ANALISIS BAHAYA DAN RISIKO TANAH LONGSOR DAN
HUBUNGANNYA DENGAN POLA RUANG WILAYAH
KABUPATEN BOGOR
WINDA DIAH PUSPASARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Bahaya dan Risiko
Tanah Longsor dan Hubungannya dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, April 2016
Winda Diah Puspasari
NRP A156140194
RINGKASAN
WINDA DIAH PUSPASARI. Analisis Bahaya dan Risiko Tanah Longsor dan
Hubungannya dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
DWI PUTRO TEJO BASKORO dan BOEDI TJAHJONO.
Kabupaten Bogor merupakan wilayah daratan dengan kondisi morfologi
wilayah yang bervariasi, sebagian besar berupa dataran tinggi, perbukitan dan
pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung
api yang mempunyai sifat meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan
batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah
hujan yang tinggi. Jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas
agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol,
Podsolik dan Andosol. Kondisi fisik wilayah yang berpotensi terjadi longsor dan
bencana longsor yang terus meningkat memerlukan analisis bahaya dan risiko
longsor untuk mempertimbangkan pola ruang wilayah.
Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Menganalisis dan memetakan bahaya
(hazard) longsor di Kabupaten Bogor berdasarkan determinan faktor dari
kejadian longsor yang ada; (2) Menganalisis risiko bencana longsor berdasarkan
keterkaitan antara penggunaan lahan, RTRW dan Bahaya Longsor; (3)
Merumuskan arahan sebagai upaya untuk menekan dampak dari bencana longsor.
Metode analisis yang digunakan meliputi analisis spasial, analisis atribut
dan analisa AHP-SWOT. Analisis spasial dan atribut memanfaatkan Sistem
Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan skor dan bobot untuk setiap
parameter, yang selanjutnya di klasifikasikan ke dalam 5 kelas, yaitu kelas sangat
rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Semakin tinggi skor dan bobot,
maka pengaruhnya akan semakin tinggi terhadap kejadian longsor, begitu juga
sebaliknya. Analisis spasial dan atribut meliputi pembuatan peta suseptibilitas,
peta bahaya longsor dan peta risiko longsor. Analisa AHP-SWOT dilakukan
untuk strategi pengendalian longsor.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor memiliki: (1)
kelas bahaya longsor cukup variatif, mulai dari kelas bahaya longsor rendah
sampai dengan sangat tinggi, dengan persentase terbesar berada pada kelas bahaya
rendah (33.68%) untuk daerah yang dianalisis; (2) kelas risiko longsor terbesar
berada pada kelas risiko rendah (55.95%) untuk daerah yang dianalisis; (3)
Strategi pengendalian longsor untuk arahan prioritas pertama adalah membuat
pola ruang yang sudah mempertimbangkan kondisi bahaya longsor dan
menerapkannya dengan lebih teliti dan ketat dalam memberikan ijin penggunaan
lahan, bantuan desa untuk lebih peduli melihat perubahan lingkungan dan bantuan
bidang pengawasan jika ada perubahan penggunaan lahan terutama di daerah
rawan longsor
Kata kunci: longsor, bahaya, penataan ruang, AHP, SWOT.
SUMMARY
WINDA DIAH PUSPASARI. Analysis Of Landslide Hazards And Risk And
Connection With Spatial Planning Area Bogor Regency. Supervised by DWI
PUTRO TEJO BASKORO and BOEDI TJAHJONO.
Bogor Regency is area with varying morphology conditions, mostly in the
form of high land, hills and mountains with rock constituent dominated by
volcanic eruption that has relatively high rain absorbing capacity. This rock type
is relatively vulnerable to soil movement when it is splash by high rainfall. The
soil is dominatly formed by loose volcanic materials which are susceptible to
erosion, such as Latosol, Alluvial, Regosol, Podsolic and Andosol. This physical
condition with highly landslides potential as well as the keep increasing landslides
occurence makes an analysis of landslide hazard and risk is required.
The purpose of this study are : (1) to analyze and map landslide hazard area
based on determinant factors of existing landslide disaster, (2) to analyze risk of
landslides based on the correlation between land use, spatial planning and
landslide hazard, (3) to formulate a spatial plan arrangement as an attempt to
minimize the impact of landslide disaster.
The methods used in this study are spatial analysis, attribute analysis and
AHP-SWOT analysis. Spatial and attribute analysis were conducted by utilizing
Geographic Information Systems (GIS) with the scores and weights for each
parameter, which is further classified into five classes, namely very low, low,
moderate, high, and very high class. The higher the score and the weight, the
higher the impact of the landslide cases, and vice versa. Spatial and attribute
analysis included the mapping of susceptibility, the mapping of landslide hazard
and the mapping of lanslide risk. AHP-SWOT analysis done for landslides control
strategies.
The results of the study showed that the Bogor Regency has: quite varieable
classes of landslide hazard, ranging from low to very high class, of which low
class occupies the largest portion (33.68%); in term of landslide risk low occupies
a largest porstion (55.95%) of the analyzed area; the priority to control landslide
to revise spatial pattern by taking in to account landslide hazard, apply more
carefully and strictly permission for landuse alocation, help community to care
more obout environment at change and provide supervision if there is any landuse
change especially in the landslides hazards.
Key words : landslide, hazard, Bogor regency, AHP, SWOT
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
ANALISIS BAHAYA DAN RISIKO TANAH LONGSOR DAN
HUBUNGANNYA DENGAN POLA RUANG WILAYAH
KABUPATEN BOGOR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
WINDA DIAH PUSPASARI
PRAKATA
Alhamdulillah, Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu
wa ta’ala karena atas rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga penulis dapat
menyelesaikan karya tulis ilmiah ini yang berjudul Analisis Bahaya dan Risiko
Tanah Longsor dan Hubungannya dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor.
Dalam penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc.Agr, selaku ketua komisi pembimbing
dengan kesabaran dan keikhlasan telah memberikan bimbingan, saran, arahan,
dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.
2. Dr Boedi Tjahjono, M.Sc., selaku anggota komisi pembimbing yang juga
dengan kesabaran dan keikhlasan telah memberikan bimbingan, saran, arahan,
dan motivasi selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.
3. Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr dan Dr Khursatul Munibah, M.Sc, selaku Ketua
dan Sekretaris Program Studi Perencanaan Wilayah IPB
4. Dr Ir Baba Barus, M.Sc, selaku penguji luar komisi yang telah memberikan
perbaikan dan masukan kritis atas hasil dan penulisan tesis ini.
5. Segenap dosen dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama mengikuti
studi.
6. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang
diberikan kepada penulis.
7. Bapak Walikota, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah,
serta Kepala Dinas Pengawasan Bangungan dan Permukiman Kota Bogor
yang telah memberikan ijin serta dukungan baik moril maupun materiil untuk
mengikuti tugas belajar pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.
8. Mama Bapak Ibu terkasih serta Suami dan Putra Putri tercinta yang telah
memberikan ridho, ijin serta dorongan semangat sehingga memberikan
kekuatan yang besar kepada penulis.
9. Rekan-rekan PWL IPB baik kelas khusus Bappenas maupun reguler yang
juga memberikan dorongan moral untuk kesuksesan penulis.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik
moril maupun materiil selama studi dan penulisan tesis ini
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan
dan ketidaksempurnaan. Kritik dan saran yang bermanfaat sangat diharapkan
penulis untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Semoga memberikan
manfaat.
Bogor, April 2016
Winda Diah Puspasari
NRP A156140194
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Pemikiran 4
Kerangka Pemikiran 4
TINJAUAN PUSTAKA 5
Tanah Longsor 5
Ruang dan Penataan Ruang 10
Analisis Faktor 12
Analytical Hierachy Process (AHP) 12
Analisis A’WOT 13
Sistem Informasi Geografis 14
Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian 16
BAHAN DAN METODE 17
Lokasi dan Waktu Penelitian 17
Pengumpulan Data 17
Analisis dan Pemetaan Bahaya Longsor 18
Analisis Risiko Longsor 24
Arahan Penataan Ruang 27
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 31
Karakteristik Fisik Wilayah Penelitian 31
Rencana Tata Ruang Wilayah 37
HASIL DAN PEMBAHASAN 39
Analisis dan Pemetaan Bahaya Longsor 39
Analisis Risiko Longsor 48
Arahan Penataan Ruang 52
SIMPULAN DAN SARAN 62
Simpulan 62
Saran 63
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Data Kejadian Bencana di Kabupaten Bogor 3 Tabel 2 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik
analisis, dan keluaran 19 Tabel 3 Skor parameter suseptibilitas longsor 22 Tabel 4 Skor penggunaan lahan untuk parameter bahaya longsor 24 Tabel 5 Klasifikasi kelas kerentanan longsor 25 Tabel 6 Klasifikasi kelas kapasitas longsor 25
Tabel 7 Nilai bahaya, kerentanan, dan kapasitas berdasarkan tingkat kelas 26 Tabel 8 Klasifikasi kelas risiko longsor 27 Tabel 9 Skala pembobotan AHP 28 Tabel 10 Pembobotan unsur-unsur SWOT berdasarkan analisis AHP 30 Tabel 11 Matriks strategi hasil analisis SWOT 30
Tabel 12 Urutan/ranking strategi pengendalian longsor 31 Tabel 13 Sebaran Luasan Satuan Tanah 36
Tabel 14 Frekuensi kejadian longsor menurut kelas faktor-faktor penyebab
longsor 39 Tabel 15 Total Variance Explained 41 Tabel 16 Hasil komponen parameter 41
Tabel 17 Pembobotan parameter suseptibilitas longsor 42 Tabel 18 Klasifikasi kelas suseptibilitas longsor 42
Tabel 19 Pembobotan parameter penyebab bahaya longsor 44 Tabel 20 Klasifikasi kelas bahaya longsor 44 Tabel 21 Luas Wilayah berdasarkan kelas bahaya longsor eksisting pada
masing-masing kecamatan 47 Tabel 22 Perhitungan validasi peta bahaya longsor 48
Tabel 23 Peruntukkan lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025)
berdasarkan kelas bahaya longsor. 52
Tabel 24 Peruntukkan Lahan RTRW berdasarkan sebaran bahaya longsor 53 Tabel 25 Inkonsistensi penggunaan lahan eksisting dengan peruntukkan
lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025) 54 Tabel 26 Peruntukkan Lahan RTRW berdasarkan sebaran risiko longsor 55
Tabel 27 Hubungan Kelas Risiko, Kelas Bahaya, Kelas Kerentanan, dan
Kelas Kapasitas 55 Tabel 28 Faktor internal dan eksternal pengendalian longsor untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor 56 Tabel 29 Strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan
pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor 58 Tabel 30 Hasil pembobotan komponen SWOT 59 Tabel 31 Urutan / ranking arahan dan strategi pengendalian longsor untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor 60
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 5 Gambar 2 Tipe-tipe gerakan longsoran 6 Gambar 3 Contoh jatuhan batuan (Varnes 1958) 7
Gambar 4 Longsoran rotasional dan translasional (Broms 1975) 8
Gambar 5 Tipe-tipe aliran (Broms 1975) 8 Gambar 6 Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen
penyebabnya (Karnawati 2005) 10 Gambar 7 Peta Lokasi Wilayah Penelitian (Kabupaten Bogor) 17 Gambar 8 Bagan Alir Penelitian 20
Gambar 9 Hirarki analisis A’WOT pengendalian longsor Kabupaten Bogor 29 Gambar 10 Sebaran Curah Hujan Kabupaten Bogor 32 Gambar 11 Luas (ha) dan Luas persentase (%) sebaran curah hujan di
Kabupaten Bogor 32 Gambar 12 Kemiringan Lereng Kabupaten Bogor 33
Gambar 13 Luas (ha) dan Luas persentase (%) kemiringan lereng di
Kabupaten Bogor 33 Gambar 14 Geologi Kabupaten Bogor 34
Gambar 15 Luas (ha) dan Luas persentase (%) sebaran geologi di
Kabupaten Bogor 35 Gambar 16 Sebaran Satuan Tanah Kabupaten Bogor 35 Gambar 17 Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor 36
Gambar 18 Luas (ha) dan Luas persentase (%) jenis penggunaan lahan di
Kabupaten Bogor 37
Gambar 19 Pola Ruang Kabupaten Bogor 39 Gambar 20 Sebaran Titik Kejadian Longsor Hasil Survey 40 Gambar 21 Sebaran Suseptibilitas Longsor di Kabupaten Bogor 43
Gambar 22 Luas (ha) dan persentase (%) kelas suseptibilitas Kabupaten
Bogor 43
Gambar 23 Sebaran Bahaya Longsor Kabupaten Bogor 45 Gambar 24 Luas (ha) dan persentase (%) kelas bahaya longsor Kabupaten
Bogor 45 Gambar 25 Grafik hubungan antara titik longsor dengan kelas bahaya
longsor eksisting 48
Gambar 26 Sebaran kerentanan dengan menggunakan penggunaan lahan 49
Gambar 27 Sebaran kapasitas dengan menggunakan penggunaan lahan 50 Gambar 28 Sebaran risiko longsor di Kabupaten Bogor 51
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data hasil survey lapangan 68
Lampiran 2 Foto-foto hasil survey 70 Lampiran 3 Kuesioner untuk mendapatkan data Analisis A’WOT (dalam
penentuan strategi pengendalian longsor untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor) 72
Lampiran 4 Perhitungan kelas suseptibilitas longsor 81 Lampiran 5 Perhitungan kelas bahaya longsor 82
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang rawan bencana dilihat dari aspek geografis,
klimatologis dan demografis. Letak geografis Indonesia di antara dua benua dan
dua samudera menyebabkan Indonesia mempunyai potensi yang cukup bagus
dalam bidang ekonomi namun sekaligus juga rawan dengan bencana. Secara
geologis, Indonesia terletak pada 3 (tiga) lempeng tektonik yaitu Lempeng
Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik yang membuat Indonesia
kaya dengan cadangan mineral sekaligus mempunyai dinamika geologis yang
sangat dinamis yang mengakibatkan potensi bencana, seperti gempa, tsunami, dan
gerakan tanah/longsor (BNBP 2012).
Secara morfografis Indonesia mempunyai banyak daerah dengan
potensi terjadinya bencana longsor. Bencana tersebut mengancam penduduk
yang tinggal di lembah atau lereng bawah gunungapi dan pengunungan
terutama pada lereng yang terjal. Pada daerah berlereng terjal dengan struktur
batuan tidak kompak perlu diwaspadai terutama jika terjadi hujan lebat atau
hujan beberapa hari, karena dapat diperkirakan bencana longsor dapat terjadi
(Asriningrum 2001).
Bencana tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering
terjadi di Indonesia dan umumnya terjadi pada musim hujan. Bencana ini
berkaitan dengan kondisi alam seperti jenis tanah, jenis batuan, curah hujan,
kemiringan lahan serta penutupan lahan. Selain itu faktor manusia juga sangat
menentukan terjadinya bencana longsor seperti alih fungsi lahan yang tidak bijak,
penggundulan hutan, pembangunan permukiman dengan topografi yang curam
( Pramita et. al, 2014)
Tanah longsor yang banyak terjadi di Indonesia terjadi pada topografi terjal
dengan sudut lereng 15o – 45
o dan pada batuan vulkanik lapuk dengan intensitas
hujan sangat lebat (> 100 mm/hari). Faktor-faktor lain yang dapat memicu
terjadinya tanah longsor adalah : kondisi geologi, kondisi tataguna lahan, aktivitas
manusia dan kegempaan ( Prawiradisastra 2013).
Data kejadian bencana di Indonesia tahun 2014 menurut laporan BNBP
menyebutkan ada 248 jiwa orang tewas akibat longsor. Jumlah ini hampir dua per
tiga dari korban tewas akibat bencana di Indonesia selama 2014. Bencana tanah
longsor selalu berulang setiap tahun. Di Indonesia ada sekitar 40.9 juta jiwa
penduduk yang terpapar bahaya longsor pada tingkat sedang hingga tinggi.
Masyarakat terpapar adalah masyarakat beserta perumahan, sistem, atau elemen
lain yang berada pada zona bahaya dan berujung pada potensi
kerugian. Bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya degradasi lingkungan,
dan curah hujan yang makin ekstrem menyebabkan risiko longsor semakin tinggi.
Data kejadian longsor memiliki korelasi positif dengan pola hujan, dimana
sebagian besar bulan Januari adalah puncak kejadian longsor. Wilayah di Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur adalah provinsi yang paling banyak
mengalami bencana longsor. Daerah yang berulang mengalami longsor adalah
Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Garut, Bandung Barat, Tasikmalaya,
Purbalingga, Banjarnegara, Karanganyar, Wonosobo, Temanggung, Cilacap,
2
Grobogan, Pemalang, Brebes, Pekalongan, Pacitan, Ponorogo, Malang, Jember,
dan lainnya sering terjadi longsor (BNBP 2014).
Kondisi iklim di Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis sangat basah
terutama di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata
curah hujan tahunan 2 500 – 5 000 mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan
sebagian kecil wilayah timur yang mempunyai curah hujan kurang dari 2 500
mm/tahun. Sementara itu suhu rata-rata tiap bulan adalah 20o - 30
oC, dengan rata-
rata tahunan sebesar 25oC.
Kabupaten Bogor merupakan wilayah daratan dengan tipe morfologi
wilayah yang bervariasi, dari dataran rendah di bagian utara hingga pegunungan
di bagian selatan, sehingga membentuk bentangan lereng yang menghadap ke
utara. Klasifikasi keadaan morfologi wilayah serta prosentasenya terhadap luas
seluruh wilayah Kabupaten Bogor menurut RTRW adalah sebagai berikut:
Dataran rendah (15 - 100 m dpl) sekitar 29.28 %, merupakan kategori
ekologi hilir
Dataran bergelombang (100 - 500 m dpl) sekitar 42.62 %, merupakan
kategori ekologi tengah
Pegunungan (500 – 1 000 m dpl) sekitar 19.53 %, merupakan kategori
ekologi hulu
Pegunungan tinggi (1 000 – 2 000 m dpl) sekitar 8.43 %, merupakan
kategori ekologi hulu
Puncak-puncak gunung (2 000 – 2 500 m dpl,) sekitar 0.22 %, merupakan
kategori ekologi hulu
Kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar berupa perbukitan dan
pegunungan dengan batuan penyusunnya didominasi oleh hasil letusan
gunungapi, terdiri dari batuan andesit, tufa, dan basalt. Jenis pelapukan batuan ini
relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang
tinggi. Jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan
sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan
Andosol (Perda Kabupaten Bogor 2008).
Dampak perubahan penggunaan lahan yang sangat cepat di kawasan puncak
dan sekitarnya selama 10 tahun terakhir terhadap kelestarian lingkungan semakin
nyata. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh peningkatan suhu udara di kawasan
Bogor, fluktuasi aliran sungai Ciliwung yang tinggi dan keruhnya sungai-sungai
yang bermuara di wilayah ini. Salah satu akibat perubahan ini adalah terjadinya
gerakan tanah, khususnya longsoran dangkal (shallow landslide). Gerakan tanah
berkaitan langsung dengan berbagai sifat alami seperti : struktur geologi, bahan
induk, tanah, pola drainase, lereng/bentuk lahan, hujan maupun sifat-sifat non
alami yang bersifat dinamis seperti penggunaan lahan dan infra-struktur ( Barus
1999)
Curah hujan memicu tanah longsor termasuk tanah longsor dangkal yang
telah mengakibatkan kerusakan sejumlah harta benda serta korban jiwa manusia.
Karakterisasi curah hujan yang memicu tanah longsor telah digunakan untuk
membangun hubungan antara curah hujan dan tanah longsor di berbagai belahan
dunia termasuk tanah longsor dangkal (Hasnawir 2012).
3
Perumusan Masalah
Kabupaten Bogor sudah memiliki peta bahaya longsor yang seharusnya
dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan pola ruang
wilayah. Kenyataan yang ada pada wilayah yang mempunyai kondisi longsor
paling tinggi direncanakan sebagai perumahan padat penduduk dan belum ada
analisis untuk meminimumkan besarnya bahaya longsor tersebut. Selain itu Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor juga sudah melakukan
antisipasi kejadian longsor dengan memasang alat untuk tanda bahaya di beberapa
lokasi yang mengalami pengulangan kejadian longsor sehingga diharapkan bisa
mengurangi jumlah korban jiwa jika ada kejadian longsor. Meskipun sudah ada
peta bahaya longsor dan alat pendeteksi longsor dari Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kabupaten Bogor ternyata jumlah kejadian tanah longsor di
Kabupaten Bogor tetap saja meningkat. Kejadian longsor yang terus meningkat
dapat dilihat pada laporan kejadian longsor pada BPBD Kabupaten Bogor yang
tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Data Kejadian Bencana di Kabupaten Bogor
No Jenis Kejadian Jumlah Kejadian Bencana
Tahun 2012 2013 2014
1 Tanah Longsor 74 95 161
2 Banjir 22 32 43
3 Kebakaran 166 225 374
4 Angin ribut/kencang 140 101 96
5 Lain-lain (kekeringan,
tenggelam, tersambar petir, dll 67 0 55
Sumber : BPBD Kabupaten Bogor (Tahun 2013, 2014, 2015)
Mengingat frekuensi longsor di Kabupaten Bogor cukup tinggi, maka
penelitian terhadap longsor masih tetap diperlukan terutama dengan menggunakan
pendekatan baru yang disesuaikan dengan kondisi lokasi bencana tanah longsor
yang sudah terjadi. Pengamatan langsung di lapangan diperlukan untuk
mendapatkan data untuk analisis determinan faktor bahaya tanah longsor.
Determinan faktor yang baru digunakan sebagai bahan pembuatan peta bahaya
tanah longsor yang hasilnya diharapkan lebih mendekati dengan kondisi aktual
lapangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
pokok dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Belum diketahui dan dipetakan bahaya (hazard) tanah longsor di
Kabupaten Bogor berdasarkan determinan faktor.
2. Belum diketahuinya besar risiko bencana longsor berdasarkan keterkaitan
antara penggunaan lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan
bahaya longsor.
3. Belum diketahuinya arahan pengembangan pola ruang Kabupaten Bogor
berdasarkan analisis bahaya tanah longsor.
4
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor dan diharapkan mampu
memperbaiki pemanfaatan ruang dan pengendalian longsor. Dari uraian tersebut
di atas selanjutnya dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian:
1. Bagaimana peta bahaya (hazard) tanah longsor di Kabupaten Bogor
berdasarkan determinan faktor?
2. Berapa besar risiko bencana longsor berdasarkan keterkaitan antara
penggunaan lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan bahaya
longsor?
3. Bagaimana arahan pengembangan pola ruang Kabupaten Bogor
berdasarkan analisis bahaya tanah longsor?
Tujuan Penelitian
Memperhatikan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, berikut
dirumuskan tujuan dari penelitian ini:
1. Menganalisis dan memetakan bahaya (hazard) longsor di Kabupaten
Bogor berdasarkan determinan faktor dari kejadian longsor yang ada.
2. Menganalisis besar risiko bencana longsor berdasarkan keterkaitan antara
penggunaan lahan, RTRW, dan bahaya longsor.
