1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pupuk merupakan kebutuhan penting yang digunakan untuk meningkatkan
pertumbuhan tanaman. Tanaman yang tumbuh di Indonesia, terutama jenis
tanaman pangan sangat banyak jumlah dan jenisnya. Sebagai negara agrikultur,
Indonesia membutuhkan banyak konsumsi pupuk untuk meningkatkan produksi
tanaman-tanaman pangan. Pemilihan pupuk yang tepat sesuai dengan kebutuhan
tanaman dan kondisi tanah sangat penting dilakukan supaya tidak merusak kondisi
tanah dan makhluk hidup di sekitarnya (Budidarmo, 2007).
Salah satu pabrik penghasil pupuk di Indonesia adalah PT. Petrokimia
Gresik. Pabrik ini merupakan perusahaan berstatus Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dalam lingkup Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang
bergerak dalam bidang produksi pupuk. Pabrik ini merupakan pabrik pupuk tertua
kedua di Indonesia setelah PT. Pupuk Sriwijaya (PUSRI) di Palembang dan juga
merupakan pabrik pupuk terlengkap di antara pabrik pupuk lainnya. Jenis pupuk
yang diproduksi oleh PT. Petrokimia Gresik antara lain : ZA, Super Phospat, dan
Urea. Kapasitas produksi pupuk PT. Petrokimia Gresik sangat besar. Pada tahun
2005, kapasitas produksi pupuk PT. Petrokimia Gresik mencapai 4.430.000
Ton/tahun (Anonim, 2012).
Salah satu pupuk produksi PT. Petrokimia Gresik, yaitu pupuk ZA
diproduksi dalam jumlah 650.000 Ton/tahun. Proses produksi pabrik ini memiliki
potensi bahaya tinggi apabila tidak dikelola dengan baik karena perusahaan ini
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
menggunakan dan menghasilkan bahan-bahan kimia yang berbahaya dan beracun
dalam jumlah banyak. Dalam proses produksi pupuk ZA, pabrik ini menghasilkan
hasil samping berupa campuran senyawa dengan kandungan utama senyawa kapur
(CaCO3). Hasil samping ini terproduksi dalam jumlah yang sangat banyak dan
belum termanfaatkan dengan optimal. Untuk sementara ini, hasil samping kapur
tersebut telah dikelola dengan baik oleh PT. Petrokimia Gresik. Hasil samping
yang belum termanfaatkan secara optimal ini akan terus terproduksi dan akan
terakumulasi dalam jumlah yang besar sehingga dikhawatirkan dapat mencemari
lingkungan di sekitarnya (Anonim, 2012). CaCO3 sendiri merupakan garam
kalsium yang banyak digunakan sebagai obat dan bahan tambahan dalam
makanan. Efek toksik paling berbahaya apabila terpejankan CaCO3 dalam jangka
waktu yang panjang adalah terjadinya hiperkalsemia yang dapat mempengaruhi
berbagai sistem dalam tubuh. (European Food Safety Authority, 2011).
Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dilakukan berbagai uji untuk
menentukan potensi ketoksikan dari hasil samping kapur pada produksi pupuk ZA
PT. Petrokimia Gresik ini. Menurut PP 18/1999 jo. 85/1999, berbagai uji
karakteristik perlu dilakukan untuk mengevaluasi apakah produk samping ini
merupakan limbah B3 atau bukan, salah satunya adalah pengujian toksisitas
subkronis. Informasi yang didapat dari uji ketoksikan subkronis bahan tersebut
diharapkan dapat berguna untuk PT. Petrokimia Gresik sehingga diharapkan
pabrik dapat melakukan pengelolaan hasil samping kapur ini dengan lebih baik
lagi.
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
B. Perumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang di atas, dapat ditarik permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah wujud, spektrum toksisitas dan gejala klinis yang timbul akibat
pemberian produk samping kapur pada pembuatan pupuk ZA PT. Petrokimia
Gresik secara berulang selama 90 hari terhadap tikus jantan dan betina galur
SD?
2. Bagaimanakah pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang selama 90 hari
terhadap parameter berat badan, asupan makanan dan minuman tikus jantan
dan betina galur SD?
3. Bagaimanakah pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang terhadap
parameter hematologi (eritrosit, leukosit, platelet, Hb, Hct, MCV, MCH dan
MCHC) tikus jantan dan betina galur SD paska perlakuan (hari ke-90)?
4. Bagaimanakah pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang terhadap
parameter urin (warna, bau, volume dan pH) tikus jantan dan betina galur SD
paska perlakuan (hari ke-90)?
5. Bagaimanakah pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang terhadap
parameter histopatologi organ hepar, ginjal, limpa dan paru-paru tikus jantan
dan betina galur SD paska perlakuan (hari ke-90)?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui wujud, spektrum toksisitas dan gejala klinis yang timbul akibat
pemberian produk samping kapur pada pembuatan pupuk ZA PT. Petrokimia
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
Gresik secara berulang selama 90 hari terhadap tikus jantan dan betina galur
SD.
2. Mengetahui pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang selama 90 hari
terhadap parameter berat badan, asupan makanan dan minuman pada tikus
jantan dan betina galur SD.
3. Mengetahui pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang terhadap
parameter hematologi (eritrosit, leukosit, platelet, Hb, Hct, MCV, MCH dan
MCHC) pada tikus jantan dan betina galur SD paska perlakuan (hari ke-90).
4. Mengetahui pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang terhadap
parameter urin (warna, bau, volume dan pH) pada tikus jantan dan betina galur
SD paska perlakuan (hari ke-90).
5. Mengetahui pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang terhadap
parameter histopatologi organ hepar, ginjal, limpa dan paru-paru tikus jantan
dan betina galur SD paska perlakuan (hari ke-90).
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu bidang
pengolahan limbah dan pengetahuan tentang uji toksisitas subkronis.
2. Memberikan informasi kepada PT. Petrokimia Gresik mengenai toksisitas
produk samping kapur pada pembuatan pupuk ZA sehingga dapat ditentukan
perlu atau tidaknya pengelolaan lebih lanjut dari produk samping tersebut.
3. Meminimalkan pengaruh pencemaran lingkungan akibat pencemaran produk
samping kapur pada pembuatan pupuk ZA oleh PT. Petrokimia Gresik.
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
E. Tinjauan Pustaka
1. Toksikologi
a. Definisi dan ruang lingkup toksikologi
Toksikologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang aksi berbahaya dari racun atau zat kimia berbahaya atas sistem biologi
tertentu (Loomis, 1978). Racun sendiri merupakan senyawa-senyawa
berbahaya yang dapat mengakibatkan kerusakan apabila dipejankan pada
makhluk hidup baik sengaja maupun tidak (Hodgson & Levi, 1997). Selain
mengkaji mengenai hakikat dan mekanisme efek toksik, toksikologi juga
membahas penilaian kuantitatif mengenai berat dan kekerapan efek toksik dari
suatu racun (Lu, 1995).
