1
Bidang Unggulan : Sosial Budaya.
Kode/bidang ilmu:511/Sastra (dan
Bahasa) Daerah
LAPORAN AKHIR
HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
KRITIK SOSIAL DALAM SATWA PAN BALANG TAMAK SEBAGAI
UPAYA MENCIPTAKAN REVOLUSI MENTAL ANAK BANGSA
Oleh:
Dr. Drs. I Nyoman Sukartha, M.Hum. / 0005115504 (Ketua)
Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M.S. / 0008045910 (Anggota)
Drs. I Ketut Nuarca M.S. / 0031125531(Anggota.
PROGRAM STUDI SASTRA JAWA KUNO
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
Dibiayai oleh DIPA PNBP UNIVERSITAS UDAYANA
Nomor DIPA: SP DIPA-042.04.2.400107/2015
HALAMAN PENGESAHAN
2
Judul : Kritik Sosial Satwa Pan Balang Tamak Dalam
Menciptakan Revolusi Mental Anak Bangsa
Peneliti/Pelaksana
Nama : Dr. Drs. I Nyoman Sukartha, M.Hum.
NIDN : 0005115504
Jabatan Fungsional : Lektor
Program Studi : Sastra Jawa Kuno Fakultas Sastra Dan Budaya UNUD
Nomor HP : 081339447447
Alamat Sure1(e-mil) : [email protected]
Anggota (1) : Dr. Drs. I Ketut Jirnaya, M.S
NIDN : 0008045910
Perguruan Tinggi : Universitas Udayana
Anggota (2) : Drs. I Ketut Nuarca, M.S
NIDN : 0031125531
Perguruan Tinggi : Universitas Udayana
Penanggung Jawab :
Tahun Pelaksanaan : Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun
Biaya Tahun Berjalan : Rp 25 000 000,-
Biaya Keseluruhan : Rp 25 000 000,-
Denpasar, 5 November 2015
Mengetahui
Ketua PS. Sastra Jawa Kuno
(Drs. A.A. Gede Bawa, M.Hum)
NIP 105712311985031010
Ketua Peneliti
(Dr. Drs. I Nyoman Sukartha,M.Hum)
NIP: 19551105 198303 1 002
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sastra dan Budaya
Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M. A.
NIP 195909171984032002
PRAKATA
3
OM SWASTYASTU
Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa/Hyang Widi Wasa maka, selesailah
laporan penelitian Hibah Unggulan Program Studi yang berjudul: “Kritik Sosial Dalam
Satwa Pan Balang Tamak Sebagai Upaya Menciptakan Revolusi Mental Anak Bangsa”
ini dilakukan.
Penelitian ini dibiayai oleh DIPA PNBP Universitas Udayana dengan nomer
DIPA : SP DIPA – 042.04.2.400107/2015.
Penelitian ini direncanakan selesai pada bulan November 2015 dan berkat
rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, selesai tepat pada waktunya.
Penelitian ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu
pada kesempatan ini diucapkan trima kasih yang tiada terhingga kepada:
1) Rektor Universitas Udayana beserta staf, Ketua PNBP Universitas Udayana, dan
Dekan Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana beserta staf, atas fasilitas
dan dana yang diberikan.
2) Kepala Gedung Kirtya Singaraja atas kerelaannya memberikan informasi dan
meminjami beberapa buku yang berkaitan dengan Satwa Pan Balang Tamak untuk
difoto kopy.
3) Kepala Perpustakaan Program Pasca Sarjana Kajian Budaya dan Kepala
perpustakaan Program Pasca Sarjana Linguistik Universitas Udayana atas kerelaan
memberi pinjaman buku/disertasi/tesis untuk difoto kopy.
4
4) Para Pemangku Pura/Klian Pura/Pengempon Pura Balang Tamak di seluruh Bali
serta para informan yang telah banyak membantu memberikan informasi tentang
Satwa Pan Balang Tamak.
5) Bapak/ibu yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu
sehingga penelitian ini berjalan sesuai dengan harapan.
Atas semua bantuan dan budi baik bapak/ibu sekalian, dalam kesempatan ini
tidak lupa diucapkan terima kasih. Semoga Tuhan selalu melimpahkan kebaikan dan
anugerah kepada kita semua.
OM SANTHI SANTHI SANTHI OM
Denpasar, 5 November 2015
Tim Peneliti.
5
RINGKASAN
Sebuah karya sastra umumnya mengandung fungsi, makna dan nilai yang
diagungkan oleh masyarakatnya. Itulah sebabnya sastra mempunyai keterjalinan
hubungan secara timbal balik dengan masyarakat. Makna dalam karya sastra sering kali
belum lengkap atau tertunda. Makna seperti itu dikaji, dibongkar, dan kemudian
direkontruksi lagi agar ditemui makna baru yang belum pernah terungkap dan
tersembunyi di balik makna yang sudah ada. Kajian mengenai makna yang tertunda
dipelajari oleh teori dekontruksi sastra.
Kata dekonstuksi mengingatkan kita kepada Jacques Derrida dengan bukunya
De la grammatologie I dan II. Ia dilahirkan tanggal 15 Juli tahun 1930 dalam keluarga
Yahudi di El Biar, Aljazair (Fayadi,2005;2). Artikelnya dimuat dalam majalah Critique
yang terbit tahun 1965 dan 1966 (Kaelan,2009;252).
Dekonstruksi adalah nama yang diberikan pada operasi kritik ketika oposisi
dilemahkan sebagian atau, di mana dapat diperlihatkan bahwa mereka sebagian saling
melemahkan dalam proses makna tekstual (Eagleton,2010;191, Piliang, 2010;125). Jadi,
dekonstruksi merupakan metode analisis yang dikembangkan Derrida dengan
membongkar struktur kode-kode bahasa, khususnya struktur oposisi pasangan
sedemikian rupa, sehingga menciptakan satu permainan tanda yang tanpa akhir, dan
tanpa makna akhir (Piliang,2010;16).
Hoed (2003;153) mengatakan bahwa: Teori dekonstruksi Derrida lahir sebagai
kritik terhadap teori Ferdinand de Saussure tentang tanda. Menurut Derrida teori tentang
tanda dari Ferdinand de Saussure bersifat statis. Tanda dilihat sebagai hubungan antara
signifiant (penanda atau bentuk) dan signifie (petanda atau makna). Makna tanda
didasari oleh perbedaan semiologis (difference semiologique). Dalam kenyataannya
hubungan antara signifiant dan signifie bersifat dinamis. Artinya hubungan itu
seringkali tertunda, dan diberi makna baru. Argumentasi yang menguatkannya adalah
bahwa, dalam bahasa Perancis kata differer tidak cuma berarti „berbeda‟, namun juga
berarti „menunda‟. Selanjutnya dikatakan bahwa, hubungan antara petanda dan penanda
6
atau antara bentuk dan makna bersifat dinamis. Makna bukanlah hanya diperoleh
melalui perbedaan, namun didapat juga dari penundaan semiologis.
Kajian dekontruksi sastra belum begiru popular di kalangan mahasiswa, lebih-
lebih lagi pada mahasiswa S1. Hal ini terbukti dari belum adanya hasil penelitian berupa
skripsi S1 yang menggunakan landasan teori dekonstruksi sastra. Oleh karena itu,
penelitian dekontruksi sastra akan menjadi warna baru pada penelitian S1 berupa
skripsi.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ……………………………………………………..... i
7
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... i
PRAKATA …………………………………………………………………… ii
RINGKASAN ………………………………………………………………... iv
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. vi
GLOSARIUM ............................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………….. 1
1.2 Masalah …………………………………………………………………… 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………….. 4
BAB III TUJUAN PENELITIAN ………………………………….............. 9
BAB IV METODE PENELITIAN ………………………………………. 9
BAB V KRITIK SOSIAL DALAM SATWA PAN BALANG TAMAK…. 10
5.1 Teks dan Terjemahan Satwa Pan Ballang Tamak. .............................. 10
5.1 Ringkasan Satwa Pan Balang Tamak …………………………………. 28
5.2 Pengertian Kritik Sosial ...................................................................... 42
5.2 Episode Berburu ………………………………………………………….. 44
5.3 Episode Adu Sapi …………………………………………………………. 50
5.4 Episode Pembangunan Pagar ……………………………………………. 53
5.5 Episode Dodol Ketan Hitam ……………………………………………… 57
5.6 Episode Kematian Pan Balang Tamak ………………………………….. 61
5.7 Rangkuman ............................................................................................ 64
BAB VI SATWA PAN BALANG TAMAK SEBAGAI UPAYA
MENCIPTAKAN REVOLUSI MENTAL ANAK BANGSA ............. 67
6.1 Pengertian Revolusi Mental …………………………………………….. 67
6.2 Motivasi Revolusi Mental Dalam Satwa Pan Balang Tamak………… 68
6.3 Revolusi Mental Pola Pikir Penguasa ……………………………………. 70
6.4 Revolusi Mental Masyarakat ……………………………... ....................... 71
6.5 Revolusi Mental Sikap Malas ………………………………………….... 74
6.6 Revolusi Aturan yang Tidak Tegas ....................................................... 78
6.7 Revolusi Mental Sikap Ceroboh ……………………………................... 81
6.8 Rangkuman ............................................................................................ 84
7. Kesimpulan dan Saran…………………………………………………...... 85
- Kesimpulan .............................................................................................. 85
- Saran ........................................................................................................ 86
- Lampiran…………………………………………………………………....... 100
- Foto-foto..……………………………………………………………………... 100
GLOSARIUM.
arah-arah : pemberitahuan, pengumuman
8
bala : prajurit, pahlawan, anak buah/bawahan
balang : belalang. Perumpamaan yang dikenakan terhadap orang
yang tidak mau bekerja/malas tetapi banyak akal
bangkung : induk babi
bangkung sing megigi : induk babi ompong
bendesa : jabatan tradisional Bali untuk pemimpin desa
bengbengan : angkreman/tempat ayam mengerami telur
caru : nama sesajen penetralisir energy alam yang negatif
cicing bengil : anjing kurus, kotor dan sakit-sakitan
iwel/uwel : sejenis kue terbuat dari tepung ketan hitamyang
dikukus
juru arah : orang yang bertugas menyampaikan
pemberitahuan/pengumuman desa
jero mangku : sebutan untuk orang yang berprofesi sebagai pengantar
upacara di suatu pura. Disebut pula pinandita
kanda pat : ajaran tentang saudara empat yang diajak dari lahir
kelian pura : pimpinan pura
kupas : lapisan batang pisang yang telah kering
pacaruan : upacara penetralisir energy negative alam
pagehan : pagar
pan : sebutan untuk orang laki yang sudah mempunyai anak
pangkung : jurang, sungai yang tidak berair
sanggah : bangunan tempat pemujaan
sendi : batu dasar tiang bangunan
senggauk : nasi aking
tama : masuk, jinak, berani
tamak : rakus
tambulilingan : kumbang
titi : jembatan darurat dari kayu/bambu
9
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tradisi lisan suatu masyarakat, umumnya kaya akan kandungan berbagai
kearifan lokal (local wisdom) yang di dalamnya sering pula memendam kecerdasan
lokal (local genius).
Tradisi lisan maksudnya adalah sebuah tradisi yang diturunkan secara turun-
temurun, paling tidak dua generasi dan diakui sebagai milik bersama (Sudikan, 2001:11
dan Vansina, 1985: 27-31). Hoed (2008:184) mengatakan bahwa; tradisi lisan adalah
berbagai pengetahuan, dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan
secara lisan. Dananjaya (1984: 21-22) menyatakan bahwa tradisi lisan (verbal folklore)
merupakan bagian dari folklor (foklor lisan, dalam Moeliono, 2005:1208), di samping
terdisi bukan lisan (non verbal folklore), dan tradisi sebagian lisan ( partly verbal
volklore). Dalam tradisi lisan sebenarnya terkandung muatan seperti: sistem geneologi,
adat-istiadat, sejarah, etika, sistem pengetahuan, bahasa rakyat, pertunjukan, pertanyaan
tradisional, puisi rakyat, nyanyian, kearifan lokal, ensiklopedia dan mite atau legende
atau dongeng
Kearifan lokal maksudnya adalah, kematangan berfikir masyarakat tingkat lokal
yang tercermin dalam sikap dan cara pandang masyarakat yang kondusif dalam
mengembangkan potensi dan sumber lokal, baik yang berupa material maupun yang
bukan material
10
Satwa Pan Balang Tamak, merupakan sebuah ceritera rakyat Bali yang
tergolong ke dalam salah satu tradisi lisan Bali. Pan Balang Tamak mencerminkan
gambaran sosok tokoh yang memiliki sikap kritis di masyarakat. Ia merupakan tokoh
yang sangat cerdas uang mencoba mengkritisi segala aturan-aturan yang diberlakukan di
desanya. Di sisi lain yaitu warga desa, dan pemimpin desa kurang mampu menangkap
sikap dan prilaku Pan Balang Tamak yang sangat kritis itu. Sikap kritis itu dianggap
sebagai pembangkangan terhadap aturan-aturan desa yang ada. Hal itu mengakibatkan
timbulnya rasa marah, dendam, dan antipati warga desa kepada Pan Balang Tamak.
Sebagai puncak kemarahan warga desa yang dipimpin oleh perangkat pimpinan desa,
maka Pan Balang Tamak diracuni agar mati. Bahkan, setelah mati ada niat dari
beberapa wrga desa yang ingin mencuri kekayaan Pan Balang Tamak. Namun, berkat
kecerdasan Pan Balang Tamak yang telah menduga akan adanya keinginan beberapa
warga desa seperti itu, maka kekayaannya yang telah ditinggalnya mati tidak berhasil
dicuri. Warga masyarakat desa hanya berhasil mencuri mayat Pang Balang Tamak yang
ada di dalam peti. Mayat yang ada di dalam peti itu dibawa ke sebuah pura, dan di sana
mayat itu disembah karena dikira ada roh suci (Tuhan) di dalam peti itu. Setelah
diketahui bahwa isi peti adalah mayat Pan Balang Tamak maka mayat itu diupacarai
selayaknya.
Ringkasan kisah Pan Balang Tamak di atas, mencerminkan adanya kritik sosial
dari salah seorang warga masyarakat terhadap aturan atau norma-norma yang telah
berlaku. Kriritk sosial itu bertujuan untuk menguji kesahihan atau kebenaran aturan atau
norma-norma adat yang telah dibuat dan disepakati bersama. Di sisi lain perangkat
11
pimpinan desa sebagai pembuat kebijakan desa merasa ditentang, dan dolecehkan oleh
sikap kritis Pan Balang Tamak.
Bertolak dari uraian di atas bisa dikatakan bahwa dalam ceritera itu terkandung
makna adanya krtitik soaial, dan makna yang belum terungkap atau makna tertunda
dalam ceritera Pan Balang Tamak. Makna-makna tersebut perlu di ungkap sebagai
bahan penelitian.
1.2 Masalah
Diskripsi dalam latar belakang di atas memunculkan permasalahan yang akan
diteliti seperti:
1) Kritik sosial apa yang terkandung dalam Satwa Pan Balang Tamak?
2) Revolusi mental apa yang terkandung dalam Satwa Pan Balang Tamak.
Sebenarnya banyak masalah yang bisa dimunculkan dalam penelitian semacam
ini. Namun, kedua masalah di atas dirasa sudah cukup mewakilinya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
12
Ditemukan beberapa naskah dan tulisan yang membicarakan ceritera Pan Balang
Tamak. Naskah dan tulisan yang dimaksud dapat disebutkan seperti uraian di bawah ini.
1) Transeliterasi naskah lontar Geguritan Pan Balang Tamak. Naskah geguritan
ini memuat cerita Pan Balang Tamak yang digubah dalam bentuk tembang macapat
dengan menggunakan bahasa Kawi Bali. Geguritan ini merupakan salah satu versi
cerita Pan Balang Tamak. Di samping itu cerita yang termuat di dalamnya termasuk
versi yang paling panjang dibandingkan dengan cerita-cerita versi lainya. Mengingat
naskah ini adalah transeliterasi lontar tentu saja uraian berupa analisis tidak ada. Di sisi
lain ceritera Pan Balang Tamak versi geguritan ini sangat jarang dikenal di Bali.
2) Naskah Tutur Pan Balang Tamak. Cerita Pan Balang Tamak ini digubah
dalam bentuk tutur atau prosa dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna. Tutur Pan
Balang Tamak ini tidak memuat ceritera atau perjalanan hidup Pan Balang Tamak. Di
dalamnya hanyalah memuat tentang ceritera manusia semasih dalam kandungan.
Manusia semasih dalam kandungan sebenarnya sudah diemban oleh 4 saudara yang
masih berupa buta (roh halus). Setelah manusia lahir keempat saudaranya itu ikut
terlahir dalam bentuk darah, ari-ari, plasenta, dan air ketuban. Kempatnya ini berganti
nama setelah manusia dilahirkan. Jadi dalam naskah tutur ini hampir semua isinya
mengenai filsafat saudara 4 yang di Bali dikenal dengan ajaran Kanda Pat.
3) Satwa-Satwa Sane Banjol Kasusastra Bali. Tulisan ini merupakan kumpulan
ceritera lucu yang ada dalam kesusastraan Bali, dan dikumpulkan oleh I Gusti Ngurah
Bagus (1971). Ceritera yang ada di dalamnya dibedakan menjadi dua yaitu: Satwa-
13
Satwa Banjol Sane Ngangge Dasar Antuk Kabelogan (ceritera-ceritera lucu yang
berdasar pada kebohan), dan Satwa-Satwa Banjol Sane Ngangge Daya (ceritera-
ceritera lucu yang menggunakan tipu muslihat). Ceritera Pan Balang Tamak terdapat
pada halaman 41 yang digolongkan ke dalam ceritera-ceritera lucu yang menggunakan
tipu muslihat (Satwa-satwa banjol sane ngangge dasar daja).
4) Thomas M. Hunter dan Ni Wayan Pasek Ariati (makalah seminar, 2011),
berjudul “Pan Balang Tamak sebagai Anti-pahlawan”. Penelitian ini menggunakan
pendekatan struktur sastra, dengan pandangan bahwa tokoh Pan Balang Tamak adalah
tokoh yang antipahlawan. Pan Balang Tamak berupa tokoh antagonis yang memiliki
sifat kurang baik, dan penentang aturan/norma-norma desa yang berlaku. Pandangan
Tomas Hunter ini sangat bertentangan dengan kepercayaan sebagian besar masyarakat
Bali terutama masyarakat yang memuliakan bahkan mendewakan tokoh Pan Balang
Tamak ini.
5) “Dekonstruksi Nilai Budaya Dalam Satwa Pan Balang Tamak di Desa Kaba-
Kaba Kabupaten Tabanan: Perspektif Kajian Budaya”, berupa tesis (S2) oleh Ni
Nyoman Pariasih (2007). Dalam tulisan ini diuraikan bahwa teks satwa Pan Balang
Tamak merupakan uapaya perlawanan rakyat kecil terhadap penguasa atau raja yang
bertindak sewenang-wenang. Pendekatan dekonstruksi diartikan sebagai pembongkaran
makna yang ada, dengan fokus kajiannya seperti: bentuk dekonstruksi nilai budaya
dalam satwa Pan Balang Tamak, Fungsi dekonstruksi nilai budaya dan makna
dekonstruksi yang terkandung dalam satwa Pan Balang Tamak. Dalam tulisan ini belum
14
dijelaskan makna yang tertunda yang sebenarnya tersirat dalam satwa Pan Balang
Tamak, terutama makna dalam menciptakan revolusi mental anak bangsa.
6)”Eksistensi Pura Balang Tamak di Desa Pakraman Beda Kecamatan Tabanan
Kabupaten Tabanan: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna”, oleh Mertha (2008). Dari
judulnya telah tergambar bahwa isi tulisan ini lebih menekankan kajian budaya
tertutama tentang eksistensi pura dalam masyarakat Desa Pakraman Beda yang ada di
Kabupaten Tabanan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, belum ditemukan uraian
mengenai makna “yang tertunda” terutama dalam kaitannya untuk merevolusi mental
anak bangsa.
7) “Upacara Siat Ketipat Dalam Usaba Pala Di Pura Balangtamak Desa
Pakraman Nongan Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem”. Tulisan ini berupa
tesis (S2) oleh I Made Lumbung Mahardi (2009). Penelitian ini memuat tentang upacara
yang dilakukan masyarakat sebagai wujud syukur kepada Tuhan serta dewa-dewi.
8) “Identitas Tokoh Balang Tamak Dalam Teks Dan Konteks Masyarakat Bali”.
Tulisan ini berupa disertasi oleh I Wayan Wastawa (2012). Disertasi ini menjelaskan
mengenai identitas Pan Balang Tamak dalam teks dan hubungannya dengan
masyarakat. Di sisi lain diuraikan juga mengenai idiologi kritis tokoh Pan Balang
Tamak dalam kaitannya dengan masyarakat Bali serta dampak dan makna dekonstruksi
identitas Pan Balang Tamak.
Bila dicermati dengan seksama tulisan yang telah disebut di atas, semuanya
memuat cerita Pan Balang Tamak. Sebagaian dari tulisan di atas menganalis dan
menguraikan makna dekonstruksi atau dengan membongkar makna yang telah ada, lalu
15
makna itu disusun kembali menjadi makna baru. Namun demikian, terdapat
pemahaman yang sedikit beda mengenai pengertian dekonstruksi. Seperti yang telah
diuraikan di dalam uraian teori, bahwa, dekonstruksi dimaksudkan adalah membongkar
makna yang telah ada, kemudian mencari makna tertunda yang belum terungkap.
Makna tertunda seperti itu belum tercermin dalam pustaka-pustaka di atas. Lebih-lebih
lagi mengenai makna yang ada di dalam Satwa Pan Balang Tamak dalam menciptakan
revolusi mental anak bangsa. Adakah kandungan makna sebagai upaya menciptakan
revolusi mental anak bangsa dalam Satwa Pan Balang Tamak tersebut?. Makna inilah
yang akan menjadi titik fokus kajian, tentu saja di samping kritik sosial yang ada dalam
Satwa Pan Balang Tamak.
16
BAB III TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini bisa dibedakan menjadi 2 yaitu
tujuan umum dan tujuan khusus.
3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan sumbangan pikiran
tentang pentingnya warisan budaya bangsa yang adiluhung, agar bisa digunakan sebagai
pembelajaran, pedoman hidup, dalam membina, menciptakan kemajuan ilmu
pengetahuan, kerukunan antar umat beragama demi tercapainya kedamaian. Di sisi lain
penelitian ini bertujuan pula untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan dalam upaya
menciptakan revolusi mental anak bangsa.
3.2 Tujuan khusus
Secara khusus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini tentu saja
berkaitan dengan masalah yang ingin dicapai. Oleh karena itu maka tujuan khusus
penelitian ini dapat dirinci seperti berikut ini.
1) Mengkaji kecerdasan lokal dalam wujud kritik sosial yang terkandung dalam Satwa
Pan Balang Tamak..
2) Mengungkap hal-hal yang perlu direvolusi dalam Satwa Pan Balang Tamak.
17
BAB IV METODE PENELITIAN
Sifat penelitian ini didasari oleh filosofi fenomenologis dengan pola berfikir
induktif. Oleh karena itu maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif
yang dipertentangkan dengan penghitungan berdasarkan angka-angka (kuantitatif)
(Moleong,1982:2). Secara metodologis penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan seperti
di bawah ini.
Tahap penyediaan data dilakukan melalui observasi lapangan dengan
mengumpulkana naskah atau merekam cerita Pan Balang Tamak. Sampai saat ini
ditemukan beberapa versi Satwa Pan Balang Tamak yang ada di masyarakat. Versi
yang ditemukan berdasarkan atas perbedaan wilayah atau tempat atau boleh dikatakan
bersifat dialektal.
Tahap kedua adalah tahap analisis. Pada Tahap ini dilakukan analisis mengenai
kritik sosial sebagai bagian dari kecerdasan lokal (local genius), kearifan lokal (local
wisdom). Kemudian dikaji makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang telah
ditemukan dibongkar (diuraikan) kembali, dan kemudian disusun ulang untuk
mendapatkan makna yang tertunda atau makna yang belum terungkap. Dalam tahap ini
digunakan metode analisis data yang dibantu oleh teknik terjemahan.
Tahap ketiga penyusunan laporan untuk disajikan sebagai hasil penelitian. Pada
tahapan ini digunakan metode formal berupa untaian kata-kata dan metode informal
berupa lambang-lambang, bagan dan sejenisnya.
18
BAB V KRITIK SOSIAL DALAM SATWA PAN BALANG TAMAK
5.1 Teks dan Terjemahan Satwa Pan Balang Tamak
TEKS SATWA PAN BALANG
TAMAK
Ada kone katuturan satwa anak
madan Pan Balang Tamak. Ia maumah
di desa Sunantara wewengkon panagara
Keling. Pan Balang Tamak ngelah
kurenan madan Ni Tanu. Ni Tanu
kaliwat tresna sih, lan bakti kapining
Pan Balang Tamak. Suba makelo kone ia
makurenan, nanging tuara dadi ngelah
pianak. Yadiastun ia tusing nyidayang
ngelah pianak, mase anake tetep
mungkusin ia Pan Balang Tamak ane
muani, lan Men Balang Tamak ane luh.
