Download - FARTOK MAKALAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Prinsip dasar pengobatan adalah menghilangkan gejala dan juga
menyembuhkan penyakit serta jika mungkin mencegah timbulnya
penyakit. Dalam prinsip dasar ini tercakup pula ketentuan bahwa manfaat
klinik obat yang diberikan harus melebihi risiko yang mungkin terjadi
sehubungan dengan pemakaiannya. Untuk dapat menilai secara objektif
manfaat dan keamanan suatu obat diperlukan pengetahuan mengenai
metodologi uji klinik dan praklinik, yaitu suatu perangkat metodologi ilmiah
untuk menilai manfaat klinik suatu obat atau perlakuan terapetik tertentu
dengan memperhatikan faktor- faktor yang dapat memberikan pengaruh
yang tidak dikehendaki baik individual maupun populasi.
Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon
obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan
profil farmakokinetik (meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
eliminasi obat) calon obat. Hewan yang baku digunakan adalah galur
tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing, hewan-hewan
ini sangat berjasa bagi pengembangan obat.
Dengan menguasai materi topik ini, mahasiswa akan memperoleh
informasi yang bermanfaat untuk menilai secara kritis kemanfaatan dan
keamanan suatu obat baru.
1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
a. Pengertian uji praklinik dan uji klinik
b. Tujuan dan kepentingan uji praklinik dan uji klinik
c. Tahap-tahap pengembangan dan penilaian obat
d. Tahap-tahap uji klinik
e. Komponen uji klinik.
1.3 Manfaat dan Tujuan
1. Manfaat penulisan makalah ini yaitu :
Agar mahasiswa dapat mengetahui tujuan dilakukannya uji praklinik
dan uji klinik
2. Tujuan penulisan makalah ini yaitu :
Untuk memenuhi persyaratan akademis, yaitu untuk memenuhi tugas
mata kuliah Farmakologi Toksikologi I
2
BAB II
PEMBAHASAN
Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon
obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi) dan
profil farmakokinetik (meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
eliminasi obat) calon obat. Hewan yang baku digunakan adalah galur
tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa
uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi
pengembangan obat.
Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat
diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama
dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat,
menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia.
2.1 Tahap Pengembangan dan Penilaian Obat
1. Meniliti dan skrining bahan obat.
2. Mensintesis dan meneliti zat/senyawa analog dari obat yang sudah
ada dan diketahui efek farmakologinya
3. Meneliti dan mensintesis dan membuat variasi struktur
4. Dikembangkan obat alami dengan serangkaian pengujian yang
dilaksanakan secara sistematik, terencana dan terarah untuk
mendapatkan data farmakologik yang mempunyai nilai terapetik.
3
2.2 Pengembangan dan penilaian obat ini meliputi 2 tahap uji :
1) Uji Pra klinik
Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis)
terlebih dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologi pada hewan.
Sebelum calon obat baru ini dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan
waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik,
farmakokinetik, farmasetika, dan efek toksiknya pada hewan uji.
Serangkaian uji praklinik yang dilakukan antara lain:
a. Uji farmakodinamik
Untuk mengetahui apakah bahan obat menimbulkan efek
farmakologik seperti yang diharapkan atau tidak, titik tangkap, dan
mekanisme kerjanya. Dapat dilakukan secara in vivo dan in vitro.
b. Uji Farmakokinetik
Untuk mengetahui ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme dan
Eliminasi
Merancang dosis dan aturan pakai.
c. Uji Toksikologi
Mengetahui keamanannya
d. Uji Farmasetika
Memperoleh data farmasetikanya, tentang formulasi, standarisasi,
stabilitas, bentuk sediaan yang paling sesuai dan cara
penggunaannya.
4
2) Uji Klinik
Merupakan suatu pengujian khasiat obat baru pada manusia,
dimana sebelumnya diawali oleh pengujian pada binatang atau pra klinik.
Uji klinik Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan dan
gambaran efek samping yang sering timbul pada manusia akibat
pemberian suatu obat.
2.3 Tujuan Uji Praklink dan Uji Klinik
Uji klinik bertujuan untuk membuktikan atau menilai manfaat klinik
suatu obat, pengobatan, atau strategi terapetik tertentu secara objektif dan
benar. Dengan kata lain, uji klinik dimaksudkan untuk menghindari
pracondong/biaspemakai obat (prescriber), pasien, atau dari perjalanan
alami penyakit itu sendiri. Di samping itu, uji klinik harus dapat
memberikan jawaban yang benar (valid) mengenai manfaat klinik
intervensi terapi tertentu, jika memang bermanfaat harus terbukti
bermanfaat, dan jika tidak bermanfaat harusterbukti tidak bermanfaat.