Toksikologi merupakan ilmu antarbidang, meliputi ilmu biologi,
kimia, biokimia, fisiologi, imunologi, patologi, farmakologi, dan kesehatan
masyarakat. Ilmu-ilmu tersebut dibutuhkan untuk mempelajari aksi zat kimia
atas sistem biologi dan untuk menjelaskan secara lengkap mengenai fenomena
ketoksikannya (Donatus, 2005).
Ruang lingkup toksikologi sangat luas. Oleh karena itu, ruang lingkup
toksikologi diklasifikasikan menjadi tiga kajian pokok, yaitu toksikologi
lingkungan, toksikologi ekonomi, dan toksikologi kehakiman (forensik).
Toksikologi lingkungan mempelajari mengenai pemejanan (exposure) zat
kimia pada sistem biologi baik disengaja maupun tidak. Zat kimia yang
dimaksud antara lain adalah pencemar lingkungan, makanan, dan air.
Toksikologi ekonomi mengkaji tentang pengaruh zat kimia, dalam hal ini
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
contohnya adalah pestisida dan zat tambahan makanan, yang dipejankan
dengan sengaja pada sistem biologi dengan maksud untuk mencapai efek khas
atau pengaruh tertentu. Sedangkan toksikologi kehakiman merupakan cabang
ilmu toksikologi yang menguraikan tentang aspek medis dan aspek hukum atas
efek toksik atau pengaruh berbahaya zat kimia pada manusia (Donatus, 2005;
Loomis, 1978).
Perlu diperhatikan bahwa klasifikasi ruang lingkup toksikologi di atas
hanya berdasarkan atas sifat pemejanan pada sistem biologi dan cakupan pokok
kajiannya (Donatus, 2005). Walaupun klasifikasi tersebut sangat berguna
dalam mempelajari toksikologi, hal tersebut tidak dapat memberikan informasi
yang adekuat mengenai dasar-dasar dari terjadinya efek toksik seperti
mekanisme aksi dari zat kimia dan lain-lain (Hodgson & Levi, 1997). Oleh
karena itu, terdapat asas utama yang perlu dipahami dalam mempelajari
toksikologi yang biasa disebut dengan asas umum toksikologi (Donatus, 2005).
b. Asas umum toksikologi
Efek toksik racun atas makhluk hidup atau sistem biologi terjadi
melalui beberapa proses, mulai dari pemejanan racun, absorpsi dari tempat
pemejanannya, kemudian distribusi racun atau metabolitnya ke tempat aksi (sel
sasaran atau reseptor) tertentu dalam makhluk hidup. Pada tingkat ini, terjadi
antaraksi antara sel sasaran atau reseptor dengan racun atau metabolitnya. Hal
ini mengakibatkan terjadinya sederetan peristiwa biokimia dan biofisika yang
akhirnya menimbulkan efek toksik dengan wujud dan sifat tertentu. Setelah
mengalami berbagai alur tersebut, pada akhirnya racun akan mengalami
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
ekskresi. Berdasarkan alur di atas, terdapat empat asas utama yang perlu
dipahami dalam mempelajari toksikologi, meliputi kondisi pemejanan dan
kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud, dan sifat efek toksik (Donatus,
2005).
1) Kondisi pemejanan dan makhluk hidup
Kondisi pemejanan merupakan semua faktor yang menentukan
keberadaan (kadar dan jangka waktu) racun di tempat aksi tertentu di dalam
tubuh makhluk hidup terkait dengan pemejanannya. Kondisi pemejanan
meliputi jenis (akut dan kronis), jalur (antara lain saluran cerna, kulit dan
paru-paru), lama dan kekerapan, saat dan takaran (dosis) pemejanan racun
(Donatus, 2005).
Kondisi makhluk hidup merupakan keadaan fisiologi dan patologi
yang dapat mempengaruhi ketersediaan dan nasib racun di dalam tubuh
(absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi) serta keefektifan antaraksi
antara racun dengan sel sasaran. Keadaan fisiologi meliputi berat badan,
umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah,
status gizi, kehamilan, jenis kelamin, irama sirkadian dan irama diurnal.
Keadaan patologi meliputi aneka ragam penyakit seperti penyakit saluran
cerna, kardiovaskular, hati, dan ginjal. Penyakit-penyakit ini dapat
mempengaruhi kondisi fisiologi dari makhluk hidup sehingga
mempengaruhi ketersediaan dan nasib racun dalam tubuh makluk hidup
tersebut pula (Donatus, 2005).
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
2) Mekanisme aksi efek toksik
Mekanisme aksi efek toksik merupakan cara bagaimana racun
menimbulkan efek toksiknya. Hal ini merupakan peristiwa yang rumit dan
melibatkan berbagai macam mekanisme tergantung pada tahapan kejadian
yang terlibat dan sifat reaksinya. Dengan mempertimbangkan berbagai
konsep toksikologi, mekanisme aksi efek toksik digolongkan menjadi tiga,
yaitu berdasarkan sifat dan tempat kejadian awal, sifat antaraksi, dan risiko
penumpukan racun dalam gudang penyimpanan tubuh (Donatus, 2005).
Berdasarkan sifat dan tempat kejadian awal, mekanisme aksi efek
toksik dibagi menjadi dua, yaitu mekanisme luka intrasel (primer atau
langsung) seperti kerusakan membran sel, sintesis protein, produksi energi;
dan mekanisme luka ekstrasel (sekunder atau tidak langsung) seperti
pasokan oksigen, zat hara, cairan, mekanisme pengaturan oleh sistem syaraf,
endokrin, dan sistem imun (Donatus, 2005).
Berdasarkan sifat antaraksi, mekanisme aksi efek toksik
digolongkan menjadi 2, yaitu terbalikkan dan tak terbalikkan antara racun
dan tempat aksinya. Antaraksi yang terbalikkan terjadi antara molekul racun
dengan tempat aksi yang khas seperti reseptor-reseptor neurotransmitter,
tempat aktif enzim, dan lain-lain. Ciri khasnya adalah dapat dihentikan
dengan penghentian pemejanan. Apabila kadar racun pada tempat aksinya
habis, maka kondisinya akan segera kembali seperti semula. Antaraksi yang
tak terbalikkan terjadi dengan cara pembentukan ikatan kovalen antara
senyawa pengalkil atau metabolit elektrofil dan biopolimer yang memiliki
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
gugus SH atau NH2. Selain itu, luka kimia juga dapat disebabkan oleh
radiasi pengion (radiasi nuklir dan sinar X), sintesis letal, penyekatan aksi
enzim, dan kerusakan sistem pembawa seperti Hb. Ciri khasnya adalah
memungkinkan terjadinya penumpukan efek karena kerusakan atau lukanya
menetap dan tidak dapat dihilangkan dengan penghentian pemejanan
(Donatus, 2005).
Berdasarkan risiko penumpukan racun, senyawa-senyawa lipofil
dan sulit dimetabolisme tubuh cenderung akan disimpan dalam gudang
penyimpanan, yaitu kompartemen lemak dan tulang. Peristiwa penumpukan
racun ini relatif tidak membahayakan karena bersifat tidak aktif. Efek toksik
akan timbul apabila secara perlahan racun-racun dalam gudang tersebut
dilepaskan menuju sirkulasi darah sehingga kadarnya meningkat hingga
melebihi KTM (kadar toksik minimal). Hal inilah yang dianggap sebagai
risiko penumpukan (Donatus, 2005).
