HAK POLITIK MANTAN NARAPIDANA KORUPSI
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
AHMAD NUBLI
NIM: 1115045000031
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA ISLAM (SIYASAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1441 H
i
ii
s
LEMBAR PERNYATAAN
iii
iv
ABSTRAK
Ahmad Nubli, Nim 11150450000031, HAK POLITIK MANTAN
NARAPIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Program Studi Hukum Tata
Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M. ix + 63 Halaman.
Penelitian ini mengunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan
pendekatan komparatif. Penulis mengkaji hak politik mantan narapidana korupsi
di Indonesia dalam pandangan hukum positif, HAM, dan hukum serta moralitas
dalam Islam .
Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran secara umum mengenai
perlindungan Hak Asasi Manusia dalam bidang politik menurut perspektif HAM
dan Hukum Islam, serta untuk mengetahui bagaimana partisipasi mantan
narapidana korupsi pada pemilihan legislatif. Sumber data yang digunakan dalam
penulisan ini menggunakan data primer dan data sekunder.
Hasil dari penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut; Pertama, hak
politik mantan narapidana korupsi di Indonesia tidak dibatasi oleh undang-undang
dan Undang-undang Dasar 1945, meskipun oknum tersebut terjerat beberapa kali
dalam kasus korupsi. Ketika telah menyelesaikan masa hukumannya ia masih
dibolehkan lagi untuk mencalonkan diri kembali. Kedua, implikasi setelah
dicabutnya PKPU No. 20 tahun 2018 dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah
Agung No 46P/HUM/2018 sebagai legistimasi, bahwa mantan narapidana korupsi
tetap diperbolehkan untuk berkontestasi dalam pemilu 2019.
Kata Kunci: Hak politik, Mantan narapidana, Korupsi
Pembimbing : Dr. Rumadi, M.Ag.
Daftar Pustaka : 2003 s/d 2019
v
بسماللالرحمنالرحيم
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat ALLAH SWT karena berkat
rahmat dan keridhaan-Nya, serta Shalawat kepada baginda Nabi Muhammad
SAW, maka penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Hak Politik
Mantan Narapidana Korupsi di Indonesia” dengan baik. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Srata Satu (S1) di
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan support dari berbagai pihak,
maka penulis tidak akan dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Pada
kesempatan ini penulis meyampaikan ucapan terima kasih dan pengormatan
sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, serta para
Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., dan Ibu Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag, M.Si., Ketua dan
Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan
Hukum. Atas jasa-jasa beliau yang turut membuat penulis bersemangat untuk
menjadi mahasiswa yang unggul dan bermanfaat, selalu mendukung penulis
di tengah-tengah kesibukannya serta memotivasi penulis untuk secepatnya
memyelesaikan penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA., Dosen Penasehat Akademik yang
tak kenal lelah membimbing penulis serta mendampingi penulis dengan
penuh keikhlasan dan kesabaran sampai pada tahap semester akhir di Fakultas
Syariah dan Hukum tercinta ini, khususnya pada penyelesaian skripsi penulis.
5. Bapak Dr. Rumadi M.Ag. Selaku pembimbing skripsi penulis yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan segala kemudahan hingga
terselesaikannya skripsi ini.
vi
6. Dosen-dosen Hukum Tata Negara, atas ilmu yang telah diberikan. Semoga
ilmu yang diberikan merupakan bekal yang bermanfaat bagi penulis, serta
dosen-dosen yang mengajarkan ilmunya kepada penulis, diberkati dan
diberikan perlindungan oleh Allah SWT.
7. Orang tua tercinta, Ayah dan Ibuk, adik-adik serta keluarga besar penulis
yang senantiasa memberikan doa, dukungan serta ketulusan cinta dan kasih
sayang yang tak terhingga. Pencapaian ini dengan bangga kupersembahkan
untuk kalian.
8. Kepada seluruh keluarga besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tak bisa
penulis sebutkan satu persatu, terima kasih untuk segala dukungannya kepada
penulis.
9. Kepada Dyan Chlaudina Khaira, terima kasih telah membantu dan mensuport
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Kepada Kanda Muhammad Ihsan Togar yang telah memberikan bimbingan
dan pengetahuan serta ide-ide dalam membuat proposal hingga skripsi.
11. Kepada teman-teman Hukum Tata Negara angkatan 2015. Terkhusus kepada
Azka Febriawan, saudara seperantauan yang telah membantu berjuang dalam
proses penyelesaian skripsi ini, dan kepada Muhammad Ridwan yang
memberikan masukan kepada penulis, dan pastinya sahabat-sahabat penulis
lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu .
12. Kepada AMR (Asosiasi Mahasiswa Ar-Rasuli) terkhusus kepada teman
penulis Ifnu Rusdi, dan Fauzan Azima yang memberikan fasilitas dan
bantuan dalam penyelesaian skripsi, serta teman-teman AMR lainnya yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
13. Seluruh keluarga , IMTI Jabodetabek, HMPS HTN UIN Jakarta, dan keluarga
besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
vii
Terimakasih atas segala bantuan yang telah diberikan semua pihak kepada
penilus, semoga bantuan yang telah diberikan mendapatkan pahala dan balasan
oleh ALLAH SWT. Semoga skripsi ini bermanfaat terkhusus kepada penulis dan
bagi pembaca pada umumnya.
Ciputat, 01 Desember 2019
4 Rabi’ul Akhir 1441 H
Ahmad Nubli
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN …………………………………………. i
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………. ii
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………...……. iii
ABSTRAK ………………………………………… iv
KATA PENGANTAR ………………………...………………. v
DAFTAR ISI …………………………………..…….. viii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………… 1
B. Perumusan Masalah …...…..………………………………… 3
C. Pembatasan Masalah ................................................................. 3
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian …………………………………….... 4
1. Tujuan Penelitian ………………...………………………. 4
2. Manfaat Penelitian .………………………………………... 4
E. Review Kajian Terdahulu ............………………………………… 4
F. Metode Penelitian …….………………………………….. 8
1. Jenis dan Sifat Penelitian ……..……………………………...….. 8
2. Teknik Pengumpulan Data …………………….…..………........... 8
3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ….…………...…………. 9
4. Teknik Penulisan Skripsi …………………….………….……........ 9
G. Sistematika Pembahasan …………………..…………………......... 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAM DAN HAK POLITIK …... 11
A. HAM dalam Pandangan Umum dan Hak Politik …………......… 11
B. Hak Politik dalam HAM ………………………….….…………. 17
C. Pembatasan Hak Asasi Manusia ……………………….……...... 19
1. Dalam ICCPR ………………………………...……..... 19
2. Dalam UUD 1945 ……………….….………………...…… 22
D. Hak Politik dalam Hukum Islam ……........……………..……....... 25
ix
BAB III KORUPSI POLITIK DI INDONESIA ………………………... 30
A. Korupsi dan Politik …………………….….............………. 30
B. Korupsi Poltik di Indonesia ………………………………..………... 33
C. Status Mantan Narapidana ………………………………….…….... 44
BAB IV PEMBATATASAN HAK POLITIK MANTAN NARAPIDANA
KORUPSI …………………………………………. 46
A. PKPU No. 20 Tahun 2018 ……………..……..………………….... 46
B. Pro Kontra ……….…………………..…………….. 48
C. Gugatan terhadap PKPU …………………..……………………… 50
D. Implikasi Putusan Mahkamah Agung ………………….........…. 55
BAB V PENUTUP …………………………………………. 60
A. Kesimpulan ……………………………...………...… 60
B. Saran ………..…………………………........... 60
DATAR PUSTAKA ………………………………..………... 61
x
1
`BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beberapa tahun lalu, pada 31 Agustus 2018, saat itu sempat menjadi
perbincangan hangat di kalangan civitas akademika dengan dikeluarkannya
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 Tahun 2018 tentang
pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Pada
pasal 4 ayat (3) yang menegaskan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia yang
harus memenuhi persyaratan yaitu bukan mantan terpidana narkoba,
kejahatan seksual terhadap anak atau korupsi. PKPU ini tentunya menuai
perbedatan, di antaranya ada yang setuju dengan PKPU tersebut disebabkan
bahwa ketidak percayaan publik terhadap orang yang pernah melakukan
tindak pidana korupsi pada masa jabatannya. Orang yang tidak setuju
dengan PKPU tersebut menilai, bahwa aturan yang dikeluarkan KPU
tersebut bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebagian orang yang tidak setuju atau kontra terhadap PKPU No.20
Tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD
Kabupaten/Kota, berpendapat bahwa adanya larangan tersebut dengan
sendirinya memberi batasan hak-hak asasi dari bakal calon, karena dinilai
PKPU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28
ayat D yang menyebutkan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang
sama untuk dipilih dan memilih.
Sedangkan yang setuju atau pro dengan dikeluarkannya PKPU No. 20
Tahun 2018 tersebut berpendapat, secara prinsip KPK mendukung agar
ruang gerak terpidana korupsi atau koruptor lebih dibatasi untuk menduduki
posisi publik apalagi jabatan-jabatan politik berdasarkan pemilihan dan
2
dengan diterbitkannya aturan ini mampu menghadirkan para calon
legislatif yang berintegritas dan berkualitas.
Dalam pandangan moralitas agama Islam, orang yang pernah
berbohong atau mengkhianati amanah orang lain maka akan mendapatkan
hukuman sosial ditengah masyarakat, seperti perkataannya tidak dipercayai
dan kesaksiannya dipertanyakan, sebagaimana diterapkan dalam Ulumul
hadits apabila seseorang rawi memiliki riwayat pernah berdusta dalam
hidupnya maka hadis yang diriwayatkan oleh perawi tersebut tidak memiliki
kualitas hadis yang bagus atau sahih.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perakilan Rakyat Daerah
(DPRD) di tingkat Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
di tingkat Kabupaten/Kota sebagai lembaga legislatif mempunyai beberapa
fungsi, salah satu fungsinya di bidang legislasi, di antara lain kegiatannya
adalah pembuatan undang-undang dengan salah satu instrumennya
kebiasaan yang ada di masyarakat,1 agar undang-undang tersebut tidak
menguntungkan beberapa pihak maupun perorangan. Sebab pada
hakikatnya undang-undang yang dibentuk oleh lembaga legislatif tersebut
mesti condong kepada kepentingan rakyat, karena anggota legislatif itu
dipilih dari rakyat untuk menyuarakan suara-suara rakyat bukan untuk
berpihak kepada beberapa orang maupun ke beberapa pihak.
Pada kenyataannya, lembaga legislatif yang terdiri dari DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang secara tupoksi adalah
menyuarakan suara-suara rakyat, memberikan jalan terhadap hak-hak
rakyat, mementingkan rakyatnya, dan berpihak kepada rakyat malah
menyeleweng dari tugas dan fungsinya, seperti melakukan korupsi, dan
sebagainya. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 254 anggota
1 Martitah, Mahkamah Konstitusi, (Jakarta Barat: Konstitusi Press, 2013), h. 54.
3
Dewan yang menjadi tersangka korupsi sepanjang 2014-2019. Dari angka
tersebut, 22 orang di antaranya tercatat sebagai anggota DPR.2
Melihat permasalahan dengan penjabaran penulis di atas,
dikeluarkannya PKPU tersebut merupakan wujud dari kekecewaan warga
negara atas pihak-pihak yang sebelumnya diberikan kepercayaan untuk
mewakili suara rakyat lantas memberikan sikap ketidaklayakannya di depan
masyarakat. Di sisi lain adanya PKPU tersebut bertentangan dengan asas-
asas Negara Republik Indonesia, seperti yang terdapat pada Pasal 28D
“setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintah”. Dalam konteks ini, penulis tertarik untuk menganalisis hak
politik mantan narapidana korupsi dengan kacamata HAM atau hukum
positif dan moralitas dalam pandangan Islam melalui analisis putusan MA
No.46P/HUM/2018, dengan membingkai judul, “Hak Politik Mantan
Narapidana Korupsi di Indonesia”.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana hak politik mantan narapidana korupsi di Indonesia?
2. Bagaimana implikasi pencabutan PKPU No. 20 Tahun 2018 dengan
adanya putusan Mahkamah Agung No. 46P/HUM/2018?
C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penulisan skirpsi ini terarah dan sesuai
dengan yang diharapkan penulis, maka penulis membatasi masalah
yang akan dibahas. Di sini penulis hannya membahas bagaimana hak
politik mantan narapidana korupsi di Indonesia.
2 https://news.detik.com/berita/d-4500126/icw-22-anggota-dpr-tersangka-korupsi-
sepanjang-2014-2019 diakses pada 02 November 2019, Pukul: 15.41.
4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis memiliki tujuan yang di
antaranya:
1. Memberikan gambaran secara umum mengenai perlindungan Hak
Asasi Manusia dalam bidang politik menurut perspektif HAM dan
Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui bagaimana partisipasi mantan narapidana korupsi
pada pemilihan legislatif .
Di samping memiliki tujuan dalam penulisan skripsi ini penulis juga
berharap memberikan maanfaat dalam peneltian karya tulis ilmiyah ini di
antaranya, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan manfaat terhadap perkembangan konsep HAM dan
Hukum Islam
b. Dapat menambahkan referensi pustaka yang berkaitan dengan
pembahasan hak asasi Manusia tentang hak yang berkaitan
dengan hak politik.
2. Manfaat Praktis
Legal opinion dalam penelitian ini semoga dapat dijadikan salah
satu referensi bagi KPU dalam membuat aturan selanjutnya, terutama
yang berkenaan dengan hak politik.