3. Merumuskan arahan untuk menekan dampak dari bencana longsor.
Manfaat Pemikiran
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain adalah :
1. Memberikan informasi tentang sebaran bahaya tanah longsor kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.
2. Membantu Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dalam memikirkan
perencanaan dan pembangunan wilayah maupun penyempurnaan tata ruang
ke depan.
Kerangka Pemikiran
Penelitian tentang tanah longsor di Jawa Barat secara umum dan Kabupaten
Bogor secara khusus sudah ada dengan menggunakan skoring dan pembobotan
dari literatur yang berbeda-beda. Berbagai hasil penelitian akan digunakan untuk
membuat pembobotan dan parameter baru sebagai dasar pembuatan peta bahaya
tanah longsor di Kabupaten Bogor.
Kejadian tanah longsor di Kabupaten Bogor pada musim penghujan tampak
semakin meningkat dari tahun ke tahun sehingga menimbulkan banyak kerugian,
baik kerugian ekonomi, kerugian harta benda, maupun korban jiwa. Hal ini
menggambarkan bahwa penanganan bahaya tanah longsor di Kabupaten Bogor
belum tertangani secara optimal. Peta bahaya longsor yang ada di Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor ternyata belum dapat
menurunkan bencana tanah longsor di Kabupaten Bogor. Penelitian ini di tahap
awal bermaksud membuat data dan informasi terkait bahaya tanah longsor dengan
pendekatan baru berdasarkan kondisi lokasi kejadian longsor yang sudah terjadi
sehingga diharapkan bisa memberikan hasil optimal.
Tahap selanjutnya menilai tingkat inkonsistensi penggunaan lahan terhadap
peta pola ruang yang ada untuk merumuskan cara meminimalkan kerugian jika
5
terjadi tanah longsor. Informasi tersebut diharapkan dapat digunakan untuk
merumuskan arahan penataan ruang yang lebih baik.
Secara skematis kerangka pemikiran penelitian digambarkan dalam diagram
alir Gambar 1.
Kondisi Fisik Wilayah :
Curah hujan, tanah, geologi, kemiringan lereng
Aktivitas manusia :
Perubahan penggunaan lahan
Data bencana longsor BPBD :
Determinan faktor
BAHAYA LONGSOR Rendahnya tingkat
kapasitas wilayah
Tingginya tingkat kerentanan
masyarakat (sosial, ekonomi,
fisik, lingkunga)
RISIKO LONGSOR
(Kerugian ekonomi, fisik dan
lingkungan)
Tindakan Pencegahan/
antisipasi
Penyediaan data dan informasi mengenai :
Peta bahaya longsor, peta risiko longsor, tingkat konsistensi penggunaan lahan dengan
peruntukkan lahan, serta keterkaitan penataan ruang dengan bahaya dan risiko longsor
Upaya menekan dampak akibat bencana
dengan merumuskan arahan penataan
ruang yang aman dan nyaman
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Longsor
Definisi Tanah Longsor
Tanah longsor secara umum adalah perpindahan material pembentuk lereng
berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material, bergerak ke bawah atau
keluar lereng. Secara geologi tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi dimana
terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah.
Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar
daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan
batuan dan kepadatan tanah, sedangkan daya pendorong dipengaruhi oleh
besarnya sudut lereng, air, beban, serta berat jenis tanah dan batuan. Proses
terjadinya tanah longsor berawal dari air yang meresap ke dalam tanah dan
6
menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai lapisan kedap air yang
berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan
di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan luar lereng (Nandi 2007). Menurut
Permen PU No.22/PRT/M/2007, longsor adalah suatu proses perpindahan massa
tanah/batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari
massa yang mantap karena pengaruh gravitasi dengan jenis gerakan berbentuk
rotasi dan translasi.
Gerakan massa (mass movement) tanah atau sering disebut tanah longsor
(landslide) merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah
perbukitan di daerah tropis basah. Kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan
massa tersebut tidak hanya kerusakan secara langsung seperti rusaknya fasilitas
umum, lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia, akan tetapi juga
kerusakan secara tidak langsung yang melumpuhkan kegiatan pembangunan dan
aktivitas ekonomi di daerah bencana dan sekitarnya. Bencana alam gerakan massa
tersebut cenderung semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas
manusia (Hardiyatmo 2006).
Tipe-tipe Longsor
Karakteristik gerakan massa/longsor pembentuk lereng dapat dibagi menjadi
lima macam (Gambar 2), yang meliputi: jatuhan (falls), robohan (topples),
longsoran (slides), sebaran (spreads) dan aliran (flows) (Curden and Varnes, 1996
dalam Hardiyatmo, 2006)
a. Jatuhan (falls) adalah gerakan jatuh material pembentuk lereng (tanah atau
batuan) di udara dengan tanpa adanya interaksi antara bagian-bagian material
yang longsor. Jatuhan terjadi tanpa adanya bidang longsor, dan banyak terjadi
pada lereng terjal atau tegak yang terdiri dari batuan yang mempunyai
bidang-bidang tidak menerus (diskontinuitas). Jatuhan batuan dapat terjadi
pada semua jenis batuan dan umumnya terjadi akibat oleh pelapukan,
perubahan temperatur, tekanan air, atau penggalian/penggerusan bagian
bawah lereng. Contoh-contoh gerakan jatuhan batuan dapat dilihat pada
Gambar 3.
.
Gambar 2 Tipe-tipe gerakan longsoran
7
b. Robohan (topples) adalah gerakan material roboh dan biasanya terjadi pada
lereng batuan yang sangat terjal sampai tegak yang mempunyai bidang-
bidang diskontinuitas yang relatif vertikal. Tipe gerakan hampir sama dengan
jatuhan, hanya gerakan batuan longsor adalah mengguling hingga roboh, yang
berakibat batuan lepas dari permukaan lerengnya. Faktor utama yang
menyebabkan robohan adalah air yang mengisi retakan.
c. Longsoran (slides) adalah gerakan material pembentuk lereng yang
diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, di sepanjang satu atau lebih
bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecah-
pecah.
Berdasarkan geometri bidang gelincirnya, longsoran dibedakan dalam dua
jenis, (Gambar 4) yaitu:
Longsoran dengan bidang longsor lengkung atau longsoran rotasional
(rotasional slides) mempunyai bidang longsor melengkung ke atas, dan
sering terjadi pada massa tanah yang bergerak dalam satu kesatuan.
Longsoran rotasional murni (slump) terjadi pada material yang relatif
homogen seperti timbunan buatan (tanggul). Longsoran rotasional dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu: penggelinciran (slips), longsoran
rotasional berganda (multiple rotational slides), dan penggelinciran
berurutan (successsive slips).
Gambar 3 Contoh jatuhan batuan (Varnes 1958)
Longsoran dengan bidang gelincir datar atau longsoran translasional
(translational slides), merupakan gerakan di sepanjang diskontuinitas
8
atau bidang lemah yang terjadi sejajar dengan permukaan lereng,
sehingga bentuk gerakan tanah berjalan secara translasi. Longsoran
translasional dibedakan menjadi: longsoran blok translasional
(translational block slides), longsoran pelat (slab), longsoran translasi
berganda (multiple translational slides), dan longsoran sebaran
(spreading failurse).
Gambar 4 Longsoran rotasional dan translasional (Broms 1975)
d. Sebaran (spreads) yang termasuk longsoran translasional juga disebut sebaran
lateral (lateral spreading), adalah kombinasi dari meluasnya massa tanah dan
turunnya massa batuan terpecah-pecah ke dalam material lunak dibawahnya.
Gambar 5 Tipe-tipe aliran (Broms 1975)
e. Aliran (flows) adalah gerakan hancuran material ke bawah lereng dan
mengalir seperti cairan kental. Aliran sering terjadi dalam bidang geser relatif
sempit. Material yang terbawa aliran dapat terdiri dari berbagai macam
partikel tanah (termasuk batu besar), kayu-kayuan, ranting dan lain-lain.
Beberapa istilah yang membedakan tipe-tipe aliran, yaitu: aliran tanah (earth
flow), aliran lumpur/lanau (mud flow), aliran debris (debris flow) dan aliran
longsoran (flow slide), seperti ditunjukan oleh Gambar 5.
9
Faktor-Faktor Penyebab Tanah Longsor
Karakteristik area rawan longsor berdasarkan Kementrian Pekerjaan Umum
(2012) sebagai berikut :
1. Memiliki intensitas hujan yang tinggi;
Musim kering yang panjang menyebabkan terjadinya penguapan air di
permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan munculnya
pori-pori atau rongga tanah sehingga tanah permukaan retak dan merekah.
Ketika hujan turun dengan intensitas yang tinggi, air akan menyusup ke
bagian yang retak membuat tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat dan
dapat terakumulasi di bagian dasar lereng sehingga menimbulkan gerakan
lateral dan terjadi longsoran.
2. Area yang mempunyai lereng/tebing yang terjal;
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong
sehingga dapat memicu terjadinya longsoran.
3. Memiliki kandungan tanah yang kurang padat dan tebal;
Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan
ketebalan lebih dari 2,5 m. Tanah jenis ini sangat rentan terhadap
pergerakan tanah karena mudah menjadi lembek bila terkena air dan
mudah pecah ketika hawa terlalu panas.
4. Memiliki batuan yang kurang kuat;
Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan
merupakan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya
merupakan batuan yang kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi
tanah bila mengalami proses pelapukan, sehingga pada umumnya rentan
terhadap tanah longsor.
5. Jenis tata lahan yang rawan longsor;
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan dan
perladangan. Pada lahan persawahan, akarnya kurang kuat untuk mengikat
butir tanah sehingga membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air,
oleh sebab itu pada lahan jenis ini mudah terjadi longsor. Adapun untuk
daerah perladangan, akar pohonnya tidak dapat menembus bidang
longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.
6. Adanya pengikisan;
Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu,
penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai menyebabkan tebing
menjadi terjal dan menjadi rawan terhadap longsoran.
7. Merupakan area bekas longsoran lama;
Area bekas longsoran lama memiliki ciri sebagai berikut :
adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda
umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena
tanahnya gembur dan subur
adanya longsoran kecil terutama pada tebing lembah
adanya tebing-tebing yang relatif terjal
adanya alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran
kecil
10
8. Merupakan bidang diskontinuitas (bidang yang tidak selaras);
Bidang ini merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang
luncuran tanah longsor dan memiliki ciri:
bidang perlapisan batuan
bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar
bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat
bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan
yang tidak melewatkan air (kedap air)
bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat
Karnawati (2005), menggambarkan proses dan tahapan terjadinya gerakan
tanah secara skematik seperti pada Gambar 6. Menurut Karnawati (2005), faktor-
faktor pengontrol gerakan tanah merupakan fenomena alam yang mengkondisikan
suatu lereng menjadi berpotensi untuk bergerak, meskipun pada saat ini lereng
tersebut masih stabil (belum bergerak atau belum longsor). Lereng yang
berpotensi untuk bergerak, baru akan bergerak apabila terdapat suatu gangguan
yang memicu terjadinya gerakan massa tanah (dapat berupa faktor alamiah
maupun non alamiah).
RENTAN
(SIAP
BERGERAK)
STABIL
TERJADI
GERAKAN
TANAH
Penyebab gerakan
Infiltrasi air ke
dalam lereng
Getaran
Aktivitas manusia
Pemicu gerakanFaktor-faktor
pengontrol
Geomorfologi
Geologi
Tanah
Geohidrologi
Tata guna lahan
KRITIS
Gambar 6 Proses terjadinya gerakan tanah dan komponen-komponen
penyebabnya (Karnawati 2005)
Ruang dan Penataan Ruang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang Pasal 1 menyatakan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi
ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk di dalam bumi sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan
dan memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan ruang adalah suatu sistem
proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur
ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata
ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan
pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan
program beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya
untuk mewujudkan tertib tata ruang.
11
Selanjutnya Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang menyatakan Penyelenggaraan penataan ruang
bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Menurut Suranto (2008) potensi bencana alam tanah longsor merupakan
salah satu pertimbangan yang penting dalam pengembangan wilayah, terutama
diperlukan dalam proses penyusunan tata ruang baik pada tingkat nasional,
provinsi dan kabupaten/kota. Berdasarkan Pedoman Penataan Ruang dan
Pengembangan Kawasan, untuk keperluan perencanaan wilayah dan kota pada
tingkat nasional perlu disusun suatu “kriteria nasional” untuk kawasan rawan
bencana, khususnya yang berkaitan dengan kawasan rawan bencana :
a. yang mutlak “harus” dihindari untuk pemanfataan apapun
b. yang masih dapat dikembangkan yang bergradasi dengan memanfaatkan
konsep mitigasi.
Berdasar Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung, bahwa kawasan rawan bencana merupakan kawasan lindung
yang perlu dijaga untuk melindungi manusia dan berbagai kegiatannya dari
bencana yang disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan
manusia. Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah merupakan kawasan yang
diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan
gunungapi, gempa bumi, dan tanah longsor. Sebagai salah satu upaya
pengendalian kawasan lindung, maka pada kawasan rawan bencana dilarang
melakukan budidaya kecuali yang tidak mengganggu fungsi lindung. Dengan
tetap memperhatikan fungsi lindung kawasan yang bersangkutan di dalam
kawasan lindung dapat dilakukan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta
kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam.
Hal tersebut menjadi sangat penting, sehingga seluruh proses dan
prosedur penataan ruang wilayah dan kota di Indonesia harus mempertimbangkan
aspek kebencanaan dan konsep mitigasi bencana. Pada saat ini upaya manajemen
bencana longsor di Indonesia masih menitikberatkan pada tahap “saat terjadi
bencana” dan “pasca bencana” saja, sehingga untuk ke depan peran dan fungsi
penataan ruang sebagai aspek mitigasi bencana sebenarnya menjadi sangat
strategis berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang. Pertimbangan tersebut sebagai upaya untuk mencegah atau paling tidak
dapat meminimalkan korban yang diakibatkan oleh adanya bencana (Karnawati,
2005).
12
Analisis Faktor
Menurut Supranto (2010) analisis faktor dipergunakan dalam situasi sebagai
berikut :
1. Mengenali atau mengidentifikasi dimensi yang mendasari (underlying
dimensions) atau faktor yang menjelaskan korelasi antara suatu set variabel.
2. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak
berkorelasi (independent) yang lebih sedikit jumlahnya untuk menggantikan
suatu set variabel asli yang saling berkorelasi di dalam analisis multivariat
selanjutnya.
3. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel yang penting dari suatu
set variabel yang lebih banyak jumlahnya untuk dipergunakan di dalam
analisis multivariat selanjutnya.
Analytical Hierachy Process (AHP)
Menurut Saaty (1980) AHP merupakan alat pengambil keputusan yang
menguraikan suatu permasalahan kompleks dalam struktur hirarki dengan banyak
tingkatan yang terdiri dari tujuan, kriteria, dan alternatif. AHP merupakan sebuah
alat pengambilan keputusan yang dapat digunakan untuk memecahkan
permasalahan pengambilan keputusan yang kompleks dengan menggunakan
struktur hirarki yang terdiri dari tujuan, kriteria, sub kriteria dan alternatif
(Triantaphyllou dan Mann 1995). Firdaus et al. (2011) menyebutkan bahwa, AHP
digunakan pada kondisi dimana terdapat proses pengambilan keputusan secara
kompleks yang melibatkan berbagai kriteria, seperti prioritas diantara beberapa
alternatif kebijakan dan sasaran. Prasyarat yang harus diperhatikan dalam
penggunaan analisis ini adalah pihak yang akan memberikan penilaian terhadap
tingkat kepentingan faktor yang dianalisis harus yang benar-benar memahami
situasi yang sedang ditelaah.
Makkasau (2012) mengemukakan AHP adalah prosedur yang berbasis
matematis yang sangat baik dan sesuai untuk kondisi evaluasi atribut-atribut
kualitatif dimana atribut-atribut tersebut secara matematik dikuantitatifkan dalam
satu set perbandingan berpasangan. Kelebihan AHP dibandingkan dengan metode
pengambilan keputusan lainnya lebih ditekankan karena adanya struktur yang
berhirarki sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih sampai kepada sub-sub
kriteria yang paling mendetil. Analisis ini juga memperhitungkan validitas sampai
dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih
oleh para pengambil keputusan (Saaty 1980).
Model AHP ini menggunakan input persepsi manusia yang dapat mengolah
data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, sehingga kompleksitas
permasalahan yang ada di sekitar kita dapat didekati dengan baik oleh model AHP
ini. Disamping itu, teknik AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan
masalah yang multi-objektif dan multi-kriteria yang didasarkan pada
perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. Jadi model ini
merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif (Makkasau
2012).
13
Analisis A’WOT
Strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang di
Kabupaten Bogor dapat dilakukan dengan menggunakan metode A’WOT. Metode
A’WOT adalah gabungan (integrasi) antara AHP (Analytical Hierarchy Process)
dengan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats) yang
dikembangkan untuk perencanaan hutan di Finlandia (Kangas et al. 1996 dalam
Johan 2011). Menurut Leskinen et al. (2006) A’WOT merupakan metode yang
menunjukan bagaimana analisis AHP dan SWOT dapat diverifikasi dan
digunakan selanjutnya untuk menyusun strategi.
Analisis AHP maupun analisis SWOT lazim digunakan untuk merumuskan
kebijakan. Bila dilihat dari subjektifitasnya maka analisis AHP lebih baik dari
analisis SWOT. Oleh karena itu, dengan menggabungkan kedua teknik analisis
AHP dan SWOT diharapkan dapat saling menyempurnakan dan meminimalkan
tingkat subjektifitas dari suatu kebijakan yang dihasilkan (Rosdiana 2011)
Menurut Nasdan et al. (2008) metode SWOT disebut juga sebagai metode
analisis situasi yang digolongkan ke dalam faktor lingkungan internal (Kekuatan
dan Kelemahan) atau sering dikatakan dampak secara langsung dan faktor
eksternal (Peluang dan Ancaman) atau dampak secara tidak langsung. Kedua
faktor tersebut memberikan dampak positif yang berasal dari peluang dan
kekuatan serta dampak negatif yang berasal dari ancaman dan kelemahan. Matriks
SWOT dapat mengambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman
eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki (Rangkuti 2009).
Dalam analisis SWOT agar keputusan lebih tepat, maka perlu melalui
tahapan-tahapan proses sebagai berikut (Marimin 2004):
1. Tahapan evaluasi faktor eksternal dan internal
Tahapan ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman dengan analisis data yang relevan dalam penelitian.
2. Tahapan Analisis yaitu dengan pembuatan matrik internal dan matrik
eksternal SWOT. Bobot (B) setiap unsur faktor internal dan eksternal
merupakan kunci keberhasilan pembangunan (Key Success Factor/KSF) yang
memiliki nilai antara 0 (tidak penting) sampai dengan 1 (sangat penting).
Bobot KSF ini ditentukan dengan membandingkan derajat kepentingan
(urgensi) antar KSF. Faktor-faktor kunci keberhasilan tersebut kemudian
diberi peringkat/rating (R) dimana menunjukkan nilai dukungan masing-
masing faktor dalam pencapaian tujuan. Pemberian rating dimulai dari 5
(sangat berpengaruh), 3 (berpengaruh) dan 1 (Kurang berpengaruh). Bobot
faktor dan ratting akan menentukan skor (BxR) yang menunjukan nilai
dukungan terhadap pencapaian tujuan. Selanjutnya dilakukan perhitungan
selisih skor dalam setiap faktor SWOT sehingga diperoleh total skor faktor
internal dan eksternal. Hal ini akan dijadikan sebagai penentuan posisi
strategi pengembangan pada posisi kuadran tertentu pada kuadran strategi
SWOT dalam penetapan bobot.
3. Tahapan pengambilan keputusan
Tahapan pengambilan keputusan dalam strategi SWOT dihasilkan dari
penggunaan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang (SO),
penggunaan kekuatan untuk menghadapi ancaman (ST), pengurangan
14
kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada (WO) dan pengurangan
kelemahan untuk menghadapi ancaman yang ada (WT).
Penggabungan analisis AHP dengan analisis SWOT ini dikarenakan analisis
SWOT terlalu kualitatif. Apabila dikuantifikasikan, tidak jelas berapa bobot antara
masing-masing komponen SWOT. Demikian juga bobot antar faktor dalam
komponen tersebut, perlu dibuat prioritasnya sehingga dalam menentukan strategi
mana yang menjadi prioritas akan lebih mudah apabila menggabungkan SWOT
dan pembobotannya diperoleh dari hasil wawancara dengan responden yang
berkompeten.
Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu alat yang dapat
digunakan untuk mengelola (input, manajemen, proses, dan output) data spasial
atau data yang bereferensi geografis. (Setiadi 2013).
Menurut Setiadi (2013) SIG mempunyai beberapa kemampuan, yaitu :
a. Memetakan Letak
Kemampuan ini memungkinkan seseorang untuk mencari dimana letak
suatu daerah, benda, atau lainnya di permukaan bumi. Fungsi ini dapat
digunakan seperti untuk mencari lokasi rumah, mencari rute jalan, mencari
tempat-tempat penting dan lainnya yang ada di peta.
b. Memetakan Kuantitas
Pemetaan penyebaran kuantitas dapat mencari tempat-tempat yang sesuai
dengan kriteria yang diinginkan dan digunakan untuk pengambilan keputusan,
ataupun juga untuk mencari hubungan dari masing-masing tempat tersebut.
c. Memetakan Kerapatan
Pemetaan kerapatan dapat dengan mudah membagi konsentrasi
daerah kedalam uni-unit yang lebih mudah untuk dipahami dan seragam,
misalkan dengan memberikan warna yang berbeda pada daerah-daerah yang
memiliki konsentrasi tertentu. Pemetaan kerapatan ini biasanya digunakan
untuk data-data yang berjumlah besar seperti sensus penduduk.
d. Memetakan apa yang ada di luar dan di dalam suatu area
SIG digunakan juga untuk memonitor apa yang terjadi dan keputusan apa
yang akan diambil dengan memetakan apa yang ada pada suatu area dan apa
yang ada diluar area.
Menurut Prahasta (2005) kemampuan SIG dapat dikenali dari fungsi-fungsi
analisis yang dapat dilakukannya. Secara umum, sesuai dengan datanya, terdapat
dua jenis fungsi analisis di dalam SIG; fungsi analisis spasial dan atribut (basis
data atribut). Fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan
basisdata (DBMS) dan perluasannya, yaitu :
1. Operasi dasar basisdata yang mencakup :
a. Membuat basis data baru (create database)
b. Menghapus basis data (drop database)
c. Membuat tabel basis data ( create table)
d. Menghapus tabel basis data (drop tale)
e. Mengubah, meng-edit dan menghapus data yang ada di tabel
15
2. Perluasan operasi basisdata :
a. Membaca dan menulis basisdata dalam sistem basisdata yang lain
(export dan import).
b. Dapat berkomunikasi dengan sistem basisdata yang lain.
c. Dapat menggunakan bahasa basisdata standart SQL (structured query
language)
Fungsi analisis spasial yang dilakukan dalam penelitian ini antara lain terdiri
dari:
1. Klasifikasi (reclassify) : fungsi ini mengklasifikasikan kembali suatu data
spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan
kriteria tertentu.