Pan Balang Tamak kasub sugih
pesan di desane ento, mapan, bek ngelah
emas, selaka, pipis, keto mase kasugihan
tanah carik lan tegal tuara kena baana
metekin. Lenan kapining sugih arta
berana, Pan Balang Tamak mase ririh
nutur turmaning liu ngelah daya
pangupaya. Ia kasub ririh duaning suba
pepes ngalahang para resi, pemangku,
balian, keto mase para juru raos ane ada
di sajebag panagara Keling, ento kerana
liu anake brangti, ngedegin, lan
ngamusuhin Pan Balang Tamak. Apa
buin para prajuru desane, maka
pamucuk Kelihan desane utawi Jero
Bendesa. Jero Bendesa ane paling
TERJEMAHAN CERITERA PAN
BALANG TAMAK
Konon, adalah ceritera orang yang
bernama Pan Balang Tamak. Ia tinggal di
desa Sunantara yang termasuk wilayah
kerajaan Keling. Pan Balang Tamak
mempunyai seorang istri yang bernama Ni
Tanu. Istrinya sangat cinta dan setia
kepada suaminya. Sudah lama mereka
bersuami istri, namun belum juga
memperoleh keturunan. Walaupun mereka
tidak memiliki anak, namun orang-orang
menjulukinya dengan sebutan Pan Balang
Tamak untuk sang suami, dan Men Balang
Tamak untuk sang istri.
Pan Balang Tamak terkenal sangat
kaya di desa itu sebab, ia banyak memiliki
harta benda berupa emas, perak, uang, dan
kekayaan berupa tanah sawah dan tegalan
yang tidak bisa dihitung karena
banyaknya. Selain dari kekayaan berupa
harta benda, Pan Balang Tamak juga
sangat pintar berbicara, kritis, dan banyak
akalnya. Ia terkenal pandai bicara sebab
sudah sering mengalahkan para resi,
dukun, dan juru bicara yang berada di
kerajaan Keling. Itulah sebabnya banyak
orang yang marah, benci, dendam, dan
memusuhinya. Lebih-lebih lagi para
petinggi desa seperti Jero Bendesa sangat
19
gedeg lan sengit tekening Pan Balang
Tamak. To kerana ia sadina-dina
makeneh lakar ngalih kapelihan Pan
Balang Tamak, apanga ada anggona
jalaran nanda ane liu lan nundung Pan
Balang Tamak mangdane ia magedi uli
desa Sunantarane.
Kacarita kone sedek dina anu,
parum krama desane lakar nayanang lan
ngalih kapelihan Pan Balang Tamak.
Tetujone apanga Pan Balang Tamak
kena danda. Krama desane makejang
nawang mapan Pan Balang Tamak tuara
ngelah siap muani ane bisa
makekuruyuk. Isin parumane kararemin
lakar ngalih kayu anggon ngawangun
pura. Tongose ngalih kayu ditu di
tengah alase wayah. Juru arahe ane
patut mapangarah ka umah-umahan,
suba madan kaorahin apanga nekedang
arah-arahe tekening krama desane..
Makejang krama desane suba kaarahin.
Caritayang jani juru arahe suba teked di
umah Pan Balang Tamak. Ngomong juru
arahe kene: “ Jero nuenang puri tiang
mapangarah, buin mani, kramane
mangda ka alase ngalih kayu, ngawit
tuun siape medem uli pedemane. Yaning
tusing teka ngayahin lakaran kena danda
siu jinah bolong”. Keto munyin juru
arahe. Pan Balang Tamak masaut:
“Nggih jero juru arah, tiang
ngiringang”.
Kacarita buin mani ngedas
lemahe, ri kala siape makruyuk tur tuun
uli pademanne, makejang karma desane
majalan luas ka alase. Nanging, Pan
Balang Tamak enu nongos jumah,
membenci dan dendam kesumat pada Pan
Balang Tamak. Itulah yang menyebabkan
Jero Bendesa senantiasa mencari-cari
kesalahan Pan Balang Tamak agar bisa
dihukum, didenda, bahkan kalau bisa agar
bisa diusir dari wilayah desa Sunantara.
Pada suatu hari diceritakanlah
warga desa Sunantara mengadakan rapat
rahasia guna membicarakan cara mencari
kesalahan Pan Balang Tamak. Tujuannya
agar bisa mendenda Pan Balang Tamak.
Seluruh warga desa tahu bahwa Pan
Balang Tamak tidak mempunyai ayam
jantan yang bisa berkokok. Isi keputusan
rapat rahasia itu adalah bahwa, seluruh
warga desa akan pergi mencari kayu
bahan bangunan untuk membangun Pura.
Tempat mencari kayu adalah di tengah
hutan belantara. Petugas yang bertugas
memberitahu warga desa, sudah diberi
tahu agar pergi ke setiap rumah untuk
memberi tahu warga desa. Semua warga
desa sudah diberi tahu.
Dikisahkanlah bahwa Juru Arah
itu sudah tiba di rumah Pan Balang
Tamak. Beginilah pemberitahuannya: “
Bapak/ibu yang punya rumah, besok
warga desa agar pergi ke hutan untuk
mencari kayu bahan bangunan. Berangkat
ketika ayam baru turun dari tempat
tidurnya. Bila tidak ikut (absen) maka
akan didenda sebesar seribu keeping (uang
bolong). Begitulah ucapan si Juru Arah,
lalu dijawab oleh Pan Balang Tamak: “Ya
saya akan ikut dan terimakasih”.
Diceritakanlah pada keesokan
harinya tat kala ayam berkokok dan turun
dari tempat tidurnya, seluruh warga desa
20
ngantosang siapne tuun uli pedemane.
Dugase ento Pan Balang Tamak wantah
ngelah siap pengina aukud, tur sedekan
makeem di bengbengane. Di subane
tengai, ditu mara siap penginane tuun uli
bengbengane bakal ngalih amah.
Sesubane penginanne tuun uli
bengbengane, ditu mara Pan Balang
Tamak majalan ka tengah alase ngalih
kayu. Di tengah jalan liu papasa krama
desane suba malipetan mulih negen
kayu. Duaning krama desane suba
makejang pada mulih, dadi malipetan
Pan Balang Tamak mulih. Di subane
teked di desa, dadi kelihan desane
mabaos kene: “Ih cai Balang Tamak,
mapan cai sing nginutin arah-arah desa,
apanga cai majalan ngalih kayu ka alase
ri kala siape tuun uli pedemane. Jani cai
dendan kai mapengede ajin kayune ane
suba bakat abana baan krama desane.
Ajin kayune makejang mapangarga
limang tali keteng”. Keto munyin kelian
desane. Duaning aketo baos Bendesane
dadi masaut Pan Balang Tamak. Kene
abetne masaut: “Jero Bendesa, boya ja
tiang nenten satinut kapining arah-arah
jerone. Arah-arah desane, mangda tiang
lunga ka alase ri kala tedun ayame
saking genah ipune medem. Nah tiang
wantah ngelah siap pengina sedeng
makeem aukud. Penginanan tiange
punika, tengai mara tuun uli medem di
bengbengane. Ri kala ipun tuun saking
pedemanipun raris tiang mamargi ka
alase. Duaning asapunika, yan kamanah
antuk tiang, ten patutne tiang kena
denda, apan tiang nenten madan iwang.
pergi ke hutan mencari kayu. Namun, Pan
Balang Tamak masih belum berangkat.
Waktu itu, ia masih menunggu ayam
betinanya yang sedang mengerami
telurnya, turun dari angkremannya..
Setelah siang barulah ayamnya turun dari
angkremannya. Kala itu barulah ia pergi
ke hutan mencari kayu. Di tengah jalan ia
bertemu dengan warga desa lainnya yang
telah kembali pulang membawa kayu.
Oleh karena semua warga desa telah
pulang, maka Pan Balang juga ikut
kembali pulang. Setelah sampai di desa,
lalu pimpinan desa berkata: “Hai kamu
Balang Tamak, karena kamu tidak
menepati isi pemberitahuan desa, agar
kamu berangkat ketika ayam turun dari
tempat tidurnya maka, kamu didenda
sebesar harga kayu yang diperoleh oleh
wrga desa. Harga kayunya sebesar lima
ribu keeping”. Begitulah ucapan Kelian
Desanya. Menjawablah ia seperti ini:
“Jero Bendesa, saya bukanlah tidak
menepati perintahmu. Perintah yang
diberitahukan ke pada saya berbunyi: agar
saya pergi ke hutan setelah ayam turun
dari tempat tidurnya. Saya hanya
mempunyai satu ekor ayam betina yang
sedang mengeram. Ayam saya itu turun
dari tempat tidurnya setelah siang hari.
Ketika itu saya langsung berangkat pergi
ke dalam hutan. Oleh karena itu, menurut
pemikiran saya, saya tidak wajar kalau
didenda karena tidak salah. Yang salah
dan patut didenda adalah Jero Bendesa.
Baru begitu ucapan Pan Balang Tamak,
bersoraklah seluruh warga desa
membenarkan ucapannya. Itulah sebabnya
21
Sane patut dandain wantah jero Bendesa
kewanten, mapan jerone ngaryanin
arah-arah nenten pastika patut”. Mara
aketo munyin Pan Balang Tamake, dadi
masuriak krama desane matutang
munyin pan Balang Tamak. Dadi buung
Pan Balang Tamak kakenain danda, tur
ane kadanda wantah dane Jero Bendesa.
Kala ento dadi kemengan Bendesane
mapan sing sida bakal nenda Pan
Balang Tamak, buina ia padidi ane kena
danda. To dadi ngawinang nyangetang
brangti lan sakit keneh Bendesane.
Kacarita jani Jero Bendesa buin
ngerincikang daya ajaka krama desane
ane gedeg tekening Pan Balang Tamak.
Para telik tanem Bendesane ngorain jero
Bendesa, mapan Pan Balang Tamak
jelema bes keliwat demit, lan tet pesan.
Ento tawanga ulian sadina-dina Pan
Balang Tamak tusing taen nyisaang nasi.
Begbeg ia kuangan nasi dogen, apan ia
tusing bani malebengan nasi ngalebiin.
Duaning keto Jero Bendesa ngeka daya
mangdane krama desane pesu senggauk.
Gelising cerita, krama desane suba
maan dedauhan apanga buin mani pesu
senggauk. Kebenengan juru arahe ane
ngarahin Pan Balang Tamak munyinne
badil, dadi tusing bisa nyambatang
senggauk. Kruna senggauk orahanga: “
Sanggah uug”. Mani semenganne krama
desane makejang pada pesu senggauk.
Duke ento Pan Balang Tamak mase iju
ia batal didenda, dan yang didenda adalah
Jero Bendesa. Waktu itu Jero Bendesa
jadi bingung sebab tidak bisa mendenda
Pan Balang Tamak, bahkan berbalik ia
sendiri justru yang terkena denda. Hal
itulah yang menyebabkan bertambah benci
dan sakit hati Jero Bendesa.
Kini diceritakanlah bahwa Jero
Bendesa kembali membuat tipu daya
bersama warga masyarakat lainnya yang
membenci Pan Balang Tamak. Menurut
laporan mata-mata Jero Bendesa, bahwa
Pan Balang Tamak adalah orang yang
terlalu hemat dan kikir. Hal ini diketahui
karena, setiap harinya Pan Balang Tamak
tidak pernah menyisakan nasi. Ia selalu
kekurangan nasi sebab ia tidak berani
memasak lebih. Oleh sebab itu maka Jero
Bendesa membuat tipu daya, agar seluruh
warga desa menyumbangkan senggauk
(nasi aking atau sisa-sisa nasi yang telah
dijemur hingga kering). Singkat cerita,
seluruh warga desa telah diberitahu agar
keesokan harinya menyumbangkan
senggauk (nasi aking). Kebetulan orang
yang bertugas memberi tahu warga
suaranya cadel, sehingga tidak bisa
mengucapkan kata senggauk. Kata
senggauk diucapkan: “Sanggah uug”.
Pada keesokan harinya semua warga desa
membawa senggauk. Pada waktu itu, Pan
Balang Tamak juga tergopoh-gopoh
memikul sanggah uug (sanggah yang
telah rusak), ditaruh di samping pada Jro
Bendesa duduk, menerima setoran
senggauk. Ia pun berkata seperti ini: “Jero
Bendesa, ini saya sudah menyumbang
22
negen sanggah uug, abana ka tongos
Bendesane nuduk pesu-pesuan senggauk.
Ditu lantas Pan Balang Tamak
ngaturang sanggah uug tekening
Bendesane. Kene abetne mamunyi:
“Jero Bendesa, niki tiang suba pesu
sanggah uug apanga wenten benain
jerone”. Keto munyin Pan Balang
Tamake. Mara keto dingeha munyinne
Pan Balang Tamak, dadi masaut Jero
Bendesa: “Iih iba Balang Tamak, jani
iba dosen kai, apan arah-arahe ane
patut, apanga krama desane mesuang
senggauk. To ngudiang iba ngaba
sanggah uug mai?”. Masaut Pan Balang
Tamak: “Jero Bendesa, mangda
sumeken tur tiang ten bogbog, indayang
juru arahe takonin ajebos ipun, lamun
tiang bobab tiang purun keni danda
samakeh-makehne”. Kebenengan juru
arahe ada di samping jero Bendesane.
Dadi tundena mamunyi ngoraang
senggauk. Duaning ia mula badil, dadi
sing bisa ngoraang raos senggauk. Ane
araanga tuah raos sangga uug. Dadi
ditu I juru arah ane kena danda.
Kacarita kone jani, buin
Bendesane ngarincikang daya
pangupaya apanga sida antuka nibenin
sanggah uug agar bisa diperbaiki”.
Begitulah ucapan Pan Balang Tamak.
Baru didengar seperti itu ucapan Pan
Balang Tamak, lalu menjawablah Jero
Bendesa: “Wah kamu Balang Tamak,
sekarang kamu saya denda. Sebab
pemberitahuan desa yang benar adalah,
agar warga desa membawa senggauk.
Tetapi, mengapakah kamu membawa
sanggah yang telah rusak kemari?”.
Menjawablah Pan Balang Tamak: “Jero
Bendesa, supaya benar dan saya tidak
bohong, tolong juru arah-nya disuruh
kemari!. Kalau saya bohong, saya berani
didenda walau sangat banyak”. Ketika itu
kebetulan si juru arah ada di samping Jero
Bendesa, lalu disuruhlah mengucapkan
kata senggauk. Akan tetapi karena ia
memang cadel, maka tidak bisa
mengucapkan kata senggauk. Yang
terucap adalah kata sangga uug. Pada saat
itu yang terkena denda adalah si juru arah.
Diceritakanlah lagi kini Jero Bendesa
kembali membuat tipu daya agar bisa ia
mendenda Pan Balang Tamak dengan
denda yang sangat besar. Ketika itu
diketahui bahwa Pan Balang Tamak tidak
memiliki anjing dewasa. Ia hanya
memiliki seekor anak anjing kecil, kurus,
dan sakit-sakitan. Oleh karena itu,
dibuatkanlah tipu daya agar warga desa
pergi berburu ke hutan dengan membawa
anjing yang galak.
Diceritakanlah sekarang warga desa
sudah pada berangkat ke tengah hutan
serta menggendong anjing-anjing pemburu
yang besar dan galak-galak. Namun, Pan
23
Pan Balang Tamak danda ane liu. Kala
ento tawanga kone Pan Balang Tamak
tuara ngelah cicing gede. Ia wantah
ngelah cicing cenik, berig tur gudig.
Duaning keto, gaenanga daya apanga
krama desane luas maboros ka alase tur
ngaba cicing ane galak ngongkong.
Caritaang jani krama desane
suba pada luas ka alase wayah tur suba
pada ngaba cicing ane gede-gede tur
galak-galak. Nanging Pan Balang
Tamak majalan paling durina saha
nyangkil cicing cenik tur berag-arig. Di
tengah alase kabenengan ada pangkung
dalem nagging tusing ada titine.
Makejang krama desane suba pada
liwat. Nanging Pan Balang Tamak tuara
bani makecos ngaliwatin pangkunge.
Dadi ditu ia ngae daya apanga nyidaang
liwat. Dadi nadak ia gelur-gelur
ngoraang ada bangkung sing magigi.
Mara keto dingeha teken krama desane,
dadi makejang kramane teka nyagjagin
Pan Balang Tamak. Disubane paek
krama desane, ditu lantas ia ngoraang
ada pangkung sing matiti. Duaning keto
dadi krama desane makejang pada igu
ngae titi apanga makejang krama desane
nyidayang ngaliwatin pangkunge ento.
Caritayang jani, suba kone
makejang krama desane neked di tengah
alase. Cicing krama desane makejang
pada galak ngongkong nguber baburon
sakadi: celeng alasan, kijang,
Balang Tamak berangkat paling terakhir
dengan membawa anak anjingnya yang
kecil lagi kurus itu. Di tengah perjalanan
di dalam hutan, kebetulan ada jurang
dalam tetapi tidak ada jembatan
penyebrangan (titi). Warga desa semua
sudah lewat. Tetapi Pan Balang Tamak
tidak berani melewati jurang itu.
Mendadak ia berteriak-teriak,
meneriakkan: “Ada bangkung sing magigi
(ada jurang tanpa titi)”. Mendengar
teriakan Pan Balang Tamak seperti itu,
warga desa mengira ada induk babi tidak
bergigi, lalu semuanya mendekatinya.
Setelah dekat, barulah jelas didengar
teriakanPan Balang Tamak bahwa ada
jurang yang tidak ada jembatannya.
Karena itu maka, semua warga desa
membuat jembatan (titi) penyebrangan
agar semua orang bisa melewati jurang itu.
Diceritakannlah kini bahwa semua
warga desa sudah sampai di tengah hutan.
Anjing-anjing warga desa semuanya
galak-galak menggonggong mengejar
binatang buruan seperti: babi hutan,
kidang, menjangan, dan sejenisnya.
Banyaklah binatang buruan yang
diperoleh mereka. Tetapi, hanya Pan
Balang Tamak saja yang anjingnya masih
digendong. Kebetulan saat itu, Pan Balang
Tamak menjumpai tanah yang agak
miring, serta dipenuhi dengan semak
belukar seperti pohon ketket.
Dilemparkalah anak anjingnya di pohon
ketket yang berduri itu. Setelah itu, anak
anjingnya melolong kuang-kaing
kesakitan, meronta-ronta mau naik untuk
mencari Pan Balang Tamak. Ketika itu
24
manjangan, muah ane len-lenan. Liu
beburone ane bakatanga olih krama
desane. Nanging Pang Balang Tamak
dogen cicingne enu masangkil.
Kabenengan jani Pan Balang Tamak
nepukin rejeng bek misi wit ketket. Ditu
cicingne entunganga di punyan ketkete
ane madui ento. Disubane keto, cicingne
uyut kuang-kaing ngerasgas nagih
menekan ngalih Pan Balang Tamak.
Dadi ditu Pan Balang Tamak gelur-gelur
ngoraang cicingne galak ngongkong.
Makejang krama desane nyagjagin tur
kedek mara nepukin unduk cicingne Pan
Balang Tamak. Duaning suba sanja
gumine, dadi makejang krama desane
pada mulih. Keto masih Pan Balang
Tamak bareng mulih uli tengah alase.
Duaning cicingne bisa mamunyi kuang-
kaing dadi Pan Balang Tamak tusing
kakenen danda olih desane.
Kacarita jani nuju sasih ka
sanga, krama desane bakal
ngalaksanayang brata panyepian. Nyepi
ane lakar kalaksanayang Nyepi Sipeng,
Krama desane kadauhin apanga
ngalaksanayang brata panyepian ane
madan Nyepi Sipeng. Ri kala Nyepi
Sipeng, krama desane tusing kadadiang
ngidupang sundih utawi dammar. Keto
mase tusing dadi maleluasan, majalan
megat marga, lan majejuden. Gelising
satwa, suba jani kaenjekan dina Nyepi.
Makejang krama desane sing ada bani
Pan Balang Tamak berteriak-teriak
mengatakan bahwa anjingnya sangat galak
dan menggonggong. Semua warga desa
mendekatinya, lalu tertawa melihat ulah
anjingnya seperti itu. Karena hari telah
sore, maka semua warga desa yang ikut
berburu pulang ke rumah. Begitu juga Pan
Balang Tamak, ikut pulang dari dalam
hutan. Oleh karena anjing Pan Balang
Tamak bisa bersuara maka ia tidak
didenda oleh desa.
Diceritakanlah kini menjelang sasih
ke sanga (bulan ke 9, menurut perhitungan
bulan Bali, yaitu kira-kira bulan Maret),
masyarakat desa Sunantara akan
melaksanakan upacara Panyepian yang
disebut “Nyepi Sipeng”. Pada saat upacara
Nyepi Sipeng, warga desa dilarang
menghidupkan api dan menyalakan lampu.
Begitu pula tidak boleh bepergian,
berjalan memotong jalan (menyeberang),
dan berjudi. Singkat cerita, sekarang sudah
hari raya Nyepi. Seluruh warga desa tidak
ada yang berani ke jalan raya. Tetapi,
hanya Pan Balang Tamak sajalah yang
berjalan di jalan akan memberi makan sapi
di sawah. Kebetulan ada orang yang
melihat bahwa Pan Balang Tamak berjalan
menyeberang jalan. Keadaan ini
dilaporkan kepada Jero Bendesa. Setelah
hari Nyepi berlalu, diberitahulah Pan
Balang Tamak agar datang menghadap ke
balai desa, untuk membayar denda karena
ada orang yang melaporkannya. Namun
kala itu, Pan Balang Tamak tidak mau
membayar denda. Ia mengatakan dirinya
tidak bernah menghidupkan api, lampu,
25
ka margane. Sakewala Pan Balang
Tamak dogen ane majalan di margine
lakar ngamaang ngamah sampine di
carik. Dadi ada kone anak nepukin Pan
Balang Tamak majalan megat marga
nuju ka carik. Dadi, unduke ento
lapuranga ring jero Bendesa. Di subane
suud Nyepi, dadi kadauhin Pan Balang
Tamak apanga teka ka bale desane
mayah dedosan mapan ia ada ane
nepukin tur ngelapurang Pan Balang
Tamak ngidupang sundih lan megat
marga dugas Nyepine. Nanging Pan
Balang Tamak tuara enyak kadendain. Ia
ngoraang ibane tusing ada ngidupang
sundih lan megat marga. Kene abetne: “
Jero Bendesa, tiang tusing ada
ngidupang sundih lan megat marga duk
Nyepine punika. Tiang saja ngidupang
api. Majalan ka carik mase saja,
sakewala tiang ten megat marga.
Mangda mabukti, indayang cingak,
margine sane encen pegat tiang, tur
wenten mirib margine ane pegat?.
Indayang rerehin apanga mabukti
wenten margine ane pegat!”. Mara keto
munyin Pan Balang Tamake, dadi
kaselengagan Bendesane ningehang.
Mula saja marga ane pegat tusing ada.
Keto masih anak saja Pan Balang
Tamak tusing ngidupang sundih apan ia
ngidupang api anggona malebengan di
paone. Pamuput tusing kadenda.
Kacarita jani buin kone krama
desane maan dedauhan apanga magehin
pakarangan umah lan tegalnyane suang-
suang, mangdane tusing ada manusa lan
dan memotong jalan. Beginilah katanya:
“Jero Bendesa, saya tidak pernah
menghidupkan lampu dan memotong jalan
ketika hari raya Nyepi. Saya memang betul
menyalakan obor dan juga berjalan ke
sawah tetapi, tidak pernah memotong
jalan. Buktinya, silahkan lihat jalan yang
mana saya potong, dan apa ada jalan yang
terpotong. Silahkan cari agar terbukti
bahwa jalan yang putus!”. Baru seperti itu
ucapan Pan Balang Tamak, maka diam
tersipulah Jero Bendesa, karena memang
benar tidak ada jalan yang putus. Begitu
pula Pan Balang Tamak tidak terbukti
menghidupkan lampu. Ia hanya menyulut
korek yang digunakan memasak di dapur.
Akhirnya Pan Balang Tamak tidak
didenda.
Diceritakanlah lagi bahwa warga desa
kembali mendapat pemberitahuan agar
semua warga desa memagari pekarangan
rumah dan tegalannya masing-masing,
agar tidak dimasuki oleh binatang ternak.
Bila ada orang yang berani melanggar
dengan memasuki pekarangan rumah dan
tegalan orang maka ia wajib didenda. Bila
binatang yang melanggar maka wajib
didenda atau dirampas atau disita.
Begitulah isi aturan yang diberitahukan.