E. Review Kajian Terdahulu
Untuk menjamin tidak adanya kesamaan pembahasan dengan karya
ilmiah lain, penulis akan mengacu pada beberapa karya-karya ilmiah
5
tersebut yang mempunyai relevansi terhadap topik yang akan diteliti,
sebagai berikut:
Pertama, skripsi yang ditulis oleh Sahuri, yang berjudul “Perspektif
Hukum Islam Dan HAM Tentang Pencabutan Hak Politik Koruptor.”
Sesuai dengan judulnya, skripsi ini membahas tentang bagaimana
memberantas dan menetapkan hukuman kepada pejabat yang melakukan
kejahatan korupsi, dan memberikan efek jera terhadap pelakunya, sekaligus
untuk meredam siapapun untuk tidak melakukan korupsi. Penulis skripsi ini
menitik beratkan sanksi kepada pejabat koruptor dengan sanksi pidana
tambahan pencabutan hak tertentu yang dengan berlandaskan putusan
Mahkamah Agung Nomor 1195K/Pid.Sus/2014, yang mana putusan
Mahkamah Agung tersebut berbicara tentang penjatuhan pidana tambahan
pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi. Pokok pembahasan yang
dikaji dalam skripsi ini adalah bagaimana pandangan hukum Islam dan
HAM tentang pencabutan hak politik koruptor, dan bagaimana analisis
hukum Islam dan HAM terhadap Putusan Mahkamah Agung
1195K/Pid.Sus/2014.3
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Dian Rudy Hartono yang berjudul
“Pencabutan Hak Politik Terhadap Koruptor Perspektif Nomokrasi Islam”
yang memabahas tentang bagaimana pandangan Konsep Nomokrasi Islam
terhadap pencabutan hak politik para koruptor.4 Skripsi ini membahas
bahwa pencabutan hak politik sudah mengedepankan keadilan dan
merupakan suatu bentuk perlindungan bagi kemaslahatan umat.
Ketiga, karya ilmiyah skripsi yang ditulis oleh Mia Arlita wati dengan
judul “Kewenangan KPU Dalam Membatasi Hak Politik Mantan
Narapidana Korupsi Dalam Pemilu Legislatif (Analisis Putusan Mahkamah
Agung Nomor 46/P/HUM/2018 terhadap Peraturan Komisi Pemilihan
3 Sahuri, Perspektif Hukum Islam dan HAM tentang Pencabutan Hak Politik Koruptor(
Kajian Hukum Islam dan HAM terhadap Putusan MA No. 1195K/Pid.Sus/2014), Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4 Dian Rudy Hartono, Pencabutan Hak Politik Terhadap Koruptor Perspektif Nomokrasi
Islam, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016.
6
Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018)”. Sesuai dengan judulnya skripsi ini
membahas kewenangan KPU dalam membatasi hak politik mantan
narapidana korupsi dalam pemilu legislatif yang tertuang dalam PKPU yang
diselesaikan dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung Nomor
46/P/HUM/2018. Akan tetapi, yang berlaku saat ini adalah bahwa hukum
positif saat ini tidak melarang adanya mantan narapidana mencalonkan diri
dalam pemilu legislatif dan hanya pengadilanlah yang mempunyai
kewenangan untuk mencabut hak politik seseorang. Mantan narapidana
korupsi mempunyai hak politik yang sama dengan warga negara lain, karena
merupakan suatu hak yang dijamin oleh konstitusi. Akan tetapi apabila
merujuk berdasarkan Pasal 28J UUD 1945 disebutkan bahwa pembatasan
hak hanya boleh dilakukan melalui dengan dua cara yaitu, melalui undang-
undang dan putusan pengadilan.5
Keempat, karya ilmiyah skripsi yang ditulis oleh Dewi Fortuna DM
dengan judul “Analisis Fiqh Siyasah terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 04/PUU-VII/2009 Tentang Pencalonan Mantan Narapidana
sebagai anggota Legislatif”. Skripsi ini membahas bahwa mantan
narapidana merupakan seseorang yang pernah dihukum dan menjalani
hukuman di lembaga pemasyarakatan, namun sesudah selesai menjalani
masa hukuman di lembaga permasyarakatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum, tetap serta putusan
Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-VII/2009 tentang pencalonan mantan
narapidana sebagai anggota legislatif dengan persyaratan tidak berlaku
untuk jabatan publik yang dipilih, dan berlaku terbatas jangka waktunya
hanya 5 tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, dikecualikan
bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada
publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, dan bukan sebagai
pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Titik pembahasan dalam tulisan ini
adalah, mengenai dasar pertimbangan yang digunakan oleh hakim
5 Mia Artilawati, Kewenangan KPU dalam Membatasi Hak Politik Mantan Narapidana
Korupsi Dalam Pemilu Legislatif (Analisis Putusan MA No. 46P/HUM/2018 terhadap Perturan KPU No. 20 Tahun 2018. Skripsi Fakultas syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
7
Mahkamah Konstitusi, dan bagaimana analisis fiqh siyasah terhadap
putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-VII/2009 tentang pencalonan
mantan narapidana sebagai anggota legislatif.6
Kelima, karya ilmiyah Skripsi yang ditulis oleh Indar Dewi dengan
judul “Hak Politik Mantan Terpidana Korupsi (Studi Komparatif Hukum
Progresif dan Maqasid Al-Syariah)”.7 Skripsi ini mebahas bahwa, KPU
sebagai penyelenggara pemilu yang bersih menuai pro dan kontra dari
beberapa pihak, disebabkan peraturan KPU No. 20 tahun 2018 yang
melarang mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri di bidang
legislatif. Padahal sejatinya, adanya hukum tersebut untuk menjamin hak-
hak warganya, bukan sebaliknya. Titik pembahasan pada skripsi ini adalah,
Hukum progresif yang bermanfaat untuk terciptanya keadilan dan
kesejahteraan mesti sejalan dengan prinsip Maslahah sebagaimana yang
terkandung dalam konsep Maqasid al-Syarian dalam hukum Islam, yakni
satu konsep yang berfokus kepada kemaslahatan umat.
Keenam, sebuah Jurnal yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial oleh
Warih Anjari dengan judul “Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Kajian Putusan No.
537K/Pid.Sus/2014 dan No. 1195K/Pid.Sus/2014”.8 Jurnal ini membahas,
penerapan pidana pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi menjadi hal
yang penting karena: (a) Penjatuhan pidana tambahan ini merupakan sarana
penalti untuk menanggulangi tindak pidana korupsi yang memberikan efek
jera bagi terpidana dan pencegahan bagi masyarakat. (b) Karakteristik
Korupsi di Indonesia sebagai kebiasaan masyarakat. (c) Agar terhindar dari
6 Dewi Fortuna DM, Analisis Fiqh Siyasah Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No.
04/PUU-VII/2009 Tentang Pencalonan Mantan Narapidana Sebagai Anggota Legislatif. Skripsi Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung.
7 Indar Dewi, Hak Politik Mantan Terpidana Korupsi (Studi Komparatif Hukum Progresif
dan Maqasid Al-Syariah). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 8 Warih Anjari, Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia Kajian Putusan No. 537K/Pid.Sus/2014 dan No. 1195K/Pid.Sus/201, Jurnal Yudisial, (Vol. 8 No. 1 April 2015), h. 23-24.
8
pemimpin yang korupsi, dan (d) Korupsi merupakan extra ordinary crime
dan serious crime.
Sebagaimana dengan pemaparan karya ilmiyah di atas, menjadi dasar
bagi penulis bahwa penulisan skripsi yang penulis tulis berbeda dengan
penelitian sebelumnya, pembedanya adalah penulis akan mengambil benang
merah pada bagaimana hak politik mantan narapidana korupsi dalam
pandangan Hak Asasi Manusia (HAM), hukum positif, dan hukum Islam
serta moralitas menurut agama Islam, dengan pembatasan hak mantan
narapidana korupsi untuk maju pada pemilihan legislatif di Indonesia.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam skripsi ini yaitu
menggunakan metode penelitian hukum normatif atau kepustakaan.
Penelitian hukum normatif yang diteliti adalah bahan pustaka atau
data sekunder. Oleh sebab itu, metode penelitian yang digunakan
penulis adalah metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian
yang ditinjau melalui aspek hukum dan peraturan-peraturan.
Sementara sifat dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis.
Penelitian deskriptif analitis digunakan untuk mengungkapkan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori
hukum yang menjadi objek penelitian. 9
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini, yaitu: data primer, data sekunder, dan data tersier. Data
primer adalah sumber data utama yang dapat dijadikan jawaban
9 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2009),h. 105.
9
terhadap masalah penelitian.10
Data primer tersebut di antara lainnya
adalah:
a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
b. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu;
c. Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018.
d. Putusan Mahkamah Agung No. 46P/HUM/2018.
Data sekunder yang penulis gunakan dalam skripsi ini yaitu
artikel-artikel, jurnal, dan makalah yang berkaitan dengan permasalah
yang akan dibahas dalam skripsi ini. Data sekunder juga bisa
berbentuk buku, dokumen resmi, hasil penelitian yang berbentuk
laporan, buku harian dan seterusnya.11
3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Teknik pengolahan data dilakukan dengan secara seksama tentang
hak berpolitik warga Negara dalam perspektif HAM dan Hukum
Islam. Setelah melihat pebandingan hak berpolitik warga negara
perspektif HAM dan hukum Islam, kemudian dilihat bagaimana
konsistensi dan korelasinya dengan hak politik warga negara
Indonesia yang berlaku saat ini. Teknik analisis data yang digunakan
adalah teknik analisis data perbandingan hukum, yaitu dengan
membandingkan hak politik warga negara perspektif HAM dan
hukum Islam.
4. Teknik Penulisan
Secara teknik penulisan, skripsi ini mengacu kepada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
10
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Pustaka Setia,2008), h. 158. 11
Sorjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2005), h. 12.
10
G. Sistematika Pembahasan
Seperti dalam skripsi pada umumnya, untuk mempermudah isi skripsi
dan mencapai sasaran seperti yang diharapkan, maka penulis membagi isi
skripsi ini ke dalam lima bab, yaitu:
BAB I, bab ini mengulas latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review kajian terdahulu,
dan metode penelitian.
BAB II, Tinjauan umum tentang HAM dan Politik. Bab ini membahas
HAM dalam Pandangan Umum, Hak Politik dalam HAM dan hukum Islam.
BAB III, Korupsi Politik di Indonesia : Bab ini membahas korupsi dan
politik secara umum, Korupsi Politik di Indonesia, dan status mantan
narapidana.
BAB IV, Pembatasan Hak Politik Mantan Narapidana Korupsi: Bab
ini membahas PKPU No. 20 Tahun 2018, Pro Kontra terhadap PKPU
tersebut, gugatan terhadap PKPU, dan implikasi putusan Mahkamah Agung.
BAB V, Penutup, bab ini menguraikan penutup yang merupakan hasil
akhir kesimpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis.
Kemudian, pada penutup ini penulis juga memberikan saran yang sesuai
dengan pokok permasalahan yang penulis kaji.
11
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAM DAN HAK POLITIK
A. HAM dalam Pandangan Umum dan Hak Politik
Secara definisi, Hak Asasi Manusia (HAM) menurut KBBI adalah hak
yang dilindungi secara internasional (deklarasi PBB Declaration of Human
Rights), yaitu seperti hak untuk hidup, hak kemerdekaan, hak untuk
memiliki, dan hak untuk mengeluarkan pendapat.1
Menurut Jhon Locke, hak asasi manusia adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan yang Maha Pencipta. Oleh karenanya, tidak
ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya
sangat fundamental (mendasar) bagi hidup dan kehidupan manusia, dan
merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dalam kehidupan
manusia.2 Salah satu perkembangan HAM pada tahun 1215 yang dicikal
bakali suatu perjanjian Magna Charta, yaitu sebuah piagam perjanjian yang
menjamin hak-hak asasi rakyat Inggris di bidang politik dan sipil yang
merupakan hasil desakan dari kaum bangsawan Inggris terhadap raja dan
mengakhiri kekuasaan absolut raja. 3
Perkembangan konsep HAM secara zamannya dijelaskan oleh Karel
Vasak yang merupakan ahli hukum Prancis, dia menjelaskan perkembangan
substansi hak-hak yang terkandung dalam konsep hak asasi manusia.
1 https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hak%20Asasi%20manusia, diakses pada 02 Agustus
2019, pukul 16.04 WIB. 2 Masyhur Effendi, Dimensi dan dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), h. 3. 3 KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Online, diakses pada 25 Oktober 2019, pukul 13.01
WIB.
12
Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada
substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun
waktu tertentu.
1. Generasi Pertama Hak Asasi Manusia
Kebebasan atau hak-hak generasi pertama sering dirujuk untuk
mewakili hak-hak sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia
yang “klasik”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan
diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan-
kekuatan sosial lainnya, sebagaimana yang muncul dalam revolusi
hak yang bergelora di Amerika Serikat dan Prancis pada abad ke-17
dan ke-18. Karena itulah, hak-hak generasi pertama itu dikatakan
sebagai hak-hak klasik. Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak
melindungi kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi
setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan individu). Hak-hak yang
termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, kebutuhan
jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan,
perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berfikir, beragama dan
berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran,
hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak
bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan
hak mendapatkan proses peradilan yang adil.