3) Wujud efek toksik
Wujud efek toksik merupakan hasil akhir dari aksi dan respon
tubuh terhadap racun. Wujud efek toksik digolongkan menjadi tiga, yaitu
perubahan biokimiawi, perubahan fisiologi atau fungsional, dan perubahan
histopatologi atau struktural (Donatus, 2005).
Sebagaian besar racun yang masuk ke dalam tubuh akan ditanggapi
dengan berbagai respon biokimia seperti peningkatan sintesis protein,
pergeseran sistem hormonal dan lain sebagainya. Respon-respon ini bersifat
adaptif, namun apabila berlanjut akan menyebabkan perubahan atau
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
kekacauan biokimia yang bersifat patologis. Pada umumnya, perubahan ini
bersifat terbalikkan (Donatus, 2005).
Perubahan fungsional merupakan respon fisiologi berkaitan dengan
fungsi jasmani seperti bernafas, aliran darah, kontraksi otot, keseimbangan
elektrolit dan lain-lain. Perubahannya dapat berkisar dari yang ringan seperti
sedasi, sampai yang berat seperti aritmia jantung. Pada umumnya perubahan
ini bersifat terbalikkan. Perubahan biokimiawi dan fungsional seringkali
merupakan tahap awal terjadinya perubahan struktural (Donatus, 2005;
Loomis, 1978).
Timbulnya luka selular melalui aksi langsung dan tak langsung
dapat menuju ke perubahan morfologi yang pada akhirnya terwujud sebagai
kekacauan struktural. Terdapat tiga urutan respon dasar histopatologi
sebagai tanggapan luka selular itu, yaitu degenerasi, proliferasi dan
inflamasi atau perbaikan. Berbagai respon histopatologi tersebut mendasari
berbagai perubahan morfologi atau struktural dalam berbagai wujud seperti
nekrosis dan karsinogenesis (Donatus, 2005).
4) Sifat efek toksik
Sifat efek toksik racun dapat dibagi menjadi dua, yaitu terbalikkan
dan tidak terbalikkan (Donatus, 2005). Efek toksik terbalikkan yang
ditimbulkan oleh racun akan hilang setelah pemejanan dihentikan.
Sedangkan pada efek toksik tak terbalikkan, efek toksik akan menetap atau
bahkan bertambah parah meskipun pemejanan dihentikan. Contoh efek
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
toksik tak terbalikkan adalah karsinoma, mutasi, efek teratogenik dan sirosis
hati (Lu & Kacew, 2009).
c. Tolok ukur ketoksikan
Ubahan (variabel) utama ketoksikan racun terletak pada kondisi
pemejanan dan wujud serta sifat efek toksik yang ditimbulkan. Kondisi
pemejanan merupakan ubahan bebas, sedangkan wujud dan sifat efek toksik
merupakan ubahan tergantung. Di antara kedua ubahan tersebut, terdapat
ubahan perantara atau penghubung yaitu mekanisme aksi. Berdasarkan
hubungan sebab-akibat tersebut, dapat dikaji berbagai macam tolok ukur
ketoksikan. Tolok ukur ketoksikan digolongkan menjadi dua macam, yaitu
tolok ukur kualitatif dan tolok ukur kuantitatif. Pemahaman mengenai tolok
ukur ketoksikan ini diperlukan dalam uji-uji toksikologi dan kehidupan sehari-
hari (Donatus, 2005).
Tolok ukur kualitatif merupakan tolok ukur dari efek toksik yang
dapat dilihat dan diperkirakan melalui gejala-gejala klinis yang nampak pada
penderita. Tolok ukur ini meliputi mekanisme aksi, wujud, sifat efek toksik dan
berbagai gejala klinis yang merupakan akibat dari wujud efek toksik racun
(Donatus, 2005).
Di sisi lain, tolok ukur kuantitatif merupakan tolok ukur yang
menunjukkan kekerabatan atau hubungan antara kondisi pemejanan dengan
efek toksik yang timbul. Dalam hal ini, kekerabatan dua ubahan tersebut
disajikan dalam bentuk data kuantitatif. Terdapat empat macam kekerabatan
antara dua ubahan tersebut, yaitu kekerabatan takaran (dosis) - respon, waktu -
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
respon, takaran - efek, dan waktu - efek. Dari keempat kekerabatan tersebut,
yang lebih banyak digunakan adalah takaran - respon dan waktu - respon
karena evaluasi ketoksikan lebih ditujukan pada risiko pemejanan, misalnya
nilai masukan harian yang dapat diterima (MHDD) atau masukan harian
maksimum yang diperbolehkan (MHMD) untuk manusia (Donatus, 2005).
d. Uji toksikologi
Uji toksikologi merupakan uji yang dilakukan untuk menentukan
potensi ketoksikan dari zat-zat kimia, kondisi yang memungkinkan terjadinya
efek toksik dan karakteristik dari aksi senyawa tersebut. Tujuan utama dari uji
toksikologi adalah mengurangi resiko terjadinya efek toksik pada manusia
(Hodgson & Levi, 1997).
Pada umumnya uji toksikologi dilakukan pada hewan uji. Walaupun
ekstrapolasi dari hewan uji kepada manusia masih sering menimbulkan
masalah dan perbedaan, penggunaan hewan uji tentu lebih menguntungkan dan
lebih etis dilakukan daripada menggunakan manusia secara langsung (Hodgson
& levi, 1997).
Uji toksikologi digolongkan menjadi dua, yaitu uji ketoksikan tak
khas dan uji ketoksikan khas. Uji ketoksikan tak khas merupakan uji
toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi spektrum efek toksik suatu
senyawa secara keseluruhan pada berbagai macam hewan uji. Uji ketoksikan
tak khas meliputi uji ketoksikan akut, subkronis, dan kronis. Uji ketoksikan
khas merupakan uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi efek
toksik yang khas suatu senyawa pada berbagai macam hewan uji. Uji
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
ketoksikan khas meliputi uji potensiasi, karsinogenik, mutagenik, reproduksi,
kulit dan mata, dan perilaku (Loomis, 1978).
2. Uji Ketoksikan Subkronis (OECD guideline nomor 408)
OECD merupakan organisasi yang mempunyai misi untuk
mempromosikan kebijakan-kebijakan guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi
dan sosial seluruh masyarakat dunia. OECD menyediakan sebuah forum di mana
pemerintah dapat bekerjasama untuk berbagi pengalaman dan mencari solusi
untuk masalah-masalah umum. OECD bekerjasama dengan pemerintah untuk
memahami hal-hal yang mendorong perubahan ekonomi, sosial dan lingkungan.