2. Overlay : fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data
spasial yang menjadi masukkannya.
3. Buffering : fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk
poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi
masukannya.
SIG banyak dimanfaatkan dalam memetakan bahaya longsor di beberapa
daerah, di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Nurhayati (2009), memanfaatkan SIG dalam penyusunan peta rawan longsor
Kabupaten Cianjur. Peta tersebut dibuat dengan menggunakan operasi
intersect dengan SIG, dimana pada setiap parameter longsor (peta-peta
kemiringan lereng, curah hujan, tanah, dan penggunaan lahan) diberi skor dan
bobot. Hasil proses SIG menunjukkan bahwa SIG dapat dimanfaatkan untuk
memetakan risiko kerawanan longsor dengan cepat.
2. Rahmat (2010), memanfaatkan SIG untuk memetakan rawan longsor di
Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka. Proses tumpang
susun dilakukan pada parameter penyebab longsor (peta geologi, peta curah
hujan, peta lereng, peta penggunaan lahan, dan peta tanah) yang sebelumnya
telah diberi skor pada masing-masing parameter. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa dengan menggunakan teknologi SIG untuk pemodelan
spasial tingkat kerawanan bencana longsor dapat diperoleh dengan akurasi
hasil yang cukup baik.
3. Penelitian oleh Mukhlisin et al. (2010) memanfaatkan SIG dalam memetakan
bahaya longsor di Ulu Klang, Malaysia, yang merupakan wilayah yang
memiliki potensi tinggi terhadap kejadian longsor. Penggunaan SIG pada
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan operasi tumpang tindih
(overlay) pada setiap parameter penyebab longsor di antaranya yaitu:
kemiringan lereng, geologi, tanah, dan curah hujan. Keempat Parameter
tersebut sebelumnya diberi bobot dan skor, dimana semakin tinggi bobot dan
skor untuk setiap parameter maka semakin tinggi pula bahaya terhadap
kejadian longsor, demikian sebaliknya. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa model pendekatan dengan menggunakan SIG sangat cocok untuk
memperkirakan daerah bahaya longsor yang dihasilkan dalam bentuk peta
bahaya longsor
16
Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian
Penelitian terdahulu yang terkait dengan topik pada penelitian ini di
antaranya adalah :
1. Utomo (2008), dalam penelitiannya yang berjudul Identifikasi Daerah Rawan
Longsor di Kabupaten Bogor Jawa Barat, mengidentifikasi
kemungkinan dan penyebab terjadinya longsor pada daerah – daerah yang
berbahan induk vulkanik, mempelajari bentuk dan karakteristik longsor, dan
memetakan daerah – daerah yang berpotensi terjadinya longsor. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa longsor akan meningkat seiring dengan
bertambahnya kemiringan lereng yang dipengaruhi juga oleh berbagai faktor
seperti penggunaan lahan dan kerapatan vegetasi. Regression Analyisis
merupakan salah satu metode yang digunakan untuk membuat 3 model
prediksi longsor yaitu; jenis longsor, luas areal longsor dan luas hamparan
material longsor. Tiap – tiap parameter mempunyai pengaruh yang
berbeda terhadap model prediksi longsor. Jenis longsor yang ditemukan
terdiri dari longsoran rotasi (slump) dan longsoran translasi (sliding), dimana
lereng dengan kemiringan ≥ 30% akan berpotensi terjadinya longsor. Proporsi
areal longsor lebih dipengaruhi oleh kemiringan lereng, sedangkan luas
material hamparan longsor dan tipe longsoran lebih dipengaruhi oleh tipe
penggunaan lahan (landuse).
2. Yunianto (2011), dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Kerawanan
Tanah Longsor dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan
Penginderaan Jauh di Kabupaten Bogor, menganalisis kerawanan tanah
longsor dilakukan berdasarkan model pendugaan Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), parameter-parameter yang
digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan adalah penutupan lahan
(landcover), jenis tanah, kemiringan lahan, curah hujan, formasi geologi
(batuan induk) dan kerentanan gerakan tanah. Setiap jenis parameter tersebut
diklasifikasi berdasarkan skor serta diberi bobot kemudian
ditumpangsusunkan (overlay). Pola ruang Kabupaten Bogor kemudian
dievaluasi berdasarkan Peta Kerawanan Tanah Longsor tersebut. Berdasarkan
model pendugaan kerawanan tanah longsor BBSDLP diperoleh tiga kelas
kerawanan longsor di Kabupaten Bogor yaitu kelas kerawanan longsor rendah
dengan luas 94991 Ha (31,7%) meliputi 33 kecamatan, kelas kerawanan
longsor sedang dengan luas 173309 Ha (57,8%) meliputi 36 kecamatan dan
kelas kerawanan longsor tinggi dengan luas 31127 Ha (10,396%) meliputi 28
kecamatan. Hasil evaluasi pola ruang menunjukkan bahwa beberapa kawasan
yang diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman berada pada daerah dengan
kerawanan longsor tinggi, sehingga tidak tepat apabila dijadikan permukiman.
Selain itu juga ditemukan pemanfaatan kawasan yang tidak sesuai dengan
peruntukkannya sebagaimana diatur dalam RTRW Kabupaten Bogor, dimana
kawasan konservasi maupun hutan lindung yang berfungsi untuk melindungi
lingkungan disekitarnya dari bencana tanah longsor, pada kenyataannya telah
beralih fungsi menjadi pemukiman, kebun, sawah maupun ladang dan tegalan.
17
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor yang memiliki luas ± 298.838 ha
dan secara geografis terletak di antara 6º18'0" – 6º47'10" Lintang Selatan dan
106º23'45" – 107º13'30" Bujur Timur. Lokasi penelitian mencakup semua
kecamatan dan desa/kelurahan yang ada yaitu 40 kecamatan, 434 desa/kelurahan.
Penelitian dilaksanakan pada Bulan April - Desember 2015, sedangkan lokasi
penelitian (Peta Wilayah Kabupaten Bogor) dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Peta Lokasi Wilayah Penelitian (Kabupaten Bogor)
Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder.
Data Primer
Data primer diperoleh dari hasil pengamatan berbagai kejadian tanah
longsor di lokasi kajian. Lokasi kajian dipilih berdasarkan data titik-titik longsor /
kejadian tanah longsor dari BPBD Kabupaten Bogor. Penentuan titik-titik survei
lapangan berdasarkan kejadian terbesar dan pertimbangan aksesibilitas (jaringan
jalan yang tersedia).
Penggunaan kuesioner dalam wawancara bertujuan untuk memudahkan
dalam menentukan strategi pengendalian longsor, sedangkan pemilihan responden
18
dilakukan secara purposive sampling terhadap responden yang terdiri dari : Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor, Dinas Bina Marga
dan Pengairan Kabupaten Bogor, dan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten
Bogor.
Secara ringkas, data primer yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Hasil survei titik longsor di lapangan,
2. Hasil pengolahan data SRTM (DEM) resolusi 90 meter,
3. Hasil wawancara (dengan menggunakan kuesioner).
Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian meliputi:
1. Peta Administrasi Kabupaten Bogor skala 1 : 25.000, Badan Perencanaan
Daerah Kabupaten Bogor.
2. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor skala 1 : 25.000, Tahun 2013,
Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.
3. Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Bogor 2005 – 2025, Skala 1: 100.000,
Tahun 2008, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Bogor.
4. Peta Curah Hujan skala 1 : 25.000, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten
Bogor.
5. Peta Satuan Tanah skala 1 : 250.000, Badan Perencanaan Daerah Kabupaten
Bogor.
6. Peta Geologi lembar Bogor, Skala 1:100.000, Tahun 1998, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung.
7. Data bencana tanah longsor tahun 2012 – 2014 dari Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kabupaten Bogor.
8. Citra SRTM resolusi 90 m yang digunakan untuk membuat peta kemiringan
lereng
Peralatan yang digunakan antara lain Global Positioning System (GPS),
kamera digital dan seperangkat komputer dengan software pengolah data spasial,
SPSS dan Microsoft Office 2007.
Matriks analisis penelitian yang menggambarkan hubungan antara tujuan,
jenis data, sumber data, metode analisis, dan keluaran yang diharapkan, disajikan
pada Tabel 2.
Analisis dan Pemetaan Bahaya Longsor
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian secara keseluruhan dapat
dilihat pada bagan alir yang tersaji dalam Gambar 8. Peta bahaya longsor dibuat
dengan melakukan beberapa analisis yang dimulai dengan analisis faktor untuk
menentukan determinan faktor dari penyebab longsor di Kabupaten Bogor.
Selanjutnya akan dilakukan pembobotan dan skoring untuk pembuatan peta
suseptibilitas yang digunakan untuk melihat kerawanan wilayah penelitian
sebelum menggabungkan dengan penggunaan lahan untuk membuat peta bahaya
longsor.
19
Tabel 2 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis,
dan keluaran
No Tujuan Jenis Data Sumber Data Metode Analisis Keluaran
1 Menganalisis
dan
memetakan
bahaya
(hazard) tanah
longsor di
Kabupaten
Bogor
berdasarkan
determinan
faktor dari
kejadian tanah
longsor yang
ada.
Data longsor
yang sudah
terjadi
Data
pengamatan
langsung
Peta
Penggunaan
Lahan
Peta Curah
Hujan
Peta
Kelerengan
Peta Tanah
Peta Geologi
BPBD
Kabupaten
Bogor
Bappeda
Kabupaten
Bogor
BIG (Peta
Rupabumi)
Analisis faktor
Overlay SIG
dengan skoring
pembobotan
Klasifikasi
Peta
Bahaya
Longsor
2 Menganalisis
risiko bencana
longsor
berdasarkan
kerentanan
masyarakat,
kapasitas dan
bahaya
longsor.
Peta
penggunaan
lahan th 2013
Peta Pola
Ruang
RTRW
Kabupaten
Bogor 2005-
2025
Peta bahaya
longsor
keluaran no
1
Bappeda
Kabupaten
Bogor
Peta Bahaya,
Kerentanan dan
Kapasitas
menggunanaka
n overlay SIG
dan klasifikasi
Peta risiko
menggunakan
overlay SIG
berdasarkan
persamaan
BNBP No 02
Tahun 2012
(BNBP 2012) R
= HxV/C
Peta Risiko
Longsor
3 Merumuskan
arahan
penataan ruang
sebagai upaya
untuk menekan
dampak dari
bencana tanah
longsor.
Peta Risiko
Tanah
Longsor
Peta
Penggunaan
lahan 2013
Peta Pola
Ruang
RTRW
Kabupaten
Bogor 2005-
2025
Hasil
penelitian
tujuan 2
Bappeda
Kabupaten
Bogor
Kuesioner
Overlay SIG
Analisa dengan
A’WOT
Arahan
Penataan
Ruang
termasuk di
dalamnya
Peta
Konsistensi
Penggunaan
Lahan
dengan
RTRW
Analisis Faktor
Analisis faktor dilakukan untuk mencari faktor penentu terjadinya longsor
yang kemudian digunakan untuk pemetaan bahaya longsor. Menentukan faktor
penentu terjadi longsor dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengidentifikasi karakteristik lahan di lokasi longsor. Untuk mengidentifikasi
karakteristik lahan di lokasi longsor dimulai dengan data sekunder yang diperoleh
dari BPBD Kabupaten Bogor tentang titik-titik lokasi kejadian longsor.
20
Dat
a be
ncan
a ke
jadi
an l
ongs
or
Kar
akte
rist
ik w
ilay
ah b
ekas
kej
adia
n lo
ngso
r
Ana
lisi
s F
akto
r
Pen
ggun
aan
laha
nC
urah
Huj
anT
anah
Kem
irin
gan
lere
ngG
eolo
gi
Sko
ring
Det
erm
inan
fak
tor
Cur
ah H
ujan
Tan
ahK
emir
inga
n le
reng
Geo
logi
Sko
ring
dan
pem
bobo
tan
Pet
a S
usep
tibi
lita
s
Pen
ggun
aan
Lah
an E
ksis
ting
Pen
ggun
aan
laha
n 20
13
Goo
gle
Ear
th 2
015
Pet
a B
ahay
a L
ongs
orV
alid
asi
Sko
ring
dan
pem
bobo
tan
Dig
itas
i da
n kl
asif
ikas
i
Sko
ring
Pet
a K
apas
itas
Pet
a K
eren
tana
n
Sko
ring
Ove
rlay
& K
lasi
fika
si
Pet
a R
isik
o L
ongs
or
Pet
a R
TR
W
Pol
a R
uang
Pen
ggun
aan
Lah
an E
ksis
ting
Ove
rlay
& K
lasi
fika
si
Pet
a K
onsi
sten
si
Dat
a R
espo
nden
A’W
OT
Ara
han
Pen
ataa
n R
uang
Gam
bar
8 B
agan
Ali
r P
enel
itia
n
20
21
Titik-titik lokasi longsor yang ada dibuat zonasi berdasarkan kondisi lahan
apa yang mempengaruhi untuk menentukan pengambilan titik sampel. Setelah itu
dilakukan pengamatan langsung pada beberapa lokasi kejadian longsor. Hasil
pengamatan di berbagai lokasi kejadian longsor diolah dengan GIS dengan
menggunakan intersect peta satuan tanah, peta curah hujan, peta geologi dan peta
kemiringan lereng untuk mengetahui karakteristik wilayah titik longsor. Hasil
intersect titik-titik kejadian longsor kemudian di skoring menggunakan skor
parameter dari Puslitanak. Selanjutnya dengan bantuan SPSS hasil skoring di
analisis faktor ditentukan determinan faktor penyebab longsor.
Pemetaan Suseptibilitas Longsor (Landslide Susceptibility Mapping)
Suseptibilitas longsor (landslide susceptibility) menggambarkan potensi
kondisi alami dari fisik lahan untuk mengalami longsor. Pembuatan peta
suseptibilitas longsor dilakukan dengan membuat satuan peta yang merupakan
satuan analisis melalui operasi tumpang tindih (overlay) dari peta-peta parameter
longsor yang bersifat statis yaitu peta curah hujan, peta satuan tanah, peta
kemiringan lereng dan peta geologi.
Nilai parameter pada setiap satuan analisis tersebut diberi skor. Nilai skor
total untuk setiap satuan analisis merupakan penjumlahan dari skor parameter
dikalikan bobot dengan rumus sebagai berikut :
Nilai Total = (SCHxBCH) + (STxBT) + (SGxBT) + (SLxBT)
Keterangan :
SCH : Skor Curah Hujan
BCH : Bobot Curah Hujan
ST : Skor Tanah
BT : Bobot Tanah
SG : Skor Geologi
BG : Bobot Geologi
SL : Skor Lereng
BL : Bobot Lereng
Bobot dari setiap parameter ditentukan dari hasil analisis faktor yang sudah
dilakukan sebelumnya. Pemberian bobot terhadap masing-masing parameter
pemicu longsor merujuk pada rumusan yang digunakan Davidson dan Shah
(1997) dalam Ikqra (2012) sebagai berikut:
Dimana : wj = nila bobot yang dinormalkan
n = jumlah parameter (1,2,3,....n)
rj = posisi urutan parameter
Penggunaan skor pada setiap parameter, mengacu pada skor parameter
bahaya dari PUSLITANAK (2004) yang dimodifikasi. Tabel skor parameter
suseptibilitas longsor hasil rumusan peneliti disajikan pada Tabel 3.
22
Tabel 3 Skor parameter suseptibilitas longsor
No Parameter Skor
1 Curah Hujan (mm/tahun)
Sangat basah (>3.000 mm)
Basah (2.500 – 3.000 mm)
Sedang/lembab (2.000 – 2.500 mm)
Kering (1.500 – 2.000 mm)
Sangat kering (<1.500 mm)
5
4
3
2
1
2 Jenis tanah
Andosol, Grumosol, Podsol, Podsolik, Regosols, Litosols, Renzina
Brown Forest Soil, Non Calsic Brown, Mediteran
Hidromorf kelabu, Tanah Gley, Aluvial, Planosol, Lateritik air
tanah, Latosol
3
2
1
3 Geologi
Batuan vulkanik
Batuan sedimen
Batuan berbahan resent (aluvial)
3
2
1
4 Kelerengan (%)
> 45
30 – 45
15 – 30
8 – 15
0 – 8
5
4
3
2
1 Keterangan : 1, 2, 3, 4 dan 5 adalah skor parameter yang mencerminkan besarnya sumbangan
terhadap proses longsor (berturut-turut dari kecil ke besar)
Untuk menentukan kelas suseptibilitas longsor, dilakukan perhitungan
terlebih dahulu besarnya nilai suseptibilitas melalui perkalian skor dan bobot.
Kemudian nilai tersebut digunakan untuk menentukan nilai interval kelas yang
didasarkan pada jumlah kelas yang ditentukan, dengan menggunakan persamaan
Dibyosaputro (1999) sebagai berikut:
Dalam penelitian ini, peta suseptibilitas longsor dikelompokkan ke dalam 5
(lima) kelas suseptibilitas longsor yaitu: (i) sangat rendah (zona kelas
suseptibilitas longsor sangat rendah); (ii) rendah (zona kelas suseptibilitas longsor
rendah); (iii) sedang (zona kelas suseptibilitas longsor menengah); (iv) tinggi
(zona kelas suseptibilitas longsor tinggi); dan (v) sangat tinggi (zona kelas
suseptibilitas longsor sangat tinggi).
Pemetaan Bahaya Longsor (Landslide Hazard Mapping)
Pembuatan peta bahaya longsor dilakukan dengan operasi tumpang tindih
(overlay) antara peta suseptibilitas dengan peta penggunaan lahan. Dalam proses
tumpang tindih, parameter tersebut diberi skor dan pembobotan sesuai dengan
potensinya dalam menyumbangkan terjadinya longsor. Semakin tinggi skor dan
pembobotan, mencerminkan semakin besar potensinya dalam menyumbangkan
terjadinya longsor, dan begitu juga sebaliknya (Silviani 2013).
23
Dengan demikian parameter – parameter yang digunakan untuk memetakan
bahaya longsor meliputi : curah hujan, kemiringan lereng, geologi, penggunaan
lahan dan jenis tanah. Penentuan parameter-parameter yang menjadi pemicu
terjadinya longsor dapat dijelaskan sebagai berikut :
Curah hujan
Pengaruh curah hujan dalam memicu longsor melalui tiga cara, yaitu melalui
penambahan beban lereng (shear stress), peningkatan nilai tekanan air pori
tanah, dan memperkecil daya tahan tanah (shear strength) terhadap lapisan
kedap (bidang luncur) yang terletak di bawahnya. Dengan demikian semakin
tinggi curah hujan, maka akan semakin tinggi tingkat bahaya longsor.
Kemiringan lereng
Kondisi kemiringan lereng di Kabupaten Bogor sangat beragam, mulai dari
landai (1-8%) sampai dengan terjal (>45%). Faktor kemiringan lereng
menjadi salah satu parameter penyebab longsor karena longsor hanya terjadi
pada daerah yang memiliki kemiringan lereng menengah hingga besar
(bidang miring). Kemiringan lereng dianggap berpengaruh terhadap longsor
karena kestabilan lereng terletak pada kemiringannya dimana kendali
utamanya adalah gaya gravitasi, sehingga gravitasi mampu memisahkan
massa (batuan/tanah) yang telah terbentuk secara mantap. Dengan demikian,
walaupun kondisi tanah, batuan, serta penggunaan lahan di daerah tersebut
berpotensi menyebabkan longsor, namun jika tidak terdapat pada lereng yang
miring, maka longsor tidak mungkin terjadi.
Geologi
Jenis batuan yang terdapat di Kabupaten Bogor ada beberapa jenis. Kondisi
Kabupaten Bogor yang berada di beberapa kaki gunung membuat batuan
penyusunnya didominasi oleh hasil letusan gunung berapi, yaitu terdiri dari
andesit, tufa dan basalt. Jenis pelapukan batuan ini relatif rawan terhadap
gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang tinggi.
Jenis tanah
Keberadaan Kabupaten Bogor yang dikelilingi gunung membuat jenis tanah
penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka
terhadap longsor, antara lain latosol, aluvial, regosol, podsolik dan andosol.
Penggunaan lahan
Perubahan penggunaan lahan yang berkaitan dengan aktivitas manusia,
terbukti berdampak terhadap kejadian bahaya longsor, seperti: pembukaan
hutan secara sembarangan, penanaman jenis pohon yang terlalu berat dengan
jarak tanam yang terlalu rapat, penambangan yang tidak berwawasan
lingkungan, dan pemotongan tebing/lereng untuk jalan dan pemukiman.
Dengan demikian, semakin meningkatnya perubahan penggunaan lahan yang
terjadi di Kabupaten Bogor, akan meningkatkan potensi penurunan kestabilan
lereng.
Penggunaan skor pada setiap parameter, mengacu pada skor parameter
bahaya dari PUSLITANAK (2004) yang dimodifikasi sesuai dengan Tabel 3,
sedangkan skor untuk penggunaan lahan disajikan pada Tabel 4.
24
Tabel 4 Skor penggunaan lahan untuk parameter bahaya longsor
No Parameter Skor
1
2
3
4
5
Permukiman
Tegalan, sawah
Semak belukar
Perkebunan
Hutan, Perairan
5
4
3
2
1 Keterangan : 1, 2, 3, 4 dan 5 adalah skor parameter yang mencerminkan besarnya sumbangan
terhadap proses longsor (berturut-turut dari kecil ke besar)
Untuk penentuan bobot pada parameter penyebab longsor dan menentukan
kelas bahaya longsor menggunakan cara yang sama seperti pemetaan
suseptibilitas.
Verifikasi dan Pengujian Peta
Untuk melihat peta bahaya longsor dengan metode yang sudah
dikembangkan maka dilakukan pengujian dengan dilakukan dengan overlay
antara peta bahaya longsor dengan peta lokasi kejadian longsor. Peta lokasi
kejadian longsor dibuat dengan menggunakan data bencana longsor dari BPBD
Kabupaten Bogor. Proses verifikasi ini dilakukan pada semua kelas bahaya
longsor (Faizana et al. 2015).
Analisis Risiko Longsor
Analisis risiko longsor dilakukan dengan melihat sebaran bahaya longsor
yang dikaitkan dengan kerentanan masyarakat dan kapasitas wilayah dalam
menghadapi longsor. Data yang digunakan dalam pembuatan peta risiko longsor,
meliputi peta bahaya longsor, peta Pola Ruang (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-
2025 dan peta Penggunaan Lahan Eksisting. Operasi tumpang tindih dengan
Sistem Informasi Geografis (SIG) kemudian dilakukan untuk memperoleh matriks
antara penggunaan lahan eksisting, pola ruang, dan bahaya longsor. Analisis peta
risiko berdasarkan matriks yang dihasilkan, harus memperhatikan definisi
peruntukan lahan pada RTRW 2005-2025 sehingga dapat dihindari kesalahan
dalam analisis.