Singkat cerita, Pan Balang Tamak bingung
menerima pemberitahuan itu sebab ia
tidak mempunyai pohon-pohonan yang
bisa dicari turusnya dan digunakan untuk
memagari tanahnya. Di samping itu, juga
disebabkan karena pekarangan rumah dan
juga tanah tegalannya sangatlah luas
sekali. Setelah lama ia memikirkannya
maka timbullah idenya agar bisa terhindar
26
beburon macelep ka pekarangane. Nyen
ja krama desane utawi anake ane bani
macelep ka pekarangan umah anak len
ia patut kadenda. Yen beburon ane
nyelepin pakarangan anak len, patut
mase kadenda utawi karampas kajuang
beburone ento. Keto munyin arah-arahe.
Gelising satwa dadi kemengan Pan
Balang Tamak mapan ia tuara ngelah
turus ane lakar anggone magehin
pakarangane. Makelo ia makeneh-keneh,
ngenehang unduk magehin pakarangan
umahne. Len tekening keto, karang umah
lan tegalne bes linggah pesan. Di subane
makelo ia makeneh, dadi pesu rerincikan
dayane apanga tusing kakenen danda.
Ditu ia ngalih lidin punyan jaka lan tali
kupas lakar anggona magehin
pakarangane. Gelisang satwa, suba
madan pragat ia mapageh. Makejang
krama desane kedek nepukin pagehan
Pan Balang Tamak nganggo lidin jaka,
sakewala tuara ada bani ngomongang.
Kaenjekan jani masan dina
pasaran, liu anake teka mamasar di
tentene ane ada di desa Sunantara. Kala
ento ada kone dagang aukud nyakitang
basing ulian makita meju. Mapan
tentene rame, majalan ia ngalih tongos
meju. Tepukina makejang karange
masengker ban pagehan ane gede-gede,
bakuh, kereng, tur nges. tusing sida bana
lakar macelep kema meju. Caritayang
jani kanti ia teked di sisin karang Pan
Balang Tamak. Tepukina karange ento
dari terkena denda. Ia pun lalu mencari
lidi daun pohon aren dan tali dari batang
pisang yang telah dikeringkan (tali kupas).
Singkat cerita, selesailah ia memagarinya.
Semua warga desa menertawakan pagar
lidi yang digunakan memagari tanah Pan
Balang Tamak. Tetapi, mereka diam tidak
berkomentar apa-apa.
Kebetulan sekali saat itu adalah hari
pasaran. Banyaklah orang yang berjualan
dan berbelanja di Tenten (pasar kecil
yang ada di desa). Ketika itu, adalah
seorang pedagang yang sakit perut ingin
buang hajat. Karena pasar sedang rame,
maka pergilah ia mencari tempat yang
cocok digunakan buang hajat. Si pedagang
melihat bahwa semua tanah warga desa
dipagari dengan pagar yang sangat rapat
dan kokoh sehingga tidak bisa dimasuki.
Diceritakanlah ia kini sampai di samping
tanah pekarangan Pan Balang Tamak.
Dilihatnya tanah itu dipagari lidi aren
sehingga gampang dimasuki. Selain itu
tanah Pan Balang Tamak sangat rimbun
karena banyak ditumbuhi tanaman perdu.
Karena itulah sangat cocok untuk tempat
buang hajat, sebab, tidak mungkin aka
nada orang bisa melihatnya. Singkat
cerita, masuklah si pedagang itu ke tanah
Pan Balang Tamak untuk buang hajat.
Setelah ia selesai berak maka kembalilah
ia ke dalam pasar, namun, pakaiannya
dipenuhi oleh buah pulet yang menempel
di pakaiannya. Banyak orang melihat
pakaiannya dipenuhi buah pulet.
Kebetulan juga Jero Bendesa ikut pula
berbelanja di pasar. Ketika dilihat pakaian
dagang itu dilihat oleh Pan Balang Tamak
27
mapageh aji lidin jaka, dadi elah bana
macelep kema lakar meju. Lenan
kapining ento, karang Pan Balang
Tamake ebet pesan tumbuhin bun-bunan
lan punyan pulet. Ento kerana melah
anggon tongos meju mapan tusing
bakalan ada anak nepukin duaning
karange ebet pesan. Gelisan satwa dadi
macelep dagange ento ka karangne Pan
Balang Tamak ane mapagehan lidin jaka
lakar masakit basang. Di subaane suud
ia meju, laut ia buin ka katengah tentene
madagang, sakewala panganggonne
ebek deketa baan buah pulete. Liu anake
nepukin penganggon dagange ebek misi
buah pulet. Kabenengan mase
Bendesane milu mabelanja di Tentene.
Kala tepukina panganggo dagange bek
misi buah pulet baan Pan Balang
Tamak, ditu ngalaut pesu munyine
masadok tekening Bandesane. Kene
munyine: “Inggih jero Bendesa, puniki
tiang ngelapur wenten anak macelep
ngerusak ka karang tiange, turmaning
biana mapiorah tekening tiang. Punika
wenten bukti yaning ipun taen macelep
ka karang tiange. Buktinnyane inggih
punika panganggonipune bek madaging
woh pulet. Indayang pedasang cingakin
ring penganggennyane. Tiang nunas
pamatut mangda ipun keni danda manut
sakadi arah-arahe sane sampun
katambiakang riin”. Keto munyin Pan
Balang Tamak nyadokang I dagang.
Dadi kapedasang katureksain
penganggon dagange, saja bek misi
buah pulet. Duaning saja ada bukti
nyekala, dadi I dagang kakenen danda
banyak dilekati buah pulet, lalu ia berkata
melaporkannya: “Ya Jero Bendesa saya
melaporkan bahwa ada orang yang masuk
dan merusak tanah saya, lagi pula tanpa
meminta izin kepada saya. Bukti ia
memasuki tanah saya adalah pakaiannya
yang banyak ditempeli buah pulet. Coba
diperhatikan dan lihatlah pakaiannya. Nah
sekarang saya mohon keadilan, supaya ia
didenda sesuai dengan aturan yang
diberitahukan dahulu kepada warga desa”.
Begitulah kata Pan Balang Tamak
melaporkan si pedagang. Lalu dilihat dan
diperiksalah pakaian si pedagang bahwa
memang benar penuh berisi buah pulet.
Oleh karena memang betul ada bukti
nyata, maka si pedagang dikenai denda
yang besarannya sesuai dengan bunyi
aturan yang telah disepakati. Uang denda
itu lalu diberikan kepada Pan Balang
Tamak.
Diceritakanlah bahwa warga desa
akan mengadakan rapat sambil membayar
denda bagi yang pernah terkena
denda.Rapat akan diadakan dib alai
Pasamuan (pertemuan) yang terletak di
halaman depan Pura Puseh. Petugas sudah
diberitahu untuk memberitahukan kepada
seluruh warga desa agar datang lagi tiga
hari untuk rapat sambil membayar denda,
bila ada yang terkena denda. Baru
didengar isi pemberitahuan seperti itu,
lalu Pan Balang Tamak membuat inisiatif
agar terhindar dari terkena denda dan
bahkan bisa mendapatkan uang.
28
manut cara perarem sangkepe, tur pipis
dedandane ento baanga Pan Balang
Tamak.
Kacarita buin karma desane
lakar ngadaang sangkepan sambilang
mayah dedosan karamane ane taen
dosa.. Tongos sangkep ditu di bale
Pasamuan ane ada di bancingah pura
Pusehe. Juru arahe suba mapangarah
teken krama desane apanga tedun ka
bale Pasamuane buin telun sangkep lan
mayah dedandan, yaning kramane ada
ane kena dedandan. Mara dingeha keto
arah-arahe baan Pan Balang Tamak,
ditu ia buin ngeka daya, ngerincikang
daya pangupaya mangdane ia nyidayang
tuara kena danda tur maan pipis.
Ri kala peteng, buin mani lakar
sangkepe kalaksanaang, Ni Tanu, somah
Pan Balang Tamake, tundena ngae jaja
iwel. Jaja iwele ento malakar ban injin
manyanyah, matepung, lantas kaadukin
nyuh makihkih lan gula Bali masisir.
Sesubane kaadukang lan kaadonang
apang rata, lantas kakuskus buin.
Sesubane lebeng, jaja iwel ento giling-
gilinga kapindayang tain cicing.
Semengan pesan Pan Balang Tamak
majalan ka bale Samune sambilanga
ngaba jaja iwel, yeh, lan serbet. Dugase
ento sedeng melaha suung pesan tuara
ada anak liwat ditu. Pan Balang Tamak
iju medasang tongos ane lung tur pantes
pejangin jaja iwel. Di bucun bale
Samune, ada saka masendi kedas. Ento
piliha anggona tongos ngejang jaja iwel.
Sendine ento kakedasin aji serbet, lantas
Malam hari, sehari sebelum hari rapat
dilaksanakan, Ni Tanu, istri Pan Balang
Tamak disuruhnya membuat jajan iwel.
Kuwe iwel itu dibuat dari bahan: ketan
hitam (injin) yang disangrai, ditepung, lalu
dicampur dengan kelapa parut dan irisan
gula merah. Setelah dicampur dan diaduk
agar merata tercampur, lalu dikukus lagi.
Setelah matang, kuwe iwel itu digiling-
giling dan dibentuk menyerupai tai anjing.
Pagi-pagi sekali Pan Balang Tamak
berangkat menuju balai tempat rapat
diadakan, sambil membawa kue iwel, air,
dan kain lap. Ketika itu, kebetulan sangat
sepi, tidak ada orang yang lewat di sana.
Pan Balang Tamak dengan cepat memilih
tempat yang cocok untuk diisi kue iwel.
Pada bagian pojok balai pertemuan ada
pilar/tiang yang memakai sendi. Sendi
itulah yang dipilihnya untuk tempat
meletakkan kue iwel itu. Sendi itu
dibersihkan dengan kain lap, lalu disirami
air. Kemudian kue iwel itu diletakkan di
atas sendi itu. Bila dilihat, persis sekali
seperti kotoran anjing beriri air kencing.
Setelah selesai ia menaruh kue iwel tersebut
di sendi tiang balai pertemuan itu, lalu ia
pulang.
Diceritakanlah kini bahwa seluruh
warga desa sudah datang berkumpul dib alai
pertemuan. Begitu pula para pimpinan desa,
termasuk Jero Bendesa juga sudah hadir
dan duduk di depan. Pan Balang Tamak
datang paling belakang. Ia lalu mencari
29
turuhina yeh. Sesubane kedas, jaja iwele
pejanga di duur sendine. Yaning
tingalin, persis sajan cara tain kuluk
maiisi enceh. Sesubane pragat ia
ngejang jaja di sendin saka bale
Pasamuane, lantas ia mulih.
Caritayang jani krama desane
makejang suba teka tur negak di bale
Pasamuane. Keto mase para kelian lan
jero Bendesa suba mase rauh tur suba
negak di arep. Pan Balang Tamak teka
paling si duri. Ditu ia ngelaut ngalih
tongos negak. Kabenengan di samping
sendin sakane ane misi jaja iwel, tusing
ada anak bani negak ditu. Dadi Pan
Balang Tamak ngojog kema ngalaut ia
negak di samping sendine. Disubane
negak, ditu ia mapi-mapi makesiab
nepukin jajane ane cara tain cicing ento.
Ditu ia ngomong kene: “Beh ewer pesan
cicinge ngembud dini. Inggih semeton
krama desane sami, sira bani naar bacin
kuluke niki lakar upahin tiang siu
keteng”. Keto abetne mamunyi.
Makejang kramane matolihan tur
ngademi sada seng ningalin tain cicinge
di duur sendin sakane. Ada mase ane
ngomong kene: “Beh mula jelema sigug
buin kumel, men, nyen anake bakalan
bani ngamah bacin kuluk”. Keto
pakerimik krama desane. Sesubane keto
dadi ngeraos Jero Bendesa: “Wih Cai
Balang Tamak, nah ke cai jani ngamah
tain kuluke ento, lamun cai bani
ngamah, icang ngupahin cai siu keteng”.
Keto raos Bendesane sada bangras.
tempat duduk. Kebetulan di sebelah sendi
tiang balai pertemuan yang berisi kue iwel
itu kosong karena tidak ada orang yang
berani duduk di sana. Ke situlah Pan Balang
Tamak, lalu duduk di samping sendi.
Setelah duduk, barulah ia pura-pura kaget
melihat tai anjing itu. Berkatalah ia begini:
“Aih, jail sekali anjing yang berak di sini.
Ya teman-teman anggota desa semua, siapa
saja yang berani makan tai anjing ini akan
saya kasi upah seribu uang kepeng”.
Begitulah ia bicara. Warga desa yang hadir,
semuanya menoleh dan mencibirkan bibir
karena jijik melihat tai anjing di atas sendi
(dasar pilar). Ada juga yang berucap begini:
“Ah benar-benar orang seronok lagi jorok,
tidak mungkin ada orang yang berani makan
tai anjing”. Begitulah cibiran warga desa.
Setelah itu, berkatalah Jero Bendesa: “Wih,
kamu Balang Tamak, silahkan kamu yang
makan tai anjing itu. Bila kamu berani
memakannya, akan saya kasi upah seribu
keeping”. Begitulah ucapan Jero Bendesa
dengan ketus. Ketika baru saja Jero Bendesa
berkata seperti itu, lalu di jawab oleh Pan
Balang Tamak: “Ya semua warga desa,
saksikanlah sekarang saya yang akan makan
tai anjing ini”. Sehabis ia bicara seperti itu
maka diambillah tai anjing itu lalu dimakan.
Raut wajah Pan Balang Tamak ketika itu
seperti orang mau muntah karena jijik. Lagi
pula diimbuhi dengan sikap kejut-kejut dan
gemetar badannya karena jijik. Semua
warga desa juga jijik menyaksikan ulah Pan
Balang Tamak makan tai anjing. Ada yang
meludah-ludah, ada yang tidak berani
menoleh, dan ada yang sampai muntah-
muntah melihat Pan Balang Tamak makan
30
Mara Bendesane suud ngeraos keto,
dadi masaut Pan Balang Tamak, “Inggih
jero krama desa sami, mangkin saksiang
tiang lakar neda bacin cicinge niki”.
Sesubane ia suud mamunyi keto lantas
jemaka tain kuluke lantas amaha. Sebeng
Pan Balang Tamake ri kala ento, cara
anak seneb ulian seng ngamah jaja tain
kuluk. Buina maisi kejut-kejut tur ngejer
awakne ulian seneb. Makejang kramane
seneb basangne nepukin ulah Pan
Balang Tamak naar bacin kuluk. Ada
ane kecuh-kecuh, ada ane sing bani
nolih, lan ada mase ane kanti ngutah-
utah nepukin unduk Pan Balang Tamak
naar bacin kuluk. Gelising cerita, telah
tain kuluke ane sujatinne jaja uwel ento
baana naar kapining Pan Balang
Tamak. Ditu lantas Pan Balang Tamak
maan upah siu keteng pis bolong, tur
pasangkepane suba suud. Krama desane
pada mulih ngojog umah suang-suang,
sambilang pagerenggeng, nuturang indik
Pan Balang Tamak ngamah tain cicing.
Caritayang jani jero Bendesa
kaliwat gedeg tur sengit kapining Pan
Balang Tamak, duaning bes kaliwat
pepes dane kauluk-uluk, katungkasin lan
mayah upah wiadin danda kapining Pan
Balang Tamak. Sesubane makelo dane
ngerincikang daya pangupaya, ditu dane
tangkil ka puri, matur teken anake agung
ane nyeneng agung di Sunantara.
Aturanga unduk Pan Balang Tamak
setata nayain, mayus, lan sesai nungkas
awig-awig desa. Ento maka awanan Pan
Balang Tamak gedegina baan krama
desane makejang. Mara pirenga keto
tai anjing. Singkat cerita habislah tai anjing
yang sebenarnya adalah kue iwel itu
dimakan oleh Pan Balang Tamak. Ketika
itulah Pan Balang Tamak mendapatkan
upah seribu keping uang bolong, lalu rapat
desa berahir. Seluruh warga desa pada
pulang menuju rumah masing-masing
sambil berguman membicarakan prihal Pan
Balang Tamak makan tai anjing.
Diceritakanlah bahwa Jero Bendesa
sangat dendam dan sakit hati pada Pan
Balang Tamak. Hal itu desebabkan oleh
sering ia dibohongi, ditentang, dan
membayar denda/upah pada Pan Balang
Tamak. Setelah lama ia merancang tipu
muslihat, kala itu ia pergi ke keraton raja
untuk melapor kepa raja yang memerintah
di kerajaan Sunantara. Dilaporkanlah prihal
ulah Pan Balang Tamak yang selalu
memperdaya desa, malas, dan sering
menentang aturan-aturan desa. Hal itu yang
menyebabkan Pan Balang Tamak dibenci
oleh seluruh warga desa. Baru didengar
seperti itu laporan Jero Bendesa, lalu raja
jadi marah. Saat itu ia menyuruh untuk
membunuh Pan Balang Tamak. Namun,
caranya membunuhnya agar tidak terang-
terangan. Jero Bendesa disuruh mencari
racun yang paten/ampuh. Oleh karena itu,
lalu segeralah Jero Bendesa menyuruh salah
satu warga desa untuk mencari racun yang
ampuh. Singkat cerita, lalu datanglah warga
suruhan itu membawa racun yang sangat
ampuh, dan sudah berangkat akan meracun
Pan Balang Tamak.
31
atur Jero Bendesa dadi duka rajane.
Ditu ida nunden ngamatiang Pan Balang
Tamak. Sakewala apanga silib carane
ngamatiang. Jero Bendesa titahanga
ngaruruh cetik ane meranen. Duaning
keto dadi gupuh Jero Bendesa nunden
sinalih tunggil kramane ngalih cetik ane
sakti. Gelising satwa, dadi ada anak
ngaturang cetik ring ida anake agung,
tur suba majalan lakar nyetik Pan
Balang Tamak.
Satwaang jani Pan Ban Balang
Tamak ajak kurenane ditu di pondok
sedeng matutur-tuturan. Nuturang
pariindike sawireh ia liu anake
ngedegin. Ida dewagung, rajane di
Sunantara mase suba madan nawang
sawireh ia liu anake ngedegin. Rumasa
kapining padewekane kagedegin, sinah
lakar cendet tuuhne. Dening aketo, dadi
memunyi ia teken somahne, kene
munyinne: “Nah memene, dadi icang
makleteg kenehe mirib lakar tuara
makelo enu idup, mapan liu nyama
beraya ane brangti tur ngedegin iraga
jani. Nah, yen pet perade manian icang
mati, ingetang pabesen icange, eda
enden jeg enggal tanema. Yaning icang
mati, silaang malu icang di balen
sanggahe, apanga cara anak sedeng
mayoga ngaregepang japa mantra.
Alihang tambulilingan nyang tatelu
wadahin beruk utawi bungbung.
bungbunge bolongin cenikang apang
tambulilingane tusing nyidayang pesu.
Eda pesan nyai mangelingin bangken
icange kala ento. Manian pedasang
ningehang orta. Yen suba ada orta anake
Ceritakanlah kini Pan Balang Tamak
beserta istrinya di rumah sedang
berbincang-bincang. Bertutur-tuturan
perihal bahwa ia banyak warga yang
membencinya. Baginda raja Sunantara juga
sudah tahu karena ia banyak orang yang
membencinya. Merasa dengan dirinya
dibenci orang, pastilah umurnya tidak akan
panjang. Karena itu, berkatalah ia kepada
istrinya: “Ya istriku, sepertinya saya merasa
dalam hati bahwa saya tidak lama akan
hidup, sebab banyak orang yang benci dan
dendam kepada kita. Nah, bila seandainya
saya mati nanti, ingatlah pesanku ini; jangan
langsung saya dikubur!. Letakkan mayat
saya dib alai yang ada di Sanggah dengan
sikap bersila menyerupai orang yang sedang
melakukan yoga dan merafalkan
mentra/doa. Carilah kumbang pohon,
barang 3 ekor, letakkan dalam tempurung
kelapa (beruk) atau bungbung (potongan
bambu). Potongan bambu itu dilubangi agak
kecil, agar kumbang itu tidak lepas.
Janganlah kamu menangisi mayatku pada
saat itu. Esok lusa, dengarkanlah berita
dengan pasti. Bila ada berita bahwa raja
sudah mati, nah barulah pada saat itu
masukkanlah mayatku ke dalam peti lalu
taruh di kamar. Barang-barang kekayaan
kita seperti: emas, perak, uang, serta barang
kekayaan lainnya, taruhlah dibalai tempat
tidur lalu atur menyerupai onggokan mayat.
Kemudian selimuti dengan kain agar terlihat
32
agung seda, nah kala ento pejang
bangken icange di petine jumaan
menten. Barang-barang, emas, perak,
pipis, muah arta beranane makejang,
dugdugang di bale pasareane. Rurubin
aji saput lan kamben apanga cara
bangken icange. Ditu di sampingne nyai
ngeling kasedihan, cara mangelingin
bangken icange. Sinah lakar ada anak
ngemaling bangken icange ane wadah
peti, kadenanga kasugihane. Ingetang
pesan nyin pabesen icange keto. Mara
keto pabesen Pan Balang Tamake teken
somahne dadi sebet ia ajaka dadua. Ane
eluh ngeling ngasigsigan tuara dadi
tungkulang.
Satwaang jani utusane ane
kanikaang nyetik Pan Balang Tamak,
suba nyidaang ngeka daya, nyetik Pan
Balang Tamak. Dening bes kaliwat sidi
cetike dadi mati kone jani Pan Balang
Tamak. Somahne iju jani ngaba
bangkennne ka sanggah. Ditu tegakanga
apang cara anak masila mayoga. Keto
mase suba jangina tambulilingan
mawadah beruk di limane. Yen pedasang
aseliaban, tulen cara anak mayoga
ngaregepang japa mantra.
Satwaang jani telik tanem anake
agung, suba madan ngintip undukne Pan
Balang Tamak. Kadena Pan Balang
Tamak enu idup turmaning sedeng
mayoga. Unduke ento aturanga teken
anake agung. Dadi jengah kayun idane
tur kadena cetike tuara sidi. Dadi celekin
ida cetike. Dening bes kaliwat meranen
seperti mayatku. Di samping mayatku itu
kamu menangis seperti menangisi mayatku.
Pasti akan ada orang mencuri peti yang
berisi mayatku itu, karena mereka mengira
itu adalah harta benda kekayaan kita.
Ingatlah pesanku ini. Baru begitu pesan Pan
Balang Tamak, sangat sedih mereka berdua.
Istrinya menangis tersedu-sedu tidak bisa
dihibur.
Diceritakanlah kini orang yang diutus
untuk meracun Pan Balang Tamak. Ia sudah
mampu melakukan tipu daya dan berhasil
meracuni Pan Balang Tamak. Oleh karena
kemanjuran racun itu maka seketika matilah
Pan Balang Tamak. Istrinya segera
membawa mayat suaminya ke Sanggah, lalu
didudukkan dan dibuatkan sikap seolah-olah
Pan Balang Tamak sedang bersila
melakukan yoga. Juga telah diisi beberapa
ekor kumbang yang ditempatkan di dalam
tempurung kelapa dan ditaruh di tangannya.
Bila dilihat sepintas, persis seperti orang
yang sedang beryoga.
Ceritakanlah sekarang mata-mata sang
raja sudah melihat Pan Balang Tamak.
Dikiranya Pan Balang Tamak masih hidup,
sedang duduk beryoga. Keadaan ini
dilaporkan kepada raja. Raja sangat kaget,
dikiranya racun itu tidak manjur. Lalu
dijilatilah racun itu. Karena racun itu sangat
manjur maka seketika itu pula raja wafat.
Diceritakanlah kini terdengar berita
bahwa raja wafat karena menjilati racun.
Ketika itu dengan segera istri Pan Balang
Tamak membuat air panas. ujuannya untuk
digunakan memandikan mayat agar lemes
dan mudah diluruskan. Semua kekayaannya
33
cetike dadi seda rajane.
Satwaang jani suba madan
maorta rajane seda nyelekin cetik. Kala
ento enggal-enggal Ni Tanu, somah Pan
Balang Tamake, ngae yeh anget anggona
manjusang bangkene. Tetujone apanga
bangkene lemet tur elah ban
ngaleserang.. Kasugihane makejang,
joljolanga tur ririganga niru joljolan
bangke. Sesubane keto, mara rurubina
aji kamben lan saput. Di samping
kasugihan ane marurub ento, Ni Tanu
negak saha ngelut mangelingin. Yen
tingalin tulen cara anak mangelingin
bangke.
Satwaang jani ri kala peteng
mirib ada sametara tengah lemeng. Ada
kone anak lakar mamaling ka umah Pan
Balang Tamak, apan dingeha orta Pan
Balang Tamak suba mati. Di subane
malinge ada jumahan Pan Balang
Tamak, tepukina Ni Tanu sedekan
mangelingin bangken ane muani di
balene diwangan menten. Ditu alih-
alihina pepejangangan arta berana
kasugihane Pang Balang Tamak.
Macelep malinge ka jumahan menten.
Tepukina ada peti madalit tekek pesan.
Kadena petine ento misi arta berana
kasugihan Pan Balang Tamak. Petine
ento tegena ban malinge ajaka papat.