Selain itu, OECD juga mengukur produktivitas dan arus perdagangan global dan
investasi. Organisasi ini menganalisis dan membandingkan data untuk
memprediksi tren masa depan. OECD mempunyai peran penting dalam
menetapkan standar internasional tentang berbagai hal, dari pertanian, pajak
hingga keamanan bahan kimia. OECD sudah banyak mempublikasikan guideline
untuk banyak penelitian, salah satunya adalah OECD Guideline for the Testing of
Chemicals. Guideline ini merupakan pedoman standar untuk menguji keamanan
dari bahan-bahan kimia yang ada di dunia (OECD, 2013).
Uji ketoksikan subkronis merupakan uji ketoksikan suatu senyawa yang
diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama kurang dari tiga
bulan. Uji ini bertujuan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa uji
dan untuk memperlihatkan apakah spektrum tersebut berkaitan dengan takaran
atau dosis (Donatus, 2005).
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
Dalam penelitian ini, pedoman yang digunakan yaitu OECD 408
Repeated Dose 90-day Oral Toxicity Study in Rodents. Pengamatan yang
dilakukan dalam uji ketoksikan subkronis meliputi :
a. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak 7 hari sekali.
b. Asupan makanan dan minuman untuk masing-masing hewan atau kelompok
hewan uji paling tidak 7 hari sekali.
c. Gejala-gejala klinis umum yang diamati setiap hari.
d. Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali, yaitu pada awal dan
akhir uji coba.
e. Pemeriksaan kima darah, paling tidak sama dengan butir d.
f. Pemeriksaan urin, paling tidak sekali.
g. Pemeriksaan histopatologi organ pada hewan yang mati pada masa pengujian
dan pada seluruh hewan pada akhir uji coba (Donatus, 2005; Loomis, 1978;
OECD, 1998).
Hasil uji ketoksikan subkronis dapat memberikan banyak informasi yang
bermanfaat tentang efek toksik utama senyawa uji dan organ-organ yang
terpengaruh. Informasi lain yang dapat diperoleh yaitu tentang perkembangan
efek toksik yang lambat berkaitan dengan takaran dosis yang tidak teramati pada
uji ketoksikan akut, hubungan kadar senyawa dalam darah dengan luka toksik
jaringan, dan keterbalikan (reversibilitas) efek toksiknya. Hasil uji ketoksikan
subkronis ini selanjutnya dapat digunakan untuk merancang uji ketoksikan kronis
sebagai penelitian lebih lanjut dan lebih lama (Donatus, 2005; Loomis, 1978;
WHO, 1978).
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
3. Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya
Limbah B3 merupakan sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang
mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau
konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup dan/atau dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta
makhluk hidup lain. Pengelolaan limbah B3 diatur dalam PP 18/1999 jo. 85/1999
tentang pengelolaan limbah B3. Pengelolaan limbah B3 bertujuan untuk
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan
yang sudah tercemar sehingga sesuai fungsinya kembali. (Peraturan Pemerintah
No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun)
Menurut PP 18/1999 jo. 85/1999, limbah B3 dapat diidentifikasi menurut
sumber dan/atau uji karakteristik dan/atau uji toksikologinya. Berdasarkan
sumbernya, limbah B3 digolongkan menjadi 3 macam :
a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik, yaitu limbah B3 yang pada umumnya
bukan berasal dari proses utama, melainkan berasal dari kegiatan lain seperti
pemeliharaan alat, pencucian, pencegahan korosi, pelarutan kerak, pengemasan,
dan lain-lain.
b. Limbah B3 dari sumber spesifik, yaitu limbah B3 sisa proses suatu industri
atau kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan atau merupakan proses
utama
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
c. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluwarsa, tumpahan, sisa kemasan atau
buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
Selain berdasarkan sumbernya, suatu limbah dianggap sebagai limbah B3
apabila memenuhi salah satu atau lebih karakteristik sebagai berikut : mudah
meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat
korosif dan toksik baik akut maupun kronis. Sifat toksik dari suatu limbah diuji
dengan menggunakan uji toksikologi. Uji toksikologi yang umum digunakan
adalah uji ketoksikan akut, subkronis dan kronis. Pada uji ketoksikan akut, apabila
nilai LD50 lebih besar dari 15 g/kg BB maka limbah tersebut bukan merupakan
limbah B3. Untuk mengetahui ketoksikan dari limbah dalam pemejanan jangka
panjang dapat digunakan uji ketoksikan subkronis dan/atau kronis. (Peraturan
Pemerintah No. 85 Tahun 1999 Tentang : Perubahan atas Peraturan Pemerintah
No. 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun,
Sekretariat Negara).
4. Produk Samping Kapur pada Pembuatan Pupuk ZA PT. Petrokimia Gresik
Dalam produksi pupuk ammonium sulfat (ZA), PT. Petrokimia Gresik
menghasilkan produk samping kapur kurang lebih 250.000 ton/tahun. Produk
samping ini berbentuk powder (200 mesh), berwarna putih kecoklatan dan putih
pada kadar air rendah. Produk samping ini memiliki pH 7,6-7,7 ; Bulk density 1,2
Ton/m3
; dan sedikit larut dalam air. Produk samping kapur ini terdiri atas 75%
padatan berupa campuran senyawa dan 25 % air (H2O). Kandungan utama dari
padatan produk samping kapur ini adalah kalsium karbonat (CaCO3) yaitu 86,7%.
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
Kandungan lain dalam produk samping kapur ini adalah kalsium sulfat dihidrat
(CaSO4.2H2O) 4,7% ; ammonium karbonat ((NH4)2CO3) 0,05% ; innert solid
(SiO2) 6,3% ; dan sedikit sisa pupuk ZA ((NH4)2SO4) 2,3% (Anonim, 2012).
Saat ini, produk samping kapur telah dimanfaatkan sebagai kapur
pertanian (100.000 ton/tahun), Petroklasipalm (10.000 ton/tahun), dan kalsinasi
(60.000 ton/tahun). Berdasarkan hal tersebut, masih terdapat sisa produk samping
kapur sebanyak 80.000 ton/tahun yang masih disimpan dan dikelola dalam
gudang terbuka. Sisa yang belum termanfaatkan telah dikelola dengan baik
melalui penataan secara terasering, pengaturan air hujan, penghijauan, sumur
pantau, dan lain-lain. Selain itu, pemanfaatan dari produk samping kapur tersebut
masih diupayakan hingga saat ini. PT. Petrokimia Gresik berencana untuk
memanfaatkan produk samping kapur ini sebagai bahan timbunan reklamasi
pantai dan material konstruksi untuk kepentingan pengembangan pabrik (Anonim,
2012).
Produk samping kapur ini telah melalui banyak pengujian. Produk ini
telah memenuhi baku Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan
analisis logam berat sesuai batasan SK Mentan nomor 02/2006 yang dilakukan
oleh laboratorium Corelab dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL).
Berdasarkan PP 18/1999 jo. 85/1999, produk ini tidak termasuk limbah B3,
namun karena jumlahnya banyak, produk ini dikategorikan sebagai limbah B3.
Pengujian yang belum dilakukan adalah uji toksisitas subkronis dan kronis
(Anonim, 2012).
