ANALISIS SEMIOTIK NILAI-NILAI
NASIONALISME DALAM FILM “GURU BANGSA
TJOKROAMINOTO”
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh : Egy Giana Setyaningsih
NIM : 1111051000141
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini hasil jiplakan dari hasil karya
orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 Juli 2016
EGY GIANA SETYANINGSIH
iii
ABSTRAK
Egy Giana Setyaningsih
1111051000141
Analisis Semiotik Nilai-Nilai NasionAalisme Dalam Film “Guru Bangsa
Tjokroaminoto”
Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” adalah salah satu film tokoh pahlawan
nasional yang jejaknya hampir hilang di mata anak-anak bangsa. Ia adalah salah
seorang tokoh pencetus generasi muda bangsa berbakat, dan juga berperan
penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia seperti Soekarno, Semaoen,
Kartosoewiryo dan Musso. Berbagai konflik yang muncul dari film ini, akhirnya
memberikan aspek penandaan makna, salah satunya yaitu penandaan nilai-nilai
nasionalisme yang terdapat pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
Tjokroaminoto.
Berdasarkan latar belakang diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk
menjawab pertanyaan, Apa makna denotasi, konotasi dan mitos dalam film „Guru
Bangsa Tjokroaminoto‟ menurut teori Roland Barthes? Bagaimana sikap
nasionalisme yang tergambar dalam film „Guru Bangsa Tjokroaminoto‟?
Dalam hal ini, penulis menggunakan teori analisis semiotik model Roland
Barthes dengan pemaknaan dua tahap seperti denotasi dan konotasi yang nantinya
akan menghasilkan mitos. Pengumpulan data dilakukan melalui intensive
interview atau dengan melalui wawancara mendalam dengan produser film,
melakukan observasi ke kantor MSH Films, menyelidiki benda-benda tertulis,
seperti melihat beberapa buku mengenai sosok Tjokroaminoto yang kemudian
mencari tanda nilai-nilai nasionalisme serta makna denotasi, konotasi dan juga
mitos yang tersirat di dalamnya.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan paradigma konstruktivis yang
mana lebih menekankan pada suatu realita dari yang paling umum hingga yang
paling khusus. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini juga menggunakan teknik
sampling, yang mana teknik sampling disini adalah purposive sampling yang
mana dirasa sesuai oleh penulis dengan teknik tersebut.
Hasil yang diperoleh penulis terkait penandaan nilai-nilai nasionalisme pada
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dalam film ini, yaitu
seperti memperjuangkan keadilan, keberanian, pengabdian, serta ketabahan, yang
sudah melekat dalam dirinya semenjak ia remaja bahkan sebelum itu atas dasar
agama Islam, sehingga semakin menunjukkan terbentuknya sikap nasionalisme
yang tinggi terhadap bangsa dan negara pada tokoh Tjokroaminoto. Makna
denotasinya, sosok Tjokroaminoto yang berasal dari keturunan priyai pangreh
praja namun walaupun begitu ia tidak pernah menuruti apa yang diperintahkan
oleh Belanda. Makna konotasinya, Semua itu dikarenakan jiwa nasionalisme
dalam dirinya timbul dari semenjak ia remaja. Mitosnya, semua itu termasuk dari
sikap profesionalitas untuk mensejahterakan rakyatnya dan memegang teguh
amanatnya yang diberikan kepadanya sebagai seorang pemimpin.
Kata kunci : Scene, Film, Nasionalisme, Penelitian, Bangsa dan Negara.
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT pemilik alam semesta, yang
telah melimpahkan rahmat dan karuniaNYA sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tidak lupa pula shalawat beserta salam,
semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW,
yang telah membawa ummatnya dari zaman jahiliyyah menuju era digital seperti
saat ini. Semoga kita semua menjadi ummatnya yang taat dan mendapatkan
syafaatnya sampai akhir zaman. Amin Yaa Rabbal Alamiin.
Tahap demi tahap dengan selalu memohon ridho kepada Allah SWT, dan
alhamdulillah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini,
tentunya dengan dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. Arief Subhan, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu
Komunikasi, Suparto, M.Ed, Ph.D, selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr.
Hj. Roudhonah, MA, selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi Dan Keuangan,
dan Dr. Suhaimi, M.Si, selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, juga
selaku dosen pembimbing penulis yang telah banyak memberikan waktu,
motivasi, serta do‟a kepada penulis.
2. Ketua Prodi Komunikasi Penyiaran Islam, Drs. Masran, MA., dan Sekretaris
Prodi Fita Fathurokhmah, M.Si, yang sudah membantu atas berjalannya skripsi,
juga Rachmat Baihaky, MA., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis.
v
3. Seluruh dosen dan staff Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Segenap karyawan perpustakaan umum dan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah
Dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Kedua orangtuaku tercinta, Bpk. Tugino dan Ibu Siti Nuraeni yang sudah
memberikan motivasi yang tidak ada hentinya kepada penulis berupa do‟a, moril
dan materil, beserta adikku Deny Ahmad Gusti yang juga sudah memberikan
motivasinya untuk penulis. Dan seluruh keluarga besar beserta sanak saudara
penulis yang juga telah membantu atas berjalannya skripsi.
6. Sutradara, Produser khususnya kak Nayaka Untara beserta Kru dan staff Film
Guru Bangsa Tjokroaminoto, Yayasan Keluarga Besar Tjokroaminoto salah
satunya yaitu ustadz Willy selaku cicit dari Tjokroaminoto, Bpk. Aji Dedi
Mulawarman selaku penulis buku Jang Oetama, seluruh staff Dewan Pengurus
Pusat Sarekat Islam ( DPP SI ) khususnya Bpk. Asep, seluruh staff Pengurus
Besar Pemuda Muslimin Indonesia ( PB PMI ) khususnya Bpk. Evick Budianto
selaku Wakil Sekjend, dan Bpk H. Muclis Zamzami Can, Annadwi, MA selaku
ketua 1 PB PMI.
7. Para Sahabat juga teman-teman KPI E angkatan 2011: Siti A‟malina, Laily
Rahmawati, Ira Asri beserta suami, Salma,Tria Malida, Suci Kurnia Kasih, Naziah
Ismi Aulia, Rifka O, Devi, Wulantari, Putri Rizki, Fatma H, Putri A, Budi,
Marthoni, Rizki A. Rosman, Egie Permadi, Asep .A, A. Affandi, Wisnu, Widya
R, Devi P.
8. M. Rizki Arif, Sihabuddin dan yang telah menemani dan meminjamkan leptopnya
untuk membantu penulis menyusun skripsi BAB demi BAB.
vi
9. Segenap guru SDN Kadu II, Mts. Daarul Falah, serta MA. Daarul Falah.
10. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Banten ( HMB ) angkatan 2011, Keluarga
besar Radio Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ( 107,9
RDK fm UIN JKT ) angkatan 2012 khususnya, teman-teman KKN Ricks 2014,
teman-teman Himpunan Keluarga Besar Alumni Daarul Falah ( Hikada )
khususnya angkatan 019 yang selalu memberikan arahan terbaik untuk penulis,
seluruh staff dan anggota Baitul Maal Hidayatullah Jakarta ( BMH ) yang telah
memberikan penulis beasiswa selama hampir 2 tahun dan sama-sama telah
berusaha menjadi tim yang profesional, serta tidak lupa pula Keluarga Besar
Paguyuban Karya Salemba Empat (KSE UIN Jakarta) dan beserta seluruh donatur
yang telah memberikan motivasinya dalam bentuk pelatihan-pelatihan
kepemimpinan juga sejumlah dana beasiswa kepada penulis selama setahun
terakhir, sampai akhirnya penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini sampai
akhir.
Dan tentunya semua pihak yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu di
dalam lembaran ini. Semoga bantuan yang telah kalian berikan kepada penulis
bisa dibalas suatu saat nanti oleh sang Maha Pemberi Balasan, Allah SWT.
Jazaakumullahu Khairan. Amin.
Jakarta, 29 Juli 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... ii
ABSTRAK ...................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 6
D. Tinjauan Pustaka .................................................................... 7
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian........................................................ 8
2. Pendekatan Penelitian....................................................... 9
3. Metode.............................................................................. 9
4. Obyek Dan Subyek Penelitian.......................................... 10
5. Teknik Dan Pengumpulan Data ....................................... 10
6. Teknik Analsis Data ........................................................ 12
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 13
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Semiotika ............................................................. 15
B. Teori Roland Barthes ............................................................. 16
1. Makna Denotatif ............................................................ 18
2. Makna Konotatif ............................................................ 19
3. Makna Mitos ................................................................... 21
C. Pengertian Film ...................................................................... 24
1. Elemen Dasar Produksi Program Televisi / Film ........... 26
2. Unsur-Unsur Dalam Film ............................................... 28
D. Pengertian Guru ..................................................................... 31
1. Tugas Profesional ............................................................ 32
2. Tugas Manusiawi ............................................................ 32
3. Tugas kemasyarakatan .................................................... 32
E. Pengertian Nasionalisme ........................................................ 34
BAB III GAMBARAN UMUM FILM “GURU BANGSA :
TJOKROAMINOTO” A. Lahirnya Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota ............................. 42
B. Gelar “Guru Bangsa” Dalam Film “Guru Bangsa
Tjokroaminoto” ...................................................................... 43
C. Sinopsis Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” ....................... 45
D. Penghargaan Film................................................................... 46
E. Profil Dan Karya-Karya Dari Sutradara ................................. 47
viii
F. Profil Pemain Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”............... 51
G. Tim Produksi .......................................................................... 59
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Makna Denotasi, Konotasi, dan Mitos dalam Film “Guru
Bangsa Tjokroaminoto”
1. Fase Tjokro Remaja
Scene 1................................................................. 62
2. Fase Tjokro Beranjak Remaja
Scene 2................................................................. 66
Scene 3................................................................. 66
3. Fase Tjokro Pertengahan Dewasa
Scene 4................................................................. 69
Scene 5................................................................. 72
Scene 6................................................................. 73
B. Nilai-Nilai Nasionalisme Dalam Film “Guru Bangsa
Tjokroaminoto”. ................................................................... 62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ............................................................................... 79
B. Saran ....................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 83
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Peta Tanda Roland Barthes…................................................... 22
Tabel 2 Silsilah Keluarga Tjokro............................................................ 40
Tabel 3 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 1......... 63
Tabel 4 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 2......... 66
Tabel 5 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 3......... 66
Tabel 6 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 4......... 70
Tabel 7 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 5......... 72
Tabel 8 Temuan Visual, Durasi, Dialog dan Type of Shot Scene 6......... 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak akhir tahun „90an, sineas-sineas dalam negeri mulai bermunculan
dengan kemampuan produksi film yang berkualitas dan dapat diterima sangat baik
oleh masyarakat lokal maupun non lokal khususnya di Indonesia sendiri, sebut
saja seperti Garin Nugraha. Film-film yang sudah diproduksi olehnya bisa
dikatakan sukses dalam penjualannya. Diantara film-film terakhir yang dirilis
pada tahun 2015 lalu, yang paling banyak menarik minat masyarakat adalah film
yang bernuansa nasionalime, yaitu “Guru Bangsa Tjokroaminoto”. Film ini
menceritakan tentang salah satu pahlawan nasional Indonesia yaitu “H.O.S
Tjokroaminoto” karya Garin Nugraha, dan bisa dikatakan film ini cukup banyak
mendapatkan simpatik dan pujian dari masyarakat. Sampai pada akhirnya film ini
pun dapat memenangkan banyak piala award, yaitu terpilih sebagai “Film
Terpuji” Festival Film Bandung (FFB) 20151, pemenang piala Maya 2015,
kemudian menjadi pemenang Piala Citra untuk kategori Film Terbaik di malam
anugerah Festival Film Indonesia (FFI) 20152, dan yang terakhir mendapatkan
lima piala sekaligus pada malam anugerah Usmar Ismail Award 2016 yaitu dua
piala terbaik, dua piala terfavorit dan satu kategori khusus dari Perpusnas RI
1 “Daftar Pemenang Festival Film Bandung”, Artikel diakses pada tanggal 13 Septenber 2015 pkl.
05.30 wib. http://bintang.com/read/daftar-pemenang-festival-film-bandung-2015 2 “Film Guru Bangsa Tjokroaminoto Menjadi Pemenang Festival Film Indonesia”, Artikel diakses
pada tanggal 23/11/2015 pkl. 21.10 wib. http://showbiz.liputan6.com/read/2373307/daftar-pemenang-festival-
film-indonesia-2015
2
(Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)3.
Beberapa film nasionalisme yang ditayangkan di Indonesia biasanya
menceritakan tentang perjalanan seorang tokoh yang berjuang ketika
kemerdekaan atau pasca kemerdekaan. Film ini adalah satu-satunya yang
menggambarkan tentang perjuangan seorang tokoh besar yang sering disebut-
sebut sebagai “Guru Bangsa”, yang memperjuangkan hak hidup rakyat, wilayah
dan negaranya serta menjadi mentor untuk para pejuang muda yang nantinya
menjadi peletak dasar negara Indonesia, dengan landasan perjuangannya yaitu
agama Islam juga untuk mengusir penjajah, jauh sebelum kemerdekaan.
Tokoh seorang Tjokroaminoto sendiri mungkin sudah sering kita dengar
namanya di dalam buku sejarah dulu ketika duduk di bangku sekolah tingkat dasar
dan menengah. Tak banyak orang yang tahu dan bahkan tidak mau tahu,
bagaimana sebenarnya kehidupan seorang tokoh nomor satu ini yang hidup jauh
sebelum kemerdekaan di kota Yogyakarta. Ia mampu memperjuangkan hak hidup
rakyat Jawa, wilayah bahkan negaranya atas pemikiran dan sikapnya yang
nasionalis serta agamis. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia,
Anies Baswedan, ketika ia menjadi salah satu narasumber dalam sebuah program
talkshow “Mata Najwa”, ia mengatakan bahwa, “Tjokroaminoto adalah salah
satu figur yang menyengat dan siapapun yang tersengat itu, sengatannya
positif”4. Karna itulah Tjokroaminoto mampu menyengat para muridnya yang
juga sempat menjadi salah satu bagian dari tokoh kemerdekaan RI, sebut saja
seperti Soekarno, Muso, Semaoen dan Kartosuwiryo. Sehingga, Tjokroaminoto
3 “Penghargaan Usmar Ismal Award : Film Guru Bangsa Tjokroaminoto”, Artikel diakses pada
tanggal 25 Maret 2016 pkl. 17.00 wib. http://berita.suaramerdeka.com/entertainment/usmar-ismail-awards-
2016-7-film-dan-unsur-unsur-unggulan-uia-2016/ 4 “Belajar Dari Guru Bangsa Tjokroaminoto”, dalam Program Mata Najwa edisi 8 April 2015
pkl.20.00 wib.
3
dijuluki sebagai “Raja Jawa Tanpa Mahkota” serta “Guru Bangsa”, yaitu guru dari
beberapa pemuda hebat yang telah menjadi tokoh-tokoh besar Indonesia dengan
berbagai ideologi yang berbeda.
Film ini merupakan biopik dari salah satu pahlawan nasional Indonesia
yaitu HOS Tjokroaminoto. Setelah keluar dari sistem tanam paksa di akhir tahun
1800-an, Hindia Belanda (Indonesia) memasuki babak baru yang memengaruhi
kehidupan rakyatnya. Ia menjadi satu-satunya orang yang paling diharapkan untuk
menjadi pemimpin dan menjadi peletak identitas bangsa. Bagaimana seorang
Tjokroaminoto menghadapi berbagai rangkaian tragedi yang mengatasnamakan
“Hijrah”, serta bagaimana sepak terjang Tjokroaminoto tidak hanya sebagai
politikus yang mana ia menerapkan politik non cooperatif di dalam Sarekat Islam
yang ia pimpin terhadap pemerintahan Belanda dan orang-orang yang tidak
sepaham dengannya, tetapi juga sebagai seorang seniman. Di dalamnya juga
mengandung banyak nilai-nilai nasionalisme, dan banyak hal yang bisa
masyarakat temukan dalam film tersebut, antara lain nilai-nilai ajaran agama
Islam, unsur sejarah, hubungan sosial dan budaya, juga tentunya pendidikan.
Menurut salah satu pemain sekaligus sutradara dalam film “Guru Bangsa
Tjokroaminoto”, Christine Hakim mengatakan bahwa ia sangat menyesalkan
karena sosok Tjokroaminoto yang saat ini sudah mulai dilupakan bahkan nyaris
tak dikenal oleh generasi muda masa kini. Padahal menurut aktor “Pasir Berbisik”
itu, Tjokroaminoto adalah seorang guru bagi tokoh-tokoh Indonesia yang berperan
dalam meraih kemerdekaan bangsa. Ia juga mengatakan bahwa, tokoh-tokoh
muda yang merupakan agent of change (agen perubahan), tak banyak tahu soal
siapa HOS Tjokroaminoto dan ia berharap semoga jalan cerita film ini bisa
4
menjadi inspirasi bagi para generasi muda saat ini5.
Tidak sedikit masyarakat saat ini khususnya pelajar, justru lebih menikmati
pelajaran sejarahnya jika dibuatkan menjadi sebuah gambar yang hidup atau
sebuah film, karena di saat itulah penonton akan menikmati dan berimajinasi
tentang film tersebut dengan gambaran yang jelas, walaupun setiap gambar yang
disajikan belum tentu semuanya dapat dianggap benar jika dibandingkan dengan
membaca buku sejarahnya, yang tentunya akan membuat para pembacanya akan
merasa kantuk dan juga bosan.
Film bergenre drama-biopik ini mendapat apresiasi positif dari banyak
kalangan seperti pelajar, mahasiswa, dan juga guru yang ditunjukkan langsung
dengan menyelenggarakan nonton bareng (NOBAR) di beberapa sekolah dari
berbagai daerah serta Pameran Tingkat Nasional, seperti pada awal sampai akhir
bulan Mei 2015 lalu di Museum Pahlawan Nasional Jakarta. Apresiasi positif juga
didapat dari sebagian tokoh-tokoh besar di Indonesia. Tak terkecuali, Wakil
Presiden Indonesia (Wapres) M. Jusuf Kalla mengatakan bahwa, “Tjokroaminoto
pemimpin bangsa yang hebat. Hal ini karena sosok Tjokroaminoto yang dapat
memberikan nilai positif, karena itu film biopik ini mampu memberikan nilai-nilai
tauladan dari sosok Tjokroaminoto kepada masyarakat Indonesia”6.