Hak generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak
negatif”, artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan
merujuk pada tiadanya campur tangan terhadap hak-hak kebebasan
individual. Hak-hak ini menjamin suatu ruang kebebasan di mana
individu sendirilah yang berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-
hak generasi pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan
intervensi oleh pihak-pihak luar (baik negara maupun kekuatan-
kekuatan sosial lainnya) terhadap kedaulatan individu. Bisa
13
dikatakan, efesiensi terwujudnya hak-hak generasi pertama ini
bergantung terhadap kurangnya partisipasi negara terhadap hak-hak
tersebut. Ini lah yang membedakannya dengan hak-hak generasi
kedua yang sebaliknya justru menuntut peran aktif negara.
2. Generasi Kedua Hak Asasi Manusia
Hak-hak generasi kedua diwakili oleh perlindungan bagi hak-
hak ekonomi, sosial, politik dan budaya. Hak ini muncul dari tuntutan
agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan setiap
masyarakat. Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif,
agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. Oleh karena itu
konsep hak generasi kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang positif;
“hak/human right”, bukan dalam bahasa bebas negatif yaitu
“bebas/freedom”. Inilah yang membedakannya dengan konsep hak
generasi pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas
pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas
pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan,
hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, hak atas perlindungan
hasil karya ilmiah, dan hak atas perlindungan kesenian.
Konsep hak generasi ke dua pada dasarnya adalah tuntutan akan
persamaan sosial. Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai “hak-hak
positif”, yang dimaksud dengan hak positif di sini adalah bahwa
pemenuhan hak-hak tersebut sangat membutuhkan peran aktif negara.
Keterlibatan negara disini harus memenuhi hak warganya, bukan
berperan dalam menindas hak-hak warganya. Jadi, untuk memenuhi
hak-hak yang dikelompokkan ke dalam generasi ke dua ini, negara
diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan program-program
untuk merealisasikan hak-hak tersebut. Sebagai contohnya adalah
untuk memenuhi hak atas pekerjaan bagi setiap orang, maka negara
harus membuat kebijakan ekonomi yang dapat membuka lapangan
kerja bagi masyarakat sebuah negara, menjadikan masyarakat pada
14
negara tersebut memiliki hal sosial ekonomi untuk mendapatkan
lapangan pekerjaan yang luas di negaranya.
3. Generasi Ketiga Hak Asasi manusia
Konsep hak asasi manusia pada generasi ketiga ini diwakili
oleh tuntutan atas “hak solidaritas” atau “hak bersama”. Hak-hak
ini muncul dari tuntutan gigih negara berkembang atau dunia
ketiga atas tatanan Internasional yang adil. Melalui tuntutan atas
hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan
terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang
kondusif bagi terjaminnya hak atas pembangunan, hak atas
perdamaian, hak atas sumber daya alam sendiri, hak atas
lingkungan hidup yang baik, dan hak atas warisan budayanya
sendiri.4
Pada tahun 1948 terjadi pertemuan yang berbasis internasional
terkait perumusan hak asasi yang diakui oleh oleh seluruh dunia, maka
diadakan Deklarasi Universal yang bertujuan untuk sebagai pedoman
sekaligus standar minimum yang dicita-citakan oleh seluruh umat
manusia. Tahap kedua yang ditempuh oleh Komisi Hak Asasi PBB
adalah menyusun sesuatu yang lebih mengikat daripada deklarasi belaka,
yaitu dengan berbentuk perjanjian (convenant).
Untuk memantau perkembangan dan pelaksanaan hak-hak politik,
maka dibentuk Panitia Hak Asasi (Human Right Committee), yang
berhak menerima serta menyelidiki pengaduan dari suatu pihak negara
terhadap pihak negara lain, jika telah terjadi pelanggaran terhadap hak
asasi yang tercantum dalam konvenan itu. Bahkan dibuka juga
kesempatan bagi perorangan untuk mengadukan suatu negara pihak,
termasuk negaranya sendiri melalui Optional Protocol.
4 Rhona K.M Smith, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2015), h.
16.
15
Adanya deklarasi Hak Asasi Manusia yang diadakan oleh PBB,
tentunya berdampak besar terhadap negar-negara yang baru merdeka
seusai perang dunia II. Munculnya negara-negara baru yang mereka pun
berinisiatif mengadakan forum internasional untuk menggalang kesetia
kawanan seperti yang terlaksana di Bandung pada 1955 yaitu Konferensi
Asia-Afrika. Akan tetapi pada saat itu seruan untuk menentang
penjajahan, rasialisme, dan keterbelakangan belum begitu bergema.
Namun, dengan bertambahnya jumlah negara merdeka, maka bertambah
pula militansi mereka di forum PBB. Negara berkembang sangat
mendukung perumusan hak ekonomi dalam konvenan internasional,
karena merasa bahwa tugas mensejahterakan rakyat merupakan prioritas
pertama. Akan tetapi, partisipasi negara-negara berkembang dalam
program standard setting tidak berhenti disitu. Karena menurut mereka
deklarasi PBB mengenai Human Rights terlalu menekankan hak individu
(individual rights), maka negara-negara baru itu juga berjuang untuk
memasukkan konsep-konsep baru, seperti hak kolektif yang menyangkut
kepentingan bangsa, masyarakat, dan atau keluarga.
Pada dasawarsa 1980-an, berkat usaha negara-negara baru
dicanangkan sebagai generasi ketiga hak asasi, yaitu hak atas perdamaian
dan hak atas pembangunan. Hak-hak itu (yang bersifat hak kolektif)
dituangkan dalam beberapa dokumen, seperti deklarasi menganai hak
bangsa-bangsa atas perdamaian (Declaration on the Right of Peoples to
Peace) yang diterima pada 1984 dan deklarasai mengenai hak atas
pembangunan (Declaration on the Right of Development) yang diterima
pada tahun 1986. Dengan pencapaian dan peran negara-negara baru
sudah bisa dibilang signifikan dalam perumusan human right di PBB,
tetapi mereka masih merasa terganggu karena kenyatan yang mereka
hadapi bahwa masalah hak asasi masih tetap didominasi oleh pandangan
negara-negara barat yang memprioritaskan hak politik, dan pihak negara-
negara barat kurang sensitif terhadap keinginan negara-negara baru untuk
16
mempertahankan beberapa nilai warisan nenek moyangnya, karena hal
itu dapat dianggap bisa saja mengganggu usaha penegakan hak asasi.
Banyak negara-negara baru (terutama di Asia dan Afrika) memiliki
warisan tradisi yang masih kuat berakar, dan ketentuan-ketentuan
moralitas yang berbeda dari suatu tempat dengan tempat lain. Maka oleh
karena itu, hak asasi dianggap juga perlu dilihat dalam konteks
kebudayaan masing-masing, baik yang menyangkut kelompok, etnis, ras,
atau agama. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat
yang sama yang harus dihormati. Dilema yang dihadapkan pada negara-
negara baru ialah bagaimana memperjuangkan tempat yang terhormat
dalam dunia modern dengan tidak mengorbankan identitas diri sebagai
bangsa. Jadi, masalah utamanya adalah bagaimana menyelaraskan nilai-
nilai tradisional yang dianggap masih relevan dengan standar
internasional mengenai hak asasi. Keinginan itu kemudian
diejawentahkan dengan munculnya beberapa piagam non Barat di luar
PBB, seperti di Asia dan Afrika.
Di kalangan mereka ada pendapat bahwa negara-negara Barat agar
jangan terlalu terobsesi dengan hak-hak politik dan mengkritik negara-
negara yang kurang mampu melaksanakan hal tersebut. Mereka perlu
mempertimbangkan juga beberapa faktor sebagai berikut:
1.) Pentingnya kesetaraan hak politik dan hak ekonomi, juga tercemin
dalam pelaksanaannya, misalnya agar kerja sama antar negara Barat
dengan non Barat dilaksanakan atas dasar sama derajat, tanpa terkait
dengan syarat-syarat tertentu.
2.) Pentingnya komunitas disamping individu. Selain dari hak-hak
individu ada hak kolektif, seperti misalnya hak atas pembangunan.
3.) Pentingnya hak dibarengi dengan kewajiban, agar ada keseimbangan
antara hak individu dan kewajibannya terhadap sesama manusia dan
terhadap masyarakat di manapun berada.
17
4.) Pentingnya mempertimbangkan kekhasan setiap negara yang
mungkin akan memberi warna tersendiri pada proses pelaksaan hak
asasi, seperti pelaksanaan atas hak pendidikan, dalam pelaksanaannya
akan berbeda antara negara Belanda dan Indonesia. Piagam-piagam
yang mengutarakan berbagai konsep ini antara lain: Piagam Afrika
mengenai Hak Manusia dan Bangsa-bangsa yang diterima pada 1981
di Banjul, dan Deklarasi Kairo mengenai Hak Asasi dalam Islam
yang diterima pada 1990.5
Istilah hak politik apabila didefinisikan, adalah hak yang diperoleh
seseorang dalam kapasitasnya sebagai anggota organisasi politik, seperti hak
memilih dan hak memilih, mencalonkan diri dan memegang jabatan umum
dalam negara. Hak politik juga dapat didefinisikan sebagai hak-hak di mana
individu dapat memberi andil, melalui hak tersebut, dalam mengelola
masalah-masalah negara atau pemerintahnya.6
B. Hak Politik dalam HAM
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tetap menjadi
akar dari kebanyakan instrumen hak asasi manusia Internasional, salah
satunya hak sipil dan politik;
Hak Sipil dan Politik mencakup diantara lain:
Pasal 6: Hak atas hidup.
Pasal 7: Hak untuk tidak disiksa.
Pasal 9: Hak atas kebebasan dan keamanan dirinya.
Pasal 14: Hak atas kesamaan di depan badan-badan peradilan.
Pasal 15: Hak untuk tidak dikenai konsep retroaktif.
Pasal 18: Hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
Pasal 19: Hak mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan.
5 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2015), h. 242.
6 Mujar Ibnu Syarif, Hak-hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komonitas Islam,
(Bandung: PT Angkasa, 2003), h. 49.
18
Pasal 21: Hak atas kebebasan berkumpul secara damai.
Pasal 22: Hak atas kebebasan untuk berserikat.7
Pada tatanan teoritis, tuntutan penegakan hak politik telah diatur
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi
Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Convenan on
Civil Political Right), yang akhirnya membuahkan pasal-pasal tentang hak
sipil dan politik sebagaimana yang tercantum di atas.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi pihak pada
konvenan Internasional tentang hak sipil dan politik, karena sejatinya
Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945
yang menjunjung tinggi nilai HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat
dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya
DUHAM, Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun
1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang
sangat penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas
kemerdekaan, hak atas kewarganegaraan (Pasal 26), hak atas persamaan
kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan
pemerintahan (Pasal 27 ayat: 1).
Pada konteks hak politik tentunya tidak terlepas dari sistem demokrasi
itu sendiri, sebagaimana sistem yang diterapkan di negara Republik
Indonesia, dan diejawantahkan dalam bentuk Undang-undang Dasar 1945
dan Undang-undang lainnya. Seperti tentang hak untuk dipilih yaitu pasal
27 ayat (1) “setiap warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan”, pasal 28C ayat (2) “setiap orang berhak mengajukan dirinya
dalam memperjuangkan hak-haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya”, dan pasal 28D ayat (2) “setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Akan tetapi dalam pengaplikasiannya, hak politik tersebut dapat
dikategorikan menjadi dua jenis sebagaimana yang ditetapkan dalam
7 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia, 2015), h. 224.
19
Konvenan Internasional Sipil dan Politik (International Convenan on Civil
and Political Rights). Jenis yang pertama adalah kategori non-derogable,
yaitu hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi, walaupun
dalam keadaan darurat. Hak ini terdiri atas hak hidup, hak bebas dari
penyiksaan, hak bebas dari pemidanaan yang bersifat surut, hak sebagai
subjek hukum, dan atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, serta beragama.
Jenis kedua yaitu kategori derogable, yaitu hak-hak yang boleh dikurangi
atau dibatasi pemenuhannya oleh negara pihak. Hak dan kebebasan yang
termasuk dalam jenis ini meliputi hak atas kebebasan berkumpul secara
damai, hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi
anggota buruh, dan hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau
berekspresi.8
C. Pembatasan Hak Asasi Manusia
1. Dalam International Convenan on Civil and Political Right (ICCPR)
Deklarasi of Human Right (DUHAM) yang dikeluarkan oleh
PBB merupakan penjaminan terhadap hak asasi manusia. Sejak
tahun 1999, masalah Defamation of Religion (penistaan agama)
menjadi perhatian PBB. Beberapa kali sidang umum PBB
menerbitkan resolusi tidak mengikat yang mengecam, penghinaan
terhadap agama. Resolusi tersebut dipelopori oleh Pakistan atas
nama OKI, dan Mesir atas nama Afrika, dalam Durban Conference,
sebagai upaya untuk menghentikan polarisasi, diskrimniasi,
ekstrimisme, dan misintepretasi terhadap Islam. Hal ini merupakan
respon terhadap perkembangan pasca peristiwa 11 September di
mana Islam sering dinistakan dan senantiasa dikaitkan dengan
terorisme dan pelanggaran HAM.
8 http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/2941-hak-politik-warga-negara-
sebuah-perbandingan-konstitusi.html, diakses pada 05 Oktober 2019, pukul 15.03.