Berdasarkan pembuktian melalui uji klinik ini, maka suatu obat,
pengobatan atau strategi terapetik tertentu baru dapat diterapkan secara
luas dalam praktek. Dalam pengembangan obat-obat baru, maka prinsip
penilaian obat atau calon obat didasarkan pada metode uji klinik secara
ketat.
2.4 Tahap-Tahap Uji Klinik
Uji klinik ini terdiri dari uji fase I sampai fase IV (Ganiswara, 1995) :
5
a) Uji Klinik Fase I
Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama
kalinya pada manusia. Yang diteliti disini ialah keamanan dan
tolerabilitas obat, bukan efikasinya, maka dilakukan pada sukarelawan
sehat, kecuali untuk obat yang toksik (misalnya sitostatik), dilakukan
pada pasien karena alasan etik Tujuan fase ini adalah menentukan
besarnya dosis maksimal yang dapat toleransi (maximally tolerated
dose = MTD), yakni dosis sebelum timbul efek toksik yang tidak dapat
diterima. Pada fase ini, diteliti juga sifat farmakodinamik dan
farmakokinetiknya pada manusia. Hasil penelitian farmakokinetik ini
digunakan untuk meningkatkan ketepatan pemilihan dosis pada
penelitian selanjutnya. Uji klinik fase I dilaksanakan secara terbuka,
artinya tanpa pembanding dan tidak tersamar, dengan jumlah subyek
bervariasi antara 20-50 orang.
Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada
sekelompok kecil penderita yang kelak akan diobati dengan calon
obat
Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara
terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif. Pada tahap
biasanya belum dapat diambil kesimpulan yang mantap mengenai
efek obat yang bersangkutan karena terdapat berbagai factor yang
mempengaruhi hasil pengobatan, misalnya perjalanan klinik penyakit,
keparahannya, efek placebo.
6
Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, perlu
dilakukan uji klinik komparatif yang membandingkannya dengan
placebo; atau bila penggunaan placebo tidak memenuhi syarat etik,
obat dibandingkan dengan obat standard yang telah dikenal. Ini
dilakukan pada akhir fase II atau awal fase III, tergantung dari siapa
yang melakukan, seleksi penderita, dan monitoring penderitanya.
Untuk menjamin validitas uji klinik komparatif ini, alokasi penderita
harus acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini
dsebut uji klinik acak tersamar ganda berpembanding.
Pada fase II ini tercakup juga penelitian dosis-efek untuk
menentukan dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya, serta
penelitian lebih lanjut mengenai eliminasi obat, terutama
metabolismenya. Jumlah subjek yang mendapat obat baru pada fase
ini antara 100-200 penderita (Ganiswara, 1995).
b ) Uji Klinik Fase II
Pada fase ini dicobakan pada pasien sakit. Tujuannya adalah
melihat apakah obat ini memiliki efek terapi. Pada fase II awal,
pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka karena masih
merupakan penelitian eksploratif, karena itu belum dapat diambil
kesimpulan yang mantap mengenai efikasi obat yang bersangkutan.
Untuk menunjukkan bahwa suatu obat memiliki efek terapi,
perlu dilakukan uji klinik komparatif (dengan pembading) yang
membandingkannya dengan plasebo; atau jika penggunaan plasebo
7
tidak memenuhi persyaratan etik, obat dibandingkan dengan obat
standar (pengobatan terbaik yang ada). Ini dilakukan pada fase II
akhir atau awal, tergantung dari siapa yang melakukan, seleksi
pasien, dan monitoring pasiennya. Untuk menjamin validasi uji klinik
komparatif ini , alokasi pasien harus acak dan pemberian obat
dilakukan secara tersamar ganda. Ini disebut uji klinik berpembanding,
acak, tersamar ganda. Fase ini terjakup juga studi kisaran dosis untuk
menetapkan dosis optimal yang akan digunakan
selanjutnya(Ganiswara, 1995).
c ) Uji Klinik Fase III
Pada manusia sakit, ada kelompok kontrol dan kelompok
pembanding.
Cakupan lebih luas baik dari segi jumlah pasien maupun keragaman
(misal : intra ras.
Setelah terbukti efektif dan aman obat siap untuk dipasarkan.
Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu
obat-baru benar-benar berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhit
fase II) dan untuk mengetahui kedudukannya dibandingkan dengan
obat standard. Penelitian ini sekaligus akan menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang (1) efeknya bila digunakan secara luas dan
diberikan oleh para dokter yang ‘kurang ahli’; (2) efek samping lain
yang belum terlihat pada fase II; (3) dan dampak penggunaannya
pada penderita yang tidak diseleksi secara ketat.
8
Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar penderita yang
tidak terseleksi ketat dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak
terlalu ahli, sehingga menyerupai keadaan sebenarnya dalam
penggunaan sehari-hari dimasyarakat. Pada uji klinik fase III ini
biasanya pembandingan dilakukan dengan placebo, obat yang sama
tapi dosis berbeda, obat standard dengan dosis ekuiefektif, atau obat
lain yang indikasinya sama dengan dosis yang ekuiefektif. Pengujian
dilakukan secara acak dan tersamar ganda.
Bila hasil uji klinik fase III menunjukan bahwa obat baru ini
cukup aman dan efektif, maka obat dapat diizinkan untuk dipasarkan.
Jumlah penderita yang diikut sertakan pada fase III ini paling sedikit
500 orang (Ganiswara, 1995).
d) Uji Klinik Fase IV
Uji terhadap obat yang telah dipasarkan (post marketing surveilance).
Memantau efek samping yang belum terlihat pada uji-uji sebelumnya.
Dug safety : drug mortality atau drug morbidity
MESO : Monitoring Efek Samping Obat
Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena
merupakan pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase
ini bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta
pola efektifitas dan keamanannya pada penggunaan yang
sebenarnya. Survei ini tidak tidak terikat pada protocol penelitian;
tidak ada ketentuan tentang pemilihan penderita, besarnya dosis, dan
9
lamanya pemberian obat. Pada fase ini kepatuhan penderita makan
obat merupakan masalah.Penelitian fase IV merupakan survey
epidemiologic menyangkut efek samping maupun efektif obat. Pada
fase IV ini dapat diamati (1) efek samping yang frekuensinya rendah
atau yang timbul setelah pemakaian obat bertahun-tahun lamanya, (2)
efektifitas obat pada penderita berpenyakit berat atau berpenyakit
ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau setelah penggunaan
berulangkali dalam jangka panjang, dan (3) masalah penggunaan
berlebihan, penyalah-gunaan, dan lain-lain. Studi fase IV dapat juga
berupa uji klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan
efek obat terhadap morbiditas dan mortalitas sehingga datanya
menentukan status obat yang bersangkutan dalam terapi.
Dewasa ini waktu yang diperluka untuk pengembangan suatu
obat baru, mulai dari sintetis bahan kimianya sampai
dipasarkan, mencapai waktu 10 tahun atau lebih.
Setelah suatu obat dipasarkan dan digunakan secara luas,
dapat ditemukan kemungkinan manfaat lain yang mulanya muncul
sebagai efek samping. Obat demikian kemudian diteliti kembali di
klinik untuk indikasi yang lain, tanpa melalui uji fase I. Hal seperti ini
terjadi golongan salisilat yang semula ditemukan sebagai antireumatik
dan anti piretik. Efek urikosurik dan antiplateletnya ditemukan
belakangan. Hipoglikemik oral juga ditemukan dengan cara serupa
(Ganiswara, 1995)
10
2.5 Komponen Uji Klinik
Bukti ilmiah adanya kemanfaatan klinik suatu obat tidak saja
didasarkan pada hasil yang diperoleh dari uji klinik tetapi juga perlu
mengingat faktor-faktor lain yang secara objektif dapat mempengaruhi
pelaksanaan suatu uji klinik.
Idealnya, suatu uji klinik hendaknya mencakup beberapa komponen
berikut,
1. Seleksi/pemilihan subjek
Dalam uji klinik harus ditentukan secara jelas kriteria-kriteria
pemilihan pasien, yakni:
a. Kriteria pemasukan (inclusion criteria), yakni syarat-syarat yang
secara mutlak harus dipenuhi subjek untuk dapat diikutsertakan
dalam penelitian. Meliputi antara lain kriteria diagnostik, baik klinis
(termasuk gejala dan tanda-tanda penyakit) maupun laboratoris,
derajat penyakit (mis. ringan, sedang atau berat), asal pasien
(hospitalatau community-based), umur dan jenis kelamin.
b. Kriteria pengecualian (exclusion criteria), merupakan kriteria yang
tidak memungkinkan diikutsertakannya subjek-\subjek tertentu dalam
penelitian.Sebagai contoh adalah wanita hamil. Hampir sebagian
besar uji klinik obat tidak memasukkan wanita hamil sebagai subjek
mengingat pertimbangan risiko yang mungkin lebih besar dibanding
manfaat yang didapat. Subjek-subjek yang mempunyai risiko tinggi
11
terhadap pengobatan/perlakuan uji juga secara ketat tidak dilibatkan
dalam penelitian.