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
5. Parameter Hematologi
Parameter hematologi sudah banyak digunakan secara luas untuk
menetapkan keadaan fisiologis dan patologis tubuh secara sistemik, meliputi
kesehatan secara umum, diagnosis dan prognosis dari suatu penyakit (Shah dkk.,
2007). Ada banyak faktor yang mempengaruhi nilai dari parameter hematologi,
antara lain yaitu umur, jenis kelamin, nutrisi, dan faktor lingkungan. Pada
manusia, faktor etnis, bentuk tubuh, dan faktor sosial juga menjadi faktor yang
berpengaruh pada parameter hematologi (Evans dkk., 1999; Frerich dkk., 1977;
Karazawa & Jamra, 1989; Serjeant dkk., 1980).
Pemeriksaan hematologi lengkap meliputi jumlah total eritrosit, platelet,
Hb, Hct, MCV, MCH, MCHC, jumlah total leukosit dan diferensialnya meliputi
neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit. Menurut beberapa tenaga
kesehatan, tidak semua parameter darah penting untuk diperiksa, hanya beberapa
parameter saja yang lebih diutamakan dalam pemeriksaan tertentu (Ciesla, 2007;
Feldman dkk., 2000).
a. Eritrosit
Eritrosit atau sel darah merah (RBC) merupakan komponen sel darah
yang paling banyak terdapat dalam sirkulasi darah. Secara umum eritrosit
mempunyai karakteristik berbentuk oval dan berwarna merah karena adanya
pigmen globin, termasuk Hb. Eritrosit pada vertebrata selain mamalia
mempunyai inti sel dan organela dalam sitoplasmanya (Claver & Quaglia,
2009).
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
Masa hidup eritrosit berbeda-beda pada setiap organisme vertebrata,
yaitu 120 hari pada manusia, 40 hari pada unggas, 600-800 hari pada reptil,
300-1400 hari pada amfibi, dan 80-500 hari pada ikan. Apabila tubuh
kekurangan eritrosit, maka tubuh akan memproduksi eritrosit lebih banyak.
Proses produksi eritrosit disebut juga eritropoiesis (Avery dkk., 1992; Claver &
Quaglia, 2009; Davies & Johnston, 2000; Fischer dkk., 1998). Jumlah eritrosit
dalam sirkulasi darah pada vertebrata berkisar antara 1 sampai 5 x 106 / µL
3
(Claver & Quaglia, 2009). Masa hidup dan jumlah eritrosit dalam sirkulasi
darah yang berbeda-beda menunjukkan bahwa setiap organisme mempunyai
kebutuhan metabolik yang berbeda-beda (Morera & MacKenzie, 2011). Jumlah
eritrosit normal pada tikus galur SD jantan adalah 6,7-9,0 x 106 / µL dan pada
tikus betina adalah 5,7-9,0 x 106 / µL (Gad, 2007).
Fungsi utama dari eritrosit adalah transport oksigen dan karbon
dioksida untuk ditukarkan dalam kapiler paru-paru (pertukaran gas). Selain itu,
fungsi lain dari eritrosit antara lain adalah transport glukosa, homeostasis
kalsium, homeostasis redoks, proliferasi sel T, dan aktivitas antimikrobial
(Morera & MacKenzie, 2011).
Kondisi yang dapat timbul akibat abnormalitas dari jumlah eritrosit
yaitu eritrositosis dan anemia. Eritrositosis atau polisitemia sekunder
merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya produksi eritrosit
sebagai kompensasi dari hipoksia. Hipoksia dapat diakibatkan oleh banyak hal
seperti penyakit paru, ginjal, gagal jantung dan pengaruh lingkungan seperti
tinggal di dataran tinggi (kadar oksigen rendah). Anemia merupakan suatu
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
kondisi dimana tubuh kekurangan Hb. Salah satu penyebab anemia adalah
berkurangnya jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah sehingga mengakibatkan
berkurangnya kadar Hb. Kurangnya jumlah eritrosit dapat diakibatkan oleh
pendarahan, rusaknya eritrosit atau hemolisis (hemolytic anemia) dan
kurangnya produksi eritrosit akibat defisiensi asam folat (pernicious anemia)
(Greenberg & Glick, 2003). Xenobiotika dapat mempengaruhi produksi, fungsi
dan kelangsungan hidup eritrosit. Efek yang sangat sering terjadi adalah
perubahan pada sirkulasi sel darah merah, biasanya terjadi penurunan pada
kadar eritrosit (Klaassen dkk., 2001).
b. Leukosit
Leukosit atau sel darah putih (WBC) merupakan komponen dari sel
darah yang berperan penting dalam sistem imun tubuh dan melindungi tubuh
dari infeksi. Jumlah leukosit adalah yang paling sedikit dibandingkan dengan
eritrosit dan platelet, yaitu 4,00-11,00 x 103
/ µL (Naushad & Wheeler, 2012).
Leukosit dibagi menjadi 2 jenis, yaitu polimorfonuklear atau granulosit
(neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan mononuklear atau agranulosit (monosit
dan limfosit). Granulosit dan monosit merupakan hasil diferensiasi dari sel
punca yang sama dalam sumsum tulang, sedangkan limfosit diproduksi di
dalam jaringan limfatik (Greenberg & Glick, 2003). Jumlah leukosit total
normal pada tikus galur SD jantan adalah 3,0-14,5 x 103 / µL dan pada tikus
betina adalah 2,0-11,5 x 103 / µL (Gad, 2007).
Granulosit dibagi menjadi 3, yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil.
Neutrofil merupakan fagosit yang paling dominan dalam sirkulasi darah dan
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
merupakan pertahanan pertama dari serangan bakteri di membran mukosa dan
kulit (Malech & Gallin, 1987). Fungsi dari eosinofil dan basofil belum
sepenuhnya diketahui. Eosinofil mempunyai kemampuan fagositosis yang
lemah dan tidak dapat membunuh bakteri. Eosinofil berfungsi dalam reaksi
antigen-antibodi seperti serangan asma dan alergi. Jumlah eosinofil meningkat
dalam infeksi yang disebabkan oleh parasit. Basofil bermigrasi menuju
jaringan-jaringan dalam tubuh membawa heparin dan histamin serta faktor
pengaktivasi platelet. Basofil berperan sebagai sel mast dalam reaksi alergi
(Greenberg & Glick, 2003)
Agranulosit dibagi menjadi 2, yaitu monosit dan limfosit. Monosit
merupakan sel yang belum dewasa (immature) saat berada di dalam sirkulasi
darah. Setelah sampai ke jaringan, monosit akan berubah menjadi bentuk
dewasanya yaitu makrofag. Makrofag memiliki peran penting dalam sistem
imun seperti proses presentasi antigen untuk menginisiasi respon limfosit,
sekresi lisosom, komplemen, sitokin, serta aktivasi dan mobilisasi dari leukosit
lain. Limfosit merupakan sel utama yang berperan dalam imunitas. Limfosit
terbentuk dari sel punca dalam sumsum tulang yang kemudian bermigrasi
menuju jaringan limfatik seperti kelenjar limfa, timus, dan lapisan mukosa
pada saluran cerna. Ada 2 tipe dari limfosit, yaitu thymus-dependent
lymphocyte (Limfosit T) dan non-thymus-dependent lymphocyte (limfosit B)
(Greenberg & Glick, 2003).
