Zone Convention, followed “the most logical and widely practised” two-stage approach of:· first drawing a provisional equidistant line, and then · considering whether that line must be adjusted in the light of the existence of special circumstances in order to obtain an equitable result. See Barbara Kwiatkowska, The Qatar v. Bahrain Maritim Delimitation and Territorial Questions, Ocean Development & International Law 33, Hlm. 242.
128 Yoshifumi Tanaka, Predictability and Flexibility in the Law of Maritime
Delimitation, Studies in International Law, (Oxford and Portland Oregon : Hart Publishing, 2006), Hlm. 1-4; Sun Pyo Kim, Maritime Delimitation and Interim Arrangements in North East Asia, (The Hague/London/New York: Martinus Nijhoff Publishers, 2004), Hlm. 5-17.
129 Sun Pyo Kim, Maritime Delimitation and Interim Arrangement in North East
Asia, (The Hague/ London/ New York, Martinus Nijhoff Publishers, Hlm. 7 – 9.
139
dengan melarang orang asing menangkap ikan tanpa izin di lepas pantai
Inggeris, maka sejak saat itu mulai dibedakan antara laut lepas (the high
seas) dan zona maritim (maritime zones) yang berada di bawah yurisdiksi
suatu Negara pantai. Seorang ahli hukum Skotlandia, Welwood, dalam
bukunya, ‘An Abridgement of all Sea-Laws’ yang dipublikasikan pada
tahun 1613, berusaha membuktikan argumen-argumen yang
dikemukakan dalam Mare Liberum itu adalah salah, dan menyatakan
bahwa orang-orang baru (strangers) seharusnya tidak menyebarkan dan
memecahkan kawanan ikan di pantai Skotlandia. Tampaknya Welwood
bermaksud untuk melindungi kepentingan orang Skotlandia dari
penangkapan ikan haring yang tidak ada regulasinya yang dilakukan oleh
nelayan Belanda di lepas pantai Skotlandia dan untuk mendukung Raja
James I. Welwood setuju dengan prinsip kebebasan laut yang bersifat
mutlak130.
Bagi Welwood kebebasan laut dapat diterapkan sepanjang
menyangkut ‘the main Sea’ atau ‘great Ocean’, yang adalah ‘far removed
from the just and due bounds above mentioned properly pertaining to the
nearest Land of every Nation’. Kemudian pada 1636 John Selden,
seorang ahli hukum Inggeris, mengikuti argumen itu dan menegaskan
hak-hak Raja Inggeris atas penguasaan laut-laut Inggeris (the Dominion of
the British seas). Melalui tulisannya yang termasyhur Mare Clausum 1636,
Selden menantang argumen Grotius, yang bertujuan untuk membatasi
130
Ibid, Hlm. 5 -6; R.P. Anand, Origin and Development of the Law of the Sea, History of International Law Revised, (The Hague/Boston/London: Martinus Nijhoff Publishers, 1983), Hlm. 72-74
140
kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan asing di perairan lepas pantai
Inggeris. Akan tetapi ketika klaim yang dilakukan oleh Raja James I serta
keinginan Negara-negara lain atas penguasaan seperti itu samasekali
sudah tidak dapat diakui pada abad 18, maka Mare Liberum tampaknya
memenangi pertempuran melawan Mare Clausum.
Akan tetapi pada awal abad ke-18, masalah penguasaan laut (the
appropriation of the sea) ditempatkan pada pijakan lain dengan
munculnya konsep laut territorial. Seorang ahli hukum Belanda
Bynkershoek, dalam bukunya Dominion of the Sea yang dipublikasikan
pada 1704, menegaskan bahwa samudera terbuka tidak dapat dikuasai
secara menyeluruh, tetapi dia mengakui bahwa berbagai bangsa pada
masa-masa berbeda sudah menikmati penguasaan seperti itu.
Bynkershoek menetapkan dalil bahwa terrae dominium finitur, ubi finitur
armorum vis (penguasaan dari daratan berakhir, di mana kekuatan
tembakan senjata meriam berakhir)131.
Kaidah tembakan meriam (the cannon shot rule), yang
dimaksudkan untuk membatasi perairan territorial sampai 3 mil laut atau
satu liga secara kuat muncul dalam praktek komunitas internasional
hingga pertengahan pertama abad ke-20132.
Akan tetapi sejak pertengahan kedua abad ke-20, muncul gerakan
untuk memperluas yurisdiksi atas laut. Kemudian pertarungan antara
131
Ibid, Hlm. 76-77.
132 R.P. Anand, Origin and Development of the Law of the Sea, (The
Hague/Boston/London: Martinus Nijhoff publishers, 1983), Hlm. 72-73.
141
Mare Liberum dan Mare Clausum memasuki babak baru. Kadang-kadang
gerakan perluasan yurisdiksi maritim dirangkaikan dengan keinginan
untuk memperluas laut territorial atau untuk menetapkan zona perikanan
eksklusif atau landas kontinen di luar laut territorial.
Ironis, Amerika Serikat yang menjadi pendukung kuat kaidah 3 mil
laut (3 n.m.) sebagai batas maksimal perairan territorial, menggembar-
gemborkan sebuah zaman baru dengan perluasan zona maritim setelah
Perang Dunia ll dengan mengeluarkan dua macam Proklamasi Truman.
Proklamasi Truman mengenai perikanan dan mengenai landas kontinen
pada bulan September 1945 menggerakkan perluasan zona-zona maritim.
Proklamasi landas kontinen menjelaskan bahwa Pemerintah AS
memandang sumber kekayaan alam dari dasar laut dan tanah di
bawahnya dari landas kontinen di bawah laut lepas tetapi berdekatan
(contiguous) dengan pantai AS adalah milik AS, dan oleh karena itu
tunduk pada yurisdiksi dan pengawasannya. Sedangkan proklamasi
mengenai perikanan mengklaim zona konservasi perikanan di perairan
yang berdekatan dengan laut territorial. Bersamaan dengan gerakan AS
untuk memperluas zona-zona maritim, Inggeris mengklaim daerah bawah
laut di laut lepas dari wilayah jajahannya dengan cara memperluas batas-
batasnya guna memasukkan landas kontinen yang berdekatan dengan
pantai wilayah jajahannya133.
133
Sun Pyo Kim, op.,cit., Hlm. 6
142
Dengan mengikuti Proklamasi Truman, Negara pantai mulai
mengklaim daerah-daerah landas kontinen yang luas, dan dalam
beberapa hal, perairan yang berada di atas landas kontinen. Klaim seperti
ini pertama-tama berasal dari kawasan Amerika Latin. Gerakan untuk
memperluas yurisdiksi maritim hingga 200 mil laut (200 n.m.) melanda
Amerika Latin seperti wabah (epidemic) dari tahun 1945 sampai 1951 :
Meksiko, Argentina, Panama, Cile, Peru, Costa Rica, El Salvador dan
Honduras masing-masing mengklaim zona 200 mil laut pada periode ini.
Pada 1952, Cile, Equador dan Peru menandatangani ‘the Santiago
Declaration’. Negara-negara ini menyatakan Deklarasi itu sebagai prinsip
kebijakan internasionalnya bahwa setiap negara memiliki kedaulatan dan
yurisdiksi mutlak (sole sovereignty and jurisdiction) atas bagian laut yang
berbatasan dengan pantai masing-masing negara sampai jarak minimal
200 mil laut dari pantai.
Ketika Konferensi Hukum Laut PBB I (UNCLOS l) diadakan di
Geneva pada 1958, terdapat berbagai klaim atas lebar zona maritim suatu
negara pantai yang bervariasi antara 3 mil laut sampai 12 mil laut. Usulan
AS dalam UNCLOS l, yaitu laut territorial 6 mil laut ditambah zona
perikanan sejauh 6 mil laut gagal memperoleh mayoritas dua pertiga.
UNCLOS l gagal mencapai kesepakatan mengenai lebar maksimal dari
perairan territorial dan zona perikanan yang berdekatan. Akan tetapi
sebagai hasil dari UNCLOS l diadopsi empat buah konvensi.
Kecenderungan akan perluasan zona-zona maritim selanjutnya
143
mendapatkan stimulus dari Konvensi Geneva mengenai Landas Kontinen
maupun Konvensi Geneva mengenai Penangkapan Ikan dan
Perlindungan Sumber Kekayaan Hayati di Laut Bebas dalam dua
aspek134.
Pertama-tama, Konvensi Geneva mengenai Landas Kontinen
mengakui hak Negara pantai yang melekat pada landas kontinen. Kedua,
Konvensi mengenai Penangkapan Ikan dan Perlindungan Sumber Daya
Hayati dari Laut Bebas mengakui bahwa negara pantai mempunyai
kepentingan istimewa dalam memelihara produktivitas sumber daya hayati
di setiap bagian laut yang berdekatan/berbatasan dengan laut
teritorialnya. Konvensi memperkenankan atau mengizinkan Negara pantai
mengadopsi aturan-aturan konservasi secara sepihak yang tepat bagi
suatu stok ikan atau sumber daya laut lainnya di suatu bagian laut bebas
yang berbatasan dengan laut territorialnya135.
UNCLOS II yang diadakan di Geneva 1960, juga gagal
menghasilkan kesepakatan batas maksimal (maximum limit) dari laut
territorial dan zona perikanan eksklusif. UNCLOS ll patut mendapat
sebutan bahwa dalam masa transisi (in the intervening period) antara
UNCLOS l dan UNCLOS lll beberapa Negara seperti Iraq, Panama, Iran,
Libya dan Eslandia (Iceland) memproklamirkan zona perikanan 12 mil
laut. Sekalipun UNCLOS ll gagal mencapai konsensus, AS dan Kanada
secara bersama mengusulkan formula laut teritorial 6 mil laut plus zona
134
Ibid., Hlm. 7 - 8. 135
Ibid, Hlm. 10 – 11.
144
perikanan eksklusif 6 mil laut, tetapi usul bersama ini kekurangan satu
suara untuk mendapatkan persetujuan formal. Kegagalan UNCLOS ll
untuk menentukan batas maksimal laut territorial dan zona perikanan yang
berdekatan memberikan semacam pesan kepada kita bahwa pertarungan
antara Mare Liberum dan Mare Clausum masih akan memasuki fase lain.
Dengan mengikuti UNCLOS II terdapat gerakan Negara pantai
untuk memperluas yurisdiksi perikanannya. Terutama banyak Negara
memproklamirkan zona perikanan 12 mil laut, baik melalui tindakan
sepihak (unilateral act) atau melalui persetujuan bilateral. Dalam perkara
‘the Fisheries Jurisdiction cases’ 1974, di mana zona perikanan 50 mil laut
Eslandia mendapat tantangan oleh Inggeris dan Jerman, ICJ berusaha
untuk tidak membuat keputusan mengenai apa yang mungkin akan
dihasilkan UNCLOS lll tentang perluasan zona maritim (extended maritime
zones) karena keputusan atau pertimbangan ICJ dapat menjadi
keputusan sub specie legis ferende.
Akan tetapi Mahkamah melihat bahwa zona perikanan 12 mil laut
umumnya telah diterima sebagai kaidah hukum melalui praktek Negara-
negara yang mengikuti UNCLOS II. Namun harus diingat bahwa klaim
zona perikanan 12 mil laut adalah sesuatu yang sederhana yang
mempertimbangkan fakta bahwa ada sejumlah negara yang malahan
mengklaim zona 200 mil laut pada waktu itu. Pada akhir 1970 an gerakan
untuk memperluas klaim-klaim maritim cenderung lebih dikembangkan.
Misalnya, antara tahun 1969 dan 1982, 62 negara memproklamirkan zona
145
ekonomi eksklusif 200 mil laut, 17 negara mengklaim zona perikanan
eksklusif 200 mil laut, dan 7 negara mengklaim laut territorial 200 mil laut.
Tampaknya gerakan ini juga dipengaruhi oleh UNCLOS yang berlangsung
dari tahun 1973 hingga 1982136.
Konvensi Hukum Laut yang diadopsi pada 1982 setelah
perundingan selama 11 tahun dalam UNCLOS lll, mengadopsi lembaga
laut territorial 12 mil laut dan ZEE 200 mil laut. Lembaga-lembaga ini
merupakan kompromi di antara keinginan dari beberapa Negara untuk
memperluas zona maritim nasional dan keinginan dari Negara-negara
maritim (naval powers) untuk mempertahankan laut territorial di dalam
batas 12 mil laut. Dari tahun 1982 sampai 1994, sekitar 40 negara
masing-masing mengklaim ZEE 200 mil laut. Kecenderungan seperti ini
berlangsung terus menerus. Misalnya, terakhir sebelum millennium baru,
Kanada, Korea Selatan, Jepang dan Denmark mengklaim masing-masing
ZEE nya 200 mil laut pada 1996 dan Cina mengklaim zona ekonominya
200 mil laut pada tahun 1998. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
ketentuan-ketentuan KHL 1982 yang memberikan Negara pantai hak
untuk menetapkan ZEE 200 mil laut sudah bukan merupakan sesuatu
yang baru dalam praktek komunitas internasional sehingga lembaga zona
200 mil laut kini sudah menjadi kaidah hukum kebiasaan internasional.
Sekarang lebih dari 100 negara mengklaim ZEE 200 mil laut atau
zona perikanan. Perluasan yurisdiksi maritim oleh Negara-negara pantai
136
Ibid., Hlm. 8
146
sampai 200 mil laut atau bahkan dalam hal landas kontinen menjadi
sumber persengketaan antarnegara yang pantainya saling berhadapan
atau berdampingan. Sejauh ini ICJ sudah menyelesaikan cukup banyak
kasus delimitasi maritim dan terdapat beberapa kasus seperti itu yang
diajukan di depan Mahkamah. Sampai pertengahan 1999, hanya 34,5%
garis batas maritim yang berpotensi untuk diputuskan secara keseluruhan
atau sebagian. Akan tetapi menentukan garis-garis batas maritim sulit
tercapai137, sebaliknya mengklaim perluasan zona maritim mudah
dilakukan. Hal ini berarti bahwa sengketa hanya bisa terjadi pada bagian-
bagian laut yang diklaim secara bersamaan (overlapping) oleh negara-
negara yang pantainya saling berhadapan ataupun berdampingan satu
sama lain.
N.2. Kesulitan Yang Melekat dalam Menetapkan Garis Batas ZEE/
Landas Kontinen138
137
The complexity of the delimitations derives not only from the particular geographical configuration of the coasts, the presence of islands (some of them being island states) and other particular geographic features, or from the presence of circumstances of a political, security, and economic nature, but also from the fact that most Mediterranean states, instead of having an exclusive economic zone, have proclaimed sui generis maritim zones. This leads to a situation where coastal states have a continental shelf, which consists of the seabed and subsoil, and a sui generis zone, which comprises the water column. The existence, within the same area, of maritim zones comprising either the seabed and subsoil or the water column may lead to overlapping or coincident zones. See Irini Papanicolopulu, A Note on Maritim Delimitation in a Multizonal Context ; The Case of the Mediterranean, Ocean Development and International Law, 38, 2007, (Milano, Italy: Taylor Francis Group, LLC, 2007), Hlm.383.
138 Clive R. Symmons, The Maritim Zones of Islands in International Law,
Developments in International Law (The Hague/Boston/London: Martinus Nijhoff Publishers, 1979), Hlm. 154.
147
Tampaknya banyak faktor yang berperan yang menyebabkan
delimitasi garis batas maritim sulit dilaksanakan dalam praktek. Misalnya,
negara pantai dapat dengan mudah memilih strategi dengan menunda
melakukan delimitasi agar dapat menjaga dan memelihara pola
penangkapan ikan tradisional di daerah yang dipersengketakan (the
disputed area). Atau negara pantai dapat memilih kebijakan tidak berbuat
samasekali (do-nothing policy) karena dikhawatirkan bakal timbulnya
kecaman publik sesudah dilakukan delimitasi betapapun baiknya hasil
delimitasi yang mungkin tercapai. Meskipun kedua negara bertekad akan
menetapkan garis batas di bagian yang tumpang tindih, dapat terjadi
pertentangan mengenai prinsip-prinsip yang dapat digunakan dalam
menetapkan garis batas maritim dan kedua negara dapat memutuskan
artikel 74 ayat 1 dan 83 ayat 1 KHL 1982, yang masing-masing mengatur
prinsip delimitasi ZEE dan landas kontinen, artikel-artikel itu tidaklah jelas.
Meskipun mereka sepakat bahwa prinsip kepatutan atau keadilan (the
principle of equity) seharusnya digunakan dalam menetapkan garis batas
maritim, namun dapat muncul masalah-masalah berikut.
Apa yang merupakan faktor-faktor relevan (relevant
circumstances), maka meskipun kedua pemerintah sepakat atas faktor-
faktor relevan, masalah ke depan adalah bagaimana memperhitungkan
faktor-faktor relevan. Jika kedua Negara setuju dengan prinsip
equidistance untuk diterapkan dalam menetapkan garis batas maritim,
terdapat juga kemungkinan timbulnya persengketaan menyangkut
148
validitas dari beberapa titik pangkal (some base points) dalam
menetapkan garis batas atau mengenai sejauh mana pengaruh dari titik
pangkal itu139.
Jika terjadi sengketa kedaulatan atas sebuah pulau yang berada di
dalam bagian yang dipersengketakan, kemudian delimitasi ini mungkin
tidak dapat dipecahkan secara politis. Berbagai faktor yang membuat
delimitasi garis batas maritim sulit dilakukan antara lain adalah sebagai
berikut A) tiadanya kaidah-kaidah yang jelas; B) sifat politis dari delimitasi
maritim; C) sengketa kedaulatan atas pulau; dan d) tidak efisiennya
penyelesaian sengketa.
N.3. Aturan Delimitasi Maritim tidak Jelas140
Seperti diketahui selalu terjadi ketegangan antara the equidistance
principle dan the equitable principle, dan selama UNCLOS lll setiap prinsip
gagal memenangkan pertarungan dalam memperoleh hak berupa
pengakuan (the titling battle) melawan yang lain. Ketentuan-ketentuan
tentang delimitasi dalam KHL 1982 secara sederhana merupakan hasil
yang bersifat kompromistis, dengan menghindari pemakaian kedua istilah
the principle of equidistance maupun the principle of equity sebab
rumusan yang dihasilkan dalam pasal 74 ayat 1 dan 83 ayat 1 KHL 1982
mengandung maksud untuk mewujudkan tercapainya penyelesaian yang
adil dalam menetapkan delimitasi garis batas maritim (equitable solution
139
Sun Pyo Kim, op,cit., Hlm. 9. 140
Clive R. Symmons, loc.cit.
149
atau equitable result). Pasall 74 ayat 1 dan 83 ayat 1 KHL 1982
menentukan bahwa :
The delimitation of the exclusive economic zone/continental shelf between States with opposite or adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis of international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution. Berdasarkan formula baru ini, hanya satu hal yang jelas, garis
batas maritim (the maritime boundaries) seharusnya dilakukan dengan
persetujuan, yang dinyatakan dalam pasal 6 Konvensi Geneva dan
dipertegas dalam the North Sea Continental Shelf Cases. Di samping itu,
hal yang juga jelas adalah bahwa selama berlangsungnya negosiasi
muncul pendapat tentang makna dari ketentuan-ketentuan tersebut di
antara Negara yang menganut prinsip equidistance dan Negara lain yang
membantahnya atas dasar prinsip equity. Akan tetapi nyatalah ketentuan-
ketentuan KHL 1982 memberikan ruang (leave room) bagi pendapat dan
argumen seperti itu. Judge Oda menanggapi ketentuan-ketentuan itu tidak
efisien. Dia mengatakan bahwa :
Given, however, the difficulty of deriving any positive meaning from these provisions, it would seem that the satisfaction must be essentially of a negative kind, i.e., pleasure that the opposing school has not been expressly vindicated.141 Tidak jelasnya ketentuan-ketentuan itu adalah karena ketentuan-
ketentuan itu adalah hasil kompromi dalam UNCLOS lll, yang
dimaksudkan untuk mengakomodasi atau memuaskan kedua kelompok
yang bertentangan. Isu delimitasi garis batas maritim adalah salah satu
141
Sun Pyo Kim, op.,cit., Hlm. 10-11.
150
isu sangat penting (hard-core) dari UNCLOS lll yang untuk isu ini
kelompok kecil tujuh perunding dibentuk pada sidang ke tujuh (1978), dan
Negotiating Group 7 (NG7) bertanggungjawab atas isu-isu delimitasi dan
prosedur penyelesaian sengketa. Negosiasi-negosiasi di NG7 didominasi
dengan pertentangan antara a pro-equidistance group and a pro-equitable
principle group. Usulan dari the pro-equidistance group’ berbunyi :
The delimitation of the Exclusive Economic Zone/Continental Shelf between adjacent or opposite States shall be effected by agreement employing, as a general principle, the median or equidistance line, taking into account of any special circumstances where this is justified (emphasis added). Akan tetapi proposal tandingan dibuat oleh ‘the pro-equitable
principles group’. Proposal ini berbunyi :
The delimitation of the Exclusive Economic Zone/Continental Shelf between adjacent or / and opposite States shall be effected by agreement, in accordance with equitable principles taking into account of relevant circumstances and employing any method, where appropriate, to lead to an equitable solution (emphasis added). 142 Jalan buntu dalam perundingan mengenai kaidah delimitasi
berlanjut terus bahkan dalam sidang kesepuluh yang dilanjutkan pada
1981, dan NG7 gagal menyelesaikan dilemma itu. Kemudian Presiden
UNCLOS lll, Duta Besar Tomy Koh dari Singapura mengambil inisiatif dan
menginstruksikan untuk memecahkan sebuah formula kompromi dengan
jalan menghindari setiap referensi pada prinsip equidistance atau prinsip
equitable. Ketentuan-ketentuan itu dimaksudkan untuk menyenangkan
142
Ibid., Hlm. 10-11.
151
kelompok penentang dengan cara negatif : kelompok penentang tidak
dibersihkan secara tegas, sebagaimana ditanggapi oleh Judge Oda. Duta
Besar Koh sendiri memohon kepada para delegasi UNCLOS lll untuk
menghindari membuat pernyataan yang menimbulkan penafsiran
(interpretative statements), karena pernyataan seperti itu dapat merusak
atau mengurangi apa yang telah dicapai setelah perundingan yang sulit143.
Meskipun tidak ditunjuk suatu prinsip tertentu dalam ketentuan-
ketentuan pasal 74 ayat 1 dan pasal 83 ayat 1, namun prinsip ini
ditunjukkan melalui kata-kata international law, as referred to in article 38
of the Statute of the International Court of Justice.
Sepintas ketentuan-ketentuan itu mempersoalkan mengapa
referensi seperti itu diperlukan karena referensi pasal 38 Statuta
umumnya dianggap sebagai pedoman bagi sumber-sumber hukum
internasional dan pengadilan internasional atau sebuah tribunal dapat
menerapkan hukum internasional sebagaimana ditentukan dalam pasal 38
Statuta. Mengenai hal ini, ada ucapan dari Manner, yang menjadi Ketua
NG7. Menurut Manner, referensi itu dimaksudkan: untuk menunjukkan
bahwa hukum internasional sebagai dasar perjanjian delimitasi, tidak
berbeda dari pada hukum yang diterapkan oleh Mahkamah Den Haag (the
Hague Court atau ICJ).
Memang konsistensi seperti itu cukup tepat, tetapi hal itu bisa
dipertanyakan apakah referensi Statuta memiliki arti (significance) dalam
143
Ibid., Hlm. 11.
152
menerapkan secara praktis pasal-pasal relevan yang terdapat di dalam
Konvensi.
Fakta bahwa pasal 74 (1) dan 83 (1) dengan mudah menunjuk
pada hukum internasional yang dapat digunakan oleh ICJ, berarti bahwa
ketentuan-ketentuan itu tidak perlu merubah konten hukum kebiasaan
internasional mutakhir mengenai delimitasi, dan Negara-negara
seharusnya berpaling kepada hukum kebiasaan internasional yang
dikembangkan melalui kasus-kasus di ICJ dan tribunal internasional lain
menyangkut kaidah-kaidah delimitasi.
Evans melihat bahwa :144 ‘Meskipun ketentuan ini sudah hampir
vakum, ketentuan ini sudah diterima (endorsed) sebagai pernyataan
akurat mengenai hukum kebiasaan internasional sehingga dengan
sendirinya tidak menimbulkan persoalan lebih jauh. ICJ menyatakan
dalam kasus the Greenland / Jan Mayen Case mengenai ketentuan itu
bahwa :
That statement of an ’equitable solution as the aim of any delimitation process reflects the requirements of customary law as regards the delimitation both of continental shelf and of exclusive economic zones. (pernyataan mengenai penyelesaian yang adil sebagai tujuan dari setiap proses delimitasi mencerminkan perlunya hukum kebiasaan apabila menyangkut penentuan garis batas baik untuk landas kontinen maupun zona ekonomi eksklusif). Dalam konteks serupa, Professor Charney dari the University of
Vanderbit menekankan bahwa dalam hukum garis batas maritim
internasional, pertimbangan dan keputusan lebih menonjol antara lain
144
Ibid., Hlm. 11 Juga Clive R. Symmons, op. cit., Hlm. 156-157
153
karena usaha-usaha kodifikasi tidak memberikan pedoman jelas (the
absence of clearer guidance from codification efforts)145.
Sebagaimana diketahui kedua kaidah yang identik tidak harus
berarti bahwa kedua garis batas itu harus sama. Agaknya penerapan
formula identik dapat menimbulkan dua garis batas yang berbeda satu
sama lain karena penyelesaian yang adil (equitable solution) bagi garis
batas landas kontinen mungkin tidak menjadi penyelesaian yang adil bagi
penentuan garis batas water column.
Sudah sewajarnya diamati bahwa meskipun ketentuan-ketentuan
Konvensi yang mengatur delimitasi landas kontinen dan ZEE adalah
sama, susunan kata-katanya rupanya tidak tepat untuk ketentuan-
ketentuan yang dapat diterapkan dengan lebih dari satu cara dan dengan
demikian untuk garis batas landas kontinen dan ZEE dapat (diterapkan)
berbeda.
Upaya negosiasi garis batas maritim untuk zona ekonomi eksklusif
dan landas kontinen di Laut Sulawesi dapat diarahkan untuk membangun
apakah garis batas tunggal (single maritime boundary) yang jatuh
bersamaan di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen ataukah garis
batas tersendiri (separate maritime boundary) untuk masing-masing zona.
Demikian pula metode apa yang akan digunakan dalam menetapkan garis
delimitasi, namun yang paling penting adalah apakah metode yang
digunakan dapat menghadirkan suatu penyelesaian yang adil (equitable
145
Sun Pyo Kim, op.cit., Hlm. 12
154
solution), dalam hal ini apakah dengan metode yang digunakan dapat
menjamin tercapainya hasil yang wajar (equitable result) sehingga harus
dipertimbangkan berbagai keadaan yang dianggap relevan dalam
mencapai solusi yang ‘equitable’.
Penyelesaian delimitasi maritim pada prinsipnya dikembangkan
melalui berbagai perjanjian bilateral serta melalui kasus-kasus delimitasi
yang ditangani dan diputuskan oleh Mahkamah Internasional dan tribunal
internasional karena ketentuan delimitasi laut territorial, landas kontinen
dan zona ekonomi eksklusif sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 15, 74
dan 83 dari KHL 1982 tidak jarang menimbulkan penafsiran dari Negara-
negara yang merasa berkepentingan akibat tidak jelasnya ketentuan-
ketentuan tersebut (ambiguous). Dengan demikian keuntungan dan
kerugian yang terkandung di dalam ketidakjelasan teks pasal-pasal
perjanjian adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari (something
inevitable)146.
Di samping itu berbagai kasus delimitasi maritim yang diajukan ke
depan Mahkamah Internasional kadang-kadang bertentangan satu sama
lain, bahkan menyangkut sebuah kasus delimitasi maritim di dalam
putusannya sering disertai dengan pendapat berbeda (dissenting opinion)
serta pendapat terpisah (separate opinion) yang disampaikan oleh
beberapa hakim Mahkamah Internasional. Tidak terkecuali kasus
Sipadan-Ligitan, yang menghadirkan pendapat terpisah dari Judge Oda
146
Ibid., Hlm.12
155
yang sangat menguntungkan pihak Indonesia ke depan, khususnya dalam
mengantisipasi dan menghadapi implikasi putusan ICJ pada 2002 yang
bisa bermuara pada masalah delimitasi maritim di daerah yang dianggap
dipersengketakan di Laut Sulawesi.
N.4. Sifat Politis dari Delimitasi Maritim
Tidak ada garis batas yang tidak bersifat politis (There is no
boundary which is not political)147. Garis batas maritim, sebagaimana
halnya dengan garis batas daratan, adalah buah atau produk negosiasi
yang keras antarnegara tetangga, atau merupakan penghormatan
terhadap keputusan dari suatu pengadilan internasional. ICJ melihat
bahwa : suatu delimitasi, apakah delimitasi garis batas maritim atau
delimitasi garis batas daratan adalah suatu pekerjaan yang bersifat politis
yuridis (a legal-political operation).
Beberapa putusan politik penting harus dilakukan secara bertahap
dalam proses penentuan garis batas maritim. Oxman mengidentifikasi
empat putusan yang bersifat politis yang seharusnya dibuat dalam
hubungan dengan garis batas maritim : (i) keputusan untuk melakukan
negosiasi, (ii) keputusan untuk mengusulkan garis batas tertentu
(particular boundary), (iii) keputusan untuk membuat konsesi dengan
tujuan untuk mencapai persetujuan, dan (iv) keputusan untuk menyetujui
suatu garis batas tertentu.
147
Ibid., Hlm. 12
156
Johnston melihat bahwa terdapat sebelas opsi diplomatik mengenai
delimitasi maritim : Kebijakan tidak berbuat sesuatu (Do-Nothing Policy),
Persetujuan untuk tidak setuju atau kesepakatan untuk tidak bersepakat
(Agreement to Disagree), Persetujuan untuk Menunjuk (Agreement to
Designate), Persetujuan untuk mengadakan konsultasi (Agreement to
Consult), Persetujuan mengenai Akses (Agreement on Access), Kebijakan
pendahuluan untuk membuat perusahaan bersama (Preliminary Joint
Enterprise Policy), Kebijakan kerjasama Pengembangan yang bersifat
operasional (Operational Joint Development Policy), Persetujuan
mengenai pembagian jasa (Agreement on Sharing of Services),
Persetujuan mengenai pengaturan yang bersifat terbatas untuk bersama-
sama melakukan pengelolaan (Agreement on Limited Joint Management
Arrangement), Persetujuan untuk melakukan pengelolaan bersama yang
bersifat permanen (Agreement on Permanent Joint Management),
Perjanjian Garis Batas Final (Final Boundary Treaty)148.
Ketika harus mengambil keputusan atau opsi, maka pemerintah
cenderung berhati-hati dalam mengambil tindakan. Ketika pemerintah
memilih kebijakan Do-Nothing Policy, delimitasi garis batas maritim akan
tetap tidak terselesaikan selama kebijakan seperti itu dipertahankan.
Mungkin pada saat itu parlemen tidak akan memberikan persetujuan
ratifikasi atas perjanjian garis batas maritim. Misalnya, Senat Amerika
148
Ibid., Hlm. 13.
157
Serikat masih harus menyetujui perjanjian garis batas maritim antara
Amerika Serikat dan Kuba yang ditandatangani pada 1977.149
Untuk memperoleh persetujuan ratifikasi dari majelis nasional
(national assembly) terhadap perjanjian kerja sama pengelolaan landas
kontinen yang ditandatangani pada 1974 dengan Korea Selatan,
Pemerintah Jepang harus menunggu selama empat tahun untuk
mendapatkan persetujuan ratifikasi dari majelis nasional. Ada kalanya
delimitasi dapat menjadi isu nasional dan diplomatik yang hangat.
Misalnya, dalam penentuan garis batas maritim di Selat Beagle (in the
Beagle Channel delimitation) antara Argentina dan Cile, bahkan
dikhawatirkan akan timbulnya konflik bersenjata ketika Argentina menolak
putusan (award) pengadilan arbitrasi pada 1977 dan kemudian Vatikan
turun tangan untuk menengahinya.
Sengketa antara Yunani dan Turki menyangkut landas kontinen di
Laut Aegea (the Aegean Sea) berkembang menjadi sengketa sangat
serius dengan implikasi internasional yang signifikan. Dapat dicatat bahwa
Dewan Keamanan PBB yang memiliki tanggungjawab utama untuk
mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional, menangani
sengketa itu, walaupun ICJ sedang mengadili sengketa tersebut. Adalah
luar biasa sengketa delimitasi di Aegean Sea yang meletus pada 1973,
masih sedang menunggu penyelesaian.
149
Robert W. Smith, International Maritim Boundary, (Cuba-United States: Report Number 1-4, Hlm. 416-425.
158
Isu delimitasi maritim bahkan bisa semakin keras (intractable)
karena menyangkut urusan keamanan. Misalnya, pertimbangan strategis
mempengaruhi Swedia dan Uni Soviet untuk mengambil posisi yang
bertentangan atau berseberangan mengenai pengaruh pulau the Swedish
Gotland dalam perundingan delimitasi Laut Baltik. Swedia berpendapat,
tetapi Uni Soviet menyangkal bahwa pulau itu seharusnya mempunyai
pengaruh mutlak (full effect) sehingga berfungsi sebagai titik pangkal. Bagi
Swedia, Gotland Island memiliki peranan penting (crucial role) dalam
sistem pertahanan nasionalnya, dan dengan demikian Laut Baltik secara
tradisional penting bagi Uni Soviet. Negosiasi-negosiasi semakin lama
semakin dipolitisasi dengan terjadinya insiden Karlskrona akibat
terdamparnya kapal selam Uni Soviet dekat pangkalan Angkatan Laut
Swedia Karlskrona pada 27 Oktober 1981.
Adakalanya pertimbangan politik dan keamanan dikemukakan
secara terbuka di pengadilan internasional yang menangani isu delimitasi
maritim150. Misalnya, dalam kasus Gulf of Maine case, Amerika Serikat
menekankan bahwa garis yang diklaim oleh Kanada adalah lebih jauh
(further) ke selatan dari garis yang diajukan oleh Amerika Serikat. Amerika
Serikat juga menunjukkan bahwa jika garis yang diklaim Kanada diadopsi,
maka seluruh pantai Atlantik di utara Philadelphia di mana seperempat
dari seluruh penduduk Amerika Serikat bertempat tinggal akan
berhadapan bukan dengan Eropa, bukan dengan laut bebas di Atlantik
150
Sun Pyo Kim, op.cit., Hlm. 13-14; Clive R. Symmons, op.cit., Hlm. 159
159
terbuka, melainkan berhadapan dengan perairan Kanada, dan oleh
karena itu Amerika Serikat berpendapat bahwa isu ini menimbulkan
persoalan kedaulatan yang paling mendasar.
Dalam hal ini, Amerika Serikat melihat adanya kemungkinan zona
ekonomi eksklusif berubah menjadi zona yang berkarakter politis di masa
mendatang ketika Amerika Serikat menyebut bahwa ‘no State knows with
any certainty what the future of the economic zone regime will hold’ Tidak
ada Negara yang mengetahui secara pasti masa depan seperti apa yang
akan dimiliki oleh rezim hukum zona ekonomi.
Begitu pula dengan klaim Ambalat oleh Malaysia yang didasarkan
atas diundangkannya zona ekonomi eksklusif Malaysia dan ternyata
merambah masuk ke dalam laut territorial dan perairan kepulauan
Indonesia di Laut Sulawesi, membuktikan motif sesungguhnya Negara
tersebut ketika mempermasalahkan kepemilikan kedua pulau yang begitu
kecil. Motif di balik kasus Sipadan-Ligitan, tidak lain tidak bukan adalah
kepentingan politik untuk memperluas wilayah kedaulatannya di laut
melalui delimitasi maritim. Namun delimitasi maritim tidak dapat dilakukan
secara sepihak sebab masalah delimitasi itu memiliki karakter
internasional sehingga memerlukan kesepakatan dengan negara lain151.
N.5. Sengketa Kedaulatan Pulau.
Tanpa diragukan sengketa antarnegara menyangkut kedaulatan
atas pulau membuat delimitasi garis batas maritim jauh lebih rumit karena
151
Victor Prescott & Gillian D. Triggs, International Frontiers and Boundaries. Law, Politics and Geography, (Leiden.Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2008), Hlm. 23-24.
160
dalam sengketa seperti itu terdapat kecenderungan nasionalisme dan
mengemukanya pendapat publik (passionate public opinion) terkait
dengan sengketa kedaulatan152.
Penetapan garis batas Selat Beagle antara Argentina dan Cile
membutuhkan waktu sangat lama antara lain karena kedua Negara
terlibat dalam sengketa kedaulatan atas suatu pulau di daerah yang
dipertikaikan. Akan tetapi pada saat yang sama, tidak dapat diingkari
Konvensi 1982 sendiri secara tidak langsung berkontribusi atas semakin
intensifnya sengketa kedaulatan pulau karena Konvensi secara nyata
memberi hak kepada pulau (islands) terkecuali batu karang (rocks) untuk
melahirkan (generate) zona ekonomi eksklusif 200 mil laut sepenuhnya
dan bahkan landas kontinen yang membentang jauh (farther-reaching
continental shelves). Fakta bahwa sebuah pulau kecil di samudera dapat
melahirkan peta zona ekonomi eksklusif 200 mil laut dan landas kontinen
semakin memperkuat keprihatinan negara-negara yang bersangkutan
terhadap nasib pulau yang dipersengketakan dari pada sebelum lahirnya
peta zona ekonomi eksklusif dari pulau itu. Pasal 121 ayat 2 dan 3 KHL
1982 menetapkan bahwa :
Terkeculi seperti yang diatur dalam pasal 121 ayat 3, laut territorial,
zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen dari suatu
pulau ditentukan menurut ketentuan-ketentuan Konvensi ini yang berlaku
pada wilayah daratan. Batu karang (Rocks) yang tidak dapat mendukung
152
Sun Pyo Kim, op,cit., Hlm. 14
161
atau menunjang habitat manusia atau kehidupan ekonominya sendiri tidak
boleh mempunyai zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen.
Smith dan Thomas dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat
dengan tepat melihat bahwa ‘Wajar mengatakan yurisdiksi atas sumber
daya laut setidak-tidaknya adalah sebuah isu terselubung (implicit issue)
dalam hampir semua sengketa pulau, entah dipublikasikan atau tidak
sengketa tersebut, dan tanpa menghiraukan kapan dan dari mana
munculnya isu seperti itu.153
Beberapa teknik atau cara sudah dikembangkan untuk menghadapi
isu pulau yang dipersengketakan dalam penetapan garis batas maritim.
Salah satu cara adalah mengakhiri garis batas pada suatu titik sebelum
garis batas ini mencapai lokasi di mana pulau yang dipersengketakan
akan dapat mempengaruhi garis batas itu. Perancis dan Mauritius
menggunakan pendekatan seperti ini di Samudera Hindia guna
menghindari isu menyangkut pulau Tromelin.
Demikian pula, Kanada dan Amerika Serikat setuju dengan titik
arah ke darat dari garis batas di laut untuk menghindari isu kedaulatan
atas pulau yang disebut (Machias Seal Island and North Rock), ketika
menyerahkan masalah delimitasinya di ‘the Gulf of Maine’ kepada sebuah
Kamar di ICJ. Ketika Denmark (Greenland) dan Kanada sepakat dengan
garis batas landas kontinen pada 1973, mereka menghilangkan suatu
daerah kecil di sekitar ‘Hans Island’ yang dipersengketakan, yang terletak
153
Sun Pyo Kim, op. cit., Hlm. 14-15.
162
di tengah selat dan (meninggalkan) ukuran di bawah satu mil utara-
selatan154.
Tampaknya terdapat 27 kasus sengketa kedaulatan atas pulau di
dunia, dan hal ini berjalan tanpa mengatakan bahwa isu kedaulatan atas
pulau adalah sebuah faktor penting yang membuat delimitasi maritim lebih
sulit, namun mungkin cerdas teknik delimitasi seperti itu.
Sesungguhnya sengketa delimitasi maritim di bagian tertentu dari
Laut Sulawesi sudah berlangsung lama antara Indonesia-Malaysia, yakni
sejak perundingan garis batas landas kontinen kedua negara pada 1969.
Perundingan itu tidak dapat dilanjutkan karena ternyata Malaysia
memasukkan kedua pulau peninggalan Belanda ke dalam peta yang
dibuatnya secara sepihak dan menggunakan kedua pulau tersebut
sebagai titik pangkal bagi penarikan garis pangkal laut teritorialnya dan
pada akhirnya digunakan sebagai dasar untuk megkonstruksi garis batas
maritim di Laut Sulawesi.
Dalam kasus Eritrea v. Yaman, Tribunal Internasional antara lain
mengatakan:155
‘Neither Party has succeeded in demonstrating that the line of delimitation proposed by the other would produce a catastrophic or inequitable effect on the fishing activity of its nationals or detrimental effects on fishing communities and economic dislocation of its nationals… For these reasons, it is not possible for the Tribunal to accept or reject the line of delimitation proposed by either Party on fisheries grounds’.
154
Ibid., Hlm. 15.
155 http://www.persee.fr Annuaire francais De Droit International XLVI-2000-
CNRS Editions, Paris. Giovanni Distefano, Maritims Entre L’Erythree et Le Yemen : Quelques Observations Complementaires
163
Intinya adalah garis delimitasi yang diajukan masing-masing pihak
(Eritrea dan Yaman) tidak terbukti dapat menimbulkan bencana
atau ketidakadilan terhadap kegiatan perikanan warganegaranya
ataupun mengakibatkan kerugian pada komunitas nelayan serta
kesulitan ekonomi warganya156.
Atas alasan-alasan itu Tribunal tidak dapat menerima ataupun
menolak garis delimitasi yang dikemukakan setiap pihak karena alasan
perikanan. Mengacu pada pertimbangan Tribunal dalam kasus Eritrea v.
Bahrain, kegiatan penangkapan ikan di perairan sekitar Sipadan dan
Ligitan oleh penduduk yang berasal dari berbagai Negara, termasuk
penduduk atau nelayan asal Malaysia merupakan faktor relevan yang
dapat digunakan oleh Indonesia untuk memelihara garis delimitasi maritim
berbasis wawasan nusantara. Hal ini karena delimitasi maritim yang
berlaku selama ini diyakini tidak akan menimbulkan bencana dan kerugian
bagi nelayan tradisional Malaysia yang sejak lama dapat bekerjasama
dengan nelayan yang berasal dari Negara-negara lain, khususnya nelayan
tradisional Indonesia.
N.6. Tidak Efisiennya Prosedur Penyelesaian Sengketa (Inefficiency
of the Dispute Settlement Procedure)157
Sebagaimana diketahui ada beberapa kesulitan yang melekat
dalam delimitasi garis batas maritim. Jika perundingan bilateral soal
156
Annuaire Francais De Droit International XLVI–2000-CNRS Editions, (http://www.persee fr); Malcolm D. Evans, Delimiting Maritim Boundaries, (Marine Policy November 1990, Hlm. 538
157 Sun Pyo Kim, op.cit., Hlm. 15.
164
delimitasi mengalami jalan buntu (stalemate), maka Negara-negara
bersangkutan mungkin mencari penyelesaian sengketa melalui pihak
ketiga. KHL 1982 menyediakan prosedur penyelesaian sengketa dalam
pasal 74 dan 83 ayat 2. Ayat sama menentukan bahwa jika tidak tercapai
persetujuan dalam tenggang waktu yang wajar (reasonable period of
time), negara-negara bersangkutan harus menggunakan prosedur yang
ditetapkan dalam Part XV (Settlement of Dispute)158.
Karena tidak ada definisi dalam KHL 1982 mengenai pengertian ‘a
reasonable period of time’, maka definisinya tetap menjadi pertanyaan
terbuka. Begitu terpenuhi syarat mengenai setelah tenggang waktu yang
wajar (after a reasonable period of time), maka akan diberlakukan
ketentuan-ketentuan yang rumit dari Part XV (Settlement of Dispute).
Sengketa garis batas maritim pada dasarnya tunduk pada cara
penyelesaian yang bersifat memaksa karena sengketa seperti ini
umumnya tidak dikecualikan dari prosedur yang sifatnya memaksa, yang
ditetapkan dalam pasal 297. Akan tetapi berdasarkan pasal 298, para
pihak bebas untuk memilih, untuk tidak memilih (to opt out of) ‘the
compulsory binding procedure’. Meskipun KHL 1982 paling penting dalam
penyelesaian sengketa internasional sejak diadopsinya Piagam PBB dan
Statuta Mahkamah Internasional, ketentuan untuk tidak memilih seperti itu
(this opt-out provision) akan mengecewakan mereka yang mengharapkan
bahwa banyak sengketa garis batas maritim dapat diselesaikan dengan
158
Sun Pyo Kim, op.cit., Hlm. 15-16.
165
Konvensi 1982. Lemahnya (leakage) mekanisme ‘compulsory binding
procedures’ terutama disebabkan tidak jelasnya ketentuan delimitasi yang
terdapat dalam konvensi itu159.
159
Akan tetapi berdasarkan artikel 298 (1) (a) (i) suatu pihak bersengketa diwajibkan untuk menyerahkan sengketa perbatasan kepada ‘compulsory conciliation’ jika pihak lain memintanya. Hal ini berarti bahwa KHL 1982 mengadopsi prosedur penyelesaian sengketa yang bersifat memaksa (compulsory dispute settlement procedures) atas sengketa delimitasi maritim. Prosedur konsiliasi yang bersifat memaksa (the compulsory conciliation procedure) terhadap sengketa delimitasi adalah sifat paling utama dari mekanisme penyelesaian sengketa garis perbatasan dalam KHL 1982, dan itulah formula kompromi untuk memecahkan dan menyelesaikan pertentangan antara dua pendirian. Pendirian pertama mengesampingkan semua sengketa delimitasi dari prosedur penyelesaian yang bersifat memaksa, dan pendirian kedua mengharuskan semua sengketa delimitasi diserahkan kepada prosedur penyelesaian yang bersifat memaksa. Ketua NG7 mencatat bahwa hanya usulan yang didasarkan atas prosedur konsiliasi memaksa yang sesuai (consistent) dengan pendapat realistis tentang kemungkinan kompromi atas isu controversial itu. Mengapa ‘compulsory conciliation’ dilihat sebagai satu-satunya kemungkinan kompromi ? Hal ini disebabkan karena konsiliasi bukan merupakan bentuk penyelesaian lewat pengadilan (judicial settlement) seperti acara persidangan di ICJ. Tugas komisi konsiliasi adalah terbatas pada melakukan investigasi terhadap sengketa itu serta mengusulkan syarat-syarat penyelesaian yang dimungkinkan. Komisi Konsiliasi adalah semacam negosiasi institusional (institutional negotiation). Pernyataan akhir dari komisi konsiliasi bukanlah keputusan (judgment) atau pemberian (award) yang mengikat secara yuridis, melainkan hanya semata-mata laporan yang berisi rekomendasi bagi penyelesaian persengketaan. Harus diperhatikan di sini bahwa istilah ‘compulsory’ tidak boleh disalahpahami seakan-akan hal ini bersifat memaksa bagi para pihak untuk mematuhi laporan komisi konsiliasi tersebut. Istilah ‘compulsory’ secara sederhana berarti bahwa suatu sengketa harus diserahkan (referred) kepada prosedur konsiliasi jika salah satu pihak menghendakinya. Bahkan penerapan ‘compulsory conciliation’ dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Pertama, setiap sengketa yang harus meliputi persaingan pertimbangan dari sengketa yang tak terselesaikan menyangkut kedaulatan atau hak-hak lain atas wilayah daratan continental atau pulau tidak boleh diserahkan kepada prosedur konsiliasi. Kedua, prosedur konsiliasi yang bersifat memaksa tidak berlaku pada sengketa-sengketa yang timbul sebelum berlakunya KHL 1982. Ini pun adalah hasil perdebatan panjang dalam UNCLOS lll. Sekali laporan komisi konsiliasi dibuat, maka para pihak bersengketa menegosiasikan kesepakatan (agreement) atas dasar laporan itu. Bagaimana kalau negosiasi tidak menghasilkan kesepakatan ? Artikel 298 (1) (a) (ii) KHL 1982 menetapkan bahwa :‘... if these negotiations do not result in an agreement, the parties shall, by mutual consent, submit the question to one of the procedures provided for in section 2 (Compulsory Procedures Entailing Binding Decisions), unless the parties otherwise agree… (emphasis added). Terjemahannya adalah sebagai berikut. Jika negosiasi ini tidak menghasilkan suatu persetujuan atau kesepakatan, maka para pihak bersengketa dengan persetujuan atau kesepakatan timbal balik harus menyerahkan masalah itu kepada salah satu dari prosedur yang ditetapkan dalam section 2 (Prosedur yang bersifat memaksa yang memerlukan putusan yang mengikat), kecuali para pihak menentukan lain….Maka itu harus dicatat bahwa kewajiban para pihak untuk menyampaikan sengketa garis perbatasannya dilepaskan dengan persyaratan ‘by consent’, yang berarti bahwa hal itu tidak lebih dari pada sebuah ’pactum de contrahendo’. Oleh karena itu suatu pihak yang tersangkut sengketa garis batas dapat
166
Dari eksaminasi prosedur penyelesaian sengketa berdasarkan KHL
1982, maka dapat diramalkan ketentuan-ketentuan Konvensi 1982 tidak
membantu mengurangi jumlah sengketa delimitasi maritim, termasuk
sengketa delimitasi di blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia.