Sesubane ejoh uli umah Pan Balang
Tamak, mereren jani malinge. Petine
tuunanga lakar ungkaba tutupne. Mara
pejanga petine, dadi ada ebo pengit cara
ebon bangke. Kadena ento ebon bangken
cicing utawi bangken siap. Mamunyi
malinge aukud: “Beh adi pengit ebone
ditaruh dan ditata meniru onggokan mayat
orang meninggal. Setelah itu, lalu diselimuti
dengan kain dan selimut. Di sebelahnya Ni
Tanu duduk sambil memeluk dan
menangisinya. Bila dilihat mirip seperti
orang menangisi mayat.
Ceritakanlah kini hari sudah malam,
kira-kira sudah tengah malam. Ada orang
yang berniat akan mencuri ke rumah Pan
Balang Tamak, sebab Pan Balang Tamak
tersiar sudah mati. Setelah maling itu berada
di dalam rumah Pan Balang Tamak,
dilihatlah Ni Tanu sedang menangisi mayat
suaminya. di tempat tidur yang ada di depan
kamarnya. Ketika itu dicarinyalah tempat
harta benda kekayaan Pan Balang Tamak di
simpan. Lalu masuklah maling-maling itu
ke dalam kamar. Dilihatnya ada peti yang
terpateri dan terkunci sangat kuat. Dikiranya
peti itu tempat harta benda kekayaan Pan
Balang Tamak. Diangkat dan dipikullah peti
itu oleh si pencuri berempat. Setelah jauh
dari rumah Pan Balang Tamak, berhentilah
para pencuri itu. Diturunkannya peti itu
untuk dibuka tutupnya. Baru begitu tercium
bau busuk seperti bau bangkai. Dikiranya
itu bau bangkai anjing atau bangkai ayam.
Seorang pencuri berkata: “Beh, kok ada bau
busuk di sini, kemungkinan ada bangkai
anjing karena ini tegalan. Ayuk kita pindah
dari sini, tidak tahan mencium bau bangkai
yang sangat busuk”. Begitulah kata si
pencuri. Lalu kembali lagi peti itu diangkat
dan dipikulnya untuk berpindah ke tempat
lain. Ketika sudah dapat tempat lain, lalu
peti itu diturunkan lagi untuk dibuka. Baru
saja peti diturunkan, kembali lagi tercium
34
dini, miribang ada bangken cicing dini
apan teba. Jalan makisid uli dini apan
sing nyidaang ngadek ebon bangke
pengit pesan”. Keto munyin malinge.
Dadi buin tikula petine, lakar makisid
ngalih tongos melahan. Disubane maan
tongos ane lenan, buin tuunanga petine.
Mara pejanga beten, buin ada ebo pengit
pesan. Kadenang ada bangkaan ane
mabo pengit sawireh tongose di
tegalane. Keto unduke kanti ping pat
petine kapejang. Pamuput ada ane
ngelah daya, ngajakin ngaba petine ka
pura. Dadi mamunyi malinga ento kene:
“Nah kene ban madaya, mapan teba lan
tegalan sinah liu ada bangkaan wiadin
tai ane mebo pengit. Luungan jani petine
aba ka pura, ajaka di pura gagah petine.
Di pura sinah sing ada anak bani
lakaran meju wiadin ngutang bangkaan.
Sinah sing ada ebo pengit ditu apan
pura”. Keto abetne mamunyi. Dadi buin
tegena petine abana ka tengah pura
desane. Di subane teked di tengah
purane, ditu malinge mareren. Petine
pejanga di bale Piasan purane. Mara
ungkaba tekep petine, dadi makesiab
malinge makejang nepukin bangken Pan
Balang Tamak nyegagag suba ngembetin
tur mabo pengit. layahne nyelep lan
matane melolod nelik. Mare tepukina
keto, malaib malinge ajaka makejang
mulih kumahne suang-suang.
Ceritaang buin mani semengane,
Jero Mangku desa macelep ka tengah
purane lakar makedas-kedas mapan
bau yang sangat busuk. Dikiranya ada
bangkai lain yang berbau busuk karena
tempat itu tegalan. Begitulah keadaannya,
hingga empat kali peti diturunkan. Terahir,
salah seorang pencuri mempunyai inisiatif
untuk membawa peti itu ke sebuah pura.
Lalu si pencuri itu berkata: “Ya begini saja
caranya, karena tegalan tentu akan banyak
ada bangkai yang berbau busuk. Sebaiknya
kita bawa dan buka peti ini di sebuah pura.
Pastilah tidak ada orang yang berani berak
atau membuang bangkai di dalam pura. Di
pura pasti tidak aka nada bau busuk”.
Begitulah katanya. Lalu dipikulnya kembali
peti itu dan dibawanya menuju ke sebuah
pura. Setelah sampai di tengah pura, lalu
berhentilah mereka dan peti itu lalu
diturunkan lalu di taruh dibalai Piasan pura.
Baru tutup peti itu dibuka, kagetlah semua
maling itu melihat mayat Pang Balang
Tamak, menangkang dan sedang
membengkak, berbau busuk, lidahnya
menjulur ke luar, dan matanya terbelalak
melotot. Baru dilihatnya seperti itu lalu
larilah mereka semua dan pulang ke rumah
masing-masing.
Diceritakanlah keesokan paginya. Jero
Mangku desa masuk ke dalam pura, akan
melakukan pembersihan karena, kebetulan
hari itu adalah hari rahinan (hari untuk
melakukan persembahyangan). Ketika
dilihatnya ada peti di atas balai Piasan maka
ia pun terkejut. Dikiranya Ida Betara
menganugrahinya. Kejadian ini lalu
dilaporkan kepada Jero Bendesa. Jero
Bendessa percaya kepada laporan dari Jero
Mangku bahwa, di pura ada anugerah.
Seluruh warga desa diperintahkan agar
35
dinane nuju rainan. Mara tepukina ada
peti di piasane, dadi makesiab Jero
Mangku. Kadena Ida Batara ngicen
paica mawadah peti. Dadi unduke ene
orahanga teken Jero Bendesa. Jero
Bendesa ngugu piorah dane Jero
Mangku ada pica di pura. Tundenanga
krama desane tangkil ka pura, saha
ngaba aturan, praya mendak pican Ida
Batara. Gelising satwa dadi makejang
krama desane sumuyug tangkil ka pura
saha ngaba aturan. Sesubane krama
desane ngejang banten tur negak napak
di natah purane, dadi bantene aturanga
olih Jero Mangku. Sesubane suud matur-
atur dane Jero Mangku, paekina petine
olih Jero Mangku, Jero Bendesa, miwah
para kelihan lan panyarikan makejang.
Mara bungkaha petine dadi makejang
anake makesiab nepukin isin petine boya
paica, sakewala bangken Pan Balang
Tamak. Dadi lesu krama desane
makejang, duaning isin petine tuah
bangke manusa, turmaning ada di
tengah purane, ditu dadi kramane
kadauhin apanga mreteka bangken Pan
Balang Tamak sakadi patut. Len
kapining ento, desane patut nangun
yadnya, ngaturang pacaruan, nyarunin
pura lan desane, apan kaucap leteh.
Dadi ditu krama desane nangun karya.
Keto mase Pan Balang Tamak gaenanga
pelinggih abesik, anggon cirri lan
painget indik Pan Balang Tamak ane
malu.
Keto kone satwan Pan Balang
Tamak ane katami kanti jani*
datang ke pura hari itu disertai dengan
membawa sesajen yang akan
dipersembahkan sebagai ucapan terima
kasih atas anugerah itu. Singkat cerita,
semua warga desa telah datang ke pura
disertai dengan membawa sesajen. Setelah
seluruh warga desa datang dan duduk di
halaman pura maka Jero Mangku
menghaturkan sesajen tersebut. Setelah Jero
Mangku selesai menghaturkan sesajen
persembahan maka, peti itu didekati
bersama. Baru dibuka peti itu maka
semuanya terkejut bahwa, isi peti itu bukan
anugerah tetapi berisi mayat Pan Balang
Tamak. Jadi lemaslah semua warga desa,
sebab isi peti itu adalah mayat manusia
yaitu, mayat Pan Balang Tamak. Kala
itulah warga desa diberi tahu untuk
mengupacarai mayat Pan Balang Tamak
sebagaimana mestinya. Di samping itu
masyarakat juga harus menyelenggarakan
upacara kurban Pecaruan (upacara Bhuta
Yadnya) agar pura dan desa bersih kembali
seperti sediakala. Setelah itu arwah Pan
Balang Tamak yang telah disucikan
dibuatkan satu pelinggih, sebagai cirri dan
peringatan atas kejadian pan Balang Tamak
dahulu..
Begitulah konon cerita Pan Balang
Tamak yang diwariskan hingga saat ini.
Hasil rekaman cerita yang
diceceritakan oleh Jero Mangku
Nyoman Serinten dari desa
Sangkanbuana Klungkung, pada
tanggal 11 Juli 2015.
Ditulis kembali oleh I Nyoman
Sukartha.
36
5.2 Ringkasan Satwa Pan Balang Tamak
Ringkasan cerita akan dibagi ke dalam episode-episode seperti di bawah ini.
1) Episode mencari kayu ke hutan
Di sebuah desa di kerajaan Sunantara, hiduplah sepasang suami-istri yang sangat
kaya. Ia bernama Pan Balang Tamak dan istrinya bernama Ni Tanu. Ia terkenal sangat
kaya, tetapi kikir dan malas. Ia sangat pintar, pandai bicara tetapi sangat licik dan penuh
tipu daya. Selain itu, ia juga sangat malas dan sering menentang aturan-aturan desanya.
Hal itu menyebabkan ia sangat dibenci oleh warga desa lainnya, terutama oleh para
ketua desanya (Jero Bendesa). Itulah sebabnya dicarikan segala daya upaya agar ia bisa
dijatuhi hukuman atau denda yang seberat-beratnya, bahkan kalau mungkin agar bisa
diusir dari wilayah desa tersebut.
Pada suatu ketika para pimpinan desa mengadakan rapat untuk mencari
kesalahan Pan Balang Tamak agar bisa didenda. Para pemimpin desa mengetahui
bahwa Pan Balang Tamak tidak mempunyai ayam. Untuk itu disepakatilah akan
mengadakan kerja bakti mencari kayu untuk bahan bangunan ke dalam hutan.
Diberitahulah seluruh warga desa agar melakukan kerja bakti pada keesokan harinya
termasuk Pan Balang Tamak. Pemberitahuan yang disampaikan kepada Pan Balang
Tamak bunyinya bahwa warga desa harus pergi ke hutan mencari kayu, dan berangkat
37
ketika ayam turun dari tempat tidurnya. Kesokan harinya pagi-pagi sekali ketika ayam
sudah berkokok dan turun dari tempat tidurnya seluruh warga desa pergi ke hutan
mencari kayu. Namun Pan Balang Tamak masih diam di rumahnya menunggu ayamnya
turun dari tempat tidurnya. Pan Balang Tamak hanya memiliki seekor ayam yang
sedang mengerami telurnya. Ayamnya itu baru turun dari mengeram setelah hari agak
siang. Ketika ayamnya turun dari mengeram itu barulah Pan Balang Tamak berangkat
pergi ke hutan. Di Tengah perjalanan ia berpapasan dengan warga desa lainnya yang
sudah kembali dari hutan dan memikul kayu hasil yang didapatkan di hutan. Karena
warga desa sudah kembali dari hutan maka Pan Balang Tamak pun juga ikut pulang.
Keesokan harinya para pinpinan desa menyuruh warga desa untuk melakukan rapat,
tujuannya membicarakan ulah Pan Balang Tamak yang tidak menepati isi
pemberitahuan desa. Dalam rapat diputuskanlah bahwa Pan Balang Tamak dijatuhi
denda berupa sejumlah uang karena tidak menepati pemberitahuan desa. Pan Balang
Tamak menolak didenda dengan sejumlah uang karena merasa tidak bersalah.
Alasannya adalah ia sudah berangkat ke hutang setelah ayamnya turun dari tempat
tidurnya. Ia hanya memiliki satu ekor ayam yang sedang mengeram. Ayamnya yang
sedang mengeram ini baru turun dari tempatnya mengeram setelah hari siang. Itulah
sebabnya Pan Balang Tamak baru berangkat ke hutan setelah hari siang. Alasan tersebut
menyebabkan Pan Balang Tamak tidak jadi di denda.
38
2) Episode menyumbang senggauk
Dalam kesempatan lain warga desa disuruh untuk menyumbang ke desa berupa
senggauk (nasi aking). Siapa pun warga desa yang tidak menyumbang akan didenda.
Pimpinan desa mengetahui bahwa Pan Balang Tamak sangat irit dan pelit, termasuk
juga istrinya. Ia dan istrinya sehari-harinya memasak nasi secukupnya saja dan tidak
pernah menyisakan nasinya, apa lagi sampai menjemur nasi untuk dijadikan senggauk
(nasi aking). Tentu saja ia tidak akan mempunyai nasi aking (senggauk). Karena itu
dengan mudah ia akan dikenakan denda oleh warga desa. Kesokan harinya Pan Balang
Tamak pergi ke balai desa dengan membawa sanggah uug (sejenis bangunan tempat
sembahyang yang sudah rusak). Alasannya, karena ia mendengar pemberitahuan dari
juru arah ( orang yang bertugas menyampaikan pemberitahuan/pengumuman desa
kepada warganya) bahwa juru arah yang bersuara cadel mengatakan agar warga desa
mengeluarkan sanggah uug. Alasan itu menyebabkan Pan Balang Tamak tidak didenda.
3) Episode berburu
Pada hari berikutnya warga desa kembali lagi melakukan rapat. Pimpinan desa
mengetahui bahwa Pan Balang Tamak tidak mempunyai anjing besar, karena ia hanya
memiliki seekor anjing kecil dan sangat kurus. Untuk itu dibuatkanlah jebakan agar ia
bisa didenda. Keesokan harinya warga desa diberitahu agar semua warga desa pergi ke
hutan untuk berburu dengan membawa serta seekor anjing yang sudah galak serta
senjata untuk berburu. Pagi-pagi sekali seluruh warga desa pergi ke tengah hutan untuk
39
berburu, termasuk Pan Balang Tamak. Karena Pan Balang Tamak tidak mempunyai
anjing besar maka ia membawa anjing kecilnya saja. Sesampainya di tengah hutan
semua warga desa sibuk berburu dengan melepas anjing buruannya. Banyak binatang
buruan yang diperoleh oleh warga desa. Alkisah Pan Balang Tamak di tengah hutan
berjumpa dengan jurang dalam (pangkung) yang tidak ada jembatan penyeberangannya
(dalam bahasa Bali jurang yang tidak ada jembatannya disebut (pangkung sing metiti).
Pan Balang Tamak tidak berani melewatinya. Untuk bisa melewatinya dikeluarkanlah
akal bulusnya. Pan Balang Tamak berteriak-teriak mengatakan bahwa ada bangkung
sing megigi. (induk babi ompong/tidak bergigi). Warga desapun berlarian semua
mendekati Pan Balang Tamak. Ketika sampai di dekatnya maka Pan Balang Tamak
mengatakan: ”Ada pangkung sing metiti” (ada jurang yang tidak bertiti). Warga desapun
membuat titi penyebrangan dari kayu dan bambu agar seluruh warga desa yang ikut
berburu bisa melewati jurang dalam itu.
Setelah semua warga desa sampai di tengah hutan, kembali warga desa sibuk
berburu. Ketika itu Pan Balang Tamak menjumpai pohon ketket (sejenis perdu yang
berduri) dan sangat lebat dauunya di pinggir jurang. Pan Balang Tamak melemparkan
anak anjingnya ke tengah perdu/pohon ketket itu. Anak anjing itupun bersuara keras-
keras karena kesakitan dan meronta-ronta ingin ke luar dari perdu berduri itu. Ketika
anak anjingnya bersuara keras-keras kesakitan, Pan Balang Tamak juga berteriak-teriak
mengatakan bahwa anjingnya galak menggonggong karena melihat bangkung sing
megigi (induk babi yang tidak mempunyai gigi). Karena anjing Pan Balang Tamak mau
40
bersuara ketika di bawa berburu maka Pan Balang Tamak tidak didenda oleh pimpinan
desanya.
4) Episode memagari pekarangan
Hari berikutnya para pimpinan desa kembali berembug mencari akal agar Pan
Balang Tamak bisa didenda. Kebetulan tanah pekarangan dan tanah tegalan milik Pan
Balang Tamak tidak masengker (diisi pagar/tembok pembatas). Karena itu dibuatkanlah
aturan desa agar semua tanah pekarangan dan tanah tegalan dikitari dengan penyengker
(tembok/pagar pembatas). Bila tidak dipatuhi maka akan didenda dengan denda yang
cukup berat. Begitu pula bila ada orang yang memasuki tanah milik orang lain tanpa
izin maka orang itu didenda dengan denda yang cukup besar pula. Pan Balang Tamak
mengetahui bahwa aturan yang dibuat oleh desa tujuannya untuk menyudutkan, dan
mendendanya karena, hanya rumah dan tegalannyanya saja yang tidak ada pagar
pembatasnya. Di samping itu Pan Balang Tamak juga tidak mempunyai pohon-
pohonnan yang bisa dijadikan pagar pembatas. Karena itu iapun mencari akal agar tidak
bisa didenda oleh warga desa. Karena ia tidak memiliki turus/batang pohon-pohonan
untuk dijadikan pagar, maka Pan Balang Tamak memagari tanahnya dengan lidi yang
diambil dari daun enau. Lidi-lidi itu ditancapkan mengitari tanah milik Pan Balang
Tamak. Kebetulan tanah Pan Balang Tamak letaknya berdekatan dengan pasar desa, dan
banyak ditumbuhi oleh perdu yaitu pohon pulet (sejenis pohon perdu yang buahnya
kecil-kecil, berbulu, mudah lepas, dan bergetah seperti pellet/lem. Apapun yang
41
menyentuhnya maka buah pullet itu akan terlepas dan menempel pada benda yang
menyentuhnya).
Ketika pasar sedang ramainya, ada seorang pedagang yang sedang berjualan
sakit perut ingin buang hajat. Pada zaman itu pasar tradisional umumnya tidak memiliki
WC sebagai tempat buang hajat. Maka pedagang itu pergi ke tempat yang mudah
dimasuki, ada pepohonan/perdu yang rimbun agar bisa dijadikan pelindung ketika
buang hajat. Kebetulan tanah Pan Balang Tamaklah yang dekat dan mada perdu yang
rimbun sebagai tempat buang hajat, lalu pedagang itu masuk ke tanah Pan Balang
Tamak yang hanya dipagari lidi sehingga sangat mudah dilewati. etelah selesai buang
hajat maka pedagang itu kembali berjualan. Ketika pasar sedang ramainya, maka pan
Balang Tamak pergi ke pasar. Sesampainya di pasar ia melihat pedagang yang kainnya
penuh ditempeli buah pullet. Lalu Pan Balang Tamak melaporkannya kepada pimpinan
desanya, bahwa ada orang yang melanggar aturan desa dengan memasuki tanah milik
orang lain tanpa seizing dari pemiliknya. Sebagai bukti ditunjukkannya buah pohon
pullet yang menempel di kain pedagang itu. Alasan yang lain adalah bahwa, hanya
tanah pekarangannya Pan Balang Tamak sajalah yang ditumbuhi pohon pullet,
sedangkan tanah milik orang lain semua bersih-bersih karena sering disiangi rumput dan
perdu yang tumbuh di tanah mereka itu. Akhir kata maka pedagang tersebut di denda
dan dendanya diberikan kepada Pan Balang Tamak.
Para pimpinan desa sepertinya sudah kehabisan akal untuk membuat program
kerja agar bisa mendenda Pan Balang Tamak. Pada suatu hari datanglah pengaduan dari
warga desa yang merupakan mata-mata kepala desa. Laporan itu mengatakan bahwa
42
Pan Balang Tamak tidak memiliki sapi jantan. Mendengar laporan itu maka para
pimpinan desa sepakat untuk mengadakan lomba adu sapi. Dalam lomba itu dibuatkan
aturan bahwa sapi yang boleh diikutan lomba adalah sapi jantan saja. Siapa pun warga
desa yang tidak ikut serta dalam lomba itu walau dengan alasan tidak memiliki sapi
jantan akan dikenai sangsi yang sangat berat berupa denda uang atau diusir dari desa.
Kali ini pimpinan dan warga desa yang tidak simpati kepada Pan Balang Tamak sangat
kegirangan dan merasa yakin bahwa dalam acara ini Pan Balang Tamak pasti bisa
didenda. Maka diumumkanlah bahwa desa akan mengadakan lomba adu sapi, dan siapa
pun warga yang tidak ikut akan didenda seberat-beratnya. Mendengar pengumuman itu
maka Pan Balang Tamak sangat kecewa dan sedih. Ia pun berpikir keras memutar otak
agar bisa ikut lomba. Pan Balang Tamak hanya memiliki seekor sapi betina yang sedang
menyusui anaknya yang baru berumur 3 bulan. Karena itu ia berusaha meminjam atau
menyewa sapi jantan besar kepada para tetangganya yang mempunyai sapi jantan lebih
dari satu. Namun, semua warga yang didatangi untuk meminjamkan atau menyewakan
sapi jantannya tidak ada yang memberinya. Iapun pergi ke desa tetangga untuk
menyewa sapi jantan yang akan dijadikan aduan tetapi, tidak juga ada yang mau
menyewakan sapinya karena mereka takut sapinya nanti akan cedera. Akhirnya usaha
Pan Balang Tamak tidak membuahkan hasil. maka pulanglah Pan Balang Tamak ke
rumahnya.
43
5) Episode adu sapi
Dikisahkanlah sesampainya Pan Balang Tamak tiba di rumahnya. Istrinya
melihat suaminya datang dengan wajah sedih, pucat dan seperti orang tidak mempunai
gairah hidup. Istri Pan Balang Tamakpun bertanya: “Mengapa kanda seperti
kebingungan, sedih, dan wajahmu pucat pasi kanda?”. Begitulah pertanyaannya sambil
menyiapkan kopi. “Silahkan minum kanda, dan jangan bersedih nanti membuat saya
ikut berdih pula”. Bbegitulah kata-kata istri Pan Balang Tamak. Lama Pan Balang
Tamak tidak menjawab pertanyaan istrinya. Pada akhirnya, setelah ia selesai meminum
kopi suguhan istrinya, maka iapun menceritakan penyebab kesedihannya. Setelah agak
lama mereka berdua tenggelam dalam kesedihan, akhirnya istri Pan Balang Tamak
berkata: “Kanda saya punya ide bagus. Kita kan punya sapi yang sedang menyusui
anaknya, dan kebetulan anak sapi kita jantan. Kanda adu saja anak sapi itu, pasti akan
menang”. Begitulah mereka berdua berbincang-bincang membicarakan siasat yang akan
digunakan dalam adu sapi keesokan harinya. Pan Balang Tamak sangat lega dan puas
karena merasa yakin ia akan menang dalam lomba adu sapi besok.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seluruh warga desa sudah berkumpul di
sebuah tegalan yang sangat luas dan datar untuk mengikuti lomba adu sapi. Laki-laki
dan perempuan, tua dan muda banyak yang datang untuk menyaksikan lomba dan akan
bertaruh. Semua anggota warga desa membawa sapi aduan yang besar-besar. Tetapi,
hanya Pan Balang Tamak yang membawa anak sapi yang masih menyusu. Banyak
warga desa yang menertawakan dan mengejek Pan Balang Tamak, namun, ia tidak
perduli dan tidak menghiraukannya.
44
Setelah banyak sapi yang beradu, ada yang kalah dan ada yang menang, dan ada
pula yang seri, maka kini tibalah giliran Pan Balang Tamak untuk mengeluarkan sapi
aduannya. Sapi yang akan dilawan adalah sapi aduan kepala desa yang sangat besar lagi
gemuk. Siasat ini memang sudah diatur oleh kepala desa agar ia dapat dengan mudah
memenangkan lomba dan memperoleh uang hasil taruhan yang sangat banyak. Pan
Balang Tamak sebenarnya sudah tahu siasat licik kepala desa yang ingin
memojokkannya dan menguras harta kekayaannya. Itulah sebabnya ia sudah
memnyiapkan sebuah taktik jitu untuk mengantisipasi agar tidak kalah dalam lomba adu
sapi ini. Dari rumah ia telah menyiapkan air susu induk sapi tersebut yang diperah tadi
paginya. Air susu itu dimasukkan ke dalam wadah yang terbuat dari batok kelapa yang
telah dihaluskan. Batok kelapa itu dalam bahasa Bali disebut beruk. Air susu induk sapi
yang ada dalam beruk ini dibawa Pan Balang Tamak ke tempat lomba. Sebelum lomba
dimulai Pan Balang Tamak berpura-pura berkeliling melihat-lihat sapi aduan milik
warga lainnya. Ketika itu ia memilih beberapa ekor sapi jantan yang sangat besar, lalu
ia berpura-pura meraba-raba bagian bawah, tepatnya buah pelir sapi aduan tersebut.