Pemeriksaan jumlah leukosit penting untuk melihat respon tubuh
terhadap berbagai hal seperti infeksi, inflamasi, alergi, imunodefisiensi dan
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
kanker (leukimia dan limfoma). Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk
memonitor respon terhadap kemoterapi, growth factors dan terapi
immunosupresif. Jumlah total leukosit yang kurang dari normal disebut
leukopenia, sedangkan jumlah total leukosit yang lebih dari normal disebut
leukositosis. Leukopenia dapat diakibatkan oleh terapi seperti kemoterapi atau
terapi radiasi. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh adanya infeksi yang
mengurangi jumlah leukosit dalam darah, atau abnormalitas pada sel punca
seperti leukemia atau sindrom myelodisplastik. Leukositosis dapat muncul
sebagai respon dari infeksi, stress, gangguan inflamasi, atau produksi
berlebihan karena leukemia (Naushad & Wheeler, 2012).
c. Platelet
Platelet atau trombosit merupakan salah satu sel darah yang ada dalam
sirkulasi darah selain eritrosit dan leukosit. Jumlahnya dalam sirkulasi
merupakan yang terbanyak kedua setelah eritrosit, yaitu 150-450 x 103 / µL.
Platelet manusia mempunyai ukuran kecil, yaitu 2-4 x 0,5 µm dengan volume
7-11 fL. Pada umumnya, umur platelet dalam sirkulasi adalah kurang lebih 10
hari (George, 2000). Jumlah platelet normal pada tikus galur SD jantan dan
betina adalah 700-1500 x 103 / µL (Gad, 2007).
Platelet merupakan sel yang multifungsi dan terlibat dalam banyak
proses fisiologi tubuh seperti hemostasis (pembekuan darah), konstriksi dan
perbaikan pembuluh darah, inflamasi pada pembetukan atherosklerosis, bahkan
perlindungan terhadap growth factor dan metastasis dari tumor. Ukurannya
yang kecil menyebabkan platelet dapat dengan mudah menuju ujung dari
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
pembuluh darah sasaran dan menempatkan diri pada tempat yang optimal
dalam pembuluh darah (Harrison, 2005).
Abnormalitas dari jumlah platelet dapat menimbulkan 2 kondisi, yaitu
trombositosis apabila jumlahnya melebihi normal, dan trombositopenia apabila
jumlahnya kurang dari normal. Berdasarkan penyebabnya, trombositosis dibagi
menjadi 2, yaitu trombositosis primer, apabila penyebabnya terletak pada
abnormalitas hematopoiesis, dan trombositosis sekunder, apabila penyebabnya
merupakan penyebab eksternal seperti xenobiotik, inflamasi kronis, kanker,
defisiensi zat besi, dan rebound setelah splenectomy (Skoda, 2009). Penyebab
dari trombositopenia lebih banyak dibandingkan trombositosis, antara lain
adalah autoimun, obat-obatan seperti heparin dan aspirin, kemoterapi, infeksi
dan/atau sepsis, dan splenomegali (Sekhon & Roy, 2005).
d. Hemoglobin
Hb merupakan molekul protein yang terdapat di dalam eritrosit.
Fungsi utama dari Hb adalah pertukaran gas dalam tubuh. Hb berfungsi untuk
transport oksigen dari paru-paru menuju seluruh jaringan dalam tubuh. Selain
itu, Hb juga dapat mengikat karbon dioksida dari jaringan dan dibawa menuju
paru-paru untuk ditukarkan dengan oksigen kembali (Loukopoulos, 2002).
Kadar Hb normal pada tikus galur SD jantan adalah 13,0-17,0 g/dL dan pada
tikus betina adalah 11,0-17,0 g/dL. (Gad, 2007).
Abnormalitas bawaan pada Hb disebut juga hemoglobinopati.
Hemoglobinopati ada 2, yaitu anemia sel sabit dan talasemia. Kedua penyakit
ini disebabkan oleh adanya abnormalitas pada pembentukan senyawa Hb. Pada
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
anemia sel sabit, terdapat abnormalitas pada rantai β dari Hb yang
mengakibatkan perubahan struktur dari Hb. Perubahan ini mengakibatkan
tekanan oksigen menurun atau peningkatan pH darah kemudian Hb akan
membentuk kristal berbentuk sabit dalam eritrosit. Sel sabit ini dapat
menyebabkan sumbatan dalam pembuluh darah terutama pada ujung-ujung
kapiler darah. Pada talasemia, abnormalitas terletak pada defisiensi sintesis
rantai α atau β molekul Hb. Hal ini akan mengakibatkan anemia mikrositik
(ukuran eritrosit lebih kecil dari normal) dan hipokromik (jumlah Hb lebih
sedikit dari normal). Kedua penyakit tersebut merupakan penyakit bawaan dan
dapat diturunkan (Greenberg & Glick, 2003). Penurunan kadar eritrosit yang
disebabkan oleh xenobiotik juga dapat mempengaruhi kadar Hb dalam darah
(Klaassen dkk., 2001).
e. Hematokrit
Hct atau PCV menunjukkan proporsi eritrosit dari darah dalam suatu
volume, umumnya ditunjukkan dalam nilai persen (%). Nilai Hct sangat
penting dalam menentukan viskositas darah (Salazar dkk., 2008). Viskositas
darah berbanding terbalik dengan kecepatan aliran darah. Dengan diameter
pembuluh darah yang sangat kecil, peningkatan Hct dapat mengurangi aliran
darah secara eksponensial (Voerman & Groeneveld, 1989). Walaupun
peningkatan nilai Hct dapat meningkatkan kapasitas pengikatan oksigen tetapi
viskositas darah yang tinggi akan mengurangi aliran darah dan perfusi menuju
jaringan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai Hct mempunyai nilai yang optimal.
Pada manusia, nilai Hct normal adalah 40-54% untuk laki-laki dan 36-46%
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
untuk perempuan (Fan dkk., 1980). Nilai Hct normal pada tikus galur SD
jantan adalah 41-58 % dan pada tikus betina adalah 39-55 % (Gad, 2007).