Perundingan-perundingan yang diadakan oleh Indonesia dan
Malaysia untuk menyelesaikan bagian-bagian laut yang dianggap
tumpang tindih, terutama di sekitar blok pertambangan Ambalat masih
tetap berlangsung hingga saat ini. Namun isu delimitasi maritim yang
berada dibalik klaim Ambalat yang tumpang tindih belum memberikan
indikasi yang mengarah pada sebuah penyelesaian yang dapat
memuaskan kedua pihak. Hal ini disebabkan karena masalah delimitasi
garis batas maritim sulit dilakukan, apalagi diselesaikan meskipun
masalah seperti ini perlu dilakukan dan diupayakan penyelesaiannya.
Kesulitan melakukan penetapan garis batas maritim, termasuk garis
batas maritim di perairan sekitar blok Ambalat bukan sesuatu yang baru,
di mana timbulnya kesulitan ini dapat ditelusuri dari sejarah
perkembangan hukum laut yang diwarnai pertentangan antara doktrin
Mare Liberum dan Mare Clausum yang berlangsung selama berabad-
abad. Selain kesulitan yang berakar dari sejarah pertentangan doktrin,
juga terutama dalam menetapkan garis-garis batas maritim terkait landas
kontinen atau zona ekonomi eksklusif memang melekat berbagai macam
kesulitan yang sering tak terhindarkan sehingga delimitasi maritim di
menolak menyerahkan sengketa itu kepada prosedur mengikat yang bersifat memaksa (the compulsory binding procedure). Ibid., Hlm.15-17.
167
antara Negara-negara yang pantainya saling berhadapan ataupun
berdampingan sulit dilakukan dan diselesaikan.
Berlarut-larutnya negosiasi antara Indonesia dan Malaysia
menyangkut delimitasi maritim di daerah yang dipersengketakan di Laut
Sulawesi merefleksikan dan mencerminkan adanya berbagai kesulitan
yang tak dapat dihindari. Tak terhindarkannya kesulitan seperti itu tidak
harus mengurangi semangat untuk terus mengupayakan negosiasi antara
kedua Negara sesuai dengan aturan-aturan hukum internasional agar
supaya tercapai solusi yang patut dan adil (equitable solution) terkait
penyelesaian garis batas maritim di daerah yang dipersengketakan
(disputed area) di Laut Sulawesi.
Namun ‘equitable solution’ harus melibatkan baik metode delimitasi
maritim maupun berbagai macam faktor yang dapat dikategorikan sebagai
‘relevant circumstances’ yang harus dirundingkan, di mana ‘relevant
circumstances’ dapat mencakup bukan hanya unsur-unsur geografis,
melainkan juga unsur-unsur non geografis, seperti sosial-ekonomi, politik
dan hukum dari masing-masing negara160. Unsur-unsur politik dan hukum
yang dapat diperhitungkan sebagai keadaan relevan dalam merundingkan
delimitasi maritim, antara lain perasaan solidaritas sebagai sesama
anggota ASEAN yang begitu tinggi dimiliki oleh Pemerintah Indonesia
sehingga mengakomodasi keinginan Malaysia untuk menyelesaikan
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui
160
Rainer Lagoni and Daniel Vignes, Maritime Delimitation, (Leiden/Boston, (Martinus Nijhoff Publishers, 2005), Hlm. 101.
168
Mahkamah Internasional yang pada akhirnya memenangkan Negara
tersebut.
Sebelum adanya kesepakatan soal yurisdiksi Mahkamah
Internasional, berbagai pertemuan yang dilakukan kedua Negara untuk
menyelesaikan masalah kepemilikan atas Sipadan dan Ligitan
sesungguhnya merupakan cara yang paling aman dan efektif dalam
menjamin kepentingan nasional terkait wawasan nusantara sehingga
berbagai kalangan merasa pesimis terhadap jalan yang ditempuh oleh
Pemerintah Indonesia, bahkan ada suara miring, inilah awal kekalahan
Indonesia dan awal kemenangan Malaysia. Setelah melalui proses
persidangan yang cukup lama dan melelahkan, perasaan pessimis dan
suara miring itu menjadi kenyataan.
Walaupun putusan Mahkamah memenangkan Malaysia, namun
kemenangannya diklarifikasi melalui pendapat terpisah (separate opinion)
dari Judge Oda yang mengatakan bahwa tidak satupun dari kedua Negara
yang memiliki bukti historis-yuridis yang kuat untuk membuktikan
kepemilikannya atas kedua pulau. Pernyataan paling penting dari beliau
adalah bahwa meskipun Negara tersebut diberi hadiah kedaulatan atas
kedua pulau, namun hal ini tidak mempengaruhi garis-garis batas maritim
yang selama ini relative masih berjalan di Laut Sulawesi.
Pernyataan Hakim Oda tersebut dapat dikategorikan ke dalam
faktor non geografis yang dapat digunakan oleh otoritas Indonesia dalam
mengupayakan penyelesaian garis batas maritim kedua negara di daerah
169
yang dipersengketakan karena factor seperti ini (di samping faktor
geografis) dapat berkontribusi untuk tercapainya ‘equitable solution’.
Pasca putusan ICJ pernyataan Oda sebagai factor non geografis dapat
digunakan sebagai salah satu pendekatan unrtuk melindungi kepentingan
nasional Indonesia atas dasar wawasan nusantara dalam usaha
memelihara dan meningkatkan kesejahteraan bagi bangsa dan
Negara.161.
Langkah-langkah negosiasi yang dilakukan Indonesia dan Malaysia
terkait daerah yang dianggap dipersengketakan di Laut Sulawesi pasca
Sipadan-Ligitan diharapkan dapat menghasilkan semacam penyesuaian
(adjustment) terhadap garis ‘equidistance’ sebagai garis delimitasi yang
diinginkan pihak tertentu sebagai langkah penyelesaian sengketa di
daerah tersebut. Keinginan seperti ini adalah sesuatu yang wajar karena
Malaysia adalah negara merdeka dan berdaulat baik ke dalam maupun ke
luar, termasuk dalam menjalin hubungan dengan Negara lain dan
melakukan negosiasi untuk mencapai persetujuan terkait setiap
permasalahan, seperti permasalahan delimitasi maritim dengan Indonesia
di Laut Sulawesi pasca Sipadan-Ligitan. Namun keinginan untuk
melakukan penyesuaian garis batas maritim bukan sesuatu yang mudah
dijalankan sebab berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku
penyesuaian seperti itu harus mempertimbangkan berbagai keadaan
relevan.
161
Ibid., Hlm. 18.
170
Keadaan-keadaan yang dapat dianggap relevan mencakup bukan
hanya keadaan yang bersifat geografis semata-mata melainkan juga yang
tidak bersifat geografis (sosial ekonomi, politik, keamanan etc) sebab
berbagai putusan dan pertimbangan Mahkamah Internasional
menunjukkan apa yang dinamakan ‘special or relevant circumstances’
tidak memiliki daftar tertutup (close list) sehingga sering menghadirkan
berbagai macam pengertian menyangkut ‘special/relevant circumstances’.
Terkait upaya negosiasi delimitasi di Laut Sulawesi, pihak
Indonesia dapat mengemukakan selain keadaan-keadaan yang terkait
faktor geografi, juga yang terkait faktor politik, hukum, keamanan
(security), sosial ekonomi162, termasuk kegiatan nelayan tradisional
Indonesia (traditional fishing right) di perairan sekitar Sipadan dan Ligitan.
Pendapat terpisah (separate opinion) dari Judge Oda yang pada dasarnya
menekankan bahwa kedua pulau yang sudah menjadi milik Malaysia tidak
boleh mempengaruhi penetapan batas-batas maritim di landas kontinen di
Laut Sulawesi, juga dapat dikemukakan sebagai keadaan yang memiliki
relevansi dalam upaya negosiasi delimitasi maritim sebab bagaimanapun
pendapat berbeda (dissenting opinion) dan pendapat terpisah (separate
opinion) adalah bagian integral dari putusan Mahkamah Internasional
162
The relevance of socio economic faktors has been invoked by the Russian Federation with respect to the delimitation of the maritim boundary between itself and Norway in the Barents Sea. Norway maintains the position that there are no such circumstances justifying a boundary different from a median line. See Alex G. Oude Elferink, Maritim Delimitation Between Denmark/ Greenland and Norwey, Ocean Development and International Law, 38, 2007, Hlm. 378.
171
yang harus dihormati dan dipatuhi sehingga dapat menjadi referensi bagi
penyelesaian sengketa delimitasi maritim.
Ada berbagai metode delimitasi maritim yang dapat digunakan oleh
negara-negara tetangga dalam menyelesaikan garis batas maritimnya,
antara lain seperti metode garis tengah (median line) yang dipakai oleh
negara-negara yang pantainya saling berhadapan (opposite states),
metode garis sama jarak (equidistance line) yang dapat dipakai oleh
negara-negara yang pantainya saling berdampingan (adjacent states).
Dalam pasal 74 dan 83 KHL 1982 tidak disinggung mengenai metode
delimitasi maritim untuk garis batas landas kontinen dan zona ekonomi
eksklusif, tetapi pasal 15 KHL 1982 menegaskan adanya metode
delimitasi maritim kendati hanya digunakan untuk garis batas laut
territorial antarnegara yang berhadapan atau berdampingan satu sama
lain.
Pada prinsipnya berdasarkan pasal yang disebut terakhir negara-
negara yang disebut ‘opposite states’ atau ‘adjacent states’ yang laut
teritorialnya tumpang tindih tidak dapat menetapkan garis batas laut
teritorialnya melampaui garis tengah (median line), terkecuali mereka
mempunyai atau membuat perjanjian garis batas laut territorial yang tidak
didasarkan atas metode garis tengah. Di samping adanya perjanjian
seperti itu, maka berdasarkan pasal 15 KHL 1982 metode garis tengah
juga tidak dapat digunakan apabila terdapat hak historis (historic right)
172
atau keadaan khusus lain yang membutuhkan metode delimitasi yang
berlainan dari metode ‘median line’ atau ‘equidistant line’.
Selama negara-negara yang bersangkutan tidak membuat
perjanjian garis batas laut territorial berdasarkan metode yang bukan garis
tengah atau garis sama jarak, dan selama tidak terdapat keadaan khusus,
terutama hak historis, maka mereka dapat menerapkan metode garis
tengah atau sistem garis sama jarak dalam menetapkan delimitasi maritim
di laut teritorialnya.
Metode ‘median line’ ataupun ‘equidistant line’ samasekali tidak
disebutkan dalam ketentuan pasal 74 dan 83 KHL 1982 karena latar
belakang historis atau sejarah pembentukannya tak dapat dipisahkan dari
adanya kompromi antara dua pendekatan yang berbeda dan bertolak
belakang terkait dengan metode delimitasi maritim163. Metode delimitasi
untuk membangun garis batas landas kontinen yang mengalami duplikasi
atau ‘overlapping’ di antara ‘opposite states’ atau ‘adjacent states’
ditegaskan dalam pasal 6 Konvensi Geneva 1958 tentang Landas
Kontinen. Meskipun pada dasarnya Konvensi Geneva 1958 sudah tidak
berlaku sejak berlakunya KHL 1982, mengingat Konvensi yang disebut
terakhir harus lebih diutamakan daripada Konvensi terdahulu, tidak berarti
ketentuan-ketentuan Konvensi Geneva 1958, terutama pasal 6 tentang
163
Tidak disebutkannya kedua metode delimitasi maritime itu akibat terjadinya kompromi antardua pendekatan yang berbeda dan bertolak belakang dalam menetapkan delimitasi landas kontinen atau zona ekonomi eksklusif. Kedua pendekatan itu adalah ‘the equidistance-special circumstances approach’ dan ‘the equitable principles-relevant circumstances’. Liha Yoshifumi Tanaka, Predictability and Flexibility in the Law of Maritime Delimitation, 2006, Oxford and Portland, Oregon, Hart Publishing, Hlm.130-133.
173
metode delimitasi yang tidak terdapat dalam KHL 1982 tidak dapat
diterapkan dalam praktek negara-negara maupun dalam penyelesaian
sengketa melalui Mahkamah Internasional dan Arbitrasi Internasional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode delimitasi maritim
berdasarkan metode ‘median line’ maupun ‘equidistance line’ digunakan
dalam praktek negara-negara yang mengadakan perjanjian bilateral dalam
menetapkan garis batas maritim di bagian landas kontinen ataupun zona
ekonomi eksklusif antarnegara tetangga. Setidak-tidaknya terdapat hampir
300 perjanjian bilateral yang menetapkan garis batas maritim yang
didasarkan atas penerapan metode ‘equidistance line’ karena ketentuan
pasal 74 dan 83 KHL 1982 tidak melarang digunakannya metode seperti
ini dalam menetapkan garis batas maritim164. Malahan ketentuan artikel-
artikel ini tidak menghalangi negara-negara yang tersangkut sengketa
delimitasi maritim untuk menyelesaikannya melalui Mahkamah
Internasional ataupun Arbitrasi Internasional.
Hasil penelitian membuktikan bahwa ketika upaya negosiasi gagal
dan menemui jalan buntu, berbagai kasus delimitasi maritim, terutama
sengketa garis batas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif ataupun
zona perikanan diserahkan penyelesaiannya kepada ‘international court’
atau ‘international tribunal’.
O. Implementasi Azas-Azas Delimitasi Maritim
164
Ibid., Hlm. 129.
174
O.1. The North Sea Continental Shelf Cases 1969 (Federal Republic of
Germany / Denmark, The Netherlands).
Dengan adanya dua perjanjian khusus 2 Februari 1967 antara
Denmark dan Jerman Barat, serta antara Jerman Barat dan Netherlands,
maka para pihak meminta ICJ untuk menyatakan bahwa azas-azas dan
aturan-aturan hukum internasional berlaku pada delimitasi bagian-bagian
landas kontinen di Laut Utara yang dimiliki masing-masing Negara di luar
sebagian garis batas (the partial boundary) yang ditentukan oleh Konvensi
Geneva pada 9 Juni 1965165. Jadi Mahkamah tidak diminta untuk menarik
garis batas landas kontinen, tetapi harus ditetapkan sendiri oleh para
pihak. Lagi pula walaupun Denmark dan Netherlands adalah Negara-
negara peserta Konvensi Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen,
namun Jerman Barat bukan negara peserta.
Dengan mengeksaminasi pendirian Jerman Barat yang
menyatakan bahwa delimitasi yang dipermasalahkan harus dilakukan
menurut konsepsi bagian yang adil dan wajar (a just and equitable share),
Mahkamah menolak pendirian seperti itu. Kemudian Mahkamah
mengeksaminasi penerapan pasal 6 Konvensi mengenai Landas
Kontinen. Meskipun kasus itu sudah dikenal baik (well known), beberapa
argumentasi penting dari Mahkamah dapat dikemukakan sebagai berikut.
165
Enrico Milano, Unlawful Territorial Situations in International Law. Reconciling Effectiveness, Legality and Legitimacy, (Leiden. Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2007), Hlm. 35.
175
Mengenai hukum yang dapat digunakan pada delimitasi landas
kontinen, maka isu yang penting adalah pemberlakuan pasal 6 Konvensi
Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen pada Jerman Barat. Mahkamah
membicarakan masalah ini dari sudut perjanjian dan hukum kebiasaan.
Mengenai perjanjian, Mahkamah mencapai kesimpulan bahwa pasal 6
tidak dapat berlaku sebagai hukum perjanjian antara pihak-pihak yang
bersengketa, karena pihak Jerman Barat yang bukan Negara peserta
Konvensi terbukti tidak bermaksud untuk secara sepihak memikul
kewajiban yang ditentukan di dalam Konvensi. Sedang mengenai hukum
kebiasaan terkait masalah delimitasi, dapat dikemukakan sebagai berikut.
Isu pertama yang harus dikaji adalah aspek-aspek dari pasal 6
yang bersifat mendasar. Untuk membenarkan pasal 6 memiliki karakter
perintah atau kekuatan mengikat (the mandatory character), Denmark dan
Nederland mengatakan bahwa ‘the equidistance principle’ harus dilihat
sebagai pernyataan wajib dalam bidang delimitasi karena diterimanya
doktrin hak eksklusif atas landas kontinen bagi negara-negara pantai yang
berdekatan sehingga secara teoritis pendapat para ahli hukum tidak dapat
dielakkan (an apriori character of juristic inevitability). Sebagai ukuran
untuk menentukan kekuatan mengikatnya equidistance principle
berdasarkan diterimanya hak eksklusif negara-negara yang berdekatan
(as a test for such appurtenance), kedua kerajaan mengidentifikasi konsep
kedekatan (the concept of proximity), yang menurut mereka, mendasari
metode ‘equidistance’. Bagi Denmark dan Netherlands, semua bagian dari
176
suatu landas kontinen yang lebih dekat dengan salah satu Negara pantai
daripada yang lain akan menjadi pelengkap (appurtenant) bagi Negara
pantai yang bersangkutan. Oleh karena itu Denmark dan Netherlands
berpendapat delimitasi harus dilakukan dengan sebuah metode yang akan
menyerahkan kepada setiap negara dari negara-negara pantai yang
bersangkutan semua bagian yang paling dekat dengan pantainya sendiri.
Hanya garis yang ditarik berdasarkan azas ‘equidistance’ akan dapat
menyelesaikan hal seperti ini. Akan tetapi Mahkamah menolak argumen
ini, karena konsep kedekatan (the concept of proximity) bertentangan
dengan prinsip dasar mengenai kelanjutan alamiah (the fundamental rule
of natural prolongation). Dalam pandangan Mahkamah:166
whenever a given submarine area does not constitute a natural or the most natural extension of the land territory of a coastal State, even though that area may be closer to it than it is to the territory of any other State, it cannot be regarded as appertaining to that State. (kapan saja area tertentu di bawah permukaan laut tidak merupakan perluasan alamiah dari wilayah daratan Negara pantai, meskipun area tersebut mungkin lebih dekat dengan Negara itu dibandingkan dengan wilayah negara lain, maka area tersebut tidak dapat dianggap termasuk negara tersebut).
Selanjutnya :
as regards equidistance, it clearly cannot be identified with the notion of natural prolongation or extension, since […] the use of the equidistance method would frequently cause areas which are the natural prolongation or extension of the territory of one State to be attributed to another. (mengenai ‘equidistance’, hal ini jelas tidak dapat diidentifikasi dengan konsepsi kelanjutan atau perluasan alamiah, karena penggunaan metode ‘equidistance’ sering menyebabkan area yang merupakan kelanjutan atau perluasan alamiah wilayah salah satu Negara harus dihubungkan (to be attributed to) dengan negara lain).
166
Ibid, Hlm. 54.
177
Dengan kata lain, menurut Mahkamah, the equidistance method
seharusnya ditolak karena metode ini berbeda dengan natural
prolongation sebagai unsur yang memberikan hak hukum (legal title) atas
landas kontinen. Argumen ini sejalan dengan ditolaknya konsep bagian
adil dan patut (the concept of a just and equitable share).
Kedua, Mahkamah mengeksaminasi aspek-aspek hukum positif
dari pasal 6 dengan mempertanyakan : (i) apakah pasal 6 sudah
merupakan hukum kebiasaan (customary law) pada waktu berlakunya
Konvensi Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen, atau (ii) apakah
artikel itu sudah menjadi hukum kebiasaan melalui praktek negara yang
dilakukan di kemudian hari (subsequent State practice). Setelah
mengeksaminasi kedua pertanyaan ini, Mahkamah mengingkari dan
menolak sifat mengikat (mandatory character) dari pasal 6.
Mahkamah menyinggung penyimpangan (the distorting effects)
dari metode ‘equidistance’ dalam menentukan garis batas landas kontinen
Negara-negara yang pantainya saling berdampingan (lateral
delimitations). Menurut Mahkamah, oleh karena garis tengah (median line)
membagi secara berimbang (equally) antara kedua negara yang saling
berhadapan area yang dapat dianggap sebagai (as being) kelanjutan
alamiah wilayah masing-masing negara, maka garis sama jarak
antarnegara yang pantainya saling berdampingan (lateral equidistance
line) sering memberikan kepada salah satu dari negara-negara
178
bersangkutan area yang sebenarnya merupakan kelanjutan alamiah
wilayah negara lain.
Penyimpangan (the distorting effects) garis sama jarak antarnegara
yang saling berdampingan dengan kondisi konfigurasi pantai yang bersifat
istimewa sekalipun terhitung kecil di dalam batas-batas perairan territorial,
tetapi menghasilkan efek maksimal di tempat-tempat di mana area landas
kontinen yang utama terletak lebih jauh. Bagi Mahkamah, distorsi metode
‘equidistance’ adalah salah satu alasan penting untuk menolak
penggunaan metode ‘equidistance’ dalam menetapkan garis-garis batas
maritim (landas kontinen) antara negara-negara yang pantainya saling
berdampingan (lateral delimitations).
Argumen-argumen Mahkamah mengenai praktek Negara dan
opinio juris dalam proses pembentukan kebiasaan mesti dieksaminasi
atau dikaji. Mengenai negara-negara yang menjadi peserta Konvensi
Landas Kontinen, Mahkamah menyatakan bahwa dari legitimasi tindakan
mereka tidak dapat disimpulkan adanya kaidah hukum kebiasaan yang
menguntungkan the equidistance principle, karena negara-negara
tersebut agaknya sudah sementara melakukan tindakan nyata dan atau
berpotensi dalam menerapkan Konvensi. Jika pandangan seperti ini
benar, maka kita akan menghadapi suatu paradoks. Jika negara-negara
dengan jumlah yang cukup mengadopsi praktek yang dilakukan konsisten
dengan pendapat hukum yang sesuai (corresponding opinion juris),
hukum kebiasaan dapat tercipta dan akan mengikat Negara-negara lain.
179
Akan tetapi jika kelompok yang sama dari negara-negara itu menutup
sebuah perjanjian multilateral yang mengikuti (adhering) prinsip yang
sama, maka tidak akan ada kaidah kebiasaan, dan negara-negara lain
akan dapat meniadakan kaidah itu dengan bersandar pada azas pactum
tertiis nec nocet nec prodest. Rangkaian tindakan Negara-negara peserta
Konvensi adalah relevan dalam menguji kaidah kebiasaan, karena
tindakan-tindakan tersebut memperlihatkan praktek Negara yang
konsisten serta hadirnya opinio juris.
Di lain pihak, menyangkut Negara-negara yang bukan peserta
Konvensi, Mahkamah tidak melihat prinsip equidistance yang dipraktekkan
oleh negara-negara tersebut sebagai bukti adanya kebiasaan, karena
tidak ada bukti bahwa mereka bertindak sesuai dengan prinsip
equidistance atas dasar opinio juris. Dengan berbuat demikian,
Mahkamah menggunakan pendekatan yang kaku untuk mengevaluasi
opinio juris dalam penerapan metode equidistance. Akan tetapi
pendekatan kaku seperti itu mempunyai risiko, yaitu sulit terbentuknya
hukum kebiasaan melalui praktek perjanjian.
Ternyata beberapa hakim mencapai kesimpulan yang saling
bertentangan, dengan menegaskan karakter mengikat dari pasal 6 setelah
menguji praktek negara dan opinio juris. Misalnya, Hakim Tanaka
mengemukakan bahwa fakta di mana 46 negara sudah menandatangani
dan 39 negara sudah meratifikasi dan menyatakan aksesi pada Konvensi
Landas Kontinen, fakta tersebut sudah merupakan sebuah pencapaian
180
penting ke arah pengakuan hukum kebiasaan internasional mengenai
masalah landas kontinen. Hakim Lachs mengikuti garis argumentasi yang
sama, dengan menegaskan bahwa dari sudut jumlah maupun
keterwakilan, keikutsertaan di dalam Konvensi menjadi landasan kokoh
bagi pembentukan kaidah hukum umum. Wakil Presiden (Vice-President)
Koretsky serta Hakim adhoc Sorensen mencapai kesimpulan sama.
Perbedaan pandangan di antara Mayoritas (Majority) dan Pendapat
Berbeda (dissenting opinion) tampaknya terletak pada derajat fleksibilitas
untuk mengevaluasi praktek negara dan opinio juris.
Setelah menolak karakter mengikat dari metode ‘equidistance’,
maka mayoritas hakim memutuskan bahwa terdapat hukum yang dapat
diterapkan pada delimitasi landas kontinen selain daripada metode
‘equidistance’. Menurut pendapat Mahkamah, penolakan metode
‘equidistance’ sebagai kaidah hukum kebiasaan yang bersifat mengikat
tidak berarti bahwa tidak ada kaidah atau aturan. Kaidah itu adalah
‘equitable principles’ yang berlaku pada delimitasi tersebut. Menurut
Mahkamah, pembatasan (limitations) harus menjadi obyek persetujuan di
antara Negara-negara yang bersangkutan, dan persetujuan sedemikian
harus dicapai menurut equitable principles.
Mengenai dasar hukum dari equitable principles, maka dapat
dikemukakan bahwa ‘equitable principles’ harus berwujud kebiasaan
karena tidak terdapat ketentuan-ketentuan perjanjian yang mensyaratkan
prinsip-prinsip seperti ini. Akan tetapi masalah sesungguhnya adalah: dari
181
manakah hukum kebiasaan yang relevan dengan equitable principles
berasal167. Mengenai hal ini, Mahkamah bersandar pada Proklamasi
Truman yang menyatakan bahwa apabila landas kontinen Amerika Serikat
mencapai pantai negara lain atau terbagi dengan negara tetangga
(adjacent State), maka garis batas landas kontinen akan ditentukan oleh
Amerika Serikat dan Negara yang bersangkutan sesuai dengan equitable
principles.
Menurut Mahkamah, kedua unsur mengenai perjanjian dan
equitable principles melandasi seluruh sejarah hukum delimitasi yang
terjadi kemudian. Namun demikian, Mahkamah gagal mendapatkan
contoh-contoh yang memadai mengenai deklarasi Negara. Selanjutnya
karena proklamasi-proklamasi ini bersifat sepihak, maka hal ini tidak
membentuk praktek Negara dalam konteks delimitasi landas kontinen,
yang dilakukan di antara dua negara atau lebih. Lalu bagaimana
pernyataan yang dilakukan oleh negara-negara secara sepihak dapat
ditransformasikan menjadi hukum kebiasaan.
Pertanyaan seperti itu terbuka lebar. Di samping itu, walaupun
menganggap Proklamasi Truman sebagai titik awal (the starting point)
hukum positif mengenai dasar hukum equitable principles (on the subject)
dalam paragraf 47, Mahkamah memperhatikan hal ini ketika
mengemukakan kaidah-kaidah hukum dalam paragraph 86. Kedua
pandangan ini sulit diterima (hard to reconcile). Singkatnya, bertentangan
167
Ki Beom Lee, op.cit., Hlm 4 – 5.
182
dengan apa yang dilakukan ketika mengeksaminasi metode
‘equidistance’, Mahkamah tidak menerapkan kriteria dua unsur kebiasaan
secara kaku pada equitable principles. Ini adalah sebuah standar ganda.
Jika diterapkan kriteria kaku, maka agaknya diragukan apakah equitable
principles terbukti memiliki karakter hukum kebiasaan. Dengan demikian
sudah dapat disimpulkan bahwa dasar hukum untuk melihat equitable
principles sebagai hukum kebiasaan sangat tidak pasti.
Tentang substansi dari equitable principles dan penerapannya
dalam kasus sekarang, Mahkamah memutuskan bahwa :
‘Equity tidak perlu bermakna ‘equality’. Mengubah samasekali sifat dasar (nature) tidak pernah dipertanyakan, dan keadilan atau kepatutan (equity) tidak mensyaratkan bahwa sebuah Negara tanpa akses ke laut harus diberikan (allotted) suatu bagian landas kontinen, lebih besar daripada mempertanyakan mengenai mengubah situasi suatu Negara dengan garis pantai yang luas yang mirip dengan situasi suatu Negara dengan garis pantai yang terbatas. Persamaan (equality) harus diperhitungkan dalam taraf yang sama, dan hal itu bukanlah ketidaksamaan yang demikian wajar (natural inequalities) seperti ketidaksamaan yang dapat diperbaiki dan dikoreksi dengan keadilan (equity)’.168 Menurut Mahkamah, penggunaan metode equidistance dalam
kasus sekarang ini dapat menciptakan suatu ketidakadilan (inequity).
Meskipun seseorang menerima keberadaan ketidakadilan (inequity) dalam
perkara yang bersangkutan, timbul masalah: apakah yang. sebenarnya
merupakan metode untuk menerapkan prinsip-prinsip kepatutan dan
168
Equity does not necessarily imply equality. There can never be any question of completely refashioning nature, and equity does not require that a State without access to the sea should be allotted an area of continental shelf, any more than there could be a question of rendering the situation of a State with an extensive coastline similar to that of a State with a restricted coastline. Equality is to be reckoned within the same plane, and it is not such natural inequalities as these that equity could remedy. Lihat Yoshifumi Yoshifumi Tanaka, Predictability and Flexibility in the Law of Maritim Delimitation, (Oxford and Portland, Oregon: HART Publishing, 2006), Hlm. 58-59.
183
keadilan (equitable principles). Mengenai hal ini, Mahkamah menolak atau
mengabaikan eksistensi suatu metode delimitasi landas kontinen yang
sifatnya mengikat, dengan menegaskan bahwa tidak ada satu metode
delimitasi lain yang wajib digunakan dalam keadaan apapun (in all
circumstances) sehingga yang dicari bukan metode delimitasi, melainkan
tujuan.
Dalam melakukannya, Mahkamah semata-mata menyatakan faktor-
faktor yang harus diperhitungkan dalam suatu perundingan, tanpa
menyebut secara terperinci suatu metode konkret. Faktor-faktor seperti itu
adalah konfigurasi pantai para pihak secara umum, struktur fisik dan
geologis, sumber kekayaan alam, kesatuan lapisan atau deposit, dan
tingkat proporsionalitas yang wajar. Dalam hal ini, muncul salah satu
pendekatan menyangkut ‘equitable principles’, yaitu, menolak setiap
metode yang bersifat mengikat (obligatory method) dan menekankan
hasil. Sesuai dengan pendekatan ini, itulah tujuan yang seharusnya
ditekankan dan digarisbawahi, dan hukum tentang delimitasi maritim
seharusnya dibatasi hanya oleh tujuan seperti ini, yaitu tercapainya hasil
yang wajar (equitable results). Dalam pengertian ini, seseorang dapat
berbicara mengenai pendekatan keadilan yang berorientasi hasil (result-
oriented-equity), pendekatan ini mengikuti garis argumen yang sama
seperti model penyelesaian kasuistis (the case-by-case solution model).
Mengenai prinsip keadilan (equitable principles) yang dirumuskan
oleh Mahkamah, maka perlu menunjuk hal-hal berikut. Pertama, beberapa
184
hakim menggarisbawahi bahaya menggoncang sistem delimitasi landas
kontinen dengan memperkenalkan prinsip keadilan (equitable principles)
akibat kaburnya prinsip seperti itu. Misalnya Vice-President Koretsky
mempunyai perasaan khawatir mengenai prinsip keadilan, dengan
mengatakan bahwa:
‘Saya merasa bahwa memasukkan gagasan yang sedemikian kabur ke dalam teori hukum Mahkamah Internasional bisa membuka pintu untuk membuat penilaian subyektif dan kadang-kadang sewenang-wenang, daripada mengikuti pedoman azas-azas umum dan kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ditetapkan dalam penyelesaian sengketa yang diajukan kepada Mahkamah’. Judge Sorensen juga menyebutkan bahwa jika delimitasi harus
diatur dan ditentukan oleh prinsip keadilan semata-mata, maka akan
terjadi ketidakpastian hukum yang wajar. Dalam kenyataan, meskipun
dibedakan secara teoritis antara ‘equitable principles’ dan ‘mengadili
berdasarkan kepatutan dan keadilan (judging ex aequo et bono), ternyata
sulit membedakan kedua azas ini. Dengan demikian, ‘equitable principles’
akan memperkuat (severely amplify) bahaya subyektivitas yang
sayangnya sudah terbukti dalam kasus-kasus kemudian sekalipun dengan
mengesampingkan metode equidistance yang obyektif.
Kedua, karena tidak ada suatu metode delimitasi yang spesifik, jika
para pihak tidak mencapai persetujuan, maka ‘equitable principles’ tidak
dapat berbuat sesuatu, tetapi membuka kembali permasalahan. Dalam
kenyataan, para pihak tidak sepakat terhadap masalah itu juga mengenai
185
apakah yang merupakan delimitasi yang adil (equitable delimitation)
maupun mengenai bagaimana menetapkan garis delimitasi yang adil.
Ketiga, Mahkamah mendasarkan pendekatannya pada pemisahan
metode equidistance dari keadaan-keadaan khusus (special
circumstances). Dalam melakukan hal seperti ini, Mahkamah samasekali
mengabaikan peranan dari special circumstances, yang dapat
membenarkan penyimpangan dari garis-garis equidistance dengan tujuan
untuk mencapai hasil yang patut dan adil (equitable results). Namun,
karena pasal 6 terdiri dari tiga unsur agreement - equidistance - special
circumstances, Mahkamah seharusnya mempertimbangkan akibat-akibat
hukum yang ditimbulkan oleh ketiga unsur itu sebagai suatu kesatuan.
Mengenai hal ini, patut diperhatikan argumen dari Judge Ammoun, yang
menegaskan bahwa :
‘Konvensi Geneva tentang Landas Kontinen tidak menyimpang dari konsep keadilan (the notion of equity) dalam mengadopsi garis sama jarak (the equidistance line) yang disertai kondisi yang menunjukkan ‘special circumstances’. Sebagai penyelesaian yang didasarkan atas keadilan (equity), maka dapat digunakan kaidah ‘the equidistance-special circumstance’ dengan tujuan untuk menentukan batas-batas landas kontinen yang pantainya saling berdampingan seperti di antara para pihak bersengketa’. Akan tetapi Mahkamah tidak mengikuti jalan seperti ini, dengan
menolak menggabungkan metode ‘equidistance’ dengan ‘special
circumstances’.
O.2. Kasus Guyana v. Suriname
Kasus ini menyangkut sengketa delimitasi maritim antara Guyana
dan Suriname yang terletak di pantai timur laut Amerika Latin. Garis
186
pantainya berdampingan serta bertemu di muara Corentyne River.
Guyana memperoleh kemerdekaan dari Inggeris pada tahun 1966,
sementara Suriname adalah bekas jajahan Nederland dan mencapai
kemerdekaan pada tahun 1975169.
Garis perbatasan kedua Negara sudah mulai dilakukan sejak
zaman colonial, di mana pada tahun 1799 tercapai kesepakatan garis
batas darat dengan menyusuri tepi barat Corentyne River.
Ditempatkannya garis perbatasan di sepanjang tepi barat sungai itu dan
bukan di alur terdalam dari sungai tersebut dimaksudkan agar Nederland
dapat mengawasi lalu lintas di sungai itu. Pada 1936 sebuah komisi
gabungan (Mixed Boundary Commission) menetapkan ujung utara
perbatasan sebagai titik di tepi barat sungai Corentyne, dekat mulut
sungai, suatu titik yang disebut ‘Point 61 or the 1936 Point’. Di samping itu
anggota Komisi asal Inggeris dan Nederland berkesimpulan bahwa garis
yang disebut ‘the108 Line’ yang dihitung dari Point 61 seharusnya
ditetapkan sebagai garis batas laut territorial.
Setelah merdeka Guyana menganjurkan penggunaan metode
‘equidistance’ dalam menetapkan garis batas maritim, yang menghasilkan
sebuah garis yang mengikuti asimut N348E yang selanjutnya disebut ‘the
348 Line, sementara Suriname berpendirian bahwa garis batas maritim
harus mengikuti ‘the 108 Line’. Area yang diklaim secara ‘overlap’ sekitar
169
GAO Jianjun, Comments on Guyana versus. Suriname, 2009, http://chinesejil.oxfordjournals.org/at University Library Utrecht on November 19, 2012, Hlm.191.
187
31.600 km2. Pada 1989 masing-masing pihak sepakat untuk menetapkan
modalitas kerjasama pemanfaatan daerah perbatasan selama daerah
perbatasan belum tuntas. Selama garis batas maritim di antara kedua
Negara belum dapat diselesaikan secara tuntas, maka daerah ini harus
dapat dimanfaatkan oleh kedua negara secara bersama.
Selanjutnya Persetujuan 1989 menghasilkan Memorandum of
Understanding 1999 – Modalitas untuk memperlakukan daerah lepas
pantai yang ‘overlap’ antara Guyana dan Suriname, dimana MoU tahun
1999 ini menentukan bahwa wakil-wakil kedua Negara akan bertemu
dalam waktu 30 hari untuk membicarakan modalitas kerjasama
pemanfaatan daerah yang dipersengketakan. Akan tetapi MoU ini tidak
pernah diimplementasikan oleh Suriname, dan negosiasi ‘joint utilization’
tidak mengalami kemajuan sebelum dimulainya acara persidangan.
Selama periode itu Guyana menerbitkan beberapa konsesi
eksplorasi minyak di daerah yang disengketakan yang langsung
menimbulkan insiden CGX 2000170. Korporasi CGX Resources, sebuah
perusahaan Kanada, diberikan konsesi oleh Guyana pada 1998, dan
bagian timur perbatasan di daerah konsesi adalah ‘the 348 Line’. Pada
1999 perusahaan CGX mengadakan uji seismik yang harus dilaksanakan
di seluruh daerah konsesi, yang menyangkut pengeboran eksplorasi di
dasar laut, dan rencana pengeboran ini terdeteksi di Suriname.
170
Ibid, Hlm 192.
188
Pada tanggal 11 dan 31 Mei 2000, melalui saluran diplomatik pihak
Suriname menuntut agar Guyana menghentikan semua kegiatan
eksplorasi minyak di daerah yang dipersengketakan. Pada 31 Mei 2000
Suriname memerintahkan perusahaan CGX segera menghentikan segala
kegiatan di luar ‘the 108 Line’, tetapi sia-sia atau tidak berhasil. Pada 3
Juni 2000 dua kapal patroli Angkatan Laut Suriname mendekati peralatan
pengeboran minyak milik CGX dan kapal pengeboran, ‘the C.E. Thornton’
dan memerintahkan kapal-kapal yang sedang bertugas agar supaya
meninggalkan daerah sengketa dalam tenggang waktu 12 jam; jika tidak
mereka akan menanggung konsekuensinya. Para awak di atas kapal C.E.
Thornton melepaskan alat pembor minyak dari dasar laut dan menarik diri
dari daerah konsesi. Kapal-kapal Suriname mengikuti kapal C.E. Thornton
selama perjalanannya171.
Mengingat negosiasi diplomatik tidak mengalami kemajuan, maka
pada 24 Februari 2004 Guyana memulai acara persidangan arbitrasi
berdasarkan Annex VII dari KHL 1982 yang sudah diratifikasi oleh Guyana
pada 16 November 1993 dan Suriname pada 9 Juli 1998. Karena tidak
ada pihak yang membuat deklarasi sesuai pasal 287(1) Konvensi 1982
mengenai opsi atas prosedur yang bersifat memaksa, maka dengan
memanfaatkan pasal 287(3) para pihak dianggap sudah menerima
arbitrasi sesuai dengan Annex VII dari KHL 1982.
171
Ibid, Hlm. 192.
189
Di samping itu tidak ada pihak yang membuat deklarasi menurut
pasal 298 mengenai opsi pengecualian terhadap penerapan prosedur
memaksa yang ditetapkan dalam section 2 Bab XV. Patut dicatat bahwa,
terkecuali meminta Tribunal Arbitrasi (the Tribunal) untuk memutuskan
garis batas maritim sesuai dengan garis yang diklaim masing-masing
pihak – garis Suriname N108E yang bertentangan dengan garis Guyana
N348E, para pihak saling mengecam telah melanggar kewajibannya
berdasarkan pasal 74(3) dan 83(3) KHL 1982 karena tidak berupaya
membuat pengaturan sementara (provisional arrangement) yang bersifat
praktis selama delimitasi belum disepakati, dan karena membahayakan
atau menghalangi tercapainya persetujuan yang sifatnya final. Di samping
itu Guyana juga mengklaim bahwa Suriname bertanggungjawab secara
internasional atas pelanggaran kewajiban berdasarkan KHL 1982, Piagam
PBB, dan hukum internasional umum untuk menyelesaikan sengketa
dengan cara-cara damai akibat menggunakan kekuatan bersenjata (dalam
insiden CGX)…, dan Suriname berkewajiban membayar gantirugi. Setelah
selesai acara pemeriksaan perkara, the tribunal menyampaikan
putusannya pada 17 September 2007.
Mengenai delimitasi maritim, kedua belah pihak meminta Tribunal
untuk menetapkan sebuah garis batas maritim tunggal yang menentukan
garis batas laut territorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.
Tribunal membagi delimitasi menjadi tiga bagian : (i) delimitasi laut
190
territorial sampai 3 mil laut; (ii) delimitasi laut territorial antara 3 dan 12 mil
laut; (iii) delimitasi landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif.
Mengenai yang pertama, Tribunal pertama-tama mengamati kalau
pasal 15 mengutamakan ‘the median line’ sebagai garis delimitasi laut
territorial antara Negara-negara yang saling berhadapan atau
berdampingan172. Kemudian Tribunal mempertimbangkan apakah
pertimbangan navigasi yang dikemukakan oleh Suriname dapat
dikategorikan sebagai ‘a special circumstance’ yang membenarkan
penyimpangan terhadap pendekatan ‘median line’, yang ditentang oleh
Guyana.
Ada dua terusan di Corentyne River : terusan yang dalam lebih
dekat pada tepi timur sungai itu (sisi Suriname) dan terusan yang dangkal
lebih dekat pada tepi barat sungai itu (sisi Guyana). Walaupun navigasi
atau pelayaran ke dalam sungai Corentyne yang berasal dari arah laut
(seaward) lazimnya ada di terusan timur, namun setidak-tidaknya pada
1940 terdapat sarana navigasi untuk membantu lintas pelayaran melalui
terusan barat. Dengan mengeksaminasi sejarah pembentukan pasal 12(1)
dari the 1958 Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone,
di mana teks pasal 15 KHL 1982 sebenarnya identik dengan pasal 12 (1)
Konvensi 1958, yurisprudensi internasional menyangkut ruang lingkup
172
“Where the coasts of two States are opposite or adjacent to each other, neither of the two States is entitled, failing agreement between them to the contrary, to extend its territorial sea beyond the median line every point of which is equidistant from the nearest points on the baselines from which the breadth of the territorial seas of each of the two States is measured. The above provision does not apply, however, where it is necessary by reason of historic title or other special circumstances to delimit the territorial seas of the two States in a way which is at variance therewith”.
191
‘special circumstances’173dan kepentingan navigasi dianggap sebagai
suatu ‘special circumstance’174, Tribunal berkesimpulan bahwa keadaan
khusus menyangkut kepentingan navigasi dapat membenarkan untuk
melakukan penyimpangan terhadap ‘median line’.
Kemudian Tribunal mempertimbangkan fakta-fakta sebagai berikut
: Negara pendahulu para pihak menyepakati garis delimitasi N10oE
dengan alasan bahwa seluruh sungai Corentyne adalah wilayah Suriname
dan bahwa ‘the 10o Line’ menyediakan akses yang tepat melalui laut
territorial Suriname menuju ke terusan barat sungai itu; Suriname
mengajukan bukti adanya kegiatan navigasi di terusan barat, oleh karena
itu praktek kegiatan navigasi di terusan barat telah terbukti, tidak hanya
sesuatu yang bersifat hipotetis; Guyana sendiri mengakui garis yang
disebut N10oE line sejauh tiga mil laut. Berdasarkan faktor-faktor tersebut,
173
These precedents include: UK/French Continental Shelf Arbitration, where the arbitral court observed that Art. 6 of 1958 Convention on the Continental Shelf “neither defines ‘special circumstances’ nor lays down the criterion by which it is to be assessed whether any given circumstances justify a boundary line other than the equidistance line”(Case concerning the Delimitation of the Continental Shelf between the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, and the French Republic, Decision of 30 June 1977, in 18 ILM 397 (1979), para. 70); the Libya/Malta case, where the ICJ found that there is “assuredly no closed list of considerations”(Libya/Malta, Judgment, ICJ Reports 1985, 13, para. 48); the Jan Mayen case, where the ICJ stated that it was “called upon to examine every particular factor of the case which might suggest an adjustment or shifting of” the provisional equidistant line (Jan Mayen, Judgment, ICJ Reports 1993, 38, para. 54).
174 See Guyana v. Suriname, Award, above n.2, paras 304–305. Notably, in the
Beagle Channel Arbitration, the tribunal stated that it had been guided “in particular by mixed factors of appurtenance, coastal configuration, equidistance, and also of convenience, navigability, and the desirability of enabling each Party so far as possible to navigate in its own waters. None of this has resulted in much deviation from the strict median line, except. . . near Gable Island where the habitually used navigable track has been followed”. Dispute between Argentina and Chile concerning the Beagle Channel, Decision of 18 February 1977, in 17 ILM 634 (1978), para. 110. 194 Chinese JIL (2009).
192
Tribunal menyatakan bahwa ‘the 10o Line’ ditetapkan di antara para pihak
mulai dari titik awal sampai batas 3 mil laut.
Mengenai garis perbatasan dari 3 hingga 12 mil laut, Guyana dan
Suriname memperluas lebar laut territorial dari 3 ke 12 mil laut, masing-
masing pada tahun 1977 dan 1978, maka masalahnya adalah apakah
garis 10o dengan sendirinya harus diperluas dari batas 3 mil ke 12 mil laut.
Mahkamah mengamati perluasan garis yang otomatis akan cepat
mengakibatkan tidak relevannya lagi ‘special circumstances’ mengenai
navigasi dan pengawasannya, tetapi bukti kepentingan Suriname dalam
hal navigasi yang meluas di luar 3 mil laut mempunyai konsekuensi.
Menurut Suriname, yang tidak memperluas garis 10o di luar batas 3 mil
laut akan menyebabkan laut territorial Guyana melilit batas utara laut
territorial Suriname sehingga mengesampingkan maksud dan tujuan
utama dipilihnya garis 10o......
Dengan mengingat keadaan khusus, the Tribunal membuat suatu
garis yang berlanjut dari titik ke arah laut dari garis N10oE pada 3 mil laut,
dan ditarik secara diagonal….Dalam keputusan Tribunal, garis ini
mencegah persilangan mendadak terhadap daerah akses ke sungai
Corentyne, dan mengajukan transisi bertahap dari titik 3 mil laut hingga 12
mil laut. Mahkamah juga menjamin garis itu menguntungkan bagi
tercapainya tujuan navigasi.
Mengenai delimitasi zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen,
Tribunal melihat bahwa ‘the case law’ yang diciptakan oleh Mahkamah
193
Internasional dan yurisprudensi dari arbitrasi maupun praktek negara
sependapat dalam menyatakan bahwa proses delimitasi, dalam kasus-
kasus yang tepat (in appropriate cases), seharusnya menggunakan garis
sama jarak yang bersifat sementara (provisional equidistance line) yang
dapat disesuaikan dipandang dari sudut ‘relevant circumstances’ demi
tercapainya sebuah ‘equitable solution’.