Semua ini dapat menjadi tolak ukur awal bahwa, film Guru Bangsa
Tjokroaminoto dapat menjangkau banyak segmen sosial sehingga ia memiliki
potensi besar untuk memengaruhi khalayaknya, karena hakikat makna film sendiri
5 “Pemeran Film Tjokroaminoto Komentar Mengenai Industri Perfilman Indonesia,” Edisi 24 April
2015 Artikel diakses Pada Hari Jum‟at, Tgl 24 April 2015 Pkl. 19.02 Wib Dari
Http://M.Wowkeren.Com/Berita/Tampil/0069115.Html 6“Film Guru Bangsa Tjkroaminoto Dipuji Wapres Jusuf Kalla”,
Http://Lifestyle.Sindonews.Com/Read/992949/158/Film-Guru-Bangsa-Tjokroaminoto-Dipuji-Wapres-Jusuf-
Kalla-1429761450 Artikel diakses Pada Tanggal 2 Mei 2015 Pkl. 13.40
5
adalah selain berfungsi sebagai hiburan, juga perpanjangan dari pemikiran dan
ideologi pembuatnya. Selain itu, film juga memiliki kelebihan dalam
memengaruhi penontonnya, seperti menimbulkan emosi penonton, sehingga
penonton seakan-akan terlibat dalam film tersebut, dan lain sebagainya7. Maka
dari itu, film ini diharapkan mampu menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi
dari sosok guru bangsa Tjokroaminoto terhadap masyarakat yang menontonnya,
dan juga bisa memberikan gambaran keadaan pulau jawa yang dijajah oleh
kolonial Belanda pada saat itu khususnya kota Yogyakarta.
Dari latar belakang tersebut, penulis memutuskan untuk memahami
penandaan nilai-nilai nasionalisme yang terdapat pada tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh Tjokroaminoto lebih mendalam dengan melakukan kajian analisis
semiotik, yaitu menggunakan teori Roland Barthes yang mana mengkaji tentang
makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat dalam film “Guru Bangsa
Tjokroaminoto”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan penelitian dan memberikan arahan yang tepat
dalam pembatasan masalah ini sehingga tidak terlalu meluasnya pembahasan,
maka dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah dengan mengambil
beberapa potongan adegan dan teks yang berhubungan dengan sikap nasionalisme
dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto“ khususnya pada alur cerita di tahun
1902, 1905 dan 1913. Karena menurut penulis, alur cerita pada tiga tahun tersebut
dalam film merupakan masa-masa dimana Tjokro menjalani beberapa fasenya,
7 Elita Primasari Hananta, “Konten Kekearasan Dalam Film Indonesia Anak Terlaris Tahun 2009-
2011”, Jurnal E-Komunikasi, no. 1 (September 2013) h. 7.
6
fase dimana mulai tumbuh sampai menguatnya rasa nasionalisme dalam dirinya,
yaitu ketika ia remaja hingga beranjak dewasa.
Berdasarkan batasan diatas, maka penulis merumuskan permasalahannya
yaitu sebagai berikut :
1) Apa makna denotasi, konotasi dan mitos dalam film “Guru Bangsa
Tjokroaminoto“ menurut teori semiotika Roland Barthes?
2) Bagaimana penandaan nilai-nilai nasionalisme yang tergambar pada
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dalam film “Guru
Bangsa Tjokroaminoto”?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah agar penulis dapat mengetahui nilai-nilai nasionalisme yang tergambar
pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto, yang mencakup
dalam sejarah, serta pendidikan dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” dengan
menggunakan konsep semiotika Roland Barthes, yaitu menjelaskan tentang
makna denotasi, konotasi serta mitos.
2. Manfaat penelitian
a) Manfaat akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada seluruh
mahasiswa/i ilmu komunikasi dalam mengkaji semiotika, khususnya kepada
penulis tentang kajian semiotika dalam film, yang mana dalam penelitian ini
menggunakan analisis semiotik model Roland Barthes.
7
b) Kegunaan praktis
Agar dapat digunakan sebagai salah satu pengembangan evaluasi kelebihan
dan kekurangan film yang telah dibuat sebelumnya, sehingga untuk kedepannya
dapat membuat serta menghasilkan banyak film-film yang lebih berkualitas tanpa
harus menyinggung golongan atau kelompok-kelompok tertentu.
D. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan semiotika,
sehingga skripsi ini bisa menjadi pelengkap dari tulisan-tulisan sebelumnya.
Penelitian-penelitian tersebut antara lain :
Skripsi “Penerapan sikap politik Non Cooperatif H.O.S Cokroaminoto
dalam Sarekat Islam (1912-1934 M)” disusun oleh Titik Arum Ahadiyati
mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2014.
Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian diatas, yaitu
sama-sama meneliti pahlawan nasional Indonesia, HOS Tjokroaminoto. Namun
dalam penelitian terdahulu hanya menekankan pada sikap politik non
cooperatifnya saja dalam organisasi Sarekat Islam yang ia pimpin pada tahun
1912. Sedangkan dalam penelitian ini berobjektifkan film biopik terbaru HOS
Tjokroaminoto yang dirilis pada tahun 2015 lalu, dan lebih menekankan pada
nilai-nilai sikap nasionalismenya saja dengan menggunakan semiotik Roland
Barthes.
Skripsi “Representasi Tjokroaminoto Dalam Cover Dan Suplemen Majalah
Berita Tempo Edisi Kemerdekaan” disusun oleh Irvan Wiradinata mahasiswa
Universitas Padjajaran pada tahun 2012.
8
Terdapat keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian diatas, yaitu
sama-sama meneliti tokoh Tjokroaminoto dengan menggunakan teori semiotik
Roland Barthes. Namun dalam penelitian yang terdahulu hanya menekankan pada
makna yang terkandung dalam karikatur tokoh Tjokroaminoto pada sampul dari
majalah Tempo. Sedangkan dalam penelitian ini lebih menekankan pada nilai
nasionalismenya saja yang tergambar dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan
bagaimana cara pandang penulis terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan
penulis terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan
bagaimana penulis memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai
landasan untuk menjawab masalah penelitian8.
Pada penelitian ini penulis menggunakan paradigma konstruktivis.
Penelitian kualitatif berlandaskan paradigma kontruktivis ini lebih menekankan
pada suatu realita dari yang paling umum hingga yang paling khusus.
Paradigma ini memandang komunikasi sebagai suatu proses produksi dan
pertukaran makna. Dua hal yang menjadi karakteristik penting dari paradigma
ini adalah politik pemaknaan dan proses seseorang membuat gambaran tentang
realitas dan komunikasi sebagai sebuah kegiatan yang dinamis9. Dengan
paradigma ini, penulis ingin mengetahui bagaimana nilai-nilai nasionalisme
8Pengertian Paradigma Penelitian Kualitatif, http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-
ku/pengertian-masalah-variabel-paradigma-penelitian/ Artikel Diakses Pada Tanggal 22 September 2016
pkl. 20.00 wib 9 Eriyanto, Analisis Framing : Ideologi Dan Politik Media, (Yogyakarta : LKIS, 2005) h. 42
9
yang tergambar pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto
dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang
ditunjukkan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa,
aktivitas sosial, sikap, pemikiran orang secara individual maupun kelompok.
Data dihimpun dengan pengamatan yang seksama, mencakup deskripsi
dalam konteks yang mendetail disertai catatan hasil wawancara mendalam,
serta hasil analisis dokumen.
Dalam hal ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan teknik sampling, yang mana teknik sampling disini adalah
purposive sampling. Jenis penelitian ini menghasilkan penemuan-penemuan
yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau
dengan cara kuantifikasi lainnya10. Adapun pertimbangan penelitian sampel
bukan berdasarkan pada aspek keterwakilan populasi di dalam sampel.
Pertimbangannya lebih pada kemampuan sampel (informan) untuk
memasok informasi selengkap mungkin kepada penulis.
3. Metode
Dalam hal ini, untuk mengkaji tanda nilai-nilai nasionalisme yang
terkandung dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”, penelitian ini
menggunakan metode analisis semiotik yang mengacu pada teori Roland
Barthes, dimana penulis merasa sesuai dengan bentuk penelitian ini. Dengan
10
Basrowi Sudikin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif mikro, (Surabaya : Penerbit Insan
Cendikia, 2002)h.32
10
pemaknaan dua tahap seperti konotasi, denotasi yang nantinya akan
menghasilkan mitos yang digunakan oleh Roland Barthes dalam teori
semiotiknya. Ia menelusuri makna dengan pendekatan budaya yaitu
semiotik makro, dimana Barthes memberikan makna pada sebuah tanda
berdasarkan kebudayaan yang melatarbelakangi munculnya makna tersebut.
Dengan demikian makna dalam tataran mitos dapat diungkap sesuai dengan
keunggulan semiotik Roland Barthes yang terkenal dengan elemen
mitosnya.
Penulis akan mengidentifikasi enam scene saja yang berkaitan dengan
rumusan masalah yang ingin diteliti. Tidak semua scene dalam film ini
diteliti, dikarenakan agar analisis yang ada, sesuai dengan fokus penelitian.
Dari enam scene tersebut, penulis menemukan penandaan sikap
nasionalisme yang terkandung dalam film, khususnya pada alur cerita tahun
1902, 1905 dan 1913. Karena menurut penulis, pada tiga tahun tersebut
dalam film merupakan masa-masa dimana Tjokro menjalani beberapa
fasenya, fase dimana mulai tumbuh sampai menguatnya rasa nasionalisme
dalam dirinya, yaitu fase ketika Tjokro remaja sampai ia beranjak dewasa.
4. Objek Dan Subjek Penelitian
Adapun subjek penelitian ini adalah film “Guru Bangsa
Tjokroaminoto“, dan objeknya adalah potongan-potongan gambar (scene)
atau visual beserta teksnya yang terdapat dalam film “Guru Bangsa
Tjokroaminoto“ juga yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.
11
5. Teknik Pengumpulan Data
1) Observasi
Observasi adalah Cara atau metode penghimpunan data yang
dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara
sistematis terhadap fenomena yang sedang dijadikan sasaran
pengamatan. Difokuskan sebagai upaya penulis mengumpulkan data
dan informasi dengan mengoptimalkan pengamatan penulis.
Observasi dilakukan dengan mengunjungi kantor production house
MSH Films di jakarta.
2) Wawancara Mendalam
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif
ini adalah intensive-interview atau wawancara mendalam dari satu
responden bergulir ke responden lain yang memenuhi kriteria sampai
mengalami titik jenuh. Tehnik pengambilan data pada penelitian ini
melalui pertanyaan yang diajukan secara lisan dan tulisan kepada
informan. Penulis mewawancarai pihak yang mengetahui film “Guru
Bangsa Tjokroaminoto”, yaitu salah satunya adalah produser film
tersebut.
3) Dokumentasi
Teknik pengumpulan data sekunder dimana penulis menyelidiki
benda-benda tertulis, seperti melihat beberapa buku mengenai sosok
Tjokroaminoto yang kemudian menganalisis tiap scene-scene dalam
film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”.
12
Dalam penelitian ini data-data dikumpulkan dan dibagi menjadi dua
bagian, dan penulis mengamati langsung data-data yang sesuai dengan
pertanyaan penelitian. Adapun instrument penelitiannya adalah11 :
a) Data primer (data yang diperoleh langsung dari sumbernya), berupa
dokumen elektronik seperti Softcopy film “Guru Bangsa
Tjokroaminoto“ dengan teks bahasa Indonesia.
b) Data sekunder (data yang diperoleh tidak langsung dari sumbernya),
berupa dokumen tertulis, yaitu seperti resensi film ”Guru Bangsa
Tjokroaminoto“ baik dari majalah, artikel di internet, jurnal
komunikasi, dan buku-buku yang relevan dengan penelitian.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk
yang lebih mudah dimengerti. Analisis yang digunakan pada penelitian ini
adalah analisis data kualitatif, yaitu analisa yang diperoleh melalui proses
observasi langsung terhadap obyek yang diteliti untuk mendapatkan data
yang sesuai dengan tujuan penelitian dan studi pustaka yang tidak
memungkinkan untuk menggunakan pengukuran secara numerik atau
analisis kuantitatif12.
Langkah langkah dalam teknik analisis data adalah :
1) Reduksi Data.
Reduksi data adalah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan
11
Sugiyono, Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R&D, ( Bandung : Alfabeta, 2010), h.
19. 12
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif : Teori dan Praktek, (Jakarta : Bumi Aksara, 2013),
hal. 143
13
mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan
fokus atau masalah yang ingin dijawab, supaya dapat disederhanakan
dan akhirnya dapat dipahami dengan mudah juga untuk memastikan
bahwa data yang diolah masuk dalam cakupan penelitian13.
2) Penyajian Data.
Dalam penelitian ini, penulis mengembangkan sebuah deskripsi
informasi tersusun untuk menarik kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian data yang lazim digunakan dalam penelitian ini
adalah dalam bentuk teks naratif.
3) Penarikan Kesimpulan.
Setelah data-data terangkum dan dijabarkan, penulis akan membuat
kesimpulan yang nantinya dapat digunakan untuk menjawab
rumusan masalah.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan membaginya menjadi 5 (lima)
bab, dan masing-masing bab akan dibagi-bagi menjadi sub-sub bab, yaitu sebagai
berikut:
BAB I Pendahuluan
Pada bab ini, dijelaskan apa saja yang akan dibahas dari latar
belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, serta
sistematika penulisan.
13
Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian Kuantitatif-Kualitatif, (Malang : Maliki Press, 2010), h.23.
14
BAB II Tinjauan Teoritis.
Terdiri dari definisi dan konsep semiotika, penjelasan tentang teori
Roland Barthes yang terdiri dari makna konotasi, denotasi dan
mitos, definisi dan konsep film serta unsur-unsur dasarnya,
pengertian guru, juga definisi dan konsep nasionalisme.
BAB III Gambaran Umum Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto“.
Berisi tentang lahirnya sang “Raja Jawa Tanpa Mahkota”, Gelar
“Guru Bangsa” dalam film, sinopsis film, penghargaan film, profil
tentang sutradara & karya-karyanya beserta pemeran dan kru dalam
film.
BAB IV Hasil Penelitian
Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang terdiri dari makna
denotasi, konotasi dan mitos dalam Film “Guru Bangsa
Tjokroaminoto”, dan nilai-nilai nasionalisme dalam film “Guru
Bangsa Tjokroaminoto”.
BAB V Penutup.
Pada bab ini, berisi kesimpulan dan saran yang berkaitan tentang
hasil penelitian yang sudah diteliti.
15
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Semiotika
Istilah manakah yang lebih disukai, semiotika atau semiologi;
semiotics/semiology? Yang jelas kata semiotika disamping kata semiologi dalam
sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semasiology, sememik,
dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari
suatu tanda atau lambang.
Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling
menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang
tanda. Para ahli umumnya cenderung tidak begitu mau dipusingkan oleh kedua
istilah tersebut, karena mereka menganggap keduanya sebenarnya sama saja. Satu
satunya perbedaan antara keduanya, menurut Hawkes adalah bahwa istilah
semiologi biasanya digunakan di eropa, sedangkan semiotika cenderung dipakai
oleh mereka yang berbahasa inggris1.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified)2.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari
jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.
Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak
1 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Cet-1, 2003), h. 12.
2 Sarjinah Zamzamah, Semiotika dalam Berhala, dalam Tonil-Kajian Sastra, Teater dan Sinema
Vol.1 No.1 November 2000, (Yogyakarta : Tonil Press, 2000), h.2
16
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu
hendak berkomunikasi, dalam hal mana objek-objek itu berkomunikasi, tetapi
juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda3.
Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa yunani, semeion yang berarti
tanda atau seme yang berarti penafsir tanda. Semiotika berakar dari studi klasik
dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. Tanda pada saat itu masih
bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain4. Manfaat semiotika itu
sangat besar melampaui sekedar penjelasan tentang suatu bahasa. Menurut Alo
Liliweri dalam bukunya menyatakan bahwa semiotika menjadi sangat penting
untuk dipelajari karena sangat bermanfaat untuk menjelaskan berbagai makna
seperti model pakaian, teks atau suara iklan, genre budaya populer di TV dan film,
tampilan musik, wacana politik, hingga segala bentuk tulisan dan pidato5.
B. Teori Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
getol mempraktikkan model linguistic dan semiology saussurean. Ia juga
intelektual dan kritikus sastra prancis yang ternama, eksponen penerapan
srukturalisme dan semiotika pada studi sastra6. Roland Barthes merupakan orang
yang pertama kali menyusun model sistematis untuk menganalisa negosiasi dan
gagasan makna interaktif7.
3 Paul Cobley dan Litza Jansz, “Mengenal Semiotika For Beginner”, (Bandung : Mizan, 2002) h.21
4 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta : Jalasutra, 2009) h.11
5Alo Liliweri, komunikasi : Serba Ada Serba Makna, (Jakarta : Kencana, 2011) h. 346
6Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2003), Cet-1, h. 63
7 Ismail Sam Giu, “Analisis Semiotika Kekerasan Terhadap Anak Dalam Film Ekskul” no.1, h. 94
17
Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah protestan di
Cherbourgh dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai atlantik di sebelah
barat daya Prancis. Ayahnya seorang perwira angkatan laut yang meninggal di
sebuah pertempuran di laut utara, sebelum usia Barthes genap mencapai satu
tahun. Kemudian ia diasuh oleh ibu, kakek dan neneknya. Ketika ia didera
penyakit TBC antara tahun 1943 – 1947, masa-masa istirahatnya ia gunakan untuk
banyak membaca banyak hal. Sampai akhirnya ia menerbitkan sebuah artikel
tentang Andre Guide. Setahun kemudian, ia kembali ke paris dan masuk
universitas sarbonne dengan mengambil studi bahasa latin, sastra perancis dan
klasik (Yunani dan Romawi).
Barthes telah menulis banyak buku, diantaranya telah menjadi bahan
rujukan penting untuk studi semiotika di Indonesia. Buku Barthes lain yang
banyak mendapat sorotan adalah Mythologies (mitologi-mitologi).
Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan
pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori itu
dikaitkan dengan desain komunikasi visual (DKV), maka setiap pesan DKV
merupakan pertemuan antara signifier (lapisan ungkapan) dan signified (lapisan
makna).
Terkait dengan itu, Barthes mengemukakan teorinya tentang makna
konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu
dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi
menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala
makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya
18
berlangsung ketika interpretantt dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan
objek atau tanda.
1. Makna Denotatif
Makna denotatif pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-
kata (yang disebut sebagai makna referensial). Denotasi adalah hubungan yang
digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas
memegang peranan penting dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung yaitu
makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut
sebagai gambaran sebuah petanda. Makna denotatif bukanlah sesuatu yang bisa
dipastikan dengan tepat. Makna ini adalah generalisasi8. Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia makna ini berkaitan dengan konotasi, yaitu bermakna kata atau
kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar
bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif9.
Makna denotasi bersifat langsung, dan dapat disebut sebagai gambaran dari
suatu petanda10. Dengan demikian, jika kita memperhatikan sebuah objek
misalnya tokoh pahlawan nasional yaitu Tjokroaminoto, maka makna denotasi
yang terkandung adalah “seorang pria jawa yang selalu memakai belangkon / peci
(kopiah) berwarna hitam, baju beskap (yaitu baju jas pendek, berleher tinggi,
berlengan panjang, kancingnya diatas dan disisi sebelah kiri)11, sarung bermotif
batik, serta memiliki bentuk kumis yang panjang dan agak sedikit melengkung”.
8Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, terjemahan oleh A. Gunawan Admiranto
“Understanding Media Semiotics” (London : Arnold Publisher,2002), (Yogyakarta : Penerbit Jalasutra,
2002), hal.43 9 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, ISBN
9789796662913, Tebal 1371 halaman. h. 611 10
Eriyanto, “Laki-Laki Sebagai Korban Dalam Perkawinan Poligami : Analisis Semiotika Film Ayat-
Ayat Cinta Karya Hanung Bramantyo,” Jurnal Ilmu Komunikasi vol.1 No.1 (Juli 2013) : hal. 94 11
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, ISBN
9789796662913, Tebal 1371 halaman. h.149
19
Pada tahapan ini hanya informasi data saja yang disampaikan, karena makna
denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal
serta dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan tertentu, tanpa harus
melakukan penafsiran terhadap tanda denotatif tersebut12.