Kerentanan
Kerentanan adalah suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang
mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman
bencana (BPBP 2012). Penentuan nilai kerentanan terhadap longsor berdasarkan
parameter penggunaan lahan, dilakukan dengan pengklasifikasian tipe
penggunaan lahan dari yang memiliki tingkat kerentanan paling tinggi sampai
dengan yang paling rendah terhadap longsor. Terlihat dari hasil klasifikasi bahwa
tipe penggunaan lahan permukiman memiliki nilai kerentanan paling tinggi
dibandingkan dengan yang lainnya, hal ini dikarenakan permukiman memiliki
potensi nilai (value) kerugian yang paling tinggi dibandingkan dengan tipe
penggunaan lahan lainnya apabila terjadi bencana longsor. Adanya penduduk,
bangunan dan sarana prasarana yang terancam membuat permukiman dan semua
kawasan terbangun menempati posisi paling tinggi dalam hal kerentanan.
25
Demikian sebaliknya dengan tipe penggunaan lahan hutan, semak/belukar, dan
tubuh air yang memiliki nilai kerentanan paling rendah, dimana hal tersebut
dikarenakan pada tipe penggunaan lahan tersebut memiliki potensi kerugian yang
paling rendah dibandingkan dengan tipe penggunaan lahan lainnya apabila terjadi
longsor. Kerentanan fisik jalan, potensi dampak dan potensi kerugian akibat
bahaya digunakan sebagai dasar untuk menentukan skor dan kelas kerentanan.
Klasifikasi kelas kerentanan bahaya longsor dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Klasifikasi kelas kerentanan longsor
Penggunaan Lahan Kelas Kerentanan Longsor Skor
Hutan, Semak belukar, Tubuh Air
Tegalan/Ladang
Perkebunan
Sawah
Permukiman
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
1
2
3
4
5
Kapasitas
Kapasitas adalah kemampuan daerah dan masyarakat untuk melakukan
tindakan pengurangan tingkat ancaman/bahaya dan tingkat kerugian akibat
bencana (BNBP 2012). Dalam penelitian ini pembuatan peta kapasitas dengan
menggunakan penggunaan lahan yang bisa menggambarkan usaha antisipasi
bencana secara fisik. Meminimalkan bencana dengan penggunaan lahan yang
sesuai dengan kondisi rawan longsor. Permukiman mempunyai kapasitas sangat
rendah karena diasumsikan tidak ada pengamanan untuk mengurangi risiko
longsor. Tegalan dan ladang memiliki kapasitas rendah karena diasumsikan
adanya tanaman yang bisa mengurangi risiko longsor. Sawah masuk dalam kelas
kapasitas sedang dengan asumsi penggunaan terasering pada lahan sawah dengan
kemiringan lereng curam sehingga bisa meminimalkan risiko longsor. Perkebunan
dan hutan masuk dalam kelas kapasitas tinggi dan sangat tinggi diasumsikan
kondisi lahan yang dipenuhi pohon bisa mengikat tanah untuk mengurangi risiko
longsor. Klasifikasi kelas kapasitas bahaya longsor dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Klasifikasi kelas kapasitas longsor
Penggunaan Lahan Kelas Kapasitas Skor
Permukiman
Tegalan/Ladang
Sawah
Perkebunan
Hutan, Semak belukar, Tubuh Air
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
1
2
3
4
5
Pemetaan Risiko Longsor
Pembuatan peta risiko longsor mengacu pada rumusan Peraturan Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana nomor 02 Tahun 2012 (BNBP 2012)
tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana sebagai berikut :
R = HxV/C
26
Dimana :
R : Disaster Risk : Risiko Bencana H : Hazard : Bahaya
V : Vurnerabilty : Kerentanan C : Capacity : Kapasitas
Berdasarkan rumusan tersebut, peta risiko longsor dibuat berdasarkan
operasi tumpang tindih (overlay) antara peta bahaya longsor, peta kerentanan dan
peta kapasitas. Peta bahaya merupakan hasil tumpang tindih dari parameter-
parameter penyebab longsor, sedangkan peta kerentanan merupakan peta yang
menunjukkan tingkat kerentanan masyarakat terhadap bahaya longsor. Adapun
peta kapasitas merupakan peta yang menunjukkan nilai kapasitas suatu wilayah
dalam menghadapi bahaya longsor. Dengan demikian terlihat bahwa tingkat risiko
longsor amat tergantung pada : (a) tingkat bahaya, (b) tingkat kerentanan
masyarakat yang terancam, dan (c) tingkat kapasitas wilayah yang terancam.
Tahapan pembuatan peta risiko dapat dilihat pada diagram alir tahapan penelitian
(Gambar 8 terdahulu). Sebelum perhitungan risiko dengan menggunakan
persamaan di atas dilakukan, terlebih dahulu ditentukan nilai masing-masing kelas
dari ketiga peta tersebut (bahaya, kerentanan dan kapasitas). Nilai tersebut
diperoleh dengan cara membagi nilai urutan kelas dengan nilai urutan kelas
maksimum (Tabel 10). Setelah itu operasi tumpang tindih (overlay) untuk
memperoleh poligon-poligon baru dilakukan.
Tabel 7 Nilai bahaya, kerentanan, dan kapasitas berdasarkan tingkat kelas
Kelas
Bahaya
Nilai
Bahaya
Kelas
Kerentanan
Nilai
Kerentanan
Kelas
Kapasitas
Nilai
Kapasitas
1
2
3
4
5
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1
2
3
4
5
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1
2
3
4
5
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Dari hasil perhitungan risiko, selanjutnya ditentukan kelas risiko longsor.
Dalam penelitian ini, kelas risiko longsor dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kelas
tingkat risiko yaitu: (i) sangat rendah (zona kelas risiko sangat rendah); (ii) rendah
(zona kelas risiko rendah); (iii) sedang (zona kelas risiko menengah); (iv) tinggi
(zona kelas risiko tinggi); dan (v) sangat tinggi (zona kelas risiko sangat tinggi).
Kelas risiko ditentukan berdasarkan nilai interval kelas yang dihitung
dengan menggunakan persamaan Dibyosaputro (1999) sebagai berikut :
27
Klasifikasi kelas risiko longsor berdasarkan nilai interval kelas disajikan
pada Tabel 8.
Tabel 8 Klasifikasi kelas risiko longsor
Kelas Risiko Longsor Nilai
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
0.20 – 0.36
0.36 – 0.52
0.52 – 0.68
0.68 – 0.84
0.84 – 1.00
Arahan Penataan Ruang
Arahan penataan ruang sebagai upaya untuk menekan dampak bencana
longsor dirumuskan dengan melihat keterkaitan antara penataan ruang dengan
sebaran daerah bahaya longsor, pola penggunaan lahan, dan sebaran daerah risiko
longsor yang di analisis dengan menggunakan : (1) operasi tumpang tindih (SIG)
antara peta bahaya longsor dengan peta pola ruang (RTRW) Kabupaten Bogor
2005-2025 untuk melihat aspek perencanaan penataan ruang, (2) konsistensi
penggunaan lahan untuk melihat aspek pemanfaatan ruang, (3) operasi tumpang
tindih (SIG) antara peta risiko dengan peta rencana pola ruang (RTRW)
Kabupaten Bogor 2005-2025 untuk melihat aspek pengendalian pemanfaatan
ruang, dan (4) teknik analisis penggabungan Analytical Hierarchy Process (AHP)
dan analisis Strenghts, Weaknesses, Opportunities dan Threats (SWOT) yang
lazim disebut A’WOT untuk pengendalian pemanfaatan ruang.
Keterkaitan Sebaran Bahaya Longsor dengan Pola Ruang Kabupaten Bogor
Untuk melihat sebaran bahaya longsor dengan pola ruang Kabupaten Bogor
dengan melakukan overlay antara peta bahaya longsor dengan peta pola ruang
Kabupaten Bogor
Keterkaitan Konsistensi Penggunaan Lahan dengan Pola Ruang Kabupaten
Bogor
Data yang digunakan dalam pembuatan peta konsistensi penggunaan lahan,
meliputi peta Pola Ruang (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025 dan peta
Penggunaan Lahan Eksisting. Operasi tumpang tindih dengan Sistem Informasi
Geografis (SIG) kemudian dilakukan untuk memperoleh matriks antara
penggunaan lahan yang terjadi terhadap pola ruang. Analisis konsistensi
(kesesuaian isi) pada matriks yang dihasilkan, harus memperhatikan definisi
peruntukan lahan pada RTRW 2005-2025 sehingga dapat
dihindari kesalahan dalam analisis. Tahapan pembuatan peta konsistensi dapat
dilihat pada diagram alir tahapan penelitian (Gambar 8 terdahulu).
Keterkaitan Sebaran Risiko Longsor dengan Pola Ruang Kabupaten Bogor
Untuk melihat sebaran risiko longsor dengan pola ruang Kabupaten Bogor
dengan melakukan overlay antara peta risiko longsor dengan peta pola ruang
Kabupaten Bogor
28
Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dengan Analisa A’WOT
A’WOT (AHPSWOT) adalah metode yang dibangun sebagai upaya
penggabungan metode AHP dengan SWOT untuk dapat mendukung pengambilan
keputusan melalui analisis AHP dengan memperhatikan unsur (analisis SWOT).
Proses analisis A’WOT pada prinsipnya sama dengan proses analisis AHP
konvensional, mulai dari perumusan dan penguraian masalah menjadi kriteria-
kriteria, membangun struktur hirarki, melakukan perbandingan berpasangan antar
komponen kriteria dan proses sintesis pendapat untuk memperoleh prioritas
alternatif keputusan yang akan diambil. (Permata 2015)
Menurut Permata (2015) analisis A’WOT dilakukan dengan dua tahapan.
Pertama, mengidentifikasi faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
dengan metode SWOT untuk pengendalian longsor untuk memaksimalkan
pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor. Kedua, melakukan AHP terhadap
komponen-komponen SWOT yang telah ditetapkan. Pada dasarnya tahap dua ini
merupakan pembobotan atau skoring pada komponen-komponen analisis SWOT,
sehingga pada akhirnya dapat ditentukan prioritas pengendalian longsor
berdasarkan skor tertinggi.
Tahapan proses A’WOT hampir sama dengan AHP konvensional, dimana
terdapat modifikasi dalam menetapkan tujuan, faktor dan alternatif pilihan. Tujuan
yang ditetapkan merupakan pemilihan prioritas strategi pengendalian longsor,
sedangkan faktor dan alternatif-alternatif merupakan hasil dari analisis SWOT.
Pembobotan dalam analisis A’WOT ini hasil perbandingan berpasangan (pairwise
comparison) berdasarkan pendapat para ahli dengan menggunakan Saaty’s Scale
seperti pada Tabel 12.
Tabel 9 Skala pembobotan AHP
Skala Definisi dari “Importance”
1 Sama pentingnya (Equal importance)
3 Sedikit lebih penting (Slightly more importance)
5 Jelas lebih penting (Materially more importance)
7 Sangat jelas penting (Significantly more importance)
9 Mutlak lebih penting (Absolutely more importance)
2,4,6,8 Ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan (Compromise values)
Sumber : Saaty (1980)
Pendapat para ahli dalam menilai matrik perbadingan berpasangan harus
konsisten. Kekonsistenan tersebut dapat dihitung dengan Rasio Konsistensi
(Consistency Ratio). Konsep perhitungan konsistensi rasio di dasari dari prinsip
transitifitas yang memperlihatkan kekonsistenan matrik perbandingan
berpasangan yang disusun. Matrik perbandingan berpasangan dinyatakan
konsisten jika rasio konsistensi kurang dari 0.1 (Firdaus et al. 2011).
Kekonsistenan dapat di peroleh dengan formula sebagai berikut (Firdaus et al.
2011):
29
Dimana,
Keterangan
CI = Consistency Index
RI = Random Index
Q = Rata-rata transpose matrik perbandingan berpasangan relatif
terhadap vektor kolom dari bobot matrik perbandingan berpasangan
tersebut
N = banyaknya faktor atau alternatif pilihan
Hirarki dalam penentuan pemilihan strategi pengendalian longsor untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada
Gambar 9.
PENENTUAN ARAHAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN LONGSOR
Kekuatan
(Strengths)
Kelemahan
(Weaknesses)
Peluang
(Opportunities)
Ancaman
(Threats)
S S W W O O T T
Tingkat 1
Tujuan Utama
Tingkat 2
Komponen SWOT
Tingkat 3
Kriteria
Alternatif
Strategi
Alternatif
Strategi
Alternatif
Strategi
Alternatif
Strategi
Tingkat 4
Alternatif Strategi
Gambar 9 Hirarki analisis A’WOT pengendalian longsor Kabupaten Bogor
Bahan dan data yang digunakan dalam analisis A’WOT merupakan hasil
perbandingan berpasangan berdasarkan pendapat para ahli. Responden ahli
ditetapkan berdasarkan purposive sampling yang mewakili unsur Praktisi/Pejabat
Kabupaten Bogor yang mengetahui kondisi lokasi penelitian. Nilai skor yang
diperoleh dari pendapat para ahli diolah dengan menggunakan Software Expert
Choice 2000.
Selanjutnya dengan hasil yang diperoleh dari teknik analisis AHP,
kemudian dihitung bobot dari masing-masing unsur SWOT. Setelah masing-
masing unsur SWOT diketahui nilainya, maka unsur-unsur tersebut dihubungkan
keterkaitannya untuk memperoleh beberapa strategi (SO, ST, WO, WT).
Pembobotan unsur-unsur SWOT dapat dilihat pada Tabel 14.
Strategi pada matriks hasil analisis SWOT dihasilkan dari penggunaan dan
penggabungan unsur-unsur kekuatan untuk mendapatkan peluang (SO),
penggunaan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman yang akan datang
(ST), pengurangan kelemahan yang ada dengan memanfaatkan peluang yang ada
30
(WO) dan pengurangan kelemahan yang ada untuk menghadapi ancaman yang
akan datang (WT). Matrik strategi analisis SWOT dapat dilihat pada Tabel 15.
Penentuan prioritas strategi dilakukan dengan penjumlahan bobot yang
berasal dari keterkaitan unsur-unsur SWOT yang terdapat dalam rumusan strategi.
Kemudian jumlah bobot tersebut diurutkan/ranking. Urutan/ranking tertinggi
merupakan prioritas strategi untuk pengendalian longsor untuk memaksimalkan
pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor. Format perhitungan urutan/ranking
strategi pengendalian longsor dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 10 Pembobotan unsur-unsur SWOT berdasarkan analisis AHP
Unsur Bobot Bobot Hasil Analisis AHP
Kekuatan (Strengths)
S1
S2
S3
Kelemahan (Weaknesses)
W1
W2
W3
Peluang (Opportunities)
O1
O2
O3
Ancaman (Threats)
T1
T2
T3
Tabel 11 Matriks strategi hasil analisis SWOT
Eksternal
Internal
Peluang (Opportunity)
-
-
n
Ancaman (Threats)
-
-
n
Kekuatan (Strenght)
-
-
N
(SO)-1
(SO)-2
(SO)-n
(ST)-1
(ST)-2
(ST)-n
Kelemahan (Weaknesses)
-
-
N
(WO)-1
(WO)-2
(WO)-n
(WT)-1
(WT)-2
(WT)-n
31
Tabel 12 Urutan/ranking strategi pengendalian longsor
Unsur SWOT Keterkaitan Jumlah Bobot Ranking
Strategi SO
SO1
SO2
S1,S2,Sn,O1,O2,On
S1,S2,Sn,O1,O2,On
Strategi ST
ST1
ST2
S1,S2,Sn,T1,T2,Tn
S1,S2,Sn,T1,T2,Tn
Strategi WO
WO1
WO2
W1,W2,Wn,O1,O2,On
W1,W2,Wn,O1,O2,On
Strategi WT
WT1
WT2
W1,W2,Wn,T1,T2,Tn
W1,W2,Wn,T1,T2,Tn
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Karakteristik Fisik Wilayah Penelitian
Curah Hujan
Curah hujan di suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim,
posisi geografis, dan perputaran/pertemuan arus udara. Curah hujan merupakan
salah satu pemicu terjadinya tanah longsor (Kawamoto et al. 2000). Tingginya
intensitas curah hujan dapat menambah beban pada lereng sebagai akibat
peningkatan kandungan air dalam tanah, yang pada akhirnya memicu terjadinya
longsoran (Huan dan Lin 2002). Secara klimatologis, wilayah Kabupaten Bogor
termasuk ke dalam iklim tropis sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis
basah di bagian utara dengan rata-rata curah hujan tahunan 2 500 – 5 000
mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur
dengan curah hujan kurang dari 2 500 mm/tahun. Suhu rata-rata di wilayah
Kabupaten Bogor adalah 20° - 30°C dengan rata-rata tahunan sebesar 25°C.
Kelembaban udara 70% dan kecepatan angin cukup rendah dengan rata–rata
1.2 m/detik, adapun evaporasi di daerah terbuka rata– rata sebesar 146.2
mm/bulan. Persebaran curah hujan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar
10.
Berdasarkan peta tersebut, curah hujan paling dominan di Kabupaten Bogor
yaitu 3 500–4 000 mm/th seluas 89 577 ha atau 29.98%. Luasan wilayah dengan
curah hujan ≤3 000 mm/th seluas 56 777 ha atau 17.51%. Hal ini menunjukkan
Kabupaten Bogor mempunyai kondisi wilayah dengan curah hujan tinggi
sehingga rawan terhadap longsor. Kondisi luasan sebaran curah hujan di
Kabupaten Bogor dijelaskan pada Gambar 11.
32
Gambar 10 Sebaran Curah Hujan Kabupaten Bogor
Gambar 11 Luas (ha) dan persentase (%) sebaran curah hujan di Kabupaten Bogor
Lereng
Kemiringan lereng dalam penelitian ini dibuat dari Citra SRTM resolusi
90 m. Kelas kemiringan lereng dibedakan menjadi 5 kelas, yaitu kelas kemiringan
lereng 0%-8% (datar hingga landai), kelas kemiringan lereng 8%-15% (agak
curam), kelas kemiringan lereng 15%-30% (curam), kelas kemiringan lereng
30%-45% (sangat curam), dan kelas kemiringan lereng di atas 45% (terjal).
Kondisi kemiringan lereng di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 12.
<2500 mm/th
2500-3000 mm/th
3000-3500 mm/th
3500-4000 mm/th
4000-5000 mm/th
>5000 mm/th
Curah Hujan
74 376 ha; 24.89%
61 390 ha;
20.54%
89 577 ha; 29.98%
16 718 ha; 5.59%
35 626 ha:
11.92%
21 151 ha;
7.08%
33
Gambar 12 Kemiringan Lereng Kabupaten Bogor
Berdasarkan Gambar 12, dapat diketahui bahwa kemiringan lereng terjal
(>45%) banyak ditemukan di kawasan lereng atas Gunung Pangrango dan
Gunung Salak, adapun kemiringan lereng landai (0 – 8%) berada pada wilayah
sebelah utara Kabupaten Bogor.
Gambar 13 Luas (ha) dan persentase (%) kemiringan lereng di Kabupaten Bogor
Berdasarkan Gambar 13, luas wilayah tertinggi berada pada kelas
kemiringan landai yaitu 130 944 ha atau 43.82% dan luas wilayah terendah berada
pada kelas kemiringan terjal dengan lereng >45% yaitu 9 820 ha atau 3.29%.
0 - 8 %
8 - 15 %
15 - 30 %
30 - 45 %
> 45 %
130 944 ha; 43.82%
Kemiringan
lereng
69 967 ha; 23.41%
53 314 ha; 17.84 ha
34 793 ha;
11.64%
9 820 ha;
3.29%
34
Kemiringan dan panjang lereng adalah dua unsur topografi yang paling
berpengaruh terhadap longsor. Unsur lain yang mungkin berpengaruh adalah
konfigurasi, keseragaman dan arah lereng. Makin curam lereng makin besar
kemungkinan gerakan tanah dari atas ke bawah lereng ( Arifin et al. 2006)
Geologi
Kabupaten Bogor sebagian dibentuk oleh produk batuan tua dari batuan
sedimen yang berumur tersier. Bagian selatan wilayah Kabupaten Bogor ditutupi
oleh batuan gunungapi muda yang berumur kuarter yang secara fisiografi berada
pada daerah perbatasan antara Zona Bogor dan Zona Bandung.
Struktur
Peta
geologi Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Geologi Kabupaten Bogor
35
Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa Kabupaten Bogor sebagian besar
terdiri dari batuan vulkanik yaitu berupa batuan gunung api muda seluas 142 339
ha atau 47.63% dari seluruh luas Kabupaten Bogor dan luasan terkecil merupakan
batu gamping yaitu 7 319 ha atau 2.45%.
Gambar 15 Luas (ha) dan persentase (%) sebaran geologi di Kabupaten Bogor
Tanah
Kabupaten Bogor memiliki tanah yang sebagian besar terbentuk dari
pelapukan batuan vulkanik yang biasanya lebih rawan longsor apabila disirami air
hujan dengan intensitas cukup tinggi. Jenis tanah di Kabupaten Bogor terdiri dari
17 satuan tanah, adapun satuan tanah terluas yaitu jenis assosiasi latosol merah
latosol coklat kemerahan dengan luas 60 983 ha atau ±20.41%, sedangkan satuan
tanah terkecil jenis assosiasi andosol regosol dengan luas 2 988 ha atau ±1.00%.
Kondisi satuan tanah di wilayah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 16
dan Tabel 13.
Gambar 16 Sebaran Satuan Tanah Kabupaten Bogor
Batu gamping
Batuan intrusi
Batuan tersier
Endpn permukaan
Gunung api muda
Gunung api tua
142 339 ha; 47.63%
Geologi 49 021 ha;
16.40%
71 545 ha; 23.94%
20 195 ha; 6.76%
8 418ha; 2.82% 7 319ha; 2.45%
36
Tabel 13 Sebaran Luasan Satuan Tanah
No Tanah Luas (ha) %
1 Aluvial 9 458 3.17
2 Grumosol 15 853 5.30
3 Andosol 3 342 1.12
4 Regosol 7 473 2.50
5 Assosiasi andosol regosol 2 988 1.00
6 Assosiasi latosol coklat latosol coklat kekuningan 9 599 3.21
7 Assosiasi latosol coklat latosol coklat kemerahan 29 703 9.94
8 Assosiasi latosol merah latosol coklat kemerahan 60 983 20.41
9 Komp latosol merah kekuningan latotsol coklat kemerahan dan litosols 44 894 15.02
10 Assosiasi latosol coklat regosol 15 831 5.30
11 Latosol 12 738 4.26
12 Latosol coklat 25 939 8.68
13 Podsolik kuning 11 845 3.96
14 Podsolik merah 9 672 3.24
15 Podsolik merah kekuningan 21 628 7.24
16 Assosiasi podsolik kuning hidromorf kelabu 4 268 1.43
17 Komp podsolik merah kekuningan podsolik merah kekuningan 12 625 4.22
Penggunaan Lahan Eksisting
Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2013 dari Bappeda kemudian dan
hasil interpretasi dari Google Earth 2015, jenis penggunaan lahan yang ada di
Kabupaten Bogor terdiri dari hutan, kawasan terbangun, kebun, ladang/tegalan,
sawah, semak belukar/tanah rusak, dan tubuh air seperti terlihat pada Gambar 17.