Dalam kasus ini Mahkamah akan mengikuti metode seperti . Patut
dicatat meskipun Guyana dan Suriname tidak beranggapan bahwa ‘the
provisional equidistance line’ menggambarkan delimitasi yang ‘equitable’
sebagaimana disyaratkan oleh hukum internasional, menurut Tribunal
tidak ada keadaan relevan yang mengharuskan penyesuaian terhadap
‘the provisional equidistance line’ . Di satu sisi, konfigurasi geografis garis
pantai yang relevan tidak menggambarkan suatu ‘çircumstance’ yang
dapat membenarkan penyesuaian atau perubahan garis sama jarak yang
bersifat sementara agar dapat mencapai ‘equitable solution’; di lain pihak
tidak terdapat persetujuan tegas atau diam-diam di antara para pihak
menyangkut praktek mereka tentang konsesi minyak dan sumur minyak;
oleh karena itu praktek para pihak soal minyak tidak dapat diperhitungkan
dalam delimitasi garis batas maritim.
Mahkamah Internasional melihat dalam ‘the Cameroon/Nigeria
case’ konsesi minyak dan sumur-sumur minyak tidak dengan sendirinya
dianggap sebagai relevant circumstances yang membenarkan
penyesuaian atau perubahan garis delimitasi. Hanya jika keadaan-
194
keadaan itu didasarkan atas persetujuan yang dinyatakan dengan tegas
ataupun diam-diam antara para pihak, keadaan-keadaan seperti itu dapat
diperhitungkan.175. Sepanjang menyangkut penggunaan ‘strict equidistant
line’ untuk menentukan satu-satunya garis batas maritim di luar batas 12
mil laut, putusan Tribunal tidak dapat dipermasalahkan.
Sebagaimana dikemukakan oleh ahli independen yang ditunjuk
oleh Guyana bahwa tidak adanya bentuk-bentuk alamiah lepas pantai,
seperti pulau atau elevasi surut yang mempengaruhi penarikan garis
sama jarak ini merupakan kenyataan geografis penting dalam kasus ini.
Tidak ada pula ‘special circumstances’ berupa jazirah dari salah satu garis
pantai yang amat mengganggu bagian dari ‘equidistant line’ sehingga
perbandingan soal panjang garis pantai Guyana dan Suriname cukup
proporsional.
O.3. Kasus Delimitasi Maritim di Laut Hitam (Rumania v. Ukraina)
Keputusan Mahkamah Internasional di Den Haag pada 3 Februari
2009 mengakui yurisdiksi dan hak-hak berdaulat Rumania terhadap 79%
dari 12.200 km2 landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif yang
dipersengketakan oleh Rumania dan Ukraina. Keputusan ICJ mengikuti
garis delimitasi (delimitation line) yang secara tegas ditentukan dengan
koordinat geografis antara zona yurisdiksi eksklusif Rumania dan Ukraina
di Laut Hitam (the Black Sea). Sejak putusan tersebut kedua Negara
mempunyai hak penuh untuk membuka akses sumber daya ekonomi di
175
Cameroon/ Nigeria Judgement, ICJ Reports 2002, 303, para.304
195
zona tersebut. Keputusan ICJ bersifat final, mengikat dan tidak dapat
dibanding. Kedua negara terikat untuk mematuhi keputusan itu, yang
dapat segera dijalankan, tidak memerlukan persetujuan bilateral, tidak
memerlukan interpretasi terhadap keputusan atau tindakan tambahan176.
Sebenarnya delimitasi dataran kontinen (continental plateau) dan
zona ekonomi eksklusif di sektor utara dari tepian barat Black Sea sudah
lama dirundingkan antara Rumania dan Uni Soviet (USSR), tetapi kedua
Negara tidak dapat mencapai kesepakatan. Setelah USSR bubar,
masalah delimitasi maritim diselesaikan antara Rumania dan Ukraina.
Rumania menghendaki penyelesaian delimitasi menurut praktek Negara-
negara dan yurisprudensi peradilan internasional, sementara pihak
Ukraina menghendaki suatu metode yang tidak berdasar yang dapat
menimbulkan hasil yang tidak adil (unfair result).
Karena tidak ada kemajuan dalam negosiasi bilateral, maka
berdasarkan perjanjian 1997177 Rumania memohon kepada Mahkamah
Internasional di Den Haag agar sengketa delimitasi maritim di Laut Hitam
diselesaikan. Rumania juga memohon agar Mahkamah menetapkan satu
176
Nugzar Dundua, Delimitation of Maritime Boundaries between Adjacent States, (United Nations – The Nippon Foundation Fellow, 2006 – 2007, Hlm.43
177 On June 2, 1997 was signed at Constanta, the Treaty on good neighborly
relations and cooperation between Romania and Ukraine (the basic political treaty). Also on this occasion, was signed the Related basic political treaty, concluded by exchange of letters between the Foreign Ministers of both countries. Additional Agreement to the basic Political Treaty contains provisions concerning the obligation of the parties to begin negotiations to conclude a treaty on the state border regime and an agreement for the delimitation of the continental plateau and exclusive economic zones of Romania and Ukraine in the Black Sea. However, this document includes an arbitration clause which establishes the possibility for either party unilaterally to bring the International Court of Justice in The Hague to resolve maritim boundary areas. (Electronic copy available at: http://ssrn.com/abstract=1797403).
196
macam garis maritim (a single maritime delimitation line) yang digunakan
sebagai garis delimitasi landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif.
Putusan ICJ membuat suatu garis pembagian (a dividing line), yang
ditetapkan secara teliti dengan koordinat geografis di antara daerah
yurisdiksi eksklusif Rumania dan Ukraina di Laut Hitam. Garis batas
pemisah (the line of demarcation) ditarik menurut metode berdasarkan
hukum internasional, yang dikembangkan oleh Mahkamah Internasional
dalam mengadili kasus-kasus seperti itu. Dengan menyelesaikan
sengketa kedua negara (the competing claims) atas landas kontinen dan
zona ekonomi eksklusif di the Northwest Basin of the Black Sea adalah
merupakan kemenangan bagi hukum internasional. Kasus ini menjadi
sebuah contoh penyelesaian terbaik atas masalah delimitasi maritim
dalam hubungan internasional.
Putusan Mahkamah Internasional dibagi ke dalam tiga tahap, suatu
struktur yang umumnya diadopsi dalam kasus-kasus delimitasi maritim.
Tahap pertama terdiri dari penarikan garis pemisah yang sifatnya
sementara (a provisional line of demarcation), Mahkamah
mempertimbangkan isu utama, yaitu pemilihan titik-titik dasar pada pantai
kedua negara. Mengenai pantai Ukraina, tanpa memperhitungkan pulau
yang dinamakan the Serpent Island, maka sebagai titik dasar (basis point)
digunakan Tiganca Island, Cape Tarhankut, Cape Khersones. Mengenai
pantai Rumania, Mahkamah menerima jazirah Sacalin Peninsula sebagai
suatu base point, dengan menyatakan bahwa jazirah itu adalah bagian
197
daratan dan bagian dari garis pantai continental Rumania dan bentuk
geomorfologisnya serta bangunan berpasir tidak dapat mempengaruhi
setiap elemen geografi fisik yang relevan dengan delimitasi maritim178.
Pada tahap kedua, setelah menggunakan the provisional
equidistance line, Mahkamah menguji luasnya garis seperti itu (the
provisional equidistance line) yang ditarik menurut metode geometric, titik-
titik pangkal (basic points) yang teridentifikasi pada pantai kedua Negara
dapat dilihat dari sudut keadaan-keadaan kasus tersebut, terlihat seperti
tidak wajar (unfair). Dalam hubungan ini Mahkamah menghilangkan atau
mengurangi secara silih berganti klaim para pihak dalam hubungan
dengan keadaan-keadaan seperti itu, termasuk pulau ‘Snake Island’ (yang
menjadi fokus perdebatan kedua belah pihak, baik selama fase
pemeriksaan tertulis maupun lisan).
Akhirnya pada tahap ketiga, Mahkamah mengeksaminasi apakah
sebuah garis (provisional equidistance line), apabila ini ditarik, tidak
menyebabkan timbulnya hasil yang tidak adil (unfair results) karena ratio
panjangnya garis pantai kedua pihak dan ratio daerah laut yang relevan
bagi masing-masing pihak sama sekali tidak seimbang (manifest
disproportion), dengan mengacu kepada garis pemisah. Dalam
putusannya, setelah memperhatikan tidak terdapat ketidakseimbangan
(disproportion) antara daerah-daerah maritim, dibandingkan dengan ratio
panjangnya garis pantai Rumania dan Ukraina, maka Mahkamah
178
Irini Papanicolopulu, A Note on Maritime Delimitation in a Multizonal Context : The Case of the Mediterranean, Ocean Development & International Law 38, 2007, Hlm.383
198
menyatakan bahwa ‘the equidistance line’ yang telah diuraikannya pada
tahap pertama tidak memerlukan perubahan tambahan. Meskipun kasus
ini relatif sederhana (a traditional maritime delimitation dispute), putusan
itu mengandung sejumlah penjelasan yang sangat bermanfaat, khususnya
titik-titik dasar dan pernyataan kokoh tentang relatif pentingnya azas
keseimbangan (proportionality) dalam delimitasi maritim179.
Patut diketahui bahwa putusan Mahkamah merupakan suatu
penolakan terhadap pendekatan Ukraine Carlos, yang berfokus pada
proporsionalitas daerah-daerah maritim, yang didasarkan pada perbedaan
panjang antara pantai kedua Negara dan alasannya kebanyakan berfokus
pada apa yang dianggap keunggulan geografi Ukraina (geographic
predominance) di tepian barat laut dari Laut Hitam. Karena kuat dan
jelasnya rumusan keputusan Mahkamah dan juga putusan itu diberikan
sebagai satu kesatuan (in Unity), maka semua hakim menahan diri untuk
merumuskan pernyataan ataupun pendapat terpisah (separate opinion),
kami yakin dan percaya bahwa keputusan ICJ dalam kasus delimitasi
maritim Laut Hitam (Rumania v. Ukraina) adalah suatu putusan yang fair.
O.4. Perjanjian Laut Barents (the Barents Sea Treaty)
Berdasarkan perjanjian, Rusia dan Norwegia telah menetapkan
satu macam garis delimitasi (a single delimitation line) untuk zona
ekonomi eksklusif dan landas kontinen di dalam 200 mil laut dari pantai
dan sebuah garis delimitasi di antara landas kontinen Norwegia dan Rusia
179
Ibid, Hlm. 384
199
di mana landas kontinen ini melampaui batas 200 mil laut.180 The United
Nations Commission on the Limits of the Continental Shelf’ berkesimpulan
bahwa dasar laut di luar 200 mil di Laut Barents berada di batas luar
landas kontinen sebagaimana ditentukan dalam pasal 76 dari KHL 1982.
Sesuai dengan joint statement April 2010, garis delimitasi
didasarkan atas hukum internasional demi tercapainya an equitable
solution. Kedua belah pihak selanjutnya menegaskan bahwa mereka telah
menerapkan relevant factors identified in this regard in international law,
yang menunjukkan luasnya hukum kasus delimitasi garis batas maritim.
Akan tetapi joint statement meliputi beberapa referensi prinsip-prinsip
spesifik atau pernyataan normatif yang telah dikembangkan oleh
pengadilan internasional dan tribunal arbitrasi. Satu-satunya faktor relevan
yang dikemukakan adalah besarnya pengaruh disparitas dalam hal
panjang garis pantai masing-masing.
Secara khusus patut dicatat bahwa dalam joint statement tidak
ditunjuk mengenai median line atau equidistance line atau the sector line.
Digunakannya rumusan yang kurang deskriptif relevant factors dari pada
konsep baku tentang relevant or special circumstances dapat
menimbulkan kesan kalau proses delimitasi sudah berbeda dari apa yang
digunakan dalam keputusan pihak ketiga akhir-akhir ini. Di samping
hukum internasional, kedua pihak sudah memperhitungkan kemajuan
180
Tore Henriksen, Maritime Delimitation in the Arctic: Barents Sea Treaty, (Norway: Ocean Development and International Law, 42, 2011 Taylor and Francis Group, LLC), Hlm. 1.
200
yang dicapai selama perundingan yang berlangsung lama di antara para
pihak. Rumusan seperti ini juga terkesan bahwa faktor-faktor non hukum
dapat menjadi relevan dan dapat dipertimbangkan dalam menetapkan
garis delimitasi yang bersifat final.
Baik berdasarkan Konvensi Geneva 1958 tentang Landas
Kontinen maupun Konvensi Hukum Laut 1982 negara-negara pantai dapat
menyepakati bagaimana sengketa delimitasi maritim seharusnya
diselesaikan. Tidak mengherankan para pihak dalam sengketa Laut
Barents mengacu pada hukum internasional ketika mereka mengadakan
negosiasi dan pernyataan bersama pada tahun 2010 maupun mukadimah
perjanjian delimitasi. Untuk mengidentifikasi hukum yang berlaku dan
menilai sejauh mana hukum internasional dapat mempengaruhi hasil
negosiasi delimitasi maritim di Laut Barents, maka pada awal negosiasi di
tahun 1970-an hukum yang berlaku adalah pasal 6 Konvensi Geneva
1958, yang kemudian diganti dengan pasal 74 dan 83 Konvensi Hukum
Laut 1982, di mana kedua artikel ini identik rumusannya.
The delimitation of the exclusive economic zone (continental shelf) between States with opposite or adjacent coasts shall be effected by agreement on the basis of international law, as referred to in article 38 of the Statute of the International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution. Disebutkannya dalam artikel-artikel tersebut sumber-sumber hukum
internasional dan kepatutan (the sources of international law and equity)
mengandung arti, tidak adanya kriteria obyektif untuk menentukan garis
batas maritim terhadap zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Hal
201
ini dilatarbelakangi tidak adanya kesepakatan multilateral selama
berlangsungnya perundingan antara mereka yang mendukung ‘median
line (equidistance line)’ sebagai azas utama dan mereka yang
menyatakan delimitasi seharusnya diatur dengan ‘equitable principles’.
Sebenarnya artikel 74 dan 83 mengamanatkan agar Mahkamah
Internasional dan tribunal arbitrasi mengembangkan hukum internasional
dalam bidang delimitasi. Dalam kasus antara Barbados dan Trinidad dan
Tobago pada 2006, tribunal arbitrasi dalam mempersiapkan hukum yang
berlaku menyatakan mengenai ketentuan-ketentuan tersebut bahwa
dalam masalah yang berkembang begitu signifikan setelah 60 tahun
terakhir, maka hukum kebiasaan, bersama putusan pengadilan dan
arbitrasi, juga memiliki peranan tertentu yang membantu membentuk
pertimbangan-pertimbangan yang berlaku pada setiap proses delimitasi.
Metode yang diterapkan dalam delimitasi maritim oleh pengadilan
dan tribunal internasional sudah menjadi spesifik di tahun-tahun terakhir.
Delimitasi dijalankan dalam dua tahap, pertama, menarik ‘equidistance
line’ yang sifatnya sementara berdasarkan garis pantai yang relevan dan,
kedua, mengidentifikasi relevant circumstances yang memerlukan
penyesuaian (adjustment). Seperti dinyatakan oleh Mahkamah
Internasional dalam the Romania v. Ukraine Case, maka fungsi dari
relevant circumstances, untuk memverifikasi bahwa equidistance line yang
bersifat sementara tidak dipersepsi sebagai tidak wajar (inequitable)
202
ditinjau dari sudut keadaan khusus dari suatu kasus 181. Dengan demikian
‘case law’ yang mutakhir memperkuat status dari ‘equidistance principle’.
Selanjutnya, sebagaimana dicatat oleh tribunal arbitrasi dalam the
Barbados v. Trinidad and Tobago Case, maka the relevant circumstances
semakin dikaitkan dengan pertimbangan-pertimbangan geografis karena
dalam penentuan garis tunggal (a single line) untuk landas kontinen dan
zona ekonomi eksklusif keadaan geografis dipersepsikan sebagai sesuatu
yang murni (neutral) dibandingkan dengan keadaan geologis dan yang
terkait dengan sumber daya. Pengadilan dan tribunal internasional
memiliki keleluasaan tertentu untuk membatasi dan menimbang keadaan
seperti itu di dalam seluruh persyaratan untuk mencapai suatu ‘equitable
solution’ dalam kasus tertentu.
Tahap atau langkah ketiga digunakan dalam the Romania and
Ukraine Case, yang mengharuskan pengadilan menilai apakah garis yang
muncul dari tahap satu dan dua menimbulkan hasil tidak wajar
(inequitable result) akibat ketidakseimbangan (marked disproportion)
antara ratio panjangnya masing-masing pantai dan ratio bagian laut yang
relevan dari masing-masing Negara. Langkah ini yang kembali
mempertimbangkan proporsionalitas tampaknya semakin memperkuat
kriteria geografis dalam delimitasi maritim.
Keadaan yang mungkin relevan atau khusus dapat dibagi ke dalam
dua kelompok : geographical dan non-geographical. Kehadiran dan
181 Tore Henriksen, Maritim Delimitation in the Arctic, (Oslo: Taylor & Francis
Group LLC, Ocean Development & International Law 42, 2011), Hlm. 4
203
keberadaan pulau-pulau dapat menjadi suatu ‘relevant geographical
circumstance’ di mana pulau kecil tidak diperhitungkan atau sama sekali
tidak berpengaruh karena pulau-pulau itu dapat mengakibatkan
ketidaksepadanan terhadap garis delimitasi.
Keadaan relevan lain adalah situasi di mana konfigurasi pantai
yang relevan dapat mengganggu atau memotong. Keadaan nongeografis
yang relevan dapat mencakup berbagai macam faktor ekonomi. Akan
tetapi Mahkamah Internasional sudah menolak disparitas kemakmuran di
antara negara-negara sebagai relevant circumstance.
Mahkamah dan tribunal arbitrasi enggan mempertimbangkan
keberadaan dan lokasi sumber daya alam di daerah yang
dipersengketakan (disputed areas) sebagai suatu relevant circumstance,
tetapi dalam the Jan Mayen Case, Mahkamah Internasional menganggap
akses perikanan capelin sebagai suatu relevant circumstance. Namun
dalam Romania v. Ukraine Case tahun 2009, dengan merujuk pada
keputusan Gulf of Maine Case tahun 1984 Mahkamah berkesimpulan
bahwa tidak terdapat bukti bahwa diadopsinya median line membawa
malapetaka bagi kehidupan dan kesejahteraan ekonomi penduduk.
Keadaan lain yang mungkin relevan adalah keamanan (security).
Akan tetapi apabila daerah yang dipersengketakan berada jauh dari garis
pantai para pihak. Akhirnya keadaan geografis mencakup
ketidaksepadanan (disproportion) antara panjangnya pantai, meskipun
tidak setiap ketidakseimbangan (disproportion) akan memenuhi syarat
204
sebagai keadaan geografi yang relevan. Dalam kasus Cameroon v.
Nigeri’, Mahkamah menyatakan bahwa perbedaan substansial dalam hal
panjangnya garis pantai masing-masing pihak dapat dikualifikasi sebagai
suatu ‘relevant circumstance’.
O.5. Jan Mayen Case
Denmark dan Norwegia mencoba merundingkan garis perbatasan
maritim (the maritime boundary) antara Greenland (Denmark) dan Pulau
Jan Mayen (Norwegia). Ketika upaya kedua negara mengalami
kegagalan, Denmark mengajukan permohonan kepada Mahkamah
Internasional untuk menentukan perbatasan di daerah itu. Mahkamah
menjalankan yurisdiksinya atas dasar yurisdiksi memaksa (compulsory
jurisdiction).
Denmark mengklaim garis batas maritim tunggal (a single maritime
boundary) di dalam daerah yang bertepatan dengan batas 200 mil laut
yang ditarik dari garis pantai Greenland (lihat peta).182 Tepat di daerah
antardua teritori, garis tersebut praktis 50 mil sampai pada garis pantai
Jan Mayen. Norwegia menyatakan kalau garis-garis batas maritim antara
zona perikanan dan landas kontinen dari kedua teritori adalah equidistant
line (line AKLD). Garis tersebut jaraknya sama dengan masing-masing
teritori. Perbatasan (the boundary) yang ditetapkan oleh Mahkamah
ditemukan di antara garis yang diklaim oleh para pihak.
182
Jonathan I. Charney, Maritime Delimitation in the Area between Greenland and Jan Mayen (Den. v. Norway), The American Journal of International Law, Vol.88, No.1 (January 1994), Published by American Society of International Law, Stable URL : http://www.jstor. Org/stable/2204026. Accessed : 15/11/2012
205
Jan Mayen adalah sebuah pulau kecil di Atlantik Utara yang
berlokasi sekitar 250 mil laut sebelah timur Greenland dan 350 mil laut
sebelah utara Islandia. Greenland, yang merupakan daratan dengan
ukuran tertentu penduduknya jarang di pantai timur. Jan Mayen tidak
memiliki penduduk asli atau perekonomian. Daerah laut terpencil dan
ganas di antara Jan Mayen dan Greenland sering tertutup es. Satu-
satunya perikanan komersial di daerah itu terkait ikan capelin, ikan kecil
dalam kelompok kecil. Kapal-kapal yang berasal dari pelabuhan jauh,
beberapa di antaranya adalah kapal asing mengeksploitasi ikan-ikan
semacam itu selama musim panas. Sumber kekayaan dasar laut yang
dapat dieksploitasi secara komersial tidak dikenal.
Dalam melakukan pendekatan terhadap masalah delimitasi,
Mahkamah mengadopsi untuk sementara equidistant line, tetapi
Mahkamah cepat menolaknya atas dasar perbedaan substansial dalam
hal panjangnya garis pantai Greenland yang relevan (504.3 - 524 km
antara titik G dan H) dan Jan Mayen (54.8 - 57.8 km antara titik E dan F).
Perbedaan seperti ini dikenal sebagai suatu keadaan khusus (special
circumstance) dan suatu keadaan relevan (relevant circumstance) yang
secara nyata dapat menimbulkan hasil yang tidak layak (manifestly
inequitable result) jika digunakan the equidistant line. Keadaan seperti itu
mengharuskan adanya penyesuaian the equidistant line ke arah Pulau
206
Jan Mayen yang menguntungkan Greenland sehingga menimbulkan hasil
yang wajar (equitable result)183.
Mahkamah membangun garis perbatasan dengan membagi
daerah itu di antara garis-garis yang diklaim para pihak menjadi tiga zona.
Zona 1 diperkirakan sebagai daerah penangkapan ikan capelin yang
bersifat komersial. Daerah itu dibagi setengah yang memberikan kepada
kedua Negara akses perikanan yang seimbang (line MN). Konfigurasi
zona 2 dan 3 mencerminkan klaim para pihak dari aspek geometri. Garis
(AO) yang membagi zona 3 menghubungkan ujung garis (A) hingga titik di
sisi seberang (IK) jaraknya dua pertiga ke arah Greenland (O). Zona 2
dibagi dengan menghubungkan ujung garis pembagi zona 1 dan 3 (garis
ON).
Mahkamah membenarkan garis perbatasan di zona 2 dan 3 (garis
AON) dengan mengemukakan persyaratan ‘equity’. Para hakim
mengajukan banyak deklarasi dan pendapat terpisah (separate opinion),
tetapi hanya Hakim ad hoc Fischer (Denmark) yang mengajukan pendapat
berbeda. Keputusan ini sesuai dengan pertimbangan dan putusan
internasional yang menetapkan batas-batas maritim internasional.
Keputusan ini mempertimbangkan beberapa persoalan baru dan bukan
persoalan yang telah diselesaikan sebelumnya.
Untuk pertama kalinya dalam perkara garis batas maritim, yurisdiksi
Mahkamah dilakukan berdasarkan yurisdiksi memaksa (compulsory
183
Ibid, Hlm. 107.
207
jurisdiction). Walaupun tidak menentang yurisdiksi Mahkamah, Norwegia
menyatakan bahwa tidak adanya kesepakatan mengenai hukum garis
batas maritim yang dapat diterapkan, maka berdasarkan hukum
internasional umum para pihak harus menyelesaikannya melalui
perjanjian sehingga Mahkamah tidak berwenang menetapkan garis batas
maritim.
Kemungkinan lain, Norwegia menyatakan bahwa tidak adanya
kesepakatan para pihak, maka Mahkamah tidak dapat menetapkan garis
batas maritim; Mahkamah hanya dapat menunjukkan secara umum
pertimbangan-pertimbangan yang relevan yang seharusnya
diperhitungkan para pihak dalam merundingkan garis perbatasan. Akan
tetapi Mahkamah menolak alasan-alasan Norwegia dan memutuskan
bahwa hukum internasional yang berlaku menghendaki para pihak
menggunakan semua upaya hukum dalam menyelesaikan perbatasan.
Jika upaya tersebut gagal, maka aturan untuk menentukan garis
perbatasan ditetapkan dengan hukum internasional yang bersifat
substantif. Persetujuan para pihak bukanlah syarat bagi Mahkamah untuk
memutuskan garis perbatasan, meskipun Mahkamah dapat menyerahkan
kepada mereka untuk menyelesaikan masalah-masalah kecil yang bersifat
teknis. Mahkamah juga menolak klaim Norwegia bahwa dalam artikel 1
perjanjian terdahulu, Norwegia dan Denmark sepakat kalau seluruh garis
batas landas kontinen adalah garis sama jarak (equidistant line).
208
Dengan menerapkan aturan interpretasi dalam the Vienna
Convention on the Law of Treaties, Mahkamah menguji artikel 2 dari
perjanjian tersebut, yang menerangkan secara terperinci garis batas
landas kontinen antara daratan utama (mainland) kedua Negara.
Berdasarkan eksaminasi ini serta perjanjian dan praktek yang kemudian
dilakukan oleh para pihak, maka Mahkamah memutuskan perjanjian itu
tidak menyinggung perbatasan maritim Greenland dan Jan Mayen.
Norwegia juga menyatakan kalau tindakan bersama para pihak
sebelum berperkara di pengadilan telah membuktikan dan menetapkan
‘equidistant line’ sebagai garis perbatasan. Kedua Negara menggunakan
‘equidistant line’ antarwilayah untuk beberapa tujuan di daerah lepas
pantai. Mahkamah menganalisis keadaan-keadaan seperti itu dan
memutuskan bahwa Denmark telah menggunakan ‘equidistant line’ guna
menghindari semakin memburuknya konflik dengan Norwegia.
Tindakannya tidak berada dalam konteks (represent) perjanjian baik yang
bersifat aktual ataupun diam-diam, ataupun berhenti memastikan garis
perbatasan di equidistant line.
Dalam keputusan itu, Mahkamah menguji relevansi azas the
equidistance/special circumstances yang diatur dalam Konvensi Geneva
1958 mengenai Landas Kontinen dan praktek yang kini lazim dalam
menetapkan satu macam garis batas maritim (a single maritime boundary)
yang mempunyai banyak fungsi. Denmark menganjurkan satu macam
garis batas maritim untuk zona perikanan dan landas kontinen para pihak.
209
Norwegia menganjurkan pemisahan masing-masing zona (separate
analyses) meskipun pada akhirnya garis-garis perbatasan itu mungkin
bertepatan (coincident).
Mahkamah menerima pendirian Norwegia dan mengaku
menggunakan analisis tersendiri (separate analyses). Mahkamah
memutuskan bahwa a single maritime boundary dapat ditetapkan hanya
jika para pihak setuju. Meskipun ini kesimpulan hukum, Mahkamah
membuat analisis yang sama mengenai garis batas landas kontinen dan
zona perikanan. Garis batas yang diadopsi adalah garis batas yang
bertepatan.
Baik Norwegia maupun Denmark adalah peserta Konvensi Geneva
1958 mengenai Landas Kontinen yang dapat diterapkan pada garis batas
landas kontinen. Dengan demikian Mahkamah harus menerapkan azas
‘the equidistance / special circumstances pada aspek delimitasi tersebut.
Dalam analisisnya Mahkamah berpedoman pada kesimpulan Mahkamah
Arbitrasi dalam the Anglo-French case yang menyatakan aturan Konvensi
Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen dapat disamakan dengan azas
hukum internasional umum yang mensyaratkan hasil yang wajar
(equitable result) yang didasarkan atas ‘equitable principles’. Dengan
demikian analisis hukum untuk landas kontinen dan zona perikanan harus
sama.
Selanjutnya, Mahkamah membagi secara wajar perikanan capelin
di zona 1 (garis MN) untuk menempatkan tidak hanya batas zona
210
perikanan tetapi juga batas landas kontinen, meskipun ikan yang ada di
perairan (superjacent waters) tidak mempengaruhi hak-hak Negara pantai
atas landas kontinen. Tetapi ternyata tidak perlu dalam hukum garis batas
maritim yang bertepatan tampaknya menjadi garis batas maritim tunggal
(a single maritim boundary) yang ditetapkan atas dasar satu analisis.
Mahkamah menghadapi lagi permasalahan tentang peranan the
equidistant line. Kasus ini menyangkut garis batas maritim antara garis-
garis pantai yang saling berhadap-hadapan. Dengan mengikuti putusan-
putusan terdahulu, Mahkamah dengan mudah mengadopsi equidistant
line sebagai garis batas yang bersifat sementara (the provisional
boundary), (garis AKLD), kemudian memodifikasinya dengan
mempertimbangkan keadaan relevan lain.
Meskipun Jan Mayen sangat kecil dibandingkan dengan Greenland
baik dalam hal luas daratan maupun garis pantai, Mahkamah
memutuskan bahwa garis pantai pulau kecil ini berhak atas zona-zona
maritim sepenuhnya. Di sisi lain dalam menghadapi garis pantai
Greenland yang luas yang haknya tumpang tindih, delimitasi zona-zona
maritim mengharuskan pulau Jan Mayen tidak menerima hak-hak seperti
itu. Meskipun Denmark menetapkan bahwa perbedaan panjang garis
pantai membentuk keadaan khusus/ keadaan relevan yang membenarkan
penyimpangan terhadap equidistance, Denmark tidak berhasil dalam
mengklaim batas 200 mil laut sepenuhnya.
211
Kemudian Mahkamah membagi daerah yang relevan, tetapi hal ini
tidak terkait dengan perbandingan panjang garis pantai. Mahkamah
kurang mengutamakan Denmark karena pulau Jan Mayen diberi sebagian
daerah (yang terletak) di antara batas 200 mil laut yang ditarik dari
Greenland (garis AIJB) dan ‘the equidistant line’ (garis AKLD). Suatu
delimitasi yang memberi hak penuh kepada satu Negara dan hanya
memberikan sisanya kepada yang lain dianggap tidak tepat
(inappropriate) ketika garis pantai kedua Negara berhadapan di daerah
itu.
Daerah maritim yang diukur oleh Mahkamah guna mengkalkulasi
perbandingannya dengan garis pantai adalah unik. Mahkamah tidak
mengukur porsi seluruh daerah yang relevan yang diperuntukkan bagi
masing-masing Negara, tetapi agaknya mengkalkulasi ratio untuk daerah
antara klaim kedua negara. Denmark: line AIJB; Norwegia: line AKLD
yang dibagi dengan garis batas yang dibangun oleh Mahkamah (line
AONM).
Seperti di masa lalu, Mahkamah menolak pertimbangan sosial
ekonomi karena tidak relevan. Akan tetapi Mahkamah membagi zona 1
guna memberikan akses perikanan capelin yang wajar (equitable access).
Tindakan ini bisa dibedakan dari tindakan yang mengakui pertimbangan
sosial ekonomi, dengan alasan bahwa tindakan ini semata-mata membagi
suatu kekayaan alam. Untuk melaksanakan pembagian tersebut,
Mahkamah mengidentifikasi daerah dengan nilai komersial terbaik dan
212
mempertimbangkan pola-pola migrasi ikan seperti itu. Mahkamah juga
meneliti apakah akses perikanan itu terhalang akibat aliran es, tetapi
menyatakan es itu tidak bermasalah selama musim penangkapan ikan.
Akhirnya para pihak mengemukakan argumen berbasis analisis
mengenai penyelesaian garis batas maritim lain, dengan alasan bahwa
penyelesaian ini secara langsung berkaitan erat dengan sengketa fakta
atau hukum. Denmark secara khusus bersandar pada penentuan garis
batas antara Islandia dan Norwegia, yang mengalokasikan batas 200 mil
laut sepenuhnya bagi Islandia, dengan hanya menyerahkan sisa 106 mil
laut bagi Norwegia (Jan Mayen). Denmark especially relied upon the
Iceland/Norway delimitation, which allocated the full 200-nautical-mile limit
to Iceland, leaving only the remaining 106 nautical miles for Norway (Jan
Mayen).
Mahkamah menolak semua argumen itu dengan alasan bahwa
setiap kasus adalah unik dan bahwa pengaruh pertimbangan politik
terhadap suatu cara penyelesaian membuatnya tidak pantas pada kasus-
kasus lain. Walaupun ternyata suatu Negara menyetujui suatu metode
penetapan beberapa garis batas maritim, namun tidak berarti metode ini
harus digunakan di tempat lain.
Deklarasi dan pendapat terpisah anggota-anggota Mahkamah
menyinggung berbagai isu. Selain pendapat berbeda dari Hakim ad hoc
Fischer, dua hakim lain mengambil posisi yang menyerang keputusan itu.
Hakim Oda dan Schwebel, dengan cara tersendiri, menemukan apa yang
213
diberikan oleh Mahkamah mengenai hukum dan penerapannya pada
fakta-fakta adalah sedemikian lemah sehingga garis-garis perbatasan
yang jumlahnya tidak terbatas dapat dibenarkan. Karena garis yang dibuat
oleh Mahkamah adalah tidak terbatas, maka banyak hakim yang tidak
setuju. Hakim Weeramantry mengemukakan separate opinion yang
substansial hingga memberi penjelasan menarik mengenai equity,
peranan equity dalam hukum secara umum dan dalam hukum delimitasi
garis batas maritim secara khusus. Hakim Shahabuddeen menyatakan
kecamannya terhadap apa yang dilakukan oleh Mahkamah yang
menggabungkan azas the equidistance/ special circumstances dan
hukum garis batas maritim internasional yang bersifat umum, dan
penerapan azas proportionality. Hakim Evensen, Mawdsley dan Ajibola
juga mengajukan separate opinion.
Berangkat dari kasus the Jan Mayen pada tahun 1993, ICJ kurang
lebih membahas pengertian equitable principles. Alasannya adalah bahwa
berdasarkan kesimpulan Mahkamah terkait delimitasi landas kontinen di
antara negara-negara yang saling berhadapan (opposite states), azas
Equidistance-Special Circumstances yang dirumuskan dalam pasal 6
Konvensi Geneva 1958 mengenai landas kontinen secara materiil tidak
berbeda dari azas Equitable Principles-Relevant Circumstances yang ada
dalam hukum kebiasaan internasional.
Selanjutnya ICJ memadukan kedua azas menyangkut delimitasi
zona ekonomi eksklusif dengan menyatakan bahwa pernyataan mengenai
214
suatu equitable solution sebagai tujuan dari setiap proses delimitasi
mencerminkan syarat hukum kebiasaan apabila berkaitan dengan suatu
delimitasi landas kontinen maupun zona ekonomi eksklusif. Dengan
demikian mengingat kasus-kasus yang pertama kali muncul (the earlier
cases) seperti the North Sea Continental shelf cases menolak karakter
atau kekuatan mengikat dari metode equidistance dan mencoba
mengklarifikasi arti dari equitable principles, maka perkara Jan Mayen
tahun 1993 bermaksud mengesampingkan perbedaan substansial antara
kedua azas tersebut, dan membenarkan digunakannya metode
equidistance yang bersifat sementara (provisional)184.
P. Zona Kerjasama Pengembangan (Joint Development Zone)
Sengketa garis batas maritim bukanlah sebuah fenomena baru,
dan tampaknya sengketa itu sudah merata menyusul perluasan wilayah
maritim yang tunduk di bawah yurisdiksi nasional setelah berlakunya KHL
1982. Dalam banyak kasus penerapan ketentuan-ketentuan Konvensi
mengakibatkan laut territorial, zona ekonomi eksklusif atau landas
kontinen dari Negara-negara yang saling berhadapan atau berdampingan
dapat tumpang tindih baik secara nyata ataupun potensial (actual or
potential overlaps).
Apabila hal seperti itu terjadi, maka Negara-negara yang
bersangkutan perlu mencapai persetujuan mengenai batas zona-zona
maritim secara timbal balik, jika mungkin, melalui negosiasi. Apabila
184
Ki Beom Lee, op.cit, Hlm.9.
215
Negara-negara tidak sanggup mencapai kesepakatan dengan cara
negosiasi, maka pada umumnya mereka mencoba untuk menyelesaikan
perbedaannya melalui mekanisme penyelesaian oleh pihak ketiga yang
mereka pilih. Dengan demikian, meskipun umumnya sengketa garis
perbatasan harus diselesaikan dengan persetujuan para pihak, beberapa
Negara masih menganggap perlu, dan bahkan ada kalanya
menguntungkan dari segi politis, untuk menggunakan prosedur
penyelesaian oleh pihak ketiga terkait sengketa garis batas maritim, entah
melalui institusi peradilan yang ada atau melalui arbitrasi ad hoc.
Meskipun ternyata tak satu pihak pun dalam sengketa seperti itu dapat
memperoleh segala yang dikehendakinya melalui proses seperti itu.
Menurut seorang pengamat, dalam banyak kasus, zona yang
dipersengketaka harus dibagi secara agak berimbang (equally) dengan
menggunakan serangkaian data geodetika yang didasarkan atas
beberapa konstruksi geometris. Sesungguhnya dia mempertanyakan
apakah ada alasan jelas dan senantiasa konsisten dalam hukum
delimitasi maritim sebagaimana terdapat dalam Konvensi atau keputusan
ICJ dan tribunal lainnya.
Mengenai konsep kelanjutan alamiah (natural prolongation) yang
umumnya dikemukakan sebagai dasar untuk menetapkan batas-batas
216
landas kontinen, maka dia menyatakan kekagumannya melalui sajak
sebagai berikut185 :
Natural prolongation once solved a wrangle, But now when nations entangle, We find that the Court doesn’t do what it ought but relies on a dissected angles’. (kelanjutan alamiah pernah menyelesaikan persengketaan, tetapi kini ketika Negara-negara terlibat dalam perkara hukum atau persengketaan, kita menemukan bahwa Mahkamah tidak melakukan apa yang harus dilakukannya tetapi bersandar pada sudut yang terpotong). Saya percaya bahwa banyak negara mempunyai kesimpulan sama
ketika mereka membahas putusan pengadilan dan tribunal soal delimitasi
maritim. Apabila hal itu memang demikian, masih banyak negara
menganggap bermanfaat mencari penyelesaian lewat peradilan atas
sengketa garis batas maritim, meskipun negara-negara lain mengadopsi
metode yang berbeda dalam menangani atau menyelesaikan
sengketanya. Akan tetapi metode apapun yang diadopsi, para pemerintah
perlu mengingat tidak hanya bahwa mereka mempunyai kewajiban
berdasarkan hukum internasional untuk menyelesaikan sengketanya
dengan cara damai, tetapi juga bahwa mereka berkepentingan untuk
mencari solusi yang menguntungkan negara dan bangsanya, tidak hanya
dalam jangka pendek, tetapi juga dan terutama dalam jangka panjang.186
Untunglah meskipun beberapa sengketa garis perbatasan di darat
secara potensial dapat menimbulkan emosi, sebagian besar sengketa
185
Thomas A. Mensah, Joint Development Zones as an Alternative Dispute Settlement Approach in Maritime Boundary Delimitation, dalam Rainer Lagoni and Daniel Vignes, Maritime Delimitation, (Leiden/ Boston,Martinus Nijhoff Publishers, 2006), Hlm. 146 – 148.
186 Thomas A. Mensah, ‘Joint Develeopment Zones as an Alternative Dispute
Settlement Approach in Maritim Boundary Delimitation’, within Rainer Lagoni and Daniel Vignes, ‘Maritim Delimitation’, 2006, Martinus Nijhoff Publishers, Hlm. 147-151.
217
garis batas maritim ternyata dapat diselesaikan oleh Negara-negara yang
bersangkutan dengan reaksi kecil dan tidak besar. Karena banyak Negara
rupanya mengakui hal seperti itu, meskipun perbedaan mengenai garis
batas maritim menghadirkan persoalan, perbedaan (atau persengketaan)
seperti ini juga menghadirkan kesempatan yang baik (opportunities).
Untuk satu hal, penyelesaian secara damai terhadap sengketa garis
perbatasan dapat membuka kesempatan besar untuk dapat hidup
berdampingan secara damai (peaceful co-existence) dan dalam beberapa
kasus, untuk dapat bekerjasama secara konstruktif (constructive co-
operation) di bagian-bagian yang lazimnya tertutup jika hubungan di
antara negara-negara yang bersangkutan terus diracuni oleh sengketa
garis batas maritim.
Namun lebih penting lagi, mengidentifikasi sebuah sengketa dapat
memberi insentif yang kuat dalam menetapkan pengaturan kerjasama di
antara Negara-negara yang terlibat dalam sengketa tersebut. Dengan
demikian dalam banyak kasus atau masalah, sengketa penetapan garis
batas (dapat) diselesaikan dengan relatif mudah, baik karena salah satu
pihak setuju membuat beberapa konsesi atau karena semua pihak yang
terlibat rela membuat kompromi satu sama lain (mutual compromises)
agar supaya dapat menghilangkan atau mengurangi perbedaan-
perbedaan di antara mereka. Petunjuk seperti ini menganjurkan agar
kecenderungan seperti ini dapat berlanjut di masa mendatang.
218
Dengan meningkatnya jumlah kasus, kompromi tersebut meliputi
penetapan zona kerjasama pengembangan atau pengaturan yang serupa
atas bagian yang dipersengketakan. Terutama inilah yang dapat terjadi
ketika sumber kekayaan alam yang telah teridentifikasi menyebar
(straddle) di daerah yang disengketakan. Dalam hal seperti ini kerjasama
itu dapat berbentuk ‘joint development zone’, yang mencakup seluruh atau
sebagian dari daerah yang dipersengketakan (disputed area). Di dalam
zona seperti ini Negara-negara yang bersangkutan akan memiliki hak-hak
serta tanggungjawab maupun menikmati manfaat dan keuntungan
(benefits) sesuai dengan pengaturan dan kriteria yang telah disepakati di
antara mereka.
Konsep joint development zones untuk melakukan eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya alam di bagian laut yang dipersengketakan timbul
pada paruh kedua tahun 1950-an. Setelah awalnya diragukan, konsep itu
semakin lama semakin dapat diterima sebagai pendekatan konstruktif
untuk menghadapi sengketa yang sulit menyangkut klaim maritim yang
tumpang tindih.
Meskipun konsep joint development sudah terkenal pada saat ini
dan digunakan secara luas oleh negara-negara, tidak ada kesepakatan
bulat di kalangan para ahli hukum internasional mengenai definisi atau
ciri-ciri esensial dari joint development. Misalnya beberapa sarjana
mencoba membedakan di satu pihak usaha menyatukan sumber daya
yang terbagi (unitization of shared resources) yang mereka gambarkan
219
sebagai sebuah pengaturan (arrangement), yang berdasarkan pengaturan
ini satu-satunya sumber kekayaan yang mampu melintasi garis batas
internasional lalu dikembangkan atas dasar persetujuan tanpa menunjuk
garis batas seperti itu dan, di pihak lain apa yang dinamakan joint
development yang mereka definisikan sebagai rezim yang
mengesampingkan sengketa garis batas secara keseluruhan, yang
dengan demikian menciptakan suasana pengembangan yang ambigu
mengenai kerjasama yang bersifat politis sejak awal. Komentator lain
mengemukakan pandangan yang berbeda.
Demikian seorang penulis beranggapan bahwa penyatuan sumber
daya alam (unitization of resources) dan zona kerjasama pengembangan
(joint development zones) adalah dua tipe dari konsep yang sama.
Menurut penulis tersebut, ada dua tipe dari skema joint development :
yang satu adalah tipe dalam mana delimitasi maritim dikesampingkan dan
tipe yang lain adalah rezim joint development disertai dengan garis batas
yang telah ditentukan. Hal ini mirip dengan pendekatan Professor Rainer
Lagoni yang mendefinisikan joint development sebagai kerjasama
antarnegara yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi deposit
tertentu, akumulasi sumber daya non hayati yang melintasi suatu garis
batas atau terletak di bagian dengan klaim tumpang tindih.
Definisi serupa yang bersifat menyeluruh dapat ditemukan dalam
laporan dari the British Institute of International and Comparative Law
yang menyatakan bahwa joint development adalah suatu persetujuan
220
antara dua negara untuk mengembangkan seperti untuk membagi secara
bersama-sama di bagian yang disepakati dengan membuat kerjasama
antarnegara dan peraturan nasional, (membagi secara bersama-sama)
minyak dan gas bumi lepas pantai di dalam zona yang sudah ditentukan di
dasar laut dan tanah di bawahnya dari landas kontinen yang dalam hukum
internasional menjadi hak dari kedua negara peserta ataupun hak dari
masing-masing negara peserta.
Tidak ada maksud untuk mencoba menyelesaikan perbedaan
menyangkut ciri-ciri utama dari joint development zones atau untuk
menjelaskan prosedur yang dipakai untuk merundingkan dan mengelola
perbedaan itu. Tidak akan masuk ke dalam kontroversi mengenai apakah
joint development wajar diterapkan hanya pada eksploitasi sumber daya
alam non hayati atau mungkin juga dapat diterapkan pada rencana
kerjasama eksploitasi sumber daya hayati. Inilah isu-isu menarik yang
tidak diragukan, tetapi tidak akan diuraikan. Tujuannya terbatas, yaitu
memberi perhatian pada joint development zones sebagai salah satu cara
bagi Negara-negara untuk menghadapi permasalahan sulit mengenai
delimitasi maritim.
Sebagaimana telah dikemukakan, joint development zones
ditetapkan baik karena para pihak mengetahui sulit atau mustahil
menyepakati garis batas tunggal di antara mereka atau karena sumber
kekayaan alam mengangkang dan menyebar (straddle) di luar garis batas
yang telah disepakati sedemikian rupa sehingga sumber kekayaan alam
221
yang dapat dieksploitasi secara efektif dan wajar oleh masing-masing
Negara yang mengerjakan sendiri tidak mudah dilaksanakan.
Sebaliknya, negara-negara yang bertikai (contending States)
kemungkinan besar sepakat untuk membentuk dan menetapkan joint
development zone di mana sumber daya alam yang dapat dieksploitasi
sebenarnya telah diidentifikasi di bagian yang disengketakan. Dalam hal
seperti ini, bagi Negara-negara yang bersangkutan biasanya sudah jelas
bahwa demi kepentingan mereka secara individual dan secara bersama
sehingga sumber daya alam itu harus dieksploitasi secepat mungkin.
Tentu saja hal seperti ini memberikan insentif dan dorongan sangat
kuat bagi mereka untuk menyetujui kriteria mengenai zona kerjasama
(joint zone) karena alternatifnya adalah proses litigasi yang memakan
waktu lama serta biaya mahal yang selama proses ini tidak akan aman
ataupun setiap pihak harus menyampaikan pemberitahuan ketika
melakukan langkah apapun guna mengeksploitasi sumber daya alam.
Di samping itu pembentukan zona kerjasama seperti itu dan
kerjasama praktis yang meliputi pengelolaan zona tersebut, dalam banyak
kasus dapat memperkuat hubungan persahabatan yang ada di antara
Negara-negara tersebut atau, setidak-tidaknya, membantu mengurangi
ketegangan di antara mereka, tidak saja dalam hubungan dengan
sengketa tertentu tetapi mungkin di bidang-bidang lain. Ternyata
keuntungan khusus dari zona kerjasama ditegaskan dalam Mukadimah
pada the 1979 Joint Zone Agreement between Malaysia and Thailand .
222
Joint development zone memiliki bentuk yang berbeda-beda, dan
diimplementasikan ke dalam berbagai persetujuan administratif. Misalnya
para pihak boleh memperjanjikan bahwa salah satu negara harus memiliki
kedaulatan formal atas daerah itu (the area), sementara negara lain
menerima bagi hasil (a share of the revenue). Inilah pola yang diikuti oleh
Bahrain dan Saudi Arabia dalam persetujuan tahun 1958.
Pendekatan lain adalah membagi zona kerjasama di antara
Negara-negara yang bersangkutan, sebagaimana dilakukan dalam hal
zona kerjasama Islandia-Norwegia. Zona ini dibagi ke dalam sektor utara
dan selatan, disertai peraturan Norwegia yang berlaku di sektor utara dan
peraturan Islandia yang berlaku di sektor selatan. Perjanjian itu
menentukan bahwa masing-masing Negara berhak atas 25% dari aktivitas
produksi minyak yang terjadi di bagian zona yang diatur pihak lain.