Penanda dan petanda pada tingkat denotasi ini kemudian menjadi satu dan
membentuk penanda tersendiri yang kemudian dimaknai pada tingkat kedua yaitu
konotasi. Barthes pun menjelaskan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat
didominasi oleh konotasi. Berikut penjelasannya tentang konotasi.
2. Makna Konotatif
Kata konotasi berasal dari bahasa latin yaitu connotare, “menjadi tanda” dan
mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata (dan
bentuk-bentuk lain dari komunikasi). Kata konotasi melibatkan simbol-simbol,
historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional13.
Konotasi juga bisa diartikan sebagai mode operatif dalam pembentukan dan
penyandian teks-teks kreatif seperti puisi, novel, komposisi musik, dan karya-
karya seni. Dan tentu saja, semua teks dan genre media massa didasarkan atas
konotasi, karena semuanya dirancang untuk membangkitkan makna yang
signifikan secara budaya14. Konotasi itu cukup kuat karena membangkitkan
perasaan dan persepsi tentang segala sesuatu. Seperti yang dikemukakan oleh
filsuf Amerika Serikat, Susanne Langer di dalam karangannya yang diterbitkan
pada tahun 1948, menyatakan bahwa “bentuk-bentuk artistik memiliki kekuatan
12
Melisa Mayo, “Teori Semiotik Konotasi Foto Menurut Barthes”. Artikel Diakses Pada Tanggal 10
Mei 2016 Pkl. 14.38 WIB. http://melisamayo.blogspot.co.id/2009/12/teori-semiotik-konotasi-foto-menurut-
Barthes.html/m=1 13
Arthur Asa Berger, Teknik-Teknik Analisis Media, Diterjemahkan Oleh Setio Budi HH (Yogyakarta
: Percetakan Universitas Atma Jaya, 2000) hal. 31 14
Sherman Zein, "Kajian Etnografi Dalam Mengungkapkan Simbol Budaya Dan Maknanya di
masyarakat", Journal of Advanced Communication Exposure Vol.1, No.1, Februari 2011. h 148
20
tertentu karena kita “merasa” bahwa mereka memiliki banyak hal yang bisa
dikatakan kepada kita, jauh lebih banyak daripada yang kelihatan pertama kali
secara sekilas”15.
Konotasi adalah pengembangan segi petanda oleh pemakai tanda sesuai
sudut pandangnya. Makna konotatif akan sedikit berbeda dengan makna denotatif
dan akan dihubungkan dengan kebudayaan yang tersirat didalam pembungkusnya
tentang makna yang terkandung didalamnya, kemudian dihubungkan dengan
kebudayaan dan gambaran yang akan dipancarkan serta akibat yang akan
ditimbulkan, dan lain sebagainya16. Makna tersebut jika dihubungkan dengan
tokoh Tjokroaminoto diatas, maka tentunya akan dihubungkan dengan
kebudayaan jawa, karena tokoh Tjokroaminoto sendiri berasal dari tanah jawa.
Misalnya seperti, tokoh ini menggambarkan sosok yang terlihat gagah
berani, pintar, juga cerdik. Walaupun ia seorang yang lahir dari keturunan priyai
jawa yang lekat dengan kesantunan, namun ia tetap tegas menanggapi segala
permasalahan yang ada. Ia tetap terlihat seperti priyai jawa pada umumnya namun
agak sedikit terlihat menyamai tampilan dirinya dengan tampilan penjajah
Belanda seperti, mengenakan baju beskap dipadukan dengan sarung yang
bermotif batik juga tampilan bentuk kumisnya yang panjang dan sedikit
melengkung, inilah bentuk perlawanannya terhadap penjajah yang terlihat jelas
dari tampilan fashion statement nya yaitu pakaian yang ia kenakan pada masa itu.
Ia berani melawan dan mampu memberontak para penjajah Belanda dengan
pemikiran-pemikirannya yang cerdik. Nama partai nya memang sarekat islam,
15
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan
Analisis Framing, (Bandung : Rosdakarya, 2006) hal. 95 16
Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer,
Terjemahan M. Dwi Marianto (Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana, 2010) hal. 65
21
namun Tjokroaminoto sendiri tidak pernah memakai sorban seperti kebanyakan
ummat muslim lainnya yang menandakan bahwa ia adalah seorang muslim,
contoh salah satunya yaitu pangeran Diponegoro, orang-orang sekitarnya pun
memakai sorban, namun ia tetap memakai peci (kopiah). Ini juga merupakan
bentuk nasionalisme yang tergambar dari sosok Tjokroaminoto.
1. Makna Mitos
Seperti yang dikatakan oleh Barthes, tema-tema yang ada di dalam berbagai
dongeng paling awal yang dimiliki manusia dikenal dengan nama mitos, terus
merasuk ke dalam dan menjadi sumber informasi kegiatan pendongengan di
dalam budaya pop17. Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus
diyakini kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos bukan konsep atau ide
tetapi merupakan suatu cara pemberian arti. Secara etimologis, mitos merupakan
suatu jenis tuturan, tentunya bukan sembarang tuturan. Suatu hal yang harus
diperhatikan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi, yakni suatu pesan
(message). Tetapi mitos tidak didefinisikan oleh objek pesan melainkan dengan
cara menuturkan pesan tersebut, misalnya dalam mitos, bukan hanya menjelaskan
tentang objek pohon secara kasat mata, tetapi yang penting adalah cara
menuturkan tentang pohon tersebut18. Artinya, ketika seseorang menjelaskan
tentang pohon dapat dibuat dalam berbagai macam versi. Pohon yang diutarakan
oleh kelompok lingkungan bukan saja sebagai objek tetapi pohon mempunyai
makna yang luas, psikologi, sakral, pelestarian dan sebagainya. Dalam artian,
pohon diadaptasi untuk suatu jenis konsumen, dengan kerangka literatur yang
17
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, terjemahan oleh A. Gunawan Admiranto
“Understanding Media Semiotics” (London : Arnold Publisher,2002), (Yogyakarta : Penerbit Jalasutra,
2002), hal.55 18
A.V. Zoest, Semiotika, Tentang Tanda, Cara Kerjanya. Terjemahan Ani Sukowati. (Jakarta:
Yayasan Sumber Agung).
22
mendukung dan imaji-imaji tertentu yang difungsikan untuk keperluan sosial
(social usage) yang ditambahkan pada objek murni.
Mitos yang berurusan dengan semiologi telah berkaitan dengan dua istilah,
yakni penanda (signified), dan petanda (signified), dan kemudian bertautan
kembali dengan istilah sign. Misalnya satu karangan bunga menandakan cinta.
Dalam hal ini berarti tidak hanya berurusan dengan penanda dan petanda, bunga
dan cinta, karena dalam tahap analisis terdapat tiga istilah, bunga yang
menandakan cinta adalah tanda. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, dapat
dilihat bagan di bawah ini :
1. Signifier (penanda) 2. Signified (petanda)
3. Sign (tanda)
Kajian mitos yang paling populer di abad ke-20 adalah kajian yang
dilakukan oleh akademisi Amerika Joseph Campbell (1904-1987). Dalam
bukunya yang sangat laris, Campbell menggabungkan pandangan psikologi
jungian dan linguistik untuk memformulakan suatu teori umum mengenai asal –
usul, pengembangan, dan kesatuan seluruh budaya manusia. Jika seseorang
mendengar guntur di langit, dan dia kurang memahami akan “guntur”, maka
guntur dapat dijelaskan sebagai suara dewa yang sedang marah; jika hujan, maka
hal tersebut dapat dijelaskan sebagai air mata dewa dan sebagainya. Suatu mitos
adalah penceritaan akan peristiwa-peristiwa semacam itu19.
19Marcel Danesi, Pesan, Tanda, Dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan
Komunikasi, (Yogyakarta : Jalasutra, 2012), h. 173
23
Mitos menurut Roland Barthes bukanlah mitos seperti apa yang kita pahami
selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, a historis,
dan irasional, tetapi tentang tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of speak
(tipe wicara atau gaya bicara) seseorang, dan digunakan seseorang untuk
mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Mitos memiliki empat ciri
20:
a) Distorsif, hubungan antara form dan konsep bersifat distorsif dan
deformatif. konsep mendistorsi form sehingga makna pada sistem tingkat
pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang
sebenarnya.
b) Intensional, mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan,
dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu.
c) Statement of facts, mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita
menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan
lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam.
d) Motivasional, menurut Barthes bentuk mitos mengandung motivasi.
Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai
kemungkinan konsep yang akan digunakan.
Jika konotasi sudah menguasai masyarakat maka akan menjadi mitos.
Barthes mencoba menguraikan betapa kejadian sehari-hari menjadi “wajar”,
padahal itu mitos belaka akibat konotasi yang mantap di tengah masyarakat21. Jika
dihubungkan dengan tokoh Tjokroaminoto diatas adalah julukannya yang
20
Melisa Mayo, “Teori Semiotik Konotasi Foto Menurut Barthes”. Artikel Diakses Pada Tanggal 10
Mei 2016 Pkl. 14.38 WIB. http://melisamayo.blogspot.co.id/2009/12/teori-semiotik-konotasi-foto-menurut-
Barthes.html/m=1 21
Renata Pertiwi Isadi, “Bushido Pada Perempuan Jepang : Memaknai Nilai-Nilai Bushido pada
Perempuan jepang dalam Film Rurouni Kenshin,” Communication V, no. 2 (Oktober 2014) : hal. 89
24
diberikan oleh rakyat jawa pada masa itu yaitu „raja jawa tanpa mahkota‟, sampai
akhirnya terdengar hingga ke pelosok-pelosok kota. Sebutan tersebut bermula dari
konotasi yang beredar kuat sehingga menguasai ideologi masyarakat jawa pada
masa itu kemudian menjadi mitos, yaitu anggapan masyarakat yang memandang
tokoh Tjokroaminoto terlihat sangat gagah, pemberani juga cerdik melawan
penjajah Belanda dengan ideologi-ideologinya. Hanya Tjokro yang berani
melawan dan memberontak Belanda hingga masyarakat merasa dilindungi dan
diayomi oleh sosok pahlawan di tanah jawa yaitu Tjokro. Sampai akhirnya ia
dapat mencetak murid-murid yang bernyali besar dan menjadi tokoh-tokoh besar
Indonesia dengan berbagai ideologi hebat yang berbeda seperti Soekarno,
Semaoen, Musso dan Kartosoewiryo sehingga masyarakat menyebutnya dengan
gelar „Raja jawa tanpa mahkota‟. Ini semua berasal dari sikap nasionalismenya
yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya.
C. Pengertian Film
Secara harfiah menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia makna film adalah
selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan
dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan dalam
bioskop) atau lakon (cerita) gambar hidup22.
Film sebagai karya seni sering diartikan hasil cipta karya seni yang memiliki
kelengkapan dari beberapa unsur seni untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya
spiritual. Dalam hal ini unsur seni yang terdapat dan menunjang sebuah karya film
adalah: seni rupa, seni fotografi, seni arsitektur, seni tari, seni puisi sastra, seni
teater, seni musik. Kemudian ditambah lagi dengan seni pantomin dan novel.
22 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, ISBN
9789796662913, Tebal 1371 halaman. h. 330
25
Kesemuannya merupakan pemahaman dari sebuah karya film yang terpadu dan
biasa kita lihat.
Foto bergerak pertama berhasil dibuat pada tahun 1877 oleh Eadeward
Muybridge, fotografer Inggris yang bekerja di California. Muybridge mengambil
serangkaian gambar foto kuda berlari, mengatur sederetan kamera dengan benang
tersambung pada kamera shutter. Prosedur Muybridge mempengaruhi para
penemu di pelbagai Negara dalam mengembangkan peralatan perekam citra
bergerak. Salah satu dari mereka adalah Thomas Edison (1847-1931) yang untuk
pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada tahun 1888 ketika ia
membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang asistennya ketika
sedang bersin. Segera sesudah itu, di tahun 1895, Auguste Marie Louis Nicolas
Lumiere (1862-1954) dan saudara laki lakinya Louis Jean Lumiere (1864-1948)
memberikan pertunjukan film sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris.
Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra
fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan
nyata. Pada tingkat penanda film merupakan cermin kehidupan metaforis23.
Tiga kategori utama film adalah film fitur, film dokumentasi, dan film
animasi yang secara umum dikenal sebagai film kartun. Film fitur merupakan
karya fiksi, yang strukturnya selalu berupa narasi, yang dibuat dalam tiga tahap.
Tahap pra produksi merupakan periode ketika skenario diperoleh.
1. Film dokumenter merupakan film non fiksi yang menggambarkan situasi
kehidupan nyata dengan setiap individu menggambarkan perasaannya
dan pengalamannya dalam situasi yang apa adanya, tanpa persiapan,
23
Suwarno, "Representasi Makna Visual Poster Film Religius (Studi Semiotika Poster Charles S.
Pierce Pada Film 99 Cahaya di Langit Eropa), Jurnal Communication V, No.2, Oktober 2014.
26
langsung pada kamera atau pewawancara. Dokumenter seringkali
diambil tanpa skrip dan jarang sekali ditampilkan di gedung bioskop
yang menampilkan film-film fitur.
2. Animasi adalah teknik pemakaian film untuk menciptakan ilusi gerakan
dengan serangkaian gambar benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan
tradisional dari animasi gambar bergerak selalu diawali hampir
bersamaan dengan penyusunan story board, yaitu serangkaian sketsa
yang menggambarkan bagian penting dari cerita24.
1. Elemen Dasar Produksi Program Televisi / Film
Ada beberapa elemen dasar dari sebuah produksi program televisi,
disamping sebuah teamwork sudah pasti ada perangkat system yang tidak bisa
ditinggalkan seperti tata kamera, tata cahaya/lighting, tata suara/audio. Switching
dan editing, video tape recording, special effects dan lain lain25.
Teknik Dasar Pengambilan Gambar
a. ELS (Extreme long shoot)
Shot tipe ini mengambil gambar objek sangat jauh sehingga kadang
objek terlihat kurang jelas. Teknik ini bertujuan untuk menunjukkan
lingkungan sekitar objek dan dirancang untuk menujukkan dimana tempat
tindakan diambil26.
24
Marcel Danesi,Pengantar Memahami Semiotika Media (terjemahan oleh A. Gunawan Admiranto
“Understanding Media Semiotics” (London : Arnold Publisher,2002)), (Yogyakarta : Penerbit Jalasutra,
2002), hal. 134 25
Ciptono Setyobudi, Teknologi Broadcasting Tv, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2012), Edisi 2. 26
Marcel Danesi,Pengantar Memahami Semiotika Media (terjemahan oleh A. Gunawan Admiranto
“Understanding Media Semiotics” (London : Arnold Publisher,2002)), (Yogyakarta : Penerbit Jalasutra,
2002), hal.31.
27
b. VLS (Very long shoot)
Shot tipe ini untuk mengambil lebih dekat dengan lingkungan sekitar
objek, teknik ini juga bisa memfokuskan pada satu objek seperti berada
dalam jendela.
c. LS (Long shoot)
Shot tipe ini mengambil objek dalam bingkai yang penuh dari gambar
kaki objek dan juga mengambil pada bagian kepala hampir pada bagian atas
frame. Teknik ini agak sulit untuk dikerjakan karena dari awal sampai akhir
harus selalu mengikuti pergerakan objek.
d. Full Shoot
Shot tipe ini diambil lebih padat, sehingga frame terisi objek dengan
terlihat keseluruhan badannya, akan tetapi lebih padat.
e. Medium Shoot
Pengambilan gambar dengan tipe shot ini bertujuan untuk
menunjukkan objek lebih detail dan juga bisa menunjukkan emosi yang
ditampilkan oleh objek. Teknik ini banyak digunakan pada penyampaian
berita televisi pada presenter, wartawan yang akan mewawancarai sehingga
objek dengan leluasa mengeluarkan ekspresinya, gerak tangan, wajah dan
lain lain.
f. Medium Close Up
Shot tipe ini mengambil gambar dari dada sampai atas kepala untuk
menunjukkan ekspresi lebih jelas.
g. Close Up
Shot ini hanya mengambil gambar pada bagian wajah, close up.
28
Teknik ini lebih menonjolkan ekspresi wajah dari objek. Close up juga
dapat digunakan sebagai teknik cut-in, dengan teknik ini penonton dapat
menggambarkan atau merasakan pribadi sang objek.
Extreme Close Up.
Pengambilan gambar tipe ini sangat dekat sekali, hanya menampilkan
bagian tertentu pada tubuh objek.