20
Namun demikian, dalam Konferensi Durban review II di Jenewa,
resolusi mengenai defamation of religion dinilai bertentangan dengan
hak asasi manusia, karena terlalu sempit pada perlindungan Islam
(awal mula draft-nya berjudul defamation of Islam). Konsep tersebut
melindungi agama (yang esensinya adalah idiologi) bukannya
melindungi hak individu, terlalu mempertentangkan agama,
mengancam hak atas kebebasan berekspresi, ditulis dengan bahasa
yang terlalu umum dan tidak jelas, termasuk dalam penggunaan
istilah “penistaan” (defamation). Berdasarkan evaluasi yang
disampaikan oleh beberapa pelapor khusus PBB, penerapan konsep
defamation of religion di beberapa negara, seperti Pakistan, Iran dan
Mesir, justru menimbulkan masalah hak asasi manusia, seperti
pembungkaman kebebasan berekespresi “xenophobia” dan
ketegangan antar umat beragama. Sehingga, konsep “defamation of
religion” kembali dipertanyakan.9
Sebagai solusi, muncullah upaya untuk membuat insturmen hak
asasi manusia internasional sebagai penyeimbang antara hak atas
kebebasan berekspresi, namun tetap menjamin perdamaian, terutama
antar umat beragama. Komisi mengembangkan sebuah inisiatif
dengan mengeluarkan sebuah resolusi untuk mengatasi ketegangan
antara kebebasan bereskpresi dan perdamaian antara umat beragama
dan ras. Bagaimana pembatasan kebebasan berekspresi tetap
berdasarkan DUHAM dan International Convenant on Civil and
Political Rights (ICCPR).
Kebebasan berekspresi sendiri dapat dibatasi, sesuai Pasal 20
Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik, yaitu:
a) Any propaganda for war shall be prohibited by law.
b) Any advocacy of national, racial or religious hatred that
9 Jurnal Indo-Islamika, Vol. 1, Nomor 2, 2012, hlm. 253.
21
constitutes incitement to discrimination, hostility or violence
shall be prohibited by law.
Selain itu, Pasal 19 ICCPR mengatakan bahwa kebebasan
bereskpresi dapat dibatasi, to protect among others, the rights of
others, public order, and national security if it is “necessary in a
democratic society” to do so and it is done by law. Namun, tidaklah
mudah membuat rumusan HAM Internasional lain. Dewan HAM
Eropa menetapkan syarat-syarat pembatasan kebebasan berekspresi
harus lolos tiga syarat sebagai berikut:
a) Pembatasan dibuat untuk tujuan yang benar-benar sah;
b) Pembatasan harus dilakukan dalam kerangka demokratis (jadi
harus oleh parlemen atau lembaga yang diberi kekuasaan
oleh parlemen);
c) Pembatasan harus benar-benar merupakan keniscayaan
(necessary) bagi masyarakat demokratis. Jadi kata necessary
tidak hanya sekedar berguna (useful) dan, beralasan
(reasonable).
Dengan demikian, penebar kebencian (hate speech) adalah yang
sah (legitimed) untuk membatasi kebebasan berekspresi.
Perlindungan hak asasi manusia harus didasarkan prinsip
persamaan martabat dan kesetaraan setiap orang. Tanpa
membedakan suku, ras, jenis kelamin, kebangsaan dan agama.
Pernyataan kebencian merupakan ancaman terhadap martabat
manusia dan menciptakan kondisi yang tidak memungkinkan
adanya kesetaraan antara manusia. Untuk itu, pelarangan
pernyataan kebencian merupakan sebuah kebutuhan untuk
menghindari permusuhan, diskriminasi dan kekerasan antara ras,
suku, bangsa, agama dan jenis kelamin.10
10
Jurnal Indo-Islamika, Vol. 1, Nomor 2, 2012, hlm .255.
22
2. Dalam Undang-Undang Dasar 1945
Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi HAM
sebagaimana tertuang pada UUD 1945 Pasal 28I ayat 1 “warga
negara mempunyai hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun”.
Hal ini menimbulkan perbedaan penafsiran dari berbagai
kalangan, di mana sebagian kalangan mengatakan bahwa HAM
yang tergolong non derogable rights dapat dilakukan pembatasan
dengan syarat harus ditetapkan oleh undang-undang. Tujuannya
adalah semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945
Pasal 28J ayat 2 “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Tetapi, ketika negara dalam keadaan darurat yang mengancam
kehidupan bangsa dan telah dideklarasikan oleh Presiden, tidak
semua HAM dapat dipenuhi pemberlakuannya, HAM yang tergolong
dalam jenis derogable rights (Hak-hak yang boleh dibatasi
23
pemenuhannya dalam keadaan darurat) yang terdiri dari, hak untuk
menyatakan pendapat, hak untuk bergerak, hak untuk berkumpul,
dan hak untuk berbicara. Jaminan pemenuhan terhadap HAM yang
dikategorikan derogable rights dapat dibatasi ataupun ditunda
pemenuhannya.
Apapun bentuk dan jenis tindakan pembatasan HAM yang
dilakukan oleh TNI/ Polri ketika dalam keadaan darurat tidak boleh
menyentuh HAM yang tergolong dalam jenis non-derogable right
dimana secara tegas dinyatakan dalam Pasal 4 (2) ICCPR dan Pasal 4
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Pasal 28I
ayat (1) UUD 1945 bahwa HAM yang tergolong non derogable right
tidak boleh dibatasi dalam keadaan apapun. Keadaan apapun disini
penulis terjemahkan sebagai keadaan darurat sipil, militer maupun
keadaan darurat perang.
Upaya pembatasan terhadap HAM yang tergolong non--derogable
rigaht merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM, inilah yang
menurut penulis bertentangan dengan kewajiban- kewajiban
Negara dimana negara harus menghormati ( to respect), melindungi
(to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak asasi manusia.11
Bentuk konkret hak politik yang dibatasi (derogable) tersebut
tertuang pada Undang-undang nomor 42 tahun 2008 pasal 5 tentang
persyaratan calon presiden dan wakil presiden butir (P):
“berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang
sederajat”. Pembatasan hak politik tersebut yang dilakukan oleh
negara, bertujuan untuk kemaslahatan negara dan keberlangsungan
negara itu sendiri. Hal ini bisa dibilang urgent, karena untuk
memimpin sebuah negara sangat dibutuhkan kepiawaiannya dalam
11
Junal Media Hukum, Vol. 21, No. 1 Juni 2014, hlm. 71.
24
memimpin dan kualitas pemimpinya sendiri. Sebab kualitas
pemimpin menjadi titik sentral bagaimana keberlangsungan sebuah
negara dan kesejahteraan rakyatnya.
Setelah meninjau pembahasan mengenai Hak asasi manusia dan
pengaplikasinnya di atas dapat kita tarik benang merahnya, bahwa
hak-hak politik masyarakat Indonesia yang dijamin oleh Undang-
undang Dasar 1945 seperti hak membentuk dan berpatisipasi dalam
organisasi poltik atau organisasi lain yang dalam waktu tertentu
melibatkan diri ke dalam aktivitas politik; hak untuk berkumpul,
berserikat, hak untuk menyampaikan pandangan atau pemikiran
tentang politik, hak untuk menduduki jabatan politik dalam
pemerintahan, dan hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan
umum. Semua hak tersebut dapat terealisasikan secara murni melalui
partisipasi partai politik. Hak dalam pemilihan tersebut atau
berpatisipasi dalam pesta politik yang dapat dikatakan sebagai buah
dari demokrasi tidak saja diakui oleh Undang-undang Dasar 1945,
tetapi hak tersebut juga diakui dalam berbagai instrument hukum.
Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
menentukan bahwa:
1. Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya
sendiri, baik dengan langsung maupun dengan melewati
perantara wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
2. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk
diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.
3. Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah;
kemauan ini harus dinyatakan dalam pemilihan-pemilihan
berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang
bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan
suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang juga
menjamin kebebasan mengeluarkan suara.
25
Hak untuk berpolitik juga tercantum dalam International
Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah
diratifikasi (disahkan) Indonesia dengan Undang-undang No.12
tahun 2005 tentang pengesahan International Convenant on Civil
and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil
dan Politik). Pasal 25 ICCPR menentukan bahwa, “setiap warga
negara juga harus mempunyai hak dan kebebasan tanpa pembatasan
yang tidak beralasan:
1. Ikut dalam pelaksanaan urusan pemerintah, baik secara
langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara
bebas.
2. Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang jujur,
dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan
melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin
kebebasan dalam menyatakan kemauan dari para pemilih.
3. Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas
dasar persamaan.12
D. Hak Politik dalam Hukum Islam
Piagam Madinah merupakan konstitusi pertama yang dicetuskan oleh
Nabi Muhammad SAW, di mana beliau merupakan seorang Rasul dan
sekaligus kepala negara pada waktu itu. Penyebab yang melatar belakangi
dibentuknya Piagam Madinah adalah adanya konflik sosial antara kaum
Yahudi sebagai pribumi Madinah dengan suku Arab yaitu Aus dan Khazraj
sebagai pendatang. Suku Aus dan Khazraj adalah suku yang bermigrasi ke
Madinah disamping mereka hidup berdampingan dengan kelompok Yahudi.
Suku Aus tinggal di daerah al-„awali (dataran tinggi) yang berdampingan
12
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Convenant on
Civil and Political Rights.
26
dengan Bani Quraizhah dan Nashir. Sedangkan suku Khazraj menetap di
dataran rendah, bertetanggaan dengan Bani Qainuqa. Daerah tempat
menetap suku Aus lebih subur dibandingkan daerah yang ditempati oleh
suku Khazraj. Keadaan inilah yang akhirnya menjadi penyebab terjadinya
konflik di antara mereka.
Faktor kecemburuan sosial berlatar belakang dengan kondisi geografis
yang menjadi salah satu pemicu munculnya konflik sosial di Madinah.
Kedatangan suku lain yang ternyata lebih baik kondisi ekonominya memicu
konflik yang terpendam di antara warga pendatang dan penduduk asli
Madinah. Di mana persoalan tersebut lama kelamaan memicu terjadinya
peperangan. Dalam beberapa peperangan, tidak sedikit jumlah orang-orang
yahudi yang mati terbunuh, dengan kondisi yang seperti itu orang-orang
yahudi yang berkuasa di Madinah dapat dijatuhkan. Sebaliknya, Kabilah
Aus dan Khazraj yang sebelumnya kebanyakan hanya sebagai buruh maka
posisinya semakin naik. Akhirnya keadaan sosial pun semakin bergeser
sehingga menempatkan ke dua suku tersebut pada tempat yang menonjol
dan berkuasa di Madinah.
Kaum yahudi sebagai pihak yang terselisihkan selalu berusaha untuk
memecah belah suku Aus dan Khazraj tersebut, sehingga terjadilah
peperangan yang tidak berkesudahan antara suku Aus dan Khazraj. Dengan
perpecahan yang terjadi antara dua suku tersebut, kaum yahudi memiliki
peluang untuk memperbesar perdagangan dan kekayaannya kembali,
dengan demikian kelompok-kelompok yang menonjol di Madinah sebelum
kedatangan Nabi Muhammad SAW adalah suku Aus, Khazraj, dan kaum
Yahudi. Di antara ketiganya terjadi peperangan selama lebih dari satu abad,
dalam keadaan siap tempur dan hidup dalam suasana perang yang tiada
henti-hentinya.
Adanya pluralitas masyarakat Madinah tersebut tentunya menjadi
perhatian dan pengamatan oleh Nabi Muhammad SAW, beliau menyadari
bahwa tidak adanya acuan bersama yang mengatur pola hidup masyarakat
yang majemuk itu, konflik-konflik di antara berbagai golongan itu akan
27
menjadi konflik terbuka, dan pada suatu saat akan mengancam persatuan
dan kesatuan kota Madinah. Oleh karena itu, usaha nyata yang dilakukan
nabi sebagai pemimpin beserta pemuka masyarakat pada waktu itu ialah
mencari solusi bahwa perlunya di bentuk sebuah konstitusi yang dapat
mengantisipasi konflik yang lebih luas, apalagi sampai menimbulkan korban
jiwa dan harta. Konstitusi yang dikeluarkan tersebut bernama Piagam
Madinah. Asas-asas yang digunakan dalam pembuatan piagam Madinah ini
menggunakan asas persamaan, asas toleransi dan memberikan penghargaan
serta jaminan hak-hak yang setara kepada pihak-pihak yang terikat dengan
butir-butir komitmen perjanjian yang tercantum dalam konstitusi madinah
itu. Isi konstitusi Madinah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:13
1. Hak masing-masing kelompok untuk sepenuhnya melakukan
peradilan.
2. Kebebasan beragama dan beribadat bagi semua golongan.
3. Semua penduduk Madinah baik kaum muslimin maupun
komunitas atau masyarakat Arab non-muslim dan Komunitas
Yahudi berkomitmen teguh dan berkewajiban untuk saling
membantu baik secara moral maupun material. Mereka harus
bahu membahu untuk mempertahankan kota Madinah apabila
mendapat serangan musuh dari luar.
4. Rasulullah adalah kepala negara di Madinah dan kepada
beliaulah dibawa segala perkara dan perselisihan besar yang
tidak bisa didamaikan oleh pihak-pihak yang bertikai untuk
diselesaikan.
Apabila ditinjau dari perspektif sosial, politik, dan keagamaan maka
Piagam Madinah tersebut mengandung dasar-dasar konsistensi hidup
berdampingan secara adil, aman, dan damai. Dapat kita pahami bahwa
dengan adanya Piagam Madinah tersebut dapat malahirkan hal-hal yang
terkait perkembangan hak politik dalam Islam di waktu yang mendatang.
13
Jurnal KOMUNIKA, Vol. 9, NO. 1, Januari- Juni 2015, h. 88.