Di antara kutub-kutub ekstrim ini, terdapat berbagai bentuk
menengah, dengan rencana/ persetujuan administratif yang bergeser dari
agak sederhana ke sangat rumit. Misalnya, perjanjian 1976 antara
Norwegia dan Kerajaan Inggris menentukan dan mengatur bahwa kedua
Negara, dalam berkonsultasi dengan pemegang izin (licensee) yang
beroperasi di dalam masing-masing bagian yurisdiksinya, (kedua Negara)
akan menyusun sebuah persetujuan untuk mengeksploitasi deposit
hidrokarbon yang berada (straddled) di garis batas landas kontinennya,
yang sebelumnya telah diperbaiki dengan suatu persetujuan di antara
kedua negara pada 1965.
223
Meskipun perjanjian khusus ini tidak mutlak membentuk dan
menetapkan zona kerja sama pengembangan, perjanjian ini
mencerminkan dasar pemikiran (the basic rationale) mengenai konsep the
joint development zone karena perjanjian ini berbicara mengenai tujuan
dasar dibalik pembentukan ‘joint development zones’ yang dapat memberi
jalan untuk mengeksploitasi sumber daya yang dipersengketakan dengan
cara yang efisien, layak dan saling menguntungkan bagi Negara-negara
yang bersangkutan. Contoh-contoh lain mengenai skema joint
development adalah yang ditetapkan antara Australia dan Indonesia
(1989); antara Malaysia dan Vietnam (1992); antara Perancis dan Spanyol
di Teluk Biscay 1974); antara Jepang dan Republik Korea dan antara
Senegal dan Guinea Bissau (1993).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, terlihat bahwa gagasan
tentang joint development zones kini terbukti sebagai salah satu jalan atau
kesempatan (avenue) yang dapat digunakan oleh negara-negara untuk
memecahkan dan menyelesaikan perbedaan dan perselisihan
menyangkut delimitasi garis batas maritim. Konsep seperti itu harus
banyak menghargai adanya perbedaan tersebut. Untuk satu hal, konsep
joint development zones potensial membantu negara-negara yang
bersengketa tidak hanya untuk menyelesaikan sengketa tertentu terhadap
garis batas, tetapi juga untuk memperbaiki hubungan mereka secara tepat
di mana mereka sanggup merenungkan kerjasama dan kolaborasi di
224
bagian-bagian yang jika sebaliknya tidak mungkin melakukannya karena
sengketa garis perbatasan.
Untuk yang lain, skema ‘joint development’ mungkin sekali dapat
meningkatkan dan mempermudah sinergi dengan menggabungkan
sumber daya manusia, keahlian, wawasan dan pengaruh dari Negara-
negara yang berpartisipasi dengan cara yang tidak akan mungkin bagi
masing-masing Negara secara individual. Di samping itu joint
development schemes lebih memungkinkan negara-negara yang
bersangkutan untuk mendapatkan bantuan teknis dan bantuan lainnya
guna mengeksploitasi dan mengelola secara efisien sumber daya alam
yang dipermasalahkan.
Terutama bagi negara-negara berkembang. penangguhan atau
penghentian sengketa hak atas sumber daya alam mungkin sekali dapat
mempermudah para pihak untuk menarik para investor dengan syarat
pendanaan dan kemampuan mengeksploitasi sumber daya alam, dan hal
itu juga memperbaiki kemampuan mereka mengamankan dukungan dan
bantuan dari badan (agency) nasional dan internasional, baik dalam
berunding dengan investor asing maupun juga dalam membentuk atau
menetapkan mekanisme eksplorasi dan eksploitasi yang tepat atas
sumber daya alam dengan cara paling efisien dan ekonomis.
Akhirnya joint development zones bisa dilihat sebagai satu cara
yang dapat dipakai negara-negara untuk mengimplementasikan
ketentuan-ketentuan dan semangat dari ketentuan-ketentuan KHL 1982
225
berkaitan dengan delimitasi garis batas maritim. Sesungguhnya patut
ditegaskan bahwa Konvensi itu mempertimbangkan bahwa dalam hal-hal
yang diperlukan Negara-negara akan menggunakan pengaturan joint
development, meskipun hal ini tidak dinyatakan dengan tegas.
Baik pasal 74, yang mengatur delimitasi di zona ekonomi eksklusif,
maupun pasall 83 mengenai delimitasi untuk landas kontinen (continental
shelf state), masing-masing dalam paragraf 3, menetapkan bahwa selama
belum tercapai persetujuan (pending agreement) mengenai delimitasi
berdasarkan hukum internasional, maka dengan semangat saling
pengertian serta kerjasama mereka harus berupaya mengadakan
pengaturan yang bersifat sementara yang sifatnya praktis. Selama masa
transisi, negara-negara diwajibkan untuk tidak membahayakan atau
menghalangi tercapainya solusi akhir. Akhirnya ketentuan itu menyatakan
bahwa pengaturan seperti itu tidak boleh mengurangi delimitasi yang
bersifat final.
Secara tepat inilah yang sebenarnya ingin dilakukan oleh banyak
Negara dalam hal-hal tersebut apabila mereka tidak sanggup mencapai
persetujuan delimitasi yang final dan definitif. Sesungguhnya, dalam
beberapa kasus, seperti dalam perjanjian antara Jepang dan Republik
Korea, para pihak telah sepakat menjalankan ‘joint development zones’
serta membekukan ketidaksepakatan mengenai delimitasi untuk selama
50 tahun, kecuali para pihak menyepakati waktu yang lebih singkat
(shorter duration).
226
Bagaimanapun (in all such cases), negara-negara dengan
sendirinya memanfaatkan sarana baru ini (new device) supaya
mendapatkan waktu dan ruang untuk menyelesaikan perbedaan dan
pertentangan, tetapi tidak boleh tidak mampu menyepakati suatu garis
batas untuk mencegah pertentangan itu tidak menguntungkan dari segi
sumber daya alam yang bermasalah ataupun untuk memperkeruh
hubungan mereka di daerah lain, apabila mungkin ada kesempatan untuk
melakukan kerjasama produktif serta saling menguntungkan secara timbal
balik.
Maka itu tidak salah dikatakan bahwa, dalam menetapkan dan
menjalankan joint development zones, apa yang dilakukan oleh Negara-
negara tidak lain daripada menggunakan pendekatan yang semakin
mewujudkan salah satu tujuan Konvensi sebagaimana dinyatakan dalam
Mukadimahnya, yaitu, untuk menegakkan ketertiban hukum (legal order)
di laut dan samudera, yang antara lain akan meningkatkan penggunaan
laut dan samudera untuk maksud-maksud damai dan pemanfaatan
sumber dayanya secara patut dan adil serta efisien (promote the peaceful
uses of the seas and oceans and the equitable and efficient utilizations of
its resources).
Dalam rangka memberi perhatian terhadap serta menggarisbawahi
kebaikan dan kegunaan dari joint development zones sebagai cara
alternative yang menarik .dalam menyelesaikan sengketa mengenai
delimitasi maritim, bagaimanapun kita tidak berusaha untuk mengurangi
227
peranan badan peradilan internasional yang penting, yang sungguh
krusial, dan terutama sekali Tribunal Hukum Laut Internasional (the
International Tribunal for the Law of the Sea) serta prosedur penyelesaian
sengketa lainnya yang dinyatakan dalam pasal 287 Konvensi, dalam
penyelesaian sengketa seperti itu.
Seperti diketahui sebelumnya, terdapat beberapa sengketa
delimitasi yang karena satu alasan atau lainnya, tidak dapat diselesaikan
melalui perjanjian di antara negara-negara yang bersangkutan. Apabila
hal ini terjadi, maka dapat diharapkan negara-negara yang terlibat harus
memperhatikan dengan sepatutnya fakta bahwa Tribunal ini dibentuk atau
ditetapkan oleh Konvensi hanya untuk tujuan itu saja dan bahwa tribunal
itu diperlengkapi dengan fasilitas, kompetensi professional serta
kelembagaan untuk membantu negara-negara menyelesaikan perbedaan
atau pertentangannya.
Namun harus juga dicatat dan diakui bahwa dalam beberapa
kasus, para pihak sanggup memutuskan untuk menyelesaikan
sengketanya dengan melakukan perundingan atau, apabila gagal, mereka
dapat membuat persetujuan untuk membentuk ‘joint development zones’
sebagai sebuah persetujuan sementara yang bersifat praktis, sambil
menantikan kesempatan yang lebih menguntungkan bagi penuntasan
sengketa delimitasi maritime. Apabila hal ini terjadi, maka kita seharusnya
tidak merasa kecewa kalau sengketa itu tidak diselesaikan melalui badan
peradilan (judicial settlement).
228
Untuk tribunal seperti ITLOS (International Tribunal for the Law of
the Sea), maka apa yang penting bukanlah proporsi dari sengketa seperti
itu yang akan diserahkan, meskipun kita tentu saja berharap bahwa
kasus-kasus dengan ukuran besar yang perlu diselesaikan dengan
keputusan pihak ketiga akan diserahkan kepada ITLOS. Apa yang lebih
penting adalah bahwa ITLOS seharusnya bersiap, dan dilihat oleh banyak
Negara dapat bersiap, yang sepenuhnya diperlengkapi serta menarik
sebagai forum penyelesaian sengketa.
Akan tetapi di atas semuanya, yang seharusnya sangat
diprihatinkan adalah bahwa setiap sengketa yang timbul harus
diselesaikan sesuai dengan hukum yang ditetapkankan di dalam KHL
1982. Apa yang seharusnya menjadi sumber kekecewaan dan
keprihatinan serius adalah jika sengketa diselesaikan entah dengan
kekuatan ataupun dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan-
ketentuan serta azas-azas yang terdapat di dalam Konvensi. Dengan lain
perkataan, satu-satunya metode penyelesaian yang seharusnya
memberikan kita alasan untuk prihatin adalah apabila Negara yang lebih
kuat mencoba memaksakan kehendaknya terhadap Negara yang lebih
lemah, atau apabila para pihak menggunakan cara penyelesaian sengketa
yang tidak damai. Setiap cara lain yang memungkinkan para pihak
mencapai solusi yang layak dan adil yang diterima secara timbal balik bagi
mereka seharusnya disambut dan diterima oleh Tribunal ini, dan kita
seharusnya menjelaskan bahwa kita menerima, dan sungguh mengajak
229
atau mendorong usaha negara-negara untuk mencari solusi seperti itu
kapan saja hal itu dapat dilakukan187.
Malaysia menghendaki dilakukannya semacam penyesuaian
terhadap equidistance line sebagai garis delimitasi maritim di Laut
Sulawesi karena kedua pulau, terutama Ligitan yang digunakan sebagai
titik pangkal bagi penarikan garis pangkal lurus kepulauan tidak mungkin
dapat diterima pihak Indonesia karena penetapannya sebagai titik pangkal
akan menggerogoti perairan kepulauan Indonesia di Laut Sulawesi. Upaya
Malaysia untuk mengklaim penyesuaian dan perubahan garis batas
landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif di daerah yang dianggapnya
dipersengketakan harus dihindari dalam proses negosiasi.
Keharusan ataupun keperluan menghindari upaya penyesuaian
seperti itu memiliki relevansi dikaitkan dengan separate opinion dari
Judge Oda yang intinya tidak memberikan effect apapun bagi Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan demi terwujudnya keadilan, di mana putusan
ICJ yang walaupun memenangkan Malaysia tidak akan berpengaruh
terhadap penetapan garis batas maritim di Laut Sulawesi.
Meskipun upaya negosiasi terkait garis batas maritim antarkedua
negara berjalan relatif intensif, otoritas Indonesia harus selalu
melakukannya melalui pentaatan terhadap prosedur dan kaidah-kaidah
hukum internasional yang berlaku, namun dengan tetap mengedepankan
187
Ibid, Hlm. 151.
230
kepentingan nasional atas dasar wawasan nusantara demi tercapainya
solusi yang wajar dan adil (equitable solution).
Upaya negosiasi harus berfokus pada tercapainya equitable
solution yang menghadirkan equitable result. Proses perundingan dapat
menghasilkan suatu kesepakatan (agreement) menyangkut garis
delimitasi maritim tunggal dengan menerapkan equidistance line yang
sudah dimodifikasi akibat dipertimbangkannya berbagai keadaan relevan
(relevant circumstances). Ini salah satu kemungkinan yang bisa terjadi
dalam proses negosiasi kedua negara pasca Sipadan-Ligitan.
Kemungkinan lain adalah tercapai kesepakatan untuk tidak
bersepakat akibat kepentingan kedua negara yang tidak mungkin atau
sulit dapat dipertemukan, seperti status Malaysia yang secara de fakto
mengklaim negaranya sebagai negara kepulauan dan menjadikan kedua
pulau sebagai titik pangkal bagi penarikan garis pangkal kepulauan, di
mana Negara tersebut hendak mengabaikan berbagai faktor yang
seharusnya dapat dipertimbangkan sebagai keadaan-keadaan relevan.
Special circumstances tidak diterjemahkan dan disebutkan secara
terperinci dalam pasal 74 dan 83 dari KHL 1982 sehingga keadaan seperti
itu dikembangkan dalam praktek Negara-negara dan terutama
dikembangkan melalui kasus-kasus delimitasi maritim yang diputuskan
oleh Mahkamah Internasional dan Arbitrasi Internasional.
Ternyata dalam praktek special circumstances mencakup bukan
hanya menyangkut unsur-unsur geografis semata-mata, melainkan juga
231
unsur-unsur non geografis dan hal ini menunjukkan bahwa special
circumstances tidak mempunyai daftar yang tertutup (closed list) sehingga
peluang seperti ini dapat dimanfaatkan oleh otoritas Indonesia dalam
melakukan langkah negosiasi untuk dapat menyelesaikan garis delimitasi
maritim serta mewujudkan solusi yang equitable yang berbasis keadilan
substantif.
Namun demikian equitable solution, khususnya equitable solution
berbasis keadilan substantif (Justice Based Equitable Solution) tidak
hanya dapat dicapai lewat kesepakatan untuk menerapkan metode
equidistance line guna menetapkan dan membangun garis delimitasi
maritim di daerah yang dianggap dipersengketakan di Laut Sulawesi,
tetapi juga dapat dicapai lewat kesepakatan untuk menciptakan apa yang
dinamakan joint development zone sebagai salah satu bentuk pengaturan
yang bersifat sementara (provisional arrangement), khususnya dalam
bidang perikanan karena bukan hanya sulit mencapai kesepakatan garis
batas delimitasi landas kontinen dan zona ekonomi di ‘disputed area’,
melainkan juga di daerah tersebut dan perairan sekitarnya ternyata sudah
berlangsung kegiatan penangkapan ikan tradisional selama berabad-
abad yang melibatkan masyarakat berbagai Negara tetangga, khususnya
nelayan-nelayan tradisional dari Indonesia.
Q. Berbagai Teori dalam Menganalisis Implikasi Putusan ICJ terkait
Sipadan dan Ligitan terhadap Titik Pangkal dan Delimitasi Maritim
Q.1. Teori Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional
232
Terlepas dari teori monisme dan dualisme menyangkut hubungan
antara kedua sistem hukum, maka dalam praktek hukum internasional dan
hukum nasional saling berinteraksi, dalam pengertian hukum internasional
dapat mempengaruhi hukum nasional, demikian pula sebaliknya hukum
nasional dapat mempengaruhi hukum internasional.188 Kaidah hukum
internasional dapat menjadi bagian dari hukum nasional, demikian pula
sebaliknya hukum nasional dapat berkembang menjadi bagian dari hukum
internasional.
Perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional
utama dapat menjadi bagian hukum nasional dari suatu negara dan
berlaku dalam hukum nasional apabila perjanjian itu telah ditandatangani
dan atau diratifikasi ataupun diaksesi oleh negara yang bersangkutan
sehingga negara tersebut terikat untuk mentaati dan melaksanakan
ketentuan-ketentuan perjanjian itu.
Mengingat eratnya kaitan antara berbagai sumber hukum
internasional, seperti antara perjanjian dan azas-azas hukum umum
(general principles of law) dan hukum kebiasaan internasional
(international customary law) dan juga fungsi perjanjian internasional
antara lain sebagai kodifikasi dari azas-azas hukum umum dan hukum
kebiasaan internasional. Dengan latar belakang ini apabila di dalam
perjanjian terdapat kaidah hukum kebiasaan internasional ataupun azas-
azas hukum umum, maka setiap negara tanpa kecuali akan terikat pada
188
Hikmahanto Juwana, Catatan atas Masalah Aktual dalam Perjanjian Internasional, Jurnal Hukum Internasional, Volume 2 Nomor 3 April 2006 , (ISSN: 1693 – 5594; Akreditasi No.65a/Dikti/Kep/2008), Hlm. 298 etc.
233
hukum kebiasaan ataupun azas-azas hukum umum tersebut walaupun
negara yang bersangkutan belum menyatakan diri terikat pada perjanjian
tersebut.189
Persetujuan bilateral pada 1997190 antara Indonesia dan Malaysia
terkait penyelesaian sengketa Sipadan dan Ligitan melalui Mahkamah
Internasional mengikat kedua negara setelah perjanjian itu ditandatangani
dan diratifikasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di masing-masing negara. Ketika ICJ memutuskan dengan memenangkan
Malaysia, maka sesuai perjanjian 1997 Indonesia mematuhi dan
menghormati serta menjalankan isi putusan ICJ yang menegaskan kedua
pulau yang dipersengketakan itu menjadi milik Malaysia. Ini berarti
perjanjian bilateral dan implikasinya menjadi bagian dari hukum nasional
masing-masing negara.
Indonesia juga telah meratifikasi KHL 1982 ketika mengundangkan
berlakunya Undang-undang nomor 17 tahun 1985 sehingga sejak
pengundangannya pada 1985 Konvensi yang berhasil ditandatangani di
Jamaika pada 1982 telah menjadi hukum positif melalui undang-undang
tersebut. Sebagaimana perjanjian internasional pada umumnya, maka
KHL 1982 berfungsi untuk mengkodifikasi dan menegaskan kembali
189
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Binacipta, 1978), Hlm. 100; Lihat juga David H Ott, op.,cit., Hlm. 32.
190 Perjanjian bilateral soal pelimpahan sengketa kedua negara terkait Pulau
Sipadan dan Ligitan kepada Mahkamah Internasional dinamakan ‘Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and Malaysia concerning Souvereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan. Perjanjian ini telah diratifikasi oleh RI berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 49 tahun 1997 (Lembaran Negara RI tahun 1997 nomor 94).
234
berlakunya kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional, terutama yang
terkait dengan laut serta kegiatan-kegiatan di laut . Di dalamnya terdapat
banyak ketentuan artikel yang mencerminkan eksistensi hukum kebiasaan
internasional, khususnya hukum kebiasaan yang sudah lahir sebelum KHL
1982 diadopsi oleh masyarakat internasional.
Meskipun dikatakan bahwa salah satu fungsi dari perjanjian
internasional, termasuk dalam hal ini KHL 1982 adalah penegasan
kembali atas berlakunya kaidah-kaidah hukum kebiasaan yang dapat
diidentifikasi dan ditemukan pada banyak artikelnya, namun KHL 1982
artikel-artikelnya dapat pula tumbuh dan berkembang menjadi kaidah-
kaidah hukum kebiasaan internasional pada masa-masa mendatang.
Pertumbuhan dan perkembangan artikel konvensi menjadi suatu kaidah
hukum kebiasaan dapat terjadi melalui praktek negara-negara maupun
hukum kasus (case law) terkait sengketa antarnegara yang dilimpahkan
penanganan dan penyelesaiannya kepada mahkamah atau arbitrasi
internasional191.
Metode delimitasi, seperti median line atau equidistance line
sebagaimana diatur dalam artikel 6 dari Konvensi Geneva 1958 mengenai
landas kontinen memang bukan refleksi dan kristalisasi kaidah kebiasaan.
Namun metode seperti itu ternyata telah tumbuh dan berkembang menjadi
hukum kebiasaan internasional karena sejak konvensi tersebut berlaku
pada awal tahun 1960 ketentuan artikel 6 itu telah dilaksanakan dalam
191
Komar Kantaatmadja, Evolusi Kebiasaan Internasional, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 1984), Hlm. 1-2.
235
praktek negara-negara yang membuat berbagai perjanjian bilateral soal
delimitasi maritim dengan menggunakan metode delimitasi. Terlebih lagi
penerapan median line / equidistance line oleh mahkamah atau tribunal
internasional memberi kontribusi besar bagi lahirnya kaidah kebiasaan
terkait metode median line / equidistance line sebagai metode delimitasi
maritim.
Konvensi Hukum Laut 1982 dalam artikel 15 memuat metode
median line / equidistance line untuk delimitasi laut territorial, tetapi artikel
74 dan 83 Konvensi 1982 tidak menyebut metode seperti itu untuk
delimitasi landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif. Kedua artikel yang
disebut terakhir hanya menyebut equitable solution yang sama dengan
equitable result tanpa mengemukakan metode seperti apa yang harus
digunakan untuk mencapai equitable result.
Penerapan beberapa azas delimitasi maritim berdasarkan
ketentuan artikel 74 dan 83 Konvensi 1982, terutama untuk menentukan
garis batas landas kontinen atau zona ekonomi eksklusif pada bagian-
bagian tertentu (overlapping) perlu ditelusuri melalui praktek Negara-
negara dalam menyelesaikan garis delimitasi maritim antarnegara
tetangga. Di samping itu tentu saja dan terutama harus diteliti sejauh
mana penerapan azas delimitasi maritim (agreement, equitable solution
dan lain-lain) diterjemahkan dan ditindaklanjuti oleh mahkamah dan
arbitrasi internasional yang pertimbangan dan keputusannya akan
mempengaruhi kaidah-kaidah hukum nasional.
236
Q.2. Teori Keadilan
Sejarah perkembangan ilmu hukum memperlihatkan beberapa
tujuan hukum yang konvensional, yakni192 :
1. Aliran etis yang memandang bahwa pada azasnya tujuan hukum
adalah semata-mata untuk mewujudkan keadilan.
2. Aliran utilities yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan
hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan
atau kebahagiaan bagi warga masyarakat.
3. Aliran normatif-dogmatik menganggap bahwa pada azasnya
hukum mempunyai tujuan untuk menciptakan kepastian hukum.
Ketiga aliran konvensional menyangkut tujuan hukum yang
dikemukakan di atas, merupakan tujuan hukum dalam arti luas. Gustav
Radbruck mengemukakan tiga nilai dasar tujuan hukum yang disebut azas
prioritas. Teori ini menyebutkan bahwa tujuan hukum pertama-tama wajib
mengutamakan keadilan, kemudian disusul kemanfaatan dan terakhir
demi untuk mencapai kepastian hukum. Ketiga nilai dasar tujuan hukum
itu diharapkan dapat terwujud secara bersama-sama, tetapi apabila tidak
mungkin, maka haruslah diprioritaskan keadilannya terlebih dahulu,
barulah kemudian kemanfaatannya dan terakhir kepastian hukumnya.
Dari berbagai konsep keadilan dalam sejarah peradaban umat
manusia, ternyata keadilan dipelajari dan dicari melalui dua pendekatan
sekaligus, yaitu :
192
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) (Volume 1 Pemahaman Awal), (Jakarta, Kencana Prenada Media Group),
Hlm.46 – 48.
237
1) pendekatan afektif (dengan menggunakan perasaan atau intuisi); dan
2) pendekatan kognitif (dengan menggunakan pengetahuan atau logika).
Filsuf Yunani, Heraclitus mensejajarkan keadilan dengan konsep
kebijaksanaan hukum alam. Keadilan diartikan sebagai suatu pemahaman
manusia sebagai bagian dari suatu komunitas, berdasarkan atas
ketertiban alam semesta (universe). Kebijaksanaan (wisdom) menurut
Heraclitus tidak lain dari to speak the truth and to act according to nature
(berbicara benar dan bertindak sesuai alam). Oleh karena itu dalam dunia
filsafat, nilai keadilan yang harus menjiwai sebuah aturan hukum.
Plato melalui pemikirannya dalam buku Politea, yang
menggambarkan sebuah negara yang adil karena adanya pengaturan
yang seimbang sesuai bagiannya dalam kehidupan ketatanegaraan,
sehingga harapannya dapat dicapai keadilan bagi semua unsur
bernegara sebab tiap-tiap kelompok (filsuf, tentara, pekerja) berbuat
sesuai dengan tempatnya dan tugasnya 193.
Sanctus Agustinus dalam karyanya De Civitate Dei (tentang
Negara Tuhan) pernah menyatakan Remota itaque iustitia quid sunt regna
193
) Huijbers Theo, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), Hlm.23. Baca juga Suri Ratnapala, ‘Jurisprudence’, (Cambridge : University Press, 2009), Hlm. 322. Dalam bukunya ‘The Republic’, Plato mengembangkan secara terperinci teori tentang ‘the just person and ‘the just state’’. Dalam Buku I dari ‘The Republic’ Plato menset sebuah perdebatan antara Socrates dan Thrasymachus (the Sophist). Socrates menyatakan bahwa ketidakadilan (injustice) hanya menimbulkan konflik dan disharmoni, sementara keadilan (justice) meningkatkan harmoni. Demikian juga dia menyatakan bahwa ketidakadilan menghasilkan konflik di dalam diri individu sehingga hal ini membuat orang yang bersangkutan tidak sanggup bertindak akibat konflik internal dan terpecahnya tujuan, serta membuatnya bersengketa dengan dirinya sendiri maupun dengan semua orang yang adil. Plato menganut pandangan yang sifatnya teleologis bahwa apa saja dan siapa saja memiliki tujuan yang sudah ditentukan dalam rencana alam semesta dan oleh karena itu setiap orang memiliki suatu keunggulan khusus (peculiar excellence). Justice means to serve that purpose and strive for that excellence.
238
misi magna latrocinia-what are states without justice but robber.
Terjemahannya suatu negara yang tidak mencerminkan keadilan, tidak
usah menyebut dirinya negara, karena tanpa keadilan ia tidak ada
bedanya dengan sekawanan rampok saja.194
Cicero, filsuf dan pengacara besar pada zaman Romawi, kemudian
merumuskan tiga hal esensial yang dicapai keadilan yang sekaligus
elemen keadilan, yakni : (i) goodwill, (ii) because it desires to benefit
many, (iii) and for the same reason, faithfulness and admiration, because
it snoms and ignores the very things towards which most men, inflamed by
greed, are dragged”. Karena itu, menurut Cicero, keadilan harus terus
ditanamkan dan dijaga dengan berbagai cara demi kepentingan keadilan
itu sendiri, sebab jika tidak, akan ada ketidakadilan dan juga demi
kehormatan dan kemuliaan setiap orang.195
Demikian pula dengan Aristoteles melalui karyanya Politica196,
antara lain menyatakan bahwa salah satu di antara sekian banyak
pandangannya yang terdapat dalam buku tersebut, menghendaki suatu
pembentukan hukum harus dibimbing oleh rasa keadilan, yakni rasa
tentang apa yang baik dan pantas bagi orang-orang yang hidup bersama.
Adagium terkenal berbunyi, iustitia est constans et perpetua voluntas ius
194
Johnny Ibrahim, “Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum”, (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara dan ITS Press, 2009), Hlm.18.
195 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Azasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana, (Bandung: PT Alumni, 2006), Hlm. 47-48.
196 Ibid., Hlm. 322-323. Aristoteles (384-322 BC) memandang keadilan tak
dapat dipisahkan dari kebajikan (virtue), etc.
239
suum cuique tribuere, yang artinya bagian atau hak dari setiap orang itu
tidak selalu sama. Dengan demikian keadilan tidak dipandang sebagai
penyamarataan, sebab penyamarataan justru akan menyebabkan
terjadinya ketidakadilan.
Keadilan menurut Aristoteles terbagi ke dalam dua golongan, yaitu :
a) Keadilan distributif, yakni keadilan dalam hal pendistribusian
kekayaan atau kepemilikan lainnya pada masing-masing
anggota masyarakat. Dengan keadilan distributif ini, yang
dimaksud oleh Aristoteles adalah keseimbangan antara apa
yang diperoleh seseorang dengan apa yang sepatutnya
didapatkan.
b) Keadilan korektif, yakni keadilan yang bertujuan untuk
mengoreksi kejadian dan keadaan yang tidak adil. Dalam hal ini
keadilan dalam hubungan antara yang satu dengan yang
lainnya yang merupakan keseimbangan (equality) antara apa
yang diberikan dengan apa yang diterima.
Keadilan yang dikemukakan oleh para ahli pikir di atas lebih
menitikberatkan pada keadilan yang bersifat individual sesuai dengan
berbagai peristiwa sejarah pada zamannya yang terkait dengan
perkembangan kehidupan ketatanegaraan, mengemukanya perjuangan
hak azasi manusia, sehingga mendesak lahirnya pemikiran-pemikiran
tersebut. Di samping keadilan yang bersifat individual tersebut, lahir pula
pemikiran-pemikiran yang mengupayakan adanya keadilan yang
240
didasarkan atas kedudukan manusia secara kolektif, yang disebut
solidaritas sosial dan keadilan sosial.
Segolongan pemikir atau filsuf yang mendukung keadilan sosial
dimaksud antara lain adalah John Rawls. Salah satu gagasan tersohor
yang dikemukakan oleh John Rawls dalam bukunya Theory of Justice
adalah keadilan sebagai kejujuran (justice as fairness). Menurutnya
keadilan adalah kebijakan yang pertama dari lembaga-lembaga sosial
sebagai kebenaran dari sistem-sistem pemikiran. Karena itu suatu teori
yang elegan, harus ditolak atau direvisi jika teori tersebut tidak benar
(untrue). Demikian juga dengan aturan hukum dan lembaga yang ada
harus diperbaharui dan kalau perlu dihapus jika aturan dan lembaga
tersebut tidak adil (unjust).197
Keadilan yang mesti dikembalikan dan dipulihkan oleh hukum
dengan meminjam istilah John Rawls adalah reasonably expected to be
everyone’s advantage, sebagaimana terlihat dari pendapat John Rawls
berikut ini :
“I shall now state in a provisional form the two principles of justice that I believe would be chosen in the original position……. The first statement of the two principles reads as follows : First, each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others. Second, social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be everyone’s advantage and (b) attached to positions and offices open to all”.
197
Brian H. Bix, A Dictionary of Legal Theory, (Oxford: Oxford University Press, 2004), Hlm.182-183
241
Keadilan merupakan fokus utama dari setiap sistem hukum dan
keadilan tidak dapat begitu saja dikorbankan, seperti dikatakan oleh John
Rawls dalam bukunya a Theory of Justice sebagai berikut :
“Each person possesses an inviolability founded on justice that even the welfare of society as a whole can not override. It does not allow that the sacrifices imposed on a few are outweighted by the large sum of advantages enjoyed by many. Therefore in a just society the liberties of equal citizenship are taken as settled; the rights secured by justice are not subject to political bargaining or to the calculus of social interests… an injustice is tolerable only when it is necessary to avoid an even greater injustice”. Dengan memperhatikan putusan dan pertimbangan ICJ terkait
sengketa kepemilikan atas pulau Sipadan dan Ligitan, maka putusan dan
pertimbangan itu dapat dikatakan bertentangan dengan prinsip keadilan,
termasuk apa yang dikemukakan oleh John Rawls mengenai keadilan
sebagai kejujuran (justice as fairness) yang memandang kebijakan
pertama dari lembaga-lembaga sosial sebagai kebenaran dari sistem-
sistem pemikiran198. Kalau suatu teori tidak benar, maka teori seperti itu
harus ditolak atau direvisi. Secara analogi apabila sebuah teori benar,
maka teori itu harus diterima dan tidak perlu ditinjau untuk melakukan
semacam revisi.
198
Suri Ratnapala, Op., Cit., Hlm. 336-337. Teori Rawls mengenai keadilan adalah teori tentang institusi politik yang adil (a theory of just political institutions). Itulah teori mengenai distributive justice’ yang didasarkan atas keinginan dan kebutuhan individu-individu atau kelompok-kelompok. Dia menjelaskan : ‘Put another way, the principles of justice do not select specific distribution of desired things as just, given the wants of particular persons. This task is abandoned as mistaken in principle, and it is in any case, not capable of a determinate answer. Maka Teori dari Rawls adalah tentang keadilan mengenai ‘political arrangement’. Itu adalah teori ‘distributive justice’ hanya dalam pengertian terbatas. Teori itu tidak menuntut bagian yang adil (fair share) dari cita-cita masyarakat (the social pie), tetapi berupaya untuk lebih memaksimalkan keseimbangan kebebasan (equal liberty) individu-individu tanpa merugikan kelompok yang paling sedikit berkahnya dalam masyarakat.
242
Memang putusan ICJ yang menguntungkan Malaysia sudah final
dan mengikat dan tidak dapat lagi dilakukan revisi mengingat jangka
waktu permohonan pengajuan revisi yang ditentukan di dalam Statuta ICJ
tidak dimanfaatkan oleh pihak Indonesia karena tenggang waktu yang
tersedia sudah lewat sepuluh tahun terhitung sejak akhir tahun 2002.
Akan tetapi dalam putusan tersebut terdapat selain pendapat berbeda
(dissenting opinion) dari Judge Franck, juga pendapat terpisah (separate
opinion) dari Judge Oda yang antara lain menegaskan bahwa sekalipun
Malaysia diberikan dan dihadiahi kedaulatan atas kedua pulau itu, namun
kedaulatannya tidak boleh mempengaruhi penetapan batas-batas maritim
antara kedua Negara. Dalam konteks ini teori keadilan John Rawls
memiliki relevansi untuk diterapkan dalam ‘separate opinion’ yang
dikemukakan oleh Judge Oda karena dengan kewibawaan dan
kehormatan yang berakar dari integritas dan kejujuran yang melekat pada
pribadinya dapat memberikan keyakinan bagi siapapun akan kebenaran
dari pendapatnya. Pendapatnya mencerminkan rasa keadilan bagi kedua
negara, termasuk bagi Republik Indonesia yang menaruh kepercayaan
terhadap mitranya untuk menyelesaikan masalah kedaulatan atas kedua
pulau tersebut melalui Mahkamah Internasional di Den Haag.
Charles Stamprod mengemukakan bahwa hukum modern adalah
hukum yang substansinya sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Ukuran modern atau tidak suatu hukum ditentukan bukan oleh siapa yang
membuatnya atau dari Negara mana berasal hukum itu, melainkan
243
ditentukan oleh substansi hukum itu sendiri 199. Pandangan ini terkait
dengan pandangan David Angel (dalam tulisannya Law Time and
Community) yang menyatakan bahwa hukum harus selalu dikaitkan
dengan waktu dan masyarakat, mungkin pada waktu tertentu dan pada
masyarakat tertentu suatu hukum menjadi modern, demikian pula
sebaliknya.
Selanjutnya menurut Philippe Nonet & Selsnic, politik hukum yang
berkembang di dunia ada dua, yaitu politik hukum ortodoks dan politik
hukum responsive. Politik hukum ortodoks menjadikan hukum semata-
mata sebagai sarana untuk mengakomodasi kepentingan kelompok elit
tertentu. Dengan kata lain hukum digunakan sebagai sarana untuk
mempertahankan status quo. Sedangkan berdasarkan politik hukum
responsif, hukum adalah sarana untuk melegitimasi keinginan masyarakat
sehingga hal ini berarti suatu kebijakan tidak boleh “top down”, tetapi
harus “bottom up”200.
Terkait dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang
berdampak pada masalah delimitasi maritim baik di landas kontinen
ataupun zona ekonomi eksklusif, maka kebijakan negara dan pemerintah
RI seharusnya berorientasi pada politik hukum responsif sebagai sarana
untuk melegitimasi keinginan masyarakat dan bukan sebaliknya guna
menghindari berulangnya kasus Sipadan dan Ligitan. Keinginan
masyarakat Indonesia pada dasarnya menghendaki agar delimitasi
199
Muhadar, Pengembangan Hukum Pidana dan Kriminologi, 2011, Hlm. 6.
200 Ibid., Hlm. 7
244
maritim tetap dilakukan melalui perundingan untuk mencapai suatu
persetujuan menurut kaidah-kaidah hukum internasional sebagaimana
tertera dalam artikel 38 Statuta ICJ yang dapat menghasilkan
penyelesaian yang layak (equitable solution).
Q.3. Teori Kedaulatan
Teori kedaulatan Negara untuk pertama kalinya dibahas secara
mendalam oleh Jean Bodin (1530-1586) dalam bukunya de la Republik
dimaksudkan untuk ketertiban politik dalam suatu Negara. Menurut Jean
Bodin, demi keamanan dan ketertiban di dalam suatu negara, perlu ada
seseorang yang memegang kekuasaan tertinggi (summa potestas) yang
tidak tunduk pada peraturan yang dibuatnya sendiri, tetapi tunduk pada
hukum yang lebih tinggi, yaitu Hukum Alam atau Hukum Tuhan. Dengan
demikian kedaulatan menurut doktrin Bodin adalah atribut seorang
penguasa yang tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tetapi penguasa
itu bertanggungjawab terhadap hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum
Tuhan.201 Negaralah yang menciptakan hukum sehingga segala
sesuatunya harus tunduk pada negara. Negara di sini dianggap sebagai
suatu keutuhan yang menciptakan peraturan hukum, jadi adanya hukum
itu karena adanya negara dan tidak ada satu hukum pun yang berlaku
tanpa dikehendaki oleh negara.
201
M. Towoliu-Hermanses, Hukum dan Penyelesaian Sengketa Internasional, Buku Peringatan Dies Natalis Fakultas Hukum Unhas ke XXII, (Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 1974), Hlm.122
245
George Jellineck mengemukakan pendapatnya tentang teori
kedaulatan Negara. Ia berpendapat bahwa hukum merupakan penjelmaan
kehendak atau kemauan negara. Negaralah yang menciptakan hukum,
negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan. Di luar
negara tidak ada satu organ pun yang berwenang menciptakan hukum.202
Namun demikian oleh penulis-penulis setelah Bodin kedaulatan dijadikan
atribut negara sehingga dengan demikian kedaulatan bukan masalah
hukum lagi sebagaimana dimaksud oleh Bodin, melainkan masalah politik
sebab sekian banyak negara, setiap negara merdeka dan berdaulat tidak
akan luput dari godaan yang dinamakan “the struggle for power”.
Emerich de Vattel dalam bukunya “Droit des Gens” menyatakan
bangsa merdeka. tidak bergantung pada bangsa lain, tetapi sederajat dan
memiliki hak untuk mempertimbangkan (judge) sesuai suara hati
nuraninya (according to the dictates of conscience) tentang apa yang
harus dilakukan agar supaya dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya;
akibat dari semua hal ini adalah setidak-tidaknya secara eksternal serta di
antara orang-orang, adanya persamaan hak yang sempurna antarbangsa,
dalam melaksanakan urusannya (affairs), serta mengejar keinginannya
(pretensions) tanpa memperhatikan keadilan hakiki daripada
perbuatannya (the intrinsic justice of their conduct), di mana bangsa lain
tidak mempunyai hak untuk menilai perbuatan dari bangsa yang
bersangkutan; dengan demikian apa yang diperkenankan bagi satu
202
Salim HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Rajawali Pers, 2010), Hlm. 131
246
bangsa juga diperkenankan bagi bangsa lain, dan mereka harus dianggap
memiliki hak yang sama (an equal right) di dalam masyarakat umat
manusia.203
Menurut Frederick L. Schuman, seluruh struktur hukum bertumpu
pada suatu konsepsi besar yang melekat dalam konsep kedaulatan
negara (the souvereignty of the State). Suatu negara tidak tunduk pada
kehendak dari negara lain. Dia bereksistensi sebagai sebuah entitas
independen, sama kedudukannya dengan negara-negara lain, dan sama
kedudukannya dengan yurisdiksi eksklusif atas wilayahnya. Dari fakta
yang bersifat mendasar ini, maka setiap negara memiliki “certain
fundamental rights and obligations”: “existence or self-preservation;
independence, equality with other states”; dan hak untuk menjalankan
kekuasaan serta menegakkan peraturan perundang-undangannya di
dalam batas-batas teritorialnya (within its frontiers), yaitu a right of
jurisdiction.Kadang-kadang dikatakan bahwa Negara-negara juga
mempunyai hak untuk memiliki harta kekayaan (rights of property) dan
hak untuk mengadakan hubungan satu sama lain (rights of intercourse)204.
Hans J. Morgenthau mengemukakan bahwa kedaulatan adalah
kekuasaan hukum tertinggi yang dimiliki oleh Negara untuk membuat dan
menegakkan hukum di dalam suatu wilayah tertentu sehingga
menimbulkan adanya ketidaktergantungan (independence) pada otoritas
203
Frederick L. Schuman, “International Politics”, (New York, Toronto, London: McGraw Hill Book Company, Inc, 1958), Hlm. 115
204 Ibid., Hlm. 116
247
negara lain serta adanya persamaan berdasarkan hukum internasional.
Dengan demikian negara dapat hilang kedaulatannya ketika ditempatkan
di bawah kekuasaan negara lain, sehingga negara yang disebut terakhir
yang menjalankan kekuasaan tertinggi untuk membuat dan memaksakan
peraturan perundangan di dalam wilayah dari negara yang disebut
sebelumnya.205
Menurut Hans J. Morgenthau, kedaulatan dapat hilang melalui dua
cara. Suatu negara bisa menerima dan memikul kewajiban hukum yang
memberikan negara lain kekuasaan yang sifatnya final (final authority)
menyangkut aktivitas pembuatan hukum (lawgiving) serta penegakan
hukum (law-enforcing). Negara A akan hilang kedaulatannya dengan cara
menyerahkan kepada Negara B hak untuk melakukan veto dan tidak
menyetujui sebagian peraturan perundang-undangan yang diberlakukan
oleh pihak otoritas yang berwenang secara konstitusional atau suatu
tindakan penegakan hukum harus dilaksanakan oleh pejabat eksekutifnya
sendiri. Dalam hal ini pemerintah Negara A tetap mempunyai kekuasaan
membuat hukum dan menegakkannya yang berfungsi hanya di dalam
wilayah dari Negara A, tetapi kekuasaan yang dimilikinya sudah tidak
merupakan kekuasaan tertinggi karena kekuasaanya tunduk pada
pengawasan atau pengendalian pemerintah Negara B. Melalui
205
Hans J. Morgenthau, Politics among Nations the Struggle for Power and Peace, (New York: Alfred A. Knopf, 1967), Hlm. 305.
248
pengendalian seperti ini, maka pemerintah B menjadi otoritas tertinggi
(supreme authority) sehingga berdaulat di dalam wilayah Negara A. 206
Pengertian kedaulatan (souvereignty) menunjukkan kekuasaan
tertinggi yang dimiliki oleh setiap negara berdaulat yang tidak mengakui
suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari pada kekuasaannya sendiri.
Dengan perkataan lain negara memiliki monopoli kekuasaan, suatu sifat
khas dari organisasi kemasyarakatan dan kenegaraan dewasa ini yang
tidak lagi membenarkan orang perseorangan mengambil tindakan-
tindakan sendiri apabila ia dirugikan.
Namun demikian kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batas
tertentu. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas-batas
wilayah negara itu, artinya suatu Negara memiliki kekuasaan tertinggi
hanya di dalam batas-batas wilayahnya.207 Di luar wilayahnya suatu
negara tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. Misalnya Negara A
berbatasan dengan Negara B, maka di luar batas-batas wilayah Negara A
itu, tegasnya di wilayah Negara B, bukan Negara A, melainkan negara B-
lah yang memiliki kedaulatan atau kekuasaan tertinggi. Jadi pengertian
kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan
penting di dalam dirinya yaitu :1) kekuasaan itu terbatas pada batas-batas
206
Ibid., Hlm. 305-306
207 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung:
Penerbit Binacipta, 1982, Hlm. 17. Juga Richard Barnes, Property Rights and Natural Resources, Studies in International Law, (Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing 2009), Hlm. 222.
249
wilayah dari negara yang memiliki kekuasaan itu; 2) kekuasaan itu
berakhir di mana kekuasaan negara lain mulai berlaku.208
Starke antara lain mengatakan bahwa salah satu unsur utama yang
dimiliki Negara adalah penguasaan atas suatu wilayah yang di dalamnya
berlaku hukum dari Negara itu209. Atas wilayah ini kekuasaan tertinggi
berada pada Negara yang bersangkutan. Dengan demikian timbul konsep
kedaulatan territorial (territorial sovereignty) yang menunjukkan bahwa
Negara menjalankan yurisdiksi dalam wilayah yang bersangkutan
terhadap orang dan harta benda, kecuali terhadap Negara lain210.
Sebagai konsekuensi dari azas kedaulatan, dalam hal ini
kedaulatan territorial (territorial souvereignty) adalah yurisdiksi territorial
(territorial jurisdiction), yaitu hak, kekuasaan atau kewenangan suatu
Negara terhadap orang, benda, peristiwa atau masalah yang berada atau
terjadi dalam batas-batas wilayah dari negara yang bersangkutan. Dari
perspektif ini adalah jelas bahwa kedaulatan, dalam hal ini kedaulatan
teritorial jauh lebih tinggi dari pada yurisdiksi territorial sebab dengan
kedaulatan suatu Negara dapat melakukan apapun di dalam batas-batas
wilayahnya sesuai dengan kepentingannya. Ï am souvereign over myself
dan bukan I have jurisdiction over myself. Souvereignty adalah hak dasar
208
Ibid., Hlm. 18. 209
J.G. Starke QC, Introduction to International Law (Ninth Edition), (London, Butterworths, 1984), Hlm. 152.
210 Konsep ini mirip dengan konsep yang berasal dari hukum privat mengenai kepemilikan
(ownership), dan ternyata para penulis hukum internasional jaman dulu mengadopsi azas-azas hukum perdata mengenai property ketika mereka membahas state territorial souvereignty. Ibid, Hlm.152.
250
suatu Negara untuk berdiri sendiri. Kalau Negara itu souvereign, maka
Negara itu memiliki kemerdekaan (independence) dan juga memiliki
persamaan (equality) dengan Negara-negara lain. Selanjutnya dengan
adanya konsep kedaulatan, maka muncul konsep atau azas ‘non
intervention’, yaitu tidak mencampuri urusan dalam negeri yang terjadi di
dalam wilayah negara lain211.
Dalam kasus Pulau Palmas (the Island of Palmas case) Judge
Huber mencatat bahwa kedaulatan dalam kaitan dengan suatu bagian
permukaan bumi adalah persyaratan hukum yang diperlukan untuk
memasukkannya ke dalam wilayah negara tertentu.212 Brierly
merumuskan kedaulatan territorial (territorial souvereignty) dengan
adanya hak atas wilayah dibandingkan dengan hak atas kemerdekaan
yang dimiliki oleh negara itu sendiri atau dibandingkan dengan hak atas
hubungan orang dengan orang. Hal seperti ini adalah suatu cara
membedakan hak sepenuhnya atas wilayah yang diakui bagi hukum
dengan hak-hak territorial tertentu (certain minor territorial rights), seperti
hak sewa dan servitut. Kedaulatan territorial memiliki aspek positif dan
negatif. Aspek positif dari kedaulatan territorial berkaitan dengan
kewenangan Negara yang sifatnya eksklusif menyangkut wilayahnya
sendiri, sementara aspek negatifnya mengacu pada kewajibannya untuk
melindungi hak-hak Negara lain.
211
Hamid Awaluddin, Kuliah Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin pada tahun 2012.
212 Malcolm N. Shaw, International Law, (Cambridge: Grotius Publications
Limited, 1986), Hlm. 240.
251
Kaidah-kaidah internasional menyangkut kedaulatan territorial
berakar dari aturan-aturan hukum Romawi yang mengatur soal
kepemilikan atau hak milik (ownership) dan barang milik (possession),
serta klassifikasi berbagai cara untuk memperoleh wilayah langsung
diturunkan dari kaidah-kaidah hukum Romawi yang mengatur tentang
tanah milik (property)213.
Esensi kedaulatan territorial termuat dalam konsep mengenai title.
Istilah title berkaitan baik dengan syarat-syarat faktual maupun syarat-
syarat hukum yang menentukan apakah suatu wilayah dianggap milik dari
suatu otoritas tertentu atau otoritas lain. Dengan kata lain konsep ‘title’
menunjuk kepada keberadaan fakta-fakta tadi yang disyaratkan dalam
hukum internasional yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
status yuridis dari suatu wilayah tertentu.
Satu karakteristik menarik yang seharusnya dicatat dan menunjuk
pada perbedaan antara apa yang dianggap wilayah berdasarkan hukum
internasional dan hukum nasional adalah bahwa hak atas wilayah dalam
hukum internasional sering lebih bersifat relatif dibanding bersifat
absolut. Dengan demikian dalam memutuskan negara mana di antara
negara-negara bersengketa (contending states) yang menjadi pemilik sah
atas sebidang tanah, maka mahkamah akan mempertimbangkan semua
argumen relevan dan akan memberikan tanah itu kepada Negara yang
mengemukakan alasan hukum yang lebih baik atau terbaik.