Gambar 17 Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor
37
Gambar 18 Luas (ha) dan Luas persentase (%) jenis penggunaan lahan di
Kabupaten Bogor
Berdasarkan Gambar 18, penggunaan lahan eksisting paling dominan di
Kabupaten Bogor adalah hutan, yaitu seluas ± 83 296 ha atau sekitar 27.87 % dari
luas daerah penelitian. Hal tersebut karena sebagian wilayah Kabupaten Bogor
merupakan daerah konservasi air yang berfungsi memberikan perlindungan bagi
daerah di sekitarnya seperti Kota Bogor dan DKI Jakarta. Ladang/Tegalan
menempati luasan kedua yaitu 83 181 ha atau sekitar 27.83%. Luasan Sawah
59377 ha atau sekitar 19.87%. Luas kawasan terbangun yang meliputi
permukiman, perkantoran dan lain-lain yaitu 52 304 ha atau sekitar 17.50%.
Wilayah perkebunan mempunyai luas 16 859 ha atau sekitar 5.64%. Daerah tubuh
air eksisting mempunyai luas 2 404 ha atau sekitar 0.80% dan terakhir luasan
paling kecil diisi oleh semak belukar/tanah rusak yaitu 1 417 ha atau sekitar
0.47%.
Rencana Tata Ruang Wilayah
Kebijakan RTRW Provinsi Jawa Barat yang terkait terhadap pola ruang
Kabupaten Bogor dalam arahan rencana pengembangan kawasan andalan di Jawa
Barat, Kabupaten Bogor diklasifikasikan sebagai Kawasan Andalan Bogor Depok
Bekasi (Bodebek) dengan kegiatan utama industri, pariwisata, jasa, dan
sumberdaya manusia; dan Kawasan Andalan Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur)
dengan kegiatan utama agribisnis dan pariwisata.
Berdasarkan Peta RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, Kabupaten
Bogor memiliki 17 peruntukan lahan yang terbagi ke dalam dua tipe kawasan,
yaitu :
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam
dan sumberdaya buatan. Peruntukan lahan yang termasuk di dalam kawasan
lindung adalah kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung, dan
kawasan hutan produksi.
Hutan
Kawasan terbangun
Kebun
Ladang/Tegalan
Sawah
Semak belukar
Tubuh air
Penggunaan Lahan
83 181 ha; 27.83%
16 859 ha; 5.64%
52 304 ha; 17.50%
83 296 ha; 27.87% 59 377 ha; 19.87%
2 404 ha; 0.80% 1 417 ha; 0.47%
38
Kawasan budidaya merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Peruntukan lahan yang
termasuk kawasan budidaya, yaitu kawasan perkebunan, kawasan pertanian
lahan kering, kawasan tanaman tahunan, kawasan permukiman perkotaan
(hunian rendah), kawasan permukiman perkotaan (hunian sedang), kawasan
permukiman perdesaan (hunian rendah), dan kawasan permukiman
perdesaan (hunian jarang).
Berdasarkan pengertian pada Perda Kabupaten Bogor No. 19/2008
(Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor 2008b) tentang RTRW Kabupaten Bogor
tahun 2005- 2025, Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan
utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan permukiman perdesaan di luar
kawasan yang berfungsi lindung, adalah kawasan untuk permukiman/hunian
kepadatan rendah yang mendukung kegiatan jasa perdagangan dan industri
berbasis bahan baku lokal dan berorientasi tenaga kerja. Kawasan permukiman
perdesaan yang berada didalam kawasan lidung di luar kawasan hutan diarahkan
untuk hunian kepadatan rendah (jarang), bangunan yang tidak memiliki beban
berat terhadap tanah, dan memiliki keterkaitan dengan aktivitas masyarakat desa
maupun terhadap potensi lingkungannya (pertanian, peternakan, kehutanan,
pariwisata/agrowisata). Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai
kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan permukiman perkotaan
kepadatan sedang diarahkan untuk permukiman/hunian sedang, industri berbasis
tenaga kerja non polutan, jasa, dan perdagangan. Kawasan permukiman perkotaan
kepadatan rendah merupakan kawasan permukiman perkotaan yang berada dalam
kawasan lindung di luar kawasan hutan, yang diarahkan untuk hunian rendah
sampai sangat rendah/jarang, merupakan bangunan tunggal, yang berorientasi
terhadap lingkungannya (pertanian, peternakan dan perikanan, kehutanan,
agrowisata dan pariwisata) melalui rekayasa teknologi dan serta bangunan yang
tidak memiliki beban berat terhadap tanah. Kawasan Pertanian Lahan Kering
(LK) dapat berupa sawah tadah hujan dan lahan yang tidak berpengairan irigasi.
Sebaran penggunaan lahan sesuai pola ruang RTRW Kabupaten Bogor
2005-2025 disajikan pada Gambar 19.
39
Gambar 19 Pola Ruang Kabupaten Bogor
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis dan Pemetaan Bahaya Longsor
Analisis Faktor
Pengambilan titik sampel kejadian longsor di lapangan dilakukan bertujuan
untuk mencari determinan faktor penyebab terjadinya longsor dengan
menggunakan analisis faktor. Data kondisi lengkapnya didapat setelah
menggabungkan data titik longsor dengan kondisi sebaran curah hujan, lereng,
geologi dan satuan tanah. Hasil analisis antara jumlah kejadian longsor dengan
faktor penyebab longsor di setiap lokasi kejadian longsor dapat dilihat pada Tabel
14, sedangkan sebaran titik survey disajikan pada Gambar 20.
Tabel 14 Frekuensi kejadian longsor menurut kelas faktor-faktor penyebab
longsor
Faktor penyebab longsor Jumlah kejadian longsor
1 2 3 4 5 Curah Hujan 28 16 Lereng 15 17 10 2 Penggunaan lahan 8 3 33 Tanah 10 34 Geologi 2 42
Keterangan : 1, 2, 3, 4 dan 5 adalah kelas parameter yang digunakan untuk penetapan bahaya
longsor
40
Gambar 20 Sebaran Titik Kejadian Longsor Hasil Survey
Tabel 14 memperlihatkan bahwa jumlah kejadian longsor ternyata banyak
terjadi pada wilayah dengan curah hujan kelas 4 (basah) atau curah hujan 2 500 -
3 000 mm/th dan kelas 5 (sangat basah) atau curah hujan >3 000 mm/th. Kejadian
longsor hanya terjadi pada daerah-daerah dengan curah hujan tinggi atau minimal
2 500 mm/th, sementara pada wilayah dengan curah hujan < 2 500 mm/th tidak
ada kejadian longsor. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan berkorelasi
terhadap kejadian longsor, makin tinggi curah hujan makin tinggi potensi kejadian
longsor.
Berdasarkan kondisi lereng, kejadian longsor banyak terjadi pada wilayah
dengan kelas lereng 2 (8 – 15%), sedangkan pada kelas lereng curam > 45% tidak
ada kejadian longsor. Hal ini dikarenakan pada kondisi lereng curam biasanya
tutupan lahan masih berupa hutan sehingga kecil kemungkinan terjadi longsor,
sedangkan pada lereng rendah terdapat banyak kegiatan manusia yang banyak
melakukan pemotongan lereng lokal sehingga mengakibatkan longsor.
Penggunaan lahan pada titik longsor yang di survey sebagian besar berada
pada kelas 5 yaitu merupakan kawasan terbangun atau daerah permukiman dan
jalan. Keadaan ini menunjukkan bahwa pembangunan di atas suatu tanah dapat
memberi beban sehingga bisa membuat tanah tidak stabil dan longsor.
Dalam kaitannya dengan kondisi tanah, hasil survey menunjukkan bahwa
sebagian besar titik longsor berada pada kelas 5 yang mempunyai arti bahwa
kejadian longsor banyak terjadi pada tanah-tanah podsolik dan regosols. Adapun
untuk faktor geologi, titik-titik longsor banyak terjadi pada kelas 5 yang
menunjukkan bahwa titik longsor banyak terjadi pada batuan vulkanik. Hasil
analisis faktor dari data longsor yang diperoleh dari lapangan dapat dilihat pada
Tabel 15.
41
Tabel 15 Total Variance Explained
Component
Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared
Loadings
Total % of
Variance
Cumulative
% Total
% of
Variance
Cumulative
%
1 1.920 38.404 38.404 1.920 38.404 38.404
2 1.064 21.272 59.675 1.064 21.272 59.675
3 0.959 19.189 78.865
4 0.662 13.236 92.100
5 0.395 7.900 100.00
Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa komponen yang memiliki nilai
eigen value di atas 1 adalah komponen 1 dan komponen 2. Artinya bahwa untuk
kasus ini, 5 peubah yang ada dapat direduksi menjadi 2 faktor saja berdasarkan
kemiripannya. Dalam hal ini komponen (faktor) 1 mewakili 38.404% dari
keragaman terjadinya longsor, sedangkan faktor 2 hanya mewakili 21.272%
keragaman terjadinya longsor. Kecilnya keragaman yang dapat dijelaskan oleh
kedua faktor tersebut mengindikasikan bahwa peubah bebas ini tidak memberikan
pengaruh yang cukup besar terhadap terjadinya longsor. Hasil determinan dari 2
faktor yang mempunyai nilai eigen value di atas 1 dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Hasil komponen parameter
Parameter Component
1 2
Curah hujan 0.800 0.068
Tanah 0.720 -0.069
Penggunaan lahan 0.573 0.203
Geologi 0.232 0.861
Lereng -0.616 0.521
Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa komponen 1 terdiri dari curah hujan,
tanah, dan penggunaan lahan, sedangkan komponen 2 terdiri dari geologi dan
lereng. Angka-angka pada tabel tersebut menunjukkan suatu korelasi antara
peubah bebas dengan proses terjadinya longsor. Oleh karena itu parameter
penyebab longsor yang terpilih secara berurutan adalah curah hujan, tanah,
penggunaan lahan, geologi, dan lereng.
Pemetaan Suseptibilitas Longsor (Landslide Susceptibility Mapping)
Peta suseptibilitas longsor menjelaskan tentang kondisi fisik Kabupaten
Bogor yang rawan longsor sebelum adanya pengaruh dari penggunaan lahan.
Dalam penelitian ini untuk wilayah yang memiliki kemiringan lereng 0-8%
dengan ketinggian ≤150 m diklasifikasikan dalam tingkat suseptibilas rendah
karena diasumsikan tidak ada kejadian longsorr sehingga dianggap mempunyai
skor 0.
Hasil analisis faktor selanjutnya digunakan untuk pembobotan parameter
suseptibilitas longsor dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 17.
42
Tabel 17 Pembobotan parameter suseptibilitas longsor
Parameter Penentu Kepentingan (rj) (n-rj + 1) Bobot Normalisasi (wj)
Curah hujan
Tanah
Geologi
Lereng
1
2
3
4
4
3
2
1
0.40
0.30
0.20
0.10
Berdasarkan hasil perhitungan bobot seperti tersebut diatas, maka
selanjutnya diperoleh persamaan untuk suseptibilitas longsor sebagai berikut:
Suseptibilitas Longsor = 40%SCH + 30% ST + 20% SG + 10% SL
Keterangan :
SCH : Skor Curah Hujan
ST : Skor Tanah
SG : Skor Geologi
SL : Skor Lereng
Kelas suseptibilitas longsor kemudian dikelompokkan ke dalam 5 (lima)
kelas, dengan perhitungan nilai interval kelas dijelaskan dalam Lampiran 4.
Klasifikasi suseptibilitas longsor berdasarkan nilai interval disajikan dalam Tabel
18 dan hasil analisis selanjutnya memperlihatkan sebaran suseptibilitas longsor
seperti tersaji pada Gambar 21.
Tabel 18 Klasifikasi kelas suseptibilitas longsor
Kelas Suseptibilitas Longsor Nilai
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
100 – 160
160 – 220
220 – 280
280 – 340
340 – 400
Gambar 21 dan Gambar 22, terlihat bahwa dengan model ini Kabupaten
Bogor memiliki kelas suseptibilitas longsor bervariasi, dari kelas rendah sampai
dengan kelas sangat tinggi, sedangkan untuk kelas sangat rendah tidak ada. Luas
wilayah tertinggi berada pada kelas suseptibilitas longsor rendah, yaitu seluas
±100 662 ha atau 33.68% dari luas keseluruhan Kabupaten Bogor, kemudian kelas
suseptibilitas longsor sangat tinggi ±94 951 ha atau 31.77%, kelas suseptibilitas
longsor tinggi ±90 404 ha atau 30.25%, dan kelas suseptibilitas longsor sedang
±12 821 ha atau 4.29%.
43
Gambar 21 Sebaran Suseptibilitas Longsor di Kabupaten Bogor
Gambar 22 Luas (ha) dan persentase (%) kelas suseptibilitas Kabupaten Bogor
Pemetaan Bahaya Longsor (Landslide Hazard Mapping)
Parameter yang digunakan untuk analisis dan pemetaan bahaya longsor
meliputi: curah hujan, jenis tanah, penggunaan lahan eksisting, jenis batuan dan
jenis lereng. Dalam penelitian ini untuk wilayah yang memiliki kemiringan lereng
0-8% dengan ketinggian ≤150 m diklasifikasikan dalam tingkat suseptibilas
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Kelas
Suseptibilitas
94 951 ha; 31.77% 100 662 ha; 33.68%
90 404 ha; 30.25% 12 821 ha;
4.29%
44
rendah karena diasumsikan tidak ada kejadian longsorr sehingga dianggap
mempunyai skor 0.
Pembuatan peta bahaya (hazard) longsor dilakukan dengan menggunakan
teknik overlay yang meliputi peta-peta curah hujan, peta jenis tanah, peta
penggunaan lahan eksisting, peta geologi dan peta lereng. Overlay dilakukan
dengan memasukkan pembobotan hasil analisis faktor. Nilai pembobotan yang
digunakan untuk pembuatan peta bahaya longsor dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Pembobotan parameter penyebab bahaya longsor
Parameter Penentu Kepentingan (rj) (n-rj + 1) Bobot Normalisasi (wj)
Curah hujan
Jenis Tanah
Penggunaan lahan
Geologi
Lereng
1
2
3
4
5
5
4
3
2
1
0.33
0.27
0.20
0.13
0.07
Berdasarkan hasil perhitungan bobot seperti tersebut di atas, maka diperoleh
persamaan untuk bahaya longsor sebagai berikut:
Bahaya Longsor = 33%SCH + 27%ST + 20%SPL + 13%SG + 7%SL
Keterangan :
SCH : Skor Curah Hujan
ST : Skor Tanah
SPL : Skor Penggunaan Lahan
SG : Skor Geologi
SL : Skor Lereng
Kelas bahaya longsor dikelompokkan ke dalam 5 (lima) kelas, dengan
perhitungan nilai interval dijelaskan dalam Lampiran 5. Klasifikasi bahaya
longsor berdasarkan nilai interval disajikan dalam Tabel 20 dan hasil analisis
selanjutnya memperlihatkan sebaran bahaya longsor seperti tersaji pada Gambar
23.
Tabel 20 Klasifikasi kelas bahaya longsor
Kelas Bahaya Longsor Nilai
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
1.00 – 1.64
1.64 – 2.28
2.28 – 2.92
2.92 – 3.56
3.56 – 4.20
45
Gambar 23 Sebaran Bahaya Longsor Kabupaten Bogor
Gambar 24 Luas (ha) dan persentase (%) kelas bahaya longsor Kabupaten Bogor
Gambar 23 dan Gambar 24, terlihat bahwa dengan model ini Kabupaten
Bogor memiliki kelas bahaya longsor bervariasi, dari kelas rendah sampai dengan
kelas sangat tinggi. Kelas bahaya longsor yang tergolong rendah mendominasi
Kabupaten Bogor dengan cakupan area ±100 662 ha atau 33.68% dari luas
keseluruhan Kabupaten Bogor, kemudian kelas bahaya longsor tinggi ±98 533 ha
atau 32.97%, kelas bahaya longsor sangat tinggi ±54 606 ha atau 18.27%, dan
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
Kelas Bahaya 100 662 ha; 33.68%
98 532 ha; 32.97%
45 037 ha; 15.07%
54 608 ha; 18.27%
46
kelas bahaya longsor sedang ±45 038 ha atau 15.07%. Daerah dengan bahaya
longsor rendah berada pada bagian utara Kabupaten Bogor.
Tingkat Bahaya Longsor menurut kecamatan
Tingkat bahaya longsor menurut kecamatan di Kabupaten Bogor diperoleh
melalui proses tumpang tindih (overlay) antara peta bahaya longsor dengan peta
administrasi kecamatan. Luas kelas bahaya longsor pada masing-masing
kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 21.
Dari Tabel 21 terlihat bahwa Kabupaten Bogor merupakan daerah yang
mempunyai bahaya longsor dengan kelas bahaya rendah sampai dengan sangat
tinggi, dengan luasan tertinggi pada kelas bahaya tinggi. Kondisi demikian perlu
diwaspadai karena kecenderungan dari masyarakat maupun pemerintah masih
tampak kurang menaruh perhatian terhadap berbagai jenis kegiatan yang
dilakukan di area kelas bahaya tinggi. Hal ini perlu diwaspadai agar tidak terjadi
perubahan kelas bahaya dari kelas tinggi menjadi kelas bahaya sangat tinggi. Atau
dengan kata lain terjadi penurunan luas kelas bahaya sedang namun meningkatnya
luas kelas bahaya tinggi atau sangat tinggi.
Kelas bahaya longsor rendah di Kabupaten Bogor mempunyai luas
±100 662 ha atau sekitar 33.68% dari luas keseluruhan daerah penelitian,
dan kecamatan yang memiliki kelas bahaya longsor rendah yang luasannya
terbesar adalah Kecamatan Jasinga, dengan luas ±9 284 ha.
Kelas bahaya longsor sedang di Kabupaten Bogor mempunyai luas
± 45 037 ha atau sekitar 15.07% dari luas keseluruhan daerah penelitian,
dan kecamatan yang memiliki kelas bahaya longsor sedang yang
luasannya terbesar adalah Kecamatan Tanjungsari, dengan luas ±6 908 ha.
Kelas bahaya longsor tinggi di Kabupaten Bogor mempunyai luas
±98 533 ha atau sekitar 32.97 % dari luas keseluruhan daerah penelitian,
dan kecamatan yang memiliki kelas bahaya longsor tinggi yang luasannya
terbesar adalah Kecamatan Cigudeg, dengan luas ±9 102 ha.
Kelas bahaya longsor sangat tinggi di Kabupaten Bogor mempunyai luas
±54 606 ha atau sekitar 18.27% dari luas keseluruhan daerah penelitian,
dan kecamatan yang memiliki kelas bahaya longsor sangat tinggi yang
luasannya terbesar Kecamatan Sukajaya, dengan luas ± 6 332 ha.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Kecamatan Cigudeg dan
Kecamatan Sukajaya perlu mendapatkan perhatian utama untuk bahaya longsor di
Kabupaten Bogor.
47
Tabel 21 Luas Wilayah berdasarkan kelas bahaya longsor eksisting pada masing-
masing kecamatan
Kecamatan Kelas Bahaya (ha)
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Babakan Madang 170 2 812 4 091 2 296
Bojong Gede 2 805 - 30 -
Caringin - 3 375 4 391 3
Cariu 6 154 1 462 627 201
Ciampea 414 99 2 602 233
Ciawi - 2 092 2 653 11
Cibinong 4 151 1 523 -
Cibungbulang 301 92 3 466 38
Cigombong - 1 096 1 779 1 867
Cigudeg 4 638 143 9 102 4 073
Cijeruk - 10 2 459 2 319
Cileungsi 6 998 - - -
Ciomas - - 644 1 192
Cisarua - 3 415 3 580 16
Ciseeng 4 135 - - -
Citeureup 2 301 160 3 982 507
Dramaga 59 73 1 615 810
Gunung Putri 6 082 - - -
Gunung Sindur 4 396 - - -
Jasinga 9 284 4 1 918 3 107
Jonggol 6 917 197 3 107 3 270
Kemang 2 332 97 948 1
Klapanunggal 4 736 15 3 703 1 229
Leuwiliang 7 3 257 3 277 2 613
Leuwisadeng - 92 936 2 562
Megamendung - 2 410 3 900 23
Nanggung - 6 682 5 046 4 218
Pamijahan - 421 6 044 5 909
Parung 2 902 - - -
Parungpanjang 7 138 - - -
Rancabungur 1 583 33 642 20
Rumpin 9 069 121 3 311 1 247
Sukajaya - 4 954 4 361 6 332
Sukamakmur 33 4 985 7 666 4 535
Sukaraja 107 23 3 735 472
Tajurhalang 3 284 - - -
Tamansari - - 1 168 2 312
Tanjungsari 2 353 6 908 5 757 468
Tenjo 8 312 - - -
Tenjolaya - 5 1 469 2 720
Jumlah 100 662 45 037 98 533 54 606
Persentase 33.68% 15.07% 32.97% 18.27%
48
Verifikasi Peta Bahaya Longsor
Verifikasi peta bahaya longsor dilakukan untuk melihat akurasi peta dengan
menggunakan data kejadian longsor yang digabungkan dengan peta bahaya
longsor untuk mencari r square dari hubungan tersebut. Verifikasi dilakukan
dengan memplot kelas bahaya longsor dengan density. Hasil verifikasi peta
bahaya longsor eksisting disajikan dalam Tabel 22 dan Gambar 25.
Tabel 22 Perhitungan validasi peta bahaya longsor
No Kelas Bahaya Luas (ha) (L) titik longsor
(n)
density
(n/L)x10000
1 Sangat rendah 0 0 0
2 Rendah 100 662 17 1.7
3 Sedang 45 038 33 7.3
4 Tinggi 98 533 66 6.7
5 Sangat tinggi 54 606 36 6.6
Gambar 25 Grafik hubungan antara titik longsor dengan kelas bahaya longsor
eksisting
Hasil verifikasi peta bahaya longsor dengan titik longsor yang sudah terjadi
menggunakan model linier menghasilkan r square 0.710. Dengan nilai r square
demikian maka peta bahaya longsor hasil penelitian dianggap cukup baik
sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk pertimbangan arahan perbaikan
pola ruang.
Analisis Risiko Longsor
Kerentanan
Kerentanan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan penggunaan lahan
eksisting untuk menilai seberapa besar kerugian yang dialami masyarakat baik
berupa jiwa ataupun harta benda dengan kriteria skoring seperti disajikan pada
y = 1.5476x
R² = 0.7101
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 1 2 3 4 5
den
sity
(1/1
00
km
2)
Kelas Bahaya Longsor
49
Tabel 5. Harta benda bisa berupa bangunan ataupun sawah, ladang dan
perkebunan. Hasil analisis kerentanan masyarakat dengan menggunakan
penggunaan lahan eksisting dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26 Sebaran kerentanan dengan menggunakan penggunaan lahan
Gambar 26 menjelaskan tentang kondisi kerentanan terhadap longsor di
Kabupaten Bogor. Peta kerentanan memperlihatkan bahwa sebagian besar
kerentanan masih dalam keadaan rendah dan sangat rendah, hal ini disebabkan
sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor masih berupa hutan. Penggunaan lahan
berupa hutan diasumsikan mempunyai kerentanan sangat rendah karena secara
lingkungan juga berfungsi sebagai kawasan lindung, secara fisik minimnya
saranan prasarana, secara ekonomi juga sangat rendah karena tidak ada manusia
yang tinggal di hutan sehingga kerugian jiwa dan harta kemungkinan kecil terjadi
jika terjadi longsor.