28
Di satu sisi lain adanya piagam madinah tersebut menjelaskan hak
politik tidak dilarang dalam Islam, dan esensi pemimpin yang sangat
diperlukan sebagai penjaga warga negaranya, berdasarkan Hadis Nabi
berikut:
رة بن هب حدثنا حسن حدثنا ابن لهعة قال حدثنا عبد الل عن عبد الل شان بن عمرو عن أب سالم الج
ه وسلم قال ل حل أن نكح المرأة بطلق أخرى ول عل صلى الل حل لرجل أن بع أن رسول الل
ع صاحبه حتى هم أحدهم ول حل ذره ول حل لثلثة نفر كونون بؤرض فلة إل على ب روا عل أم
لثلثة نفر كونون بؤرض فلة تناجى اثنان دون صاحبهما
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Hasan, menceritakan
kepada kami Ibn Lahi’ah, beliau berkata. Menceritakan kepada kami
Abdullah ibn Hubairah dari Abi Salam al-Jaitsani dari Abdullah bin Amr
radhiyallahu’anhu, bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu‟alaihi
wasallam bersabda: “Tidak halal menikahi seorang perempuan dengan
mencerai perempuan yang lain, dan tidak halal bagi seorang laki-laki
menjual atas dagangan temannya sehingga temannya meninggalkan
dagangan itu, dan tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah tidak
bertuan, kecuali mereka mengangkat salah satunya jadi amir atas
mereka, dan tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu tempat, yang
dua berbisik-bisik meninggalkan temannya ( (HR. Ahmad).14
Meskipun pemimpin itu sangat diperlukan disetiap wilayah dan
diberikan wewenang untuk mengatur negara dan warganya bukan berarti
pemipin tersebut bisa berbuat semena-mena dengan memanfaatkan
jabatannya, seperti yang dikatakan al-Mawardi “kekuasaan atau kedaulatan
kepala negara itu berasal dari rakyat melalui kontrak sosial,bukan dari
tuhan”.
Oleh karena itu, warga negara boleh menurunkan atau memberikan
impeachment kepada kepala negara (pemakzulan), yang menurut al-
Mawardi ada dua. Pertama, karena ia mengalami perubahan dalam status
14
Ahmad Ibn Hambal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, h. 177.
29
moral (akhlak), secara teknis sebut saja pelanggaran terhadap norma-norma
keadilan (adalah). Perubahan ini ada dua macam, yaitu:
a. Perubahan moral yang berkaitan dengan jasmani; yakni, kalau ia
menuruti keinginan atau kebutuhan jasmaniah secara keterlaluan,
mengumbar nafsu seks dan menghina secara terang-terangan
kepada aturan syariat. Kalau demikian halnya imam boleh dipecat.
b. Perubahan moral yang berkaitan dengan akidah. Maksudnya,
kalau imam memiliki pendapat atau buah pikiran yang bertolak
belakang dengan prinsip-prinsip agama, atau memutar-balikkan
sejumlah pendapat untuk menghapuskan sejumlah prinsip yang
sudah disepakati.
Kedua, jika terjadi perubahan dalam diri imam. Dalam hal ini ada tiga
hal : (1) hilang indra jasmani; (2) hilang/cacat organ tubuh, dan (3) hilang
kemampuan mengawasi dan memimpin rakyat.15
Apabila melihat kepada moralitas yang dianut oleh agama Islam,
kejujuran seorang pemimpin merupakan suatu instrumen yang sangat
penting bagi setiap muslim sebagaimana firman Allah SWT dalam surat
An-Nahl ayat 105:
ئك هم الكاذبون وأول إنما فتري الكذب الذن ل إمنون بآات الل
Artinya: Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah
orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah
orang-orang pendusta.
15
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Erlangga: PT Gelora Aksara Pratama, 2008), h.168-169.
30
BAB III
Korupsi Politik di Indonesia
A. Korupsi dan Politik
1. Pengertian Korupsi dan Politik.
Korupsi merupakan suatu istilah yang sudah lumrah dikalangan
masyarakat Indonesia, pada umumnya masyarakat Indonesia memahami
korupsi sebagai tindakan mencuri uang rakyat dan merugikan negara yang
dilakukan oleh politisi maupun pejabat-pejabat negara. Menurut Fockema
Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruption atau
corroptus (Webster Student Dictionary: 1960), yang selanjutnya disebutkan
bahwa coruptio itu berasal dari bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin
itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption,
corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie).
Dapat dikatakan bahwa istilah korupsi merupakan kata serapan yang berasal
berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia yaitu “korupsi”.1
Di dalam kamus umum Belanda-Indonesia yang disusun oleh
Wijowasito, corruptie dalam bahasa Belanda mengandung arti perbuatan
korup dan penyuapan.2 Dalam bahasa Indonesia, Poerwadarminta
menyimpulkan bahwa korupsi merupakan sebuah perbuatan buruk yang
dilakukan seseorang seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya.3
1 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioal,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 4-6. 2 Wijowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru, 1999), h. 128.
3 Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta:Sinar Grafika,2010), h. 25.
31
Menurut hukum positif Undang-undang nomor 31 tahun 1999, korupsi
diartikan sebagai orang yang melawan hukum, melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang, atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana
yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Politik secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang
berarti kota yang berstatus negara kota (city state).4 Akan tetapi, orang
Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam
onia atau the good life.5 Perkembangan pemikiran politik di dunia Barat
banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani Kuno abad ke-5 SM, seperti Plato
dan Arsitoteles. Mereka menganggap politics sebagai suatu usaha untuk
mencapai masyarakat politik yang terbaik.6 Dalam perkembangannya,
politik mendapat perhatian khusus di negara-negara benua Eropa seperti
Jerman, Austria, dan Prancis pada abad ke-19, dengan didirikannya Ecole
Libre des Sciences di Paris (1870) dan London School of Economics and
Political Science (1895) memberi dampak yang nantinya politik menjadi
salah satu cabang ilmu.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa, politik adalah usaha untuk
menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian
besar warga Negara untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan
bersama yang harmonis. Usaha menggapai good life ini menyangkut
bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut proses penentuan
tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan itu. Untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan yang menyangkut pengaturan dan
alokasi dari sumber daya alam, perlu dimiliki kekuasaan serta wewenang.
4 Hidayat Imam, Teori-teori Politik, (Malang: Setara press, 2009), h. 2.
5 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2007), h.13.
6 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2007), h.14.
32
Kekuasaan ini diperlukan baik untuk membina kerja sama maupun untuk
menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini.7 Karena
esensi dari kekuasaan itu sendiri adalah kemampuan untuk menjamin
terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat oleh kesatuan-kesatuan
dalam suatu sistem organisasi kolektif, maka kewajiban adalah sah
hukumnya jika berhubungan dengan tujuan bersama, jika ada pelanggaran
maka pemberian sanksi dianggap wajar.8 Karena pada kekuasaan tersebut
melekat otoritas atau wewenang, dan legitimasi, yang merupakan sebuah
satu kesatuan.
Pada penerapan kekuasaan tersebut yang semestinya dapat membawa
kemaslahatan melalui kesepakatan kolektif, ternyata jauh dari esensinya
untuk mewujudkan masyarakat yang harmonis atau good life. Ini
disebabkan karena adanya oknum-oknum yang menyalahgunakan
kekuasaanya untuk kepentingan pribadi tanpa memikirkan kemaslahatan
masyarakat, istilah perbuatan tersebut dikenal dengan korupsi politik.
Sedangkan pengertian korupsi menurut Undang-undang No.31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tercantum pada Pasal 1
ayat (1) “Korporasi adalah sekumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”,
Pasal 2 ayat (1) “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah), Pasal 3 “setiap orang yang dengan
7 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 15.
8 Talcott Parsons, The Distribution of Power in America Society, ( World Politic: 1957), h.
139.
33
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
B. Korupsi Politik di Indonesia
Penggabungan istilah korupsi politik terjadi karena dampak dari
perubahan zaman dan kompleknya gejala sosial, oleh karena itu korupsi
politik sendiri menurut Kamus Internasional Hukum dan Legal adalah
penyalahgunaan kekuasaaan politik oleh pemimpin pemerintahan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi, dan korupsi politik juga berarti
melakukan tindakan korupsi untuk mempertahankan kekuasaan.9 Korupsi
politik tidak saja hanya sebatas penyalahgunaan kekuasaan. Menurut
Machiavelli, Montesquieu, dan Rosseau menunjukkan bahwa korupsi politik
ditandai sebagai permasalahan moral di antara kekuasaan. Machiavelli
menyatakan bahwa korupsi politik adalah di mana kebaikan warga negara
diabaikan bahkan dirusak.10
Korupsi politik tidak saja hanya sebatas penyalahgunaan sumber daya,
tetapi juga mempengaruhi cara keputusan itu dibuat. Korupsi politik
merupakan manipulasi institusi politik dan peraturan yang bersifat
prosedural yang tentunya berdampak dalam institusi pemerintah dan sistem
9 Kamus International Hukum dan Legal, diakses dari
https://definitions.uslegal.com/p/political-corruption/, diakses pada tanggal 11 Oktober 2019, pukul 20.00.
10
N.Machiavelli, Standard Publication Incorporation, (The Prince: London: 2007), h. 22.
34
politik, tentunya hal ini membuahkan kerusakan institusional. Untuk
memberantas korupsi yang sejatinya merugikan negara dan menyengsarakan
rakyat, maka negara Indonesia membentuk sebuah lembaga negara yang
bersifat independen, yakni dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Perjalanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai berkembang
sejak Era reformasi pada tahun 1998, menandai konstelasi politik Indonesia
yang baru, setelah diturunkannya Presiden Soeharto dari jabatanya selama
32 tahun maka aturan anti korupsi di masa ini juga berubah dari
sebelumnya. Undang-undang No. 71 tentang Tindak Pidana Korupsi, di
masa ini menjadi Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak
Pidana Korupsi.
Menurut Romli Atmasasmita yang waktu itu menjabat sebagai Dirjen
Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman bahwa undang-
undang ini menyertakan ancaman hukum yang lebih besar dan subyek
hukumnya tidak lagi perorangan, tetapi bisa pula badan hukum seperti
perusahaan, yayasan, dan koperasi. Kemudian Undang-undang ini direvisi
kembali menjadi Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana
korupsi yang menyertakan pembuktian terbalik.11
Organisasi bagian institusi anti korupsi pada masa ini yang pertama
lahir adalah KPKPN (Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggaraan
Negara) yang dibentuk pada tahun 1999, yang berfungsi untuk mencegah
dan memonitoring korupsi, dan bertugas untuk memeriksa kekayaan para
pejabat publik. Sedangkan untuk represifnya, dibentuk TGPTPK (Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) di bawah koordinasi
Jaksa Agung dan pada saat itu diketuai oleh Adi Andojo sucipto, mantan
11
Tempo Online, Hanya menakut-nakuti?, http://202.158.52.214/id/arsip/1999/04/04/HK/mbm.19990404.HK94833.id.html, diakses pada tanggal 21 Oktober 2019, pukul 21.19.
35
ketua muda Mahkamah Agung. TGPTPK beranggotakan kepolisian,
kejaksaan, instansi terkait, dan juga masyarakat.12
Namun dua Institusi ini hanya berjalan sebentar saja, TGPTPK pada
saat itu mengalami judicial review dan pembentukannya dianggap
melanggar Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pakar hukum Pidana Harkristusi Harkrisnowo
menjelaskan bahwa masalah ini akibat dualisme dalam proses penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana korupsi, yaitu antara kepolisian dan
kejaksaan. Di satu sisi, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi mengamanatkan Jaksa Agung sebagai
koordinator dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.
Sementara di sisi lain, KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana) menentukan kepolisian sebagai koordinator penyelidikan dan
penyidikan. Menurut penuturan Kamanto Sunarto, anggota tim performance
review TGPTPK, keterbatasan dan kendala tersebut dapat dibagi dalam tiga
lingkup, yaitu kewenangan, kemandirian TGPTPK, serta resistensi dari
instusi lainnya. Kewenangan TGPTPK mencakup dua hal, yaitu koordinasi
penyidikan dan koordinasi penuntutan. Namun dalam hal penyelidikan,
Kejaksaan Agung harus memulainya berdasarkan adanya laporan warga
masyarakat maupun temuan kejaksaan sendiri, bukan temuan dari anggota
TGPTPK terlebih dahulu .13
Di sisi lain, gagasan untuk membentuk badan anti korupsi terus
mengemuka pada masa reformasi di akhir tahun 1998 meskipun menuai pro
dan kontra di masa pemerintahan sebelumnya. Pada bulan Desember tahun
1998, ICAC New South Wales, badan anti korupsi di negara bagian New
South Wales, Austria, mengirim surat ke BPKP. Surat tersebut berusaha
12
Rizki Febari, Politik pemberantasan Korupsi: strategi ICAC Hong Kong dan KPK Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 123.
13
Hukum Online, Belajar dari Kegagalan TGPTPK, diakses dari http://www.hukumonline.com/artikel_detail.asp?id=3925.