Nilai Hct merupakan parameter yang dinamis dan dapat berubah
dengan cepat dan signifikan berdasarkan pengaruh psikologis, patofisiologis
dan psikosomatik (Isbister, 1987). Peningkatan nilai Hct secara akut dapat
disebabkan oleh berkurangnya volume intravaskular atau fluid loss yang
menyebabkan peningkatan jumlah eritrosit secara relatif (Baskurt & Meiselman,
2003). Peningkatan nilai Hct secara kronis dapat disebabkan oleh penyakit
seperti polisitemia, yaitu peningkatan produksi eritrosit sehingga kadarnya
melebihi normal (Isbister, 1987).
f. Mean Corpuscular Volume, Mean Corpuscular Hemoglobin & Mean
Corpuscular Hemoglobin Concentration
Mean corpuscular volume atau MCV merupakan suatu nilai yang
menunjukkan volume rata-rata dari eritrosit (Curry & Staros, 2012). Nilai
MCV dapat dihitung menggunakan alat analisis hematologi secara otomatis
(Lichtman dkk., 2010) atau dihitung dari nilai hematocrit dan eritrosit dengan
rumus : MCV (fl) = (Hct [L/L] / RBC [1012
/L]) x 1000. Nilai normal MCV
pada manusia dewasa sehat adalah 80-96 fl (McPherson & Pincus, 2011). nilai
MCV rendah mengindikasikan mikrositik (ukuran eritrosit kecil), nilai MCV
normal mengindikasikan normositik (ukuran eritrosit normal), dan nilai MCV
tinggi mengindikasikan makrositik (ukuran eritrosit besar) (Curry & Staros,
2012) Nilai MCV berguna untuk menentukan tipe anemia berdasarkan
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
morfologi dari eritrosit (Lichtman dkk., 2010). Nilai MCV normal pada tikus
galur SD jantan dan betina adalah 55-65 fL (Gad, 2007).
Mean corpuscular hemoglobin atau MCH merupakan suatu nilai yang
menunjukkan bobot rata-rata atau massa dari Hb dalam eritrosit. MCH tidak
diukur secara langsung tetapi dihitung menggunakan konsentrasi Hb dan
eritrosit dengan rumus : MCH = Hb (g/L) / RBC (1012
/L). Nilai MCH normal
pada manusia dewasa sehat adalah 27-33 pg (McPherson & Pincus, 2011).
MCH dapat digunakan untuk menentukan tipe anemia hipokromik (nilai Hb
rendah), normokromik (nilai Hb normal) dan hiperkromik (nilai Hb tinggi).
Nilai MCH harus selalu didampingi dengan nilai MCV karena volume sel
dapat mempengaruhi konten dari Hb yang terdapat dalam sel, dan nilai MCH
dapat berubah tergantung dari MCV (Lichtman dkk., 2010). Dalam hal ini,
parameter MCHC lebih baik dalam menentukan jenis anemia (Jones, 2001).
Nilai MCH normal pada tikus galur SD jantan adalah 16-22 pg dan pada tikus
betina adalah 17-22 pg (Gad, 2007).
Mean corpuscular hemoglobin concentration atau MCHC merupakan
suatu nilai yang menunjukkan konsentrasi rata-rata dari Hb dalam suatu
volume eritrosit. Nilai MCHC dihitung dengan menggunakan konsentrasi Hb
dan Hct dengan rumus : MCHC = Hb (g/dL) / Hct (L/L). Nilai normal MCHC
pada manusia dewasa sehat adalah 33-36 g/dL (McPherson & Pincus, 2011).
Nilai MCHC normal pada tikus galur SD jantan dan betina adalah 28-34 g/dL
(Gad, 2007).
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
MCV, MCH dan MCHC merupakan indikator dari eritrosit yang
umum digunakan untuk diagnosis diferensial dari anemia (Lichtman dkk.,
2010). Secara umum, anemia berdasarkan morfologi eritrosit dibagi menjadi 3,
yaitu anemia mikrositik-hipokromik (nilai MCV dan MCH rendah), anemia
makrositik (nilai MCV tinggi), dan anemia normositik-normokromik (nilai
MCV dan MCH normal). Penyebab dari ketiga penyakit tersebut berbeda-beda.
Penyebab umum dari anemia mikrositik-hipokromik antara lain defisiensi besi,
penyakit kronis, talasemia dan anemia sideroblastik. Penyebab umum dari
anemia makrositik antara lain defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12,
penyakit liver, anemia hemolitik, hipotiroidisme, peminum alkohol berat,
anemia aplastik dan sindrom myelodisplastik. Penyebab umum dari anemia
normositik-normokromik antara lain penyakit kronik, pendarahan akut, anemia
hemolitik, penyakit ginjal, dan anemia aplastik (McPherson & Pincus, 2011).
Selain karena penyebab-penyebab penyakit di atas, nilai MCV, MCH
dan MCHC dapat berubah karena faktor lain. Nilai MCV dapat meningkat
karena adanya aglutinasi eritrosit atau hiperglikemia yang menyebabkan
eritrosit mengalami peningkatan volume. Nilai MCH dan MCHC dapat
berubah karena adanya hiperlipidemia yang dapat mengganggu pengukuran
kedua parameter tersebut (Greer dkk., 2009).
6. Parameter Urin
Urin merupakan cairan biologis yang dikeluarkan oleh tubuh makhluk
hidup untuk mengekskresikan sisa-sisa metabolisme. Urin sering digunakan
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
sebagai parameter uji suatu senyawa karena selain mudah dikoleksi, kandungan
metabolit dalam urin dapat menggambarkan kondisi fisiologis makhluk hidup
tersebut (Saude, dkk., 2007).
Parameter urin yang umum digunakan antara lain adalah warna dan bau,
specific gravity, pH, bercak darah, protein, glukosa, bilirubin dan lain-lain.
Penyebab-penyebab abnormalitas dari parameter-parameter tersebut dapat dilihat
pada Tabel I.
Tabel I. Penyebab Non-Patologis dan Patologis Abnormalitas Parameter Urin (Patel, 2006)
Parameter Penyebab Non-Patologis Penyebab Patologis
Specific
Gravity
Rendah : Polidipsi
Tinggi : Intake air rendah
Rendah : DI, disfungsi tubular
Tinggi : Deplesi volume
pH
Rendah : Diet tinggi protein
Tinggi : Diet rendah protein, setelah
makan
Rendah : Asidosis
Tinggi : Asidosis tubular, UTI
Bercak
Darah
Menstruasi, trauma kateterisasi, olah
raga
Gangguan glomerular, gangguan
tubular, UTI, batu ginjal,
hiperkalsiuria, trauma pada saluran
urin, tumor
Protein
Proteinuria ortostatik, demam, olah raga
Gangguan glomerular, gangguan
tubular, UTI
Glukosa Renal glikosuria DM, Fanconi syndrome
Keton Intake karbohidrat yang terbatas DM
Bilirubin Tidak ada Hepatitis, obstruksi empedu
Urobilinogen Rendah : terapi antibiotik sistemik Hepatitis, hemolisis intravaskular
Nitrit Tidak ada UTI
LE Demam UTI, glomerulonefritis, inflamasi
pelvis
7. Parameter Histopatologi
Histopatologi merupakan cabang dari patologi, yaitu ilmu yang
dipusatkan untuk menemukan dan mendiagnosis penyakit dari hasil pemeriksaan
jaringan. Histopatologi meliputi pemeriksaan jaringan disertai sampel jaringan
untuk pemeriksaan mikroskopik. Mayoritas histopatologis dilakukan dari
potongan jaringan blok parafin dengan pewarnaan hematoksilin-eosin
(Underwood, 1994).
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
Respon histopatologi dapat berupa perubahan morfologi atau struktural
dalam berbagai wujud. Beberapa perubahan yang dapat terjadi antara lain :
a. Radang
Radang merupakan respon fisiologi lokal terhadap cedera jaringan.