213
Ibid., Hlm. 241
252
Hak atas tanah dalam hukum nasional sering lebih merupakan
persoalan memutuskan dalam keadaan tidak pasti atau persengketaan
mengenai pihak mana yang memenuhi persyaratan hukum untuk
mendapatkan hak milik dan kepemilikan (ownership and possession) dan
dalam pengertian ini hak atas tanah bersifat mutlak. Mengetahui pihak
mana yang menurut hukum dapat mengemukakan klaim haknya secara
lebih baik biasanya bukan persoalan pengujian fakta-fakta.
Teori Kedaulatan, termasuk kedaulatan territorial (territorial
souvereignty)214 menjadi landasan bagi Mahkamah Internasional dan
berbagai Tribunal Internasional dalam menyelesaikan sengketa
kedaulatan dan kepemilikan atas suatu wilayah melalui keputusannya
yang menetapkan sebagai pihak yang berhasil membuktikan pelaksanaan
kekuasaan tertinggi atas wilayah yang bersangkutan.
Keputusan Mahkamah Internasional dalam sengketa antara
Indonesia dan Malaysia dengan menetapkan Negara yang disebut terakhir
sebagai pemegang hak atas kedua pulau tidak dapat dilepaskan dari
doktrin kedaulatan negara. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan ICJ
214
Para ahli hukum internasional mengidentifikasi secara khusus lima cara untuk mendapatkan kedaulatan territorial yang dalam teori bisa dikemukakan sebagai cara-cara akuisisi yang jelas, yakni : 1) Pendudukan atas tanah atau wilayah tidak bertuan (occupation of terra nullius, ie territory that is owned by no-one). 2) Penguasaan yang berlangsung lama sehingga pihak yang menguasai mendapatkan hak yang merugikan pemegang hak yang abstrak (prescription, by which title is gained by possession adverse to the abstract title holder). 3) Penyerahan atau pengalihan lewat perjanjian yang merupakan cara dominan untuk menyetujui garis batas territorial (Cession, or transfer by treaty, which is the dominant means by which territorial boundary is agreed).4) Akresi terjadi ketika deposit minyak secara perlahan-lahan mengubah kontur daratan (Accretion, where a gradual deposit of soil changes the contours of the land). 5) Penaklukan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain (Conquest) . Gillian Triggs, Maritime Boundary Disputes in the South China Sea : International Legal Issues, (Sydney Law School: Legal Studies Research Paper No.09/37, May 2009), Hlm. 5.
253
yang menerapkan prinsip ‘effective occupation’ atau pengendalian efektif
sebagai dasar pemberian hak kedaulatan karena tindakan-tindakan yang
dilakukannya terkait dengan kedua pulau tersebut memiliki karakter
legislatif, eksekutif dan yudikatif yang merupakan ciri atau atribut
kedaulatan Negara.
R. Kerangka Pikir
Putusan Mahkamah Internasional dalam kasus Pulau Ligitan dan
Pulau Sipadan dengan menerapkan azas ‘effective occupation’ bukan
kejadian pertama (first precedent) dalam sejarah penyelesaian sengketa
kedaulatan territorial melalui mahkamah dan arbitrasi internasional karena
sebelumnya telah timbul berbagai kasus serupa, seperti ‘the Palmas
Island’, ‘the Eastern Greenland’, ‘the Qatar v. Bahrain’ dan ‘the Clipperton
Island’215.
Pada umumnya sengketa kepemilikan atau kedaulatan territorial
baru merupakan awal dari sebuah persengketaan yang lebih besar yang
dapat terjadi di antara negara-negara yang pantainya saling berhadapan
(opposite states) atau saling berdampingan satu sama lain (adjacent
states) karena ternyata setelah dicermati akar permasalahannya tidak
dapat dipisahkan dari faktor sumber daya alam yang terdapat di wilayah
perairan sekitar pulau atau daratan yang awalnya menjadi obyek
perselisihan. Tidak terkecuali kasus the Sipadan and Ligitan Islands yang
telah diputuskan oleh Mahkamah Internasional ternyata bukanlah akhir
215
SHI Jiuyong, ‘The Wang Tieya Lecture in Public International Law’(Chinese Journal of International Law 2010; chinesejil/jm/018; http://chinesejil.oxfordjournals.org/at University. Library Utrecht on November 15, 2012), Hlm. 275 – 276.
254
persengketaan antara Indonesia dan Malaysia karena putusan ICJ pada
2002 yang melepaskan kedua pulau tersebut dari Indonesia kepada pihak
Malaysia telah membawa implikasi terhadap titik pangkal dan delimitasi
maritim yang dapat ditinjau baik dari perspektif hukum nasional masing-
masing negara maupun dari perspektif hukum internasional yang ada.
Dengan keluarnya putusan ICJ dengan kemenangan negara
tetangga, hal ini berimplikasi dalam pemberlakuan PP 37/2008 mengenai
Perubahan atas PP 38/2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-
Titik Pangkal Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Pulau Ligitan yang
ditetapkan sebagai titik pangkal dalam PP 38/2002 telah dicabut dari
daftar koordinat geografis dan sebagai gantinya adalah Karang Unarang
yang akan dihubungkan dengan garis pangkal lurus kepulauan ke titik
pangkal pada Pulau Sebatik (I, II dan III), lalu ke titik-titik pangkal di Pulau
Maratua, Pulau Sambit, Pulau Lingian, Pulau Salando dan seterusnya216.
Garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik
pangkal tersebut digunakan oleh pihak Indonesia untuk menetapkan dan
membangun garis batas maritim tersendiri (separate maritime boundary)
yang berlaku di bagian laut territorial yang umumnya tidak akan tumpang
tindih (overlapping) dengan laut territorial negara tetangga, terkecuali di
sekitar perairan Pulau Sebatik. Akan tetapi untuk bagian landas kontinen
dan zona ekonomi eksklusif yang umumya tumpang tindih dengan klaim
Malaysia, maka dengan bertitik tolak dari garis pangkal lurus kepulauan
216
Perhatikan PP 37/ 2008 di kaitkan dengan Lampiran dari PP 38/ 2002.
255
dapat ditetapkan dan dibangun ‘equidistance line’ sebagai garis batas
maritim tunggal untuk bagian landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif
Indonesia217.
Keputusan ICJ yang menguntungkan negeri jiran juga membawa
implikasi dalam hukum nasionalnya karena beberapa tahun kemudian
negeri ini ternyata mengundangkan pada bulan Mei 2007 suatu peraturan
perundangan yang dinamakan ‘the Baselines of Maritime Zones Act’ 2006,
tetapi hingga sekarang Negara tersebut belum membuat peta ataupun
daftar koordinat geografis mengenai garis pangkal sebagai tindak lanjut
dari Undang-undang garis pangkal yang oleh negara tetangga dinyatakan
berlaku sejak 2007 lalu218.
217 Indonesia is highly likely to assert that any equidistance-based maritime boundary lines
be constructed using its straight archipelagic baselines. This argument has strong foundations. Indonesia was one of the champions of the archipelagic concept during theThird United Nations Conference on the Law of the Sea (UNCLOS III) and its baselines arguably provided a model for the terms of Article 47 of UNCLOS. Indonesia’s archipelagic straight baselines are, therefore, generally regarded to be in conformity with UNCLOS and have not been contested by its neighborsRobert Beckman, Moving Beyond Disputes over Island Sovereignty : ICJ Decision Sets Stage for Maritime Boundary Delimitation in the Singapore Strait, Ocean Development & International Law, 40, 2009 (Taylor & Francis Group, LLC), Hlm. 6. 218
The existence of Malaysia’s straight baselines is indicated by its maritime boundary agreements of 1969 and 1971 with Indonesia that relate to continental shelf rights and territorial sea, respectively (see below). Indeed, Malaysia’s straight baseline claims appear to have been prompted by a desire to counterbalance Indonesia’s archipelagic baselines in the context of continental shelf boundary negotiations between the two countries. Moreover, as mentioned above, in 1979, Malaysia issued a map setting out the limits of its claimed territorial waters and continental shelf.25 Some of the claimed territorial sea limits depicted on this map are straight, which indicates that they were constructed from straight baselines. However, no charts or lists of coordinates have been issued by Malaysia setting out the location of its baselines. Malaysia’s straight baselines may be reconstructed, or inferred, by drawing lines 12 nautical miles landward of and parallel to the straight line limits of the territorial waters indicated on the 1979 map. These “inferred baselines” have been criticized as being inconsistent with the criteria set out in Article 7 of UNCLOS on straight baselines. Although the 1979 map was published 3 years before UNCLOS was adopted and before Malaysia became a party, as a party to UNCLOS, Malaysia now has an obligation to bring its baselines and maritime zone claims into conformity with the Convention. It appears to be preparing to do so. Malaysia enacted the Baselines of Maritime Zones Act 2006 (Act 660) on May 1, 2007,27 which provides for normal baselines consistent with low-water lines as shown on large-scale charts and for the use of straight baselines linking specified basepoints along the coast.28 This Act is enabling legislation and Malaysia has not at the time of this writing published any charts or lists of geographical coordinates with respect to straight baselines. Malaysia should, in any event, ensure
256
Terbitnya ‘the Baselines of Maritime Zones Act’ 2006
memperlihatkan obsesi Negara tersebut untuk memanfaatkan azas
Negara kepulauan berupa penarikan garis pangkal lurus kepulauan yang
menghubungkan beberapa titik pangkal di wilayah perbatasan dengan RI,
yaitu titik pangkal di Pulau Sipadan, Ligitan, sebagian Pulau Sebatik,
Pulau Sabah dan wilayah Sarawak.
Namun obsesinya berbuah kecaman dari beberapa negara-negara
di kawasan Asia Tenggara sehingga Malaysia enggan (reluctant)
menerbitkan atau mengumumkan peta atau daftar koordinat geografis
titik-titik garis pangkal lurus kepulauan yang mungkin akan digunakan
untuk membangun garis batas maritim di daerah yang dianggap
dipersengketakan. Sulit pula membayangkan kalau negara tersebut bakal
mendepositkannya pada Sekretaris Jenderal PBB, sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 47 ayat 9 KHL 1982.
Dengan lahirnya kedua peraturan perundangan oleh masing-
masing negara setelah kasus kepemilikan kedua pulau diselesaikan oleh
Mahkamah Internasional, maka dapat dikatakan itulah implikasi putusan
ICJ terhadap titik pangkal dan delimitasi maritim dilihat dari perspektif
hukum nasional masing-masing pihak. Mengingat Malaysia bukan negara
kepulauan, maka kedua pulaunya masing-masing dapat saja dipakai
sebagai titik pangkal, tetapi ada hal-hal yang perlu digarisbawahi.
that its use of straight baselines under the 2006 Act is in conformity with Article 7 as interpreted by the Court in the Qatar/Bahrain case. Ibid., Hlm.6 - 7.
257
Titik pangkal pada masing-masing pulau tidak bisa berfungsi untuk
menarik garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines)
karena apabila penerapan garis seperti ini akan menyimpang terlalu jauh
dari konfigurasi umum kepulauan. Titik pangkal di pulau Ligitan dan
Sipadan juga tidak berfungsi untuk menarik garis pangkal lurus (straight
baselines) sebab Malaysia tidak memiliki sederetan pulau (a fringe of
islands) yang berdekatan dengan Sabah dan Sarawak. Titik pangkal pada
masing-masing pulau itu hanya berfungsi untuk menarik garis pangkal
normal (normal baselines) yang mengikuti kontur pantai masing-masing
pulau tersebut. Dengan demikian implikasinya terhadap delimitasi
maritim adalah bahwa garis pangkal normal pada kedua pulau tersebut
tidak dapat digunakan untuk membangun delimitasi maritim melalui
penyesuaian ‘equidistant line’ yang selama ini masih ada di daerah yang
dipersengketakan.
Sedangkan implikasi putusan itu dalam hukum internasional baik
menyangkut titik pangkal maupun garis batas maritim antara kedua
Negara merupakan sesuatu yang dapat ditarik dan disimpulkan dari
ketentuan-ketentuan konvensi serta praktek Negara-negara menyangkut
masalah titik garis pangkal dan delimitasi maritim.
Putusan ICJ 2002 hanya menyangkut penyelesaian sengketa
kepemilikan kedua pulau, tetapi tidak menyangkut penyelesaian garis
batas maritim di ‘disputed area’ yang terbentuk akibat tindakan sepihak
masing-masing Negara (unilateral act) yang mengklaim landas kontinen
258
atau zona ekonomi eksklusif, sedangkan jarak antara kedua pulau milik
Malaysia dengan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia yang
menghubungkan berbagai pulau terluar Indonesia tidak mencapai 400 mil
laut sehingga terbentuk ‘disputed area’ di kawasan itu.
Namun kedua Negara yang sudah terikat pada KHL 1982 harus
mencermati berlakunya ketentuan pasal 74 dan 83 konvensi yang memuat
azas-azas delimitasi maritim yang bermuara pada prinsip ‘equitable
solution219’ yang dalam praktek ternyata memperkenankan penerapan
‘relevant circumstances - equidistance line demi tercapainya ‘equitable
solution’atau ‘equitable result’.
Untuk mewujudkan apa yang dinamakan ‘equitable solution’, maka
harus diidentifikasi berbagai faktor yang dikategorikan sebagai ‘relevant
circumstances’. Hasil penelitian menunjukkan adanya berbagai faktor
relevan yang dapat digunakan untuk menyikapi sikap dan pendirian
Malaysia yang menghendaki dilakukannya penyesuaian (adjustment)
terhadap ‘equidistance line’ yang selama ini masih berlaku sebagai garis
batas maritim antara kedua Negara. Faktor geografi dan non geografi,
termasuk faktor hukum yang tercermin melalui ‘separate opinion’ dari
Judge Oda dapat dimanfaatkan untuk tetap memelihara dan
mempertahankan ‘equidistance line’ yang masih eksis sebelum dan
sesudah kasus Sipadan – Ligitan. Menurut beliau delimitasi maritim
antara kedua Negara tetap dapat dilakukan dengan mengenyampingkan
219
Ki Beom Lee, The Flexibility of the Rules Applied in Maritime Boundary Delimitation, (Edinburgh, School of Law, the University of Edinburgh 2011), Hlm. 6 – 7.
259
peranan kedua pulau sebagai titik pangkal. Meskipun kedua pulau telah
menjadi wilayah kedaulatan Malaysia, namun hal ini tidak mempunyai
kaitan dan tidak mempengaruhi garis batas maritim kedua Negara.
Selain ‘separate opinion’ sebagai ‘relevant circumstances’, maka
beberapa faktor geografi dan non geografi lainny terbuka lebar untuk tidak
melakukan penyesuaian terhadap ‘equidistance line’ sebagai garis batas
maritim yang masih ada di daerah yang dianggap dipersengketakan
(disputed area). Sebagaimana diketahui akibat kepemilikan Malaysia atas
kedua pulau, negara tetangga menghendaki dilakukannya penyesuaian
terhadap ‘equidistance line’ yang ditetapkan oleh Indonesia, di mana garis
seperti ini dibangun dengan memakai patokan dari garis pangkal lurus
kepulauan yang menghubungkan sekian banyak titik pangkal atau titik
dasar220.
Dengan posisi masing-masing pihak terkait perlu tidaknya
penyesuaian ‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim, maka
implikasi lainnya dari putusan ICJ 2002 atau implikasi lepasnya Sipadan
dan Ligitan adalah bahwa selama belum tercapai penyelesaian delimitasi
maritim secara tuntas (final delimitation), kedua Negara harus berupaya
untuk membuat ‘provisional arrangement’ yang bersifat praktis. Di
samping itu, selama belum tercapai penyelesaian yang bersifat tuntas
menyangkut delimitasi maritim, implikasi lainnya adalah bahwa kedua
220
Perhatikan PP 38/ 2002 dan Lampiran nomor urut 17 sampai dengan 20 , yaitu Pulau Ligitan (TD 036C), Pulau Ligitan (TD 036B), Pulau Sipadan (TD 036 A), Tg Arang (TD 037). Keempat Titik Dasar ini mengalami perubahan dalam PP 37/ 2008 sehingga menjadi TD 036 (Pulau Sebatik), TD 036A (Pulau Sebatik), TD 036B (Pulau Sebatik), TD 037 (Karang Unarang).
260
Negara harus berupaya untuk tidak membahayakan atau menghambat
tercapainya penuntasan garis batas maritim di daerah yang dianggap
bermasalah (disputed area). Upaya seperti ini hanya dapat dilakukan
apabila dilandasi semangat saling pengertian dan kerjasama antara kedua
Negara sehingga berbagai kegiatan di daerah yang dianggap
dipersengketakan (disputed area) tetap bisa dijalankan, sementara para
pihak dapat saling menghormati posisi masing-masing pihak dalam
menyelesaikan garis batas maritim secara menyeluruh (final delimitation).
Perjanjian yang disebut ‘Prevention of Incidences at Sea
Agreement’ yang telah berlaku pada tahun 2003 adalah upaya kedua
Negara bertetangga untuk tidak membahayakan atau menghambat
tercapainya penyelesaian delimitasi maritim secara tuntas. Perjanjian
seperti ini menyiratkan kewajiban kedua belah pihak untuk memelihara
status quo dalam bentuk mempertahankan pendirian masing-masing
dalam menyelesaikan garis batas maritim di daerah yang dianggap
dipersengketakan.
Implikasi putusan ICJ terhadap titik garis pangkal dan delimitasi
maritim seharusnya juga bermuara pada peninjauan atas kebijakan dan
berbagai peraturan perundang nasional Indonesia, khususnya yang terkait
titik pangkal dan delimitasi maritim untuk disesuaikan dengan ketentuan-
ketentuan KHL 1982 maupun praktek Negara-negara serta yurisprudensi.
Peninjauan dan penyesuaian kebijakan seperti itu sebagai implikasi kasus
Sipadan - Ligitan adalah relevan karena kebijakan nasional, khususnya
261
menyangkut titik garis pangkal dan delimitasi maritim selama ini belum
berjalan sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945.
262
Bagan Kerangka Pikir
263
S. Definisi Operasional
1. Titik pangkal (basepoint) apabila dipakai dalam analisis Konvensi
Hukum Laut berarti setiap titik di garis pangkal. Dalam metode garis
pangkal lurus (straight baselines), di mana satu garis pangkal lurus
bertemu dengan garis pangkal lain pada titik yang lazim (common
point), satu garis dapat dikatakan menuju pada titik tersebut untuk
membentuk garis pangkal lain. Titik seperti itu dapat dikatakan sebagai
titik yang merubah garis pangkal atau secara sederhana dapat disebut
titik pangkal (basepoint). Bagaimanapun juga titik (point) diartikan
sebuah lokasi yang dapat ditentukan dengan koordinat geografis dan
data geodetis yang memenuhi standard Konvensi Hukum Laut.
2. Garis pangkal (baselines) adalah garis yang dipergunakan oleh suatu
negara pantai (coastal state) untuk menetapkan jalur-jalur lautnya,
seperti laut territorial, jalur tambahan, zona ekonomi eksklusif dan
landas kontinen. Garis pangkal itu ada beberapa macam, yaitu garis
pangkal normal (normal baselines), garis pangkal lurus (straight
baselines), garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic
baselines), garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines).
3. Garis pangkal normal (normal baselines) adalah garis yang mengikuti
segala lekak lekuk dari pantai yang terjadi ketika air laut surut. Oleh
karena itu garis pangkal normal juga disebut dengan istilah garis air
surut. Garis pangkal normal atau garis air surut dapat dipergunakan
oleh negara pantai biasa (normal coastal state), yaitu Negara yang
264
wilayahnya terdiri dari wilayah daratan dengan perairan yang terdapat
di sekitarnya, misalnya Australia, Korea Selatan, AS dan lain-lain.
4. Garis pangkal lurus (straight baselines) adalah garis yang
menghubungkan titik-titik terluar dari suatu daratan utama (mainland)
dengan titik-titik terluar dari gugusan pulau yang berada di depan
daratan utama tersebut. Untuk pertama kalinya garis pangkal lurus
mendapat pengakuan secara internasional sejak keluarnya keputusan
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam kasus
perikanan antara Inggeris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries
Case) 1951. Pengaturannya dapat dilihat dalam pasal 5 Konvensi
Geneva 1958 tentang laut territorial, pasal 7 Konvensi Hukum Laut
1982, peraturan perundangan nasional Indonesia (UU No. 6 Tahun
1996). Garis pangkal lurus dapat dipergunakan baik oleh Negara pantai
dengan ciri-ciri geografis yang bersifat khusus (adanya mainland dan
sederetan pulau di dekatnya maupun terutama oleh Negara kepulauan.
5. Garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) adalah
garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau
terluar dari kepulauan. Akan tetapi garis pangkal lurus kepulauan tidak
dapat berdiri sendiri sehingga garis pangkal seperti ini hanya dapat
dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal biasa dan
garis pangkal lurus. Garis pangkal lurus kepulauan hanya dapat
dipergunakan dan diterapkan oleh Negara kepulauan semata-mata.
265
6. Garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines) adalah garis pangkal
yang merupakan perpaduan dari semua garis pangkal (garis pangkal
normal, garis pangkal lurus, garis pangkal lurus kepulauan dan garis
lurus atau garis penutup pada teluk, sungai dan pelabuhan yang
terdapat pada pulau-pulau terluar. Dengan demikian garis pangkal
kepulauan hanya berlaku untuk Negara kepulauan (archipelagic state).
7. Garis Penutup (Closing Line) adalah garis pemisah antara perairan
pedalaman dan laut territorial, di mana garis ini menutup mulut sungai,
teluk atau pelabuhan yang terdapat di Negara pantai yang normal
(normal coastal state) ; namun garis penutup dapat pula menjadi garis
pemisah antara perairan pedalaman dan perairan kepulauan, di mana
garis ini menutup mulut sungai, teluk atau pelabuhan yang terdapat di
Negara kepulauan (archipelagic state) sebagaimana dinyatakan dalam
pasal 9-11, dan 50.
8. Negara kepulauan (Archipelagic State) adalah Negara yang terdiri dari
satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan kepulauan (archipelago) adalah
sekumpulan pulau-pulau, termasuk bagian-bagian pulau, perairan di
antaranya, serta bentuk-bentuk alamiah lainnya yang berhubungan
sedemikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan serta bentuk-bentuk
alamiah tersebut membentuk satu kesatuan geografis, ekonomi dan
politik yang hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai satu
kesatuan seperti itu.
266
9. Batas Maritim (Maritime Limit) berarti batas dari wilayah maritim
(maritime spaces) yang di atasnya suatu Negara dapat menjalankan
yurisdiksi yang sesuai dengan fungsi dari wilayah maritim itu. Suatu
Negara dapat menetapkan batas-batas maritimnya sendiri (maritime
limit) dalam kaitan dengan laut territorial atau zona ekonomi
eksklusifnya berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum
internasional. Negara-negara dapat menetapkan sendiri batas-batas
maritimnya, terkecuali untuk batas luar landas kontinen di luar 200 mil
laut, dalam hal tidak terdapat Negara-negara yang saling berdampingan
(adjacent states) ataupun yang saling berhadapan (opposite states)
berdasarkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum internasional.
Dengan demikian maritime limit dapat ditetapkan secara sepihak
sehingga memiliki semacam karakter unilateral (unilateral character).
Akan tetapi karena hampir setiap Negara (terkecuali Negara tidak
berpantai) mempunyai pantai yang saling berhadapan atau
berdampingan dengan pantai Negara lain, maka penetapan hak-hak
maritimnya kemungkinan besar mengalami duplikasi atau tumpang
tindih dengan Negara-negara lain, apalagi Negara-negara dapat saja
mengklaim zona-zona maritim untuk mewujudkan kepentingannya
secara maksimal.221
10. Garis-garis batas maritim (maritime boundaries) adalah garis-garis
yang meliputi garis batas laut territorial (territorial sea), garis batas
221
Ki Beom Lee,The Flexibility of the Rules Applied in Maritim Boundary Delimitation (Edinburgh: School of Law, The University of Edinburgh, 2011), Hlm. 1-2
267
zona tambahan (contiguous zone), garis batas zona ekonomi eksklusif
(exclusive economic zone), garis batas landas kontinen (continental
shelf) antara dua Negara atau lebih yang bagian-bagian lautnya
tumpang tindih satu sama lain (overlapping) karena masing-masing
Negara tidak dapat mengklaim jalur laut sampai batas maksimal.
Dengan demikian Garis Batas Maritim (Maritime Boundary)
menunjukkan adanya semacam pembagian atau pemisahan (division)
dalam hubungan dengan zona-zona maritim Negara lain. Untuk
menetapkan garis batas maritim di antara Negara-negara yang
pantainya saling berhadapan (opposite states) atau yang pantainya
saling berdampingan (adjacent states) diperlukan landasan bilateral
atau multilateral. Konsep maritime boundary penting karena berfungsi
untuk membatasi sejauh mana suatu Negara dapat menikmati hak-hak
maritim yang berhubungan dengan sebuah zona maritim.
11. Delimitasi Maritim (Maritime Delimitation) berarti menetapkan sebuah
hubungan maritim di antara dua Negara atau lebih karena hak-hak
kemaritiman yang ditetapkannya mengalami duplikasi atau tumpang
tindih (overlap). Untuk mencegah dan menanggulangi hak-hak
kemaritiman yang tumpang tindih dari dua Negara tetangga, maka
delimitasi maritim memerlukan landasan internasional. Jika tidak
terjadi duplikasi atau tumpang tindih antara hak-hak kemaritiman dari
dua Negara tetangga atau lebih, maka yang terjadi adalah penetapan
268
batas maritim (maritime limit) yang dapat dilakukan secara sepihak
tanpa diperlukan landasan internasional (bilateral atau multilateral).
12. Garis Delimitasi (line of delimitation) adalah sebuah garis yang ditarik
pada peta (a map or chart) yang menggambarkan pemisahan
yurisdiksi maritim apapun, dengan memperhatikan bahwa garis
delimitasi dapat dihasilkan dari tindakan sepihak (unilateral action)
atau dari persetujuan bilateral, dan dalam beberapa hal Negara atau
negara-negara yang bersangkutan diwajibkan untuk mengumumkan
dengan sepatutnya222.
13. Garis sama jarak (equidistance line), sinonim dengan ‘equidistant line’
atau ‘median line’, berarti suatu garis yang setiap titiknya sama
jauhnya dari titik-titik terdekat pada garis pangkal dari dua negara.
14. Dalam mempersiapkan koordinat geografis (geographic coordinates)
serta untuk maksud yang sama berdasarkan Konvensi Hukum Laut,
garis lintang (latitude) dinyatakan dalam derajat, menit dan detik, atau
decimal dari suatu menit, dari 0 derajat hingga 90 derajat utara atau
selatan Equator. Garis-garis atau lingkaran yang menggabungkan
titik-titik garis lintang yang sama dikenal dengan garis lintang yang
sejajar (parallels of latitude or parallels)223.
222
George K. Walker, Definitions for the Law of the Sea. Terms not defined by the 1982 Convention, (Leiden.Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2012), Hlm. 235-236
223 Ibid, Hlm. 233
269
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam
penelitian ini, dipergunakan tipe penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif digunakan dengan alasan untuk mengidentifikasikan
konsep atau gagasan dan azas-azas hukum dalam menelaah dan
mengkaji secara mendalam mengenai Implikasi Putusan ICJ dalam
Kasus Sengketa Kepemilikan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan terhadap
Titik Pangkal dan Garis-Garis Batas Maritim (maritime delimitation).
B. Lokasi Penelitian
Penelitian hukum yang sifatnya normatif pada dasarnya dilakukan
dengan cara mempergunakan bahan-bahan hukum yang dipadukan
dengan data-data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library
research).
Pengumpulan data-data (dalam hal ini data-data sekunder)
dilakukan melalui penelitian kepustakaan baik yang terdapat di beberapa
perguruan tinggi dalam dan luar negeri, seperti Universitas Hasanuddin di
Makassar (Indonesia) dan ‘University of Utrecht’ di Utrecht (Netherlands).
Di samping itu bahan-bahan hukum juga akan diusahakan untuk diperoleh
melalui penelitian lapangan pada beberapa instansi pemerintah baik di
Jakarta maupun beberapa kota lain dalam wilayah Republik Indonesia
maupun melalui jaringan internet.
270
C. Jenis dan Sumber Data
Cara pengumpulan data atau bahan hukum dalam penelitian ini
dilakukan dengan melakukan inventarisasi dokumen melalui studi pustaka
dan studi lapangan. Studi pustaka adalah cara mencari bahan hukum atau
data dengan mengkaji dokumen hukum, berupa buku-buku referensi,
literatur hukum, jurnal hukum dan ketentuan hukum perundang-undangan
serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait yang
mencakup: (a) bahan hukum primer, (b) bahan hukum sekunder dan (c)
bahan hukum tersier.
Data yang diperoleh dari penelitian lapangan adalah data primer
tentang segala sesuatu yang ada kaitannya dengan aspek hukum dari
implikasi kasus Sipadan dan Ligitan terhadap titik pangkal dan garis-garis
batas maritim. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian
lapangan dilakukan melalui wawancara dengan pejabat instansi
pemerintah.
D. Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah metode kualitatif. Dengan
metode kualitatif dilakukan analisis atau contempt of analysis terhadap isi
ketentuan hukum yang berkaitan dengan Implikasi Putusan Mahkamah
Internasional dalam Kasus Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan terhadap Titik
Pangkal dan Garis Batas Maritim.
Langkah-langkah analisis bahan hukum dilakukan melalui
beberapa tahapan, seperti bahan hukum yang dikumpulkan
271
disistematisasi, yaitu ditata dan disesuaikan dengan obyek yang diteliti,
kemudian bahan yang sudah disistematisasi diungkapkan atau
dieksplisitkan, yaitu diuraikan dan dijelaskan sesuai dengan obyek yang
diteliti berdasarkan teori, dan akhirnya bahan yang telah dieksplisitkan
dilakukan evaluasi, yaitu dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan
hukum yang berlaku.
335
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pulau-Pulau Ligitan dan Sipadan dan Daerah Lepas Pantai
Ambalat224
Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan kedua-duanya berlokasi di Laut
Sulawesi di pantai Timur Laut Pulau Borneo (Kalimantan) dan jauhnya
sekitar 15,5 mil laut. Ligitan adalah sebuah pulau yang sangat kecil yang
terletak paling Selatan dari karang besar berbentuk bintang yang
mengarah ke Selatan dari pulau-pulau Danawan dan Si Amil.
Koordinatnya adalah 4o 9’ lintang utara dan 118o 53’ bujur timur. Pulau
Ligitan berada sekitar 21 mil laut dari Tanjung Tutop di Jazirah Semporna,
area terdekat di Borneo. Karena senantiasa berada di atas permukaan
laut dan umumnya berpasir, Ligitan adalah sebuah pulau dengan tumbuh-
194 Ambalat merupakan landas kontinen Indonesia dengan kedalaman 2500
meter di dasar laut perairan Kalimantan Timur dan bukan sebuah pulau. Dari peta wilayah konsesi Ambalat terlihat bahwa wilayah Ambalat sangat dekat dengan Pulau Tarakan dan Pulau Bunyu. Letak Ambalat kurang lebih 80 mil laut dari Pulau Tarakan. Blok Ambalat ini memang berbatasan dengan blok milik Malaysia, yaitu blok ND 6 dan ND 7. Landas kontinen milik Malaysia ini ditarik dari Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai konsekuensi dari keputusan ICJ pada tahun 2002, yang dimenangkan Malaysia atas sengketa kedua pulau dengan Indonesia. Kekayaan cadangan minyak dan gas yang terkandung di Ambalat diperkirakan cukup besar, sekitar 1-2 milyar barel minyak dan 3-5 triliun kaki kubik gas alam (LNG). Malaysia telah memberikan konsesi kepada Shell untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di blok ND 6 dan ND 7 yang tumpang tindih dengan blok Ambalat dan East Ambalat, di mana blok tersebut masih masuk dalam perairan Indonesia (lihat Peta Tumpang Tindih Lahan Wilayah Kerja). Pemerintah Indonesia juga memberikan konsesi di kedua blok itu kepada Unocal (perusahan minyak milik Amerika Serikat) hingga tahun 2028 dan ENI (perusahan minyak milik Italia) sampai tahun 2029. Permasalahan tumpang tindih di wilayah ini sampai kini belum terselesaikan oleh kedua negara. Lihat Awani Irewati, CPF Luhulima, Sjamsumar Dam, Rosita Dewi, Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian Politik, 2006), Hlm. 98-99
273
tumbuhan kecil (low-lying vegetation) serta beberapa pepohonan
sehingga pulau ini tidak dapat didiami secara permanen225.
Meskipun lebih besar dari Pulau Ligitan, Pulau Sipadan juga adalah
sebuah pulau kecil dengan area seluas kira-kira 0,13 kilometer persegi.
Koordinatnya adalah 4o 6’ lintang utara dan 118o 37 ‘bujur timur. Pulau
Sipadan letaknya sekitar 15 mil laut dari Tanjung Tutop dan 42 mil laut
dari pantai timur Pulau Sebatik. Sipadan adalah sebuah pulau vulkanik
dengan hutan lebat (a densely wooded island of volcanic origin) dan
merupakan puncak dari gunung bawah laut dengan ketinggian sekitar 600
sampai 700 meter yang di sekitarnya terbentuk sebuah atol (a coral atoll).
Hingga tahun 1980-an Pulau Sipadan tidak dapat didiami secara
permanen. Akan tetapi ketika pulau ini dikembangkan menjadi sebuah
resort wisata sejak tahun 1980-an, terutama untuk aktivitas penyelaman
(for scuba diving), maka Pulau Sipadan sudah dapat didiami secara
permanen.
Pulau Borneo terbagi antara Brunei, Indonesia dan Malaysia. Garis
perbatasan darat antara Indonesia dan Malaysia diselesaikan oleh
Pemerintah Inggeris dan Belanda dalam tenggang waktu antara tahun
1891-1928. Ujung barat dari garis batas daratan adalah Tanjung Datu
yang terletak di tepian pantai Laut Cina Selatan. Ujung atau terminal timur
dari garis tersebut berlokasi di Laut Sulawesi, di mana pantai timur Pulau
Sebatik dipotong dengan garis 40 10’ Lintang Utara. Inilah ujung terakhir di
225
Victor Prescott and Clive Schofield, The Maritime Political Boundaries of the World. Second Edition (Leiden/ Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2005), Hlm. 451.
274
mana garis batas laut territorial dan zona ekonomi eksklusif dari Indonesia
dan Malaysia berpotensi untuk dieksaminasi226.
Ke selatan garis 40 10’ Lintang Utara di pantai timur Pulau Sebatik,
titik pangkal Indonesia yang digunakan dalam menetapkan garis pangkal
lurus kepulauan dan membangun garis sama jarak adalah Takat (Rock)
Unarang, Pulau Sebatik, Pulau Maratua dan karang-karang di sekitarnya
(associated reefs) dan seterusnya. Sangat mengherankan, Karang
Unarang tidak terlihat sebagai salah satu titik pangkal yang menentukan
garis pangkal kepulauan Indonesia, tetapi tampaknya tidak ada rintangan
dalam konteks pasal 47 KHL 1982 untuk menggunakan Karang Unarang
sebagai titik pangkal227. Dalam edisi pertama dari ‘the British Sailing
Directions’ 1976 Takat Unarang terlihat sebagai suatu elevasi surut (a low-
tide elevation)… yang mengering 0,3 m (1 f) dan tegak…” Di edisi kedua
tertanggal 1999, tempat masuk (the entry) terbaca…Uanarang 40 01’
Lintang Utara, 1180 05’ Bujur Timur sebuah karang yang curam…”
226
Ibid, Hlm. 452.
227 Karang (rock, reef) dapat dikategorikan sebagai elevasi surut (low tide
elevation), yang berdasarkan ketentuan artikel 121 KHL 1982, diartikan sebagai wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah, yang berada di atas permukaan laut pada waktu air laut mencapai level surut yang maksimal., tetapi wilayah ini tidak kelihatan ketika air laut sedang mengalami level pasang yang maksimal. Meskipun elevasi surut tidak tampak di atas permukaan laut pada saat-saat tertentu, elevasi surut bisa digunakan sebagai titik pangkal (base point) untuk penarikan garis pangkal asalkan Negara pemiliknya sudah mendirikan mercusuar atau instalasi serupa yang secara terus menerus tetap berada di atas permukaan laut (lihat artikel 47 dan artikel-artikel lain dari KHL 1982). Atas dasar ketentuan ini, maka Karang Unarang yang berada di lepas pantai timur Pulau Sebatik dapat dipergunakan sebagai titik pangkal bagi garis pangkal kepulauan Indonesia. Lihat juga Victor Prescott and Clive Schofield, The Maritime Political Boundaries of the World. Second Edition, (Leiden / Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2005), Hlm. 451.
275
Jilka Takat Unarang adalah sebuah elevasi surut, maka Indonesia
adalah satu-satunya yang dapat menggunakannya. Elevasi surut ini
terletak 10 mil laut dari titik terdekat pada garis air rendah wilayah
Indonesia dan di dalam perairan teritorialnya. Elevasi surut ini letaknya 13
mil laut dari titik terdekat pada garis air rendah di wilayah Malaysia.
Terdapat laporan bahwa Takat Unarang adalah sebuah karang
bawah air (submerged rock). Jika laporan ini benar, maka Takat Unarang
tidak dapat digunakan sebagai titik pangkal. Dalam sebuah gambar sudah
ditarik dua garis sama jarak. Terdapat garis sama jarak yang
mengabaikan status Takat Unarang sebagai titik pangkal, tetapi garis
sama jarak lainnya menyebabkan karang tersebut berlaku sepenuhnya
(full effect) sebagai titik pangkal.
Menuju ke arah barat dari pantai timur Pulau Sebatik pada 40 10’
Lintang Utara, titik pangkal Malaysia yang digunakan dalam menetapkan
garis pangkal maupun membangun garis sama jarak adalah Hand Rock
dan Ligitan Reefs. Garis sama jarak meluas dari terminal terakhir
perbatasan darat pada garis sejajar 40 10’ Lintang Utara bagi sekitar 165
mil laut sampai segitiga (trijunction) dengan Philipina. Segitiga ini dekat 30
03’ Lintang Utara, 1200 03’ Bujur Timur serta sama jaraknya dari Frances
Reef kepunyaan Philipina, Pulau Ligitan di Malaysia dan Karang Muaras
di Indonesia. Di sana tidak tampak ada daerah (ground) yang
dipersengketakan (disputed area) oleh Indonesia dan Malaysia dengan
276
alasan garis sama jarak akan dapat menciptakan garis batas maritim yang
tidak adil.
Indonesia dan Malaysia mengklaim sebagian Laut Sulawesi, lepas
pantai Kalimantan (Borneo) yang dikenal dengan nama Ambalat. Karena
di Laut Cina Selatan diperkirakan terdapat hidrokarbon, maka di Laut
Sulawesi terdapat kekayaan hidrokarbon sangat besar yang berkisar
antara 100 juta hingga 1 milyar barrel minyak. Walaupun ICJ telah
memutuskan masalah kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan,
Mahkamah tidak menetapkan perbatasan maritim di antara Indonesia dan
Malaysia228.
Dalam keadaan seperti ini tidak mengherankan timbul
persengketaan di antara mereka pada Februari 2005 ketika Malaysia
mengeluarkan izin eksplorasi bagi perusahaan minyaknya, yaitu Petronas,
bermitra dengan Kerajaan Belanda (Royal Dutch) serta perusahaan
eksplorasi Shell. Konsesi seperti itu ternyata tumpang tindih (overlap)
228
Sengketa Ambalat yang tengah terjadi sesungguhnya mencerminkan belum dibuatnya satu perjanjian batas maritim antara Indonesia dan Malaysia di Laut Sulawesi. Munculnya interpretasi atas yurisdiksi masing-masing negara di Laut Sulawesi ini bisa menjadi potensi konflik di semua bidang apabila kedua negara tidak segera melakukan satu perundingan bersama guna melahirkan satu perjanjian perbatasan maritime di Laut Sulawesi…Kedua negara sebenarnya memiliki peluang untuk membicarakan masalah perbatasan laut di Laut Sulawesi, yaitu ketika keduanya bertemu rutin setiap tahun untuk membicarakan masalah pengembangan wilayah perbatasan secara umum di bawah Komite yang dinamakan ‘General Border Committee’. Keduanya membicarakan dan melihat sejauh mana perkembangan masalah pengelolaan perbatasan kedua negara, baik perbatasan darat maupun laut, itu dicapai. Sejak tahun 1967 kedua negara sebenarnya telah membuat satu perjanjian tentang pengelolaan akses perbatasan, dan hal yang berkaitan dengan perdagangan lintas batas di lautan dimuat dalam Pasal 3 tentang Perdagangan Lintas Batas di Lautan. Pada saat itu kedua negara membuat perjanjian dengan penekanannya pada Perdagangan Lintas Batas termasuk lintas batas di Lautan, tetapi tidak mencakup masalah penentuan garis-garis batas maritime di Laut Sulawesi, etc. Lihat Awani Irewati, dkk, Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia – Malaysia di Laut Sulawesi, (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Politik, 2006), Hlm. 95-96.
277
dengan blok tambang yang diklaim oleh Indonesia, yang juga jauh
sebelumnya telah mengeluarkan konsesi di wilayah itu kepada
perusahaan minyak Italia dan Amerika Serikat.
Kedua Negara saling melakukan kecaman atas keluarnya konsesi-
konsesi tersebut dan masalahnya mengalami eskalasi pada bulan Maret
2005 ketika pasukan militer dikerahkan ke wilayah Ambalat yang
dipersengketakan. Penambahan angkatan laut dan pasukan militer serta
banyaknya insiden konfrontasi sejak waktu itu (protes resmi sudah
dikirimkan pada Oktober 2008 oleh Indonesia) menentang pasukan
angkatan bersenjata Malaysia di wilayah itu yang bertentangan dengan
Piagam ASEAN menunjukkan betapa besar nilai yang berada di balik
klaim masing-masing pihak atas wilayah itu, mulai dari martabat bangsa
(national prestige) dan keamanan rute-rute pelayaran (the security of
navigational routes) sampai keamanan energy (energy security). Baik
Indonesia maupun Malaysia tidak memberikan indikasi kalau mereka akan
merundingkan klaimnya terhadap wilayah yang bersangkutan, yang
disebabkan karena pada umumnya masalah delimitasi maritim di antara
negara-negara memang sulit untuk dilakukan.
B. Sejarah Penerapan Titik Pangkal untuk Menarik Garis Pangkal dan
Membangun Delimitasi Maritim di Perairan Indonesia
Sejarah perjalanan garis pangkal yang dibangun dari titik pangkal di
negeri ini dapat ditelusuri sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, di
mana pada masa itu garis pangkal yang digunakan untuk menetapkan
278
jalur-jalur maritim, terutama laut teritorial adalah garis pangkal normal
yang juga dapat dinamakan sebagai garis pasang surut (normal
baselines) di setiap pulau atau bagian pulau yang berfungsi sebagai titik
pangkal (basepoint). Dengan demikian pada zaman kolonial titik pangkal
di setiap pulau entah besar atau kecil dipakai untuk menarik garis pangkal
normal dan bukan garis pangkal lurus. Di samping itu titik pangkal seperti
itu juga dimaksudkan untuk membangun batas-batas maritim berupa
batas-batas laut territorial dari setiap pulau karena pada masa itu laut
territorial negara-negara bertetangga belum mengalami masalah duplikasi
(overlapping) sehingga dapat ditetapkan secara sepihak oleh masing-
masing negara. Kenyataan seperti itu tentu saja tidak dapat dipisahkan
dari perkembangan hukum laut pada masa itu, di mana prinsip yang
mengilhami Negara-negara pantai pada umumnya, termasuk negeri
Belanda dalam menetapkan pengaturan hukumnya adalah prinsip
kebebasan laut (freedom of the seas) yang bersumber dari ajaran Grotius
(Hugo de Groot, 1583-1645) dengan bukunya yang berjudul Mare
Liberum229.
Ajarannya antara lain mengemukakan bahwa tuntutan atas laut
yang didasarkan atas penemuan (discovery), penguasaan yang lama
(prescription) ataupun servitut (servitude) tidaklah dapat diterima karena
semuanya bukanlah alasan untuk memperoleh hak kepemilikan
(ownership) atas laut. Meskipun demikian, Grotius mengakui bahwa anak-
229
Hasjim Djalal, Perjuangan Indonesia di bidang Hukum Laut, (Bandung, Binacipta, 1979), Hlm. 14 – 16.
279
anak laut, laut pedalaman (inner sea) dan sungai-sungai, sekalipun
mempunyai sifat yang cair, dapat dimiliki karena ada batas-batasnya, di
mana tepinya dapat dianggap sebagai per aliud atau pengecualian.230
Dalam perkembangannya kemudian ternyata Grotius dalam
bukunya De Jure Belli ac Pacis (1625) telah mengubah pendiriannya
sehingga pada akhirnya ia mengakui bahwa laut di sepanjang pantai
suatu negara pun dapat pula dimiliki sejauh yang dapat dikuasai dari
darat, yang juga berarti dari pantai atau garis pangkal biasa pada setiap
pulau yang dimiliki oleh negara pantai yang bersangkutan. Doktrin
kebebasan laut inilah yang melandasi pengaturan hukum kolonial
Belanda, dalam hal ini ordonansi laut territorial dan lingkungan maritim
yang juga dinamakan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie
(TZMKO) 1939 (Staatsblad 1939 Nomor 442).
Ordonansi yang diberlakukan dalam wilayah Hindia Belanda
berdasarkan azas konkordansi menyatakan bahwa setiap pulau besar
atau kecil yang terdapat dalam wilayah hukum Hindia Belanda memiliki
laut teritorialnya sendiri-sendiri, di mana laut territorial pada setiap pulau
mempunyai lebar yang ditentukan sejauh 3 mil laut terhitung dari garis
pangkal normal (normal baselines) yang dibangun dari setiap pulau yang
dipakai sebagai titik pangkal. Dengan begitu wilayah perairan Hindia
Belanda terdiri dari kumpulan laut-laut territorial yang lebarnya masing-
230
Ibid, Hlm. 15.
280
masing adalah 3 mil laut yang diukur dari garis pangkal normal yang
dibangun dari setiap pulau sebagai titik pangkal.
Demikian peraturan kolonial itu mengakibatkan terbentuknya
kantung-kantung laut bebas antara suatu pulau dengan pulau lain maupun
antara suatu bagian pulau dengan pulau sehingga pascaproklamasi
kemerdekaan ordonansi yang menggunakan garis pangkal biasa harus
dihapuskan dan dinyatakan tidak berlaku karena dipastikan dapat
mengancam dan membahayakan kedaulatan dan keutuhan territorial
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berbagai pertimbangan
mendorong Pemerintah RI sehingga pada tahun 1957 merombak
pengaturan wilayah perairan yang berlandaskan garis pangkal normal
(normal baselines) atau garis pasang surut pada setiap pulau sebagai titik
pangkal menjadi garis pangkal lurus (straight baselines) yang dibangun
dari titik-titik terluar atau titik-titik pangkal karena hanya dengan konsep
titik pangkal atau titik terluar dan garis pangkal lurus yang dapat
menyatukan seluruh wilayah darat dan laut.231 Batas-batas maritim dan
delimitasi maritim dibangun dengan pendekatan konsep titik terluar berupa
pulau-pulau terluar dan garis pangkal lurus.
Garis pangkal lurus yang digunakan dalam Pengumuman
Pemerintah 13 Desember 1957 dan Undang-Undang Nomor 4/ Prp. 1960
dan berbagai peraturan perundangan nasional bukan sesuatu yang baru
pada waktu itu sebab sebelumnya sudah ada semacam preseden
231
Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., Hlm. 187.
281
(precedent) dalam hukum internasional. Putusan Mahkamah Internasional
dalam sengketa antara Inggris dan Norwegia pada tahun 1951 menjadi
sebuah preseden atau kejadian penting dalam perkembangan hukum
internasional terkait penarikan garis pangkal karena untuk pertama kalinya
Mahkamah mengakui garis pangkal lurus sebagai salah satu cara
penarikan garis pangkal yang dapat dipakai untuk menetapkan lebar laut
territorial 232. Hal ini berarti bahwa untuk pertama kalinya putusan tersebut
mengakui penggunaan pulau-pulau terluar sebagai titik pangkal untuk
menarik garis pangkal lurus dan menetapkan jalur-jalur maritim, termasuk
membangun delimitasi garis batas maritim.