36
mencegah keraguan opini kinerja badan anti korupsi. Berikut pernyataannya
“Kami menyarankan bahwa titik penting setiap semua strategi anti korupsi
harus dimulai dengan pembuatan badan anti korupsi”.14
Pejabat Departemen Kehakiman Romli Atmasasmita di tahun 1999
juga mulai melakukan penjajakan ke ICAC (Independent Commision
against Corruption) sebagai badan anti korupsi yang ada di Hong Kong,
dengan melalui bantuan Asian Development Bank, dimulailah formulasi
mengenai keorganisasian badan anti korupsi untuk pembentukan badan anti
korupsi bernama KPTPK (Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
yang populer disebut dengan KPK.15
Dalam tahap formulasinya mantan ketua badan anti korupsi ICAC
Hong kong, Bertrand de Speville, juga dilaporkan pernah ikut serta dalam
formulasinya. Ketika formulasi Undang-undang KPK selesai pada tahun
2002, ternyata masih menuai masalah yang disebabkan oleh presiden negara
Indonesia yang ketika itu adalah Megawati Soekarnoputri justru menunda
terlebih dahulu UU KPK ini hingga hampir dua tahun. Megawati baru
menandatangani UU KPK ini di akhir bulan Desember 2003. KPK pun
secara resmi berdiri dan dipimpin pertama kali oleh Taufiequrachman Ruki
(2004-2007), seorang pensiunan dari kepolisian yang ketika dahulu
menyandang pangkat tertingginya Irjen polisi.16
Secara legalitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberikan mandat untuk
14
Rizki Febari, Politik pemberantasan Korupsi: strategi ICAC Hong Kong dan KPK Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 125.
15
Emil. P. Bolongaita, An exception to the rule? Why Indonesia’s Anti Corruption Commission succeds where others’s don’t a comparison with the Philippines Ombudsman, U4 Issue, No.4, 2010.
16
Rizki Febari, Politik pemberantasan Korupsi: strategi ICAC Hong Kong dan KPK Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 125.
37
melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan.
KPK yang bersifat independen, dan bebas dari intimidasi kekuasaan
manapun, bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari
lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang
menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti
mendorong upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang
sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Untuk menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan
Korupsi, berlandaskan pada pasal 5 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
yaitu:
1. Kepastian hukum: adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, dan
keadilan dalam setiap menjalankan tugas dan wewenang KPK.
2. Keterbukaan: adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang kerja KPK dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.
3. Akuntabilitas: adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir kegiatan KPK harus dapat dipertanggung jawabkan
kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Kepetingan umum: adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang anspiratif, akomodatif, dan selektif.
38
5. Proporsionalitas: adalah asas yang mengutamakan keseimbangan
antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban KPK.17
KPK mempunyai tugas-tugas sebagaimana diatur dalam pasal 6
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, yaitu:
1. Melakukan koordinasi dengan instasi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam
melaksanakan tugas koordinasi dengan instansi yang
berwenang melakukan tindak pidana korupsi, KPK
berwenang:
1. Mengkordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi;
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
3. Meminta informasi terkait kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak
pidana korupsi.
6. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; instansi yang
berwenang adalah termasuk Badan Pemerikasa Keuangan,
Badan Pengawas Keuangan Pembangunan, Komisi Pemeriksa
17
Undang-undang nomor 30 Tahun 2002.
39
Kekayaan Penyelenggara Negara, Inspektorat pada Departemen
atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen.
Dalam melaksanakan tugas supervisi terhadap instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK
berwenang:
1. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap
instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan
instansi yang dapat melaksanakan pelayanan publik.
2. Mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku
tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan.
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi.
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi, KPK berwenang:
1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
2. Memerintahkan kepada instansi terkait untuk melarang
seseorang berpergian ke luar negri.
3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa
yang sedang diperiksa.
4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
untuk memblokir rekening yang diduga hasil korupsi milik
tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait.
40
5. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.
6. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau
terdakwa kepada instansi yang terkait.
7. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi
perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara
perizinan, lisensi serta konsensi yang dilakukan atau dimiliki
tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal
yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi
yang sedang diperiksa.
8. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak
hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan,
dan penyitaan barang bukti di luar negri.
9. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait
untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang
sedang ditangani.
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
Dalam melaksanakan tugas pencegahan tindak pidana korupsi, KPK
berwenang:
1. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan
harta kekayaan penyelenggara negara.
2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi.
3. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada
setiap jenjang pendidikan
4. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi.
41
5. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum.
6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas monitor terhadap penyelenggara pemerintahan
negara, KPK berwenang:
1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan
administrasi di semua lembaga negara dan pemerintahan.
2. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan
pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil
pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi
korupsi.
3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa
Keuangan, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut
diindahkan.18
Beberapa contoh korupsi politik yang ditangani oleh KPK seperti
terjadi pada kasus korupsi E-KTP yang dilakukan oleh Setya Novanto.
Novanto dihukum pidana penjara selama 15 tahun dan pidana tambahan
dengan dicabut hak politiknya selama 5 tahun terhitung setelah
menyelesaikan pidana pokoknya .19
Contoh Korupsi Politik lainnya dilakukan oleh Bupati Kotawaringin
Timur, Supian Hadi sebagai tersangka atas kasus korupsi penerbitan Izin
Usaha Pertambangan (IUP) di daerah tersebut. Dalam kasus ini, negara
18
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta:Sinar Grafika, 2010), h. 263.
19
https://news.detik.com/berita/d-3987879/terbukti-korupsi-e-ktp-setya-novanto-divonis-15-tahun-penjara, diakses pada 20 September 2019, pukul 19.57.
42
tercacat mengalami kerugian hingga Rp 5,8 Triliun dan 711 Ribu dolar AS.
Supian yang juga merupakan kader PDIP ini, diduga menguntungkan diri
sendiri dan korporasi dalam pemberian IUP kepada tiga perusahaan yakni
PT. Fajar Mentaya Abadi (PT.FMA), PT. Bill Indonesia (PT. BI), dan PT.
Aries Iron Maining (PT. AIM) pada periode 2010-2015. Peneliti Indonesian
Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menyebut kasus korupsi Bupati
Kotawaringin Timur menjadi salah satu kasus korupsi terbesar yang
ditangani KPK.
Korupsi politik yang terhendus oleh KPK selanjutnya adalah Proyek
Hambalang. Kasus proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan
Sarana Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang juga tercatat menjadi
salah satu korupsi besar yang pernah ada, dengan nilai kerugian negara
sebesar Rp 706 miliar. Pembangunan proyek Hambalang Ini direncanakan
dibangun sejak masa Mentri Pemuda dan Olahraga Andi Malarangeng
dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,2 Triliun. Proyek yang
ditargetkan rampung dalam waktu 3 tahun ini mangkrak, hingga akhirnya
aliran dana korupsi tercium oleh KPK. Aliran dana proyek ini masuk ke
kantong beberapa pejabat. Di antaranya Mantan Menpora Andi
Malarangeng, Sekretaris Kemenpora Wahid Muharram, Ketua Umum Partai
Demokrat Anas Urbaningrum, Direktur Utama PT Dutsari Citra Larsa
Mahfud Suroso, dan Anggota DPR Angelina Sondakh.20
Kasus Korupsi politik lainnya yang terlibat Anggota DPR RI Aditya
Moha dengan pidana 4 tahun penjara, Taufik Kuriawan dengan hukuman 6
tahun penjara dan pidana tambahan dengan tidak boleh menduduki jabatan
publik selama 3 tahun terhitung terdakwa selesai menjalani hukuman pidana
pokok, Fayakhun Andriadi divonis dengan 8 tahun penjara dan pidana
tambahan pencabutan hak politik dipilih dan memilih dijabatan public
selama 5 tahun terhitung terdakwa selesai menjalani pidana pokok.
20
https://www.suara.com/news/2019/02/11/163457/5-kasus-korupsi-terbesar-di-indonesia-dengan-kerugian-negara-fantastis, diakses pada 20 September 2019, pukul 20.38.
43
Serta lima anggota DPRD Sumatera Utara divonis dengan hukuman
masing-masing empat tahun penjara dan denda sebanyak Rp. 200 juta
dengan nama Rijal Sirait, Fadly Nurzal periode 2009-2014, dan Rinawati
Sianturi, Tiaisah Ritonga periode 2014-2019. Kelimanya tersebut mendapat
pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.21
Grafik anggota DPR dan DPRD yang terjerat korupsi dari tahun ke tahun.22
Tidak saja anggota DPR RI yang terjerat dengan korupsi, pada periode
2014-2019 anggota DPRD juga banyak yang terlibat dengan korupsi. KPK
pada 2018 menetapkan belasan dan bahkan puluhan anggota dan mantan
anggota DPRD Sumatera Utara (44 orang), Kota Malang (41 orang), Jambi
(13 orang), Lampung tengah (6 orang) sebagai tersangka korupsi. Pantauan
ICW terhadap penindakan kasus korupsi sepanjang 2015-2019 mencatat
21
https://aceh.tribunnews.com/2019/02/14/terima-suap-5-anggota-dprd-sumut-dicabut-hak-politik-divonis-4-tahun-penjara-dan-denda-rp-200-juta?page=2, diakses pada 24 November 2019, pukul 21.39.
22
https://aceh.tribunnews.com/2019/02/14/terima-suap-5-anggota-dprd-sumut-dicabut-hak-politik-divonis-4-tahun-penjara-dan-denda-rp-200-juta?page=2, diakses pada 24 November 2019, pukul 22.10.
44
bahwa sedikitnya 254 anggota dan mantan anggota DPRD menjadi
tersangka korupsi dalam lima tahun terakhir.23
C. Status Mantan Narapidana
Sebelum mengkaji status mantan narapidana tersebut, kita harus
memahami terlebih dahulu istilah narapidana itu sendiri. Secara bahasa,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti dari kata narapidana
adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena telah melakukan suatu
tindak pidana.24
Sedangkan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) pada pasal 1 ayat 32 menyatakan terpidana adalah
seseorang yag dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Merujuk kepada istilah di atas bisa
dipahami bahwa, narapidana adalah orang yang terpidana yang sebagian
kemerdekaannya hilang sementara dan sedang menjalani hukuman yang
ditetapkan oleh pengadilan dimana hukum tersebut bersifat tetap.
Lalu muncul pertanyaan di kalangan masyarakat tentang sebutan atau
istilah yang dipakai untuk orang terpidana yang sudah menyelesaikan masa
hukumannya di penjara?. Dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, tidak ada acuan baku akan penamaan istilah itu sendiri secara tetap.
Bahwa seseorang yang telah selesai menjalani masa hukumannya dan
dikeluarkan dari penjara, tidak ditetapkan istilahnya secara eksplisit di
dalam Undang-undang.
Apabila ditelaah dalam peratuan perundang-undangan yang ada,
istilah “mantan narapidana” tidak ada penggunannya secara eksplisit di
23
https://kabar24.bisnis.com/read/20190410/16/910022/wajah-lama-caleg-dpr-dan-mimpi-bebas-korupsi, diakses pada 25 November 2019, pukul 14.22.
24
Kamus Besar Indonesia, Narapidana, https:/kbbi.web.id, diakses pada 22 Agustus 2019,
pukul 19.27.
45
dalam Undang-undang itu sendiri. Namun penggunaan istilah mantan
narapidana selaku orang yang “pernah” menjadi terpidana ini ada diatur
secara implisit. Hal ini bisa dilihat pada Undang-undang Nomor 7 Tahun
2017 Pasal 169 butir P “Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih”.
Indonesia adalah Negara hukum atau yang berdasar atas hukum
(rechstaat) dan bukan negara yang berdasar atas kekuasaan belaka
(machstaat), oleh karena itu negara memberikan hak yang sama kepada
semua warga negara meskipun dia adalah mantan narapidana. Hal ini
berlandaskan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap
warga Negara adalah sama kedudukannya di hadapan hukum (equality
before the law). Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No. 39 Tahun
1999 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian
hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Karena bagaimanapun starata sosialnya di masyarakat, apakah dia
tidak pernah memiliki rekam jejak sebagai mantan narapidana ataupun
pernah memiliki rekam jejak narapidana tetap saja diperlakukan sama,
diberikan kesempatan yang sama, kebebasan yang sama, dan hak untuk
berkontetasi politik yang sama, sebagai mana halnya diatur didalam UUD
1945 Pasal 28D ayat (3).
30
46
BAB IV
PEMBATASAN HAK POLITIK MANTAN NARAPIDANA KORUPSI
A. PKPU NO. 20 Tahun 2018
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) merupakan peraturan
yang dibentuk timbul oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan
amanat Undang-undang yang saat ini diatur dalam Undang-undang pemilu.1
Dalam tahapan penyusunan PKPU ini tentunya haruslah mengacu kepada
Pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang terdiri atas:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang.
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Mengingat PKPU ini adalah kewenangan dari KPU yang mana
Undang-undang adalah rahim dari terwujudnya KPU, maka dalam hal
pembuatan peraturan oleh KPU tentunya tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang ada di atasnya, sebagaimana terdapat pada Pasal 7 ayat 1
Undang-undang No 12 tahun 2011. Demi terbentuknya Undang-undang
yang berkualitas dan tidak semerta asal-asalan saja, pembentukan peraturan
perundang-undangan mesti haruslah memperhatikan kaidah-kaidah
pembentukannya, yaitu:
1. Landasan Filosofis
2. Landasan Sosiologis
3. Landasan Yuridis
1 Pasal 12 huruf c dan Pasal 13 huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017.
47
4. Landasan Politis
Sebelum diadakannya pemilu pada 17 April 2019, KPU sebagai
lembaga negara yang mengakomodir dan memfasilitasi semua kebutuhan
untuk berjalannya pemilu yang dikenal dengan “pesta demokrasi” ini pun
mengeluarkan Peraturan Komisi pemilihan Umum Nomor 20 pada tahun
2018. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang dikeluarkan pada
tahun 2018 tidak berbeda secara substansial dengan PKPU yang dikeluarkan
pada tahun-tahun sebelumnya, aturan-aturan yang dikeluarkan tersebut
masih memuat tentang aturan-aturan yang bersifat teknis dan administratif
demi terwujudnya pemilu yang aman, nyaman, jujur, rahasia, dan bebas
dari kecurangan.