Kapasitas
Penentuan kapasitas untuk menggambarkan kondisi wilayah dalam
mengurangi kerentanan menggunakan data penggunaan lahan eksisting dengan
kriteria skoring seperti disajikan pada Tabel 6. Hasil analisis kapasitas dengan
menggunakan penggunaan lahan eksisting dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27 menjelaskan tentang kapasitas terhadap longsor di Kabupaten
Bogor. Peta kapasitas memperlihatkan bahwa sebagian besar dalam keadaan
sangat tinggi, hal ini disebabkan sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor masih
berupa hutan. Penggunaan lahan berupa hutan diasumsikan mempunyai kapasitas
sangat tinggi karena diasumsikan bahwa hutan mempunyai kemampuan untuk
50
meminimalkan longsor dengan tutupan vegetasi dan perakaran yang kuat untuk
menahan tanah longsor.
Gambar 27 Sebaran kapasitas dengan menggunakan penggunaan lahan
Risiko Longsor
Pembuatan peta risiko longsor mengacu pada rumusan Peraturan Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana nomor 02 Tahun 2012 (BNBP 2012)
tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana sebagai berikut :
R = HxV/C
Dimana :
R : Disaster Risk : Risiko Bencana H : Hazard : Bahaya
V : Vurnerabilty : Kerentanan C : Capacity : Kapasitas
Berdasarkan rumusan tersebut, peta risiko longsor dibuat berdasarkan
operasi tumpang tindih (overlay) antara peta bahaya longsor, peta kerentanan dan
peta kapasitas. Hasil analisis risiko longsor dapat dilihat pada Gambar 28 dan 29.
Dari Gambar 28 dan Gambar 29, terlihat bahwa Kabupaten Bogor memliki
kelas risiko longsor bervariasi, dari kelas sangat rendah sampai kelas sangat tinggi.
Kelas risiko longsor yang tergolong rendah mendominasi Kabupaten Bogor
dengan cakupan area ± 167 199 ha atau 55.95% dari luas keseluruhan Kabupaten
Bogor, kemudian kelas risiko sangat rendah ± 110 230 ha atau 36.89%, kelas
risiko tinggi ± 13 205 ha atau 4.42%, dan kelas risiko sangat tinggi ± 8 203 ha
atau 2.74%. Kelas risiko sedang mempunyai luasan mendekati 0.
51
Gambar 28 Sebaran risiko longsor di Kabupaten Bogor
Gambar 29 Luas (ha) dan persentase (%) kelas risiko longsor Kabupaten Bogor
Sebaran risiko di Kabupaten Bogor yang didominasi kelas rendah karena
tutupan lahan sebagian besar masih berupa hutan sehingga mempunyai kerentanan
sangat rendah dan kapasitas sangat tinggi.
sangat rendah
rendah
tinggi
sangat tinggi
Kelas Risiko
167 199 ha; 55.95%
110 230 ha; 36.89%
8 203 ha; 2.74% 13 205 ha;
4.42%
52
Arahan Penataan Ruang
Rumusan arahan penataan ruang sebagai upaya untuk menekan dampak dari
bencana longsor dianalisis dengan melihat keterkaitan antara penataan ruang
dengan sebaran daerah bahaya longsor, pola penggunaan lahan, dan sebaran
daerah risiko longsor. Target penataan ruang ditujukan agar semua area
Kabupaten Bogor masuk dalam kondisi risiko longsor sedang. Arahan penataan
ruang tersebut yang dapat diusulkan kepada Pemerintah Daerah setempat meliputi
tiga aspek, yaitu arahan untuk perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Arahan penataan ruang menggunakan analisis
A’WOT dengan mempertimbangkan 3 hal, yaitu : (1) keterkaitan antara penataan
ruang dengan sebaran bahaya longsor, (2) keterkaitan antara penataan ruang
dengan inkonsistensi penggunaan lahan, dan (3) keterkaitan antara penataan ruang
dengan sebaran risiko longsor.
1. Keterkaitan antara Penataan Ruang dengan Sebaran Bahaya Longsor
Keterkaitan ini dapat digambarkan berdasarkan hasil operasi tumpang tindih
(SIG) antara peta bahaya longsor dengan peta rencana pola ruang (RTRW).
Berdasarkan hasil tumpang tindih tersebut (Tabel 23) dapat diketahui bahwa
peruntukkan lahan yang dialokasikan dalam peta pola ruang RTRW Kabupaten
Bogor 2005-2025 berada dalam kelas bahaya longsor rendah sampai dengan
sangat tinggi. Beberapa peruntukan-peruntukan lahan yang banyak dihuni atau
untuk aktivitas manusia berada pada kelas bahaya longsor tinggi sampai sangat
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pola ruang RTRW Kabupaten Bogor 2005-
2025 sepertinya belum mempertimbangkan sebaran daerah bahaya longsor.
Tabel 23 Peruntukkan lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025) berdasarkan
kelas bahaya longsor.
Peruntukkan Lahan RTRW
Luas Kelas Bahaya (ha)
Rendah Sedang Tinggi Sangat
Tinggi
Danau 194 6 14 0
Waduk 25 7 135 542
Kawasan Hutan Konservasi 0 20 427 19 115 2 061
Kawasan Hutan Lindung 0 6 861 1 546 25
Kawasan Hutan Produksi 7 626 3 289 7 741 1 074
Kawasan Hutan Produksi Terbatas 340 2 814 9 107 2 879
Zona Industri 3 238 0 23 0
Kawasan Industri 1 664 0 217 0
Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) 1 598 452 2 862 4 291
Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) 9 253 476 5 644 5 465
Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Padat) 33 891 11 2 988 855
Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) 2 206 953 4 789 4 039
Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) 11 474 1 349 10 406 4 495
Kawasan Pertanian Lahan Basah 15 123 670 11 436 12 787
Kawasan Pertanian Lahan Kering 5 623 3 106 11 582 3 359
Kawasan Tanaman Tahunan 5 922 2 256 6 639 11 986
Kawasan Perkebunan 2 483 1 929 3 811 1 655
Kondisi demikian menunjukkan bahwa peruntukkan ruang yang berada di
dalam kelas bahaya longsor sedang sampai dengan sangat tinggi dapat
53
meningkatkan risiko kejadian bencana apabila kondisi kerentanan tinggi dan
kapasitas rendah, hal ini akan membuat kerugian baik kerugian fisik, harta benda,
maupun jiwa/kematian. Untuk itu sebagai upaya menekan dampak kerugian akibat
bencana longsor ini, maka peruntukkan ruang (pola ruang) yang dapat diusulkan
kepada Pemerintah Daerah setempat dengan memperhitungkan sebaran daerah
bahaya longsor disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24 Peruntukkan Lahan RTRW berdasarkan sebaran bahaya longsor
Peruntukkan Lahan RTRW Luas Kelas Bahaya (ha)
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Danau
Waduk
Kawasan Hutan Konservasi
Kawasan Hutan Lindung
Kawasan Hutan Produksi
Kawasan Hutan Produksi Terbatas
Zona Industri
Kawasan Industri
Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang)
Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah)
Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Padat)
Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah)
Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang)
Kawasan Pertanian Lahan Basah
Kawasan Pertanian Lahan Kering
Kawasan Tanaman Tahunan
Kawasan Perkebunan
Boleh dipertahankan sesuai dengan peruntukkan lahan RTRW
Dapat dibangun sesuai peruntukkan lahan RTRW dengan syarat
Tidak layak untuk dibangun jika sesuai dengan peruntukkan lahan RTRW
Keterkaitan antara Penataan Ruang dengan Inkonsistensi Penggunaan
Lahan
Analisis konsistensi penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui
keserasian atau kesesuaian antara penggunaan lahan dengan peruntukkan lahan
(pola ruang) RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025. Analisis dilakukan dengan
operasi tumpang tindih (SIG) antara peta penggunaan lahan eksisting Kabupaten
Bogor dengan peta pola ruang RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025. Pada
peta penggunaan lahan eksisting hasil interpretasi terdiri dari hutan, kebun,
ladang/tegalan, kawasan terbangun, sawah, semak belukar, dan tubuh air,
sedangkan dalam Peta Pola Ruang RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025,
terdiri dari: danau, kawasan hutan konservasi, kawasan hutan lindung, kawasan
hutan produksi, kawasan hutan produksi terbatas, kawasan industri, kawasan
perkebunan, kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering,
kawasan tanaman tahunan, waduk, zona industri, kawasan permukiman perkotaan
(hunian rendah), kawasan permukiman perkotaan (hunian sedang), kawasan
permukiman perkotaan (hunian padat), kawasan permukiman perdesaan (hunian
rendah), dan kawasan permukiman perdesaan (hunian jarang). Dengan demikian
klasifikasi jenis penggunaan lahan yang ada akan disesuaikan dengan
peruntukannya (pola ruang) di RTRW. Gambaran inkonsistensi penggunaan lahan
54
terhadap peruntukkan lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025) dapat dilihat
pada Tabel 25.
Tabel 25 Inkonsistensi penggunaan lahan eksisting dengan peruntukkan lahan
(RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025)
No Peruntukkan Lahan Menurut RTRW Kabupaten
Bogor 2005-2025
Penggunaan
Lahan saat ini
Konsisten RTRW
Penggunaan
Lahan saat ini
Tidak Konsisten
RTRW
Ha % ha %
1 Danau 84 39.44 129 60.56
2 Waduk 13 1.84 693 98.16
3 Kawasan Hutan Konservasi 38 510 90.94 3 835 9.06
4 Kawasan Hutan Lindung 6 623 77.16 1 961 22.84
5 Kawasan Hutan Produksi 12 754 63.70 7 267 36.30
6 Kawasan Hutan Produksi Terbatas 10 767 70.69 4 464 29.31
7 Kawasan Industri 1 864 100.00 - -
8 Zona Industri 3 230 100.00 - -
9 Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) 9 150 100.00 - -
10 Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) 20 694 100.00 - -
11 Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Padat) 37 469 100.00 - -
12 Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) 11 919 100.00 - -
13 Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) 27 548 100.00 - -
14 Kawasan Pertanian Lahan Basah 35 208 88.40 4 622 11.60
15 Kawasan Pertanian Lahan Kering 21 492 91.35 2 035 8.65
16 Kawasan Tanaman Tahunan 24 890 93.26 1 799 6.74
17 Kawasan Perkebunan 9 126 92.94 693 7.06
Total 271 340 90.80 7 497 9.20
Tabel 25 menunjukkan bahwa secara umum penggunaan lahan yang
konsisten dengan peruntukkan lahan (RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025)
adalah seluas ±271 330 ha atau 90.80% dari persentase luas keseluruhan
Kabupaten Bogor, sedangkan yang tidak konsisten sampai saat ini hanya seluas
±27 508 ha atau sekitar 9.20% dari persentase luas Kabupaten Bogor. Jenis
penggunaan lahan yang paling tinggi tingkat konsistensinya terdapat pada
peruntukkan lahan kawasan permukiman perdesaan, perkotaan, kawasan industri
(100%), sedangkan jenis penggunaan lahan yang paling rendah tingkat
konsistensinya atau inkonsisten adalah pada peruntukkan lahan kawasan hutan
produksi (64.68%).
Keterkaitan antara Penataan Ruang dengan Sebaran Risiko Longsor
Keterkaitan ini dapat digambarkan dari hasil operasi tumpang tindih (SIG)
antara peta risiko longsor dengan peta rencana pola ruang (RTRW). Berdasarkan
hasil tumpang tindih tersebut dapat diketahui bahwa peruntukkan lahan yang
dialokasikan dalam peta pola ruang RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025 berada
dalam kelas risiko longsor sangat rendah sampai dengan sangat tinggi (Tabel 26).
55
Tabel 26 Peruntukkan Lahan RTRW berdasarkan sebaran risiko longsor
Peruntukkan Lahan RTRW
Luas Kelas Risiko (ha)
sangat
rendah rendah tinggi
sangat
tinggi
Danau 13 191 6 0
Waduk 92 579 1 26
Kawasan Hutan Konservasi 38 215 2 352 128 272
Kawasan Hutan Lindung 7 612 508 156 24
Kawasan Hutan Produksi 10 454 8 753 126 54
Kawasan Hutan Produksi Terbatas 11 259 3 443 69 342
Zona Industri 15 3 172 7 0
Kawasan Industri 12 1 630 201 0
Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) 1 793 5 952 648 685
Kawasan Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) 2 758 15 218 1 494 998
Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Padat) 719 34 615 1 818 253
Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) 3 505 5 871 1 283 1 148
Kawasan Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) 4 688 17 254 4 125 1 495
Kawasan Pertanian Lahan Basah 5 583 34 572 1 415 1 436
Kawasan Pertanian Lahan Kering 11 605 10 697 1 082 346
Kawasan Tanaman Tahunan 6 982 18 116 301 956
Kawasan Perkebunan 5 056 4 101 343 214
Keberadaan peruntukkan lahan di dalam daerah risiko tinggi dan sangat
tinggi dapat mendatangkan bencana dan menimbulkan banyak kerugian.Untuk
mengurangi tingginya risiko longsor dengan menurunkan tingkat bahaya ataupun
kerentanan dan menigkatkan kapasitas. Hubungan kelas risiko, kelas bahaya,
kelas kerentanan, dan kelas kapasitas untuk menganalisa kelas risiko dapat dilihat
pada Tabel 27.
Tabel 27 Hubungan Kelas Risiko, Kelas Bahaya, Kelas Kerentanan, dan Kelas
Kapasitas
Kelas Risiko Kelas Bahaya Kelas Kerentanan Kelas Kapasitas
Sedang Sedang Sangat Tinggi Sangat rendah Tinggi Sangat Tinggi Tinggi Sangat rendah Tinggi Sangat Tinggi Sangat rendah Tinggi Tinggi Sangat rendah Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat Tinggi Sangat rendah
Arahan pengendalian pemanfaatan ruang dengan Analisa A’WOT
Arahan pengendalian pemanfaatan ruang menggunakan analisis A’WOT.
Metode A’WOT ini dapat merumuskan strategi yang melibatkan pendapat para
pakar (experts) dalam penentuan prioritas strategi yang akan di terapkan. Dengan
demikian, strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan
ruang di Kabupaten Bogor terlepas dari pandangan subjektifitas peneliti.
Para pakar (experts) yang dipilih dalam penyusunan strategi pengembangan
terdiri dari tiga orang praktisi yang berasal dari Badan Penanggulangan Bencana
56
Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor, Badan Perencanaan Daerah (Bappeda)
Kabupaten Bogor, dan Dinas Bina Marga Kabupaten Bogor.
Indentifikasi Faktor Internal dan Eksternal
Penyusunan strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan
pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor diawali dengan identifikasi faktor internal
(kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Faktor
tersebut diperoleh melalui penggalian dan penggabungan informasi dari masing-
masing pihak/pakar (stakeholder/experts) yang nantinya juga dimintai pendapat
dalam menyusun matrik perbandingan berpasangan (pairwise comparison).
Perbandingan berpasangan menggunakan skala perbandingan Saaty (1980).
Identifikasi faktor internal dan eksternal dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 28 Faktor internal dan eksternal pengendalian longsor untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor
Faktor Internal
Kekuatan Kelemahan
1
2
3
Peraturan / regulasi
Ketersediaan sumber dana
pemerintah
Sarana prasarana
1
2
Kodisi fisik wilayah
Kurang optimal pengawasan
pembangunan
Faktor Eksternal
Peluang Ancaman
1
2
3
Meminimalkan longsor
Memaksimalkan penggunaan lahan
Peningkatan sistem koordinasi
1
2
3
Pertambahan penduduk
Kondisi ekonomi wilayah
Kurangnya kesadaran masyarakat
terhadap lingkungan
Faktor internal kekuatan yang mempengaruhi pengendalian longsor untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor terdiri dari 3 faktor.
Faktor yang pertama adalah adanya peraturan / regulasi yang menetapkan tentang
pola ruang Kabupaten Bogor. Untuk memperkuat peraturan pola ruang juga dibuat
peraturan pendukung untuk menjaga penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang.
Adanya peraturan dalam pendirian IMB untuk lokasi yang berada dalam daerah
rawan longsor harus menyertakan rekayasa teknik dalam pembangunan. Selain itu
juga ada ketentuan RTH atau penanaman pohon di setiap pembangunan rumah
untuk menahan tanah lebih mudah longsor. Faktor kekuatan kedua adalah
ketersediaan sumber dana pemerintah yang digunakan untuk menanggulangi
longsor ataupun dengan membuat bangunan pencegah longsor untuk daerah rawan
longsor. Faktor kekuatan ketiga adanya sarana prasarana pendukung untuk
mengendalikan longsor dengan pembuatan papan-papan peringatan bahaya
longsor. Selain itu pemerintah juga menambah taman-taman yang berisi pohon
untuk bisa mengikat tanah supaya tidak mudah longsor.
Faktor internal yang menjadi kelemahan dalam pengendalian longsor untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor dibagi menjadi 2 faktor.
Faktor pertama kondisi fisik wilayah Kabupaten Bogor yang berada di sekitar kaki
pegunungan sehingga mempunyai kondisi fisik pendukung longsor ditambah
curah hujan yang cukup tinggi. Faktor kedua yaitu kurang optimal pengawasan
57
pembangunan. Hal ini terjadi karena luas wilayah Kabupaten Bogor dan jumlah
SDM yang ada tidak sesuai sehingga pengawasan pembangunan ataupun
perubahan penggunaan lahan kurang maksimal.
Faktor eksternal peluang dalam pengendalian longsor terdiri dari 3 faktor.
Faktor pertama yaitu meminimalkan longsor. Longsor pasti akan menimbulkan
banyak korban baik manusia maupun harta benda, jika bisa meminimalkan
longsor akan bisa membuat nyaman masyarakat dalam melakukan semua kegiatan.
Faktor kedua adalah memaksimalkan penggunaan lahan. Kondisi wilayah
Kabupaten Bogor yang sebagian besar rentan terhadap bahaya longsor tidak
mungkin jika hanya dijadikan hutan untuk pengendalian longsor. Penggunaan
lahan bisa digunakan sesuai kebutuhan dan peraturan yang ada asalkan longsor
bisa dikendalikan secara maksimal. Faktor ketiga yaitu peningkatan sistem
koordinasi. Pengawasan penggunaan lahan yang kurang maksimal bisa berubah
menjadi lebih baik jika ada peningkatan sistem koordinasi, misalnya
mengikutsertakan desa dan warganya untuk ikut mengawasi dan bertanggung
jawab terhadap wilayah mereka.
Faktor eksternal yang menjadi ancaman dalam pengendalian longsor untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor terdiri dari 3 faktor.
Faktor pertama adalah pertambahan penduduk. Pertambahan penduduk terutama
yang tinggal di daerah kawasan lindung akan memberikan ancaman terhadap
perubahan kawasan lindung menjadi permukiman ataupun ladang/tegalan. Faktor
kedua yaitu kondisi ekonomi wilayah yang bisa membuat masyarakat dengan
mudah melakukan apa saja yang tanpa mereka sadari bisa merusak lingkungan
dan merugikan mereka sendiri di masa yang akan datang. Faktor ketiga kurangnya
kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Hal ini biasanya terjadi karena kurang
paham masyarakat tentang akibat yang akan terjadi jika mereka tidak menjaga
lingkungan.
Penyusunan Strategi SWOT
Analisis SWOT dilakukan untuk mengetahui kelemahan, kekuatan, peluang,
dan ancaman dalam pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan
ruang di Kabupaten Bogor. Analisis SWOT dimulai dengan mengidentifikasi
faktor internal (kekuatan dan kelemahan) yang dimiliki masyarakat serta faktor
eksternal (peluang dan acaman), kemudian menetukan strategi-strategi yang dapat
diterapkan (Suryaningsih et al 2012).
Berdasarkan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengendalian
longsor, maka disusun strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan
pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor. Strategi pengendalian longsor dapat
dibagi menjadi empat macam strategi yang terdiri dari memanfaatkan kekuatan
untuk mendapatkan peluang (SO); memanfaatkan kekuatan untuk menghadapi
ancaman (ST); mengurangi kelemahan dengan memanfaatkan peluang yang ada
(WO) dan strategi mengurangi kelemahan dalam menghadapi ancaman (WT).
Matrik strategi SWOT pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan
ruang di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 29.
58
Tabel 29 Strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang
di Kabupaten Bogor
Opportunities
O1
O2
O3
Threats
T1
T2
T3
Strengths
S1
S2
S3
SO1 (S1, O2) Membuat peraturan tambahan untuk
pendirian bangunan di atas lokasi
rawan longsor untuk memaksimalkan
penggunaan lahan.
ST1 (S2, S3, T3) Mensosialisasikan ke masyarakat
tentang pentingnya penanaman
pohon di daerah yang rawan
longsor ditambah pemberian papan
peringatan untuk daerah rawan
longsor.
Strengths
S1
S2
S3
SO2 (S1, O1, O3) Membuat pola ruang yang sudah
mempertimbangkan kondisi bahaya
longsor dan menerapkannya dengan
bantuan perijinan untuk lebih teliti melihat
perijinan, bantuan desa untuk lebih peduli
melihat perubahan lingkungan dan bantuan
bidang pengawasan jika ada perubahan
penggunaan lahan terutama di daerah
rawan longsor
ST2 (S1, T1, T2) Dana yang tersedia digunakan
untuk memberikan pelatihan dan
pembinaan masyarakat terutama di
yang tinggal di sekitar hutan untuk
membuka lapangan pekerjaan
sehingga bisa menaikkan ekonomi
wilayah tanpa perlu merusak
kondisi hutan.
Weakness
es
W1
W2
WO1 (W1, O3) Kondisi fisik yang rawan longsor
membutuhkan kerjasama dari Bina Marga
untuk membuat bangunan tembok penahan
tanah di sekitar daerah yang banyak
masyarakat, kerjasama dengan Lingkungan
Hidup, Dinas Pertamanan, Desa dan
Kecamatan untuk menjaga lingkungan
tetap ada pohon untuk mencegah longsor.
WT1 (W2, T1, T2) Kurang optimal pengawasan
pembangunan karena kurang SDM
bisa memanfaatkan penduduk
sekitar dengan menjadikan mereka
pengawas lingkungan dan
masyarakat bisa mendapat
tambahan honor.
WO2 (W1, O2) Kondisi tanah subur sekaligus mudah
longsor bisa dimaksimalkan dengan
menyesuaikan lokasi. Membuat sawah
dalam bentuk terasering jika posisi tanah
miring.
WT2 (W2, T3) Meningkatkan kemampuan SDM
untuk bisa mengoptimalkan
pengawasan lingkungan dan
meningkatkaan kesadaran
masyarakat supaya bisa ikut
berperan serta mengawasi
lingkungan.