Radang bukan suatu penyakit melainkan suatu manifestasi suatu penyakit.
Radang dapat mempunyai pengaruh yang menguntungkan, seperti
penghancuran mikroorganisme yang masuk dan pembuatan dinding pada
rongga abses sehingga mencegah penyebaran infeksi. Di sisi lain, mekanisme
tersebut juga dapat memproduksi penyakit seperti pembentukan fibrosis akibat
radang kronis yang dapat mengakibatkan terjadinya distorsi jaringan yang
permanen dan menyebabkan gangguan fungsinya. Berbagai penyebab radang
antara lain yaitu infeksi mikrobial, reaksi hipersensitivitas terhadap parasit atau
basil tuberkulosis, terjadinya trauma, radiasi pengion, respon terhadap panas
atau dingin, senyawa kimiawi dan jaringan nekrosis (Underwood, 1994).
b. Edema
Edema merupakan suatu keadaan dimana terjadi kelebihan cairan
dalam ruangan interseluler jaringan. Efusi serosa merupakan kelebihan cairan
di dalam rongga serosa atau rongga selomik (misalnya rongga peritoneal dan
pleura). Bahan utama cairan selalu air dan mengandung sebagian protein.
Edema dan efusi serosa mempunyai patogenesis serupa (Underwood, 1994).
c. Nekrosis
Nekrosis adalah kematian sel atau jaringan pada organisme hidup
tetapi tidak terikat oleh penyebabnya. Nekrosis merupakan proses patologis
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
setelah terjadinya cedera sel dan lebih sering mengenai suatu jaringan yang
padat (Underwood, 1994).
Organ-organ vital yang sering digunakan untuk analisis histopatologi
antara lain adalah hepar, ginjal, limpa dan paru-paru.
a. Hepar
Hepar merupakan organ terbesar kedua dalam tubuh setelah kulit dan
merupakan kelenjar terbesar dengan berat sekitar 1,5 kg. Organ ini terletak
dalam rongga perut di bawah diafragma. Hepar merupakan organ tempat
pengolahan dan penyimpanan nutrien yang diserap dari usus halus untuk
dipakai oleh bagian tubuh lainnya. Hepar menjadi perantara antara sistem
pencernaan dan sirkulasi darah. Darah yang menuju hepar 70-80 % berasal dari
vena porta, dan sisanya berasal dari arteri hepatika. Seluruh materi yang
diserap melalui usus tiba di hati melalui vena porta, kecuali lipid kompleks
(kilomikron), yang terutama diangkut melalui pembuluh limfe. Posisi hati
dalam sistem sirkulasi sangat cocok untuk menampung, menetralisasi dan
mengumpulkan metabolit serta untuk menetralisasi dan mengeluarkan zat
toksik. Pengeluaran ini terjadi melalui empedu, yakni suatu sekret eksokrin dari
hati yang penting untuk pencernaan lipid. Hepar juga memiliki fungsi penting
untuk menghasilkan protein plasma. (Junqueira & Carneiro, 2003). Struktur
morfologi sel hepar terdiri dari hepatosit, liposit (sel penyimpan lemak), sel
Kupffer (fagosit), sel endotel dan jaringan ikat (Greaves, 2012).
Banyak literatur menyebutkan bahwa xenobiotik dapat menyebabkan
kerusakan hepar pada manusia dan hewan laboratorium. Hal membuktikan
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
bahwa toksisitas terhadap hepar dari suatu senyawa kimia juga dapat
berpotensi menyebabkan ketoksikan pada hepar manusia dengan korelasi
hampir 70% (Greaves, 2012).
a. Ginjal
Ginjal memiliki aliran darah yang banyak sehingga menyebabkan sel-
sel parenkimnya dapat terpejankan senyawa kimia walaupun senyawa tersebut
hanya terdapat sedikit dalam sirkulasi darah. Konsumsi oksigen tinggi oleh
ginjal menyebabkan organ tersebut sensitif terhadap iskemia dan deplesi
volume. Kemampuan ginjal untuk memekatkan senyawa toksik juga
merupakan resiko yang lebih besar lagi sebagai penyebab kerusakan (Greaves,
2000)
b. Limpa
Limpa merupakan organ limfoid terbesar dalam tubuh. Karena
banyaknya sel fagositik dan kontak sel-sel ini yang erat dengan darah, limpa
menjadi pertahanan penting terhadap mikroorganisme yang berhasil memasuki
peredaran darah. Organ ini juga menjadi tempat penghancuran eritrosit yang
sudah mencapai batas umurnya (120 hari). Sebagaimana halnya organ limfoid
lain, limpa adalah tempat produksi limfosit aktif yang kemudian akan masuk ke
dalam darah (Junqueira & Carneiro, 2003). Efek toksik dari senyawa kimia
yang mempengaruhi sistem limfoid dan hemopoietik dapat menyebabkan
perubahan morfologis pada beberapa kompartmen dari limpa (Greaves, 2012)
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
c. Paru-paru
Paru-paru merupakan organ yang elastis dan terletak di dalam rongga
dada. Paru-paru pada manusia terdiri dari paru-paru kanan dan paru-paru kiri.
Paru-paru sebelah kiri mempunyai 2 lobus (atas dan bawah) dan paru-paru
sebelah kanan mempunyai 3 lobus (atas, tengah dan bawah). Paru pada mencit
juga terdiri dari paru kanan dan paru kiri dengan jumlah lobus yang berbeda.
Hal ini menyebabkan paru-paru kanan mempunyai berat dan ukuran yang lebih
besar daripada paru-paru kiri (Haschek & Rousseaux, 1991).
Beberapa kelainan yang terdapat dalam paru-paru adalah radang
(pneumonia), atelektasis, emfisema dan bronkopneumonia. Pneumonia
merupakan suatu radang akut dan menular pada paru-paru. Paru-paru yang
mengalami pneumonia ditandai dengan adanya sel-sel radang pada tempat
yang mengalami pneumonia. Pneumonia dapat disebabkan oleh bakteri, virus,
cacing, jamur atau senyawa kimia. (Haschek & Rousseaux, 1991).
F. Keterangan Empirik
Penelitian ini bersifat eksperimental eksploratif untuk mengetahui
gambaran toksisitas subkronis pemberian produk samping kapur pembuatan
pupuk ZA oleh PT. Petrokimia Gresik pada tikus jantan dan betina galur SD
dilihat dari gejala toksik dan wujud efek toksik serta pengaruh dosis terhadap luas
spektrum efek toksik ditinjau dari parameter : berat badan, asupan makanan,
minuman, hematologi, urin dan histopatologi jika sediaan diberikan sekali sehari
secara oral selama 90 hari.
UJI TOKSISITAS SUBKRONIS PRODUK SAMPING KAPUR PADA PEMBUATAN PUPUK ZA PT.PETROKIMIA GRESIK TERHADAPTIKUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY : PARAMETER HEMATOLOGI, URIN DAN HISTOPATOLOGIDEAMON SAKARAGAUniversitas Gadjah Mada, 2013 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/