Dalam pemilihan pasien hendaknya ditetapkan bahwa kriteria
diagnostik yang dipilih benar-benar merupakan indikasi utama
pemakaian obat yang diujikan.
2. Rancangan uji klinik
Untuk memperoleh hasil optimal dari suatu uji klinik perlu disusun
rancangan (design) penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah dan etis dengan tetap mengutamakan segi keselamatan
dan kepentingan pasien.Rancangan uji klinik disini dimaksudkan
untukuji klinik fase III, yang secara garis besar membandingkan dua
atau lebih perlakuan/pengobatan
untuk melihat kemanfaatan relatif maupun absolut suatu obat baru
dengan menggunakan satu (atau lebih) parameter pengukuran. Dua
rancangan uji klinik yang baku dan umum digunakan yakni rancangan
paralel/rancangan antar subjek (Randomized Controlled Trial/RCT-
Parallel Design) dan rancangan silang/rancangan sama subjek (RCT
cross over design).
Berikut dijelaskan secara ringkas kedua jenis rancangan tersebut.
a. Rancangan paralel/rancangan antar subjek (RCT-parallel design)
Prinsip dasar rancangan ini yakni, secara acak subjek-subjek yang
dilibatkan dalam penelitian dibagi dua atau lebih kelompok
pengobatan. Jumlah subjek dalam tiap-tiap kelompok pengobatan
12
harus seimbang atau sama. Masing-masing kelompok akan
memperoleh pengobatan/perlakuan yang berbeda,sesuai
dengan jenis obat/perlakuan yang diujikan. Selanjutnya hasil
pengobatan pada masing-masing kelompok dibandingkan (Gambar
1).pengobatan Apasien memenuhi pengacakan kriteria
pengobatan.
b. Rancangan silang/rancangan sama subjek (RCT-cross-over
design)
Pada rancangan ini setiap subjek akan memperoleh semua bentuk
pengobatan/perlakuan secara selang-seling yang ditentukan
secara acak. Untuk menghindari kemungkinan pengaruh
obat/perlakuan yang satu dengan yang lainnya, setiap subjek akan
memperoleh periode bebas pengobatan (washed-out period).
3. Jenis perlakuan atau pengobatan dan pembandingnya
Dalam uji klinik, jenis perlakuan/pengobatan dan pembandingnya
harus didefinisikan secara jelas. Informasi yang perlu dicantumkan
meliputi jenis obat dan formulasinya, dosis dan frekuensi pengobatan,
waktu dan cara pemberian serta lamanya pengobatan dilakukan. Untuk
menjamin kelancaran pelaksanaan uji klinik dan keberhasilan
pengobatan, hendaknya dipertimbangkan segi-segi teknis yang
berkaitan dengan ketaatan pasien (patients compliance) serta ketentuan
-ketentuan lain yang diberlakukan selama uji klinik. Sebagai contoh
disini adalah jika frekuensi pemberian terlalu sering (misalnya lebih dari
13
4 kali/hari) maka kemungkinan ketaatan pasien juga makin berkurang.
Penjelasan lain meliputi obat-obat apa yang boleh dan tidak boleh
diminum selama uji berlangsung. Perlakuan pembanding juga harus
dijelaskan, apakah pembanding
positif (obat standard yang telah terbukti secara ilmiah kemanfaatannya)
atau negatif (plasebo). Mengingat bahwa plasebo bukanlah obat, dalam
arti tidak memberi efek terapetik, maka pemberian plasebo tidak
dianjurkan untuk penyakit-penyakit yang dapat berakibat fatal dan
serius.Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa pembanding
positif hendaknya merupakan obat pilihan pertama (drug of choice) dari
indikasi yang dimaksud. Sebagai contoh, jika obat baru yang diuji
indikasikan untukmengobati tifus abdominalis, maka pembandingnya
(kontrol positif) adalah kloramfenikol (drug of choice untuk tifus).