2. Unsur-Unsur Dalam Film
Film merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan
kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau
profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antara
lain: produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata
artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang
film)27.
a) Produser
Unsur paling utama (tertinggi) dalam suatu tim kerja produksi atau
pembuatan film adalah produser. Karena produserlah yang menyandang
atau mempersiapkan dana yang dipergunakan untuk pembiayaan produksi
film. Produser merupakan pihak yang bertanggungjawab terhadap berbagai
hal yang diperlukan dalam proses pembuatan film. Selain dana, ide atau
gagasan, produser juga harus menyediakan naskah yang akan difilmkan,
serta sejumlah hal lainnya yang diperlukan dalam kaitan proses produksi
27
“Sejarah Film” Artikel diakses pada hari kamis, tanggal 23 april 2015, pkl 09.15 WIB.
http://www.kajianpustaka.com/2012/10/pengertian-sejarah-dan-unsur-unsur-film.html
29
film28.
b) Sutradara
Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling bertanggungjawab
terhadap proses pembuatan film di luar hal-hal yang berkaitan dengan dana
dan properti lainnya. Karena itu biasanya sutradara menempati posisi
sebagai “orang penting kedua” di dalam suatu tim kerja produksi film. Di
dalam proses pembuatan film, sutradara bertugas mengarahkan seluruh alur
dan proses pemindahan suatu cerita atau informasi dari naskah skenario
kedalam aktivitas produksi.
c) Penulis Skenario
Skenario film adalah naskah cerita film yang ditulis dengan berpegang
pada standar atau aturan-aturan tertentu. Skenario atau naskah cerita film itu
ditulis dengan tekanan yang lebih mengutamakan visualisasi dari sebuah
situasi atau peristiwa melalui adegan demi adegan yang jelas
pengungkapannya. Jadi, penulis skenario film adalah seseorang yang
menulis naskah cerita yang akan difilmkan. Naskah skenario yang ditulis
penulis skenario itulah yang kemudian digarap atau diwujudkan sutradara
menjadi sebuah karya film.
d) Penata Kamera (Kameramen)
Penata kamera atau yang popular juga dengan sebutan cameraman
adalah seseorang yang bertanggungjawab dalam proses perekaman
(pengambilan) gambar di dalam kerja pembuatan film. Karena itu, seorang
28
Marselli Sumarno, “Dasar-Dasar Apresisasi Film”, (Jakarta : PT. Gramedia, 1996) h.28
30
penata kamera atau kameramen dituntut untuk mampu menghadirkan cerita
yang menarik, mempesona dan menyentuh emosi penonton melalui gambar
demi gambar yang direkamnya di dalam kamera. Di dalam tim kerja
produksi film, penata kemera memimpin departemen kamera.
e) Penata Artistik
Penata artistik (art director) adalah seseorang yang bertugas untuk
menampilkan cita rasa artistik pada sebuah film yang diproduksi. Sebelum
suatu cerita divisualisasikan kedalam film, penata artistik setelah terlebih
dulu mendapat penjelasan dari sutradara untuk membuat gambaran kasar
adegan demi adegan di dalam sketsa, baik secara hitam putih maupun
berwarna. Tugas seorang penata artistik di antaranya menyediakan sejumlah
sarana seperti lingkungan kejadian, tatarias, tata pakaian, perlengkapan-
perlengkapan yang akan digunakan para pelaku (pemeran) film dan lainnya.
f) Penata Musik
Penata musik adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab
sepenuhnya terhadap pengisian suara musik tersebut. Seorang penata musik
dituntut tidak hanya sekadar menguasai musik, tetapi juga harus memiliki
kemampuan atau kepekaan dalam mencerna cerita atau pesan yang
disampaikan oleh film.
g) Editor
Baik atau tidaknya sebuah film yang diproduksi akhirnya akan
ditentukan pula oleh seorang editor yang bertugas mengedit gambar demi
gambar dalam film tersebut. Jadi, editor adalah seseorang yang bertugas
31
atau bertanggungjawab dalam proses pengeditan gambar.
h) Pengisi dan Penata Suara
Pengisi suara adalah seseorang yang bertugas mengisi suara pemeran
atau pemain film. Jadi, tidak semua pemeran film menggunakan suaranya
sendiri dalam berdialog di film. Penata suara adalah seseorang atau pihak
yang bertanggungjawab dalam menentukan baik atau tidaknya hasil suara
yang terekam dalam sebuah film. Di dalam tim kerja produksi film, penata
suara bertanggungjawab memimpin departemen suara.
i) Bintang Film (Pemeran)
Bintang film atau pemeran film dan biasa juga disebut aktor dan aktris
adalah mereka yang memerankan atau membintangi sebuah film yang
diproduksi dengan memerankan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita film
tersebut sesuai skenario yang ada. Keberhasilan sebuah film tidak bisa lepas
dari keberhasilan para aktor dan aktris dalam memerankan tokoh-tokoh
yang diperankan sesuai dengan tuntutan skenario (cerita film), terutama
dalam menampilkan watak dan karakter tokoh-tokohnya. Pemeran dalam
sebuah film terbagi atas dua, yaitu pemeran utama (tokoh utama) dan
pemeran pembantu (figuran).
D. Pengertian Guru
Pengertian guru menurut para ahli adalah merupakan jabatan atau profesi
yang memerlukan keahlian khusus. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh
seseorang tanpa memiliki keahlian seorang guru. Untuk menjadi seorang guru,
diperlukan syarat-syarat khusus, apalagi seorang guru yang harus menguasai seluk
32
beluk pendidikan tentang belajar mengajar dan juga mengajar dengan berbagai
ilmu pengetahuan lainnya yang perlu dikembangkan melalui masa pendidikan
tersebut.
Guru juga merupakan unsur penting dalam keseluruhan sistem pendidikan.
Oleh karena itu, peranan dan kedudukan guru dalam meningkatkan mutu kualitas
anak didik perlu diperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Dalam pendidikan,
guru mempunyai tugas pokok yang dapat dilaksanakan, sebagai berikut29 :
1. Tugas Profesional
Tugas profesional ialah tugas yang berhubungan dengan profesinya. Tugas
profesional ini meliputi tugas mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti
meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan
dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan hidup, atau meneruskan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti
mengembangkan keterampilan.
2. Tugas Manusiawi
Tugas manusiawi yaitu tugas sebagai manusia. Dalam hal ini, baik guru
matapelajaran IPA-Biologi maupun guru mata pelajaran lainnya bertugas
mewujudkan dirinya untuk merealisasikan seluruh potensi yang dimilikinya.
Selain itu, transformasi diri terhadap kenyataan di kelas atau di masyarakat perlu
dibiasakan, sehingga setiap lapisan masyarakat dapat mengerti bila menghadapi
guru.
29 Muhtar, Pedoman Bimbingan Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, (jakarta : PGK & PTK
Dep.Dikbud, 1992).
33
3. Tugas kemasyarakatan
Tugas kemasyarakatan ialah guru sebagai anggota masyarakat dan warga
negara seharusnya berfungsi sebagai pencipta masa depan dan penggerak
kemampuan. Bahkan keberadaan guru merupakan faktor penentu yang tidak
mungkin dapat digantikan oleh komponen manapun dalam kehidupan bangsa
sejak dulu terlebih-lebih pada masa kini.
Di samping ketiga tugas pokok guru tersebut, guru juga berperan sebagai:
a) Fasilitator perkembangan siswa
b) Agen pembaharuan
c) Pengelola kegiatan proses belajar mengajar
d) Pengganti orangtua di sekolah.
Guru selalu memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak
mulia, dan meluruskan akhlak buruk. Oleh karena itu, guru mempunyai
kedudukan dalam agama islam. Dalam ajaran islam pendidik disamakan ulama
yang sangatlah dihargai kedudukannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah maupun
Rasul-Nya. Allah SWT berfirman : “...... Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.
Al-Mujadalah : 11)30.
Tjokroaminoto sendiri adalah seorang guru, yaitu guru dari para pendiri
bangsa. Hanya saja, perannya sebagai guru sangatlah istimewa, karena Tjokro
bukan hanya mengajar, tetapi ia pun mendidik, menginspirasi dan yang lebih jauh
lagi yaitu menggerakkan, karena ia adalah seorang pendidik yang lengkap.
30
Al-Qur‟an Terjemah, QS. Al-Mujadalah : 11, (Surabaya : CV. Ramsa Putra, 2004).
34
Pendidikanlah yang diutamakan oleh Tjokro, karena ia melihat efek nyata
pada dirinya dan pada orang-orang yang bergerak bersamanya, bahwa mereka
memiliki wawasan yang jauh lebih luas, ketajaman dalam membaca masalah,
memiliki terobosan-terobosan, termasuk memiliki kemampuan berkomunikasi
yang luar biasa. Tjokro menyadari bahwa keterdidikan itu bukan semata-mata
untuk membuat seseorang itu meraih cita-citanya atau hidup mandiri, tetapi
baginya pendidikan sebagai instrumen untuk pergerakan. Sampai pada akhirnya ia
mewajibkan bersekolah hingga berumur 15 tahun kepada seluruh rakyat jawa
yang memang pada masa itu anak-anak masih belajar dua tahun, karena baginya
pendidikan dapat menghapus ketidakadilan, dan ketimpangan dapat dipahami
lebih luas. Dalam artian, anak-anak yang terdidik ini dapat melakukannya tidak
dengan kekerasan melainkan dengan ide-ide / ideologi-ideologi yang modern,
sampai akhirnya mereka dapat meraih kesejahteraan.
E. Pengertian Nasionalisme
Definisi kerja nasionalisme menurut Smith dalam bukunya tentang
nasionalisme yang sudah diterjemahi oleh Frans adalah suatu gerakan ideologis
untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu
populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu bangsa
yang aktual atau bangsa yang potensial31.
Nasionalisme adalah suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan
tertinggi individu harus diserahkan kepada Negara kebangsaan. Perasaan sangat
mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tumpah darahnya, dengan tradisi-
tradisi setempat dan penguasa-penguasanya di daerahnya. Namun baru pada akhir
31
Anthony D. Smith, Nasionalisme : Teori, Ideologi, Sejarah, Terjemahan Frans Kowa ( Jakarta :
Erlangga, 2002) hal.11
35
abad ke-18M nasionalisme diartikan dengan kata modern menjadi suatu perasaan
yang diakui secara umum32.
Kata nasional dalam nasionalisme, berasal dari kata “nation” atau bangsa,
yakni kumpulan manusia yang terikat oleh kesamaan budaya, wilayah, dan
sejarah. Sedangkan menurut pengertian dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
yaitu suatu paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; atau
dengan kata lain suatu kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara
potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan
mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu,
semangat kebangsaan33.
Nasionalisme di Indonesia diawali dengan timbulnya upaya-upaya
pencarian jati diri masyarakat untuk memotivasi perlawanan terhadap bangsa
asing. Ciri-ciri nasionalisme sebagai berikut :
1. Sudah ada persatuan dan kesatuan bangsa
2. Sifat perjuangannya sudah bersifat nasional
3. Tujuannya untuk mencapai kemerdekaan yang nantinya ingin
mendirikan suatu negara merdeka yang kekuasaannya ditangani rakyat.
4. Sudah ada organisasi modern dan bersifat nasional
5. Mengandalkan kekuatan otak (pikiran), dimana pendidikan sangat
berperan penting untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penyebab tumbuhnya nasionalisme :
1. Adanya tekanan penderitaan yang terus menuju, sehingga rakyat
32
Hans Kohn, Nasionalisme – Arti Dan Sejarahnya Terjemahan Sumantri Mertodipuro, (Jakarta :
Erlangga, cet-4, 1984) h.11 33
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2003, ISBN
9789796662913, Tebal 1371 halaman. h. 1.200
36
Indonesia harus bangkit melewati penjajah
2. Adanya rasa nasib sepenanggungan yang hidup dalam cengkeraman
penjajah, sehingga tumbuh semangat bersatu membentuk negara
3. Adanya rasa kesadaran nasional harga diri, menyebabkan kehendak
untuk memiliki tanah air dan hak menentukan nasib sendiri.
Para kritikus beranggapan bahwa nasionalisme lebih dari pada sekedar
ideologi politik. Nasionalisme juga merupakan suatu bentuk budaya dan „agama‟.
Namun demikian, semua varian sependapat untuk sama-sama untuk memandang
bangsa sebagai suatu bentuk „budaya politik‟, yang terbuka secara prinsip bagi
semua anggota komunitas atau semua warga negara dari „negara nasional‟34.
Kata nasionalisme disini, semakin lama semakin kuat peranannya dalam
membentuk semua segi kehidupan, baik yang bersifat umum maupun yang
bersifat pribadi. Meskipun nasionalisme sendiri adalah gejala zaman modern,
namun beberapa watak nasionalisme sudah lama berkembang dalam zaman-
zaman terdahulu35. Akar-akar nasionalisme tumbuh di atas tanah yang sama
dengan peradaban barat, yaitu dari bangsa-bangsa ibrani dan yunani purba. Kedua
bangsa ini mempunyai kesadaran yang tegas, bahwa mereka itu berbeda dari
bangsa-bangsa yang lainnya.
Seperti yang sudah diketahui bahwa nasionalisme menuntut penemuan
kembali dan pemulihan identitas budaya bangsa yang unik, ini berarti
nasionalisme menuntut agar orang kembali pada akarnya yang otentik di dalam
komunitas budaya historis yang menghuni tanah air leluhurnya. Sebagai suatu
34
Anthony D. Smith, Nasionalisme : Teori, Ideologi, Sejarah, Terjemahan Frans Kowa ( Jakarta :
Erlangga,2002) hal.42 35
Hans Kohn, Nasionalisme – Arti Dan Sejarahnya Terjemahan Sumantri Mertodipuro, (Jakarta :
Erlangga, cet-4, 1984) h. 14
37
bentuk budaya, bangsa dari kaum nasionalis tersebut adalah bangsa yang
anggotanya sadar akan kesatuan budaya dan sejarah nasional mereka. Mereka juga
mengabdikan diri untuk menggali individualitas nasional mereka di dalam bahasa,
adat istiadat, seni dan alam daerah mereka melalui pendidikan dan institusi-
institusi nasional.
Ciri-ciri sikap nasionalisme adalah :
a. Sudah ada persatuan dan kesatuan bangsa
b. Sifat perjuangannya sudah bersifat nasional
c. Tujuannya untuk mencapai kemerdekaan yang nantinya ingin
mendirikan suatu negara merdeka yang kekuasaannya ditangani rakyat
d. Sudah ada organisasi modern dan bersifat nasional
e. Mengandalkan kekuatan otak (pikiran), dimana pendidikan sangat
berperan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Terkait dengan makna nasionalisme dalam pembahasan kali ini, “Raja Jawa
Tanpa Mahkota” begitulah julukan untuk HOS Tjokroaminoto yang memang
sejak dini sudah memiliki rasa nasionalisme yang cukup tinggi diantara pemuda-
pemuda lain yang hidup di tanah jawa ketika Belanda menjajah pada saat itu.
Tjokroaminoto adalah salah satu anak dari seorang priyai jawa. Pada saat itu,
seorang priyai pangkat terendah pun dapat menjadi orang yang sangat berkuasa di
wilayahnya sendiri. Jika ia lewat, berjongkoklah para petani sambil menyembah,
apa yang mereka lakukan itu adalah salah satu tanda tunduk dan hormatnya
kepada priyai36. Berikut ini adalah susunan keresidenan pemerintahan jawa :
36 Hans Van Miert, Dengan Semangat Berkobar (Nasionalisme Dan Gerakan Pemuda Di Indonesia,
1918-1930) Diterjemahkan oleh Sudewo Satiman, (Jakarta : Pustaka Utan Kayu,2003), cet-1, h. 2
38
Setelah tahun 1900 muncul kelompok yang dinamakan “Priyai Baru”
kebanyakan mereka adalah orang muda dari kalangan pangreh praja yang telah
memanfaatkan kesempatan yang lebih luas untuk memperoleh pendidikan barat
lanjutan. Masa itulah periode politik etis, ketika orang mencurahkan perhatiannya
kepada “pembangunan” jasmani dan rohani penduduk pribumi. Kaum muda ini
sering tidak puas dengan sikap merendah pemerintah elit pemerintahan jawa.
Mereka tak ingin mengikuti jejak orangtua mereka. Pendidikan menawarkan
kepada mereka kemungkinan baru. Kemudian para “Priyai Baru” ini memperoleh
pekerjaan dan status sosial berkat pendidikan yang dinikmatinya, seperti salah
satunya adalah HOS Tjokroaminoto. Kelompok Priyai Baru inilah yang
merupakan sumber utama nasionalisme37.
37 Hans Van Miert, Dengan Semangat Berkobar (Nasionalisme Dan Gerakan Pemuda Di Indonesia,
1918-1930) Diterjemahkan oleh Sudewo Satiman, (Jakarta : Pustaka Utan Kayu2003), h. 3
Amtenar Belanda
Residen
Regent (Bupati)
Patih (Pembantu Bupati)
Wedana (Kepala Distrik)
39
Menurut Tjokro, Nasionalisme bukan cara untuk bersepakatnya menjadi
satu bangsa sehingga mengakibatkan Islam tidak mendapatkan ruang secara
konsisten sebagai agama, jadi jika mendefinisikan nation state sebagai bagian
yang terpisah dengan agama islam maka Nasionalisme seperti itu ia anggap telah
menyalahi substansi nasionalisme sekaligus melampaui makna nasionalisme itu
sendiri. Apalagi yang lebih fatal menurut beliau adalah perilaku seseorang yang
mengaku dirinya islam dan berjiwa nasionalis tetapi tidak merefleksikan perilaku
islam di forum-forum publik, seperti tidak mau menjalankan kebiasaan mengucap
salam ala muslim, apalagi bersikap netral terhadap islam, ia anggap sebagai
muslim yang sesat38. Bagi beliau, nasionalisme di Indonesia juga bukan
membangkitkan nasionalisme terlebih dahulu kemudian jika sudah merdeka
pengaturan pemerintahan berdasarkan islam.
Pemikirannya ini ia tulis dalam koran Fadjar Asia edisi 24 mei 1924 yaitu :
Di Indonesia sendiri, yang saat ini rakyatnya sedang memulai dan belajar
serta membangkitkan jiwa nasionalisme, terlihat pula tanda akan menggiring
nasionalisme menuju arah yang tidak benar. Beberapa saudara kita yang
mengaku dirinya mslim berkata : “sekarang kami hendak menjadi nasionalis
terlebih dahulu. Apabila negeri ini sudah merdeka, maka kami akan berusaha
mengatur pemerintahan berdasarkan islam”. Jelas sekali hal tersebut merupakan
perasaan nasionalisme sesaat dalam pandanga islam! Adapula saudara kita yang
mengaku beragama islam, tetapi apabila mereka hendak berbicara di
vergadering-vergadering, tidak suka mengucap ”salam” menurut adat kebiasaan
muslim. Danapabila di vergadering mereka mendengar ucapan salam dari
seorang pembicara muslim, mereka tidak menjawabnya. Padahal sebagaimana
telah jelas dalam Al-Qur’an surat An-Nisa:86 Allah ta’ala memerintahkan:
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan maka
balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah
memperhitungkan segala sesuatu”. Ada pula beberapa saudara yang mengaku
beragama islam tetapi dalam ber-Nasionalisme mereka bersikap “neutral”
terhadap semua agama bahkan kepada agamanya sendiri (Islam!). sungguh
tersesatlah nasionalisme yang demikian itu bagi kita sebagai seorang muslim39.
38Aji Dedi Mulawarman, Jang Oetama : Jejak Perjuangan HOS. Tjokroaminoto, (Yogyakarta :
Galang Pustaka, 2015), h.37 39 Koran Fadjar Asia, 24 Mei 1924.
40
Sifat nasionalisme dalam diri seorang Tjokroaminoto tampak jelas terlihat
ketika ia selesai menunaikan ibadah haji tahun 1926, beliau tidak lagi
menggunakan gelar keningratannya dan lebih suka memperkenalkan diri dengan
nama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Gelar “Raden Mas” baginya merupakan
hak yang biasa saja, tidak begitu penting. Bahkan bagi beliau, status sosial “haji”
lebih menunjukkan universalitas dan kemusliman sekaligus simbol/bentuk
perlawanan dirinya terhadap dominasi Belanda saat itu.
Berdasarkan kritik terhadap nasionalisme turki dan praktik nasionalisme
yang sesat jalan di Indonesia itulah maka kemudian Tjokro memberikan definisi
serta penjelasan bagaimana sebenarnya nasionalisme. Nasionalisme yang lahir
dari jiwa patriotisme, sifat mencintai negeri bagi seorang muslim adalah haruslah
merujuk kepada nabi Muhammad saw, karena menurut beliau patriot dan
nasionalis terbesar sepanjang sejarah umat manusia adalah nabi Muhammad saw.
Kecintaan terhadap tempat kelahiran menjadi bagian tak terpisahkan dari
perjalanan hidup manusia sebagai makhluk sosial, begitu pula cinta terhadap
tanah kelahirannya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw ketika ia diusir dari
Makkah oleh orang-orang Quraisy: Telah menceritakan pada kami Qutaibah, telah
menceritakan pada kami al-Laits dari Uqail dari az-Zuhri, dari Abu Salamah dari
Abdullah bin Adi bin Hamra‟ berkata:
”Aku melihat Rasulullah saw berdiri di atas al-Hazwarah sembari
bersabda: Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah benar-benar sebaik-baik
bumi Allah dan juga merupakan bumi-Nya yang paling Dia cintai. Seandainya
saja aku tidak dikeluarkan darimu, niscaya aku tidak akan pergi
(meninggalkanmu)” (HR at-Tirmidzi, no: 3860).