Pembobotan Unsur SWOT berdasarkan AHP
Pembobotan unsur-unsur SWOT diperoleh dari hasil analisis AHP dengan
melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) antar komponen
Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats. Perbandingan berpasangan
juga dilakukan terhadap faktor untuk masing-masing komponen SWOT. Nilai
perbandingan berpasangan setiap pendapat para pakar/experts (3 orang) disatukan
dengan metode rata-rata geometri, sebagaimana dikemukakan oleh Saaty (2008)
yang menyebutkan bahwa untuk menggabungkan (combined) penilaian individu
menjadi sebuah penilaian kelompok yang representatif, semua penilaian harus
dikombinasikan menggunakan metode rata-rata geometri (geometric mean).
Perhitungan bobot untuk masing-masing komponen SWOT dan masing-masing
59
faktor di setiap komponen SWOT menggunakan software expert choice 2000.
Hasil pembobotan setiap komponen dan setiap faktor komponen SWOT dapat
dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30 Hasil pembobotan komponen SWOT
Komponen
SWOT
Prioritas
Grup Faktor-faktor SWOT
Prioritas
Faktor
dalam Grup
Prioritas
Faktor
Keseluruhan
Strengths 0.310
1 Peraturan/regulasi 0.749 0.232
2 Ketersediaan sumber dana
pemerintah 0.140 0.043
3 Sarana prasarana 0.111 0.034
Weaknesses 0.101
1 Kondisi fisik wilayah 0.816 0.082
2 Kurang optimal
pengawasan pembangunan 0.184 0.018
Opportunities 0.475
1 Meminimalkan longsor 0.462 0.219
2 Memaksimalkan
penggunaan lahan 0.462 0.219
3 Peningkatan sistem
koordinasi 0.077 0.037
Threats 0.114
1 Pertambahan penduduk 0.126 0.014
2 Kondisi ekonomi wilayah 0.248 0.028
3 Kurangnya kesadaran
masyarakat terhadap
lingkungan
0.626 0.071
Berdasarkan Tabel 30 dapat dilihat bahwa dengan kombinasi pendapat para
pakar, peraturan / regulasi mendapat prioritas paling tinggi untuk faktor internal
kekuatan. Faktor internal kelemahan yang menjadi perhatian utama adalah kondisi
fisik wilayah. Kondisi fisik wilayah Kabupaten Bogor yang rawan longsor tetapi
sekaligus subur membutuhkan penanganan yang sesuai supaya bisa
dimaksimalkan penggunaannya dan meminimalkan bahaya longsor.
Faktor eksternal peluang yang mendapatkan perhatian hampir sama adalah
meminimalkan longsor dan memaksimalkan penggunaan lahan. Masyarakat dan
pemerintah diharapkan bisa bekerjasama untuk memaksimalkan peluang yang ada.
Dengan meminimalkan longsor secara tidak langsung juga meminimalkan
kerugian yang mungkin terjadi jika ada kejadian longsor.
Faktor eksternal ancaman yang membutuhkan perhatian adalah kurangnya
kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Berkaitan dengan faktor-faktor
internal dan eksternal dalam pengendalian longsor untuk memaksimalkan
pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor dirumuskan strateginya sebagaimana
dapat dilihat pada Tabel 29.
Pemilihan prioritas strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan
pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor dilakukan dengan mengurutkan/ranking
jumlah setiap unsur yang terkait dalam strategi. Jumlah bobot strategi paling besar
merupakan prioritas utama dalam pengendalian longsor Kabupaten Bogor. Untuk
lebih jelasnya urutan strategi pengendalian longsor dapat dilihat pada Tabel 31.
60
Tabel 31 Urutan / ranking arahan dan strategi pengendalian longsor untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor
No Unsur SWOT Keterkaitan Jumlah Bobot Ranking
Strategi (SO)
SO1
SO2
S1, O2
S1, O1, O3
0,451
0,488
2
1
Strategi (ST)
ST1
ST2
S2, S3, T3
S1, T1, T2
0,148
0,274
5
4
Strategi (WO)
WO1
WO2
W1, O3
W1, O2
0,119
0,301
6
3
Strategi (WT)
WT1
WT2
W2, T1, T2
W2, T3
0,060
0,089
8
7
Keterangan
SO1 : Membuat peraturan tambahan untuk pendirian bangunan di atas lokasi
rawan longsor untuk memaksimalkan penggunaan lahan.
SO2 : Membuat pola ruang yang sudah mempertimbangkan kondisi bahaya
longsor dan menerapkannya dengan bantuan perijinan untuk lebih teliti
melihat perijinan, bantuan desa untuk lebih peduli melihat perubahan
lingkungan dan bantuan bidang pengawasan jika ada perubahan
penggunaan lahan terutama di daerah rawan longsor
ST1 : Mensosialisasikan ke masyarakat tentang pentingnya penanaman pohon
di daerah yang rawan longsor ditambah pemberian papan peringatan
untuk daerah rawan longsor.
ST2 : Dana yang tersedia digunakan untuk memberikan pelatihan dan
pembinaan masyarakat terutama di yang tinggal di sekitar hutan untuk
membuka lapangan pekerjaan sehingga bisa menaikkan ekonomi
wilayah tanpa perlu merusak kondisi hutan.
WO1 : Kondisi fisik yang rawan longsor membutuhkan kerjasama dari Bina
Marga untuk membuat bangunan tembok penahan tanah di sekitar
daerah yang banyak masyarakat, kerjasama dengan Lingkungan Hidup,
Dinas Pertamanan, Desa dan Kecamatan untuk menjaga lingkungan
tetap ada pohon untuk mencegah longsor.
WO2 : Kondisi tanah subur sekaligus mudah longsor bisa dimaksimalkan
dengan menyesuaikan lokasi. Membuat sawah dalam bentuk terasering
jika posisi tanah miring.
WT1 : Kurang optimal pengawasan pembangunan karena kurang SDM bisa
memanfaatkan penduduk sekitar dengan menjadikan mereka pengawas
lingkungan dan masyarakat bisa mendapat tambahan honor.
WT2 : Meningkatkan kemampuan SDM untuk bisa mengoptimalkan
pengawasan lingkungan dan meningkatkaan kesadaran masyarakat
supaya bisa ikut berperan serta mengawasi lingkungan.
61
Dari Tabel 31 dapat dilihat bahwa strategi SO2 (Membuat pola ruang yang
sudah mempertimbangkan kondisi bahaya longsor dan menerapkannya dengan
bantuan perijinan untuk lebih teliti melihat perijinan, bantuan desa untuk lebih
peduli melihat perubahan lingkungan dan bantuan bidang pengawasan jika ada
perubahan penggunaan lahan terutama di daerah rawan longsor) merupakan
prioritas utama untuk dilakukan dalam pengendalian longsor untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor. Strategi SO2 merupakan
gabungan faktor S1, O1 dan O3 dengan bobot 0,488. Kondisi yang ada perijinan
jauh lebih banyak setiap tahun sehingga kadang-kadang membuat petugas kurang
teliti dalam melihat syarat-syarat yang seharusnya ada. Selain itu SDM yang
kurang untuk pengawasan dan pihak pejabat terbawah seperti desa terkesan tidak
peduli dalam memperhatikan perubahan penggunaan lahan membuat pengawasan
semakin lemah. Mungkin ke depan juga harus dipikirkan tentang sistem
pengawasan terpadu antara masyarakat setempat, pihak swasta sampai ke
pemerintah.
Prioritas kedua adalah strategi SO1 (Membuat peraturan tambahan untuk
pendirian bangunan di atas lokasi rawan longsor untuk memaksimalkan
penggunaan lahan) yang merupakan gabungan S1 dan O2 dengan bobot 0,451.
Keadaan Kabupaten Bogor termasuk daerah dengan bahaya longsor sedang dan
tinggi cukup besar harus mampu membuat pembangunan secara maksimal tetapi
meminimalkan bahaya longsor. Seharusnya daerah rawan longsor perlu dihindari
untuk pembangunan. Aturan tambahan untuk meminimalkan longsor di daerah
rawan yang bisa dibuat misalnya dengan memberi syarat pada pembangunan
perumahan atau industri untuk tetap membiarkan sebagian wilayahnya untuk
resapan air dan juga harus menyertakan syarat-syarat pembuatan bangunan
dengan rekayasa teknik supaya bangunan tersebut aman dari longsor.
Prioritas pengendalian longsor yang ketiga adalah strategi WO2 dengan
bobot 0,301. Kondisi tanah subur sekaligus mudah longsor bisa dimaksimalkan
dengan menyesuaikan lokasi. Membuat sawah dalam bentuk terasering jika posisi
tanah miring. Bentuk lahan di Kabupaten Bogor yang mempunyai lereng
bervariasi kadang-kadang menjadi kendala ketika menggunakan lahan. Lahan
yang subur masih bisa digunakan dengan menggunakan metode yang sesuai
sehingga aman dari bahaya longsor. Ketiga strategi ini pada dasarnya adalah
untuk mengendalikan longsor tapi tetap memaksimalkan penggunaan lahan yang
ada. Jadi pemanfaatan lahan tidak terpengaruh dengan bahaya longsor yang ada.
Strategi pengendalian longsor untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang
menurut hasil A’WOT yang dapat diusulkan meliputi :
1. Melakukan revisi pola ruang yang sudah ada dan disesuaikan dengan
sebaran bahaya longsor.
2. Melaksanakan kegiatan perizinan, pengawasan dan penertiban yang sesuai
dengan pola ruang yang mengintegrasikan berbagai pihak yang terkait, baik
pemerintah maupun masyarakat.
3. Membuat peraturan tambahan yang mendukung perizinan pendirian
bangunan yang berada pada lokasi rawan longsor. Peraturan tambahan yang
memberi syarat rekayasa teknik supaya bangunan aman dari bencana
longsor, misal dengan pondasi sesuai kondisi tanah, pembuatan bronjong
atau tembok penahan tanah untuk kekuatan geser tanah, pembuatan saluran
air yang sesuai dengan kapasitas volume air yang akan mengalir. Selain itu
62
juga syarat penanaman pohon di sekitar bangunan jika kondisi tanah agak
miring.
4. Pembuatan terasering untuk sawah atau ladang dengan posisi tanah yang
mempunyai lereng terjal untuk mengurangi risiko longsor.
5. Memberikan pelatihan untuk mendapatkan SDM yang berkualitas di tingkat
masyarakat yang bisa digunakan sebagai pengawasan dalam perubahan
penggunaan lahan.
6. Memberikan pelatihan dan pembinaan masyarakat terutama di yang tinggal
di sekitar hutan untuk membuka lapangan pekerjaan sehingga bisa
menaikkan ekonomi wilayah tanpa perlu merusak kondisi hutan.
7. Mensosialisasikan ke masyarakat tentang pentingnya penanaman pohon di
daerah yang rawan longsor ditambah pemberian papan peringatan untuk
daerah rawan longsor.
8. Kondisi fisik yang rawan longsor membutuhkan kerjasama dari Bina Marga
untuk membuat bangunan tembok penahan tanah di sekitar daerah yang
banyak masyarakat, kerjasama dengan Lingkungan Hidup, Dinas
Pertamanan, Desa dan Kecamatan untuk menjaga lingkungan tetap ada
pohon untuk mencegah longsor.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Urutan parameter penyebab longsor di Kabupaten Bogor menurut analisis
faktor adalah curah hujan, tanah, penggunaan lahan, batuan, dan kemiringan
lereng. Bahaya longsor di Kabupaten Bogor cukup variatif, meliputi kelas
rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Persentase terbesar pada kelas
bahaya rendah (33.68%).
2. Kelas risiko longsor di Kabupaten Bogor bervariasi dari kelas risiko sangat
rendah sampai kelas risiko sangat tinggi. Kelas risiko yang memiliki luasan
tertinggi pada saat ini, berada pada kelas risiko rendah (55.95%), kelas risiko
sangat rendah (36.89%), kelas risiko tinggi (4.42%), dan kelas risiko sangat
tinggi (2.74%). Perubahan luasan tertinggi kelas risiko di masa yang akan
datang, yaitu dari kelas risiko rendah menjadi kelas risiko tinggi atau sangat
tinggi sangat mungkin terjadi, jika terjadi peningkatan jumlah penduduk dan
perubahan penggunaan lahan yang mengarah ke penggunaan lahan
permukiman. Hal ini disebabkan perubahan tersebut akan menaikkan nilai
kerentanan dan menurunkan kapasitas.
3. Peruntukkan lahan (RTRW) di Kabupaten Bogor sebagian masih berada pada
kelas bahaya dan risiko longsor sedang hingga tinggi, terutama pada
peruntukkan lahan permukiman. Hal ini berpotensi besar menimbulkan
kerugian baik kerugian ekonomi, harta benda, maupun korban jiwa. Dengan
demikian, informasi mengenai sebaran risiko longsor perlu menjadi bahan
pertimbangan yang sangat penting dalam sosialisasi maupun untuk
menentukan kebijakan, seperti revisi peruntukkan/pemanfaatan ruang RTRW
dalam rangka menyempurnakan rencana pola ruang dan sebagai upaya dalam
63
mewujudkan mitigasi bencana longsor. Arahan penataan ruang dengan
melihat kondisi bahaya longsor, risiko longsor dan inkonsistensi penggunaan
lahan menghasilkan beberapa strategi untuk pengendalian longsor untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor, yaitu melakukan
revisi pola ruang yang sudah ada dan disesuaikan dengan sebaran bahaya
longsor. Selain itu juga meningkatkan koordinasi berbagai pihak untuk
meminimalkan perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan
rencana pola ruang.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk membuat peta bahaya longsor
dengan mengambil sampel kejadian longsor di setiap desa sehingga bisa
lebih menggambarkan kondisi lapangan.
2. Perlu peraturan tambahan untuk mencegah longsor dan meningkatkan
SDM yang ada serta kerja sama semua pihak dalam pengendalian longsor
untuk memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor.
3. Peninjauan ulang terhadap RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005-2025
perlu dilakukan dengan memperhatikan aspek bahaya longsor.
64
DAFTAR PUSTAKA
Arifin S, Carolita I, Winarso G. 2006. Implementasi Penginderaan Jauh dan SIG
untuk Inventarisasi Daerah Rawan Bencana Longsor (Propinsi Lampung).
Jurnal Penginderaan Jauh. 3(1) : 77-86
Arsjad ABSM, Hartini S. 2014. Analisis Potensi Risiko Tanah Longsor di
Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar Jawa Barat. Majalah Ilmiah Globe.
16(2):165-172.
Asriningrum W. 2001. Analisis Geomorfologis Kawasan Rawan Longsor dari
Data Penginderaan Jauh Satelit. Di dalam : Prasetijaningsih CD, Haris A,
Lukito PK, Prasetyo I, Amalia M, Dwiagus B, Hondri D. Diskusi Terfokus
Pengenalan dan Pengendalian Kawasan Rawan Longsor; 2001 November
1; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): Bappenas. Hlm 1-9
Barus B. 1999. Pemetaan Bahaya Longsoran Berdasarkan Klasifikasi Statistik
Peubah Tunggal Menggunakan SIG : Studi Kasus Daerah Ciawi-
Puncak_Pacet, Jawa Barat. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 2(1):7-16.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2012. Peraturan Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 02 Tahun 2012. tentang
Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Jakarta (ID). Badan Nasional
Penanggulangan Bencana.
[BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor. 2013. Rekap
Jumlah Kejadian Bencana Tahun 2012 Berdasarkan Jumlah Jenis Bencana
di Kabupaten Bogor (ID). Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
[BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor. 2014. Rekap
Jumlah Kejadian Bencana Tahun 2013 Berdasarkan Jumlah Jenis Bencana
di Kabupaten Bogor (ID). Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
[BPBD] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bogor. 2015. Rekap
Jumlah Kejadian Bencana Tahun 2014 Berdasarkan Jumlah Jenis Bencana
di Kabupaten Bogor (ID). Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Dibyosaputro S. 1999. Longsor Lahan di Kecamatan Samigaluh kabupaten Kulon
Progo. Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia.
13(23):13-34.
Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No.22/PRT/M/2007 tentang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Jakarta
(ID). Direktorat Jenderal Penataan Ruang.
Faizana F, Nugraha AL, Yuwono BD. 2015. Pemetaan Risiko Bencana Tanah
Longsor Kota Semarang. Jurnal Geodesi Undip. 4(1) : 223-234
Firdaus M, Harmini, Farid MA. 2011. Aplikasi Metode Kuantitatif untuk
Manajemen dan Bisnis. Bogor (ID): IPB Press
Hardiyatmo HC. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta (ID).
Gadjah Mada University Press.
Hasnawir. 2012. Intensitas Curah Hujan Memicu Tanah Longsor Dangkal di
Sulawesi Selatan. Di dalam : Hasnawir, Supratman, Sallata MK, Arsyad U,
Paembonan S, Suhasman, Achmad A, editor. Jurnal Penelitian Kehutanan
Wallacea; 2012 Agustus; Makassar, Indonesia. Makassar (ID); Balai
Penelitian Kehutanan Makassar, 1(1):62-73.
Huan LJ, Lin XS. 2002. Study on landslide related to rainfall. Journal of Xiangtan
Normal University. 24(4) : 55-62
65
Ikqra, Tjahjono B, Sunarti E. 2012. Studi Geomorfologi Pulau Ternate dan
Penilaian Resiko Longsor. Jurnal Tanah dan Lingkungan. 14(1) : 1-6
Indrasmoro GP. 2013. Geographic Information System (GIS) untuk Deteksi
Daerah Rawan Longsor Studi Kasus di Kelurahan Karang Anyar Gunung
Semarang. Jurnal GIS Deteksi Rawan Longsor. 13(1):1-11
Johan Y. 2011. Pengembangan Wisata Bahari Dalam Pengelolaan Sumberdaya
Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekologi : Studi Kasus Pulau Sebesi Propinsi
Lampun [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Karnawati D. 2005. Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan
Upaya Penanggulannya. Yogyakarta (ID). Universitas Gadjah Mada.
Kawamoto K, Oda M, Suzuki K. 2000. Hydro-geological study of landslides
caused by heavy rainfall on August 1998 in Fukushima, Japan. Journal of
Natural Disaster Science. 22(1) : 13-23
Kementrian Pekerjaan Umum. 2012. Pedoman Pembuatan Peta Rawan Longsor
dan Banjir Bandang Akibat Runtuhnya Bendungan Alam. Jakarta (ID).
Kementrian Pekerjaan Umum.
Leskinen AL, Leskinen P, Kurttila M, Kangas J, Kajanus M. 2006. Adapting
Modern Strategic Decision Support Tools in The Participatory Strategic
Process-A Case Study of A Forest Research Station. Journal of Forest
Policy and Economics 8:267-278
Makkasau K. 2012. Penggunaan Metode Analytical Hierachi Process (AHP)
dalam Penetuan Prioritas Program Kesehatan (Studi Kasus Program
Promosi Kesehatan). Jurnal Jati Undip.7(2):105-112
Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi: Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Jakarta (ID): Penerbit Grasindo.
Mukhlisin M., Idris I., Salazar AS., Nizam K., Taha MR. 2010. GIS Based
Landslide Hazard Mapping Prediction in Ulu Klang, Malaysia. ITB J. Sci.
42A(2):163-178.
Nasdan, Setiawan B, Skandar D. 2008. Analisis Potensi dan Pengelolaan
Perikanan dalam Perspektif Ketahanan Pangan di Wilayah Pesisir
Kabupaten Lampung Barat. Jurnal Gizi dan Pangan. 3(3):149-155
Nasiah, Invanni I. 2014. Identifikasi Daerah Rawan Bencana Longsor Lahan
sebagai Upaya Penanggulangan Bencana di Kabupaten Sinjai. Jurnal
Sainsmat. 3(2) : 109-121
Nurhayati A. 2009. Pemetaan Daerah Rawan Tanah Longsor di Kabupaten
Cianjur Menggunakan Sistem Informasi Geografis [Tesis]. Bogor (ID).
Institut Pertanian Bogor.
Permata D. 2015. Analisis Komoditas Unggulan dan Potensi Wilayah untuk
Mendukung Pengembangan Wilayah Kabupaten Padang Pariaman [tesis].
Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Prahasta E. 2005. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung
(ID). Informatika Bandung.
Pramita V, Gandasasmita K, Munibah K. 2014. Arahan Pemanfaatan Lahan untuk
Upaya Mengurangi Bahaya Longsor di Kabupaten Agam dan Kabupaten
Padang Pariaman Sumatera Barat. Jurnal Ilmiah Globe. 16(2):141-148
[PUSLITANAK] Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2004. Laporan Hasil
Kegiatan Pengkajian Potensi Bencana Kekeringan, Banjir, dan Longsor di
66
Kawasan Multi DAS. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementrian Pertanian RI.
Rahmat AH. 2010. Pemetaan Kawasan Rawan Bencana dan Analisis Resiko
Bencana Tanah Longsor dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Studi
Kasus Kawasan Kaki Gunung Ciremai, Kabupaten Majalengka) [Skripsi].
Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Rangkuti F. 2009. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID):
Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Rosdiana D. 2011. Analisis Komoditas Unggulan Pertanian dan Strategi
Pengembannya di Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat [tesis]. Bogor
(ID). Institut Pertanian Bogor.
Saaty TL. 1980. The Analytic Hierarchy Process. NY. McGraw Hill
Savitri E. 2007. Analisis Pemanfaatan Ruang dalam Kaitan dengan Resiko Tanah
Longsor di Kabupaten Tanah Datar. [Tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian
Bogor.
Sekretariat Daerah Kabupaten Bogor. 2008b. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor
No.19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor
Tahun 2005-2025. Cibinong Bogor (ID). Sekretariat Daerah Kabupaten
Bogor.
Setiadi T. 2013. Perancangan Sistem Informasi Geografis Pemetaan Daerah
Rawan Tanah Longsor, Mitigasi dan Manajemen encana di Kabupaten
Banjarnegara. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7(1) : 1-54.
Silviani RV. 2013. Analisis Bahaya Longsor dan Risiko Longsor di DAS
Ciliwung Hulu dan Keterkaitannya dengan Penataan Ruang [Tesis]. Bogor
(ID). Institut Pertanian Bogor
Supranto J. 2010. Analisis Multivariat : Arti dan Interpretasi. Jakarta (ID). Rineka
Cipta.
Suranto JP. 2008. Kajian Pemanfaatan Lahan pada Daerah Rawan Bencana
Tanah Longsor di Gununglurah Cilongok Banyumas [Tesis]. Semarang (ID).
Universitas Diponegoro
Suryaningsih WH, Purnaweni H, Izzati M. 2012. Persepsi dan Perilaku
Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Hutan Rakyat di Desa Karangrejo
Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo. Jurnal EKOSAINS. 4(3) : 27-38.
Triantaphyllou E, Mann SH. 1995. Using The Analytical Hierarchy Process For
Decision Making In Engineering Applications: Some Challenges.
International Journal of Industrial Engineering. 2(1):35-44.