Pada saat Pan Balang Tamak meraba-raba bagian bawah sapi aduan, ia mengeleng-
gelengkan kepala sambil berpura-pura kagum dan memuji sapi aduan yang sangat besar
itu. Ketika pemilik sapi lengah maka ia memoleskan air susu induk sapi yang
dibawanya pada buah pelir dan kemaluan sapi aduan itu, tidak terkecuali pada sapi
aduan si kepala desa juga ikut diolesinya.
Diceritakanlah setelah kedua sapi aduan dari Pan Balang Tamak dan kepala desa
sudah berhadap-hadapan. Kepala desa mengajak Pan Balang Tamak untuk bertaruh
45
sebanyak-banyaknya, hingga seluruh kekayaannya yang dimiliki Pan Balang Tamak
dan juga kepala desa habis menjadi taruhannya. Kepala desa sangat gembira. Ia berpikir
semua kekayaan Pan Balang Tamak sebentar lagi akan berpindah tangan menjadi
miliknya. Ketentuan kalah-menang pun sudah diberitahukan. Sapi siapapun yang ke
luar meninggalkan arena maka akan dinyatakan kalah, dan taruhan menjadi milik
pemenang.
Setelah besaran taruhan disepakati dan ketentuan kalah-menang sudah
diberitahukan maka kedua sapi itupun di lepaskan untuk di adu. Ketika itu anak sapi
jantan Pan Balang Tamak pergi mencari sapi si kepala desa. Sapi itupun memasukkan
kepalanya ke bagian bawah sapi si kepala desa. Sapi jantan si kepala desa dikiranya
induk sapi karena berbau susu. Sapi jantan kepala desa menjadi kebingungan lalu berlari
karena tidak tahan kemaliannya dan buah oelirnya terus dijilati oleh anak sapi Pan
Balang Tamak. Karena sapi jantan itu tidak tahan maka iapun ke luar meninggalkan
arena adu sapi. Katika sapi kepala desa sudah ke luar arena maka sapi kepala desa
dinyatakan kalah. Kepala desa tidak mau dikalahkan. Tetapi, Pan Balang Tamak tetap
menuntut bahwa sapi kepala desa harus dinyatakan kalah karena sudah meninggalkan
arena adu sapi. Akhirnya keputusan wasitpun tetap menetapkan bahwa sapi kepala desa
kalah. Pada saat itulah dengan disaksikan oleh seluruh warga desa maka suluruh
kekayaan yang dimiliki oleh kepala desa berpindah menjadi milik Pan Balang Tamak.
46
6) Episode jaja iwel
Hari berikutnya tibalah saatnya warga desa akan mengadakan rapat desa untuk
membicarakan program desa, dan membayar denda bagi warga desa yang terkena
denda. Seluruh warga desa sudah diberi tahu bahwa besoknya agar seluruh warga desa
pergi ke balai desa untuk rapat dan membayar denda. Pan Balang Tamak kembali
mencari akal agar bisa mendapat uang. sehari sebelum rapat diadakan, Pan Balang
Tamak membuat jajan iwel, yaitu sejenis kue yang terbuat dari ketan hitam yang
disangrai, lalu ditumbuk halus hingga berupa tepung. Tepung ketan yang telah disangrai
ini dicampur dengan kelapa yang telah diparut, kemudian dikukus, dan setelah matang
digiling/dipulung menyerupai tai/kotoran anjing. Pagi-paginya sebelum rapat dimualai
dan kebetulan masih sangat sepi, Pan Balang Tamak pergi ke balai desa dengan
membawa jajan iwel yang telah dibuat menyerupai kotoran anjing dan air secukupnya.
Jajan iwel itu diletakkan di atas sendi (dasar/kaki tiang/pilar) yang ada di bawah
tiang/pilar kayu balai desa. Jajan iwel itu lalu dituangi air agar kelihatan seperti kencing
anjing. Ketika rapat desa akan dimulai, seluruh warga desa sudah datang untuk ikut
rapat desa. Ketika itu Pan Balang Tamak berkata: “ Inggih krama desa sami, sapa sira
ja purun ngajengang tain cicinge niki lakar upahin tiang siu keteng”, „Wahai warga
desa semua, siapa saja yang berani makan kotoran anjing ini akan saya kasi uang
sebanyak seribu kepeng‟. Mendengar perkataan Pan Balang Tamak seperti itu, tentu
saja warga desa diam, dan tidak ada yang berani menyauhut untuk makan jajan yang
dikiranya kotoran anjing itu. Pada saat itu pimpinan desa berkata,: “Nah lamun cai ne
bani ngamah tain cicinge ȇnto, icang bakalan ngupahin cai aji siu keteng pis bolong”,
47
„Ya bila kamu yang berani makan kotoran anjing itu, maka saya yang akan
mengupahimu sebesar seribu keping uang bolong‟. Ketika di dengar ucapan sang
pimpinan desa seperti itu maka dimakanlah kotoran anjing itu oleh Pan Balang Tamak
hingga habis. Warga desa pun terheran-heran akan keberanian Pan Balang Tamak yang
sedikit pun tidak menunjukkan rasa jijik. Setelah selesai makan kotoran anjing itu maka
Pan Balang Tamak diberi upah yang sangat banyak yaitu seribu keping uang
kepeng/bolong. Semakin bertambah-tambahlah kekayaan Pan Balang Tamak.
7) Episode mati minum racun
Warga desa trutama kepala desa sangat marah dan dendam akan keberadaan Pan
Balang Tamak. Akhirnya, karena sudah kehabisan akal maka kepala desa melaporkan
Pan Balang Tamak kepada raja. Kepala desa melaporkan bahwa Pan Balang Tamak
adalah warga desa yang sangat licik, tidak mau bergotong-royong dan selalu menentang
awig-awig (aturan) yang diterapkan di desa. Mendengar laporan kepala desa seperti itu
maka raja sangat marah dan akan menghukum Pan Balang Tamak. Raja bermasuk akan
membunuh Pan Balang Tamak dengan cara meracunnya. Kepala desa disuruh
mencarikan racun yang sangat ampuh dan orang suruhan untuk meracun Pan Balang
Tamak. Pan Balang Tamak tahu akan niat buruk pimpinan desa bersama sang raja.
Maka diberitahulah istrinya bahwa ia akan diracun oleh raja. Namun sebelum ia mati ia
berpesan kepada istrinya: “Istriku tercinta, bila aku nanti mati, dudukkanlah mayatku di
tempat suci dan aturlah sikapku agar aku kelihatan seolah-olah sedang duduk bersila
seperti meditasi. Carikanlah beberapa ekor kumbang lalu masukkan ke dalam beruk,
48
lalu taruhlah di belakangku. Usahakan kamu agar tidak menangis. Bersikaplah tenang
seolah-olah aku masih hidup. Besoknya raja pasti akan mati. Bila sudah terdengar kabar
bahwa raja sudah mati, masukkanlah mayatku ke dalam peti tempat kekayaan kita,
sedang, semua harta benda kekayaan kita taruhlah di tempat tidur. kemudian selimuti
agar mirip seperti onggokan mayat. Kamu, menangislah di sampingnya supaya kamu
kelihatan seolah-olah sedang menangisi mayatku. Peti tempat mayatku pasti akan dicuri
orang. Ingatlah pesanku itu istriku”.
Alkisah Pan Balang Tamak sudah meninggal dunia karena diracun. Sesuai
dengan pesannya, maka mayatnya didudukkan di Sanggah (tempat suci keluarga)
dengan sikap duduk bersila. Malam harinya mata-mata sang raja melihat bahwa Pan
Balang Tamak duduk bersila di Sanggahnya sedang bermeditasi. Hal ini dilaporkan
kepada sang raja bahwa Pan Balang Tamak sedang bermeditasi di Sanggahnya. Raja
pun sangat geram. Dikiranya racun yang diberikan untuk dimakan Pan Balang Tamak
tidak manjur. Karena saking dongkolnya maka dimakanlah sedikit racun tersebut.
Karena keampuhan racun itu maka raja pun wafat.
Setelah istri Pan Balang Tamak mendengar kabar bahwa sang raja telah wafat
maka digonglah mayat suaminya lalu dimasukkan ke dalam peti. Semua harta benda
dan uang yang merupakan kekayaannya dikumpulkan dan datur menyerupai gundukan
mayat, lalu kemudian diselimuti dengan kain. Gundukan kekayaannya itu persis
kelihatan seperti onggokan mayat Pan Balang Tamak. Istri Pan Balang Tamak lalu
menangisinya dengan keras sambil merintih-rintih menghibakan hati. Pada malam
harinya datanglah beberapa orang pencuri yang ingin mencuri kekayaan Pan Balang
49
Tamak. Pencuri itu pun tertipu dengan taktik istri Pan Balang Tamak. Dicurilah peti
yang dikira berisi barang-barang berharga kekayaan Pan Balang Tamak. Sesampainya
di suatu tempat yang sudah dikira aman maka pencuri itupun sepakat berhenti dan akan
membuka isi peti untuk dibagi, Namun karena ada bau yang tidak sedap maka peti itu
urung di buka. Begitulah berulang-ulang dan berpindah-pindah tempat peti itu mau
dibuka, tetapi tetap saja ada bau bangkai yang dikiranya bau bangkai anjing atau ayam.
Akhirnya atas kesepakatan bersama maka dicarinya tempat yang kemungkinan tidak
ada bangkainya yaitu di sebuah pura. Peti itu pun di bawa ke dalam pura. Sesampainya
di dalam pura maka peti itupun di buka, dan ternyata isinya adalah mayat Pan Balang
Tamak. Setelah diketahui isi peti itu adalah mayat maka rombongan pencuri itu pergi
meninggalkannya.
Pada keesokan harinya datanglah Jero Mangku (pinandita pura) untuk
melakukan pembersihan di pura itu. Ketika ia memasuki pura dilihatlah ada peti yang
sangat besar. Dikiranya itu anugerah dari Dewa yang berstana di pura itu. Lalu Jero
Mangku memberi tahu pinpinan desa bahwa ada anugerah dewa di pura berupa peti.
Pemimpin desa lalu mengajak seluruh warga desa untuk datang ke pura dengan
membawa sesajen untuk dihaturkan kepada Dewa yang menganugrahi peti. Pemujaan
lalu dimulai dan sesajenpun dihaturkan oleh Jero Mangku. Setelah selesai menyembah
lalu peti dibuka, dan ternyata isinya adalah mayat Pan Balang Tamak. Semua warga
desa sangat kecewa, namun apa boleh dikata kadong sudah dilakukan pemujaan, maka
disepakatilah untuk mengubur dan mengupacarai mayat Pan Balang Tamak. Untuk
50
memperingati dan menghormati Pan Balang Tamak maka warga desa sepakat untuk
membuatkan sebuah bangunan berupa sebuah pelinggih di dalam pura itu.
5.3 Pengertian Kritik Sosial
Kritik sosial dalam Kamus Besar bahasa Indonesia merupakan istilah yang
terdiri atas dua kata yaitu: kata “kritik” dan kata “sosial”. Kata kritik diartikan dengan
„kecaman atau tanggapan, atau kupasan kadang-kadang disertai uraian dan
pertimbangan baik-buruk terhadap hasil karya, pendapat, dan sebagainya (Muliono,
2014: 742). Sedang kata “sosial” diartikan dengan „yang berkenaan dengan masyarakat‟
(ibid, 2014: 1331). Kritik sosial diartikan sebagai „tanggapan masyarakat „.
Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada
kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat
zaman itu (Luxemburg dkk,1986: 23).
Satwa (cerita) Pan Balang Tamak merupakan salah satu cerita lisan yang ada
dalam ranah sastra Bali. Sebagai ciri sastra lisan, Satwa Pan Balang Tamak tidak dapat
diketahui siapa pengarangnya, kapan cerita itu mulai muncul, dan di mana awal cerita
itu dikenal di Bali. Di samping itu penyebaran cerita lisan ke masing-masing daerah
cukup baik. Indikasinya Satwa Pan Balang Tamak dikenal oleh hampir seluruh
masyarakat Bali. Hal ini disebabkan karena, relevansi isi ceritanya dengan kehidupan
nyata yang cukup fungsional.
Konsekuensi dari genre cerita lisan, Satwa Pan Balang Tamak memiliki variasi
bahkan cenderung ke versi cerita yang cukup banyak. Seperti biasa cerita lisan sering
51
menarik hati para pengawi (pengarang) untuk mentransformasikan ke bentuk sastra
tulis. Kini telah ada sebuah karya sastra geguritan yang merupakan gubahan dari sastra
lisan Satwa Pan Balang Tamak. Bentuk lainnya ada tulisan berupa Tutur Pan Balang
Tamak dan ringkasan cerita.
Kajian kritik sosial dalam Satwa Pan Balang Tamak akan difokuskan ke Satwa
Pan Balang Tamak yang disampaikan dalam bentuk lisan yang direkan dan ditulis
kembalai oleh peneliti. Pertimbangannya adalah, insiden-insiden yang terjadi, yang
menimbulkan konflik, seperti: episode berburu, episode adu sapi, episode pelaksanaan
hari raya Nyepi, episode pagar pekarangan, episode jaja iwel, dan episode kematian, ini
yang umum diketahui masyarakat Bali. Satwa Pan Balang Tamak, baik dalam bentuk
sastra geguritan maupun yang digubah berbentuk prosa, kurang umum diketahui oleh
masyarakat Bali. Hal ini diketahui dengan menanyakan langsung kepada para informan
yang mengenal ceritera Pan Balang Tamak (wawancara dengan para informan seperti
yang tertera dalam daftar informan di belakang, pada hari, waktu, dan tempat yang
berbeda). Lebih-lebih lagi mengenai teks Geguritan Pan Balang Tamak yang sudah
merupakan versi tersendiri. Uraian ceritanya sangat panjang dan ada peran pertapa,
dewa, resi yang dibalut dengan memasukkan unsur filosopi agama Hindu. Selain itu,
adanya unsure pengkultusindividuan atau penonjolan tokoh dengan mendewakannya
oleh beberapa masyarakat, yang bertujuan untuk mengenang kebaikan, kekritisan dan
kejeniusan tokoh Pan Balang Tamak. Hal itu tercermin dengan dibuatkannya pura
ataupun pelinggih sebagai tugu peringatan dan penghargaan oleh masyarakat. Pura yang
ada di desa Nongan Kabupaten Karangasem, desa Beda Tabanan, Badung, Denpasar,
52
Klungkung, dan juga di Kabupaten Jembrana merupakan bukti nyata. Persepsi
masyarakat seperti itu pastilah mempunyai alasan yang sangat kuat.
5.3 Episode Berburu
Episode ini merupakan awal cerita bahwa raja akan melaksanakan kegiatan
berburu ke hutan. Untuk itu ada beberapa prajuru (petugas) menginformasikan ke
krama (anggota masyarakat).
“Inggih para krama lanang, desane benjang jaga maboros ka alase. Semengan
rikala tuun siape i krama apang suba tedun tur majalan ka alase. Ingetang
ngaba kuluk ane galak ngongkong. Nyen kramane ane tusing manut teken arah-
arah, ia lakar dandaina teken desane.”
Terjemahan:
Hai para warga yang laki-laki, besok desa akan berburu ke hutan. Pagi pada saat
turun ayam, para warga agar sudah kumpul dan segera berangkat bersama
menuju hutan. Jangan lupa membawa anjing yang galak menggonggong. Barang
siapa yang tidak mematuhinya akan dikenakan denda uang oleh desa.
Pemberitahuan ini sempat mengagetkan Pan Balang Tamak karena merasa tidak
memiliki anjing sesuai dengan ketentuan yang diinformasikan prajuru. Sejenak Pan
Balang Tamak berpikir dan di dalam hatinya sudah ada solusi yang paling penting tidak
sampai kena denda. Keesokan harinya sekitar pukul 05.30 saat biasanya ayam-ayam
pada turun dari kandang atau tempat tidurnya, warga desa telah berkumpul di balai desa
lengkap dengan alat-alat perburuan seperti parang, tombak, jaring, dan tentunya anjing-
anjing pemburu.
Sesuai denga kesepakatan, akhirnya warga dengan riuhnya serta semangat
berangkat menuju hutan untuk berburu. Pan Balang Tamak tidak ikut serta di dalam
53
rombongan tersebut ia masih menunggu ayam satu-satunya miliknya yang sedang
mengeram di kandang (bengbengan). Sekitar pukul 10.00 ayam itu baru turun dari
eramannya. Barulah Pan Balang Tamak menyusul ke hutan dengan membawa anjing
kecil yang memang itu saja yang dimilikinya. Di samping kecil, kurus, juga anjing itu
banyak kutunya.
Sementara warga di hutan saling berbisik dan dari wajahnya mereka
menunjukkan rasa senang karena Pan Balang Tamak tidak hadir. Dalam perbincangan
mereka “tau rasa Pan Balang Tamak, pasti ia akan kena denda.” Demikian isi
perbincangan mereka. Tiba-tiba terdengar teriakan “ada bangkung sing magigi” „ada
induk babi tidak bergigi‟ berulang-ulang dari Pan Balang Tamak. Teriakan itu didengar
oleh beberapa warga kemudian berlari menuju sumber suara tersebut. Setelah tiba dan
tahu di seberang jurang ada Pan Balang Tamak, mereka bertanya “mana induk
babinya?” Dijawab oleh Pan Balang Tamak, “yang bilang ada induk babi (bangkung)
siapa? Yang saya katakan, ada pangkung sing matiti „ada jurang tidak berjembatan‟.
Bagaimana saya bisa lewat, ayo mari kita buat titi (jembatan bambu/kayu).” Akhirnya
dibuatkan titi.
Warga tadi sudah mencatat bahwa Pan Balang Tamak harus denda karena
datang terlambat. Hal itu akan dilaporkan pada ketua rombongan. Dekat dengan
kumpulnya warga yang lain, Pan Balang Tamak melempar anjingnya di semak-semak
penuh duri. Jelas anjing kurusnya itu bersuara kaing-kaing kesakitan sambil berusaha
untuk keluar dari semak. Saat itu Pan Balang Tamak berseru, “hai warga semua! Lihat,
apa ada yang membawa anjing galak dan kuat seperti anjing saya? Tidak memandang
54
duri, ke sana tadi ia mengejar binatang!, kalau ada coba buktikan!” Karena tidak ada
yang berani berarti anjingnya Pan Balang Tamak termasuk paling kuat dan pemberani,
berarti selain dia, semua warga harus membayar denda pada Pan Balang Tamak karena
tidak membawa anjing galak dan pemberani.
Warga menjadi kesal pada ulah Pan Balang Tamak. Saat itu dilanjutkan dengan
penagihan uang denda dari Pan Balang Tamak karena datang terlambat.
“Nah Pan Balang Tamak, jani pesuang pipis caine anggon mayah dedosan
sawireh cai teka suba tengai. Tusing anut teken arah-arahae”
Terjemahan:
Nah Pan Balang Tamak, sekarang keluarkan uangmu untuk membayar dendamu
karena engkau dating kesiangan. Tidak sesuai dengan apa yang diinformasikan.
Pan Balang Tamak kemudian menjawab membela diri.
“Nden malu, ngudiang tiang dadi kena danda. Kaden arah-arahane i krama
tedun semengan tuun siape. Tiang ngelah siap tuah aukud tur sedeng makeem,
ento uling pelimunan baan tiang ngantos sing tuun-tuun. Sawatara jam dasa
mara tuun. Ditu lantas tiang mara majalan kal maboros ajak krama desane.
Dija tongos pelih tiange?”
Terjemahan:
Nanti dulu, kenapa saya kena denda. Pemberitahuannya kan warga kumpul
pagi hari ketika ayam pada turun dari tempat tidurnya. Saya punya ayam hanya
seekor itupun sedang mengeram, dari subuh saya sudah bangun menunggu
ayamku turun dari kandang (bembengan) tempat pengeramannya tidak
kunjung-kunjung. Kira-kira jam sepuluhan ia baru turun. Saat itu saya baru
berangkat untuk berburu bersama warga yang lain. Dimana letak kesalahanku?
Warga yang berkumpul pada saat itu tidak ada yang berani menjawab, karena
itu Pan Balang Tamak kembali menegaskan dirinya tidak bersalah dan desalah yang
patut membayar karena menyalahkan orang yang tidak bersalah. Lebih-lebih lagi mau
mendenda. Akhirnya desa pun membayarnya.
Wacana yang ada dalam teks di atas sesungguhnya sebuah kritik di dalam
kehidupan bermasyarakat pada saat itu. Kritik mengandung pengertian; kecaman yang
55
sering kali disertai dengan pertimbangan baik-buruk dan jalan ke luar (Tim,tt:388, Alwi,
dkk. 1976 200..). Satwa Pan Balang Tamak sebagai sebuah karya sastra tidak ubahnya
sebagai media pembelajaran dan memuaskan hati atau menghibur. Sejalan dengan apa
yang disampaiakna Horatius, seniman bertugas untuk docere dan delecture memberi
ajaran dan kenikmatan. Seni harus menggabungkan sifat utile dan dulce, bermanfaat dan
manis. Pembaca kena, dipengaruhi, digerakkan untuk bertindak oleh karya seni yang
baik (dalam Teeuw, 1984:51).
Zaman dahulu sarana untuk belajar secara formal seperti sekolah belum ada.
Masyarakat yang ingin meningkatkan kemampuan dalam menjalani kehidupan akan
belajar melalui karya sastra yang telah tersedia baik lisan maupun yang tertulis. Dahulu
sebelum sekolah sebagai lembaga formal ada, orang belajar hidup yang baik dan benar
melalui pemahaman sastra. Setelah membaca atau mendengarkan, batin mereka merasa
puas dan terhibur. Lebih-lebih lagi ada sesuatu yang diingat yang nantinya dapat dipakai
pedoman hidup dan tuntunan dalam menjalani kehidupan (Jirnaya, 2010: 6). Hal ini
sesuai dengan ajaran agama Hindu menuju kehidupan yang lebih baik melalui jalan
yang benar. Agama Hindu mengajarkan dan menuntun agar manusia tahu untuk apa ia
hidup, tahu tujuan hidupnya, dan tahu cara hidup (Cudamani, 1990: 11).
Kehadiran Satwa Pan Balang Tamak sebagai sastra lisan merupakan salah satu
acuan bagi masyarakat Bali tempat lahirnya karya sastra tersebut. Untuk mengungkap
ide atau gagasan dari pengarang Satwa Pan Balang Tamak memerlukan kecermatan dari
berbagai dimensi. Sejatinya Satwa Pan Balang Tamak sarat dengan kritik sosial antara
56
masyarakat dan pemimpin. Di dalam episode berburu hal itu nampak bahwa sebuah
kritik ditujukan kepada seorang pemimpin seperti uraian di bawah ini.
1) Seorang pemimpin harus tegas
Pan Balang Tamak tidak dapat disalahkan ketika terlambat berkumpul karena
arah-arahan (instruksi) dari prajuru bahwa krama (warga) berkumpul ketika ayam
turun dari tempat tidurnya (kandang, atap rumah, pohon, dan lainnya). Pan Balang
Tamak dikatakan sudah bangun pagi tetapi ayam satu-satunya belum juga turun karena
sedang mengeram. Turunnya sekitar pukul 10.00.
Seorang pemimpin tidak boleh memakai ukuran waktu seperti itu „turunnya
ayam‟. Bagaimana apabila warga tidak memiliki ayam? Apa yang akan dipakai
mengukur waktu atau kasus seperti Pan Balang Tamak. Dulu memamng belum ada alat
pengukur waktu berupa jam, akan tetapi masyarakat Bali memiliki pembagian waktu
secara tradisional, seperti ndag ai, seng kangin, jejeg surya, neduhang, seng kauh,
engseb. Seharusnya pembagian waktu itu yang dipakai sehingga meminimalisir
permasalahan yang terkait dengan waktu.
Jam sebagai penunjuk waktu secara modern sangat membantu mengurangi
permasalahan kesepakatan tentang waktu. Kenyataannya sampai saat ini masih sering
orang Bali membuat kesepakatan waktu memakai kata semengan, tengai, sanja, peteng.
Contoh: Mani semengan kramane gotong royong di pura „besok pagi warga akan
bergotong royong di pura.‟ Kata semengan memiliki rentang waktu kira-kira mulai jam
04.00 sampai jam 09.00. Jadi ada rentang waktu sekitar 5 jam, rentang waktu yang
cukup panjang, rentang waktu yang tidak bisa ditoleransi. Artinya warga yang datang
57
pukul 05.00 akan kasihan karena terlalu pagi. Warga yang datang pukul 09.00 tentu
akan dianggap terlambat dan masalah. Di sinilah seorang pemimpin harus tegas dan
jelas. Satwa Pan Balang Tamak sesungguhnya memberi pelajaran kepada seorang
pemimpin yang harus bersifat tegas. Ketidaktegasan seorang pemimpin hanya akan
menuai permasalahan.
2) Logika dan kemampuan berpikir
Anjing kecil, kurus, dan bulu rontok (gudig) yang dilempar ke semak berduri
oleh Pan Balang Tamak dan meraung kesakitan. Ia mengatakan anjingnya yang paling
galak serta menantang para warga apakah ada yang berani mencoba seperti anjingnya.