41
Secara naluriah, seseorang akan merasa berat meniggalkan kampung
halaman tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Hal ini kiranya yang dialami oleh
Rasulullah saw dan para sahabat ketika Allah memerintahkan mereka untuk
Hijrah ke Madinah, karena masyarakat Makkah ketika itu menolak ajaran Nabi
saw. Namun rasa berat hati itu luluh saat berhadapan dengan perintah Allah.
Mereka lebih memilih ridha Allah daripada sekedar memenuhi keinginan diri.
Betapapun demikian, rasa cinta mereka kepada Makkah belum bisa terlupakan
oleh para Sahabat ketika awal-awal hijrah, terbukti banyak dari sahabat yang
mengalami demam Madinah.
42
BAB III
GAMBARAN UMUM FILM “GURU BANGSA :
TJOKROAMINOTO”
A. Lahirnya Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota
Jika dilihat dari representasi islam, Tjokro yang lahir di Bakur 16 Agustus
1882 bertepatan dengan meletusnya gunung krakatau ini memiliki keunikan
tersendiri, karena “gen” yang melekat dalam dirinya merupakan perpaduan “unik”
antara islam konstitusi (kebangsawanan atau priyai), dan islam kiyai (pondok
pesantren). Sisi genetis priyai Tjokro berasal dari trah susuhunan Pakubuwono III
Keraton Surakarta, B.R.M. Gusti Suryadi. Sedangkan, sisi genetis kiyai berasal
dari tokoh kiyai besar, yaitu Kasan Besari, Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Kiyai
Kasan Besari sendiri merupakan anak dari Kiyai Anom Grabahan dari garis darah
trah Raden Patah (Mataram/Majapahit) dengan nyai anom dari garis darah trah
Sunan Ampel, Surabaya . Pernikahan antara Kiyai Kasan Besari dan putri dari
Susuhunan Pakubuwono III Surakarta kemudian melahirkan Raden Mas Adipati
Tjokronegoro, yang nantinya menjadi Bupati Ponorogo. Kemudian Raden Mas
Adipati Tjokronegoro menikah dan istrinya melahirkan Tjokroamiseno, ayah
Tjokroaminoto. Seperti yang dapat dilihat di bagan silsilah keluarga Tjokro
berikut ini :
43
“Raja Jawa Tanpa Mahkota”, inilah salah satu julukan Tjokroaminoto yang
disebut-sebut oleh rakyat jawa dan kolonial Belanda pada masa itu. Sosoknya
dikenal sebagai salah seorang yang berani melawan Belanda, dihargai,
diagungkan, diharapkan juga disegani oleh masyarakat jawa. Semenjak jiwa
nasionalisnya timbul untuk berani melawan Belanda, namanya lambat laun
menjadi dikenal oleh masyarakat di seluruh pelosok pulau jawa. Puncaknya,
ketika ketua SDI (Sarekat Dagang Islam) yaitu H. Samanhoedi memilih Tjokro
untuk memimpin organisasinya yang kemudian digantikan namanya menjadi
(Sarekat Islam). Alasan didirikannya organisasi ini adalah persaingan
perdagangan batik, terutama dengan golongan cina dan juga karena sikap
superioritas orang-orang cina terhadap orang-orang Indonesia sehubungan dengan
berhasilnya revolusi cina tahun 1911 . Akhirnya, seluruh masyarakat jawa ikut
bergabung ke dalam organisasi tersebut dan menjulukinya si „Raja Jawa Tanpa
Mahkota‟. Sosok Tjokro yang dianggap sebagai pemimpin yang adil oleh
masyarakat, juga dianggap sebagai raja di tanah jawa hanya saja ia tidak
bermahkota, layaknya seorang raja pada umumnya.
B. Gelar “Guru Bangsa” Dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”
Secara individual, Tjokroaminoto memang telah memiliki sifat
kepemimpinan tranformasional-karismatik , yang terlihat dari kepribadian yang
dominan, memiliki hasrat mempengaruhi, kepercayaan diri yang tinggi, serta
memiliki nilai moral yang kuat. Ciri kepribadian tersebut membentuk perilaku
keteladanan yang kuat, menunjukkan kecakapan, baik strategis maupun teknis
44
yang bertujuan dapat mengkomunikasikan gagasan dengan baik, selalu mendesain
harapan yang tinggi, merangsang orang-orang di sekitarnya untuk bertindak
kreatif sehingga menumbuhkan keyakinan dan nilai-nilai ideologi yang
dibawanya, semuanya itu terekspresikan dalam keyakinan yang kuat serta dapat
menumbuhkan gairah/motivasi yang menginspirasi bagi orang-orang di
sekelilingnya.
Tak heran, jika kolonial Belanda pada saat itu menyimpan rasa takut dan
kesal yang berlebih dari sosok Tjokroaminoto, karena ia terlihat sangat
“menantang” dan kharismatik. Tjokroaminoto adalah satu-satunya orang yang
berani dengan kolonial Belanda, juga berani secara vokal dan terang-terangan
mengatakan Hindia dengan pemerintahan sendiri sejak 1912 , sehingga ia dijuluki
dengan si “Raja Jawa Tanpa Mahkota”, karena pembawaannya itulah ia dianggap
seperti seorang raja pada umumnya, hanya saja tidak bermahkota.
Maka dari itu, terkait dengan julukan yang diberikan kepada Tjokroaminoto
yaitu “Guru Bangsa” dan sosoknya yang tergambar sangat luar biasa sekali untuk
dijadikan panutan atau seorang guru besar, akhirnya keluarga besar
Tjokroaminoto, pemain beserta kru film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” ini
memutuskan untuk membuat sebuah memoriam dalam bentuk film drama-biopik.
Sebenarnya, keluarga besar dari Tjokroaminoto sendiri keberatan dengan judul
film yang mengangkat nama Tjokroaminoto dengan julukan “Guru Bangsa”,
karena mereka khawatir hal tersebut dianggap terlalu membesar-besarkan „eyang‟
mereka . Sampai pada akhirnya keluarga, pemain beserta kru film ini sepakat
untuk melakukan Votting. Kemudian nama judul film “Guru Bangsa
Tjokroaminoto” inilah yang diambil oleh kru dan disetujui oleh banyak pihak,
45
karna memang julukan itu juga sangat pantas diberikan kepada sang guru para
tokoh-tokoh besar Indonesia ini. Film ini ditayangkan pada 9 April 2015 lalu, dan
mampu mengambil banyak perhatian khalayak yang ditandai dengan terpilihnya
sebagai “Film Terpuji” Festival Film Bandung (FFB) 2015, pemenang piala Maya
2015, kemudian menjadi pemenang Piala Citra untuk kategori Film Terbaik di
malam anugerah Festival Film Indonesia (FFI) 2015, dan yang terakhir
mendapatkan lima piala sekaligus pada malam anugerah Usmar Ismail Award
2016 yaitu dua piala terbaik, dua piala terfavorit dan satu kategori khusus dari
Perpusnas RI (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia).
C. Sinopsis Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”
HOS Tjokroaminoto (Tjokro) yang lahir dari kaum bangsawan Jawa dengan
latar belakang keislaman yang kuat, tidak diam saja melihat kondisi kemiskinan
rakyat dan kesenjangan sosial selepas Tanam Paksa dan awal Politik Etis sekitar
tahun 1900an. Ia berani meninggalkan status kebangsawanannya dan bekerja
sebagai kuli pelabuhan.
Tjokro berjuang dengan membangun organisasi Sarekat Islam, yaitu salah
satu organisasi resmi bumiputera pertama terbesar, yang mempunyai 180 cabang
sampai lebih dari dua setengah juta anggota, dan mampu mengalahkan jumlah
anggota organisasi sebelumnya yang pernah ada yaitu Boedi Oetomo. Ia berjuang
untuk menyamakan hak dan martabat masyarakat bumiputera yang terjajah.
Perjuangan ini menjadi awal lahirnya tokoh dan gerakan kebangsaan, seperti
Soekarno, Muso, Semaoen dan Kartosuwiryo.
Tjokro adalah intelektual, pandai bersiasat, mempunyai banyak keahlian,
46
termasuk jago silat, ahli mesin dan hukum, penulis surat kabar yang kritis, orator
ulung yang mampu menyihir ribuan orang, membuat pemerintah Hindia Belanda
khawatir, dan bertindak untuk menghambat laju gerak Sarekat Islam. Perjuangan
Tjokro lewat organisasi Sarekat Islam juga terancam oleh perpecahan dari dalam
organisasi itu sendiri.
Rumah Tjokro di Gang Peneleh, Surabaya, terkenal sebagai tempat
bertemunya tokoh-tokoh bangsa Indonesia kelak. Di rumah sederhana yang
berfungsi sebagai rumah kos yang dikelola oleh istrinya, Soeharsikin, Tjokro
mempunyai banyak murid muda yang kemudian mempunyai jalan perjuangannya
masing-masing, meneruskan cita-cita Tjokro, yaitu : “Bangsa bermartabat,
terdidik, dan sejahtera”. Salah satu muridnya di Peneleh adalah proklamator
kemerdekaan Indonesia, yaitu Soekarno. Kemudian ia wafat pada hari senin
kliwon, 10 Ramadhan 1353 H, atau tepatnya pada tanggal 17 Desember 1934,
ketika berumur 52 tahun .
D. Penghargaan Film
Setelah film Guru Bangsa Tjokroaminoto memenangkan tiga piala di
Festival Film Bandung (FFB) 2015 dan tiga piala di Festival Film Indonesia (FFI)
2015, kembali meraih Anugerah Film Cerita Panjang, Film Bioskop Terpilih
(Piala Maya) 2015, dan yang terakhir mendapatkan lima piala sekaligus pada
malam anugerah Usmar Ismail Award 2016 yaitu dua piala terbaik, dua piala
terfavorit dan satu kategori khusus dari Perpusnas RI (Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia) bersaing dengan film-film favorit lainnya seperti Surat Dari
Praha dan Filosofi Kopi.
47
E. Profil Dan Karya-Karya Dari Sutradara
Garin Nugroho Riyanto atau yang
lebih dikenal dengan Garin Nugroho
merupakan salah satu produser dan
sutradara Indonesia yang popular di dunia
perfilman saat ini. Nama Garin Nugroho
mulai dikenal luas setelah film pertamanya
yang memiliki durasi terpanjang, yaitu “Cinta dalam Sepotong Roti” pada tahun
1990. Lalu, film keduanya, “Surat Untuk Bidadari” yang rilis di tahun 1992 lalu
membawa namanya ke panggung film internasional. Garin Nugroho juga peduli
pada masalah lingkungan hidup. Hal tersebut setidaknya tercermin dalam filmnya
yang bertema lingkungan, yaitu Under The Tree. Ia juga mendirikan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang bernama SET pada tahun 1987. LSM tersebut
bertujuan untuk membuat bahasa yang baru, menciptakan spirit penciptaan dan
membuat komunitas. Dari LSM tersebut lahirlah sutradara muda, seperti salah
satunya yaitu Riri Riza .
Dalam hal film, Garin Nugroho memulai kariernya sebagai kritikus film dan
pembuat film dokumenter. Ia telah menyelesaikan sedikitnya dua puluh film
(dokumenter, film pendek dan film panjang). Pada perayaan 250 tahun Mozart, ia
terpilih sebagai salah satu dari enam sutradara inovatif dunia untuk membuat film
yang kemudian melahirkan Opera Jawa. Di bidang musik, ia sempat membuat
video klip January Christy, Titi DJ, Krakatau (grup musik), Katon Bagaskara,
Paquita Widjaya, Edo Kondologit dan Gong 2000. Salah satu karya video klipnya,
48
yaitu Negeri di Atas Awan (dinyanyikan oleh Katon Bagaskara) berhasil
mendapat Trofi Visia pada final Video Musik Indonesia Periode II 1994/1995.
Sampai saat ini, tidak sedikit film pendek ataupun panjang yang sudah
dirilis oleh Garin Nugroho, yaitu diantaranya sebagai berikut :
1) Gerbong Satu, Dua (1984)
2) Cinta dalam Sepotong Roti (1990)
3) Air & Romi (1991)
4) Surat untuk Bidadari (1992)
5) Bulan Tertusuk Ilalang (1994)
6) Daun di Atas Bantal (1997)
7) My Family, My Films and My Nation (1998)
8) Dongeng Kancil untuk Kemerdekaan (1999)
9) Puisi Tak Terkuburkan (1999)
10) Layar Hidup: Tanjung Priok/Jakarta (2001)
11) Rembulan di Ujung Dahan (2002) (TV Movie)
12) Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002)
13) Rindu Kami Padamu (2004)
14) Serambi (2005)
15) Opera Jawa (2006)
16) Under The Tree (2008)
17) Teak Leaves and The Temple (2008)
18) Generasi Biru (2009)
19) Mata Tertutup (2012)
20) Soegija (2012)
49
21) Isyarat (2013)
22) “Guru Bangsa: Tjokroaminoto” (2015)
23) Aach Aku Jatuh Cinta (2016)
“Bagaikan sayur tanpa garam”, pepatah ini sangat cocok diberikan kepada
produser yang sangat kreatif dan produktif satu ini. Bagaimana tidak, hampir
semua film yang ia buat selalu membuahkan sebuah hasil yang memuaskannya
seperti sebuah penghargaan, artinya semua karya-karyanya yang ia buat selama ini
sangat diterima oleh kalangan masyarakat. Pria yang menempuh pendidikan film
di Fakultas Sinematografi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan pendidikan hukum
di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini sudah mengantongi banyak
penghargaan dari awal tahun karirnya sampai tahun 2015, sebagai berikut :
1) 1991 : Unggulan di Festival Film Indonesia kategori Sutradara Terbaik
pada film “Cinta dalam Sepotong Roti”.
2) 1992 :
a) Pemenang di Festival Film Asia Pasifik kategori Sutradara Pendatang
Baru pada film “Cinta dalam Sepotong Roti”.
b) Unggulan di Festival Film Indonesia kategori Cerita Asli Terbaik pada
film “Cinta dalam Sepotong Roti”.
3) 1996 : FIPRESCI dari Festival Film Internasional Berlin untuk film
“Bulan Tertusuk Ilalang”.
4) 1997 : Pemenang di Festival Tiga Benua, Nantes, Perancis kategori
Sutradara Terbaik pada film “Bulan Tertusuk Ilalang”.
5) 1998 :
a) Unggulan di Festival Film Asia Pasifik kategori Skenario Terbaik
50
pada film “Daun di Atas Bantal”.
b) Penghargaan Khusus Juri di Festival Film Internasional Tokyo untuk
film “Daun di Atas Bantal”.
6) 1999 :
a) Unggulan di Festival Film Bandung kategori Sutradara pada film
“Daun di Atas Bantal”.
b) Pemenang di Festival Film Bandung kategori Penghargaan Khusus
pada film “Daun di Atas Bantal”.
7) 2000 : Silver Leopard Video di Festival Film Internasional Locarno untuk
“Puisi Tak Terkuburkan”.
8) 2006 : Pemenang di Festival Film Indonesia kategori Penulis Skenario
Cerita Adaptasi Terbaik pada film “Opera Jawa”.
9) 2007 : Film Terbaik Asia di Osian's Cinefan Festival ke-7 lewat Rindu
Kami Padamu.
10) 2008 : Unggulan di Festival Film Indonesia kategori Penyutradaraan
Terbaik pada film “Under The Tree”.
11) 2012 : Unggulan di Festival Film Indonesia 2012 kategori Penyutradaraan
Terbaik.
12) 2015 :
a) “Film Terpuji” Festival Film Bandung (FFB)
b) Pemenang Piala Maya 2015
c) Pemenang Piala Citra untuk kategori Film Terbaik di malam anugerah
Festival Film Indonesia (FFI).
13) 2016 : Mendapatkan lima piala sekaligus pada malam anugerah Usmar
51
Ismail Award 2016 yaitu dua piala terbaik, dua piala terfavorit dan satu
kategori khusus dari Perpusnas RI.
Ketua panitia FFB 2015, Eddy D Iskandar memberikan komentar positif
untuk Film yang membutuhkan waktu selama dua setengah tahun untuk riset
hingga ke Belanda ini , ia mengatakan bahwa, “kelebihan Film Guru Bangsa
Tjokroaminoto dibanding film yang lain adalah menampilkan unsur kedaerahan
dan nasionalisme yang menjadi inti dari penilaian yang dilakukan oleh panitia .
Menurutnya, dari film-film yang sebelumnya seperti Soekarno, sang kiyai dan
beberapa film yang banyak muatan sejarahnya dan nasionalisme yang sangat
bagus, tetapi khusus untuk film Guru Bangsa Tjokroaminoto ini panitia melihat
dari sisi yang lain” .
F. Profil Pemain Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”
Reza Rahadian
Reza Rahadian dalam film ini ia memerankan
sebagai tokoh utama yaitu HOS Tjokroaminoto. Ia
memulai awal karier di dunia hiburan dengan
menjadi seorang model. Sebelumnya, Reza berhasil
meraih juara Favorite Top Guest majalah Aneka
Yess! tahun 2004. Reza mengawali karir aktingnya
di sinetron, seperti di antaranya “Culunnya Pacarku”, produksi Rapi Films di
tahun 2005 silam. Kesempatan yang datang tersebut dimanfaatkan Reza dengan
sebaik-baiknya. Ia berusaha mengerahkan seluruh kemampuan akting yang ia
miliki. Terbukti, ia kembali dipercaya pihak Rapi Films untuk bermain dalam
52
sinetron produksi mereka berikutnya Sebut saja sinetron Inikah Rasanya, Mutiara
Hati, Cinta SMU 2, ABG dan Aku Hamil. Dari sinetron Reza pun mulai mendapat
beberapa tawaran bermain film layar lebar.
Karir dari Reza semakin menanjak dengan bermain dalam film layar lebar
Film Horor. Lewat film Perempuan Berkalung Sorban, ia meraih Piala Citra 2009
untuk kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik. Pada tahun berikutnya, ia juga
meraih Piala Citra untuk kategori pemeran Utama Pria Terbaik lewat film 3 Hati
Dua Dunia, Satu Cinta. Pada tahun 2013, Reza berhasil meraih Piala Layar Emas
IMA Indonesian Movie AwardsI untuk kategori Pemeran Utama Pria Terfavorit di
film Habibie & Ainun . Dalam film terakhirnya pun yang dirilis pada tahun 2014
lalu, ia kembali mendapatkan penghargaan yang digelar oleh Festival Film
Bandung 2015 (FFB) sebagai Pemeran Pria Terpuji dalam film “Guru Bangsa
Tjokroaminoto”.
Penghargaan
a) Pemeran utama pria terbaik, film Perempuan Berkalung Sorban.
Festival Film Indonesia, 2009.
b) Pemeran utama pria terbaik, film Emak ingin naik haji. Festival Film
Indonesia, 2010.
c) Pemeran utama pria terbaik, film 3 hati dua dunia, satu cinta. Festival
Film Indonesia, 2010.
d) Pemeran utama pria terbaik, film Habibie dan Ainun. Festival Film
Indonesia, 2013.
e) Aktor favorit, Indonesia Kid Choice Award, 2013.
f) Pemeran Pria Terpuji dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” 2015.