4. Pengacakan (randomisasi) perlakuan
Randomisasi atau pengacakan perlakuan mutlak diperlukan dalam
uji klinik terkendali (randomize-controlledtrial-RCT), dengan tujuan
utama menghindari bias (pracondong). Dengan pengacakan sebelum uji
klinik maka,setiap subjek (pasien) akan memperoleh kesempatan yang
sama dalam mendapatkan perlakuan/pengobatan. Dengan kata lain
setiap subjek mempunyai peluang yang sama untuk mendapatkan obat
uji atau pembandingnya. subjek-subjek yang memenuhi kriteria
pemasukan akan terbagi sama rata dalam tiap kelompok perlakuan, di
mana ciri-ciri subjek dalam satu kelompok praktis seimbang. Dengan
14
adanya pengacakan sebelum perlakuan/uji klinik maka penilaian
kemanfaatan obat uji dan pembandingnya dapat dijamin seobjektif
mungkin.
5. Besar sampel
Salah satu pertanyaan penting yang perlu dipertimbangkan dalam
uji klinik adalah besar sampel atau jumlah subjek yang diperlukan dalam
uji klinik. Beberapa faktor berikut perlu dijadikan salah satu
pertimbangan dalam penentuan jumlah sampel.
1. Derajat kepekaan uji klinik
Jika diketahui bahwa perbedaan kemaknaan klinis antara 2 obat
yang diuji tidak begitu besar, maka diperlukan jumlah sampel yang
besar.
2. Keragaman hasil.
Makin kecil keragaman hasil uji antar individu dalam kelompok yang
sama, maka makin sedikit jumlah subjek yang diperlukan.
3. Derajat kebermaknaan statistik.
Makin besar kebermaknaan statistik yang diharapkan dari uji klinik,
maka makin besar pula jumlah subjek yang diperlukan.
Salah satu contoh cara penghitungan besar sampel antara lain,
apabila kita ingin membandingkan 2 jenis obat, A dan B, di mana
diperkirakan bahwa prosentase kesembuhan setelah pemberian obat
A adalah 95%, sementaraprosentase kesembuhan pada pemberian
15
obat B 90%. Dengan menentukan (kesalahan tipeI) dan (kesalahan
tipe II), maka digunakan cara penghitungan sbb :
dimana :
n =jumlah sampel per perlakuan
P1=prosentase keberhasilan yang diharapkan dari perlakuan 1,
misalnya pada contoh diatasadalah 95%
P2=prosentase keberhasilan yang diharapkan dari perlakuan 2,
misalnya pada contoh diatas adalah 90%
α= kesalahan tipe I, misalnya 0,05
β= kesalahan tipe II, misalnya 0,1f (α, β) = 10,5
Maka jumlah sampel per perlakuan yang diperlukan adalah, 578
pasien, Sehingga jumlah sampel keseluruhan = 578 x 2 = 1156
atau dibulatkan menjadi 1200.
6. Penyamaran/pembutaan (Blinding)
Yang dimaksud dengan penyamaran di sini adalah merahasiakan
bentuk terapi yang diberikan. Dengan penyamaran, maka pasien
dan/atau pemeriksa tidak mengetahui yang mana obat yang diuji dan
yang mana pembandingnya. Biasanya bentuk obat yang diuji dan
pembandingnya dibuat sama. Tujuan utama penyamaran ini adalah
untuk menghindari ‘bias’ (pracondong) pada penilaianrespons terhadap
obat yang diujikan. Penyamaran dapat dilakukan secara:
16
N (per kelompok) = P1 X (100−P1)+P2 X (100−P2)
(P1−p2)2x f (α , β)
Single blind, jika identitas obat tidak diberitahukan pada pasien.
Double blind, jika baik pasien maupun dokter pemeriksa tidak
diberitahu obat yang diuji maupun pembandingnya.
Triple blind, jika pasien, dokter pemeriksa maupun individu yang
melakukan analisis tidak diberitahu identitas obat yang diuji dan
pembandingnya.
Dengan teknik penyamaran/pembutaan ini bukan berarti tidak ada
kontrolnterhadap pelaksanaan uji klinik. Kesehatan dan keselamatan
pasien tetap dipantau sepenuhnya oleh penanggung jawab medik,
sehingga sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diharapkan (adverse
effects) dapat segera dilakukan penanganan secara medik.