Semua warga tidak ada yang berani menerima tantangan Pan Balang Tamak sehingga
warga harus membayar atas kekalahannya kepada Pan Balang Tamak.
Kritik sosial yang disampaikan pengarang melalui episode ini adalah semua
warga harus sadar atas pentingnya pengetahuan. Pengetahuan mampu akan mengasah
kemampuan berpikir dan menuntun seseorang ke jalan yang lebih ringan dalam
menjalani kehidupan. Pengetahuan dalam konteks masyarakat Bali adalah sastra. Bagi
pembaca atau yang pernah mendengarkan cerita Pan Balang Tamak khususnya episode
ini akan berkomentar “masak amonto liun wargane bakat baana ngolok-olok tur sing
nawang kuluk gudig ane sengguhanga galak ken Balang Tamak!. „Masak begitu
banyaknya warga bisa ditipu dan tidak tahu anjing kurus dikatakan anjing galak oleh
Balang Tamak.‟
Apa yang dikatakan atau dirasakan pembaca seperti itu sesungguhnya indikasi
bahwa level berpikir warga masih di bawah Pan Balang Tamak. Perlu adanya
58
peningkatan diri untuk tidak henti-hentinya belajar. Lebih-lebih seorang pemimpin
seharusnya memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan warga biasa.
5.4 Episode Adu Sapi
Warga desa dan pemuka desa mulai kesal, malu, dan jengah atas ulah Pan
Balang Tamak. Tercetuslah ide membuat acara adu sapi dengan tujuan menjerat Pan
Balang Tamak agar dapat dikenai denda. Para prajuru desa disuruh menginformasikan
(mapangarah) ke semua warga tentang acara tersebut.
“Inggih krama desa samian, buin mani desane lakar ngadaang acara ngadu
sampi. Para krama apang ngaba sampi ane galak tur tandukne suba dawa.
Sampine ento lakar aduna. Nyen ane tusing ngaba sampi, lakar kena danda.
Keto masi sampin kramane engken ane suba matatu kanti sing ngidaang
maplawanan, ento kaadanin kalah. Sampine ane madan kalah ada masi yen
tusing ngelawan ulian ia takut tur melaib (jerih).”
Terjemahan:
Hai semua warga desa semua, besok desa kita akan mengadakan acara adu sapi.
Semua warga desa agar membawa sapi yang sudah galak serta tanduknya
panjang. Sapi itulah yang akan diadu. Barang siapa tidak membawa sapi, maka
ia akan didenda. Demikian pula sapi warga yang terluka sampai tidak dapat
melanjutkan pertandingan, akan dinyatakan kalah. Sapi yang juga dinyatakan
kalah adalah sapi yang tidak ada perlawanan karena takut dan melarikan diri.
Pan Balang Tamak hanya memiliki induk sapi betina yang sedang menyusui.
Artinya tidak mungkin akan bisa mengikuti pertandingan sapi karena sapi betina dan
anaknya (godel) masih kecil. Walaupun demikian, kesesokan harinya anak sapi (godel)
itu yang di bawa ke lapangan dan ditambatkan di sebuah pohon. Sebatas warga yang
meliriknya pasti tersenyum dan dalam hatinya berkata “rasain kamu Balang Tamak, kini
59
saatnya kamu membayar denda.” Pan Balang Tamak tenang-tenang saja. Kini giliran
Pan Balang Tamak dipanggil untuk maju beserta sapinya sementara sapi lawan telah
menunggu di tengah lapangan pertandingan.
Pan Balang Tamak melepas tali sapinya kemudian menuntunnya ke tengah
lapangan. Sapinya dari pagi belum dapat menyusu pada induknya. Terang saja anak sapi
Pan Balang Tamak kelaparan dan kehausan. Begitu dekat dengan sapi musuhnya,
langsung anak sapi Pan Balang Tamak menyusul dan mencari letak susu sapi yang
dikira induknya. Sapi jantan musuhnya merasa terganggu dan geli atas ulah anak sapi
Pan Balang Tamak akhirnya sapi jantan itu lari meninggalkan lapangan pertandingan.
Di situ pemuka desa memanggil Pan Balang Tamak, menjelaskan kesalahannya
sehingga harus membayar denda. Pan Balang Tamak tidak terima atas kesalahan yang
ditimpakannya apalagi harus membayar denda.
“Nawegang jero bendesa, napi kaiwangan tiange dadi jeg gegeson nagih
nendain tiang. Kaden arah-arahane ane madan menang yen musuhe sing
mapelawanan ulian matatu utawi takut kanti sampine ento magedi uling
kalangane. Ne jani nyekala, yadiastun sampin tiange nu cenik konden matanduk
dawa, musuhne jerih tusing ngelawan tur melaib. Patutne nikel tiang maan
ayahan pipis mapan sampin tiange cenik lawanang sampi jagiran. Sakewala
tiang sing nagih bayah nikel, kanggoang ambul biasane dogen.”
Terjemahan:
Maaf bapak ketua, apa kesalahanku kenapa tergesa-gesa mau mendendai saya.
Pemberitahuan syarat maupun kriteria permainan yang disampaikan oleh prajuru
yang dinyatakan menang jika sapi musuh tidak ada perlawanan lagi karena
terluka atau takut sampai sapi musuh pergi bahkan lari meninggalkan lapangan
pertandingan. Sekarang nyatanya walaupun sapi saya masih kecil dan tanduknya
belum panjang, musuhnya pergi tidak mengadakan perlawanan bahkan lari.
Seharusnya saya mendapat uang dua kali lipat karena sapi saya masih kecil
ditandingkan dengan sapi besar (jagiran). Tetapi saya tidak akan minta bayaran
dua kali lipat. Silakan bayar saya seperti biasanya saja.
60
Bendesa (kepala desa adat) serta warga yang lain tidak memiliki sanggahan lagi
dan merasa apa yang dikatakan Pan Balang Tamak itu benar. Akhirnya desa pun
membayar pada Pan Balang Tamak. Situasi ini tentu membuat rasa jengkel warga yang
lain semakin bertambah pada Pan Balang Tamak.
Lahirnya ide dari warga yang disetujui oleh pemuka desa karena ada rasa
dendam, jengkel, jengah, dan sejenisnya ketika warga dikalahkan oleh Pan Balang
Tamak dalam episode berburu. Tujuannya jelas untuk menjerat Pan Balang Tamak
setelah diketahui Pan Balang Tamak tidak memiliki sapi sesuai kriteria yang ditetapkan.
Dalam episode ini ada kritik sosial yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui
tokoh Pan Balang Tamak.
Sosok Pan Balang Tamak adalah sosok warga yang tergolong kurang mampu.
Pekerjaannya sebagai petani sambil memilihara seekor sapi. Profesinya ini memberikan
pengetahuan sampai ia memiliki pengalaman berdasarkan pengamatannya. Anak sapi
(godel) tidak mampu membedakan mana induknya ketika sudah lapar atau haus.
Seringkali di kandang Pan Balang Tamak ada anak sapi tetangga ikut menyusu ke
sapinya atau sebaliknya, anak sapinya hilang setelah dicari ternyata ada di tetangganya
sedang menyusu ke sapi tetangganya tersebut. Pengamatan dan pengalaman ini sangat
membantu dalam episode adu sapi.
Warga yang lain pasti banyak pula yang memilihara sapi, tetapi tidak pernah
memperhatikan seperti pengamatan Pan Balang Tamak. Begitu anak sapinya Balang
Tamak di lepas di tengah lapangan dalam keadaan haus, pasti akan mencari sapi yang
ada di sekitarnya dengan harapan akan menyusu. Karena sapi yang paling dekat saat itu
61
adalah sapi musuhnya, itu yang dikejar dan disusul dikira induknya sampai sapi jantan
merasa geli, terganggu, dan akhirnya pergi meninggalkan lapangan pertandingan (walk
out). Kritik sosial yang dimuat dalam episode adu sapi.
1) Bagi warga atau pemimpin hendaknya membuat program tidak berdasarkan emosi
tanpa memikirkan akibatnya.
2) Bagi warga ketika melakukan suatu pekerjaan apapun harus diamati sehingga
mengerti betul hal-hal yang terkait dengan pekerjaan itu. Suatu saat pengalaman itu
akan sangat berguna untuk ikut memacahkan suatu masalah yang terkait dengan
pekerjaan itu atau pekerjaan yang sejenis.
3) Seandainya ada warga yang memiliki pengetahuan tentang peternakan sapi seperti
pengetahuan Pan Balang Tamak, pasti akan menggagalkan sapinya Pan Balang
Tamak sebagai peserta kontestan. Kenyataannya tidak ada sampai diputuskan
sapinya Pan Balang Tamak sebagai pemenang.
5.5 Episode Pembangunan Pagar
Pimpinan desa tidak henti-hentinya menyusun strategi untuk menjerat Pan
Balang Tamak agar dapat dikenai denda. Pan Balang Tamak adalah sosok warga yang
memiliki perekonomian di bawah rata-rata penduduk di sana. Kebun hanya dimiliki
beberapa are saja. Berbeda dengan warga yang lain kebanyakan tergolong kayak arena
memiliki tebun cukup luas bahkan ada di beberapa lokasi. Suatu saat desa memiliki
program pembangunan agar semua yang memiliki kebun, kebunnya dipagar. Tujuannya
agar orang lain dan binatang piaraannya tidak bisa masuk ke tanah orang. Kembali
62
prajuru dari pintu ke pintu menyampaikan kepada warga tentang pembangunan tersebut
beserta sangsinya.
“Para krama ane ngelah tanah abian apang magehin tanahne. Nyen
kramane ane tusing magehin tanahne lakar kena danda. Yen ada anak
macelep ke abian anak len tusing morahan, wenang kadendain olih ane
ngelah tanahe. Keto masi sarwa ubuh-ubuhan anake yen kanti macelep ke
tegale, wenang kadendain olih ane ngelah tanahe.”
Terjemahan:
Semua warga yang memiliki tanah kebun agar segera memagari kebunnya.
Barang siapa yang tidak memagari tanah miliknya maka akan dikenakan denda.
Jika ada orang masuk ke kebun yanpa permisi pada pemiliknya, patut didendai
oleh pemilik tanah tersebut. Demikian pula jika ada binatang piaraannya sampai
masuk ke tanah orang lain, patut didendai oleh pemilik tanah.
Pan Balang Tamak memiliki secuil tanah kebun dekat pasar. Kalau program
desa diikuti tentu akan menyulitkannya karena ketiadaan uang untuk membeli bahan
pagar. Akhirnya Pan Balang Tamak memagari tanah kebunnya dengan lidi yang diambil
dari beberapa sapu lidi. Di kebun Pan Balang Tamak banyak tumbuh tanaman pulet
(sejenis perdu bunganya berduri dan mudah lepas ketika disentuh benda lain serta
menempel pada penyentuhnya). Tidak satu pun orang hirau bahwa tanahnya Pan Balang
Tamak sesungguhnya telah dipagari karena pagarnya hanya dari lidi. Itu pun
ditancapkan jaraknya agak jarang. Situasi ini tentu membuat warga yang lain merasa
senang karena dalam hatinya “sekarang giliran Pan Balang Tamak harus bayar denda
karena tidak memagari tanahnya”.
Pada suatu pagi hari Pan Balang Tamak terkejut dan jengkel karena di lahan
kebunnya ada kotoran manusia. Pan Balang Tamak berpikir tentang pelakunya dan
dipastikan orang yang sedang ke pasar kebelet buang air besar. Untuk itu ia
63
mengadakan penyelidikan ke pasar untuk mencari pelakunya. Tidak sulit baginya untuk
menemukan pelakunya karena ada orang sarungnya penuh dengan bunga pulet.
Akhirnya orang tersebut dilaporkan ke kepala desa dan disidangkan. Pelaku tersebut
mengaku buang air besar di tanahnya Pan Balang Tamak alasannya karena tanahnya
tidak dipagar. Hal ini disangkal oleh Pan Balang Tamak yang mengatakan tanahnya
telah dipagar dengan lidi karena ketiadaan biaya. Buktinya bisa dilihat beberapa lidi
tersebut jatuh bergelimpangan dan bahkan patah-patah. Disitulah Pan Balang Tamak
berkata.
“Jero Bendesa, manut kesalahan anake ene patutne tiang liu maan pipis
dandaan krana pagar tiange uuganga, macelep ke tanah tiange tusing moraan,
tur misi ngendig. Pokokne tiang nyerahang teken jero Bendesa.”
Terjemahan:
Bapak Kepala Desa, sesuai dengan kesalahan orang ini seharusnya saya banyak
memperoleh uang dendanya, oleh karena pagar kebun saya hancur, dia masuk ke
kebun tanpa permisi, dan berak lagi. Pokoknya saya menyerahkan sepenuhnya
ke bapak Kepala Desa.
Bapak Kepala Desa tidak bisa berbicara banyak karena permasalahannya
sudah jelas. Akhirnya orang itu dikenakan denda atas kesalahannya yang telah dirinci
tersebut. Pan Balang Tamak mendapat uang denda cukup lumayan. Kali ini jerat dari
warga untuk mengenai denda Pan Balang Tamak tidak berhasil, dan justru Pan
Balang Tamak yang menikmati uang denda.
Pengarang melihat fenomena di masyarakat ada sesuatu yang harus disikapi
oleh para pemimpin sebagai pemegang kebijakan. Kritik sosial pengarang melalui
episode ini ditujukan kepada warga maupun pemimpin.
64
1) Seorang pemimpin ketika ingin memutuskan suatu program pembangunan yang
muaranya berdasarkan kemampuan masyarakat, buatlah program yang bijak yang
tidak ada memberatkan warga. Keputusan itu harus diambil berdasarkan
musyawarah mufakat. Kemampuan warga yang paling rendah hendaknya itu yang
dipakai ukuran atau adakan subsidi silang.
2) Ketegasan pemimpin kembali dipentingkan, jangan sampai seperti episode ini
hanya ada instruksi semua warga harus memagari kebunnya. Kalau ada warga
yang tidak memagari kebunnya maka warga itu akan didenda. Di sini tidak ada
ketegasan warga harus memagari kebunnya dengan material apa. Artinya bisa
diartikan memagari dengan pagar apa saja yang penting dipagari. Jangan salahkan
warga ketika ada yang memagari kebunnya disesuaikan dengan kemampuannya.
Oleh karena ketakutan akan didenda ketika tidak mengikuti program desa.
Objek yang lain yang dimunculkan pengarang dalam episode ini adalah
adanya objek pasar. Pengarang mengkritisi pemuka desa atau siapapun sebagai
pengambil kebijakan agar memperhatikan fasilitas pasar yaitu toilet atau kamar kecil.
Bisa dibayangkan kalau ada warga sakit perut ingin buang air besar atau buang air
kecil. Mereka harus ke mana mencari tempat. Karena merasa tidak tahan (kebelet)
akhirnya mereka buang air kecil sembarangan seperti di got atau ditempat lain. Dari
segi kenyamanan pasar akan terganggu karena bau zat amoniak yang menyengat.
Demikian juga dari segi kesehatan karena dapat menyesakkan nafas para pelaku
pasar.
65
Pembangunan pasar tradisional semakin berkembang khususnya pasar
tradisional di Bali Jika diamati kini hampir setiap desa terdapat pasar tradisional
yang dikelola oleh desa pakraman atau desa adat. Fasilitas pendukung sering kurang
diperhatikan, seperti penyediaan lahan parkir, tempat sampah, dan kamar kecil (WC).
Walaupun sudah disediakan kamar kecil, seringkali kamar kecil tersebut kurang
bersih, terkadang tidak ada air, tidak ada gayung, dan bahkan airnya ngadat. Di sisi
lain di situ ada penjaga pemungut restribusi untuk penggunaan kamar kecil.
Seharusnya kebersihan kamar kecil tanggung jawabnya ada di pihak pengelola pasar.
Bukan hanya uang restribusinya saja yang dipentingkan. Hal ini yang dikritisi oleh
pengarang cerita Pan Balang Tamak dalam episode ini yang berisi insiden seseorang
sakit perut ketika di pasar dan orang tersebut berak di kebunnya Pan Balang Tamak.
Kebersihan pasar sangat terkait dengan kesehatan lingkungan (sanitasi).
Kalau ada orang berak sembarangan apalagi dekat pasar, di samping baunya tidak
sedap, juga akan menimbulkan penyakit. Lalat-lalat yang tadinya hinggap di tinja itu
bisa saja terbang dan hinggap di barang-barang dagangan seperti makanan. Kalau ini
terjadi, penyakit diare dan sejenisnya akan berjangkit di sana.
5.6 Episode Jajan Dodol Ketan Hitam (Iwel)
Suatu hari warga desa akan mengadakan rapat untuk membicarakan acara
gotong royong bersih-bersih di pura Desa, dan juga sambil membayar denda. Secara
iseng Pan Balang Tamak lewat dan masuk ke balai desa tempat rapat akan diadakan. Di
sana suasananya sepi sekali karena jarang anggota masyarakat yang berani datang ke
66
balai desa. Ia pulang menemui istrinya dan menyuruhnya membuatkan jajan dodol injin
(ketan hitam, dalam bahasa Bali disebut jajan iwel). kue ketam hitam itu dibuat
menyerupai tai anjing. Keesokan harinya pagi-pagi sekali jajan iwel itu dibawa ke balai
desa. akkan di kaki pilar kayu dan disirami sedikit air. Jajan itu lalu diletakkan di kaki
pilar kayu dan disirami sedikit air. Sepintas apa yang dibuat Pan Balang Tamak itu
persis kotoran anjing dan air yang dituangi di sisinya seperti kencingnya anjing.
Ketika tiba saatnya warga berkumpul di balai desa untuk rapat. Banyak warga
yang kaget dan menghindar jauh setelah di salah satu sendi tiang balai dilihat ada
kotoran anjing. Saat itulah Pan Balang Tamak berkata.
“Inggih krama desa, nyen bani naar tain kuluke ene, tiang lakar maang pipis.
Lamun tusing ada ane bani, tiang lakar naar sakewala para kramane apang
mayah teken tiang.”
Terjemahannya:
Wahai para warga desa, siapa yang berani makan kotoran anjing ini, saya
akan memberikan uang. Jika tidak ada yang berani, saya akan memakannya
akan tetapi warga harus membayar kepada saya.
Mendengar Pan Balang Tamak berkata seperti itu, semua warga merasa jijik, ada
yang meludah terus, ada yang sampai muntah, dan tidak sedikit yang mengumpat Pan
Balang Tamak.
“Wih cai Balang Tamak! Ngawag-ngawag bungut caine mapeta. Suba karwan
tain cicing orain timpale ngamah. Nah jani cai ane ngamah tain cicinge ento, ne
I krama lakar ngemaang pipis. Lamun tusing telah baan cai ngamah, cai patut
mayah danda teken I krama!”
Terjemahan:
Hai kau Balang Tamak! Sembarangan mulutmu berkata. Sudah nyata itu kotoran
anjing kau suruh wraga yang lain memakannya. Nah sekarang kamu saja yang
makan kotoran anjing itu, kami warga akan memberimu uang. Jika tidak habis
kau makan kotoran anjing itu, kamu patut membayar denda kepada warga.
Demikian kata-kata warga amat kasar karena sangat jengkel atas ulah Pan
Balang Tamak. Tantangan itu jelas diterima oleh Pan Balang Tamak dengan senang
67
hati. Dodol yang dikira warga kotoran anjing dilahap habis oleh Pan Balang Tamak.
Warga yang menyaksikan menjadi histeris jijik, bahkan tidak sedikit yang langsung
muntah menyaksikannya. Akhirnya sesuai dengan perjanjian, pimpinan desalah yang
membayar pada Pan Balang Tamak.
Pura bagi masyarakat Hindu di Bali merupakan tempat suci untuk pemujaan
kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan). Karena merupakan tempat suci, kesucian
pura harus menjadi perhatian umat dengan menjaga kebersihan. Apalagi status pura itu
sebagai pura desa yang seharusnya seluruh umat di desa itu menjaga kebersihan demi
kesucian pura itu. Membersihkan (mereresik) tidak harus menunggu odalan (upacara
rutin) yang datangnya enam bulan Bali (420 hari) sekali atau setahun sekali (840 hari).
Barangkali setiap bulan purnama secara bergilir kelompok (tempek) tertentu yang
mendapat tugas bersih-bersih. Tentu harus didahului dengan menghaturkan canang sari
atau pejati.
Usaha yang paling penting demi menjaga kesucian pura adalah memagari
pura. Manfaatnya cukup banyak ketika pura telah berpagar. Manfaat yang dimaksud
sebabagi berikut.
(1) Memberi batas wilayah kesucian pura. Masyarakat Hindu di Bali
melarang orang cuntaka, seperti salah satunya wanita datang bulan,
tidak boleh masuk ke areal pura.
(2) Menjaga agar areal pura tidak dimasuki hewan piaraan seperti babi
dan sapi. Ketika hewan itu masuk ke areal pura dianggap sebuah
68
pertanda buruk bagi desa dan desa harus menghaturkan sajen peneduh
panglempana atau guru piduka.
(3) Anjing walaupun tidak termasuk hewan yang cuntaka ketika masuk
ke areal pura, tetapi cukup merusak keindahan dan kesehatan karena
anjing tersebut seringkali berak di pura. Ini harus dimaklumi karena
anjing tidak bias membedakan tempat suci atau tidak.
(4) Meniadakan atau meminimalis orang yang tidak berkepentingan
masuk ke areal pura, seperti orang gila, anak-anak bermain, dan
pencuri prtatima.
Rasa kurang peduli terkait dengan kesucian, kesehatan dan keindahan
pura merupakan fenomena yang dilihat oleh pengarang cerita Pan Balang
Tamak. Masih ada pura yang dipagari sekedar saja, lebih-lebih lagi tidak
memakai pintu pagar. Jelas anjing sering lalulalang dan tentunya berak di pura.
Gagasan mengkritisi masyarakat atau pemuka desa dalam insiden jajan dodol
dikatakan kotoran anjing bagi pengarang Pan Balang Tamak dengan mulus dapat
dilaksanakan. Artinya karena suasana di pura selalu sepi, pura tidak berpintu
pagar, dan pagarnya rendah. Kondisi ini memang bisa diterima dengan akal
sehat anjing itu sering masuk ke areal pura sambil berak.
Seandainya warga memiliki daya nalar yang baik, mereka akan berpikir
tidak mungkin ada manusia berani makan kotoran anjing sekalipun ia orang gila.
Namun saying tidak ada satu pun warga yang berpikir seperti itu. Di sini lagi-
lagi persoalan pengetahuan dan pengalaman bagi setiap orang mutlak
69
diperlukan. Hal itu bisa diperoleh melalui belajar dan belajar terus. Kondisi
kelemahan di bidang pengetahuan yang bermuara pada nalar menjadi bahan
kritikan oleh pengarang cerita Pan Balang Tamak. Dengan kelemahan ini, warga
percaya bahwa jajan dodol itu kotoran anjing. Keluarlah uang warga untuk
membayar kekalahan dari tantangan Pan Balang Tamak.
5.7 Episode Kematian Pan Balang Tamak
Perilaku perbuatan Pan Balang Tamak dalam kehidupan bermasyarakat menjadi
pergunjingan warga bersama para pemimpin termasuk raja. Kini raja turun tangan
memutuskan bahwa Pan Balang Tamak harus dibunuh. Cara yang paling aman tanpa
meninggalkan jejak adalah dengan cara diracun. Raja menyuruh salah seorang
warganya menyiapkan racun yang paten/ampuh dan mematikan.
“Nah ne cai parekan, aba cetike ene tur pulang di caratan ane biasa anggone I
Balang Tamak nginem. Pejalan caine melahang apang silib, eda pesan kanti
ada anak nawang pejalan caine.”
Terjemahan
Nah kamu abdiku, bawa racun ini dan tuangkan ke kendi yang biasa dipakai
Balang Tamak untuk minum. Rahasiakanlah perjalananmu, jangan sekali sampai
ada orang lain tahu tentang perjalananmu.
Singkat cerita racun yang dituang ke dalam kendi tempat air minum Pan Balang
Tamak tanpa diketahui oleh Pan Balang Tamak air tersebut diminumnya. Pan Balang
Tamak tahu dirinya kena racun yang mematikan. Untuk itu ia menginstruksikan dan
berpesan kepada istrinya.
70
“Nah adi kurenan beli, beli suba lakar mati kena cetik. Mani lamun suba beli
mati, bangken beline wadahin peti pejang di jumahan meten. Ento barang-
barang arta branane dini di bale sakeneme pejang kerudungin kamben batike.
Gae ya apang lantang selantang ukudan beline. Ejukang sengwengan wadahin
sibuh pejang dini di tengah arta branane ane makerudung. Keto masi nyai dini
barange ene jangkutin. Eda pesan ngortaang kurenan ke rurunge suba mati”
Terjemahan
Nah engkau istriku, suamimu ini sudah akan mati terkena racun. Besok kalau
aku sudah meninggal, mayatku masukkan di dalam peti dan taruh di dalam
kamar. Barang-barang dan semua harta taruh di balai Sakenem (balai panjang
bertiang enam) tutup dengan kain batik. Atur tempatnya sehingga terbujur
panjang sepanjang tubuhku. Carikan sengwengan (kumbang) kemudian simpan
di dalam sibuh (batok kelapa gading) dan letakkan di dalam kerudungan barang-
barang itu. Demikian pula engkau tidur-tiduran di sini seolah-olah memeluk
diriku. Jangan sekali engkau bercerita atau menginformasikan ke jalan-jalan
bahwa suamimu telah mati.