53
Putri Ayudya
Putri Ayudya dalam film ini memerankan
sebagai Soeharsikin, yaitu istri dari HOS
Tjokroaminoto. Ia mewakili provinsi DKI Jakarta
2 dalam Tiga puluh delapan finalis dari 33
provinsi berkompetisi memperebutkan gelar
Puteri Indonesia 2011, menjadi presenter di
program Jejak Petualang di salah satu stasiun
televisi swasta di Indonesia . Ayu berkesempatan mendaki pegunungan Himalaya
bersama 50 wanita dari kelompok kartini petualang, walaupun hanya sampai di
ketinggiian 6.000 kaki di atas permukaan Ayu bangga karena dapat melihat
langsung dampak pemanasan global terhadap es abadi di Himalaya. Ia juga
merupakan salah satu finalis Wajah Femina pada tahun 2008. Selain gemar
mendaki gunung, Gadis Sampul 2002 ini juga menyukai olahraga bela diri Karate.
Filmografi
FTV Pesan Dari Samudra
Christoffer Nelwan
Christoffer Nelwan (lahir di Jakarta,
Indonesia, 30 Januari 1997; umur 17 tahun)
dalam film ini ia memerankan peran
sebagai Tjokro Muda. Ia juga merupakan
seorang aktor berkebangsaan Indonesia. Dia
pertama kali bermain di drama musikal
54
seperti Laskar Pelangi pada tahun 2010 Ia juga memainkan film tentang Pramuka
berjudul 5 Elang. Ia mempunyai kakak kembar yang bernama Athina Nelwan dan
Bianca Nelwan. Di tahun 2014 lalu dia bermain film komedi yang berjudul
Marmut Merah Jambu. Ia dan kedua kakak nya juga menyanyikan soundtrack film
Marmut Marmut Merah jambu yang berjudul nama film itu sendiri.
Filmografi
a) 5 Elang (2011)
b) Habibie & Ainun sebagai Ilham Akbar Kecil (2012)
c) Marmut Merah Jambu (2014)
Christine Hakim
Herlina Christine Natalia Hakim (lahir di
Kuala Tungkal, Jambi, 25 Desember 1956; umur
57 tahun) atau lebih dikenal dengan nama
Christine Hakim dalam film ini ia memerankan
peran sebagai mbok tambeng, ia adalah kerabat
dekat dari Soeharsikin. Ia adalah salah satu aktris
senior dan terkemuka di Indonesia . Meski dilahirkan di Jambi, namun orang
tuanya merupakan campuran Minangkabau, Aceh, Banten, Jawa, dan Lebanon.
Hal inilah yang menyebabkan Christine kecil sering mempertanyakan identitas
dirinya. Sepanjang kariernya sebagai artis film Indonesia, Christine Hakim
dikenal sebagai artis yang memiliki akting yang sangat bagus. Sehingga telah
banyak mendapatkan pujian dan meraih penghargaan piala Citra selama beberapa
kali. Karena itulah dia juga kerap dikatakan hanya bermain di film-film yang
55
berkualitas bagus di bawah arahan sutradara-sutradara yang handal. Ketika
perfilman Indonesia mencoba bangkit kembali di era 2000-an awal, Christine
Hakim langsung mengambil peran penting dalam film penuh pujian Pasir
Berbisik. Dengan lawan main Dian Sastrowardoyo, aktris muda yang sedang naik
daun ketika itu, film ini bertabur berbagai penghargaan di ajang festival film luar
dan dalam negeri. Di ajang Festival Film Indonesia pada 2004 setelah 12 tahun
absen diselenggarakan, Pasir Berbisik mengantongi 8 nominasi penghargaan
termasuk untuk kategori bergengsi Film Terbaik dan Aktris Utama Terbaik.
Walaupun tidak meraih Film Terbaik, film ini adalah catatan kembalinya
Christine Hakim dalam sinema Indonesia terkini yang didobrak sebagai sineas
muda yang haus akan idealism berkarya.
Penghargaan
a) Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik, dalam film Cinta
Pertama (1974)
b) Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam film
Sesuatu Yang Indah (1977)
c) Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam film
Pengemis dan Tukang Becak (1979)
d) Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam film
Kerikil-Kerikil Tajam (1985)
e) Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam film Di
Balik Kelambu (1983)
f) Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam film Tjoet
Nja‟ Dhien (1988)
56
g) Aktris Terpuji Festival Film Bandung dalam film Tjoet Nja‟ Dhien
(1989)
h) Penghargaan khusus Festival Film Bandung (1999)
i) Best Actrees pada Asia Pasific International Film Festival dalam film
Daun diatas bantal (1998)
j) Aktris Terpuji Festival Film Bandung dalam film Pasir Berbisik (2002)
Lifetime Achievement SCTV Awards 2002
k) Nominasi Piala Maya 2012 – Aktris Pemeran Pendukung (Rayya,
Cahaya Di Atas Cahaya)
l) Nominasi Piala Maya 2013 – Aktris Pemeran Pendukung (Sang Kiai)
Sujiwo Tedjo
Agus Hadi Sudjiwo (lahir di Jember, Jawa
Timur, 31 Agustus 1962; umur 51 tahun) atau lebih
dikenal dengan nama Sujiwo Tejo. Di film ini ia
memerankan sebagai Mangoensoemo. Ia adalah
seorang budayawan Indonesia. Ia pernah mengikuti
kuliah di ITB, namun kemudian mundur untuk
meneruskan karier di dunia seni yang lebih disenanginya . Sempat menjadi
wartawan di harian Kompas selama 8 tahun lalu berubah arah menjadi seorang
penulis, pelukis, pemusik dan dalang wayang. Selain itu ia juga sempat menjadi
sutradara dan bermain dalam beberapa film seperti Janji Joni dan Detik Terakhir.
Selain itu dia juga tampil dalam drama teatrikal KabaretJo yang berarti “Ketawa
Bareng Tejo”. Sujiwo Tejo juga aktif dalam menggelar atau turut serta dalam
57
pertunjukan teater. Antara lain, membuat pertunjukan Laki-laki kolaborasi dengan
koreografer Rusdy Rukmarata di Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Utan Kayu,
1999. Sujiwo Tejo juga menjadi Sang Dalang dalam pementasan EKI Dancer
Company yang bertajuk Lovers and Liars di Balai Sarbini, Sabtu dan Minggu, 27-
28 Februari 2004. Selain teater, Sujiwo Tejo juga bermain dan menjadi sutradara
film. Debut filmnya adalah Telegram (2001) arahan Slamet Rahardjo dengan
lawan main Ayu Azhari. Film ini bahkan meraih Best Actress untuk Ayu Azhari
dalam Asia-Pacific Film Festival. Kemudian dilanjutkan Kafir (2002), Kanibal
(2004) menjadi Dukun Kuntetdilaga, Janji Joni (2005), dan Kala (2007). Bersama
Meriam Bellina, Sujiwo Tejo membintangi Gala Misteri SCTV yang berjudul
Kafir-Tidak Diterima di Bumi (2004).
Filmografi
a) Telegram (2001)
b) Kafir (2002)
c) Kanibal – Sumanto (2004)
d) Detik Terakhir (2005)
e) Janji Joni (2005) Kala (2007)
f) Hantu Aborsi (2008)
g) Kawin Laris (2009)
h) Capres (Calo Presiden) (2009)
i) Sang Pencerah (2010)
j) Tendangan dari Langit (2011)
k) Semesta Mendukung (2011)
l) Sampai Ujung Dunia (2012)
58
m) Soekarno (2013)
Maia Estianty
Maya Estianty lahir di Surabaya, Jawa
Timur, 27 Januari 1976 atau dulu juga dikenal
dengan nama Maia Ahmad adalah seorang musisi
dan pengusaha berkebangsaan Indonesia. Dalam
film ini, ia memerankan sebagai Ibu
Mangoensoemo (istri dari Mangoensoemo). Ia
merupakan salah satu penyanyi dari duo Maia dan sebelumnya dikenal sebagai
kibordis dari duo Ratu . Selain bernyanyi, Maia juga terjun ke dunia artis dan
menjadi salah satu pemeran komedi Extravaganza di Trans TV tetapi kemudian
berhenti, lalu melanjutkan berperan di drama sit-kom OB di (RCTI) untuk
beberapa episode. Pada tahun 2009, duo Maia merilis album bertajuk Sang Juara
dan Album mereka mencetak single seperti “Pengkhianat Cinta” dan “Serpihan
Sesal” serta Sang Juara yang didedikasikan untuk para Olahragawan Indonesia
yang di nobatkan sebagai lagu wajib oleh Menteri Pemuda & Olahraga Indonesia,
Adyhaksa Dault dalam acara Pertandingan-Pertandingan Serta Kejuaraan
Olahraga yang diselenggarakan di Indonesia menggantikan lagu “We Are The
Champion” yang dibawakan Queen. Maia juga membintangi Film yang berjudul
“Kata Maaf Terakhir”. Dari bisnis musik, kini Maia melirik film. Ia ingin menjadi
produser film. Diam-diam, ternyata Maia menjadi salah seorang yang menyiapkan
film “Guru bangsa Tjokroaminoto” ini, dan memang ingin didedikasikan untuk
sang kakek, yaitu Hadji Oemar said Tjokroaminoto.
59
Filmografi
a) Lantai 13 (2007) – Bintang Tamu
b) Oh My God (2008) – Pemeran Pendukung
c) Kata Maaf Terakhir (2009) – Pemeran Utama
G. Tim Produksi
Dalam suatu pembuatan film, tentunya tidak akan berjalan secara baik jika
tidak ada tim produksi didalamnya, karena sejatinya tim produksi inilah yang
nantinya akan berada secara penuh dan langsung di lokasi pembuatan film
tersebut. Ada beberapa bagian dalam suatu tim produksi, yaitu :
Departemen Produksi
a) Sutradara : Garin Nugroho
b) Produser : Christine Hakim, Alm. Didi Petet, Dewi Umaya
Rachman, Sabrang Mowo Damar Panuluh, Nayaka Untara, Ari Syarif.
c) Penata skrip & cerita : Ari Syarif, Kemal Pasha Hidayat, Erik Supit
d) Line Producer : Elza Hidayat
e) Asisten sutradara : Sugeng Wahyudi
f) Manajer Lokasi : Agus Santoso
g) Casting Director : Adji Nur Ahmad
h) Pencatat Adegan : Pritagita Arianegara
i) Asisten Produksi : Dian Lasvita
j) Pimpinan Pasca Produksi : Rizky Amalia
k) Produser Eksekutif : Ai Tjokroaminoto
l) Produser Eksekutif : Erik Hidayat
60
Departemen Kamera
a) Penata Kamera : Ipung Rachmat Syaiful
Departemen Artistik
b) Disain Produksi : Ong Hari Wahyu
c) Penata Artistik : Allan Sebastian
d) Penata Busana : Retno Ratih Damayanti
e) Penata Rias : Didin Syamsudin
Departemen Suara dan Musik
a) Penata Suara : Satrio Budiono
b) Perekam : Suara Trisno
c) Penata Musik : Andi Rianto
Departemen Penyuntingan
a) Penata Gambar : Wawan I Wibowo
b) Efek Visual : Satria Bayangkara
Departemen lainnya
a) Fotografi : Erik Wirasakti
Produksi
b) Produksi : Pic[k]lock Production
c) Produksi : Yayasan Keluarga Besar HOS Tjokroaminoto
d) Produksi : MSH Films
61
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Makna Denotasi, Konotasi, dan Mitos dalam Film “Guru Bangsa
Tjokroaminoto”.
Film ini dimulai dengan scene dimana Tjokro (Reza Rahadian) sedang
diinterogasi oleh salah seorang pekerja Belanda berkebangsaan Yaman di penjara
kalisosok Surabaya, karena ia dicurigai telah melakukan tindakan yang dianggap
oleh pemerintah Belanda adalah menyimpang. Pihak Belanda mencurigai Tjokro
atas kerusuhan yang terjadi di Garut – Jawa Barat pada tahun 1921, karena ia
adalah ketua dari organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi yang dinilai oleh
Belanda sering melakukan pemberontakan terhadap kolonial-kolonial Belanda,
juga sering membuat kerusuhan dimana-mana. Kemudian, dilanjutkan ketika
Tjokro muda melihat seorang buruh yang disiksa oleh atasannya yaitu salah
seorang dari kolonial Belanda karena buruh tersebut telah melakukan keteledoran.
Darah yang terpercik di antara hamparan kapas menjadi potret yang terekam kuat
di benaknya dan membekas dalam hatinya. Sehingga pada saat itu jiwa
nasionalismenya sedikit demi sedikit mulai tumbuh di dalam dirinya. Sampai
akhirnya ia berniat untuk segera membuat pemerintahan sendiri, agar rakyat
Indonesia tidak lagi dijadikan “Sapi Perah” oleh pemerintah Belanda.
Film drama-biopik „Guru Bangsa Tjokroaminoto‟ ini berdurasi 160 menit,
dan hanya menceritakan 10 tahun perjuangannya pada periode 1911 sampai 1921
saja. Film ini mengisahkan sosok Tjokro ketika berjuang untuk memberontak
62
Belanda, ditahan, memimpin SI, persoalan keluarga, sampai akhirnya ia bekerja
keras untuk membuat pemerintahan sendiri di tanah kelahirannya yaitu Indonesia
dengan mengatasnamakan “Hijrah” serta dengan pemikiran-pemikirannya yang
cemerlang.
Sesuai dengan rumusan masalah pertama, penulis akan mengidentifikasi
enam scene yang dianalisis sesuai dengan model semiotik yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu semiotik Roland Barthes, sebagai berikut :
1) Fase Tjokro Remaja.
Pada fase ini dari masa awal anak anak hingga masa awal dewasa,
yang memasuki usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18
tahun hingga 22 tahun. Masa remaja bermula pada perubahan fisik yang
cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk
tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah
dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada
perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol
(pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan semakin banyak
menghabiskan waktu di luar keluarga1.
1 http://ariestaputris.blogspot.co.id/2014/08/fase-fase-perkembangan-usia-remaja.html
63
Scene 1
Visual & Durasi
Durasi 00 : 08 : 24
Dialog
Tjokro : “Orang-orang Eropa datang kesini untuk mencari
apa yang tidak mereka punya. Karet, kopi, pala, cengkeh,
tembakau untuk pabrik-pabrik, mereka juga mencari
pelabuhan-pelabuhan hangat untuk mengambil hasil kita
sepanjang tahun”
Guru : “tutup mulutmu!”
Type of Shot
Over The Shoulder Shot.
Tipe shot ini merupakan yang dilakukan untuk dua subyek,
namun pengambilan gambar dilakukan dari belakang bahu
salah satu subyek. Orang yang dihadapi subyek biasanya
harus menempati sekitar 1/3 frame.
Tipe shot ini biasa digunakan dalam sebuah percakapan
dua subyek, framing gambar bisa dilakukan bergantian
sehingga visual dapat terlihat dinamis.
64
Makna Denotasi
Tjokro menjelaskan apa yang ditanyakan oleh gurunya di sekolah (OSVIA)
yaitu “apa yang terjadi jika kapal Eropa datang ke pulau Hindia Belanda?”, tetapi
gurunya tidak senang dengan jawaban Tjokro yang menyudutkan negara asalnya
itu. Akhirnya, Tjokro pun dihukum oleh gurunya dengan bentuk hukuman yang
diberikan yaitu meletakkan tumpukkan buku-buku tebal diatas kepalanya,
kemudian setelah panjang lebar Tjokro membantah, akhirnya ia diusir dari dalam
kelas oleh gurunya.
Makna Konotasi
Tjokro bukanlah anak yang pendiam, justru ia adalah anak yang agresif,
pikirannya tak pernah berhenti melakukan kreativitas, tidak seperti anak-anak
lainnya yang seumuran dengannya. Progresivitas dan kreativitas yang berlebih itu
kemudian biasanya orang-orang menyebutnya dengan “anak nakal”. Karena itu,
menjadi wajar ketika pada masa bermain, kreativitas Tjokro muda menyebabkan
ia menjadi dominan di antara teman-teman sebayanya di desa. Tetapi, kreativitas
dan dominasi itu tidak menjadi masalah baginya, justru hal itu menjadi pupuk
yang tepat bagi tumbuhnya sifat kepemimpinan yang lugas di masa depannya.
Masalah mulai muncul, ketika kreativitas dan dominasi itu terbawa di sekolah
formal yang aktivitasnya lebih diarahkan kepada pengetahuan dan perilaku
berkepatuhan pada sistem kekuasaan penguasa kolonial Belanda.
Salah satu bentuk masalah yang timbul karena kreativitasnya yaitu yang
terlihat pada scene diatas. Ketika gurunya bertanya “apa yang terjadi jika kapal
eropa datang ke pulau Hindia Belanda?”. Kemudian Tjokro menjawab, “Orang-
orang Eropa datang kesini untuk mencari apa yang tidak mereka punya. Karet,
65
kopi, pala, cengkeh, tembakau untuk pabrik-pabrik, mereka juga mencari
pelabuhan-pelabuhan hangat untuk mengambil hasil kita sepanjang tahun”.
Kemudian gurunya membantah “tutup mulutmu!” dan akhirnya mengeluarkannya
dari ruang kelas. Dari apa yang ia jelaskan itu, sebenarnya ia menjelaskan realita
yang benar-benar terjadi pada saat itu. Adegan ini menginsyaratkan bahwa Tjokro
sudah mulai memberanikan dirinya untuk memberontak serta melawan penjajah
dengan pengetahuannya atau pemikiran-pemikirannya yang kritis tersebut.
Mitos
Bentuk perlawanan dari sosok Tjokroaminoto sendiri sudah sangat terlihat
sejak ia berusia dini. Walaupun ia terlahir dari keluarga priyai pangreh praja,
tetapi nyalinya semakin hari semakin bertambah kuat untuk memberontak dan
melawan penjajah. Ketika ia kecil hingga remaja, ia memang tidak pernah
berfikir untuk melawan penjajah Belanda dengan senjata atau kembali
membalasnya dengan kekerasan seperti apa yang telah dilakukan oleh tentara
Belanda kepada rakyat jawa. Justru ia lebih menekankan perlawanannya pada
pemikiran-pemikirannya yang kritis hingga dianggap terlalu radikal revolusioner
oleh kolonial Belanda.
2) Fase Tjokro Beranjak Dewasa.
Pada fase ini bermula pada akhir usia belasan tahun atau awal usia 20
tahun dan berakhir pada usia 30 tahun. Ini adalah masa pembentukan
kemandirian pribadi dan ekonomi, masa perkembangan karir, dan bagi
banyak orang, masa pemilihan pasangan, belajar hidup dengan seseorang
secara akrab, memulai keluarga, dan mengasuh anak anak.
66
Scene 2 dan 3
Visual & Durasi
Durasi 00 : 14 : 49
Durasi 00 : 14 : 55
67
Dialog
Tjokro : “Teh ini panas, tapi tanganku sudah terbiasa
dengan panasnya matahari. Teh ini ditanam di tanah
mereka, dengan keringat mereka. Tuan menikmati teh ini
pagi dan sore demi kesejahteraan hidup tuan”.