Setelah di keluarkannya PKPU Nomor 20 Tahun 2018 oleh KPU,
ternyata hal tersebut menuai kontroversial di berbagai kalangan seperti
mahasiswa, para ahli hukum, partai politik, dsb. Penyebabnya adalah
adanya terobosan-terobosan baru yang dikeluarkan oleh KPU, seperti yang
terdapat pada pasal 4 ayat (3) tentang persyaratan bakal calon, bahwa bakal
calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah
warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan di antaranya
adalah bakal calon tidak pernah sebagai terpidana, berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam
dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap, bukan mantan terpidana bandar
narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.
48
B. Pro Kontra
Diterbitkannya PKPU No. 20 Tahun 2018 menuai dilematis di
kalangan masyarakat Indonesia terkhusus pada pasal 4 ayat 3. Karena pada
pasal 4 ayat 3 tersebut berbunyi: “Dalam seleksi bakal calon secara
demokratis dan terbuka, tidak menyertakan mantan terpidana bandar
narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi”, dengan peraturan
yang di keluarkan KPU di atas tentunya melahirkan asumsi di tengah-tengah
masyarakat, ada yang setuju dan ada yang menolak peraturan KPU tersebut.
Beberapa orang yang mendukung dengan pelarangan mantan
narapidana korupsi menjadi calon legislatif diutarakan oleh Febri Diansyah
sebagai Kabiro Humas KPK, ia berpendapat bahwa “sejak awal, secara
prinsip KPK mendukung agar ruang gerak terpidana korupsi atau koruptor
lebih dibatasi untuk menduduki posisi publik. Apalagi jabatan-jabatan
politik berdasarkan pemilihan”. Sementara itu, Wakil Koordinator ICW Ade
Irawan mendukung aturan KPU, ia mengatakan “ICW berharap aturan ini
mampu menghadirkan para caleg (calon legislatif) berintegritas dan
berkualitas. PKPU dari awal memang kami apresiasi, langkah progresif
KPU dalam upaya menegakkan integritas pemilu. Kalau kita bicara
integritas itu peserta, penyelenggara, pemilih. Kita lihat dari berbagai kasus
di Indonesia problem mendasar itu ada di korupsi politik”.2
Sedangkan pendapat yang tidak setuju atau kontra dengan aturan yang
dikeluarkan KPU tersebut di antaranya adalah ketua DPR RI Imanuel
Ekadianus Blegur, ia berpendapat bahwa “KPU menabrak undang-undang
jika membatasi hak warga negara untuk dipilih. Di sisi lain ikhtiar KPU
untuk menciptakan hasil proses demokrasi yang bersih bebas dari korupsi
harus didukung. Tapi KPU bersikukuh menjegal mantan terpidana korupsi
untuk menggunakan hak dasarnya sebagai warga negara untuk dipilih
sebagai calon legislatif menurut saya kurang bijaksana”. Pendapat kontra
2 https://news.detik.com/berita/d-4094865/pro-kontra-larangan-nyaleg-untuk-eks-
koruptor, diakses pada tanggal 20 Oktober 2019, pukul 18.05.
49
yang lain juga diutarkan oleh Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, beliau
berpendapat “ada undang-undang yang mengaturnya sehingga kita ikuti
aturan saja. Kita ini negara hukum maka ikuti aturan saja, dalam aturan
Undang-undang Pemilu diperbolehkan, maka peraturan KPU (PKPU) harus
mengikutinya, jadi tidak boleh bertentangan dengan hukum yang di
atasnya”.
Menurut Ketua Komnas HAM RI Latuharhary “Komisi Pemilihan
Umum tidak bisa melarang mantan napi narkoba menjadi calon anggota
legislatif pada pemilu 2019. Alasannya, Undang-undang Pemilu tidak
mengatur larangan itu. Kalau tidak ada dalam Undang-undang, tidak bisa”.
Menurut Prof. Moh. Mahfud MD, ia mengatakan bahwa “membolehkan
orang ikut dan melarang orang ikut, itu wewenang Undang-undang, bukan
PKPU. Sebab larangan tersebut berkaitan dengan hak asasi seseorang dalam
berpolitik. Sementara, urusan pengurangan hak asasi manusia itu merupakan
wewenang lembaga legislatif”. Menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra
“seharusnya ada larangan untuk berpolitik yang dikeluarkan dalam putusan
pengadilan. Tujuannya agar ada kejelasan hukum bagi para mantan koruptor
yang merupakan anggota legislatif. Kita itu tidak boleh menghukum orang
seumur hidup, ada hukuman yang terbatas. Misalnya orang dihukum dua
tahun. Dia memang bisa ikut lagi tapi idealnya penjatuhan sanksi mestinya
dituangkan dalam putusan pengadilan. Jadi bukan undang-undang yang
menghukum orang”.3
3 Putusan Mahkamah Agung No. 55 P/HUM/2018, h. 3.
50
C. Gugatan terhadap PKPU
Bukti konkrit dari yang tidak menyetujui dengan adanya PKPU No.
20 Tahun 2018 ini adalah dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah
Agung. Hal ini dilakukan oleh Jumanto, Jumanto selaku pemohon warga
negara republik Indonesia yang pernah dinyatakan bersalah dan terbukti
melakukan tindak pidana, berdasakan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap oleh Mahkamah Agung pada 9 Juni 2010.
Dalam putusan tersebut Jumanto dijatuhi pidana penjara karena
melakukan tindak pidana korupsi. Di dalam putusan tersebut tidak ada
hukuman tambahan yang melarang jumanto untuk aktif dalam kegiatan
politik, dipilih atau memilih dalam suatu Pemilihan Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2018 tentang
Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
Jumanto saat ini telah dibebaskan berdasarkan surat keputusan Mentri
Hukum dan HAM.
Jumanto yang saat ini telah aktif kembali dalam kegiatan
bermasyarakat, bermaksud untuk mencalonkan diri menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah di Kabupaten Probolinggo. Namun demikian,
dengan adanya aturan PKPU No. 20 Tahun 2018 Pasal 4 ayat 3 yang
berbunyi “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka, tidak
menyertakan mantan terpidana Bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap
anak, dan korupsi”, menjadi mustahil bagi Jumanto untuk mencalonkan diri
dalam proses Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di
Kabupaten Probolinggo.
Sebagai “perorangan”, maka kedudukan Jumanto atau pemohon
sebagai perseorangan warga negara mempunyai hak-hak konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945 baik hak yang bersifat tidak langsung, seperti hak
untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang sebagaimana diatur dalam pasal
1 ayat (3) UUD 1945. Pada saat ini Pemohon bermaksud untuk kembali
berperan dalam membangun daerahnya dalam pemerintahan dengan
51
menjadi calon wakil rakyat dalam hal ini adalah menjadi Anggota DPRD di
Kabupaten Probolinggo. Namun demikian, hak pemohon tersebut terhalang
dengan adanya norma yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (3) PKPU No. 20
Tahun 2018 yang berbunyi “dalam seleksi bakal calon secara demokratis
dan terbuka, tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan
seksual terhadap anak, dan korupsi”.
Fakta integritas yang ditanda tangani oleh Pimpinan Partai Politik
sesuai dengan tingkatannya dengan menggunakan formulir Model B.3 dan
lampiran Model B.3 fakta Integritas Pengajuan Bakal Calon Anggota
DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota. Norma tersebut jelas dan
nyata melanggar hak konstitusional Pemohon yang diberikan Undang-
undang Nomor. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, karena Pemohon
yang pernah menjalani hukuman pidana penjara korupsi. Padahal, Undang-
undang Nomor. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak mengatur
larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk mengikuti pemilihan umum.
Bahwa berdasarkan argumentasi Pemohon sebagaimana yang telah
diuraikan di atas, terbukti Pemohon mengalami kerugian atas berlakunya
Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huru d, dan Lampiran Model B.3 PKPU
Nomor 20 Tahun 2018 jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.4
Pendapat Mahkamah Agung bahwa objek permohonan yang
dimohonkan pengujian adalah norma tentang larangan bagi mantan
terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi
menjadi Bakal Calon Anggota legislatif sebagaimana diuraikan dalam Pasal
4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan perwakilan Daerah Provinsi, Dewan
4 Putusan Mahkamah Agung No. 46 P/HUM/2018, h. 8.
52
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Pemohon adalah mantan
terpidana kasus korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap dan telah dibebaskan serta telah aktif dalam
kegiatan bermasyarakat. Pemohon tidak terkait dengan mantan terpidana
bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Oleh karena itu,
Pemohon hanya relevan untuk mempersoalkan pengujian frasa mantan
terpidana korupsi tersebut.
Bahwa hak memilih dan dipilih sebagai anggota legislatif merupakan
hak dasar di bidang politik yang dijamin oleh konstitusi yaitu Pasal 28
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengakuan
hak politik ini juga diakui dalam Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik (International Convenant on Civil and Political Rights disingkat
ICCPR) yang ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
berdasarkan Resolusi 2200A (XXI), pada tanggal 16 Desember 1966
sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun
2005 tentang Pengesahan International Convenant and Political Rights
(Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Bahwa lebih lanjut pengaturan mengenai hak politik diatur dalam
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang menyatakan “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan
memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui
pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal 73 Undang-
Undang tersebut juga menentukan “Hak dan kebebasan yang diatur dalam
Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-
undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan,
ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Dalam Undang-undang HAM di atas sangat jelas diatur bahwa setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum dan kalaupun ada pembatasan terhadap hak tersebut maka
53
harus ditetapkan dengan undang-undang, atau berdasarkan Putusan Hakim
yang mencabut hak politik seseorang tersebut di dalam hukuman tambahan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai ketentuan dalam Pasal
18 ayat (1) huruf d, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto, dan Pasal 35 ayat (1) Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur mengenai
pencabutan hak politik (hak dipilih dan memilih).
Bahwa menurut Mahkamah Agung, norma yang diatur dalam pasal 4
ayat (3) Perturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018
bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan:
“Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi
persyaratan:
a. Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau
lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada
publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Bahwa dari ketentuan pasal 240 ayat (1) huruf g tersebut, tidak ada
norma atau aturan larangan mencalonkan diri bagi mantan terpidana
korupsi, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat
(1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018.
Bahwa Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tidak sejalan,
berbenturan, atau tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, sebagaimana yang dijelaskan dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Berdasarkan pertimbangan Hakim dengan melihat berbagai
pertimbangan di atas, maka Hakim memutuskan:
54
a. Mengabulkan permohonan keber[atan hak uji materil dari
Pemohon Jumanto tersebut.
b. Menyatakan Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan
Lampiran Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tanggal 2 Juli 2018
tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota sepanjang frasa “mantan terpidana
korupsi”. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, yaitu dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Pemilihan Umum juncto, Undang-undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dan tidak berlaku umum.
c. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk
mengirimkan petikan putusan ini kepada percetakan negara untuk
dicantumkan dalam Berita Negara.
d. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Secara Konstitusional, dengan adanya putusan Mahkamah Agung
Nomor 46 P/HUM/2018 maka PKPU Nomor. 20 Tahun 2018 pasal 4 ayat
(3) dan Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 tidak bersifat
mengikat lagi. Serta dengan adanya Putusan yang di keluarkan oleh
Mahkamah Agung tersebut, maka telah mengembalikan kembali hak-hak
politik warga negara yang semula dibatasi oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU).
55
D. Implikasi Putusan Mahkamah Agung
Pasca keluarnya putusan Mahkamah Agung No.46 P/HUM/2018 tidak
menjadi penghambat bagi mantan koruptor untuk mengikuti pemilihan
legislatif yang diadakan pada 9 April 2019. Komisi Pemilihan Umum
(KPU) mengumumkan nama-nama calon legislatif yang berstatus sebagai
mantan narapidana korupsi yang akan mengikuti pemilu 2019. Ada 49 caleg
yang terdiri dari 16 caleg DPRD Provinsi, 24 caleg DPRD Kabupaten/Kota
dan 9 caleg DPD yang berstatus mantan terpidana korupsi, dan tidak ada
mantan terpidana koruspi yang mencalonkan diri pada tingkat DPR.5
Di satu sisi dengan adanya Putusan Mahkamah Agung
No.46P/HUM/2018 membuka peluang kembali kepada mantan terpidana
kasus korupsi untuk mengambil jabatan publik, hal ini pun bisa memberi
peluang terhadap mantan narapidana korupsi untuk melakukan korupsi
kembali ketika setelah menduduki jabatannya yang baru. Seperti halnya
yang dilakukan oleh Bupati Kudus Muhammad Tamzil yang menjadi
tersangka kasus korupsi dengan kasus jual beli jabatan. Sebelumnya,
Muhammad Tamzil sempat mendekam dipenjara karena dinyatakan
bersalah kasus korupsi dana bantuan sara dan prasarana pendidikan
Kabupaten Kudus untuk tahun anggaran 2004.6
Banyaknya tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah
baik itu pada tatanan legislatif dan eksekutif disebabkan karena mahar
politik yang sangat mahal untuk berkontestasi dalam pemilu, sebab untuk
mencalonkan diri pada pesta demokrasi mengeluarkan cost atau biaya yang
besar dan itu tidak ditanggung oleh pemerintah. Maka demikian ketika
pejabat tersebut berhasil menduduki dalam sistem pemerintahan, mereka
5 https://tirto.id/kpu-umumkan-49-caleg-berstatus-mantan-koruptor-ikut-pileg-2019-dfr4,
diakses pada 25 November 2019, Pukul 14.51.