Sebenarnya penggunaan dan penetapan pulau terluar sebagai titik
pangkal sudah diperkenalkan melalui Undang-Undang yang pernah dibuat
oleh Pemerintah Norwegia yang dinamakan Royal Decree 1935 yang
menerapkan metode penarikan garis pangkal lurus yang ditarik dari titik
pangkal di daratan utama (mainland) menuju ke titik pangkal di pulau-
pulau terluar, namun tindakan unilateral negara tersebut baru
mendapatkan legitimasi lewat putusan Mahkamah Internasional pada
tahun 1951. Putusan Mahkamah dalam The Anglo-Norwegian Fisheries
Case dan beberapa pertimbangannya kemudian dimasukkan ke dalam
Pasal 5 dari Konvensi Geneva 1958 mengenai laut teritorial dan jalur
tambahan dan selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 7 KHL 1982.
232
Ibid., Hlm. 98-100.
282
Berbagai perjanjian garis batas maritim yang sudah diadakan
dengan hampir semua negara tetangga sejak berakhirnya dekade 1960-
an pada prinsipnya memuat semacam pengakuan oleh berbagai Negara
tetangga terhadap penerapan titik pangkal bagi penarikan garis pangkal
lurus (straight baselines) ataupun garis pangkal lurus kepulauan (straight
archipelagic baselines), yaitu garis pangkal yang menghubungkan titik-titik
terluar berupa pulau-pulau terluar yang terdapat di dalam wilayah
kepulauan Indonesia. Istilah garis pangkal lurus yang digunakan dalam
Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 dan berbagai peraturan
implementasinya mempunyai makna yang sama dengan istilah garis
pangkal lurus kepulauan berbasis titik terluar atau titik pangkal yang
digunakan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 serta berbagai
peraturan tindak lanjut dari peraturan perundangan ini. Sesungguhnya
garis pangkal lurus hanya bisa digunakan secara silih berganti dengan
garis pangkal normal karena setiap pulau terluar atau fitur alamiah terluar
mempunyai fungsi baik untuk menarik garis pangkal normal maupun garis
pangkal lurus ataupun garis-garis lain.
Garis-garis lainnya dapat mencakup garis lurus (straight lines) yang
dapat ditarik pada pelabuhan atau sungai yang terdapat pada pulau
terluar. Di samping garis lurus, garis-garis lain juga dapat mencakup apa
yang disebut garis penutup (closing lines) yang ditarik dari mulut teluk
yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut apabila teluk tersebut terletak
pada suatu pulau terluar.
283
Kasus teluk Sidra yang melibatkan Pemerintah Libya yang pada
waktu itu dipimpin oleh Kolonel Moammar Khadafi serta Pemerintah
Amerika Serikat di bawah Presiden Reagan pada tahun 1981
menunjukkan bahwa penerapan garis penutup pada sebuah teluk
seharusnya mengikuti ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut yang
berlaku.
Garis penutup yang ditarik oleh Libya guna menutup perairan teluk
Sidra memiliki kepanjangan sampai ratusan mil jauhnya yang
menghubungkan kedua ujung atau titik dari teluk itu, sedangkan Pasal 7
dari Konvensi Hukum Laut 1982 sudah menetapkan garis penutup
tersebut tidak boleh melebihi 24 mil laut sehingga muncul sengketa antara
kedua Negara yang bereskalasi dengan terjadinya serangan udara
terhadap wilayah kedaulatan Libya yang dilakukan oleh pesawat-pesawat
tempur Amerika Serikat pada awal 1980-an.
Libya mempunyai status sebagai Negara pantai biasa (normal
coastal state) sehingga garis pangkal yang dapat digunakan oleh negara
tersebut dalam menetapkan jalur-jalur maritimnya.adalah garis pangkal
biasa (normal base lines) dan bukan garis pangkal lurus (straight
baselines). Demikian juga dengan Malaysia dalam statusnya sebagai
negara pantai biasa, maka garis pangkal yang harus digunakan adalah
garis pangkal normal dalam menetapkan jalur-jalur maritimnya dengan
catatan apabila terdapat pelabuhan, sungai ataupun teluk pada wilayah
daratan, negara tersebut dapat menetapkan garis lurus ataupun garis
284
penutup yang tetap dimaknai sebagai bagian daripada garis pangkal
normal sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Berbeda halnya dengan RI yang statusnya adalah sebagai negara
kepulauan (archipelagic state) sehingga garis pangkal lurus kepulauan
yang menjadi patokan dalam membangun jalur maritim maupun garis
batas maritim pada bagian laut yang mengalami duplikasi (overlapping)
dengan bagian laut Negara tetangga.
Akan tetapi dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan yang
merupakan warisan kolonial Belanda, berpotensi membawa implikasi
terjadinya pergeseran atau perubahan titik pangkal bagi garis pangkal
kepulauan. Selanjutnya hal itu dapat berimbas terhadap pemetaan
ataupun daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan
Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 47 KHL 1982.
Ketentuan pasal 47 KHL 1982 sejalan dengan pasal 25A dari
Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya
ditetapkan dengan undang-undang233. Selanjutnya azas ini
diimplementasikan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1996 tentang perairan Indonesia yang menyatakan bahwa Negara
RI adalah Negara Kepulauan, di mana segala perairan di sekitar, di
antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau
233
Amandemen Kedua UUD 1945.
285
yang termasuk daratan Negara RI, tanpa memperhitungkan luas atau
lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara RI
sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di
bawah kedaulatan Negara RI.
Wilayah perairan Indonesia meliputi laut territorial Indonesia,
perairan kepulauan dan perairan pedalaman234; Laut territorial Indonesia
adalah jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal
kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5235; Perairan
kepulauan Indonesia adalah segala perairan yang terletak pada sisi dalam
dari garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau
jaraknya dari pantai236; Perairan pedalaman Indonesia adalah semua
perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-
pantai Indonesia, termasuk di dalamnya semua bagian perairan yang
terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996237.
Pasal yang disebut terakhir ini menyatakan bahwa di dalam
perairan kepulauan dapat ditetapkan perairan pedalaman dengan batas-
batas tertentu, Pemerintah Indonesia dapat menarik garis-garis penutup
pada mulut sungai, kuala, teluk, anak laut dan pelabuhan.
Sebagai negara kepulauan, RI dapat menarik garis pangkal
kepulauan (archipelagic baselines). Dalam menarik garis pangkal
234
Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 235
Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 236
Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 237
Pasal 3 ayat 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996
286
kepulauan, Indonesia dapat mempergunakan berbagai metode atau cara
penarikan garis pangkal. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2002
yang merupakan salah satu peraturan pelaksanaan untuk menindaklanjuti
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang terkait dengan ketentuan
mengenai garis pangkal.
Peraturan Pemerintah tersebut menetapkan bahwa RI dapat
menarik garis pangkal kepulauan dan dalam menarik garis pangkal
kepulauan dapat dipergunakan garis pangkal lurus kepulauan, garis
pangkal biasa, garis pangkal lurus, garis penutup pada teluk, muara
sungai, terusan, kuala dan garis penutup pada pelabuhan238.
Dengan mencermati kronologi sejarah penerapan titik pangkal dan
garis pangkal serta batas-batas maritime, termasuk delimitasi maritim,
maka tampak adanya perkembangan menyangkut fungsi dari pulau
ataupun fitur alamiah sebagai titik pangkal (basepoint). Selama masa
penjajahan, setiap pulau besar atau kecil dapat digunakan sebagai titik
pangkal untuk menarik garis pangkal normal dan bukan untuk menarik
garis pangkal lurus karena hal ini sejalan dengan perkembangan hukum
laut pada masa itu yang berlandaskan prinsip kebebasan laut (freedom of
the seas) yang menghendaki laut territorial yang dimiliki negara pantai
lebarnya sekecil mungkin agar semua negara dapat menikmati dan
menjalankan kebebasan laut seakan-akan tanpa batas. Dengan adanya
kantung-kantung laut bebas di luar laut territorial dari setiap pulau yang
238
Departemen Kelautan dan Perikanan, Azas-Azas Hukum Laut, (Jakarta: Ditjen Kelautan dan Perikanan, 1997), Hlm. 9.
287
dipakai sebagai titik pangkal untuk menarik garis pangkal normal sehingga
membawa implikasi negatif terhadap keutuhan territorial, maka diterbitkan
Deklarasi 13 Desember 1957 dan berbagai peraturan perundangan yang
secara revolusioner merombak. Intinya adalah pulau terluar ataupun fitur
alamiah terluar harus digunakan sebagai titik pangkal untuk menarik garis
pangkal lurus (straight baselines) ataupun garis pangkal lurus kepulauan
(archipelagic straight baselines) dengan tujuan untuk mewujudkan
kesatuan daratan dan perairan atau pulau dan laut berdasarkan azas
negara nusantara dan Benua Maritim Indonesia. Di samping itu atas
alasan ekonomi serta alasan dan pertimbangan lain yang bukan ekonomi,
garis pangkal lurus ataupun garis pangkal lurus kepulauan yang ditarik
dari titik-titik pangkal sedapat mungkin harus dapat digunakan untuk
membangun jalur-jalur maritim dan garis delimitasi maritim khususnya
dalam hubungan dengan negara tetangga.
C. Malaysia dan Konsep Garis Pangkal Kepulauan
Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982) dinyatakan bahwa
suatu negara disebut negara kepulauan (archipelagic state) bilamana
negara tersebut terdiri dari satu kepulauan (archipelago) atau lebih dan
dapat mencakup pulau-pulau lain. Sedangkan pengertian kepulauan
(archipelago) menunjukkan suatu kumpulan pulau-pulau atau gugusan
pulau-pulau, termasuk bagian-bagian pulau, perairan yang berada di
antaranya maupun berbagai bentuk alamiah lainnya (other natural forms)
yang semuanya ini saling berhubungan satu sama lain dan hubungannya
288
sedemikian eratnya sehingga membentuk suatu kesatuan dari segi
geografi, ekonomi dan politik yang hakiki ataupun dianggap membentuk
satu kesatuan seperti itu ditinjau dari segi historis239.
Bertitik tolak dari pengertian tersebut di atas, maka negeri Malaysia
tidak dapat disebut sebagai negara kepulauan sebab wilayahnya tidak
merupakan suatu kepulauan atau gugusan pulau-pulau, di mana gugusan
pulau serta perairan yang terletak di antaranya samasekali tidak
membentuk satu kesatuan geografi. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa
antara wilayah Barat Malaysia (Semenanjung Barat Malaysia) dan wilayah
Timur Malaysia (Semenanjung Timur Malaysia atau disebut daerah
239
Many coastal states, especially states in East Asia and Southeast Asia, have given a liberal or, indeed, excessive interpretation to Article 7, and have employed straight baselines in circumstances that arguably do not meet the requirements in Article 7. Nonetheless, the intent of Article 7 of UNCLOS is clear—to deal with especially complex and irregular coastlines where the use of normal baselines would result in similarly convoluted maritim jurisdictional limits.This interpretation of Article 7 is supported by the decision in the Qatar/Bahrain case, which stated unequivocally that the method of straight baselines in accordance with Article 7 of UNCLOS “must be applied restrictively.”Although none of the three states bordering the Singapore Strait have formally claimed straight baselines in accordance with Article 7, evidence suggests that Malaysia has inpractice employed the use of straight baselines. The existence of Malaysia’s straight baselines is indicated by its maritim boundary agreements of 1969 and 1971 with Indonesia that relate to continental shelf rights and territorial sea, respectively (see below). Indeed, Malaysia’s straight baseline claims appear to have been prompted by a desire to counterbalance Indonesia’s archipelagic baselines in the context of continental shelf boundary negotiations between the two countries. Moreover, as mentioned above, in 1979, Malaysia issued a map setting out the limits of its claimed territorial waters and continental shelf.25 Some of the claimed territorial sea limits depicted on this map are straight, which indicates that they were constructed from straight baselines. However, no charts or lists of coordinates have been issued by Malaysia setting out the location of its baselines. Malaysia’s straight baselines may be reconstructed, or inferred, by drawing lines 12 nautical miles landward of and parallel to the straight line limits of the territorial waters indicated on the 1979 map. These “inferred baselines” have been criticized as being inconsistent with the criteria set out in Article 7 of UNCLOS on straightbaselines. See Robert Beckman, Moving Beyond Disputes over Island Sovereignty: ICJ Decisions Sets Stage for Maritim Boundary Delimiotation in the Singapore Straits, Ocean Development & International Law, 40 : 1 – 35, Taylor & Francis Group, LLC. 2009), Hlm. 6.
289
Sarawak dan Sabah) terdapat wilayah perairan kepulauan Indonesia yang
memisahkan wilayah Barat dan Timur negeri jiran itu.
Negara jiran hanya dapat dikualifikasi sebagai negara pantai
normal (normal coastal state) dan hanya dibenarkan untuk menetapkan
jalur-jalur laut dengan menggunakan garis-garis pangkal biasa (normal
baselines) di setiap wilayah ataupun pulau sebagai titik-titik pangkal. Titik-
titik seperti ini digunakan untuk melakukan penarikan garis-garis air
terendah yang terjadi pada saat air laut yang mencapai tingkat kesurutan
maksimal dan secara morfologis garis-garis tersebut mengikuti segala
lekuk liku yang terdapat pada pantai wilayah negara tersebut.
Dengan menggunakan pengertian sebagaimana diatur dalam
perjanjian hukum laut, yaitu KHL 1982 yang sudah diratifikasi oleh
Malaysia, maka negeri ini dapat menetapkan jalur-jalur maritimnya hanya
dengan menggunakan garis-garis pangkal biasa (normal baselines) yang
dibangun dari masing-masing titik pangkal yang terdapat di pantai wilayah
Malaysia Barat, kemudian garis pangkal seperti itu dibangun dari titik
pangkal yang terdapat di pantai wilayah Malaysia Timur atau pantai
wilayah Sarawak. Selanjutnya garis-garis pangkal yang sama ditarik dan
dibangun lagi dari titik pangkal yang terdapat di pantai wilayah pulau
Sabah, sebagian pulau Sebatik serta garis-garis pangkal yang sama
ditarik dan dibangun dari titik pangkal yang terdapat di masing-masing
pantai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
290
Kedua pulau yang disebut terakhir ternyata sudah digunakan
sebagai titik pangkal oleh Malaysia yang diberi kedaulatan oleh
Mahkamah Internasional pada tahun 2002, padahal putusan ICJ pada
hakekatnya tidak membenarkan para pihak yang bersengketa untuk
melakukan perubahan garis-garis batas maritim di perairan sekitar Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan. Judge Oda, salah seorang hakim ICJ yang
menangani dan memutuskan perkara kepemilikan atas kedua pulau
menyatakan bahwa sekalipun Malaysia dihadiahi kedaulatan atas pulau
Ligitan dan pulau Sipadan, hal ini tidak boleh mempengaruhi garis-garis
batas landas kontinen karena kedua pulau tersebut tidak perlu
diperhitungkan sebagai titik pangkal baik untuk menarik garis pangkal
lurus maupun terutama untuk membangun garis delimitasi maritim di
daerah yang dianggap dipersengketakan.
Karena tidak memiliki sederetan pulau (a fringe of islands),
Malaysia samasekali tidak dapat dibenarkan untuk melakukan penarikan
garis-garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines)
sebagai garis-garis pangkal dalam menetapkan jalur-jalur laut terutama
jalur-jalur laut di perairan Laut Sulawesi sebelah Timur Provinsi
Kalimantan Timur. Apabila negara tersebut menarik garis pangkal lurus
kepulauan, maka akan mengakibatkan terjadinya penyimpangan yang
terlalu besar dari konfigurasi umum kepulauan. Penarikan garis pangkal
lurus (straight baselines) juga tidak dapat dibenarkan karena wilayah
daratan Malaysia di bagian Utara Pulau Borneo (Semenanjung Timur)
291
serta Semenanjung Barat negera tersebut tidak berliku-liku tajam dan di
depan kedua semenanjung tidak memiliki sederetan pulau (a fringe of
island). Apabila negara tersebut menarik ‘straight baselines’, maka hal ini
akan mengakibatkan terjadinya penyimpangan dari arah pantai pada
umumnya.
Langkah penarikan garis pangkal seperti itu juga mendistorsi
semangat yang terkandung baik di dalam declaration of Judge Oda yang
memuat pendapat terpisah (separate opinion) sebagai bagian integral dari
keputusan ICJ sendiri. Semangat yang dimaksud merefleksikan semacam
nilai-nilai immaterial (immaterial values), seperti nilai kebaikan, kebenaran,
kejujuran dan keadilan (justice)240 yang dianut secara universal sehingga
ketika terjadi perlawanan terhadap nilai-nilai immaterial seperti ini, akan
menimbulkan semacam rasa ketidakadilan (sense of injustice) yang dapat
membangkitkan emosi umat manusia yang sangat kuat.
Faktanya negeri serumpun menerbitkan peta zona ekonomi
eksklusif yang ternyata memasukkan sebagian perairan kepulauan
Indonesia, termasuk blok tambang Ambalat. Penerbitan petanya dilakukan
dengan memanfaatkan kedua pulau sebagai titik pangkal bagi penarikan
garis pangkal lurus kepulauan sehingga timbul ketidaksepadanan antara
daerah maritim yang diklaim oleh negara tersebut dengan garis pantai
yang ditetapkannya. Di satu sisi garis pangkal lurus yang ditarik dari Pulau
Sabah ke Ligitan dan Sipadan sebagai titik-titik pangkal adalah demikian
240
Suri Ratnapala, Jurisprudence, (Cambridge: University Press, 2009), Hlm. 319.
292
pendek, namun di sisi lain bagian laut yang diklaimnya begitu luas
sehingga terjadi ketidakseimbangan (disproportionality) yang dapat
menimbulkan ketidakadilan (injustice) bagi negara lain.
Situasi seperti itu terjadi akibat garis pangkal yang digunakan
pascaputusan ICJ adalah garis pangkal lurus kepulauan, sedangkan
sesungguhnya negara tersebut bukan negara kepulauan sebab penarikan
garis seperti ini tidak sesuai dengan ketentuan pasal 47 ayat 3 KHL
1982241. Negara tersebut juga tidak boleh menggunakan garis pangkal
lurus (straight baselines) sebab negara tersebut tidak mempunyai
sederetan pulau di dekat daratannya (a fringe of islands) sebagaimana
diatur dalam pasal 7 ayat 3 KHL 1982242.
Walaupun Konvensi Hukum Laut 1982 tidak menyebut secara
tegas Negara-negara mana saja yang dikategorikan sebagai negara-
negara kepulauan atau negara-negara mana yang dimasukkan di dalam
kelompok negara kepulauan sebab KHL 1982 hanya menegaskan secara
umum pengertian negara kepulauan, namun hal ini sudah jelas dapat
dikaitkan dengan kualifikasinya sebagai negara yang bukan negara
kepulauan.
Berbagai dokumen yang menggambarkan suasana
berlangsungnya persidangan-persidangan selama konferensi hukum laut
yang diprakarsai PBB sejak tahun 1973 hingga tahun 1982 menjadi bukti
241
Pasal 47ayat 3 KHL 1982 menyatakan bahwa garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum kepulauan.
242 Ibid, Hlm.11.
293
historis yang sangat bernilai untuk menepis klaim Malaysia untuk
menerapkan konsep garis pangkal kepulauan. Berbagai dokumen sejarah
persidangan dalam konferensi hukum laut PBB III dapat dipakai untuk
membuktikan bahwa Malaysia tidak pernah dikategorikan dan tidak
pernah dimasukkan ke dalam kelompok negara-negara yang menganut
konsep Negara kepulauan. Bahkan dapat ditegaskan bahwa selama
berlangsungnya konferensi hukum laut PBB III, negeri jiran itu tidak
pernah memperlihatkan tanda-tanda untuk memasukkan negerinya ke
dalam kelompok negara kepulauan.
Negara-negara yang justru masuk dalam kategori kelompok
Negara kepulauan adalah Negara RI, Philipina, Fiji dan Mauritius yang
selama berlangsungnya konferensi disebut dengan istilah Kelompok 4
(The Group of Four States) karena negara-negara inilah yang
memprakarsai dan berjuang agar masyarakat internasional dapat
menerima dan mendukung lahirnya konsep negara Kepulauan berbasis
garis pangkal lurus kepulauan dengan orientasi pada pulau terluar
sebagai titik pangkal. Malahan perjuangan 4 negara, khususnya Negara
RI sudah lama dilakukan jauh sebelum PBB menyelenggarakan
konferensi tersebut, sementara Malaysia samasekali tidak mempunyai
andil dan kontribusi bagi pengakuan masyarakat internasional terhadap
konsep negara kepulauan yang berorientasi pada pulau terluar sebagai
titik pangkal.
294
Kelompok 4 negara, terutama Republik Indonesia harus diakui
paling berjasa dalam melahirkan konsep Negara kepulauan yang
kemudian menjadi azas negara kepulauan sehingga tercantum dalam
BAB IV Konvensi Hukum laut 1982.
Proses berlangsungnya konferensi hukum laut (1973-1982) yang
dapat dilihat dan ditemukan melalui dokumen-dokumen historis yang
berisi berbagai macam kertas kerja yang dibuat oleh masing-masing
delegasi serta berbagai pembicaraan dan perdebatan telah membuktikan
secara terang benderang bahwa Malaysia sama sekali tidak termasuk
negara kepulauan dan selama proses konferensi berjalan tidak ada tanda-
tanda dari negeri tersebut untuk bergabung ke dalam kelompok negara
kepulauan mengingat para delegasinya cukup memahami kualifikasinya
sebagai negara yang bukan negara kepulauan pada waktu itu. Para
delegasinya menyadari kalau negaranya adalah negara kontinental atau
negara pantai biasa (normal coastal state) dengan hak untuk menetapkan
jalur-jalur laut hanya dengan cara menerapkan garis-garis pangkal biasa
(normal baselines) pada pantai dari setiap daratan atau pulau yang
dimilikinya secara sah, termasuk Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai titik
pangkal untuk menarik normal baselines dan membangun batas-batas
maritime, termasuk delimitasi maritim.
Adalah ironis bagi negeri jiran untuk menerapkan garis-garis
pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik air terendah pada
pantai Malaysia Barat, Malaysia Timur (Sarawak), Pulau Sabah serta
295
Pulau Sipadan dan Ligitan karena selain factor geografis, juga faktor
historis dan yuridis telah membuktikan Negara tersebut bukan Negara
kepulauan, melainkan hanya Negara pantai biasa243.
Salah satu azas hukum yang terdapat dalam Bab IV KHL 1982
(Pasal 47) menyatakan bahwa Negara yang disebut Negara kepulauan
hanya diperkenankan untuk menarik garis pangkal lurus kepulauan (yang
tentu harus dipergunakan secara silih berganti dengan garis pangkal
normal dan garis pangkal lurus), di mana panjangnya tidak boleh melebihi
100 mil laut kecuali 3 persen dari jumlah keseluruhan garis pangkal lurus
kepulauan ini dapat mencapai panjang maksimal 125 mil laut. Jarak
antara Semenanjung Barat dan Semenanjung Timur negara tetangga
ternyata mencapai jarak sampai melebihi 125 dan bahkan mencapai jarak
ratusan mil. Hal ini berarti bilamana Malaysia bersikap memaksakan diri
menjadi negara Kepulauan, maka negara tersebut pasti akan mendistorsi
azas kepastian hukum terkait syarat dan pembatasan garis pangkal lurus
kepulauan yang menyatakan setiap garis pangkal lurus kepulauan
panjangnya tidak boleh melebihi 100 mil laut.
243
Indeed, Malaysia’s straight baseline claims appear to have been prompted by a desire to counterbalance Indonesia’s archipelagic baselines in the context of continental shelf boundary negotiations between the two countries. Moreover, as mentioned above, in 1979, Malaysia issued a map setting out the limits of its claimed territorial waters and continental shelf.25 Some of the claimed territorial sea limits depicted on this map are straight, which indicates that they were constructed from straight baselines. However, no charts or lists of coordinates have been issued by Malaysia setting out the location of its baselines. Malaysia’s straight baselines may be reconstructed, or inferred, by drawing lines 12 nautical miles landward of and parallel to the straight line limits of the territorial waters indicated on the 1979 map. These “inferred baselines” have been criticized as being inconsistent with the criteria set out in Article 7 of UNCLOS on straight baselines. Ibid., Hlm. 5.
296
Bukan hanya azas kepastian hukum yang tergangggu, melainkan
juga azas keadilan mengingat kemenangan Malaysia atas Indonesia tidak
berlandaskan atas bukti-bukti kepemilikan yang kuat sehingga Judge Oda
menyebut perkara tersebut dikategorikan sebagai perkara yang lemah.
Hal ini disebabkan karena dalam pandangan mahkamah baik Indonesia
maupun terutama Malaysia menurut pandangan mahkamah tidak sanggup
membuktikan hak kepemilikannya atas pulau Sipadan dan pulau Ligitan
berdasarkan perjanjian apapun yang dibuat oleh negara-negara
pendahulunya sehingga tindakan Malaysia yang menetapkan peta zona
ekonomi eksklusif 244berbasis garis pangkal lurus kepulauan
sesungguhnya mengerogoti putusan ICJ itu sendiri, khususnya nilai-nilai
immaterial dengan berfokus pada azas keadilan, sebagaimana
terkandung di dalam Deklarasi Judge Oda.
Kenyataan geografisnya menunjukkan bahwa jarak antara
Malaysia Barat dan Timur ratusan mil jauhnya sehingga panjang garis
244
Although the 1979 map was published 3 years before UNCLOS was adopted and before Malaysia became a party, as a party to UNCLOS, Malaysia now has an obligation to bring its baselines and maritim zone claims into conformity with the Convention. It appears to be preparing to do so. Malaysia enacted the Baselines of Maritim Zones Act 2006 (Act 660) on May 1, 2007, which provides for normal baselines consistent with low-water lines as shown on large-scale charts and for the use of straight baselines linking specified basepoints along the coast. This Act is enabling legislation and Malaysia has not at the time of this writing published any charts or lists of geographical coordinates with respect to straight baselines. Malaysia should, in any event, ensure that its use of straight baselines under the 2006 Act is in conformity with Article 7 as interpreted by the Court in the Qatar/Bahrain case. If its straight baselines are excessive in character, they are unlikely to be accepted by its maritim neighbors. Of particular relevance to the present discussion, it is considered likely that both Indonesia and Singapore will take the position that Malaysia should employ the normal method of low-water baselines in the eastern Singapore Strait. This is because the relevant area of the Malaysian coast (Johor) does not appear to have a fringe of islands and is not deeply cut into, and thus does not meet the requirements for the use of straight baselines under Article 7. Ibid., Hlm. 6 – 7.
297
pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan kedua wilayah daratan
negeri tersebut juga ratusan mil jauhnya dan hal ini kalau mau dipaksakan
seperti yang pernah dilakukan RRC pada tahun 1996, selain bertentangan
dengan azas kepastian hukum soal syarat pembatasan garis pangkal
lurus kepulauan sebagaimana diatur dalam KHL 1982, juga bertentangan
dengan prinsip keadilan sehingga dapat menimbulkan kecaman
masyarakat internasional pada umumnya serta Negara-negara di
kawasan Asia Tenggara pada khususnya.245
Klaim blok tambang Ambalat itu berakar dari klaim atas straight
baselines dengan orientasi pada daratan dan pulau-pulau sebagai titik
pangkal sebagaimana dapat ditemukan baik lewat peta yang dikeluarkan
pada 1979 maupun lewat Undang-Undang Garis Pangkal Jalur Maritim
pada 2006 (Baselines of Maritime Zones Act)246. Sebagai peserta pada
KHL 1982, Malaysia berkewajiban untuk mengumumkan klaim seperti itu
pada waktunya (due publicity) sebagaimana ditentukan dalam pasal 47,
paragraph 8 dan 9. Akan tetapi sampai saat ini negara tersebut tidak
membuat daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal. Oleh karena itu
negara tersebut juga tidak mungkin melakukan ‘due publicity’ dan
akhirnya tidak mungkin mendepositkannya kepada Sekjen PBB. Dengan
demikian tidak ada alasan hukum yang dapat membenarkan negara
245
If Malaysia does indeed claim straight baselines, as appears to be the case from its 1979 map and 2006 Baselines of Maritime Zones Act, as a party to UNCLOS it is under an obligation to provide due publicity to these claims. Similarly, Indonesia, in accordance with UNCLOS Article 47, paragraphs 8 and 9, is under an obligation to give due publicity to its archipelagic baselines claims, but at the time of this writing had yet to do so.
246 Undang-undang Malaysia mengenai garis pangkal disebut ‘Act 260’.
298
tersebut untuk menumpang pada azas negara kepulauan dengan tujuan
untuk mengklaim perairan Laut Sulawesi sebelah Timur Kalimantan Timur
yang di dalamnya terdapat Blok migas Ambalat dan Ambalat Timur247.
Di samping melalui pendekatan historis dalam bentuk dokumen-
dokumen yang berasal dari suasana Konferensi Hukum Laut PBB III,
kemudian pendekatan yuridis dengan memperhatikan prinsip-prinsip
utama dari azas negara kepulauan sebagaimana diatur dalam BAB IV
KHL 1982, maka terdapat pendekatan lain yang dapat digunakan sebagai
dasar dalam menghadapi klaim Malaysia atas perairan Ambalat dan
Ambalat Timur lewat penerapan garis pangkal lurus kepulauan.
Penafsiran terhadap perjanjian bilateral yang telah ditandatangani
Indonesia dan Malaysia pada tahun 1975 dapat digunakan sebagai suatu
pendekatan.
Berdasarkan perjanjian bilateral tersebut, Malaysia secara jelas
mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kedaulatan
atas seluruh perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis-garis
pangkal lurus kepulauan, yaitu garis-garis yang menghubungkan titik-titik
terluar yang terdapat pada pulau-pulau terluar dan karang-karang kering
terluar (outermost drying reefs) dari kepulauan Indonesia. Dalam
perjanjian tahun 1975 juga ditegaskan bahwa bagian perairan yang
berada di antara Malaysia Barat dan Malaysia Timur adalah merupakan
bagian dari perairan kepulauan atau wilayah kedaulatan Indonesia yang
247
Malaysia memberi sebutan ND6 dan ND7 terhadap daerah yang disengketakan (disputedarea) dengan sebutan Blok Ambalat dan Ambalat Timur.
299
diakui oleh Malaysia. Di sisi lain Indonesia juga mengakui dan
menghormati hak-hak dan kepentingan-kepentingan sah dari negeri
tetangga, seperti hak untuk mengadakan komunikasi dari wilayah
Malaysia Barat menuju ke wilayah Malaysia Timur, begitu pula sebaliknya.
Indonesia juga mengakui adanya hak akses.(access right) dalam wujud
hak perikanan tradisional (the traditional fishing right) yang diperuntukkan
bagi para nelayan tradisional negeri jiran yang secara turun temurun
biasanya melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan
alat tangkap sederhana di dalam wilayah perairan kepulauan Indomesia
yang terletak di antara bagian Barat dan Timur negeri tersebut.
Perjanjian bilateral yang mewajibkan negeri itu untuk mengakui
kedaulatan Indonesia atas seluruh perairan kepulauan khususnya yang
terletak di antara Semenanjung Barat dan Timur dapat ditafsirkan bahwa
negeri itu hanya sebagai negara pantai biasa dengan hak untuk
menetapkan titik pangkal baik untuk menarik garis-garis pangkal normal
pada setiap wilayah darat di bagian Barat dan Timur serta Pulau Sabah
maupun untuk membangun batas-batas maritim. Dengan demikian sejak
berlakunya perjanjian bilateral 1975 negeri yang sarat dengan masalah
perbatasan dengan beberapa negara tetangga menyadari eksistensinya
bukan sebagai archipelagic state, melainkan sebagai normal coastal state
sehingga tidak tepat apabila dia menetapkan jalur-jalur maritimnya dengan
memanfaatkan prinsip negara kepulauan serta menggunakan garis-garis
pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pada
300
pantai Semenanjung Barat dan titik-titik terluar pada pantai Semenanjung
Timur (Sarawak) dan selanjutnya titik-titik terluar pada pantai Pulau Sabah
maupun pada pantai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
Oleh karena itu negeri yang kini dipimpin oleh Perdana Menteri
Najib Razak tidak dalam posisi untuk memberikan izin eksplorasi dan
eksploitasi di perairan Blok Ambalat dan Ambalat Timur karena kedua blok
Migas yang dalam istilah negeri itu dinamakan Blok ND6 dan ND7 atau
Blok Y dan Z yang terletak di perairan Laut Sulawesi adalah merupakan
perairan kepulauan dan wilayah perbatasan maritim yang secara langsung
atau tidak langsung sudah diakui sejak berlakunya perjanjian 1975
sehingga berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas kiranya belum
mendesak bagi Indonesia untuk melakukan penyesuaian ‘equidistance
line’ sebagai garis batas maritim dengan negara pemilik baru atas kedua
pulau yang bersangkutan.
D. Titik Pangkal dan Delimitasi Maritim dalam Konteks Peraturan
Perundang-undangan Indonesia
Deklarasi 13 Desember 1957 mengenai perairan Indonesia
berdasarkan konsepsi nusantara antara lain menyatakan bahwa
penentuan batas laut teritorial Indonesia dengan lebar 12 mil yang diukur
dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau
Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang248.
Pada tanggal 18 Februari 1960 pengaturan perairan Indonesia yang azas-
248
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung, Penerbit Binacipta, 1978), Hlm. 187.
301
azasnya telah di tetapkan dalam Deklarasi tersebut ditetapkan menjadi
undang-undang dengan menggunakan prosedur Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Undang Nomor 4/ Prp. 1960).
Undang-undang ini antara lain menegaskan bahwa untuk kesatuan
bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonomi, maka ditarik garis-garis
pangkal lurus (straight baselines) yang menghubungkan titik-titik terluar
dari pulau-pulau terluar. Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil
diukur atau dihitung dari garis-garis pangkal lurus.
Undang-undang ini pada hakekatnya merubah cara penetapan laut
wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah selebar 3 mil
diukur dari garis pasang surut atau garis air rendah (low water line)
menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang
ditarik dari ujung ke ujung249. Metode penarikan garis pangkal lurus untuk
pertama kalinya mendapatkan pengakuan dalam hukum internasional
melalui putusan Mahkamah Internasional terkait sengketa perikanan
Inggeris – Norwegia (Anglo – Norwegian Fisheries Case) pada tahun
1951, kemudian dikukuhkan dalam Konvensi Geneva 1958 mengenai laut
territorial dan jalur tambahan, dan ditegaskan kembali dalam KHL 1982250.
Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia 17
Februari 1969 memuat beberapa azas yang kemudian dituangkan ke
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973. Pada prinsipnya landas
kontinen Indonesia menggunakan kriteria batas kedalaman 200 meter
249
Ibid, Hlm. 194. 250
Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 mengenai laut territorial dan jalur tambahan. Pasal 7 KHL 1982.
302
atau kemampuan teknologi (technological exploitability) yang diukur dari
garis pangkal lurus yang dibangun dari titik pangkal. Dinyatakan pula
bahwa apabila landas kontinen Indonesia dan Negara tetangga
mengalami duplikasi atau tumpang tindih satu sama lain, Pemerintah
Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen
dengan Negara tetangga melalui perundingan. Selama belum terdapat
kesepakatan mengenai garis batas landas kontinen, maka Indonesia akan
menerapkan metode garis tengah (median line atau equidistance line).
Dalam konteks Deklarasi Juanda dan Undang-Undang Nomor 4/
Prp 1960 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973, maka titik pangkal
yang pada waktu itu jumlahnya diperkirakan sekitar 200 dihubungkan oleh
196 buah garis pangkal lurus251. Keseluruhan titik pangkal atau titik dasar
ini digunakan baik untuk menetapkan garis pangkal lurus (straight
baselines) maupun untuk menetapkan atau membangun garis batas
maritim di laut territorial ataupun di landas kontinen, terutama apabila
zona maritim Indonesia dan negara tetangga mengalami duplikasi atau
tumpang tindih pada bagian-bagian laut tertentu.
Garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan
garis pangkal lurus kepulauan. Ketika garis yang disebut terakhir tidak
dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal
lurus. Garis pangkal lurus kepulauan menghubungkan titik-titik terluar
pada garis air rendah pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dari
251
Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., Hlm.194
303
kepulauan Indonesia252. Dengan demikian dalam konteks UU Nomor 6
Tahun 1996 dan PP Nomor 38 Tahun 2002, titik pangkal atau titik dasar
yang jumlahnya 166 dapat digunakan untuk menetapkan garis pangkal
lurus kepulauan yang dipergunakan secara silih berganti dengan garis
pangkal biasa ataupun garis pangkal lurus. Di samping itu titik pangkal
untuk penarikan garis pangkal dapat digunakan untuk menetapkan secara
sepihak zona-zona maritim (maritime limits) apabila tidak tumpang tindih
dengan zona-zona maritim Negara lain. Walaupun tumpang tindih atau
terjadi duplikasi zona maritim antara Indonesia dengan Negara tetangga,
titik pangkal tersebut tetap dapat digunakan untuk membangun garis
batas maritim (maritime delimitation) berdasarkan metode ‘median line’
atau ‘equidistance line’.
Dalam kaitan dengan lepasnya Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan,
daftar koordinat geografis titik pangkal di Pulau Ligitan, Pulau Sipadan dan
Tg Arang sesuai Lampiran PP Nomor 38 Tahun 2002 telah diganti
menjadi daftar koordinat geografis titik pangkal di Pulau Sebatik (I, II, III)
dan Karang Unarang sesuai Lampiran PP Nomor 37 Tahun 2008253.
Akibat lepasnya kedua pulau tersebut, maka titik pangkal di Pulau Sebatik
dan Karang Unarang yang harus digunakan sebagai titik pangkal baik
untuk menetapkan garis pangkal lurus kepulauan maupun membangun
252
Pasal 5 UU Nomor 6 Tahun 1996 (Lembaran Negara Nomor 73 Tahun 1996, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647) dihubungkan dengan pasal 2 PP Nomor 38 Tahun 2002 (LN Tahun 2002 Nomor 72, TLN Nomor 1211).
253 Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 2008 mengenai Perubahan atas PP Nomor 38
Tahun 2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (LN Tahun 2008 Nomor 77, TLN Nomor 4854.
304
garis batas maritim, termasuk di dalamnya melakukan atau tidak
melakukan penyesuaian terhadap ‘median line’atau ‘equidistance line
yang ada.
E. Pengenyampingan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai Titik
Pangkal (Base Points)
Proses yang dijalankan oleh Mahkamah dalam memeriksa kasus
delimitasi maritim dapat dibagi menjadi empat tahap.254 Pertama,
mengidentifikasi pantai atau titik dan garis pangkal yang relevan. Kedua,
memastikan apakah ada suatu perjanjian yang berlaku sebelumnya (pre-
existing agreement) terkait dengan delimitasi daerah-daerah maritim (the
maritime areas). Ketiga, menentukan garis batas laut territorial (apabila
diminta) dengan menerapkan the equidistance-special circumstances rule.
Keempat, menetapkan garis batas landas kontinen/ zona ekonomi
eksklusif dengan menerapkan ‘the equitable principles – relevant
circumstances rule’.255
254
SHI Jiuyong, op.cit., Hlm.195. See also Malcolm D. Evans, Delimiting Maritim Boundaries. Relevant Circumstances and Maritim Delimitation, Oxford monographs in International Law, Clarendon Press, Oxford, UK, 1989, 257. Marine Policy, 1990, Hlm. 538.
255 Article 6 of the I958 Convention on the Continental Shelf makes equidistance
the basis for delimitation 'unless another boundary is justified by special circumstances'. The 1982 Convention, in some contrast, makes no mention of equidistance. By Article 83, delimitation is to be effected by agreement, 'on the basis of international law ... in order to achieve an equitable solution'. Either provision seems capable of meaning whatever an adjudicator might want it to mean. Evans, while conceding that 'equity is often in the eye of the beholder' (Hlm. 241), nevertheless insists that there is a mode of reasoning incumbent on a third party charged with applying the law to a given case. It must, first, confirm that there is an area to which both parties have good prima-facie claims; second, it must decide what wider area of sea and coast is relevant to the question before it; third, it must select an 'equitable criterion', and then, fourth, find an 'equitable practical method' to give effect to it; fifth, it must apply the latter in the light of 'relevant circumstances'; and finally, check that the results are also equitable; if they are not, it must keep repeating the
305
Dalam melaksanakan delimitasi maritim, maka pertama-tama
Mahkamah ditugaskan untuk menentukan pantai yang relevan (the
relevant coasts) yang harus diperhatikan dalam rangka menetapkan
batas-batas maritim. Azas hukum internasional yang dikembangkan
melalui berbagai kasus delimitasi yang diputuskan oleh Mahkamah
Internasional (the case law) menegaskan bahwa daratan menguasai laut
(the land dominates the sea) karena hak-hak maritim berasal dari
kedaulatan Negara pantai di atas daratan sehingga banyak kasus
delimitasi maritim mengharuskan Mahkamah untuk terlebih dahulu
memutuskan masalah kedaulatan terhadap pulau yang dipersengketakan
atau terhadap beberapa bagian pantai di wilayah daratan sebelum
menetapkan garis batas maritim. Menurut pasal 121, ayat 2 KHl 1982,
yang mencerminkan hukum kebiasaan internasional, pulau tanpa
memperhatikan ukurannya, menikmati status yang sama seperti wilayah
darat lainnya sehingga dapat tercipta hak-hak maritim yang sama.
Namun paragraph 3 dari pasal yang sama menyatakan bahwa
‘rocks’ atau batu karang yang tidak dapat dihuni atau tidak bisa memberi
nilai ekonomi tidak dapat mengklaim landas kontinen dan zona ekonomi
eksklusif sehingga ketentuan pasal 121 ayat 3 merupakan ketentuan yang
tidak jelas (ambiguous) akibat sejarah terbentuknya rezim hukum yang
terkait dengan pulau (island). Sampai sekian lama sejak berlakunya KHL
whole exercise until they are. See Douglas M. Johnston, The Theory and History of Oceann Boundary-Making; Malcolm D. Evans, Relevant Circumstances and Maritim Del;imitation, International Affairs (Royal Institute of International Affairs (1944 :), Vol. 67, No. 1 (January 1991), Hlm.152 – 153. Published by : Wiley – Blackwell on behalf of the Royal Institute of International Affairs. Stable URL ; http://www.jstor.org/stable/2621243
306
1982 dapat dikatakan tidak ada keputusan Mahkamah atau Tribunal
Internasional terkait pasal 121 ayat 3. Akan tetapi ketika terjadi kasus
delimitasi maritim antara Rumania melawan Ukraina (the Romania /
Ukraine case), hal ini mendorong Mahkamah untuk membuat keputusan
atas pasal tersebut.
Salah satu argumen sentral dalam kasus itu adalah bahwa pulau
yang disebut Serpents Island yang ternyata sangat diprihatinkan dan
dikhawatirkan oleh Rumania adalah sebuah karang (rock) dalam ruang
lingkup pengertian pasal 121 ayat 3, dan hanya berhak memiliki laut
territorial. Selanjutnya Rumania menyatakan Serpents Island tidak dapat
digunakan sebagai titik pangkal (basepoint) untuk membangun the
equidistance line dalam rangka menetapkan garis batas zona ekonomi
eksklusif / landas kontinen antara Ukraina dan Rumania. Perdebatan
kedua Negara baru berakhir pada 19 September 2008 dan putusannya
dijatuhkan pada awal pertengahan 2009.
Putusan yang dibuat oleh Mahkamah secara teknis hanya akan
mengikat Rumania dan Ukraina. Jika Mahkamah membuat putusan
mengenai apakah Serpents Island adalah sebuah karang (rock) dalam
pengertian pasal 121 ayat 3, maka pertimbangan dan pemikiran
(reasoning) Mahkamah mengenai masalah tersebut akan menjadi
referensi penafsiran yang dibuat oleh pihak berwenang (authoritative
interpretation) terhadap ketentuan tersebut dan akan dipertimbangkan
oleh pengadilan dan tribunal lain maupun oleh negara-negara lain.
307
Meskipun tidak ada putusan yang dibuat pihak berwenang
(authoritative ruling) tentang bagaimana pasal 121 ayat 3 harus
ditafsirkan, pengadilan dan tribunal internasional dalam banyak kejadian
telah menemukan cara-cara alternatif untuk menyelesaikan masalah
tersebut dalam konteks delimitasi garis batas maritim. Dalam banyak
kasus pulau kecil (small islands) hanya diberikan efek yang bersifat parsial
(partial effect) atau malahan sama sekali tidak mempunyai efek (no effect)
terhadap garis delimitasi. Ada juga contoh perjanjian garis batas yang
bersifat bilateral, di mana Negara-negara bersepakat untuk tidak memberi
efek kepada pulau-pulau kecil (small islands) atau efeknya hanya
sebagian saja (partial effect) dalam penentuan garis delimitasi maritim.
Walaupun pulau Sipadan dan Ligitan sudah menjadi milik Malaysia
berdasarkan putusan ICJ pada 2002, namun dalam upaya negosiasi
delimitasi maritim pada bagian landas kontinen atau zona ekonomi
eksklusif yang oleh pihak tertentu dianggap tumpang tindih di Laut
Sulawesi, otoritas Indonesia dapat menggunakan kasus ‘Romania v.
Ukraine’, di mana pulau Serpents Island yang menjadi keprihatinan
Rumania tidak dapat dijadikan sebagai titik pangkal (basepoints) untuk
menarik garis delimitasi maritim di Laut Hitam256. Banyaknya perjanjian
256
The ICJ and arbitral tribunals tried several times to determine the concept of equity: Equity as a legal concept is a direct emanation of the idea of Justice. The Court is bound to apply equitable equity as a part of general international law. When applying positive international law, a court may choose among several possible interpretations of the law the one which appears, in the light of the circumstances of the case, to be closest to the requirements of justice. The Court further stated that “[I]t is not a question of applying equity simply as a meter of abstract justice, but of applying a rule of law” during the 1969 North Sea case, and later, during the 1985 Libya/Malta case, it reiterated that
308
delimitasi maritim antara dua Negara tetangga yang mengecualikan dan
mengabaikan keberadaan pulau kecil sebagai titik pangkal dan tidak
mempunyai efek dalam membangun garis delimitasi maritim, dapat
dijadikan referensi oleh pihak berwenang ketika melakukan langkah-
langkah negosiasi garis batas maritim di Laut Sulawesi.
Keberadaan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan digunakan sebagai
titik pangkal bagi penarikan garis pangkal (basepoints) oleh pihak
Malaysia, sebagaimana dapat dilihat pada peta 1979 dan Undang-Undang
ZEE negara tersebut pada tahun 2007. Namun bagi Indonesia kedua
pulau yang dimiliki Malaysia pascaputusan ICJ harus diusahakan untuk
tidak memiliki efek hukum sama sekali (no effect) untuk penarikan garis
pangkal lurus karena daerah relevan dari pantai Semenanjung Timur
Malaysia (Sarawak, Sabah dan Sipadan-Ligitan) tidak memiliki sederetan
pulau (a fringe of islands) dan tidak berliku-liku tajam (deeply cut into)
sebagaimana ditentukan dalam pasal 7 KHL 1982. Demikian pula perlu
ada upaya nyata agar kedua pulau tidak dipakai sebagai titik pangkal
dalam rangka membangun garis batas maritim karena bagaimanapun
Malaysia adalah Negara pantai yang normal (normal coastal state) dan
bukan Negara kepulauan (archipelagic State) sehingga dari perspektif
konvensi hukum laut Negara tersebut tidak mempunyai hak untuk menarik
garis pangkal lurus kepulauan dari satu titik pangkal ke titik pangkal lain,
dari Pulau Sipadan ke Sabah dan Sarawak.
“[t]he Justice of which equity is an emanation, is not abstract justice but justice according to the rule of law.” See Nugzar Dundua, Delimitation of Maritim Boundaries between Adjacent States, (United Nations – The Nippon Foundation Fellow : 2006, Hlm. 34.