Type of Shot
1. Two Shot
Two Shot merupakan tipe shot yang menampilkan dua
orang dalam satu frame kamera, tipe shot ini dapat
digunakan untuk membangun hubungan antara subyek satu
dengan lainnya, masing-masing subyek dapat saling
berinteraksi dan terlibat dalam gerakan atau tindakan dalam
pengambilan gambar.
Tipe shot ini juga biasanya digunakan ketika dua presenter
sedang membawakan acara ataupun memperkenalkan dua
orang secara bersamaan.
2. Cutaway
Jenis shot ini digunakan untuk membangun situasi. Subyek
bisa berbeda, misalnya hewan kesayangan milik subyek,
bagian yang berbeda dari subyek misalnya properti milik
subyek, atau apapun.
Denotasi
Pada dua scene diatas terlihat Tjokro sedang menuangkan teh ke dalam
cangkir Haendlift yaitu salah seorang staff Belanda, setelah ia memarahi salah
seorang pekerja pribumi (pelayan) karena telah membawa secangkir minumannya
tanpa alas tangan. Dengan berani Tjokro menatap dan berkata kepada haendlift
dengan tatapan mata yang tajam, nada bicara yang tegas serta lugas, ia
mengatakan “teh ini panas, tapi tanganku sudah terbiasa dengan panasnya
matahari. Teh ini ditanam di tanah mereka, dengan keringat mereka. Tuan
menikmati teh ini pagi dan sore demi kesejahteraan hidup tuan”, sampai teh yang
ia tuangkan ke dalam cangkir terisi penuh hingga akhirnya mengalir menumpahi
meja kerja haendlift dan hampir saja mengenainya.
68
Konotasi
Pada scene diatas, Tjokro nampak kesal dengan apa yang sudah Haendlift
lakukan terhadap rakyatnya tersebut. Berawal karena Haendlift beranggapan
bahwa jika tubuhnya tersentuh dengan kulit rakyat pribumi yang sering sekali
terserang berbagai penyakit, menurutnya akan menularkan penyakit-penyakit
tersebut kepadanya, sehingga Haendlift kesal jika didapatinya pelayan yang
membawakan minuman ataupun makanannya tanpa memakai alas tangan.
Kemudian Tjokro menunjukkan rasa kekesalannya terhadap Haendlift dengan
memberanikan dirinya, untuk melawannya dengan menghampirinya dan
menuangkan teh ke dalam cangkirnya sambil berkata “teh ini panas, tapi tanganku
sudah terbiasa dengan panasnya matahari. Teh ini ditanam di tanah mereka,
dengan keringat mereka. Tuan menikmati teh ini pagi dan sore demi kesejahteraan
hidup tuan”, sampai akhirnya teh yang ia tuangkan ke dalam cangkir terisi penuh
hingga mengalir menumpahi meja kerja Haendlift. Ini adalah salah satu bentuk
nilai nasionalisme yang tergambar dalam dirinya, yaitu kepeduliannya terhadap
segala bentuk masalah yang dihadapi oleh rakyatnya, ia pun sudah ikut serta
dalam upaya pembelaan terhadap rakyatnya yang sudah diperlakukan seperti itu
oleh penjajah.
Mitos
Pada masa itu, seluruh pekerja Belanda dari setingkat buruh hingga priyai
pangreh praja akan selalu menuruti apa yang diperintahkan oleh Belanda. Jika
ada yang memberontak, tentara Belanda akan siap menyiksa orang tersebut
sampai ia akan menuruti apa yang diperintahkan. Sangat berbeda dengan apa yang
69
dipikirkan serta apa yang dilakukan oleh Tjokro. Walaupun ia sudah lama
menggeluti pekerjaannya sebagai priayi pangreh praja, tetapi jika ia melihat
ketidakadilan ia akan tetap memberontak walaupun tidak dengan alat senjata
perang ataupun membalasnya kembali dengan kekerasan. Sejak kekerasan
merajalela di tanah jawa, sejak saat itu pula Tjokro menjadi sosok yang anti
kekerasan. Apalagi yang menjadi korbannya adalah rakyat jawa yang dilakukan
oleh penjajah Belanda. Ia akan tetap melakukan perlawanan dengan pemikiran-
pemikirannya yang cemerlang juga dengan pembawaannya yang tenang. Dan ia
pun akan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda jika ia melihat rakyatnya
kembali diperlakukan tidak adil oleh Belanda.
3) Fase Pertengahan Dewasa
Periode perkembangan yang bermula pada usia kira-kira 35 hingga 45
tahun dan merentang hingga usia 60 tahun. Ini adalah masa untuk
memperluas keterlibatan dan tanggung jawab pribadi dan sosial seperti
membantu generasi berikutnya menjadi individu yang berkompeten, dewasa
dan mencapai serta mempertahankan kepuasan dalam berkarir.
70
Scene 4
Visual & Durasi
Durasi 00 : 55 : 27
Dialog Tjokro : “Mari kita sama-sama melakukan perlawanan atas
ketertindasan, agar semua rakyat nusantara tidak lagi
dipandang sebagai seperempat manusia!”
Type Of Shot Medium Close Up
Shot tipe ini mengambil gambar dari dada sampai atas
kepala untuk menunjukkan ekspresi lebih jelas.
Denotasi
Pada scene ini, terlihat Tjokro sedang berpidato dengan tatapan mata yang
tajam, raut wajah yang serius, jari telunjuk yang menunjuk keatas juga terlihat
sangat bersemangat saat peresmian pergantian nama organisasi SDI (Sarekat
Dagang Islam) menjadi SI (Sarekat Islam) di surabaya. Ia juga mengatakan
kepada rakyatnya bahwa, “Mari kita sama-sama melakukan perlawanan atas
71
ketertindasan, agar semua rakyat nusantara tidak lagi dipandang sebagai
seperempat manusia!”. Tjokro mengajak dengan meyakinkan seluruh
masyarakatnya untuk melakukan perlawanan yang juga ditemani oleh H.
Samanhoedi di sampingnya.
Konotasi
Sebagai orator yang ulung, Tjokroaminoto berpidato di hadapan ribuan
masyarakat yang hadir, juga ditemani oleh H. Samanhoedi selaku ketua umum
SDI (Sarekat Dagang Islam) pada tahun 1913 di Surabaya dengan sorotan mata
yang tajam, suara yang lantang juga menggelegar, ditambahkan dengan gerakan
tubuh dan acungan jari telunjuknya ke atas menjadi nilai plus baginya untuk
mengajak, meyakinkan serta mendorong keinginan rakyatnya agar siap melawan
Belanda dengan menjadi anggota Sarekat Islam. Pada hari itu ia memakai beskap
(semacam jas yang hanya digunakan oleh priayi yang bekerja di pemerintahan
Belanda) juga memakai blankon (semacam penutup kepala yang hanya dipakai
oleh orang-orang jawa). Hal ini menandakan bentuk nasionalisme yang pasti dari
sosok Tjokro dan prinsipnya tentang “sama rasa sama rata” yang ia tanam kepada
rakyatnya. Sebagai ketua organisasi Sarekat Islam, ia meyakinkan di dalam
pidatonya kepada masyarakat yang hadir agar memberanikan dirinya untuk
melakukan perlawanan terhadap Belanda yang selama ini sudah menginjak-
injakkan harga diri rakyat nusantara khususnya rakyat jawa, juga sudah
menjadikan rakyatnya sebagai “sapi perah” bagi keuntungan Belanda karena
politik etisnya.
72
Mitos
Jiwa kepemimpinan seorang Tjokro sudah sangat kuat terlihat oleh rakyat
jawa ketika ia berpidato di depan ratusan masyarakat, juga sekaligus menjadi
ketua Sarekat Islam. Kedatangan Tjokro pada saat itu sangat tepat, dimana sejak
setelah pangeran Diponegoro memimpin tanah jawa, lebih dari 70 tahun rakyat
nusantara tidak lagi memiliki sosok pemimpin. Rakyat jawa sangat mendambakan
sosok “ratu adil” atau seorang pemimpin yang benar-benar dapat melindungi dan
membantu mereka hingga rakyat nusantara merasakan keamanan, kenyamanan,
keadilan juga kemerdekaan dengan aturan pemerintahan sendiri. Dan mereka
sangat berharap agar tidak lagi menjadi “sapi perah” bagi penjajah Belanda.
Scene 5 dan 6
Visual & Durasi
Durasi 01 : 02 : 21
73
Durasi 01 : 02 : 28
Dialog
Tjokro : “Aku datang kesini bukan menikmati wedangan,
aku datang untuk menegur kalian. Sudah berapa kali aku
katakan, segera buat koperasi. Perlu kalian ketahui,
oerganisasi ibarat rumah, rumah perlu dapur, dan koperasi
adalah dapurnya.
Hasil bumi ini sudah sangat melimpah. Harusnya ini
membuat kesejahteraan bagi kalian, bukan untuk oranglain.
Bisa bapak bayangkan nasib anak cucu bapak nantinya,
kalau ini terus diambil, diambil, dan diambil?!
Segera buat koperasi!”
Type Of Shot
Medium Shot
Pada teknik ini area pengambilan gambar sedikit lebih
sempit yaitu dimulai dari batas pinggang sampai atas
kepala. Teknik ini bertujuan untuk menonjolkan lebih
detail lagi bahasa tubuh dari ekspresi subyek.
74
Denotasi
Pada scene ini terlihat Tjokro dengan tuan Rinkes sedang mengunjungi
anggota organisasi Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Ia menyarankan serta meminta
kepada mereka agar segera membuat koperasi, karena baginya peran koperasi
dalam sebuah organisasi sangatlah penting. Ia mengatakan, “Aku datang kesini
bukan menikmati wedangan, aku datang untuk menegur kalian. Sudah berapa kali
aku katakan, segera buat koperasi. Perlu kalian ketahui, organisasi ibarat rumah,
rumah perlu dapur, dan koperasi adalah dapurnya. Hasil bumi ini sudah sangat
melimpah. Harusnya ini membuat kesejahteraan bagi kalian, bukan untuk
oranglain. Bisa bapak bayangkan nasib anak cucu bapak nantinya, kalau ini terus
diambil, diambil, dan diambil?! Segera buat koperasi!”
Konotasi
Dalam scene ini, Tjokro berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk
rakyatnya yaitu dengan memberikan saran agar membuat koperasi yang mana
menurutnya koperasi adalah salah satu wadah yang terpenting untuk
mensejahterakan rakyatnya dibawah pimpinan organisasi yang dipimpinnya yaitu
Sarekat Islam. Bukan hanya itu, ia pun menekankan kepada anggotanya agar
membangun sebuah koperasi supaya hasil pertanian mereka yang melimpah
tersebut tidak terus-menerus diambil dan dinikmati oleh pihak Belanda, tetapi
juga bisa dinikmati sendiri oleh semua rakyat Hindia Belanda khususnya rakyat di
tanah Jawa. Ia sangat berharap rakyatnya dapat hidup dengan layak, nyaman juga
aman. Sebagai warga negara yang baik, tentunya tidak akan membiarkan bangsa
dan negaranya selalu dalam keadaan terpuruk.
75
Mitos
Tindakan Tjokro yang tergambar diatas adalah salah satu bentuk
profesionalitas dari sosok Tjokro yang ia lakukan yaitu untuk mensejahterakan
rakyatnya, yang mana ia harus memegang teguh amanat yang diberikan
kepadanya oleh seluruh rakyatnya khususnya di tanah jawa, karena seyogyanya
kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab seorang pemimpin. Dalam sebuah
hadist dikatakan bahwa :
Ibn umarr.a berkata : “saya telah mendengar rasulullah saw bersabda :
setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas
kepemimpinannya. Seorang kepala Negara akan diminta pertanggung jawaban
perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga
yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan
ditanya perihal tanggung jawab dan tugasnya. Bahkan seorang
pembantu/pembantu rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik
majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian
pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggung jawaban) dari hal yang
dipimpinnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka dari itu, dalam hal ini Tjokro bukan semata-mata melaksanakan tugas
hanya sekedar seorang pemimpin dari organisasi saja, melainkan bertanggung
jawab pula untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak-pihak yang dipimpinnya.
B. Nilai-Nilai Nasonalisme dalam Film “Guru Bangsa Tjokroaminoto”
Sesuai rumusan masalah kedua, penulis akan menjelaskan penandaan nilai-
nilai nasionalisme yang tergambar pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
Tjokroaminoto dalam film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” khususnya pada alur
cerita di tahun 1902, 1905 dan 1913. Karena alur cerita pada tiga tahun tersebut
dalam film merupakan masa-masa dimana Tjokro menjalani beberapa fasenya,
76
fase dimana mulai tumbuh sampai menguatnya rasa nasionalisme dalam dirinya,
yaitu ketika ia remaja hingga beranjak dewasa.
1) Scene 1
Pada scene yang diteliti ini, berawal ketika Tjokro beranjak remaja
pada usia 19 tahun yaitu ketika Tjokro menempuh pendidikan di OSVIA
(Opleidings School Voor Inlandshe Ambtenaren) sekolah calon pegawai
bumiputera, pada tahun terakhirnya yaitu 1902 di Magelang.
Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air merupakan salah satu
dari sekian banyak contoh bentuk nasionalisme. Tentunya sulit bagi
seseorang untuk melakukan perlawanan terhadap oranglain dalam hal ini
adalah penjajah Belanda, jika tidak mempunyai nyali yang cukup besar juga
tidak ditanamkan sejak dini. Tetapi justru Tjokro berbeda dengan orang lain.
Ia belajar banyak hal dari setiap apa yang ia lihat terhadap kekejian serta
ketidakadilan yang dilakukan oleh penjajah. Sehingga sedikit demi sedikit ia
tunjukkan perlawanannya dengan pengetahuan yang ia miliki.
2) Scene 2 dan 3
Pada fase yang tergambar pada scene ini, diteliti ketika Tjokro sudah
beranjak dewasa, di masa-masa akhir ia menjadi pegawai juru tulis pada
tahun 1905, dimana rasa nasionalismenya yang ada dalam dirinya sudah
mulai tumbuh besar juga kuat terhadap bangsa dan negaranya. Jika sudah
memiliki rasa cinta terhadap bangsa dan negara, tentunya sikap kesetian
kepada tanah air pun akan timbul. Seperti yang terlihat dalam scene diatas,
Tjokro sama sekali tidak takut dengan apa yang sudah ia lakukan terhadap
77
Haendlift, justru itu adalah sebuah “gertakan” yang diberikan olehnya
terhadap penjajah Belanda juga sebuah bentuk “perlindungan dan
pembelaan” terhadap rakyatnya, khususnya dalam hal ini adalah rakyat
Jawa.
3) Scene 4
Pada fase ini, scene diteliti ketika Tjokro sudah berada di masa-masa
pertengahan dewasa, dimana rasa nasionalismenya yang ada dalam dirinya
sudah tumbuh kuat juga besar terhadap bangsa dan negaranya.
Tjokro tidak hanya melakukan perlawanan atas dasar cinta serta setia
saja terhadap bangsa dan negaranya, tetapi juga untuk menjaga dan
melindungi rakyatnya dari segala bentuk ancaman yang membuat
ketidaknyamanan rakyatnya. Inilah bentuk nasionalisme yang tergambar
dalam scene diatas, yaitu Tjokroaminoto mengajak seluruh rakyatnya agar
tidak diam dalam setiap penindasan yang dilakukan oleh penjajah. Ia
menyarankan untuk sama-sama melakukan perlawanan, karena dengan
begitu mereka bisa ikut berpartisipasi dalam suatu kegiatan yang berguna
untuk memajukan bangsa dan negaranya tercinta. Hal ini juga menandakan
bahwa Tjokro mencoba untuk menjaga dan melindungi negara dari segala
bentuk ancaman, baik dari dalam maupun luar, serta ia sudah ikut
berpartisipasi dalam suatu kegiatan yang berguna untuk memajukan bangsa
dan negaranya.
78
4) Scene 5 dan 6
Pada fase ini, scene masih diteliti ketika Tjokro sudah berada di masa-
masa pertengahan dewasa, di saat ia mengunjungi salah satu anggota
organisasinya Sarekat Islam. Semestinya ada di dalam diri setiap individu
beragama maupun bernegara melakukan sebuah perubahan. Sama halnya
dengan apa yang sudah Tjokro lakukan untuk rakyatnya. Ia mempunyai
inisiatif tersendiri untuk memajukan rakyat nusantara agar terlepas dari
genggaman penjajah. Walaupun bentuk perubahannya tidak terlalu
signifikan, tetapi ia sudah berusaha semampu yang ia bisa, melakukan
perubahan demi kemajuan bangsa dan negaranya. Hal ini pula yang
menggambarkan rasa nasionalismenya yang kuat dalam dirinya terhadap
seluruh rakyatnya.
79
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan oleh penulis pada Bab IV,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Tanda-tanda yang digambarkan melalui karakter dan gerak isyarat
tergambar dengan jelas dalam film ini. Akhirnya, karakter dan gerak isyarat
dalam film yang menampilkan nilai-nilai nasionalisme bisa dianalisa secara
denotasi, konotasi, maupun mitos.
a. Denotasi
Analisis film “Guru Bangsa Tjokroaminoto” ini memiliki makna
denotasi yang menggambarkan sosok Tjokroaminoto yang berasal dari
keturunan priyai pangreh praja namun walaupun begitu ia tidak
pernah menuruti apa yang diperintahkan oleh Belanda ataupun dengan
orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Sampai akhirnya ia
keluar dari jabatan tersebut dan memimpin organisasi Sarekat Islam
untuk memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia
dengan berniat membentuk pemerintahan sendiri.
b. Konotasi
Makna konotasi yang tersirat dalam film ini adalah sosok Tjokro yang
tidak tega melihat ketidakadilan yang diterima oleh rakyatnya.
Semenjak pada saat itu, ia berani melawan penjajah Belanda yang
selalu bertindak semena-mena terhadap rakyat dengan pemikiran-
80
pemikirannya. Semua itu dikarenakan jiwa nasionalisme dalam
dirinya timbul dari semenjak ia remaja sampai beranjak dewasa, yang
mana saat-saat itulah mulai tumbuh sampai menguatnya rasa
nasionalisme dalam dirinya.
c. Mitos
Mitos yang terkandung dalam film ini yaitu tindakan-tindakan yang
Tjokro berikan kepada seluruh rakyatnya, khususnya rakyat jawa pada
saat itu termasuk dari sikap profesionalitasnya untuk mensejahterakan
rakyatnya dan memegang teguh amanatnya yang diberikan kepadanya
sebagai seorang pemimpin.
Dari ketiga makna diatas, penulis dapat simpulkan bahwa nilai-nilai
nasionalisme dari seorang tokoh pencetus generasi muda bangsa berbakat yaitu
Tjokroaminoto sudah melekat dalam dirinya semenjak ia remaja bahkan sebelum
itu atas dasar agama Islam. Dalam Islam sendiri mengajarkan dan menganjurkan
agar setiap muslim harus memiliki sikap nasionalisme.
2. Berdasarkan dari rumusan masalah kedua, penulis dapat menyimpulkan
bahwa dalam beberapa scene yang sudah diteliti, banyak dijumpai sikap-
sikap yang menunjukkan nilai-nilai nasionalisme diantaranya seperti
memperjuangkan keadilan, keberanian, pengabdian, serta ketabahan,
sehingga semakin menunjukkan terbentuknya sikap nasionalisme yang
tinggi terhadap bangsa dan negara pada tokoh Tjokroaminoto dalam film
ini.