6 https://nasional.kompas.com/read/2019/07/27/17080491/dua-kali-terjerat-kasus-
korupsi-bupati-kudus-bisa-dituntut-hukuman-mati, diakses pada 28 November 2019, Pukul
23.08.
56
sibuk mencari pemasukan untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan di
waktu pemilu.
Meskipun para mantan terpidana korupsi tidak dilarang untuk
berkontestasi dalam pemilihan legislatif, negara meberikan aturan khusus
kepa para caleg mantan koruptor dengan merujuk pada Pasal 182 dan Pasal
240 Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bahwa di dalam
pasal tersebut menjelaskan untuk mensyaratkan calon legislatif dengan
status mantan terpidana mengumumkan statusnya secara terbuka kepada
publik.
Dalam hukum positif tidak ada aturan terkait pembatasan hak politik
mantan narapidana korupsi seperti hak memilih dan dipilih, sebagaimana
yang tertuang pada Pasal 43 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 “setiap
warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum
berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undagan”.
Di dalam kancah internasional seperti DUHAM (Decleration of
Human Rights) yang diatur oleh PBB pun juga tidak membatasi hak politik
mantan narapidana korupsi, dengan mengacu kepada Pasal 21 ayat (1)
tentang Hak Sipil dan Politik (Sipol) “setiap orang berhak turut serta dalam
pemerintahan negrinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan
melewati perantara wakil-wakil yang dipilih dengan bebas”. Begitu juga
yang diatur Organisasi Konferensi Islam (OKI) terkait hak berpolitik warga
negara terdapat pada Pasal 22 huruf (a) “setiap individu memiliki hak untuk
mengekspresikan opininya secara bebas selama tidak berlawanan dengan
syariat”.
Menurut moralitas yang dianut oleh agama Islam orang yang berdusta
mendapatkan penilaian yang tidak baik di sisi Al-quran sebagaimana dalam
surat An-Nahl ayat 105 yang artinya “Sesungguhnya yang mengada-adakan
kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat
Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta”.
57
Maka dari itu masyarakat kurang percaya lagi kepada calon pemimpin
yang pernah melakukan tindakan kriminal semasa dia menjabat dulu. Dalam
hal ini bisa kita sinkronisasikan dengan metodologi ulumul hadis sifat-sifat
rawi yang ditolak periwayatannya. Adapun kriteria rawi yang ditolak
periwayatannya adalah:7
1. Kafir. Tidak dapat diterima hadis riwayat orang kafir, karena syarat
mutlaknya diterimanya suatu riwayat adalah apabila rawinya
beragama islam. Sebab, kekafiran adalah factor permusuhan yang
terbesar bagi agama islam dan umatnya.
2. Kecil dan gila. Tidak dapat diterima hadis riwayat rawi yang masih
kecil dan rawi yang gila, karena mereka tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban.
3. Fasik. Tidak dapat diterima riwayat orang yang fasik lantaran
banyaknya maksiat yang dilakukannya, meskipun ia tidak tampak
berdusta. Demikian juga periwayat yang fasik lantaran dusta dalam
berbicara meskipun ia tidak berdusta dalam hadis Rasulullah Saw.
Hal ini karena tidak dapat dijamin selamanya tidak berdusta
terhadap hadis sementara ia masih tidak segan-segan mengabaikan
larangan Allah. Karena Al-Quran dan hadis telah melarang
menerima hadis dari setiap orang fasik, kecuali apabila ia
menanggalkan semua perbuatan dosanya dan bertobat dengan tobat
yang sebenanrnya.
4. Hadis riwayat orang yang bertobat dari dusta dalam berbicara akan
dapat diterima. Namun para ulama menolak hadis riwayat orang
yang bertaubat dari dusta yang pernah disengaja terhadap hadis
Rasulullah. Sehubungan itu Ibnu Shalah berkata, “orang yang
bertobat dari dusta dalam berbicara terhadap sesama manusia
atau dari sebab-sebab kefasikan lainnya, riwayatnya akan dapat
diterima, kecuali orang yang bertaubat dari dusta secara sengaja
terhadap hadis Rasulullah, maka hadisnya tidak dapat diterima
7 Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, (Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 2014), h.74
58
selamanya meskipun tobatnya baik sebagaimana disebutkan oleh
bnyak ulama, di antaranya Ahmad bin Hanbal.
Alasan tidak diterimanya hadis riwayat orang yang bertaubat dari
dusta yang disengaja terhadap hadis itu adalah sebagai upaya preventif,
sanksi yang diperberat, sekaligus sebagai upaya mempertinggi kehati-hatian.
Hal ini sama dengan upaya syariat yang berupaya mempertinggi kemuliaan
harga diri manusia sehingga persaksian bekas penuduh zina tidak dapat
diterima meskipun setelah ia tobat. Demikianlah penjelasan banyak ulama.
Untuk mengetahui cacatnya seorang perawi tersebut ilmu hadis
memiliki fokus tersendiri yang dikenal dengan Al-Jarh wa al-Ta’dil. Ilmu
al-jarh wa al-ta’dil adalah “timbangan” bagi para rawi hadis. Rawi yang
“berat” timbangannya, diterima riwayatnya dan rawi yang “ringan”
timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui
periwayat yang dapat diterima hadisnya dan kita dapat membedakannya
dengan periwayat yang tidak diterima hadisnya.
Beberapa hal aturan ulama untuk al-Jarh wa at-Ta’dil, diantaranya
yang terpenting adalah sebagai berikut:
1. Bersikap objektif dalam tazkiyah, sehingga ia tidak meninggikan
seorang rawi dari martabat yang sebenarnya atau merendahkannya
sebagaimana yang terjadi bagi kebanyakan manusia dewasa ini.
2. Tidak boleh jarh melebihi kebutuhan, karena jarh itu disyariatkan
lanturan darurat; sementara darurat itu ada batasnya.
3. Tidak boleh hanya mengutip jarh saja sehubungan dengan orang
yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus tetapi dinilai adil oleh
sebagian lainnya, karena sikap yang demikian telah merampas hak
rawi yang bersangkutan dan para muahdditsin mencela sikap yang
demikian.
4. Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu di jarh, karena
hukummnya disyariatkan lantaran darurat. Maka dalam kondisi
tidak ada daruratnya, jarh tidak dapat dilaksanakan.
59
Apabila mantan narapidana korupsi disamakan dengan orang yang pernah
berdusta maka, mantan narapidana korupsi yang mencalonkan dirinya pada
ajang pemilu mestinya tidak diberikan kepercayaan lagi oleh masyarakat atau
tidak dipilih. Karena konteks mantan narapidana korupsi sama dengan orang
yang membrerikan kesaksian palsu di depan Hakim, dan orang yang
meriwayatkan hadis palsu, sebab mantan narapidana korupsi adalah orang yang
berdusta/berkhianat kepada negara serta kepada rakyatnya.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Hak politik mantan narapidana korupsi di indonesia tidak dibatasi oleh
undang-undang dan Undang-undang Dasar 1945. Meskipun oknum tersebut terjerat
beberapa kali dalam kasus korupsi, dan ketika telah menyelesaikan masa
hukumannya masih dibolehkan lagi untuk mencalonkan diri kembali.
2) Setelah dicabutnya PKPU No. 20 tahun 2018, dengan dikeluarkannya
putusan Mahkamah Agung No 46P/HUM/2018 sebagai legistimasi bahwa mantan
narapidana korupsi diperbolehkan untuk berkontestasi dalam pemilu 2019.
B. Saran
Apabila merujuk melalui perspektif normatif dan yuridis, Putusan
MA tersebut mengacu kepada HAM dalam pandagan PBB yang diratifikasi
menjadi undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Convenant and Political Rights dan asas kepastian Hukum.
Pada tahap fungsi dan peran MA dengan nomor 46P/HUM/2018,
Mahkamah Agung sudah sesuai secara tupoksinya yaitu membatalkan
aturan yang bertentangan dengan undang-undang. Oleh karena itu, untuk
mengatur hak politik bagi terpidana korupsi mesti dibuat dalam satu
peraturan perundang-undangan yang lebih kuat sehingga tidak menuai
polemik di kemudian hari.
61
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
‘Itr, Nuruddin, Ulumul Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014
Ahmad Saebani, Beni, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia, 2015
Djaja, Ermansyah, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta: Sinar Grafika,
2010
Effendi, Masyhur, Dimensi dan dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Nasional dan Internasional, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994
Febari, Rizki, Politik pemberantasan Korupsi: strategi ICAC Hong Kong dan
KPK Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015
Grafika, 2010
Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006
Ibn Hambal, Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal
Ibnu Syarif, Mujar dan Khamami Zada, Fiqih Siyasah Doktrin dan Pemikiran
Politik Islam, Erlangga: PT Gelora Aksara Pratama, 2008
________, Hak-hak Politik Minoritas Non-Muslim dalam Komonitas Islam,
Bandung: PT Angkasa, 2003
Imam, Hidayat, Teori-teori Politik, Malang: Setara press, 2009
K.M Smith, Rhona, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII,
2015
Machiavelli, N.,Standard Publication Incorporation, The Prince; London: 2007
Martitah, Mahkamah Konstitusi, Jakarta Barat: Konstitusi Press, 2013
62
Parsons, Talcott, The Distribution of Power in America Society, World Politic:
1957
Pasal 12 huruf c dan Pasal 13 huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017
Putusan Mahkamah Agung No. 55 P/HUM/2018
Putusan Mahkamah Agung No. 46 P/HUM/2018
Sorjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia,
2005
Wijowasito, Kamus Umum Belanda - Indonesia, Jakarta: PT Ikhtiar Baru, 1999
Sumber Jurnal:
Anjari, Warih, Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Dalam Perspektif Hak
Asasi Manusia Kajian Putusan No. 537K/Pid.Sus/2014 dan No.
1195K/Pid.Sus/201, Jurnal Yudisial, Vol. 8 No. 1 April 2015
Bolongaita, Emil. P, An exception to the rule? Why Indonesia’s Anti Corruption
Commission succeds where others’s don’t a comparison with the
Philippines Ombudsman, U4 Issue, No.4, 2010
Jurnal KOMUNIKA, Vol. 9, NO. 1, Januari- Juni 2015
Jurnal Media Hukum, Vol. 21, No. 1 Juni 2014
Sumber Skripsi:
Artilawati, Mia, Kewenangan KPU dalam Membatasi Hak Politik Mantan
Narapidana Korupsi Dalam Pemilu Legislatif (Analisis Putusan MA No.
46P/HUM/2018 terhadap Perturan KPU No. 20 Tahun 2018. Skripsi
Fakultas syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
Dewi, Indar, Hak Politik Mantan Terpidana Korupsi (Studi Komparatif Hukum
Progresif dan Maqasid Al-Syariah). Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Fortuna, DM Dewi, Analisis Fiqh Siyasah Terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 04/PUU-VII/2009 Tentang Pencalonan Mantan Narapidana
63
Sebagai Anggota Legislatif. Skripsi Fakultas Syariah UIN Raden Intan
Lampung.
Hartono, Dian Rudy, Pencabutan Hak Politik Terhadap Koruptor Perspektif
Nomokrasi Islam.
Sahuri, Perspektif Hukum Islam dan HAM tentang Pencabutan Hak Politik
Koruptor Kajian Hukum Islam dan HAM terhadap Putusan MA No.
1195K/Pid.Sus/2014. Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Sumber Website:
http://202.158.52.214/id/arsip/1999/04/04/HK/mbm.19990404.HK94833.id.html,
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/2941-hak-politik-warga-negara-
sebuah-perbandingan-konstitusi.html
http://www.hukumonline.com/artikel_detail.asp?id=3925.
https://aceh.tribunnews.com/2019/02/14/terima-suap-5-anggota-dprd-sumut-
dicabut-hak-politik-divonis-4-tahun-penjara-dan-denda-rp-200-juta?page=2,
https://aceh.tribunnews.com/2019/02/14/terima-suap-5-anggota-dprd-sumut-
dicabut-hak-politik-divonis-4-tahun-penjara-dan-denda-rp-200-
juta?page=2,1 https://kabar24.bisnis.com/read/20190410/16/910022/wajah-
lama-caleg-dpr-dan-mimpi-bebas-korupsi
https://definitions.uslegal.com/p/political-corruption/,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hak%20Asasi%20manusia,
https://nasional.kompas.com/read/2019/07/27/17080491/dua-kali-terjerat-kasus-
korupsi-bupati-kudus-bisa-dituntut-hukuman-mati
https://news.detik.com/berita/d-3987879/terbukti-korupsi-e-ktp-setya-novanto-
divonis-15-tahun-penjara,.
https://news.detik.com/berita/d-4094865/pro-kontra-larangan-nyaleg-untuk-eks-
koruptor, https://news.detik.com/berita/d-4500126/icw-22-anggota-dpr-tersangka-korupsi-
sepanjang-2014-2019
64
https://tirto.id/kpu-umumkan-49-caleg-berstatus-mantan-koruptor-ikut-pileg-
2019-dfr4,
https://www.suara.com/news/2019/02/11/163457/5-kasus-korupsi-terbesar-di-
indonesia-dengan-kerugian-negara-fantastis,