309
Untuk mengenyampingkan fungsi kedua pulau sebagai titik
pangkal (basepoints), maka Indonesia dapat memanfaatkan pendekatan
yang dibenarkan berdasarkan konvensi hukum laut dan praktek
internasional. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan
berdasarkan prinsip keadaan khusus atau keadaan relevan (special or
relevant circumstances), yang meliputi bukan hanya faktor geografis,
melainkan juga faktor non geografis, sebab prinsip seperti itu dapat
meniadakan dan menghilangkan peranan kedua pulau sebagai titik
pangkal bagi penarikan garis pangkal lurus kepulauan. Hilangnya peranan
kedua pulau untuk menarik garis pangkal lurus dengan sendirinya akan
menghilangkan peranan atau fungsi kedua pulau dalam membangun garis
sama jarak (equidistance line) sebagai garis delimitasi maritim di daerah
yang dianggap dipersengketakan. Hal ini disebabkan karena apa yang
disebut keadaan khusus atau relevan (relevant circumstances) dapat
dikatakan ‘mempunyai ruang lingkup yang tidak terbatas (open-ended)
atau tidak mempunyai daftar tertutup257 dalam menetapkan garis batas
maritim sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengenyampingkan kedua
pulau tersebut sebagai ‘basepoints for drawing straight archipelagic
baselines’. Dengan memanfaatkan secara optimal prinsip ‘relevant
circumstances’, maka berbagai negosiasi yang sedang dan akan
berlangsung antara kedua negara harus bermuara pada upaya
257
Ki Beom Lee, The Flexibility of the Rules Applied in Maritim Boundary Delimitation, (Edinburgh: School of Law, the University of Edinburgh-Background Document for 4
th, 2011), Hlm. 10.
310
mengenyampingkan peranan kedua pulau bukan hanya sebagai titik
pangkal untuk menarik garis pangkal lurus kepulauan, tetapi juga sebagai
titik pangkal dalam menetapkan, termasuk melakukan penyesuaian
‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim yang masih berlaku seperti
sebelum putusan ICJ 2002.
Karang Unarang di lepas pantai Pulau Sebatik dapat disebut
sebagai elevasi surut dan di tengah-tengah merebaknya kasus Ambalat,
otoritas Indonesia telah berhasil membangun mercusuar untuk
menegaskan identitas pemiliknya, berikut tanggungjawabnya terhadap
komunitas internasional, terutama ketika terjadi insiden, di mana kapal
yang sedang melintas bisa kandas di sekitar Karang Unarang. Sejak
lepasnya Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan, maka demi mengamankan
perairan kepulauan Indonesia Karang Unarang dipergunakan sebagai titik
pangkal bagi penarikan garis pangkal lurus kepulauan ke pulau-pulau
terluar yang terletak di perairan Laut Sulawesi, seperti Pulau Sebatik,
Pulau Maratua, Pulau Dolangan, Pulau Salando, Tanjung Kramat.
Kedua pulau yang sangat kecil ini harus dapat dikualifikasi sebagai
suatu ‘relevant circumstances’, sebab keberadaannya dapat menciptakan
ketidakseimbangan (disproportionality) antara ratio panjangnya garis
pantai dengan ratio daerah maritim yang dianggap dipersengketakan.
Upaya negosiasi bilateral harus difokuskan, terutama pada pengabaian
atau pengenyampingan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai titik
pangkal (base points) bagi penarikan garis pangkal sehingga
311
penyesuaian (adjustment) ‘equidistance line’ seperti yang diinginkan
Malaysia pascaputusan kasus Sipadan-Ligitan pada 2002 juga harus
dipikirkan untuk dikesampingkan. Pengenyampingan kedua pulau sebagai
titik pangkal dengan konsekuensi dikesampingkannya penyesuaian
‘equidistance line’ pada akhirnya akan membawa pengaruh dan implikasi
berupa stabilitas garis delimitasi maritim di landas kontinen dan zona
ekonomi eksklusif di perairan laut Sulawesi.
Gagasan pengenyampingan seperti itu dapat dipandang sebagai
implementasi dari keputusan Mahkamah Internasional dalam perkara
kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, khususnya sebagai implementasi
dari Deklarasi Judge Oda yang pada dasarnya tidak menghendaki adanya
perubahan dan penyesuaian terhadap garis batas maritim setelah
kemenangan Malaysia atas Indonesia. Selanjutnya gagasan
pengenyampingan seperti itu memiliki relevansi karena terkait dengan
tujuan hukum pada umumnya dan keputusan Mahkamah Internasional
pada khususnya, yakni tercapainya keadilan. Ada keadilan yang
dinamakan keadilan distributif (distributive justice) dan ada keadilan
korektif (corrective justice)258. Keadilan distributif menunjukkan adanya
keseimbangan antara apa yang diperoleh dengan apa yang sepatutnya
didapatkan. Sedang keadilan korektif adalah keseimbangan antara apa
yang diberikan dengan apa yang diterima.
258
Brian H. Bix, A Dictionary of Legal Theory, (Oxford, New York, Oxford University Press, 2004), Hlm. 55.
312
Mengingat pihak Indonesia sudah mengakui dan menerima
kemenangan Malaysia sebagai pemilik kedaulatan atas kedua pulau
berdasarkan putusan ICJ pada 2002 dan demikian Indonesia menerima
kekalahan dalam sengketa kepemilikan yang berlangsung sekitar 5 tahun,
maka dalam konteks keadilan korektif seharusnya Indonesia
mendapatkan kesediaan Malaysia dalam menghormati dan mematuhi
serta mengimplementasikan isi putusan ICJ secara komprehensif,
termasuk dan terutama Deklarasi Judge Oda. Mengingat Malaysia sudah
menerima kedaulatan atas kedua pulau itu, seharusnya negeri ini
memberikan pula ketaatan dan kepatuhannya atas substansi putusan
yang sama dengan mengabaikan dan mengenyampingkan status kedua
pulau sebagai titik pangkal sehingga kedua pulau tersebut tidak memiliki
efek apapun (no effect) dikaitkan dengan kemungkinan penarikan garis
pangkal dan penyesuaian ‘equidistant line atau ‘median line’.
Terlebih lagi dengan mengingat bahwa Malaysia telah
memperoleh kesediaan (commitment) pihak Indonesia untuk menyetujui
keinginan negara yang disebut pertama menyangkut penyelesaian lewat
Mahkamah Internasional pada tahun 1997, dan selanjutnya Malaysia telah
memperoleh kesediaaan Indonesia untuk menerima dan melaksanakan
keputusan ICJ pada tahun 2002, maka dalam rangka mewujudkan
keadilan distributif seharusnya Indonesia mendapatkan suatu bukti
kesediaan positif dari pihak Malaysia untuk menghormati dan mematuhi
serta mengimplementasikan substansi putusan ICJ yang terutama
313
tercermin di dalam pendapat terpisah (separate opinion) dari Judge Oda
karena sesungguhnya mencerminkan keadilan yang bersifat substantif
(substantive justice) yang mengenyampingkan status Sipadan dan Ligitan
sebagai ‘base point’, mengenyampingkan penarikan garis pangkal lurus
kepulauan dari Ligitan ke pulau Sabah dan Sarawak, akhirnya
mengenyampingkan penyesuaian garis sama jarak di daerah yang
dianggap bermasalah (disputed area).
F. ‘Relevant Coast ‘dan ‘Relevant Area’259 dalam Konteks
Putusan ICJ 2002
Hak Negara atas bagian-bagian laut dihitung dari garis pantai dan
dalam setiap sengketa delimitasi maritim Mahkamah harus menentukan
garis pantai para pihak yang klaimnya bermasalah dan tumpang tindih.
Inilah yang disebut pantai yang relevan (relevant coast) dan akan
mencakup daratan utama, setiap pulau (any islands) dan pulau kecil
(islets). Konsep relevant coast secara jelas mengecualikan dan
mengenyampingkan bagian-bagian pantai yang tidak menimbulkan hak
259
ICJ dalam ‘the 1969 North Sea Continental Shelf Cases’antara lain mengemukakan bahwa tidak ada batas bagi ‘relevant circumstances’yang mungkin mempunyai peranan dalam kasus tertentu. Namun demikian berdasarkan putusan-putusan pengadilan (judicial precedents), dapat diidentifikasi berbagai kategori ‘relevant circumstances’yang dapat mempunyai pengaruh menentukan (decisive influence) terhadap keputusan mengenai garis delimitasi yang’equitable’. Berbagai kategori tersebut meliputi :1) geografi dari daerah yang relevan, konfigurasi pantai para pihak dan identifikasi bagian pantai terdepan (coastal fronts); 2) perbedaan dalam hal panjangnya pantai dan peranan yang dapat dimainkan oleh unsur ‘proportionality’; 3) kehadiran pulau, elevasi surut dan anomaly geografis; 4) tingkah laku para pihak pada masa lampau dan permasalahan apakah tindakan mereka menunjukkan adanya garis delimitasi yang telah diperjanjikan atau garis delimitasi yang bersifat de facto; 5) factor ekonomi termasuk akses sumber daya alam seperti perikanan atau hidrokarbon; 6) hak-hak historis (historic rights); 7) pertimbangan geologi dan geomorfologi; 8) kehadiran negaara ketiga di daerah yang harus didelimitasi. Baca Rainer Lagoni and Daniel Vignes, op.cit., Hlm.100 – 101.
314
maritim yang tumpang tindih. Konsep ‘relevant coast’ tidak memasukkan
dan tidak mencakup bagian-bagian pantai yang tidak berhadapan dengan
daerah yang harus ditentukan batas-batasnya sehingga konsep relevant
coast sesungguhnya hanya mencakup dan berlaku pada bagian-bagian
pantai yang berhadapan dengan daerah yang harus ditentukan batas-
batasnya.
Demikian dalam ‘the Tunisia / Libya Case’, Mahkamah menyatakan
bahwa dalam rangka delimitasi landas kontinen di antara para pihak, tidak
seluruh pantai dari setiap pihak dapat diperhitungkan. Perluasan bawah
laut atas bagian pantai yang dimiliki salah satu pihak yang karena situasi
geografis, tidak bisa tumpang tindih dengan perluasan pantai pihak lain,
maka perluasan bawah laut tersebut harus dikecualikan dan tidak dapat
dipertimbangkan oleh Mahkamah.260.
Tidak seluruh pantai dan garis pantai Malaysia dapat digunakan
sebagai pantai yang relevan atau titik pangkal yang relevan dalam
menarik garis pangkal dan membangun garis batas maritim di daerah
yang dianggap sebagai ‘disputed area’ mengingat kondisi geografis
pantai pulau-pulau tertentu yang tidak berhadapan dengan ‘disputed area’.
Pantai atau titik pangkal di Pulau Sipadan dan Ligitan tidak
berhadapan dengan bagian laut yang dianggap disengketakan dan oleh
karena itu tidak memiliki hak-hak maritim. Dengan mengacu pada
yurisprudensi (termasuk dalam kasus Tunisia v. Libya), pantai kedua
260
Continental Shelf Tunisia/Libyan Arab Jamahiriya), Judgment, I.C.J. Reports 1982, Hlm. 61, para. 75
315
pulau tersebut, khususnya Ligitan tidak relevan digunakan sebagai titik
pangkal bagi penarikan garis pangkal sebab hal ini terkait dengan
karakteristik daerah yang dipersengketakan (disputed area)261 oleh kedua
Negara mengingat pulau Ligitan dapat dikatakan tidak berhadapan
dengan bagian laut yang dianggap sebagai ‘disputed area.
Keberadaan pantai pulau Ligitan juga tidak relevan digunakan
untuk menetapkan dan membangun ‘equidistance line’ sebagai garis
delimitasi maritim di daerah yang dianggap sebagai ‘disputed area’ di
perairan Laut Sulawesi. Berbagai kasus yang sudah diputuskan oleh
pengadilan atau arbitrasi internasional, termasuk referensi kasus Tunisia
v. Libya perlu dipertimbangkan untuk diterapkan oleh pihak otoritas
Indonesia dalam upaya negosiasi ke depan dengan pihak Malaysia bagi
tercapainya ‘equitable result’ yang berbasis keadilan substantif melalui
pengabaian dan pengenyampingan pantai kedua pulau sebab pantai
Pulau Ligitan sebagai pulau terluar Malaysia tidak termasuk pantai yang
relevan (relevant coast) akibat posisi pantai pulau ini tidak berhadap-
hadapan dengan daerah yang dianggap dipersengketakan262. Dengan
demikian tidak diperlukan penyesuaian garis sama jarak (equidistant line)
yang selama ini berjalan tidak diperlukan, setidak-tidaknya penyesuaian
seperti itu belum mendesak untuk dilakukan, meskipun ICJ telah
memutuskan kedua pulau tersebut adalah milik Malaysia.
261
Rainer Lagoni and Daniel Vignes, loc.cit. 262
Ki Beom Lee, The Flexibility of the Rules Applied in Maritime Boundary Delimitation, (Edinburgh, School of Law, 2011), Hlm. 11.
316
G. Garis Pangkal (Baselines) dalam Konteks Putusan ICJ 2002
Setelah menetapkan pantai yang relevan (relevant coast), maka
perlu diidentifikasi garis pangkal (baselines) yang merupakan titik awal
(the starting point) untuk membangun setiap zona maritim. Apabila
Negara-negara tidak menyetujui garis pangkal relevan (relevant baselines)
di sepanjang pantai yang relevan (relevant coast) atau tidak memetakan
garis pangkal, maka Mahkamah juga akan dimintai untuk menentukan
garis pangkal. Biasanya garis pangkal yang digunakan untuk mengukur
lebar zona maritim adalah garis air rendah (the low-water line) di
sepanjang pantai sebagaimana dinyatakan pada peta berskala luas yang
secara resmi diakui oleh Negara-negara pantai. Akan tetapi dalam the
1951 Anglo-Norwegian Fisheries Judgment 18 Desember 1951
Mahkamah menggunakan metode lain dalam menetapkan garis pangkal
yang sejak itu mendapatkan pengakuan di dalam praktek Negara-negara
dan selanjutnya dituangkan ke dalam pasal-pasal 7, 9 dan 10 dari KHL
1982, yakni metode garis pangkal lurus (straight baselines).263 Negara
tersebut berhak menarik garis pangkal lurus yang menghubungkan
bentuk-bentuk alamiah tersebut.
Dalam kasus Qatar v. Bahrain Mahkamah mengakui bentuk-bentuk
alamiah (maritime features) adalah bagian dari seluruh konfigurasi
geografis milik Bahrain, namun Mahkamah melihat bahwa bentuk-bentuk
alamiah tersebut bukan merupakan bagian lekukan pantai, sehingga tidak
263
Merits, Judgment, ICJ Reports, Hlm.103, para. 213
317
memiliki ciri sebagai sederetan pulau (a fringe of islands) dan oleh karena
itu situasinya berbeda daripada situasi yang dianalisis dalam kasus
Norwegia dan ditegaskankan dalam KHL 1982. Menurut Mahkamah,
Bahrain juga berpendapat bahwa karena negaranya adalah Negara
kepulauan yang diakui secara de facto, meskipun tidak dinyatakan secara
formal sebagai Negara kepulauan, Bahrain berhak menarik ‘straight
archipelagic baselines’ yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau
terluar dan karang-karang kering terluar dari kepulauan itu sesuai
ketentuan pasal 47 KHL 1982.264
Mencermati konfigurasi pantai wilayah negeri Malaysia yang
wilayahnya tidak memiliki sederetan pulau (a fringe of islands) seperti
wilayah Norwegia sebagai negeri kepulauan (archipelagic state). Dengan
memperhatikan wilayah negeri jiran tersebut yang tidak memiliki bentuk-
bentuk alamiah (maritime features) seperti yang dipunyai oleh wilayah
Bahrain yang diakui sebagai Negara kepulauan yang bersifat de facto,
maka jelaslah Negara tetangga tersebut tidak dapat menarik garis pangkal
lurus kepulauan (straight archipelagic baselines) yang menghubungkan
titik pangkal di daerah Sarawak dan titik pangkal di Pulau Sabah dan titik
pangkal di Pulau Ligitan pasca kasus Sipadan-Ligitan 2002 baik karena
statusnya yang bukan merupakan Negara Kepulauan akibat tidak memiliki
sederetan pulau (a fringe of islands) maupun karena garis pantainya yang
264
Ibid., Hlm. 96, para. 181.
318
tidak berhadap-hadapan dengan bagian laut yang dianggapnya sebagai
‘disputed area’.
H. Keadaan Khusus atau Relevan (Special or Relevant
Circumstances) dalam Konteks Putusan ICJ 2002
Secara internasional dikenal apa yang disebut prinsip equitable
solution sebagaimana diatur dalam pasal 74 dan 83 KHL 1982 yang
antara lain menyatakan penetapan garis batas maritim (landas kontinen
dan zee) antara opposite states atau adjacent states harus dilakukan
dengan persetujuan atas dasar aturan-aturan hukum internasional demi
tercapainya solusi yang berkeadilan (equitable solution). Meskipun KHL
1982 tidak menegaskan metode delimitasi tertentu yang dapat dipakai
untuk membangun garis batas maritim, terkecuali garis batas laut territorial
antarnegara tetangga (opposite states atau adjacent states), praktek
Negara-negara dalam menutup perjanjian maupun putusan pengadilan
dan arbitrasi internasional ternyata menerapkan metode delimitasi
berdasarkan metode median line atau equidistant line yang bersifat
sementara.
Penggunaannya bersifat sementara karena selalu harus dilihat
berbagai faktor atau keadaan yang dapat dianggap relevan dalam usaha
menetapkan dan membangun garis batas maritim di bagian laut yang
tumpang tindih atau di daerah yang dipersengketakan. Faktor-faktor atau
keadaan-keadaan relevan mempunyai ruang lingkup yang luas, sebab
dapat mencakup aspek geografi maupun non geografi.
319
Dalam konteks delimitasi maritim yang potensial terjadi akibat
jatuhnya putusan ICJ, aspek atau unsur geografi yang perlu diperhatikan
adalah keberadaan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah kedaulatan
Malaysia, faktor konfigurasi pantainyai, faktor geologi dan geomorfologi,
factor hak historis, sosial ekonomi dan keamanan, faktor hukum, faktor
kehadiran negara ketiga.
Walaupun kedua pulau sudah menjadi wilayah nasional Malaysia,
namun demikian keberadaaannya tidak mengharuskan untuk melakukan
penyesuaian atau perubahan garis batas maritim di landas kontinen atau
zona ekonomi eksklusif antara kedua Negara. Karena tidak memiliki
sederetan pulau (a fringe of islands) dan daratan utamanya tidak berliku-
liku tajam, maka Malaysia tidak dapat menarik garis pangkal lurus
kepulauan (straight archipelagic baselines) dan tidak dapat menarik garis
pangkal lurus (straightbaselines). Hal ini juga berarti di samping negara
tersebut bukan Negara kepulauan, kedua pulau yang berhasil
dimenangkannya juga tidak dapat digunakan sebagai titik dalam menarik
garis pangkal lurus kepulauan. Berbagai putusan mahkamah dan tribunal
internasional dapat dijadikan referensi terkait konsep pengenyampingan
peranan dari satu atau lebih pulau sebagai titik pangkal dalam menarik
garis pangkal lurus maupun dalam usaha membangun ‘median line’ atau
‘equidistant line’ sebagai garis batas maritim di daerah yang dianggap
dipersengketakan.
320
Apabila konsep pengenyampingan kedua pulau tersebut sebagai
titik pangkal dalam menarik garis pangkal dan membangun delimitasi
maritim dapat dilaksanakan, maka selanjutnya terkait aspek atau unsur
non geografi, perlu diperhatikan antara lain deklarasi Judge Oda sebagai
faktor non geografi yang antara lain menyatakan garis batas maritim dapat
dilakukan tanpa mengindahkan keberadaan pulau-pulau tersebut.
Berdasarkan PP 37/ 2008 ditarik garis pangkal lurus kepulauan dari
Karang Unarang sebagai titik pangkal menuju ke pulau-pulau terluar
lainnya sebagai titik pangkal ditarik garis pangkal lurus kepulauan dan
kemudian dibangun garis batas maritim tunggal yang dipergunakan
sebagai garis batas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif.
Garis batas ini juga tetap menerapkan ‘median line’ atau
‘equidistant line’ yang bersifat sementara karena sulitnya kedua negara
untuk menyepakati garis batas maritim yang bersifat final. Dengan
demikian garis batas maritim yang menerapkan garis tengah atau garis
sama jarak hanya bersifat sementara, tetapi selama belum tercapai
persetujuan garis batas yang bersifat final, maka tetap berlaku garis batas
maritim tunggal yang bersifat sementara dan harus diupayakan agar garis
batas maritim seperti ini pada akhirnya dapat disepakati dan diberlakukan
sebagai garis batas maritim tunggal yang bersifat final, di mana garis
batas ini dipakai sebagai garis batas landas kontinen dan garis batas zona
ekonomi eksklusif di daerah yang dianggap dipersengketakan.
321
Garis batas maritim yang bersifat sementara yang kemudian
diberlakukan sebagai garis batas maritim yang bersifat final sudah pernah
terjadi sebelumnya, seperti tercermin dalam kasus Rumania v. Ukraina
yang antara lain menghadirkan garis batas maritim tunggal (single
maritime boundary), bukan garis batas tersendiri (separate boundary).
Dalam kasus tersebut garis batas maritim tunggal yang ditarik untuk
sementara, ternyata kemudian ditetapkan sebagai garis batas maritim
yang bersifat final dan diberlakukan sebagai garis batas landas kontinen
maupun garis batas zona ekonomi eksklusif antara Romania dan Ukraina.
Oleh karena itu penerapan garis batas maritim tunggal yang bersifat
sementara seperti yang selama ini berjalan perlu dipertimbangkan dan
diperjuangkan untuk menjadi garis batas maritim tunggal yang bersifat
final ketika otoritas Indonesia melakukan langkah-langkah negosiasi
dengan pihak Malaysia yang memandang adanya bagian laut yang
dipersengketakan (disputed area) di Laut Sulawesi setelah berakhirnya
perkara Sipadan-Ligitan.
Pertimbangan dan perjuangan seperti ini relevan karena
menetapkan dan membangun garis batas maritim tunggal sangat
sederhana dan tidak berbelit-belit, namun dengan catatan kedua pulau,
khususnya Pulau Ligitan yang sangat kecil (islet atau small island),
sebagaimana halnya dengan pulau yang disebut ‘Serpents Island’ milik
Ukraina, samasekali tidak diberikan efek (no effect) dalam penentuan titik
pangkal bagi penarikan garis pangkal dalam rangka membangun ‘median
322
line/equidistance line’. Garis yang disebut terakhir akan menjadi garis
batas maritim tunggal (single maritime boundary) yang membagi landas
kontinen dan zona ekonomi eksklusif masing-masing Negara di daerah
laut yang dianggap dipersengketakan.
Perlu perjuangan untuk mengabaikan atau mengenyampingkan
pengaruh kedua pulau yang apabila tidak dikesampingkan akan
menimbulkan ketidakseimbangan (disproportionality) antara panjang garis
pantai Malaysia dengan daerah laut yang diklaim sebagai bagian
yurisdiksinya.
Selain daripada upaya seperti itu, maka harus ada upaya untuk
mengidentifikasi dan mengembangkan berbagai faktor yang dapat
diajukan sebagai relevant circumstances’265 karena adanya berbagai
pertimbangan Mahkamah dan Arbitrasi Internasional dalam berbagai
kasus delimitasi maritim yang antara lain mengakui luasnya pengertian
special circumstances/ relevant circumstances karena keadaan-keadaan
yang dimaksud bukan hanya terkait dengan faktor-faktor geografi,
melainkan juga dapat melibatkan faktor-faktor non geografi, seperti kondisi
sosial ekonomi, politik, keamanan dari para pihak yang bersengketa,
semuanya ini dapat memiliki kontribusi dalam melakukan ataupun tidak
265
Daftar dari ‘relevant circumstances’ tidak terbatas (open-ended) dan beratnya proses penilaian terhadap keadaan relevan dapat memberikan keleluasaan kepada mahkamah atau tribunal internasional untuk bertindak. Walaupun setiap kasus delimitasi memiliki kekhususan, hal ini tidak berarti mahkamah dan tribunal internasional mempunyai kebebasan mutlak untuk menghentikan kasus tersebut. Lihat Ki Beom Lee, op.,cit., Hlm. 11.
323
melakukan penyesuaian terhadap ‘equidistance line’ yang masih berlaku
sampai saat ini di daerah yang dianggap sebagai ‘disputed area’.
I. Kehadiran Pulau dan Elevasi Surut sebagai ‘Relevant
Circumstances’ dalam Konteks Putusan ICJ 2002
Kehadiran atau keberadaan pulau dan tidak jarang elevasi surut di
daerah yang harus ditentukan batas-batasnya hampir selalu menjadi
masalah dalam kasus-kasus delimitasi maritim266. Dari berbagai perkara
delimitasi maritim yang ditangani oleh pengadilan dan arbitrasi
internasional, maka dalam usaha mencapai ‘equitable solution’, maka
kehadiran pulau dan elevasi surut sering diabaikan dan dikesampingkan
pengaruhnya terhadap penetapan delimitasi maritim. Meskipun
keberadaannya dianggap mempunyai pengaruh, namun pengaruhnya
sebagai titik pangkal terhadap penetapan garis batas maritim tidak bersifat
sepenuhnya, tetapi hanya sebagian saja267.
Dalam kasus Qatar v. Bahrain pada 2001 pulau kecil yang
dinamakan Qit’at Jaradah sama sekali tidak mempunyai pengaruh
terhadap garis batas delimitasi268. Ketika arbitrasi memutuskan kasus
266
Disputes involving islands fall under two major categories:27 • a dispute over the sovereignty of the island(s) itself; and, • a dispute over the affect the island(s) may have on the delimitation of adjacent maritime space.There are important distinctions to be made between these two categories in the relationship between the particular type of dispute and the role the LOS Convention may, or may not, have on bringing about resolution. Whereas the LOS Convention addresses boundary delimitation situations where there are overlaps between respective territorial seas (Article15), the EEZ (Article 74), and the continental shelf (Article 83), there are no provisions that address how to resolve sovereignty disputes. Robert W.Smith, Maritime Delimitation in the South China Sea : Potentialityand Challenges, Ocean Development & International Law 41/ 2010, (Taylor & Francis Group, LLC), Hlm.220
267 Rainer Lagoni and Daniel Vignes, op.cit. 105 – 106.
268 Elevasi surut (low tide elevation) yang dinamakan Qitat Jaradah, meskipun
dinyatakan sebagai milik Bahrain, tidakdapat digunakan sebagai titik pangkal baik untuk menarik garis pangkal lurus maupun untuk membangun garis batas maritim antara kedua
324
yang melibatkan Eritrea v. Yemen pada 1999, pulau-pulau Al-Zubayr dan
Jabal el-Tair milik Yemen dinyatakan tidak mempunyai pengaruh terhadap
garis batas maritim yang bersifat final dan permanen. Dalam kasus yang
terjadi antara Denmark – Norwegia, Pulau Jan Mayen hanya memiliki
pengaruh yang tidak sepenuhnya dalam menetapkan dan membangun
garis batas maritim.
Dikaitkan dengan keberadaan Pulau Sipadan dan Ligitan, maka
menurut Judge Oda selama perundingan delimitasi landas kontinen antara
Indonesia dan Malaysia, kedua negara merasa terobsesi terutama dengan
peran yang dapat dimainkan oleh kedua pulau. Para pihak tampaknya
terkesan bahwa kedaulatan atas kedua pulau akan memberikan mereka
hak terhadap landas kontinen yang lebih luas dibandingkan dengan luas
landas kontinennya selama ini. Isu kedaulatan timbul semata-mata akibat
manuver para pihak untuk mengejar posisi tawar (bargaining position)
yang lebih baik dalam proses penetapan garis batas landas kontinen.
Sikap seperti ini terjadi karena adanya kesalahpahaman (misconception)
para pihak yang tidak memahami makna atau arti dari ‘special
circumstances’, khususnya keberadaan kedua pulau yang kini
dimenangkan pihak Malaysia berdasarkan keputusan ICJ. Padahal
menurut Judge Oda dalam ‘separate opinion’, meskipun keberadaan
kedua pulau dianggap sebagai ‘special circumstances’, namun garis
negara (Qatar v. Bahrain). Hal seperti ini terjadi akibat berlakunya azas proportionality sebab apabila fitue alamiah tersebut digunakan atau berfungsi sebagai titik pangkal untuk penarikan garis pangkal lurus dan penetapan delimitasi maritime, maka akan terjadi ketidakseimbangan antara garis pantai B ahrain dengan daerah delimitasi.
325
delimitasi maritim tetap bisa ditarik dengan mengenyampingkan
keberadaan kedua pulau tersebut.
Meskipun sekarang Malaysia dihadiahi kedaulatan atas pulau-pulau
itu, pengaruh keputusan Mahkamah terhadap penentuan garis batas
landas kontinen seharusnya dipertimbangkan dari perspektif lain. Prinsip
mengenai delimitasi landas kontinen ditetapkan dalam pasal 83 Konvensi
Hukum Laut 1982 yang menghendaki suatu penyelesaian yang adil (an
equitable solution). Permasalahannya adalah bagaimana pertimbangan
keadilan itu berlaku pada pulau-pulau itu. Judge Oda berkesimpulan
bahwa kedaulatan Malaysia atas kedua pulau tidak perlu mempunyai
hubungan langsung dengan penetapan garis batas landas kontinen269.
Garis batas maritim tetap bisa dilakukan dengan mengenyampingkan
keberadaan dan kehadiran pulau Sipadan dan Ligitan..
Kalau pernyataan Judge Oda digali lebih dalam lagi, maka hal ini
membawa implikasi bahwa garis batas maritim, termasuk garis batas
landas kontinen yang ditetapkan atau dibangun dengan menggunakan
metode ‘equidistance line’ tidak perlu menjalani penyesuaian (adjustment).
Setidak-tidaknya pasca putusan ICJ langkah-langkah perundingan kedua
negara untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap
‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim bukan sesuatu yang
bersifat urgen disebabkan kehadiran kedua pulau tersebut dapat
269
Ibid., Hlm. xxvi
326
dikesampingkan dalam proses perundingan delimitasi maritim antara
kedua negara.
J. Garis Batas Maritim Tunggal (Single Maritime Boundary) dalam
Konteks Putusan ICJ 2002
Bagian yang dipersengketakan (disputed area) antara Indonesia
dan Malaysia sebagai akibat dari kasus Sipadan dan Ligitan tentu perlu
dipikirkan penyelesaiannya. Dengan hadirnya berbagai faktor yang dapat
dianggap relevan, penyelesaian atas bagian yang dipersengketakan
(disputed area) melalui penyesuaian garis sama jarak sebagai garis
delimitasi maritim antara kedua negara belum begitu urgen bagi
Indonesia. Namun tidak tertutup kemungkinan bagi penerapan konsep
garis batas maritim tunggal (single maritime boundary) untuk zona
ekonomi eksklusif dan landas kontinen di Laut Sulawesi sebab sejauh ini
dapat dikatakan belum ada perbedaan faktor-faktor yang dianggap
relevan untuk landas kontinen dengan zona ekonomi eksklusif yang
terdapat di daerah yang dianggap dipersengketakan.
Tidak tertutupnya kemungkinan penerapan konsepsi garis batas
maritim tunggal atas bagian yang dipersengketakan oleh kedua negara
tetangga pasca putusan ICJ dalam kasus Sipadan dan Ligitan
dimaksudkan selain menghindari potensi kompleksitas masalah yurisdiksi,
juga terutama untuk mencapai hasil yang wajar (equitable result). Namun
penerapan konsepsi garis batas maritim tunggal harus dilakukan melalui
negosiasi untuk mencapai kesepakatan sesuai kaidah-kaidah hukum
327
internasional yang berlaku demi tercapainya solusi yang wajar (equitable
solution) yang berbasis keadilan dengan memperhitungkan faktor-faktor
geografis dan non geografis, termasuk faktor-faktor sosial-ekonomi dan
politik dari kedua negara.
Ketika berperkara di depan Mahkamah, semakin banyak Negara-
negara meminta agar Mahkamah menentukan satu macam garis batas
maritim untuk landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif (a single
maritime boundary). Hal ini muncul dalam the Qatar v. Bahrain Case.
Garis seperti ini menguntungkan dari segi regulasinya yang sederhana
(regulatory simplicity). Baik Konvensi Geneva 1958 maupun KHL 1982
tidak menyinggung mengenai ‘single maritime boundary’. Ternyata dalam
the Qatar v. Bahrain Case Mahkamah melihat bahwa270
the concept of a single maritime boundary does not stem from multilateral treaty law but from State practice, and . . . finds its explanation in the wish of States to establish one uninterrupted boundary line delimiting the various-partially coincident-zones of maritime jurisdiction appertaining to them. Dalam kasus zona-zona yurisdiksi yang bertepatan, penetapan
single boundary untuk berbagai zona yang harus didelimitasi hanya dapat
dilaksanakan dengan menerapkan kriteria atau gabungan kriteria yang
tidak mengutamakan salah satu zona sebab hal ini dapat merusak zona
lainnya dan pada waktu yang sama penerapan kriteria atau kombinasi
kriteria benar-benar cocok untuk membagi setiap zona, sebagaimana
270
Shi, Maritime Delimitation in the Jurisprudence of the ICJ 281. Downloaded from http://chinesejil.oxfordjournals.org/ at University Library Utrecht on November 15, 2012
328
dinyatakan oleh the Chamber of the Court dalam the Gulf of Maine
Case271. Dalam kasus the Qatar v. Bahrain, the Chamber of the Court
diminta untuk membuat dan menarik satu macam garis (a single line)
untuk menentukan dan membangun garis batas maritim baik untuk landas
kontinen maupun perairan yang berada di atasnya.
Dalam kasus delimitasi maritim di Laut Hitam (the Black Sea)
antara Rumania v. Ukraina, setelah mempertimbangkan dengan saksama
berbagai relevant circumstances, Mahkamah memutuskan bahwa the
provisional equidistance line yang telah dibuat oleh Mahkamah tidak perlu
disesuaikan akibat keberadaan sebuah pulau yang dinamakan ‘Serpents
Island’. Garis sama jarak (equidistance line) yang bersifat sementara yang
ditetapkan antara mainland kedua negara ditetapkan sebagai equidistance
line yang bersifat permanen atau final. Karena ‘equidistance line’ yang
bersifat permanen dipakai untuk menetapkan garis batas maritim di landas
kontinen dan zona ekonomi eksklusif, maka ‘equidistance line’ seperti itu
berfungsi sebagai garis batas maritim tunggal.
271 An alternative approach is to be selective in relation to which basepoints are
to be used in the construction of a maritim boundary delimitation. In particular, problematic basepoints, such as those provided by small insular features, may be wholly discounted. This approach was applied in the Gulf of Maine case between Canada and the United States. With regard to the “innermost” part of the Gulf, the Court decided that an equal division of the maritim space would be appropriate. However, the presence of numerous small islands and rocks off the coasts of both Canada and the United States in this locality dissuaded the Court from applying equidistance as a means of delimitation. The Court reasoned that the application of the equidistance method in this context would mean that the controlling basepoints on either side “would be located on a handful of isolated rocks, some very distant from the coasts, or on a few low-tide elevations,” which in the Court’s view were the type of “minor geographical features” that “should be discounted” in order to achieve an equal division of the maritim space in question. Instead of equidistance, the Court constructed two straight lines to represent the general direction of the coast within the Gulf of Maine.110 Perpendiculars to these two lines were then defined, with the first sector of the maritim boundary being determined as the bisector of the angle between the two perpendiculars. See Robert Beckman, Op., Cit, Hlm. 15-16.
329
Sebelum sengketa kepemilikan pulau Sipadan dan pulau Ligitan
ditangani dan diputuskan oleh Mahkamah Internasional, maka garis
pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baselines)
menghubungkan pulau Ligitan sebagai pulau terluar atau titik pangkal dan
titik-titik pangkal lainnya, seperti pulau Sebatik (I, II dan III) dan pulau
Maratua dan pulau-pulau terluar lainnya. Garis pangkal lurus tersebut
digunakan sebagai titik tolak untuk menetapkan dan membangun garis
batas maritim tunggal (single maritime boundary). Akan tetapi karena
pada waktu itu tidak tercapai kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia
soal garis batas maritim, maka sesuai dengan ketentuan konvensi hukum
laut garis batas maritim tunggal dibangun dengan menerapkan metode
garis tengah (median line) atau garis sama jarak (equidistance line)
dengan tujuan untuk membangun delimitasi maritim baik di landas
kontinen maupun di zona ekonomi eksklusif antara kedua negara. Garis
batas maritim tunggal yang menerapkan metode garis tengah atau garis
sama jarak bersifat sementara selama belum tercapainya kesepakatan
delimitasi maritime yang bersifat final di daerah yang dianggap
dipersengketakan.
Pasca putusan ICJ pada 2002 langkah-langkah negosiasi sedang
dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam membangun garis batas
maritim yang akan berlaku di zona ekonomi eksklusif dan atau landas
kontinen yang dianggap dipersengketakan. Dalam membangun dan
menetapkan garis batas maritim, perlu diusahakan agar ‘equidistance
330
line’ yang selama ini berlaku sebagai garis batas landas kontinen antara
Indonesia dan Malaysia juga dapat digunakan sebagai garis batas zona
ekonomi eksklusif sehingga tercipta garis batas maritim tunggal (single
maritime boundary). Penyatuan delimitasi zona ekonomi eksklusif dengan
delimitasi landas kontinen dengan menggunakan ‘equidistance line’ yang
selama ini berlaku adalah suatu tindakan yang relevan dilakukan karena
selain terdapat berbagai perjanjian bilateral yang membangun garis batas
maritim dengan menggunakan garis batas tunggal, juga banyak kasus
delimitasi maritim yang sudah diputuskan oleh Mahkamah atau Arbitrasi
Internasional yang menerapkan garis batas maritim tunggal (single
maritime boundary) sebagai garis delimitasi yang berlaku di zona ekonomi
eksklusif dan landas kontinen.
K. Faktor Geomorfologi dari Daerah Delimitasi sebagai ‘Relevant
Circumstances’ dalam Konteks Putusan ICJ 2002
Dalam the North Sea Continental Shelf, Tunisia / Libya and Gulf of
Maine cases, Mahkamah mempertimbangkan geomorfologi dari daerah
yang harus didelimitasi, terutama untuk menetapkan apakah ada suatu
bentuk alamiah yang memutus dan memotong kelanjutan landas kontinen.
Menurut Mahkamah, setiap diskontinuitas (any such discontinuities) dapat
menjadi keadaan relevan bagi delimitasi landas kontinen sehingga yang
harus diadopsi sebagai garis delimitasi adalah single maritime boundary,
meskipun ternyata dalam kasus-kasus itu tidak ditemukan diskontinuitas.
331
Akan tetapi Mahkamah memberikan pendapat seperti itu dalam kasus the
Libya / Malta.
Dalam kasus Libya v. Malta, Libya antara lain mengemukakan
bahwa celah bawah laut yang letaknya lebih dekat dengan pantai Malta
dibandingkan dengan pantainya sendiri, menurut Libya seharusnya
digunakan sebagai garis perbatasan (boundary line) antara landas
kontinen Libya dan Malta. Akan tetapi menurut Mahkamah, sesuai
perkembangan hukum laut internasional suatu Negara dapat mengklaim
landas kontinen sampai sejauh 200 mil dari pantainya. Meskipun Libya
mempunyai ciri-ciri geologis berupa celah bawah laut (rift zone) yang
dekat dengan pantai Malta, celah bawah laut seperti ini tidak dapat
dipergunakan sebagai garis batas landas kontinen antara kedua
negara272.
Tidak lama setelah putusan ICJ pada 2002 yang menyatakan
negara tetangga sebagai pemilik kedaulatan atas kedua pulau, muncul
masalah Ambalat karena Negara pemiliknya menganggap daerah dasar
laut Ambalat dianggap merupakan kelanjutan alamiah (natural
prolongation) dari wilayah daratan di pulau Sabah dan terutama pulau
Sipadan. Malaysia melihat seakan-akan blok pertambangan Ambalat
adalah sebuah bentuk geomorfologi dan kelanjutan alamiah dari pulau
272
Faktor geologis dan geofisik di dalam jarak antara pantai Malta dan Celah bawah laut
dari landas kontinen Libya tidak dapat berperan untuk membuktikan hak hukum Negara-negara yang bersangkutan atau untuk memulai delimitasi di antara Negara-negara tersebut. Lihat Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain, Merits, Judgment, I.C.J. Reports
2001, Hlm. 4.
332
Sabah dan Sipadan yang memberinya hak-hak berdaulat untuk
melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Ambalat, padahal perkembangan
hukum laut sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 76 KHL 1982
Indonesia dapat mengklaim landas kontinen itu sampai sejauh 200 mil dari
pantainya, apapun ciri-ciri geologis dari dasar laut dan tanah di bawahnya.
Di samping alasan berdasarkan pasal 76 KHL 1982, daerah yang
dianggap dipersengketakan (disputed area) sudah sejak lama dikelola
bersama oleh investor asing Conoco Philips dan Pertamina berdasarkan
kontrak yang disebut ‘production sharing contract’, dimana
pelaksanaannya berada dalam garis batas maritim yang menggunakan ;
‘median line’ atau ‘equidistance line’ sesuai dengan ketentuan pasal 6
ayat 1 Konvensi Geneva 1958 mengenai landas kontinen. Pelaksanaan
kontrak bagi hasil di daerah itu tidak terjadi di luar ‘equidistance line’
sebagai garis batas maritim yang memisahkan yurisdiksi kedua Negara.
Dengan demikian faktor geologi atau geomorfologi tidak dapat dipakai
sebagai alasan untuk mengklaim hak-hak maritim dengan menuntut
dilakukannya penyesuaian terhadap ‘equidistance line’ di daerah yang
dianggap dipersengketakan pascaputusan dalam kasus Sipadan – Ligitan.
Keputusan Mahkamah Internasional dalam berbagai kasus
delimitasi maritim, termasuk kasus delimitasi landas kontinen antara
Libya/ Malta dapat dipakai sebagai preseden berharga bagi otoritas
Indonesia dalam melakukan langkah-langkah negosiasi terkait delimitasi
maritim di daerah yang dianggap dipersengketakan pascaputusan ICJ
333
pada 2002. Diperlukan upaya pengenyampingan terhadap faktor geologis
atau geomorfologis dan geofisik dari daerah yang dianggap
dipersengketakan, khususnya Ambalat yang dianggap pihak Malaysia
sebagai kelanjutan alamiah dari wilayah daratan Sabah dan Sipadan.
Sebagai akibat putusan ICJ, maka faktor geologis dan
geomorfologis digunakan pihak Malaysia sebagai suatu ‘relevant
circumstances dengan tujuan menuntut penyesuaian (adjustment)
terhadap ‘equidistance line’ yang selama ini berlaku dalam konteks pasal
6 Konvensi Geneva 1958 mengenai landas kontinen. Namun faktor seperti
itu perlu dikesampingkan dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak
mengakibatkan terjadinya penyesuaian terhadap ‘equidistance line’
sebagai garis batas maritim yang masih berlaku.
Dengan mengenyampingkan faktor geologis dan geomorfologis,
maka dapat diwujudkan garis batas maritim yang dilandasi azas
proportionalitas (proportionality principle)273. Azas proporsionalitas yang
dapat ditemukan dalam berbagai kasus dimaksudkan untuk mewujudkan
adanya keseimbangan antara panjang garis pantai yang relevan dari
masing-masing pihak dengan daerah laut yang dapat dialokasikan bagi
masing-masing negara di daerah yang dianggap dipersengketakan
(disputed area)274.
273
Ibid, Hlm.105 274
Rainer Lagoni and Daniel Vignes, op.cit., Hlm. 103 – 104.
334
L. Hak Historis (Historic Rights), Faktor Sosial Ekonomi dan
Keamanan dalam Konteks Putusan ICJ275
Hak-hak historis (historic rights or historic title) juga dapat
dikategorikan sebagai keadaan relevan (relevant circumstances). Dalam
Qatar v. Bahrain Case, Bahrain membuktikan bahwa dia memiliki hak
historis (historic title) atas daerah pencarian mutiara kecuali yang terletak
di dalam sisi garis sama jarak yang sifatnya sementara (the provisional
equidistance line) milik Qatar yang ditarik untuk menetapkan garis batas
maritim di zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen. Mahkamah
menolak mempertimbangkan hak seperti itu sebagai special
circumstances terutama karena ternyata penyelaman mutiara secara
tradisional dianggap lebih merupakan hak bersama bagi penduduk pantai
ketimbang hak pengawasan oleh Negara. Di samping alasan itu,
penolakan yang dilakukan oleh Mahkamah terhadap hak historis yang
diklaim Bahrain disebabkan karena industri mutiara sudah tidak ada sejak
setengah abad yang lalu.
Walaupun argumen yang didasarkan atas historic rights belum
mengakibatkan dilakukannya penyesuaian terhadap ‘the provisional
equidistance line’ sebagai garis delimitasi yang bersifat sementara di
depan Mahkamah, hak-hak sejarah sudah menjadi suatu keadaan khusus
(special circumstances) yang telah diakui dan mendapat sebutan khusus
dalam KHL 1982 terkait delimitasi laut territorial. Akan tetapi apakah hak-
275
Yoshifumi Tanaka, op.cit, Hlm. 151.
335
hak historis dapat bereksistensi di landas kontinen atau zona ekonomi
eksklusif yang hingga 1950-an dianggap merupakan laut bebas, masih
menjadi bahan perdebatan. Namun karakter tradisional dari berbagai
macam kegiatan penangkapan ikan yang dijalankan penduduk besar
pengaruhnya dalam mewujudkan garis delimitasi yang bersifat final dalam
kasus Greenland/Jan Mayen.276
Langkah-langkah negosiasi Indonesia-Malaysia dalam
menetapkan garis batas maritim tunggal untuk membagi daerah laut yang
dianggap dipersengketakan sebagai implikasi dari kasus Sipadan-Ligitan,
perlu diwarnai dengan pemikiran mengenai (kemungkinan) adanya hak
historis (historical rights) dalam kegiatan nelayan tradisional Indonesia di
kawasan perairan Laut Sulawesi, termasuk di sekitar pulau Sipadan dan
Ligitan. Pemikiran seperti ini memerlukan konsistensi karena KHL 1982
telah mengakui hak historis sebagai relevant circumstances meskipun
dalam kaitan dengan delimitasi maritim di laut territorial. Namun demikian
keberadaan ‘historical rights’ di laut wilayah tidak hanya berdampak
terhadap penentuan garis batas maritim di laut territorial, tetapi juga tidak
tertutup kemungkinan dapat berimplikasi terhadap penentuan garis batas
maritim di luar laut tersebut meskipun belum ada yurisprudensi
internasional terkait pengaruh dan implikasi hak historis atas delimitasi
maritim.
276
Denmark v.Norway case (I.C.J. Reports 1993, Hlm. 71-73, para. 76-78).
276 Land and Maritim Boundary between Cameroon and Nigeria (Cameroon v.
Nigeria: Equatorial Guinea intervening, Judgment, I.C.J. Reports 2002, Hlm. 447-448, para. 304.
336
Pemikiran mengenai kemungkinan adanya hak historis yang dimiliki
Indonesia, termasuk identifikasinya cukup mendesak dilakukan demi
pengamanan wilayah perairan Indonesia melalui perlindungan nelayan
tradisional yang berasal dari beberapa Negara, tetapi sebagian besar
adalah nelayan tradisional Indonesia. Kondisi seperti ini dapat memberi
keuntungan bagi Indonesia karena hak historis dapat dilihat dan
diperjuangkan sebagai faktor yang relevan agar dapat membawa implikasi
positif terhadap equidistance line yang dibangun sebagai garis delimitasi.
Keberhasilan dalam memperjuangkannya dapat berkontribusi dalam
mengaktualisasikan pendapat terpisah dari Judge Oda yang secara
tersirat menghendaki pengenyampingan peranan dari Sipadan-Ligitan
sebagai titik pangkal dan implikasi pengenyampingan seperti itu adalah
tidak memerlukan penyesuaian ‘equidistance line’ sebagai garis delimitasi
maritim yang sejauh ini masih berlaku di daerah yang dianggap
dipersengketakan277.
277
Dalam kasus delimitasi maritim di depan Mahkamah, Negara-negara mengemukakan sederetan relevant circumstances lain yang tidak perlu lagi dikemukakan. Perikanan dalam the Greenland/Jan Mayen case dalam konteks penetapan garis batas zona perikanan yang kini dikenal dengan zona ekonomi eksklusif, Mahkamah mengadakan penyesuaian terhadap garis equidistance yang bersifat sementara dalam usaha menjamin setiap pihak mempunyai akses yang sama (equitable access) terhadap stok ikan capelin (capelin stocks). Konsesi mengenai cadangan minyak atau konsesi pertambangan minyak (oil deposits/oil concessions) serta sumur-sumur minyak (oil wells) juga dapat dianggap sebagai relevant circumstances : Berbeda dengan pendekatan terkait perikanan, dalam kasus the Cameroon v. Nigeria Mahkamah menyatakan bahwa konsesi minyak dan sumur minyak tidak dengan sendirinya dapat dianggap sebagai ‘relevant circumstances’ yang membenarkan penyesuaian (adjustment) atau perubahan dan pergeseran (shifting) garis delimitasi yang sifatnya sementara.