81
B. Saran
Setelah penulis menyampaikan kesimpulan dari analisa diatas, penulis ingin
menyampaikan beberapa saran, yaitu warga negara Indonesia khususnya sineas-
sineas baru, harus lebih kreatif dalam memproduksi sebuah film. Menurut penulis,
film dalam bentuk sejarah masih sangat dibutuhkan untuk anak-anak dalam
negeri, karena banyak sejarah Indonesia yang ditutup-tutupi ataupun dihilangkan
jejaknya setelah zaman orde baru seperti salah satu contohnya yaitu
Tjokroaminoto. Sehingga tidak jarang masyarakat tidak mengetahui siapa
Tjokroaminoto sebenarnya. Tokoh Tjokroaminoto pun dalam film ini diuraikan
sangat singkat demi kebutuhan skenario dan karakter tokoh dalam cerita, sehingga
masyarakat hanya mendapatkan tidak begitu banyak informasi umum tentang
dirinya.
Warga negara Indonesia juga seharusnya tidak melupakan sejarahnya,
karena dengan apa yang telah dilakukan dan diusahakan oleh para pahlawan pada
masa lampau, kita dapat menikmati kemerdekaan tanpa ada lagi kekerasan,
pemberontakan serta ketidakadilan seperti saat ini. Masyarakat pun harus lebih
cerdas memilih film-film yang patut untuk ditonton atau sebaliknya. Karena saat
ini sudah banyak film-film yang memang tidak seharusnya untuk ditonton oleh
masyarakat khususnya anak-anak di bawah umur serta remaja, yang mana di usia
mereka dapat menyerap cepat pesan-pesan yang disampaikan oleh para tokoh
filmnya. Masyarakat pun harus memberikan apresiasi yang besar terhadap para
tokoh pejuang kemerdekaan, dan juga kepada sineas-sineas baru dalam negeri
yang saat ini sedang mengepakkan sayapnya di kancah perfilman sampai ke ranah
internasional.
82
Sebagai penonton dapat mengambil nilai-nilai positif serta nilai-nilai
nasionalisme yang terkandung di dalamnya, yang mana sebagai warga negara
Indonesia yang baik seharusnya mulai memupuk jiwa nasionalisme sejak dini,
juga harus dapat mempertahankannya. Loyalitas yang tinggi terhadap tanah
kelahiran, negara Indonesia tercinta juga perlu dipupuk, dimiliki serta dijaga pula
sejak usia dini.
83
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER DARI BUKU :
Berger, Arthur Asa. Teknik-Teknik Analisis Media. Terjemahan Setio Budi HH.
Yogyakarta : Percetakan Universitas Atma Jaya, 2000.
-----------------------. Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan
Kontemporer. Terjemahan M. Dwi Marianto. Yogyakarta : Penerbit Tiara
Wacana, 2010.
Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara. Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2006.
Cobley, Paul dan Litza Jansz. Mengenal Semiotika For Beginner. Bandung :
Mizan, 2002.
Danesi, Marcel. Pengantar Memahami Semiotika Media. Terjemahan A.
Gunawan Admiranto “Understanding Media Semiotics”. London : Arnold
Publisher, 2002. Yogyakarta : Penerbit Jalasutra, 2002.
--------------------. Pesan, Tanda, Dan Makna : Buku Teks Dasar Mengenai
Semiotika dan Komunikasi. Yogyakarta : Jalasutra, 2012.
Eco, Umberto. A Theory of Semiotics. Bloomington : Indiana University Press,
1976.
Giu, Ismail Sam. Analisis Semiotika Kekerasan Terhadap Anak Dalam Film
Ekskul. No.1 2012.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif : Teori dan Praktek. Jakarta :
Bumi Aksara, 2013.
Hamid. Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press, 2010.
Kohn, Hans. Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Pembangunan, 1961.
Latief, Yudi. Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas.
Jakarta : PT. Gramedia, 2011.
Liliweri, Alo. Komunikasi : Serba Ada Serba Makna. Jakarta : Kencana, 2011.
Makhrufi, Dianita Dyah. “Pesan Moral Islami Dalam Film Sang Pencerah :
Kajian Analisis Semiotik Model Roland Barthes”. Skripsi S1 Fakultas
Komunikasi Penyiaran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.
84
Miert, Hans Van. Dengan Semangat Berkobar : Nasionalisme Dan Gerakan
Pemuda Di Indonesia, 1918-1930. Diterjemahkan oleh Sudewo Satiman.
Jakarta : Pustaka Utan Kayu, 2003.
Muhtar. Pedoman Bimbingan Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta :
PGK & PTK Dep.Dikbud, 1992.
Mulawarman, Aji Dedi. Jang Oetama : Jejak Perjuangan HOS. Tjokroaminoto.
Yogyakarta : Galang Pustaka, 2015.
Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKIS, 2007.
Pranajaya. Film Dan Masyarakat: Sebuah Pengantar. Jakarta : Yayasan Pusat
Perfilman H. Usmar Ismail, 1992.
Rambe, Safrizal. Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia
1905-1942.
Sani, Asrul. Mengapa Film Indonesia Makin Lama Makin Kehilangan Simpati
Penonton. Tempo, 1971.
Setyobudi, Ciptono. Teknologi Broadcasting TV. Yogyakarta : Graha Ilmu,
2012.
Smith, Anthony D. Nasionalisme : Teori, Ideologi, Sejarah. Terjemahan Frans
Kowa. Jakarta : Erlangga, 2002.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, cetakan
pertama, 2003.
----------------. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
----------------. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,
Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : Rosdakarya, 2006.
Sudikin, Basrowi. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya :
Penerbit Insan Cendikia, 2002.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung :
Alfabeta, 2010.
Sumarno, Marselli. Dasar-Dasar Apresisasi Film. Jakarta : PT. Gramedia, 1996.
Suradi. Haji Agus Salim : Dan Konflik politik Dalam Sarekat Islam. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 1997.
Suryanegara, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah : Wacana Pergerakan Islam
di Indonesia. Bandung : Mizan, cetakan ke 3, 1996.
85
Tinarbuko, Sumbo. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta : Jalasutra, 2009.
Zoest, A.V. Semiotika, Tentang Tanda, Cara Kerjanya. Terjemahan Ani
Sukowati. Jakarta : Yayasan Sumber Agung.
SUMBER DARI JURNAL :
Eriyanto. “Laki-Laki Sebagai Korban Dalam Perkawinan Poligami : Analisis
Semiotika Film Ayat-Ayat Cinta Karya Hanung Bramantyo,” Jurnal Ilmu
Komunikasi vol.1 No.1 Jakarta Juli 2013.
Hananta, Elita Primasari. Konten Kekearasan Dalam Film Indonesia Anak
Terlaris Tahun 2009-2011. Jurnal E-Komunikasi No. 1, 2013.
Isadi, Renata Pertiwi. “Bushido Pada Perempuan Jepang : Memaknai Nilai-
Nilai Bushido pada Perempuan jepang dalam Film Rurouni Kenshin”.
Jurnal Communication V, no. 2, Jakarta Oktober 2014.
Suwarno. "Representasi Makna Visual Poster Film Religius (Studi Semiotika
Poster Charles S. Pierce Pada Film 99 Cahaya di Langit Eropa). Jurnal
Communication V, No.2, Jakarta Oktober 2014.
Zamzamah, Sarjinah. “Semiotika dalam Berhala, dalam Tonil-Kajian Sastra,
Teater dan Sinema”. Vol.1 No.1 November, 2000. Yogyakarta : Tonil
Press, 2000.
Zein, Sherman. "Kajian Etnografi Dalam Mengungkapkan Simbol Budaya Dan
Maknanya di Masyarakat". Journal of Advanced Communication
Exposure Vol.1, No.1, Februari 2011.
SUMBER LAIN :
Koran Fadjar Asia, 24 Mei 1924.
Program Mata Najwa, “Belajar Dari Guru Bangsa Tjokroaminoto”, edisi 8 April
2015 pkl.20.00 wib.
Tim Penyusun. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya : CV. Ramsa Putra, 2004.
Wawancara pribadi dengan Nayaka Untara. Jakarta, 7 April 2016.
W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, 2003.
ISBN 9789796662913. Tebal 1371 halaman.
86
SUMBER DARI WEBSITE :
Bintang.com, Guru Bangsa Tjokroaminoto Keluar Sebagai Film Terpuji FFB
2015, Artikel diakses pada tanggal 14 september 2015 pkl. 06.10 wib
“Daftar Pemenang Festival Film Bandung”, Artikel diakses pada tanggal 13
Septenber 2015 pkl. 05.30 wib. http://bintang.com/read/daftar-pemenang-
festival-film-bandung-2015
“Film Guru Bangsa Tjokroaminoto Menjadi Pemenang Festival Film
Indonesia”. Artikel diakses pada tanggal 23 November 2015 pkl. 21.10
wib. http://showbiz.liputan6.com/read/2373307/daftar-pemenang-festival-
film-indonesia-2015.
“Film Guru Bangsa Tjkroaminoto Dipuji Wapres Jusuf kalla”.
http://lifestyle.sindonews.com/read/992949/158/film-guru-bangsa-
tjokroaminoto-dipuji-wapres-jusuf-kalla-1429761450 Artikel diakses pada
tanggal 2 Mei 2015 Pkl. 13.40
http://perfilman.perpusnas.go.id/kliping_artikel/detail/421 Artikel diakses pada
tanggal 5 Agustus 2015 pkl. 12.00 pm
http://ariestaputris.blogspot.co.id/2014/08/fase-fase-perkembangan-usia-
remaja.html Artikel diakses pada tanggal 2 Oktober 2016 pkl. 10.00 wib
https://id.wikipedia.org/wiki/Garin_Nugroho Artikel diakses pada tanggal 5
Agustus 2015 pkl. 12.00 pm
“Penghargaan Usmar Ismal Award : Film Guru Bangsa Tjokroaminoto”,
http://berita.suaramerdeka.com/entertainment/usmar-ismail-awards-2016-
7-film-dan-unsur-unsur-unggulan-uia-2016/ Artikel diakses pada tanggal
25 Maret 2016 pkl. 17.00 wib.
“Pengertian Paradigma Penelitian Kualitatif”,
http://farelbae.wordpress.com/catatan-kuliah-ku/pengertian-masalah-
variabel-paradigma-penelitian/ Artikel Diakses Pada Tanggal 22
September 2016 pkl. 20.00 wib
“Pemeran Film Tjokroaminoto Komentar Mengenai Industri Perfilman
Indonesia”. Edisi 24 April 2015
http://m.wowkeren.com/berita/tampil/0069115.html Artikel diakses pada
hari jum’at, tanggal 24 April 2015 Pukul 19.02 wib
“Sejarah Film”. http://www.kajianpustaka.com/2012/10/pengertian-sejarah-dan-
unsur-unsur-film.html Artikel diakses pada hari kamis, Tanggal 23 April
2015, Pkl 09.15 wib
87
“Teori Semiotik Konotasi Foto Menurut Barthes”.
http://melisamayo.blogspot.co.id/2009/12/teori-semiotik-konotasi-foto-
menurut-Barthes.html/m=1 Artikel Diakses Pada Tanggal 10 Mei 2016
Pkl. 14.38 wib.
www.tjokromovie.com/team/reza_rahadian Artikel diakses pada tanggal 1
Oktober 2015, Pkl. 17.00 wib
www.tjokromovie.com/team/putri_ayudya Artikel diakses pada tanggal 1
Oktober 2015, Pkl. 17.00 wib
www.tjokromovie.com/team/christoffer_nelwan Artikel diakses pada tanggal 1
Oktober 2015, Pkl. 17.00 wib
www.tjokromovie.com/team/christine_hakim Artikel diakses pada tanggal 1
Oktober 2015, Pkl. 17.00 wib
www.tjokromovie.com/team/sudjiwo_tedjo Artikel diakses pada tanggal 1
Oktober 2015, Pkl. 17.00 wib
www.tjokromovie.com/team/maia_estianty Artikel diakses pada tanggal 1
Oktober 2015, Pkl. 17.00 wib
LAMPIRAN
COVER FILM GURU BANGSA TJOKROAMINOTO
Surat Bimbingan Skripsi
Surat Izin Penelitian Skripsi Untuk Pick Lock Production House
Surat Izin Penelitian Skripsi Untuk MSH Film Production House
Surat Izin Penelitian Skripsi Untuk Pengurus Besar Pemuda Muslimin
Indonesia
Surat Bukti Hasil Penelitian MSH Films
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama Pewawancara : Egy Giana Setyaningsih
Nim : 1111051000141
Waktu : 7 Juni 2016
Tempat : MSH Films, Graha CIMB Niaga Jakarta
Saya : Apa yang melatar belakangi anda (kak Nayaka Untara) sebagai salah satu
produser untuk menggarap film ini?
Naya : Kekhawatiran sebagai generasi penerus yang sudah kurang mengenal
identitas bangsa dan penghargaan terhadap para pahlawan terutama
seorang pahlawan bernama H.O.S. Tjokroaminoto yang selama hidupnya
mendedikasikan untuk menjadikan negeri yang dulu bernama Hindia
Belanda memiliki pemerintahan sendiri. Film ini diprakarsai oleh Yayasan
Keluarga Besar H.O.S. Tjokroaminoto sebagai sumbangsih untuk
masyarakat Indonesia untuk lebih mengenalkan siapa sosok
Tjokroaminoto yang menjadi guru para pendiri bangsa ini, yang salah
satunya adalah Soekarno.
Saya : Mengapa film ini diberi judul “Guru Bangsa : Tjokroaminoto”?
Naya : Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mengilhami tokoh-tokoh
pendiri bangsa seperti Semaun, Koesno (Soekarno), Kartosuwiryo dan
lain-lain, sehingga menurut kami pantas bahwa film ini diberi judul Guru
Bangsa Tjokroaminoto.
Saya : Kriteria seperti apa saja untuk pemilihan pemainnya? Dan khususnya
untuk menjadi sosok Tjokroaminoto, kenapa harus diperankan oleh Reza
Rahadian?
Naya : Dalam dunia perfilman terutama seni peran, pemilihan pemain
merupakan salah satu unsur terpenting. Dan film Guru Bangsa
Tjokroaminoto adalah sebuah film sejarah yang mengharuskan pemeran
tokoh sejarah diperankan semirip mungkin dengan aslinya. Tantangan
terbesar adalah menentukan pemeran Tjokroaminoto sendiri karena bukti
audio dan visualnya sangat minim bahkan hampir tidak ada, sehingga
pemilihan Reza Rahadian sebagai salah satu aktor terbaik saat ini menjadi
pilihan yang sangat tepat. Reza mampu beradaptasi dengan cepat dalam
mendalami karakter Tjokroaminoto dan meyakinkan kami para produser,
sutradara dan pihak keluarga.
Saya : Apa pendapat anda sendiri (kak Nayaka Untara) tentang sosok
Tjokroaminoto?
Naya : Indonesia saat ini membutuhkan sosok pemimpin seperti Tjokroaminoto
yang mampu menggerakkan masyarakat untuk berkembang mengikuti
jaman tanpa mengubah identitas dirinya. Menjadi pemimpin yang dicintai
rakyat sekaligus ditakuti dan disegani oleh lawan-lawan politiknya tanpa
harus dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak dalam berideologi.
Saya : Menurut anda, bagian scene mana yang tersulit untuk dijadikan angle?
Naya : Sejak awal, memfilmkan tokoh Tjokrominoto di era 1890-1920an sangat
sulit. Dimulai dengan riset yang tersebar, penulisan scenario dan
penentuan sudut pandang, pemilihan sutradara, tim produksi dan pemain,
membuat kostum dan membangun set (Hotel Oranje, Trem, Rumah
Peneleh, dsb) sampai men-sosialisasi-kan tokoh Tjokroaminoto dan
filmnya karena keterbatasan informasi masyarakat terutama generasi muda
terhadap tokoh Tjokroaminoto.
Saya : Dalam film ini, siapakah sosok Bagong dan Stella? Apakah mereka ini
ada nyatanya dalam kehidupan Tjokroaminoto sendiri? Atau hanya sebagai
hiasan belaka / hiburan dalam film saja ?
Naya : Bagong dan Stella adalah tokoh fiktif yang kami ciptakan sebagai
representatif penonton untuk menceritakan peristiwa lain di era tersebut.
Bagong, tokoh pewayangan yang diciptakan agar penonton dekat dengan
budaya ketimuran. Stella, tokoh Indo-Belanda yang selalu memberikan
informasi mengenai kejadian-kejadian dibelahan dunia lain dan juga
sebagai refleksi bahwa banyak masyarakat sekarang yang memiliki
dualisme kebudayaan.
Saya : Dari analisis saya, film ini diproduseri oleh beberapa orang. Nah,
bagaimana cara menyatukan pemikiran dari beberapa produser ini?
Naya : Film ini sangat besar sehingga membutuhkan banyak orang yang terlibat.
Banyaknya produser dalam film ini mempunyai tugas dan tanggung jawab
masing-masing. Produksi, marketing, sejarah dan cerita adalah salah satu
tugas dari produser-produser tersebut.
Saya : Kenapa dalam film ini, tidak ditampilkan kedua orangtua dari sosok
Tjokroaminoto? Kenapa hanya kedua orangtua dari Soeharsikin yang lebih
menonjol dalam film ini?
Naya : Film adalah sebuah karya yang memiliki durasi sehingga tidak mungkin
semua tokoh yang pernah bersinggungan dengan Tjokroaminoto dapat
kami masukkan kedalam film. Tidak banyaknya kedua orangtua
Tjokroaminoto tampil didalam film ini karena keterbatasan data riset
mengenai mereka sehingga kami menghindari untuk tidak
menampilakannya dalam porsi yang lebih banyak.
Saya : Dimana saja pemilihan lokasi syuting untuk pembuatan film ini?
Naya : Ambarawa, Semarang dan Jogjakarta. Terbanyak adalah Jogjakarta
karena kami membangun studio set disebuah lahan milik Universitas
Gajah Mada Jogjakarta.
Saya : Sudah berapa film yang sudah diproduksi oleh MSH Films?
Naya : Baru film ini yang sudah diproduksi oleh MSH Films, ini pun atas
permintaan dari Yayasan Keluarga Besar Tjokroaminoto kemudian
bekerjasama dengan Picklock Films dan Alhamdulillah berjalan dengan
lancar dan sukses.
Saya : Apa harapan anda dari film ini untuk para penonton?
Naya : Harapan kami bahwa penonton dapat mengenal siapa sosok
Tjokroaminoto dan seperti apa Indonesia pra kemerdekaan. Selain itu kami
mengharapkan bahwa penonton mendapat sesuatu yang berharga dan
bermanfaat untuk mereka aplikasikan dikehidupan sehari-hari.
Saya : Kira-kira, kapan film ini akan keluar dalam bentuk Digital Video Disc
(DVD) di pasaran?
Naya : Insha Allah film Guru Bangsa Tjokroaminoto dapat kami rilis dalam
bentuk DVD di tahun 2016. Aamiin.
Foto Bersama Salah Satu Produser Film Guru Bangsa Tjokroaminoto
( Nayaka Untara)