Istri Pan Balang Tamak orangnya polos dan lugu. Ia tidak berani menampakkan
wajah duka walaupun sesungguhnya hatinya sangat bersedih akan ditinggal suami
selamanya. Kini Pan Balang Tamak telah meninggal. Semua instruksi suaminya
dilaksanakan. Seorang abdi raja diutus untuk mengecek keadaan Pan Balang Tamak dan
kemudian melaporkannya pada raja. Abdi tersebut melaporkan bahwa Pan Balang
Tamak masih hidup karena sempat didengar ngobrol-bgobrol santai dengan istrinya di
balai Sakenem sambil tidur-tiduran. Raja amat kaget karena menganggap racun itu tidak
dahsyat. Untuk membuktikan bahwa racun itu tidak bekerja dengan baik, maka racun
tersebut dicicipi oleh raja. Dalam hitungan menit raja meninggal karena kedahsyatan
racun tersebut. Suasana menjadi geger karena rajanya yang tidak terdengar berita sakit
tiba-tiba meninggal.
Sementara warga masyarakat disibukkan dengan berita kematian raja, ada dua
orang pencuri beraksi di rumah Pan Balang Tamak. Pencuri itu sempat bingung setelah
berhasil masuk ke rumah Pan Balang Tamak. Di satu sisi sudah terlihat ada sebuah peti
71
dan di tempat lain terlihat seonggok bujuran berselimut kain batik dan istri Pan Balang
Tamak berada di sisi bujuran tersebut. Suara kumbang (tambulilingan) yang ada di
dalam sibuh (tempurung kelapa gading) dan diletakkan di dalam bujuran tersebut, dikira
tangis istri Pan Balang Tamak sedang menangisi kepergian suaminya. Di atas telah
diceritakan bahwa bujuran yang diselimuti kain batik seolah-olah mayat, adalah harta
benda milik Pan Balang Tamak. Sedang peti tersebut isinya bukan harta benda, tetapi
mayat Pan Balang Tamak.
Dua orang pencuri tersebut akhirnya berkeyakinan bahwa peti tersebut adalah
harta benda. Peti ini dibawa kabur oleh pencuri tersebut. Setelah dirasakan tempat itu
sepi, kedua pencuri tersebut menurunkan peti untuk membukanya. Belum sempat
dibuka, ada bau busuk menyengat yang sesungguhnya bau mayatnya Pan Balang Tamak
yang telah membusuk. Tetapi kedua pencuri tersebut mengira dekat lokasi tersebut ada
bangkai binatang. Mereka sepakat pindah lokasi. Setiap pindah lokasi selalu mereka
mencium bau busuk yang dikira bau bangkai binatang. Akhirnya mereka memutuskan
untuk membawa peti tersebut ke pura. Dasar pemikirannya, tidak mungkin di pura ada
bangkai binatang apa lagi kotoran manusia.
Setelah tiba di pura, dibukalah peti tersebut. Alangkah kagetnya karena yang ada
di dalam peti tersebut ternyata mayatnya Pan Balang Tamak. Mereka lari meninggalkan
peti tersebut. Gegerlah warga ketika ada berita di pura yang disucikan tersebut ada
mayat. Akhirnya mayat itu diupacarai secara layak bersamaan dengan upacara Pelebon
(„pembakaran mayat‟) sang Raja.
72
5.8 Rangkuman
Episode demi episode di atas merupakan kritik sosial terhadap warga maupun
pemuka desa sebagai pengambil kebijakan. Tokoh Pan Balang Tamak dihadirkan dalam
cerita ini merupakan tokoh yang kritis. Apa yang dilakukan Pan Balang tamak
sesungguhnya memberikan penyadaran dan pembelajaran bagi penikmat karya sastra
bahwa kritikan itu penting. Kritik adalah sesuatu yang bernilai besar dan bahkan
merupakan salah satu nilai dasar eksistensi kemanusiaan. Di samping itu, kiritik juga
merupakan sumber dari segala kemajuan. Tidak akan ada kemajuan kalau seseorang
menutup diri terhadap suatu kritik (Kwant, 1975:4).
Seseorang entah siapapun dia dan apapun posisinya tidak boleh melihat fisikal
pengritiknya, tetapi yang paling penting apa isi dan relevansi masukan, pendapat, atau
kritiknya. Jangan sampai suatu pendapat atau kritik disampaikan oleh orang yang
rendah pendidikan, kurang mampu dalam perekonomian, kemudian dicemoh,
dilecehkan, dan bahkan dimusubi. Kasus cerita Pan Balang Tamak yang dihadirkan
sebagai tokoh kurang mampu selalu dicemoh dan dilecehkan bahkan dimusuhi. Lebih-
lebih lagi di awal cerita (episode berburu) warga termasuk pemuka desa dikalahkan
berlogika oleh Pan Balang Tamak.
Baik atau buruk prilaku anggota masyarakat tidak patut dikucilkan. Mereka
harus dirangkul diberikan pencerahan. Setiap oarng tidak ada yang sempurna
(paripurna), pasti memiliki sisi kekurangan dan kelebihan. Karya sastra merupakan
wahana komunikasi antara karya sastra, pengarang, dan pemabaca (masyarakat). Karya
sastra pula akan selalu memproyeksikan nilai yang terkandung pada saat karya sastra itu
73
diciptakan sesuai dengan fenomena yang ditangkap oleh pengarang, dan tidak sedikit
karya tersebut mengandung nilai yang abadi atau sepanjang zaman. Hal ini bisa terjadi
karena nilai yang terkandung di dalam karya sastra tersebut selalu terkait dengan sisi
sosial kehidupan manusia.
Satwa Pan Balang Tamak mengritisi sikap masyarakat atau pemimpin yang tidak
pernah mau menerima kritik dalam kehidupan sehari-hari. Wacana kritik sosial akan
dapat mengajak masyarakat untuk berpikir, merenung, memahami kekeliruan, dan
kemudian berniat untuk berbenah diri. Masyarakat yang dikritik tersebut secara sadar
akan berupaya mengubah prilaku mereka ke arah yang benar dan akan belajar dari
kekeliruan atau kesalahannya (Suwija, 2008:131-132). Fakta yang ada di masyarakat
adalah masih adanya arogansi kolektif mengucilkan seseorang atau sekelompok kecil
masyarakat yang dianggap memiliki level lebih rendah atau pun miskin. Penekanan
(pressing) pada kelompok minoritas atau kelompok yang lebih rendah dapat melahirkan
kelompok otoriterisme massa. Jadi kebenaran di dunia ini tidak ada, yang ada hanyalah
kekuatan (power). Siapa saja yang mampu menguasai kekuatan (politik dan uang),
maka dialah membangun kebenaran dan keadilan (Putra, 2004:103). Akhirnya muncul
gerakan kolektif tanpa akal sehat, tanpa pertimbangan benar salah, dan mengabaikan
aturan-aturan atau hukum yang telah jamak berlaku. Dengan kata lain, suryak siu (suara
terbanyak) atau briuk siu (kesepahaman bersama) identik dengan arogansi mayoritas
yang kurang mengutamakan kecerdasan dalam menyelesaikan konflik. Dalam hal ini
masyarakat (pembaca) harus bercermin pada Satwa Pan Balang Tamak sebagai sosok
individu simbol minoritas. Ia memiliki kecerdasan, akal, dan logika yang selalu menang
74
di dalam perdebatan dengan warga masyarakat atau pemuka desa. Seharusnya tidak
usah dilindas/dihantam dengan arogansi kolektif, tetapi perlu dikaji, dicermati perihal
perilaku, sikap, dan cara berfikir Pan Balang Tamak.
75
BAB VI SATWA PAN BALANG TAMAK SEBAGAI UPAYA DALAM
MENCIPTAKAN REVOLUSI MENTAL ANAK BANGSA.
6.1 Pengertian Revolusi Mental
Kata revolusi merupakan sebuah kata benda yang berarti „perubahan yang sangat
mendasar pada suatu bidang, peredaran bumi dan planet-planet lain dalam mengelilingi
matahari, perubahan politik atau pemerintahan yang dilakukan dengan kekerasan
(Kuper cs, 1996: 924, Moeliono, 2014: 901, Echol cs, 1996; 378).. Dalam kaitannya
dengan Satwa Pan Balang Tamak, maka revolusi diartikan dengan „perubahan yang
mendasar‟.
Mental diartikan sebagai „sesuatu yang berkenaan dengan kejiwaan, watak, otak,
batin perasaan yang tercermin dari sikap dan prilaku sehari hari‟ (Suryadipura, 1961:
222). Revolusi mental dalam Satwa Pan Balang Tamak diartikan: „perubahan pada
unsur kejiwaan, pola pikir, dan sikap secara mendasar‟.
Seperti telah dijabarkan dalam bab 5 di atas, bahwa Satwa Pan Balang Tamak
mengisahkan seorang warga masyarakat minoritas yang dikucilkan, tidak disenangi, dan
dicari-cari kesalahannya agar bisa didenda, diusir, bahkan dibunuh. Para pimpinan desa
yang didukung oleh sebagaian besar warga desa bertindak arogan dan sewenang-
wenang. Bahkan sampai tega membunuh dengan meracuni Pan Balang Tamak. Makna
itu akan dicoba untuk dikaji lebih jauh dengan membongkar makna yang telah tercermin
untuk ditemukan makna yang belum terungkap atau masih tertunda.
76
6.2 Motivasi Revolusi Mental Anak Bangsa Dalam Satwa Pan Balang Tamak.
Motivasi tidak lain merupakan proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan
ketekunan individu untuk mencapai tujuannya (Mitchel, 1997: 60-62).Tiga elemen
utama dalam definisi ini adalah; intensitas, arah dan ketekunan.Teori motivasi yang
paling terkenal adalah hierarki teori kebutuhan dari Abraham Maslow (Harper & Row,
1954: 57-67). Berdasarkan teori herarki kebutuhan Abraham Maslow, teori X dan Y
Duglas McGregor ataupun teori motivasi kontemporer, arti motivasi adalah „alasan
yang melandasi sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu‟. Seorang dapat
dikatakan memiliki motivasi tinggi dapat diartikan orang tersebut memiliki alasan yang
kuat untuk mencapai apa yang diinginkan dengan mengerjakan pekerjaan yang
sekarang. Jadi, motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk
melakukan atau mencapai suatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai rencana
atau keinginan untuk menuju ke kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup. Teori
motivasi dikelompokkan menjadi 5 kategori kelompok pendekatan seperti: teori
kebutuhan, teori penguatan, teori keadilan, teori harapan, dan teori penetapan sasaran.
Kebutuhan merupakan motivasi yang berfokus pada tiga kebutuhan yang
didefinisikan sebagai:
need for achievement (kebutuhan akan prestasi)
need for affiliation (kebutuhan akan hubungan sosial)
need for power (dorongan untuk mengatur) (Mc Clelland, 1961 dalam
Wikipidea.org/wiki/motivasi:4)
77
Kebutuhan berprestasi merupakan dorongan untuk melebihi, mencapai standar-
standar, dan berusaha keras untuk berhasil. Kebutuhan akan hubungan sosial sama
dengan kebutuhan berafiliasi, yaitu keinginan untuk menjalin suatu hubungan
antarpersonal yang ramah dan akrab. Kebutuhan yang merupakan dorongan untuk
mengatur merupakan kebutuhan untuk berkuasa, untuk membuat individu lain
berperilaku sedemikian rupa (baik, patuh, rajin, tekun), dan tidak berperilaku
sebaliknya. Sementara itu kebutuhan berafiliasi maksudnya adalah keinginan untuk
menjalin suatu hubungan antar personal yang ramah dan akrab
(Wikipedia.org/wiki/motivasi:3 of 7).
Area motivasi manusia ada empat seperti; makanan, cinta, seks, dan pencapaian.
Tujuan-tujuan yang mendasari motivasi ditentukan sendiri oleh individu yang
melakukannya. Individu dianggap tergerak untuk melakukannya agar tercapainya tujuan
yang diakibatkan motivasi intrinksik dankarenamotivasi ekstrinksik. Motivasi intrinksik
yakni keinginan beraktivitas atau meraih pencapaian tertentu semata-mata demi
kesenangan atau kepuasan dari melakukan aktivitas tersebut. Sementra itu motivasi
ektrinsik yakni kemauan mengejar suatu tujuan yang diakibatkan imbalan-imbalan
eksternal (dari luar diri) dan faktor internal (dari dalam diri)
Motivasi yang digunakan dalam membedah motivasi terciptanya revolusi mental
anak bangsa dalam Satwa Pan Balang Tamak, ini adalah teori motivasi kebutuhan dari
Maslow seperti yang sudah disebutkan di atas. Hal itu dilakukan karena teori tersebut
paling terkenal di antara teori motivasi. Di sisi lain, tiori itu dirasa cocok digunakan
untuk mengungkapkan motivasi yang menyebabkan terciptanya revolusi mental anak
78
bangsa dalam Satwa Pan Balang Tamak. Revolusi itu dapat dijabarkan seperti uraian di
bawah ini.
6.3 Revolusi Mental Pola Pikir Penguasa
Mental para pemimpin termasuk sang raja di dalam ceritera Pan Balang Tamak
diceritakan sebagai mental penguasa yang sangat tegas, menekan golongan minoritas,
dan mental negatif seorang pemimpin yang berpola pikir agar segala keinginan atau
aturan yang dibuatnya tidak ada yang berani menentangnya. Bila ada salah satu warga
yang menentangnya maka itu dianggapnya sebagai pembangkangan bahkan
pemberontakan. Orang yang berani menentang itu harus diupayakan agar didenda
seberat-beratnya. Bila memungkinkan bahkan, agar bisa diusir dari kampungnya. Sikap
mental pemimpin seperti itu tentu saja sangat bertentangan dengan ajaran agama dan
hak asasi manusia. Bila ada warga masyarakat yang melakukan kesalahan, menentang
kebijakan pemimpin, sebaiknya dicari akar penyebabnya. Sikap mental menentang dari
warga desa tentu ada penyebabnya. Penyebab yang dimaksud seperti: aturan yang tidak
jelas atau sangat memberatkan warga masyarakat, terlalu dibuat-buat, keputusan
pimpinan yang memihak, adanya sikap iri hati atau kecemburuan sosial, dan masih
banyak penyebab lain yang tidak perlu disebutkan satu persatu. Seorang pemimin
seharusnya bersikap bijak, mampu bersikap adil terhadap semua warganya, mampu
menciptakan kebahagiaan, ketentraman pada seluruh warganya, dan mampu memberi
pengayoman sehingga tidak ada rasa takut pada seluruh warga desanya. Sikap mental
seperti ini tidak dimiliki oleh para pimpinan desa. Untuk itu lewat cerita Pan Balang
79
Tamak, pembaca dihimbau dan diajak agar merubah sikap mental bila menjadi seorang
pemimpin. Cerita Pan Balang Tamak merupakan cermin yang sangat mendidik untuk
ditauladani dalam tata cara memimpin.
6.4 Revolusi Mental Masyarakat
Masyarakat merupakan sejumlah orang dalam kelompok tertentu yang
membentuk perikehidupan berbudaya. Masyararakat desa adalah kelompok orang-orang
yang menghuni suatu wilayah desa. Sikap mental suatu masyarakat yang terdiri atas
sejumlah orang-orang sangat beragam. Ada orang yang selalu berprilaku baik dengan
mengedapankan ajaran agama, etika atau bersikap susila. Pada sisi lain ada juga
masyarakat atau orang-orang yang memiliki sikap iri hati, cemburu, angkuh, sombong,
ingin menang sendiri, selalu mengaku benar, atau tidak mau disalahkan, tidak mau
disebut bodoh, jelek dan sejenisnya. Sikap mental yang jelek disebut amoral, sedangkan
sikap mental yang baik disebut susila/beretika atau bermoral.
Bertens (2011: 3-6) mengutip arti kata etika di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI 1998), mengatakan bahwa etika berarti: (1) „ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral‟ (2) „kumpulan azas
atau nilai yang berkenaan dengan akhlak‟, (3) „nilai mengenai benar dan salah yang
dianut suatu golongan atau masyarakat‟. Bertens lebih menyetujui arti etika seperti
yang ada di dalam KBBI edisi 1998 dibandingkan dengan arti yang diberikan pada
KBBI edisi 1991. KBBI edisi 1991 memberikan arti kata etika pada arti yang nomer
80
1 saja. Sedangkan arti ke 2 dan ke 3 dimasukkan sebagai arti kata etik. Dalam tulisan
ini pun arti kata etika yang diikuti sesuai dengan pendapat Bertens. Etika disini
diartikan sebagai „system nilai‟, filsafat moral‟, moral yang baik atau sikap mental
yang baik. Beretika/bermoral atau susila adalah sikap mental atau moral yang baik.
Susila merupakan kata yang berasal dari bahasa Sanskerta yang kemudian
dipungut menjadi bahasa Jawa Kuno, yaitu kata ṡila. Kata ṡila berarti: (1) „sikap
duduk dengan kaki bersilang‟, (2) „mengumpulkan sisa bulir-bulir padi di sawah
yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya‟ (3) „batu, karang‟, dan (4) berarti „tingkah
laku, karakter moral, tindakan, kelakuan‟ (Zoutmulder,2006:1089). Kata sila
mendapat prefix su- dalam bahasa Jawa Kuno, yang berarti „baik”. Susila berarti
„prilaku yang baik‟, atau „tingkah laku yang baik, atau prilaku yang
bermoral/beretika‟.
Dalam cerita Pan Balang Tamak tercermin bahwa, sikap mental anggota
masyarakat desa yang ada dalam cerita Pan Balang Tamak cendrung bermental negatif.
Artinya hampir seluruh anggota masyarakatnya memiliki sikap iri hati, kecemburuan
sosial kepada tokoh Pan Balang Tamak. Sikap mental yang tidak baik itu tergambar
pada diadakannya kegiatan yang bertujuan untuk mendenda atau menghukum Pan alang
Tamak dengan sejumlah uang. Bahkan bila memungkinkan bertujuan untuk mengusir
Pan Balang Tamak dari wilayah desanya. Kejelekan mental masyarakat yang lain
adalah, tidak adanya warga lain selain Pan Balang Tamak untuk mengritisi dan mencari
solusi yang etis pada aturan atau kegiatan yang diundangkan oleh penguasa desa.
Seluruh masyarakat menyetujuai apa pun aturan atau kegiatan yang dilakukan oleh
81
pimpinan/penguasa desa tanpa mencermatinya terlebih dahulu. Begitu pula ketika ada
niat untuk membunuh Pan Balang Tamak. Keputusan seperti itu sangat bertentangan
dengan hukum agama, lebih-lebih lagi pada masyarakat yang sangat kental
kepercayaannya pada hukum krama pala (hukum sebab akibat). Dalam kepercayaan
tentang hukum krama pala (sebab akibat), terdapat kepercayaan bahwa segala
perbuatan yang dilakukan manusia berdampak kepada timbulnya pahala (akibat/buah
perbuatan). Pahala yang ditimbulkan oleh sebuah perbuatan pasti akan terjadi. Pahala
itu bisa dinikmati ketika perbuatan itu baru habis dilakukan (prarabdha krama phala),
pasti dinikmati nanti setelah perbuatan itu agak lama dilakukan tetapi masih dalam
kehidupan saat ini, dan juga akan dinikmati setelah meninggal, dan bahkan setelah
menitis kembali sebagai manusia dalam kehidupan yang akan datang (sancita krama
phala). Sikap mental cemburu, iri hati, marah, dendam, dan lebih-lebih lagi sikap suka
membunuh, merupakan sikap yang lahir dari mental yang tidak baik alias jahat. Lebih-
lebih lagi pada karma membunuh yang sangat ditentang oleh ajaran agama apapun itu.
Sikap mental yang jahat seperti itu bahkan dianggap musuh yang sangat jahat yang ada
di hati manusia. Mental seperti itu sangat perlu dirubah atau direvolusi. Cerita Balang
Tamak menganjurkan masyarakat atau pembacanya untuk menghindari sikap mental
jahat, dan bahkan merevolusi sikap jahat seperti yang dimiliki oleh warga desa tersebut.
Memang diakui ajakan seperti itu secara tersurat tidak ada. Tetapi bila dicermati dan
dimaknai dengan seksama, maka ajakan seperti itu tersirat atau ada dalam cerita Pan
Balang Tamak. Ajakan yang tersirat itu menganjurkan agar pembaca jangan melakukan
atau memiliki sikap mental yang jahat seperti sikap mental warga desa Sunantara. Pan
82
Balang Tamak menginfirasi, bahkan mengajak warga untuk melakukan perbuatan baik.
Menentang aturan yang dibuat penguasa yang arogan, tidak sepantasnya dilakukan oleh
seorang pemimpin, atau tidak etis, dan tidak mendidik. Bila perlu merevolusinya walau
harus dibayar mahal seperti dibayar dengan nyawa. Kematian Pan Balang Tamak yang
disebabkan oleh arogansi dan sikap mental jahat penguasa dengan pengikutnya,
merupakan sebuah bentuk protes, bahkan revolusi agar mental warga masyarakat
menjadi baik dan kritis.
Bertolak dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Pan Balang Tamak ingin
mengajak warga masyarakatnya atau pembacanya merevolusi sikap jahat, sikap kurang
peduli terhadap sesama atau lingkungan, sikap dengki atau iri hati agar dilenyapkan dan
dirubah menjadi sikap kritis, sikap manut, dan sikap mental yang
beretika/bermoral/susila.
6.5 Revolusi Mental Sikap Malas
Sikap malas atau di Bali biasa disebut sifat rajas (Punyatmaja,2010:23),
merupakan musuh manusia yang ada di dalam diri. Dalam Kakawin Ramayana, sargah
1bait tiga disebutkan ragȃdi musuh maparȍ, ri hati ya tonggwanya tan madoh ring
awak. Artinya; „musuh utama manusia adalah hawa nasu yang berada di dalam diri dan
tidak jauh dari badan‟. Salah satu hawa nafsu itu adalah sifat malas. Sifat malas seperti
itu perlu diperangi dan dihilangkan dari diri manusia.
Pan Balang Tamak sebagai tokoh sentral dalam cerita ini, diceritakan sebagai
sosok tokoh yang sangat malas. Kemalasannya dibungkus dengan rapi melalui
83
kecerdikan yang diaktualisasikan dengan sikap kritis. Semua aturan yang dikeluarkan
pimpinan desa dikritisinya. Dicarinya kelemahan atau pun kelonggaran aturan tersebut.
Setelah diperolehnya kelemahan aturan yang dibuat oleh pimpinan desanya, maka ia
(Pan Balang Tamak) tidak segan-segan menggugat atau menentangnya. Hal itu terlihat
jelas pada seluruh episode dari cerita Pan Balang Tamak.
Dalam episode mencari kayu ke hutan, Pan Balang Tamak berangkat ke hutan
setelah hari siang. Ia berdalih pada ayam betinanya yang baru turun dari mengerami
telurnya pada waktu siang hari. Kesalahannya tidak diakui karena pemberitahuan yang
diperolehnya dari juru arah mengatakan bahwa, warga masyarakat harus berangkat
setelah ayam turun dari tempat tidurnya. Kapan ayam turun dari tempat tidurnya, atau
jam berapa ayam turun sebagai acuan keberangkatan ke hutan tidak ada. Jadi tidak jelas
masalah waktu keberangkatan. Walau pun Pan Balang Tamak berangkat sangat
terlambat, namun ia tidak bisa disalahkan. Orang yang bersalah adalah si pembuat
aturan atau pimpinan desa. Jadi pimpinan desalah yang patut di denda dengan uang.
Dalam episode lain, yaitu ketika disuruh menyumbang nasi aking (senggawuk)
Pan Balang Tamak membawa sanggah wug (sanggah rusak). Dalam hal ini Pan Balang
Tamak juga tidak salah, karena ucapan si pembawa berita (juru arah) kurang jelas
terdengar. Hal itu disebabkan karena juru arah oadalah orang cadel atau alat ucapnya
terganggu. Ketika dicek ulang ternyata ucapan juru arah kabur ketika mengucapkan kata
senggawuk yang juga kedengaran sanggah wug.
Pada episode berburu, Pan Balang Tamak pergi berburu dengan membawa
anjing kecil yang sangat kurus dan sakit-sakitan. Anjingnya ketika dilemparkan di
84
semak-semak berduri mengerang kesakitan. Erangan kesakitan itu disebutnya dengan
menggonggong. Ia tidak dapat disalahkan, karena dalam perburuan itu aturan besar
anjing dan model gonggongan anjing tidak ada. Batasan dari kalimat ; anjing galang
ngongkong tidak disebutkan. Pan Balang Tamak mengartikan bahwa anjing galak
ngongkong adalah anjing yang bersuara terus tiada henti. Ukuran besar-kecil anjing
dalam edaran pemberitahuan atau aturan yang disampaikan tidak ada. Hal itu
menyebabkan Pan Balang Tamak tidak bisa disalahkan.