277 Faktor-faktor sosial ekonomi juga dapat dimasukkan ke dalam relevant
circumstances. Akan tetapi Mahkamah hanya akan memperhitungkan faktor-faktor sosial ekonomi sebagai ‘relevant circumstances’ bagi delimitasi maritim, apabila delimitasi dapat menjamin kehidupan dan kesejahteraan ekonomi bagi penduduk Negara-negara
337
.Faktor-fakor keamanan (security), sosial ekonomi, kontrak
‘production sharing’ yang sudah berlangsung lama antara Pemerintah
Indonesia atau Pertamina dengan korporasi asal Amerika Serikat (Conoco
Philips) perlu dipikirkan dan dipertimbangkan relevansinya oleh otoritas
Indonesia dalam melakukan pembicaraan delimitasi maritim dengan
otoritas Malaysia di daerah yang dianggap dipersengketakan (disputed
area). Faktor-faktor seperti itu seharusnya dapat mewarnai opsi kebijakan
Pemerintah Indonesia dalam melakukan langkah-langkah negosiasi untuk
menyelesaikan garis batas maritim antarkedua negara.
Klaim Malaysia atas Ambalat ditandai dengan terbitnya semacam
persetujuan konsesi bagi investor asal Belanda untuk melakukan
eksplorasi dan eksploitasi di daerah tersebut. Kegiatan pengamanan oleh
Negara tetangga atas terbitnya konsesi pertambangan ini dilakukan
dengan mengerahkan kapal-kapal perang untuk berpatroli di daerah yang
dianggapnya dipersengketakan pascakasus Sipadan-Ligitan.
Patroli kapal perang Negara tersebut dengan tujuan mengamankan
wilayah konsesi tambang mengakibatkan terjadinya unjuk rasa dari
yang bersangkutan. Sebaliknya apabila faktor-faktor sosial ekonomi tidak dianggap relevan untuk menetapkan garis delimitasi, maka delimitasi yang dihasilkan tanpa memperhitungkan faktor-faktor tersebut akan dapat mendatangkan bencana bagi kehidupan dan kesejahteraan ekonomi penduduk negara-negara tersebut (catastrophic repercussions for the livelihood and economic well-being of the populations of countries concerned). Hal ini dikemukakan oleh Mahkamah dalam the Gulf of Maine case. Akhirnya masalah keamanan (security) kadang-kadang harus dipertimbangkan sebagai suatu keadaan relevan yang dapat mempengaruhi garis delimitasi maritim antara Negara-negara yang berkepentingan. Dalam kasus the Greenland/Jan Mayen serta Libya/Malta, Mahkamah mengakui bahwa dalam hal-hal tertentu, faktor keamanan bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang relevan (relevant circumstances). Namun pertimbangan keamanan sebagai special circumstance dalam menetapkan garis delimitasi hanya dapat dilakukan dalam situasi di mana garis delimitasi terlalu dekat ke pantai dari salah satu negara. (Tore Henriksen, Maritim Delimitation in the Arctic, Ocean Development and International Law, Number 42, Year 2011, Hlm. 19).
338
berbagai kalangan masyarakat untuk mengecam dan menentang niat
negara tetangga yang tendensius sehingga dikhawatirkan berpotensi
membawa dampak terhadap ketertiban dan keamanan domestik.
Dampak atas ketertiban dan keamanan domestik sebenarnya sudah
mengintip beberapa saat setelah keluarnya pengumuman putusan ICJ
yang menyatakan bahwa kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan adalah
milik Malaysia. Ketika ternyata putusan ICJ ini dipakai sebagai batu
loncatan untuk mengklaim blok tambang Ambalat yang berada di perairan
kepulauan Indonesia, dampaknya terhadap keamanan domestik sudah
mulai muncul di permukaan sehingga faktor ketertiban dan keamanan
domestik dapat membawa implikasi terhadap keinginan Negara tetangga
untuk mengklaim semacam penyesuaian terhadap ‘equidistance line’ yang
sejauh ini masih berlaku sebagai garis delimitasi maritim.
Kondisi sosial ekonomi di negara tetangga yang ditunjukkan antara
lain melalui pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita masih lebih
baik dibandingkan dengan Indonesia sehingga kebijakan pemerintah
Indonesia untuk melakukan langkah-langkah negosiasi juga perlu diwarnai
dengan pemikiran dan pertimbangan menyangkut relevansi faktor
keamanan dan kondisi sosial ekonomi bagi penyelesaian garis batas
maritime kedua Negara.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor baik yang bersifat
geografis maupun non geografis, maka penyelesaian delimitasi maritim
tidak harus dilakukan dengan mengadakan penyesuaian terhadap ‘median
339
line’ atau ‘equidistant line’ sebagai garis perbatasan maritim di daerah
yang dianggap dipersengketakan (disputed area). Penyesuaian garis
seperti itu dapat saja dilakukan pasca kasus Sipadan-Ligitan, tetapi sejauh
mungkin penyesuaian seperti ini (such this adjustment) harus diupayakan
tidak signifikan karena adanya berbagai faktor yang dapat dianggap
memiliki relevansi baik untuk mengenyampingkan pengaruh kedua pulau
sebagai titik pangkal untuk menarik garis pangkal lurus kepulauan
maupun untuk mengenyampingkan penyesuaian garis tengah atau garis
sama jarak sebagai garis batas maritim. Meskipun penyesuaian garis
yang dimaksudkan itu tidak dapat dan karenanya sulit dikesampingkan,
namun bagaimanapun dan dalam keadaan apapun penyesuaian tersebut
harus diperjuangkan untuk tidak signifikan.
Melalui konsep pengenyampingan penyesuaian ‘median line’ atau
‘equidistant line’ ataupun pencegahan terhadap potensi terjadinya
penyesuaian ‘equidistant line’ secara signifikan, maka dapat diharapkan
akan tercapai sebuah solusi yang dinamakan solusi yang wajar dan adil
(equitable solution) yang dapat menghadirkan ‘equitable result’ terkait
delimitasi maritim di antara kedua negara. Dengan menerapkan dan
mengimplementasikan konsep seperti itu dengan harapan bagi
tercapainya ‘equitable solution’, maka secara langsung atau tidak
langsung kedua negara yang sudah mengakhiri sengketa kepemilikan
kedua pulau dapat dianggap telah menghormati dan mematuhi serta
mengamalkan substansi putusan ICJ yang terutama tercermin di dalam
340
pendapat terpisah Judge Oda yang mengandung nilai-nilai immaterial
(immaterial values)278.
Setelah lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dari wilayah
NKRI, Pulau Ligitan yang tercantum dalam Lampiran PP Nomor 38 Tahun
2002 sebagai pulau terluar atau titik pangkal sudah tidak dapat dipakai
sebagai titik pangkal bagi penarikan garis pangkal lurus kepulauan yang
menghubungkan berbagai pulau terluar di Laut Sulawesi. Perkembangan
seperti ini membawa implikasi diterbitkannya PP Nomor 37 Tahun 2008,
yaitu PP tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2002.279 Dalam pertimbangannya dikemukakan latar belakang lahirnya PP
Nomor 37 Tahun 2008, yaitu bahwa selain Provinsi Timor Timur telah
menjadi negara tersendiri, Keputusan Mahkamah Internasional mengenai
kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan telah mempunyai kekuatan
hukum tetap sehingga hal ini mempunyai implikasi hukum terhadap
koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan, sebagaimana dapat
dilihat dalam lampiran dari Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002
tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia.
278
Ada dua macam nilai dalam kehidupan seseorang, yaitu nilai-nilai yang bersifat material (material values) dan nilai-nilai yang bersifat immaterial (immaterial values). Kalau seseorang memiliki harta kekayaan dan membagi hartanya kepada orang lain, maka nilai hartanya habis pada saat dibagikan. Inilah yang disebut ‘material values’. Akan tetapi ketika seseorang membagikan nilai-nilai immaterial, seperti mengamalkan dan mengajarkan nilai keindahan, kebaikan, kebenaran, kejujuran etc, maka nilai-nilai immaterial ini tidak akan habis, tetapi justru nilai-nilai seperti ini semakin besar dan kuat. Hayyan Ul Haq, Kuliah Metodologi Hukum , (Utrecht, Utrecht University, October 2012).
279 Lembaran Negara RI Tahun 2008 Nomor 77.
341
M. Implikasi Putusan ICJ terhadap Delimitasi Maritim dari Perspektif
Hukum Nasional Masing-Masing Pihak
Dengan keluarnya putusan ICJ yang melepaskan kedua pulau
tersebut dari tangan Indonesia ke tangan Malaysia, maka hal ini
membawa implikasi berupa adanya perubahan garis pangkal lurus
kepulauan di wilayah perbatasan laut kedua Negara. Setelah kemenangan
negara tetangga, Pemerintah RI memberlakukan PP 37/2008 mengenai
Perubahan atas PP 38/2002 mengenai Daftar Koordinat Geografis Titik-
Titik Pangkal Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
Pulau Ligitan yang ditetapkan sebagai titik pangkal dalam PP
38/2002 telah dihapuskan dari daftar koordinat geografis tersebut
sehingga sebagai titik pangkal baru adalah Karang Unarang yang akan
dihubungkan dengan garis pangkal lurus kepulauan ke titik pangkal pada
Pulau Sebatik (I, II dan III), lalu ke titik pangkal di Pulau Maratua dan
seterusnya.
Bagi Indonesia garis pangkal lurus kepulauan yang
menghubungkan titik-titik pangkal di perairan perbatasan dapat digunakan
sebagai patokan untuk menetapkan dan membangun garis batas maritim
tersendiri (separate maritime boundary) yang berlaku di bagian laut
territorial yang tumpang tindih (overlapping) dengan laut territorial negara
tetangga. Akan tetapi untuk bagian landas kontinen dan zona ekonomi
eksklusif yang tumpang tindih antara Indonesia dan Malaysia, maka
dengan bertitik tolak dari garis pangkal lurus kepulauan dapat ditetapkan
342
dan dibangun garis batas maritim tunggal yang berlaku di bagian landas
kontinen dan zona ekonomi eksklusif yang tumpang tindih280.
Selanjutnya bagi Malaysia implikasi dari putusan ICJ, negeri jiran ini
telah mengundangkan pada bulan Mei 2007 ‘the Baselines of Maritime
Zones Act’ 2006, tetapi sampai saat ini Negara tersebut belum membuat
peta ataupun daftar koordinat geografis mengenai garis pangkal sebagai
tindak lanjut dari Undang-undang garis pangkal yang dinyatakan berlaku
sejak 2007 lalu281. Hal ini disebabkan karena Malaysia tidak dapat
dikualifikasi sebagai Negara kepulauan terutama ditinjau dari perspektif
konfigurasi pantai (coastal configuration), malahan tidak dapat menarik
280 Indonesia is highly likely to assert that any equidistance-based maritime boundary lines
be constructed using its straight archipelagic baselines. This argument has strong foundations. Indonesia was one of the champions of the archipelagic concept during theThird United Nations Conference on the Law of the Sea (UNCLOS III) and its baselines arguably provided a model for the terms of Article 47 of UNCLOS. Indonesia’s archipelagic straight baselines are, therefore, generally regarded to be in conformity with UNCLOS and have not been contested by its neighborsRobert Beckman, Moving Beyond Disputes over Island Sovereignty : ICJ Decision Sets Stage for Maritime Boundary Delimitation in the Singapore Strait, Ocean Development & International Law, 40, 2009 (Taylor & Francis Group, LLC), Hlm. 6. 281
The existence of Malaysia’s straight baselines is indicated by its maritime boundary agreements of 1969 and 1971 with Indonesia that relate to continental shelf rights and territorial sea, respectively (see below). Indeed, Malaysia’s straight baseline claims appear to have been prompted by a desire to counterbalance Indonesia’s archipelagic baselines in the context of continental shelf boundary negotiations between the two countries. Moreover, as mentioned above, in 1979, Malaysia issued a map setting out the limits of its claimed territorial waters and continental shelf.25 Some of the claimed territorial sea limits depicted on this map are straight, which indicates that they were constructed from straight baselines. However, no charts or lists of coordinates have been issued by Malaysia setting out the location of its baselines. Malaysia’s straight baselines may be reconstructed, or inferred, by drawing lines 12 nautical miles landward of and parallel to the straight line limits of the territorial waters indicated on the 1979 map. These “inferred baselines” have been criticized as being inconsistent with the criteria set out in Article 7 of UNCLOS on straight baselines. Although the 1979 map was published 3 years before UNCLOS was adopted and before Malaysia became a party, as a party to UNCLOS, Malaysia now has an obligation to bring its baselines and maritime zone claims into conformity with the Convention. It appears to be preparing to do so. Malaysia enacted the Baselines of Maritime Zones Act 2006 (Act 660) on May 1, 2007,27 which provides for normal baselines consistent with low-water lines as shown on large-scale charts and for the use of straight baselines linking specified basepoints along the coast.28 This Act is enabling legislation and Malaysia has not at the time of this writing published any charts or lists of geographical coordinates with respect to straight baselines. Malaysia should, in any event, ensure that its use of straight baselines under the 2006 Act is in conformity with Article 7 as interpreted by the Court in the Qatar/Bahrain case. Ibid., Hlm.6 - 7.
343
garis pangkal lurus (straight baselines) dari Pulau Ligitan ke Pulau Sabah,
menuju ke Sarawak karena tidak memiliki sederetan pulau (a fringe of
islands) berdasarkan ketentuan pasal 7 KHL 1982.
Dengan lahirnya ‘the Baselines of Maritime Zones Act’ 2006
menjadi indikasi Negara tersebut berambisi untuk memanfaatkan dan
menerapkan prinsip Negara kepulauan berupa penarikan garis pangkal
lurus kepulauan yang menghubungkan beberapa titik pangkal di perairan
perbatasan dengan RI, yaitu titik pangkal di Pulau Sipadan, Ligitan,
sebagian Pulau Sebatik, Pulau Sabah dan wilayah Sarawak.
Namun keinginan negara tersebut mendapat kecaman dari dunia
internasional, khususnya dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara
sehingga negara tetangga yang bersangkutan enggan (reluctant)
menerbitkan atau mengumumkan peta atau daftar koordinat geografis
titik-titik garis pangkal lurus kepulauan. Selanjutnya garis pangkal lurus
kepulauan mungkin akan digunakan sebagai dasar untuk membangun
garis batas maritimnya dan hal ini terjadi setelah negara tersebut
memberikan lisensi eksplorasi kepada perusaahan asal Belanda sehingga
terjadi daerah yang dianggap dipersengketakan di daerah Ambalat..
Negara tersebut belum melaksanakan kewajibannya untuk mendepositkan
salinan dari Undang-Undang garis pangkal yang berlaku pada tahun 2007
pada Sekretaris Jenderal PBB, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 47
ayat 9 KHL 1982.282.
282
Robert Beckman, op.cit., Hlm.
344
N. Solusi yang harus ditempuh apabila tidak tercapai Final
Delimitation belum dapat disepakati
Indonesia dan Malaysia telah menjadi negara peserta pada KHL
1982 karena kedua negara telah mengikatkan diri pada konvensi ini
melalui ratifikasi283 sehingga kedua negara sudah terikat untuk mematuhi
dan melaksanakan ketentuan-ketentuan konvensi, khususnya yang terkait
dengan penetapan garis batas maritim berbasis titik pangkal di antara
kedua negara bertetangga.
Dalam hubungan dengan penyelesaian garis batas maritim sebagai
akibat keluarnya putusan Mahkamah Internasional soal kepemilikan kedua
pulau, maka berdasarkan KHL1982 kedua negara dibebani kewajiban
untuk menetapkan garis batas maritim (landas kontinen atau zona
ekonomi eksklusif) dengan persetujuan (agreement) menurut aturan-
aturan hukum internasional agar supaya dapat mencapai solusi yang
berkeadilan (equitable solution). Selama belum tercapai kesepakatan
mengenai penyelesaian secara tuntas garis batas maritime, maka kedua
negara pertama-tama harus berusaha untuk membuat pengaturan-
pengaturan yang bersifat sementara (provisional arrangements). Kedua,
mereka harus berusaha untuk tidak membahayakan atau menghambat
tercapainya persetujuan final (final agreement), yaitu tercapainya
283
Ratifikasi Republik Indonesia terhadap KHL 1982 didasarkan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985.
345
persetujuan garis batas maritim secara tuntas dan menyeluruh (final
delimitation)284.
Indonesia dan Malaysia harus berupaya membuat ‘provisional
arrangements of a practical nature’. Kedua negara memikul kewajiban
berat untuk melakukan perundingan dengan itikad baik (good faith) dalam
rangka menciptakan pengaturan praktis yang bersifat sementara selama
masalah delimitasi maritim masih menggantung atau selama delimitasi
maritim belum tuntas akibat kasus Sipadan – Ligitan. Pengaturan seperti
itu hanya bisa diwujudkan oleh kedua negara apabila mereka memiliki
semangat dan komitmen serta kesadaran untuk menumbuhkan saling
pengertian dan kerjasama untuk dapat bereksistensi secara damai
(peaceful coexistence).
Dengan membuat ‘provisional arrangement’, kedua negara dapat
meningkatkan beberapa kegiatan eksploitasi di daerah yang dianggap
dipersengketakan (disputed area), meskipun mereka masing-masing
dapat bertahan dengan posisinya menyangkut penuntasan masalah
delimitasi maritim (final delimitation)285. Sejauh mana Indonesia dan
Malaysia telah berupaya mengadakan ‘provisional arrangement’ yang
mungkin isinya mengenai zona kerjasama pengembangan (joint
development zone), seperti kerjasama dalam menjamin keselamatan
pelayaran, kerjasama dalam memelihara dan melestarikan lingkungan
laut, kerjasama dalam penelitian ilmiah kelautan serta kerjasama dalam
284
Sun Pyo Kim, op.cit., Hlm. 53. 285
Ibid, Hlm. 75 Disisipkannya klausula ‘without prejudice’ dianggap penting oleh beberapa ahli untuk memelihara dan mempertahankan posisi negara-negara pantai.
346
mengeksplorasi dan mengeksplotasi sumber kekayaan alam hayati dan
non hayati masih harus dilihat perkembangannya melalui langkah-langkah
perundingan kedua negara untuk menyelesaikan garis batas maritim di
‘disputed area’.
Meskipun bukan di perairan Ambalat yang merupakan ‘disputed
area’, melainkan di sebagian Laut Natuna, Pemerintah Indonesia telah
berhasil mengajak pihak Malaysia untuk melakukan kerjasama dalam
pengembangan kekayaan gas alam yang terkandung di dasar laut
Natuna. Kedua pemerintah yang diwakili masing-masing oleh Pertamina
dan Petronas telah membuat apa yang dinamakan MoU Kemitraan
mengenai pengembangan gas alam di Laut Natuna pada tahun 2010.
Namun demikian pada akhir tahun 2011 pihak Malaysia menarik diri dari
kerjasama kemitraan tersebut dengan alasan di samping harga gas di
pasar internasional semakin turun harganya, lokasi sumber-sumber gas
alam berada pada laut dalam sehingga dianggapnya tidak
menguntungkan dan tidak ekonomis.
Lokasi kerjasama tersebut diakui memang bukan di dalam
‘disputed area’, dalam hal ini bukan di Ambalat, melainkan di sebagian
Laut Natuna. MoU kemitraan seperti itu harus dianggap sebagai
manifestasi dan bentuk ‘provisional arrangement’ karena terutama
dimaksudkan untuk meredam ambisi negara tetangga dalam mengklaim
penyesuaian ‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim dilihat dalam
konteks pendirian Indonesia yang sejauh ini tampaknya tetap konsisten
347
dalam memelihara posisinya mengenai ‘final delimitation’ pascaputusan
ICJ.
MoU kemitraan di Laut Natuna yang diprakarsai Pemerintah
Indonesia menunjukkan adanya kepatuhan dalam mengimplementasikan
ketentuan konvensi yang mewajibkan kedua negara untuk melakukan
negosiasi dengan itikad baik dalam membentuk atau menciptakan
‘provisional arrangement’ yang sifatnya praktis selama belum tercapai
kesepakatan garis batas maritim yang final. Dengan lain perkataan
implikasi putusan ICJ terhadap penetapan garis batas maritim sudah
mulai terlihat ketika kedua negara membuat ‘provisional arrangement’
dalam bentuk MoU Kemitraan 2010 untuk bekerjasama dalam
mengembangkan kekayaan gas alam kendati lokasinya bukan di
Ambalat, melainkan di Laut Natuna286.
Pola kerjasama yang disebut joint development yang merupakan
pelaksanaan atas provisional arrangement apalagi dalam bidang
perikanan dan pertambangan sudah lazim dilakukan oleh banyak Negara
sebagai sebuah terobosan untuk mengatasi jalan buntu (dead lock)
negosiasi terkait garis batas maritim287. Joint Development bukan sesuatu
yang baru bagi Indonesia sebab di masa lalu pada zaman pemerintahan
286
Indonesia (dalam hal ini Pertamina) mengajak Petronas untuk melakukan kerjasama dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan gas alam yang terkandung di Laut Natuna. Dari pihak Indonesia ajakan kerjasama seperti ini bertujuan untuk meredam ambisi Malaysia dalam mengklaim Ambalat. Sedang dari pihak Malaysia yang menerima ajakan dan tawaran itu mempunyai maksud dan tujuan untuk memperlihatkan eksistensinya di kawasan Laut Cina Selatan yang cukup sarat dengan konflik territorial.
287 Victor Prescott and Clive Schofield, op. cit, hlm. 635
348
Presiden RI, Soeharto, Indonesia dan Australia berhasil membuat suatu
perjanjian yang dinamakan Timor Gap Treaty 1989288 yang merupakan
terobosan dalam mengatasi kemacetan perundingan yang begitu lama
dan rumit terkait upaya menetapkan garis batas landas kontinen dan zona
ekonomi eksklusif di sebagian Laut Timor di masa lalu.
Selain adanya implementasi ‘provisional arrangement’ dalam
bentuk MoU Kemitraan di Laut Natuna akibat belum tercapainya
kesepakatan delimitasi maritim yang bersifat final antara Indonesia dan
Malaysia, maka selama masa transisi kedua negara juga telah
mengimplementasikan kewajiban untuk tidak membahayakan atau
merintangi tercapainya kesepakatan final soal delimitasi maritim di daerah
yang dianggap dipersengketakan.
Kekalahan Indonesia dalam kasus kepemilikan kedua pulau, yang
diikuti dengan pemberian lisensi kepada perusahaan minyak Shell asal
Belanda oleh Pemerintah Malaysia dan kegiatan kapal patroli di perairan
Ambalat bagi pengamanan kebijakannya mengakibatkan terjadinya
ketegangan antara kedua negara serumpun. Ketegangan yang terjadi di
perairan sekitar Blok Tambang Ambalat pascaputusan ICJ memang belum
mengkhawatirkan untuk timbulnya konflik bersenjata antara kedua negara.
Kondisi yang tidak mengkhawatirkan ini terjadi karena ketika sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan telah selesai pada 2002, maka
288
Sun Pyo Kim, Maritime Delimitation and Interim Arrangements in North East Asia, (The Hague/London/New York, Martinus Nijhoff Publishers, 2004), Hlm. 103-104.
349
dibuat sebuah kesepakatan oleh Angkatan Laut kedua negara dengan
tujuan untuk mencegah setiap insiden di laut289.
Kesepakatan yang dituangkan dalam ‘Prevention of Incidences at
Sea Agreement’ ditandatangani oleh kedua negara pada 2003. Terkait
kesepakatan seperti ini, maka Mak Joon Nam antara lain menyatakan:290
They know exactly what to do and there is this mechanism to allow them to exchange information. They have the communication channels established already. The bottomline is that I don’t think things will escalate beyond control’.
Ketika ketegangan memuncak, maka situasi ini dengan segera
dapat diredakan karena adanya semangat saling pengertian dan
kerjasama untuk menurunkan situasi tegang seperti itu, dengan cara
memerintahkan Angkatan Laut masing-masing negara untuk menghindari
setiap tindakan provokatif. Lahirnya kesepakatan yang disebut ‘Prevention
of Incidences at Sea Agreement 2003’ harus dipahami dalam konteks
implementasi dari kewajiban kedua negara untuk tidak membahayakan
atau menghambat tercapainya persetujuan delimitasi maritim secara
tuntas. Selama masa transisi mereka masing-masing berkewajiban untuk
mencegah terjadinya insiden di laut, terutama di area yang dianggap
dipersengketakan karena setiap insiden, termasuk tindakan provokasi
salah satu pihak, apabila tidak ditangani dengan sangat hati-hati, tentu
saja dapat membahayakan atau menghambat tercapainya kesepakatan
penuntasan masalah garis batas maritim berbasis titik pangkal.
289
Awani Irewati dkk, ‘Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia – Malaysia di Laut Sulawesi’, (Jakarta, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; Pusat Penelitian Politik, 2006), Hlm. 133 – 134.
290 Ibid, Hlm. 133
350
Berdasarkan pasal 74/ 83 ayat 3 KHL 1982 kedua negara mem
punyai hak dan kewajiban untuk mempertahankan kondisi status quo,
yakni posisi masing-masing pihak mengenai penyelesaian masalah
delimitasi maritim secara tuntas (final delimitation) sebagai implikasi
putusan ICJ terhadap ‘equidistance line sebagai garis batas maritim di
‘disputed area’291.
Hak dan kewajiban para pihak untuk mempertahankan status quo
terkait pendirian masing-masing pihak untuk menuntaskan garis batas
maritim sebagai implikasi putusan ICJ hanya dapat berjalan secara baik
apabila hal ini dilakukan dengan semangat saling pengertian dan
kerjasama berdasarkan azas itikad baik.
O. Rangkuman
Putusan Mahkamah Internasional yang melepaskan kepemilikan
Pulau Sipadan dan Ligitan dari Indonesia dan menyerahkannya kepada
Malaysia membawa implikasi dalam hukum nasional masing-masing pihak
baik terhadap titik pangkal maupun delimitasi maritim. Demikian pula
penyelesaian atau solusi seperti apa yang dapat ditempuh oleh kedua
Negara ketika mereka tidak atau belum berhasil menuntaskan garis batas
maritim (final delimitation) di daerah yang dianggap dipersengketakan
merupakan sesuatu yang dapat diketemukan dalam ketentuan-ketentuan
291
Sun Pyo Kim, op.cit., Hlm. 57.
351
konvensi serta praktek Negara-negara menyangkut delimitasi maritim
berbasis titik pangkal.
Putusan ICJ 2002 hanya memutuskan dan menyelesaikan
sengketa kepemilikan kedua pulau, tetapi tidak menyelesaikan penetapan
garis batas maritim di ‘disputed area’. Karena masing-masing Negara
telah menetapkan secara sepihak batas-batas maritimnya (laut territorial,
zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen) yang berakibat terjadinya
‘disputed area’, kedua Negara yang sudah terikat pada KHL 1982 harus
mematuhi ketentuan pasal 74 dan 83 konvensi yang memuat azas-azas
delimitasi maritim, seperti ‘agreement, rules of international law (pasal 38
Statuta ICJ) dan ‘equitable solution292’ yang dalam praktek ternyata dapat
diterjemahkan dan diimplementasikan dalam ‘relevant circumstances -
equidistance line demi tercapainya equitable solution’.
Dengan prinsip seperti itu Indonesia dan Malaysia seharusnya
menetapkan garis batas maritim lewat persetujuan atas dasar hukum
internasional sebagaimana ditentukan dalam pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional untuk mencapai solusi yang berkeadilan (equitable solution
atau equitable result). Perundingan kedua Negara bagi perlu tidaknya
dilakukan penyesuaian ‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim
demi menghadirkan ‘equitable result’ masih sementara berproses karena
hal seperti ini merupakan implikasi lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan.
292
Ki Beom Lee, The Flexibility of the Rules Applied in Maritime Boundary Delimitation, (Edinburgh, School of Law, the University of Edinburgh 2011), Hlm. 6 – 7.
352
Bagi Indonesia untuk mewujudkan apa yang dinamakan ‘equitable
solution’, maka terdapat berbagai faktor yang harus diperhitungkan
sebagai ‘relevant circumstances’ dalam melakukan penyesuaian
(adjustment) terhadap ‘equidistance line’ yang selama ini masih berlaku
sebagai garis batas maritim antara kedua Negara. Faktor geografi dan
non geografi, termasuk faktor hukum yang tercermin melalui‘separate
opinion’dari Judge Oda dapat dimanfaatkan untuk tetap memelihara dan
mempertahankan ‘equidistance line’ yang masih eksis sebelum dan
sesudah kasus Sipadan – Ligitan’. Menurut beliau delimitasi maritim
antara kedua Negara tetap dapat dilakukan dengan mengenyampingkan
peranan kedua pulau sebagai titik pangkal dan dengan demikian
meskipun kedua pulau telah menjadi wilayah kedaulatan Malaysia, namun
hal ini tidak mempunyai kaitan dan tidak mempengaruhi garis batas
maritim kedua Negara.
Selain ‘separate opinion’ sebagai ‘relevant circumstances’, maka
beberapa faktor geografi dan non geografi dapat dipakai untuk tidak
melakukan penyesuaian terhadap‘equidistance line’ sebagai garis batas
maritim yang masih ada di daerah yang dianggap dipersengketakan
(disputed area). Sebagaimana diketahui akibat kepemilikan Malaysia atas
kedua pulau, negara tetangga menghendaki dilakukannya penyesuaian
terhadap ‘equidistance line’ yang ditetapkan oleh Indonesia, di mana
garis seperti ini dibangun dengan memakai patokan dari garis pangkal
lurus kepulauan yang menghubungkan sekian banyak titik pangkal atau
353
titik dasar293. Dengan posisi masing-masing pihak terkait perlu tidaknya
penyesuaian ‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim, maka selama
belum tercapai penyelesaian delimitasi maritim secara tuntas (final
delimitation), maka solusinya adalah kedua Negara harus berupaya untuk
membuat ‘provisional arrangement’ yang bersifat praktis dan untuk tidak
membahayakan atau menghambat tercapainya penuntasan garis batas
maritim di daerah yang dianggap bermasalah (disputed area) dan untuk
saling menghormati posisi masing-masing menyangkut penyelesaian
masalah delimitasi maritim secara menyeluruh. Kewajiban-kewajiban
seperti ini harus dijalankan ketika negosiasi mengenai titik pangkal dan
delimitasi maritim sebagai implikasi lepasnya kedua pulau tidak berhasil
melahirkan kesepakatan mengenai titik pangkal dalam menarik garis
pangkal maupun dalam melakukan penyesuaian ‘equidistance line’
sebagai garis batas maritim.
Implikasi putusan ICJ terhadap titik pangkal dan delimitasi maritim
seharusnya juga dapat dipakai sebagai kesempatan untuk melakukan
peninjauan kembali terhadap kebijakan pemerintah yang mewarnai
lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan nasional Indonesia
yang mengatur masalah titik pangkal dan delimitasi maritim. Peninjauan
seperti itu dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut
internasional masa kini baik dari segi ketentuan-ketentuan KHL 1982
293
Perhatikan PP 38/ 2002 dan Lampiran nomor urut 17 sampai dengan 20 , yaitu Pulau Ligitan (TD 036C), Pulau Ligitan (TD 036B), Pulau Sipadan (TD 036 A), Tg Arang (TD 037). Keempat Titik Dasar ini mengalami perubahan dalam PP 37/ 2008 sehingga menjadi TD 036 (Pulau Sebatik), TD 036A (Pulau Sebatik), TD 036B (Pulau Sebatik), TD 037 (Karang Unarang).
354
maupun praktek Negara-negara serta yurisprudensi karena kebijakan
nasional menyangkut titik pangkal dan delimitasi maritim selama ini
belum berjalan sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945.
Kebijakan nasional dan produk hukum yang dihasilkan terkait
pengelolaan pulau-pulau terluar yang dipergunakan sebagai titik pangkal
ternyata belum berjalan sesuai harapan bagi terwujudnya kesejahteraan
dan keadilan bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan, padahal
Konstitusi Republik Indonesia, khususnya pasal 33 secara substansial
mengamanatkan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan dan
peraturan hukum yang berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan.
Bumi dan air serta segala kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan bagi sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat. Demikian bunyi ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD
1945 yang secara jelas memuat paradigma keberpihakan Negara bagi
seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, memuat paradigma keadilan dan
kesejahteraan sehingga dengan demikian konstitusi yang diwariskan oleh
‘Founding Fathers’ bangsa ini sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang
dikategorikan sebagai nilai-nilai immaterial (immaterial values), seperti
kebaikan, keindahan, kejujuran, kebenaran dan keadilan yang merupakan
kepentingan fundamental bangsa dan Negara.
Kebijakan nasional dan peraturan perundang-undangan terkait titik
pangkal dan penetapan garis batas maritim dengan Negara tetangga
senantiasa harus mengutamakan kepentingan fundamental, yang
355
berlandaskan wawasan nusantara, namun dengan tetap mematuhi
prosedur dan aturan-aturan hukum internasional yang berlaku terkait
pengaturan titik pangkal dan delimitasi maritim dengan Negara tetangga.
.
.
356
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pulau Ligitan seharusnya sudah ditetapkan sebagai titik dasar
atau titik pangkal (basepoint) dalam Undang-undang Nomor 4/ Prp 1960,
tetapi ternyata baru ditetapkan sebagai titik pangkal dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002. Namun dengan
keluarnya putusan ICJ pada Desember 2002 yang melepaskan Pulau
Sipadan dan Ligitan dari Indonesia kepada pihak Malaysia, maka hal ini
membawa implikasi dalam hukum nasional terhadap titik pangkal dan
penetapan garis batas maritim antara kedua negara.
Akibat putusan ICJ, Pemerintah RI memberlakukan PP 37/2008
mengenai Perubahan atas PP 38/2002 mengenai Daftar Koordinat
Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Pulau Ligitan
yang ditetapkan sebagai titik pangkal dalam PP 38/2002 telah dihapuskan
dari daftar koordinat geografis tersebut sehingga sebagai titik pangkal
baru adalah Pulau Sebatik (I, II, III) yang akan dihubungkan dengan garis
pangkal lurus kepulauan ke titik pangkal di Karang Unarang, lalu ke titik
pangkal di Pulau Maratua, Pulau Sambit, Pulau Lingian, Pulau Salando
dan seterusnya. Bagi Indonesia berbagai titik pangkal di Laut Sulawesi
dapat digunakan bukan hanya untuk melakukan penarikan garis pangkal
lurus kepulauan, melainkan juga untuk menetapkan dan membangun
garis batas laut territorial, landas kontinen dan zona ekonomi eksklusifnya
357
mengingat RI berstatus sebagai Negara kepulauan. Sedangkan implikasi
putusan ICJ dalam konteks hukum nasional Malaysia adalah
pemberlakuan undang-undang yang disebut ‘the Baselines of Maritime
Zones Act’ 2006 pada bulan Mei 2007, tetapi tanpa disertai daftar
koordinat geografis titik-titik garis pangkal sesuai pasal 47 ayat 9 KHL
1982. Namun sebagai implikasi putusan ICJ, ada kemungkinan Pulau
Sipadan, Ligitan, sebagian Pulau Sebatik, Pulau Sabah dan wilayah
Sarawak akan dimanfaatkan sebagai titik pangkal baik untuk menarik
garis pangkal lurus kepulauan maupun untuk membangun melalui
penyesuaian (adjustment) ‘equidistance line’ yang sejauh ini masih eksis
sebagai garis batas maritim antara kedua negara.
Bagi Indonesia garis batas laut territorial (limits of territorial sea)
yang dibangun Malaysia di lepas pantai pulau Sipadan dan wilayah
daratan yang dimilikinya, secara umum relatif tidak akan tumpang-tindih
(overlapping) dengan batas laut territorial Indonesia di sekitar Laut
Sulawesi karena masing-masing Negara dapat menetapkan batas laut
teritorialnya sampai batas maksimal, kecuali di sekitar Pulau Sebatik yang
terbagi akibat Konvensi London 1891. Namun ketika Malaysia akan
menetapkan dan membangun garis batas landas kontinen atau zona
ekonomi eksklusif dengan mempergunakan pulau-pulau terluarnya,
terutama Pulau Sipadan sebagai titik pangkal, maka batas landas
kontinen atau zona ekonomi eksklusif kedua negara akan mengalami
358
‘overlapping’ (disputed area) karena kedua Negara tidak dapat mengklaim
sampai batas maksimal.
2) Putusan Mahkamah Internasional dalam kasus Sipadan – Ligitan
semata-mata hanya menetapkan status kepemilikan kedua pulau dan
samasesekali tidak menetapkan dan menyelesaikan garis-garis batas
maritim (maritime delimitation boundaries) sehingga untuk
menyelesaikannya kedua Negara wajib menetapkan garis batas maritim
melalui perjanjian menurut kaidah-kaidah hukum internasional
sebagaimana tercantum dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional
demi tercapainya solusi yang berkeadilan. Sebelum putusan ICJ 2002
tidak ada perjanjian garis batas maritim di daerah yang sekarang
dianggap dipersengketakan sehingga sesuai ketentuan dan praktek
Negara-negara, masing-masing Negara dapat menetapkan garis batas
maritim dengan menerapkan ‘median line (equidistance line)’.
Pascasengketa Sipadan – Ligitan, kedua Negara harus berunding untuk
menetapkan garis batas maritim dengan memperhitungkan atau
mengenyampingkan peranan kedua pulau sebagai titik pangkal demi
terwujudnya solusi yang berkeadilan. Dengan demikian selama belum ada
titik temu ataupun selama delimitasi maritim belum tuntas, maka mereka
harus membuat ‘provisional arrangement’ maupun ‘mutual restraint’.
Kewajiban untuk tidak membahayakan atau menghambat ‘final
delimitation’ telah dilaksanakan ketika kedua Negara berhasil membuat
‘Prevention of Incidences at Sea Agreement’ pada tahun 2003. Dengan
359
adanya perjanjian seperti ini, maka kedua Negara dapat terus
menjalankan berbagai kegiatan di ‘disputed area’, sementara mereka juga
dapat memelihara dan mempertahankan pendirian mereka masing-
masing menyangkut penuntasan garis batas maritim pasca Sipadan -
Ligitan. Inilah solusi yang perlu dtempuh apabila masalah delimitasi
maritim belum dapat diselesaikan secara tuntas.
Saran-Saran
1. Posisi Malaysia yang dalam proses perundingan menghendaki
dilakukannya penyesuaian ‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim
di ‘disputed area’ menyiratkan kehendak Negara itu untuk memanfaatkan
kedua pulau sebagai titik pangkal untuk menarik garis pangkal lurus
kepulauan dan menetapkan garis batas maritim dengan mengupayakan
penyesuaian terhadap ‘equidistance line’ akibat putusan ICJ. Upaya
penyesuaian seperti ini seharusnya dapat diatasi melalui konsep
pengenyampingan (neglect concept) yang terkandung dalam beberapa
yurisprudensi maupun dalam ‘Separate Opinion’ Judge Oda.
Substansinya adalah demi tercapainya solusi berkeadilan (equitable
solution) peranan kedua pulau sebagai titik pangkal seharusnya
dikesampingkan (no effect) sehingga sebagai implikasi putusan ICJ
tersebut seharusnya tidak ada urgensi untuk melakukan penyesuaian
terhadap ‘equidistance line’ sebagai garis batas maritim.
2. Selain Deklarasi Judge Oda terkait putusan ICJ 2002, maka
dalam konteksi ‘relevant circumstances’ sebaiknya otoritas berwenang
360
dapat menggunakan berbagai faktor geografi dan non geografi dalam
proses perundingan delimitasi maritim akibat putusan ICJ mengingat
‘special / relevant circumstances’ memiliki pengertian yang begitu luas
sebagaimana tercermin dalam berbagai kasus delimitasi. Oleh karena itu.
dalam rangka negosiasi garis batas maritim pascakasus Sipadan-Ligitan,
otoritas Indonesia diharapkan memiliki kesediaan (willingness) dan
kemampuan (ability) untuk memanfaatkan peluang tersebut dalam rangka
memperjuangkan terwujudnya equitable solution yang dapat
menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat sesuai
dengan amanat konstitusi.
361
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Bhratara, 1971.
Alma Manuputy dkk, Hukum Internasional, Depok: Rajawali Rechta, 2008.
Awant Irewati, dkk, Masalah Perbatasan Wilayah Laut Indonesia- Malaysia di Laut Sulawesi, Jakarta, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Politik, 2006.
Barbara Kwiatkowska, Decisions of the World Court Relevant to the UN Convention on the Law of the Sea, A Reference Guide, The Hague/ London/New York: Kluwer Law International, 2002.
Barbara Kwiatkowska, The 200 Mile Exclusive Economic Zone in the New Law of the Sea, The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, AH Dordrecht, 1989.
Brad Williams, Resolving the Russo-Japanese Territorial Dispute, London and New York: Routledge Taylor and Francis Group, 2007.
Brian H. Bix, A Dictionary of Legal Theory, Oxford: University Press, 2004.
Clive R. Symmons, Historic Waters in the Law of the Sea A Modern Re – Appraisal, (Leiden/ Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2008).-
Clive R. Symmons, The Maritim Zones of Islands in International Law. Development in International Law, The Hague/Boston/London : Martinus Nijhoff Publishers, 1979.
David H Ott, Public International Law in the Modern World, London: Pitman, 1987.
Direktur Asia Timur dan Pasifik Departemen Luar Negeri RI, Keberadaan Nelayan Tradisional Indonesia di Perairan Australia: Studi Kasus dilihat dari Perspektif Politik dan Hukum. Jakarta: 2002.
Enrico Milano, Unlawful Territorial Situations in International Law, Reconcilingling Effectiveness, Legality and Legitimacy, Leiden/ Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2006.
Frederick L. Schuman, International Politics, New York, Toronto, London: McGraw-Hil Book Company Inc., 1958.
362
George K. Walker (General Editor), Definitions for the Law of the Sea-Terms Not Defined by the 1982 Convention, Leiden, Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2012.
Gerald N. Hill & Kathleen Thomson Hill, Real Life Dictionary of the Law Taking the Mystery out of Legal Language, Los Angeles: General Publishing Group, 2007.
Gerd Winter, Towards Sustainable Fisheries Law. A Comparative Analysis), Bonn, Germany: IUCN Environmental Law Centre,2009.
H. Salim, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, 2009, Mataram: Rajawali Pers Mataram. 2009.-
Hans J. Morgenthau, Politics among Nations (The struggle for Power and Peace), New York: Alfred-A-Knopf, 1967.
Hasjim Djalal, Beberapa Persoalan Pokok Hukum Laut dewasa ini yang penting bagi Indonesia, Bandung : Penerbit Binacipta, 1977.
Henry Campbell, Black’s Law Dictionary Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1990.
Henry W. Degenhardt, Maritim Affairs-A World Handbook, (Longman, 1985.
I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara, Yogyakarta:2007, Gadjah Mada University Press, 2007.
I Made Pasek Diantha, Analisis Negara Kepulauan dan Landas Kontinen Dalam Perspektif Kepentingan Indonesia, Denpasar-Bali: CV Kayumas Agung, 1993.
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1990.
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford: University Press, 1979.
J.G. Starke, Introduction to International Law, London: Butterworths, 1984.
Kaiyan Homi Kaikobad. Interpretation and Revision of International Boundary Decisions. Cambridge: Cambridge University Press, 2007.
Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan Diterjemahkan dari Six Theories of Justice, Bandung: Augsbung Publishing House, Indianapolis, Penerbit Nusa Media, 1986.
363
Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge: Grotius Publications Limited, 1986.
Margaret Moore-Allen Buchanan, States, Nations, and Borders The Ethics of Making Boundaries, Cambridge: University Press, 2003.
Maria Gavouneli, Functional Jurisdiction in the Law of the Sea, Leiden/ Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2007.
Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, Fourth Edition, Boston, Sidney: George Allen and Unwin, 1983.
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung: Penerbit Binacipta, 1979.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Penerbit Binacipta Bandung,1982.
Muhadar, Pengembangan Hukum Pidana dan Kriminologi, Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2010.
Muhammad Ashri, Perjanjian Internasional : Dari Pembentukan Hingga Akhir Berlakunya, Makassar: PT Umitoha Ukhuwah Grafika, 2008.
Myron H. Nordquist, Tommy T.B. Koh, and John Norton Moore, Freedom of Seas, Passage Rights and the 1982 Law of the Sea Convention, Leiden.Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2009.
Natalie Klein, Dispute Settlement in the UN Convention on the Law of the Sea, Cambridge: University Press, 2005.
Nicholas Gerald Hansen, Modern Territorial Statehood, Leiden: Universiteit Leiden: 2008.
Nugzar Dundua, Delimitation of Maritim Boundaries between Adjacent States, United Nations-The Nippon Foundation Fellow, 2006-2007.
R.P. Anand, Origin and Development of the Law of the Sea, The Hague/ Boston/London: Martinus Nijhoff Publishers, 1983.
R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, Manchester: Manchester University Press, 1983.
Rainer Lagoni and Daniel Vignes, Maritim Delimitation, (Leiden/Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2006.
364
Richard Barnes, Property Rights and Natural Resources, Studies in International Law, Oxford and Portland Oregon: HART Publishing, 2009.
Suri Ratnapala, ‘Jurisprudence’, Cambridge, New York: Cambridge University Press, 2009.
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Perbatasan Negara dalam dimensi Hukum Internasional, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011.
Ulf Linderfalk, Law and Pholosophy Library 83 On the Interpretation of Treaties The Modern International Law as Expressed in the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, Sweden: Springer, Lund University, 2007.
Victor Prescot and Gilian D. Triggs, International Frontiers and Boundaries Law, Politics and Geography, Leiden-Boston: Martinus Nijhoff, 2008.
Victor Prescott and Clive Schofield, The Maritim Political Boundaries of the World, Second Edition, Leiden.Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2005.
Yoshifumi Tanaka, Predictability and Flexibility in the Law of Maritim Delimitation, Studies In International Law, Oxford and Portland, Oregon : Hart publishing, 2006.
Yoshifumi Tanaka, A Dual Approach to Ocean Governance. The Cases of Zonal and Integrated Management in International Law of the Sea, England/USA : Ashgate e-Book, 2008.
DISERTASI
S.M. NOOR, Politik Hukum Dalam Praktek Ratifikasi Di Indonesia, (Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2008.
JURNAL
American Journal of International Law, Vol. 88 No. 1 (June 1994).
American Journal of International Law, Vol. 96 No. 1 (January 2002).
Annuaire Francais De Droit International XLVI–2000-CNRS Editions, Paris
Chinese Journal of International Law, 2009, Vol. 8 No. 1 University Library Utrecht on November 19, 2012).
Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law), Vol.1 No.3 April 2004 ISSN: 1693 – 5594.
365
Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law), Edisi Khusus Desember 2004, ISSN : 1693-5594.
Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Journal of International Law), Vol. 6 No.3 Aprl 2009, ISSN 1693 5594. Akreditasi No. 45a/DIKTI/Kep /2008.
Jurnal Jurisdictionary, Volume 1 Nomor 2 April 2005, ISSN : 0216-4388.
Jurnal Pro Justitia, Tahun XI Nomor 4 Oktober 1993.
Marine Policy, January 1986.
Marine Policy, November 1990.
Ocean Development & International Law, 38 ; 381-398, 2007, Routledge (Taylor Francis Group).
Ocean Development & International Law, 40 : 1-35, 2009, Routledge (Taylor Francis Group).
Ocean Development & International Law, 42 : 1-21, 2011, Routledge (Taylor & Francis Group).
WEBSITE
http://bryantobing01.blog.com//indonesia-malaysia-dalam-perebutan-pulau -sipadan-dan ligitan
(http://chinesejil.oxfordjournals.org/at
http://www.persee.fr
Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Lainnya
United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS 1982).-
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI 2011.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925).
366
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1996, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3647).
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Pangkal Garis Pangkal Kepulauan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1211).
KORAN
Harian Kompas, 25 April 2005.
Harian Kompas, Februari-Maret 2005.
Harian Kompas, 15 Maret 2012.
Harian Kompas, 14 Maret 2013.
Media Indonesia, 4 Maret 2005.
367
L A M P I R A N
368
369