7. Penilaian Respons
Penilaian respons pasien terhadap proses terapetik yang diberikan
harus bersifat objektif, akuratdan konsisten. Oleh sebab itu respons
yang hendak diukur harus didefinisikan secara jelas. Sebagai contoh
jika yang diuji obat antihipertensi, maka penurunan tekanan darah
hendaknya diukur secara objektif (dengan alat ukur yang sama,
misalnya sphigmomanometer air raksa dengan satuan mmHg) oleh
pemeriksa yang sama, dan dengan metode serta kondisi yang sama
pula.
Empat kategori utama yang umum digunakan untuk menilai respons
terapetik adalah:
1) Penilaian awal (baseline assessment) sebelum perlakuan.
17
Sesaat sebelum uji dilakukan, keadaan klinis hendaknya dicatat
secara seksama berdasarkan parameter-parameter yang telah
disepakati. Sebagai contoh adalah tekananndarah, yang hendaknya
telah diukur sesaat sebelum uji klinik dimulai.
2) Kriteria-kriteria utama respons pasien.
Disini indikasi utama pengobatan merupakan kriteria utama yang
harus dinilai. Jika yang diuji obat analgetik-antipiretika, maka kriteria
utama penilaian adalah penurunan panas, terjadi tidaknya kejang
atau gejala lain sebagai manifestasi demam, dan sebagainya.
3) Kriteria tambahan.
Suatu uji klinik tidak saja menilai kemanfaatan suatu obat/perlakuan,
tetapi juga menilai segi keamanan pemakaiannya. Untuk itu
diperlukan kriteria tambahan. Dengan kriteria tambahan ini kita dapat
menilai apakah obat yang diuji disamping memberi kemanfaatan
klinis yang besar juga terjamin keamanannya. Kriteria tambahan ini
umumnya berupa efek samping, mulai derajat ringan sampai berat,
baik yang mengancam kehidupan (lifethreatening) maupun tidak.
4) Pemantauan pasien.
Mengingat keberhasilan uji klinik (secara khusus) maupun terapetik
(secara umum) akan sangat ditentukan oleh ketaaan pasien, maka
faktor-faktor yang mempengaruhi ketaatan pasien untuk berperan
serta dalam penelitian hendaknyadapat dikontrol sebaik mungkin.
18
8. Analisis dan interpretasi data
Analisis data dan interpretasi hasil suatu uji klinik sangat tergantung
pada metode statistika yang digunakan. Sebagai contoh, jika kriteria
untuk penilaian hasil diekspresikan dalam bentuk "ya" atau "tidak"
(misalnya sembuh-tidak sembuh; hidup-mati; berhasil-gagal) maka
salah satu uji statistikanya adalah kai kuadrat (Chi-square). Untuk
menguji ada tidaknya perbedaan angka rata-rata (mean) antara 2
kelompok uji, maka digunakan uji-t (Student’s t-test). Metode statistika
yang akan digunakan untuk analisis data uji klinik harus sudah disiapkan
saat pengembangan protokol, untuk menghindari ketidaktepatan uji
statistika dan interpretasi hasil.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat
diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama
dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat,
menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada
manusia.
2. Cara yang digunakan untuk mengetahui tingkat keamanan obat yaitu
melalui uji praklinik dan uji klinik.
3. Tidak setiap uji klinik yang dipublikasi bisa begitu saja diterima dan
diterapkan dalam praktek, oleh karena sering hasil yang dilaporkan
tidak berdasarkan pada metodologi yang diperlukan. Menilai hasil
suatu uji klinik, sebenarnya adalah menilai apakah prinsip-prinsip
metodologi uji klinik atau komponen-komponen yang diperlukan telah
dipenuhi.
3.2 Saran
Dengan dilakukannya uji praklinik dan uji klinik dari suatu sediaan
obat, maka sangat diharapkan partisipasi dari semua mahasiswa maupun
farmasis mampu memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini dalam
dunia kefarmasian, khususnya dalam penemuan obat-obat baru.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswara, S.G., Setiabudi, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi (Editor).1995.Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.. Bagian Farmakologi FK UI: Jakarta
Hoan Tan Tjay,drs & Kirana Rahardja. 2003. Obat-obat penting, Khasiat, penggunaan dan efek sampingnya : Elexmedia Computindo
Katzung.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3.EGC: Jakarta.
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/01/09/uji-klinik-51098.html
http://jendelafarmasi.blogspot.com/2011/09/farmakologi.html
http://healthcare-pharmacist.blogspot.com/2011/06/pengembangan-dan-
pengujian-fitofarmaka.html
21