Dalam episode memagari tanah, Pan Balang Tamak memagari tanahnya dengan
menggunakan lidi aren yang diikat dengan tali kupas (tali yang terbuat dari otot batang
pisang). Hal itu dilakukan karena, aturannya tidak mencantumkan bahan pagar, besar
pagar, dan tali pagar harus yang bagimana. Maksudnya adalah, bahan dan besarnya
pagar tidak disebutkan dalam aturan yang diedarkan. Bahan atau tali pengikat yang
digunakan sebagai pengikat pagar juga tidak disebutkan. Di sisi lain, aturan mendenda
orang yang memasuki tanah/pekarangan orang lain yang telah dipagari juga tidak jelas.
Aturannya adalah, setiap orang yang memasuki tanah orang lain tanpa ada izin
pemiliknya wajib dan harus didenda. Ketentuan seperti untuk apa orang memasuki
tanah orang, tidak ada. Alasan apa pun orang masuk ke tanah orang lain, tetap
merupakan pelanggaran dan harus didenda dengan uang. Contohnya seperti si pedagang
yang memasuki tanah pekarangan Pan Balang Tamak. Ia masuk hanya untuk buang air,
atau bukan mencuri. Ia buang air karena di pasar tradisional waktu itu belum ada
pasilitas wc atau tempat khusus untuk buang air. Si pedagang waktu itu kebelet, dan
kebetulan tanah Pan Balang Tamak sangat luas dan berisi tumbuhan dan perdu yang
85
sangat rimbun. Jadi sangat baik untuk dijadikan tempat buang air, karena tidak mungkin
aka nada orang yang melihatnya. Alasan kebelet untuk buang air dan tidak adanya wc
umum aebagai tempat buang air pada waktu itu tidak bisa diterima akal sehat. Dengan
kata lain, si pedagang tetap bersalah dan harus membayar denda sebanyak seribu uang
kepeng.
Akal kritis seperti yang dijelaskan di atas, sebenarnya merupakan tipu muslihat
atau akal bulus sebagai upaya untuk mencari pembenar. Namun dalam kenyataannya
terlihat jelas bahwa sikap malas Pan Balang Tamak itulah penyebab lahirnya tipu daya
licik. Ia menyembunyikan sikap malasnya melalui cara-cara dengan mencari kesalahan
orang lain, atau kelemahan aturan. Kelicikan dan kemalasan itu menyebabkan Pan
Balang Tamak dibenci oleh warga masyarakat lainnya, terutama pimpinan desa ( jero
bendesa). Kebencian warga masyarakat, merupakan cermin ketidaksenangan mereka
terhadap sikap malas dan licik. Masyarakat menginginkan sikap itu tidak ada pada
manusia, yang dalam hal ini adalah manusia-manusia warga desa Sunantara. Pan Balang
Tamak dipakai sebagai contoh tokoh malas.
Bila ceriteraPan Balang Tamak disimak dengan baik, terdapat makna tersebunyi
yang menghimbau dan mengajak warga masyarakat agar tidak memiliki atau
melenyapkan sikap malas seperti tokoh Pan Balang Tamak. Sikap atau sifat malas
merupakan sifat jelek yang pada akhirnya akan menjerumuskan manusia ke dalam
kesengsaraan dan bahkan bisa menyebabkan atau berpahala kematian.
Bertolak dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa siat malas merupakan
sifat jelek manusia yang bisa berpahala keburukan. Untuk itu sifat seperti itu perlu
86
direvolusi. Tujuannya tentu saja agar semua manusia dalam hal ini bangsa Indonesia
tidak memiliki sifat malas. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, cerita Pan Balang
Tamak mangajak, menyarankan agar anak bangsa selalu bersiat rajin, giat bekerja, mau
bergotong royong, dan memiliki kemauan belajar sepanjang hayat. Makna itulah yang
merupakan makna tertunda yang bisa didekonstruksi dalam kajian ini.
6.6 Revolusi Aturan yang Tidak Tegas
Revolusi pada aturan yang tidak tegas atau ketidaktegasan aturan, sebenarnya
telah tergambar dalam uraian revolusi sikap malas dan juga pada uraian tentang kritik
sosial. Seperti yang telah diuraikan dalam uraian terdahulu, bahwa hampir seluruh
episode yang ada dalam cerita Pan Balang Tamak, memuat aturan yang tidak jelas atau
tidak tegas. Semua aturan yang dibuat oleh pimpinan desa (jero bendesa), memiliki
pemahaman yang kabur, karena tidak jelasnya batasan-batasan aturan yang dibuat itu.
Ketidakjelasan batasan aturan itu membuat aturan tersebut sangat lemah sehingga bisa
diakali oleh Pan Balang Tamak. Pan Balang Tamak yang merupakan tokoh cerdik, kritis
namun sangat malas mampu menunjukkan kelemahan aturan yang dibuat oleh pimpinan
desa. Seharusnya setiap aturan dibuat setegas dan sejelas mungkin. Ketegasan dan
kejelasan batasan sebuah aturan yang dibuat tentu tidak akan memberi peluang untuk
menafsirkan lain atau menentang aturan tersebut.
Di sisi lain, aturan yang dibuat oleh pimpinan desa (jero bendesa) tidak
berdasarkan musyawarah mufakat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, aturan
87
tersebut dibuat sendiri oleh jero bendesa. Sebuah aturan yang dibuat sendiri atau
merupakan hasil pikiran sendiri tentu saja banyak kelemahan dibandingkan aturan yang
dibuat berdasarkan hasil pikiran orang banyak. Lebih-lebih lagi bila aturan yang dibuat
sendiri itu bertujuan untuk mencari kelemahan/kekurangan orang lain agar orang
tersebut terkena sangsi berupa denda uang. Contohnya seperti dalam episode adu
sapi/banteng. Aturan itu dibuat untuk mencari kelemahan atau kesalahan Pan Balang
Tamak agar bisa didenda. Waktu itu Pan Balang Tamak tidak mempunyai sapi
besar/banteng untuk diadu. Ia hanya mempunyai sapi betina yang sedang menyusui
anaknya. Mengetahui bahwa Pan Balang Tamak tidak mempunyai sapi besar untuk
aduan maka jero bendesa mengadakan lomba adu sapi. Namun sayang aturan yang
dibuatnya tidak menyebutkan bahwa sapi yang layak untuk diadu adalah, sapi yang
sudah besar, galak, dan jantan. Ketentuan lain seperti; batasan kalah-menang yang tidak
jelas. Sapi yang menang adalah sapi yang mengejar sapi musuhnya. Sapi yang kalah
adalah sapi yang ke luar dari arena pertandingan. Kalah-menang karena bertarung juga
tidak disebutkan. Yang penting, asal salah satu sapi yang diadu itu ke luar arena, maka
dinyatakan kalah.
Pan Balang Tamak mengetahui bahwa lomba adu sapi itu di buat untuk
mendenda dirinya karena ia tidak memiliki sapi aduan. Ia tahu bahwa sapi aduan adalah
sapi besar, kuat, jantan, dan galak. Tetapi karena aturannya tidak jelas maka ia mengadu
anak sapinya yang masih kecil dan masih menyusu. Sebelumnya ia mempersiapkan susu
induk sapinya dengan memerahnya lalu mewadahinya dengan kain tebal. Susu induk
sapi yang melekat pada kain itu lalu dibawanya ke arena adu sapi. Ketika giliran
88
sapinya beradu maka kain yang berisi cairan susu sapi itu dioleskannya pada sapi jantan
yang merupakan musuh sapinya. Ketika kedua sapi aduan dilepas, tentu saja anak sapi
Pan Balang Tamak akan mengejar sapi musuhnya yang berbau susu karena, disangka
sapi itu adalah induknya. Ssegede dan segalak apa pun seekor sapi, tidak mungkin akan
tahan bila ada anak sapi yang meminta susu padanya. Sapi itu akan menghindar agar
tidak disusui oleh anak sapi. Itulah yang menyebabkan sapi besar, musuh sapi Pan
Balang Tamak lari ke luar dari arena perlombaan karena, tidak tahan kemaluannya
dikira susu induk sapi. Ke luarnya sapi tersebut dari arena adu atau lomba sapi maka
dinyatakan kalah. Pemilik sapi yang kalah harus membayar taruhan sebesar seribu
keping uang bolong kepada pemilik sapi pemenang. Kebetulan sapi yang kalah itu
milik jero bendesa. Maka jero bendesa harus membayar kekalahan sapinya sebesar
seribu kepeng.
Bertolak dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa, aturan yang tidak jelas,
terlebih lagi aturan itu tidak berdasarkan musyawarah mufakat tentu sangat jelek.
Aturan untuk sebuah kegiatan yang bertujuan menjatuhkan teman atau orang lain tentu
tidak perlu dibuat dan dilaksanakan. Seorang pimpinan seyogyanya membuat kegiatan
demi kemaksuran dan kesejahteraan warganya, dan bukan untuk mencelakakan. Dalam
ceritera disebutkan bahwa pimpinan desa (jero bendesa) sengaja membuat lomba adu
sapi karena mengetahui Pan Balang Tamak tidak memiliki sapi besar sebagai sapi
aduan. Di samping itu, jero bendesa sengaja memilih sapi Pan Balang Tamak sebagai
lawan sapinya. Jero bendesa menyangka sapinya pasti menang. Itu berarti ia pasti
mememenangkan dan memperoleh uang taruhan yang sangat banyak. Adanya tujuan
89
yang tidak baik dalam lomba adu sapi, adanya sifat serakah jero bendesa yang ingin
memperkaya diri sendiri, menyebabkan jero bendesa tidak cermat dalam membuat
aturan dalam lomba adu sapi. Ketidakcermatan dalam membuat aturan, terlebih lagi
pembuatan aturan tersebut bertujuan mencari kesalah orang lain, dan juga demi
memperkaya diri sendiri, menyebabkan aturan tersebut tidak kritis, logis, dan tidak
tegas. Tidak tegas, logis, dan tidak kiritisnya aturan sangat perlu untuk decermati.
Pencermatan seperti itu dalam membuat sebuah aturan sangat perlu ditegakkan. Lebih-
lebih lagi lahirnya sebuah aturan haruslah berdasakan hasil pemikiran orang banyak
yang sudah disetujui bersama (berdasarkan musyawarah mufakat). Aturan seperti yang
ada di dalam ceritera Pan Balang Tamak sangat perlu direvolusi. Perubahan mendasar
yang dihasilkan dengan merevolusi aturan yang tidak jelas, tegas, logis, dan kritis pasti
akam membawa masyarakat pada kehidupan yang man, tentram, dan sejahtera.
Bertolak dari uraian di atas maka merevolusi mental aturan yang tidak tegas,
jelas, logis, dan tidak kritis sangat perlu dilakukan. Hal itu bertujuan demi kepentingan
sikap mental atau karakter anak bangsa pada masa mendatang.
6.7 Revolusi Mental Sikap Ceroboh.
Sifat ceroboh dimaksudkan dalam tulisan ini adalah suatu sikap mental yang
tidak hati-hati atau waspada, tidak cermat, dan tidak kritis. Sikap mental seperti itu ada
pada tokoh raja dalam cerita Pan Balang Tamak.
Dalam ceritera Pan Balang Tamak, diceritakanlah bahwa ketika raja mendapat
laporan dari jero bendesa, raja mempervayai begitu saja laporan itu. Raja tidak berfikir,
90
apakah laporan jero bendesa itu benar atau salah. Pada saat itu raja langsung
memerintahkan jero bendesa membunuh Pan Balang Tamak. Pembunuhan harus
dilakukan dengan cara tersembunyi, yaitu dengan cara meracuni Pan Balang Tamak.
Untuk itu diperintahkanlah seseorang untuk mencarikannya racun yang sangat
ampuh/manjur.
Di sisi lain, Pan Balang Tamak telah mengetahui dirinya akan diracun. Itulah
sebabnya ia berpesan kepada istrinya, bila ia nanti mati, agar mayatnya jangan buru-
buru dikubur. Pesannya berbunyi:
“Istriku, aku dengar kabar bahwa raja sangat marah dan akan meracuniku. Bila
seandainya nanti aku mati, tolong mayatku diatur seperti sikap orang meditasi.
Carikanlah beberapa ekor kumbang, lalu masukkan kumbang itu ke dalam sibuh
(tempurung kelapa yang bagian atasnya sudah dilubangi). Tutuplah sibuh itu agar
kumbangnya tidak bisa terbang dan masih tinggal di dalamnya. Kumbang itu pastilah
akan bersuara did ala sibuh karena ingin ke luar. Mayatku itu pasti akan ada yang
mengintipnya dan mereka menduga bahwa aku masih hidup dan sedang
bermeditasi/bermentra. Setelah itu pengintip mayatku pasti akan melaporkan kepada
raja bahwa aku masih hidup dan sedang bermentra. Bila kamu mendengar kabar bahwa
raja sudah meninggal, maka buru-buru buat air panas lalu mandikan mayatku dengan air
panas itu. Hal itu akan menyebabkan mayatku menjadi lemas dan mudah diluruskan
untuk diatur. Taruhlah mayatkua di dalam peti. Taruhlah peti itu di kamar yang biasa
kita pakai tempat menyimpan kekayaan kita. Barang-barang kekayaan kita semua, bawa
dan taruhlah di tempat tidur. Susunlah barang-barang itu agar menyerupai mayatku, lalu
tutuplah dengan kain. Di sana kamu harus menangisi kekayaan kita. Pastilah orang-
orang akan menduga bahwa kamu sedang bersedih dan menangisi mayatku. Mayatku
yang ada di dalam peti pasti akan dikira barang-barang kekayaan kita, dan itu akan
dicuri oleh para pencuri. Untuk itu jangan kamu hiraukan mayatku yang dicuri itu.
Kuharap kau jangan bersedih atas kematiankua, istriku!”.
Dugaan Pan Balang Tamak ternyata benar. Tidak berselang beberapa lama ia
pun meninggal terkena racun. Setelah ia meninggal, mayatnya diatur oleh istrinya,
dibuat mirip menyerupai orang yang sedang duduk berdoa. Dengungan sura kumbang
yang ada di dalam tempurung kelapa, dikira doa-doa/mentra-mentra yang sedang
91
diucapkan. Hal itu dilihat oleh mata-mata raja. Mata-mata itu langsung melaporkan hal
yang dilihatnya itu kepada raja. Mereka melaporkan bahwa Pan Balang Tamak
dijumpainya sedang berdoa/sembahyang.
Mendengar laporan para mata-mata (telik tanem) seperti itu maka raja berfikir
dan menduga bahwa dirinya telah ditipu oleh pemberi racun (cetik). Raja mengira
bahwa, pasti bukan racunlah yang diberikan itu. Raja juga marah kepada jero bendesa
yang dikiranya membohonginya. Raja lalu menyuruh patihnya untuk membunuh jero
bendesa dan si pemberi racun. Jero bendesa dan pemilik racunpun mati terbunuh saat
itu.
Kebetulan pada waktu itu, racun yang digunakan untuk meracuni Pan Balang
Tamak masih ada sisanya dan sisa itu disimpan oleh raja. Raja lalu mengeluarkan sisa
racun itu. Sisa racun yang dikira tidak ampuh itu lalu dijilat oleh raja untuk memastikan
apakah benda itu benar-benar racun atau bukan. Karena racun itu adalah racun yang
memang sangat ampuh, maka setelah dijilatinya, seketika itu pula wafatlah sang raja
tanpa bisa diberi pertolongan. Setelah raja wafat maga gegerlah seluruh kerajaan
mendengar berita kematian sang raja. Kematian raja itu menandakan bahwa raja sangat
ceroboh. Sikap ceroboh itulah yang menyebabkan kematiannya.
Bertolak dari ceritera di atas, dapat dikatakan bahwa, raja memiliki sikap yang
sangat ceroboh. Kecerobohan itu membuat orang lain seperti jero bendesa dan pemilik
racun mati tanpa alasan. Kecerobohan itu pula yang menyebabkan sebuah petaka pada
diri sang raja sehingga ia mengalami kematian. Jadi kecerobohan bisa menyebabkan
kehancuran dan bahkan kematian. Kematian yang disebabkan oleh kecerobohan diri
92
sendiri dalam pandangan orang Bali disebut dengan kematian yang sangat nista (salah
pati). Keadaan seperti itu tentu saja tidak diinginkan oleh masyarakat manapun juga.
Tokoh raja yang wafat karena sifat kecerobohannya dalam cerita Pan Balang Tamak
seperti memberi petunjuk atau infirasi kepada masyarakat (pembaca) agar jangan pernah
memiliki sifat ceroboh seperti yang dimiliki sang raja. Sifat seperti itu patut dibuang
jauh-jauh. Manusia dalam seluruh hidupnya haruslah selalu waspada, kritis dan mawas
diri. Sifat ceroboh merupakan pertanda kebodohan. Sifat seperti itu harus direvolusi
demi kebahagiaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
6.8 Rangkuman
Ceritera Pan Balang Tamak merupakan ceritera yang memberi isfirasi dan
motivasi (pembaca) untuk merevolusi sikap mental yang kurang baik. Sikap mental
penguasa yang arogan, ingin memperkaya diri dengan jalan tidak halal, membuat aturan
tanpa berdasarkan musyawarah mufakat, membuat aturan yang bertujuan mencelakakan
orang lain dengan mencari kelemahannya, sangat perlu dirubah dan dihilangkan. Begitu
pula dengan sifat malas, tidak mempunyai rasa kebersamaan, gotong royong, sikap
menentang, juga perlu direvolusi. Lebih-lebih lagi sikap mental yang ceroboh yang mau
memaksakan kehendaknya kepada orang lain sangat perlu dirubah bahkan direvolusi.
Sebab sikap mental semacam itu merupakan cerminan kebodohan, kelalaian yang pada
akhirnya membawa kehancuran, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, bangsa,
dan Negara.
93
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1) Pandangan masyarakat terhadap tokoh Pan Balang Tamak dalam ceritera itu bersifat
negatif. Pang Balang Tamak dipandang sebagai sosok tokoh yang malas, tidak mau
gotong royong, dan menentang segala aturan. Namun pada akhirnya mereka
menyadari bahwa Pan Balang Tamak merupakan sosok kritis, berjasa, bahkan
dianggap sosok yang perlu ditauladani. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat
memaafkan segala kesalahan Pan Balang Tamak semasa hidupnya. Masyarakat
mengupacarai mayat Pan Balang Tamak, lalu menyucikannya dalam bentuk tugu
peringatan, yang kelak kemudian hari dijadikan sebuah pelinggih, sebagai tempat
memuliakan dan memujanya. Roh sucinya disembah dan dipuja sebagai energy
penyembuh dan pemberi kesuburan.
2) Ceritera Pan Balang Tamak sangat baik dijadikan motivasi dalam merevolusi sikap
mental yang bersifat negatif. Sikap mental penguasa yang arogan, rakus, berat
sebelah, ceroboh sangat perlu direvolusi. Sif malas, tidak mau gotong-royong juga
harus direvolusi. Begitu pula segala aturan yang dibuat tanpa berdasarkan
musyawarah mufakat, lebih-lebih lagi bila aturan itu dibuat demi kepentingan satu
orang/golongan tertentu, harus direvolusi. Revolusi dilakukan demi lahirnya generasi
yang menjunjung tinggi kebenaran, kebersamaan yang pada akhirnya bermuara pada
94
sikap mental yang mengedepankan kebinekaan dalam mewujudkan persatuan dan
kesatuan bangsa dan Negara.
Saran
1). Pemerintah melalui para pemegang kebijakan agar lebih memperhatikan kearifan
lokal khazanah budaya bangsa. Sebab di dalamnya terkandung ajaran yang sangat
berguna bila dijadikan pedoman dalam mendidik atau menanamkan budi pekerti
untuk melahirkan generasi anak bangsa yang bermoral/berkarakter.
2) Ceritera Pan Balang Tamak perlu diteliti secara mendalam dan diungkap untuk
disajikan kepada khalayak ramai, agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bisa
dikenal dan dijadikan panutan. Setidaknya sebagai upaya pelestariannya.
95
DAFTAR PUSTAKA
ATL. 2009. “Pedoman Kajian Tradisi Lisan (KTL) Sebagai Kekuatan Kultural”.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan
Nasional.
Bagus. I Gusti Ngurah. 1971. Satua-Satua Sane Banyol ring Kasusastran Bali.
Singaradja; Lembaga Bahasa Nasional Tjabang Singaradja.
Dananjaya. James. 2002: Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain.
Jakarta: Grafiti.
Eagleton, Terry. 2010. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif.
Yogyakarta: Jalasutra.
Halliday, M.A.K dan Hasan R.1994. Bahasa, konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa
dalam Pandangan Semiotika Sosial, (Diterjemahkan oleh Barori, Ramlan).
Yogyakarta: Universitu Press
Hoed. Benny H. 2003. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
http://id.wikipedia.org/wiki/Motivasi. Motivasi - Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas.
Hutomo, Suripan Sadi. 1998c. Kedudukan Sastra Lisan Kawasan Timur Indonesia
Dalam Sastra Nusantara. Surabaya: IKIP Surabaya.
Hoed. Benny H. 2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Hunter, Thomas, M, dan Ni Wayan Pasek Ariati.2011. “Pan Balang Tamak Sebagai
Anti Pahlawan” Makalah seminar yang dibawakan dalam pertemuan
Himbasadi di Yogyakarta.
Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa, Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta:
Paradigma.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Kleden, Ignas. 1998. “Fakta Fiksi Dan Imajinasi Dalam Karya Sastra Dan Ilmu
Sosial” (dalam majalah Kalam). Yogyakarta.
96
Locke, E. A. 1968. Toward a Theory of Task Motivation and Incentive. Inggris:
Organizational Behavior and Human Performance
Mahardi. Made Lumbung. 2009. “Upacara Siat Ketipat Dalam Usaba Pala Di Pura
Balang Tamak Desa Pakraman Nongan Kecamatan Rendang Kabupaten
Karangasem”.
Maslow. Abraham. 1954. Motivation and Personality. New York: Harper & Row
McClelland, D.C. 1961. The Achieving Society. New York: Van Nostrand
Reinhold
Mertha.2008. ”Eksistensi Pura Balang Tamak di Desa Pakraman Beda Kecamatan
Tabanan Kabupaten Tabanan: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna” (Thesis S
2). Denpasar.
Moeliono, Anton M, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta:
Balai Pustaka.
Pariasih. Ni Nyoman. 2007. “Dekonstruksi Nilai Budaya Dalam Satwa Pan Balang
Tamak di Desa Kaba-Kaba Kabupaten Tabanan” (thesis Kajian Budaya).
Denpasar. S2 Kajian Budaya Universitas Udayana.
Piliang, Yasraf Amir. 2010. Hipersemiotika; Tafsir Cultural Studies Atas
Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Reffaterre, Michael. 1979. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana
University Press
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya:Citra
Wacana
Suparta, I Ketut. 2006. “Satua Bali Pan Balang Tamak”. Denpasar.
Tim Prima Pena, tt. “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia” – Yogyakarta: Gita Media
Press.
Vansina, Jan. 1985. Oral Tradision As History. United States of Amerika: The
University of Wisconsin Press.
Vikers, Adrian. 2012. Bali Tempo Doeloe. Depok: Komunitas Bambu.
97
Wastawa, I Wayan. 2012. “Identitas Tokoh Balang Tamak Dalam Teks Dan Konteks
Masyarakat Bali”. Disertasi (S3 Kajian Budaya). Denpasar. Kajian Budaya
Program Pascasarjana (S3) UNUD.
Naskah-Naskah:
Geguritan Pan Balang Tamak
Tutur Pan Balang Tamak
98
Lampiran Foto/gambar
Foto Palang Nama Pura Balang Tamak Nongan Karangasem.
Dok. I Nyoman Sukartha 2015 dan Gapura (bawah)
99
Atas. Pelinggih Bala Tama.
Bawah. Pelinggih (tengah) Pada Pura Balang Tamak.
100
Pelinggih Batara Bala Tama
Dok. I Nyoman Sukartha 2015
101
Foto Pelinggih di sebuah pura Bala Tama di Tabanan
102
Foto Pelinggih Ida Batara Bala Tama di Tabanan
103
Foto Pelinggih Batara Balang Tama Di Panghiangan
Dok I Nyoman Sukartha 2015
104
Foto Pelinggih Batara Belang Tamba (Balang Tama) Di Sebuah Tegalan Di Desa
Sangkanbuana Klungkung.
Dok. I Nyoman Sukartha 2015
105
Pelinggih Balang Tamak (yang diapit paying hitam) di Pura Tanayu Desa Angantaka
Badung
Foto Pelinggih Ratu Bala Tama di Belulang.
Dok. I Nyoman Sukartha 2015
106
Foto Ketua Tim Peneliti
Ketika sedang wawancara.