Utomo BSS. 2008. Identifikasi Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Bogor Jawa
Barat[Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Yunianto AC. 2011. Analisis Kerawanan Tanah Longsor dengan Aplikasi Sistem
Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh di Kabupaten Bogor
[Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
68
Lam
pir
an 1
Dat
a has
il s
urv
ey l
apan
gan
no
E
(X
) S
(Y
) d
esa
k
eca
ma
tan
tu
tup
an
la
ha
n
lere
ng
(%
) cu
rah
hu
jan
ta
na
h
ba
tua
n
1
10
6,9
17
68
3
-6,6
76
133
ko
po
ci
saru
a
lahan
ko
son
g
8-1
5
tin
ggi
po
dso
lik
gu
nun
g a
pi
2
10
6,9
04
70
0
-6,6
68
371
ko
po
ci
saru
a
jala
n
15
-25
tin
ggi
po
dso
lik
gu
nun
g a
pi
3
10
6,9
09
00
0
-6,6
69
056
ko
po
ci
saru
a
ban
gunan
8
-15
ti
nggi
po
dso
lik
gu
nun
g a
pi
4
10
6,9
22
00
0
-6,6
71
569
ko
po
ci
saru
a
rum
pun b
am
bu
8
-15
ti
nggi
po
dso
lik
gu
nun
g a
pi
5
10
6,9
27
03
3
-6,6
94
333
ci
teko
ci
saru
a
ban
gunan
8
-15
ti
nggi
po
dso
lik
gu
nun
g a
pi
6
10
6,9
39
10
0
-6,7
22
795
ci
teko
ci
saru
a
ban
gunan
1
5-2
5
tin
ggi
lato
sol
gu
nun
g a
pi
7
10
6,9
39
80
0
-6,7
06
306
ci
teko
ci
saru
a
ban
gunan
1
5-2
5
tin
ggi
lato
sol
gu
nun
g a
pi
8
10
6,9
27
10
0
-6,6
59
183
jo
gjo
gan
ci
saru
a
ban
gunan
0
-8
tin
ggi
lato
sol
gu
nun
g a
pi
9
10
6,9
52
80
0
-6,7
25
527
ci
beu
reu
m
cisa
rua
ban
gunan
1
5-2
5
tin
ggi
lato
sol
gu
nun
g a
pi
10
10
6,9
43
30
0
-6,7
02
320
ci
beu
reu
m
cisa
rua
pag
ar
15
-25
tin
ggi
lato
sol
gu
nun
g a
pi
11
10
6,9
36
40
0
-6,6
90
856
ci
beu
reu
m
cisa
rua
jala
n
0-8
ti
nggi
po
dso
lik
gu
nun
g a
pi
12
10
6,9
42
20
0
-6,6
86
288
ci
beu
reu
m
cisa
rua
lahan
ko
son
g
0-8
ti
nggi
po
dso
lik
gu
nun
g a
pi
13
10
6,9
47
10
0
-6,6
85
945
ci
beu
reu
m
cisa
rua
ban
gunan
0
-8
tin
ggi
po
dso
lik
gu
nun
g a
pi
14
10
6,9
87
67
9
-6,6
73
593
tu
gu u
tara
ci
saru
a
ban
gunan
2
5-4
0
tin
ggi
lato
sol
gu
nun
g a
pi
15
10
7,0
02
50
5
-6,6
54
847
tu
gu u
tara
ci
saru
a
jala
n
25
-40
tin
ggi
lato
sol
gu
nun
g a
pi
16
10
6,9
36
70
0
-6,6
76
149
ci
saru
a
cisa
rua
ban
gunan
0
-8
tin
ggi
po
dso
lik
gu
nun
g a
pi
17
10
6,8
78
78
3
-6,7
09
483
ci
leu
ng
si
ciaw
i ja
lan
8-1
5
tin
ggi
sekali
p
od
soli
k
gu
nun
g a
pi
18
10
6,8
70
10
0
-6,7
06
753
ci
leu
ng
si
ciaw
i b
ang
unan
8
-15
ti
nggi
sekali
p
od
soli
k
gu
nun
g a
pi
19
10
6,9
05
50
0
-6,7
23
903
ci
leu
ng
si
ciaw
i b
ang
unan
1
5-2
5
tin
ggi
po
dso
lik
gu
nun
g a
pi
20
10
6,8
51
90
0
-6,6
54
576
ci
aw
i ci
aw
i ru
mp
un b
am
bu
0
-8
tin
ggi
sekali
p
od
soli
k
gu
nun
g a
pi
21
10
6,8
54
10
0
-6,6
58
680
b
anja
rwar
u
ciaw
i b
ang
unan
0
-8
tin
ggi
sekali
p
od
soli
k
gu
nun
g a
pi
22
10
6,8
55
70
0
-6,6
69
487
b
anja
rwan
gi
ciaw
i la
dan
g
0-8
ti
nggi
sekali
p
od
soli
k
gu
nun
g a
pi
23
10
6,8
73
60
0
-6,6
87
087
Ja
mb
ulu
wu
k
ciaw
i b
ang
unan
0
-8
tin
ggi
sekali
p
od
soli
k
gu
nun
g a
pi
24
10
6,9
01
19
0
-6,7
04
718
Ja
mb
ulu
wu
k
ciaw
i b
ang
unan
8
-15
ti
nggi
po
dso
lik
gu
nun
g a
pi
68
69
Lam
pir
an 1
Lan
juta
n
no
E
(X
) S
(Y
) d
esa
k
eca
ma
tan
tu
tup
an
la
ha
n
lere
ng
(%
) cu
rah
hu
jan
ta
na
h
ba
tua
n
25
10
6,8
76
98
3
-6,7
20
349
p
anca
wati
ca
ringin
keb
un k
acang
1
5-2
5
tin
ggi
sekali
p
od
soli
k
gu
nun
g a
pi
26
10
6,8
90
70
0
-6,7
26
282
p
anca
wati
ca
ringin
b
ang
unan
1
5-2
5
tin
ggi
sekali
p
od
soli
k
gu
nun
g a
pi
27
10
6,8
54
70
0
-6,7
19
143
p
anca
wati
ca
ringin
la
dan
g
8-1
5
tin
ggi
sekali
la
toso
l &
reg
oso
l gu
nun
g a
pi
28
10
6,8
35
64
9
-6,7
36
283
ci
nag
ara
cari
ngin
b
ang
unan
8
-15
ti
nggi
sekali
la
toso
l &
reg
oso
l gu
nun
g a
pi
29
10
6,8
57
05
1
-6,7
46
483
ci
nag
ara
cari
ngin
ja
lan
15
-25
tin
ggi
sekali
la
toso
l &
reg
oso
l gu
nun
g a
pi
30
10
6,8
14
61
7
-6,7
36
433
ci
bura
yut
cigo
mb
on
g
jala
n
0-8
ti
nggi
sekali
la
toso
l &
reg
oso
l gu
nun
g a
pi
31
10
6,7
91
83
3
-6,7
36
099
ci
sala
da
cigo
mb
on
g
lahan
ko
son
g
0-8
ti
nggi
sekali
la
toso
l &
reg
oso
l gu
nun
g a
pi
32
10
6,5
23
38
3
-6,6
18
950
nan
ggu
ng
nan
ggu
ng
b
ang
unan
8
-15
ti
nggi
lato
sol
& l
ito
sol
end
apan
33
10
6,5
22
66
7
-6,6
12
433
nan
ggu
ng
nan
ggu
ng
ja
lan
8-1
5
tin
ggi
lato
sol
& l
ito
sol
end
apan
34
10
6,5
10
26
7
-6,5
93
850
su
kaj
aya
sukaj
aya
ban
gunan
8
-15
ti
nggi
lato
sol
& l
ito
sol
end
apan
35
10
6,4
76
66
7
-6,5
81
700
su
kam
uli
h
sukaj
aya
ban
gunan
1
5-2
5
tin
ggi
lato
sol
& l
ito
sol
end
apan
36
10
6,8
61
59
0
-6,6
55
110
gad
og
m
egam
end
un
g
ban
gunan
0
-8
tin
ggi
sekali
P
od
soli
k
gu
nun
g a
pi
37
10
6,8
69
30
0
-6,6
58
661
gad
og
m
egam
end
un
g
ban
gunan
8
-15
ti
nggi
Po
dso
lik
gu
nun
g a
pi
38
10
6,8
75
70
0
-6,6
56
833
gad
og
m
egam
end
un
g
ban
gunan
8
-15
ti
nggi
Po
dso
lik
gu
nun
g a
pi
39
10
6,8
61
21
0
-6,6
54
710
p
asir
angin
m
egam
end
un
g
sem
ak
0
-8
tin
ggi
sekali
P
od
soli
k
gu
nun
g a
pi
40
10
6,8
79
48
0
-6,6
52
620
p
asir
angin
m
egam
end
un
g
ban
gunan
8
-15
ti
nggi
Lat
oso
l gu
nun
g a
pi
41
10
6,8
85
40
0
-6,6
39
202
p
asir
angin
m
egam
end
un
g
sem
ak
8
-15
ti
nggi
Lat
oso
l gu
nun
g a
pi
42
10
6,8
93
30
0
-6,6
40
344
p
asir
angin
m
egam
end
un
g
sem
ak
8
-15
ti
nggi
Lat
oso
l gu
nun
g a
pi
43
10
6,7
22
01
7
-6,5
55
416
b
abak
an
dra
maga
jala
n
0-8
ti
nggi
lato
sol
& r
ego
sol
end
apan
44
10
6,7
59
57
2
-6,6
00
297
ci
om
asra
hayu
ci
om
as
rum
ah
0
-8
tin
ggi
sekali
la
toso
l &
reg
oso
l en
dap
an
69
70
Lampiran 2 Foto-foto hasil survey
Lokasi Desa Nanggung
Kecamatan Nanggung tutupan
lahan Jalan (106,522667 E
dan -6,618950 S
Lokasi Desa Nanggung
Kecamatan Nanggung tutupan
lahan bangunan ( 106,523383
E dan -6,618950 S)
71
Lokasi Desa Cinagara
Kecamatan Caringin tutupan
lahan jalan ( 106,857051 E
dan -6,746483 S)
Lokasi Desa Sukamulih
Kecamatan Sukajaya tutupan
lahan bangunan ( 106,476667
E dan -6,581700 S)
Lokasi Desa Ciburayut
Kecamatan Cigombong tutupan
lahan jalan ( 106,814617 E dan -
6,736433 S)
72
Lam
pir
an 3
Kues
ioner
untu
k m
end
apat
kan
dat
a A
nal
isis
A’W
OT
(dal
am p
enen
tuan
str
ateg
i p
engen
dal
ian l
on
gso
r untu
k m
emak
sim
alkan
pem
anfa
atan
ru
ang d
i K
abupat
en B
ogo
r)
Str
ateg
i P
enge
ndal
ian
Lon
gsor
Kek
uata
nK
elem
ahan
Pel
uang
Anc
aman
Per
atur
an /
reg
ulas
i
Ket
erse
diaa
n su
mbe
r da
na
pem
erin
tah
Sar
ana
pras
aran
a
Kon
disi
fis
ik w
ilay
ah
Kur
ang
opti
mal
pen
gaw
asan
pem
bang
unan
Mem
inim
alka
n lo
ngso
r
Mem
aksi
mal
kan
peng
guna
an l
ahan
Ker
jasa
ma
deng
an
inst
ansi
ter
kait
Per
tam
baha
n pe
ndud
uk
Kon
disi
eko
nom
i w
ilay
ah
Kur
angn
ya k
esad
aran
mas
yara
kat
terh
adap
ling
kung
an
72
73
PENGENDALIAN LONGSOR WILAYAH KABUPATEN
BOGOR
WINDA DIAH PUSPASARI
NRP. A156140194
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
74
KUESIONER AHP
ANALISIS AHP UNTUK STRATEGI PENGENDALIAN
LONGSOR
Dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PS PWL), Institut
Pertanian Bogor (IPB), saya :
Nama : WINDA DIAH PUSPASARI
NRP : A156140194
Program Studi : Ilmu Perencanaan Wilayah
mengajukan tugas akhir tesis dengan judul : Analisis Bahaya dan Risiko
Longsor dan Hubungannya dengan Pola Ruang Wilayah Kabupaten Bogor
Berkenaan dengan tugas akhir tersebut, saya menyusun kuesioner yang
berkaitan dengan Strategi Peningkatan Sinkronisasi Tata Ruang Wilayah Kota
Bogor Dalam Mendukung Program Pembangunan, Pendekatan Analisis SWOT
dan AHP. Kuesioner AHP ini merupakan lanjutan analisis SWOT yang telah
dilaksanakan sebelumnya dan sudah menghasilkan beberapa Faktor Kekuatan,
Kelemahan, Peluang dan Ancaman dalam penetapan Strategi Terpilih. Untuk itu
kami mohon kepada Bapak/Ibu untuk menjawab seluruh pertanyaan yang ada
dalam kuesioner ini dengan jawaban yang benar dan akurat agar data tersebut
dapat diolah/dianalisa, sehingga menghasilkan informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Atas perhatian dan bantuan Bapak/Ibu serta kesediaan dalam meluangkan
waktu untuk mengisi kuesioner ini, kami ucapkan terima kasih.
Hormat Saya,
Winda Diah Puspasari
75
BAGIAN I
IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama : ……………………………………………
2. Pekerjaan : ……………………………………………
3. Jabatan : ……………………………………………
4. Pendidikan Terakhir : ……………………………………………
5. Usia : ……………………………………………
Tandatangan
76
Petunjuk Pengisian
Kuisisoner ini merupakan peralatan pendukung analisis AHP (Analytical
Hierarchy Process), dimana kuesioner yang digunakan adalah sistem ranking
yang menilai besarnya pengaruh antara satu elemen faktor dengan faktor lainnya,
dimana responden dapat memilih jawaban yang berada disebelah kiri maupun
sebelah kanan sesuai dengan bobot kepentingannya. Ketentuan pembobotan
masing-masing nilai seperti pada tabel di bawah ini :
Nilai Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain
5 Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain
7 Elemen yang satu jelas lebih pentingdari elemen yang lain
9 Elemen yang satu mutlak lebih penting dari elemen yang lain
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Setiap responden memilih jawaban dengan membandingkan tingkat prioritas
kepentingan (antara 1 dengan 9) dari kedua elemen faktor dengan membubuhkan
tanda silang (X) pada salah satu kolom bobot nilai tersebut, seperti contoh
berikut :
Contoh : Jika faktor A mutlak lebih penting dari faktor B, maka diisi
Faktor
A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Faktor
B
Atau,
Faktor B lebih penting dari Faktor A, maka diisi :
Faktor
A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Faktor
B
Kuesioner ini menggunakan metode proses analisis hirarki (AHP) yang
memanfaatkan skala untuk penilaian pentingnya satu unsur dibandingkan dengan
unsur lainnya dalam suatu kerangka yang sedang dipertimbangkan. Struktur
hirarki yang akan digunakan disusun berdasarkan hasil analisis swot yang telah
dilakukan sebelumnya.
77
DAFTAR PERTANYAAN
Dalam penentuan Strategi Pengendalian longsor untuk memaksimalkan
pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor, terdapat 4 komponen SWOT yang
perlu dipertimbangkan yaitu : (1) Kekuatan; (2) Kelemahan; (3) Peluang; dan (4)
Ancaman. Menurut Bapak/Ibu bagaimana urutan kepentingan dari setiap kriteria ?
Urutan Kriteria
Kekuatan
Kelemahan
Peluang
Ancaman
Selanjutnya menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan bobot kepentingan dari
setiap kriteria tersebut sesuai dengan urutan kepentingannya?
Kekuatan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kelemahan
Kekuatan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Peluang
Kekuatan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ancaman
Kelemahan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Peluang
Kelemahan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ancaman
Peluang 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ancaman
1. Berdasarkan faktor Kekuatan terdapat tiga kemungkinan Strategi yang
menentukan keberhasilan Pengendalian longsor untuk memaksimalkan
pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor yaitu : (1) Peraturan/regulasi; (2)
Ketersediaan sumber dana pemerintah; (3) Sarana prasarana. Menurut
Bapak/Ibu kegiatan mana yang lebih dipertimbangkan ?
Urutan Kriteria
Peraturan/regulasi
Ketersediaan sumber dana pemerintah
Sarana prasarana
Selanjutnya menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan skor kepentingan
dari setiap alternatif tersebut sesuai dengan urutan kepentingannya?
78
2. Berdasarkan faktor Kelemahan terdapat dua kemungkinan bentuk Strategi
yang menentukan keberhasilan Pengendalian longsor untuk
memaksimalkan pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor yaitu : (1)
Kondisi fisik wilayah; (2) Kurang optimal pengawasan pembangunan.
Menurut Bapak/Ibu kegiatan mana yang lebih dipertimbangkan ?
Urutan Kriteria
Kondisi fisik wilayah
Kurang optimal pengawasan pembangunan
Selanjutnya menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan skor kepentingan
dari setiap alternatif tersebut sesuai dengan urutan kepentingannya?
3. Berdasarkan faktor Peluang terdapat tiga kemungkinan bentuk Strategi yang
menentukan keberhasilan Pengendalian longsor untuk memaksimalkan
Peraturan/
regulasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ketersedia
an sumber
dana
pemerintah
Peraturan/
regulasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sarana
prasarana
Ketersedia
an sumber
dana
pemerintah
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sarana
prasarana
Ketersedia
an sumber
dana
pemerintah
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Peraturan/
regulasi
Sarana
prasarana 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Peraturan/
regulasi
Sarana
prasarana 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ketersedia
an sumber
dana
pemerintah
Kondisi
fisik
wilayah 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kurang
optimal
pengawasan
pembangun
an
Kurang
optimal
pengawasan
pembangun
an
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kondisi
fisik
wilayah
79
pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor yaitu : (1) Meminimalkan longsor;
(2) Memaksimalkan penggunaan lahan; (3) Peningkatan sistem koordinasi.
Menurut Bapak/Ibu kegiatan mana yang lebih dipertimbangkan ?
Urutan Kriteria
Meminimalkan longsor
Memaksimalkan penggunaan lahan
Peningkatan sistem koordinasi
Selanjutnya menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan skor kepentingan
dari setiap alternatif tersebut sesuai dengan urutan kepentingannya?
4. Berdasarkan faktor Ancaman terdapat tiga kemungkinan bentuk Strategi yang
menentukan keberhasilan Pengendalian longsor untuk memaksimalkan
pemanfaatan ruang di Kabupaten Bogor yaitu : (1) Pertambahan penduduk;
(2) Kondisi ekonomi wilayah; (3) Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap
lingkungan. Menurut Bapak/Ibu kegiatan mana yang lebih dipertimbangkan ?
Urutan Kriteria
Pertambahan penduduk
Kondisi ekonomi wilayah
Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan
Meminim
alkan
longsor 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Memaksi
malkan
penggunaa
n lahan
Meminim
alkan
longsor
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Peningkat
an sistem
koordinasi
Memaksim
alkan
penggunaan
lahan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Peningkat
an sistem
koordinasi
Memaksim
alkan
penggunaan
lahan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Meminima
lkan
longsor
Peningkat
an sistem
koordinasi
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Meminima
lkan
longsor
Peningkat
an sistem
koordinasi 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Memaksi
malkan
penggunaa
n lahan
80
Selanjutnya menurut Bapak/Ibu bagaimana perbandingan skor kepentingan
dari setiap alternatif tersebut sesuai dengan urutan kepentingannya?
Pertambah
an
penduduk
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kondisi
ekonomi
wilayah
Pertambah
an
penduduk 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kurangnya
kesadaran
masyarakat
terhadap
lingkungan
Kondisi
ekonomi
wilayah
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertambah
an
penduduk
Kondisi
ekonomi
wilayah 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kurangnya
kesadaran
masyarakat
terhadap
lingkungan
Kurangnya
kesadaran
masyarakat
terhadap
lingkungan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertambah
an
penduduk
Kurangnya
kesadaran
masyarakat
terhadap
lingkungan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kondisi
ekonomi
wilayah
81
Lampiran 4 Perhitungan kelas suseptibilitas longsor
No Parameter Skor Bobot Nilai
1 Curah Hujan (mm/tahun)
Sangat basah (>3.000 mm)
Basah (2.500 – 3.000 mm)
5
4
40
200
160
Sedang/lembab (2.000 – 2.500 mm)
Kering (1.500 – 2.000 mm)
Sangat kering (<1.500 mm)
3
2
1
120
80
40
2 Jenis tanah
Andosol, Grumosol, Podsol, Podsolik, Regosols,
Litosols, Renzina
Brown Forest Soil, Non Calsic Brown, Mediteran
Hidromorf kelabu, Tanah Gley, Aluvial, Planosol,
Lateritik air tanah, Latosol
3
2
1
30
90
60
30
3 Geologi
Batuan vulkanik
Batuan sedimen
Batuan berbahan resent (aluvial)
3
2
1
20
60
40
20
4 Kelerengan (%)
> 45
30 – 45
15 – 30
8 – 15
0 – 8
5
4
3
2
1
10
50
40
30
20
10
82
Lampiran 5 Perhitungan kelas bahaya longsor
No Parameter Skor Bobot Nilai
1 Curah Hujan (mm/tahun)
Sangat basah (>3.000 mm)
Basah (2.500 – 3.000 mm)
5
4
33
165
126
Sedang/lembab (2.000 – 2.500 mm)
Kering (1.500 – 2.000 mm)
Sangat kering (<1.500 mm)
3
2
1
99
66
33
2 Jenis tanah
Andosol, Grumosol, Podsol, Podsolik, Regosols,
Litosols, Renzina
Brown Forest Soil, Non Calsic Brown, Mediteran
Hidromorf kelabu, Tanah Gley, Aluvial, Planosol,
Lateritik air tanah, Latosol
3
2
1
27
81
54
27
3 Penggunaan Lahan
Permukiman
Tegalan, sawah
Semak belukar
Perkebunan
Hutan, Perairan
5
4
3
2
1
20
100
80
60
40
20
4 Geologi
Batuan vulkanik
Batuan sedimen
Batuan berbahan resent (aluvial)
3
2
1
13
39
26
13
5 Kelerengan (%)
> 45
30 – 45
15 – 30
8 – 15
0 – 8
5
4
3
2
1
7
35
28
21
14
7
83
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kendal, pada tanggal 18 Oktober 1977 sebagai anak
kedua dari empat bersaudara dari pasangan Gunanto dan Sri Hartati. Telah
menikah dengan Thonang Arthono dan dikarunia dua orang anak, yaitu Qin
Kaynuna Najma Arthono dan Ken Muhammad Zhafran Arthono.
Tahun 1995 penulis diterima di Universitas Diponegoro di Fakultas Teknik
Jurusan Teknik Sipil untuk program Diploma III dan lulus tahun 1999. Pada tahun
1999 melanjutkan di program Ekstension di Universitas Diponegoro di Fakultas
Teknik Jurusan Teknik Sipil dan lulus tahun 2002. Pada Tahun 2010 penulis
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerinta Daerah Kota
Bogor dan ditempatkan di Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman. Penulis
mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah pasca sarjana
pada tahun 2014 dan diterima pada program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
(PWL) IPB dengan bantuan pembiayaan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan
Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren
Bappenas)